efektivitas pemberian atp dari luar terhadap

advertisement
EFEKTIVITAS PEMBERIAN ATP DARI LUAR TERHADAP
PEMULIHAN KELELAHAN OTOT GASTROCNEMIUS
RANA SP
M. ARIEF ERVANA
B04060458
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi “Efektivitas Pemberian ATP
dari Luar terhadap Pemulihan Kelelahan Otot Gastrocnemius Rana sp” adalah
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Bogor, 6 Oktober 2010
M. Arief Ervana
B04060458
ABSTRACT
M. ARIEF ERVANA. The Effect of External ATP addition on Muscle Fatigue
Recovery of Gastrocnemius Muscle of Rana sp. Under direction of ARYANI S.
SATYANINGTIJAS and BAMBANG KIRANADI.
The investigation on the effect of giving ATP on muscle fatigue recovery
on Rana sp had been investigated using a gastrocnemius muscle. The experiment
were carried out by stimulating muscle with submaximal voltage. The muscle was
submerged in a 0,65% NaCl, and the muscle contraction was recorded. The
amplitude of single stimulation was measured of its length. The following study
was to stimulate the muscle continousely until reaching titanic state. The peak of
titanic state indicated the muscle fatigue. Addition of ATP was expected to reduce
the amplitude of titanic peak. The ratio of titanic amplitude to the single
stimulation in the presence of ATP has no significant effect compared to the
ringer lactate.
Keywords : Muscle fatigue, ringer lactate, ATP
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2010
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
EFEKTIVITAS PEMBERIAN ATP DARI LUAR TERHADAP
PEMULIHAN KELELAHAN OTOT GASTROCNEMIUS
RANA SP
M. ARIEF ERVANA
B04060458
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
Judul Skripsi
: Efektivitas Pemberian ATP dari Luar Terhadap Pemulihan
Kelelahan Otot Gastrocnemius Rana sp
Nama
: M. Arief Ervana
NIM
: B04060458
Disetujui,
Dr. Drh. Aryani S. Satyaningtijas, M.Sc.
Pembimbing I
Dr. Drs. Bambang Kiranadi, M.Sc.
Pembimbing II
Diketahui,
Dr. Dra. Nastiti Kusumorini
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Tiada kata yang lebih indah untuk diucapkan selain ucapan Alhamdulillah,
puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya, sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini. Proses penyusunan skripsi ini merupakan sebuah
perjalanan panjang yang tidak lepas dari dukungan dan bantuan berbagai pihak.
Oleh karena itu, perkenankanlah penulis pada kesempatan ini menghaturkan
terima kasih yang berlimpah kepada:
1.
Dr. Drh. Aryani S. Satyaningtijas, M.Sc. dan Dr. Drs. Bambang Kiranadi,
M.Sc, selaku Komisi Pembimbing yang telah banyak mengarahkan dan
membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
2.
Dr. Drh. Hera Maheswari, M.Sc yang berkenan menjadi dosen penilai
dalam seminar hasil penelitian, serta Drh. Deni Noviana, Ph.D dan Drh.
Elok Budi Retnani, MS selaku penguji luar komisi, yang telah banyak
memberikan arahan dan masukan demi kelengkapan tulisan ini.
3.
Dr. Drh. Damiana Rita Ekastuti, MS selaku Pembimbing Akademik atas
motivasi dan bimbingannya selama dalam kegiatan akademik penulis.
4.
Kedua orang tua dan saudara sekandung penulis, termasuk kakak dan adikadik angkatan atas doa, dukungan, serta semangat yang senantiasa
mengalir untuk penulis.
5.
Seluruh staf bagian Fisiologi dan Farmakologi(Ibu Ida, ibu Sri, pak
Wawan, pak Edi) yang telah membantu penulis selama melakukan
pengujian di laboratorium.
6.
Rekan-rekan mahasiswa BEM KM IPB “Generasi Inspirasi” serta keluarga
besar 43sculapius atas kebersamaannya.
7.
Semua pihak yang telah memberikan dukungan dengan caranya masingmasing.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Harapan
besarnya hanyalah semoga karya tulis ini bermanfaat dan dapat menjadi amalan
yang bermanfaat.
Bogor, Oktober 2010
M. Arief Ervana
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 16 Mei 1988 di “kota batik” Pekalongan
dari rahim seorang ibu yang bernama Rochimah, pasangan sehidup-semati
seorang ayah yang bernama Hermawan, SH. Penulis merupakan anak kedua dari
tiga bersaudara, “pancuran kapit sendang”, seorang anak laki-laki diantara dua
saudara perempuannya.
Penulis menempuh pendidikan formal dasar di Kabupaten Pekalongan,
kemudian melanjutkannya di kota Pekalongan yaitu di SMP Negeri 1 dan SMA
Negeri 1 Pekalongan. Pendidikan formal dasar diselesaikan pada tahun 2006, dan
pada tahun yang sama penulis diterima di IPB tanpa tes melalui jalur USMI
(Undangan Seleksi Masuk IPB). Pendidikan tinggi ditempuh pada program studi
Kedokteran Hewan.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di banyak kegiatan/lembaga
kemahasiswaan dan pengembangan mahasiswa. Beberapa diantaranya adalah
BEM KM IPB Kabinet IPB Bersatu sebagai staf Departemen Kebijakan Daerah
dan Nasional tahun 2006/2007, Organisasi Mahasiswa Daerah IMAPEKA (Ikatan
Mahasiswa Pekalongan) sebagai Wakil Ketua tahun 2007/2008, Veterinary
English Club sebagai anggota tahun 2007/2008, Ikatan Mahasiswa Kedokteran
Hewan Indonesia (IMAKAHI) FKH IPB sebagai Kepala Bidang Kaderisasi tahun
2008/2009, Himpunan Minat Profesi (Himpro) Ruminansia sebagai Ketua tahun
2008/2009, dan ditarik kembali ke BEM KM IPB Kabinet Generasi Inspirasi
sebagai Manajer HRD Bisnis dan Kemitraan tahun 2009/2010.
Selain itu, penulis juga aktif menggiatkan berbagai kegiatan terkait
pengembangan SDM di tingkat mahasiswa. Diantaranya melalui Veterinary
Integrity and Skill Improvement (VISI) Corporation-IMAKAHI sebagai Direktur
tahun 2009 dan Entrepreneurship Development Unit (EDU) KM IPB sebagai
Direktur tahun 2010. Selama menempuh pendidikan, penulis mendapatkan
beasiswa BBM untuk tahun 2008/2009 dan 2009/2010, serta beasiswa penelitian
tahun 2010. Melalui semangat berbagi (sharing) dan kegemaran menulis, telah
banyak memberikan inspirasi dan motivasi, baik melalui diskusi, tindakan,
maupun tulisan-tulisannya.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .........................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
x
PENDAHULUAN ........................................................................................
1
Latar Belakang ............................................................................
1
Tujuan Penelitian ........................................................................
2
Manfaat Penelitian ......................................................................
2
Hipotesis Penelitian.....................................................................
2
TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................................
3
Struktur Anatomi Otot Rangka ...................................................
3
Dasar Molekuler Mekanisme Kontraksi Otot Rangka ................
5
Metabolisme Energi pada Aktivitas Otot Rangka .......................
9
Mekanisme Pembentukan ATP melalui Respirasi Aerobik ........
9
Mekanisme Pembentukan ATP melalui Pemecahan Kreatin
Fosfat .........................................................................................
11
Mekanisme Pembentukan ATP melalui Respirasi Anaerobik ....
12
Kelelahan Otot Rangka ...............................................................
14
METODE. .....................................................................................................
15
Waktu dan Tempat ......................................................................
15
Materi Penelitian .........................................................................
15
Alat ..............................................................................................
15
Metode Penelitian .......................................................................
17
Analisis Data ...............................................................................
20
HASIL DAN PEMBAHASAN .....................................................................
21
SIMPULAN DAN SARAN ..........................................................................
29
Simpulan .....................................................................................
29
Saran............................................................................................
29
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
30
viii
DAFTAR TABEL
Halaman
1.
Kecepatan perputaran tromol ...............................................................
17
2.
Nilai uji normalitas data .......................................................................
24
3.
Perbandingan amplitudo kontraksi otot dengan pemberian ringer dan
ATP ......................................................................................................
24
ix
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1.
Anatomi otot rangka.............................................................................
4
2.
Siklus dasar molekuler kontraksi otot rangka ......................................
6
3.
Kedudukan molekul troponin terhadap molekul tropomiosin dan
sisi perlekatan mekanisme titian silang. ...............................................
4.
7
Pelepasan dan pengambilan Ca2+ oleh retikulum sarkoplasma selama
kontraksi dan relaksasi otot rangka ......................................................
8
5.
Fosforilasi oksidatif..............................................................................
10
6.
Urutan reaksi kimia yang bertanggung jawab pada glikolisis .............
13
7.
Kimograf dan stimulator induksi .........................................................
15
8.
Stimulator induksi ................................................................................
16
9.
Hasil perekaman mekanomiogram.......................................................
20
10.
Hasil perekaman ketika otot direndam dalam ringer laktat .................
21
11.
Hasil perekaman ketika otot direndam dalam ringer laktat dengan
ATP 1 ml ..............................................................................................
12.
22
Hasil perekaman ketika otot direndam dalam ringer laktat dengan
ATP 2 ml ..............................................................................................
23
x
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kehidupan masyarakat modern saat ini dengan tingkat persaingan yang
tinggi menuntut setiap orang untuk selalu aktif dan bekerja lebih keras. Akibatnya,
lebih sering muncul rasa lelah. Kelelahan (fatigue) merupakan suatu fenomena
kompleks berupa terjadinya penurunan toleransi terhadap kerja fisik. Penyebabnya
sangat spesifik bergantung pada karakteristik kerja tersebut. Penyebab kelelahan
dapat ditinjau dari aspek anatomi berupa kelelahan sistem saraf pusat,
neuromuskular dan otot rangka, serta dari aspek fungsi berupa kelelahan
elektrokimia, metabolik, berkurangnya substrat energi, hiper/hipotermia dan
dehidrasi (Tirtayasa 2001).
Kelelahan pasti dialami oleh setiap orang yang melakukan aktivitas
terutama pada tingkat aktivitas yang tinggi. Sama seperti halnya orang, hewan pun
dapat merasakan kelelahan tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh Ruth (2000)
bahwa kelelahan terlihat pada kuda terhadap daya tahan dan cara berjalan kecil
pada saat ditunggangi melebihi tingkat pengkondisian dan kemampuan fisiknya.
Hal itu juga dapat dilihat pada hewan yang digunakan dalam peternakan atau
bahkan perburuan, ketika hewan-hewan tersebut tidak benar-benar dikondisikan
sesuai dengan pekerjaan yang diberikan pada mereka.
Dalam berbagai jenis aktivitas, baik aktivitas ringan maupun berat, otot
akan memperoleh energi dari pemecahan molekul adenosine triphosphat atau
yang biasa disingkat sebagai ATP. ATP merupakan satu-satunya sumber energi
yang digunakan secara langsung untuk aktivitas kontraktil, karena itu, ATP harus
terus menerus diperbaharui dan diberikan agar aktivitas kontraktil dapat berlanjut
(Marieb, 2004). Di jaringan otot, ATP yang tersedia untuk dapat segera digunakan
terbatas dan ATP tidak dapat disimpan. Oleh karena itu, ATP harus terus menerus
diproduksi. Pada dasarnya tubuh memiliki kemampuan untuk memenuhi
kebutuhan ATP yang dilakukan melalui tiga jalur yaitu dari penguraian kreatin
fosfat, fosforilasi oksidatif, dan glikolisis (Sherwood 2001). Namun, mekanisme
ini dianggap belum mampu memenuhi ketersediaan ATP yang terbatas,
khususnya kebutuhan pada kondisi-kondisi tertentu seperti pasca operasi, masa
2 pemulihan dari sakit, kelelahan fisik dan sebagainya. Baru-baru ini banyak produk
ATP yang beredar luas di pasaran. Produk
ATP, yang diharapkan dapat
mengatasi terbatasnya ketersediaan ATP ini, sudah menjadi budaya konsumtif
praktis untuk menghilangkan rasa lelah dan memulihkan serta meningkatkan
stamina. Tidak hanya pada manusia, tetapi juga pada hewan. Padahal, penggunaan
produk-produk ATP tersebut belum terbukti keefektifannya.
Pemahaman mengenai tingkat efektivitas pemberian ATP terhadap
pemulihan kelelahan otot rangka, khususnya pada otot yang aktif berkontraksi,
akan sangat berguna dalam kehidupan. Dengan mengetahui hal tersebut maka
diharapkan adanya tindak alternatif yang dinilai efektif untuk memulihkan
kelelahan otot khususnya pada olahraga dan atau aktivitas yang tinggi.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menguji efektivitas pemberian
ATP dari luar (in vitro) terhadap pemulihan kelelahan otot gastrocnemius katak
jenis Rana sp, khususnya pada otot yang aktif berkontraksi.
Manfaat Penelitian
Melalui penelitian ini diharapkan adanya pemahaman yang mendasar bahwa
setiap aktivitas membutuhkan energi yang berasal dari pemecahan molekul ATP
di dalam sel. Kemudian dengan diketahuinya tingkat efektivitas pemberian ATP
dari luar terhadap pemulihan kelelahan otot rangka, diharapkan juga adanya
tindak alternatif yang dinilai efektif untuk memulihkan kelelahan otot khususnya
pada olahraga dan atau aktivitas yang tinggi.
Hipotesis Penelitian
Penelitian ini menduga bahwa pemberian ATP dari luar berpengaruh
terhadap pemulihan kelelahan otot rangka. Hipotesa tersebut akan dinilai dengan
bentuk penilaian sebagai berikut;
Ho: pemberian ATP berpengaruh terhadap pemulihan kelelahan otot rangka.
Hi : pemberian ATP tidak berpengaruh terhadap pemulihan kelelahan otot rangka
3 TINJAUAN PUSTAKA
Struktur Anatomi Otot Rangka
Otot rangka (skeletal muscle) bertanggung jawab atas pergerakan tubuh
secara sadar. Otot rangka disebut juga otot lurik (striated muscle) karena
pengaturan filamennya yang tumpang tindih, sehingga memberikan sel-sel itu
penampakan berlurik atau bergaris di bawah mikroskop. Sebuah otot terdiri atas
berkas serat otot (sel-sel) bernukleus majemuk, yang masing-masing merupakan
berkas miofibril (Campbell et al. 2004).
Masing-masing miofibril terdiri atas beberapa tipe protein, yaitu; miosin,
aktin, troponin, tropomiosin, titin, dan nebulin. Miosin merupakan protein motor
dari miofibril. Pada otot lurik, sekitar 250 molekul miosin bersatu membentuk
sebuah filamen tebal. Sementara aktin merupakan molekul protein yang
membentuk filamen tipis. Filamen tebal dan tipis tersebut diatur dalam suatu unit
kontraktil yang disebut sarkomer. Satuan fungsional yang disebut sarkomer ini
memiliki beberapa elemen di dalamnya, yaitu suatu pita A yang gelap dan pita I
yang terang yang tersusun selang-seling beraturan. Pusat pita A disebut zona H,
kurang padat dibandingkan bagian lain dari pita. Sebuah pita A dibagi dua oleh
garis M, sedangkan pita I dibagi dua oleh garis Z yang sangat sempit. Filamen
tipis selain mengandung aktin juga mengandung tropomiosin dan kompleks
troponin, keduanya merupakan protein yang mengatur kejadian kontraksi (the
regulatory proteins). Kemudian titin yang membentang dari garis Z sampai ke
daerah yang berdekatan dengan garis M, serta nebulin yang berada di sepanjang
tepi filamen tipis dan menempel pada garis Z (Silverthorn 2009).
Miofibril dikelilingi oleh struktur yang dibentuk membrana yang tampak
dalam foto mikograf elektron sebagai vesikel dan tubulus. Struktur ini membentuk
susunan sarkotubulus, yang dibentuk dari sistem T dan suatu retikulum
sarkoplasma. Sistem T tubulus transversa yang bersambung dengan membrana
serabut otot membentuk suatu kisi yang diperforasi oleh miofibril tersendiri.
Ruang diantara dua lapisan sistem T merupakan suatu perluasan ruang ekstra sel.
Retikulum sarkoplasma yang membentuk suatu tirai tidak teratur di sekeliling tiap
fibril mempunyai sisterna terminalis yang membesar dalam kontak erat dengan
4 sistem T pada sambungan antara pita A dan I. Pada titik kontak ini, susunan
sistem T sentral dengan suatu sisterna retikulum sarkoplasma pada sisi manapun
telah membawa ke penggunaan istilah trias untuk menggambarkan sistem ini.
Sistem T berfungsi sebagai hantaran cepat potensial aksi dari membrana sel ke
semua fibril dalam otot (Ganong 1995). Secara keseluruhan struktur anatomi otot
rangka dapat dilihat pada Gambar 1 berikut;
mitokondria
retikulum sarkoplasma
filamen tebal
nukleus
filamen tipis
sistem T
miofibril
sarkolema
pita A
sarkomer
Garis Z
Garis Z
miofibril
Garis M
pita I
Zona H
Garis Z
Garis Z
Garis M
filamen tebal
Garis M
filamen tipis
molekul miosin
rantai aktin
Gambar 1 Anatomi otot rangka (Silverthorn 2009)
5 Dasar Molekuler Mekanisme Kontraksi Otot Rangka
Ketika sebuah otot berkontraksi, panjang masing-masing sarkomer menjadi
berkurang, yaitu; jarak antara garis Z ke garis Z berikutnya menjadi lebih pendek.
Pada sarkomer yang berkontraksi, pita A tidak berubah panjangnya. Akan tetapi
pita I memendek dan zona H menjadi hilang. Peristiwa ini dapat dijelaskan
dengan model filamen luncur (sliding-filament model) pada kontraksi otot.
Menurut model ini, bukan filamen tipis dan bukan juga filamen tebal yang
berubah panjangnya ketika otot berkontraksi, melainkan filamen tersebut
meluncur di atas satu sama lain secara longitudinal. Sehingga derajat tumpangtindih filamen tipis dan tebal meningkat. Jika daerah tumpang-tindih itu
meningkat, baik bagian yang hanya ditempati oleh filamen tipis (pita I) maupun
bagian yang hanya ditempati oleh filamen tebal (zona H) harus berkurang
panjangnya (Campbell et al. 2004).
Peluncuran filamen tersebut didasarkan pada interaksi molekul aktin dan
miosin yang menyusun filamen tipis dan filamen tebal. Kepala miosin merupakan
pusat reaksi bioenergetik yang memberi energi untuk kontraksi otot. Kepala
miosin dapat mengikat ATP dan menghidrolisisnya menjadi ADP serta fosfat
anorganik. Energi yang dibebaskan dari pemecahan ATP dipindahkan ke miosin,
sehingga menjadi konfigurasi penambah energi tinggi. Miosin yang sudah
bertenaga ini berikatan dengan tempat spesifik pada aktin, membentuk suatu titian
silang (cross-bridge) (Campbell et al. 2004).
Hal tersebut secara lebih terperinci ditunjukkan oleh Silverthorne (2009)
serta dapat dilihat juga pada Gambar 2, dalam enam tahapan berikut ini;
1.
Area kaku (the rigor state)
Kepala miosin berikatan kuat dengan tempat spesifik pada aktin (Globular
protein) membentuk suatu titian silang (cross-bridge). Pada area ini tidak ada
nukleotida, baik ATP maupun ADP yang menempati sisi perlekatan dari kepala
miosin. Pada otot aktif, the rigor state ini hanya terjadi untuk periode/waktu yang
sangat singkat sekali.
2.
Pengikatan ATP dan pelepasan miosin
Sebuah molekul ATP terikat pada kepala miosin. Hal ini merubah afinitas
perlekatan aktin terhadap miosin, dan miosin pun memisahkan diri dari aktin.
6 3.
Hidrolisis ATP
Kepala miosin yang mengikat ATP kemudian menghidrolisis ATP menjadi ADP
serta fosfat anorganik (Pi).
4.
Miosin terikat lemah pada aktin
Energi yang dibebaskan dari pemecahan ATP menyebabkan kepala miosin terikat
lemah pada aktin, terutama molekul aktin yang baru. Pada titik ini, miosin
memiliki energi yang potensial, sehingga menjadi konfigurasi energi tinggi.
5.
Pelepasan fosfat anorganik
Pelepasan fosfat anorganik dari sisi perlekatan miosin menginduksi terjadinya
sebuah tembakan tenaga (the power stroke). Kepala miosin kemudian berotasi lalu
mendorong filamen aktin bergerak menuju garis M dan melewatinya.
6.
Pelepasan ADP
Miosin melepaskan ADP. Pada titik ini, kepala miosin kembali terikat kuat
dengan aktin pada area kaku (the rigor state). Siklus berulang ketika sebuah
molekul ATP baru terikat pada kepala miosin.
1 Terikat kuat pada area kaku (rigor state).
Titian silang membentuk sudut 450 relatif
terhadap filamen.
6 5 Pada akhir tembakan tenaga, kepala miosin
melepaskan ADP dan kembali terikat kuat dengan
aktin pada area kaku
Pelepasan Pi yang menginduksi
terjadinya tembakan tenaga (power
stroke).
2
3
ATP terikat pada kepala
miosin. Miosin terlepas dari
aktin.
ATP dihidrolisis menjadi ADP dan
Pi
4 Miosin terikat lemah pada aktin. Titian
silang membentuk sudut 900 relatif
terhadap filamen.
Gambar 2 Siklus dasar molekuler kontraksi otot rangka (Silverthorn 2009)
7 Agar siklus kontraksi dapat terus berlangsung, efek penghambatan oleh
kompleks troponin-tropomiosin pada bagian aktif dari filamen aktin normal otot
yang sedang relaksasi harus dihambat, karena menyebabkan area ini tidak dapat
melekat pada kepala filamen miosin untuk menimbulkan kontraksi. Kondisi ini
memunculkan peran ion Ca2+ . Dengan adanya ion Ca2+ dalam jumlah besar, efek
penghambatan oleh kompleks troponin-tropomiosin terhadap filamen itu sendiri
dapat dihambat (Guyton dan Hall 1997). Perlekatan ion Ca2+ pada sisi perlekatan
spesifik troponin membuat bentuk troponin berubah, dan berakibat juga pada
terlepasnya tropomiosin dari sisi perlekatan miosin pada tiap molekul aktin.
Sehingga kondisi sebaliknya, yakni ketiadaan ion Ca2+, akan menyebabkan
aktivitas kontraktil terhenti (Vander et al. 2001).
Ion-ion Ca2+ tersebut disimpan di dalam retikulum sarkoplasma. Membrana
retikulum sarkoplasma mengandung protein transport aktif primer, yaitu CaATPase, yang akan memompa ion Ca2+ dari sitosol kembali ke dalam lumen
retikulum. Pemompaan ion Ca2+ kembali ke dalam lumen retikulum
membutuhkan waktu yang lebih lama daripada pelepasannya. Oleh karena itu,
konsentrasi dari sisa-sisa ion Ca2+ dalam sitosol ditingkatkan, dan kontraksi akan
berlanjut sampai beberapa waktu setelah mendapat sebuah potensial aksi (Vander
et al. 2001).
Gambar 3 Kedudukan molekul troponin terhadap molekul tropomiosin dan sisi perlekatan
mekanisme titian silang (Vander et al. 2001)
8 Kontraksi Relaksasi Potensial aksi datang
2+
Ca masuk ke RE 2+
Ca dilepaskan
2+
Ca melekat pada troponin, menghambat aksi penghambatan tropomiosin 2+
Ca lepas dari troponin, aksi penghambatan tropomiosin Pergerakan titian silang Gambar 4 Pelepasan dan pengambilan Ca2+ oleh retikulum sarkoplasma selama kontraksi
dan relaksasi otot rangka (Vander et al. 2001)
Sel otot secara khas hanya menyimpan cukup ATP untuk beberapa
kontraksi saja. Sel-sel otot juga menyimpan glikogen diantara miofibril, akan
tetapi sebagian besar energi yang diperlukan untuk kontraksi otot yang berulang
disimpan dalam bahan yang disebut fosfagen. Keratin fosfat, yang merupakan
fosfagen vertebrata, menyediakan gugus fosfat ke ADP untuk membentuk ATP
(Campbell et al. 2004).
9 Metabolisme Energi pada Aktivitas Otot Rangka
Mader (2001) menyebutkan bahwa kontraksi otot membutuhkan pasokan
ATP yang berlimpah. Ada tiga jalur yang dapat memasok ATP tambahan selama
kontraksi otot;
1. Sel-sel otot memiliki mitokondria yang dapat membentuk ATP melalui
mekanisme respirasi selular aerobik.
2. Sel-sel otot mengandung kreatin fosfat, yang digunakan sebagai penyimpan
pasokan fosfat berenergi tinggi.
Kreatin fosfat tidak berpartisipasi secara langsung dalam kontraksi otot.
Sebaliknya, ia digunakan untuk membentuk ATP melalui reaksi berikut;
Kreatin fosfat + ADP
ATP + Kreatin
3. Ketika pasokan kreatin fosfat habis, sel otot masih mampu memproduksi ATP
secara anaerob.
Respirasi anaerob terjadi ketika sel tidak cepat mendapatkan pasokan oksigen
yang cukup untuk melakukan respirasi aerobik. Hal ini dapat terjadi misalnya
selama melakukan olahraga yang berat. Respirasi anaerob hanya dapat
memasok ATP untuk waktu yang sangat singkat, karena mekanisme ini
menghasilkan asam laktat yang dapat menyebabkan kesakitan otot dan
kelelahan.
Mekanisme Pembentukan ATP melalui Respirasi Aerobik
Mekanisme respirasi aerobik merupakan sintesis ATP menggunakan sistem
transport elektron, dan disebut juga sebagai proses fosforilasi oksidatif, karena
membutuhkan oksigen untuk bertindak sebagai penerima akhir dari elektron dan
H+. Proses ini hanya akan terjadi apabila tersedia cukup oksigen. Pergerakan dari
elektron melintasi sistem transport elektron ini dideskripsikan dengan sebuah
model yang disebut teori kemiosmotik. Berdasarkan teori ini, sepasang elektron
berenergi tinggi berjalan dari kompleks ke kompleks sepanjang jalur sistem
transport, kemudian sebagian energi dilepaskan dan digunakan untuk memompa
H+ dari matrik mitokondria keluar menuju ruang antar membran. Pergerakan H+
menuju ruang antar membran menyebabkan peningkatan konsentrasi H+. Selama
H+ kembali melintasi membran (menurunkan tigkat konsentrasinya) masuk ke
10 dalam matrik mitokondria, beberapa energi kinetik yang potensial ditangkap
sebagai ATP (Silverthorne 2009). Mark (2005) memberikan gambaran lengkap
sistem fosforilasi oksidatif sebagai berikut;
Glukosa
ATP (a) Fase pertama
dari Glikolisis
ADP PGAL
PGAL
NAD+
NADH
(b) Fase kedua
dari Glikolisis
2 ADP 2
ATP Proses
di sitoplasma
NAD+
NADH
2
As. Piruvat
Koenzim A
(c)Pembentukan
Co2
asetil CoA
ADP 2
As. Piruvat
NAD+
Koenzim A
NADH
NAD+
Co2
Aseti. CoA
ATP NADH
Asetil CoA
CoA
(d) Siklus Asam Sitrat
4-carbon
compound
As. sitrat
NAD+
NADH
NADH
Co2
NAD+
5-carbon
compound
H2O
FADH2
NAD+
Proses di
mitokondria
FAD
NADH
ATP Co2
4-carbon
compound
ADP (e) Sistem transport
elektron
NADH
NAD+
2-3
FADH2
FAD
½ O2
2-3
ADP +Pi
ATP H2O
Gambar 5 Fosforilasi oksidatif ( Mark 2005)
11 Agar proses fosforilasi oksidatif terus berjalan, otot-otot yang sedang aktif
bergantung pada pasokan oksigen dan nutrien yang adekuat melalui sistem
sirkulasi untuk mempertahankan aktivitasnya. Pada metabolisme ini, Pengubahan
ADP menjadi ATP terjadi berkaitan dengan molekul protein yang disebut
ATPase. Konsentrasi ion H+ yang tinggi di bagian luar bilik dan perbedaan
potensial listrik yang besar melalui membran bagian dalam menyebabkan ion H+
mengalir ke dalam matriks mitokondria melalui zat dari molekul ATPase.
Sewaktu melakukan hal tersebut, energi yang dihasilkan dari aliran ion H+ ini
digunakan oleh ATPase untuk mengubah ADP menjadi ATP. Untuk tiap dua
elektron yang berjalan melalui rantai transpor elektron (mewakili ionisasi dari 2
atom hidrogen), dapat disintesis sampai 3 molekul ATP (Guyton dan Hall 1997).
Mekanisme Pembentukan ATP melalui Pemecahan Kreatin Fosfat
Kreatin (Cr) merupakan jenis asam amino yang tersimpan di dalam otot
sebagai sumber energi. Di dalam otot, bentuk kreatin yang sudah terfosforilasi
menjadi kreatin fosfat (PCr) akan memiliki peranan penting dalam proses
metabolisme energi secara anaerobik di dalam otot untuk menghasilkan energi.
Saat istirahat, sejumlah ATP di dalam mitokondria memindahkan fosfatnya ke
kreatin, sehingga terbentuk simpanan kreatin fosfat. Enzim kreatin kinase
membantu pemecahan kreatin fosfat menjadi fosfat anorganik dan kreatin, proses
ini juga disertai dengan pelepasan energi sebesar 43 kJ (10,3 kkal) untuk tiap 1
mol PCr. Fosfat anorganik yang dihasilkan dari proses pemecahan PCr ini melalui
proses fosforilasi dapat mengikat molekul ADP untuk kembali membentuk
molekul ATP, sehingga memungkinkan kontraksi berlanjut (Irawan 2007; Ganong
1995).
Kreatin fosfat (PCr) membawa ikatan fosfat berenergi tinggi yang serupa
dengan ATP. Ikatan fosfat berenergi tinggi dari kreatin fosfat membawa memiliki
jumlah energi bebas yang sedikit lebih tinggi daripada yang dimiliki oleh ikatan
ATP. Jumlahnya tiga sampai delapan kali lebih banyak. Disamping itu, ikatan
energi tinggi kreatin fosfat mengandung kira-kira 8.500 kalori tiap mol pada
keadaan standar, dan sebanyak 13.000 kalori tiap mol pada keadaan di dalam
tubuh (380C dan
konsentrasi reaktan rendah). Hasil ini sedikit lebih besar
12 daripada 12.000 kalori tiap mol dalam setiap dua ikatan fosfat berenergi tinggi
dari ATP. Kombinasi energi dari ATP cadangan dan kreatin fosfat di dalam otot
masih dapat menimbulkan kontraksi otot maksimal hanya untuk 5 sampai 8 detik
(Guyton dan Hall 1997).
Mekanisme Pembentukan ATP melalui Respirasi Anaerobik
Mekanisme pembentukan ATP melalui respirasi anaerobik terjadi dalam
jalur glikolisis. Glikolisis berarti memecahkan molekul glukosa untuk membentuk
dua molekul asam piruvat. Proses metabolisme energi ini menggunakan simpanan
glukosa yang sebagian besar diperoleh dari glikogen otot atau dari glukosa yang
terdapat di dalam aliran darah untuk menghasilkan ATP. Walaupun terdapat
banyak reaksi kimia dalam rangkaian glikolitik, hanya sebagian kecil energi bebas
dalam molekul glukosa yang dibebaskan dari setiap langkah. Akan tetapi diantara
tahap 1,3-asam difosfogliserat dan 3-asam fosfogliserat, dan sekali lagi diantara
tahap asam fosfoenol piruvat dan asam piruvat, jumlah energi yang dibebaskan
lebih dari 12.000 kalori per mol, jumlah yang dibutuhkan untuk membentuk ATP.
Sehingga terdapat 4 molekul ATP yang dibentuk dari masing-masing molekul
fruktosa 1,6 fosfat yang dipecah menjadi asam piruvat. Namun 2 molekul ATP
masih dibutuhkan untuk fosforilasi glukosa asal untuk membentuk fruktosa 1,6
fosfat sebelum glokolisis dapat dimulai. Oleh karena itu, hasil akhir dari seluruh
proses glikolitik hanya 2 molekul ATP untuk masing-masing molekul glukosa
yang dipakai (Guyton dan Hall 1997).
Sistem glikolitik dapat membentuk molekul ATP kira-kira 2,5 kali lebih
cepat daripada mekanisme fosforilasi oksidatif di mitokondria. Oleh karena itu,
bila sejumlah besar ATP dibutuhkan untuk kontraksi otot dalam waktu singkat
sampai sedang, mekanisme glikolisis anaerob ini dapat digunakan sebagai sumber
energi cepat. Sistem ini kira-kira setengah cepatnya dari sistem fosfagen (Kreatin
fosfat). Di bawah kondisi optimal, sistem glikolitik dapat menyediakan aktivitas
otot yang maksimal selama 1,3 sampai 1,6 menit sebagai tambahan dari yang
disediakan oleh sistem fosfagen (Farhan 2009).
Berikut 10 langkah reaksi kimia yang berurutan dalam proses glikolisis,
seperti yang ditunjukkan oleh Vander et al. (2001);
13 Gambar 6 Urutan reaksi kimia yang bertanggung jawab pada glikolisis (Vander et al.
2001)
14 Kelelahan Otot Rangka
Kelelahan adalah suatu mekanisme perlindungan tubuh agar tubuh terhindar
dari kerusakan lebih lanjut sehingga terjadi pemulihan setelah istirahat. Istilah
kelelahan biasanya menunjukkan kondisi yang berbeda-beda dari setiap individu,
tetapi semuanya bermuara kepada kehilangan efisiensi dan penurunan kapasitas
kerja serta ketahanan tubuh. Kelelahan otot adalah tremor/kejang pada otot atau
perasaan nyeri pada otot. Kelelahan otot dapat dipengaruhi oleh sistem saraf
pusat, cadangan glikogen otot, dan keadaan ion fosfat maupun kalium dalam otot.
Kelelahan itu dikarenakan sumber energi yang dimiliki oleh tubuh menurun atau
habis, asam laktat meningkat, keseimbangan cairan dan elektrolit terganggu.
Akibatnya menimbulkan rasa lemah, lesu, dan penurunan konsentrasi (Anonim
2004).
Sementara Sherwood (2002) mendefinisikan kelelahan sebagai kondisi
penurunan kapasitas dan atau berkurangnya kemampuan kerja, dan menurut Foss
dan Keteyian (1998), kelelahan adalah ketidakmampuan tubuh membentuk tenaga
dan atau kecepatan, yang merupakan akibat dari aktivitas otot. Istilah kelelahan
menjadi sangat bervariasi karena banyaknya penyebab dengan penentu utama
yang berbeda bergantung kepada intensitas dan durasi aktivitas, serta kondisi
lingkungan (Tirtayasa 2001).
Berbagai jenis faktor yang dapat menyebabkan kelelahan kemudian dapat
diklasifikasikan ke dalam dua mekanisme besar, yaitu; mekanisme central fatigue
di sistem saraf pusat, dan mekanisme peripheral fatigue dimanapun diantara
neuromuscular juntion dan elemen-elemen kontraktil dari otot itu sendiri
(Silverthorne 2009). Pada mekanisme central fatigue, kelelahan sentral terjadi jika
sistem saraf pusat tidak dapat mengaktifkan neuron motorik yang mempersarafi
otot yang bekerja secara adekuat. Individu memperlambat atau menghentikan
olahraganya walaupun otot-ototnya masih mampu bekerja. Pada aktivitas olahraga
ringan-sedang, kelelahan sentral mungkin menyebabkan penurunan kerja fisik
berkaitan dengan kejenuhan (Wilmore dan Costil 1994).
15 METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan selama bulan Agustus-September tahun 2009 di
Laboratorium Fisiologi-Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi,
Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Materi Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain; Rana sp,
larutan Ringer Laktat dan produk bio ATP cair. Sedang peralatan yang digunakan
antara lain papan katak, jarum pentul, scalpel, gunting, benang, gelas arloji, dan
mekanomiogram yang terdiri atas kimograf, statif dan klem, pencatat otot, klem
femur, sinyal magnit perangsang, stimulator induksi beserta elektroda perangsang.
Alat
a.
Kimograf
Kimograf merupakan sebuah alat pencatat gerakan, misalnya kerutan otot,
denyut jantung, dan sebagainya. Gambar kimograf milik lab faal IPB yang
digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 5 berikut;
Gambar 7 Kimograf dan stimulator induksi (dokumentasi pribadi)
16 b.
Stimulator Induksi
Stimulator induksi berbentuk sebuah kotak balok yang pada permukaan
depannya terdapat :
a. Empat pasang lubang kontak untuk elektroda perangsang dan sinyal magnet
b. Tombol pemutar tromol dengan lima kecepatan berbeda
c. Tombol elektroda perangsang
d. Tombol yang dapat digerakkan, tergantung kepada rangsang/stimulasi yang
hendak diberikan (tunggal, multiple, atau tetanik)
e. Tombol pengatur voltase
b
c
e
a
d
Gambar 8 Stimulator induksi (dokumentasi pribadi)
Agar mendapat perekaman yang sempurna, ujung pencatat bergerak pada
bidang singgung kertas kimograf dan bergerak bebas dengan tekanan sedang.
Kecepatan perputaran tromol yang tersedia dan dapat digunakan terbagi dalam
lima tingkatan, seperti diperlihatkan dalam tabel berikut;
17 Tabel 1 Kecepatan perputaran tromol
c.
Kecepatan
mm/s
Waktu
1
0,05
125 sec
2
0,25
25 sec
3
2,5
2,5 sec
4
25
0,25 sec
5
625
0,01 sec
Elektroda Perangsang
Elektroda perangsang terdiri atas sebuah gagang dengan dua buah ujung
logam logam yang berfungsi sebagai elektroda yang dialiri arus listrik.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan studi in vitro yang dilakukan terhadap katak jenis
Rana sp dengan berat antara 50-70 gram. Otot yang digunakan dalam penelitian
ini adalah otot gastrocnemius sebanyak lima buah, dan pada setiap otot dilakukan
tiga kali perekaman. Larutan ringer laktat yang digunakan dalam penelitian ini
berasal dari laboratorium utama Fisiologi departemen Anatomi, Fisiologi, dan
Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan Iinstitut Pertanian Bogor dan ATP
sebagai bahan uji berasal dari produk ATP yang didapat dari apotik hewan
setempat. Setelah perekaman selesai dan sebelum kertas dilepas dari tromol,
kertas diberi tanda atau identitas. Data diambil dari rasio antara tinggi gelombang
(amplitudo) awal setelah kontraksi tetani dengan amplitudo dari gelombang
kontraksi tunggal sebelum stimulasi tetani diberikan.
a.
Kerangka Konsep
Aktivitas Otot
Intensitas Tinggi
Kebutuhan Energi Aerob
tidak Mencukupi
ATP Hidrolisis dan
Glikolisis Anaerob
Meningkat
Pemulihan
Kelelahan Otot
Pemberian ATP dari
Luar
Kelelahan Otot
18 b.
Alur Penelitian
Otot Gastrocnemius + Ringer
Laktat
dirangsang dengan intensitas rangsangan yang berkala untuk mendapatkan
rangsangan submaksimal
rangsangan
submaksimal
tetani
Otot Gastrocnemius
+ Ringer Laktat
rangsangan
submaksimal
tetani
Otot Gastrocnemius +
Ringer Laktat + 1 ml ATP
dilakukan
perekaman
c.
dilakukan
perekaman
rangsangan
submaksimal
tetani
Otot Gastrocnemius
+ Ringer Laktat + 2
ml ATP
dilakukan
perekaman
Parameter yang Diteliti
Parameter yang diteliti adalah tingkat timbulnya pemulihan kelelahan otot
ditandai dengan peningkatan kekuatan kontraksi otot atau memendeknya
amplitudo gelombang kontraksi saat otot ditetanasi (dirangsang dengan frekuensi
tinggi), yang terlihat pada rekaman mekanomiogram otot gastrocnemius yang
diberi perlakuan.
d.
Teknik Pengambilan Otot Gastrocnemius
Katak yang telah dimatikan diletakkan di atas papan katak dengan posisi
tertelungkup dan difiksir dengan menggunakan jarum pentul. Kemudian fascia
antara m. biceps femoralis dengan m. semimembranosus disayat menggunakan
scalpel. Kedua otot tersebut dikuakkan sampai n. ischiadicus dan a. femoralis
kelihatan dengan jelas. Lalu dilakukan penelusuran n. ischiadicus ke bagian atas
sambil menggunting otot-otot di sebelah atasnya, sampai ke daerah pungggung
19 kemudian dipotong tulang di lateral perut dengan gunting. Kulit dan otot perut
dibuka dan disingkirkan jeroannya. Sambil tetap mengikuti dan mengamati n.
ischiadicus, pinggul dipotong supaya lebih mudah mengisolasi n. ischiadicus
sampai di bagian paha. Lalu n. ischiadicus diikat dengan benang pada bagian
ujung di tempat keluarnya dari sumsum punggung. Untuk isolasi selanjutnya yang
dipegang adalah benang dan bukan sarafnya. Kemudian n. ischiadicus dipotong di
bagian atas ikatan benang dan dibersihkan saraf tersebut dari otot. Kulit kaki dan
paha dikupas dengan cara menarik dari atas ke bawah. Lalu tendo Achiles
dipotong untuk mengisolasi m. gastrocnemius dan dipotong juga sekitar ¼ bagian
os femur dan biceps. Setelah didapatkan sediaan otot-saraf yang terdiri atas ¼
bagian os femur, n. ischiadicus, m. gastrocnemius, dan ¼ bagian biceps, sediaan
tersebut dimasukkan ke dalam gelas arloji yang berisi larutan Ringer (Staf
Fisiologi 2001).
e.
Pemberian Perlakuan dan Perekaman Mekanomiogram
Otot difiksasi dengan klem (penjepit otot) atau jarum pentul besar jika
menggunakan bak khusus. Lalu tendo Achiles diikatkan dengan benang pada alat
pencatat kontraksi, jangan sampai kendur. Selama percobaan diusahakan agar
preparat otot tetap dibasahi dengan Ringer Laktat. Kemudian dihubungkan kabel
listrik (dari baterai ke induktorium) dengan alat pencatat rangsangan. Disentuhkan
elektroda perangsang pada saraf atau ototnya dan alat pencatat ke drum kimograf
(pencatat kontraksi).
Ditentukan frekuensi rangsangan yang diinginkan. Beberapa diantaranya
yaitu frekuensi tunggal, faradic, ataupun tetanik. Ditentukan juga voltase bawah
ambang, submaksimal, dan maksimal dengan cara memulai rangsangan dengan
voltase yang terkecil dan menaikkan kekuatan rangsang 0,5 volt, hingga
didapatkan rangsang submaksimal. Satu kali perekaman terdiri dari perekaman
dengan rangsangan frekuensi rendah dan tinggi. Setelah selesai perekaman
pertama dengan ringer laktat kemudian sediaan uji ditetesi dengan ATP cair 1 ml
berturut-turut untuk perekaman kedua dan ketiga, tetap dengan rangsang
submaksimal yang sama. Setelah perekaman selesai dan sebelum kertas dilepas
dari tromol, kertas diberi tanda atau identitas. Data diambil dari rasio antara tinggi
20 gelombang (amplitudo) awal setelah kontraksi tetani dengan amplitudo dari
gelombang kontraksi tunggal sebelum stimulasi tetani diberikan.
B A Gambar 9 Hasil perekaman mekanomiogram.
keterangan : A menunjukkan tinggi amplitudo awal pada kondisi tetani. B menunjukkan
tinggi amplitudo pada kondisi normal (stimulasi tunggal).
Analisis Data
Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan program Statistical for
Social Sciences 11.5. Sebelumnya dilakukan uji normalitas terlebih dahulu untuk
memastikan data berdistribusi normal atau tidak. Pada semua data dilakukan
perhitungan rerata (mean) dan simpangan baku (standard deviation), bila data
mempunyai distribusi normal selanjutnya dilakukan uji parametrik ANOVA
(analysis of variance), sedangkan bila data tidak normal distribusinya maka
dilakukan uji nonparametrik (Sastroasmoro dan Sofyan 2002).
21 HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada setiap sediaan otot gastrocnemius dilakukan tiga kali perekaman
mekanomiogram. Perekaman yang pertama adalah ketika otot direndam dalam
ringer laktat, kemudian dilanjutkan perekaman yang kedua dan ketiga dengan
penambahan ATP cair 1 ml berturut-turut ke dalam ringer. Besar rangsangan sub
maksimal disesuaikan dengan kondisi atau kekuatan masing-masing otot sehingga
didapatkan gambar/hasil perekaman yang utuh. Hasil perekaman adalah sebagai
berikut :
Gambar 10 Hasil perekaman ketika otot direndam dalam ringer laktat
22 Hasil perekaman rata-rata dari rasio antara tinggi gelombang (amplitudo)
awal setelah kontraksi tetani dengan amplitudo dari gelombang kontraksi tunggal
sebelum stimulasi tetani diberikan ketika otot direndam dalam ringer laktat adalah
sebesar 0,7+0,22 cm.
Gambar 11 Hasil perekaman ketika otot direndam dalam ringer laktat dengan ATP 1 ml
Hasil perekaman rata-rata dari rasio antara tinggi gelombang (amplitudo)
awal setelah kontraksi tetani dengan amplitudo dari gelombang kontraksi tunggal
sebelum stimulasi tetani diberikan ketika otot direndam dalam ringer laktat
dengan ATP 1 ml (0,001 gr/cc) adalah sebesar 0,57+0,23 cm.
23 Gambar 12 Hasil perekaman ketika otot direndam dalam ringer laktat dengan ATP 2 ml
Hasil perekaman rata-rata dari rasio antara tinggi gelombang (amplitudo)
awal setelah kontraksi tetani dengan amplitudo dari gelombang kontraksi tunggal
sebelum stimulasi tetani diberikan ketika otot direndam dalam ringer laktat
dengan ATP 2 ml (0,002 gr/cc) adalah sebesar 0,61+0,28 cm.
Amplitudo adalah tinggi dari gelombang-gelombang yang terekam pada
kertas mekanomiogram, yang merupakan kontraksi maksimum yang berlangsung
selama satu siklus getaran (Bueche dan Hecht 2006). Pada frekuensi perangsangan
yang rendah (stimulasi tunggal), terlihat masing-masing kontraksi sebagai
kontraksi tunggal yang terjadi satu setelah yang lain. Pada kondisi ini, sediaan otot
masih bisa mencapai amplitudo tertingginya. Kemudian ketika ditingkatkan
frekuensi rangsangannya, sampailah pada suatu titik dimana akan timbul kontraksi
yang baru sebelum kontraksi yang terdahulu berakhir. Bila frekuensi mencapai
24 titik kritis, kontraksi berikutnya terjadi begitu cepat sehingga mereka benar-benar
bersatu bersama-sama, dan kontraksi secara keseluruhan nampak lancar dan
berlangsung terus menerus. Peristiwa ini disebut tetanasi (Guyton dan Hall 1997).
Tetanasi dihentikan sebelum kekuatan kontraksi mencapai tingkat maksimumnya,
sehingga sediaan otot masih dapat digunakan untuk perekaman kedua dan ketiga.
Untuk mengetahui normalitas sebaran data, selanjutnya dilakukan uji
normalitas data. Jumlah sampel dalam penelitian ini kurang dari 50 maka uji
normalitas data yang digunakan adalah uji Shapiro Wilk. Hasil uji normalitas data
dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2 Nilai uji normalitas data
No.
Variabel
Ratan
SD
P Value
1
Ringer
0,7
0,22249
0,738
2
3
ATP 1 ml
ATP 2 ml
0,57
0,61
0,23721
0,28057
0,66
0,701
Keterangan : p > 0,05 = bermakna (s)
n=5
Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa data berdistribusi normal (p > 0,05),
maka uji statistik lanjutan yang digunakan adalah ANOVA. Hasilnya adalah
sebagai berikut:
Tabel 3 Perbandingan amplitudo kontraksi otot dengan pemberian ringer dan ATP
Perlakuan
Amplitudo Kontraksi Otot (cm)
P value
Ringer
0,7 + 0,22
0,685405
ATP 1 ml
0,57 + 0,23
0,842842
ATP 2 ml
0,61 + 0,28
0,957694
Keterangan : p > 0,05 = tidak bermakna (n.s)
n=5
Pada tabel di atas terlihat bahwa hasil uji ANOVA menunjukkan tidak ada
perbedaan bermakna antara derajat kontraksi otot baik ringer terhadap ATP 1 ml
(P value = 0,685405), ringer terhadap ATP 2 ml (P value = 0,842842), maupun
ATP 1 ml terhadap ATP 2 ml (P value = 0,957694), sehingga dapat disimpulkan
25 bahwa pemberian ATP dari luar tidak berpengaruh terhadap pemulihan kelelahan
otot rangka.
Otot yang digunakan dalam penelitian ini adalah otot gastrocnemius.
Berdasarkan kapasitas biokimiawinya, terdapat tiga tipe serat otot, yaitu; serat
oksidatif lambat, serat oksidatif cepat (slow twitch), dan serat glikolitk cepat (fast
twitch). Tipe fast twitch memiliki aktivitas ATPase miosin yang lebih tinggi dari
pada tipe slow twitch. Semakin tinggi aktivitas ATPase, semakin cepat ATP
diuraikan, dan semakin cepat ketersediaan ATP untuk siklus titian silang. Hal ini
menyebabkan kontraksi otot tipe fast twitch terjadi lebih cepat dibandingkan tipe
slow twitch. Metabolisme energi yang dominan digunakan oleh tipe fast twitch
adalah glikolisis anaerobik (Guyton dan Hall 1997). Otot gastrocnemius dari
Rana sp memiliki tipe serat otot fast twitch sehingga dapat digunakan dalam
penelitian ini.
Rangsangan sub maksimal pada preparat in vitro otot gastrocnemius
menyebabkan terjadinya peningkatan kebutuhan ATP yang berasal dari glikolisis
anaerob. Pada kondisi ini, sejumlah energi masih dapat dibebaskan ke sel oleh
tahap glikolisis dari degradasi karbohidrat karena reaksi kimia dalam pemecahan
glukosa secara glikolitik menjadi asam piruvat tidak memerlukan oksigen.
Semakin hebat kerja yang dilakukan oleh otot semakin besar pula jumlah ATP
yang dipecahkan (Guyton dan Hall 1997). Sehingga ketika otot diberi rangsangan
dengan frekuensi tinggi (tetani), maka kebutuhan ATP meningkat karena
kontraksi yang berlangsung terus menerus dan sangat cepat.
Proses kejadian kontraksi tersebut secara fisiologis diatur oleh keberadaan
2+
Ca dengan protein pengaturnya yaitu tropomiosin dan kompleks troponin. Pada
proses ini, potensial aksi menyebabkan retikulum sarkoplasma melepaskan
sejumlah besar ion Ca2+ yang telah disimpan di dalam retikulum ke dalam
miofibril. Ion Ca2+ menimbulkan kekuatan menarik antara filamen aktin dan
miosin, yang menyebabkannya bergerak bersama-sama dan menghasilkan proses
konraksi (Guyton dan Hall 1997). Interaksi aktin dan miosin dihambat oleh
kompleks troponin dan tropomiosin bila kadar Ca2+ rendah. Rangsang saraf yang
memicu kontraksi akan membebaskan Ca2+ sehingga konsentrasi Ca2+ di dalam
sarkoplasma meningkat dengan cepat. Pengikatan Ca2+ ke troponin, mengubah
26 interaksi tropomiosin dengan aktin, sehingga miosin dapat mengikat aktin dan
menghasilkan gaya kontraksi (Fox 2004). Pemberian ATP dari luar diharapkan
dapat membantu mempercepat pemompaan kembali ion Ca2+ ke dalam retikulum
sarkoplasma, tempat ion-ion tersebut disimpan, sampai potensial aksi otot yang
baru datang lagi. ATP memberikan tenaga bagi transpor aktif Ca2+ ke dalam
retikulum sarkoplasma. Karena itu, ATP tidak hanya dibutuhkan untuk kontraksi
saja, tetapi juga untuk relaksasi otot (Ganong 1995).
Ketika otot dirangsang dengan frekuensi tinggi berdurasi singkat, otot
memperoleh energi dari cadangan glikogen yang disimpan dalam otot. Glikogen
merupakan salah satu bentuk simpanan energi di dalam tubuh yang dapat
dihasilkan melalui konsumsi karbohidrat harian dan merupakan salah satu sumber
energi utama yang digunakan oleh tubuh pada saat berolahraga (Irawan 2007).
Konversi glikogen menjadi energi terjadi melalui proses glikolisis. Glikolisis
merupakan jalur yang bersifat oksidatif anaerobik. Hasil akhir dari jalur glikolisis
ini adalah asam piruvat. Pada kondisi anaerob, piruvat akan dikonversi menjadi
laktat. Dua molekul ATP dibentuk secara langsung dari setiap molekul glukosa
yang terlibat. Reaksi kimia dari glikolisis anaerob adalah sebagai berikut; Glukosa
+ 2ADP + 2Pi
2Laktat + 2 ATP + 2H2O (Vander et al. 2001).
Pada kondisi anaerobik, sebagian besar asam piruvat yang diubah menjadi
asam laktat akan segera berdifusi keluar dari sel masuk ke dalam cairan
ekstraseluler, dan ke dalam cairan intraseluler dari sel lain yang kurang aktif.
Sehingga glikolisis dapat berlangsung jauh lebih lama. Glikolisis dapat
berlangsung selama beberapa menit, mensuplai tubuh dengan jumlah ATP yang
cukup banyak bahkan dalam keadaan tanpa oksigen pernafasan. Kelelahan otot
meningkat hampir berbanding langsung dengan kecepatan penurunan glkogen otot
(Guyton dan Hall 1997).
Kapasitas penyimpanan glikogen dalam tubuh sekitar 350-500 gram, atau
setara dengan energi sebesar 1.200-2.000 kkal (Irawan 2007). Satu molekul ATP
dengan berat molekul 300 gram dapat menyediakan energi sebesar 10 kkal setiap
harinya. Sehingga berdasarkan kapasitas penyimpanan glikogen yang sampai
dengan 500 gram (setara energi 2.000 kkal) maka ATP yang dapat dihasilkan
adalah 2.000 kkal : 10 kkal per molekul ATP, yaitu 200 molekul ATP. Dengan
27 berat molekul 200 x 300 gram, yaitu 60.000 gram ATP. Sementara rata-rata
kandungan ATP pada produk ATP yang beredar di pasaran adalah sebesar 20-100
mg atau sama dengan 0,02-0,1 gram. Jumlah yang sangat kecil sekali jika
dibandingkan dengan jumlah yang mampu dihasilkan secara mandiri oleh tubuh.
Klon (2005) menyebutkan bahwa ATP tidak dapat berdifusi bebas melintasi
membran plasma sel. Bentuk molekul polarnya menjadi penghalang besar untuk
melintasi bagian hidrofobik membran plasma. Secara umum, molekul polar
seperti asam amino dan nukleotida (termasuk adenosin) tidak bebas permeabel
untuk membran plasma. Hal ini menjelaskan bahwa aktivitas dan atau fungsi ATP
hanya berlangsung di dalam sel (intraseluler) saja serta tidak dapat diintervensi
dengan penambahan ATP dari luar karena bagian hidrofobik membran plasma sel
dengan sifat non polarnya tidak bisa ditembus begitu saja.
Struktur dasar dari membran plasma sel adalah sebuah lapisan lipid ganda
yang terdiri atas molekul-molekul fosfolipid. Salah satu bagian dari setiap
molekul fosfolipid ini larut dalam air, yaitu hidrofilik. Bagian lain hanya larut
dalam lemak, disebut hidrofobik. Gugus fosfat dari fosfolipid bersifat hidrofilik
(polar), gugus asam lemaknya bersifat hidrofobik (non polar). Di dalam sel, ATP
diproduksi dan diangkut keluar dari mitokondria kemudian berdifusi ke seluruh
sel untuk membebaskan energinya dimana saja dibutuhkan sehingga sel dapat
menjalankan fungsinya (Guyton dan Hall 1997). Hal ini menjelaskan bahwa unit
hidup yang melakukan fungsi kehidupan adalah sel dengan bahan bakarnya yaitu
ATP.
Di sisi lain, ringer laktat dapat masuk ke dalam membran plasma sel otot
dengan cara difusi fasilitasi. Difusi fasilitasi atau difusi yang dipermudah
didefinisikan sebagai gerakan kinetik molekuler ataupun ion yang butuh interaksi
antara molekul maupun ion tersebut dengan protein pembawa dalam membran
(Guyton dan Hall 1997). Ringer laktat merupakan larutan garam yang terdiri dari
natrium, kalium, laktat, dan klorida, yang merupakan ion-ion yang dibutuhkan
otot untuk menjaga kondisi fisiologis sel dan berguna untuk kontraksi otot.
Larutan ini bersifat isotonis sehingga sering digunakan pada resusitasi cairan pada
kondisi kekurangan cairan tubuh (Farhan 2009).
28 Beberapa hal yang dapat diperhatikan atau dilakukan sebagai tindak
alternatif yang dinilai efektif untuk memulihkan kelelahan, sederhana, dan wajar
dilakukan, antara lain; meningkatkan konsumsi oksigen
(Sherwood 2001).
Oksigen diperlukan untuk pemulihan sistem-sistem energi. Ketika hutang oksigen
dilunasi ketika itu juga sistem kreatin fosfat dipulihkan, asam laktat dibersihkan,
dan simpanan glikogen paling tidak sebagian diganti. Tindak alternatif lainnya
adalah konsumsi cairan yang cukup atau berimbang. Ketika panas di dalam tubuh
meningkat entah karena aktivitas yang tinggi, suhu lingkungan, atau oksidasi
biologis, maka cairan tubuh akan dikeluarkan dalam bentuk keringat sebagai
respon dari hal-hal tersebut. Jika tidak diimbangi dengan konsumsi cairan yang
cukup maka konsentrasi cairan ekstraseluler akan meningkat sehingga cairan
intraseluler tertarik ke ekstraseluler dan sel mengalami dehidrasi. Dehidrasi
menyebabkan proton di dalam mitokondria mengalami gangguan sehingga laju
produksi dari ATP terganggu, dan relaksasi otot tidak dapat terjadi (Guyton dan
Hall 1997).
Konsumsi karbohidrat juga merupakan tindak alternatif lain yang dapat
dilakukan untuk memulihkan kelelahan dan kembali mendapatkan energi atau
tenaga yang hilang karena beraktivitas atau berolah raga. Karbohidrat merupakan
senyawa yang terbentuk dari molekul karbon, hidrogen, dan oksigen. Sebagai
salah satu jenis zat gizi, fungsi utama karbohidrat adalah sebagai penghasil energi
di dalam tubuh. Selain itu, karbohidrat yang dikonsumsi juga dapat tersimpan
sebagai cadangan energi dalam bentuk glikogen di dalam otot dan hati (Irawan
2007). Glikogen pada tingkat aktivitas yang tinggi dan atau lama akan berkurang
sejalan dengan kelelahan otot. Daya tahan atau endurance akan meningkat jika
kapasitas penyimpanan glikogen di dalam otot ditingkatkan dengan peningkatan
konsumsi karbohidrat (Guyton dan Hall 1997). Sebagai tambahan, kadang
diperlukan cairan intravena dan atau infus glukosa pada tingkat kelelahan yang
tinggi.
29 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Pemberian ATP 0,001 gr/cc dan 0,002 gr/cc dari luar (in vitro) tidak
berpengaruh terhadap pemulihan kelelahan otot gastrocnemius Rana sp.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut secara in vivo untuk mendapatkan
penjelasan yang lebih baik mengenai tingkat efektivitas pemberian ATP dari luar
terhadap pemulihan kelelahan otot rangka. Selain itu, perlu juga dilakukan
penelitian lebih lanjut hingga tahap intraseluler sehingga didapatkan penilaian dan
pemahaman yang lebih mendalam dengan menggunakan otot rangka manusia.
30 DAFTAR PUSTAKA
[Anonim]. 2004. Kelelahan Kerja.
http://nonameface.wordpress.com/2008/07/25/kelelahan-kerjaoccupational-fatigue/ [12 November 2009]
Bueche JF, Hect E. 2006. Fisika Universitas. Ed ke-10. Refina Indriasari,
penerjemah, Lemeda Simarmata, editor. Jakarta : Penerbit Erlangga.
Terjemahan dari: Schaum’s Outlines of Theory and Problems of College
Physics Tenth Edition.
Campbell NA, Reece JB, Mitchell LG. 2004. Biologi. Edisi kelima-jilid 3. Jakarta
: Penerbit Erlangga
Farhan FS. 2009. Pengaruh Laktat dan H+ terhadap Timbulnya Kelelahan Otot
pada Rana Sp. [Tesis ].Jakarta: Program Studi Ilmu Biomedik Kekhususan
Fisiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Foss ML, Keteyian SJ. 1998. Fox’s Physiological Basis for Exercise and Sport.
Mc Graw Hill. hal.: 132-156.
Fox SI. 2004. Human Physiology. Ed ke-8. New York: the Mc Graw-Hill
Companies, Inc.
Ganong WF. 1995. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Petrus Andrianto,
penerjemah. Jakarta: EGC. Terjemahan dari : Review of Medical Physiology
Guyton AC, Hall JE. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-9. Irawati
Setiawan, editor. Jakarta : EGC. Terjemahan dari : Textbook of Medical
Physiology.
Irawan MA. 2007. Karbohidrat. http://www.pssplab.com/journal/03.pdf. [4
Oktober 2010]
Klon A. 2005. Re: What Affect does Direct ATP Injection Have?.
http://www.madsci.org/posts/archives/2005-07/1121207318.Bc.r.html.[6
Juli 2010].
Mader SS. 2001. Understanding Human Anatomy and Physiology, Fourth
Edition. New York: the McGraw-Hill Companies, Inc.
Marieb NE. 2004. Human Anatomy and Physiology Sixth Edition. Pearson
Education Inc. hlm.: 300.
Mark AD. 2005. Basic Medical Biochemistry, a Clinical Approach. 2 ed.
Lippincott Williams and Wilkins.
Ruth J. 2000. Exhaustion in the Trail Horse.
http://www.outfitterssupply.com/library/exhaustion.asp [24 Oktober 2010].
31 Sastroasmoro S, Sofyan I. 2002. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis Ed ke2. Jakarta: CV Sagung Seto. hlm.:157.
Sherwood L. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Ed ke-2. Brahm U.
Pendit, penerjemah, Beatricia I. Santoso, editor. Jakarta : EGC. Terjemahan
dari : Human Physiology : From Cells to System. hlm.: 212-245.
Sherwood L. 2002. Human Physiology from Cell to System. 2nd ed. Thompson
Publishing Inc. hlm.: 212-253.
Silverthorn DU. 2009. Human Physiology, an Integrated Approach. 4th ed. San
Fransisco: Pearson Benjamin Cummings.
[Staf Fisiologi]. 2001. Penuntun Praktikum Fisiologi Veteriner. Jurusan Fisiologi
dan farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Tirtayasa K. 2001. Penyebab Kelelahan Otot pada Eksersais dengan Intensitas
dan durasi berbeda. Majalah Kedokteran Udayana. hlm.: 32:73-77.
Wilmore JH, Costil DL. 1994. Physiology of Sport and Exercise. USA: Human
Kinetic. hlm.: 26-41.
Vander A, James S, Dorothy L. 2001. Human Physiology: The Mechanisms of
Body Function, Eighth Edition. New York: the McGraw-Hill Companies,
Inc. 
Download