studi retrospeksi infeksi influenza a pada babi sebelum wabah avian

advertisement
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
STUDI RETROSPEKSI INFEKSI INFLUENZA A PADA BABI
SEBELUM WABAH AVIAN INFLUENZA H5N1 PADA
UNGGAS DI INDONESIA
(Retrospective Study on Influenza A Virus Infection in Pigs before Avian
Influenza H5N1 Outbreak in Poultry in Indonesia)
INDRAWATI SENDOW1, R.M. A. ADJID1, T. SYAFRIATI1 dan P. SELLECK2
1
Balai Besar Penelitian Veteriner, Jl. RE. Martadinata No. 30, Bogor 16114, Indonesia
2
CSIRO, Australian Animal Health Laboratory, PO Bag 24, Geelong
ABSTRACT
A retrospective study was conducted to gain information on the presence on Influenza A virus infection in
swine before outbreak of Avian Influenza H5N1 in 2003 in Indonesia. A total of 982 pig sera from different
provinces which were stored at the Bbalitvet Serum Bank were tested against matrix antigen of Influenza A
using the Agar Gell Immunodiffusion (AGID) test. The sera positive in the AGID test were then tested
against Influenza A group viruses using ELISA test. In addition, 134 lung of pigs from an abattoir were
collected for virus isolation. Identification of viruses isolated was done by agglutination test and ELISA. The
result indicated that 0.04 % of pig sera had antibody against Influenza group viruses in AGID test with weak
reaction. Those the positive sera were not for Influenza A virus group as detected by the ELISA. The viral
isolation on specific pathogen free (SPF) of chicken embryonated eggs resulted that 12 samples contained
viruses that agglutinated goose and chicken red blood cells. Further identification using specified ELISA,
indicated that Influenza A viruses was not detected. This study showed that influenza A virus group infection
was not detected in swine sampled before outbreak of AI H5N1 in 2003 in the studied area.
Key Words: Influenza A, Swine Flu, Swine, Serology, Isolation
ABSTRAK
Studi retrospektif telah dilakukan untuk mengetahui apakah virus Influenza A pada babi telah lebih
dahulu ada sebelum terjadinya wabah Avian Influenza (AI) H5N1 pada tahun 2003 di Indonesia. Untuk itu
maka sebanyak 982 serum babi yang tersimpan di bank serum Bbalitvet telah diuji terhadap adanya antibodi
kelompok virus influenza A dengan menggunakan uji agar imunodifusi (AGID). Untuk konfirmasi maka
serum yang bereaksi positif kemudian diuji dengan ELISA. Disamping itu sebanyak 134 sampel paru-paru
babi asal rumah potong hewan (RPH) dikoleksi untuk isolasi virus Influenza A. Identifikasi virus dilakukan
dengan uji aglutinasi darah dan ELISA. Hasil pengujian menunjukkan bahwa 0,04% serum babi memberikan
reaksi positif pada uji AGID. Selanjutnya, serum hewan yang positif tadi ternyata bereaksi negatif terhadap
influenza type A pada ELISA. Upaya isolasi virus yang dilakukan pada Telur Embrio Tertunas (TET)
memperlihatkan ada virus yang diisolasi dengan sifat mengagglutinasi sel darah merah ayam dan angsa.
Namun setelah diuji dengan ELISA untuk mendeteksi matrikss protein virus, ternyata seluruh isolat bukan
virus Influneza A. Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa infeksi Influenza A pada babi belum pernah
terjadi di lokasi penelitian sebelum terjadinya wabah AI H5N1 pada tahun 2003.
Kata Kunci: Influenza A, Babi, Serologi, Isolasi
PENDAHULUAN
Sebelum wabah AI pada unggas yang
merebak pertama kali pada tahun 2003
berakhir, muncul isu baru tentang swine
influenza atau yang lebih dikenal sebagai flu
772
babi. Wabah influenza pada manusia yang
disebabkan oleh virus swine influenza di
Mexico terjadi pada Maret 2009. Sementara
gejala klinis penyakit ini pada babi tidak
tampak (BROCKWELL-STAATS et al. 2009).
Hasil identifikasi menunjukkan bahwa wabah
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
tersebut disebabkan oleh virus influenza H1N1
novel yang dianggap merupakan gabungan
unsur-unsur genetik dari influenza babi, unggas
dan manusia (REPERANT et al., 2009). Kasus
pada manusia juga menyebar ke USA, New
Zaeland, Australia , dan sampai ke Indonesia.
Swine influenza atau influenza babi
merupakan penyakit virus yang akut dan sangat
kontagius pada babi di semua keompok umur,
terutama babi muda. Penyakit ini disebabkan
oleh virus avian influenza tipe A, famili
Orthomyxoviridae. Hingga saat ini telah
diketahui bahwa ada 15 tipe Hemaglutinin (H)
dan 9 tipe Neuramidase (N) (ALEXANDER dan
BROWN, 2009). Namun demikian sampai
dengan saat ini hanya tipe H1 dan H3 yang
sering menyerang ternak babi, meskipun tipe
lainnya seperti H4 dan H9 dapat terdeteksi
(HARIMOTO dan KAWAOKA, 2001; OLSEN et
al., 2002; SCHRADER dan SUSS, 2004). Pada
babi, penyakit influenza ini disebut sebagai
flue babi klasik (classical swine influenza),
yang ditandai dengan demam tinggi mencapai
41,5°C, nafsu makan menurun, bersin, batuk,
sesak nafas, ingusan, konjungtivitis dan mata
berair, meskipun gejala penyakit influenza babi
sebagian
besar
bersifat
asimptomatis
(BACHMANN, 1989; OLSEN et al., 2005).
Tingkat
kematian/mortalitasnya
rendah,
(kurang dari 10%), walaupun morbiditasnya
tinggi sampai 100%. Namun penyakit
mengakibatkan penurunan berat badan yang
drastis, sehingga secara ekonomi berdampak
cukup signifikan bagi peternak (SANFORD et
al., 1983; OLSEN et al., 2005).
Virus influenza tipe A ini dapat menyerang
babi, unggas, kuda, mamalia laut serta manusia
(SWAYNE dan SUAREZ, 2000; HARIMOTO dan
KAWAOKA, 2001).Lebih lanjut, Reperant et al.
(2009), melaporkan bahwa virus AI yang
rendah patogenitasnya (LPAI) pada unggas,
dapat menyebabkan infeksi saluran nafas pasa
spesies lain seperti babi, kuda dan manusia.
Menurut GUO et al. (1992), virus influenza
H7N7 merupakan virus influenza A yang dapat
menyerang manusia, tetapi pada unggas tidak
menimbulkan klinis yang parah. Dengan
demikain penyakit swine inluenza ini termasuk
penyakit zoonosis yang mempunyai dampak
buruk bagi kesehatan masyarakat (KATZ, 2003;
MALIK PEIRIS et al., 2009; OLSEN et al., 2005).
Beberapa subtipe virus AI tertentu, seperti
H1N1 merupakan virus influenza babi yang
dapat pula menginfeksi unggas dan manusia
menyebabkan gejala klinis (REPERANT et al.,
2009; WRIGHT et al., 1992).
Untuk mengetahui apakah virus influenza
A pada babi telah berada di Indonesia sebelum
tahun 2003, (di mana pada pertengahan tahun
2003 terjadi wabah AI (H5N1) pada unggas di
Indonesia), maka telah dilakukan pemeriksaan
serologi terhadap sejumlah serum babi dari
berbagai daerah di Indonesia yang terdapat
pada Bank Serum Bbalitvet, serta sejumlah
sampel organ dari babi dari Rumah Potong
Hewan (RPH). Studi ini ditujukan untuk
melihat apakah ada infeksi virus influenza A
pada babi, dengan terlebih dahulu memeriksa
pada tingkat tipe (influenza A), yang
selanjutnya bila dijumpai, maka akan
dilakukan identifikasi pada tingkat subtipe.
Data ini juga dapat menjawab apakah wabah
AI pada unggas berasal dari influenza A dari
babi atau bukan dan akan menggambarkan
situasi virus influenza A pada babi yang
diperoleh sebelum terjadi wabah AI pada
unggas Tahun 2003.
MATERI DAN METODE
Sampel serum
Sebanyak 982 serum babi, yang ada di
Bank Serum Bbalitvet, berasal dari beberapa
Provinsi di Indonesia (Sumatera Utara, Riau,
Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi
Selatan, DKI Jakarta, Nusa Tenggara Timur,
Papua) dipergunakan dalam penelitian ini.
Selain serum tersebut, serum asal RPH Kapuk
Jakarta juga diuji.
Sampel paru-paru babi
Sebanyak 134 sampel paru-paru dan
trakhea babi dari Rumah Potong Hewan (RPH)
Kapuk, Jakarta digunakan untuk isolasi virus.
Sampel paru-paru babi tersebut diambil dari
paru-paru yang menunjukkan kelainan yang
mengarah pada pneumonia. Kelainan dimaksud
antara lain pembendungan dan hiperemi pada
mukosa faring, laring, trakhea dan bronkhus,
exudat pada trakhea dan bronkhus, emphysema
hingga attelektasi, perdarahan paru-paru dan
pneumonia. Organ tersebut diambil secara
aseptis dan disimpan dalam transport media
773
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
Minimum
Essential
Medium
(MEM)
berantibiotik kanamisin dengan kandungan
500ug/ml.
Uji agar gell imunodiffusion (AGID)
Antigen influenza A
Untuk pengujian AGID digunakan antigen
matrikss mati (inactive) dari Virus Influenza A
H7N7 LPAI, (8507 - 31 - 1430), yang disuplai
dari Australian Animal Health Laboratory
(AAHL) Geelong, Australia.
100 ul supernatan diinokulasikan pada 5 butir
Telur Embryo Tertunas (TET) umur 9 – 10 hari
dan diinkubasikan selama 3 hari pada suhu
33oC. Kematian embrio sampai dengan 24 jam
pascainokulasi dibuang dan dimusnahkan,
Cairan alantoik di panen pada hari ke 2 atau 3
pasca inokulasi, lalu diuji dengan uji
Hemaglutinasi (HA) cepat menggunakan 0,5%
sel darah merah angsa dan ayam. Sampel yang
mengalami aglutinasi darah kemudian dipasase
ulang, dan diperbanyak virusnya untuk
identifikasi lebih lanjut. Sampel yang tidak
mengalami aglutinasi sel darah merah angsa
dan atau ayam dipasase ulang 4 sampai 5 kali,
sebelum dinyatakan negatif adanya virus.
Acuan antisera virus influenza A
Acuan (referen) antisera (positif) dan serum
negatif terhadap virus influenza A (H7N7
LPAI) diperoleh dari Australian Animal Health
Laboratory (AAHL), Geelong, Australia.
Serum ini digunakan sebagai kontrol positif
dan negatif pada saat pemeriksaan serologi
dengan menggunakan uji AGID.
Pembuatan agar
Satu gram Agarose Seakem ME dan 72
gram Sodium Chlorida dilarutkan dalam PBS
lalu dididihkan sampai larut. Setelah itu agar
didinginkan, ketika suhu agak dingin larutan
agar dimasukkan ke dalam cawan petri plastik
(Disposible) berdiameter 90mm sebanyak 15
ml dan dibiarkan membeku. Cawan petri
kemudian disimpan dalam suhu 4°C, dan siap
digunakan.
Identifikasi virus terhadap sifat agglutinasi
sel darah merah
Uji Hemaglutinasi (HA) cepat dilakukan
dengan menggunakan 0,5% sel darah merah
angsa dan ayam. Titrasi virus dilakukan pada
sampel yang mengaglutinasi darah angsa/
ayam.
Identifikasi virus influenza A dengan
ELIZA
Isolat
yang
mengaglutinasi
darah
angsa/ayam, diuji dengan menggunakan uji
deteksi antigen ELISA terhadap kelompok
virus influenza tipe A.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Uji agar gell imunodifusion (AGID)
Uji AGID dilakukan mengikuti metode
SENDOW et al. (1991). Standar antisera positif
dan negatif selalu disertakan pada setiap
pengujian.
Isolasi virus
Sampel berupa potongan paru-paru babi
dibuat suspensi 20% dalam Phosphate buffer
saline (PBS) steril berantibiotik Kanamisin 200
μg/ml. Suspensi tersebut disentrifus dengan
kecepatan 1000 x g selama 10 menit. Sebanyak
774
Sebanyak 982 serum babi yang berasal dari
delapan (8) provinsi di Indonesia yang telah
dikoleksi sebelum tahun 2001 digunakan
dalam penelitian ini. Pengujian serum terhadap
adanya antibodi virus Influenza A dilakukan
dengan menggunakan uji AGID. Hasil
pengujian memperlihatkan bahwa dengan uji
serologi AGID ada 4 (0,04%) dari 982 serum
babi bereaksi positif, yaitu terjadi reaksi
immunodiffusi antara serum dengan antigen uji
yang digunakan yang dimanifestasikan dalam
bentuk garis putih. Namun garis yang
terbentuk sangat tipis, sehingga reaksi ini
dikategorikan sebagai reaksi lemah (+1)
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
(Tabel 1). Data pada Tabel 1 menunjukkan
bahwa antibodi hanya terdeteksi pada 0,04%
serum babi yang diuji dan berasal dari daerah
DKI- Jakarta (2 dari 182 serum), Kalimantan
Barat (1 dari 38 serum) dan Sulawesi Utara (1
dari 30 serum). Serum babi yang positif
tersebut kemudian diuji lebih lanjut dengan uji
yang lebih sensitif menggunakan ELISA di
AAHL, Geelong Australia.
Sebanyak 4 sampel serum yang bereaksi
positif lemah tersebut di atas diuji lebih lanjut
dengan ELISA terhadap anti protein matriks
virus
Influeza
A.
Hasil
pengujian
memperlihatkan bahwa dengan uji ELISA
menggunakan antigen matriks seluruh sera
yang bereaksi positif lemah tadi tidak bereaksi.
Selanjutnya untuk lebih meyakinkan lagi ke 4
serum tadi diuji lagi dengan uji HI terhadap H1
(H1N1 clasic), H3 (H3N3) dan H7 (H7N7)
juga dilakukan di AAHL. Hasil pengujian
memperlihatkan reaksi negatif.
Upaya isolasi virus Influenza A yang
dilakukan dari 134 paru-paru dan trakhea babi
yang menunjukkan kelainan pneumonia pada
media telur ayam tertunas menunjukkan ada 12
isolat virus yang berhasil tumbuh. Isolat
tersebut tumbuh pada telur ditandai dengan
reaksi agglutinasi sel darah merah ayam dan
angsa, dimana seluruh isolat tadi mengandung
virus yang mengagglutinasi sel darah merah
yang diuji. Isolat tersebut berasal dari paruparu babi yang menderita pneumonia dan
berasal dari RPH Kapuk. Hasil identifikasi
awal dengan menggunakan referen serum
influenza (H7N7) ternyata virus tadi tidak
memberikan reaksi inhibisi pada uji HI. Untuk
itu isolat tersebut diidentifikasi lebih lanjut
terhadap adanya virus Influenza A di AAHL,
Australia dan hasilnya menunjukkan bahwa
isolat tersebut bukan virus influenza tipe A.
Pembahasan
Influenza A pada babi atau disebut juga
swine influenza atau flu babi adalah kelompok
virus influenza yang menyerang ternak.
Berdasarkan antigen H (Haemagglutinin) dan
N ( Neuramidase) maka influenza A terdiri dari
berbagai subtipe yang merupakan kombinasi
dari H (1 – 16) dan N (1 – 9). Khusus untuk
ternak babi virus influenza A yang paling
sering terjadi sebagai penyebab penyakit
adalah H1N1, H3N2, dan H1N2.
Identifikasi awal adanya infeksi virus
Influenza A pada babi dilakukan dengan
pengujian serologi menggunakan Uji Agar Gel
Immunodiffusion (AGID), yaitu dengan
mendeteksi adanya antibodi spesifik terhadap
matriks protein dari virus. Virus yang
digunakan sebagai antigen pada uji AGID
adalah virus Avian influenza tipe A subtipe
H7N7 LPAI, yang dikenal sebagai virus swine
influenza. Pada uji AGID ini antigen yang
digunakan adalah antigen matriks virus.
Tabel 1. Hasil deteksi antibodi terhadap virus influenza A pada serum babi berasal dari beberapa daerah di
Indonesia dengan uji AGID
Jumlah sampel
Asal lokasi
(Provinsi)
sampel
Positif
uji agid
uji ELIZA
uji Hi (H1; H3; H7
------------------------%--------------------Nusa Tenggara Timur
352
0
-
-
Papua
336
0
-
-
DKI/Jakarta
182
1
0
0
Sumatera Utara
17
0
-
-
Riau
11
0
-
-
Kalimantan Barat
38
3
0
0
Sulawesi Utara
30
3
0
0
Sulawesi Selatan
16
0
-
-
-: tidak diuji
775
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
Tabel 2. Hasil isolasi dan identifikasi virus terhadap influenza A
Kode isolat
Pasase pada TET
Hasil uji agglutinasi
sel darah merah
ayam dan angsa
Hasil uji ELIZA
terhadap virus
influenza A
Keterangan
B21
P3
+
-
+: mengagglutinasi
B27
P3
+
-
-: tidak mengaglutinasi
B38
P4
+
-
B46
P3
+
-
B49
P3
+
-
B52
P3
+
-
B58
P4
+
-
B64
P4
+
-
B76
P3
+
-
B83
P3
+
-
B91
P4
+
-
B124
P3
+
-
Dengan demikian maka dengan uji AGID
dapat mendeteksi semua antibodi terhadap
matriks atau nucleoprotein virus influenza A,
sehingga bila dalam serum terdapat antibodi
terhadap matriks maka antibodi tersebut
merupakan anti terhadap virus kelompok
influenza A. Hasil pengujian memperlihatkan 4
serum bereaksi positif pada uji AGID,
mengindikasikan bahwa serum mengandung
antibodi terhadap virus influenza A. Namun
bentuk garis presipitasi tersebut sangat tipis
atau disebut reaksi lemah.
Pada uji AGID, ada reaksi kuat (+++) dan
ada reaksi lemah (+). Reaksi kuat ini lebih
menguatkan interpretasi terhadap adanya
infeksi virus influenza tipe A, sedangkan reaksi
lemah (+) mengindikasikan adanya reaksi
silang yang tidak spesifik terhadap protein
lainnya. Untuk itu maka diperlukan uji lanjutan
yang lebih sensitif, seperti uji HI terhadap
semua panel H dan N. Selanjutnya jika ada
serum yang positif kuat (3+) maka perlu
diidentifikasi lebih lanjut untuk penentuan
subtipe yang spesifik seperti terhadap H1N1,
H3N3, H5N1 atau H7N7. Dengan perkataan
lain hasil dengan uji AGID ini belum dapat
menentukan bahwa babi terinfeksi oleh flue
babi H1N1 novel, atau sub tipe lainnya seperti
H5N1 dan H3N2. Namun karena ketidak
tersedianya panel influenza di Bbalitvet pada
saat penelitian, maka uji ELISA terhadap
776
kelompok virus influenza tipe A dilakukan di
AAHL, Australia.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
0,04% dari jumlah serum yang diuji bereaksi
positif lemah dengan uji AGID (Tabel 1).
Selanjutnya serum yang bereaksi lemah
tersebut diuji dengan ELISA, hasilnya
menunjukkan bahwa serum tersebut negatif
terhadap kelompok virus influenza tipe A. Hal
ini menunjukkan bahwa serum yang bereaksi
lemah tersebut mengandung antibodi, bukan
untuk kelompok virus influenza tipe A.
Pada saat pengambilan sampel organ dari
babi di RPH Kapuk, dijumpai adanya kelainan
patologi pada paru-paru dan trakhea babi,
antara lain hiperemia pada mukosa pharing.
Pada bronchus dan bronchiol ditemukan
exudat. Jaringan paru-paru yang mengalami
peumonia berwarna merah gelap keunguan,
dan banyak ditemukan di daerah lobus apeks.
Pada kasus tertentu, limphoglandula bronchiol
membesar, odem dan pembendungan.
Upaya isolasi virus dari sampel paru-paru
babi yang menunjukkan gangguan pneumonia
pada TET memperlihatkan adanya 12 isolat
virus yang dapat mengagglutinasi sel darah
merah angsa dan ayam. Semua isolat tersebut
diperoleh dari TET pada pasase ke 3 dan ke 4
(Tabel 2). Pada pasase 1 dan ke 2, isolat belum
terdeteksi. Hal ini terlihat dari uji aglutinasi
dengan menggunakan sel darah merah angsa
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
dan ayam. Sehingga pasase buta dilakukan
hingga 5 kali sebelum dinyatakan negatif
adanya isolat virus. Isolat yang mengaglutinasi
sel darah merah baru diperoleh pada pasase ke
3 dan ke 4. Hal ini menunjukkan bahwa
spesimen paru-paru dan trakhea mengandung
sangat sedikit virus sehingga pada pasase
pertama dan ke dua belum mencapai jumlah
yang cukup untuk mengaglutinasi sel darah
merah angsa dan ayam. Selain konsentrasi
virus, TET yang digunakan bukan merupakan
telur Specific pathogen free (SPF). Penggunaan
telur SPF akan meningkatkan sensitifitas
infeksi virus pada embryo TET tersebut.
Mahalnya dan sulitnya mendapatkan telur SPF,
maka penggunaan TET biasa dari ayam layer
atau broiler digunakan dalam penelitian ini.
Hasil uji identifikasi terhadap antigen H7
dengan uji HI menunjukkan bahwa isolat
tersebut tidak menetralkan antisera H7. Uji
antigen deteksi ELISA terhadap kelompok
virus influenza tipe A menunjukkan bahwa
isolat tersebut bukan virus influenza tipe A.
Hal ini mungkin dapat disebabkan oleh virus
lainnya selain influenza tipe A yang juga dapat
menggaglutinasi sel darah merah angsa dan
ayam, seperti virus porcine respiratory corona
(PRC),
virus
haemagglutinating
encephalomyelitis (HE). Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa infekesi Influenza
babi tidak terjadi, meskipun kelainan paru-paru
berupa pneumonia terjadi pada babi yang
diambil sampelnya.
Kelainan pneumonia pada babi tidak hanya
dapat disebabkan oleh virus Influenza A babi
saja, tetapi juga dapat disebabkan oleh virus
lainnya, seperti virus porcine respiratory
corona (PRC) yang juga virusnya dapat
mengaglutinasi darah angsa atau ayam. Isolat
virus tersebut juga diperiksa dengan mikroskop
elektron
yang
dilakukan
di
AAHL,
menunjukkan bahwa isolat tersebut tidak
termasuk dalam kategori virus influenza, tetapi
lebih mirip dengan virus corona. Dengan
demikian maka virus yang berhasil diisolasi
dalam penelitian ini kemungkinan adalah virus
PRC, bukan virus influenza. Sementara untuk
adanya dugaan virus haemagglutinating
encephalomyelitis masih terbuka.
Pengamatan di lapang, baik di rumah
potong hewan maupun di peternakan babi
menunjukkan bahwa gejala klinis infeksi
saluran pernafasan berupa batuk, sesak nafas,
dan pernafasan cepat tidak dijumpai pada saat
penelitian ini berlangsung. Kondisi ini
memperlihatkan bahwa penyakit pernafasan
belum menjadi permasalahan yang serius.
Kematian Babi terutama anak/bayi babi
dipeternakan
babi,
disebabkan
oleh
tergencetnya bayi babi oleh induk, diare, lahir
lemas, kadang tampat sesak napas, kemudian
mati.
Adanya temuan dimana hasil AGID positif
pada 4 serum bereaksi positif, meskipun lemah,
tetapi tidak berhasil mengisolasi agen
penyebab juga dialami oleh peneliti
sebelumnya. RONOHARDJO (1982) yang telah
berhasil mengisolasi virus Influenza A hanya
pada burung nuri, burung pelikan dan itik.
Sementara dari babi tidak diperoleh, meskipun
secara serologis dengan menggunakan uji Agar
Gell Immunodiffusion (AGID), menunjukkan
38% serum babi bereaksi positif. Tidak
diketahui dengan jelas apakah reaksi positif
yang dihasilkan adalah reaksi lemah (1+) atau
kuat (3+). Hasil ini mungkin sejalan dengan
penelitian yang dilakukan ini bahwa secara
serologis memberikan hasil positif lemah dan
tidak diperoleh isolat virus influenza A.
Lebih lanjut, hasil survei Sendow et al.
(1998), melaporkan bahwa antibodi terhadap
transmisible gastroenteristis (TGE) yang
disebabkan oleh virus corona babi tidak
terdeteksi pada babi sebelum tahun 1996.
Sedangkan survei serologi yang dilakukan
pada babi di tahun 1996, menunjukkan bahwa
8 dari 57 serum babi yang diuji mengandung
antibodi terhadap virus TGE dengan uji serum
netralisasi, dengan titer bervariasi mulai dari 8
hingga 128. Serum positif tersebut berasal dari
Sumatera Utara (7%), dan Sulawesi Utara
(21%). Sampel yang dilakukan pada penelitian
ini, juga diperoleh setelah tahun 1995.
Data ini didukung oleh PHILLIPS dan
WESTERMAN (1991), yang melaporkan bahwa
reaksi silang pada uji serologis antara virus
TGE dan PRC sering terjadi, sehingga uji
terhadap virus PRC perlu dilakukan. Adanya
antibodi
terhadap
virus
TGE,
juga
memungkinkan dugaan adanya infeksi PRC.
Infeksi PRC secara klinis menimbulkan
gangguan pernafasan seperti gejala yang
disebabkan oleh infeksi virus influenza A.
Meskipun gejala gangguan pernafasan pada
babi muda/bayi babi dapat dijumpai, tetapi
gangguan pernafasan tersebut tidak hanya
777
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
disebabkan oleh influenza A saja, tetapi dapat
pula disebabkan virus corona seperti Porcine
Respiratory Corona (PRC), haemagglutinating
encephalomyelitis
virus
atau
enzootic
pneumonia viral. LANZA et al. (1992)
menunjukkan bahwa infeksi PRC dapat
menyebabkan demam, pertumbuhan yang
lambat dan lesi pada paru-paru, sementara
gejala klinis umumnya tidak tampak.
Dari data yang diperoleh menunjukkan
bahwa meskipun infeksi virus influenza tidak
terjadi pada babi, uji serologis menunjukkan
reaksi positif lemah pada uji AGID. Tidak
diperolehnya isolat virus influenza pada paruparu babi, memberikan dugaan bahwa PRC
lebih berperan penting terhadap infeksi
pernafasan pada babi. Hal ini didukung dengan
hasil serologis terhadap virus TGE yang
menunjukkan bahwa infeksi virus TGE dan
corona virus telah terjadi pada babi (SENDOW
et al., 1998). Terdeteksinya infeksi virus TGE
pada babi muda, berumur 6 – 8 bulan, juga
menguatkan argumen infeksi PRC pada babi di
Kalimantan Barat dan Sulawesi Utara, dimana
umur babi yang disampling berkisar antara
4 – 7 bulan.
Pada tahun 2009, telah terjadi wabah swine
flue , yang menelan banyak korban jiwa di
Mexico (BROCKWELL-STAATS et al., 2009).
Sejak saat itu kepanikan mulai merebah ke
seluruh dunia, termasuk diantaranya Indonesia.
Sejak saat itu, survey serologis terhadap flue
babi (H1N1) telah dilakukan dan deteksi virus
H1N1 juga dilakukan (DHARMAYANTI
Komunikasi Pribadi, 2009), yang menyatakan
bahwa pada bulan Maret 2009, H1N1 telah
terdeteksi pada babi, tetapi bukan strain
Mexico, melainkan strain klasik.
Bagaimana
swine
influenza
dapat
ditemukan di Indonesia akhir akhir ini,
diperlukan penelitian lebih lanjut. Terdapat
indikasi bahwa infeksi influenza babi yang
terdeteksi pada manusia bukan berasal dari
babi tetapi diduga kuat berasal dari mutasi
yang terjadi dari influenza A pada unggas
(DHARMAYANTI Komunikasi Pribadi).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
sebelum terjadinya wabah wabah AI pada
unggas tahun 2003, infeksi swine influenza di
Indonesia tidak terdeteksi dan tidak
menimbulkan masalah bagi peternak babi di
Indonesia. Hal ini menunjukkan adanya
anggapan bahwa wabah AI pada unggas
778
berasal dari Influenza A babi di Indonesia tidak
terbukti.
Selanjutnya mengingat penyakit Influenza
A pada babi yang namanya mulai mencuat dan
bersifat zoonosis yang potensial, maka infeksi
influenza babi perlu mendapat perhatian yang
serius dan diwaspadai agar wabah flu babi,
seperti yang terjadi di Mexico, dapat
diantisipasi sedini mungkin.
KESIMPULAN
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa
sebelum terjadi wabah AI tahun 2003 infeksi
swine influenza di Indonesia tidak terdeteksi
dan seandainya ada, penyakit tersebut tidak
menimbulkan masalah bagi peternak babi di
Indonesia. Namun demikian mengingat
penyakit ini bersifat zoonosis yang potensial,
maka infeksi influenza babi perlu mendapat
perhatian dan diwaspadai agar wabah flue babi,
seperti yang terjadi di Mexico, dapat dicegah.
Untuk pencegahan dan pengendalian penyakit,
maka peran banyak pihak terkait dengan
karantina, surveilan penyakit dan penelitian
diperlukan sehingga Indonesia tidak menjadi
daerah endemik flu babi.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih yang sebesar-besarnya
penulis tujukan pada Dr. Peter Daniels, yang
telah membantu pada penelitian ini.
Terimakasih juga ditujukan pada teman
sejawat di bagian virologi dan patologi serta
para teknisi dan staf perpustakaan Bbalitvet
atas saran, dan bantuannya baik di lapang
maupun di laboratorium serta pengumpulan
bahan bacaan sehingga tulisan ini dapat
diselesaikan.
DAFTAR PUSTAKA
ALEXANDER, D.J. and I.H. BROWN. 2009. History of
highly pathogenic avian influenza. Rev. Sci.
tech. Off. Int. Epiz. 28 (1): 19 – 38.
BACHMANN, P.A. 1989. Swine influenza virus. In
“virus infection of pigs”. Elseviers Science,
London. pp.193 – 207.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
BROCKWELL-STAATZ, C., R.G. WEBSTER and R.J.
WEBBY. 2009. Diversity of influenza viruses
in swine and the mergence of a novel human
pandemic influenza A (H1N1). Influenza other
Respi. Viruses. 3(5): 207 – 213.
GUO, Y., M. WANG, Y. KAWAOKA, O. GORMAN,
T. ITO, T. SAITO, and R.G. WEBSTER. 1992.
Characterization of a new avian-like influenza
A virus from horses in China. Virology
188(1): 245 – 255.
HARIMOTO,T. and Y. KAWAOKA. 2001. Pandemic
threat posed by avian influenza A viruses.
Clinical Microbiology Reviews 14(1):
129 – 149.
KATZ, J.M. (2003). The impact of avian influenza
viruses on public health. Avian Dis 47:
914 – 920.
LANZA, I., I.H. BROWN and D.J. PATON (1992).
Pathogenicity of concurrent infection of pigs
with porcine respiratory coronavirus and
swine influenza virus. Res. Vet. Sci. 53:
309 – 314.
MALIK PEIRIS, J.S. 2009. Avian influenza viruses in
humans. Rev.Sci. tech. Off. Int. Epiz. 28(1):
161 – 174.
OLSEN, C.W., L. BAMMER, B.C. EASTERDAY, N.
ARDEN, F. BELAY, I. BAKER and N.J. COX.
2002. Serologic evidence of H1 Swine
influenza virus infection in swine farm
residents and employes. Emerg. Infect. Dis. 8:
814 – 815.
OLSEN, C.W., I. BROWN, B.C. EASTERDAY and K.
VAN REETH. 2005. Swine influenza. In :”
Diseases of swine”. Eds. Straw, B.,
D’Allaire,S., Zimmerman, J., and Taylor, D.
Iowa State University Press, Iowa, USA. pp.
469 – 482.
REPERANT, L.A., G.F. RIMMELZWAAN and T.
KUIKEN. 2009. Avian influenza viruses in
mammals. Rev.Sci. tech. Off. Int. Epiz. 28(1):
137 – 159.
RONOHARDJO, P. 1982. Virus influenza A itik di
Indonesia serta pengaruhnya pada kesehatan
masyarakat dam ekonomi peternakan. Thesis
Doktor.
Sekolah
Pascasarjana
Institut
Pertanian Bogor, Bogor. 190 hlm.
SANFORD, S.E., G.K.A. JOSEPHSON and D.W. KEY.
1983. An epizootic of swine influenza in
Ontario. Can. Vet. J. 24: 167 – 171.
SENDOW, I., P.W. DANIELS., D.H. CYBINSKI., P.L.
YOUNG and P. RONOHARDJO. 1991. Antibodies
against certain bluetongue and epizootic
haemorrhagic disease viral serotypes in
Indonesian ruminants. Vet. Microbiol. 28:
111 – 118
SENDOW, I., T. SYAFRIATI, S. BAHRI and A. SAROSA.
1998.
Uji
serologis
terhadap
virus
Transmissible Gastroenteritis (TGE) di
beberapa daerah di Indonesia. JITV. 3(3):
176 – 181.
SCHRADER, C. and J. SUSS. 2004. Molecular
epidemiology of porcine H3N2 influenza
viruses isolated in Germany between
1982 – 2 001. Interviroloy 47: 72 – 77.
SWAYNE, D.E and D.L. SUAREZ. 2000. Highly
pathogenic avian influenza. Rev. Sci. Tech.
Off. Int. Epiz. 19(2): 463 – 482.
WRIGHT, S.M., Y. KAWAOKA, G.B. SHARP, D.A.
SENNE and R.G. WEBSTER. 1992. Interspecies
transmission and reassortment of influenza A
viruses in pigs and turkeys in the United
States. Am. J. Epidemiol. 136: 488 – 497.
PHILLIPS, R.M. and R.B. WESTERMAN. 1991.
Enzyme
immunofiltration
assay
for
measurement of antibodies to gastroenteritis
virus of swine comparisaon with enzymelinked immuno sorbent assay, serum
neutralization and indirect immunofluorescent
antibody technique. J. Vet. Diagn. Invest.
3: 346 – 348.
779
Download