Seediscussions,stats,andauthorprofilesforthispublicationat:https://www.researchgate.net/publication/303726376 STRATEGIPERENCANAANDAN PERANCANGANPERUMAHANPADAERA KONTEMPORER Book·January2015 CITATIONS READS 0 996 1author: LucyYosita UniversitasPendidikanIndonesia 7PUBLICATIONS0CITATIONS SEEPROFILE AllcontentfollowingthispagewasuploadedbyLucyYositaon02June2016. Theuserhasrequestedenhancementofthedownloadedfile.Allin-textreferencesunderlinedinblueareaddedtotheoriginaldocument andarelinkedtopublicationsonResearchGate,lettingyouaccessandreadthemimmediately. Bab. 1 SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DI INDONESIA Kebijakan Perumahan dan Permukiman Nasional di Indonesia pada masa sebelum merdeka (Pra Kemerdekaan) masih terbatas pada penyediaan perumahan untuk: Pegawai Negeri, Rumah Sewa dan Perbaikan lingkungan dalam rangka kesehatan. Sementara pelaksanaan lebih lanjut mengenabbi kebijakan perumahan dan permukiman masyarakat pada waktu tersebut awalnya dijalankan melalui Burgerlijke Woningsregeling 1934 yang pelaksanaannya menggunakan Algemene Voorwaaden voor de uitvoering bij aaneming van Openbare Werken in Indie 1941 serta Indische Comptabiliteits Wet. Pelaksanaan ketentuan tersebut dilakukan oleh Departement Van Verkeer en Waterstaat yang menangani perumahan rakyat (Volkshuivesting) dan bangunan gedung/ rumah Negara. Pemerintah (Landsgeuwen) Pest Bestrijding untuk menangani wabah penyakit perkotaan yang sudah memiliki permasalahan yang kompleks. Sementara itu pada masa Jepang masalah perumahan ditangani oleh “Doboku” yang merupakan lembaga pengganti Departement Vab Verkeer en Waterstaat. Pada masa itu pola permukiman di Indonesia diatur oleh pemerintah kolonial pada masa tersebut dibuat dengan pola teratur mengikuti pola perumahan di Eropa. Pola permukiman untuk golongan rakyat umumnya tidak teratur, buruk dan kurang fasilitas. Ini sebenarnya adalah siasat penjajah untuk merusak lingkungan. Kondisi lingkungan yang kurang baik relatif akan membuat kondisi masyarakat tidak solid. Kemudian timbul program yang namanya: “gilded getto” dengan maksud merubah pola permukiman rakyat agar lebih rapi dan teratur. Sasaran pemerintah waktu itu dengan dibangunnya hunian yang lebih baik, murah dan dibuat besarbesaran diharapkan mengurangi niat penduduk Indonesia akan kemerdekaannya. Pada saat itu program ini tidak selesai karena ada Perang Dunia ke 2. Banyak rumah-rumah kosong waktu itu, lalu digunakan markas pejuang. Lalu pemerintah kemudian membentuk : a. Dinas Perumahan dengan maksud mengatur penggunaan rumah sitaan tersebut b. Dibentuk kelompok-kelompok masyarakat untuk memudahkan pengontrolan. Lalu kemudian pada tahun 1947 kebijakan yang dijalankan pada awal kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 mengalami perkembangan dengan dibentuknya Kementrian Pekerjaan Umum dan Perhubungan yang antara lain menangani perumahan pada tingkat “Balai Perumahan”. Pada saat itu sebagian penanganan tugas dan fungsi Kementrian mulai dilakukan lebih terstruktur pada dengan adanya tingkat: Jawatan, Balai dan Bagian. Sedangkan kelembagaan 1 di daerah mengikuti struktur pada jaman penjajahan Jepang yang sebagian besar mengikuti organisasi jaman kolonial Jepang yang sebagian besar mengikuti organisasi jaman kolonial Belanda dengan membentuk Dinas-Dinas dan Jawatan-Jawatan. Memahami sejarah perumahan dan permukiman kota penting untuk dilakukan karena ada cukup banyak bangunan berkarakter kolonial di Indonesia untuk analisis strategi perkembangan dan pembangunan perumahan dan permukiman di Indonesia selanjutnya baik secara makro maupun mikro. Balai Perumahan antara lain membawahi Centrale Stiching Wederopbouw, diantaranya di Jakarta untuk penanganan pembangunan perkotaan dengan cabang-cabangnya dalam bentuk Regionale Opbouw yang membangun kota Satelit Kebayoran. Perkembangan kota satelit ini kemudian juga berkembang dengan konsep Jabotabek dan Jabodetabek. Hal ini juga adalah awal yang mendasari pesatnya perkembangan perumahan di kota Jakarta dan menyebar ke kota-kota lainnya. Berbagai kebijakan dan arahan pembangunan diterapkan memperlihatkan kemajuan di bidang perumahan. Akan tetapi di sisi lain tentunya banyak pula masalah seperti ketersediaan sarana-prasarana, kemacetan lalu lintas dan berbagai masalah sosial yang senantiasa memerlukan penelitian dan solusi konkrit masalah. Gambar 1 Kondisi perumahan Pecinan pada zaman penjajahan Belanda, dimana kondisi negara saat itu masih belum merdeka, tingkat sosial dan ekonomi yang rendah menciptakan penurunan kualitas lingkungan https://anisavitri.wordpress.com/page/52/?s Pada masa ini dibentuk kongres perumahan rakyat oleh Departemen PUTL hasil yang dapat dicapai ialah dibentuknya Yayasan Kas Pembangunan Perumahan Rakyat untuk membangun perumahan di setiap daerah. Pada tanggal 25 - 30 Agustus 1950 telah diselenggarakan “Kongres Peroemahan Rakjat Sehat” di Bandung. Kongres tersebut dihadiri oleh Peserta dari 63 Kabupaten dan Kotapradja, 4 Propinsi, wakil dari Djawatan Pekerjaan Oemoem, Oetoesan Organisasi Pemoeda, Barisan Tani, Pengoesroes Parindra dan tokoh-tokoh perseorangan yang memaparkan masalah: Pembangunan Cepat; Bahan untuk Pembangunan Rumah-rumah Rakyat: Bentuk Perumahan Rakyat; Kepentingan Kesehatan dalam membangun Rumah Rakyat; Kepentingan Kesehatan dalam dalam Membangun Rumah. Adapun selengkapnya 2 mengenai sejarah perumahan dan permukiman di Indonesia setelah merdeka adalah seperti deskripsi periodisasi berikut di bawah ini : 1.1. MASA ORDE LAMA Pada tahun 1955 dengan kerjasama dengan PBB di Bandung di bentuk pusat perumahan negara tropis dibentuk Regional Housing Center yang menyelidiki masalah permukiman. Lembaga ini kemudian berkembang menjadi DPMB (Direktorat Penyelidikan Masalah Bangunan) lalu dirubah menjadi LPMB (Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan). Dari lembaga inilah menghasilkan prototipe-prototipe perumahan yang ada di Indonesia juga material bahan bangunan untuk perumahan yang kemudian direalisasikan pada masa orde baru oleh setiap PELITA dan oleh PERUMNAS. LPMB pada tahun 1984 berubah nama menjadi Puslitbangkim dibawah naungan Departemen PU, setelah sebelumnya sempat berganti nama menjadi Direktorat Penyelidikan Masalah Bangunan (DPMB). Sementara itu Perumnas didirikan berdasarkan peraturan pemerintah nomor 29 tahun 1974, diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 1988 dan disempurnakan melalui Peraturan Pemerintah no. 15 tahun 2004 tanggal 10 Mei 2004. Sejak didirikan tahun 1974, Perumnas selalu tampil dan berperan sebagai pioneer dalam penyediaan perumahan dan permukiman bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah. Gambar 2 Untuk kategori perumahan untuk kaum Kolonialis terlihat berbeda yakni, terlihat sudah teratur namun memiliki ciri khas kaum pendatang yang khas. Maksud ciri khas dibawah ini yakni adanya ruang terbuka yang menghadap ke teras belakang seperti huruf L atau U atau adanya gaya khas Eropa Mediterania yang tengah berkembang di era mereka pada zamannya. Peta di atas adalah figure ground bentukan awal permukiman di kawasan sekitar Gedung Sate Bandung. https://anisavitri.wordpress.com/page/52/?s 3 1.2. MASA ORDE BARU PELITA I (1969-1974) masalah perumahan dan permukiman telah lebih jelas terdapat pada Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Masalah perumahan dan permukiman di Indonesia pada saat ini ditandai oleh adanya keadaan tempat tinggal serta lingkungan yang pada umumnya jauh dari memenuhi syarat-syarat kehidupan keluarga yang layak. Karena setiap tahapan Pembangunan Lima Tahun (PELITA), perhatian pemerintah terhadap pembangunan semakin meningkat. 1.3. PERBANDINGAN PROGRAM PERUMAHAN DAN PEMUKIMAN PELITA I-VI DAN KINI 1. PELITA I (1969-1974) Pada masa ini program mengenai masalah perumahan dan permukiman, masih bertitik berat pada : a.Penelitian dan pengembangan di bidang teknis seperti mencari prototipe-prototipe rumah, meneliti cara-cara pembangunan dan bahan bangunan dengan maksud dapat mengusahakan pembangunan rumah yang efisien dengan biaya relatif. b.Penelitian dan pengembangan di bidang kebijaksanaan dan program seperti mempelajari sistem kelembagaan, pembiayaan dan sarana penunjang bagi pelaksanaan program perumahan pada pelita selanjutnya. c.Menyelenggarakan kegiatan penyuluhan seperti latihan-latihan, pameran-pameran teknis, publikasi dan proyek percontohan. 2. PELITA II (1974-1979) Pada Pelita II ini pemenuhan kebutuhan sandang, pangan masyarakat mulai lebih baik, demikian pula berangsur baik untuk penanganan kebutuhan perumahan. Pada tahap ini telah mulai dilakukan pengembangan program dengan cara penyempurnaan kebijaksanaan serta konsepsi-konsepsi yang komprehensif tentang perkembangan perumahan. Pada Pelita II juga terjadi peningkatan harga minyak dunia yang mendorong pada perkembangan industri hilir dan industri terkait lainnya. Kondisi ini mendorong perkembangan pembangunan terutama di perkotaan termasuk permukiman dan infrastrukturnya. Maka dilakukan usaha-usaha dan langkah-langkah yang mencakup : Membentuk BKPN (Badan Kebijaksanaan Perumahan Nasional) yang berfungsi membantu presiden dalam merumuskan kebijaksanaan dan petunjuk-petunjuk pelaksanaan di bidang pembinaan pembangunan perumahan dan mengkordinasi pengawasan pelaksanaan. Mendirikan PERUMNAS sebagai upaya menangani pembangunan perumahan secara langsung dibawah menteri PU. BTN (Bank Tabungan Negara) sebagai wadah pembiayaan proyek-proyek 4 perumahan proyek dengan nama bank hipotik Negara. Mengikut sertakan pihak swasta untuk berkecimpung di bidang pembangunan perumahan secara khusus atau dibidang konstruksi secara umum. pada pengelola Real Estate diwajibkan membangun rumah mewah juga rumah menengah dan murah dengan perbandingan 1 : 2 : 3. 3. PELITA III (1979-1984) Pada Pelita III ini, pemerintah sudah lebih mendetail secara rinci mengenai konsepsi 8 jalur pemerataan lebih dari sekedar sandang, pangan dan papan yang masih umum sifatnya. Termasuk dalam 8 jalur pemerataan adalah mengenai fasilitas kesehatan dan juga fasilitas kesempatan kerja. Dengan demikian rincian pembangunan fisik lebih detail lagi termasuk pembangunan perumahan. Untuk membangun golongan masyarakat dibantuk PT. PAPAN SEJAHTERA yang khusus membantu masalah KPR ( Kredit Pemilikan Rumah ). Pada realisasi program pembangunannya : Kota : Perintisan perbaikan kampung 15000 ha untuk 3.500.000 penduduk dengan terlaksana untuk di 200 kota/ 11.757 ha/ 2.500.000 penduduk. Desa : Perintisan pemugaran perumahan dan lingkungan di 6000 lokasi desa. 4. PELITA IV (1984-1989) Perumahan dan permukiman lebih ditingkatkan lagi dan dikembangkan. a. Menjelang tahun 2000 sebagian besar masyarakat telah menempati rumah sehat dalam lingkungan yang sehat. b. Pembangunan perumahan di daerah perkotaan telah dapat mengimbangi pertambahan penduduk. c. Perintisan perbikan perumahan dan lingkungan di daerah pedesaan secara terpadu telah mencapai semua desa. d. Sistem kelembagaan sistem pembiayaan, sistem teknologi dan perundangperundangan mampu mendukung dan menjamin kesinambungan pembangunan perumahan dan permukiman dalam jangka panjang dan skala yang panjang. e. Untuk mencapai kondisi yang digambarkan dalam strategi pengembangan. Kerangka Landasan : a. Pemanfaatan tata ruang fisik wilayah dan pengendalian pembangunan. b. Penyiapan kelembagaan perumahan di tingkat daerah c. Pemanfaatan sistem pembiayaan sektor formal dan pengembangan sitem non formal. 5 Tujuan Landasan : a. Kependudukan dan perumahan b. Pengembangan wilayah c. Peraturan dan perundang-undangan d. Pertanahan dan sarana e. Moneter dan pembiayaan f. Teknologi dan industri konstruksi g. Kelembagaan 5. PELITA V (1989-1994) Pada tahapan ini diperlukan konsepsi yang secara nasional mampu memacu upaya pembangunan nasional dalam Pelita V. Pemerintah mengkhususkan pembangunan pada bidang pertanian dan industri. Dengan demikian di kota dipusatkan perbaikan pembangunan perumahan juga untuk masyarakat industri. Sementara di desa juga diterapkan konsep perumahan petani. Usaha-usaha pembangunan perumahan harus benar-benar diorientasikan pada masalah manusia sebagai obyek pembangunan antara lain : - Sebagai masyarakat telah menempati rumah layak - Pembangunan perumahan khusus di daerah perkotaan telah dapat mengimbangi pertambahan penduduk - Perintisan dan penyuluhan pemugaran perumahan desa telah mencapai sebagai besar desa. Sistem kelembagaan peraturan perundang-undangan pembiayaan, teknologi dan pengelolaan bahan-bahan bangunan terjamin. 6. PELITA VI (1994 -1999) Tahapan ini sudah masuk pada tahapan kondisional pada saat dimulainya upaya pengembangan dan pembangunan kepada tahap maju. Tahapan ini untuk mengejar segala kekurangan dan ketinggalan jumlah kebutuhan rumah dan untuk meningkatkan mutu rumah yang baik serta dengan tingkat kecukupan yang tinggi yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat. Tujuan : - Pembangunan perumahan yang seimbang dengan pertambahan penduduk - Rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat. 6 1.4. PROGRAM PERUMAHAN RAKYAT Perumahan merupakan kebutuhan pokok, sangat penting pula artinya dalam meningkatkan stabilitas sosial, dinamika dan produktivitas kerja, sehingga pemecahan masalah perumahan dapat mempunyai pengaruh positif bagi proses pembangunan pada umumnya. Tujuan pembangunan perumahan rakyat adalah mewujudkan tersedianya rumah dalam jumlah yang memadai, di dalam lingkungan yang sehat, serta memenuhi syarat-syarat sehat, kuat dan dalam jangkauan daya beli masyarakat umum. Perumahan dalam arti luas meliputi rumah dan segala fasilitas pendukungnya, yang bersamasama merupakan suatu lingkungan perumahan. Fasilitas lingkungan perumahan mencakup penyediaan air minum, jaringan saluran pembuangan, jalan lingkungan, dan sebagainya yang semuanya penting bagi pemeliharaan kesehatan lingkungan. Untuk menanggulangi masalah kebutuhan perumahan diperlukan waktu yang lama dan investasi yang besar. Oleh karenanya perlu dilakukan secara bertahap sesuai dengan skala prioritas kebutuhan dan kemampuan. Karena itu jelas bahwa pemecahan masalah perumahan harus merupakan suatu usaha yang kontinu dan berkesinambungan, serta pemecahannya tidak dapat dilakukan oleh pemerintah sendiri tetapi merupakan kegiatan seluruh masyarakat. Pembangunan perumahan membutuhkan dukungan penyediaan sarana-sarana fisik, antara lain tanah, bahan bangunan, dan sarana-sarana penunjang lain yang bersifat non-fisik seperti lembaga yang mengatur segala sesuatu tentang perumahan, koperasi perumahan, yayasan pembangunan perumahan, sistem pembiayaan perumahan dan sebagainya. Pembinaan dan pengembangan sarana fisik maupun non-fisik tersebut dapat menciptakan iklim pembangunan yang potensial bagi pembangunan perumahan rakyat. Tersedianya saranasarana ini merupakan prasyarat bagi pelaksanaan suatu program pembangunan perumahan yang tertib dan terarah serta lebih melibatkan potensi masyarakat. Cara pendekatan dan penanggulangan serta program pembangunan perumahan tidak sama untuk daerah perkotaan dan daerah pedesaan. Di daerah perkotaan pada umumnya menghadapi permasalahan dari segi kuantitas yaitu kurangnya jumlah perumahan dan fasilitas lingkungan lainnya, sedangkan di daerah pedesaan permasalahan lebih pada segi kualitas rumah dan lingkungannya. Berikut merupakan beberapa program perumahan rakyat pada wilayah perkotaan dan pedesaan. Kota : a. Perbaikan kampung (perintisan 400 kota dan penyempurnaan 200 kota) b. Peremajaan kota dengan perintisan di kota-kota besar c. Pembangunan rumah sederhana (300.000) unit baik oleh perumnas maupun swasta. d. Pengembangan kota-kota baru. 7 Desa : a. Perintis Pemugaran Perumahan Desa b. Pemugaran dan Pemugaran Lingkungan Desa secara terpadu dan selektif. Sasaran : - Pemanfaatan sistim perangkat lunak - Pembiayaan - Pertahanan - Perundang-undangan Pemerintah mempunyai stategi dan arah pemikiran yang berencana bertahap sesuai dengan kemampuan Negara untuk menyediakan perumahan dan permukiman yang layak bagi masyarakat Indonesia. Meski pembangunan perumahan sebenarnya telah mewujudkan konsep-konsep besar seperti kota baru, akan tetapi sebenarnya tidaklah sudah betul-betul sempurna. Perumahan baru belum optimal menciptakan kemandirian masyarakat desentralis. Terdapat perumahan kota baru yang cukup berhasil misalnya BSD (Bumi Serpong Damai), dimana selain daripada menciptakan pusat bisnis, perumahan ini juga menyediakan fasilitas pendidikan yang lengkap sejak pendidikan dasar sampai dengan universitas. Hanya kekurangan dari perancangan Kota Baru Bumi Serpong Damai (BSD) adalah: Pada masa ini juga sudah mulai diterapkan Koperasi untuk membantu masyarakat memiliki rumahnya. Adapun selanjutnya yakni Pelita ke VII dan selanjutnya kurang lazim dipergunakan, setelah masa reformasi atau yang dahulu ditargetkan menjadi era “tinggal landas”, hal ini akan lebih banyak dan spesifik dideskripsikan pada bab-bab selanjutnya misalnya : Pembangunan Lingkungan Perumahan, Perumahan Sederhana dan Rumah Susun. Ada banyak konsepkonsep kontemporer perumahan yang sudah berkembang yang akan dideskripsikan pada buku ini. Adapun inti dari pembangunan perumahan permukiman pada periode 2005 – 2025 menurut Bapenas, adalah : 1. Pemenuhan perumahan beserta prasarana dan sarana pendukungnya diarahkan pada: (i). Penyelenggaraan pembangunan perumahan yang berkelanjutan, memadai, layak dan terjangkau oleh daya beli masyarakat serta didukung oleh prasarana dan sarana permukiman yang mencukupi dan berkualitas yang dikelola secara : profesional, kredibel, mandiri dan efisien; (ii). Penyelenggaraan pembangunan perumahan beserta prasarana dan sarana pendukungnya yang mandiri mampu membangkitkan potensi pembiayaan yang berasal dari masyarakat dan pasar modal, peningkatan lapangan kerja serta peningkatan pemanfaatan dan penyelenggaraan pembangunan; dan (iii) Pembangunan perumahan, prasarana dan sarana pendukungnya yang memperhatikan fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup. 2. Pembangunan dan penyediaan air minum dan sanitasi diarahkan untuk mewujudkan terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat serta kebutuhan sektor-sektor terkait 8 lainnya seperti: industri, perdagangan, transportasi, pariwisata dan jasa serta upaya mendorong pertumbuhan ekonomi. Pemenuhan kebutuhan tersebut dilakukan dengan melalui pemenuhan tanggap kebutuhan (demand responsive approach) dan pendekatan terpadu dengan sektor sumber daya alam dan lingkungan hidup, sumber daya air serta kesehatan. Pembangunan air minum dan sanitasi dilakukan melalui: (i). Peningkatan kualitas pengelolaan asset (asset management) dalam penyediaan air minum dan sanitasi, (ii). Pemenuhan kebutuhan air minum dan sanitasi dasar bagi masyarakat, (iii). Penyelenggaraan kebutuhan air minum dan sanitasi yang kredibel dan profesional dan (iv). Penyediaan sumber-sumber pembiayaan murah dalam pelayanan air minum dan sanitasi bagi masyarakat miskin. 9 Bab. 2 PENGERTIAN PENGERTIAN DASAR DAN KEPRANATAAN PERUMAHAN DI INDONESIA Strategi penanganan masalah perumahan di Indonesia, memerlukan pengetahuan yang komprehensif. Kota yang sedang berkembang memiliki masalah yang multidimensi sehingga memahami teori perlu pula dikaitkan dengan sejarah, selain itu memerlukan pemahaman secara detail mengenai pengertian-pengertian mendasarmya selain itu diperlukan pula pengetahuan mengenai kepranataan, sehingga pemahaman dapat disesuaikan dengan kondisi yang memenuhi ketentuan yang berlaku. Menurut Saftar (1978) dalam Budiharjo (1998), disebutkan bahwa pada tahap-tahap awal pembangunan perumahan rakyat secara massal, memang rumah lebih dilihat sebagai barang konsumsi yang pasif dan statis. Akan tetapi kemudian disadari bahwa perumahan merupakan kebutuhan sosial dan bahkan dapat menjadi kebutuhan sosial dan bahkan dapat berperan sebagai instrumen pembangunan yang aktif dan dinamis baik pada tingkat lokal perkotaan maupun secara nasional. 2.1. LATAR BELAKANG Menurut Doxiadis (1971), perumahan adalah ruang dengan fungsi dominan untuk tempat tinggal. Sementara permukiman adalah ruang untuk hidup dan berkehidupan bagi kelompok manusia. Pengertian yang diajukan oleh Doxiadis sendiri sebenarnya merujuk kepada pengertian dari Human Settlements sebagai berikut : Shelter House Housing Human Settlement Habitat : : : : Perlindungan dari gangguan eksternal; pondok Struktur bangunan untuk aktivitas bertempat tinggal. Perumahan, hal-hal yang terkait dengan aktivitas tempat tinggal Kumpulan (agregat) rumah dan kegiatan perumahan Lingkungan kehidupan (tidak terbatas pada manusia saja) Adapun, menurut Silas pengertian rumah adalah : Rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, setelah sandang dan pangan disamping pendidikan dan kesehatan, yang berfungsi sebagai tempat pelindung dan pengaman manusia dari pengaruh dan gangguan alam/ cuaca maupun makhluk lain. (Silas,1993). Teori perumahan permukiman (human settlement) di atas adalah teori utama dalam ilmu perancangan perumahan. Rumah adalah kebutuhan dasar bagi manusia. Rumah memiliki 10 fungsi sebagai tempat/ wadah aktivitas utama manusia. dan area privat bagi manusia (keluarga) dan juga sebagai pelindung dari cuaca, panas, dan lain-lain. Pemahaman teori perumahan secara benar dan menyeluruh diperlukan untuk tercapainya kenyamanan perumahan dan permukiman dalam jangka panjang dan juga dalam sudut pandang lingkungan kota yang berkelanjutan (sustainable city). Pesatnya perkembangan kota dan juga tuntutan akan pemenuhan kebutuhan perumahan yang semakin meningkat dan bahkan menimbulkan beban masalah ketidak terpenuhinya perumahan secara keseluruhan (backlog) adalah bukan hal sederhana. Para arsitek maupun peneliti harus mengembalikan alur pemecahan solusi dengan memahami kembali teori-teori perumahan dan permukiman baik kuantitatif maupun kualitatif. Selain itu perlu pula untuk melihat hasil-hasil penelitian terbaru mengenai perumahan dan permukiman untuk memperkaya wawasan untuk menuangkan gagasan ide desain perumahan. Seiring dengan berkembangnya teknologi, manusia tidak hanya bergantung pada bahan yang tersedia pada alam tetapi dengan anugrah akal pikirannya mampu mengembangkan berbagai desain dan juga bahan-bahan untuk bangunannya. Sehingga ditinjau dari perkembangan kebudayaan dan peradaban, bentuk rumah pun tidak hanya beratap pelana, joglo dan sebagainya tetapi bisa berbentuk perumahan, rumah susun, apartemen, dan lain-lain sesuai perkembangan teknologi dan perkembangan zaman. Tata ruang spatial dan bentuk fisik pada arsitektur tradisional selalu mengacu pada aspek non-fisik seperti: adat, kepercayaan, agama dan memperhatikan kaidah komponen alamiah seperti gunung, laut, flora dan fauna. Pada konteks tradisional, rumah seringkali sangat terkait dengan kaidah alam, dan norma-norma kepercayaan yang bersifat mistis, misalnya pada rumah-rumah zaman dahulu. Pada zaman sekarang yang tersisa banyak pada rumah-rumah yang sifatnya adalah masih kuat memegang tradisi leluhur, misalnya saja: Kampung Naga dan Kampung Pulo di Garut atau perkampungan adat di Bali. Seiring dengan adanya perkembangan zaman dan juga perkembangan pendapatan/ penghasilan maka tingkat kehidupan atau taraf kesejahteraan meningkat pula. Maka biasanya acuan atau kerangka dalam proses pembangunan perumahan dan permukiman juga mengalami peningkatan. Sebelum membahas lebih lanjut mengenai pokok-pokok bahasan perumahan, yang penting dilihat adalah mengenai peraturan pembangunan perumahan. 2.2. PRANATA PEMBANGUNAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN Kebutuhan manusia yang paling dasar (primer) terdiri dari: sandang (pakaian), pangan (makanan) dan papan. Maka mengingat fungsi rumah sebagai kebutuhan manusia yang mendasar (kebutuhan primer), pemerintah mengeluarkan peraturan perundang-undangan tentang perumahan dan permukiman yang dimaksudkan untuk memberikan arahan (guide line) bagi pembangunan dalam sektor perumahan dan permukiman. Peraturan perundang-undangan tersebut antara lain tertuang dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 dan Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 dan UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan kawasan Permukiman. 11 Undang-Undang ini mengatur tentang : Perumahan dan Kawasan Permukiman, dengan sistematika undang-undang ini meliputi aspekaspek sebagai berikut: 1.Ketentuan Umum; 2.Asas, Tujuan, dan Ruang Lingkup; 3.Pembinaan; 4.Tugas dan Wewenang; 5.Penyelenggaraan Perumahan; 6.Penyelenggaraan Kawasan Permukiman; 7.Pemeliharaan dan Perbaikan; 8.Pencegahan dan Peningkatan Kualitas Terhadap Perumahan Kumuh dan 9.Permukiman Kumuh; 10. Penyediaan Tanah; 11. Pendanaan dan Sistem Pembiayaan; 12. Hak dan Kewajiban; 13. Peran Masyarakat; 14. Larangan; 15. Penyelesaian Sengketa; 16. Sanksi Administratif; 17. Ketentuan Pidana; 18. Ketentuan Peralihan; 19. Ketentuan Penutup. Landasan Konstitusional : UUD 1945 Pasal 27 1) Persamaan didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan memberikan dasar pengaturan bahwa setiap warga Negara harus diberikan kesempatan dan kewajiban yang sama untuk turut serta dalam upaya pembangunan di bidang perumahan dan permukiman. 2) Hak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan mengandung makna bahwa setiap warga Negara berhak atas perumahan dan permukiman yang layak untuk dapat hidup secara pribadi berkeluarga dan bermasyarakat. Falsafah pembanguan perumahan dan permukiman : 1) Pembangunan perumahan dan permukiman merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang pada hakekatnya adalah pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat. 2) Perumahan bukan sebagai benda, melainkan sebagai proses bermukim manusia berbudaya dalam menciptkan ruang dalam lingkungan masyarakat. 3) Seiap warga Negara berhak menempati rumah yang layak dan berkewajiban untuk berpastisipasi dalam mewujudkan pembangunan perumhan dan permukiman 12 4) Pembangunan perumahan dan permkimsn pada dasarnya adalah tanggung jawab masyarakat baik secara perseorangan maupun bersama. 2.2.1. Permukiman Permukiman (settlement) adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung peri kehidupan dan penghidupan yang dilengkapi dengan sarana dan prasarananya. Lingkungan permukiman merupakan suatu sistem yang terdiri dari lima elemen : • Nature (unsur alami), yang mencakup sumber-sumber daya alam seperti geologi, topografi, hidrologi, tanah, iklim maupun unsur hayati yaitu vegetasi dan fauna. • Man (manusia sebagai individu), dengan segala kebutuhannya (biologis, emosional, nilai-nilai moral, perasaan dan persepsinya). • Society (masyarakat), yaitu adanya manusia sebagai kelompok masyarakat. • Shells (tempat) di mana manusia sebagai individu maupun kelompok masyarakat melangsungkan kegiatan atau melaksanakan kehidupannya. • Network (jaringan), yang merupakan sistem alami maupun buatan manusia, yang menunjang berfungsinya lingkungan permukiman tersebut seperti jalan, air bersih, listrik dan sebagainya. Sementara itu, Silas (1993) merumuskan permukiman yang sesuai di Indonesia yaitu sebagai teritorial habitat dimana penduduknya masih dapat melaksanakan kegiatan: • Biologis, • Sosial, • Ekonomis, • Politis, • Penjaminan kelangsungan lingkungan yang seimbang dan serasi. 2.2.2. Perumahan Perumahan (housing) adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang belum dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan (Doxiadis: 1946). 2.2.3. Prasarana Lingkungan Prasarana lingkungan adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan yang memungkinkan masyarakat yang tinggal di lingkungan perumahan (kumpulan rumah-rumah) tersebut dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Yang dimaksud dengan prasarana terdiri dari: infrastruktur jalan, taman-taman (ruang terbuka publik), fasilitas-fasilitas pendukung seperti kesehatan, keagamaan, komersial, pendidikan dan lain sebagainya. 13 2.2.4. Lingkungan Hunian yang Berimbang Lingkungan Hunian yang Berimbang adalah wujud kawasan dan lingkungan perumahan dan permukiman yang pembangunan perumahan dan permukimannya meliputi rumah sederhana, rumah menengah, dan rumah mewah dengan perbandingan tertentu sehingga dapat menampung secara serasi berbagai kelompok masyarakat. Perbandingan tertentu dimaksud adalah perbandingan jumlah rumah sederhana, berbanding jumlah rumah menengah, dan jumlah rumah mewah, sebesar 6 (enam) atau lebih, berbanding 3 (tiga) atau lebih, berbanding 1 (satu). 2.3. PENGEMBANGAN KONSEP PEMBANGUNAN Dalam rangka memberi arahan, dan acuan pembangunan, pemerintah bertugas mengembangkan konsep-konsep utama untuk menciptakan perumahan yang sehat, teratur, dan aman. Konsep-konsep perumahan yang inovatif terutama diperlukan untuk perumahan yang berlokasi di kota-kota besar, dikarenakan jumlah penduduknya lebih banyak dan pertumbuhnnya lebih cepat sehingga kekumuhan cepat terjadi. Tetapi di pedesaan juga bukan berarti tidak memerlukan perbaikan. Pada tahap awal Repelita I sampai Repelita V dikembangkan konsep Rumah Sangat Sederhana (RSS) sehingga keluarga dengan penghasilan rendah bisa memiliki rumah yang layak, selanjutnya dikembangkan pengadaan sarana dan prasarana perkotaan dan mulai tahun 1987 dikenalkan Ketentuan sempadan bangunan, dan Ketentuan bangunan sebagai perwujudan fisik bangunan dan lingkungan. Lalu program-program penyehatan lingkungan permukiman pun mulai dijalankan meliputi pengelolaan persampahan, pengelolaan drainase, pengelolaan air limbah, serta pengelolaan air bersih. Upaya tersebut sudah ditempuh pemerintah, untuk meningkatkan pelayanan terhadap golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah, masyarakat yang berada pada daerah terpencil dan sulit air. 2.4. PROGRAM POKOK PEMBANGUNAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN Seperti yang termuat dalam GBHN 1993, program pokok yang dilaksanakan adalah : 2.4.1. Program Penyediaan Perumahan dan Permukiman Program ini terdiri dari dua bagian, pembangunan perumahan dan permukiman di perkotaan, dan pembangunan perumahan dan permukiman di pedesaan. Terdapat istilah yang disebut sebagai site service dalam artian penyedian perumahan dimulai dengan persiapan lahan dan lalu penyediaan perumahan dan sarana prasarananya (permukiman). Program pembangunan perumahan dan permukiman di perkotaan meliputi kegiatan : Perintisan kawasan permukiman kawasan besar, lingkungan siap bangun di wilayah kota yang sudah terbangun, atau di wilayah pengembangan yang berupa pengembangan kota baru. 14 Perintisan pola kerja sama pemerintah dengan dunia usaha dalam pengembangan permukiman skala besar. Penyiapan pengadaan rumah yang meliputi rumah inti, rumah sederhana, dan rumah sangat sederhana. Penelitian dan pengadaan rumah sewa susun di perkotaan. Pengembangan dan pemanfaatan pola pembiayaan khusus bagi masyarakat berpenghasilan rendah dengan memanfaatkan dana pemerintah dan dana masyarakat melalui fasilitas hipotek sekunder, KPR dan lainnya. Program pembangunan perumahan dan permukiman di pedesaan meliputi kegiatan : Pembangunan rumah percontohan dengan pengadaan rumah desa melalui pengembangan swadaya masyarakat. Pengembangan penyuluhan dan pergerakan partisipasi masyarakat dalam kegiatan swadaya. Penyediaan prasarana dan sarana pedesaan. 2.4.2. Program perbaikan Perumahan dan Permukiman Program perbaikan perumahan dan permukiman dilakukan dengan pendekatan Tribina (bina manusia, bina lingkungan, dan bina usaha), program ini meliputi : Perbaikan dan peremajaan kawasan perumahan dan permukiman di perkotaan, kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan mutu lingkungan dan kehidupan masyarakat yang berpenghasilan rendah melalui perbaikan lingkungan dan penyediaan prasarana dasar. Pemugaran perumahan dan permukiman di pedesaan, kegiatan ini dilakukan dengan pendekatan Pembangunan Perumahan dan Lingkungan Terpadu (P2LT) yang mencakup perumahan dan permukiman, jalan desa, dan listrik desa. Gambar 3. Kondisi permukiman perkotaan yang tidak beraturan memerlukan penanganan yang benar dan strategis Sumber : Nurcahya (2008) 15 2.4.3. Program Penyehatan Lingkungan Permukiman Program penyehatan lingkungan permukiman dilaksanakan dalam beberapa kegiatan berikut : Pengelolaan air limbah, yaitu kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan lingkungannya dengan mengelola limbah berupa cairan yang berasal dari perumahan dan permukiman. Pengelolaan persampahan, yaitu kegiatan yang ditujukan untuk mengendalikan, mengumpulkan, dan membuang atau memusnahkan limbah padat guna menghasilkan lingkungan yang bersih, sehat, dan aman. Penanganan drainase, yaitu suatu kegiatan yang bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang aman, baik terhadap genangan maupun luapan air sungai, serta banjir yang diakibatkan oleh hujan. 2.4.4. Program Penyediaan dan Pengelolaan Sarana Air Bersih Program penyediaan dan pengelolaan sarana air bersih terdiri dari kegiatan : Penyediaan dan pengelolaan air bersih di perkotaan: kegiatan ini meliputi pengelolaan sistem air bersih melalui upaya penurunan kebocoran Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), peningkatan dan perluasan prasarana air bersih untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk serta menunjang perkembangan ekonomi kota dan kawasan pertumbuhan melalui sistem perpipaan dan non-perpipaan, peningkatan pemanfaatan kapasitas produksi yang sudah terpasang melalui perluasan jaringan distribusi, sambungan rumah, hidran umum, terminal air, peningkatan kawasan produksi sistem terpasang, serta peningkatan efisiensi pengelolaan dan pengusahaan PDAM. Penyediaan dan pengelolaan air bersih di pedesaan: kegiatan ini direalisasikan dengan mengadakan berbagai kegiatan, yaitu pengembangan dan penerapan teknologi tepat guna untuk penyediaan air bersih, peningkatan swadaya masyarakat dalam penyediaan dan pengelolaan air bersih, peningkatan penyuluhan tentang pentingnya penggunaan air bersih bagi kesehatan masyarakat, pengoperasian dan pemeliharaan sarana dan prasarana air bersih pedesaan. 2.4.5. Program Penataan Kota Pembahasan mengenai program tidak dapat dilepaskan dengan aspek kebijakan. Menurut Jones (1984), program merupakan cara yang disahkan untuk mencapai tujuan. Dalam pengertian tersebut menggambarkan bahwa program-program adalah penjabaran dari langkahlangkah dalam mencapai tujuan itu sendiri. Dalam hal ini, program pemerintah berarti upaya untuk mewujudkan kebijakan-kebijakan pemerintah yang telah ditetapkan. Program-program tersebut muncul dalam Rencana Strategis Kementerian/ Lembaga atau Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Salah satu dari program pemerintah yaitu program dalam penataan kota. Kemiskinan merupakan salah satu masalah sosial di Indonesia yang tidak mudah untuk diatasi, 16 akibatnya munculnya permukiman masyarakat miskin di hampir setiap sudut kota yang disertai dengan ketidaktertiban dalam hidup bermasyarakat di perkotaan. Misalnya pendirian rumah ataupun fasilitas publik seperti kios dagang dengan liar di lahan-lahan pinggir jalan sehingga mengganggu ketertiban lalu lintas yang akhirnya menimbulkan kemacetan jalanan kota. Terbentuknya permukiman kumuh, yang sering disebut sebagai slum area sering dipandang menimbulkan banyak permasalahan perkotaan (Simollah, 2015) . Oleh karena itu diperlukan adanya program penataan perkotaan sebagai upaya mencegah dan memperbaiki masalah kota yang ada. Program penataan dilaksanakan dengan kegiatan berikut ini: Penyiapan dan penyusunan rencana Program Jangka Menengah (PJM) dalam rangka pelaksanaan pembangunan prasarana kota terpadu yang mengacu pada rencana tata ruang dan rencana pengembangan wilayah. Rintisan pengadaan sistem data dan informasi penataan kota yang membantu informasi dalam rangka pengadaan perumahan dan permukiman. Pada prinsipnya program penataan kota bertujuan untuk meningkatkan efisiensi penyediaan, pelayanan prasarana dan sarana perkotaan yang mendorong pemantapan fungsi kawasankawasan kota sehingga dapat meningkatkan produktivitas kota dengan tidak mengesampingkan aspek-aspek pemerataan, lingkungan, dan budaya. (a) DAHULU Dahulu lahan-lahan perkotaan masih luas perumahan yang dibangun secara formal maupun mandiri masih luas sehingga dimungkinkan dibangun sarana dan prasarana yang memadai. Alam juga masih bersahabat. (b) KINI Kini lahan-lahan perkotaan semakin mahal dan sempit, banyak perumahan cluster yang dibangun yang minim sarana dan prasarana. Perumahan di kampung kota mendapatkan program-program pemerintah seperti PNPM. Tetapi kesinambungannya memerlukan tindak lanjut penelitian dan penanganan yang terus menerus. Gambar 4 Pergeseran Tren Kondisi Perumahan Secara Umum di Kota-Kota Besar Dulu dan Kini Sumber: (a) Wikipedia dan (b) Lucy Yosita 2.4.6. Program Penataan Bangunan Program penataan bangunan dilakukan dengan tujuan untuk mewujudkan tata bangunan dan lingkungan yang terkendali sebagai wujud struktural pemanfaatan ruang perkotaan yang tertib dan keselamatan bangunan, serta terpeliharanya bangunan dan lingkungan yang mempunyai nilai, tradisi, dan sejarah yang luhur. Program penataan bangunan terdiri dari: 17 2.5. Pengendalian ketertiban dan keselamatan bangunan melalui penyusunan peraturan daerah sehingga daerah menjadi tertib dan aman. Perintisan penyusunan pedoman teknis dan prosedur pembangunan serta standar bangunan dan lingkungan, sehingga bangunan meningkat kualitas dengan adanya standar yang dapat menjadi suatu acuan tersebut. Pemasyarakatan dan penyuluhan produk hukum ataupun produk teknis yang telah dibuat. PEMBANGUNAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG Tujuan pembangunan perumahan dan permukiman adalah menyelenggarakan pembangunan perumahan dan permukiman yang mengacu pada suatu kerangka penataan ruang wilayah, sehingga dapat berlangsung tertib, terorganisasi dengan baik, berdaya guna dan berhasil guna, sesuai dengan kebutuhan dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Tujuan ini tidak akan tercapai bila tidak dilakukan perubahan dalam pengelolaan tanah (pendaftaran, sertifikasi, pembebasan tanah, ganti rugi, pemberian hak atas tanah). Sasaran dari rencana pembangunan perumahan dan permukiman antara lain: Tersedianya rencana pembangunan perumahan dan permukiman di daerah yang aspiratif dan akomodatif, yang dapat diacu bersama oleh pelaku dan penyelenggara pembangunan, yang dituangkan dalam suatu Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman di Daerah (RP4D); Tersedianya skenario pembangunan perumahan dan permukiman yang memungkinkan terselenggaranya pembangunan secara tertib dan terorganisasi, serta terbuka peluang bagi masyarakat untuk berperan serta dalam seluruh prosesnya; Terakomodasinya kebutuhan akan perumahan dan permukiman yang dijamin oleh kepastian hukum, terutama bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah; Tersedianya informasi pembangunan perumahan dan permukiman di daerah sebagai bahan masukan bagi penyusunan kebijaksanaan pemerintah serta bagi berbagai pihak yang akan terlibat/ melibatkan diri. Kaitan antara pembangunan perumahan dan permukiman dengan penataan ruang adalah sebagai berikut : Rencana Tata Ruang Wilayah–sebagai hasil perencanaan tata ruang merupakan landasan pembangunan sektoral. Dengan kata lain setiap pembangunan sektoral yang berbasis ruang perlu mengacu pada rencana tata ruang yang berlaku. Hal ini dimaksudkan agar terjadi sinergi dan efisiensi pembangunan, sekaligus menghindari kemungkinan terjadinya konflik pemanfaatan ruang antar sektor yang berkepentingan dan dampak merugikan pada masyarakat luas. 18 2.6. Dalam RUTR Kawasan Perkotaan diatur alokasi untuk pemanfaatan ruang untuk berbagai penggunaan berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, keseimbangan, keserasian, keterbukaan, dan efisiensi agar tercipta kualitas permukiman yang layak huni. Untuk Kawasan Perkotaan, alokasi ruang untuk perumahan dan permukiman merupakan yang terbesar dibandingkan dengan alokasi penggunaan lainnya. Lingkup pembangunan perumahan dan permukiman senantiasa mencakup aspek penataan ruang dan aspek penyediaan prasarana dan sarana lingkungan. Dalam mendukung pelaksanaan UU No.22/ 1999 tentang Pemerintahan Daerah serta mewujudkan visi dan misi pembangunan perumahan dan permukiman yang tertuang dalam KSNPP (Kebijakan dan Strategi Nasional Perumahan dan Permukiman), maka telah disiapkan Pedoman Penyusunan RP4D. RP4D pada dasarnya merupakan alat operasional untuk mewujudkan kebijakan dan strategi perumahan dan permukiman tersebut. TANTANGAN, KENDALA, DAN PELUANG PEMBANGUNAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN Secara umum tantangan pengadaan dan pembangunan perumahan dan permukiman diantaranya meliputi hal-hal di bawah ini: Pengadaan perumahan dan permukiman bagi keluarga masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Mengurangi kesenjangan pelayanan sarana dan prasarana antar tingkat golongan masyarakat. Meningkatkan peran serta masyarakat dan dunia usaha Penyediaan perumahan dan permukiman yang serasi dan berkelanjutan. Pengelolaan pembangunan dan permukiman secara efektif dan efisien. Adapun kendala pembangunan perumahan dan permukiman : Terbatasnya lahan yang tersedia, terjadi ketimpangan dari pertumbuhan penduduk yang pesat dengan keadaan lahan yang tidak bertambah terutama di perkotaan yang memiliki tingkat pembangunan yang pesat. Rendahnya kondisi sosial ekonomi masyarakat terutama yang berpenghasilan rendah. Terbatasnya informasi tentang standar atau kriteria perumahan yang layak terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Terbatasnya kemampuan pemerintah daerah, dalam hal ini tergantung dari daerahnya ada daerah yang sudah baik, tetapi masih banyak daerah yang masih terbatas kemampuannya. 19 Sementara peluang pembangunan perumahan dan permukiman: Meningkatnya pendapatan masyarakat, yang secara langsung berpengaruh terhadap pendanaan pembangunan perumahan dan permukiman. Telah terdapatnya Rencana Tata Ruang dan Wilayah pada tiap-tiap provinsi dan kabupaten/ kota sehingga memudahkan proses pembangunan. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pembangunan. Diagram perkembangan kebutuhan perumahan: JUMLAH RUMAH TITIK KESEIMBANGAN (JUMLAH HARGA=JUMLAH KELUARGA 4.2 TAHAP PENINGKATAN MUTU DAN KECUKUPAN 3,3 PELITA IV KTL PELITA V PELITA VI PEMANTAPAN TINGGAL LANDAS WAKTU Diagram 1. Perkembangan kebutuhan Perumahan KET : Garis Kebutuhan Perumahan Garis Pertumbuhan Perumahan Yang Ada Garis Pertumbuhan Yang Seimbang Garis Pembangunan Untuk Mengejar Titik Keseimbangan Angka Kekurangan Rumah (Juta) Angka Pertambahan Penduduk. 2.7. PERMASALAHAN PEMBANGUNAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN Permasalahan perumahan dan permukiman merupakan sebuah isu utama yang selalu mendapat perhatian lebih dari pemerintah jika pemerintahan itu adalah pemerintahan yang pro rakyat. Permasalahan perumahan dan permukiman merupakan sebuah permasalahan yang berlanjut dan bahkan akan terus meningkat, seirama dengan pertumbuhan penduduk, dinamika kependudukan dan tuntutan-tuntutan sosial ekonomi yang semakin berkembang. Tanpa solusi yang tepat, menyeluruh dan strategis dan hanya setengah-setengah apalagi jika dibarengi dengan tingkat korupsi seperti banyak terjadi di masa pemerintahan sebelumnya dan bahkan hingga kini sulit diberantas, akan dapat menimbulkan revolusi sosial pada suatu negara. Menarik bahkan untuk memperlajari penyelesaian masalah perumahan di negara China dan 20 Jepang, meski sebenarnya bukan memiliki dasar negara Islam, akan tetapi dalam hal pembangunan fisik lebih sempurna,menyeluruh dan minim tingkat korupsinya rendah. Dasar hukum memang kekuatan juga untuk pengembangan masalah perumahan dan permukiman. Semoga pada era pemerintahan saat ini, harapan itu terus berkembang dengan bentuk solusisolusi kita bersama. Permasalahan terbesar Perumahan dan Permukiman di Indonesia adalah kekurangsiapan kota dengan sistem perencanaan dan pengelolaan kota yang tepat, dalam mengantisipasi pertambahan penduduk dengan berbagai motif dan keragaman, nampaknya menjadi penyebab utama yang memicu timbulnya permasalahan perumahan dan permukiman. Seperti ini harga lahan sudah demikian tinggi, lahan untuk perumahan semakin sulit di dapat. Untuk wilayah Bandung pinggiran kota saja sudah Rp. 800.000,-/ meter persegi. Jika membeli lahan dengan luasan 120 m² saja diperlukan dana Rp.96.000.000,-. Kemudian untuk biasa pembangunan diperlukan dana minimum Rp. 4.000.000,- per m². Jika menginginkan rumah dengan luasan 45 m². Maka diperlukan dana sebesar 180.000.000,-. Jika ditambah dengan fee arsitek dengan jasa full sampai pengawasan (8 % x total biaya pembangunan), maka dana yang diperlukan untuk memiliki sebuah rumah dengan cara mandiri, adalah Rp. 294.000.000,-. Jika membeli di developer tentunya harga lebih mahal karena seiring harga tanah dengan fasilitas lebih lengkap lebih mahal, untuk mengkompensasi sarana prasarana umum dan sosial. Saat ini harga rumah seluas 45 m² jika membeli di developer kisarannya sudah di angka 400 – 600 juta untuk kawasan pinggiran kota Bandung. Untuk tipe besar seperti tipe 70 m² saat ini sudah milyaran. Maka apartemenpun menjadi pilihan alternatif karena harganya bisa lebih murah 30 – 40 % dari rumah biasa. Suatu kondisi yang cukup pelik bagi masalah perumahan di Indonesia, karena angkanya sudah mendekati kisaran milyaran. Fenomena inflasi yang kencang dan memerlukan kemampuan serta kearifan arsitek untuk menemukan solusi-solusi strategis mengenai penanganan masalah perumahan dan permukiman ini. Secara sederhana permasalahan perumahan dan permukiman ini adalah tidak sesuainya jumlah hunian yang tersedia jika dibandingkan dengan kebutuhan dan jumlah masyarakat yang akan menempatinya. Tetapi apa bila kita melihat lebih dalam lagi, pokok-pokok permasalahan dalam perumahan dan pemukiman ini sebenarnya adalah : 2.7.1. Kependudukan Penduduk Indonesia yang selalu berkembang, merupakan faktor utama yang menyebabkan permasalahan perumahan dan permukiman ini selalu menjadi sorotan utama pihak pemerintah. Pesatnya angka pertambahan penduduk yang tidak sebanding dengan penyediaan sarana perumahan menyebabkan permasalahan ini semakin pelik dan serius. Permasalahan kependudukan dewasa ini tidak hanya menjadi isu pada kota-kota di Pulau Jawa, tetapi kota21 kota di pulau-pulau lainpun sudah mulai memperlihatkan gejala yang hampir serupa. Meningkatnya arus urbanisasi serta semakin lebarnya jurang pemisah antara kota dan desa merupakan salah satu pemicu permasalahan kependudukan ini. 2.7.2. Tata Ruang dan Pengembangan wilayah Daerah perkotaan dan pedesaan merupakan satu kesatuan wilayah yang seharusnya menjadi perhatian khusus pihak yang berkepentingan dalam hal pembangunan ini, khususnya pembangunan perumahan dan permukiman. Seharusnya hal ini menjadi panduan untuk melaksanakan pemerataan dalam pembangunan antar keduanya. Tetapi yang kita temui di lapangan sekarang adalah semakin pesatnya pembangunan yang dilakukan pada kota, sehingga daerah pedesaan semakin tertinggal. Pesatnya pembangunan perumahan di daerah perkotaan banyak yang tidak sesuai dengan rencana umum tataruang kota, inilah yang menyebabkan keadaan perkotaan semakin hari semakin tidak jelas arah pengembangannya. 2.7.3. Perencanaan Pengembangan Perumahan dan Pemukiman yang masih belum optimal Perencanaan merupakan aspek yang tidak boleh dianggap sebelah mata, dengan perencanaan yang matang, sinergis dan integral dalam setiap sektor akan menghasilkan keluaran pengembangan perumahan dan pemukiman. Belum optimalnya perencanaan dapat berakibat pada lemahnya arah kebijakan pengembangan, tumpang tindihnya rencana aksi pengembangan antar sektor, dan tidak fokusnya dalam menentukan prioritas pengembangan perumahan dan pemukiman. 2.7.4. Pertanahan dan Prasarana Pembangunan perumahan dan permukiman dalam skala besar akan selalu dihadapkan kepada masalah tanah, yang di daerah perkotaan menjadi semakin langka dan semakin mahal. Tidak sedikit yang kita jumpai areal pertanian yang disulap menjadi kawasan permukiman, hal ini terjadi karena ketersediaan tanah yang sangat terbatas sedangkan permintaan akan sarana hunian selalu meningkat setiap saatnya. Konsekuensi logis dari penggunaan tanah pertanian sebagai kawasan perumahan ini menyebabkan menurunnya angka produksi pangan serta rusaknya ekosistem lingkungan yang apabila dikaji lebih lanjut merupakan awal dari permasalahan lingkungan diperkotaan, seperti banjir, tanah longsor dan lain sebagainya. Alternatif lain dalam menanggulangi permasalahan pertanahan di dalam kota ini adalah dengan membangun fasilitas-fasilitas hunian didaerah pinggiran kota, yang relatif lebih murah harganya. Namun permasalahan baru muncul lagi disana, yaitu jarak antara tempat tinggal dan lokasi bekerja menjadi semakin jauh sehingga kota tumbuh menjadi tidak efisien dan terasa mahal bagi penghuninya. 22 Selain itu, penyediaan perumahan dan pemukiman juga harus diikuti dengan penyediaan prasarana dasar yang menjadi pelengkapnya. Hal ini meliputi: penyediaan air bersih, sistem pembuangan sampah, sistem pembuangan kotoran, air limbah, tata bangunan, saluran air hujan, penanggulangan bahaya kebakaran, serta pencemaran air, udara, dan tanah yang memadai. 2.7.5. Pembiayaan Permasalahan biaya merupakan salah satu poin penting dalam pemecahan permasalahan perumahan dan permukiman ini. Secara mikro, hal ini disebabkan oleh kemampuan ekonomis masyarakat untuk menjangkau harga rumah yang layak bagi mereka masih sangat susah sekali, karena sebagian besar masyarakat merupakan masyarakat dengan tingkat perekonomian menengah kebawah, sedangkan secara makro hal ini juga tidak terlepas dari kemampuan ekonomi nasional untuk mendukung pemecahan masalah perumahan secara menyeluruh. Hal lain yang juga merupakan salah satu bentuk permasalahan pembiayaan ini adalah adanya kecenderungan meningkatnya biaya pembangunan, termasuk biaya pengadaan tanah yang tidak sebanding dengan kenaikan angka pendapatan masyarakat, sehingga standar untuk memenuhi kebutuhan akan hunian menjadi semakin tinggi. 2.7.6. Teknologi, Industri Bahan Bangunan dan Industri Jasa Konstruksi Faktor lain yang juga merupakan pendukung yang ikut menentukan sukses atau tidaknya program pembangunan perumahan rakyat ini adalah produksi bahan bangunan dan distribusinya yang erat kaitannya dengan harga, jumlah dan mutu serta penguasaan akan teknologi pembangunan perumahan oleh masyarakat. Berdasarkan kepada tulisan dalam buku “Rumah Untuk Seluruh Rakyat”, mengatakan bahwa teknologi dan industri jasa konstruksi, khususnya untuk pembangunan perumahan sederhana belum banyak kemajuan yang ada. Terutama untuk perumahan sederhana yang dibangun pemerintah. Jika untuk karya arsitek mandiri, saat ini ada seorang arsitek di Indonesia yakni Yu-Sing, yang mengemukakan dan aktif berkecimpung dalam perancangan “Rumah Murah”. Saat ini buku “Rumah Murah” ada dipasaran, beberapa tahun yang lalu sempat menjadi buku best seller. Untuk menekan biaya kreativitas arsitek ditentukan dalam perancangan denah optimal pada lahan terbatas, rekayasa struktur dan pemilihan material serta juga penyelesaian finishing rumah. Temuan-temuan material baru yang efisien namun efektif juga akan menentukan arah perkembangan perumahan dan permukiman. Hanya sinergi antara pemerintah, swasta dan instansi pendidikan perlu diperkuat. Tanpa ada sinergi yang cukup memadai suatu hasil penelitian ataupun adanya hasil produksi industri akan kurang dapat optimal nilai kemanfaatanya bagi masyarakat. 23 2.7.7. Kelembagaan Perangkat kelembagaan dibidang perumahan, merupakan satu kesatuan sistem kelembagaan untuk mewujudkan pembangunan perumahan secara berencana, terarah dan perpadu, baik itu yang berfungsi sebagai pemegang kebijaksanaan, pembinaan dan pengaturan pada berbagai tingkat pemerintahan, maupun lembaga-lembaga pelaksana pembangunan di sektor pemerintah dan swasta. Hal lain yang juga berhubungan dengan kelembagaan ini adalah pengembangan unsur-unsur pelaksana pembangunan yang harus lebih dikembangkan lagi, khususnya kelembagaan pada tingkat daerah, baik itu yang bersifat formal maupun non-formal yang dapat mendukung swadaya masyarakat dalam bidang perumahan dan permukiman. 2.7.8. Peran Serta Masyarakat Berdasarkan kepada kebijaksanaan dasar negara kita yang menyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia berhak atas perumahan yang layak, tetapi juga mempunyai peran serta dalam pengadaannya. Menurut kebijaksanaan ini dapat kita simpulkan bahwa pemenuhan pembangunan perumahan adalah tanggung jawab masyarakat sendiri, baik itu secara perorangan maupun secara bersama-sama, pada poin ini peran pemerintah hanyalah sebagai pengatur, pembina dan membantu serta menciptakan iklim yang baik agar masyarakat dapat memenuhi sendiri kebutuhan akan perumahan mereka. Masyarakat bukanlah semata-mata objek pembangunan, tetapi merupakan subjek yang berperan aktif dalam pembangunan perumahan dan pemukiman. Peran serta masyarakat akan dapat berlangsung lebih baik apabila sejak awal sudah ada perencanaan pembangunan, agar hasilnya sesuai dengan aspirasi, kebutuhan nyata, kondisi sosial budaya dan kemampuan ekonomi masyarakat yang bersangkutan, dengan demikian perumahan dan pemukiman dapat menciptakan suatu proses kemajuan sosial secara lebih nyata. Program pemberdayaan masyarakat (community empowerment) sebelumnya banyak dikelola oleh pemerintah, misalnya Kampong Improvement Project (KIP), P2BPK, dan PNPM. Tetapi saat ini terutama sejak tahun 2009 mulai banyak menjadi bidang garapan universitas dalam hal ini dosen-dosen dengan dibantu oleh mahasiswa. Hal terakhir adalah terkait dengan persyaratan dalam tunjangan/sertifikasi dosen. Hal ini bermanfaat untuk menolong masyarakat yang secara penghasilan berkekurangan dalam artian seringkali hanya mampu memenuhi kebutuhan pokoknya seperti sandang dan pangan yang sederhana. Hal di atas ini bisa dikatakan suatu kemajuan, hanya yang perlu diperhatikan adalah validasi kesinergian seluruh program pemberdayaan masyarakat tersebut. Masih jarang adanya suatu review dari pemerintah mengenai kegiatan pengabdian masyarakat, lain halnya dengan penelitian sudah banyak diterdapat review-review oleh pihak berwenang dalam hal ini DIKTI. 24 2.7.9. Peraturan Perundang-undangan Peraturan dan perundang-undangan merupakan landasan hukum bagi penerapan berbagai kebijaksanaan dasar maupun kebijaksanaan pelaksanaan di bidang pemerintahan maupun bidang pembangunan. Berbagai peraturan perundang-undangan di bidang perumahan telah mulai digagas dan dikeluarkan oleh pemerintah mulai dari periode pra-PELITA hingga saat sekarang. Namun hal ini belum dapat memberikan dampak yang cukup berarti dalam pembangunan perumahan, bahkan dalam banyak hal dikatakan hal tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan kenyataan sekarang dan juga telah tertinggal dengan perkembangan dan tuntutan pembangunan dewasa ini dan dimasa mendatang, sehingga pembaharuan dan penyempurnaan dirasakan sangat perlu dan penting. 2.7.10. Permasalahan lainnya Menurut data saat ini terdapat 15 juta backlog (kesenjangan kebutuhan dan ketersediaan rumah) di Indonesia. Sementara hasil sensus yang dilakukan pada tahun 1980, tercatat bahwa kira-kira 28 juta dari rumah yang ada, 5,8% merupakan rumah-rumah yang belum memenuhi syarat, baik itu yang ditinjau dari luasan rumahnya maupun kepadatan huniannya. Kebutuhan akan hunian yang selalu meningkat dan juga disertai oleh faktor keterbatasan masyarakat dalam pemenuhannya, sehingga hal ini telah menyebabkan kecenderungan sarana hunian masyarakat menjadi pemukiman kumuh yang tidak mudah untuk dikendalikan. Hal lain yang juga masih berhubungan dengan permasalahan ini adalah faktor sebaran penduduk Indonesia yang masih belum merata. 2.8. MASALAH PERMUKIMAN DAN KEPENDUDUKAN Perpindahan penduduk dari desa ke kota akan selalu kita jumpai dilatarbelakangi oleh hal pekerjaan yang banyak lapangan kerja di kota maupun tuntutan sosial yang mengharuskan untuk berpindah ke kota untuk kecukupan hidup. Ini akan menimbulkan permasalahan bagi kota dengan tidak seimbangnya pertambahan penduduk dengan kemampuan penyediaan pemukimannya. Tingginya laju pertambahan penduduk merupakan masalah pokok dalam pembangunan perumahan. Dengan ini kebutuhan akan rumah akan semakin meningkat disamping itu ditemukan masalah lain yaitu kualitas rumah dan lingkungan yang tidak memadai / memenuhi persyarataan dan memerlukan perbaikan atau pemugaran serta penambahan fasilitas. Pembangunan ke arah Indonesia Timur yang marak dilakukan percepatan pada tahun 1990an juga adalah fenomena yang merubah kepranataan di masa yang akan datang. Kondisi perkembangan informasi, sebaran polulasi yang mengalami perubahan pergerakan secara sebaran menjadi teori dan kepranataan memerlukan penelaahan yang tiada henti bagi peneliti maupun praktisi. Misalnya saja kota-kota seperti Makassar, Banjarmasin, atau Manado adalah 25 kota-kota yang berkembang lebih cepat karena alasan potensi yang dimiliki, masalah yang dimiliki tidaklah sama. Misalnya kota Makassar adalah kota perairan sementara kota Banjarmasin adalah kota perairan tetapi memiliki potensi pertambangan. Adanya ekspatriat di kawasan permukiman milik perusahaan pertambangan misalnya memerlukan penelitian sosial yang berbeda dalam penerapan aplikasi desain permukiman maupun ruang luarnya. Fenomena yang meruncing saat ini adalah mengenai isu kurangnya pendidikan berkarakter di bangku sekolah sehingga mengakibatkan masalah kriminal tinggi baik di perkotaan maupun di pedesaan. Pendidikan bukan hanya teoritik, menarik untuk memperhatikan sistem pendidikan di Jepang dimana anak-anak sedari kecil diminta untuk mandiri dan memiliki kedekatan terhadap lingkungan hidup dan sosialnya. Misalnya dengan kunjungan ke sentra pertanian, kewajiban membersihkan kelas bersama meski sekolah luxurius, dan pula kedisiplinan yang tinggi adalah hal yang terlepas dari mata kuliah perumahan dan permukiman. Jadi memperbaiki strategi perumahan dan permukiman juga haruslah memperhatikan sistem pendidikan secara komprehensif dengan melihat tantangan sosial masa kini yang ada di masyarakat. Permukiman pada hakikatnya tidak dapat dipandang dalam definisi fisik saja, namun pula non fisik (sosial) nya, pendekatan pendidikan berkarakter dan membumi akan dapat melahirkan manusia-manusia kreatif dalam ruang permukiman. Kreatif di sini maksudnya kreatif dalam pertahanan dan perbaikan kualitas lingkungan fisik maupun perbaikan dalam aktivitas sosialnya termasuk jiwa wirausaha. Hal ini masih dikatakan lemah di Indonesia, untuk semestinya untuk tingkat perekonomian yang lebih berkembang saat ini, kestabilannya lebih terjaga. Revolusi mental yang digaungkan oleh Presiden Jokowi pada hakikatnya, adalah revolusi mulai dari bangku pendidikan yang paling dasar, bukan semata-mata revolusi mental dalam arti sempit. 26 Bab. 3 STRATEGI DAN TEKNIK DALAM PEMBANGUNAN PERUMAHAN Menurut John Turner, dalam bukunya “Housing by People” (1976), disebutkan bahwa terdapat 3 aktor dalam pengadaan perumahan yakni: pemerintah (pulic sector), swasta (private sector) dan masyarakat (popular/community). Perumahan dan permukiman juga tidak dapat terlepas dari aspek regulasi, maka konsep-konsep yang akan diuatamakan adalah yang berasal dari kebijaksanaan yang telah ada, termasuk di dalamnya adalah penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan penulis. Strategi pembangunan yang terjadi di lapangan yang dilaksanakan pemerintah, swasta atau perorangan di lapangan sebenarnya sangat ditentukan oleh bagaimana arah kebijakan dari pemerintah, tidak hanya pemerintah pusat tapi juga pemerintah daerah. Misalnya saja kebijakan-kebijakan yang telah mengalami perubahan selain daripada pengembangan kota satelit seperti yang dijelaskan di Bab 1, contoh lain adalah misalnya sistem penggajian pegawai pemerintah atau pegawai negeri atau pembaharuan kebijakan mengenai rumah susun. Sinergi antara keseluruhan faktor haruslah menjadi syarat utama dalam merumuskan strategi. Misalnya saja yang terbaru di awal tahun 2015 adanya pembaharuan mengenai kebijakan rumah susun (apartemen). Hal ini adalah hal yang sangat penting untuk dilakukan. Betapa cukup banyak masalah di lapangan seperti developer yang kurang bertanggung jawab, tingkat inflasi yang terlalu tinggi hingga harga rumah melambung atau kurangnya dorongan kondisi lingkungan untuk dihasilkannya temuan-temuan (hak paten) baru yang akan lebih manfaat terhadap kondisi sosial perumahan yang semakin dinamis, seperti semakin terbatasnya lahan, tuntutan tinggi akan desain yang efisien namun berkualitas, atau adanya perubahan sosial yang memiliki implikasi kebutuhan desain dan ruang yang baru (inovatif). Dengan demikian peningkatan penghasilan dapat memiliki solusi yakni iklim investasi perumahan yang semakin baik. Pada intinya yang perlu diperhatikan oleh para peneliti, praktisi atau pemerhati di bidang perumahan adalah kemajuan di bidang perumahan akan terjadi bila permintaan akan rumah cukup baik dan stabil. Dalam artian kebutuhannya ada dan sesuai pula dengan daya beli. Yang terjadi saat ini, karena kencangnya inflasi, belum memadainya regulasi, atau kendala-kendala lainnya adalah kurang sesuai antara kebutuhan dan pemenuhan (backlog), dan juga kurang sesuainya tingkat pemenuhan kebutuhan dengan harga yang dapat dijangkau oleh pasar perumahan. Pada pembahasan di Bab 3 ini akan diuraikan mengenai hal tersebuat. 27 3.1 STRATEGI PEMBANGUNAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN KOTA Sebelum memahami strategi-strategi perumahan secara detail penting untuk mengetahui regulasi dasar apakah yang menjadi acuan dalam pembangunan perumahan dan permukiman kota. Adapun program pokok pembangunan perumahan dan permukiman salah satu yang dimaksud di atas, menurut GBHN 1993 juga menurut Sastra dan Marlina (2006) meliputi hal-hal di bawah ini: 1. Program penyediaan perumahan dan permukiman. 2. Program perbaikan perumahan dan permukiman. 3. Program penyehatan lingkungan permukiman. 4. Program penyediaan dan pengelolaan sarana air bersih. 5. Program penataan kota. Hal lainnya yang juga penting, adalah rincian strategis program pembangunan perumahan kota adalah : 1. Program pengadaan perumahan baru. 2. Program perbaikan kampung meliputi : perbaikan klasikal yakni tidak total maupun perbaikan yang total yakni menyangkut lahan: land sharing, land adjustment. 3. Program peremajaan kota. 4. Program rumah sewa. 5. Program rehabilitasi perumahan. 3.2 PERWUJUDAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DI DAERAH PERKOTAAN Masalah perumahan di perkotaan sangat kompleks karena daerah permukiman membutuhkan lahan untuk kemajuan kota. Pada dasarnya masalah perumahan di kota disebabkan oleh: Pertambahan penduduk yang pesat yaitu angka kelahiran yang tinggi secara alamiah maupun dari perpindahan penduduk ke daerah perkotaan. Mahalnya biaya pembangunan rumah di kota yang disebabkan langkanya tanah perumahan sehingga harga tanah menjadi mahal dan biaya konstruksi rumah menjadi tinggi. Terbatasnya kemampuan ekonomi penduduk untuk membeli/ membangun rumah. Prasarana kota kurang memadai dan kurangnya pengawasan dalam ketertiban bangunan dan pemakaian tanah perumahan. Masalah perumahan di kota dalam perkembangan kota menjadi penyebab munculnya perkampungan miskin/ kumuh yang kan memungkinkan timbulnya gejala penurunan kualitas lingkungan. Baik dari segi fisik maupun dari segi sosial penduduknya dan secara visual mengganggu keindahan wajah kota. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan kota : 28 3.3 Keadaan rumah itu sendiri yang mencangkup segi kualitas rumah yaitu luas rumah , desain rumah, kelengkapan fasilitas dan utilitas dalam rumah tersebut. Keadaan lingkungan pemukimannya yang mencangkup tata letak bangunan, dan fasilitas sosial lingkungan perumahan. Lokasi lingkungan pemukiman dalam struktur kota yang mencakup segi lokasi. PEMBANGUNAN PERUMAHAN DI KOTA Pada PELITA I, II, III, telah diupayakan pembangunan perumahan melalui program pembangunan perumahan dan permukiman . Dan sudah diupayakan dengan prinsip keterjangkauan masyarakat. Kegiatan utama dalam program perumahan rakyat dan permukiman didaerah perkotaan antara lain : 1. Pembangunan oleh swadaya masyarakat dengan penyuluhan pemerintah yaitu Kampung Improvement Program 2. Pembangunan perumahan sederhana baik oleh PERUMNAS swasta melalui KPRBTN maupun PT. Papan Sejahtera. Jenis perumahan kota yang dibangun adalah rumah sub-inti , rumah inti , rumah sederhana dan rumah susun dan jenis rumah menengah sampai mewah. 3. Perusahaan pembangunan perumahan swasta yang tergabung dalam Real Estate. 3.4 PROGRAM PERBAIKAN KAMPUNG Pada PELITA II DAN III, program perbaikan kampung telah dirasakan masyarakat kota. Kampung diartikan daerah pemukiman penduduk yang umumnya : - Tidak atau hampir tidak memiliki prasarana seperti air, listrik, sistem pembuangan, saluran dsb. - Berkembang tanpa rencana dan berkepadatan tinggi hingga diatas 1000 ha, - Merupakan konsentrasi masyarakat berpenghasilan rendah - Bangunan-bangunannya sebagian bersifat non dan semi permanen atau darurat tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan keselamatan kebersihan umum. 29 Gambar 5. Contoh Hasil Perbaikan Kampung dan Fasilitasnya di Kampung Kota di Jakarta pada Era Jokowi menjadi Gubernur Jakarta Sumber : http://nasional.kompas.com/read/2014/11/02/17045311/Hasil.Kerja.Jokowi.Akan.Menjawab.Isu.Presiden.Boneka Kampung-kampung dikota tidak semuanya diperbaiki yang masuk kriteria lah yang akan diperbaiki seperti : - Kampung dengan kondisi fisik terburuk - Kepadatan tinggi - Dinamika penduduk - Umur kampung - Lokasi kampung - Mengatur jadwal pengembangan KIP agar menguntungkan seluruh kota. 3.5 PENYEDIAAN PERUMAHAN KOTA Sesuai asas pemerataan, dalam pelaksanaan pembangunan pada proyek PELITA II, maupun III telah membangun rumah sebanyak 131.933 unit di 61 kota, setelah itu dirintis pembangunan rumah susun di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Palembang , Bandung dan Semarang. 30 Pada pelita IV diperkirakan dapat dibangun 300.000 unit rumah dengan fasilitas KPR-BTN. Disamping itu dalam PELITA IV akan direncanakan 25.000 unit rumah sewa untuk golongan masyarakat belum mampu. Peningkatan kualitas lingkungan permukiman di daerah perkotaan dilaksanakan melalui program sistem saluran pembuangan air limbah, dan penanganan persampahan. 3.6 PENGADAAN RUMAH SEDERHANA Sejak PELITA I-VI untuk pengadaan perumahan sederhana. Jenis rumah yang dibangun berupa rumah sub inti, rumah inti dan rumah sederhana dengan luas bangunan 15 m2-36 m2 yang kemudian dapat dikembangkan oleh pemilik dan rumah susun 4 lantai dengan ukuran 18 m2 – 54 m2. Pada tahun 1985/ 1986 PERUMNAS berhasil membangun rumah siap huni sebanyak 15.072 unit yang terdiri dari 3408 rumah sederhana 8680 rumah inti dan 2984 rumah susun. Pada tahun 1986/1987 Perumnas mengalami penurunan pembangunan yaitu sebanyak 12.470 yang terdiri dari 4996 rumah sederhana, 7774 rumah inti dan 416 rumah susun. Tapi, meningkatnya peran developer swasta untuk ikut membantu pembangunan perumahan , kesempatan perumnas terbuka untuk melakukan kewajiban dalam rintisan pembangunan perumahan bersama dengan pemerintah daerah setempat : - Peremajaan dan perataan kembali daerah bekas lapangan kemayoran, Jakarta seluas 1420 ha yang sebagian diperuntukan untuk perumahan. - Perintisan pembangunan kota baru untuk mengantisipasi pertambahan penduduk akibat migrasi ke kota besar di Indonesia . Pada PELITA V pemerintah akan memperkenalkan pembangunan tipe baru yaitu kapling siap bangun . Jadi pemerintah hanya menyiapkan tanah untuk siap dibangun, sedangkan rumahnya dibangun oleh penghuninya sendiri sesuai tipe-tipe tertentu T-54, T 60, T-70. Setelah tahun 2000 mulai marak pembangunan perumahan vertikal (rumah susun), selain perumahan biasa (landed houses). 3.7 RUMUS-RUMUS PERHITUNGAN KUANTITATIF MENGENAI KEBUTUHAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN Selain rincian teori-teori kualitatif yang bersifat abstrak, berikut di bawah ini disertakan pula mengenai rumus-rumus kebutuhan rumah. Hal ini penting untuk mengkaji proses transformasi dan kemungkinan pengembangannya di masa mendatang. Harapannya memiliki manfaat positif bagi pengembang kebijakan, swasta, institusi pendidikan maupun untuk masyarakat. Untuk menghitung kekurangan rumah dengan model perhitungan kebutuhan rumah (housing need) dapat digunakan rumus sebagai berikut : KRo = Io – I = Ro I 31 Io = Po Ro Keterangan : Kro = Kekurangan rumah Po = Jumlah penduduk pada tahun hitungan. Ro = Jumlah rumah pada tahun hitungan. Io = Angka rata-rata jumlah anggota keluarga atau penghunisebenarnya pada tahun hitungan. I = Angka rata-rata jumlah anggota keluarga atau penghuni (occupation rate) yang diharapkan ideal. Selain angka kekurangan rumah, perlu waktu juga diperhitungkan angka kebutuhan rumah tambahan. Untuk menghitung kebutuhan rumah tambahan tersebut perlu dipertimbangkan beberapa faktor yakni: angka kelahiran, kepentingan restorasi, faktor relokasi migrasi, dan faktor bencana alam. Berikut ini adalah uraian rumus-rumusnya : Kebutuhan rumah karena faktor jumlah penduduk karena kelahiran. Rtp = Pn I Pn = Po (I + c) Keterangan : Rtp Pn Po C I = Jumlah rumah tambahan akibat faktor pertambahan penduduk. = Jumlah penduduk pada tahun tertentu. = Jumlah penduduk pada tahun hitungan. = Indeks/ratio pertambahan penduduk pertahun. = Angka rata-rata jumlah anggota keluarga atau penghuni (occupation rate) yang diharapkan ideal. Kebutuhan rumah karena keperluan restorasi rumah-rumah yang sudah ada : Rtd = Po/ Io Vm Keterangan : Rtd = Jumlah rumah yang membutuhkan perbaikan. Vm = Umur rumah tinggal secara rata-rata. Po = Jumlah penduduk pada tahun hitungan. Io = Angka rata-rata jumlah anggota keluarga atau penghuni sebenarnya pada tahun hitungan. 32 Kebutuhan rumah karena Relokasi Migrasi. Nm = Pu (Uc – Tc) RNm = Nm Keterangan : Nm = Jumlah migrasi. Pu = Jumlah penduduk kota/daerah pada saat tertentu. Tc = Indeks (ratio) pertambahan penduduk (total kelahiran) dalam jangka waktu satu tahun. RNm = Kebutuhan rumah karena faktor migrasi. Kebutuhan rumah karena bencana alam. Kebutuhan rumah karena faktor ini biasanya dihitung menurut kerusakan yang terjadi akibat bencana alam secara time series. Adapun mengenai sarana dan prasarana perumahan, biasanya mengikuti aturan memerlukan luasan meliputi 20% - 30% dari lahan keseluruhan. Rasio kini menurut REI 1 : 2 : 3, untuk golongan rumah mewah berbanding menengah dan masyarakat berpenghasilan rendah. Jika dahulu rasio adalah 1 : 3 : 6, artinya golongan masyarakat kini tingkat ekonomi menengah ke bawah sudah meningkat jumlahnya. 3.8 TEKNIK PEMBANGUNAN PERUMAHAN 3.8.1 Proses Pembangunan Rumah Secara umum proses pembangunan meliputi desain dan pelaksanaan pembangunan yang berlangsung secara berurutan. Awal proses pembangunan sebuah rumah adalah dengan proses desain yaitu dengan merencanakan dan merancang. Ditinjau dari jenisnya rumah terdiri dari : 1. Perumahan Formal. 2. Perumahan Informal. 3. Kampung Kota. 33 (a) (b) (c) Gambar 6. Tipe Rumah Berdasarkan Jenisnya (a) Perumahan Formal, (b) Perumahan Informal, dan (c) Kampung Kota Sumber : (a) http://kanalsatu.com/images/20150205-134237_92.jpg, 2015, (b) Susanti, 2013 (c) http://images.detik.com/content/2013/09/11/4/091626_tamansaribandung.jpg, 2015 Perbedaan dari ketiga jenis tersebut adalah, perumahan formal merupakan rumah-rumah yang dibangun oleh developer (pengembang) bisa berupa pengembang swasta maupun pemerintah. Yang dibangun oleh pemerintah biasanya dibuat antara kerjasama Perumnas dan BTN (Bank Tabungan Negara). Sementara itu perumahan informal adalah perumahan yang dibangun secara swadaya dari perorangan, dengan bantuan perencana (arsitek). Dan terakhir perumahan di kampung kota adalah perumahan yang dibangun murni atas inisiatif masyarakat, dan banyak yang berupa perumahan yang tidak legal karena tumbuh secara acak (sprawl). Hal ini terkait dengan keinginan calon pemilik rumah mengenai desain yang diinginkan diantaranya kemampuan pendanaan, selera, kebutuhan, dan keinginan sang calon pemilik rumah.Pembangunan tersebut dapat dilakukan secara mandiri maupun pihak ketiga atas perintah calon pemilik rumah. Setelah rancangan rumah selesai maka proses pelaksanaan pembangunan bisa dilakukan. Proses ini melibatkan bahan-bahan bangunan, pekerja-pekerja, dan biaya pembangunan. 34 Keinginan membuat hunian Menggali informasi tentang kebutuhan terhadap hunian Kebutuhan/keinginan calon pemilik hunian Pengecekan dana Pencarian lokasi hunian Pencarian sumber daya proses pembangunan Perancangan rumah Pengurusan ijin Keinginan membuat hunian Diagram 2 Diagram rangkaian aktivitas dalam Pembangunan Rumah 3.8.2 Sumber Daya Pembangunan Proses pembangunan rumah memerlukan suatu dukungan yang antara lain : 1. Dana Pembangunan Sebelum membangun rumah, pemilik haruslah mempunyai dana yang cukup berapa biaya yang akan dikeluarkan untuk pembangunan tersebut. Karena dana pembangunan ini sangat penting bagi adanya suatu pembangunan, tanpa ada dana maka pembangunan pun tidak akan terjadi. Beberapa biaya pembangunan yang harus dikeluarkan adalah : a. Biaya Desain Rancangan Jika kita memerlukan seorang perencana atau perancang suatu rumah, perumahan, hotel, apartemen dan lain-lain. Maka kita akan mebutuhkan seorang ahli di bidangnya untuk mendesain apa yang ingin pemilik bangunan inginkan dan diimplementasikan oleh tenaga ahli tersebut maka sebagai pemilik bangunan kita harus mengeluarkan biaya untuk sebuah rancangan desain tersebut. Untuk itu dalam suatu biaya desain perancangan harus dibuat sebagai dana pengeluaran. Tenaga ahli sebagai perencana yang dimaksud bisa berupa: Arsitek, Desainer Interior dan atau Insinyur Sipil. Dapat pula mereka tergabung dalam suatu konsultan perencana. 35 b. Biaya Pelaksanaan Pembangunan Biaya pelaksanaan pembangunan adalah biaya pengeluaran pada saat proses pembangunan mulai dari biaya pengeluaran peminjaman alat-alat, biaya upah untuk para pekerja dan biaya lainnya untuk proses pembangunan. Biaya pelaksanaan bangunan, meliputi : 1. Biaya Pengadaan Lahan 2. Biaya Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) IMB sangat perlu dilakukan untuk sebuah pembangunan karena berkaitan dengan ijin dari pemerintah apakah kita boleh membuat bangunan pada suatu lahan itu. Jika tidak ada ijin dari pemerintah mengenai IMB maka bangunan tersebut bisa disita pemerintah sebelum proses pembangunan itu selesai. Maka untuk proses IMB tersebut memerlukan biaya untuk ijin pada pemerintah. 3. Biaya Material Bahan Bangunan Biaya material adalah biaya yang harus dikeluarkan untuk pembelian-pembelian material bahan-bahan bangunan seperti pasir, semen, batu bata, batu kali, dll. Yang sangat penting untuk proses pembangunan tersebut. 4. Biaya Pengawasan Jalannya Pembangunan Pada saat proses pembangunan maka untuk kelancaran proses pembangunan tersebut harus ada pengawas yang memerhatikan proses pekerjaan yang dilakukan oleh para pekerja bila ada kesalahan dalam pelaksanaannya yang dapat berakibat fatal pada bangunan tersebut. Maka dibutuhkan tenaga ahli dalam pengawasan jalannya pembangunan tersebut. 5. Biaya Interior Bangunan Setelah proses pembangunan selesai maka tidak langsung bangunan itu selesai, maka perlu adanya ornamen pengisi bangunan itu yaitu interior bangunan tersebut, mulai dari furniture, penataan warna, penataan ruang dll. 2. Bahan-Bahan Pembangunan Setelah dana pembangunan ada, maka selanjutnya pengadaan Bahan-bahan pembangunan haruslah ada, apa yang dibutuhkan dalam pembuatan bangunan tersebut. Mulai dari bahanbahan seperti pasir, semen, kayu, bata, batu alam dan lain-lain. Sesuai yang dibutuhkan oleh pembangunan tersebut. 3. Tenaga Kerja Jika ada bahan-bahan bangunan maka selanjutnya syarat pembangunan adalah tenaga ahli dalam pembangunan tersebut dan pekerja-pekerja bangunan tersebut, mulai misalnya dari tukang kayu, tukang besi, tukang pasang bata, dan lain-lain. Itu sesuai dengan keahlian di bidangnya masing-masing agar proses pengerjaan pembangunan pun cepat terselesaikan. 4. Peralatan Pembangunan Alat-alat pembangunan tentu perlu untuk membantu kelangsungan dalam pembangunan 36 bangunan sebagai kelengkapan yang membantu para pekerja seperti membengkokan besi dengan dongkrak misalnya, mengangkat batu bata ke atas membutuhkan mobile crane dan sebagainya yang tak bisa dilakukan oleh manusia. Beberapa cara mengklasifikasikan building system dapat dilihat dari beberapa sudut pandang yang berbeda, misalnya: 1. Bahan bangunan, misalnya beton, kayu, metal dan sebagainya. 2. Kemampuan bentukan komponen, yaitu sistem tertutup dan sistem terbuka. 3. Macam bentuk rumahan, yaitu rumah tunggal, rumah gandeng (row), apartemen rendah, dan apartemen tinggi. 4. Macam struktur yang digunakan, yaitu box, rangka struktural (structur frame), struktur dengan panel pendukung (bearing panel) dan lain-lain. 5. Lokasi pembuatannya dibedakan menjadi pabrikasi dan perakitan (assembly). Terkait dengan lokasi dapat dibedakan: Keduanya off site atau pabrikasi saja, dan keduanya on-site dan in-place (khusus untuk beton). Sistem off site berarti komponen bangunan dibuat di luar site bangunan, biasanya di pabrik (sehingga sering dikatakan fabrikasi), dan kemudian dirakit di site bangunan. Khusus bahan beton, seringkali sistem yang digunakan adalah on-site dan in-place dalam arti komponen bangunan dibuat dan dirangkai langsung di site banguan. Gambar 7. Material Prefabrikasi Sumber : http://www.steelstructureschina.com/heavy-steel-structures.htm, 2015 dan http://www.busyboo.com/2013/03/31/prefab-cabin-morerava/, 2015 37 6. Dalam kaitannya dengan teknik membangun, lebih baik diklasifikasikan terlebih dahulu berdasarkan lokasinya yaitu: a. Off site, berarti di luar site/dipabrikasi. b. On site, berarti di dalam site (dibedakan dengan in-place), di luar posisi yang sebenarnya di dalam bangunan/setempat. c. In place, berarti in site persis pada posisi yang sebenarnya di dalam bangunan setempat. Terdapat dua kemungkinan fabrikasi off-site, yaitu : a. Seluruh komponen dirakit off-site (di pabrik) kemudian diangkat ke site dan diletakkan pada dudukannya. Pada system ini biasanya yang menjadi masalah antara transportasi karena membutuhkan teknologi dan biaya yang tinggi. b. Komponen dirakit off site. Setelah siap, paket-paket komponen diangkut ke site dan dirakit on-site pada posisi yang sebenarnya di dalam bangunan. Sistem ini mempunyai dua kemungkinan yaitu: 1) Pre-fab-kit: Keseluruhan komponen dibuat oleh satu pabrik dan hanya berlaku untuk bangunan yang bersangkutan saja (closeved system). 2) Pre-fab components: Seluruh komponen bisa berasal lebih dari satu pabrik. Pabrikasi dan perakitan on-site: seluruh komponen dibuat di dalam site (onsite prefabrication), sehingga memerlukan site yang cukup luas. Pabrikasi inplace: sebenarnya hanyalah masalah rasionalisasi bangunan yang menyangkut masalah mekanisasi dan organisasi. 38 Bab. 4 PERENCANAAN TATA LINGKUNGAN PERUMAHAN 4.1 PERSYARATAN LINGKUNGAN PERUMAHAN Perumahan formal dalam artian yang dibangun oleh lembaga formal terdiri dari 2 jenis yakni perumahan yang dibangun oleh pemerintah dan perumahan yang dibangun oleh swasta (Developer Real Estate). Perbedaan keduanya adalah dari segi subyek pelaksana pembangunan, lokasi, harga, kelengkapan fasilitas, konstruksi, desain dan detail serta material bangunanya. Jika dahulu syarat perbandingan antara kelompok mewah, menengah dan sederhana adalah 1 : 3 : 6. Saat ini standar tersebut telah bergeser menjadi 1 : 2 : 3. Suatu kondisi yang sebenarnya membaik dimana tingkat perekonomian sudah dikatakan membaik, dimana sebelumnya rasio untuk rumah sederhana yang dibutuhkan lebih banyak tetapi sekarang sudah berkurang (berimbang). Kondisi di atas sebenarnya adalah kondisi yang membaik, karena jika dianalisis sebenarnya kemampuan daya beli masyarakat sudah lebih meningkat, sudah semakin banyak masyarakat yang mampu membeli rumah menengah, bila sebelumnya lebih banyak yang mencari rumah sederhana atau sangat sederhana. Namun, hal ini bukan berarti tidak menimbulkan permasalahan karena di sisi lain menimbulkan permasalahan yakni semakin meluasnya kebutuhan akan lahan, dikarenakan jumlah keluarga yang membutuhkan luasan tanah yang lebih luas akan semakin banyak, dan akan terus bertambah banyak. Jika melihat dari teori dasar mengenai permukiman (Sundjaja: 1999), dalam menentukan sebuah lingkungan perumahan, terdapat 2 kelompok persyaratan: a. Persyaratan Teknik b. Persyaratan Non Teknis. Dari segi teknis suatu lingkungan perumahan hendaknya memperhatikan hal-hal : 1. Pada pemilihan lahan untuk lokasi perumahan harus tersedia lahan yang cukup bagi pembangunan perumahan minimal 50 unit rumah dan dilengkapi dengan prasarana lingkungan, utilitas umum dan fasilitas sosial. Bila pembangunan baru bergabung dengan lingkungan yang sudah teratur, maka banyaknya rumah dapat diperkenankan kurang dari 50 unit. 2. Lokasi hendaknya bebas dari pencemaran air, udara dan kebisingan, baik yang berasal dari sumber daya buatan dan sumber daya alam, misal: gas beracun. 3. Terjamin tercapainya tingkat kualitas lingkungan yang sehat bagi pembinaan individu masyarakat penghuni. 4. Kondisi tanahnya bebas banjir dan memiliki kemiringan tanah 0-15%, sehingga dapat dibuat sistem saluran air (drainase) yang baik serta memiliki daya dukung yang 39 5. memungkinkan untuk dibangun perumahan. Harus terjamin adanya hukum bagi masyarakat penghuni terhadap tanah dan bangunan di atasnya yang sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Yang dimaksud dengan kepastian hukum yang jelas terhadap tanah, bangunan di atasnya dan penghuniannya akan dilindungi oleh hukum. Kegiatan-kegiatan/prosedur hukum pemilikan tanah, bangunan di atasnya dan penghuniannya dapat dilakukan oleh perorangan maupun badan hukum, yang meliputi tahap-tahap antara lain: Pembebasan tanah. Permohonan hak. Pembangunan. Penghunian. Apabila dilihat pada syarat di atas terdapat pengecualian atau anomali, yakni kondisi kota besar dimana jumlah rumah sudah sulit untuk dibangun sejumlah 50 rumah pada kompleks perumahan (landed house), yang ada sekarang adalah rumah-rumah cluster, kalaupun ada perumahan pasti lokasinya jauh dari pusat kota. Hal ini disebabkan lahan yang semakin terbatas. Kecuali jika perumahan dibangun vertikal (rumah susun atau apartemen). Sementara dari segi non teknis hendaknya, suatu lokasi daerah permukiman memenuhi 4 sifat, yaitu: 1. Wisma : Rumah harus konstruktif, sehat, indah dan efisien. 2. Marga : Lingkungan perumahan harus mudah dicapai dengan menggunakan alat transportasi umum maupun pribadi. 3. Karya : Lingkungan perumahan harus memudahkan pada penghuninya menuju tempat mereka bekerja. 4. Suka : Lingkungan perumahan secara individu maupun secara keseluruhan masyarakat di dalamnya harus mencerminkan kegairahan hidup dan gembira, dengan memadainya lingkungan tersebut dengan tempat rekreasi, ruang-ruang terbuka,fasilitas olahraga, dan sebagainya. 4.2 PERSYARATAN KESEHATAN PERUMAHAN DAN LINGKUNGAN PEMUKIMAN Kesehatan perumahan dan lingkungan pemukiman adalah kondisi fisik, kimia, dan biologik di dalam rumah, di lingkungan rumah dan perumahan, sehingga memungkinkan penghuni mendapatkan derajat kesehatan yang optimal. Persyaratan kesehatan perumahan dan lingkungan pemukinan adalah ketentuan teknis kesehatan yang wajib dipenuhi dalam rangka melindungi penghuni dan masyarakat yang bermukim di perumahan dan/atau masyarakat sekitar daribahaya atau gangguan kesehatan. Persyaratan kesehatanperumahan yang meliputi persyaratan lingkungan perumahan dan pemukiman serta persyaratan rumah itu sendiri, sangat diperlukankarena pembangunan perumahan berpengaruh sangat besar terhadap peningkatan derajat kesehatan individu, keluarga dan masyarakat (Sanropie, 1992). 40 Adapun persyaratan kesehatan perumahan dan lingkungan pemukiman menurut Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) No. 829/Menkes/SK/VII/1999 meliputi parameter sebagai berikut : 1.Lokasi 1) Tidak terletak pada daerah rawan bencana alam seperti bantaran sungai, aliran lahar, tanah longsor, gelombangtsunami, daerah gempa, dan sebagainya; 2) Tidak terletak pada daerah bekas tempat pembuangan akhir (TPA) sampah atau bekas tambang; 3) Tidak terletak pada daerah rawan kecelakaan dan daerah kebakaran seperti jalur pendaratan penerbangan. 2.Kualitas udara 1) Kualitas udara ambien di lingkungan perumahan harus bebas dari gangguan gas beracun dan memenuhi syarat baku mutu lingkungan sebagai berikut : a) Gas H2S dan NH3 secara biologis tidak terdeteksi; b) c) Gas SO2 maksimum 0,10 ppm; d) Debu maksimum 350 mm3/m2 per hari. 3.Kebisingan dan getaran 1) Kebisingan dianjurkan 45 dB.A, maksimum 55 dB.A; 2) Tingkat getaran maksimum 10 mm/detik. 4.Kualitas tanah di daerah perumahan dan pemukiman 1) Kandungan Timah hitam (Pb) maksimum 300 mg/kg 2) Kandungan Arsenik (As) total maksimum 100 mg/kg 3) Kandungan Cadmium (Cd) maksimum 20 mg/kg 4) Kandungan Benzo(a) pyrene maksimum 1 mg/kg 5.Prasarana dan sarana lingkungan 1) Memiliki taman bermain untuk anak, sarana rekreasi keluarga dengan konstruksi yang aman dari kecelakaan; 2) Memiliki sarana drainase yang tidak menjadi tempat perindukan vektor penyakit; 3) Memiliki sarana jalan lingkungan dengan ketentuan konstruksijalan tidak mengganggu kesehatan, konstruksi trotoar tidak membahayakan pejalan kaki dan penyandang cacat, jembatan harus memiliki pagar pengaman, lampu peneranganjalan tidak menyilaukan mata; 4) Tersedia cukup air bersih sepanjang waktu dengan kualitas air yang memenuhi persyaratan kesehatan; 5) Pengelolaan pembuangan tinja dan limbah rumah tangga harus memenuhi persyaratan kesehatan; 6) Pengelolaan pembuangan sampah rumah tangga harus memenuhi syarat kesehatan; 41 7) Memiliki akses terhadap sarana pelayanan kesehatan, komunikasi, tempat kerja, tempat hiburan, tempat pendidikan,kesenian, dan lain sebagainya; 8) Pengaturan instalasi listrik harus menjamin keamanan penghuninya; 9) Tempat pengelolaan makanan (TPM) harus menjamin tidak terjadi kontaminasi makanan yang dapat menimbulkan keracunan. 6.Vektor penyakit 1) Indeks lalat harus memenuhi syarat; 2) Indeks jentik nyamuk dibawah 5%. 7.Penghijauan Pepohonan untuk penghijauan lingkungan pemukiman merupakan pelindung dan juga berfungsi untuk kesejukan, keindahan dan kelestarian alam. Adapun ketentuan persyaratan kesehatan rumah tinggal menurut Kepmenkes No. 829/Menkes/SK/VII/1999 adalah sebagai berikut : 1. Bahan bangunan a. Tidak terbuat dari bahan yang dapat melepaskan bahan yangdapat asbestos kurang dari 0,5 serat/ m 3 per 24 jam, plumbum (Pb) kurang dari 300 mg/kg bahan; b. Tidak terbuat dari bahan yang dapat menjadi tumbuh dan berkembangnya mikroorganisme patogen. 2. Komponen dan penataan ruangan a. Lantai kedap air dan mudah dibersihkan; b. Dinding rumah memiliki ventilasi, di kamar mandi dan kamar cuci kedap air dan mudah dibersihkan; c. Langit-langit rumah mudah dibersihkan dan tidak rawan kecelakaan; d. Bumbungan rumah 10 m dan ada penangkal petir; e. Ruang ditata sesuai dengan fungsi dan peruntukannya; f. Dapur harus memiliki sarana pembuangan asap. 3. Pencahayaan Pencahayaan alam dan/atau buatan langsung maupun tidak langsung dapat menerangi seluruh ruangan dengan intensitas penerangan minimal 60 lux dan tidak menyilaukan mata. 4. Kualitas udara a. Suhu udara nyaman antara 18 – 30 °C; b. Kelembaban udara 40 – 70 %; c. Gas SO2 kurang dari 0,10 ppm/ 24 jam; d. Pertukaran udara 5 kaki3/menit/ penghuni; e. Gas CO kurang dari 100 ppm/ 8 jam; f. Gas formaldehid kurang dari 120 mg/ m 3 42 5. Ventilasi minimal 10% luas lantai. Luas lubang ventilasi alamiah yang permanen 6. Vektor penyakit Tidak ada lalat, nyamuk ataupun tikus yang bersarang di dalam rumah. 7. Penyediaan air a. Tersedia sarana penyediaan air bersih dengan kapasitasminimal 60 liter/ orang/hari; b. kesehatan air bersih dan/atau air minum menurut Permenkes 416 tahun 1990 dan Kepmenkes 907 tahun 2002.Kualitas air harus memenuhi persyaratan 8. Sarana penyimpanan makanan a. Tersedia sarana penyimpanan makanan yang aman 9. Pembuangan Limbah a. Limbah cair yang berasal rumah tangga tidak mencemari sumber air, tidak menimbulkan bau, dan tidak mencemari permukaan tanah; b. Limbah padat harus dikelola dengan baik agar tidak menimbulkan bau, tidak mencemari permukaan tanah dan airtanah. 10. Kepadatan hunian a. Luas kamar tidur minimal 8 m2 dan dianjurkan tidak untuk lebih dari 2 orang tidur. b. Persyaratan tersebut diatas berlaku juga terhadap c. kondominium, rumah susun (rusun), rumah toko (ruko), rumah kantor (rukan) pada zona pemukiman. Pelaksanaan ketentuan mengenaipersyaratan kesehatan perumahan dan lingkungan pemukiman d. menjadi tanggung jawab pengembang atau penyelenggarapembangunan perumahan, dan pemilik atau penghuni rumah tinggal untuk rumah. e. Penyelenggara pembangunan perumahan (pengembang) yang tidak memenuhi ketentuan tentang persyaratan kesehatanperumahan dan lingkungan pemukiman dapat dikenai sanksi pidanadan/atau sanksi administrasi sesuai dengan UU No. 4 /1992 tentang Perumahan dan Pemukiman, dan UU No. 23 /1992 tentangKesehatan, serta peraturan pelaksanaannya. 4.3 TATA ATUR LINGKUNGAN Struktur/ order adalah tata atur lingkungan perumahan yang menjamin pemakai berorientasi dan dapat memahami lingkungannya. Tata atur ini mencakup pengolahan dan pengaturan unsur-unsur fisik pembentuk arsitektur kota atau arsitektur kawasan perumahan. Menurut telaah Shirvani (1985), unsur pembentuk kawasan adalah pola tata guna lahan, tata bangunan sirkulasi dan parkir, tata ruang terbuka, jalur pedestrian aktivitas pendukung, tata informasi (signing system), serta preservasi dan konservasi. 43 Selanjutnya untuk mengukur kualitas tata atur lingkungan menurut Greene (1992: 182) dalam Barliana (2011) paling tidak ditentukan oleh empat hal: keterkaitan (linkage), kesinambungan (continuity), kejelasan (clarity) dan keseimbangan (balance). 4.3.1. Pola Tata Guna Lahan dan Pemintakatan (Zoning) Pola tata guna lahan mencakup alokasi dan pembagian lahan serta peruntukan lahan yang dirasakan manfaat sebesar-besarnya oleh sebanyak-banyaknya kalangan masyarakat. Keputusan peruntukan lahan akan menentukan hubungan antara sirkulasi, parkir, dan kepadatan aktivitas kota. Permasalahan yang sering muncul dalam pengaturan tata guna lahan ini adalah adanya benturan kepentingan fungsi-fungsi yang terus berkembang dengan kepentingan mempertahankan unsur-unsur alam dan daerah konservasi lainnya. Sebuah lahan dapat diatur untuk kepentingan fasilitas umum, hunian, rekreasi, ruang terbuka, fasilitas komersial dan lainlain. 4.3.2. Tata Bangunan Tata bangunan meliputi tatanan bentuk fisik bangunan yang lahir dari pengaturan kepadatan dan ketinggian bangunan, selubung, posisi sempadan serta komposisi bangunan. Bangunan pada dasarnya ada untuk mendefinisikan ruang, meskipun sebaliknya ruang dapat mendikte tata bangunan dengan cara menentukan komposisi bangunan. Unsur-unsur lain yang menentukan tata bangunan diantaranya adalah warna, material, tekstur, dan bentuk fasade bangunan. Dalam setiap pertemuan antar arsitek, hampir dapat dipastikan selalu muncul ke permukaan perdebatan sengit tentang perlu tidaknya memperbincangkan tentang identitas arsitektur dan lingkungan. Menurut (Budihardjo: 1998) wawasan identitas diperlukan sebagai pegangan handal bagi setiap perencana pembangunan. Di negara Barat konon masyarakat banyak yang begitu muak dengan modernisasi atau arsitektur kontemporer sehingga ada istilah yang kuno (tua) itulah yang terbaik (Old is the Best). Maka karakter-karakter bangunan yang memiliki peninggalan bersejarah (historis) haruslah mendapatkan pelestarian. 4.3.3. Sirkulasi dan Parkir Sirkulasi merupakan salah satu sarana pembentuk struktur kawasan. Jalur sirkulasi dibentuk dan diarahkan untuk mengontrol pola aktivitas dalam sebuah kawasan, misalnya jalur kendaraan bus, mobil pribadi, sepeda motor, sepeda dan lain-lain. Berkaitan dengan ini, unsurunsur penghubung fungsi yang ada akan berhubungan dengan baik apabila memiliki sarana penghubung yang baik pula. Aspek-aspek sirkulasi ini adalah jalan pergerakan utama, jalur pedestrian, peralihan moda transportasi pejalan kaki, dan kendaraan pejalan kaki. 44 Berkaitan dengan di atas, Kamil (2004) dengan mengutip Jane Jacobs menteorikan bahwa koridor jalan dan jalur-jalur pedestriannya merupakan bagian dari ruang publik utama kota. Kehidupan sosial yang terjadi di koridor jalan itulah yang menjadi denyut nadi peradaban masyarakat urban. Lebih lanjut, Jacobs menekankan bahwa kehidupan di koridor jalan yang baik jika bersifat self regulating, yang menjaga kualitas fisik dan sosial dengan kombinasi control sosial warga, perancangan fisik yang baik, dan tata guna lahan yang mendukung terjadinya interaksi dan ekspresi sosial. 4.3.4. Jalur Pedestrian Pedestrian sebagai salah satu jalur sirkulasi untuk pejalan kaki, merupakan unsur penting dalam suatu kawasan, baik dari segi secara fisik mewadahi lalu lintas orang dan elemen penghubung yang membentuk vitalitas kawasan, tetapi terutama juga sebagai wahana interaksi sosial budaya. 4.3.5. Aktivitas Pendukung Aktivitas pendukung kawasan ini mencakup seluruh pemakaian dan aktivitas yang membantu kekuatan ruang publik perkotaan. Bentuk, lokasi dan karakteristik area yang spesifik dan unik akan menciptakan kualitas fungsi, penggunaan ruang, dan aktivitas yang spesifik pula. 4.3.6. Tata Informasi (Sign) dan (Way Finding) Tata Informasi dalam sebuah kawasan atau kota terdiri dari dua jenis, yaitu built in (terintegrasi dengan lingkungan) dan grafis. Kawasan yang baik adalah kawasan yang mudah dikenali, mudah ditemukan tujuannya, serta mudah dimengerti, karena adanya tata informasi yang baik. Signage ini dapat berupa elemen-elemen kecil seperti pohon, lampu, tempat duduk, halte, dan lain-lain. 4.3.7. Preservasi dan Konservasi Elemen ini terkait juga dengan kualitas visual misalnya bagaimana unsur-unsur alam seperti sungai, lembah, dan lain-lain tidak diganggu atau bahkan menjadi elemen estetis dan sekaligus dijaga keseimbangan ekologisnya. Preservasi (pelestarian) mengandung arti mempertahankan peninggalan arsitektur dan lingkungan tradisional/kuno persis seperti keadaan asli semula. Sementara konservasi lebih kepada penyelenggaraan kegiatan-kegiatan yang lebih menunjang kegiatan di bangunan kuno tersebut. Misalnya saja kegiatan pemugaran (restorasi), rehabilitasi, rekonstruksi dan juga revitalisasi (Budihardjo : 1988). 4.4. PRASARANA LINGKUNGAN PERUMAHAN Pada lingkungan perumahan diperlukan adanya sarana prasarana yang mendukung lingkungan perumahan tersebut sehingga dapat berfungsi dengan baik. Salah satu fasilitas prasarana yang 45 sangat penting dalam perumahan dan permukiman misalnya adalah ruang terbuka publik (open space). Sementara fasilitas-fasilitas lain biasanya berbantuk bangunan tertutup. Kebutuhan akan ruang publik adalah sangat penting karena akan menjadi faktor yang dapat memperkuat modal sosial di masyarakat dan selanjutnya memperkuat juga pencapaian tujuan suatu bangsa. Saat ini penyediaan dan ketersediaan akan sarana dan prasarana semakin terbatas, karena persaingan kepemilikan lahan yang semakin ketat. Diperlukan analisis dan perancangan yang optimal untuk memperoleh kualitas sarana dan prasarana yang memadai namun efisien dan efektif. Adapun sarana dan prasarana terdiri dari : 4.4.1. Fasilitas sosial Fasilitas sosial merupakan kelengkapan lingkungan berupa: fasilitas-fasilitas pendidikan, kesehatan, perbelanjaan, niaga, pemerintahan, pelayanan umum, peribadatan, rekreasi, kebudayaan, olahraga dan lainnya. 4.4.2. Jalan Adalah suatu prasarana perhubungan darat dalam bentuk apapun meliputi segala bagiannya termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas. 4.4.3. Utilitas Umum Utilitas Umum Adalah bangunan-bangunan yang dibutuhkan dengan sistem pelayanan yang diselenggarakan oleh Instansi Pemerintah dan terdiri dari : Jaringan listrik. Jaringan telepon. Jaringan gas Pembuangan sampah. Jaringan air bersih. Pemadam kebakaran. Peraturan dan Persyaratan utilitas umum untuk perumahan : Air bersih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) dalam Perda huruf a dapat menggunakan air bersih dari Perusahaan Air Minum (PAM) atau sumber air bersih setempat. Lokasi perumahan yang di sekitarnya terdapat jaringan air bersih dari PAM diharuskan menggunakan jaringan PAM. Penggunaan air bersih dari PAM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dinyatakan dengan kesanggupan dan dituangkan dalam perjanjian kerja sama antara Pengelolan PAM dengan pemohon/pengembang. Sumber air bersih harus terletak pada jarak paling rendah 10 (sepuluh) meter dari sumur peresapan air kotor. Apabila sumber air bersih menggunakan sumur bor, maka harus mendapat izin pengeboran dari SKPD yang membidangi perijinan. 46 4.4.4. Fasilitas pembuangan air limbah dan pembuangan air hujan Air limbah adalah semua jenis air buangan yang mengandung kotoran dari rumah tangga, manusia, hewan atau tumbuhan atau dari industri serta buangan kimiawi. Sebelum air limbah dibuang ke saluran pembuangan air limbah kota harus melalui proses pengolahan hingga aman bagi kesehatan. Fasilitas pengolahan air limbah yang seharusnya ada dalam rumah adalah : septiktank, sumur resapan, dan saluran yang mengalirkan limbah dengan lancar sampai ke saluran pembuangan air limbah kota. Sementara pembuangan air hujan pada bangunan dimulai dengan talang-talang air, pipa dari talang ke saluran-saluran air horisontal (riol) di sekitar rumah, yang kemudian mengalirkan air hujan ke riol kota. Peraturan dan Persyaratan fasilitas buangan air limbah untuk perumahan : 1. Kawasan perumahan yang dilewati jaringan limbah rumah tangga (assenering) dari Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) terpusat wajib menyambung ke jaringan IPAL. 2. IPAL komunal wajib dibangun apabila : a. Dalam 1 (satu) rumah tidak memungkinkan untuk dibangun resapan limbah sendiri; dan/atau b. Kawasan perumahan yang tidak dilewati jaringan limbah rumah tangga (assenering) dan memiliki jumlah kavling paling sedikit 40 (empat puluh) unit rumah. 3. Penempatan peresapan limbah paling rendah harus berjarak 10 (sepuluh) meter dari sumber air bersih. 4. Penempatan peresapan limbah pada tanah berpasir, maka jarak paling rendah 15 (lima belas) meter dari sumber air bersih. 5. Limpahan air limbah dilarang dibuang di saluran drainase. 4.5. SARANA LINGKUNGAN PERUMAHAN Suatu lingkungan perumahan dipersyaratkan memiliki prasarana untuk memberikan kemudahan bagi penghuni. Prasarana-prasarana yang harus disediakan adalah sebagai berikut: 4.5.1. Jalan Klasifikasi jalan pada lingkungan perumahan dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu: 1) Jalan Penghubung Lingkungan Perumahan, yaitu jalan yang menghubungkan lingkungan perumahan yang satu dengan lainnya, atau menghubungkan lingkungan perumahan dengan fasilitas layanan di luar lingkungan perumahan. 47 2) Jalan Poros Lingkungan Perumahan, yaitu jalan utama pada suatu lingkungan perumahan. 3) Jalan lingkungan, yaitu jalan pembagi suatu lingkungan perumahan yang hierarkinya lebih rendah daripada jalan poros lingkungan perumahan. Jalan lingkungan ini dapat dibagi lagi menjadi jalan lingkungan tingkat I, jalan lingkungan tingkat II, dan jalan lingkungan tingkat III, yang mempunyai hierarki yang semakin rendah. Proporsi jalan pada lingkungan perumahan dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu: a. Pada perumahan dengan kriteria daerah kemudahan tingkat I, jalan lingkungan II dan III sebesar 80%, jalan lingkungan I 15%, dan jalan poros lingkungan 5%. b. Pada perumahan dengan kriteria daerah kemudahan tingkat II, jalan lingkungan II dan III sebesar 60%, jalan lingkungan I 30%, dan jalan poros lingkungan 10%. c. Pada perumahan daerah kemudahan tingkat III, jalan lingkungan II dan III sebesar 40%, jalan lingkungan I 40%, dan jalan poros lingkungan 20%. 4.5.2. Air minum Suatu lingkungan perumahan harus menyediakan sumber air bersih bagi warganya. Sumber air bersih ini dapat saja disediakan perunit ataupin secara sentral untuk seluruh area permukiman. 4.5.3. Air limbah Lingkungan perumahan yang baik harus mempunyai sarana pengolahan air limbah. Karena fungsinya sebagai kawasan permukiman, sebagian besar air limbah merupakan limbah rumah tangga, yang pengelolaannya cukup dengan menyediakan septic tank dan sumur resapan. 4.5.4. Pembangunan air hujan Untuk pembuangan air hujan dapat disediakan sumur resapan di area-area terbuka di dalam kawasan perumahan ataupun berupa selokan yang dikendalikan bersama untuk seluruh area perumahan. Untuk memenuhi persyaratan kesehatan, saluran air hujan ini sebaiknya berupa saluran tertutup. 4.5.5. Pembuangan sampah Sarana pembuangan sampah merupakan kelengkapan yang penting terkait dengan persyaratan kesehatan lingkungan. Tempat pembuangan sampah rumah tangga sebaiknya disediakan pada setiap unit hunian. Dari unit-unit hunian ini sampah diangkut ke Tempat Pembuangan Sementara (TPS), misalnya dengan menggunakan gerobak ataupun mobil sampah. Selanjutnya sampah diangkut ke tempat pembuangan akhir dengan menggunakan dumb truck, yang operasionalisasinya dapat dikoordinasikan dengan pemerintah Daerah Setempat dan dapat pula dikelola secara mandiri. 48 4.5.6. Jaringan listrik Sesuai tuntutan kebutuhan hidup saat ini listrik merupakan sarana penerangan yang penting. Pada lingkungan perumahan pasokan listrik harus diperhitungkan dengan standar minimal 450 VA per keluarga ataupun 90 VA per individu. 4.5.7. Tinjauan fasilitas untuk orang tua dan orang cacat pada fasilitas publik dan umum Orang tua dan orang cacat (kaum diffable) adalah manusia yang memerlukan desain arsitektur yang seringkali smemiliki kekhususan. Mereka adalah orang-orang yang lebih lemah namun memiliki hak yang sama terhadap fasilitas ruang publik. Di Indonesia hal ini masih memerlukan penerapan yang lebih sempurna, termasuk dalam fasilitas perumahan dan permukiman, yakni ruang publiknya. Melihat contoh dari negara-negara maju akan membuka wawasan. Meski detailnya memerlukan penyesuaian karena budayanya yang berbeda. Gambar 8. Contoh Fasilitas yang mengakomodir older people di negara maju. Pada hakikatnya fasilitas untuk kaum yang sudah berumur, haruslah cukup nyaman, hijau dan memiliki tempat berjalan-jalan dan duduk-duduk. Kaum older people tidak memerlukan aktivitas yang kompleks atau neko-neko seperti kaum muda. Sumber : https://www.google.com/?gws_rd=ssl#q=adequate+public+facilities+ Gambar 9. Contoh Fasilitas untuk orang cacat (diffable) di negara-negara maju. Pada hakikatnya fasilitas untuk kaum diffable di negara-negara maju, adalah terkait dengan regulasi yang lebih luas, misalnya kebijakan pembatasan penggunaan kendaraan yang enggunakan bbm, tingkat pendidikannya yang suah tinggi dan arsiteknya yang sudah lebih detail dan kreatif dalam implementasi fasilitas bagi kaum diffable. Sumber : https://www.google.com/?gws_rd=ssl#q=adequate+public+facilities 49 a. Jalur pedestrian Jalur yang digunakan untuk berjala kaki atau berkursi roda bagi difabel secara mandiri yang dirancang berdasarkan kebutuhan orang untuk bergerak aman mudah, nyaman dan tanpa hambatan. Persyaratan untuk pedestrian untuk kaum difabel : 1) Permukaan jalan harus kuat stabil kuat, tahan cahaya, hindari sambungan atau gundukan pada permukaan 2) Kemiringan maksimum 2 0 dan pada setiap jarak 900 cm dan bagian datar minimal memiliki lebar 120 cm. 3) Area istirahat digunakan untuk membantu pengguna jalan difabel dengan menyediakan tempat duduk santai dibagian tepi. 4) Lebar minimum jalur pedestrian adalah 120 cm untul jalur searah dan 160 cm untuk dua arah. Jalur pedestrian bebas dari pepohonan tiang rambu-rambu dan lain-lain. 5) Tepi pengaman dibuat setinggi maksimal 10 cm dan lebar 15 cm sepanjang jalur pedestrian. b. Ramp Ramp merupakan jalur sirkulasi yang memiliki bidang dengan kemiringan tertentu sebagai alternative bagi orang tidak dapat menggunakan tangga. Persyaratan ramp : 1) Kemiringan ramp diluar bangunan maksimum 6 0 . 2) Panjang mendatar dari suatu ramp tidak boleh dari 900 cm. 3) Lebar minimum dari ramp adalah 95 cm tanpa tepi pengaman, dan 120 cm dengan tepi pengaman. 4) Muka datar atau bordes pada awalan dan akhiran dari suatu ramp harus bebas dan datar sehingga memungkinkan sekurang-kurangnya untuk memutar kursi roda dengan ukuran minimum 160 cm. dan harus bertekstur agar tidak licin 5) Lebar tepi pengaman ramp dirancang untuk menghalangi roda kursi roda agar tidak terperosok atau keluar dari jalur ramp. c. Area parkir Area parkir untuk penyandang cacat harus mempunyai area yang lebih luas untuk naik turun kursi roda, dari tempat parkir biasanya. 50 4.6. SYARAT KELENGKAPAN PRASARANA DAN SARANA PERUMAHAN Penjelasan Khusus Sektor Permukiman Dan Prasarana WilayahSub Sektor Usaha Pembangunan Perumahan dan Permukiman Pengembangan usaha dalam sektor perumahan dan permukiman pada dasarnya harus mengikuti: a. Undang-undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman. b. Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah selaku Ketua Badan Kebijaksanaan Pengendalian Pembangunan Perumahan dan Permukiman Nasional (BKP4N) No. 217/KPTS/M/2002 tanggal 13 Mei 2002 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Perumahan dan Permukiman (KSNPP). c. Pembangunan Perumahan dan Permukiman Tidak Bersusun. d. Pembangunan perumahan dan permukiman tidak bersusun harus mengikuti Kawasan Perkotaan atau Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten, terdiri dari: 1) Rumah sederhana 2) Rumah menengah 3) Rumah mewah Persyaratan pembangunan perumahan dan permukiman tidak bersusun: 1. Pembangunan perumahan sederhana tidak bersusun harus mengikuti Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 20/KPTS/1986 tentang Pedoman Teknik Pembangunan Perumahan Sederhana Tidak Bersusun dan peraturan perubahannya. 2. Pembangunan rumah sangat sederhana harus memenuhi Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 54/PRT/1991 tentang Pedoman Teknik Pembangunan Perumahan Sangat Sederhana dan peraturan perubahannya. 3. Pembangunan rumah sederhana, rumah menengah dan rumah mewah wajib menerapkan ketentuan lingkungan hunian yang berimbang sesuai dengan Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Perumahan Rakyat No. 648-384 Tahun 1992, No. 739/KPTS/1992 dan No. 09/KPTS/1992 dan Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat selaku Ketua Badan Kebijaksanaan dan Pengendalian Pembangunan Perumahan dan Permukiman Nasional No. 04/KPTS/BKP4N/1995 tentang Ketentuan Lebih Lanjut Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Negara Perumahan Rakyat. 4. Bangunan rumah tidak bersusun yang belum selesai dibangun, dapat dijual dengan syarat harus memenuhi ketentuan yang tercantum dalam Surat Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat No. 09/KPTS/ M/1995 tentang Pedoman Perikatan Jual Beli Rumah. 51 Fasilitas Lingkungan Permukiman yang baik harus dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas pelayanan bagi penghuninya. Fasilitas-fasilitas ini secara umum dibedakan menjadi: a. Fasilitas pendidikan. Pendidikan merupakan sarana untuk membangun individu. Pada era globalisasi saat ini, pendidikan merupakan suatu faktor penting bagi peningkatan derajat sosial seseorang. Karenanya kawasan permukiman harus dilengkapi dengan fasilitas pendidikan sesuai dengan standar di bawah ini: 1) Untuk setiap 1000 penduduk harus disediakan 1 fasilitas pendidkan setingkat Taman Kanak-kanak (TK). 2) Untuk setiap 1600 penduduk harus disediakan 1 fasilitas pendidikan setingkat Sekolah Dasar (SD). 3) Untuk setiap 6000 penduduk harus disediakan 1 fasilitas pendidikan setingkat sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA). b. Fasilitas kesehatan Suatu lingkungan permukiman yang penduduknya telah mencapai 6000 orang, selain harus dilengkapi dengan fasilitas pendidikan, juga harus dilengkapi dengan fasilitas kesehatan dengan ketentuan sebagai berikut: 1) Untuk setiap 6000 jiwa harus disediakan 1 fasilitas kesehatan setingkat Puskesmas pembantu yang sebaiknya diletakkan di tengah-tengah lingkungan permukiman dengan radius pencapaian maksimum 1500 m. 2) Selain itu, apabila jumlah penduduk di suatu lingkungan permukiman telah mencapai 6000 jiwa, selain Puskesmas Pembantu juga perlu dilengkapi dengan fasilitas pendukung yang lain seperti tempat praktek dokter. Fasilitas ini sebaiknya diletakkan di tengah-tengah lingkungan permukiman dengan radius pencapaian maksimum 1500 meter. 3) Apabila jumlah penduduk mencapai 10.000 jiwa, suatu lingkungan permukiman harus dilengkapi dengan rumah bersalin. Fasilitas ini sebaiknya diletakkan dengan radius pencapaian 2000 meter. 4) Untuk setiap 30.000 jiwa harus disediakan 1 fasilitas kesehatan setingkat Puskesmas yang lebih tinggi daripada Puskesmas Pembantu. Pada lingkungan ini harus disediakan Puskesmas Induk yang membawahi 5 Puskesmas Pembantu. Sebaiknya fasilitas tersebut diletakkan di tengahtengah lingkungan permukiman sehingga akses setiap Puskesmas Pembantu ke Puskesmas Induk dapat sama rata, dengan radius pencapaian maksimum 3000 meter. 5) Selain itu apabila penduduk suatu permukiman sudah mencapai 10.000 jiwa maka lingkungan ini juga harus dilengkapi dengan apotik yang sebaiknya diletakkan di tengah-tengah dengan radius pencapaian 1500 m. 52 c. Fasilitas Perbelanjaan dan Niaga Fasilitas perbelanjaan dan niaga merupakan fasilitas komersial sebagai layanan sebuah lingkungan permukiman. Fasilitas ini direncanakan dengan tujuan untuk mempermudah aktivitas ekonomi masyarakat. Ketentuannya adalah sebagai berikut: 1) Untuk lingkungan perumahan dengan penduduk mencapai 250 jiwa sebaiknya disediakan fasilitas perbelanjaan terkecil yang dapat berwujud warung yang menyediakan kebutuhan sehari-hari. Fasilitas ini diletakkan di tengah-tengah dengan radius pencapaian 300 meter. 2) Apabila penduduk mencapai 30.000 jiwa, suatu lingkungan permukiman sebaiknya dilengkapi dengan fasilitas perbelanjaan berupa pertokoan yang diletakkan di tengah-tengah dengan radius pencapaian maksimum 500 meter. 3) Apabila jumlah penduduknya sudah mencapai 30.000 jiwa suatu lingkungan permukiman sebaiknya mempunyai pusat perbelanjaan lingkungan seperti tempat jual beli keperluan sehari-hari seperti bahan makanan, pakaian, alat rumah tangga, alat sekolah dan lain-lain. Pusat perbelanjaan ini terdiri dari pertokoan dan pasar, yang sebaiknya terletak di tengah-tengah agar mudah dicapai oleh setiap warga permukiman. 4) Untuk lingkungan permukiman setara kecamatan dengan jumlah penduduk mencapai 120.000 jiwa sebaiknya mempunyai pusat perbelanjaan dan niaga setara kecamatan. Selain pusat perbelanjaan dan niaga biasa, perlu juga dilengkapi dengan bank dan industri unit produksi yang tidak menimbulkan gangguan polusi serta tempat-tempat hiburan. d. Fasilitas Pemerintah dan Layanan Umum Untuk memberikan layanan yang lebih baik kepada masyarakat selain fasilitasfasilitas yang standar di atas perlu juga disediakan fasilitas umum antara lain, seperti: 1) Untuk setiap 500 kk atau 2500 jiwa penduduk perlu disediakan balai pertemuan, parker umum, kamar mandi umu dan pos keamanan/hansip. 2) Untuk setiap 6000 kk atau 30.000 jiwa perlu disediakan kantor kelurahan, pos polisi, kantor pos pembantu, pos pemadam kebakaran, parker umum dan kamar mandi umum, serta gedung serbaguna. 3) Untuk setiap 24.000 kk atau 120.000 jiwa perlu disediakan kantor kecamatan, kantor polisi, kantor pos cabang, kantor telepon cabang, pos pemadam kebakaran, parker umum dan kamar mandi umum, gedung serba guna dan gardu listrik. 53 e. Fasilitas Peribadatan Untuk membangun kehidupan rohani warga, dalam suatu kawasan permukiman juga perlu disediakan sarana peribadatan. Ketentuannya adalah sebagai berikut (misalnya 80% penduduk beragama Islam): 1) Untuk setiap 500 kk atau 2500 jiwa perlu disediakan 1 buah langgar. 2) Untuk setiap 600 kk atau 30.000 jiwa selain langgar perlu pula disediakan masjid. 3) Untuk setiap 24.000 kk atau 120.000 jiwa, perlu disediakan masjid setingkat kecamatan dan fasilitas ibadah lain di samping masjid dan langgar tingkat kelurahan. f. Fasilitas Rekreasi dan Kebudayaan Sebagai wahana untuk memberikan keseimbangan pada kondisi psikologi warga, selain fasilitas-fasilitas di atas perlu juga disediakan fasilitas rekreasi dan kebudayaan sebagai sarana apresiasi diri. Ketentuannya adalah sebagai berikut: 1) Untuk setiap 6000 kk atau 30.000 jiwa (setingkat kelurahan) perlu disediakan gedung serbaguna. 2) Untuk setiap 24.000 kk atau 120.000 jiwa (setingkat kecamatan) di samping gedung serbaguna perlu juga disediakan gelanggang remaja. g. Fasilitas Olahraga dan Lapangan Terbuka Pada suatu kawasan permukiman perlu juga disediakan fasilitas olahraga dan lapangan terbuka. Ketentuannya adalah sebagai berikut: 1) Untuk kelompok 50 kk atau 250 jiwa (setingkat RT) perlu disediakan tempat bermain anak sebagai pengikat lingkungan. 2) Untuk kelompok 500 kk atau 3000 jiwa (setingkat RW) perlu disediakan lapangan terbuka, sebaiknya berupa taman sekaligus dapat digunakan untuk berolahraga (volley, badminton, dll). 3) Untuk kelompok 6000 kk atau 30.000 jiwa (setingkat kelurahan), disamping tempat bermain anak, lapangan terbuka, perlu juga disediakan lapangan olah raga. 4) Untuk kelompok 24.000 kk atau 120.000 jiwa (setingkat kecamatan), selain fasilitas-fasilitas di atas perlu juga lapangan olahraga yang diperkeras seperti: tennis, bola basket, dilengkapi dengan tempat ganti pakaian dan kakus umum. h. Fasilitas Untuk Kaum Difabel Persyaratan Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas penyandang difabel d. Ukuran dasar ruang Ukuran dasar ruang tiga dimensi (panjang, lebar, tinggi) mengacu kepada ukuran tubuh manusia dewasa juga peralatan yang digunakan dan ruang yang dibutuhkan agar mewadahi semua pergerakan standar pengguna. 54 Persyaratan untuk desain fasilitas difabel : 1) Ukuran dasar ruang mempertimbangkan fungsi 2) Ukuran dasar minimum dan maksimum yang digunakan dalam pedoman ini dapat atau dikurangi sampai pencapaian aksesibilitas dapat terwujud. e. Jalur pemandu Jalur pemandu penyandang cacat untuk berjalan memanfaatkan tekstur ubin/keramik pengarah dan ubin/keramik peringatan. Persyaratan tekstur ubin/keramik : 1) Tekstur ubin pengarah garis-garis menunjukan arah perjalanan dan penyandang cacat peka dengan tekstur tersebut. 2) Tekstur ubin peringatan dengan motif bulat memberi peringatan adanya perubahan situasi disekitarnya. 3) Daerah-daerah yang harus menggunakan ubin tekstur pemandu ( guilding block). a) Didepan jalur lalu lintas kendaraan b) Didepan pintu masuk/keluar dari dan ke tangga atau fasilitas persilangan dengan perbedaan ketinggian lantai. c) Pada pedestrian yang menghubungkan antara jalan dan bangunan. 55 Bab. 5 UNSUR-UNSUR PERENCANAAN PERUMAHAN DAN ORGANISASI DALAM RUMAH TINGGAL Dalam perencanaan permukiman, tidak jarang terdapat pandangan pesimistik sehubungan dengan akumulasi sistem politik terdahulu yang masih menciptakan marjinalisasi. Akan tetapi sebenarnya pada sisi lain terdapat peluang-peluang inovasi positif misalnya: sistem teknologi yang makin berkembang dan efisien, kreativitas perkembangan desain interior yang semakin inovatif, ataupun adanya ketegasan mengenai kepranataan yang lebih akurat pada sistem politik permukiman saat ini. Hal ini memerlukan pengetahuan teoritik secara terperinci pula mengenai unsur-unsur perencanaan perumahan dan organisasi rumah tinggal. Pada hakikatnya strategi perumahan dan permukiman saat ini mesti terstruktur dan terarah sehingga solusi-solusi inovatif tersebut dapat terwujud. Back log kebutuhan perumahan seperti dibahas pada bagian pendahuluan adalah hal yang tidak mudah untuk diselesaikan, dalam teori teori apraissal diperlukan analisis pendapatan, analisis pasar (market) selain analisis data (cek). Pada bahasan ini akan difokuskan mengenai unsur-unsur dan organisasi dalam rumah tinggal. 5.1 TEORI DASAR PERANCANGAN RUMAH TINGGAL Sebelum mengurai lebih lanjut mengenai teori-teori mengenai perancangan perumahan, perlu diketahui terlebih dahulu teori-teori yang sifatnya mendasar. Seperti pada bab ini akan dijelaskan lebih dahulu mengenai unsur perencanaan dan organisasi dalam rumah tinggal. Adapun proses membangun bangunan arsitektural secara umum terdiri dari tahapan-tahapan berikut : 1. 2. 3. 4. 5. 6. Ide/ gagasan/ keinginan membangun Skematik Pra rancangan Pengembangan rancangan Detail rancangan Tender (lelang) : tahapan ini biasa ada pada skala proyek yang besar. Pada proyek rencana kecil seringkali tidak melalui tahapan ini 7. Pelaksanaan pembangunan 8. Operasional 56 Dalam merancang rumah juga harus memperhatikan syarat-syarat: Keamanan (safety), kesehatan (healthy), kenyamanan (comfortability) dan keindahan (beauty).Teori yang cukup penting lagi dalam menentukan kebutuhan manusia adalah Teori Maslow. Teori ini berkaitan dengan tingkatan (piramida) kebutuhan manusia. Berbeda strata masyarakat akan berbeda budaya dan selanjutnya akan berbeda pula ruang, bentuk dan detail arsitektur rumahnya. Semakin tinggi status sosial dan juga tingkat ekonominya maka kebutuhannya akan rumahnya akan berbeda pula. Dan kebutuhan juga bisa berubah seiring dengan dinamika yang dimiliki seseorang sepanjang usia kehidupannya. Adapun teori Maslow ini meliputi hal-hal di bawah ini : Gambar 10. Skema teori kebutuhan Maslow Sumber : Abraham Maslow pada : https://behindus.wordpress.com/2011/04/15/masalah-ekonomi-danelastisitas- bag-1/ 1. Survival Needs Tingkat kebutuhan yang paling dasar ini adalah kebutuhan yang harus dipenuhi pertama kali. Pada tingkatan ini hunian merupakan sarana untuk menunjang keselelamatan hidup manusia. Kebutuhan untuk dapat selamat berarti manusia menghuni bangunan rumah agar dapat selamat dan tetap hidup, terlindung dari gangguan iklim maupun makhluk hidup yang lain. 2. Safety and Secutity Needs Kebutuhan terhadap keselamatan dan keamanan yang ada pada tingkat berikutnya ini terkait dengan keselamatan dari kecelakaan, keutuhan anggota badan serta hak milik. Pada tingkatan ini hunian merupakan sarana perlindungan untuk keselamatan anggota badan dan hak milik tersebut. Dengan demikian sebuah rumah harus memenuhi kaidah keamanan selain daripada kenyamanan, sehingga aktivitas survival manusia dapat ditunjang oleh rumah yang mereka miliki. Setelah berjuang (bekerja) seharian, manusia tentunya berharap tinggal di rumah yang aman dari bencana alam, gangguan binatang dan juga gangguan dari manusia lainnya. 57 3. Affiliation Needs Pada tingkatan ini hunian merupakan sarana agar dapat diakui sebagai anggota dalam golongan tertentu. Hunian di sini berperan sebagai identitas seseorang untuk diakui dalam golongan masyarakat. Dari segi lokasi biasanya perumahan memiliki identitas atau ciri khas masyarakat termasuk strata yang mana. Kekumuhan kota dapat terjadi bila pemerintah kurang memahami dan memberi solusi untuk masyarakat yang termarjinalkan dari segi perumahan. Termarjinalkan adalah suatu kondisi kurang terakui, pada tingkatan yang sulit dapat mengganggu kelompok masyarakat yang lain sehingga pemenuhan yang berkeadilan adalah kebutuhan yang hakiki dalam suatu negara. 4. Esteem Needs Kebutuhan berikutnya terkait dengan aspek psikologis. Manusia butuh dihargai dan diakui eksistensi. Terkait dengan hal ini hunian merupakan sarana untuk mendapatkan pengakuan atas jati dirinya dari masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Pada tingkatan ini, rumah sudah bukan tergolong kebutuhan primer lagi, tetapi sudah bukan tergolong kebutuhan primer lagi, tetapi sudah meningkat pada kebutuhan yang lebih tinggi yang harus dipenuhi setelah kebutuhan pokok terpenuhi. Rumah yang mewah, bagus dapat memberikan kebanggaan dan kepuasan kepada pemilik rumah tersebut. 5. Cognitive and Aesthetic Needs Tingkatan yang paling tinggi dari kebutuhan manusia ini terkait dengan aspek psikologis, seperti halnya esteem need. Hanya saja pada level ini hunian tidak saja merupakan sarana peningkatan kebanggaan dan harga diri, tetapi juga agar dapat dinikmati keindahannya. Pada tingkatan ini, produk hunian tidak hanya sekedar keindahannya. Pada tingkatan ini, produk hunian tidak hanya sekedar keindahannya. Pada tingkatan ini, produk hunian tidak hanya sekedar untuk digunakan tetapi juga dapat memberi dampak kenikmatan (misalnya dinikmati secara visual) pada lingkungannya sekitarnya. Dalam perencanaan bangunan termasuk perencanaan rumah tinggal pada intinya terdapat 3 hal yang harus diperhatikan yaitu: unsur-unsur perencanaan, organisasi ruang dan elemen-elemen perencanaan. 5.2 UNSUR-UNSUR DALAM PERENCANAAN Termasuk dalam unsur-unsur dalam perencanaan adalah unsur-unsur : a. Keadaan dan orientasi tanah setempat b. Keadaan iklim setempat 58 5.2.1. Keadaan dan Orientasi Tanah Setempat Hal-hal yang termasuk dalam lokasi keadaan tanah setempat, dimana bangunan rumah akan direncanakan adalah : Perbedaan tinggi rendahnya (split level kontur) tanah Orientasi persil tanah Orientasi bangunan terhadap sinar matahari Kekerasan/kepadatan tanah Kecepatan dan arah alirah udara Kebisingan dan frekuensi lalu lintas Pengaturan jarak bangunan Pengaturan pembukaan pada dinding Pengaturan atap/pelindung panas dan hujan Tumbuh-tumbuhan/pohon yang ada di dalam persil. Gambar 11. Bangunan adalah seperti juga alam, memiliki unsur-unsur dan urutan proses. Seluruhnya mesti dalam perencanaan dan perancangan arsitek secara komprehensif dan paripurna Sumber : Frick, Heinz (2007)., Dasar-dasar Ekologis, Penerbit Kanisius Permasalahan pertanahan sendiri bukan masalah yang mudah, terlebih untuk lingkungan perkotaan. Ada banyak kasus-kasus sengketa tanah apabila pembeli lahan, perorangan maupun kelompok (developer) kurang cermat. Kasus sengketa tanah sendiri sebenarnya bukan fenomena baru, tetapi sudah sering terjadi. Kasus ini muncul sejak masyarakat mulai merasa kekurangan tanah, sebagai akibat penjajahan dan ledakan jumlah penduduk. Kebijakan 59 agrarian yang dikeluarkan pemerintah colonial seperti pelaksanaan penanaman kopi wajib di Priangan (Preangerstelsel), kebijakan pajak tanah (landrente) dari Rafles, kebijakan tanam paksa (Culturstelsel), dan kebijakan pemberian tanah partikelir sangat merugikan hak-hak penduduk atas tanah. Penderitaan penduduk sangat berat ketika pemerintah Kolonial Belanda memberlakukan Undang-Undang Agraria pada tahun 1870 yang kemudian dikenal dengan Agrarische Wet (Sunendar: 1994). Diberlakukannya Undang-Undang Agraria 1870 (yang memberikan kebebasan kepada swasta asing dengan hak erfpacht dan konsep domein verklaring-nya dan bertambahnya jumlah penduduk, menyebabkan timbulnya kekurangan tanah untuk pertanian. Dimana-mana masyarakat petani telah kehilangan tanah mereka, karena sebagian besar digunakan untuk komoditas perkebunan. Sampai tahun 1920-an di Jawa Barat telah berdiri ribuan perusahaan perkebunan yang tersebar hamper di semua karesidenan. Kondisi kekurangan tanah pertanian ini pada gilirannya mengakibatkan timbulnya berbagai gerakan petani, seperti yang terjadi di Tangerang tahun 1924 dan di seputar daerah Priangan antara 1900-1925. Gerakan ini pada dasarnya menuntut pengembalian hak atas tanah masyarakat yang selama ini lepas dari genggamannya. Memasuki babak baru kemerdekaan sampai diberlakukannya UUPA 1960, kasus pertanahan masih mewarnai kehidupan penduduk, terutama penduduk pedesaan. Pada periode ini pula pemerintah mengeluarkan beberapa peraturan keagrariaan, seperti Undang-undang Pokok Bagi Hasil (UUPBH), Undang-undang landreform, Peraturan Pendaftaran tanah, dan lain-lain. Periode ini sering pula dikatakan sebagai periode keberhasilan pemerintah dalam meletakkan dasar pembangunan pedesaan. Kasus-kasus sengketa tanah yang muncul pada periode ini lebih bersifat lokal pedesaan, seeprti antara petani pemilik dengan petani penggarap atau buruh tani, atau lebih menyangkut masalah landreform dan implikasi-implikasi sosialnya. Pada masa Orde Baru dengan Orientasi pembangunan ekonomi yang cenderung mengagungkan modal, luka-luka lama persoalan agrarian terkoyak-koyak kembali. Tanahtanah yang telah diperjuangkan penduduk selama ini kini terancam oleh cengkraman kekuatan modal yang kian mendominasi kehidupan ekonomi. Kasus-kasus sengketa tanah timbul secara serentak hamper di seluruh wilayah jawa Barat. Prinsip-prinsip hak menguasai dari negara untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan udara berdasarkan UUPA 1960 semakin terbawa arus kekuatan ekonomi, politik kelompok elite tertentu (Sunendar : 1994). 60 5.2.2. Keadaan iklim setempat Iklim yang nyaman (comfort) adalah syarat yang diperlukan dalam lingkungan rumah tinggal. Iklim yang nyaman (comfort) dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut: 1. Temperatur udara. 2. Kelembaban, 3. Peredaran udara. 4. Radiasi panas. Gambar 12. Iklim mempengaruhi, rincian faktor-faktor dan prioritas dalam perancangan bangunan termasuk untuk fungsi perumahan. Untuk fungsi permukiman lebih kompleks lagi pertimbangannya, karena akan digunakan oleh banyak orang (publik) Sumber : Frick, Heinz (2007)., Dasar-dasar Ekologis, Penerbit Kanisius 5.3 ORGANISASI RUANG Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam menyusun organisasi rumah tinggal adalah sebagai berikut : 5.3.1. Fungsi dan sifat dasar setiap ruangan Ruang-ruang dalam rumah tinggal seperti : teras, ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan, ruang tidur, ruang kerja, ruang hobi, dapur, kamar mandi/ WC, dan sebagainya, memiliki fungsi dan sifat masing-masing yang berbeda satu sama lain. Pada dasarnya ruang-ruang dalam bangunan rumah tinggal secara fungsi dan sifat dapat dibagi menjadi 3 jenis area, yaitu: Area permukiman (living area), ruang-ruang yang termasuk dalam area ini terdiri dari : ruang tamu, ruang makan, ruang keluarga ruang belajar dan ruang kerja. Area peristirahatan (sleeping area), termasuk area ini adalah ruang tidur dan kamar mandi/WC, kegiatan di kamar mandi/WC termasuk kegiatan yang rutin dan privat bagi anggota keluarga. Area pelayanan (service area), yang termasuk dalam area ini adalah: dapur, gudang dan garasi. Ruang-ruang tersebut adalah fasilitas pelayanan (service) bagi kegiatan dalam rumah tinggal. 61 5.3.2. Prinsip penetapan jumlah dan ukuran ruangan Jumlah dan ukuran ruang didapat dengan melakukan pengumpulan data mengenai : Jumlah anggota keluarga. Adat dan kebiasaan. Hobi dan selera. Ukuran persil tanah. Dana yang tersedia. 5.3.3. Standar Ruangan secara Minimal Berikut di bawah ini adalah jenis-jenis pelayanan yang disediakan oleh pemerintah untuk Perumahan Permukiman (PP) dan Pekerjaan Umum (PU) dan syarat-syarat minimumnya: Tabel 1. PEDOMAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL PEDOMAN PENENTUAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG PENATAAN RUANG, PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DAN PEKERJAAN UMUM (Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No. 534/KPTS/M/2001) 62 63 64 Catatan : 1. Nilai Kualitas SPM yang diberikan berdasarkan analisis terhadap kajian pada beberapa propinsi. 2. Metoda kajian belum sepenuhnya mengikuti kaidah penetapan SPM 3. Belum diperoleh Nilai Dasar (baseline) kualitas SPM sebagai dasar penilaian kerja 4. Diusulkan penerapan SPM ini dilakukan secara bertahap (tahapan ditentukan oleh Pemerintah Daerah dengan berkonsultasi dengan Pemerintah), dengan dua cara : a. Menyesuaikan Nilai Kualitas SPM berdasarkan kemajuan Pemerintah Daerah b. Menerapkan Nilai Kualitas SPM diatas pada cakupan wilayah tertentu 5. Sejalan dengan pelaksanaan cara yang dipilih, Pemerintah harus segera menerbitkan NSPM untuk mendukung proses pencapaian SPM dan melakukan kajian secara nasional untuk menetapkan Nilai dasar (baseline) untuk masa yang akan datang dimana Nilai kualitas SPM benar-benar mewakili harapan masyarakat terhadap tingkat pelayanan prasarana jalan. 5.3.4. Teknis penyusunan organisasi ruang Tahapan dalam teknis perencanaan ruang adalah, sebagai berikut : Pengelompokan ruang sejenis menjadi 1 area Pemilihan tata letak ruang area di atas persil tanah Sketsa denah rangkaian ruang 65 Gambar 13. Skema Urutan Dalam Desain Sumber : Surowiyono, Tutu TW (1996), Dasar Perencanaan Rumah Tinggal, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta Diatas ditunjukan elemen-elemen bangunan mulai dari kepala, badan kaki, mulai dari atap sampai dengan pondasi. Dalam proses perencanaan dan perancangan selalu ada desain awal (preliminary design) dan desain akhir (final design). Desain awal dimaksudkan desain tahap pertama yang masih akan dikembangkan lebih sempurna pada desain akhir. Pada sebuah konsultan biasanya ada rapat dan juga pertemuan dengan klien untuk mempertemukan keinginan desain terbaik yang sebenarnya dituju. Berikut di bawah ini contoh dari desain akhir suatu perencanaan bangunan rumah tinggal yang sudah lebih detail dalam bentuk gambar akhir yang lengkap, berskala dan konstruktif. 66 Gambar 14. Contoh Gambar Presentasi Standar Sumber : Surowiyono, Tutu TW (1996), Dasar Perencanaan Rumah Tinggal, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta Dari gambar di atas dapat dilihat elemen-elemen penting bangunan berupa : pondasi, lantai, balok, kolom sampai dengan atap. Masing-masing elemen penting memerlukan perencanaan secara komprehensif. 67 Bab. 6 BENTUK, JENIS DAN GARIS BANGUNAN PADA RUMAH TINGGAL Sesuai hirarki kebutuhan dari Abraham Maslow, setelah manusia terpenuhi kebutuhan jasmaniahnya (sandang, pangan dan kesehatan). Kebutuhan akan rumah merupakan salah satu motivasi untuk mengembangkan kehidupan yang lebih baik dan tinggi. Dengan memiliki rumah, walaupun kecil, secara hakiki pemilik telah memiliki atau menguasai ruang yang dapat diatur sesuka hatinya, sesuai seleranya. Ruang tersebut akan memberikan respon terhadapnya, artinya dapat tercipta suasana timbal balik dan saling menghidupkan. Dengan demikian, suasana home telah tercipta pada house tersebut. Bukan lagi sekedar menghindari hujan dan panas, tetapi memberikan ketenangan, kesenangan, bahkan kenangan akan segala peristiwa dalam kehidupannya. Karena rumah telah menjadi satu dengan hidupnya, maka tercipta mikro kosmos (rumah dan suasananya) terpadu dengan makro kosmos (lingkungan kota, daerah, negara, dunia, alam), secara harmonis yang saling mempengaruhi. Hubungan yang tidak serasi pada suatu lingkungan rumah dalam akan mengakibatkan ketidaktenangan dan ketidakstabilan hidup bagi manusia. Menyadari hal tersebut di atas, disepakati untuk membangun rumah untuk memenuhi kebutuhan rakyat tetapi pula penting untuk memperhatikan kaidah kearifan lokal menurut Prof. Naomi Maeda dari Tokyo University Research Group lebih lanjut berujar bahwa bentuk-bentuk rumah merupakan ekspresi budaya daerah dan budaya setempat yang adiluhung. Jadi betapapun kompleks situasi dan kondisi yang dihadapi, sistem perumahan harus dapat dilihat sebagai budaya yang mencerminkan keunikan lokal. Perumahan massal dengan teknologi canggih yang berdasarkan pada sistem nilai tunggal-gatra dikhawatirkanakan menciptakan keseragaman yang steril, memiskinkan kreatifitas dan menipiskan motivasi untuk membangun dari dalam secara berswadaya.. Untuk membangun rumah yang layak, sehat untuk dihuni. Berikut ini dasar-dasar perencanaan rumah dari segi bentuk, jenis, serta aturan tata kota untuk membangun rumah tinggal. 6.1. Rumah Berdasarkan Bentuk Penggunaannya: a. Rumah tangga tunggal: rumah yang mempunyai satu pintu bebas dengan jalan masuk sendiri, dalam suatu persil kavling rumah. Misalnya rumah-rumah di kota (town house), villa dan tipe-tipe rumah tinggal lainnya. b. Rumah tangga majemuk: suatu rumah tinggal yang mempunyai beberapa pintu masuk. Misalnya: rumah untuk barak tentara, atau rumah-rumah sewa yang dibuat saling menempel satu sama lain dan sebagainya. c. Rumah berpindah tempat: rumah yang tidak menetap dalam satu lokasi misalnya 68 trailer pada rumah mobile. Misalnya : rumah yang dibuat dengan sistem prefabrikasi sehingga dapat diubah-ubah lokasinya, sehingga ketika baru dibeli tinggal dipasang atau dirangkai di lokasi yang diinginkan. d. Rumah bukan untuk tempat tinggal: misalnya rumah yang bersifat darurat atau non permanen karena dibangun untuk penanggulangan akibat bencana alam, keperluan keadaan darurat perang dan sebagainya. 6.2. Rumah Berdasarkan Jenisnya : a. Rumah tunggal (detached house): rumah yang berdiri sendiri pada persil yang terpisah dengan rumah di sebelahnya. Gambar 15. Contoh Gambar Presentasi Standar 3 Dimensi Rumah tunggal. Berdiri sendiri dalam persil, terpisah dengan rumah di sebelahnya. Tingkat privasi & kenyamanannya yang tertinggi. b. Rumah kopel (semi detached house): rumah yang umumnya berada satu persil terdiri dari 9 (dua unit) rumah tinggal dimana atapnya menjadi satu.ciri khas bentuk rumah kopel biasanya terdapat sharing dinding/dinding bersama pada tepi kiri atau kanan bagian bangunan yang bersebelahan dengan wilayah tetangga. Gambar 16. Contoh Gambar Presentasi Standar Rumah Kopel 69 c. Rumah deret (row house): suatu jenis hunian yang bangunan/unit rumahnya menempel satu sama lain, yang pada umumnya maksimal berderet sejumlah 6 unit. Gambar 17. Contoh Gambar Presentasi Standar Rumah Deret d. Rumah tipe Maisonette: rumah tinggal yang terdiri dari dua lantai, bisa berupa 1 lantai satu untuk kegiatan umum (publik), seperti: ruang makan keluarga, dapur dan lantai dua khusus untuk ruang-ruang privat, seperti: ruang-ruang tidur. Dan Rumah Maisonette merupakan gabungan antara rumah kopel dan rumah flat, hasilnya pada rumah maisonatte adalah unitunit rumah bisa berjajar berdampingan dengan setiap unit rumah memiliki akses masuk dan garasi pribadi yang langsung berhubungan dengan jalan, rumah maisonatte biasanya terdiri dari dua sampai tiga lantai. Gambar 18. Contoh Gambar Standar Rumah Tipe Maisonette Sumber : puribotanical.blogspot.com e. Apartmen: Sebuah bangunan besar yang umumnya bertingkat banyak dan terdiri dari unit-unit hunian; setiap unit dapat terdiri dari banyak lantai (bisa sampai puluhan lantai). Apartemen atau dalam bahasa Indonesia disebut sebagai rumah susun adalah suatu solusi perumahan pada lahan yang sangat terbatas, terutama di kota-kota besar. Masa pembangunannya juga lebih lama karena rumah dibangun secara vertikal memerlukan teknologi 70 yang lebih tinggi. Gambar 19. Contoh Apartemen di Australia Sumber : http://blog.touchofmodern.com/wp-content/uploads/2013/03/OHP-610x285.jpg f. Rumah inti: rumah yang hanya terdiri dari ruang-ruang pokok (tidak lengkap) yaitu WC kamar tidur dapur dan 1 ruang serbaguna; yaitu yang perkembangannya di kemudian hari dapat dilakukan penghuni sendiri sesuai arahan dari pengelola. Luas minimum 12 m² dan dimungkinkan untuk dikembangkan menjadi rumah sederhana lengkap dengan luas minimum 36 m². Ada jenis lain yaitu rumah sub inti yang hanya terdiri dari KM/ WC dan satu ruangan serba guna. g. Rumah tumbuh: yaitu rumah yang dibangun secara bertahap sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan penghuni, tetapi denah keseluruhan telah dirancang. Latar belakang rumah tumbuh adalah: Adanya pertambahan jumlah anggota keluarga (anak), pertambahan penghasilan, atau pertambahan kebutuhan ruang baru, misalnya: Ruang kerja, Ruang hobi, atau bisa pula berupa modifikasi entrance atau gaya (style) rumah dan sebagainya. h. Rumah berjenjang ('terrace house'): rumah yang mempunyai taman dan umumnya bertingkat dibangun pada tapak yang berlereng/ miring. Gambar 20. Contoh Terrace House Colley End Park, Paignton, Devon Sumber : http://www.godfreys-architects.co.uk/properties/buildings-paignton-devon/ 71 i. Split-level-house: rumah yang memiliki mezzanin sebagai fungsi dari tiap aktivitas, misal : ruang keluarga dan ruang tamu terpisah lantainya tapi berbeda ketinggian (split). Gambar 21. Contoh Split level house in Philadelphia http://server1.tpbpn.com/images/www.digsdigs.com/photos/modern-remodel-of-the-post-war-split-level-house-into-afive-level-house-4.jpg j. Rumah taman (court house): rumah yang mengelilingi satu ruang terbuka di tengah; istilahnya rumah yang beratrium. Gambar 22. Contoh rumah taman (court house) in spanish Sumber : http://st.houzz.com/simgs/d541259e0f7a1abf_4-7420/mediterranean-landscape.jpg 72 .Gambar 23. Skema Ilustrasi Rumah berdasarkan Tipe atau Bentuknya Sumber : Gambar disketsa penulis berdasarkan Toni Sundjaja (2000) . Diktat Mata Kuliah Perumahan Perumahan. Bandung: Universitas Katolik Parahyangan Bandung 6.3. Rumah Berdasarkan Langgamnya Rumah berdasarkan gaya atau langgamnya terdiri dari: Rumah Tropis, Rumah Gaya Rennaisance, Rumah Gaya Mediterania/ Spanyol, Rumah Gaya Modern dan Rumah Gaya Modern Minimalis. Dengan catatan rumah tersebut adalah rumah yang ada pada saat ini bukan rumah tradisional. 73 a. Rumah Tropis adalah rumah dimana bentuk maupun elemen–elemen pembentuknya dirancang sedemikian rupa sehingga cocok dan nyaman untuk daerah yang beriklim tropis. Konsep Desain Rumah Tropis akan mengoptimalkan potensi iklim tropis dan mengurangi dampak/ pengaruh buruk iklim tropis. Dengan kata lain konsep desain rumah tropis adalah konsep desain yang mampu beradaptasi dengan iklim tropis. 1) Prinsip Desain Rumah Tropis Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa permasalahan utama di daerah iklim tropis adalah permasalahan suhu udara yang cukup panas. Untuk itu dalam konsep desain rumah tropis, perlu adanya pengendalian suhu udara di dalam rumah. Pengendalian suhu udara dapat dilakukan dengan cara : 1. Memperbesar volume ruang atap 2. Memperbesar luas bukaan ventilasi agar volume angin yang masuk ke dalam ruangan menjadi lebih banyak 3. Penataan ruang yang bersifat terbuka sehingga angin lebih mudah bergerak dalam ruangan 4. Memasukkan unsur air berupa kolam juga akan mengurangi suhu udara 5. Memperbanyak unsur tanaman / taman b. Rumah Mediterania memiliki elemen dekoratif yang khas pada desain rumah mediterania adalah banyaknya tiang-tiang pilar besar dan tinggi yang digunakan sebagai penyangga eksterior rumah. Tiang-tiang ini biasanya menggunakan aksen berputar atau spiral yang elegan, disertai dengan ukiran tertentu di bagian bawah dan atasnya. Gaya arsitektur Eropa ini muncul diantara abad ke 15 sampai awal abad ke 17 arsitektur ini muncul akibat kebangkitan dan rindunya bangasa eropa akan kebangkitan dan ridunya bangsa eropa akan kebangkitan Yunani dan Romawi kuno yang pada saat itu sedang terpuruk. c. Rumah bergaya arsitektur Renaissance adalah adanya tiang-tiang bergaya klasik yang dipengaruhi bangunan Yunani dan Romawi. Hal ini yang sangat dominan dari gaya ini adalah menghadirkan detil pada tiang-tiangnya yang ornamentral dan dekoratif. Gaya arsitektur ini juga sering disebut gaya dorik atau gaya ionik contohnya bisa kita liat di bangunan Bait Olympicon. d. Rumah Minimalis yaitu rumah yang berbentuk kecil yang bisa di design modern seperti di era modernisasi ini , tinggal bagaimana kita bisa menata, mendekorasi ruang-ruang interior maupun eksterior rumah kita agar rumah terlihat modern. Juga pengertian rumah minimalis yaitu simpel, memiliki bukaan- bukaan yang lebar, warna cat cenderung monokrom dengan sentuhan aksen-aksen garis-garis yang sangat tegas, baik vertikal maupun horizontal serta banyaknya bentukan kotak-kotak. 74 e. Rumah Minimalis Komtemporer, yaitu rumah minimalis yang semakin efektif dan dinamis, sesuai tuntutan zaman dan juga masalah lahan yang semakin terbatas. Mulai marak diakhir era tahun 2010 dengan ciri khas lahan yang lebih sempit, warna yang lebih kontras dan cerah, bentuk yang semakin elegan dan pemilihan elemen furniture yang lebih mempertimbangkan kefektifan kehupan masyarakat di masa kini. Kebutuhan masyarakan di masa kini adalah: serba cepat, efektif dan memungkinkan terjadinya progres pengembangan di masa depan secara tidak rumit. Rumah minimalis kontemporer sebenarnya tidak hanya berlaku untuk perumahan horizontal, akan tetapi juga untuk perumahan vertikal (apartemen). Dalam dunia arsitek entang rancang bangun,fungsi dari bentukan yang sederhana. Yang banyak mengambil unsur-unsur geometris. Unsur geometris ini memang sangat mudah di terima, karena kesan yang luas dan bersih sekarang ini sepertinya menjadi sebuah harga mahal. Yang bertujuan untuk membuat rumah terasa nyaman juga bisa meminimalisir tingkat kelelahan selepas bekerja (stress) para penghuni rumah tersebut. Pemilihan material, pilihan struktur dan juga desain rumah dengan karakter arsitektur modern minimalis maupun arsitektur minimalis kontemporer tetap mesti mempertimbangkan karakter arsitektur tropis. Misalnya untuk : Jenis atap, lebar kanopi, detail fasade dan sebagainya. Perkembangan kreatifitas mesti tetap memperhatikan khasanah budaya lokal Indonesia, ini sangat perlu diperhatikan untuk perencana pengembang perumahan di lapangan selain untuk kebutuhan kenyamanan psikologis penghuni juga untuk tujuan keberlanjutan arsitektur lokal (tropis) di masa mendatang. Berikut di bawah ini adalah ilustrasi-ilustrasi langgam arsitektur rumah tinggal yang dideskripsikan di atas : 75 Rumah Gaya Tropis Rumah Gaya Rennaisance Rumah Gaya Mediterania/ Gaya Spanyol Rumah Gaya Modern Minimalis Rumah Gaya Arsitektur Minimalis Kontemporer Gambar 24. Rumah Berdasarkan Gaya atau Langgamnya Sumber : Survey Pribadi Lucy Yosita, dan http://dekorasirumah.org/wp-content/uploads/2014/09/Contoh-DesainRumah-Mewah-ala-Eropa.jpg 76 6.4. Persyaratan Garis Batas Pada Bangunan Rumah Tinggal Gambar 25. Contoh Gambar Garis Batas Rumah Halaman depan diisi dengan aneka tanaman Gambar 26. Contoh Gambar Presentasi Standar Taman dalam rumah ( inner court ) Garis batas bangunan adalah persyaratan teknis yang mengatur posisi rumah di atas tanah yang sudah ditetapkan ukuran dan jenis penggunaannya (persil, kavling), jenisnya: Garis Sempadan Jalan ( GSJ ): batas pekarangan terdepan, batas terdepan pagar yang boleh didirikan Garis Sempadan Bangunan ( GSB ) atau Garis Muka Rumah ( GMR ), Rollyn: batas dinding terdepan rumah pada sebuah persil, panjang antara GSB dan GSJ ditentukan persyaratan yang berlaku untuk setiap jenis bangunan dan letak persil setempat. 77 Guna GSB: rumah memiliki halaman depan yang bisa digunakan untuk taman atau penghijauan sehingga timbul kesegaran dan keserasian dengan lingkungan. Rumah lebih aman karena tidak langsung bisa dimasuki pencuri. Bisa dimanfaatkan sebagai pelindung (buffer) kebisingan arus lalu lintas, tempat bermain anak-anak, dll. Jarak tsb memungkinkan dibuat teritis atap yang cukup lebar untuk melindungi (penghuni) rumah dari cuaca buruk dan mengalirkan air hujan dengan baik sampai ke saluran yang sebenarnya. Garis Jarak Bebas Samping (GJBS): Pada bangunan rumah tunggal, sering ada induk bangunan dan anak bangunan yang biasa disebut paviliun. Jenis ini boleh dibangun rapat dengan batas persil samping, posisi dinding terdepan anak bangunan pada jarak minimal 2 kali jarak GSB dan GSJ sesuai persyaratan. Lebar GJBS antara rumah dan batas pekarangan ditentukan berdasarkan jenis bangunan dan perpetakan tanah setempat. Luas area bebas samping: jarak bebas samping x jarak antara GSB dan GSJ yang ditentukan. Jarak bebas samping untuk memenuhi persyaratan kesehatan, kenyamanan dan keindahan, mengingat faktor iklim tropis di Indonesia, dengan ciri-ciri temperatur udara tinggi, curah hujan besar sepanjang tahun, sudut datang matahari yang besar. Adanya jarak bebas samping menyebabkan: terjadinya sirkulasi udara yang baik ke dalam ruangan untuk mengurangi panas dan lembab. Penyinaran matahari langsung ke dalam ruang minimal sejam sehari, baik untuk kesehatan. Rumah dapat dilengkapi dengan teritis atap yang cukup melindungi (penghuni) bangunan dari panas matahari dan curah hujan. Garis Bebas Jarak Belakang (GBJB) : batas dinding belakang rumah terhadap batas pagar belakang. Panjang garis belakang ditentukan sesuai jenis bangunan dan lingkungan persil tanah setempat. Di halaman belakang sebuah persil boleh didirikan bangunan turutan (paviliun), asal bangunan tersebut tidak menyesaki seluruh halaman belakang. Halaman kosong di sini minimal lebarnya sama dengan panjang garis jarak bebas belakang yang ditentukan. Jadi, luas halaman kosong tersebut minimal = pangkat 2 panjang garis belakang. Adapun Tujuan garis jarak bebas belakang: memungkinkan sirkulasi udara dan sinar matahari secara langsung ke dalam ruangan, memungkinkan pertamanan di halaman belakang guna kesejukan dan keindahan rumah, menghindari/ mencegah bahaya menjalarnya api, bila terjadi kebakaran, sebagai tempat servis (jemuran), dll, sehingga tidak merusak pemandangan rumah bagian depan, aman terhadap pencurian, dan sebagai tempat rekreasi/ bermain para penghuni rumah (Ir.Toni Sudjaja, M.Arch.Eng). 78 Gambar 27. Garis-garis bangunan Sumber : Toni Sundjaja (2000) . Diktat Mata Kuliah Perumahan Perumahan. Bandung : Universitas Katolik Parahyangan Bandung. Garis-garis batas bangunan ditentukan oleh Dinas Bangunan dan Tata Kota setempat, melalui serangkaian penelitian, untuk memberi manfaat optimal bagi penghuni rumah dan warga kota di sekitarnya. Demikian pula mengenai KDB (Koefisien Dasar Bangunan) dan KLB (Koefisien Lantai Bangunan) ditentukan oleh Dinas Tata Kota. Hal ini perlu diperhatikan tidak hanya untuk perumahan skala kecil yakni yang berada dalam 1 kavling, tetapi untuk perumahan skala besar misalnya: Kompleks Cluster Perumahan, Kompleks Permukiman Skala Besar maupun Rumah Susun (Apartemen). Untuk Kota Bandung misalnya pernah ada kasus yakni apartemen Dago yang tidak turun izinnya karena lokasi yang diajukan tidak tepat dengan rancangan yang digambar. Lokasi rencana apartemen ini berada pada Kawasan khusus Bandung Utara (KBU). Ironisnya apartemen ini meski belum memiliki lokasi yang jelas telah hampir terjual habis (sold out) 79 sebanyak 80%. Kiranya hal seperti ini tidak dibenarkan untuk terjadi. Pada akhirnya mengalami perubahan lokasi ke daerah Sekeloa, dekat UNPAD. Permintaan perumahan di kota-kota besar memang saat ini sangat tinggi, terlebih jika harga yang ditawarkan adalah harga bersaing dan lokasinya berada pada lokasi yang strategis. Dinamika perkembangan perumahan yang dikuasai oleh kaum kapital sebaiknya harus lebih dapat dikendalikan lagi di masa yang akan datang sehingga tidak terjadi kerugian bagi masyarakat di kemudian hari seperti di atas. 80 Bab. 7 PERENCANAAN DAN PERANCANGAN TATA GUNA LAHAN DAN SIRKULASI PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN Peruntukan lahan untuk fungsi perumahan mencakup penggunaan lahan terbesar di kota-kota besar manapun. Keberhasilan perancangan dan pembangunan perumahan sangat penting agar dapat berfungsi secara efisien dan menarik secara estetis. Hampir semua pembangunan perumahan terjadi dari subdivisi lahan yang masih alamiah dalam artian belum terolah menjadi bangunan. Pembagian demikian merupakan proses yang melibatkan pembagian lahan yang relatif luas menjadi blok-blok oleh sirkulasi jalan yang memberikan akses. Pada bab 4 telah dijelaskan mengenai teori-teori dan juga aturan yang merupakan pedoman dasar tata lingkungan perumahan. Adapun bab 7 ini adalah pembahasan yang lebih detail mengenai perencanaan ruang-ruang di lingkungan yang terbentuk di lingkungan permukiman dan juga teori perencanaan yang lebih detail mengenai sirkulasi baik jalan maupun pedestrian, pada lingkup makro hal ini untuk kepentingan kualitas perencanaan kota. Kota memiliki bermacam-macam kategori tergantung pada potensinya, baik desa ataupun kota sebenarnya memiliki fungsi yang sama yakni kegiatan produksi. Menurut Burgess (19..), terdapat 3 wahana produksi yakni : “industrial”, “manufacture” dan “artisanal”. Perencanaan lahan ruang terbuka untuk perumahan perkotaan misalnya untuk saat ini haruslah lebih teliti dari segi : pemilihan jenis pohon, setting perilaku pada ruang terbuka, dan pemerhatian terhadap pelestarian alam haruslah lebih baik. Pembangunan berkelanjutan (sustainable development), mesti dikaji dalam proses sehingga tidak menjadikan dampak besar di kemudian hari. Petak-petak blok lahan ini lazimnya dibagi lagi menjadi persil kavling milik pribadi. Untuk suatu pembangunan rumah sewa atau koperasi, mungkin pembagian persil milik pribadi. Untuk pembangunan rumah sewa atau koperasi, mungkin pembangunan persil semacam ini tidak akan terjadi. Beberapa bagian lahan yang luas ini akan disediakan untuk taman semacam ini tidak akan terjadi. Beberapa bagian lahan yang luas ini akan disediakan untuk taman atau sekolahan. Daerah yang berdekatan biasanya memuat pertokoan dan fasilitas lingkungan lainnya. Fasilitas-fasilitas umum dan juga sosial diperlukan dalam lingkungan permukiman supaya fungsi permukiman dapat berjalan lancar. Jika proses ini berlangsung di suatu daerah yang belum dibangun, maka hasilnya secara umum dinyatakan sebagai “kota baru”. Tren kota-kota baru di kota-kota besar terlebih Jakarta banyak terdengar pada waktu menjelang abad ke-20. 81 Apabila hal ini berlangsung berdekatan dengan daerah terbangun yang sudah ada maka pembangunan ini dianggap sebagai bagian atau tambahan dari lingkungan yang sudah ada. Pada kedua kasus ini maka proses yang terjadi pada dasarnya sama. Perancangan kota baru yang baik haruslah melihat pada rencana sistem infrastruktur kota secara keseluruhan. Agar supaya perancangan yang dihasilkan merupakan sistem yang dapat terintegrasi dengan baik dengan kota. Sebagaimana kita ketahui bahwa perumahan baru pasti akan memiliki dampak terhadap lalu lintas jalan, terhadap pembuangan limbah cair dan sampah dan juga dampakdampak sosial lainnya yang harus dapat diprediksi dengan baik oleh perencana. Terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara kota-kota besar dan kota-kota baru atau kota kecil. Untuk kota besar dengan kategori metropolitan sekarang trennya sudah cenderung mengarah ke dominasi perkembangan rumah berlantai banyak (susun), atau jenis perumahan dengan jumlah terbatas (cluster). Namun untuk kota-kota-kota baru atau kota kecil yang sedang berkembang dengan luasan lahan yang masih luas masih dimungkinkan terjadinya perkembangan perumahan landed house (perkembangan secara horizontal). Bagian ini akan menguraikan proses pembangunan perumahan dan berbagai tahapannya. Penekanannya adalah pada pembangunan fisik dan bukan aspek administratif atau perundangundangannya. Standar intensitas penggunaan tanah memberikan suatu cara untuk menentukan luas ruang terbuka yang harus disediakan oleh luas lantai tertentu. Lalu bagaimana pula strategi manajemen lahan untuk jenis-jenis bentuk dan intensitas kota yang berbeda seperti di atas. Tipe jalan dan parkir adalah unsur penting untuk rancangan subdivisi perumahan manapun. Sistem jalan harus diletakkan secara fungsional dan sesuai dengan kegunannya. Sistem ini memerlukan pemisahan atau klasifikasi, jalan lokal, kolektor dan utama. Yang langsung berhubungan dengan tata letak atau tipe parkir yang akan digunakan. Ruang terbuka dan sirkulasi pejalan kaki merupakan aspek penting lainnya dalam proses subdivisi. 7.1 Intensitas Tata Guna Lahan Arti Intensitas Tata Guna Tanah dalam Standar Ketentuan Minimum untuk Rumah Susun (1965) dari Badan Perumahan Federal Amerika Serikat (Federal Housing Administration= FHA), intensitas tataguna lahan berarti hubungan menyeluruh dari masa struktur dan ruang terbuka di suatu daerah terbangun. Ia mengaitkan jumlah luas lantai, ruang terbuka, ruang hunian, ruang rekreasi dan ruang penyimpanan mobil terhadap luas tapak, atau luas lahan. Intensitas tata guna lahan hamper serupa dengan kepadatan: unit hunian atau penghuni per acre. Tetapi pendekatannya berbeda; ia mencakup cakrawala faktor perencanaan yang lebih luas dan keterkaitannya. Pola kota memiliki berbagai ragam pengaturan ruang. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Pola perkembangan yang konsentrik, yaitu bentuk tipikaldari kota zaman pertengahan yang biasanya ditemukan pada daerah kota yang kecil, apabila ciri 82 topografi tidak membentuk penggunaan lahan kota. 2. Pola perkembangan tipe pita, yaitu penggunaan intensif yang diletakkan dalam bentuk linier, seperti di sepanjang jalan raya utama pada suatu kota kecil. 3. Pola radial, seperti jari-jari roda, yang biasanya terlihat di tengah kota atau daerah dengan tataguna tanah intensif lain sepanjang jalur transportasi, jalan. 7.2 Pengertian Tata Guna Lahan (Land Use) Land use atau tata guna lahan adalah pengaturan mengenai penggunaan lahan dimana memerlukan sumberdaya manusia dan sumberdaya lainnya. Terdiri dari lahan terbangun (urban solid) dan lahan terbuka (urban void). Pendekatan “figure ground” adalah suatu bentuk usaha untuk memanipulasi atau mengolah pola “existing figure ground” dengan cara penambahan, pengurangan, atau pengubahan pola geometris dan juga merupakan bentuk analisa hubungan antara massa bangunan dengan ruang terbuka Figure ground menekankan adanya “public civics space” atau “open space” pada kota sebagai figur. Melalui “figure ground plan” dapat diketahui antara lain pola atau tipologi, konfigurasi “solid void” yang merupakan elemental kawasan atau pattern kawasan penelitian, kualitas ruang luar sangat dipengaruhi oleh figur bangunan-bangunan yang melingkupinya, dimana tampak bangunan merupakan dinding ruang luar, oleh karena itu tata letak, bentuk dan fasade (bagian muka) sistem bangunan harus berada dalam sistem ruang luar yang membentuknya. Komunikasi antara privat dan publik tercipta secara langsung. Ruang yang mengurung (enclosure) merupakan void yang paling dominan, berskala manusia (dalam lingkup sudut pandang mata 25-30 derajat) void adalah ruang luar yang berskala interior, dimana ruang tersebut seperti di dalam bangunan, sehingga ruang luar yang “enclosure” terasa seperti interior. Diperlukan keakraban antara bangunan sebagai private domain dan ruang luar sebagai public domain yang menyatu. 1. Urban solid Solid adalah bentukan fisik dari kota, yaitu berupa bangunan-bangunan dan blok-blok kosong. Tipe urban solid terdiri dari: Massa bangunan, monumen Persil lahan blok hunian yang ditonjolkan Edges yang berupa bangunan 2. Urban void Void adalah ruang kosong yang terdapat diantara bangunan-bangunan atau tatanan bangunan yang terbentuk oleh adanya ruang terbuka, misalnya jalan yang merupakan ruang penghubung antar bangunan. 83 Tipe urban void terdiri dari: Ruang terbuka berupa pekarangan yang bersifat transisi antara publik dan privat Ruang terbuka di dalam atau dikelilingi massa bangunan bersifat semi privat sampai privat Jaringan utama jalan dan lapangan bersifat publik karena mewadahi aktivitas publik berskala kota Area parkir publik bisa berupa taman parkir sebagai nodes yang berfungsi preservasi kawasan hijau Sistem ruang terbuka yang berbentuk linier dan curva linier. Tipe ini berupa daerah aliran sungai, danau dan semua yang alami dan basah. 7.3 Pembagian Tata Guna Lahan (Land Use) Tata guna lahan (land use) terbagi menjadi dua bagian, yaitu : 1. Kawasan terbangun, meliputi fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, fasilitas peribadatan, fasilitas perumahan fasilitas perkantoran, fasilitas rekreasi dan olah raga, fasilitas perdagangan dan jasa serta fasilitas umum. 2. Kawasan terbuka/tak terbangun, RTH (Ruang Terbuka Hijau) adalah ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas baik dalam bentuk areal memanjang/ jalur maupun dalam bentuk lain, dimana dalam penggunaanya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan dan pemanfaatannya lebih bersifat pengisian hijau tanaman atau tumbuhan. 3. Daerah konservasi adalah daerah yang mengandung arti perlindungan sumberdaya alam dan tanah tebuka serta pelestarian daerah perkotaan. Kawasan lindung diatur dalam keppres RI Nomor 32 tahun 1990. 7.4 Teori Keterkaitan ( linkage ) Linkage artinya berupa garis semu yang menghubungkan antara elemen yang satu dengan yang lain, nodes yang satu dengan nodes yang lain, atau distrik yang satu dengan yang lain. Garis ini bisa berbentuk jaringan jalan, jalur pedestrian, ruang terbuka yang berbentuk segaris dan sebagainya. Menurut Fumuhiko Maki, Linkage adalah semacam perekat kota yang sederhana, suatu bentuk upaya untuk mempersatukan seluruh tingkatan kegiatan yang menghasilkan bentuk fisik suatu kota. Menurut Shirvani (1985), linkage menggambarkan keterkaitan elemen bentuk dan tatanan masa bangunan, dimana pengertian bentuk dan tatanan massa bangunan tersebut akan meningkatkan fungsi kehidupan dan makna dari tempat tersebut. Karena konfigurasi dan penampilan massa bangunan dapat membentuk, mengarahkan, menjadi orientasi yang mendukung elemen linkage tersebut. 84 1. Tipe-Tipe Teori Linkage Urban Space Teori ini terbagi menjadi 3 tipe yaitu: a. Compositional form Bentuk ini tercipta dari bangunan yang berdiri sendiri secara 2 dimensi. Dalam tipe ini hubungan ruang jelas walaupun tidak secara langsung. b. Mega form Susunan-susunan yang dihubungkan ke sebuah kerangka berbentuk garis lurus dan hirarkis. c. Group form Bentuk ini berupa akumulasi tambahan struktur pada sepanjang ruang terbuka. Kota-kota tua dan bersejarah serta daerah pedesaan menerapkan pola ini. 2. Teori Lokasi (Place) Bila pada figure ground theory dan linkage theory ditekankan pada konfigurasi massa fisik , dalam place theory ditekankan bahwa integrasi kota tidak hanya terletak pada konfigurasi fisik morfologi, tetapi integrasi antara aspek fisik morfologi ruang dengan masyarakat atau manusia yang merupakan tujuan utama dari teori ini, melalui pandangan bahwa urban design pada dasarnya bertujuan untuk memberikan wadah kehidupan yang baik untuk penggunaan ruang kota baik publik maupun privat. Pentingnya place theory dalam spasial design yaitu pemahaman tentang culture dan karakteristik suatu daerah yang ada menjadi ciri khas untuk digunakan sebagai salah satu pertimbangan agar penghuni (masyarakat) tidak merasa asing di dalam lingkungannya. Sebagaimana tempat mempunyai masa lalu (linkage history), tempat juga terus berkembang pada masa berikutnya. Artinya, nilai sejarah sangat penting dalam suatu kawasan kota. Aspek spesifik lingkungan menjadi indikator yang sangat penting dalam menggali potensi, mengatur tingkat perubahan serta kemungkinan pengembangan di masa datang. Teori ini berkaitan dengan space terletak pada pemahaman atau pengertian terhadap budaya dan karakteristik manusia terhadap ruang fisik. Space adalah void yang hidup mempunyai suatu keterkaitan secara fisik. Space ini akan menjadi place apabila diberikan makna kontekstual dari muatan budaya atau potensi muatan lokalnya. 7.5 Teori Desain Ruang Kota Salah satu bentuk keberhasilan pembentuk place adalah seperti aturan yang dikemukakan Kevin Lynch untuk desain ruang kota: 1. Legibillity (kejelasan) Sebuah kejelasan emosional suatu kota yang dirasakan secara jelas oleh warga kotanya. Artinya suatu kota atau bagian kota atau kawasan bisa dikenali dengan cepat dan jelas mengenai distriknya, landmarknya atau jalur jalannya dan bisa langsung dilihat pola 85 keseluruhannya. 2. Identitas dan susunan Identitas artinya image orang akan menuntut suatu pengenalan atas suatu obyek dimana didalamnya harus tersirat perbedaan obyek tersebut dengan obyek yang lainnya, sehingga orang dengan mudah bisa mengenalinya. Susunan artinya adanya kemudahan pemahaman pola suatu blok-blok kota yang menyatu antar bangunan dan ruang terbukanya. 3. Imageability Artinya kualitas secara fisik suatu obyek yang memberikan peluang yang besar untuk timbulnya image yang kuat yang diterima orang. Image ditekankan pada kualitas fisik suatu kawasan atau lingkungan yang menghubungkan atribut identitas dengan strukturnya. Kevin Lynch menyatakan bahwa image kota dibentuk oleh 5 elemen pembentuk wajah kota, yaitu: a. Paths Adalah suatu garis penghubung yang memungkinkan orang bergerak dengan mudah. Paths berupa jalur, jalur pejalan kaki, kanal, rel kereta api, dan yang lainnya. b. Edges Adalah elemen yang berupa jalur memanjang tetapi tidak berupa paths yang merupakan batas antara 2 jenis fase kegiatan. Edges berupa dinding, pantai hutan kota, dan lain-lain. c. Districts Districts hanya bisa dirasakan ketika orang memasukinya, atau bisa dirasakan dari luar apabila memiliki kesan visual. Artinya districts bisa dikenali karena adanya suatu karakteristik kegiatan dalam suatu wilayah. d. Nodes Adalah berupa titik dimana orang memiliki pilihan untuk memasuki districts yang berbeda. Sebuah titik konsentrasi dimana transportasi memecah, paths menyebar dan tempat mengumpulnya karakter fisik. e. Landmark Adalah titik pedoman obyek fisik. Berupa fisik natural yaitu gunung, bukit dan fisik buatan seperti menara, gedung, sculpture, kubah dan lain-lain sehingga orang bisa dengan mudah mengorientasikan diri di dalam suatu kota atau kawasan. 86 Gambar 28. Ilustrasi 5 elemen pembentuk wajah kota (image of the city) menurut Kevin Lynch Sumber : Lynch, Kevin (1960)., Images of the City., Harvard (MIT)., Paperback 4. Visual and symbol conection a. Hubungan yang terjadi karena kenyamanan visual (Visual conection) Visual conection adalah hubungan yang terjadi karena adanya kesamaan visual antara satu bangunan dengan bangunan lain dalam suatu kawasan, sehingga menimbulkan image tertentu. Visual conection ini lebih mencakup ke non visual atau ke hal yang lebih bersifat konsepsi dan simbolik, namun dapat memberikan kesan kuat dari kerangka kawasan Dalam pengaturan suatu land use atau tata guna lahan, relasi suatu kawasan memegang peranan penting karena pada dasarnya menyangkut aspek fungsional dan efektivitas. Seperti misalnya pada daerah perkantoran pada umumya dengan perdagangan atau fungsi-fungsi lain yang kiranya memiliki hubungan yang relevan sesuai dengan kebutuhannya. b. Symbolic connection Symbolic connection dari sudut pandang komunikasi simbolik dan cultural anthropology meliputi: Vitality Melalui prinsip-prinsip sustainance yang mempengaruhi sistem fisik, safety yang mengontrol perencanaan urban struktur, sense seringkali diartikan sebagai sense of place yang merupakan tingkat dimana orang dapat mengingat tempat yang merupakan tingkat dimana orang dapat mengingat tempat yang memiliki keunikan dan karakteristik suatu kota. Fit Menyangkut pada karakteristik pembangkit sistem fisikal dari struktur kawasan yang berkaitan dengan budaya, norma dan peraturan yang berlaku. 87 7.6 Pola Sirkulasi Jalan Ada banyak pola jalan pada perumahan tergantung perencana mendesain jalan tersebut agar memudahkan akses penghuni untuk memasuki perumahan tersebut atau akses untuk kejalan utama dan perlu diperhatikan juga kontur dan arah pola jalan sebelumnya. Berikut beberapa pola jalan pada kavling perumahan : a. Gridion b. Culdesac c. Lengkung d. Simpangan e. Taman f. Loop Gambar 29. Pola-pola Jalan Sumber : Chiara, Joseph De (1978); Standar Perencanaan Tapak, Jakarta : Erlangga Pola-pola di atas pada masa awal perkembangan kota dapat diterapkan secara lebih bervariasi pada perancangan lahan perumahan. Misalnya adanya beberapa pola yakni pola grid, culdesac dan taman yang disinergikan dalam lahan perumahan yang sangat luas. Sebagai contoh misalnya perumahan Batununggal di Bandung atau Bumi Serpong Damai (BSD) di Jakarta. Akan tetapi kalau lahannya terbatas, hanya dapat dibangun untuk sekitar 20 atau bahkan 10 rumah seringkali pola yang dapat digunakan terbatas, misalnya pola loop saja, atau pola taman atau culdesac. 7.7 Klasifikasi Sirkulasi Jalan Klasifikasi Jalan Menurut Fungsi : 1. Jalan Arteri Yaitu jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri perjalanan jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien. Biasanya jaringan jalan ini melayani lalu lintas tinggi antara kota-kota penting. Jalan dalam golongan ini harus direncanakan dapat melayani lalulintas cepat dan berat. 88 2. Jalan Kolektor Yaitu jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan sedang, dan jumlah jalan masuk dibatasi. Biasanya jaringan jalan ini melayani lalu lintas cukup tinggi antara kota-kota yang lebih kecil, juga melayani daerah sekitarnya. 3. Jalan Lokal Yaitu jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri perjalanan jarak pendek, kecepatan rata-rata sedang dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi. Biasanya jaringan jalan ini digunakan untuk keperluan aktifitas daerah, juga dipakai sebagai jalan penghubung antara jalan-jalan dari golongan yang sama atau berlainan. 7.8. Tipe Jalan Adapun jenis-jenis jalan adalah sebagai berikut : Jalan lokal sekunder 1 adalah jalan yang terdiri dari 2 jenis jalan, yaitu : Jalan Setapak : Jalan yang diperuntukkan bagi pejalan dan kendaraan beroda dua dengan lebar badan jalan minimum 2 m maksimum 3,5 m. Jalan Kendaraan : Jalan yang diperuntukkan bagi kendaraan bermotor roda dua atau tiga serta mungkin bagi kendaraan roda empat dengan lebar badan jalan minimum 3,5 m dan maksimum 5 m. Jalan Lokal Sekunder II, adalah suatu jalan yang diperuntukkan bagi kendaraan bermotor roda tiga atau lebih dengan lebar jalan tidak kurang dari 5 m. Jalan Kolektor Sekunder adalah jalan yang menghubungi antar lingkungan perumahan dan dirancang berdasarkan kecepatan rencana minimum 20 km/jam, dengan lebar jalan minimum 7 m. Jalan Arteri Sekunder adalah jalan yang menghubungkan antara kawasan perumahan dan dirancang berdasarkan kecepatan rencana minimum 30 km/jam, dengan lebar badan jalan minimum 8 m. Gambar 30. Tipe-tipe Jalan Sumber : Chiara, Joseph De (1978); Standar Perencanaan Tapak, Jakarta : Erlangga 89 Dengan adanya teori-teori mengenai pola, tipe dan klasifikasi jalan di atas, maka sirkulasi pada lingkungan perumahan dan permukiman dapat direncanakan dan dirancang. Yang paling menentukan biasanya adalah kondisi eksisting jalan di sekitar, sehingga yang pertama ditentukan adalah dimana posisi entrance. Baru setelah itu optimasi perancangan dilakukan dengan pengaturan district (bagian-bagian) dari fungsi pada tapak yakni berupa komponenkomponen massa bangunan, vegetasi, parkir, pedestrian, elemen-elemen landscape furniture dan sebagainya (White: 2001) Konseptual didapatkan setelah melakukan analisis tapak terlebih dahulu secara terperinci dengan demikian seorang arsitek telah memahami potensi dan analisis dari faktor-faktor tapak tersebut. 7.9. Penampang Tipikal Jalan a. Jalan Gambar 31. Penampang jalan Sumber : Deasy Hartanti M (2013) b. Badan Jalan Gambar 32. Penampang badan jalan Sumber : Deasy Hartanti M 90 Comment [I1]: benerin 7.10. Subdivisi a. Peta Lingkungan Gambar 33. Peta lingkungan b. Peta Kontur Gambar 34. Peta kontur 91 Gambar 35. Contoh Potongan kontur c. Sketsa Pendahuluan Pola Jalan Gambar 36. Peta kontur 3D Sumber : Habitat, An Urbanizing World; Global Report On Human Settlements 1996, Oxford University Press, New York, 1996. 92 d. Penampang Jalan Gambar 37. Potongan jalan Sumber : Deasy Hartanti M (2013) e. Saluran Air pada Lahan Gambar 38. Saluran air kotor Sumber : Azwar, A. (1996). Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan . Jakarta : Mutiara Sumber Widya 93 f. Saluran Utilitas Air Gambar 39. Skema Jalur Air Bersih dan Air Kotor untuk Rumah 2 lantai Sumber : Azwar, A. (1996). Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan . Jakarta : Mutiara Sumber Widya. Gambar 40. Contoh Skema Utilitas Rumah 1 lantai Sumber : Azwar, A. (1996). Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan . Jakarta : Mutiara Sumber Widya. g. Perletakan Aliran Gambar 41. Detail Perletakan aliran Sumber : Azwar, A. (1996). Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan . Jakarta : Mutiara Sumber Widya. 94 h. Pertimbangan Rancangan Setelah perancangan selesai, maka tidak langsung dieksekusi rancangan tersebut, terlebih dahulu harus dipertimbangkan baik buruknya, apa kendala dan solusinya agar perancangan tersebut bisa terlaksana dengan baik dan benar. 7.11. Alternatif Ruang Terbuka: Secara umum ruang terbuka publik (open spaces) di perkotaan terdiri dari ruang terbuka hijau dan ruang terbuka non-hijau. Mengingat pentingnya peran ruang terbuka (ruang terbuka hijau maupun ruang terbuka non hijau) dalam penataan ruang kota maka ketentuan mengenai hal tersebut perlu diatur. Dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang pasal 31 juga diamanatkan perlunya ketentuan mengenai penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau dan ruang terbuka non hijau. Pada Tahun Anggaran 2008 telah ditetapkan Permen PU No. 5/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Pada Tahun Anggaran 2009 ini telah ditetapkan “Permen PU No. 11/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Non Hijau (RTNH) di Wilayah Perkotaan/Kawasan Perkotaan”. Ruang Terbuka menurut UU 26/07 adalah ruang yang secara fisik bersifat terbuka, dengan kata lain ruang yang berada di luar ruang tertutup (bangunan). Dalam definisi lain, ruang terbuka hijau adalah ruang terbuka yang ditumbuhi tanaman (UU 26/07). Sehingga ruang terbuka yang tidak ditumbuhi tanaman tidak dapat digolongkan sebagai RTH. Sementara ruang terbuka non hijau, (Pedoman RTH) ruang terbuka di bagian wilayah perkotaan yang tidak termasuk dalam kategori RTH, berupa lahan yang diperkeras maupun yang berupa badan air. 95 a. Jenis-jenis ruang terbuka : Berikut dibawah ini adalah ilustrasi bentukan ruang-ruang terbuka yang dapat terjadi di lingkungan perumahan menurut teori Chiara (1978) : Gambar 42. Jenis-jenis Bentukan Ruang Terbuka Sumber : Chiara, Joseph De (1978); Standar Perencanaan Tapak, Jakarta: Erlangga (a).Ruang terbuka privat pada lahan yang bersebelahan dengan unit hunian; ruang terbuka bersama menjadi berkurang hanya sekedar ruang pencapaian. (b). Ruang terbuka pribadi di dalam atau pada struktur bangunan bersebelahan dengan unit bangunan; ruang terbuka bersama berkurang menjadi sekedar ruang pencapaian. (c). Ruang terbuka pribadi pada permukaan tanah di dalam atau pada struktur bangunan bersebelahan dengan unit hunian; ruang terbuka bersama dimiliki oleh kelompok-kelompok unit hunian. (d). Ruang terbuka pribadi pada permukaan tanah atau di dalam struktur bangunan bersebelahan dengan unit hunian. (d). Ruang terbuka pribadi pada permukaan tanah atau di dalamm struktur bangunan bersebelahan dengan unit hunian; ruang terbuka bersama dipadukan dengan parkir dimiliki oleh kelompok-kelompok unit hunian. (e). Ruang terbuka bersama dipadukan dengan parkir dan dimiliki oleh kelompok-kelompok hunian. (g). Ruang terbuka bersama dimiliki oleh semua kelompok hunian. b. Contoh ruang terbuka (public space). Gambar 43. Contoh ruang terbuka http://seputarhotel.blogspot.com/2013/07/bintaro-jaya-primadona-perumahan.html Sistem sirkulasi jalan harus terintegrasi dengan sistem sirkulasi pedestrian, vegetasi, dan juga elemen-elemen perencanaan tapak lainnya. Kesatuan perancangan yang baik akan menghasilkan lingkugan perumahan yang baik, nyaman dan asri dalam sistem kota. 96 7.12. Peletakan dan Tipe Parkir Lingkungan fasilitas umum dan sosial di lingkungan perumahan permukiman harus memenuhi standar kaidah parkir yang benar dan juga estetis (indah). Di bawah ini adalah beberapa persyaratan parkir : a. Tata Letak Parkir Gambar 44. Jenis-jenis perletakan parkir Sumber : Chiara, Joseph De (1978); Standar Perencanaan Tapak, Jakarta : Erlangga b. Parkir Tepi Jalan Gambar 45. Jenis parker Sumber : Chiara, Joseph De (1978); Standar Perencanaan Tapak, Jakarta : Erlangga. 97 Gambar 46. Ruang Gerak Kendaraan pada Ruang Parkir Sumber : Chiara, Joseph De (1978); Standar Perencanaan Tapak, Jakarta : Erlangga 7.13. Prasarana Dan Sarana Lingkungan Serta Utilitas Umum Perumahan Umum : 1. Perencanaan prasarana, sarana, dan utilitas umum harus memenuhi persyaratan administratif, teknis, dan ekologis. 2. Prasarana lingkungan perumahan meliputi : a. jalan; b. drainase; c. air limbah; d. persampahan; dan e. penerangan jalan. 3. Sarana lingkungan perumahan meliputi fasilitas : a. pendidikan; b. kesehatan; c. perbelanjaan dan niaga; dan d. umum dan sosial. 4. Utilitas umum perumahan meliputi : a. air bersih; dan b. pemadam kebakaran. 5. Pengembang wajib melestarikan fungsi irigasi di lokasi pembangunan perumahan. 6. Apabila dalam lokasi pembangunan perumahan akan dilakukan penggeseran jaringan irigasi harus mendapat persetujuan dari Perkumpulan Petani Pemakai Air yang membidangi jaringan irigasi. 7. Prasarana Lingkungan 98 Jalan : 1. Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a dalam lingkungan perumahan meliputi : a. Jalan masuk; b. Jalan utama; c. Jalan pembantu; dan d. Jalan pembagi. 2. Jalan masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan jalan yang menghubungkan jalan yang sudah ada dengan jalan lokasi perumahan dengan lebar paling rendah sama dengan lebar jalan yang terlebar dalam perumahan. 3. Jalan utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan jalan yang menghubungkan antara jalan lingkungan pembagi satu dengan jalan lingkungan pembagi lainnya dengan jalan masuk di dalam perumahan dengan lebar paling rendah 7 (tujuh) meter (termasuk drainase). 4. Jalan pembantu sebagaimana pada ayat (1) huruf c adalah jalan yang menghubungkan antara jalan pembagi satu dengan jalan pembagi lainnya dengan lebar paling rendah 5 (lima) meter sampai 7 (tujuh) meter disesuaikan dengan besarnya rumah, terdiri atas : b. Untuk tipe inti sampai dengan tipe 36 (tiga puluh enam) meter persegi paling rendah lebar jalan pembagi 5 (lima) meter; c. Untuk rumah tipe lebih besar dari tipe 36 ( tiga puluh enam) meter persegi sampai dengan tipe 70 (tujuh puluh) meter persegi paling rendah lebar jalan lingkungan 6 (enam) meter; dan d. Untuk rumah tipe lebih besar dari tipe 70 (tujuh puluh) meter persegi paling rendah lebar jalan lingkungan 7 (tujuh) meter. 5. Jalan pembagi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d adalah jalan menuju kapling yang ada dengan lebar paling rendah 4 (empat) meter. 6. Jalan dalam lingkungan perumahan harus menyediakan ruang untuk berputar kendaraan roda empat (culdesac). 7. Jalan buntu yang diperbolehkan dengan panjang jalan paling tinggi 30 (tiga puluh) meter dan tidak disyaratkan menyiapkan tempat berputar. 8 8. Sistem prasarana dan sarana sirkulasi baik sirkulasi horisontal maupun vertical dalam rumah susun harus mempertimbangkan kebutuhan sirkulasi penghuni, jumlah penghuni, dan mempertimbangkan pelayanan evakuasi dalam kondisi darurat. Sehingga selain memenuhi standar umum harus memenuhi kaidah standar khusus kondisi bencana. 99 Gambar 47. Contoh Rencana Tapak dan Desain Perumahan yang mengikuti kaidah-kaidah yang tepat. Gerbang direncanakan dengan baik dan jelas dan memiliki kekhasan karakter lokal setempat. Penempatan fasilitas umum dan fasilitas sosial yang strategis dan mudah dijangkau. Privacy perumahan yang terjaga dan ruang terbuka sebgai paru-paru lingkungan cukup hijau dan memadai. Sumber : SML., Hong Kong, (2009), Top House, Patrika Book Center., New Delhi., India 100 Bab. 8 PERUMAHAN SEDERHANA DAN RUMAH SUSUN (APARTEMEN) 8.1 PERUMAHAN SEDERHANA Indonesia masih termasuk ke dalam kategori negara berkembang, dimana tingkat penghasilan masyarakat masih banyak pada kategori sedang (menengah) dan rendah. Memang sejalan dengan waktu struktur masyakat ini berubah, ada peningkatan jumlah masyarakat menengah ke atas dan menengah. Namun jumlah masyarakat berpenghasilan rendah masih tergolong tinggi. Tercatat bahwa masih ada 30 juta penduduk Indonesia yang memiliki penghasilan di bawah Rp. 12.000,- perhari, menurut data yang dikemukakan oleh ketua APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonesia), pada suatu Seminar pada tahun 2014 di JCC, Jakarta. Dengan kata lain penghasilan mereka tidak sampai Rp. 700.000,- perbulan. Pada perkembangan kota yang dinamis menurut Yosita (2013), terdapat faktor-faktor penentu yakni : (1). Integrasi antar multi stakeholders, (2). Figur pemimpin, (3). Kondisi Sosial dan Budaya, (4). Peran/ keterlibatan universitas, dan (5). Partisipasi Masyarakat. Pada masyarakat berpenghasilan rendah (low income people), berbeda dengan masyarakat menegah ke atas, di mana faktor figur pemimpin, keterlibatan universitas dan partisipasi masyarakat menjadi faktor yang lebih signifikan dalam menindaklanjuti masalah kebutuhan perumahan-permukiman. Keterbatasan akses, tingkat pendidikan dan juga kondisi sosial mereka membuat diperlukannya jenis pengadaan atau perbaikan permukiman dengan strategi dan teknik khusus. Untuk kotakota dengan populasi yang besar seperti Bandung, Jakarta, dan sebagainya akan lebih sulit dibandingkan kota yang lebih kecil seperti : Solo atau Palembang. Penghasilan sangat terkait dengan kemaampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan mengenai perumahan. Berikut di bawah ini adalah perkembangan kebutuhan perumahan berdasarkan golongan masyarakatnyamulai dari kelompok masyarakat berpenghasilan sangat rendah sampai dengan golongan atas : 101 Tabel 2 Skema pelaku (aktor) pembangunan perumahan 8.1.1 Pengertian Perumahan Sederhana Perumahan sederhana adalah perumahan dengan harga yang relatif murah (low cost housing) yang dapat dijangkau oleh golongan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Dalam istilah asingnya selain disebut low cost housing bisa juga disebut sebagai affordable housing. Perumahan sederhana adalah tipe perumahan dengan luas bangunan antara 21m2 – 90m2. Pada perumahan sederhana biasanya ruangan-ruangan yang tersedia biasanya merupakan ruangan-ruangan primer seperti ruang tidur, ruang tamu, dan ruang makan. Bahkan pada tipetipe dengan luas yang kecil fungsi-fungsi tersebut digabungkan dalam satu ruang, misalnya ruang tamu berfungsi juga sebagai ruang keluarga dan ruang makan pada rumah tipe 21. 8.1.2 Syarat-syarat Perencanaan Perumahan Sederhana Untuk mengetahui persyaratan mengenai rumah sederhana kita perlu mengetahui siapa sajakah orang (subyek) yang memerlukan rumah sederhana tersebut. Mereka adalah : - Buruh atau pekerja industri pangkat biasa. - Karyawan-karyawan perkantoran dengan status biasa - Pegawai negeri dengan pangkat biasa atau masih pemula. - Siswa yang sedang belajar. - Keluarga muda - Masyarakat yang berlokasi di pinggiran-pinggiran kota Perencanaan perumahan sederhana akan berhasil apabila dilakukan berbagai pendekatan, seperti: Pendanaan, pertanahan, perijinan, sosial ekonomi, budaya dan teknik teknologis, bila diuraikan meliputi hal-hal sebagai berikut : - Menggiatkan masyarakat untuk membangun sendiri pondoknya/ rumah sederhana (konsep partisipasi masyarakat). Kepandaian manusia untuk membangun rumahnya sendiri di negara-negara Barat sudah hilang, akan tetapi di negara-negara yang sedang membangun seperti Indonesia kepandaian manusia ini harus dipelihara dan didukung oleh pemerintah. - Menggunakan teknologi sederhana yang seimbang dengan kepandaian pertukangan tradisional setempat. 102 - - 8.1.3 Menggunakan bentuk, konstruksi dan bahan bangunan tradisional setempat. Menghindari teknologi yang harus diimpor/ yang asing dan bahan bangunan jadi seperti elemen dan rumah pre - fabricated. Memilih bahan bangunan dan konstruksi-konstruksi yang dapat disesuaikan dan/atau diperbanyak dengan mudah oleh penghuni sendiri tanpa keahlian/pengalaman khusus. Meski bangunan adalah perumahan sederhana tetap mesti mempertimbangkan standarisasi, misalnya memiliki kemungkinan untuk perletakkan mebel, menampung aktivitas keluarga secara baik dan sebagainya. Perkembangan Rancang Bangun Rumah Sederhana Sejak tahun 1957 Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan-LPMB (yang sekarang bernama Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, Balitbang-Departemen Pekerjaan Umum) telah melakukan penelitian dan pembangunan rumah percobaan didasarkan pada rancangan bangunan yang telah dipelajari dan diamati. Rencana perumahan sederhana dan murah yang telah disiapkan oleh LPMB antara lain meliputi pembangunan beberapa prototipe, yaitu : - Perumahan Dokter (Health Center), Lemah Abang tahun 1957. - Perumahan Veteran Teluk Lada, Banten tahun1958. - Perumahan Pegawai DKA Bandung, 1959. - Perumahan Pegawai Jawatan Kesehatan, Bandung, tahun 1960. - Perumahan Pegawai di Kalimantan tahun 1960. - Perumahan AURI di Malang tahun 1960. - Perumahan Rakyat percobaan di Pejompongan, Jakarta tahun 1960. - Perumahan Buruh tahun 1961. - Perumahan Pegawai LPMB, berbentuk maisonette, Bandung 1962. - Perumahan Pegawai di Irian jaya tahun 1964. - Perumahan PegawaiPerkebunan tahun 1965. - Perumahan Percobaan LPMB dari bahan sekam padi 1968. Selain dari pembangunan perumahan di atas, juga dilakukan berbagai program yang masih dalam lingkup pengupayakan pemenuhan kebutuhan perumahan sederhana, seperti: Program Kawasan Siap Bangun (KASIBA), Pemugaran Perumahan Desa, Perumahan Usaha Tani dan Pembangunan Rumah Susun. Khusus mengenai rumah susun akan dibahas pada pokok bahasan selanjutnya. Sebelum dilakukan pembangunan perumahan secara besar-besaran melalui tahapan pengamatan pada prototipe rumah-rumah sederhana yang dibangun secara terbatas untuk dipelajari dan diamati. 103 Gambar 48. Prototipe Rumah Sederhana Sumber: Yudohusodo Siswono, dkk (1991), Rumah untuk Seluruh Rakyat, INKOPPOL, Jakarta Gambar 49. Contoh Rumah Sederhana Sumber : http://www.scribd.com/doc/54192794/Pedoman-Teknis-Pembangunan-RumahSederhana#scribd 104 Gambar 50. Contoh Hasil Akhir Inovasi Rumah Sederhana Sumber : http://www.scribd.com/doc/54192794/Pedoman-Teknis-Pembangunan-Rumah-Sederhana#scribd Masih banyak permasalahan mengenai perumahan sederhana di Indonesia. Misalnya saja perumahan bagi kalangan buruh yang sampai saat ini belum dapat juga direalisasikan secara keseluruhan. Penghasilan buruh saat ini yang sekitar 2,3 juta, rata-rata mereka harus menyisihkan penghasilan sebanyak 20% untuk menyewa kontrakan. Jumlah tersebut adalah jumlah terbesar berikutnya setelah kebutuhan pangan (makan). Pengadaan perumahan saat ini masuh menjangkau masyarakat menengah ke atas. Misalnya saja di Bandung sebuah apartemen di Mekarwangi memiliki angka cicilan sebesar 1,7 juta untuk jangka waktu 10 tahun. Sementara untuk rumah rata-rata cicilan sudah di atas angka 3 juta. Pada kondisi ini marginaliasi dan jangka waktu menunggu untuk memiliki rumah semakin besar. Kebijakan yang ada masih sebatas memperhatikan kepentingan bagi masyarakat menengah ke atas. Sementara masyarakat menengah ke bawah kurang diperhatikan. Menurut catatan terdapat angka 15.000.000 backlog (kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan) perumahan Indonesia. Ini adalah PR bersama pemerintah dan para ahli di bidang perumahan. Tercatat bahwa masih ada masih ada 7,2 juta rumah tangga yang masih menumpang dengan orang tua dan 6,4 juta rumah tangga masih menyewa rumah. Hal ini sebenarnya peluang bagi praktisi, atau peneliti untuk menangkapnya menjadikannya wahana untuk membangun menuangkan pemikiran dan juga kreativitasnya. Akan tetapi pada kenyataannya tidak memudah, diperlukan aparatur pemerintahan yang medukung. Masih sering terjadi 105 marginalisasi masyarakat miskin oleh developer swasta yang gencar membangun perumahan. Contoh yang menarik adalah kemampuan walikota Bandung, Bapak Ridwan Kamil untuk mampu mengendalikan hal ini dengan menjaga Kawasan Bandung Utara dari gempuran pembangunan apartemen pencakar langit, sisa kekurangtegasan kepemimpinan terdahulu yang kurang arif dalam memberikan perizinan. Contoh lain yang menarik juga adalah keberanian Gubernur Ahok di Jakarta untuk menindaklanjuti menanganan Kampung Pulo sehingga kualitas ekologisnya terjaga, dengan memfasilitasi pembangunan apartemen rakyat, meski awalnya tentangan masyarakat cukup berat. Kembali pada definisi dari permukiman bahwa permukiman meliputi fasilitas perumahan yang dilengkapi fasilitas-fasilitas pendukungnya. Menangani kampung kota dengan melalui proses penggusuran tidak sederhana karena mesti memperhatikan elemen-elemen dari permukiman, seperti tempat bekerja, bersosialisasi dan juga lingkungan ekologis yang sesuai dan nyaman. Memindahkan tanpa pertimbangan yang baik dan terperinci akan menimbulkan gejolak sosial. Gambar 51. Mewujudkan Ide hingga ke Desain Perumahan Sederhana Sumber : http://www.scribd.com/doc/54192794/Pedoman-Teknis-Pembangunan-RumahSederhana#scribd Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Pedoman teknis pembangunan rumah sederhana sehat (rumah tembok) : 1. Pedoman teknis ini meliputi ketentuan-ketentuan umum, ketentuan ketentuan teknis dan teknis pengerjaan untuk pembangunan rumah tinggal sederhana dari bahan baku ocal, 2. Pedoman teknis ini merupakan bagian dari paket pengembangan rumah sederhana sehat: 106 Tabel 3 Paket pengembangan rumah sederhana sehat 3. 4. 5. 6. 7. Pedoman Teknis ini memberikan arahan pengembangan dari Rumah Inti Tumbuh (RIT) menjadi Rumah Sederhana Sehat (RSS) secara bertahap. Pelaksanaan pembangunan rumah tipe ini dapat dilakukan untuk lokasi dengan potensi bahan baku ocal yang didominasi oleh pasir dan untuk daerah dengan lapisan tanah kering, serta memiliki tegangan tanah s tn ³ 0,5 kg/cm2. Pemilihan tipe rumah ini dilakukan atas dasar potensi bahan bangunan terbanyak dengan harga paling rendah disuatu daerah dimana rumah tersebut akan didirikan. Sebagai bahan pertimbangan dalam pemilihan jenis rumah yang dapat diterapkan di satu propinsi, dibuat zonasi Rumah Sederhana Sehat yang merupakan penggambungan dari berbagai potensi, diantaranya potensi bahan bangunan ocal, potensi budaya serta kondisi geologis di setiap propinsi. Untuk propinsi yang memiliki lebih dari satu pilihan jenis rumah, urutan pertama merupakan pilihan yang utama, pilihan jenis rumah lainnya ditentukan berdasarkan Mikro Zonasi yang dibuat untuk tingkat daerah. Pada sekitar tahun 2006-2007 Presiden Susilo Bambang Yudoyono, memprakarsai kegiatan PNPM atas desakan dari publik yang meragukan bahwa angka kemiskinan mengalami penurunan. Sementara peluncuran kegiatannya mulai aktif pada tahun 2008. PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) terdiri dari PNPM Perdesaan dan PNPM Perkotaan. Program ini banyak bergerak pada perbaikan infrastruktur dan perbaikan tingkat penghasilan penduduk setempat dengan menjalankan proposal-proposal kegiatan usaha yang diusulkan penduduk dan diseleksi serta dibimbing oleh fasilitator. Tetapi ada pula kegiatan-kegiatan yang mengarah pada perbaikan perumahan permukiman. Kegiatan PNPM ini adalah kegiatan yang serupa dengan program-program sebelumnya seperti P2KP dan P2BPK. 107 Gambar 52. Contoh kegiatan PNPM berupa perbaikan infrastruktur dan perbaikan kegiatan wirausaha pada akhirnya memberi dampak positif pada lingkungan permukiman http://www.pnpm-perdesaan.or.id/ Pemenuhan kebutuhan perumahan adalah tanggung jawab banyak pihak tidak hanya pemerintah, namun juga tanggung jawab peneliti, masyarakat swasta dan masyarakat seluruhnya. Sebagaimana pula telah dijelaskan di awal bahwa pemerintah memang penanggung jawab dalam hal ini seperti peranan : Perumnas, Dinas Perumahan, atau Dinas PU Puslitbangkim. Puslitbangkim misalnya aktif mengadakan seminar dan kolokium tahunan untuk menyampaikan hasil-hasil penelitian mereka yang terkini. Contoh di bawah ini adalah penelitian-penelitian terkini Puslitbangkim yang didapat dari Kolokium tahunan PUSLITBANGKIN pada awal Mei 2005 yang diadakan di kota Bandung. Gambar 53 Struktur di atas adalah struktur yang sifatnya mempermudah dan membuat lebih praktis proses pengerjaan karena antara kolom dan balok lebih cepat diintegrasikan dalam pembangunan. Permukaan tidak 100% masif sesuai kebutuhan fungsional struktur sehingga harga dapat ditekan (lebih murah) Sumber : Brosur hasil Penelitian Puslitbangkim (2014-2015) 108 Gambar 54 Contoh inovasi lain struktur aplikatif untuk penggunaan dalam perumahan massal. Struktur di atas adalah struktur yang sifatnya mempermudah dan membuat lebih praktis proses pengerjaan karena antara kolom dan balok lebih cepat diintegrasikan dalam pembangunan. Permukaan tidak 100% masif sesuai kebutuhan fungsional struktur sehingga harga dapat ditekan (lebih murah) Sumber : Brosur hasil Penelitian Puslitbangkim (2014-2015) Inovasi dalam teknologi pengembangan perumahan senantiasa diperlukan di atas adalah contoh inovasi terbaru yang disajikan dalam Kolokium Puslitbangkim 2015. Pada intinya inovasi-inovasi di atas adalah memiliki keunggulan dalam kemudahan aplikasi struktur, kemudahan pemasangan material yang modular dan inovasi-inovasi lainnya. Dengan syarat tentunya inovasi tersebut tidak hanya memiliki 1 faktor kelebihan, sebaiknya memiliki beberapa aspek keunggulan, misalnya kemudahan untuk mendapatkan akses ketersediaan dan juga harga yang bersaing. Dari hal ini kembali lagi ditekankan bahwa penting adanya sinergi yang sangat baik antara pemerintah, swasta dan institusi pendidikan. Dengan kata lain hasil-hasil penelitian pusat penelitian tersebut harus didukung pula oleh relasi dengan pihak swasta yang sangat mendukung seperti yang telah lama dilakukan di negara-negara maju. Inovasi-inovasi akan terhambat jika mata rantai multi stake holder di atas tidak ideal. 8.2 RUMAH SUSUN 8.2.1 Rumah Susun Secara Umum Keberadaan Rusun di Indonesia diatur dengan UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (UU Rusun). Rumah susun (Rusun) adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing 109 dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama. Rusun dapat dibangun di atas tanah Hak Milik (HM), Hak Guna Bangunan (HGB) atau hak pakai (HP) di atas tanah Negara; dan HGB atau HP di atas tanah hak pengelolaan (HPL). Rumah susun (apartemen) adalah kebutuhan yang signifikan di kota-kota besar yang pertumbuhannya pesat, terlebih lagi angka deforestasi (pengrusakan hutan) di Indonesia yang tinggi. Sejak 2008, Indonesia tercatat masuk Guiness of the Record Pengrusakan hutan terbesar di dunia yakni 1,8 juta Ha/ tahun. Di Bandung saat ini sejak tahun 2013 ada perkembangan signifikan, walikota Ridwan Kamil menghentikan atau membatalkan perizinan pembangunan beberapa apartemen yang terletak di Kawasan Bandung Utara, karena tidak memenuhi syarat lokasi dan ketinggian bangunan (KLB). Tercatat pada bulan November 2015, Bandung kembali meraih lagi Penghargaan Adipura, setelah 17 tahun absen. Pengertian Rumah Susun Istilah rumah susun (rusun) adalah terjemahan dari istilah asing yaitu apartment atau flats yang definisinya adalah tempat tinggal (hunian) berlantai banyak. Perumahan seperti ini sudah lazim digunakan di kota-kota di Eropa atau di kota-kota di belahan dunia lainnya sejak berabad-abad lalu. Sementara di Indonesia pembangunan dan penggunaan rumah susun masih tergolong baru. Bahkan ada studi mengenai pemilihan rumah oleh Purnamasari (2012), bahwa pemilihan rumah di masyarakat masih berada pada tren perumahan yang berada di tanah (landed house). Hanya kondisinya pada saat ini yang membuat apartemen mulai menjadi pilihan adalah karena mahalnya perumahan yang berada di atas tanah. Untuk di Bandung misalnya harga rumah pada saat ini (akhir 2014), sudah berada pada kisaran di atas 350-500 juta untuk tipe kecil seluas sekitar 28 meter persegi, sementara untuk apartemen masih ada yang dipasarkan pada harga antara 180 – 250 juta untuk tipe 23 m², sementara untuk tipe 36 m² seharga 350-an juta. Perbedaan harga yang mencolok ini mengakibatkan pemasaran apartemen cukup didatangi pembeli (investor) secara berduyun-duyun sejak dimulainya launching pertama suatu apartemen. Rumah susun adalah salah satu solusi pemecahan permasalahan perumahan yang sangat penting terutama di perkotaan. Hal ini mengingat adanya kecenderungan makin langkanya tanah perkotaan yang dapat dipakai untuk pembangunan perumahan, selain itu karena mengingat harga lahan yang makin tinggi. Rumah susun adalah sebuah cara untuk mengefektifkan pembangunan perumahan pada lahan yang terbatas. 8.2.2 Latar belakang dibangunnya rumah susun Kebutuhan akan perumahan setiap tahun semakin meningkat di kota-kota besar yang menjadi pusat permukiman dan kegiatan niaga di Indonesia, karena perumahan mempunyai arti yang sangat penting bagi kehidupan seseorang, tidak hanya dalam fungsinya sebagai tempat tinggal, 110 melainkan juga sebagai sarana pembinaan dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara. Masalah yang sering dihadapi oleh pemerintah dalam pembangunan perumahan, khususnya di daerah perkotaan adalah disebabkan karena pertumbuhan penduduk yang terus meningkat sedangkan persediaan tanah sangat terbatas, harga tanah yang cukup tinggi dan lokasi tanah dan luasan tanah yang tidak memungkinkan dibangunnya perumahan dalam jumlah banyak (perumahan massal). Dalam pembangunan perumahan terutama di kota-kota besar yang berkembang pesat seperti Jakarta, Bandung atau Surabaya dibutuhkan membangun perumahan dalam jumlah besar dengan memanfaatkan tanah yang relatif kecil. Dengan kata lain efisiensi pemanfaatan tanah yang diperlukan yaitu membangun perumahan dengan sistem lebih dari satu lantai mutlak diperlukan dan merupakan usaha yang paling baik. Perumahan dengan sistem lebih dari satu lantai adalah solusi dari permasalahan di atas diartikan sebagai perumahanyang dibagi atas bagian-bagian yang dimiliki bersama dan satuansatuan yang masing-masing dimiliki secara terpisah untuk dihuni, dengan memperhatikan faktor sosial budaya yang hidup dalam masyarakat. Perumahan dengan sistem lebih dari satu lantai yang dikenal dengan rumah susun yang dibangun untuk mengantisipasi luas tanah yang terbatas di kota besar. 8.2.3 Ciri-ciri Rumah Susun Adapun ciri-ciri yang membedakan rumah susun dengan rumah biasa yang berdiri di atas tanah (landed house), adalah: - Jumlah lantai lebih dari 2 tingkat - Terdiri dari unit-unit hunian yang relatif sama besar - Dihuni oleh perorangan atau keluarga tergantung tipe nya. - Memiliki fasilitas bersama yang dimiliki dan dimanfaatkan secara bersama - Sirkulasi vertikal sangat berperan - Tidak ada kepemilikan lahan secara pribadi (sertifikat tanah) 8.2.4 Perkembangan Rumah Susun di Indonesia Beberapa contoh rumah susun (rusun) di Jakarta yang menjadi titik awal perkembangan rusun di Indonesia adalah: - Rusun di Krekot Dalam, Jakarta, dibangun mulai 1956-1960. Rusun ini adalah bagi penghuni berpenghasilan rendah, merupakan tempat penampungan korban kebakaran, milik PEMDA DKI dan penghuninya berstatus penyewa. - Rusun di Jalan Krekot, dibangun 1959. Rusun ini adalah tempat karyawan Bank Pembangunan Indonesia (BPI) milik BPI, penghuninya berstatus sebagai penyewa. - Rusun di Jalan Teuku Umar- Menteng, dibangun pada tahun 1957. Rusun ini tempat penampungan pegawai negeri yang belum mendapat kediaman di Jakarta, milik Dept. 111 PU, Jawatan gedung-gedung Negara Daerah Jakarta dan penghuni berstatus penyewa. - Rusun di Jalan Kebon Sirih Jakarta, dibangun pada tahun 1953. Rusun ini tempat hunian pegawai perusahaan-perusahaan swasta, milik suatu Yayasan Perumahan Swasta. Yang menyewa adalah perusahaan-perusahaan swasta untuk karyawankaryawannya. Rumah Susun di Indonesia, dibagi menjadi 3 (tiga) macam yaitu sebagai berikut : 1. Rumah Susun Sederhana (Rusun), yang pada umumnya dihuni oleh golongan yang kurang mampu. Biasanya dijual atau disewakan oleh Perumnas (BUMN). 2. Rumah Susun Menengah (Apartemen), biasanya dijual atau disewakan oleh Perumnas/ Pengembang Swasta kepada masyarakat konsumen menengah kebawah. 3. Rumah Susun Mewah (Apartemen/condominium), selain dijual kepada masyarakat konsumen menengah ke atas juga kepada orang asing atau expatriate oleh Pengembang Swasta. Harganya dapat berlipat-lipat dari rusun biasa atau apartemen biasa. Lokasinya juga biasanya berada di pusat-pusat utama perkembangan kota dengan bentuk, struktur dan material yang berbeda, lebih unik dan seringkali lebih mahal pula jenisnya. (a) (b) (c) Gambar 55. (a) Rusun Sederhana, (b) Apartement, (c) Condominium https://sumirin.files.wordpress.com/2010/06/rusunawaj.jpg http://www.condoexpert.sg/wp-content/uploads/2012/02/Levenue-Facade.jpg http://s290.photobucket.com/user/gulaly/media/Apartment/1279177838_105310253_1-Green-Bay-PluitPluit-1279177838_zpsf5ed0961.jpg.html 112 Gambar 56. Contoh Site Plan Rumah Susun yang berlokasi di Surabaya Sumber : Disketsa oleh Lucy Yosita (2014) Gambar 57. Contoh Rancangan Bentuk dan Detail Rumah Susun Yang Sudah Ada 8.2.5 Teknik dan Metoda Merancang Rumah Susun Yang perlu diperhatikan dalam merancang rumah susun adalah bahwa perancangan ini akan berlokasi di perkotaan ‘kota-kota metropolitan atau megapolitan’ yang sarat dengan permasalahan sosialnya. Kawasan perkotaan yang menjadi pilihan dari Program pembangunan 1000 Tower Rumah Susun seolah pisau bermata dua, di satu sisi sebagai upaya pemenuhan kebutuhan hunian masyarakat dan di sisi lainnya sebagai upaya peremajaan kota dari kawasan kumuh. Hal-hal yang perlu diperhatikan dari sisi perancangan kota/ urban design adalah: Kepadatan dan intensitas tinggi, akan mempengaruhi pola pemanfaatan lahan dan menuntut adanya kebijakan publik yang adil. 113 Dominasi kegiatan komersial dan Jasa, memicu arus pergerakan baik dari dalam maupun luar kawasan sehingga cenderung menyuburkan pertumbuhan sektor informal. Lokasi strategis dalam kaitannya dengan nilai ekonomi dari pengembangan kawasan. Potensi berkembang secara tidak terkendali, karena sangat bergantung ekonomi makro. Sarat dengan permasalahan sosial, seperti: kaki lima, penyerobotan lahan, kumuh, dan lain-lain. Selain itu terdapat juga permasalahan dari segi calon penghuni : Tingkat kemampuan ekonomi/ daya beli rendah Budaya tinggal di rumah biasa Interaksi sosial (tetangga) relatif lebih kuat Tingkat pendidikan dan pengetahuan. Sektor informal. Rentan pengangguran. Permasalahan lainnya ditemukan pada Bangunan yang Tinggi : Transportasi vertikal. Penanggulangan bahaya kebakaran. Ventilasi dan pencahayaan. Teknologi dan sistem membangun. Dari data-data tersebut di atas dapat kita ambil bahwa kemungkinan terbaik pada saat merancang rumah susun adalah: menentukan sistem struktur, memilih material, menentukan sistem utilitas, menentukan strategi metoda membangun, dan memilih strategi pemasaran yang cepat terkait jumlahnya hunian yang banyak. Membangun secara berulang (tipikal) baik horizontal maupun vertikal, lebih banyak jumlahnya semakin baik, terletak diperkotaan, nilai lahan dan intensitas tinggi, dekat dengan kawasan komersial dan jasa, sistem moduler diambil sebagai penerapan modul baik secara mikro maupun makro. Strategi pembangunan juga memerlukan penanganan yang khusus, karena jumlah hunian yang lebih banyak membuat tahapan pembangunan lebih dikejar waktu. Dalam hal ini peran dan pengalaman developer sangat berpengaruh besar. Developer yang sudah terpercaya akan memenuhi jadwal sesuai dengan perjanjian awal, misalnya saja lama pembangunan 1,5 tahun atau 2 tahun. Tetapi developer yang kurang baik jadwalnya bisa mulur-mulur mengakibatkan pembeli memprotes karena lama pembangunan melewati jadwal yang sudah disepakati dan dijanjikan di awal pembelian investasi rumah susun atau apartemen ini. Banyak faktor yang menyebabkan lama pembangunan rumah susun yang mulur, misalnya: lahan yang belum siap (masih dalam sengketa), developer yang kurang bertanggung jawab 114 atau kurang berpengalaman, harga yang terlalu murah sehingga pembangunan akhirnya tersendat-sendat dan akhirnya mulur secara waktu, atau adanya protes dari warga bila pembangunan dilakukan mengejar waktu dengan cara dibangun di malam hari. Yang terakhir ini biasanya terjadi bila suatu lokasi rumah susun berada pada lingkungan perumahan yang penduduknya cukup padat, biaya ganti rugi dapat di luar perkiraan. Bila lokasi berada di perkantoran atau di lahan yang jauh dari perumahan, maka bisa berbeda kondisinya. Pada awal 2015, Presiden Jokowi telah meminta untuk dirumuskannya peraturan yang lebih baik mengenai pembangunan dan kepemilikan rusun/ apartemen, suatu langkah yang sangat baik. Hal yang tidak kalah penting selain teori mengenai apartemen/ rusun ini adalah mempelajari studi banding dari negara-nega lain yang telah berhasil membangun perumahan bertingkat ini secara lebih optimal, berkualitas dan berkeadilan, misalnya saja di Jepang atau Singapura. Berikut di bawah ini adalah contoh tipologi perumahan bertingkat di Jepang yang dikenal dengan istilah Danchi. Berikut merupakan eksterior bangunan dan penataan ruang luar Danchi yang telah dibangun terletak di Sapporo dan Yokohama Jepang. Gambar 58. Danchi di Sapporo dan Danchi di Yokohama Sumber : Kchoze Urban, 2015 115 Meningkatnya jumlah permintaan masyarakat akan kebutuhan tempat tinggal, maka sejak tahun 1950-1970-an pemerintah membangun banyak Danchi. Pembangunan Danchi atau Rumah Susun untuk masyarakat di Jepang memiliki kelebihan dengan tempat tinggal lainnya, diantaranya yaitu: 1. Harganya murah, harga sewa ataupun pembelian cukup murah apabila dibandingkan dengan harga manssion bekas. Sewa Danchi dengan luas rumah : a. 30m2 sekitar 30 ribu yen (3 juta rupiah) perbulannya b. 53m2 sekitar 60 ribu yen (6 juta rupiah) perbulannya Rumah-rumah di Danchi dapat pula dibeli secara tunai yang harganya tergantung dari umur bangunan, ada tidaknya elevator, serta letak Danchi (Tokyo atau di luar Tokyo). Pada umumnya tata letak dalam rumah Jepang biasanya menggunakan istilah seperti berikut: SINGKATAN 1K DK LDK 2. 3. 4. 5. ISTILAH TATA LETAK DALAM RUMAH JEPANG One Room Dining Kitchen Living Dining Kitchen Bila terdapat hunian yang akan disewa atau dijual 2 LDK artinya rum;;ah tersebut mempunyai 2 kamar, serta Living, Dining dan Kitchen, semakin banyak jumlah ruangannya, harga pun akan menyesuaikan. Sebagian Danchi merupakan bangunan tua tapi masih bersih dan terawat, meskipun sudah berumur puluhan tahun, dikarenakan adanya pengurus Danchi, dan petugas piket yang ditugaskan oleh para penghuninya. Lokasinya strategis, pada umumnya lokasi tidak jauh dari stasiun kereta api, dan dekat jalan besar atau utama. Hal tersebut dikarenakan pemerintah membangun perumahan sesuai dengan perencanaan kota yang telah dirancang. Keberadaan taman atau tempat bermain anak dalam area Danchi membuat lingkungan sekitar terlihat asri dan nyaman. Lokasinya dekat pusat perbelanjaan. Perencanaan pembangunan rumah, yang dihuni oleh banyak orang, mengharuskan pemerintah untuk memikirkan juga pembangunan pusat perbelanjaan, seperti supermarket, dan lain-lain. Terlihat sekarang di sekitaran wilayah Danchi banyak berdiri supermarket dan tempattempat belanja kebutuhan sehari-hari. (Weedy, 2013). Keunggulan lainnya dalam perancangan Danchi ini adalah fasade yang sederhana tetapi masihdapat mebarik lalu juga adanya efisiensi interior. Pada gambar di atas terlihat bagaimana fleksibilitas antara kegiatan menonton televisi dan meja kerja yang dibuat efisien sehingga dapat menghemat ruang. Lalu untuk dapur yang digabungkan dengan 116 ruang makan sehingga efisien, dan dapur juga disesuaikan dengan kebutuhan masa kini masyarakat, yakni dimana lebih ditujukan untuk kegiatan memasak yang sifatnya praktis. Selain itu pada denah di Gambar 4 terlihat bahwa ruang tamu dibuat pula lebih kecil dengan perangkat furniture minimalis. Kiranya bila biaya pembangunan permeter persegi adalah 4 juta jika dapat menghemat 0,5 x 8 m² saja, maka dapat dihemat sebangak 16 juta untuk 1 unit hunian dan dapat lebih besar kemungkinan terjangkaunya oleh masyarakat. Hal ini memiliki konsekuensi beberapa ruang dibuat lebih minimalis misalnya ruang 3 x 3 m² menjadi 2,5 x 3m², 2 x 2,5 m²menjadi 2 x 2 m²dan seterusnya. Dari di atas dapat dipelajari bahwa, pengembangan rusun bagi masyarakat menengah ke bawah lebih diperhatikan di Jepang. Sementara di Indonesia pembangunan vertikal masih terpusat pada masyarakat menengah ke atas. Sementara kebutuhan masyarakat menengah ke bawah masih kurang terpenuhi, bahkan di kota-kota metropolitan cenderung sangat sulit, banyak pengembang membuat perumahan cluster yang terbatas jumlahnya yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat menengah ke atas. Ciri-ciri khas perancangan perumahan publik vertikal di Jepang di atas dapat dipelajari, dapat disimpulkan bahwa : perlu ada sistem perumahan sewa dalam jumlah yang cukup banyak, perlu peran pemerintah untuk assestment lokasi perumahan, karena banyak kasus pembebasan lahan masih dimonopoli oleh developer bagi perumahan menengah ke atas, perlu dibarengi dengan pengembangan potensi-potensi lokal masyarakat untuk dapat mendapatkan/ meningkatkan penghasilannya. Angka pengangguran adalah cukup tinggi, masyarakat akan sulit/ lama dapat membeli rumah bila penghasilan terbatas. 8.2.6 Ketentuan Teknis Pembangunan Rusun Ketentuan teknis rumah susun bertingkat tinggi meliputi: 1) Ketentuan teknis tata bangunan yang meliputi persyaratan peruntukan lokasi dan intensitas, arsitektur, serta persyaratan dampak lingkungan. 2) Ketentuan teknis keandalan bangunan yang meliputi persyaratan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan. 8.2.7 Pengaturan Pelaksanaan Persyaratan Teknis Rusun Bertingkat Tinggi : 1. Persyaratan teknis rusun bertingkat tinggi disamping mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam peraturan menteri ini tetap mengacu pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 60/PRT/M/1992 tentang Persyaratan Teknis Pembangunan Rumah Susun. 2. Dalam melaksanakan pembinaan rusun bertingkat tinggi, Pemerintah melakukan peningkatan kemampuan aparat Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota 117 maupun masyarakat dalam memenuhi ketentuan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 untuk terwujudnya penataan bangunan dan lingkungan, serta terwujudnya keandalan rusun bertingkat tinggi. 3. Dalam melaksanakan pengendalian penyelenggaraan rumah susun bertingkat tinggi Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota wajib mengikuti Pedoman Teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. 4. Terhadap aparat Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan/atau Kabupaten/Kota yang bertugas dalam penentuan dan pengendalian rusuna bertingkat tinggi yang melakukan pelanggaran ketentuan dalam Pasal 5 dikenakan sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. 5. Terhadap penyelenggaraan rusuna bertingkat tinggi yang melakukan pelanggaran ketentuan dalam Pasal 5 dikenakan sanksi administratif dan/atau sanksi pidana sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. 118 Bab. 9 PENERAPAN ANALISIS REAL ESTATE DALAM PROYEK PERUMAHAN Analisis ekonomi adalah analisis yang mendasar dalam perumahan, selain daripada teori-teori yang sifatnya kualitatif. Pada bab 3 telah diuraikan hal-hal mendasar mengetani strategi ekonomi mengenai perumahan dan permukiman, adapun pada Bab 9 ini akan diuraikan mengenai analisis real estate dengan metoda ekonomi teknik. Hal ini penting untuk dipelajari karena teori-teori kualitatif perumahan, memerlukan analisis kuantitatif yang sangat memadai. Juga untuk perumahan menengah ke bawah, hanya untuk real estate memiliki perbedaan prosedural dan mekanisme yang berbeda, karena ada tuntutan perancangan yang lebih khusus untuk nilai lahan yang lebih tinggi (mahal) di pusat-pusat perkembangan kota. Real estate berasal dari suku kata real = royal dan estate = tanah pertanian/ kebun, merupakan bahasa Spanyol. Dengan kata lain real estate didefinisikan pengelolaan lahan menjadi nilai peningkatan ekonomi yang signifikan karena asalnya sendiri dari sejarahnya adalah tanah yang dikuasai oleh pihak raja atau orang yang memiliki pengaruh di Spanyol. Real estate sendiri adalah bahasa Inggris yang lazim dijadikan istilah bagi para pelaku pelaksanaan pembangunan perumahan untuk kelas menengah ke atas, secara rata-rata. Menurut Duhaime (2011), real estate intinya memiliki defiisi suatu nilai investasi terhadap lahan yang harus memiliki peningkatan (signifikan). Perumahan adalah hanya salah satu dari real estate, villa, hotel dan lain sebagainya yang pada intinya meningkatkan nilai lahan dan juga kawasan di sekitarnya termasuk dalam kategori real estate. Dalam sehari-hari real estate memiliki pergeseran fungsi yakni perumahan untuk kategori menengah ke atas, seringkali bisa jadi sebagai kawasan elit saja. Real Estate adalah salah 1 jenis dari beberapa kategori perumahan Real Estate merupakan perumahan dengan karakter khusus yakni memiliki lokasi di lokasi yang strategis, memiliki kualitas desain yang lebih tinggi, dan memiliki material bangunan yang juga lebih baik. Pengertian secara mendasar mengenai real estate sendiri adalah tentunya dengan adanya permasalahan sosial yang berbeda pula. Biasanya 119 masyarakat pada lingkungan real estate sifatnya lebih individualistis daripada di lingkungan perumahan BTN atau di lingkungan kampung kota (urban village). Kota-kota di Indonesia sebenarnya telah berkembang cepat, hanya beberapa saja yang dapat dikatakan pesat, ada lebih banyak kota yang belum berkeadilan, kurang memiliki fasilitas publik dan memiliki permasalahan lingkungan hidup. Bandung adalah ketegori kota yang tengah berkembang pesat dengan walikotanya yakni Ridwan Kamil, Bandung terlihat lebih terencana secara makro, memperhatikan aspirasi masyarakat bawah dan juga memperhatikan perancangan ruang publik yang cukup signifikan. Hanya aspek infrastruktur masih memerlukan perbaikan juga pengadaan perumahan untuk masyarakat menengah ke bawah. Maka real estate adalah suatu ilmu ekonomi dalam perumahan yang tidak terlepas dari ilmu-ilmu lainnya, seperti infrastruktur, lingkungan hidup dan lain-lain. Rumus-rumus teori strategi perumahan perlu didalami secara lebih lanjut dengan teori-teori kenaikan harga rumah, tingkat suku bunga dan juga rincian deskriptif fenomena inflasi dan faktor-faktor penyebabnya. Hal ini akan diuraikan lebih lanjut di bawah ini. 9.1. FUNGSI DAN PERAN ANALISIS REAL ESTATE MELALUI ILMU EKONOMI TEKNIK Parameter kemajuan dan perkembangan suatu perusahaan di bidang properti atau real estate adalah dilihat melalui pengelolaan ekonomi dan keuangan perusahaan. Dalam perusahaan yang bergerak pada bidang pengembangan proyek perumahan (properti), pengelolaan ekonomi teknik yang transparan dan professional sangat dibutuhkan karena sangat berguna dalam menjaga kestabilan perusahaan-perusahaan real estate baik milik swasta maupun milik pemerintah. Analisis real estate dengan metoda ekonomi teknik juga penting untuk prediksi pengembangan proyek-proyek perusahaan tersebut. Ekonomi yang transparan dapat menekan harga jual rumah sehingga lebih terjangkau oleh masyarakat. Hal-hal yang sifatnya tidak transparan seperti: tingkat korupsi, waktu yang terlalu panjang dalam pembangunan atau terlibatnya subyeksubyek yang tidak profesional hanya mengandalkan tingkat kedekatan (nepotism), dapat ditekan se optimal dan seobyektif mungkin. Sebagaimana kita ketahui harga jual rumah di Indonesia seringkali memiliki kenaikan yang kurang rasional. Hal ini dapat menjadi salah 1 faktor yang membuat nilai inflasi saat ini menjadi tidak terkendali. Sebagai salah satu benda yang memiliki nilai ekonomi tinggi, sektor perumahan menuntut analisis ekonomi teknik yang memadai. Ekonomi 120 teknik dapat ditafsirkan sebagai upaya pengambilan keputusan yang didasarkan atas perbandingan harga dari kegiatan-kegiatan dikaitkan dengan biaya yang dikeluarkan. Pengambilan keputusan tersebut merupakan pilihan dari kegiatan-kegiatan yang akan dijalankan oleh perusahaan seperti konstruksi, produksi, serta yang berupa pelayanan jasa. Realisasi dari keputusan-keputusan yang diambil oleh perusahaan antara lain dapat berupa investasi tenaga manusia (resource), peralatan (perangkat pendukung), dan budget (anggaran) yang akan digunakan pada seluruh bagian struktur organisasi perusahaan. Adapun implikasi ekonomi teknik dalam proyek perumahan berupa pematangan lahan yang merupakan salah satu tahapan dalam proses pembangunan perumahan, kemudian pada proses perencanaan, konstruksi, pelaksanaan hingga pemasaran. Tahap pematangan lahan terdiri dari pembebasan tanah, prasarana kawasan (urugpagar-jalan) dan sarana kawasan (infrastruktur- fasilitas umum). Perencanaan kegiatan yang baik dan pengendalian penggunaan biaya pada tahap pematangan lahan merupakan titik tolak keberhasilan pelaksanaan proyek perumahan maupun bidang konstruksi lainnya. Hal tersebut bisa terjadi karena di dalamnya terdapat salah satu tahapan yang cukup banyak membutuhkan dana sepanjang operasional pelaksanaan proyek konstruksi maupun proyek perumahan yaitu pembebasan tanah. 9.2. KONSEPSI TENTANG NILAI UANG Sebuah perusahaan lazimnya menggunakan uang sebagai alat pembayaran yang utama dan juga dapat digunakan sebagai alat untuk menafsirkan nilai keputusan yang akan diambil dalam mempersiapkan investasi perusahaan tersebut. Uang dapat berupa : giro, bilyet ataupun berupa uang secara real. Namun saat ini perkembangan teknologi sudah begitu canggih, orang yang jauh di negeri di balik belahan bumipun dapat berinvestasi di negeri lain, sepanjang memiliki uang. Teknologi transfer sudah demikian berkembang pesat dan beragam. Di satu sisi hal ini sebenarnya sangat memberi kemudahan, orang Indonesia yang sedang tinggal di luar negeri untuk beberapa waktupun bisa sambil mencicil produk real estate. Tetapi sebenarnya hal ini memiliki sisi negatif yakni tanpa pemantauan dari pemerintah secara optimal, maka akan membuat tingkat marginalisasi yang tajam. Dalam artian yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Uang juga memegang peranan yang sangat penting dalam operasional perusahaan. Segala sesuatu perlu diperhitungkan secara teliti guna merealisasikan perencanaan 121 (konsep) dan perancangan (pembuatan desain) agar nilai ekonomis suatu proyek dapat dimaksimalkan setinggi mungkin. Untuk menjalankan usahanya, perusahaan properti biasanya menjalin hubungan dengan pihak pemberi pinjaman modal yang berfungsi sebagai rekanan yang akan membantu perusahaan dalam hal keuangan (pihak bank). Menurut Kuiper (1971) dalam Robert J. Kodoatie dua dasar pemikiran dalam hal keuangan yang ditekankan pada konsep alami/logika bukan perhitungan secara sistematis adalah bila seseorang meminjam uang kepada orang lain maka ia berhak mendapatkan hadiah berupa bunga (interest). Kemudian dasar pemikiran yang kedua adalah sejumlah uang pada masa sekarang, dengan mendapat bunga dari waktu kewaktu dan semakin lama semakin besar, tergantung pada tingkat suku bunga dan periode waktunya. Sebaliknya sejumlah uang pada suatu waktu yang akan datang adalah ekuivalen dengan sejumlah uang yang lebih kecil, tergantung pada tingkat suku bunga dan periode waktunya. Pemberi pinjaman (lender) dan peminjam (borrower) melihat bunga dari dua sudut pandang yang sama dan berbeda. Persamaannya uang yang dipinjam akan terus berlipat ganda (compound) kuantitasnya. Perbedaannya adalah pemberi pinjaman melihat bunga sebagai suatu bentuk hadiah atau kompensasi dari uangnya bila uang tersebut dipakai untuk keperluan lain, sedangkan pihak peminjam melihat hal tersebut sebagai beban yang akan selalu bertambah bila periodenya semakin panjang, sehingga peminjam harus dapat memanfaatkan pinjaman tersebut untuk suatu aktivitas atau usaha. 9.4. BUNGA DAN SUKU BUNGA Adapun nilai bunga diartikan sebagai uang dengan jumlah yang harus dibayarkan karena perusahaan sudah menggunakan uang tersebut dengan nilai atau jumlah tertentu. Sementara suku bunga dapat diartikan sebagai bunga dengan nilai tertentu setiap satu satuan waktu dibandingkan dengan uang yang harus dibayarkan kepada pemberi pinjaman. Bunga dan suku bunga biasanya digunakan sebuah perusahaan dalam pengelolaan keuangan termasuk dalam perumahan atau real estate lazimnya melalui jasa bank atau langsung ke developer untuk beberapa perusahaan pengembang kontemporer apartemen saat ini. Harga jual produk real estate harus dapat melingkupi bunga piutang yang harus dibayarkan ke bank oleh pengembang. Dengan demikian pengembang real estate 122 harus memahami harga ideal yang harus dijadikan harga jual, harga yang diproyeksi menjadi nilai jual di masa mendatang bila pembangunan real estate dilakukan secara bertahap. Dan juga faktor-faktor yang menyebabkan adanya perbedaan harga (differences). Beberapa macam ragam pengembalian pinjaman terhadap pemberi pinjaman yang sering digunakan dalam kredit perumahan, diantaranya : 1. Pembayaran bunga setiap bulan, dengan membayar bunga dan pinjaman pokok pada tahun terakhir (pada saat jatuh tempo). 2. Setiap tahun harus membayar bunga dan mengangsur pembayaran sebagian utangnya. 3. Pembayaran tiap tahun atau setiap bulan merata. Jumlah total pembayaran tiap angsuran sama. Cara ini merupakan salah satu cara yang paling sering digunakan dalam kredit perumahan, yang disebabkan oleh : a. Jumlah nilai kredit perumahan cukup besar b. Kemampuan setiap orang untuk menabung tidak sama dan biasanya terbatas c. Jangka waktu kredit biasanya sangat panjang (bisa sampai puluhan tahun). Untuk saat ini ada perubahan, jika dahulu bisa hingga 25 tahun, saat ini mayoritas maksimum adalah 10 atau 15 tahun. Bahkan untuk apartemen banyak ditawarkan secara cash bertahap atau cash. 4. Pengembalian bunga maupun pokoknya dilakukan pada saat terakhir pembayaran. 9.5. PENGGUNAAN MATEMATIKA UANG Perhitungan pada pelayanan para pengguna jasa perbankan menggunakan perhitungan beberapa rumus dengan penggunaan istilah-istilah berikut. 123 P A A/F , i%,n F/A , i%,n F Diagram 3 . Faktor-faktor penghubung antara P, F, dan A Sumber : Sastra (2005), dkk dalam “Perencanaan dan Pengemabangan Perumahan” Keterangan : I = tingkat suku bunga n = jangka waktu P = Present Value (nilai sekarang) F = Future Value (nilai yang akan datang) A = Annuity (pembagian seri merata dari suatu pembayaran) Adapun jenis-jenis perhitungan yang sering digunakan sebagai dasar analisis ekonomi teknik dalam proyek perumahan adalah sebagai berikut : 1. Future Value (F), diketahui P, i %, n Rumus digunakan untuk mengetahui nilai uang pada jangka waktu n yang akan datang apabila diketahui besarnya uang pada saat ini. F = P (1 + i)n (1 + i)n = faktor jumlah berganda 2. Present Value (P), diketahui F, i%, n Digunakan untuk mengetahui nilai uang pada saat sekarang, dari jumlah uang yang akan datang. 1 P=F (1 + i)n 124 3. Annuity (A), diketahui F, i %,n Untuk mengetahui besarnya annuity (A) dari suatu nilai yang akan datang. 1 A=F (1 + i)n 4. Annuity (A), diketahui P, i %,n Digunakan untuk mengetahui A, diketahui P, i%, n. 1(i + 1)n A=P (1 + i)n -1 5. Future Value (F), diketahui A, i %, n (1 + i)n -1 F=A i 6. Present Value (P), diketahui A, i%, n (1 + i)n -1 A=P i (1 + i)n 9.6. ESTIMASI COST AND BENEFIT ANALYSIS (CBA) Cost and Benefit Analysis (CBA) atau analisis manfaat dan biaya dalam suatu proyek perumahan memiliki peranan penting sebagai bagian dari evaluasi proyek (project evaluation), yang dapat menentukan suatu proyek layak dilaksanakan atau tidak. Menurut Kuiper (1971) dalam Robert J. Kodoatie menjelaskan bahwa manfaat analisis ekonomi teknik pada suatu proyek pembangunan akan mengarahkan para perencana dalam menentukan pilihan terbaik dari beberapa alternatif hasil perencanaan yang dipilih. Harga dalam produk real estate adalah faktor yang sangat signifikan dalam menentukan keberhasilan penjualan produk real estate. Untuk menentukan harga ada pengetahuan khusus. Harga ditentukan dengan produk real estate setara dan faktorfaktornya yang berbeda (differences). 125 P subject = P (comparable) ± D (differences) P (comparable) = Harga subyek real estate yang sebanding D (differences) = Faktor-faktor yang membedakan dari subyek yang dibandingkan (kekhususan tertentu). Penentu Price (P) adalah : 1. Karakter penjual (“sales”) 2. Karakter harga (persepsi antara “sales” dan “subject property”) 3. Nilai dollar. 4. Rekonsiliasi “harga tetap” Sementara faktor-faktor penentu nilai (value) berbeda dengan harga. Mengenai nilai (value), sifatnya lebih bersifat abstrak dengan kata lain terkait dengan faktor-faktor tidak langsung (eksternal). Faktor-faktor yang menentukan nilai (value) adalah : 1. Perubahan kepemilikan. 2. Keuntungan dan Cicilan. 3. Perhitungan pajak. 4. Pembelian dan keuntungan. 5. Resiko properti. Sementara itu terdapat 3 faktor yang dapat menentukan sistem marketing RE dan harga jualnya, yakni : 1. Skala Proyek. 2. Target 3. Tahapan Pembangunan Proyek RE ANTISIPASI PERSAINGAN KESEIMBANGAN Diagram 1 Siklus dalam RE, kelaziman yang terjadi adalah Masalah Persaingan, dalam hal ini diperlukan analisis kuantitatif maupun kualitatif untuk keseimbangan atau target yang ingin dicapai. 126 Penentuan alternatif dapat berupa perbandingan biaya dan juga dapat melibatkan unsur resiko yang mungkin terjadi, maka kompetisi (persaingan) sesungguhnya memiliki manfaat pula dalam terciptanya keseimbangan investasi perumahan. Selain itu analisis ekonomi mengenai harga produk di atas dapat juga dikembangkan dengan berbagai macam biaya berdasarkan asas manfaat dari proyek tersebut. Untuk saat ini hal ini sangat penting metoda CBA untuk dipergunakan, karena lahan yang semakin terbatas, material yang semakin mahal dan demikian pula biaya untuk tenaga pekerja dalam pelaksanaan pembangunan arsitektural. Misalnya saja kamar yang lazimnya berukuran 3 x 3 meter, pada kondisi kebutuhan manusia yang semakin efektif dan memperhatikan efisiensi, dapat disesuaikan menjadi 2,5 x 3 meter. Lalu antara ruang tamu dan ruang keluarga dapat disatukan menjadi living room, karena seringkali bertamu mulai menjadi aktivitas yang penting hanya pada saat-saat tertentu. Perilaku masyarakat mulai ada perubahan banyak bertemu di ruang luar dengan alasan jarak. Selain itu furniture interior kini juga lebih efisien ringan dan tipis sehingga anthropometri kebutuhan ruang gerak dapat disesuaikan lebih minimalis tanpa mengurangi kebutuhan dasar. Harga untuk pengurangan 3 meter persegi tidak murah untuk saat ini, jika diperhitungkan biaya pembangunan 4 juta permeter persegi maka dapat mengefektifkan 12 juta rupiah, jika ada 3 kamar diefektifkan maka akan menghemat 36 juta rupiah. Harga saat ini bukanlah hal yang sederhana, pada tingkat persaingan kehidupan masyarakat global, Indonesiapun masih harus belajar dari negara-negara seperti : Jepang, China, atau negara-negara maju lainnya. Contoh-contoh hasil studi banding mengenai perumahan publik vertikal di Jepang dapat dilihat pada bab sebelumnya mengenai perumahan publik di Jepang yakni pada bab 8 (danchi). Efektifitas ruang dan aplikasi temuan teknologi material baru haruslah diaplikasikan sehingga harga rumah dapat ditekan, dengan tanpa mengurangi kualitas sehingga back log (ketidakterpenuhan) yang tinggi kebutuhan perumahan dapat lebih tercapai. 9.7. PENETAPAN MANFAAT DAN BIAYA DALAM PERUSAHAAN Sebuah perusahaan real estate dalam menjalankan proyeknya pasti akan mengkaji dan menggali berbagai manfaat, manfaat itu dapat ditafsirkan sebagai seluruh bentuk penerimaan yang dapat diperkirakan dan diperhitungkan akan diterima dari suatu proyek yang sedang dijalankan. Penerimaan dan pengeluaran suatu perusahaan dapat diukur dengan menggunakan uang secara langsung (tangible) maupun tidak dinilai secara langsung dengan uang (intangible). Adapun sistem penerimaannya secara 127 langsung (direct) maupun tidak langsung (indirect). Rumah merupakan salah satu jenis barang yang dapat dinilai langsung dengan uang karena rumah dan tanah yang diperjualbelikan di pasar properti memiliki nilai tertentu. Bentuk penerimaan dan pengeluaran yang dapat dinilai dengan uang yaitu segala barang dan jasa yang diperjualbelikan di pasar, tempat perbelanjaan, dan sebagainya. Sedangkan bentuk penerimaan dan pengeluaran yang intangible yaitu hal-hal yang bersifat kualitatif, seperti kebanggaan atas profesi, kemampuan teknologi, semangat patriotism, dan lain-lain. Manfaat dari sebuah perusahaan properti yaitu manfaat langsung (direct benefit) dan manfaat tidak langsung (indirect benefit). Manfaat langsung seperti pembangunan perumahan yang menghasilkan rumah tinggal (hunian), pembangunan jembatan dan jalan tol yang menghubungkan suatu daerah dengan daerah lainnya. Manfaat tidak langsung seperti dengan adanya pembangunan perumahan maka pembangunan sarana dan prasarana suatu wilayah dapat berkembang pula sehingga dapat meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat setempat. Diagram 4. Tiga Parameter Analisis Manfaat dan Biaya Sumber : Yosita (2015) - hasil analisis Kemudian manfaat dari suatu proyek dapat diklasifikasikan menjadi empat, yaitu : 128 Diagram 5. Empat Manfaat dalam Proyek Sumber : Sastra (2005), dkk dalam “Perencanaan dan Pengemabangan Perumahan” Tiga Parameter dalam melakukan Analisis Manfaat dan Biaya real estate menurut Kuiper (1971) dalam Robert J. Kodoatie, yaitu : 1. Manfaat Langsung (direct benefit), yaitu manfaat yang langsung dapat diperoleh dari suatu proyek. Misalnya pembangunan PLTA yang menghasilkan listrik, pembangunan jalan tol, dan lain-lain. 2. Manfaat tidak langsung (indirect benefit), seperti pembuatan suatu jembatan yang menjadikan suatu daerah berkembang industrinya; karena dibangun PLTA pada suatu daerah maka tingkat pendapatan pemerintah dari pajak jadi meningkat. 3. Manfaat nyata (tangible benefit), yaitu manfaat nyata yang dapat diukur dalam bentuk suatu nilai uang. 4. Manfaat tidak nyata (intangible benefit), misalnya perasaan aman terhadap banjir sesudah terdapatnya proyek pengendalian banjir, dan sebagainya. Dasar-dasar ekonomi teknik untuk real estate di atas memiliki urgensi khususnya untuk menganalisis nilai ekonomi dan juga logika kesesuaian antara harga rumah dengan tingkat inflasi. Apabila dimasukkan pada rumus di atas, saat ini terjadi signigikansi ketidaksesuaian antara harga rumah dengan daya beli (affodability) masyarakat. Pada kasus-kasus yang lebih kompleks penyelesaian solusi real estate tidak seperti pada masa-masa pengembangan awal seperti pada tahun 1990-an hingga sekitar awal tahun 2000, kondisi kota-kota di Indonesia sudah banyak yang mengalami perubahan. Konsepsi baru seperti Cost Benefit Analysis, Social Benefit Cost Analysis atau Land 129 Sharing (LS), menjadi solusi-solusi yang harus dikembangkan dan dijadikan pilihan di lapangan. Konsep-konsep terakhir ini selain bermanfaat untuk mengatasi banyak polemik lahan, dapat punya mengatasi masalah sosial dan lingkungan hidup. Masalah sosial mengenai pertanahan misalya, cukup banyak lahan yang memiliki konflik, namun diduduki oleh masyarakat secara ilegal. Sementara masalah lingkungan hidup, yakni pengurangan prosentase luasan hutan, sejak tahun 2008 Indonesia masuk dalam Guiness of the Record untuk masalah pengurangan luasan hutan yang tinggi pada angka 1,8 juta hektar pertahun. Kawasan berkonflik di Bandung misalnya, pernah dilakukan oleh penulis pada tahun 2007 terhadap lahan di milik Universitas Padjajaran (Unpad) di Kawasan Sekeloa, Bandung dengan judul “Strategi Penataan dan pengembangan Kampung Kota : KAJIAN PROSPEK DAN PERMODELAN “LAND SHARING’ SEBAGAI SUATU ALTERNATIF TERHADAP PENDEKATAN KONVENSIONAL. Lahan di atas telah diduduki oleh masyarakat dan komersial, sementara lahan ini sebenarnya milik Unpad, fenomena mafia, premanisme menjadikan masalah lahan menjadi kompleks. Dari hasil penelitian dapat diberikan usulan yakni 60% dikembalikan kepada Unpad dan sisanya 40% dikembalikan ke masyarakat dengan suatu angka nilai jual. Pada solusi ini juga ditawarkan adanya pengembalian fungsi hutan kota di kawasan Sekeloa yang termasuk ke dalam kawasan konservasi KBU (Kawasan Bandung Utara). Dengan demikian teori real estate, harus dikorelasikan dengan konsep-konsep baru di atas pada masalah yang lebih kompleks. Masalah pertanahan saat ini memiliki masalah yang lebih kompleks lagi, misalnya saja pada April 2015, saat anggaran APBN/APBD mulai diturunkan, dan dana-dana pijaman dapat dicairkan banyak proyek yang meski dananya dapat dicairkan untuk pembangunan namun memiliki permasalahan konflik lahan. Pemerintah dan peneliti harus mampu menemukan solusi atas permasahan ini. Masalah yang sama juga untuk kawasan di wilayah Indonesia Timur, seperti Manado terdapat lahan berkonflik dengan rasio 30 : 70, dalam artian 30% milik masyarakat, dan 70% milik Instansi menurut Mononimbar (2006). Solusi LS (land sharing), menawarkan kawasan permukiman yang tertata, bernilain ekonomis dan berkeadilan. Perumahan untuk saat ini masih sebagai komoditi yang laris hanya kebanyakan pada masyarakat menengah ke atas. Saat ini masalah perumahan permukiman untuk masyarakat menengah dan masyarakat miskin belum terkelola optimal setelah adanya PNPM pada kepemimpinan SBY (2004 - 2009), pemerintah belum terlihat serius menangani hal ini, hal ini adalah wacana untuk banyak pihak. Namun pula hal ini perlu penyadaran untuk 130 seluruh pihak tidak hanya pemerintah, kesadaran perlunya perluasan berwirausaha, kesadaran perlunya adanya penyadaran pengembang untuk adanya penggunaan konsepsi baru tidak sekedar teori real estate klasikal yang hanya mementingkan kebutuhan perumahan bagi seluruh golongan rakyat. Pemahaman para peneliti dan juga para arsitek yang rasional mengenai hal ini sangat diperlukan untuk mengimbangi kondisi ini dan juga permasalahan back log perumahan seperti dijelaskan di awal. CONTOH USULAN PELAKSANAAN LS 131 Bab. 10 REKAYASA ARSITEKTUR VERNAKULAR DAN ARSITEKTUR HIJAU SEBAGAI KONSEP INOVATIF UNTUK PERUMAHAN 9.1 PARADIGMA DASAR ARSITEKTUR VERNAKULAR KAITANNYA DENGAN KONSEPSI ARSITEKTUR HIJAU Arsitektur vernakular memiliki makna sebagai arsitektur yang terbentuk dalam proses waktu yang lama, menurut dasar perilaku dan budaya setempat masyarakatnya. Kata dasarnya adalah vernacullus yang artinya adalah “pribumi”. Arsitektur vernakular di daerah tropis seperti Indonesia sangat erat kaitannya dengan arsitektur hijau, saat ini isu kontemporer yang banyak didengungkan oleh arsitek adalah arsitektur hijau (green architecture) dan juga isu kearifan lokal (local wisdom). Untuk dapat mempertahankan kualitas lingkungan hidup memang diperlukan kearifan dalam pelestarian budaya. Arsitektur vernakular juga erat kaitannya dengan permukiman terlebih di Indonesia yang memiliki akar sosial dan budaya yang kaya, karena dalam sistem budaya terkandung juga sistem sosial selain daripada sistem fisik dan sistem idea (Koentjaraningrat: 1974). Keduanya saling melengkapi antara sistem sosial dan sistem fisik akan memiliki landasan kemasyarakatan yang sangat kuat, maka dari itu unsur permukiman adalah arsitektur yang utama karena permukiman adalah wadah masyarakatnya. Menurut Prof. Eko Budiharjo, dikatakan pula bahwa perumahan permukiman tidak dapat semata-mata dipandang sebagai pengadaan perumahan secara fisik (house, dwelling dan shelter). Sisi mata uang yang lain tidak dapat dilepaskan dari masalah fisik ini yakni: aspek paguyuban, kekentalan komunitas, persepsi, aspirasi dan harapan penghuninya (Budiharjo : 1998). Akar budaya yang kuat dipastikan memiliki modal sosial komunitas dalam sistem permukiman yang baik dan solid pula. Sistem permukiman yang solid pada akhirnya akan menuju konsepsi pembangunan lingkungan berkelanjutan yang lebih terarah dan terencana. Dalam konteks perkembangan ilmu pengetahuan, topik arsitektur vernakular pertama kali diperkenalkan lebih ke publik oleh Bernard Rudofsky tahun 1964 melalui pameran yang bertema Architecture without Architects di Museum of Modern Art (MoMA). Term vernakular ini sendiri berasal dari kata verna (dari bahasa Latin) yang artinya domestic, indigenous, native slave, atau home-born slave, dan dipilih oleh Rudofsky untuk mengklasifikasikan arsitektur lokal (umumnya berupa hunian) yang ditemukannya di berbagai belahan dunia. 132 Dari sinilah selanjutnya dalam berbagai literatur-literatur kontemporer makna yang paling populer bagi arsitektur vernakular adalah arsitektur tanpa arsitek. Perdebatan mengenai pengertian atau definisi arsitektur vernakular diawali oleh Rapoport dalam bukunya “House Form and Culture” tahun 1969. Perdebatan ini terus berlangsung hingga tahun 1990, ketika Rapoport menulis artikel berjudul “Defining Vernacular Design” dan sampai saat ini diperkirakan perdebatan itu belum memperoleh hasil yang memuaskan. Namun demikian, pengertian ini masih sebatas kategorisasi dalam ranah arsitektur dan baru pada tahun 1970-an hal-hal menyangkut vernakular ini mulai dipertimbangkan sebagai bagian dalam desain arsitektur meskipun terdapat banyak sekali sudut pandang dalam “melihat” hakikat vernakular ini, seperti: Christopher Alexander (A Pattern Language), Howard Davis (The Culture of Building), Robert Venturi (Learning from Las Vegas), Hassan Fathy (Natural Energy and Vernacular Architecture) dan masih banyak lainnya. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan berbagai paradigmanya maka dalam beberapa referensi yang ada, term vernakular lebih dipahami untuk menyebutkan adanya hubungan dengan “lokalitas” atau kedaerahan atau tradisional. Beberapa diantaranya adalah: 1. Diciptakan masyarakat tanpa bantuan tenaga ahli / arsitek profesional melainkan dengan tenaga ahli lokal / setempat. 2. Diyakini mampu beradaptasi terhadap kondisi fisik, sosial, budaya dan lingkungan setempat. 3. Dibangun dengan memanfaatkan sumber daya fisik, sosial, budaya, religi, teknologi dan material setempat, 4. Memiliki tipologi bangunan awal dalam wujud hunian dan lainnya yang berkembang di dalam masyarakat tradisional, 5. Dibangun untuk mewadahi kebutuhan khusus, mengakomodasi nilai-nilai budaya masyarakat, ekonomi dan cara hidup masyarakat setempat. 6. Fungsi, makna dan tampilan arsitektur vernakular sangat dipengaruhi oleh aspek struktur sosial, sistem kepercayaan dan pola perilaku masyarakatnya. Dari gambaran diatas diterangkan bahwa arsitektur vernakular erat kaitannya dengan budaya, masyarakat dan lingkungan. sehingga sangat berpengaruh pada lingkungan disekitarnya. Tingkat kesadaran global mengenai lingkungan hidup dan perubahan iklim, khususnya dalam bidang arsitektur dan lingkungan, pada beberapa tahun belakangan ini meningkat dengan tajam. Gerakan hijau yang tengah berkembang pesat saat ini tidak hanya bertujuan untuk melindungi sumber daya alam, tetapi juga diimplementasikan sebagai upaya efisiensi penggunaan energi serta meminimalisir kerusakan lingkungan sekitar. Hal ini tentu sangat bermanfaat apabila dilakukan secara merata dan berkelanjutan, khususnya di Indonesia yang notabene adalah negara yang sedang berkembang. 133 Berikut di bawah ini adalah contoh 2 lingkungan permukiman yang memiliki nilai vernakular yang masih asli yakni Kampung Naga dan Kampung Pulo yang berada di Jawa Barat. Bentuk fisik perumahannya maupun sistem sosial masyarakatnya masih memegang teguh budaya dari leluhur mereka. Gambar 60. Kampung Naga sebagai contoh Arsitektur Vernakular yang masih ada di Jawa Barat tepatnya di Garut di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu yakni, Kampung Naga. Kampung Naga dihuni oleh sekelompok masyarakat yang masih memegang teguh adat istiadat setempat. Sumber : www.wikipedia.com Gambar 61. Suasana Kampung Pulo yang juga berada di Garut. Kampung Pulo sejarahnya diawali pendiriannya oleh Arif Muhammad yang makamnya berada di sebelah Candi Cangkuang. dikampung pulo terdapat 6 buah rumah adat yang berjejer saling berhadapan masing- masing 3 buah rumah dikiri dan dikanan ditambah dengan sebuah mesjid. Jumlah dari rumah tersebut tidak boleh ditambah atau dikurangi serta yang berdiam di rumah tersebut tidak boleh lebih dari 6 kepala keluarga. Sumber : www.wikipedia.com Arsitektur tradisional atau arsitektur vernakular seperti di atas sulit ditemukan di kota-kota besar untuk saat ini, tingkat urbanisasi yang tinggi, tuntutan kecepatan dan kepraktisan membuat arsitektur di perkotaan dituntut dibangun secara massal dan cepat. Arsitektur vernakular memang harus berdasarkan kearifan lokal (local wisdom), dimana di dalamnya masih 134 mengandung nilai budaya yang tinggi. Arsitek dan juga calon arsitek harus dapat mencari titik tengah antara tuntutan pembangunan kota yang cepat dan kearifan lokal tersebut, karena alam adalah media untuk manusia dapat hidup dan melanjutkan generasi selanjutnya. Namun sulit bukan berarti tidak ada, hal ini tergantung sejauh mana arsitek memiliki komitmen terhadap lingkungan hidup dan kondisi degradasi lingkungan hidup, akhir-akhir ini menimbulkan kebutuhan baru akan arsitektur yang lekat dengan alam. Di Bandung ada beberapa developer mengembangkan perumahan modern namun memiliki sisi vernakular yang kental, demikian pula di kota Bogor misalnya. Biasanya developer menggabungkan konsep perumahan dengan konsep fasilitas komersialnya. Semisal : Restoran, Fasilitas Wisata, dan lain-lain. Pengembangan arsitektur hijau sendiri sangat terkait dengan arsitektur hemat energi. Dalam hal ini arsitektur hemat energi bergantung erat pada kebijakan pemerintah, misalnya saja kebijakan membatasi penggunaan bahan bakar premium (BBM premium), kebijakan pembatasan penggunaan pribadi dengan car free day, atau three in one), atau kebijakan anjuran menggunakan kendaraan umum dan sepeda. Dari sejumlah standar pengukuran yang dikembangkan berbagai negara, beberapa aspek atau parameter dominan yang diukur untuk menentukan tingkat “hijau” adalah: pemilihan dan pengolahan tapak, energi, material, air limbah, dan kualitas ruang dalam (Karyono : 2010). Contoh-contoh di atas adalah contoh lingkungan perumahan yang masih alamiah menerapkan prinsip arsitektur tradisonal dan arsitektur hijau. Tetapi sekarang banyak diadopsi bhkan untuk bangunan-bangunan bertingkat tinggi seperti apartemen dan hotel, yang dikenal dengan istilah “zero waste” atau memiliki buangan total “nol/zero” terhadap lingkungan hidup. Berikut dibawah ini adalah uraian definisi dan aplikasi parameter arsitektur hijau : 9.1.1 Pemilihan dan Pengolahan Tapak Parameter itu terkait dengan bagaimana memilih tapak yang aman untuk mendirikan bangunan atau sekumpulan bangunan pada suatu kompleks dengan fungsi tertentu. Sejumlah kemungkinan terhadap terjadinya bencana alam, seperti tanah longsor, gempa bumi, banjir, gunung meletus dan lainnya, patut diperhitungkan dalam memilih lokasi tapak. Di sisi lain dalam pembangunan rumah atau bangunan, perubahan fisik tapak, seperti cut and fill diharapkan dapat diminimalkan agar supaya dampak lingkungan tidak buruk di kemudian hari. Penyelesaian bangunan dengan konsep panggung dianggap paling aman terhadap perusakan tapak, dan tidak mengurangi kemampuan permukaan tapat meresap air hujan. 9.1.2 Energi Dalam paradigma arsitektur hijau, parameter energi terkait dengan besarnya energi yang dikonsumsi serta persentase pemanfaatan sumber energi yang dapat terbarukan di dalam sistem bangunan, baik karena aktivitas manusia maupun karena sistem dalam bangunan itu sendiri secara mandiri. Bangunan dinilai baik jika dalam mewadahi aktivitas manusia energi yang dikonsumsi rendah, sementara kenyamanan fisik manusia seperti kenyamanan termal, 135 visual, dan spasial tetap dapat dipenuhi. Di sisi lain, diukur pula bagaimana pemanfaatan sumber energi terbarukan seperti bahan bakar nabati, panas dan sinar matahari, sumber energi air, angin dan lainnya. Sumber energi terbarukan diperkirakan mengemisi karbondioksida dalam jumlah yang relatif sedang dibanding emisi karbon dari pembakaran bahan bakar fosil seperti minyak bumi. 9.1.3 Material Konsep arsitektur hijau menuntut penggunaan material yang mengkontaminasi lingkungan dan membahayakan manusia. Material terbarukan seperti kayu, bambu, dahan dan lainnya merupakan salah satu material yang direkomendasi disamping penggunaan material yang reuse dan re-cycle. Material dari tumbuhan merupakan material yang dalam pembentukannya menyerap CO2 dari udara. Hal ini berbeda dengan material nonorganik yang dalam pembentukan justru mengemisi CO2 ke udara karena memerlukan bahan bakar, seperti : besi, kaca, dan logam-logam lainnya. Meskipun demikian sejumlah material non organik yang dalam proses pembuatannya tidak konsumtif energi dan tidak mencemari lingkungan, tetap direkomendasikan dalam konsep arsitektur hijau. 9.1.4 Air Konsumsi air persatuan waktu perindividu merupakan salah satu parameter dominan yang diukur dalam konsep arsitektur hijau. Bangunan yang rendah dalam konsumsi airnya akan mendapat nilai baik atau tinggi dalam konsep arsitektur hijau. 9.1.5 Limbah Sistem penanganan limbah yang dihasilkan manusia dan bangunan dapat diolah kembali atau dapat diminimalkan jumlahnya merupakan salah satu ukuran tingkat hijau suatu bangunan. Hal ini sebenarnya telah ada dari prinsip-prinsip dasar arsitektur vernakular. Sejumlah bangunan modern memasang instalasi pengolah limbah agar limbah cair atau limbah padat dapat diproses dan dimanfaatkan kembali. Filosofi utama dalam aspek ini adalah bagaimana agar limbah cair atau padat dapat diproses dan dimanfaatkan kembali. Filosifi utama dalam aspek ini adalah bagaimana agar limbah yang dikeluarkan bangunan masih dalam jumlah yang mampu diolah oleh alam atau lingkungan di sekitar bangunan atau dikenal dengan konsep “zero waste”. Zero waste dapat diterapkan dengan cara cara misalnya: mengolah air hujan untuk dapat dipergunakan menjadi air yang manfaat baik untuk menyiram tanaman atau untuk pembersih dalam utilitas, dengan memilah sampah menjadi organik dan anorganik dan atau bahan kimia yang berbahaya, sejak dari rumah tangga, dengan cara prinsip biopori sehingga air hujan dapat tersimpan sebagai cadangan air untuk rumah tangga dan ekologi, dan lain sebagainya. Yang menjadi kendala adalah konsep zero waste dapat menjadi mahal, tanpa simulasi yang optimal. Seringkali 136 manajer proyek kurang memiliki kesadaran yang baik mengenai lingkungan hidup, sehingga hal seperti memang harus dituangkan dalam bentuk undang-undang yang lebih legal. Contoh yang menarik adalah rencana walikota Bandung berjalan untuk merumuskan dan mensosialisasikan aturan mengenai persyarakatan bangunan hijau untuk di kota Bandung. Harus dengan peran serta politisi hingga tingkat yang terkecil pula. 9.2 ARSITEKTUR HIJAU Konsep arsitektur hijau terkait dengan konsep arsitektur berkelanjutan (sustainable development). Menurut Brundtland Report dari PBB, 1987, pembangunan berkelanjutan adalah terjemahan dari Bahasa Inggris, sustainable development yang dapat diartikan bahwa pembangunan pada saat ini tidak mengganggu ekosistem pada generasi selanjutnya.. Salah satu faktor yang harus dihadapi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial. Arsitektur hijau (green building) adalah bangunan yang bersahabat dengan alam atau merespon alam dalam proses desainnya. Proses yang dimaksud adalah : pemilihan lingkungan, proses desain, pelaksanaan pembangunan, konstruksi, pemilihan material, pengelolaan bangunan hingga aspek pengembangan bangunan tersebut dimasa yang akan datang. Sementara itu menurut (Karyono: 2010), arsitektur hijau adalah arsitektur yang minim mengkonsumsi sumber daya alam seperti material, air, serta minim menimbulkan efek negatif bagi lingkungan. Tujuan dari arsitektur hijau adalah untuk mengurangi dampak-dampak lingkungan sehingga alam memiliki umur yang lebih panjang karena kerusakan yang diminimalisir. Sehingga alam dapat berkelanjutan, arsitektur yang mampu secara sinergi memenuhi kaidah-kaidah di atas ini disebut dengan arsitektur yang berkelanjutan (sustainable architecture). Tingkat kehijauan suatu bangunan atau kawasan harus dapat diposisiskan dalam level yang dapat dimengerti atau diukur oleh acuan standar yang dapat mengukur tingkat kehijauan suatau bangunan tersebut. Ada beberapa parameter untung mengukur suatu tingkat kehijauan bangunan atau lingkungan : 1. Penggunaan Energi Listrik 2. Penggunaan Energi Terbarukan (Kayu, Biogas, dll) 3. Penggunaan Air Bersih 4. Kenyamanan Fisik Dan Kualitas Udara 5. Rancanagan Ruang Luar 6. Pemanfaatan Limbah 137 Jadi arsitektur hijau merupakan suatu teknologi baru dalam arsitektur tentang bagaimana dapat memanfaatkan sumberdaya seminimalisir mungkin dan tidak merugikan lingkungan sekitar. 9.3 KONSEP GREEN ARCHITECTURE (ARSITEKTUR HIJAU) DALAM PERANCANGAN PERUMAHAN 9.3.1 Prinsip Dasar Arsitektur Hijau Prinsip-prinsip arsitektur hijau meliputi hal-hal berikut di bawah ini yakni : 1.Hemat energi / Conserving energy 2.Pengoperasian bangunan harus meminimalkan penggunaan bahan bakar atau energi listrik ( sebisa mungkin memaksimalkan energi alam sekitar lokasi bangunan ) 3.Memperhatikan kondisi iklim / Working with climate: Mendisain bagunan harus berdasarkan iklim yang berlaku di lokasi tapak kita, dan sumber energi yang ada. 4.Minimizing new resources: mendesain dengan mengoptimalkan kebutuhan sumberdaya alam yang baru, agar sumberdaya tersebut tidak habis dan dapat digunakan di masa mendatang. 5.Penggunaan material bangunan yang tidak berbahaya bagi ekosistem dan sumber daya alam. 6.Tidak berdampak negatif bagi kesehatan dan kenyamanan penghuni bangunan tersebut / Respect for site : Bangunan yang akan dibangun, nantinya jangan sampai merusak kondisi tapak aslinya, sehingga jika nanti bangunan itu sudah tidak terpakai, tapak aslinya masih ada dan tidak berubah (tidak merusak lingkungan yang ada). 7.Merespon keadaan tapak dari bangunan/ Respect for user : Dalam merancang bangunan harus memperhatikan semua pengguna bangunan dan memenuhi semua kebutuhannya. 8.Menetapkan seluruh prinsip–prinsip green architecture secara keseluruhan: Ketentuan diatas tidak baku, artinya dapat kita pergunakan sesuai kebutuhan bangunan kita. Adapun penjabaran prinsip-prinsip green mendesain green building : architecture beserta langkah-langkah 9. Conserving Energy (Hemat Energi) Menggunakan sumber energi yang langka atau membutuhkan waktu yang lama untuk menghasilkannya kembali. Solusi yang dapat mengatasinya adalah desain bangunan harus mampu memodifikasi iklim dan dibuat beradaptasi dengan lingkungan bukan merubah lingkungan yang sudah ada. Lebih jelasnya dengan memanfaatkan potensi matahari sebagai sumber energi. Cara mendesain bangunan agar hemat energi, antara lain : 1. Bangunan dibuat memanjang dan tipis untuk memaksimalkan pencahayaan dan menghemat energi listrik. 138 2. Memanfaatkan energi matahari yang terpancar dalam bentuk energi thermal sebagai sumber listrik dengan menggunakan alat photovoltaic yang diletakkan di atas atap. Sedangkan atap dibuat miring dari atas ke bawah menuju dinding timur-barat atau sejalur dengan arah peredaran matahari untuk mendapatkan sinar matahari yang maksimal. 3. Memasang lampu listrik hanya pada bagian yang intensitasnya rendah. Selain itu juga menggunakan alat kontrol pengurangan intensitas lampu otomatis sehingga lampu hanya memancarkan cahaya sebanyak yang dibutuhkan sampai tingkat terang tertentu. 4. Menggunakan sunscreen pada jendela yang secara otomatis dapat mengatur intensitas cahaya dan energi panas yang berlebihan masuk ke dalam ruangan. 5. Mengecat interior bangunan dengan warna cerah tapi tidak menyilaukan, yang bertujuan untuk meningkatkan intensitas cahaya. 6. Bangunan tidak menggunkan pemanas buatan, semua pemanas dihasilkan oleh penghuni dan cahaya matahari yang masuk melalui lubang ventilasi. 7. Meminimalkan penggunaan energi untuk alat pendingin (AC) dan lift. 10. Working with Climate (Memanfaatkan kondisi dan sumber energi alami) Melalui pendekatan green architecture bangunan beradaptasi dengan lingkungannya. Hal ini dilakukan dengan memanfaatkan kondisi alam, iklim dan lingkungannya sekitar ke dalam bentuk serta pengoperasian bangunan, misalnya dengan cara: 1. Orientasi bangunan terhadap sinar matahari. 2. Menggunakan sistem air pump dan cross ventilation untuk mendistribusikan udara yang bersih dan sejuk ke dalam ruangan. 3. Menggunakan tumbuhan dan air sebagai pengatur iklim. Misalnya dengan membuat kolam air di sekitar bangunan. 4. Menggunakan jendela dan atap yang sebagian bisa dibuka dan ditutup untuk mendapatkan cahaya dan penghawaan yang sesuai kebutuhan. 11. Respect for Site (Menanggapi keadaan tapak pada bangunan) Perencanaan mengacu pada interaksi antara bangunan dan tapaknya. Hal ini dimaksudkan keberadan bangunan baik dari segi konstruksi, bentuk dan pengoperasiannya tidak merusak lingkungan sekitar, dengan cara sebagai berikut: 1. Mempertahankan kondisi tapak dengan membuat desain yang mengikuti bentuk tapak yang ada. 2. Luas permukaan dasar bangunan yang kecil, yaitu pertimbangan mendesain bangunan secara vertikal. 3. Menggunakan material lokal dan material yang tidak merusak lingkungan. 139 12. Respect for User (Memperhatikan pengguna bangunan) Antara pemakai dan green architecture mempunyai keterkaitan yang sangat erat. Kebutuhan akan green architecture harus memperhatikan kondisi pemakai yang didirikan di dalam perencanaan dan pengoperasiannya. 13. Limitting New Resources (Meminimalkan Sumber Daya Baru) Suatu bangunan seharusnya dirancang mengoptimalkan material yang ada dengan meminimalkan penggunaan material baru, dimana pada akhir umur bangunan dapat digunakan kembali unutk membentuk tatanan arsitektur lainnya. 14. Holistic Memiliki pengertian mendesain bangunan dengan menerapkan 5 poin di atas menjadi satu dalam proses perancangan. Prinsip-prinsip green architecture pada dasarnya tidak dapat dipisahkan, karena saling berhubungan satu sama lain. Tentu secara parsial akan lebih mudah menerapkan prinsip-prinsip tersebut. Oleh karena itu, sebanyak mungkin dapat mengaplikasikan green architecture yang ada secara keseluruhan sesuai potensi yang ada di dalam tapak. Dalam merancang arsitektur hijau di Indonesia perlu dipertimbangkan letak geografis tapak dimana bangunan akan didirikan. Secara garis besar wilayah Indonesia dapat digolongkan ke dalam klasifikasi utama, yaitu kawasan atau kota pantai dan kawasan atau kota dataran tinggi atau pegunungan. Gambar 62. Pada dekade tahun-tahun terakhir Indonesia dan Malaysia berusaha keras untuk mempelajari dan menerapkan konsep keberlanjutan (sustainable development). Gambar di atas adalah contoh karya arsitekternama Ken Yeang “Green Houses” yang menggunakan alternatif efisiensi energi dan pengelolaan air hujan. Ken Yeang banyak membuat karya arsitektur hijau di Kuala Lumpur dan London, kekhasannya adalah mengoptimalkan kaidahkaidah alam dan meminimalisir kerusakan terhadap alam. http://www.ifa.de/en/visual-arts/ifa-galleries/past-exhibitions/green-houses-tropical-gardens.html Contoh lingkungan perumahan yang memiliki konsep vernakular dan arsitektur hijau yang kuat adalah misalnya : Perumahan Triniti (Kampung Daun), Parongpong, Kabupaten Bandung. Di lingkungan ini diperkuat dengan landmark restoran bertemakan alam pegunungan yakni : The 140 Peak, Restoran Parongpong. Kemudian contoh lain adalah : Perumahan Villa, Cluster Sevilla, Cileungsi Kabupaten Bogor. Villa ini bernuansa alami dan memiliki lokasi di Puncak, Bogor. Berikut ini adalah salah satu contoh kasus bangunan yang dirancang oleh Prof. Tri Harso Karyono dengan konsep arsitektur hijau disajikan dalam paparan selanjutnya. Hal di bawah ini dapat dipelajari mengenai bagaimana pengalaman perancangan rumah susun di perkotaan dengan tema arsitektur hijau. Perumahan villa di kawasan Bandung Utara ini, menawarkan solusi menghilangkan kepenatan dari beban kehidupan dengan panorama alamnya yang menarik, pilihan material ataupun detail arsitekturalnya. Hanya pengembangannya seringkali saat ini berbenturan dengan ketentuan KBU (Kawasan Bandung Utara), sehingga tidak dapat dilakukan secara luas (terbatas). Pilihan untuk solusi perumahan permukiman saat ini untuk kota-kota besar di Indonesia, untuk beberapa kota yang sudah tergolong metropolis adalah solusi perumahan vertikal (apartemen). Inipun harus banyak mendapatkan evaluasi, karena perancangan ruang luarnya masih belum merespon ketentuaan arsitektur hijau (green building). Suatu pekerjaan rumah besar untuk pendidik supaya mampu mengajar di bidang arsitektural untuk lebih teliti dalam perancangan ruang luar (landscape) apartemen saat ini dengan dasar-dasar teori yang kuat atas dasar penelitian itu tentunya jauh sangat lebih baik. Penulis mengamati bahwa perancangan ruang luar untuk bangunan tinggi secara optimal belum diterapkan dalam regulasi yang memadai, lain halnya dengan perancangan bangunan yang lebih komersial seperti hotel atau mall, mestinya konsultan-konsultan arsitektur lebih memiliki kearifan lokal yang lebih baik lagi pula. Misalnya dengan : memberikan pelatihan (workshop) mengenai perancangan green building bagi karyawannya, menyediakan literatur yang memadai di konsultan mereka dan memiliki review desain yang lebih ketat mengenai ketentuan ini. Kota-kota kita sudah bersuhu lebih panas, polusi tinggi dan memiliki masalah sosial yang tinggi. Suhu udara Bandung saja misalnya, jika dahulu jarang melewati 23 - 27 °C, namun saat ini sudah mencapai angka 32 atau 33 °C saat kemarau, sudah lebih sangat panas. 9.3.2 Rumah Susun Hijau : 1. Latar belakang rancangan Penyusunan proposal rancangan rumah susun hijau ini dilandasi oleh sejumlah alasan sebagai berikut : a. Lonjakan kebutuhan penyediaan hunian warga kota. b. Keterbatasan lahan kota, mendekatkan tempat tinggal dan tempat bekerja, tersiptanya ruang terbuka hijau (RTH) sebagai paru-paru kota, diperlukan fasilitas hunian massal yang disusun secara vertikal. 141 c. Sejumlah rumah susun yang dibangun di berbagai lokasi di tanah air baik oleh pihak pemerintah maupun swasta seringkali dilakukan tanpa pertimbangan kondisi iklim setempat-tropis lembab, serta tuntutan kenyamanan fisik dan penghematan energi. d. Ada kecenderungan rumah susun dibangun hanya sebagai sarana memenuhi kebutuhan dasar manusia untuk berlindung dari hujan, matahari dan kebutuhan privacy. e. Cukup banyak dijumpai penghuni merasa tidak nyaman (secara termal) dan berpotensi untuk menggunakan AC di unit hunian, berkonsekuensi meningkatkan penggunaan energi. f. Diperlukan strategi penyediaan sarana hunian vertikal (susun) yang dapat mewadahi kegiatan penghuni secara nyaman (spasial, visual, audial dan termal) tanpa harus banyak menggunakan energi listrik. 2. Konsep Rancangan Rumah susun hijau adalah suatu hunian massal (bersama) yang hemat dalam penggunaan (konsumsi) sumber daya alam, termasuk energi tanpa harus mengorbankan kenyamanan fisik pengguna rumah susun dan menimbulkan permasalahan lingkungan. Dalam pengertian hemat energi dalam bangunan rumah susun, adalah penggunaan energi terkait dengan sistem pengudaraan buatan (penggunaan AV) pencahayaan artifisial (lampu). Sedangkan pengertian kenyamanan fisik terkait dengan kenyamanan termal dan kenyamanan visual (penglihatan/ pencahayaan). Rincian Detail Konsep Utama: - Bangunan rumah susun dapat terdiri dari 3-5 lantai. - Lantai bangunan terbagi atas dua deret unit hunian dipisahkan oleh ‘selasar’ di tengah. - Lebar selasar sekitar 1,5 hingga 2,4 m disesuaikan dengan kebutuhan. Semakin ke atas, lantai semakin melebar sekitar 80 cm. Ini dimaksudkan untuk memberi peneduhan terhadap dinding/ jendela pada lantai di bawahnya, tanpa harus membuat kanopi tersendiri. - Sisi memanjang bangunan terhadap utara-selatan untuk mengurangi penyinaran (radiasi) langsung dari matahari, sehingga diharapkan ruang di dalam bangunan tidak terlalu panas. - Pada setiap unit hunian (atau kamar untuk asrama), ketinggian plafon dari lantai minimal 3 m, dimaksudkan untuk memberikan volume udara yang memadai bagi penghuni. - Sepanjang dinding luar banguan pada ketinggian 20 cm di atas lantai dipasang lubang-lubang ventilasi (‘rooster’ atau ‘kerawang’) masing-masing setinggi 20 cm dan 80 cm untuk keperluan ventilasi udara dan memberikan efek sejuk di dalam unit hunian/ kamar. 142 Gambar 63. Rumah Susun Hijau Sumber : Tri Harso Karyono (2009) 9.3.3 Greenship (Standar Bangunan Hijau Indonesia) Greenship merupakan suatu standar bangunan hijau yang dikembangkan oleh lembaga Konsul Bangunan Hijau Indonesia atau Green Building Council Indonesia (GBCI). Lembaga GBCI dibentuk tahun 2009 merupakan lembaga yang dibentuk atas inisiatif sector non pemerintah yakni berupa Greenship Rating Tools untuk Gedung Terbangun-Third Draft. Standar ini dalam perkembangannya cukup didukung oleh sejumlah lembaga pemerintah di Indonesia. Namun, pihak yang berperan dalam pembentukan GBCI diantaranya adalah sector yang bergerak dalam bidang jasa konstruksi, baik konsultan arsitektur (bangunan, interior, lanskap), struktur, M&E bangunan maupun kontraktor bangunan. GBCI tercatat sebagai anggota World Green Building Council (WGBC) yang berpusat di Canada. Di setiap Negara hanya dimungkinkan satu lembaga Green Building Council. GBC menyusun standar bangunan hijau yang diberlakukan di Indonesia dengan istilah Greenship. Aspek-aspek yang dinilai dalam standar Greenship adalah 6 aspek di bawah ini: Appropriate Site Development (Ketepatan pengembangan tapak). Energy Efficiency and Conservation (Efisiensi dan penghematan energy). Water Conservation (Penghematan air). Material Resource and Cycle (Sumber material dan daur ulang). Indoor Health and Comfort (Kesehatan ruang dalam kenyamanan). Building Environment and Management (Kondisi lingkungan bangunan dan manajemen bangunan). Cara menggunakan standar bangunan hijau di atas adalah dengan melakukan scoring aspekaspek tersebut di atas. Dengan demikian perumahan dengan tema arsitektur hijau maupun pula apartemen haruslah memenuhi aspek-aspek tersebut di atas. Apabila score-nya baik maka terpenuhi standar arsitektur hijau yang baik, sementara bila kurang atau tidak baik maka berlaku sebaliknya. Hal di atas dapat digunakan pula sebagai regulasi (peraturan). Berikut contoh perumahan jenis villa yang menggunakan perpaduan konsep arsitektur vernakular dan arsitektur hijau 143 Gambar 64. Kampung Layung Kampung Layung yaitu villa yang bisa disewa juga sebagai rumah untuk nikmati keindahan alam Dusun Bambu, terletak di kaki Gunung Burangrang. Yang menarik di villa-villa ini diberi nama tokoh Khas Sunda seperti Sangkuriang, Kabayan, dan sebagainya. Dari Luar, bangunan suasana desa tempo dulu betul-betul terihat asri berpadu dengan keindahan taman-taman yang ada di sekitar villa. Hal semacam ini terlihat dari bahan utama yang digunakan untuk eksterior villayakni bambu serta kayu. Untuk Interior, villa-villa ini menghadirkan kesan moderen yang menawan dipadukan dengan sarana rumah yang moderen. Ketidaksamaan arsitektur tradisional serta modern yang sempurna. Gambar 65. Dusun Bambu 9.3.4 Peraturan Gubernur Provinsi DKI tentang Bangunan ramah Lingkungan. Selain hal di atas contoh salah satu langkah positif yang dilakukan pemerintah adalah yang terjadi di lingkungan DKI yakni Standar bangunan Ramah Lingkungan berupa Rancangan Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta tentang Bangunan Gedung Ramah Lingkungan (2010). Dengan adanya peratutan ini maka semua bangunan yang akan dibangun di Jakarta harus memenuhi standar regulasi yang ada di dalam pedoman tersebut. Maka peraturan ini akan secara langsung maupun tidak langsung mendukung upaya GBCI melalui Greenship. 144 Gambar 66. Detail Arsitektur Hijau pada bangunan bertingkat. http://www.ifa.de/en/visual-arts/ifa-galleries/past-exhibitions/green-houses-tropical-gardens.html Konsep-konsep perumahan perlu untuk mengacu pada tren-tren konsep yang sedang giat digalakan oleh akademisi dan pemerintah seperti di atas. Akademisi memiliki konsep-konsep baru yang didasarkan pada hasil-hasil studi dan penelitian mereka. Sementara pemerintah juga berdasarkan hasil-hasil studi lembaga yang kompeten di pemerintahan khususnya mengenai perumahan dan permukiman dan juga dari hasil-hasil penelitian universitas. 9.4 DETAIL ARSITEKTUR HIJAU Dari uraian di atas didapatkan kesimpulan yakni pada intinya perlu dilihat lingkup permukiman yang dirancang apakah berada di pedesaan atau di perkotaan. Jadi didapat 2 kesimpulan inti yakni: 1. Untuk permukiman yang berlokasi di pedesaan-pedesaan akan sangat baik apabila memperbanyak pelestarian arsitektur vernakular di dalamnya, dimana material alami masih mudah di dapat. Bagaimana pola site plan, detail perancangan dapat digali dari khasanah arsitektur tradisional nusantara. 2. Untuk permukiman yang berlokasi di perkotaan perlu dkembangkan detail-detail perancangan pada lahan dan detail bangunan yang terbatas. Khusus kesimpulan pertama tentunya memerlukan pembahasan khusus menggali sejarah arsitektur tradisional. Tetapi ada contoh yang didapat dari hasil penelitian penulis yaki mengenai permukiman agrikultur di Cihideung-Lembang, Bandung. Dahulu tapak permukiman petani adalah berpencar seperti gambar di bawah ini : 145 Gambar 67. Karakter Perumahan Pertanian Pedesaan yang Berpencar di pegunungan Detail tapak dan bangunan permukiman di pinggir kota ini berkembang pesat hingga permukiman memadat kemudian bahkan petani kesulitan lahan sehingga terjadi kios bersama di depan atau di pinggiran jalan yang baru dibangun di tahun 90-an. Akhirnya terjadi pola tata guna lahan permukiman yang mengalami perubahan dan adaptasi secara fisik dan sosial yang kurang lebih seperti skema yang dapat digambarkan seperti gambar berikut ini, yaitu perumahan mencari area pinggiran jalan. Para petani bunga di kawasan Cihideung ini mampu bertahan meski terdapat invasi perkembangan kota dengan adanya developer developer perumahan karena memiliki tingkat penghasilan yang cukup tinggi. Mereka menjual bunga-bunga yang mereka tanam tidak hanya pada penduduk Bandung, tetapi pada wisatawan dari luar kota yang banyak datang pada akhir pekan, selain itu pemasaran juga hingga ke Padng, Surabaya atau Bali untuk keperluan bunga untuk acara-acara penting tertentu. Untuk petani kelas besar mereka mampu berpenghasilan 10 – 15 juta perbulan, sementara untuk kelas kecil mereka berpenghasilan sekitar 3 - 5 juta perbulan. Sistem komunal masyarakatpun cukup baik masyarakat dapat menitipkan bunga pada lahan di depannya bila mereka tidak memiliki lahan, atau menempati lahan-lahan di sepanjang Jalan Sersan Bajuri, Lembang Bandunng. Dan pertanian pun berkembang ke pertanian bunga atau tanaman hias yang lebih komersial pasarnya. 146 Perubahan Tapak Lingkungan dan Ilustrasi detail bangunan setempat, Gambar 68. Pola tata guna lahan permukiman yang mengalami perubahan dan adaptasi secara fisik dan sosial . Tetapi tema bangunan masih kuat struktur dan material alamiah setempat, misalnya bambu dan kayu. Konsep arsitektur hijau merupakan konsep yang harus pula dipadukan dengan arsitektur wisata untuk daerah-daerah di kota-kota tertentu yang memiliki potensi alam yang baik seperti contohnya Kota Bandung. Sumber : Sketsa pribadi Lucy Yosita dalam Tesis Magister dan literatur Heinz Fritz Tetapi untuk kesimpulan ke-2 yakni mengenai arsitektur perumahan di perkotaan perlu dilihat pula sisi lain yakni bahwa di masa yang akan datang, kota-kota di Indonesia, akan mengarah ke tren pembangunan apartemen. Hal ini dikarenakan lahan yang sudah makin terbatas, pembangunan yang tak terkendali pada lahan kota akan membahayakan ekosistem lingkungan perkotaan. Jika di Jakarta sebelum era milenium sudah banyak dibangun apartemen. Di kotakota besar lainnya, menyusul, misalnya di : Bandung, Surabaya, dan sebagainya. Diperlukan solusi-solusi kreatif meski lahan terbatas, meski menanam dilakukan di podium-podium atau balkon, hal ini mesti difahami secara struktural maupun detail arsitekturalnya. Untuk lebih jelasnya contoh aplikasi detail-detail arsitektur hijau untuk dapat diterapkan pada bangunanbangunan termasuk bagi fungsi perumahan adalah seperti pada tabel berikut di bawah ini : 147 Tabel 4 Contoh Detail Konsep Arsitektur Hijau Contoh Detail Konsep Detail arsitektur hijau Desain khusus pada kanopi bagian entrance bangunan dan taman. Berikut ini adalah contoh detail arsitektur hijau yang diterapkan pada kanopi dan taman yang tersisa suatu bangunan berwarna putih. Warna dasar berpadu dengan nuansa hijau vegetasi menjadikan bangunan terlihat cerah, alami dan juga hidup. Desain khusus pada pedestrianisasi dan roof garden. Berikut ini adalah contoh detail arsitektur hijau yang diterapkan pada pedestrian dan pada roof garden. Kesan kekakuan dan keangkuhan bangunan tinggi ternetralisir demikian pula perpaduan dengan bangunan di bawahnya terlihat harmoni. Desain roof garden pada podium bangunan vertikal di bangunan The World Green Building Council and IF. Bangunan ini memiliki konsep hemat energi dan hemat material. Dengan adanya roof garden akan mengurangi kegersangan di lokasi perkotaan yang padat di mana sudah begitu banyak bangunan tinggi. Contoh sebuah maket desain lingkungan kawasan MTR Station di Hong Kong, hal ini dapat dipelajari dan difahami untuk kepentingan perancangan lingkungan permukiman kota. Saat ini perkembangan kota-kota besar di Indonesia sudah banyak memerlukan transportasi massal (mass transportation). Konsep green architecture pada kasus di atas terlihat kreatif, integratif dan sangat mempertimbangkan efisiensi dan kecepatan, meski merupakan sebuah bangunan modern. Sumber : www.wikipedia.com : green architecture 148 Bab XI Penutup Strategi pengembangan perumahan dan permukiman di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa memerlukan kerjasama berbagai pihak baik akademisi, pemerintah maupun masyarakat. Pola perkembangan perumahan saat ini bila ditelaah mengalami perubahan atau pergeseran seperti: (1). Tren apartemen di kota-kota besar. (2). Fenomena redesain kampung kota yang rentan masalah penggusuran. (3). Maraknya perumahan cluster daripada perumahan dengan luasan memadai, yang mengakibatkan sempitnya ruang terbuka. Dan yang ke (4). Adanya kecenderungan renovasi rumah untuk beberapa keluarga pada suatu rumah warisan (rumah keluarga). Hal-hal di atas memerlukan penelitian-penelitian kembali terutama untuk tren pengembangan apartemen dan perbaikan kampung kota. Pada suatu penelitian penulis, didapatkan kesimpulan bahwa ruang-ruang terbuka publik berukuran besar memerlukan desain secara lebih baik dan komprehensif. Apartemen, perumahan cluster atau kampung-kampung kota akan semakin menyempit sehingga ruang terbuka memerlukan erhatian secara ekologis, fungsi dan juga desain. Secara sosial masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang memiliki tingkat kekerabatan tinggi. Masih kurangnya hasil-hasil penelitian yang dimiliki Indonesia membuat hal ini menjadi kurang tersentuh dalam praktek desain di lapangan. Bila ingin dikatakan bahwa penelitian-penelitian permukiman, aplikasinya di lapangan yang masih terkotak-kotak (segmentasi). Tekanan secara sosial atau pembangunan yang belum berkeadilan saat ini menimbulkan dampak yang tidak dapat dikatakan sederhana seperti misalnya: Maraknya kriminalitas, masih banyaknya penolakan dari kaum yang termarginalitas seperti buruh atau sekedar penurunan tingkat produktivitas. Apabila tidak disikapi secara benar dan strategis hal ini sebenarnya membahayakan bagi keutuhan bangsa secara sosial maupun fisik, karena keduanya memiliki keterkaitan yang erat. Politisi di masa mendatang mesti lebih tekun dalam terjun ke lapangan, Presiden Jokowi dan Walikota Bandung, Ridwan Kamil adalah 2 contoh yang inspiratif. Kesiapan masyarakat sebenarnya sudah lebih baik, masyarakat sudah lebih cerdas saat ini,. Yang diperlukan sebenarnya adalah peran universitas untuk terus mengembangkan link dengan swasta maupun pemerintah dalam program-programnya sehingga masyarakat yang solid, jujur dan berkualitas akan terwadahi dengan proporsional dan terencana dalam struktur yang semakin baik lagi dari waktu ke waktu. Dari penulisan buku referensi ini yang diawali dengan sejarah permukiman hingga konsepkonsep inovatif permukiman, mudah-mudahan didapatkan gambaran yang kiranya lebih strategis. Literatur mengenai perumahan juga masih dapat dikatakan kurang dalam bentuk buku yang mudah diakses praktisi dan peneliti, kebanyakan adalah buku-buku yang sifatnya 149 masih menitikberatkan desain semata. Semoga penulisan literatur ini juga memberi percik keilmuan untuk pengembangan perumahan dan permukiman di Indonesia. Akan tetapi pastinya tidak dapat berhenti sampai di sini karena literatur penelitian termasuk dalam permukiman masih sangat kurang. Diharapkan peneliti-peneliti terutama yang masih muda akan terus dapat melanjutkan strategi ini dalam detail aplikasi yang lebih rinci dan tentunya dapat dipertanggungjawabkan. Partisipasi masyarakat juga faktor yang harus lebih diperbaiki konsepnya secara strategis, karena modal sosial saat ini sifatnya lebih sensitif untuk negara berkembang. Apabila saat ini telah dilakukan pengabdian masyarakat secara intensif dalam bentuk kegiatan mandiri universitas terkait dengan mata kuliah mahasiswa, maupun melalui proses pengangkatan masalah-masalah dilapangan lewat penelusuran kebutuhan yang ada di masyarakat. Mudah-mudahan intisari ini memberikan gambaran strategi pengembangan permukiman di Indonesia selanjutnya. 150 DAFTAR PUSTAKA Aditama,TY. (1992). Polusi Udara dan Kesehatan. Jakarta : Arcan. Anonim. (1997). Rumah dan Lingkungan Pemukiman Sehat. Jakarta : Ditjen Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum R.I. Azwar, A. (1996). Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Jakarta : Mutiara Sumber Widya. Balchin, P., N., Isaac, D. And Chen, J., 2006, Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota (Regional and City Planning Journal), Penerbit ITB, Bandung. ______ (2000). Urban Economics ; A Global Perspective, Palgrave, Hampshire. Barliana, M. Syaom, (2010) ; Arsitektur, Komunitas, dan Sosial. Metatekstur, Bandung. Butaru, Redaksi (____) : Green Building A Sustainable Consept for Construction Development in Indonesia. Redaksi Butaru. Chiara, Joseph De (1978); Standar Perencanaan Tapak, Jakarta : Erlangga. ________ . (2000) . Diktat Mata Kuliah Perumahan Perumahan. Bandung : Universitas Katolik Parahyangan Bandung. Devas, Nick & Rakodi Carole, 1993. Managing Fast Growing Cities : New Approaches to Urban Planning and Management in Developing World, Longman Scientific and Technical, John Willey, New York. Direktorat Pembinaan Jalan Kota, Direktorat Jenderal Bina Marga, (1990), Panduan Penentuan Klasifikasi Fungsi Jalan Di Wilayah Perkotaan. Permen, Jakarta. Ditjen PPM dan PL . (2002). Pedoman Teknis Penilaian Rumah sehat . Jakarta : Departemen Kesehatan R.I. Habitat, An Urbanizing World; Global Report OnHuman Settlements 1996, Oxford University Press, New York, 1996. Habitat, Cities In A Globalizing World; Global Report On Human Settlements 2001, Earthscan Publications Ltd, London, 2001. Harvey, David. 1973, Social Justice and the City, Edward Arnold Publisher Ltd, London, UK. Henry, Sannoff (1977); Method of Architectural Programming, Dowden Hutchinson Ross Inc., London. Karyono, Tri Harso (2010); Green Architecture, Pengantar Pemahaman Arsitektur Hijau di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta Mentayani, Ika Dkk. (2012) ; Menggali Makna Arsitektur Vernakular : Ranah, Unsur, Dan Aspek-Aspek Vernakularitas, Journal Of Architecture UGM. Yogyakarta. Lynch, Kevin (1960)., Images of the City., Harvard (MIT)., Paperback. Panudju, Bambang (1999); Pengadaan Perumahan Kota dengan Peran Serta Masyarakat Berpenghasilan Rendah, Penerbit Alumni, Bandung. Poerbo, Hasan (1999); Lingkungan Binaan untuk Rakyat, PPLH ITB-Yayasan Akatiga, Bandung. ________,(1983): Pedoman Perencanaan Lingkungan Pemukiman Kota, Departemen PU, Cetakan ke-3, Jakarta. Sastra, S & Marlina E, 2006, Perencanaan dan Pengembangan Perumahan, Penerbit ANDI, Yogyakarta. Surowiyono, Tutu, T.W. (1996); Dasar Perencanaan Rumah Tinggal, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. 151 SML., Hong Kong, (2009), Top House, Patrika Book Center., New Delhi., India Peraturan Menteri Pekerjaan Umum, (2007), Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Susun Sederhana Bertingkat Tinggi, Permen, Jakarta. Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat, (2008), Standar Pelayanan Minimal Bidang Perumahan Rakyat Daerah Provinsi Dan Daerah Kabupaten/Kota, Permen, Jakarta. Peraturan Daerah Bantul (2013), Penyelenggaraan Perumahan, Perda. Bantul. ____________, Penerbit Yayasan Akatiga (1995), Tanah, Buruh dan Usaha Kecil dalam Proses Perubahan, Kumpulan Ringkasan Hasil Penelitian Akatiga. Kepmenkes RI No. 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan. Sassen, S., The Global City , Princeton University Press, New Jersey, 2001. White, Edward T (2001)., Analisis Tapak., Intermatra., Bandung. Yosita, Lucy., (2003)., Keberlanjutan Permukiman Agrikultur di Pinggiran Kota., Tesis Magister., Institut Teknologi Bandung (ITB). Yosita, Lucy, dkk (2007), Makalah “ANALYSIS OF MOVEMENT OF DYNAMIC INDONESIA MEGACITIES AFTER 2010”, dipresentasikan pada Konfrensi tingkat Asia berjudul Asian Urbanism and Beyond di Chinese University of HK, Agustus 2013, Hong Kong China. , Lucy, Yosita, Lucy, dkk (2007), Penelitian Prospek Land Sharing di Sekeloa, Bandung, HIBAH PEKERTI, lolos tahun anggaran 2007, LPPM UPI, Bandung. Yudohusodo, Siswono dkk. (1991); Rumah untuk Seluruh Rakyat, Inkoppol, Jakarta. http://www.academia.edu/3212171/Pembangunan_Perumahan_dan_Permukiman_di_I ndonesia http://anggsiregar.blogspot.com/2012/10/belajar-untuk-uts-p4-mencoba-cara.html http://www.bakrieglobal.com/news/read/2326/2014-Backlog-Rumah-Ditaksir-15-JutaUnit https://behindus.wordpress.com/2011/04/15/masalah-ekonomi-dan-elastisitas-bag-1/ http://birohukum.pu.go.id/pustaka/arsip_makalah/20.pdf https://www.google.com/?gws_rd=ssl#q=adequate+public+facilities+http://nasional.kompas.co m/read/2014/11/02/17045311/Hasil.Kerja.Jokowi.Akan.Menjawab.Isu.Presiden.Boneka. http://www.dusun-bambu.com/2014/09/kampung-layung.html http://www.ifa.de/en/visual-arts/ifa-galleries/past-exhibitions/green-houses-tropicalgardens.html http://www.p2kp.org/bestpractice.asp http://www.scribd.com/doc/54192794/Pedoman-Teknis-Pembangunan-RumahSederhana#scribd 152 View publication stats