Berk. Penel. Hayati Edisi Khusus: 3A (87–93), 2009 Karakterisasi Beberapa Mata Air di Kota Batu dan Vegetasi di Sekitarnya Titut Yulistyarini, Solikin, Siti Sofiah dan Rachmawan Adi Laksono UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Purwodadi-LIPI Jl. Raya Purwodadi, Kab. Pasuruan ABSTRACT Batu city which is one of the upper Brantas watershed region has many springs. The result of spring inventory that conducted by Perum Jasa Tirta I, there were 107 springs located in Batu. Recently, that springs are threatened because some springs have decreased in debit. The decreasing of spring discharge perhaps due to rapid changes in the landuse pattern in the recharge area. Characterization of springs are important to do, related to rehabilitation of recharge area. Identification of vegetation in this location are also important to know the appropriate plant species for rehabilitation programme. The results showed Batu springs could categorized as a topography, structure and stratigraphy spring. Bamboo species, Ficus spp. and Syzygium spp. were fouded in surrounding springs that were located in lowland. While Engelherdia spicata, Ficus spp and Lithocarpus sundaicus were frequently seeing in springs that were located in highland. Key words: spring, Batu, rehabilitation, vegetation PENGANTAR Kota Batu merupakan salah satu daerah di bagian hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas yang banyak memiliki mata air. Hasil inventarisasi mata air di kota Batu menunjukkan terdapat 107 mata air dengan debit bervariasi, mulai dari kurang 1 liter/detik hingga lebih dari 300 liter/ detik (Perum Jasa Tirta I (PJT I), 2003). Dari 107 mata air, tujuh mata air berada di luar daerah DAS Brantas, yaitu mata air Darmi, Pereng Gedek, Urip, Kembang, Pandan, Kasin dan Tempur. Air dari mata air di kota Batu umumnya dimanfaatkan untuk keperluan rumah tangga, irigasi, dan industri. Dilaporkan bahwa kondisi mata air di kota Batu mulai mengkhawatirkan, debit airnya mengalami penurunan. Hasil penelusuran terbaru yang dilakukan Kantor Lingkungan Hidup (KLH) Batu dan Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jendral Sumber Daya Air Balai Besar Wilayah Sungai Brantas (BBWS) Jatim menyebutkan bahwa mata air dengan debit terbesar, yaitu Binangun mengalami penurunan debit sebanyak 20 l/detik selama dua puluh tahun terakhir, yaitu dari 250 l/detik pada tahun 1980 menjadi 230 l/detik pada tahun 2009. Selain itu, ditemukan tiga dari 57 sumber mata air di Kecamatan Bumiaji dalam kondisi mati di musim kemarau. Mata air tersebut adalah Gondang (desa Tulungrejo), Janitri dan Pesanggrahan II (desa Sumber Brantas) (2009). Tiga faktor yang menentukan besarnya debit mata air adalah permeabilitas akuifer, luasan daerah resapan (recharge area) yang mengisi akuifer dan besarnya pengisian air tanah (groundwater recharge) (Davis and de Wist, 1966). Sophocleous and McAllister (1987) menambahkan groundwater recharge ditentukan oleh iklim (curah hujan), tanah, vegetasi dan land use, topografi dan muka air tanah dari daerah resapan mata air. Penurunan dan matinya debit beberapa mata air tersebut di atas berkaitan dengan terbukanya daerah resapan akibat adanya alih guna hutan menjadi lahan pertanian. Dilaporkan bahwa dahulu di bagian atas perbukitan di wilayah DAS ini sebagian besar merupakan hutan alam, hutan lindung dan hutan produksi. Pada periode 1991-2000, banyak lahan hutan mengalami penebangan ilegal dan diubah menjadi lahan tanaman sayuran atau tanaman semusim (Suprayogo et al., 2007). Sebagai hasilnya, permasalahan pengkerakan tanah menyebabkan penyumbatan pori-pori makro tanah, dan infiltrasi tanah menurun, berdampak pula terhadap pengisian air bawah tanah dan meningkatnya erosi tanah. Fluktuasi debit mata air juga disebabkan ekploitasi air tanah yang berlebihan, terutama untuk keperluan industri. Adanya ketimpangan antara penambahan recharge) dan pengambilan (exploitation) akan menyebabkan cadangan air tanah berkurang, sehingga debit mata air pun menurun tajam (Irianto, 2004). Mata air pada hakekatnya merupakan pelepasan (discharge) air tanah yang mengalir keluar secara alami menuju permukaan tanah atau batuan. Input air pada mata air seluruhnya berasal dari air tanah (ground water) (Särkkä et al., 1998 dalam Singonyela, 2006). Berdasarkan asal usul terjadinya, mata air dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu mata air topografi, struktur dan stratigrafi (Prayoga, 2007). Mata air topografi merupakan mata air 88 Karakterisasi Beberapa Mata Air di Kota Batu yang muncul sebagai akibat pemotongan muka air tanah (water table) dengan permukaan tanah (topografi). Secara alami, mata air topografi cenderung didukung oleh sistem aliran air tanah lokal (Brown et al. 2007), sehingga debit mata air ini berasal dari recharge area yang relatif tidak luas dan dekat dengan mata air (Sada and Pohlmann, 2006). Mata air struktur, yaitu mata air yang pemunculan airnya di permukaan bumi terkait erat dengan adanya struktur sesar. Pada jenis mata air ini minimal akan didapatkan tiga buah mata air yang berdekatan dan posisinya mempunyai kelurusan satu dengan lainnya. Kelurusan yang ada bukan semata-mata karena topografi melainkan kelurusan yang disebakan oleh unsur sesar. Mata air stratigrafi, yaitu mata air yang muncul ke permukaan bumi disebabkan adanya susunan batuan yang sangat khas, yaitu adanya lapisan penutup yang kedap air di atas. Mata air akan muncul di ujung lapisan penutup kedap air. Air tanah yang muncul di mata air struktur dan stratigrafi berasal dari akuifer terkekang dan didukung oleh aliran regional. Daerah resapan (recharge area) kedua mata air ini berada jauh dari lokasi mata air, sehingga kondisi gundul di dekat mata air tidak berpengaruh terhadap fluktuasi debit mata air. Dalam upaya konservasi mata air di kota Batu, maka perlu dilakukan upaya rehabilitasi daerah resapan air secara tepat dan efisien, melalui konservasi tanah dengan metode mekanik (misal: terasering) dan metode vegetasi (NAP, 2007). Untuk itu diperlukan suatu reboisasi terprogram, yaitu reboisasi yang bisa menciptakan ekosistem stabil, sehingga fungsi hidrologis daerah recharge yang direhabilitasi dapat berjalan seimbang. Karakterisasi mata air merupakan langkah awal dari upaya rehabilitasi, karena hal ini berkaitan dengan penentuan daerah resapan mata air. Karakterisasi ini meliputi pengamatan persebaran mata air, penentuan jenis mata air dan kondisi habitatnya. Selain itu dilakukan pula inventarisasi vegetasi (pohon) di sekitar mata air, yang bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis vegetasi yang tepat untuk rehabilitasi. BAHAN DAN CARA KERJA Pengamatan penyebaran mata air di Batu diperoleh dari data sekunder Laporan Hasil Pendataan dan Pengukuran Sumber Air di Wilayah Kota Batu (PJT I, 2003). Dilakukan pengambilan sampel mata air untuk menentukan jenis mata air dan kondisi habitatnya. Pengambilan sampel tersebut didasarkan pada besar debit mata air (PJT I, 2003) dan letak mata air pada peta relief kota Batu, yang diinterpretasikan dari peta topografi dan ketinggian tempat. Ditentukan sebanyak 21 mata air yang dijadikan sampel dalam penelitian ini, kemudian dilakukan survey ke lokasi mata air tersebut. Data yang dicatat meliputi: • Lokasi mata air: dusun, desa, kecamatan, bujur timur, lintang utara dan ketinggian • Debit mata air: diukur dengan menggunakan kaleng atau gelas ukur jika debit kecil (< 5 l/detik). Jika debit besar (> 5 l/detik), maka data yang digunakan sebagai acuan adalah data hasil pengukuran debit oleh PJT (2003). • Fluktuasi debit mata air: diperoleh dari informasi penduduk yang tinggal di sekitar mata air. • Kondisi habitat di sekitar mata air, yang dikategorikan dalam kondisi: terdegradasi (td); agak terdegradasi (atd); terkonservasi (tkv), dengan ketentuan: a. terdegradasi, jika tidak terdapat pohon di sekitar mata air b. agak terdegradasi, jika masih terdapat pohon di sekitar mata air tetapi dalam jumlah sedikit c. terkonservasi, jika stratifikasi dalam hutan (pohon, perdu, herba) terpenuhi. • Tutupan lahan pada 200 m di sekitar mata air • Jenis tumbuhan (pohon, perdu, herba) yang terdapat di sekitar mata air. Digunakan pula peta geologi 1:100.000 lembar Malang untuk menunjang hasil dalam karakterisasi mata air. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei hingga Juni 2009 di sebagian desa-desa di wilayah kota Batu. HASIL Penyebaran mata air Kota Batu memiliki mata air hingga mencapai sebanyak 107 mata air yang tersebar di 20 desa. Hal ini karena kota ini terletak pada lereng gunung berapi, sehingga menjadi wilayah yang berpotensi sebagai tempat munculnya mata air. Batu berada di antara tiga gunung berapi strato, yaitu G. Arjuno, G. Anjasmoro dan G. Kawi-Panderman. Prayogo (2007) mengelompok-an mata air di kota Batu menjadi tiga, yaitu: kelompok mata air Anjasmoro, kelompok mata air Kawi-Panderman dan kelompok mata air Arjuno. Berdasarkan peta lokasi mata air di Batu yang dibuat oleh PJT I (2003) dan diinterpretasikan ke peta relief kota Batu (Gambar 1), pada umumnya persebaran mata air terdapat di antara perubahan dua lereng. kelompok mata air Kawi-Panderman sebagian besar muncul menyebar di sepanjang lereng bawah (volcanic foot) dan dataran kaki gunung api (volcanic foot plain), sedangkan sebagian kecil lainnya (15 mata air muncul di bagian lereng tengah (desa Songgokerto dan Pesanggrahan). Yulistyarini, Solikin, Sofiah dan Laksono (desa Songgokerto dan Pesanggrahan). 89 belt). Hal ini merupakan gejala pemunculan mata air yang khas dan umumnya terdapat pada gunung api strato di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Jenis dan Kondisi Mata air Gambar 1. Lokasi mata air di Batu Demikian juga untuk kelompok mata air Arjuno dan Anjasmoro, sebagian besar muncul di lereng bawah. Pada kelompok mata air Anjasmoro terdapat juga beberapa mata air yang menyebar di lereng tengah dan atas. Hal ini sesuai dengan pendapat Purbohadiwidjojo (1967 dalam Santoso (2006)) yang menyebutkan bahwa mata air pada gunung berapi terdapat pada tubuh gunung bagian tengah (lereng gunung api) hingga bawah (kaki gunung api), dengan tempat pemunculan kurang lebih bersesuaian dengan tempat terjadinya perubahan kemiringan lereng (break of slope), yang mengindikasikan perubahan tingkat kelulusan batuan. Persebaran mata air demikian juga terlihat pada mata air di G. Merapi, dimana mata air di bagian selatan gunung ini muncul pada tiga satuan tempat, yaitu satuan mata air pada volcanic slope, satuan mata air volcanic foot dan satuan mata air volcanic foot plain (Sutanto, dkk (1980, dalam Santosa, 2006). Purbohadiwidjojo (1967, dalam Santoso, 2006) juga menyebutkan bahwa pemunculan mata air pada gunung api strato muda, umumnya mempunyai pola persebaran yang melingkari badan gunung api membentuk pola seperti sabuk, yang biasa disebut sabuk mata air (spring Hasil karakterisasi dan pengamatan kondisi 21 mata air ditampilkan dalam Tabel 1. Berdasarkan data tersebut tercatat 10 mata air merupakan kelompok mata air Kawi Panderman, 4 mata air masuk dalam kelompok mata air Arjuno dan 7 mata air masuk dalam kelompok mata air Anjasmoro. Dari hasil interpretasi lokasi sampel mata air pada peta relief kota Batu (Gambar 1.) dan hasil pengamatan langsung di lokasi, terdapat 9 mata air dalam kelompok Kawi-Panderman, yaitu Wangkal, Pande, Tulus, Srebet, Jeding, Merana, Ngemplak, Punden dan Seruk merupakan mata air topografi.Hal ini jika ditinjau dari terjadinya akibat adanya perubahan ketinggian (lereng) dan debitnya yang kecil. Mata air topografi umumnya memiliki debit kecil dan secara alami cenderung didukung oleh sistem aliran tanah lokal, sehingga berada pada tingkat resiko tinggi terhadap aktivitas yang mengancam air tanah dangkal (Sada, 2006 dalam Brown, 2007). Menurut Prayogo (2007) kelompok mata air Kawi-Panderman memiliki ciri: akuifer potensialnya adalah breksi lahar dari formasi Panderman: tidak ada lapisan penutup sehingga jenisnya akuifer bebas dan banyak memiliki mata air berdebit 1–30 l/detik. Akan tetapi, berdasarkan informasi dari penduduk, debit delapan mata air pertama tidak mengalami penurunan tajam di musim kemarau (tidak berfluktuasi), kecuali mata air Seruk. Hal ini mengindikasikan bahwa debit mata-mata air tersebut tidak dipengaruhi oleh kondisi (land use) di atasnya. Berdasarkan pengamatan, umumnya habitat mata air dalam kondisi terdegradasi sebagian besar tutupan lahannya berupa perumahan, sawah, tegalan, kebun dan peternakan. Pada peta geologi Malang skala 1: 100.000, Kecamatan Beji dan Batu dimana mata air-mata air tersebut berada, terdapat kelurusan yang mungkin berkaitan dengan patahan atau sesar (fault). Di lapangan, bukti-bukti sesar memang sulit dijumpai. Dengan adanya sesar, maka air tanah yang keluar dari mata air ini berasal dari aliran dalam (regional flow). Air tanah tersebut akan keluar melalui rekahan dan celah-celah antar batuan. Sedangkan mata air Seruk, berdasar informasi mengalami penurunan debit di musim kemarau setelah terjadi penebangan hutan besar-besaran di kawasan gunung Seruk pada tahun 1990 an. Hal ini menunjukkan mata air ini dipengaruhi oleh land use (vegetasi) di kawasan sekitar mata air. Mata air Darmi yang terletak di ketinggian 1174 m dpl memiliki debit besar sekitar 57 l/detik (PJT I, 2003) sehingga dikategorikan sebagai mata air stratigrafi. Desel Seruk Seruk Seruk 4 Darmi 5 Seruk 1 Seruk 2 Seruk 3 Beji Giripurno Giripurno Pandanrejo Ngemplak Beji Cembo Sawahan Pandan 10 Punden 11 Dandang 12 Marijah Bumiaji Sumber Brantas Tulungrejo 21 Sbr. Gondo Bumiaji Bumiaji Punten Bumiaji Bumiaji Bumiaji Bumiaji Bumiaji Jurang kuali Banyuning Banyuning 2 Punten Punten Punten Tulungrejo Tulungrejo Bumiaji Bumiaji Bumiaji Bumiaji Bumiaji Bumiaji Junrejo Junrejo Junrejo Junrejo Batu Batu Batu Batu Batu 20 Janitri Banyuning Payan Ngesong II 19 Banyuning 1 Payan Wonorejo 18 Ngesong I Wonorejo Tulungrejo Tulungrejo Petung Amplok II Bumiaji Junggo Wonorejo Beji Binangun 17 Petung Amplok I 14 Cinde 15 Sari (Asin) 16 Beser I 13 Royan Beji Beji 8 Merana 9 Ngemplak Beji Jeding 7 Jeding Pesanggrahan Srebet Pesanggrahan Pesanggrahan �ro-oro ombo Pesanggrahan 6 Srebet Temas genting 3 Tulus Batu Batu Temas Temas Batu Temas Kec. Kec. Temas genting Desa Desa Temas genting Dusun Dusun mata air 1 Wangkal 2 Pande Nama mata air No. Nama √ 0,43 19,00 √ 7 6,7 20,3 100 140 16,21 17,57 5,00 165,3 2,00 √ √ 3,57 0,53 1 2,43 √ √ √ √ 0,59 0,49 √ √ √ 0,38 √ 2,51 √ 4,47 0,84 √ 5,58 √ √ √ √ √ √ Kondisi kondisi fluktuasi debit Debit Habitat fluktuasi debit debit habitat Ya Tidak PJT (2003) atd tkv tkv ya tdk PJT (00) 2009 00 tdtd atd √ 2,49 1,95 √ 3,09 0,16 √ √ 0,93 √ √ 57 √ √ 0,71 0,64 √ √ 0,34 √ 0,3 √ 5,56 √ TabelT abel 1. Mata habitat di sekitarnya 1. M air atadiairkota di kBatu ota Bdan atu kondisi dan k ondisi habitat di sek itarnya Jenis Jenis mata mata air air keluar dari tanah (topografi) kebun sayur-sayuran kebun sayur-sayuran perumahan perumahan perumahan, tempat wisata perumahan, tempat wisata hutan sekunder hutan sekunder perumahan, kebun apel hutan sekunder sawah, perumahan perumahan perumahan, sawah kebun apel dan jeruk 1485 1040 air keluar dari batu-batuan (struktur) air keluar dari tanah (topografi) air keluar dari tanah (topografi) 1708 1635 Anjasmoro Anjasmoro Anjasmoro Anjasmoro air keluar dari batu-batuan (stratigrafi) Anjasmoro air keluar dari batu-batuan (stratigrafi) Anjasmoro air keluar dari batu-batuan (struktur) 1012 Anjasmoro 1486 air keluar dari batu-batuan Anjasmoro Anjasmoro Anjasmoro Arjuno Arjuno Arjuno Arjuno Kawi-Panderman Kawi-Panderman Kawi-Panderman Kawi-Panderman Kawi-Panderman 1241 1477 885 797 813 894 765 824 801 1088 810 Kawi-Panderman Kawi-Panderman Altitude Kelompok Kelompok mata Altitude (m dpl) mata airair (m dpl) Kawi-Panderman 863 Kawi-Panderman 889 Kawi-Panderman 889 Kawi-Panderman 1174 1275 Kawi-Panderman air keluar dari batuan tipe umbulan, air keluar dari batubatuan tipe umbulan, air keluar dari batubatuan stratigrafi air keluar dari tanah (topografi) air keluar dari batu-batuan dan terletak di patahan (struktur) struktur (terbentuk di antara patahan) air keluar dari tanah (topografi) sawah, perumahan air keluar dari tanah (topografi) perumahan, sawah, penambangan pasir, kuburan, peternakan sapi sawah, perumahan kebun kopi, pekarangan, perumahan, peternakan ayam kebun sayur dan hutan pinus air keluar dari tanah (topografi) air keluar dari batu-batauan dan mengandung Fe (struktur) air keluar dari tanah (topografi) air keluar dari batuan (stratigrafi) hutan sekunder, perumahan air keluar dari tanah (topografi) air keluar dari tanah (topografi) hutan sekunder, sawah perumahan perumahan perumahan, peternakan ayam air keluar dari tanah (topografi) tutupan lahan 00 m dari Tutupan lahan 200 m dari mata air mata air 90 Karakterisasi Beberapa Mata Air di Kota Batu Yulistyarini, Solikin, Sofiah dan Laksono Mata air Dandang, Royan, Marijah dan Cinde berada dalam kelompok mata air Arjuna. Tiga mata air pertama dimasukkan ke dalam jenis mata air struktur berdasarkan informasi tidak terjadinya fluktuasi debit yang tajam pada mata air ini. Hal ini dikuatkan dengan diperkirakannya pengaruh sesar melewati Giripurno, yang merupakan lokasi mata air tersebut. Di lapangan sesar bisa diamati di lokasi habitat mata air Dandang, dimana mata air muncul di jurang yang tidak terlalu dalam. Sedangkan Cinde digolongkan sebagai mata air stratigrafi karena besarnya debit mata air ini mencapai 165 l/detik. Mata air Cinde merupakan sumber PDAM kota Malang. Prayoga (2007) menyatakan kelompok mata air Arjuno memiliki ciri: akuifer potensialnya adalah breksi lahar dari formasi Arjuna Tua; lapisan penutupnya lava andesit yang tebal dan kedap air; sistem akuifer terkekang dan banyak memiliki mata air berdebit > 40 l/detik. Kondisi akuifer terkekang pada mata air ini menyebabkan tekanan air cukup besar dan cadangan air juga besar. Besar kecilnya cadangan air tanah akan sangat tergantung pada luas dan panjang lapisan penutup, tingkat kekedapan lapisan penutup, luas daerah isian di atas permeabilitas tanah dan batuan daerah isian, curah hujan di daerah isian. Kelompok mata air Anjasmoro yang diamati terdiri dari tujuh mata air, yaitu: mata air Sari, Ngesong, Banyuning, Beser, Petung Amplok, Janitri dan Gondo. Pada umumnya mata air-mata air ini berada di atas ketinggian 1000 m dpl. Mata air Sari dan Ngesong terletak di bawah kebun apel muncul di antara batuan pejal (sandstone) yang permeabilitasnya tinggi, sehingga digolongkan dalam mata air struktur. Banyuning mempuyai debit besar mencapai 140 l/detik, termasuk mata air stratigrafi. Ketiga mata air ini terletak di habitat terdegradasi karena tutupan lahan di atasnya berupa perumahan, sawah, kebun apel dan tempat wisata. Sedangkan mata air Beser dan Petung Amplok terletak di hutan kawasan perhutani pada ketinggian sekitar 1480 m dpl. Kedua mata air ini terbentuk karena kemiringan lereng (topografi), air keluar dari batu-batuan. Akan tetapi belum dapat dipastikan apakah ada pengaruh sesar terhadap aliran airnya, berkaitan dengan tidak terjadinya fluktuasi debit. Hasil citra satelit Aster tahun 2006 menunjukkan bahwa di sekitar mata air Beser dan Petung Amplok sudah terdapat lahan terbuka secara tersebar dengan luasan antara 0,5 sampai 1 hektar (Prayoga, 2007). Disebutkan pula luasan lahan Sub sub DAS mikro di atas mata air ini yang perlu dikonservasi seluas 265 ha. Hal ini perlu mendapatkan perhatian karena kedua mata air menjadi sumber air bagi desa-desa di bawahnya seperti desa Sumber Gondo, Wonorejo, dan bahkan sampai desa Wonokoyo (Singosari, 91 Kab. Malang). Mata air Janitri dan Gondo merupakan jenis mata air topografi yang habitat di atasnya sangat terdegrdasi. Kedua mata air ini memiliki debit kecil, hanya mencapai 0, 49 dan 0,59 l/detik dan tidak menghasilkan air jika musim kemarau tiba. Hal ini mungkin berkaitan dengan terbukanya kawasan di atas mata air ini yang berupa kebun sayur-sayuran. Meskipun berdebit kecil, namun kedua mata air ini juga perlu diperhatikan karena penduduk sudah memanfaatkannya untuk keperluan irigasi. Jenis Vegetasi Pohon di Sekitar Mata Air Hasil inventarisasi jenis-jenis pohon di 21 mata air yang diamati disajikan dalam Tabel 2. Dari hasil pengamatan diketahui pada mata air yang terletak di mata air dengan ketinggian di bawah 1000 m dpl (jeding, punden, wangkal dan lain-lain), jenis vegetasi yang banyak ditemukan adalah jenis-jenis bambu, Ficus spp. dan jenis buah-buahan seperti jambu (Syzigium javanicum), adpokat (Persea americana). Berbagai jenis bambu hampir selalu ditemukan di sekitar mata air, jenis yang banyak ditemukan di antaranya Dendrocalamus asper (bambu petung), Gigantochloa apus (bambu apus), G. atter dan Bambussa vulgaris. Jenis Ficus spp. yang ditemukan Ficus benjamina (beringin), F. hispida (kluwing), F. glabella (iprik) dan F. septica (awar-awar). Sedangkan vegetasi pohon yang banyak ditemukan di mata air dengan ketinggian di atas 1000 m dpl (Darmi, Beser, Petung Amplok, Janitri dan Gondo) adalah Engelhardia spicata (kukrup), Erythrina sp. (Dadap), Lithocarpus sundaicus (pasang), Toona sureni (suren) dan Castanopsis sp. (rambutan hutan). PEMBAHASAN Pada umumnya persebaran mata air di Kota Batu terdapat di lereng dan kaki gung. Lebih banyaknya kemunculan mata air di daerah lereng dan kaki gunung api ini dapat dimengerti, karena kedudukan kedua morfologi ini di bawah daerah hujan yang umumnya jatuh pada morfologi kerucut gunung api. Dua faktor penyebab lokasi pemunculan mata air ini adalah (i) adanya perubahan antar morfologi yang ditandai oleh adanya tekuk lereng dan (ii) material utama penyusun morfologi lereng dan kaki gunung api adalah bahan-bahan piroklastik di bagian atas yang berfungsi sebagai akuifer, yang didasari oleh batuan vulkanik tua (Kuarter Tua) yang relatif lebih kedap air. Air hujan yang jatuh berinfiltrasi ke dalam batuan penyusun morfologi kerucut gunung api, mengalir ke bawah menyusuri lapisan bahan-bahan lepas piroklastik dan muncul sebagai mata air. 92 Karakterisasi Beberapa Mata Air di Kota Batu Tabel 2. Jenis-jenis pohon di sekitar mata air di kota Batu No Nama Jenis Pohon 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Arenga pinnata Artocarpus heterophyllus Bambusa blumeana Bambusa vulgaris Castanopsis sp. Ceiba pentandra Cocos nucifera Dendrocalamus asper Engelhardia spicata Ficus ampelas Ficus bengalensis Ficus benjamina Ficus glabella Ficus hispida Ficus microcarpa Ficus racemosa Ficus septica Ficus virens Flacourtia rukam Giganrtochloa apus Gigantochloa atter Hibiscus macrophyllus Lithocarpus sundaicus Melia azedarach Persea americana Pinus mercusii Sterculia foetida Sweitenia macrophylla Syzygium javanicum Toona surenii Keterangan: 1: Jeding 2: Ngemplak 3. Punden 4: Wangkal 5: Tulus 6: Dandang 7: Marijah 8. Cinde Lokasi Mata Air 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 0 1 0 0 0 0 0 3 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 1 0 1 3 1 0 0 1 0 3 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 3 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 3 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2 1 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 2 0 1 0 2 0 0 0 3 0 1 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 1 1 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 3 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 2 0 2 0 1 0 0 0 0 0 0 1 2 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 2 0 1 1 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 9: Ngesong 10. Banyuning 11. Beser 12. Petung Amplok 13. Serbet 14. Seruk 15. Janitri 16. Gondo Berdasarkan data PJT I (2003), ditinjau dari ketinggian tempatnya, sebagian besar mata air (62,62%) berada di dataran rendah (700-1000 meter di atas permukaan laut (m dpl). Sedangkan sebanyak 20,56% mata air berada di daerah pegunungan bawah (1000–1200 m dpl) dan 16,82% lainnya berada di daerah pegunungan atas. Mata air yang berada di dataran rendah, umumnya berada di tanah milik rakyat (64,18%) dan tanah negara (32,84%), serta hanya satu mata air, yaitu Gringsing berada di tanah milik Perhutani. Sedangkan untuk mata air yang berada di pegunungan bawah dan atas, sebagian besar berlokasi di tanah milik Perhutani (± 68%). Jika ditinjau dari besarnya debit (PJT I, 2003), sebagian besar mata air di Batu memiliki debit kurang dari 10 l/detik (58,88%) dan 10–50 l/detik (32,71%). Sedangkan 5,6% merupakan mata air yang menghasilkan debit hingga lebih 17. Darmi 18. Royan 19. Sari 20. Merana 21. Pande Kategori dalam jumlah pohon: 0: tidak ada 3: banyak 1: sedikit 2: cukup dari 100 l/detik. Dua mata air yang menghasilkan debit terbesar adalah mata air Binangun I dan Cinde dengan masing-masing debit mencapai 311 dan 165,3 l/detik. Kedua mata air ini menjadi sumber utama PDAM di kota Malang. Secara administratif, Desa Tulungrejo memiliki jumlah mata air paling banyak dibandingkan dengan desa lainnya yaitu 20 mata air (18,69%), diikuti Songgokerto sebanyak 13 mata air (12,15%), Giripurno sebanyak 12 mata air (11,21%) dan Punten sebanyak 10 mata air (9,5%). Sedangkan sebagian kecil mata air lainnya, terletak di desa Oro-oro Ombo, Binangun, Bulukerto dan Torongrejo. Van Noordwijk et al. (2004) menyebutkan bahwa tutupan pohon mempengaruhi aliran air dalam berbagai tahap, diantaranya: Yulistyarini, Solikin, Sofiah dan Laksono Intersepsi air hujan: Selama kejadian hujan, tajuk pohon dapat mengintersepsi dan menyimpan sejumlah air hujan dalam bentuk lapisan tipis air (waterfilm) pada permukaan daun dan batang, yang selanjutnya akan mengalami evaporasi sebelum jatuh ke tanah. Infiltrasi air: Proses infiltrasi tergantung pada struktur tanah pada lapisan permukaan dan berbagai lapisan dalam profil tanah. Serapan air: Sepanjang tahun tanaman menyerap air dari berbagai lapisan tanah untuk mendukung proses transpirasi pada permukaan daun. Serapan air oleh pohon diantara kejadian hujan akan mempengaruhi jumlah air yang dapat disimpan dari kejadian hujan berikutnya, sehingga selanjutnya akan mempengaruhi proses infiltrasi dan aliran permukaan. Vegetasi (pohon) berperan dalam melakukan serapan air pada musim kemarau, khususnya dari lapisan tanah bawah sehingga mempengaruhi jumlah air tersedia untuk 'aliran lambat' (slow flow). Demikian pula ditambahkan oleh Hairiah et al. (2004) bahwa salah satu peran hutan adalah mengurangi limpasan permukaan. Hal ini karena (a) besarnya intersepsi oleh tajuk vegetasi yang berlapis dan rapat, (b) tebalnya seresah sehingga mampu menampung air dalam jumlah besar sebagai surface storage dan (c) banyaknya pori makro di permukaan tanah yang mendorong tingginya laju infiltrasi. Pengenalan jenis pohon di sekitar mata air perlu dilakukan dalam rangka kegiatan rehabilitasi kawasan. Dengan penanaman kembali jenis-jenis pohon asli kawasan tersebut, diharapkan terciptanya ekosistem yang stabil, sehingga fungsi hidrologis daerah recharge yang direhabilitasi dapat berjalan seimbang. KESIMPULAN • Mata air di Batu digolongkan menjadi mata air topografi (Janitri, Gondo), struktur (Ngesong, Srebet) dan stratigrafi (Cinde, Banyuning). • Umumnya kondisi habitat mata air di Batu dalam kondisi terdegradasi, terutama di wilayah dengan ketinggian di bawah 1000 m dpl. • Jenis bambu, Ficus spp. dan jambu-jambuan (Syzygium spp.) banyak ditemukan di sekitar mata air yang terletak di ketinggian kurang dari 1000 m dpl. Sedangkan jenis kukrup (Engelherdia spicata), Ficus spp dan pasang (Lithocarpus sundaicus) dijumpai di mata air yang terletak di ketinggian lebih dari 1000 m dpl. 93 SARAN Hasil penelitian ini merupakan informasi awal dari upaya konservasi mata air. Dengan mengetahui karakter suatu mata air, diharapkan dapat ditentukan strategi yang tepat dan efisien dalam melakukan upaya rehabilitasi daerah resapan mata air. KEPUSTAKAAN Brown J, A Wyers, A Aldous and L Bach.. 2007. Groundwater and Biodiversity Conservation: A methods guide for intergrating groundwater needs of ecosystems and species into conservation plant in the Pacific Northwest. The Nature Conservancy. New Zealand. Davis SN and RJM De Wiest, 1966. Hydrogeology. John Willey & Sons. New York. Hairiah K, D Suprayogo, Widianto, Berlian, E Suhara, A Mardiastuning, R Widodo, C Prayogo dan R. Subekti, 2004. Alih Guna Lahan Hutan Menjadi Lahan Agroforestri Berbasis Kopi: Ketebalan Seresah, Populasi Cacing Tanah dan Makroporositas Tanah. ���������������������� Agrivita 26(1): 68–80. National Action Plan Addressing Climate Change (NAP). 2007. State Ministry of Environment. Jakarta. Noordwijk MV, F Agus, D Suprayogo, K Hairiah, G Pasya dan Farida, 2004. Peranan Agroforestri dalam Mempertahankan Fungsi Hidrologi DAS. Agrivita 26(1): 1–8. Perum Jasa Tirta I, 2003. Laporan Hasil Pendataan dan Pengukuran Sumber Air di Wilayah Kota Batu. Perusahaan Umum (Perum) Jasa Tirta I. Divisi Jasa Air dan Sumber Air (DJA)I. Malang (tidak dipublikasikan). Prayogo C,. 2007. Laporan Akhir Kajian Kelestarian Sumber Air di Kota Batu. Fakultas Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang. Sada DW and KF Pohlmann, 2006. Draft U.S. National Park Service Mojave Inventory and Monitoring Network Spring Survey Protocols: Level I and Level II. February I. Santosa LW, 2006. Kajian Hidro-geomorfologi Mataair di Sebagian Lereng Barat Gunungapi Lawu. Forum Geografi, Vol. 20, No. 1, Juli 2006: 68–85. Singonyela V, 2006. Towards under-standing the Groundwater Dependent Ecosystems within the Table Mountain Group Aquifer: A conceptual approach. Tesis. Faculty of Natural Sciences. University of the Western Cape. Bellville. Sophocleous MA and McAllister JA, 1987. Basinwide waterbalance modelling with emphasis on spatial distribution of groundwater recharge. Water Resources Bulletin 23, 997–1010. Suprayoga D, G Terk, Sudarto, WH Utomo dan Widianto, 2007. Dampak Deforestasi Terhadap Hidrologi Tanah di DAS Brantas Hulu, Jawa Timur. Prosiding ��������������������������� Kongres Nasional HITI, 5–7 Desember 2007, UPN Yogyakarta. 2004–224.