sistem tata-kelola atau tata-pemerintahan desa

advertisement
Project Working Paper Series No. 01
Konflik-Konflik Kekuasaan dan Otoritas Kelembagaan
Lokal dalam Reformasi Tata-Kelola Pemerintahan
Desa: Investigasi Teoretik dan Empirik
Penulis:
Arya Hadi Dharmawan
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan-IPB
Bekerjasama dengan
Kemitraan bagi Pembangunan Tata Pemerintahan di Indonesia
Konflik-Konflik Kekuasaan dan Otoritas Kelembagaan Lokal dalam Reformasi TataKelola Pemerintahan Desa: Investigasi Teoretik dan Empirik
Konflik-Konflik Kekuasaan dan Otoritas Kelembagaan Lokal dalam
Reformasi Tata-Kelola Pemerintahan Desa: Investigasi Teoretik dan
Empirik
Penulis:
Arya Hadi Dharmawan
Layout dan Design Sampul :
Dyah Ita M. dan Husain As’adi
Diterbitkan pertama kali, Mei 2006
Oleh
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan-LPPM IPB
Bekerjasama dengan
Kemitraan bagi Pembangunan Tata Pemerintahan di Indonesia-UNDP
Kampus IPB Baranangsiang
Gedung Utama, Bagian Selatan, Lt. Dasar
Jl. Raya Pajajaran Bogor 16151
Telp. 62-251-328105/345724
Fax. 62-251-344113
Email. [email protected]
Hak Cipta dilindungi oleh undang-undang
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh
isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
ISBN: 979-8637-32-1
2
Konflik-Konflik Kekuasaan dan Otoritas Kelembagaan Lokal dalam Reformasi TataKelola Pemerintahan Desa: Investigasi Teoretik dan Empirik
KATA PENGANTAR
Kebijakan Otonomi Daerah (OTDA) adalah keputusan politik yang menjadi
tonggak penting sejarah sistem tata-pengaturan dan pemerintahan (governance and
government system) di Indonesia. Undang-Undang no. 32/2004 yang melegitimasi
OTDA, merupakan produk hukum yang pantas disambut baik oleh semua
pihak, karena memberikan platform yang jelas pada penegakan kedaulatan lokal,
keberdayaan dan kemandirian lokal, kesejahteraan sosial, partisipasi masyarakat
dan demokrasi dalam pengelolaan administrasi dan pembangunan.
Sebagai innovasi di bidang politik-pemerintahan yang bertujuan mengoreksi dan
mendekonstruksi sistem pemerintahan sentralistik yang cenderung negara-sentris,
maka OTDA memerlukan waktu yang mencukupi untuk menyesuaikan dirinya
dengan realitas tatanan-sosial sistem kemasyarakatan di Indonesia. Pada tataran
lokalitaspun, otonomi desa (sebagai penjabaran OTDA) menghadapi sejumlah
kendala struktural kelembagaan, sosio-kultural, dan politik-lokal untuk bisa
mewujudkan tata-pemerintahan desa yang mandiri dan kuat. Alih-alih sebuah
pengaturan desa yang efektif dan baik (good governance), sindroma ketergantungan
politik dan ekonomi, ketidakberdayaan dan hegemoni pemerintah pusat tetap
saja membelenggu keleluasaan pemerintah lokalitas (desa). Akibatnya, desa
beserta pemerintah desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mengemban
operasionalisasi pemerintahan pada hierarkhi terendah dalam tata-pengaturan
administrasi dan pelayanan publik, menghadapi ancaman kegagalan
kelembagaan.
Studi-aksi “partnership-based rural governance reform” (pembaharuan tatapemerintahan desa berbasiskan kemitraan) mencoba untuk menjawab berbagai
persoalan yang dihadapi dalam proses otonomisasi desa menggunakan
pendekatan jejaring para-pihak (kemitraan). Studi-aksi ini berusaha menjawab
pertanyaan tentang bagaimana format pembaharuan (revitalisasi dan
rekonstruksi) sistem pemerintahan desa agar secara institusional dan
organisasional, pemerintah desa berjalan efektif, transparan, akuntabel,
controlable, dan mampu mewujudkan cita-cita kemandirian dan kewibawaan lokal.
Studi-aksi yang dilaksanakan oleh Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan
Pedesaan-LPPM IPB dan Kemitraan bagi Pembangunan Tata Pemerintahan di
Indonesia-UNDP ini, dilakukan dalam beberapa tahapan. Tahap I adalah
investigasi empirik (riset) dengan menggunakan pendekatan kuantitatif (survai)
dan pendekatan kualitatif atau non-survai (indepth interview, focus group discussion,
observasi lapangan) dalam menghimpun informasi dan data faktual dari
lapangan. Lima provinsi ditetapkan sebagai daerah contoh yaitu: Nanggroe
Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Jawa Barat, Bali dan Papua. Di masingmasing provinsi yang memiliki persoalan ketata-pemerintahan khas itu,
3
Konflik-Konflik Kekuasaan dan Otoritas Kelembagaan Lokal dalam Reformasi TataKelola Pemerintahan Desa: Investigasi Teoretik dan Empirik
ditetapkan sebuah kabupaten contoh dimana di setiap kabupaten ditetapkan dua
desa lokasi studi-aksi secara purposif.
Pada tahap I, diperoleh hasil berupa gambaran atau peta potensi serta
permasalahan tata-pemerintahan daerah dan lokalitas (desa) secara cepat namun
clear. Kegiatan riset yang dijalankan pada tahap I meliputi sejumlah bidang ilmu
yang relevan, diantaranya kelembagaan pemerintahan, politik desentralisasi,
jender dan komunikasi administratif, ekonomi lokal, pengembangan wilayah,
ekonomi rumahtangga pedesaan, proses-proses kebijakan, serta kelembagaan
dan pengelolaan sumberdaya alam/agraria. Kegiatan pada tahap I menghasilkan
sejumlah hasil penelitian sementara yang didokumentasikan pada Working Paper
Series ini.
Tahap II studi-aksi berupa investigasi persoalan-persoalan
pemerintahan di tingkat lokalitas (desa) dan penggalian alternatif solusi yang
layak dijalankan secara operasional. Sebuah rencana operasional tentang
rekonstruksi dan revitalisasi tata-pemerintahan lokalitas (desa) disusun secara
partisipatif sesuai ketersediaan anggaran dan waktu, pada tahap ini. Tahap III
adalah tahap penguatan kelembagaan dan kapasitas sumberdaya manusia (SDM)
dalam tata-pemerintahan lokalitas (desa). Tahap IV berupa kegiatan
pendampingan dan perbaikan proses-proses pembelajaran serta kegiatan
praktikal di tingkat lokal sebagai tindak-lanjut kegiatan penguatan kelembagaan
dan kapasitas SDM. Tahap V adalah pengamatan jalannya pendampingan dan
dokumentasi proses pembelajaran sebagai upaya untuk mengumpulkan
pengalaman lapangan (lessons learned). Tahap VI adalah proses
pertanggungjawaban publik atas apa yang telah dijalankan di lapangan, berupa
lokakarya dan seminar di tingkat kabupaten dimana studi-aksi dilaksanakan.
Tahap VII adalah proses akumulasi keilmuan di bidang tata-pemerintahan
lokalitas (desa), yang dipandang dari berbagai bidang-ilmu, dalam bentuk
penulisan sebuah buku. Diharapkan, buku tersebut berguna menjadi salah satu
sumber rujukan untuk proses penataan pemerintahan desa-desa di Indonesia di
kemudian hari.
Singkatnya waktu yang tersedia bagi kegiatan studi-aksi (enam bulan efektif
selama tahun 2006), jelas menjadi pembatas yang signifikan bagi para peneliti
untuk mengembangkan gagasan secara lebih leluasa. Namun, rentang-waktu
yang singkat bukan berarti mengurangi nilai kualitas tulisan yang disajikan dalam
makalah ini. Akhir kata semoga working paper ini memberikan masukan dan
informasi yang bermanfaat mengenai pelaksanaan otonomi desa khususnya atau
OTDA pada umumnya bagi semua pihak.
Salam kemitraan,
Dr. Arya Hadi Dharmawan
Ketua Tim Studi-Aksi
4
Konflik-Konflik Kekuasaan dan Otoritas Kelembagaan Lokal dalam Reformasi TataKelola Pemerintahan Desa: Investigasi Teoretik dan Empirik
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar …………………………………………………………...
iii
Daftar Isi …………………………………………………………………
v
1.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah dan Konseptualisasi Gagasan .................
1.1.1. Mempertanyakan Kebijakan Otonomi Daerah sebagai
Platform Otonomi Lokalitas (Desa) .....................................
1.1.2. Otonomi Lokalitas (Desa) dan Jebakan Ketergantungan
1.1.3. Otonomi Lokalitas (Desa) dan Jebakan Konflik Vertikal
1.1.4 Konseptualisasi Otonomi Lokalitas (Desa) …………….
1.2. Tujuan dan Manfaat Studi-Aksi …………………………….....
1.3. Ruang Lingkup Studi dan Metodologi ………………………....
2.
15
16
18
22
REFORMASI TATA-PEMERINTAHAN DESA
3.1. Pemerintah Desa dalam Perspektif Actor-Oriented Theory ……….
3.2. Mewujudkan Good Rural Governance System …………………..…
3.3. Isyu-Isyu Kritikal Pembaharuan Tata-Pemerintahan Desa …......
i. Masalah Struktural-Institusional dan Politiko-Kultural ……...
ii. Isyu-Isyu Kritikal Tata-Pemerintahan Gampong di Nanggroe
Aceh Darussalam (NAD) ........................................................
iii. Isyu-Isyu Kritikal Tata-Pemerintahan Nagari di Ranah
Minangkabau ...........................................................................
iv. Isyu-Isyu Kritikal Tata-Pemerintahan Desa di Jawa Barat .......
v. Isyu-Isyu Kritikal Tata-Pemerintahan ”Desa Dinas” di Bali...
vi. Isyu-Isyu Kritikal Tata-Pemerintahan Kampung di Papua
4.
1
2
4
8
12
13
KERANGKA KONSEPTUAL
2.1. Desa sebagai Entitas Sosial: Pandangan dari beberapa
Perspektif ....................................................................................
2.2. Desa sebagai Social Container: Dilema dan Konflik Eksistensial .
2.3 Desa sebagai Arena Pertarungan Otoritas Kelembagaan ............
2.4. Desa sebagai Konsep Pemerintahan Lokalitas: Konstelasi
Beragam Kekuatan Pengaruh .....................................................
3.
1
25
27
30
30
32
35
39
40
42
PENUTUP
Rekonfigurasi Keterlibatan Para Pihak untuk Good Rural Governance
System ........................................................................
44
Daftar Rujukan .............................................................................
46
5
Konflik-Konflik Kekuasaan dan Otoritas Kelembagaan Lokal dalam Reformasi TataKelola Pemerintahan Desa: Investigasi Teoretik dan Empirik
6
Konflik-Konflik Kekuasaan dan Otoritas Kelembagaan Lokal dalam Reformasi TataKelola Pemerintahan Desa: Investigasi Teoretik dan Empirik
1.
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah dan Konseptualisasi Gagasan
1.1.1. Mempertanyakan Kebijakan Otonomi Daerah sebagai Platform
Otonomi Lokalitas (Desa)
Kebijakan “Otonomi Daerah” (OTDA) sebagaimana gagasannya tertuang pada
Undang Undang (UU) no. 22/1999 dan revisinya pada UU no. 32/2004 tentang
”Pemerintahan Daerah” menjadi salah satu landasan perubahan sistem tatapengaturan atau tata-pemerintahan (governance system) yang penting dalam sejarah
pembangunan politik dan pengelolaan administrasi pemerintahan secara
nasional. UU tersebut merupakan keputusan yang pantas disambut baik oleh
semua pihak, namun sekaligus juga perlu diamati perkembangannya secara
seksama, dievaluasi dan selalu dikritisi secara terus-menerus agar imlementasinya
tidak menyimpang dari “ruh” atau ideologi (kesetaraan para pihak pemangku
kekuasaan, kemandirian, kesejahteraan sosial, demokratisme, partisipasi,
keberdayaan masyarakat, tata-kelola pemerintahan yang baik) yang
diperjuangkannya.
Dalam konsepnya, OTDA (sesuai UU no. 22/1999 dan penyempurnaannya
pada UU no. 32/2004) secara eksplisit ataupun implisit hendak mengedepankan
cita-cita penegakan prinsip-prinsip demokratisme (kesetaraan, kesejajaran, etikaegalitarianisme), keunggulan lokal, komitmen pada rule of the game yang telah
disepakati, apresiasi terhadap keberagaman, prinsip bottom-up, desentralisme
administratif yang elegan dan berwibawa di tingkat lokal serta berkemampuan
mengatasi persoalan riil di lapangan, penghargaan pada prakarsa serta hak-hak
politik masyarakat lokal, kemandirian dan kedaulatan sistem sosial-ekonomi
lokal serta pembebasan dari segala bentuk ketergantungan sosial-politik pada
semua pihak. Salah satu aspek penting dari good-governance principle, yaitu control of
power yang diwujudkan secara operasional dalam prinsip transparansi ketatapemerintahan dan akuntabilitas (pengelolaan keuangan) publik juga menjadi salah satu
ciri-utama UU tersebut. Dalam konteks efektivitas capaian atau kinerja UU
terhadap pencapaian cita-cita desentralisme, persoalan yang segera muncul
adalah: apakah keseluruhan isi UU dapat segera mampu mewujudkan cita-cita
tersebut pada aras lokal (desa)? Apakah sesungguhnya UU no. 32/2004
memberikan lokalitas (desa) benar-banar kekuasaan dan kewenangan yang
otonom dalam mengatur rumahtangganya? Dalam setting geo-sosio-kultural
komunitas desa yang sangat beraneka, dapatkah UU no. 32/2004 bekerja secara
efektif mewujudkan cita-cita luhur tersebut bagi masyarakat lokal? Jika
jawabannya “tidak atau belum terjadi”, maka hal-hal apakah yang perlu
diperbaiki?
7
Konflik-Konflik Kekuasaan dan Otoritas Kelembagaan Lokal dalam Reformasi TataKelola Pemerintahan Desa: Investigasi Teoretik dan Empirik
Studi ini secara umum akan mengarahkan perhatiannya pada upaya menjawab
pertanyaan di atas. Untuk dapat menjawab dengan sempurna semua pertanyaan
tersebut, maka investigasi teoretik dan empirik (meliputi: kajian deduktif
teoretik, kajian induktif empirik via pemetaan pola tata-pengaturan desa,
pemahaman persoalan lokal, dan exercise atas beberapa alternatif tatapemerintahan desa yang paling layak secara lokal) sepantasnya dilakukan.
Gagasan diarahkan pada fokus perhatian “tata-pemerintahan desa yang
memberdayakan dan memandirikan” entitas sosial-kemasyarakatan lokal dalam
atmosfer politik OTDA, dengan tetap memelihara harmonisasi hubungan antarhierarkhi kekuasaan dan wewenang dalam pemerintahan daerah. Dalam hal ini
perlu ditegaskan bahwa UU no. 32/2004 diasumsikan sebagai given-factor yang
keberadaannya tidak bisa dielakkan atau dihindari. Segala upaya perbaikan
terhadap kapasitas keberdayaan dan kedaultan lokalitas (desa) harus didasarkan
pada platform UU no. 32/2004 dan perangkat hukum dibawahnya.
1.1.2. Otonomi Lokalitas (Desa) dan Jebakan Ketergantungan
Dalam sejarah tata-pemerintahan di Indonesia, otonomi yang asli, sesungguhnya
berada dan telah berlangsung sejak lama di aras lokalitas, dan bukan di aras
Kabupaten atau Kota sebagaimana yang diketahui orang saat ini. Mengapa?
karena pengaturan atau pengorganisasian kehidupan sosial kemasyarakatan telah
berlangsung di aras lokalitas sejak ”jauh hari” sebelum perangkat-perangkat
organisasi pemerintahan di tingkat ”supra lokal” dibentuk oleh pusat kekuasaan
pemerintah (Anonymous, 2006). Dalam kerangka pengaturan kehidupan sosialkemasyarakatan yang otonom tersebut, komunitas lokal membentuk kesatuan
masyarakat hukum adat dengan berbagai nama asli yang beragam-ragam sesuai
setting budaya daerah masing-masing. Nagari dikenal sebagai tata-pemerintahan
asli bagi lokalitas di ranah Minangkabau, Pakraman di Bali, Ondoafi (andewapi) di
Papua, dan Gampong di Aceh. Kesatuan masyarakat adat yang membentuk
kesatuan masyarakat hukum tersebut dibangun berdasarkan asal-usul leluhur
secara turun-temurun di atas suatu wilayah adat yang memiliki kedaulatan atas
tanah dan kekayaan alam di dalam dan di atasnya. Kesatuan masyarakat hukum
adat tersebut mengembangkan perangkat kelembagaan untuk mengatur dan
memenuhi kebutuhan-kebutuhan kehidupan masyarakatnya. Namun,
sebagaimana telah dikemukakan oleh banyak studi terdahulu, kelembagaan adat
dan kesatuan masyarakat hukum adat mengalami peminggiran (marjinalisasi) dan
penghancuran-kelembagaan yang sangat sistematis sejak diundangkannya UU
no. 5/1979 tentang pemerintahan daerah (sebelum dikoreksi oleh UU no.
22/1999), yang menyeragamkan konsep tata-pemerintahan lokalitas di seluruh
Indonesia dengan konsep desa ala Jawa (lihat Syafa’at, 2002). Pengenalan konsep
desa sebagai satu-satunya sistem pemerintahan lokalitas telah men-displace
(melemparkan) keberadaan kelembagaan adat yang sesunguhnya kekuasaan dan
otoritasnya masih sah secara tradisional.
8
Konflik-Konflik Kekuasaan dan Otoritas Kelembagaan Lokal dalam Reformasi TataKelola Pemerintahan Desa: Investigasi Teoretik dan Empirik
Berangkat dari semangat untuk merekonstruksi puing-puing kehancuran
kesatuan masyarakat hukum lokalitas (adat), maka UU no. 22/1999 dan UU no.
32/2004 berupaya mengembalikan kedaulatan hukum lokal itu melalui pasal-pasal
pemerintahan desa. Meski, tata-pengaturan daerah tidak dapat melepaskan
dirinya dari konsep pemerintah-desa sebagai pusat kekuasaan pemerintahan
lokal, namun semangat untuk kembali kepada pengaturan lokalitas tampak
menonjol pada UU no. 32/2004. Sebenarnya dengan diterimanya UU no.
32/2004 sebagai given-and-agreed regulating institution seperti itu, maka kebijakan
OTDA sudah berada pada jalur yang benar untuk mengapresiasi ”kedaulatan
lokalitas” sebagai wilayah otonomi-asli dalam menata, mengelola, dan
menentukan tatanan pengadministrasian segala urusan yang menyangkut
interaksi warga negara dan kesatuan sosialnya dan warga negara dengan
negaranya. Persoalannya, dengan konsep pemerintahan-desa sebagai satu-satunya
system of government yang ditawarkan, maka potensi konflik antar otoritas
kelembagaan segera tampak di depan mata. Bagamanakah upaya memandirikan
dan mensejahterakan masyarakat lokal yang masih mengakui eksistensi sistem
pengaturan adat dalam bingkai pemerintahan desa ala Jawa? Artinya, sejauhmana
kedaulatan lokal (termasuk kedaulatan adat) bisa diterjemahkan dalam bahasa
kedaulatan desa, sebagai satu-satunya sistem tata-pemerintahan tingkat lokalitas
yang sah menurut UU no. 32/2004? Bagaimana cara mentransformasikan
kepentingan-kepentingan (termasuk kepentingan adat) dalam pengaturan
lokalitas kepada kelembagaan tunggal yang dipimpin oleh Kepala Desa dengan
perangkatnya itu?
Berpijak pada cita-cita keberdaulatan dan otonomi lokalitas itu, UU no.
32/2004, (meski masih mengandung beberapa pertanyaan) menegaskan
pengakuan “kedaulatan desa” secara eksplisit pada pasal 200-216 serta
penajamannya pada Peraturan Pemerintah (PP) no. 72/2005. Dalam UU dan PP
tersebut, juga ditegaskan platform bagi penyelenggaraan sistem administrasi
pembangunan yang memungkinkan setiap stakeholder mengaktualisasikan cita-cita
pencapaian derajat keadilan dan kesejahteraan sosial-ekonomi yang lebih baik
(better and sustainable socio-economic standard of living) secara mandiri dan bersamasama, mengatur rumahtangga desa secara mandiri, menjalin jejaring kerjasama
desa, menggali sumber keuangan desa mandiri, serta memperjuangkan
kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan yang berkelanjutan (sustainable
natural resources and environment) secara aspiratif (lihat pasal 209-211 UU no.
32/2004).
Dengan demikian, konsep otonomisasi lokal (desa) sebagaimana gagasannya
tertuang pada UU no. 32/2004 sebenarnya telah memberikan landasan yang
memadai bagi semua pihak (di desa) untuk menjalankan sistem pembangunan
yang demokratis-partisipatif, inklusif-kolektivistik, serta tumbuhnya semangat
collegiate-participatory development, harmonis (menekan peluang terjadinya konflik
diametral antar pihak). Pada saat yang bersamaan UU no. 32/2004 tetap
menjunjung tinggi asas perbedaan pandangan dan pluralisme dalam pemutusan
9
Konflik-Konflik Kekuasaan dan Otoritas Kelembagaan Lokal dalam Reformasi TataKelola Pemerintahan Desa: Investigasi Teoretik dan Empirik
kebijakan. Memang, sejumlah persoalan ”tetap dibiarkan menggantung”, dalam
hal ini, terutama berkenaan dengan fungsi pemerintah desa sebagai ”tumpahan
segala urusan” yang seharusnya menjadi urusan dan kewenangan pemerintah
supra-desa (kabupaten). Sementara itu, pemerintah desa ”dibiarkan” tetap
dalam ketidakberdayaan secara finansial dengan segala macam tuntutankewajiban yang harus diselesaikannya.
Jika otonomi lokalitas (untuk sementara) disepakati mengambil bentuk
sebagaimana formatnya tercermin dalam pasal-pasal 200-216 UU no. 32/2004
(otonomi desa), maka muncul pertanyaan berikutnya, mampukah UU no.
32/2004 dan PP no. 72/2005 tentang Pemerintahan Desa menjamin kedaulatandan-kemanidirian desa sepenuhnya (kemandirian dalam pengambilan keputusan,
pendanaan, pengelolaan lokalitas)? Dapatkah semua prasyarat pembangunan di
ranah administrasi publik desa tersebut dijalankan dengan baik sesuai cita-cita
otonomi lokalitas (desa)? Benarkah organisasi pemerintahan desa yang posisisosiologisnya ”berada dalam perangkap birokrasi pemerintahan pusat dan
kabupaten” mampu membebaskan dirinya dan mewujudkan segala cita-cita
keberdayaan dan kedaulatan lokalitas/desa secara konstruktif? Adakah potensi
konflik yang muncul akibat bekerjanya ”jebakan-jebakan biokrasi” via aturanaturan yang sangat mengikat serta secara rigid ditentukan oleh pemerintah ”atas
desa”? Strategi apakah yang harus disusun untuk memberdayakan dan
meneguhkan otonomi lokalitas (desa) sesuai cita-cita dan selaras dengan UU
32/2004?
1.1.3. Otonomi Lokalitas (Desa) dan Jebakan Konflik Vertikal
Sebagai keputusan innovatif di bidang politik-pemerintahan, OTDA
sesungguhnya bertujuan utama mengoreksi dan mendekonstruksi ideologi
“sentralisme-otoritarianisme” sebagaimana mekanismenya telah berjalan pada
sistem pemerintahan Orde Baru (ORBA) sejak 1966-1998. Persoalannya, ”ruh
sentralisme” yang telah begitu lama mendarah-daging dalam sistem birokrasi dan
tata-pemerintahan nasional, sulit untuk dihapuskan secara serta-merta oleh
sebuah undang-undang pemerintahan daerah, yang didalamnya pun masih
banyak hal-hal yang diperdebatkan. Oleh karena itu, OTDA memerlukan waktu
yang cukup panjang untuk sampai pada cita-cita mewujudkan tuntutan tatanansosial sistem kemasyarakatan yang baru di Indonesia (kemandirian lokal,
demokratisme, partisipasi publik, good-governance).
Dalam perjalanannya,
implementasi konsep OTDA bahkan tidak sedikit menghadapi halangan,
kendala serta persoalan-persoalan struktural dan kultural pada tingkatan
implementasi, yang besarannya beragam menurut kawasan, setting ekosistem,
setting latar-belakang sosio-budaya dan setting sistem sosial-kemasyarakatan
setempat. Artinya setting geo-sosio-kultural memberikan pengaruh sangat berarti
bagi efektivitas implementasi UU Pemerintahan Daerah itu sendiri.
Dalam pada itu, penataan sistem tata-pemerintahan baru yang berorientasikan
desentralisme di tingkat kabupaten/kota, juga menghadapi persoalan-persoalan
10
Konflik-Konflik Kekuasaan dan Otoritas Kelembagaan Lokal dalam Reformasi TataKelola Pemerintahan Desa: Investigasi Teoretik dan Empirik
struktural (termasuk kelembagaan), kultural, psikologikal, dan tata-administratif
menyangkut “hubungan antara pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah
desa-desa” di bawahnya. Wewenang yang melimpah di tingkat pemerintah
kabupaten, sebagai akibat diberlakukannya OTDA, justru telah menyebabkan
munculnya gejala baru berupa “resentralisasi” kekuatan dan akumulasi kekuasaan yang
berlebihan di tingkat otoritas-kabupaten/kota. Akibatnya, kemandirian desa
(sebagai wilayah-administrasi di bawah hierarkhi kabupaten) kembali mengalami
“dekapitalisasi kekuasaan”, dimana desa “gagal” mendapatkan dukungan modalpolitikal dan modal-kultural yang diperlukan bagi tumbuhnya sistem pengaturan
desa yang mandiri dan berwibawa. Desa menjadi semakin tergantung pada ritme
dan arahan kebijakan politik pemerintahan pada hierarkhi kekuasaan di atasnya.
Dengan kondisi yang demikian, dikhawatirkan, desa-desa di Indonesia – yang
semula diharapkan menguat status keberdayaannya – kenyataannya, justru
mengalami realitas sebaliknya yaitu reduksi-kekuatan yang sangat signifikan vis a
vis pemerintah kabupaten dan pusat. Otoritas administrasi kawasan-lokal (desa)
kembali “tersedot” konsentrasinya ke tingkat kabupaten/kota, dan menyisakan
peningkatan derajat ketergantungan desa terhadap kabupaten/kota yang cukup
substansial (desa kehilangan kedaulatan dan kemandiriannya). Desa kembali
mengalami dependency-syndrome, yang situasinya mirip sebagaimana terjadi pada era
ORBA. Ketergantungan sosial-ekonomi dan politik desa terhadap otoritas
central-government di masa ORBA kini beralih ketergantungan struktural terhadap
pemangku otoritas kabupaten/kota. Sejauh ini, desa tetap menghadapi persoalan
inferioritas serta ketidakmandirian dan “ketidakberdaulatan” atas wilayahnya
sendiri dikarenakan ketidakmampuannya untuk “berkompetisi serta bersaing”
melawan kekuatan yang dimiliki oleh otoritas kabupaten.
Dengan kata lain, pembaharuan sistem tata-pemerintahan di tingkat
kabupaten/kota sebagaimana melekat pada konsep OTDA, tidak memberikan
dampak perubahan berarti terhadap sistem tata-pemerintahan di tingkat desa. Jika hal ini
diangap persoalan yang mengganggu cita-cita otonomi lokalitas (desa), maka
pertanyaannya, model reformasi tata-pemerintahan (desa) seperti apakah yang
seharusnya dilakukan? Jika pembenahan di tingkat kabupaten pun harus
dilakukan, maka bagaimana strategi yang harus ditempuh?
Selain persoalan di atas, pelemahan kemandirian desa seterusnya akan
menyebabkan ketimpangan sosial dalam struktur tata-pemerintahan yang
akhirnya bisa mereduksi keseluruhan capaian pembangunan sosial-ekonomi dan
politik yang dicita-citakan bersama. Sejumlah persoalan dan tantangan yang
muncul, adalah:
1. Desa berpotensi mengalami guncangan stabilitas sosial-politik dan kekacauan
organisasi tata-pemerintahan sebagai akibat berlangsungnya konflik-konflik
kekuasaan dan wewenang secara vertikal, antara pemegang otoritas
pemerintahan desa versus pemegang otoritas pemerintahan kabupaten (di
“atas desa”).
11
Konflik-Konflik Kekuasaan dan Otoritas Kelembagaan Lokal dalam Reformasi TataKelola Pemerintahan Desa: Investigasi Teoretik dan Empirik
2. Secara horisontal, tata-pemerintahan desa formal menghadapi “lawan-lokal”
berupa sistem tata-pengaturan “pemerintahan adat” yang secara historis
telah berurat-berakar di tingkat lokal. Konflik otoritas kelembagaan di tingkat
lokal sungguh sulit dihindarkan, oleh karena setiap sistem tata-pemerintahan
memiliki dasar rasionalitas dalam cara-berpikir (“logika”) tersendiri, yang
semuanya sama-sama masuk akal. Dalam UU no. 32/2004 pemerintahan
desa memang menjadi satu-satunya organisasi pengaturan “super-power” di
lokalitas (desa) yang diberikan kewenangan untuk mengadministrasikan
segala macam urusan (lihat UU no. 32/2004 pasal 206). Namun, sebelum
pemerintahan desa hadir dan diakui, secara kesejarahan kelembagaan adat
telah eksis terlebih dahulu. Hingga kini pun relevansi dan eksistensinya
dalam pengaturan kehidupan sosial-kemasyarakatan lokal tetap diakui oleh
masyarakat lokal.
3. Kapasitas infrastruktur kelembagaan desa yang ada (pada kenyataannya) terlalu
lemah (atau hampir tidak berarti) dan rapuh kekuatan finansialnya dalam
menopang proses-proses tata-pemerintahan menurut tuntutan otonomi dan
kemandirian lokalitas (desa) – sehingga kemungkinannya, pemerintahan
lokalitas (desa) akan mengalami kelumpuhan bila tidak direvitalisasi.
4. Sistem sosial-ekonomi dan kesejahteraan masyarakat desa tetap mengalami stagnasi,
insecure, tak mampu berkembang, tidak mandiri, bergantung dari sumber
kekuatan ekonomi dari luar, serta tidak sustainable sebagai akibat tidak
langsung dari ketidakmampuan pemangku otoritas-pemerintahan desa dalam
menggerakkan pemerintahan dan menggali potensi lokal. Secara ringkas, hal
ini dikatakan sebagai krisis ketatapemerintahan lokalitas (desa).
5. Jurang-komunikasi dan koordinasi antara otoritas administrasi pemerintahan
kabupaten dan desa tetaplah lebar, sekalipun UU no. 32/2004 telah
memberikan koridor komunikasi yang konstruktif. Hal ini menyebabkan
tidak semua aspirasi desa tersambungkan ke “atas desa” dan menjadi
masukan penting dalam proses perumusan kebijakan oleh pemangku
otoritas pemerintahan kabupaten.
6. Organisasi pemerintahan desa bersama lembaga kemasyarakatan di desa,
kenyataannya, juga sangat lemah kemampuannya dalam menjalankan
pengelolaan pemerintahan secara internal, pelayanan publik, kapasitas untuk
berinisiatif, serta kapasitas keuangan dan penganggaran. Prasyarat minimal
tata-pemerintahan ini jelas akan menyulitkan pencapaian derajat good-rural
governance yang lebih baik seperti adanya jaminan akses keterlibatan/
partisipasi publik dalam pengelolaan dan kontrol terhadap pemerintahan
yang lebih baik.
Sementara itu kenyataan di lapangan menunjukkan, bahwa cita-cita komunitas
lokal (desa) untuk dapat merealisasikan derajat kesejahteraan, keadilan,
keberdayaan dan kemandirian yang lebih tinggi “secara segera”, menjadi faktor
pendorong terus diresponsnya UU no. 32/2004 secara antusias. Respons
tersebut terutama sangat terasakan di kawasan pedesaan Jawa, dimana struktur
12
Konflik-Konflik Kekuasaan dan Otoritas Kelembagaan Lokal dalam Reformasi TataKelola Pemerintahan Desa: Investigasi Teoretik dan Empirik
tata-pemerintahannya memang telah well-adapted terhadap UU tata-pemerintahan
tersebut. Hal sebaliknya terjadi di “desa-desa adat” atau desa dimana sistem
tata-pengaturan sosial-kemasyarakatannya menggunakan basis legitimasi selain
UU Pemerintahan Daerah.
Sekalipun UU no. 32/2004 mengapresiasi keberadaan tata-aturan adat (pasal 203
dan pasal 216), namun otoritas adat dengan sistem tata-pemerintahan asli, sulit
beradaptasi/menyelaraskan dengan keberadaan sistem tata-pemerintahan formal
dalam konsep desa. Alhasil, dalam merespons peluang desentralisasi1 atau
otonomi lokalitas (desa) yang ditawarkan oleh negara melalui platform UU no.
32/2004, otoritas adat seringkali berbenturan secara kelembagaan dengan
otoritas formal (pemerintah desa) yang legitimate menurut hukum positif
kenegaraan.
Sesuai dengan prinsip-prinsip desentralisme menurut UU no. 32/2004, maka
“perubahan nasib” sebuah komunitas lokal (desa) hanya bisa direalisasikan bila
komunitas lokal tersbut mengambil prakarsa penuh, kewenangan dan tanggung jawab
yang subtansial pada praktek pemerintahan dari kelembagaan pemerintahan
pada hierarkhi kewenangan jurisdiksional di atasnya. Prinsip ini tercermin pada
pasal 212 dan 213 bahkan pasal 214 (tentang kerjasama desa) UU no. 32/2004
yang memberikan keleluasaan penuh bagi pemerintah desa untuk menghimpun
sumber-sumber pendanaan bagi kesejahteraan masyarakat desa. Kewenangan
tersebut dilimpahkan “ke bawah” dan dimanfaatkan sebagai “modal” bagi
penyelenggaraan tata-pemerintahan desa.
Persoalannya kemudian: (1) apakah setiap desa mampu untuk menjalankan
otonomisasi desa dengan pendekatan yang seragam sesuai UU no. 32/2004
1
Rondinelli and Nellis (1986) sebagaimana dikutip oleh Cohen and Peterson (1999)
mengemukakan bahwa desentralisasi adalah “the transfer of responsibility for planning,
management, and the raising and allocation of resources from the central government
and its agencies to field units of government agencies, subordinate units or levels of
government, semi autonomous public authorities or corporations, area-wide regional or
functional authorities, or non-governmental private or voluntary organizations ”. Ada tiga
bentuk desentralisasi-administratif yang dikenal dan penting untuk diketahui yaitu: (1)
dekonsentrasi, yang menunjuk pada transfer kewenangan dari jenjang hierarkhi
adminstrasi tertentu ke bawah, namun masih tetap dalam satu jurisdictional authority
pada pemerintah pusat; (2) delegasi, yang menunjuk pada transfer of government
decision-making and administrative authority untuk sebuah tugas tertentu kepada suatu
organisasi tertentu yang sifatnya bisa tidak-secara-langsung ataupun independen dari
kontrol pemerintah; (3) devolusi, yang menunjuk pada transfer kewenangan dari
pemerintah (central government) kepada local-level governmental units yang mengemban
status sebagai holding institution yang disahkan oleh peraturan hukum (legislation) (lihat
Cohen and Peterson, 1999). Menurut Work (2001), devolusi dapat dikategorikan juga
sebagai
desentralisasi “politik”
jika
pengertiannya
mencakup
“adanya
transfer
tanggungjawab atau kekuasaan pengaturan/regulasi secara penuh dalam decision-making,
penggunaan resources, dan penciptaan pendapatan, dari otoritas tunggal-negara kepada
otoritas publik (masyarakat sipil, negara dan swasta) yang otonom di tingkat lokal dan
bekerja secara independent legal entity”.
13
Konflik-Konflik Kekuasaan dan Otoritas Kelembagaan Lokal dalam Reformasi TataKelola Pemerintahan Desa: Investigasi Teoretik dan Empirik
(padahal jelas dimaklumi bahwa setiap desa menghadapi kendala-kendala yang
khas, dimana derajat persoalannya pun berbeda antara satu dan lain desa)? (2)
Melihat aspeknya yang begitu kompleks dihadapi oleh sistem tata-kelola
pemerintahan desa, maka muncul pertanyaan: sejauhmana kebijakan
desentralisasi-desa bisa diterima dan operasional sesuai dengan keragaman
struktur sosial masyarakat desa di Indonesia? Jika devolusi-kekuasaan adalah citacita desentralisasi yang dipilih untuk memberdayakan desa, maka muncul
pertanyaan: bagaimanakah pentahapan penataan tata-pemerintahan desa
seyogianya dilakukan agar cita-cita “kedaulatan desa” (keberdayaan desa) dan
kesejahteraan desa terwujud?
1.1.4. Konseptualisasi Otonomi Lokalitas (Desa)
”Devolusi kekuasaan” jelas sulit direspons secara serta-merta oleh setiap
lokalitas (desa). Hal ini disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya tidak semua
lokalitas (desa) memiliki derajat perkembangan kemajuan seperti yang terjadi di
kebanyakan desa di Pulau Jawa. Ada keragaman yang sangat tinggi yang
menyebabkan otonomisasi desa harus mengambil strategi berbeda-beda.
Sistem pemerintahan lokalitas (desa) di berbagai kawasan Indonesia seperti
Nanggroe Aceh Darussalam, ranah Minangkabau, Bali, dan Papua, telah
mengenal tata-pengaturan sosial-kemasyarakatan asli yang berbasis pada ikatanikatan tradisi keturunan sedarah (genealogis), dan ikatan religiositas. Tata-pengaturan
adat tersebut telah ada bahkan sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia
dilahirkan (lihat Syafa’at, 2002). Dengan kata lain, devolusi kekuasaan dan
kewenangan pemerintahan di sektor publik terhadap pemerintah desa akan
berbenturan dengan kelembagaan pemerintahan adat yang telah eksis terlebih
dahulu dan legitimate secara tradisonal. Siapa yang harus mendapatkan devolving
power dari “atas-desa”? Pemerintah desa formal (menurut UU no. 32/2004)
ataukah otoritas adat?
Devolusi mengandung dua makna sekaligus, yaitu: transfer tanggung jawab
pemerintahan dan pengambil-alihan kekuasaan regulasi atau pengaturan atas segala sesuatu
hal (urusan publik) di tingkat lokal. Dalam tata-pengaturan pemerintahan yang
mandiri (berbasiskan devolusi), berarti tata-pemerintahan desa harus “relatif
bebas” dari campur tangan kekuatan-kekuatan pemerintahan pada hierarkhi
otoritas di ”atas-desa” (supra desa) yaitu: Pemerintah Kabupaten/Kota atau
Pemerintah Pusat. Namun demikian, studi dari berbagai kasus dan daerahdaerah, mengkonfirmasikan realitas yang sebaliknya. Desa menghadapi tingkat
kesulitan yang sangat buruk untuk bisa mengambil alih limpahan kekuasaan yang
diberikan oleh otoritas jurisdiksional ”atas-desa” tersebut. Beberapa hambatan
struktural yang segera tampak adalah, ketidaklengkapan dan ketidakberfungsian
kelembagaan, kapasitas kelembagaan, dan kapasitas kepemimpinan serta sumberdaya
manusia (perangkat desa), sumber keuangan desa yang terbatas, dan lingkungan
lain yang tidak mendukung. Dengan demikian, dorongan keinginan desa untuk
mampu menjalankan sistem tata-kelola pemerintahan desa yang otonom dan
14
Konflik-Konflik Kekuasaan dan Otoritas Kelembagaan Lokal dalam Reformasi TataKelola Pemerintahan Desa: Investigasi Teoretik dan Empirik
mandiri serta baik (rural good and self-reliant governance system), tidak mungkin
diwujudkan segera (dalam hitungan hari atau bulan), bahkan bisa bertahun-tahun
lamanya.
Secara konseptual-teoretikal, untuk bisa mencapai derajat kemandirian yang
sesuai dengan prinsip desentralisasi dan otonomi lokal, maka harus dilakukan
pentahapan pengembangan kelembagaan pemerintahan desa. Dengan
mengadaptasi konsep “state building” dari Fukuyama (2004), akan didapatkan dua
dasar penting terbentuknya sebuah tata-pemerintahan (lokal) yang efektif, yaitu:
(1) derajat efektivitas pemerintahan yang tinggi, dan (2) spektrum dari fungsi
yang dijalankan oleh pemerintahan – the the scope of governmental function yang tidak
terlalu melebar. Dari konsepsi Fukuyama, tersebut dirumuskan empat bentuk
tata-kelola pemerintahan (desa) sebagaimana tampak pada Gambar 1.
Derajat Efektivitas Pemerintahan
– sangat tinggi
I
IV
Tipe ideal 
pemerintahan desa
yang kuat dan sangat
efektif dengan fungsi
terbatas/ringkas
Scope of
governmental
function –
Pemerintah desa yang
sangat efektif/kuat
dengan peran/fungsi
sangat luas 
Kondisi “ideal “
untuk Indonesia
Scope of
governmental
function – sangat
sangat ringkas
luas
Pemerintah desa yang
lemah, tidak efektif
dengan fungsi/peran
yang sedikit
Pemerintah desa yang
tidak efektif dengan
fungsi/peran yang
sangat luas  kondisi
riil di Indonesia
III
II
Derajat Efektivitas Pemerintahan
– sangat rendah
Gambar 1. Empat Tipe Sistem Tata Pengaturan Pemerintahan Desa
(dimodifikasi dari Fukuyama, 2004)
Pada Gambar 1, terpetakan empat tipe sistem tata-pengaturan pemerintahan
desa dengan kombinasi derajat efektivitas pemerintahannya dan luasnya fungsi
pemerintahan yang dijalankan. Setiap kombinasi diwakili oleh satu ruang.
Dimulai pada ruang I, adalah wilayah dimana ditemukan pemeritahan desa
dengan rentang fungsi/peran administratif-kewenangan yang sangat luas, namun
dalam waktu yang bersamaan kekuatan organisasi pemerintahan desa pun sangat
efektif dan kuat untuk menopang penyelenggaraan semua urusan tersebut.
Ruang ini bila tercapai, adalah kondisi ideal tata-pemerintahan lokalitas (desa) ala
Indonesia (sesuai yang diamanatkan oleh UU no. 32/2004 dan PP no. 72/2005).
15
Konflik-Konflik Kekuasaan dan Otoritas Kelembagaan Lokal dalam Reformasi TataKelola Pemerintahan Desa: Investigasi Teoretik dan Empirik
Sebagaimana diketahui hasil studi di Sumatera Barat, misalnya, mengkonfirmasi
ditemukannya lebih dari 100 urusan publik yang harus ditangani oleh organisasi
pemerintah desa pada saat ini. Jumlah tersebut sangat besar untuk ukuran
sebuah sumberdaya pemerintahan desa yang kebanyakan dalam keadaan sangat
terbatas. Meski baik untuk mewujudkan cita-cita kemandirian masyarakat lokal,
namun secara organisasional kelembagaan pemerintahan desa seperti ini
berpotensi mengarah ke chaotic-bureaucracy yang bergerak sempoyongan ”tanpa
fokus”, karena banyaknya fungsi yang harus ditangani/diselesaikan.
Pada ruang II, terdapat kawasan dimana ditemukan kelembagaan dengan
kapasitas/efektivitas pemerintahannya yang sangat rendah (sehingga sangat
lemah) namun pada waktu yang bersamaan, pemerintahan desa juga harus
menjalankan fungsi yang sangat luas. Tipe ini adalah tipikal pemerintahan desa
yang ditemukan hampir di seluruh Indonesia saat ini. Pada ruang ini
pemerintahan desa benar-benar berada pada status failed-government. Tipe tatakelola pemerintahan yang demikian, dinilai sangat buruk karena memiliki
ketahanan organisasionalnya sangat kecil sehingga rentan mengalami
“destabilisasi” dan “guncangan” atau organizational chaos. Dalam posisi seperti
ini”bantuan” dari kelembagaan ”atas-desa” mutlak diperlukan. Dengan kata
lain, fenomena ketergantungan pemerintah desa pada sumberdaya luar tampak
sangat menonjol di ruang II ini.
Ruang III mewakili kawasan dimana pemerintahan desa yang sangat lemah
(tidak efektif) meskipun fungsi-fungsi yang harus dijalankan sebenarnya tidaklah
banyak. Tipe tata-kelola pemerintahan pada ruang III adalah tipe terburuk dari
keempat tipe yang ada. Pemerintahan desa benar-benar gagal berperan,
sekalipun tidak banyak hal yang harus ditangani. Sementara itu, Ruang IV
mewakili kawasan dimana ditemukan ”tipe ideal” sebuah tata-pemerintahan desa
menurut konsep Fukuyama. Pada wilayah ini, kekuatan efektivitas-pemerintahan
desa berada pada derajat yang sangat kuat. Artinya pemerintahan desa mampu
mengendalikan semua kekuasaan dan kewenangan yang dimilikinya untuk
menopang dan mewujudkan cita-cita masyarakat desa (kesejahteraan,
kemandirian, keadilan, dan martabat). Karena fungsinya yang sangat ringkas,
pemerintahan desa mampu melakukan fokus, dan menjalin sinergi serta
kerjasama kemitraan dengan pihak luar pemerintahan desa untuk mewujudkan
cita-cita kesejahteraan tersebut.
Jika dipetakan dengan menggunakan kerangka pemikiran Fukuyama (2004)
tersebut, maka semua desa di Indonesia akan “terbagi habis” (teralokasikan) ke
dalam setiap ruang. Persoalannya, jika ruang IV adalah ”tipe ideal” yang hendak
dicapai, maka bagaimanakah cara mentransformasikan sistem tata-pemerintahan
desa-desa yang berada di ruang I, II, dan III ke ruang IV. Apakah ruang I adalah
tipe ideal ”sementara” yang seharusnya dicapai terlebih dahulu (sesuai UU no.
16
Konflik-Konflik Kekuasaan dan Otoritas Kelembagaan Lokal dalam Reformasi TataKelola Pemerintahan Desa: Investigasi Teoretik dan Empirik
32/2004). Di ruang ini, dilakukan tahapan paling penting yaitu pemberdayaan2
infrastruktur kelembagaan pada sistem tata-kelola pemerintah desa seraya terus
mengefisienkan fungsi dan peranannya.
Pemerintahan desa sepantasnya berkonsentrasi pada fungsi eksekusi di tingkat
kepala desa, yaitu: pelayanan publik dan pelaksanaan regulasi dimana scope-nya
pun harus ringkas. Sementara Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
berkonsentrasi pada fungsi legislasi, supervisi, dan joint-decision making di saat
diperlukan bersama-sama dengan pemerintahan desa. Fungsi lain seperti incomegenerating function dilakukan secara terpisah dalam tata-pemerintahan desa namun
tetap dalam kendali kelembagaan eksekutif dan legislatif desa. UU no. 32/2004
dan PP no. 72/2005 juga memungkinkan dikembangkannya jejaring kerjasama
sosial-ekonomi melalui pola kemitraan atau partnership dengan pihak lain (publik)
sesuai koridor hukum yang berlaku.
Agar good rural governance system bisa tercapai, maka diperlukan sejumlah upaya
membangun keberdayaan desa (rural empowerment). Hal-hal yang dapat dilakukan
untuk mencapai hal itu adalah penataan fungsi kelembagaan, perkuatan kapasitas
organisasional melalui pengembangan kapasitas organisasi dan sumberdaya
manusia (SDM), serta mengembangkan sistem manajemen pemerintahan desa
yang efektif. Pertanyaannya, penataan spesifik apa sajakah yang semestinya
dilakukan?
Meski demikian, agenda pekerjaan untuk mereformasi tata-pemerintahan desa ke
arah otonomi lokal (desa) yang kuat, bukanlah hal yang mudah untuk sertamerta diwujudkan tanpa perhitungan dan analisis yang matang. Diperlukan
serangkaian riset-aksi yang memadai untuk bisa mengindentifikasi kekhasankekhasan yang dimiliki oleh setiap desa, sehingga strategi penataan tatapemerintahan desa menjadi khas sifatnya. Setting geo-sosio-ekologi-lokal, sosiobudaya, struktur-kemasyarakatan, spasial-kewilayahan, sosio-politik, dan faktorfaktor lain akan sangat mempengaruhi tampilan sistem tata-pemerintahan desa
di suatu kawasan, yang selanjutnya menghendaki pendekatan yang berbeda-beda
antara satu dan lain desa.
2
Terdapat banyak batasan tentang pemberdayaan (empowerment), dalam hal ini dua
batasan yang bisa dikutip adalah: “empowerment goes well beyond the narrow realm of
political power, and differs from the classical definition of power by Max Weber.
Empowerment is used to describe the gaining of strength in the various ways necessary
to be able to move out of poverty, rather than literally “taking over power from
somebody else” at the purely political level. This means, it includes knowledge,
education, organization, rights, and ‘voice’ as well as financial and material resources”
(Schneider, 1999). Sementara itu batasan lain adalah: empowerment may, sociopolitically, be viewed as a condition where powerless people make a situation so that
they can exercise their voice in the affairs of governance (Osmani, 2000).
17
Konflik-Konflik Kekuasaan dan Otoritas Kelembagaan Lokal dalam Reformasi TataKelola Pemerintahan Desa: Investigasi Teoretik dan Empirik
Diharapkan, ditemukan sebuah innovasi rancangan sistem tata-pemerintahan desa
yang bisa dihasilkan melalui rangkaian studi-aksi yang dilakukan oleh Pusat Studi
Pembangunan Pertanian dan Pedesaan – Institut Pertanian Bogor (PSP3IPB)
yang bekerjasama dengan Partnership for Governance Reform – United Nation
Development Programme (UNDP) Indonesia. Riset-aksi berjudul “Partnership-Based
Rural Governance Reform” yang dilaksanakan sepanjang tahun 2006 ini, diharapkan
dapat menjawab persoalan-persoalan sebagaimana terpapar di atas yang pada
akhirnya dapat menjadi jawaban dalam memberdayakan/memperbaiki kapasitas
pemerintahan lokal (desa).
Studi-aksi pada kegiatan ini diharapkan menghasilkan rumusan konstruktif tatakelembagaan dan gagasan ke arah reformasi tata-kelola pemerintahan desa dan tatakelembagaan yang konstelasi fungsional-strukturalnya lebih adil, lebih baik, efektif dan
mandiri.
Good-rural governance dicapai pada aras lokalitas (desa) yang
mencerminkan otonomi pemerintahan lokalitas (desa) yang sejatinya. Hasil
studi-aksi diharapkan dapat memberikan sumbangan berarti bagi tercapainya
sistem tata-pemerintahan yang lebih kondusif dalam pencapaian cita-cita
demokrasi, otonomi, serta kesejahteraan sosial-ekonomi dan kelestarian
lingkungan lokalitas (desa). Hasil studi secara umum diharapkan menjadi sumber
ilmu-pengetahuan khususnya dalam hal kajian sistem ketata-pemerintahan desa
(rural governance system) di Indonesia.
1.2. Tujuan dan Manfaat Studi-Aksi
Masalah utama yang menantang untuk segera ditangani oleh studi-aksi ini adalah
menjawab permasalahan: (1) lemahnya atau tidak efektifnya kinerja sistem tatapemerintahan yang mewadahi beragam kepentingan di tingkat lokal (desa)
sebagai akibat akumulasi kekuatan kewenangan kelembagaan di hierarkhi “atas
desa” maupun “dalam desa”; (2) ketidakmandirian desa dalam menopang dan
mewujudkan masyarakat desa yang berdaya dalam menghadapi segala persoalan
sosial-ekonomi-kemasyarakatan, (3) Tidak kondusifnya tata-pemerintahan desa sebagai
akibat berbagai persoalan yang melekat secara struktural seperti dominasi
kekuasaan oleh otoritas “atas desa” serta adanya faktor kultural lainnya,
(4) ketiadaan wadah kebersamaan yang bisa menjadi infrastruktur sosial
kelembagaan penyambung kepentingan/aspirasi di tingkat lokal maupun regional
untuk menekan munculnya ketidakselarasan dalam tata-pengaturan desa.
Singkatnya, kehidupan sosial-ekonomi, politik desa (lokalitas) akan mengalami
stagnasi (kemandegan), bila sistem pemerintahan desa yang berperan sebagai
aktor penting penggerak dinamika sosial-kemasyarakatan desa dan sebagai pivotal
institution pada pemerintahan otonom desa tidak direvitalisasi dan diperbaharui.
Pendekatan strategis yang dirancang (diharapkan mampu) untuk menjawab
permasalahan di atas adalah:
18
Konflik-Konflik Kekuasaan dan Otoritas Kelembagaan Lokal dalam Reformasi TataKelola Pemerintahan Desa: Investigasi Teoretik dan Empirik
1. Memperlengkapi dan memperkuat kapasitas dan fungsi-fungsi sistem kelembagaan
pemerintahan desa sehingga desa mampu memberikan pelayanan kehidupan
sosial-ekonomi dan politik yang lebih memadai di tingkat lokalitas (desa).
2. Mengembangkan pola-pola partnership-based rural administrative management and
rural governance system di aras lokal, yang memegang teguh prinsip partisipasi,
dimana setiap pemangku kepentingan diakomodasi aspirasinya
3. Mengintegrasikan para pihak dalam suatu pendekatan pengelolaan tatapemerintahan desa yang demokratis dan berlandaskan pada solidaritas serta
kemitraan. Dengan prinsip-prinsip ini, keberdayaan pemerintahan desa tidak
hanya ditentukan oleh inisiatif sepihak, top-down, dan dijauhkan dari praktekpraktek intransparansi yang tidak akuntabel dan tidak adil.
Untuk menjawab permasalahan tata-pemerintahan desa di atas, dirumuskan
tujuan studi-aksi ini sebagai berikut:
2. Mengidentifikasi permasalahan penting dan melakukan pemetaan atau
tipologi sistem tata-pemerintahan desa (termasuk konstelasi kekuasaan dan
kewenangannya dengan kelembagaan adat) di beberapa kawasan terpilih,
yaitu di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Jawa Barat,
Bali dan Papua.
3. Menemukan alternatif tata-pemerintahan desa yang sesuai dengan prinsip
OTDA namun juga memberdayakan dan memandirikan masyarakat (warga
desa) secara sosial-ekonomi dan politik.
4. Merumuskan dan mengembangkan tata-kelembagaan yang sesuai dengan
konteks sosio-budaya dan ekonomi lokal dalam sistem tata-pemerintahan
desa yang berbasiskan prinsip kemitraan.
5. Mengembangkan mekanisme pembaharuan tata-pemerintahan pedesaan di
Indonesia, melalui diseminasi temuan akademik dan pengembangan wacana
ilmiah dalam kerangka governance studies.
1.3. Ruang Lingkup Studi dan Metodologi
Studi-aksi dijalankan di lima provinsi terpilih dengan pertimbangan kekhasan
yang dimilikinya, yaitu: Nanggroe Aceh Darussalam (mewakili provinsi yang
mengalami konflik sosial cukup lama), Sumatera Barat (mewakili kawasan
dengan pengaturan adat “Nagari” yang kuat dan terpelihara), Jawa Barat
(mewakili desa ala Jawa), Bali (mewakili kawasan dengan tata-pengaturan
komunitas lokal berbasis religiositas yang kuat), dan Papua (mewakili kawasan
Timur Indonesia dengan sistem ondoafi yang masih dominan). Pada setiap
provinsi kasus, dipilih satu kabupaten yang akan dijadikan lokasi penelitian,
dimana di setiap kabupaten tersebut ditentukan dua desa sebagai lokasi
penelitian dan aksi.
Studi-aksi partnership-based rural governance reform ini akan didekati dari berbagai
disiplin. Setiap disiplin terintegrasi dengan disiplin lainnya, sehingga sifat
penelitian adalah interdisipliner namun tetap memberikan ruang yang
19
Konflik-Konflik Kekuasaan dan Otoritas Kelembagaan Lokal dalam Reformasi TataKelola Pemerintahan Desa: Investigasi Teoretik dan Empirik
mencukupi bagi setiap disiplin untuk menjalankan aktivitas dan metodologi riset
secara mandiri. Setiap disiplin ilmu memberikan fokus perhatian pada suatu
fokus kajian penelitian, sebagai berikut: (1) sosiologi pedesaan memfokuskan
pada kajian kelembagaan dan kepemimpinan lokal, (2) ilmu pengembangan
wilayah
pedesaan
memfokuskan
pada
kemungkinan-kemungkinan
pengembangan desa di masa OTDA, (3) ilmu administrasi-pembangunan,
memfokuskan pada proses-proses perumusan kebijaksanaan di berbagai aras
pengambilan keputusan, (4) ilmu politik, melihat lebih dalam politik
desentralisasi dan otonomi desa, (5) ilmu komunikasi dan gender, mengkaji
komunikasi administratif dan peranan wanita, (6) ilmu ekonomi, memperhatikan
derajat kesejahteraan ekonomi rumahtangga di masa OTDA, (7) ilmu ekonomi,
melihat peluang pengembangan ekonomi lokal, (8) sosiologi agraria, melihat
persoalan konflik agraria, (9) manajemen sumberdaya alam, melihat
kelembagaan pengaturan sumberdaya alam lokal.
Output dari studi-aksi ini adalah sebuah lessons learned yang akan
didokumentasikan secara sistematis dalam working paper series dan buku, serta
disebarluaskan ke khalayak akademik, praktisi, maupun masyarakat luas. Secara
metodologis, pendekatan kuantitatif maupun kualitatif (metode indepth interview,
focus group discussion, obervasi berpartisipasi) digunakan untuk memahami persoalan
riil di lapangan. Beberapa temuan awal studi-aksi berupa peta permasalahan tatakelola pemerinthan lokalitas (desa) di lima provinsi kasus tersebut disajikan pada
bagian-bagian akhir paparan ini pada working paper ini.
20
Konflik-Konflik Kekuasaan dan Otoritas Kelembagaan Lokal dalam Reformasi TataKelola Pemerintahan Desa: Investigasi Teoretik dan Empirik
2
KERANGKA KONSEPTUAL
2.1. Desa sebagai Entitas Sosial: Pandangan dari Beberapa Perspektif
Sebelum membahas secara lebih komprehensif dan mendalam tentang
pembaharuan dan revitalisasi tata-pengaturan pemerintahan desa (rural
governance), dipandang sangat mendesak, untuk terlebih dahulu menyamakan
persepsi tentang makna desa. Dalam ilmu sosial, desa memiliki multi-makna dan
dapat ditafsirkan berbeda-beda tergantung perspektif atau “logika” apa yang
digunakan untuk memahaminya. Dari perspektif, geografi-kultural, desa sematamata dipandang sebagai ruang yang terbentuk dari kesatuan lokalitas-spasial,
dimana di”atas”nya dibina sebuah kehidupan sosial. Pola adaptasi-ekologis yang
dijalin-berkesinambungan di kawasan itu, menyebabkan ditemukannya sistemsistem sosio-kemasyarakatan dengan karakter budaya yang khas. Oleh karena
karakter tersebut melekat pada setting sistem sosio-eko-geografi setempat (yang
distinct), maka setiap desa secara geografis menampilkan kekhasan karakter sosioeko-geo-budaya sesuai kekhasan kawasan tersebut. Perspektif geografi-kultural
memberikan pesan penting tentang adanya pola-pola perilaku sosial-budaya dan
sosio-politik yang terbentuk sebagai konsekuensi bekerjanya kekuatan-kekuatan
alam.
Dari perspektif sosiologis, desa dipahami sebagai sebuah ruang dimana sebentuk
entitas-sosial hadir dan membina dinamika hubungan sosial secara intensif. Entitas sosial
tersebut mendiami dua sub-ruang, sekaligus yaitu ruang-sosial dimana proses-proses
sosial berlangsung, dan ruang fisik spasial/teritorial dimana warga mendapatkan
berbagai dukungan-penghidupan – livelihood supporting system – (sandang, pangan,
papan) yang penting bagi kelangsungan hidup mereka. Ruang sosial sendiri, bisa
berwujud “abstrak” manakala, space tersebut dipahami dalam konteks sosio21
Konflik-Konflik Kekuasaan dan Otoritas Kelembagaan Lokal dalam Reformasi TataKelola Pemerintahan Desa: Investigasi Teoretik dan Empirik
budaya, dimana di dalamnya didapati gugusan supra struktur sosial yang terdiri dari
“sistem ideologi, sistem nilai, orientasi etika kehidupan sosial, dan norma-norma
sosial dari berbagai tingkatan”. Supra struktur sosial tersebut selanjutnya
membina dan mengokohkan kesatuan kehidupan sosial masyarakat di lokalitas
yang bersangkutan. Di kedua sub-ruang (spasial dan sosial) tersebut, pengaruh
negara hadir melalui infrastruktur kelembagaan administrasi pemerintahan desa.
Bersama-sama dengan supra struktur sosial, kelembagaan pemerintahan desa
ikut menjaga harmoni kehidupan sosial, utamanya memastikan berjalannya
proses-proses pelayanan sosial, dan proses fasilitasi interaksi warga dan negara di
ruang publik (public sphere).
Jadi, desa dalam pengertian sosiologis adalah ruang dimana entitas sosial
terbentuk dan membina dirinya, di suatu teritorial tertentu, dimana infrastruktur
kelembagaan pemerintahan desa (bersama supra struktur sosial) memungkinkan
interaksi sosial antara negara (state) dan warga negara, serta antara sesama warga
negara (citizen) berlangsung secara harmonis dan intensif.
Dari perspektif sosiologi masyarakat kecil, konsep kesatuan sosial di suatu desa
seringkali dipahami dalam konteks yang boleh saling-dipertukarkan
(interchangeable) dengan konsep komunitas3. Dalam hal ini desa dipandang sebagai
sebuah entitas sosial di suatu kawasan mikro, dan merupakan subset (himpunan
bagian) dari gugus sistem sosial yang lebih besar. Warga atau penduduk yang
ada di dalam kawasan tersebut membangun sebuah konfigurasi sosial-budaya yang
khas. Ruang-interaksional yang terbentuk membangun dinamika hubungan
sosial kerjasama, hingga persaingan, ketegangan ataupun konflik sosial antar sesama
warga/penduduk, dan antara warga/penduduk dengan lingkungannya. Dengan
pemahaman seperti ini, desa menjadi teritori yang memungkinkan konfigurasi
sosio-budaya terbangun secara sistematis. Dalam kenyataan, sebuah desa bisa
menjadi “habitat” dari satu atau bahkan lebih dari satu komunitas khas.
Dari perspektif administrasi pemerintahan, desa dipahami semata-mata sebagai
sebuah ruang-tempat bekerjanya sistem administrasi pemerintahan publik dimana batasbatas pelayanan dan fungsi-administratif terdefinisi secara jelas. Dalam ruang
yang demikian itu, pemangku otoritas administrasi publik memenuhi hak-hak
kewarganegaraan yang dimiliki oleh warga desa. Sementara, pada saat yang
bersamaan pemangku otoritas administrasi mengelola dan mengontrol berbagai
3
Wilkinson (1970) memahami komunitas secara sederhana sebagai: “ kumpulan orangorang yang hidup di suatu tempat (lokalitas), dimana mereka mampu membangun
sebuah konfigurasi sosial-budaya, dan secara bersama-sama menyusun aktivitas-aktivitas
kolektif (collective action)”. Sementara Warren dalam Fear dan Schwarzweller (1985)
memahami konsep komunitas sebagai: “kombinasi dari lokalitas (kawasan) dan unit-unit
sosial (manusia dan kelembagaan sosial) yang membentuk keteraturan, dimana setiap
unit sosial menjalankan fungsi-fungsi sosialnya secara konsisten, sehingga tersusun
sebuah tatanan sosial yang tertata secara tertib”
22
Konflik-Konflik Kekuasaan dan Otoritas Kelembagaan Lokal dalam Reformasi TataKelola Pemerintahan Desa: Investigasi Teoretik dan Empirik
kewajiban yang melekat dan harus ditunaikan oleh warga desa setempat kepada
negara. Dengan kata lain, desa menjadi ruang dimana pemangku otoritas
melakukan olah-kekuasaan sesuai dengan mandat kewenangan sah yang diperoleh dan
disandangnya dari negara. Dalam menjalankan kewenangannya, pemangku otoritas
administrasi mendapatkan legitimasi hukum yang dikukuhkan oleh peraturan
perundangan negara. Dengan pengertian ini, maka desa adalah tempat dimana
sebuah organisasi pemerintahan yang sah menjalankan aktivitas-aktivitas
organisasional secara sistematis. Keseluruhan jejaring fungsi dan peran di setiap
lapisan tata-pemerintahan desa tersebut membentuk kesatuan administrasi
pemerintahan yang kemudian disebut sebagai pemerintahan desa yang dikepalai oleh
seorang Kepala Desa dibantu oleh sejumlah perangkat desa dan seperangkat
kelembagaan desa.
2.2. Desa sebagai Social Container: Dilema dan Konflik Eksistensial
Dalam kajian dinamika sosial-kemasyarakatan, pemahaman seseorang pada
konsep desa selalu merujuk pada mindset desa sebagaimana pengertiannya
terbentuk dalam gambaran perspektif sosiologis, yaitu sekelompok orang yang
tinggal di suatu tempat yang membentuk sistem sosial dengan proses-proses
sosial yang dinamis. Kawasan tinggal mereka terdefinisi dengan baik dimana
batas-batas geo-sosio-ekologis ditentukan secara spesifik berdasarkan
kesepakatan-kesepakatan antar berbagai pihak dan diapresiasi dengan baik.
Dalam perspektif yang demikian itu, desa digambarkan sebagai penyatuan dua
ruang yang sebenarnya memiliki eksistensi yang terpisah, yaitu ruang sosial dan
ruang spasial. Dalam pemahaman seperti ini, desa dipandang sebagai “social
container” yang mengangkut sekumpulan orang yang mengembangkan sejumlah
atribut kelembagaan, sosio-budaya, sistem-sistem ekonomi produksi dan subsistensi,
kekuasaan, sistem iodeologi, tradisi, dan sistem norma yang melekat dan berlaku sah di
suatu kawasan.
Di “atas” kesatuan sosial yang firm itu, bekerja sebuah sistem pengaturan berupa
administrasi pemerintahan yang menyatukan keseluruhan elemen sosial di ruang
sosial dan spasial menjadi kesatuan yang utuh-terintegrasi menjadi sebuah sistem
sosial desa. Pada titik inilah, pemerintahan desa menjadi bagian tidak terpisahkan
dari sistem sosial desa, dimana pemerintahan desa adalah infrastruktur
pengaturan kehidupan sosial kemasyarakatan satu-satunya yang bekerja secara
sah di kawasan tersebut. Namun, pada kenyataannya, desa tidak selalu membawa
sistem pengaturan sosial-kemasyarakatan yang tunggal. Selalu dimungkinkan
adanya beberapa sistem pengaturan yang hadir secara bersama-sama dengan
pemerintahan desa. Salah satunya adalah sistem tata-pengaturan adat yang
tunduk pada sistem norma yang berlaku pada customary-law (hukum adat).
Kehadiran dua atau lebih sistem pengaturan sosial-kemasyarakatan,
mengantarkan desa menjadi sebuah sistem sosial yang sangat kompleks.
23
Konflik-Konflik Kekuasaan dan Otoritas Kelembagaan Lokal dalam Reformasi TataKelola Pemerintahan Desa: Investigasi Teoretik dan Empirik
Realitas semacam ini boleh-jadi berlangsung di sebuah teritori desa yang
“mengangkut” beberapa sub-ruang sosial dimana di setiap sub-ruang diisi oleh
karakter sosio-budaya yang khas. Artinya, desa menjadi “tempat-hidup”
(Lebensraum) bagi sejumlah komunitas dengan ciri sosio-budaya yang beraneka
(pluralistik) dimana masing-masing komunitas memberlakukan sistem
pengaturan sesuai sistem norma yang dianutnya. Oleh karena itu, terbentuklah
sistem kekuasaan, sistem sosio-politik dan tata-pengaturan pemerintahan yang
terkotak-kotak sesuai sistem ideologi masing-masing komunitas. Dengan setting
yang demikian, maka desa menjadi arena olah-kekuasaan (power and authority
exercise) dari sejumlah komunitas, dimana setiap sistem hanya tunduk pada
“logika” sistem norma yang dipelihara oleh komunitas masing-masing.
Konstelasi beragam kekuatan sistem pengaturan mengantarkan desa menjadi
ruang konflik kepentingan dan konflik tata-pengaturan. Kenyataan inilah yang
makin mempertajam makna desa sebagai ruang konflik sosial (social conflict)
daripada sekedar ruang hidup bersama.
Kebanyakan desa-desa di pelosok luar Pulau Jawa, menggunakan ikatan kinship
atau kesatuan-genealogis sebagai justifying reason untuk mengoperasionalisasikan tatapengaturan berbasiskan hukum adat. Ikatan genealogis pula yang digunakan
sebagai dasar pemetaan luas-wilayah cakupan otoritas pemerintahan tradisional
(adat). Dengan kata lain “batas-batas” keturunan sedarah digunakan untuk
mendefiniskan seberapa luas cakupan wilayah ruang sosial dan ruang spasial sebuah
komunitas dalam membangun tatanan sosial-kemasyarakatan di suatu kawasan.
2.3 Desa sebagai Arena Pertarungan Otoritas Kelembagaan
Dalam banyak hal, seringkali ditemukan fakta bahwa, fungsi-fungsi yang
dijalankan oleh pemangku otoritas kelembagaan (pemerintahan) adat saling tumpangtindih dengan fungsi-fungsi pengaturan yang dijalankan oleh otoritas
pemerintahan desa formal. Disinilah kemudian terjadi sindroma dilema eksistensial
dan dilema konflik wilayah otoritas diantara kelembagaan-kelembagaan pengaturan
kehidupan sosial-kemasyarakatan. Di satu sisi masyarakat desa sebagai warga
negara, harus mengakui eksistensi pemangku otoritas pemerintahan desa
(kelembagaan formal), namun di sisi lain, sebagai warga adat yang terikat oleh
kesatuan kinship dalam “logika” kesatuan genealogi, harus pula mengakui dan
tunduk pada pranata-pranata sosial yang dipelihara oleh pemangku otoritas adat.
Sementara itu, baik pemangku otoritas adat maupun pemangku otoritas kelembagaan
formal (pemerintah desa), seringkali keduanya berada di “wilayah urusan-urusan
publik” yang saling overlapping sesamanya. Sebagai misal, kedua pemangku
otoritas berkepentingan terhadap pengambilan keputusan-keputusan yang
menyangkut penyelesaian persoalan-persoalan sosial-kemasyarakatan umum,
seperti penataan dan pemanfaatan sumberdaya agraria lokal, pengelolaan
pemukiman, transaksi ekonomi, pewarisan, jual-beli tanah, penyelesaian konflikkonflik sosial, masalah kependudukan, dan sebagainya. Jebakan krisis eksistensial
24
Konflik-Konflik Kekuasaan dan Otoritas Kelembagaan Lokal dalam Reformasi TataKelola Pemerintahan Desa: Investigasi Teoretik dan Empirik
dan krisis konfliktual di ruang publik itu bisa dipahami, karena wilayah otoritas
kedua kelembagaan seringkali tumpang-tindih. Tumpang tindih kekuasaan dan
otoritas di ruang (pelayanan administrasi) publik seperti ini, membuat desa
menjadi sebuah kesatuan sosial-kemasyarakatan yang tidak sederhana.
Secara spasial, cakupan luas-wilayah otoritas adat yang dasar operasionalisasinya
menggunakan basis ikatan-genealogis, – lazim ditemukan pada suku-bangsa
Minangkabau (di Sumatera Barat daratan), Batak di Sumatera Utara, Dayak (di
Pulau Kalimantan), ataupun suku-suku asli di Papua –, akan sangat ditentukan
oleh seberapa luas penyebaran tempat tinggal (fisik) penduduk seketurunan
berada di wilayah itu. Semakin luas persebarannya, semakin luas wilayah otoritas
adat akan mendapatkan justifikasi spasial yang sah. Kesatuan wilayah otoritas adat
berbasiskan sedarah-seketurunan yang juga mencirikan kesatuan (kesamaan)
karakter sosio-budaya-spasial di Minangkabau disebut sebagai “kaum”.
Pimpinan otoritas adat “kaum” adalah para ninik-mamak (tetua adat). Bagi suku
Dayak di Kalimantan, basis ikatan-genealogis membentuk kesatuan wilayah otoritas
adat “ketemenggungan”, dengan temenggung sebagai pemegang otoritas tunggal (single
authority actor) dalam tata-pengaturan adat (lihat Dharmawan, 2001).
Di Papua, dikenal ondoafi (andewapi) sebagai penguasa adat yang memiliki cakupan
luas-wilayah otoritas kelembagaan meliputi beberapa suku di bawahnya. Setiap
suku tinggal di wilayah-wilayah yang bisa lebih luas daripada luas-wilayah sebuah
sistem administrasi pemerintahan desa formal. Sekali lagi, luas wilayah (spasial)
otoritas adat dan luas wilayah spasial “kaum”, “ketemenggungan” ataupun “desa adat
di Papua” tidak selalu sama luasnya dengan wilayah (spasial) pemerintahan desa.
Sementara, fungsi-fungsi (wilayah fungsional dan kewenangan) yang dimiliki oleh
otoritas kelembagaan adat seringkali tumpang-tindih dengan otoritas
kelembagaan formal (administrasi pemerintahan desa). Dalam hal ini, krisis
eksistensial berpotensi terjadi di dua ranah sekaligus, yaitu ranah spasial dan ranah
fungsional bagi dua kelembagaan yang hidup saling bersinggungan. Pesinggungan
wewenang ini digambarkan oleh otoritas Ondoafi di Papua sebagai berikut:
1. Memelihara sumberdaya alam lokal (hutan, tanah, air). Ondoafi menjaga hak
ulayat di wilayahnya, termasuk pengaturan pengalihan hak-pakai atas tanah
dari satu warga masyarakat ke warga yang lain. Proses sertifikasi tanah di
Badan Pertanahan Nasional pun tidak akan pernah bisa berlangsung tanpa
ada persetujuan dari ondoafi. Dalam hal ini kewenangan ondoafi sangat mutlak.
Artinya, pengalihan hak atas tanah tidak akan pernah absah tanpa
persetujuan lisan dan tertulis dari ondoafi. Kewenangan yang mutlak dalam
hak ulayat, ini seringkali menyulitkan pihak pemerintah kampung (desa)
untuk dapat memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia di tingkat lokal
secara segera. Alokasi pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam lokal
seringkali menjadi titik-rawan konflik antara dua pemangku otoritas
(kelembagaan adat ondoafi versus kepala kampung).
25
Konflik-Konflik Kekuasaan dan Otoritas Kelembagaan Lokal dalam Reformasi TataKelola Pemerintahan Desa: Investigasi Teoretik dan Empirik
2. Menjaga keamanan, menjaga keselarasan kehidupan, serta melindungi warga
masyarakat. Ondoafi menjaga harmonisasi hubungan antar suku yang hidup
bermasyarakat di suatu lokalitas. Konflik warga antar suku, harus
diselesaikan oleh ondoafi sebelum persoalannya dibawa ke otoritas
pemerintah desa atau kepolisian.
3. Pengaturan perkawinan antar warga masyarakat. Tata-aturan adat
perkawinan harus dipelihara dan ditegakkan oleh ondoafi selain oleh
pemerintah desa dalam urusan administrasi formalnya.
Jadi, suatu persoalan sosial-kemasyarakatan, dapat menempuh dua cara
penyelesaian, yaitu: ”diselesaikan secara adat” atau ”diselesaikan secara hukum
formal”. Meski demikian supremasi hukum adat tampak nyata di Papua. Dalam
berbagai persoalan sosial-kemasyarakatan, tidak akan pernah ada suatu
keputusan administrasi formal yang ditetapkan secara definitif sebelum dicapai
kesepakatan/keputusan di tingkat adat terlebih dahulu. Dalam hal ini, kekuatan
keputusan adat jauh lebih legitimate di mata masyarakat daripada keputusan
pemerintah kampung (pemerintah desa). Sekalipun demikian, kewenangan
ondoafi pun tidak selalu bersifat mutlak. Hal ini dikarenakan kedudukannya selalu
dikontrol secara penuh oleh kelembagaan “sulung” (terdiri dari mereka yang
dituakan dalam keluarga sedarah-seketurunan ondoafi). Demikianlah tatapengaturan sosial-kemasyarakatan yang ”berlapis” dijalankan di tanah Papua.
Jika ondoafi (di Papua) atau ninik mamak (di ranah Minang) memiliki legitimasi
kekuasaan dan wewenang berbasis keturunan sedarah, maka di beberapa
kawasan ditemukan pula sistem tata-pengaturan adat lainnya yang berbasiskan
bukan sedarah-seketurunan. Dalam hal ini, basis religiositas dapat digunakan
sebagai instrumen untuk mendefinisikan wilayah otoritas adat di suatu lokalitas
(desa). Sistem kesatuan masyarakat mukim di Aceh – yang menggunakan masjid
jamie (tempat peribadatan umat Islam, yang dipimpin oleh Imum Mukim) sebagai
benchmark –, dan “desa adat” di Bali – yang menggunakan pura (tempat
peribadatan agama Hindu) di Bali sebagai patokan wilayah otoritas adat –, adalah
dua contoh kasus yang mewakili pendefinisian (penetapan) kesatuan lokalitas
dalam konteks kesatuan sosio-budaya dimana wilayah otoritas adat ditetapkan dengan
dasar sistem religi. Di Bali, desa adat tersebut dikenal sebagai pakraman dimana
Pendeso Adat atau Kelian Adat merupakan pemangku otoritas utama pada
kelembagaan adat dengan cakupan kekuasaan yang lebih luas daripada cakupan
kekuasaan yang dimiliki oleh pemerintah desa formal menurut UU no. 32/2004
(desa formal di Bali disebut dengan sebutan lokal sebagai “desa dinas”).
Kewibawaan para Kelian Adat (di Bali), Ondoafi (di Papua), Imum Mukim (di
Aceh) ataupun Ninik Mamak (di ranah Minangkabau) seringkali lebih kuat
daripada Kepala Desa. Hal ini dikarenakan, hubungan sosial warga dengan para
tetua adat didasarkan pada ikatan-ikatan emosional yang telah mengakar sejak lama
dan bukan hanya sekedar ikatan atau hubungan administrasi saja. Sifat hubungan
“lebih hangat”, karena basis hubungan ikatan persaudaraan. Juga, prinsip primus
26
Konflik-Konflik Kekuasaan dan Otoritas Kelembagaan Lokal dalam Reformasi TataKelola Pemerintahan Desa: Investigasi Teoretik dan Empirik
inter pares, membuat mereka lebih dihargai sekalipun cakupan luas-wilayah spasial
dan luas-wilayah otoritas adat “kaum” dan “ondoafi” (dalam sistem berbasiskan
ikatan-genealogis), ataupun “kemukiman” dan “ pakraman” (dalam sistem
berbasiskan ikatan-religi), memiliki coverage secara geografis yang lebih luas
(melintasi batas desa formal menurut definisi negara).
Sekali lagi, disinilah seringkali benturan kepentingan atau konflik otoritas dan
kekuasaan pada kelembagaan pengaturan (institutional conflict) terjadi. Konflik
kelembagaan itu biasanya dipicu oleh ketidakjelasan tentang siapa sesungguhnya
pengambil keputusan prinsipial (utama) yang harus bertanggungjawab atas suatu
urusan di ruang publik desa. Untuk membanding perbedaan antara kesatuan
masyarakat hukum adat dan pemerintahan desa lokal, Gambar 2 di bawah ini
dapat diperiksa.
Ketidakjelasan pembagian batas-fungsional, dimana deskripsi “tugas, fungsi, peran
dan cakupan kewenangan” (seringkali) berbenturan satu sama lain atau
overlapping diantara para pemangku otoritas administratif pemerintahan formal (kepala
desa) dan pemangku otoritas adat (ketua adat) membuat sebuah urusan yang
sesungguhnya “sederhana” seringkali menemui jalan buntu untuk bisa segera
diputuskan. Pada titik ini, tata-pemerintahan desa di banyak kawasan adat
menghadapi krisis eksistensial kelembagaan dan konflik-kelembagaan, terutama di
ranah fungsional dan spasial (Alfitri, 2006; Busra, 2006, Fahmi, 2006).
Kenyataan bahwa pemangku otoritas kelembagaan adat ikut mengatur urusanurusan sosial-kemasyarakatan di ruang publik (memang) sangat dapat
dimengerti, karena bagi warganya, mereka (para pemangku otoritas adat)
mendapatkan mandat penuh untuk memelihara kesatuan sosial-adat secara
seutuhnya. Secara kesejarahan sistem tata-pemerintahan adat ini telah eksis dan
berjalan sejak dahulu kala, bahkan ketika tata-pemerintahan desa belum terbentuk.
Dalam hal ini, otoritas kelembagaan adat juga dimandatkan sepenuhnya untuk
memelihara social-conformity atas pelaksanaan norma-norma sosial sejak tingkatan
yang paling rendah seperti tatacara, kebiasaan, adat-istiadat, hingga pelaksanaan/
implementasi hukum adat dalam ranking tingkatan norma yang paling tinggi
dengan konsekuensi sanksi-hukum yang sangat tegas. Di Bali, para Kelian Adat
juga ikut-serta mengurus hal-ihwal pemeliharaan jalan-jalan desa yang
menghubungkannya ke pura tempat peribadatan agama Hindu. Dalam hal ini,
sulit dipisahkan secara tegas, mana urusan publik yang menjadi kewenangan
pemerintah desa dan mana yang menjadi porsi otoritas adat.
Basis kekuasaan
Wilayah kewenangan
Pemerintah Desa
Rakyat via Pemilihan Kepala
Desa  disahkan oleh Negara
atau Pemerintah
Semua urusan yang diatur oleh
peraturan perundangan
Kelembagaan Adat
Asal-usul keturunan, kewibawaan,
kecendekiaan  prinsip primus
inter pares (kematangan
kepribadian/usia)
Semua urusan di satuan wilayah
genealogis atau religi  biasanya
cakupannya pada hak ulayat
27
Konflik-Konflik Kekuasaan dan Otoritas Kelembagaan Lokal dalam Reformasi TataKelola Pemerintahan Desa: Investigasi Teoretik dan Empirik
Sistem pengendalian
organisasi sosial
Kepatuhan/keterlibatan
emosional masyarakat
terhadap pimpinan
Sistem Birokrasi
Utilitarian  optimalisasi
manfaat ekonomi, efisiensi,
produktivitas
Kalkulatif, ”kering”, formalistik,
organik-fungsional
Legal-rasional  mekanisme
kerja terdefinisi dalam prosedur
yang baku
Sistem Insentif
Remunerasi dari negara
Decision-making process
Kepala Desa, kelembagaan
formal pemerintahan desa
(BPD) dan “arahan”
pemerintah Kabupaten
Peraturan desa dan sistem
hukum legal di “atas”nya
(Perda, PP, UU)
Semua urusan administrasi
publik, dan pembinaan
kehidupan sosialkemasyarakatan
Instrumen pengatur
kehidupan sosial
Urusan pokok yang
ditangani
Normatif  operasionalisasi nilainilai budaya leluhur
Kewajian moral, ”hangat”,
informal dan melibatkan ikatan
emosional, mekanis-interpersonal
Melekat pada kharisma pemimpin
adat (misal: ninik-mamak, ondoafi)
 tergantung kearifan sang
pemimpin
Penghargaan sosial dari
masyarakat  kehormatan dan
rasa disegani
Forum penghulu (pemimpin) adat
dan musyawarah pimpinan
masyarakat adat
Norma-norma adat lokal dan
pranata sosial lokal
Pengaturan sumberdaya alam
(tanah ulayat) dan pemeliharaan
harmoni kehidupan sosial
kemasyarakatan
Gambar 2. Perbandingan Karakter Pemerintah Desa dan Otoritas Kelembagaan Adat
Dalam bidang tata-kelola sumberdaya agraria di desa misalnya, otoritas
kelembagaan adat mendefinisikan secara jelas mekanisme baku alokasi
sumberdaya alam, tata-cara pewarisan tanah, jual-beli tanah dan penetapan
sistem upah dalam pola hubungan sosial-produksi agraria, sistem kontrak, sewamenyewa, bagi-hasil, pengukuhan hak atas tanah, pemanfaatan tanah,
mekanisme konservasi sumberdaya alam, mekanisme penyelesaian konflik
agraria, dan sebagainya. Dalam bidang tata-kelola sumberdaya keluarga, otoritas
kelembagaan adat juga mendefinisikan secara rinci proses-proses pengambilan
keputusan dalam soal-soal domestik dan publik rumahtangga, kepemimpinan
nafkah, hak asuh anak, perkawinan, perceraian, hubungan pertetanggaan,
mekanisme local social-security system, dan sebagainya. Dalam bidang sumberdaya
sosial, otoritas kelembagaan adat telah mendefiniskan secara rinci mekanisme
aksi-kolektif seperti gotong-royong, kehidupan beragama, keamanan, penegakan
peraturan ketertiban, dan sebagainya. “Warna” dari tata-pengaturan dan
pengelolaan urusan-urusan ini akan berbeda-beda dari satu ke lain kawasan.
Penting untuk disebutkan disini, bahwa dalam banyak kasus, pimpinan (pemangku
otoritas) adat adalah kelembagaan adat yang memiliki kekuasaan penuh dan sangat
legitimate secara sosial untuk mengendalikan otoritas pengaturan urusan-urusan
kehidupan sosial-kemasyarakatan di kawasannya (otoritas adat). Persinggungan
kelembagaan terjadi karena urusan-urusan tersebut sesungguhnya juga
diamanatkan oleh undang-undang kepada pemerintah desa formal. Secara rinci
28
Konflik-Konflik Kekuasaan dan Otoritas Kelembagaan Lokal dalam Reformasi TataKelola Pemerintahan Desa: Investigasi Teoretik dan Empirik
pasal 206 UU no. 32/2004 menyatakan dengan tegas bahwa urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan desa mencakup: (1) urusan
pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa; (2) urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan
pengaturannya kepada desa; (3) tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah
provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota; (4) urusan pemerintahan lainnya
yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa. Dengan
cakupan yang begitu luas, maka pemerintah desa memang berpotensi
meng”hegemoni” kekuasan dan wewenang adat. Sehingga konflik sulit
dihindarkan.
2.4. Desa sebagai Konsep Pemerintahan Lokalitas: Konstelasi Beragam
Kekuatan Pengaruh
Berbeda dengan perspektif sebelumnya, disini desa dipahami sebagai konsep
tata-pemerintahan lokalitas. Sebagai kesatuan administrasi pemerintahan, maka
desa (pemerintahan desa) berhadap-hadapan langsung dengan sistem
pemerintahan adat yang telah terlebih dahulu hadir di tengah-tengah masyarakat
lokal. Persoalan persinggungan (baca: konflik) kelembagaan sebagaimana
disinggung pada sub-bab sebelumnya, hingga taraf tertentu, berpotensi
mengacaukan sistem pengaturan-administrasi desa (sebagaimana yang dicitacitakan oleh UU no. 32/2004). Manakala dua kelembagaan yang berbeda karakter dan
seharusnya ”hidup di ruang sosial yang berbeda” harus hadir secara bersama-sama di
suatu ”wilayah-kehidupan” yang sama, maka pada saat itu keduanya berpotensi
untuk melakukan conjunction ataupun separasi, yaitu: bersinergi-kerjasama atau
konflik-berbenturan sesamanya.
Dua kelembagaan itu adalah kelembagaan adat (menguasai wilayah pengaturan
pemerintahan adat) dan kelembagaan pemangku otoritas administrasi pemerintahan desa
(menguasai wilayah otoritas pengaturan administrasi formal). Mengapa konflik seringkali
berlangsung berkepanjangan dan tidak kunjung menghadirkan solusi yang
tuntas? Jawabannya, karena kedua kelembagaan sama-sama memperoleh
legitimasi yang sah, yaitu legitimasi tata-peraturan yang melekat pada sistem norma atau
hukum adat lokal bagi pemangku otoritas kelembagaan adat, dan legitimasi
hukum/peraturan perundangan formal bagi pemangku otoritas pemerintahan
desa. Inilah konflik kelembagaan dalam arti yang sebenarnya.
Fakta sosial “tumpang tindih fungsi/kewenangan” yang dijalankan oleh dua atau
lebih pemangku otoritas di suatu lokalitas, seringkali menghantarkan kawasan ini
menjadi arena perebutan wilayah otoritas kelembagaan (institutional conflict) yang
memprihatinkan. Alih-alih mendapatkan solusi atas masalah yang dihadapi,
warga masyarakat seringkali justru menyeret dua pemangku otoritas untuk ikut
dalam pertarungan yang sulit mencapai solusi. Desa secara total menjadi arena
konflik kekuasaan (the battlefield of power) yang pengaruhnya dilancarkan oleh
kelembagaan-kelembagaan berbeda karakter. Melihat fakta seperti ini, maka
29
Konflik-Konflik Kekuasaan dan Otoritas Kelembagaan Lokal dalam Reformasi TataKelola Pemerintahan Desa: Investigasi Teoretik dan Empirik
penataan/pembaharuan ataupun revitalisasi tata-pemerintahan desa sebagaimana
idenya dicita-citakan oleh pemerintah melalui UU no. 32/2004 dan PP no.
72/2005 jelas menghadapi persoalan yang tidak ringan. Dengan konstelasi
kekuasaan dan wewenang antara pemerintah desa dan pemerintahan adat, maka
empat kemungkinan pola hubungan fungsional dapat dibangun secara hipotetik.
Relasi hubungan tersebut tercermin dalam Gambar 3, di bawah ini.
Kelembagaan/Pem
erintahan Adat
yang Kuat dan
Legitimate
Kelembagaan/Pem
erintahan Adat
yang Lemah dan
Tak memiliki
Legitimasi
Pemerintahan Desa yang Kuat
dan Legitimate
1. Konflik kekuasaan antara
Pemerintahan Desa dan Adat
 kesamaan kekuatan dan
legitimasi
2. Sinergisme kekuasaan 
bila setiap pihak bersedia
mengurangi klaim wilayah
kewenangannya
Kekuasaan pemerintahan desa
berpengaruh lebih dominan dalam
menentukan tata-pengaturan
kehidupan sosial kemasyarakatan
di tingkat lokal
Pemerintahan Desa yang Lemah
dan Tak Memiliki Legitimasi
Otoritas kelembagaan adat
berpengaruh lebih dominan dalam
menentukan tata-pengaturan
kehidupan sosial kemasyarakatan di
tingkat lokal
Pemerintahan desa dan
kelembagaan adat, keduanya
gagal memelihara sistem sosialkemasyarakatan di lokalitas 
kegagalan negara dan kegagalan
kelembagaan adat
Gambar 3. Relasi Kekuasaan dalam Tata-Pemerintahan di Kawasan Lokalitas
Dari Gambar 3 dapat dijelaskan empat tipe pola relasi kekuasaan antara
pemerintah desa formal dan otoritas adat dalam pengaturan kehidupan sosial di
desa. Perinciannya adalah sebagai berikut:
1. Pemerintah desa dan adat yang sama-sama kuat akan menghasilkan dua
kemungkinan hubungan kekuasaan dalam pengaturan desa. Pertama,
terbentuk hubungan konfliktual karena kekuatan pengaruhnya yang sama
kuat. Kedua, terbangun sinergisme kekuasaan, bila setiap pihak berkemauan
untuk mengurangi klaimnya atas wilayah otoritas yang dimiliki. Kolaborasi
antara pemerintah ”desa adat” dan “desa dinas” di Bali merepresentasikan
tipe sinergisme ini. Sementara hubungan konfliktual tampak pada hubungan
yang ditunjukkan oleh kelembagaan adat (ninik mamak) versus pemerintahan
nagari (baca dalam hal ini sebagai: desa) di ranah Minangkabau.
2. Pemerintah desa yang kuat yang berhadapan dengan kelembagaan adat yang
lemah serta tidak legitimate, menghasilkan tata pemerintahan desa formal yang
sangat dominan. Desa-desa di Jawa merepresentasikan tipe ini.
3. Pemerintah desa yang lemah bersanding dengan kelembagaan adat yang
sangat kuat dan legitimate akan membentuk kelembagaan adat yang sangat
dominan. Tipe ini adalah ciri-khas pengaturan lokalitas sebelum konsep
(pemerintahan) desa diperkenalkan oleh UU Pemerintahan Daerah.
Fenomena ini bisa juga terjadi pada pemerintahan lokalitas di kawasan
terisolasi dimana pengaruh kekuasaan negara sangat lemah lemah disana.
30
Konflik-Konflik Kekuasaan dan Otoritas Kelembagaan Lokal dalam Reformasi TataKelola Pemerintahan Desa: Investigasi Teoretik dan Empirik
4. Pemerintahan desa dan pemerintahan adat yang sama-sama tidak berdaya,
sehingga keduanya gagal membina kehidupan sosial-kemasyarakatan di
kawasan yang bersangkutan. Tipe ini jarang ditemukan di Indonesia.
Permasalahannya kemudian adalah, bagaimanakah revitalisasi dan pembaharuan
tata-pemerintahan lokalitas (desa) dapat dilakukan, dengan melihat tipologi desa
semacam itu? Jalur dan arah yang mana yang seharusnya ditempuh untuk
memperbaharui sistem tata pengaturan pemerintahan desa di Indonesia?
Kelembagaan manakah yang sepantasnya diapresiasi untuk melaksanakan tatapengaturan kehidupan sosial-kemasyarakatan di desa? Persoalan institutional
survival menjadi mengemuka karena pasti ada satu atau lebih kelembagaan yang
harus dikorbankan atau disisihkan dalam dilema eksistensial dan konflik
kelembagaan ini.
3
REFORMASI TATA-PEMERINTAHAN DESA
3.1. Pemerintah Desa dalam Perspektif Actor-Oriented Theory
Dipandang dari perspektif “sistem tata-pemerintahan daerah” Republik
Indonesia, sebagaimana aturannya tertulis dalam UU no. 32/2004, desa sematamata dipahami sebagai kawasan atau unit administratif terkecil pada hierarkhi terendah
dalam sistem tata-pemerintahan negara. Negara sendiri didefinisikan oleh Weber
sebagaimana dikutip oleh Luiz (2000), sebagai: “an organization, composed of
numerous agencies led and co-ordinated by the state’s leadership (executive authority) that has
the ability or authority to make and implement the binding rules for all the people as well as
31
Konflik-Konflik Kekuasaan dan Otoritas Kelembagaan Lokal dalam Reformasi TataKelola Pemerintahan Desa: Investigasi Teoretik dan Empirik
the parameters of rule-making for other social organizations in a given territory, using force if
necessary to have its way”. Menurut Martinussen (1996) sebagaimana dikutip oleh
Luiz (2000) dikatakan bahwa sebuah negara dengan pemerintahannya adalah: (1)
produk dari beragam konflik kepentingan, (2) manifestasi dari struktur-struktur
yang dirancang dan dimanifestasikan dalam mekanisme-mekanisme fungsional
(mode of functioning) yang nyata, (3) arena interaksi dan konflik, (4) aktor yang
memiliki legitimasi untuk melakukan segala tindakan yang sah menurut hukum.
Dengan mengacu pada pemahaman seperti dikemukakan oleh Weber dan
Martinussen, maka pemerintah desa sebagai representasi negara di tingkat
lokalitas diibaratkan sebuah “arena” sekaligus “aktor” yang dapat menentukan
sikap dan memiliki energi untuk melakukan sesuatu. Artinya, dinamika
kehidupan sosial masyarakat desa ditentukan oleh sejauh mana “sang aktor”
melakukan manuver-manuver dalam pemerintahan dan berinisiatif menuju
perubahan. Semakin terbatas kapasitas kelembagaannya maka akan semakin
lemah manuver yang dilakukannya. Artinya, semakin statis pula kehidupan desa
setempat. Namun sebaliknya, jika “sang aktor” terlalu agresif bermanuver tanpa
ada kontrol yang sistematis dari publik, maka inipun akan membahayakan
keseluruhan entitas sosial di tingkat lokal.
Berangkat dari perspektif ini, pemerintahan desa memang akan dipahami secara
“sempit” semata-mata sebagai pemegang kekuasaan tunggal dalam sistem
administrasi pemerintahan negara di aras lokal yang tugas-pokok-fungsi, dan
kewenangannya mencakup semua urusan publik (multi-responsibilities) yang
dihadapi oleh warga negara setempat. Dengan posisinya yang demikian, maka
pemerintah desa adalah aktor penentu tunggal yang mendapatkan legitimasi
hukum formal untuk melakukan “apa saja” yang terbaik dan sah menurut
hukum formal dalam mengatur kehidupan masyarakat di tingkat lokalitas.
Pemerintah desa juga memiliki derajat kebebasan sesuai legitimasinya dalam
menentukan langkah dan inisiatifnya dalam mengatur masa depan masyarakat
lokal. Model pemerintahan desa menurut UU no. 32/2004, yang sejalan dengan
gagasan Weber dan Martinussen ini sebenarnya tipikal mengacu pada sistem
tata-pemerintahan desa ala Jawa, dimana tidak ada pemangku otoritas lain yang
boleh melakukan tindakan serupa di tingkat lokalitas kecuali pemerintah desa.
Sebagai sebuah organisasi sosial4, konsep pemerintahan desa ala Jawa secara
historis, memang cenderung menjalankan fungsi dan peran yang multiresponsibilities atau lintas bidang/lintas dimensi (sosio-budaya, pemerintahan,
ekologis). Dengan fungsinya yang demikian, maka desa menjadi sebuah “pusatkekuasaan” pengaturan urusan administrasi publik sekaligus pusat pengaturan
4
Konsep organisasi sosial menurut Firth (1955) adalah: “tatanan dari sejumlah elemen
tindakan yang dibangun menjadi sebuah sistem yang dibingkai oleh hubungan-hubungan
sosial yang dibentuk sebagai upaya untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai oleh
para pelaku (arrangment of elements of action into a system by limitation of their
social relations in reference to given ends as conceived by the actors)”
32
Konflik-Konflik Kekuasaan dan Otoritas Kelembagaan Lokal dalam Reformasi TataKelola Pemerintahan Desa: Investigasi Teoretik dan Empirik
urusan adat/tradisi yang relatif all-round. Pemerintah desa juga menjadi aktor
penggerak pembangunan dan “sumber ide” bagi masyarakatnya. Pemerintah
desa dari dimensi actor-oriented theory, merepresentasikan sebuah entitas yang
memiliki kemampuan berkreasi dan bertindak. Masyarakat desa yang kuatprogresif, boleh jadi cerminan dari pemerintah desanya yang mampu
mengembangkan gagasan dan inisiatif. Sebaliknya, pemerintah desa yang lemah,
maka akan menyebabkan seluruh elemen masyarakat desa yang bersangkutan
mengalami kemunduran.
Sebagai organisasi pengatur sosial-kemasyarakatan tunggal, maka pemerintah
desa merangkap mendistribusikan/memisahkan fungsi, peran dan kewenangan
kepada pihak-pihak tertentu berkenaan dengan urusan-urusan yang menyangkut
urusan publik,termasuk bila urusan itu bersinggungan dengan adat dan
keagamaan. Pengertian ini jelas memiliki konsekuensi yang berbeda secara
diametral dengan konsep tata-pengaturan lokalitas yang memisahkan secara
tegas urusan di wilayah adat dan urusan pemerintahan formal sebagaimana
dikenal pada sistem-sistem pengaturan pada lokalitas asli di luar Pulau Jawa
(Nanggroe Aceh Darussalam, Minangkabau di Sumatera Barat, Bali, dan Papua).
Dalam perkembangan politik tata-pemerintahan desa, konsep pemerintahan
desa ala Jawa terus-menerus mendapatkan peneguhan untuk diterapkan sebagai
satu-satunya sistem yang sah dan diakui sebagai mekanisme pemerintahan lokal
(tunggal) oleh Pemerintah Republik Indonesia. Legitimasi hukum itu tampak
dari pemberlakuan UU tentang Pemerintahan Daerah sejak UU no. 5/1974, UU
no. 5/1979, UU no. 22/1999, hingga UU no. 32/2004.
Mengacu pada realitas desa sebagai arena konflik kelembagaan yang tidak dapat
dielakkan, maka bila sistem tata-pemerintahan lokalitas ala pemerintahan desa
formal hendak dijalankan dengan baik, logikanya harus ada sejumlah asumsikerja yang secara mutlak dipenuhi. Asumsi-asumsi kerja tersebut antara lain
adalah: (1) kesatuan teritorial hanya mengenal kesatuan administrasi-spasial dan
tidak mengenal kesatuan genealogis (kesatuan wilayah yang dibentuk oleh
penduduk seketurunan atau sedarah yang terikat sesamanya serta membentuk
konfigurasi sosio-budaya sekaligus sosio-politis), (2) Dalam menjalankan wewenangnya
di sektor publik, kepemimpinan formal desa terbebas dari “campur-tangan”
otoritas kelembagaan adat, (3) hanya ada sistem ketata-pemerintahan tunggal (single
governmental system) dalam pelayanan publik maupun dalam pengaturan persoalanpersoalan kehidupan sosial-kemasyarakatan di tingkat lokalitas (urusan
kependudukan, pertanahan, penyelesaian sengketa, perpajakan, dst) , (4) wilayah
persoalan adat dan persoalan pemerintahan di sektor administrasi publik,
kongruen sesamanya, yang semuanya diserahkan pada pemangku otoritas formal
sehingga tidak menyisakan “ruang-kompromi” yang memungkinkan perseteruan
bagi pemangku kewenangan adat dan pemangku kewenangan formal. Pada
mekanisme pemerintahan desa ala formal, maka kekuasaan untuk menjalankan
33
Konflik-Konflik Kekuasaan dan Otoritas Kelembagaan Lokal dalam Reformasi TataKelola Pemerintahan Desa: Investigasi Teoretik dan Empirik
kewenangan formal (formal authority) dan kewenangan adat berada di satu tangan
atau posisi kepemimpinan.
Persoalannya tidak semua asumsi-asumsi ini dapat dipenuhi oleh sistem
pemerintahan desa di setiap lokalitas yang ada di Indonesia. Sistem sosialkemasyarakatan lokalitas di Nanggroe Aceh Darussalam, Minangkabau, Bali dan
Papua memberikan pelajaran betapa tata-pemerintahan desa menghadapi
persoalan kompleksitas tata-pengaturan dan benturan antara otoritas pemerintah
desa formal dengan otoritas adat. Pertanyaan yang seringkali muncul adalah,
sejauhmana suatu urusan dianggap berada di “ruang adat” atau di “ruang
administrasi formal”? Apakah suatu urusan seperti transaksi “jual-beli tanah”
(misalnya) berada sepenuhnya di “ruang administrasi pemerintahan desa/publik”
sehingga keputusan atas pengaturannya cukup diselesaikan oleh kepala desa
sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam pengaturan ruang publik? Atau urusan
itu masih menyentuh/berada di “ruang adat”, sehingga kepemimpinan adat
harus turut “campur-tangan” untuk mengaturnya? Jika tanah di suatu lokalitas
diatur dalam rezim communal property rights, maka tak pelak lagi bahwa transaksi
jual beli tanah terpaksa melibatkan pemangku otoritas adat. Namun apakah, tatapengaturan pemerintahan lokalitas “berlogika” desa (formal), mengantisipasi
“konflik kelembagaan” seperti di atas? Pertanyaan selanjutnya, sejauhmana
terdapat clear-cut yang tegas bahwa suatu urusan berada di ruang wewenang
pemangku otoritas publik ataupun di tangan pemangku otoritas adat?
Dalam konteks governance, lembaga apa saja (di luar sistem pemerintahan formal)
yang berhak dan wajib mengontrol jalannya pemerintahan desa agar berlangsung
tata-pemerintahan yang baik? Sebagai aktor penggerak dinamika kehidupan, halhal apakah yang harus dibenahi oleh pemerintahan desa agar organisasi
pemerintah desa formal tersebut mampu memberikan energi dan menggerakkan
kehidupan sosial-masyarakat desa? Berbagai pertanyaan itulah yang akan menjadi
persoalan untuk dijawab dalam pembaharuan tata-pemerintahan desa.
3.2. Mewujudkan Good Rural Governance System
Sebagai konsep pengaturan lokalitas terkecil di seluruh wilayah hukum
Indonesia, desa sesuai Bab I tentang “Ketentuan Umum” UU no. 32/2004
dijelaskan sebagai berikut: “desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut
desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan
asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Dengan penerapan rumusan desa
sebagaimana konsepnya dipahami pada rumusan UU no. 32/2004 tersebut,
maka pemerintah desa adalah satu-satunya sistem tata-pemerintahan atau tatapengaturan sosial kemasyarakatan di lokalitas terkecil yang diakui oleh hukum.
Konsekuensinya konsep pemerintahan desa juga akan terus-menerus
menghadapi sejumlah konflik-fundamental baik secara kultural (akar normatif)
34
Konflik-Konflik Kekuasaan dan Otoritas Kelembagaan Lokal dalam Reformasi TataKelola Pemerintahan Desa: Investigasi Teoretik dan Empirik
maupun secara struktural (konflik kelembagaan). Sebagai “aktor”, pemerintah
desa juga dimungkinkan untuk mengambil inisiatif-inisiatif dan menjalankan
kehendaknya. Ketika diimplementasikan, tindakan ini berpotensi untuk
menabrak wilayah otoritas pihak lain baik pada hierarkhi di atasnya ataupun
pada tataran horisontal. Konflik tersebut selanjutnya bisa meluas ke dimensi
fungsional berupa benturan kewenangan, dan dimensi wilayah spasial, ataupun
meluas ke persoalan konflik yang menyentuh identitas ras, golongan serta
etnisitas di suatu kawasan.
Sebenarnya, persoalan menegakkan tata-pemerintahan desa yang baik juga
dihadapkan pada sejumlah persoalan lain yang lebih luas dari sekedar konflik
kelembagaan. Persoalan effectiveness of government (di bawah tekanan konflik
kelembagaan) dan control of power (di bawah tekanan perbedaan kekuatan politik
lokal) adalah aspek-aspek penting lain yang harus juga diperhatikan dari sistem
tata-pengaturan pemerintahan (desa). Inilah persoalan rural governance yang
sebenarnya.
Terlebih, jika mengacu pada definisi governance (tata-pengaturan, tata-kelola, tatapemerintahan) yang dikemukakan oleh Weiss (2000) seraya mengutip dari
Commision on Global Governance, sebagai: “the sum of the many ways individuals and
institutions, public and private, manage their common affairs. It is the continuing process
through which conflicting or diverse interests may be accommodated and co-operative action may
be taken”, maka tata-pemerintahan desa di banyak kawasan Indonesia utamanya
menghadapi persoalan bagaimana mengelola urusan-urusan publik (common
affair), agar transparan dan akuntabel serta diterima secara sosial. Sementara itu
World Bank seperti dikutip Weiss (2000) memberikan batasan tatapemerintahan atau governance agak berbeda yakni: “the manner in which power is
exercised in the management of the country’s economic and social resources”. Ini berarti
persoalan praktek tata-pemerintahan desa yang baik terletak pada kapasitas
kelembagaan/organisasi pemerintahan desa dalam mengelola organisasi
pemerintahannya.
Mengikuti dua batasan di atas, maka setidaknya terdapat tiga aspek penting yang
perlu diperhitungkan/dipermasalahkan dalam sistem tata-pemerintahan yaitu: (1)
bentuk rezim (pengaturan) dan mekanisme pengaturan seperti apakah yang
sepantasnya dikembangkan, (2) bagaimana proses menjalankan kewenangan
dalam tata-kelola pemerintahan, termasuk dalam pengelolaan pembangunan, (3)
sejauh mana kapasitas (institusi) organisasi-pemerintahan harus dipacu agar
mampu melakukan desain dan formulasi kebijakan serta implementasi kebijakan
dalam tata-pemerintahan desa.
Dari hasil pengamatan sementara yang dihasilkan oleh studi-aksi “partnershipbased rural governence reform” oleh PSP3IPB, teridentifikasi beberapa masalah
khusus yang dapat diturunkan dari sistem tata-pemerintahan di tingkat
lokalitas/desa. Temuan ini selaras konseptualisasi governance system dari
Kaufmann, Kraay and Mastruzzi (2005), yang dapat disebutkan sebagai berikut:
35
Konflik-Konflik Kekuasaan dan Otoritas Kelembagaan Lokal dalam Reformasi TataKelola Pemerintahan Desa: Investigasi Teoretik dan Empirik
1. Masalah administrative authority overlapping atas beberapa kelembagaan pada
sistem tata-pengaturan pemerintahan yang di lokalitas desa. Konflik
rasionalitas adat versus rasionalitas pemerintahan formal. Proses pemutusan
kebijakan menjadi berlarut-larut, jika titik-temu antara dua pemangku
otoritas tidak dapat saling dipertemukan.
2. Masalah konflik kepentingan yang terjadi sebagai akibat tumpang-tindih
wewenang untuk memutuskan suatu persoalan sosial-kemasyarakatan antara
para pemangku otoritas hukum adat versus pemangku otoritas hukum formal.
Masalahnya berpusat pada persoalan, tata-aturan mana yang akan dipegang,
apakah tat-aturan formal yang berada pada regime administrasi formal?
Ataukah mengandalkan regime adat yang memiliki sistem lebih informal,
namun lebih mengakar dan dipercaya oleh masyarakat lokal?
3. Masalah policy consistency yang rendah yang berkaitan dengan public
administration management skill yang dipunyai oleh perangkat desa. Kapasitas
kelembagaan dan SDM yang lemah bertanggung jawab atas realitas ini.
4. Masalah government effectiveness yang rendah, karena penyelenggara
pemerintahan desa yang under-skilled dan seringkali bukan dari kalangan yang
memiliki visi secara memadai.
5. Voices and Accountability dalam tata-kelola pemerintahan desa menghadapi
persoalan besar. Seringkali, elit pemerintah desa bermanuver sendirian tanpa
ada kontrol yang memadai dari publik yang dipimpinnya. Perangkat
kelembagaan formal yang ada pun tidak mampu mengawasi manuver politik
para elit (karena ketiadaan akses, ketiadaan mekanisme kontrol yang
disepakati, dan perasaan “ewuh-pakewuh” (perasaan tak enak untuk menegur),
sehingga praktek pemerintahan merepresentasikan kehendak pribadi
daripada institusi.
6. Mekanisme power control yang tidak memadai atau tidak berfungsi, sebagai
akibatnya konflik-konflik otoritas kelembagaan yang terjadi di desa sulit
mendapatkan solusi segera.
Masalah governance system di atas menjadikan proses otonomisasi desa tidak
berlangsung sesuai harapan dan seringkali mengalami hambatan.
3.3. Isyu-Isyu Kritikal Pembaharuan Tata-Pemerintahan Desa
3.3.1. Masalah Struktural-Institusional dan Politiko-Kultural
Luiz (2000) mengemukakan bahwa pemerintah sebagai unsur organisasi negara,
peranannya akan sangat menentukan derajat perkembangan sosial-ekonomi dan
dinamika sosial-kemasyarakatan di suatu kawasan yang menjadi wilayah
otoritasnya. Hal ini disebabkan negara melalui organisasi pemerintahannya akan
menentukan kondisi lingkungan sosio-politik yang selanjutnya menentukan
derajat pertumbuhan/perkembangan ekonomi kawasan tersebut (political
environment conducive to growth). Dengan sifatnya yang seperti itu, maka pemerintah
(baik di tingkat desa ataupun di tingkatan manapun yang lebih tinggi) harus
36
Konflik-Konflik Kekuasaan dan Otoritas Kelembagaan Lokal dalam Reformasi TataKelola Pemerintahan Desa: Investigasi Teoretik dan Empirik
mengemban missi otonom (embedded autonomy) sebagai penggerak utama
kehidupan desa Otonomi yang melekat pada ciri-natural organisasi
pemerintahan ini seolah mengabaikan apapun kehendak yang diinginkan oleh
negara (pada tataran pusat) secara keseluruhan. Dengan posisinya yang otonom
dalam mengembangkan kawasan, maka kelembagaan pemerintahan (desa) akan
berfungsi sebagai pivotal institution dalam proses-proses pembangunan selain juga
berfungsi sebagai meta-entrepreneur dalam menggerakkan perekonomian di
kawasan di bawah otoritasnya. Apa yang hendak dikatakan oleh Luiz (2000)
dalam hal ini adalah, bahwa “hidup dan matinya” sebuah kehidupan sosialkemasyarakatan di suatu kawasan akan sangat ditentukan oleh kualitas tatapemerintahan atau pengaturan dari organisasi pemerintah lokalnya.
Selaras dengan pemikiran Luiz (2000) itu, hasil pengamatan empirik tahap awal
yang dilakukan oleh tim studi-aksi PSP3IPB menemukan beberapa bukti awal
tentang tata-pengaturan pemerintahan desa yang menarik. Realitas di lapangan
menunjukkan bahwa operasionalisasi UU no. 32/2004 dan PP no. 72/2005 –
yang menghendaki pemerintah desa bersifat mandiri dan menjadi organisasi
penggerak-utama kehidupan sosial kemasyarakatan desa – dalam keadaan yang
sangat beragam, jika tidak ingin dikatakan sebagai kemandegan. Hal ini
dikarenakan UU no. 32/2004 secara “by nature” telah membawa kompleksitas
persoalan tata-pemerintahan lokalitas (desa) yang sebelumnya telah memiliki
dasar pengaturan asli. Permasalahan itu adalah: aspek pertama berupa institutional
conflict di tingkat lokal, yang bisa berdampak luas pada inefektivitas pemerintahan
desa. Kelembagaan pemerintahan desa formal dan kelembagaan adat sama-sama
bekerja di wilayah otoritas yang sama, menjadikan pemerintahan desa formal
sulit berfungsi efektif.
Terlepas dari persoalan konflik kelembagaan yang mengganggu dan berpotensi
terus dijumpai, namun semangat good rural governance harus tetaplah menjadi isyu
pokok yang senantiasa diperjuangkan. Hal ini mendapat tempat paling tinggi
dalam skala prioritas, karena untuk sementara diyakini bersama bahwa hanya
dengan prinsip-prinsip tata-kelola desa yang baik, maka kesejahteraan sosial
(terbebas dari penderitaan kemiskinan), keadilan (terbebas dari kesewenangwenangan dan penindasan), dan martabat (terbebas dari keterlecehan) yang lebih
tinggi dapat direalisasikan. Pertanyaannya, sejauh mana sesungguhnya sistem
tata-kelola desa yang baik harus ditempuh? Apa ukurannya dan bagaimana
mencapai ukuran-ukuran tersebut?
Bila governance system dimaknai sebagaimana pengertiannya diberikan oleh
Commision on Global Governance (dikutip oleh Weiss, 2000) dimana conflicting of
diverse interests diakomodasi dan jejaring kerjasama bisa dibangun antar komponen
komunitas desa, maka muncul pertanyaan baru: sejauhmana desa dengan segala
perangkatnya sesuai UU no. 32/2004 sesungguhnya mampu melayani dua misi
dari governance system yang sangat berat untuk dijalankan ini? Persoalannya yang
terkait kemudian adalah: seberapa besar capacity of endurance to resist terhadap
37
Konflik-Konflik Kekuasaan dan Otoritas Kelembagaan Lokal dalam Reformasi TataKelola Pemerintahan Desa: Investigasi Teoretik dan Empirik
persoalan-persoalan konfliktual harus dimiliki oleh sebuah pemerintahan desa –
sebagai sebuah entitas administratif lokal – atau bahkan seringkali kesatuan antar
pemerintah desa (namun dalam kawasan dalam sistem ekologi sehamparan)
demi mewujudkan tata-pemerintahan yang tangguh dan andal? Kapasitas untuk
bertahan dan mengelola permasalahan konflik yang krusial di pedesaan menjadi
aspek kedua kompleksitas tata-kelola pemerintahan desa di era desentralisasi.
Sebagaimana telah dipaparkan di sub-bab sebelumnya, dimensi konflik bisa
bersifat hierarkhikal-vertikal (antar entitas namun berada pada posisi yang
berbeda secara hierarkhikal), atau secara horisontal antar entitas yang setara
(pemerintah desa versus kelembagaan adat). Persoalan kapasitas untuk bertahan dari
pemerintahan desa (institutional survival) akan sangat dipengaruhi oleh
kemampuan manajemen dan kepemimpinan pemerintahan desa, yang berarti
kata-kuncinya adalah kualitas sumberdaya manusia (SDM) dan sistem
manajemen pemerintahan yang baik. Kualitas SDM dan kepemimpinan
organisasi pemerintahan desa menjadi aspek ketiga sementara sistem manajemen
pemerintahan menjadi aspek keempat sistem tata-kelola pemerintahan desa yang
penting untuk diperhatikan. Kualitas dan kapasitas (kemampuan) infrastruktur
kelembagaan penopang sekaligus “pengawas” jalannya sistem pemerintahan desa
menjadi faktor yang sangat decisive terhadap keberlangsungan sistem tatapemerintahan lokal yang efektif dan transparan serta akuntabel. Faktor ini
adalah aspek kelima yang penting bagi terselenggaranya good rural governance.
Keberadaan Badan Permusyawaratan Desa saja tidak cukup bila SDM di
dalamnya tidak memiliki kapasitas memadai.
Pada aras ”ekstra entitas administratif lokal” didapati entitas-entitas pemangku
kepentingan yang tidak selalu berideologikan selaras dengan ideologi
keseluruhan entitas komunitas desa. Oleh karenanya, mereka setiap saat siap
berhadap-hadapan secara politik vis a vis kekuatan pemerintahan desa. Dalam
konteks ini, persoalannya adalah bagaimana kemampuan survival of the fittest dari
struktur pemerintahan desa dapat dibangun agar mampu melawan pesaingpesaingnya dalam ruang konflik terbuka yang bisa jadi akibatnya akan sangat
mematikan. Dalam hal ini, bila konteks exercise of different power dimasukkan dalam
sistem tata-kelola pemerintahan desa, maka relasi-relasi kekuasaan politik dan
ekonomi pada komunitas desa harus dipahami secara seksama dalam setiap
pengambilan keputusan. Hal ini berarti, kompleksitas tata-kelola desa memasuki
aspek keenam yaitu wilayah politik-ekonomi, dimana semua kekuatan dan
kemungkinan tekanan politis yanga ada diperhitungkan. Realitas sosial adanya
olah-kekuasaan dari beragam pihak terhadap pemerintahan desa (yang seringkali
berpotensi destruktif), jelas sulit di-address secara langsung dalam pasal-pasal UU
no. 32/2004, namun semua pihak mafhum akan kehadiran kekuatan penekan
semacam ini. Pertanyaannya, haruskah kekuatan ekstra-pemerintahan itu
dieliminasi, atau sebaliknya diakomodasi keberadaannya dalam wadah kemitraan
yang konstruktif?
38
Konflik-Konflik Kekuasaan dan Otoritas Kelembagaan Lokal dalam Reformasi TataKelola Pemerintahan Desa: Investigasi Teoretik dan Empirik
Aspek berikutnya (aspek ketujuh) berkaitan dengan aspek kelima secara langsung
yaitu berkenaan dengan terselenggaranya fungsi-fungsi manajemenorganisasional seperti kontrol, advokasi, supervisi-monitoring, dan evaluasi yang
dijalankan oleh masyarakat sipil terhadap sistem pemerintahan desa. Pertanyaan
yang diajukan dalam hal ini adalah sejauhmana dan seberapa besar kapasitas
kekuatan sipil yang ditampilkan oleh asosiasi masyarakat sipil (civil society
association) dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) mampu mengawasi jalannya
pemerintahan desa? Mampukah kelembagaan kontrol berbasiskan masyarakat
sipil tersebut “mengawal” jalannya pemerintahan desa secara konstruktif –
bukan asal berbeda pendapat saja – demi mewujudkan cita-cita kesejahteraan,
kemandirian, dan kemartabatan masyarakat luas.
Persoalannya kemudian adalah bagaimana membangun sistem tata-kelola
pemerintahan desa yang konstruktif di saat sejumlah persoalan terus
mengendala? Sementara itu prinsip-prinsip desentralisme (bottom-up, partisipatif,
demokrasi, kesejajaran, apresiasi terhadap kekuatan lokal) dan prinsip good rural
governance (transparansi, keadilan, akuntabilitas) terus diperjuangkan secara
konsisten dan kontinu?
3.3.2. Isyu-Isyu Kritikal Tata-Pemerintahan Gampong di Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD)
Pembaharuan tata-kelola atau tata-pengaturan pemerintah lokalitas (desa) di
Provinsi NAD dihadapkan pada persoalan-persoalan berkaitan dengan kondisi
makro politik di kawasan itu. Meski telah berakhir, tetapi konflik antara Gerakan
Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia (RI) selama
berpuluh-puluh tahun masih membekaskan dampak destruktif yang buruk
terhadap perkembangan kelembagaan pemerintahan lokal. Desa (gampong)
menjadi benar-benar sebagai arena konflik nyata antar berbagai pihak yang
memiliki perbedaan kepentingan politik dan ideologi. Sebagai institusi penting di
tingkat lokal, pemerintah desa tidak saja menghadapi fakta ketidakberdayaan
secara organisasional, konseptual, bahkan finansial dalam menggerakkan
dinamika kehidupan pembangunan, namun juga harus menghadapi masalah
sosio-psikologikal berupa distrust-syndrome yang sangat parah. Kecurigaan tersebut
disebabkan oleh bekerjanya kekuatan tarik-menarik beragam kekuatan politik di
tingkat grass-root di masa konflik.
Pada titik kulminasi era konflik antara GAM dan RI, kecurigaan antar warga
memuncak dan seringkali berakhir dengan berbagai cerita tragis berupa kematian
di salah satu pihak yang bersengketa. Di masa konflik, pihak pro GAM selalu
mencurigai program-program yang di-set up oleh pemerintah desa atau oleh
39
Konflik-Konflik Kekuasaan dan Otoritas Kelembagaan Lokal dalam Reformasi TataKelola Pemerintahan Desa: Investigasi Teoretik dan Empirik
Keuchik (kepala gampong/desa) sebagai bagian dari propaganda pemerintah RI.
Sebaliknya, pihak RI selalu mengawasi pemerintah gampong (desa) dengan ketat,
agar setiap kegiatannya tidak berakhir dengan makar. Akibatnya, pemerintah
gampong (desa) ibarat pelanduk yang terjepit di antara dua posisi yang sangat tidak
menguntungkan. Kecurigaan dan ketidakpercayaan baik dari RI maupun GAM
itu menghantarkan pemerintah desa menjadi sangat apatis, fatalis, pesimis, dan
frustrasi sehingga lebih baik desa mengambil posisi tidak melakukan kegiatan
apapun. Pada masa konflik itu ukuran keberhasilan pemerintahan gampong
sangatlah sederhana, yaitu ”asal tidak mati” ditembak oleh pihak berkonflik.
Berkembangnya etika ”safety-first”, menyebabkan status kehidupan organisasi
pemerintah gampong menjadi dormant. Fakta ”mati-suri”nya kelembagaan
pemerintahan gampong (desa) menjadi penciri penting dinamika pemerintahan
desa di NAD semasa konflik, bahkan hingga saat ini (pasca konflik).
Pada era pasca konflik dimana pulihnya saling-kepercayaan dan perbaikan
derajat kehidupan sosial-kemasyarakatan menjadi cita-cita semua pihak, maka
fokus diarahkan pada upaya menumbuhkan keberdayaan pemerintah desa ke
arah terbentuknya rural civilization di NAD. Meski demikian, penumbuhan trust
memang tidak mudah dilakukan, karena kehancuran struktur sosial dan sendisensi kehidupan sosio-politik desa berjalan hampir sempurna. Hasil investigasi
empirik di dua desa kasus di Kabupaten Aceh Besar, ditemukan persoalan rural
governance yang berdimensi distrust sangat kuat. Selain itu terdapat beberapa
persoalan derivat dari distrust yang bisa disebutkan sebagai berikut:
1. Kelembagaan Keuchik sebagai kepala gampong (desa) mengalami krisis legitimasi
dan dormansi. Keuchik kehilangan legitimasi sosial dalam memerintah dan
karenanya tak memiliki daya lagi untuk melancarkan pengaruhnya pada
masyarakat. Kewenangan yang melekat pada tugas-pokok dan fungsinya pun
tidak dapat dilaksanakan secara efektif. Pemerintahan gampong terasa mandeg
(mengalami stagnasi pemerintahan) sehingga sebagai satu-satunya organisasi
penggerak dinamika lokalitas, pemerintah gampong menghadapi persoalan
government effectiveness yang serius. Konflik GAM versus RI dapat menjelaskan
mengapa situasi stagnasi ini bisa terjadi (pemerintah desa mengambil posisi
sebagai safe-player di antara dua pihak yang bertikai). Selain itu, budaya
ketergantungan yang ditinggalkan oleh Orde Baru telah membuat sikap
keswadayaan asli masyarakat Aceh terkikis habis secara sistematis. Sebagai
akibatnya, inisiatif lokal dan dinamika desa tidak dapat atau sangat sulit
ditumbuhkan.
2. Lumpuhnya sistem komunikasi organisasional dan koordinasi antar pemerintahan desa
dalam pengelolaan ekosistem (air-irigasi) antar-kawasan (antar-desa) adalah
persoalan tata-pemerintahan yang khas di NAD. Kelembagaan ”keujruen
balang” sebagai pranata-sosial pengatur air-irigasi asli yang menyatukan
beberapa wilayah administratif desa sekawasan tidak diakui lagi eksistensinya.
Satu desa menaruh syak wasangka terhadap desa tetangganya dalam
pengelolaan sumberdaya tersebut. Akibatnya, setiap desa cenderung
40
Konflik-Konflik Kekuasaan dan Otoritas Kelembagaan Lokal dalam Reformasi TataKelola Pemerintahan Desa: Investigasi Teoretik dan Empirik
mengatur sendiri penggunaan air di wilayahnya tanpa mempedulikan
pemenuhan kebutuhan air di desa tetangganya. Desa-desa mengalami proses
dekapitalisasi modal sosial (hilangnya trust, norma-norma sosial dan jejaring
sosial kerjasama antar desa) yang mengakibatkan krisis tata-pengaturan
ekosistem (eco-governance crisis) di tingkat lokalitas semakin berlarut-larut.
Konflik-kepentingan antar desa dalam hal pemanfaatan sumberdaya air ini
merupakan dimensi tata-kelola pemerintahan desa yang penting, utamanya
dalam aspek perekonomian.
3. Diskoneksi komunikasi antara warga, tokoh adat, dan pemerintahan desa beserta
seluruh infrastruktur kelembagaannya menjadi aspek persoalan tersendiri
dalam tata-pengaturan desa di NAD. Kehidupan civil-society diliputi oleh
perasaan apatisme, sebagai akibat langsung dari konflik sosial-politik antara
GAM dan RI yang berlarut-larut di masa lalu. Masyarakat sipil seolah tidak
ingin terseret pada polemik politik regional yang bisa-bisa menyulitkan
kehidupan keluarga mereka, sehingga mereka lebih suka untuk mengambil
posisi tidak bersuara dan tidak bersikap. Dalam kondisi masyarakat tanpa sikap,
maka proses-proses komunikasi pada aras societal life benar-benar terganggu.
Demikian juga daya-kritis masyarakat (yang biasanya terasah oleh proses
dialogis dan aksi-komunikatif) sebagaimana diharapkan dalam kehidupan
masyarakat sipil yang dinamis, menjadi betul-betul mandul.
4. Konflik otoritas kelembagaan dimungkinkan terjadi antara otoritas adat Imum
Mukim, yang memiliki cakupan-wilayah kekuasaan dan kewenangan (kesatuan
masyarakat hukum adat) yang lebih luas daripada wilayah administratif sebuah
desa. Dalam kondisi yang demikian, maka para Keuchik secara tidak
langsung berada dalam pengaruh kekuasaan seorang Imum Mukim. Menurut
perundang-undangan yang berlaku, kewenangan administratif pengelolaan
kawasan desa memang berada di tangan Keuchik dan Camat (”atasan
langsung” dari Keuchik), namun legitimasi sosial kepemimpinan adat dan
pengaturan masyarakat (secara Islam) berada sepenuhnya di tangan Imum
Mukim. Hingga taraf tertentu, imum mukim pun ikut mengetahui (meski tidak
menentukan) proses-proses pengalihan hak-hak atas tanah di wilayah
kekuasaannya.
5. Kelembagaan adat di NAD mengalami kelumpuhan secara perlahan namun pasti,
sebagai akibat tidak-lagi dipahaminya fungsi-fungsinya dalam keseluruhan
tata-pemerintahan oleh masyarakat lokalitas. Pranata sosial asli seperti
keujruen balang (pranata-sosial tata-guna air irigasi dalam pemerintahan lokal),
tuha lapan (musyawarah di tingkat civil-society untuk mengambil keputusan di
dalam gampong), secara praktikal telah ditinggalkan para-pihak dalam
kehidupan sosial-kemasyarakatan. Sementara itu, proses peralihan ke
kelembagaan pemerintahan (desa) formal belum sepenuhnya bisa dijalankan
oleh karena hambatan sosial-psikologis, dan kendala sosio-politik-keamanan,
serta ketidakcukupan dukungan qanun (peraturan daerah) tentang
pemerintahan desa yang kuat.
41
Konflik-Konflik Kekuasaan dan Otoritas Kelembagaan Lokal dalam Reformasi TataKelola Pemerintahan Desa: Investigasi Teoretik dan Empirik
6. Secara kultural masyarakat Aceh mengenal sebuah kode-etik yang disebut
sebagai ”etika pemuliaan” terhadap seseorang (mengagungkan posisi
seseorang pada derajat yang lebih tinggi daripada posisi diri sendiri). Sebagai
code of conduct, etika ini memandu perilaku masyarakat sedemikian rupa
sehingga sangatlah tabu bagi seseorang untuk mengontrol secara langsung
akuntabilitas keuangan sebuah kelembagaan atau seseorang. Etika yang
demikian itu, menyulitkan jalannya proses control of power demi terbentuknya
tatanan pemerintahan yang bersih dan akuntabel. Selain itu, tradisi
masyarakat Aceh yang menyerahkan secara totalitas segala persoalan kepada
para ulama (sebagai pemimpin adat), juga mengendala jalannya prosesproses demokrasi secara ideal. Sikap-sikap semacam itu, dapat menyulitkan
realisasi cita-cita demokratisme, kesetaraan, public accountability dan good governance
di tingkat grass-root dan implementasinya di tingkat pemerintahan lokalitas
(desa).
Secara umum, dua desa kasus tersebut memberikan pelajaran yang berguna
tentang pemahaman pada proses-proses pelumpuhan tata-pemerintahan desa di
NAD secara sosio-politiko-kultural.
Kebijakan ”Otonomi Khusus NAD” (melalui UU no. 18/2001 disamping UU
no. 32/2004) yang pada awalnya diharapkan mampu menyegarkan kembali
pelaksanaan pemerintahan daerah melalui strategi otonomisasi desa, ternyata
masih jauh dari harapan. Otonomi khusus NAD bahkan tidak mampu
menggerakkan pemerintahan desa di tingkat lokalitas secara signifikan dan
efektif (lihat juga Hanafiah, 2006). Dengan demikian, persoalan mendesak yang
harus segera dipecahkan dalam rekonstruksi tata-pemerintahan desa (gampong) di
NAD, belum menyentuh ke tataran bagaimana mewujudkan otonomisasi
lokalitas (desa/gampong) secara efektif. Melainkan, persoalan baru sekedar
menyentuh aras yang sangat elementer berupa: bagaimana menggerakkan
pemerintahan lokalitas (desa/gampong) agar berfungsi secara efektif dalam
pelayanan publik, administrasi pembangunan, menginisiasi gagasan dan yang
sejenisnya.
3.3.3. Isyu-Isyu Kritikal Tata-Pemerintahan Nagari di Ranah
Minangkabau
Minangkabau merupakan konsep sosio-budaya masyarakat yang tinggal di
kawasan yang secara geografis bertepatan posisinya dengan daratan provinsi
Sumatera Barat. Sebagaimana diketahui, kawasan kepulauan Mentawai sebagai
bagian dari wilayah administratif provinsi Sumatera Barat tidak dapat dikatakan
sebagai ranah Minangkabau, karena sistem nilai budaya dan agama penduduknya
yang berbeda dengan kawasan daratan Sumatera Barat. Masyarakat Minangkabau
mendasarkan kehidupannya pada tatanan sosial adat yang semua aturannya
akhirnya bersandarkan atau merujuk kepada Al Qur’an dan Hadist. Jadi atmosfer
keislaman terasa sangat kuat dalam tata-pengaturan sosial kemasyarakatan adat
42
Konflik-Konflik Kekuasaan dan Otoritas Kelembagaan Lokal dalam Reformasi TataKelola Pemerintahan Desa: Investigasi Teoretik dan Empirik
di Minangkabau. Berbeda dengan NAD yang secara eksplisit menetapkan syariat
Islam sebagai hukum pengatur kehidupan sosial-kemasyarakatan, maka
masyarakat Minangkabau terkesan lebih implisit dan tidak secara terang-terangan
mengatakan syariat Islam sebagai basis tata-kehidupan hukum sosialkemasyarakatan. Sebaliknya, tata-aturan adat justru dijalankan lebih ketat,
termasuk dalam hal pengaturan lokalitas (nagari/desa).
Nagari adalah konsep tata-pemerintahan lokalitas yang ditetapkan sebagai satusatunya tata-pemerintahan lokalitas (desa) di ranah Minangkabau.
Operasionalisasi nagari sebagai sistem pemerintahan lokalitas (desa), dikukuhkan
oleh Peraturan Daerah (Perda no. 9/2000) Provinsi Sumatera Barat tentang
pemerintahan nagari. Dengan diundangkannya peraturan daerah tersebut, maka
sejak tahun 2000, tata-pemerintahan lokalitas (desa) di ranah Minang Sumatera
Barat secara resmi kembali ke asal-usulnya, yaitu tata-pemerintahan adat. Sejak
saat itu, harapan di kalangan warga masyarakat melambung. Dengan perda
tersebut, diperkirakan tidak akan ada lagi hegemoni sistem pemerintahan desa ala
Jawa yang diberlakukan di ranah Minang. Kelembagaan asli akan mengalami
revitalisasi dan bangkit dari kelumpuhan. Supremasi tata-pemerintahan adat akan
menjadi sangat kuat dan konflik-konflik otoritas kelembagaan antara pemerintah
desa ala Jawa (yang konseptualisasinya mengemuka sejak UU no 5/1979 hingga
UU no. 32/2004) melawan pemerintahan adat, bakal hilang sama sekali.
Begitulah kira-kira harapan masyarakat terhadap Perda no. 9/2000.
Pertanyaan yang muncul kemudian, benarkah bahwa konsep nagari yang
dikukuhkan oleh Perda tersebut, pada kenyataan dan implementasinya
samadengan apa yang diidam-idamkan oleh sebagian besar masyarakat adat?
Ternyata, perjalanan Perda no. 9/2000 selama enam tahun terakhir
menghasilkan kisah yang samasekali lain dari harapan.
Banyak gugatan dan catatan yang terhimpun dalam investigasi empirik studi ini
yang mencatat, bahwa konsep nagari yang diterapkan semakin menjauh dari
sifatnya dan justru karakternya semakin mendekatkan diri pada struktur
pemerintahan desa ala Pemerintah atau UU no. 32/2004 (yang termodifikasi).
Salah satu ciri pemerintahan nagari yang digugat adalah karakternya yang makin
jauh (memudar) dari prinsip musyawarah-mufakat dan terbentuknya realitas
pemusatan kekuasaan pada wali-nagari (”kepala desa”) sebagai kelembagaan
eksekutif nagari.
Dalam adat Minangkabau, tidak dikenal demokrasi yang bersandarkan pada basis
voting. Juga tidak dikenal, dalam sistem pemerintahan adat Minangkabau,
kekuasaan otoritarian. Dalam ”logika” adat Minangkabau, kebenaran tunggal
yang menjadi keputusan akhir, selalu disandarkan pada proses-proses
musyawarah dan mufakat sejak di tingkat grass-root, dengan selalu memperhatikan
norma dan aturan adat yang merujuk pada Al Qur’an dan Hadist. Musyawarahmufakat itu dimulai dari aras para ninik-mamak dalam satu kaum. Kemudian bila
persoalan makin kompleks, dilakukan musyawarah-mufakat di aras antar ninik43
Konflik-Konflik Kekuasaan dan Otoritas Kelembagaan Lokal dalam Reformasi TataKelola Pemerintahan Desa: Investigasi Teoretik dan Empirik
mamak dari kaum yang berbeda-beda hingga akhirnya pada aras tertinggi yaitu
kerapatan adat nagari. Dengan demikian, demokrasi ala Minangkabau tidak
mengenal sistem perolehan suara mayoritas. Dalam musyawarah-mufakat suara
minoritas boleh jadi bernilai kebenaran yang lebih tinggi dan akhirnya diikuti
sebagai kebenaran umum. Sebaliknya, dalam sistem voting akan selalu terjadi
hegemoni mayoritas sekalipun keputusan yang disahkan melawan logika
kebenaran hakiki yang diyakini oleh masyarakat luas. Hal seperti ini jelas tidak
dikehendaki menurut ”logika” adat Minangkabau.
Apa yang terjadi dalam tata-pemerintahan nagari? Pokok gugatan yang langsung
mengenai sasaran adalah berkenaan dengan implementasi prinsip demokrasi
dalam kehidupan sehari-hari, yang jelas tidak mencerminkan tata-kehidupan
demokrasi berprinsipkan musyawarah-mufakat adat Minangkabau. Dalam
struktur tata-pemerintahan nagari menurut Perda no. 9/2000 disebutkan
kehadiran beberapa kelembagaan pemerintahan penopang pemerintahan yang
mirip trias-politica. Tersebutlah, Wali Nagari (kepala desa) yang memiliki
kekuasaan eksekutif dan Badan Perwakilan/Permusyawaratan Nagari (BPN) sebagai
simpul kekuasaan legislatif yang biasanya diisi oleh unsur dari para ninik-mamak.
BPN juga diisi oleh unsur Majelis Ulama Nagari, Bundo Kanduang (para Ibu yang
dituakan) dan Pemuda Nagari (lihat Busra, 2006). Dalam posisi demikian,
kekuasaan wali nagari memang ”di atas angin” dan mendominasi pengambilan
keputusan. Disinilah, proses peminggiran prinsip musyawarah-mufakat ala
Minangkabau berpotensi terjadi, dan menjadi pokok gugatan oleh banyak pihak
(lihat Fahmi, 2006 dan Busra, 2006).
Singkat kata, bentuk pemerintahan nagari saat ini sebenarnya ”setali tiga uang”
dengan bentuk pemerintahan desa ala UU. No. 32/2004, hanya namanya saja
yang berbeda. Dari sinilah, maka persoalan konflik internal kelembagaan pada
tataran pemerintahan lokalitas bermula. Pemerintahan adat nagari yang mewakili
struktur pemerintahan desa formal seringkali berhadap-hadapan secara diametral
melawan Kerapatan Adat Nagari (KAN). Campur tangan atau intervensi KAN
(sebagai kelembagaan informal yang menghimpun para ninik-mamak yang diakui
otoritas adatnya oleh pemerintah daerah) seringkali terlalu dalam pada urusan
administrasi pemerintahan. Sebenarnya KAN memiliki otoritas yang sangat
elegan yaitu mengawal hak ulayat dalam tata-pengaturan agraria lokal. Namun,
tampaknya KAN ingin berperan lebih besar daripada sekedar menjaga hak
ulayat. Gejala ini disebutkan sebagai dualisme pemerintahan dalam mengurus
kepentingan masyarakat lokal, yang tentu saja tidak sehat untuk sebuah sistem
tata-pemerintahan lokal (lihat Busra, 2006).
Selain persoalan konflik kelembagaan, pertanyaan berikutnya adalah: apakah
kebijakan penerapan nagari sebagai satu-satunya sistem pemerintahan lokalitas di
ranah Minang, telah memungkinkan berkembangnya otonomi lokalitas (nagari)
seluas-luasnya? Artinya, apakah pemerintahan nagari dapat berdaya, dan mampu
mengatur rumahtangga lokalitas secara mandiri serta mampu melepaskan diri dari
44
Konflik-Konflik Kekuasaan dan Otoritas Kelembagaan Lokal dalam Reformasi TataKelola Pemerintahan Desa: Investigasi Teoretik dan Empirik
pengaruh kekuasaan-sentralisme pemerintah pusat dan kabupaten dalam
melayani masyarakat? Pada titik ini, Alfitri (2006), paling tidak mencatat
ketidakberdayaan nagari dalam hal pembangkitan kekuatan partisipasi masyarakat.
Pemerintah nagari jelas mengalami kelumpuhan dalam menstimulir kekuatan
rakyat untuk berperanserta memikul tanggung jawab perubahan (pembangunan).
Masyarakat cenderung beranggapan bahwa pemerintah nagari adalah
administratur negara yang mendapatkan mandat, kekuasaan dan wewenang
untuk membereskan segala persoalan pembangunan. Oleh karena itu partisipasi
lokal tidak diperlukan lagi. Ketidakberdayaan nagari ini selain mengindikasikan
ketidakmampuan dalam menggerakkan dan mengorganisasikan masyarakat, juga
mengandung makna hubungan sosial antara pemerintah lokalitas dan rakyat
yang kehilangan ruh mutual-trust. Dalam situasi semacam itu, maka satu-satunya
harapan dan tumpuan pemerintah nagari untuk mengadu hanyalah pemerintah
”supra lokal”, yaitu Pemerintah Kabupaten atau Pusat. Selain itu, kemandirian
ekonomi nagari, sebagai salah satu indikator otonomi desa, pun belum banyak
terwujud. Nagari masih menghadapi persoalan bagaimana meggerakkan
perekonomian lokal yang mampu menghasilkan pendapatan asli nagari.
Lemahnya struktur finansial nagari, menyebabkan sindroma ketergantungan yang
masih sangat tinggi pada pemerintah kabupaten. Dana alokasi umum nagari
(DAUN) yang berasal dari pemerintah kabupaten adalah salah satu sumber
keuangan penting yang menentukan hidup-dan-matinya sebuah nagari.
Secara ringkas persoalan rural governance yang menjadi tantangan di Sumatera
Barat, antara lain adalah:
1. Konflik otoritas kelembagaan antara pemerintahan nagari (desa) dan
pemerintahan adat yang diwakili oleh KAN menggerogoti eksistensi dan
kualitas pemerintahan nagari. Persoalan distrust syndrome dalam hal ini, sangat
kental mewarnai tata-hubungan antara KAN dan pemerintahan nagari.
2. Effectiveness of government menjadi persoalan tersendiri dalam tata-pengaturan
nagari di ranah Minangkabau. Beberapa faktor yang bertanggungjawab atas
keadaan ini adalah: (a) kualitas SDM yang lemah, (2) infrastruktur yang
lemah, (3) sistem manajemen pemerintahan yang masih terbatas.
3. Lemahnya partisipasi masyarakat (publik) dalam menggerakkan
pembangunan nagari. Konfigurasi keterlibatan publik dalam pemecahan
persoalan-persoalan pemerintahan masih harus ditingkatkan.
4. Pada beberapa kasus, didapati adanya superioritas kekuasaan Wali Nagari
yang berlebihan, yang menyebabkan control of power sulit dilakukan oleh
publik (masyarakat adat).
5. Struktur finansial nagari masih sangat memprihatinkan. Kemampuan nagari
untuk bisa melakukan self-financing bagi pembangunan, masih merupakan
cita-cita yang sulit diwujudkan secara segera.
Dengan melihat temuan-temuan di atas, maka disimpulkan bahwa cita-cita untuk
mewujudkan otonomi nagari memang masih ”jauh panggang dari api”.
45
Konflik-Konflik Kekuasaan dan Otoritas Kelembagaan Lokal dalam Reformasi TataKelola Pemerintahan Desa: Investigasi Teoretik dan Empirik
3.3.4. Isyu-Isyu Kritikal Tata-Pemerintahan Desa di Jawa Barat
Jawa Barat mewakili kawasan desa ala Jawa yang merepresentasikan praktek tatapemerintahan desa secara murni menurut UU no. 32/2004. Sekilas, tidak
terdapat persoalan yang berarti dihadapi oleh pemerintahan desa di provinsi ini.
Namun, bila diselami lebih dalam segera tampak persoalan-persoalan tata
pemerintahan desa di daerah tersebut. Salah satu isyu penting dalam hal ini
adalah otonomi desa yang masih belum berlangsung secara memadai. Dilema
ketergantungan prakarsa dan ekonomi desa pada supra-struktur kabupaten serta
pusat, tetap tinggi. Selain itu, terdapat ketidakleluasaan dan ketidakmandirian
desa dalam menggerakkan pembangunan dikarenakan ketiadaan sumber-sumber
pendanaan program yang asli berasal dari desa. Ketergantungan gagasan dan
finansial terhadap pemerintah kabupaten yang tetap tinggi tersebut,
mengindikasikan
masih
adanya
persoalan
ketidakberdayaan
dan
ketidakberdaulatan desa yang nyata. Dalam hal ini, persoalan penguatan
kelembagaan pemangku otoritas administratif lokal menjadi isyu penting.
Penguatan tersebut meliputi aspek SDM di semua lini, aspek sistem pengelolaan
administrasi desa, aspek keberfungsian kelembagaan pengawasan seperti Badan
Permusyawatan Desa (BPD) sebagai pengawas eksekutif, dan kemampuan civilsociety (grass root) untuk berpartisipasi dalam segala aras pembangunan.
Dalam penguatan kemampuan ekonomi lokal, Badan Usaha Milik Desa
(BUMD) sebagai institusi ekonomi yang absah/dimungkinkan oleh UU no.
32/2004 dan PP no. 72/2005 untuk berperan sebagai rural income-generator, masih
berada sebatas cita-cita. Ketiadaan inisiatif lokal dan jejaring ekonomi yang
memungkinkan tumbuhnya BUMD menjadi persoalan tersendiri dalam
mewujudkan cita-cita otonomi di tingkat desa. Rumahtangga desa tetap
tergantung pada sumber pendanaan kabupaten.
Sementara itu, konflik antar otoritas kelembagaan yang lazimnya berlangsung
antara pemerintahan adat versus pemerintah desa sebagaimana di NAD dan di
ranah Minangkabau, memang tidak dijumpai pada kasus Jawa Barat atau Jawa
pada umumnya. Dalam struktur tata-pemerintahan lokalitas di Jawa, pemerintah
desa adalah kelembagaan tunggal dalam pengaturan segala macam urusan publik.
Pemerintah desa adalah ”penguasa tunggal” dalam pengaturan segala persoalan
kehidupan sosial-kemasyarakatan lokal. Persoalan rural good governance yang
penting dalam Kasus Jawa Barat adalah, bagaimana menciptakan dinamika
kelembagaan pemerintahan lokal sedemikian rupa sehingga mampu mendorong
pemerintah desa mampu berperan sebagai inisiator perubahan (transformasi
pedesaan) yang mandiri tanpa membuat kelembagaan ini berubah menjadi
penguasa-tunggal yang berpotensi menjadi otoriter. Artinya, struktur organisasi
civil society di tingkat lokal harus berdaya mengontrol kiprah pemerintah desa.
3.3.5. Isyu-Isyu Kritikal Tata-Pemerintahan ”Desa Dinas” di Bali
46
Konflik-Konflik Kekuasaan dan Otoritas Kelembagaan Lokal dalam Reformasi TataKelola Pemerintahan Desa: Investigasi Teoretik dan Empirik
Bali adalah contoh kasus tata-pemerintahan lokalitas yang sangat menarik,
dimana disana ditemukan tiga tipe desa berdasarkan karakter tata pemerintahan
lokal. Pemerintahan desa formal menurut UU no. 32/2004 didapati dalam
bentuk desa dinas (dikepalai oleh Kepala Desa) Desa formal ini memiliki wilayah
kerja administratif sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh peraturan perundangundangan yang berlaku. Sementara itu, terdapat pula desa adat atau pakraman
(dikepalai oleh Kelian Adat) yang wilayah kewenangannya diukur dari jauhnya
jangkauan tempat peribadatan agama Hindu Bali (sebuah pura) terhadap
masyarakat yang dapat dilayaninya. Pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum
adat yang tata-pengaturannya berbasiskan pada sistem religi Hindu. Sindroma
dualisme pemerintahan sebagaimana terjadi pada nagari di Minangkabau
dimungkinkan terjadi pada sistem pemerintahan desa Bali, karena secara teknikal
pakraman juga melakukan fungsi-fungsi yang dijalankan oleh desa dinas. Namun
demikian, karena kedua sistem pemerintahan mampu mengurangi klaim-klaim
otoritasnya, maka justru sinergitas yang tampak berlangsung antara sistem desa
adat dan desa dinas dalam menjalankan fungsi pelayanan publik.
Dalam filosofi desa adat, ada tiga fungsi pokok yang harus mereka jalankan, yaitu
pelayanan hubungan manusia dengan Tuhan, pelayanan hubungan manusia
dengan manusia, dan pelayanan hubungan manusia dengan alam. Secara
administratif, fungsi-fungsi itu juga merupakan tugas yang diemban oleh
kelembagaan desa dinas. Oleh karena itu tidak berlebihan bila, desa di Bali
memiliki ”satu badan dengan dua kepala”. Namun, berbeda dengan nagari dan
gampong yang menghadapi konflik kelembagaan secara internal, di Bali hal itu
tidak terjadi. Meski dualisme pemerintahan bisa berlangsung, namun derajat
koordinasi antara dua kelembagaan (pemerintah desa adat dan pemerintah desa
dinas) dalam tata-pengaturan kehidupan sosial-kemasyarakatan berjalan sangat
baik. Dalam hal urusan pemeliharaan jalan-jalan menuju ke Pura (tempat
peribadatan Hindu Bali), tanggung jawab desa adat dirasakan sangat dominan.
Proyek-proyek perbaikan jalan menuju pura menjadi tugas utama desa adat,
sementara desa dinas berkonsentrasi di segmen jalan yang lain.
Persoalan mulai muncul di desa-desa sekitar perkotaan, dimana derajat
heterogenitas keberagamaan dan pluralisme etnisitas dan deferensiasi pekerjaan serta
aktivitas ekonomi mulai meningkat. Pada kawasan seperti itu, relevansi tatapengaturan adat berbasiskan hinduisme, terasa makin tidak relevan. Ikatanikatan emosional yang biasanya terjalin lebih kuat antara masyarakat Hindu Bali
dengan desa adat, perlahan-lahan namun pasti melemah. Karena secara kuantitas,
proporsi umat Hindu berkurang dengan makin banyaknya pendatang yang
beragama non-Hindu ke kawasan Bali. Proses pelumpuhan struktur dan peranan
kelembagaan desa adat melalui dinamika kependudukan seperti ini menjadi
dimensi khas dari tata-pemerintahan adat Bali. Tuntutan-tuntutan sementara
kalangan penduduk asli Bali yang menghendaki ”revitalisasi” dan pemberian
peran lebih luas bagi sistem tata-pemerintahan desa adat dalam tata-kehidupan
masyarakat Bali kontemporer, menjadi kurang relevan dengan berkembangnya
47
Konflik-Konflik Kekuasaan dan Otoritas Kelembagaan Lokal dalam Reformasi TataKelola Pemerintahan Desa: Investigasi Teoretik dan Empirik
pluralisme kebudayaan di kawasan ini. Ke depan, kecenderungan akan hilangnya
pengaruh adat dalam tata-pengaturan kehidupan sosial-kemasyarakatan terus
menguat.
Bentuk desa ketiga di Bali adalah ”desa subak” yang memiliki legitimasi hukum
atas dasar kesatuan masyarakat tata-air irigasi pertanian sawah di suatu kawasan.
Dalam ”logika” subak, kesatuan kawasan sehamparan sistem pengairan, berada
dalam satu otoritas pengaturan administratif air. Luas wilayah pengaturan subak,
bisa melintasi wilayah administratif beberapa desa dinas. Konflik otoritas
kelembagaan antar sistem pemerintahan lokalitas tidak terjadi dalam hal ini,
karena memang fungsi utama setiap kelembagaan telah terdefinisi dengan baik.
Dengan demikian, beberapa persoalan rural governance yang didapatkan dari hasil
pembelajaran di dua desa kasus di Bali dapat disebutkan antara lain adalah:
1. Otoritas desa adat dan desa subak mengalami irrelevance secara fungsional,
selaras dengan berkembangnya sebuah desa yang asalnya berciri agraris
menjadi sebuah desa berciri sub-urban. Dalam hal ini kepentingankepentingan bisnis ekonomi di sektor industri-perdagangan, yang biasanya
tunduk pada kekuasaan modal dan netral terhadap kepentingan sumberdaya
alam, menggeser pengaturan kepentingan-kepentingan yang terdapat di desa
bercirikan religius-agraris.
2. Tingkat keswadayaan masyarakat desa dalam mendanai kegiatan
pembangunan (jalan, jembatan, sarana air bersih) sangat tinggi. Seringkali
proporsi dana partisipasi masyarakat jauh lebih besar daripada proporsi
anggaran pemerintah dalam pembangunan prasarana fisik desa. Meski
demikian, mekanisme pertanggung-jawaban pemanfaatan dana masih perlu
pemikiran lebih lanjut agar transparansi dan akuntabilitas publik dapat
ditegakkan.
Otonomi desa di desa-desa Bali sesungguhnya secara realitas telah berjalan baik,
dan lebih maju daripada apa yang dicita-citakan. Derajat keswadayaan ekonomi
masyarakat cukup tinggi. Derajat penyampaian prakarsa oleh masyarakat desa
yang dipelopori kelembagaan desa adat pun cukup tinggi. Desa adat juga mampu
menghimpun legitimasi yang kuat untuk menopang kinerja desa dinas dalam
melaksanakan pembangunan. Semua ini tentu berkaitan dengan sistem
pengaturan kehidupan sosial-kemasyarakatan yang konsisten menggunakan nilainilai dan norma-norma pengaturan berbasiskan religi secara konsekuen dan
konsisten. Persoalan kemudian muncul manakala kekuatan-kekuatan adat
melemah (ternetralisasi peranannya) seiring dengan perubahan karakter sistem
sosial masyarakat lokal dari yang bercirikan keaslian kepada komunitas
bercirikan lebih pluralistik. Sebagai ruang kehidupan, desa yang memuat
beragam kepentingan, dipaksa harus menyesuaikan dirinya dengan berbagai
sistem nilai baru yang tidak asli lagi.
3.3.6. Isyu-Isyu Kritikal Tata-Pemerintahan Kampung di Papua
48
Konflik-Konflik Kekuasaan dan Otoritas Kelembagaan Lokal dalam Reformasi TataKelola Pemerintahan Desa: Investigasi Teoretik dan Empirik
Persoalan terberat yang dihadapi oleh Papua secara umum dalam
mengembangkan tata-pemerintahan lokalitas/desa yang baik (desa disebut
sebagai ”kampung” dengan diberlakukannya UU no. 21/2001 tentang Otonomi
Khusus Papua), pada dasarnya berfokus pada dua persolan utama. Pertama,
mutu SDM warga masyarakat dan pengelola pemerintahan kampung pada
umumnya masih sangat terbatas. Kapasitas intelektual, keterampilan/ability, dan
sikap yang ditunjukkan oleh insan Papua umumnya masih jauh dari mencukupi
untuk bisa menyelaraskan langkah dengan apa yang dituntut oleh UU no.
32/2004. Pada titik ini, tata-pemerintahan kampung di Papua masih menghadapi
persoalan yang sangat elementer, yaitu memberdayakan dan memberikan
suasana yang kondusif setiap insan Papua terutama aparat kampung untuk
mengembangkan gagasan-gagasan kreatif dan progresif.
Dampak langsung keterbatasan kualitas SDM adalah terpengaruhnya organisasi
pemerintahan kampung, yang kinerjanya tidak sesuai harapan masyarakat luas.
Daya kreasi, inisiatif dan daya kritis terkendala oleh kualitas SDM yang belum
memadai di semua lini sistem pemerintahan kampung. Tiga ”wilayah
wewenang” yang dilimpahkan oleh Pemerintah kepada pemerintah kampung
(sebagaimana rumusannya dijelaskan pada pasal 206 UU no. 32/2004 atau
penjabarannya pada pasal 7 PP. 72/2005) juga tidak bisa dilaksanakan secara
memuaskan. Akibat lebih lanjut atas persoalan SDM, adalah terganggunya
kinerja kelembagaan pemerintahan kampung secara keseluruhan. Kemandirian
dan keberdayaan pemerintah kampung sulit dikembangkan dikarenakan
ketiadaan dinamisator dan innovator yang mampu menggerakkan ”mesin”
administrasi pemerintahan secara baik. Pada titik ini, otonomi kampung menjadi
sulit dicapai.
Persoalan kedua adalah isolasi daerah yang menjadikan setiap kawasan menjadi
terpencil dari kawasan lainnya. Dampak paling langsung atas kondisi ini adalah
sulitnya aksesibilitas dan high-cost economy di sektor transportasi yang harus
ditanggung masyarakat. Secara sosio-geografis, entitas sosial yang membentuk
suatu kampung secara total menjadi saling terpisah satu dengan yang lainnya.
Pergaulan sosial antar kampung juga menjadi sangat terbatas sehingga jejaringjejaring kerjasama antar lokalitas pun sulit dikembangkan. Sebagai akibatnya,
secara kultural setiap entitas sosial membentuk konfigurasi sosio-budaya yang
distinct. Batas-batas sosio-kultural-geografis yang mengisolasi suatu kampung
atas kampung lainnya biasanya berwujud dalam bentuk ”wilayah ulayat ondoafi”
yang teritorialnya disekat secara fisik oleh gunung, tebing atau sungai. Isolasi
sosio-kultural-geografis suatu kawasan yang menyebabkan keterpencilan bagi
suatu komunitas itu makin memprihatinkan ketika prasarana dan sarana
perhubungan udara (satu-satunya sarana transportasi yang paling mungkin)
sekalipun tidak tersedia bagi warga.
Perkembangan tata pemerintahan kampung di dua kampung kasus ditandai oleh
hal-hal khusus yang menarik. Kampung pertama adalah kawasan ex-transmigrasi
49
Konflik-Konflik Kekuasaan dan Otoritas Kelembagaan Lokal dalam Reformasi TataKelola Pemerintahan Desa: Investigasi Teoretik dan Empirik
sedang kampung kedua adalah kampung asli. Pada kampung pertama, pluralisme
dan heterogenitas sosial sangat tinggi sementara kampung kedua dicirikan oleh
derajat homogenitas suku asli yang sangat kuat. Persoalan tata-pengaturan desa
di kampung pertama adalah mulai ”berkompetisinya” wilayah kekuasaan dan
kewenangan adat ondoafi melawan wilayah kekuasaan dan kewenangan kepala
kampung beserta aparat dan kelembagaan pendukungnya. Persoalan
persinggungan kekuasaan dan kewenangan tidak terjadi secara nyata pada
kampung kedua, dimana pengaruh ondoafi terasa lebih dominan disana.
Orientasi pemecahan masalah sosial-kemasyarakatan berdasarkan adat masih
sangat terasa meski legitimasi kepala kampung juga mulai menguat.
Dari investigasi empirik di lapangan, beberapa pelajaran yang bisa dipetik adalah
adanya realitas keberagaman sosio-kultural geografis di Papua yang tinggi yang
menghendaki pendekatan ketata-pemerintahan spesifik di setiap kawasan. Selain
persoalan/tantangan umum yang harus dihadapi seperti peningkatan kualitas
SDM, dinamisasi kelembagaan, dan penyelesaian konflik otoritas, Papua juga
menyimpan potensi modal-kultural-institusional yang bisa dikembangkan.
Khususnya dalam disain tata-pemerintahan, potensi sinergitas antara dua
kelembagaan (ondoafi dan pemerintahan kampung) bersama organisasi civil-society
lainnya seperti gereja atau masjid, dipandang dapat menjadi jalan alternatif untuk
menggerakkan organisasi pemerintahan ke arah kemajuan.
4
PENUTUP
Rekonfigurasi Keterlibatan Para Pihak untuk Good Rural Governance
System
Keputusan politik dan kebijakan OTDA sesuai UU no. 32/2004, secara eksplisit
menghendaki daerah menjadi kawasan yang lebih berdaya, mandiri, berdaulat
dan memiliki kekuatan/kemampuan dalam mengatur dan mendanai segala
aktivitas dan dinamika sosial-kemasyarakatan yang berlangsung di dalamnya.
Desa sebagai ruang dimana didapati kesatuan masyarakat hukum dan entitas
sosial terkecil dalam sistem/tata-pemerintahan di Indonesia, pun diharapkan
menjadi kawasan yang mampu menegakkan cita-cita kemandirian tersebut.
Untuk itu pemerintahan lokalitas dituntut memiliki kapabilitas yang mencukupi
dalam menyelenggarakan sistem administrasi, mencari solusi masalah,
mengembangkan gagasan kreatif, serta mampu menggerakkan kehidupan
masyarakat lokal ke arah yang lebih progresif.
50
Konflik-Konflik Kekuasaan dan Otoritas Kelembagaan Lokal dalam Reformasi TataKelola Pemerintahan Desa: Investigasi Teoretik dan Empirik
Pada era otonomi daerah saat ini, proses-proses pemerintahan lokalitas
(desa/desa dinas/gampong/nagari/kampung) juga diharapkan dapat berlangsung
pada platform demokrasi yang matang, yaitu demokrasi yang memahami perlunya
inisiatif lokal tanpa harus larut dalam perbedaan pendapat yang berakhir dengan
anarkhisme. Demokrasi yang beradab harus mengembangkan kesetiakawanan
sosial serta mendorong proses-proses partisipasi publik dalam penyelenggaraan
dan pengawasan pemerintahan yang sehat. Salah satu kegagalan pemerintahan
desa selama ini, disebabkan ruang dialog dan ruang komunikasi publik yang
matang itu tidak terbentuk. Inisiatif-inisiatif menjadi sangat tergantung pada
pemerintah ”atas desa” dan demokrasi-partisipatif tersumbat. Jika, lokalitas
diharapkan makin berdaya dan matang serta mampu mengembangkan sistem
pemerintahan (administrasi, pengambilan keputusan, dan pelayanan publik)
berdasarkan demokrasi yang matang, maka ruang-ruang keterlibatan publik
harus direkonfigurasi ulang agar sesuai dengan kebutuhan lokal dan
perkembangan jaman.
Pada akhirnya, dengan statusnya yang otonom, desa diharapkan menjadi pusat
kemandirian sosial-politik, budaya dan ekonomi, rural as a centrality of culture and
economic growth. Selain itu desa diharapkan mampu menopang kehidupan sosialkemasyarakatannya pada tingkat antar-lokalitas dan regional di ”atas”nya. Desa
diharapkan memiliki government and governance capacity yang memadai. Jika semua
itu terjadi, maka cita-cita keberdayaan desa akan terpenuhi. Dari investigasi awal
yang dilakukan oleh tim studi-aksi ”partnership-based rural governance reform”
diperoleh beberapa aspek penting tata-kelola pemerintahan lokalitas (desa) yang
harus dibenahi (lihat Gambar 4).
Aspek Penting Dalam Tata Pemerintahan Desa (Kasus)
Provinsi
studi-aksi
Konflik/Persaingan
antara
pemerintahan adat
versus pemerintah
desa formal 
karena persoalan
overlapping
kewenangan
Efektivitas
pengaturan
Common Pool
Resources (hutan &
sungai) pada
sistem
pemerintahan
lokalitas (desa)
Wujud
kelembagaan
partisipasi
masyarakat dalam
pengaturan
pemerintahan
lokalitas (desa)
Efektivitas
kelembagaan
pemerintahan desa
 dalam
penyelenggaraan
pemerintahan &
pelayanan
Pengawasan
Pemerintahan
Lokalitas (Desa) –
control of power
Nanggroe
Aceh
Darussalam
Ada, namun dalam
derajat yang lemah
Rendah 
kelembagaan yang
ada telah lama
lumpuh
Lembaga imum
mukim dan tokoh
agama di gampong
Sangat rendah 
masalah SDM dan
konflik GAM vs RI
Imum mukim dan
Badan
Permusyawaratan
Desa
Sumatera
Barat
Persinggungan
kepentingan sangat
terlihat nyata 
KAN vs Wali
Nagari vs BPN
Sangat tinggi 
hak ulayat berada
di tangan lembaga
adat ninik-mamak
sepenuhnya
Elemen-elemen
kelembagaan
pemerintahan
nagari
Meski kualitas
SDM terbatas,
efektivitas
pemerintahan
sangat tinggi
Badan
Permusyawaratan
Nagari (BPN) dan
Kerapatan Adat
Nagari (KAN)
Jawa Barat
Tidak ada 
karena, lembaga
adat tidak eksis
dalam masyarakat
Rendah  tidak
dikenal hak ulayat,
melainkan stateproperty
Kelembagaan
desa formal sesuai
UU no 32/2004
Tinggi/efektif 
mendapatkan
legitimasi legalrasional
Badan
Permusyawaratan
Desa
51
Konflik-Konflik Kekuasaan dan Otoritas Kelembagaan Lokal dalam Reformasi TataKelola Pemerintahan Desa: Investigasi Teoretik dan Empirik
Bali
Secara potensial
ada, tetapi tidak
tampak  justru
sinergitas tampak
lebih menonjol
Tinggi  oleh
lembaga Subak,
meski mengalami
penggerusan
peranan dalam
masyarakat
Kelembagaan
desa formal sesuai
UU no. 32/2004,
tokoh adat, dan
tokoh agama
Tinggi/efektif 
ada sinergitas
dengan pemerintah
desa adat/pakraman
yang sangat baik
Badan
Permuswaratan
Desa dan
kelembagaan adat,
serta kelembagaan
lokal lainnya
Papua
Secara potensial
ada  tapi tidak
tampak
dipermukaan
Secara latent,
konflik
kewenangan
dirasakan
kehadirannya
Sangat tinggi 
kontrol sangat
kuat hak ulayat
berada pada
kepemimpinan
adat ondoafi
(andewapi)
Kelembagaan
formal dan Sukusuku di bawah
koordinasi ondoafi
Rendah/sedang 
masalah SDM dan
kelembagaan
formal secara
operasional
cenderung kurang
efektif
Badan
Permusyawaratan
Kampung dan
forum ”tiga
tungku” (tokoh
pemerintah, adat
dan agama) +
”dua peran”
(wanita dan
pemuda)
Gambar 4. Gambaran Ringkas Permasalahan Tata-Pemerintahan Lokalitas (Desa)
Dari pelajaran yang didapat dari lapangan, maka sepantasnya rencana reformasi
atau revitalisasi tata-pemerintahan lokalitas (desa) difokuskan pada persoalan riil
dan mendesak sebagaimana gambarannya tampak pada Gambar 4. Satu hal yang
penting untuk ditegaskan sekali lagi adalah upaya untuk merekonfigurasi
keterlibatan publik (via skema kemitraan) lebih banyak dan lebih intensif dalam
tata-pemerintahan desa. Dengan cara demikian, maka baik-buruknya dan
”perjalanan nasib” otonomi lokalitas (desa) tidak lagi bergantung sepenuhnya
hanya pada sebuah institusi (pemerintah) saja, namun semua elemen masyarakat
ikut bertanggung jawab. Pola-pola kemitraan di ranah publik inilah yang hendak
dicari formatnya oleh studi aksi ini. Untuk itu, sejumlah studi pendukung telah
disiapkan. Hasil studi dan pembahasan secara detail akan disajikan pada
rangkaian Working Paper Series dari studi-aksi ini.
Daftar Rujukan
Alfitri. 2006. Nagari dan Tata Kelola Pemerintahan Desa Berbasis Kemitraan.
Seminar Studi-Aksi “Pembaruan Tata-Kelola Pemerintahan Desa
Berbasiskan Kemitraan”, diselenggarakan oleh PSP3IPB dan Partnership
for Governance Reform in Indonesia, Padang 23 Maret 2006.
Anonymous. 2006.
Pembaruan Tata Kelola Pemerintahan Kampung
Berbasiskan Kemitraan di Propinsi Papua. Makalah disampaikan pada
Seminar Awal ”Pembaruan Tata-Kelola Pemerintahan Desa Berbasiskan
Kemitraan” diselenggarakan oleh PSP3IPB dan Partnership for Governance
Reform in Indonesia, Jayapura 19 April 2006.
Busra, 2006. Tata Kelola Pemerintahan Nagari Berbasis Kemitraan Budaya
Lokal di Sumatera Barat. Makalah disampaikan pada Seminar Studi-Aksi
“Pembaruan Tata-Kelola Pemerintahan Desa Berbasiskan Kemitraan”,
52
Konflik-Konflik Kekuasaan dan Otoritas Kelembagaan Lokal dalam Reformasi TataKelola Pemerintahan Desa: Investigasi Teoretik dan Empirik
diselenggarakan oleh PSP3IPB dan Partnership for Governance Reform in
Indonesia, Padang 23 Maret 2006.
Cohen, J. M and Peterson, S. B. 1999. Administrative Decentralizatiruan on:
Strategies for Developing Countries. Kumarian Press. West Hartford.
Connecticut.
Cornwall, A. 2002. Making Spaces, Changing Places: Situating Participation in
Development. Institute of Development Studies. Sussex.
Dharmawan, A. H. 2001. Livelihood Strategies and Rural Socio-Economic
Change in Indonesia. Vauk. Kiel.
Fahmi, K. 2006. Nagari dalam Polemik. Makalah disampaikan pada Seminar
Studi-Aksi “Pembaruan Tata-Kelola Pemerintahan Desa Berbasiskan
Kemitraan”, diselenggarakan oleh PSP3IPB dan Partnership for Governance
Reform in Indonesia, Padang 23 Maret 2006.
Fear, F. A and Schwarzweller, H.K. 1985. Introduction: Rural Sociology,
Community and Community Development, in Fear, F. A and
Schwarzweller, H. K. (eds.). 1985. Research in Rural Sociology and
Development, Focus on Community. JAI. Greenwich and London.
Firth, R. 1955. Some Principles of Social Organization. Journal of Royal
Anthropological Institute of Great Britain and Ireland, Vol. 85, Issue 1/2 , pp. 118.
Fukuyama, F. 2004. State-Building: Governance and World Order in the 21st
Century. Cornell University Press. New York.
Haeruman, M. 2006. Pembaharuan Tata-Kelola Pemerintahan Desa Berbasis
Lokalitas dan Kemitraan. Makalah dipresentasikan pada Seminar StudiAksi “Pembaruan Tata-Kelola Pemerintahan Desa Berbasiskan
Kemitraan”, diselenggarakan oleh PSP3IPB dan Partnership for Governance
Reform in Indonesia. Bandung, 20 April 2006.
Hanafiah, M. 2006. Tata-Kelola Pemerintahan Gampong Berbasiskan
Lokalitas Kemitraan. Makalah disampaikan pada Seminar Studi-Aksi
“Pembaruan Tata-Kelola Pemerintahan Desa Berbasiskan Kemitraan”,
diselenggarakan oleh PSP3IPB dan Partnership for Governance Reform in
Indonesia. Banda Aceh, 25 Maret 2006.
Kaufmann, D; Kraay, A; and Mastruzzi, M. 2005. Governance Matters IV:
Governance Indicators 1996-2004. World Bank. Washington, D.C.
Luiz, J. M. 2000. The Politics of State, Society and Economy. International
Journal of Social-Economics, Vol. 27/3, pp. 227-243.
53
Konflik-Konflik Kekuasaan dan Otoritas Kelembagaan Lokal dalam Reformasi TataKelola Pemerintahan Desa: Investigasi Teoretik dan Empirik
Osmani, S. R. 2000. Participatory Governance, People’s Empowerment and
Poverty Reduction. SEPED Conference Paper Series No. 7. UNDP.
Washington, D.C.
Piliang, I. J; Ramdani, D dan Pribadi, A. 2003. Otonomi Daerah: Evaluasi dan
Proyeksi. Yayasan Harkat Bangsa dan Partnership for Governance Reform in
Indonesia. Jakarta.
Schneider, H. 1999. Participatory Governance: The Missing Link for Poverty
Reduction. OECD Development Center, Policy Brief No. 17. Paris.
Syafa’at, R. 2002. Kelembagaan Pemerintahan Desa: Tinjauan Historis Sosial
Budaya Keberadaan Masyarakat Adat Dalam Konteks Desentralisasi
Desa dalam Maryunani dan Ludigdo, U. (eds.). 2002. Desentralisasi dan
Tata Pemerintahan Desa: Monitoring dan Evaluasi Berpartisipasi.
Lembaga Penelitian Ekonomi dan Pengabdian Masyarakat Fakultas
Ekonomi Universitas Brawijaya. Malang.
Weiss, T. G. 2000. Governance, Good Governance, and Global Governance:
Conceptual and Actual Challenges. Third World Quarterly, Vol. 21/5, pp.
795-814.
Wilkinson, K. P. 1970. The Community as a Social Field. Social Force, Vol.
48/3, pp. 311-322.
Work, R. 2001. The Role of Participation and Partnership in Decentralized
Governance: A Brief Synthesis of Policy Lessons and Recommendations
of Nine Country Case Studies on Service Delivery for the Poor. UNDP.
New York.
54
Konflik-Konflik Kekuasaan dan Otoritas Kelembagaan Lokal dalam Reformasi TataKelola Pemerintahan Desa: Investigasi Teoretik dan Empirik
BIODATA PENULIS
Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc. Agr, lahir di Surakarta
tanggal 14 September 1963. Menyelesaikan pendidikan S-1
tahun 1988 pada Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian,
Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi-Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor. Selanjutnya sejak Mei 1990 hingga saat ini
bekerja sebagai Dosen pada Departemen Sosial Ekonomi,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan Dosen pada
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan, dan Program Studi Sosiologi Pedesaan.
Tahun 1993 menyelesaikan program pendidikan S-2 di Georg-August University
of Goettingen Germany in integrated Tropical Agricultural and Forestry, dan
pada tahun 2000 menyelesaikan program doktor pada Rural and Agricultural
Sociology di Georg-August University of Goettingent Germany.
Selama bekerja sebagai dosen di IPB telah mengikuti berbagai jenis kegiatan
penelitian seperti Rural Livelihood strategies and Social Changes in Indonesia
(1997-2001); Study on the Clove Marketing System in Daerah Istimewa Aceh
Indonesia (1994-1995); Strategy of Survival of the Shifting Cultivators in West
Kalimantan Indonesia (1994-1995); Study on the Effectivenness of Credit
Absorption of Small Enterprise and Small-Scale Industries in Central Java
Indonesia (1992-1993), Studi on Rural Income Generating Activities (20022003), Poverty Alleviation Study (2003-2004), Environmental Governance
Partnership System (2004-2005), Studi Kedaulatan Pangan (2005) dan lain-lain.
Selain sebagai dosen, juga aktif sebagai peneliti di Pusat Studi Pembangunan
(PSP-IPB) sejak 1988 sampai sekarang. Aktif dalam kegiatan seminar dan
workshop baik nasional maupun internasional seperti Presenting Papers in the
Annual International Conference on Tropical and Subtropical Agriculture
(organized by ATSAF) in : Goettingen Germany (1998), Berlin Germany (1999)
dan di Hohenheim Germany (2000).
55
Download