BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Penyakit

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penyakit infeksi yang menyerang jaringan pendukung gigi merupakan
penyakit
serius,
apabila tidak
dilakukan perawatan yang tepat dapat
mengakibatkan kehilangan gigi, hal ini akan berdampak pada fungsi pengunyahan
dan penampilan seseorang. Salah satu infeksi jaringan pendukung gigi adalah
gingivitis.
Gingivitis merupakan suatu kelainan pada jaringan periodontal yang sering
ditemukan pada masyarakat umum. Penderita tidak menyadari bahwa dirinya
mempunyai suatu kelainan
pada gingivanya, disebabkan oleh
kurangnya
pengetahuan tentang kesehatan gigi dan mulut serta belum pernah dilaporkan
kasus kematian akibat kelainan gingivitis.
Penyakit pada jaringan periodontal yang diderita manusia hampir di seluruh
dunia dan mencapai 50% dari jumlah populasi dewasa. Menurut hasil survai
kesehatan gigi dan mulut di Jatim tahun 1995, penyakit periodontal terjadi pada
459 orang diantara 1000 penduduk . Di Asia dan Afrika prevalensi dan intensitas
penyakit periodontal terlihat lebih tinggi daripada di Eropa, Amerika dan Australia.
2
Di Indonesia penyakit periodontal menduduki urutan ke dua utama yang masih
merupakan masalah di masyarakat (Wahyukundari, 2008).
Gingivitis adalah peradangan gingiva, menyebabkan perdarahan disertai
pembengkakan, kemerahan, eksudat, perubahan kontur normal , gingivitis sering
terjadi dan bisa timbul kapan saja setelah timbulnya gigi, gingiva tampak merah.
Peradangan pada gusi dapat terjadi pada satu atau 2 gigi, tetapi juga dapat terjadi
pada seluruh gigi. Gingiva menjadi mudah berdarah karena rangsangan yang kecil
seperti saat menyikat gigi, atau bahkan tanpa rangsangan , pendarahan pada gusi
dapat terjadi kapan saja (Ubertalli,2008).
Penumpukan bakteri plak pada permukaan gigi merupakan penyebab utama
penyakit periodontal. Penyakit periodontal dimulai dari gingivitis, bila tidak
terawat bisa berkembang menjadi periodontitis dimana terjadi kerusakan jaringan
periodontal berupa kerusakan fiber, ligamen periodontal dan tulang alveolar
(Wahyukundari, 2008).
Insidensi penyakit gingivitis di DIY cukup tinggi. Penyakit ini menempati
peringkat atas dalam kelompok penyakit gigi dan mulut, bersama dengan kasus
gigi berlubang (karies). Kendati begitu, kesadaran masyarakat untuk rutin
memeriksakan gigi terbilang relatif masih rendah. Penderita baru ke dokter gigi
setelah merasakan sakit (Syafei, 2010).
Sekarang ini orang mencari alternatif lain yang lebih murah dengan beralih ke
3
obat tradisional yang berasal dari alam sekitar. Negara yang beriklim tropis seperti
Indonesia memiliki potensi alam yang sangat besar untuk digali, salah satunya
adalah pemanfaatan flora dan fauna dibidang kesehatan. Masyarakat desa terpencil
tidak tergantung sepenuhnya pada obat modern karena faktor geografis yang tidak
memungkinkan ketersediaan obat-obatan. Mereka mewarisi pengobatan tradisional
secara turun temurun, bahan alam yang dipercaya berkhasiat sebagai bahan
antimikroba salah satunya adalah lendir bekicot (Grahacendikia, 2009).
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki beraneka ragam satwa,
keanekaragaman satwa ini sesungguhnya telah dimanfaatkan oleh masyarakat,
terutama di daerah-daerah tertentu sebagai bahan obat-obatan. Dewasa ini
kecenderungan masyarakat untuk kembali ke
alam semakin tinggi, sehingga
pemanfaatan bahan-bahan alamiah cenderung meningkat, termasuk beberapa jenis
tumbuhan dan hewan yang digunakan sebagai obat-obatan tradisional. Pengobatan
tradisional dengan menggunakan beberapa jenis hewan telah lama di kenal, salah
satunya penggunaan lendir bekicot untuk pengobatan rasa sakit pada karies gigi,
yang dilakukan pada siswa SMP hasilnya signifikan mengeliminasi rasa sakit pada
gigi karies dengan diagnosis pulpitis (Agung, et al, 2009).
Saat musim hujan berlangsung, bekicot banyak dijumpai merayap di pohonpohon pisang, di dinding-dinding rumah dan di kebun yang rindang dengan
pepohonan. Binatang ini berkembang biak dengan cepat, karena sekali bertelor
jumlahnya sangat banyak. Kesan pertama memang binatang ini kotor dan
4
menjijikkan, namun di sebagian daerah binatang ini banyak dimanfaatkan sebagai
penutup luka baru bekas senjata tajam dan sejenisnya, bekicot dikeluarkan lalu
dioleskan pada luka, hanya perlu menunggu beberapa saat, luka yang tadinya
mengalirkan darah sudah menutup dan rapat tidak berdarah lagi (Anonim, 2011).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Bambang Pontjo Priosoeyanto tahun
2005 dari Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran hewan Institut Pertanian
bogor membuktikan bahwa lendir bekicot atau Achatina fulica mampu
menyembuhkan luka dua kali lebih cepat daripada luka yang diberikan larutan
normal saline (Ali, 2010)
Bekicot (Achantina fulica) sebagai salah satu obat tradisional dari bahan
hewan, perlu diteliti dan dikembangkan. Secara tradisional, bekicot digunakan oleh
masyarakat sebagai obat penyembuh luka baru. Secara ilmiah pernah diiakukan
penelitian tentang kemampuan fraksi hasil pemisahan lendir bekicot sebagai anti
mikroba (Ernawati dan Sunari, 1994).
Bekicot termasuk binatang lunak
(mollusca), dari division mollusca,
diklasifikasikan ke dalam kelas gastropoda, pada lendir bekicot terdapat peptida
antimikroba yang dapat mempengaruhi viabilitas ultrastruktur bakteri gram negatif
dan gram positif melalui perubahan ultrastruktur sel (Berniyanti, 2007).
Lendir bekicot mempunyai nilai biologis yang tinggi dalam penyembuhan dan
penghambatan proses inflamasi (Ernawati dan Sunari, 1994).
Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk meneliti tentang
5
pemberian lendir bekicot secara topikal lebih cepat menyembuhkan gingivitis oleh
karena calculus daripada povidone iodine 10%. Hasil penelitian ini diharapkan
dapat digunakan oleh masyarakat , terutama dalam penggunaan obat tradisional
untuk mempercepat proses penyembuhan gingivitis.
1.2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Apakah pemberian lendir bekicot (Achatina fulica) secara topikal dapat
menurunkan gingival indeks gingivitis grade 3 oleh karena calculus?.
2. Apakah pemberian Povidone iodine 10%
dapat menurunkan
gingival
indeks gingivitis grade 3 oleh karena calculus?.
3. Apakah pemberian lendir bekicot (Achatina fulica), secara topikal lebih
cepat menurunkan gingival indeks
gingivitis grade 3 karena calculus
daripada Povidone iodine 10% ?.
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1.Tujuan umum penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui pemberian lendir
bekicot (Achatina fulica) secara topikal lebih cepat menyembuhkan gingivitis
6
grade 3 karena calculus daripada Povidone iodine 10% .
1.3.2. Tujuan khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui pemberian lendir bekicot (Achatina fulica) secara
topikal dapat menurunkan gingival indeks gingivitis grade 3 karena
calculus .
2. Untuk mengetahui
pemberian Povidone iodine 10% secara topikal
dapat menurunkan gingival indeks gingivitis grade 3 karena calculus .
3. Untuk mengetahui pemberian lendir bekicot (Achatina fulica) secara
topikal lebih cepat menurunkan Gingival Indeks daripada Povidone
iodine 10% pada gingivitis grade 3 karena calculus.
1.3. 3. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah :
1. Manfaat akademis
Manfaat akademis adalah untuk memberikan informasi tentang peranan
Bekicot (Achatina fulica) dalam menyembuhkan gingivitis, menambah
khasanah keilmuan peneliti.
7
2 . Manfaat praktis
Manfaat praktis adalah memberikan informasi pada masyarakat bahwa
ada
pengobatan tradisional dengan lendir bekicot (Achatina fulica)
sebagai bahan alternatif terapi untuk mempercepat proses penyembuhan
gingivitis yang murah dan mudah didapatkan.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Gingiva
Gingiva adalah bagian mukosa rongga mulut yang mengelilingi gigi dan
menutupi linggir (ridge alveolar), yang merupakan bagian dari aparatus
pendukung gigi, periodonsium, dan membentuk hubungan dengan gigi. Gingiva
dapat
beradaptasi terhadap perubahan lingkungan dan rongga mulut yang
merupakan bagian pertama dari saluran pencernaan dan daerah awal masuknya
makanan dalam sistem pencernaan.
Jaringan rongga mulut terpapar terhadap
8
sejumlah besar stimulus, temperatur dan konsistensi makanan dan minuman,
komposisi kimiawi, asam dan basa sangat bervariasi. Gingiva yang sehat berwarna
merah muda, tepinya seperti pisau seseuai dengan kontur gigi geligi (Manson dan
Eley, 1993).
2.1.1. Bagian bagian gingiva
Menurut Itjiningsih Wangijaya Hashanur (1991), secara klinis dan mikroskopis
gingiva dapat dibagi menjadi :
1. Marginal gingiva / unattached gingiva yaitu bagian dari free gingiva (bagian
dari gingiva yang mengelilingi gigi dan tidak melekat pada gigi) yang terletak
di labial /
bukal dan lingual / palatinal gigi, lebarnya kurang dari satu
milimeter.
2. Attached
gingiva , yaitu : bagian dari gingiva yang melekat erat dengan
jaringan
sementum dan tulang alveolar. Gingiva attachment terletak mulai
lekukan yang disebut free gingiva groove (batas antara marginal gingiva dan
gingiva attachment) sampai pada mukosa alveolar. Lebarnya berkisar antara
satu sampai sembilan
millimeter dan tergantung pada letak gigi individu.
Gingival attachment yang melekat pada cement disebut gingival cemental,
sedangkan gingival attachment
yang melekat pada processus alveolaris
disebut gingival alveolar.
3 Interdental papilla, yaitu bagian dari gingiva yang mengisi ruang interdental
sampai di bawah titik kontak gigi, terdiri dari unattached dan attached gingival,
9
bila ada diastema, interdental papilla melekat erat dengan processus alveolaris
disebut gingival alveolar.
Menurut J.D. Manson dan B.M. Eley (1993) dikatakan bahwa regio interdental
berperan sangat penting karena merupakan daerah stagnasi bakteri
yang
paling resisten dan strukturnya menyebabkan daerah ini sangat peka, di
daerah ini biasanya timbul lesi awal gingivitis.
2.1.2. Serabut gingival
1. Serabut dentogingiva atau serabut gingival bebas yang melekeat pada
sementum dan melebar ke luar ke gingiva dan ke atas tepi gingiva untuk
bergabung dengan tepi gingiva untuk bergabung dengan periosteum dari
daerah perlekatan gingiva.
2. alveolar gingival atau serabut puncak tulang alveolar yang keluar
dari puncak tulang alveolar dan berjalan ke coronal ke arah gingival.
3. Serabut sirkular yang mengelilingi gigi.
4. Serabut transeptal yang berjalan dari satu gigi ke gigi lainnya di coronal
ke septum alveolar.
2.1.3. Sulcus gingiva
Menurut Carranza et al (2006), sulcus gingiva terdapat di daerah gingiva bebas
dan berperan penting dalam penyakit periodontal, berbentuk huruf V dan dalam
keadaan normal atau sehat dalamnya berkisar antara nol sampai dua millimeter.
Adapun batas-batasnya adalah sebagai berikut :
1. Bagian lateral oleh ephitelium lining dari gingival margin
10
2. Bagian media oleh jaringan gigi
3. Bagian dasarnya terdapat ephithelial attachmen
2.1.4. Epithelial attachment
Menurut Itjiningsih Wangidjaya Harshanur (1991) , epithelial attachment
adalah bagian epithel dari gingival margin yang mengadakan perlekatan dengan
jaringan gigi, terdiri dari beberapa lapis epithel, pada orang muda lapisan ini
sebanyak tiga sampai empat lapis dan pada orang tua lapisan ini makin bertambah.
Panjangnya 0,25 – 0,6 mm. Tempat perlekatan epithelial attachment pada gigi,
sangat erat hubungannya dengan pertumbuhan gigi, Pertumbuhan gigi yang
berhubungan dengan dengan epithelial attachment berjalan terus menerus selama
hidup. Pertumbuhan ini dibagi atas :
1. Pertumbuhan yang aktif, yaitu pertumbuhan gigi ke jurusan oklusal
2. Pertumbuhan yang pasif, yaitu pergerakan dari epithelial attachment ke
jurusan apex gigi.
Kedua pertumbuhan ini berjalan bersama-sama dan sampai mencapai
antagonis pertumbuhannya berkurang.
2.2. Gingivitis
2.2.1. Pengertian gingivitis
Salah satu kelainan dalam rongga mulut yang prevalensinya paling tinggi
adalah penyakit periodontal yang paling sering dijumpai, yaitu gingivitis.
Gingivitis atau keradangan gingiva merupakan kelainan jaringan penyangga gigi
11
yang hampir selalu tampak pada segala bentuk kelainan jaringan penyangga gigi
yang hampir selalu tampak pada segala bentuk kelaianan gingiva (Musaikan, et al,
2003).
Gingivitis adalah peradangan pada gingiva yang disebabkan bakteri dengan
tanda-tanda klinis perubahan warna lebih merah dari normal, gingiva bengkak dan
berdarah pada tekanan ringan. Penderita biasanya tidak merasa sakit pada gingiva.
Gingivitis bersifat reversible yaitu jaringan gingiva dapat kembali normal apabila
dilakukan pembersihan plak dengan sikat gigi secara teratur. Periodontitis
menunjukkan peradangan sudah sampai ke jaringan pendukung gigi yang lebih
dalam. Penyakit ini bersifat progresif dan irreversible dan biasanya dijumpai antara
usia 30-40 tahun. Apabila tidak dirawat dapat menyebabkan kehilangan gigi, ini
menunjukkan kegagalan dalam mempertahankan keberadaan gigi di rongga mulut
sampai seumur hidup yang merupakan tujuan dari pemeliharaan kesehatan gigi dan
mulut (Nield, 2003).
2.2.2. Macam-macam gingivitis
2.2.2.1. Gingivitis marginalis
Gingivitis yang paling sering kronis dan tanpa sakit, tapi episode akut, dan
sakit dapat menutupi keadaan kronis tersebut. Keparahannya seringkali dinilai
berdasarkan perubahan-perubahan dalam warna, kontur, konsistensi, adanya
perdarahan. Gingivitis kronis menunjukkan tepi gingiva membengkak merah
dengan
interdental menggelembung mempunyai sedikit warna merah ungu.
12
Stippling hilang ketika jaringan-jaringan tepi membesar. Keadaan tersebut
mempersulit pasien untuk mengontrolnya, karena perdarahan dan rasa sakit akan
timbul oleh tindakan yang paling ringan sekalipun (Langlais dan Miller, 1998).
2.2.2.2. Acute Necrotizing Ulcerative Gingivitis
ANUG ditandai oleh demam, limfadenopati, malaise, gusi merah padam, sakit
mulut yang hebat, hipersalivasi, dan bau mulut yang khas. Papilla-papilla
interdental terdorong ke luar, berulcerasi dan tertutup dengan pseudomembran
yang keabu-abuan.
2.2.2.3. Pregnancy Gingivitis
Biasa terjadi pada trimester dua dan tiga masa kehamilan, meningkat pada
bulan kedelapan dan menurun setelah bulan kesembilan. Keadaan ini ditandai
dengan gingiva yang membengkak, merah dan mudah berdarah. Keadaan ini sering
terjadi pada regio
molar, terbanyak pada regio anterior dan interproximal
(Susanti, 2003).
2.2.2.4. Gingivitis scorbutic
Terjadi karena defisiensi vitamin c, oral hygiene jelek, peradangan terjadi
menyeluruh dari interdental papill sampai dengan attached gingival, warna merah
terang atau merah menyala atau hiperplasi dan mudah berdarah (Sea, 2000).
2.2.3. Tanda-tanada gingivitis
Menurut Be Kien Nio (1987), gingivitis merupakan tahap awal dari penyakit
periodontal, gingivitis biasanya disertai dengan tanda-tanda sebagai berikut :
13
1. Gingiva biasanya berwarna merah muda menjadi merah tua sampai ungu
karena adanya vasodilatasi pembuluh darah sehingga terjadi suplay darah
berlebihan pada jaringan yang meradang.
2. Bila menggosok gigi biasanya pada bulu sikat ada noda darah oleh karena
adanya perdarahan pada gingiva di sekitar gigi.
3. Terjadinya perubahan bentuk gingiva karena adanya pembengkakan.
4. Timbulnya bau nafas yang tidak enak.
5. Pada peradangan gingiva yang lebih parah tampak adanya nanah di sekitar
gigi dan gingival.
2.2.4. Penyebab gingivitis
Kelainan yang terjadi dalam rongga mulut disebabkan oleh ketidakseimbangan
faktor-faktor yaitu : host, agent, environment, psikoneuroimunologi. Penyebab
gingivitis sangat bervariasi, mikroorganisme dan produknya berperan sebagai
pencetus awal gingivitis. Gingivitis sering dijumpai karena akumulasi plak supra
gingiva dan tepi gingiva, terdapat hubungan bermakna skor plak dan skor
gingivitis (Musaikan, 2003, Nurmala, 2010).
Lapisan plak pada gingiva menyebabkan gingivitis atau radang gingiva, umur
plak menentukan macam kuman dalam plak, sedangkan macam kuman dalam plak
menentukan penyakit yang ditimbulkan oleh plak. Plak tua adalah plak yang
umurnya tujuh hari mengandung kuman coccus, filament, spiril dan spirochaeta.
Plak tua ini menyebabkan gingivitis (Be, 1987, anonim, 2010).
14
Plak gigi terbukti dapat memicu dan memperparah inflamasi gingiva. Secara
histologis, beberapa tahapan gingivitis menjadi karakteristik sebelum lesi
berkembang menjadi periodontitis. Secara klinis, gingivitis dapat dikenali (anonim,
2009).
Menurut Sriyono et al, (2005) , faktor-faktor yang dapat menyebabkan
terjadinya gingivitis adalah sebagai berikut :
2.2.4.1. Faktor internal
Faktor intern yang bertanggung jawab atas terjadinya penyakit gingiva
1. Lapisan karang gigi dan noda atau zat-zat pada gigi
2. Bahan makanan yang terkumpul pada pinggiran gingiva tidak
dibersihkan oleh air liur dan tidak dikeluarkan oleh sikat.
3. Gigi berjejal secara abnormal sehingga makanan yang tertinggal tidak
teridentifikasi,
kadang-kadang
terbentuk
ruangan
dikarenakan
pembuangan gigi.
4. Kebiasaan seperti menempatkan peniti, kancing, buah pinang dan kawat
dalam mulut. Bahan ini melukai gusi dan menyebabkan infeksi.
2.2.4.2. Faktor external
Makanan yang salah dan malnutrisi. Pada umumnya seseorang yang kurang
gizi memiliki kelemahan, gejala yang tidak diharap tersebut dikarenakan faktor
sosial ekonomi yang berperan sangat penting.Faktor-faktor yang berperan adalah
latar belakang pendidikan, pendapatan dan budaya. Golongan masyarakat
berpendapatan rendah tidak biasa melakukan pemeriksaan kesehatan yang bersifat
15
umum. Diet dengan hanya makan sayuran tanpa unsur serat di dalamnya juga
biasa menjadi faktor penambah.
2.2.5. Proses terjadinya gingivitis
Plak berakumulasi dalam jumlah sangat besar di regio interdental yang
terlindung, inflamasi gingiva cenderung dimulai pada daerah papilla interdental
dan menyebar dari daerah ini ke sekitar leher gigi. Pada lesi awal perubahan
terlihat
pertama kali di sekitar pembuluh darah gingiva yang kecil, di sebelah
apikal dari epithelium fungsional khusus yang merupakan perantara hubungan
antara gingiva dan gigi yang terletak pada dasar leher gingiva), tidak terlihat
adanya tanda-tanda klinis dari perubahan jaringan pada tahap ini. Bila deposit plak
masih ada perubahan inflamasi tahap awal akan berlanjut disertai dengan
meningkatnya aliran cairan gingiva.
Pada tahap ini tanda-tanda klinis dari inflamasi makin jelas terlihat. Papilla
interdental menjadi sedikit lebih merah dan bengkak serta mudah berdarah pada
sondase, dalam waktu dua sampai seminggu akan terbentuk gingivitis yang lebih
parah. Gingiva sekarang berwarna merah, bengkak dan mudah berdarah (Manson
dan Eley, 1993).
2.2.6. Akibat gingivitis
Menurut Be Kien Nio (1987), Anonim (2010), apabila gingivitis tidak segera
ditangani maka akan mengakibatkan hal-hal sebagai berikut :
16
Sulcus gingiva akan tampak lebih dalam dari keadaan normal, akibat
pembengkakan gingival ,gingiva mudah berdarah, gingiva berwarna merah, nafas
bau busuk, dan gigi goyang
2.2.7. Pencegahan gingivitis
Menurut Depkes RI. (2002), untuk mencegah terjadinya gingivitis, kita harus
berusaha agar bakteri dan plak pada permukaan gigi tidak diberi kesempatan untuk
bertambah dan harus dihilangkan, sebenarnya setiap orang mampu, tetapi untuk
melakukannya secara teratur dan berkesinambungan diperlukan kedisiplinan
pribadi masing-masing. Caranya :
1. Menjaga kebersihan mulut, yaitu : sikatlah gigi secara teratur setiap
sesudah makan dan sebelum tidur.
2. Mengatur pola makan dan menghindari makan yang merusak gigi, yaitu
makanan yang banyak gula.
3. Periksalah gigi secara teratur ke dokter gigi, Puskesmas setiap enam
bulan sekali.
2.2.8. Perawatan gingivitis
Menurut J.D. Manson dan B.M. Eley (1998), Mediresource clinical team
(2010), perawatan gingivitis terdiri dari tiga komponen yang dapat dilakukan
bersamaan yaitu :
17
1. Interaksi kebersihan mulut
2. Menghilangkan plak dan calculus dengan scaling
3. Memperbaiki faktor-faktor retensi plak.
Ketiga macam perawatan ini saling berhubungan. Pembersihan plak dan
calculus tidak dapat dilakukan sebelum faktor-faktor retensi plak diperbaiki.
Membuat mulut bebas plak ternyata tidak memberikan manfaat bila tidak
dilakukan upaya untuk mencegah rekurensi deposit plak atau tidak diupayakan
untuk memastikan pembersihan segera setelah deposit ulang.
2.2.9. Indeks untuk mengukur gingivitis
Gingivitis diukur dengan gingival indeks. Indeks adalah metoda untuk
mengukur kondisi dan keparahan suatu penyakit atau keadaan pada individu atau
populasi. Indeks digunakan pada praktek di klinik untuk menilai status gingiva
pasien dan mengikuti perubahan status gingiva seseorang dari waktu ke waktu,
pada penelitian epidemiologis, gingiva indeks digunakan untuk membandingkan
prevalensi gingivitis pada kelompok populasi, dan untuk menilai efektivitas suatu
pengobatan atau alat. Gingiva indeks pertama kali diusulkan pada tahun 1963
untuk menilai tingkat keparahan dan banyaknya inflamasi gingiva pada seseorang
atau pada subjek dikelompok besar populasi. Menurut metoda ini keempat area
gingiva pada masing-masing gigi (fasial,mesial, distal dan lingual), dinilai tingkat
inflamasinya dan diberi skor dari 0 sampai 4.
Penilaiannya adalah ;
18
0 = Gingiva normal, tidak ada keradangan, tidak ada perubahan warna dan
tidak ada perdarahan.
1 = Peradangan ringan : terlihat ada sedikit perubahan warna dan sedikit
edema, tetapi tidak ada perdarahan saat probing.
2 = Peradangan sedang : warna kemerahan, adanya edema, dan terjadi perdarahan
saat probing
3 = Peradangan berat : warna merah terang, atau merah menyala, adanya edema,
ulserasi, kecenderungan adanya perdarahan spontan (Wilkins dan Ester, 2005).
2.3. Calculus
2.3.1. Pengertian Calculus
Calculus merupakan suatu masa yang mengalami kalsifikasi yang terbentuk
dan melekat erat pada permukaan gigi dan objek solid lainnya di dalam mulut.
Calculus mempunyai permukaan yang kasar, sehingga sisa-sisa makanan dan
bakteri mudah melekat dan berkembang biak
yang mengakibatkan terjadinya
penebalan dari calculus tersebut. Pengendapan calculus yang banyak biasanya
terjadi pada permukaan gigi yang berlawanan dengan muara kelenjar ludah,
misalnya bagian lingual gigi anterior sel-sel permukaan mukosa rahang bawah dan
bagian bukal gigi molar satu atas. Tetapi dapat juga dijumpai pada setiap gigi geligi
tiruan yang tidak di bersihkan dengan baik (Carranza et al, 2006).
2.3.2. Teori terbentuknya calculus (Daniel, 2004).
2.3.2.1. Teori physicochemical oleh Resobury dan Kirk .
19
Menurut Resobury
: Calculus terbentuk oleh karena adanya pengendapan
air ludah sedangkan menurut Kirk Lepasnya CO2
dari saliva mengurangi asam
carbonat yang terkandung di dalam saliva sehingga terjadi pengendapan larutan
calcium phospat sebagai calculus.
2.3.2.2. Teori Enzymatic dari Tureskey
Menurut teori ini, calculus dapat terjadi karena adanya aktifitas enzim-enzim
phospat yang berasal dari sel-sel permukaan mukosa yang sedang berdegenerasi.
Umumnya enzim phosphate terbentuk bila ada suatu peradangan.
2.3.2.3.Teori bakteriologis dari Box.
Mikroorganisme tertentu mempunyai peranan penting atas terjadinya
pengendapan garam-garam calcium sehingga terbentuk calculus. Pertumbuhan
mikroorganisme terjadi apabila ada keradangan.
2.3.2.4. Teori sistemik dan diet dari King, Gimson dan Wallace
Menurut teori ini, adanya calculus dan peradangan pada gingiva, secara
sistemis disebabkan kekurangan vitamin A (King dan Gimson), sedangkan menurut
Wallace
orang yang banyak makan makanan yang berserat mempunyai lebih
sedikit calculus dan makanan yang kasar dan keras, dapat menghambat
pembentukan calculus.
2.3.3. Komposisi calculus
20
Calculus terdiri dari sel-sel darah dan sel-sel epitel lepas radang endapan
bahan-bahan anorganik yang terdiri dari : 20% air, 13% calcium carbonat, 6%
calcium phospat, endapan natrium dan ferum (Ireland, 2006).
2.3.4. Macam-macam calculus (Carranza et al, 2006)
Berdasarkan letak/lokasinya:
1. Supra gingival calculus adalah calculus yang melekat pada permukaan
mahkota gigi mulai dari puncak gingiva margin dan dapat dilihat,
berwarna putih, konsistensinya keras seperti batu clay dan mudah
dilepaskan dari permukaan gigi dengan scaler. Warna calculus dapat
dipengaruhi oleh pigmen sisa makanan atau dari merokok. Calculus
supra gingiva
dapat terjadi pada satu gigi, sekelompok gigi atau
seluruh gigi, lebih sering terdapat pada bagian bukal molar rahang atas
yang berhadapan dengan ductus Stensens pada bagian lingual gigi
depan rahang bawah yang berhadapan dengan ductus Whartons selain
itu calculus banyak terdapat pada gigi yang sering digunakan.
2.
Sub gingival calculus adalah calculus yang berada di bawah batas
gingival margin, biasanya pada daerah saku gusi dan tak dapat terlihat
pada waktu pemeriksaan. Untuk menentukan lokasi dan perluasannya
harus dilakukan probing dan explorer, biasanya padat dan keras,
warnanya coklat tua atau hijau kehitam-hitaman konsistensinya seperti
kepala korek api dan melekat erat ke permukaan gigi. Bentuk sub
21
gingival calculus dapat dibagi menjadi deposit noduler dan spining
yang keras, berbentuk cincin atau ledge yang mengelilingi gigi,
berbentuk seperti jari yang meluas sampai ke dasar saku, bentuk bulat
yang terlokalisir, bentuk gabungan dari bentuk-bentuk di atas. Bila
gingival mengalami resesi maka sub gingival calculus akan terlihat
seperti supra gingival calculus dan akan ditutupi oleh supra gingival
yang asli.
Berdasarkan asalnya :
1. Salivary calculus adalah calculus yang berasal dari saliva, berwarna
kuning, konsistensi lunak, terletak di permukaan gigi
2. Cerumal calculus adalah calculus yang berasal dari serum darah karena
adanya peradangan, berwarna coklat sampai hitam, konsistensi keras,
terletak di permukaan akar.
2.4. Bekicot
2.4.1. Sejarah dan macam-macam bekicot
Bekicot diperkirakan berasal dari Afrika Timur, dan bukan merupakan satwa
asli Indonesia. Bekicot (Achatina fulica), diperkirakan tiba di Indonesia sekitar
tahun 1922, selain jenis bekicot tersebut yang ada di Indonesia adalah Achatina
variegata, yang diperkirakan masuk ke Indonesia sekitar tahun 1942, yaitu
bersamaan dengan masuknya Jepang ke Indonesia (Santoso, 1989).
22
Secara biologi bekicot termasuk binatang lunak (Mollusca), dari division
mollusca diklasifikasikan lebih lanjut ke dalam kelas Gastropoda atau binatang
berkaki perut. Lebih rinci lagi binatang ini
termasuk dalam genus Achatina.
Bekicot
apabila dibedakan berdasarkan jenisnya dapat dibedakan menjadi empat jenis yaitu
: Achatina variegate, Achatina fulica, helix pomatia, dan Helix aspersa.
Keempat jenis bekicot tersebut menurut (Santoso, 1989) adalah sebagai
berikut :
1. Achatina variegate yang memiliki cirri-ciri : mempunyai rumah (cangkang)
lebih mencolok berwarna coklat lenggak lenggok, berat badan sekitar 150
sampai 200 gram, dengan ukuran antara 90 sampai 130 mm, jumlah telur
sekitar 100 sampai 300 butir dengan masa bertelur tiga sampai empat kali
setahun.
2. Achatina fulica, yang memiliki cirri-ciri : memiliki cangkang tidak begitu
mencolok dan bentuk cangkang cenderung meruncing, berat badan antara
150 sampai 200 gram dengan ukuran antara 90 sampai 130 mm, jumlah
telur antara 100 sampai 300 butir dengan masa bertelur antara tiga sampai
empat kali setahun.
23
3. Helix pomatia, yang memiliki cirri-ciri : mempunyai cangkang yang kuat
dengan warna cokelat keputih-putihan, berat badan antara 15 sampai 25
gram dengan ukuran antara 40 sampai 50 mm, jumlah telur antara 30
sampai 50 butir dalam sekali bertelur.
4. Helix aspersa, yang memiliki cirri-ciri : mempunyai cangkang yang lemah
dengan warna cokelat muda sampai kehitam-hitaman dengan garis-garis
tidak teratur, berat badan antara 4 sampai 20 gram dengan ukuran antara 30
sampai 45 mm, jumlah telur antara 50 sampai 170 butir dengan masa
bertelur satu sampai tiga kali dalam satu musim.
2.4.2. Lendir bekicot sebagai obat tradisional penyembuh luka
Menurut Berniyanti (2007), pada lendir bekicot terdapat peptida antimikroba
yang dapat mempengaruhi viabilitas ultrastruktur bakteri gram negatif dan gram
positif melalui perubahan ultrastruktur sel.
Bekicot (Achatina fulica) secara turun temurun digunakan sebagai obat
penyembuh luka ringan, penyakit kuning, penyakit kulit, serta lendirnya digunakan
untuk mengurangi rasa sakit gigi. Lendir bekicot menghilangkan rasa nyeri dengan
menghambat mediator nyeri, sehingga nyeri tidak terjadi, hal ini disebabkan oleh
mediator nyeri terhalangi untuk merangsang reseptor nyeri, sehingga nyeri tidak
diteruskan ke pusat nyeri. Lendir bekicot juga dapat digunakan untuk meredakan
sakit gigi, yaitu dengan menempelkan lendir bekicot pada gigi yang sakit dengan
bantuan kapas (Mutiarawati, 2009).
24
Lendir bekicot memberikan reaksi positif dan nilai biologis yang tinggi, yaitu
dalam penyembuhan dan penghambatan proses inflamasi (Ernawati dan Sunari,
1994).
Bekicot sebagai salah satu obat tradisional dari bahan hewan, perlu diteliti dan
dikembangkan. Secara tradisional, bekicot digunakan oleh masyarakat sebagai obat
penyembuh luka baru. Secara ilmiah pemah diiakukan penelitian tentang
kemampuan fraksi hasil pemisahan lendir bekicot sebagai antimikroba Eschericia
coli, Streptococcus haemoliticus, Salmonella typii, Pseudomonas aeruginosa, dan
Candida albicans (Ernawati dan Sunari, 1994) dan efek cairan atau lendir, ekstrak
air dan ekstrak etanol daging bekicot terhadap penyembuhan luka terbuka (Ibrahim
dkk,1995).
Hasil penelitian Tripurnomorini et al (2000), lendir bekicot mempunyai
kemampuan sebagai antiinflamasi yang relatif sama dengan daya antiinflamasi
asetosal.
2.5. Povidone iodine 10%
2.5.1. Pengertian Povidone iodine 10%
Povidon-iodine ialah suatu iodovor dengan polivinil pirolidon berwarna coklat
gelap
. Povidone-iodine merupakan agent
antimikroba yang efektif dalam
desinfeksi dan pembersihan kulit (Ganiswara, 1995).
2.5.2. Mekanisme kerja Povidon iodine
Povidon-iodine bersifat bakteriostatik dan bersifat bakterisid . Povidon-iodine
memiliki toksisitas rendah pada jaringan, tetapi detergen dalam larutan
25
pembersihnya akan lebih meningkat toksisitasnya . Dalam 10% Povidon iodine
mengandung 1% iodiyum yang mampu membunuh bakteri dalam 1 menit dan
membunuh spora dam waktu 15 menit (Ganiswara, 1995).
2.6. Proses penyembuhan
Tubuh yang sakit mempunyai kemampuan alami untuk melindungi dan
memulihkan dirinya. Peningkatan aliran darah yang rusak, membersihkan sel dan
benda asing dan perkembangan awal seluler bagian dari proses penyembuhan.
Proses penyembuhan terjadi secara normal, dan beberapa bahan dapat membantu
mendukung proses penyembuhan (Ali et al, 2002).
BAB III
KERANGKA PIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS
26
3.1. Kerangka Pikir
Gingivitis merupakan suatu keradangan pada gingiva yang disebabkan oleh
faktor eksterna yaitu sosial ekonomi, pendidikan, malnutrisi, budaya, umur dan
jenis kelamin, sedangkan faktor interna adalah karang gigi, debris, gigi berjejal,
hormonal, strees dan mikroorganisme. Pengobatan gingivitis setelah skaling
biasanya diberikan obat Povidone iodine 10%, tetapi sekarang ini orang mencari
alternatif lain yang lebih murah dengan beralih ke obat tradisional yang berasal
dari alam sekitar. Negara yang beriklim tropis seperti Indonesia memiliki potensi
alam yang sangat besar untuk digali, salah satunya adalah pemanfaatan flora dan
fauna dibidang kesehatan. Masyarakat desa terpencil tidak tergantung sepenuhnya
pada obat modern karena faktor geografis yang tidak memungkinkan ketersediaan
obat-obatan. Mereka mewarisi pengobatan tradisional secara turun temurun, bahan
alam yang dipercaya berkhasiat sebagai bahan antimikroba salah satunya adalah
lendir bekicot yang digunakan sebagai obat gingivitis.
27
3.2. Kerangka Konsep
Faktor external
-Sosial ekonomi
-Pendidikan
-Malnutrisi
-Budaya
-Umur,Jenis Kelamin
Faktor internal
-Karang gigi,debris
-Gigi berjejal
-Hormonal
-Stress
-Mikroorganisme
Gingivitis
28
Lendir Bekicot (Achatina fulica)
(Penurunan Gingival indeks)
Povidone Iodine 10%
29
Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian
Keterangan :
Variabel bebas
Variabel yang diteliti
Variabel tergantung
Variabel yang diteliti
Variabel antara
Variabel kendali
3.3. Hipotesis
1. Pemberian lendir bekicot (Achatina fulica) secara topikal dapat menurunkan
gingival indeks gingivitis grade 3 karena calculus.
2. Pemberian
Povidone iodine 10% secara topikal
dapat
menurunkan
gingival indeks gingivitis grade 3 karena calculus.
3. Pemberian
lendir
bekicot
secara topikal lebih cepat menurunkan
30
gingival indeks gingivitis grade 3 karena calculus daripada Povidone iodine
10%.
31
BAB IV
RANCANGAN PENELITIAN
4.1 RANCANGAN PENELITIAN
Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan
eksperimental dengan : (pre-posttest Control Group Design)
Skema Rancangan Penelitian
P
C
S
p1
R
K
O3
Keterangan gambar :
P : Populasi
O4
32
C : Consecutive
R : Random
p1 : Kelompok perlakuan dengan lendir bekicot
K : Kelompok perlakuan dengan Povidone iodine 10%
S : Sampel
O1 : Observasi kelompok 1 sebelum perlakuan
O2 : Observasi kelompok 1 sesudah perlakuan dengan lendir bekicot
O3 : Observasi kelompok 2 sebelum perlakuan
O4 : Observasi kelompok 2 sesudah perlakuan dengan Povidone iodine 10%.
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat penelitian dilakukan di Klinik Jurusan Kesehatan Gigi Poltekkes
Kemenkes Denpasar.
Waktu penelitian akan dimulai dari bulan Maret 2011.
4.3 Sumber Data Populasi dan Sampel
4.3.1. Populasi
33
1. Populasi target penelitian adalah pasien yang berkunjung ke Klinik JKG
Poltekkes Kemenkes Denpasar selama satu bulan.
2. Populasi terjangkau adalah pasien yang berkunjung ke klinik JKG Poltekkes
Denpasar dengan diagnosis gingivitis dan gingival indeks 3.
4.3.2. Sampel
1. Besar Sampel
Besarnya sampel yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 15 orang,
dimana orang tersebut digunakan sebagai kelompok perlakuan dan sebagai
kelompok kontrol. Sampel diambil berdasarkan kriteria inklusi dan
ekslusi yang telah ditetapkan. Sampel dihitung berdasarkan rumus Pocock
(2008):
Jadi jumlah sampel adalah 13,44 + 10% = 14,7 dibulatkan jadi 15.
Keterangan :
34
n = Jumlah sampel
σ : simpangan baku dari
perkiraan literatur.
α : 0,05
β : 0,1
ƒ (α.β) : 10,5
2. Kriteria Inklusi
Kriteria yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Pasien yang datang ke klinik JKG diagnosis gingivitis grade 3
b. Bersedia dijadikan sampel dan mau menandatangani inform consent.
3. Kriteria eksklusi
Kriteria eksklusi yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Apabila pasien dalam masa perawatan tidak datang untuk terapi selanjutnya.
b. Pasien sedang mendapatkan pengobatan dengan antibiotika.
4.Teknik Sampling
35
Sampel dipilih secara consecutive random sampling. Setiap pengunjung
Poliklinik JKG Poltekkes Kemenkes Denpasar yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi dipakai sebagai sampel sampai jumlah sampel terpenuhi, sebanyak 15
orang. Sampel yang tidak memenuhi syarat akan dirawat sesuai dengan kasusnya.
5. Alokasi perlakuan
Lokasi perlakuan dipilih secara random dengan menggunakan kertas undian
dibuat 16 undian yang berisi delapan regio kiri-kanan (pemberian lendir
bekicot-pemberian Povidone iodine 10%), sedangkan delapan berikutnya kanankiri (pemberian lendir bekicot-pemberian Povidone iodine 10%), dipilih secara
berurutan sampai ke 16 undian terambil. Hasil undian dibuat dalam daftar
perlakuan sesuai dengan nomor urut undian.
4.4. VARIABEL PENELITIAN
a. Variabel tergantung
: Gingivitis dan penurunan gingival indeks
b. Variabel bebas
: Lendir bekicot , Povidone iodine 10%.
c. Variabel kendali
: Sosial ekonomi, pendidikan, malnutrisi, budaya,
umur, jenis kelamin .
d. Variabel antara
: Karang gigi, debris, gigi berjejal, hormonal, stress
36
mikroorganisme
4.5. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL
1. Gingivitis adalah suatu keradangan pada jaringan gingiva yang disebabkan oleh
calculus, pada pemeriksaan klinis menggunakan alat periodontal probe.
2. Gingival indeks adalah Indeks untuk mengukur kondisi dan keparahan suatu
penyakit yang digunakan pada praktek di klinik untuk menilai status gingiva
pasien dan mengikuti perubahan status gingiva seseorang dari waktu ke waktu.
Kriteria Gingival indeks adalah :
0 = Gingiva normal tidak ada keradangan, tidak ada perubahan warna, tidak ada
perdarahan.
1 = Peradangan ringan : terlihat ada sedikit perubahan warna, dan sedikit edema
tetapi tidak ada perdarahan saat probing.
2 = Peradangan sedang : warna kemerahan, adanya edema, dan terjadi perdarahan
saat probing
3 = peradangan berat : warna merah terang atau merah menyala, adanya edema,
ulcerasi, kecenderungan adanya perdarahan spontan. (Wilkins dan Ester, 2005).
2. Lendir bekicot adalah cairan
yang diambil dari bekicot dengan jalan
memecahkan bagian belakang cangkang
menggunakan spuit 5 cc.
bekicot yang runcing dan diambil
37
3. Povidone iodine 10% adalah iodovor dengan polivinil pirolidon berwarna coklat
gelap merupakan agent
antimikroba yang efektif dalam desinfeksi dan
pembersihan luka.
4. Kesembuhan gingivitis.
a. Gingivitis dikatakan sembuh apabila terjadi penurunan gingival indeks sampai
mencapai grade 0.
b. Waktu kesembuhan gingivitis adalah jumlah hari mulai dari pemberian
perlakuan sampai terjadi kesembuhan gingivitis dengan gingival indeks 0.
4.6. Alat dan Bahan Penelitian
1. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Diagnostic set : pinset, kaca mulut, sonde, neerbecken, excavator, dental probe,
scaler, spuit 5cc
b. Form Penelitian dan informed consent
2. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Povidone Iodine 10%
b. Lendir bekicot
c. cotton pellet
38
d. Alkohol 70%
4.7. ALUR PENELITIAN
39
Populasi diambil dengan menggunakan kriteria inklusi dan ekslusi untuk
mendapatkan sampel, sampel ditentukan alokasi perlakuannya, kemudian dihitung
gingival indeksnya, dan diberi perlakuan yaitu aplikasi dengan lendir bekicot di
satu sisi sedang di sisi yang lain dengan povidone iodine 10% , dan dihitung
kembali gingival indeksnya, data yang didapat ditabulasikan kemudian dianalisis.
Populasi
Kriteria Inklusi
Kriteria eksklusi
Pengambilan sampel
Gingival indeks
Alokasi perlakuan
Aplikasi dengan lendir
Aplikasi
bekicot
dengan Povidone iodine10% 101111010110iodine
40
Gingival Indeks
Tabulasi data
Analisis Data
Gambar 2. Alur Penelitian
4.8. Prosedur Penelitian
1. Mempersiapkan alat dan bahan yang digunakan
2. Penapisan kasus
a. Pengunjung Poliklinik dianamnesis, nama, alamat dan umur , dilakukan
pemeriksaan fisik yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi kemudian
sampel dicatat di formulir, dan menandatangani inform consent.
b. Pasien yang tidak memenuhi syarat menjadi sampel akan dilakukan
perawatan sesuai dengan kasusnya.
c. Setelah sampel setuju kemudian dilakukan penilaian gingival indeks,
41
hasil pengukuran dicatat di kartu formulir. Pengukuran dilakukan oleh
dokter gigi yang expert dibidang preventive dentistry.
d. Sampel dilakukan scaling dan diberi perlakuan , sesuai dengan alokasi
random, satu sisi aplikasi dengan lendir bekicot di sisi lain dengan
Povidone iodine 10% diulang sampai hari ketiga.
e. Pengukuran gingival indeks kembali dilakukan setelah kunjungan
berikutnya oleh petugas yang bukan memberikan perlakuan.
4.9. Analisis Data
Data yang diperoleh akan dianalisis dengan langkah langkah sebagai berikut
1. Analisis diskriptif
Karakteristik subjek penelitian adalah umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan
disajikan dalam bentuk tabel, distribusi, frekuensi.
2. Uji normalitas waktu penyembuhan
Uji normalitas akan diuji dengan Shapiro-Wilk tingkat kemaknaan α = 0,05
3. Analisis perbedaan waktu kesembuhan antara kelompok yang diberikan lendir
bekicot dengan kelompok yang diberikan Povidone iodine 10%, bila data
42
berdistribusi normal, digunakan uji statistik parametrik, yaitu t-group
(independent sample t-test) dua sisi (two-tail test) pada taraf kemaknaan α =
0,05, dengan uji Mann-Whitney, bila data tidak berdistribusi normal. Perbedaan
waktu kesembuhan juga akan dianalisis dengan menggunakan metoda analisis
kesintasan (survival analysis), dan Kaplan-Meier.
4. Analisis perbedaan Gingival indeks
Pengukuran dilakukan berulang untuk menganalisis perbedaan penurunan
gingival indeks antara kelompok yang diberikan
kelompok yang diberikan Povidone iodine 10%
lendir bekicot dengan
akan dilakukan
dengan
metoda non parametrik uji Friedman dan dilanjutkan dengan post Hock
menggunakan uji Wilcoxon.
43
BAB V
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan 16 subyek penelitian sembilan subyek laki-laki
dan tujuh subyek perempuan umur antara 21 sampai 46 tahun, dengan diagnosis
gingivitis grade tiga sebagai sampel. Pada setiap rahang subyek diaplikasikan
dengan Povidone Iodine 10% (PI) pada satu sisi dan sisi yang berlawanan
diaplikasikan lendir bekicot (LB), sesuai dengan undian yang diambil. Pada Bab
ini diuraikan distribusi jenis kelamin dan umur (dalam bentuk tabel frekuensi),
analisis normalitas data, uji komparabilitas dan uji efek perlakuan
5.1 Karakteristik Subyek Penelitian
Tabel 5.1
Karakteristik Subyek Penelitian
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Total
21-30
3
3
6
Umur (Th)
31-40
3
1
4
41-50
3
3
6
Tabel 5.1 terdapat subyek perempuan dengan umur 21-30 tahun sebanyak tiga
orang, umur 31-40 tahun sebanyak 1 subyek, dan umur 41-50 tahun sebanyak 3
orang, sedangkan subyek laki-laki umur 21-30 tahun, 31-40 tahun dan 41-50 tahun
masing-masing berjumlah 3 orang.
44
5.2 Uji Normalitas Data
Data gingival indeks pada masing-masing kelompok diuji normalitasnya
dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk. Hasil analisis data menunjukkan bahwa
semua data tidak berdistribusi normal hasil disajikan pada Tabel 5.2. di bawah ini.
Tabel 5.2
Hasil Uji Normalitas Data Gingival Indeks masing-masing Kelompok
Kelompok Perlakuan
Povidone iodine 10% hari 2
Povidone iodine 10% hari 3
Lendir Bekicot hari 2
Kesembuhan Povidone iodine 10%
Kesembuhan Lendir Bekicot
N
P
Keterangan
16
16
16
16
16
0,004
0,001
0,001
0,002
0,000
Tidak Normal
Tidak Normal
Tidak Normal
Tidak Normal
Tidak Normal
Berdasarkan hasil pada Tabel 5.2 di atas maka uji lanjutan yang digunakan
untuk mengetahui penurunan gingival indeks
pada masing-masing kelompok
perlakuan adalah Uji Friedman Test, sedangkan untuk mengetahui perbedaan antar
kelompok digunakan uji Wilcoxon Sign Rank Tes karena sampel di-matching
berdasarkan pasien.
5.3 Analisis efek Aplikasi dengan Lendir Bekicot
45
Analisis efek perlakuan diuji berdasarkan gingival indeks antara sebelum
(hari 1) dengan sesudah diberikan perlakuan (hari 2 dan hari 3). Hasil analisis
kemaknaan dengan uji Friedman Test disajikan pada Tabel 5.3 di bawah ini.
Tabel 5.3
Rerata Gingival Indeks antara Sebelum dengan Sesudah Aplikasi dengan
Lendir Bekicot
Variabel
Gingival
Indeks
Lendir bekicot
Hari 1
Hari 2
Hari 3
3,00±0,00
0,38±0,72
0,00±0,00
χ2
P
30,15
0,001
Tabel 5.3 di atas, menunjukkan bahwa rerata gingival indeks hari pertama
adalah 3,00±0,00, rerata hari kedua adalah 0,38±0,72, dan rerata gingival indeks
hari ketiga adalah 0,00±0,00. Analisis kemaknaan dengan uji Friedman Test
menunjukkan bahwa nilai χ 2 = 30,15 nilai p = 0,001. Hal ini berarti bahwa terjadi
penurunan gingival indeks secara bermakna pada kelompok yang diaplikasikan
dengan lendir bekicot (p < 0,05). Hasil analisis di atas juga disajikan dalam bentuk
grafik garis dibawah ini.
Gambar 5.1 Penurunan Gingival Indeks pada Kelompok Lendir Bekicot
Gambar 5.1 menunjukkan bahwa terjadi penurunan gingival indeks pada
kelompok yang diaplikasikan dengan lendir bekicot.Untuk mengetahui kelompok-
46
kelompok yang berbeda perlu dilakuan uji lanjut dengan Uji Wilcoxon. Hasil uji
disajikan pada Tabel 5.4 di bawah ini.
Tabel 5.4
Uji Wilcoxon penurunan gingival indeks pada kelompok yang
diaplikasikan dengan lendir bekicot
Hari Pemeriksaan
Beda Rerata
Interpretasi
Hari 1 dan Hari 2
2,62
Berbeda
Hari 1dan Hari 3
3
Berbeda
Hari 2 dan Hari 3
0,38
Tidak Berbeda
Uji lanjutan dengan uji Wilcoxon di atas mendapatkan hasil sebagai berikut.
1. Rerata kelompok hari 1 berbeda bermakna dengan kelompok hari 2 (rerata
kelompok hari 1 lebih tinggi daripada rerata kelompok hari 2).
2. Rerata kelompok hari 1 berbeda bermakna dengan kelompok hari 3 (rerata
kelompok hari 1 lebih tinggi daripada rerata kelompok hari 3).
3. Rerata kelompok hari 2 tidak berbeda dengan kelompok hari 3 (rerata
kelompok hari 2 lebih tinggi daripada rerata kelompok hari 3).
5.4 Analisis efek Aplikasi dengan Povidone Iodine 10%
Analisis efek perlakuan diuji berdasarkan gingival indeks antara sebelum
(hari 1) dengan sesudah diberikan perlakuan (hari 2 dan hari 3). Hasil analisis
kemaknaan dengan uji Friedman Test disajikan pada Tabel 5.5 di bawah ini.
47
Tabel 5.5
Rerata Gingival Indeks antara Sebelum dengan Sesudah Aplikasi dengan
Povidone iodine 10%
Variabel
Gingival Indeks
Povidone iodine 10%
Hari 1
Hari 2
Hari 3
3,00±0,00
1,00±0,82
0,12±0,34
χ2
P
30,14
0,001
Tabel 5.4 di atas, menunjukkan bahwa rerata gingival indeks hari pertama
adalah 3,00±0,00, rerata hari kedua adalah 1,00±0,82, dan rerata gingival indeks
hari ketiga adalah 0,12±0,34. Analisis kemaknaan dengan uji Friedman Test
menunjukkan bahwa nilai χ2 = 30,14 nilai p = 0,001. Hal ini berarti bahwa terjadi
penurunan gingival indeks secara bermakna pada kelompok yang diaplikasikan
dengan Povidone iodine 10% (p < 0,05). Hasil analisis di atas juga disajikan dalam
bentuk grafik garis di bawah ini.
Gambar 5.2 Penurunan Gingival Indeks pada Kelompok Povidone Iodine 10%
Gambar 5.2 menunjukkan bahwa terjadi penurunan gingival indeks pada
kelompok yang diaplikasikan dengan Povidone iodine 10%.
Untuk mengetahui kelompok-kelompok yang berbeda perlu dilakuan uji lanjut
dengan Uji Wilcoxon. Hasil uji disajikan pada Tabel 5.6 di bawah ini.
48
Tabel 5.6
Uji Wilcoxon penurunan gingival indeks pada kelompok yang
diaplikasikan dengan Povidone Iodine 10%
Hari Pemeriksaan
Beda Rerata
Interpretasi
Hari 1 dan Hari 2
2,00
Berbeda
Hari 1dan Hari 3
2,88
Berbeda
Hari 2 dan Hari 3
0,88
Berbeda
Uji lanjutan dengan uji Wilcoxon di atas mendapatkan hasil sebagai berikut.
1. Rerata kelompok hari 1 berbeda bermakna dengan kelompok hari 2 (rerata
kelompok hari 1 lebih tinggi daripada rerata kelompok hari 2).
2. Rerata kelompok hari 1 berbeda bermakna dengan kelompok hari 3 (rerata
kelompok hari 1 lebih tinggi daripada rerata kelompok hari 3).
3. Rerata kelompok hari 2 berbeda bermakna dengan kelompok hari 3 (rerata
kelompok hari 2 lebih tinggi daripada rerata kelompok hari 3).
5.5 Analisis Gingival Indeks antar Kelompok
5.5.1 Uji Komparabilitas (Hari Pertama)
49
Analisis komparabilitas diuji berdasarkan rerata gingival indeks antar
kelompok. Hasil analisis kemaknaan dengan uji Wilcoxon Sign Rank Test disajikan
pada Tabel 5.7 di bawah ini.
Tabel 5.7
Rerata Gingival Indeks antar Kelompok Perlakuan pada Hari Pertama
Kelompok Subjek
Lendir bekicot (LB)
Povidone iodine 10% (PI)
N
Rerata
Gingival
Indeks
SB
16
3,00
0,000
16
3,00
Z
P
0,00
1,00
0,000
Tabel 5.7 di atas, menunjukkan bahwa rerata gingival indeks kelompok
Lendir bekicot (LB) adalah 3,00±0,00, rerata kelompok Povidone iodine 10%
(PI) adalah 3,00±0,00. Analisis kemaknaan dengan uji Wilcoxon menunjukkan
bahwa nilai Z = 0,00 nilai p = 1,00. Hal ini berarti bahwa rerata gingival indeks
pada kedua kelompok tidak berbeda (p > 0,05).
5.5.2 Analisis efek perlakuan
5.5.2.1 Hari Kedua
Analisis efek perlakuan diuji berdasarkan rerata gingival indeks antar
kelompok pada hari kedua. Hasil analisis kemaknaan dengan uji Wilcoxon Sign
Rank Test disajikan pada Tabel 5.8 berikut.
50
Tabel 5.8
Rerata Gingival Indeks antar Kelompok Perlakuan pada Hari Kedua
Kelompok Subjek
N
Rerata Gingival
Indeks
SB
Lendir bekicot (LB)
Povidone iodine 10%
(PI)
16
0,38
0,72
16
1,00
0,82
Z
P
2,89
0,004
Tabel 5.8 di atas, menunjukkan bahwa rerata gingival indeks kelompok
Lendir bekicot (LB) adalah 0,38±0,72, rerata kelompok Povidone iodine 10% (PI)
adalah 1,00±0,82 ada perbedaan gingival indeks untuk PI 0,62 lebih tinggi
daripada LB. Analisis kemaknaan dengan uji Wilcoxon menunjukkan bahwa nilai
Z = 2,89 nilai p = 0,004. Hal ini berarti bahwa rerata gingival indeks hari kedua
pada kedua kelompok berbeda bermakna (p < 0,05).
5.5.2.2 Hari Ketiga
Analisis efek perlakuan diuji berdasarkan rerata gingival indeks antar
kelompok pada hari ketiga. Hasil analisis kemaknaan dengan uji Wilcoxon Sign
Rank Test disajikan pada Tabel 5.9 di bawah ini.
Tabel 5.9
Rerata Gingival Indeks antar Kelompok Perlakuan pada Hari Ketiga
Kelompok Subjek
N
Rerata Gingival
Indeks
SB
Z
P
51
Lendir bekicot (LB)
Povidone iodine 10%
(PI)
16
0,00
0,00
16
0,12
0,34
1,41
0,157
Tabel 5.9 di atas, menunjukkan bahwa rerata gingival indeks kelompok
Lendir bekicot (LB) adalah 0,00±0,00, rerata kelompok Povidone iodine 10% (PI)
adalah 0,12±0,34. Analisis kemaknaan dengan uji Wilcoxon menunjukkan bahwa
nilai Z = 1,41 nilai p = 0,157. Hal ini berarti bahwa rerata gingival indeks hari
ketiga pada kedua kelompok tidak berbeda secara bermakna (p >0,05). Hasil
analisis antar kelompok yang berdasarkan hari pemeriksaan juga disajikan dalam
bentuk grafik garis di bawah ini.
Gambar 5.3 Perbandingan Gingival Indeks Sebelum dan Sesudah Diberikan
Perlakuan
Gambar 5.3 menunjukkan bahwa gingival indeks sesudah diberikan
perlakuan antara kelompok yang diaplikasikan dengan lendir bekicot (LB) dengan
kelompok yang diaplikasikan dengan Povidone iodine 10% (PI) berbeda secara
bermakna.
5.5.2.3 Pemeriksaan Tingkat Kesembuhan
Tingkat kesembuhan hari ketiga pada subyek yang diaplikasikan dengan
lendir bekicot (LB) adalah 100%, sedangkan pada Povidone iodine 10% (PI)
87,5%, tingkat kesembuhan PI lebih lambat daripada LB. Analisis efek perlakuan
diuji berdasarkan rerata gingival indeks antar kelompok setelah hari ketiga. Hasil
52
analisis kemaknaan dengan uji Wilcoxon Sign Rank Test disajikan pada Tabel 5.10
di bawah ini.
Tabel 5.10
Rerata Waktu kesembuhan antar Kelompok Perlakuan
Kelompok Subjek
N
Rerata Waktu
Kesembuhan
SB
Lendir bekicot (LB)
Povidone iodine 10%
(PI)
16
2,25
0,45
16
2,81
Z
P
3,00
0,003
0,66
Tabel 5.10 di atas, menunjukkan bahwa rerata waktu kesembuhan
kelompok Lendir bekicot (LB) adalah 2,25±0,45, rerata kelompok Povidone iodine
10% (PI) adalah 2,81±0,66. Analisis kemaknaan dengan uji Wilcoxon
menunjukkan bahwa nilai Z = 3,00 nilai p = 0,003. Hal ini berarti bahwa rerata
waktu kesembuhan setelah hari ketiga pada kedua kelompok berbeda secara
bermakna (p < 0,05). Hasil analisis waktu kesembuhan masing-masing perlakuan
juga disajikan dalam bentuk grafik di bawah ini.
53
Gambar 5.4 Perbandingan Waktu Kesembuhan antar Kelompok
Gambar 5.4 menunjukkan bahwa waktu kesembuhan sesudah diberikan perlakuan
antara kelompok yang diaplikasikan lendir bekicot dengan kelompok Povidone
iodine 10% berbeda secara bermakna.
54
BAB VI
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
6.1. Subyek Penelitian
Dalam penelitian ini digunakan sebanyak 16 subyek penelitian dengan
diagnosis
gingivitis grade tiga. Data gingival indeks baik sebelum perlakuan
maupun sesudah perlakuan pada masing-masing kelompok diuji normalitasnya
dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk. Hasilnya menunjukkan bahwa semua data
tidak berdistribusi normal, sehingga digunakan uji nonparametric, yaitu uji
Friedman Test dan Wilcoxon Sign Rank Test.
6.2 Penurunan Gingival Indeks Setelah Aplikasi dengan Lendir Bekicot dan
Povidone iodine 10%
Berdasarkan hasil analisis pada kelompok lendir bekicot didapatkan bahwa
rerata gingival indeks hari pertama adalah 3,00±0,00, rerata hari kedua adalah
0,38±0,72, dan rerata gingival indeks hari ketiga adalah 0,00±0,00. Analisis
kemaknaan dengan uji Friedman Test menunjukkan bahwa terjadi penurunan
gingival indeks secara bermakna pada kelompok yang diaplikasikan dengan lendir
bekicot (p < 0,05), sedangkan untuk mengetahui kelompok-kelompok yang
berbeda perlu dilakuan uji lanjut dengan Uji Wilcoxon didapat hasil rerata
kelompok hari 1 berbeda bermakna dengan kelompok hari 2 (rerata kelompok
hari 1 lebih tinggi daripada rerata kelompok hari 2). rerata kelompok hari 1
berbeda bermakna dengan kelompok hari 3 (rerata kelompok hari 1 lebih tinggi
daripada rerata kelompok hari 3).dan rerata kelompok hari 2 tidak berbeda dengan
kelompok hari 3 (rerata kelompok hari 2 lebih tinggi daripada rerata kelompok
hari 3).
Kelompok Povidone iodine 10% rerata gingival indeks hari pertama adalah
3,00±0,00, rerata hari kedua adalah 1,00±0,82, dan rerata gingival indeks hari
55
ketiga adalah 0,12±0,34. Analisis kemaknaan dengan uji Friedman Test
menunjukkan bahwa terjadi penurunan gingival indeks secara bermakna pada
kelompok yang diaplikasikan dengan Povidone iodine 10% (p < 0,05), sedangkan
untuk mengetahui kelompok-kelompok yang berbeda perlu dilakuan uji lanjut
dengan Uji Wilcoxon didapat hasil rerata kelompok hari 1 berbeda bermakna
dengan kelompok hari 2 (rerata kelompok hari 1 lebih tinggi daripada rerata
kelompok hari 2) rerata kelompok hari 1 berbeda bermakna dengan kelompok hari
3 (rerata kelompok hari 1 lebih tinggi daripada rerata kelompok hari 3)r rerata
kelompok hari 2 berbeda bermakna dengan kelompok hari 3 (rerata kelompok
hari 2 lebih tinggi daripada rerata kelompok hari 3).
Selanjutnya analisis komparabilitas antar kelompok perlakuan diuji
berdasarkan rerata gingival indeks kedua kelompok. Analisis kemaknaan dengan
uji Wilcoxon menunjukkan bahwa rerata gingival indeks pada hari pertama antara
kedua kelompok tidak berbeda, sedangkan rerata gingival indeks pada hari kedua,
hari ketiga, dan tingkat kesembuhan setelah hari ketiga antara kedua kelompok
terdapat perbedaan secara bermakna (p < 0,05).
Terjadinya penurunan gingival indeks setelah diaplikasikan dengan lendir
bekicot disebabkan karena pada lendir bekicot terdapat peptida antimikroba yang
dapat mempengaruhi viabilitas ultrastruktur bakteri gram negatif dan gram positif
melalui perubahan ultrastruktur sel (Berniyanti, 2007). Lendir bekicot mempunyai
nilai biologis yang tinggi dalam penyembuhan dan penghambatan proses inflamasi
56
(Ernawati dan Sunari, 1994).
Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitiannya Bambang Pontjo
Priosoeyanto tahun 2005 yang dilakukan di Laboratorium Parasitologi Fakultas
Kedokteran hewan Institut Pertanian Bogor, yang menyatakan bahwa lendir
bekicot atau Achatina fulica mampu menyembuhkan luka dua kali lebih cepat
daripada luka yang diberikan larutan normal saline (Ali, 2010). Bekicot
(Achantina fulica) sebagai salah satu obat tradisional dari bahan hewan untuk
penyembuh luka baru. Di samping itu Ernawati dan Sunari (1994), menyatakan
bahwa kemampuan fraksi hasil pemisahan lendir bekicot sebagai anti mikroba.
Bekicot (Achatina fulica) secara turun temurun digunakan sebagai obat penyembuh
luka ringan, penyakit kuning, penyakit kulit, serta lendirnya digunakan untuk
mengurangi rasa sakit gigi. Lendir bekicot menghilangkan rasa nyeri dengan
menghambat mediator nyeri, sehingga nyeri tidak terjadi, hal ini disebabkan oleh
mediator nyeri terhalangi untuk merangsang reseptor nyeri, sehingga nyeri tidak
diteruskan ke pusat nyeri. Lendir bekicot juga dapat digunakan untuk meredakan
sakit gigi, yaitu dengan menempelkan lendir bekicot pada gigi yang sakit dengan
bantuan kapas (Mutiarawati, 2009). Demikian juga hasil penelitiannya Ibrahim dkk
(1995) yang menyatakan bahwa terdapat efek positif lendir bekicot terhadap
penyembuhan luka terbuka.
57
Hasil penelitian Tripurnomorini et al (2000), lendir bekicot mempunyai
kemampuan sebagai antiinflamasi yang relatif sama dengan daya antiinflamasi
asetosal.
Demikian juga aplikasi dengan Povidon-iodine 10% dapat menurunkan
gingival indeks gingivitis grade 3. Hal ini disebabkan karena Povidon-iodine
bersifat bakteriostatik dan bersifat bakterisid. Povidon-iodine memiliki toksisitas
rendah pada jaringan, tetapi detergen dalam larutan pembersihnya akan lebih
meningkat toksisitasnya . Dalam 10% Povidon iodine mengandung 1% iodiyum
yang mampu membunuh bakteri dalam 1 menit dan membunuh spora dam waktu
15 menit (Ganiswara, 1995).
Lebih lanjut dalam penelitian ini didapatkan bahwa lendir bekicot lebih
cepat menyembuhkan gingivitis dibandingkan dengan Povidon-iodine 10%, hal ini
terlihat dari hasil penelitian pada hari kedua setelah diaplikasikan dengan lendir
bekicot dan Povidon-iodine 10% dimana terjadi perbedaan secara bermakna,
dengan rerata gingival indeks kelompok lendir bekicot lebih rendah daripada
kelompok Povidon-iodine 10%. Tingkat kesembuhan setelah hari ketiga
didapatkan bahwa terjadi perbedaan secara bermakna, pada lendir bekicot tingkat
kesembuhannya adalah 100%, sedangkan pada Povidone iodine 87,5%.
58
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
59
Berdasarkan hasil penelitian pada penderita gingivitis grade 3 didapatkan
simpulan sebagai berikut:
1. Pemberian
lendir bekicot (Achatina fulica) secara topikal dapat
menurunkan gingival indeks gingivitis grade 3 karena calculus.
2. Pemberian Povidone iodine 10% secara topikal dapat menurunkan gingival
indeks gingivitis grade 3 karena calculus.
3. Pemberian lendir bekicot secara topikal lebih cepat menurunkan gingival
indeks gingivitis grade 3 karena calculus daripada Povidone iodine 10%
4. Pemberian
lendir bekicot (Achatina fulica) secara topikal dapat
menurunkan gingival indeks gingivitis grade 3 karena
calculus setelah
hari pertama, kedua dan ketiga.
5. Pemberian Povidone iodine 10% secara topikal dapat menurunkan gingival
indeks gingivitis grade 3 karena calculus setelah hari pertama, kedua dan
ketiga.
6. Waktu kesembuhan gingivitis grade tiga karena kalkulus setelah pemberian
lendir bekicot secara topikal lebih cepat daripada pemberian Povidone
iodine 10%.
7.2
Saran
Sebagai saran dalam penelitian ini adalah:
60
Disarankan kepada penderita gingivitis grade 3 untuk mengobatinya dengan
lendir bekicot, disamping
harganya murah juga sangat mudah didapatkan,
terutama untuk masyarakat pedesaan yang jauh dari sarana dan prasarana
kesehatan.
61
DAFTAR PUSTAKA
Agung A.A., Gejir N., Kencana S. 2009. Efektivitas Cairan Bekicot Dalam
Mengurangi Rasa Sakit Pada Karies Gigi. Badan PPSDM Depkes RI tahun 2009.
Ali GP. Findrawaty. 2002. Perbedaan Kecepatan Penyembuhan Luka Bersih
Antara Penggunaan Lendir Bekicot (Achatina Fulica) Dengan Povidone Iodine
Dalam Perawatan Luka Bersih pada Marmut (Cavia Porcellus). Avalable at
(online) http://digilib.unimus.ac.id (4 Jan 2010).
Anonim.
2009.
Gingivitis,
Periodontitis.
Available
at
http://www.totalkesehatananda.com/Gingivitis 1htlm (9 Nov 2009).
(online):
Anonim. 2011. Bekicot Sebagai Obat Luka.
http://smallcrab.com/jengkol/247 (1 Jan 2011).
(online):
Available
at
Berniyanti. 2007. Analisis Hambatan Achasin Bekicot Galur Jawa Sebagai Faktor
Antibakteri Terhadap Viabilitas Eschericia coli dan Streptococcus mutans.
Available at (online) : http://adln.lib.unair.ac.id/go.php (3 Mei 2007).
Be, K.N. 1987. Preventive Dentistry. Yayasan Kesehatan Gigi Indonesia, p. 16
Bandung.
Carranza FA. Newman MG. Takei HH. 2006. Clinical Periodontology. 9th ed
Philadelpia: WB Saunders Co; p. 74.
Daniel H. 2004. Dental Hygiene, Concepts, Cases, and Competencies. Mosby, Inc,
62
St Louis.
Depkes RI. 2002. Buku Pegangan materi Kesehatan Gigi dan Mulut untuk
Kegiatan KIA di Posyandu (UKGMD). Direktorat Jenderal Pelayanan Medik,
Direktorat Kesehatan Gigi p.13 Jakarta.
Ernawati I dan Sunari. 1994. Pemisahan Lendir Bekicot Serta Uji Mikrobiologis
Faktor Pemisahan Terhadap Eschericia coli, Streptococcus haemoliticus dan
Candida albicans secara invitro. Fakultas Farmasi UGM. Jogyakarta.
Grahacendikia. 2009. Perbedaan Kecepatan Penyembuhan Luka Bersih Antara
Penggunaan Lendir bekicot (Achatia fullica) dengan Povidone Iodine 10% dalam
Perawatan Luka Bersih pada Marmut (Cavia Porcellus). Universitas Brawijaya
Malang.
Hashanur, I.W. 1991. Anatomi Gigi. EGC p. 6, Jakarta.
Ireland R. 2006. Clinical Textbook of Dental Hygiene and Therapy. Blackwell
Munksgaard. P.25. UK.
Ibrahim F. 1997. Ekstrak lendir Bekicot dan Ekstrak Daging Bekicot. Kongres
Ilmiah Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia XIII.
Langlais R.P. dan Miller C.S. 1998. Kelainan Rongga Mulut p.11, Hipokrates
Jakarta.
Manson J.D. dan Eley B.M. 1993. Buku Ajar Periodonti. Edisi kedua p.45,
63
Hipokrates Jakarta.
MediResource Clinical Team. 2010. Gingivitis. Available
http://jdr.sagepub.com/content/66/5/989.abstract (21 Apr 2010).
at
(online):
Musaikan, W.S. 2002. Gambaran Gingivitis pada Ibu Hamil di Puskesmas
Kecamatan Semampir tahun 2002. J. Majalah Kedokteran Gigi Universitas
Airlangga Edisi Khusus Temu Ilmiah Nasional III ISSN 0852-9027. Surabaya.
Mutiarawati, C. 2009. Lendir Bekicot Penghilang Rasa Nyeri. Available at
(online): http://jepretanhape,wordpree.com (8 Peb 2010).
Nield, J.S. 2003. DE Foundation of Periodontitis for Dental Hygienist
.Philadelpia: Lippincott, Williams and Wilkins.
Pocock, S.J. 2008. Clinical Trials A Practical Approach. Professor of Medical
Statistics and Director of Clinical Trials Research Group London School of Hygine
and Tropical Medicine.
Santoso, H.B. 1989. Budidaya Bekicot, Cetakan ke 14 p.9, Kanisius, Jogyakarta.
Sea, F. 2000. Buku Ajar ilmu Penyakit Gigi dan Mulut. p.5, Poltekkes Kemenkes
Denpasar.
Situmorang, N. 2010. Profil Penyakit Periodontal Penduduk di Dua Kecamatan
Kota Medan tahun 2004 dibandingkan dengan Kesehatan mulut tahun 2010.
Bagian Ilmu Kedokteran Gigi Pencegahan/Ilmu Kesehatan Gigi Masyarakat.
64
Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Sumatra Utara.
Sriyono, Widayanti N. 2005. Pengantar Ilmu Kedokteran Gigi Pencegahan.
Cetakan ke 1 p.34, Jogyakarta Medika, Fakultas Kedokteran Gigi, UGM.
Susanti, E. 2003. Pengaruh kehamilan pada Kesehatan Gigi dan mulut serta
Modifikasi Perawatan yang Diperlukan. Universitas Mahasaraswati. J. Edisi ISSW
1693-0002, Majalah FKG Universitas Mahasaraswati, Denpasar.
Syafei, A. 2010. Kasus Radang Gusi. Available at (online):
http://www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=2837 (11 Nov. 2010).
Tripurnomorini, D.S., Suhadi, R. Donatus, I. 2010. Anti Kejang bekicot Achantina
fullica. Available at (online): http://obtrando.files.wordpress.com/2010/09/pdf (12
Nov. 2010).
Ubertalli,
J.T.
2008.
Gingivitis,
Available
at
http://www.merck.com/mmpe/sec08/ch095c.htm (21 Agust 2010).
(online):
Wahyukundari, M.H. 2008. Perbedaan Kadar Matix Metalloproteinase-8 Setelah
Scaling dan Pemberian Tetrasiklin pada Penderita Periodontitis Kronis.
Departemen Periodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga
Surabaya-Indonesia.
65
Download