PROPORSI KEPOSITIVAN SEROLOGIK HBsAg

advertisement
Artikel Asli
PROPORSI KEPOSITIVAN SEROLOGIK HBsAg
PADA WANITA PENJAJA SEKS
DI JAKARTA BARAT
Anjar Tri Astuti, Benny E Wiryadi, Wresti I B Makes, Saiful F Daili
Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
FK Universitas Indonesia/RS. Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta
ABSTRAK
Latar belakang. Infeksi virus hepatitis B (VHB) merupakan salah satu infeksi menular seksual (IMS) dengan morbiditas dan
mortalitas yang tinggi. Pemeriksaan serologik penting dilakukan karena mayoritas pasien yang terinfeksi VHB tidak disertai
gejala. Wanita penjaja seks (WPS) merupakan kelompok risiko tinggi untuk tertular sekaligus sebagai sumber potensial untuk
menularkan VHB. Data seroepidemiologi HBsAg pada wanita penjaja seks di Indonesia masih terbatas. Sejak ditutupnya
lokalisasi pelacuran terbesar di Jakarta (Kramat Tunggak), Jakarta Barat menjadi pusat industri hiburan terbesar di Jakarta
dan merupakan tempat pelacuran terselubung.
Tujuan.. Mengetahui proporsi kepositivan serologik HBsAg dan beberapa faktor demografik dan perilaku seksual yang
berpengaruh terhadap kepositivan tersebut pada WPS.
Subyek dan Metode. Penelitian ini merupakan survei dengan disain potong lintang. Dilakukan anamnesis mengenai beberapa
faktor risiko infeksi virus hepatitis B pada 80 WPS di satu klinik di Jakarta Barat pada bulan Maret 2005. Pemeriksaan serologik
HBsAg dilakukan di laboratorium Patologi Klinik FKUI RSCM, menggunakan tehnik Enzyme-linked Immunosorbent Assay
(ELISA) dengan Vitros Immunodiagnostic Products®.
Hasil. Jumlah subyek penelitian 80 orang, terbanyak berusia 21-30 tahun (52,5%), dengan pendidikan rendah (56,25%). Tidak
ada satu pun subyek yang mengaku pernah di tato/tindik badan, menggunakan narkoba suntik, atau dengan riwayat hepatitis.
Usia hubungan seksual pertama kali paling banyak dilakukan pada usia 16-20 tahun (70 %), jarang menggunakan kondom
(48,75%), lama kerja sebagai WPS > 2 tahun (33,75%), dan jumlah tamu per minggu 1-7 tamu (62,5%). Seropositif HbsAg
terdapat pada 20% subyek. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara karakteristik sosiodemografik dan perilaku seksual
dengan kepositivan HbsAg.
Kesimpulan. Proporsi kepositivan serologik HBsAg pada WPS di Jakarta Barat adalah 20% dan tidak terdapat hubungan yang
bermakna antara karakteristik sosiodemografik dan perilaku seksual dengan kepositivan HBsAg.
Kata kunci: hepatitis B, HBsAg
ABSTRACT
Background. Hepatitis B viral (HBV) is one of sexually transmitted infections with high morbidity and mortality. Serologic
examination becomes important because majority patients are asymptomatic. Commercial sex workers (CSWs) are at risk for
HBV infection and potentially infect others. In Indonesia, the seroepidemiologic data of hepatitis B among female CSWs is not
sufficient. Since the biggest localization for prostitution in Jakarta (Kramat Tunggak) was closed, West Jakarta became the
undercover place for prostitution.
Aim. To determine the proportion of HBsAg seropositives among female CSWs and to asses the association between
sosiodemographic and sexual behaviour characteristics among those seropositives.
Subjects and Methods. In this cross-sectional study, anamnesis regarding HBV risk factors was conducted among 80 female
CSWs at a clinic in West Jakarta in March 2005. Serologic examination for HBsAg was conducted in clinico-pathologic
laboratory of dr. Cipto Mangunkusumo hospital. The immunometric technique (Vitros Immunodiagnostic Products®) was used
to detec HBsAg.
Results. Fifty two point five percent of 80 subjects were predominantly 21-30 years old. They are low educated (56,25%), with no
one had history of tattooing/body piercing/injection drug users/hepatitis. Most subjects had their first sexual intercourse at their
16-20 year of age, 48,75% rare on using condoms, 62,5% subjects reported 1-7 clients per week, 33,75% had engaged in
prostitution for a period of more than 2 years. Sixteen subjects were HBsAg seropositives. No statistical significance was found
between sosiodemographic and sexual behaviour characteristic among those seropositives.
Conclusions. The proportion of HBsAg seropositives among female CSWs in west Jakarta was 20%. No statistical significance
was found between sosiodemographic and sexual behaviours characteristic among those seropositives.
Keywords. Hepatitis B, HBsAg
1
PENDAHULUAN
Infeksi virus hepatitis B (VHB) merupakan salah satu infeksi menular seksual (IMS) yang
masih menjadi masalah kesehatan di dunia karena menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Di seluruh dunia terdapat 400 juta orang yang terinfeksi kronik oleh VHB dengan angka kematian
sekitar 1 sampai 2 juta per tahun. Virus ini mempunyai daya infeksi 100 kali lebih besar dibandingkan
dengan virus Human Immunodeficiency Virus (HIV). 1,2
Prevalensi penyakit hepatitis B sangat tinggi di Asia, sekitar 125 juta karier berada di Cina,
2,6 juta di Korea, dan 1,7 juta berada di Jepang. Penyakit hepatitis B juga merupakan masalah serius di
Amerika Serikat; sekitar 1 juta individu karier berada di sana, dan setiap tahunnya terdapat 100.000
kasus baru. 1-4
Mengingat mayoritas pasien yang terinfeksi VHB tidak disertai gejala, maka pemeriksaan
serologik penting dilakukan. Pemeriksaan tersebut merupakan penunjang dalam menegakkan diagnosis
dan mendeteksi kasus asimtomatik yang berpotensi menularkan.1,2
Wanita penjaja seks (WPS) dapat digolongkan sebagai kelompok risiko tinggi untuk tertular
sekaligus sebagai sumber potensial untuk menularkan VHB. Ditutupnya lokalisasi pelacuran terbesar di
Jakarta (Kramat Tunggak), telah mendorong semakin meningkatnya kegiatan pelacuran yang bersifat
terselubung. Hal ini dapat terlihat dari semakin maraknya penyediaan jasa panti pijat dan bar yang
secara terselubung juga menyediakan jasa pelayanan seksual. Salah satu dari “pusat” industri hiburan
yang merupakan tempat pelacuran terselubung adalah wilayah Mangga Besar dan Hayam Wuruk,
Jakarta Barat. Daerah ini juga dikenal sebagai pusat industri hiburan terbesar di Jakarta. 5
SUBYEK DAN METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di salah satu klinik di Jakarta Barat untuk anamnesis dan pengambilan
darah vena. Pemeriksaan serologik HBsAg dilakukan di laboratorium Patologi Klinik FKUI RSCM
Jakarta. Rancangan penelitian berupa survei dengan disain potong lintang dan dilaksanakan dari
pertengahan sampai akhir Maret 2005.
Dilakukan seleksi subyek penelitian sesuai kriteria inklusi dan eksklusi. Wanita penjaja seks di
Jakarta Barat yang berusia 15-50 tahun dan bersedia ikut penelitian dengan membuat persetujuan
sukarela di depan saksi akan disertakan sebagai subyek penelitian. Sedangkan WPS yang telah
divaksinasi dan yang tidak dapat memastikan sudah atau belum divaksinasi tidak dapat diikutsertakan
dalam penelitian ini. Besar sampel ditetapkan sebanyak 80 orang, diambil secara berurutan.
Anamnesis yang diajukan mengenai beberapa karakteristik sosiodemografik (nama, usia,
kota/propinsi asal, pendidikan, status perkawinan, tempat bekerja, riwayat tato/tindik badan, narkoba
suntik, dan riwayat hepatitis) dan perilaku seksual (usia pertama kali melakukan hubungan seksual,
cara melakukan hubungan seks, penggunaan kondom, lama kerja sebagai WPS, jumlah tamu per
minggu, dan riwayat IMS lain).
Pemeriksaan serologik HBsAg dilakukan dengan teknik ELISA menggunakan Vitros
Immunodiagnostic Products ®.
Pengolahan data menggunakan perangkat lunak STATA versi 7.0. Untuk menilai hubungan
antara variabel dan hasil pemeriksaan serologik HBsAg dilakukan dengan uji regresi logistik.
HASIL PENELITIAN
Karakteristik subyek penelitian
Dari 80 WPS yang diteliti, paling muda berumur 16 tahun sedangkan paling tua berumur 47
tahun. Rerata umur adalah 25,4 tahun + 6,6 tahun dan terbanyak berada pada kelompok umur 21 – 30
tahun yaitu 42 orang (52,5%). Sebanyak 45 orang (56,25%) memiliki tingkat pendidikan rendah. Status
janda terdapat pada 31 orang (38,75 %) dan tidak satupun subyek penelitian yang mengaku pernah
ditato/tindik badan, menggunakan narkoba suntik dan dengan riwayat hepatitis.
2
Tabel 1. Sebaran karakteristik sosiodemografik subyek penelitian (N=80)
Karakteristik
N
Persen
Kelompok usia
16-20 tahun
21-30 tahun
31-47 tahun
23
42
15
28,75
52,50
18,75
Pendidikan
Rendah
Menengah
45
35
56,25
43,75
Status perkawinan
Belum menikah
Menikah
Janda
19
30
31
23,75
37,50
38,75
Tato/Tindik badan/Narkoba suntik/Riwayat hepatitis
Tidak
Ya
80
0
100,00
0,00
Karakteristik perilaku seksual
Usia hubungan seksual pertama kali paling banyak dilakukan pada usia 16-20 tahun yaitu 56
orang (70%) (lihat tabel 2). Hubungan seksual dengan lebih dari 1 cara (genitogenital dan orogenital)
dilakukan oleh 48 orang (60%) subyek. Sebanyak 39 orang (48,75%) jarang menggunakan kondom
saat berhubungan seksual.
Umumnya mereka telah bekerja sebagai WPS selama > 2 tahun yaitu pada 27 orang (33,75%)
dan sebanyak 21 orang (26,25%) menjadi WPS selama 7-12 bulan. Jumlah tamu yang dilayani para
subyek per minggu sebanyak 1-7 tamu didapat pada 50 orang (62,5%), dan hanya 5 orang (6,25%)
dapat melayani > 15 tamu dalam seminggu.
Sebagian besar subyek bekerja di panti pijat yaitu 52 orang (65%), namun di antaranya ada
yang bekerja di panti pijat pada siang hari, sedangkan malam hari di tempat karaoke, dan jika tidak ada
tamu mereka bekerja di jalanan.
Sebanyak 54 orang (67,5%) pernah mengalami keluhan IMS, berupa keputihan (40 dari 54
orang) dan lenting/luka di kemaluan (7 dari 54 orang).
3
Tabel 2. Sebaran karakteristik perilaku seksual subyek penelitian (N=80)
Karakteristik
N
Persen
Usia pertama hubungan seks
< 16 tahun
16 – 20 tahun
> 20 tahun
15
56
9
18,75
70,00
11,25
Cara hubungan seks
Genitogenital
Genito & orogenital
32
48
40,00
60,00
Penggunaan kondom
Jarang
Sering
Selalu pakai
39
20
21
48,75
25,00
26,25
Lama kerja sebagai wanita penjaja seks
< 6 bln
7 – 12 bln
12 – 24 bln
> 24 bln
14
21
18
27
17,50
26,25
22,50
33,75
Jumlah tamu seks per minggu
1– 7 orang
8– 14 orang
> 15 orang
50
25
5
62,50
31,25
6,25
Tempat kerja
Jalanan
Panti pijat
Bar/Diskotek
1
52
27
1,25
65,00
33,80
Riwayat infeksi menular seksual lain
Ya
Tidak
54
26
67,50
32,50
Proporsi kepositivan serologik HBsAg
Dari 80 subyek penelitian, terdapat 16 subyek (20%) dengan HBsAg seropositif.
Hubungan Karakteristik sosiodemografik dan perilaku seksual dengan serologik HbsAg
Sebagai hasil penelitian tambahan, dicoba untuk melihat hubungan antara karakteristik
sosiodemografik dan perilaku seksual dengan kepositivan HBsAg. Namun karena terdapat keterbatasan
waktu dan juga dana, penelitian ini tidak dilakukan secara kasus kontrol, melainkan hanya mengambil
data dari hasil survei prevalensi.
Untuk tujuan tersebut dilakukan analisis secara bertahap antara variabel sosiodemografik dan
perilaku seksual terhadap variabel HBsAg. Pada awalnya dilakukan analisis bivariat, kemudian dari
hasilnya akan ditentukan variabel mana yang dapat masuk dalam analisis multivariat, yaitu variabelvariabel dengan p<0,25, atau RO dengan nilai > 1 atau < 1 dan IK 95% tidak melewati angka 1, atau
variabel yang memiliki relevansi biologis dengan kepositivan HBsAg.
Dari analisis bivariat terdapat 2 variabel yang dimasukkan ke dalam analisis multivariat, yaitu
variabel jumlah tamu seks per minggu (RO 3,46 dengan IK 95% antara 1,10;10,8) dan penggunaan
kondom (p = 0,110).
Namun setelah dilakukan analisis multivariat, tidak ada satupun karakteristik sosiodemografik
dan perilaku seksual yang mempunyai hubungan bermakna dengan kepositivan serologik HBsAg (lihat
tabel 3).
4
Tabel 3. Analisis multivariat untuk hubungan antara serologik HBsAg dengan faktor sosiodemografik dan
perilaku seksual
Karakteristik
ROs(IK 95%)
p
Jumlah tamu seks per minggu
1– 7 orang
1
8– 14 orang
3,04 (0,93;9,87)
0,064
> 15 orang
TDD
Penggunaan kondom
1
Jarang
0,40 (0,09;1,72)
0,218
Sering
0,25 (0,05;1,33)
0,105
Selalu pakai
ROs = nilai rasio odds suaian yang diperoleh dari analisis multivariat menggunakan cara regresi logistik
IK = interval kepercayaan
p = nilai kemaknaan
TDD = tidak dapat dinilai
PEMBAHASAN
Dari 80 WPS yang diteliti, terbanyak berada pada kelompok umur 21 – 30 tahun, yaitu
sebanyak 42 orang (52,5%). Hal ini mungkin karena pada kelompok usia tersebut merupakan kelompok
terlaris dan aktif seksual. Menurut Daili dan Hutapea7 aktivitas seksual paling banyak dilakukan pada
umur 20- 30 tahun. Martosudarmo pada penelitiannya di Jakarta Utara (1984) mendapatkan kelompok
umur terbanyak adalah kelompok 16-20 tahun yaitu sebanyak 71 orang (71%).8 Sedangkan Nasser
(1989) melaporkan kelompok umur terbanyak adalah 22-25 tahun yaitu sebanyak 42 orang (37,16%).6
Tidak terdapat perbedaan risiko untuk masing-masing kelompok umur. Temuan ini berbeda dengan
penelitian Hernandez, dkk. (1998) dan Figueroa, dkk. (1998) yang melaporkan risiko infeksi meningkat
dengan bertambahnya usia.9,10
Terdapat perbedaan persentase sebaran tingkat pendidikan, meskipun pendidikan rendah
(tidak pernah sekolah sampai SLTP tidak tamat) masih merupakan frekuensi tertinggi. Dengan
keterbatasan pendidikan dan kecilnya kesempatan kerja, pekerjaan sebagai WPS menjadi salah satu
pilihan yang mudah dilakukan dengan penghasilan yang menjanjikan. Perbedaan antara subyek
penelitian dengan seropositif HBsAg antara yang berpendidikan rendah dengan yang berpendidikan
sedang secara statistik bermakna. Namun Hernandez, dkk. (1998) melaporkan risiko infeksi meningkat
pada subyek dengan pendidikan rendah.9 Demikian pula status perkawinan tidak berpengaruh terhadap
hasil seropositif HBsAg. Antara subyek dengan status perkawinan belum menikah dan janda, variasi
hasil seropositif terhadap HBsAg tidak terlalu besar yaitu antara 19,2% (status janda) dan 30,4% (status
menikah).
Tidak terdapat satupun subyek penelitian yang mengaku pernah melakukan tato dan tindik
badan. Seluruh subyek penelitian telah ditindik telinganya pada saat baru lahir atau masa anak-anak
sehingga sterilitas alat yang digunakan tidak diketahui. Meskipun dilaporkan sebagai faktor risiko,
namun Trepka, dkk. (2003) dan Zhang, dkk. (2004) pada penelitiannya tidak mendapatkan hubungan
yang bermakna antara tindakan tato dan tindik badan dengan risiko terjadinya hepatitis B. 11,12
Demikian pula dengan pemakaian narkoba suntik, tidak terdapat satupun subyek penelitian
yang mengaku pernah menggunakannya. Zhang, dkk. 12 di Kanada menemukan bahwa penggunaan
narkoba suntik (34%) merupakan faktor risiko terbesar diikuti promiskuitas (24%). Riwayat hepatitis
atau gejala hepatitis akut seperti sakit kuning, mual-mual, atau buang air kecil berwarna coklat seperti
air teh juga tidak didapatkan pada seluruh subyek penelitian. Hal ini dapat terjadi karena infeksi akut
oleh VHB bersifat asimtomatik pada 50-70% remaja dan dewasa. 12,13
Hubungan seksual pertama kali paling banyak dilakukan pada usia 16-20 tahun, yaitu 56
orang (70%) (lihat tabel 2). Hubungan seksual dilakukan dengan lebih dari 1 cara (genitogenital dan
orogenital) oleh 48 orang (60%) subyek. Sebanyak 39 orang (48,75%) jarang menggunakan kondom
saat berhubungan seksual. Umumnya mereka telah bekerja sebagai WPS selama > 2 tahun yaitu 27
orang (33,75%). Jumlah tamu yang dilayani 50 subyek (62,5%) per minggu sebanyak 1-7 tamu dan
hanya 5 orang (6,25%) dapat melayani > 15 tamu dalam seminggu.

Dikutip dari kepustakaan no.6
5
Sebagian besar subyek bekerja di panti pijat yaitu 52 orang (65%), namun di antaranya ada
yang bekerja di panti pijat pada siang hari, sedangkan malam hari di tempat karaoke & jika tidak dapat
tamu mereka bekerja di jalanan. Nasser (1989) dalam penelitiannya terhadap 113 WPS mendapatkan
14,2% bekerja di rumah bordil dan 85,5% di panti pijat. 6 Sedangkan Figueroa, dkk. (1998) melaporkan
dari 1498 subyek, sebanyak 54,5% bekerja sebagai WPS jalanan, 35,4% di bar, dan 10,1% di hotel,
panti pijat, atau rumah bordil. Prevalensi infeksi VHB meningkat secara bermakna pada WPS jalanan
dibandingkan dengan yang bekerja di bar. 10 Perbedaan prevalensi ini mungkin dipengaruhi oleh tingkat
sosial ekonomi tamu dan pola pelayanan seksual.
Prevalensi HBsAg di kalangan WPS dilaporkan oleh Hutapea, dkk. tahun 1983 di Medan yaitu
sebesar 7,4% dari 456 sampel yang diperiksa. 7 Sementara Martosudarmo di Jakarta tahun 1984
melaporkan angka 8% HBsAg seropositif dari 100 orang WPS.8 Kedua peneliti tersebut menggunakan
metode Reversed Passive Haemaglutination Assay (RPHA) dan Passive Haemaglutination Assay
(PHA). Sedangkan Nasser tahun 1989 menemukan prevalensi HBsAg sebesar 27,43%. Perbedaan yang
mencolok ini mungkin disebabkan oleh perbedaan kepekaan metode yang digunakan. 6
Pada penelitian ini sebanyak 16 subyek (20%) mengidap HBsAg. Hasil tersebut tidak jauh
berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nasser, dkk (1989) seperti yang tersebut di atas.
Perubahan pola hubungan seksual diduga turut berperan dalam tingginya prevalensi ini.6 Cara
hubungan seksual yang berisiko tinggi terhadap penularan hepatitis B selain hubungan genitogenital
adalah anogenital dan orogenital. Tingginya risiko infeksi hepatitis B pada orang yang melakukan
hubungan seksual dengan cara anogenital dan orogenital, mungkin disebabkan oleh terjadinya luka di
daerah genital, perianal, atau mukosa mulut.14,15 Selain itu, tingginya proporsi kepositivan HBsAg pada
penelitian ini juga diduga karena adanya jalur transmisi lain yang tidak di teliti selain kontak seksual.
Jalur transmisi tersebut antara lain melalui transfusi darah, hemodialisis, ada tidaknya penderita
hepatitis dalam satu rumah, penggunaan alat mandi atau alat cukur bersama, dan riwayat berobat ke
dokter gigi atau terdapat tindakan bedah lain.
Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa daya infeksi VHB 100 kali lebih besar
dibandingkan dengan virus HIV. Dan dari keseluruhan infeksi hepatitis B, 5-15% di antaranya dapat
berkembang menjadi kronik.4,6 Dari jumlah tersebut sekitar 15-30% akan berkembang menjadi sirosis
hati dan 1-5% menjadi karsinoma hati. 2,16 Dengan tingginya proporsi kepositivan yang ditemukan pada
penelitian ini maka penting untuk dilakukan pemeriksaan serologi HBsAg secara berkala untuk
mencegah meluasnya transmisi infeksi VHB terutama melalui hubungan seksual.
Meskipun pada penelitian ini terlihat persentase seropositif HBsAg lebih besar pada subyek
dengan riwayat IMS dibandingkan dengan yang tanpa riwayat IMS (31,7% versus 13%), namun secara
statistik tidak ditemukan perbedaan yang bermakna antara keduanya. Begitu pula Martosudarmo (1984)
yang mencoba mencari hubungan antara infeksi gonore dan sifilis dengan kepositivan HBsAg pada 100
WPS, tidak menemukan hubungan yang bermakna.8 Sebaliknya terdapat 2 penelitian lain yang
melaporkan adanya hubungan yang bermakna antara infeksi HSV2 (herpes simplex virus tipe 2) dengan
infeksi VHB.9,11 Diduga infeksi HSV2 dapat mempermudah infeksi hepatitis B sama seperti pada
infeksi HIV.17,18
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa prevalensi HBsAg berhubungan bermakna dengan
bertambahnya usia atau bekerja sebagai WPS jalanan.6,10,19 Pada penelitian ini berdasarkan hasil
analisis multivariat di atas, tidak ada satupun dari faktor sosiodemografik dan perilaku seksual yang
dapat disimpulkan berhubungan dengan kepositivan HBsAg. Hal tersebut dapat terjadi karena sejak
awal, penelitian ini tidak dirancang untuk mencari faktor risiko namun peneliti ingin mencoba mengaitkan
beberapa faktor dengan kepositivan HbsAg sehingga besar sampel menjadi kurang sesuai untuk hal tersebut.
KESIMPULAN
Proporsi kepositivan HBsAg pada WPS di Jakarta Barat adalah 20% dan tidak terdapat
hubungan yang bermakna antara beberapa karakteristik sosiodemografik dan perilaku seksual dengan
kepositivan serologik HBsAg.
6
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
The World Health Organization. Hepatitis B. Dari: http://www.who.int/mediacenter/factsheets/fs204/en/print.html. Disitasi
tanggal 23 Desember 2004.
Warouw WF. Hepatitis B. Dalam: Daili SF, Makes WIB, Zubier F, Judanarso J, penyunting. Penyakit Menular Seksual,
edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2001: 151-7.
Bristol-Myers Squibb Company. Hepatitis B: Basic and Beyond. 2004; 2: 1-41.
Ganem D, Prince AM. Hepatitis B virus infection: natural history and clinical consequences. N Engl J Med. 2004; 350:
1118-29.
Yayasan Kusuma Buana. Laporan penilaian situasi risiko penularan IMS pada tempat hiburan di Jakarta Barat, 2004.
Nasser M, Makatutu MA, Maskur MZ. Seroepidemiologik VHB pada wanita tuna susila. Kumpulan makalah ilmiah
Kongres Nasional Perkumpulan Ahli Dermato-Venereologi Indonesia VI, Bandung, 29 Juni-2 Juli, 1989.
Hutapea NO, Nazmah DL, Suroso. Prevalensi HBsAg di antara wanita tuna susila di Sumatera Utara. Kumpulan makalah
ilmiah Kongres Nasional Perkumpulan Ahli Dermato-Venereologi Indonesia IV, Semarang, 1985.
Martosudarmo D. Prevalensi HBsAg pada 100 wanita tuna susila di Jakarta Utara. Tesis. Jakarta: Bagian Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin FKUI, 1984.
Hernandez MT, Klausner JD, McFarland W, Wong E, Bolan G, Molitor F. Hepatitis B prevalence in young women living
in low-income areas. Sex Transm Dis. 2000; 27: 539-44.
Figueroa LJ, Salas FU, Glez CC, Avila MH, Portugal MO, Zuniga PU, et al. Low prevalence of hepatitis B markers among
Mexican female sex workers. Sex Transm Inf 1998;74:448-50.
Trepka MJ, Weisbord JS, Zhang G, Brewer T. Hepatitis B virus infection risk factors and immunity among sexually
transmitted diseases clinic clients. Sex Transm Dis 2003; 30: 914-8.
Zhang J, Zou S, Giullvi A. Hepatitis B in Canada. Dari: http://www.hc-sc.gc.ca/pphb-dgspsp/publicat/ccdr-rmtc/01vol27/27s3/27s3e-e.html.
Disitasi tanggal 23 Desember 2004.
Clinical effectiveness group (association of genitourinary medicine and the medical society for the study of venereal
disease). National guideline for the management of the viral hepatitides A, B, and C. Sex Transm Inf 1999;75 (suppl): S5764.
Szmuness W, Much I, Prince AM, Hoofnagle JH, Cherubin CE, Harley EJ, ,dkk. On the role of sexual behaviour in the
spread of hepatitis B infection. Ann Intern Med 1975;83:489-95.
Edwards S, Carne C. Oral sex and the transmission of viral STIs. Sex Transm Inf 1998;74:6-10.
Sterling JC, Kurtz JB. Viral Infection. Dalam: Champion RH, Burton JL, Burns DA, Breathnach SM, penyunting.
Rook/Wilkinson/Ebling Textbook of Dermatology. Edisi ke-6. New York: BlackWell Science,1998: 995-1097.
Mole L, Ripich S, Margolis D, Holodny M. The impact of active herpes simplex virus infection on human
immunodeficiency virus load. J Infect Dis 1997; 176:766-70.
Augenbraum M, Feldman J, Chirgwin K. Increased genital shedding of herpes simplex virus type 2 in HIV-seropositive
women. Ann Intern Med. 1995;123:845-7.
Smikle M, Dowe G, Kong TH, William E. Hepatitis B & C viruses and sexually transmitted disease patient in Jamaica.Sex
Transm Inf. 2001;77:295-6.
7
Download