HARIA PEUKAN DALAM UUPA dan QANUN ACEH1 Oleh : H. Taqwaddin, SH., SE., MS., CDr.2 Ilustrasi Paradigma Dewasa ini lembaga adat “Haria Peukan” nyaris tak terdengar lagi eksistensinya baik di dalam perbincangan sehari-hari maupun di arena Hukum Adat Aceh. Lembaga adat ini sedang mati suri seiring dengan dieliminirnya peran dan fungsi pemerintahan mukim oleh rezim Orde Baru. Telah terbukti bahwa kerasnya penetrasi system hukum dengan paradigma politik sentralitistik, mengakibatkan beragam budaya local dengan segala kearifan tradisonalnya menjadi terpinggirkan, lalu sirna ditelan masa. Dihapuskannya lembaga mukim sebagai penyelenggaraan fungsi pemerintahan selama era kekuasaan Orde Baru, bahkan hingga saat ini, telah menimbulkan konsekuensi terpinggirkannya beberapa lembaga adat, yang pada masa sebelum Orde Baru cukup eksis menjalankan perannya dalam berbagai bidang urusan untuk membantu kuatnya pemerintahan mukim. Kini, paska Reformasi, dengan paradigma system hukum, politik dan pemerintahan yang berbasis decentralisasi otonomi, maka jenjang pemerintahan tidak lagi dibagi atas hirarkhi daerah tingkat I, daerah tingkat II, dan desa sebagai unit pemerintahan terendah. Tetapi, decentralisasi kekuasaan dipilah menurut jenisnya, yaitu: daerah otonom provinsi, daerah otonom kabupaten, daerah otonom kota, dan kesatuan masyarakat hukum adat sebagai daerah otonom yang asli. Mukim dan Gampong, menurut saya, merupakan kesatuan masyarakat hukum adat sebagai daerah otonom yang asli. 1 Disajikan sebagai Bahan Pelatihan Pemberdayaan Kelembagaan Adat, yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Pemerintah Aceh, pada tanggal 9-10 November 2009, di Hote Rasamala Indah, Banda Aceh. 2 Dosen Kapita Selekta Hukum Adat pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. 1 Jenis, jumlah tugas dan kewenangan yang diserahkan kepada daerah otonom (otonomi daerah) tidak lagi bersifat seragam seluruhnya, tetapi hanya yang bersifat wajib saja yang sama, sedangkan kewenangan pilihan diserahkan sepenuhnya kepada daerah otonom kabupaten dan daerah otonom kota untuk memilih jenis dan waktu pelaksanaannya. Ternyata hal ini senada dengan system pemerintahan mukim di Aceh masa sebelum adanya Indonesia. Pendapat di atas, secara tegas mengakui keberadaan masyarakat hukum adat sebagai daerah otonom yang asli. Tentu saja sebagai suatu daerah otonom, mukim sebagai masyarakat hukum adat Aceh mempunyai pemerintahan tersendiri dengan segala tugas, fungsi dan kewenangannya sebagai otonomi daerah. Teori ini seharusnya senada dengan substansi aturan yang tertera dalam UUPA. Haria Peukan dalam UUPA Dalam Pasal 2 UUPA ditegaskan bahwa Daerah Aceh dibagi atas kabupaten/kota. Kabupaten/kota dibagi atas kecamatan. Kecamatan dibagi atas mukim. Dan, mukim dibagi atas kelurahan dan gampong. Pasal ini menegaskan diakuinya lagi eksistensi mukim sebagai daerah teritori. Selanjutnya, di dalam Pasal 98 UUPA ditegaskan lagi pengakuan terhadap lembag-lembaga adat Aceh, yaitu : Majelis Adat Aceh, Imeum Mukim, Imeum Chik, Keuchik, Tuha Peut, Tuha Lapan, Imeum Meunasah, Kejruen Blang, Panglima Laot, Pawang Glee, Peutua Seunebok, Haria Peukan, dan Syahbanda. Semua lembaga adat yang disebutkan dalam Pasal 98 UUPA di atas, kecuali Majelis Adat Aceh (MAA), menurut sejarahnya pada masa lalu berada di bawah koordinasi imeum mukim sebagai kepala pemerintahan mukim. Kini, dalam UUPA dinyatakan bahwa lembaga-lembaga adat tersebut berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota di bidang keamanan, ketentraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat serta untuk penyelesaian masalah social kemasyarakatan secara adat. 2 Hemat saya, ketentuan dalam UUPA yang hanya menyatakan bahwa lembagalembaga adat hanya berfungsi sebagai wahana partisipasi, tidak seiring dengan trend paradigma otonomisasi. Hal ini karena, semua yang dikategorikan lembaga adat di atas, minus MAA, dulunya adalah institusi yang memiliki kewenangan pemerintahan dalam urusan tertentu. Masing-masing lembaga adat tersebut menyelenggarakan tugas dan fungsinya masing-masing, yaitu : 1) Imeum Mukim bertindak sebagai Kepala Pemerintahan Mukim, yang membawahi federasi dari beberapa gampong. 2) Imeum Mesjid atau Imeum Chik adalah figur yang mengepalai urusan syariat dan peribadatan pada tingkat wilayah mukim. 3) Tuha Lapan adalah figur yang terdiri dari tokoh-tokoh warga mukim anggota musyawarah mukim, yang bertugas dan berfungsi memberikan nasehat, saran, pertimbangan, atau pendapat kepada Imeum Mukim dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan mukim. Disebutkan angka lapan, maksudnya sebagai representasi delapan arah mata angin dari suatu daerah yang lebih luas dari gampong. 4) Keuchik adalah ketua gampong, yang memimpin dan mengetuai segala urusan tata kelola pemerintahan gampong. Ia dipilih secara demokratis menurut vesri masyarakat gampong. 5) Imeum Meunasah/ Teungku Gampong adalah pemimpin dan pembina bidang agama (Islam), yang sekaligus bertindak selaku pemimpin upacara keagamaan di gampong. Ia juga berperan memberikan pertimbangan dan penerapan hukum syariat di gampong. 6) Tuha Peut Gampong adalah gampong yang para ureung tuha anggota musyawarah bertugas dan berfungsi memberikan nasehat, saran, pertimbangan, atau pendapat kepada Keuchik dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan gampong. Angka peut (empat) ini pada mulanya 3 merujuk sebagai representasi teritoti dari empat arah mata angin dalam gampong. Namun kemudian, sebutan peut ini tidak hanya ditujukan sebagai perwakilan teritori, melainkan juga representasi personal dalam lembaga tuha peut, yaitu ; tuha, tuho, teupeu, dan teupat. 7) Keujrun Blang adalah ketua adat dalam urusan pengaturan irigasi, pengairan untuk persawahan, menentukan mulainya musim tanam, membina para petani, dan menyelesaikan sengketa persawahan. 8) Panglima Laot adalah ketua adat yang memimpin urusan bidang penangkapan ikan di laut, membina para nelayan, dan menyelesaikan sengketa laot. 9) Peutua Seuneubok adalah ketua adat yang mengatur tentang pembukaan hutan / perladangan/ perkebunan pada wilayah gunung/ lembah-lembah, dan menyelesaikan sengketa perebutan lahan. 10) Panglima Uteun/Kejruen Glee adalah ketua adat yang memimpin urusan pengelolaan hutan adat, baik kayu maupun non kayu (madu, getah rambung, sarang burung, rotan, damar, dll), meurusa, memungut wasee glee, memberi nasehat/petunjuk pengelolaan hutan, dan menyelesaikan perselisihan dalam pelanggaran hukum adat glee. 11) Syahbandar adalah pejabat adat yang mengatur urusan kepelabuhanan, tambatan kapal/ perahu, lalu lintas angkutan laut, sungai dan danau. 12) Haria Peukan adalah pejabat adat yang mengatur ketertiban, kebersihan pasar dan pengutip retribusi. Dari semua lembaga adat di atas, kejruen blang, panglima laot, pawang glee, peutua seuneubok, haria peukan, dan syahbanda, dulunya merupakan lembagalembaga adat sebagai institusi teknis di bawah koordinasi imeum mukim yang memiliki peran, fungsi dan kewenangan untuk mengatur, mengawasi, dan mengelola sumber daya alam sebagai hak ulayat mukim. 4 Keberadaan lembaga-lembaga adat tersebut di suatu mukim tergantung pada letak geografi mukim bersangkutan. Sehingga, bisa jadi, pada suatu mukim ada lembaga adat yang tidak ada pada mukim lainnya. Misalnya, lembaga adat laoet hanya ada pada mukim yang wilayahnya di pesisir laut. Begitu pula lembaga adat hutan hanya ada pada mukim yang memiliki wilayah hutan. Namun ada pula mukim yang memiliki lembaga adat hutan dan juga lembaga adat laut, jika di kemukiman tersebut terdapat wilayah laut dan gunung. Dengan mencermati pada deskripsi diatas, dalam konteks hari ini dapat dinyatakan bahwa lembaga adat Haria Peukan saat ini merupakan salah satu lembaga adat yang telah mendapat pengakuan kembali dalam tataran juridis formal. Bahkan pengakuan tersebut menjadi semakin kuat dengan disebutkannya di dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh. Haria Peukan dalam Qanun Aceh 5