KARAKTERISTIK PARAMETER POPULASI IKAN KURISI

advertisement
KARAKTERISTIK PARAMETER POPULASI IKAN KURISI
(Nemipterus japonicus, (Bloch, 1791)) DI LAUT JAWA
Oleh
Nurulludin1) dan Bambang Sadhotomo1)
1)
Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut
Email: [email protected]
ABSTRAK
Kurisi merupakan salah satu ikan demersal yang telah di eksploitasi secara
intensif. Dalam rangka menjaga keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya ikan
tersebut diperlukan pengelolaan yang didasarkan pada penelitian. Tulisan ini
bertujuan untuk mengetahui beberapa parameter pertumbuhan populasi ikan kurisi
(Nemipterus japonicus) di laut Jawa sebagai bahan acuan pengelolaan. Penelitian
dilaksanakan pada bulan Februari-Desember 2012 di perairan utara Jawa Tengah
dengan metode survei. Hasil analisis diperoleh beberapa parameter populasi ikan
kurisi (K) terbaik sebesar 1 per tahun, (L∞) 19,74 cm, (M) 1,08 per tahun (F) 1,02
per tahun, dan E 0,48 per tahun. Tingkat ekplotasi ikan kurisi relatif optimum.
Kata kunci: Karakteristik, populasi, parameter, laut jawa
PENDAHULUAN
Kurisi merupakan salah satu ikan demersal yang mempunyai nilai
ekonomis dalam perikanan Indonesia. Pemanfaatan ikan ini dalam perdagangan
sehari-hari dalam bentuk segar dan fillet ikan untuk dipasarkan di dalam negeri
sebagai bahan baku pembuatan olahan ikan serta diekspor ke luar negeri. Ikan
kurisi (Nemipterus japonicus) merupakan salah satu ikan yang tertangkap
dominan dengan alat tangkap cantrang dalam tiga tahun terakhir (Badrudin et.al
2011).
Dalam pemanfaatan sumber daya ikan kurisi perlu diperhatikan
pengembangan penelitian dan pengelolaan, serta bagaimana tindakan manusia
untuk mempertahankan serta meningkatkan pemanfaatannya, agar mendapatkan
hasil yang maksimal dengan mempertahankan keseimbangan produksinya,
(Harahap&Bataragoa, 2008). Permasalahan utama dalam pemanfaatan sumber
daya tersebut adalah bagaimana mengelola ikan kurisi tersebut sehingga dapat
1
dimanfaatkan secara berkelanjutan. Hal tersebut diperlukan masukan dari
penelitian untuk mendasarinya
Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui beberapa parameter pertumbuhan
populasi ikan kurisi (Nemipterus japonicus) di laut Jawa sebagai bahan acuan
pengelolaan.
BAHAN DAN METODE
Pengukuran data frekuensi panjang ikan dilakukan dari bulan Februari
sampai Desember 2012. Pengambilan contoh ikan diambil dari kapal cantrang
besar dan kecil yang melakukan bongkar muatan secara acak di PPP Tegalsari,
Tegal.
Pengukuran ikan berdasarkan panjang cagak (FL) dengan menggunakan
kertas ukur dengan terlebih dahulu mensortir spesies ikan kurisi (Nemipterus
japonicus). Contoh ikan yang diukur panjangnya sebanyak 50 ekor per basket
sesuai dengan Potier dan Sadhotomo (1991).
1. Pendugaan rata-rata panjang tertangkap (Lc)
Data frekuensi panjang yang terkumpul diaplikasikan untuk perkiraan ratarata ukuran ikan yang tertangkap (Lc) Pendugaan rata-rata panjang tertangkap
dilakukan dengan membuat grafik hubungan antara panjang ikan (sumbu X)
dengan jumlah ikan (sumbu Y) sehingga diperoleh kurva berbentuk S. Nilai
length at first capture yaitu panjang pada 50% pertama kali tertangkap dihitung
dengan persamaan sebagai berikut (Sparre & Venema, 1999) :
S L est 
1
................................................................................(1)
1  exp( S1  S 2 * L)
 1

Ln
 1  S1  S 2 * L .....................................................................................(2)
 SL

L50% 
S1
............................................................................................................(3)
S2
dimana :
SL
= kurva logistik;
S1 dan S2
= konstanta pada rumus kurva logistik
2
2. Pendugaan parameter pertumbuhan
Pendugaan nilai koefesien pertumbuhan L∞ dan K dilakukan dengan
menggunakan metode FISAT II (2004), sedangkan t0 diperoleh melalui persamaan
Pauly (1980). Model pertumbuhan yang digunakan adalah model yang
dikemukakan oleh Von Bertalanffy (Sparre dan Venema, 1999) dengan
persamaan sebagai berikut :
Lt = L∞ (1- e-k (t – to)).............................................................................................(4)
dimana :
Lt = Panjang ikan (cm) pada umur t (tahun)
L∞= Panjang asimptot ikan (cm)
K = Koefisien pertumbuhan (per tahun)
to = Umur teoritis ikan pada saat panjangnya sama dengan nol (tahun)
t = Umur ikan (tahun)
3. Mortalitas
Mortalitas dalam suatu kegiatan perikanan tangkap sangat penting untuk
menganalisis dinamika populasi atau stok ikan.
a. Mortalitas alami (M) diduga dengan metode persamaan empiris Pauly
(1980) dengan rumus :
Ln M = -0,0152 – 0,279*Ln L∞ + 0,6543*Ln K + 0,4634*Ln T ........................(5)
b.
Mortalitas Total (Z)
Pendugaan mortalitas total (Z), mengunakan metode Beverton dan Holt
dalam (Sparre dan Venema, 1999) yaitu :
∞ ̅
........................................................................................................(6)
dimana :
K
= Koefisien laju pertumbuhan (per tahun)
L∞
= Panjang asimptotik kurisi (cm) FL
̅
L’
= Panjang rata – rata kurisi yang tertangkap (cm)
= Batas terkecil ukuran kelas panjang kurisi yang telah tertangkap (cm)
c. Mortalitas Penangkapan (F) dengan Laju Eksploitasi (E)
3
Dari hasil pendugaan nilai Z dan M, maka mortalitas penangkapan (F)
diperoleh dari persamaan;
Z = F + M atau F = Z - M .............................................................................. (7)
E = F/Z ..............................................................................................................(8)
4. Umur
Nilai dugaan umur teoritis pada saat panjang ikan sama dengan nol (t0)
ikan kurisi diperoleh dengan menggunakan rumus (Pauly, 1980) yaitu :
Log (-t0) = -0.3922 – 0.2752 Log -1.038 Log K..............................................(9)
Lt =L∞(1-e-k(t–to)) .............................................................................................(10)
dimana :
Lt = ukuran panjang ikan pada saat umur t tahun(cm)
L∞ = panjang maksimum ikan yang dapat dicapai
t0 = umur ikan teoritis pada saat panjangnya 0 cm
HASIL
Sebaran frekuensi panjang ikan kurisi hasil tangkapan kapal cantrang
dalam 11 bulan menyebar normal dengan dua modus. Panjang ikan terkecil yang
tertangkap pada kisaran nilai tengah panjang cagak 4,8 cm dan terpanjang berkisar
18,8 cm dan ukuran panjang pertama kali tertangkap (Lc) sekitar 11,41 cm.
(Gambar 1 dan 2).
frekuensi (%)
10
8
n = 6317
6
4
2
0
4.8 5.8 6.8 7.8 8.8 9.8 10.811.812.813.814.815.816.817.818.8
fork length (cm)
Gambar 1. Distribusi frekuensi panjang cagak ikan kurisi (Nemipterus japonicus)
4
Gambar 2. Distribusi frekuensi panjang kumulatif ikan kurisi (Nemipterus
japonicus)
Sebaran kelompok ukuran ikan kurisi (Nemipterus japonicus) mengalami
pergeseran modus sehingga menunjukan adanya rekruitmen dan pertumbuhan.
Hasil analisis FISAT II menunjukkan koefisien pertumbuhan (K) sebesar 1 per
tahun dan panjang asimtotik (L∞) sebesar 19,74 cm. Laju kematian alami (M)
ikan kurisi sebesar 1,08 pertahun, laju kematian karena penangkapan sebesar 1,02
per tahun. Dengan demikian didapatkan laju kematian total sebesar 2,1 pertahun
dan laju eksploitasi E sebesar 0,48 per tahun (Tabel 1).
Tabel 1. Parameter pertumbuhan dan mortalitas kurisi (Nemipterus japonicus)
Parameter
Nilai
L∞ (cm)
19,74
K (tahun-1)
1
Lc (cm)
Z
E
M
F
11,41
2,1
0,48
1,08
1,02
Berdasarkan data panjang (cmFL) pada penelitian ikan kurisi (Nemipterus
japonicus), dengan menggunakan program FISAT, diperoleh nilai panjang
asimtotik (L∞) = 19,74 cm, nilai K = 1 per tahun, dan nilai dugaan umur teoritis
pada saat panjang ikan sama dengan nol (t0) = -0,178 per tahun. Dengan demikian
diperoleh persamaan pertumbuhan ikan kurisi di Pantai Utara Jawa adalah Lt
5
= 19,74(1-e-1(t-0.178)). Dari persamaan tersebut dapat diduga panjang dari ikan
Panjang cagak/FL (cm)
kurisi (Nemipterus japonicus) pada umur tertentu (Gambar 3).
22
20
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
L∞
Lt = 19,74(1-e-1(t-0.178))
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15
Umur (tahun)
Gambar 3. Kurva pertumbuhan Von Bertalanffy ikan kurisi (Nemipterus
japonicus)
PEMBAHASAN
Sebaran panjang ikan kurisi (Nemipterus japonicus) di daerah Tegal
didominasi ukuran 11,45 cm dan pertama kali matang gonad berukuran 12,5 cm.
(Wahyuni, et.al 2009). Menurut Russel (1990) panjang baku maksimum ikan
kurisi (Nemipterus japonicus) di Perairan Laut Cina Selatan adalah 25 cm.
Nilai K sebesar 1 per tahun, hal ini menunjukkan bahwa ikan kurisi
(Nemipterus japonicus) merupakan ikan dengan pertumbuhan cepat. Sparre &
Venema (1999) menyatakan bahwa ikan yang mempunyai koefisien laju
pertumbuhan (K) yang tinggi berarti mempunyai kecepatan pertumbuhan yang
tinggi dan biasanya ikan-ikan tersebut memerlukan waktu yang singkat untuk
mencapai panjang maksimumnya. Ikan - ikan yang laju koefisiennya rendah,
membutuhkan waktu yang lama untuk mencapai panjang maksimumnya, maka
cenderung berumur panjang.
Laju kematian alami (M) ikan kurisi sebesar 1,08 pertahun, laju kematian
karena penangkapan (F) sebesar 1,02 per tahun. Nilai kedua laju kematian ikan
kurisi tersebut seimbang, sehingga diperkirakan stock ikan yang dieksploitasi di
perairan Laut Jawa sudah optimal. Menurut Atmaja & Nugroho, (2004) bahwa
kematian ikan akibat penangkapan adalah berbanding lurus dengan upaya
penangkapan dan kemampuan tangkap. Hal ini berarti kenaikan kematian akibat
6
penangkapan akan diikuti dengan kenaikan upaya penangkapan. Gulland (1971)
in Sparre & Venema (1999) menduga bahwa dalam stok yang dieksploitasi
optimal maka laju mortalitas penangkapan (F) sama dengan laju mortalitas
alami (M) atau laju eksploitasi (E) sama dengan 0,5.
Nilai E ikan kurisi pada saat penelitian sebesar 0,48 hal ini berarti bahwa
stok ikan yang dieksploitasi relatif optimal.
Pembatasan jumlah unit kapal
cantrang mungkin opsi yang paling dimungkinkan, hal ini juga didasarkan pada
nilai panjang asimtotik kurisi (Nemipterus japonicus) semakin kecil jika
dibandingkan dengan negara lain. Gulland (1971) mengemukakan bahwa gejala
over eksploitasi dapat ditandai dengan menurunnya hasil tangkapan per upaya
penangkapan, semakin kecilnya ukuran ikan yang tertangkap, dan bergesernya
fishing ground ke daerah yang lebih jauh dari pantai. Penentuan laju eksploitasi
merupakan salah satu faktor yang perlu diketahui untuk menentukan kondisi
sumberdaya perikanan dalam pengkajian stok ikan (King 1995).
Tabel 2. Parameter pertumbuhan ikan kurisi (Nemipterus japonicus) pada
beberapa perairan
L∞ (cm)
Tipe
panjang
K (tahun-1)
SuhuoC
23,5
20,9
FL
TL
0,73
0,65
28
27,5
28,5
21,0
TL
FL
0,65
0,95
28
28,4
1,68
Brunei
Philippina
30,5
TL
1
27,6
2,52
Madras, India
M
Negara
Bangladesh
Andra-Orissa, India
(Sumber ; Fish Base, 2012)
Gulland (1971) juga mengemukakan bahwa laju eksploitasi (E) suatu stok
ikan berada pada tingkat maksimum dan lestari (MSY) jika nilai F = M
atau
laju eksploitasi (E) = 0,5. apabila nilai E lebih besar dari 0,5 dapat
dikategorikan lebih tangkap biologis yaitu lebih tangkap pertumbuhan terjadi
bersama-sama dengan lebih tangkap recruitmen. Lebih tangkap pertumbuhan
yaitu tertangkapnya ikan - ikan muda yang akan berpotensi sebagai stok
sumberdaya perikanan sebelum mereka mencapai ukuran yang pantas untuk
ditangkap sedangkan lebih tangkap rekruitmen yaitu bila jumlah ikan-ikan
7
dewasa di dalam stok terlalu banyak dieksploitasi sehingga reproduksi ikanikan muda juga berkurang (Pauly, 1984).
Ikan kurisi (Nemipterus japonicus) Laut Jawa memiliki panjang asimtotik
(L∞) kecil jika dibandingkan dengan beberapa perairan di negara lain. Menurut
Ficher & White head (1974) dalam Siregar (1997) ciri ikan kurisi adalah
berukuran kecil, badan langsing serta menyatakan bahwa ikan kurisi maksimal
berukuran
30
cm, umumnya yang sering tertangkap berukuran 16-25 cm.
Berdasarkan pengamatan Brojo & Sari (2002) menyatakan bahwa ukuran
pertama kali ikan betina matang gonad (Lm) adalah pada ukuran sekitar 17
cm (kisaran 15- 18 cm). Lagler, et.al (1977) in
Gumilar (2011) mengatakan
bahwa perbedaan ukuran ikan antar jenis kelamin kemungkinan disebabkan oleh
faktor genetik.
KESIMPULAN
Parameter populasi ikan kurisi di Laut Jawa memiliki koefisien
pertumbuhan (K) sebesar 1 per tahun dan panjang asimtotik (L∞) 19,74 cm, laju
mortalitas alami (M) 1,08 pertahun, mortalitas penangkapan (F) 1,02 per tahun
dan mortalitas total (Z) 2,1 sehingga diperoleh laju eksploitasi (E) 0,48 yang
berarti bahwa tingkat pemanfaatan ikan kurisi di perairan Laut Jawa sudah
optimal.
SARAN
Perlu adanya pembatasan jumlah alat tangkap cantrang di Laut Jawa agar
stok sumberdaya ikan kurisi tetap lestari.
PESANTUNAN
Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil penelitian pengkajian
sumberdaya ikan demersal di WPP716- Laut Sulawesi dan WPP 712- Laut Jawa
Tahun 2012 di Balai Penelitian Perikanan Laut, Jakarta.
8
DAFTAR PUSTAKA
Atmaja & Nugroho, 2004. Karakteristik parameter populasi ikan siro
(Amblygaster sirm) dan model terapan Beverton dan Holt di Laut Natuna
dan sekitarnya. JPPI Vol. 10 No. 4 Tahun 2004
Badrudin, Tri Ernawati, Aisyah 2011. Kelimpahan stok sumberdaya ikan
demersal di Perairan Sub Area Laut Jawa. Jurnal Penelitian Perikanan
Indonesia Vol. 17 No. 1 Maret Tahun 2011
Brojo M & Sari RP. 2002. Biologi reproduksi ikan kurisi (Nemipterus
tambuloides Bleeker) yang didaratkan di TPI, Labuan, Pandeglang.
Jurnal Iktiologi Indonesia. 2(1) : 9-13.
Fischer W. & Whitehead P.J.P., 1974. FAO - Species Identification Sheets for
Fishery Purposes. Eastern Indian Ocean (fishing area 57) and Western
Central Pacific (fishing area 71). Vol. 4. pag. var. Rome: FAO
Fish
Base
2012. Growth parameters for Nemipterus
www.fishbase.org/. Diakses tanggal 23 Desember 2012
japonicus.
FISAT II. 2004. FAO – ICLARM Fish Stock Assessment Tools Version 1.13.
Rome
Gulland, J.A. 1971. The Fish Resources of the Oceans. Fishings News
(Books) Ltd. Surrey, England.209 p.
Gumilar AD. 2011. Kajian
furcosus, Valenciennes
Serang, Provinsi Banten
daya Perairan, Fakultas
Bogor.
stok sumber daya ikan kurisi (Nemipterus
1830) di Perairan Teluk Banten Kabupaten
[skripsi]. Program Studi Manajemen Sumber
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Harahap & Bataragoa, 2008. Pola pertumbuhan dan foktor kondisi ikan kurisi
(Aphareus rutilans Cuvier, 1830) di Perairan Laut Maluku. Pacifik
Jaournal. September 2008. Vol. 1(3) : 287-291
Jennings S., M. Kaiser, & J.D. Reynolds,2001. Marine Fisheries Ecology. Alden
Press Ltd. Blackwell Publishing. United Kingdom. 417 pp.
King, M. 1995. Fisheries Biology Assessment and Management. Fishing News
Books, Oxford. 341 p.
Lagler,
K.F., J.E. Bardach, R.R. Miller, and D.R.M. Passino. 1977.
Ichthyology. Second edition. John Wiley and Sons, Inc., New York.
9
Pauly, D. 1980. A selection of simple methods for the assessment of tropical fish
stocks. FAO Fish. Circ. FIRM/C 729. Roma. 54 pp.
Potier, M. & B Sadhotomo 1991. Sampling training. ALA/INS/87/17. Scien. And
Tech. Doc. 4. 29 p
Russel, B.C. 1990. F.A.O. Species Catalogue. Vol.12. Nemipterus Fishes of the
World (Treadfin Breams, Whiptail Breams, Monocle Breams, Dwarf
monocle breams, and Coral breams) Family Nemipteridae an Annotated
and Illustrated Catalogue of Nemipterid Species Known to Date. FAO.
Fisheries Synopsis. No.125 Vol.12 149 pp.
Siregar, E.B. 1997. Pendugaan stok dan parameter biologi ikan kurisi (Nemipterus
japonicus) diperairan Teluk Lampung. Skripsi. ProgramStudi ilmu
Kelautan, Fakultas perikanan. IpB.7o p.
Sparre, P. & S.C. Venema, 1999. Introduksi pengkajian stok ikan tropis. Buku 1.
Manual. FAO fish. Tech.
Wahyuni, I.S, Hartati, S.T, & I.J Indarsyah 2009. Informasi biologi perikanan ikan
kurisi (Nemipterus japonicus) di Blanakan dan Tegal. Bawal. Vol.2 No.4
April 2009
10
Lampiran 1. Garis pertumbuhan ikan kurisi (Nemipterus japonicus)
Appendix 1. The growth curve of threadfin bream (Nemipterus japonicus)
11
PARAMETER POPULASI IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus malabaricus)
DI PERAIRAN LAUT JAWA BAGIAN TIMUR (BRONDONG)
Oleh
Wahyuningsih1), Prihatiningsih1) dan Tri Ernawati1)
1)
Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut
ABSTRAK
Ikan kakap merah (Lutjanus malabaricus) merupakan jenis ikan demersal dari
famili Lutjanidae yang bernilai ekonomis penting di Indonesia. Penelitian
dilakukan dari bulan Januari sampai dengan November 2012 di Brondong,
Lamongan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui beberapa aspek parameter
populasi (Lc, Lm, L∞, t0, K, Z, E, M, F) dari ikan kakap merah. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa panjang rata-rata kakap merah yang tertangkap belum
sempat melakukan pemijahan (Lc<Lm). Persamaan pertumbuhan ikan kakap
merah adalah Lt = 97,65 (1 – e-0,220(t+0,024)). Mortalitas alami (M) adalah 0,49
tahun-1, mortalitas karena penangkapan (F) = 0,55 tahun-1 sehingga mortalitas
total (Z) = 1,04 tahun-1. Nilai eksploitasi (E) pada kakap merah (Lutjanus
malabaricus) adalah 0,53. Hal itu menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatannya
relatif optimum.
Kata kunci: Lutjanus malabaricus, Pertumbuhan, Umur, Mortalitas, Laut Jawa
PENDAHULUAN
Ikan kakap merah (Lutjanus malabaricus) adalah jenis ikan demersal dari famili
Lutjanidae yang bernilai ekonomis tinggi di Indonesia. Kakap merah merupakan
salah satu komoditas ekspor dari sub sektor perikanan yang permintaannya terus
meningkat.
Daerah penyebaran kakap merah di Laut Jawa ditemukan di perairan
Bawean, Kepulauan Karimunjawa, Selat Sunda, selatan Jawa (Parangtritis –
Yogyakarta), selatan/barat Kalimantan, timur Kalimantan, perairan Sulawesi,
Kepulauan Natuna, Kepulauan Lingga dan Kepulauan Riau lainnya (Marzuki &
Djamal, 1992). Alat tangkap yang digunakan untuk kakap merah umumnya adalah
pancing rawai, pancing ulur, jaring insang atau gill net, bubu, dan trawl dasar.
Brondong adalah salah satu landing base yang terletak di tepi pantai Utara
Jawa dan merupakan bagian wilayah dari kabupaten Lamongan. Alat tangkap ikan
kakap merah yang berhasil diidentifikasi di Brondong antara lain adalah jaring
cantrang, pancing rawai dasar dan pancing ulur. Daerah penangkapan kapal harian
13
(5-10 GT) sekitar Tuban, Rembang, Madura, Pati, Jepara dengan jarak sekitar 30 210 mil. Daerah penangkapan kapal mingguan (10 GT <) adalah sekitar P.
Bawean, Masalembo, Pulau Kangean, Matasiri, Banyuwangi, dan juga sekitar
Pulau Kalimantan.
Upaya penangkapan yang terus meningkat dikhawatirkan terjadinya
penangkapan berlebih terhadap sumberdaya ikan kakap merah, sehingga
diperlukan suatu bentuk pengelolaan. Oleh karena itu tujuan dari penelitian ini
adalah memberikan informasi tentang aspek parameter populasi (Lc, Lm, L∞, t0,
K, Z, E, M, F) yang dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam pengambilan
kebijakan.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan pada Januari - November 2012. Pengumpulan data
dilakukan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Brondong dan tempat pengumpul ikan
di wilayah PPN Brondong. Berikut merupakan peta lokasi penangkapan di
wilayah Brondong (Gambar 1).
Gambar 1. Lokasi penangkapan (fishing ground) yang berbasis di Brondong
Pengumpulan Data
Sampel ikan kakap merah (Lutjanus malabaricus) diperoleh dari hasil
tangkapan campuran dari ketiga alat tangkap yaitu pancing ulur, pancing rawai
dasar, dan jaring cantrang. Sampel ikan diukur panjang baku (Fork length) dengan
mistar ketelitian 1 mm dan bobot ditimbang dengan ketelitian 0.1 gram.
14
Analisis Data
Pendugaan rata-rata panjang tertangkap (Lc)
Pendugaan rata-rata panjang tertangkap dilakukan dengan membuat grafik
hubungan antara panjang ikan (sumbu X) dengan jumlah ikan (sumbu Y)
sehingga diperoleh kurva berbentuk S. Nilai length at first capture yaitu panjang
pada 50% pertama kali tertangkap dihitung dengan persamaan sebagai berikut
(Jones, 1976 dalam Sparre & Venema, 1998) :
S L est 
1
.................................................................................(1)
1  exp( S1  S 2 * L)
 1

Ln
 1  S1  S 2 * L ......................................................................................(2)
 SL

L50% 
S1
.............................................................................................................(3)
S2
dimana :
SL
: kurva logistik
S1 dan S2
: konstanta pada rumus kurva logistik
Pendugaan rata-rata panjang pertama kali matang gonad (Lm)
Pendugaan rata-rata panjang pertama kali matang gonad (length at first
maturity) dilakukan sesuai dengan prosedur penghitungan yang dilakukan Udupa
(1986), melalui rumus :
m = Xk + X/2 – (X ∑ pi)...........................................................................(4)
dimana :
m : log ukuran ikan saat pertama matang ovarium
Xk: log ukuran ikan dimana 100% ikan sampel sudah matang
X : selang log ukuran (log size increment)
Pi : proporsi ikan matang pada kelompok ke-i
Rata-rata ukuran ikan pertama matang ovarium diperoleh dari nilai antilog (m).
Estimasi parameter pertumbuhan
15
Pendugaan nilai koefesien pertumbuhan L∞ dan K dilakukan dengan
menggunakan metode ELEFAN I, sedangkan t0 diperoleh melalui persamaan
Pauly (1980). Ketiga nilai dugaan parameter pertumbuhan tersebut dimasukkan ke
model pertumbuhan Von Bertalanfy. Pola pertumbuhan ikan kakap merah (L.
malabaricus) diperkirakan dengan menggunakan rumus Von Bertalanffy (Sparre
& Venema, 1998) sebagai berikut :
Lt = L∞ (1- e-k (t – to))..............................................................................................(5)
dimana :
Lt : ukuran panjang ikan pada saat umur t tahun(cm)
L∞ : panjang maksimum ikan yang dapat dicapai
t0 : umur ikan teoritis pada saat panjangnya 0 cm
K : Koefisien pertumbuhan
Dugaan umur
Nilai dugaan umur teoritis pada saat panjang ikan sama dengan nol (t0)
ikan kakap merah diperoleh dengan menggunakan rumus (Pauly, 1980) yaitu :
Log (-t0) = -0.3922 – 0.2752 Log -1.038 Log K....................................................(6)
Perhitungan mortalitas
Mortalitas total (Z) dalam suatu kegiatan perikanan tangkap sangat penting
untuk menganalisis dinamika populasi atau stok ikan. Mortalitas dapat dibedakan
dalam mortalitas alami (M) dan mortalitas karena penangkapan (F). Mortalitas
total dapat diduga dari pergeseran kelimpahan kelompok umur dan dari analisis
kurva hasil tangkapan menggunakan data frekuensi panjang (Sparre & Venema,
1998). Mortalitas total dihitung menggunakan rumus : Z = M + F ......................(7)
Mortalitas alami (M) diduga dengan metode persamaan empiris Pauly
(1980) dengan rumus :
Ln M = -0,0152 – 0,279*Ln L∞ + 0,6543*Ln K + 0,4634*Ln T..........................(8)
dimana :
M: mortalitas alami per tahun
K: Koefisien pertumbuhan
L∞ : panjang maksimum ikan
T: Suhu rata-rata tahunan (ºC)
16
HASIL
Panjang rata-rata tertangkap (Lc) dan panjang rata-rata matang gonad
(Lm)
Pengukuran rata-rata panjang kakap merah (Lutjanus malabaricus)
tertangkap pada tingkat kemungkinan 50 % (Lc) yang diperoleh dari hasil
penelitian adalah 38,51 cm FL (Gambar 2), sedangkan ukuran rata-rata panjang
pertama kali matang gonad (Lm) sebesar 50,004 cm FL. Nampak bahwa nilai Lm
> Lc.
100
Frekuensi kumulatif (%)
80
60
40
20
0
0
20
40
60
80
100
Mid-length (cm)
Gambar 2. Panjang rata-rata tertangkap ikan kakap merah (Lutjanus malabaricus)
di Brondong (Laut Jawa).
Estimasi parameter pertumbuhan
Berdasarkan data struktur ukuran panjang (FL) ikan kakap merah (Gambar
3) diperoleh nilai parameter pertumbuhan yaitu panjang asimtotik (L∞) = 97,65
cm, koefisien pertumbuhan (K) = 0,220 per tahun, dan umur ikan kakap merah
pada saat panjang sama dengan nol (t0) = -0,024. Dengan demikian persamaan
pertumbuhan Von Bertalanffy untuk kakap merah (Lutjanus malabaricus) adalah
Lt = 97,65[1-e-0,220(t + 0,024)].
Gambar 3. Sebaran frekuensi panjang kakap merah (Lutjanus malabaricus)
berdasarkan Program ELEFAN.
17
Beberapa penelitian terkait dengan parameter pertumbuhan ikan kakap
merah (Lutjanus malabaricus) telah banyak dilakukan pada penelitian sebelumnya
di lokasi yang berbeda dari penelitian ini, diantaranya adalah Taiwan, China,
Kuwait, Australia, Utara Jawa, dan Kotabaru (kalimantan Selatan) (Tabel 1). Pada
penelitian Prihatiningsih (2012) di Kotabaru (Kalimantan Selatan) diperoleh nilai
L∞ = 57,86 cm FL dan K = 0,238 per tahun sehingga dari beberapa parameter
populasi yang berbeda, diperoleh tingkat pertumbuhan yang berbeda pula.
Tabel 1. Estimasi parameter pertumbuhan ikan kakap merah (Lutjanus
malabaricus) dengan daerah penangkapan yang berbeda.
L∞
K
t0
(cm)
(per tahun)
(tahun)
96,9 (TL)
0,147
93,0 (TL)
0,142
-0,82
China (laut China Selatan)
70,7 (SL)
0,168
0,418
Australia
68,9 (TL)
0,358
56,6 (FL)
0,262
0,009
Australia
64,4 (TL)
0,338
0,397
Utara Jawa (Indonesia)
57,86(FL)
0,238
0,588
Kalimantan Selatan (Indonesia)
(2012)
97,65 (FL)
0,220
-0,024
Brondong,Lamongan (Utara Jawa)
Penelitian ini (2012)
Lokasi/Location
Sumber/Ref
Taiwan (Laut China Selatan)
Edwards (1991)
Mathews & Samuel
Kuwait
(1991)
Herianti (1993)
Prihatiningsih
Dugaan umur
Dengan menggunakan rumus pertumbuhan Von Bertalanffy, diperoleh
nilai panjang asimtotik (L∞) = 97,65 cm, nilai K = 0,220 per tahun, dan nilai
dugaan umur teoritis pada saat panjang ikan sama dengan nol (t0) = -0,024 per
tahun, sehingga diperoleh persamaan pertumbuhan ikan kakap merah (Lutjanus
malabaricus) di Brondong, Lamongan (Pantai Utara Jawa) adalah Lt = 97,65[1-e0,220(t + 0,024)
]. Dari persamaan tersebut dapat diduga panjang dari ikan kakap merah
(Lutjanus malabaricus) pada umur tertentu (Gambar 4).
Ukuran panjang (FL) ikan kakap merah terkecil selama penelitian adalah
15 cm diduga berumur 0,74 tahun (sekitar 9 bulan), ukuran panjang terbesar
adalah 94 cm diduga berumur 15 tahun, ukuran panjang pertama kali tertangkap
18
(Lc) adalah 38,51 cm diduga berumur 2 tahun dan panjang pertama kali matang
gonad (Lm) adalah 50 cm diduga berumur 3 tahun.
Panjang cagak/FL (cm)
100
L∞
80
Lt = 97.65(1-e-0.220(t-0.024))
60
40
20
0
0
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30
Umur (tahun)
Gambar 4.
Kurva pertumbuhan Von Bertalanffy ikan kakap merah (Lutjanus
malabaricus)
Estimasi mortalitas
Dari parameter pertumbuhan Von Bertalanffy ikan kakap merah (Lutjanus
malabaricus) yang telah dihitung, dapat diperoleh nilai mortalitas alami (M)
adalah 0,49 per tahun dan nilai mortalitas karena penangkapan (F) adalah 0,55 per
tahun, sehingga mortalitas total (Z) = 1,04 per tahun. Untuk nilai
eksploitasi/tingkat pemanfaatan (E) ikan kakap merah (Lutjanus malabaricus) di
Brondong adalah 0,53.
BAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian ikan kakap merah di Brondong diketahui
bahwa nilai Lm > Lc (Lm = 50,004 ; Lc = 38,51). Hal itu menunjukkan bahwa
ukuran rata-rata panjang pertama kali tertangkap lebih kecil dari ukuran pertama
kali matang gonad, sehinngga dapat dikatakan bahwa sebagian besar ikan-ikan
yang tertangkap belum sempat melakukan pemijahan. Oleh karena itu perlu suatu
kebijakan dalam pengelolaan untuk menjaga sumberdaya yang berkelanjutan.
Salah satunya adalah dengan menentukan minimum Legal Size, yaitu paling tidak
ukuran yang tertangkap lebih besar atau sama dengan Lm (length maturity).
Menurut Grimes (1987), ikan kekakapan mencapai ukuran kematangan gonad
pada ukuran panjang 40% - 50 % dari panjang maksimumnya dan perbedaan
ukuran pada saat maturasi sangat dipengaruhi oleh kedalaman serta tipe habitat
kaitannya dengan kelimpahan makanan. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya
19
yaitu oleh Prihatiningsih (2012), menyatakan bahwa nilai Lc kakap merah
(Lutjanus malabaricus) di perairan Kotabaru (Kalimantan Selatan) yaitu 40,5
cmFL. Hasil tersebut hampir sama dengan penelitian oleh Herianti (1993), bahwa
nilai Lc kakap merah di perairan Laut Jawa adalah 43,3.
Nikolskii (1969) mengatakan bahwa pertumbuhan merupakan faktor
penting dalam dinamika populasi, karenanya informasi mengenai parameter
pertumbuhan perlu diketahui sebab dapat digunakan sebagai dasar untuk menduga
kondisi sumberdaya di suatu perairan seperti besarnya sediaan, tingkat
pengusahaan serta kemungkinan pengelolaannya. Berdasarkan data hasil
penelitian ikan kakap merah di Brondong dan hasil penelitian sebelumnya seperti
yang telah ditampilkan pada tabel 1, diperoleh nilai K yang kurang dari satu.
Menurut Gulland (1983), apabila nilai K yang kurang dari satu menunjukkan
bahwa ikan ini mempunyai pertumbuhan yang lambat. Laju pertumbuhan yang
lambat sangat mempengaruhi pola pemanfaatannya. Untuk mencapai pola
pemanfaatan yang lestari, perlu dipertimbangkan waktu yang tepat untuk
menangkap ikan, baik ditinjau dari sumber dayanya maupun segi ekonominya.
Ikan-ikan yang berumur muda harus dibiarkan tumbuh dewasa terlebih dahulu
sebelum ditangkap. Penangkapan ikan-ikan muda yang berlebihan akan
mengakibatkan kelebihan tangkap pertumbuhan (growth overfishing). Hal ini juga
menyebabkan kelebihan tangkap penambahan baru (recruitment overfishing),
karena ikan-ikan muda yang belum sempat dewasa dan bertelur sudah tertangkap
terlebih dahulu sehingga kehilangan kesempatan untuk penambahan baru
(recruitment). Menurut Sparre dan Venema (1998), nilai K merupakan suatu
parameter yang menentukan seberapa cepat ikan mencapai panjang asimptotiknya
(L∞).
Hasil penelitian ikan kakap merah (Lutjanus malabaricus) di Brondong,
pada ukuran panjang (FL) terkecil 15 cm diduga berumur 0,74 tahun sedangkan
pada ukuran panjang (FL) terbesar 94 cm diduga berumur 15 tahun. Menurut
Newman et al. (2000) ikan kakap merah jenis Lutjanus malabaricus mempunyai
umur yang cukup panjang dapat mencapai 20 tahun dan pertumbuhannya relatif
lambat setelah mencapai dewasa. Ikan yang memiliki koefisien pertumbuhan yang
tinggi pada umumnya memiliki umur yang relatif pendek (Paully, 1980).
20
Tingkat pemanfaatan (E) pada kakap merah (Lutjanus malabaricus) adalah
0,53. Hal itu menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatannya relatif optimum.
Menurut Gulland (1983), tingkat pemanfaatan optimum berada pada saat E = 0,5.
Kondisi tersebut perlu kehati-hatian dalam melakukan pengelolaan. Sebaiknya
dalam pengelolaan tersebut tidak boleh adanya penambahan upaya penangkapan,
karena
jika
terjadi
penambahan
upaya
penangkapan
dikhawatirkan
pemanfaatannya mengarah pada kondisi over fishing. Nilai F menunjukkan
seberapa besar dan meningkatnya tekanan penangkapan (fishing pressure)
terhadap stok ikan di suatu perairan (Suman & Boer, 2005). Variasi laju kematian
alamiah (M) dari satu jenis ikan tidak terlalu besar, biasanya nilainya dianggap
tetap dari tahun ke tahun (Paully et al., 1984). Hal ini menyebabkan laju kematian
total (Z) dari tahun ke tahun lebih banyak ditentukan oleh laju kematian karena
penangkapan (F) dibandingkan laju kematian alamiah (M).
KESIMPULAN
Rata-rata ikan yang tertangkap belum sempat melakukan pemijahan (Lc <
Lm). Persamaan pertumbuhan ikan kakap merah adalah Lt = 97,65[1-e-0,220(t
+
0,024)
]. Tingkat pemanfaatan (E) adalah 0,53 yang berarti bahwa tingkat
pemanfaatannya relatif optimum. Sehingga perlu kehati-hatian dalam upaya
pengelolaannya.
PERSANTUNAN
Tulisan ini merupakan hasil dari kegiatan riset: Pengkajian Sumber Daya
Ikan Demersal di WPP 716 Laut Sulawesi dan WPP 712 Laut Jawa di Balai
Penelitian Perikanan Laut Tahun 2012.
DAFTAR PUSTAKA
Edwards, R. R. C. And S. Shaher. 1991. The biometrics of marine fishes from the
Gulf of Aden. Fishbyte 9 (2): 27-29.
Grimes, C. B. 1987. Reproduvtive biology of the lutjanidae: a review. Westview
Press. Boulder and London. pp: 239-294.
Gulland, J. A. 1983. Fish stock assessment. A Manual of Basic Methods. John
Wiley & Sons. Chicester. 233 p.
21
Herianti, I., R.Djamal. 1993. Dinamika populasi kakap merah Lutjanus
malabaricus (Bloch and Schneider) di perairan Utara Laut Jawa.
Jurnal Penelitian Perikanan Laut No. 78. Hal. 18 – 25.
Marzuki, S. dan R. Djamal. 1992. Penelitian penyebaran kepadatan stok dan
beberapa parameter biologi induk kakap merah dan kerapu di perairan
laut jawa dan kepulauan Riau. Jurnal Penelitian Perikanan Laut No.
68 tahun 1992. Balai Penelitian Perikanan Laut. Jakarta. Hal. 49-65.
Mathews, C. P. and Samuel, 1991. Growth, mortality and length-weight
parameters for some Kuwaiti fish and shrimp. Fishbyte 9 (2): 30-33.
Newman, S. J., M. Cappo & D. Williams. 2000. Age, growth, mortality rates, and
corresponding yield estimates using otoliths of the tropical red
snappers, Lutjanus erythropterus, L.malabaricus, and L. Sebae, from
the central Great Barrier Reef. Fisheries Research 48: 1-14.
Nikolskii, G. V. 1969. Fish population dynamics. Oliver and Boyd, Edinburg. 323
p.
Pauly, D. 1980. A selection of simple methods for the assessment of tropical fish
stocks. FAO Fish. Circ. FIRM/C 729. Roma. 54 pp.
Pauly, D. J. Ingles, R. Neal. 1984. Application to shrimp stocks of objective
methods for the estimation of growth, mortality, and recruitment
related parameters from length frecuency data (ELEFAN I and
ELEFAN II). In Penaeid Shrimp-Their Biology and Management.
220-234. Fishing News Book Limited. Farnham-Surrey-England.
Prihatiningsih. 2012. Pertumbuhan, umur dan mortalitas ikan kakap merah
(Lutjanus malabaricus) dari perairan Kotabaru (Pulau Laut)
Kalimantan Selatan. Prosiding. Seminar Nasional Perikanan
Tangkap. Manado 30-31 Oktober 2012. Hal 373-383.
Sparre, P. & S. C. Venema. 1998. Introduksi pengkajian stok ikan tropis. Badan
Penelitian dan Pengembangan Perikanan (Terjemahan) : Introduction
to Tropical fish stock assessment. FAO Fish Tech. Paper. 306.(1) 376
pp.
Suman, A. & M. Boer. 2005. Ukuran pertama kali matang kelamin, musim
pemijahan, dan parameter pertumbuhan udang dogol (Metapenaeus
ensis de Haan) di perairan Cilacap dan sekitarnya. Jurnal Penelitian
Perikanan Indonesia. 11(2): 69-74.
Udupa, K. S. 1986. StatisticaL method of estimating the size of first maturity in
fish. Fishbyte ICLARM. Manila. Vol 4 No 2. August 1986. 8-1.
22
ASPEK BIOLOGI IKAN SWANGGI (Priacanthus macracanthus) DI
PERAIRAN REMBANG, LAUT JAWA
Oleh
Nur’ainun Muchlis1) dan Muhammad Taufik1)
1)
Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan menganalisis beberapa aspek biologi dan parameter
populasi ikan swanggi. Persamaan panjang-berat ikan swanggi pada kelamin
betina adalah W = 0.8916L1.5755 dan kelamin jantan adalah W = 1.0551L1.5126
dengan nilai koefisien korelasi (r) masing-masing 0.865 dan 0.6804. Musim
pemijahan ikan swanggi di Laut Jawa diduga terjadi sepanjang tahun dengna
puncaknya bulan Oktober hingga Nopember. Hasil analisis struktur ukuran
panjang ikan swanggi diperoleh nilai K = 1.00 dengan L∞ = 30.24 cm. Nilai M
pada suhu 29oC adalah 1.81, nilai F = 2.43 per tahun dan n ilai Z = 4.24 per tahun.
Laju eksploitasi (E) ikan swanggi adalah 0.57 nilai tersebut mengindikasikan
bahwa pemanfaatan sudah melampaui batas maximum yang boleh di eksploitasi,
untuk itu diperlukan upaya pengurangan jumlah armada atau perubahan alat
tangkap yang digunakan.
Kata Kunci: Aspek biologi, ikan swanggi, Rembang, Laut Jawa
PENDAHULUAN
Ikan swanggi (Priacanthus macracanthus) adalah salah satu jenis ikan
demersal yang bernilai ekonomis penting. Pengertian ekonomis penting yang
dimaksud adalah komoditas tersebut mempunyai nilai pasar yang tinggi, volume
produksi makro yang tinggi dan luas serta daya produksi yang tinggi pula (Dirjen
Perikanan, 1979).
Ikan swanggi merupakan ikan karang demersal dengan karakteristik
khusus berwarna merah muda, memiliki mata besar, dan pada sirip perut terdapat
bintik berwarna ungu kehitam-hitaman (FAO, 1999).
Family Priacanthidae
memiliki penyebaran yang luas diperairan tropis maupun subtropics, dimana
kadang-kadang ditemukan secara soliter ataupun dalam bentuk gerombolan yang
besar.
Penelitian ini bertujuan menganalisis berbagai aspek biologi ikan
swanggi yang meliputi hubungan panjang berat, rasio kelamin, tingkat
kematangan gonad, isi lambung serta pendugaan parameter populasi.
23
BAHAN DAN METODE
Pengambilan contoh ikan dilakukan secara acak di tempat pendaratan
ikan atau langsung dari nelayan perairan Rembang dan sekitarnya. Contoh ikan
disortir dan diidentifikasi jenisnya berdasarkan panduan dari Tarp & Kailola
(1982). Contoh ikan diukur panjang total (TL), ditimbang beratnya, dilakukan
pembedahan untuk penentuan tingkat kematangan gonad (TKG), jenis kelamin
serta dilakukan pengamatan terhadap isi lambung untuk mengetahui kebiasaan
makan dari ikan swanggi.
Analisis Data
Hubungan panjang – berat mengacu pada Effendie (1979) dengan
formula :
W = aLb ………………………………………………………………………………………………………………..…….(1)
Dimana :
W = berat ;
L = panjang
a = intersep (perpotongan kurva hubungan panjang-berat dengan sumbu Y)
b
= kemiringan (slope)
Untuk menguji nilai b = 3 atau b ≠ 3 dilakukan uji –t (uji parsial),
dengan hipotesis :
H0 : b = 3, hubungan panjang dan berat adalah isometrik.
H1 : b ≠ 3, hubungan panjang dengan berat adalah allometrik yaitu :
Pola hubungan panjang-berat bersifat allometrik positif, bila b > 3 (pertambahan
berat lebih cepat daripada pertambahan panjang), dan allometrik negatif, bila b <
3 (pertambahan panjang lebih cepat daripada pertambahan berat).
HASIL DAN BAHASAN
1.
Hubungan Panjang-Berat
Pengukuran individu terhadap 4.037 ekor ikan swanggi (Priacanthus
macracanthus) di perairan Rembang (Laut Jawa) diperoleh sebaran ukuran
panjang berkisar 14.4 – 31.2 cm (panjang cagak, FL) dan kisaran beratnya 41.7 –
208.46 gram.
Persamaan panjang-berat ikan swanggi pada kelamin betina adalah W =
0.8916L1.5755 dan kelamin jantan adalah W = 1.0551L1.5126 dengan nilai koefisien
24
korelasi (r) masing-masing 0.865 dan 0.6804 (Gambar 1). Jika nilai koefisien
korelasi (r) mendekati nilai -1 atau 1, maka terdapat hubungan linier yang kuat
antara kedua variable tersebut (Walpole, 1993).
Dengan demikian terdapat
hubungan yang erat yaitu sekitar 60-80 % antara panjang dengan berat ikan
swanggi di Rembang.
Berat (gr)
200
Betina/Female
y = 0.8916x1.5755
R² = 0.865
150
100
50
0
0
10
20
30
Panjang cagak, FL (cm)
250
Jantan/Male
Berat (gr)
200
y = 1.0551x1.5126
R² = 0.6804
150
100
50
0
0
10
20
30
40
Panjang cagak, FL (cm)
Gambar 1. Hubungan panjang-berat ikan swanggi (Priacanthus macracanthus) di
Rembang
Nilai b pada jenis kelamin jantan dan betina ikan swanggi adalah 1.5755
dan 1.5126.
berdasarkan hasil uji –t terhadap parameter b pada selang
kepercayaan 95% diperoleh thitung > ttabel, yang artinya b < 3. Secara keseluruhan
pola pertumbuhan ikan swanggi baik ikan jantan maupun ikan betina bersifat
allometrik negatif yang artinya pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan
pertambahan berat.
2.
Rasio Kelamin
Pengamatan terhadap rasio kelamin ikan swanggi hasilnya pada setiap
bulan pengamatan ditemukan jenis kelamin jantan lebih dominan dibanding jenis
25
kelamin betina. Pada bulan Mei terlihat jantan jauh lebih dominan yaitu sebanyak
85 % dari total ikan swanggi yang diamati.
120
Persentase (%)
100
80
Jenis Kelamin :
60
Jantan
40
Betina
20
0
Januari
Februari
Mei
Juni
September
Gambar 2. Jenis Kelamin Priacanthus macracanthus
3. Tingkat Kematangan Gonad (TKG)
Hasil pengamatan TKG pada setiap pengambilan contoh ikan swanggi,
diperoleh ikan yang mempunyai tingkat kematangan gonad yang berbeda-beda.
Dari jumlah ikan yang matang gonad (matang kelamin) setiap kali pengambilan
contoh (sampling) di lokasi penelitian menunjukkan pergeseran persentase
bulanan yang dapat dijadikan parameter untuk mengetahui musim pemijahannya.
Ikan dikatakan matang gonad apabila telah mencapai fase ke-5 dari tingkat
kematangan gonad ikan, namun pada penelitian ini hanya ditemukan hingga fase
ke-4 yaitu pada bulan Mei dan September, sehingga diduga puncak musim
pemijahan terjadi pada bulan Oktober hingga Nopember.
26
120
Persentase (%)
100
80
TKG :
IV
60
III
40
II
20
I
0
Januari
Februari
Mei
Juni
September
Gambar 3. Tingkat Kematangan Gonad Priacanthus macracanthus (dipisah
jantan betina)
4. Isi Lambung
Pengamatan terhadap isi lambung ikan swanggi ditemukan beberapa
jenis ikan, udang-udangan, cumi, kepiting dan bivalvia, namun yang mendominasi
adalah ikan dan udang dimana jenis ini ditemukan pada setiap pengamatan.
Persentase (%)
100%
80%
40%
Isi Lambung :
Kepitin
g
Cumi
20%
Bivalvia
60%
0%
Jan
Feb
Mei
Juni
Sept
Gambar 4. Isi lambung Priacanthus macracanthus
Pendugaan Parameter Populasi
Perhitungan parameter populasi dimaksudkan untuk mengetahui tingkat
eksploitasi ikan di suatu perairan. Penentuan parameter populasi yang meliputi
panjang maksimum teoritis (L∞), laju pertumbuhan (K), laju kematian (Z, M dan
F) dan laju eksploitasi (E) berdasarkan analisis frekuensi panjang individu yang
27
disampling per bulan di Rembang. Laju kematian dan nilai ekspoitasi disajikan
pada Tabel 1.
Tabel 1. Parameter populasi ikan swanggi (Priacanthus macracanthus) di
Rembang
Jenis Ikan
Priacanthus
macracanthus
L. ∞ (cm)
(K: cm/year)
F
M
Z
E
30.24
1.00
2.43
1.81
4.24
0.57
Hasil analisis struktur ukuran panjang ikan Priacanthus macracanthus
dengan FISAT diperoleh hasil sebaran kelompok ukuran ikan Swanggi
(Priacanthus macracanthus) mengalami pergeseran ke kiri dan kanan sehingga
menunjukan adanya rekruitmen dan pertumbuhan. Laju pertumbuhan K = 1.00
dengan L∞ = 30.24, mortalita alami (M) pada suhu 29oC adalah 1.81, pertumbuhan
mortalitas karena penangkapan (F) = 2.43 pertahun. Sehingga mortalitas total (Z)
= 4.24 pertahun. Laju eksploitasi ikan swanggi adalah 0.57 nilai E tersebut
mengindikasikan bahwa pemanfaatan sudah melampaui batas maximum yang
boleh di eksploitasi, untuk itu diperlukan suatu upaya pengurangan jumlah armada
atau perubahan alat tangkap yang digunakan.
.
Gambar 5. Sebaran Frekwensi Panjang ikan Priacanthus macracanthus
KESIMPULAN
1. Hubungan panjang-berat ikan swanggi jenis betina dan jantan bersifat
allometrik negatif dengan persamaan pada ikan swanggi betina W =
0.8916L1.5755 dan ikan swanggi jantan adalah W = 1.0551L1.5126.
28
2. Musim pemijahan ikan swanggi diperkiran pada bulan Oktober hingga
Nopember.
3. Laju eksploitasi ikan swanggi di Rembang adalah 0.57 nilai tersebut
mengindikasikan bahwa pemanfaatan sudah melampaui batas maximum yang
boleh di eksploitasi, untuk itu diperlukan suatu upaya pengurangan jumlah
armada atau perubahan alat tangkap yang digunakan.
PERSANTUNAN
Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil Penelitian
Pengkajian Sumberdaya Ikan Demersal di WPP-716 Laut Sulawesi dan WPP-712
Laut Jawa, T.A. 2012 di Balai Penelitian Perikanan Laut, Muara Baru, Jakarta
DAFTAR PUSTAKA
Dirjen Perikanan, 1979. Buku Pedoman Pengenalan sumberdaya Perikanan Laut,
Bagian I: Jenis-jenis ikan ekonomis penting.
Direktorat Jenderal
Perikanan, Departemen Pertanian. Jakarta, 170 pp.
Effendie, M. I. 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor.
112 pp.
FAO (Food Agricultural Organization), 1999. The Living Marine Mesources of
Western Central Pasific. Spesies Identification guide for Fishery Purpose.
Department of Biological Sciences Old Dominion. Norfolk University,
Virginia.
Tarp, T.G. & P.J. Kailola. 1982. Trawled Fishes of Southern Indonesia and
North-Western Australia. ADAB, GDF, and GTZ. Singapore. 406 pp.
Walpole, R. E. 1993. Pengantar Statistik. Edisi ke tiga. Penerbit PT. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.
29
BIOLOGI REPRODUKSI DAN KEBIASAAN MAKAN IKAN PETEK
(Leiognathus splendens) DI PERAIRAN BANTEN DAN SEKITARNYA
Oleh
Prihatiningsih 1), Pustika Ratnawati1) dan Muhammad Taufik1)
1)
Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut, Jakarta
Email : [email protected]
ABSTRAK
Ikan petek (Leiognathus splendens) adalah salah satu jenis ikan demersal yang
cukup banyak tertangkap di perairan pantai Laut Jawa seperti di perairan Banten
dan sekitarnya. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui, biologi reproduksi dan
kebiasaan makan ikan petek. Pengambilan contoh ikan petek dilakukan di Kronjo
dan Cituis (Tangerang, Banten) pada Januari – Desember 2012 dengan alat
tangkap jaring cantrang. Hasil penelitian menunjukkan pola pertumbuhan ikan
petek jantan dan betina bersifat allometrik negatif. Nilai faktor kondisi ikan petek
jantan berkisar 1,483 – 1,937 dengan rata-rata 1,702 dan betina berkisar 1,214 –
2,043 dengan rata-rata 1,768. TKG ikan petek jantan dan betina berada pada
stadia I – IV dan diduga musim pemijahan terjadi beberapa kali dalam setahun
dan puncaknya terjadi pada September. Fekunditas ikan petek berkisar 6.483 –
32.712 butir telur dengan rata-rata 23.880 butir dengan ukuran diameter telur
berkisar 134 – 402 µm dengan rata-rata 268 µm. Ikan petek merupakan jenis ikan
omnivora dengan makanan utamanya yaitu fitoplankton maupun zooplankton,
makanan pelengkapnya molluska dan krustasea dan makanan tambahannya
polychaeta, larva bivalva dan larva gastropoda.
Kata Kunci: Biologi reproduksi, kebiasaan makan, ikan petek, perairan Banten.
PENDAHULUAN
Ikan petek (Leiognathus splendens) adalah salah satu jenis ikan demersal
yang cukup banyak tertangkap dengan menggunakan jaring cantrang di perairan
Banten, pantai utara Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan pantai timur
Lampung. Ikan petek memberikan kontribusi yang cukup tinggi terhadap
eksploitasi sumberdaya ikan demersal di perairan pantai utara Jawa. Hal yang
mendasari penelitian ini adalah bahwa ikan petek merupakan ikan demersal yang
paling banyak tertangkap di perairan Laut Jawa yaitu sebesar 60% (Badruddin,
1988; Sumiono et al. 2002; Parwati et al. 1988) sehingga dibutuhkan data dan
informasi lebih lengkap mengenai beberapa aspek biologinya.
Menurut Longhurst & Pauly (1987) ikan petek hidup bergerombol di
daerah berpasir atau pasir berlumpur pada kedalaman 10 – 50 m. Selain itu, ikan
31
petek memiliki pertumbuhan dan rekruitmen tinggi (Pauly, 1980). Dari segi
ekonomi, ikan petek dimasukan ke dalam kategori ”ikan rucah” (trash fish). Di
pantai utara Jawa petek biasa dikonsumsi oleh masyarakat setempat dan harganya
relatif mahal dibandingkan dengan jenis ikan demersal lainnya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola biologi reproduksi dan
kebiasaan makan ikan petek (Leiognathus splendens). Hasil penelitian ini
diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pembanding penelitian selanjutnya dan
dapat memberikan kontribusi terhadap pola pengelolaan dan pengembangan
sehingga sumberdaya ikan petek dapat dimanfaatkan dengan tetap dijaga
kelestariannya.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Pengambilan contoh ikan petek dilakukan di Tempat Pendaratan Ikan
(TPI) Kronjo dan Cituis (Tangerang, Banten) mulai Januari sampai Desember
2012. Analisis sampel dilakukan di laboratorium Balai Penelitian Perikanan Laut
Jakarta.
Pengumpulan Data
Contoh ikan petek (Leiognathus splendens) diperoleh dari hasil tangkapan
menggunakan jaring cantrang dengan mata jaring (mesh size) 1 inch. Jaring
cantrang ini dioperasikan sampai kedalaman air sekitar 30 meter. Contoh ikan
diukur panjang total (TL) (ketelitian 0,1 cm) dan bobotnya (ketelitian 0,1 gram).
Gonad dan isi lambung ikan petek diawetkan dengan menggunakan larutan
formalin 10% dan gilson.
Analisis Data
Hubungan panjang-berat
Hubungan panjang-berat mengacu pada Effendie (1979) dengan formula:
W = aLb .................................................................................................................(1)
dimana :
W
= berat
L
= panjang
32
a
= intersep (perpotongan kurva hubungan panjang-berat dengan sumbu Y)
b
= ”slope”
Untuk menguji nilai b = 3 atau b ≠3 dilakukan uji –t (uji parsial), dengan
hipotesis:
H0
: b = 3, hubungan panjang dan berat adalah isometrik
H1
: b ≠3, hubungan panjang dengan berat adalah allometrik yaitu :
Pola hubungan panjang-berat bersifat allometrik positif, bila b > 3 (pertambahan
berat lebih cepat daripada pertambahan panjang), dan allometrik negatif, bila b <
3 (pertambahan panjang lebih cepat daripada pertambahan berat).
Faktor kondisi
Perhitungan faktor kondisi berdasarkan pada panjang dan berat ikan.
Setelah pola pertumbuhan panjang diketahui, nilai faktor kondisi dapat dihitung.
Faktor kondisi ikan petek dihitung dengan rumus (Effendie, 1979):
Kn = 102 W/L3 …………………………………………………………………...(2)
Dimana: Kn = faktor kondisi; W = bobot rata-rata ikan; L = panjang rata-rata ikan
Nisbah kelamin
Nisbah kelamin dihitung dengan cara membandingkan jumlah ikan petek
jantan dengan jumlah ikan petek betina dengan menggunakan uji chi-square
(Steel & Torrie, 1993) dengan rumus :
k
X2 
i 1
(Oi  ei ) 2 …………………………………………………..………….(3)
ei
dimana ;
Oi
= Jumlah frekuensi ikan jantan dan betina;
ei
= Jumlah ikan jantan dan betina harapan pada sel ke-1;
k
= kelompok stasiun pengamatan untuk ikan jantan dan betina yang
ditemukan.
Tingkat kematangan gonad (TKG)
TKG diamati secara visual dengan cara melihat perubahan morfologi
gonad serta pengamatan histologi dengan metode parafin dan pewarnaan
hematoxylin - eosin. Perkembangan oosit dibagi menjadi lima stadium
berdasarkan klasifikasi Kuo et al. (1974), yaitu stadium I (oosit primer
mempunyai khromatin nukleolus dan perinukleolus); stadium II (terdapat vesikel
33
pada kuning telur); stadium III (terdapat globula pada kuning telurnya); stadium
IV (stadium matang telur, ditandai dengan bergeraknya inti sel dari tengah ke tepi)
dan stadium V (disebut stadium atretis; gonad berbentuk kecil, telur belum dapat
dibedakan oleh mata biasa,ukuran menyusut, berwarna kemerahan).
Indeks kematangan gonad (IKG)
Indeks kematangan gonad (IKG) didapat melalui rumus yang diuraikan
Effendie (1979), yaitu : IKG  Bg x100% ............................................................(4)
Bt
dimana ;
IKG
: Indeks kematangan gonad (%)
Bg
: Berat gonad ikan (gram)
Bt
: Berat total ikan (gram).
Fekunditas dan diameter telur
Penghitungan fekunditas ikan petek dilakukan dengan mengambil gonad
ikan petek yang sudah mencapai TKG III dan IV. Pengukuran ukuran diameter
dan jumlah telur dilakukan dengan menggunakan mikroskop perbesaran 4x10.
Dalam penelitian ini contoh telur seberat 0.5 gram kemudian diteliti sebaran
ukuran telur dan jumlah telurnya. Fekunditas dihitung secara gravimetri dengan
rumus Holden & Raitt (1974) :
F 
nxGxV
g
.................................................................................................... (5)
dimana :
F = fekunditas;
n
= jumlah telur dalam sub sample;
V = volume pengenceran
G
= berat gonad;
g = berat gonad sub sample (0.5 gram).
Analisis kebiasaan makan
Evaluasi jenis makanan dengan menggunakan indeks bagian terbesar
(index of preponderance) merupakan gabungan dari dua metode, yaitu metode
frekuensi kejadian dan metode volumetrik. Metode ini dikembangkan oleh
Natarjan & Jhingram (1961) dalam Effendie (1979) dengan rumus :
IP (%) = [(Vi*Oi)/∑(Vi*Oi)]*100% ..................................................................(6)
dimana:
34
IP = indeks bagian terbesar (index of preponderance)
Vi = persentase volume makanan ikan jenis ke-i
Oi = persentase frekuensi kejadian makanan jenis ke-i.
HASIL
Hubungan panjang-berat
Hasil analisis hubungan panjang berat ikan petek (L.splendens)
berdasarkan jenis kelamin dan dilakukan uji t terhadap nilai koefesien regresi (b)
taraf kepercayaan 95% disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Hubungan panjang-berat ikan petek (L. splendens) di perairan Banten,
2012.
No
Jenis
Jumlah
kelamin
Persamaan
b
(N)
W=aL
Uji t
r
Pertumbuhan
tHit
ttab(0.05)
1
Jantan
62
W = 0,022L2,879
0,986
4,546
1,645
Allometrik
2
Betina
121
W = 0,014L3,081
0,983
3,353
1,645
Allometrik
Hubungan panjang berat diatas menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang
erat antara panjang dan berat ikan petek, ini ditunjukkan dengan nilai r yang
mendekati 1,0. Nilai b ikan petek pada jenis kelamin jantan adalah 2,879 dan
betina adalah 3,081.
Faktor kondisi (Kn)
Faktor kondisi merupakan keadaan yang menyatakan kegemukan ikan
dengan angka (Effendie, 1992). Nilai faktor kondisi (Kn) ikan petek (L.splendens)
yang diperoleh dari hasil perhitungan berada pada kisaran 1,483 – 1,937 dengan
rata-rata 1,702 pada ikan petek jantan, untuk ikan betina berkisar 1,214 – 2,043
dengan rata-rata 1,768 (Tabel 2).
Tabel 2. Nilai faktor kondisi ikan petek (L. splendens) di perairan Banten, 2012.
Faktor kondisi (Kn)
Jenis kelamin
Jumlah (N)
Min
Max
Rata-rata
Jantan
62
1,483
1,937
1,702
Betina
121
1,214
2,043
1,768
Nisbah kelamin (Sex ratio)
35
Dari 183 ekor ikan petek terdapat 62 ekor ikan jantan dan 121 ekor ikan
betina, nisbah kelamin antara ikan jantan dan betina adalah 1 : 1,6 dengan uji
”Chi-Square” pada selang kepercayaan 95%, ternyata nisbah kelaminnya tidak
mengikuti pola 1:1 atau nisbah kelamin ikan tidak seimbang. Nisbah kelamin ikan
petek jantan dan betina yang sudah matang gonad (TKG III dan IV) adalah 1 : 2,3.
Dengan uji ”Chi-Square” sesuai pada taraf nyata 95% didapatkan hasil bahwa
nisbah kelamin ikan petek jantan dan betina yang sudah matang gonad adalah
tidak seimbang.
Tingkat kematangan gonad (TKG)
Tingkat kematangan gonad ikan petek (L. splendens) diukur berdasarkan
perubahan morfologi dan histologi testis dan ovariumnya. Gambar 1 menunjukkan
perubahan komposisi TKG tiap bulannya. TKG ini menunjukkan fase-fase yang
diklasifikasikan menjadi 4 tingkatan untuk jenis ikan jantan maupun betina.
Gambar 1. Perkembangan komposisi tingkat kematangan gonad ikan petek
(Leignathus splendens) di perairan Banten, 2012.
Komposisi ikan petek jantan TKG I dominan pada Juni (57%), TKG II
pada Januari (71%), TKG III pada April (50%) dan TKG IV pada Agustus
(100%). Ikan petek betina TKG I dominan pada Juni (92%), TKG II pada Januari
(69%), TKG III pada April (31%) dan TKG IV pada Agustus (93%).
Perkembangan ovarium dapat dilihat berdasarkan analisa histologi
gonadnya (Gambar 2). Kondisi gonad ikan petek TKG II terdapat pada ikan
berukuran panjang total 7,6 – 11,2 cm TL dengan diameter oosit berkisar 41,24 92,78 µm rata-rata 61,86 µm. TKG III terdapat pada ikan berukuran 11,7 – 13,9
cm TL dengan diameter oosit berkisar 113,40-195,87 µm rata-rata 148,58 µm.
Menurut Hardjamulia (1995), TKG III ditandai adanya ukuran oosit yang
36
bertambah besar dan sudah nampak lapisan vesikula kuning telur. Kondisi gonad
pada TKG IV pada ikan berukuran 13,5 – 16,3 cm TL dengan diameter oosit
berkisar 190,72-329,89 µm rata-rata 263,01 µm ditandai dengan granula kuning
telur yang menutupi seluruh sitoplasma (Chinabut et al. 1991).
Gambar 2. Penampang histologi gonad ikan petek (Leignathus splendens)
menunjukkan oosit pada tingkat II – IV (Perbesaran 10x10).
Indeks Kematangan Gonad (IKG)
Indeks kematangan gonad (IKG) ikan petek betina yang diamati berkisar
0,14 –4,12% dengan rata-rata 2,12% dan ikan petek jantan berkisar 0,40 – 4,05%
dengan rata-rata 1,64%. Nilai rata-rata IKG kelamin betina meningkat dari TKG I
(0,67%) sampai dengan TKG IV(2,46%), sama halnya dengan ikan petek jantan
meningkat dari TKG II (0,71%) sampai dengan TKG IV (2,44%) (Ganbar 3).
Gambar 3. Rata-rata nilai IKG rata-rata ikan petek (Leiognathus splendens) betina
dan jantan pada tiap Tingkat Kematangan Gonad.
37
Fekunditas dan Diameter Telur
Jumlah telur ikan petek (Leiognathus splendens) TKG III dan IV berkisar
antara 6.483 – 32.712 butir telur dengan rata-rata 23.880 butir telur. Fekunditas
ikan petek terendah sekitar 6.483 butir telur, terdapat pada ikan dengan ukuran
panjang total 11,5 cm dan fekunditas terbesar 32.712 butir telur terdapat pada ikan
dengan ukuran panjang total 13,7 cm TL. Rata-rata ukuran diameter telur ikan
petek selama pengamatan berkisar 134 – 402 µm dengan rata-rata 268 µm.
Berdasarkan hasil analisis hubungan fekunditas (F) dengan panjang tubuh (L)
diperoleh persamaan : F = 0,00004L7,750 dengan nilai koefisien determinasi (r2)
0,813 (Gambar 4).
Gambar 4. Hubungan antara fekunditas dan panjang total ikan petek (Leiognathus
splendens) di perairan Banten, 2012.
Analisis Kebiasaan Makan (Food habit)
Pengamatan pada bulan April, makanan utamanya adalah zooplankton
jenis Copepoda dan fitoplankton yang mencapai 43,5% dan 26,3%, dan moluska
sebagai makanan pelengkap tercatat 24,4%, sedangkan bivalva (larva), crustacea,
polychaeta dan gastropoda (larva) sebagai makanan tambahan kurang dari 5%.
Bulan Agustus, makanan utamanya adalah fitoplankton yang kehadirannya
mencapai 93,0% dan crustacea sebagai makanan tambahan dengan kehadiran
kurang dari 5% (Gambar 5).
38
Gambar 5. Kebiasaan makan ikan petek (L. splendens) di perairan Banten, 2012.
BAHASAN
Dalam biologi perikanan analisa hubungan panjang berat merupakan salah
satu faktor yang perlu diketahui dalam kaitan pengelolaan sumber daya perikanan.
Menurut Richter (2007) & Blackweel (2000), menyebutkan bahwa pengukuran
panjang–berat ikan bertujuan mengetahui variasi berat dan panjang ikan secara
individual atau kelompok–kelompok individu, sehingga dapat dijadikan petunjuk
mengenai tingkat kegemukan, kesehatan, produktifitas, kondisi fisiologis dan
perkembangan gonad. Berdasarkan hasil uji –t terhadap parameter b pada selang
kepercayaan 95% (α=0,05), diperoleh thitung
>
ttabel, yang artinya b tidak sama
dengan 3, sehingga hubungan panjang berat ikan petek pada jantan maupun
betina, pola pertumbuhannya bersifat allometrik negatif dimana pertambahan
panjang lebih cepat dibandingkan dengan pertambahan beratnya. Hal ini sama
dengan hasil penelitian Pauly (1977) di Selat Malaka dan Chaerrudin (1977) di
Teluk Jakarta yang menyatakan pola pertumbuhan ikan petek bersifat allometrik.
Faktor kondisi menunjukkan keadaan ikan baik dilihat dari segi kapasitas
fisik untuk bertahan hidup dan reproduksi (Effendie, 1997). Berdasarkan hasil
penelitian, rata-rata nilai faktor kondisi ikan petek jantan (Kn= 1,702) lebih kecil
daripada ikan petek betina (Kn= 1,768), ini berarti ikan betina lebih gemuk
daripada ikan jantan. Perbedaan nilai faktor kondisi pada ikan tidak hanya
39
dipengaruhi oleh bobot gonadnya tetapi juga oleh aktivitas selama pematangan
gonad dan pemijahan sehingga akibatnya ikan akan mengalami penurunan nilai
faktor kondisi. Mengacu pada Effendie (1997) hasil ini menandakan ikan petek
masih berada pada batas ambang kondisi yang baik dengan kisaran nilai (Kn)
antara 1-3.
Berdasarkan hasil uji Chi-Square, maka nisbah kelamin ikan petek jantan
dan betina secara keseluruhan (1:1,6) maupun ikan yang sudah matang gonad
adalah tidak seimbang (1:2,3) yang berarti jenis kelamin betina lebih dominan.
Hasilnya sama dengan hasil penelitian Saadah (2000) bahwa nisbah kelamin ikan
petek secara keseluruhan tidak seimbang (3:1), tetapi berbeda dengan nisbah
kelamin ikan betina dan jantan yang sudah matang gonad adalah seimbang( 1:1,6).
Menurut Nikolsky (1969) perbandingan kelamin dapat berubah menjelang dan
selama pemijahan. Dalam ruaya ikan untuk memijah, terjadi perubahan nisbah
kelamin secara teratur, pada awalnya ikan jantan biasanya dominan kemudian
nisbah kelamin berubah menjadi 1:1, diikuti dengan dominasi ikan betina.
Persentase komposisi TKG pada setiap periode dapat digunakan untuk
menduga musim pemijahan (Effendie, 1979). Berdasarkan hasil penelitian,
persentase komposisi TKG setiap bulannya berada pada stadia I – IV dan
beragam. Pada ikan petek jantan dan betina TKG III dan IV dominan pada April
dan Agustus sehingga diduga musim pemijahan ikan petek terjadi beberapa kali
dalam setahun dan kemungkinan puncaknya terjadi setelah bulan Agustus atau
diperkirakan terjadi pada bulan September.
Nilai indeks kematangan gonad (IKG) ikan petek betina maupun jantan
mengalami peningkatan dari TKG I sampai dengan TKG IV. Hal ini disebabkan
oleh proses pertumbuhan ikan, pertambahan berat gonad diiringi dengan
bertambah besarnya ukuran gonad. Effendie (1979) mengemukakan bahwa seiring
dengan perkembangan gonad, indeks kematangan gonad akan semakin besar dan
nilai tersebut akan mencapai batas kisaran maksimum pada saat akan terjadi
pemijahan.
Fekunditas ikan petek hasil penelitian berkisar 6.483 – 32.712 butir telur
dengan rata-rata 23.880 butir telur lebih sedikit dibandingkan dengan fekunditas
ikan petek di perairan Teluk Labuan Jawa Barat yaitu berkisar 9.899 - 180.553
40
butir (Saadah, 2000). Dalam setiap individu, ukuran telur bervariasi setiap
butirnya sehingga proses pematangan gonad secara perlahan-lahan dan tidak
serentak (partial spawner) dari stadia belum matang (immature) ke stadia matang
(mature) dimana waktu pemijahan panjang dan terus menerus.
Ikan petek memiliki jenis makanan utama yaitu plankton baik itu
fitoplankton (Coscinodiscus sp dari kelas Bacillariophyceae) maupun zooplankton
(Calanus sp), makanan pelengkapnya adalah moluska dan krustasea sedangkan
makanan tambahannya adalah polycaeta, larva bivalva dan larva gastropoda,
sehingga dapat dikatakan bahwa kebiasaan makan ikan petek adalah bersifat
omnivora, jenis makanan seluruhnya berukuran mikroskopis. Komposisi
kehadiran krustasea termasuk jenis larva udang (mysis dan zoea) dalam isi
lambung ikan petek hanya 5% sehingga diduga interaksi negatif pemangsaan ikan
petek dan udang tampaknya belum terjadi. Menurut Rao (1967), ikan petek
digolongkan ke dalam benthofagus, makanannya terdiri atas copepoda,
zoobenthos dan phytobentho dan menurut Pauly (1977), makanan ikan petek
umumnya adalah hewan bentik dan jenis tumbuhan (foraminifora, polychaeta,
ostracoda, decapoda dan diatom), zooplankton seperti copepoda dan telur ikan.
Badruddin et al., (1992) menyatakan bahwa kebiasaan makanan ikan petek
sebagian besar terdiri dari fitoplankton dan sebagian lagi zooplankton dan hasil
penelitian Sjafei et al., (2001) menyatakan bahwa makanan utama ikan petek
adalah jenis synedra dari kelas Bacillariophyceae dan makanan sekundernya
adalah dari jenis Pleurosigma, Nitschia dan Thallasiothrix.
KESIMPULAN
Pertumbuhan ikan petek bersifat allometrik negatif dan masih berada pada
batas ambang kondisi yang baik. Jumlah populasi ikan petek betina lebih banyak
dibandingkan jenis jantan. Musim pemijahannya terjadi beberapa kali dalam
setahun dan puncaknya terjadi setelah bulan Agustus yaitu bulan September. Pola
pemijahan ikan petek adalah partial spawner dan memiliki potensi reproduksi
yang cukup besar dengan fekunditas 6.483 – 32.712 butir. Kebiasaan makan ikan
petek tergolong omnivora dengan makanan utama yaitu fitoplankton maupun
41
zooplankton, makanan pelengkapnya adalah moluska dan krustasea sedangkan
makanan tambahannya adalah polycaeta, larva bivalva dan larva gastropoda.
PERSANTUNAN
Tulisan ini merupakan hasil dari kegiatan riset: Pengkajian Sumber Daya
Ikan Demersal di WPP 716 Laut Sulawesi dan WPP 712 Laut Jawa T. A. 2012 di
Balai Penelitian Perikanan Laut.
DAFTAR PUSTAKA
Badruddin, M. 1988. Parameter stok dan potensi penangkapan ikan petek
(Leiognathidae) di perairan pantai utara Jawa Tengah. Jurnal Penelitian
Perikanan laut. No. 47 tahun 1988. Jakarta.
Badruddin, M. A. Suman & K. wagiyo. 1992. Kebiasaan makan (food habit) dan
pengusahaan beberapa jenis ikan peperek (Leiongathidae) di perairan
Pantai utara Jawa Tengah. JPPL. No. 69. Hal 1-7.
Blackweel, B.G., M.L. Brown & D.W. Willis. 2000. Relative weight (Wr) status
andcurrent use in fisheries assessment and management. Reviews in
fisheries Science, 8: 1-44
Chaerrudin, G. 1977. Studi Pendahuluan Tentang Aspek-aspek Taksonomi,
Pertumbuhan dan Pemijahan Ikan Petek (Leiognathus spp) di Perairan
Teluk Jakarta. Tesis. Fakultas Perikanan. Universtas lampung mangkurat
afiliasi. Institut Pertanian Bogor. 146 hal. Tidak dipublikasikan.
Chinabut. S, L. Chalor & K. Praveena. 1991. Histology of the walking catfish,
clarias batrachus. Department of Fisheries, Thailand.
Kuo, C.M., C.E. Nash & Z. H. Shehadeh. 1974. A Procedural guide to induce
spawning in grey mullet (Mugil cephalus L.). Aquculture, 3: 1 – 14.
Hardjamulia, A., S. Ningrum & W. Endang. 1995. Perkembangan oosit dan ovari
ikan semah (Tor dourenensis) di Sungai Selabung, Danau Ranau, Sumatera
Selatan. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Vol : I, No. 3. Hal 36 – 46.
Holden, M. J. & D. F. S Raitt.. (eds.). 1974. Manual of Fisheries Sciences. Part 2.
Methods of Resource Investigation and Their Application. FAO Fish. Tech
pap., (115). Rev. 1 : 214 pp.
Effendie, H. M. I. 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor,112
pp
-------------------.1992. Biologi
Yogyakarta. 63 hal.
42
Perikanan.
Yayasan
Pustaka
Nusantara.
Longhusrt, A. R., & D. Pauly. 1987. Ecologyof the Tropical Oceans. Acad. Press,
Inc., New York. 407 pp.
Nikolsky, 1969. Theory of Fish Population Dynamics as the Biological
Background for Rational Exploitation and Management of Fishery
Resources. Oliver and Boyd Publiser United Kingdom. London. 323 pp.
Pauly, D. 1977. The Leiognathidae (Teleostei) : Their Spesies, Stocks and
Fisheries in Indonesia, with Notes on The Biology of Leiognathus
splendens (Cuv) Mar. Res. Indonesian, 19 : 73-93.
Pauly, D. 1980 The use of pseudo catch-curve for the estimation of mortality rates
in Leiognathus splendens (Pisces: Leiognathidae) in Western Indonesian
Waters. Meeresforschung 28(1):56-60.
Rao, K. S., 1967. Food and feeding habits of trawl catches in the bay of Bengal
with observation on diurnal variation in the nature of the feed. Indian
Journal of Fisheries XI (1) 1967.
Richter, T.J. 2007. Development and evaluation of standard weight equations for
bridgelip sucker and largescale sucker. North American Journal of
Fisheries Management, 27: 936-939.
Saadah, 2000. Beberapa aspek biologi ikan petek (Leiognathus splendens Cuv.) di
perairan Teluk Labuan, Jawa Barat. Skripsi. FPIK-IPB, Bogor. 34 Hal.
Sjafei D. S. dan Saadah. 2001. Beberapa aspek biologi ikan petek, Leiognathus
splendens Cuvier di Perairan Teluk Labuan, Banten. Jurnal Ikhtiologi
Indonesia. Vol 1 No. 1. Th 2001. Hal 13-17.
Sumiono, B., Sudjianto, Y. Soselisa, & TS Murtoyo. 2002. Laju tangkap dan
komposisi jenis ikan demersal dan udang yang tertangkap trawl pada
musim timur di perairan utara Jawa Tengah. JPPI Edisi Sumber Daya
dan Penangkapan. Vol 8 No. 4.
Steel, R. G. D. & H. Torrie, 1993. Prinsip dan Prosedur statistika Suatu
Pendekatan Biometrik. Diterjemahkan oleh Bambang Sumantri. Edisi
Kedua. PT. Gramedia Pustaka Utama, jakarta. 333 pp.
43
PENGUSAHAAN DAN BIOLOGI RAJUNGAN (Portunus pelagicus)
DI LABUHAN MARINGGAI, LAMPUNG TIMUR
Oleh
Adrian Damora1), Erfind Nurdin1) dan Renny Ramadhani1)
1)
Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut
ABSTRAK
Pengusahaan rajungan (Portunus pelagicus) di Labuhan Maringgai, Lampung
Timur telah dilakukan secara intensif sehingga perlu upaya pengelolaan yang
mencakup aspek bioteknososioekonomi. Tujuan penelitian ini adalah untuk
membahas performa pengusahaan dan biologi rajungan, meliputi aspek
penangkapan, kelayakan usaha, hubungan panjang-bobot, faktor kondisi, nisbah
kelamin, kematangan kelamin, penentuan ukuran minimum yang boleh ditangkap
dari sumber daya rajungan. Penelitian dilakukan pada bulan Januari–Desember
2012. Metode yang digunakan adalah Rapid Rural Apraisal (RRA) dan
Participatory Rural Apraisal (PRA) pada lokasi-lokasi konsentrasi
nelayan/pengumpul dan daerah–daerah yang memiliki aktivitas perikanan
rajungan yang paling dominan. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer
dan data sekunder. Sebanyak 3508 ekor contoh rajungan yang diambil secara acak
untuk analisis aspek biologi. Hasil penelitian menunjukkan pengusahaan rajungan
dengan alat tangkap jaring rajungan di Labuhan Maringgai dilihat dari sisi
ekonominya masih menguntungkan dan layak untuk diteruskan. Pola
pertumbuhan rajungan jantan bersifat isometrik dan rajungan betina bersifat
allometrik positif. Nilai faktor kondisi terbesar pada rajungan jantan terdapat pada
bulan Januari, sedangkan pada rajungan betina terdapat pada bulan April. Nilai
faktor kondisi terkecil pada rajungan jantan maupun betina terdapat pada bulan
Juli. Nisbah kelamin rajungan berada dalam kondisi tidak seimbang. Ukuran
minimum rajungan yang boleh ditangkap (minimum legal size) untuk dapat
menunjang kelestariannya sebesar 110 mmCW.
Kata kunci: perikanan, biologi, rajungan, Labuhan Maringgai
PENDAHULUAN
Rajungan (Portunus pelagicus) merupakan komoditas krustasea yang
mempunyai nilai ekspor yang tinggi dan menempati urutan keempat dalam
volume dan nilai ekspor perikanan dari Indonesia, dengan peningkatan nilai
ekspor rata-rata sebesar 8,79 % per tahun (APRI, 2012). Isu strategis terkait
dengan perikanan rajungan saat ini adalah terkait produk olahan perikanan, salah
satunya daging rajungan, yang harus tersertifikasi untuk menjamin pemanfaatan
sumber daya perikanan yang lestari dan berkesinambungan. Salah satu contohnya
45
adalah sertifikat standar Marine Stewardship Council (MSC) yang diberlakukan
di Amerika Serikat.
Labuhan Maringgai adalah salah satu pangkalan pendaratan ikan utama di
Kabupaten Lampung Timur. Saat ini status pendaratan ikannya merupakan
pelabuhan perikanan pantai (PPP). Pengusahaan perikanan di wilayah ini
termasuk perikanan tradisional dan skala kecil. Namun demikian, beberapa
komoditas perikanan di Labuhan Maringgai merupakan komoditas ekspor,
terutama beberapa jenis krustasea. Di antara jenis krustasea yang ada, jenis
rajungan batik (P. pelagicus) merupakan salah satu komoditas utama di wilayah
ini.
Data Dinas Perikanan Propinsi Lampung (1985) menyebutkan bahwa
sumber daya perikanan yang terdapat di pantai timur Lampung (Laut Jawa)
memiliki potensi lestari sebesar 27.750 ton dengan luas perairan sebesar 18.500
km2. Nilai tersebut didapat dari potensi lestari perikanan pelagis sebesar 5.550 ton
dan perikanan demersal sebesar 22.000 ton. Menurut data Dinas Perikanan
Kabupaten Lampung Tengah (sekarang dipecah menjadi Lampung Tengah dan
Lampung Timur) tahun 1985 potensi lestari perikanan di pantai timur Lampung
pada tahun 1984 baru dimanfaatkan sebesar 67 %. Namun, seiring bertambahnya
jumlah nelayan pendatang maupun nelayan trans lokasi di Labuhan Maringgai,
upaya penangkapan pun mengalami penambahan dari tahun ke tahun. Hal ini
tentunya berakibat pada kondisi stok ikan di perairan tersebut. Terlebih wilayah
perairan termasuk ke dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 712 (Laut
Jawa) yang pemanfaatan sumber daya krustaseanya sudah berada dalam tahapan
lebih tangkap (Suman, 2010). Oleh karena itu, kajian mengenai keragaan
perikanan, khususnya rajungan, di Labuhan Maringgai dibutuhkan untuk
memperbarui data-data sebelumnya.
Tujuan penelitian ini antara lain membahas keragaan perikanan rajungan
di Labuhan Maringgai, meliputi sistem pengusahaan, tipe armada penangkapan
dan alat tangkap yang digunakan, perkembangan produksi per unit penangkapan
dan potensi lestarinya, serta kelayakan usahanya. Selain itu, penelitian ini juga
bertujuan untuk membahas beberapa aspek biologi rajungan batik, meliputi
hubungan panjang-bobot, faktor kondisi, nisbah kelamin, kematangan kelamin,
46
serta ukuran rata-rata tertangkap dan matang kelamin. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk pengelolaan
sumber daya rajungan di perairan Labuhan Maringgai, Lampung Timur.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilakukan di Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten
Lampung Timur, Propinsi Lampung pada Januari-Desember 2012. Metode yang
digunakan adalah Rapid Rural Apraisal (RRA) dan Participatory Rural Apraisal
(PRA) pada lokasi-lokasi konsentrasi nelayan/pengumpul dan daerah–daerah yang
memiliki aktivitas perikanan rajungan yang paling dominan. Data yang
dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder.
Gambar 1.
Lokasi penelitian di Labuhan Maringgai, Lampung Timur.
Data primer untuk keragaan perikanan diperoleh dengan cara melakukan
pengamatan langsung di lapangan terutama di tempat-tempat pengumpul rajungan
serta mengadakan wawancara dengan pengumpul/pembina, nelayan penangkap,
tokoh masyarakat, maupun narasumber di beberapa instansi perikanan terkait.
Sedangkan data sekunder diperoleh dari kantor Dinas Kelautan dan Perikanan
Propinsi Lampung dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lampung
Timur. Untuk menentukan tingkat kelayakan usaha yang memiliki umur ekonomis
47
proyek lebih dari lima tahun dimasukkan dalam kriteria discounted, maka sebagai
indikator digunakan NPV (Net Present Value), IRR (Internal rate of return), dan
B/C Ratio (Tabel 1). Dalam penelitian ini, dilakukan analisis kelayakan usaha
dengan umur ekonomis proyek selama sepuluh tahun dengan asumsi bahwa salah
satu dari investasinya memiliki masa pakai sepuluh tahun (Simanjuntak et al.,
1992).
Tabel 1. Kriteria dalam analisis kelayakan usaha jaring rajungan di Labuhan
Maringgai.
Nilai
Standar
Makna
R/C ratio
Parameter
1,3
>1
Menguntungkan
Rentabilitas
89%
> 25%
Efisien
<3
Cepat
Payback period
NPV
1,11
Rp. 200.640.366,-
B/C ratio
IRR
1.31
42%
3 < pp < 5
Sedang
>5
Lambat
DRF (15%)
Layak diteruskan
>1
Layak diusahakan
IRR > DRF (15%)
Dijalankan
IRR < DRF (15%)
Tidak dijalankan
Penelitian biologi didasarkan pada data hasil contoh penarikan contoh
acak berlapis terhadap 3058 ekor contoh rajungan yang ditangkap menggunakan
jaring rajungan. Pengambilan contoh rajungan dilakukan setiap bulan mewakili
setiap minggunya. Pengamatan biometrik ikan yang dilakukan meliputi
pengukuran lebar karapas (carapace width), jenis kelamin serta kematangan
kelamin secara fungsional, yaitu dengan mengamati rajungan betina yang
membawa telur yang telah dibuahi pada bagian abdomen (Mac Diarmid & SainteMarie, 2006).
Hubungan panjang-bobot dianalisa menggunakan persamaan eksponensial
sebagai berikut (Lagler, 1972; Jennings et al., 2001) :
W
b
aL ....................................................................................................................... (1
di mana :
W
= bobot individu rajungan (g)
L
= lebar karapas rajungan (cm)
48
=
a dan b = konstanta hasil regresi
Untuk mempermudah perhitungan, maka persamaan di atas dikonversi ke
dalam bentuk logaritmasehingga menjadi persamaan linear sebagai berikut
(Jennings et al., 2001) :
loge W = loge a + b loge
L............................................................................................ (2
Hubungan panjang-bobot dapat dilihat dari nilai konstanta b, jika b = 3,
maka hubungannya bersifat isometrik (pertambahan panjang sebanding dengan
pertambahan berat), jika b ≠ 3, maka hubungan yang terbentuk adalah allometrik
(pertambahan panjang tidak sebanding dengan pertambahan berat). Untuk
menentukan bahwa nilai b = 3 atau b ≠ 3, maka digunakan uji-t (Walpole, 1993).
Selanjutnya thit
yang didapat akan dibandingkan dengan ttabel pada selang
kepercayaan 95%. Jika thit > ttabel, maka tolak Ho, dan sebaliknya jika thit < ttabel,
maka terima Ho.
Analisis faktor kondisi (K) rajungan dilakukan untuk melihat kondisi
rajungan dari kapasitas fisik menggunakan persamaan berikut:
K
=
100
(W
/
L3)
......................................................................................................... (3
Sedangkan untuk perhitungan nisbah kelamin didasarkan pada persamaan berikut:
NK = Nbi / Nji
............................................................................................................ (4
di mana:
NK
= Nisbah kelamin
Nbi
= Jumlah ikan betina pada kelompok ukuran ke-i
Nji
= Jumlah ikan jantan pada kelompok ukuran ke-i
Ukuran rata-rata rajungan tertangkap dan matang kelamin secara
fungsional didapatkan dengan cara memplotkan frekuensi kumulatif dengan setiap
lebar karapas rajungan, sehingga akan diperoleh kurva logistik baku, dimana titik
potong antara kurva dengan 50% frekuensi kumulatif adalah lebar karapas saat
50% rajungan tertangkap dan matang kelamin ( K i z h a k u d a n
&
P a t e l , 2 0 1 0 ).
49
HASIL
Sistem Pengusahaan
Perairan laut Propinsi Lampung secara umum dibagi menjadi dua kategori,
yakni perairan pantai barat Sumatera dan perairan pantai timur Sumatera. Pantai
barat Sumatera merupakan bagian dari Samudera Hindia, sedangkan pantai timur
Sumatera merupakan sebagian besar bagian dari Laut Jawa dan selebihnya adalah
bagian dari Selat Sunda. Perairan yang merupakan bagian dari Laut Jawa meliputi
empat kabupaten, yakni Kabupaten Lampung Timur, Lampung Tengah, Tulang
Bawang, dan Mesuji.
Wilayah Lampung yang dikelilingi perairan laut ini menyebabkan sektor
perikanan memiliki peran penting dalam perekonomian di propinsi tersebut.
Perkembangan produksi sektor perikanan Propinsi Lampung dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 2. Perkembangan produksi krustasea dan komoditas lainnya di Propinsi
Lampung.
Krustasea
Tahun
Produksi
(ton)
Ikan
%
Produksi
(ton)
Binatang lunak
%
Produksi
(ton)
2005
10191.3
7.40
115613
83.95
11903.1
2006
11012.6
8.25
114551
85.78
2007
11124.8
8.23
106628
78.86
2008
13820.2
9.54
126317
2009
17472.6
10.62
2010
10433.1
7.25
%
Binatang air lainnya
Produksi
(ton)
Total
Produksi
%
(ton)
8.64
4.6
0.0033
137712.3
7962.09
5.96
8.4
0.0063
133534.41
17461.3
12.91
0.1
0
135214.1
87.20
4719.03
3.26
0
0
144856.26
144411
87.76
2429.76
1.48
237.6
0.1444
164551.15
129938
90.35
3292.62
2.29
148.11
0.1030
143811.87
Sumber: Statistik Perikanan Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Lampung
2005-2010
Tabel 2 memperlihatkan bahwa produksi perikanan pada periode 20052010 di Propinsi Lampung cenderung mengalami peningkatan. Nilai produksi
tersebut didominasi produksi jenis ikan sampai dengan 90% dari total produksi
perikanan di propinsi tersebut. Sementara krustasea menempati posisi kedua
dalam kontribusi produksi perikanan dengan persentase mencapai lebih dari 10%.
Nilai ini dapat dikatakan besar mengingat jenis krustasea yang ada di perairan
Lampung jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan jenis ikan yang ada.
50
Dari nilai produksi perikanan propinsi secara keseluruhan, ternyata pantai
timur Lampung (termasuk perairan Labuhan Maringgai) memberikan kontribusi
yang besar, terlebih untuk komoditas krustasea. Untuk jenis udang jerbung, dari
total produksi di Propinsi Lampung sebesar 531,91 ton, 64 % diperoleh dari
perairan timur Lampung (340,67 ton). Untuk udang dogol, dari total produksi
sebesar 379,78 ton, seluruhnya berasal dari perairan timur Lampung. Sementara
itu, untuk produksi total rajungan yang mencapai 2660,69 ton, sebesar 57 %
diperoleh dari perairan timur Lampung.
Pengusahaan rajungan di Labuhan Maringgai juga sudah dilakukan secara
intensif sejak dahulu. Menurut hasil wawancara dengan salah satu pengepul
rajungan, usaha yang ia lakukan sudah berjalan selama 17 tahun. Dibandingkan
dengan udang penaeid, produksi rajungan di Labuhan Maringgai lebih besar. Hal
ini dapat dilihat dari jumlah pengepulnya yang mencapai puluhan orang. Sebagian
besar hasil tangkapan rajungan di daerah ini diekspor ke berbagai negara. Skema
pengusahaan rajungan di Labuhan Maringgai dapat dilihat pada Gambar 2.
Pasar ekspor
Perusahaan pengalengan
Pengepul/Pengumpul 2 & Pengolahan
Pengepul/Pengumpul 1
Nelayan jaring rajungan
Nelayan bubu
Rajungan
Gambar 2. Skema rantai pengusahaan rajungan di Labuhan Maringgai.
51
Nelayan penangkap rajungan tergolong menjadi dua tipe, yakni nelayan
harian dan nelayan mingguan. Nelayan harian akan pergi melaut untuk menebar
jaring rajungan pada saat sore hari dan akan membiarkannya selama 1 malam,
kemudian akan kembali melaut lagi keesokan harinya untuk mengambil rajungan
hasil tangkapan. Mereka biasa pergi pada pukul 05.00 dan akan kembali pukul
10.00. Sedangkan nelayan mingguan melaut selama hari setelah itu akan
beristirahat selama 3 hari sebelum berangkat melaut untuk trip berikutnya.
Armada Penangkapan dan Alat Tangkap
Armada yang digunakan untuk kegiatan penangkapan rajungan terdapat
dua tipe, yakni armada dengan alat tangkap jaring rajungan dan armada dengan
alat tangkap bubu. Kedua armada tersebut merupakan perahu motor (PM) dengan
material utama perahu terbuat dari kayu. Perahu dengan alat tangkap jaring
rajungan memiliki dimensi panjang 9-12 m, lebar 1,8-2,5 m dan kedalaman 1,5-3
m. Mesin yang digunakan adalah mesin tempel produksi Cina (Jangdong) dengan
ukuran 24 PK. Dalam satu kali pengoperasian, armada ini diisi oleh 3 orang ABK.
Sedangkan perahu dengan alat tangkap bubu memiliki dimensi panjang 12 m,
lebar 3 m dan kedalaman 1,5 m. Armada ini biasa diisi oleh 4 orang ABK. Perahu
dengan alat tangkap jaringan rajungan memang memiliki ukuran yang relatif lebih
kecil dibandingkan perahu dengan alat tangkap bubu. Profil perahu tersebut
tampak seperti pada Gambar 4.
Gambar 3. Armada penangkapan rajungan di Labuhan Maringgai: (a) perahu
jaring rajungan dan (b) perahu bubu.
Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap rajungan di Labuhan
Maringgai terdapat dua jenis, yakni jaring rajungan dan bubu. Jaring rajungan
52
termasuk ke dalam jenis jaring insang (gill net), namun mempunyai ukuran yang
lebih kecil dibandingkan dengan ukuran jaring insang yang biasa dipakai untuk
menangkap ikan di perairan lainnya. alat tangkap rajungan ditampilkan pada
Gambar 4.
Gambar 4. Alat tangkap rajungan di Labuhan Maringgai (a) jaring rajungan dan
(b) bubu.
Spesifikasi jaring rajungan adalah sebagai berikut, tali ris berupa jaring PA
monofilament dengan ukuran mata jaring antara 3,5-4 inchi, tinggi jaring 0,5 m
dan panjang jaring 10-15 pice. Sebagian besar armada yang berbasis di Labuhan
Maringgai mengoperasikan alat tangkap ini. Nelayan jaring rajungan jumlahnya
lebih banyak dibandingkan nelayan bubu. Hasil tangkapannya antara 10-50 kg
dalam satu kali trip.
Alat tangkap bubu memiliki bahan dasar yang sama yaitu besi dan jaring.
Jaring yang digunakan biasanya mempunyai ukuran mata jaring 1 inchi. Dimensi
bubu yang digunakan di Labuhan Maringgai dapat dilihat pada ilustrasi di bawah
ini (Gambar 5).
3m
3m
1m
40 cm
20 cm
60 cm
Gambar 5. Ilustrasi alat tangkap bubu yang digunakan di Labuhan Maringgai.
53
Untuk satu kali trip penangkapan nelayan rajungan rata-rata membawa
700 bubu. Sebagai umpannya, biasa digunakan ikan rucah segar. Berdasarkan
informasi dari nelayan, penangkapan rajungan terjadi sepanjang tahun, tetapi
puncak musim dimana jumlah hasil tangkapan tampak paling banyak, terjadi pada
bulan Januari sampai dengan April. Pada saat musim penangkapan, rata-rata
nelayan rajungan mendapatkan hasil tangkapan sampai dengan 300 kg dalam satu
trip. Nelayan-nelayan bubu biasanya melakukan perebusan rajungan selam berada
di atas kapal sehingga ketika mendarat yang diserahkan ke pengepul adalah
rajungan-rajungan matang. Hal ini untuk menghindari penurunan kualitas
rajungan karena mereka berhari-hari melaut. Selain itu, nelayan bubu juga
membawa es sekitar sepuluh balok untuk menjaga kualitas rajungan yang sudah
direbus.
Analisis Kelayakan Usaha
Net Present Value (NPV) merupakan selisih antara arus bersih sekarang
dengan nilai investasi sekarang selama umur investasi. Analisis yang dilakukan
untuk usaha penangkapan dengan jaring rajungan, diperoleh NPV sebesar Rp.
200.640.366,00. Nilai ini menunjukkan bahwa pada akhir proyek usaha
penangkapan rajungan
menggunakan jaring
rajungan akan memperoleh
keuntungan sebesar Rp. 200.640.366,00. Untuk analisis rasio B/C didapatkan
bahwa nilai rata-rata per tahun sebesar 1,31. Berdasarkan nilai B/C ratio tersebut,
usaha penangkapan rajungan dengan menggunakan jaring rajungan layak untuk
diusahakan atau dilanjutkan karena nilai rasio B/C lebih besar dari 1.
Kriteria investasi Internal Rate of Return (IRR) memberikan pedoman
bahwa usaha akan dipilih apabila IRR lebih besar rentang nilai suku bunga
(discount rate). Jika
sebaliknya, maka usaha sebaiknya tidak dijalankan.
Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan, didapatkan bahwa nilai rata-rata
IRR usaha penangkapan rajungan dengan jaring rajungan adalah 42 %. Nilai IRR
tersebut lebih besar dari discount factor yaitu 15 % sehingga dapat dikatakan
bahwa usaha penangkapan ini layak untuk dilanjutkan.
Untuk memperoleh tingkat keuntungan yang dihasilkan dalam usaha
penangkapan rajungan dengan menggunakan jaring rajungan, dalam penelitian ini
54
digunakan rasio R/C untuk mengetahui besarnya nilai perbandingan antara
penerimaan atau pendapatan dan biaya produksi yang digunakan. Hasil dari
perhitungan rasio R/C menunjukkan nilai rata-rata sebesar 1,39, di mana nilai
trsebut lebih dari satu (R/C > 1) yang menunjukkan bahwa usaha perikanan
tangkap dengan menggunakan alat tangkap jaring rajungan sudah menguntungkan
dan artinya rata-rata setiap nelayan rajungan melakukan operasi penangkapan
memperoleh penerimaan sebesar 1,39 kali lipat atas biaya-biaya yang dikeluarkan
atau dengan kata lain memperoleh penerimaan sebesar 139 % dari biaya yang
dikeluarkan.
Perhitungan rentabilitas merupakan perbandingan antara keuntungan
(pendapatan bersih nelayan) selama periode tertentu dengan modal yang
dipergunakan untuk menghasilkan keuntungan tersebut. Nilai rentabilitas di atas
25% menunjukkan bahwa usaha tersebut bekerja pada kondisi efisien. Dari hasil
perhitungan rentabilitas usaha penangkapan rajungan dengan menggunakan alat
tangkap jaring rajungan diperoleh rata-rata ratio rentabilitas sebesar 89% yang
artinya bahwa nilai tersebut sudah > 25% sehingga usaha tersebut dapat dikatakan
sudah efisien dalam beroperasi. Nilai rata-rata 89% dari usaha penangkapan
rajungan dengan menggunakan alat tangkap jaring rajungan merupakan nilai laba
atau keuntungan yang didapatkan dari usaha penangkapan rajungan dari aktiva
atau modal investasi awal.
Perhitungan periode kembali investasi (payback period) diperlukan untuk
mengetahui
periode
menggambarkan
waktu
panjangnya
pengembalian
waktu
yang
investasi
diperlukan
sehingga
agar
dana
dapat
yang
diinvestasikan pada usaha penangkapan ikan dapat diperoleh kembali seluruhnya.
Pada usaha perikanan tangkap dengan menggunakan alat tangkap jaring rajungan
di Labuhan Maringgai diperoleh nilai PP rata-rata 1,11 tahun atau satu tahun satu
bulan. Hal ini berarti nelayan dapat mengembalikan semua modal usaha dalam
waktu kurang lebih satu tahun lebih satu bulan.
Hubungan Panjang-Bobot
Hasil analisis hubungan antara panjang dan bobot rajungan menunjukkan
bahwa pertumbuhan rajungan jantan mengikuti persamaan W = 0,00001CW2,900
55
(n = 1607; r2 = 0,880). Persamaan hubungan panjang-bobot rajungan betina
mengikuti persamaan W = 0,00003CW3,212 (n = 1449; r2 = 0,893) (Gambar 6).
Setelah dilakukan uji t dengan tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05), didapatkan
pola pertumbuhan rajungan jantan bersifat isometrik, di mana pertambahan
panjang dan bobot rajungan seimbang. Sedangkan pertumbuhan rajungan betina
bersifat allometrik positif, di mana pertambahan bobot rajungan lebih cepat
dibandingkan pertambahan panjangnya.
Gambar 6. Hubungan panjang-bobot rajungan (Portunus pelagicus) jantan (a)
dan betina (b) di perairan Labuhan Maringgai, 2012.
Faktor Kondisi
Penghitungan faktor kondisi rajungan dilakukan secara bulanan maupun
berdasarkan kelas lebar karapasnya. Secara bulanan, nilai faktor kondisi pada
rajungan jantan berkisar antara 0,059-0,082 dengan rata-rata 0,072, sedangkan
pada rajungan betina berkisar antara 0,062-0,074 dengan rata-rata 0,069 (Gambar
7). Nilai faktor kondisi terbesar pada rajungan jantan terdapat pada bulan Januari,
sedangkan pada rajungan betina terdapat pada bulan April. Nilai faktor kondisi
terkecil pada rajungan jantan maupun betina terdapat pada bulan Juli.
Gambar 7. Faktor kondisi rajungan (Portunus pelagicus) jantan (a) dan betina (b)
secara bulanan di perairan Labuhan Maringgai, 2012.
56
Penghitungan faktor kondisi berdasarkan kelas lebar karapas pada
rajungan jantan berkisar antara 0,066-0,092 dengan rata-rata 0,073, sedangkan
pada rajungan betina berkisar antara 0,064-0,088 dengan rata-rata 0,069 (Gambar
8). Nilai faktor kondisi terbesar pada rajungan jantan terdapat pada kelas lebar
karapas 167,5, sedangkan pada rajungan betina terdapat kelas lebar karapas 77,5.
Nilai faktor kondisi terkecil pada rajungan jantan terdapat pada kelas lebar
karapas 112,5, sedangkan pada rajungan betina terdapat pada kelas lebar karapas
117,5 dan 162,5.
Gambar 8. Faktor kondisi rajungan (Portunus pelagicus) jantan (a) dan betina (b)
berdasarkan kelas lebar karapas di perairan Labuhan Maringgai, 2012.
Nisbah Kelamin
Jumlah rajungan jantan yang diukur selama penelitian sebanyak 1607 ekor
dan rajungan betina sebanyak 1449 ekor, sehingga nisbah kelamin ikan beloso
adalah 1 : 0,903. Berdasarkan uji Chi-Kuadrat dengan tingkat kepercayaan 95%
(α = 0,05), nisbah kelamin rajungan jantan dan betina secara keseluruhan berada
dalam kondisi tidak seimbang. Rajungan jantan terlihat mendominasi hasil
tangkapan dibandingkan rajungan betina.
Gambar 9. Nisbah kelamin rajungan (Portunus pelagicus) secara bulanan (a) dan
berdasarkan kelas lebar karapas (b) di perairan Labuhan Maringgai, 2012.
57
Selain menganalisis secara keseluruhan, dilakukan juga analisis nisbah
kelamin berdasarakan data bulanan dan kelas lebar karapas. Hasil uji Chi-Kuadrat
dengan tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05), menunjukkan nisbah kelamin
rajungan jantan dan betina secara bulanan berada dalam kondisi tidak seimbang.
Hasil ini menunjukkan kesimpulan yang sama dengan analisis nisbah kelamin
secara keseluruhan. Analisis berdasarkan kelas lebar karapas menunjukkan pada
kelas lebar karapas yang lebih kecil didominasi oleh rajungan jantan, sedangkan
pada kelas lebar karapas yang lebih besar didominasi oleh rajungan betina.
Kematangan Kelamin
Pengamatan kematangan kelamin dilakukan dengan pengamatan secara
fungsional, yaitu dengan mengamati rajungan betina yang membawa telur yang
telah dibuahi pada bagian abdomen. Pengamatan ini dilakukan untuk
mendapatkan vasriasi musiman persentase rajungan betina yang membawa telur.
Selama perkembangan embrio, telur-telur ini mengalami perubahan warna dari
juning sampai hitam-keabuan (Arshad et al., 2006). Hasil pengamatan secara
bulanan menunjukkan persentase rajungan betina yang membawa telur pada
abdomennya berkisar antara 1-20 % (Gambar 10). Persentase tertinggi terdapat
pada bulan Juli dan terendah pada bulan Juni.
Gambar 10. Perbandingan antara rajungan betina yang membawa telur dan tidak
membawa telur setiap bulannya di perairan Labuhan Maringgai,
2012.
Selanjutnya dari rajungan-rajungan betina yang membawa telur dilakukan
penghitungan ukuran rata-rata matang kelamin secara fungsional (Lm) yang akan
58
dibandingkan dengan ukuran rata-rata tertangkap (Lc) (Gambar 11). Hasil analisis
menunjukkan nilai Lc sebesar 109,72 mmCW dan nilai Lm sebesar 113,50
mmCW. Kedua nilai tersebut nantinya dapat dijadikan rekomendasi dalam
penentuan ukuran rajungan terkecil yang boleh tertangkap (minimum legal size).
Gambar 11.
Ukuran rata-rata rajungan tertangkap dan matang kelamin secara
fungsional di perairan Labuhan Maringgai, 2012.
PEMBAHASAN
Pengusahaan rajungan di Labuhan Maringgai sudah dilakukan secara
intensif sejak kurang lebih 18 tahun yang lalu. Kontribusi produksinya saat ini
mencapai 21 % terhadap produksi rajungan di Indonesia (APRI, 2012). Hal ini
tentunya yang menyebabkan menjamurnya pengumpul-pengumpul rajungan di
wilayah ini. Untuk itu, analisis-analisis terkait potensi keberlanjutan dari
pengusahaan rajungan di wilayah ini perlu dilakukan. Dari penghitungan NPV
(Net Present Value), IRR (Internal rate of return), B/C Ratio, rentabilitas, periode
waktu kembali (payback period) terlihat bahwa pengusahaan rajungan dengan alat
tangkap jaring rajungan di Labuhan Maringgai masih menguntungkan dan layak
untuk diteruskan. Namun, yang perlu digarisbawahi adalah analisis ini belum
dipadukan dengan aspek biologi, kelayakan teknis dan sosial masyarakat, hanya
melihat dari sisi ekonomi semata.
Untuk mendukung hasil analisis kelayakn usaha rajungan, diperlukan
analisis dengan pendekatan aspek biologi. Dalam penelitian ini didapatkan pola
pertumbuhan untuk rajungan jantan bersifat isometrik, sedangkan rajungan betina
bersifat allometrik positif. Hasil penelitian Aslan et al. (2003) di perairan
Purirano, Kendari menunjukkan pola pertumbuhan rajungan jantan dan betina
bersifat allometrik negatif, sedangkan Sawusdee & Songrak (2009) di pesisir
59
Propinsi Trang, Thailand menunjukkan pola pertumbuhan isometrik baik rajungan
jantan maupun betina.
Variasi nilai b pada hubungan panjang-bobot menunjukkan pertumbuhan
yang bersifat relatif, artinya dapat berubah menurut waktu. Apabila terjadi
perubahan terhadap lingkungan dan ketersediaan makanan diperkirakan nilai ini
juga akan berubah. Variasi nilai ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti
jumlah rajungan contoh yang diukur (semakin banyak contoh akan semakin
akurat), kondisi perairan dan musim (Gokhan et al., 2007 in Karna et al., 2011).
Meskipun dipengaruhi terutama pada bentuk dan kegemukan dari masing-masing
spesies, variasi nilai b juga disebabkan berbagai faktor, seperti suhu, salinitas,
makanan (kuantitas, kualitas dan ukuran), jenis kelamin, tahap kematangan gonad,
dan kelestarian habitat (Gulland, 1983; Sparre & Venema, 1992).
Perubahan faktor kondisi setiap bulannya dapat disebabkan oleh
perubahan musim yang mengakibatkan perubahan suhu dan salinitas, yang
nantinya berpengaruh terhadap perubahan fungsi fisiologis rajungan. Pada saat
bulan Juni diduga terdapat sebagian besar rajungan mengalami matang gonad
(TKG III dan IV) dan diperkirakan pada bulan selanjutnya rajungan-rajungan
tersebut memijah. Proses pemijahan ini berakibat pada menurunnya bobot tubuh
rajungan sehingga faktor kondisinya cenderung mengecil. Hal ini yang
meyebabkan nilai faktor kondisi rajungan pada bulan Juli mencapai titik terkecil.
Tanod et al. (2000) menyatakan, pada saat musim pemijahan populasi rajungan
yang matang gonad semakin banyak dan berakibat pada pertambahan bobot tubuh
yang semakin meningkat dibandingkan pertambahan ukuran tubuh (lebar
karapas).
Komposisi
nisbah
kelamin
akan
mengikuti
perubahan
musim
pemijahannya, dalam artian polanya dapat berubah menjelang dan selama musim
pemijahan (Hill, 1982; Sumpton et al., 1994). Persentase hasil tangkapan rajungan
betina yang rendah di Teluk Moreton selama periode pemijahan telah dikaitkan
dengan migrasi rajungan betina dewasa ke daerah berpasir untuk untuk
mengekstrusi telur (Sumpton et al., 1994). Selain itu, rajungan jantan dan betina
juga mempunyai preferensi habitat yang berbeda, yang dapat dilihat dari
60
perbedaaan karakteristik suhu dan salinitas habitatnya pada waktu yang berbeda
dalam satu tahun (Meagher, 1971 in Xiao & Kumar, 2004).
Pada penelitian ini didapatkan jumlah rajungan jantan yang tertangkap
lebih banyak dibandingkan rajungan betina. Hasil ini diperkuat dengan hasil
penelitian Aslan et al. (2003) dan Xiao & Kumar (2004) yang memiliki hasil yang
sama. Hal ini disebabkan karena rajungan betina pada saat tertentu sebelum
memijah tidak menetap di perairan pantai atau muara-muara sungai seperti
rajungan jantan sehingga ketika tertangkap jumlahnya akan lebih sedikit
dibandingkan rajungan jantan (Potter & de Lestang, 2000). Dari sebaran nisbah
kelamin setiap bulannya, dapat terlihat setiap periode dua sampai tiga bulan
komposisi rajungan betina cenderung meningkat (Januari, April dan Agustus). Hal
ini menunjukkan bahwa pada bulan-bulan tersebut mulai terjadi musim migrasi
rajungan setelah memijah, sehingga dapat diperkirakan bahwa musim pemijahan
rajungan terjadi pada bulan-bulan sebelumnya.
Penghitungan ukuran rata-rata rajungan tertangkap (Lc) dan matang
kelamin secara fungsional (Lm) dapat dijadikan dasar dalam penentuan ukuran
minimum rajungan yang boleh ditangkap (minimum legal size). Dari kedua
ukuran tersebut dapat kita tentukan bahwa sebaiknya ukuran rajungan yang
tertangkap di atas 110 mmCW. Penentuan ukuran minimum lebar karapas ini (110
mmCW) sudah diterapkan di Australia Selatan (Svane & Hooper, 2004). Kondisi
penangkapan yang baik untuk menunjang proses rekrutmen adalah ketika ukuran
panjang individu yang ditangkap sama dengan ukuran panjang rata-rata matang
gonad (Lm). Ukuran panjang tangkapan yang lebih rendah dibandingkan Lm akan
mengakibatkan penurunan stok sumberdaya akibat terhambatnya proses
rekrutmen (Henriques, 1999 in Pinheiro & Lins-Oliveira, 2006).
KESIMPULAN
1.
Pengusahaan rajungan dengan alat tangkap jaring rajungan di Labuhan
Maringgai dilihat dari sisi ekonominya masih menguntungkan dan layak
untuk diteruskan.
2.
Pola pertumbuhan rajungan jantan bersifat isometrik dan rajungan betina
bersifat allometrik positif.
61
3.
Nilai faktor kondisi terbesar pada rajungan jantan terdapat pada bulan
Januari, sedangkan pada rajungan betina terdapat pada bulan April. Nilai
faktor kondisi terkecil pada rajungan jantan maupun betina terdapat pada
bulan Juli.
4.
Nisbah kelamin rajungan berada dalam kondisi tidak seimbang.
5.
Ukuran minimum rajungan yang boleh ditangkap (minimum legal size)
untuk dapat menunjang kelestariannya sebesar 110 mmCW.
PERSANTUNAN
Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan penelitian stok dan
pengusahaan sumberdaya udang penaeid dan rajungan di WPP 712 Laut Jawa dan
WPP 716 Laut Sulawesi, T. A. 2012, di Balai Penelitian Perikanan Laut-Muara
Baru, Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA
APRI.
2012. Peran Swasta dalam Penerapan Pengelolaan Perikanan
Berkelanjutan:
Studi Kasus Perikanan Rajungan. Makalah Seminar. Disampaikan pada
Seminar Nasional Perikanan Tangkap di Universitas Sam Ratulangi.
Manado, 30 Oktober 2012.
Arshad, A., Efrizal, M. S. Kamarudin, & C. R. Saad. 2006. Study on fecundity,
embryology and larval development of blue swimming crab Portunus
pelagicus (Linnaeus, 1758) under laboratory conditions. Res. J. Fish. &
Hydrobiol. 1 (1): 35-44.
Aslan, L.O.M., Nugaya, W., Sutriani, Marlina, W.O., & Nistiawaty. 2003. Biologi
rajungan Portunus pelagicus Linnaeus di Perairan Pantai Purirano,
Kendari, Sulawesi Tenggara. Seminar Nasional Krustasea ke-3. 20-21
Agustus 2003. IPB. Bogor.
DKP Lampung. 2010. Statistik perikanan Propinsi Lampung. Dinas Kelautan dan
Perikanan Propinsi Lampung. Bandar Lampung.
Gulland, J.A. 1983. Fish stock assessment. A Manual of Basic Methods. John
Wiley & Sons. Chicester. 233 pp.
Henriques, V. M. C. 1999. Dinâmica da Reprodução da cioba, Lutjanus analis
(Cuvier, 1828) (Osteichthyes: Lutjanidae), no município de Baía Formosa,
Rio Grande do Norte. In
62
Pinheiro, A. P.& J. E. Lins-Oliveira. 2006. Reproductive biology of
Panulirus echinatus (Crustacea: Palinuridae) from São Pedro and São
Paulo Archipelago, Brazil. Nauplius. 14(2): 89-97.Hill, B.J. 1982. The
Queensland Mud Crab Fishery. Queensland Fish Inf. Australia. 7 pp.
Jennings S., M. Kaiser & J.D. Reynolds. 2001. Marine Fisheries Ecology. Alden
Press Ltd. Blackwell Publishing. United Kingdom. 417 pp.
Karna, S.K., S. Panda & B.C. Guru. 2011. Length-weight relationship (Lwr) and
seasonal distribution of Valamugil speigleri (Valancienues) through size
frequency variation and landing assessment in Chilika Lagoon, India.
Asian J. Exp. Biol. Sci. 2(4): 654-662.
Kizhakudan, J.K. & Patel, S.K. 2010. Size at maturity in the mud spiny lobster
Panulirus polyphagus (Herbst, 1793). J. Mar. Biol. Ass. India. 52 (2): 170179.
Lagler, K.F. 1972. Freshwater Fishery Biology. W.M.C. Brown Company
Publisher. Dubuque, Iowa. 421 pp.
MacDiarmid, A. B. and B. Sainte-Marie. 2006. Reproduction. In: B. F. Phillips
(Ed.) Lobsters: Biology, Management, Aquaculture and Fisheries.
Blackwell Publishers, p. 45-77.
Meagher, T.D., 1971. Ecology of the crab Portunus pelagicus in South Western
Australia. Ph.D. Thesis. University of Western Australia, Australia, 232
pp. In Xiao, Y. & Kumar, M. 2004. Sex ratio, and probability of sexual
maturity of females at size, of the blue swimmer crab, Portunus pelagicus
Linneaus, off southern Australia. Fisheries Research. 68 (2004): 271-282.
Potter, I.C. & de Lestang, S. 2000. Biology of the blue swimmer crab Portunus
pelagicus (Linnaeus) (Decapoda: Brachyura) of the Madras Coast. Proc.
Indian Acad. Sci. (B) 65: 76-82.
Sawusdee, A. & Songrak, A. 2009. Population dynamics and stock assessment of
blue swimming crab (Portunus pelagicus Linnaeus, 1758) in the coastal
area of Trang Province, Thailand. Walailak J Sci & Tech. Vol. 6 (2): 189202.
Simanjuntak, P. 1992. Pengantar Evaluasi Proyek. PT Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta. Hal. 40-82.
Sparre, P. & S. C. Venema. 1992. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Buku
1: Manual. Organisasi Pangan dan Petanian Perserikatan Bangsa-Bangsa
dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Jakarta. 438 pp.
Suman, A. 2010. Sumber daya udang penaeid di Indonesia dan alternatif
pengelolaannya secara berkelanjutan. Orasi Pengukuhan Profesor Riset.
63
Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Kelautan dan
Perikanan. Jakarta. 51 pp.
Sumpton, W.D., Potter, M.A. & Smith, G.S. 1994. Reproduction and growth of
the commercial sand crab, Portunus pelagicus (L.) in Moreton Bay,
Queensland. Asian Fisheries Science. Vol. 7 (1994): 103-113.
Svane, I. & G. Hooper. 2004. Blue Swimmer Crab (Portunus pelagicus) Fishery.
Fishery Assesment Report to PIRSA for the Blue Crab Fishery
Management Committee. South Australian Research and Development
Institute (Aquatic Sciences), Adelaide. RD03/0274-2.
Tanod, A.L., Sulistiono & Watanabe, S. 2000. Reproduction and growth of three
species mudcrab (Scylla serrata, S. tranquebarica and S. oceanica) in
Segara Anakan Logoon, Indonesia. JSPS-DGHE International
Symposium. 10 (4): 347-351.
Walpole, R.E. 1993. Pengantar Statistika. Edisi ke-3. PT.Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta. 515 pp.
Xiao, Y. & Kumar, M. 2004. Sex ratio, and probability of sexual maturity of
females at size, of the blue swimmer crab, Portunus pelagicus Linneaus,
off southern Australia. Fisheries Research. 68 (2004): 271-282.
64
Lampiran 1.
Perkembangan perubahan warna pada telur rajungan (Portunus
pelagicus) pasca dibuahi.
3
2
1
4
5
65
OPTIMASI PEMANFAATAN SUMBER DAYA UDANG JERBUNG (Penaeus
merguensis) DI PERAIRAN DEMAK DAN SEKITARNYA
Oleh
Renny Ramadhani1) dan Tri Ernawati1)
1)
Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut
ABSTRAK
Penelitian yang dilakukan bertujuan menentukan strategi pemanfaatan sumber daya
udang jerbung (Penaeus merguensis) secara optimal di Perairan Demak, yang
dilaksanakan dari Maret 2012 sampai dengan Desember 2012. Metode yang
digunakan adalah model optimasi program linear untuk menentukan kombinasi unit
penangkapan yang optimal. Hasil penelitian menunjukkan kombinasi unit
penangkapan optimal adalah dengan mengoperasikan 36.333 unit alat tangkap
trammel net dengan keuntungan yang diperoleh sebesar Rp. 2,7 trilliun per tahun
serta membuka peluang investasi pengembamgan sekitar 12.174 unit alat tangkap
trammel net. Penerapan strategi ini dapat mengintegrasikan aspek ekonomi dan sosial
sebagai dimensi dari perikanan yang berkelanjutan.
Kata kunci : optimasi, Penaeus merguensis, perairan Demak
PENDAHULUAN
Udang jerbung (Penaeus merguensis) adalah jenis udang laut penting dengan
nilai ekonomis tinggi. Penyebaran udang ini pada umumnya terdapat di perairan
yang relatif dangkal di sepanjang pantai perairan Indonesia dengan potensi tertinggi
di Selat Malaka (Naamin et al, 1992). Musim penangkapan udang ini berbeda-beda
menurut daerah penyebarannya, dan hampir tertangkap sepanjang tahun dengan alat
tangkap trammel net dan jaring arad.
Perairan Demak merupakan daerah penangkapan udang jerbung di perairan
pantai utara Jawa Tengah. Alat yang digunakan untuk menangkap udang tersebut
terdiri dari dua jenis yaitu trammel net dan jaring arad.
Pemanfaatan sumber daya udang jerbung di perairan Demak ini sudah
berlangsung lama dan merupakan daerah padat nelayan (Naamin, 1979). Pengusahaan
sumber daya udang jerbung di daerah ini semakin meningkat karena semakin
67
bertambahnya angkatan kerja di sektor nelayan, sedangkan daerah operasi
penangkapan tetap terbatas.
Walaupun udang termasuk sumber daya yang dapat pulih (renewable
resources) tetapi penangkapan yang terus meningkat tanpa adanya pembatasan akan
menyebabkan penurunan sumber daya tersebut. Tingginya intensitas penangkapan
udang jerbung (Penaeus merguensis) di perairan Demak, yang dilakukan setiap hari
sepanjang tahun, dikhawatirkan pemanfaatannya yang akan mengancam kelestarian
dan keberlanjutan sumber daya udang jerbung di perairan ini. Dengan demikian,
apabila kondisi pemanfaatan yang ada saat ini tetap berjalan, maka diduga dalam
jangka panjang akan menyebabkan sumber daya udang jerbung di perairan Demak
terancam kelestariannya.
Melihat fenomena tersebut, di perairan Demak sebaiknya dilakukan upayaupaya pengelolaan pemanfaatan sumber daya udang jerbung yang lebih baik. Tulisan
ini akan membahas tentang optimasi pemanfaatan sumber daya udang jerbung di
perairan Demak dan diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk
tujuan pengelolaan bagi pengkajian selanjutnya.
Gambar 1. Daerah penangkapan di perairan Demak dan sekitarnya
68
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret 2012 sampai dengan Desember 2012
di Perairan Demak dan sekitarnya. Penelitian dilakukan dengan pengamatan langsung
di pusat-pusat pendaratan udang di perairan Demak dan sekitarnya (TPI Morodemak
dan TPI Wedung). Seluruh pengumpulan data untuk keperluan pengkajian ini
dilakukan dengan metode survey.
Analisis data untuk optimasi digunakan program linier menggunakan software
bahasa pemograman LINDO. Karena model regresi yang digunakan dalam penelitian
ini bersifat linear dan dengan kondisi batasan (kendala) yang tidak boleh dilampaui
maka model optimasi yang dipilih adalah model optimasi berkendala.
Fungsi tujuan dari pengkajian ini adalah memaksimumkan keuntungan :
Z=Cj.Xj ……………………………(1)
Terhadap fungsi kendala:
a11 x 1 + a12 x 2 +…+ a1n x n ≤ b1
a21 x 1 + a22 x 2 +…+ a2n x n ≤ b2
am1 x 1 + am2 x 2 +…+ amn x n ≤ bm
Adapun X adalah variable putusan ke-j, c adalah parameter fungsi tujuan ke-j, b
adalah kapasitas kendala ke-i. aij adalah parameter fungsi kendala ke-i dan variabel
keputusan ke-j, i adalah 1,2,3,…m, j adalah 1,2,3, …n serta ej adalah galat baku.
Elemen-elemen yang digunakan dalam model ini terdiri dari; (1) fungsi
tujuan, yaitu nilai keuntungan maksimum dari usaha penangkapan udang, (2) fungsi
pembatas, yaitu nilai hasil tangkapan maksimum (CMSY) dan upaya penangkapan
maksimum (EMSY) dan (3) koefisien input-output, yaitu nilai keuntungan tiap jenis
alat tangkap, nilai hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (CPUE) per alat
tangkap dan indeks daya tangkap (FPI) per alat tangkap.
Fungsi tujuan
Fungsi tujuan dari penelitian ini adalah memaksimumkan keuntungan usaha
penangkapan udang jerbung. Karena ada sejumlah alat tangkap yang dioperasikan di
perairan sekitarnya, maka fungsi tujuan tersebut adalah;
69
ԉ=Σ(TR-TC)…………………………….(2)
Karena satu jenis alat tangkap dapat menangkap lebih dari satu jenis udang maka
fungsi tujuan menjadi:
∑
ԉ=
∑
(
)
∑
( )
atau
ԉ=∑
…………………………(4)
Adapun pi adalah harga udang jenis i, Yij adalah produktivitas alat tangkap j terhdap
udang i (CPUEi), vj adalah jumlah jenis alat tangkap j, cj adalah biaya operasional
armada-armada penangkapan j per tahun serta
adalah nilai keuntungan masing-
masing alat tangkap dalam setahun.
Fungsi Pembatas
Dalam melakukan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan (udang),
jumlah hasil tangkapan dan upaya penangkapan biasanya didasarkan pada nilai
optimum hasil tangkapan dan upaya penangkapan yang digunakan atau sering disebut
sebagai nilai maximum sustainable yield (MSY). Pemanfaatan akan lestari dan
berkelanjutan apabila hasil tangkapan maksimum mencapai nilai MSY. Berdasarkan
hal tersebut, maka dalam pengkajian ini nilai-nilai upaya penangkapan (EMSY) dan
nilai hasil tangkapan (CMSY) pada kondisi MSY dijadikan sebagai faktor pembatas
yang tidak boleh dilampaui dalam pemanfaatan sumber daya udang.
Hasil Tangkapan Lestari (CMSY)
Suatu jenis udang di daerah tropis seperti Indonesia dapat ditangkap lebih dari satu
jenis alat tangkap, sehingga penggabungan hasi tangkapan dari beberapa jenis alat
tangkap udang harus ≤ CMSY
∑
∑
(
)
( ) ………(5)
Adapun Yij adalah produktivitas alat tangkap j terhadap udang i (CPUEij), vj
adalah jumlah jenis alat tangkap j dan CMSY(i) adalah hasil tangkapan maksimum
yang lestari.
70
Upaya Penangkapan Lestari (EMSY)
Upaya penangkapan yang optimum yang diperoleh berdasarkan perhitungan model
surplus produksi dalah merupakan upaya penangkapan standar yang disusun atas
beberapa jenis alat tangkap udang,sehingga jumlah upaya penangkapan udang dari
masing-masing alat tangkap harus diketahui. Untuk mendapatkan upaya penangkapan
per jenis alat tangkap terhadap suatu jenis udang maka perlu dilakukan perhitungan
sebagai berikut:
∑
∑
(
)
( )………(6)
Adapun FPij adalah daya alat tangkap j terhadap jenis udang i, vj adalah jumlah jenis
alat tangkap j dan EMSY(i) adalah upaya penangkapan maksimum lestari.
HASIL DAN BAHASAN
Aspek Penangkapan Udang Jerbung
Alat tangkap arad merupakan trawl mini yang banyak beroperasi di Pantai
Utara Jawa salah satunya di daerah Demak ditujukan untuk menangkap udang dan
ikan-ikan demersal. Jaring Arad pada prinsipnya terdiri dari bagian kantong (codend), badan (body) dan sayap (wing). Jaring arad dilengkapi juga dengan sewakan
(otter board) yang berbentuk persegi panjang dengan ukuran panjang 80 cm dan lebar
40 – 50 cm. Dimensi jaring arad secara umum memiliki panjang head rope 14 – 18
m, ground rope 17 – 24 m. Panjang sayap 9 m dengan besar mata jaring (mesh size)
2,5 inci. Panjang badan jaring 5 – 7 m yang tersusun oleh beberapa kisi yang
masing-masing kisi memiliki besar mata jaring terdiri dari 2 inci, 1,75 inci; 1,5 inci;
1,25 inci. Panjang kantong jaring 2 m mesh size antara 0,75 - 1 inci . Panjang tali
selambar (warp) berkisar 150 – 200 m. Jaring dioperasikan di perairan pantai pada
kedalaman mulai dari 5 - 30 m. Pemberat yang digunakan terbuat dari timah
dengan berat total 15 kg.
Pengoperasian jaring arad dalam satu kapal umumnya dilakukan oleh 2 orang.
Lama pengoperasian jaring arad yang berbasis di Demak umumnya adalah harian
atau one day fishing, dengan jumlah tawur/setting per hari adalah 3 – 5 kali. Dalam
sehari, perbekalan yang dibawa antara lain: solar 20 – 25 liter, es ¼ balok dan ransum
71
senilai Rp.53.000,00. Sehingga total perbekalan adalah sekitar Rp.203.000,00 per
hari.
Untuk alat tangkap trammel net (jaring 2 lapis) yang menangkap terbuat dari
bahan PA multi filament dengan mesh size mata jaring 1,75 inchi pada bagian dalam
(inner) dan 5 inchi pada bagian luar (outter), dalam satu set trammel net mencapai
mempunyai panjang total 20 tingting dengan ukuran 1 tingting adalah 30 meter .
Trammel net yang dioperasikan di perairan Demak dan sekitarnya, cara
pengoperasiannya dengan cara jaring ditarik menyapu di perairan (trammel net aktif).
Trammel net aktif trip harian dioperasikan dengan menarik jaring sekitar 0,5 jam satu
kali tawur dan dilakukan empat kali tawur dalam satu trip. Satu trip penangkapan
trammel net aktif harian (pukul 03.00-15.00 WIB) dalam operasinya menggunakan
perahu dengan panjang 6,3 m, lebar 2,6 dan dalam 0,9 m. Tenaga penggerak trammel
net aktif trip harian menggunakan perahu motor berbahan bakar solar yang
berkekuatan 16-23 PK. Jumlah ABK trammel net aktif harian terdiri dari 3 orang.
Optimasi Pemanfaatan
Optimasi pemanfaatan udang jerbung yang dilakukan di Kabupaten Demak dan
sekitarnya dimaksudkan untuk mencari nilai optimum masing-masing alat tangkap
udang jerbung yang dioperasikan Kabupaten Demak dan sekitarnya sehingga
memiliki keuntungan yang maksimum
Model pendekatan yang dilakukan adalah dengan menggunakan aplikasi
Linear Programming yang menggunakan format tertentu agar dapat diolah oleh
program LINDO. Elemen-elemen yang digunakan dalam model ini terdiri dari (1)
fungsi tujuan, yaitu keuntungan maksimum dari usaha penangkapan udang jerbung,
(2) fungsi pembatas, yaitu nilai hasil tangkapan maksimum (CMSY)
dan upaya
penangkapan maksimum (EMSY) dan (3) koefisien input-output, yaitu nilai
keuntungan tiap jenis alat tangkap untuk fungsi tujuan, nilai hasil tangkapan per unit
upaya penangkapan (CPUE) per alat tangkap bagi fungsi pembatas CMSY dan indeks
daya tangkap (FPI) per alat tangkap untuk fungsi pembatas EMSY.
72
Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan maka fungsi-fungsi yang
digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Fungsi tujuan, yaitu memaksimumkan keuntungan usaha pemanfaatan sumber
daya udang jerbung
ԉ = 60.572.000 X1 + 74.652.750 X2
Adapun ԉ adalah keuntungan yang akan dimaksimumkan, X1 adalah jumlah
jaring kantong (trammel net)., X2 adalah jumlah armada jaring arad.
2. Fungsi pembatas, yaitu nilai-nilai yang tidak boleh dilampaui karena jika
terlampaui maka akan merusak kelestarian sumber daya.
(a) Hasil tangkapan yang lestari (CMSY)
Suatu jenis udang di daerah tropis seperti di Indonesia dapat ditangkap oleh
lebih dari satu alat tangkap, sehingga hasil tangkapan gabungan dari beberapa
jenis alat tangkap udang jerbung harus ≤ CMSY. Dari hasil penelitian
didapatkan potensi lestari (MSY) udang jerbung di kabupaten Demak dan
sekitarnya adalah 109 ton, CPUE alat tangkap jarring arad 0,003
ton/unit/tahun, CPUE alat tangkap jarring kantong (trammel net) 0,02
ton/unit/tahun, sehingga fungsi pembatas udang jerbung terhadap hasil
tangkapan lestari adalah :
0,02 X1 +0,003 X2 ≤ 109
Adapun X1 adalah jumlah armada jaring kantong (trammel net), X2 adalah
jumlah armada jarring arad.
(b) Upaya penangkapan yang lestari (EMSY)
Dari hasil penelitian didapatkan upaya optimum (fopt) udang jerbung di
Kabupaten Demak dan sekitarnya adalah 41816 unit alat tangkap standard
(trammel net), Fishing Power Index (FPI) alat tangkap trammel net 1, FPI alat
tangkap arad 0,15, maka fungsi pembatas terhadap upaya penangkapan adalah
XI + 0,15X2 ≤ 41816
Adapun X1 adalah jumlah trammel net, X2 adalah jumlah armada jaring arad
(3) Output
73
Berdasarkan hasil analisis optimasi dengan Liner Programming (Lampiran 1)
terhadap fungsi tujuan dan pembatas yang telah ditentukan sebelumnya,
diperoleh hasil untuk tidak mengoperasikan alat tangkap trammel net dalam
pemanfaatan sumber daya udang jerbung secara berkelanjutan. Nilai optimal
jenis alat tangkap yang direkomendasikan yaitu 36.333 unit trammel net. Apabila
kombinasi optimal ini tidak dijalankan seutuhnya, maka setiap perubahan
kombinasi dengan memaksakan pengoperasian setiap alat tangkap trammel net
akan mengurangi pendapatan sebesar Rp. 437,1 juta per tahun.
Dalam jangka panjang alat tangkap trammel net merupakan alat tangkap
udang yang paling optimal, karena dapat memanfaatkan sumberdaya secara
optimum dan lestari dengan keuntungan yang sangat tinggi yaitu Rp. 2,7 trilliun
per tahun.
Analisis Kelayakan Usaha
Di Kabupaten Demak, usaha penangkapan dengan menggunakan alat tangkap jaring
arad diketahui memiliki biaya operasional usaha (biaya tetap dan biaya variable)
dalam satu tahun sebesar Rp. 96.932.000,- dan penerimaan usaha dalam satu tahun
sebesar Rp.171.585.000,-.
Untuk jangka panjang, alat tangkap jaring arad memiliki criteria kelayakan
usaha dengan nilai NPV (Net Present Value) sebesar Rp. 242.646.218,- ,IRR
(Internal Rate Return) sebesar 43%. Nilai IRR (Internal rate of return) tersebut lebih
besar dari discount factor yaitu 18% sehingga dapat dikatakan bahwa usaha
penangkapan ini layak untuk dilanjutkan. Nilai Net B/C ratio sebesar 9,2 (> 1)
menunjukkan bahwa usaha tersebut layak untuk diusahakan atau dilanjutkan.
Sedangkan pada usaha penangkapan dengan menggunakan jaring kantong
(trammel net) di peroleh biaya operasional dan penerimaan usaha dalam satu tahun
masing-masing adalah sebesar Rp. 137.388.000,- dan Rp. 197.960.000,-. Untuk
jangka panjang, alat tangkap jaring kantong (trammel net) memiliki criteria kelayakan
usaha dengan nilai NPV(Net Present Value) sebesar Rp. 181.644.355,- , IRR
(Internal Rate Return) sebesar 41%. Nilai IRR (Internal rate of return) tersebut lebih
74
besar dari discount factor yaitu 18% sehingga dapat dikatakan bahwa usaha
penangkapan ini layak untuk dilanjutkan. Nilai Net B/C ratio sebesar 5,63 (> 1)
menunjukkan bahwa usaha tersebut layak untuk diusahakan atau dilanjutkan.
Ditinjau dari analisis kelayakan usaha alat tangkap jaring arad maupun
trammel net memiliki kelayakan investasi yang menguntungkan dan layak untuk
diteruskan.
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Alat tangkap udang jerbung (Penaeus merguensis) di perairan Demak dan
sekitarnya terdiri dari 2 alat tangkap yaitu alat tangkap trammel net aktif harian
dan jaring arad.
2. Optimasi pemanfaatan sumber daya udang jerbung di perairan Demak dalam
rangka menjamin kelestariannya adalah dengan mengoperasikan 36.333 unit alat
tangkap trammel net per tahun dan keuntungan yang diperoleh dari penerapan pola
pemanfaatan ini diperkirakan sebesar 2,7 trilliun per tahun.
3. Alat tangkap yang lebih direkomendasikan untuk lebih banyak dioperasikan adalah
trammel net. Kekurangan 12.174 unit trammel net untuk mencukupi jumlah 36.333
unit yang optimal dalam pemanfaatan udang jerbung, merupakan peluang investasi
di perairan Demak dan sekitarnya.
4. Penerapan strategi optimasi pemanfaatan sumber daya jerbung di perairan jerbung
di perairan Demak dan sekitarnya dapat menjamin kelestarian sumber daya dan
meningkatkan kesejahteraan nelayan serta dapat mengintegrasikan aspek ekomoni
dan sosial sebagai dimensi dari perikanan yang berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Djamin Z. 1984. Perencanaan dan Analisa Proyek. Jakarta: Fakultas Ekonomi
Universitas
Indonesia. hal 167.
Mangkusubroto, K. dan C.L. Trisnadi. 1985. Analisis Keputusan. Pendekatan Sistem
dalam Manajemen Usaha dan Proyek. Ganeca Exact. Bandung. hal. 271.
75
Naamin et al. 1992. Pedoman teknis pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya
udang penaeid bagi pembangunan perikanan. Seri Pengembangan Penelitian
Perikanan
No.PHP/KANPT/22/1992. Badan Litbang Pertanian : hal. 89.
Simajuntak P et al. 1992. Pengantar Evaluasi Proyek. Penerbit PT. Gramedia Pustaka
Utama. hal 40-82.
Soekartawi et al. 1986. Ilmu Usaha Tani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani
Kecil. Jakarta. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. hal 137-149
Soekartawi. 1995. Linear programming. Teori dan aplikasinya khusus dalam bidang
pertanian.
Penerbit Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Suman, A. , M.Rijal, & Yulianti. 1994. Biologi dan dinamika populasi udang jerbung
(Penaeus
merguensis de Man) di perairan Demak, Jawa Tengah. Jurnal
Penelitian Perikanan Laut.
Jakarta. Vol. 87, hal. 10-23.
Suman, A. 2004. Optimasi pemanfaatan sumber daya udang dogol (Metapenaeus
ensis) di perairan Cilacap dan sekitarnya. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia.
No.4:39-51.
Supranto, J. 1998. Riset operasi untuk pengambilan keputusan. Cetakan pertama.
Universitas
Indonesia, Jakarta.
76
Lampiran 1. Analisis usaha alat tangkap trammel net di perairan Demak dan
sekitarnya
Biaya Investasi
Kapal
: Rp.
20.000.000
mesin
: Rp.
15.000.000
alat tangkap
: Rp.
5.000.000
lain2
:
Total Investasi
: Rp.
40000000
solar
: Rp.
180.000
es balok
: Rp.
5.000
konsumsi
: Rp.
100.000
Total biaya per trip
: Rp.
285.000
Total per tahun
: Rp.
57.570.000
perahu
: Rp.
10.000.000
mesin
: Rp.
3.000.000
alat tangkap
: Rp.
lain-lain
:
Total
: Rp.
-
Biaya Operasi
Biaya penyusutan
5.000.000
18000000
Biaya perawatan
perahu
: Rp.
1.280.000
mesin
: Rp.
700.000
alat tangkap
: Rp.
300.000
oli
: Rp.
150.000
Total
: Rp.
2430000
Hasil usaha per tahun
77
Hari operasi rata-rata per trip
:
1 hari
jumlah operasi rata-rata per tahun
:
202 trip
Jumlah ABK
:
Hasil tangkapan rata-rata per trip
:
Hasil penjualan rata-rata per kg
: Rp.
2 orang
10 kg
98.000
Penerimaan rata-rata per tahun : Rp.
197.960.000
: Rp.
59.388.000
Penerimaan per tahun
: Rp.
197.960.000
Biaya total per tahun
: Rp.
137.388.000
pendapatan bersih per tahun
: Rp.
60.572.000
bagi hasil
Rekapitulasi
Lampiran 2. Analisis usaha alat tangkap arad di perairan Demak dan sekitarnya
Biaya Investasi
Kapal
: Rp.
20.000.000
mesin
: Rp.
7.000.000
alat tangkap
: Rp.
3.000.000
lain2
:
Total Investasi
: Rp.
30.000.000
solar
: Rp.
150.000
es balok
: Rp.
3.000
konsumsi
: Rp.
50.000
Total biaya per trip
: Rp.
203.000
Total per tahun
: Rp.
41.615.000
perahu
: Rp.
8.000.000
mesin
: Rp.
3.000.000
-
Biaya Operasi
Biaya penyusutan
78
alat tangkap
: Rp.
lain-lain
: Rp.
500.000
Total
: Rp.
11.500.000
perahu
: Rp.
1.000.000
mesin
: Rp.
400.000
alat tangkap
: Rp.
30.000
oli
: Rp.
100.000
Total
: Rp.
1.530.000
-
Biaya perawatan
Hasil usaha per tahun
Hari operasi rata-rata per trip
:
1 hari
jumlah operasi rata-rata per tahun
:
205 trip
Jumlah ABK
:
Hasil tangkapan rata-rata per trip
:
Hasil penjualan rata-rata per kg
: Rp.
2 orang
9 kg
93.000
Penerimaan rata-rata per tahun : Rp.
171.585.000
: Rp.
42.896.250
Penerimaan per tahun
: Rp.
171.585.000
Biaya total per tahun
: Rp.
96.932.250
pendapatan bersih per tahun
: Rp.
74.652.750
bagi hasil
Rekapitulasi
Lampiran 3. Hasil perhitungan dengan program linear di perairan Demak dan
sekitarnya
LP OPTIMUM FOUND AT STEP
OBJECTIVE FUNCTION VALUE
1)
2712356.
79
VARIABLE
VALUE
REDUCED COST
X1
0.000000
437.108002
X2
36333.332031
0.000000
ROW SLACK OR SURPLUS
DUAL PRICES
2)
0.000000
24884.000000
3)
36366.000000
0.000000
4)
0.000000
0.000000
5)
36333.332031
0.000000
NO. ITERATIONS=
0
RANGES IN WHICH THE BASIS IS UNCHANGED:
OBJ COEFFICIENT RANGES
VARIABLE CURRENT
COEF
ALLOWABLE
ALLOWABLE
INCREASE
DECREASE
X1
60.571999
437.108002
INFINITY
X2
74.652000
INFINITY
65.566200
RIGHTHAND SIDE RANGES
ROW CURRENT
RHS
80
ALLOWABLE
INCREASE
ALLOWABLE
DECREASE
2
109.000000
727.320007
108.999992
3
41816.000000
INFINITY
36366.000000
4
0.000000
0.000000
INFINITY
5
0.000000
36333.332031
INFINITY
BIOLOGI REPRODUKSI DAN PERUBAHAN KARAKTER BIOLOGI
IKAN PELAGIS KECIL DI LAUT JAWA
Oleh
Moh Fauzi1), Achmad Zamroni1) dan Suwarso1)
1)
Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut
ABSTRAK
Kajian karakter biologi beberapa jenis ikan pelagis kecil di laut Jawa dilakukan
dengan pengambilan contoh di Rembang selama 2012. Variasi bulanan
diasumsikan dalam periode yang sama menunjukkan hasil bahwa populasi ikan
yang tertangkap didominasi oleh ikan belum matang. Dugaan musim pemijahan
terjadi setelah musim timur yakni sekitar bulan Agustus-September. Semakin
mengecilnya ukuran reproduktif dibandingkan penelitian 20 tahun yang lalu
menunjukkan semakin tertekannya sumber daya ikan pelagis di laut Jawa. Ukuran
rata-rata tertangkap (L50%) yang lebih kecil daripada ukuran panjang pertama
kali matang gonad (Lm) mengindikasikan hal yang sama. Kebijakan pengelolaan
perikanan khususnya sumberdaya ikan pelagis kecil di laut Jawa menjadi hal yang
mendesak dilakukan agar pemanfaatannya tetap lestari dan berkelanjutan.
Kata Kunci : Biologi reproduksi, ikan pelagis kecil, Laut Jawa
PENDAHULUAN
Pengetahuan biologi perikanan merupakan faktor penting dalam usaha
pengelolaan sumber daya perikanan yang lestari. Sumber daya hayati bersifat
terbatas tapi dapat memperbaharui dirinya. Sampai tingkat tertentu kita
memperoleh hasil tangkapan sejalan dengan peningkatan upaya penangkapan, tapi
setelah tingkat tersebut pembaharuan sumber daya (reproduksi dan pertumbuhan
tubuh) tidak dapat mengimbangi penangkapan, dan peningkatan tingkat
eksploitasi lebih jauh akan menjurus kepada pengurangan hasil tangkapan (Sparre
& Venema, 1999).
Sumber daya ikan pelagis telah lama dieksploitasi oleh berbagai macam
alat mulai dari alat tangkap payang, pukat cincin, pukat cincin yang dilengkapi
dengan lampu sorot. Motorisasi perikanan tradisional dan substitusi alat tangkap
telah menyebabkan crowding effect. Status perikanan pelagis kecil telah
melampaui MSY (Atmaja, 2006). Hasil tangkapan terbesar kapal pukat cincin di
Laut Jawa terutama ikan layang yang terdiri dari layang deles (Decapterus
81
macrosoma) dan layang biasa (D. russelli). Persentasi hasil tangkapan layang
sekitar 52,4% dari seluruh hasil tangkapan ikan pelagic kecil yang didaratkan,
komposisi hasil tangkapan cenderung berubah sejalan dengan perubahan daerah
penangkapan (Sadhotomo et al., 1986).
Tulisan ini dimaksudkan mendapatkan informasi tentang karakter biologi
dan parameter reproduksi (Lm) berdasarkan hasil sampling pada 2012 di Laut
Jawa (Tasik Agung dan Sarang, Rembang) terhadap beberapa spesies ikan pelagis
kecil. Hasil analisa ini dibandingkan dengan kondisi parameter biologi reproduksi
ikan-ikan pelagis kecil tersebut dalam 20 tahun terakhir. Dengan adanya tulisan
ini diharapkan muncul opsi-opsi kebijakan yang diambil untuk pengelolaan
perikanan di Laut Jawa agar tetap lestari dan berkelanjutan
BAHAN DAN METODE
Lokasi, Waktu dan Obyek Penelitian
Penelitian dilakukan selama periode 2012 yang difokuskan pada dua
tempat pendaratan ikan terbesar di Rembang yakni TPI Tasik Agung dan TPI
Sarang. Kedua sampling site tersebut merupakan dua stasiun pendaratan ikan
yang merepresentasikan hasil tangkapan pukat cincin di Laut Jawa. Spesies yang
diamati terdiri dari ikan layang deles (Decapterus macrosoma), layang biasa (D.
russelli), banyar (R. kanagurta), bentong (S. crumenophtalmus) dan siro (A. sirm).
Pengambilan sampel ikan pelagis kecil dari kapal-kapal sampel dilakukan rutin
tiap bulan baik berupa pengamatan biologi maupun sebaran ukuran panjang cagak
(length frequency).
Prosedur Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dilakukan pada secara random pada kapal-kapal Mini
Purse Seine yang mendarat di Pelabuhan perikanan pekalongan dan TPI sarang
dan Tasik Agung Rembang. Dilakukan pengukuran parameter biologi meliputi
panjang cagak(FL), panjang total(TL), berat total, sex, berat gonad dan status
kematangan gonad. Pedoman pengukuran tingkat kematangan gonad mengacu
pada Holden & Rait (1974).
82
Analisis Data
Fluktuasi nilai GSI menunjukkan dugaan musim pemijahan dimana
nilainya dapat diperoleh dengan rumus:
GSI =
100%
Dimana; Wg=berat gonad(gram), BW=berat total ikan(gram)
Untuk mengetahui nilai Lm dan karakter biologi lainnya digunakan kematangan
gonad kelompok ikan betina dewasa. Ukuran pertama kali matang gonad (Lm)
diduga dengan cara Spearman-Karber seperti yang diusulkan oleh Udupa (1986)
sebagai berikut:
m = Xk + (X/2) – (XΣ pi)
dimana:
m
= log panjang ikan pada kematangan gonad pertama
Xk
= log nilai tengah kelas panjang dimana semua ikan (100%) sudah
matang gonad
pi
= proporsi ikan matang pada kelas I dimana pi = ri/ni apabila ni =
ni + 1
ri
= jumlah ikan matang pada kelas panjang ke i maka panjang ikan
pada waktumencapai kematangan gonad pertama (M) adalah M =
antilog (m)
Jika α = 0,05 maka batas-batas kepercayaan 95% dari (m) adalah :
Antilog[m  1.96(X2 (pi*qi)/(ni-1))]
Metode penentuan ukuran ikan rata-rata tertangkap dapat dilakukan
menggunakan metode kurva logistik baku, yaitu dengan memplotkan prosentase
frekuensi kumulatif dengan panjangnya.
HASIL
Selama periode penelitian pada 2012 telah terukur sampel ikan pelagis kecil hasil
tangkapan di Laut Jawa sebanyak 2.885 ekor yang berasal dari 5 jenis ikan dengan
sebaran panjang cagak dan berat sampel terlihat pada Tabel 1. Sampel ikan
didapat dari hasil pendaratan armada MPS di TPI Sarang dan Tasik Agung
83
Rembang. Kedua TPI tersebut dijadikan sebagai fokus sampling site karena
merupakan basis perikanan MPS Laut Jawa.
Tabel 1. Sebaran panjang dan berat sampel ikan pelagis kecil
Spesies
Panjang cagak (cm)
n
Min
average
Berat (gr)
max Min
Average max
A. sirm
279
12,4
15,3 20,2
23,3
49,4
105,6
D. macrosoma
362
14,1
17,8 21,2
20,8
68
156,6
D. russelli
836
12,5
18,6 24,1
14,8
89,3
186,5
R. kanagurta
606
16
21,1
24
56
153,6
227,6
S. crumenophthalmus
802
13
19,9 24,4
32
149,5
283,6
Grand Total
2885
Komposisi kematangan seksual
Sebagian besar ikan dalam kondisi masih muda subadult (54%) dan
maturing pemasakan (30%). Ikan dalam kondisi matang ripe kurang dari 2%
bahkan tidak didapatkan pada D. macrosoma dan S. crumenophthalmus.
Komposisi kematangan seksual pada masing-masing spesies diperlihatkan pada
Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi tingkat kematangan gonad ikan pelagis kecil di Laut Jawa
Spesies
% stage
I
II
n
III
IV
(ekor)
V
A. sirm
11,5
49,0
25
6.3
8,3
D. macrosoma
70,6
24,6
4,8 -
D. russelli
33
22,2
43,8
0.6
0,3
315
R. kanagurta
15
23,4
57
4.2
0,3
286
S. crumenophthalmus
10,3
37,2
49,3 -
3,2
406
Total
23,5
29,8
43,2
1,9
1229
-
1,6
96
126
Perkembangan kematangan seksual
PadaTabel 3 terlihat bahwa nilai GSI terbesar dimiliki oleh stage 4. Hal ini
karena gonad ikan menjadi lebih besar dan berat dengan berkembangnya telur.
84
Pada stage 5 beratnya menurun karena ikan telah mengeluarkan sebagian besar
telurnya yaitu dalam fase pemijahan.
Tabel 3. Sebaran nilai indeks kematangan gonad ikan pelagis kecil betina menurut
tingkat maturity di Laut Jawa
Spesies
A. sirm
Tingkat Kematangan Seksual
Karakter
I
II
III
IV
V
Kisaran
0,28-2,72
0,4-6,6
2,1-6,35
6,76-16,43
1,49-3,74
Rata-rata
0,63
1,74
3,21
10,13
2,96
n
Kisaran
D. macrosoma
11
47
24
0,13-2,26
2.13-2.84
*
*
0,25
1,03
2.44
*
*
89
31
6
*
*
3,79-4,37
*
0,1-1,51
Rata-rata
n
Kisaran
D. russelli
R. kanagurta
0,07-3,23
0,37
1,59
2.95
4,08
n
104
70
138
2
Kisaran
0,07-4,74
0,45-1,98
Rata-rata
0,52
Kisaran
S.
1.29-6.33
Rata-rata
Rata-rata
0.22-6.4
3,44-7,87
8
*
*
0,82-0,82
1.02
3.2
5,64
43
67
163
12
0,03-1,69
0,62-2,69
0.48-4.14
*
0,25-0,61
0,47
1,55
2.32
*
0.4
42
151
200
*
13
n
crumenophthalmus
0,4-3,85
6
n
0,82
1
Keterangan = * tidak terdapat sampel
Nisbah kelamin
Perbandingan jantan-betina berguna untuk mengetahui hubungan jantanbetina suatu populasi pada sebuah perairan. Pada Tabel 4 terlihat rasio jenis
kelamin ikan pelagis kecil di Laut Jawa.
Tabel 4. Nisbah kelamin ikan pelagis kecil di Laut Jawa pada 2012
Spesies
Betina : Jantan
Total
A. sirm
1 : 1,62
254
D. macrosoma
1 : 0,89
238
D. russelli
1 : 1,24
706
R. kanagurta
1 : 1,1
600
S. crumenophthalmus
1 : 0,97
799
85
Fluktuasi GSI dan Dugaan Musim Pemijahan
Perkembangan kematangan seksual seiring dengan perkembangan ukuran
tubuh sebagai fungsi dari umur. Tingkat kematangan gonad akan semakin naik
sejalan dengan pertumbuhan ikan tersebut. Untuk melihat perkembangannya
dapat dilihat dari nilai indeks kematangan gonad (GSI). Nilai GSI akan mencapai
maksimum ketika gonad mencapai akhir dari proses reproduksinya yaitu pada saat
akan memijah. Kondisi ini terjadi ketika ikan berada pada TKG IV. Pada Gambar
1 diperlihatkan fluktuasi rata-rata indeks kematangan bulanan ikan pelagis kecil di
Laut Jawa.
86
Gambar 1. Fluktuasi rata-rata bulanan indeks kematangan gonad ikan pelagis
kecil di Laut Jawa menurut jenis kelamin
Dugaan panjang pertama kali matang (Lm) dan Panjang rata-rata
tertangkap (L50%)
Pendugaan ukuran pertama kali matang gonad merupakan salah satu cara
untuk mengetahui perkembangan populasi dalam suatu perairan, seperti bilamana
ikan akan memijah, baru memijah atau sudah selesai memijah. Berkurangnya
populasi ikan di masa mendatang dapat terjadi karena ikan yang tertangkap adalah
ikan yang akan memijah atau ikan belum pernah memijah, sehingga sebagai
tindakan pencegahan diperlukan penggunaan alat tangkap yang selektif
(Najamuddin et al, 2004). Dari analisa Lm menggunakan rumus Udupa (1986)
didapatkan nilai Lm ikan-ikan pelagis kecil pada Tabel 5.
Tabel 5. Dugaan ukuran pertama kali matang seksual dan ukuran rata-rata
tertengkap ikan pelagis kecil di Laut Jawa
Spesies
Lm (saat ini)
A. sirm
15,7
D. macrosoma
Immature
D. russelli
19,4
R. kanagurta
21
S. crumenophthalmus
19,9
n
Biodynex (1991-1993) Lc (saat ini)
78
18,6
18
126
20,7
14
271
21
14,8
234
21,4
20
287
18,7
18,4
87
Ukuran rata-rata tertangkap dapat dilihat dari titik tengah 50 % hasil tangkapan.
Ukuran rata-rata tertangkapnya ikan pelagis kecil pada sampel penelitian
diperoleh dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Kurva logistik b yang menggambarkan ukuran rata-rata panjang ikan
pelagis kecil yang Tertangkap di Laut Jawa
BAHASAN
Data yang diperoleh dari sampling biologi terhadap individu ikan kelompok
dewasa/adult ,suatu tahapan atau ukuran ikan saat individu ikan betina dan jantan
dapat dibedakan jenis kelaminnya dan untuk setiap spesies bervariasi,
memperlihatkan komposisi ikan dalam kondisi matang (mature/TKG IV) terdapat
lebih sedikit didalam populasi (4%), apalagi ikan kondisi mijah (spent, TKG V)
jumlahnya kurang dari 2%. Kondisi demikian ditemukan hampir pada semua
spesies yang diamati (layang, banyar, siro, dan bentong). Karakteristik biologi
demikian biasanya ditemukan pada spesies-spesies pelagis sehubungan dengan
strategi pemijahannya yang biasanya akan keluar dari daerah penangkapan
menuju spawning ground sehingga tidak tertangkap oleh perikanan (Suwarso,
2008). Kecuali layang deles (D. macrosoma) yang jumlah ikan contohnya kurang
karena saat ini hasil tangkapan jenis ini sangat kurang. Hal ini juga terlihat pada
data GSI (Gonado Somatic Index) sebagai indek kematangan sexual ikan yang
88
jumlahnya juga relatif lebih sedikit. Kebiasaan ini akan terlihat pada data
komposisi kematangan ikan dimana jumlah ikan-ikan yang matang akan menurun
digantikan oleh makin dominannya ikan-ikan muda (immature), akibatnya nilai
GSI rata-rata juga menurun.
Pola fluktuasi GSI rata-rata menunjukkan perkembangan kematangan
gonad/sexual
ikan
betina
dimulai
pada
sekitar
musim
barat.
Dalam
perkembangannya GSI rata-rata semakin meningkat dan umumnya mencapai
puncak pada musim timur. Pada waktu itu komposisi ikan matang lebih banyak
sehingga GSI rata-rata mencapai maksimum. Namun pada bulan berikutnya
(September-Oktober) GSI rata-rata menurun tajam karena individu ikan yang
belum matang (immature, TKG I dan II) lebih dominan. Penurunan GSI rata-rata
dan lebih dominannya ikan muda didalam populasi menjadi ciri terjadinya
pemijahan (Suwarso, 2008a) yang diduga berlangsung beberapa waktu setelah
Agustus. Pola fluktuasi GSI rata-rata dan komposisi kematangan seperti diuraikan
di atas dapat dijumpai pada spesies-spesies yang diamati.
Didasarkan pada data individu ikan kondisi maturing (TKG III), mature
(TKG IV) dan spent (TKG V) yang ditemukan pada seluruh contoh biologi tiap
species yang diperoleh, disusun tabel proporsi kematangan untuk pendugaan nilai
Lm (length at first maturity) seperti tercantum dalam Tabel 5. Kecuali untuk
layang deles (D. macrosoma) ikan contoh yang diperoleh hampir keseluruhannya
berukuran kecil, masih dalam kondisi kematangan I (immature) dan II
(developing), sehingga nilai Lm tidak dapat diperoleh.
Terlepas dari jumlah contoh yang diperoleh dan status perikanan berbeda
tapi dengan sampling prosedur yang sama, bila dibandingkan nilai Lm yang
diperoleh penelitian ini dengan hasil penelitian tahun 1991-1993 (Atmaja, et.al.)
dapat terlihat nilai Lm dari jenis ikan layang (D. russelli) lebih rendah bahkan
pada layang deles (D. macrosoma) sulit diperoleh ikan contoh dalam kondisi
gonad berkembang atau tahap pematangan (TKG III). Kondisi yang sama (Lm
lebih rendah) juga ditemui pada jenis siro (A. sirm) dan banyar (R. kanagurta);
hanya ikan bentong (S. crumenophthalmus) yang memiliki nilai Lm lebih besar.
89
Nilai Lm yang cenderung lebih rendah tersebut diperkirakan merupakan
dampak dari eksploitasi berlebihan oleh perikanan purse seine yang berbasis di
Tegal, Pekalongan dan Juana. Pada daerah ini didapatkan jumlah kapal purse
seine yang aktif beroperasi tidak berkurang secara signifikan dan
jumlah
upayanya (jumlah hari laut) justru semakin lama. Tambahan lagi eksploitasi oleh
kapal-kapal mini purse seine yang cenderung lepas kontrol juga. Rendahnya data
landing purse seine diduga sebagian akibat dari kejadian transhipment yang
banyak berlangsung ( Suwarso et.al., 2008b).
Nilai panjang rata-rata tertangkap (L50%) cenderung lebih rendah dari
nilai pertama kali matang kecuali pada ikan Siro. Hal ini menunjukkan bahwa
50% populasi yang tertangkap masih belum matang seksual. Pengaturan ukuran
mata jaring yang tidak tepat dapat menyebabkan eksploitasi berlebih pada
populasi yang masih muda. Untuk itu dalam pengelolaannya sangat penting untuk
mempertimbangan aspek biologi perikanan sehingga pemanfaatannya dapat lestari
dan berkelanjutan.
KESIMPULAN
1. Ikan pelagis kecil di Lau tJawa didominasi oleh ikan yang belum matang,
hanya 4% ikan dalam kondisi matang dan telah memijah.
2. Musim pemijahan diduga berlangsung pada akhir musim timur sekitar
bulan Agustus dan September
3. Ukuran reproduktif dan dan rata-rata tertangkap semakin kecil bila
dibandingkan penelitian 20 tahun sebelumnya yang mengindikasikan
semakin tertekannya sumber daya ikan pelagis kecil di Laut Jawa.
PERSANTUNAN
Tulisan ini merupakan bagian dari kegiatan hasil riset Distribusi, Upaya
Penangkapan Dan Biologi Populasi Stok Ikan Pelagis Kecil Di Laut Jawa Dan
Laut Sulawesi T.A. 2012, di Balai Penelitian Perikanan Laut, Muara Baru,
Jakarta.
90
DAFTAR PUSTAKA
Atmaja, S.B., B. sadhotomo & Suwarso. 1995. Reproduction of the main small
pelagic species. Biodynex. Scientific editors: M. Potier and S. Nurhakim.
AARD, ORSTOM, and E.U:p.69-84
Atmaja, S.B & D. Nugroho. 2006. Indikator Penyusutan Sumber Daya Ikan
Pelagis Kecil Di Laut Jawa Dan Sekitarnya. Bawal. 1(1) : 38-43
Genisa, A.S. & A. Jamali . 1983. Beberapa aspek biologi ikan layang (Decapterus
lajang BLEEKER) di perairan sekitar Pulau Panggang , Pulau-Pulau
Seribu. Konggres nasional biologi VI. Pusat penelitian Biologi. Lembaga
Oseanologi nasional. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Holden, M.J. and D.F.S. Raitt. 1974. Manual of Fisheries science. Part 2.
Methods of resources investigation and their application. FAO Fish. Tech.
Pap. (115). Rev. 1. 214p.
Najamuddin, A. Mallawa, budimawan & M.Y.N. Indar. 2004. Pendugaan ukuran
pertama kali matang gonad Ikan layang deles (Decapterus macrosoma
Bleeker). Jurnal Sains & Teknologi. 4(1) : 1-8
Potier, M., and B. Sadhotomo. 1995. Exploitation of the large and medium seiners
fisheries. BIODYNEX. Scientific editors: M. Potier and S. Nurhakim.
AARD, ORSTOM, and E.U:p.171-184
Sadhotomo, B., S. Nurhakim dan S.B. Atmaja. 1986. Perkembangan komposisi
hasil tangkapan dan laju tangkap pukat cincin di Laut Jawa. Jurnal
Penelitian Perikanan Laut. No.35, th. 1986. BPPL. Jakarta. Hal 101-109
Sparre, Per & Veneme. S.C. 1999. Introduksi pengkajian stok Ikan tropis. Pusat
penelitian dan Pengembangan perikanan. Jakarta. Hal 1-18
Suwarso, A. Zamroni Wudianto. 2008a. Biologi Reproduksi Dan Dugaan Musim
Pemijahan Ikan Pelagis Kecil Di Laut Cina Selatan.Jurnal Penelitian
Perikanan Indonesia. 14(4): 379-391
Suwarso, Wudianto, &S.B. Atmaja. 2008b. Perubahan Upaya Dan Hasil
Tangkapan Ikan Pelagis Kecil Di Sekitar Laut Jawa: Kajian Paska Kolaps
Perikanan Pukat Cincin Besar. Bawal. 2(1): 15-24
Udupa, K.S. 1986. Statistical method of estimating the size at first maturity in fishes.
Fishbyte. ICLARM. Philippines. 4.2.8-10.
91
HUBUNGAN PANJANG BOBOT, FAKTOR KONDISI DAN STRUKTUR
UKURAN IKAN TONGKOL ABU-ABU (Thunnus tonggol) DI LAUT JAWA
Oleh
Umi Chodrijah1)
1)
Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut
Email : [email protected]
ABSTRAK
Ikan tongkol merupakan salah satu sumber daya perikanan yang penting yaitu sebagai
komoditas ekpor dan komoditas strategis bagi nelayan untuk meningkatkan
pendapatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan panjang dan bobot,
faktor kondisi serta struktur ukuran ikan tongkol abu-abu di perairan Laut Jawa.
Pengumpulan data dilakukan pada bulan Februari hingga Desember 2012 dengan
metode survey dan pengamatan langsung di lapangan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa hubungan panjang dan bobot ikan tongkol abu-abu mengikuti persamaan W=
2E-05L2,9334
dan memiliki pola pertumbuhan isometrik. Nilai faktor kondisi
relative berkisar antara 1,7 - 2,1 dan berfluktuasi setiap bulannya. Hasil ini diduga
dipengaruhi oleh ketersediaan makanan. Ikan tongkol abu-abu berukuran antara 13 –
87cmFL dengan bobot tubuh berkisar antara 0,003-6,0 kg
Kata kunci : Hubungan panjang bobot, faktor kondisi, struktur ukuran, ikan tongkol
abu-abu, Laut Jawa
PENDAHULUAN
Tongkol abu-abu (Thunnus tonggol) termasuk dalam family Scombridae dan
dalam perdagangan internasional dikenal dengan nama longtail tuna. Thunnus
tonggol tersebar luas di Indo Pasifik antara 47oLU dan 33oLS (Froese dan Pauly,
2009). Daerah penyebaran spesies ini unik dibandingkan dengan genus Thunnus
yang umumnya di laut lepas, Thunnus tonggol terdapat di perairan neritik (Yesaki,
1994). Ikan tongkol merupakan ikan pelagis, membentuk gerombolan, perenang cepat
dan pemakan daging (carnivore). Dalam Statistik Perikanan Tangkap
(2011),
terdapat 3 jenis ikan tongkol yaitu tongkol krai (Frigate tuna), tongkol komo (kawakawa, Eastern little tuna) dan tongkol abu (Longtail tuna). Ikan tongkol merupakan
salah satu sumber daya perikanan penting, Selain sebagai komoditi ekspor, ikan
93
tongkol juga merupakan komoditi strategis bagi nelayan untuk meningkatkan
pendapatan.
Sampai saat ini belum banyak dilakukan penelitian terhadap sumber daya
tongkol abu-abu Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan panjang dan
bobot, faktor kondisi serta struktur ukuran ikan tongkol abu-abu di perairan Laut
Jawa. Informasi ini sangat diperlukan sabagai bahan dasar pengelolaan ikan tongkol
sehingga dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.
BAHAN DAN METODE
Penelitian tentang biologi reproduksi ikan tongkol abu-abu (Thunnus tonggol)
dilakukan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pekalongan, Jawa Tengah. Penelitian
dilakukan dengan metode observasi langsung pada bulan Februari sampai dengan
Desember 2012. Pengumpulan data dilakukan oleh peneliti dan dibantu oleh tenaga
enumerator. Data morfometri ikan yaitu panjang cagak (diukur dengan ketelitian 0.1
cm) dan berat (ditimbang hingga ketelitian 0,1 kg) diukur untuk tiap individu ikan
tongkol abu-abu (Thunnus tonggol) (Gambar1).
Gambar 1. Ikan tongkol abu-abu yang didaratkan di PPN Pekalongan
Analisis Data
Hubungan panjang –bobot
Untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan, isometric (b=3) atau alometrik
(b±3), dihitung dari hubungan antara panjang dan berat ikan dengan menggunakan
rumus yang dikemukakan oleh Effendie (1979) yaitu :
W = a*Lb…………………………………………………………………….(1)
dimana :
94
W= berat ikan (kilogram)
L = panjang cagak ikan (cm)
a dan b = konstanta
Nilai konstanta “b” yang diperoleh dari persamaan tersebut di atas selanjutnya diuji
ketepatannya terhadap nilai b = 3 dengan menggunakan “uji-t”.
Faktor Kondisi
Menurut Vakily et al., (1986) dalam Manik (2000), faktor kondisi ikan
umumnya antara 0,5 – 2,0 untuk pola pertumbuhan isometrik, faktor kondisinya
dihitung dengan persamaan sebagai berikut :
…………………………………………………………………………….(2)
K=
Nilai K pada ikan yang berbadan agak pipih berkisar antara 2,0-4,0 sedangkan
pada ikan yang kurang pipih berkisar antara 1,0-3,0 (Effendie, 2002). Ikan dengan
pola pertumbuhan allometrik, faktor kondisinya dihitung dengan menggunakan faktor
kondisi relative, yaitu :
Kn=
………………………………………………………………………………..(3)
dimana :
Kn = faktor kondisi relative
W = bobot ikan hasil observasi
W^= bobot ikan hasil estimasi (W^=aLb)
Diamati pola hubungan panjang bobot dan perkembangan faktor kondisi ikan
disajikan setiap bulan selama penelitian.
HASIL DAN BAHASAN
HASIL
Struktur Ukuran Panjang Ikan
Ikan tongkol abu-abu (Thunnus tonggol) yang terukur dalam penelitian ini
mempunyai ukuran panjang cagak (FL) dengan nilai tengah 14,5 - 90,5 cmFL. Modus
ukuran ikan tongkol abu-abu berkisar 46,5 cmFL, yaitu berjumlah 1602 ekor
95
(sebanyak 30,67%) (Gambar 2). Jumlah contoh ikan tongkol abu-abu yang diamati
90.5
86.5
82.5
78.5
74.5
70.5
66.5
62.5
58.5
54.5
50.5
46.5
42.5
38.5
34.5
30.5
26.5
22.5
18.5
35.00
30.67
30.00
25.00
20.02
20.00
14.47
15.00
11.41
10.00
6.07 5.13 6.20
5.00 0.08 1.13 2.11
1.17 0.75 0.27 0.13 0.13 0.11 0.08 0.02 0.04 0.02
0.00
14.5
Frekuensi (%)
dalam penelitian ini adalah 5224 ekor.
Nilai tengah kelas panjang/Midlength (cmFL)
Gambar 2. Sebaran ukuran kelas panjang ikan tongkol abu-abu hasil tangkapan
armada pukat cincin di Pekalongan
.
Hubungan Panjang Bobot
Ikan tongkol abu-abu yang dianalisis memiliki kisaran ukuran panjang cagak
(FL) antara 13 – 87 cmFL dengan bobot tubuh berkisar antara 0,003-6,0 kg. Hasil
analisis hubungan panjang dan bobot menunjukkan bahwa pola pertumbuhan ikan
tongkol mengikuti persamaan W= 2E-05L2,9334 (Gambar 3). Berdasarkan hasil uji –t
terhadap nilai b (slope) ikan tongkol abu-abu pada selang kepecayaan 95%
menunjukkan bahwa nilai b tidak berbeda nyata terhadap nilai 3. Hal tersebut berarti
bahwa pola pertumbuhan ikan tongkol abu-abu bersifat isometrik. Apabila kita lihat
besaran nilai b setiap bulannya, ternyata juga bersifat isometrik. Persamaan hubungan
panjang bobot dan koefisien korelasi masing-masing lebih besar dari 0,9 (Tabel 1).
Jika nilai koefisien korelasi mendekati -1 atau 1, maka terdapat hubungan linier yang
kuat antara kedua variabel tersebut (Walpole, 1993).
96
Bobot/Weght (Kg)
12.00
10.00
8.00
6.00
4.00
2.00
0.00
W = 2E-05L2.9334
R² = 0.9795
n=5224
0
20
40
60
80
100
Panjang cagak/Fork Length (Cm)
Gambar 3. Hubungan panjang dan bobot ikan tongkol abu-abu
Tabel 1. Hubungan panjang dan bobot ikan tongkol abu-abu (Thunnus tonggol )
setiap bulan tahun 2012
Persamaan
W=aLb
Sifat
No
Bulan
r
Uji t
1
Feb
W = 6E-05L2,694
0,951
0,349
1,64
750
Isometrik
2
Mar
W = 6E-05L2,657
0,904
0,247
1,64
238
Isometrik
3
Apr
W = 3E-05L2,941
0,980
0,142
1,64
788
Isometrik
4
Mei
W = 2E-05L2,999
0,990
0,002
1,64
467
Isometrik
5
Jun
W = 1E-05L2.994
0,970
0,012
1,64
162
Isometrik
6
Jul
W = 1E-05L3,093
0,991
0,210
1,64
347
Isometrik
7
Agt
W = 2E-05L2,920
0,981
0,078
1,64
348
Isometrik
8
Sep
W = 3E-05L2,886
0,981
0,161
1,64
563
Isometrik
9
Okt
W = 2E-05L2,983
0,979
0,024
1,64
523
Isometrik
10
Nov
W = 2E-05L2,905
0,954
0,075
1,64
527
Isometrik
11
Des
W = 2E-05L3.003
0.988
0,008
1,64
811
Isometrik
t Hit
N
pertumbuhan
t tab(0.05)
97
Faktor Kondisi
Rata-rata faktor kondisi relative ikan tongkol abu-abu (Thunnus tonggol)
selama pengamatan adalah
1,79. Faktor kondisi relative ikan tongkol abu-abu
mengalami fluktuasi berdasarkan bulan pengamatan. Nilai faktor kondisi dari bulan
Februari sampai dengan bulan Oktober dapat dikatakan stabil, kemudian mengalami
Faktor Kondisi relatif
peningkatan pada bulan November (Gambar 3).
2.25
2.00
1.75
1.50
1.25
1.00
0.75
0.50
0.25
0.00
Feb Mrt Apr Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nov Des
Gambar 3. Variasi bulanan faktor kondisi relative bulanan ikan tongkol abu-abu
(Thunnus tonggol) tahun 2012
BAHASAN
Struktur Ukuran
Ikan tongkol abu-abu (Thunnus tonggol) yang terukur dalam penelitian ini
mempunyai ukuran panjang cagak (FL) dengan nilai tengah 14,5-90,5 cmFL. Modus
ukuran ikan tongkol abu-abu berkisar 46,5 cmFL, yaitu berjumlah 1602 ekor
(sebanyak 30,67%. Berdasarkan penelitian sebelumnya, ikan tongkol abu-abu di
perairan Taiwan berkisar antara 30 -74,5cmFL dan berat berkisar antara 0,43-5,9 kg.
(Chiang, W.C.et al., 2011).
Hubungan Panjang Bobot
Pertumbuhan ikan tongkol abu-abu mengikuti persamaaan W= 2E-05L2,9334 ,
pertumbuhan bersifat isometrik yaitu pertambahan ukuran bobot tubuh ikan
sebanding dengan pertambahan ukuran panjang tubuhnya. Menurut Chiang, W.C. et
98
al., (2011). pola pertumbuhan ikan longtail tuna (Thunnus tonggol) di perairan
Taiwan mengikuti persamaan RW= 1x10-5FL3.1059 dengan R2 = 0,959. Pertumbuhan
ikan dipengaruhi oleh faktor dalam maupun faktor luar. Faktor dalam umumnya sulit
dikontrol yang meliputi keturunan, sex umur, parasit dan penyakit. Sedangkan faktor
luar yang mempengaruhi pertumbuhan ikan adalah ketersediaan makanan dan suhu
perairan (Effendie, 2002).
Perbedaan pola pertumbuhan dapat disebabkan karena ukuran ikan hasil
tangkapan yang berbeda. Menurut Hossain (2010) hubungan panjang-bobot ikan
dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya habitat, lingkungan, musim, jenis
makanan, matang gonad, kesehatan, dan jenis kelamin. Sementara King (2007)
menyatakan bahwa hubungan panjang bobot ikan dapat digunakan untuk menentukan
kemungkinan perbedaan antara jenis ikan yang sama pada stok yang berbeda.
Kegunaan lain dari analisis hubungan panjang dan bobot yaitu dapat digunakan untuk
melakukan estimasi faktor kondisi atau sering disebut dengan index of plumpness,
yang merupakan salah satu derivate penting dari pertumbuhan untuk membandingkan
kondisi atau keadaan kesehatan relative populasi ikan atau individu tertentu (Everhart
& Youngs, 1981).
Faktor Kondisi
Salah satu derivate penting dari pertumbuhan adalah faktor kondisi atau
indeks ponderal dan sering disebut faktor K. Faktor kondisi menunjukkan keadaan
baik dari ikan dilihat dari segi kapasitas fisik untuk survival dan reproduksi. Di dalam
penggunaan secara komersial maka kondisi ini mempunyai kualitas dan kuantitas
daging ikan yang tersedia untuk dapat dimakan (Effendie, 2002).
Berdasarkan hasil pengamatan, nilai faktor kondisi relative ikan tongkol abuabu berfluktuasi pada setiap bulannya. Menurut Effendie,(2002), perbedaan nilai
factor kondisi dipengaruhi oleh kepadatan populasi, tingkat kematangan gionad,
makanan, jenis kelamin dan umur ikan. Selanjutnya, nilai faktor kondisi relative ikan
tongkol abu-abu selama penelitian berkisar antara1,7 – 2,1 dengan rata-rata 1,79.
99
Menurut Effendie 1997 ikan yang badannya kurang pipih atau montok memiliki
nilai K berkisar antara 1-3.
KESIMPULAN
1. Pola pertumbuhan ikan tonkol abu-abu secara umum bersifat isometrik.
2. Sebaran frekuensi panjang ikan tongkol didominasi ukuran 13 – 87cmFL
dengan bobot tubuh berkisar antara 0.003-6,0 kg
3. Faktor kondisi relative ikan tongkol abu-abu berfluktuasi berdasarkan bulan
pengamatan dengan nilai berkisar antara 1,7-2,1.
PERSANTUNAN
Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan penelitian Distribusi dan
Kelimpahan Sumber daya Ikan Pelagis Besar di WPP 716 Laut Sulawesi dan WPP
712 Laut Jawa T.A. 2012, di Balai Penelitian Perikanan Laut Muara Baru, Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA
Chiang, W.C. et al. 2011. Reproductive biology of longtail tuna (Thunnus tonggol)
from coastal waters off Taiwan.15pp. IOTC-2011-WPNT01-30ng Diunduh
pada 17/10/2012.
Effendie, I.M. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Bogor. 163 p.
Everhart, W. H. & W. D. Youngs. 1981. Principle of Fishery Science. 2nd Edition.
Comstock Publising Associates, a Division of Cornell University Press. Ithaca
and London. 345p.
Froese, R., D.E. Pauly. 2011. FishBase. World Wide Web electronic publication.
www.fishbase.org, version 08/2011.
Manik, N. 2009. Hubungan panjang berat dan Faktor kondisi Ikan Layang
(Decapterus ruselli) dari Perairan Sekitar Teluk Likupang Sulawesi Utara.
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 35 (1):65-74
Walpole, R.E. 1992. Pengantar Statistika (Diterjemahkan oleh Bambang Sumantri.
Edisi Ketiga. PT. Gramedia. Jakarta.515 pp.
100
Hossain, Y. 2010. Length-Weight, Length-length Relationship and Condition Faktors
of Three Schibid Catfish from the Padma River, Northwestern Bangladesh.
Asian Fisheries Science. (23): 329-339.
King, M. 2007. Fisheries Biology, Assessment and Management. Second edition.
Blackwell Sciencetific Publication. Oxford. 381 p.
Yesaki, M. 1994. A review of the biology and fisheries for longtail tuna (Thunnus
tonggol) in the Indo-Pacific Region. FAO Fisheries Technical Paper, 336:
370–387
101
Lampiran 1. Sebaran frekuensi panjang cagak ikan tongkol abu-abu yang tertangkap
pada bulan Februari sampai Desember 2012
Appendix 1. Length frequency distribution of Thunnus tonggol caught from February
to December 2012
102
Desember
n = 811
20.0
15.0
10.0
5.0
86.5
78.5
70.5
62.5
54.5
46.5
38.5
30.5
22.5
0.0
14.5
Frekuensi (%)
25.0
Mid length (Cm)
103
ESTIMASI PARAMETER POPULASI IKAN TONGKOL KOMO
(Euthynnus affinis) DI PERAIRAN LAUT JAWA
Oleh
Umi Chodrijah1), Thomas Hidayat1) dan Tegoeh Noegroho1)
1)
Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut
Email : [email protected]
ABSTRAK
Tongkol komo (Euthynnus affinis) termasuk dalam family Scombridae, dan dalam
perdagangan internasional dikenal dengan nama kawakawa. Ikan tongkol
merupakan ikan pelagis, membentuk gerombolan, perenang cepat dan pemakan
daging (carnivore). Penelitian tentang estimasi parameter populasi ikan tongkol
komo di perairan Laut Jawa telah dilakukan pada 2012 di Pelabuhan Perikanan
Nusantara Pekalongan, Jawa Tengah. Penelitian parameter populasi terhadap
sumber daya tongkol komo belum banyak dilakukan. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui estimasi parameter populasi ikan tongkol komo yang
tertangkap di peraira Laut Jawa. Informasi ini sangat diperlukan sabagai bahan
dasar pengelolaan ikan tongkol sehingga dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebaran frekuensi panjang cagak ikan
tongkol komo diperoleh panjang minimum 11,7 cm FL, maksimum 55,4 cmFL
dan panjang-rata-rata 34,1 cm. Persamaan dari hubungan panjang dan bobot ikan
tongkol komo adalah W=0,00001L3,1267 (r2= 0,986). Hasil pendugaan parameter
pertumbuhan ikan tongkol dari perairan Laut Jawa didapatkan L∞= 56,3 cm, K=
0,65 pertahun dan t0 = 1,273 tahun. Nilai total mortalitas ikan tongkol komo
adalah 1,89 per tahun dengan mortalitas alami dan mortalitas penangkapan
masing-masing 0,90 dan 0,99. Tingkat eksploitasi ikan tongkol komo adalah 0.52
pertahun.
Kata Kunci: parameter populasi, tongkol komo, Laut Jawa
PENDAHULUAN
Tongkol komo (Euthynnus affinis) termasuk dalam family Scombridae,
dan dalam perdagangan internasional dikenal dengan nama kawakawa. Ikan
tongkol merupakan ikan pelagis, membentuk gerombolan, perenang cepat dan
pemakan daging (carnivore). Dalam Statistik Perikanan Tangkap (2011), terdapat
3 jenis ikan tongkol yaitu tongkol krai (Frigate tuna), tongkol komo (kawa-kawa,
Eastern little tuna) dan tongkol abu (Longtail tuna).
Ikan tongkol merupakan salah satu sumber daya perikanan penting, Selain
sebagai komoditi ekspor, ikan tongkol juga merupakan komoditi strategis bagi
105
nelayan untuk meningkatkan pendapatan. Menurut Statistik Ekpor Hasil
Perikanan, (2010) ekspor komoditi tuna, cakalang dan tongkol sebesar 122.450
ton.
Laut Jawa merupakan bagian dari paparan Sunda dimana seluruhnya
merupakan perairan territorial dengan kedalaman maksimal 70 meter. Kegiatan
penangkapan terutama terpusat di pantai utara Jawa (Nurhakim et al., 2007). Di
Laut Jawa ikan tongkol menyumbang kontribusi sekitar 10% dari total hasil
tangkapan ikan pelagis yang didaratkan, dimana 33 % diantaranya berasal dari
alat tangkap gillnet dan 67% lainnya berasal dari alat tangkap purse seine
(Suwarso, 2009).
Sampai saat ini belum banyak dilakukan penelitian parameter populasi
terhadap sumber daya tongkol komo. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
estimasi parameter populasi ikan tongkol komo yang tertangkap di perairan Laut
Jawa. Informasi ini sangat diperlukan sabagai bahan dasar pengelolaan ikan
tongkol sehingga dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.
BAHAN DAN METODE
Pengambilan sampel ikan tongkol komo untuk estimasi parameter
populasinya
dilakukan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pekalongan, Jawa
Tengah. Penelitian lapangan dilakukan pada Februari sampai dengan Desember
2012 dan dibantu oleh tenaga enumerator. Ikan diperoleh dari hasil tangkapan
pukat cincin yang didaratkan di PPN. Pekalongan, Jawa Tengah. Data morfometri
ikan yaitu panjang cagak (diukur dengan ketelitian 0,1 cm) dan berat (ditimbang
hingga ketelitian 0,1kg) diukur untuk tiap individu ikan tongkol como (Euthynnus
affinis) dari hasil tangkapan nelayan pukat cincin di perairan Laut Jawa.
Ciri morfologis ikan tongkol komo (Euthynnus affinis ) adalah badan
memanjang seperti cerutu atau torpedo dan termasuk tuna kecil (kate), tapis
insang pada busur insang pertama berjumlah 29-34, tidak bersisik kecuali pada
korselet dan garis rusuk, terdapat lunas kuat pada batang ekor diapit dua lunas
kecil pada ujung belakangnya dan memiliki dua sirip punggung. Sirip punggung
pertama hanya memiliki jari-jari keras berjunlah 15. Sirip punggung kedua hanya
memiliki jari-jari lemah berjumlah 13, dan jari-jari sirip tambahan (finlet)
106
berjumlah 8-10. Ikan ini memiliki sirip dubur dengan jari-jari lemah berjumlah 14
dan jari-jari sirip tambahan dengan junlah 6-8, serta terdapat dua lidah/cuping
(interpelvic process) diantara sirip perutnya. Ciri lainnya terdapat ban-ban serong
menggelombang berwarna hitam diatas garis rusuk serta noktah-noktah hitam
terdapat diantara sirip dada dan perut. (Gambar 1).
Gambar 1. Morfologi ikan tongkol komo
Analisis Data
Untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan, isometrik (b=3) atau alometrik
(b≠3), dihitung dari hubungan antara panjang dan berat ikan menggunakan rumus
yang dikemukakan oleh Effendie (1979) yaitu :
W = a*Lb
dimana :
W= berat ikan (gram)
L = panjang cagak ikan (cm)
a dan b = konstanta
Nilai konstanta “b” yang diperoleh dari persamaan tersebut di atas selanjutnya
diuji ketepatannya terhadap nilai b = 3 dengan menggunakan “uji-t”.
Pendugaan parameter pertumbuhan (Von Bertalanffy) yaitu panjang total
asimtotik (L∞) dan koefisien pertumbuhan (K) dihitung menggunakan program
Elefan I (1987) dalam program computer FISAT (Gayanillo et al., 1995).
Pendugaan nilai to (umur pada saat 0 tahun berdasarkan persamaan Pauly (1984)
yaitu :
107
Log (-to) = 0,3922 - 0,2752 Log(L∞)-1.038Log(K)……………………………(1)
Laju mortalitas alami (M) diduga dengan mengaplikasikan model empiris
dari Pauly et al. (1984) yaitu :
Log (M) = -0,0066 – 0,279 * Log (L∞)+0,6543*Log (k)+0,4634*Log(T)……(2)
dimana :
L∞ = panjang total asimtotik
K = koefisien pertumbuhan
T = rataan suhu lingkungan perairan, menurut Setyohadi (2010) = 28oC
Koefisien mortalitas total (Z) diperoleh dari kurva hasil tangkapan
berdasarkan pada ukuran panjang (length converted catch curve) (Pauly et al.,
1984) yang perhitungannya dilakukan secara komputerisasi menggunakan paket
program FISAT (Gayanilo et al., 1995). Koefisien mortalitas penangkapan (F)
dihitung dari persamaan :
F = (Z-M)……………………………………………………………………..…(3)
Laju eksploitasi (E) dihitung menggunakan persamaan :
E = F/Z (Pauly, 1980)………………………………………………….............(4)
HASIL
Distribusi panjang cagak dan hubungan panjang berat
Dari sebaran frekuensi panjang cagak
ikan tongkol komo, diperoleh
panjang minimum 11,7 cmFL, maksimum 55,4 cmFL dan panjang-rata-rata
34,1cm (Gambar 2 dan Lampiran 1).
Frekuensi (%)
20
n=8371
15
10
5
0
11 14 17 20 23 26 29 32 35 38 41 44 47 50 53 56
FL (cm)
Gambar 2. Distribusi sebaran panjang cagak ikan tongkol komo
108
Dari analisis hubungan panjang dan berat ikan tongkol komo dari perairan
Laut Jawa dihasilkan persamaan W=0,00001L3,1267 (r2= 0,986) dengan nilai b =
3,1267. Setelah dilakukan uji t, nilai t
tabel
(t
tabel
hitung
(thitung= 0.004525 ) lebih kecil dari t
=1,965) dengan tingkat kepercayaan 95% yang artinya peningkatan
pertambahan berat sebanding dengan pertumbuhan panjangnya(Gambar 3).
3.50
W = 1E-05L3.1267
R² = 0.986
n = 8371
W (Kg)
3.00
2.50
2.00
1.50
1.00
0.50
0.00
0.0
10.0
20.0
30.0
40.0
50.0
60.0
FL (Cm)
Gambar 3. Hubungan panjang dan bobot ikan tongkol komo
Analisis dengan program FISAT pada ikan tongkol komo memperoleh
nilai panjang infinitif (L∞) = 56.3 cm dan koefisien pertumbuhan (K) = 0.65 per
tahun. Hal ini menunjukkan bahwa ikan tongkol diperkirakan mampu tumbuh
hingga mencapai panjang total 56,3 cm dengan laju pertumbuhan sebesar 0.65 cm
pertahun.
Total mortalitas (Z) dari ikan tongkol komo dari perairan Laut Jawa adalah
1,89 per tahun. Rata-rata suhu tahunan di perairan Laut Jawa 28oC, maka jika
dimasukkan dalam persamaan empiris Pauly (1980) didapatkan mortalitas alami
(M) dari ikan tongkol komo adalah 0,90 per tahun. Mortalitas penangkapan (F)
yang didapatkan dari F = Z-M adalah 0,99 per tahun dengan rasio eksploitasi (E)
yang diperoleh 0,52 per tahun. Gambar 4 menunjukkan grafik Von Bertalanffy
Growth dari ikan tongkol komo dari perairan Laut Jawa tahun 2012.
109
Gambar 4. Grafik Von Bertalanffy Growth Function dari ikan tongkol komo
BAHASAN
Ikan tongkol komo memiliki panjang minimum 11,7 cm FL, maksimum
55,4 cmFL dan panjang-rata-rata 34,1cm. Ukuran panjang ikan tongkol komo di
perairan Laut Jawa tersebut lebih kecil bila dibandingkan dengan ukuran ikan
tongkol komo hasil penelitian sebelumnya.
Menurut Kaymaram & Darvishi
(2012) panjang ikan tongkol komo (Euthynnus affinis) di perairan Iran berkisar
antara 28-88 cm, dengan rata-rata 66 cm. Selanjutnya Silas et al. (1985)
melaporkan bahwa E.affinis di sepanjang Pantai India memiliki kisaran panjang
12-76 cm.
Kasim & Abdussamad, (2003) melaporkan bahwa E.affinis
mempunyai kisaran panjang 18 - 83 cm. Perbedaan kisaran panjang ikan tongkol
diduga karena perbedaan alat tangkap yang digunakan, kondisi lingkungan dan
variasi intensitas penangkapan (Motlagh et al., 2010).
Hubungan panjang dan berat ikan tongkol komo dari perairan Laut Jawa
adalah W = 0,00001L3,1267 (r2 = 0,986) dengan nilai b = 3,1267. Dari segi
pertumbuhan, peningkatan pertambahan berat sebanding dengan pertumbuhan
panjangnya. Hal ini memberikan gambaran bahwa ikan tongkol komo mempunyai
pola pertumbuhan isometrik dengan nilai b = 3 (b = 3,1267) yang menunjukkan
pertumbuhan bobot ikan seiring dengan pertambahan panjangnya. Sedangkan
apabila dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya (Tabel 1), ternyata nilai
110
a dan b hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya. Menurut
Biswas, (1993) perbedaan nilai a dan b ini tergantung pada jenis kelamin, tahap
kedewasaan, intensitas makan, dan lain lainnya. Selanjutnya menurut Gulland
(1983); Sparre & Venema (1992), variasi nilai b ini juga disebabkan berbagai
faktor seperti suhu, salinitas, makanan (kuantitas, kualitas dan ukuran), jenis
kelamin, tahap kematangan gonad dan kelestarian habitat.
Tabel 1. Prameter a dan b pada hubungan panjang dan bobot beberapa penelitian dari
ikan tongkol komo
Penulis/Author
Lokasi/Location
"a"
"b"
Silas,1967
Samudera Hindia
0,0138
3,287
Rohit et al.,2012
India
0,0254
2,889
James et al., 1993
India
0,019
2,95
Kaymaram & Darvishi (2012)
Iran
0,0186
2,87
Penelitian ini
Laut Jawa
0,00001
3,127
Dari hasil analisis dengan program FISAT, ikan tongkol komo
diperkirakan mampu tumbuh hingga mencapai panjang total 56,3 cm dengan laju
pertumbuhan sebesar 0.65 cm pertahun. Panjang maksimum ini tentu jauh berbeda
dengan estimasi panjang asimtotik ikan tongkol komo yang ditemukan di perairan
Iran. Perbedaan karakteristik lingkungan diduga menjadi faktor utama perbedaan
panjang maksimum ini. Penelitian sebelumnya oleh Rohit et al.,(2012)
melaporkan bahwa ikan tongkol E. affinis akan tumbuh cepat pada umur 2 sampai
8 tahun, E.affinis akan tumbuh cepat pada ukuran panjang 49 cm, 69 cm, 79 cm
dan 85 cm berturut-turut di akhir tahun pertama, kedua, ketiga dan keempat.
Selanjutnya menurut Sparre & Venema (1992), nilai K merupakan suatu
parameter yang menentukan seberapa cepat ikan mencapai panjang asimtotiknya.
Ikan dengan nilai K yang tinggi pada umumnya memiliki umur yang ralatif
pendek (Pauly, 1980 ). Nilai K yang diperoleh tidak jauh beda dengan penelitian
dari Joseph et al. (1987); Talebzadeh et al., (1997) dan Kaymaram & Darvishi
(2012) yang masing-masing percepatan pertumbuhannya 0,69 dan 0,67 (Tabel 2).
111
Tabel 2. Panjang asimtotik (L∞) beberapa penelitian dari ikan tongkol komo.
k (tahun /
Penulis /Author
Lokasi / Location
year)
Lasimtotik(cm)
Yesaki (1982)
Thailand
0,46
76
Joseph et al.(1987)
Srilanka
0,69
59,5
Talebzadeh et al.(1997)
Iran
0,69
86
Pillai et al. 2002
India
0,90
81
Dayaratne & Silva (1991)
Srilanka
0,52
76,8
Khan (2004)
India
0,79
81,7
Rohit et al. (2012)
India
0,56
81,92
Ghosh et al. (2010)
India
0,56
72,5
Taghavi Motlagh et al. (2010)
Iran
0,51
87,66
Kaymaram & Darvishi (2012)
Iran
0,67
95,06
Penelitian ini
Laut Jawa
0,65
56,3
Laju kematian karena penangkapan (F) bervariasi menurut keragaman
upaya penangkapan (f) setiap tahunnya. Nilai F menunjukkan seberapa besar dan
meningkatnya tekanan penangkapan (fishing pressure) terhadap stok ikan di suatu
perairan (Suman & Boer, 2005).
Jika nilai mortalitas alami dari ikan tongkol komo, M = 0,90 pertahun dan
mortalitas penangkapan F= 0,99 pertahun maka diperoleh nilai tingkat eksploitasi
E = 0,52. Nilai laju eksploitasi (E) tersebut mengindikasikan bahwa tingkat
eksploitasi ikan tongkol komo di perairan Laut Jawa sudah berada pada nilai
optimumnya (E=0,50) seperti yang disebutkan oleh Pauly et al. (1984).
KESIMPULAN
1. Sebaran frekuensi panjang cagak ikan tongkol komo adalah panjang
minimum 11,7 cm FL, maksimum 55,4 cmFL dan panjang-rata-rata
34,1cm
2. Persamaan dari hubungan panjang dan berat ikan tongkol komo adalah
W=0,00001L3,1267 (r2= 0,986) .
3. Hasil pendugaan parameter pertumbuhan ikan tongkol dari perairan Laut
Jawa didapatkan L∞= 56,3 cm, K= 0,65 pertahun dan t0 = 1,273 tahun.
112
4. Nilai total mortalitas ikan tongkol komo adalah 1,89 per tahun dengan
mortalitas alami dan mortalitas penangkapan masing-masing 0,90 dan
0,99.
5. Tingkat eksploitasi ikan tongkol komo adalah 0,52.
PERSANTUNAN
Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan penelitian Distribusi dan
Kelimpahan Sumber daya Ikan Pelagis Besar di WPP 716 Laut Sulawesi dan
WPP 712 Laut Jawa T.A. 2012, di Balai Penelitian Perikanan Laut Muara Baru,
Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA
Biswas, S.P. 1993. Manual of methods in fish biology. South Asian publishers. 157
p.
Effendie, I. M. 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri, Bogor.112 p.
Dayaratne, P., De Silva, J., 1991. An assessment of Kawakawa stock on the west
coast of Sri Lanka.Asian Fisheries Science 4(1991) : 219-226.
Manila,Philippines.
Gayanilo Jr F.C., P. Sparre & D. Pauly. 1995. The FAO-ICLARM stock assessment
tools (FISAT) Userr’s guide. FAO copmputerized information series fisheries.
ICLARM Contribution 1048. 126 p.
Ghosh, S.S.,Pillai,N.G.K., and Dhokia,H.K. 2010. Fishery, population characteristics
and yield estimates of coastal tunas at Veraval. Indian.J.Fish.,57(2):7-13.
Gulland, J.A. 1983. Fish stock assessment. A manual of Basic Methods. John
Wiley & Sons. Chicester. 233 p.
James,P.S.B.R., P.P. Pillai, A.A.Jayaprakash, N.G.K.Pillai , G.Gopakumar , H.M.
Kasim, M.Sivadas, and K.P.Said Koya. 1993. Fishery, biology and stock
assessment of small tunas. In : D.Sudarsan and John,M.E. (Eds), Tuna
research in India, Fishery Survey of India, Bombay, India, p.123-148.
Joseph,L., R. Maldeniya, and M.Van derKnapp. 1987. Fishery, age and growth of
Kawakawa and Frigate tuna. In : Collective volume of working documents
113
presented at the expert consultation on stock assessment of tunas in the Indian
Ocean, Colombo, Sri Lanka, 4 - 8 Dec, 1986. Indo-Pac.Tuna. Dev. Mgt.
Programme, Vol 2 : 113-23.
Kasim, H.M. & E.M. Abdussamad. 2003. Stock assessment of coastal tunas along the
east coast of India.In: Somvanshi,V.S.,Varghese,S. and Bhargava,A.K.(Eds),
Proc.Tuna Meet. 2003, p. 42-53.
Kaymaram, F. & M.Darvishi . 2012. Growth and mortality parameters of
Euthynnus affinis in the northern part of the Persian Gulf and Oman Sea .
Second Working Party on Neritic Tunas, Malaysia, 19–21 November 2012
IOTC–2012–WPNT02–14 Rev_1. 14 p.
Khan,M.Z.,2004. Age and growth mortality and stock assessment of E.affinis from
Maharashtra waters. Indian. J. Fish. 51(2) : 209-213.
Nurhakim, S., V.PH., Nikijuluw, D. Nugroho & B.I. Prisantoso. 2007. Fisheries
Management Area – Fisheries Status by Management Area. Research Center
for Capture Fisheries, Jakarta. 47 p.
Pauly, D. 1984. On the interrelationship between natural mortality, grwoth
parameters, and mean environmental temperature in 175 fish stocks. J.
Com. CIEM. 39(2) : 175-192.
Pauly, D. J. Ingles, R. Neal. 1984. Application to shrimp stocks of objective
methods for the estimation of growth, morlality, and recruitment related
parameters from lemgth frequency data (ELEFAN I and II). In Penaeid
Shrimp-Their Biology and Management. 220-234. Fishing News Book
Limited. Farnham-Surrey-England.
Pillai P.P., N.G.K. Pillai, C. Muthiah,Yohannan, T.M. H.,Mohamed Kasim,
Gopakumar, G.SaidKoya,K.P., B.ManojKumar, Sivadas, M.Nasser,A.K.V.,
U.Ganga, H.K Dhokia, S. Kemparaju, M.M. Bhaskaran, M.N.K Elayathu,
Balasubramanian, T.S.,Manimran, C.,Kunjikoya,V.A. and T.T. Ajith Kumar.
2002. Status of exploitation of coastal tunas in the Indian Seas. In : Pillai,
N.G.K.,Menon,N.G.Pillai,P.P. and Ganga,U.(Eds). Management of Scombrid
fisheries. Central Marine Fisheries Research Institute, Kochi, p.56-61.
Rohit,P.,A.Chellappan, E.M.Abdussamad, K.K.Joshi, K.P. SaidKoya, M.Sivadas, Sh.
Ghosh,
A. Margaret Muthu Rathinam, S. Kemparaju, H.K.Dhokia,
D.Prakasan and N. Beni. 2012. Fishery and bionomics of the little tuna,
Euthynnus affinis exploited from Indian Waters.
Sparre, P. & S.C. Venema. 1992. Introduksi Pengkajian Ikan Tropis.Buku 1:
Manual. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Jakarta. 438 p.
Setyohadi, D. 2010. Kajian pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru (Sardinella
lemuru) di Selat Bali: Analisis simulasi kebijakan pengelolaan 2008-
114
2020. Disertasi (tidak dipublikasikan). Program Pascasarjana. Fakultas
Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang.
Silas,E.G., P.P. Pillai, M.Srinath, A.A.Jayaprakash, C.Muthiah, V.Balan,
T.M.Yohannan, T.M.P. Sirameetan, M.Mohan, P.Livingston, K.K.
Kunhikoya, M.A. Pillai & P.S. Sarma. 1985. Population dynamics of
tuna: Stock assessment in tuna fisheries of the exclusive economic zone
of India : Biology and stock assessment,edited by E.G.Silas Bulletin
Center Marine Fisheries Institute,Cochin, p. 2-27.
Statistik Ekspor Hasil Perikanan. 2010. Kementerian Kelautan &Perikanan. 526 p.
Statistik Perikanan Tangkap Di Laut. 2011. Direktorat Jenderal Perikanan
Tangkap. Kementerian Kelautan &Perikanan.
Suman, A. & M. Boer. 2005. Ukuran pertama kali matang kelamin, musim
pemijahan, dan parameter pertumbuhan udang dogol (Metapenaeus ensis
de Haan) di perairan Cilacap dan sekitarnya. Jurnal Penelitian Perikanan
Indonesia. 11(2) : 69-74.
Suwarso. 2009. Variasi Musiman Hasil Tangkapan Ikan Tongkol (Euthynnus sp.;
Fam. Scombridae) di Laut Jawa. Prosiding Seminar Nasional Tahunan
VI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan. Universitas Gadjah Mada.
25 Juli 2009 Yogyakarta. 6 p.
Talebzadeh,A., A. Salarpouri, S. Behzadi. 1997. Survey stocks of five species of
Scombridae in Hormuzgan Coastal waters (Persan Gulf and Oman Sea).
Persan Gulf and Oman Sea Ecological Research Institute. 155 p.
Taghavi Motlagh, S.A. Hashemian and P. Kochanian. 2010. Population biology and
assessment of Kawakawa in coastal waters of the Persian Gulf and Oman
Sea (Hormozgan Province). Iran.J.Fish.Sci.,9 (2) : 315-326.
Yesaki,M. 1982. Thailand. Biological and environmental observations. A report
prepared for the Pole-and-Line Tuna Fishing in Southern Thailand
Project.FAO.FI:DP/THA/77/008:46 p.
115
Lampiran 1. Distribusi frekuensi panjang cagak ikan tongkol komo (Euthynnus
affinis) hasil tangkapan purse seine di perairan Laut Jawa pada
2012
No
ML
(cm)
Feb
Mar
Apr
Mei
1
6
4
55
Jun
Jul
Agt
1
1
1
72
11
7
Sep
Okt
Nov
Des
1
12.5
2
16.5
3
20.5
2
155
22
284
116
50
60
2
3
4
24.5
73
517
182
219
120
63
87
24
40
5
28.5
57
82
129
153
179
60
105
53
2
3
136
6
32.5
64
34
42
101
62
9
125
12
18
57
69
7
36.5
81
93
41
45
29
5
81
87
46
117
77
8
40.5
177
50
15
32
30
6
29
136
77
154
104
9
44.5
298
184
72
40
71
66
60
129
121
182
218
10
48.5
222
120
228
49
70
137
101
130
139
129
128
11
52.5
26
14
96
8
14
10
7
21
6
15
11
12
56.5
3
Jumlah
1.003
987
764
418
663
594
409
657
786
116
4
1.255
835
KOMPOSISI, KEANEKARAGAMAN DAN RASIO KELAMIN IKAN PARI
DI PERAIRAN CIREBON DAN SEKITARNYA
Oleh
Yoke Hany Restiangsih1), Umi Chodriyah1), Siti Mardlijah1)
1)
Peneliti Balai Penelitian Perikanan Laut
Email : [email protected]
ABSTRAK
Ikan pari saat ini sedang menghadapi masalah terhadap tingginya laju kepunahan
akibat pengambilan berlebih (overfishing) yang dipicu oleh tingginya permintaan
pasar akan daging dan kulit pari. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui komposisi,
keanekaragaman dan rasio kelamin ikan pari. Peneitian ini menggunakan data
obeservasi lapangan, dengan melakukan identifikasi secara langsung dan dianalisis
dengan menggunakan Indeks Keanekaragaman (H') Shannon-Wienner. Hasil
penelitian dikoleksi sebanyak 12 spesies yang termasuk dalam 4 famili dan 1.414
individu. didominasi oleh ikan pari jenis Himantura gerrardi dan Himantura
bleekeri. Indeks keanekaragaman ikan pari antara 1,01 – 2,09 , dan indeks
keseragaman antara 0,28 – 0,58. Rasio kelamin ikan pari didominasi Betina.
Kata kunci : Ikan pari, komposisi, keanekaragaman, rasio kelamin
PENDAHULUAN
Ikan pari adalah kelompok ikan bertulang rawan yang penting dan memiliki
nilai komersial tinggi. Ukuran tubuh yang besar, struktur tubuh yang terdiri atas
tulang rawan dan sifatnya sebagai predator, sangat menarik untuk diamati. Ikan pari
saat ini sedang menghadapi masalah terhadap tingginya laju kepunahan akibat
pengambilan berlebih (overfishing) yang dipicu oleh tingginya permintaan pasar akan
daging dan kulit pari. Penangkapan yang dilakukan oleh nelayan cenderung tidak
didasari oleh ketersediaan informasi dan data ilmiah mengenai kondisi populasi ikan
pari. Di Indonesia laju penangkapan ikan pari tinggi hal ini ditunjukkan oleh nilai
produksi yang naik secara signifikan dari tahun ke tahun (Fahmi & Dharmadi, 2005).
Apabila dibandingkan dengan kelompok ikan lainnya yakni ikan bertulang
sejati, maka sifat-sifat biologi ikan pari (ikan bertulang rawan) sangat jauh berbeda.
Faktor ini yang membuat ikan tersebut menjadi semakin terancam populasinya dari
117
tekanan penangkapan. Ikan pari memiliki sifat pertumbuhan yang lambat, umur
panjang, dan mencapai dewasa (matang kelamin) ketika usia lanjut serta hanya
menghasilkan beberapa ekor ikan muda saja ketika bereproduksi. Kegiatan
penangkapan yang intensif tanpa kendali akan dapat membuat sumberdaya kelompok
ikan pari sangat rentan terjadi tangkap lebih (overfishing) (Adrim, 2007).
Makalah ini akan membahas komposisi, keanekaragaman, dan rasio kelamin
ikan pari di perairan utara Jawa Barat. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan
sebagai bahan masukkan untuk tujuan pengelolaan dan dasar bagi kajian selanjutnya.
BAHAN DAN METODE
Penelitian telah dilaksanakan selama 5 bulan yaitu pada bulan Maret sampai
Juli 2012 di tempat pendaratan ikan di Cirebon. Proses identifikasi sampel dilakukan
di lapangan. Sampel yang diambil adalah semua spesies ikan pari yang ditangkap
menggunakan pancing senggol dan cantrang. Sampel kemudian dikelompokkan
berdasarkan spesies dan diukur morfometri tubuhnya. Pengukuran morfometri
meliputi, ukuran (lebar cawan) dan jenis kelamin.
Identifikasi pari merujuk pada Carpenter dan Niem (1998) dan penentuan
tingkat kematangan kelamin pari mengacu pada Holden and Raitt (1974).
Keanekaragaman spesies ikan pari dianalisis dengan menggunakan Indeks
Keanekaragaman (H') Shannon-Wienner (Krebs, 1989):
n
H '   pi (log 2) pi
i 1
Keterangan:
H' = Indeks keanekaragaman Shannon-Wienner
pi = ni/N
ni = Jumlah individu genus ke-i
N = Jumlah total individu
Kategori penilaian untuk keanekaragaman jenis adalah sebagai berikut :
118
a. H’≤ 1
: Keanekaragaman rendah, Penyebaran rendah kestabilan komunitas
rendah,
b. 1<H’<3: Keanekaragaman sedang, penyebaran sedang, kestabilan komunitas
sedang,
c. H’≥ 3
:Keanekaragaman tinggi,
penyebaran tinggi, kestabilan komunitas tinggi.
Indeks keseragaman (E) menggambarkan ukuran jumlah individu antar spesies dalam
suatu komunitas. Semakin merata penyebaran individu antar spesies, maka
keseimbangan ekosistem akan makin meningkat. Indeks Keseragaman menggunakan
:
Indeks Keseragaman akan dianalisis menggunakan persamaan (Krebs, 1989):
E = H'/(log 2) S
Keterangan:
E = Indeks keseragaman
H' = Indeks keanekaragaman Shannon-Wienner
S = Jumlah spesies
Nilai indeks berkisar antara 0-1 dengan kategori sebagai berikut :
a) 0< E ≤ 0,4 : Keseragaman kecil, komunitas tertekan
b) 0,4 < E ≤ 0,6 : Keseragaman sedang, komunitas labil
c) 0,6 < E ≤ 1,0 : Keseragaman tinggi, komunitas stabil
Rasio kelamin dianalisis dengan cara membandingkan jumlah ikan jantan dan betina.
Pengujian perbandingan jenis kelamin mengikuti cara yang dikemukakan oleh
Sugiyono (2004) dengan rumus Chi-Square sebagai berikut :
X2 = ∑
Keterangan :
X2 = Chi – Square
fo = Frekuensi yang di observasi
fn = Frekuensi yang diharapkan
119
Uji tabel dalam taraf nyata 95% (n-1) dengan hipotesis sebagai berikut :
H0 : tidak ada perbedaan yang nyata antara jumlah ikan jantan dan betina
H1 : terdapat perbedaan yang nyata antara jumlah ikan jantan dan betina
Jika, X2 hitung < X2 tabel, H0 diterima, H1 ditolak.
Jika, X2 hitung > X2 tabel, H1 diterima, H0 ditolak. (Effendie, 2002)
HASIL
1. Komposisi dan Keanekaragaman
Hasil tangkapan ikan pari di perairan Cirebon dan sekitarnya teridentifikasi sebanyak
1.414 individu, yang terdiri atas 12 spesies dan 4 famili yaitu Dasyatidae,
Myliobatidae, Gymnuridae, Rhinopteridae. Hasil tangkapan ikan pari paling banyak
didapatkan pada bulan Juni dan Juli. Spesies yang paling banyak ditangkap berturutturut adalah Himantura bleekeri (45.55%) dan Himantura gerrardi (39.53%).
Komposisi dan jenis ikan pari disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Spesies Ikan Pari yang Tertangkap di Cirebon Bulan Maret – Juli
2012
No
Nama spesies
Maret
J
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Aetobatus narinari
Aetoplatea zonura
Dasyatis akajei
Dasyatis kuhlii
Dasyatis zugei
Himantura bleekeri
Himantura fai
Himantura gerrardi
Himantura granulata
Himantura jenkinsii
Himantura uarnak
Rhinoptera javanica
Total Betina
Total Jantan
Total
Bulan
Mei
April
B
J
2
B
3
J
2
Juni
B
6
J
3
Total
Juli
B
6
J
B
2
1
1
31
9
30
43
74
6
12
27
6
2
61
3
3
43
15
32
1
32
3
2
88
2
69
40
3
1
209
144
80
58
72
224
53
45
7
1
1
1
47
160
92
28
49
1
166
1
282
143
281
40
8
108
329
97
425
426
Keterangan : J = Jantan , B = Betina
Indeks keanekaragaman tertinggi pada bulan Juni sebesar 2,09 dan terendah
bulan Maret 1 (Gambar 1).
120
24
1
1
71
8
644
3
559
89
11
1
2
1007
407
1414
Gambar 1. Diagram Nilai Indeks Keanekaragaman ikan Pari di Cirebon
Indeks keseragaman menunjukkan besarnya komposisi dan jumlah individu
yang dimiliki oleh setiap spesies ikan pari yang ditangkap. Nilai indeks keseragaman
selengkapnya disajikan pada Gambar 2. Nilai indeks keseragaman berkorelasi positif
dengan nilai indeks keanekaragaman. Pada bulan Agustus menunjukkan nilai
keseragaman dan keanekaragaman yang tinggi.
Gambar 2. Diagram Nilai Indeks Keseragaman ikan Pari di Cirebon
2. Rasio Kelamin
Tiga spesies ikan pari terbanyak dipilih untuk melihat rasio antara jantan dan
betina dalam masing-masing populasi. Ketiga spesies tersebut, yaitu Himatura
bleekeri, Himantura gerrardi, dan Himantura granulata. Rasio kelamin dari hasil uji
chi-kuadrat pada ketiga spesies tersebut disajikan pada Tabel 2. Hasil uji diketahui
121
adanya perbedaan yang nyata antara jumlah ikan jantan dan betina dimana X2 hitung
> X2 tabel . Hal ini menandakan bahwa populasi ikan pari jantan dan betina di
perairan cirebon, ikan jantan lebih sedikit dari pada ikan betina.
Tabel 2. Hasil Uji Chi-Kuadrat Pada Tiga Jenis Ikan Pari Dominan Di Perairan
Cirebon
Hasil uji chi-kuadrat
Spesies
Jantan
Betina
X2 Hitung
X2 Tabel
Himantura
184
460
126
9.488
169
400
108
9.488
17
72
45
7.815
gerrardi
Himantura
bleekeri
Himantura granulata
BAHASAN
Komposisi hasil tangkapan didapatkan 12 spesies ikan pari terdiri atas
Himantura bleekeri (45.55%), Himantura gerrardi (39.53%), Himantura granulata
(6,29%), dan Aetobatus narinari (1.7%). Perbedaan jumlah individu hasil tangkapan
dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain lokasi penangkapan, waktu penangkapan
dan perilaku ikan yang ditangkap. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, Widodo,
A.A.P & J. Widodo (2003) komposisi hasil tangkapan ikan pari di Laut Jawa
didominasi Himantura gerrardi (30,07%), Dasyatis kuhlii (18,57%), Himantura
bleekeri (11,58%), Aetoplatea zonura (6,28%), dan Himantura jenkinsii (5 ,36%).
Hasil penelitian Dharmadi & K. Kasim (2010) komposisi hasil tangkapan pancing
rawai dasar terdiri atas Rhynchobatus djiddensis (30%), Himantura gerrardi dan
Himantura undulata masing-masing (25%), dan Gymnura zonura (20%). Komposisi
jenis pari dari hasil tangkapan cantrang didominansi oleh Himantura undulata (30%),
Neotrygon kuhlii (20%), dan secara berturut-turut diikuti oleh Himantura gerrardi
(15%), Pastinachus sephen, Himantura uarnacoides dan Dasyatis microps masingmasing (10%), dan Himantura jenskinsii (5%). Sedangkan hasil penelitian Nurdin,
Erfind & Hufiadi (2006) komposisi hasil tangkapan pancing rawai dasar terdiri atas
122
Himantura gerrardi (36.4%), Himantura bleekeri (18.2%), Dasyatis fluviorum
(18.2%), Himantura jenkinsii (13.6%), Himantura undulata (9.1%), dan Aebatus
narinari (4.5%)
Himantura gerrardi dan Himantura bleekeri juga termasuk spesies yang
paling sering tertangkap pada semua bulan pengamatan. Menurut White et al (2006),
kedua spesies tersebut merupakan sepesies yang memiliki sebaran luas dan hidup di
perairan pantai hingga kedalaman 60 m. Ikan pari merupakan hewan vivipar dengan
kecenderungan histotrofi; melahirkan 1–4 ekor anak dengan masa kandungan yang
tidak diketahui, pari muda kerap tertangkap
setiap bulannya, hal tersebut
mengindikasikan ikan ini tidak memijah secara musiman. Dan status IUCN
(International Union Conservation of Nature) belum dievaluasi.
Nilai indeks keanekaragaman adalah suatu pernyataan atau penggambaran
secara matematik yang menjelaskan informasi-informasi mengenai jumlah individu
dan jumlah spesies suatu organisme (Kaswadji, 1976). Nilai indeks keanekaragaman
(H’) pada setiap bulan berkisar antara 1 – 2.1, nilai indeks keanekaragaman tertinggi
terdapat pada bulan Juni dengan nilai indeks keanekaragaman 2,1. Hal ini
mengidentifikasikan bahwa pada bulan Juni tingkat keanekaragaman sedang,
penyebaran jumlah individu sedang, dan kestabilan komunitas sedang. Pada bulan
Maret, April, Mei dan Juli juga berada pada tingkat keankeragaman sedang. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Mason (1981) dalam Awaluddin (2008), yang menyatakan
bahwa H’<1, keanekaragaman rendah, 1<H’<3, keanekaragaman sedang, dan H’>3,
keanekaragaman tinggi. Hal ini diduga karena walaupun Himantura gerrardi dan
Himantura bleekeri masih mendominasi tetapi ikan pari spesies lainnya pun ikut
tertangkap. Hal ini juga didukung oleh pernyataan Soegianto (1994), bahwa suatu
komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman jenis tinggi, jika komunitas itu
disusun oleh banyak spesies (jenis) dengan kelimpahan spesies yang sama atau
hampir sama. Sebaliknya, jika komunitas itu disusun oleh sangat sedikit spesies, dan
jika hanya sedikit saja spesies yang dominan, maka keanekaragaman jenisnya rendah.
Nilai indeks keseragaman digunakan untuk menggambarkan keadaan jumlah
spesies atau genus yang mendominasi dan bervariasi yang mempunyai kisaran nilai 0
123
– 1. Nilai indeks keseragaman di perairan Cirebon berkisar antara 0.28 – 0.58, dengan
nilai indeks keseragaman tertinggi pada bulan Juni yaitu 0.58 dan dikategorikan pada
tingkat keseragaman sedang. Hal ini berarti pada bulan Juni jumlah individu tiap
spesies tidak sama atau merata, sementara pada bulan Maret, nilai indeks
keseragamannya rendah dan mendekati angka 0, yang berarti semakin kecil
keseragaman suatu komunitas.Hal ini menunjukkan bahwa penyebaran jumlah
individu setiap spesies tidak sama dan ada kecenderung suatu spesies mendominasi
komunitas tersebut (Pasengo, 1995).
Nilai
indeks
keseragaman
berkorelasi
positif
dengan
nilai
indeks
keanekaragaman. bulan Juni menunjukkan nilai keseragaman dan keanekaragaman
yang tinggi. Hal tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain besar kecilnya
armada, tipe alat tangkap, lokasi penangkapan, dan waktu penangkapan. Pada bulan
Juni ditemukan ikan pari yang tertangkap oleh jaring cantrang, banyak armada kapal
yang berangkat melaut, sehingga sangat berpengaruh terhadap jumlah dan jenis
tangkapan.
Jika dilihat dari total penangkapan, jumlah betina lebih sering tertangkap
dibandingkan jantan. Kondisi ini menandakan populasi pari jumlah betina lebih
banyak dari jantan. Faktor yang dapat menyebabkan ketidakseimbangan populasi
adalah jumlah individu betina yang dihasilkan pada satu kali reproduksi lebih banyak.
Komposisi jantan dan betina dalam populasi merupakan faktor penting untuk
kelestarian populasi. Untuk mempertahankan keberlangsungan spesies, perbandingan
hewan jantan dan betina diharapkan seimbang. Rasio jantan lebih tinggi dapat
mengganggu kelestarian spesies dengan asumsi bahwa peluang jantan untuk
melakukan perkawinan dan menghasilkan keturunan akan lebih rendah karena jumlah
hewan betina yang terdapat dalam populasi tersebut lebih sedikit. Gangguan pada
kelestarian populasi ini kemungkinan dapat lebih buruk jika terjadi penangkapan oleh
manusia.
124
KESIMPULAN
Komposisi hasil tangkapan ikan pari di perairan Cirebon dan sekitarnya
didominasi
oleh
Himantura
bleekeri
dan
Himantura
gerrardi.
Indeks
keanekaragaman ikan pari antara 1,01 – 2,09 , dan indeks keseragaman antara 0,28 –
0,58
Nilai indeks keseragaman berkorelasi positif dengan nilai indeks
keanekaragaman. Rasio kelamin dari hasil uji chi-kuadrat menandakan bahwa
populasi ikan pari jantan dan betina di perairan cirebon, ikan jantan lebih sedikit dari
pada ikan betina.
DAFTAR PUSTAKA
Adrim,Mohammad. 2007. Penelitian Keanekaragaman Hayati Ikan Hiu dan Pari
(Elasmobanchii) di Indonesia. LIPI.Jakarta. 40 hal.
Awaluddin. 2008. Penentuan Hubungan Kondisi Perairan dan Struktur Komunitas
Zooplakton Dengan Menggunakan Primer Software Di Perairan Danau
Sidenreng, Sidrap. Skripsi. Jurusan Perikanan. Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Carpenter, K.E & V.H. Niem. 1998. Vol. 3. FAO.Rome.
Dharmadi & K. Kasim. 2010. Keragaan Perikanan Cucut dan Pari di Laut Jawa.
Jurnal Penelitian Perikanan Laut Vol 16 No. 3 Hal : 205-216
Effendie, M.I. 2002. Biologi Reproduksi Ikan. Yayasan Dewi Sri, Bogor : viii + 116
hlm.
Fahmi & Dharmadi. 2005. Status Perikanan Hiu dan Aspek Pengelolaannya. Oseana
30:1-8.
Holden M.J., Raitt D.F.S (1974) Manual of fisheries science. 2. Methods of resource
investigation and their application. FAO Fisheries Technical Paper, 115. Rev.
1:211pp
Kaswadji, R. F. 1976. Studi Pendahuluan Tentang Penyebaran dan
Kelimpahan Fitoplankton di Delta Upang Sumatera Selatan. Fakultas
Perikanan, IPB.Bogor.
Krebs, C.J. 1989. Ecological Methodology. Ed. Ke-2. HarperCollins Publ. New York.
125
Nurdin, Erfind & Hufiadi. 2006. Selektivitas Alat Tangkap Ikan Pari Di Perairan Laut
Jawa. Bawal Vol 1. No.1. Jakarta.
Pasengo, Y. L. 1995. Studi Dampak Limbah Pabrik Plywood Terhadap Kelimpahan
dan Keanekaragaman Fitoplankton di Perairan Dangkang Desa Barowa
Kecamatan Bua Kab. Luwu. Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan.
Universitas Hasanuddin. Makassar.
Soegianto, Agoes. 1994. Ekologi Kuantitatif. Usaha Nasional. Surabaya.
Sugiyono. 2004. Statistik Nonparametris Untuk Penelitian. Penerbit CV. Alfabeta.
Bandung.
White, W.T, P.R. Last, J.D. Stevens, G.K Yearsley, Fahmi & Dharmadi. 2006.
Economically Important Sharks and Rays of Indonesia. ACIAR. Canberra.
Widodo, A.A.P & J. Widodo. 2003. Perikanan Pari Artisanal Di Laut Jawa. Jurnal
Penelitian Perikanan Indonesia vol. 9 No.7. Jakarta
126
SEDIAAN DAN KONDISI HABITAT IKAN KARANG KONSUMSI
(SERRANIDAE, CAESONIDAE AND SCARIDAE) DI PERAIRAN
KEPULAUAN SERIBU
Oleh
Karsono Wagiyo1) dan Sri Turni Hartati2)
1)
Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut
2)
Peneliti pada Pusat Penelitian PengelolaanPerikanan
dan Konservasi SDI
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Kondisi habitat berperan penting pada ketersediaan sumberdaya. Serranidae,
Caesionidae dan Scaridae merupakan ikan karang utama yang dikonsumsi, dengan
produksi berfluktuasi sesuai kondisi habitat. Penelitian ini bertujuan mendapatkan
data dan informasi sediaan dan kondisi habitat ikan karang konsumsi. Cacah ikan
dengan transek visual sensus pada stratifikasi habitat; daerah perlindungan laut,
daerah penyangga dan habitat buatan. Hasil visual sensus di daerah perlindungan
laut didapatkan kepadatan Serranidae, Caesonidae dan Scaridae rata-rata 13
individu/250 m², 53 individu/250 m² dan 29 individu/250 m². Di daerah
penyangga didapatkan kepadatan rata-rata 4 individu/250 m², 131 individu/250 m²
dan 29 individu/250 m². Pada lokasi habitat buatan didapatkan kepadatan 46
individu/250 m², 114 individu/250 m² dan 32 individu/250 m². Konstribusi
terbesar populasi, Serranidae, Caesionidae dan Scaridae pada lokasi penelitian
adalah 2 %, 11 % dan 13 %. Tutupan karang hidup di daerah perlindungan laut
rata-rata 52,9 %, dua lokasi dengan kondisi sangat baik (>75 %). Di daerah
penyangga rata-rata 36,9 %, hanya satu lokasi dijumpai kondisi baik. Pada semua
lokasi di daerah habitat buatan didapatkan 25 % ( kondisi buruk). Semua
parameter fisiko-kimiawi menunjukan kondisi cocok untuk kehidupan biota laut.
Biologi perairan berpotensi adanya red tide.
Kata kunci ; Sediaan, kondisi habitat, kerapu, ekor kuning dan kakatua
PENDAHULUAN
Kepulauan Seribu terdiri dari 108 pulau yang dikelilingi oleh gugusan
terumbu karang yang kaya sumberdaya perikanan. Sumberdaya perikanan dari
Kepulauan Seribu antara lain; ikan yang tergolong dalam familia Serranidae
(kerapu), Caesionidae (ekor kuning) dan Scaridae (kakatua). Tiga kelompok
familia merupakan ikan karang mayor (Sale,1991). Di Kepulauan Seribu, awal
eksploitasi intensif dimulai dekade tahun 1969 -1977 dengan
produksi ekor
kuning mencapai kisaran 800 – 1400 ton/tahun (Subani, 1978). Sejalan dengan
ekploitasi terus menerus, produksi terus menurun menjadi 35,2 ton pada tahun
127
1981 (Subani, 1982). Pada dekade 2001-2007, hanya mencapai kisaran 1-34 ton/
tahun (TPI Muara Angke, 2007).
Kerusakan habitat dan tangkapan berlebih merupakan faktor penyebab
utama penurunan sumberdaya. Pengebomam didaerah tubir dan penangkapan
dengan muro ami (Subani,1982). Perbaikan kondisi habitat dilakukan dengan
transplantasi karang dan terumbu buatan.
Pemasangan terumbu buatan dan tranpalantasi karang di Kepulauan Seribu
diinisiasi oleh penelitian dari Balai Penelitian Perikanan Laut. Penelitian Wagiyo
et. al. (1993 ) mendapatkan transplantasi karang dapat membentuk ekosistem mini
buatan dengan tebentuknya food web dengan pertumbuhan karang transplant 0,01,9 cm/bulan. Suprapto et. al. (1993 ) menemukan 13 jenis ikan dalam terumbu
buatan berukuran 1 m³. Di Philipina pertumbuhan karang transplant jenis
Acropora sp. 0,0-1,1 cm/bulan, produksi ikan di terumbu buatan 8 kg/m³/tahun (
Polovina, 1991). Semenjak inisiasi tersebut kegiatan pemasangan terumbu buatan
dan transplantasi karang di Kepulauan Seribu terus meningkat. Program Coremap
yang dimulai dekade tahun yang sama, berhasil meningkatkan kesadaran
masyarakat untuk mengelola terumbu karang bersama, sehingga penangkapan
ilegal semakin berkurang.
Menurut Suku Dinas Kelautan dan Perikanan Kepulauan Seribu (2006)
pada tahun 2004 tutupan karang rata-rata 32,69 % meningkat menjadi 33,61%
pada tahun 2005. Kenyataan ini mendorong rencana peningkatkan tutupan karang
hingga mencapai rata-rata 40 %, melalui program daerah perlindungan laut
berbasis masyarakat.
Monitoring secara periodik semenjak tahun 1985, 1995 dan 2005
menunjukkan sediaan ikan karang cenderung naik (Suharti, 2005). Monitoring di
29 pulau pada tahun 2005 didapatkan kepadatan tertinggi 2367 ekor/500m² dan
terendah 6 ekor ekor/500m² . Kelompok ikan, target, indikator dan mayor
populasinya cenderung naik. Kepadatan Chaetodontidae sebagai ikan indikator
tertinggi 701 ekor/500m².
Pada awal dekade 2010 terjadi kenaikan produksi ikan ekor kuning (
Anonymous, 2010). Kejadian ini diduga berhubungan dengan perbaikan habitat
128
dan pengurangan penangkapan ilegal yang sejalan dengan kesadaran masyarakat
akan pentingnya kelestarian lingkungan.
Fenomena ekor kuning dan ikan lainnya yang berasosiasi dengan terumbu
karang perlu diidentifikasi penyebabnya. Identifikasi awal melalui penelitian ini
bertujuan untuk memperoleh keadaan sediaan (kepadatan dan komposisi jenis)
dan kondisi habitat.
METODOLOGI
Penelitian dilakukan di Perairan Kepulauan Seribu. Untuk memperoleh
informasi sediaan dan kondisi habitat penelitian dilaksanakan pada tahun 2010,
2008 dan 2007. Lokasi penelitian pada tiga stratifikasi habitat yaitu; Daerah
Perlindungan Laut, Daerah Penyangga dan Daerah dengan Habitat Buatan.
Parameter sediaan ikan meliputi ; parameter kepadatan (Serranidae, Caesonidae
dan Scaridae) dan komposisi ikan. Parameter kondisi habitat yang di ukur
meliputi; tutupan karang, fisika-kimiawi (suhu, kecepatan arus, kecerahan,
salinitas, oksigen terlarut dan pH) dan biologi perairan ( kelimpahan dan
komposisi jenis fitoplankton dan zooplankton).
Pengamatan kepadatan dan jenis ikan dan tutupan karang dilakukan secara
visual sensus scuba diving pada garis transek garis sejajar pantai, sepanjang 50 m
dengan luas sapuan pandang 50 x 5 m (English, et al. 1994). Identifikasi jenis
ikan menurut buku panduan dari Thomas & Kailola (1984), Kuiter (1992) dan
Carpenter & Niem (1998). Pengukuran fisika-kimiawi perairan dilakukan secara
insitu; suhu dengan thermometer balik, kecepatan arus dengan current drift bottle,
kecerahan dengan secchi disk, salinitas dengan refraktometer, oksigen terlarut
dengan titrasi Winkler, pH dengan pH meter. Pengambilan contoh fitoplankton
dan zooplankton dengan towing jaring fitoplankton dan
jaring zooplankton,
masing-masing mempunyai mata 25 µm dan 200 µm.
Kelimpahan fitoplankton dan zooplankton dihitung pada satuan volume
m³, dengan mencacah sel untuk fitoplankton dan individu untuk zooplankton,
pada fraksi air tersaring dikalikan volume air tersaring. Jenis plankton
diidentifikasi menurut buku panduan dari Newell&Newell (1963), Yamaji (1966)
dan Taylor (1978). Indeks komunitas plankton meliputi keanekaragaman (H’),
129
kemerataan (e) dan dominasi C dihitung dengan rumus secara berurutan; H’=Σ(ni/N) log (ni/N), e = H /ln S dan C=Σ(ni/N)² (Fujita, et. al.1993).
Kriteria tutupan karang hidup; 0-25 % buruk, 25 < -50 % kondisi sedang,
50<-75 % kondisi baik dan 75< kondisi sangat baik (KLH, 2004). Penilaian untuk
indeks keanekaragaman mengikuti Lee et. al. (1978) dalam Soegianto (1994),
adalah; H’> 2,0 keanekaragaman tinggi, H’= 1,6-2,0 keanekaragaman sedang,
H’= 1,0-1,5 keanekaragaman rendah dan H’< 1,0 keanekragaman sangat rendah.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Sediaan
a. Kepadatan
Perhitungan kepadatan dilakukan pada tiga kelompok ikan konsumsi
utama
yaitu Serranidae, Casionidae dan Scaridae.
Lokasi
pengamatan
dikategorikan daerah perlindungan laut, daerah penyangga dan habitat buatan.
Didaerah penyangga dilakukan transek pada 13 lokasi ( Tabel 1).
Kepadatan Serranidae rata-rata 4 individu/250 m², terkecil 1 individu/250 m² di
Selatan Pulau Tikus terbesar 7 individu/250 m² di Selatan Pulau Burung.
Serranidae tidak dijumpai pada Goba Pulau Tikus, Pulau Gosong Air dan Pulau
Opak Kecil. Kepadatan Caesionidae rata-rata 131 individu/250 m², terkecil 15
individu/250 m² di Pulau Tikus dan terbesar 300 individu/250 m² di Pulau
Genteng. Pada tiga lokasi ; Tenggara Pulau Pari, Timur Pulau Pari dan Pulau
Opak Kecil tidak dijumpai Caesonidae. Scaridae tidak dijumpai pada empat
lokasi, dengan kepadatan rata-rata 29 individu/250 m², terkecil 3 individu/250 m²
dan terbesar 41 individu/250 m².
Tabel 1. Hasil sensus visual kepadatan ikan di daerah penyangga
2
St.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
Lokasi
Selatan Pulau Burung
Selatan Pulau Pari
Tenggara P. Pari
Timur Pulau Pari
Utara Pulau Kudus
Barat Pulau Tikus
Selatan Pulau Tikus)
Goba Pulau Tikus*
)
Pulau Panjang** )
Pulau Genteng** )
Pulau Gosong Air**)
Pulau Kotok Kecil**)
Pulau Opak Kecil**
Total
Total
393
507
235
315
455
200
437
64
121
536
463
229
154
Rata-rata
Keterangan, *) Pengamatan 2008, **)Pengamatan 2007.
130
Kepadatan ikan (individu/250 m )
Scaridae
Serranidae
Caesionidae
7
31
23
3
25
36
3
0
23
3
0
41
4
18
32
2
15
20
1
19
21
0
40
3
4
50
0
2
300
0
0
250
0
2
120
0
0
0
0
31
868
199
4
131
29
Di Daerah Perlindungan Laut (DPL) dilakukan transek pada 7 lokasi (
Tabel 2). Kepadatan Serranidae rata-rata 13 individu/250 m², terkecil 2
individu/250 m² di Daerah Perlindungan Laut Pulau Pari dan Daerah Perlindungan
Pulau Harapan, terbesar 31 individu/250 m² di Daerah Perlindungan Pulau
Kelapa. Serranidae tidak dijumpai pada Daerah Perlindungan Pulau Tidung,
Daerah Perlindungan Pulau Payung. Caesionidae dijumpai pada semua lokasi
rata-rata 53 individu/250 m², terkecil 5 individu/250 m² di Daerah Perlindungan
Pulau Kelapa dan terbesar 59 individu/250 m² di Daerah Perlindungan Pulau Pari.
Scaridae hanya dijumpai pada tiga
lokasi, dengan kepadatan rata-rata 29
individu/250 m², terkecil 2 individu/250 m² di Daerah Perlindungan Pulau Pari
dan terbesar 79 individu/250 m² di Daerah Perlindungan Laut Pulau Pramuka.
Tabel 2. Hasil sensus visual kepadatan ikan di daerah perlindungan laut
Kepadatan Ikan (ind/250 m2)
No.
Lokasi
Total Serranidae Caesionidae Scaridae
1.
DPL Pulau Pramuka**)
292
12
10
79
2.
DPL Wakrom P. Kelapa**)
438
31
5
0
3.
DPL Kaliage P. Kelapa**)
326
6
6
59
4.
DPL Pulau Harapan**)
121
2
12
0
5.
DPL Pulau Tidung*)
127
0
47
0
6.
DPL Pulau Payung*)
344
0
52
0
7.
DPL Pulau Pari*)
397
2
59
2
Total
53
191
140
Rata-rata
13
53
29
Keterangan, *) Pengamatan 2008, **)Pengamatan 2007
Di habitat buatan hanya dilakukan pada dua lokasi (Tabel 3). Lokasi habitat
buatan di daerah penyangga, Pulau Semak Daun tidak dijumpai tiga kelompok
ikan konsumsi. Serranidae, Caesonidae dan Scaridae. Pada habitat buatan di
Daerah Perlindungan Pulau Pramuka, masing-masing mempunyai kepadatan 92
individu/250 m², 228 individu/250 m² dan 63 individu/250 m².
Tabel 3. Hasil sensus visual kepadatan ikan di habitat buatan
No.
Lokasi
Kepadatan ikan (individu/250 m²)
Caesionidae Scaridae
Total Serranidae
1.
DPL Pramuka (Terumbu Buatan)
486
92
228
63
2.
P. Semak Daun (Terumbu Buatan)
42
0
0
0
Total
92
228
63
Rata-rata
46
114
32
131
Secara keseluruhan tanpa membedakan familia (total ikan karang)
didapatkan, di daerah perlindungan mempunyai kepadatan ikan rata-rata sebesar
292 individu/250 m², daerah penyangga sebesar 316 individu/250 m², dan buatan
sebesar 264 individu/250 m² (Tabel 4). Di daerah perlindungan mempunyai
tutupan karang batu yang tinggi dapat mengurangi ruang gerak/persembunyian
ikan. Tutupan karang batu yang tinggi mengurangi interaksi dengan berbagai
jenis organisme. Di daerah penyangga dengan tutupan karang batu baik
mempunyai
kepadatan
ikan
tinggi
karena
memberikan
ruang
gerak/persembunyian lebih baik yang memungkinkan asosiasi dengan berbagai
organisme. Hasil ini sesuai dengan penelitian di Karimunjawa (Wagiyo dan
Prahoro, 1994) yang mendapatkan kepadatan ikan lebih tinggi di daerah terumbu
karang dengan kondisi tutupan karang batu baik (50-74,9 %), dibandingkan
dengan kondisi tutupan karang batu sangat baik (> 75%).
Kepadatan rata-rata ikan target (Serranidae, Caesionidae dan Scaridae) di
daerah perlindungan 32 individu/250 m², di daerah penyangga 55 individu/250 m²
dan di daerah habitat buatan 64 individu/250 m² (Tabel 4). Di daerah habitat
buatan tutupan karang batu rendah mempunyai kepadatan ikan target tinggi,
karena pada terumbu buatan dibentuk ruangan persembunyian/gerak yang sesuai
dengan ikan target. Familia Scaridae mempunyai kepadatan lebih tinggi di daerah
penyangga dan habitat buatan disebabkan daerah dengan tutupan karang batu
tinggi (daerah perlindungan) mempunyai komunitas algae lebih rendah. Scaridae
bersifat graser yang menyukai turf algae/ rumput laut. Sebaliknya Serranidae
mempunyai kepadatan lebih besar di daerah dengan tutupan karang batu tinggi
(daerah perlindungan), karena Serranidae bersifat kriptik sembunyi di balik
karang batu yang memudahkan memangsa ikan yang mendekati.
132
Tabel 4. Kepadatan ikan rata-rata pada seluruh lokasi
Familia
Kepadatan ikan rata-rata (individu/250m²)
Daerah penyangga
Habitat buatan
Serranidae
Daerah perlindungan
13
4
46
Caesionidae
53
131
114
Scaridae
29
29
32
Rata-rata ikan target
32
55
64
Total ikan
292
316
264
b. Komposisi familia
Familia yang dominan adalah Pomacentridae sebesar 45,7 % dan Labridae
sebesar 19,7 % (Tabel 5). Scaridae (8,6 %) dan Caesionidae (5 %) merupakan
ikan target yang dominan. Suharti (2005) pada penelitian tahun 1985, 1995 dan
2005, menemukan Pomacentridae dan Labridae, sebagai
ikan mayor
yang
dominan.
Tabel 5. Komposisi familia ikan (persentase)
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Familia
Apogonidae
Caesonidae
Carangidae
Chaetodontidae
Labridae
Lutjanidae
Nemipteridae
Pomacentridae
Scaridae
Serranidae
Siganidae
Lainnya
1
4
8
0
0
30
0
0
44
6
2
0
6
2
0
5
0
3
18
5
3
44
7
1
7
7
3
0
11
0
5
13
0
0
50
10
1
0
10
Stasiun
4
4
0
5
5
17
0
7
39
13
1
0
9
5
4
4
0
3
18
0
0
48
9
1
0
13
6
0
7
0
0
21
0
8
48
10
1
0
5
7
4
0
0
0
21
10
5
47
5
0
0
8
Total
persentase
2,3
5
0,7
2,3
19,7
2,1
3,3
45,7
8,6
1,0
1,0
8,3
Keterangan stasiun; 1. Selatan P. Burung, 2. Selatan P. Pari, 3.Tenggara P. Pari, 4. Timur P. Pari, 5. Utara P. Kudus, 6. Barat
P. Tikus dan
7. Selatan P. Tikus.
c. Keanekaragaman
Hasil transek di gugusan P. Pari menunjukan keanekaragaman ikan karang
masih tinggi. Keanekaragaman terendah 3,06 di Barat Pulau Tikus (stasiun 6) dan
tertinggi 3,78 di Selatan Pulau Pari (stasiun 2). Indeks dominasi terendah 0,03dan
133
tertinggi 0,06 dengan rata-rata 0,04. Indeks kemerataan terendah 0,86 dan
tertinggi 0,88 dengan rata-rata 0,87 (Tabel 6)
Tabel 6. Indeks komunitas ikan
Stasiun
Indeks keanekargaman
Indeks dominasi
Indeks kemerataan
1
3,56
0,04
0,86
2
3,78
0,03
0,86
3
3,15
0,06
0,88
4
3,36
0,05
0,87
5
3,62
0,03
0,86
6
3,06
0,06
0,88
7
3,56
0,04
0,87
Keterangan stasiun; 1. Selatan P. Burung, 2. Selatan P. Pari, 3.Tenggara P. Pari, 4. Timur P. Pari, 5. Utara P. Kudus, 6. Barat
P. Tikus dan
7. Selatan P. Tikus.
2. Kondisi habitat
a. Tutupan karang hidup
Pengamatan pada 19 stasiun didapatkan; kondisi sangat baik 2 lokasi, baik
3, sedang 10 lokasi, dan buruk 4. Kondisi sangat baik ditemukan di daerah
perlindungan laut yaitu; Pulau Pramuka dan Pulau Tidung. Kondisi buruk pada
umumnya dijumpai di lokasi yang bukan daerah perlindungan laut, hanya ada satu
lokasi dijumpai di daerah perlindungan laut yaitu di Pulau Harapan (Tabel 7)
Tabel 7.Hasil pengamatan persentase tutupan karang hidup di Kepulauan Seribu
No.
Lokasai
Prosentase tutupan
75
)
1
DPL Pulau Pramuka**
2
DPL Wakrom P. Kelapa**)
)
35
65
3
DPL Kaliage P. Kelapa**
4
DPL Pulau Harapan**)
24
5
DPL Pulau Tidung*)
81
6
DPL Pulau Payung*
)
39
51
)
7
DPL Pulau Pari*
8
Goba Pulau Tikus*)
<25
9
Pulau Panjang**)
38
)
10
Pulau Genteng**
11
Pulau Gosong Air**)
134
21
37
Kriteria
Sangat baik
Sedang
Baik
Buruk
Sangat baik
Sedang
Baik
Buruk
Sedang
Buruk
Sedang
12
54
Pulau Kotok Kecil**)
Baik
40
)
13
Pulau Opak Kecil**
14
B.D. P. Pramuka (TB) **)
>25
15
P. Semak Daun (TB) **)
<25
16
Tenggara P. Pari
17
Timur Pulau Pari
18
Utara Pulau Kudus
19
Barat Pulau Tikus
Sedang
Sedang
Buruk
50
Sedang
55
Baik
41
Sedang
32
Sedang
Keterangan, *) Pengamatan 2008, **)Pengamatan 2007,TB= Terumbu Buatan
b. Parameter fisiko-kimiawi
Hasil pengukuran parameter fisiko-kimiawi perairan tercantum pada Tabel
8. Kecerahan 7,5-13,5 m dengan rata-rata 8 m. Kecepatan arus terkecil 1,6-5,6
cm/dt. dengan rata-rata 2,93 cm/dt.. Suhu air permukaan 28,98-30 oC, dengan ratarata 29,02 oC. Suhu dasar perairan 28,82-29,1 oC, dengan rata-rata 29 oC. Salinitas
permukaan 32,5-33 o/oo, dengan rata-rata 33 o/oo. Salinitas dasar 32,5-33 o/oo, dengan
rata-rata 33 o/oo. Oksigen terlarut permukaan 3,86-5,78 ml/l., dengan rata-rata 3,95
ml/l. Oksigen terlarut dasar perairan 3,57-4,34 ml/l., dengan rata-rata 3,95 ml/l.
pH permukaan 7.60-7,75 ml/l., dengan rata-rata 7,6 ml/l. pH permukaan 7,58-7,75
ml/l., dengan rata-rata 7,64 ml/l.
Tabel 8. Hasil pengukuran parameter fisika-kimiawi perairan (Juni 2010).
o
Suhu Air ( C)
Salinitas
(o/oo)
Oksigen
Terlarut
(ml/l)
pH
Lokasi
Pulau Kudus
Pulau Tikus
Tenggara Pulau Pari
Timur Pulau Pari
Kedalaman
(m)
Kecerah
an (m)
Kec. arus
(cm/det)
Per
m.
Dasa
r
Per
m
Dasa
r
Per
m
Dasr
Per
m
Dasar
10
7.5
4.5
30
29.1
32.5
33
5.78
4.24
7.63
7.62
32.5
32.5
3.86
3.57
7.75
7.74
8
7.5
-
29.1
28.8
2
14.3
13.5
5.6
28.9
8
28.9
7
32.5
33
5.13
4.34
7.62
7.61
12
8
1.6
29.0
2
29
33
33
3.95
3.95
7.6
7.58
135
c. Biologi perairan (plankton)
Komposisi jenis fitoplankton didominasi oleh Rhizosolenia sp.35,66 %,
Chaetoceros sp. 19,24 % dan Trichodesmium sp. 9,18 % (Tabel 9). Rhizosolenia
sp.dan Chaetoceros sp. adalah kelompok Diatomae, yang merupakan pakan utama
ikan plankton feeder, tidak berpotensi red tide. Trichodesmium sp. merupakan
fitoplankton yang berpotensi red tide. Trichodesmium sp. dapat menimbulkan red
tide apabila kondisi perairan yang memiliki kandungan hara dan suhu lebih tinggi
dari keadaan normal. Jenis fitoplankton lain yang berpotensi menyebabkan red
tide adalah dari kelompok Dinophyceae (3,92 %). Anggota Dynophyceae yang
dijumpai antara lain; Ceratium sp., Dinophysis sp. dan Pyrophacus sp.
Tabel 9. Komposisi jenis fitoplankton (Juni 2010)
No
Jenis Organisme
Jumlah Total lokasi
Persentase
(sel)
BACILLARIOPHYCEAE
1
Asterionella sp.
2
Bacillaria sp.
53521
2,96
491
3
0,03
Bacteriastrum sp.
47591
2,63
4
Biddulphia sp.
1536
0,08
5
Chaetoceros sp.
348033
19,24
6
Coscinodiscus sp.
5884
0,33
7
Diploneis sp.
0
0,00
8
Fragillaria sp.
1045
0,06
9
Guinardia sp.
6272
0,35
10
Hemiaulus sp.
67265
3,72
11
Mastogloia sp.
491
0,03
12
Navicula sp.
5553
0,31
13
Nitzschia sp.
22381
1,24
14
Pleurosigma sp.
4064
0,22
15
Rhabdonema sp.
523
0,03
16
Rhizosolenia sp.
645089
35,66
17
Stephanophyxis sp.
49633
2,74
18
Thalassiosira sp.
17910
0,99
19
Thalassiothrix sp.
150705
8,33
131302
7,26
CHOLOROPHYCEAE
20
Richelia sp.
CYANOPHYCEAE
136
21
Protoperidinium sp.
12605
0,70
22
Trichodesmium sp.
166059
9,18
DINOPHYCEAE
23
Ceratium sp.
47242
2,61
24
Dinophysis sp.
22748
1,26
25
Pyrophacus sp.
945
0,05
Indeks keanekaragaman fitoplankton pada umumnya sedang, dengan ratarata 2,02 dan terkecil 1,76. Ada dua stasiun dengan indeks keanekaragaman tinggi
yaitu di Tenggara Pulau Pari sebesar 2,44 dan di Timur Pulau Pari sebesar 2,06.
Indeks dominasi fitoplankton rata-rata 0,2 yang terkecil 0,12 di Tenggara Pulau
Pari dan terbesar 0,26 di Pulau Kudus.
Indeks keseragaman fitoplankton rata-rata 0,7 yang terkecil 0, 60 di Pulau
Kudus dan terbesar 0,79 di Tenggara Pulau Pari (Gambar 1). Berdasarkan indeks
keanekaragamanan, dominasi dankeseragaman lokasi Tenggara P. Pari lebih dari
lokasi lainnya. Lokasi perairan P. Kudus lebih buruk dari lainnya karena di
sekitarnya ada aktifitas masyarakat dan pariwisata.
2.06
1.81
0.76
0.79
0.12
0.65
0.24
0.6
1
0.5
0.26
1.5
0.18
1.76
2
2.44
3
2.5
0
P. Kudus
P. Tikus
Tenggara P. Pari Timur P. Pari
Index Diversitas
Index Dominansi
Gambar 1. Grafik indeks komunitas fitoplankton
Komposisi zooplankton didominasi oleh Sticholonche sp.44,96 %,
Orbulina sp. 17,59 % dan Calanus sp. dan Oithona sp. masing-masing 13,12 %
(Gambar 2). Sticholonche sp. merupakan sumber pakan zoop dan larva ikan
(Anna, 2006). Orbulina sp. merupakan zooplankton dasar yang berperan penting
pada simbiosis mebentuk terumbu karang dan mempengaruhi keasaman air
(Fabry, 2008). Keberadaannya di permukaan karena adanya pengadukan masa air.
137
Dominasi keempat jenis zooplankton, kecuali Orbulina sp. menunjukan perairan
44.96
masih baik.
50
Calanus sp.
Oithona sp.
10
4.64
20
6.58
13.12
17.59
30
13.12
Persentase
40
0
Oncaea sp.
Orbulina sp.
Sticholenche Oikopleura sp.
sp.
Gambar 2. Grafik komposisi zooplankton
Indeks keanekaragaman zooplankton rata-rata 0,43 yang terkecil 0,0 di
Pulau Tikus dan Timur Pulau Pari, terbesar 1,06 di Tenggara Pulau Pari. Indeks
dominasi zooplankton rata-rata 0,73 yang terkecil 0,36 di Tenggara Pulau Pari dan
terbesar 0,55 di Pulau Kudus. Indeks keseragaman zooplankton rata-rata 0,61
yang terkecil 0, 0 di Pulau Tikus dan Timur Pulau Pari terbesar 0,92 di Pulau
P. Kudus
Jumlah Jenis
P. Tikus
Index Diversitas
Tenggara P. Pari
Index Dominansi
1.00
0
0
1.00
1.52
0.36
1.06
1.00
0
0
1.00
0.92
0.55
2.00
0.64
4
3
2
1
0
3.00
Kudus (Gambar 3).
Timur P. Pari
Index Keseragaman
Gambar 3. Grafik indeks komunitas zooplankton
KESIMPULAN DAN SARAN
a. Kesimpulan
1. Sediaan ikan konsumsi di perairan Kepulauan Seribu rendah 1-8,6 %. Sediaan
Caesonidae lebih besar dibandingkan ikan konsumsi lainnya. Kelimpahan
Caesonidae dan Scaridae lebih tinggi di daerah perlindungan sedangkan
Serranidae lebih tinggi pada habitat buatan.
138
2. Kondisi habitat tutupan terumbu karang di Kepulauan Seribu dalam kategori
sedang. Kondisi perairannya masih mendukung kehidupan biota laut tetapi
berpotensi terjadinya red tide dan pengasaman air.
b. Saran
Untuk
meningkatkan
sumberdaya
dan
pemanfaatan
Serranidae,
Caesonidae dan Scaridae dapat di perluas dan diperbanyak daerah habitat buatan
dengan kontruksi yang sesuai. Pemanfaatan karang batu dapat dilakukan pada
lokasi dengan tutupan karang sangat baik didaerah penyangga, sehingga tutupan
karang hidup menjadi kondisi baik.
DAFTAR PUSTAKA
Anna, E.S.E.M. 2006. Sticholonche zanclea (Protozoa, Actinopoda) in fecal
Pellets of Copepods and Euphausia sp. in Brazilian coastal waters. Braz. J.
Biol., 66(3): 839-847, Sao Carlos. http://dx.doi.org/10.1590/S151969842006000500009
Anonymous. 2010. Data statistik Dinas Kelautan dan Perikanan Kepulauan
Seribu. 2010.
Carpenter, K.E.; Niem V.H. (eds), 1998. The Living Resource of the Western
Central Pacific. Volume 4. FAO Species Identification Guide for Fihsery
Purposes.
English, S., C. Wilkinson & V. Baker.1994. Survei manual for Tropical marine
Resources. Australian Institute of Marine Science, Townsville. Australia.
Fujita, T., Inada, T., Ishito, Y.1993. Density, Biomass and Community Structure
of Demersal Fishes of the Pacific Coast of Northeastern Japan. Journal of
Oceanography Vol.49. pp. 211 to 229.
Fabry, V. J., Seibel, B. A., Feely, R. A., and Orr, J. C. 2008. Impacts of ocean
acidification on marine fauna and ecosystem processes. – ICES Journal of
Marine Science, 65: 414–432.
KLH.2004. Himpunan peraturan di bidang pengelolaan lingkungan hidup dan
penegakan hukum lingkungan. Kementerian Lingkungan Hidup.
Kuiter, R.H. 1992. Tropical Reef-Fishes of the Western Pacific Indonesia and
Adjacent Waters. Gramedia, Jakarta.
Newell,G.E & R.C. Newell. 1963. Marine Plankton. A Practical Guide.
Hutchinson of London: 244 hal.
139
Polovina, 1991. Ecological Consideration on the Aplication of Artificial reef in
the Management of Artisanal Fishery, Tropical Coastal Area Management.
ICLARM, Vol. 6 Nov.1-2, Manila:87-91
Sale, P.F. 1991. Coral Reef Fishes: Dynamics and Diversity in a Complex
Ecosystem. San Diego, CA: Academic Press. p. 33-35.
Soegianto, A. 1994. Ekologi Kuantitatif. Usaha Nasional. Surabaya
Subani, W., 1978. Studi Perikanan Muroami Sebagai Penunjang Perikanan
Rakyat, LPPL, Jakarta. _________., 1982. Penambangan karang serta
dampaknya. Penelitian Perikanan Laut,Jakarta, No.28:17-23.
Sudin Perikanan dan Kelauatan, Kepulauan Seribu, 2006. Terumbu Buatan di
Kepulauan Seribu.
Suharti, S.R. 2005. Keanekaragaman dan kekayaan jenis ikan karang di
Kepulauan Seribu. Program Monitoring Jangka panjang keanekaragaman
dan kekayaan jenis ikan karang di Kepulauan Seribu.
Suprapto, Murniyati dan K. Wagiyo. 1993. Pengaruh berbagai bentuk dan bahan
terumbu buatan terhadap komunitas dan komposisi jenis. Bulletin
Penelitian Perikanan Laut. Edisi khusus No. 4. Pelestarian Lingkungan
Hidup Perikanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan: 198-208.
Taylor, F.J.R.1978. Dinoflagellates from the International Indian Ocean
Expedition. Bibl. 132 : 234 pp.
Thomas,G.T. & P.J. Kailola, 1984. Trawled Fishes of Southern Indonesia and
Northwestern Australia.
TPI Muara Angke, 2001-2007. Rekap Data Pendaratan Ikan. Sudin Perikanan
dan Kelauatan, Jakarta Utara.
Wagiyo, K., Wasilun dan Murniyati. 1993. Kajian beberapa aspek transplantasi
karang dalam mendukung rehabilitasi terumbu karang. Bulletin Penelitian
Perikanan Laut. Edisi khusus No. 4. Pelestarian Lingkungan Hidup
Perikanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. 176-197.
Wagiyo, K. dan P. Prahoro. 1994. Pengaruh Kondisi Karang terhadap Komunitas
Ikan Hias di Kepulauan Karimunjawa. Jurnal Penelitian Perikanan Laut.
No. 2. p.21-26.
Yamaji, I.1966. Illustrations of the Marine Plankton of Japan. Hoikusho, Osaka,
Japan.
369 p.
140
DINAMIKA POPULASI IKAN SWANGGI (Priacanthus tayenus) DI
PERAIRAN TANGERANG - BANTEN.
Oleh
Prihatiningsih1), Bambang Sadhotomo1) dan Muhammad Taufik1)
1)
Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut
Email : [email protected]
ABSTRAK
Ikan swanggi merupakan ikan ekonomis dan ekologis penting dan statusnya di
perairan belum terevaluasi dengan baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pertumbuhan, umur dan mortalitas ikan swanggi yang dapat memberikan
kontribusi terhadap pengelolaan sumber daya ikan yang berkelanjutan dan lestari.
Data frekuensi panjang dan berat ikan pada Januari – Desember 2012 diperoleh
dari perairan Tangerang dan sekitarnya berasal dari hasil tangkapan jaring
cantrang. Sebaran frekuensi panjang ikan dipisahkan kedalam sebaran normal
menggunakan metode Bhattacharya. Hubungan panjang-berat ikan swanggi jenis
jantan dan betina bersifat allometrik negatif dan memiliki faktor kondisi yang baik
(k=1,26). Rata-rata ukuran pertama kali tertangkap ikan swanggi (Lc=20,84 cm)
lebih besar dibandingkan dengan ukuran pertama kali matang gonad (Lm=16,03
cm). Ikan swanggi dapat tumbuh hingga mencapai panjang infinitive (L∞) = 32,34
cm dengan laju pertumbuhan (K) sebesar 0,91 tahun-1 dan nilai dugaan umur
teoritis pada saat panjang ikan sama dengan nol (t0) adalah 0,14 tahun-1. Panjang
maksimal ikan swanggi diduga berumur 3,5 tahun dan rata-rata panjang ikan
pertama kali matang gonad (Lm) diduga berumur 0,75 tahun. Mortalitas alami
(M) ikan swanggi adalah 1,67, mortalitas karena penangkapan (F) 0,83, mortalitas
total (Z) 2,50 dan tingkat eksploitasi (E) sebesar 0,33 yang berarti
pemanfaatannya masih dapat ditingkatkan sekitar 34% dari keadaan saat ini.
Kata kunci : Pertumbuhan, umur, mortalitas, ikan swanggi, Tangerang.
PENDAHULUAN
Ikan swanggi (Priacanthus tayenus) memiliki potensi besar dalam
mendukung pemenuhan kebutuhan pangan. Menurut Sivakami et al. (2001) ikan
swanggi pada awalnya bukan merupakan ikan hasil tangkapan utama, namun
belakangan banyak didaratkan di pelabuhan perikanan sebagai salah satu hasil
tangkapan yang bersifat komersial dan menjadikan ikan ini sebagai ikan
komoditas ekspor.
Ikan swanggi dikatakan bernilai ekologis karena merupakan salah satu
ikan karang yang berperan dalam struktur trofik (Powell 2000). Ikan Priacanthidae
merupakan ikan predator pemakan zooplankton dan dominasi makanannya berupa
141
udang-udangan yang berasal dari kelas krustasea (CMFRI, 2001). Dalam kaitan
itu keberadaannya sangat berpengaruh terhadap keseimbangan ekosistem di
perairan.
Ikan swanggi merupakan ikan karang demersal dengan karakteristik
khusus berwarna merah muda, memiliki mata besar, dan pada sirip perut terdapat
bintik berwarna ungu kehitam-hitaman (FAO 1999). Ikan swanggi memiliki daya
tahan yang rendah terhadap tekanan penangkapan. Jika upaya penangkapan
ditingkatkan tanpa pengendalian yang memadai, maka akan segera menunjukkan
tanda-tanda 'kejenuhan' yang seterusnya akan mengarah kepada 'overfishing'.
Pemahaman tentang dinamika populasi dari suatu jenis ikan yang dieksploitasi
merupakan hal yang sangat penting bagi pengelolaan yang efektif dari suatu
perikanan untuk memperoleh manfaat yang maksimum (Gulland, 1983).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pendugaan dinamika populasi
terutama pertumbuhan, umur dan mortalitas ikan swanggi di perairan Tangerang
dan sekitarnya yang merupakan bagian dari WPP 712 Laut Jawa berdasarkan
analisis secara analitik terhadap sejumlah data yang dikumpulkan secara periodik.
BAHAN DAN METODE
Penelitian Lapangan
Pengambilan contoh ikan swanggi (Priacanthus tayenus) dilakukan di
Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Kronjo dan Cituis (Tangerang, Banten) mulai
Januari – Desember 2012. Contoh panjang dan berat individu ikan diperoleh dari
hasil tangkapan jaring cantrang dengan mata jaring (mesh size) 1 inch. Jaring
cantrang dioperasikan di perairan Utara Jawa khususnya di perairan Tangerang
dan sekitarnya sampai kedalaman 30 m. Contoh ikan diukur panjang dengan
ketelitian 0,1 cm dan bobotnya dengan ketelitian 0,1 gram.
Analisis Data
1. Hubungan Panjang-Bobot
Hubungan panjang-bobot mengacu pada Effendie (1979) dengan formula:
W = aLb .................................................................................................................(1)
dimana :
W
142
= Bobot;
L = panjang
a
= intersep (perpotongan kurva hubungan panjang-bobot dengan sumbu Y)
b
= kemiringan (slope)
Untuk menguji nilai b = 3 atau b ≠3 dilakukan uji –t (uji parsial), maka
dilakukan hipotesis terhadap nilai b dengan asumsi:
H0
: b = 3, hubungan panjang dan bobot adalah isometrik
H1
: b ≠3, hubungan panjang dengan bobot adalah allometrik yaitu :
Pola hubungan panjang-bobot bersifat allometrik positif, bila b > 3 (pertambahan
berat lebih cepat daripada pertambahan panjang), dan allometrik negatif, bila b <
3 (pertambahan panjang lebih cepat daripada pertambahan berat).
2. Faktor Kondisi
Faktor kondisi dihitung menurut panjang dan berat ikan, setelah pola
pertumbuhan panjang diketahui, perhitungan dilakukan berdasarkan pada rumus
dari (Effendie, 1979):
k = 102 W/L3 …………………………………………………………………...(2)
dimana: k = faktor kondisi; W = bobot rata-rata ikan; L = panjang rata-rata ikan
3. Pendugaan Rata-rata Panjang Pertama Kali Tertangkap (Lc) dan Panjang
Pertama Kali Matang Gonad (Lm)
Pendugaan ukuran pertama kali tertangkap dilakukan dengan membuat
grafik hubungan antara panjang ikan (sumbu X) dengan jumlah ikan (sumbu Y)
sehingga diperoleh kurva berbentuk sigmoid. Nilai length at first capture yaitu
panjang pada 50% pertama kali tertangkap dihitung dengan persamaan sebagai
berikut (Jones, 1976 dalam Sparre & Venema, 1999) :
S L est 
1
.................................................................................(3)
1  exp( S1  S 2 * L)
 1

Ln
 1  S1  S 2 * L ......................................................................................(4)
 SL

L50% 
S1 .............................................................................................................(5)
S2
dimana :
SL
= kurva logistik;
S1 dan S2
= konstanta pada rumus kurva logistik
S1= a;
S2= b
143
Pendugaan panjang pertama kali matang gonad (length at first maturity)
dilakukan sesuai dengan prosedur penghitungan yang dilakukan oleh Udupa
(1986), melalui rumus : m = Xk + X/2 – (X∑Pi....................................................(6)
dimana :
m
= log ukuran ikan saat pertama matang gonad
Xk
= log ukuran ikan dimana 100% ikan sampel sudah matang
X
= selang log ukuran (log size increment)
Pi
= proporsi ikan matang pada kelompok ke-i
Rata-rata ukuran ikan pertama matang gonada diperoleh dari nilai antilog (m).
4. Estimasi Parameter Pertumbuhan
Penentuan kelompok ukuran (kohort) dilakukan menggunakan metode
Bhattacharya dari program paket software FISAT. Pendugaan nilai koefesien
pertumbuhan L∞ dan
K dilakukan dengan menggunakan metode ELEFAN
(Electronic Length – Frequency Analysis) I dan Gulland & Holt plot, sedangkan
t0 diperoleh melalui persamaan Pauly (1983). Ketiga nilai dugaan parameter
pertumbuhan tersebut dimasukkan ke model pertumbuhan Bartalanffy. Pola
pertumbuhan ikan swanggi menggunakan rumus Von Bartalanffy (Sparre &
Venema, 1999) sebagai berikut :
Lt = L∞ (1- e-k (t – to))..............................................................................................(7)
dimana :
Lt = ukuran panjang ikan pada saat umur t tahun(cm)
L∞ = panjang maksimum ikan yang dapat dicapai
t0 = umur ikan teoritis pada saat panjangnya 0 cm
K = Koefisien pertumbuhan
Nilai t0 ikan diperoleh dengan menggunakan rumus (Pauly, 1984) yaitu :
Log- (t0) = -0,3922–0,2752 Log L-1,038 Log K ..................................................(8)
144
5. Mortalitas
Mortalitas total (Z) dalam suatu kegiatan perikanan tangkap sangat penting
untuk menganalisis dinamika populasi atau stok ikan. Mortalitas dapat dibedakan
dalam mortalitas alami (M) dan mortalitas karena penangkapan (F). Mortalitas
total dapat diduga dari pergeseran kelimpahan kelompok umur dan dari analisis
kurva hasil tangkapan menggunakan data frekuensi panjang (Sparre & Venema,
1999). Mortalitas total dihitung menggunakan rumus : Z = M + F ......................(9)
Mortalitas alami (M) diduga dengan metode persamaan empiris Pauly
(1983) dengan rumus : Ln M = -0,152–0,279*LnL∞+0,6543*LnK + 0,463*Ln
T...........................................................................................................................(10)
dimana :
M
= mortalitas alami per tahun
L∞
= panjang maksimum ikan yang dapat dicapai
K
= Koefisien pertumbuhan
T
= Suhu rata-rata tahunan (ºC)
HASIL
Hubungan Panjang-Bobot
Pengukuran individu terhadap 3.814 ekor ikan swanggi (Priacanthus
tayenus) di perairan Tangerang - Banten diperoleh sebaran ukuran panjang cagak
berkisar antara 11,3 – 31,0 cm FL dengan rata-rata 20,7 cm FL dan kisaran
bobotnya antara 32,0 – 228,0 gram dengan rata-rata 110,5 gram.
Persamaan panjang-bobot ikan swanggi bagi kelamin jantan adalah W =
2,467
0,074L
dan kelamin betina adalah W = 0,126L2,286 dengan nilai koefesien
korelasi (r) masing-masing 0,912 dan 0,847 (Gambar 1). Jika nilai koefisien
korelasi (r) mendekati nilai -1 atau 1, maka terdapat hubungan linier yang kuat
antara kedua variabel tersebut (Walpole, 1993). Dengan demikian terdapat
hubungan yang erat sekitar 80-90% antara panjang dengan berat ikan swanggi di
perairan Tangerang-Banten.
145
Gambar 1. Hubungan panjang – berat ikan swanggi (Priacanthus tayenus) di
perairan Tangerang
Faktor Kondisi
Faktor kondisi adalah suatu keadaan yang menyatakan kemontokan ikan
(Effendie, 1979). Nilai faktor kondisi ikan swanggi berkisar antara 1,14 – 1,49
dengan rata-rata 1,26. Nilai terkecil terdapat pada bulan Oktober (1,14) dan
terbesar pada bulan Januari (1,49). Mengacu pada Effendie (1997) hasil ini
menandakan ikan swanggi masih berada pada batas ambang kondisi yang baik
dengan kisaran nilai (k) antara 1-3.
Pendugaan Rata-rata Panjang Pertama Kali Tertangkap (Lc) dan Panjang
Pertama Kali Matang Gonad (Lm)
Pendugaan rata-rata ukuran panjang pertama kali tertangkap (Lc) ikan
swanggi diperoleh nilai 20,84 cm FL dan rata-rata ukuran panjang pertama kali
matang gonad (Lm) adalah 16,03 cm FL (Gambar 2).
Gambar 2. Panjang rata-rata (50% kumulatif) ikan swanggi (Priacanthus tayenus)
di perairan Tangerang.
146
4. Estimasi Parameter Pertumbuhan
Dari model pertumbuhan Von Bartalanffy, didapat koefesien pertumbuhan
(K) sebesar 0,91 tahun-1. Nilai panjang asimtotik (L∞) sebesar 32,34 cm, dan nilai
dugaan umur teoritis pada saat panjang ikan sama dengan nol (t0) adalah 0,14
tahun-1 sehingga diperoleh persamaan pertumbuhan ikan swanggi di perairan
Tangerang - Banten adalah Lt = 32,34 (1 – e-0,91(t-+0,14)) (Gambar 3 dan 4).
Gambar 3. Kurva distribusi frekuensi panjang ikan swanggi (Priacanthus tayenus)
Gambar 4. Kurva pertumbuhan von Bertalanffy ikan swanggi (Priacanthus
tayenus)
5. Mortalitas
Nilai mortalitas alami (M) ikan swanggi (Priacanthus tayenus) pada suhu
air 29°C di perairan Banten adalah 1,67 tahun-1; mortalitas karena penangkapan
(F) 0,83 tahun-1 dan mortalitas total (Z) 2,50 tahun-1 dan tingkat eksploitasi (E)
ikan swanggi adalah 0,33.
147
BAHASAN
Nilai b pada jenis kelamin jantan dan betina ikan swanggi adalah 2,467
dan 2,286. Dari hasil uji –t terhadap parameter b pada selang kepercayaan 95%
(α=0,05), diperoleh thitung > ttabel, yang artinya b < 3. Secara keseluruhan pola
pertumbuhan ikan swanggi baik jantan maupun betina bersifat allometrik negatif
dimana pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan pertambahan berat. Hasil
penelitian ini tidak berbeda dengan hasil penelitian Nugroho & Rustam (1983)
bahwa pola pertumbuhan ikan swanggi di pantai Utara Jawa bersifat allometrik
negatif.
Penentuan faktor kondisi dilakukan untuk mendeteksi perubahan yang
terjadi secara mendadak di suatu perairan yang mempengaruhi kondisi ikan. Nilai
faktor kondisi hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ikan swanggi rata-rata
memiliki kondisi yang baik (k = 1,26).
Perubahan nilai faktor kondisi tiap bulan diduga adanya pengaruh pola
musim yang terjadi di perairan Banten dimana pada Januari terjadi musim barat
sehingga ikan harus beradaptasi terhadap perubahan kondisi lingkungan yang
berpengaruh pada ketersediaan makanan. Tingginya nilai faktor kondisi (k) pada
Januari
diduga merupakan musim pemijahan ikan swanggi, hal ini ditunjang
dengan tingkat kematangan gonad III pada bulan tersebut didapatkan lebih
banyak. Pada saat kondisi ini pertambahan berat semakin meningkat dibandingkan
pertambahan panjang ikan. Menurut Effendie (1997), nilai faktor kondisi
berkaitan dengan makanan (indeks relatif penting), umur, jenis kelamin dan
indeks kematangan gonad (IKG).
Pendugaan rata-rata ukuran ikan swanggi pertama kali matang gonad di
perairan Tangerang-Banten yaitu pada panjang 16,03 cm. Hal ini berbeda dengan
hasil penelitian Sivakami et al. (2001) pada spesies satu genus dari Priacanthus
tayenus yaitu Priacanthus hamrur yang diteliti disepanjang pantai India yang ratarata ukuran pertama kali matang gonad berada pada panjang 19,1-20,0 cm.
Pendugaan rata-rata ukuran ikan swanggi pertama kali tertangkap lebih
besar dibandingkan dengan ukuran pertama kali matang gonad (Lc>Lm ; 20,84cm
> 16,03 cm). Keadaan ini baik untuk ketersediaan stok ikan swanggi karena
sebelum ikan tersebut tertangkap maka terlebih dulu sudah melangsungkan proses
148
rekruitmen. Hal ini akan dapat menjamin sumberdaya ikan swanggi berada dalam
keadaan berkelanjutan dan lestari.
Koefesien pertumbuhan (K) ikan swanggi di perairan Tangerang-Banten
sebesar 0,91 tahun-1 dan panjang total maksimum adalah 31,0 cm atau lebih kecil
dibandingkan dengan panjang asimtotik (L∞) 32,34 cm. Perbedaan antara panjang
maksimum yang diperoleh dengan panjang asimtotik, menimbulkan penafsiran
bahwa ada ikan berukuran besar lebih dari 31,0 cm yang belum tertangkap.
Hasil estimasi parameter pertumbuhan ikan swanggi (Priacanthus tayenus)
di daerah penangkapan yang berbeda diantaranya Utara Jawa (Indonesia), Laut
Samara dan Selatan Hongkong telah diteliti (Tabel 1). Dari beberapa parameter
populasi yang berbeda, didapatkan panjang maksimum ikan yang dapat dicapai
setiap wilayah dan laju pertumbuhan yang berbeda pula.
Tabel 1.
Estimasi parameter pertumbuhan ikan swanggi (Priacanthus tayenus)
dengan daerah penangkapan yang berbeda.
L∞
Spesies
(cm)
K
(per
tahun)
Lokasi/Location
Sumber/Ref
Priacanthus macracanthus
26,7 (FL)
1,36
Utara Jawa
Nugroho & Rustam (1983)
Priacanthus macracanthus
23,7 (FL)
1,30
Laut Jawa (Jawa Tengah)
Dwiponggo et al. (1986)
Priacanthus hamrur
36,0 (FL)
0,73
Perairan Bombay (India)
Chakraborthy (1994)
Priacanthus tayenus
29,0 (FL)
1,25
Laut Samara
Ingles & Pauly (1984)
Priacanthus tayenus
30,0 (FL)
0,80
Selatan Hongkong
Lester & Watson (1985)
Priacanthus tayenus
32,34 (FL)
0,91
Perairan Banten
Penelitian ini
Keterangan/Remark : FL = Fork Length.
Umur
dan pertumbuhan ikan digunakan untuk memahami komposisi
umur dari populasi, umur kematangan, rentang hidup yang merupakan dasar
dalam perhitungan pertumbuhan, mortalitas, rekrutmen dan parameter populasi
lainnya. Berdasarkan persamaan pertumbuhan ikan swanggi di perairan
Tangerang-Banten diperoleh panjang maksimal ikan swanggi (L∞ = 32,34 cm)
diduga berumur 3,5 tahun; rata-rata panjang ikan pada saat pertama kali
tertangkap (Lc) : 20,84 cm diduga berumur 1,13 tahun serta rata-rata panjang ikan
pertama kali matang gonad (Lm) : 16,03 cm diduga berumur 0,75 tahun. Hasil
penelitian Nugroho & Rustam (1983) mendapatkan umur ikan swanggi jenis
Priacanthus macracanthus untuk mencapai panjang maksimal diduga setelah
149
mencapai 4 – 5 tahun. Chakraborthy (1994) menemukan umur ikan swanggi jenis
Priacanthus hamrur di perairan Bombay diduga berumur 1 tahun untuk panjang
19,3 cm dan berumur 2 tahun untuk panjang ikan 28,3 cm serta berumur 3 tahun
untuk panjang ikan 32,3 cm. Dengan demikian, ikan swanggi memiliki laju
pertumbuhan yang tinggi dan umur yang relatif pendek.
Mortalitas alami (M) ikan swanggi (Priacanthus tayenus) di perairan
Tangerang-Banten dan sekitarnya adalah 1,67, mortalitas karena penangkapan (F)
0,83, mortalitas total (Z) 2,50. Lester & Watson (1985) menemukan laju
mortalitas alami (M) ikan swanggi (Priacanthus tayenus) di Laut Cina Selatan
adalah 1,4; mortalitas karena penangkapan 0,6; dan mortalitas total 1,4.
Menurut Aziz et al. (1992), perbedaan parameter pertumbuhan disebabkan
perbedaan lama waktu, musim, ukuran ikan, alat tangkap yang digunakan dan
daerah penangkapan pada saat sampling. Widodo (1988) juga menyatakan
perbedaan nilai parameter pertumbuhan ini lebih dipengaruhi oleh komposisi ikan
contoh dengan cara atau metode yang digunakan. Jika ikan-ikan muda lebih
banyak tertangkap maka koefisien pertumbuhan akan tinggi dan sebaliknya jika
ikan-ikan berumur tua yang banyak tertangkap, maka koefisien pertumbuhan akan
rendah. Sparre & Venema (1999) menyatakan perbedaan nilai K dapat juga
disebabkan oleh kondisi lingkungan perairan.
Tingkat eksploitasi ikan swanggi adalah 0,33 yang berarti pemanfaatan
sumberdaya ikan swanggi di eksploitasi sekitar 66,0% dari potensi lestarinya.
Dengan demikian pemanfaatan sumberdaya ikan ini dapat ditingkatkan sekitar
34,0% dari kondisi saat ini.
KESIMPULAN
Hubungan panjang-berat ikan swanggi jenis jantan dan betina bersifat
allometrik negatif dan memiliki faktor kondisi bersifat baik. Rata-rata ukuran
pertama kali tertangkap ikan swanggi lebih besar dibandingkan dengan ukuran
pertama kali matang gonad (Lc>Lm) . Ikan swanggi dapat tumbuh hingga
mencapai panjang infinitive (L∞) = 32,34 cm dengan laju pertumbuhan (K)
sebesar 0,91tahun-1. Panjang maksimal ikan swanggi diduga berumur 3,5 tahun
150
dan rata-rata panjang ikan pertama kali matang gonad (Lm) diduga berumur 0,75
tahun. Tingkat eksploitasi (E) ikan swanggi di perairan Banten sebesar 0,33 yang
berarti pemanfaatannya masih dapat ditingkatkan sampai dengan mencapai
(E=0,5).
PERSANTUNAN
Hasil dari kegiatan riset: Pengkajian Sumber Daya Ikan Demersal di WPP
716 Laut Sulawesi dan WPP 712 Laut Jawa T. A. 2012 di Balai Penelitian
Perikanan Laut.
DAFTAR PUSTAKA
Azis, K.A., Muchsin, I. dan Boer, M. 1992. Kajian Dinamika Populasi Ikan-ikan
Niaga Utama di Perairan Pantai Barat Bengkulu (Laporan Penelitian,
tidak dipublikasikan). Fak. Perikanan IPB. Bogor.
Chakraborty, S. K. 1994. Fishery, age, growth, mortality and stock assessment of
Priacanthus hamrur Forsskal from Bombay waters. Bull. Cent. Mar.
Fish. Res. Ins, 47: 121- 127.
[CMFRI] Central Marine Fisheries Research Institute. 2001. Status of exploited
marine fisheries of India.Kochi. India.p.152-155.
Dwiponggo, A., T. Hariati, S. Banon, M.L. Palomares and D. Pauly. 1986.
Growth, mortality and recruitment of commercially important fishes and
penaeid shrimps in Indonesian waters. ICLARM Tech. Rep. 17. 91 p.
Effendie, M. I. 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. 112
pp
-----------. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta. 163
hal.
------------. 2002. Biologi perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta. 163
hlm.59
Food Agricultural Organization, 1999. The living marine mesources of Western
Central Pasific. Spesies identification guide for fishery purpose.
Department of Biological Sciences Old Dominion. Norfolk University,
Virginia.
Gulland, J. A., 1983. Fish stock assessment. A manual of basic methods. John
Wiley and Sons. New York. 223 p.
151
Ingles, J. & D. Pauly. 1984. An atlas of the growth, mortality and recruitment of
Philippine fishes. ICLARM Technical Report 13, 127 p.
Lester, R. J. G. & Watson, R. A., 1985. Growth, mortality, parasitism and
potential yield of two Priacanthus spp. in the South China Sea. J. Fish. Biol. 27 (3): 307-318.
Nugroho D, & R. Rustam, 1983. Penelitian tentang pertumbuhan dan beberapa
parameter biologi ikan swanggi (Priacanthus macracanthus) di pantai
Utara Jawa. Laporan Penelitian Perikanan Laut. No 27. Hal 9 – 14.
Pauly, D. 1983. A selection of simple methods for the assessment of tropical fish
stocks. FAO Fish. Circ. 729: 54 pp.
Pauly, D. 1984. Some simple methods for the assessment of tropical fish stocks.
FAO Fish. Tech. Pap. (234): 52 p.
Powell A. B. 2000. Preliminary identification of the early life history stages of
Priacanthid fishes of the Western Central Atlantic. US.Departement of
Commerce National Marine Fisheries Service. Southeast Fisheries.
Science Center Beaufort :101 Pires Island Road Beaufort.
Sivakami S, Raje SG, Feroz MK, Shobha JK, Vivekananda E, & R. Kumar 2001.
Fishery and biology of Priacanthus hamrur (Forsskal) along the Indian
coast. Indian journal of fisheries. 48(3) : 277-289.
Sparre, P. & S. C. Venema. 1999. Introduksi pengkajian stok ikan tropis. Badan
Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Terjemahan dari Introduction
to Tropical fish stock assessment. FAO Fish Tech. Paper. 306.(1) 376 p.
Udupa, K. S. 1986. StatisticaL method of estimating the size of first maturity in
fish. Fishbyte ICLARM. Manila. Vol 4 No 2. August 1986. 8-1.
Walpole, R. E. 1993. Pengantar Statistik. Edisi ke tiga. Penerbit PT. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.
Widodo, J. 1988. Population Dynamics and Management of Ikan Layang, Scad
Mackerel, Decapterus spp. (Pisces: Carangidae) in The Java Sea.
Ph.D. Dissertation. Univ. Wash. Seattle. 150p
152
KAPASITAS PENANGKAPAN PADA PERIKANAN CANTRANG DI
BLANAKAN DAN SEKITARNYA
Oleh
Hufiadi1) , Asep Priatna1) dan Helman Nur Yusuf1)
1)
Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut
ABSTRAK
Salah satu masalah yang dihadapi perikanan tangkap adalah adanya tangkap lebih
dan kapasitas lebih. Kapasitas penangkapan berlebih merupakan suatu masalah krisis
pada perikanan tangkap. Berkaitan dengan isu kapasitas tersebut, kajian ini
dilakukan untuk mengukur kapasitas penangkapan perikanan cantrang di Blanakan
dan sekitarnya apakah kondisinya sudah berlebih atau sebaliknya pada kondisi
optimal dengan indikator tingkat efisiensi secara teknis.
Efisiensi teknis
penangkapan dan pemanfaatan kapasitas dari alat tangkap cantrang yang dikaji
dianalisis berdasarkan musim penangkapan dengan menggunakan teknik data
envelopment analysis (DEA). Terdapat indikasi excess capacity pada perikanan
cantrang di Blanakan. Dengan demikian diperlukan perbaikan efisiensi penangkapan
cantrang melalui pengurangan variabel input yang berlebih yaitu pada musim Barat
mengurangi hari operasi rata-rata 7,6%, ABK 14,6%, BBM 18,1% dan es 26,9%;
pada musim Timur hari operasi rata-rata 14,2%, ABK 2,2%, BBM 28,0% dan es
20,8% dan pada musim peralihan mengurangi hari operasi rata-rata 17,6%, ABK
8,4%, BBM 21,1% dan konsumsi es 15,4%.
Kata kunci : efisiensi teknis, kapasitas penangkapan, cantrang, Blanakan.
PENDAHULUAN
Peningkatan tipe, jumlah, ukuran dan efisiensi alat tangkap pada perikanan
skala kecil pantai yang bersifat multi species-multigear di negara berkembang
ditengarai telah meningkatkan tekanan penangkapan terhadap ketersedian stok ikan.
Berbagai cara telah ditempuh untuk meningkatkan kapasitas penangkapan ikan,
seperti mekanisasi perahu penangkapan, motorisasi dan penambahan alat bantu
lainnya (Wiyono 2005). Sebagai akibatnya, penurunan ketersediaan ikan dan kualitas
ekologi di beberapa daerah tidak dapat dihindari dan akibat dari peningkatan
kapasitas armada penangkapan di perairan Indonesia telah menimbulkan persoalan
153
yang berkaitan dengan overcapacity dan kelebihan jumlah upaya penangkapan
(Berkes, et.al. 2001). Perkembangan kegiatan penangkapan yang tidak terkendali
menyebabkan kegiatan perikanan menjadi tidak efisien. Sumber utama dari kerusakan
perikanan di beberapa Negara adalah sulitnya mengontrol input (armada perikanan)
bagi perikanan, sehingga manajemen perikanan kemudian didekati dengan
pengaturan kapasitas penangkapan dari alat tangkap ikan itu sendiri atau istilah dalam
FAO adalah management of fishing capacity (FAO, 1995).
Blanakan merupakan salah satu wilayah di Kabupaten Subang yang lebih
dikenal sebagai salah satu pusat penghasil udang penaeid di pantai utara Jawa. Alat
tangkap cantrang menduduki urutan ketiga setelah alat tangkap trammel net dan pukat
cincin. Salah satu Pusat Pendaratan Ikan (PPI) Blanakan, merupakan PPI dengan
frekuensi kunjungan kapal paling tinggi dibandingkan dengan PPI yang ada di
sekitarnya. Sampai dengan akhir tahun 2011, jumlah alat tangkap cantrang yang
berbasis di PPI Blanakan yang dikelola KUD Mandiri Mina Fajar Sidik Blanakan,
Subang, sebanyak 20% dari total alat tangkap yang dioperasikan nelayan.
Untuk mencapai tujuan perikanan tangkap yang berkelanjutan maka perlu
dilakukan terobosan dalam kaitan efisiensi input yang digunakan. Efisiensi input
sangat
berhubungan
erat
dengan
konsep
kapasitas
penangkapan.
Dengan
memperhatikan perkembangan dan konstribusi perikanan cantrang Blanakan dan
sekitarnya maka diperlukan pengelolaan perikanan tersebut sehingga usaha
penangkapannya dapat berkesinambungan. Salah satu metoda pengelolaan perikanan
dengan cara mengatur kapasitas perikanan tersebut.
Untuk mengetahui
perkembangan perikanan cantrang Blanakan yang beroperasi di perairan Laut Jawa,
BPPL telah melakukan kegiatan kajian kapasitas penangkapan perikanan cantrang,
guna mengetahui nilai efesiensi teknisnya. Tujuan penelitian adalah untuk
menentukan tingkat efisiensi teknis dan kapasitas penangkapan perikanan cantrang
(bottom seine) di perairan Laut Jawa dengan studi kasus cantrang Blanakan dan
sekitarnnya.
154
BAHAN DAN METODE
Analisis laju tangkap berupa catch per-unit effort terhadap perikanan cantrang
selama kurun waktu 2010-2012. Penghitungan CPUE (Catch per Unit Effort) dengan
menggunakan rumus Sparre and Venema, 1999 :
CPUE 
Catch
Effort
..................................................................................................
(1)
Dimana
CPUE : Catch per unit Effort
Catch : Jumlah hasil tangkapan (ton)
Effort : Jumlah upaya ( trip, upaya)
Sumber data yang dijadikan untuk menilai tingkat efisiensi penangkapan antar
kapal cantrang adalah data dari catatan enumerator berupa pengoperasian cantrang
selama tahun 2012.
Data dianalisis dengan Data Envelopment Analysis (DEA)
dengan pendekatan BCC (Cooper et al. 2004). Penghitungan pemanfaatan kapasitas
penangkapan perikanan cantrang dilakukan dengan pendekatan multi output yaitu
berdasarkan produksi hasil tangkapan ikan dominan (coklatan, kuniran, kurisi dan
ikan linnya) pada musim Timur, Barat dan musim Peralihan.
Analisis nilai efisiensi teknis diperoleh melalui perhitungan dengan teknik DEA
yaitu dengan formula (Fare et al., 1989):
TE  Max 1 .........................................................................................................
 , z ,
(2)
subject to
J
1 u jm   z j u jm ,
(output dibandingkan DMU)
j 1
J
z
j 1
j
x jn  x jn ,
n xf
155
J
z
j 1
j
x jn   jn x jn ,
n  xv
z j  0,
j  1,2,..., J ,
 jn  0,
n 1,2,..., N ,
dimana zj adalah variable intensitas untuk jth pengamatan;  1 nilai efisiensi teknis
atau proporsi dengan mana output dapat ditingkatkan pada kondisi produksi pada
tingkat kapasitas penuh; dan *jn adalah rata-rata pemanfaatan variable input
(variable input utilization rate, VIU), yaitu rasio penggunaan inputan secara optimum
xjn terhadap pemanfaatan inputan dari pengamatan xjn.
Kapasitas output pada efisiensi teknis (technical efficiency capacity
output,TECU) kemudian didefinisikan dengan menggandakan  1* dengan produksi
sesungguhnya. Pemanfaatan kapasitas (CU ) , berdasarkan pada output pengamatan,
kemudian dihitung dengan persamaan berikut:
TECU 
u
1*u

1
1*
.....................................................................................................
(3)
HASIL DAN PEMBAHASAN
1 Perikanan cantrang
Berdasarkan kriteria ukuran kapal cantrang di Blanakan dan sekitarnya
dikategorikan sebagai berikut; 5 - 10 GT, 10-20 GT dan 20 – 30 GT, (KUD Mina
Fajar Sidik, 2012). Karakteristik ukuran kapal berpengaruh terhadap jumlah hari di
laut (trip penangkapan). Berdasarkan kriteria ukuran kapal, lama hari operasi di laut
dalam satu trip masing-masing 5 hari untuk kapal ukuran 5-10 GT, 8 hari (10-20 GT)
dan 15 sampai 20 hari untuk kapal berukuran 20-30 GT. Dalam satu hari operasi
jaring cantrang dioperasikan umumnnya antara 7-10 kali tawur (setting).
Identifikasi terhadap sampel jaring cantrang yang berbasis di PPI Blanakan
diperoleh data sebagai berikut: panjang tali ris atas (Head rope) mencapai 23 m,
156
menggunakan 1 buah tali PA Ø 15 mm. Deskripsi rancang bangun jaring cantrang
disajikan dalam Lampiran 1.
2 Produksi dan laju tangkap
Dari sejumlah alat tangkap yang ada, unit penangkapan cantrang menduduki
urutan ketiga, setelah pukat cincin dan pancing dalam konstribusi terhadap produksi
ikan yang didaratkan di PPI Blanakan (Gambar 1).
Sumber, KUD Mina Fajar Sidik, Blanakan 2011
Gambar 1. Perkembangan produksi ikan per alat tangkap di Blanakan, tahun 20082011
Berbagai jenis ikan baik demersal, udang maupun pelagis tertangkap oleh alat
tangkap cantrang. Jenis ikan yang dominan tertangkap adalah ikan pepetek
(Leiognathidae), kuniran (Upeneus spp), swanggi (Priacanthus spp), kurisi
(Nemipterus spp), kapasan (Pentrapion spp). Jenis ikan lain adalah biji nangka,
kurisi, senangin, bloso, cucut, pari bawal, ikan sebelah. Biota lain yang tertangkap
cantrang adalah cumi-cumi, udang krosok, udang dogol, banana, sotong, rajungan,
tembang, ubur-ubur.
Hasil analisis data upaya (trip) dan produksi (ikan demersal) perikanan
cantrang yang berbasis di Blanakan tahun 2010-2012 diperoleh nilai laju tangkap
rata-rata sebesar 5276 kg/trip, laju tangkap terhadap perbekalan es diperoleh rata-rata
1,1 kg ikan/1 kg es, sementara laju tangkap terhadap BBM sebesar 9,3 kg/liter BBM.
157
Gambar 2. Laju tangkap cantrang Blanakan, Subang realisasi penangkapan periode
tahun 2010-2012
3 Musim dan daerah penangkapan cantrang
Daerah penangkapan cantrang pada perairan dengan kedalaman antara 15 – 30
meter. Dasar perairan yang dikehendaki adalah pasir berlumpur dan tidak berkarang.
Lokasi penangkapan tergantung dari dimensi kapal cantrang. Armada cantrang
dengan ukuran 5-10 GT jarak daerah penangkapan sekitar 30 mil utara Indramayu,
Subang-Karawang. Sementara kapal cantrang dengan ukuran 20-30 GT rata-rata hari
operasi sekitar 20 hari dengan daerah penangkapan mencapai perairan selatan Kep.
Bangka-Belitung, timur Lampung, dan selatan Kalimantan bagian barat. (Gambar 3).
Gambar 3. Daerah penangkapan kapal cantrang Blanakan
158
7.1.5 Efisiensi teknis perikanan cantrang
Analisis efisiensi antar kapal cantrang di daerah Blanakan, dihitung dengan
pendekatan multi output (berdasarkan tangkapan ikan coklatan, kurisi, kuniran dan
ikan lainnya). Penilaian kapasitas penangkapan berdasarkan data oprasional beberapa
kapal cantrang yang berbasis di Blanakan.
Berdasarkan penghitungan DEA dengan multi output
terhadap
kapal
cantrang yang berbasis di Blanakan, Subang, Jawa Barat diperoleh angka efisiensi
yang optimal dutunjukkan oleh beberapa armada dengan nilai efisiensi (TE)
mencapai 1,00. Hasil penghitungan dugaan tingkat pemanfaatan atau tingkat efisiensi
armada cantrang pada musim Barat diperoleh rata-rata 0,94. Distribusi nilai
pemanfaatan kapasitas (CU) dari 76 sampel kapal yang beroperasi pada beberapa
daerah penangkapan pada musim Barat, terdapat 26 kapal (34%) berada pada tingkat
pemanfaatan optimal yang ditandai dengan nilai efisiensi mencapai 1,00 dan armada
yang lainnya 50 armada (66%) berada pada tingkat tidak optimal yang ditandai
dengan pencapaian nilai efisiensi < 1,00 (Gambar 4).
Gambar 4. Efisiensi kapal cantrang Blanakan pada musim Barat
Distribusi nilai pemanfaatan kapasitas penangkapan (CU) pada musim Timur,
dari 86 sampel kapal terdapat 56 kapal (65%) berada pada tingkat pemanfaatan yang
159
optimal dan yang lainnya 30 armada (35%) tidak optimal.
Berdasarkan nilai rata-
rata efisiensi armada cantrang pada musim Timur diperoleh sebesar 0,93. Tingkat
efisiensi masing masing armada seperti pada Gambar 5.
Gambar 5. Efisiensi kapal cantrang Blanakan pada musim Timur
Hasil penghitungan kapasitas penangkapan (CU) armada cantrang pada
musim Peralihan diperoleh nilai efisiensi rata-rata 0,89.
Distribusi pemanfaatan
kapasitas dari 84 sampel kapal pada musim Peralihan diperoleh 44 kapal (52%)
berada pada tingkat pemanfaatan optimal dan yang lainnya 40 armada (48%) berada
pada tingkat yang tidak optimal yaitu secara detail perolehan skor efisiensi < 0.70
sebanyak 11 armada (13%), > 0.70 sebanyak 29 kapal (34,5%) dan skor efisiensi =
0.1 berjumlah 44 kapal (52.4%) (Gambar 6).
Gambar 6. Efisiensi kapal cantrang Blanakan pada musim peralihan
160
Tingkat pemanfaatan variabel input (VIU) pada musim Barat, Timur dan
Musim peralihan diperoleh nilai rata-rata VIU >0,90. Secara umum cantrang
Blanakan dalam pemanfaatan variabel input pada ketiga musim tersebut sebagian
besar berada pada tingkat pemanfaatan yang efisien yang ditandai oleh sebagian besar
pencapaian nilai VIU =1,0 (Gambar 7).
Gambar 7. Distribusi pemanfaatan variabel input cantrang Blanakan
Kondisi faktual penangkapan ikan demersal dengan cantrang di Blanakan,
Subang sebagian besar armada dalam pengoperasian penangkapan telah mencapai
kapasitas yang optimal. Dalam hal ini, jumlah trip, hari operasi di laut (HOP), BBM,
Es, ABK, dan biaya perbekalan Es
merupakan variabel yang dapat dijadikan
instrumen pengendalian kapasitas. Efisiensi kapal-kapal cantrang dapat ditingkatkan
efisiensinya pada musim Barat dengan mengurangi hari operasi (HOP) rata-rata
7,6%, ABK 14,6%, BBM 18,1% dan konsumsi es 26,9%; pada Musim Timur dapat
mengurangi operasi (HOP) rata-rata 14,2%, ABK 2,2%, BBM 28,0% dan konsumsi
es 20,8%; pada musim Peralihan perlu mengurangi hari operasi 17,6%, ABK 8,4%,
BBM 21,1% dan konsumsi es 15,4%.
BAHASAN
Dalam satu dekade terakhir, cantrang merupakan alat tangkap yang
memberikan konstribusi terbesar bagi produksi ikan demersal di wilayah utara Jawa.
Pada tahun 2011 perikanan cantrang di Blanakan memberikan konstribusi produksi
tertinggi dengan jumlah produksi 5.600 ton. Kapal cantrang ukuran 20-30 GT yang
161
berbasis di PPI Blanakan memiliki nilai laju tangkap 5.200 kg/trip pada tahun 2012.
Selain faktor kondisi daerah penangkapan dan ketersediaan sumberdaya nilai laju
tangkap cantrang secara teknis dipengaruhi faktor panjang ris atas yang berpengaruh
terhadap bukaan mulut jaring. Sampai saat ini perikanan cenderung mengalami
perkembangan baik dari segi jumlah, ukuran kapal maupun sistem operasinya.
Atmaja (2010) dalam penelitiannya tentang perikanan pukat cincin Laut Jawa bahwa
dengan menurunnya hasil tangkapan per satuan upaya, sebagian armada pukat cincin
mengalihkan usahanya ke perikanan cantrang.
Kapal cantrang dengan ukuran 20-30 GT yang saat ini mendominasi di
Blanakan, dalam satu trip penangkapan mencapai 15-20 hari operasi. umumnya
semakin besar ukuran kapal, maka lokasi penangkapan akan semakin jauh.
Meningkatnya jumlah hari operasi dalam trip penangkapan erat hubungannya dengan
semakin besarnya ukuran kapal cantrang. Semakin besarnya ukuran kapal, kondisi
cuaca nampaknya bukan lagi menjadi faktor pembatas dalam operasi penangkapan.
Hal ini sangat berpengaruh terhadap komponen-komponen operasional seperti jumlah
BBM, ABK, perbekalan dan lain-lain.
Kisaran panjang tali ris atas antara 15 m hingga 36 m, bahan jaring adalah
polyethelene dengan ukuran mata jaring di bagian kantong ¾ inchi. Ukuran mata
jaring yang terlampau kecil, khususnya di bagian kantong menjadikan cantrang
tergolong alat tangkap yang bersifat tidak selektif. Berdasarkan Permen KP 02/2011,
ukuran mata jaring bagian kantong yang diijinkan minimal > 2 inchi.
Perbandingan relatif tingkat pemanfaatan kapasitas penangkapan cantrang
Blanakan, Subang, Jawa Barat, berdasarkan pada musim penangkapan selama tahun
2012 menggunakan multi output (ikan coklatan, kuniran, kurisi dan ikan lainnya),
menunjukkan bahwa rata-rata tingkat pemanfaatan kapasitas penangkapan (CU) pada
musim Barat, Timur dan musim Peralihan sebagian besar kapal dalam memanfaatkan
input yang digunakan untuk usaha menangkap ikan secara efisien yang ditandai oleh
nilai efisiensi teknis (TE) mencapai 1,00.
Hal tersebut menanunjukkan bahwa
sebagian besar nelayan cantrang, telah memanfaatkan kapasitas penangkapan secara
optimal terhadap potensi ikan yang ada, sehingga efisien dalam usaha
162
penangkapannya. Sementara beberapa kapal yang pencapaian nilai efisiensinya <
1,00 menunjukkan tidak efisien dan telah terjadi kelebihan kapasitas input, sehingga
kapal tersebut perlu mengurangi inputan yang berlebih untuk meningkatkan nilai
efisiensi penangkapannya. Jika kapasitas perikanan dikendalikan maka produksi
perikanan cantrang sebenarnya mampu ditingkatkan mencapai
produksi yang
optimal. Misal berdasarkan hasil analisis multi output yang sesuai kapasitas perikanan
cantrang yang berbasis di Blanakan pada musim Barat, Timur dan musim Peralihan
masing-masing adalah 7%, 7% dan 6% lebih besar dari produksi aktual. Sehingga
berdasarkan pendekatan musim tersebut (Barat, Timur dan Peralihan) masing masing
mengurangi kapasitas sebesar 6%, 7% dan 6% akan memungkinkan output saat ini
diproduksi optimal secara ekonomi. Berdasarkan tingkat pemanfaatan input variabel
menunjukkan bahwa pada musim Barat, Timur dan musim Peralihan telah terjadi
surplus penggunaan input sehingga perlu mengurangi input tersebut (Fare et al.
1994). Untuk meningkatkan efisiensi kapasitas penangkapan kapal cantrang yang
berbasis di Blanakan, secara teknis dapat ditingkatkan efisiensinya pada musim Barat,
Timur dan musim Peralihan dengan cara mengurangi pada input variabel yang
berlebih terutama trip, hari operasi (HOP), BBM, es, ABK dan perbekalan yang
menjadi instrument dalam pengendalian kapasitas penangkapan cantrang Blanakan.
KESIMPULAN
Berdasarkan tingkat efisiensi bahwa adanya kelebihan kapasitas (excess
capacity) pada beberapa armada cantrang di Blanakan.
Tingkat efisiensi
penangkapan pada ketiga musim dapat dilakukan dengan mengurangi jumlah hari
operasi di laut yang dapat berimplikasi pula pada berkurangnya konsumsi BBM dan
es.
PERSANTUNAN
Kegiatan dari hasil riset kapasitas penangkapan cantrang pada perikanan demersal di
Laut Jawa serta pukat cincin pada perikanan cakalang dan pelagis di Laut Sulawesi
163
DAFTAR PUSTAKA
Atmadja,S.B, & B. Sadhotomo. 1985. Aspek operacional pukat cincin di Laut Jawa.
J.Lit. Perika. Laut. BPPL. Jakarta. (32): 65-72.
Berkes FR. Mahon P. MicConney R. Pollnac & Pomeroy R. 2001. Managing SmallScale Fisheries: Alternative Directions Methods. IDRC. Ottawa.
Cooper WC, Seiford, LM, Tone, Kaoru. 2004. Data Envelopment Analysis.
Massachusets: Kluwer Academic Publisher.
Fare, R. S., S. Grosskopf, & E. Kokkelenberg. 1989. Measurring Plant Capacity
Utilization and Technical Change: A Nonparametric Approach. Int. Econ.
Rev. 30: 655-666.
Fare R, Grooskopf S, Lovel CAK. 1994. Production Frontiers. United Kingdom:
Cambride University Press. 296p
Food & Agricultural Organization.
Fisheries. Rome.
(1995)
Code of Conduct for Responsible
KUD Mina Fajar Sidik, 2012. Rekapitulasi Keberangkatan kapal Di Pos Pengawasan
Sumber daya Kelautan dan Perikanan (SDKP) Blanakan Subang. Jawa
Barat.
Purwanto & D. Nugroho. 2011. Daya tangkap kapal pukat cincin dan upaya
penangkapan pada perikanan pelagis kecil di Laut Jawa. J.Lit. Perikan. Ind.
17 (1): 23-30.
Sadhotomo, B., S.Nurhakim, & S. B. Atmadja. 1986. Perkembangan komposisi
hasil tangkapan dan laju tangkap pukat cincin di Laut Jawa. J.Lit. Perikan.
Laut. BPPL. Jakarta. (35): 101-109
Sparre, P. & S.C.Venema. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Buku I:
Manual. Food and Agriculture Organisation. UNO. 438 pp.
Wiyono, E.S. 2005. Perspektif baru dalam pengelolaan sumberdaya ikan. Edisi
Vol.3/XVII/Maret 2005-Nasional. (http:\\io.ppi-jepang.org.article.php).
164
Deskripsi rancang bangun cantrang di Blanakan, Subang
Ris atas Ø 15 mm, P 23
m
80 #
90 #
100 #
Ris bawah Ø 15 mm, P
24 m
Lampiran 1.
115
#
125
#
8,25
“100
“
8,25
“100
“
8,25
“100
38
5”
“
400 #
D15
5”
400 #
D12
4”
3,5”
400
#
D12
400 #
D12
3”
410 #
D9
D9
2,5”
380 #
D9
D9
D9
2,25
”90
2”
342
#
1,75
”
1,5”
300 #
248 #
200 #
1”
200 #
D12 150
150
¾”
Keterangan:
Pemberat timah 50 – 60 kg, @ 200 gr.
Bahan PE d9, d 12 dan d 15
Mata jaring (mesh size), sayap 8,25 inci, mulut 5 inci, badan 4 - 2 inci,
kantong 1-3/4 inci
165
KOMPOSISI HASIL TANGKAPAN DAN HASIL PER UNIT UPAYA
(CPUE) CANTRANG DI PERAIRAN UTARA JAWA
Oleh
Baihaqi1) dan Hufiadi1)
1)
Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut
Email : [email protected]
ABSTRAK
Penelitian beberapa aspek penangkapan alat tangkap cantrang dilakukan pada
bulan September 2012 di Perairan Brondong, Lamongan, Jawa Timur. Metode
yang digunakan pada penelitian ini adalah metode survei melalui kegiatan
observasi dengan mengikuti kegiatan nelayan, Tujuan dari penulisan ini adalah
untuk mendapatkan informasi mengenai komposisi hasil tangkapan, CPUE,
musim dan daerah penangkapan. Hasil penelitian menunjukkan hasil tangkapan
cantrang didominasi oleh jenis ikan Leiognathidae (petek) sebesar lebih dari 45%
hasil tangkapan, diikuti oleh Nemipteridae (kurisi) sebesar 19% dan sisa lainnya
sebesar 37% yang berasal dari jenis ikan – ikan yang lain. Hasil tangkapan
cantrang per trip CPUE berkisar antara 150 – 900 kg/ trip dengan rata – rata laju
tangkap 44.26 kg/ tawur. Musim penangkapan armada cantrang adalah pada bulan
Maret – Mei, Agustus dan Oktober – Desember dan daerah penangkapan berjarak
sekitar 20 mil dari pantai dengan jarak tempuh sekitar 3 jam.
Kata Kunci : Cantrang, laju tangkap, komposisi hasil tangkapan, musim dan
daerah penangkapan.
PENDAHULUAN
Sejak dihapusnya ijin penggunaan alat tangkap pukat harimau (trawl)
melalui Keppres No. 39/ Tahun 1980, nelayan kembali mengembangkan alat-alat
tangkap konvensional yang pernah ada untuk menangkap jenis-jenis ikan
demersal dan udang.
Alat tangkap konvensional yang dimaksud antara lain;
jaring insang dasar (bottom gillnet), jaring trammel (trammel net), jaring
dogol/cantrang (bottom seine), pancing rawai dasar (bottom long line) dan bubu
(trap). Perkembangan alat tangkap meliputi jumlah, dimensi, rancang bangun,
konstruksi dan cara pengoperasian dan bahkan sistem operasinya cenderung
kurang mengindahkan kaidah bagi pengelolaan perikanan berkelanjutan.
Perikanan cantrang yang dalam satu dekade terakhir berkembang begitu
pesat, merupakan alat tangkap tradisional yang telah lama dioperasikan di Laut
Jawa. Sebelum tahun 1980 jaring cantrang dioperasikan dengan menggunakan
167
kapal berukuran relatif kecil, yaitu kurang dari 5 GT.
Pengoperasian jaring
sepenuhnya menggunakan tenaga manusia, baik dalam menggerakan kapal
maupun saat operasi penangkapan (pengoperasian jaring). Pengembangan usaha
perikanan tangkap telah memungkinkan terjadinya perubahan teknologi perikanan
tangkap di wilayah Laut Jawa, termasuk cantrang yang merupakan alat tangkap
alternatif yang telah mampu menggantikan trawl sebagai alat tangkap ikan
demersal.
Gardan/kapstan sebagai alat bantu penarik jaring digunakan pada tahun
1987, selain itu gardan juga digunakan untuk menarik tali slambar. Dengan
adanya gardan, cantrang akhirnya dimodifikasi menjadi alat tangkap aktif dengan
cara ditarik dengan sebuah perahu atau kapal. Alat tangkap cantrang sangat efektif
untuk menangkap sumberdaya ikan demersal (Suhendrata dan Badrudin, 1990).
Ukuran kapal yang digunakan untuk mengoperasikan cantrang untuk saat ini
sangat bervariasi, mulai dari 5 GT hingga mencapai lebih dari 50 GT.
Khusus di wilayah pantai utara Jawa, perikanan cantrang merupakan unit
penangkapan yang mengalami perkembangan cukup pesat. Dalam satu dekade
terakhir, cantrang merupakan alat tangkap yang memberikan konstribusi terbesar
bagi perikanan demersal di wilayah utara Jawa. Salah satu wilayah yang menjadi
basis perkembangan cantrang di Perairan Utara Jawa yaitu PPN Brondong,
Lamongan, Jawa Timur.
Berdasarkan waktu pengoperasian dalam setiap trip, armada cantrang yang
berbasis di PPN Brondong terdapat 2 jenis yakni, armada cantrang harian (one
day fishing) dan armada cantrang mingguan. Fokus penelitian melalui kegiatan
observasi dilaksanakan pada armada cantrang harian (one day fishing) dan tujuan
dari penulisan ini adalah untuk mendapatkan informasi mengenai komposisi hasil
tangkapan, hasil tangkapan per unit upaya (CPUE) serta daerah dan musim
penangkapannya.
METODOLOGI
Pengumpulan data
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode survei melalui
kegiatan observer di laut. Periode pengumpulan data dilakukan pada bulan
168
September 2012. Kegiatan observer dilakukan pada unit kapal cantrang yang
bernama KM. Sri Klumpuk (GT 6), mempunyai ukuran P = 10 m, L = 3 m dan D
= 2.2 m. Mesin yang digunakan ada 2 macam yaitu mesin utama dan mesin bantu.
Mesin utama dan mesin bantu yang digunakan berupa mesin donfeng 30 PK,
begitu juga dengan mesin gardan yang digunakan yakni donfeng 30 PK.
Sedangkan jaring cantrang yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 1.
Panjang tali ris atas 51 m;tali ris bawah 52 m
Gambar 1. Desain alat tangkap cantrang di PPN Brondong
Analisis Data
Hasil tangkapan per unit upaya (CpUE) dihitung menggunakan rumus
Sparre and Venema (1997) sebagai berikut :
CpUE 
Catch
Effort ,
dimana : CpUE : Catch per unit Effort
169
Catch : hasil tangkapan (g, kg, t)
Effort : Jumlah upaya (hari, trip, unit)
Pola musim penangkapan ditentukan dengan Metode Persentase Rata-rata
(The Average Percentage Methods) yang didasarkan pada Analisis Runtun Waktu
(Times Series Analysis) sesuai dengan rumus Spiegel,M.R (1961) sebagai berikut :
1. Hasil tangkapan per upaya tangkap (CPUE = Catch Per Unit of Effort = U) per
bulan (Ui) dan rata-rata bulanan CPUE dalam setahun ( U ) dihitung dengan
rumus:.
U 
1 m
U i
m i 1
……………….….......................................................…….
(1)
U = CPUE rata-rata bulanan dalam setahun (ton/unit)
Ui
= CPUE per bulan (ton/unit)
m = 12 (jumlah bulan dalam setahun)
2. Up adalah rasio Ui terhadap U yang dinyatakan dalam persen :
Up 
Ui
x 100 % …........................................................……………..… (2)
U
3. Indeks Musim Penangkapannya dihitung dengan rumus :
IMi =
1 t
U p ..........................................................……….………….. (3)
t i 1
IMi = Indeks Musim ke i
t
= Jumlah tahun dari data
Penentuan musim ikan ditentukan berdasarkan indeks, yaitu :
a. Jika indeks musim lebih besar atau sama dengan satu (≥ 1) berarti pada waktu
tersebut merupakan musim penangkapan ikan.
b. Jika indeks musim lebih kecil dari satu (< 1) maka pada waktu tersebut bukan
musim penangkapan ikan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1.
Komposisi Hasil Tangkapan
Komposisi hasil tangkapan cantrang diperoleh lebih dari 10 jenis ikan
yang sebagaian besar ikan demersal (Tabel 1). Komposisi hasil tangkapan
cantrang didominasi oleh jenis Leiognathidae sekitar 45,47 % dan terendah adalah
170
udang sekitar 0,19 %. Ikan pelagis yang tertangkap adalah jenis Carangidae
(dominan Carangoides sp) sekitar 1.99 % dan hasil tangkapan non ikan yakni dari
jenis cumi – cumi (loligi sp) sekitar 1.39 %.
Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan Achmad (2010) dan
Noveldesra (2010) di perairan Brondong, menunjukkan bahwa Leiognathidae
mendominasi hasil tangkapan armada cantrang di perairan Brondong sekitar 36,19
%. Berbeda halnya armada cantrang di PPP Tegalsari (Mahiswara et al. 2012)
menunjukkan hasil tangkapan armada cantrang
didominasi oleh tangkapan
kuniran (Upeneus spp), hal ini menunjukkan bahwa daerah penangkapan yang
berbeda berpengaruh terhadap komposisi hasil tangkapan. Dimana daerah
penangkapan armada cantrang yang berbasis di PPP Tegalsari berada disekitar
selatan Kalimantan (Perairan Utara Jawa bagian Barat), sedangkan armada
cantrang yang berbasis di PPN Brondong berada di Perairan Utara Jawa bagian
Timur.
Menurut Widodo (1980), menyatakan bahwa perairan Laut Jawa bagian
Barat terdapat jenis ikan demersal yang mempunyai daerah penyebaran merata
dari kedalaman 20 – 80 m, diantara nya adalah kuniran (Upeneus spp), kurisi
(Nemipterus spp) dan beloso (Saurida spp).
Tabel 1. Komposisi hasil tangkapan cantrang di PPN Brondong
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Jenis Ikan
PRIACANTHIDAE (swanggi)
NEMIPTERIDAE (kurisi)
CARANGIDAE (kuwe)
DIODONTIDAE (Buntal)
GERREIDAE (kapasan)
LEIOGNATHIDAE (petek)
MULLIDAE (kuniran)
TRICHIURIDAE (layur)
SQUIDS (Cumi)
SHRIMP (Udang)
IKAN RUCAH (Lainnya)
Total
Hasil Tangkapan
Kg
%
272.00
9.48
552.00
19.23
57.00
1.99
38.00
1.32
130.00
4.53
1,305.00
45.47
120.00
4.18
12.00
0.42
40.00
1.39
5.50
0.19
338.50
11.79
2,870.00
100
Menurut Burhanuddin et.al (1984) menyatakan bahwa kurisi kecil hidup di
perairan pantai yang dangkal, sedangkan kurisi berukuran besar hidup sampai
171
kedalaman 60 m. Demikian halnya dengan ikan petek, menurut Nontji (1987)
menyatakan bahwa ikan petek hidup bergerombol pada perairan yang dangkal.
Beck dan Sudrajat (1978) menegaskan bahwa nilai tangkapan tertinggi ikan petek
diperoleh pada kedalaman perairan antara 10 – 20 m.
2.
Hasil Per Unit Upaya (CPUE)
Selama kegiatan observasi pada bulan September 2012, pengoperasian
cantrang dilakukan sebanyak 8 trip dengan armada cantrang one day fishing.
Jumlah hasil tangkapan total per trip cukup berfluktuasi, begitu juga jumlah tawur
masing – masing trip juga berbeda (Gambar 2 dan Gambar 3). Rata – rata hasil
tangkapan cantrang setiap tripnya adalah 358,75 kg/trip, hasil tangkapan tertinggi
terjadi pada trip hari pertama sebesar 900 kg (14 tawur) dan terendah pada trip ke7 sebesar 150 kg (7 tawur).
Senada dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ernawati dan
Sumiono (2009) di perairan Tegal, bahwa rata - rata tangkapan armada cantrang
berkisar 333,6 kg/ hari pada tahun 2006 dan 424 kg/ hari pada tahun 2007.
Berbeda dengan hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Achmad (2010) dan
Noveldesra (2010) pada bulan Mei, menunjukkan bahwa hasil tangkapan cantrang
di Perairan Brondong berkisar 552,5 kg/ hari, tampaknya hal ini dipengaruhi oleh
musim penangkapan armada cantrang, dimana pada bulan Mei merupakan musim
penangkapan armada cantrang, sedangkan observasi dilaksanakan pada bulan
September yang merupakan bulan paceklik bagi perikanan cantrang.
Berdasarkan perubahan – perubahan hasil tangkapan setiap tripnya,
tampaknya jumlah tawur berpengaruh terhadap perolehan hasil tangkapan, selain
itu hasil tangkap juga dipengaruhi oleh cuaca. Kondisi saat dilakukan kegiatan
obsevasi adalah musim peralihan, dan ini menyebabkan cuaca yang tidak menentu
setiap hari. Hal ini senada dengan hasil penelitian Ernawati dan Sumiono (2009),
yang menyatakan bahwa perubahan cuaca sangat berpengaruh terhadap
keberhasilan hasil tangkapan cantrang. Selain itu menurut Gunarso (1985),
perubahan cuaca seperti terjadinya topan dapat mempengaruhi ruaya serta
keberadaan ikan pada suatu wilayah perairan. Topan dapat menyebabkan
terjadinya turbulensi dan ikan biasanya akan menghindari kondisi seperti ini
karena sedimen laut yang terangkat dapat merusak filamen insang ikan.
172
Dampak perubahan cuaca, selain mempengaruhi keberadaan sumberdaya,
juga berpengaruh terhadap keberhasilan pengoperasian alat tangkap. ada beberapa
faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan pengoperasian alat tangkap
cantrang, diantaranya:

Kecepatan penarikan jaring waktu pengoperasian alat tangkap

Arus yang berpengaruh terhadap pergerakan ikan dan alat tangkap, dimana
tingkah laku ikan biasanya bergerak berlawanan dengan arah arus sehingga
mulut jaring harus berlawanan dengan arah pergerakan ikan.

Arah angin yang mempengaruhi pergerakan kapal pada saat operasi
penangkapan.
Gambar 2. Hasil Tangkapan Cantrang Per Trip.
Gambar 3. Jumlah Tawur Cantrang Per Trip.
173
Total hasil tangkapan selama 8 trip sebesar 2.870 kg, dengan total jumlah
tawur yang dilakukan sebanyak 62 kali tawur (rata – rata 7 hingga 8 kali per trip).
Rata – rata laju tangkap adalah sebesar 44, 26 kg/ tawur dan waktu setiap kali
tawur selama 30 menit, dengan demikian didapatkan nilai rata – rata laju tangkap
cantrang sebesar 88,52 kg/ jam. Laju tangkap tertinggi terjadi pada trip ke-1 dan
ke-5 sebesar 64.29 kg/ tawur atau 128.58 kg/ jam, sedangkan laju tangkap
terendah terjadi pada trip ke-7 sebesar 21.43 kg/ tawur atau 42.86 kg/ jam
(Gambar 4 dan Gambar 5).
Gambar 4. Rata-rata Laju Tangkap Cantrang di Perairan Brondong, Jawa Timur
Gambar 5. Rata-rata Laju Tangkap (kg/jam) Cantrang di Perairan Brondong, Jawa
Timur
Hasil penelitian sebelumnya di PPP Tegalsari (Mahiswara, et al. 2012),
menunjukkan bahwa laju tangkap armada cantrang berkisar antara 90,6 – 150,1
kg/ tawur, tampaknya perbedaan laju tangkap antara perairan Brondong dan Tegal
174
dipengaruhi oleh perbedaan daerah penangkapan. Selain itu, armada cantrang
yang beroperasi di PPP Tegalsari merupakan armada cantrang mingguan dengan
ukuran alat tangkap dan armada penangkapan yang lebih besar dibandingkan alat
tangkap cantrang harian di perairan Brondong.
3.
Musim dan Daerah Penangkapan
Berdasarkan
pencatatan
daerah
penangkapan
armada
cantrang
menggunakan alat bantu GPS, diketahui bahwa daerah penangkapan kapal
cantrang pada waktu observasi laut berjarak kira – kira 20 mil dari pantai dengan
waktu tempuh sekitar 3 (tiga) jam dan kedalaman 20 – 30 m. Posisi daerah
penangkapan dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Daerah penangkapan armada cantrang di PPN Brondong
Musim penangkapan armada cantrang yang didasarkan pada nilai indeks
musim penangkapan menunjukkan bahwa musim penangkapan terjadi pada bulan
Maret – Mei, Agustus dan Oktober – Desember. Hal ini dapat terlihat dari nilai
IMP diatas 100%.
Sedangkan musim paceklik terjadi diluar bulan tersebut
(Gambar 7).
Hasil observasi yang telah dilakukan pada bulan September, menunjukkan
bahwa rata – rata laju tangkap berada di bawah rata – rata tangkapan cantrang
setiap tahun. Hal ini menunjukkan bahwa bulan September merupakan musim
paceklik bagi perikanan cantrang di perairan Brondong.
175
Gambar 7. Musim penangkapan armada cantrang di PPN Brondong
KESIMPULAN

Komposisi hasil tangkapan cantrang didominasi ikan demersal dari jenis
Leiognathidae sekitar 45,47 % dan terendah adalah udang sekitar 0,19 %. Ikan
pelagis yang tertangkap adalah jenis Carangidae (dominan Carangoides sp)
sekitar 1.99 % dan hasil tangkapan non ikan yakni dari jenis cumi – cumi
(loligi sp) sekitar 1.39 %.

Hasil tangkapan per unit upaya cantrang yang berbasis di PPN Brondong
berkisar 21,43 – 64.29 kg/ tawur atau 44.86 – 128.56 kg/ jam.

Daerah penangkapan cantrang berjarak sekitar 20 mil dari pantai dengan jarak
tempuh selama 3 (tiga) jam dan kedalaman 20 – 30 m.

Musim penangkapan cantrang berlangsung selama bulan Maret – Mei,
Agustus dan Oktober – Desember.
PERSANTUNAN
Tulisan ini merupakan bagian dari kegiatan Riset Kapasitas PEnangkapan
Cantrang pada Perikanan Demersal di Laut Jawa Serta Pukat Cincin pada
Perikanan Cakalang dan Pelagis di Laut Sulawesi.
176
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous, 2012. Buku Laporan Tahunan Produksi Perikanan di PPN Brondong
Tahun 2007 - 2011. Lamongan. Jawa Timur.
Achmad A. L, 2010. Komposisi Hasil Tangkapan Cantrang di Perairan Brondong,
Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Skripsi. Program Studi
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Beck, U. And A.Sudradjat., 1979. Variation in size and compositionof demersal
trawl catches from the north coast of Java with estimated growth
parameters fro three important food-fish species. Special Report.
Contrib. of Dem.Fish.Pro. No. 7-1979. LPPL-GTZ.
Burhanuddin., S. Martosewojo., A.Djamali dan R. Moeljanto. 1984. Perikanan
Demersal di Indonesia. LON – LIPI, Jakarta.
Ernawati, T. dan B. Sumiono. 2009. Fluktuasi Bulanan Hasil Tangkapan Cantrang
yang Berbasis di Pelabuhan Perikanan Pantai Taegalsari Kota Tegal.
Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia.
Gunarso, W. 1985. Tingkah Laku Ikan dalam Hubungannya dengan Alat, Metoda
dan Taktik Penangkapan. Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya
Perikanan, Fakultas Perikanan, Insitut Pertanian Bogor. Bogor.
Mahiswara, et al. 2012. Pengkajian Kapasitas Penangkapan Cantrang Pada
Perikanan Demersal Di Laut Jawa Serta Pukat Cincin Pada Perikanan
Cakalang Dan Pelagis Di Laut Sulawesi. Laporan Teknis Riset. Balai
Riset Perikan Laut. Jakarta.
Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan, Jakarta. 367 hal.
Noveldesra S. 2010. Kajian Teknis Pengoperasian Cantrang di Perairan
Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Skripsi. Program Studi
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Suhendrata, T., dan M. Badrudin., 1990. Sumber Daya Perikanan Demersal di
Perairan Pantai Utara Rembang. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. No
54. BPPL. Jakarta
Sparre, P. and Venema, S.C. 1997. Introduction to tropical fish stock assessment.
Part 1. Fisheries Technical Paper. Rome: FAO
Spiegel, M. R., 1961. Theory and Problems of Statistics. New York: Schaum
Publ. Co.
Widodo, J. 1980. Potensi dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Demersal di
Laut Jawa di Luar Kedalaman 20 meter. Tesis. Program Studi
Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
177
MUSIM PENANGKAPAN, LAJU TANGKAP DAN KOMPOSISI HASIL
TANGKAPAN IKAN DEMERSAL DI LAUT JAWA
Oleh
Nurulludin1) dan Muhammad Taufik1)
1)
Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut
Email: [email protected]
ABSTRAK
Informasi aspek penangkapan ikan demersal salah satu faktor keberhasilan
penangkapan dan diharapkan dapat membantu para pelaku usaha perikanan dalam
agar lebih efektif. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui musim
penangkapan, laju tangkap dan komposisi hasil tangkapan ikan demersal di Laut
Jawa. Penelitian dilaksanakan selama 6 (enam) trip laut pada bulan Januari Oktober 2012. Data primer diperoleh dengan pencatatan langsung di lapangan
yang dilakukan enumerator pada kapal cantrang besar yang beroperasi 20 – 25
hari. Hasil penelitian menunjukkan musim penangkapan terjadi pada sekitar bulan
Maret, bulan Agustus dan bulan November. Hasil tangkapan tinggi terjadi pada
trip ke-3 ( 23 Maret – 18 April ) sebesar 35.567 kg/trip, sedangkan terendah
terjadi pada periode operasi 7 – 27 Oktober sebesar 26.240 kg/trip dan rata–rata
hasil tangkapan cantrang adalah 32.021,5 kg/trip. Laju tangkap tertinggi terjadi
pada periode operasi bulan Januari 2012 sebesar 330,1 kg/tawur, sedangkan ratarata laju tangkap adalah 263,75 kg /tawur.
Kata kunci : Musim penangkapan, cantrang, laju tangkap, demersal
PENDAHULUAN
Laut Jawa merupakan wilayah perairan dengan paparan yang dangkal dan
cukup luas serta merupakan bagian selatan dari Paparan Sunda. Keberadaan
sumberdaya ikan demersal yang mempunyai sifat gerak yang tidak jauh dan
diduga selalu berada di sekitar perairan Laut Jawa bisa dianggap satu unit stok
(BRPL, 2004). Potensi lestari ikan demersal di Laut Jawa diduga sebesar 375,2
ribu ton/tahun (DJPT, 2011) .
Cantrang merupakan alat tangkap yang cukup efektif untuk memanfaatkan
sumberdaya ikan demersal (Suhendrata dan Pawarti, 1991). Badruddin, et al
(1989) juga
menyatakan bahwa selama dua dasa warsa terakhir ini telah
berkembang alat tangkap cantrang yang digunakan secara luas untuk menangkap
ikan demersal. Hasil tangkapan kapal cantrang pada dasarnya yang tertangkap
179
adalah jenis ikan dasar (demersal) seperti ikan petek, kuniran, kurisi, swanggi,
gulamah, kerapu, sebelah, pari, cucut, gurita, bloso dan macam-macam udang
(Subani & Barus, 1989).
Tersedianya data dan informasi secara spasial dan temporal merupakan
salah satu faktor pendukung keberhasilan dalam usaha penangkapan dan
pengelolaan sumberdaya ikan. Informasi tentang sebaran sumberdaya ikan adalah
informasi yang menjelaskan keberadaan sumberdaya ikan pada suatu perairan
tertentu dan waktu atau musim (BRPL, 2004).
Informasi musim penangkapan ikan demersal yang tertangkap oleh kapal
cantrang masih kurang memadai. Informasi tentang musim penangkapan ikan
demersal diharapkan dapat membantu para pelaku usaha perikanan dalam agar
lebih efektif. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui musim
penangkapan, laju tangkap dan komposisi hasil tangkapan ikan demersal yang
didasarkan pada hasil tangkapan kapal cantrang besar di Laut Jawa.
BAHAN DAN METODA
Penelitian dilakukan pada tahun 2012 di perairan Laut Jawa
dengan
daerah pengambilan sampel pada Gambar 1.
Gambar 1. Lokasi daerah sampling ikan demersal di Laut Jawa
Musim penangkapan
Data yang dianalisis merupakan data statistik perikanan dari Pelabuhan
Perikanan Pantai (PPP) Tegalsari tahun 2007 – 2011. Dugaan musim
penangkapan ikan ditentukan menggunakan metode persentase rata-rata (the
180
average percentage methods) yang didasarkan pada analisis runtun waktu (times
series analysis) (Spiegel, M. R., 1961).
1. CPUE = Catch Per Unit of Effort
U 
1 m
U i ……………….……….
m i 1
(1)
U = CPUE rata-rata bulanan dalam setahun (ton/trip)
U i = CPUE per bulan (ton/trip)
m
= 12 (jumlah bulan dalam setahun)
2. Up yaitu rasio Ui terhadap U dinyatakan dalam persen :
Up 
3.
Ui
x 100 % ………………..… (2)
U
Indeks Musim
IMi =
1 t
U p ..……….…………..
t i 1
(3)
IMi = Indeks Musim ke i
t
= Jumlah tahun dari data
4. Kriteria penentuan musim ikan ialah jika indeks musim lebih dari 1 (lebih dari
100 %) atau di atas rata-rata, dan bukan musim jika indeks musim kurang dari
1 (kurang dari 100%). Apabila IM = 1 (100 %), nilai ini sama dengan harga
rata-rata bulanan sehingga dapat dikatakan dalam keadaan normal atau
berimbang.
Data primer yang dianalisis diperoleh dengan pencatatan langsung di
lapangan yang dilakukan melalui enumerasi yang dilakukan pada kapal cantrang
contoh yang beroperasi 20 – 25 hari di PPP Tegalsari. Spesifik kapal cantrang
contoh yaitu kapal dengan GT 30, Panjang 20 m, Lebar 6 m dan kedalaman kapal
4 m. Periode pengumpulan data selama 6 (enam) trip pada bulan Januari Oktober 2012. Data yang dicatat antara lain : hasil tangkapan per tawur, posisi
pada saat operasi, dan kedalaman perairan
Laju tangkap
Laju tangkap kapal cantrang dianalisa dengan memisahkan waktu
penangkapan berdasarkan musim. Pembagian musim terbagi 4 (BRPL, 2004)
yaitu;
181
1) Musim Barat (Desember-Februari)
2) Musim Peralihan I (Maret-Mei)
3) Musim Timur (Juni-Agustus)
4) Musim Peralihan II (September-Nopember)
Analisis hasil tangkapan kapal cantrang menggunakan perhitungan rumus
Sparre and Venema (1998) ,sebagai berikut : CpUE  Catch
Effort
dimana
CpUE : Catch per unit Effort
Catch : Jumlah hasil tangkapan (kg)
Effort : Jumlah upaya (trip, hari, tawur)
HASIL
Musim penangkapan dalam periode waktu selama 5 (lima) tahun dari
tahun 2007 sampai tahun 2011 didapatkan terjadi pada bulan Maret, Agustus dan
November. Musim paceklik kapal cantrang Tegal terjadi pada bulan Januari,
April, Mei dan September (Gambar 2). Indeks musim penangkapan sangat rendah
pada bulan September, diduda karena bulan tersebut merupakan waktu hari raya
umat Islam dalam rentang 5 tahun terakhir, sehingga nelayan tidak ada yang
melaut.
0.40
0.20
J
F
M
A
M
J
J
A
S
O
N
D
(0.20)
(0.40)
Gambar 2. Indeks Musim penangkapan ikan kapal cantrang
Laju tangkap
Selama periode Januari – Oktober 2012 kapal contoh beroperasi sebanyak
enam trip dan memiliki hasil tangkapan total per trip berfluktuasi (Gambar 3).
Rata – rata hasil tangkapan cantrang setiap trip nya adalah 32.021,5 kg/trip. Hasil
tangkapan tinggi terjadi pada trip ke-3 ( 23 Maret – 18 April ). Sedangkan hasil
182
tangkapan turun terjadi pada periode operasi tanggal 7 – 27 Oktober dengan hasil
Catch kg/trip)
tangkapan sebesar 26.240 kg/trip.
40,000
35,000
30,000
25,000
20,000
15,000
10,000
5,000
0
3 – 26
Januari
8 Februari - 23 Maret - 10 Mei - 2
5 Maret
18 April
Juni
19 Juni -8
Juli
7 - 27
Oktober
Gambar 3. Periode operasi kapal contoh tahun 2012
Laju tangkap kapal cantrang cenderung menurun tiap harinya. Laju
tangkap perhari tertinggi terjadi pada musim barat sebesar 2178,6 kg/hari,
sedangkan paling rendah pada musim peralihan 2 yang hanya 1543,56 kg/hari.
Rata-rata laju tangkap kapal cantrang contoh pada 2012 adalah 258,38 kg /tawur
Laju tangkap
(kg/hari)
(Gambar 4).
2500
2000
1500
1000
500
0
Musim Barat
Musim
Peralihan 1
Musim Timur
Musim
Peralihan 2
Gambar 4. Rata-rata hasil tangkapan kapal contoh (kg/ hari)
Laju tangkap kapal cantrang berdasarkan musim juga cenderung menurun
tiap tawur nya yang rata-rata satu jam penarikan jaring. Laju tangkap per tawur
tertinggi juga terjadi pada musim barat sebesar 291,65 kg/tawur, sedangkan paling
rendah pada musim peralihan 2. Rata-rata laju tangkap kapal cantrang contoh
pada 2012 adalah 258,38 kg /tawur.
183
Laju tangkap (kg/tawur)
350
300
250
200
150
100
50
0
Musim Barat
MusimPeralihan
1
MusimTimur
MusimPeralihan
2
Gambar 5. Laju tangkap (kg/tawur) kapal cantrang berdasarkan musim.
Nemipteridae
Laju tangkap (kg/tawur)
80
70
60
50
40
30
20
10
0
Scolopsis sp
Priachantus
sp
Musim BaratMusim Peralihan 1Musim TimurMusim Peralihan 2
Gambar 6. Laju tangkap ikan dominan berdasarkan musim
Laju tangkap ikan dominan mengalami fluktuasi tiap musimnya. Kenaikan
ikan coklatan (Scolopsis sp) akan di ikuti dengan kenaikan kurisi (Nemipteridae)
pada musim timur, tetapi diwaktu yang sama terjadi penurunan terhadap ikan
kuniran (Mullidae), swanggi (Priacanthidae) dan petek (Leiognathidae).
Komposisi Hasil Tangkapan
Komposisi hasil tangkapan ikan kapal cantrang berdasarkan musim
didominasi ikan kuniran (Mullidae), Coklatan (Scolopsis taeniopterus), Kurisi
(Nemipteridae), swanggi (Priacanthidae), petek (Leiognathidae), kapasan
(Pentaprion longimanus), kecuali pada musim peralihan II yang didominasi oleh
cumi-cumi (Lolligo sp)
184
a)
Musim
Barat
b)
Peralihan I
Mullidae
Mullidae
Nemipteridae
Nemipteridae
Priachantus sp
Loligo spp
Saurida spp
pentaprion longimanus
Sciaidae
leioghnatidae
Abalistes stellaris
Carcharanidae
Carangidae
Caesio cuning
Sphyraena spp
Sphyraena spp
Lutjanus malabaricus
Haemulidae
Haemulidae
0
5
10 15 20 25 30
0
Persentase (%)
c)
10 15 20 25 30
Persentase (%)
Musim Timur
Scolopsis taeniopterus
Selaroides
Mullidae
Nemipteridae
tetraodontidae
Saurida spp
Loligo spp
Abalistes stellaris
Clupeidae
Carangidae
Lutjanidae
Sphyraena spp
Sciaidae
Priachantus sp
leioghnatidae
Caesio cuning
Epinephelus spp
Campuran
5
d)
Peralihan II
Loligo spp
Scolopsis taeniopterus
Priachantus sp
Mullidae
Selaroides
Nemipteridae
Abalistes stellaris
Caesio cuning
pentaprion longimanus
Sciaidae
Sphyraena spp
Epinephelus spp
Haemulidae
Letrinus lencam
Saurida spp
Lutjanus malabaricus
0
5
10 15 20 25 30
0
Persentase (%)
5
10 15 20 25 30
Persentase (%)
Gambar 7. a)-d) Komposisi hasil tangkapan kapal cantrang berdasarkan musim
.
BAHASAN
Musim penangkapan kapal cantrang besar di Tegal terjadi pada sekitar
bulan Maret, bulan Agustus dan bulan November. Musim paceklik kapal cantrang
Tegal terjadi pada bulan Januari, April, dan September. Perkiraan musim
penangkapan ini berbeda dengan hasil yang diperoleh berdasarkan kapal contoh,
dimana laju tangkap ikan tertinggi terjadi pada periode operasi musim barat
(Januari-Februari). Pebedaan ini diperkirakan bahwa musim penangkapan berbeda
dengan musim ikan di alam. Secara sederhana musim penangkapan ikan dalam
185
setiap tahun merupakan periode (bulan) dimana jumlah hasil tangkapan lebih
dari rata-rata hasil tangkapan selama periode tahun tersebut (Uktolseja, 1993).
Menurut Ernawati dan Sumiono (2009), perubahan cuaca sangat berpengaruh
terhadap keberhasilan hasil tangkapan cantrang. Menurut Badrudin et al., (1989)
bahwa pada periode musim barat dimana kawasan yang relatif teduh terjadi
diperairan pantai timur Lampung atau sekitar Sumatera Selatan, ternyata
menghasilkan laju tangkap yang tinggi dibandingkan dengan kawasan lainnya.
Selama periode bulan Januari 2012 – Oktober 2012 kapal contoh
beroperasi sebanyak 6 (enam) trip dan memiliki hasil tangkapan total per trip
berfluktuasi. Hasil tangkapan tertinggi terjadi pada trip ke-3 ( 23 Maret – 18 April
) sebesar 35.567 kg/trip, sementara hasil tangkapan terendah terjadi pada periode
operasi tanggal 7 – 27 Oktober dengan hasil tangkapan sebesar 26.240 kg/trip.
Rata – rata hasil tangkapan cantrang setiap trip nya adalah 32.021,5 kg/trip dan
hasil ini lebih tinggi dari hasil penelitian Ernawati et al. (2011) yang mendapatkan
rata – rata hasil tangkapan cantrang setiap trip nya sekitar 27.298,6 kg/trip
Komposisi hasil tangkapan ikan demersal tiap tawurnya berdasarkan
musim menunjukan suatu pola, ketika jumlah hasil tangkapan jenis ikan
Nemipteridae (Nemipterus spp dan Scolopsis spp) naik, akan diikuti dengan
berkurangnya hasil tangkapan Priacanthidae dan Mullidae, begitu juga sebaliknya.
Hal ini menunjukkan bahwa adanya 2 (dua) pengelompokan jenis-jenis ikan dan
pola ini masih perlu penelitian lebih lanjut.
Komposisi hasil tangkapan ikan kapal cantrang berdasarkan musim
didominasi ikan kuniran (Mullidae), Coklatan (Scolopsis taeniopterus), Kurisi
(Nemipteridae), Swanggi (Priacanthidae), Petek (Leiognathidae), Kapasan
(Pentaprion longimanus), kecuali pada musim peralihan II yang didominasi oleh
cumi-cumi (Lolligo sp). Menurut Badrudin et al. (2011), jenis ikan hasil hasil
tangkapan cantrang yang dominan pada tahun 2008-2010 antara lain ikan
Swanggi (Priacanthus spp), Coklatan (Scolopsis taenipterus), Kurisi (Nemipterus
spp) dan Gulamah (Scianidae). Penelitian Sumiono et al. (2002) di perairan utara
Jawa Tengah, menunjukkan komposisi hasil tangkapan ikan demersal didominasi
oleh ikan petek (Leiognathidae) dan ikan kurisi (Nemipteridae). Widodo (1980),
menemukan di perairan Laut Jawa bagian barat, jenis ikan demersal yang
186
daerah penyebarannya merata dari kedalaman 20 – 80 m adalah kuniran (Upeneus
spp), kurisi (Nemipterus spp) dan beloso (Saurida spp).
Penyebaran ikan demersal di perairan Indonesia sangat dipengaruhi
oleh dua musim yang menonjol yaitu musim timur dan musim barat,
dimana perubahan musim tersebut biasanya diikuti oleh adanya perubahan
kondisi lingkungan perairan. Distribusi gerombolan ikan demersal baik pada
musim timur maupun musim barat melakukan migrasi menuju suatu tempat
yang relatif sempit (Dwiponggo et al., 1989).
Ernawati et al. (2011) mendapatkan daerah penangkapan cantrang terbagi
dalam dua kelompok area perairan. Kelompok pertama berada di Laut Jawa
sebelah barat (Perairan Timur Sumatera dan selatan Bangka-Belitung) dan
kelompok kedua di Laut Jawa Selatan Kalimantan (sekitar Tanjung Puting dan
Tanjung Selatan).
KESIMPULAN
1. Musim penangkapan ikan demersal terjadi pada sekitar bulan Maret, Agustus
dan November serta musim paceklik terjadi pada Januari, April, Mei dan
September.
2. Laju tangkap kapal cantrang besar tertinggi juga terjadi pada musim barat
sebesar 291,65 kg/jam dan paling rendah pada musim peralihan 2 sebesar
240,7 kg/jam, sementara rata-rata laju tangkap adalah 258,38 kg /tawur.
PESANTUNAN
Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil penelitian pengkajian
sumberdaya ikan demersal di WPP716- Laut Sulawesi dan WPP 712- Laut Jawa
Tahun 2012 di Balai Penelitian Perikanan Laut, Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA
Balai Riset Perikanan Laut. 2004. Musim Penangkapan Ikan di Indonesia.
Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta 116 hal
Badrudin, Aisyah, & Tri Ernawati. 2011. Kelimpahan stok sumberdaya ikan
demersal di Perairan Sub Area Laut Jawa. Jurnal Penelitian Perikanan
Indonesia, no. 1 Vol. 17 Hal. 11-20. Jakarta
187
Badrudin, H. Wahyono, & S. Umiyati. 1989. Sumberdaya ikan demersal yang
potensial bagi bahan baku pakan ikan budidaya. Prosiding Temu Karya
Ilmiah Penelitian Menuju Program Swa-Sembada Pakan Ikan Budidaya.
Prosiding Pusat Penelitian dan Pengembangan no. 17/1989: 73-77
DJPT, 2011. Peta Keragaan Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan
Perikanan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap,
2011.
Dwiponggo et al., 1989. Dwiponggo, A. Badaruddin, D. Nugroho dan S.
Yono. 1989. Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Demersal.
Jakarta: Dirjen Perikanan, Pustlitbang Oseanologi. Deptan.
Ernawati, T & B. Sumiono. 2009. Fluktuasi Bulanan Hasil tangkapan Cantrang
yang berbasis di Pelabuhan Perikanan Pantai Tegalsari Kota Tegal. Jurnal
Penelitian Perikanan Indonesia. No. 1 Vol. 15. Jakarta
Ernawati, T, Nurulludin & Suherman Banon, 2011. Produktivitas, komposisi
hasil tangkapan dan daerah penangkapan jaring cantrang yang berbasis di
ppp Tegalsari, Tegal. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, no. 3 Vol. 17
Hal. 11-20. Jakarta
Sparre & Venema, 1998.Introduction to Tropical Fish Stock Assessement. Part 1.
FAO
Spiegel, M. R., 1961. Theory and Problems of Statistics. Schaum Publ. Co.,
New York. 359 p.
Subani, W. & Barus, H.R. 1989. Alat penangkapan ikan dan udang laut di
Indonesia.Jurnal Penelitian Perikanan Laut, No.50 (Special Edition). Balai
Penelitian Perikanan Laut. Jakarta. 248 hal
Suhendrata, T., & M.D. Menick Pawarti, 1991. Perikanan Cantrang dan Prospek
Pengembangannya di Perairan Kabupaten Batang. Jurnal Penelitian
Perikanan Laut (64) 14 hal.Balitkanlut Jakarta
Sumiono, B., Sudjianto, Yunus Soselisa, & T.S Murtoyo. 2002. Laju tangkap dan
komposisi jenis ikan demersal dan udang pada musim timur di Perairan
Utara Jawa Tengah. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. Jakarta. 8 (1)
Uktolseja, J. C. B. 1993. Status perikanan ikan pelagis kecil dan kemungkinan
pemanfaatannya sebagai ikan umpan hidup untuk perikanan rawai
tuna di Prigi, Jawa Timur. Jurnal Penelitian Perikanan Laut No. 80 Th.
1983. Hal.18-45.
Widodo J, 1980. Potensi dan pengelolaan sumberdaya perikanan demersal di Laut
Jawa di luar kedalaman 20 meter. Tesis. SPS-IPB. Bogor
188
MODEL PRODUKTIVITAS UNIT PENANGKAPAN CANTRANG
DI BLANAKAN-SUBANG
Oleh
Asep Priatna1) dan Hufiadi1)
1)
Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut
ABSTRAK
Jumlah unit armada cantrang menduduki peringkat ketiga di pelabuhan Blanakan.
Terdapat peningkatan jumlah armada cantrang dari bulan ke bulan di Blanakan
untuk mendaratkan hasil tangkapannya. Perkembangan jumlah cantrang tersebut,
mendorong perluasan daerah tangkapan yang akan menambah lama waktu
operasi. Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh variabel-variabel
operasional penangkapan terhadap produksi hasil tangkapan, sehingga dapat
membangun suatu model produktivitas. Data aspek operasional dikumpulkan
mulai bulan Januari-November 2012, seperti jumlah tangkapan, panjang kapal,
panjang jaring, kekuatan mesin, lama operasi, volume palka, jumlah ABK,
konsumsi bahan bakar dan es. Regresi linear dan korelasi bivariat digunakan
untuk menganalisis 383 kapal sampel. Berdasarkan delapan variabel operasional
penangkapan yang digunakan, hanya enam variabel yang signifikan terhadap
produksi tangkapan, yaitu lama operasi, konsumsi es, panjang kapal, jumlah
ABK, volume palka, dan panjang jaring. Variabel-variabel tersebut berpengaruh
sekitar 65% terhadap perolehan hasil tangkapan, sementara 35% lainnya
dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang belum terdapat pada model.
Kata kunci: model produktivitas, regresi linier, korelasi bivariat, cantrang,
Blanakan
PENDAHULUAN
Sejak dihapusnya ijin penggunaan alat tangkap pukat harimau (trawl)
melalui Keppres No. 39/ Tahun 1980, nelayan kembali mengembangkan alat-alat
tangkap konvensional yang pernah ada untuk menangkap jenis-jenis ikan
demersal dan udang. Alat tangkap konvensional yang dimaksud antara lain; jaring
insang dasar (bottom gillnet), jaring trammel (trammel net), jaring dogol/cantrang
(bottom seine), pancing rawai dasar (bottom long line) dan bubu (pot).
Perkembangan alat tangkap meliputi jumlah, dimensi, rancang bangun, konstruksi
dan cara pengoperasian dan bahkan sistem operasinya. Khusus di wilayah pantai
utara Jawa, perikanan cantrang merupakan unit penangkapan yang mengalami
perkembangan cukup pesat. Dalam satu dekade terakhir, cantrang merupakan alat
189
tangkap yang memberikan konstribusi terbesar bagi perikanan demersal di
wilayah utara Jawa.
Meski
keberadaannya cukup kontroversial, namun sampai saat ini
perikanan cantrang tetap mengalami perkembangan dari segi jumlah arnada.
BPPL (2010) dalam penelitiannya tentang perikanan pukat cincin Laut Jawa
menuliskan bahwa dengan menurunnya hasil tangkapan per satuan upaya,
sebagian armada pukat cincin mengalihkan usahanya ke perikanan cantrang.
Perkembangan jumlah armada cantrang telah mendorong bertambah luasnya
daerah penangkapan, sehingga mengakibatkan semakin meningkatnya jumlah hari
operasi laut di dalam satu tripnya.
Pengembangan usaha perikanan tangkap telah memungkinkan terjadinya
perubahan teknologi perikanan tangkap di wilayah Laut Jawa, termasuk cantrang
yang merupakan alat tangkap alternatif yang telah mampu menggantikan trawl,
khususnya sebagai alat tangkap ikan demersal. Alat tangkap cantrang sangat
efektif untuk menangkap sumberdaya ikan demersal (Suhendrata dan Badrudin,
1990). Ukuran kapal yang digunakan untuk mengoperasikan cantrang untuk saat
ini sangat bervariasi, mulai dari 5 GT hingga mencapai lebih dari 50 GT.
Menilik perkembangan dan konstribusi perikanan cantrang di Laut Jawa,
unit penangkapan tersebut dapat dijadikan sebagai alat dalam pengelolaan
perikanan.
Pengelolaan
perikanan
tangkap
diperlukan
untuk
menjamin
keberlanjutan sumberdaya dan usaha perikanan. Pengelolaan produktivitas
penangkapan ikan berikut metoda pengukurannya sudah menjadi isu penting
dalam upaya pengelolaan perikanan yang berkelanjutan sebagai langkah menuju
pengendalian.
Blanakan merupakan salah satu wilayah di Kabupaten Subang yang lebih
dikenal sebagai salah satu pusat penghasil udang penaeid di pantai utara Jawa. Di
Blanakan, Kabupaten Subang terdapat tiga Pusat Pendaratan Ikan (PPI) yaitu; PPI
Blanakan, PPI Cilamaya dan PPI Muara Ciasem. PPI Blanakan merupakan PPI
dengan frekuensi kunjungan kapal lebih tinggi dibandingkan dengan PPI yang ada
di sekitarnya. Sampai dengan akhir tahun 2011, jumlah alat tangkap cantrang
yang berbasis di PPI Blanakan yang dikelola KUD Mandiri Mina Fajar Sidik
Blanakan, Subang, sebanyak 20% dari total alat tangkap yang dioperasikan
190
nelayan. Cantrang menduduki urutan ketiga setelah alat tangkap trammel net dan
pukat cincin di Blanakan dalam hal jumlah unit (KUD Mina Fajar Sidik, 2011)
Selain untuk mengkaji aspek produktivitas dan komponen-komponen
operasional apa saja yang berperan dalam perolehan hasil tangkapan, hasil
penelitian juga akan menyajikan informasi tentang keragaan unit penangkapan
cantrang yang berbasis di Blanakan Subang Jawa Barat.
BAHAN DAN METODE
Pengumpulan data
Pengumpulan data dan informasi aspek penangkapan unit armada cantrang
di lakukan di Pelabuhan Perikanan Mandiri Mina Fajar Sidik sebagai salah satu
basis pendaratan ikan yang ada di Blanakan-Subang Jawa Barat. Data dan
informasi diperoleh melalui observasi langsung terhadap kapal-kapal cantrang
yang mendaratkan hasil tangkapannya, pencatatan data dilakukan selama 11 bulan
mulai Januari sampai November 2012. Informasi aspek penangkapan yang
berhasil di kumpulkan untuk menghitung nilai produktivitas cantrang antara lain
total hasil tangkapan yang didaratkan, dimensi kapal, dimensi jaring, daya mesin
yang digunakan, lama operasi trip penangkapan, volume palka, jumlah ABK,
konsumsi bahan bakar, dan es. Selama kurun waktu 11 bulan tersebut diperoleh
data dari 564 kapal sampel, dengan perolehan kapal sampel mulai dari Januari
sampai November berturut-turut adalah 16, 56, 61, 38, 49, 54, 70, 53, 60, 63, dan
44 kapal cantrang.
Analisis data
Informasi tentang keragaan perikanan cantrang yang berbasis di Blanakan
Subang seperti kondisi perikanan, alat tangkap, produksi dan laju tangkap
cantrang dianalisis secara deskriptif.
Untuk
mengkaji
saling
keterkaitan
antar
komponen-komponen
produktivitas cantrang yaitu dimensi kapal, dimensi jaring, daya mesin yang
digunakan, lama operasi trip penangkapan, volume palka, jumlah ABK, konsumsi
bahan bakar, dan es yang mempengaruhi hasil tangkapan dilakukan analisis
statistika dengan menggunakan software SPSS 16.0 meliputi: korelasi Bivariate,
191
dan regresi linear berganda untuk menentukan model terbaik produktivitas yang
diperoleh.
Tinggi-rendahnya korelasi antar variabel dalam regresi linear dinyatakan
oleh Usman dan Purnomo (2006) (Tabel 1):
Tabel 1. Interpretasi dari nilai korelasi (r)
Korelasi (r)
Interpretasi
0
Tidak berkorelasi
0.01 – 0.20
Sangat rendah
0.21 – 0.40
Rendah
0.41 – 0.60
Agak rendah
0.61 – 0.80
Cukup
0.81 – 0.99
Tinggi
1
Sangat tinggi
Hubungan kuantitatif antara produktivitas dan faktor-faktor produksi alat
tangkap cantrang dihitung dengan menggunakan bantuan metode regresi berganda
model Cobb-Douglas dengan formula sebagai berikut :
Y = A.X1b1. X2b2. X3b3..............Xibi.
Agar fungsi tersebut linier, maka perlu dilogaritmakan dengan menggunakan
persamaan di bawah ini :
Log Y = log A + b1 log X1 + b2 log X2 + b3 log X3 + b4 log X4 + b5 log X5 + b6 log
X6 + b7 log X7 + b8 log X8
dimana :
Y
= produksi hasil tangkapan (ton)
X1
= ukuran panjang kapal (m)
X2
= ukuran panjang jaring (m)
X3
= daya mesin yang digunakan (PK)
X4
= hari operasional penangkapan (hari)
X5
= volume palka (ton)
X6
= jumlah ABK (orang)
X7
= konsumsi bahan bakar (ton)
192
X8
= konsumsi es (ton)
HASIL DAN BAHASAN
Keragaan perikanan cantrang
Selama kurun waktu antara tahun 2008 - 2011 produksi ikan demersal,
yang sebagian didaratkan oleh unit penangkapan cantrang didominasi oleh jenis
ikan: pepetek (Leiogntahidae), manyung (Arius spp), tiga waja (Scianidae).
Jaring cantrang dioperasikan dengan mengunakan berbagai ukuran kapal
yang berdasarkan statistik perikanan KUD Mina Fajar Sidik dikategorikan sebagai
berikut; 5 - 10 GT, 10-20 GT dan 20 – 30 GT (Gambar-kiri). Ukuran kapal
berpengaruh terhadap jumlah hari di laut (trip penangkapan). Berdasarkan kriteria
ukuran kapal, lama hari operasi di laut dalam satu trip masing-masing 5 hari untuk
kapal ukuran 5-10 GT, 8 hari (10-20 GT) dan 15 sampai 20 hari untuk kapal
berukuran 20-30 GT. Dalam satu hari operasi jaring cantrang dioperasikan antara
8-10 kali tawur (setting).
Gambar 1. Armada cantrang yang berbasis di Blanakan (kiri) dan alata tangkap
cantrang (kanan)
Identifikasi terhadap sampel jaring cantrang (Gambar 1-kanan) yang
berbasis di PPI Blanakan diperoleh data sebagai berikut: panjang tali ris atas
(Head rope) mencapai 23 m, menggunakan 1 buah tali PA Ø 15 mm. Deskripsi
rancang bangun jaring cantrang disajikan dalam Gambar 2.
193
Gambar 2. Deskripsi rancang bangun cantrang di Blanakan, Subang
Pemberat digunakan timah seberat 50 – 60 kg, @ 200 gr yang dipasang
tersebar di bagian tali ris bawah (ground rope). Bahan jaring digunkan bahan PE
terdiri dari dari d9, d 12 dan d 15 dengan besar mata jaring terus menurun dari
bagian sayap, badan sampai kantong jaring yaitu mulai dari 8,25 inci pada
bagian sayap, 5 inci pada bagian mulut, 4 - 2 inci pada bagian badan dan 1-3/4
inci pada bagian kantong.
Produksi dan laju tangkap cantrang
Dari sejumlah alat tangkap yang ada di PPI Blanakan, unit penangkapan
cantrang menduduki urutan ketiga dalam berkonstribusi terhadap produksi ikan
yang didaratkan di PPI Blanakan (Gambar 3).
1200
800
Purse
seine
J.Rampus
600
J.Udang
Produksi (ton)
1000
400
J.Nilon
200
Pancing
0
2008
2009
2010
2011
Gambar 3. Perkembangan produksi ikan per alat tangkap di Blanakan, tahun
2008-2011. (Sumber, KUD Mina Fajar Sidik, Blanakan 2011)
194
Berbagai jenis ikan baik demersal, udang maupun pelagis tertangkap oleh
alat tangkap cantrang. Jenis ikan yang dominan tertangkap adalah oleh ikan
pepetek (Leiognathidae), kuniran (Upeneus spp), swanggi (Priacanthus spp),
kurisi (Nemipterus spp), kapasan (Pentrapion spp). Jenis ikan lain adalah biji
nangka, kurisi, senangin, bloso, cucut, pari bawal, ikan sebelah. Biota lain yang
tertangkap cantrang adalah cumi-cumi, udang krosok, udang dogol, endevour,
banana, sotong, rajungan, tembang, ubur-ubur.
Hasil analisis data upaya (trip) dan produksi (ikan demersal) perikanan
cantrang yang berbasis di Blanakan tahun 2010-2012 diperoleh nilai laju tangkap
rata-rata sebesar 5276 kg/trip, laju tangkap terhadap perbekalan es diperoleh ratarata 1,1 kg ikan/1 kg es, sementara laju tangkap terhadap BBM sebesar 9,3 kg/liter
BBM (Gambar 4).
3.3
2640
0.6
Min
(kg/trip)
Mak
(kg/trip)
5276
7700
Rata-rata
(kg/trip)
Min (kg/kg es)
1.1
Mak (kg/ kg es)
1.7
Min (kg/liter
BBM)
6.2
Mak
(kg/Liter BBM)
9.3
Rata-rata
(kg/Liter BBM)
Rata-rata (kg/kg
es)
Gambar 4. Laju tangkap cantrang Blanakan, Subang realisasi penangkapan
periode tahun 2010-2012
Musim dan daerah penangkapan cantrang
Daerah penangkapan cantrang pada perairan dengan kedalaman antara 1530 meter. Dasar perairan yang dikehendaki adalah pasir berlumpur dan tidak
berkarang. Lokasi penangkapan tergantung dari dimensi kapal cantrang.
Berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun, umumnya semakin besar ukuran
kapal, maka lokasi penangkapan akan semakin jauh. Hal ini terkait dengan
komponen-komponen operasional seperti jumlah BBM, ABK, perbekalan dan
lain-lain. Armada cantrang dengan ukuran 5-10 GT jarak daerah penangkapan
sekitar 30 mil utara Indramayu, Subang-Karawang. Sementara kapal cantrang
dengan ukuran 20-30 GT rata-rata hari operasi sekitar 20 hari dengan daerah
195
penangkapan mencapai perairan selatan Kep. Bangka-Belitung, timur Lampung,
dan selatan Kalimantan bagian barat (Gambar 5).
Gambar 5. Daerah penangkapan kapal cantrang Blanakan
Produktivitas cantrang
Dalam kegiatan penangkapan ikan, produksi adalah suatu hasil tangkapan
yang diperoleh selama kegiatan penangkapan berlangsung. Secara umum nilai
produksi antara kapal cantrang tidaklah sama, hal ini dikarenakan terdapat faktorfaktor yang mempengaruhi seperti dimensi kapal, dimensi jaring, daya mesin yang
digunakan, lama operasi trip penangkapan, volume palka, jumlah ABK, konsumsi
bahan bakar, dan es.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnnya, bahwa selama 11 bulan
penelitian telah diperoleh data dari 565 kapal sampel. Untuk mendapatkan model
terbaik dari produktivitas cantrang, terlebih dahulu dilakukan eksplorasi terhadap
keseluruhan data. Analisis dengan program Minitab, terdapat 182 data yang
merupakan pencilan (outlier) terhadap regresi antar komponen produktivitas
cantrang sehingga yang dipergunakan 383 data (Tabel 2).
196
Tabel 2. Deskripsi nilai statistik komponen-komponen produkstivitas cantrang di
Blanakan tahun 2012.
Komponen
N
Minimum
Maximum
Mean
Std. Deviation
Variance
Produksi
383
3.10
12.10
6.4952
1.39730
1.952
Panjang kapal
383
10.00
18.00
14.1227
1.45548
2.118
Panjang Jaring
383
25.00
50.00
37.7415
4.27197
18.250
PK
383
100.00
180.00
1.2145E2
21.41712
458.693
HOP
383
2.00
20.00
9.3238
2.74093
7.513
Palka
383
3.00
6.00
4.0274
.62655
.393
ABK
383
8.00
19.00
11.6084
1.92071
3.689
BBM
383
.42
4.40
1.6350
.70384
.495
Es
383
2.50
22.00
7.9178
3.52052
12.394
Korelasi antara faktor produksi terhadap hasil tangkapan
Korelasi dari komponen atau faktor-faktor produksi (panjang kapal,
panjang jaring, PK, HOP, palka, ABK, BBM, dan Es) sebagai varibel bebas
terhadap produksi (hasil tangkapan) cantrang sebagai variabel tak bebas (Tabel 3),
terdapat tiga komponen yang memiliki koefisien korelasi cukup tinggi terhadap
produksi hasil tangkapan, yaitu HOP, BBM, dan Es. Ketiga komponen tersebut
memiliki tingkat hubungan linier yang relatif tinggi terhadap produksi. Sementara
komponen panjang jaring dan PK memiliki koefisien korelasi relatif kecil atau
tingkat hubungan linier keduanya relatif rendah terhadap produksi cantrang di
Blanakan. Hal ini memungkinkan salah satu atau kedua variabel (panjang jaring
dan PK) tidak digunakan dalam membangun model produktivitas, namun ini akan
diuji lebih lanjut dengan analisis regresi berganda pada subbab berikutnya.
Sebenarnya nilai peluang nyata atau signifikansi semua variabel bebas
(faktor-faktor produksi) lebih kecil dari taraf nyata α (0,05) artinya korelasi
masing-masing faktor produksi tersebut terhadap hasil tangkapan cantrang adalah
signifikan, atau terdapat hubungan linier yang nyata antara masing-masing faktor
produksi terhadap produksi tangkapan ikan. Tiap faktor produksi berkorelasi
positif terhadap hasil tangkapan, ini tidak berarti bahwa dengan penambahan
197
kuantitas maupun kualitas satu atau lebih faktor produksi akan diikuti oleh
peningkatan produksi.
Koefisien korelasi adalah koefisien yang menggambarkan tingkat keeratan
hubungan linier antara dua peubah atau lebih. Besaran dari koefisien korelasi
tidak menggambarkan hubungan sebab akibat antara dua peubah atau lebih tetapi
semata-mata menggambarkan keterkaitan linier antar peubah (Mattjik dan
Sumertajaya, 2006).
Tabel 3. Koefisien korelasi sederhana (pearson correlation coefficient) antar
masing-masing variabel produksi terhadap produksi hasil tangkapan
cantrang.
Produksi
Produksi
Signifikansi
1
Panjang Panjang
PK
HOP
Palka
ABK
BBM
Es
kapal
Jaring
0.440**
0.291** 0.285** 0.717** 0.436** 0.455** 0.711** 0.709**
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
**. Korelasi signifikan pada taraf nyata 0.01
Model produktivitas cantrang
Model regresi linear berganda digunakan untuk meramalkan variabel tak
bebas (produksi) berdasarkan dua atau lebih variabel bebas (panjang kapal,
panjang jaring, PK, HOP, palka, ABK, BBM, dan Es) dalam suatu persamaan
linear. Guna membangun model terbaik dari produktivitas cantrang yang berbasis
di Balanakan, digunakan metode stepwise dalam regresi linier berganda. Metode
stepwise memasukkan satu per satu variabel bebas untuk dianalisis.
Hasil analisis diperoleh 6 model yang ditawarkan. Model-6 merupakan
model dengan variabel bebas (faktor produksi) paling banyak yaitu HOP, es,
panjang kapal, ABK, palka, dan panjang jaring, sementara varibel yang tidak
dipakai untuk model ini adalah PK dan BBM (Lampiran 1). Model-6 merupakan
model produktivitas cantrang yang akan dipilih karena memakai varibel faktor
produksi paling banyak digunakan (Trihendradi, 2010).
Tidak digunakannya variabel PK dan BBM pada model-6, karena secara
statistik keduanya memiliki korelasi parsial paling rendah (Lampiran 1). Korelasi
parsial adalah korelasi yang digunakan untuk menguji hubungan dua atau lebih
variabel bebas (faktor-faktor produksi) dengan satu variabel tak bebas (hasil
198
tangkapan) dan dilakukan pengendalian pada salah satu variabel bebasnya. Pada
model-6 variabel yang dikendalikan adalah PK dan BBM. Selain itu variabel PK
memiliki tingkat hubungan linier paling kecil terhadap produksi cantrang di
Blanakan (Tabel 1).
Selain korelasi parsial, pengujian model regresi berganda juga harus
memenuhi syarat tidak adanya multikolineritas, yaitu tidak terdapat korelasi yang
kuat antara variabel-variabel bebasnya. Pendeteksian adanya multikolinearitas
dilakukan dengan melihat nilai VIF (variance inflation factor). Nilai VIF ini
menggambarkan kenaikan varians dari dugaan parameter antar peubah penjelas.
Apabila nilai VIF lebih dari 5 atau 10, maka taksiran parameter kurang baik,
terjadi multikolinearitas. Ini terjadi pada variabel BBM dimana VIF>5 (Lampiran
1), sehingga dikeluarkan dari model regresi. Jika faktor BBM dimasukkan ke
dalam model regresi, akan timbul masalah kolinearitas sempurna, yang tidak
mungkin diperoleh pendugaan koefisien parameter regresinya.
Masalah multikolinearitas menjadi serius apabila digunakan untuk
mengkaji hubungan antara peubah bebas (X) dengan peubah respon (Y) karena
simpangan baku koefisiennya regresinya tidak siginifikan sehingga sulit
memisahkan pengaruh dari masing-masing peubah bebas.
Pemilihan model-6 sebagai model produktivitas cantrang di Blanakan juga
didasarkan pada nilai koefisien korelasi ganda (R) dari model tersebut. Model-6
memiliki nilai R paling tinggi (R=0,804) diantara model-model lainnya yang
ditawarkan (Lampiran 2). Nilai koefisien korelasi semakin mendekati 1, maka
korelasi antar variabel-variabel bebas dengan variabel tak bebas semakin kuat.
Untuk melihat signifikansi persamaan regresi (model-6) sebagai model
produktivitas cantrang di Blanakan, dilakukan pengujian terhadap model regresi
tersebut yaitu uji bersama atau uji F (Anova) dan uji parsial atau uji-t (per
koefisien). Hasil uji ANOVA (Tabel 4) pada model-6 diperoleh nilai Fhitung
(114.228) > Ftabel
(6;376;0,05)
2,10 dan nilai signifikansi model yang sangat kecil
(Sig. < 0,05), sehingga persamaan regresi pada model-6 dapat digunakan untuk
prediksi produktivitas cantrang di Blanakan.
199
Tabel 4. ANOVA model-6 yang dihasilkan dari analisis regresi berganda
Sumber
keragaman
Jumlah kuadrat
Derajat
bebas
Kuadrat tengah
Fhitung
Sig.
114.228
0.000
Regression
481.612
6
80.269
Residual
264.218
376
0.703
Total
745.830
382
Pada lampiran 3, dapat dilihat koefisien-koefisien dari variabel-variabel
faktor prosuksi pembentuk model produktivitas cantrang di Blanakan. Model yang
diperoleh adalah:
Hasil tangkapan = -2.090 + 0.198 HOP + 0.070 Es + 0.164 Panjang kapal +
0.138 ABK + 0.285 Palka + 0.030 Panjang Jaring
Nilai koefisien determinasi (R2) model sebesar 0.646 yang berarti faktorfaktor produksi cantrang di Blanakan (HOP, es, panjang kapal, ABK, palka, dan
panjang jaring) mempengaruhi hasil tangkapan sebesar 64,6%. Sementara 35,4%
lainnya dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya yang tidak terdapat pada model.
Menurut Kusnandar (2000), faktor-faktor produksi yang diduga dapat
mempengaruhi produktivitas usaha cantrang adalah ukuran kapal, kapasitas
palkah, jumlah bahan bakar, jumlah trip, kecepatan kapal, ukuran jaring dan
jumlah ABK. Panayotou (1985) mengatakan bahwa faktor-faktor produksi yang
dapat mempengaruhi hasil tangkapan antara lain ukuran kapal, kekuatan mesin
penggerak kapal, ukuran mata jaring, panjang alat tangkap, jumlah ABK dan lama
trip operasi penangkapan. Sedangkan Permana (2003) menyatakan bahwa
beberapa faktor produksi yang mempengaruhi nilai produktivitas cantrang di
Tegal adalah kekuatan mesin penggerak kapal, ukuran jaring, jumlah ABK, bahan
bakar yang digunakan, dan lama trip operasi penangkapan.
Selain dari keenam variabel yang terdapat pada model, masih terdapat
faktor-faktor lain dapat mempengaruhi hasil tangkapan. Pengaruh dari faktorfaktor tersebut relatif cukup besar (35,4%) sehingga model produktivitas yang
diperoleh belum maksimal. Pengaruh dari faktor yang belum teridentifikasi dapat
berkorelasi positif maupun negatif terhadap hasil tangkapan.
200
Secara parsial, semua faktor-faktor dalam aspek penangkapan berkorelasi
dengan hasil tangkapan yang diperoleh, baik itu dapat meningkatkan atau bahkan
menghambat produksi. Namun bila kesemuanya diintegrasikan dalam suatu
sistem, tidak semua variabel harus digunakan dalam mengukur suatu produktivitas
alat tangkap. Variabel bahan bakar tidak digunakan dalam model karena
berkorelasi dengan jumlah hari operasi. Namun yang secara langsung berpengaruh
terhadap hasil tangkapan adalah jumlah hari operasi, bukan jumlah bahan bakar
yang dibawa melaut. Variabel kekuatan mesin (PK) tidak digunakan dalam model
karena korelasi kekuatan mesin dengan hasil tangkapan relatif sangat kecil. Hal
ini menunjukkan bahwa aktivitas penangkapan armada cantrang tidak
mengandalkan kekuatan mesin, karena kecepatan saat towing adalah relatif sama
yaitu sekitar 3-4 knot, walaupun kekuatan mesin kapal-kapal tersebut bervariasi.
KESIMPULAN
Terdapat enam faktor produksi yang secara nyata mempengaruhi hasil
tangkapan cantrang yang berbasis di Blanakan Subang Jawa Barat. Berdasarkan
tingkat keeratan hubungan faktor-faktor tersebut dengan hasil tangkapan dari yang
tertinggi secara berturut-turut keenam faktor adalah jumlah hari operasi, jumlah es
yang digunakan, panjang kapal, jumlah ABK, volume palka, dan panjang jaring
yang digunakan. Kesemuanya berkorelasi positif terhadap hasil tangkapan,
dimana jika salah satu atau beberapa atau kesemuanya ditingkatkan, maka akan
meningkatkan hasil tangkapan armada cantrang yang bersangkutan.
Selain keenam variabel tersebut, masih terdapat faktor-faktor lain yang
mempengaruhi
produktivitas
cantrang
di
Blanakan
yang
belum
dapat
diidentifikasi dengan kontribusi cukup besar terhadap hasil tangkapan. Oleh
karena itu dimasa mendatang perlu dilakukan pencatatan yang menyeluruh dengan
menambah variabel yang didata seperti dimensi kapal (GT), ukuran mata jaring,
luas sapuan jaring, kecepatan kapal, dan lain-lain.
201
PERSANTUNAN
Sumber data dan informasi dalam tulisan ini merupakan bagian dari hasil
penelitian “Pengkajian kapasitas penangkapan cantrang pada perikanan demersal
di laut Jawa serta pukat cincin pada perikanan cakalang dan pelagis di laut
Sulawesi” dengan sumber dana dari DIPA BPPL Tahun Anggaran 2012.
DAFTAR PUSTAKA
BPPL, 2010. Dinamika Perilaku Perikanan Pukat Cincin: Perubahan Pola
Eksploitasi dan Substitusi Alat Tangkap. Laporan Akhir Riset. Balai Riset
Perikanan Laut. Jakarta
Kusnandar, 2000. Perikanan Cantrang dan Kemungkinan Pengembangannya. IPB
Bogor.
Mattjik dan Sumertajaya. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan
Minitab. Jilid 1 Edisi-2. IPB Press. 334p.
Panayotou, 1985. Small-Scale Fisheries in Asia : Socioeconomic Analysis and
Policy. International Development Research Centre. Ottawa.
Permana, RM, 2003. Analisis Produksi Perikanan Cantrang di Kota Tegal. Tesis.
Universitas Diponegoro. Semarang
Suhendrata, T., dan M. Badrudin., 1990. Sumber Daya Perikanan Demersal di
Perairan Pantai Utara Rembang. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. No 54.
BPPL. Jakarta
Trihendradi, C. 2010. Step by Step SPSS 18. Analisis Data Statistik. Penebit
ANDI Yogyakarta.
Usman H dan Purnomo S A. 2006. Pengantar Statistika. Jakarta: Bumi Aksara.
Hal 200 – 201.
202
203
6
5
4
3
2
5.912
6.548
7.493
7.598
4.890
.215
.236a
.391a
.388a
.172b
Palka
ABK
BBM
Es
-2.014
3.859
2.020
2.753
-.080d
.134d
.151d
.091e
PK
Palka
BBM
-2.159
1.766
-1.924
1.512
e
-.084
.131e
-.075f
.112f
PK
BBM
PK
BBM
Jaring
2.973
2.411
.184c
BBM
.100
4.610
.177c
ABK
Jaring
3.751
.134c
Palka
d
-.405
-.016c
.215b
BBM
PK
2.749
.142b
ABK
2.319
3.604
.144b
Palka
.080
3.932
.004b
PK
Jaring
.093
.111
Jaring
c
3.247
b
Panjang
3.751
a
PK
.135
2.627
Jaring
a
5.617
.207a
Panjang
1
.097a
t
Beta In
Model
.131
.055
.078
.032
.006
.044
.000
.045
.003
.016
.000
.000
.686
.021
.006
.000
.000
.926
.001
.000
.000
.000
.000
.000
.000
.009
.000
Sig.
.078
-.099
.091
-.111
.141
.103
.195
-.103
.151
.123
.231
.189
-.021
.118
.140
.182
.198
.005
.165
.244
.363
.359
.318
.290
.189
.134
.277
Partial Correlation
.173
.619
.174
.625
.859
.175
.791
.625
.863
.177
.675
.791
.697
.876
.178
.693
.794
.705
.919
.851
.425
.409
.882
.883
.952
.921
.869
Tolerance
5.796
1.615
5.738
1.600
1.164
5.705
1.264
1.599
1.158
5.649
1.481
1.264
1.434
1.141
5.607
1.443
1.260
1.419
1.089
1.175
2.351
2.444
1.134
1.133
1.050
1.085
1.151
VIF
Collinearity Statistics
.165
.265
.167
.265
.296
.171
.297
.282
.321
.177
.321
.377
.313
.400
.178
.334
.383
.315
.404
.417
.425
.409
.882
.883
.952
.921
.869
Minimum Tolerance
Lampiran 1. Variabel bebas (faktor produksi) yang dikeluarkan/tidak dipakai untuk masing-masing model produktivitas
204
.578
.760b
2
.640
.634
.620
.600
.576
.513
Adjusted R
Square
.83828
.84556
.86096
.88367
.90992
.97532
Std. Error of
the Estimate
.007
.014
.021
.025
.064
.514
R Square
Change
7.581
14.894
21.252
23.916
57.735
403.055
F Change
1
1
1
1
1
1
df1
376
377
378
379
380
381
df2
.006
.000
.000
.000
.000
.000
Sig. F
Change
1.597
DurbinWatson
4
3
.209
.165
Panjang
HOP
.140
Es
-.343
.197
HOP
(Constant)
1.219
.154
Es
(Constant)
.216
HOP
.366
3.266
HOP
(Constant)
3.087
(Constant)
1
2
B
Model
.025
.553
.034
.020
.026
.449
.020
.026
.167
.018
.177
Std. Error
Unstandardized Coefficients
.411
.172
.353
.387
.388
.423
.717
Beta
Standardized
Coefficients
8.361
-.620
4.890
7.040
7.726
2.717
7.598
8.275
19.590
20.076
17.451
t
.000
.535
.000
.000
.000
.007
.000
.000
.000
.000
.000
Sig.
.160
-1.431
.098
.101
.147
.337
.114
.164
2.938
.330
2.739
Lower Bound
.259
.745
.231
.179
.248
2.102
.194
.267
3.594
.401
3.435
Upper Bound
95% Confidence Interval for B
.717
.440
.709
.717
.709
.717
.717
Zero-order
.395
.244
.340
.369
.363
.391
.717
Partial
Correlations
.264
.158
.228
.250
.253
.276
.717
Part
.412
.851
.417
.417
.425
.425
1.000
Tolerance
2.426
1.175
2.400
2.401
2.351
2.351
1.000
VIF
Collinearity Statistics
Lampiran 3. Nilai koefisien regresi dan t-hitung tiap faktor produksi (variabel tak bebas) untuk masing-masing model produktivitas
.804
.646
5
6
.639
.799e
4
f
.624
.777
.790d
3
.603
.514
.717a
1
c
R Square
R
Model
Change Statistics
Lampiran 2. Nilai koefisien korelasi dan determinasi untuk masing-masing model produktivitas cantrang di Blanakan
205
.070
.164
.138
.285
.030
Panjang
ABK
Palka
Jaring
.300
Palka
.198
.129
ABK
Es
.182
Panjang
HOP
.067
Es
-2.090
.210
HOP
(Constant)
-1.268
.129
ABK
(Constant)
.189
Panjang
a. Dependent Variable: Produksi
6
5
.091
Es
.011
.077
.027
.033
.022
.025
.660
.078
.027
.033
.023
.025
.594
.028
.033
.022
.091
.128
.190
.171
.176
.387
.134
.177
.189
.170
.413
.177
.197
.230
2.753
3.688
5.036
4.973
3.114
7.958
-3.167
3.859
4.698
5.557
2.989
8.559
-2.136
4.610
5.690
4.129
.006
.000
.000
.000
.002
.000
.002
.000
.000
.000
.003
.000
.033
.000
.000
.000
.009
.133
.084
.099
.026
.149
-3.388
.147
.075
.117
.023
.162
-2.436
.074
.124
.048
.051
.436
.192
.229
.114
.246
-.792
.452
.183
.246
.112
.259
-.101
.184
.254
.135
.291
.436
.455
.440
.709
.717
.436
.455
.440
.709
.717
.455
.440
.709
.141
.187
.251
.248
.159
.380
.195
.235
.275
.152
.403
.231
.281
.208
.085
.113
.155
.153
.096
.244
.119
.145
.172
.093
.265
.145
.179
.130
.859
.787
.665
.796
.296
.397
.791
.675
.826
.297
.412
.675
.829
.321
1.164
1.271
1.503
1.256
3.374
2.516
1.264
1.481
1.210
3.369
2.427
1.481
1.206
3.117
PRODUKTIVITAS ALAT TANGKAP CANTRANG DI PROBOLINGGO
Oleh
Tri Wahyu Budiarti 1) dan Mahiswara1)
1)
Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut
ABSTRAK
Alat tangkap cantrang populer digunakan oleh nelayan Probolinggo sebagai
pengganti payang sejak tahun 2010. Peningkatan jumlah kapal cantrang yang
menggunakan TPI Mayangan, Kota Probolinggo sebagai fishing base mendorong
bertambah luasnya daerah penangkapan. Hal ini mengakibatkan terjadinya
perubahan terhadap nilai input yang digunakan pada pengoperasian cantrang.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja
yang mempengaruhi tingkat produktivitas cantrang di Probolinggo. Pengambilan
sampel dilakukan pada bulan Maret – Desember 2012, dengan menggunakan
metode penelitian deskriptif analisis. Berdasarkan analisis regresi berganda
diketahui bahwa secara bersama-sama seluruh variabel bebas mampu
mempengaruhi variabel tidak bebas dengan koefisien determinasi (R2) 0,98 pada
tingkat kepercayaan 95%. Dengan persamaan produktivitas yang diperoleh Y = 1,525X1 - 0,361X2 + 0,164X3 + 0,012X4 + 0,066X5 + 0,002X6 + 0,537X7 - 8,993,
diperoleh faktor-faktor produksi yang mempengaruhi produktivitas adalah ukuran
panjang kapal, GT kapal, daya mesin yang digunakan, panjang tali ris atas, hari
operasional penangkapan, konsumsi bahan bakar, dan jumlah ABK.
Kata kunci : analisis regresi, productivitas, cantrang, Probolinggo
PENDAHULUAN
Perikanan cantrang yang dalam satu dekade terakhir berkembang begitu
pesat, merupakan alat tangkap tradisional yang telah lama dioperasikan di Laut
Jawa. Sebelum tahun 1980 jaring cantrang dioperasikan dengan menggunakan
kapal berukuran relatif kecil, yaitu kurang dari 5 GT.
Pengoperasian jaring
sepenuhnya menggunakan tenaga manusia, baik dalam menggerakan kapal
maupun saat operasi penangkapan (pengoperasian jaring). Pengembangan usaha
perikanan tangkap telah memungkinkan terjadinya perubahan teknologi perikanan
tangkap di wilayah Laut Jawa, termasuk cantrang yang merupakan alat tangkap
alternatif yang telah mampu menggantikan trawl, khususnya sebagai alat tangkap
ikan demersal.
Sejak digunakannya gardan/kapstan sebagai alat bantu penarik jaring pada
tahun 1987, perikanan cantrang memanfaatkan gardan untuk menarik tali slambar.
207
Adanya gardan, cantrang akhirnya dimodifikasi menjadi alat tangkap aktif dengan
cara ditarik dengan sebuah perahu atau kapal. Alat tangkap cantrang sangat efektif
untuk menangkap sumberdaya ikan demersal (Suhendrata dan Badrudin, 1990).
Ukuran kapal yang digunakan untuk mengoperasikan cantrang untuk saat ini
sangat bervariasi, mulai dari 5 GT hingga mencapai lebih dari 50 GT.
Meski
keberadaannya cukup kontroversial, namun sampai saat ini
perikanan cantrang tetap mengalami perkembangan dari segi jumlah arnada.
Anonim (2010) dalam penelitiannya tentang perikanan Laut Jawa menuliskan
bahwa dengan menurunnya hasil tangkapan per satuan upaya pukat cincin,
sebagian armada pukat cincin mengalihkan usahanya ke perikanan cantrang.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui faktor-faktor apa
saja yang mempengaruhi tingkat produktivitas cantrang di Probolinggo, yang
nantinya dapat digunakan sebagai dasar dalam tujuan pengelolaan sumberdaya
ikan yang berkelanjutan.
BAHAN DAN METODE
Penelitian di lakukan di TPI Mayangan pada bulan Maret sampai dengan
Desember 2012 sebagai sentra perikanan cantrang di Kota Probolinggo, Jawa
Timur. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara langsung dengan
nelayan untuk data primer
sedangkan data sekunder diperoleh dari Dinas
Kelautan dan Perikanan Kota Probolinggo dan PPP Mayangan, Kota Probolinggo.
Metode penelitian menggunakan metode deskriptif analisis dan metode
survey terhadap beberapa sampel data. Data dan informasi yang terkumpul
kemudian disusun, ditabulasi, dan di analisis menggunakan uji statistik.
Analisis produksi digunakan untuk melihat langsung hubungan antara
produksi dan faktor produksi yang diduga dapat mempengaruhi produktivitas
usaha perikanan cantrang.
Beberapa faktor produksi yang digunakan untuk menghitung nilai
produktivitas antara lain : panjang kapal, Ukuran GT, daya mesin yang digunakan,
panjang tali ris atas alat tangkap cantrang, konsumsi bahan bakar, lama operasi
trip penangkapan, dan jumlah ABK. Hubungan kuantitatif antara produktivitas
208
dan faktor produksi alat tangkap cantrang dihitung dengan menggunakan bantuan
metode regresi berganda model Cobb-Douglas dengan formula sebagai berikut :
Y = A.X1b1. X2b2. X3b3..............Xibi.
Agar fungsi tersebut linier, maka perlu dilogaritmakan dengan menggunakan
persamaan di bawah ini :
Log Y = log A + b1 log X1 + b2 log X2 + b3 log X3 + b4 log X4 + b5 log X5 + b6 log
X6 + b7 log X7
Dimana :
Y
= produksi hasil tangkapan cantrang (ton)
X1 = ukuran panjang kapal (m)
X2 = GT kapal (ton)
X3 = Daya mesin yang digunakan (HP)
X4 = Panjang tali ris atas (m)
X5 = Hari operasional penangkapan (hari)
X6 = Konsumsi bahan bakar (ton)
X7 = Jumlah ABK (orang)
HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL
Keragaan Perikanan Cantrang
Terdapat tujuh jenis unit armada yang melakukan kegiatan bongkar di
Probolinggo yaitu bubu, cantrang, gillnet, payang, pukat cincin, rawai dasar, dan
kapal penampung (Gambar i). Berdasarkan data yang diperoleh terdapat tiga jenis
alat tangkap yang aktif melakukan bongkar hasil trangkapan yaitu; rawai
dasar/balai/bottom longline, cantrang/jonggrang, dan pukat cincin. Pada tahun
2011, armada cantrang merupakan armada yang paling aktif dalam kegiatan
bongkar yaitu sebesar 119 unit atau 70 unit lebih banyak dibandingkan armada
rawai dasar.
Produksi ikan hasil tangkapan yang didaratkan sebagian besar berasal dari
unit penangkapan rawai dasar, atau dengan istilah lokal „balai„. Perkembangan
produksi ikan yang didaratkan selama kurun waktu 2008 – 2011 disajikan pada
(Tabel 1).
209
unit
120
100
80
60
40
20
0
Gambar 1. Jumlah unit armada yang melakukan bongkar selama tahun 2011
Tabel 1. Perkembangan produksi berdasarkan alat tangkap tahun 2008 – 2011
Tahun
Balai (Rawai)
Jonggrang (Cantrang)
Pukat cincin
2008
6,812,491
-
-
2009
7,272,048
-
-
2010
6,602,744
3,367,272
1,356,702
2011
4,881,031
4,125,093
2,563,061
Dalam Tabel 1. tampak bahwa perikanan cantrang memberikan konstribusi yang
lebih tinggi dibandingkan dengan pukat cincin. Berdasarkan data yang tersedia
didapatkan informasi bahwa, sepanjang tahun 2011 produksi perikanan di
Probolinggo masih didominasi oleh hasil tangkapan yang berasal dari alat tangkap
rawai dasar (Gambar ii).
Dalam Gambar ii. tampak bahwa perikanan cantrang atau istilah lokalnya
„jonggrang‟ pada bulan tertentu (Maret, Mei, Juni, Juli, Agustus, September)
memberikan konstribusi produksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan rawai
dasar. Sejak tahun 2010 cantrang merupakan alat tangkap yang populer digunakan
oleh nelayan di Probolinggo sebagai pengganti alat tangkap payang. Hampir
setiap bulan terjadi peningkatan jumlah kapal cantrang yang menggunakan TPI
Mayangan sebagai fishing base. Sampai dengan bulan Desember 2011, jumlah
kapal yang menggunakan alat tangkap cantrang sebesat 104 unit yang mempunyai
ijin resmi, dan diperkiran yang tidak memiliki ijin operasi mendekati jumlah yang
210
sama. Cantrang telah memberikan konstibusi nyata terhadap perkembangan
produksi per alat tangkap (ton)
produksi ikan di Probolinggo, tanpa memunculkan konflik.
700.00
Cantrang
600.00
Rawai Dasar
500.00
Bubu
400.00
Pukat Cincin
300.00
200.00
100.00
0.00
Jan
Feb
Mar April Mei
Juni
Juli
Agst Sept
Okt
Nov
Des
bulan
Gambar 2. Produksi ikan bulanan berdasarkan alat tangkap tahun 2011
Alat tangkap Cantrang
Sebelum mengenal alat tangkap jonggrang/cantrang, nelayan di
Probolinggo lebih banyak mengoperasikan payang. Perubahan alat tangkap
payang ke cantrang berdasarkan informasi yang diperoleh lebih disebabkan
karena semakin jauhnya daerah pengoperasian payang yang mentargetkan ikan
layang dan jenis ikan pelagis lain. Alat tangkap cantrang di Probolinggo
menempati basis TPI Mayangan sejak tahun 2010. Terdapat dua jenis trip dalam
sistem pengoperasian cantrang di Probolinggo yaitu trip harian (one day fishing)
dan trip mingguan. Pada kedua sistem pengoperasian tersebut, ukuran alat
tangkap cantrang tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Letak perbedaan
utamanya pada penggunaan jumlah gulungan/panjang tali slambar, terkait dengan
kedalaman perairan di daerah penangkapan.
Armada cantrang yang digunakan berbahan kayu berukuran 5-30 GT,
dengan ukuran panjang (7,0-19,0 m) x Lebar (3-6 m) x dalam (1,3 – 1,9 m).
Armada ini dilengkapi dengan mesin utama 2 x (30-120 PK), mesin untuk gardan
24 - 30 PK.(Gambar iii)
Dimensi cantrang yang digunakan nelayan di Probolinggo mempunyai
ukuran panjang sayap jaring 22,4 m – 30,5 m dengan ukuran meshsize 3 inci,
211
panjang badan jaring 14,4 m – 18 m ukuran meshsize 1¼ – 3 inci, dan panjang
kantong 4 m – 4,5 m dengan ukuran meshsize 1 inci. (Gambar 4).
Gambar 3. Armada penangkapan dengan alat tangkap cantrang
Gambar 4. Deskripsi rancang bangun cantrang di Probolinggo
Produksi dan laju tangkap cantrang
Hasil analisis data terhadap hasil tangkapan yang berhasil dihimpun
diperoleh informasi bahwa rata-rata laju tangkap cantrang harian yang didaratkan
di TPI Mayangan sebesar 351,68 kg/kapal/trip. Hasil tangkapan unit cantrang
harian ini didominasi oleh ikan pepetek, kuniran, kurisi serta bloso. Sedangkan
rata-rata laju tangkap unit penangkapan cantrang yang mempunyai trip mingguan
212
yang didaratkan di TPI Mayangan adalah 1303,05 kg/kapal/trip yang didominasi
oleh ikan swanggi, kurisi, bloso, dan pepetek.
Gambar v. menunjukkan fluktuasi nilai produksi ikan hasil tangkapan
cantrang tahun 2010 sampai dengan 2012. Terdapat kecenderungan kenaikan
produksi dari tahun 2010 ke tahun 2011 sebesar rata-rata 70,39 % per bulan.
Secara keseluruhan nilai produksi total selama tahun 2011 mengalami kenaikan
sebesar 60,70% atau 2,04 ton dibandingkan total produksi selama tahun 2010. Hal
ini berkebalikan dengan perbandingan produksi dari tahun 2011 ke tahun 2012,
yaitu terjadi penurunan rata-rata sebesar 50,05 % per bulan. Secara keseluruhan
penurunan total produksi selama tahun 2012 adalah 58,77% atau sebesar 3,17 ton
dari total produksi selama tahun 2011.
800
2010
700
2011
600
2012
(ton)
500
400
300
200
100
0
J
F
M
A
M
J
J
A
S
O
N
D
bulan
Gambar 5. Nilai produksi ikan hasil tangkapan cantrang tahun 2010 – 2012
Nilai CPUE tahun 2010 dan tahun 2011 mempunyai pola yang yang
hampir sama. Rata-rata nilai CPUE bulanan pada tahun 2010 sebesar 0,77 ton/trip,
dan nilai rata-rata CPUE bulanan pada tahun 2011 sebesar 0,78 ton/trip, terjadi
kenaikan sebesar 0,01 ton/trip. Nilai rata-rata CPUE tahun 2012 sebesar 0,94
ton/trip atau terjadi kenaikan rata-rata CPUE bulanan sebesar 17,57% dari tahun
2011. Kenaikan ini dikarenakan adanya dua puncak CPUE pada bulan April
sebesar 1,56 ton/trip dan Oktober 2012 sebesar 1,18 ton/trip. Fluktuasi nilai CPUE
bulanan tahun 2010 sampai dengan 2012 disajikan dalam Gambar vi.
213
1.60
2010
CPUE (ton/trip)
1.40
2011
2012
1.20
1.00
0.80
0.60
0.40
J
F
M
A
M
J
J
A
S
O
N
D
bulan
Gambar 6. Fluktuasi nilai CPUE bulanan tahun 2010 – 2012.
Analisis Produksi Alat Tangkap Cantrang
Dalam kegiatan penangkapan ikan produksi adalah suatu hasil tangkapan
yang diperoleh selama kegiatan penangkapan berlangsung. Secara umum nilai
produksi antara kapal cantrang tidaklah sama, hal ini dikarenakan terdapat faktorfaktor yang mempengaruhi.
Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan regresi berganda model
Cobb- Douglass diperoleh bentuk persamaan produktivitas cantrang di
Probolinggo sebagai berikut :
Y = -1,525X1 - 0,361X2 + 0,164X3 + 0,012X4 + 0,066X5 + 0,002X6 + 0,537X7 8,993 dengan nilai koefisien determinasi sebesar 0,98. Dengan nilai koefisien
determinasi ini maka diperoleh hubungan bahwa antara faktor-faktor produksi
tersebut mempunyai hubungan yang nyata dengan produktivitas cantrang sebesar
98%. Hasil uji ANOVA diperoleh bahwa nilai Fhitung (14,324) > Ftabel (5,591) pada
tingkat kepercayaan sebesar 95% (Lampiran). Terdapat 7 jenis faktor-faktor
produksi yang mempengaruhi nilai produktivitas alat tangkap cantrang di
Probolinggo antara lain : ukuran panjang kapal, GT kapal, daya mesin yang
digunakan, panjang tali ris atas, hari operasional penangkapan, konsumsi bahan
bakar, dan jumlah ABK. (Tabel 2).
214
Tabel 2. Faktor-faktor produksi yang mempengaruhi produktivitas cantrang di
Probolinggo
Rata-rata
Bulan
Jumlah
Panjang
GT
kapal (m)
(ton)
X1
X2
armada
(unit)
Daya
Panjang
Mesin
Tali Ris
(HP)
Atas (m)
X3
X4
Jumlah
Total hasil
ABK
tangkapan
(orang)
(ton)
X6
X7
Y
HOP
BBM
(hari)
(ton)
X5
Maret
27
12,206
16,375
81,111
1266,667
5,222
0,712
9,222
1,127
April
26
12,902
17,115
85,000
1228,846
5,308
0,883
10,577
0,980
Mei
23
13,350
16,600
80,909
1291,304
5,043
0,883
11,478
1,034
Juni
35
13,628
18,846
84,130
1311,429
4,400
1,005
11,771
0,823
Juli
31
13,391
19,040
82,708
1291,935
4,645
0,818
12,323
0,738
Agust
37
13,310
16,148
72,273
1289,189
4,919
1,246
12,108
0,690
Sept
39
13,154
16,219
77,500
1251,923
4,256
1,012
12,026
0,878
Okto
38
12,997
16,031
74,808
1255,263
4,684
1,200
11,921
1,045
Nov
29
13,295
17,800
81,500
1249,138
4,862
1,166
11,793
0,836
Des
48
13,359
18,116
85,000
1265,625
4,771
1,307
10,583
1,008
Rataan
33,3
13,159
17,229
80,494
1270,132
4,811
1,023
11,380
0,916
Total
333
131,591
172,291
804,939
12701,320
48,111
10,230
113,803
9,158
PEMBAHASAN
Menurut Kusnandar (2000), faktor-faktor produksi yang diduga dapat
mempengaruhi produktivitas usaha cantrang adalah ukuran kapal, kapasitas
palkah, jumlah bahan bakar, jumlah trip, kecepatan kapal, ukuran jaring dan
jumlah ABK. Panayotou (1985) mengatakan bahwa faktor-faktor produksi yang
dapat mempengaruhi hasil tangkapan antara lain ukuran kapal, kekuatan mesin
penggerak kapal, ukuran mata jaring, panjang alat tangkap, jumlah ABK dan lama
trip operasi penangkapan. Sedangkan Permana (2003) menyatakan bahwa
beberapa faktor produksi yang mempengaruhi nilai produktivitas cantrang di
Tegal adalah kekuatan mesin penggerak kapal, ukuran jaring, jumlah ABK, bahan
bakar yang digunakan, dan lama trip operasi penangkapan.
Hasil analisis menunjukkan bahwa faktor produksi ukuran panjang kapal
dan GT mempunyai pengaruh negatif terhadap nilai produktivitas cantrang di
Probolinggo. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan ukuran panjang sebesar
1% akan meningkatkan besaran GT kapal, untuk selanjutnya akan mengurangi
nilai produksi cantrang sebesar 1,88%. Akan tetapi perubahan terhadap ukuran
panjang dan GT tidak dapat dilakukan secara langsung karena kedua faktor
215
tersebut termasuk subyek tetap (fixed input) dalam pengoperasian unit
penangkapan jaring cantrang. Sedangkan faktor- faktor produksi yang mempunyai
nilai hubungan positif antara lain adalah daya mesin yang digunakan, panjang tali
ris atas, hari operasional penangkapan (HOP), konsumsi bahan bakar (BBM), dan
jumlah ABK.
Penambahan terhadap daya mesin dan panjang tali ris atas dapat
meningkatkan jumlah produksi cantrang. Penambahan terhadap kedua faktor
tersebut dapat dilakukan secara langsung, tetapi akan menyebabkan kebutuhan
modal awal sangat tinggi mengingat daya mesin dan panjang tali ris atas termasuk
juga ke dalam subyek tetap (fixed input) pada pengoperasian unit penangkapan
jaring cantrang. Begitupun pada penambahan subyek tidak tetap (variable input)
dalam hal ini penambahan HOP akan menimbulkan konsumsi BBM meningkat,
dan penambahan jumlah ABK akan memberikan efek negatif terhadap biaya
ekspoitasi unit penangkapan jaring cantrang.
Zen et.al (2002) dalam penelitiannya mengenai efisiensi teknis drifnet dan
payang seine (lampara) di Sumatera Barat menggunakan faktor produksi
perikanan laut, panjang kapal, ukuran kapal,kekuatan mesin kapal, ukuran alat
tangkap, ukuran mata jaring, jumlah tenaga kerja, bahan bakar, dan pengalaman
nelayan. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa kebanyakan nelayan di daerah
Sumatera barat masih hidup di bawah garis kemiskinan. Fenomena ini disebabkan
oleh karena produktivitas yang rendah dan penggunaan faktor produksi yang tidak
efisien. Sejumlah 70% unit driftnet telah mencapai efisiensi teknik sebesar 90%.
Dalam penelitian di Juwana Setyorini et al. (2009) mengemukakan bahwa
brdasarkan hasil analisis efisiensi teknis (ET) dapat diketahui bahwa nilai rata-rata
efisiensi teknis gillnet dan cantrang adalah sebesar 0,87974 dan 0,61968. Nilai
efisiensi teknis tersebut masih di bawah nilai 1, artinya bahwa usaha produksi
perikanan tangkap ini masih belum efisien dan masih memungkinkan untuk
menambah beberapa variabel inputnya untuk dapat meningkatkan hasil yang
optimal. Sedangkan efisiensi alokatif/harga (EH), usaha penangkapan ikan dengan
gillnet dan cantrang ternyata belum efisien dengan nilai efisien harga sebesar
4,15074 dan 1,820. Sehingga efisiensi ekonomisnya juga belum efisien lebih dari
1 yaitu sebesar 3,65157 dan 1,601.
216
Perubahan faktor-faktor produksi baik yang mempunyai hubungan negatif
maupun positif harus dilakukan dengan cara yang cermat dan efisien, sehingga
tidak akan mengurangi jumlah keuntungan secara finansial yang diperoleh pada
pengoperasian cantrang. Perkembangan jumlah armada cantrang di Probolinggo
telah
mendorong
bertambah
luasnya
daerah
penangkapan,
sehingga
mengakibatkan semakin meningkatnya HOP di dalam satu tripnya. Peningkatan
upaya penangkapan yang diikuti dengan perluasan daerah penangkapan secara
tidak langsung akan menyebabkan tekanan terhadap keberlangsungan sumberdaya
perikanan.
KESIMPULAN
Faktor-faktor produksi yang mempunyai nilai hubungan negatif terhadap
produktivitas cantrang di Probolinggo adalah ukuran panjang kapal dan GT kapal
cantrang. Sedangkan yang bernilai positif (berpengaruh nyata) antara lain adalah :
daya mesin yang digunakan, panjang tali ris atas, hari operasional penangkapan,
konsumsi bahan bakar, dan jumlah ABK. Perubahan faktor-faktor produksi baik
yang mempunyai hubungan negatif maupun positif harus dilakukan dengan cara
yang cermat dan efisien, sehingga tidak akan mengurangi jumlah keuntungan
secara finansial yang diperoleh pada pengoperasian cantrang.
Perubahan faktor-faktor produksi baik yang mempunyai hubungan negatif
maupun positif harus dilakukan dengan cara yang cermat dan efisien, dan perlu
dibarengi dengan penggunaan alat tangkap yang selektif guna keberlanjutan
sumberdaya perikanan.
PERSANTUNAN
Penelitian ini merupakan salah satu hasil penelitian dengan judul
“Pengkajian kapasitas penangkapan cantrang pada perikanan demersal di laut
Jawa serta pukat cincin pada perikanan cakalang dan pelagis di laut Sulawesi”
dengan sumber dana dari DIPA BPPL Tahun Anggaran 2012.
217
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2010. Dinamika Perilaku Perikanan Pukat Cincin: Perubahan Pola
Eksploitasi dan Substitusi Alat Tangkap. Laporan Akhir Riset. Balai
Riset Perikanan Laut. Jakarta. 82 hal.
Kusnandar, 2000. Perikanan Cantrang dan Kemungkinan Pengembangannya. IPB
Bogor. 98 hal.
Panayotou, 1985. Small-Scale Fisheries in Asia : Socioeconomic Analysis and
Policy. International Development Research Centre. Ottawa. 123 p.
Permana, RM, 2003. Analisis Produksi Perikanan Cantrang di Kota Tegal. Tesis.
Universitas Diponegoro. Semarang. 89 hal.
Setyorini, Agus Suherman dan Imam Triarso, 2009. Analisis Perbandingan
Produktivitas Usaha Penangkapan Ikan Rawai Dasar (Bottom Set Long
Line) dan Cantrang (Boat Seine) Di Juwana Kabupaten Pati. Jurnal
Saintek Perikanan Vol. 5, No. 1, 2009, UNDIP, Semarang. Hal 7 – 14.
Suhendrata, T., dan M. Badrudin., 1990. Sumber Daya Perikanan Demersal di
Perairan Pantai Utara Rembang. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. No
54. BPPL. Jakarta
Zen , 2002. “Technical Efficiency of The Driftnet and Payang Seine (Lampara)
Fisheries in west Sumatra, Indonesia”. Journal of Asian fisheries
Science. vol.15. p. 97-106.
218
Lampiran
SUMMARY
OUTPUT
Regression Statistics
Multiple R
0,990
R Square
0,980
Adjusted R Square
0,912
Standard Error
0,043
Observations
10
ANOVA
df
Regression
Residual
Total
7
2
9
SS
0,183
0,004
0,187
MS
F
0,026 14,324
0,002
Significance F
0,067
Intercept
-8,993
Standard
Error
2,428
X Var 1
-1,525
0,309
-4,929
0,039
-2,857
X Var 2
X Var 3
X Var 4
X Var 5
X Var 6
X Var 7
-0,361
0,164
0,012
0,066
0,002
0,537
0,057
0,029
0,002
0,065
0,000
0,124
-6,294
5,679
4,929
1,024
4,939
4,339
0,024
0,030
0,039
0,414
0,039
0,049
-0,608
0,040
0,002
-0,213
0,000
0,005
Coefficients
t Stat
Pvalue
Lower
95%
Upper
95%
Lower
95.0%
Upper
95.0%
-3,705
0,066 -19,438
1,452
0,194
0,114
0,288
0,022
0,346
0,003
1,069
-19,438
1,452
-2,857 -0,194
-0,608 -0,114
0,040 0,288
0,002 0,022
-0,213 0,346
0,000 0,003
0,005 1,069
219
EFISIENSI DAN PEMANFAATAN KAPASITAS PERIKANAN PUKAT
CINCIN MINI DI PERAIRAN REMBANG DAN SEKITARNYA
Oleh:
Hufiadi1), Mahiswara1) dan Baihaqi1)
1)
Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut
ABSTRAK
Kajian pengelolaan perikanan berbasis kapasitas penangkapan merupakan alternatif
pendekatan guna mengendalikan faktor-faktor input yang tidak efisien yang
digunakan dalam usaha penangkapan. Kapasitas input yang digunakan oleh armada
penangkapan ikan bisa terjadi sama dalam setiap operasi penangkapannya, namun
inputan yang digunakan armada penangkapan pada setiap musim penangkapan dapat
berbeda tingkat efisiensinya. Efisiensi input sangat berhubungan erat dengan konsep
kapasitas penangkapan. Tujuan penelitian ini adalah mengukur tingkat efisiensi teknis
dan pemanfaatan kapasitas alat tangkap pukat cincin di Rembang. Tingkat
pemanfaatan kapasitas dari alat tangkap pukat cincin yang dikaji berdasarkan pada
daerah penangkapan dan dianalisis melalui pendekatan matematika dengan data
envelopment analysis (DEA). Hasil analisis menunjukkan bahwa kapasitas perikanan
pukat cincin di Rembang secara umum telah mengalami surplus input. Peningkatan
efisiensi pukat cincin dapat ditempuh dengan mengurangi input effort yang tidak
efisien yaitu mengurangi trip rata-rata 6,0%, hari operasi 17,7%, BBM 3,8%, es
12,7%, ABK 12,5% dan perbekalan rata-rata 13,8%.
Kata kunci : efisiensi teknis, kapasitas penangkapan, pukat cincin, Rembang
PENDAHULUAN
Untuk mencapai tujuan perikanan tangkap yang berkelanjutan maka perlu
dilakukan terobosan dalam kaitan efisiensi input yang digunakan. Efisiensi input
sangat berhubungan erat dengan konsep kapasitas penangkapan. Perkembangan
kegiatan penangkapan yang tidak terkendali menyebabkan kegiatan perikanan
menjadi tidak efisien.
Dalam pengendalian pukat cincin, melalui perizinan
panangkapan ikan, pemerintah telah membatasi tonase dan jumlah kapal, ukuran mata
jaring, maupun daerah penangkapan, namun tidak mengatur kekuatan mesin
maksimum kaitannya dengan tonase kapal (Purwanto & Nugroho, 2011).
Salah satu kegiatan penangkapan perikanan pelagis kecil di Kabupaten
221
Rembang adalah menggunakan alat tangkap pukat cincin mini merupakan alat
tangkap ikan pelagis kecil yang memberikan konstribusi
produksi cukup besar.
Dalam rangka peningkatan produksi pukat cincin, maka daya dukung dan
kemampuan armada menjadi hal yang sangat berpengaruh. Daya tangkap kapal pukat
cincin yang dioperasikan untuk menangkap ikan pelagis kecil dipengaruhi secara
signifikan oleh kekuatan mesin penggerak kapal, ukuran jaring pukat cincin, dan
kekuatan lampu yang digunakan dalam penangkapan ikan. Ketiga faktor tersebut
cenderung meningkat, sehingga daya tangkap kapal pukat cincin juga cenderung
meningkat.
Dengan semakin berkembangnya upaya penangkapan tidak menutup
kemungkinan dapat terjadi persoalan pada pukat cincin berkaitan dengan kelebihan
kapasitas penangkapan.
Oleh karena itu, diperlukan adanya pengelolaan yang
seksama agar produktifitas optimum dapat terjaga secara berkelanjutan.
Dengan
memperhatikan perkembangan dan konstribusi pukat cincin di Laut Jawa maka
diperlukan pengelolaan perikanan tersebut sehingga usaha penangkapannya dapat
berkesinambungan. Salah satu metoda pengelolaan perikanan dengan cara mengatur
kapasitas perikanan tersebut.
Persoalan yang mendasar adalah belum diketahuinya tingkat kapasitas
penangkapan perikanan pukat cincin di Rembang. Untuk mengetahui perkembangan
perikanan status pengusahaan pukat cincin yang beroperasi di Laut Jawa, maka
dilakukan kegiatan kajian kapasitas penangkapan perikanan perikanan pukat cincin
mini, guna mengetahui nilai efesiensi teknisnya. Tujuan penelitian adalah untuk
menentukan tingkat efisiensi teknis dan kapasitas penangkapan perikanan pukat
cincin mini (mini purse seine)
Rembang.
Tingkat efisiensi teknis (TE) dapat
dijadikan indikator seberapa efisien alat tangkap perikanan digunakan. Sehingga
dengan pendekatan terhadap aspek teknis (input control) memungkinkan perbaikan
pada unit-unit yang digunakan yang diduga menjadi penyebab ketidak efisienan
armada perikanan pukat cincin.
222
METODE PENELITIAN
Pengumpulan Data
Kegiatan menggunakan metode survei, meliputi pengumpulan data catch dan
effort serta aspek perikanan lainnya selama bulan Mei – Nopember 2012 di tempat
pendaratan ikan Pelabuhan Perikanan Tasik Agung, Rembang.
Data utama yang
digunakan bersumber dari hasil pencatatan enumerasi pada perikanan pukat cincin
(purse seine). Jenis data aspek armada penangkapan meliputi: ukuran kapal, dimensi
alat tangkap, kekuatan mesin kapal. Jenis data terkait kegiatan operasi penangkapan
meliputi: trip kapal, taktik penangkapan dan hasil tangkapannya.
Informasi utama
dari faktor inputan unit penangkapan ikan yang dicari diantaranya: tonnage kapal
(GT), dimensi kapal, dimensi alat tangkap, kekuatan mesin (HP), jumlah trip, jumlah
ABK,
konsumsi BBM,
hari operasi (HOP), konsumsi es, dan perbekalan.
Sedangkan aspek output adalah hasil tangkapan.
Analisis Data
Analisis kapasitas penangkapan dilakukan dengan membandingkan nilai
efisiensi antar kapal pukat cincin yang berbasis di Pelabuhan Tasik Agung Rembang
yang dijadikan sebagai decision making unit (DMU). Data dianalisis dengan Data
Envelopment Analysis (DEA) dengan pendekatan Banker, Charnes and Cooper
(BCC) (Cooper et al., 2004). Model analisis DEA yang digunakan dalam analisis
efisiensi bersifat variable return to scale (VRS).
Penghitungan pemanfaatan
kapasitas penangkapan perikanan pukat cincin dilakukan dengan pendekatan single
output (total tangkapan).
Data yang telah terkumpul kemudian di tabulasikan, diolah dan dianalisis
dengan serangkaian metode dan masing-masing disajikan dalam bentuk tabel, gambar
dan grafik.
Data di analisis menggunakan program linear (linier programming)
dengan bantuan software DEAP kemudian pengolahan analisis dilanjutkan
menggunakan program Microsoft Excel version 2007. DEA adalah analisis program
matematik untuk mengestimasi efisiensi teknis kegiatan produksi secara simultan.
Pertama kali kita tentukan vektor output sebagai u dan vektor inputs sebagai x.
223
Sementara adalah m outputs, n inputs dan j unit penangkapan ikan atau pengamatan.
Input dibagi menjadi fixed input (xf) dan variable input (xv). Kapasitas output dan
nilai pemanfaatan sempurna dari input, selanjutnya dihitung dengan menggunakan
persamaan sebagai berikut (Fare et al., 1989):
TE  Max 1
 , z ,
.............................................................................................
(1)
subject to
J
1 u jm   z j u jm ,
(output dibandingkan DMU)
j 1
J
z
j 1
j
x jn  x jn ,
j
x jn   jn x jn , n  xv
J
z
j 1
n xf
z j  0,
j  1,2,..., J ,
 jn  0,
n 1,2,..., N ,
Dimana zj adalah variable intensitas untuk j pengamatan;  1 nilai efisiensi
teknis atau proporsi dengan mana output dapat ditingkatkan pada kondisi produksi
pada tingkat kapasitas penuh; dan *jn adalah rata-rata pemanfaatan variable input
(variable input utilization rate, VIU), yaitu rasio penggunaan inputan secara optimum
xjn terhadap pemanfaatan inputan dari pengamatan xjn.
Kapasitas output pada efisiensi teknis (technical efficiency capacity output,
TECU)
kemudian
didefinisikan
dengan
menggandakan  1* dengan
produksi
sesungguhnya. Pemanfaatan kapasitas (CU ) , berdasarkan pada output pengamatan,
kemudian dihitung dengan persamaan berikut:
TECU 
u
1*u

1
1* …………………………………………………...(2)
Nilai efisiensi teknis diperoleh melalui penghitungan dengan teknik DEA
224
dengan bantuan software DEAP. Analisis efisiensi teknis dilakukan dengan
membandingkan nilai efisiensi antar kapal yang dijadikan sebagai DMU (decision
making unit). Proses penghitungan yaitu dengan menentukan nilai konstanta dari
output (µ), fixed input (x) dan variable input  pada masing-masing DMU sehingga
diperoleh nilai efisiensi penangkapan berdasarkan tingkat pemanfaatan kapasitas
(CU) penangkapan dan tingkat pemanfaatan kapasitas variabel input (VIU).
HASIL
Perikanan Pukat Cincin
Alat tangkap pukat cincin (purse seine) di Kabupaten Rembang, utamanya
terdapat di 3 (tiga) sentra pendaratan ikan yaitu Kecamatan Sarang, Rembang dan
Kragan.
Berdasarkan data statistik tahun 2011, jumlah alat tangkap pukat cincin
terbanyak tercatat di Kragan yaitu 366 unit.
Jumlah unit penangkapan pukat cincin terus mengalami peningkatan, terutama
sejak tahun 2006 hingga tahun 2011. Pengoperasian pukat cincin menggunakan alat
bantu penangkapan berupa rumpon dan lampu dalam operasi penangkapannya.
Kapasitas penggunaan lampu bervariatif umumnya mencapai 7.000 – 18.000 watt.
Kapal mengunakan 2 (dua) buah tenaga penggerak yang berperan sebagai mesin
utama.
Daerah penangkapan armada penangkapan pukat cincin Rembang hanya
terfokus pada beberapa lokasi penangkapan, yakni Perairan Utara Rembang hingga
sekitar Pulau Bawean. Dalam kegiatan operasionalnya memanfaatkan alat bantu
rumpon.
Produksi dan Laju Tangkap
Pukat cincin merupakan unit penangkapan yang dominan dan memberikan
konstribusi yang tinggi terhadap produksi perikanan pelagis di Kabupaten Rembang.
Ikan layang merupakan tangkapan utama dan mendominasi produksi pukat cincin
yang didaratkan, disusul kemudian ikan tembang dan kembung. Musim penangkapan
ikan alat tangkap pukat cincin yang berbasis di TPI Tasik Agung berlangsung antara
bulan Oktober sampai dengan Maret, sedangkan pada bulan April hingga bulan
225
September musim penangkapan ikan belum memasuki waktunya.
Perkembangan CPUE alat tangkap pukat cincin, dalam kurun waktu 5 tahun
(2007 – 2011) mengalami penurunan hingga 16 %, tercatat pada tahun 2007 CPUE
pukat cincin sebesar 3.618 kg/trip turun hingga 3.023 kg/trip pada tahun 2011
(Gambar 1).
CPUE (Kg/trip)
4000
3000
2000
1000
0
2007
2008
2009
2010
2011
Tahun
Gambar 1. Fluktuasi CPUE Pukat Cincin di TPI Tasik Agung I
Efisiensi Teknis Perikanan Pukat Cincin
Realisasi operasional kapal pukat cincin Rembang dalam mengeksploitasi
sumberdaya pelagis kecil berdasarkan total tangkapan diperoleh daya tangkap ratarata sebesar 2,7 ton/trip, konsumsi BBM rata-rata 484,9 liter/trip dan kebutuhan Es
sebanyak 82 balok / trip.
Pendekatan kapasitas pukat cincin yang berbasis di Rembang menggunakan
single output. Berdasarkan dari hasil analisis DEA, terlihat bahwa kisaran nilai
efisiensi kapasitas penangkapan pada musim Barat antara 0,13 - 1,00 dengan ratarata nilai efisiensi 0,66. Sebanyak 24 kapal (35 %) dari 68 kapal sample memiliki
tingkat kapasitas penangkapan otimal dengan nilai efisiensi sebesar 1,00, sementara
44 kapal (65%) lainnya tidak optimal yaitu terdiri dari 19 (28%) kapal efisiensi >
5,00 (37%) dan 25 (37%) kapal < 5,00.
Pada musim Timur kisaran nilai efisiensi antara 0,06-1,00 dengan rata-rata
efisiensi 0,57. Dari 125 kapal sampel sebanyak 26 kapal (21%) mencapai tingkat
kapasitas penangkapan optimal dengan nilai efisiensi sebesar 1,00, sedangkan 99
kapal (79%) lainnya tidak optimal. Pada musim Peralihan diperoleh rata-rata nilai
226
efisiensi sebesar 0,70 dengan kisaran nilai 0,02-1,00.
Pada musim Peralihan
diperoleh sebanyak 41 kapal (41%) dari 99 kapal sample memiliki tingkat kapasitas
penangkapan otimal dengan nilai efisiensi sebesar 1,00, sedangkan 58 kapal (58%)
lainnya tidak optimal yaitu terdiri dari 26 (26%) kapal efisiensi > 5,00 (37%) dan 32
(32%) kapal < 5,00.
Tingkat penggunan input variabel kapal pukat cincin dengan pendekatan
single output dapat terlihat pada Gambar 2. Tingkat penggunaan variabel
menunjukkan bahwa rata-rata nilai pemanfaatan trip, hari operasi (HOP), ABK,
BBM, es dan ransum masing masing
0,95; 0,83; 0,97, 0,89, 0,87 dan 0,90.
Kapasitas berlebih dan tingkat pemanfaatan input variabel serta rata-rata proyeksi
perbaikan
pukat cincin Rembang pada ke tiga musim penangkapan dapat dilihat
pada Tabel 1.
Gambar 2. Tingkat pemanfaatan Variabel input pukat cincin Rembang
Figure 2. The utilization rate of the input variables Rembang purse seine
Tabel 1.
Rata-rata tingkat kapasitas berlebih, pemanfaatan
potensi perbaikan efisiensi.
input variable dan
Musim
Uraian
Season
Barat
Timur
Peralihan
West
East
Transition
1. Kapasitas Berlebih (%)
227
Trip
-3.492
-4.776
-6.573
Hari Operasi (HOP)
-14.259
-16.653
-14.068
ABK
-2.312
-2.996
-4.063
BBM
-10.417
-10.998
-10.681
Es
-9.193
-12.946
-9.669
Perbekalan
-12.455
-9.524
-12.451
Panjang kapal
-8.875
-7.265
-4.679
Lebar kapal
-3.053
-4.226
-1.094
GT
-12.563
-13.260
-8.872
Kekuatan mesin (Hp)
-9.192
-11.506
-2.641
Trip
0.965
0.952
0.934
Hari Operasi (HOP)
0.857
0.833
0.859
ABK
0.977
0.970
0.959
BBM
0.896
0.890
0.893
Es
0.908
0.871
0.903
Perbekalan
0.875
0.905
0.875
2. Tingkat VIU
3.Potensi Perbaikan (%)
228
Trip
4.07
5.07
8.79
Hari Operasi (HOP)
16.62
17.69
18.81
BBM
2.69
3.18
5.43
Es
12.14
11.68
14.28
ABK
10.71
13.75
12.93
Perbekalan
14.51
10.12
16.65
Panjang kapal
10.3
7.72
6.26
Lebar kapal
3.6
4.49
1.46
GT
14.6
14.08
11.86
Kekuatan mesin (Hp)
10.7
12.22
3.53
BAHASAN
Peningkatan kemampuan tangkap dilakukan melalui perkembangan teknologi
dan adaptasi taktik dan strategi pemanfaatannya.
Laju eksploitasi pukat cincin
meningkat pesat seiring dengan tingginya permintaan pasar lokal terhadap jenis ikan
pelagis.
Indikator peningkatan laju eksploitasi dapat digambarkan dengan
bertambahnnya jumlah kapal dan peningkatan kemampuan tangkap dan kapasitas
penangkapannya serta perluasan daerah penangkapan ke wilayah pengelolaan
perikanan yang berbeda (Atmaja, 2011).
Perikanan pukat cincin mini telah berkembang sejak lama di Rembang (Jawa
Tengah). Pada awalnya penangkapan pukat cincin mini terbatas di daerah
penangkapan tradisional di wilayah pesisir Rembang. Namun sejak tahun 2000-an
kapal-kapal pukat cincin mini Rembang telah memperluas daerah penangkapannya ke
wilayah perairan yang sama dengan pukat cincin semi industri (sekitar Karimunjawa
dan Bawean), bahkan sampai perairan di utara Madura, Kangean dan Masalembo.
Perkembangan pukat cincin yang signifikan terjadi dalam periode antara tahun 2006 2011. Perkembangan tidak hanya dari segi jumlah unit penangkapan, tetapi juga
dalam (perubahan) taktik penangkapan melalui penggunaan lampu sorot (mercury dan
halogen) dari sebelumnya hanya lampu petromak (sebagai bangkrak). Saat ini kapal
pukat cincin mini di Rembang menggunakan lampu sorot dengan daya antara 7000 –
18000 watt.
Aktivitas penangkapan tidak lagi bersifat trip harian tetapi mampu
melakukan operasi penangkapan hingga 8 hari.
Pukat cincin memberikan konstribusi terbesar produksi perikanan pelagis di
Rembang, yang diindikasikan dari produksi produksi ikan layang (Decapterus spp)
terus mengalami peningkatan. Tahun 2007 produksi ikan layang yang didaratkan
sebesar 9.300 ton dan menjadi 14.400 ton pada tahun 2011. Bertambahnya upaya
penangkapan, jumlah unit dan trip penangkapan menjadi faktor penghela utama
meningkatnya produksi perikanan pukat cincin, tetapi disisi lain sudah mulai terjadi
penurunan hasil tangkapan per satuan upaya (CPUE).
Jangkauan daerah penangkapan pukat cincin yang berbasis di Rembang hampir
mencapai perairan Bawean, utara Madura dan sekitar Kep. Kangean dan ke arah barat
229
nelayan mencapai lepas pantai utara Tegal dan Pekalongan. Terlihat pukat cincin mini
mengisi daerah penangkapan yang ditinggalkan armada pukat cincin besar, utamanya di
perairan Laut Jawa bagian timur. Mengacu pada analisis data yang berhasil dihimpun
mengindikasikan bahwa musim penangkapan pukat cincin berlangsung antara bulan
Oktober – Maret. Aktivitas pengoperasian pukat cincin relatif menurun antara bulan
April – Agustus.
Pemanfaatan kapasitas penangkapan perikanan pukat cincin Rembang dengan
pendekatan single output, diperoleh rata-rata tingkat kapasitas penangkapan pada
musim Barat, Timur dan musim Peralihan masing-masing diperoleh nilai efisiensi
sebesar 0,66, 0,57 dan 0,70. Dari nilai efisiensi tertinggi dari ke tiga musim tersebut
menunjukkan bahwa rata-rata input optimal yang digunakan sebesar 70% dari ratarata aktual selama kapal beroperasi. Hal ini menunjukkan bahwa pengoperasian
kapal-kapal pukat cincin dalam jangka pendek telah mengalami excess capacity.
Kondisi ini juga mengindikasikan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan penurunan
efisiensi harus dikendalikan. Upaya perbaikan agar tingkat kapasitas pemanfaatan
menjadi optimal dapat dilakukan dengan penambahan pada output atau pengurangan
pada input (Kirkley & Squaire, 1999). Kapasitas berlebih dalam pemanfaatan input
variabel, ditunjukkan rasio antara nilai potensial pemanfaatan input terhadap input
aktual.
Berdasarkan tingkat pemanfaatan input variabel menunjukkan bahwa
perikanan pukat cincin Rembang telah terjadi surplus penggunaan input sehingga
perlu mengurangi input tersebut ( Fare et al., 1994). Trip, hari operasi (HOP), ABK,
BBM, es dan ransum merupakan variabel yang dapat dijadikan instrumen
pengendalian kapasitas pukat cincin Rembang. Kondisi faktual penangkapan pelagis
oleh pukat cincin Rembang sudah melebihi kapasitas (excess capacity) dilihat dari
berlebihnya pemanfaatan (utility) faktor input seperti ukuran kapal, hari operasi,
(HOP), dan beberapa input variabel lainnya. Analisis DEA dapat juga digunakan
untuk menghitung perbaikan angka efisiensi yaitu dengan mengurangi input atau
menambah output (Kirkley & Squires 1999).
Perbaikan rata-rata efisiensi pada
musim Barat dilakukan dengan mengurangi upaya (HOP) sebesar 16,62%, dan
230
konsumsi es 12,14%. Pada musim Timur dapat mengurangi upaya (HOP) 17,69%
dan pada musim Peralihan mengurangi hari operasi (HOP) sebesar 18,81%.Jumlah
ABK harus sesuai dengan kemampuan kapal sehingga tidak mengganggu operasi
penangkapan ikan.
Jumlah ABK
yang sesuai dengan efektivitas operasi penangkapan
memberikan peluang peningkatan produksi. Demikian juga ukuran unit penangkapan
yang lebih besar akan lebih laik laut dapat menjangkau daerah penangkapan yang
lebih jauh dan potensial saat operasi. Namun perubahan dimensi alat tangkap perlu
mempertimbangkan perbandingan ukuran teknis alat dan kapal sehingga proses
penangkapan tetap efektif untuk meningkatkan produktifitas. Variabel waktu operasi
efektif memberikan pengaruh negatif terhadap fungsi produksi, mengindikasikan
bahwa pertambahan waktu operasi efektif per trip dari kapal penangkapan berpeluang
menurunkan hasil tangkapan. Proporsi waktu operasi efektif harus diminimalisasi
dalam operasi penangkapan.
Waktu untuk setting dan hauling alat tangkap
diusahakan seoptimal mungkin dalam operasi penangkapan.
Hasil penelitian ini
sesuai dengan hasil penelitian Suyasa (2007) yang menyatakan peningkatan waktu
dalam setiap trip penangkapan perikanan pelagis kecil diakibatkan oleh semakain
jauh daerah penangkapan ikan yang potensial.
Menurut Metzner (2005), pada jangka pendek kebijakan pengendalian input
produksi seperti pembatasan jumlah kapal akan mengurangi hasil tangkapan aktual,
tetapi dalam jangka panjang akan memberikan pengaruh berupa peningkatan
kapasitas penangkapan. Inovasi dalam pembaharuan eksploitasi sumberdaya ikan
sebagai dampak berlebih baik positif maupun negatif. Oleh karena itu diperlukan
pengurangan baik dalam hal jumlah kapal, kemampuan muat kapal (GT), daya mesin
(HP) atau pengaturan waktu tangkap serta penyesuaian tingkat teknologi agar
diperoleh tingkat pemanfaatan yang optimal.
KESIMPULAN
Tingkat kapasitas pukat cincin mini di peraiaran Rembang secara umum telah
terjadi surplus penggunaan input (trip 3,49-6,57%, HOP 14,07-16,63%, ABK 2,31-
231
4,06%, BBM 10,42-10,99, es 9,19-12,45 dan perbekalan 9,52 – 12,45%) dan dalam
jangka pendek telah mengalami excess capacity. Oleh karena itu diperlukan tindakan
mengurangi input yang berlebih seperti pengurangan upaya (jumlah trip) dan hari
operasi terutama pada musim Timur masing-masing sebesar 5,07% dan 17,68%.
PERSANTUNAN
Kegiatan dari hasil riset pengkajian kapasitas penangkapan cantrang pada
perikanan demersal di laut jawa serta pukat cincin pada perikanan cakalang dan
pelagis di laut sulawesi, T. A. 2012, di Balai Penelitian Perikanan Laut-Muara Baru,
Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA
Atmadja, S.B., B. Shadhotomo, & M. Natsir 2009. Tantangan Dalam Kajian Stok
Dan Pengelolaan Prikanan. Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di
Indonesia. Dengan kasus Teluk Tomini. Balai Penelitian Perikanan Laut.
Pusat pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan. Balitbang
Kelautan dan Perikan. Kementerian kelautan dan Perikanan. Hal 17-31.
Cooper, W.C., L.M. Seiford, Tone, & Kaoru. 2004. Data Envelopment Analysis.
Massachusets: Kluwer Academic Publisher.
FAO, Food and Agriculture Organisation of The Unit Nation. 1998. Report of the
Technical Working Group on the Management of Fishing Capacity. Rome:
FAO Fisheries Report No.586
Fare, R.S., S. Grosskopf, & E. Kokkelenberg. 1989. Measurring Plant Capacity
Utilization and Technical Change: A Nonparametric Approach. Int. Econ.
Rev. 30: 655-666.
Fare, R., S,Grooskopf, & C.A.K Lovel. 1994. Production Frontiers.
Kingdom: Cambride University Press. 296p
United
Kirkley, J.E. & D.E. Squires. 1999. Measuring Capacity and Capacity Utilization in
Fisheries. Di Dalam Greboval D, Editor. Managing Fishing capacity.
Rome: FAO Fisheries Technical Paper 386:75-2000.
232
Metzner, R. 2005. Fishing Aspiration & Fishing Capacity Key Management Issues.
Paper Presented in Conference on The Governance of High Seas Fisheries
and the Fish Agrement: Moving from words to Action. International Journal
Marine and Costal Law 20 (3-4): 469-478.
Purwanto, & D.Nugroho. 2010, Tingkat Optimal Pemanfaatan Stok Udang, Ikan
Demersal, dan Pelagis Kecil di Laut Arafura, Jurnal Penelitian Perikanan
Indonesia Volume 16. Nomor 4
Purwanto, & D. Nugroho. 2011. Daya tangkap kapal pukat cincin dan upaya
penangkapan pada perikanan pelagis kecil di Laut Jawa. J.Lit. Perikan. Ind.
17 (1): 23-30.
Suyasa, I.N, 2007. Keberlanjutan dan Produktivitas Perikanan Pelagis Kecil yang
berbasis Di Pantai Utara Jawa [Desertasi]. Bogor: Program Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor. 357 hlm.
.
233
PERIKANAN JARING INSANG HANYUT DI LAUT JAWA
Oleh
Thomas Hidayat1) dan Teguh Noegroho1)
1)
Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut
Email : [email protected]
ABSTRAK
Penelitian dilakukan dari bulan Februari sampai Desember 2012 di TPI Tegal
yang bertujuan untuk memperoleh data dan informasi tentang laju tangkap,
komposisi hasil tangkapan, dan ukuran ikan yang tertangkap jaring insang di Laut
Jawa. Penelitian dilakukan dengan cara mencatat hasil tangkapan kapal jaring
insang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju tangkap rata-rata jaring insang
di Laut Jawa adalah 306 kg/setting, Komposisi jenis hasil tangkapan jaring
insang yaitu : tongkol batik (Euthynnus affinis) 54 %, tongkol abu-abu (Thunnus
tonggol) 36 %, tenggiri (Scomberomorus commerson) 9 %, lain-lain 1%, Ukuran
tongkol batik yang tertangkap jaring insang antara 22-49 cm, sedangkan ukuran
tongkol abu-abu antara 25-60 cm dan tenggiri antara 28-94 cm. Ukuran pertama
kali tertangkap (Length at First capture = Lc) jaring insang hanyut tongkol batik
adalah 38.8 cm, tongkol abu-abu adalah 41.4 cm dan tenggiri adalah 60.1 cm.
Ikan tongkol batik dan tongkol abu-abu yang tertangkap jaring insang di Laut
Jawa tergolong ikan yang sudah dewasa karena sudah memijah sehingga jaring
insang tergolong ramah lingkungan.
Kata kunci : Jaring insang, laju tangkap, komposisi hasil, Laut Jawa
PENDAHULUAN
Penangkapan ikan-ikan pelagis di Laut Jawa dilakukan sejak tahun 1970an dengan alat tangkap utama pukat cincin (purse seine). Hasil tangkapan pukat
cincin sekitar 94% terdiri dari pelagis kecil seperti, layang (Decapterus spp),
kembung (Rastrelliger spp), tembang (Sardinella spp), selar (Selar spp)
sedangkan ikan-ikan tongkol tertangkap secara tidak sengaja bersama ikan-ikan
lain seperti japuh (Dussumeieria acuta) dan bawal hitam (Formio Niger) (Potier
& Sadhotomo, 1994).
Ikan-ikan tongkol dan tenggiri (neritic tuna) banyak tertangkap dengan
jaring insang hanyut. Menurut Cristianawati et al. (2013), komposisis hasil
tangkapan jaring insang hanyut (gill net) di perairan lepas pantai Semarang-Laut
Jawa yaitu : tenggiri (Scomberomorus commerson) 50% , tongkol (Euthynnus
affinis) 47 % dan todak (Xipias gladius) 3%.
235
Penelitian keragaan jaring insang hanyut di Laut Jawa bertujuan untuk
memperoleh data dan informasi tentang beberapa aspek penangkapan jaring
insang hanyut di Laut Jawa da diharapkan dapat dijadikan bahan masukan untuk
tujuan pengelolaan..
BAHAN DAN METODE
Kapal dan Alat Tangkap
Kegiatan
penelitian
dilakukan
terhadap
hasil
tangkapan,
teknik
penangkapan dan daerah penangkapan kapal jaring insang hanyut dengan daerah
penangkapan Laut Jawa yang didaratkan di TPI Pelabuhan Tegal, dari Februari
sampai Desember 2012.
Armada kapal jaring insang hanyut yang digunakan di Tegal adalah kapal
kayu. Kapal rata-rata berukuran sekitar 30 GT dengan dimensi p x l x t = 17x
4.7x1.7 m dengan lama operasi satu trip sekitar 30 hari.
Alat tangkap jaring insang hanyut yang digunakan nelayan di Tegal
mempunyai panjang jaring sekitar 6000-10000 m, dalam 25 m dengan besar
mata jaring 4-5 inch. Jaring ini merupakan jaring insang permukaan sehingga
tidak memiliki pemberat pada bagian bawahnya, pemberat hanya di bagian ujung
–ujung jaring. Lebih lengkap disain jaring insang seperti terlihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Disain jaring insang hanyut di Tegal
Pengoperasian Jaring Insang di Tegal
Pengoperasian jaring insang pada dasarnya sederhana yaitu setelah kapal
sampai di daerah penangkapan (fishing ground) kapal akan berjalan pelan sambil
menurunkan jaring, arah haluan kapal diusahakan membentuk sudut siku-siku
236
dengan arus laut. Setting atau penurunan alat tangkap biasanya dimulai sekitar
pukul 17.00 WIB dan mulai diangkat/ditarik sekitar jam 24.00 WIB. Penarikan
jaring ke atas dek kapal ditarik dengan tangan (manual) sambil melepaskan ikan
yang terjerat/terpuntal pada jaring kemudian nelayan akan menyusun jaring agar
mudah untuk operasi berikutnya
Daerah Penangkapan
Daerah Penangkapan kapal jaring insang hanyut (drift gill net) sekitar
Kepulauan Karimunjawa, Pulau Bawean, sekitar Pulau Matasiri dan Pulau Sebuku
(Selat Makassar). Lebih lengkap daerah penangkapan (fishing ground) kapal
jaring insang hanyut seperti terlihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Daerah penangkapan jaring insang di Laut Jawa
(keterangan: lingkaran adalah daerah penangkapan, angka merupakan bulan)
Metode Analisis Data
Analisis data dilakukan
secara deskriptif meliputi laju tangkap (catch
rate) dan komposisi jenis hasil tangkapan dan
distribusi frekuransi panjang.
Sebaran frekuensi panjang dipetakan dalam sebuah grafik untuk melihat
distribusi normalnya. Dari grafik tersebut dapat terlihat jumlah puncak (modus)
yang menggambarkan ukuran paling banyak tertangkap dengan alat tangkap
tersebut. Perhitungan laju tangkap (catch rate) menggunakan rumus Sparre &
Venema (1999): Laju tangkap = hasil tangkapan (kg) / satuan waktu (trip).
Ukuran ikan pertama kali tertangkap atau Length at first capture (Lc) merupakan
50 % fraksi tertahan (ikan yang tertangkap) dari alat tangkap. Nilai Lc diperoleh
237
dari data sebaran panjang dihitung dengan rumus : S(L)= 1/(1+exp(S1-S2*L)).
Lc=S2/S1 (Sparre & Venema, 1999)
HASIL
Laju Tangkap
Nilai laju tangkap diperoleh dari hasil pencatatan enumerator terhadap hasil
tangkapan tiap trip jaring insang hanyut yang mendaratkan hasilnya di TPI
Pelabuhan Tegal. Laju tangkap rata-rata adalah 306.3 kg/setting (Tabel 1).
Tabel 1. Laju tangkap jaringn insang di TPI Pelabuhan Tegal
Bulan
Hasil
Jumlah
tangkapan (kg)
setting
Laju tangkap
(Kg/setting)
Juli
5250
22
238.6
September
6094
25
243.8
Oktober
9510
27
352.2
November
11000
30
366.7
Jumlah
31854
104
306.3
Komposisi Jenis Hasil Tangkapan
Komposisi jenis hasil tangkapan jaring insang hanyut di Laut Jawa yaitu
tongkol batik (Euthynnus affinis) 54%, tongkol abu-abu (Thunnus tonggol) 36 %,
tengiri (Scomberomorus commerson) 9 %, dan yang lain sekitar 1% (Gambar 3).
Komposisi ini menunjukkan bahwa alat tangkap jaring insang hanyut (gill net)
yang beroperasi di Laut Jawa sasaran utama penangkapannya (main target)
adalah ikan-ikan tongkol (neritic tuna) seperti tongkol batik dan tongkol abu-abu.
1%
9%
Tongkol batik
Tongkol abu-abu
36%
54%
tengiri
lain-lain
Gambar 3. Komposisi jenis hasil tangkapan jaring insang hanyut di Laut Jawa.
(Sumber data dari pencatatan enumerator)
238
Struktur Ukuran
Ikan tongkol batik (Euthynnus affinis) yang tertangkap jaring insang
hanyut berukuran antara 21-50 cm, ukuran paling banyak tertangkap (modus) 37
cm kecuali pada bulan Agustus dan September modusnya 40 cm, panjang rataratanya 38,1 cm. (Gambar 4.)
60
Tongkol batik
n=744
Midlength (cm)
50
40
30
modus
20
10
0
Feb Mar
Apr
Juni Agus sept Nov
Des
Gambar 4. Struktur ukuran tongkol batik yang tertangkap jaring insang hanyut
Ikan tongkol abu-abu (Thunnus tonggol) yang tertangkap jaring insang
hanyut berukuran antara 24-60 cm, ukuran paling banyak tertangkap (modus) 43
cm kecuali pada bulan Februari dan September modusnya 37 cm, dan bulan Maret
40 cm, panjang rata-ratanya 40,1 cm. (Gambar 5)
70
Tongkol abu-abu
n=857
Midlength (cm)
60
50
40
modus
30
20
10
0
Feb
Mar
Apr
Agus
sept
Des
Gambar 5. Struktur ukuran tongkol abu-abu yang tertangkap jaring insang hanyut
Ikan tenggiri (Scomberomorus commerson) yang tertangkap jaring insang
hanyut berukuran antara 28-111 cm, ukuran paling banyak tertangkap (modus) 64,
panjang rata-ratanya 67 cm. (Gambar 6)
239
MidLength (cm)
120
Tenggiri
n=337
100
80
60
modus
40
20
0
Jan Mar Apr Mei Agus Sept Nov Des
Gambar 6. Struktur ukuran tenggiri yang tertangkap jaring insang hanyut
Rata-rata Ukuran Pertama Kali Tertangkap ( Lc)
Hasil perhitungan ukuran
pertama kali tertangkap
(Length at First
capture = Lc) jaring insang hanyut didapati nilai Lc untuk ikan tongkol batik
adalah 38.8 cm, tongkol abu-abu adalah 41.4 cm dan untuk ikan tenggiri adalah
1.0
100
0.8
80
Frek. Kumulatif (%)
Frek. Kumulatif (%)
60.1 cm. (Gambar 7)
0.6
Lc= 38,85 cm
0.4
0.2
B
60
Lc= 41.4 cm
40
20
A
20
30
40
20
50
30
40
50
60
70
Nilai Tengah (cm)
Nilai Tengah (cm)
100
Frek. Kumulatif (%)
80
C
60
Lc= 60.1 cm
40
20
20
40
60
80
100
120
Nilai Tengah (cm)
Gambar 7. Ukuran pertama kali tertangkap A. tongkol batik, B. tongkol abu-abu
dan C. ikan tenggiri.
240
BAHASAN
Laju tangkap rata-rata jaring insang hanyut di Laut Jawa adalah 306,3
kg/setting. Laju tangkap ini sedikit berbeda dengan laju tangkap jaring insang di
Teluk Thailand tahun 223 kg/setting (Yesaki, 1991). Perbedaan ini karena
perbedaan habitat atau daerah penangkapan.
Komposisis jenis hasil tangkapan jaring insang hanyut (gill net) paling
banyak yaitu tongkol batik (Euthynnus affinis) 54%, tongkol abu-abu (Thunnus
tonggol) 36 %, tengiri (Scomberomorus commerson) 9 %, dan yang lain sekitar
1%. Penelitian
Cristianawati et al., (2013) menyatakan komposisis hasil
tangkapan jaring insang hanyut (gill net) di perairan lepas pantai Semarang-Laut
Jawa yaitu : tenggiri (Scomberomorus commerson) 50% , tongkol (Euthynnus
affinis) 47 % dan todak (Xipias gladius) 3%. Komposisi hasil tangkapan ini
sedikit berbeda dimana tenggiri lebih banyak dari tongkol karena daerah
penangkapannya hanya terbatas di lepas pantai Semarang. Komposisi hasil
tangkapan jaring insang hanyut didominasi oleh ikan tongkol batik dan tongkol
abu-abu karena ikan-ikan ini sering hidup bergerombol dalam kelompok
(schooling) yang sama. (Collette & Nauen,1983).
Dari Gambar 4, 5 dan 6 terlihat bahwa Ukuran ikan tongkol batik
(Euthynnus affinis) yang tertangkap jaring insang hanyut antara panjang cagak
(FL) 21-50 cm dan panjang rata-ratanya 38,1 cm. Ikan tongkol abu-abu (Thunnus
tonggol) berukuran FL antara 24-60 cm, panjang rata-ratanya 40,1 cm. Ikan
tenggiri (Scomberomorus commerson) berukuran FL antara 28-94 cm, panjang
rata-ratanya 67 cm. Hal ini hampir sama dengan ukuran rata-rata ikan tongkol
batik yang tertangkap jaring insang hanyut di Teluk Thailand tahun 1989 adalah
39,2 cm dan ukuran rata-rata ikan tongkol abu-abu 38.7 cm (Yesaki, 1991)
Ukuran pertama kali tertangkap (Length at First capture = Lc) jaring
insang hanyut tongkol batik adalah 38.8 cm, tongkol abu-abu adalah 41.4 cm dan
tenggiri adalah 60.1 cm. (Gambar 7). Hal ini menunjukkan bahwa ikan tongkol
batik dan tongkol abu-abu yang tertangkap sudah dewasa karena ukuran pertama
kali tertangkap (Lc) lebih besar dari ukuran pertama kali matang gonad (Lm).
Ukuran Lm tongkol batik yang tertangkap di Laut Jawa adalah 33,7 cm (Balai
Penelitian Perikanan Laut, 2013), ukuran Lm tongkol abu-abu di perairan Taiwan
adalah 37 cm (Chiang et al., 2011) dan Lm ikan tenggiri di perairan Kwandang
241
adalah 89 cm (Noegroho, 2013). Dengan demikian terlihat jaring insang
merupakan alat tangkap yang ramah lingkungan, karena hasil tangkapannya
berupa ikan tongkol batik dan tongkol abu-abu yang sudah dewasa.
KESIMPULAN
1. Laju tangkap jaring insang hanyut di Laut Jawa adalah 306 kg/setting .
2. Komposisi jenis hasil tangkapan jaring insang hanyut di Laut Jawa
didominasi ikantongkol batik (Euthynnus affinis) 54% dan tongkol abuabu (Thunnus tonggol) 36 %.
3. Rata-rata ukuran ikan tongkol dan tenggiri yang tertangkap (Lc) adalah
lebih besar dari rata-rata ukuran pertama kali tertangkap (Lm), dengan
demikian jaring insang hanyut merupakan alat tangkap yang ramah
lingkungan, karena memberi kesempatan pada ikan-ikan untuk melakukan
pembaruan populasi.
PERSANTUNAN
Makalah ini merupakan kontribusi dari Kegiatan ”Penelitian Distribusi dan
Kelimpahan Sumberdaya Ikan Pelagis Besar di WPP-716 Laut Sulawesi dan
WPP-712 Laut Jawa.”, Balai Penelitian Perikanan Laut Tahun 2012.
DAFTAR PUSTAKA
Balai Penelitian Perikanan Laut. 2012. Laporan Akhir. Penelitian Distribusi Dan
Kelimpahan Sumberdaya Ikan Pelagis Besar Di WPP-716 Laut Sulawesi
Dan WPP-712 Laut Jawa. Tidak Dipublikasikan.
Chiang W.C., H. Hsu, S.C. Fu, S.C. Chen, C.L. Sun, W.Y. Chen, D.C. Liu, W.C.
Su. Reproductive Biology of Longtail Tuna (Thunnus tonggol) From
Coastal Waters Off Taiwan. Working Party on Neritic Tuna 01. IOTC.
2011.
Collete B.B. and C.E. Nauen. 1983. FAO Special Catalogue. Vol. 2 Scombrids Of
The World An Annotated And Illustrated Catalogue Of Tunas, Mackerels,
Bonitos, And Related Species Known To Date. FAO Fisheries
Synopsys.125 (2): 33-34
Cristianawati O., Pramonowibowo dan Hartoko. 2013. Analisa Spasial Daerah
Penangkapan Ikan Dengan Jaring Insang (Gill Net) Di Perairan Kota
242
Semarang Jawa Tengah. Journal of Fisheries Resources Utilization
Management and Technology. 2 ( 2). 1-10. 2013.
Noegroho T. 2013. Penelitian Aspek Biologi Ikan Tenggiri (Scomberomorus
commerson, LACEPEDE 1800) di Perairan Teluk Kuandang, Laut
Sulawesi. Tesis. Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Magister Ilmu Kelautan. UI Depok. 2013.
Nurhakim S, V. Nikijuluw, D. Nugroho, B.I. Prisantoso. 2007. Status Perikanan
Menurut Wilayah Pengelolaan. Informasi Dasar Pemanfaatan Berkelanjutan.
Pusat Riset Periknan Tangkap, Badan Riset Kelautan Perikanan.
Departemen Kelautan Perikanan.
Potier M. & B. Sadhotomo. 1992. Exploitation of the Large and Medium Seiner
Fisheries. In Biologi, Dynamics, Exploitation Of the Small Pelagic Fishes in
the Java Sea. Biodynex. Pelfish.1994. 283 hal.
Sparre, P. dan S. C. Venema. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Jakarta. 438 hal.
Yesaki M, 1991. Interaction Between Fisheries For Small Tunas Off The South
China Sea Coast Of Thailand And Malaysia. In Interactions of Pacific Tuna
Fisheries. Vol. 1-Summary Report and Paper on Interaction. FAO Fish.
Tech. Pap. (336/1):300-319.
243
PERKEMBANGAN PERIKANAN MINI PURSE SEINE DI
PERAIRAN UTARA JAWA
Oleh
Achmad Zamroni1), Suwarso1), dan Moh. Fauzi1)
1)
Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut
.
ABSTRAK
Alat tangkap mini purse seine (MPS) merupakan satu alat tangkap perikanan
pelagis kecil utama dan cukup produktif di perairan utara Jawa selain perikanan
purse seine (PS besar dan sedang) yang telah mengalami penurunan produksi
sejak awal tahun 2000 an dan mengalami kebangkrutan sekitar tahun 2005. Hal ini
menyebabkan berkembangnya perikanan MPS yang sampai saat ini cenderung
tidak terkontrol dan terindikasi lebih tangkap. Uraian tentang status dan deskripsi
perkembangan perikanan MPS di utara Jawa didasarkan pada monitoring hasil
tangkapan di PPN Pekalongan dan TPI Sarang dan TPI Tasik Agung (Rembang).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi MPS sampai saat ini cenderung
meningkat, namun jumlah hari di laut juga semakin lama mencapai 29 hari pada
MPS Rembang dan 17 hari pada MPS yang mendarat di Pekalongan. Laju
tangkap (CPUE) optimal terindikasi hanya terjadi hingga hari ke 3-5. Dari
pengalaman buruk yang terjadi pada perikanan PS jumlah hari operasi yang
semakin lama pada MPS disarankan untuk dipertimbangkan.
Kata kunci: mini purse seine, pelagis kecil, perairan utara jawa
PENDAHULUAN
Perikanan pelagis kecil di perairan utara Jawa saat ini diusahakan oleh alat
tangkap mini purse seine (MPS) dan purse seine (PS) baik ukuran sedang maupun
besar. Indikasi penyusutan stok/biomassa dari enam jenis utama ikan pelagis kecil
seperti layang, deles, banyar, siro, selar dan tembang; akibat eksploitasi berlebih
dan tak terkontrol dari perikanan PS yang telah berlangsung sebelum tahun 2000.
Produksi perikanan sebenarnya telah mengalami penurunan terus menerus sejak
awal tahun 2000an. Peningkatan upaya penangkapan tidak lagi diimbangi dengan
hasil yang menguntungkan, hasil tangkapan terus menurun dan tidak
menguntungkan secara ekonomi. Hal ini menyebabkan pula terjadi collapsnya
perikanan PS di perairan utara Jawa, seperti Pekalongan dan Juana.
Sejalan dengan hal tersebut sistem perikanan pelaigis kecil mengalami
perubahan sebagai respon nelayan terhadap penyusutan biomassa. Salah satu
respon dari penyusutan produksi dan biomassa serta collapsnya perikanan PS
245
adalah berkembangnya perikanan MPS di perairan Laut Jawa. Sampai saat ini
baik jumlah armada, trip maupun produksi terjadi trend peningkatan. Peningkatan
ini bahkan terjadi kecenderungan yang tidak terkontrol. Tulisan ini bertujuan
untuk mendeskripsikan perkembangan perikanan MPS di perairan utara Jawa
terutama di Rembang dan Pekalongan.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini didasarkan pada data hasil tangkapan per kapal dikumpulkan
melalui ’catch monitoring’ terhadap kapal-kapal mini purse seine (MPS) yang
mendarat dan bongkar ikan di Pelabuhan Perikanan Pantai Sarang, Pelabuhan
Perikanan Nusantara (PPN) Pekalongan dan data Statistik Dinas Kelautan dan
Perikanan Kab. Rembang. Data catch monitoring diambil selamau tahun 2012,
sedangkan data Statistik Dinas Kelautan dan Perikanan Rembang dari tahun 2003
– 2011.
HASIL
Profil Perikanan MPS Rembang dan Pekalongan
Kabupaten Rembang merupakan salah satu basis perikanan pelagis kecil
di Pulau Jawa dengan armada penangkap utama berupa MPS. Diantara 9 tempat
pendaratan ikan yang tersebar di sepanjang pantai Kab. Rembang tiga tempat
pendaratan ikan utama (TPI Tasik Agung, Sarang dan Karanganyar) memberi
kontribusi terbesar dalam produksi perikanan laut Kab. Rembang, masing-masing
sebesar 55%, 23% dan 15%; tempat pendaratan MPS lainnya terdapat di TPI
Pandangan (Gambar 1).
246
Gambar 1.
Produksi pendaratan ikan se Kab. Rembang menurut tempat
pendaratan ikan (TPI), 2011.
Armada penangkap MPS Rembang umumnya berukuran kurang dari 30
GT, Kapal dengan ukuran 14 GT mendominasi kapal purse seine di Tasik Agung.
Berdasarkan data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Rembang, jumlah
armada MPS di wilayah ini terus bertambah dari waktu ke waktu. Pada tahun
1998 jumlah MPS yang tercatat sebanyak 341 unit, bertambah mencapai 626 unit
pada tahun 2011 (Gambar 2), bahkan mungkin lebih banyak. Berdasarkan catatan
tahun 2012 jumlah kapal yang beroperasi 186 kapal. Kecamatan Kragan tercatat
mempunyai jumlah armada kapal MPS terbesar di Kab. Rembang, akan tetapi
kebanyakan dari nelayan-nelayan Kragan mendaratkan hasil tangkapannya di TPI
Tasik Agung, Rembang. Selain dalam jumlah unit MPS, peningkatan ’effort’
(upaya penangkapan) juga terkait dengan penambahan jumlah hari laut dan
perpindahan alat tangkap dari gillnet menjadi MPS.
Gambar 2.
Jumlah armada Mini Purse Seine dan Gillnet yang tercatat di Kab.
Rembang tahun 1998 -2011
247
Seiring dengan trend peningkatan ’upaya’, peningkatan produksi
perikanan tangkap juga terus terjadi hingga tahun 2011. Pada tahun 2007 tercatat
produksi perikanan tangkap sekabupaten Rembang sebesar 29 618 ton, terus
meningkat mencapai sekitar 50264 ton pada tahun 2011 dimana sekitar 70%
berasal dari komoditi perikanan pelagis kecil. Produksi tangkapan MPS yang
tercatat antara 2008 – 2011 di TPI Tasik Agung berturut-turut 17566,3 ton,
13575,3 ton, 11754,8 ton dan 15320,2 ton (Gambar 3).
Gambar 3. Trend produksi perikanan tangkap di Kab. Rembang kurun 2007
2011.
Perikanan pelagis kecil di Pekalongan umumnya diupayakan oleh alat
tangkap PS dan MPS. Selain perbedaan ukuran kapal, daerah operasional
penangkapan antara PS dan MPS juga berbeda. Umumnya kapal MPS beroperasi
di Laut Jawa, sedangkan kapal PS operasinya lebih luas. Dari catatan harian dan
monitoring hasil tangkapan kapal-kapal MPS yang mendarat di Pekalongan
selama 2005-2011 dan Januari-Juli 2012 dapat diketahui terdapat trend penurunan
jumlah kapal aktif beserta jumlah trips kapal yang masuk (Gambar 4).
248
Gambar 4.
Perkembangan jumlah kapal aktif (unit) dan jumlah upaya (trips)
MPS yang mendarat di Pekalongan tahun 2005-2012.
Berdasarkan data monitoring secara harian terhadap kapal-kapal MPS
yang mendarat selama tahun 2011 tercatat sebanyak 267 unit MPS masuk dan
bongkar ikan di PPN Pekalongan, dimana sebagian besar berasal dari Rembang
(47%); daerah asal MPS lainnya adalah Pekalongan (6%) dan daerah asal lainnya
(Juana, Batang, Brebes, Kendal dan Tuban) masing-masing sekitar 1%. Selama
Januari-Juli 2012 jumlah kapal yang melakukan aktivitas semakin banyak sebesar
293 unit kapal. Pada Gambar 5 terlihat peningkatan jumlah trip dan juga produksi
pada periode Tahun 2011 – Juli 2012.
Gambar 5. Trend jumlah produksi dan trip MPS bulanan di PPN Pekalongan
tahun 2011 – Juli 2012.
Profil MPS di Kab. Rembang
Aspek Operasional
Armada MPS yang aktif di Sarang berdasarkan hasil monitoring
enumerator hingga bulan November 2012 mencapai 147 unit dengan kisaran
volume 20-26 GT. Dalam satu kali trip disertai oleh ABK berjumlah antara 20-30
249
orang. Hari melaut berkisar antara 2 sampai 10 hari dengan rata-rata 7-8 hari
(Gambar 6). Fishing ground berada di sekitar Matasiri, Masalembu dan Bawean.
Lokasi fishing ground tergantung pada musim; pada musim baratan lokasi
penangkapan berada di timur laut, barat dan utara Bawean sedangkan pada musim
timuran lokasi penangkapan berada di tenggara Pulau Bawean. Armada MPS
Sarang menjual hasil mendaratkan hasil tangkapannya di TPI Sarang dan TPI
sekitarnya (Tasik Agung) bahkan hingga Juana Pati, utara Pekalongan bahkan
mencapai Indramayu tergantung kondisi harga terbaik.
Gambar 6.
Sebaran dan rata-rata jumlah hari di laut (day at sea) nelayan Purse
Seine Mini yang mendarat di Sarang, Jan-Nov 2012.
Hasil Tangkapan dan Upaya Penangkapan
Hasil tangkapan armada MPS Sarang yang didaratkan di TPI Sarang
dimonitor oleh enumerator bulan Januari hingga Nopember 2012. Selain mencatat
komposisi hasil tangkapan dicatat pula lokasi penangkapan dan lama hari di laut.
Ikan layang Deles (D. Russelli) mendominasi hasil tangkapan sebesar 33.2%,
disusul Bentong 14,3%; Tongkol 9,65%; dan Banyar 8,8% (Gambar 7). Sangat
sedikit didapat ikan Layang Lonco (D. Macrosoma).
250
Gambar 7. Komposisi hasil tangkapan MPS yang didaratkan di TPI Sarang
(Rembang) hasil monitoring oleh enumerator, Januari-Nop 2012.
Hasil tangkapan armada MPS yang mendaratkan hasil tangkapannya di
Sarang berfluktuasi tiap bulannya. Berdasarkan hasil monitoring enumerator
selama periode penelitian dari Januari hingga Nopember 2012 rata-rata hasil
tangkapan MPS di Sarang sebesar 512,8 ton/bulan dengan produksi tertinggi
terjadi pada bulan Nopember (742,4ton). Laju tangkap (CPUE) rata-rata sebesar
4,3ton/trip atau 597 kg/hari dengan rata-rata lama hari di laut rata-rata 7-8
hari/trip. Setiap bulan rata-rata tercatat 118 trip dengan bulan jumlah trip tertinggi
terjadi pada bulan Maret (158 trip).
Gambar 8. Fluktuasi jumlah trip bulanan MPS Sarang Jan-Nov 2012
Peningkatan jumlah trip menyebabkan kenaikan jumlah tangkapan total
namun menyebabkan penurunan laju tangkap (CPUE, baik kg/trip maupun
kg/hari). Terkait dugaan kenaikan rata-rata jumlah hari laut trend laju tangkap
dalam kg/hari nampak memiliki pola yang sama dengan trend laju dalam kg/trip.
Laju tangkap tertinggi menurut hari laut terjadi jika nelayan melaut selama 3 hari
251
yakni sebesar 1.070kg/hari. Laju tangkap semakin menurun dengan bertambahnya
hari melaut.
Gambar 9.
Fluktuasi produksi dan laju tangkap/CPUE (kg/trip) (kiri atas), (kg
hari) (kanan atas) dan sebaran laju tangkap menuerut jumlah hari
melaut (bawah) armada MPS Sarang tahun 2012.
Profil MPS di Pekalongan
Seperti halnya pada perikanan PS besar/sedang, terlihat kecenderungan
peningkatan upaya (jumlah hari laut) juga terjadi pada perikanan MPS. Rata-rata
hari laut per trip tiap kapal berkisar antara 1 – 29 hari pada 2011, secara
keseluruhan rata-rata hari laut 5 hari, sedang pada Januari – Juli 2012 antara 1 –
16 hari (rata-rata 4,3 hari). Rata-rata lama di laut 1 – 2 hari dan antara 3 – 5 hari di
laut dilakukan masing-masing oleh sekitar 29% kapal (2011), sedang yang di atas
5 hari laut lebih banyak sekitar 42% unit kapal. Hal ini menunjukkan adanya
peningkatan upaya dalam jumlah hari laut yang semakin lama hingga 29 hari.
Sebaran rata-rata jumlah hari laut kapal MPS yang mendarat di Pekalongan tahun
2011 dan 2012 diperlihatkan pada Gambar 10.
252
Gambar 10. Rata-rata hari laut kapal purse seine mini yang mendarat di
Pekalongan 2011 (4,3 hari) dan 2012 (5 hari).
Gambar 11 merupakan sebaran rata-rata hasil tangkapan (CPUE, kg/hari)
berdasarkan jumlah operasi di laut. Dari Gambar tersebut dapat terlihat bahwa
semakin lama di laut ternyata diperoleh hasil tangkapan rata-rata semakin sedikit,
sebaliknya bila hari operasi makin sedikit akan diperoleh hasil tangkapan per hari
semakin besar.
Gambar 11. Sebaran laju tangkap (CPUE, dalam kg/hari) berdasarkan jumlah
hari laut kapal MPS yang mendarat di Pekalongan tahun 2011 dan
Jan-Juli 2012.
PEMBAHASAN
Perikanan MPS tersebar di sepanjang pantai Utara Jawa. Diantara tipetipe MPS yang dikenal (MPS asal Gresik, Surabaya, Rembang, Demak, Batang,
Tegal, Brebes, Indramayu hingga Jakarta) perkembangan yang lebih cepat terlihat
pada perikanan MPS Rembang. Daerah penangkapan tersebar di perairan utara
Rembang, Utara Sarang hingga Bawean, utara Pekalongan, utara Tegal dan
Indramayu. Ekspansi penangkapan ke perairan utara Pekalongan (’andon’) pada
tahun-tahun terakhir telah mendesak eksisnya perikanan MPS Jawa Timur di
daerah ini hingga bergeser ke daerah lain (Batang, Tegal, Indramayu, Blanakan).
253
Kondisi ’collaps’nya perikanan PS besar/sedang di Laut Jawa
diperkirakan berdampak terhadap perikanan skala kecil (MPS) di pantai utara
Jawa. Meskipun total produksi MPS dan hasil tangkapan per trip menunjukkan
peningkatan dari tahun ke tahun namun peningkatan ini sebenarnya tidak
menjamin hasil tangkapan yang ’sustainable’ dan efisien secara ekonomis. Pada
kenyataanya jumlah hari operasi di laut juga semakin lama. Jumlah hari di laut
kapal-kapal MPS yang mendarat di Pekalongan saat ini berkisar antara 1-29 hari
(rata-rata 3-4 hari), sedang di Sarang antara 1-17 hari (rata-rata 5 hari). Dengan
hari operasi yang lebih lama ternyata hasil tangkapan per hari tidak menunjukan
lebih baik secara ekonomi, bahkan jumlah hari semakin lama laju tangkap per hari
menunjukan semakin kecil terutama di utara Pekalongan dan utara Rembang.
Dengan jumlah hari lebih lama dari 5 hari diperoleh hasil tangkapan lebih kecil
sehingga peningkatan upaya dalam jumlah hari lebih lama dari 5 hari tidak
diperlukan. Hal ini karena frekuensi hasil tangkapan yang relatif lebih besar
terjadi pada hari ke 1 – 5, apabila lebih lama dari itu menunjukkan hasil tangkapan
perhari makin sedikit. Pengaturan jumlah hari dilaut maksimal lima hari dilaut
sangat disarankan.
Seperti halnya pada perikanan PS besar, kecenderungan lepas kontrol
juga dialami perikanan MPS ini. Kemudahan perijinan melalui cara-cara illegal
dan pemalsuan dokumen diperkirakan banyak terjadi. Kondisi ini semakin rumit
dengan adanya ’management autorithy’ terkait zona penangkapan sehingga
management perikanan yang sebenarnya menjadi terlupakan. Diperlukan kontrol
yang baik terhadap perkembangan jumlah kapal dan jumlah hari operasi di laut
untuk mengurangi tekanan penangkapan terhadap sumberdaya.
KESIMPULAN
Total produksi hasil tangkapan MPS di Rembang dan Pekalongan
cenderung mengalamai peningkatan dari tahun ke tahun. Trend CPUE juga
mengalami kenaikan setiap tahunnya. Peningkatan ini disertai dengan semakin
lamanya jumlah hari operasi di laut, hal ini menyebabkan operasional kurang
efisien. Peningkatan upaya dalam jumlah unit kapal aktif juga cenderung terjadi.
Jumlah hari di laut kapal-kapal MPS yang mendarat di Pekalongan antara 1-29
254
hari (rata-rata 3-4 hari) dan di Sarang antara 1-17 hari (rata-rata 5 hari). Laju
tangkapan (CPUE) optimal hanya tercapai hingga hari ke lima pada MPS
Pekalongan, dan hari ke tiga pada MPS Sarang (Rembang). Aktivitas
penangkapan lebih dari 5 hari disarankan untuk dipertimbangkan karena lebih dari
5 hari maka secara ekonomi menjadi kurang baik.
DAFTAR PUSTAKA
Atmaja, S. B., Suwarso dan S. Nurhakim. 1986. Hasil tangkapan pukat cincin
menurut musim dan daerah penangkapan di Laut Jawa. Jurnal Penelitian
Perikanan Laut 34: 57 – 68.
Atmaja, S. B. 2006. Selektivitas pukat cincin dan seleksi manusia pada ikan
pelagis kecil di Laut Jawa. Dalam: Perikanan pukat cincin dan sumberdaya
ikan pelagis kecil di bagian selatan paparan Sunda. Balai Riset Perikanan
Laut. p 50 – 56.
Atmaja, S. B. 2006. Eksploitasi pukat cincin Pekalongan di perairan Laut Cina
Selatan. Dalam: Perikanan pukat cincin dan sumberdaya ikan pelagis kecil
di bagian selatan paparan Sunda. Balai Riset Perikanan Laut. p 57 – 64.
Portier, M. & B. Sadhotomo. 1995. Exploitation of the large and medium seiners
fisheries. In: Biodynex (Biology, Dynamics, Exploitation) of the Small
Pelagic Fishes in the Java Sea. M. Potier and S. Nurhakim (Ed.), p 196 214.
Sadhotomo, B., S. Nurhakim dan S. B. Atmaja. 1986. Perkembangan komposisi
hasil tangkapan dan laju tangkap pukat cincin di laut Jawa. Jurnal
Penelitian Perikanan Laut 35: 101 – 109.
Sujastani, T dan E. M. Amin. 1978. Kemungkinan pengembangan dan
modernisasi perikanan skala kecil atau perikanan rakyat di Laut Cina
Selatan yang termasuk kawasan Kabupaten Kepulauan Riau. Simposium
Modernisasi Perikanan Rakyat. LPPL. Litbang Pertanina. p 26.
Widodo, J. 1990. Penyebaran kelimpahan, musim dan daerah penangkapan ikan
pelagis pantai di laut Jawa. Jurnal Litbang Pertanian, IX (1).
255
SEBARAN UNIT STOK IKAN LAYANG (Decapterus spp.) DAN RISIKO
PENGELOLAAN IKAN PELAGIS KECIL DI SEKITAR
LAUT JAWA*)
Oleh
Suwarso1) dan Achmad Zamroni1)
1)
Peneliti padaBalai Penelitian Perikanan Laut
Email: [email protected]; [email protected]
ABSTRAK
Ikan layang (Decapterus russelli dan D. macrosoma, Fam. CARANGIDAE) merupakan
komponen utama dari sumberdaya ikan pelagis kecil di perairan sekitar Laut JawaSelat Makassar. Peningkatan upaya secara tak terkontrol pada perikanan purse seine
telah mengakibatkan penyusutan biomassa yang berdampak pada penurunan hasil
tangkapan, sehingga tujuan pengelolaan yang sebenarnya (sustainable fishery) tak
tercapai; ditambah lagi pengetahuan tentang karakter biologi dan keterkaitan diantara
stok di sekitar zona utama belum diketahui secara jelas. Paper ini membahas dugaan
sebaran stok dan risiko pengelolaannya berdasarkan data penstrukturan populasi dua
species ikan layang (D. russelli dan D. macrosoma) dan aspek perikanan tangkap
(komposisi jenis, sebaran fishing ground). Data struktur populasi diperoleh dari hasil
analisis genetik terhadap marker DNA mitochondria (metode RFLP) yang telah
dilaporkan sebelumnya; sedang data aspek penangkapan diperoleh dari tempat
pendaratan utama di Pekalongan, Samarinda, Mamuju dan sekitarnya. Hasil
menunjukkan kedua species layang memiliki masing-masing dua sub populasi (2 unit
stok). D. russelli, tersebar di Laut Jawa bagian timur, Laut Flores bagian selatan dan
Laut Banda bagian barat (sub populasi atau unit stok 1), sedang unit stok 2 tersebar
di Selat Makassar laut dangkal di timur Kalimantan. Sedangkan pada D. macrosoma,
unit stok Laut Banda (unit stok 1) terpisah (berbeda) dengan unit stok lain yang
tersebar di Laut Flores zona pantai, Laut Jawa bagian timur dan Selat Makassar laut
dangkal. Dari hal tersebut pengelolaan ikan pelagis kecil di Laut Jawa (WPP 712) dan
Selat Makasar laut dangkal (WPP 713) sebaiknya disatukan sebagai satu unit stok dan
satu unit managemen. Di pihak lain, perikanan pelagis di Selat Makasar laut dalam di
perairan barat Sulawesi disarankan dikelola dalam konteks penstrukturan populasi
ikan pelagis kecil laut dalam di sekitar Sulawesi (malalugis, D. macarellus). Pola
migrasi ikan layang/pelagis dalam arah Laut Jawa – Selat Makasar dan sebaliknya
dimungkinkan juga terkait dengan penstrukturan populasi layang tersebut.
Kata kunci: Struktur genetik populasi, Decapterus russelli, D. macrosoma, Laut
Jawa, Selat Makassar, pengelolaan perikanan.
257
PENDAHULUAN
Ikan layang (Decapterus spp) merupakan sumberdaya ikan pelagis yang
mempunyai nilai ekonomis dan memberi kontribusi utama pada produksi perikanan.
Jenis ikan layang yang umum ditemukan di Laut Jawa dan sekitar Sulawesi adalah
Decapterus macrosoma, D. ruselli dan D. macarelus, daerah penyebarannya luas
serta telah dieksploitasi secara intensif di berbagai perairan di Indonesia, bahkan di
beberapa wilayah perairan telah terindikasi lebih tangkap. Diantara sekian banyak
pusat produksi layang, perairan Laut Jawa dan sekitarnya boleh dikatakan merupakan
produsen terbesar di Indonesia, namun stok jenis tersebut juga telah mengalami
kejenuhan akibat tekanan penangkapan berlebih (Hariati et al., 2005). Gejala stock
depletion dibarengi oleh penurunan secara drastis hasil tangkapan per jenis ikan dan
upaya (jumlah kapal aktif dan trips), diikuti dengan respon alamiah nelayan berupa
relokasi daerah penangkapan, „alih‟ alat tangkap dan target species telah dilaporkan
sebelumnya oleh Atmaja et al. (2007).
Dari hal tersebut, tindakan „pengelolaan‟ yang logis dan bertanggung jawab
adalah keperluan mendesak, yaitu untuk tercapainya tujuan jangka panjang
pengelolaan sehingga dapat menjamin hasil tangkapan yang berkelanjutan
(sustainable yield) dan menguntungkan serta konservasi sumberdaya. Suatu konsep
manajemen berbasis „unit stok‟ dipercaya merupakan konsep pengelolaan yang logis
dan bertanggung jawab („stok‟ yang dimaksud adalah unit biologi berbasis genetik),
namun memerlukan data dan informasi tentang „unit stok‟ dengan difinisi yang jelas
beserta karakter biologinya.
Makalah ini membahas tentang sebaran unit stok dua species ikan layang (D.
russelli dan D. macrosoma) beserta kajian tentang risiko pengelolaan yang sebaiknya
dilaksanakan. Kajian didasarkan pada hasil penelitian sebelumnya tentang struktur
populasi yang didukung oleh data aspek perikanan tangkap yang dikumpulkan di
wilayah terkait. Hasil diharapkan dapat menjelaskan tentang profil stok layang
beserta sebarannya serta saran pengelolaan yang lebih nyata berbasis habitat.
258
METODOLOGI
Data yang digunakan: a) data struktur genetik populasi kedua species ikan
layang di area studi; dan b) data karakteristik penangkapan oleh perikanan purse seine
‟Pekalongan‟ (besar dan sedang) dan Rembang.
1. Species dan area studi
Dua species ikan layang yang dikaji dalam makalah ini adalah ikan layang
(D. russelli) dan layang deles (D. macrosoma). Kedua species merupakan komponen
utama pada perikanan pelagis kecil (purse seine) di Laut Jawa dan Selat Makassar.
Kajian struktur populasi telah dilakukan pada tahun 2008-2009 di perairan Laut Jawa,
Selat Makasar, Laut Flores dan Laut Banda bagian barat (Kendari). Pengambilan
contoh jaringan (sirip dan daging) dilakukan dari hasil tangkapan purse seine yang
melakukan penangkapan di sekitar lokasi pendaratan ikan di Rembang, Balikpapan,
Donggala, Mamuju, Toli-toli, Kendari dan Maumere; (Gambar 1).
2. Data struktur genetik populasi ikan layang (D. russelli) dan layang deles (D.
macrosoma) di sekitar Laut Jawa
Data struktur populasi diperoleh melalui analisis genetik (RFLP, Restriction
Fragment Length Polymorphism dengan menggunakan 8 enzym restriksi) terhadap
genom mitochondria (mtDNA) yang dilanjutkan dengan penyusunan data genetik
(ukuran fragmen restriksi, tipe haplotype, composite haplotype), dugaan parameter
genetik (diversitas haplotype dan Jarak Genetik „Nei‟) dan penyusunan kedalam
dendogram kekerabatannya (filogenetik).
Genom mtDNA diperoleh dari hasil
ekstraksi jaringan, purifikasi, isolasi dan proses amplifikasi dengan mesin PCR
(Polymerase Chain Reaction). Ringkasan sampling prosedur, analisis lab dan dugaan
struktur populasi diterangkan selengkapnya oleh Suwarso et al. (2010).
259
Gambar 1. Peta lokasi penelitian dan lokasi sampling jaringan (daging dan sirip) ikan
layang (D. russelli) dan deles (D. macrosoma) tahun 2008-2009.
3. Data karakteristik penangkapan ikan pelagis kecil oleh alat purse seine
Data ini meliputi komposisi jenis ikan yang tertangkap dan pola sebaran
fishing ground (lokasi penangkapan), baik perikanan purse seine „Pekalongan‟ (PS
besar dan sedang) maupun purse seine mini di lokasi-lokasi utama (Rembang,
Mamuju, Kendari). Komposisi jenis ikan diperoleh dari data hasil tangkapan per
kapal per jenis ikan yang dikumpulkan melalui monitoring hasil tangkapan harian di
tempat pendaratan (PPS Pekalongan, PPS Kendari, TPI Tasik Agung dan Sarang di
Rembang) atau juragan/pemilik kapal (Mamuju, Balikpapan). Informasi lokasi
penangkapan secara umum diperoleh melalui wawancara dengan nakhoda kapal yang
dipertegas dengan data posisi GPS untuk beberapa lokasi (log-book Pekalongan dan
Kendari, lokasi sebaran rumpon nelayan Mamuju dan Balikpapan).
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. HASIL
1.1. Review keragaman genetik dan struktur populasi ikan layang
Pengujian dengan 8 jenis enzim resriksi (enzim Afa I, Hae II, Mbo I/Nde II,
Alu I, Hind III, Hin6 I dan Taq I) terhadap ikan layang (D. russelli) dan layang deles
260
(D. macrosoma) ternyata memperlihatkan hanya 4 enzim yang berhasil memotong
sekuen DNA (memiliki situs restriksi) ikan layang (enzim Afa I, Alu I, Msp I dan Taq
I) dan 6 jenis enzim yang dapat memotong sekuen DNA ikan layang deles (enzim
Alu I, Taq I, Hin6 I, Afa I, Hind III dan Msp I).
D. russelli
Daerah control region mtDNA D-loop ikan layang (D. russelli)
menunjukkan single band DNA (fragmen) dengan ukuran sekitar 1000 bp (base
pairs), dan secara umum menunjukkan sifat polymorfisme; sedang setelah proses
digesti/restriksi oleh enzim restriksi yang dapat memotong, „single band„ DNA
tersebut memiliki ukuran antara 700-975 bp. Sifat polimorfisme hanya ditunjukkan
oleh tiga enzim restriksi. Dari dua tipe haplotype yang diperoleh dapat teridentifikasi
2 jenis allele (composite haplotype), yaitu AA dan AB yang frekuensinya bervariasi
di tiap populasi.
Berdasarkan frekuensi kemunculan dua allele di tiap lokasi tersebut secara
umum ke 7 populasi ikan layang memiliki tingkat variasi genetik („diversitas
haplotype‟, h) cukup rendah antara 0 – 0,1528 (rata-rata 0,0585). Keragaman genetik
lebih rendah (h=0) ditemukan pada populasi Balikpapan (Selat Makassar), sedang
keragaman lebih tinggi terlihat pada populasi Rembang, Kendari dan Maumere. Dari
dua allele (composite haplotype) yang teridentifikasi secara umum terlihat bahwa
allele AB adalah allele yang lebih umum ditemukan di seluruh populasi, sedang allele
AA hanya teramati dalam populasi Kendari, Rembang dan Maumere. Ini menandakan
bahwa struktur populasi ikan layang dari ketujuh populasi tersebut dimungkinkan
berasal dari sumber (sub species atau unit stock) yang sama. Dugaan nilai jarak
genetik Nei (D) mempertegas hal tersebut. Jarak genetik (D) rata-rata antar populasi
sekitar 0,0018. Jarak genetik terpendek (D = 0 - 0,0002) ditunjukkan oleh populasi
Rembang & Maumere, Rembang & Kendari, dan Kendari & Maumere, sedang jarak
genetik lebih jauh ditemukan antara populasi Balikpapan & Kendari (D = 0,0041) dan
Balikpapan & Rembang (D = 0,0029).
261
Didasarkan atas parameter jarak genetik tersebut dapat disusun dendogram
filogenetik dari ke tujuh populasi ikan layang (D. russelli) yang dikaji seperti terlihat
pada Gambar 2. Terlihat bahwa ke tujuh populasi contoh dapat dipisahkan kedalam
dua „group populasi‟ (sub populasi) yang berasal dari dua garis keturunan mtDNA (2
clade mtDNA), yaitu: group pertama (clade 1) terdiri dari populasi Kendari,
Maumere dan Rembang; sedang group kedua (clade 2) terdiri dari populasi
Balikpapan.
D. macrosoma
Sekuen mtDNA D-loop layang deles (D. macrosoma) memiliki ukuran panjang
sekitar 1000 bp (base pairs). Dari 8 enzim restriksi yang diterapkan hanya 4 yang
dapat memotong (memiliki situs pemotongan), yaitu enzim Alu I, TaqI, Ava I dan
Msp I; sedang sifat polimorfisme pola pemotongan hanya ditemukan pada tiga enzim
restriksi (Alu I, Afa I, Taq I). Dari 3 tipe haplotype yang muncul dapat teridentifikasi
4 jenis allele (composite haplotype) dengan 1 - 2 allele per populasi.
Secara umum allele AAAAAA lebih umum dan dominan, kecuali populasi
Kendari; sedang allele BBABAA dan BCABAA hanya ditemukan pada populasi
Kendari. Keadaan ini mengindikasikan bahwa struktur populasi layang deles
cenderung berasal dari sumber yang sama (sub species). Seperti halnya jenis D.
russelli, jenis layang deles (D. macrosoma) juga memiliki tingkat keragaman genetik
rendah; diversitas haplotype (h) berkisar antara 0 – 0,1975, rata-rata 0,0658. Indek
keragaman terkecil ditemukan pada populasi Maumere, Tarakan, Donggala, Aceh
Timur, sedang keragaman lebih tinggi ditemukan pada populasi Rembang dan
Kendari. Jarak genetik rata-rata antar populasi sekitar 0,3354. Jarak terpendek (0)
terlihat diantara populasi Maumere, Donggala dan Tarakan; sedang populasi Kendari
menunjukkan jarak paling jauh.
Didasarkan pada nilai-nilai jarak genetik dapat disusun dendrogram
filogenetik (hubungan kekerabatan) dari ke enam populasi layang deles seperti
terlihat pada Gambar 2. Terlihat bahwa 6 populasi contoh terpisah kedalam 2 grup
262
populasi (sub populasi): Grup pertama terdiri dari populasi Rembang, Maumere,
Donggala dan Tarakan; sedang populasi Kendari memisah sebagai Grup kedua.
Gambar 2. Dendogram filogenetik ikan layang, D. russelli (kiri) dan layang deles,
D. macrosoma (kanan) dari hasil analisis RFLP mtDNA di sekitar Laut
Jawa.
(Keterangan: LAYANG: Populasi 1 – Rembang; 2 – Balikpapan; 3 –
Kendari; 4 – Maumere; 5 – Fakfak; 6 – Aceh Timur; 7 – Labuhan);
DELES: Populasi 1 - Maumere, 2 - Aceh Timur, 3 - Tarakan, 4 –
Rembang; 5 - Kendari, 6 – Donggala).
1.2. Sebaran fishing ground dan dan perbedaan komposisi jenis
Ekspansi eksploitasi ikan pelagis oleh perikanan PS ‟Jawa‟ yang berbasis di
Tegal, Pekalongan dan Juana telah mencapai maksimum pada sekitar tahun 1996
(Durand & Widodo, 1997) seperti tergambar pada Gambar 3 (kiri). Eksploitasi di
Selat Makasar terfokus di perairan karang sebelah tenggara Tanah Grogot atau
sebelah selatan Balikpapan (Kalimantan Timur). Lokasi tersebut berada di perairan
sekitar P. Balag-balagan, Kep. Lumu-lumu, P. Lari-larian dan P. Samber Gelap
(ditandai dengan lingkaran warna merah).
Lokasi ini bersifat coastal (perairan
dangkal) dengan kedalaman kurang dari 60 m, sangat berbeda dengan fishing ground
nelayan Mamuju (MPS) yang berada di habitat oseanik dengan kedalaman lebih dari
200 m (ditandai dengan lingkaran warna hitam). Fishing ground nelayan Mamuju
dipertegas oleh sebaran posisi rumpon seperti terlihat pada Gambar 3 (kanan).
263
B
Gambar 3. KIRI: Sebaran fishing ground perikanan PS Jawa (lingkaran warna
merah) dan Mini Purse Seine Sulawesi (lingkaran warna hitam).
KANAN: Posisi rumpon nelayan Mamuju (MPS) di Selat Makasar
sebelah barat Mamuju, 2009 (B).
Keterangan: A: 1- Balag-balagan; 2- Lumu-lumu, 3- Lari-larian; 4Samber Gelap.
Variasi terdapat dalam komposisi jenis yang tertangkap baik oleh purse seine
Jawa di perairan laut dangkal di timur Kalimantan maupun di laut dalam perairan
barat Sulawesi. Perbedaan paling jelas terdapat pada kategori „layang‟ yang
tertangkap. Dua species layang (D. russelli dan D. macrosoma) tertangkap di perairan
dangkal timur Kalimantan, sedang species malalugis (D. macarellus) tertangkap di
laut dalam barat Sulawesi (Gambar 4 dan 5). Kedua habitat ini sangat berbeda.
Berdasarkan data catch-monitoring kapal purse seine di Pekalongan, kategori layang
kontribusinya kira-kira 52% pada tahun 2007 di fishing ground Laut Jawa, sedang di
Selat Makasar sekitar 44% (Gambar 4). Sejalan dengan perkembangan perikanan dan
sistim pendaratan ikan, sejak beberapa tahun pendaratan ikan juga berlangsung di
Balikpapan dan Samarinda melalui sistim kapal pengumpul (transshipment). Di
Samarinda kategori layang didaratkan sebesar 35% dari total pendaratan di tempat
tersebut. Dalam hasil tangkapan purse seine mini Sarang (Rembang) tahun 2012
kategori layang jumlahnya 33%.
264
Ayam2an
0%
Bawal
0%
TongkolTengiri Tembang
3%
6%
2007
Lainnya
14%
Layang
52%
Siro
14%
Bentong
5%
Banyar
6%
2007
Ayam2 an
0%
Bawal
0%
Tongkol-Tengiri
3%
Tembang
4%
Lainnya
14%
Layang
44%
Siro
24%
Bentong
5%
Banyar
6%
2007
Cumi2
2%
Lainnya
19%
Layang
36%
Tongkol-Tengiri
29%
Tembang
0%
Selar
2%
Banyar
7%
Bentong
5%
Gambar 4. Komposisi jenis hasil tangkapan purse seine „Jawa‟ di fishing ground
Laut Jawa dan Selat Makasar serta yang didaratkan di Samarinda
(Kalimantan Timur), 2007-2011.
Berbeda dengan habitat perairan dangkal di timur Kalimantan, di perairan
oseanik barat Sulawesi jenis layang biru/malalugis (Decapterus macarellus)
merupakan jenis utama dalam hasil tangkapan purse seine mini dan bagan. Di
perairan Mamuju (Sul Bar) malalugis memberi kontribusi sebesar 31%, di perairan
Barru (Sul Sel) sekitar 32%, sedang di Teluk Bone dan Laut Flores mencapai 80%
dari hasil tangkapan (Gambar 5).
265
Gambar 5. Komposisi jenis hasil tangkapan mini purse seine dan bagan di perairan
oseanik Selat Makasar.
2. PEMBAHASAN
a) Keragaman genetik dan dugaan sebaran unit stok ikan layang
Kategori „layang‟ terdiri dari dua species dominan, yaitu layang biasa (D.
russelli) dan layang deles (D. macrosoma). Dalam periode „normal hasil tangkapan
kedua species sangat fluktuatif, sejak 1993 setiap tahun jumlahnya paling tidak
mencapai 50% dari total hasil tangkapan dan berlimpah di setiap fishing ground
(Potier & Sadhotomo, 1995). Sejalan dengan perluasan fishing ground ke arah timur
hasil tangkapan kedua species menunjukkan trend berbeda; semakin ke arah timur
jumlah D. russelli makin berkurang, sebaliknya D. macrosoma semakin meningkat
(Suwarso et al., 1987; Potier & Sadhotomo, 1995). Secara tahunan dalam kurun
1967-1995 rasio layang/deles menunjukkan perubahan dimana %-ase deles semakin
tinggi dalam hasil tangkapan (Sadhotomo, 1998).
Keragaman genetik dapat dipakai sebagai indikator tentang sifat migrasi dan
ukuran populasi; keragaman genetik yang rendah mencirikan populasi yang biasanya
memiliki tingkat migrasi cukup tinggi. Keragaman genetik yang relatif rendah pada
kedua species ikan layang ini mencirikan sifat tersebut sehingga memberi peluang
lebih besar untuk terjadinya kawin silang dalam populasi. Selain itu, tingkat
keragaman genetik yang relatif lebih rendah pada populasi D. russelli
di Selat
Makassar mengindikasikan suatu ukuran populasi (population size) lebih kecil
dibanding populasi Rembang, Kendari dan Maumere. Hal tersebut memberi tanda
kepada kita bahwa kondisi populasi layang Selat Makassar (Balikpapan) lebih rentan.
266
Sebagaimana halnya dengan D. russelli, pada D. macrosoma secara umum
juga memperlihatkan keragaman genetik rendah yang mencirikan perilaku migrasi
sehingga memberi peluang terjadinya kawin silang dalam populasi yang sama, namun
kawin silang tersebut diduga tidak berlangsung dengan populasi Kendari. Dalam hal
ukuran populasi (population size) nilai-nilai keragaman genetik mengindikasikan
bahwa populasi layang deles Maumere, Tarakan dan Donggala memiliki ukuran
populasi lebih kecil dibanding populasi Kendari dan Rembang. Secara keseluruhan,
relatif rendahnya keragaman genetik pada populasi layang dan deles menunjukkan
indikasi bahwa kondisi sumberdaya telah mengalami perubahan genetik yang radikal,
diduga akibat tekanan penangkapan.
Dari dugaan penstrukturan populasi kedua species layang tersebut (Gambar
2) dapat digambarkan pola sebaran geografinya seperti ditunjukkan pada Gambar 6.
Pada D. russelli, memiliki dua „group populasi‟ (sub populasi/unit stok), group 1
(clade 1, unit stok 1) menyebar di Rembang, Maumere dan Kendari, sedang clade 2
(unit stok 2) tersebar di timur Kalimantan (Balikpapan). Pada D. macrosoma, dapat
dipisahkan adanya 2 grup populasi (sub populasi): group 1 (clade 1, unit stok 1)
menyebar dari Rembang (L. Jawa), Maumere (L. Flores bagian selatan), Donggala
dan Tarakan (S. Makasar); sedang populasi Kendari secara signifikan memisah
sebagai group kedua (clade 2, unit stok 2).
Namun demikian, mempertimbangkan profil hasil tangkapan ikan pelagis
kecil di Maumere dan Kendari, dua species D. russelli dan D. macrosoma tidak
menunjukkan dominasi yang nyata, jika ada ukuran populasinya kecil; sedang
populasi D. macrosoma terlihat cukup nyata di perairan timur Kendari. Di perairan
sebelah utara Maumere (L. Flores) jenis D. macarellus sangat signifikan.
b) Unit stok dan risiko pengelolaan berbasis ‘unit stock’
Dari uraian tersebut diatas dapat diduga masing-masing dua unit stok layang
dan deles. Untuk D. russelli, unit stock 1 menyebar dari Laut Jawa ke pantai
Maumere dan mungkin Kendari, sedang unit stok 2 tersebar di timur Balikpapan.
Perlu meyakinkan status stok ikan ini di perairan timur Kalimantan di sebelah selatan
267
Balikpapan. Untuk D. macrosoma, unit stok 1 menyebar dari Laut Jawa kearah utara
Selat Makasar dan ke timur di pantai Maumere, tapi di perairan ini sebaran terputus;
populasi Kendari merupakan unit stok berbeda. Hal ini mengindikasikan bahwa stok
layang deles dari Laut Jawa lebih tersebar kearah utara (Selat Makasar) daripada
kearah timur (Laut Flores dan Laut Banda) seperti dihypotesakan oleh Hardenberg
(1938). Eksistensi garis Wallace (Wallace line) di kedua habitat menunjukkan
keberadaan barrier geografi yang memutuskan pola migrasi ikan layang.
Gambar 6. Dugaan sebaran unit stok ikan layang (D. russelli) dan layang deles (D.
macrosoma) di L. Jawa, Sel. Makassar dan sekitarnya.
Jika didasarkan pada hal tersebut risiko terhadap pengelolaan perikanan
pelagis kecil sebaiknya didasarkan pada dugaan unit stok tersebut. Berbasis pada
sebaran unit stok layang deles sebagai komponen utama perikanan, pengelolaan
268
perikanan Laut Jawa dan Selat Makasar laut dangkal akan menjadi satu unit
pengelolaan (unit management). Pola ekspansi perikanan yang menyebar dari Laut
Jawa ke Selat Makasar laut dangkal, dengan mengikuti pola sebaran ikan serta taktik
dan strategi penangkapan purse seine yang spesifik untuk perairan dangkal
menegaskan saran sistim pengelolaan tersebut.
KESIMPULAN
Pola penstrukturan dari populasi dua species ikan layang berbeda, tapi
masing-masing terdiri dari dua sub populasi (unit stok). Unit stok utama menyebar
dari perairan Laut Jawa kearah Selat Makasar laut dangkal dan menyusur pantai
Maumere; tidak ada indikasi menyebar di Selat Makasar laut dalam karena habitat
dan komposisi jenis berbeda. Unit stok yang secara signifikan berbeda dari populasi
layang deles Kendari dan adanya barrier geografi (garis Wallace) memperkuat pola
sebaran stok tersebut. Indikasi lain menunjukkan tidak ada migrasi populasi layang
dari arah timur (Laut Flores dan Laut Banda) ke Laut Jawa, dan sebaliknya. Dengan
demikian pengelolaan perikanan pelagis kecil Laut Jawa sebaiknya menjadi satu unit
management dengan perairan Selat Makasar laut dangkal di timur Kalimantan;
sedang di habitat laut dalam Selat Makasar barat Sulawesi memiliki komoditi ikan
pelagis berbeda (malalugis) sehingga pengelolaannya disarankan berbasis pada
penstrukturan populasi „malalugis‟ (D. macarellus) yang tersebar di perairan oseanik
sekitar Sulawesi.
PERSANTUNAN
Penelitian ini didukung oleh dana APBN tahun anggaran 2012 dan
merupakan sebagian dari hasil penelitian berjudul “DISTRIBUSI, UPAYA
PENANGKAPAN DAN BIOLOGI POPULASI STOK IKAN PELAGIS KECIL DI
LAUT JAWA (WPP-712) DAN LAUT SULAWESI (WPP-716)”
269
DAFTAR PUSTAKA
Atmaja, S. B., B. Sadhotomo dan D. Nugroho. 2007. Overfishing pada perikanan
pukat cincin semi industry di Laut Lawa dan implikasi pengelolaannya. J.
Kebijak. Perikan. Ind. 3(1): 51-60.
Durand, J. R. & J. Widodo. 1997. Final report Java Sea pelagic fishery assessment
project. ALA/INS/87/17. AARD-ORSTOM/EEC. Sci. Tech. Doc. No. 26.
76p.
Hardenberg, J.D.F. 1938. Preliminary report on a migration of fish in the Java Sea.
Treubia, Deel 16, Afl. 2, 295-300 p.
Hariati, T., M. Taufik dan A. Zamroni. 2005. Beberapa aspek reproduksi ikan Layang
(Decapterus russelli) dan ikan Banyar (Rastrelliger kanagurta) di perairan
Selat Malaka Indonesia. JPPI, 11(2): 47-56.
Potier, M., and B. Sadhotomo. 1995. Exploitation of the large and medium seiners
fisheries. BIODYNEX. Scientific Editors: M. Potier and S. Nurhakim.
AARD, ORSTOM, and E.U: p.171 –184.
Potier, M. and Sadhotomo, B. 1995. Trends in scad fishery of the Java Sea. The
Fourth Asian Fisheries Forum. Beijing, October 1995.
Sadhotomo, B. 1998. Bioécologie des principales espèces pélagiques exploitées en
mer de Java. These de Docteur de l‟UniversIté Montpellier II, Dicipline
Biologie de l‟évolution et écologie. Academie de Montpellier, Universite
Monpellier II. France.
Suwarso, B.S. Atmaja dan M. Wahyono. 1987. Perkembangan komposisi ikan layang
(Decapterus spp.) dari hasil tangkapan pukat cincin menurut daerah
penangkapan di laut Jawa. Jurnal Penelitian Perikanan Laut, 38: 55-58.
Suwarso, A. Zamroni dan Estu Nugroho. 2010. Penstrukturan populasi dan
karakterisasi biologi ikan Layang (Decapterus spp.) di sekitar L. Jawa, Sel.
Makasar, L. Banda dan L. Flores. Seminar Hasil Riset Perikanan dan
Kelautan, Pusat Riset Perikanan Tangkap, 21-23 Mei 2010 di Palembang.
270
Download