BAB II LANDASAN TEORI A. Subjective Well Being pada Ibu yang

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Subjective Well Being pada Ibu yang Memiliki Anak Down Syndrome
1.
Subjective Well Being
a. Pengertian Subjective Well Being
Menurut Diener (2009), subjective well being adalah istilah untuk
menjelaskan apa yang membuat kehidupan seseorang lebih baik. Diener
(2000) mengatakan bahwa secara istilah subjective well being biasa
disebut dengan kebahagiaan (happiness). Carr (2004) memberikan
definisi yang sama bagi subjective well being dan happiness, yakni
sebuah keadaan psikologis yang positif yang dikarakteristikan dengan
tingginya afek positif, tingginya tingkat kepuasan hidup, dan rendahnya
afek negatif. Banyak peneliti yang mendefinisikan kebahagiaan dan
subjective well being sebagai satu konstruk, namun sebenarnya tidak ada
pendapat yang bisa mencakup keseluruhan subjective well being (Diener
& Ryan, 2009).
Subjective well being didefinisikan sebagai evaluasi terhadap
kehidupan, yang menjelaskan keterkaitan antara pengalaman pribadi
dengan kualitas hidup individu sehingga dapat menjelaskan mengenai
mengapa dan bagaimana individu mengalami kehidupan dalam cara yang
positif (Diener & Diener, dalam Pattihahuan, 2012). Evaluasi mengenai
kehidupan ini akan berlaku untuk kehidupan yang sedang berlangsung
saat ini maupun masa lampau (Diener, Oishi, dan Lucas, 2003). Evaluasi
14
15
ini meliputi pengalaman emosi individu terhadap suatu peristiwa, mood,
dan bentuk penialaian mereka mengenai kepuasan hidup, pemenuhan
kebutuhan, dan kepuasan dalam ranah tertentu.
Menurut Robbins (dalam Lopez, 2009) subjective well being
berfokus terhadap penilaian seseorang mengenai kepuasan hidup dan
frekuensi munculnya emosi positif dan negatif yang dialami individu
semasa hidupnya. Menurut Diener dan Chan (2011), subjective well being
juga diartikan sebagai evaluasi individu mengenai kepuasan hidupnya
yang didasarkan pada perasaan (termasuk mood dan emosi). Menurut
Linley dan Joseph (2004), subjective well being adalah gabungan antara
kepuasan hidup dengan afek positif yang dikurangi afek negatif.
Berdasarkan beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
subjective well being adalah kebahagiaan secara keseluruhan yang dialami
individu, di mana individu memiliki perasaan yang positif atas hidupnya
sebagai hasil evaluasi afektif dan memiliki kepuasan hidup atas apa yang
ia capai baik secara global maupun mengenai ranah-ranah tertentu sebagai
hasil evaluasi kognitifnya.
b. Komponen Subjective Well Being
Menurut Diener (2003), subjective well being mempunyai dua
komponen. Hal ini akan dijelaskan sebagai berikut:
1) Komponen Afektif
Menurut Diener (2003), afek positif dan afek negatif
merupakan evaluasi individu terhadap pengalaman atau peristiwa
16
yang terjadi dalam kehidupannya. Subjective well being individu
dapat diprediksi dengan melakukan perbandingan antara pengalaman
emosi positif dan negatif yang dialami individu dalam kehidupan
sehari-hari (Diener dalam Eid dan Larsen, 2008). Selanjutnya, akan
dijelaskan sebagai berikut:
a) Evaluasi terhadap Positive Affect (PA)
Keyes dan Magyar-Moe (dalam Lopez dan Snyder, 2003)
menyebutkan bahwa positive affect merupakan istilah yang
digunakan untuk menunjukkan sebuah pengalaman emosi yang
memberikan reaksi kesenangan, antusias, dan kebahagiaan dalam
hidup seseorang.
Diener, dkk. (1999) menyebutkan bahwa positive affect
individu yang mempengaruhi subjective well being adalah
kesenangan (joy), sukacita (elation), kepuasan (contentment),
harga diri (pride), rasa kasih sayang (affection), kebahagiaan
(happiness), dan kegembiraan sesaat (ecstasy)
b) Evaluasi terhadap Negative Affect (NA)
Diener (2009b) menjelaskan bahwa negative affect
merepresentasikan emosi dan mood yang tidak menyenangkan.
Negative affect juga merupakan refleksi dari respon negatif yang
dialami seseorang atas reaksinya terhadap kehidupan, keadaan,
kesehatan,
dan
peristiwa
yang
dialami.
Diener
(1999)
menjelaskan bahwa negative affect individu yang mempengaruhi
17
subjective well being seseorang adalah rasa bersalah dan malu
(guilt and shame), kesedihan (sadness), kecemasan dan
kekhawatiran (anxiety and worry), tekanan (stress), kedengkian
(envy), depresi (depression), dan kemarahan (anger).
2) Komponen Kognitif
Menurut Diener, dkk. (2003), afek kognitif dalam subjective
well being adalah evaluasi atau penilaian individu mengenai kualitas
hidupnya. Penilaian ini mengacu kepada kepuasan hidup (life
satisfaction/LS) seseorang (Diener, dkk. 2003). Kepuasan hidup ini
penting adanya karena individu mampu menilai apakah kondisi
dalam kehidupannya positif dan sudah memuaskan (Pavot, dalam
Eid dan Larsen, 2008). Evaluasi kognitif dalam kepuasan hidup ini
dibagi menjadi dua, yakni kepuasan hidup secara global (life
satisfaction/LS) dan kepuasan atas ranah-ranah atau domain tertentu
(domain satisfaction/DS). Hal ini akan dijelaskan sebagai berikut:
a) Evaluasi Kepuasan Hidup Secara Global (Life Satisfaction/LS)
Kepuasan hidup seseorang merepresentasikan penilaian
individu mengenai hidup yang dijalaninya melalui perbandingan
standar yang dimiliki (Diener, 2009b). Selanjutnya, kepuasan
hidup secara global merupakan representasi penilaian individu
secara umum dan reflektif terhadap kehidupannya.
Secara umum, Diener (1999) menjelaskan beberapa hal
yang mempengaruhi kepuasan hidup secara global, antara lain
18
keinginan mengubah hidup (desire to change life), kepuasan
kepada kehiudpan masa lampau (satisfaction with past),
kepuasan kehidupan saati ini (satisfaction with current life),
kepuasan terhadap masa depan (satisfaction with future), dan
pandangan orang-orang mengenai kehidupannya (signification
other’s of one’s life).
b) Evaluasi
Kepuasan
atas
Ranah-ranah
tertentu
(Domain
Satisfaction/DS)
Domain Satisfaction merupakan kepuasan individu dalam
ranah-ranah kehidupan yang berfokus pada penilaian mengenai
beberapa aspek spesifik di kehidupan seseorang (Pavot, dalam
Eid dan Larsen, 2008). Diener, dkk. (1999) menggambarkan
beberapa ranah tersebut antara lain, keluarga (family), pekerjaan
(work), kesehatan (health), waktu luang (leisure), keuangan
(finance), diri sendiri (self), dan kelompok tertentu (one’s group).
c) Struktur Komponen Kognitif Subjective Well Being
Seseorang menilai kepuasan hidupnya secara individual
berdasarkan pada apa yang diinginkan dan apa yang telah
dimiliki atau secara konseptual secara ideal dan realitas (Sousa
dan Lyubormirsky, 2001). Terdapat dua prosedur mengenai
bagaimana seseorang menentukan kepuasan hidupnya, yakni
prosedur
top-down
atau
bottom-up.
Bottom-up
theories
menyatakan bahwa kebahagiaan dan kepuasan hidup individu
19
dirasakan dan dialami seseorang tergantung dari banyaknya
kebahagiaan-kebahagiaan kecil dan jumlah peristiwa-peristiwa
yang bahagia dalam kehidupannya. Artinya, subjective well
being merupakan penjumlahan dari pengalaman-pengalaman
positif yang terjadi dalam kehidupan individu. Semakin banyak
pengalaman positif yang dirasakan, maka tingkat subjective well
being semakin tinggi. Top-down theories menyatakan bahwa
kebahagiaan individu tergantung dari cara individu mengevaluasi
atau menginterpretasi suatu peristiwa yang terjadi dalam
hidupnya dari sudut pandang yang positif. Teori ini menyatakan
bahwa individulah yang menentukan apakah peristiwa yang
dialaminya akan menciptakan kebahagiaan dalam dirinya.
Bottom-up theories mengasumsikan bahwa penilaian LS
dilakukan berdasarkan pengukuran sejumlah DS (Diener dalam
Eid dan Larsen, 2008). LS dan DS merupakan pengaruh sebab
akibat DS terhadap LS. Individu yang memiliki kepuasan
pekerjaan (DS) tinggi juga akan memiliki LS tinggi karena
kepuasan pekerjaan merupakan aspek penting dari LS. LS akan
mengalami perubahan jika terjadi perubahan pada DS.
Sementara itu, top-down theories merupakan kebalikan
dari bottom-up theories. Top-down theories menyatakan bahwa
seseorang yang puas atas hidupya secara keseluruhan atau global
juga akan menilai ranah-ranah penting kehidupannya secara lebih
20
positif pula, meskipun kepuasan hidup seseorang tidak
berdasarkan pada kepuasan pada ranah penting tersebut.
c. Proses Pencapaian Subjective Well Being atau Kebahagiaan
Terdapat enam komponen yang menentukan berhasil atau tidaknya
seseorang dalam mencapai kehidupan yang bermakna dan bahagia
(Bastaman, 1996). Keenam komponen tersebut adalah:
1) Pemahaman diri (self insight), yakni meningkatnya kesadaran
seseorang atas buruknya kondisi pada saat ini dan keinginan kuat
untuk melakukan perubahan ke arah kondisi yang lebih baik.
2) Makna hidup (the meaning of life) merupakan nilai-nilai penting dan
sangat berarti bagi kehidupan pribadi seseorang. Nilai ini berfungsi
sebagai tujuan hidup yang harus dipenuhi dan sebagai pengarah
kegiatan-kegiatannya.
3) Pengubahan sikap (changing attitude), yakni pengubahan seseorang
dari yang semula bersikap negatif dan tidak tepat menjadi mampu
bersikap positif dan lebih tepat dalam menghadapi masalah, kondisi
hidup, dan perubahan yang tidak terelakkan.
4) Keterikatan diri (self commitment), merupakan komitmen seseorang
terhadap makna hidup yang ditemukan dan tujuan hidup yang
ditetapkan.
5) Kegiatan terarah (directed activities), merupakan upaya-upaya yang
dilakukan secara sadar dan sengaja berupa pengembangan potensi-
21
potensi pribadi yang positif serta pemanfaatan relasi antar pribadi
untuk menunjang tercapainya makna dan tujuan hidup.
6) Dukungan sosial (social support), yakni kehadiran seseorang atau
sejumlah orang yang akrab, dapat dipercaya, dan selalu bersedia
memberikan bantuan pada saat-saat dibutuhkan.
Proses pencapaian tersebut dapat digambarkan pada bagan berikut
ini:
Pengalaman Tragis
(Tragic Event)
Penghayatan Tak Bermakna
(Meaningless Life)
Penemuan Makna dan Tujuan Hidup
(Finding Meaning and Purpose Life)
Pengubahan Sikap
(Changing Attitude)
Keterikatan Diri
(Self Commitment)
Kegiatan Terarah dan Pemenuhan Makna Hidup
(Directed Activities and Fulfilling Meaning)
Hidup Bermakna
(Meaningfull Life)
Kebahagiaan
(Happiness)
Gambar 1
Proses Pencapaian Subjective Well Being atau Kebahagiaan (sumber: Bastaman, 1996)
Peristiwa tragis yang dialami (the tragic event) akan menimbulkan
kesadaran diri (self insight) seseorang untuk mengubah kondisi hidup
yang tidak bermakna (the meaningless life) menjadi kondisi diri yang
22
lebih baik. Biasanya kesadaran ini muncul karena berbagai sebab.
Misalnya, karena perenungan diri, konsultasi dengan para ahli, mendapat
pandangan dari seseorang, hasil do’a dan ibadah, belajar dari pengalaman
orang lain, atau mengalami peristiwa-peristiwa tertentu yang mampu
mengubah sikapnya selama ini. Bersamaan dengan itu disadari pula
adanya nilai-nilai yang berharga atau hal-hal yang sangat penting dalam
hidup (the meaning of life) yang kemudian ditetapkan sebagai tujuan
hidup (the purpose of life). Hal-hal yang dianggap berharga dan penting
itu mungkin saja berupa nilai-nilai kreatif (creative values) misalnya
bekerja dan berkarya, nilai-nilai penghayatan (experiental values) seperti
menghayati keindahan, keimanan, keyakinan, kebenaran, dan cinta kasih,
nilai-nilai bersikap (attitudinal values) yakni menentukan sikap yang tepat
dalam menghadapi penderitaan dan pengalaman tragis yang tak dapat
dielakkan lagi.
Atas dasar pemahaman diri dan penemuan makna hidup ini timbul
perubahan sikap (changing attitude) dalam menghadapi masalah, yaknni
dari kecenderungan berontak (fighting), melarikan diri (flighting) atau
seba bingung dan tak berdaya (freezing) berubah menjadi kesediaan untuk
lebih berani dan realistis menghadapinya (facing). Setelah itu biasanya
semangat hidup dan gairah kerja meningkay, kemudian secara sadar
melakukan keikatan diri (self commitment) untuk melakukan berbagai
kegiatan nyata yang lebih terarah (directed activities) guna memenuhi
makna hidup yang ditemukan dan tujuan yang telah ditetapkan (fulfilling
23
meaning and purpose of life). Kegiatan-kegiatan ini biasanya berupa
pengembangan bakat, kemampuan, ketrampolan, dan berbagai potensi
positif lainnya yang sebelumnya terabaikan. Apabila pada akhirnya tahap
ini berhasil dilalui, dapat dipastikan akan menimbulkan perubahan
kondisi hidup yang lebih baik dan mengembangkan penghayatan hidup
bermakna (the meaningful life) dengan kebahagiaan (happiness) sebagai
hasil sampingannya.
d. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Subjective Well Being
Diener (2009a) menjelaskan mengenai beberapa faktor yang
mempengaruhi tingkat subjective well being, yakni sebagai berikut:
1) Faktor Genetik
Penelitian yang dilakukan oleh Tellegen, dkk. (dalam Eid dan
Larsen, 2008) menghasilkan penemuan bahwa level afek, negatif
maupun positif, kembar identik dan hidup terpisah lebih mirip satu
sama lain daripada kembar fraternal yang dibesarkan bersama. Hasil
yang diperoleh memang belum dapat dipastikan apakah ini murni
dari dampak gen yang diwariskan atau lebih kepada pengaruh
lingkungan keluarga, namun walaupun dipengaruhi oleh lingkungan,
gen mampu mengarahkan individu untuk memilih lingkungan dan
perilaku yang tepat baginya (Lucas dalam Eid dan Larsen, 2008).
2) Faktor Kepribadian
Lykken dan Tellegen (dalam Diener, 2009a) menyatakan
bahwa kecenderungan tempramen memberikan sumbangan sebanyak
24
50% pada kebahagiaan. Sifat kepribadian tertentu (misalnya
ekstrovet) juga lebih banyak mengalami afek positif dibandingkan
sifat kepribadian yang lain (misalnya neuroticsm).
3) Faktor Demografis
a) Pendapatan
Larson (dalam Diener, 2009a) mengatakan bahwa terdapat
banyak bukti yang menyatakan hubungan positif antara
pendapatan dan subjective well being dalam suatu negara, namun
pendapatan hanya mempengaruhi pada tingkat yang lebih rendah
ketika kebutuhan dasar belum terpenuhi.
b) Status pernikahan dan keluarga
Andrews dan Withey (dalam Diener, 2009a) mengatakan
bahwa individu yang menikah memiliki subjective well being
lebih besar dibandingkan individu
yang tidak menikah.
Perempuan yang menikah memang memiliki tingkat stres yang
lebih besar dibandingkan yang belum menikah, namun mereka
cenderung lebih puas dengan kehidupan yang dijalani (Glen
dalam Diener, 2009a). Kehadiran anak juga merupakan penentu
tingkat kebahagiaan keluarga (Herbst, 2012). Keluarga yang
mempunyai anak akan lebih bahagia dibandingkan dengan
keluarga yang tidak memiliki anak. Keluarga yang dikaruniai
anak normal juga memiliki tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi
dibandingkan anak cacat (Fatima, 2009).
25
c) Usia dan jenis kelamin
Tidak ada hubungan yang konsisten antara usia dengan
subjective well being, namun terdapat kecenderungan bahwa
kepuasan hidup akan semakin menurun seiring bertambahnya
usia (Diener dan Ryan, 2009).
Perbedaan jenis kelamin tidak pernah memiliki korelasi
yang kuat. Perempuan memang lebih banyak menunjukkan afek
negatif, namun juga terlihat lebih banyak mengalami kesenangan
(Diener, 2009a). Selain itu, hanya ditemukan sedikit perbedaan
pada kebahagiaan secara umum antara laki-laki dan perempuan
(Goodstein, dkk. dalam Diener, 2009a).
d) Ras
Andrews dan Withey (dalam Diener, 2009a) menyatakan
bahwa di negara Amerika, kulit hitam biasanya ditemukan
memiliki subjective well being yang lebih rendah dibandingkan
kulit putih meskipun hal itu tidak berlaku secara universal.
Penelitian ini tidak bersifat universal karena tidak mengontrol
beberapa faktor lain seperti pendidikan, pernikahan, pendapatan,
status pernikahan, dan urbanisasi.
e) Pendidikan
Menurut Palmore (dalam Diener, 2009a) faktor pendidikan
tidak memiliki pengaruh yang kuat. Toseland dan Rasch (dalam
Diener, 2009a) menambahkan bahwa beberapa studi menemukan
26
bahwa meskipun faktor-faktor lain telah dikontrol, tetapi tetap
saja tidak ada pengaruh yang signifikan mengenai pendidikan dan
subjective well being.
f) Pekerjaan
Individu yang tidak memiliki pekerjaan merupakan
individu yang masuk dalam kategorisasi tidak bahagia (Campbell,
dkk. dalam Diener, 2009a).
g) Agama
Secara luas, iman, tradisionalisme, dan pentingnya agama
berhubungan dengan subjective well being (Cameron, dkk. dalam
Diener, 2009a). Diener dan Ryan (2009) menambahkan bahwa
hubungan positif ini dikarenakan arti dan tujuan hidup, serta
berasal dari pendukung organisasi keagamaan.
4) Perilaku dan Hasil
a) Kontak sosial
Rhodes (dalam Diener, 2009a) menyatakan bahwa banyak
penelitian yang menemukan hubungan antara kepuasan dengan
teman dan pengukuran subyektif lainnya seperti kesendirian
terhadap subjective well being. Mancini dan Orthner (dalam
Diener, 2009a) menambahkan bahwa kontak sosial yang
dimaksud adalah kontak sosial dengan saudara dan bukan sanak
saudara, namun bagaimana mekanisme kontak sosial tersebut
saat ini masih menjadi bahan penelitian.
27
b) Aktivitas dan kejadian hidup
Aktivitas yang dimaksud mengacu kepada perilaku dan
kejadian
hidup
mengacu
kepada
hasil.
Diener
(2009a)
menjelaskan bahwa kejadian hidup mempunyai hubungan yang
konsisten dengan subjective well being. Kejadian hidup yang
baik maupun buruk adalah dua hal yang berbeda dan berdiri
sendiri-sendiri dalam kehidupan individu, dan kejadian hidup
positif berhubungan dengan afek positif sedangkan kejadian
hidup negatif berhubungan dengan afek negatif (Reich dan
Zautra dalam Diener, 2009a).
Tidak semua aktivitas merupakan faktor yang baik bagi
subjective well being (Kozma dan Stones dalam Diener, 2009a).
Hubungan antar keduanya tergantung kepada kepribadian
individu. Selain itu, konsep aktivitas ini juga biasanya dicampur
dengan kontak sosial, hobi, partisipasi dalam organisasi, dan
aktivitas fisik (Diener, 2009a).
2.
Ibu yang Memiliki Anak Down Syndrome
a. Anak Down Syndrome
1) Pengertian Anak Down Syndrome
Down syndrome adalah mereka yang mempunyai kelainan
badaniah yang sama dan penampilan wajah yang mirip antara satu
dengan yang lainnya (Mangunsong, 1998). Mereka mempunyai
wajah yang berbeda dari anak normal dan matanya sipit seperti orang
28
mongol. Hal ini yang mengakibatkan munculnya istilah mongolisme
yang merupakan nama lain dari anak down syndrome.
Davidson, Neale, dan Kring (2006) mengatakan bahwa
penyebab gangguan ini adalah abnormalitas kromosom, yaitu
terbentuknya kromoson 21 (trisomy 21) akibat kegagalan sepasang
kromosom untuk saling memisahkan diri saat terjadi pembelahan.
Down syndrome terjadi pada sekitar satu dalam 800 hingga 1200
kelahiran yang selamat.
Anak down syndrome mengalami retardasi mental, namun
beberapa di antara mereka mampu belajar membaca, menulis, dan
menghitung. Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa anak down syndrome adalah anak yang mengalami kelainan
pada kromosom yang mengakibatkan kelainan fisik dan gangguan
perkembangan.
2) Karakteristik Anak Down Syndrome
Hunt dan Marshall (1994) mengatakan bahwa down syndrome
memiliki karakteristik sebagai berikut:
a) Kemampuan intelektual yang kurang. Anak down syndrome
kurang mengerti konsep abstrak dan lebih mudah belajar melalui
kontak dengan objek nyata daripada simbol.
b) Kemampuan bahasa yang kurang. Biasanya mereka mengalami
beberapa gangguan bicara seperti gagap, artikulasi, dan suara.
29
c) Keadaan fisik anak down syndrome yang biasanya mempunyai
masalah dalam penglihatan dan pendengaran. Selain itu mereka
juga sering mengalami gangguan jantung. Menurut Selikowitz
(2001), terdapat beberapa karakteristik fisik anak down syndrome
yang dapat dilihat langsung. Pertama, wajah anak down syndrome
ketika dilihat dari depan biasanya berbentuk bulat dan dari
samping cenderung memiliki profil datar. Kepala anak down
syndrome sedikit rata pada bagian belakang dan mata mereka
sedikit miring ke atas. Rambutnya lurus dan tipis. Selain itu,
mereka mempunyai kulit leher yang sedikit lebih tebal dan
berlipat pada bagian belakang serta pendek dan lebar. Mulut anak
down syndrome rata-rata sedikit lebih kecil, namun memiliki
lidah yang lebih besar dan sedikit tebal. Hal ini yang membuat
sebagian dari mereka memiliki kebiasaan untuk menjulurkan
lidahnya. Terakhir, anak down syndrome memiliki tangan yang
cenderung lebar dengan jari-jari yang pendek.
d) Keadaan sosial dan emosional mereka seringkali maladaptif
seperti menyerang diri sendiri atau orang lain. Mereka juga
memiliki perilaku kekanak-kanakan seperti mudah menangis,
kurangnya kontrol emosi serta rendahnya toleransi frustrasi.
30
Menurut Selikowitz (2001), beberapa perilaku spesifik yang
sering muncul adalah:
a) Menjulurkan lidah, karena kondisi lidah yang lebih besar dan
mulut yang lebih kecil dibandingkan ukuran rata-rata.
b) Mengeluarkan air lius, karena tonus rendah sehingga cenderung
membiarkan mulutnya terbuka dan mengeluarkan air liur.
c) Hiperaktif dan mengalami kesulitan memustakan perhatian.
d) Menghilang diam-diam, karena sulit untuk tetap berada di
samping orang dewasa.
e) Tantrum biasanya muncul pada saat anak frustrasi atau
keinginanya dihalangi.
f) Memukul serta menggigit anak lainnya sebagai suatu usaha anak
dengan ketrampilan bahasa yang lemah untuk berkomunikasi
dengan anak yang lain
g) Perilaku destruktif, biasanya pada mainan atau benda lainnya.
Pada proses perkembangan, anak down syndrome tidak hanya
lebih lambat dibandingkan anak normal, namun juga kurang lengkap
dan lebih banyak membutuhkan bantuan dibandingkan anak normal
(Selikowitz, 2001). Menurut Lyne (dalam Mangunsong 2009), anak
down syndrome terlambat duduk, berjalan, dan melakukan hal-hal
lain dibandingkan anak normal seusianya. Memiliki kekurangan pada
motorik kasar dan motorik halus. Kedua hal tersebut menyebabkan
31
orang tua mengalami kesulitan dalam melatih kemandirian anak
sehingga diperlukan pengajaran secara berulang.
3) Penyebab Down Syndrome
Davidson, dkk (2006) mengatakan bahwa manusia normal
memiliki 46 kromosom, 23 diturunkan oleh ayah dan 23 diturunkan
oleh ibu. Individu yang mengalami down syndrome hampir selalu
memiliki 47 kromosom karena ketika terjadi pematangan telur, dua
kromosom pada pasangan kromosom 21 mengalami kegagalan
membelah diri. Jika telur bertemu sperma akan terdapat 3 kromosom
21 yang pada akhirnya disebut dengan trisomi 21. Hal senada juga
disampaikan oleh Mangunsong (1998) bahwa penyebab gangguan ini
berawal dari terbentuknya manusia, yakni kegagalan pembentukan
kromosom. Mariana (2013) mengatakan bahwa pembelahan sel ini
mengalami kegagalan disebabkan oleh kelainan hormonal, sinar X
(X-ray), infeksi yang disebabkan virus seperti virus toksoplasma,
masalah kekebalan tubuh atau predisposisi genetik.
Kelahiran down syndrome seringkali dikaitkan dengan usia ibu
saat mengandung, semakin tua usia ibu pada saat mengandung,
semakin tinggi peluang mereka untuk memiliki anak down syndrome
(Durand & Barlow, 2007). Perempuan yang berumur 20 tahun
memiliki peluang 1 per 2.000 untuk memiliki anak down syndrome,
pada usia 35 tahun risiko ini meningkat menjadi 1 per 500, dan pada
usia 45 tahun risikonya mencapai 1 per 18 kelahiran (Evans dalam
32
Durand dan Barlow 2007). Hal ini diasumsikan bahwa perempuan
yang lebih tua mestinya lebih banyak terpapar zat-zat beracun
dibandingkan perempuan yang lebih muda sehingga akan menganggu
proses pembuahan dan pembelahan sel. Ekstra kromoson juga bisa
berasal dari ayah. Menurut Davidson dan Neale (1997), penemuan ini
menunjukkan bahwa semakin tua usia ayah juga dapat meningkatkan
risiko memiliki anak down syndrome.
4) Penanganan Anak Down Syndrome
Menurut
Durand
penanganan
anak
penanganan
untuk
down
dan
Barlow
syndrome
perkembangan
(2007),
dapat
pervasif
secara
umum
dilakukan
dengan
yang
berusaha
mengajarkan berbagai keterampilan yang mereka butuhkan agar
menjadi lebih produktif dan mandiri. Selain itu, mereka juga
memerlukan intervensi-intervensi untuk meningkatkan defisit belajar
yang mereka alami.
Keterampilan behavioral juga harus diajarkan melalui banyak
inovasi agar anak down syndrome mempunyai keterampilan yang
sama dengan anak normal dalam hal mengurus diri sendiri seperti
mandi, berpakaian, makan, dan buang air (Reid, dkk., dalam Durand
dan Barlow, 2007). Selanjutnya, Durand dan Barlow (2007)
menambahkan bahwa anak down syndrome juga harus diberikan
latihan komunikasi agar kebutuhan dan keinginannya diketahui oleh
orang lain dan meningkatkan partisipasinya dalam kehidupan sosial.
33
b. Permasalahan Ibu yang Memiliki Anak Down Syndrome
Menurut Darling dan Darling (1982), saat pertama kali orang tua
mengetahui anaknya lahir dalam keadaan cacat mereka akan cenderung
shock, kaget, tidak percaya, sedih, merasa bersalah, kecewa, marah,
frustrasi, dan cemas. Roos (dalam Hapsari 2008) menjelaskan bahwa
reaksi-reaksi orang tua saat mengetahui anaknya dalam keadaan cacat
adalah sebagai berikut:
1) Kehilangan harga diri
Orang tua merasa bahwa kelahiran anak cacat tersebut
disebabkan oleh kesalahan orang tua. Hal ini akan merubah tujuan
hidup orang tua secara ekstrem termasuk impian akan masa depan
anaknya.
2) Malu
Orang tua merasa dikasihani, ditertawakan, ditolak oleh
lingkungan sosial. Selain itu mereka menganggap bahwa diri mereka
sudah tidak bernilai di tengah masyarakat.
3) Perasaan ambivalen
Artinya, orang tua menunjukkan rasa cinta dan benci terhadap
anaknya. Perasaan bertentangan ini datang secara bergantian yakni
menolak dan memberi perlindungan berlebihan.
4) Depresi
Adalah perasaan sedih mendalam karena memiliki anak down
syndrome. Sebagian orang tua kecewa pada anaknya dan terus
34
memikirkan masa depannya. Beberapa orang tua juga menganggap
bahwa keterbelakangan mental melambangkan “kematian” anak.
5) Mengorbankan diri sendiri
Anak down syndrome sering menjadi fokus dari semua
perhatian orang tua sehingga merugikan anggota keluarganya.
Beberapa orang tua mengorbankan semua keinginan atau kesenangan
pribadi untuk anak.
6) Menolak kenyataan
Orang tua menjadi terlalu sensitif terhadap kritik yang
ditunjukkan pada anak. Beberapa kasus ekstrem menunjukkan bahwa
orang tua yang menolak anak akan menutupi keadaan anak,
mengunjungi benyak ahli untuk membuktikan bahwa tidak ada yang
salah terhadap anak mereka.
Ibu sebagai pengasuh utama akan lebih banyak mengalami stres
dalam pengasuhan dan perkembangan anak (Wenar dan Kerig dalam
Ghoniyah dan Savira 2015). Ibu yang memiliki anak down syndrome
memiliki kesulitan-kesulitan tersendiri selama masa pertumbuhan dan
perkembangan anak mereka, seperti masalah dalam perkawinan,
hubungan dengan anggota keluarga yang lain, hubungan dengan
lingkungan sekitar, masalah keuangan keluarga, masalah menyangkut
perkembangan anak down syndrome itu sendiri, serta sulitnya
mengajarkan kemandirian kepada anak mereka (Hapsari, 2008).
35
Kendala lain yang dihadapi adalah respon negatif yang diberikan
lingkungan kepada anaknya yang down syndrome. Hal ini menjadi salah
satu kekhawatiran ibu. Mangunsong (2011) menyatakan bahwa pada
umumnya sumber keprihatinan orangtua berasal dari perlakuan negatif
masyarakat terhadap anaknya yang cacat. Seorang ibu yang memiliki
anak down syndrome, bahkan sering mendapat pandangan negatif dan
ejekan dari masyarakat sekitar terkait dengan keterbatasan yang dimiliki
anaknya. Mangunsong (2011), mengatakan bahwa orangtua akan dengan
mudah mendapatkan kritik dari orang lain tentang masalah mereka dalam
menghadapi kondisi anak, selain itu orangtua juga sering menanggung
beban dari respon tidak layak yang diberikan oleh masyarakat.
Ibu yang lebih banyak mengurus anak down syndrome ditemukan
memiliki kesehatan mental yang lebih buruk, kesehatan fisik yang lebih
terganggu, dan kualitas hidup yang lebih rendah (Heller, dkk., dalam
Koydemir & Tosun, 2009). Ibu terus menanggung beban dalam
membesarkan anak sehingga lebih rentan mengalami stres yang
berhubungan dengan perawatan anak dan sering menunjukkan depresi,
kecemasan, kekhawatiran kesehatan, kekhawatiran masa depan, isolasi
sosial, dan harga diri rendah. Ibu dengan anak down syndrome cenderung
mengalami kecemasan dan ketakutan terkait dengan keterbatasan yang
dimiliki oleh anak mereka.
36
3.
Subjective Well Being pada Ibu yang Memiliki Anak Down Syndrome
Memiliki anak down syndrome menyebabkan efek yang besar bagi
orangtua, khususnya ibu. Orang tua, terutama ibu yang memiliki anak
berkebutuhan khusus dianggap menghabiskan hidup dalam kesedihan
(Fatima, 2009). Anak yang seharusnya menjadi kebanggaan keluarga justru
lahir dalam kondisi yang tidak diharapkan. Kondisi anak down syndrome juga
dianggap sebagai aib keluarga yang merusak kehormatan sebuah keluarga
sehingga cenderung disembunyikan oleh orang tua.
Hasil penelitian mengatakan bahwa ibu dengan anak down syndrome
memiliki stres dan depresi yang jauh lebih signifikan dibandingkan orang tua
yang memiliki anak normal (Scott, dkk., dalam Fatima 2009). Stres dan
depresi ini bersumber dari berbagai hal, antara lain masalah pertumbuhan dan
perkembangan anak, sulitnya anak dilatih untuk mandiri. Kondisi emosional
anak yang tidak stabil, mereka cenderung memiliki perilaku menyerang
apabila sesuatu yang tidak dikehendakinya terjadi. Selain itu, depresi dan
stres juga berasal dari prestasi akademik anak dikarenakan kondisi anak yang
mengalami keterlambatan belajar sehingga kesulitan menerima pelajaran
yang menuntut kemampuan abstraksi. Stresor ibu juga berasal dari
lingkungan sekitar, berupa pandangan negatif tetangga atau orang sekitar
yang menganggap bahwa anak down syndrome ini aneh dan lucu. Stresorstresor ini yang biasanya membuat ibu tidak tahan dan tidak kuat menghadapi
kenyataan bahwa dia memiliki anak down syndrome sehingga akan
berdampak buruk terhadap pengasuhan anak.
37
Kondisi-kondisi di atas menunjukkan bahwa ibu yang memiliki anak
down syndrome memiliki stres yang tinggi dan subjective well being yang
rendah. Menurut Diener (2000), pemaknaan hidup yang negatif ini berkaitan
dengan subjective well being yang rendah karena hal ini mengacu kepada
evaluasi kognitif dan afektif individu tentang hidupnya. Depresi dan stres
yang dialami oleh ibu yang mempunyai anak down syndrome juga merupakan
bukti bahwa mereka memiliki tingkat kesejahteraan subjektif yang rendah
(Lewinsoln, dkk., dalam Lopez dan Snyder, 2003).
4.
Pengukuran Subjective Well Being Ibu
Diener (2009b) menjelaskan bahwa diperlukan pengukuran secara
terpisah antara kedua komponen, yakni komponen afektif dan kognitif.
Pertama, individu biasanya mengabaikan reaksi emosi negatif ketika
mengingat sesuatu yang tidak dia inginkan dalam kehidupan. Kedua, reaksi
afektif merupakan komponen yang biasanya terjadi tiba-tiba dengan durasi
yang pendek sedangkan tingkat kepuasan hidup itu sendiri merupakan
refleksi perspektif jangka panjang. Terakhir, reaksi afektif biasanya
merefleksikan dorongan tidak sadar namun lebih lama mempengaruhi
dibandingkan tingkat kepuasan hidup sedangkan evaluasi sadar seseorang
mengenai hidupnya dapat merefleksikan nilai dan tujuan sadar kehidupan
seorang individu. Oleh karena itu, tingkat subjective well being dalam
penelitian ini menggunakan dua skala terpisah, yakni Satisfaction With Life
Scale (SWLS) dan Scale of Positive and Negative Experience (SPANE).
38
Saat ini, skala yang disusun oleh Diener, dkk. merupakan skala yang
paling sering digunakan. Skala tersebut adalah Satisfaction With Life Scale
(SWLS) yang berisi 5 aitem untuk mengukur kepuasan hidup secara global.
Diener, Emmons, Larsen, dan Griffin menyusun SWLS pada tahun 1985
untuk mengukur evaluasi kognitif individu mengenai kehidupan yang
dijalaninya (Diener, 2009b). Skala ini terdiri dari 5 aitem dengan kategorisasi
pilihan jawaban 1 sampai 7. Nilai 1 untuk sangat tidak setuju dan nilai 7
untuk sangat setuju (Pavot dan Diener, 1993). Pavot dan Diener (1993)
menambahkan bahwa instrumen ini memiliki koefisien reliabilitas yang
sangat tinggi, yakni antara 0,79-0,89. Rentang total skor dalam skala ini
adalah 5 sampai 35 dengan penjelasan pada. Rentang skor terbesar adalah 3035 dengan kategori sangat puas dan skor terendah adalah 5-9 dengan kategori
sangat tidak puas. Kategori sangat puas berarti bahwa responden sangat
mencintai kehidupan yang dijalaninya saat ini, sedangkan kategori sangat
tidak puas responden merasa tidak bahagia dengan kehidupannya.
Instrumen kedua yang digunakan adalah Scale of Positive and
Negative Experience (SPANE) yang disusun oleh Diener dan Biswas-Diener
untuk mengukur komponen afektif individu. Instrumen ini terdiri dari 12
aitem dengan rentang nilai 1 sampai 5. Nilai 1 untuk kategori hampir tidak
pernah atau tidak pernah dan nilai 5 untuk kategori sangat sering atau selalu.
Skala ini dibagi menjadi dua subskala yang mengukur afek positif dan negatif
karena keduanya merupakan variabel afek yang terpisah (Diener, 2009b).
Total skor positif (Positive Experience/SPANE-P) dan skor negatif (Negative
39
Experience/SPANE-N) dalam instrumen ini adalah 6-30 sedangkan skor total
diperoleh dari selisih antara skor positif dan skor negatif (The Balance of
Positive and Negative Experience/SPANE-B).
Selanjutnya, dalam penelitian ini peneliti mengkategorisasikan skor
menjadi tiga kategori (Azwar, 2013), yaitu:
Rendah
: ×< (𝜇 − 1,0𝜎)
Sedang
: (𝜇 − 1,0𝜎) ≤×< (𝜇 + 1,0𝜎)
Tinggi
: (𝜇 + 1,0𝜎) ≤×
B. Pelatihan Syukur
1.
Pengertian Pelatihan Syukur
a. Pengertian Pelatihan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005) pelatihan adalah
proses melatih; kegiatan atau pekerjaan. Peserta pelatihan dipersiapkan
untuk mengambil langkah tindakan tertentu dan membantu peserta dalam
perbaikan pengertian dan keterampilan terkait pelatihan yang diikutinya.
Pelatihan adalah bagian pendidikan yang bersifat praktis, spesifik,
dan segera (Samsudin, 2005). Artinya, pelatihan dilakukan untuk
memperbaiki penguasaan berbagai keterampilan peserta pelatihan dalam
waktu yang relatif singkat. Sikula (dalam Mangkunegara, 2009)
menambahkan bahwa pelatihan merupakan proses pendidikan dalam
jangka waktu pendek yang menggunakan prosedur dan metode yang
40
sistematis dan terorganisir, mempelajari pengetahuan dan keterampilan
teknik dalam tujuan yang terbatas.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
pelatihan merupakan suatu kegiatan yang dilakukan dalam jangka pendek
yang bermaksud untuk memberikan pengertian, pemahaman, maupun
keterampilan, dengan menggunakan metode dan prosedur yang sistematis
dan terorganisir, sehingga peserta dapat mengaplikasikannya.
b. Pengertian Syukur
Secara bahasa, kata “syukur” berasal dari bahasa arab “syakara”
yang berarti pujian atas kebaikan, atau penuhnya sesuatu. Ibnu Manzhur
(dalam Al-Fauzan, 2007) mengatakan bahwa syukur adalah membalas
kenikmatan atau kebaikan orang lain dengan ucapan, perbuatan, dan niat.
Al-Fauzan (2007) juga menjelaskan bahwa orang yang bersyukur adalah
orang yang mengakui nikmat Allah dan mengakui Allah sebagai
pemberinya, tunduk kepada-Nya, cinta kepada-Nya, ridha terhadapnyaNya, serta menggunakan nikmat itu dalam hal yang disukai Allah dalam
rangka taat kepada-Nya.
Kebersyukuran dalam bahasa Inggris disebut dengan gratitude.
Kata gratitude diambil dari akar latin gratia yang berarti mendukung dan
gratus yang berarti menyenangkan. Menurut Prusyer (dalam Emmons &
McCullough, 2003), semua kata turunannya memiliki arti kebaikan hati,
kelembutan, berterima kasih, hadiah, memberi tanpa mengharapkan
imbalan, serta keindahan memberi dan menerima.
41
Menurut Bono dan McCullough (2006), syukur merupakan moral
yang mengatur tingkah laku manusia dalam kehidupan. Mater, dkk.
(dalam Emmons dan McCullough, 2004) menyatakan bahwa syukur
merupakan keadaan afek positif individu. Wood, Joseph, dan Maltby
(2009) menambahkan bahwa syukur adalah ciri pribadi yang berpikir
positif dan menampilkan hidup menjadi lebih positif. Hal lain
ditambahkan oleh McCullough, Emmons, Kilpatrick, dan Larson (2001)
bahwa sykur merupakan perasaan moral, karena biasanya perasaan moral
ini akan menimbulkan kepedulian terhadap orang lain. Pendapat yang
sama disampaikan oleh Emmons dan McCullough (2003) bahwa syukur
merupakan suatu bentuk perasaan atau emosi, yang dapat berkembang
menjadi suatu sikap, sifat moral yang baik, kebiasaan, sifat kepribadian,
dan pada akhirnya akan mempengaruhi seseorang dalam menanggapi
sesuatu atau situasi. Syukur adalah menyenangkan (Emmons, 2007),
ketika kita bersyukur maka kita akan tergerak untuk membagi kebaikan
yang telah kita terima dengan orang lain.
Kebersyukuran merupakan pengakuan bahwa seseorang dapat
menerima manfaat dari kebaikan orang lain (Polak dan McCullough,
2006). Hal yang sama disampaikan oleh Fisher, dkk. (dalam McCullough,
dkk., 2001) yang menjelaskan bahwa syukur merujuk kepada reaksi
perasaan ketika individu menerima bantuan dari orang lain.
McCullough, dkk. (2001) menjelasakan tiga fungsi yang dapat
menjadikan sykur sebagai suatu moral yang relevan. Pertama, syukur
42
berfungsi sebagai barometer moral (moral barometer). Syukur dalam
konsep ini berfungsi membantu seseorang untuk mempersepsikan bahwa
dia mampu melakukan perubahan yang lebih baik dari sebelumnya.
Fungsi ini juga membantu seseorang memaknai perilaku orang lain lebih
kepada hal yang positif. Syukur juga dianggap sebagai sifat responsif
terhadap manfaat yang diterima seseorang dari hubungan sosial secara
pribadi. Kedua, syukur berfungsi sebagai motivasi moral (moral
motivation). Fungsi ini akan memotivasi seseorang untuk berperilaku
prososial kepada orang lain. Terakhir, fungsi syukur sebagai penguat
moral (moral reinfocer). Syukur dalam hal ini akan menguatkan individu
untuk terus berperilaku prososial kepada orang lain sampai di masa
mendatang. Ekspresi syukur seperti ucapan terima kasih dari penerima
bantuan akan menjadi penguat (reinfocer) bagi individu yang memberi
bantuan sehingga dia akan melakukan tindakan prososial lagi di masa
mendatang.
Menurut Toussant dan Friedman (2009), syukur atau gratitude
memiliki posisi yang cukup penting dalam psiologi positif. Syukur juga
memiliki keterkaitan dengan berbagai hal, seperti kepuasan hidup,
harapan, well-being, religiusitas, dan spiritualitas manusia. Orang yang
bersyukur banyak mengandung emosi positif dan perilaku positif yang
dapat membantu hidupnya menjadi lebih mudah dan menyenangkan.
Selain itu orang yang bersyukur mampu mengampuni orang lain dan
mudah mengontrol kemarahan, mengurangi rasa kesepian serta terhindar
43
dari gejala depresi dan stres. McCullough, dkk. (2002) menambahkan
bahwa orang yang bersyukur memiliki kepuasan hidup yang tinggi,
mudah memaafkan orang lain, suka menolong satu sama lain, tidak
mengutamakan hal-hal yang bersifat material, dan terhindar dari depresi,
kecemasan, serta iri hati.
Berdasarkan beberapa uraian di atas, peneliti mengacu pada
pengertian syukur menurut McCullough, dkk (2002) dan Weiner (dalam
Emons dan McCullough, 2003), yakni syukur merupakan kecenderungan
umum untuk mengenali dan menanggapi perasaan terima kasih dengan
penuh atas hasil positif yang didapatkan, dan dihasilkan dari dua langkah
proses kognitif, yaitu mengenali adanya hasil positif yang diterima dari
orang lain.
c. Pengertian Pelatihan Syukur
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
pelatihan syukur adalah sebuah kegiatan yang dilakukan dengan tujuan
memberi pemahaman dan keterampilan untuk mengenali kebaikankebaikan atau nikmat yang telah diterima dalam hidupnya dan menyadari
adanya sumber eksternal dari kebaikan tersebut sehingga peserta dapat
mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari untuk meningkatkan
kemampuan syukur yang dimiliki.
2.
Tahapan Pelatihan Syukur
Keyakinan seseorang untuk bersyukur tidaklah datang begitu saja,
melainkan muncul melalui suatu proses tertentu pada diri seseorang.
44
Mengenal datangnya suatu nikmat berupa kesehatan, rejeki, dan ilmu kepada
diri seseorang dapat menjadi proses seseorang untuk menambah keyakinan
dalam bersyukur (Al-Fauzan, 2008). Selain itu, syukur juga dapat dilakukan
dengan cara mengakui bahwa Tuhan adalah satu-satunya pemberi nikmat,
meskipun terkadang nikmat itu didapatkan melalui perantara seorang manusia
dan sumber daya alam yang lainnya. Clore, dkk (dalam Emmons dan
McCullough, 2003) mengatakan bahwa syukur dapat dimunculkan dengan
cara berperilaku positif sebagai balasan dan wujud dari rasa terimakasih
kepada sumber yang mendatangkan nikmat. Selanjutnya, Emmons (2007)
menambahkan bahwa syukur dapat dimunculkan melalui dua langkah proses
kognitif. Pertama, seseorang mengakui bahwa dirinya telah mendapat suatu
hasil yang positif atau nikmat. Kedua, seseorang mengakui bahwa terdapat
sumber eksternal yang berperan sehingga ada hasil positif tersebut. Emmons
(2007) menjabarkannya menjadi menghargai nikmat atau kebaikan (recognize
the benefit), mengakui nikmat atau kebaikan (acknowledge receiving its), dan
mengembalikan tindakan baik atau bersyukur (return the favor or
appreciate).
Peneliti menggunakan beberapa tahapan yang mengacu kepada
keterampilan praktis yang diungkapkan oleh Emmons (2007) berupa
pengembangan dari hambatan-hambatan bersyukur dan merupakan model
eksperimen yang pernah dilakukan dalam penelitiannya. Keterampilan ini
bukanlah suatu model yang runtut, namun saling membangun dan
45
menguatkan. Emmons (2007) menjelaskan bahwa keterampilan-keterampilan
tersebut adalah:
a.
Mengingat Keburukan (Remember the Bad)
Keterampilan ini dapat meningkatkan syukur karena mengingat
keburukan merupakan proses mental yang biasa terjadi pada setiap
manusia. Tidak ada alasan bahwa syukur hanya menyangkut hal-hal yang
menyenangkan, dengan mengingat hal yang buruk kita menjadi lebih
mampu menghargai datangnya hal-hal yang baik. Ketrampilan ini akan
membantu seseorang menemukan makna dan tujuan hidup mereka.
b.
Tanyakan pada Diri Anda Tiga Pertanyaan (Ask Yourself Three Question)
Pertanyaan pertama adalah pertanyaan yang menyangkut ingatan
seseorang terhadap hal baik yang pernah diterima individu. Hal ini dapat
lebih membuat individu bersyukur dibandingakan ketika mereka
berusaha membuang hal-hal buruk. Pertanyaan kedua adalah pertanyaan
yang memfokuskan terhadap hal baik yang telah diberikan kepada orang
lain. Hal ini akan membuat individu lebih menyadari tentang hubungan
sesama manusia dan menghilangkan rasa meminta balasan dari kebaikan
orang lain. Terakhir, adalah pertanyaan yang menyangkut rasa sakit yang
telah diterima orang lain baik karena pikiran, perkataan, dan perbuatan
individu. Ketrampilan ini akan membantu individu dalam proses kegiatan
terarah.
46
c.
Datanglah ke Indera Anda (Come to your Senses)
Panca indera akan membuat individu bersyukur atas penciptaannya
sebagai manusia. Hal yang paling mendasar adalah bernafas. Bernafas
merupakan kenikmatan paling mendasar yang terkadang dilupakan oleh
seorang individu. Ketenangan ini akan lebih menyadarkan individu
bahwa selama ini kehidupan yang dia jalani merupakan kehidupan yang
bermakna dan pantas untuk disyukuri.
d.
Berjanji untuk Berlatih Syukur (Make a Vow to Practice Gratitude)
Perjanjian ini merupakan salah satu cara belajar bersyukur yang
memanfaatkan kekuatan internal (perasan bersalah) apabila tidak
dipenuhi. Ketrampilan ini akan membantu individu dalam proses
keterikatan diri dan kegiatan terarah.
e.
Melalui Aksi (Go Through the Motions)
Salah satu aksi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan syukur
adalah tersenyum. Tersenyum dapat menghasilkan perasaan bahagia dan
beberapa eksperimen menemukan bahwa ada hubungan antara mimik
ekspresi wajah dengan kebahagiaan. Hal lain yang dapat dilakukan
adalah mengucapkan terima kasih atau menulis surat yang berisi
ungkapan syukur. Hal ini dapat menghasilkan sesuatu yang positif baik
bagi individu yang memberikan maupun menerimanya. Ketrampilan ini
akan membantu individu untuk lebih menemukan kegiatan yang terarah
terkait dengan syukur.
47
f.
Jurnal Kebersyukuran (Keep a Gratitude Journal)
Emmons telah melakukan eksperimen melalui metode Keep a
Gratitude Journal yang terbukti mampu membuat individu lebih bahagia.
Metode ini mengharuskan individu untuk menulis catatan harian
menganai hal-hal yang mampu membuatnya bersyukur. Kegiatan ini
mampu membuat individu mengenang kejadian-kejadian yang telah
terjadi dalam hidupnya, baik kejadian biasa, kepribadian, maupun orang
lain yang telah memberikan kebaikan kepada dirinya. Selain itu, kegiatan
ini juga mampu membuat individu lebih mengorganisasikan pikiran dan
mengintegrasikannya serta membantu individu menerima pengalamannya
sendiri pada konteks yang sesuai. Hal tersebut akan membantu individu
mendapatkan makna dari setiap kejadian yang dialaminya atau
menciptakan makna sendiri bagi setiap kejadian yang terjadi.
Hanaco (2012) menyebutkan cara-cara yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan syukur adalah sebagai berikut:
a.
Membuat “Daftar Karunia Tuhan”, yakni membuat urutan yang dipenuhi
oleh daftar yang dikaruniakan Tuhan kepada kita. Urutan yang ditulis
tidak dibatasi jumlahnya, semakin banyak nikmat yang ditulis maka
semakin baik. Hal ini memperlihatkan bahwa individu tersebut
merasakan banyak hal positif yang didapatkan dalam kehidupan. Sama
halnya dengan jurnal kebersyukuran, ketrampilan ini membantu individu
dalam hal pengubahan sikap karena membuat seseorang sadar bahwa
mereka telah mendapatkan banyak kebaikan selama ini.
48
b.
Memandang Kegagalan Sebagai Kesempatan Baru, yakni menerima
kegagalan yang dialami dengan lapang dada agar individu dapat
mengambil hikmah dari kegagalan yang dia dapatkan.
c.
Menganggap Masalah Sebagai Pelajaran Hidup, merupakan cara yang
digunakan agar seseorang menjadi individu yang lebih kuat karena
memiliki banyak “tantangan”. Persoalan hidup dianggap sebagai sebuah
tantangan dimana ketika individu menghadapi persoalan ini dia tidak
akan menjadi individu yang mudah putus asa. Individu yang menghadapi
masalah dengan cara yang positif maka akan cenderung lebih dapat
mengambil manfaat dari masalah tersebut dan tidak banyak mengeluh
atau bahkan menyalahkan Tuhan.
d.
Berbagi Keberhasilan, terdapat tiga cara yang dapat dilakukan. Pertama,
berbagi kepada orang yang membutuhkan. Hal ini akan memberikan
makna yang luar biasa karena kita benar-benar memberikan sesuatu
kepada orang yang membutuhkannya. Kedua, berbagi dan melupakan.
Artinya, ketika kita sudah berbagi kepada orang lain seharusnya kita
tidak mengingat-ingat apa yang telah kita bagi agar terhindar dari rasa
sombong dan merasa berjasa kepada orang lain. Terakhir adalah berbagi
setiap ada kesempatan. Hal ini mengajarkan kepada seseorang bahwa kita
harus menjadi orang yang bermanfaat setiap waktu.
e.
Melihat “Ke Bawah”, yakni melihat kelemahan orang lain agar kita
mampu mensyukuri apa yang telah kita miliki dan tidak dimiliki oleh
orang lain. Kita dapat menanamkan keyakinan di dalam hati bahwa apa
49
yang kita miliki adalah hal terbaik yang dihadiahkan oleh Tuhan.
Ketrampilan ini akan membantu proses pengubahan sikap individu
terhadap segala kebaikan atau nikmat yang telah mereka dapatkan selama
ini.
3.
Pendekatan Pelatihan Syukur
Pelatihan ini menggunakan pendekatan melalui pengalaman atau yang
disebut experiential learning. Lawson (2006) mengatakan bahwa experiential
learning adalah sebuah proses di mana peserta belajar secara induktif, yaitu
menemukan sendiri tujuan dan manfaat pelatihan melalui pengalaman
langsung selama kegiatan pelatihan.
Model pendekatan ini terdiri dari lima langkah yang terlihat pada
Gambar 4.
PENGALAMAN
The Activity
Phase
BERBAGI
Sharing
Reactions and
Observations
MENERAPKAN
Planning
Effective Use of
Learning
Now What?
What?
GENERALISASI
MEMPROSES
Developing Real
World
Principles
Discussing
Patterns and
Dynamics
So What?
Gambar 2
Siklus Experiential Learning (sumber: Lawson, 2006) © copyright by Lawson
Lawson (2006) memberikan penjelasan mengenai siklus di atas sebagai
berikut:
a.
Experiencing/Pengalaman. Sebuah awal proses yang melibatkan peserta
di dalam aktivitas. Dasar bagi seluruh proses karena pengalaman itu
50
sendiri membutuhkan peran peserta untuk mendengar, mengamati,
berpendapat, dan melakukan sesuatu.
b.
Publishing or Sharing. Setelah pengalaman secara langsung, peserta
berbagi reaksi mereka dan pengamatan tentang aktivitas yang baru saja
dilakukan.
c.
Processing or Interpreting. Bagian dari siklus, fasilitator membantu
peserta dalam dinamika interaksi kelompok. Selama ada kesulitan,
fasilitator membantu kelompok mengeksplorasi dan menganalisis apa
yang terjadi pada mereka selama aktivitas berlangsung.
d.
Generalizing. Setelah seluruh proses aktivitas, peserta menghubungkan
antara kegiatan dan situasi dunia nyata. Mereka mengeksplorasi makna
aktivitas dan bagaimana hubungannya. Para peserta mencapai tingkat
pemahaman dan wawasan yang lebih dalam.
e.
Applying. Langkah terakhir mengharuskan peserta untuk berpikir tentang
apa yang akan mereka melakukan dengan pembelajaran baru ini, dan
bagaimana mereka akan menerapkannya.
4.
Metode Pelatihan Syukur
Metode dalam pelatihan syukur ini mengacu pada beberapa metode
yang dikemukakan oleh Lawson (2006), yakni:
a.
Games
Metode ini merupakan metode yang dibatasi oleh aturan dan
menciptakan suasana kompetitif. Adanya model pembelajaran aktif
melalui feedback dari pesert akan memberikan peningkatan pada proses
51
belajar peserta selama pelatihan dan juga meningkatkan perhatian
peserta.
b.
Instruments
Metode ini digunakan untuk mengumpulkan informasi melalui
paper dan pencil. Metode ini juga membantu para peserta untuk tetap
fokus terhadap apa yang disampaikan oleh fasilitator.
c.
Simulations
Merupakan suatu bentuk aktivitas yang dibuat untuk merefleksikan
kenyataan. Simulations akan memberikan motivasi dan meningkatkan
partisipasi dari peserta selain pendekatan materi pelatihan terhadap
lingkungan.
d.
Mental Imagery
Metode ini menggunakan imajinasi ataupun simulasi berfikir dari
peserta sehingga membantu menempatkan kemampuan mereka ke dalam
sebuah aksi.
e.
Writing Tasks
Metode ini menggunakan lembar kerja yang berisi daftar untuk
mengevaluasi informasi bagi peserta.
Selain itu dalam pelatihan ini juga menggunakan beberapa metode
menurut Davies (2005) sebagai tambahan. Metode tersebut antara lain:
a.
Sharing atau active communication
Metode ini merupakan wadah yang dapat digunakan peserta untuk
berbagi pandangan, perasaan, pendapat, pengalaman secara terbuka
52
mengenai topik yang dipulih. Fasilitator di sini berfungsi sebagai
pengamat, atau dapat mengarahkan diskusi agar tetap berada pada
jalurnya, namun fasilitator juga dapat terlibat secara aktif.
b.
Video/Film
Video merupakan salah satu metode pengganti presentasi karena
sama-sama menyajikan informasi yang mudah dipahami oleh peserta.
Selain itu, video juga dapat menayangkan suatu kejadian yang tidak
dapat disimulasikan melalui presentasi.
c.
Kuliah
Metode ini merupakan metode berbicara langsung kepada peserta
tanpa banyak melibatkan partisipasi peserta. Dapat dibantu dengan
berbagai alat bantu visual, dapat digunakan untuk kelompok peserta kecil
maupun besar. Biasanya terdapat sesi tanya jawab untuk melihat
seberapa jauh peserta memahami materi yang disampaikan atau sekedar
memberikan kesempatan peserta untuk menyampaikan pendapat.
5.
Evaluasi Program Pelatihan Syukur
Menurut
Lawson
(2006)
evaluasi
program
diperlukan
untuk
menentukan keobjektifan pelatihan, mengukur nilai program pelatihan,
mengindentifikasi bagian-bagian pelatihan yang perlu ditingkatkan, dan
mengindentifikasi bentuk follow-up. Lawson (2006) memiliki empat kriteria
(Four-Level Model for Evaluation) yang mampu mengevaluasi efektivitas
pelatihan, yakni:
53
a.
Level 1 : Reaksi
Level ini mengukur kepuasan subjek pelatihan, mengacu kepada
“seberapa gembira” peserta mengikuti pelatihan. Bentuk instrumen dapat
melalui kuisioner yang berisi kategori-kategori dalam pelatihan seperti
isi, materi, metode penyampaian, fasilitator, maupun alat yang digunakan
selama pelatihan. Selain itu, wawancara juga dapat digunakan untuk
mendapatkan informasi dari peserta. Evaluasi ini biasanya diberikan pada
akhir pelatihan dan hasilnya dapat digunakan untuk mengindikasi
kebutuhan revisi pelatihan.
b.
Level 2 : Belajar
Level ini akan mengevaluasi pengetahuan atau keterampilan yang
telah didapatkan peserta selama pelatihan, mengacu kepada “seberapa
paham” peserta setelah mengikuti pelatihan. Evaluasi ini juga akan
mengindikasikan keberhasilan fasilitator dalam mengisi pelatihan.
Bentuk evaluasi dapat berupa pretest/posttest, aplikasi ketrampilan
melalui studi kasus, role play, atau tugas tertentu. Evaluasi ini dapat
diberikan sebelum, sesudah, maupun selama pelatihan.
c.
Level 3 : Perilaku
Level ini akan melihat penerapan materi dan ketrampilan yang
telah dipelajari selama pelatihan, apakan diaplikasikan pada kehidupan
nyata para peserta, mengacu kepada “seberapa berbeda” perilaku peserta
setelah pelatihan.
54
d.
Level 4 : Hasil
Merupakan evaluasi mengenai hasil akhir yang didapatkan peserta
atau follow-up dari level 3. Hasil akhir harus disamakan dengan tujuan
awal diberikannya pelatihan.
C. Pengaruh Pelatihan Syukur Terhadap Peningkatan Subjective Well
Being pada Ibu yang Memiliki Anak Down Syndrome
Down syndrome merupakan gangguan yang disebabkan oleh kegagalan
pada saat awal terbentuknya manusia. Anak down syndrome memiliki 47
kromosom dan bukan 46 seperti manusia normal. Kromosom ini tidak hanya
menentukan penampilan diri kita tetapi juga menentukan ciri-ciri dan sifat
manusia. Kromosom ini juga menentukan bentuk wajah kita, karakter, sifat,
maupun bakat karena kromosom mengandung sifat-sifat keturunan. Oleh karena
itu anak down syndrome memiliki wajah, sifat, dan karakter yang sama karena
mereka memiliki kelainan pada kromosom.
Gangguan ini menyebabkan anak down syndrome mempunyai beberapa
karakteristik. Karakteristik fisik yang khas seperti orang mongolisme membuat
mereka mudah dikenali oleh orang awam. Gangguan ini juga menyebabkan
mereka memiliki beberapa gangguan lain seperti lambatnya pertumbuhan dan
perkembangan, kemampuan bahasa yang kurang, kemampuan intelektual yang
kurang, sulitnya untuk berkonsentrasi sehingga memiliki gangguan belajar, dan
keadaan sosial dan emosional mereka seringkali maladaptif seperti menyerang diri
sendiri atau orang lain.
55
Karakteristik anak down syndrome ini menyebabkan ibu merasa direpotkan,
jengkel, mudah marah, stres, depresi, cemas, dan tidak tenang. Aktivitas ibu
menjadi terhambat karena terlalu fokus mengurus anak down syndrome ini. Ibu
juga merasa malu kepada keluarga, teman, tetangga, dan orang-orang sekitar
karena memiliki anak down syndrome. Hal ini menyebabkan ibu memberikan
pemaknaan negatif terhadap hidupnya sehingga memiliki subjective well being
yang rendah.
Ibu yang stres dan depresi karena memiliki anak down syndrome akan
memberikan perlakuan yang berbeda dengan perlakuan terhadap anak pada
umumnya. Rendahnya subjective well being akan membuat ibu cenderung
menelantarkan anak. Mereka tidak mampu mendampingi pertumbuhan dan
perkembangan anak karena menganggap anak down syndrome merupakan sebuah
aib yang harus disembunyikan, bukan sebuah anugerah yang pantas disyukuri. Ibu
justru cenderung lebih banyak merasakan stres, mudah marah, dan depresi karena
tidak mampu mengambil kebaikan dari kehadiran anak down syndrome ini. Oleh
karena itu, diperlukan suatu intervensi syukur untuk meningkatkan subjective well
being ibu agar ibu bisa lebih optimal dalam mendampingi anak down syndrome
ini.
Menurut Emmons dan McCullough (2004), gratitude atau syukur
merupakan salah satu prediktor nyata dari subjective well being. Hal ini
berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Diener, dkk pada tahun 1999 yang
menemukan bahwa faktor yang paling kuat mempengaruhi subjecive well being
adalah faktor kepribadian. Watkins (dalam Emmons dan McCullough, 2004)
56
menjelaskan hubungan syukur dan subjective well being sebagai afektif trait dan
afektif state. McCullough (2001) menjelaskan bahwa afektif trait adalah
kecenderungan seseorang dalam merepresentasikan emosi tertentu. Orang yang
berada dalam keadaan syukur, meskipun dia terkadang mengalami keadaaan yang
mengecewakan namun dia akan lebih cenderung untuk bersyukur ketika merespon
sebuah kebaikan. Afektif state adalah keadaan yang muncul secara tiba-tiba
karena pengalaman emosi tertentu seseorang. Menurut Watkins (dalam Emmons
dan McCullough, 2004) mengatakan bahwa hubugngan syukur dan afektif state
terlihat jelas karena adanya syukur mampu meningkatkan mood atau suasana hati
seseorang.
Intervensi syukur juga dapat meningkatkan afek positif yang merupakan
komponen afek subjective well being sehingga meningkatkan subjective well
being (Diener, dkk., 2006a). Hal ini dijelaskan melalui beberapa proses sebagai
berikut. Pertama, syukur mempengaruhi subjective well being melalui manfaat
emosional, ketika hal baik dipandang sebagai suatu kebaikan atau nikmat maka
hal tersebut merupakan salah satu jalan syukur yang mampu berkontribusi
terhadap subjective well being. Kedua, syukur memiliki kontribusi terhadap
subjective well being sebagai bentuk adaptasi seseorang dengan lingkungannya.
Ketiga, syukur mampu menjauhkan perhatian dari deprivasi relatif, yakni
membandingkan diri dengan orang lain yang memiliki lebih banyak kebaikan atau
nikmat (McCullough, dkk. dalam Emmons dan McCullough, 2004). Keempat,
penerapan syukur merupakan bentuk coping yang efektif. Penelitian Watkins
(dalam Emmons dan McCullough, 2004) membuktikan bahwa syukur merupakan
57
salah satu bentuk adaptif atas situasi hidup yang dianggap sulit. Kelima, salah satu
cara bersyukur yakni mengingat kejadian menyenangkan dalam hidup akan
mendorong subjective well being dan hal ini juga akan membuat seseorang
memberikan toleransi tersendiri terhadap kejadian buruk yang terjadi. Terakhir,
Watkins (dalam Emmons dan McCullough, 2004) menjelaskan bahwa syukur
akan meningkatkan subjective well being melalui pencegahan episode depresi.
Watkins,
dkk.
(2003)
menjelaskan
bahwa
keduanya
bisa
saling
mempengaruhi, di mana syukur mempengaruhi subjective well being tetapi
subjective well being juga mempengaruhi syukur secara tidak langsung dan
keduanya membentuk lingkaran positif. Seseorang yang bersyukur akan merasa
lebih bahagia karena menikmati segala manfaat yang didapatkan dalam hidup dan
menerima setiap kejadian secara positif. Afek positif yang timbul akan membuat
seseorang menganggap hidupnya sebagai sesuatu yang baik dan menyenangkan,
dan orang yang bahagia akan mengakui hal baik yang diperoleh dari orang lain.
Hal ini disebut sebagai respon syukur terhadap situasi hidup dan orang yang
bahagia akan mudah menerima segala sesuatu yang datang dalam hidup sebagai
suatu kebaikan atau nikmat (Watkins dalam Emmons dan McCullough, 2004).
Syukur dapat dimunculkan melalui dua proses berpikir (Emmons, 2007).
Pertama, seseorang mengakui bahwa dirinya telah memperoleh kebaikan atau
nikmat. Kedua seseorang mengakui bahwa ada sumber eksternal yang berperan
sehingga
kebaikan
atau
nikmat
ini
ada.
Emmons
(2007)
kemudian
menjabarkannya menjadi menghargai nikmat/kebaikan (recognize the benefit),
58
mengakui nikmat/kebaikan (acknowledge receiving its), dan mengembalikan
tikdakan baik atau/budi/bersyukur (return the favor/appreciate).
Penjelasan di atas membuktikan bahwa syukur dapat ditingkatkan pada
diri seseorang melalui suatu pelatihan. Pelatihan ini akan mengarahkan seseorang
kepada sifat dan keadaan syukur sehingga akan terbentuk perilaku syukur dan
seseorang menjadi mampu melihat nilai-nilai positif yang dimiliki di tengah
segala kekurangan yang dimiliki dalam kehidupannya. Hal ini akan menumbukan
afek positif pada pengalaman-pengalaman yang terjadi dalam hidup, kepuasan
hidup secara global maupun kepuasan atas ranah-ranah tertentu dalam kehidupan
sehingga akan meningkatkan subjective well being.
59
D. Kerangka Berpikir
Berdasarkan penjelasan di atas, maka kerangka berpikir penelitian ini adalah:
Karakteristik down syndrome
- Wajah Mongolisme
- Pertumbuhan dan perkembangan
lambat
- Kurangnya kemampuan bahasa
- Kurangnya kemampuan intelektual
- Mengalami gangguan belajar
- Keadaan sosial dan emosional
maladaptif
Ibu yang Memiliki Anak Down Syndrome
Subjective Well Being (SWB)
RENDAH
Komponen afektif:
Afek negatif lebih
sering dibanding afek
positif
Kondisi Ibu
- Fisik: Kesehatan fisik
terganggu akibat kekelahan
mengurus anak
- Psikis: Kecewa, malu, stres,
depresi
- Sosial: Harga diri rendah,
isolasi sosial
Komponen kognitif:
Kepuasan hidup secara
global atas ranah
kehidupan rendah
PELATIHAN
SYUKUR
-
Subjective Well Being (SWB)
MENINGKAT
Menghargai nikmat/kebaikan (recognize the benefit)
(Perasaan Negatif, Mengingat Keburukan, Melihat Ke Bawah)
Mengakui nikmat/kebaikan (acknowledge receiving its)
(Pikiran Pembanding, Terimakasih Aku Masih Bernafas)
Mengembalikan kebaikan (return the favor/appreciate).
(Ketidakmampuan Mengakui Ketergantungan, Surat Terimakasih)
Gambar 3
Kerangka Berpikir Pengaruh Pelatihan Syukur terhadap Subjective Well Being
60
E. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat pengaruh pelatihan syukur
terhadap peningkatan subjective well being pada ibu yang memiliki anak down
syndrome.
Download