BAB II LANDASAN TEORI

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Batuan Induk
Batuan induk merupakan batuan sedimen berbutir halus yang mampu
menghasilkan hidrokarbon. Batuan induk dapat dibagi menjadi tiga kategori
(Waples, 1985), di antaranya yaitu batuan induk efektif (effective source rock),
mungkin batuan induk (possible source rock), dan batuan induk potensial (potential
source rock). Kategori tersebut dan definisinya dapat ditunjukkan pada tabel 2.1.
Tabel 2.1. Kategori batuan induk menurut Waples (1985).
Tipe
Definisi
Batuan induk efektif
Setiap
batuan
induk
yang
telah
membentuk
dan
(effective source rock)
mengeluarkan hidrokarbon.
Mungkin batuan induk
Setiap batuan sedimen yang belum pernah dievaluasi
(possible source rock)
potensinya, tetapi mempunyai kemungkinan membentuk
dan mengeluarkan hidrokarbon.
Batuan induk potensial
Setiap batuan sedimen belum matang yang mempunyai
(potential source rock)
kemampuan membentuk dan mengeluarkan hidrokarbon
jika kematangannya bertambah tinggi.
Suatu batuan dapat dikatakan sebagai batuan induk apabila mempunyai kuantitas
material organik, kualitas untuk menghasilkan hidrokarbon, dan kematangan termal.
Kuantitas material organik dan kualitas material organik merupakan produk hasil
pengendapan, sedangkan kematangan termal merupakan fungsi dari sejarah struktur
maupun tektonik pada suatu wilayah. Kuantitas material organik umumnya dinilai
dengan melakukan pengukuran terhadap karbon organik total (total organic carbon,
TOC) yang terkandung dalam batuan. Kualitas ditentukan dengan mengetahui tipe
kerogen yang terkandung dalam material organik. Kematangan termal umumnya
diperkirakan dengan menggunakan pengukuran reflektansi vitrinit dan data dari
8
analisis pirolisis. Tabel 2.2 menunjukan metode yang paling umum digunakan untuk
menentukan potensi dari batuan induk.
Tabel 2.2. Metode untuk menentukan potensi batuan induk (Law, 1999).
Penentuan
Pengukuran
Kuantitas batuan induk
TOC yang terdapat pada batuan induk.
Kualitas batuan induk
 Proporsi kerogen
 Keberadaan hidrokarbon rantai panjang
Kematangan termal batuan induk
 Reflektansi vitrinit
 Pirolisis Tmaks
2.1.1 Kuantitas Material Organik
Kekayaan batuan induk ditentukan dengan mengukur TOC yang hadir pada
suatu batuan. TOC digunakan karena hidrokarbon mengandung 75-95% karbon berat
molekul dengan rata-rata 83%. Jumlah karbon organik yang terdapat pada batuan
merupakan faktor yang dapat menentukan kemampuan batuan untuk menghasilkan
hidrokarbon. Teknik yang paling umum untuk menganalisis kandungan TOC pada
batuan adalah pirolisis Rock-Eval dengan metode TOC dan LECO.
Lingkungan pengendapan mengontrol jumlah karbon organik yang terkandung
dalam batuan. Batuan induk umumnya berasosiasi dengan wilayah produktivitas
organik tinggi dikombinasikan dengan pengendapan dalam lingkungan anoksik,
upwelling, dan sedimentasi yang cepat. Proses-proses ini dapat mengendapkan
material organik. Tabel 2.3 berikut ini menunjukkan implikasi batuan induk
berdasarkan persen berat TOC menurut Waples (1985).
Tabel 2.3. Indikasi potensi batuan induk berdasarkan TOC (Waples, 1985).
Implikasi Batuan Induk
TOC (% berat)
Potensinya rendah
<0,5
Kemungkinan sedikit berpotensi
0,5–1,0
Kemungkinan cukup berpotensi
1,0–2,0
Kemungkinan berpotensi baik sampai sangat baik
>2,0
9
Pirolisis merupakan dekomposisi material organik dengan pemanasan dan
dalam kondisi absennya oksigen, yang digunakan untuk mengukur kekayaan dan
kematangan dari batuan induk potensial. Pada analisis ini, kandungan organik
dipirolisis lalu dibakar. Jumlah hidrokarbon dan karbon dioksida yang dilepaskan
kemudian diukur. Teknik pirolisis yang paling umum digunakan adalah Rock-Eval.
Pada pirolisis Rock-Eval dikenal empat jenis puncak, yaitu S1, S2, dan S3 dalam
satuan miligram hidrokarbon/gram batuan. Menurut Law (1999), S1 menyatakan
hidrokarbon bebas dalam sampel, S2 merupakan volume hidrokarbon yang terbentuk
selama pirolisis termal dari sampel, dan S3 merupakan CO2 yang dihasilkan selama
pemecahan termal kerogen, yang ditunjukkan pada Gambar 2.1 berikut.
Gambar 2.1. Diagram skematik Rock Eval (Waples, 1985).
2.1.2 Tipe Material Organik
Lingkungan pengendapan merupakan faktor dominan dalam menentukan tipe
material organik yang terdapat dalam batuan. Temperatur dan tekanan mengubah
10
material organik menjadi suatu substansi yang disebut dengan humin yang kemudian
mengalami transformasi menjadi kerogen. Waktu dan temperatur mengubah kerogen
menjadi petroleum.
Kerogen merupakan fraksi yang berasal dari unsur sedimen organik dalam
batuan sedimen yang tidak mudah larut dalam pelarut organik biasa (Tissot dan
Welte, 1984 dalam Law, 1999). Kerogen tersusun atas beragam material organik,
mencakup ganggang, polen, kayuan, vitrinit, dan material yang tidak terstruktur. Tipe
kerogen yang berada pada batuan besar pengaruhnya dalam mengontrol tipe
hidrokarbon yang dihasilkan pada batuan tersebut. Beragam tipe kerogen
mengandung jumlah hidrogen yang berbeda relatif terhadap karbon dan oksigen.
Kandungan hidrogen dalam kerogen merupakan faktor pengontrol untuk minyak dan
gas yang dihasilkan dari reaksi pembentuk hidrokarbon primer.
Tipe kerogen menentukan kualitas batuan induk. Semakin besar kerogen
menghasilkan minyak, maka semakin besar pula kualitasnya. Empat tipe dasar
kerogen ditemukan dalam batuan sedimen. Suatu batuan induk dapat mengandung
satu atau campuran beberapa tipe kerogen. Tabel 2.4 berikut ini mendefinisikan
empat tipe kerogen menurut Law (1999) dengan komposisi kerogen pada Tabel 2.5
menurut Waples (1985).
Tabel 2.4. Empat tipe dasar kerogen (Law, 1999).
Tipe
Potensi Hidrokarbon Utama
Kerogen
Tipe Lingkungan
Pengendapan
I
Penghasil minyak
Danau
II
Penghasil minyak dan gas
Marin
III
Penghasil gas
Darat
IV
Tidak menghasilkan apapun (umumnya tersusun atas
Darat
vitrinit atau material inert)
Tipe kerogen yang hadir dalam batuan menentukan kualitas batuan induk. Tipe
I kerogen mempunyai kualitas tertinggi, tipe III terendah. Tipe I mempunyai
kandungan hidrogen tertinggi, tipe III terendah. Penentuan tipe kerogen pada batuan
11
induk dapat dilakukan dengan mengeplot indeks hidrogen dan oksigen (HI dan OI)
pada diagram van Krevelen (Gambar 2.2).
Tabel 2.5. Komposisi kerogen (Waples, 1985).
Gambar 2.2. Diagram van Krevelen (Tissot dan Welte, 1984 dalam Law, 1999)
Indeks Hidrogen (HI) dengan satuan miligram hidrokarbon/gram TOC
mewakili jumlah hidrogen relatif terhadap jumlah karbon organik yang berada pada
suatu sampel. Kurva S2 dalam analisis Rock-Eval dapat membantu menentukan
jumlah total hidrogen dalam miligram hidrogen terhadap gram sampel berdasarkan
rumus berikut.
HI = S2 (mg/g)/%TOC x100
12
Indeks oksigen (OI) dengan satuan miligram hidrokarbon/gram TOC mewakili
jumlah oksigen relatif terhadap jumlah karbon organik yang berada pada suatu
sampel. Kurva S3 pada analisis Rock-Eval dapat membantu menentukan jumlah total
oksigen yang hadir dalam sampel berdasarkan rumus berikut.
OI = S3 (mg/g)/%TOC × 100
Penggunaan teknik HI/OI hanya untuk menentukan kualitas batuan induk (tipe
kerogen) pada batuan yang belum matang. HI dan OI berubah seiring dengan
kematangan batuan induk, oleh karena itu pada batuan matang HI dan OI tidak
indikatif terhadap kualitas kerogen asal.
2.1.3 Kematangan Material Organik
Sifat kimia material organik yang terkandung dalam batuan sedimen berubah
seiring dengan waktu, merefleksikan temperatur dan sejarah pembebanan.
Kematangan dapat diukur dan dapat dikombinasikan dengan data kualitas dan
kekayaan untuk memperkirakan jumlah hidrokarbon yang dihasilkan oleh material
organik. Tingkat kematangan merupakan produk dari sejumlah faktor, seperti tatanan
tektonik, sejarah pembebanan, dan sejarah termal.
Kematangan dapat diketahui dengan menggunakan beberapa metode, di
antaranya yaitu reflektansi vitrinit, indeks alterasi termal (thermal alteration index,
TAI), dan Tmaks pirolisis. Metode penentuan kematangan dengan reflektansi vitrinit
didasarkan pada fakta bahwa dengan kenaikan termal. Reflektansi vitrinit merupakan
pengukuran terhadap presentase sinar yang dipantulkan dari permukaan partikel
dalam batuan sedimen. Tmaks merupakan temperatur pada saat laju maksimum
pirolisis tercapai (puncak S2) yang dapat digunakan sebagai indikator kematangan.
Seiring dengan bertambahnya kematangan, maka bertambah pula Tmaks. Tmaks
diperoleh secara otomatis bersama dengan data pirolisis lain pada waktu analisis
Rock-Eval. Indikasi kematangan yang dapat ditentukan dengan nilai Tmaks
ditunjukkan pada Tabel 2.6.
13
Tabel 2.6. Indikasi kematangan hidrokarbon berdasarkan Tmaks pirolisis Rock-Eval
(Tissot et al., 1987 dalam Law, 1999).
Indikasi Kematangan Hidrokarbon
Tmaks Pirolisis Rock-Eval (0C)
Belum matang
< 435
Minyak (dari kerogen tipe II)
435–455
Minyak (dari kerogen tipe III)
435–465
Gas (dari kerogen tipe II)
> 455
Gas (dari kerogen tipe III)
> 465
Indeks alterasi termal (TAI) merupakan indikator kematangan yang dilakukan
dengan melakukan analisis perubahan warna palinomorf. Pertambahan gelap partikel
kerogen dengan bertambahnya kematangan termal dapat digunakan sebagai indikator
kematangan. Kuantifikasi dengan metode ini ditunjukkan pada Tabel 2.7 yang
dikaitkan dengan kuantifikasi dengan menggunakan metode lain.
Tabel 2.7. Korelasi antara tiga parameter kematangan (Waples, 1985 dalam Law,
1999).
Reflektansi Vitrinit
Indeks Alterasi
Tmaks
Indikasi Kematangan
(% Ro)
Termal (TAI)
Pirolisis
Hidrokarbon
(0C)
0,40
2,0
420
Belum matang
0,50
2,3
430
Belum matang
0,60
2,6
440
Minyak
0,80
2,8
450
Minyak
1,00
3,0
460
Minyak
1,20
3,2
465
Minyak dan gas kering
1,35
3,4
470
Gas kering
1,50
3,5
480
Gas kering
2,00
3,8
500
Metana
3,00
4,0
500+
Metana
4,00
4,0
500+
Lewat matang
2.2 Minyak Bumi dan Ekstrak
Analisis minyak dan ekstrak batuan bertujuan untuk menyelidiki sifat fisika dan
kimia unsur sebagai karakterisasi hidrokarbon pada sampel yang dianalisis. Analisis
14
ekstrak batuan membutuhkan material organik terekstrak (extractable organic
matter) dari batuan dengan menggunakan pelarut organik seperti kloroform,
diklorometana atau campuran keduanya dengan metanol. Teknik ini umumnya
menyediakan kuantitas yang mencukupi untuk analisis lebih jauh, seperti
Kromatografi Cairan, Kromatografi Gas-Spektrometri Massa dan analisis isotop
stabil. Jumlah dan komposisi ekstrak tergantung pada material organik terekstrak
pribumi (indigenous), fasies organik, lingkungan pengendapan, kematangan termal,
dan tingkat ekspulsi.
Minyak bumi merupakan hidrokarbon yang bersifat cair pada kondisi temperatur
dan tekanan tertentu. Sebelum pemisahan lebih jauh, minyak tersebut sebaiknya
dianalisis untuk karakterisasi yang bersifat spesifik, seperti kandungan sulfur, isotop
stabil, dan kromatografi gas. Minyak kemudian didistilasi untuk memperoleh berat
residu yang konstan dengan pemanasan sekitar 2100C.
2.2.1 Biomarker Umum
Biomarker atau biological marker merupakan senyawa yang berasal dari
molekul biogenik, yang umumnya berupa fosil molekular. Beberapa tipe biomarker
ditunjukkan pada Tabel 2.8. Biomarker dapat berasal dari organisme hidup maupun
terbentuk akibat transformasi diagenesis dan katagenesis dalam sedimen. Seiring
dengan meningkatnya tekanan termal, konsentrasi biomarker cenderung berkurang.
Biomarker merupakan senyawa organik kompleks yang tersusun atas unsur C, H, dan
unsur lainnya yang ditemukan dalam minyak, bitumen, batuan, dan sedimen serta
menunjukkan sedikit atau tanpa perubahan dalam strukturnya dari molekul organik
asalnya.
Biomarker yang sering dipelajari adalah n-alkana, isoprenoid, porfirin, sterana,
terpana, diterpana, dan naftenoaromatik. Sejumlah senyawa organik lainnya yang
terkandung dalam minyak dan bitumen tidak termasuk dalam biomarker karena tidak
berhubungan langsung dengan asal biogenik. Hidrokarbon aromatik seperti benzene,
toluena, dan xylena berasal dari lignin namun juga dianggap berasal dari sumber
15
lainnya, sebab asal material organik pembentuknya sulit untuk dikenali akibat
transformasi diagenetik dan katagenetik.
Tabel 2.8. Kelas penting dari biomarker dan prazatnya (Waples, 1985).
2.2.2 Biomarker Penunjuk Lingkungan Pengendapan dan Asal Material
Organik
Perbedaan lingkungan pengendapan dicirikan oleh adanya perbedaan variasi
organisme dan biomarker. Secara umum organisme dapat dikelompokkan menjadi
bakteri, alga, dan tumbuhan tinggi, yang dapat dianalisis melalui kehadiran dan
distribusi biomarker berikut ini, di antaranya yaitu:

n-Alkana, merupakan salah satu biomarker pertama yang dipelajari secara
intensif. Konsentrasi n-alkana yang tinggi dalam bitumen dan minyak dapat
dijelaskan dengan keberadaannya dalam alga dan lemak tumbuhan, serta
pembentukannya dari senyawa karbon rantai panjang seperti asam lemak dan
alkohol. Indikasi lingkungan pengendapan maupun asal material organik pada
n-alkana dapat ditunjukkan oleh distribusi homolog atau anggota dari seri nalkana. Sebagian besar n-alkana yang berasal dari tumbuhan terestrial
mempunyai atom karbon bernomor ganjil, khususnya C23, C25, C27, dan C31,
sebaliknya alga menghasilkan distribusi n-alkana dari C17 hingga C22.
Sejumlah sedimen dapat mengandung material organik campuran yang
berasal dari lingkungan terestrial maupun marin.
16

Isoprenoid. Klorofil merupakan sumber untuk sebagian besar molekul
pristana dan fitana (Gambar 2.3), yang merupakan dua jenis isoprenoid yang
paling umum digunakan. Pristana berasal dari senyawa fitol yang
terendapkan dalam kondisi oksik, sedangkan fitana berasal dari senyawa fitol
yang terendapkan dalam kondisi anoksik.
Gambar 2.3. Struktur dari isoprenoid pristana dan fitana (Waples, 1985).

Sterana. Steroid, sebagai senyawa pendahulu biologis dari sterana, terdapat
di
semua
organisme
yang
lebih
kompleks
dari
alga
biru-hijau
(cyanobacteria). Diagenesis mengubah molekul steroid menjadi hidrokarbon
sterana melalui hidrogenasi ikatan rangkap. Kegunaan utama sterana sebagai
biomarker didasarkan atas distribusinya pada sampel. Steroid yang paling
umum adalah sterol yang mempunyai atom karbon 27, 28, dan 29 yang hadir
dengan beragam proporsi dalam organisme.

Terpana, umumnya ditemukan dalam minyak dan bitumen yang berasal dari
terpenoid hasil sintesa mikroorganisme. Terpana yang paling umum adalah
hopana dan C29 hopana (norhopana), yang dapat berasosiasi dengan asal
material organik atau lingkungan pengendapan tertentu. Sejumlah terpenoid
bakteri mempunyai 35 atom karbon dibandingkan seri hopana normal yang
mempunyai 27 hingga 30 atom karbon. Terpenoid ini dianggap sebagai asal
dari extended hopane (C31 hingga C35), yang sering ditemukan dalam ekstrak
dan minyak. Pola distribusi terpana trisiklik dalam kromatogram massa
terpana dapat digunakan untuk menentukan asal material organik, seperti
ditunjukkan pada Gambar 2.4.
17
campuran
marin
terestrial
lakustrin
Gambar 2.4. Pola terpana trisiklik yang menunjukkan asal material organik (Price
dkk., 1987)
2.2.3 Biomarker Penunjuk Kematangan
Kematangan memberikan pengaruh yang besar pada komposisi petroleum dan
bitumen. Biomarker dapat digunakan sebagai evaluasi tahap kematangan pada
sampel batuan sedimen maupun minyak, di antaranya melalui analisis n-alkana,
isoprenoid, terpana dan sterana.

n-Alkana, distribusi senyawa ini sangat dipengaruhi oleh kematangan termal.
Panjang rantai karbon secara berangsur akan menjadi lebih pendek, dan nalkana yang telah ada pada sampel yang belum matang akan melarut dengan
n-alkana yang baru dihasilkan selama peristiwa katagenesis.

Isoprenoid, distribusinya berubah seiring dengan peningkatan kematangan.
Saat kematangan meningkat, fitana akan dihasilkan lebih cepat dibandingkan
dengan pristana, sehingga menyebabkan berkurangnya rasio pristana terhadap
fitana. Selama pembentukan hidrokarbon, konsentrasi isoprenoid meningkat
dengan lebih lambat dibandingkan dengan peningkatan konsentrasi n-alkana.
Oleh karena itu, rasio n-alkana terhadap isoprenoid meningkat seiring dengan
meningkatnya kematangan.

Sterana. Kematangan dapat menyebabkan perubahan pada molekul sterana.
Hal ini dapat ditunjukkan melalui perbandingan antara dua bentuk epimer
(20R dan 20S) dari αα sterana. Perbandingan yang paling umum digunakan
18
adalah 20S/(20R+20S). Pertambahan kematangan akan menyebabkan
perbandingan 20S bertambah akibat perubahan konfigurasi molekul 20R.

Terpana. Tahap kematangan dapat dianalisis menggunakan parameter
terpana, di antaranya yaitu rasio moretana terhadap hopana yang berasosiasi
dengan sampel batuan maupun minyak yang telah matang apabila rasio yang
menunjukkan perbandingan kedua senyawa tersebut rendah. Selain itu
sepasang hopana C27 (trisnorhopana 17α(H)-22,29-30 dan trisnorneohopana
18α(H)-22,29-30) atau biasa disebut dengan Tm dan Ts, juga dapat
digunakan sebagai indikator kematangan. Seiring dengan bertambahnya
kematangan, Tm secara berangsur-angsur akan menghilang, sedangkan Ts
akan bertambah.
2.2.4 Teknik Korelasi
Korelasi genetik petroleum didasarkan pada prinsip bahwa komposisi
komponen organik dalam suatu batuan induk juga terkandung di dalam minyak.
Kesamaan tersebut dapat mencakup sifat seperti komposisi isotop karbon stabil
hingga rasio senyawa seperti pristana dan fitana maupun keberadaan terpana dan
sterana. Korelasi positif tidak selalu menunjukkan bahwa setiap sampel yang
dianalisis berhubungan, namun suatu korelasi negatif dapat menjadi bukti yang kuat
untuk menganalisis kekurangan pada hubungan antarsampel.
Minyak bumi berasal dari material organik yang terpanaskan dalam batuan
induk yang kemudian bermigrasi ke reservoir. Proses migrasi ini seringkali membuat
bitumen yang terbentuk tertinggal dalam batuan induk sehingga material organik
yang dapat larut yang tertinggal dalam batuan dan minyak bumi yang terdapat dalam
reservoir dapat menunjukkan kemiripan dalam komposisi kimianya, contohnya yaitu
minyak bumi yang terbentuk dari batuan induk yang sama namun berada dalam
reservoir yang berbeda dapat menunjukkan kemiripan.
19
1. Korelasi Minyak-Minyak
Korelasi minyak-minyak membutuhkan parameter yang dapat membedakan
minyak dari sumber yang berbeda dan resisten terhadap proses sekunder seperti
biodegradasi dan kematangan termal. Pada sejumlah kasus, korelasi minyak-minyak
dapat digunakan dengan menggunakan metode kromatografi gas maupun rasio isotop
stabil karbon atau sulfur.
2. Korelasi Minyak-Batuan Induk
Korelasi minyak-batuan induk didasarkan pada konsep bahwa parameter tertentu
yang terdapat pada minyak yang bermigrasi tidak berbeda secara signifikan dengan
bitumen yang masih berada pada batuan induk. Korelasi ini memberikan informasi
penting mengenai asal dan jalur migrasi minyak yang dapat digunakan untuk
menentukan metode eksplorasi. Rasio homolog atau senyawa dengan struktur yang
serupa seperti rasio biomarker yang tergantung pada habitat tidak berubah dari
bitumen hingga minyak yang telah mengalami migrasi, sebagai contoh rasio sterana
C27 hingga C29 yang digunakan dalam diagram C27-C28-C29 (Gambar 2.5).
Gambar 2.5. Diagram segitiga yang menunjukkan ketergantungan lingkungan
dari komposisi sterol dalam organisme (Huang dan Meinschein, 1979 dalam Waples
dan Machihara, 1991).
20
Download