Variasi Sekuens DNA Mitokondria 16S rRNA Lima Spesies Ikan

advertisement
Variasi Sekuens DNA Mitokondria 16S rRNA Lima Spesies Ikan Cupang
(Betta sp.) dari Sumatera dan Kalimantan
Fauzia Humaida1, Abinawanto1, dan Eni Kusrini2
1
Departemen Biologi, FMIPA UI, Kampus UI Depok 16424
Badan Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias Depok 16436
2
E-mail: [email protected], [email protected], [email protected]
Abstrak
Penelitian bertujuan untuk mengetahui keragaman genetik lima spesies ikan cupang menggunakan DNA
mitokondria 16S rRNA sebagai DNA target. Amplifikasi daerah 16S rRNA dilakukan menggunakan primer 16S
rRNA forward dan 16S rRNA reverse. Hasil elektroforesis produk PCR menunjukkan bahwa daerah 16S rRNA
lima spesies ikan cupang berukuran 500–600 bp. Berdasarkan hasil alignment sekuens sampel, menunjukkan
bahwa terdapat keragaman genetik dari kelima spesies ikan cupang. Analisis filogenetik menggunakan metode
Neighbor Joining (NJ), menunjukan kekerabatan lima spesies ikan cupang. Betta unimaculata, Betta pallifina,
dan Betta strohi yang merupakan spesies dari Kalimantan berkerabat dekat dibandingkan dengan Betta bellica
dan Betta imbellis yang berasal dari Sumatera. Kekerabatan spesies ikan cupang yang berasal dari Kalimantan
dan Sumatera cukup jauh, yaitu ditunjukkan dengan perbedaan percabangan dalam pohon filogenetik.
Variation of Mitochondrial DNA 16S rRNA Sequence of Five Species Betta from
Sumatera and Kalimantan
Abstract
This study aims to determine the genetic variation of five species Betta fish using mitochondrial DNA 16S rRNA
as the DNA target. The primer set of 16S rRNA forward and 16S rRNA reverse were used to amplify the 16S
rRNA region. Gel electrophoresis result showed that the size of 16S rRNA of those Betta fish were 500–600
base pair. Based on sequence alignment result that showed genetic diversity of five spesies Betta fish.
Phylogenetic analysis by Neighbor Joining (NJ) method showed a genetic relationship or kinship of five spesies
Betta fish. Betta unimaculata, Betta pallifina, and Betta strohi from Kalimantan are related more closely
compared to Betta imbellis and Betta bellica from Sumatera. Kinship of Betta fish from Kalimantan is far
enough with Betta fish from Sumatera, that indicated by the difference in the cluster of phylogenetic tree.
Keywords
: 16S rRNA, Betta fish, genetic diversity, mitochondrial DNA
Pendahuluan
Ikan cupang (Betta sp.) termasuk dalam ordo Perciformes, famili Osphronemidae, dan
genus Betta (ITIS 2011: 1). Ikan cupang merupakan ikan air tawar yang berasal dari beberapa
negara di Asia Tenggara, antara lain Indonesia dan Thailand. Ikan cupang di Indonesia
tersebar di perairan Pulau Sumatera dan Kalimantan (Berra 2001: 488). Habitat asli ikan
cupang yaitu rawa, parit, dan sungai. Ikan cupang dapat hidup pada perairan dengan pH 6,5 –
7,5 dan suhu berkisar 24 – 30 ºC (Lertpanich & Aranyavalai 2007: 37).
Variasi sekuens..., Fauzia Humaida, FMIPA, 2014
Ikan cupang
umumnya bersifat karnivora dan cenderung agresif dalam mempertahankan wilayahnya
(Monvises dkk. 2009: 14).
Populasi ikan cupang di Kalimantan dan Sumatera dilaporkan mengalami penurunan,
seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, pembangunan industri, dan perluasan
perkebunan kelapa sawit (Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat 2013: 1).
Peningkatan
jumlah penduduk mengakibatkan banyak kawasan yang dibuka untuk tempat tinggal dan
semakin banyak limbah domestik yang dihasilkan (Wargasamita 2002: 45). Limbah domestik
tersebut mengandung zat-zat yang dapat mencemari lingkungan sehingga dapat mengganggu
kehidupan organisme yang hidup di lingkungan tersebut. Akibatnya, organisme yang tidak
mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan yang terjadi, akan mengalami kematian dan
mengakibatkan jumlahnya di alam mengalami penurunan (Chau 2008: 13).
Ikan cupang juga termasuk dalam spesies yang sangat diminati oleh peternak dan
kolektor karena keindahan dan keunikan yang dimilikinya, sehingga terjadi penangkapan
yang berlebihan terhadap ikan cupang. Penangkapan ikan cupang yang berlebihan dapat
menyebabkan keberadaannya di alam akan mengalami penurunan dan dapat mengalami
kepunahan (Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat 2013: 1). Menurut Wargasasmita (2002:
45) meskipun penangkapan ikan telah diimbangi dengan program budidaya, tetapi
penangkapan populasi alami masih sering terjadi akibat dari permintaan pasar yang besar.
Hal tersebut merupakan salah satu ancaman terbesar kepunahan dan penurunan kelimpahan
beberapa jenis ikan air tawar.
Pengumpulan informasi dan data dasar mengenai genetik ikan cupang dapat
digunakan untuk mengetahui keragaman genetik atau kekerabatan ikan cupang. Informasi
dan data tersebut dapat membantu dalam upaya konservasi dan budidaya (Widiyati 2003: 2).
Informasi mengenai keragaman genetik dapat digunakan dalam upaya meningkatkan jumlah
populasi dan mencegah perkawinan ikan cupang yang berkerabat dekat karena akan
menurunkan keragaman jenis serta kualitas ikan cupang (Rustadi 2011: 17).
Informasi mengenai keragaman genetik dapat diperoleh berdasarkan karakter fenotip
dan genotip (Widiyati 2003: 2). Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis keragaman
genetik berdasarkan karakter genotip yaitu dengan analisis DNA mitokondria (mtDNA).
Deoxyribonucleic acid (DNA) mitokondria memiliki beberapa kelebihan sehingga banyak
digunakan untuk mengidentifikasi keragaman genetik dan dinamika populasi. Salah satu
kelebihan DNA mitokondria yaitu DNA mitokondria hanya diturunkan dari ibu (maternal
inheritance) sehingga hanya sel telur yang menyumbangkan DNA mitokondria. Apabila
induk betina bereproduksi, setiap keturunannya menerima segugus lengkap data genetik
Variasi sekuens..., Fauzia Humaida, FMIPA, 2014
dalam DNA mitokondria, dengan demikian diharapkan tidak terjadi perbedaan DNA
mitokondria pada setiap generasi yang berasal dari induk betina tersebut (Robinson 2005:
92).
Salah satu daerah DNA mitokondria yang umum digunakan pada penelitian adalah
daerah 16S rRNA.
Analisis DNA mitokondria menggunakan 16S rRNA sebagai dasar
melihat keragaman ikan dalam suatu habitat.
Gen 16S rRNA dapat digunakan sebagai
penanda molekular karena memiliki daerah dengan urutan basa konservatif (conserved
region) yang digunakan untuk analisis kekerabatan dan daerah dengan urutan basa variatif
(variable region) untuk analisis keragaman (Pangastuti 2006: 293).
Penelitian diawali dengan ekstraksi DNA dari sirip ikan cupang. Sampel DNA hasil
ekstraksi diamplifikasi dengan teknik PCR menggunakan primer 16S rRNA.
Hasil
amplifikasi gen 16S rRNA yang diperoleh, disekuensing untuk mengetahui urutan basa DNA
target. Penelitian bertujuan memperoleh informasi atau data dasar mengenai keragaman
genetik dari lima spesies ikan cupang berdasarkan DNA mitokondria 16S rRNA. Ikan cupang
yang digunakan dalam penelitian adalah Betta imbellis Ladiges, Betta bellica Sauvage, Betta
strohi Schaller & Kottelat, Betta unimaculata Popta, dan Betta pallifina Tan & Ng. Sampel
Betta imbellis dan Betta Bellica diambil dari perairan Sumatera, sedangkan Betta strohi, Betta
unimaculata, dan Betta pallifina diambil dari perairan Kalimantan.
Hasil penelitian
diharapkan dapat memberikan data dan informasi dasar mengenai ikan cupang dan
bermanfaat sebagai data awal untuk tahapan selanjutnya dalam upaya budidaya dan
konservasi ikan cupang di Indonesia.
Tinjauan Teoritis
Ekstraksi DNA
Ekstraksi DNA merupakan pemisahan molekul DNA dari komponen-komponen
penyusun sel lain. Ekstraksi DNA merupakan tahap awal dalam analisis genotip (Campbell
dkk. 2002: 115).
Ekstraksi DNA dilakukan untuk memperoleh gen 16S rRNA yang
terkandung pada sampel sirip ikan cupang. Tahapan pada ekstraksi DNA yaitu pelisisan sel,
penghilangan protein, penghilangan RNA, serta pemurnian DNA. Penggunaan digestion
solution berfungsi untuk melisiskan jaringan pada sirip ikan cupang, kemudian diinkubasi
pada suhu 56 ºC selama satu malam.
Protein dapat dihilangkan dengan menggunakan
proteinase-K. Proteinase-K termasuk enzim yang sangat baik dalam mendegradasi berbagai
pengotor jenis protein dalam ekstraksi DNA (Cornell University 2010: 2). Penambahan
Variasi sekuens..., Fauzia Humaida, FMIPA, 2014
RNAse A dilakukan untuk menghancurkan RNA sehingga hanya DNA yang diperoleh
(Muladno 2002: 19). Tahap pemurnian dapat menggunakan etanol 50% berfungsi untuk
presipitasi DNA yaitu memisahkan DNA dari komponen lain seperti protein dan lipid.
Penambahan wash buffer berfungsi untuk mencuci DNA dari pengotor lain dan kontaminan.
Elution buffer (10 mM tris-Cl dan 0,5 mM EDTA) berfungsi menjaga molekul DNA agar
tidak terdegradasi selama penyimpanan dan juga berfungsi untuk mengencerkan DNA (Boyer
1993: 191--196).
Polymerase Chain Reaction (PCR)
Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan teknik perbanyakan (amplifikasi)
sekuens DNA secara in vitro, dengan menggunakan DNA polimerase. Prinsip metode PCR
ialah memperbanyak salinan DNA spesifik menggunakan pelekatan dua primer yang
komplementer dengan sekuens target (Starr & Taggart 2006: 249). Teknik PCR memiliki
beberapa komponen, yaitu DNA polimerase yang dapat mengamplifikasi untai baru DNA,
dua primer oligonukleotida untuk mengapit sekuens target serta menginisiasi replikasi DNA,
kation bivalen sebagai aktivator DNA polimerase, buffer PCR untuk menjaga kestabilan pH,
dan cetakan DNA yang mengandung sekuens target untuk diamplifikasi (Davis dkk. 1994:
116).
Proses PCR terdiri dari tiga tahapan, yaitu denaturasi, annealing, dan polimerisasi
(elongasi). Denaturasi terjadi pada suhu 90 – 94 ºC, untai ganda DNA berpisah menjadi untai
tunggal dengan cara melepaskan ikatan hidrogen pada untai ganda. Tahap denaturasi seluruh
aktivitas enzimatis akan berhenti, misalnya pemanjangan dari siklus sebelumnya. Annealing
merupakan proses pelekatan primer-primer pada sekuens yang akan diperbanyak. Annealing
terjadi pada suhu yang lebih rendah yaitu 50 – 65 ºC. Polimerisasi atau elongasi merupakan
tahap pemanjangan untai DNA baru yang dimulai oleh pemanjangan primer. Polimerisasi
melibatkan enzim DNA polimerase yang melakukan pemanjangan primer dari ujung 5’ ke 3’.
Polimerisasi terjadi pada suhu sekitar 72 ºC (Klug & Cummings 1994: 402; Hartl & Jones
2005: 63).
Elektroforesis
Elektroforesis adalah teknik pemisahan molekul berdasarkan pada ukuran
molekul dan dipengaruhi oleh medan listrik (Davis dkk. 1994: 148). Keberhasilan proses
PCR dideteksi dengan elektroforesis gel. Prinsip kerja dari elektroforesis adalah migrasi
DNA dalam gel yang diletakkan dalam larutan penyangga (buffer) dan dialiri arus listrik. Gel
Variasi sekuens..., Fauzia Humaida, FMIPA, 2014
yang dapat digunakan adalah gel agarosa dan gel poliakrilamid. Molekul DNA bermuatan
negatif karena memiliki gugus fosfat.
Apabila gel dimasukkan ke dalam chamber
elektroforesis yang mengandung larutan penyangga (buffer) dan chamber tersebut dialiri arus
listrik, molekul DNA yang bermuatan negatif pada pH netral akan bergerak kearah positif
(anoda) (Pierce 2005: 513).
Hasil elektroforesis dapat dilihat di bawah paparan blue light setelah terlebih dahulu
ditambahkan larutan SYBR safe dalam pembuatan gel. SYBR safe merupakan pewarna yang
dirancang agar menjadi lebih aman dari etidium bromida (EtBr). SYBR safe tidak bersifat
racun dan aman untuk dibuang langsung ke dalam sistem pembuangan limbah (Invitrogen
2007: 1). SYBR safe merupakan agen interkalasi yang akan menyisip pada basa-basa DNA,
sehingga ketika disinari blue light, SYBR safe akan berwarna terang dan molekul DNA dapat
terlihat (Sambrook & Russe1l 2001: A9.7; 5.6).
Ukuran molekul DNA dapat diketahui dengan membandingkan ukuran pita DNA
sampel dengan ukuran pita DNA molecular weight marker. DNA molecular weight marker
merupakan penanda berat molekul DNA yang sudah diketahui ukurannya karena telah
dipotong-potong oleh enzim restriksi (Sambrook & Russell 2001: 5.59). DNA molecular
weight marker 100 bp ladder memiliki pita-pita dengan ukuran 100 sampai 1000 pb
(Novagen 2002: 236).
Sekuensing
Sekuensing DNA adalah suatu proses untuk menentukan susunan basa (A, T, G, dan
C) yang membentuk DNA. Sekuensing DNA pada umumnya menggunakan primer untuk
mengawali sintesis DNA. Primer tersebut menentukan titik awal sintesis dan arah reaksi
sekuens DNA. Metode sekuensing yang umumnya digunakan yaitu Maxam-Gilbert dan
Sanger. Metode Maxam-Gilbert merupakan metode sekuensing yang menggunakan bahan
kimia spesifik untuk memotong untai fragmen DNA target, sedangkan metode Sanger
menggunakan enzim DNA polimerase untuk membentuk salinan komplementer dari fragmen
DNA target (Passarge 2007: 62).
Proses sekuensing, sebagian besar telah dimodifikasi menjadi suatu program pada
komputer sehingga dikenal sebagai automated DNA sequencing. Proses tersebut merupakan
modifikasi dari metode Sanger yang diawali oleh tahap cycle sequencing. Cycle sequencing
adalah metode amplifikasi DNA menggunakan satu jenis primer, deoxynucleoside
triphosphate (dNTP), dan dideoxynucleoside triphosphate (ddNTP). Pelekatan ddNTP pada
sekuens DNA hasil amplifikasi akan menyebabkan proses amplifikasi terhenti akibat
Variasi sekuens..., Fauzia Humaida, FMIPA, 2014
hilangnya gugus oksida (OH) pada untai 3’ sehingga enzim DNA polimerase tidak dapat
menempelkan dNTP pada basa berikutnya. Proses amplifikasi akan menghasilkan fragmen
yang berbeda-beda ukuran yang basa terakhirnya merupakan ddNTP.
Automated DNA
sequencing dijalankan pada mesin sekuensing (Gambar 2.5.4), maka sinar laser yang
mengenai ddNTP akan berfluoresensi dan dibaca oleh detektor yang terhubung dengan
komputer dan akan menghasilkan grafik elektroferogram (Nicholl 2008: 45--46).
Program Basic Local Alignment Search Tool (BLAST)
Sekuens DNA yang diperoleh dari sekuensing kemudian dibandingkan dengan
sekuens database yang telah tersedia pada GenBank sehingga dapat ditemukan kemiripannya.
Program yang digunakan untuk pencarian homologi sekuens adalah basic local alignment
search tool (BLAST). Program BLAST bekerja dengan cara mencocokkan data sekuens yang
dimasukkan dengan data sekuens dalam database, kemudian dianalisis sehingga diketahui
best local alignment kedua nukleotida tersebut. Program BLAST dapat diakses pada situs
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/blast.cgi.
Program BLAST terdiri atas beberapa pilihan
program, salah satunya BLASTN yang digunakan untuk membandingkan nukleotida yang
dimasukkan dengan nukleotida yang terdaftar dalam database GenBank tersebut (Alphey
1997: 151).
Metode Penelitian
Peralatan yang digunakan dalam penelitian adalah mikropipet ukuran 100--1000 µL
[Eppendorf], mikropipet ukuran 200 µL [Eppendorf], mikropipet ukuran 20 µL [Eppendorf],
tips [Axygen], sentrifugator [Centrifuge MPW-350R], waterbath [Memmert], oven
[Memmert], vorteks [Barnstead Thermolyne], thermal cycler [Biometra], timbangan digital
[ae Adam], microtube 1,5 ml [Eppendorf], microtube 0,2 ml (PCR tube), column [Thermo
Scientific], electrophoresis chamber, blue light [Invitrogen], kamera digital [Fujifilm], timer,
magnetic stirrer, gunting, pinset, erlenmeyer 50 ml [Iwaki pyrex], gelas ukur 50 ml, 100 ml
[Iwaki pyrex], lemari pendingin [Sanyo], freezer [Sanyo], autoklaf [NAPCO], kertas tisu,
sarung tangan, masker, plastik seal, alumunium foil, spidol marker [Snowman], kertas label.
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah GeneJet Genomic DNA Purification
Kit [Thermo Scientific], proteinase-K, bubuk agarosa, buffer TBE 1x, DNA ladder & marker
100 bp [Vivantis], RNAse A, alkohol 70%, etanol absolut, etanol 50%, SYBR safe
[Invitrogen], akuades, DreamTaq Green PCR Master Mix [Thermo Scientific]. Primer yang
Variasi sekuens..., Fauzia Humaida, FMIPA, 2014
digunakan dalam penelitian adalah 16S rRNA forward (5’-CGC CTG TTT AAC AAA AAC
AT-3’) dan 16S rRNA reverse (5’CCG GTC TGA ACT CAG ATC ATG T-3’).
Sampel yang digunakan dalam penelitian merupakan lima spesies ikan cupang (Betta
sp.) koleksi Badan Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias Depok yang telah
diidentifikasi secara morfologi sebagai Betta imbellis, Betta bellica, Betta strohi, Betta
unimaculata, dan Betta pallifina.
Ekstraksi DNA sirip ikan cupang dilakukan berdasarkan metode GeneJet Genomic
DNA Purification Kit. Tahap pertama yaitu sampel sirip ikan cupang seberat 10 mg – 20 mg
dihaluskan menggunakan gunting.
Sampel yang telah dihaluskan, ditambahkan 180 µL
digestion solution dan 20 µL proteinase-K, kemudian divorteks selama 10 detik dan
diinkubasi pada suhu 56 ºC selama 24 jam (overnight). Sampel yang telah diinkubasi selama
24 jam, ditambahkan 20 µL RNase A, kemudian divorteks ± 10 detik dan diinkubasi pada
suhu ruang selama 10 menit. Selanjutnya, sampel ditambahkan 200 µL lysis solution dan
diaduk perlahan. Sampel ditambahkan 400 µL etanol 50% dan kembali diaduk perlahan.
Tahap selanjutnya, sampel dipindahkan ke dalam tabung column dan disentrifugasi dengan
kecepatan 6000x g selama 1 menit. Tabung column tersebut terdiri atas dua bagian yaitu
collecting tube dan filter tube. Hasil sentrifugasi adalah supernatan yang berbentuk cair pada
collecting tube dan pelet yang berupa endapan pada filter tube. Filter tube dipindahkan ke
dalam collecting tube yang baru, kemudian sampel ditambahkan 500 µL wash buffer I, dan
disentrifugasi kembali dengan kecepatan 8000x g selama 1 menit. Supernatan yang diperoleh
pada collecting tube dibuang. Sampel kemudian ditambahkan 500 µL wash buffer II dan
disentrifugasi dengan kecepatan 12000x g selama 3 menit. Supernatan kembali dibuang dan
sampel disentrifugasi dengan kecepatan 12000x g selama 1 menit.
Filter tube dipindahkan
ke dalam microtube yang baru. Sampel ditambahkan 100 µL elution buffer dan didiamkan
selama 2 menit pada suhu ruang. Sampel kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 10000x
g selama 1 menit. Sampel DNA yang diperoleh disimpan pada suhu 4 ºC atau -20 ºC.
Primer yang digunakan untuk amplifikasi sekuens mitokondria adalah primer 16S
rRNA forward: 5’-CGC CTG TTT AAC AAA AAC AT-3’dan 16S rRNA reverse: 5’CCG
GTC TGA ACT CAG ATC ATG T-3’. Amplifikasi dilakukan menggunakan kit DreamTaq
Green PCR Master Mix. Tabung yang berisi sampel dimasukkan ke dalam mesin PCR yang
telah diprogram untuk tahap pertama yaitu proses denaturasi awal pada suhu 93 ºC selama 2
menit. Tahap kedua sebanyak 30 siklus mulai dari proses denaturasi 93 ºC selama 0,5 menit.
Proses annealing pada suhu 50 ºC selama 0,5 menit. Proses elongasi awal pada suhu 72 ºC
selama 45 detik, selanjutnya proses elongasi akhir pada suhu 72 ºC selama 5 menit. Hasil
Variasi sekuens..., Fauzia Humaida, FMIPA, 2014
PCR dianalisis dengan elektroforesis untuk mengetahui pola pita tunggal yang dihasilkan dari
amplifikasi DNA mitokondria (mtDNA).
Elektroforesis dilakukan dengan metode elektroforesis gel agarosa.
Konsentrasi
agarosa yang digunakan adalah 1%. Gel agarosa 1% dibuat dengan cara melarutkan 9 gram
bubuk agarosa ke dalam 90 ml buffer TBE 1x. Campuran tersebut kemudian dipanaskan
sampai bubuk agarosa larut sempurna (berwarna bening). Selanjutnya, larutan gel agarosa
ditambahkan SYBR safe sebanyak 9 µL. Larutan gel agarosa tersebut kemudian dicetak pada
tray elektroforesis yang telah disiapkan sebelumnya dan dipasangi comb.
Gel agarosa
dibiarkan hingga dingin dan mengeras, kurang lebih dalam 30 menit.
Gel agarosa yang telah mengeras dimasukkan ke dalam chamber yang telah terdapat
running buffer (TBE 1x). Sampel DNA yang telah diamplifikasi, masing-masing sebanyak 5
µL dimasukkan ke dalam well-well yang telah terbentuk pada gel dengan menggunakan
mikropipet. Marka DNA 100 bp juga dimasukkan ke dalam well yang telah terbentuk pada
gel agarosa. Mesin elektroforesis dijalankan dengan tegangan 100 volt selama 30 menit. Gel
tersebut kemudian dilihat di bawah blue light dan didokumentasikan dengan kamera digital.
Hasil
M 1 2 3
4 5 6 7 8
9 10 11 12 13 14 15 16 17
500--600
bp
Gel agarosa 1%; 100 V; 30 menit
M
: Marka 100 bp DNA ladder
1-6
: Sampel B6, B7, B8, St1, St2, St3
7-12
: Sampel Bi3, Bi4, Bi6, Um3, Um4, Um5
13-17 : Sampel Gp1, Gp2, Gp3, kontrol positif, kontrol negatif
Gambar 1. Visualisasi hasil amplifikasi daerah 16S rRNA
Variasi sekuens..., Fauzia Humaida, FMIPA, 2014
Tabel 1. Persentase hasil alignment sekuens 16S rRNA sampel dengan sekuens
yang terdaftar pada GenBank
Sampel dan data GenBank yang
di-alignment
Bi3 dan Bi4 – Betta splendens
(GQ912201.1)
St1 dan St2 – Betta strohi
(AF519646.1)
Um3 dan Um4 – Betta
unimaculata (AF519653.1)
B7 – Betta simorum
(AF519648.1)
Gp2 – Betta ocellata
(AF519654.1)
Perbedaan
nukleotida
4
Total
nukleotida
524
Persentase variasi
sekuens 16S rRNA
0,76 %
2
553
0,36 %
13
549
2,37 %
3
552
0,54 %
11
551
1,99 %
100 Um3
100
Um4
Gp2
82
St1
100
St2
B7
Bi3
100 Bi4
Gambar 2. Pohon filogenetik lima spesies ikan cupang
0.01
Pembahasan
Panjang sekuens 16S rRNA ikan cupang pada hasil visualisasi elektroforesis gel
agarosa 1% adalah 500 – 600 bp (lihat Gambar 1). Sekuens 16S rRNA pada sampel telah
berhasil diamplifikasi karena terdapat pita tunggal (fragmen) pada hasil visualisasi
elektroforesis gel.
Hasil tersebut sesuai dengan penelitian
yang telah dilakukan oleh
Sriwattanarothai dkk. (2010: 417) yaitu diperoleh panjang sekuens 16S rRNA ikan cupang
(Betta sp.) dengan ukuran 522 bp yang terdiri atas daerah terkonservasi (conserved region)
dan daerah variasi (variable region). Penelitian lain yang dilakukan oleh Jamsari dkk. (2009:
259) diperoleh panjang sekuens 16S rRNA pada ikan cupang (Betta sp.) dengan ukuran 700
bp. Variasi panjang sekuens 16S rRNA hasil amplifikasi PCR kemungkinan menunjukkan
adanya perbedaan spesies yang digunakan dalam penelitian.
Variasi sekuens..., Fauzia Humaida, FMIPA, 2014
Keragaman genetik dapat diketahui dengan membandingkan hasil alignment sekuens
16S rRNA sampel dengan sekuens yang telah terdaftar pada GenBank. Alignment dilakukan
menggunakan program CLUSTAL W. Persentase hasil alignment sekuens 16S rRNA sampel
dengan sekuens yang terdaftar pada GenBank dapat dilihat pada tabel 1.
Hasil alignment Betta splendens (GQ912201.1) dengan sampel Bi3 dan Bi4
menunjukkan adanya perbedaan nukleotida sebanyak 4 nukleotida dari total 524 nukleotida.
Hal tersebut menunjukkan terdapat variasi sekuens 16S rRNA antara Betta splendens
(GQ912201.1) dengan sampel Betta imbellis (Bi3 dan Bi4) sebesar 0,76 %. Variasi tersebut
diduga karena pengaruh faktor lingkungan seperti kondisi suhu dan pH. Kondisi lingkungan
suatu spesies dapat memengaruhi perubahan struktur genetik spesies tersebut. Perubahan
struktur genetik sebagai upaya adaptasi suatu spesies terhadap perubahan lingkungan yang
terjadi agar dapat bertahan hidup. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Raven & Johnson
(2002: 426), bahwa gen yang mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan merupakan
gen yang bertahan terhadap seleksi alam. Perubahan struktur genetik yang terjadi akan
diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya, sehingga dapat meningkatkan
keragaman genetik spesies.
Hasil alignment Betta strohi (AF519646.1) dengan sampel St1 dan St2 menunjukkan
adanya perbedaan nukleotida sebanyak 2 nukleotida dari total 553 nukleotida. Hal tersebut
menunjukkan terdapat variasi sekuens 16S rRNA antara Betta strohi (AF519646.1) dengan
sampel St1 dan St2 sebesar 0,36 %. Hasil alignment menunjukkan terdapat perbedaan pada
basa ke-5, sampel St1 dan St2 memiliki basa A, sedangkan Betta strohi (AF519646.1)
memiliki basa T. Perbedaan juga terdapat pada basa ke-525 yang pada sampel St1 memiliki
basa T, sedangkan pada sampel St2 dan Betta strohi (AF519646.1) memiliki basa G.
Perbedaan basa tersebut diduga karena ikan cupang yang digunakan dalam penelitian telah
mengalami perubahan yang disebabkan oleh faktor lingkungan. Hasil tersebut sesuai dengan
Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat (2013: 1) yang melaporkan bahwa kondisi lingkungan
ikan cupang saat ini mengalami perubahan seiring dengan peningkatan jumlah penduduk,
pembangunan industri, dan perluasan perkebunan kelapa sawit sehingga mengakibatkan
terjadinya perubahan suhu dan pH pada perairan. Perubahan kondisi lingkungan tersebut
dapat mengakibatkan terjadinya mutasi gen pada individu ikan cupang sebagai upaya adaptasi.
Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Raven & Johnson (2002: 426) yang menyatakan bahwa
mutasi merupakan perubahan struktur DNA yang menghasilkan susunan gen baru yang
mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan serta dapat bertahan terhadap seleksi alam.
Variasi sekuens..., Fauzia Humaida, FMIPA, 2014
Hasil alignment Betta unimaculata (AF519653.1) dengan sampel Um3 dan Um4
menunjukkan adanya perbedaan nukleotida sebanyak 13 nukleotida dari total 549 nukleotida.
Hal tersebut menunjukkan terdapat variasi sekuens 16S rRNA antara Betta unimaculata
(AF519653.1) dengan sampel Um3 dan Um4 sebesar 2,37 %. Variasi yang terdapat antara
sampel Um3, Um4 dan Betta unimaculata (AF519653.1) diduga karena pengaruh faktor
lingkungan seperti kondisi suhu, pH, dan salinitas. Kondisi lingkungan yang berbeda dapat
menyebabkan perbedaan struktur genetik organisme.
Hal tersebut sesuai dengan
Sriwattanarothai (2010: 422) bahwa variasi yang terjadi pada spesies ikan cupang
kemungkinan disebabkan perbedaan konsentrasi salinitas pada lingkungan hidup ikan tersebut,
sehingga menyebabkan terjadinya proses adaptasi tertentu.
Hasil alignment Betta simorum (AF519648.1) dengan sampel B7 menunjukkan
adanya perbedaan nukleotida sebanyak 3 nukleotida dari total 552 nukleotida. Hal tersebut
menunjukkan terdapat variasi sekuens 16S rRNA antara Betta simorum (AF519648.1) dengan
sampel B7 sebesar 0,54 %. Pemilihan Betta simorum sebagai pembanding disebabkan hasil
BLAST yang menunjukkan bahwa Betta simorum merupakan spesies terdekat dari sampel B7.
Perbedaan nukleotida antara Betta simorum (AF519648.1) dengan sampel B7 diduga
merupakan karakteristik spesifik masing-masing spesies.
Hasil alignment Betta ocellata (AF519654.1) dengan sampel Gp2
menunjukkan
adanya perbedaan nukleotida sebanyak 11 nukleotida dari total 551 nukleotida. Hal tersebut
menunjukkan terdapat variasi sekuens 16S rRNA antara Betta ocellata (AF519654.1) dengan
sampel Gp2 sebesar 1,99 %. Pemilihan Betta ocellata sebagai pembanding disebabkan Betta
ocellata merupakan spesies terdekat dengan homologi sekuens paling tinggi dengan sampel
Gp2.
Variasi antara Betta ocellata (AF519654.1) dengan sampel Gp2 kemungkinan
disebabkan keduanya merupakan spesies yang berbeda. Perbedaan nukleotida yang terlihat
diduga merupakan karakteristik spesifik masing-masing spesies
Perbedaan susunan basa nukleotida suatu spesies dapat dipengaruhi oleh faktor
lingkungan. Secara umum ikan cupang hidup pada habitat yang terlindungi dari paparan sinar
matahari, seperti di bawah pepohonan atau tanaman air.
Ikan cupang juga hidup pada
perairan yang tenang, berwarna kecokelatan akibat dari zat-zat organik yang terlarut, memiliki
pH air cukup rendah yaitu 5 – 7,5 dan suhu berkisar 24 – 30 ºC (Pemerintah Provinsi
Kalimantan Barat 2013: 1). Menurut Sudarto & Rizal (2007: 218), Sumatera dan Kalimantan
memiliki tipe ekologis yang mirip, dengan membentuk suatu dataran yang termasuk ke dalam
Paparan Sunda. Terdapat suatu sistem sungai yang mengalir antara Sumatera, Kalimantan,
dan Benua Asia yang dikenal dengan Sungai Sunda Besar. Sungai-sungai di Sumatera dan
Variasi sekuens..., Fauzia Humaida, FMIPA, 2014
Kalimantan merupakan anak Sungai Sunda Besar sehingga terdapat kemiripan fauna ikan
antar keduanya. Namun, terdapat beberapa faktor lingkungan seperti suhu dan pH air yang
dapat memengaruhi perbedaan ikan di Sumatera dan Kalimantan. Azrita (2013: 32--33)
melaporkan bahwa perairan Sumatera tepatnya di rawa banjiran Pematang Lindung Jambi dan
Mentulik Kampar Riau memiliki pH berkisar 4,4 – 4,5 yang menunjukkan kondisi air bersifat
asam. Kondisi suhu pada perairan tersebut berkisar antara 27,16 – 28,66 ºC. Hal tersebut
berbeda dengan Sulistiyarto (2010: 187) yang melaporkan kondisi perairan di Kalimantan
tepatnya di Sungai Rungan memiliki pH berkisar 5,23 – 6,63 dan suhu berkisar antara 27 –
29,7 ºC.
Informasi mengenai keragaman genetik akan sangat berguna karena keragaman
genetik dapat memengaruhi respons individu terhadap seleksi, baik seleksi alam maupun
seleksi buatan. Keragaman genetik penting untuk kelangsungan hidup suatu spesies dalam
jangka waktu yang lama, karena dapat memengaruhi kemampuan suatu spesies atau populasi
beradaptasi terhadap perubahan lingkungan. Menurut Dunham (2004: 104--105), semakin
tinggi keragaman genetik dalam suatu populasi, maka semakin tinggi kemampuan populasi
tersebut untuk bertahan hidup dalam jangka waktu yang lama dan semakin tinggi pula daya
adaptasi terhadap perubahan lingkungan sekitar.
Keragaman genetik yang rendah dapat
menurunkan ketahanan hidup dan fitness suatu spesies atau populasi.
Kekerabatan lima spesies ikan cupang yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat
pada pohon filogenetik (Gambar 2.). Berdasarkan pohon filogenetik dapat dilihat bahwa
sampel Um3 dan Um4 memiliki kekerabatan yang paling dekat dengan sampel Gp2. Sampel
Um3, Um4 dan Gp2 terletak dalam satu cluster dengan nilai bootstrap yang sangat kuat, yaitu
100%. Hilis & Bull (1993: 192) menyatakan bahwa nilai bootstrap yang lebih dari 95%
menunjukkan bahwa konstruksi pohon filogenetik pada percabangan tersebut sangat dapat
dipercaya. Kekerabatan antara sampel Um3, Um4, dan Gp2 diduga karena ketiga sampel
berasal dari Kalimantan. Kekerabatan organisme yang berasal dari daerah yang sama akan
lebih dekat apabila dibandingkan dengan kekerabatannya dengan organisme dari daerah lain.
Pohon filogenetik menunjukkan sampel St1 dan St2 memiliki kekerabatan yang dekat
(Gambar 2). Nilai bootstrap yang diperoleh adalah 100%. Hal tersebut menunjukkan bahwa
percabangan pohon filogenetik tersebut cukup akurat dan dapat dipercaya (Nei & Kumar
2000: 172--175).
Sampel St1 dan St2 terletak pada cluster yang sama dalam pohon
filogenetik, kemungkinan disebabkan kedua sampel tersebut sama-sama berasal dari
Kalimantan, sehingga terdapat kesamaan kondisi lingkungan.
Sampel St1 dan St2 juga
terlihat berkerabat lebih dekat dengan sampel Um3, Um4, dan Gp2 yang berasal dari
Variasi sekuens..., Fauzia Humaida, FMIPA, 2014
Kalimantan dibandingkan dengan sampel lainnya. Hal tersebut diduga karena sampel St1 dan
St2 hidup di lingkungan dengan kondisi suhu, pH, dan salinitas yang mirip, sehingga
memiliki susunan basa yang hampir sama.
Sampel B7, Bi3, dan Bi4 dalam pohon filogenetik terlihat memiliki percabangan yang
cukup jauh dari sampel lainnya (Gambar 2). Sampel B7, Bi3, dan Bi4 merupakan sampel
yang berasal dari Sumatera.
Hasil pohon filogenetik menunjukkan bahwa kekerabatan
organisme yang berasal dari daerah yang sama akan lebih dekat dibandingkan kekerabatannya
dengan organisme dari daerah lain. Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh perbedaan
kondisi lingkungan seperti suhu, pH, dan salinitas yang terdapat di perairan Sumatera dan
Kalimantan. Menurut Sriwattanarothai (2010: 422) variasi yang terjadi pada spesies ikan
cupang kemungkinan disebabkan perbedaan konsentrasi salinitas pada lingkungan hidup ikan
cupang tersebut, sehingga menyebabkan terjadinya proses adaptasi tertentu.
Sampel B7, Bi3, dan B4 sama-sama berasal dari Sumatera, tetapi sampel B7 terletak
pada cluster yang berbeda dengan sampel Bi3 dan Bi4 dalam pohon filogenetik. Hal tersebut
kemungkinan disebabkan sampel B7 termasuk dalam kelompok spesies yang berbeda dengan
sampel Bi3 dan Bi4. Berdasarkan hasil BLAST, sampel B7 memiliki homologi sekuens
dengan Betta simorum yang termasuk ke dalam bellica group, sedangkan sampel Bi3 dan Bi4
memiliki homologi sekuens dengan Betta splendens yang termasuk ke dalam splendens group.
Data mengenai kekerabatan yang diperoleh merupakan data awal untuk menentukan
strategi dan pengembangan yang tepat dalam upaya konservasi genetik bagi spesies ikan
cupang di Indonesia. Data tersebut dapat digunakan untuk mencegah perkawinan ikan cupang
yang berkerabat dekat karena akan menurunkan keragaman jenis dan kualitas ikan cupang
(Rustadi 2011: 17). Upaya budidaya yang tepat diharapkan dapat memenuhi permintaan
pasar sehingga dapat mencegah kepunahan spesies ikan cupang di habitat aslinya terutama
ikan cupang asli Indonesia.
Kesimpulan
1.
Terdapat keragaman genetik dari lima spesies ikan cupang yang ditemukan di Sumatera
dan Kalimantan berdasarkan alignment sekuens DNA mitokondria 16S rRNA.
2.
Analisis pohon filogenetik menunjukkan tiga spesies ikan cupang dari Kalimantan
memiliki kekerabatan yang jauh dengan spesies ikan cupang dari Sumatera.
Variasi sekuens..., Fauzia Humaida, FMIPA, 2014
Saran
1.
Perlu dilakukan sekuensing daerah 16S rRNA secara lengkap menggunakan dua primer,
yaitu primer 16S rRNA forward dan 16S rRNA reverse untuk memperoleh data sekuens
daerah 16S rRNA yang lengkap.
2.
Perlu dilakukan penelitian mengenai kondisi lingkungan ikan cupang seperti suhu, pH,
arus, dan salinitas sebagai data pendukung dalam penelitian.
3.
Data nukleotida daerah 16S rRNA sampel Betta bellica dan Betta pallifina perlu
dimasukkan dalam database GenBank untuk menambah informasi genetik spesies ikan
cupang.
Daftar Referensi
Alphey, L. (1997). DNA sequencing from experimental methods to bioinformatics. Oxford:
Bios scientific publisher.
Azrita. (2013). Parameter fisika, kimia, dan biologi penciri habitat ikan bujuk (Channa lucius,
Channidae). Program Studi Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Bung Hatta, 29--41.
Berra, T. M. (2001). Freshwater fish distribution. San Diego: Academic Press.
Boyer, R. F. (1993). Modern experimental biochemistry. (2nd ed). California: The
Benjamin/Cummings Publishing Company, Inc.
Campbell, N. A., J. B. Reece & L. G. Mitchel. (2002). Biologi. (5th ed). Terj. dari Biology.
(5th ed)., oleh R. Lestari, E. I. M. Adil & N. Anita. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Chau, P. (2008). Ecosystem balance and biodiversity. Diakses pada 2 November 2013.
http://ieng6.ucsd.edu/~pcchau/ENVR30/reader/txtbk/ch02c.pdf.
Cornell University. (2010). DNA extraction lab. Diakses pada 9 November 2013.
http://cibt.bio.cornell.edu/workshops_and_summer_programs/0708alum/2-DNA.pdf.
Davis, L., M. Kuehl, & J. Battey. (1994). Basic methods: Molecular biology. (2nd
Norwola: Appleton & Lange.
Variasi sekuens..., Fauzia Humaida, FMIPA, 2014
ed).
Dunham, R. A. (2004). Aquaculture and fisheries biotechnology: Genetic approaches.
London: CABI Publishing.
Hartl, D. & E. W. Jones. (2005). Genetic analysis of genes and genomes. Canada : Jones &
Bartlet Publisher.
Hilis, D. M. & J. J. Bull. (1993). An empirical test of bootstrapping as a method for assessing
confidence in phylogenetic analysis. Sys. Biol, 42, 182--192.
Invitrogen. (2007). SYBR safe DNA gel stain. Diakses pada 4 Mei 2014.
http://www.medicine.mcgill/labproduct/SYBRsafe/invitrogen.pdf.
IUCN (International Union for Conservation of Nature). (2013). IUCN Red list of threatened
species. Diakses pada 5 Desember 2013. http://www.iucnredlist.org/search.
Jamsari, A. F. J., S. Noraznita, A. M. N. Siti, & T. Y. Lim. (2009). Phylogenetics of
Malaysian Betta bubblenest brooder based on 16S rRNA. Prosiding of the 8th Malaysian
Congress of Genetics, 257--261.
Klug, W. S. & M. R. Cummings. (1994). Concepts of genetics. (4th ed). New Jersey:
Prentice-Hall Englewood.
Lertpanich, K. & V. Aranyavalai. (2007). Species diversity distribution and habitat
characteristics of wild bubble nesting betta (Betta spp.) in Thailand. KMITL Science Journal,
7, 37--42.
Monvises, A., B. Nuangsaeng, N. Sriwattanarothai, & B. Panijpan. (2009). The Siamese
fighting fish: Well-known generally but little-known scientifically. ScienceAsia, 35, 8--21.
Muladno. (2002). Teknologi rekayasa genetika. Bogor: Pustaka Wirausaha Muda.
Nei, M. & S. Kumar. (2000). Molecular evolution and phylogenetics. New York: Oxford
University Press Inc.
Nicholl, D. S. T. (2008). An introduction to genetic engineering. (3rd ed). New York:
Cambridge University Press.
Variasi sekuens..., Fauzia Humaida, FMIPA, 2014
Novagen. (2002). Molecular size marker. Diakses pada 22 Agustus 2013.
http://www.ebiotrade.com/buyf/productsf/Novagen/11_MSMARK.pdf.
Pangastuti, A. (2006). Definisi spesies prokaryota berdasarkan urutan basa gen penyandi 16S
rRNA dan gen penyandi protein. Biodiversitas, 7, 292--296.
Passarge, E. (2007). Color atlas of genetics. (3rd ed). New York: Thieme.
Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat. (2013). Ekostisme Betta Kalimantan Barat. Diakses
pada 18 Agustus 2013. http://www.kalbarprov.go.id/berita.php?id=3479.
Pierce, B. (2005). Genetics: A conceptual approach. New York : W.H Freeman.
Raven, P. H. & G. B. Johnson. (2002). Biology. (6th ed). Boston: McGraw-Hill.
Robinson, T. R. (2005). Genetics for dummies. Indiana: Wiley Publishing Inc.
Rustadi, H. (2011). Perikanan dan adaptasi budidaya perikanan dalam pembangunan
berkelanjutan di Indonesia. Diakses pada 2 November 2013.
http://lib.ugm.ac.id/digitasi/upload/2750_pp111200001.pdf.
Sambrook, J. & D. W. Russell. (2001). Molecular cloning: A laboratory manual. (3rd ed).
New York: Cold Spring Harbour Laboratory Press.
Sriwattanarothai, N., D. Steinke, P. Ruenwongsa, R. Hanner, & B. Panijpan. (2010).
Molecular and morphological evidence supports the species of the Mahachai fighter Betta sp.
Mahachai and reveals new species of Betta from Thailand. Journal of Fish Biology, 77, 414-424.
Starr, C. & R. Taggart. (2006). Biology: The unity and diversity of life. (11th ed). California:
Thomson Brooks/Cole.
Sudarto & M. Rizal. (2007). Variasi morfometri ikan botia (Botia macracanthus Bleeker) dari
Perairan Sumatera dan Kalimantan. Jurnal Perikanan, 9, 214--219.
Sulistiyarto, B. (2010). Beberapa karakteristik fisik kimiawi perairan rawa hutan di dataran
banjir Sungai Rungan Kalimantan Tengah. Media Sains, 2, 186--190.
Variasi sekuens..., Fauzia Humaida, FMIPA, 2014
Wargasasmita, S. (2002). Ikan air tawar endemik Sumatra yang terancam punah. Jurnal
Iktiologi Indonesia, 2, 41--49.
Widiyati, A. (2003). Keragaman fenotipe dan genotipe ikan nila (Oreochromis niloticus) dari
Danau Tempe (Sulawesi Selatan) dan beberapa sentra produksi di Jawa Barat. Tesis, Program
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor.
Variasi sekuens..., Fauzia Humaida, FMIPA, 2014
Download