BAB II LANDASAN TEORI A. Subjective Well Being pada Ibu yang Memiliki Anak Down Syndrome 1. Subjective Well Being a. Pengertian Subjective Well Being Menurut Diener (2009), subjective well being adalah istilah untuk menjelaskan apa yang membuat kehidupan seseorang lebih baik. Diener (2000) mengatakan bahwa secara istilah subjective well being biasa disebut dengan kebahagiaan (happiness). Carr (2004) memberikan definisi yang sama bagi subjective well being dan happiness, yakni sebuah keadaan psikologis yang positif yang dikarakteristikan dengan tingginya afek positif, tingginya tingkat kepuasan hidup, dan rendahnya afek negatif. Banyak peneliti yang mendefinisikan kebahagiaan dan subjective well being sebagai satu konstruk, namun sebenarnya tidak ada pendapat yang bisa mencakup keseluruhan subjective well being (Diener & Ryan, 2009). Subjective well being didefinisikan sebagai evaluasi terhadap kehidupan, yang menjelaskan keterkaitan antara pengalaman pribadi dengan kualitas hidup individu sehingga dapat menjelaskan mengenai mengapa dan bagaimana individu mengalami kehidupan dalam cara yang positif (Diener & Diener, dalam Pattihahuan, 2012). Evaluasi mengenai kehidupan ini akan berlaku untuk kehidupan yang sedang berlangsung saat ini maupun masa lampau (Diener, Oishi, dan Lucas, 2003). Evaluasi 14 15 ini meliputi pengalaman emosi individu terhadap suatu peristiwa, mood, dan bentuk penialaian mereka mengenai kepuasan hidup, pemenuhan kebutuhan, dan kepuasan dalam ranah tertentu. Menurut Robbins (dalam Lopez, 2009) subjective well being berfokus terhadap penilaian seseorang mengenai kepuasan hidup dan frekuensi munculnya emosi positif dan negatif yang dialami individu semasa hidupnya. Menurut Diener dan Chan (2011), subjective well being juga diartikan sebagai evaluasi individu mengenai kepuasan hidupnya yang didasarkan pada perasaan (termasuk mood dan emosi). Menurut Linley dan Joseph (2004), subjective well being adalah gabungan antara kepuasan hidup dengan afek positif yang dikurangi afek negatif. Berdasarkan beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa subjective well being adalah kebahagiaan secara keseluruhan yang dialami individu, di mana individu memiliki perasaan yang positif atas hidupnya sebagai hasil evaluasi afektif dan memiliki kepuasan hidup atas apa yang ia capai baik secara global maupun mengenai ranah-ranah tertentu sebagai hasil evaluasi kognitifnya. b. Komponen Subjective Well Being Menurut Diener (2003), subjective well being mempunyai dua komponen. Hal ini akan dijelaskan sebagai berikut: 1) Komponen Afektif Menurut Diener (2003), afek positif dan afek negatif merupakan evaluasi individu terhadap pengalaman atau peristiwa 16 yang terjadi dalam kehidupannya. Subjective well being individu dapat diprediksi dengan melakukan perbandingan antara pengalaman emosi positif dan negatif yang dialami individu dalam kehidupan sehari-hari (Diener dalam Eid dan Larsen, 2008). Selanjutnya, akan dijelaskan sebagai berikut: a) Evaluasi terhadap Positive Affect (PA) Keyes dan Magyar-Moe (dalam Lopez dan Snyder, 2003) menyebutkan bahwa positive affect merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan sebuah pengalaman emosi yang memberikan reaksi kesenangan, antusias, dan kebahagiaan dalam hidup seseorang. Diener, dkk. (1999) menyebutkan bahwa positive affect individu yang mempengaruhi subjective well being adalah kesenangan (joy), sukacita (elation), kepuasan (contentment), harga diri (pride), rasa kasih sayang (affection), kebahagiaan (happiness), dan kegembiraan sesaat (ecstasy) b) Evaluasi terhadap Negative Affect (NA) Diener (2009b) menjelaskan bahwa negative affect merepresentasikan emosi dan mood yang tidak menyenangkan. Negative affect juga merupakan refleksi dari respon negatif yang dialami seseorang atas reaksinya terhadap kehidupan, keadaan, kesehatan, dan peristiwa yang dialami. Diener (1999) menjelaskan bahwa negative affect individu yang mempengaruhi 17 subjective well being seseorang adalah rasa bersalah dan malu (guilt and shame), kesedihan (sadness), kecemasan dan kekhawatiran (anxiety and worry), tekanan (stress), kedengkian (envy), depresi (depression), dan kemarahan (anger). 2) Komponen Kognitif Menurut Diener, dkk. (2003), afek kognitif dalam subjective well being adalah evaluasi atau penilaian individu mengenai kualitas hidupnya. Penilaian ini mengacu kepada kepuasan hidup (life satisfaction/LS) seseorang (Diener, dkk. 2003). Kepuasan hidup ini penting adanya karena individu mampu menilai apakah kondisi dalam kehidupannya positif dan sudah memuaskan (Pavot, dalam Eid dan Larsen, 2008). Evaluasi kognitif dalam kepuasan hidup ini dibagi menjadi dua, yakni kepuasan hidup secara global (life satisfaction/LS) dan kepuasan atas ranah-ranah atau domain tertentu (domain satisfaction/DS). Hal ini akan dijelaskan sebagai berikut: a) Evaluasi Kepuasan Hidup Secara Global (Life Satisfaction/LS) Kepuasan hidup seseorang merepresentasikan penilaian individu mengenai hidup yang dijalaninya melalui perbandingan standar yang dimiliki (Diener, 2009b). Selanjutnya, kepuasan hidup secara global merupakan representasi penilaian individu secara umum dan reflektif terhadap kehidupannya. Secara umum, Diener (1999) menjelaskan beberapa hal yang mempengaruhi kepuasan hidup secara global, antara lain 18 keinginan mengubah hidup (desire to change life), kepuasan kepada kehiudpan masa lampau (satisfaction with past), kepuasan kehidupan saati ini (satisfaction with current life), kepuasan terhadap masa depan (satisfaction with future), dan pandangan orang-orang mengenai kehidupannya (signification other’s of one’s life). b) Evaluasi Kepuasan atas Ranah-ranah tertentu (Domain Satisfaction/DS) Domain Satisfaction merupakan kepuasan individu dalam ranah-ranah kehidupan yang berfokus pada penilaian mengenai beberapa aspek spesifik di kehidupan seseorang (Pavot, dalam Eid dan Larsen, 2008). Diener, dkk. (1999) menggambarkan beberapa ranah tersebut antara lain, keluarga (family), pekerjaan (work), kesehatan (health), waktu luang (leisure), keuangan (finance), diri sendiri (self), dan kelompok tertentu (one’s group). c) Struktur Komponen Kognitif Subjective Well Being Seseorang menilai kepuasan hidupnya secara individual berdasarkan pada apa yang diinginkan dan apa yang telah dimiliki atau secara konseptual secara ideal dan realitas (Sousa dan Lyubormirsky, 2001). Terdapat dua prosedur mengenai bagaimana seseorang menentukan kepuasan hidupnya, yakni prosedur top-down atau bottom-up. Bottom-up theories menyatakan bahwa kebahagiaan dan kepuasan hidup individu 19 dirasakan dan dialami seseorang tergantung dari banyaknya kebahagiaan-kebahagiaan kecil dan jumlah peristiwa-peristiwa yang bahagia dalam kehidupannya. Artinya, subjective well being merupakan penjumlahan dari pengalaman-pengalaman positif yang terjadi dalam kehidupan individu. Semakin banyak pengalaman positif yang dirasakan, maka tingkat subjective well being semakin tinggi. Top-down theories menyatakan bahwa kebahagiaan individu tergantung dari cara individu mengevaluasi atau menginterpretasi suatu peristiwa yang terjadi dalam hidupnya dari sudut pandang yang positif. Teori ini menyatakan bahwa individulah yang menentukan apakah peristiwa yang dialaminya akan menciptakan kebahagiaan dalam dirinya. Bottom-up theories mengasumsikan bahwa penilaian LS dilakukan berdasarkan pengukuran sejumlah DS (Diener dalam Eid dan Larsen, 2008). LS dan DS merupakan pengaruh sebab akibat DS terhadap LS. Individu yang memiliki kepuasan pekerjaan (DS) tinggi juga akan memiliki LS tinggi karena kepuasan pekerjaan merupakan aspek penting dari LS. LS akan mengalami perubahan jika terjadi perubahan pada DS. Sementara itu, top-down theories merupakan kebalikan dari bottom-up theories. Top-down theories menyatakan bahwa seseorang yang puas atas hidupya secara keseluruhan atau global juga akan menilai ranah-ranah penting kehidupannya secara lebih 20 positif pula, meskipun kepuasan hidup seseorang tidak berdasarkan pada kepuasan pada ranah penting tersebut. c. Proses Pencapaian Subjective Well Being atau Kebahagiaan Terdapat enam komponen yang menentukan berhasil atau tidaknya seseorang dalam mencapai kehidupan yang bermakna dan bahagia (Bastaman, 1996). Keenam komponen tersebut adalah: 1) Pemahaman diri (self insight), yakni meningkatnya kesadaran seseorang atas buruknya kondisi pada saat ini dan keinginan kuat untuk melakukan perubahan ke arah kondisi yang lebih baik. 2) Makna hidup (the meaning of life) merupakan nilai-nilai penting dan sangat berarti bagi kehidupan pribadi seseorang. Nilai ini berfungsi sebagai tujuan hidup yang harus dipenuhi dan sebagai pengarah kegiatan-kegiatannya. 3) Pengubahan sikap (changing attitude), yakni pengubahan seseorang dari yang semula bersikap negatif dan tidak tepat menjadi mampu bersikap positif dan lebih tepat dalam menghadapi masalah, kondisi hidup, dan perubahan yang tidak terelakkan. 4) Keterikatan diri (self commitment), merupakan komitmen seseorang terhadap makna hidup yang ditemukan dan tujuan hidup yang ditetapkan. 5) Kegiatan terarah (directed activities), merupakan upaya-upaya yang dilakukan secara sadar dan sengaja berupa pengembangan potensi- 21 potensi pribadi yang positif serta pemanfaatan relasi antar pribadi untuk menunjang tercapainya makna dan tujuan hidup. 6) Dukungan sosial (social support), yakni kehadiran seseorang atau sejumlah orang yang akrab, dapat dipercaya, dan selalu bersedia memberikan bantuan pada saat-saat dibutuhkan. Proses pencapaian tersebut dapat digambarkan pada bagan berikut ini: Pengalaman Tragis (Tragic Event) Penghayatan Tak Bermakna (Meaningless Life) Penemuan Makna dan Tujuan Hidup (Finding Meaning and Purpose Life) Pengubahan Sikap (Changing Attitude) Keterikatan Diri (Self Commitment) Kegiatan Terarah dan Pemenuhan Makna Hidup (Directed Activities and Fulfilling Meaning) Hidup Bermakna (Meaningfull Life) Kebahagiaan (Happiness) Gambar 1 Proses Pencapaian Subjective Well Being atau Kebahagiaan (sumber: Bastaman, 1996) Peristiwa tragis yang dialami (the tragic event) akan menimbulkan kesadaran diri (self insight) seseorang untuk mengubah kondisi hidup yang tidak bermakna (the meaningless life) menjadi kondisi diri yang 22 lebih baik. Biasanya kesadaran ini muncul karena berbagai sebab. Misalnya, karena perenungan diri, konsultasi dengan para ahli, mendapat pandangan dari seseorang, hasil do’a dan ibadah, belajar dari pengalaman orang lain, atau mengalami peristiwa-peristiwa tertentu yang mampu mengubah sikapnya selama ini. Bersamaan dengan itu disadari pula adanya nilai-nilai yang berharga atau hal-hal yang sangat penting dalam hidup (the meaning of life) yang kemudian ditetapkan sebagai tujuan hidup (the purpose of life). Hal-hal yang dianggap berharga dan penting itu mungkin saja berupa nilai-nilai kreatif (creative values) misalnya bekerja dan berkarya, nilai-nilai penghayatan (experiental values) seperti menghayati keindahan, keimanan, keyakinan, kebenaran, dan cinta kasih, nilai-nilai bersikap (attitudinal values) yakni menentukan sikap yang tepat dalam menghadapi penderitaan dan pengalaman tragis yang tak dapat dielakkan lagi. Atas dasar pemahaman diri dan penemuan makna hidup ini timbul perubahan sikap (changing attitude) dalam menghadapi masalah, yaknni dari kecenderungan berontak (fighting), melarikan diri (flighting) atau seba bingung dan tak berdaya (freezing) berubah menjadi kesediaan untuk lebih berani dan realistis menghadapinya (facing). Setelah itu biasanya semangat hidup dan gairah kerja meningkay, kemudian secara sadar melakukan keikatan diri (self commitment) untuk melakukan berbagai kegiatan nyata yang lebih terarah (directed activities) guna memenuhi makna hidup yang ditemukan dan tujuan yang telah ditetapkan (fulfilling 23 meaning and purpose of life). Kegiatan-kegiatan ini biasanya berupa pengembangan bakat, kemampuan, ketrampolan, dan berbagai potensi positif lainnya yang sebelumnya terabaikan. Apabila pada akhirnya tahap ini berhasil dilalui, dapat dipastikan akan menimbulkan perubahan kondisi hidup yang lebih baik dan mengembangkan penghayatan hidup bermakna (the meaningful life) dengan kebahagiaan (happiness) sebagai hasil sampingannya. d. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Subjective Well Being Diener (2009a) menjelaskan mengenai beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat subjective well being, yakni sebagai berikut: 1) Faktor Genetik Penelitian yang dilakukan oleh Tellegen, dkk. (dalam Eid dan Larsen, 2008) menghasilkan penemuan bahwa level afek, negatif maupun positif, kembar identik dan hidup terpisah lebih mirip satu sama lain daripada kembar fraternal yang dibesarkan bersama. Hasil yang diperoleh memang belum dapat dipastikan apakah ini murni dari dampak gen yang diwariskan atau lebih kepada pengaruh lingkungan keluarga, namun walaupun dipengaruhi oleh lingkungan, gen mampu mengarahkan individu untuk memilih lingkungan dan perilaku yang tepat baginya (Lucas dalam Eid dan Larsen, 2008). 2) Faktor Kepribadian Lykken dan Tellegen (dalam Diener, 2009a) menyatakan bahwa kecenderungan tempramen memberikan sumbangan sebanyak 24 50% pada kebahagiaan. Sifat kepribadian tertentu (misalnya ekstrovet) juga lebih banyak mengalami afek positif dibandingkan sifat kepribadian yang lain (misalnya neuroticsm). 3) Faktor Demografis a) Pendapatan Larson (dalam Diener, 2009a) mengatakan bahwa terdapat banyak bukti yang menyatakan hubungan positif antara pendapatan dan subjective well being dalam suatu negara, namun pendapatan hanya mempengaruhi pada tingkat yang lebih rendah ketika kebutuhan dasar belum terpenuhi. b) Status pernikahan dan keluarga Andrews dan Withey (dalam Diener, 2009a) mengatakan bahwa individu yang menikah memiliki subjective well being lebih besar dibandingkan individu yang tidak menikah. Perempuan yang menikah memang memiliki tingkat stres yang lebih besar dibandingkan yang belum menikah, namun mereka cenderung lebih puas dengan kehidupan yang dijalani (Glen dalam Diener, 2009a). Kehadiran anak juga merupakan penentu tingkat kebahagiaan keluarga (Herbst, 2012). Keluarga yang mempunyai anak akan lebih bahagia dibandingkan dengan keluarga yang tidak memiliki anak. Keluarga yang dikaruniai anak normal juga memiliki tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi dibandingkan anak cacat (Fatima, 2009). 25 c) Usia dan jenis kelamin Tidak ada hubungan yang konsisten antara usia dengan subjective well being, namun terdapat kecenderungan bahwa kepuasan hidup akan semakin menurun seiring bertambahnya usia (Diener dan Ryan, 2009). Perbedaan jenis kelamin tidak pernah memiliki korelasi yang kuat. Perempuan memang lebih banyak menunjukkan afek negatif, namun juga terlihat lebih banyak mengalami kesenangan (Diener, 2009a). Selain itu, hanya ditemukan sedikit perbedaan pada kebahagiaan secara umum antara laki-laki dan perempuan (Goodstein, dkk. dalam Diener, 2009a). d) Ras Andrews dan Withey (dalam Diener, 2009a) menyatakan bahwa di negara Amerika, kulit hitam biasanya ditemukan memiliki subjective well being yang lebih rendah dibandingkan kulit putih meskipun hal itu tidak berlaku secara universal. Penelitian ini tidak bersifat universal karena tidak mengontrol beberapa faktor lain seperti pendidikan, pernikahan, pendapatan, status pernikahan, dan urbanisasi. e) Pendidikan Menurut Palmore (dalam Diener, 2009a) faktor pendidikan tidak memiliki pengaruh yang kuat. Toseland dan Rasch (dalam Diener, 2009a) menambahkan bahwa beberapa studi menemukan 26 bahwa meskipun faktor-faktor lain telah dikontrol, tetapi tetap saja tidak ada pengaruh yang signifikan mengenai pendidikan dan subjective well being. f) Pekerjaan Individu yang tidak memiliki pekerjaan merupakan individu yang masuk dalam kategorisasi tidak bahagia (Campbell, dkk. dalam Diener, 2009a). g) Agama Secara luas, iman, tradisionalisme, dan pentingnya agama berhubungan dengan subjective well being (Cameron, dkk. dalam Diener, 2009a). Diener dan Ryan (2009) menambahkan bahwa hubungan positif ini dikarenakan arti dan tujuan hidup, serta berasal dari pendukung organisasi keagamaan. 4) Perilaku dan Hasil a) Kontak sosial Rhodes (dalam Diener, 2009a) menyatakan bahwa banyak penelitian yang menemukan hubungan antara kepuasan dengan teman dan pengukuran subyektif lainnya seperti kesendirian terhadap subjective well being. Mancini dan Orthner (dalam Diener, 2009a) menambahkan bahwa kontak sosial yang dimaksud adalah kontak sosial dengan saudara dan bukan sanak saudara, namun bagaimana mekanisme kontak sosial tersebut saat ini masih menjadi bahan penelitian. 27 b) Aktivitas dan kejadian hidup Aktivitas yang dimaksud mengacu kepada perilaku dan kejadian hidup mengacu kepada hasil. Diener (2009a) menjelaskan bahwa kejadian hidup mempunyai hubungan yang konsisten dengan subjective well being. Kejadian hidup yang baik maupun buruk adalah dua hal yang berbeda dan berdiri sendiri-sendiri dalam kehidupan individu, dan kejadian hidup positif berhubungan dengan afek positif sedangkan kejadian hidup negatif berhubungan dengan afek negatif (Reich dan Zautra dalam Diener, 2009a). Tidak semua aktivitas merupakan faktor yang baik bagi subjective well being (Kozma dan Stones dalam Diener, 2009a). Hubungan antar keduanya tergantung kepada kepribadian individu. Selain itu, konsep aktivitas ini juga biasanya dicampur dengan kontak sosial, hobi, partisipasi dalam organisasi, dan aktivitas fisik (Diener, 2009a). 2. Ibu yang Memiliki Anak Down Syndrome a. Anak Down Syndrome 1) Pengertian Anak Down Syndrome Down syndrome adalah mereka yang mempunyai kelainan badaniah yang sama dan penampilan wajah yang mirip antara satu dengan yang lainnya (Mangunsong, 1998). Mereka mempunyai wajah yang berbeda dari anak normal dan matanya sipit seperti orang 28 mongol. Hal ini yang mengakibatkan munculnya istilah mongolisme yang merupakan nama lain dari anak down syndrome. Davidson, Neale, dan Kring (2006) mengatakan bahwa penyebab gangguan ini adalah abnormalitas kromosom, yaitu terbentuknya kromoson 21 (trisomy 21) akibat kegagalan sepasang kromosom untuk saling memisahkan diri saat terjadi pembelahan. Down syndrome terjadi pada sekitar satu dalam 800 hingga 1200 kelahiran yang selamat. Anak down syndrome mengalami retardasi mental, namun beberapa di antara mereka mampu belajar membaca, menulis, dan menghitung. Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa anak down syndrome adalah anak yang mengalami kelainan pada kromosom yang mengakibatkan kelainan fisik dan gangguan perkembangan. 2) Karakteristik Anak Down Syndrome Hunt dan Marshall (1994) mengatakan bahwa down syndrome memiliki karakteristik sebagai berikut: a) Kemampuan intelektual yang kurang. Anak down syndrome kurang mengerti konsep abstrak dan lebih mudah belajar melalui kontak dengan objek nyata daripada simbol. b) Kemampuan bahasa yang kurang. Biasanya mereka mengalami beberapa gangguan bicara seperti gagap, artikulasi, dan suara. 29 c) Keadaan fisik anak down syndrome yang biasanya mempunyai masalah dalam penglihatan dan pendengaran. Selain itu mereka juga sering mengalami gangguan jantung. Menurut Selikowitz (2001), terdapat beberapa karakteristik fisik anak down syndrome yang dapat dilihat langsung. Pertama, wajah anak down syndrome ketika dilihat dari depan biasanya berbentuk bulat dan dari samping cenderung memiliki profil datar. Kepala anak down syndrome sedikit rata pada bagian belakang dan mata mereka sedikit miring ke atas. Rambutnya lurus dan tipis. Selain itu, mereka mempunyai kulit leher yang sedikit lebih tebal dan berlipat pada bagian belakang serta pendek dan lebar. Mulut anak down syndrome rata-rata sedikit lebih kecil, namun memiliki lidah yang lebih besar dan sedikit tebal. Hal ini yang membuat sebagian dari mereka memiliki kebiasaan untuk menjulurkan lidahnya. Terakhir, anak down syndrome memiliki tangan yang cenderung lebar dengan jari-jari yang pendek. d) Keadaan sosial dan emosional mereka seringkali maladaptif seperti menyerang diri sendiri atau orang lain. Mereka juga memiliki perilaku kekanak-kanakan seperti mudah menangis, kurangnya kontrol emosi serta rendahnya toleransi frustrasi. 30 Menurut Selikowitz (2001), beberapa perilaku spesifik yang sering muncul adalah: a) Menjulurkan lidah, karena kondisi lidah yang lebih besar dan mulut yang lebih kecil dibandingkan ukuran rata-rata. b) Mengeluarkan air lius, karena tonus rendah sehingga cenderung membiarkan mulutnya terbuka dan mengeluarkan air liur. c) Hiperaktif dan mengalami kesulitan memustakan perhatian. d) Menghilang diam-diam, karena sulit untuk tetap berada di samping orang dewasa. e) Tantrum biasanya muncul pada saat anak frustrasi atau keinginanya dihalangi. f) Memukul serta menggigit anak lainnya sebagai suatu usaha anak dengan ketrampilan bahasa yang lemah untuk berkomunikasi dengan anak yang lain g) Perilaku destruktif, biasanya pada mainan atau benda lainnya. Pada proses perkembangan, anak down syndrome tidak hanya lebih lambat dibandingkan anak normal, namun juga kurang lengkap dan lebih banyak membutuhkan bantuan dibandingkan anak normal (Selikowitz, 2001). Menurut Lyne (dalam Mangunsong 2009), anak down syndrome terlambat duduk, berjalan, dan melakukan hal-hal lain dibandingkan anak normal seusianya. Memiliki kekurangan pada motorik kasar dan motorik halus. Kedua hal tersebut menyebabkan 31 orang tua mengalami kesulitan dalam melatih kemandirian anak sehingga diperlukan pengajaran secara berulang. 3) Penyebab Down Syndrome Davidson, dkk (2006) mengatakan bahwa manusia normal memiliki 46 kromosom, 23 diturunkan oleh ayah dan 23 diturunkan oleh ibu. Individu yang mengalami down syndrome hampir selalu memiliki 47 kromosom karena ketika terjadi pematangan telur, dua kromosom pada pasangan kromosom 21 mengalami kegagalan membelah diri. Jika telur bertemu sperma akan terdapat 3 kromosom 21 yang pada akhirnya disebut dengan trisomi 21. Hal senada juga disampaikan oleh Mangunsong (1998) bahwa penyebab gangguan ini berawal dari terbentuknya manusia, yakni kegagalan pembentukan kromosom. Mariana (2013) mengatakan bahwa pembelahan sel ini mengalami kegagalan disebabkan oleh kelainan hormonal, sinar X (X-ray), infeksi yang disebabkan virus seperti virus toksoplasma, masalah kekebalan tubuh atau predisposisi genetik. Kelahiran down syndrome seringkali dikaitkan dengan usia ibu saat mengandung, semakin tua usia ibu pada saat mengandung, semakin tinggi peluang mereka untuk memiliki anak down syndrome (Durand & Barlow, 2007). Perempuan yang berumur 20 tahun memiliki peluang 1 per 2.000 untuk memiliki anak down syndrome, pada usia 35 tahun risiko ini meningkat menjadi 1 per 500, dan pada usia 45 tahun risikonya mencapai 1 per 18 kelahiran (Evans dalam 32 Durand dan Barlow 2007). Hal ini diasumsikan bahwa perempuan yang lebih tua mestinya lebih banyak terpapar zat-zat beracun dibandingkan perempuan yang lebih muda sehingga akan menganggu proses pembuahan dan pembelahan sel. Ekstra kromoson juga bisa berasal dari ayah. Menurut Davidson dan Neale (1997), penemuan ini menunjukkan bahwa semakin tua usia ayah juga dapat meningkatkan risiko memiliki anak down syndrome. 4) Penanganan Anak Down Syndrome Menurut Durand penanganan anak penanganan untuk down dan Barlow syndrome perkembangan (2007), dapat pervasif secara umum dilakukan dengan yang berusaha mengajarkan berbagai keterampilan yang mereka butuhkan agar menjadi lebih produktif dan mandiri. Selain itu, mereka juga memerlukan intervensi-intervensi untuk meningkatkan defisit belajar yang mereka alami. Keterampilan behavioral juga harus diajarkan melalui banyak inovasi agar anak down syndrome mempunyai keterampilan yang sama dengan anak normal dalam hal mengurus diri sendiri seperti mandi, berpakaian, makan, dan buang air (Reid, dkk., dalam Durand dan Barlow, 2007). Selanjutnya, Durand dan Barlow (2007) menambahkan bahwa anak down syndrome juga harus diberikan latihan komunikasi agar kebutuhan dan keinginannya diketahui oleh orang lain dan meningkatkan partisipasinya dalam kehidupan sosial. 33 b. Permasalahan Ibu yang Memiliki Anak Down Syndrome Menurut Darling dan Darling (1982), saat pertama kali orang tua mengetahui anaknya lahir dalam keadaan cacat mereka akan cenderung shock, kaget, tidak percaya, sedih, merasa bersalah, kecewa, marah, frustrasi, dan cemas. Roos (dalam Hapsari 2008) menjelaskan bahwa reaksi-reaksi orang tua saat mengetahui anaknya dalam keadaan cacat adalah sebagai berikut: 1) Kehilangan harga diri Orang tua merasa bahwa kelahiran anak cacat tersebut disebabkan oleh kesalahan orang tua. Hal ini akan merubah tujuan hidup orang tua secara ekstrem termasuk impian akan masa depan anaknya. 2) Malu Orang tua merasa dikasihani, ditertawakan, ditolak oleh lingkungan sosial. Selain itu mereka menganggap bahwa diri mereka sudah tidak bernilai di tengah masyarakat. 3) Perasaan ambivalen Artinya, orang tua menunjukkan rasa cinta dan benci terhadap anaknya. Perasaan bertentangan ini datang secara bergantian yakni menolak dan memberi perlindungan berlebihan. 4) Depresi Adalah perasaan sedih mendalam karena memiliki anak down syndrome. Sebagian orang tua kecewa pada anaknya dan terus 34 memikirkan masa depannya. Beberapa orang tua juga menganggap bahwa keterbelakangan mental melambangkan “kematian” anak. 5) Mengorbankan diri sendiri Anak down syndrome sering menjadi fokus dari semua perhatian orang tua sehingga merugikan anggota keluarganya. Beberapa orang tua mengorbankan semua keinginan atau kesenangan pribadi untuk anak. 6) Menolak kenyataan Orang tua menjadi terlalu sensitif terhadap kritik yang ditunjukkan pada anak. Beberapa kasus ekstrem menunjukkan bahwa orang tua yang menolak anak akan menutupi keadaan anak, mengunjungi benyak ahli untuk membuktikan bahwa tidak ada yang salah terhadap anak mereka. Ibu sebagai pengasuh utama akan lebih banyak mengalami stres dalam pengasuhan dan perkembangan anak (Wenar dan Kerig dalam Ghoniyah dan Savira 2015). Ibu yang memiliki anak down syndrome memiliki kesulitan-kesulitan tersendiri selama masa pertumbuhan dan perkembangan anak mereka, seperti masalah dalam perkawinan, hubungan dengan anggota keluarga yang lain, hubungan dengan lingkungan sekitar, masalah keuangan keluarga, masalah menyangkut perkembangan anak down syndrome itu sendiri, serta sulitnya mengajarkan kemandirian kepada anak mereka (Hapsari, 2008). 35 Kendala lain yang dihadapi adalah respon negatif yang diberikan lingkungan kepada anaknya yang down syndrome. Hal ini menjadi salah satu kekhawatiran ibu. Mangunsong (2011) menyatakan bahwa pada umumnya sumber keprihatinan orangtua berasal dari perlakuan negatif masyarakat terhadap anaknya yang cacat. Seorang ibu yang memiliki anak down syndrome, bahkan sering mendapat pandangan negatif dan ejekan dari masyarakat sekitar terkait dengan keterbatasan yang dimiliki anaknya. Mangunsong (2011), mengatakan bahwa orangtua akan dengan mudah mendapatkan kritik dari orang lain tentang masalah mereka dalam menghadapi kondisi anak, selain itu orangtua juga sering menanggung beban dari respon tidak layak yang diberikan oleh masyarakat. Ibu yang lebih banyak mengurus anak down syndrome ditemukan memiliki kesehatan mental yang lebih buruk, kesehatan fisik yang lebih terganggu, dan kualitas hidup yang lebih rendah (Heller, dkk., dalam Koydemir & Tosun, 2009). Ibu terus menanggung beban dalam membesarkan anak sehingga lebih rentan mengalami stres yang berhubungan dengan perawatan anak dan sering menunjukkan depresi, kecemasan, kekhawatiran kesehatan, kekhawatiran masa depan, isolasi sosial, dan harga diri rendah. Ibu dengan anak down syndrome cenderung mengalami kecemasan dan ketakutan terkait dengan keterbatasan yang dimiliki oleh anak mereka. 36 3. Subjective Well Being pada Ibu yang Memiliki Anak Down Syndrome Memiliki anak down syndrome menyebabkan efek yang besar bagi orangtua, khususnya ibu. Orang tua, terutama ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus dianggap menghabiskan hidup dalam kesedihan (Fatima, 2009). Anak yang seharusnya menjadi kebanggaan keluarga justru lahir dalam kondisi yang tidak diharapkan. Kondisi anak down syndrome juga dianggap sebagai aib keluarga yang merusak kehormatan sebuah keluarga sehingga cenderung disembunyikan oleh orang tua. Hasil penelitian mengatakan bahwa ibu dengan anak down syndrome memiliki stres dan depresi yang jauh lebih signifikan dibandingkan orang tua yang memiliki anak normal (Scott, dkk., dalam Fatima 2009). Stres dan depresi ini bersumber dari berbagai hal, antara lain masalah pertumbuhan dan perkembangan anak, sulitnya anak dilatih untuk mandiri. Kondisi emosional anak yang tidak stabil, mereka cenderung memiliki perilaku menyerang apabila sesuatu yang tidak dikehendakinya terjadi. Selain itu, depresi dan stres juga berasal dari prestasi akademik anak dikarenakan kondisi anak yang mengalami keterlambatan belajar sehingga kesulitan menerima pelajaran yang menuntut kemampuan abstraksi. Stresor ibu juga berasal dari lingkungan sekitar, berupa pandangan negatif tetangga atau orang sekitar yang menganggap bahwa anak down syndrome ini aneh dan lucu. Stresorstresor ini yang biasanya membuat ibu tidak tahan dan tidak kuat menghadapi kenyataan bahwa dia memiliki anak down syndrome sehingga akan berdampak buruk terhadap pengasuhan anak. 37 Kondisi-kondisi di atas menunjukkan bahwa ibu yang memiliki anak down syndrome memiliki stres yang tinggi dan subjective well being yang rendah. Menurut Diener (2000), pemaknaan hidup yang negatif ini berkaitan dengan subjective well being yang rendah karena hal ini mengacu kepada evaluasi kognitif dan afektif individu tentang hidupnya. Depresi dan stres yang dialami oleh ibu yang mempunyai anak down syndrome juga merupakan bukti bahwa mereka memiliki tingkat kesejahteraan subjektif yang rendah (Lewinsoln, dkk., dalam Lopez dan Snyder, 2003). 4. Pengukuran Subjective Well Being Ibu Diener (2009b) menjelaskan bahwa diperlukan pengukuran secara terpisah antara kedua komponen, yakni komponen afektif dan kognitif. Pertama, individu biasanya mengabaikan reaksi emosi negatif ketika mengingat sesuatu yang tidak dia inginkan dalam kehidupan. Kedua, reaksi afektif merupakan komponen yang biasanya terjadi tiba-tiba dengan durasi yang pendek sedangkan tingkat kepuasan hidup itu sendiri merupakan refleksi perspektif jangka panjang. Terakhir, reaksi afektif biasanya merefleksikan dorongan tidak sadar namun lebih lama mempengaruhi dibandingkan tingkat kepuasan hidup sedangkan evaluasi sadar seseorang mengenai hidupnya dapat merefleksikan nilai dan tujuan sadar kehidupan seorang individu. Oleh karena itu, tingkat subjective well being dalam penelitian ini menggunakan dua skala terpisah, yakni Satisfaction With Life Scale (SWLS) dan Scale of Positive and Negative Experience (SPANE). 38 Saat ini, skala yang disusun oleh Diener, dkk. merupakan skala yang paling sering digunakan. Skala tersebut adalah Satisfaction With Life Scale (SWLS) yang berisi 5 aitem untuk mengukur kepuasan hidup secara global. Diener, Emmons, Larsen, dan Griffin menyusun SWLS pada tahun 1985 untuk mengukur evaluasi kognitif individu mengenai kehidupan yang dijalaninya (Diener, 2009b). Skala ini terdiri dari 5 aitem dengan kategorisasi pilihan jawaban 1 sampai 7. Nilai 1 untuk sangat tidak setuju dan nilai 7 untuk sangat setuju (Pavot dan Diener, 1993). Pavot dan Diener (1993) menambahkan bahwa instrumen ini memiliki koefisien reliabilitas yang sangat tinggi, yakni antara 0,79-0,89. Rentang total skor dalam skala ini adalah 5 sampai 35 dengan penjelasan pada. Rentang skor terbesar adalah 3035 dengan kategori sangat puas dan skor terendah adalah 5-9 dengan kategori sangat tidak puas. Kategori sangat puas berarti bahwa responden sangat mencintai kehidupan yang dijalaninya saat ini, sedangkan kategori sangat tidak puas responden merasa tidak bahagia dengan kehidupannya. Instrumen kedua yang digunakan adalah Scale of Positive and Negative Experience (SPANE) yang disusun oleh Diener dan Biswas-Diener untuk mengukur komponen afektif individu. Instrumen ini terdiri dari 12 aitem dengan rentang nilai 1 sampai 5. Nilai 1 untuk kategori hampir tidak pernah atau tidak pernah dan nilai 5 untuk kategori sangat sering atau selalu. Skala ini dibagi menjadi dua subskala yang mengukur afek positif dan negatif karena keduanya merupakan variabel afek yang terpisah (Diener, 2009b). Total skor positif (Positive Experience/SPANE-P) dan skor negatif (Negative 39 Experience/SPANE-N) dalam instrumen ini adalah 6-30 sedangkan skor total diperoleh dari selisih antara skor positif dan skor negatif (The Balance of Positive and Negative Experience/SPANE-B). Selanjutnya, dalam penelitian ini peneliti mengkategorisasikan skor menjadi tiga kategori (Azwar, 2013), yaitu: Rendah : ×< (𝜇 − 1,0𝜎) Sedang : (𝜇 − 1,0𝜎) ≤×< (𝜇 + 1,0𝜎) Tinggi : (𝜇 + 1,0𝜎) ≤× B. Pelatihan Syukur 1. Pengertian Pelatihan Syukur a. Pengertian Pelatihan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005) pelatihan adalah proses melatih; kegiatan atau pekerjaan. Peserta pelatihan dipersiapkan untuk mengambil langkah tindakan tertentu dan membantu peserta dalam perbaikan pengertian dan keterampilan terkait pelatihan yang diikutinya. Pelatihan adalah bagian pendidikan yang bersifat praktis, spesifik, dan segera (Samsudin, 2005). Artinya, pelatihan dilakukan untuk memperbaiki penguasaan berbagai keterampilan peserta pelatihan dalam waktu yang relatif singkat. Sikula (dalam Mangkunegara, 2009) menambahkan bahwa pelatihan merupakan proses pendidikan dalam jangka waktu pendek yang menggunakan prosedur dan metode yang 40 sistematis dan terorganisir, mempelajari pengetahuan dan keterampilan teknik dalam tujuan yang terbatas. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pelatihan merupakan suatu kegiatan yang dilakukan dalam jangka pendek yang bermaksud untuk memberikan pengertian, pemahaman, maupun keterampilan, dengan menggunakan metode dan prosedur yang sistematis dan terorganisir, sehingga peserta dapat mengaplikasikannya. b. Pengertian Syukur Secara bahasa, kata “syukur” berasal dari bahasa arab “syakara” yang berarti pujian atas kebaikan, atau penuhnya sesuatu. Ibnu Manzhur (dalam Al-Fauzan, 2007) mengatakan bahwa syukur adalah membalas kenikmatan atau kebaikan orang lain dengan ucapan, perbuatan, dan niat. Al-Fauzan (2007) juga menjelaskan bahwa orang yang bersyukur adalah orang yang mengakui nikmat Allah dan mengakui Allah sebagai pemberinya, tunduk kepada-Nya, cinta kepada-Nya, ridha terhadapnyaNya, serta menggunakan nikmat itu dalam hal yang disukai Allah dalam rangka taat kepada-Nya. Kebersyukuran dalam bahasa Inggris disebut dengan gratitude. Kata gratitude diambil dari akar latin gratia yang berarti mendukung dan gratus yang berarti menyenangkan. Menurut Prusyer (dalam Emmons & McCullough, 2003), semua kata turunannya memiliki arti kebaikan hati, kelembutan, berterima kasih, hadiah, memberi tanpa mengharapkan imbalan, serta keindahan memberi dan menerima. 41 Menurut Bono dan McCullough (2006), syukur merupakan moral yang mengatur tingkah laku manusia dalam kehidupan. Mater, dkk. (dalam Emmons dan McCullough, 2004) menyatakan bahwa syukur merupakan keadaan afek positif individu. Wood, Joseph, dan Maltby (2009) menambahkan bahwa syukur adalah ciri pribadi yang berpikir positif dan menampilkan hidup menjadi lebih positif. Hal lain ditambahkan oleh McCullough, Emmons, Kilpatrick, dan Larson (2001) bahwa sykur merupakan perasaan moral, karena biasanya perasaan moral ini akan menimbulkan kepedulian terhadap orang lain. Pendapat yang sama disampaikan oleh Emmons dan McCullough (2003) bahwa syukur merupakan suatu bentuk perasaan atau emosi, yang dapat berkembang menjadi suatu sikap, sifat moral yang baik, kebiasaan, sifat kepribadian, dan pada akhirnya akan mempengaruhi seseorang dalam menanggapi sesuatu atau situasi. Syukur adalah menyenangkan (Emmons, 2007), ketika kita bersyukur maka kita akan tergerak untuk membagi kebaikan yang telah kita terima dengan orang lain. Kebersyukuran merupakan pengakuan bahwa seseorang dapat menerima manfaat dari kebaikan orang lain (Polak dan McCullough, 2006). Hal yang sama disampaikan oleh Fisher, dkk. (dalam McCullough, dkk., 2001) yang menjelaskan bahwa syukur merujuk kepada reaksi perasaan ketika individu menerima bantuan dari orang lain. McCullough, dkk. (2001) menjelasakan tiga fungsi yang dapat menjadikan sykur sebagai suatu moral yang relevan. Pertama, syukur 42 berfungsi sebagai barometer moral (moral barometer). Syukur dalam konsep ini berfungsi membantu seseorang untuk mempersepsikan bahwa dia mampu melakukan perubahan yang lebih baik dari sebelumnya. Fungsi ini juga membantu seseorang memaknai perilaku orang lain lebih kepada hal yang positif. Syukur juga dianggap sebagai sifat responsif terhadap manfaat yang diterima seseorang dari hubungan sosial secara pribadi. Kedua, syukur berfungsi sebagai motivasi moral (moral motivation). Fungsi ini akan memotivasi seseorang untuk berperilaku prososial kepada orang lain. Terakhir, fungsi syukur sebagai penguat moral (moral reinfocer). Syukur dalam hal ini akan menguatkan individu untuk terus berperilaku prososial kepada orang lain sampai di masa mendatang. Ekspresi syukur seperti ucapan terima kasih dari penerima bantuan akan menjadi penguat (reinfocer) bagi individu yang memberi bantuan sehingga dia akan melakukan tindakan prososial lagi di masa mendatang. Menurut Toussant dan Friedman (2009), syukur atau gratitude memiliki posisi yang cukup penting dalam psiologi positif. Syukur juga memiliki keterkaitan dengan berbagai hal, seperti kepuasan hidup, harapan, well-being, religiusitas, dan spiritualitas manusia. Orang yang bersyukur banyak mengandung emosi positif dan perilaku positif yang dapat membantu hidupnya menjadi lebih mudah dan menyenangkan. Selain itu orang yang bersyukur mampu mengampuni orang lain dan mudah mengontrol kemarahan, mengurangi rasa kesepian serta terhindar 43 dari gejala depresi dan stres. McCullough, dkk. (2002) menambahkan bahwa orang yang bersyukur memiliki kepuasan hidup yang tinggi, mudah memaafkan orang lain, suka menolong satu sama lain, tidak mengutamakan hal-hal yang bersifat material, dan terhindar dari depresi, kecemasan, serta iri hati. Berdasarkan beberapa uraian di atas, peneliti mengacu pada pengertian syukur menurut McCullough, dkk (2002) dan Weiner (dalam Emons dan McCullough, 2003), yakni syukur merupakan kecenderungan umum untuk mengenali dan menanggapi perasaan terima kasih dengan penuh atas hasil positif yang didapatkan, dan dihasilkan dari dua langkah proses kognitif, yaitu mengenali adanya hasil positif yang diterima dari orang lain. c. Pengertian Pelatihan Syukur Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pelatihan syukur adalah sebuah kegiatan yang dilakukan dengan tujuan memberi pemahaman dan keterampilan untuk mengenali kebaikankebaikan atau nikmat yang telah diterima dalam hidupnya dan menyadari adanya sumber eksternal dari kebaikan tersebut sehingga peserta dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari untuk meningkatkan kemampuan syukur yang dimiliki. 2. Tahapan Pelatihan Syukur Keyakinan seseorang untuk bersyukur tidaklah datang begitu saja, melainkan muncul melalui suatu proses tertentu pada diri seseorang. 44 Mengenal datangnya suatu nikmat berupa kesehatan, rejeki, dan ilmu kepada diri seseorang dapat menjadi proses seseorang untuk menambah keyakinan dalam bersyukur (Al-Fauzan, 2008). Selain itu, syukur juga dapat dilakukan dengan cara mengakui bahwa Tuhan adalah satu-satunya pemberi nikmat, meskipun terkadang nikmat itu didapatkan melalui perantara seorang manusia dan sumber daya alam yang lainnya. Clore, dkk (dalam Emmons dan McCullough, 2003) mengatakan bahwa syukur dapat dimunculkan dengan cara berperilaku positif sebagai balasan dan wujud dari rasa terimakasih kepada sumber yang mendatangkan nikmat. Selanjutnya, Emmons (2007) menambahkan bahwa syukur dapat dimunculkan melalui dua langkah proses kognitif. Pertama, seseorang mengakui bahwa dirinya telah mendapat suatu hasil yang positif atau nikmat. Kedua, seseorang mengakui bahwa terdapat sumber eksternal yang berperan sehingga ada hasil positif tersebut. Emmons (2007) menjabarkannya menjadi menghargai nikmat atau kebaikan (recognize the benefit), mengakui nikmat atau kebaikan (acknowledge receiving its), dan mengembalikan tindakan baik atau bersyukur (return the favor or appreciate). Peneliti menggunakan beberapa tahapan yang mengacu kepada keterampilan praktis yang diungkapkan oleh Emmons (2007) berupa pengembangan dari hambatan-hambatan bersyukur dan merupakan model eksperimen yang pernah dilakukan dalam penelitiannya. Keterampilan ini bukanlah suatu model yang runtut, namun saling membangun dan 45 menguatkan. Emmons (2007) menjelaskan bahwa keterampilan-keterampilan tersebut adalah: a. Mengingat Keburukan (Remember the Bad) Keterampilan ini dapat meningkatkan syukur karena mengingat keburukan merupakan proses mental yang biasa terjadi pada setiap manusia. Tidak ada alasan bahwa syukur hanya menyangkut hal-hal yang menyenangkan, dengan mengingat hal yang buruk kita menjadi lebih mampu menghargai datangnya hal-hal yang baik. Ketrampilan ini akan membantu seseorang menemukan makna dan tujuan hidup mereka. b. Tanyakan pada Diri Anda Tiga Pertanyaan (Ask Yourself Three Question) Pertanyaan pertama adalah pertanyaan yang menyangkut ingatan seseorang terhadap hal baik yang pernah diterima individu. Hal ini dapat lebih membuat individu bersyukur dibandingakan ketika mereka berusaha membuang hal-hal buruk. Pertanyaan kedua adalah pertanyaan yang memfokuskan terhadap hal baik yang telah diberikan kepada orang lain. Hal ini akan membuat individu lebih menyadari tentang hubungan sesama manusia dan menghilangkan rasa meminta balasan dari kebaikan orang lain. Terakhir, adalah pertanyaan yang menyangkut rasa sakit yang telah diterima orang lain baik karena pikiran, perkataan, dan perbuatan individu. Ketrampilan ini akan membantu individu dalam proses kegiatan terarah. 46 c. Datanglah ke Indera Anda (Come to your Senses) Panca indera akan membuat individu bersyukur atas penciptaannya sebagai manusia. Hal yang paling mendasar adalah bernafas. Bernafas merupakan kenikmatan paling mendasar yang terkadang dilupakan oleh seorang individu. Ketenangan ini akan lebih menyadarkan individu bahwa selama ini kehidupan yang dia jalani merupakan kehidupan yang bermakna dan pantas untuk disyukuri. d. Berjanji untuk Berlatih Syukur (Make a Vow to Practice Gratitude) Perjanjian ini merupakan salah satu cara belajar bersyukur yang memanfaatkan kekuatan internal (perasan bersalah) apabila tidak dipenuhi. Ketrampilan ini akan membantu individu dalam proses keterikatan diri dan kegiatan terarah. e. Melalui Aksi (Go Through the Motions) Salah satu aksi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan syukur adalah tersenyum. Tersenyum dapat menghasilkan perasaan bahagia dan beberapa eksperimen menemukan bahwa ada hubungan antara mimik ekspresi wajah dengan kebahagiaan. Hal lain yang dapat dilakukan adalah mengucapkan terima kasih atau menulis surat yang berisi ungkapan syukur. Hal ini dapat menghasilkan sesuatu yang positif baik bagi individu yang memberikan maupun menerimanya. Ketrampilan ini akan membantu individu untuk lebih menemukan kegiatan yang terarah terkait dengan syukur. 47 f. Jurnal Kebersyukuran (Keep a Gratitude Journal) Emmons telah melakukan eksperimen melalui metode Keep a Gratitude Journal yang terbukti mampu membuat individu lebih bahagia. Metode ini mengharuskan individu untuk menulis catatan harian menganai hal-hal yang mampu membuatnya bersyukur. Kegiatan ini mampu membuat individu mengenang kejadian-kejadian yang telah terjadi dalam hidupnya, baik kejadian biasa, kepribadian, maupun orang lain yang telah memberikan kebaikan kepada dirinya. Selain itu, kegiatan ini juga mampu membuat individu lebih mengorganisasikan pikiran dan mengintegrasikannya serta membantu individu menerima pengalamannya sendiri pada konteks yang sesuai. Hal tersebut akan membantu individu mendapatkan makna dari setiap kejadian yang dialaminya atau menciptakan makna sendiri bagi setiap kejadian yang terjadi. Hanaco (2012) menyebutkan cara-cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan syukur adalah sebagai berikut: a. Membuat “Daftar Karunia Tuhan”, yakni membuat urutan yang dipenuhi oleh daftar yang dikaruniakan Tuhan kepada kita. Urutan yang ditulis tidak dibatasi jumlahnya, semakin banyak nikmat yang ditulis maka semakin baik. Hal ini memperlihatkan bahwa individu tersebut merasakan banyak hal positif yang didapatkan dalam kehidupan. Sama halnya dengan jurnal kebersyukuran, ketrampilan ini membantu individu dalam hal pengubahan sikap karena membuat seseorang sadar bahwa mereka telah mendapatkan banyak kebaikan selama ini. 48 b. Memandang Kegagalan Sebagai Kesempatan Baru, yakni menerima kegagalan yang dialami dengan lapang dada agar individu dapat mengambil hikmah dari kegagalan yang dia dapatkan. c. Menganggap Masalah Sebagai Pelajaran Hidup, merupakan cara yang digunakan agar seseorang menjadi individu yang lebih kuat karena memiliki banyak “tantangan”. Persoalan hidup dianggap sebagai sebuah tantangan dimana ketika individu menghadapi persoalan ini dia tidak akan menjadi individu yang mudah putus asa. Individu yang menghadapi masalah dengan cara yang positif maka akan cenderung lebih dapat mengambil manfaat dari masalah tersebut dan tidak banyak mengeluh atau bahkan menyalahkan Tuhan. d. Berbagi Keberhasilan, terdapat tiga cara yang dapat dilakukan. Pertama, berbagi kepada orang yang membutuhkan. Hal ini akan memberikan makna yang luar biasa karena kita benar-benar memberikan sesuatu kepada orang yang membutuhkannya. Kedua, berbagi dan melupakan. Artinya, ketika kita sudah berbagi kepada orang lain seharusnya kita tidak mengingat-ingat apa yang telah kita bagi agar terhindar dari rasa sombong dan merasa berjasa kepada orang lain. Terakhir adalah berbagi setiap ada kesempatan. Hal ini mengajarkan kepada seseorang bahwa kita harus menjadi orang yang bermanfaat setiap waktu. e. Melihat “Ke Bawah”, yakni melihat kelemahan orang lain agar kita mampu mensyukuri apa yang telah kita miliki dan tidak dimiliki oleh orang lain. Kita dapat menanamkan keyakinan di dalam hati bahwa apa 49 yang kita miliki adalah hal terbaik yang dihadiahkan oleh Tuhan. Ketrampilan ini akan membantu proses pengubahan sikap individu terhadap segala kebaikan atau nikmat yang telah mereka dapatkan selama ini. 3. Pendekatan Pelatihan Syukur Pelatihan ini menggunakan pendekatan melalui pengalaman atau yang disebut experiential learning. Lawson (2006) mengatakan bahwa experiential learning adalah sebuah proses di mana peserta belajar secara induktif, yaitu menemukan sendiri tujuan dan manfaat pelatihan melalui pengalaman langsung selama kegiatan pelatihan. Model pendekatan ini terdiri dari lima langkah yang terlihat pada Gambar 4. PENGALAMAN The Activity Phase BERBAGI Sharing Reactions and Observations MENERAPKAN Planning Effective Use of Learning Now What? What? GENERALISASI MEMPROSES Developing Real World Principles Discussing Patterns and Dynamics So What? Gambar 2 Siklus Experiential Learning (sumber: Lawson, 2006) © copyright by Lawson Lawson (2006) memberikan penjelasan mengenai siklus di atas sebagai berikut: a. Experiencing/Pengalaman. Sebuah awal proses yang melibatkan peserta di dalam aktivitas. Dasar bagi seluruh proses karena pengalaman itu 50 sendiri membutuhkan peran peserta untuk mendengar, mengamati, berpendapat, dan melakukan sesuatu. b. Publishing or Sharing. Setelah pengalaman secara langsung, peserta berbagi reaksi mereka dan pengamatan tentang aktivitas yang baru saja dilakukan. c. Processing or Interpreting. Bagian dari siklus, fasilitator membantu peserta dalam dinamika interaksi kelompok. Selama ada kesulitan, fasilitator membantu kelompok mengeksplorasi dan menganalisis apa yang terjadi pada mereka selama aktivitas berlangsung. d. Generalizing. Setelah seluruh proses aktivitas, peserta menghubungkan antara kegiatan dan situasi dunia nyata. Mereka mengeksplorasi makna aktivitas dan bagaimana hubungannya. Para peserta mencapai tingkat pemahaman dan wawasan yang lebih dalam. e. Applying. Langkah terakhir mengharuskan peserta untuk berpikir tentang apa yang akan mereka melakukan dengan pembelajaran baru ini, dan bagaimana mereka akan menerapkannya. 4. Metode Pelatihan Syukur Metode dalam pelatihan syukur ini mengacu pada beberapa metode yang dikemukakan oleh Lawson (2006), yakni: a. Games Metode ini merupakan metode yang dibatasi oleh aturan dan menciptakan suasana kompetitif. Adanya model pembelajaran aktif melalui feedback dari pesert akan memberikan peningkatan pada proses 51 belajar peserta selama pelatihan dan juga meningkatkan perhatian peserta. b. Instruments Metode ini digunakan untuk mengumpulkan informasi melalui paper dan pencil. Metode ini juga membantu para peserta untuk tetap fokus terhadap apa yang disampaikan oleh fasilitator. c. Simulations Merupakan suatu bentuk aktivitas yang dibuat untuk merefleksikan kenyataan. Simulations akan memberikan motivasi dan meningkatkan partisipasi dari peserta selain pendekatan materi pelatihan terhadap lingkungan. d. Mental Imagery Metode ini menggunakan imajinasi ataupun simulasi berfikir dari peserta sehingga membantu menempatkan kemampuan mereka ke dalam sebuah aksi. e. Writing Tasks Metode ini menggunakan lembar kerja yang berisi daftar untuk mengevaluasi informasi bagi peserta. Selain itu dalam pelatihan ini juga menggunakan beberapa metode menurut Davies (2005) sebagai tambahan. Metode tersebut antara lain: a. Sharing atau active communication Metode ini merupakan wadah yang dapat digunakan peserta untuk berbagi pandangan, perasaan, pendapat, pengalaman secara terbuka 52 mengenai topik yang dipulih. Fasilitator di sini berfungsi sebagai pengamat, atau dapat mengarahkan diskusi agar tetap berada pada jalurnya, namun fasilitator juga dapat terlibat secara aktif. b. Video/Film Video merupakan salah satu metode pengganti presentasi karena sama-sama menyajikan informasi yang mudah dipahami oleh peserta. Selain itu, video juga dapat menayangkan suatu kejadian yang tidak dapat disimulasikan melalui presentasi. c. Kuliah Metode ini merupakan metode berbicara langsung kepada peserta tanpa banyak melibatkan partisipasi peserta. Dapat dibantu dengan berbagai alat bantu visual, dapat digunakan untuk kelompok peserta kecil maupun besar. Biasanya terdapat sesi tanya jawab untuk melihat seberapa jauh peserta memahami materi yang disampaikan atau sekedar memberikan kesempatan peserta untuk menyampaikan pendapat. 5. Evaluasi Program Pelatihan Syukur Menurut Lawson (2006) evaluasi program diperlukan untuk menentukan keobjektifan pelatihan, mengukur nilai program pelatihan, mengindentifikasi bagian-bagian pelatihan yang perlu ditingkatkan, dan mengindentifikasi bentuk follow-up. Lawson (2006) memiliki empat kriteria (Four-Level Model for Evaluation) yang mampu mengevaluasi efektivitas pelatihan, yakni: 53 a. Level 1 : Reaksi Level ini mengukur kepuasan subjek pelatihan, mengacu kepada “seberapa gembira” peserta mengikuti pelatihan. Bentuk instrumen dapat melalui kuisioner yang berisi kategori-kategori dalam pelatihan seperti isi, materi, metode penyampaian, fasilitator, maupun alat yang digunakan selama pelatihan. Selain itu, wawancara juga dapat digunakan untuk mendapatkan informasi dari peserta. Evaluasi ini biasanya diberikan pada akhir pelatihan dan hasilnya dapat digunakan untuk mengindikasi kebutuhan revisi pelatihan. b. Level 2 : Belajar Level ini akan mengevaluasi pengetahuan atau keterampilan yang telah didapatkan peserta selama pelatihan, mengacu kepada “seberapa paham” peserta setelah mengikuti pelatihan. Evaluasi ini juga akan mengindikasikan keberhasilan fasilitator dalam mengisi pelatihan. Bentuk evaluasi dapat berupa pretest/posttest, aplikasi ketrampilan melalui studi kasus, role play, atau tugas tertentu. Evaluasi ini dapat diberikan sebelum, sesudah, maupun selama pelatihan. c. Level 3 : Perilaku Level ini akan melihat penerapan materi dan ketrampilan yang telah dipelajari selama pelatihan, apakan diaplikasikan pada kehidupan nyata para peserta, mengacu kepada “seberapa berbeda” perilaku peserta setelah pelatihan. 54 d. Level 4 : Hasil Merupakan evaluasi mengenai hasil akhir yang didapatkan peserta atau follow-up dari level 3. Hasil akhir harus disamakan dengan tujuan awal diberikannya pelatihan. C. Pengaruh Pelatihan Syukur Terhadap Peningkatan Subjective Well Being pada Ibu yang Memiliki Anak Down Syndrome Down syndrome merupakan gangguan yang disebabkan oleh kegagalan pada saat awal terbentuknya manusia. Anak down syndrome memiliki 47 kromosom dan bukan 46 seperti manusia normal. Kromosom ini tidak hanya menentukan penampilan diri kita tetapi juga menentukan ciri-ciri dan sifat manusia. Kromosom ini juga menentukan bentuk wajah kita, karakter, sifat, maupun bakat karena kromosom mengandung sifat-sifat keturunan. Oleh karena itu anak down syndrome memiliki wajah, sifat, dan karakter yang sama karena mereka memiliki kelainan pada kromosom. Gangguan ini menyebabkan anak down syndrome mempunyai beberapa karakteristik. Karakteristik fisik yang khas seperti orang mongolisme membuat mereka mudah dikenali oleh orang awam. Gangguan ini juga menyebabkan mereka memiliki beberapa gangguan lain seperti lambatnya pertumbuhan dan perkembangan, kemampuan bahasa yang kurang, kemampuan intelektual yang kurang, sulitnya untuk berkonsentrasi sehingga memiliki gangguan belajar, dan keadaan sosial dan emosional mereka seringkali maladaptif seperti menyerang diri sendiri atau orang lain. 55 Karakteristik anak down syndrome ini menyebabkan ibu merasa direpotkan, jengkel, mudah marah, stres, depresi, cemas, dan tidak tenang. Aktivitas ibu menjadi terhambat karena terlalu fokus mengurus anak down syndrome ini. Ibu juga merasa malu kepada keluarga, teman, tetangga, dan orang-orang sekitar karena memiliki anak down syndrome. Hal ini menyebabkan ibu memberikan pemaknaan negatif terhadap hidupnya sehingga memiliki subjective well being yang rendah. Ibu yang stres dan depresi karena memiliki anak down syndrome akan memberikan perlakuan yang berbeda dengan perlakuan terhadap anak pada umumnya. Rendahnya subjective well being akan membuat ibu cenderung menelantarkan anak. Mereka tidak mampu mendampingi pertumbuhan dan perkembangan anak karena menganggap anak down syndrome merupakan sebuah aib yang harus disembunyikan, bukan sebuah anugerah yang pantas disyukuri. Ibu justru cenderung lebih banyak merasakan stres, mudah marah, dan depresi karena tidak mampu mengambil kebaikan dari kehadiran anak down syndrome ini. Oleh karena itu, diperlukan suatu intervensi syukur untuk meningkatkan subjective well being ibu agar ibu bisa lebih optimal dalam mendampingi anak down syndrome ini. Menurut Emmons dan McCullough (2004), gratitude atau syukur merupakan salah satu prediktor nyata dari subjective well being. Hal ini berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Diener, dkk pada tahun 1999 yang menemukan bahwa faktor yang paling kuat mempengaruhi subjecive well being adalah faktor kepribadian. Watkins (dalam Emmons dan McCullough, 2004) 56 menjelaskan hubungan syukur dan subjective well being sebagai afektif trait dan afektif state. McCullough (2001) menjelaskan bahwa afektif trait adalah kecenderungan seseorang dalam merepresentasikan emosi tertentu. Orang yang berada dalam keadaan syukur, meskipun dia terkadang mengalami keadaaan yang mengecewakan namun dia akan lebih cenderung untuk bersyukur ketika merespon sebuah kebaikan. Afektif state adalah keadaan yang muncul secara tiba-tiba karena pengalaman emosi tertentu seseorang. Menurut Watkins (dalam Emmons dan McCullough, 2004) mengatakan bahwa hubugngan syukur dan afektif state terlihat jelas karena adanya syukur mampu meningkatkan mood atau suasana hati seseorang. Intervensi syukur juga dapat meningkatkan afek positif yang merupakan komponen afek subjective well being sehingga meningkatkan subjective well being (Diener, dkk., 2006a). Hal ini dijelaskan melalui beberapa proses sebagai berikut. Pertama, syukur mempengaruhi subjective well being melalui manfaat emosional, ketika hal baik dipandang sebagai suatu kebaikan atau nikmat maka hal tersebut merupakan salah satu jalan syukur yang mampu berkontribusi terhadap subjective well being. Kedua, syukur memiliki kontribusi terhadap subjective well being sebagai bentuk adaptasi seseorang dengan lingkungannya. Ketiga, syukur mampu menjauhkan perhatian dari deprivasi relatif, yakni membandingkan diri dengan orang lain yang memiliki lebih banyak kebaikan atau nikmat (McCullough, dkk. dalam Emmons dan McCullough, 2004). Keempat, penerapan syukur merupakan bentuk coping yang efektif. Penelitian Watkins (dalam Emmons dan McCullough, 2004) membuktikan bahwa syukur merupakan 57 salah satu bentuk adaptif atas situasi hidup yang dianggap sulit. Kelima, salah satu cara bersyukur yakni mengingat kejadian menyenangkan dalam hidup akan mendorong subjective well being dan hal ini juga akan membuat seseorang memberikan toleransi tersendiri terhadap kejadian buruk yang terjadi. Terakhir, Watkins (dalam Emmons dan McCullough, 2004) menjelaskan bahwa syukur akan meningkatkan subjective well being melalui pencegahan episode depresi. Watkins, dkk. (2003) menjelaskan bahwa keduanya bisa saling mempengaruhi, di mana syukur mempengaruhi subjective well being tetapi subjective well being juga mempengaruhi syukur secara tidak langsung dan keduanya membentuk lingkaran positif. Seseorang yang bersyukur akan merasa lebih bahagia karena menikmati segala manfaat yang didapatkan dalam hidup dan menerima setiap kejadian secara positif. Afek positif yang timbul akan membuat seseorang menganggap hidupnya sebagai sesuatu yang baik dan menyenangkan, dan orang yang bahagia akan mengakui hal baik yang diperoleh dari orang lain. Hal ini disebut sebagai respon syukur terhadap situasi hidup dan orang yang bahagia akan mudah menerima segala sesuatu yang datang dalam hidup sebagai suatu kebaikan atau nikmat (Watkins dalam Emmons dan McCullough, 2004). Syukur dapat dimunculkan melalui dua proses berpikir (Emmons, 2007). Pertama, seseorang mengakui bahwa dirinya telah memperoleh kebaikan atau nikmat. Kedua seseorang mengakui bahwa ada sumber eksternal yang berperan sehingga kebaikan atau nikmat ini ada. Emmons (2007) kemudian menjabarkannya menjadi menghargai nikmat/kebaikan (recognize the benefit), 58 mengakui nikmat/kebaikan (acknowledge receiving its), dan mengembalikan tikdakan baik atau/budi/bersyukur (return the favor/appreciate). Penjelasan di atas membuktikan bahwa syukur dapat ditingkatkan pada diri seseorang melalui suatu pelatihan. Pelatihan ini akan mengarahkan seseorang kepada sifat dan keadaan syukur sehingga akan terbentuk perilaku syukur dan seseorang menjadi mampu melihat nilai-nilai positif yang dimiliki di tengah segala kekurangan yang dimiliki dalam kehidupannya. Hal ini akan menumbukan afek positif pada pengalaman-pengalaman yang terjadi dalam hidup, kepuasan hidup secara global maupun kepuasan atas ranah-ranah tertentu dalam kehidupan sehingga akan meningkatkan subjective well being. 59 D. Kerangka Berpikir Berdasarkan penjelasan di atas, maka kerangka berpikir penelitian ini adalah: Karakteristik down syndrome - Wajah Mongolisme - Pertumbuhan dan perkembangan lambat - Kurangnya kemampuan bahasa - Kurangnya kemampuan intelektual - Mengalami gangguan belajar - Keadaan sosial dan emosional maladaptif Ibu yang Memiliki Anak Down Syndrome Subjective Well Being (SWB) RENDAH Komponen afektif: Afek negatif lebih sering dibanding afek positif Kondisi Ibu - Fisik: Kesehatan fisik terganggu akibat kekelahan mengurus anak - Psikis: Kecewa, malu, stres, depresi - Sosial: Harga diri rendah, isolasi sosial Komponen kognitif: Kepuasan hidup secara global atas ranah kehidupan rendah PELATIHAN SYUKUR - Subjective Well Being (SWB) MENINGKAT Menghargai nikmat/kebaikan (recognize the benefit) (Perasaan Negatif, Mengingat Keburukan, Melihat Ke Bawah) Mengakui nikmat/kebaikan (acknowledge receiving its) (Pikiran Pembanding, Terimakasih Aku Masih Bernafas) Mengembalikan kebaikan (return the favor/appreciate). (Ketidakmampuan Mengakui Ketergantungan, Surat Terimakasih) Gambar 3 Kerangka Berpikir Pengaruh Pelatihan Syukur terhadap Subjective Well Being 60 E. Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat pengaruh pelatihan syukur terhadap peningkatan subjective well being pada ibu yang memiliki anak down syndrome.