1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah makhluk yang memerlukan gerak karena hampir seluruh aktifitas manusia dalam hidupnya dilakukan dengan bergerak. Dalam melakukan pekerjaan apapun profesinya manusia juga harus bergerak oleh karena itu apabila terjadi sakit atau cedera yang menyebabkan manusia terbatasi geraknya jelas akan mengurangi produktifitas kerja yang tentunya akan menurunkan pula keadaan sosial ekonomi manusia tersebut. Begitu pentingnya bergerak bagi manusia sehingga manusia akan selalu berusaha untuk mencegah supaya tidak cedera atau sakit yang menyebabkan pembatasan diri dalam bergerak. Namun, sayangnya masyarakat Indonesia masih kurang memperhatikan pentingnya pencegahan sakit atau cedera yang mengakibatkan penurunan gerak dan aktifitas fungsional tubuh ini. Salah satu usaha untuk mencegah sakit adalah dengan olahraga. Olahraga adalah serangkaian gerak raga yang teratur dan terencana untuk memelihara gerak (mempertahankan hidup) dan meningkatkan kemampuan gerak (meningkatkan kualitas hidup). Olahraga merupakan alat untuk merangsang pertumbuhan dan perkembangan jasmani, rohani dan sosial. (AS Watson 1999). 1 2 Masalahnya yang pertama adalah olahraga dirasakan bukan satu hal yang penting ketika seseorang merasa sehat terlebih dalam lingkungan yang serba sibuk dengan pekerjaan. Dalam sebuah polling yang melibatkan sekitar 1100 wanita di Inggris menujukan empat dari lima wanita tidak melakukan cukup olahraga untuk menjaga kesehatan mereka satu dari empat bahkan tidak melakukan sama sekali dan hanya satu dari lima yang berolahraga lima kali seminggu atau lebih dari 30 menit (….www.pjnhk.go.id, 2010). Masalah kedua adalah seringkali olahraga dilakukan secara tidak teratur sehingga hal ini justru lebih sering menyebabkan kelelahan dan cedera yang membuat sesorang malas untuk melakukan olahraga. Selain itu pemahaman tentang olahraga yang baik dan benar dan keselamatan dalam berolahraga sering diabaikan sehingga sering terjadi cedera saat melakukan olahraga Atlet adalah seorang yang melakukan olahraga sebagai aktifitas yang bertujuan yaitu untuk prestasi dan sebagai profesi sehingga mereka akan sangat memperhatikan usaha pencegahan cedera saat berolahraga ini namun sayangnya seringkali sebagai seorang atlet apalagi yang profesional maka mereka akan menjalani rutinitas pelatihan dengan intensitas tinggi dan jadwal pertandingan yang ketat sehingga mereka sering mengalami sindroma penggunaan berlebihan/ overuse syndrome yaitu suatu cedera dengan ciri adanya kumpulan berbagai gejala akibat penggunaan struktur tubuh secara berlebihan. Dengan demikian atlit walaupun secara umum memiliki kesehatan dan kebugaran yang lebih baik dibanding orang 3 kebanyakan namun justru mereka lebih rentan terhadap suatu cedera yang dapat mempengaruhi aktifitas gerak dan tentunya keadaan sosial ekonomi. Untuk itulah sekarang ini dilakukan berbagai usaha untuk mencegah cedera pada atlet agar mereka dapat tetap melakukan pelatihan dan pertandingan dengan aman dan mempunyai umur prestasi yang lama. Ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan yang berkembang saat ini menunjang dilakukannya penelitian mengenai tekinik – teknik dalam mencegah cedera dan meningkatkan prestasi atlet serta mengaplikasikan penelitian tersebut pada atlet. Sumber daya manusia yang terlibat di dalam olahraga prestasi pun semakin banyak. Jika sebelumnya seorang atlet hanya didampingi seorang pelatih maka sekarang ada pelatih fisik, dokter spesialis olahraga dan fisioterapis hingga pemijat/ masseur dan manajer atlet untuk menunjang kemampuan atlet (Kemenegpora, 2000). Fisioterapis merupakan salah satu profesi kesehatan yang mempunyai kompetensi dalam bidang latihan dan olahraga serta mempunyai obyek forma gangguan gerak dan kemampuan fungsional. Fisioterapi adalah bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada individu dan atau kelompok unutk mengembangkan, memelihara dan mengembalikan gerak dan fungsi tubuh sepanjang daur kehidupan dengan menggunakan penanganan secara manual, peningkatan gerak, peralatan (fisik, elektroterapeutis, mekanis), pelatihan fungsi, komunikasi (Kepmenkes 1363/2001 pasal 1 ayat 2). Sehingga fisioterapi sangat berperan didalam mengembangkan, memelihara, dan memulihkan kemampuan fungsional klien yang diantarnya adalah atlet olahraga 4 Delayed onset muscle soreness (DOMS) adalah suatu fenomena yang sering ditemui dan terdokumentasi dengan baik, sering terjadi sebagai akibat dari latihan eksentrik yang tidak lazim atau intensitas tinggi (Connolly et al. 2003; MacIntyre et al. 1995). Gejala-gejala yang menyertai meliputi pemendekan otot, peningkatan kekakuan terhadap gerak pasif, bengkak, penurunan kekuatan dan daya ledak otot, sakit lokal, dan rasa posisisendi/ proprioception yang terganggu (Proske and Morgan 2001). Gejala - gejala akan sering muncul dalam 24 jam setelah latihan dan biasanya menghilang setelah 3 – 4 hari (Clarkson and Sayers 1999). DOMS ini lebih banyak terjadi pada olahraga yang banyak melakukan gerakan yang sama dengan intensitas tinggi misal pada olahraga berenang, bersepeda, bola basket, badminton dan sebagainya. Untuk otot-otot yang berada di kuadran bawah maka yang sering mengalami DOMS adalah otot erector spinae, kelompok otot adductor, otot hamstring dan otot-otot quadriceps. Otot – otot tersebut memang otot yang terus menerus melakukan kontraksi eksentrik dengan intensitas tinggi. Jika melihat struktur serabut ototnya maka otot – otot tersebut adalah otot yang dominan dengan serabut otot tipe I yaitu otot dengan tipe slow twitch yang berfungsi sebagai stabilisator atau mempertahankan sikap tubuh dengan kecepatan kontraktil lambat, kekuatan motor unit yang rendah, tahan terhadap kelelahan, memiliki kapasitas aerobik yang tinggi, serta bila terjadi patologi cenderung untuk tegang dan memendek, secara mikroskopik otot ini berwarna merah. Jika tidak dicegah dengan cara 5 pencegahan yang tepat maka akan terjadi DOMS sehingga mengakibatkan seseorang melakukan pengurangan gerak dan aktifitas fisik karena adanya nyeri dan pengurangan kemampuan gerak sehingga pada atlit dapat mengganggu program latihan dan dapat menyebabkan penurunan prestasi. Fisioterapis dapat menggunakan berbagai macam metode intervensi untuk mencegah gejala dan tanda DOMS. Metode yang banyak dipakai adalah melakukan gerakan serupa yang spesifik sebagaimana olahraga yang akan dikerjakan sebelum atau sesudah olahaga, pijat olahraga/ sport massage terutama gerakan vibrasi, peregangan/ stretching, perendaman dengan air dingin atau es/ cryotherapy hingga elektroterapi seperti terapi gelombang suara/ Ultrasound therapy dan Perangsangan Saraf dengan gelombang listrik (Transcutaneus Electrotherapy Nerve Stimulation/TENS) Pemanasan dan pendinginan dengan melakukan latihan kontraksi otot eksentrik ringan dengan gerakan yang spesifik sebagaimana latihan/ olahraga yang akan atau telah dilakukan dan peregangan sebelum dan sesudah latihan/ olahraga adalah salah satu cara yang banyak dipakai dalam mencegah terjadinya cedera termasuk DOMS. Sementara mobilisasi saraf adalah metode yang relatif baru dan belum banyak diaplikasikan di olahraga dalam mencegah DOMS. Adanya penelitian bahwa peregangan yang diberikan sebelum olahraga justru melemahkan kinerja otot justru menarik peneliti untuk melakukan penelitian yang menggabungkan peregangan dengan mobilisasi saraf. 6 Dari berbagai gejala dan tanda DOMS khususnya yang terjadi pada otot-otot anggota gerak bawah maka yang paling mudah untuk dirasakan secara subyektif oleh mereka yang mengalami dan diteliti secara obyektif adalah nyeri tekan, lingkar otot-otot tungkai atas (lingkar paha) serta kemampuan fungsi otot, yang dalam hal ini kemampuan lompat. Berdasarkan latar belakang masalah di atas dalam mencegah terjadinya DOMS perlu dilakukan penelitian mengenai perbandingan efektifitas antara peregangan/ stretching ditambah mobilisasi saraf khususnya pada otot punggung bawah dan otot paha atas depan dan belakang serta saraf tepi yang mempersarafinya sebagai program pemanasan sebelum latihan dibandingkan dengan peregangan/ stretching ditambah mobilisasi saraf khususnya pada otot punggung bawah dan otot paha atas depan dan belakang serta saraf tepi yang mempersarafinya sebagai program pendinginan setelah latihan/ olahraga pada kelompok yang gemar berolahraga basket. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka penulis merumuskan masalah yang diteliti adalah : 1.2.1 Apakah peregangan otot dan mobilisasi saraf sebelum latihan sebagai program pemanasan mencegah timbulnya nyeri tekan? 1.2.2 Apakah peregangan otot dan mobilisasi saraf sebelum latihan sebagai program pemanasan mencegah timbulnya pembengkakan otot – otot paha? 7 1.2.3 Apakah peregangan otot dan mobilisasi saraf sebelum latihan sebagai program pemanasan memperbaiki kemampuan lompat? 1.2.4 Apakah peregangan otot dan mobilisasi saraf setelah latihan sebagai program pendinginan mencegah timbulnya nyeri tekan? 1.2.5 Apakah peregangan otot dan mobilisasi saraf setelah latihan sebagai program pendinginan mencegah pembengkakan otot – otot paha? 1.2.6 Apakah peregangan otot dan mobilisasi saraf setelah latihan sebagai program pendinginan memperbaiki kemampuan lompat? 1.2.7 Apakah ada perbedaan antara peregangan otot dan mobilisasi saraf sebelum latihan sebagai program pemanasan dan setelah latihan sebagai program pendinginan dalam mencegah timbulnya nyeri tekan yang merupakan sebagian gejala dan tanda DOMS? 1.2.8 Apakah ada perbedaan antara peregangan otot dan mobilisasi saraf sebelum latihan sebagai program pemanasan dan setelah latihan sebagai program pendinginan dalam mencegah timbulnya pembengkakan otot – otot paha yang merupakan sebagian gejala dan tanda DOMS? 1.2.9 Apakah ada perbedaan antara peregangan otot dan mobilisasi saraf sebelum latihan sebagai program pemanasan dan setelah latihan sebagai program pendinginan dalam memperbaiki kemampuan lompat yang merupakan sebagian gejala dan tanda DOMS? 8 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui efektifitas peregangan otot dan mobilisasi saraf dalam mencegah timbulnya nyeri tekan dan bengkak otot – otot paha serta memperbaiki kemampuan lompat yang merupakan sebagian gejala dan tanda DOMS 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui bahwa peregangan otot dan mobilisasi saraf sebelum latihan sebagai program pemanasan dapat mencegah timbulnya nyeri tekan 2. Untuk mengetahui bahwa peregangan otot dan mobilisasi saraf sebelum latihan sebagai program pemanasan dapat mencegah timbulnya pembengkakan otot – otot paha 3. Untuk mengetahui bahwa peregangan otot dan mobilisasi saraf sebelum latihan sebagai program pemanasan dapat memperbaiki kemampuan lompat 4. Untuk mengetahui bahwa peregangan otot dan mobilisasi saraf setelah latihan sebagai program pendinginan dapat mencegah timbulnya nyeri tekan 5. Untuk mengetahui bahwa peregangan otot dan mobilisasi saraf setelah latihan sebagai program pendinginan dapat mencegah timbulnya pembengkakan otot – otot paha 9 6. Untuk mengetahui bahwa peregangan otot dan mobilisasi saraf setelah latihan sebagai program pendinginan dapat memperbaiki kemampuan lompat 7. Untuk mengetahui bahwa peregangan otot dan mobilisasi saraf lebih efektif dilakukan setelah latihan sebagai program pendinginan dalam mencegah timbulnya nyeri tekan dibandingkan dengan peregangan otot dan mobilisasi saraf yang diberikan sebelum latihan sebagai program pemanasan 8. Untuk mengetahui bahwa peregangan otot dan mobilisasi saraf lebih efektif dilakukan setelah latihan sebagai program pendinginan dalam mencegah pembengkakan otot – otot paha dibandingkan dengan peregangan otot dan mobilisasi saraf yang diberikan sebelum latihan sebagai program pemanasan 9. Untuk mengetahui bahwa peregangan otot dan mobilisasi saraf lebih efektif dilakukan setelah latihan sebagai program pendinginan dalam memperbaiki kemampuan lompat dibandingkan dengan peregangan otot dan mobilisasi saraf yang diberikan sebelum latihan sebagai program pemanasan 10 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Bagi Pengembangan ilmu pengetahuan 1. Untuk menambah pengetahuan dan memperluas wawasan dalam bidang fisioterapi khususnya fisiologi olahraga tentang peregangan dan mobilisasi saraf terhadap pencegahan timbulnya nyeri tekan, pembengkakan otot – otot paha serta memperbaiki kemampuan lompat yang merupakan sebagian gejala dan tanda DOMS 2. Untuk melihat pengaruh peregangan dan mobilisasi saraf terhadap pencegahan timbulnya nyeri tekan, pembesaran lingkar otot–otot tungkai atas serta memperbaiki kemampuan lompat yang merupakan gejala dan tanda DOMS 1.4.2 Bagi Institusi pendidikan 1. Sebagai bahan masukan dalam meningkatkan informasi untuk program fisioterapi khususnya fisiologi olahraga 2. Sebagai bahan penelitian selanjutnya 1.4.3 Bagi peneliti 1. Penelitian ini berguna untuk menambah pengetahuan, pengalaman dan kesempatan bagi penulis untuk memperlajari manfaat peregangan otot dan mobilisasi saraf terhadap terhadap pencegahan timbulnya nyeri tekan dan bengkak otot – otot paha serta memperbaiki kemampuan lompat yang merupakan gejala dan tanda DOMS 2. Kesempatan untuk menerapkan ilmu yang telah didapat selama perkuliahan 11 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 DELAYED ONSET MUSCLE SORENESS (DOMS)/ PEGAL OTOT YANG TERLAMBAT MUNCUL 2.1.1 DEFINISI DOMS Delayed onset muscle soreness (DOMS) adalah nama yang diberikan oleh seorang fisiologis bernama Sonja Trierweiler, yang mempunyai tipikal gangguan yang menyebabkan kekakuan, bengkak, peurunan kekuatan dan nyeri pada otot (Szymanski, D. 2003). Deskripsi tentang DOMS pertama kali secara detail diberikan oleh Hough pada tahun 1902. (Amir H Bakhtiary et al. 2007). DOMS adalah gangguan berupa pegal otot yang terjadi akibat latihan yang tidak lazim yang menyebabkan kerusakan pada membran sel otot sehingga meyebabkan terjadinya respon inflamasi. DOMS sering dialami oleh semua individu yang melakukan aktifitas fisik tanpa melihat tingkat kebugarannya dan ini adalah respon fisiologis normal untuk meningkatkan penggunaan tenaga dan sebagai pengenalan terhadap aktifitas fisk yang tidak dikenal sebelumnya. Delayed onset muscle soreness (DOMS) adalah suatu fenomena yang sering ditemui dan terdokumentasi dengan baik, sering terjadi sebagai akibat dari latihan eksentrik yang tidak lazim atau intensitas tinggi (Connolly et al. 2003; MacIntyre et al. 1995). Gejala-gejala yang 11 12 menyertai meliputi pemendekan otot, peningkatan kekakuan terhadap gerak pasif, bengkak, penurunan kekuatan dan daya ledak otot, sakit lokal, dan rasa posisisendi/ proprioception yang terganggu (Proske and Morgan 2001). Gejala - gejala akan sering muncul dalam 24 jam setelah latihan dan biasanya menghilang setelah 3 – 4 hari (Clarkson and Sayers 1999). DOMS adalah sensasi ketidaknyamanan atau nyeri pada otot-otot yang terjadi setelah melakukan latihan yang tidak biasa dilakukan atau dengan intensitas tinggi. Pegal pada otot secara normal meningkat intensitasnya selama 24 jam pertama setelah latihan dan mencapai puncaknya pada 24 sampai 72 jam setelahnya, kemudian menghilang 5 sampai 7 hari setelah latihan. Gejala yang dirasakan adalah mobilitas dan flexibilitas yang berkurang dan otot terasa sensitif saat disentuh atau digerakkan. Ada beberapa alasan yang menerangkan mengapa DOMS terjadi, diantaranya: 1) Robekan-robekan kecil pada otot itu sendiri 2) Terbentuknya cairan di jaringan sekitarnya 3) Spasme otot 4) Peregangan berlebih/ over stretching dan kemungkinan robekan dari tendon dan jaringan konektif yang berhubungan dengan otot lainnya (McCardle et al. 1986). Semua alasan ini tidak didukung dengan berbagai hasil penelitian yang sama. Bukti yang paling kuat menyatakan robekan mikroskopik pada otot 13 dan kerusakan pada jaringan konektif yang berhubungan dengan otot adalah faktor utama yang terlibat dalam timbulnya DOMS. DOMS dilaporkan sebagai kejadian yang paling sering terjadi pada peserta lomba lari marathon dan kompetisi angkat besi (Sohan P. Selkar et al 2009). 2.1.2 PATOFISIOLOGI DOMS Proses terjadinya DOMS sampai saat ini masih belum jelas namun sebelumnya DOMS dihubungkan dengan pembentukan asam laktat di dalam otot setelah kerja atau olahraga yang intens namun sekarang terbukti bahwa ternyata asumsi ini tidak berhubungan langsung dengan kejadian DOMS. DOMS sering ditimbulkan terutama oleh latihan eksentrik seperti lari menuruni bukit/ downhill running, plyometrics, dan latihan dengan tahanan/ resistance training. Berbagai latihan ini menyebabkan kerusakan pada sel membran otot sehingga akan memulai terjadinya respon inflamasi, menyebabkan pembentukan produk-produk sampah metabolik, yang berperan sebagai stimulus kimiawi kepada ujung saraf/ nerve endings. Kontraksi eksentrik yang terjadi saat otot yang aktif sedang memanjang ini berhubungan dengan kenaikan yang terlambat pada tingkat serum dari enzyme spesifik otot seperti creatine kinase (CK) sehingga menyebabkan kerusakan serabut otot (Jones et al. 1989). Karena itu latihan yang menyebabkan kerusakan otot/ exercise-induced muscle damage 14 seharusnya dihubungkan dengan inflamasi aseptik. Ini didukung beberapa bukti bahwa otot yang terkena mengalami nyeri dan bengkak dan dari pemeriksaan histologis dengan dari sampel biopsi mengindikasikan disrupsi ultrastructural dari beberapa serabut otot (Newham 1988; Lieber et al. 1991), infiltratsi leucocytes (Jones et al. 1986), degranulasi sel mast dan peningkatan konstituen plasma di dalam ruang extracellular (Stauber et al. 1990). Gambar 1 Mikroskop elektron menunjukkan pola yang normal dari protein-protein otot (serabut yang secara teratur terulang disebut Z discs) Gambar 2 Mikroskop elektron menunjukkan serabut yang terbelah (disebut cucuran Z disc) 15 Delayed-onset muscle soreness yang terjadi setelah latihan yang tidak lazim atau setelah latihan eksentrik berhubungan dengan inflasmasi, nekrosis jaringan dan pengeluaran enzim-enzim otot. Percobaan ini meginvestigasi lama waktu perubahan pada leukosit yang dalam sirkulasi dan tingkat serum dari beberapa reaktan pada fase akut, aktivitas serum creatine kinase (CK) dan nyeri otot setelah latihan naik turun bangku selama 40 menit pada subyek yang sehat namun tidak terlatih. Nyeri pegal otot tungkai terbesar terjadi 2 hari setelah latihan. Nilai puncak serum CK [mean (SD) 540 (502) IU.l-1] terjadi 1-7 hari setelah latihan. Serum Creactive protein (CRP) tidak berubah dari level pre-exercise [7.8 (3.4) mg.l-1 ] sampai segera setelah latihan [7.9 (2.3) mg.1 -1] tetapi meningkat pada puncak 17.0 (3.9) mg.1-1, 1 hari setelah latihan, setelah itu turun ke level basal. Tingkat serum besi dan zinc turun dibanding pre-exercise pada 1 – 3 hari post-exercise. Serum albumin, IgG and IgM turun dibanding tingkat pre-exercise dari 1 hari post-exercise, mencapai nilai minimal (sekitar 80% dari tingkat basal) pada 7 hari post-exercise. Dua dan tiga hari setelah latihan, jumlah leuksoit total, neutrophils, monocytes dan basophils turun 15-20% dibawah tingkat pre-exercise, dimana lymphocytes, eosinophils dan platelets tidak berubah. Hasil ini menunjukkan bahwa respon inflamasi fase akut dimulai dalam 1 hari dari latihan yang menyebabkan DOMS dan nekrosis jaringan yang terjadi kemudian yang dapat terjadi tidak disertai perubahan tanda yang lebih jauh pada reaktan fase akut seperti CRP. (Michael Gleeson et al 1995) 16 2.1.3 BERBAGAI MACAM TEKNIK TERAPI UNTUK MENCEGAH DOMS Atlet-atlet elit sering mudah terkena kerusakan otot karena otot- ototnya secara reguler dikenai kontraksi intensitas tinggi berulang (Allen et al. 2004). Saat ini, penggunaan berbagai bentuk hidroterapi seperti cold water immersion (CWI), hot water immersion (HWI), dan contrast water therapy (CWT) sebagai intervensi recovery setelah latihan telah mendapat popularitas dan sekarang adalah praktik yang biasa di dalam lingkungan keolahragaan yang elit (Cochrane 2004; Vaile et al. 2007). Berbagai macam bentuk cryotherapy menunjukkan dapat menghasilkan repon-respon fisiologis yang berbagai macam meliputi menurunkan pembengkakan (Yanagisawa et al. 2004), temperature jaringan (Enwemeka et al. 2002), denyut jantung (heart rate) dan curah jantung (cardiac output) (Sramek et al. 2000), meningkatkan pembersihan creatine kinase (Eston and Peters 1999) dan efek-efek analgesik, menghasilkan perubahan persepsi nyeri dan ketidaknyamanan (Bailey et al.2007). Bagaimanapun, nampak ada konflik kesimpulan mengenai efek CWI pada performa, dengan beberapa studi menyimpulkan efek-efek yang menguntungkan (Bailey et al. 2007; Burke et al. 2000; Lane and Wenger 2004) dan yang lain yang mengindikasikan perubahan-perubahan yang tidak berarti (Isabell et al. 1992; Paddon-Jones and Quigley 1997; Sellwood et al. 2007; Yamane et al.2006). Sebaliknya, meskipun terbatas risetnya, HWI mempengaruhi tubuh secara berbeda berupa kenaikan HR, 17 cardiac output dan temperatur jaringan dan dapat meningkatkan respon inflamasi (Wilcock et al. 2006). Contrast water therapy (CWT) memasukkan kombinasi efek dari CWI dan HWI. Riset mengenai efek fisiologis CWT dan perannya dalam mengembalikan atau mempertahnkan performa setelah latihan yang mengakibatkan kelelahan otot masih terbatas fatigue, pengetahuan saai ini menyarankan CWT menjadi intervensi yang menjanjikan pemulihan/ recovery (CoVey et al. 2004; Gill et al. 2006; Vaile et al. 2007). Juga terlihat bahwa latihan eksentrik yang ringan melindungi atlet dari DOMS. Penelitian Balnave dan Thompson menguak bahwa latihan dengan kotraksi eksentrik otot sebagai program dasar pemanasan dapat melindungi atlet dari kerusakan otot yang terlihat ataupun tidak. Yang juga didukung oleh penelitian Schwane et al. Hortobagyi T et al. meneliti respon adaptif pada pemanjangan dan pemendekan otot quadriceps pada manusia. Studi ini menunjukkan bahwa adaptasi terhadap latihan dengan kontraksi eksentrik berhubungan dengan adaptasi neural dan hipertrofi otot yang lebih besar daripada latihan konsentrik. Johansson et al. menysatakan bahwa latihan eksentrik mempunyai efek pencegahan pada pegal otot/ muscle soreness, gangguan keempukan otot/ tenderness dan kehilangan daya. Armstrong juga menyatakan pandangan yang serupa juga bahwa latihan yang spesifik terdahulu dari otot yang teribat dapat menjadi pencegahan untuk DOMS. Studi saat ini dengan bantuan visual analog scale mempunyai penemuan yang kontradiktif dibanding studi diatas. 18 Studi saat ini menunjukkan bahwa DOMS dapat dicegah sampai tingkat tertentu dan keempukan otot dapat diturunkan dengan latihan otot eksentrik. Penemuan pada studi saat ini menunjukkan bahwa khasiat latihan otot eccentric quadriceps femoris mengurangi keparahan DOMS pada subyek atletik. Latihan otot eksentrik ini karenanya dapat diberikan sebagai komponen tambahan pada program pemanasan/ warm up seorang atlet terutama latihan otot eksentrik mungkin vital dalam mengurangi DOMS otot qudriceps pada pelari jarak jauh. Peregangan otot/ stretching sering digunakan untuk memfasilitasi pemulihan setelah latihan yang intensif meskipun hal ini telah didiskusikan kontroversinya sehubungan dengan khasiatnya. Program peregangan gagal untuk mengurangi terjadinya atau membesarnya kerusakan otot setelah latihan yang intensif. Mempertimbangkan sifat fisiologis dari muscle spindle maka kita mungkin berharap beberapa efek stretching pada tonus otot dan pengurangannya seharusnya bermakna pada pemulihan fungsional otot yang digunakan berlebih/ overexerted. Perubahan pada aktivitas EMG menemukan setelah peregangan dari otot yang dilatih dalam hal pengurangan tonus otot. Stretching sendiri telah menunjukkan dapat merangsang peningkatan aktifitas serum creatine kinase secara moderat yang bagaimanapun jauh lebih sedikit dibanding peningkatan yang ditemukan setelah latihan yang berat. 19 2.2 PEREGANGAN/ STRETCHING Stretching atau peregangan merupakan istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu manuver terapeutik yang bertujuan untuk memanjangkan struktur jaringan lunak yang memendek secara patologis maupun non patologis sehingga dapat meningkatkan Luas Gerak Sendi (LGS). Pada umumnya stretching dibagi dalam dua kelompok yaitu aktif stretching (peregangan aktif) latihan fleksibilitas dan pasif stretching (peregangan pasif). Ada beberapa tipe stretching yaitu: auto stretching (peregangan aktif) latihan fleksibilitas, stretching pasif dan contract relax stretching. Ada 2 hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan stretching, yaitu fleksibilitas dan peregangan berlebih/ overstretch. Fleksibilitas adalah kemampuan untuk menggerakan sendi atau beberapa sendi melalui LGS yang bebas nyeri. Fleksibilitas bergantung pada ekstensibilitas otot, yang menyebabkan otot dapat melewati suatu sendi dengan relaks, memanjang dan berada dalam medan gaya stretch. Arthrokinematik dari sendi yang bergerak serta kemampuan jaringan konektif periartikular untuk berubah bentuk (memanjang) juga mempengaruhi LGS sendi dan fleksibilitas secara keseluruhan. Seringkali istilah “fleksibilitas” digunakan merujuk lebih spesifik pada kemampuan unit muskulotendinogen untuk memanjang sebagaimana segmen tubuh atau sendi bergerak melalui LGS penuh. Fleksibilitas dinamik merupakan LGS yang dilakukan sendi secara aktif. Aspek fleksibilitas ini bergantung pada derajat LGS sendi yang 20 dihasilkan oleh kontraksi otot dan besarnya tahanan jaringan yang terulur selama pergerakan aktif. Fleksibilitas pasif merupakan derajat LGS sendi yang secara pasif dapat digerakkan melalui LGS yang ada dan bergantung pada ekstensibilitas otot dan jaringan konektif yang melewati dan mengelilingi sendi. Pasif fleksibilitas biasanya merupakan prasyarat untuk dinamik fleksibilitas, tetapi tidak mutlak. Sementara peregangan berlebih/ Overstretch adalah suatu peregangan melampaui LGS normal sendi dan jaringan lunak disekitarnya, sehinga menghasilkan hipermobilitas. Overstretch diperlukan bagi orangorang tertentu yang sehat dengan kekuatan dan stabilitas normal yaitu orang-orang tertentu berperan aktif dalam olahraga yang memerlukan fleksibilitas berlebihan. Overstretch menjadi abnormal ketika struktur penopang sendi dan kekuatan otot disekitar sendi tidak cukup dan tidak dapat mempetahankan stabilitas sendi dan posisi fungsional selama aktivitas. Kondisi ini seringkali dikenal sebagai “stretch weakness”. Peregangan/ Stretching diindikasikan untuk berbagai kasus antara lain: - Miostatik kontraktur: merupakan kasus yang paling sering terjadi biasanya tanpa disertai patologis pada jaringan lunak (soft tissue) dan dapat diatasi dengan gentle stretching exercise dalam waktu yang pendek misalnya pada otot hamstring, otot rektus femoris dan otot gastroknemius. 21 - Scar Tissue Contracture Adhession: paling sering terjadi pada kapsul sendi bahu dan bila pasien menggerakkan bahu terdapat nyeri sehingga pasien cenderung melakukan imobilisasi akibatnya kadar glikoaminoglikans dan air dalam sendi berkurang sehingga fleksibilitas dan ekstensibilitas sendi berkurang. - Fibrotic Adhession: kasus yang lebih berat dari kondisi kedua di atas karena biasanya bersifat kronis dan terdapat jaringan fibrotik sepeti pada kondisi tortikolis. - Kontraktur: biasanya digunakan untuk mengembalikan lingkup gerak sendi dengan tindakan operatif karena dengan penanganan manual tidak menghasilkan dampak yang baik. Sementara kontraindikasi dari stretching antara lain - Terdapat fraktur yang masih baru pada daerah persendian otot yang akan diregang, - Post immobilisasi yang lama karena otot sudah kehilangan tensile strength, - Ditemukan adanya tanda-tanda inflamasi akut. 22 2.2.1 KONSEP DASAR DAN KONSEP NEUROFISIOLOGIS PEREGANGAN Sebelum menerapkan teknik stretching ada beberapa konsep dasar dan konsep neurofisiologis yang berperan penting saat terjadi stretching otot seperti propioseptor, stretch refleks dan komponennya, reaksi pemanjangan otot dan juga resiprokal inhibisi. 2.2.1.1 Propioseptor Akhir suatu serabut saraf yang menerima seluruh informasi tentang sistem muskuloskeletal dan menyampaikannya kepada sistem saraf pusat dikenal dengan nama propioseptor. Propioseptor juga disebut dengan nama mekanoreseptor yang merupakan sumber dari seluruh propiosepsi yaitu persepsi tentang gerak dan posisi tubuh. Propioseptor mendeteksi setiap perubahan gerak dan posisi tubuh, tegangan atau usaha yang terjadi di dalam tubuh. Propioseptor dapat ditemukan diseluruh akhir serabut saraf pada sendi, otot, dan tendon. Propioseptor yang berhubungan dengan stretching otot terletak di tendon dan di serabut otot. Ada dua jenis serabut otot yaitu serabut intrafusal dan serabut ekstrafusal. Serabut ekstrafusal merupakan satu-satunya yang mengandung miofibril sehingga sering disamakan artinya dengan serabut otot. Sedangkan serabut intrafusal disebut sebagai spindel otot dan terletak sejajar dengan serabut ekstrafusal. Pada saat serabut ekstrafusal memanjang maka serabut intrafusal juga memanjang (spindel otot juga ikut memanjang). 23 Spindel otot atau reseptor stretch merupakan propioseptor pertama dan terutama di dalam otot. Adalah organ sensoris utama pada otot yang terdiri dari serabut kecil intrafusal yang terletak sejajar dengan serabut ekstrafusal. Spindel otot atau reseptor stretch merupakan propioseptor utama di dalam otot. Spindel otot terdiri dari dua serabut yang sensitif terhadap perubahan panjang otot. Spindel otot berfungsi memonitor kecepatan dan durasi penguluran sehingga pada saat otot terulur maka serabut intrafusal dan ekstrafusal akan terulur. Pada saat otot di stretch secara aktif dengan perlahan dan lembut, spindel otot tidak terstimulasi optimal. Bila di stretch secara tiba-tiba, maka spindle otot akan terstimulasi dan berkontraksi dan menahan perubahan panjang pada otot karena adanya stretch reflex pada muscle spindle. Propioseptor kedua yang ikut berperan selama proses stretching otot terjadi berlokasi di tendon dekat dengan akhir serabut otot yang disebut dengan golgi tendon organ yaitu suatu mekanisme proteksi yang menginhibisi kontraksi otot dan memiliki treshold yang sangat lambat untuk melaju setelah otot berkontraksi serta mempunyai treshold yang tinggi saat dilakukan penguluran secara pasif. Golgi tendo organ dikelilingi oleh ujung serabut ekstrafusal yang peka terhadap tegangan otot yang disebabkan oleh pemberian pasif stretching. Pada saat otot berkontraksi akan mengakibatkan peningkatan tegangan pada tendon dimana golgi tendon terletak. Golgi tendon organ sensitif terhadap perubahan tegangan dan menilai rata-rata tegangan dalam otot. Bila 24 penyebaran tegangan meluas maka golgi tendon organ melaju dan menimbulkan rileksasi otot. Ketika otot di stretch secara aktif dengan perlahan dan lembut, maka golgi tendon akan terstimulasi optimal, sehingga penguluran akan terjadi pada serabut otot serta fascia dimana jumlah sarkomer bertambah dan fascia terulur. Tipe ketiga dari propioseptor disebut dengan pacinian corpuscle yang terletak dekat dengan golgi tendon organ dan bertanggung jawab untuk mendeteksi perubahan gerak dan tekanan dalam tubuh. 2.2.1.2 Reflek regang/ Stretch Reflexs dan Komponennya Pada saat otot terulur maka spindel otot juga terulur. Spindel otot akan melaporkan perubahan panjang dan seberapa cepat perubahan panjang itu terjadi serta memberikan sinyal ke medula spinalis untuk meneruskan informasi ini ke susunan saraf pusat. Spindel otot akan memicu stretch refleks yang biasa disebut juga dengan refleks miostatis untuk mencoba menahan perubahan panjang otot yang terjadi dengan cara otot yang diulur tadi kemudian berkontraksi. Semakin tiba-tiba terjadi perubahan panjang otot maka akan menyebabkan otot berkontraksi semakin kuat. Fungsi dasar spindel otot ini membantu memelihara tonus otot dan mencegah cidera otot. Salah satu alasan untuk mempertahankan suatu penguluran dalam jangka waktu yang lama adalah pada saat otot dipertahankan pada posisi terulur maka spindel otot akan terbiasa dengan panjang otot yang baru dan 25 akan mengurangi sinyal tadi. Secara bertahap reseptor stretch akan terlatih untuk memberikan panjang yang lebih besar lagi terhadap otot. Stretch refleks mempunyai dua komponen yaitu komponen statis dan komponen dinamis. Komponen statis ditemukan di sepanjang pada saat otot terulur. Komponen dinamis ditemukan hanya pada akhir saat otot diulur dan responnya menyebabkan perubahan panjang otot yang segera. Alasan yang mendasari stretch refleks mempunyai dua komponen adalah karena terdapat dua serabut otot intrafusal yaitu serabut rantai nuklear (nuclear chain fibers) yang bertanggung jawab untuk komponen statis dan serabut tas nuklear (nuclear bag fibers) yang bertanggung jawab untuk komponen dinamis. Serabut rantai nuklear (nuclear chain fibers) panjang dan tipis dan segera memanjang pada saat diulur. Pada saat serabut ini diulur saraf stretch refleks akan meningkatkan tingkat sinyalnya yang diikuti dengan segera peningkatan panjang otot. Hal ini merupakan komponen statis stretch refleks. Serabut tas nuklear (nuclear bag fibers) berkumpul ditengah otot sehingga mereka lebih elastis. Nerve ending stretching pada serabut ini terbungkus di daerah tengah yang memanjang dengan cepat saat serabut otot terulur. Daerah tengah bagian luar adalah kebalikannya beraksi seperti terisi cairan kental yang menghambat kecepatan penguluran dan kemudian memanjang di bawah pengaruh tegangan otot yang panjang. Jadi ketika menginginkan penguluran yang cepat pada serabut ini daerah tengah luar memanjang dan daerah tengah menjadi sangat memendek. 26 2.2.2 RESPON MEKANIK DAN NEUROFISIOLOGI PADA OTOT TERHADAP PEREGANGAN/ STRETCHING Stretching yang diberikan pada otot maka akan memiliki pengaruh yang pertama akan terjadi pada komponen elastin (aktin dan miosin) dan tegangan dalam otot meningkat dengan tajam, sarkomer memanjang dan bila dilakukan terus-menerus otot akan beradaptasi dan hal ini hanya bertahan sementara untuk mendapatkan panjang otot yang diinginkan Respon mekanik otot terhadap peregangan bergantung pada myofibril dan sarkomer otot. Setiap otot tersusun dari beberapa serabut otot. Satu serabut otot terdiri atas beberapa myofibril. Serabut myofibril tersusun dari beberapa sarkomer yang terletak sejajar dengan serabut otot. Sarkomer merupakan unit kontraktil dari myofibril dan terdiri atas filamen aktin dan miosin yang saling tumpang tindih. Sarkomer memberikan kemampuan pada otot untuk berkontraksi dan relaksasi, serta mempunyai kemampuan elastisitas jika diregangkan. Ketika otot secara pasif diregang, maka pemanjangan awal terjadi pada rangkaian komponen elastis (sarkomer) dan tension meningkat secara drastis. Kemudian, ketika gaya regangan dilepaskan maka setiap sarkomer akan kembali ke posisi resting length. Kecenderungan otot untuk kembali ke posisi resting length setelah peregangan disebut dengan elastisitas. Respon neurofisiologi otot terhadap peregangan bergantung pada struktur muscle spindle dan golgi tendon organ. Ketika otot diregang dengan sangat cepat, maka serabut afferent primer merangsang α (alpha) 27 motorneuron pada medulla spinalis dan memfasilitasi kontraksi serabut ekstrafusal yaitu meningkatkan ketegangan (tension) pada otot. Hal ini dinamakan dengan monosynaptik stretch refleks. Tetapi jika peregangan dilakukan secara lambat pada otot, maka golgi tendon organ terstimulasi dan menginhibisi ketegangan pada otot sehinggga pemanjangan pada komponen elastik otot yang paralel. Gambar 3. Struktur otot rangka memberikan 28 2.2.3 PEREGANGAN METODE KONTRAKSI RILEKSASI/ CONTRACT RELAX STRETCHING Contract relax stretching merupakan kombinasi dari tipe stretching isometrik dengan stretching pasif. Dikatakan demikian karena teknik contract relax stretching yang dilakukan memberikan kontraksi isometrik pada otot yang memendek dan kemudian dilanjutkan dengan rileksasi dan stretching pasif pada otot tersebut. Adapun tujuan dari pemberian contract relax stretching adalah untuk memanjangkan/ mengulur struktur jaringan lunak (soft tissue) seperti otot, fasia tendon dan ligamen yang memendek secara patologis maupun non patologis sehingga dapat meningkatkan lingkup gerak sendi dan mengurangi nyeri akibat spasme, pemendekan otot/ akibat fibrosis. Secara umum contract relax stretching dilakukan untuk mendapatkan efek rileksasi dan pengembalian panjang dari otot dan jaringan ikat. Jaringan ikat membutuhkan waktu 20 detik untuk mencapai efek rileksasi sedangkan otot membutuhkan waktu 2 menit untuk dapat mencapai efek rileksasi. Efek contract relax stretching jangka panjang pada manusia didapatkan bahwa individu yang mendapatkan contract relax stretching dengan durasi 15-45 detik menunjukkan panjang otot yang maksimum. Contract relax stretching dengan durasi 20 dan 30 detik dapat mencapai efek yang maksimal pada minggu ke-7 dan contract relax stretching dengan durasi 10 detik mencapai efek maksimal pada minggu ke-10 sedangkan contract relax stretching yang diberikan dengan durasi 29 30 detik dapat menghasilkan efek maksimal pada minggu keenam dan ketujuh. Dalam penerapan prosedur contract relax stretching pasien menunjukkan suatu kontraksi isometrik dari otot yang mengalami ketegangan sebelum secara pasif otot dipanjangkan. Alasan penerapan teknik ini adalah bahwa kontraksi isometrik yang diberikan sebelum stretching dari otot yang mengalami ketegangan akan menghasilkan rileksasi sebagai hasil dari autogenic inhibition. Adanya kontraksi isometrik akan membantu menggerakkan stretch reseptor dari spindel otot untuk segera menyesuaikan panjang panjang otot yang maksimal. Golgi tendon organ dapat terlibat dan menghambat ketegangan otot sehingga otot dapat dengan mudah dipanjangkan. Respon Otot Terhadap Contract Relax Stretching pada dasarnya terjadi pada komponen elastik (aktin dan miosin) dan tegangan dalam otot meningkat dengan tajam, sarkomer memanjang dan bila hal ini dilakukan terus-menerus otot akan beradaptasi dan hal ini hanya bertahan sementara untuk mendapatkan panjang otot yang diinginkan (Kischner & Colby, 2007). Contract relax stretching yang dilakukan pada serabut otot pertama kali mempengaruhi sarkomer yang merupakan unit kontraksi dasar pada serabut otot. Pada saat sarkomer berkontraksi area yang tumpang tindih antara komponen miofilamen tebal dan komponen miofilamen tipis akan meningkat. Apabila terjadi penguluran (stretch) area yang tumpang tindih ini akan berkurang yang menyebabkan serabut otot memanjang. Pada saat 30 serabut otot berada pada posisi memanjang yang maksimum maka seluruh sarkomer terulur secara penuh dan memberikan dorongan kepada jaringan penghubung yang ada disekitarnya. Sehingga pada saat ketegangan meningkat serabut kolagen pada jaringan penghubung berubah posisinya di sepanjang diterimanya dorongan tersebut. Oleh sebab itu pada saat terjadi suatu penguluran maka serabut otot akan terulur penuh melebihi panjang serabut otot itu pada kondisi normal yang dihasilkan oleh sarkomer. Ketika penguluran terjadi hal ini menyebabkan serabut yang berada pada posisi yang tidak teratur dirubah posisinya sehingga menjadi lurus sesuai dengan arah ketegangan yang diterima. Perubahan dan pelurusan posisi ini memulihkan jaringan parut untuk kembali normal. Mekanisme Penambahan Panjang Otot dengan dengan intervensi contract relax stretching adalah dengan kontraksi isometrik pada contract relax stretching akan meningkatkan rileksasi otot melalui pelepasan analgesik endogenus opiat sehingga nyeri regang dapat diturunkan atau dihilangkan. Adanya komponen stretching pada contract relax stretching maka panjang otot dapat dikembalikan dengan mengaktifasi golgi tendon organ sehingga rileksasi dapat dicapai dan nyeri akibat ketegangan otot dapat diturunkan dan mata rantai viscous circle dapat diputuskan. Pemberian intervensi contract relax stretching dapat megurangi iritasi terhadap saraf Aδ dan C yang menimbulkan nyeri akibat adanya abnormal crosslinks dapat diturunkan. Hal ini dapat terjadi karena pada saat diberikan intervensi contract relax stretching serabut otot ditarik keluar 31 sampai panjang sarkomer penuh. Ketika hal ini terjadi maka akan membantu meluruskan kembali beberapa kekacauan serabut atau akibat abnormal cross links pada ketegangan akibat pemendekan otot. Adanya kontraksi isometrik pada intervensi contract relax stretching akan membantu menggerakkan stretch reseptor dari spindel otot untuk segera menyesuaikan panjang otot maksimal. Pada kontraksi isometrik ini terjadi penurunan stroke volume jantung, diafragma menekan organ dalam dan pembuluh darah yang ada di dalamnya sehingga menekan darah agar keluar dari organ dalam. Pada kontraksi isometrik selama 6 detik yang diikuti dengan inspirasi maksimal akan mengaktifkan motor unit maksimal yang ada pada seluruh otot. Menurut Jacobson kontraksi maksimal ini juga akan menstimulus golgi tendo organ sehingga memicu rileksasi otot setelah kontraksi (reverse innervation) yang menyebabkan terjadinya pelepasan adhesi yang terdapat di dalam intermiofibril dan tendon dengan perbandingan 2:3. Pada metode contract relax stretching rileksasi setelah kontraksi isometrik maksimal dilakukan selama 9 detik dimana dalam proses ini diperoleh rileksasi maksimal yang difasilitasi oleh reverse innervation tadi. Proses rileksasi yang diikuti ekspirasi maksimal akan memudahkan perolehan pelemasan otot. Apabila dilakukan peregangan secara bersamaan pada saat rileksasi dan ekspirasi maksimal maka diperoleh pelepasan adhesi yang optimal pada jaringan ikat otot (fasia dan tendo). Pada intervensi contract relax stretching dengan adanya kontraksi 32 isometrik dengan inspirasi dalam dan stretching yang diikuti ekspirasi maksimal yang dilakukan dengan ritmis menimbulkan reaksi pumping action yang ritmis pula sehingga akan membantu memindahkan produk sampah/ zat-zat iritan penyebab nyeri otot kembali ke jantung. Gambar 4. Contoh peregangan dengan metode contract-relax yang dilakukan sendiri (peregangan aktif) Gambar 5. Contoh peregangan dengan metode contract-relax yang dilakukan dengan bantuan fisioterapis 33 2. 3. Peregangan/ Mobilisasi saraf (Neural Mobilisation/ Neural stretching) Berbagai faktor seperti trauma, jaringan parut/ scar tissue dan perubahan sendi yang menglami arthritis dapat mempengaruhi mobilitas saraf karena mereka berjalan melalui otot dan pembungkus otot/ fascia di dalam tubuh. Tes penekanan saraf/ neural tension tests banyak digunakan oleh fisioterapis untuk memeriksa mobilitas saraf tersebut. Mobilisasi saraf sendiri berarti penggunaan berbagai macam tes tersebut (kadangkadang dengan modifikasi) untuk penggunaan terapi selain juga untuk pemeriksaan/ asesmen. Contoh tes mobilisasi saraf pada kuadran bawah, antara lain: straight leg raise (SLR) prone knee bend (PKB) Slump test Gambar 6. straight leg raise (SLR) 34 Gambar 7. prone knee bend (PKB) . Gambar 8. Slump test Istilah mobilisasi saraf sendiri masih rancu karena memasukkan tes penekanan saraf juga pergerakan meluncur saraf/ neural gliding dalam satu istilah. Tujuan dari gerakan meluncur saraf/ neural gliding sendiri adalah untuk memfasilitasi gerakan saraf yang kemungkinan terhambat tanpa menekannya namun sekarang istilah yang digunakan untuk 35 mencakup gerakan penekanan dan peluncuran saraf disebut neurodynamics. Untuk menyelidiki mengapa slump stretching dapat menjadi terapi pada penaganan strain otot hamstring tingkat 1 (Grade 1 hamstring strains), sebuah penelitian menguji efek slump stretch pada aliran keluar simpatis/ sympathetic outflow pada anggota gerak bawah 10 orang normal dan atlet elit atletik (Bersama dengan beberapa hal lain, saraf simpatis menyebabkan penyempitan pembuluh darah pada kulit dan pelebaran pembuluh darah pada otot, yang mungkin terlibat pada proses penyembuhan jaringan otot). Gambaran Telethermographic diambil pada empat lokasi sebelum dan setelah peregangan pada kedua sisi tungkai yang diregang maupun yang tidak. Gambaran ini menunjukkan perubahan pada temperatur kulit sebagai respon terhadap refleks. Peningkatan temperatur kulit pada tungkai yang diulur mengindikasikan bahwa efek vasodilator secara signifikan terjadi pada tungkai ini, sementara pada tungkai yangtidak diulur menunjukkan sedikit penurunan berkesimpulan bahwa slump temperatur stretching dapat sehingga peneliti mempunyai efek penghambatan simpatik yang dapat menjadi mekanisme fisiologis yang mendasari untuk efek terapi slump stretch pada strain hamstring tingkat 1. Studi pada kadaver mengindikasikan bahwa posisi-posisi dimana anggota gerak ditempatkan saat neural tension tests benar – benar memberikan regangan pada struktur saraf. Pada studi dengan tubuh hidup 36 yang utuh kaliper digital digunakan untuk menguji gerakan saraf/ nerve excursion dan ukuran microstrain mengukur regangan ketika upper limb neural tension test dilakukan. Hasilnya menunjukkan bahwa tes median nerve tension menyebabkan regangan pada median nerve sebesar 7.6% dan tes ulnar-nerve tension test menyebabkan peregangan sebesar 2.1% pada ulnar nerve. Gambar 9. Diseksi gerakan di dalam pelvis pada komponen proksimal dari saraf sciatica sepanjang gerak fleksi lateral tulang belakang bagian lumbal. Kiri – neutral. Tengah – fleksi lateral ke kiri (ipsilateral). Right – fleksi lateral ke kanan (contralateral). Jaringan saraf mengendur saat fleksi ipsilateral dan menegang saat fleksi kontralateral 37 Atas — saat mengendur, serabut saraf dan arachnoid berkerut. Bawah — saat menegang. © NDS 2007 Mobilisasi saraf ini bila dikombinasikan dengan peregangan diharapkan dapat membawa hasil yang positif baik pada struktur jaringan saraf maupun otot (tendon dan fascia/ pembungkus otot) sehingga dicapai hasil yang maksimal dalam perbaikan gerakan dan fungsi dari otot tersebut. Chris Mallac, pada artikelnya mengenai diagnosis dan penyebab strain hamstring, menemukan bagaimana treatment pada jaringan non saraf menghasilkan perbaikan pada neural test yang selumnya positif memiliki gejala neural Ellis dan Hing, dalam ulasan sistematis mereka pada uji acak dengan kontrol/ randomised controlled trials, melihat apakah mobilisasi saraf efektif sebagai modalitas terapi. Dari 10 uji yang sesuai dengan kriteria mereka, disimpulkan: ‘Bahwa bukti terbatas untuk mendukung penggunaan mobilisasi saraf.’ Dibutuhkan pendekatan yang lebih terstandar dan grup subyek yang homogen 38 BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir Delayed onset muscle soreness (DOMS) adalah gangguan berupa pegal otot yang terjadi akibat latihan yang tidak lazim yang menyebabkan kerusakan pada membran sel otot sehingga meyebabkan terjadinya respon inflamasi. DOMS sering dialami oleh semua individu yang melakukan aktifitas fisik tanpa melihat tingkat kebugarannya dan ini adalah respon fisiologis normal untuk meningkatkan penggunaan tenaga dan sebagai pengenalan terhadap aktifitas fisk yang tidak dikenal sebelumnya. Delayed onset muscle soreness (DOMS) adalah suatu fenomena yang sering ditemui dan terdokumentasi dengan baik, sering terjadi sebagai akibat dari latihan eksentrik yang tidak lazim atau intensitas tinggi (Connolly et al. 2003; MacIntyre et al. 1995). Gejala-gejala yang menyertai meliputi pemendekan otot, peningkatan kekakuan terhadap gerak pasif, bengkak, penurunan kekuatan dan daya ledak otot, sakit lokal, dan rasa posisi sendi/ proprioception yang terganggu (Proske and Morgan 2001). Gejala - gejala akan sering muncul dalam 24 jam setelah latihan dan biasanya menghilang setelah 3 – 4 hari (Clarkson and Sayers 1999). DOMS dilaporkan sebagai kejadian yang paling sering terjadi pada peserta lomba lari marathon dan kompetisi angkat besi. Atlet-atlet elit sering mudah terkena kerusakan otot karena ototototnya secara reguler dikenai kontraksi intensitas tinggi berulang (Allen 38 39 et al. 2004). Saat ini, penggunaan berbagai bentuk hidroterapi seperti cold water immersion (CWI), hot water immersion (HWI), dan contrast water therapy (CWT) sebagai intervensi recovery setelah latihan telah mendapat popularitas dan sekarang adalah praktik yang biasa di dalam lingkungan keolahragaan yang elit (Cochrane 2004; Vaile et al. 2007). Juga terlihat bahwa latihan eksentrik yang ringan melindungi atlet dari DOMS. Penelitian Balnave dan Thompson menguak bahwa latihan dengan kotraksi eksentrik otot sebagai program dasar pemanasan dapat melindungi atlet dari kerusakan otot yang terlihat ataupun tidak. Yang juga didukung oleh penelitian Schwane et al. Hortobagyi T et al. meneliti respon adaptif pada pemanjangan dan pemendekan otot quadriceps pada manusia. Studi ini menunjukkan bahwa adaptasi terhadap latihan dengan kontraksi eksentrik berhubungan dengan adaptasi neural dan hipertrofi otot yang lebih besar daripada latihan konsentrik. Johansson et al. menysatakan bahwa latihan eksentrik mempunyai efek pencegahan pada pegal otot/ muscle soreness, keempukan otot/ tenderness dan kehilangan daya. Armstrong juga menyatakan pandangan yang serupa juga bahwa latihan yang spesifik terdahulu dari otot yang teribat dapat menjadi pencegahan untuk DOMS. Peregangan otot/ stretching sering digunakan untuk memfasilitasi pemulihan setelah latihan yang intensif meskipun hal ini telah didiskusikan kontroversinya sehubungan dengan khasiatnya. Program peregangan gagal untuk mengurangi terjadinya atau membesarnya kerusakan otot setelah 40 latihan yang intensif. Mempertimbangkan sifat fisiologis dari muscle spindle maka kita mungkin berharap beberapa efek stretching pada tonus otot dan pengurangannya seharusnya bermakna pada pemulihan fungsional otot yang digunakan berlebih/ overexerted. Pada kenyataanya, perubahan pada aktivitas EMG menemukan setelah peregangan dari otot yang dilatih dalam hal pengurangan tonus otot. Mobilisasi saraf saat ini juga banyak dilakukan untuk terapi mengurangi nyeri akibat iritasi saraf tepi sciatica serta strain otot hamstring. Dari berbagai macam netode mobilisasi saraf untuk anggota gerak bawah maka yang paling populer digunakan adalah slump test/ slump stretching. Untuk menyelidiki mengapa slump stretching dapat menjadi terapi pada penaganan strain otot hamstring tingkat 1 (Grade 1 hamstring strains), sebuah penelitian menguji efek slump stretch pada aliran keluar simpatis/ sympathetic outflow pada anggota gerak bawah 10 orang normal dan atlet elit atletik. Gambaran Telethermographic diambil pada empat lokasi sebelum dan setelah peregangan pada kedua sisi tungkai yang diregang maupun yang tidak. Gambaran ini menunjukkan perubahan pada temperatur kulit sebagai respon terhadap refleks. Peningkatan temperatur kulit pada tungkai yang diulur mengindikasikan bahwa efek vasodilator secara signifikan terjadi pada tungkai ini, sementara pada tungkai yang tidak diulur menunjukkan sedikit penurunan temperatur sehingga peneliti berkesimpulan bahwa slump stretching dapat mempunyai efek penghambatan simpatik yang dapat menjadi mekanisme 41 fisiologis yang mendasari untuk efek terapi slump stretch pada strain hamstring tingkat 1. Atas dasar kerangka teori tersebut maka penulis melakukan penelitian peregangan otot – otot paha dan mobilisasi saraf metode slump test untuk melihat pengaruhnya terhadap pencegahan timbulnya nyeri tekan dan pembengkakan otot – otot paha serta memperbaiki kemampuan lompat pada orang dewasa normal yang biasa bermain bola basket. 3.2 Kerangka Konsep Pegal otot yang terlambat muncul/ DOMS Faktor eksternal Kurangnya pemanasan Kurangnya pendinginan Latihan yang tidak lazim atau fokus terus menerus pada grup otot tertentu Spasme/ penambahan lingkar otot Nyeri tekan otot Penurunan kemampuan fungsi otot Peregangan dan mobilisasi saraf setelah latihan Peregangan dan mobilisasi saraf sebelum latihan Faktor internal Inflamasi akut jaringan otot Genetik - Mempertahankan metabolisme - Meningkatkan elastisitas otot - Mengurangi nyeri Menaikkan temperature jaringan Meningkatkan elastisitas otot Menurunkan reaksi neuromuskuler HASIL Spasme/ penambahan lingkar otot setelah latihan berkurang Nyeri tekan otot setelah latihan berkurang Kemampuan fungsi otot tidak berkurang 42 3.3 Hipotesis Penelitian Dalam gambaran keadaan di atas, maka yang menjadi hipotesis penelitian ini adalah : 1. Peregangan otot dan mobilisasi saraf sebelum latihan sebagai program pemanasan dapat mencegah timbulnya nyeri tekan 2. Peregangan otot dan mobilisasi saraf sebelum latihan sebagai program pemanasan dapat mencegah timbulnya bengkak otot–otot tungkai atas 3. Peregangan otot dan mobilisasi saraf sebelum latihan sebagai program pemanasan dapat memperbaiki kemampuan lompat. 4. Peregangan otot dan mobilisasi saraf setelah latihan sebagai program pendinginan dapat mencegah timbulnya nyeri tekan 5. Peregangan otot dan mobilisasi saraf setelah latihan sebagai program pendinginan dapat mencegah timbulnya bengkak otot–otot paha 6. Peregangan otot dan mobilisasi saraf setelah latihan sebagai program pendinginan dapat memperbaiki kemampuan lompat. 7. Peregangan otot dan mobilisasi saraf lebih efektif setelah latihan sebagai program pendinginan dalam mencegah timbulnya nyeri tekan dibandingkan dengan peregangan otot dan mobilisasi saraf sebelum latihan sebagai program pemanasan 8. Peregangan otot dan mobilisasi saraf lebih efektif setelah latihan sebagai program pendinginan dalam mencegah timbulnya bengkak otot–otot paha dibandingkan dengan peregangan otot dan mobilisasi saraf sebelum latihan sebagai program pemanasan 43 9. Peregangan otot dan mobilisasi saraf lebih efektif setelah latihan sebagai program pendinginan dalam memperbaiki kemampuan lompat dibandingkan dengan peregangan otot dan mobilisasi saraf sebelum latihan sebagai program pemanasan 44 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan: 1. Rancangan penelitian experimental murni. 2. Rancangan pre test dan post test, control group design. dengan skema peneitian digambarkan sebagai berikut O1 P S P1 Q Q P2 O2 R O3 O4 Gambar. 4.1 Rancangan desain penelitian pre test dan post test P = Populasi S = Sampel R = Randomisasi P1 = Perlakuan 1 (peregangan otot-otot paha dan slump test sebelum latihan) P2 = Perlakuan 2 (peregangan otot-otot paha dan slump test setelah latihan) O1 = Pre tes kelompok kontrol O2 = Pos tes kelompok kontrol Q = Pelatihan kontraksi eksentrik untuk menimbulkan DOMS O3 = Pre tes kelompok perlakuan O4 = Pos tes kelompok perlakuan 44 45 4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pusat Kebugaran Mandira RS.Dr.Suyoto Bintaro - Jakarta Selatan. 4.2.2 Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilakukan mulai 30 Juli 2010 sampai dengan 1 Desember 2010 4.3 Penentuan Sumber Data 4.3.1 Variabilitas Populasi 4.3.1.1 Populasi target Dalam penelitian ini populasi target adalah warga kompleks Sawangan Regensi Depok serta fisioterapis RS.Aminah, RS.Dr.Soeyoto dan klinik Retna yang gemar berolahraga dan bisa bermain bola basket. 4.3.1.2 Populasi terjangkau Dalam penelitian ini populasi terjangkau adalah warga kompleks Sawangan Regensi Depok serta fisioterapis RS.Aminah, RS.Dr.Soeyoto dan klinik Retna yang bersedia ikut dalam program penelitian. 4.3.2 Sampel Sampel dalam penelitian adalah jumlah sampel yang diambil dari populasi terjangkau, disesuaikan dengan kriteria inklusi yang dibahas dalam kriteria eligibilitas. 46 4.3.3 Kriteria eligibilitas, Kriteria pemilihan yang membatasi karakteristik populasi terjangkau, yaitu: 4.3.3.1 Kriteria Inklusi Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah: 1. Berbadan sehat (tidak sedang cedera atau mendapatkan terapi akibat cedera) 2. Berusia 18 – 35 tahun 3. Bersedia menjadi sampel dalam penelitian 4. Mampu mengerti instruksi yang diberikan. 4.3.3.2 Kriteria ekslusi 1. Mengalami kondisi yang tidak memungkinkan diterapkan pelatihan. 2. Menderita sakit atau cedera pada sistem muskuloskeletal 4.3.3.3 Kriteria Penggugur Adalah sampel yang memenuhi kriteria inklusi, karena sesuatu keadaan dikeluarkan dari sampel, antara lain 1. Tidak memenuhi jumlah waktu perlakuan yang ditetapkan yaitu selama 3 (tiga) kali (segera setelah perlakuan, 1 hari sesudah dan 2 hari sesudah) 2. Meminum obat pereda nyeri ketika dalam rentang penelitian 47 4.4 Besar Sampel Besar sampel yang diperlukan dalam penelitian ini berdasarkan rumus Pocock : 2 2 n , 2 2 1 Keterangan : n = Jumlah Sampel = Simpang baku (dari tes awal) = Tingkat kesalahan I (ditetapkan 0,05) Interval kepercayaan (1 ) 0,95 = Tingkat kesalahan II (ditetapkan 0,2) Interval kepercayaan (1 ) 0,8 ( , ) = Integral interval kepercayaan 7,9 1 = rerata nilai pada kelompok kontrol (dari penelitian sebelumnya) 2 = rerata nilai pada kelompok perlakuan (dari penelitian sebelumnya) Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan yang dilakukan didapatkan hasil rerata nyeri tekan pada kelompok yang diberi latihan eksentrik saja (kontrol) 24 jam setelah perlakuan, 1 = 75,0 mm dengan standar deviasi = 1,1019 dan rerata kelompok yang diberi perlakuan latihan eksentrik diikuti peregangan diharapkan naik nilai ambang nyerinya sebesar 20% menjadi 2 = 76,66. Dengan demikian dapat dihitung sebagai berikut : 2(1,019) 2 n x7,9 76,6 75,02 48 n 2,42 x7,9 2,56 n 7,48 Dari hasil penghitungan di atas maka sampel ditetapkan berjumlah 8 sampel per kelompok perlakuan sehingga total sampel adalah 16 orang, dengan perincian: 1. Kelompok I, akan diberikan perlakuan peregangan otot – otot paha dan slump test sebelum latihan. 2. Kelompok II akan diberikan perlakuan peregangan otot – otot paha dan slump test setelah latihan. 4.5 Variabel Penelitian Penelitian ini memiliki beberapa variabel antara lain: 1. Variabel bebas Peregangan dan Mobilisasi saraf sebelum dan setelah latihan. 2. Variabel terikat Nyeri tekan, Bengkak Otot paha dan Kemampuan lompat. 3. Variabel kontrol - Umur, tinggi dan berat badan, kebiasaan berolahraga 49 4.6 Definisi Operasional - Stretching atau peregangan yang dilakukan dengan metode contractrelax yaitu peneliti/ fisioterapis memberikan tahanan ketika atlet mengkontraksikan otot yang akan diregang selama 10 detik setelah itu maka dilakukan gerakan yang berlawanan/ otot diregang lagi oleh fisioterapis selama 20 detik (dilakukan pada otot hamstring, quadriceps, illiotibial band/ tensorfaciae latae, glutei, dan adductors). - Mobilisasi saraf yang diberikan berupa gerakan slump test yaitu atlet duduk dengan posisi sedikit membungkuk, kedua tangan bertemu di belakang punggung dengan jari-jari tangan saling terjalin. Gerakan berikutnya yaitu tungkai diangkat 900 dengan lutut lurus dan pergelangan kaki dorsoflexi 900 lalu gerakan terakhir kepala ditundukkan pelan-pelan sampai dagu menyentuh dada - Nyeri tekan adalah rasa tidak nyaman apapun yang dirasakan ketika otot diberi tekanan. Dilakukan dengan spuit 10 cc (yang sudah diambil jarumnya) dan diberi nilai dari 0 – 10 dengan satuan sentimeter - Bengkak otot paha adalah pembesaran lingkar paha yang patologis. Diukur dengan mengambil lingkar paha tepat pada setengah panjang paha - Kemampuan lompat adalah kemampuan otot untuk membuat tubuh bergerak vertikal keatas. Diukur dengan meteran 50 4.7 Cara Pengumpulan Data. Data tentang gejala dan tanda DOMS didapat dengan melakukan pencatatan dari beberapa indikator, meliputi: 1. Kemampuan lompat (jump performance) 2. Pengukuran lingkar paha (thigh circumference) 3. Ambang Nyeri tekan/ Pressure pain threshold (PPT) 4.8 Prosedur penelitian. 4.8.1 Prosedur administrasi 1. Pengumpulan buku, jurnal baik melalui perpustakaan maupun internet sebagai sumber penelitian. 2. Menyusun blangko isian data sampel. 3. Mengundang sampel untuk mengisi blangko dan menjelaskan prosedur penelitian 4.8.2 Prosedur pengukuran Awal Sampel diambil data tentang karakteristik sampel dengan menggunakan kuesioner penelitian yang ditetapkan kemudian diberi perlakuan berupa protokol latihan yang merangsang terjadinya DOMS yaitu dengan alat leg press dengan rangkaian latihan yang terdiri dari 3 set kontraksi eksentrik bi-lateral leg press selama 10 kali dengan beban 120% dari repetisi maksimum sekali [1-RM (concentric)] diikuti oleh 2 set masing – masing 10 kali 51 dengan beban 100% 1-RM. (Hortobagyi and Katch 1990). Sepanjang tiap kontraksi eksentrik, beban ditahan dengan kedua tungkai dari ekstensi penuh ke sudut 90 0 (Vaile et al. 2007) dengan kontraksi berlangsung selama 3–5 detik. Subyek menyelesaikan satu kali kontraksi setiap 15 detik dan mempunyai periode istirahat 3 menit diantara satu set (Nosaka & Newton 2002; Vaile. 2007). 1. Kemampuan lompat (jump performance) Subyek diminta untuk melompat dengan barbell (seberat 30% dari kemampuan saat isometric squat) sebanyak 3 kali dan yang paling ttinggi dicatat untuk analisis. Subyek diminta untuk meletakkan barbell dipundak kemudian lutut jongkok 90°, tahan selama 2 detik, dan kemudian lompat keatas (Vaile et al. 2007). 2. Pengukuran lingkar paha (thigh circumference) Menggunakan meteran ukur, dilakukan pengukuran pada titik tepat setengah panjang paha atas. 3. Ambang Nyeri tekan/ Pressure pain threshold (PPT) Dilakukan pada 3 titik 5, 10 dan 15 cm diatasa kedua patella diukur dengan alat semprot 20 ml dengan pegas didalam dan diberi skala dari 0 sampai 10. Ujung yang bulat pada alat semprot diletakkan tepat diatas titik dengan posisi vertical dan pistonnya ditekan. Subyek diminta untuk menyatakan sensasi apapun yang tidak enak (nyeri) dan kemudian angka indikator pada alat semprot dicatat sebagai nilai ambang nyeri tekan. 52 4.9 Instrumen Penelitian Intrumen penelitian adalah sebagai berikut: 1. Form pencatatan data awal 2. Timbangan berat badan dan tinggi badan 3. Multi Gym equipment merek cybex yang memiliki fungsi leg press 4.10 Tahap pelaksanaan Penelitian Secara garis besar pelaksanaan penelitian dilakukan dengan tatacara dan tata urutan sebagai berikut : 1. Seluruh subyek penelitian diundang untuk diberikan penjelasan mengenahi tujuan penelitian dan tatacara penelitian. 2. Secara acak subyek penelitian di pisah 8 orang dimasukan dalam kelompok I dan 8 orang dimasukkan dalam kelompok II. 3. Untuk kelompok satu diberikan tata cara melakukan pelatihan dengan menggunakan alat multi gym dengan urutan sebagai berikut : a. Pertama mereka diukur data lingkar paha, nyeri tekan dan kemampuan lompat untuk mendapat data awal sesuai dengan prosedur. b. Lima menit awal diberikan pemanasan dengan peregangan dan mobilisasi saraf c. Berikutnya subyek penelitian melakukan pelatihan sebagaimana prosedur penelitian dengan alat leg press d. Begitu selesai maka dilakukan pendinginan dengan lari–lari kecil e. Diukur data lingkar paha, nyeri tekan dan kemampuan lompat 0, 24 dan 48 jam setelah Pelatihan. 53 4. Untuk Kelompok dua diberikan tatacara sebagai berikut: a. Pertama mereka diukur data lingkar paha, nyeri tekan dan kemampuan loncat untuk mendapat data awal sesuai dengan prosedur. b. Lima menit awal diberikan pemanasan dengan lari – lari ringan c. Berikutnya subyek penelitian melakukan pelatihan sebagaimana prosedur penelitian dengan alat leg press d. Diberikan pendinginan dengan peregangan dan mobilisasi saraf e. Diukur data lingkar paha, nyeri tekan dan kemampuan lompat 0, 24 dan 48 jam setelah Pelatihan. 5. Setiap perlakukan di jalankan maka di ceklis oleh peneliti. 4.11 Analisis Data Data yang diperoleh dianalisa dengan langkah langkah sebagai berikut : 1. Statistik Diskriptif digunakan untuk menggambarkan karakteristik fisik dan kemampuan fungsi sampel yang meliputi umur, kebiasaan olah raga, tinggi badan dan berat badan, lingkar paha, nyeri tekan dan kemampuan lompat. 2. Uji normalitas data dengan Saphiro Wilk Test, bertujuan untuk mengetahui distribusi data masing-masing kelompok perlakuan. Batas kemaknaan yang digunakan adalah α = 0,05. Jika hasilnya p > 0,05 maka dikatakan bahwa data berdistribusi normal dan apabila p < 0,05 menunjukkan bahwa data tidak berdistribusi normal. 3. Uji homogenitas data dengan Levene Test, bertujuan untuk mengetahui variasi data. Batas kemaknaan yang digunakan adalah α = 0,05. Apabila 54 hasilnya p > 0,05 maka data homogen dan apabila p < 0,05 berarti data tidak homogen. 4. Uji komparasi data tiga gejala dan tanda DOMS yaitu lingkar paha, kemampuan lompat dan nyeri tekan sebelum dan setelah perlakuan pada masing-masing kelompok perlakuan dengan menggunakan uji parametrik (trelated test). Uji ini digunakan untuk menguji hipotesis nomor-1 sampa 6. Batas kemaknaan yang digunakan adalah α = 0,05. Jika hasilnya p > 0,05, maka Ho diterima dan Ha ditolak (hipotesis penelitian ditolak atau tidak ada perbedaan yang signifikan) dan jika p < 0,05 maka Ho ditolak atau Ha diterima (hipotesis penelitian diterima atau ada perbedaan yang signifikan). Uji komparsi data tiga gejala dan tanda DOMS yaitu lingkar paha, kemampuan lompat dan nyeri tekan sebelum dan setelah perlakuan antara kelompok-1 dan kelompok-2 dengan menggunakan uji komparasi parametrik (Independent t-test) karena data berdistribusi normal. Uji ini bertujuan untuk membandingkan efek dari perlakuan terhadap tiga gejala dan tanda DOMS yaitu lingkar paha, kemampuan lompat dan nyeri tekan sebelum sebelum dan sesudah pelatihan antar kelompok-1 dan kelompok-2. Uji ini digunakan untuk menguji hipotesis nomor-7 sampai 9. Batas kemaknaan yang digunakan adalah α = 0,05. Jika hasilnya p > 0,05 maka Ho diterima atau Hi ditolak (hipotesis penelitian ditolak atau tidak ada perbedaan yang signifikan) dan apabila p < 0,05 maka Ho ditolak atau Hi diterima (hipotesis penelitian diterima atau ada perbedaan yang signifikan). 55 4.12 Kelemahan Penelitian Setelah penelitian dijalankan maka peneliti melihat adanya beberapa kelemahan diantaranya adalah : 1. Penelitian terpaksa hanya dilakukan selama dua hari karena keterbatasan waktu sampel dan peneliti. 2. Pekerjaan yang berbeda menyebabkan pola istirahat berbeda, dimana ada sampel yang berprofesi sebagai security dan profesi lain yang berlaku jam kerja shift. 56 4.13 Alur Penelitian Populasi Kriteria Inklusi dan Ekslusi Acak sampel sederhana sampel sampel acak Kelompok I Kelompok II Pengukuran awal Pengukuran awal Perlakuan dengan peregangan dan mobilisasi saraf sebelum pelatihan Perlakuan dengan peregangan dan mobilisasi saraf setelah pelatihan Pengukuran Akhir Analisis Data Penyusunan Tesis Gamabar 4.2 Bagan Alur Penelitian 57 BAB V HASIL PENELITIAN Dari hasil perlakuan yang telah dilakukan terhadap dua kelompok perlakuan masing-masing kelompok 1 dengan peregangan dan mobilisasi saraf sebelum latihan dan kelompok 2 dengan peregangan dan mobilisasi saraf setelah latihan, di dapatkan data untuk dilakukan analisa. Data awal yang didapat berupa karakteristik kondisi fisik subyek penelitian yang meliputi, umur, tinggi, berat badan, kebiasaan olah raga, lingkar paha, kemampuan lompat dan nyeri tekan. Sesuai dengan rumus pocock pada bab IV maka penelitian ini menggunakan 16 subyek penelitian yang dibagi dua kelompok. Penelitian dilakukan secara single blind dimana peneliti melakukan sendiri perlakukan yang diberikan untuk kedua kelompok subyek penelitian. 5.1 Deskripsi data awal kondisi fisik Subyek Deskripsi karakteristik fisik subyek penelitian disajikan pada Tabel 5.1 di bawah ini. Tabel 5.1 Karakteristik kondisi fisik subyek Rerata + SD Karakteristik Subyek Kelompok 1 (N=8) Kelompok 2 (N=8) Umur (th) 32,75 ± 6,49 30,75 ± 3,45 Berat badan (kg) 65.75 ± 7.978 72,54 ± 10.056 Tinggi Badan (cm) 169.63 ± 2.669 170.75 ± 5.548 Lingkar paha middle (cm) 51.588 ± 6.5283 47.825 ± 5.7797 Kemampuan Lompat Cm) 59.88 ± 3.603 57.38 ± 3.462 Nyeri tekan (cm) 7.563 ± 1.0836 7.500 ± 1.1019 57 58 Disamping data diatas subyek penelitian juga terdistribusi dalam data lain berupa kebiasan olah raga. Dari data kebiasaan olah raga didapatkan bahwa bahwa 4 orang (25,0%) rutin menjalankan olah raga, 8 orang (50,0%) jarang olah raga dan 4 orang (50,0%) hampir tidak pernah olah raga. 5.2 Uji Normalitas dan Homogenitas Data Untuk menentukan uji statistik yang akan digunakan maka terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dan homogenitas data hasil tes tiga parameter gejala dan tanda DOMS yaitu lingkar paha, kemampuan lompat dan nyeri tekan sebelum dan sesudah pelatihan dan uji homogenitas data sebelum pelatihan. Karena jumlah sampel < 30 orang maka Uji normalitas dengan menggunakan uji shapiro wilk, sedangkan uji homogenitas menggunakan Levene Test, yang hasilnya tertera pada Tabel 5.2 dan 5.3. Tabel 5.2 Hasil Uji Normalitas tiga parameter DOMS Sebelum dan Sesudah Perlakuan Variabel p. Uji Normalitas (Saphiro Wilk-Test) Lingkar paha sebelum latihan Nyeri tekan sebelum latihan Kemampuan lompat sebelum latihan Lingkar Paha sesudah latihan Nyeri tekan sesudah latihan Kemampuan lompat sesudah latihan Kelompok 1 Kelompok 2 0.466 0.502 0.595 0.314 0.673 0.691 0.479 0.494 0.426 0.453 0.796 0.754 59 Tabel 5.3 Hasil Uji Homogenitas tiga parameter DOMS Sesudah Perlakuan Variabel p. Uji Homogenitas (Lavene-Test) Lingkar Paha sesudah intervensi kelompok I dan II Nyeri tekan sesudah intervensi kelompok I dan II Kemampuan lompat sesudah intervensi kelompok I dan II 0.406 0.661 0.580 Hasil uji normalitas (Saphiro Wilk-Test) ketiga parameter gejala dan tanda DOMS sebelum pelatihan semua kelompok berdistribusi normal (p > 0,05). Demikian juga dengan data setelah pelatihan pada kedua kelompok berdistribusi normal (p > 0,05). Hasil uji homogenitas (Levene-Test) menunjukkan ketiga parameter sesudah pelatihan pada kedua kelompok p > 0,05, yang berarti data adalah homogen. 5.3 Uji hipotesis I - VI parameter DOMS sebelum dan sesudah pelatihan pada masing – masing kelompok Untuk mengetahui perbedaan parameter DOMS sebelum dan sesudah pelatihan pada masing-masing kelompok digunakan Paired Samples Test yang hasilnya tertera pada Tabel 5.4 60 Tabel 5.4 Uji hipotesis parameter DOMS sebelum dan Sesudah Pelatihan Kelompok I dan II Kelompok I Mean Lingkar Paha -0.35000 Sebelum Sesudah Perlakuan Nyeri Tekan 0.87500 Sebelum Sesudah Perlakuan Kemampuan 1.0000 Lompat Sebelum sesudah Perlakuan Kelompok II t p Mean t p -7.561 .021 -.28750 -4.952 .002 1.673 .010 .43750 2.966 .021 5.584 0.138 -2.0000 -3.528 .010 Tabel 5.4 memperlihatkan bengkak paha antara sebelum dan sesudah pelatihan pada kelompok I yang dianalisis dengan dengan uji Paired Samples Test menunjukkan bahwa peregangan dan mobilisasi saraf sebelum latihan menghasilkan penurunan bengkak yang bermakna (p < 0,05) demikian pula untuk nyeri tekan antara sebelum dan sesudah pelatihan pada kelompok I juga menghasilkan penurunan nyeri tekan yang bermakna (p < 0,05). Bengkak Paha setelah pelatihan yang dipakai adalah lingkar paha yang diukur seketika begitu selesai pelatihansedangkan nyeri tekan diukur 48 jam setelah pelatihan. Kemampuan lompat antara sebelum dan sesudah pelatihan pada kelompok I menunjukkan bahwa peregangan dan mobilisasi saraf sebelum latihan tidak menghasilkan perubahan kemampuan lompat yang bermakna (p > 0,05). Kemampuan lompat setelah pelatihan yang dipakai adalah kemampuan lompat 48 jam setelah selesai pelatihan. 61 Bengkak paha antara sebelum dan sesudah pelatihan pada kelompok II yang dianalisis dengan dengan uji Paired Samples Test menunjukkan bahwa peregangan dan mobilisasi saraf setelah latihan menghasilkan penurunan bengkak yang bermakna (p < 0,05) demikian pula untuk nyeri tekan antara sebelum dan sesudah pelatihan pada kelompok II juga menghasilkan penurunan nyeri tekan yang bermakna (p < 0,05). Bengkak Paha setelah pelatihan yang dipakai adalah lingkar paha yang diukur seketika begitu selesai pelatihan sedangkan nyeri tekan diukur 48 jam setelah pelatihan. Kemampuan lompat antara sebelum dan sesudah pelatihan pada kelompok II menunjukkan bahwa peregangan dan mobilisasi saraf setelah latihan juga menghasilkan perubahan kemampuan lompat yang bermakna (p < 0,05). Kemampuan lompat setelah pelatihan yang dipakai adalah kemampuan lompat 48 jam setelah selesai pelatihan. 5.4 Uji hipotesis VII – IX beda perubahan ketiga parameter DOMS pada kedua kelompok Uji beda ini bertujuan untuk membandingkan selisih hasil tiga parameter DOMS antara kelompok I (peregangan dan mobilisasi saraf sebelum pelatihan) dan kelompok II (peregangan dan mobilisasi saraf sebelum pelatihan). Hasil analisis kemaknaan dengan uji independent t-test (tidak berpasangan) disajikan pada Tabel 5.5 62 Tabel 5.5 Uji hipotesis beda pengaruh perlakuan pada tiga parameter DOMS sebelum dan Sesudah Pelatihan Variabel t p Mean Difference Lingkar Paha Sebelum 0.842 0.414 0.06250 Sesudah Perlakuan Nyeri Tekan Sebelum -2.033 0.061 -0.43750 Sesudah Perlakuan Kemampuan Lompat -3.642 0.003 3.0000 Sebelum - sesudah Perlakuan Tabel 5.5 memperlihatkan perbedaan penurunan bengkak paha antara sebelum dan sesudah pelatihan pada kelompok I dan II yang dianalisis dengan uji Independent Samples Test menunjukkan bahwa peregangan dan mobilisasi saraf yang diberikan sebelum atau setelah pelatihan tidak memiliki perbedaan yang bermakna (p > 0,05). Sedangkan untuk kemampuan lompat antara sebelum dan sesudah pelatihan pada kelompok I dan II yang dianalisis dengan dengan uji Independent Samples Test menunjukkan bahwa peregangan dan mobilisasi saraf yang diberikan setelah pelatihan menghasilkan perubahan kemampuan lompat yang bermakna (p < 0,05) dibandingkan peregangan dan mobilisasi saraf yang diberikan sebelum pelatihan Untuk nyeri tekan antara sebelum dan sesudah pelatihan pada kelompok I dan II yang dianalisis dengan dengan uji Independent Samples Test menunjukkan bahwa peregangan dan mobilisasi saraf yang diberikan sebelum atau setelah pelatihan juga menghasilkan perubahan nyeri tekan yang bermakna (p < 0,05) 63 BAB VI PEMBAHASAN 6.1. Kondisi Subyek Penelitian Subyek penelitian adalah karyawan dengan beragam profesi berjumlah 16 orang yang dibagi menjadi dua kelompok masing–masing beranggotakan 8 orang. Data karakteristik fisik yang didapat adalah umur, kebiasaan olah raga, tinggi badan, berat badan, dan lingkar paha serta data karakterisitk kemampuan fungsi yaitu kemampuan lompat dannyeri tekan. Secara rata-rata umur kelompok satu adalah 32,75 tahun sedangkan ratarata umur kelompok dua adalah 30,75 tahun. Selain itu penelitian ini juga mendapatkan data kebiasaan olah raga yang mana didapatkan bahwa bahwa 4 orang (25,0%) rutin menjalankan olah raga, 8 orang (50,0%) jarang olah raga dan 4 orang (50,0%) hampir tidak pernah olah raga sehingga memang dari kriteria umur dan kebiasan olahraga ini subyek memenuhi kriteria untuk melakukan tindakan pelatihan yang diberikan. 6.2. Distribusi dan Varians Subyek Penelitian Distribusi subyek penelitian kedua kelompok sebelum dan sesudah pelatihan, dilakukan uji normalitas dengan Shapiro-Wilk Test, sedangakan homoginitas varians antara kedua kelompok pelatihan diuji dengan Levene Test. Variabel yang diuji adalah tiga parameter DOMS sebelum dan sesudah pelatihan pada masing-masing kelompok dan selisih antara tiga parameter DOMS sebelum 63 64 pelatihan dan sesudah pelatihan pada kedua kelompok. Hasil uji normalitas (Saphiro Wilk-Test) ketiga parameter gejala dan tanda DOMS sebelum pelatihan semua kelompok berdistribusi normal (p < 0,05). Demikian juga dengan data setelah pelatihan pada kedua kelompok berdistribusi normal. (p < 0,05). Sementara hasil uji homogenitas (Levene-Test) menunjukkan ketiga parameter sebelum pelatihan p > 0,05, yang berarti data adalah homogen. . Dengan demikan kedua kelompok baik sebelum perlakuan, setelah perlakuan berdistribusi normal dan data sebelum perlakuan bersifat homogen sehingga merupakan data parametrik. 6.3. Pengaruh peregangan dan mobilisasi saraf sebelum pelatihan terhadap gejala dan tanda DOMS otot – otot tungkai atas Tabel 5.4 memperlihatkan lingkar paha antara sebelum dan sesudah pelatihan pada kelompok I yang dianalisis dengan dengan uji Paired Samples Test menunjukkan bahwa peregangan dan mobilisasi saraf sebelum latihan menghasilkan poenurunan bengkak paha yang bermakna (p < 0,05) demikian pula untuk nyeri tekan antara sebelum dan sesudah pelatihan pada kelompok I juga menghasilkan penurunan nyeri tekan yang bermakna (p < 0,05). Hal ini sesuai dengan penelitian Gladson R. F. Bertolini et al dari Laboratorium Studi Cedera dan sumber daya Fisioterapi, Universidade Estadual do Oeste do Paraná (UNIOESTE), Cascavel, Brazil tahun 2009 yang menyatakan peregangan dan mobilisasi saraf efektif dalam mengurangi nyeria akiat sciatica/ nyeri akibat iritasi saraf tepi 65 Kemampuan lompat antara sebelum dan sesudah pelatihan pada kelompok I menunjukkan bahwa peregangan dan mobilisasi saraf sebelum latihan tidak menghasilkan perubahan kemampuan lompat yang bermakna (p > 0,05). Hal ini sesuai dengan penelitian Nelson et al tahun 2005 yang menyatakan mayoritas penelitian pada peregangan/ stretching hingga 60 menit sebelum olahraga menunjukkan efek yang negatif pada daya ledak eksplosif otot/ explosive power 6.4. Pengaruh peregangan dan mobilisasi saraf setelah pelatihan terhadap gejala dan tanda DOMS otot – otot tungkai atas Tabel 5.4 memperlihatkan bahwa peregangan dan mobilisasi saraf setelah pelatihan menghasilkan penurunan bengkak paha dan nyeri tekan yang bermakna (p < 0,05) antara sebelum dan sesudah pelatihan pada kelompok II demikian juga untuk kemampuan lompat antara sebelum dan sesudah pelatihan pada kelompok II menunjukkan bahwa peregangan dan mobilisasi saraf setelah pelatihan menghasilkan perubahan kemampuan lompat yang bermakna (p < 0,05). Hal ini sesuai dengan penelitian meta-analisis Rob D Herbert dan Michael Gabriel dari Sekolah Fisioterapi Universitas Sydney tahun 2002 bahwa peregangan sebelum atau sesudah latihan tidak terlihat bermanfaat secara praktis dalam pencegahan cedera dan pegal otot namun memang penelitan mengenai efek peregangan terhadap kemampuan olahraga masih kurang sehingga perlu diteliti lebih lanjut. 66 6.5. Perbedaan pengaruh pemberian peregangan dan mobilisasi saraf setelah pelatihan dibandingkan sebelum pelatihan terhadap gejala dan tanda DOMS otot – otot tungkai atas. Tabel 5.5 memperlihatkan perbedaan penurunan bengkak paha antara sebelum dan sesudah pelatihan pada kelompok I dan II yang dianalisis dengan dengan uji Independent Samples Test tidak menghasilkan perbedaan yang bermakna (p > 0,05). Sedangkan untuk nyeri tekan antara sebelum dan sesudah pelatihan pada kelompok I dan II dan untuk kemampuan lompat antara sebelum dan sesudah pelatihan pada kelompok I dan II yang dianalisis dengan dengan uji Independent Samples Test menunjukkan bahwa peregangan dan mobilisasi saraf yang diberikan setelah pelatihan menghasilkan perubahan kemampuan lompat yang bermakna (p < 0,05) dibandingkan peregangan dan mobilisasi saraf yang diberikan sebelum pelatihan Dengan hasil uji statistik ini mengisyaratkan bahwa pemberian peregangan dan mobilisasi saraf setelah pelatihan tidak mempunyai pengaruh yang bermakna dalam mengurangi bengkak pada otot tungkai atas dibandingkan jika diberikan sebelum pelatihan karena tetapi pemberian peregangan dan mobilisasi saraf setelah pelatihan mampu mengurangi nyeri tekan dan memperbaiki kemampuan lompat secara bermakna jika dibandingkan dengan pemberian seblum latihan sebagai program pemanasan. Mengingat kemampuan lompat adalah karakteristik kemampuan fungsi yang terpenting pada olahragawan yang cidera maka pemberian peregangan dan 67 mobilisasi saraf setelah pelatihan tetap dapat dijadikan alternatif terbaik untuk mengurangi gejala dan tanda DOMS terutama untuk mengurangi nyeri tekan pada otot-otot tungkai atas dan memperbaiki kemampuan lompat Sehubungan dengan perbedaan yang kurang bermakna untuk pemberian peregangan dan mobilisasi saraf setelah pelatihan pada parameter lingkar paha setelah pelatihan terjadi karen pelatihan yang diberikan mungkin tidak cukup kuat untuk menimbulkan bengkak pada otot-otot paha. Pemulihan juga akan menjadi lebih optimal lagi jika diikuti dengan istirahat yang cukup. 68 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1. Simpulan Berdasar analisis penelitian yang telah dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut 1. Peregangan otot – otot paha dan slump test sebelum pelatihan sebagai pemanasan menghasilkan penurunan nyeri tekan yang bermakna (p < 0,05) sebesar 0.001 dan bengkak paha yang bermakna (p < 0,05) sebesar 0.000 akan tetapi kemampuan lompat tidak mengalami perubahan yang bermakna (p > 0,05) yaitu sebesar 0.138 sehingga dapat disimpulkan bahwa peregangan dan mobilisasi saraf sebelum pelatihan sebagai pemanasan mencegah timbulnya nyeri tekan dan bengkak paha akan tetapi tidak memperbaiki kemampuan lompat. 2. Peregangan otot – otot paha dan slump test setelah pelatihan sebagai pendinginan menghasilkan penurunan bengkak paha yang bermakna (p < 0,05) sebesar 0.002, penurunan nyeri yang bermakna sebesar 0,021 juga menghasilkan perubahan kemampuan lompat yang bermakna (p < 0,05) sebesar 0.010 sehingga dapat disimpulkan bahwa peregangan otot – otot paha dan slump test setelah pelatihan sebagai pendinginan mencegah timbulnya bengkak paha, nyeri tekan dan memperbaiki kemampuan lompat 68 69 3. Peregangan otot – otot paha dan slump test setelah pelatihan sebagai pendinginan menghasilkan penurunan nyeri tekan yang bermakna yaitu sebesar 0,061 (p < 0,05) juga menghasilkan perubahan kemampuan lompat yang bermakna (p < 0,05) sebesar 0.003 jika dibandingkan dengan Peregangan otot – otot paha dan slump test sebelum pelatihan sebagai pemanasan, akan tetapi untuk pengurangan bengkak paha tidak memiliki perbedaan yang bermakna p > 0,05 yaitu sebesar 0.414 sehingga dapat disimpulkan bahwa peregangan otot – otot paha dan slump test setelah pelatihan sebagai pendinginan mencegah timbulnya nyeri tekan dan memperbaiki kemampuan lompat, akan tetapi tidak mencegah timbulnya bengkak paha jika dibandingkan dengan peregangan otot – otot paha dan slump test sebelum pelatihan sebagai pemanasan 7.2. Saran Beberapa saran yang dapat diajukan berdasarkan temuan dan kajian dalam penelitian ini adalah : 1. Peregangan otot – otot paha dan slump test setelah latihan dapat digunakan dalam mencegah timbulnya nyeri tekan dan meningkatkan kemampuan lompat sehingga dapat digunakan sebagai pilihan utama untuk program pendinginan setelah olahraga bagi guru olahraga, pelatih, fisioterapis atau orang awam yang melakukan olahraga 70 2. Perlu diadakan penelitian lanjutan tentang peregangan dan mobilisasi saraf dengan metode lain 3. Pola istirahat perlu diseragamkan untuk mendapat hasil yang lebih baik . 71 DAFTAR PUSTAKA Anonym. 2010………. www.pjnhk.go.id, diakses pada tanggal 10 oktober 2010 Amir H Bakhtiary. 2007. Influence of vibration on delayed onset of muscle soreness following eccentric exercise. Br J Sports Med;41:145–148. Armstrong RB. 1984. Mechanism of exercise-induced delayed onset muscular soreness: A brief review. Med Sci Sports Exerc 16: 529-38. Bertolini R.F Gladson, Silva ST, Trindade LD, Ciena PA, Carvalho RA. 2009. Neural mobilization and static stretching in an experimental sciatica model –an experimental study. Rev Bras Fisioter, São Carlos, v.13, n.6, p. 493-8: ISSN 1413-3555 Cochrane DJ. 2004 Alternating hot and cold water immersion for athlete recovery: a review. Phys Ther Sport 5:26–32 Clarkson PM, Sayers SP. 1999. Etiology of exercise-induced muscle damage. Can J Appl Physiol 24(3):234–248 Connolly, D. A., Sayers, S. P. & McHugh, M. P. 2003. Treatment and prevention of delayed onset muscle soreness (abstract). Journal of Strength Conditioning Research, 17(1):197-208. Retrieved from PubMed.gov on July 24, 2006. Ellis RF, Hing WA. 2008. Neural mobilization: a systematic review of randomized controlled trials with an analysis of therapeutic efficacy. The Journal of Manual and Manipulative Therapy 16 (1), 8-22 Guyton, A.C., J. E. Hall, 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokeran.Edisi 11. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Hortobagyi T, Hill JP, Houmard JA. 1996. Adaptive responses to muscle lengthening and shortening in humans. Appl Physiol; 80: 765-72. Herbert D Rob, Gabriel Michael. 2002. Effects of stretching before and after exercising on muscle soreness and risk of injury: systematic review. BMJ volume 325 31; 325:468 Johansson PH, Lindstrom L, Sundelin G. 1999.The effects of preexercise stretching on muscular soreness, tenderness and force loss following heavy eccentric exercise. Scan J Med Sci Sports. 9: 219-25 72 Kemenegpora. 2000. Lokakarya peran tenaga kesehatan di bidang olahraga, Bogor Kysner Caroline & Colby Lyn Allen. 2007. Therapeutic Exercise Foundation and Techniques. Philadephia : FA. Davis. Mallac C. 2006. What the slump test can reveal. Sports Injury Bulletin: 62, 6 MacIntyre DL, Reid WD, McKenzie DC. 1995. Delayed muscle soreness. The inflammatory response to muscle injury and its clinical implications. Sports Med 20(1):24–40. Michael Gleeson et al. 1995. Haematological and acute-phase responses associated with delayed-onset muscle soreness in humans. Eur J Appl Physiol 71:137-142 Morgan L. David, Proske Uwe. 2004. Popping sarcomere hypothesis explains stretch induced muscle damage. Proceedings of the Australian Physiological and Pharmacological Society 34: 19-23 Nosaka K, Newton M. 2002. Repeated eccentric exercise bouts do not exacerbate muscle damage and repair. J Strength Cond Res;16:117–22. Pocock, 2007. Clinical Trial, A Practical Approach. New York: A Willey Medical Publication. Proske U, Morgan DL. 2001. Muscle damage from eccentric exercise. Mechanism, mechanical signs, adaptation and clinical applications. J Physiol 537(Pt 2):333–345 Reisman Simone, Allen J. Trevor, Proske Uwe. 2009. Changes in passive tension after stretch of unexercised and eccentrically exercised human plantar flexor muscles. Exp Brain Res (2009) 193:545–554 Sohan P. Selkar. 2009. Effect of Eccentric Muscle Training to Reduce Severity of Delayed Onset Muscle Soreness in Athletic Subjects. Eur J Gen Med; 6(4): 213-217 Szymanski, D. 2003. Recommendations for the avoidance of delayed-onset muscle soreness. Strength and Conditioning Journal 23(4): 7–13. Torres R, Appell H.J, Duarte J. A. 2007. Acute Effects of Stretching on Muscle Stiffness After a Bout of Exhaustive Eccentric Exercise. Int J Sports Med. New York: ISSN 0172-4622 73 Vaile J, Gill N, Blazevich AJ. 2007. The effect of contrast water therapy on symptoms of delayed onset muscle soreness (DOMS) and explosive athletic performance. J Strength Cond Res 21(3):697–702 Watson AS dalam Bloomfield, J, Fricker PA dan Fitch KD. 1995 : Science and medicine in Sport, 2nd edition. Victoria: Blackwell science Wang, SS, Whitney SL, Burdett RG, Janosky, JE. 1993. Lower extremity muscular flexibility in long distance runners. J Orthop Sports Phys Ther 17:102107. 74 Lampiran 1.1 SURAT PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN ( INFORMED CONSENT) Pada hari ini Tanggal…….Bulan……..Tahun…………yang bertanda tangan dibawah ini saya : Nama : Jenis Kelamin : laki-laki / Perempuan Umur : Alamat : th Telp/Hp : dengan ini menyatakan bahwa setelah saya mendapatkan arahan dan penjelasan secara terbuka dan rinci tentang pelaksanaan dan prosedur seta manfaat dari penelitian yang akan dilaksanakan oleh peneliti, maka saya bersedia menjadi responden dengan hak, kewajiban dan prosedur penelitian yang telah disepakati bersama, apabila terjadi hal-hal yang tidak sesuai dengan kesepakatan saya akan menarik diri secara otomatis. Demikian Surat Pernyataan ini dibuat dan ditanda tangani bersama dengan sadar tanpa ada paksaan agar dapat dipergunakan sebagaiana mestinya. Peneliti, ( Yang membuat persetujuan, ) ( ) 75 Lampiran 1.2 LAMPIRAN INFORMED CONSENT A. Judul Penelitian PEREGANGAN OTOT – OTOT PAHA DAN SLUMP TEST SETELAH LATIHAN MENCEGAH TIMBULNYA NYERI TEKAN DAN BENGKAK OTOT – OTOT PAHA SERTA MEMPERBAIKI KEMAMPUAN LOMPAT PADA ORANG DEWASA B. Tujuan Penelitian : Secara umum penelitian ini untuk mengetahui manfaat peregangan dan mobilisasi saraf terhadap pengurangan bengkak paha dan nyeri tekan dan perbaikan kemampuan lompat pada mereka yang biasa berolahraga bola basket. C. Lama penelitian : 6 bulan. D. Hak dan kewajiban sampel penelitian pengguna komputer 1. Hak sampel: a. Sampel berhak menerima pengarahan dan penjelasan yang terbuka dan rinci tentang tujuan penelitian. b. Sampel berhak mengundurkan diri apabila terjadi hal-hal yang menyimpang dari tujuan penelitian c. Sampel berhak mengundurkan diri karena alasan responden mendapatkan kendala yang tidak sesuai dengan kesepakatan awal. 2. Kewajiban sampel : a. Sampel wajib mengikuti proses pelaksanaan dari awal sampai akhir penelitian. 76 b. Sampel wajib memberikan keterangan yang jujur dan keluhan-keluhan apa yang dialami selama pelaksanaan penelitian E. Prosedur penelitian: Prosedur penelitian yang melibatkan pengguna komputer terutama dalam pengambilan data adalah sebagai berikut : 1. Data pribadi sampel dan pemeriksaan fisik 2. Perlakuan dengan memberi peregangan dan mobilisasi saraf sebelum dan sesudah latihan, kemudian diukur parameter: 1) Pemeriksaan nyeri tekan 2) Pemeriksaan lingkar paha 3) Pemeriksaan kemampuan lompat 77 Lampiran 1.3 FORMULIR PENGUMPULAN DATA PRIBADI RESPONDEN Bapak / Ibu/ Sdr Yang terhormat, Untuk memperoleh persamaan informasi bagi kita semua, maka mohon diisi dengan benar beberapa hal, sebagai berikut : A. Diisi oleh responden : 1. Nama : ………………………………………………. 2. Umur : ……………………. Tahun (dihitung berdasarkan tanggal kelahiran yang tercatat di akte kelahiran, dengan pembulatan ke baweah ) 3. Jenis kelamin : Laki-laki / perempuan B. Disi oleh peneliti Status kesehatan : 1. Pemeriksaan Fisik 2. Tekanan Darah 3. Denyut Nadi : : ………………………………. : Sistolik…….../ Diastik……… : …………….per menit 78 Lampiran 1.4 Lembar checklist Pelaksanaan aplikasi peregangan dan mobilisasi saraf Nama : Saksi / pengamat : Waktu pelaksanaan : Tgl pelaksanaan Stretching Slump Test Paraf saksi / pengamat Keterangan Ket : Beri tanda ( V ) bila kegiatan aplikasi stretching dan mobilisasi saraf dilakukan 79 80