Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 7 (2013) PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH, DANA ALOKASI UMUM, SISA LEBIH PEMBIAYAAN ANGGARAN DAN LUAS WILAYAH TERHADAP BELANJA LANGSUNG Siti Fatmawati [email protected] Akhmad Riduwan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STIESIA) Surabaya ABSTRACT This research is meant to find out whether the local revenue, public allocation Fund, The remaining of budget financing and the landmass has an influence to the municipal’s direct expenditure of East Java province in the period of 2007- 2011.Analysis instrument which is used in this research is the multiple linear regressions analysis.The result of coefficient test indicates that the variation as much as 60.3% or the changes in direct expenditure can be explained by independent variable variation PAD, DAU, SiLPA and landmass, while the remaining of 39.7% is explained by other variables that are not included in the research model.The result of the research indicates that the local revenue, public allocation fund and the remaining of budget financing have positive influence to the direct expenditure, while the landmass has no significant influence to the direct expenditures. The dependency level to the direct expenditures to the local revenue is larger than the public allocation Fund and the SiLPA. Keywords:Local Revenue, Public Allocation Fund, SiLPA, Direct Expenditure. ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran dan Luas Wilayah berpengaruh terhadap Belanja Langsung pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur pada periode 2007 – 2011.Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi linier berganda.Hasil uji koefisien determinasi menunjukkan bahwa sebesar 60,3 % variasi atau perubahan dalam belanja langsung dapat dijelaskan oleh variasi variabel bebas PAD, DAU, SiLPA dan Luas Wilayah, sedangkan sisanya sebesar 39,7 % dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model penelitian.Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, dan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran berpengaruh positif terhadap Belanja Langsung, sedangkan Luas Wilayah tidak berpengaruh signifikan terhadap Belanja Langsung. Tingkat ketergantungan Belanja Langsung terhadap Pendapatan Asli Daerah lebih besar daripada terhadap Dana Alokasi Umum dan SiLPA. Kata kunci: pendapatan asli daerah, dana alokasi umum, SiLPA, belanja langsung. PENDAHULUAN Otonomi daerah merupakan fenomena politis yang menjadikan penyelenggaraan pemerintahan yang sentralistik birokratis ke desentralistik partisipatoris (Indraningrum, 2011). Perubahan bentuk pemerintahan tersebut sesuai dengan Undang – Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta Undang – Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah sebagai perubahan atas Undang – Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang – Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yaitu perubahan bentuk pemerintahan sentralisasi menjadi struktur terdesentralisasi. Undang – undang otonomi daerah tersebut memberikan wewenang kepada daerah untuk mengatur kepentingan dan rumah tangganya sendiri, dengan diberikan kewenangan dalam menggali potensi – potensi alam daerahnya, menggali sumber keuangan dan pendapatan asli daerah (PAD). Tujuan ekonomi yang hendak dicapai melalui desentralisasi Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 7 (2013) 2 adalah mewujudkan kesejahteraan melalui penyediaan pelayanan publik yang lebih merata dan memperpendek jarak antara penyedia layanan publik dan masyarakat lokal (Kusnandar dan Siswantoro, 2012:1). Indraningrum (2011:20) menyatakan bahwa pembiayaan penyelenggaran pemerintahan berdasarkan asas desentralisasi dilakukan atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Menurut PP No. 58 Tahun 2005 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD dan ditetapkan dengan peraturan daerah. Kemandirian daerah merupakan konsekuensi dari perubahan kebijakan tersebut. Untuk dapat mencapai tujuan kemandirian tersebut dukungan sumber – sumber penerimaan daerah sangat diperlukan, yang antara lain diperoleh dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah, dan lain – lain dari pendapatan yang sah. Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 tahun 2006 Pendapatan asli Daerah terdiri atas pajak daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain – lain pendapatan asli daerah yang sah, sedangkan pendapatan dana perimbangan terdiri atas dana bagi hasil, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus. Namun dalam penelitian ini hanya menggunakan dana alokasi umum sebagai salah satu variabel independen. Peranan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam membiayai kebutuhan pengeluaran daerah sangat kecil dan bervariasi antar daerah, yaitu kurang dari 10% hingga 50%. Sebagian besar wilayah Provinsi dapat membiayai kebutuhan pengeluaran kurang dari 10% (Rahmawati, 2010:3), hal tersebut bergantung pada potensi yang dimiliki masing – masing daerah. Untuk mengurangi kesenjangan fiskal tersebut terdapat dana transfer dari Pemerintah Pusat, dengan harapan penggunaannya secara efisien dan efektif. Realitas yang sering terjadi dana perimbangan dari pemerintah pusat adalah sumber penerimaan utama pemerintah daerah untuk membiayai operasional harian kegiatan pemerintah daerah. Dengan otonomi daerah diharapkan porsi penerimaan dari dana transfer ke depan dapat diminimalisasi. Pemerintah Daerah juga dapat memanfaatkan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) tahun sebelumnya sebagai salah satu sumber pendapatan daerah. Studi mengenai pengaruh SiLPA terhadap belanja langsung pemerintah daerah telah dilakukan oleh Ardhini (2011) dengan hasil bahwa SiLPA berpengaruh positif signifikan terhadap salah satu komponen belanja langsung yaitu belanja modal, penelitian dengan hasil yang sama juga dilakukan oleh Kusnandar dan Siswantoro (2012). Namun tingginya nilai SiLPA menunjukkan lemahnya eksekutif di bidang perencanaan dan pengelolaan dana. Selain DAU, PAD dan SiLPA penelitian ini juga akan menggunakan variabel luas wilayah sebagai variabel independen terhadap pengalokasian belanja langsung daerah. Luas Wilayah digunakan sebagai salah satu variabel kontrol karena dalam realisasinya belanja modal untuk kepentingan publik cenderung berupa pembangunan fisik di suatu kawasan atau daerah tersebut (Ardhini, 2011:6). Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (2012) Jawa Timur memiliki wilayah terluas di antara 6 provinsi di Pulau Jawa. Untuk itu peneliti memilih provinsi Jawa Timur sebagai sampel dalam penelitian ini. Penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Kusnandar dan Siswantoro (2012) menggunakan sampel laporan keuangan pemerintah kabupaten/kota seluruh Indonesia, sedangkan penelitian ini mempersempit sampel yaitu hanya menggunakan laporan keuangan kabupaten/kota di Jawa Timur dan variabel yang dipengaruhi adalah belanja langsung sedangkan dalam penelitian sebelumnya menggunakan belanja modal. Klasifikasi belanja berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 tahun 2006 yaitu belanja tidak langsung dan belanja langsung. Dalam penelitian ini menggunakan variabel belanja langsung karena porsi belanja langsung cenderung lebih besar di Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 7 (2013) 3 bandingkan dengan belanja tidak langsung. Belanja langsung terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa, serta belanja modal untuk melaksanakan program dan kegiatan pemerintahan daerah yang telah dianggarkan (Vegirawati, 2012:2). Penelitian ini merupakan replika dari penelitian yang telah dilakukan oleh Kusnandar dan Siswantoro (2012). Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisa bagaimana pengaruh DAU, PAD, SiLPA dan luas wilayah terhadap belanja langsung di provinsi Jawa Timur. TINJAUAN TEORETIS DAN HIPOTESIS Otonomi Daerah Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 otonomi daerah merupakan hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang – undangan. Dalam UU ini pemberian kewenangan otonomi kepada daerah kabupaten dan daerah kota didasarkan pada asas desentralisasi yang dilaksanakan secara luas, nyata dan bertanggung jawab. Tujuan otonomi daerah dalam undang – undang tersebut adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan publik yang lebih baik, pemerataan hasil – hasil pembangunan, meningkatkan potensi daerah secara optimal, dan tentunya kemandirian keuangan daerah. Bastian (2006:338) menyatakan asas – asas penting otonomi daerah dalam undang – undang tersebut antara lain: 1) asas desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah Otonomi dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, 2) asas dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada Gubernur sebagai pemerintah dan/atau perangkat pusat di daerah, 3) tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan desa serta dari daerah ke desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana, dan prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkannya kepada yang menugaskan, 4) perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah adalah suatu sistem pembiayaan pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan, yang mencakup pembagian keuangan antara pemerintah puast dan pemerintah daerah serta pemerataan antardaerah secara proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi, serta kebutuhan daerah, sejalan dengan kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata cara penyelenggaraan kewenangan tersebut, termasuk pengelolaan dan pengawasan keuangannya. Harun (2009:63) menyatakan bahwa untuk mengukur seberapa baik, efektif, dan efisien kinerja pemerintah daerah dengan adanya otonomi dalam melayani kepentingan publik, pemerintah daerah mendapat pelimpahan wewenang, pembagian pajak, pendapatan, beban, dan pembagian personil dari sistem desentralisasi. Sejalan dengan itu, pengelolaan keuangan dan aset – aset sepenuhnya berada di tangan pemerintah daerah, sehingga diperlukan sistem pengelolaan keuangan dan aset – aset daerah lebih baik. Masalah yang penting dalam kerangka Otonomisasi Daerah adalah menyangkut pembagian/perimbangan pusat dan daerah. Perimbangan keuangan antara pusat dan daerah sangat penting, karena keadilan sesungguhnya harus meliputi dua hal, yaitu keadilan politik dan keadilan ekonomi (Bastian, 2006:340). Bastian (2006:340) menyebutkan beberapa hal penting yang termaktub dalam dua undang – undang otonomi daerah antara lain: 1) pembiayaan penyelenggaraan pemerintah, baik dibiayai dari dan atas beban APBD maupun dari dan atas beban APBD, 2) sumber pendapatan daerah yang terdiri dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan, pinjaman Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 7 (2013) 4 daerah dan lain – lain pendapatan daerah yang sah, 3) persentase dana perimbangan, salah satu bagian dana perimbangan yaitu dana alokasi umum. Anggaran Sektor Publik Untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan, pemerintah daerah diharuskan mempunyai perencanaan mengenai penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah yang lazim disebut dengan anggaran sektor publik. Anggaran publik berisi rencana kegiatan yang dipresentasikan dalam bentuk rencana perolehan pendapatan dan belanja dalam satuan moneter. Dalam bentuk yang paling sederhana, anggaran sektor publik merupakan suatu dokumen yang menggambarkan kondisi keuangan dari suatu organisasi yang meliputi informasi mengenai pendapatan, belanja dan aktivitas (Mardiasmo, 2009:62). Harun (2009:100) menyatakan anggaran merupakan suatu cara menerjemahkan tujuan maupun strategi dari suatu organisasi ke dalam terminologi operasional, serta mengungkapkan pernyataan jangka pendek dari suatu instansi sektor publik yang dinyatakan secara kuantitatif. Mardiasmo (2009) secara singkat dapat dinyatakan bahwa anggaran sektor publik merupakan suatu rencana finansial yang menyatakan: (a) Berapa biaya-biaya atas rencana yang dibuat (pengeluaran/belanja). (b) Berapa banyak dan bagaimana caranya memperoleh uang untuk mendanai rencana tersebut (pendapatan). Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Anggaran merupakan bagian penting dalam perencanaan dari setiap proses manajemen, merepresentasi apa yang akan dilakukan di masa mendatang. Menurut Bastian (2006:163) anggaran dapat diinterpretasikan sebagai paket pernyataan perkiraan penerimaan dan pengeluaran yang diharapkan akan terjadi dalam satu atau beberapa periode mendatang. Pengertian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah menurut Undang – Undang No. 33 Tahun 2004 adalah rencana keuangan tahunan Pemerintahan Daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Anggaran sektor publik memberikan gambaran tentang pengalokasian sumberdaya yang dimiliki oleh organisasi dalam periode tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh organisasi tersebut. Anggaran sektor publik yang dipresentasikan dalam APBN dan APBD menggambarkan tentang rencana keuangan di masa datang mengenai jumlah pendapatan, belanja, surplus/defisit, pembiayaan, serta program kerja dan aktivitas yang akan dilakukan. Aspek – aspek yang harus tercakup dalam anggaran sektor publik meliputi: (a) aspek perencanaan; (b) aspek pengendalian dan; (c) aspek akuntabilitas publik (Mardiasmo, 2009:61). Prinsip dan norma yang harus di acu dalam penyusunan APBD menurut Harun (2009:111) adalah sebagai berikut: a. Transparansi dan Akuntabilitas Anggaran Penyusunan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban anggaran harus dilakukan secara transparan dan accountable, yang mengandung makna bahwa seluruh proses penyusunan anggaran harus semaksimal mungkin dapat menunjukkan latar belakang pengambilan keputusan dalam penetapan arah kebijakan umum, skala prioritas, dan penetapan alokasi, serta distribusi sumber daya dengan melibatkan partisipasi masyarakat. b. Disiplin Anggaran Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 7 (2013) 5 c. d. Untuk menjamin agar APBD dapat disusun dan dilaksanakan dengan baik dan benar, maka diatur landasan administratif dalam pengelolaan anggaran daerah yang mengatur antara lain prosedur dan teknis penganggaran serta aspek penatausahaan yang harus diikuti secara tertib dan taat asas. Selain itu penyusunan anggaran baik “pendapatan” maupun “belanja” juga harus mengacu pada aturan atau pedoman yang melandasinya apakah itu Undang – undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri, Peraturan Daerah atau Keputusan Kepala Daerah. Keadilan Anggaran Pendapatan daerah (langsung) pada hakikatnya diperoleh melalui mekanisme pajak dan retribusi atau pungutan lainnya yang dibebankan pada seluruh masyarakat. Keadilan atau kewajaran dalam perpajakan terkait dengan prinsip kewajaran “horizontal” yang menekankan pada persyaratan bahwa masyarakat dalam posisi yang sama harus diberlakukan sama dan prinsip kewajaran “vertikal” yang dilandasi pada konsep kemampuan wajib pajak/retribusi untuk membayar, artinya masyarakat yang mempunyai kemampuan untuk membayar tinggi, diberikan beban pajak yang tinggi pula. Tentunya untuk menyeimbangkan kedua prinsip tersebut pemerintah daerah dapat melakukan diskriminasi tarif secara rasional untuk menghilangkan rasa ketidakadilan. Efisiensi dan Efektivitas Anggaran Dalam perencanaan anggaran perlu diperhatikan: (1) penetapan secara jelas tujuan dan sasaran, hasil dan manfaat, serta indikator kinerja yang ingin dicapai; (2) penetapan prioritas kegiatan dan perhitungan beban kerja, serta penetapan harga satuan yang rasional. Kriteria Anggaran Sektor Publik Mardiasmo (2009:63) menyatakan bahwa anggaran merupakan alat ekonomi terpenting yang dimiliki pemerintah untuk mengarahkan perkembangan sosial dan ekonomi, menjamin kesinambungan, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Anggaran sektor publik harus dapat memenuhi kriteria: (a) Merefleksikan perubahan prioritas kebutuhan dan keinginan masyarakat, (b) Menentukan penerimaan dan pengeluaran departemen – departemen pemerintah, pemerintah provinsi atau pemerintah daerah. APBD harus memuat sasaran yang diharapkan menurut fungsi belanja, standar pelayanan yang diharapkan dan perkiraan biaya satuan komponen kegiatan yang bersangkutan, serta bagian pendapatan APBD yang digunakan untuk membiayai belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, dan belanja modal/investasi (Syafitri, 2009). Unsur – unsur APBD menurut Halim (2007) adalah sebagai berikut: (a) Rencana kegiatan suatu daerah beserta uraiannya secara rinci, (b) Adanya sumber penerimaan yang merupakan target minimal untuk menutupi biaya – biaya sehubungan dengan aktivitas tersebut, dan adanya biaya – biaya yang merupakan batas maksimal pengeluaran – pengeluaran yang akan dilaksanakan, (c) Jenis kegiatan dan proyek yang dituangkan dalam bentuk angka, (d) Periode anggaran yang biasanya satu (1) tahun. Fungsi Anggaran Sektor Publik Anggaran sektor publik mempunyai beberapa fungsi utama, yaitu: (a) sebagai alat perencanaan, (b) alat pengendalian, (c) alat kebijakan fiskal, (d) alat politik, (e) alat koordinasi dan komunikasi, (f) alat penilaian kinerja, (g) alat motivasi, dan (h) alat menciptakan ruang publik (Mardiasmo, 2009:65). Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 7 (2013) 6 Pendapatan Asli Daerah (PAD) Salah satu sumber penerimaan pemerintah daerah adalah Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disebut PAD dalam Undang – Undang No. 33 Tahun 2004 yakni semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah, yang bersumber dari hasil Pajak Daerah, hasil Retribusi Daerah, hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan, dan Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah, yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada Daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas Desentralisasi. PAD dapat dijadikan sebagai indikator dalam menilai tingkat kemandirian suatu daerah dalam mengelola keuangan daerahnya, makin tinggi rasio PAD dibandingkan dengan total pendapatan makin tinggi tingkat kemandirian suatu daerah (Kusnandar dan Siswantoro, 2012:8). Kusnandar dan Siswantoro (2012:8) juga menyebutkan bahwa PAD selalu dihubungkan dengan kewenangan daerah untuk memungut pajak (daerah) atau pungutan lainnya seperti retribusi, padahal pendapatan asli daerah juga dapat berasal dari sumber lain seperti, hasil pengelolaan perusahaan daerah walaupun hasilnya yang relative kecil. Sumber – sumber pendapatan asli daerah menurut Undang – Undang No. 33 Tahun 2004 terdiri dari: a. Pajak Daerah Pajak daerah merupakan kontribusi dari wajib pajak yakni masyarakat baik pribadi maupun badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang – Undang, tanpa mendapatkan imbalan secara langsung yang sepenuhnya digunakan untuk membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah, dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, bagi sebesar – besarnya kemakmuran rakyat dan kemandirian daerah. b. Retribusi Daerah Menurut Undang – Undang No. 28 Tahun 2009 Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan. c. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan Pendapatan daerah ini berasal dari hasil keuntungan atau laba dari perusahaan milik pemerintah daerah, yaitu perusahaan yang didirikan seluruhnya atau sebagian modalnya berasal dari kekayaan daerah yang dipisahkan, yakni bagian keuntungan atau laba dari penyertaan modal tersebut. d. Lain – lain Pendapatan Asli Daerah yang sah Penerimaan ini berasal dari penerimaan selain pajak daerah, retribusi daerah dan bagian laba dari usaha pemerintah daerah. Dalam Undang – Undang No. 33 Tahun 2004 pendapatan ini bersumber dari: (1) hasil penjualan aset/kekayaan daerah; (2) jasa giro; (3) pendapatan bunga; (4) keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing; dan (5) komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh Daerah. Dana Alokasi Umum (DAU) Dana alokasi umum yang selanjutnya disebut DAU menurut Undang – Undang No. 33 Tahun 2004 adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar – Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Pemberian subsidi berupa Dana Alokasi Umum bertujuan untuk menanggulangi kesenjangan fiskal antar daerah yang disebabkan oleh minimnya sumber pajak dan sumber Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 7 (2013) 7 daya alam yang berbeda – beda antar daerah serta kurang optimalnya upaya penggalian sumber pendapatan tersebut. DAU suatu daerah ditentukan atas besar kecilnya celah fiskal (fiscal gap) suatu daerah, yang merupakan selisih antara kebutuhan daerah (fiscal need) dan potensi daerah (fiscal capacity). Alokasi DAU bagi daerah yang potensi fiskalnya besar, tetapi kebutuhan fiskal kecil akan memperoleh alokasi DAU relatif kecil, namun kebutuhan fiskal besar, akan memperoleh alokasi DAU relatif besar. Secara implisit, prinsip tersebut menegaskan fungsi DAU sebagai faktor pemerataan kapasitas fiskal (Sari, 2010). Sumber penerimaan daerah saat ini masih sangat didominasi oleh dana transfer dari pemerintah pusat baik dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH), sedangkan porsi PAD masih relatif kecil. Cara menghitung Dana Alokasi Umum dengan ketentuan sebagai berikut: a. Dana Alokasi Umum (DAU) ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari penerimaan dalam negeri yang ditetapkan dalam APBN. b. Dana Alokasi Umum (DAU) untuk daerah provinsi dan untuk Kabupaten/Kota ditetapkan masing-masing 10% dan 90% dari Dana Alokasi Umum sebagaimana ditetapkan diatas. c. Dana Alokasi Umum (DAU) untuk suatu Kabupaten/Kota tertentu ditetapkan berdasarkan perkalian jumlah Dana Alokasi Umum untuk Kabupaten/Kota yang ditetapkan APBN dengan porsi Kabupaten/Kota yang bersangkutan. d. Porsi Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud di atas merupakan proporsi bobot Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia. (Prakosa, 2004) Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) Dalam Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2010 pengertian Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) adalah selisih lebih antara realisasi pendapatan-LRA dan belanja, serta penerimaan dan pengeluaran pembiayaan dalam APBD/APBN selama satu periode pelaporan. Dalam LRA juga terdapat penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan. Penerimaan pembiayaan dapat berupa hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, pinjaman dalam negeri, dan dari penerimaan kembali pinjaman yang pernah diberikan pemerintah daerah kepada pihak lain, sedangkan pengeluaran pembiayaan dapat berupa pembentukan dana cadangan, penyertaan modal pemerintah daerah, pembayaran pokok pinjaman dalam negeri, dan pemberian pinjaman kepada pihak lain. Selisih antara penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan merupakan pembiayaan neto. Selisih antara Surplus/defisit dengan pembiayaan neto inilah yang disebut sebagai SiLPA (Ardhini, 2011:27). SiLPA tahun anggaran sebelumnya mencakup pelampauan penerimaan PAD, pelampauan penerimaan dana perimbangan, pelampauan penerimaan lain-lain pendapatan daerah yang sah, pelampauan penerimaan pembiayaan, penghematan belanja, kewajiban kepada fihak ketiga sampai dengan akhir tahun belum terselesaikan, dan sisa dana kegiatan lanjutan (Kusnandar dan Siswantoro, 2012:8). Ardhini (2011:27) menyatakan bahwa selisih antara pendapatan disatu pihak dengan belanja dan transfer dilain pihak merupakan surplus atau defisit. Surplus terjadi apabila pendapatan lebih besar dibandingkan dengan belanja dan transfer, sedangkan defisit terjadi apabila pendapatan lebih kecil dibandingkan dengan belanja dan transfer. Belanja Daerah Program dan kegiatan pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah berimplikasi adanya pengeluaran atau belanja. Belanja daerah menurut Undang – Undang Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 7 (2013) 8 No. 33 Tahun 2004 adalah semua kewajiban Daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Menurut Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 belanja daerah diklasifikasikan menurut organisasi, fungsi, program dan kegiatan, serta jenis belanja. Klasifikasi belanja menurut organisasi disesuaikan dengan susunan organisasi pemerintahan daerah. Klasifikasi belanja menurut fungsi terdiri dari klasifikasi berdasarkan urusan pemerintahan dan klasifikasi fungsi pengelolaan keuangan daerah. 1. Klasifikasi belanja menurut organisasi disesuaikan dengan susunan organisasi pemerintahan daerah. 2. Klasifikasi belanja menurut fungsi terdiri dari: a. Klasifikasi berdasarkan urusan pemerintahan Klasifikasi belanja berdasarkan urusan pemerintahan diklasifikasikan menurut kewenangan pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota. b. Klasifikasi fungsi pengelolaan keuangan negara Klasifikasi belanja menurut fungsi digunakan untuk tujuan keselarasan dan keterpaduan pengelolaan keuangan negara terdiri dari: Pelayanan umum, Ketertiban dan keamanan, Ekonomi, Lingkungan hidup, Perumahan dan fasilitas umum, Kesehatan, Pariwisata dan budaya, Pendidikan, Perlindungan sosial. 3. Klasifikasi belanja menurut program dan kegiatan disesuaikan dengan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. 4. Klasifikasi belanja menurut jenis belanja terdiri dari: (a) Belanja pegawai, (b) Belanja barang, (c) Belanja modal, (d) Bunga, (e) Subsidi, (f) Hibah, (g) Bantuan sosial, (h) Belanja bagi hasil dan bantuan keuangan, dan (i) Belanja tidak terduga. Klasifikasi belanja berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 pasal 24 ayat (2) yakni menurut kelompok belanja terdiri dari: (a) Belanja tidak langsung, belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan, (b) Belanja langsung, belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Belanja Langsung Belanja langsung adalah belanja yang mempengaruhi secara langsung oleh adanya program dan kegiatan yang direncanakan. Pemerintah diminta lebih fokus meningkatkan belanja langsung (direct spending), baik melalui peningkatan daya beli konsumen maupun pembangunan infrastruktur. Belanja langsung diyakini mempunyai multiplier effect lebih dahsyat dalam penciptaan lapangan kerja dibanding insentif fiskal yang hanya dinikmati oleh sebagian kalangan saja (Sari, 2010). Belanja langsung terdiri dari: a. Belanja pegawai Belanja pegawai adalah belanja kompensasi, baik dalam bentuk uang maupun barang yang ditetapkan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang diberikan kepada DPRD, dan pegawai pemerintah daerah baik yang bertugas di dalam maupun di luar daerah sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilakukan, kecuali pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan modal. b. Belanja barang dan jasa Belanja Barang dan Jasa digunakan untuk pembelian barang dan jasa yang habis pakai guna memproduksi barang dan jasa. Seperti, pembelian barang dan jasa keperluan kantor, jasa pemeliharaan, dan ongkos perjalanan dinas. Belanja barang dan jasa digunakan untuk pengeluaran pembelian/pengadaan barang yang nilai manfaatnya Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 7 (2013) 9 c. kurang dari 12 (dua belas) bulan dan/atau pemakaian jasa dalam melaksanakan program dan kegiatan pemerintahan daerah. Belanja modal Belanja modal adalah pengeluaran yang dikeluarkan dalam rangka pembelian/pengadaan aset tetap dan aset lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintah.Belanja Modal dikategorikan dalam 5 (lima) kategori utama yaitu : (1) Belanja modal tanah, (2) Belanja modal peralatan dan mesin, (3) Belanja modal gedung dan bangunan, (4) Belanja modal jaringan, (5) Belanja modal buku perpustakaan dan hewan. Tinjauan Penelitian Terdahulu Prakosa (2004) yang meneliti di Jawa Tengah dan DIY memperoleh hasil bahwa besarnya belanja daerah di pengaruhi oleh jumlah DAU yang diterima dari pemerintah pusat, daya prediksi DAU terhadap belanja daerah lebih tinggi dibanding daya prediksi PAD, hasil yang sama juga diperoleh Rahmawati (2010). Darwanto dan Yustikasari (2007) dalam penelitiannya menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi, PAD dan DAU berpengaruh signifikan terhadap variabel Belanja Modal, secara parsial PAD dan DAU berpengaruh signifikan, sedangkan Pertumbuhan Ekonomi tidak berpengaruh. Senada dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Syafitri (2009) pertumbuhan ekonomi secara parsial tidak berpengaruh signifikan terhadap alokasi belanja modal. Penelitian yang dilakukan Sari (2010) menunjukkan bahwa: 1) DAU mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap belanja langsung; 2) PAD secara parsial tidak mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap belanja langsung; 3) DAU dan PAD secara simultan berpengaruh signifikan terhadap Belanja Langsung. Indraningrum (2011) dalam penelitiannya di Jawa Tengah juga memperoleh hasil yang sama Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU) mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap Belanja Langsung. Pada penelitian yang dilakukan oleh Ardhini (2011) dan Kusnandar dan Siswantoro (2012) menunjukkan bukti bahwa SiLPA dan luas wilayah berpengaruh positif terhadap belanja modal. Pengembangan Hipotesis Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Langsung Dalam penelitian yang dilakukan oleh Indraningrum (2011) memberikan bukti empiris bahwa besarnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh terhadap belanja langsung Pemerintah Daerah. Kemampuan daerah untuk menyediakan pendanaan yang berasal dari daerah sangat tergantung pada kemampuan merealisasikan potensi ekonomi tersebut menjadi bentuk – bentuk kegiatan ekonomi yang mampu menciptakan perguliran dana untuk pembangunan daerah yang berkelanjutan (Indraningrum, 2011:64). Pemerintah Daerah yang memiliki PAD tinggi maka pengeluaran untuk alokasi belanja daerahnya juga semakin tinggi (Rahmawati, 2010). Peningkatan Pendapatan Asli Daerah diharapkan mampu meningkatkan kualitas pelayanan publik melalui program dan kegiatan pemerintah daerah yang dibiayai. Maka hipotesis yang dikembangkan yaitu: H1: Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif terhadap Belanja Langsung Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap Belanja Langsung. Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa Dana Alokasi Umum (DAU) sangat berpengaruh pada belanja pemerintah daerah, seperti yang dikemukakan oleh Sari (2010) bahwa Dana Alokasi Umum (DAU) mempunyai pengaruh positif dan signifikan Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 7 (2013) 10 terhadap belanja langsung, Prakosa (2004) menyatakan bahwa besarnya belanja daerah di pengaruhi oleh jumlah DAU yang diterima dari pemerintah pusat. Hal senada juga diungkapkan oleh Rahmawati (2010) dalam penelitiannya tentang Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU) Terhadap Alokasi Belanja Daerah. Tujuan dari pemberian Dana Alokasi Umum (DAU) ini adalah pemerataan dengan memperhatikan potensi daerah, luas daerah, keadaan geografi, jumlah penduduk, dan tingkat pendapatan (Indraningrum, 2011:66). Darwanto dan Yustikasari (2007), menyatakan bahwa terdapat keterkaitan sangat erat antara transfer dari pemerintah pusat dengan belanja pemerintah daerah. H2: Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh positif terhadap Belanja Langsung. Pengaruh Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) terhadap Belanja Langsung. Terbentuknya SiLPA apabila terjadi surplus pada APBD dan sekaligus ternjadi Pembiayaan Neto yang positif, dimana komponen Penerimaan lebih besar dari komponen Pengeluaran Pembiayaan, hal tersebut dapat digunakan sebagai indikator efisiensi pada suatu Daerah. SiLPA digunakan pula untuk permasalahan krusial yang sebelumnya memang disetujui oleh pihak legislatif (Ardhini, 2011:4).Dalam kaitannya dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) SiLPA tahun anggaran sebelumnya merupakan salah satu komponen penerimaan daerah.Menurut Ardhini (2011) sebagian besar SiLPA disumbangkan ke Belanja Langsung berupa Belanja Modal yang secara langsung menyentuh kebutuhan masyarakat.Maka hipotesis yang dikembangkan: H3: SiLPA berpengaruh positif terhadap Belanja Langsung. Pengaruh Luas Wilayah terhadap Belanja Langsung Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional (Ardhini, 2011:25). Anggaran belanja modal didasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana, baik untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan maupun untuk fasilitas publik (Kusnandar dan Siswantoro, 2012:10). Menurut Ardhini (2011) dalam realisasinya salah satu komponen belanja langsung yaitu belanja modal untuk kepentingan publik cenderung berupa pembangunan fisik di suatu kawasan atau daerah tersebut, sehingga luas wilayah digunakan sebagai variabel kontrol.Maka hipotesis yang dikembangkan untuk luas wilayah: H4: Luas Wilayah berpengaruh positif terhadap Belanja Langsung METODE PENELITIAN Populasi dan Sampel Penelitian Populasi dalam penelitian ini Pemerintah Kabupaten/Kota di Jawa Timur yang terdiri dari 29 Kabupaten dan 9 Kota.Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode purposive sampling. Beberapa kriteria dalam penentuan pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah: (1) Data realisasi PAD, DAU, SiLPA dan Belanja Langsung dari Laporan Realisasi APBD Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur yang terdaftar di situs www.djpk.depkeu.go.id periode 2007 – 2011, (2)Tersedianya data luas wilayah masing – masing Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur pada Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Timur. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel Dalam penelitian ini terdapat 4 (empat) variabel independen, yaitu variabel Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA), dan Luas Wilayah. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 7 (2013) 11 Belanja Langsung.Definisi operasional dimaksudkan untuk menjabarkan variabel ke dalam suatu penelitian yang berupa indikator yang lebih terperinci, sehingga akan mempermudah pengukurannya. Berikut ini adalah definisi operasional variabel penelitian: a. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Menurut Undang – Undang No. 33 Tahun 2004 Pendapatan Asli Daerah adalah semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah, yang bersumber dari hasil Pajak Daerah, hasil Retribusi Daerah, hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan, dan Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah, yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada Daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas Desentralisasi. Dalam penelitian ini Pendapatan Asli Daerah yang digunakan sebagai sampel penelitian adalah dari Laporan Realisasi Anggaran Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2011. Untuk menghitung Pendapatan Asli daerah rumus yang digunakan adalah sebagai berikut: PAD = Pajak Daerah + Retribusi Daerah + Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan + Lain – lain PAD yang sah b. Dana Alokasi Umum (DAU) Alokasi DAU bagi daerah yang potensi fiskalnya besar, tetapi kebutuhan fiskal kecil akan memperoleh alokasi DAU relatif kecil, namun kebutuhan fiskal besar, akan memperoleh alokasi DAU relatif besar (Sari, 2010). Menurut Halim (2009) dalam Rahmawati (2010) Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan belanja daerah.Dalam penelitian ini Dana Alokasi Umum (DAU) dapat dilihat dari Laporan Raelisasi Anggaran Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur. Untuk menghitung DAU untuk kabupaten/kota atas dasar alokasi adalah, sebagai berikut: DAU = ( % x bobot ) x (DAU Kabupaten/Kota) c. Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) adalah selisih lebih antara realisasi pendapatan-LRA dan belanja, serta penerimaan dan pengeluaran pembiayaan dalam APBD/APBN selama satu periode pelaporan (PP 71 Tahun 2010). Variabel ini diukur dari jumlah SiLPA yang ada di Laporan Realisasi APBD per Kota/Kabupaten di Provinsi Jawa Timur. d. Luas Wilayah Luas wilayah ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional (Ardhini, 2011). Dalam penelitian ini data luas wilayah diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Timur. e. Belanja Langsung Belanja langsung adalah belanja yang mempengaruhi secara langsung oleh adanya program dan kegiatan yang direncanakan (Sari, 2010). Belanja langsung terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa, serta belanja modal untuk melaksanakan program dan kegiatan pemerintahan daerah yang telah dianggarkan (Vegirawati, 2012:66). Belanja Langsung dihitung dengan rumus sebagai berikut: Belanja Langsung (BL) = Belanja Pegawai (BP) + Belanja Barang dan Jasa (BBJ) + Belanja Modal (BM) Pengujian Hipotesis Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan alat analisis yang digunakan adalah analisis regresi linier berganda. Menurut Ghozali (2001:43) dalam analisis regresi selain mengukur kekuatan hubungan antara dua variabel atau lebih, juga Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 7 (2013) 12 menunjukkan arah hubungan antara variabel dependen dengan independen. Model persamaan regresi untuk menguji hipotesis dengan formulasi sebagai berikut: BL = a + b1PAD + b2DAU + b3SLPA + b4LW + e Dimana; BL = Belanja Langsung a = Konstanta PAD = Pendapatan Asli Daerah DAU = Dana Alokasi Umum SLPA = SiLPA LW = Luas Wilayah b1 = Koefisien Regresi Pendapatan Asli Daerah b2 = Koefisien Regresi Dana Alokasi Umum b3 = Koefisien Regresi SiLPA b4 = Koefisien Regresi Luas Wilayah e = Error (Pengganggu) HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Statistik Deskriptif Dari data laporan realisasi anggaran APBD tahun 2007 hingga 2011 yang di sampaikan oleh masing – masing kabupaten/kota kepada situs Dirjen Perimbangan Keuangan Pemerintah Daerah di peroleh data (n) sebanyak 190. Setelah dilakukan screening data, diketahui terdapat data outlier pada penelitian. Outlier adalah data yang memiliki karakteristik unik atau disebut juga data ekstrim. Data outlier bukan merupakan anggota populasi yang diambil sebagai sampel untuk itu perlu di keluarkan agar tidak mengganggu pengujian dalam penelitian. Dari 190 data terdapat 17 data outlier sehingga data yang digunakan sebagai sampel sebanyak 173. Statistik deskriptif dari hasil pengumpulan data sekunder, yaitu nilai minimum, maksimum, mean, dan standar deviasi variabel penelitian ditunjukkan dalam tabel 1 berikut ini: Tabel 1 Statistik Deskriptif Variabel Penelitian N Minimum Maximum Mean Std. Deviation PAD 173 14.944 273.980 65.426,92 39.692,595 DAU 173 188.020 1.058.600 516.273,5 168.818,46 SiLPA 173 .0000 242.640 91.513,45 54.419,895 LW 173 20 3.599 1.238,55 889,993 BL 173 110.820 2.075.900 310.134,1 166.124,15 Valid N (listwise) 173 Keterangan: Dalam Jutaan Rupiah, kecuali Luas dalam Km 2 Uji Asumsi Klasik a. Uji Autokorelasi. Hasil uji autokorelasi di atas menunjukkan nilai statistik Durbin Watson (DW) sebesar 1,992. Nilai tersebut akan dibandingkan dengan nilai tabel dengan signifikansi 5%, jumlah sampel 173 (n) dan jumlah variabel independen 4 (k=4). Nilai DW Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 7 (2013) 13 1,992 lebih besar dari nilai batas atas (du) 1,701 dan kurang dari 2,202 (4-du), sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi autokorelasi baik positif maupun negatif. b. Uji Normalitas. Hasil uji normalitas dengan grafik normal probability plot pada gambar 1 berikut ini terlihat bahwa titik – titik menyebar di sekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal sehingga dapat disimpulkan bahwa data dalam model regresi terdistribusi secara normal. Gambar 1 Normal Probability Plot Selain dengan uji normalitas grafik, juga dilakukan pengujian statistik dengan cara melakukan uji one sample tes Kolmogorov-Smirnov. Pada hasil Kolmogorov-Smirnov menunjukkan nilai signifikansi di bawah 0,05 maka data residual terdistribusi tidak normal. c. Uji Multikolinearitas. Dari hasil pengujian diketahui bahwa seluruh variabel independen yaitu PAD, DAU, SiLPA, dan Luas Wilayah memiliki angka Variance Inflation Factors (VIF) dibawah 10 dengan angka Tolerance yang menunjukkan nilai lebih dari 0,10. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tidak terdapat adanya gejala multikolinieritas antar variabel independen. d. Uji Heteroskedastisitas. Dari hasil uji grafik scatterplot pada gambar 2 dibawah ini diketahui bahwa tidak terdapat pola tertentu yang teratur dan data tersebar secara acak, maka diidentifikasikan tidak terdapat heteroskedastisitas pada model regresi. Gambar 1 Scatterplot Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 7 (2013) 14 Uji Hipotesis Koefisien Determinasi (R2) Hasil perhitungan dengan menggunakan SPSS 16.00 for windows untuk nilai adjusted R-square dari regresi diperoleh data yang ditunjukkan dalam tabel 3 di bawah ini: Tabel 2 Model Summaryb Adjusted R Std. Error of the Model R R Square Square Estimate 1 .782a .612 .603 5.6980211E10 a. Predictors: (Constant), LW, PAD, SiLPA, DAU b. Dependent Variable: BL Tabel 2 menunjukkan bahwa koefisien determinasi yang ditunjukkan dari nilai adjusted R2 sebesar 0,603 yang berarti 60,3 % variasi atau perubahan dalam belanja langsung dapat dijelaskan oleh variasi variabel bebas PAD, DAU, SiLPA dan Luas Wilayah, sedangkan sisanya sebesar 39,7 % dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model penelitian. Uji Signifikansi Parameter Individual (Uji Statistik t) Uji statsistik t dilakukan untuk menentukan pengaruh masing – masing variabel bebas terhadap variabel tergantung. Tabel 3 berikut menunjukkan hasil pengujian analisis regresi uji signifikansi parameter individual (uji statistik t): Tabel 3 Uji t Coefficientsa Model 1 Unstandardized Standardized Coefficients Coefficients B Std. Error (Constant) 7.513E10 1.702E10 PAD .821 .145 DAU .289 SiLPA LW Beta Collinearity Statistics T Sig. Tolerance VIF 4.415 .000 .344 5.676 .000 .592 1.690 .055 .500 5.264 .000 .241 4.154 .294 .093 .165 3.169 .002 .800 1.250 -5.820E6 9.277E6 -.053 -.627 .531 .308 3.246 a. Dependent Variable: BL Hasil perhitungan statistik tersebut menunjukkan bahwa dari ke empat variabel yang dimasukkan dalam model hanya tiga variabel signifikan mempengaruhi Belanja Langsung yaitu variabel Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan tingkat signifikan sebesar 0,000, Dana Alokasi Umum (DAU) dengan tingkat signifikan sebesar 0,000, dan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) dengan tingkat signifikan sebesar 0,002, nilai tingkat signifikan lebih kecil dari tingkat signifikan 0,05. Sedangkan variabel Luas Wilayah tidak signifikan Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 7 (2013) 15 mempengaruhi Belanja Langsung dengan tingkat signifikan 0,531 lebih besar dari tingkat signifikan 0,05. Dapat disimpulkan bahwa variabel Belanja Langsung dipengaruhi oleh PAD, DAU, dan SiLPA dengan persamaan matematis: BL = 75.130.000.000 + 0,821PAD + 0,289DAU + 0,294SiLPA – 5.820.000LW a. b. c. d. e. Persamaan tersebut dapat di artikan: Konstanta sebesar 75.130.000.000 menyatakan bahwa jika variabel independen dianggap nol atau tidak ada, maka rata – rata belanja langsung setiap daerah di Jawa Timur sebesar Rp 75.130.000.000. Koefisien regresi PAD sebesar 0,821 menyatakan bahwa setiap perubahan variabel PAD sebesar 1 % akan meningkatkan Belanja Langsung Daerah sebesar 0,821 atau 82,1 %, dengan asumsi variabel lainnya tetap atau sama dengan nol. Koefisien regresi DAU sebesar 0,289 berarti bahwa peningkatan variabel DAU sebesar 1 % akan meningkatkan Belanja Langsung Daerah sebesar 0,289 atau 28,9 %. Koefisien regresi SiLPA sebesar 0,294 menunjukkan bahwa setiap perubahan variabel SiLPA sebesar 1 % akan meningkatkan Belanja Langsung Daerah sebesar 0,294 atau 29,4 %. Koefisien regresi LW sebesar -5.820.000 menyatakan bahwa setiap penurunan variabel LW sebesar 1 % maka akan menurunkan Belanja Langsung Daerah sebesar 5.820.000, dengan asumsi variabel lainnya tetap atau sama dengan nol. Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Langsung Hasil output regresi untuk variabel Pendapatan Asli Daerah menunjukkan angka signifikansi sebesar 0,000 lebih kecil dari tingkat signifikansi sebesar 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa Pendapatan Asli Daerah secara individual berpengaruh signifikan positif terhadap Belanja Langsung, kesimpulan yang diperoleh hipotesis 1 diterima, bahwa Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif terhadap Belanja Langsung. Sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati (2010) yang menyatakan bahwa Pendapatan Asli Daerah secara parsial berpengaruh signifikan terhadap Belanja Langsung Daerah. Dari hasil uji regresi dapat diketahui tingkat ketergantungan Belanja Langsung Daerah lebih dominan terhadap Pendapatan Asli Daerah dibandingkan dengan ketiga variabel independen yang lain. Pendapatan Asli Daerah merupakan salah satu penerimaan daerah untuk membiayai program kegiatan daerah, sebagai salah satu indikator dalam menilai tingkat kemandirian suatu daerah dalam mengelola keuangan daerahnya. Semakin besar Pendapatan Asli Daerah semakin leluasa pula pemerintah daerah dalam menjalankan program – program pembangunan daerah sehingga semakin besar pula pengeluaran dana untuk alokasi belanja langsung yang merupakan bagian dari belanja daerah. Dalam hal ini untuk lingkup penelitian yang dilakukan pada Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur dalam periode 2007 – 2011 diperoleh hasil bahwa Belanja Langsung pemerintah daerah bergantung pada Pendapatan Asli Daerah (PAD), sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati (2010). Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap Belanja Langsung Hasil output regresi untuk variabel Dana Alokasi Umum menunjukkan angka signifikansi sebesar 0,000, nilai ini lebih kecil dari tingkat signifikansi sebesar 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa Dana Alokasi Umum secara individual berpengaruh signifikan positif terhadap Belanja Langsung, kesimpulan yang diperoleh hipotesis 2 diterima. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sari (2010) yang Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 7 (2013) 16 membuktikan bahwa Dana Alokasi Umum mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap Belanja Langsung pada Pemerintah Kabupaten/Kota di Riau. Dalam penelitian ini tingkat ketergantungan Belanja Langsung terhadap Dana Alokasi Umum lebih kecil dari pada terhadap Pendapatan Asli Daerah. Adanya otonomi daerah tidak serta merta pemerintah daerah menjadi mandiri, untuk itu terdapat dana perimbangan dari pemerintah pusat untuk memenuhi celah fiskal kebutuhan masing – masing daerah. Salah satunya adalah Dana Alokasi Umum, yang dalam penelitian ini adalah variabel bebas yang mempengaruhi Belanja Langsung. Oleh karena potensi kemampuan keuangan masing – masing Daerah dalam membiayai program kegiatannya berbeda untuk daerah dengan Pendapatan Asli Daerah kecil akan sangat bergantung pada transfer dana perimbangan dari pemerintah pusat. Khususnya dalam penelitian ini Belanja Langsung pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur masih sangat bergantung pada Dana Alokasi Umum. Pengaruh Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) terhadap Belanja Langsung Hasil output regresi untuk variabel Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) menunjukkan angka sebesar 0,002, nilai ini lebih kecil dari tingkat signifikansi sebesar 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa SiLPA secara individual berpengaruh signifikan positif terhadap Belanja Langsung, dengan demikian hipotesis 3 diterima. Hasil uji statistik menunjukkan bukti, bahwa SiLPA secara individual berpengaruh positif signifikan terhadap Belanja Langsung. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Kusnandar dan Siswantoro (2012) yang menyatakan bahwa SiLPA berpengaruh positif dan signifikan terhadap Belanja Modal yang merupakan bagian dari Belanja Langsung. Ardhini (2011:27) menyatakan bahwa SiLPA adalah suatu indikator yang menggambarkan efisiensi pengeluaran pemerintah, terbentuknya SiLPA tahun anggaran sebelumnya dapat digunakan untuk pembiayaan pada periode berikutnya. SiLPA terjadi apabila realisasi pendapatan lebih besar malampaui dari yang direncanakan, atau terjadi penghematan pada pos belanja dan transfer. Semakin tinggi SiLPA memungkinkan penggunaan belanja daerah semakin besar salah satunya Belanja Langsung. Sejalan dengan penelitian Ardhini (2011) yang menyatakan bahwa SiLPA berpengaruh positif signifikan terhadap belanja modal dimana belanja modal merupakan salah satu komponen Belanja Langsung. Sehingga kesimpulan yang dapat diperoleh dari hasil uji hipotesis 4 bahwa untuk periode 2007 – 2011 Belanja Langsung Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur dipengaruhi oleh Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran tahun sebelumnya. Pengaruh Luas Wilayah terhadap Belanja Langsung Hasil output regresi untuk variabel Luas Wilayah menunjukkan angka sebesar 0,531, nilai ini lebih besar dari tingkat signifikansi sebesar 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa Luas Wilayah tidak berpengaruh signifikan terhadap Belanja Langsung, dengan demikian hipotesis 4 ditolak. Hasil pengujian statistik hipotesis 4 tidak diterima, tidak terbukti bahwa secara individual Luas Wilayah berpengaruh terhadap Belanja Langsung. Penulis belum menemukan penelitian serupa, pada penelitian sebelumnya yaitu yang dilakukan oleh Kusnandar dan Siswantoro (2012) menemukan bahwa Luas Wilayah secara parsial berpengaruh positif terhadap Belanja Modal, dimana belanja modal merupakan salah satu komponen dari belanja langsung. Perbedaan hasil penelitian ini bisa disebabkan karena pada penelitian yang dilakukan Kusnandar dan Siswantoro (2012) hanya menggunakan belanja modal sebagai variabel Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 7 (2013) 17 bebas. Sedangkan pada penelitian ini memasukkan variabel lain komponen belanja langsung yaitu belanja pegawai dan belanja barang dan jasa. Dalam penjelasan Undang – Undang nomor 33 tahun 2004, luas wilayah merupakan salah satu variabel yang mencerminkan kebutuhan atas penyediaan sarana dan prasarana. Kebutuhan atas penyediaan sarana dan prasarana termasuk dalam belanja modal. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Ardhini (2011) luas wilayah hanya digunakan sebagai variabel kontrol saja. Khususnya dalam lingkup penelitian ini pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur variabel luas wilayah tidak berpengaruh signifikan dalam perencanaan belanja langsung. Hal tersebut juga dimungkinkan karena beberapa daerah dengan luas wilayah yang besar namun terdapat kendala dalam mengoptimalkan Pendapatan Asli Daerah sehingga mengalami kesulitan dalam pembangunan wilayahnya. Sehingga kesimpulan yang dapat diperoleh dari hasil uji hipotesis 4 bahwa Luas Wilayah Kabupaten/Kota di Jawa Timur tidak mempengaruhi Belanja Langsung Pemerintah Daerah. SIMPULAN DAN KETERBATASAN Simpulan Berdasarkan hasil uji hipotesis kesimpulan yang diperoleh: (1)Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh signifikan positif terhadap perubahan Belanja Langsung Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur dalam periode 2007 – 2011. Hal tersebut membuktikan bahwa semakin tinggi Pendapatan Asli Daerah akan meningkatkan Belanja Langsung Pemerintah Daerah. (2) Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh signifikan positif terhadap variasi perubahan Belanja Langsung Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur dalam periode 2007 – 2011. Tingginya Dana Alokasi Umum akan meningkatkan Belanja Langsung Pemerintah Daerah. (3) Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) berpengaruh signifikan positif terhadap Belanja Langsung Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur dalam periode 2007 – 2011. Membuktikan bahwa semakin tinggi SiLPA akan meningkatkan Belanja Langsung Pemerintah daerah. (4) Luas wilayah tidak berpengaruh signifikan terhadap perubahan Belanja Langsung Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur dalam periode 2007 – 2011. Hipotesis 4 tidak terbukti, hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kusnandar dan Siswantoro (2012) bahwa Luas wilayah mempengaruhi besarnya belanja modal dimana belanja modal merupakan salah satu komponen belanja langsung. (5) Variasi atau perubahan dalam Belanja Langsung Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur sebesar 60,3 % dapat dijelaskan oleh Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) dan Luas Wilayah sedangkan sisanya sebesar 39,7 % dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model penelitian. (6) Tingkat ketergantungan Belanja Langsung Daerah lebih dominan terhadap Pendapatan Asli Daerah dibandingkan dengan ketiga variabel independen yang lain. Keterbatasan Penelitian ini memiliki keterbatasan – keterbatasan diantaranya adalah sampel yang digunakan hanya pada Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur, periode penelitian hanya menggunakan 5 (lima) tahun terakhir yaitu tahun 2007 – 2011 tidak termasuk periode awal setelah dikeluarkan Undang – undang otonomi daerah, variabel bebas yang digunakan hanya 4 (empat) variabel saja, sehingga tidak mewakili keseluruhan variabel yang dapat mempengaruhi perubahan variabel tergantung serta tidak memberikan secara rinci alokasi penggunaan Pendapatan Asli Daerah manakah yang memberikan kontribusi terbesar dalam pelaksanaan Belanja Langsung Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur. Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 7 (2013) 18 DAFTAR PUSTAKA Ardhini. 2011. Pengaruh Rasio Keuangan Daerah Terhadap Belanja Modal untuk Pelayanan Publik dalam Prespektif Teori Keagenan (Studi pada Kabupaten dan Kota di Jawa Tengah). Skripsi. Universitas Diponegoro. Semarang. Badan Pusat Statistik. 2012. Keadaan Geografi Jawa Timur. http://jatim.bps.go.id/index.php/tentang-daerah/keadaan-geografi-jatim. Diakses tanggal 18 Januari 2012. Bastian, I. 2006. Akuntansi Sektor Publik. Andi.Yogyakarta. Darwanto dan Y. Yustikasari. 2007. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, dan Dana Alokasi Umum Terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal. Simposium Nasional Akuntansi X. Makassar. Ghozali, I. 2001. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Edisi II. Semarang. Badan Penerbit-UNDIP. Harun.2009. Reformasi Akuntansi dan Manajemen Sektor Publik Di Indonesia. Salemba Empat. Jakarta. Indraningrum, T. 2011. Pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum terhadap Belanja Langsung (Studi pada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Tengah).Skripsi. Universitas Diponegoro. Semarang. Kusnandar dan D. Siswantoro. 2012. Pengaruh Dana Alokasi Umum, Pendapatan Asli Daerah, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran dan Luas Wilayah terhadap Belanja Modal. http://sna.akuntansi.unikal.ac.id/makalah/049-ASPAK-09.pdf. Diakses tanggal 12 Desember 2012. Mardiasmo. 2009. Akuntansi sektor publik. Andi.Yogyakarta. Prakosa, K. B. 2004. Analisis Pengaruh Dana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli Daerah terhadap Prediksi Belanja Daerah (Studi Empirik di Wilayah Propinsi Jawa Tengah dan DIY). Jurnal Akuntansi dan Auditing Indonesia 8: 101-118. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 tahun 2006 Pedoman pengelolaan keuangan Negara.15 Mei 2006. Jakarta. Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 Pengelolaan Keuangan Daerah.9 Desember 2005.Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 140. Jakarta. ______ Nomor 71 tahun 2010 Standar Akuntansi Pemerintahan.22 Oktober 2010.Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 123. Jakarta. Rahmawati, N. I. 2010. Pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum Terhadap Alokasi Belanja Daerah (Studi pada Pemerintah Kabupaten/Kota di Jawa Tengah). Skripsi. Universitas Diponegoro. Semarang. Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2009 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 15 September 2009. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130. Jakarta. ______ Nomor 32 Tahun 2004 Pemerintahan Daerah.15 Oktober 2004.Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125. Jakarta. ______ Nomor 33 Tahun 2004 Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.15 Oktober 2004.Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126. Jakarta. Sari, N. P. 2010.Pengaruh Dana Alokasi Umum, Pendapatan Asli Daerah Terhadap Belanja Langsung Pada Pemerintah Kabupaten/Kota Propinsi Riau. http://kampoengakuntansi.blogspot.com. Diakses tanggal 19 Desember 2012. Syafitri, I. 2009. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, dan Dana Alokasi Umum terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal pada Pemerintah Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 7 (2013) 19 Kabupaten/Kota di Propinsi Sumatra Utara.Skripsi. Universitas Diponegoro. Semarang. Vegirawati, T. 2012. Pengaruh Alokasi Belanja Langsung Terhadap Kualitas Pembangunan Manusia (Studi Kasus pada Pemerintah Kabupaten Kota Sumatra Selatan). Jurnal Ekonomi dan Informasi Akuntansi (Jenius) 2 (1):1-10. ●●●