Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010 STUDI RETROSPEKSI INFEKSI INFLUENZA A PADA BABI SEBELUM WABAH AVIAN INFLUENZA H5N1 PADA UNGGAS DI INDONESIA (Retrospective Study on Influenza A Virus Infection in Pigs before Avian Influenza H5N1 Outbreak in Poultry in Indonesia) INDRAWATI SENDOW1, R.M. A. ADJID1, T. SYAFRIATI1 dan P. SELLECK2 1 Balai Besar Penelitian Veteriner, Jl. RE. Martadinata No. 30, Bogor 16114, Indonesia 2 CSIRO, Australian Animal Health Laboratory, PO Bag 24, Geelong ABSTRACT A retrospective study was conducted to gain information on the presence on Influenza A virus infection in swine before outbreak of Avian Influenza H5N1 in 2003 in Indonesia. A total of 982 pig sera from different provinces which were stored at the Bbalitvet Serum Bank were tested against matrix antigen of Influenza A using the Agar Gell Immunodiffusion (AGID) test. The sera positive in the AGID test were then tested against Influenza A group viruses using ELISA test. In addition, 134 lung of pigs from an abattoir were collected for virus isolation. Identification of viruses isolated was done by agglutination test and ELISA. The result indicated that 0.04 % of pig sera had antibody against Influenza group viruses in AGID test with weak reaction. Those the positive sera were not for Influenza A virus group as detected by the ELISA. The viral isolation on specific pathogen free (SPF) of chicken embryonated eggs resulted that 12 samples contained viruses that agglutinated goose and chicken red blood cells. Further identification using specified ELISA, indicated that Influenza A viruses was not detected. This study showed that influenza A virus group infection was not detected in swine sampled before outbreak of AI H5N1 in 2003 in the studied area. Key Words: Influenza A, Swine Flu, Swine, Serology, Isolation ABSTRAK Studi retrospektif telah dilakukan untuk mengetahui apakah virus Influenza A pada babi telah lebih dahulu ada sebelum terjadinya wabah Avian Influenza (AI) H5N1 pada tahun 2003 di Indonesia. Untuk itu maka sebanyak 982 serum babi yang tersimpan di bank serum Bbalitvet telah diuji terhadap adanya antibodi kelompok virus influenza A dengan menggunakan uji agar imunodifusi (AGID). Untuk konfirmasi maka serum yang bereaksi positif kemudian diuji dengan ELISA. Disamping itu sebanyak 134 sampel paru-paru babi asal rumah potong hewan (RPH) dikoleksi untuk isolasi virus Influenza A. Identifikasi virus dilakukan dengan uji aglutinasi darah dan ELISA. Hasil pengujian menunjukkan bahwa 0,04% serum babi memberikan reaksi positif pada uji AGID. Selanjutnya, serum hewan yang positif tadi ternyata bereaksi negatif terhadap influenza type A pada ELISA. Upaya isolasi virus yang dilakukan pada Telur Embrio Tertunas (TET) memperlihatkan ada virus yang diisolasi dengan sifat mengagglutinasi sel darah merah ayam dan angsa. Namun setelah diuji dengan ELISA untuk mendeteksi matrikss protein virus, ternyata seluruh isolat bukan virus Influneza A. Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa infeksi Influenza A pada babi belum pernah terjadi di lokasi penelitian sebelum terjadinya wabah AI H5N1 pada tahun 2003. Kata Kunci: Influenza A, Babi, Serologi, Isolasi PENDAHULUAN Sebelum wabah AI pada unggas yang merebak pertama kali pada tahun 2003 berakhir, muncul isu baru tentang swine influenza atau yang lebih dikenal sebagai flu 772 babi. Wabah influenza pada manusia yang disebabkan oleh virus swine influenza di Mexico terjadi pada Maret 2009. Sementara gejala klinis penyakit ini pada babi tidak tampak (BROCKWELL-STAATS et al. 2009). Hasil identifikasi menunjukkan bahwa wabah Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010 tersebut disebabkan oleh virus influenza H1N1 novel yang dianggap merupakan gabungan unsur-unsur genetik dari influenza babi, unggas dan manusia (REPERANT et al., 2009). Kasus pada manusia juga menyebar ke USA, New Zaeland, Australia , dan sampai ke Indonesia. Swine influenza atau influenza babi merupakan penyakit virus yang akut dan sangat kontagius pada babi di semua keompok umur, terutama babi muda. Penyakit ini disebabkan oleh virus avian influenza tipe A, famili Orthomyxoviridae. Hingga saat ini telah diketahui bahwa ada 15 tipe Hemaglutinin (H) dan 9 tipe Neuramidase (N) (ALEXANDER dan BROWN, 2009). Namun demikian sampai dengan saat ini hanya tipe H1 dan H3 yang sering menyerang ternak babi, meskipun tipe lainnya seperti H4 dan H9 dapat terdeteksi (HARIMOTO dan KAWAOKA, 2001; OLSEN et al., 2002; SCHRADER dan SUSS, 2004). Pada babi, penyakit influenza ini disebut sebagai flue babi klasik (classical swine influenza), yang ditandai dengan demam tinggi mencapai 41,5°C, nafsu makan menurun, bersin, batuk, sesak nafas, ingusan, konjungtivitis dan mata berair, meskipun gejala penyakit influenza babi sebagian besar bersifat asimptomatis (BACHMANN, 1989; OLSEN et al., 2005). Tingkat kematian/mortalitasnya rendah, (kurang dari 10%), walaupun morbiditasnya tinggi sampai 100%. Namun penyakit mengakibatkan penurunan berat badan yang drastis, sehingga secara ekonomi berdampak cukup signifikan bagi peternak (SANFORD et al., 1983; OLSEN et al., 2005). Virus influenza tipe A ini dapat menyerang babi, unggas, kuda, mamalia laut serta manusia (SWAYNE dan SUAREZ, 2000; HARIMOTO dan KAWAOKA, 2001).Lebih lanjut, Reperant et al. (2009), melaporkan bahwa virus AI yang rendah patogenitasnya (LPAI) pada unggas, dapat menyebabkan infeksi saluran nafas pasa spesies lain seperti babi, kuda dan manusia. Menurut GUO et al. (1992), virus influenza H7N7 merupakan virus influenza A yang dapat menyerang manusia, tetapi pada unggas tidak menimbulkan klinis yang parah. Dengan demikain penyakit swine inluenza ini termasuk penyakit zoonosis yang mempunyai dampak buruk bagi kesehatan masyarakat (KATZ, 2003; MALIK PEIRIS et al., 2009; OLSEN et al., 2005). Beberapa subtipe virus AI tertentu, seperti H1N1 merupakan virus influenza babi yang dapat pula menginfeksi unggas dan manusia menyebabkan gejala klinis (REPERANT et al., 2009; WRIGHT et al., 1992). Untuk mengetahui apakah virus influenza A pada babi telah berada di Indonesia sebelum tahun 2003, (di mana pada pertengahan tahun 2003 terjadi wabah AI (H5N1) pada unggas di Indonesia), maka telah dilakukan pemeriksaan serologi terhadap sejumlah serum babi dari berbagai daerah di Indonesia yang terdapat pada Bank Serum Bbalitvet, serta sejumlah sampel organ dari babi dari Rumah Potong Hewan (RPH). Studi ini ditujukan untuk melihat apakah ada infeksi virus influenza A pada babi, dengan terlebih dahulu memeriksa pada tingkat tipe (influenza A), yang selanjutnya bila dijumpai, maka akan dilakukan identifikasi pada tingkat subtipe. Data ini juga dapat menjawab apakah wabah AI pada unggas berasal dari influenza A dari babi atau bukan dan akan menggambarkan situasi virus influenza A pada babi yang diperoleh sebelum terjadi wabah AI pada unggas Tahun 2003. MATERI DAN METODE Sampel serum Sebanyak 982 serum babi, yang ada di Bank Serum Bbalitvet, berasal dari beberapa Provinsi di Indonesia (Sumatera Utara, Riau, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, DKI Jakarta, Nusa Tenggara Timur, Papua) dipergunakan dalam penelitian ini. Selain serum tersebut, serum asal RPH Kapuk Jakarta juga diuji. Sampel paru-paru babi Sebanyak 134 sampel paru-paru dan trakhea babi dari Rumah Potong Hewan (RPH) Kapuk, Jakarta digunakan untuk isolasi virus. Sampel paru-paru babi tersebut diambil dari paru-paru yang menunjukkan kelainan yang mengarah pada pneumonia. Kelainan dimaksud antara lain pembendungan dan hiperemi pada mukosa faring, laring, trakhea dan bronkhus, exudat pada trakhea dan bronkhus, emphysema hingga attelektasi, perdarahan paru-paru dan pneumonia. Organ tersebut diambil secara aseptis dan disimpan dalam transport media 773 Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010 Minimum Essential Medium (MEM) berantibiotik kanamisin dengan kandungan 500ug/ml. Uji agar gell imunodiffusion (AGID) Antigen influenza A Untuk pengujian AGID digunakan antigen matrikss mati (inactive) dari Virus Influenza A H7N7 LPAI, (8507 - 31 - 1430), yang disuplai dari Australian Animal Health Laboratory (AAHL) Geelong, Australia. 100 ul supernatan diinokulasikan pada 5 butir Telur Embryo Tertunas (TET) umur 9 – 10 hari dan diinkubasikan selama 3 hari pada suhu 33oC. Kematian embrio sampai dengan 24 jam pascainokulasi dibuang dan dimusnahkan, Cairan alantoik di panen pada hari ke 2 atau 3 pasca inokulasi, lalu diuji dengan uji Hemaglutinasi (HA) cepat menggunakan 0,5% sel darah merah angsa dan ayam. Sampel yang mengalami aglutinasi darah kemudian dipasase ulang, dan diperbanyak virusnya untuk identifikasi lebih lanjut. Sampel yang tidak mengalami aglutinasi sel darah merah angsa dan atau ayam dipasase ulang 4 sampai 5 kali, sebelum dinyatakan negatif adanya virus. Acuan antisera virus influenza A Acuan (referen) antisera (positif) dan serum negatif terhadap virus influenza A (H7N7 LPAI) diperoleh dari Australian Animal Health Laboratory (AAHL), Geelong, Australia. Serum ini digunakan sebagai kontrol positif dan negatif pada saat pemeriksaan serologi dengan menggunakan uji AGID. Pembuatan agar Satu gram Agarose Seakem ME dan 72 gram Sodium Chlorida dilarutkan dalam PBS lalu dididihkan sampai larut. Setelah itu agar didinginkan, ketika suhu agak dingin larutan agar dimasukkan ke dalam cawan petri plastik (Disposible) berdiameter 90mm sebanyak 15 ml dan dibiarkan membeku. Cawan petri kemudian disimpan dalam suhu 4°C, dan siap digunakan. Identifikasi virus terhadap sifat agglutinasi sel darah merah Uji Hemaglutinasi (HA) cepat dilakukan dengan menggunakan 0,5% sel darah merah angsa dan ayam. Titrasi virus dilakukan pada sampel yang mengaglutinasi darah angsa/ ayam. Identifikasi virus influenza A dengan ELIZA Isolat yang mengaglutinasi darah angsa/ayam, diuji dengan menggunakan uji deteksi antigen ELISA terhadap kelompok virus influenza tipe A. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Uji agar gell imunodifusion (AGID) Uji AGID dilakukan mengikuti metode SENDOW et al. (1991). Standar antisera positif dan negatif selalu disertakan pada setiap pengujian. Isolasi virus Sampel berupa potongan paru-paru babi dibuat suspensi 20% dalam Phosphate buffer saline (PBS) steril berantibiotik Kanamisin 200 μg/ml. Suspensi tersebut disentrifus dengan kecepatan 1000 x g selama 10 menit. Sebanyak 774 Sebanyak 982 serum babi yang berasal dari delapan (8) provinsi di Indonesia yang telah dikoleksi sebelum tahun 2001 digunakan dalam penelitian ini. Pengujian serum terhadap adanya antibodi virus Influenza A dilakukan dengan menggunakan uji AGID. Hasil pengujian memperlihatkan bahwa dengan uji serologi AGID ada 4 (0,04%) dari 982 serum babi bereaksi positif, yaitu terjadi reaksi immunodiffusi antara serum dengan antigen uji yang digunakan yang dimanifestasikan dalam bentuk garis putih. Namun garis yang terbentuk sangat tipis, sehingga reaksi ini dikategorikan sebagai reaksi lemah (+1) Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010 (Tabel 1). Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa antibodi hanya terdeteksi pada 0,04% serum babi yang diuji dan berasal dari daerah DKI- Jakarta (2 dari 182 serum), Kalimantan Barat (1 dari 38 serum) dan Sulawesi Utara (1 dari 30 serum). Serum babi yang positif tersebut kemudian diuji lebih lanjut dengan uji yang lebih sensitif menggunakan ELISA di AAHL, Geelong Australia. Sebanyak 4 sampel serum yang bereaksi positif lemah tersebut di atas diuji lebih lanjut dengan ELISA terhadap anti protein matriks virus Influeza A. Hasil pengujian memperlihatkan bahwa dengan uji ELISA menggunakan antigen matriks seluruh sera yang bereaksi positif lemah tadi tidak bereaksi. Selanjutnya untuk lebih meyakinkan lagi ke 4 serum tadi diuji lagi dengan uji HI terhadap H1 (H1N1 clasic), H3 (H3N3) dan H7 (H7N7) juga dilakukan di AAHL. Hasil pengujian memperlihatkan reaksi negatif. Upaya isolasi virus Influenza A yang dilakukan dari 134 paru-paru dan trakhea babi yang menunjukkan kelainan pneumonia pada media telur ayam tertunas menunjukkan ada 12 isolat virus yang berhasil tumbuh. Isolat tersebut tumbuh pada telur ditandai dengan reaksi agglutinasi sel darah merah ayam dan angsa, dimana seluruh isolat tadi mengandung virus yang mengagglutinasi sel darah merah yang diuji. Isolat tersebut berasal dari paruparu babi yang menderita pneumonia dan berasal dari RPH Kapuk. Hasil identifikasi awal dengan menggunakan referen serum influenza (H7N7) ternyata virus tadi tidak memberikan reaksi inhibisi pada uji HI. Untuk itu isolat tersebut diidentifikasi lebih lanjut terhadap adanya virus Influenza A di AAHL, Australia dan hasilnya menunjukkan bahwa isolat tersebut bukan virus influenza tipe A. Pembahasan Influenza A pada babi atau disebut juga swine influenza atau flu babi adalah kelompok virus influenza yang menyerang ternak. Berdasarkan antigen H (Haemagglutinin) dan N ( Neuramidase) maka influenza A terdiri dari berbagai subtipe yang merupakan kombinasi dari H (1 – 16) dan N (1 – 9). Khusus untuk ternak babi virus influenza A yang paling sering terjadi sebagai penyebab penyakit adalah H1N1, H3N2, dan H1N2. Identifikasi awal adanya infeksi virus Influenza A pada babi dilakukan dengan pengujian serologi menggunakan Uji Agar Gel Immunodiffusion (AGID), yaitu dengan mendeteksi adanya antibodi spesifik terhadap matriks protein dari virus. Virus yang digunakan sebagai antigen pada uji AGID adalah virus Avian influenza tipe A subtipe H7N7 LPAI, yang dikenal sebagai virus swine influenza. Pada uji AGID ini antigen yang digunakan adalah antigen matriks virus. Tabel 1. Hasil deteksi antibodi terhadap virus influenza A pada serum babi berasal dari beberapa daerah di Indonesia dengan uji AGID Jumlah sampel Asal lokasi (Provinsi) sampel Positif uji agid uji ELIZA uji Hi (H1; H3; H7 ------------------------%--------------------Nusa Tenggara Timur 352 0 - - Papua 336 0 - - DKI/Jakarta 182 1 0 0 Sumatera Utara 17 0 - - Riau 11 0 - - Kalimantan Barat 38 3 0 0 Sulawesi Utara 30 3 0 0 Sulawesi Selatan 16 0 - - -: tidak diuji 775 Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010 Tabel 2. Hasil isolasi dan identifikasi virus terhadap influenza A Kode isolat Pasase pada TET Hasil uji agglutinasi sel darah merah ayam dan angsa Hasil uji ELIZA terhadap virus influenza A Keterangan B21 P3 + - +: mengagglutinasi B27 P3 + - -: tidak mengaglutinasi B38 P4 + - B46 P3 + - B49 P3 + - B52 P3 + - B58 P4 + - B64 P4 + - B76 P3 + - B83 P3 + - B91 P4 + - B124 P3 + - Dengan demikian maka dengan uji AGID dapat mendeteksi semua antibodi terhadap matriks atau nucleoprotein virus influenza A, sehingga bila dalam serum terdapat antibodi terhadap matriks maka antibodi tersebut merupakan anti terhadap virus kelompok influenza A. Hasil pengujian memperlihatkan 4 serum bereaksi positif pada uji AGID, mengindikasikan bahwa serum mengandung antibodi terhadap virus influenza A. Namun bentuk garis presipitasi tersebut sangat tipis atau disebut reaksi lemah. Pada uji AGID, ada reaksi kuat (+++) dan ada reaksi lemah (+). Reaksi kuat ini lebih menguatkan interpretasi terhadap adanya infeksi virus influenza tipe A, sedangkan reaksi lemah (+) mengindikasikan adanya reaksi silang yang tidak spesifik terhadap protein lainnya. Untuk itu maka diperlukan uji lanjutan yang lebih sensitif, seperti uji HI terhadap semua panel H dan N. Selanjutnya jika ada serum yang positif kuat (3+) maka perlu diidentifikasi lebih lanjut untuk penentuan subtipe yang spesifik seperti terhadap H1N1, H3N3, H5N1 atau H7N7. Dengan perkataan lain hasil dengan uji AGID ini belum dapat menentukan bahwa babi terinfeksi oleh flue babi H1N1 novel, atau sub tipe lainnya seperti H5N1 dan H3N2. Namun karena ketidak tersedianya panel influenza di Bbalitvet pada saat penelitian, maka uji ELISA terhadap 776 kelompok virus influenza tipe A dilakukan di AAHL, Australia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 0,04% dari jumlah serum yang diuji bereaksi positif lemah dengan uji AGID (Tabel 1). Selanjutnya serum yang bereaksi lemah tersebut diuji dengan ELISA, hasilnya menunjukkan bahwa serum tersebut negatif terhadap kelompok virus influenza tipe A. Hal ini menunjukkan bahwa serum yang bereaksi lemah tersebut mengandung antibodi, bukan untuk kelompok virus influenza tipe A. Pada saat pengambilan sampel organ dari babi di RPH Kapuk, dijumpai adanya kelainan patologi pada paru-paru dan trakhea babi, antara lain hiperemia pada mukosa pharing. Pada bronchus dan bronchiol ditemukan exudat. Jaringan paru-paru yang mengalami peumonia berwarna merah gelap keunguan, dan banyak ditemukan di daerah lobus apeks. Pada kasus tertentu, limphoglandula bronchiol membesar, odem dan pembendungan. Upaya isolasi virus dari sampel paru-paru babi yang menunjukkan gangguan pneumonia pada TET memperlihatkan adanya 12 isolat virus yang dapat mengagglutinasi sel darah merah angsa dan ayam. Semua isolat tersebut diperoleh dari TET pada pasase ke 3 dan ke 4 (Tabel 2). Pada pasase 1 dan ke 2, isolat belum terdeteksi. Hal ini terlihat dari uji aglutinasi dengan menggunakan sel darah merah angsa Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010 dan ayam. Sehingga pasase buta dilakukan hingga 5 kali sebelum dinyatakan negatif adanya isolat virus. Isolat yang mengaglutinasi sel darah merah baru diperoleh pada pasase ke 3 dan ke 4. Hal ini menunjukkan bahwa spesimen paru-paru dan trakhea mengandung sangat sedikit virus sehingga pada pasase pertama dan ke dua belum mencapai jumlah yang cukup untuk mengaglutinasi sel darah merah angsa dan ayam. Selain konsentrasi virus, TET yang digunakan bukan merupakan telur Specific pathogen free (SPF). Penggunaan telur SPF akan meningkatkan sensitifitas infeksi virus pada embryo TET tersebut. Mahalnya dan sulitnya mendapatkan telur SPF, maka penggunaan TET biasa dari ayam layer atau broiler digunakan dalam penelitian ini. Hasil uji identifikasi terhadap antigen H7 dengan uji HI menunjukkan bahwa isolat tersebut tidak menetralkan antisera H7. Uji antigen deteksi ELISA terhadap kelompok virus influenza tipe A menunjukkan bahwa isolat tersebut bukan virus influenza tipe A. Hal ini mungkin dapat disebabkan oleh virus lainnya selain influenza tipe A yang juga dapat menggaglutinasi sel darah merah angsa dan ayam, seperti virus porcine respiratory corona (PRC), virus haemagglutinating encephalomyelitis (HE). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa infekesi Influenza babi tidak terjadi, meskipun kelainan paru-paru berupa pneumonia terjadi pada babi yang diambil sampelnya. Kelainan pneumonia pada babi tidak hanya dapat disebabkan oleh virus Influenza A babi saja, tetapi juga dapat disebabkan oleh virus lainnya, seperti virus porcine respiratory corona (PRC) yang juga virusnya dapat mengaglutinasi darah angsa atau ayam. Isolat virus tersebut juga diperiksa dengan mikroskop elektron yang dilakukan di AAHL, menunjukkan bahwa isolat tersebut tidak termasuk dalam kategori virus influenza, tetapi lebih mirip dengan virus corona. Dengan demikian maka virus yang berhasil diisolasi dalam penelitian ini kemungkinan adalah virus PRC, bukan virus influenza. Sementara untuk adanya dugaan virus haemagglutinating encephalomyelitis masih terbuka. Pengamatan di lapang, baik di rumah potong hewan maupun di peternakan babi menunjukkan bahwa gejala klinis infeksi saluran pernafasan berupa batuk, sesak nafas, dan pernafasan cepat tidak dijumpai pada saat penelitian ini berlangsung. Kondisi ini memperlihatkan bahwa penyakit pernafasan belum menjadi permasalahan yang serius. Kematian Babi terutama anak/bayi babi dipeternakan babi, disebabkan oleh tergencetnya bayi babi oleh induk, diare, lahir lemas, kadang tampat sesak napas, kemudian mati. Adanya temuan dimana hasil AGID positif pada 4 serum bereaksi positif, meskipun lemah, tetapi tidak berhasil mengisolasi agen penyebab juga dialami oleh peneliti sebelumnya. RONOHARDJO (1982) yang telah berhasil mengisolasi virus Influenza A hanya pada burung nuri, burung pelikan dan itik. Sementara dari babi tidak diperoleh, meskipun secara serologis dengan menggunakan uji Agar Gell Immunodiffusion (AGID), menunjukkan 38% serum babi bereaksi positif. Tidak diketahui dengan jelas apakah reaksi positif yang dihasilkan adalah reaksi lemah (1+) atau kuat (3+). Hasil ini mungkin sejalan dengan penelitian yang dilakukan ini bahwa secara serologis memberikan hasil positif lemah dan tidak diperoleh isolat virus influenza A. Lebih lanjut, hasil survei Sendow et al. (1998), melaporkan bahwa antibodi terhadap transmisible gastroenteristis (TGE) yang disebabkan oleh virus corona babi tidak terdeteksi pada babi sebelum tahun 1996. Sedangkan survei serologi yang dilakukan pada babi di tahun 1996, menunjukkan bahwa 8 dari 57 serum babi yang diuji mengandung antibodi terhadap virus TGE dengan uji serum netralisasi, dengan titer bervariasi mulai dari 8 hingga 128. Serum positif tersebut berasal dari Sumatera Utara (7%), dan Sulawesi Utara (21%). Sampel yang dilakukan pada penelitian ini, juga diperoleh setelah tahun 1995. Data ini didukung oleh PHILLIPS dan WESTERMAN (1991), yang melaporkan bahwa reaksi silang pada uji serologis antara virus TGE dan PRC sering terjadi, sehingga uji terhadap virus PRC perlu dilakukan. Adanya antibodi terhadap virus TGE, juga memungkinkan dugaan adanya infeksi PRC. Infeksi PRC secara klinis menimbulkan gangguan pernafasan seperti gejala yang disebabkan oleh infeksi virus influenza A. Meskipun gejala gangguan pernafasan pada babi muda/bayi babi dapat dijumpai, tetapi gangguan pernafasan tersebut tidak hanya 777 Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010 disebabkan oleh influenza A saja, tetapi dapat pula disebabkan virus corona seperti Porcine Respiratory Corona (PRC), haemagglutinating encephalomyelitis virus atau enzootic pneumonia viral. LANZA et al. (1992) menunjukkan bahwa infeksi PRC dapat menyebabkan demam, pertumbuhan yang lambat dan lesi pada paru-paru, sementara gejala klinis umumnya tidak tampak. Dari data yang diperoleh menunjukkan bahwa meskipun infeksi virus influenza tidak terjadi pada babi, uji serologis menunjukkan reaksi positif lemah pada uji AGID. Tidak diperolehnya isolat virus influenza pada paruparu babi, memberikan dugaan bahwa PRC lebih berperan penting terhadap infeksi pernafasan pada babi. Hal ini didukung dengan hasil serologis terhadap virus TGE yang menunjukkan bahwa infeksi virus TGE dan corona virus telah terjadi pada babi (SENDOW et al., 1998). Terdeteksinya infeksi virus TGE pada babi muda, berumur 6 – 8 bulan, juga menguatkan argumen infeksi PRC pada babi di Kalimantan Barat dan Sulawesi Utara, dimana umur babi yang disampling berkisar antara 4 – 7 bulan. Pada tahun 2009, telah terjadi wabah swine flue , yang menelan banyak korban jiwa di Mexico (BROCKWELL-STAATS et al., 2009). Sejak saat itu kepanikan mulai merebah ke seluruh dunia, termasuk diantaranya Indonesia. Sejak saat itu, survey serologis terhadap flue babi (H1N1) telah dilakukan dan deteksi virus H1N1 juga dilakukan (DHARMAYANTI Komunikasi Pribadi, 2009), yang menyatakan bahwa pada bulan Maret 2009, H1N1 telah terdeteksi pada babi, tetapi bukan strain Mexico, melainkan strain klasik. Bagaimana swine influenza dapat ditemukan di Indonesia akhir akhir ini, diperlukan penelitian lebih lanjut. Terdapat indikasi bahwa infeksi influenza babi yang terdeteksi pada manusia bukan berasal dari babi tetapi diduga kuat berasal dari mutasi yang terjadi dari influenza A pada unggas (DHARMAYANTI Komunikasi Pribadi). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebelum terjadinya wabah wabah AI pada unggas tahun 2003, infeksi swine influenza di Indonesia tidak terdeteksi dan tidak menimbulkan masalah bagi peternak babi di Indonesia. Hal ini menunjukkan adanya anggapan bahwa wabah AI pada unggas 778 berasal dari Influenza A babi di Indonesia tidak terbukti. Selanjutnya mengingat penyakit Influenza A pada babi yang namanya mulai mencuat dan bersifat zoonosis yang potensial, maka infeksi influenza babi perlu mendapat perhatian yang serius dan diwaspadai agar wabah flu babi, seperti yang terjadi di Mexico, dapat diantisipasi sedini mungkin. KESIMPULAN Hasil penelitian ini membuktikan bahwa sebelum terjadi wabah AI tahun 2003 infeksi swine influenza di Indonesia tidak terdeteksi dan seandainya ada, penyakit tersebut tidak menimbulkan masalah bagi peternak babi di Indonesia. Namun demikian mengingat penyakit ini bersifat zoonosis yang potensial, maka infeksi influenza babi perlu mendapat perhatian dan diwaspadai agar wabah flue babi, seperti yang terjadi di Mexico, dapat dicegah. Untuk pencegahan dan pengendalian penyakit, maka peran banyak pihak terkait dengan karantina, surveilan penyakit dan penelitian diperlukan sehingga Indonesia tidak menjadi daerah endemik flu babi. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis tujukan pada Dr. Peter Daniels, yang telah membantu pada penelitian ini. Terimakasih juga ditujukan pada teman sejawat di bagian virologi dan patologi serta para teknisi dan staf perpustakaan Bbalitvet atas saran, dan bantuannya baik di lapang maupun di laboratorium serta pengumpulan bahan bacaan sehingga tulisan ini dapat diselesaikan. DAFTAR PUSTAKA ALEXANDER, D.J. and I.H. BROWN. 2009. History of highly pathogenic avian influenza. Rev. Sci. tech. Off. Int. Epiz. 28 (1): 19 – 38. BACHMANN, P.A. 1989. Swine influenza virus. In “virus infection of pigs”. Elseviers Science, London. pp.193 – 207. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010 BROCKWELL-STAATZ, C., R.G. WEBSTER and R.J. WEBBY. 2009. Diversity of influenza viruses in swine and the mergence of a novel human pandemic influenza A (H1N1). Influenza other Respi. Viruses. 3(5): 207 – 213. GUO, Y., M. WANG, Y. KAWAOKA, O. GORMAN, T. ITO, T. SAITO, and R.G. WEBSTER. 1992. Characterization of a new avian-like influenza A virus from horses in China. Virology 188(1): 245 – 255. HARIMOTO,T. and Y. KAWAOKA. 2001. Pandemic threat posed by avian influenza A viruses. Clinical Microbiology Reviews 14(1): 129 – 149. KATZ, J.M. (2003). The impact of avian influenza viruses on public health. Avian Dis 47: 914 – 920. LANZA, I., I.H. BROWN and D.J. PATON (1992). Pathogenicity of concurrent infection of pigs with porcine respiratory coronavirus and swine influenza virus. Res. Vet. Sci. 53: 309 – 314. MALIK PEIRIS, J.S. 2009. Avian influenza viruses in humans. Rev.Sci. tech. Off. Int. Epiz. 28(1): 161 – 174. OLSEN, C.W., L. BAMMER, B.C. EASTERDAY, N. ARDEN, F. BELAY, I. BAKER and N.J. COX. 2002. Serologic evidence of H1 Swine influenza virus infection in swine farm residents and employes. Emerg. Infect. Dis. 8: 814 – 815. OLSEN, C.W., I. BROWN, B.C. EASTERDAY and K. VAN REETH. 2005. Swine influenza. In :” Diseases of swine”. Eds. Straw, B., D’Allaire,S., Zimmerman, J., and Taylor, D. Iowa State University Press, Iowa, USA. pp. 469 – 482. REPERANT, L.A., G.F. RIMMELZWAAN and T. KUIKEN. 2009. Avian influenza viruses in mammals. Rev.Sci. tech. Off. Int. Epiz. 28(1): 137 – 159. RONOHARDJO, P. 1982. Virus influenza A itik di Indonesia serta pengaruhnya pada kesehatan masyarakat dam ekonomi peternakan. Thesis Doktor. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. 190 hlm. SANFORD, S.E., G.K.A. JOSEPHSON and D.W. KEY. 1983. An epizootic of swine influenza in Ontario. Can. Vet. J. 24: 167 – 171. SENDOW, I., P.W. DANIELS., D.H. CYBINSKI., P.L. YOUNG and P. RONOHARDJO. 1991. Antibodies against certain bluetongue and epizootic haemorrhagic disease viral serotypes in Indonesian ruminants. Vet. Microbiol. 28: 111 – 118 SENDOW, I., T. SYAFRIATI, S. BAHRI and A. SAROSA. 1998. Uji serologis terhadap virus Transmissible Gastroenteritis (TGE) di beberapa daerah di Indonesia. JITV. 3(3): 176 – 181. SCHRADER, C. and J. SUSS. 2004. Molecular epidemiology of porcine H3N2 influenza viruses isolated in Germany between 1982 – 2 001. Interviroloy 47: 72 – 77. SWAYNE, D.E and D.L. SUAREZ. 2000. Highly pathogenic avian influenza. Rev. Sci. Tech. Off. Int. Epiz. 19(2): 463 – 482. WRIGHT, S.M., Y. KAWAOKA, G.B. SHARP, D.A. SENNE and R.G. WEBSTER. 1992. Interspecies transmission and reassortment of influenza A viruses in pigs and turkeys in the United States. Am. J. Epidemiol. 136: 488 – 497. PHILLIPS, R.M. and R.B. WESTERMAN. 1991. Enzyme immunofiltration assay for measurement of antibodies to gastroenteritis virus of swine comparisaon with enzymelinked immuno sorbent assay, serum neutralization and indirect immunofluorescent antibody technique. J. Vet. Diagn. Invest. 3: 346 – 348. 779