Kasus Puncak - Perpustakaan BAPPENAS

advertisement
Kasus Puncak
Pelanggaran Hukum Tata Ruang dan Lingkungan Siapa yang
Bertanggung Jawab?
M Daud Silalahi
TIDAK banyak orang yang mengetahui
dengan jelas dan baik masalah hukum
kasus Puncak. Padahal, sebelum konsep
pembangunan nasional diperkenalkan
tahun 1968, dan dilaksanakan dalam
bentuk Repelita mulai tahun 1969, upaya
untuk menertibkan kawasan Puncak dan
sekitarnya telah dilakukan secara khusus.
Dengan melihat perkembangan kawasan
ini secara cermat, Presiden Soekarno
pada zamannya telah mengeluarkan
Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 1963
tentang penertiban pembangunan di
kawasan ini, yaitu di sepanjang jalan
antara
Jakarta-Bogor-Puncak-Cianjur
dalam bentuk hukum khusus.
Kompas/johnny tg Mengapa? Karena kawasan ini memiliki
posisi khusus bagi penduduk Jakarta dan
sekitarnya, yang karena kesibukan seharihari baik sebagai ibu kota Republik
Indonesia maupun pusat bisnis, memerlukan tempat istirahat. Jadilah Puncak sebagai pilihan
bersama, kesepakatan bersama, kata Russeau, dalam social contract sebagai salah satu
landasan teoretis terbentuknya hukum saat ini. Dengan demikian, apa yang dilakukan presiden
pertama itu, dapat dianggap sebagai konfirmasi atas kesepakatan masyarakat secara hukum
alami.
Saat itu, menurut pengamatan seorang arsitek dan seniman besar negara ini, Soekarno melihat
kawasan ini sebagai daerah wisata telah memperlihatkan perkembangan yang amat cepat,
sehingga menjelang tahun 1960-an, kegiatan di kawasan ini dikatakan telah berada di luar
jangkauan tindak penataan ruang dan pengendalian pembangunan. Padahal, saat itu semua
orang tahu, yang dimaksudkan pertumbuhan ekonomi saat itu belum berarti apa-apa, namun
kebutuhan hukum yang jelas dan pasti amat diperlukan.
Seiring berjalannya waktu, kegiatan pembangunan perumahan, khususnya vila dan fasilitas serta
bangunan yang bertalian dengan kegiatan wisata terus meningkat, sehingga peraturan itu
diperbaiki dan disempurnakan dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 48 Tahun 1983.
Perkembangan saat itu, dengan masuknya investasi asing, lembaga dana internasional, dan
berbagai kegiatan di Ibu Kota ikut mempercepat pertumbuhan ekonomi masyarakat, khususnya
di Jakarta dan Puncak makin diperlukan sebagai tempat istirahat.
Sesuai kesadaran lingkungan global yang ikut mempengaruhi proses pembangunan nasional
yang berwawasan lingkungan, membawa perkembangan baru dalam sistem hukum. Dimensi
lingkungan sebagaimana, antara lain, diatur dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup (UULH)82, sebagai bagian komitmen nasional terhadap kesadaran global tentang perlindungan
lingkungan berkembang cepat. Hanya dalam tempo dua tahun, Keppres No 48/1983 ini
diperbarui dengan Keppres No 79/1985 tentang Penetapan Rencana Umum Tataruang Kawasan
Puncak. Ketentuan ini memuat gambaran pengaruh kesadaran lingkungan pada pembangunan di
kawasan ini. Peraturan ini memuat kesepakatan bersama di antara instansi pemerintah terkait,
komponen masyarakat, para pakar yang relevan, yang merupakan komitmen semua pihak yang
amat berarti saat itu. Banyak harapan diletakkan pada instrumen hukum baru ini sebagai
landasan hukum semua kegiatan termasuk dimensi lingkungan. Sejak itu, berbagai pengaturan
hukum tingkat nasional, provinsi dan lokal dikembangkan, seperti hukum konservasi, reklamasi,
pengendalian pencemaran, penataan ruang, dan pengelolaan lingkungan.
Dengan perkembangan sebagaimana dijelaskan di atas, secara hukum di kawasan Puncak dan
sekitarnya tidak mungkin dilakukan pembangunan atau kegiatan semata-mata berdasar prakarsa
dan kebijakan daerah atau sektor secara sendiri-sendiri. Sebab ketentuan perundang-undangan
yang berkembang kemudian cukup jelas dan disertai kriteria dan standar yang telah dikenal baik
dalam konsep-konsep pembangunan, konstruksi dan sistem manajemen bisnis (lihat Keppres No
79/1985)
Oleh karena itu, kasus kawasan Puncak dan sekitarnya dengan keluarnya peraturan itu, jelas
bukan merupakan masalah daerah atau lokal semata. Bila tahun 1960-an hal ini dianggap telah
menjadi persoalan nasional di bawah tanggung jawab berbagai instansi baik di Jakarta maupun
daerah, maka akal sehat dapat memahami betapa kuatnya peraturan ini di bawah keputusan
Presiden sebagai Kepala Eksekutif dan Kepala Negara. Dasar hukum kawasan ini, menurut
pendapat saya, cukup memadai, ketat, dan jelas, karena telah diatur secara khusus selama 40
tahun lebih, berturut-turut dengan peraturan Presiden tahun 1963, yang diubah dan diperbaiki
masing-masing dengan Keppres No 48/1983 dan Keppres No 79/1985. Peraturan ini juga
diperkuat dengan peraturan perundang-undangan lainnya secara nasional maupun daerah. Perlu
ditegaskan, peraturan ini semata-mata sebagai instrumen hukum formal agar ada hukum yang
pasti terhadap perilaku manusia di kawasan ini. Sebab di atas sudah dijelaskan, kawasan ini
secara alami untuk waktu lama (karena itu juga dikuasai oleh hukum alam) telah disepakati
masyarakat (social contract) sebagai tempat istirahat bersama dengan memelihara keindahan
dan bentang alamnya yang indah.
Benarkah peraturan ini baik, dipahami sehingga layak dilaksanakan? Banjir di Jakarta dapat
menjawab sebagian besar pertanyaan itu. Hukum buatan manusia ternyata tidak menjamin
harapan itu. Pelajaran apakah yang dapat dipetik dari kasus Puncak dan peristiwa banjir di
Jakarta, yang sebenarnya telah diatur secara khusus dan berdasarkan kesepakatan bersama
berbagai instansi dan kelompok masyarakat. Siapakah yang harus bertanggung jawab terhadap
kasus Puncak saat ini? Apakah Keppres merupakan suatu bentuk hukum yang tepat, dan apakah
perlu dengan undang-undang saja, karena bentuk Keppres tidak lagi dipatuhi? Atau kembali ke
sistem hukum alam, karena itu alam yang harus menghukumnya?
Apakah peraturan yang telah dikembangkan selama lebih 40 tahun, yang mengatur kegiatan di
kawasan Puncak dan sekitarnya telah dilaksanakan sesuai peraturan yang berlaku baik oleh
pemerintah pusat maupun daerah, masih perlu terus dipersoalkan. Banyak biaya telah
dikeluarkan, sejumlah tenaga ahli disertakan, serangkaian pertemuan berbiaya besar diadakan
juga keterlibatan media massa, ternyata belum mampu membendung keserakahan manusia di
kawasan ini.
Apabila diperhatikan materi peraturan yang mengatur kawasan Puncak, dan dengan peraturan
perundang-undangan terkait lainnya, sebenarnya telah terbentuk hukum yang jelas, kuat dan
seharusnya dapat ditegakkan. Mengapa tidak dapat ditegakkan? Apakah hukumnya yang tidak
dipahami atau aparatnya yang lemah atau tidak memiliki kepedulian terhadap masalah ini? Lihat
perkembangan pedagang di sepanjang jalan Jakarta-Puncak-Cianjur yang terkesan kumuh,
bahkan rentan ancaman longsor, dan berbagai bencana lain akan segera menjadi kenyataan,
tanpa upaya preventif yang memadai dari aparat dalam Keppres itu. Kasus Puncak dan banjir di
Jakarta harus dilihat dan diuji dari pelaksanaan ketiga Keppres itu. Karena dengan Keppres ini
sudah jelas pihak-pihak yang harus bertanggung jawab. Nama instansinya jelas, pejabatnya
jelas, dan sanksinya jelas, tetapi kebanyakan masyarakat tidak mengetahui Keppres itu, dan
sosialisasi Keppres itu tidak dilakukan secara baik dan terbuka kepada masyarakat. Hal inilah
salah satu kelemahan Keppres itu.
Instrumen hukum memadai?
Menurut pendapat saya, ketentuan hukum termasuk peraturan pelaksanaannya serta standar
teknis (engineering design) yang dianut telah cukup baik. Anggapan ini diperkuat dengan adanya
hukum tata ruang (UU No 24/1992 tentang Penataan Ruang) yang menjadi dasar Perda tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah, serta UULH dan UU Konservasi, serta Perda yang menyertainya
telah cukup memadai menindak pelaku kasus Puncak. Bahkan beberapa menteri sebagaimana
ditetapkan secara tegas dalam Keppres bersama Gubernur Jawa Barat serta tiga bupati-Bupati
Cianjur, Bupati Bogor, Bupati Tangerang-tegas disebut memiliki tanggung jawab tertentu dalam
Keppres. Dapatkah para pejabat ini diajukan ke Peradilan Tata Usaha? Menurut pendapat saya,
ya. Alasannya, para menteri berkedudukan sebagai pembantu presiden. Apakah berdasarkan
Keppres, presiden yang harus diminta pertanggungjawabannya? Ini merupakan pertanyaan yang
menarik untuk dipersoalkan dalam sistem hukum Indonesia.
Dalam hal institusi formal tidak berjalan secara layak, rakyat melalui peran sertanya sebagai
kelompok calon korban, sebagai pemerhati lingkungan, peduli kemiskinan, memiliki hak yang
kuat melakukan upaya membela diri (self-defense) atau menuntut hak-hak dasarnya
(environmental rights) terhadap kelayakan lingkungan. Dalam sistem penegakan hukum di
negara mana pun, ketidakcermatan bahkan ketidakmampuan instansi pemerintah dalam arti di
atas, cepat atau lambat akan menumbuhkan reaksi keras masyarakat untuk mempertahankan
haknya. Benarkah rakyat sadar akan haknya? Atau rakyat marah dengan tindakan anarkis?
Sistem hukum hanya dapat bekerja efektif bila rakyatnya menyadari akan haknya, dan
mempertahankannya melalui hukum pula, agar hukum dapat memberi kenyamanan bagi
masyarakat. Karena itu, masyarakat merupakan pelaku utama hukum yang baik.
Pengalaman menunjukkan, lambatnya tindakan aparat pemerintah, termasuk penegakan hukum,
sering memberi peluang cukup signifikan untuk tumbuhnya instrumen-instrumen baru di tengah
masyarakat yang akan mengambil alih sebagian besar peran pemerintah, dengan kemungkinan
risiko yang diakibatkannya (social risks). Kasus-kasus lingkungan di dunia menunjukkan
akselerasi peran masyarakat, termasuk lembaga-lembaga swadaya internasional sebagai
stakeholders yang makin diperhitungkan pemerintah. Dilihat dari perkembangan ini, Pemerintah
Indonesia, terutama di daerah pada akhir-akhir ini amat kurang memiliki kepekaan pada
perkembangan itu. Bilamana hal ini berlangsung lama, bukan tidak mungkin akan dapat
melahirkan gerakan kesadaran lingkungan baru yang amat keras dan berisiko tinggi. Hal ini
terutama disebabkan masalah lingkungan telah merupakan bagian dari hak asasi manusia, baik
nasional maupun internasional.
Dengan berlakunya UU No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan Peraturan Pemerintah
No 25/2000 tentang Wewenang Pemerintah dan Provinsi, sistem ini perlu memberi klarifikasi
tugas dan fungsi aparat terkait di daerah secara jelas sesuai jiwa Keppres di atas dan
perkembangan di kawasan ini. Selain itu, dengan UU ini pula pemerintah daerah harus didorong
berbuat lebih baik dan bila perlu pendidikan melalui proses pengadilan apa yang dimaksudkan
dengan hukum dan peranannya sebagai pelindung masyarakat, peduli pada masalah kemiskinan
dan kemelaratan masyarakat.
Dengan kasus Puncak, jelas memperlihatkan ketentuan yang secara nasional telah dilanggar
berbagai pihak, dan saatnya memperlihatkan hukum masih dihormati, melindungi hak-hak dasar
masyarakat, dan pengadilan harus diberikan kesempatan tempat belajar tentang apa itu keadilan,
apa itu perlindungan hukum dan apa itu ketertiban masyarakat yang dipertanggungjawabkan
kepada aparat pemerintah.
Dengan kasus Puncak, tidak jelas apakah rakyat yang harus menyejahterakan aparat pemerintah
atau aparat pemerintah yang harus menyejahterakan rakyat?
Potret masalah telah menimbulkan perusakan lingkungan, kerugian pada masyarakat luas, baik
di sekitar kawasan yang mengalami dampak lingkungan dalam arti luas. Secara nasional,
bencana banjir telah menimbulkan sengketa lingkungan yang serius, kerugian ekonomis, sosial
dan peluang menjadi tuntutan pidana lingkungan.
Menurut pendapat saya, suatu upaya hukum yang tegas baik melalui pengadilan maupun
tekanan masyarakat terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab pada kegiatan ini amat
diperlukan. Tujuannya, bukan untuk memenangkan perkara ini secara wajar, tetapi
menumbuhkan kesadaran hukum dan kepedulian pada lingkungan oleh masyarakat luas,
termasuk pemerhati lingkungan.
Upaya ini dapat dilakukan kelompok masyarakat sebagai class-action, oleh pemerhati
lingkungan, oleh instansi pemerintah yang tanggung jawabnya melakukan pengelolaan
lingkungan, dan organisasi lingkungan setempat.
Bila hal ini dilakukan dengan baik oleh masyarakat baik sebagai kelompok yang menjadi korban
akibat perusakan lingkungan di kawasan Puncak dan sekitarnya, maupun oleh pemerhati atau
organisasi lingkungan yang relevan, dapat menumbuhkan kapasitas masyarakat
mempertahankan haknya dan didengarkan. Kasus Puncak hanya dapat diselesaikan bersama
semua pihak terkait yang sadar akan arti pentingnya hukum. Dalam proses ini masyarakat adalah
pelaku utama.
Hai rakyat, pertahankan hakmu, bukan minta belas kasihan orang lain, termasuk belas kasihan
penguasa, pengusaha, atau mereka yang kuat dalam masyarakat. Kekuatan hukum terletak pada
kemampuan masyarakat menuntut haknya dan memberi argumentasi yang dapat diterima akal
sehat. Itulah hukum yang baik.
Dengan uraian dari pengaturan hukum itu, amat beralasan untuk membawa kasus ini ke suatu
proses hukum baik melalui pengadilan maupun upaya hukum lain yang relevan, seperti tekanan
masyarakat melalui tindakan hukum pemerintah sebagai aparat penegak hukum, pemantau
ketaatan, dan sebagainya. Upaya hukum dalam berbagai bentuk melibatkan berbagai pihak yang
relevan dapat menumbuhkan kesadaran hukum dan kepedulian terhadap lingkungan secara
signifikan di tengah masyarakat secara luas.
Tekanan melalui gugatan atau pengajuan kasus ke pengadilan oleh masyarakat merupakan
salah satu upaya hukum yang memiliki jangkauan luas. Dalam proses ini diperlukan argumentasi
hukum yang kuat, fakta-fakta yang menjelaskan kerusakan lingkungan secara meyakinkan dilihat
dari pengertian hukum, disertai peran ahli yang bahasanya mudah dipahami hakim, dan
dampaknya pada masyarakat amat berarti. Dengan mekanisme yang melibatkan banyak unsur,
beragam keahlian dan lingkup kepentingan luas, model gugatan lingkungan dapat memperoleh
bobot penegakannya (enforceability) yang signifikan.
* Prof Dr M Daud Silalahi SH Guru Besar di Universitas Padjadjaran Bandung.
Download