BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan infeksi yang bisa didapat melalui kontak seksual. IMS adalah istilah umum dan organisme penyebabnya, yang tinggal dalam darah atau cairan tubuh, bisa merupakan virus, mikoplasma, bakteri, jamur, spirokaeta dan parasit-parasit kecil (misalnya Phthirus pubis, scabies) (Benson, 2008). Infeksi ditularkan melalui kontak dengan eksudat membrane mukosa individu yang terinfeksi, hampir selalu merupakan akibat aktivitas seksual melalui vagina, oral, atau anal, atau menular secara vertical dari ibu ke bayinya (Sinclair, 2009). Menurut Astutik (2011) jumlah pasangan seksual yang banyak merupakan faktor risiko terjadinya IMS, baik yang berlainan jenis ataupun sesama jenis. IMS yang sering terjadi adalah Gonorhoe, Sifilis, Herpes, angka tertinggi ditunjukkan pada AIDS, karena mengakibatkan kematian pada penderitanya (Asnawir, 2012). Di negara-negara berkembang, IMS dan komplikasi mereka di peringkat lima teratas kategori penyakit yang dewasa mencari perawatan kesehatan (www.k4health.org). Di Indonesia beberapa tahun terakhir ini tampak kecenderungan meningkatnya prevalensi IMS misalnya prevalensi sífilis meningkat sampai 10% pada beberapa kelompok WPS (Wanita Penjaja Seksual), 35% pada kelompok waria dan 2% pada kelompok ibu hamil. Prevalensi gonore meningkat sampai 30%-40% pada kelompok WPS dan juga pada penderita IMS yang berobat kerumah sakit. Prevalensi HIV pada beberapa kelompok perilaku 1 2 risiko tinggi meningkat tajam sejak tahun 1993. WPS adalah salah satu kelompok resiko tinggi terkena infeksi menular seksual (Daili, 2010). Penderita IMS di Kota Denpasar bila dilihat dari tahun 2007-2009 terjadi peningkatan kasus, sedangkan pada tahun 2010 terjadi penurunan kasus IMS namun pada tahun 2011, 2012, 2013 bervariasi terjadi peningkatan dan penurunan. Data Puskesmas menunjukkan penurunan jumlah IMS di Puskesmas kota Denpasar tahun 2013 dengan jumlah 3165, mengalami penurunan pada tahun 2014 menjadi 2519. Hal ini menunjukkan masih kurangnya kesadaran pemeriksaan dan pencegahan pada kelompok resiko tinggi, tetapi sudah ada peningkatan pengetahuan tentang bahaya IMS dan HIV/AIDS (Dinkes Kota Denpasar, 2014). MenurutHernawati (2005) dalam Hartono (2009)memiliki pasangan seksual ratarata lebihdari 5 pasangan dan tanpa menggunakankondom, lebih berisiko tinggi dalam penyebaran IMS (Cempaka;Kardiwinata, 2012).Penyakit infeksi menular seksual selain ditularkan karena hubungan seksual, penularan dapat juga terjadi dari ibu ke janin dalam kandungan atau saat kelahiran, melalui produk darah atau transfer jaringan yang telah tercemar. Infeksi ini akan lebih berisiko bila melakukan hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan baik melalui vagina, oral maupun anal. IMS dapat menyebabkan infeksi alat reproduksi yang serius. Resiko terkena IMS lebih besar pada perempuan dari pada laki-laki sebab alat reproduksinya lebih rentan, terutama pada WPS. Seringkali berakibat lebih parah karena gejala awal tidak segera dikenali, sedangkan penyakit menjadi lebih parah (Kemenkes RI, 2011). 3 Infeksi menular seksual tidak hanya berdampak pada diri WPS yang menderita IMS, tetapi juga bisa menularkan kepada laki – laki yang menggunakan jasanya. Berikutnya penularan dapat diteruskan laki-laki yang tertular IMS dari WPS terutama bagi suami yang sejak dulu atau sekarang menggunakan jasa pekerja seks tanpa menggunakan alat kontrasepsi (kondom). Jika istrinya hamil bisa ditularkan ke janin yang dikandungnya yang menyebabkan kelainan pada janin/bayi misalnya bayi berat lahir rendah (BBLR), infeksi bawaan sejak lahir, bayi lahir mati dan bayi lahir belum cukup umur (Widyastuti, 2009).Dalam berhubungan seksual akanterjadi perlukaan pada jaringan sehinggamelalui luka tersebut virus dapat masukdan menginfeksi tubuh. Untuk itu sangatpenting pemakaian kondom secara konsisten (Cempaka;Kardiwinata, 2012). Penyakit menular seksual tidak hanya merupakan penyakit yang perlu penanganan menurut penyebabnya, tetapi merupakan masalah sosial yang mempunyai sifat yang sangat kompleks. Beberapa cara yang bisa dilakukan untuk penanganan IMS adalah tidak menggunakan sembarang obat, berkonsultasi dengan dokter atau ahli, melakukan pemeriksaan laboratorium, mematuhi terapi pengobatan (lama pengobatan, dosis obat, dan kunjungan ulang), dan tidak melalukan hubungan seksual pra nikah ataupun berganti-ganti pasangan (Kisara, 2010). Pengawasan sumber penularan perlu dilakukan mengingat bahwa sebagian besar sumber penularan berasal dari WPS. Perlunya pengetahuan bagi masyarakat tentang pencegahan IMS (Muhajir, 2007). Peningkatan pengetahuan mengenai IMS sangat penting dalam membentuk perilaku kesehatan, dimana selanjutnya perilaku kesehatan akan meningkatkan 4 kepatuhan WPS untuk mencegah IMS. Hasil penelitian Muhammad Asnawir (2012) di Tempat Hiburan Malam Sulawesi Barat menunjukkan bahwa informan memiliki tingkat pengetahuan yang baik mengenai IMS, dan informan memiliki kepatuhan yang cukup (Asnawir, 2012). Puskesmas Denpasar Selatan adalah salah satu Puskesmas yang membuka klinik IMS yaitu Klinik IMS Tunjung Biru dan merupakan satu-satunya puskesmas yang tercatat menangani kasus IMS tertinggi diantara Puskesmas lainnya di Kota Denpasar. Data Dinas Kesehatan Kota Denpasar tahun 2013 mencatat kasus IMS di Puskesmas II Denpasar Selatan sebesar 630 kasus, tahun 2014 sebesar 429 kasus (Dinkes Denpasar, 2014). Uraian di atas menunjukkan masih tingginya kasus IMS di Kota Denpasar khususnya di Wilayah kerja Puskesmas II Denpasar Selatan. Berdasarkan hal tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Hubungan Tingkat Kepatuhan Pemeriksaan Wanita Penjaja Seksual (WPS) Dengan Kejadian Infeksi Menular Seksual (IMS) di Klinik IMS Tunjung Biru”. 1.2 Rumusan Masalah Sesuai dengan uraian dalam latar belakang diatas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: “Apakah ada Hubungan antara Tingkat Kepatuhan Pemeriksaan Wanita Penjaja Seksual (WPS) dengan Kejadian Infeksi Menular Seksual di Klinik IMS Tunjung Biru?” 5 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan tingkat kepatuhan pemeriksaan wanita penjaja seksual (WPS) dengan infeksi menular seksual di Klinik IMS Tunjung Biru. 1.3.2 Tujuan Khusus a. Mengidentifikasi karakteristik wanita penjaja seksual di wilayah kerja Klinik IMS Tunjung Biru b. Mengidentifikasi tingkat kepatuhan wanita penjaja seksual mengenai pemeriksaan rutin terhadap IMS di Klinik IMS Tunjung Biru. c. Mengidentifikasi angka kejadian IMS pada WPS. d. Menganalisis hubungan antara tingkat kepatuhan dengan tingkat kejadian IMS. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Teoritis Sebagai informasi ilmiah dalam bidang keperawatan khususnya keperawatan maternitas dan keperawatan komunitas berkaitan dengan tingkat kepatuhan dalam pemeriksaan IMS sehingga hal ini dapat menjadi gambaran untuk menyusun strategi gambaran pencegahan IMS pada WPS khususnya. 1.4.2 Praktis a. Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan khususnya tentang tingkat kepatuhan dengan angka kejadian IMS pada WPS. 6 b. Hasil penelitian ini bermanfaat untuk landasan langkah pencegahan penyakit – penyakit IMS yang sering ditemukan pada WPS serta mengurangi angka pemeriksakan IMS. kesakitan akibat kurangnya kepatuhan