Document

advertisement
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Malaria merupakan masalah kesehatan dunia dengan 207 juta kasus dan lebih
dari 627.000 kematian setiap tahunnya, terutama pada anak dengan usia di bawah 5
tahun di Sub-Sahara Afrika. World Health Organization (WHO) juga mencatat 300 500 juta terinfeksi malaria setiap tahunnya. Penyakit malaria juga menjadi masalah
kesehatan di lebih dari 90 negara, yang meliputi 40% dari populasi dunia. Sebanyak
90% kejadian malaria terjadi di wilayah Sub-Sahara, Afrika. Asia menempati urutan
kedua dari Afrika. WHO memperkirakan sekitar 34,8 juta kasus dan 45.600 kematian
akibat malaria di Asia dan dilaporkan lebih dari 85% kejadian malaria dan kematian
terjadi di India, Indonesia, Myanmar, dan Pakistan (WHO, 2011)
Tahun 2010, dilaporkan sebanyak 4.3 juta kasus malaria di Asia Tenggara, di
antaranya tiga negara dengan mayoritas kasus malaria yaitu India (66%), Myanmar
(18%) dan Indonesia (10%), dengan total 2.436 kasus kematian (WHO, 2011).
Indonesia merupakan salah satu negara di dunia di mana malaria masih merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang sangat tinggi. Di Indonesia, berdasarkan laporan
Riskesdas 2013 terdapat lima provinsi yang tertinggi dalam mengobati malaria yaitu
Bangka Belitung (59,2%), Sumatera Utara (55,7%), Bengkulu (53,6%), Kalimantan
Tengah (50,5%) dan Papua (50,0%). Prevalensi malaria di Indonesia adalah 6,0%.
Untuk Propinsi Sumatera Utara prevalensinya adalah 5,2% (Riskesdas, 2013).
Jenis Plasmodium yang banyak ditemukan di Indonesia adalah P. falciparum
dan P. vivak. P. falciparum mengakibatkan kematian lebih dari 600.000 kasus per
tahun (WHO, 2013a). Komplikasi terberat dari infeksi Plasmodium falciparum
2
adalah malaria serebral dan merupakan penyebab utama kematian pada malaria.
Sedangkan P. malariae dapat ditemukan di beberapa Provinsi antara lain Lampung,
Nusa Tenggara Timur, dan Papua. P. ovale pernah ditemukan di Nusa Tenggara
Timur dan Papua. Pada tahun 2010 di Pulau Kalimantan dilaporkan adanya
P. knowlesi yang dapat menginfeksi manusia dimana sebelumnya hanya menginfeksi
hewan primata/monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan sampai saat ini masih
terus diteliti. Kehadiran malaria baru di Asia Tenggara menambah tantangan baru
dalam eliminasi malaria (Hadidjaja P dan Margono S, 2011 ; Ditjen PP & PL, 2011a)
Angka kesakitan dan kematian akibat malaria yang tinggi umumnya terjadi
karena keterlambatan diagnosis dan resistensi antimalaria. Keterlambatan diagnosis
sangat dipengaruhi oleh ketersediaan alat bantu diagnostik yang tersedia di suatu
daerah tertentu (Bendezu J, 2010). Kekurangan tenaga laboratorium kesehatan yang
terampil menggunakan mikroskop untuk menegakkan diagnosis malaria secara tepat
merupakan salah satu penyebab keterlambatan pengobatan dan kesalahan diagnosis
malaria. Sebagai salah satu metode pemeriksaan alternatif yang relatif mudah
digunakan adalah pemeriksaan dengan Rapid Diagnostic Test (RDT) (Elahi R, et al,
2013)
Bendezu, et al. (2010), melakukan penelitian didaerah endemik Peruvian
Amazon Peru terhadap 332 orang suspek malaria dengan umur 16-32 tahun memakai
Tes Rapid Parascreen dibandingkan dengan Mikroskop untuk P. falciparum
didapatkan nilai Sensitivitas 53,5%, Spesifisitas 98,7%, untuk non P. falciparum
didapatkan nilai Sensitivitas 77,1%, Spesifisitas 97,6%. Bahkan, penelitian yang
dilakukan oleh VanderJagt, (2005) mendapatkan hasil sensitivitas Rapid Diagnostic
Test yang kurang dari 50%.
Siahaan L, (2011) melakukan penelitian terhadap 656 suspek malaria di
Kotamadya Sabang dan Kabupaten Nias Selatan, Provinsi Sumatera Utara yang
merupakan daerah endemis malaria sensitivitas adalah 67/105 (63,8%), sedangkan
spesifisitas adalah 551/551 (100%). Afiah N, et al., (2009), melakukan penelitian
didaerah endemik Halmahera Tengah terhadap 240 orang suspek malaria dengan Tes
Paracheck Pf dengan Mikroskop didapatkan nilai Sensitivitas 88% dan Spesifisitas
3
66,6%. Ginting J, dkk (2008) melakukan penelitian terhadap 104 orang suspek
malaria semua golongan umur di puskesmas dan RSU Penyabungan dengan
membandingkan tes Parascreen dengan Pewarnaan Giemsa didapatkan nilai
Sensitivitas 76,47%, Spesifisitas 100%.
Kabupaten Batubara merupakan salah satu Kabupaten di Propinsi Sumatera
Utara yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Asahan. Batubara berada di
kawasan Pantai Timur Sumatera Utara yang berbatasan dengan Selat Malaka. Jumlah
penduduk Batu Bara diperkirakan sebesar 380.570 jiwa. Berdasarkan data Dinas
Kesehatan Sumatera Utara, kejadian malaria di Kabupaten Batubara terjadi 2.382
kasus (1.141 laki-laki, 1.241 perempuan) (Dinkes, 2014). Sebagian besar penduduk
bertempat tinggal di daerah pedesaan yaitu sebesar 77,11 persen dan sisanya 22,89
persen tinggal di daerah perkotaan. Kecamatan Lima Puluh merupakan kecamatan
terluas dari Kabupaten Batubara yang terletak di pesisir pantai timur, tempat yang
sesuai untuk vektor malaria (Riskesdas, 2013)
Tingginya angka kejadian malaria di Kabupaten Batubara dan tuntutan dalam
ketepatan saat menentukan diagnosis malaria serta tingkat sensitivitas dan spesifisitas
pemeriksaan tersebut yang bervariasi di berbagai tempat sehingga merupakan suatu
hal yang menarik dan perlu untuk diteliti.
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan akurasi pemeriksaan Rapid
Diagnostic Test (RDT) dengan pemeriksaan mikroskopik sebagai gold standard pada
penderita malaria klinis di Kabupaten Batubara. Hasil yang diperoleh diharapkan
dapat menjadi pertimbangan dalam menegakkan diagnosis penyakit malaria, sehingga
penegakkan diagnosis malaria dapat lebih cepat dan tepat serta memudahkan dalam
menentukan terapi yang akan diberikan pada pasien sesuai dengan jenis malaria yang
dideritanya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti ingin mengetahui
bagaimanakah
akurasi
pemeriksaan
Rapid
Diagnostic
Test
(RDT)
4
dibandingkan dengan pemeriksaan mikroskopik untuk menegakkan diagnosis
malaria di Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Batubara ?
1.3 Hipotesis
Tidak ada perbedaan akurasi antara pemeriksaan Rapid Diagnostic Test
(RDT) dan pemeriksaan mikroskopik.
1.4 Tujuan penelitian
1.4.1
Tujuan Umum
Untuk membandingkan akurasi pemeriksaan Rapid diagnostic Test (RDT)
dengan pemeriksaan mikroskopik untuk diagnosis malaria.
1.4.2
Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui prevalensi malaria di Kabupaten BatuBara
2. Untuk membandingkan sensitivitas pemeriksaan Rapid Diagnostic Test
(RDT) dan pemeriksaan mikroskopik
3. Untuk membandingkan spesifisitas pemeriksaan Rapid Diagnostic Test
(RDT) dan pemeriksaan mikroskopik
4. Untuk mengetahui nilai duga (predictive value) pemeriksaan Rapid
Diagnostic Test (RDT) dan pemeriksaan mikroskopik
5. Untuk mengetahui rasio kemungkinan (likelihood ratio) pemeriksaan
Rapid Diagnostic Test (RDT) dan pemeriksaan mikroskopik
1.5 Manfaat Penelitian
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mendiagnosis malaria lebih awal
sehingga dapat memberikan pengobatan yang tepat.
2. Dapat digunakan sebagai alternatif dalam penegakan diagnosis secara
cepat dan tepat bagi daerah yang tidak memiliki fasilitas diagnostik
memadai dan tenaga ahli.
3. Meningkatkan pengetahuan peneliti mengenai beberapa pemeriksaan
laboratorium untuk mendiagnosis malaria.
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Malaria
2.1.1 Definisi dan Etiologi Penyakit Malaria
Malaria adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh protozoa obligat
intraseluler dari genus Plasmodium. Penyakit malaria ditularkan oleh nyamuk
Anopheles betina antara lain Anopheles sundaicus, Anopheles Aconitus, Anopheles
barbirostris, Anopheles kochi, Anopheles maculatus, Anopheles subpiictus,
Anopheles balabacencis dan Anopheles latens. Penyakit malaria ini dapat menyerang
siapa saja terutama penduduk yang tinggal di daerah dimana tempat tersebut
merupakan tempat yang sesuai dengan kebutuhan nyamuk untuk berkembang.
(Natadisastra D dan Agoes R, 2009)
Penyebab malaria di Indonesia saat ini, ada 5 spesies parasit malaria :
1. Plasmodium falciparum menyebabkan malaria tropika atau malaria tertiana
maligna yang sering menyebabkan malaria yang berat hingga menyebabkan
kematian.
2. Plasmodium malariae menyebabkan malaria malariae atau malaria kuartana
3. Plasmodium vivax menyebabkan malaria vivax atau malaria tertian benigna
4. Plasmodium ovale yang menyebabkan malaria ovale atau malaria tertian
benigna ovale
5. Plasmodium knowlesi, ditemukan di Kalimantan sebagai penularan dari
hewan mamalia genus Macaca berekor panjang
(Hadidjaja P dan Margono S, 2011)
6
Seorang penderita malaria dapat diinfeksi oleh lebih dari satu jenis
Plasmodium yang disebut infeksi campuran (mixed infection). Biasanya paling
banyak dua jenis parasit, yakni campuran antara P. falciparum dengan P. vivax atau
P. malariae. Kadang-kadang dijumpai tiga jenis parasit sekaligus, meskipun hal ini
jarang terjadi. Infeksi campuran biasanya terdapat di daerah yang tinggi angka
penularannya (Soedarmo SS, 2008).
Upaya penanggulangan penyakit malaria di Indonesia sejak tahun 2007 dapat
dipantau dengan menggunakan indikator Annual Parasite Incidence (API). Setiap
kasus malaria harus dibuktikan dengan hasil pemeriksaan sediaan darah. API dari
tahun 2008 – 2013 menurun dari 2,47 per 1000 penduduk menjadi 1,38 per 1000
penduduk. Untuk tahun 2013 dapat dilihat per provinsi API yang tertinggi adalah
Papua (42,65 per 1000 penduduk), Papua Barat (38,44 per 1000 penduduk), dan NTT
(16,37 per 1000 penduduk) (Ditjen PP & PL Kemenkes RI 2008 – 2013).
Gambar 1. API per 1000 penduduk menurut Provinsi Tahun 2013
Sumber : Ditjen PP & PL Kemenkes RI 2008 – 2013
7
2.1.2 Siklus Hidup Plasmodium
a) Sporogoni (Seksual)
Siklus sporogoni disebut siklus seksual karena menghasilkan bentuk sporozoit
yang siap ditularkan ke manusia, terjadi di dalam tubuh nyamuk. Siklus ini juga
disebut siklus ekstrinsik karena masuknya gametosit ke dalam tubuh nyamuk hingga
menjadi sporozoit yang terdapat di dalam kelenjar ludah nyamuk. Gametosit yang
masuk ke dalam bersama darah, tidak dicerna bersama sel-sel darah yang lain
(Soedarto, 2011a).
Dalam waktu 12 – 24 jam setelah nyamuk menghisap darah, zigot berubah
bentuk menjadi ookinet yang dapat menembus dinding lambung. Di lambung ini
berubah menjadi ookista dibentuk ribuan sporozoit, dengan pecahnya ookista,
sporozoit di lepaskan ke dalam rongga badan dan bergerak ke seluruh jaringan
nyamuk. Bila nyamuk sedang menusuk manusia, sporozoit masuk ke dalam darah
dan jaringan dan mulailah siklus eritrositik (Soedarto, 2011a)
b) Skizogoni (Aseksual)
Sporozoit infektif dari kelenjar ludah nyamuk Anopheles sp, dimasukkan ke
dalam aliran darah hospes vertebrata (manusia). Dalam waktu 30 menit memasuki sel
parenkim hati, memulai siklus eksoeritrositik. Pada P. vivak ada yang ditemukan
dalam sel hati yang disebut hipnozoit (Natadisastra D dan Agoes R, 2009).
Hipnozoit ini merupakan suatu fase dari siklus parasit yang nantinya dapat
menyebabkan kekambuhan/rekurensi (long term relapse). P. vivak dapat kambuh
berkali-kali bahkan sampai jangka waktu 3-4 tahun. Sedangkan P. ovale dapat
kambuh sampai bertahun – tahun apabila pengobatannya tidak dilakukan dengan
baik. Kekambuhan P. falciparum disebut rekrudensi (short term relapse), karena
siklus di dalam sel darah merah masih berlangsung sebagai akibat pengobatan yang
tidak teratur. Dalam sel hati parasit tumbuh menjadi skizon (Natadisastra D dan
Agoes S, 2009).
8
Pembelahan inti skizon menghasilkan merozoit di dalam satu sel hati. Siklus
eritrosit dimulai pada waktu merozoit hati memasuki sel darah merah. Merozoit
berubah bentuk menjadi tropozoit. Tropozoit tumbuh menjadi skizon muda yang
kemudian matang menjadi skizon matang dan membelah menjadi banyak merozoit,
pigmen dan residu keluar serta masuk ke dalam plasma darah. Parasit ada yang
masuk sel darah merah lagi untuk mengulangi siklus skizon. Beberapa merozoit yang
memasuki eritrosit tidak membentuk skizon, tetapi membentuk gametosit, yaitu
stadium seksual. Pada waktu masuk ke dalam tubuh manusia, parasit malaria dalam
bentuk sporozoit (Natadisastra D dan Agoes S, 2009).
Gambar 2. Siklus Hidup Plasmodium
Sumber : Nature Reviews Microbiology, 2015
9
2.1.3 Patogenesis Malaria
Patogenesis malaria akibat dari interaksi kompleks antara parasit, hospes dan
lingkungan. Plasmodium berikatan dengan glikoporin, suatu protein membran
eritrosit. Eritrosit terinfeksi bergantung pada kemampuan Plasmodium dan pengaruh
protein knob. Adanya ikatan antigen dengan glikoporin merangsang antibodi,
antibodi ini bekerja dalam sel. Patogenesis lebih ditekankan pada terjadinya
peningkatan permeabilitas pembuluh darah daripada koagulasi intravaskuler. Invasi
merozoit malaria merupakan proses yang kompleks dan terdapat dalam beberapa
langkah yang dapat dibagi menjadi empat fase:
1. Pengenalan
awal (initial recognition) dan perlekatan reversibel (reversible
attachment) dari merozoit ke membran eritrosit.
2. Reorientasi dan formasi junction antara ujung apikal dari merozoit (irreversible
attachment) dan pelepasan Rhoptry-microneme dengan formasi vakuola
parasitophorous
3. Gerakan junction dan invaginasi dari membran eritrosit sekitar merozoit yang
disertai dengan hilangnya lapisan permukaan merozoit, dan akhirnya PVM
(Parasitophorous vakuola membrane) dan membran eritrosit menutup kembali
setelah selesai invasi merozoit (Pinder J, et al., 2000)
Interaksi awal antara merozoit dan eritrosit yang mungkin tubrukan secara
random, yang sangat tergantung pada interaksi molekul spesifik antara ligan parasit
pada merozoit dan reseptor host pada membran eritrosit. Protein di permukaan dan
organel apikal merozoit memediasi pengenalan sel dan invasi ke dalam sel darah
merah. Proses invasif ini dilakukan oleh proses Actin-myosin, yang melibatkan empat
komponen ; MCP1 (Merozoit Cap Protein-1), aktin, myosinA dan MTIP (MyosinA
Tail Interacting Protein). MSP1 (Merozoit Surface Protein-1) dan GPI (Glikosil
Phosphatidyl Inositol) juga disebut MSA1, gp195 atau PMMSA bisa terlibat dalam
pengenalan awal pada eritrosit dengan sialic acid. Tiga Protein Permukaan merozoit
P. falciparum lainnya yaitu MSP2, MSP3 dan MSP4 telah diidentifikasi. Sialic acid
10
pada glycophorin terlibat dalam pengenalan reseptor untuk invasi merozoit setelah
perlekatan awal. Microneme yang berasal dari EBA175 (Eritrosit-Binding Antigen175) dari P. falciparum juga mengikat sialic acid pada glycophorin. Struktur gen
EBA175 memiliki kesamaan dengan Duffy-Binding Protein P. vivax dan P. knowlesi.
EBA175 tampaknya menjadi ligan yang paling penting untuk mengikat merozoit
dengan glycophorinA pada eritrosit. Namun, beberapa merozoit P. falciparum dapat
memanfaatkan jalur alternatif untuk invasi. GlycophorinB juga dapat bertindak
sebagai reseptor eritrosit. Selanjutnya merozoit malaria dapat memanfaatkan jalur
independen untuk invasi tanpa acid sialic. Protein vacuolar lainnya, seperti ABRA
(Acidic Basic Repeat Antigen) dan SERA (Serine Repeat Antigen) juga ditemukan
pada merozoit. Banyak protein organellar apikal pada micronemes dan rhoptries,
yang meliputi ; AMA1 (Apical Membrane Antigen-1) and MAEBL (in Rodent
Malaria) juga terdapat dalam merozoit. Komponen massa molekul Rhoptry Complex
rendah, RAP1 (Rhoptry-Associated Protein-1), RAP2 dan RAP3, juga terjadi di
merozoit. Massa molekul Rhoptry protein Complex (RhopH), bersama-sama dengan
RESA (Ring-infected Erythrocyte Surface Antigen) yang merupakan komponen dari
granul padat, ditransfer utuh untuk eritrosit baru pada atau setelah invasi dan dapat
berkontribusi pada proses renovasi sel host. Merozoit berkembang dalam eritrosit
melalui tahap cincin, trofozoit dan skizon (erythrocytic schizogony) (Bannister LH,
et al., 2003)
11
Gambar 3. Proses Merozoit Masuk Eritrosit
Sumber : http : //www.malariasite.com, 2015
Selama skizogoni, sirkulasi perifer menerima pigmen malaria dan produk
samping parasit, seperti membran dan isi sel-sel eritrosit. Pigmen malaria
tidak toksik, tetapi menyebabkan tubuh mengeluarkan produk-produk asing dan
respon fagosit yang intensif. Makrofag dalam Retikuloendothelial System (RES) dan
dalam sirkulasi menangkap pigmen dan menyebabkan warna agak kelabu pada
sebagian besar jaringan dan organ tubuh. Pirogen dan racun lain yang masuk ke
sirkulasi saat skizogoni, diduga bertanggung jawab mengaktifkan kinin vasoaktif dan
kaskade
pembekuan
darah.
Parasit
malaria
melepaskan
endotoksin
yang
mengakibatkan aktivasi jaras sitokin. Sel - sel dari makrofag dan monosit juga
mungkin endothelium terstimulasi untuk melepaskan sitokin. Pecahnya eritrosit juga
diikuti pelepasan kalium, fosforilasi glukosa, proses oksidasi hemoglobin, rusaknya
globin. Juga terjadi perlekatan mekanis eritrosit yang mengandung skizon pada
12
endothelium. Demam mulai mucul bersamaan dengan pecahnya skizon darah yang
mengeluarkan bermacam – macam antigen. Antigen ini akan merangsang sel – sel
makrofag, monosit atau limfosit yang mengeluarkan bermacam – macam sitokin
diantaranya Tumor Necrosis Factor (TNF). TNF akan dibawa ke hipotalamus yang
merupakan pusat pengatur suhu tubuh dan terjadi demam (Garna H, 2012)
2.1.4
Respon Imun Pada Malaria
Salah satu kendala untuk membuat vaksin terhadap malaria di akhir abad 20
adalah belum jelasnya jenis respon imun yang berperan untuk mengendalikan
berbagai stadium parasit malaria dan juga imunopatologi dari malaria. Selain itu, sulit
ditemukan hewan coba yang dapat digunakan untuk mempelajari mekanisme respon
imun dan imunopatogenesis malaria. Berbeda dengan penyakit akibat virus atau
bakteri, imunitas terhadap malaria sangat kompleks, melibatkan hampir seluruh
komponen sistem imun baik spesifik maupun non - spesifik, imunitas humoral
maupun seluler, yang timbul secara alami (innate immunity) maupun didapat
(acquired immunity), akibat infeksi atau vaksinasi (Soedarto, 2011b)
Kemunculan imunitas spesifik berjalan lambat. Imunitas hanya bersifat jangka
pendek (short lived) dan kemungkinan tidak ada imunitas yang permanen dan
sempurna (Soedarto, 2011b). Antigen-antigen parasit merupakan pemicu pelepasan
zat-zat tertentu dari sel-sel imunitas tubuh yang disebut sitokin. Sitokin dihasilkan
oleh makrofag atau monosit dan limfosit T. Sitokin yang dihasilkan oleh makrofag
adalah Tumor Necrosis Factor (TNF), Interleukine-1 (IL-1) dan Interleukine-6 (IL-6)
sedangkan limfosit T menghasilkan Tumor Necrosis Factor - alfa (TNF-α),
Intererferon - gamma (IFN-ϒ), IL-4, IL-8, IL-10 dan IL-12. IFN-ϒ adalah protein
alami yang diproduksi oleh sel dari sistem imun pada sebagian besar vertebrata untuk
merespon tantangan benda asing seperti virus atau parasit. Sitokin tersebut dapat
berasal baik dari lengan innate atau adaptive dari respon imun (Garna H, 2012).
Adalah penting untuk menentukan kontribusi sitokin tersebut pada imunitas dan
patologi infeksi malaria, karena mereka dapat mendukung aspek selama respon proinflamasi (Artavanis-Tsakonas & Riley, 2002).
13
Bentuk atau respon imunologi terhadap malaria dibedakan menjadi tiga:
a) Imunitas alamiah non-imunologis berupa kelainan-kelainan genetik polimorfisme
yang dikaitkan dengan resistensi terhadap malaria. Misalnya hemoglobin S (sickle
cell trait), hemoglobin C, hemoglobin E, thalasemia α/β, defisiensi glukosa - 6 fosfat
dehidrogenase (G6PD), ovalositosis herediter, golongan darah Duffy negatif yang
kebal terhadap infeksi P. vivax, individu dengan Human Leucocyte Antigen (HLA)
tertentu.
b) Imunitas non - spesifik (non - adaptive/innate). Sporozoit yang masuk ke dalam
darah segera dihadapi oleh respon imun non-spesifik terutama dilakukan oleh
makgrofag dan monosit, yang menghasilkan sitokin-sitokin seperti TNF, IL-1, IL-2,
IL-4, IL-6, IL-8, IL-10 dan langsung menghambat pertumbuhan parasit (sitostatik)
dan membunuh parasit (sitotoksik).
c) Imunitas spesifik. Tanggapan sistem imun terhadap infeksi malaria mempunyai
sifat spesies spesifik, strain – spesific dan stadium spesifik.
Ada dua macam respon imun yang terjadi apabila ada mikroba yang masuk ke
dalam tubuh, yaitu respon innate dan adaptive. Sel yang berperan dalam innate
response adalah sel fagosit, neutropil, monosit dan makrofag. Innate immunity
(imunitas alamiah) berperan terhadap ekstraselular Plasmodium, dieliminasi dengan
fagositosis dan aktivasi komplemen sitokin Thelper2 (Th2) untuk produksi antibodi
sedangkan intraselular Plasmodium, dieliminasi dengan TC (cytotoxic lymphocytes)
membunuh sel yang terinfeksi, sitokin Thelper1 (Th1) untuk aktivasi makrofag & TC.
Innate immunity dan acquired immunity (imunitas didapat) saling berinteraksi dan
menentukan perjalanan penyakit pada hospes. CD8+ (cytotoxic T cells) membunuh
sel hospes yang terinfeksi parasit (sel hepar yang terinfeksi) (Garna H, 2012)
Regulasi adaptive immunity sebagai respon terhadap infeksi malaria dilakukan
oleh sitokin yang diproduksi oleh sel pada respon innate immunity. Parasit dikenali
oleh Pattern – Recognition Receptors (PRRs), seperti : Toll – Like Receptors (TLRs)
dan CD36 atau sitokin – sitokin inflamasi, seperti : interferon – gamma (IFN-ϒ),
dendritic cells (DCs) dan bermigrasi ke limpa (spleen) – area primer respon imun
14
menyerang stadium Plasmodium di darah. Maturasi DCs berasosiasi dengan
peningkatan regulasi ekspresi molekul MHC-II, CD40, CD80, CD86 dan molekul
adhesi serta produksi sitokin termasuk interleukine-12 (IL-12). IL-12 mengaktivasi
sel natural killer (NK) untuk memproduksi IFN-ϒ dan menginduksi diferensiasi sel
Th1. Produksi sitokin terutama IFN-ϒ oleh sel NK menyebabkan maturasi DCs dan
meningkatkan efek dari parasit yang diturunkan dari rangsangan maturasi,
memfasilitasi ekspansi klonal antigen sel T CD4 naive spesifik. IL-2 diproduksi oleh
antigen spesifik (Th1) lalu mengaktifkan sel NK untuk menghasilkan IFN-ϒ untuk
menginduksi maturasi DCs dan mengaktivasi makrofag sehingga memperkuat
adaptive immunity. Sitokin IL-10 dan pembentukan
Transformation Growth
Factor – Beta (TGF-β) mengalami regulasi kedua respon innate dan adaptive : Nitric
Oxide (NO), T-Cell Receptor (TCR), Tumor – Necrosis Factor (TNF) (Gambar 2.3)
Gambar 4. Respon Imun Pada Malaria
Sumber : Nature Reviews Immunology, 2004
15
Respon imun pada infeksi malaria masih belum jelas mekanismenya. Adanya
antibodi serum pada individu yang hidup di daerah endemik malaria menunjukkan
bahwa sistem imun meningkatkan respon humoral terhadap masuknya parasit
malaria. Kekebalan ini bersifat strain – specific dan akan menghilang jika individu
tersebut pindah ke daerah yang non – endemik. Selain itu efektivitas respon humoral
sangat terbatas karena parasit lebih banyak berada intraseluler. Suatu keadaan yang
ada di daerah endemik adalah bahwa imunitas yang efektif terhadap malaria pada
anak memerlukan waktu bertahun – tahun, sedangkan pada orang dewasa imunitas
yang efektif tersebut diperoleh dalam waktu lebih cepat. Selain itu, Plasmodium
mampu mengadakan adaptasi terhadap imunitas hospes melalui berbagai cara, antara
lain :
1. Antigenic
Diversity.
Plasmodium
menghindari
respon
imun
dengan
melakukan diversity antigenic, melalui polimorfisme antigenik dan variasi
antigenik yaitu kemampuan parasit untuk mengubah antigen permukaan
(surface-antigen) misalnya : antigen stadium sporozoit pada malaria berbeda
dengan antigen merozoit.
2. Molecular Mimicry. Dengan cara menyesuaikan sifat molekulnya agar berada
di antara hospes dan parasit, sehingga sistem imun hospes sukar mengenali
molekul parasit.
3. Menginduksi pembentukan antibodi pro-plasmodium sehingga meningkatkan
kemampuan bertahan parasit. Dengan kemampuan ini parasit mampu bersaing
dengan antibodi anti – parasit. Selain itu parasit juga mampu meningkatkan
siklus sporogoni.
4. Mengadakan penekanan (immunosupression) terhadap sistem imun hospes,
sehingga reaktivitas terhadap parasit menurun (perubahan kemampuan
fagositik dan plasmodisidal, pemrosesan antigen serta presentasi makrofag
dan sel dendrit untuk menghasilkan sitokin imunosupresif
16
5. Depresi aktivasi limfosit T CD8+ dan CD4 oleh limfosit T CD4+,
menginduksi sitokin yang menghambat respon imun (IL-10 dan TGF-β) serta
melakukan inhibisi limfosit T CD8+ oleh sel dendrit (Toss et. al, 2005)
Hampir semua orang pada infeksi pertama akan bermanifestasi klinis. Faktor
imunitas berperan penting menentukan beratnya infeksi. Di daerah endemis, penderita
telah memiliki imunitas. Pada penduduk daerah endemis ditemukan parasitemia berat
namun asimtomatik, sebaliknya pasien non-imun dari daerah non-endemis lebih
mudah mengalami malaria berat. Hal ini dikarenakan pada individu di daerah
endemis, sudah terbentuk antibodi protektif yang dapat membunuh parasit atau
menetralkan toksin parasit. Dengan demikian tidak semua gejala klasik ditemukan
pada penderita malaria. Imunitas terhadap malaria terbentuk lambat dan
membutuhkan beberapa kali infeksi. Pejamu yang imun gejala klinisnya dapat
menjadi minimal dan tidak khas. Serangan demam yang pertama diawali dengan
masa inkubasi yang bervariasi antara 9 - 30 hari tergantung spesies parasit (Soedarmo
SS, 2008). Pada malaria walaupun telah terbentuk imunitas tetap berpeluang
terinfeksi, imunitas yang terbentuk juga jangka pendek, dengan ketiadaan paparan
maka derajat imunitas menurun sehingga jika terinfeksi lagi dapat menjadi berat
(Langhorne, 2008).
2.2 Gejala Klinis Malaria
Gambaran klinik infeksi malaria berupa spektrum mulai dari infeksi
asimtomatik hingga penyakit tersebut menjadi berat dan berakhir dengan kematian
yang cepat. Demam berupa serangan dengan interval waktu tertentu dan terbagi
dalam 3 stadium yaitu stadium dingin, stadium demam dan stadium berkeringat
(Hadidjaja P dan Margono S, 2011). Demam merupakan gejala kardinal pada malaria.
Hal ini dapat terjadi intermiten dengan atau tanpa periodisitas atau terus menerus.
Demam sering disertai dengan atau tanpa menggigil, sakit kepala, mialgia, anemi,
arthralgia, anoreksia, mual dan muntah. Pada malaria anak gejala bervariasi dan
sering menyerupai penyakit yang sering pada anak seperti gastroenteritis,
17
meningitis/ensefalitis atau pneumonia. Demam dan sakit kepala atau gejala
gastrointestinal dapat menjadi gejala tunggal ataupun menjadi gejala yang dominan.
Demam malaria pada anak dapat menjadi sangat tinggi > 400C yang terkadang
mengakibatkan kejang demam. Di daerah yang endemik, anak memiliki resiko tinggi
berkembang menjadi malaria berat sehingga malaria harus dicurigai pada pasien yang
berada di daerah endemik. Hal ini juga harus dicurigai pada pasien yang baru
mengunjungi daerah endemik (WHO, 2009). Sedangkan gejala yang ditimbulkan
pada orang dewasa tidak spesifik, bahkan hanya seperti gejala infeksi virus ringan
(Schumacher RF, et al., 2012)
Waktu berlangsungnya proses skizogoni pada spesies – spesies Plasmodium
berbeda - beda (Gambar 5). Pada Plasmodium falciparum skizogoni berlangsung
selama 36 - 48 jam, pada Plasmodium vivak dan Plasmodium ovale selama 48 jam,
sedangkan pada Plasmodium malariae proses skizogoni berlangsung selama 72 jam.
Oleh karena itu pada malaria falciparum demam dapat terjadi setiap hari, pada
malaria vivak atau malaria ovale demam terjadi setiap 48 jam (selang waktu satu
hari), sedangkan pada infeksi dengan Plasmodium malariae demam terjadi dengan
selang waktu selama 2 hari (72 jam) (Hadidjaja P dan Margono S, 2011 ; Soedarto,
2011b).
18
Pola demam malaria vivak (malaria
tertian) sesuai dengan waktu
terjadinya maturasi dan pecahnya
skizon eritrositik
Pola demam pada malaria malariae
menunjukkan sebagai malaria
kuartana eritrositik
Pola demam pada malaria falciparum
menunjukkan sebagai malaria tertian
yang tidak beraturan
Gambar 5. Pola Demam Pada Malaria
Sumber : http://www.parasitology.com/cn
Gejala klinis yang secara spesifik ditemukan di daerah endemis malaria, yang
dapat digunakan sebagai langkah awal menegakkan diagnosis malaria klinis, sangat
membantu dalam penanganan penyakit malaria secara cepat, tepat, dan rasional.
Namun, diagnosis malaria klinis harus dikonfirmasi dengan hasil pemeriksaan
mikroskopik yang masih menjadi gold standard dalam diagnosis malaria (Siahaan L,
2011). Gejala klinis pada penderita malaria menunjukkan bahwa hanya sedikit kasus
malaria di daerah endemis tinggi, sedang, dan rendah yang melaporkan adanya
kombinasi gejala klinis demam, menggigil, sakit kepala, berkeringat, mual, dan
muntah dengan persentase berturut-turut 34,6%, 25%, dan 14,7% (Anastasia H, et al.,
2013). Penelitian yang dilakukan oleh Siahaan L menunjukkan bahwa gejala klinis
yang paling banyak dijumpai pada penderita malaria adalah demam (dengan atau
tanpa gejala lain), yaitu 64,7% di Kabupaten Nias Selatan dan 58,5% di Kotamadya
Sabang (Siahaan L, 2008). Penelitian ini sejalan dengan yang dilakukan oleh Anand
et al di daerah endemis dengan menggunakan pemeriksaan mikroskopik sebagai gold
19
standard, dimana gejala demam atau riwayat demam adalah 62,7% (Anand et al.,
2002). Tidak mudah dalam menentukan diagnosis malaria pada orang yang pernah
terkena serangan sebelumnya. Hal ini disebabkan karena tubuh penderita sudah
menyesuaikan dengan penyakit sehingga gejala klinisnya tidak selalu dapat terlihat.
Kondisi demikian dapat juga terjadi pada penderita yang sebelumnya sudah
mengobati dirinya sendiri. Keluhan yang dirasakan mungkin hanya berupa sedikit
demam dan sakit kepala ringan (Kemenkes RI, 2011)
Asimtomatik malaria sering terjadi karena tingginya toleransi terhadap parasit
malaria. Gejala klinis sebagai prediktor kasus malaria hampir selalu bervariasi
tergantung pada prevalensi daerah setempat. Di beberapa wilayah, 80% pasien febrile
(pada semua umur) dengan diagnosis klinis malaria, positif parasit malaria (Graz B,
et al., 2011).
2.3 Diagnosis Malaria
Diagnosis malaria dapat dilakukan secara mikroskopik dan non mikroskopik.
Pemeriksaan mikroskopik dapat dilihat secara langsung dibawah mikroskop, seperti
pemeriksaan sediaan darah, Quantitative Buffy Coat (QBC) yang memakai Acridine
Orange
(AO).
Sedangkan
pemeriksaan
non
mikroskopik
berguna
untuk
mengidentifikasi antigen parasit atau antibodi antiplasmodial atau produksi metabolik
parasit, seperti pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR), Rapid Diagnostic
Test (RDT). Hingga saat ini pemeriksaan mikroskopik (gold standard) dan RDT yang
lebih sering digunakan (Rahmad A dan Purnomo, 2011).
Pemeriksaan mutakhir untuk mendeteksi parasit malaria yang dapat dilakukan
antara lain adalah :

Nucleic acid probe dan immunofluoresence untuk mendeteksi Plasmodium
yang ada di dalam erotrosit.
20

Gel diffusion, Counter-immunoelectrophoresis, Radio immunoassay dan
Enzym immunoassay untuk mendeteksi antigen mlaria di dalam cairan tubuh
(body fluid)

Hemagglutination test, Indirect immunofluoresence, Enzym immunoassay,
Immunochromatography dan Western bloting untuk mendeteksi antibodi anti Plasmodium di dalam serum.
Pemeriksaan - pemeriksaan mutakhir tersebut pada saat ini penggunaannya
masih terbatas untuk penelitian, untuk mengkonfirmasi retrograde malaria, skrining
pada transfusi darah dan investigasi infeksi dapatan pada darah transfusi (Soedarto,
2011b)
2.3.1. Pemeriksaan mikroskopik
Pemeriksaan mikroskopik meliputi pemeriksaan sediaan darah tebal dan darah
tipis untuk menentukan :
-
Ada tidaknya parasit malaria (positif atau negatif)
-
Spesies dan stadium Plasmodium
-
Kepadatan parasit
a) Semi – kuantitatif
Metode semi – kuantitatif adalah menghitung parasit dalam lapangan
pandang besar (LPB), yaitu :
(-)
: negatif (tidak ditemukan parasit dalam 100 LPB)
(+)
: positif 1 (ditemukan 1-10 parasit dalam 100 LPB)
(++)
: positif 2 (ditemukan 11-100 parasit dalam 100 LPB)
(+++)
: positif 3 (ditemukan 1-10 parasit dalam 1 LPB)
(++++)
: positif 4 (ditemukan >10 parasit dalam 1 LPB)
b) Kuantitatif
Jumlah parasit dihitung per mikro liter darah pada sediaan darah tebal
(menghitung jumlah parasit per 200 leukosit) atau sediaan darah tipis
(penghitungan jumlah parasit per 1000 eritrosit).
21
Sebagai contoh :
Bila dijumpai 1500 parasit/200 leukosit (jumlah leukosit 8000/µl),
maka 8000/200 x 1500 = 60.000 parasit/ µl.
Bila dijumpai 50 parasit/1000 eritrosit = 5 % (jumlah eritrosit
450.000), maka 450.000/1000 x 50 = 225.000 parasit/ µl.
(Ditjen PP & PL, 2011)
Sediaan darah tebal berguna untuk mengkonsentrasikan parasit di dalam
bidang sediaan, jadi untuk menegakkan diagnosis malaria harus menggunakan
sediaan darah tebal. Pada sediaan darah tebal tidak terlihat sel darah merah (karena
lisis). Walaupun demikian parasit malaria tetap terlihat, meskipun ukurannya lebih
kecil dibandingkan pada sediaan darah tipis (Kemenkes, 2011). Sediaan darah tipis
berguna untuk melihat morfologi parasit sekaligus menentukan spesies parasit.
Petunjuk yang paling sederhana untuk membedakan keempat spesies malaria adalah
perubahan yang terlihat pada sel darah merah yang terinfeksi (Riskesdas, 2010)
Gambar 6. Plasmodium falciparum Pada Sediaan Darah Tipis
A (Young trophozoites) ; B (Old trophozoites) ; C (Pigment in
Polymorphonuclear cells and trophozoites)
(Sumber : http// : www.malariasite.com)
22
Gambar 7. Plasmodium vivak Pada Sediaan Darah Tipis
A (Young trophozoites) ; B (Old trophozoites) ; C (Mature schizonts)
(Sumber : http// : www.malariasite.com)
Pada Pemeriksaan darah penderita tersangka malaria berat harus diperhatikan
yaitu jika hasil pemeriksaan darah pertama negatif, darah harus diperiksa ulang setiap
6 jam sampai 3 hari berturut - turut dan jika pemeriksaan darah tebal negatif selama
3 hari berturut - turut, maka diagnosis malaria baru disingkirkan (Soedarto, 2011 ;
Harijanto PN, 2012). Kelebihan dari pemeriksaan mikroskopik dengan pewarnaan
Giemsa ini adalah biaya relatif murah. Meskipun demikian pemeriksaan mikroskopik
memiliki beberapa kendala dan sejumlah keterbatasan (Widoyono, 2012 ; Ditjen PP
& PL, 2008). Diantaranya pemeriksaan ini memerlukan mikroskop berkualitas dan
sumber listrik serta seorang mikroskopis yang ahli dan berpengalaman agar
mencegah hasil positif palsu oleh karena artefak sering keliru saat pemeriksaan,
termasuk juga bakteri, jamur, noda curah hujan, dan kotoran serta komponen darah
normal seperti trombosit juga membingungkan diagnosis (Elahi R, et al., 2013).
Pemeriksaan ini juga menghabiskan waktu, antara 20 - 60 menit dan membutuhkan
upaya yang intensif untuk menghindari hasil negatif palsu, terutama bila parasit
sedikit atau tidak dijumpai di dalam darah pada saat pemeriksaan. Kualitas sediaan
darah dan pewarnaan juga mempengaruhi hasil pemeriksaan (Rahmad A dan
Purnomo, 2011)
23
2.3.2 QBC (Quantitative Buffy Coat)
Metode ini merupakan cara tes diagnostik cepat untuk deteksi parasit malaria
dengan cara stratifikasi sentrifugal, darah yang diambil pada tabung kapiler akan
membentuk stratifikasi (lapisan) yang disebut “Buffy Coat” dan parasit malaria
terkonsentrasi pada lapisan ini. Pemeriksaan ini berdasar pada Deoxyribonucleic Acid
(DNA) dan Ribonucleic Acid (RNA) parasit dengan pengecatan Acridine Orange
kemudian dilihat dengan mikroskop fluorescence dimana nucleus terlihat hijau dan
sitoplasma terlihat merah. Metode ini menggunakan fasilitas laboratorium yang lebih
lengkap oleh karena harus ada centrifuge dan mikroskop fluorescence serta peralatan
listrik QBC yang kebanyakan tidak didapatkan pada laboratorium daerah (Soedarto,
2011 ; Putu S, 2004)
2.3.3 PCR (Polymerase Chain Reaction)
Metode ini menggunakan teknik biologi molekuler dan dapat mendeteksi
DNA malaria melalui reaksi berantai polymerase dan visualisasinya menggunakan
elektroforesis serta pembacaannya di bawah iluminasi sinar ultra violet, metode ini
menggunakan peralatan (thermal cycler) dan reagens yang mahal dengan waktu yang
dibutuhkan sekitar 4 jam dan memerlukan ketrampilan yang memadai sehingga dapat
mendeteksi parasitemia yang rendah dan identifikasi semua spesies malaria
(Sutanto I, et al., 2008 ; Sekar T, 2010)
2.3.4
RDT (Rapid Diagnostic Test )
RDT menggunakan metode Immunochromatography Test (ICT). Metode ini
menggunakan antibodi monoklonal atau poliklonal yang langsung terhadap antigen
parasit. Untuk setiap antigen parasit digunakan dua set antibodi monoklonal atau
poliklonal, satu sebagai antibodi penangkap, dan satu sebagai antibodi deteksi (WHO,
2013b ; Murray C.K, et al., 2008). Antibodi monoklonal bersifat lebih spesifik tapi
kurang sensitif bila dibandingkan dengan antibodi poliklonal. Prinsip uji
imunokromatografi adalah mendeteksi antigen yang dikeluarkan oleh Plasmodium
dan selanjutnya akan terjadi reaksi kompleks antigen - antibodi pada permukaan
24
membran nitroselulosa, dimana kompleks tersebut diberi Monoklonal antibodi (Mab)
yang berlabel zat warna (Coloidal gold) sebagai penanda, sehingga muncul tanda
berupa garis yang menyatakan hasil positif untuk P. falciparum, infeksi campuran
atau negatif (Wongsrichanalai C, 2007 ; Abba K, et al, 2011). Berikut ini penjelasan
secara umum cara kerja RDT :
a.
Antibodi yang telah diberi label warna, spesifik untuk antigen target, berada
pada ujung bawah strip nitroselulosa atau lubang plastik strip. Antibodi yang
juga untuk antigen target diletakkan pada strip berupa garis tipis (garis tes) dan
antibodi yang tidak spesifik untuk antibodi yang telah dilabel maupun antigen
diletakkan pada garis kontrol.
b.
Darah dan buffer yang diletakkan pada strip atau lubang pada strip tersebut
bercampur dengan antibodi yang telah dilabel mengalir melewati garis tes.
c.
Jika terdapat antigen, sebagian antibodi yang telah dilabel akan tertangkap di
garis tes. Sisanya akan tertangkap di garis kontrol (Harani Ms, et al., 2006)
Gambar 8. Langkah - Langkah Pemeriksaan RDT
Sumber : Nature Reviews Microbiology, 2006
25
ICT merupakan uji yang cepat, lebih sederhana dan mudah diinterpretasikan
tidak memerlukan pelatihan khusus seperti mikroskopik dan variasi dari
interpretasinya adalah kecil antara pembaca yang satu dengan yang lainnya. Uji ini
lebih praktis digunakan di lapangan, hanya membutuhkan sedikit keahlian dan hasil
sudah diperoleh dalam waktu berkisar 15 - 30 menit (Kakkilaya BS, 2012). ICT dapat
mendeteksi P. falciparum dan non falciparum, tetapi tidak dapat membedakan antara
P.vivax, P.ovale dan P. Malariae, maupun membedakan infeksi falciparum murni
dari infeksi campuran yang termasuk P. falciparum (WHO, 2011).
RDT yang digunakan pada penelitian ini adalah Parascreen (Zephyr
Biomedical Systems, India) Pan/P.f berbentuk dipstick terdiri dari dua antibodi
monoklonal. Antibodi monoklonal pertama (test line P.f) spesifik terhadap HRP 2
P. falciparum, dan antibodi monoklonal kedua (test line Pan) spesifik terhadap
lactate dehidrogenase spesies Plasmodium (spesifik untuk jenis lain selain
P. falciparum). Dalam 15 menit hasil sudah dapat diinterpretasikan. Bila terlihat satu
garis (garis kontrol) berwarna merah muda berarti negatif. Bila terlihat dua garis
berwarna merah muda berarti positif Plasmodium non falciparum (Panmalaria). Bila
terlihat tiga garis berwarna merah muda hasil berarti positif P. falciparum atau infeksi
campuran.
Saat ini metode ICT dapat mendeteksi tiga kelompok utama antigen yang
tersedia secara komersial oleh RDT yaitu Histidine Rich Protein 2 (HRP 2), khusus
untuk P. falciparum, parasit Plasmodium Laktat Dehidrogenase (pLDH) dan aldolase
(pan-spesifik) (Ditjen PP & PL, 2008). Pada eritosit yang terinfeksi Plasmodium akan
terbentuk knob yaitu knob positif dan negatif pada permukaan membran yang
disebabkan oleh Pf Erythrocyte Membrane Protein 1 (PfEMP 1). Ada tiga HRP yang
telah diidentifikasi pada P. falciparum pada saat menginfeksi eritrosit dinamakan
PfHRP 1, PfHRP 2 dan PfHRP 3. PfHRP 1 (Mr 80.000 - 115.000) hanya
diekspresikan pada knob positif pada membran eritrosit yang terinfeksi sehingga
jumlahnya sedikit. PfHRP 2 (Mr 60.000 - 105.000) diekspresikan pada kedua knob
positif dan negatif dan jumlahnya sangat banyak, dan merupakan antigen pertama
26
yang digunakan untuk RDT. Sintesa PfHRP 2 dimulai pada saat berbentuk cincin dan
berlanjut hingga stadium trofozoit. HRP 2 adalah protein yang larut air yang
diproduksi oleh bentuk aseksual dan gametosit muda dari P. falciparum. Rangkaian
DNA telah membuktikan bahwa PfHRP 2 mengandung 35% histidine dan juga
kandungan alanine dan aspartat yang relatif tinggi masing – masing 40% dan 12%.
PfHRP 3 (Mr 40.000 - 55.000) merupakan protein yang paling sedikit di produksi
oleh P. falciparum di bandingkan dengan PfHRP 1 dan PfHRP 2 (Moody A, 2002 ;
Joel C.M and Goldring J.P, 2013).
Meningkatnya densitas elektron, protein parasit yang kaya histidine dijumpai
di bawah knob ini. Knob merupakan suatu rangkaian spesifik, jenis protein yang
adhesif dengan berat molekul yang tinggi dimana knob menghubungkan sel darah
merah dengan reseptor-reseptor pada lapisan endothelium vena dan kapiler, yang
menyebabkan cytoadherence. P. falciparum menginfeksi sel darah merah juga
menarik sel darah yang tidak terinfeksi menjadi bentuk rossete (Srabasti J, et al.,
2008). Cytoadherence dan bentuk rossete (rose) ini merupakan patogenesis utama
dari infeksi malaria P. falciparum, menghasilkan bentuk agregasi dari sel darah
merah dan penumpukan sel darah merah intravaskuler dalam organ- organ vital
seperti dalam otak dan hati (Claire L, et al., 2004). PfEMP1 muncul di permukaan sel
darah merah yang terinfeksi P. falciparum sekitar 16 jam setelah invasi
cytoadherence tersebut. PfEMP 1 dapat mengikat beberapa reseptor adhesi yang
diekspresikan pada sel-sel endotel seperti ; thrombospondin, CD36, ICAM-1
(vascular cell adhesion molecule 1), platelet / adhesion molecule / CD31, neural cell
adhesion molecule, P-selektin dan E-selektin, integrin αvβ3, globular reseptor C1q
(gC1qR) / hyaluronan binding protein 1 / P32, chondroitin sulfate A (CSA), dan
hemagglutinin. ICAM-1 dan CD36 lebih umum digunakan, CSA sebagai reseptor
untuk mengikat dalam plasenta. Perbedaan pengikatan
reseptor ini (CD36 dan
ICAM-1) dapat menentukan virulensi dari P. falciparum dari berbagai belahan dunia.
Aktivasi sel endotel oleh sitokin serta sel darah merah yang terinfeksi meningkatkan
ekspresi molekul adhesi sehingga menyebabkan sel ini sulit untuk melewati kapiler
dan filtasi limpa. Hal ini berpengaruh terjadinya cytoadherence. Adanya perlekatan
27
eritrosit yang terinfeksi parasit di permukaan endotel vaskular menyebabkan
gangguan aliran mikrovaskular sehingga terjadi anoksia/hipoksia jaringan disebut
dengan cytoadherence, oleh karena itu eritrosit yang terinfeksi parasit bersekuestrasi
dalam mikrovaskular organ vital di otak, paru, usus, jantung, limpa, hepar, otot dan
ginjal. Sekuestrasi menyebabkan ketidaksesuaian antara parasitemia di perifer dan
jumlah total parasit dalam tubuh (Louis H, et al., 2002). Rosetting diperantarai oleh
pengikatan PfEMP1-DBLα pada permukaan sel darah merah yang terinfeksi untuk
reseptor 1, CD31, dan heparan sulfate-like glycosaminoglycans pada sel darah merah
yang tidak terinfeksi kemudian terjadi perlekatan antara satu eritrosit terinfeksi yang
dikelilingi beberapa eritrosit yang tidak terinfeksi sehingga berbentuk rossete. Hal ini
mengakibatkan obstruksi mikrovaskular (Gambar 9) ( Horata N, et al., 2009)
Gambar 9. Cytoadherence dan Rosetting Pada Sel Darah Merah
Sumber : Clinical Microbiology Reviews, 2000
28
Parasite Lactate Dehydrogenase (pLDH) adalah enzim glikolisis yang
diproduksi oleh bentuk aseksual dan seksual dari Plasmodium, terdapat serta
dilepaskan oleh Plasmodium yang menginfeksi eritrosit. Antibodi monoklonal kini
telah dikembangkan yang dapat menargetkan pLDH pada ke empat spesies malaria
yang menginfeksi manusia (panmalarial), spesifik P. falciparum atau P. vivax. Tes
pLDH didesain untuk mendeteksi parasitemia dengan konsentrasi parasit lebih dari
100 - 200 parasit/μL darah. (Ameh J, et al., 2012 ; Murray C.K, et al., 2008).
Plasmodium aldolase adalah enzim jalur glikolisis pada parasit yang
diekspresikan oleh parasit P. falciparum dan non falciparum pada stadium eritrositer
dan digunakan sebagai target antigen panmalarial. Antibodi monoklonal terhadap
Plasmodium aldolase telah digunakan dalam tes immunokromatography kombinasi
yang mendeteksi antigen panmalarial bersama dengan HRP-2 dari P. falciparum.
Aldolase dan pLDH cepat dibersihkan setelah pemberian terapi, sementara antigen
HRP-2 dapat bertahan selama lebih dari satu bulan. HRP-2 diekspresikan pada
permukaan membran sel darah merah dan masih terdeteksi di darah selama minimal
28 hari setelah dimulainya terapi anti malaria, walaupun gejala malaria telah hilang
dan stadium aseksual parasit yang menyebabkan penyakit telah dibersihkan dari
darah pasien. HRP-2 yang persisten dapat bermanfaat dalam mendeteksi parasitemia
yang rendah dan berfluktuasi pada malaria kronik (Howard RJ, et al, 2006). Banyak
penelitian telah melaporkan kinerja RDT yang berbasis HRP-2 dan pLDH terutama
untuk mendeteksi P. falciparum dibandingkan dengan mikroskopik, sebagai standar
referensi (Abba K, et al., 2011). Terdapat 2 jenis Rapid Diagnostic Test, yaitu Single
Rapid Test untuk mendiagnosis hanya infeksi P. falciparum dan Combo Rapid Test
untuk mendiagnosis infeksi semua spesies Plasmodium (Soedarto, 2011 ; Kemenkes,
2011). Selain memiliki kelebihan RDT ini juga memiliki kelemahan, antara lain :
(Sutanto I, et al., 2008)
1. Sensitivitas biasanya mencapai > 90% pada level parasitemia > 100 /μL darah,
tetapi akan menurun pada parasitemia yang rendah.
2. Tidak dapat mengukur densitas parasit (secara kuantitatif)
29
3. Hasil positif palsu dapat terjadi karena beberapa faktor, yaitu adanya resistensi
obat dan reaksi silang dengan autoantibody seperti rheumatoid factor (RF). Hasil
positif palsu terjadi dalam beberapa persen dari tes. Reaktivitas silang dengan RF
dalam darah menghasilkan garis tes positif palsu, tetapi penggantian tempat
(replacement) IgG dengan IgM dalam produk terbaru mengurangi masalah ini.
4.
Hasil negatif palsu dapat dijumpai pada malaria berat atau parasitemia yang
sangat tinggi yaitu > 40000 parasit / µl dan hasil negatif palsu yang jarang terjadi
dapat disebabkan oleh delesi atau mutasi dari gen hrp-2
5.
Biaya tes ini masih cukup mahal serta kelembapan dan temperatur yang tinggi
(penyimpanan) dapat dengan cepat merusak reagen (tidak stabil pada suhu ruang
di atas 30ºC)
Uji diagnosis malaria dilakukan dengan mengidentifikasi parasit malaria atau
antigen atau produknya yang ditemukan di dalam darah penderita. Antigen yang
digunakan sebagai target diagnostik dapat spesifik terhadap satu spesies Plasmodium,
atau dapat mencakup 4 parasit malaria pada manusia. Rapid Diagnostic Test ini
dibagi berdasarkan : (WHO, 2011)
1) Hanya mendeteksi P. falciparum
a. CareStart Malaria (Access Bio Inc., USA)
Penelitian Anagu LO, et al., yang membandingkan dua jenis Rapid Diagnostic
Test (RDT) yaitu CareStart Pf dan SD Bioline Pf dengan gold standard,
diperoleh hasil sensitivitas 65% dan spesifisitas 50% dengan nilai prediksi
positif (NPP) 56,5% dan nilai prediksi negatif (NPN) 59% sedangkan SD
Bioline Pf sensitivitas 55% dan specifisitas 65% dengan NPP of 61% dan NPN
59% (Anagu LO, et al., 2015)
30
Gambar 10.1 CareStart (P.f)
Sumber : http://www.accessbio.net
b. Paracheck (Orchid Biomedical Systems, India)
Berbentuk stik, dibuat dari flatted fibre wick panjangnya 3 cm dan lebarnya
0,5 cm. Bagian A mengandung antibodi monoklonal yang bereaksi terhadap
histidine rich protein II. Penelitian Rapid Diagnostic Test (RDT) ini telah
dilakukan pada 3.307 sampel di Angola. Hasil penelitian ini didapatkan nilai
sensitivitas 60,0% dan spesifisitas 72,8% (Fancony C, 2013)
Gambar 10.2 Paracheck (P.f)
Sumber : Orchid Bimedicals Systems
2) Untuk mendeteksi P. falsiparum (P.f) dan keempat spesies (Pan)
a. Parascreen (Zephyr Biomedical Systems, India) Pan/P.f
Penelitian RDT ini dilakukan terhadap 104 orang suspek malaria semua
golongan umur di puskesmas dan RSU Penyabungan dengan membandingkan
tes Parascreen dengan Pewarnaan Giemsa didapatkan nilai Sensitivitas
31
76,47%, Spesifisitas 100% Ginting J, dkk., 2008). Penelitian Hopkins, et al.,
2008 melakukan penelitian di Uganda, Afrika pada 7000 sampel dengan
menggunakan RDT Pan/P.f yang dibandingkan dengan pemeriksaan
mikroskopik didapatkan nilai sensitivitas terhadap HRP-2 (P. falsiparum)
97% sedangkan nilai sensitivitas pLDH (ke empat spesies) sebesar 88%
(Hopkins, et al., 2008)
Gambar 10.3 Parascreen (Pan/P.f)
Sumber : http://www.tulipgroup.com
b. Bioline Malaria (Standard Diagnostic Inc.)
Penelitian RDT ini dilakukan pada 98 sampel di Puskesmas Kabupaten Nias
Selatan (Sumatera Utara) dengan nilai senstivitas dan spesifisitasnya masing masing 97% dan 100%, nilai prediksi positif 100% dan nilai prediksi negatif
99% (Tobing LH, et al., 2015)
Gambar 10.4 SD Bioline (P.f/Pan)
Sumber : http://www.alere.com
32
c. BinaxNOW Malaria (Binax, Inverness Medical Professional Diagnostic,
France)
Gambar 10.5 BinaxNOW (P.f/Pan-aldolase)
Sumber : http://www.alere.com
3) Untuk mendeteksi P. falciparum (P.f) dan P. vivak (P.v)
a. OptiMAL Malaria (DiaMed, from Flow, Inc., Portland, USA)
Penelitian RDT ini dilakukan pada daerah endemik di Venezuela mengenai
perbandingan diagnosis malaria pada mikroskopik, immunochromatography
dan PCR. Didapatkan dari 295 sampel, 93 yang terinfeksi malaria
(63 P. vivak,
26 P. falciparum dan 1 mixed infeksi/campuran) dengan
memiliki sensitivitas 95,7% dan spesifisitas 97.9% untuk mikroskopik, 87,0%
dan 97,9% untuk OptiMAL, serta 98,0% dan 100% untuk PCR (Rodulfo H, et
al., 2007)
Gambar 10.6 OptiMAL Malaria P.f/P.v
Sumber : http:// http://www.tcsbiosciences.com
33
4) Untuk mendeteksi P. falciparum (P.f), keempat spesies (Pan) dan P. vivak (P.v)
a. Core Malaria
Alat diagnostik ini untuk mendeteksi P.f HRP2 spesifik P. falciparum, pLDH
spesifik P. vivak dan pLDh spesifik pan di dalam spesimen darah, juga sensitif
dan spesifik untuk mendeteksi keempat spesies malaria.
Gambar 10.7 Core Malaria Pan/P.v/P.f
Sumber : http:// www.corediag.com
5) Hanya untuk mendeteksi keempat spesies (Pan)
a. Parabank Malaria (Zephyr Biomedical Systems, India)
Gambar 10.8 Parabank (Pan)
Sumber : http://www.tulipgroup.com
34
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Kerangka Teori
- Usia
- Spesies
Tanda dan gejala klinis
- Wilayah
- Imunitas tubuh
- Laboran terlatih
Pemeriksaan
Mikroskopik (Gold
standard)
- Kepadatan parasit
- Biaya
Pemeriksaan
Quantitative Buffy
Coat (QBC)
- Teknik sentrifugasi
- Penyimpanan
Pemeriksaan Rapid
Diagnostic Test (RDT)
s - Faktor Reumatoid
- Biaya
Pemeriksaan
Polymerase Chain
Reaction (PCR)
- Laboran terlatih
- Peralatan khusus
Gambar 11. Kerangka Teori
Keterangan :
= Variabel yang diteliti
Diagnosis
Malaria
35
3.2 Kerangka Konsep Penelitian
Variabel Independen
Variabel Dependen
Pemeriksaan
Mikroskopik
(gold standard)
Diagnosis Malaria
Pemeriksaan Rapid
Diagnostic Test (RDT)
Gambar 12. Kerangka Konsep Penelitian
3.3 Desain Penelitian
Desain penelitian yang akan digunakan adalah uji diagnostik esensinya
merupakan cross-sectional (potong lintang) dan penelitian ini bersifat analitik untuk
membandingkan akurasi pemeriksaan RDT dan pemeriksaan mikroskopik. Akurasi
yang dinilai pada penelitian ini adalah sensitivitas, spesifisitas, nilai duga (predictive
value), rasio kemungkinan (likelihood ratio).
3.4 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Kedai Sianam, Kecamatan Lima Puluh
Kabupaten Batubara Propinsi Sumatera Utara dimulai bulan Desember 2015 sampai
Januari 2016. Kecamatan Limapuluh memiliki luas wilayah 922,20 km2 dengan total
jumlah penduduk menurut data tahun 2014 sebesar 374.715 jiwa dan merupakan
kecamatan terluas dari Kabupaten Batubara yang terletak di pesisir pantai timur.
Kondisi lingkungan di Wilayah Puskesmas Kedai Sianam berada di dataran rendah
yang umumnya berdekatan dengan pantai dan sering terjadi pasang laut yang
mencapai daratan sehingga menimbulkan genangan - genangan air dan adanya
36
sampah - sampah yang berserakan di parit/selokan serta adanya pertambakan udang
yang tidak dipakai lagi sehingga menjadi tempat perindukan vektor (breeding places).
Gambar 13. Peta Wilayah Kabupaten Batubara
Sumber : http://bappeda batubara.go.id
3.5 Populasi dan Sampel
3.5.1 Populasi Target
Populasi target dari penelitian ini adalah semua golongan umur yang memiliki
karakteristik yang umumnya dimiliki oleh penderita malaria di Kecamatan Lima
Puluh Kabupaten Batubara.
3.5.2 Populasi Terjangkau
Populasi terjangkau adalah subjek yang berada di tiga desa di kecamatan Lima
Puluh kabupaten Batubara. Setiap populasi terjangkau akan dilakukan pemeriksaan
Rapid Diagnostic Test (RDT) dan pemeriksaan mikroskopik dimulai bulan Oktober
2015.
3.5.3 Sampel
Sampel merupakan populasi terjangkau yang memenuhi kriteria sampling.
37
3.6 Kriteria Sampling
1. Demam ≥ 37,5 ºC dengan atau riwayat demam dalam 48 jam
2. Subjek yang bersedia diambil sampel darah
3.7 Perkiraan Besaran Sampel
Penghitungan besar sampel dalam penelitian ini menggunakan rumus sampel
untuk uji diagnostik dengan keluaran sensitivitas yaitu :
(Zα)2 Sen (1 – Sen)
n=
d2 P
Dimana :
n = besar sampel
p = sensitivitas yang diinginkan dari alat yang diuji nilai diagnostiknya
d = presisi penelitian
α = tingkat kesalahan
P = prevalensi penyakit
(1,96)2 x 0,05 x 0,95
n = __________________ = 100
(0,30)2 . 0,06
Dengan menggunakan rumus di atas, maka jumlah minimal sampel yang
dibutuhkan adalah sebanyak 100 orang.
38
3.8 Variabel Penelitian
Variabel tergantung (Dependent) pada penelitian ini adalah parasit malaria
(infeksi malaria)
Variabel bebas (Independent) dari penelitian ini adalah hasil pemeriksaan
mikroskopik dengan hasil pemeriksaan RDT.
3.9 Definisi Operasional
Tabel 3. Definisi Operasional
1) Infeksi Malaria
Definisi Operasional : Ditemukannya Plasmodium malaria pada sediaan darah
melalui pemeriksaan mikroskopik
Alat Ukur
: Mikroskop
Hasil Ukur
: Positif atau negatif
Skala Ukur
: Nominal
2) Pemeriksaan Mikroskopik
Definisi Operasional
:
Merupakan pemeriksaan sediaan darah tebal dan darah
tipis untuk menentukan adanya parasit malaria dan
merupakan gold standard dalam mendiagnosa Malaria
Alat Ukur
:
Mikroskop
Hasil Ukur
:
Jumlah parasit (kepadatan parasit) malaria pada saat
pemeriksaan sediaan darah
Skala Ukur
:
Numerik
3) Pemeriksaan Rapid Diagnostic Test (RDT)
Definisi Operasional
:
Merupakan
pemeriksaan
berdasarkan
metode
Immunochromatography Test (ICT) pada kertas
nitrocellulose yang berbentuk dipstick dengan dengan
target antigen HRP-2 dan Pan spesifik pLDH
39
(membedakan P. falciparum dan spesies Plasmodium
lainnya). Penangkapan antigen parasit dari darah perifer
Alat Ukur
:
RDT (Parascreen : Zephyr Biomedicals, India)
Hasil Ukur
:
Positif atau negatif (reaktif strip)
Skala Ukur
:
Nominal
4) Akurasi
Definisi Operasional :
Sensitivitas adalah kemampuan suatu tes untuk memberikan
gambaran positif pada orang yang menderita malaria dan
menunjukkan seberapa baik suatu uji itu dalam
mengidentifikasi pasien dengan penyakit.
Sensitivitas = a/a+c x 100%
a = Positif Benar ; b = Positif Palsu
Spesifisitas adalah kemampuan suatu tes untuk memberikan
gambaran negatif pada orang yang tidak menderita malaria
Spesifisitas = d/(b+d) x 100%
c = Negatif Palsu ; d = Negatif Benar
Nilai duga positif (Positive Predictive Value) atau PPV
adalah kemampuan suatu tes untuk memprediksi penderita
malaria secara benar
Positive Predictive Value (PPV) = a/(a+b) x 100%
Nilai duga negatif (Negative Predictive Value) atau NPV
adalah kemampuan suatu tes untuk memprediksi bukan
penderita malaria secara benar
Negative Predictive Value (NPV) = d/(c+d) x 100%
Rasio kemungkinan (Likehood Ratio) atau LR positif adalah
perbandingan antara proporsi subjek sakit yang hasil ujinya
positif dengan proporsi subjek sehat dengan hasil ujinya
positif
40
Likehood Ratio (LR) positif = sensitivitas/(1-spesifisitas)
Rasio kemungkinan (Likehood Ratio) atau LR negatif adalah
perbandingan antara proporsi subjek sakit yang hasil ujinya
negatif dengan proporsi subjek sehat dengan hasil ujinya
negatif
Likehood Ratio (LR) negatif=(1-sensitivitas)/(spesifisitas)
Prevalensi
Terjadinya penyakit dalam kurun waktu tertentu
Prevalensi = Jumlah terjadinya penyakit/Jumlah Populasi
Alat Ukur
:
RDT dan mikroskop
Hasil Ukur
:
Positif atau negatif
Skala Ukur
:
Numerik
3.10
Cara Pengumpulan Data
3.10.1 Alat dan Bahan
Pemeriksaan mikroskopik :
1. Mikroskopik
2. Slide/Kaca sediaan (Object glass)
3. Lancet steril
4. Kapas
5. Alkohol 70 % (Swab alkohol)
6. Minyak imersi (immersion oil)
Pemeriksaan Rapid diagnostic Test (RDT) :
1. Kapas alkohol
2. Lanset steril
3. Buffer / Penyangga
4. Stiker label
41
3.10.2 Cara Kerja
1. Pasien (semua golongan umur) yang memiliki karakteristik yang
umumnya dimiliki oleh penderita malaria di Kecamatan Lima Puluh.
2. Sebelum dilakukan pemeriksaan, subjek diberi penjelasan tentang apa
yang akan dilakukan dan ditanyakan kesediaannya untuk ikut dalam
penelitian.
Kesediaan
untuk
ikut
penelitian
ditandai
dengan
penandatanganan informed consent. Setiap pasien diambil darah untuk
pemeriksaan dua metode yaitu mikroskopik dan RDT.
3. Dilakukan pemeriksaan sediaan darah. Pengambilan darah dapat
dilakukan dengan penusukan pada jari tengah kemudian teteskan 1 tetes
kecil darah (± 2μl) di bagian tengah object glass untuk sediaan darah tipis.
Selanjutnya 2-3 tetes kecil darah (± 6μl) di bagian ujung untuk sediaan
darah tebal.
4. Kemudian dilakukan pemeriksaan RDT pada waktu yang bersamaan.
Darah diletakkan pada port ”A”. Kemudian teteskan clearing buffer 4
tetes pada port ”B”. Hasil dibaca dalam 15 menit.
5. Kedua pemeriksaan diberikan label masing - masing dan diletakkan pada
tempat yang berbeda untuk dilakukan pemeriksaan.
6. Dilakukan pewarnaan pada kedua sediaan darah. Sediaan darah tipis untuk
menentukan spesies malaria. Sediaan darah tipis difiksasi terlebih dahulu
dengan metanol dan kedua sediaan diwarnai dengan Giemsa yang
diencerkan 1:20 dengan aquadest. Setelah 20 menit sediaan dibilas dengan
air suling, kemudian diletakkan di atas rak kaca objek dengan posisi
vertikal agar cepat kering.
7. Sesudah sediaan kering dilakukan pemeriksaan mikroskop pembesaran
objektif 100 kali dengan minyak imersi.
8. Sediaan darah yang terkumpul diperiksa dengan pemeriksaan mikroskopik
oleh analis terlatih di Laboratorium Parasitologi FK USU dan
pemeriksaan RDT dilakukan oleh peneliti dan paramedis terlatih.
42
9. Pemeriksaan dilakukan secara terpisah dan mandiri, dimana pembacaan
hasil mikroskopik tidak dipengaruhi oleh hasil pembacaan RDT (double
blind).
10. Pada pasien dengan hasil mikroskopik dan RDT positif maka diberikan
terapi sesuai pedoman nasional.
Pasien dengan hasil negatif diterapi
sesuai klinis. Terapi untuk malaria falsiparum dan vivak serta infeksi
campuran dengan pemberian Dehidroartemisinin 2 - 4 mg/kgBB dan
Piperaquin 16 - 32 mg/kgBB, masing-masing dosis tunggal selama 3 hari
(Kemenkes RI, 2011)
3.11 Alur Penelitian
Semua golongan umur dan sesuai
kriteria inklusi dan eksklusi
Dilakukan pemeriksaan
Rapid Diagnostic Test
+
-
Dilakukan sediaan darah
tebal & tipis
(Mikroskopik)
+
-
Gambar 12. Alur penelitian
Keterangan :
- Hasil pemeriksaan RDT (+) dan mikroskopik (+) ; RDT (-) dan mikroskopik (+),
maka akan diberikan terapi antimalaria
43
- Hasil pemeriksaan RDT (+) dan mikroskopik (-) ; RDT (-) dan mikroskopik (-),
maka akan diberikan terapi sesuai klinis
- Hasil pemeriksaan RDT (+) dan mikroskopik (-), maka tidak diberikan terapi
3.11 Rencana Analisa data
Penelitian ini dilaksanakan dengan teknik proportional random sampling.
Populasi yang memiliki karakteristik yang umumnya dimiliki oleh penderita malaria
dan dilakukan pemeriksaan mikroskopik dan RDT akan menjadi sampel penelitian.
Data hasil pemeriksaan RDT dan mikroskopik akan dianalisa secara deskriptif untuk
menjelaskan distribusi karakteristik sampel. Untuk data numerik akan ditampilkan
nilai mean dan standard deviasi. Sedangkan data kategorikal akan ditampilkan nilai
presentase. Data yang didapat dari kedua pemeriksaan dilakukan pengelompokkan
berdasarkan tabel 2 x 2, kemudian akan dilakukan analisis sensitivitas dan
spesifisitas,
menentukan
nilai
duga
(Predictive
value),
menentukan
rasio
kemungkinan (Likelihood ratio) dan penghitungan untuk mencari prevalensi.
3.12. Etika Penelitian
Sebelum dilakukan pengumpulan data terhadap subjek penelitian, peneliti
melakukan ethical clearance terlebih dahulu kepada Komisi Etik Penelitian
Kesehatan (KEPK) Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
44
BAB 4
HASIL PENELITIAN
4.1 Hasil Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Batubara
yaitu di tiga desa yaitu Perupuk, Gambus Laut dan Titi Putih. Penelitian berlangsung
selama bulan Desember 2015 sampai Januari 2016 yang diikuti oleh sebanyak 100
orang yang telah memenuhi kriteria sampling.
Populasi terjangkau yang memenuhi kriteria sampling
n = 100
Pengisian Kuesioner
Pengambilan darah tepi
Pemeriksaan RDT
Pemeriksaan Mikroskopik
Pembacaan hasil oleh peneliti dan
paramedis yang terlatih
Pembacaan hasil oleh laboran
(tenaga terlatih)
(-)
Pan
P.f
Pan-P.f
(-)
Pan
P.f
Pan-P.f
n = 21
n = 64
n=1
n = 14
n = 29
n = 60
n=2
n=9
Analisa Sampel
Gambar 4.1 Profil Penelitian
45
Pada gambar 4.1 terlihat bahwa pada pemeriksaan Rapid Diagnostic Test
(RDT) diperoleh hasil yaitu jumlah non P. falciparum (Pan) 64 orang, P. falciparum
(P.f) 1 orang, campuran (P. falciparum dan non P. falciparum) 14 orang dan negatif
(tidak ditemukan Plasmodium) 21 orang sedangkan pada pemeriksaan mikroskopik
diperoleh hasil yaitu non P. falciparum 60 orang, P. falciparum 2 orang, campuran
9 orang dan negatif sebanyak 29 orang. Penelitian ini dilakukan pada penduduk yang
memiliki karakteristik yang umumnya dimiliki oleh penderita malaria di Kecamatan
Lima Puluh dengan keluhan demam dengan atau riwayat demam dalam 48 jam.
Gambar 4.2 Diagram Lingkaran Persentase Subjek Berdasarkan Jenis Infeksi Malaria
Pada Pemeriksaan Rapid Diagnostic Test (RDT)
Chart Title
1,41 %
19,72 %
Non P. falciparum 64 orang
0
vivak 61 orang
P. falciparum 1 orang
falsiparum
2 orang
Campuran
orang
campuran
9 14
orang
90,14 %
Pada gambar 4.2 menunjukkan gambaran Plasmodium malaria yang memiliki
hasil positif yang terbesar dengan pemeriksaan Rapid Diagnostic Test (RDT) adalah
Non P. falciparum 64 orang (90,14 %), P. falciparum 1 orang (1,41 %) dan campuran
14 orang (19,72 %).
46
Tabel 4.2 Karakteristik Subjek Penelitian
Karakteristik
Jenis Kelamin, n (%)
Laki-laki
Perempuan
Umur (tahun)
< 5 tahun
5 – 14 tahun
15 – 20 tahun
Umur, rerata (SB), tahun
Pekerjaan Ayah, n (%)
Buruh
Nelayan
Petani
PNS
Wiraswasta
Pekerjaan Ibu, n (%)
IRT
Petani
PNS
Wiraswasta
Pendidikan Ayah, n (%)
SD
SLTP
SLTA
Perguruan Tinggi
Pendidikan Ibu, n (%)
SD
SLTP
SLTA
Perguruan Tinggi
Riwayat Obat Malaria, n (%)
Klorokuin
Jumlah sampel
(n = 100)
53 (53,0)
47 (47,0)
9 (9,0)
63 (65,0)
28 (26,0)
11,24 (5,11)
5 (5,0)
45 (45,0)
20 (20,0)
12 (12,0)
18 (18,0)
59 (59,0)
6 (6,0)
5 (5,0)
30 (30,0)
7 (7,0)
24 (24,0)
60 (60,0)
9 (9,0)
15 (15,0)
25 (15,0)
58 (58,0)
3 (3,0)
18 (18,0)
47
DHP
Tidak
Demam, n (%)
Tidak (riwayat demam)
Ada
4 (4,0)
78 (78,0)
21 (21,0)
79 (79,0)
Tabel 4.2 menunjukkan bahwa jumlah laki – laki sebesar 53% lebih banyak
dibandingkan dengan perempuan sebesar 47%. Dari sebaran kelompok umur
terbanyak adalah 5 – 14 tahun (65%). Pekerjaan orang tua paling banyak adalah
nelayan dimana Ayah (45%) dan Ibu sebagai ibu rumah tangga sebesar (59%),
sedangkan pendidikan orangtua paling banyak jenjang SMA/SMU/SLTA dimana
ayah (60%) sedangkan Ibu (58%). Pada penelitian ini gejala klinis yang paling
banyak dijumpai pada penderita malaria adalah demam (tanpa gejala lain), yaitu 79%
dan adanya riwayat demam dalam 48 jam yaitu 21 %.
Tabel 4.3 Gejala klinis demam pada pemeriksaan mikroskopik
Diagnosis
Mikroskopik
Gejala klinis
Demam
Riwayat
demam 48 jam
69 (69,0%)
2 (2,0%)
Bukan Malaria
11 (11,0%)
18 (18,0%)
Total
80 (80,0%)
20 (20,0%)
Malaria
Total
71
(71,0%)
29
(29,0%)
100
(100%)
Tabel 4.3 menunjukkan bahwa gejala demam pada penderita malaria sebesar
69% dan yang memiliki riwayat demam 48 jam sebesar 2%. Sedangkan gejala
demam yang bukan penderita malaria sebesar 11% dan riwayat demam 18%.
48
Tabel 4.4 Tabel gejala klinis berdasarkan jumlah parasitemia
Gejala klinis
Demam
N
69
Riwayat demam 48 jam
2
Parasitemia (/mm3 darah)
2329,13 (1417,30)
P
0,444
1500 (1329,36)
Tabel 4.4 menunjukkan bahwa rerata densitas parasit pada kelompok pasien
yang mengalami demam adalah 2329,13/mm3 darah sedangkan pada pasien yang
tidak demam adalah 1500 /mm3 darah. Hasil analisis menggunakan uji Mann
Whitney menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan rerata densitas parasit yang
signifikan antara subjek yang mengalami demam dan tidak demam (p=0,444).
Tabel 4.5 Distribusi umur dan jenis kelamin dengan hasil pemeriksaan RDT dan
mikroskopik yang positif
Kelompok
Umur
< 5 tahun
5-14
tahun
15-20
tahun
Total
RDT
Lakilaki
4
(50)
34
(68)
5
(23,8)
43
Jumlah
Mikroskopik
Perempuan
N
%
4 (50)
8
10,1
16 (32)
50
63,6
5 (23,8)
21
26,6
Lakilaki
3
(42,9)
29
(65,9)
5 (25)
25
79
100
37
Perempuan
4 (57,1)
15 (34,1)
15 (75)
24
Jumlah
n
7
45
19
71
%
9,9
62
28,2
100
Tabel 4.5 menunjukkan bahwa laki-laki pada pemeriksaan RDT yang positif
sebanyak 43 orang. Sementara pada pemeriksaan mikroskopik sebanyak 37 orang.
Pada perempuan jumlah yang positif dengan RDT 25 orang dan mikroskopik
sebanyak 24 orang. Apabila dilihat dari segi umur disini terlihat, umur 5 – 14 tahun
lebih banyak yang positif baik pada pemeriksaan RDT maupun mikroskopik
49
(63,6% : 62%). Kemudian diikuti umur 15 – 20 tahun (21% : 28,2%) dan umur di
bawah 5 tahun (10,1% : 9,9%).
Tabel 4.6 Sensitivitas RDT Berdasarkan Jumlah Parasitemia (Mikroskopik)
Parasitemia
(/mm3darah)
RDT
Mikroskopik
Sensitivitas, %
0 - 99
100 - 499
500 - 999
1000 - 4999
+ 5000
9
3
7
56
4
1
3
7
56
4
11,11
100
100
100
100
Pada tabel 4.6 menunjukkan bahwa sensitivitas terhadap RDT berdasarkan
jumlah parasitemia disini terlihat, jumlah parasitemia 0 – 99 parasit/mm3 darah
didapatkan sensitivitasnya 11,11%. Sensitivitas biasanya mencapai > 90% pada level
parasitemia > 100 /mm3 darah, tetapi akan menurun pada parasitemia yang rendah.
Sedangkan parasitemia antara 100 sampai > 5000 parasit/mm3 darah, sensitifitas RDT
mencapai 100%.
Tabel 4.7 Perbandingan Kepadatan Parasit
Kepadatan Parasit (/ml)
RDT (+) dan mikroskopik (+)
Mean
2305,77
SD
1412,68 (96 – 8120)
RDT (-) dan mikroskopik (+)
2072,28
1510,32 (0 – 8120)
Tabel 4.7 menunjukkan sensitivitas Rapid Diagnostic Test (RDT) pada
penelitian ini sangat dipengaruhi oleh kepadatan parasit. Umumnya, kepadatan parasit
pada pemeriksaan RDT (+) dan mikroskopik (+) relatif lebih tinggi jika dibandingkan
dengan RDT (-) dan mikroskopik (+).
50
Mikroskopik
Gambar 4.5 Grafik Boxplot Kepadatan Parasit berdasarkan
Jenis Parasit dari Pemeriksaan Mikroskopik
Tabel 4.8 Perbandingan Hasil Akurasi Pemeriksaan RDT dan Mikroskopik
RDT
(+)
(-)
Mikroskopik
(+)
(-)
71
0
8
21
Sensitivitas
Spesifisitas
PPV
NPV
100%
72,4%
89,9%
100%
LR
(+)
(-)
27,6% 0%
Tabel 4.8 menunjukkan bahwa akurasi pemeriksaan Rapid Diagnostic Test
(RDT) dan mikroskopik dalam mendiagnosis malaria diperoleh dengan mentabulasi
data dan dimasukkan ke dalam tabel 2 x 2. Maka nilai sensitivitas yang diperoleh
adalah 100%, spesifisitas 72,4%, nilai duga positif (PPV) 89,9%, nilai duga negatif
(NPV) 100%, rasio kemungkinan (LR) (+) 27,6% dan LR (-) yaitu 0% dan prevalensi
71%.
51
BAB 5
PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Batubara
Propinsi Sumatera Utara pada bulan Desember 2015 sampai Januari 2016. Kecamatan
Lima Puluh Kabupaten Batubara memiliki luas wilayah 23955 Ha dan terdiri dari 34
desa dengan total jumlah penduduk menurut data tahun 2014 sebesar 86.517 jiwa.
Dengan ketinggian 0 – 51 meter di atas permukaan laut (BPS, 2014) yang cocok
untuk vektor malaria yaitu nyamuk berkembang biak serta tempat yang relatif susah
terjangkau tenaga kesehatan sehingga malaria masih menjadi salah satu masalah
kesehatan penduduk setempat dan menjadi salah satu daerah endemis di Sumatera
Utara (Laporan Riskesdas, 2013).
Berdasarkan penelitian ini, diperoleh hasil bahwa jumlah penderita malaria
lebih banyak terdapat pada laki – laki sebesar 53% dibandingkan dengan perempuan
sebesar 47%. Hal ini berbeda dengan penelitian Desrinawati (2003) di Mandailing
Natal (Sumatera Utara) kasus malaria lebih banyak terdapat pada perempuan 58,3%
dan laki – laki 41,7%. Dari sebaran kelompok umur terbanyak adalah 5 – 14 tahun
(65%) serupa dengan penelitian Siahaan L (2008) subjek penelitian yang paling
banyak dijumpai adalah kelompok umur 5-14 tahun di Kabupaten Nias Selatan dan
kelompok umur >55 tahun di Kotamadya Sabang. Perbedaan angka kesakitan malaria
pada laki-laki dan perempuan atau berbagai golongan umur sebenarnya disebabkan
oleh beberapa faktor yaitu pekerjaan, tingkat pendidikan, imunitas tubuh dan lain –
lain (Garna H, 2012)
Pekerjaan orang tua paling banyak adalah nelayan dimana Ayah (45%) dan
Ibu sebagai ibu rumah tangga sebesar (59%), sedangkan pendidikan orangtua paling
banyak jenjang SMA/SMU/SLTA dimana ayah (60%) sedangkan Ibu (58%). Jenis
pekerjaan memberikan perbedaan pada status sosial. Perbedaan status sosial dapat
mempengaruhi keluarga dalam memperhatikan kebutuhan kesehatan keluarganya.
52
Friaraiyatini, dkk (2006) menemukan bahwa ada hubungan yang bermakna antara
jenis pekerjaan (berkebun, nelayan dan buruh yang bekerja pada malam hari) dengan
kejadian malaria.
Gambaran Plasmodium malaria yang dijumpai pada tempat penelitian ini
adalah Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivak. Infeksi yang terjadi dapat saja
berupa infeksi tunggal ataupun infeksi gabungan keduanya (campuran). Kasus yang
terbanyak muncul di Kecamatan LimaPuluh Kabupaten BatuBara adalah malaria oleh
karena Plasmodium vivak. Hal ini sesuai dengan laporan Dinas Kesehatan (Dinkes,
2014).
Malaria sebagai penyebab infeksi yang disebabkan oleh Plasmodium
mempunyai gejala utama yaitu demam. Demam yang terjadi oleh karena proses
skizogoni
(pecahnya
merozoit
atau
skizon),
pengaruh
GPI
(Glycosyl
Phosphatidylinositol) atau terbentuknya sitokin atau toksin lainnya (Harijanto PN,
2000). Penelitian ini didapatkan gejala demam pada penderita malaria sebesar 69%
dan riwayat demam sebesar 2%. Penelitian ini hampir sejalan dengan yang dilakukan
oleh Anand et al di daerah endemis dengan menggunakan pemeriksaan mikroskopik
sebagai gold standard, dimana gejala demam atau riwayat demam adalah 62,7%
(Anand et al., 2002). Penelitian yang dilakukan oleh Siahaan L menunjukkan bahwa
gejala klinis yang paling banyak dijumpai pada penderita malaria adalah demam
(dengan atau tanpa gejala lain), yaitu 64,7% di Kabupaten Nias Selatan (Siahaan L,
2008). Hal ini disebabkan karena tubuh penderita sudah menyesuaikan dengan
penyakit sehingga gejala klinis lainnya tidak selalu dapat terlihat. Kondisi demikian
dapat juga terjadi pada penderita yang sebelumnya sudah mengobati dirinya sendiri.
Keluhan yang dirasakan hanya berupa sedikit demam dan sakit kepala ringan
(Kemenkes RI, 2011)
Pemeriksaan
RDT
(Rapid
Diagnostic
Test)
menggunakan
metode
Immunochromatography Test (ICT) yang digunakan untuk mendeteksi antigen
malaria (Harijanto, 2009). RDT yang digunakan pada penelitian ini adalah
Parascreen (Zephyr Biomedical Systems, India) Pan/P.f berbentuk dipstik terdiri dari
dua antibodi monoklonal berbentuk dua garis yang terpisah pada permukaan kit tes.
53
Antibodi monoklonal pertama (test line P.f) spesifik terhadap HRP2 P. falciparum,
dan antibodi monoklonal kedua (test line Pan) spesifik terhadap lactate
dehidrogenase spesies Plasmodium (falciparum, vivak, ovale, malariae). Berdasarkan
penelitan ini Parascreen mempunyai sensitivitas 100% dan spesifisitas 72,4% dengan
nilai prediksi positif 89,9% dan nilai prediksi negatif 100%, likelihood ratio negatif
adalah 0 dan likelihood ratio positif 27,6. Hasil yang didapat sedikit berbeda dengan
penelitian Ginting J dkk (2008) pada 104 sampel di penyabungan (Sumatera Utara)
yang menggunakan Parascreen dengan sensitivitas dan spesifisitas masing – masing
76,47% dan 100%. Penelitian mirip dengan Arum I dkk (2005) pada penelitiannya
yang membandingkan RDT jenis lain yaitu ICT Pf/Pv dengan pemeriksaan
mikroskopik di Nusa Tenggara Barat memperoleh hasil sensitivitas sebesar 100% dan
spesifisitas 96,99%. Penelitian lainnya yaitu Batwala dkk (2010) dilakukan di SubSahara Afrika dengan membandingkan mikroskopik dengan Paracheck diperoleh
hasil sensitivitas 91% sedangkan spesifisitas 86,3%. Penelitian Khabis dkk (2010)
membandingkan mikroskopik dengan BIOTEC Pv/Pf di Sistan dan Balouchestan
(Iran) dan diperoleh sensitivitas 98,2 % dan spesifisitas 100%. Di Maesod Thailand,
Wongsrichanalai C, Iracema, Arevalo dkk menggunakan uji Now® ICT pf/pv dan
menemukan sensitivitas dan spesifisitas untuk Plasmodium falciparum masingmasing 100% dan 96,2%; sensitivitas dan spesifisitas untuk Plasmodium vivak adalah
87,3% dan 97,7%.
Penelitian ini dilakukan pada 100 sampel dimana didapatkan hasil RDT 79
positif sedangkan pada pemeriksaan mikroskopik didapatkan hasil 71 yang positif.
Hal ini disebabkan oleh karena pemeriksaan RDT mampu mengetahui antigenemia
dalam bentuk fragmen yang masih berlangsung beberapa hari setelah parasitemia
hilang akibat pemberian terapi (Harijanto PN, 2000). Menurut Sutanto, reaksi positif
palsu bisa terjadi karena penderita mengandung faktor reumatoid dalam darahnya,
karena bereaksi silang dengan monoklonal IgG dalam kit rapid test. Namun hal ini
diatasi dengan menggunakan kit yang mengandung monoklonal IgM. Selain itu,
adanya stadium gametosit muda dan stadium aseksual P. falciparum yang
54
bersekuestrasi dalam kapiler alat dalam, persistensi antigen setelah pengobatan dan
adanya free antigen atau kompleks antigen antibodi pada penderita infeksi kronis di
daerah endemis tinggi. Lebih lanjut Sutanto menjelaskan bahwa prosedur
penyimpanan kit rapid test juga dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan (Sutanto I,
2010). Di samping itu juga dapat disebabkan karena jumlah parasit yang relatif
rendah, sehingga tidak dapat ditemukan pada pemeriksaan mikroskopik dan
pemeriksaan RDT positif tidak selalu menunjukkan infeksi malaria aktif (Garna H,
2012). Hal ini disebabkan juga oleh karena ditemukan antibodi terhadap antigen
malaria pada tubuh penderita selama masa pengobatan tersebut (Huong NM., 2002).
Efektifitas penegakan diagnosis masih tergantung pada banyak faktor yang
mempengaruhinya. Adanya empat spesies Plasmodium penyebab malaria yang
berbeda morfologinya, perbedaan stadium pada tahapan skizogoni eritrositik
(erythrocytic schizogony), sifat endemis dari spesies yang berbeda, hubungan yang
terjadi dengan derajat penyebaran malaria dengan imunitas, parasitemia yang tidak
bisa terdeteksi dan terdapatnya parasit yang memasuki jaringan organ – organ dalam
(Soedarto, 2011)
Berdasarkan perhitungan hasil uji diagnosis Rapid Diagnostic Test tersebut,
diperoleh hasil kemampuan uji rapid diagnostic test untuk menentukan diagnosis
malaria secara benar (sensitivitas) adalah 71/71 (100%), sedangkan kemampuan uji
rapid diagnostic test untuk menegakkan diagnosis bukan malaria secara benar
(spesifisitas) adalah 21/29 (72,4%). Selain itu, kemampuan untuk memprediksi
penderita malaria secara benar atau positive predictive value (PPV) adalah 71/79
(89,9%), sedangkan kemampuan untuk memprediksi bukan penderita malaria secara
benar atau negative predictive value (NPV) adalah 21/21 (100%). Dari hasil uji
diagnostik yang diperoleh dalam penelitian ini maka dapat disimpulkan Parascreen
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang cukup tinggi.
55
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian tentang perbandingan akurasi Rapid Diagnostic
Test (RDT) dan mikroskopik untuk diagnosis malaria di Kecamatan LimaPuluh
Kabupaten Batubara Provinsi Sumatera Utara, menunjukkan bahwa RDT
(Parascreen) memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik pada penelitian ini
bila dibandingkan dengan pemeriksaan mikroskopik yang selama ini merupakan
standar emas dalam mendiagnosis malaria. Didasarai hasil penelitian ini maka dapat
disimpulkan bahwa Parascreen dapat dijadikan pilihan (alternatif) sehingga dapat
digunakan untuk diagnosis malaria secara dini serta diikuti pemeriksaan mikroskopik
lanjutan untuk melihat parasitemia.
6.2 SARAN
Perlu adanya penelitian lanjutan untuk membandingkan Parascreen dengan
jenis RDT (Rapid Diagnostic Test) yang lain untuk mendapatkan nilai sensitivitas
dan spesifisitas yang tinggi dengan harga yang terjangkau (cost effectiveness)
sehingga dapat digunakan untuk diagnosis awal malaria agar mendapatkan
penanganan penyakit malaria secara cepat, tepat dan rasional guna menurunkan angka
kesakitan dan kematian karena malaria.
56
Download