pendahuluan - IPB Repository

advertisement
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sejak ditemukan sinar-x oleh Wilhelm Conrad Röntgen tahun 1895 dan
radioaktif oleh Hendry Becquerel tahun 1896, bidang radiologi dunia medis
berkembang dengan pesat melalui radiodiagnostik maupun radioterapi. Berbagai
penyakit dan kelainan organ dapat cepat terdeteksi melalui radiodiagnostik dan
dilakukan terapi melalui radioterapi. Efek negatif dari kemudahan ini ternyata
menyebabkan kerusakan pada jaringan karena adanya pengaruh radiasi ionisasi
(McCurnin & Bassert 2006). Pengaruh yang sangat besar akan tampak pada
jaringan yang sangat aktif membelah seperti usus dan sumsum tulang, sebaliknya
pada jaringan yang tidak aktf membelah seperti otot dan tulang akan
memperlihatkan sedikit pengaruhnya (Thrall 2002).
Sinar-X dapat menyebabkan kerusakan yang terjadi secara langsung disebut
dengan deterministic effect dan tertunda untuk kurun waktu tertentu berupa
stochastick effect. Kerusakan oleh radiasi ionisasi akan menyebabkan terjadinya
apoptosis pada sel. Berbagai kerusakan yang disebabkan oleh radiasi dapat terlihat
diantaranya pada kromosom (Mozdarani et al. 2002), DNA (Reynolds & Schecker
1995), sel darah putih perifer (Rask et al. 2008), yang menyebabkan leukemia
(Szkanderova et al. 2003), eritema pada kulit hingga nekrosa (Gerber et al. 2007),
pertumbuhan tumor (Reynolds & Schecker 1995; Thrall 2002),
katarak
(Yoshinaga et al. 2005) serta kelainan genetik yang nantinya akan diwariskan
(Wright & Coates 2006).
Lembaga tenaga nuklir dunia IAEA (International Atomic Energy Agency)
dan lembaga proteksi radiasi dunia ICRP (International Commission on
Radiological Protection) memberikan rekomendasi dan pengawasan dalam
penggunaan energi radiasi karena efek samping radiasi ionisasi (IAEA 2002;
ICRP 2007). Penggunaan sarana radiasi ionisasi di Indonesia diawasi oleh Badan
Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) (Ulum & Noviana 2008). Berdasarkan PP
No. 33 tahun 2007 tentang keselamatan radiasi pengion dan keamanan sumber
radioaktif mengatur tentang perlindungan fisik terhadap radiasi eksternal antara
lain dengan menggunakan pelapis timbal (Pb) bagi setiap pekerja radiasi berupa
2
apron, pelindung tiroid, dan kaca mata berlapis Pb. Dinding ruang radiasi juga
harus dilapisi Pb dengan ketebalan minimal 2.7 mm untuk menyerap radiasi agar
tidak menembus keluar ruangan.
Perlindungan secara biologis terhadap radiasi ionisasi internal yang
merupakan efek negatif dari radiofarmakologi maupun radioterapi juga menjadi
permasalahan tersendiri. Efek samping yang terjadi secara internal tidak dapat
diatasi dengan memberikan perlindungan fisik berlapis Pb. Perlindungan biologis
secara internal juga diberikan untuk melindungi pasien terhadap efek samping ini.
Penelitian tentang perlindungan biologis internal sebagai radioprotektif berbahan
tanaman dan herbal sudah banyak dilaporkan (Jagetia 2007). Berbagai laporan
penelitian radioprotektif berbahan tanaman dan herbal seperti halnya sprulina
(Zhang et al. 2001), ginseng (Lee et al. 2010), dan mint (Baliga & Rao 2010).
Tanaman rosela (Hibiscus sabdariffa L.) merupakan tamanan tropis dan di
Indonesia dikenal dengan sebutan Rosela. Masyarakat biasa menggunakan bunga
rosela sebagai teh merah sebagai pelepas dahaga dan dipercaya memiliki khasiat
sebagai bahan obat. Laporan penelitian tentang manfaat Rosela sebagai
hepatoprotektif (Wang et al. 2000), anti hipertensi (Mozaffari-Khosravi et al.
2009), pengobatan infeksi saluran perkemihan (Olaleye 2007), antipiretik
(Reanmongkol & Itharat 2007).
Bunga rosela mengandung alkaloid, citric acid, anthocyanin, l-ascorbic
acid, dan flavonoid (Hirunpanich et al. 2005). Kandungan vitamin C pada bunga
rosela varietas merah sebesar 32.14 mg/100g sedangkan varietas hijau sebesar
27.5 mg/100g (Ogunlesi et al. 2010). Vitamin C memiliki aktifitas sebagai
antioksidan dalam menetralkan kerusakan oleh radiasi (Noviana et al. 2010b).
Antioksidan yang dikandung bunga rosela dapat menetralkan radikal bebas dalam
tubuh (Kijparkorn et al. 2009; Hirunpanich et al. 2005). Potensi antioksidan
dalam tanaman rosela menjadi bahan aktif yang bermanfaat sebagai bahan
radioprotektif sehingga perlu untuk dilakukan penelitian. Penelitian tentang
potensi radioprotektif tanaman rosela (Hibiscus sabdariffa L.) dalam radiasi
ionisasi radiodiagnostik berulang secara in-vitro pada kultur sel limfosit dan invivo pada mencit belum pernah dilaporkan.
3
Hipotesa
1. Tidak ada efek proteksi oleh pemberian suplemen ekstrak rosela (Hibiscus
sabdariffa Linn) terhadap radiasi ionisasi radiodiagnostik.
2. Ada efek proteksi oleh pemberian suplemen ekstrak rosela (Hibiscus
sabdariffa Linn) terhadap radiasi ionisasi radiodiagnostik.
Tujuan Penelitian
Mengetahui efek radioprotektif tanaman rosela (Hibiscus sabdariffa L.)
secara in-vitro terhadap kultur sel limfosit dan secara in-vivo pada daya hidup,
berat badan, gambaran profil sel darah perifer, berat relatif organ, sumsum tulang,
limpa mencit yang di radiasi dengan sarana radiodiagnostik secara berulang.
Manfaat Penelitian
1. Memberikan informasi tambahan tentang manfaat rosela sebagai herbal
radioproteksi dalam dunia medis.
2. Suplemen anti radiasi (radioprotektif) berbahan rosela yang nantinya dapat
diberikan baik kepada pasien maupun pekerja radiasi.
Download