HAKIKAT ILMU PENGETAHUAN SOSIAL MAKALAH KELOMPOK Disusun sebagai syarat untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah "Konsep Dasar IPS " ( Dosen: Drs. Pamujo,MM,M.Pd ) Disusun oleh : Kelas : 1F Kelompok : 1 1. 2. 3. 4. 5. Endah Ratnasari Fifi Handiyani Khotimah Tri Andri P Tulus Satriadi 1201100259 1201100291 1201100299 1201100292 1201100264 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNWERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO 2012/2013 KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah Yang Maha Kuasa, yang karena izin dan karunia – Nya kami dapat menyelesaikan makalah HAKIKAT ILMU PENGETAHUAN SOSIAL. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah Saw, beserta keluarga, para sahabat dan seluruh umatya sampai akhir zaman. Terwujudnya makalah ini tidak terlepas dari adanya bantuan dari berbagai pihak seperti teman – teman, keluarga, pimpinan dan staf perpustakaan Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Kepada mereka kami ucapkan terimakasih, semoga mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah Yang Maha Kuasa. Sadar sedalam – dalamnya bahwa buku ini banyak kekurangannya, banyak kelemahannya dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik, saran, dan masukan dari berbagai pihak sangat kami butuhkan. Akhirnya kami harapkan makalah HAKIKAT ILMU PENGETAHUAN SOSIAL dapat bermanfaat bagi semua. Purwokerto, 27 September 2012 Penyusun i DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ............................................................................ i DAFTAR ISI............................................................................................ ii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ........................................................................ 1 B. Tujuan....................................................................................... 1 C. Rumusan Masalah .................................................................... 1 BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Ilmu Pengetahuan Sosial ....................................... 2 B. Tujuan Pembelajaran IPS C. Fungsi Pembelajaran IPS D. Hubungan IPS dan IIS E. Perspektif Global IPS BAB III PENUTUP A. Simpulan .................................................................................. 24 B. Saran ......................................................................................... 25 Daftar Pustaka BAB I PENDAHULUAN A. Pendahuluan Selama ini proses pembelajaran IPS (social studies) di berbagai jenjang pendidikan pada umumnya masih menggunakan strategi pembelajaran tradisional. Dalam strategi pembelajaran seperti ini pendidik berkedudukan sebagai sumber ilmu, yang cenderung bertindak otoriter dan mendominasi aktivitas kelas selama proses pembelajaran berlangsung. Sementara itu peserta didik dituntut untuk mendengarkan, mencatat penjelasan, dan meniru apa yang dilakukan guru. Dengan demikian strategi pembelajaran tradisional membentuk peserta didik pasif karena kurang mendapat kesempatan mengambil inisiatif. Berdasarkan kenyataan itu, maka pembelajaran IPS di Indonesia belum mampu membekali ketrampilan sosial peserta didik yang dapat dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Maka dari itu, kita sebagai pendidik harus menciptakan metode – metode pembelajaran yang menarik agar siswa tidak bosan. A. Tujuan 1. Menjelaskan pandangan masyarakat tetang pentingnya pendidikan IPS 2. Menganalisis pelaksanaan pendidikan IPS di sekolah 3. Menjelaskan perlandasan politis pendidikan IPS 4.Menjelaskan keterkaitan landasan pendidikan PIPS, B. Rumusan Masalah 1.Apa pengertian dari IPS ? 2.Apa tujuan dari pembelajaran IPS ? 3.Apa fungsi dari pembelajaran IPS ? 4.Bagaimana hubungan IPS dengan IIS ? 5.Bagaimana Perspektif Global IPS ? BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Ilmu Pengetahuan Sosial Studi sosial lebih banyak menekankan pada studi tentang hubungan antara manusia dengan masyarakat, di samping mengenai hubungan antara manusia dengan lingkungan fisiknya. Jadi, studi sosial pada hakekatnya merupakan kajian mengenai manusia dengan segala aspeknya dalam sistem hidup bermasyarakat. Kajian ini dilakukan dalam bentuk pembelajaran di sekolah untuk mempersiapkan siswa menjadi warga masyarakat yang baik, berdasarkan nilai kemasyarakatan yang hidup dan berlaku (Barr, 1987: 1985). Pada dasarnya, studi sosial merupakan mata pelajaran yang bersumber dari ilmu-ilmu sosial, yang digunakan sebagai materi pendidikan dan pembelajaran di sekolah. Dengan kata lain, bahan pembelajaran pendidikan IPS itu diambil dari materi ilmu sosial untuk kepentingan pendidikan kewarganegaraan. Tentu saja bahan yang dipetik itu harus dipilih secara selektif, sehingga relevan dan mampu membantu peserta didik dalam rangka memahami banyak manusia dan berbagai hal yang berkaitan dengan interrelasinya, baik yang terjadi pada masa lalu, masa kini, maupun masa datang. Hertzberg (1981: 1-2) menyatakan, bahwa “The social sciences thus simplified have always included history, some from political science, and at various time geography, economics, sociology, anthropology, and psychology. Dalam kenyataannya, perkembangan pendidikan studi sosial atau ilmu pengetahuan sosial (IPS) di Indonesia, banyak mengambil ide, pemikiran dan pendapat yang berkembang di Amerika Serikat, terutama yang menyangkut tentang ide dasarnya. Akan tetapi, dalam hal yang berkaitan dengan tujuan, materi dan pelaksanaannya dikembangkan sendiri sesuai dengan tujuan pendidikan nasional dan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat Indonesia itu sendiri. Kemudian untuk realisasi pembelajaran pendidikan IPS di sekolah bersandar pada konsep, bahwa IPS adalah suatu program pendidikan sebagai suatu keseluruhan yang memusatkan kajiannya tentang peran dan relasi manusia dengan lingkungan alam fisik maupun lingkungan sosialnya. Kemudian mengenai bahan pembelajarannya diambil dari berbagai ilmu sosial dan ilmu kemanusiaan (Barr, 1987: 194-196). B. Tujuan Pembelajaran IPS Seperti diketahui, telah dikenal secara luas tiga tradisi dalam lapangan pembelajaran studi sosial. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Barr (1987: 26-27), bahwa tiga tradisi itu terdiri dari: Citizernships Transmission, Social Studies Taught as a Social Science, dan Reflective Inquiry. Lebih jauh tiga tradisi tersebut dijelaskan sebagai berikut: 1. Citizenships Transmission, merupakan tradisi pengajajaran studi sosial sebagai transmisi kewarganegaraan. Dalam pelaksanaannya tradisi ini menggunakan pendekatan indoktrinasi. nilai Anggapan dasarnya adalah, bahwa para pengajar studi sosial mempunyai kewajiban untuk menanamkan nilai-nilai dasar atau kemandirian (self-evident values). Tradisi ini sangat populer dan mendapat dukungan yang sangat luas, baik dari kalangan ahli-ahli ilmu sosial maupun para pengajar studi sosial. Esensi dari tradisi ini adalah penanaman tentang apa yang dipertimbangkan sebagai pengetahuan yang paling diminati, nilai-nilai dan kecakapan-kecakapan yang diasumsikan sangat penting untuk mempertahankan kelangsungan hidup suatu kebudayaan (Barr, 1987: 26, Waney, 1989: 21). 2. Social studies taught as a Social Science, yang menempatkan pengajaran studi sosial dalam kedudukannya sebagai ilmu sosial (social science). Berbeda dengan tradisi transmisi kewarganegaraan, dalam pelaksanaannya tradisi yang kedua ini memusatkan perhatiannya kepada struktur, metodologi, dan substansi ilmu-ilmu sosial. Para pendukungnya terbagi-bagi sesuai dengan disiplin ilmu sosial mana yang paling banyak mendapat perhatian (Waney, 1989: 21). 3. Reflective Inquiry, yang menekankan pada pentingnya mempersiapkan peserta didik sadar akan kewarganegaraannya. Komponen yang paling penting dari segi kewarganegaraan adalah kemampuan siswa mengidentifikasikan masalah-masalah dan isu-isu sosial dan mengambil keputusan yang berkaitan dengan kebijakan dan keyakinan (Barr, 1987: 26-27). Kewarganegaraan sebagai suatu proses pengambilan keputusan sosio-politik didasarkan atas dua anggapan, yaitu: a) kerangka sosio-politik demokrasi yang didasarkan atas keyakinan, bahwa semua rakyat terpanggil untuk mematuhi ketentuan-ketentuan yang akan mengatur mereka b) menyangkut pengambilan keputusan yang unik, yang berlangsung pada situasi tak menentu dan setiap pilihan yang tertentu bukan di antara baik dan tidak baik, tetapi di antara apa yang dipandang baik dan apa yang dilakukan untuk memperbaikinya (Waney, 1987: 21-22). Berpijak dari tradisi studi sosial yang ke-3 maka dapat dinyatakan di sini, bahwa pendidikan kewarganegaraan dapat diartikan sebagai suatu proses belajar yang mengarah kepada peningkatan kemampuan peserta didik tentang bagaimana membuat keputusan yang menyangkut masalah-masalah sosial yang utama yang tampak sedang mempengaruhi kehidupan mereka. C. Fungsi Pembelajaran IPS Fungsi pembelajaran ilmu sosial adalah untuk mengembangkan kemampuan peserta didik agar mampu mengidentifikasi masalah-masalah sosial dan mengevaluasi data-data agar keputusannya itu sesuai dengan kepentingan mereka (Waney, 1987: 22). Oleh karena itu, sikap kritis peserta didik sebagai warga negara perlu dikembangkan dalam pembelajaran IPS sesuai dengan tradisi Reflective Inquiry. Lebih jauh dalam pelaksanaannya di lapangan, pendidikan ilmu-ilmu sosial adalah untuk menanamkan kepada peserta didik suatu sikap agar mereka menjadi warga negara yang baik. Dalam realisasinya, studi sosial mengajarkan kepada para siswa tentang bagaimana berpikir seperti yang berlaku dalam studi sosial berdasarkan pada warisan budaya. Konsepsi ini mengkondisikan generasi yang lebih tua untuk memberikan pembelajaran kepada generasi muda dengan menekankan kepada kemampuan pemberian jawaban kepada berbagai tipe masalah yang dihadapi (Fenton, 1967: 1-2). Dengan demikian, proses pendidikan yang perlu dilakukan adalah dengan jalan memperkenalkan konsep, generalisasi, dan teori, yang mendasari cara berpikir, dan cara bekerja berbagai disiplin ilmu sosial. Untuk mencapai tujuan ini, maka perlu dilakukan pemilihan secara teliti terhadap materi yang harus dipelajari. Pemilihan itu dilakukan berdasarkan ruang lingkup materi dan kedudukan materi yang akan diajarkan dalam suatu disiplin ilmu sosial. Di samping itu, juga perlu dipertimbangkan mengenai bentuk pendidikan studi sosial yang dikehendaki dan pertimbangan pendidikan mengenai perkembangan peserta didik, perkembangan teori belajar dan proses belajar, arah kebijakan politik, kondisi sekolah, serta lingkungan sosial budaya yang melingkupi suatu lembaga pendidikan. Sudah pasti, disiplin ilmu-ilmu sosial tetap merupakan sumber utama materi kurikulum pendidikan studi sosial. Materi itu dapat dikembangkan mulai dari aspek metodologi disiplin ilmu. Dapat juga pemilihan materi tersebut diperoleh dari gabungan beberapa aspek. Mengenai cara pemilihan materi dalam kurikulum sangat ditentukan oleh bentuk pendidikan studi sosial yang digunakan. Dalam proses pembelajaran studi sosial, penanaman dan pemahaman nilai sangat penting artinya bagi peserta didik agar mereka nantinya mampu hidup bermasyarakat dan berbangsa secara ideal. Dalam kerangka itu, maka pendidikan ilmu sosial harus pula dikomunikasikan kepada masyarakat melalui jalur formal maupun media massa. Dengan cara ini diharapkan anggota masyarakat dapat meningkatkan kualitas interaksi dan partisipasinya, baik dengan sesama anggota masyarakat maupun dengan lembaga-lembaga sosial politik yang ada. Apabila hal itu berhasil dilaksanakan, maka tidak disangsikan lagi ilmu-ilmu sosial dapat memiliki peran yang sangat penting dalam upaya membangun masa depan yang diinginkan (Hasan, 1996: 5). D. Hubungan IPS dengan IIS IPS merupakan perpaduan dari ilmu-ilmu social atau IIS karena materinya mengambil bahan-bahan dari IIS. Akan tetapi jumlah dan isi IIS yang diperlukan dalam pembelajaran tentang pokok bahasan tertentu tidak sama. Hal ini terjadi karenaisi IIS yang diambil harus disesuaikan dengan tujuan pembelajaran dan perkembangan peserta didik. Dengan demikian tidak semua ilmu social diambil bagiannya untuk dimasukan dalam setiap pokok bahasan IPS. Selain itu, pengambilan jumlah dan bagian isi IIS yang akan diolah menjadi progam IPS juga ditentenkan oleh tingkat pendidikannya. Lingkup dan kedlaman progam yang diajarkan pda sisiwa SD berbeda dengan IPS yang diberikan dengan siswa SMP. Hal yang membuatnya sama adalah bahwa IPS disusun dengan mengaitkan atau menggabungkan berbagai unsur ilmu – ilmu social sehingga menjadi bahan yang mudah dicerna siswa yang secara umum jalan pikirannya masih sederhana. Keterkaitan antara IPS dengan IIS akan lebih mudah dipahami jika memperhatikan kembali batasan Edgar B. Weslei ( dalam diktat dasar – dasar IPS oleh tim dosen UNY, UNJ, STKIP, Gorontalo) yang berpendapat bahwa social studies (IPS) adalah ilmu – ilmu social yang yang disesuaikan dan disederhanakan untuk mencapai tujuan pendidikan dan pengajaran. Berdasarkan rumusan tersebut, implikasinya adalah : Persamaan antara IPS dengan IIS terletak pada sasaran yang diselidiki, yaitu manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Keduanya membahas permasalahan yang terjadi dalam hubungan antar manusia ( masyarakat manusia ). perbedaannya terletak pada tujuan. IIS bertujuan memajukkan dan mengembangkan ilmunya masing – masing dengan cara menghimpun fakta, mengembangkan konsep dan generalisasi. Melalui penelitian ilmiah, para ahli melakukan pengujian hipotesis untuk menghasilkan teori atau teknologi baru. Hal ini berbeda dengan tujuan IPS yang lebih bersifat pendidikan, bukan untuk menemukan teori IIS, melainkan ditunjukkan pada keberhasilan dalam mendidik dan membelajarkan IPS untuk mencapai tujuan pembelajaran yang sudah ditetapkan. Berdasarkan uraian tersebut, Nampak jelas bahwa IPS tidak sama dengan IIS, tetapi menggunakan bagian – bagian IIS untuk kepentingan pembelajaran. Oleh karena itu, berbagai konsep dan generalisasi perlu disederhanakan sehingga lebih mudah dipahami siswa yang pada umumnya belum matang untuk mempelajari ilmu – ilmu tersebut. Sementara itu, IPS disusun dan di organisasi dengan baik sesuai dengan kepentingan pendidikan dan pembelajaran, sehingga tingkatnya lebih tinggi dari pengetahuan ilmu pengetahuan social berada di tengah – tengah, antara pengetahuan social dengan ilmu – ilmu social. Alasan inilah salah satunya yang mendasari penggunaan istilah ilmu pengetahuan social sebagai terjemahan dari social studies. Ilmu pengetahuan social bukan ilmu, bukan pula pengetahuan. E.Perspektif Global IPS Penguasaan ilmu dan teknologi dalam era globalisasi sangat penting artinya sebagai dengan IPS diwarnai oleh perlombaan antar bangsa untuk menggapai puncak ilmu pengetahuan. Berkaitan dengan itu Hatten & Rosenthal (2001: 5) menyatakan, bahwa penguasaan bidang teknologi dan ilmu pengetahuan dalam kadar yang memadai dapat melahirkan kemampuan kreativitas, mengembangkan dan menerapkan pengetahuan sebagai suatu tuntutan yang mutlak dalam era globalisasi. Konteks baru bagi peningkatan daya saing antar bangsa dewasa ini adalah kebutuhan untuk mengetahui segala perubahan. Hal ini dapat dilakukan dengan jalan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh sebab itu, berbagai bangsa dewasa ini tengah berlomba dalam hal penguasaan ilmu npengetahuan termasuk menciptakan, mengembangkan, dan menggunakannya dalam rangka mencapai kesuksesan kompetitif. Bangsa-bangsa Asia dewasa ini juga berusaha ikut ambil bagian dalam arena tersebut dengan pembenahan-pembenahan dalam bidang pendidikan mereka. Dalam kenyataannya untuk dapat eksis dalam era globalisasi, pendidikan merupakan unsur penting yang harus mendapat prioritas perhatian utama. Melalui pembenahan kurikulum, pendidikan akan dapat memberi sumbangan perkembangan seutuhnya bagi setiap orang, baik jiwa, raga, intelegensi, kepekaan, estetika, tanggungjawab, dan nilai-nilai spiritual. Sudah selayaknya setiap pemerintah yang bertanggung jawab akan mempersiapkan diri agar rakyatnya dapat memasuki era global dengan kesiapan yang mantap. Ohmae (1990: 195) menyarankan, bahwa cara yang mungkin dapat ditempuh adalah menyelenggarakan pendidikan yang memungkinkan rakyat memperoleh sebanyak-banyaknya ilmu pengetahuan yang diperlukan, penguasaan informasi, dan penguasaan sebanyak mungkin pilihan untuk berkompetisi dalam era global. Kurikulum IPS juga diharapkan mampu memberdayakan siswa untuk dapat berpikir mandiri dan kritis. Dalam dunia yang terus berubah, yang diwarnai oleh inovasi sosial dan ekonomi tampak sebagai satu kekuatan pendorong untuk meningkatkan kualitas imajinasi dan kreativitas sebagai ungkapan dari kebebasan manusia dan standarisasi tingkah laku perorangan. Sesuai dengan harapan UNESCO (1996: 94) keinginan untuk mengembangkan imajinasi dan kreativitas generasi muda harus disertai dengan adanya penghargaan terhadap hasil karya mereka. Mengingat perkembangan dunia ilmu pengetahuan yang terjadi, maka pendidikan IPS atau studi sosial (social studies) diupayakan selalu memperhatikan juga perkembangan ilmu-ilmu alam (science) dan teknologi. Suatu kenyataan, pengaruh pengembangan sain dan teknologi sangat kuat bagi kehidupan individu dan masyarakat. Hal ini sangat berpengaruh pula terhadap proses pengambilan kebijakan pemerintah. Oleh sebab itu, dalam proses pembelajaran IPS atau ilmu-ilmu sosial perlu pula dikombinasikan dengan memperluas penekanannya pada pengetahuan tentang lingkungan dan sumber daya yang dapat menunjang pembaharuan dalam masyarakat. BAB III PENUTUP A. Simpulan IPS merupakan cabang ilmu sosial yang mempelajari kehidupan sosial dan interaksinya terhadap kehidupan masyarakat. Pembelajaran IPS sangat penting diajarkan di sekolahan karena dengan belajar IPS siswa dapat mempelajari kehidupan – kehidupan sosial yang ada di masyarakat. Namun pembelajaran IPS itu terkesan membosankan karena guru terkesan monoton dalam metode pembelajarannya sehingga siswa tidak tertarik terhadap pembelajaran IPS. B. Saran Sebagai guru harus pintar melakukan inovasi – inovasi baru yang tentunya menarik agar siswa tidak bosan dan senang terhadap pelajaran IPS karena manfaat pembelajaran IPS itu penting sekali bagi kehidupan kemasyarakatan siswa. Daftar Pustaka Barr, R., at. al., 1987, Hakekat Dasar Studi Sosial (terjemahan), Bandung, Sinar Baru. Brooks & Brooks, 1999, In Search of Understanding; The Case for Constructivist Classroom, Allexandra, ASCD USA. Calhoum, D.W., 1991, Social Science in an Age of Change, New York, Harper & Row. Departemen Pendidikan Nasional, 2003, Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta, Depdiknas. Dickinson, A.K., Lee, P.J., & Rogers, P.J., 1984, Learning History, London, Heinemann Education Books. Dimyati, M., 1989, Pengajaran Ilmu-Ilmu Sosial di Sekolah: Bagian Intergral Sistem Ilmu Pengetahuan, Jakarta, Depdikbud. Evans, R.W.& Saxe, D.W., 1996, (eds.), “Hanbook on Teaching Social Studies Issues”, National Council for the Social Studies Bulletin 93, Washington D.C., NCSS USA. Fenton, E., 1967, The New Social Studies, New York, Holt Rinehart & Winston Inc. Gagne, R.M., at.al., 1988, Priciple of Instructional Design, Holt Rinehart and Winston Inc. Giese, J.R, at. al., 1991, “The Sience-Technology-Society (STS) : Theme and Social Studies Education”, dalam Shaver, J.P. (eds.), Handbook of Research on Social Studies Teaching and Learning, New York, Macmillan Publishing Company. Garraghan, G.J., 1957, A Guide to Historical Method, New York, Fordham University Press. Goods, T.L., & Brophy, J.E., 1987, Looking in Classroms, New York, Harper & Row Hasan, S.H., 1996, Pendidikan Ilmu Sosial, Jakarta, Ditjen Dikti Depdikbud. Hertzberg, H.W., 1981, Social Studies Reform 1880-1980, Boulder-Colorado, Social Science Education Consortium, Inc. Jarolimek, J., 1967, Social Studies in Elementary Education, Third Edition, New York, The Mac Millan Coy, hal. 4 Joyce, B., & Well, M., 1980, Models of Teaching, New Jersey, Prentice-Hall Inc. Kinsler, K. & Gamble, M., 2001, Reforming Schools, London-New York, Continum. Saxe, D.W., 1993, “Historical Topiocs and Themes” dalam Evans, R.W., & Saxe, D.W.(eds.), Hanbook on Teaching Social Issues, New York, National Council for the Social Studies. Scott, K.P., 1991, “Echivening Social Studies Affective Aims: Values Empathy and Moral Development”, dalam Shavver J.P.(ed.), Handbook of Research on Social Studies Tecning and Learning, New York, Macmillan Publishing Company. Shemilt, D., 1984, “Beauty and the Philosopher: Empathy in History and Classtoom”, dalam Dickinson, A.K., Lee, P.J., & Rogers, P.J., Learning History, London, Heinemann Educational Books. Sunaryo, 1989, Strategi Belajar Mengajar dalam Pengajaran Ilmu Pengetahuan Sosial, Jakarta, Ditjen Dikti Depdikbud. Syamsuri, S.A., 1989, Pengantar Teori Ilmu Pengetahuan, Jakarta, Ditjen Dikti. Waney, M.H, 1989, Wawasan Ilmu Pengetahuan Sosial, Jakarta, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depertemen Pendidikan Dan Kebudayaan. White, C. , 1997, “Indonesian Social Studies Educational: Critical Analysis”, The Social Studies (March-April), Houston, Academic Research Library. Wineburg, S., 1997, Historical Thinking and Other Unnatural Acts, Philadelphia, Temple University Press.