KARAKTERISTIK PARAMETER POPULASI IKAN KURISI (Nemipterus japonicus, (Bloch, 1791)) DI LAUT JAWA Oleh Nurulludin1) dan Bambang Sadhotomo1) 1) Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut Email: [email protected] ABSTRAK Kurisi merupakan salah satu ikan demersal yang telah di eksploitasi secara intensif. Dalam rangka menjaga keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya ikan tersebut diperlukan pengelolaan yang didasarkan pada penelitian. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui beberapa parameter pertumbuhan populasi ikan kurisi (Nemipterus japonicus) di laut Jawa sebagai bahan acuan pengelolaan. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari-Desember 2012 di perairan utara Jawa Tengah dengan metode survei. Hasil analisis diperoleh beberapa parameter populasi ikan kurisi (K) terbaik sebesar 1 per tahun, (L∞) 19,74 cm, (M) 1,08 per tahun (F) 1,02 per tahun, dan E 0,48 per tahun. Tingkat ekplotasi ikan kurisi relatif optimum. Kata kunci: Karakteristik, populasi, parameter, laut jawa PENDAHULUAN Kurisi merupakan salah satu ikan demersal yang mempunyai nilai ekonomis dalam perikanan Indonesia. Pemanfaatan ikan ini dalam perdagangan sehari-hari dalam bentuk segar dan fillet ikan untuk dipasarkan di dalam negeri sebagai bahan baku pembuatan olahan ikan serta diekspor ke luar negeri. Ikan kurisi (Nemipterus japonicus) merupakan salah satu ikan yang tertangkap dominan dengan alat tangkap cantrang dalam tiga tahun terakhir (Badrudin et.al 2011). Dalam pemanfaatan sumber daya ikan kurisi perlu diperhatikan pengembangan penelitian dan pengelolaan, serta bagaimana tindakan manusia untuk mempertahankan serta meningkatkan pemanfaatannya, agar mendapatkan hasil yang maksimal dengan mempertahankan keseimbangan produksinya, (Harahap&Bataragoa, 2008). Permasalahan utama dalam pemanfaatan sumber daya tersebut adalah bagaimana mengelola ikan kurisi tersebut sehingga dapat 1 dimanfaatkan secara berkelanjutan. Hal tersebut diperlukan masukan dari penelitian untuk mendasarinya Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui beberapa parameter pertumbuhan populasi ikan kurisi (Nemipterus japonicus) di laut Jawa sebagai bahan acuan pengelolaan. BAHAN DAN METODE Pengukuran data frekuensi panjang ikan dilakukan dari bulan Februari sampai Desember 2012. Pengambilan contoh ikan diambil dari kapal cantrang besar dan kecil yang melakukan bongkar muatan secara acak di PPP Tegalsari, Tegal. Pengukuran ikan berdasarkan panjang cagak (FL) dengan menggunakan kertas ukur dengan terlebih dahulu mensortir spesies ikan kurisi (Nemipterus japonicus). Contoh ikan yang diukur panjangnya sebanyak 50 ekor per basket sesuai dengan Potier dan Sadhotomo (1991). 1. Pendugaan rata-rata panjang tertangkap (Lc) Data frekuensi panjang yang terkumpul diaplikasikan untuk perkiraan ratarata ukuran ikan yang tertangkap (Lc) Pendugaan rata-rata panjang tertangkap dilakukan dengan membuat grafik hubungan antara panjang ikan (sumbu X) dengan jumlah ikan (sumbu Y) sehingga diperoleh kurva berbentuk S. Nilai length at first capture yaitu panjang pada 50% pertama kali tertangkap dihitung dengan persamaan sebagai berikut (Sparre & Venema, 1999) : S L est 1 ................................................................................(1) 1 exp( S1 S 2 * L) 1 Ln 1 S1 S 2 * L .....................................................................................(2) SL L50% S1 ............................................................................................................(3) S2 dimana : SL = kurva logistik; S1 dan S2 = konstanta pada rumus kurva logistik 2 2. Pendugaan parameter pertumbuhan Pendugaan nilai koefesien pertumbuhan L∞ dan K dilakukan dengan menggunakan metode FISAT II (2004), sedangkan t0 diperoleh melalui persamaan Pauly (1980). Model pertumbuhan yang digunakan adalah model yang dikemukakan oleh Von Bertalanffy (Sparre dan Venema, 1999) dengan persamaan sebagai berikut : Lt = L∞ (1- e-k (t – to)).............................................................................................(4) dimana : Lt = Panjang ikan (cm) pada umur t (tahun) L∞= Panjang asimptot ikan (cm) K = Koefisien pertumbuhan (per tahun) to = Umur teoritis ikan pada saat panjangnya sama dengan nol (tahun) t = Umur ikan (tahun) 3. Mortalitas Mortalitas dalam suatu kegiatan perikanan tangkap sangat penting untuk menganalisis dinamika populasi atau stok ikan. a. Mortalitas alami (M) diduga dengan metode persamaan empiris Pauly (1980) dengan rumus : Ln M = -0,0152 – 0,279*Ln L∞ + 0,6543*Ln K + 0,4634*Ln T ........................(5) b. Mortalitas Total (Z) Pendugaan mortalitas total (Z), mengunakan metode Beverton dan Holt dalam (Sparre dan Venema, 1999) yaitu : ∞ ̅ ........................................................................................................(6) dimana : K = Koefisien laju pertumbuhan (per tahun) L∞ = Panjang asimptotik kurisi (cm) FL ̅ L’ = Panjang rata – rata kurisi yang tertangkap (cm) = Batas terkecil ukuran kelas panjang kurisi yang telah tertangkap (cm) c. Mortalitas Penangkapan (F) dengan Laju Eksploitasi (E) 3 Dari hasil pendugaan nilai Z dan M, maka mortalitas penangkapan (F) diperoleh dari persamaan; Z = F + M atau F = Z - M .............................................................................. (7) E = F/Z ..............................................................................................................(8) 4. Umur Nilai dugaan umur teoritis pada saat panjang ikan sama dengan nol (t0) ikan kurisi diperoleh dengan menggunakan rumus (Pauly, 1980) yaitu : Log (-t0) = -0.3922 – 0.2752 Log -1.038 Log K..............................................(9) Lt =L∞(1-e-k(t–to)) .............................................................................................(10) dimana : Lt = ukuran panjang ikan pada saat umur t tahun(cm) L∞ = panjang maksimum ikan yang dapat dicapai t0 = umur ikan teoritis pada saat panjangnya 0 cm HASIL Sebaran frekuensi panjang ikan kurisi hasil tangkapan kapal cantrang dalam 11 bulan menyebar normal dengan dua modus. Panjang ikan terkecil yang tertangkap pada kisaran nilai tengah panjang cagak 4,8 cm dan terpanjang berkisar 18,8 cm dan ukuran panjang pertama kali tertangkap (Lc) sekitar 11,41 cm. (Gambar 1 dan 2). frekuensi (%) 10 8 n = 6317 6 4 2 0 4.8 5.8 6.8 7.8 8.8 9.8 10.811.812.813.814.815.816.817.818.8 fork length (cm) Gambar 1. Distribusi frekuensi panjang cagak ikan kurisi (Nemipterus japonicus) 4 Gambar 2. Distribusi frekuensi panjang kumulatif ikan kurisi (Nemipterus japonicus) Sebaran kelompok ukuran ikan kurisi (Nemipterus japonicus) mengalami pergeseran modus sehingga menunjukan adanya rekruitmen dan pertumbuhan. Hasil analisis FISAT II menunjukkan koefisien pertumbuhan (K) sebesar 1 per tahun dan panjang asimtotik (L∞) sebesar 19,74 cm. Laju kematian alami (M) ikan kurisi sebesar 1,08 pertahun, laju kematian karena penangkapan sebesar 1,02 per tahun. Dengan demikian didapatkan laju kematian total sebesar 2,1 pertahun dan laju eksploitasi E sebesar 0,48 per tahun (Tabel 1). Tabel 1. Parameter pertumbuhan dan mortalitas kurisi (Nemipterus japonicus) Parameter Nilai L∞ (cm) 19,74 K (tahun-1) 1 Lc (cm) Z E M F 11,41 2,1 0,48 1,08 1,02 Berdasarkan data panjang (cmFL) pada penelitian ikan kurisi (Nemipterus japonicus), dengan menggunakan program FISAT, diperoleh nilai panjang asimtotik (L∞) = 19,74 cm, nilai K = 1 per tahun, dan nilai dugaan umur teoritis pada saat panjang ikan sama dengan nol (t0) = -0,178 per tahun. Dengan demikian diperoleh persamaan pertumbuhan ikan kurisi di Pantai Utara Jawa adalah Lt 5 = 19,74(1-e-1(t-0.178)). Dari persamaan tersebut dapat diduga panjang dari ikan Panjang cagak/FL (cm) kurisi (Nemipterus japonicus) pada umur tertentu (Gambar 3). 22 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 L∞ Lt = 19,74(1-e-1(t-0.178)) 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Umur (tahun) Gambar 3. Kurva pertumbuhan Von Bertalanffy ikan kurisi (Nemipterus japonicus) PEMBAHASAN Sebaran panjang ikan kurisi (Nemipterus japonicus) di daerah Tegal didominasi ukuran 11,45 cm dan pertama kali matang gonad berukuran 12,5 cm. (Wahyuni, et.al 2009). Menurut Russel (1990) panjang baku maksimum ikan kurisi (Nemipterus japonicus) di Perairan Laut Cina Selatan adalah 25 cm. Nilai K sebesar 1 per tahun, hal ini menunjukkan bahwa ikan kurisi (Nemipterus japonicus) merupakan ikan dengan pertumbuhan cepat. Sparre & Venema (1999) menyatakan bahwa ikan yang mempunyai koefisien laju pertumbuhan (K) yang tinggi berarti mempunyai kecepatan pertumbuhan yang tinggi dan biasanya ikan-ikan tersebut memerlukan waktu yang singkat untuk mencapai panjang maksimumnya. Ikan - ikan yang laju koefisiennya rendah, membutuhkan waktu yang lama untuk mencapai panjang maksimumnya, maka cenderung berumur panjang. Laju kematian alami (M) ikan kurisi sebesar 1,08 pertahun, laju kematian karena penangkapan (F) sebesar 1,02 per tahun. Nilai kedua laju kematian ikan kurisi tersebut seimbang, sehingga diperkirakan stock ikan yang dieksploitasi di perairan Laut Jawa sudah optimal. Menurut Atmaja & Nugroho, (2004) bahwa kematian ikan akibat penangkapan adalah berbanding lurus dengan upaya penangkapan dan kemampuan tangkap. Hal ini berarti kenaikan kematian akibat 6 penangkapan akan diikuti dengan kenaikan upaya penangkapan. Gulland (1971) in Sparre & Venema (1999) menduga bahwa dalam stok yang dieksploitasi optimal maka laju mortalitas penangkapan (F) sama dengan laju mortalitas alami (M) atau laju eksploitasi (E) sama dengan 0,5. Nilai E ikan kurisi pada saat penelitian sebesar 0,48 hal ini berarti bahwa stok ikan yang dieksploitasi relatif optimal. Pembatasan jumlah unit kapal cantrang mungkin opsi yang paling dimungkinkan, hal ini juga didasarkan pada nilai panjang asimtotik kurisi (Nemipterus japonicus) semakin kecil jika dibandingkan dengan negara lain. Gulland (1971) mengemukakan bahwa gejala over eksploitasi dapat ditandai dengan menurunnya hasil tangkapan per upaya penangkapan, semakin kecilnya ukuran ikan yang tertangkap, dan bergesernya fishing ground ke daerah yang lebih jauh dari pantai. Penentuan laju eksploitasi merupakan salah satu faktor yang perlu diketahui untuk menentukan kondisi sumberdaya perikanan dalam pengkajian stok ikan (King 1995). Tabel 2. Parameter pertumbuhan ikan kurisi (Nemipterus japonicus) pada beberapa perairan L∞ (cm) Tipe panjang K (tahun-1) SuhuoC 23,5 20,9 FL TL 0,73 0,65 28 27,5 28,5 21,0 TL FL 0,65 0,95 28 28,4 1,68 Brunei Philippina 30,5 TL 1 27,6 2,52 Madras, India M Negara Bangladesh Andra-Orissa, India (Sumber ; Fish Base, 2012) Gulland (1971) juga mengemukakan bahwa laju eksploitasi (E) suatu stok ikan berada pada tingkat maksimum dan lestari (MSY) jika nilai F = M atau laju eksploitasi (E) = 0,5. apabila nilai E lebih besar dari 0,5 dapat dikategorikan lebih tangkap biologis yaitu lebih tangkap pertumbuhan terjadi bersama-sama dengan lebih tangkap recruitmen. Lebih tangkap pertumbuhan yaitu tertangkapnya ikan - ikan muda yang akan berpotensi sebagai stok sumberdaya perikanan sebelum mereka mencapai ukuran yang pantas untuk ditangkap sedangkan lebih tangkap rekruitmen yaitu bila jumlah ikan-ikan 7 dewasa di dalam stok terlalu banyak dieksploitasi sehingga reproduksi ikanikan muda juga berkurang (Pauly, 1984). Ikan kurisi (Nemipterus japonicus) Laut Jawa memiliki panjang asimtotik (L∞) kecil jika dibandingkan dengan beberapa perairan di negara lain. Menurut Ficher & White head (1974) dalam Siregar (1997) ciri ikan kurisi adalah berukuran kecil, badan langsing serta menyatakan bahwa ikan kurisi maksimal berukuran 30 cm, umumnya yang sering tertangkap berukuran 16-25 cm. Berdasarkan pengamatan Brojo & Sari (2002) menyatakan bahwa ukuran pertama kali ikan betina matang gonad (Lm) adalah pada ukuran sekitar 17 cm (kisaran 15- 18 cm). Lagler, et.al (1977) in Gumilar (2011) mengatakan bahwa perbedaan ukuran ikan antar jenis kelamin kemungkinan disebabkan oleh faktor genetik. KESIMPULAN Parameter populasi ikan kurisi di Laut Jawa memiliki koefisien pertumbuhan (K) sebesar 1 per tahun dan panjang asimtotik (L∞) 19,74 cm, laju mortalitas alami (M) 1,08 pertahun, mortalitas penangkapan (F) 1,02 per tahun dan mortalitas total (Z) 2,1 sehingga diperoleh laju eksploitasi (E) 0,48 yang berarti bahwa tingkat pemanfaatan ikan kurisi di perairan Laut Jawa sudah optimal. SARAN Perlu adanya pembatasan jumlah alat tangkap cantrang di Laut Jawa agar stok sumberdaya ikan kurisi tetap lestari. PESANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil penelitian pengkajian sumberdaya ikan demersal di WPP716- Laut Sulawesi dan WPP 712- Laut Jawa Tahun 2012 di Balai Penelitian Perikanan Laut, Jakarta. 8 DAFTAR PUSTAKA Atmaja & Nugroho, 2004. Karakteristik parameter populasi ikan siro (Amblygaster sirm) dan model terapan Beverton dan Holt di Laut Natuna dan sekitarnya. JPPI Vol. 10 No. 4 Tahun 2004 Badrudin, Tri Ernawati, Aisyah 2011. Kelimpahan stok sumberdaya ikan demersal di Perairan Sub Area Laut Jawa. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol. 17 No. 1 Maret Tahun 2011 Brojo M & Sari RP. 2002. Biologi reproduksi ikan kurisi (Nemipterus tambuloides Bleeker) yang didaratkan di TPI, Labuan, Pandeglang. Jurnal Iktiologi Indonesia. 2(1) : 9-13. Fischer W. & Whitehead P.J.P., 1974. FAO - Species Identification Sheets for Fishery Purposes. Eastern Indian Ocean (fishing area 57) and Western Central Pacific (fishing area 71). Vol. 4. pag. var. Rome: FAO Fish Base 2012. Growth parameters for Nemipterus www.fishbase.org/. Diakses tanggal 23 Desember 2012 japonicus. FISAT II. 2004. FAO – ICLARM Fish Stock Assessment Tools Version 1.13. Rome Gulland, J.A. 1971. The Fish Resources of the Oceans. Fishings News (Books) Ltd. Surrey, England.209 p. Gumilar AD. 2011. Kajian furcosus, Valenciennes Serang, Provinsi Banten daya Perairan, Fakultas Bogor. stok sumber daya ikan kurisi (Nemipterus 1830) di Perairan Teluk Banten Kabupaten [skripsi]. Program Studi Manajemen Sumber Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Harahap & Bataragoa, 2008. Pola pertumbuhan dan foktor kondisi ikan kurisi (Aphareus rutilans Cuvier, 1830) di Perairan Laut Maluku. Pacifik Jaournal. September 2008. Vol. 1(3) : 287-291 Jennings S., M. Kaiser, & J.D. Reynolds,2001. Marine Fisheries Ecology. Alden Press Ltd. Blackwell Publishing. United Kingdom. 417 pp. King, M. 1995. Fisheries Biology Assessment and Management. Fishing News Books, Oxford. 341 p. Lagler, K.F., J.E. Bardach, R.R. Miller, and D.R.M. Passino. 1977. Ichthyology. Second edition. John Wiley and Sons, Inc., New York. 9 Pauly, D. 1980. A selection of simple methods for the assessment of tropical fish stocks. FAO Fish. Circ. FIRM/C 729. Roma. 54 pp. Potier, M. & B Sadhotomo 1991. Sampling training. ALA/INS/87/17. Scien. And Tech. Doc. 4. 29 p Russel, B.C. 1990. F.A.O. Species Catalogue. Vol.12. Nemipterus Fishes of the World (Treadfin Breams, Whiptail Breams, Monocle Breams, Dwarf monocle breams, and Coral breams) Family Nemipteridae an Annotated and Illustrated Catalogue of Nemipterid Species Known to Date. FAO. Fisheries Synopsis. No.125 Vol.12 149 pp. Siregar, E.B. 1997. Pendugaan stok dan parameter biologi ikan kurisi (Nemipterus japonicus) diperairan Teluk Lampung. Skripsi. ProgramStudi ilmu Kelautan, Fakultas perikanan. IpB.7o p. Sparre, P. & S.C. Venema, 1999. Introduksi pengkajian stok ikan tropis. Buku 1. Manual. FAO fish. Tech. Wahyuni, I.S, Hartati, S.T, & I.J Indarsyah 2009. Informasi biologi perikanan ikan kurisi (Nemipterus japonicus) di Blanakan dan Tegal. Bawal. Vol.2 No.4 April 2009 10 Lampiran 1. Garis pertumbuhan ikan kurisi (Nemipterus japonicus) Appendix 1. The growth curve of threadfin bream (Nemipterus japonicus) 11 PARAMETER POPULASI IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus malabaricus) DI PERAIRAN LAUT JAWA BAGIAN TIMUR (BRONDONG) Oleh Wahyuningsih1), Prihatiningsih1) dan Tri Ernawati1) 1) Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut ABSTRAK Ikan kakap merah (Lutjanus malabaricus) merupakan jenis ikan demersal dari famili Lutjanidae yang bernilai ekonomis penting di Indonesia. Penelitian dilakukan dari bulan Januari sampai dengan November 2012 di Brondong, Lamongan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui beberapa aspek parameter populasi (Lc, Lm, L∞, t0, K, Z, E, M, F) dari ikan kakap merah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa panjang rata-rata kakap merah yang tertangkap belum sempat melakukan pemijahan (Lc<Lm). Persamaan pertumbuhan ikan kakap merah adalah Lt = 97,65 (1 – e-0,220(t+0,024)). Mortalitas alami (M) adalah 0,49 tahun-1, mortalitas karena penangkapan (F) = 0,55 tahun-1 sehingga mortalitas total (Z) = 1,04 tahun-1. Nilai eksploitasi (E) pada kakap merah (Lutjanus malabaricus) adalah 0,53. Hal itu menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatannya relatif optimum. Kata kunci: Lutjanus malabaricus, Pertumbuhan, Umur, Mortalitas, Laut Jawa PENDAHULUAN Ikan kakap merah (Lutjanus malabaricus) adalah jenis ikan demersal dari famili Lutjanidae yang bernilai ekonomis tinggi di Indonesia. Kakap merah merupakan salah satu komoditas ekspor dari sub sektor perikanan yang permintaannya terus meningkat. Daerah penyebaran kakap merah di Laut Jawa ditemukan di perairan Bawean, Kepulauan Karimunjawa, Selat Sunda, selatan Jawa (Parangtritis – Yogyakarta), selatan/barat Kalimantan, timur Kalimantan, perairan Sulawesi, Kepulauan Natuna, Kepulauan Lingga dan Kepulauan Riau lainnya (Marzuki & Djamal, 1992). Alat tangkap yang digunakan untuk kakap merah umumnya adalah pancing rawai, pancing ulur, jaring insang atau gill net, bubu, dan trawl dasar. Brondong adalah salah satu landing base yang terletak di tepi pantai Utara Jawa dan merupakan bagian wilayah dari kabupaten Lamongan. Alat tangkap ikan kakap merah yang berhasil diidentifikasi di Brondong antara lain adalah jaring cantrang, pancing rawai dasar dan pancing ulur. Daerah penangkapan kapal harian 13 (5-10 GT) sekitar Tuban, Rembang, Madura, Pati, Jepara dengan jarak sekitar 30 210 mil. Daerah penangkapan kapal mingguan (10 GT <) adalah sekitar P. Bawean, Masalembo, Pulau Kangean, Matasiri, Banyuwangi, dan juga sekitar Pulau Kalimantan. Upaya penangkapan yang terus meningkat dikhawatirkan terjadinya penangkapan berlebih terhadap sumberdaya ikan kakap merah, sehingga diperlukan suatu bentuk pengelolaan. Oleh karena itu tujuan dari penelitian ini adalah memberikan informasi tentang aspek parameter populasi (Lc, Lm, L∞, t0, K, Z, E, M, F) yang dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam pengambilan kebijakan. BAHAN DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada Januari - November 2012. Pengumpulan data dilakukan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Brondong dan tempat pengumpul ikan di wilayah PPN Brondong. Berikut merupakan peta lokasi penangkapan di wilayah Brondong (Gambar 1). Gambar 1. Lokasi penangkapan (fishing ground) yang berbasis di Brondong Pengumpulan Data Sampel ikan kakap merah (Lutjanus malabaricus) diperoleh dari hasil tangkapan campuran dari ketiga alat tangkap yaitu pancing ulur, pancing rawai dasar, dan jaring cantrang. Sampel ikan diukur panjang baku (Fork length) dengan mistar ketelitian 1 mm dan bobot ditimbang dengan ketelitian 0.1 gram. 14 Analisis Data Pendugaan rata-rata panjang tertangkap (Lc) Pendugaan rata-rata panjang tertangkap dilakukan dengan membuat grafik hubungan antara panjang ikan (sumbu X) dengan jumlah ikan (sumbu Y) sehingga diperoleh kurva berbentuk S. Nilai length at first capture yaitu panjang pada 50% pertama kali tertangkap dihitung dengan persamaan sebagai berikut (Jones, 1976 dalam Sparre & Venema, 1998) : S L est 1 .................................................................................(1) 1 exp( S1 S 2 * L) 1 Ln 1 S1 S 2 * L ......................................................................................(2) SL L50% S1 .............................................................................................................(3) S2 dimana : SL : kurva logistik S1 dan S2 : konstanta pada rumus kurva logistik Pendugaan rata-rata panjang pertama kali matang gonad (Lm) Pendugaan rata-rata panjang pertama kali matang gonad (length at first maturity) dilakukan sesuai dengan prosedur penghitungan yang dilakukan Udupa (1986), melalui rumus : m = Xk + X/2 – (X ∑ pi)...........................................................................(4) dimana : m : log ukuran ikan saat pertama matang ovarium Xk: log ukuran ikan dimana 100% ikan sampel sudah matang X : selang log ukuran (log size increment) Pi : proporsi ikan matang pada kelompok ke-i Rata-rata ukuran ikan pertama matang ovarium diperoleh dari nilai antilog (m). Estimasi parameter pertumbuhan 15 Pendugaan nilai koefesien pertumbuhan L∞ dan K dilakukan dengan menggunakan metode ELEFAN I, sedangkan t0 diperoleh melalui persamaan Pauly (1980). Ketiga nilai dugaan parameter pertumbuhan tersebut dimasukkan ke model pertumbuhan Von Bertalanfy. Pola pertumbuhan ikan kakap merah (L. malabaricus) diperkirakan dengan menggunakan rumus Von Bertalanffy (Sparre & Venema, 1998) sebagai berikut : Lt = L∞ (1- e-k (t – to))..............................................................................................(5) dimana : Lt : ukuran panjang ikan pada saat umur t tahun(cm) L∞ : panjang maksimum ikan yang dapat dicapai t0 : umur ikan teoritis pada saat panjangnya 0 cm K : Koefisien pertumbuhan Dugaan umur Nilai dugaan umur teoritis pada saat panjang ikan sama dengan nol (t0) ikan kakap merah diperoleh dengan menggunakan rumus (Pauly, 1980) yaitu : Log (-t0) = -0.3922 – 0.2752 Log -1.038 Log K....................................................(6) Perhitungan mortalitas Mortalitas total (Z) dalam suatu kegiatan perikanan tangkap sangat penting untuk menganalisis dinamika populasi atau stok ikan. Mortalitas dapat dibedakan dalam mortalitas alami (M) dan mortalitas karena penangkapan (F). Mortalitas total dapat diduga dari pergeseran kelimpahan kelompok umur dan dari analisis kurva hasil tangkapan menggunakan data frekuensi panjang (Sparre & Venema, 1998). Mortalitas total dihitung menggunakan rumus : Z = M + F ......................(7) Mortalitas alami (M) diduga dengan metode persamaan empiris Pauly (1980) dengan rumus : Ln M = -0,0152 – 0,279*Ln L∞ + 0,6543*Ln K + 0,4634*Ln T..........................(8) dimana : M: mortalitas alami per tahun K: Koefisien pertumbuhan L∞ : panjang maksimum ikan T: Suhu rata-rata tahunan (ºC) 16 HASIL Panjang rata-rata tertangkap (Lc) dan panjang rata-rata matang gonad (Lm) Pengukuran rata-rata panjang kakap merah (Lutjanus malabaricus) tertangkap pada tingkat kemungkinan 50 % (Lc) yang diperoleh dari hasil penelitian adalah 38,51 cm FL (Gambar 2), sedangkan ukuran rata-rata panjang pertama kali matang gonad (Lm) sebesar 50,004 cm FL. Nampak bahwa nilai Lm > Lc. 100 Frekuensi kumulatif (%) 80 60 40 20 0 0 20 40 60 80 100 Mid-length (cm) Gambar 2. Panjang rata-rata tertangkap ikan kakap merah (Lutjanus malabaricus) di Brondong (Laut Jawa). Estimasi parameter pertumbuhan Berdasarkan data struktur ukuran panjang (FL) ikan kakap merah (Gambar 3) diperoleh nilai parameter pertumbuhan yaitu panjang asimtotik (L∞) = 97,65 cm, koefisien pertumbuhan (K) = 0,220 per tahun, dan umur ikan kakap merah pada saat panjang sama dengan nol (t0) = -0,024. Dengan demikian persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy untuk kakap merah (Lutjanus malabaricus) adalah Lt = 97,65[1-e-0,220(t + 0,024)]. Gambar 3. Sebaran frekuensi panjang kakap merah (Lutjanus malabaricus) berdasarkan Program ELEFAN. 17 Beberapa penelitian terkait dengan parameter pertumbuhan ikan kakap merah (Lutjanus malabaricus) telah banyak dilakukan pada penelitian sebelumnya di lokasi yang berbeda dari penelitian ini, diantaranya adalah Taiwan, China, Kuwait, Australia, Utara Jawa, dan Kotabaru (kalimantan Selatan) (Tabel 1). Pada penelitian Prihatiningsih (2012) di Kotabaru (Kalimantan Selatan) diperoleh nilai L∞ = 57,86 cm FL dan K = 0,238 per tahun sehingga dari beberapa parameter populasi yang berbeda, diperoleh tingkat pertumbuhan yang berbeda pula. Tabel 1. Estimasi parameter pertumbuhan ikan kakap merah (Lutjanus malabaricus) dengan daerah penangkapan yang berbeda. L∞ K t0 (cm) (per tahun) (tahun) 96,9 (TL) 0,147 93,0 (TL) 0,142 -0,82 China (laut China Selatan) 70,7 (SL) 0,168 0,418 Australia 68,9 (TL) 0,358 56,6 (FL) 0,262 0,009 Australia 64,4 (TL) 0,338 0,397 Utara Jawa (Indonesia) 57,86(FL) 0,238 0,588 Kalimantan Selatan (Indonesia) (2012) 97,65 (FL) 0,220 -0,024 Brondong,Lamongan (Utara Jawa) Penelitian ini (2012) Lokasi/Location Sumber/Ref Taiwan (Laut China Selatan) Edwards (1991) Mathews & Samuel Kuwait (1991) Herianti (1993) Prihatiningsih Dugaan umur Dengan menggunakan rumus pertumbuhan Von Bertalanffy, diperoleh nilai panjang asimtotik (L∞) = 97,65 cm, nilai K = 0,220 per tahun, dan nilai dugaan umur teoritis pada saat panjang ikan sama dengan nol (t0) = -0,024 per tahun, sehingga diperoleh persamaan pertumbuhan ikan kakap merah (Lutjanus malabaricus) di Brondong, Lamongan (Pantai Utara Jawa) adalah Lt = 97,65[1-e0,220(t + 0,024) ]. Dari persamaan tersebut dapat diduga panjang dari ikan kakap merah (Lutjanus malabaricus) pada umur tertentu (Gambar 4). Ukuran panjang (FL) ikan kakap merah terkecil selama penelitian adalah 15 cm diduga berumur 0,74 tahun (sekitar 9 bulan), ukuran panjang terbesar adalah 94 cm diduga berumur 15 tahun, ukuran panjang pertama kali tertangkap 18 (Lc) adalah 38,51 cm diduga berumur 2 tahun dan panjang pertama kali matang gonad (Lm) adalah 50 cm diduga berumur 3 tahun. Panjang cagak/FL (cm) 100 L∞ 80 Lt = 97.65(1-e-0.220(t-0.024)) 60 40 20 0 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 Umur (tahun) Gambar 4. Kurva pertumbuhan Von Bertalanffy ikan kakap merah (Lutjanus malabaricus) Estimasi mortalitas Dari parameter pertumbuhan Von Bertalanffy ikan kakap merah (Lutjanus malabaricus) yang telah dihitung, dapat diperoleh nilai mortalitas alami (M) adalah 0,49 per tahun dan nilai mortalitas karena penangkapan (F) adalah 0,55 per tahun, sehingga mortalitas total (Z) = 1,04 per tahun. Untuk nilai eksploitasi/tingkat pemanfaatan (E) ikan kakap merah (Lutjanus malabaricus) di Brondong adalah 0,53. BAHASAN Berdasarkan hasil penelitian ikan kakap merah di Brondong diketahui bahwa nilai Lm > Lc (Lm = 50,004 ; Lc = 38,51). Hal itu menunjukkan bahwa ukuran rata-rata panjang pertama kali tertangkap lebih kecil dari ukuran pertama kali matang gonad, sehinngga dapat dikatakan bahwa sebagian besar ikan-ikan yang tertangkap belum sempat melakukan pemijahan. Oleh karena itu perlu suatu kebijakan dalam pengelolaan untuk menjaga sumberdaya yang berkelanjutan. Salah satunya adalah dengan menentukan minimum Legal Size, yaitu paling tidak ukuran yang tertangkap lebih besar atau sama dengan Lm (length maturity). Menurut Grimes (1987), ikan kekakapan mencapai ukuran kematangan gonad pada ukuran panjang 40% - 50 % dari panjang maksimumnya dan perbedaan ukuran pada saat maturasi sangat dipengaruhi oleh kedalaman serta tipe habitat kaitannya dengan kelimpahan makanan. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya 19 yaitu oleh Prihatiningsih (2012), menyatakan bahwa nilai Lc kakap merah (Lutjanus malabaricus) di perairan Kotabaru (Kalimantan Selatan) yaitu 40,5 cmFL. Hasil tersebut hampir sama dengan penelitian oleh Herianti (1993), bahwa nilai Lc kakap merah di perairan Laut Jawa adalah 43,3. Nikolskii (1969) mengatakan bahwa pertumbuhan merupakan faktor penting dalam dinamika populasi, karenanya informasi mengenai parameter pertumbuhan perlu diketahui sebab dapat digunakan sebagai dasar untuk menduga kondisi sumberdaya di suatu perairan seperti besarnya sediaan, tingkat pengusahaan serta kemungkinan pengelolaannya. Berdasarkan data hasil penelitian ikan kakap merah di Brondong dan hasil penelitian sebelumnya seperti yang telah ditampilkan pada tabel 1, diperoleh nilai K yang kurang dari satu. Menurut Gulland (1983), apabila nilai K yang kurang dari satu menunjukkan bahwa ikan ini mempunyai pertumbuhan yang lambat. Laju pertumbuhan yang lambat sangat mempengaruhi pola pemanfaatannya. Untuk mencapai pola pemanfaatan yang lestari, perlu dipertimbangkan waktu yang tepat untuk menangkap ikan, baik ditinjau dari sumber dayanya maupun segi ekonominya. Ikan-ikan yang berumur muda harus dibiarkan tumbuh dewasa terlebih dahulu sebelum ditangkap. Penangkapan ikan-ikan muda yang berlebihan akan mengakibatkan kelebihan tangkap pertumbuhan (growth overfishing). Hal ini juga menyebabkan kelebihan tangkap penambahan baru (recruitment overfishing), karena ikan-ikan muda yang belum sempat dewasa dan bertelur sudah tertangkap terlebih dahulu sehingga kehilangan kesempatan untuk penambahan baru (recruitment). Menurut Sparre dan Venema (1998), nilai K merupakan suatu parameter yang menentukan seberapa cepat ikan mencapai panjang asimptotiknya (L∞). Hasil penelitian ikan kakap merah (Lutjanus malabaricus) di Brondong, pada ukuran panjang (FL) terkecil 15 cm diduga berumur 0,74 tahun sedangkan pada ukuran panjang (FL) terbesar 94 cm diduga berumur 15 tahun. Menurut Newman et al. (2000) ikan kakap merah jenis Lutjanus malabaricus mempunyai umur yang cukup panjang dapat mencapai 20 tahun dan pertumbuhannya relatif lambat setelah mencapai dewasa. Ikan yang memiliki koefisien pertumbuhan yang tinggi pada umumnya memiliki umur yang relatif pendek (Paully, 1980). 20 Tingkat pemanfaatan (E) pada kakap merah (Lutjanus malabaricus) adalah 0,53. Hal itu menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatannya relatif optimum. Menurut Gulland (1983), tingkat pemanfaatan optimum berada pada saat E = 0,5. Kondisi tersebut perlu kehati-hatian dalam melakukan pengelolaan. Sebaiknya dalam pengelolaan tersebut tidak boleh adanya penambahan upaya penangkapan, karena jika terjadi penambahan upaya penangkapan dikhawatirkan pemanfaatannya mengarah pada kondisi over fishing. Nilai F menunjukkan seberapa besar dan meningkatnya tekanan penangkapan (fishing pressure) terhadap stok ikan di suatu perairan (Suman & Boer, 2005). Variasi laju kematian alamiah (M) dari satu jenis ikan tidak terlalu besar, biasanya nilainya dianggap tetap dari tahun ke tahun (Paully et al., 1984). Hal ini menyebabkan laju kematian total (Z) dari tahun ke tahun lebih banyak ditentukan oleh laju kematian karena penangkapan (F) dibandingkan laju kematian alamiah (M). KESIMPULAN Rata-rata ikan yang tertangkap belum sempat melakukan pemijahan (Lc < Lm). Persamaan pertumbuhan ikan kakap merah adalah Lt = 97,65[1-e-0,220(t + 0,024) ]. Tingkat pemanfaatan (E) adalah 0,53 yang berarti bahwa tingkat pemanfaatannya relatif optimum. Sehingga perlu kehati-hatian dalam upaya pengelolaannya. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan hasil dari kegiatan riset: Pengkajian Sumber Daya Ikan Demersal di WPP 716 Laut Sulawesi dan WPP 712 Laut Jawa di Balai Penelitian Perikanan Laut Tahun 2012. DAFTAR PUSTAKA Edwards, R. R. C. And S. Shaher. 1991. The biometrics of marine fishes from the Gulf of Aden. Fishbyte 9 (2): 27-29. Grimes, C. B. 1987. Reproduvtive biology of the lutjanidae: a review. Westview Press. Boulder and London. pp: 239-294. Gulland, J. A. 1983. Fish stock assessment. A Manual of Basic Methods. John Wiley & Sons. Chicester. 233 p. 21 Herianti, I., R.Djamal. 1993. Dinamika populasi kakap merah Lutjanus malabaricus (Bloch and Schneider) di perairan Utara Laut Jawa. Jurnal Penelitian Perikanan Laut No. 78. Hal. 18 – 25. Marzuki, S. dan R. Djamal. 1992. Penelitian penyebaran kepadatan stok dan beberapa parameter biologi induk kakap merah dan kerapu di perairan laut jawa dan kepulauan Riau. Jurnal Penelitian Perikanan Laut No. 68 tahun 1992. Balai Penelitian Perikanan Laut. Jakarta. Hal. 49-65. Mathews, C. P. and Samuel, 1991. Growth, mortality and length-weight parameters for some Kuwaiti fish and shrimp. Fishbyte 9 (2): 30-33. Newman, S. J., M. Cappo & D. Williams. 2000. Age, growth, mortality rates, and corresponding yield estimates using otoliths of the tropical red snappers, Lutjanus erythropterus, L.malabaricus, and L. Sebae, from the central Great Barrier Reef. Fisheries Research 48: 1-14. Nikolskii, G. V. 1969. Fish population dynamics. Oliver and Boyd, Edinburg. 323 p. Pauly, D. 1980. A selection of simple methods for the assessment of tropical fish stocks. FAO Fish. Circ. FIRM/C 729. Roma. 54 pp. Pauly, D. J. Ingles, R. Neal. 1984. Application to shrimp stocks of objective methods for the estimation of growth, mortality, and recruitment related parameters from length frecuency data (ELEFAN I and ELEFAN II). In Penaeid Shrimp-Their Biology and Management. 220-234. Fishing News Book Limited. Farnham-Surrey-England. Prihatiningsih. 2012. Pertumbuhan, umur dan mortalitas ikan kakap merah (Lutjanus malabaricus) dari perairan Kotabaru (Pulau Laut) Kalimantan Selatan. Prosiding. Seminar Nasional Perikanan Tangkap. Manado 30-31 Oktober 2012. Hal 373-383. Sparre, P. & S. C. Venema. 1998. Introduksi pengkajian stok ikan tropis. Badan Penelitian dan Pengembangan Perikanan (Terjemahan) : Introduction to Tropical fish stock assessment. FAO Fish Tech. Paper. 306.(1) 376 pp. Suman, A. & M. Boer. 2005. Ukuran pertama kali matang kelamin, musim pemijahan, dan parameter pertumbuhan udang dogol (Metapenaeus ensis de Haan) di perairan Cilacap dan sekitarnya. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 11(2): 69-74. Udupa, K. S. 1986. StatisticaL method of estimating the size of first maturity in fish. Fishbyte ICLARM. Manila. Vol 4 No 2. August 1986. 8-1. 22 ASPEK BIOLOGI IKAN SWANGGI (Priacanthus macracanthus) DI PERAIRAN REMBANG, LAUT JAWA Oleh Nur’ainun Muchlis1) dan Muhammad Taufik1) 1) Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut ABSTRAK Penelitian ini bertujuan menganalisis beberapa aspek biologi dan parameter populasi ikan swanggi. Persamaan panjang-berat ikan swanggi pada kelamin betina adalah W = 0.8916L1.5755 dan kelamin jantan adalah W = 1.0551L1.5126 dengan nilai koefisien korelasi (r) masing-masing 0.865 dan 0.6804. Musim pemijahan ikan swanggi di Laut Jawa diduga terjadi sepanjang tahun dengna puncaknya bulan Oktober hingga Nopember. Hasil analisis struktur ukuran panjang ikan swanggi diperoleh nilai K = 1.00 dengan L∞ = 30.24 cm. Nilai M pada suhu 29oC adalah 1.81, nilai F = 2.43 per tahun dan n ilai Z = 4.24 per tahun. Laju eksploitasi (E) ikan swanggi adalah 0.57 nilai tersebut mengindikasikan bahwa pemanfaatan sudah melampaui batas maximum yang boleh di eksploitasi, untuk itu diperlukan upaya pengurangan jumlah armada atau perubahan alat tangkap yang digunakan. Kata Kunci: Aspek biologi, ikan swanggi, Rembang, Laut Jawa PENDAHULUAN Ikan swanggi (Priacanthus macracanthus) adalah salah satu jenis ikan demersal yang bernilai ekonomis penting. Pengertian ekonomis penting yang dimaksud adalah komoditas tersebut mempunyai nilai pasar yang tinggi, volume produksi makro yang tinggi dan luas serta daya produksi yang tinggi pula (Dirjen Perikanan, 1979). Ikan swanggi merupakan ikan karang demersal dengan karakteristik khusus berwarna merah muda, memiliki mata besar, dan pada sirip perut terdapat bintik berwarna ungu kehitam-hitaman (FAO, 1999). Family Priacanthidae memiliki penyebaran yang luas diperairan tropis maupun subtropics, dimana kadang-kadang ditemukan secara soliter ataupun dalam bentuk gerombolan yang besar. Penelitian ini bertujuan menganalisis berbagai aspek biologi ikan swanggi yang meliputi hubungan panjang berat, rasio kelamin, tingkat kematangan gonad, isi lambung serta pendugaan parameter populasi. 23 BAHAN DAN METODE Pengambilan contoh ikan dilakukan secara acak di tempat pendaratan ikan atau langsung dari nelayan perairan Rembang dan sekitarnya. Contoh ikan disortir dan diidentifikasi jenisnya berdasarkan panduan dari Tarp & Kailola (1982). Contoh ikan diukur panjang total (TL), ditimbang beratnya, dilakukan pembedahan untuk penentuan tingkat kematangan gonad (TKG), jenis kelamin serta dilakukan pengamatan terhadap isi lambung untuk mengetahui kebiasaan makan dari ikan swanggi. Analisis Data Hubungan panjang – berat mengacu pada Effendie (1979) dengan formula : W = aLb ………………………………………………………………………………………………………………..…….(1) Dimana : W = berat ; L = panjang a = intersep (perpotongan kurva hubungan panjang-berat dengan sumbu Y) b = kemiringan (slope) Untuk menguji nilai b = 3 atau b ≠ 3 dilakukan uji –t (uji parsial), dengan hipotesis : H0 : b = 3, hubungan panjang dan berat adalah isometrik. H1 : b ≠ 3, hubungan panjang dengan berat adalah allometrik yaitu : Pola hubungan panjang-berat bersifat allometrik positif, bila b > 3 (pertambahan berat lebih cepat daripada pertambahan panjang), dan allometrik negatif, bila b < 3 (pertambahan panjang lebih cepat daripada pertambahan berat). HASIL DAN BAHASAN 1. Hubungan Panjang-Berat Pengukuran individu terhadap 4.037 ekor ikan swanggi (Priacanthus macracanthus) di perairan Rembang (Laut Jawa) diperoleh sebaran ukuran panjang berkisar 14.4 – 31.2 cm (panjang cagak, FL) dan kisaran beratnya 41.7 – 208.46 gram. Persamaan panjang-berat ikan swanggi pada kelamin betina adalah W = 0.8916L1.5755 dan kelamin jantan adalah W = 1.0551L1.5126 dengan nilai koefisien 24 korelasi (r) masing-masing 0.865 dan 0.6804 (Gambar 1). Jika nilai koefisien korelasi (r) mendekati nilai -1 atau 1, maka terdapat hubungan linier yang kuat antara kedua variable tersebut (Walpole, 1993). Dengan demikian terdapat hubungan yang erat yaitu sekitar 60-80 % antara panjang dengan berat ikan swanggi di Rembang. Berat (gr) 200 Betina/Female y = 0.8916x1.5755 R² = 0.865 150 100 50 0 0 10 20 30 Panjang cagak, FL (cm) 250 Jantan/Male Berat (gr) 200 y = 1.0551x1.5126 R² = 0.6804 150 100 50 0 0 10 20 30 40 Panjang cagak, FL (cm) Gambar 1. Hubungan panjang-berat ikan swanggi (Priacanthus macracanthus) di Rembang Nilai b pada jenis kelamin jantan dan betina ikan swanggi adalah 1.5755 dan 1.5126. berdasarkan hasil uji –t terhadap parameter b pada selang kepercayaan 95% diperoleh thitung > ttabel, yang artinya b < 3. Secara keseluruhan pola pertumbuhan ikan swanggi baik ikan jantan maupun ikan betina bersifat allometrik negatif yang artinya pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan pertambahan berat. 2. Rasio Kelamin Pengamatan terhadap rasio kelamin ikan swanggi hasilnya pada setiap bulan pengamatan ditemukan jenis kelamin jantan lebih dominan dibanding jenis 25 kelamin betina. Pada bulan Mei terlihat jantan jauh lebih dominan yaitu sebanyak 85 % dari total ikan swanggi yang diamati. 120 Persentase (%) 100 80 Jenis Kelamin : 60 Jantan 40 Betina 20 0 Januari Februari Mei Juni September Gambar 2. Jenis Kelamin Priacanthus macracanthus 3. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Hasil pengamatan TKG pada setiap pengambilan contoh ikan swanggi, diperoleh ikan yang mempunyai tingkat kematangan gonad yang berbeda-beda. Dari jumlah ikan yang matang gonad (matang kelamin) setiap kali pengambilan contoh (sampling) di lokasi penelitian menunjukkan pergeseran persentase bulanan yang dapat dijadikan parameter untuk mengetahui musim pemijahannya. Ikan dikatakan matang gonad apabila telah mencapai fase ke-5 dari tingkat kematangan gonad ikan, namun pada penelitian ini hanya ditemukan hingga fase ke-4 yaitu pada bulan Mei dan September, sehingga diduga puncak musim pemijahan terjadi pada bulan Oktober hingga Nopember. 26 120 Persentase (%) 100 80 TKG : IV 60 III 40 II 20 I 0 Januari Februari Mei Juni September Gambar 3. Tingkat Kematangan Gonad Priacanthus macracanthus (dipisah jantan betina) 4. Isi Lambung Pengamatan terhadap isi lambung ikan swanggi ditemukan beberapa jenis ikan, udang-udangan, cumi, kepiting dan bivalvia, namun yang mendominasi adalah ikan dan udang dimana jenis ini ditemukan pada setiap pengamatan. Persentase (%) 100% 80% 40% Isi Lambung : Kepitin g Cumi 20% Bivalvia 60% 0% Jan Feb Mei Juni Sept Gambar 4. Isi lambung Priacanthus macracanthus Pendugaan Parameter Populasi Perhitungan parameter populasi dimaksudkan untuk mengetahui tingkat eksploitasi ikan di suatu perairan. Penentuan parameter populasi yang meliputi panjang maksimum teoritis (L∞), laju pertumbuhan (K), laju kematian (Z, M dan F) dan laju eksploitasi (E) berdasarkan analisis frekuensi panjang individu yang 27 disampling per bulan di Rembang. Laju kematian dan nilai ekspoitasi disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Parameter populasi ikan swanggi (Priacanthus macracanthus) di Rembang Jenis Ikan Priacanthus macracanthus L. ∞ (cm) (K: cm/year) F M Z E 30.24 1.00 2.43 1.81 4.24 0.57 Hasil analisis struktur ukuran panjang ikan Priacanthus macracanthus dengan FISAT diperoleh hasil sebaran kelompok ukuran ikan Swanggi (Priacanthus macracanthus) mengalami pergeseran ke kiri dan kanan sehingga menunjukan adanya rekruitmen dan pertumbuhan. Laju pertumbuhan K = 1.00 dengan L∞ = 30.24, mortalita alami (M) pada suhu 29oC adalah 1.81, pertumbuhan mortalitas karena penangkapan (F) = 2.43 pertahun. Sehingga mortalitas total (Z) = 4.24 pertahun. Laju eksploitasi ikan swanggi adalah 0.57 nilai E tersebut mengindikasikan bahwa pemanfaatan sudah melampaui batas maximum yang boleh di eksploitasi, untuk itu diperlukan suatu upaya pengurangan jumlah armada atau perubahan alat tangkap yang digunakan. . Gambar 5. Sebaran Frekwensi Panjang ikan Priacanthus macracanthus KESIMPULAN 1. Hubungan panjang-berat ikan swanggi jenis betina dan jantan bersifat allometrik negatif dengan persamaan pada ikan swanggi betina W = 0.8916L1.5755 dan ikan swanggi jantan adalah W = 1.0551L1.5126. 28 2. Musim pemijahan ikan swanggi diperkiran pada bulan Oktober hingga Nopember. 3. Laju eksploitasi ikan swanggi di Rembang adalah 0.57 nilai tersebut mengindikasikan bahwa pemanfaatan sudah melampaui batas maximum yang boleh di eksploitasi, untuk itu diperlukan suatu upaya pengurangan jumlah armada atau perubahan alat tangkap yang digunakan. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil Penelitian Pengkajian Sumberdaya Ikan Demersal di WPP-716 Laut Sulawesi dan WPP-712 Laut Jawa, T.A. 2012 di Balai Penelitian Perikanan Laut, Muara Baru, Jakarta DAFTAR PUSTAKA Dirjen Perikanan, 1979. Buku Pedoman Pengenalan sumberdaya Perikanan Laut, Bagian I: Jenis-jenis ikan ekonomis penting. Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian. Jakarta, 170 pp. Effendie, M. I. 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. 112 pp. FAO (Food Agricultural Organization), 1999. The Living Marine Mesources of Western Central Pasific. Spesies Identification guide for Fishery Purpose. Department of Biological Sciences Old Dominion. Norfolk University, Virginia. Tarp, T.G. & P.J. Kailola. 1982. Trawled Fishes of Southern Indonesia and North-Western Australia. ADAB, GDF, and GTZ. Singapore. 406 pp. Walpole, R. E. 1993. Pengantar Statistik. Edisi ke tiga. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 29 BIOLOGI REPRODUKSI DAN KEBIASAAN MAKAN IKAN PETEK (Leiognathus splendens) DI PERAIRAN BANTEN DAN SEKITARNYA Oleh Prihatiningsih 1), Pustika Ratnawati1) dan Muhammad Taufik1) 1) Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut, Jakarta Email : [email protected] ABSTRAK Ikan petek (Leiognathus splendens) adalah salah satu jenis ikan demersal yang cukup banyak tertangkap di perairan pantai Laut Jawa seperti di perairan Banten dan sekitarnya. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui, biologi reproduksi dan kebiasaan makan ikan petek. Pengambilan contoh ikan petek dilakukan di Kronjo dan Cituis (Tangerang, Banten) pada Januari – Desember 2012 dengan alat tangkap jaring cantrang. Hasil penelitian menunjukkan pola pertumbuhan ikan petek jantan dan betina bersifat allometrik negatif. Nilai faktor kondisi ikan petek jantan berkisar 1,483 – 1,937 dengan rata-rata 1,702 dan betina berkisar 1,214 – 2,043 dengan rata-rata 1,768. TKG ikan petek jantan dan betina berada pada stadia I – IV dan diduga musim pemijahan terjadi beberapa kali dalam setahun dan puncaknya terjadi pada September. Fekunditas ikan petek berkisar 6.483 – 32.712 butir telur dengan rata-rata 23.880 butir dengan ukuran diameter telur berkisar 134 – 402 µm dengan rata-rata 268 µm. Ikan petek merupakan jenis ikan omnivora dengan makanan utamanya yaitu fitoplankton maupun zooplankton, makanan pelengkapnya molluska dan krustasea dan makanan tambahannya polychaeta, larva bivalva dan larva gastropoda. Kata Kunci: Biologi reproduksi, kebiasaan makan, ikan petek, perairan Banten. PENDAHULUAN Ikan petek (Leiognathus splendens) adalah salah satu jenis ikan demersal yang cukup banyak tertangkap dengan menggunakan jaring cantrang di perairan Banten, pantai utara Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan pantai timur Lampung. Ikan petek memberikan kontribusi yang cukup tinggi terhadap eksploitasi sumberdaya ikan demersal di perairan pantai utara Jawa. Hal yang mendasari penelitian ini adalah bahwa ikan petek merupakan ikan demersal yang paling banyak tertangkap di perairan Laut Jawa yaitu sebesar 60% (Badruddin, 1988; Sumiono et al. 2002; Parwati et al. 1988) sehingga dibutuhkan data dan informasi lebih lengkap mengenai beberapa aspek biologinya. Menurut Longhurst & Pauly (1987) ikan petek hidup bergerombol di daerah berpasir atau pasir berlumpur pada kedalaman 10 – 50 m. Selain itu, ikan 31 petek memiliki pertumbuhan dan rekruitmen tinggi (Pauly, 1980). Dari segi ekonomi, ikan petek dimasukan ke dalam kategori ”ikan rucah” (trash fish). Di pantai utara Jawa petek biasa dikonsumsi oleh masyarakat setempat dan harganya relatif mahal dibandingkan dengan jenis ikan demersal lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola biologi reproduksi dan kebiasaan makan ikan petek (Leiognathus splendens). Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pembanding penelitian selanjutnya dan dapat memberikan kontribusi terhadap pola pengelolaan dan pengembangan sehingga sumberdaya ikan petek dapat dimanfaatkan dengan tetap dijaga kelestariannya. BAHAN DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan contoh ikan petek dilakukan di Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Kronjo dan Cituis (Tangerang, Banten) mulai Januari sampai Desember 2012. Analisis sampel dilakukan di laboratorium Balai Penelitian Perikanan Laut Jakarta. Pengumpulan Data Contoh ikan petek (Leiognathus splendens) diperoleh dari hasil tangkapan menggunakan jaring cantrang dengan mata jaring (mesh size) 1 inch. Jaring cantrang ini dioperasikan sampai kedalaman air sekitar 30 meter. Contoh ikan diukur panjang total (TL) (ketelitian 0,1 cm) dan bobotnya (ketelitian 0,1 gram). Gonad dan isi lambung ikan petek diawetkan dengan menggunakan larutan formalin 10% dan gilson. Analisis Data Hubungan panjang-berat Hubungan panjang-berat mengacu pada Effendie (1979) dengan formula: W = aLb .................................................................................................................(1) dimana : W = berat L = panjang 32 a = intersep (perpotongan kurva hubungan panjang-berat dengan sumbu Y) b = ”slope” Untuk menguji nilai b = 3 atau b ≠3 dilakukan uji –t (uji parsial), dengan hipotesis: H0 : b = 3, hubungan panjang dan berat adalah isometrik H1 : b ≠3, hubungan panjang dengan berat adalah allometrik yaitu : Pola hubungan panjang-berat bersifat allometrik positif, bila b > 3 (pertambahan berat lebih cepat daripada pertambahan panjang), dan allometrik negatif, bila b < 3 (pertambahan panjang lebih cepat daripada pertambahan berat). Faktor kondisi Perhitungan faktor kondisi berdasarkan pada panjang dan berat ikan. Setelah pola pertumbuhan panjang diketahui, nilai faktor kondisi dapat dihitung. Faktor kondisi ikan petek dihitung dengan rumus (Effendie, 1979): Kn = 102 W/L3 …………………………………………………………………...(2) Dimana: Kn = faktor kondisi; W = bobot rata-rata ikan; L = panjang rata-rata ikan Nisbah kelamin Nisbah kelamin dihitung dengan cara membandingkan jumlah ikan petek jantan dengan jumlah ikan petek betina dengan menggunakan uji chi-square (Steel & Torrie, 1993) dengan rumus : k X2 i 1 (Oi ei ) 2 …………………………………………………..………….(3) ei dimana ; Oi = Jumlah frekuensi ikan jantan dan betina; ei = Jumlah ikan jantan dan betina harapan pada sel ke-1; k = kelompok stasiun pengamatan untuk ikan jantan dan betina yang ditemukan. Tingkat kematangan gonad (TKG) TKG diamati secara visual dengan cara melihat perubahan morfologi gonad serta pengamatan histologi dengan metode parafin dan pewarnaan hematoxylin - eosin. Perkembangan oosit dibagi menjadi lima stadium berdasarkan klasifikasi Kuo et al. (1974), yaitu stadium I (oosit primer mempunyai khromatin nukleolus dan perinukleolus); stadium II (terdapat vesikel 33 pada kuning telur); stadium III (terdapat globula pada kuning telurnya); stadium IV (stadium matang telur, ditandai dengan bergeraknya inti sel dari tengah ke tepi) dan stadium V (disebut stadium atretis; gonad berbentuk kecil, telur belum dapat dibedakan oleh mata biasa,ukuran menyusut, berwarna kemerahan). Indeks kematangan gonad (IKG) Indeks kematangan gonad (IKG) didapat melalui rumus yang diuraikan Effendie (1979), yaitu : IKG Bg x100% ............................................................(4) Bt dimana ; IKG : Indeks kematangan gonad (%) Bg : Berat gonad ikan (gram) Bt : Berat total ikan (gram). Fekunditas dan diameter telur Penghitungan fekunditas ikan petek dilakukan dengan mengambil gonad ikan petek yang sudah mencapai TKG III dan IV. Pengukuran ukuran diameter dan jumlah telur dilakukan dengan menggunakan mikroskop perbesaran 4x10. Dalam penelitian ini contoh telur seberat 0.5 gram kemudian diteliti sebaran ukuran telur dan jumlah telurnya. Fekunditas dihitung secara gravimetri dengan rumus Holden & Raitt (1974) : F nxGxV g .................................................................................................... (5) dimana : F = fekunditas; n = jumlah telur dalam sub sample; V = volume pengenceran G = berat gonad; g = berat gonad sub sample (0.5 gram). Analisis kebiasaan makan Evaluasi jenis makanan dengan menggunakan indeks bagian terbesar (index of preponderance) merupakan gabungan dari dua metode, yaitu metode frekuensi kejadian dan metode volumetrik. Metode ini dikembangkan oleh Natarjan & Jhingram (1961) dalam Effendie (1979) dengan rumus : IP (%) = [(Vi*Oi)/∑(Vi*Oi)]*100% ..................................................................(6) dimana: 34 IP = indeks bagian terbesar (index of preponderance) Vi = persentase volume makanan ikan jenis ke-i Oi = persentase frekuensi kejadian makanan jenis ke-i. HASIL Hubungan panjang-berat Hasil analisis hubungan panjang berat ikan petek (L.splendens) berdasarkan jenis kelamin dan dilakukan uji t terhadap nilai koefesien regresi (b) taraf kepercayaan 95% disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Hubungan panjang-berat ikan petek (L. splendens) di perairan Banten, 2012. No Jenis Jumlah kelamin Persamaan b (N) W=aL Uji t r Pertumbuhan tHit ttab(0.05) 1 Jantan 62 W = 0,022L2,879 0,986 4,546 1,645 Allometrik 2 Betina 121 W = 0,014L3,081 0,983 3,353 1,645 Allometrik Hubungan panjang berat diatas menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang erat antara panjang dan berat ikan petek, ini ditunjukkan dengan nilai r yang mendekati 1,0. Nilai b ikan petek pada jenis kelamin jantan adalah 2,879 dan betina adalah 3,081. Faktor kondisi (Kn) Faktor kondisi merupakan keadaan yang menyatakan kegemukan ikan dengan angka (Effendie, 1992). Nilai faktor kondisi (Kn) ikan petek (L.splendens) yang diperoleh dari hasil perhitungan berada pada kisaran 1,483 – 1,937 dengan rata-rata 1,702 pada ikan petek jantan, untuk ikan betina berkisar 1,214 – 2,043 dengan rata-rata 1,768 (Tabel 2). Tabel 2. Nilai faktor kondisi ikan petek (L. splendens) di perairan Banten, 2012. Faktor kondisi (Kn) Jenis kelamin Jumlah (N) Min Max Rata-rata Jantan 62 1,483 1,937 1,702 Betina 121 1,214 2,043 1,768 Nisbah kelamin (Sex ratio) 35 Dari 183 ekor ikan petek terdapat 62 ekor ikan jantan dan 121 ekor ikan betina, nisbah kelamin antara ikan jantan dan betina adalah 1 : 1,6 dengan uji ”Chi-Square” pada selang kepercayaan 95%, ternyata nisbah kelaminnya tidak mengikuti pola 1:1 atau nisbah kelamin ikan tidak seimbang. Nisbah kelamin ikan petek jantan dan betina yang sudah matang gonad (TKG III dan IV) adalah 1 : 2,3. Dengan uji ”Chi-Square” sesuai pada taraf nyata 95% didapatkan hasil bahwa nisbah kelamin ikan petek jantan dan betina yang sudah matang gonad adalah tidak seimbang. Tingkat kematangan gonad (TKG) Tingkat kematangan gonad ikan petek (L. splendens) diukur berdasarkan perubahan morfologi dan histologi testis dan ovariumnya. Gambar 1 menunjukkan perubahan komposisi TKG tiap bulannya. TKG ini menunjukkan fase-fase yang diklasifikasikan menjadi 4 tingkatan untuk jenis ikan jantan maupun betina. Gambar 1. Perkembangan komposisi tingkat kematangan gonad ikan petek (Leignathus splendens) di perairan Banten, 2012. Komposisi ikan petek jantan TKG I dominan pada Juni (57%), TKG II pada Januari (71%), TKG III pada April (50%) dan TKG IV pada Agustus (100%). Ikan petek betina TKG I dominan pada Juni (92%), TKG II pada Januari (69%), TKG III pada April (31%) dan TKG IV pada Agustus (93%). Perkembangan ovarium dapat dilihat berdasarkan analisa histologi gonadnya (Gambar 2). Kondisi gonad ikan petek TKG II terdapat pada ikan berukuran panjang total 7,6 – 11,2 cm TL dengan diameter oosit berkisar 41,24 92,78 µm rata-rata 61,86 µm. TKG III terdapat pada ikan berukuran 11,7 – 13,9 cm TL dengan diameter oosit berkisar 113,40-195,87 µm rata-rata 148,58 µm. Menurut Hardjamulia (1995), TKG III ditandai adanya ukuran oosit yang 36 bertambah besar dan sudah nampak lapisan vesikula kuning telur. Kondisi gonad pada TKG IV pada ikan berukuran 13,5 – 16,3 cm TL dengan diameter oosit berkisar 190,72-329,89 µm rata-rata 263,01 µm ditandai dengan granula kuning telur yang menutupi seluruh sitoplasma (Chinabut et al. 1991). Gambar 2. Penampang histologi gonad ikan petek (Leignathus splendens) menunjukkan oosit pada tingkat II – IV (Perbesaran 10x10). Indeks Kematangan Gonad (IKG) Indeks kematangan gonad (IKG) ikan petek betina yang diamati berkisar 0,14 –4,12% dengan rata-rata 2,12% dan ikan petek jantan berkisar 0,40 – 4,05% dengan rata-rata 1,64%. Nilai rata-rata IKG kelamin betina meningkat dari TKG I (0,67%) sampai dengan TKG IV(2,46%), sama halnya dengan ikan petek jantan meningkat dari TKG II (0,71%) sampai dengan TKG IV (2,44%) (Ganbar 3). Gambar 3. Rata-rata nilai IKG rata-rata ikan petek (Leiognathus splendens) betina dan jantan pada tiap Tingkat Kematangan Gonad. 37 Fekunditas dan Diameter Telur Jumlah telur ikan petek (Leiognathus splendens) TKG III dan IV berkisar antara 6.483 – 32.712 butir telur dengan rata-rata 23.880 butir telur. Fekunditas ikan petek terendah sekitar 6.483 butir telur, terdapat pada ikan dengan ukuran panjang total 11,5 cm dan fekunditas terbesar 32.712 butir telur terdapat pada ikan dengan ukuran panjang total 13,7 cm TL. Rata-rata ukuran diameter telur ikan petek selama pengamatan berkisar 134 – 402 µm dengan rata-rata 268 µm. Berdasarkan hasil analisis hubungan fekunditas (F) dengan panjang tubuh (L) diperoleh persamaan : F = 0,00004L7,750 dengan nilai koefisien determinasi (r2) 0,813 (Gambar 4). Gambar 4. Hubungan antara fekunditas dan panjang total ikan petek (Leiognathus splendens) di perairan Banten, 2012. Analisis Kebiasaan Makan (Food habit) Pengamatan pada bulan April, makanan utamanya adalah zooplankton jenis Copepoda dan fitoplankton yang mencapai 43,5% dan 26,3%, dan moluska sebagai makanan pelengkap tercatat 24,4%, sedangkan bivalva (larva), crustacea, polychaeta dan gastropoda (larva) sebagai makanan tambahan kurang dari 5%. Bulan Agustus, makanan utamanya adalah fitoplankton yang kehadirannya mencapai 93,0% dan crustacea sebagai makanan tambahan dengan kehadiran kurang dari 5% (Gambar 5). 38 Gambar 5. Kebiasaan makan ikan petek (L. splendens) di perairan Banten, 2012. BAHASAN Dalam biologi perikanan analisa hubungan panjang berat merupakan salah satu faktor yang perlu diketahui dalam kaitan pengelolaan sumber daya perikanan. Menurut Richter (2007) & Blackweel (2000), menyebutkan bahwa pengukuran panjang–berat ikan bertujuan mengetahui variasi berat dan panjang ikan secara individual atau kelompok–kelompok individu, sehingga dapat dijadikan petunjuk mengenai tingkat kegemukan, kesehatan, produktifitas, kondisi fisiologis dan perkembangan gonad. Berdasarkan hasil uji –t terhadap parameter b pada selang kepercayaan 95% (α=0,05), diperoleh thitung > ttabel, yang artinya b tidak sama dengan 3, sehingga hubungan panjang berat ikan petek pada jantan maupun betina, pola pertumbuhannya bersifat allometrik negatif dimana pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan dengan pertambahan beratnya. Hal ini sama dengan hasil penelitian Pauly (1977) di Selat Malaka dan Chaerrudin (1977) di Teluk Jakarta yang menyatakan pola pertumbuhan ikan petek bersifat allometrik. Faktor kondisi menunjukkan keadaan ikan baik dilihat dari segi kapasitas fisik untuk bertahan hidup dan reproduksi (Effendie, 1997). Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata nilai faktor kondisi ikan petek jantan (Kn= 1,702) lebih kecil daripada ikan petek betina (Kn= 1,768), ini berarti ikan betina lebih gemuk daripada ikan jantan. Perbedaan nilai faktor kondisi pada ikan tidak hanya 39 dipengaruhi oleh bobot gonadnya tetapi juga oleh aktivitas selama pematangan gonad dan pemijahan sehingga akibatnya ikan akan mengalami penurunan nilai faktor kondisi. Mengacu pada Effendie (1997) hasil ini menandakan ikan petek masih berada pada batas ambang kondisi yang baik dengan kisaran nilai (Kn) antara 1-3. Berdasarkan hasil uji Chi-Square, maka nisbah kelamin ikan petek jantan dan betina secara keseluruhan (1:1,6) maupun ikan yang sudah matang gonad adalah tidak seimbang (1:2,3) yang berarti jenis kelamin betina lebih dominan. Hasilnya sama dengan hasil penelitian Saadah (2000) bahwa nisbah kelamin ikan petek secara keseluruhan tidak seimbang (3:1), tetapi berbeda dengan nisbah kelamin ikan betina dan jantan yang sudah matang gonad adalah seimbang( 1:1,6). Menurut Nikolsky (1969) perbandingan kelamin dapat berubah menjelang dan selama pemijahan. Dalam ruaya ikan untuk memijah, terjadi perubahan nisbah kelamin secara teratur, pada awalnya ikan jantan biasanya dominan kemudian nisbah kelamin berubah menjadi 1:1, diikuti dengan dominasi ikan betina. Persentase komposisi TKG pada setiap periode dapat digunakan untuk menduga musim pemijahan (Effendie, 1979). Berdasarkan hasil penelitian, persentase komposisi TKG setiap bulannya berada pada stadia I – IV dan beragam. Pada ikan petek jantan dan betina TKG III dan IV dominan pada April dan Agustus sehingga diduga musim pemijahan ikan petek terjadi beberapa kali dalam setahun dan kemungkinan puncaknya terjadi setelah bulan Agustus atau diperkirakan terjadi pada bulan September. Nilai indeks kematangan gonad (IKG) ikan petek betina maupun jantan mengalami peningkatan dari TKG I sampai dengan TKG IV. Hal ini disebabkan oleh proses pertumbuhan ikan, pertambahan berat gonad diiringi dengan bertambah besarnya ukuran gonad. Effendie (1979) mengemukakan bahwa seiring dengan perkembangan gonad, indeks kematangan gonad akan semakin besar dan nilai tersebut akan mencapai batas kisaran maksimum pada saat akan terjadi pemijahan. Fekunditas ikan petek hasil penelitian berkisar 6.483 – 32.712 butir telur dengan rata-rata 23.880 butir telur lebih sedikit dibandingkan dengan fekunditas ikan petek di perairan Teluk Labuan Jawa Barat yaitu berkisar 9.899 - 180.553 40 butir (Saadah, 2000). Dalam setiap individu, ukuran telur bervariasi setiap butirnya sehingga proses pematangan gonad secara perlahan-lahan dan tidak serentak (partial spawner) dari stadia belum matang (immature) ke stadia matang (mature) dimana waktu pemijahan panjang dan terus menerus. Ikan petek memiliki jenis makanan utama yaitu plankton baik itu fitoplankton (Coscinodiscus sp dari kelas Bacillariophyceae) maupun zooplankton (Calanus sp), makanan pelengkapnya adalah moluska dan krustasea sedangkan makanan tambahannya adalah polycaeta, larva bivalva dan larva gastropoda, sehingga dapat dikatakan bahwa kebiasaan makan ikan petek adalah bersifat omnivora, jenis makanan seluruhnya berukuran mikroskopis. Komposisi kehadiran krustasea termasuk jenis larva udang (mysis dan zoea) dalam isi lambung ikan petek hanya 5% sehingga diduga interaksi negatif pemangsaan ikan petek dan udang tampaknya belum terjadi. Menurut Rao (1967), ikan petek digolongkan ke dalam benthofagus, makanannya terdiri atas copepoda, zoobenthos dan phytobentho dan menurut Pauly (1977), makanan ikan petek umumnya adalah hewan bentik dan jenis tumbuhan (foraminifora, polychaeta, ostracoda, decapoda dan diatom), zooplankton seperti copepoda dan telur ikan. Badruddin et al., (1992) menyatakan bahwa kebiasaan makanan ikan petek sebagian besar terdiri dari fitoplankton dan sebagian lagi zooplankton dan hasil penelitian Sjafei et al., (2001) menyatakan bahwa makanan utama ikan petek adalah jenis synedra dari kelas Bacillariophyceae dan makanan sekundernya adalah dari jenis Pleurosigma, Nitschia dan Thallasiothrix. KESIMPULAN Pertumbuhan ikan petek bersifat allometrik negatif dan masih berada pada batas ambang kondisi yang baik. Jumlah populasi ikan petek betina lebih banyak dibandingkan jenis jantan. Musim pemijahannya terjadi beberapa kali dalam setahun dan puncaknya terjadi setelah bulan Agustus yaitu bulan September. Pola pemijahan ikan petek adalah partial spawner dan memiliki potensi reproduksi yang cukup besar dengan fekunditas 6.483 – 32.712 butir. Kebiasaan makan ikan petek tergolong omnivora dengan makanan utama yaitu fitoplankton maupun 41 zooplankton, makanan pelengkapnya adalah moluska dan krustasea sedangkan makanan tambahannya adalah polycaeta, larva bivalva dan larva gastropoda. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan hasil dari kegiatan riset: Pengkajian Sumber Daya Ikan Demersal di WPP 716 Laut Sulawesi dan WPP 712 Laut Jawa T. A. 2012 di Balai Penelitian Perikanan Laut. DAFTAR PUSTAKA Badruddin, M. 1988. Parameter stok dan potensi penangkapan ikan petek (Leiognathidae) di perairan pantai utara Jawa Tengah. Jurnal Penelitian Perikanan laut. No. 47 tahun 1988. Jakarta. Badruddin, M. A. Suman & K. wagiyo. 1992. Kebiasaan makan (food habit) dan pengusahaan beberapa jenis ikan peperek (Leiongathidae) di perairan Pantai utara Jawa Tengah. JPPL. No. 69. Hal 1-7. Blackweel, B.G., M.L. Brown & D.W. Willis. 2000. Relative weight (Wr) status andcurrent use in fisheries assessment and management. Reviews in fisheries Science, 8: 1-44 Chaerrudin, G. 1977. Studi Pendahuluan Tentang Aspek-aspek Taksonomi, Pertumbuhan dan Pemijahan Ikan Petek (Leiognathus spp) di Perairan Teluk Jakarta. Tesis. Fakultas Perikanan. Universtas lampung mangkurat afiliasi. Institut Pertanian Bogor. 146 hal. Tidak dipublikasikan. Chinabut. S, L. Chalor & K. Praveena. 1991. Histology of the walking catfish, clarias batrachus. Department of Fisheries, Thailand. Kuo, C.M., C.E. Nash & Z. H. Shehadeh. 1974. A Procedural guide to induce spawning in grey mullet (Mugil cephalus L.). Aquculture, 3: 1 – 14. Hardjamulia, A., S. Ningrum & W. Endang. 1995. Perkembangan oosit dan ovari ikan semah (Tor dourenensis) di Sungai Selabung, Danau Ranau, Sumatera Selatan. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Vol : I, No. 3. Hal 36 – 46. Holden, M. J. & D. F. S Raitt.. (eds.). 1974. Manual of Fisheries Sciences. Part 2. Methods of Resource Investigation and Their Application. FAO Fish. Tech pap., (115). Rev. 1 : 214 pp. Effendie, H. M. I. 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor,112 pp -------------------.1992. Biologi Yogyakarta. 63 hal. 42 Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Longhusrt, A. R., & D. Pauly. 1987. Ecologyof the Tropical Oceans. Acad. Press, Inc., New York. 407 pp. Nikolsky, 1969. Theory of Fish Population Dynamics as the Biological Background for Rational Exploitation and Management of Fishery Resources. Oliver and Boyd Publiser United Kingdom. London. 323 pp. Pauly, D. 1977. The Leiognathidae (Teleostei) : Their Spesies, Stocks and Fisheries in Indonesia, with Notes on The Biology of Leiognathus splendens (Cuv) Mar. Res. Indonesian, 19 : 73-93. Pauly, D. 1980 The use of pseudo catch-curve for the estimation of mortality rates in Leiognathus splendens (Pisces: Leiognathidae) in Western Indonesian Waters. Meeresforschung 28(1):56-60. Rao, K. S., 1967. Food and feeding habits of trawl catches in the bay of Bengal with observation on diurnal variation in the nature of the feed. Indian Journal of Fisheries XI (1) 1967. Richter, T.J. 2007. Development and evaluation of standard weight equations for bridgelip sucker and largescale sucker. North American Journal of Fisheries Management, 27: 936-939. Saadah, 2000. Beberapa aspek biologi ikan petek (Leiognathus splendens Cuv.) di perairan Teluk Labuan, Jawa Barat. Skripsi. FPIK-IPB, Bogor. 34 Hal. Sjafei D. S. dan Saadah. 2001. Beberapa aspek biologi ikan petek, Leiognathus splendens Cuvier di Perairan Teluk Labuan, Banten. Jurnal Ikhtiologi Indonesia. Vol 1 No. 1. Th 2001. Hal 13-17. Sumiono, B., Sudjianto, Y. Soselisa, & TS Murtoyo. 2002. Laju tangkap dan komposisi jenis ikan demersal dan udang yang tertangkap trawl pada musim timur di perairan utara Jawa Tengah. JPPI Edisi Sumber Daya dan Penangkapan. Vol 8 No. 4. Steel, R. G. D. & H. Torrie, 1993. Prinsip dan Prosedur statistika Suatu Pendekatan Biometrik. Diterjemahkan oleh Bambang Sumantri. Edisi Kedua. PT. Gramedia Pustaka Utama, jakarta. 333 pp. 43 PENGUSAHAAN DAN BIOLOGI RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI LABUHAN MARINGGAI, LAMPUNG TIMUR Oleh Adrian Damora1), Erfind Nurdin1) dan Renny Ramadhani1) 1) Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut ABSTRAK Pengusahaan rajungan (Portunus pelagicus) di Labuhan Maringgai, Lampung Timur telah dilakukan secara intensif sehingga perlu upaya pengelolaan yang mencakup aspek bioteknososioekonomi. Tujuan penelitian ini adalah untuk membahas performa pengusahaan dan biologi rajungan, meliputi aspek penangkapan, kelayakan usaha, hubungan panjang-bobot, faktor kondisi, nisbah kelamin, kematangan kelamin, penentuan ukuran minimum yang boleh ditangkap dari sumber daya rajungan. Penelitian dilakukan pada bulan Januari–Desember 2012. Metode yang digunakan adalah Rapid Rural Apraisal (RRA) dan Participatory Rural Apraisal (PRA) pada lokasi-lokasi konsentrasi nelayan/pengumpul dan daerah–daerah yang memiliki aktivitas perikanan rajungan yang paling dominan. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Sebanyak 3508 ekor contoh rajungan yang diambil secara acak untuk analisis aspek biologi. Hasil penelitian menunjukkan pengusahaan rajungan dengan alat tangkap jaring rajungan di Labuhan Maringgai dilihat dari sisi ekonominya masih menguntungkan dan layak untuk diteruskan. Pola pertumbuhan rajungan jantan bersifat isometrik dan rajungan betina bersifat allometrik positif. Nilai faktor kondisi terbesar pada rajungan jantan terdapat pada bulan Januari, sedangkan pada rajungan betina terdapat pada bulan April. Nilai faktor kondisi terkecil pada rajungan jantan maupun betina terdapat pada bulan Juli. Nisbah kelamin rajungan berada dalam kondisi tidak seimbang. Ukuran minimum rajungan yang boleh ditangkap (minimum legal size) untuk dapat menunjang kelestariannya sebesar 110 mmCW. Kata kunci: perikanan, biologi, rajungan, Labuhan Maringgai PENDAHULUAN Rajungan (Portunus pelagicus) merupakan komoditas krustasea yang mempunyai nilai ekspor yang tinggi dan menempati urutan keempat dalam volume dan nilai ekspor perikanan dari Indonesia, dengan peningkatan nilai ekspor rata-rata sebesar 8,79 % per tahun (APRI, 2012). Isu strategis terkait dengan perikanan rajungan saat ini adalah terkait produk olahan perikanan, salah satunya daging rajungan, yang harus tersertifikasi untuk menjamin pemanfaatan sumber daya perikanan yang lestari dan berkesinambungan. Salah satu contohnya 45 adalah sertifikat standar Marine Stewardship Council (MSC) yang diberlakukan di Amerika Serikat. Labuhan Maringgai adalah salah satu pangkalan pendaratan ikan utama di Kabupaten Lampung Timur. Saat ini status pendaratan ikannya merupakan pelabuhan perikanan pantai (PPP). Pengusahaan perikanan di wilayah ini termasuk perikanan tradisional dan skala kecil. Namun demikian, beberapa komoditas perikanan di Labuhan Maringgai merupakan komoditas ekspor, terutama beberapa jenis krustasea. Di antara jenis krustasea yang ada, jenis rajungan batik (P. pelagicus) merupakan salah satu komoditas utama di wilayah ini. Data Dinas Perikanan Propinsi Lampung (1985) menyebutkan bahwa sumber daya perikanan yang terdapat di pantai timur Lampung (Laut Jawa) memiliki potensi lestari sebesar 27.750 ton dengan luas perairan sebesar 18.500 km2. Nilai tersebut didapat dari potensi lestari perikanan pelagis sebesar 5.550 ton dan perikanan demersal sebesar 22.000 ton. Menurut data Dinas Perikanan Kabupaten Lampung Tengah (sekarang dipecah menjadi Lampung Tengah dan Lampung Timur) tahun 1985 potensi lestari perikanan di pantai timur Lampung pada tahun 1984 baru dimanfaatkan sebesar 67 %. Namun, seiring bertambahnya jumlah nelayan pendatang maupun nelayan trans lokasi di Labuhan Maringgai, upaya penangkapan pun mengalami penambahan dari tahun ke tahun. Hal ini tentunya berakibat pada kondisi stok ikan di perairan tersebut. Terlebih wilayah perairan termasuk ke dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 712 (Laut Jawa) yang pemanfaatan sumber daya krustaseanya sudah berada dalam tahapan lebih tangkap (Suman, 2010). Oleh karena itu, kajian mengenai keragaan perikanan, khususnya rajungan, di Labuhan Maringgai dibutuhkan untuk memperbarui data-data sebelumnya. Tujuan penelitian ini antara lain membahas keragaan perikanan rajungan di Labuhan Maringgai, meliputi sistem pengusahaan, tipe armada penangkapan dan alat tangkap yang digunakan, perkembangan produksi per unit penangkapan dan potensi lestarinya, serta kelayakan usahanya. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk membahas beberapa aspek biologi rajungan batik, meliputi hubungan panjang-bobot, faktor kondisi, nisbah kelamin, kematangan kelamin, 46 serta ukuran rata-rata tertangkap dan matang kelamin. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk pengelolaan sumber daya rajungan di perairan Labuhan Maringgai, Lampung Timur. BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan di Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur, Propinsi Lampung pada Januari-Desember 2012. Metode yang digunakan adalah Rapid Rural Apraisal (RRA) dan Participatory Rural Apraisal (PRA) pada lokasi-lokasi konsentrasi nelayan/pengumpul dan daerah–daerah yang memiliki aktivitas perikanan rajungan yang paling dominan. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Gambar 1. Lokasi penelitian di Labuhan Maringgai, Lampung Timur. Data primer untuk keragaan perikanan diperoleh dengan cara melakukan pengamatan langsung di lapangan terutama di tempat-tempat pengumpul rajungan serta mengadakan wawancara dengan pengumpul/pembina, nelayan penangkap, tokoh masyarakat, maupun narasumber di beberapa instansi perikanan terkait. Sedangkan data sekunder diperoleh dari kantor Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Lampung dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lampung Timur. Untuk menentukan tingkat kelayakan usaha yang memiliki umur ekonomis 47 proyek lebih dari lima tahun dimasukkan dalam kriteria discounted, maka sebagai indikator digunakan NPV (Net Present Value), IRR (Internal rate of return), dan B/C Ratio (Tabel 1). Dalam penelitian ini, dilakukan analisis kelayakan usaha dengan umur ekonomis proyek selama sepuluh tahun dengan asumsi bahwa salah satu dari investasinya memiliki masa pakai sepuluh tahun (Simanjuntak et al., 1992). Tabel 1. Kriteria dalam analisis kelayakan usaha jaring rajungan di Labuhan Maringgai. Nilai Standar Makna R/C ratio Parameter 1,3 >1 Menguntungkan Rentabilitas 89% > 25% Efisien <3 Cepat Payback period NPV 1,11 Rp. 200.640.366,- B/C ratio IRR 1.31 42% 3 < pp < 5 Sedang >5 Lambat DRF (15%) Layak diteruskan >1 Layak diusahakan IRR > DRF (15%) Dijalankan IRR < DRF (15%) Tidak dijalankan Penelitian biologi didasarkan pada data hasil contoh penarikan contoh acak berlapis terhadap 3058 ekor contoh rajungan yang ditangkap menggunakan jaring rajungan. Pengambilan contoh rajungan dilakukan setiap bulan mewakili setiap minggunya. Pengamatan biometrik ikan yang dilakukan meliputi pengukuran lebar karapas (carapace width), jenis kelamin serta kematangan kelamin secara fungsional, yaitu dengan mengamati rajungan betina yang membawa telur yang telah dibuahi pada bagian abdomen (Mac Diarmid & SainteMarie, 2006). Hubungan panjang-bobot dianalisa menggunakan persamaan eksponensial sebagai berikut (Lagler, 1972; Jennings et al., 2001) : W b aL ....................................................................................................................... (1 di mana : W = bobot individu rajungan (g) L = lebar karapas rajungan (cm) 48 = a dan b = konstanta hasil regresi Untuk mempermudah perhitungan, maka persamaan di atas dikonversi ke dalam bentuk logaritmasehingga menjadi persamaan linear sebagai berikut (Jennings et al., 2001) : loge W = loge a + b loge L............................................................................................ (2 Hubungan panjang-bobot dapat dilihat dari nilai konstanta b, jika b = 3, maka hubungannya bersifat isometrik (pertambahan panjang sebanding dengan pertambahan berat), jika b ≠ 3, maka hubungan yang terbentuk adalah allometrik (pertambahan panjang tidak sebanding dengan pertambahan berat). Untuk menentukan bahwa nilai b = 3 atau b ≠ 3, maka digunakan uji-t (Walpole, 1993). Selanjutnya thit yang didapat akan dibandingkan dengan ttabel pada selang kepercayaan 95%. Jika thit > ttabel, maka tolak Ho, dan sebaliknya jika thit < ttabel, maka terima Ho. Analisis faktor kondisi (K) rajungan dilakukan untuk melihat kondisi rajungan dari kapasitas fisik menggunakan persamaan berikut: K = 100 (W / L3) ......................................................................................................... (3 Sedangkan untuk perhitungan nisbah kelamin didasarkan pada persamaan berikut: NK = Nbi / Nji ............................................................................................................ (4 di mana: NK = Nisbah kelamin Nbi = Jumlah ikan betina pada kelompok ukuran ke-i Nji = Jumlah ikan jantan pada kelompok ukuran ke-i Ukuran rata-rata rajungan tertangkap dan matang kelamin secara fungsional didapatkan dengan cara memplotkan frekuensi kumulatif dengan setiap lebar karapas rajungan, sehingga akan diperoleh kurva logistik baku, dimana titik potong antara kurva dengan 50% frekuensi kumulatif adalah lebar karapas saat 50% rajungan tertangkap dan matang kelamin ( K i z h a k u d a n & P a t e l , 2 0 1 0 ). 49 HASIL Sistem Pengusahaan Perairan laut Propinsi Lampung secara umum dibagi menjadi dua kategori, yakni perairan pantai barat Sumatera dan perairan pantai timur Sumatera. Pantai barat Sumatera merupakan bagian dari Samudera Hindia, sedangkan pantai timur Sumatera merupakan sebagian besar bagian dari Laut Jawa dan selebihnya adalah bagian dari Selat Sunda. Perairan yang merupakan bagian dari Laut Jawa meliputi empat kabupaten, yakni Kabupaten Lampung Timur, Lampung Tengah, Tulang Bawang, dan Mesuji. Wilayah Lampung yang dikelilingi perairan laut ini menyebabkan sektor perikanan memiliki peran penting dalam perekonomian di propinsi tersebut. Perkembangan produksi sektor perikanan Propinsi Lampung dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Perkembangan produksi krustasea dan komoditas lainnya di Propinsi Lampung. Krustasea Tahun Produksi (ton) Ikan % Produksi (ton) Binatang lunak % Produksi (ton) 2005 10191.3 7.40 115613 83.95 11903.1 2006 11012.6 8.25 114551 85.78 2007 11124.8 8.23 106628 78.86 2008 13820.2 9.54 126317 2009 17472.6 10.62 2010 10433.1 7.25 % Binatang air lainnya Produksi (ton) Total Produksi % (ton) 8.64 4.6 0.0033 137712.3 7962.09 5.96 8.4 0.0063 133534.41 17461.3 12.91 0.1 0 135214.1 87.20 4719.03 3.26 0 0 144856.26 144411 87.76 2429.76 1.48 237.6 0.1444 164551.15 129938 90.35 3292.62 2.29 148.11 0.1030 143811.87 Sumber: Statistik Perikanan Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Lampung 2005-2010 Tabel 2 memperlihatkan bahwa produksi perikanan pada periode 20052010 di Propinsi Lampung cenderung mengalami peningkatan. Nilai produksi tersebut didominasi produksi jenis ikan sampai dengan 90% dari total produksi perikanan di propinsi tersebut. Sementara krustasea menempati posisi kedua dalam kontribusi produksi perikanan dengan persentase mencapai lebih dari 10%. Nilai ini dapat dikatakan besar mengingat jenis krustasea yang ada di perairan Lampung jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan jenis ikan yang ada. 50 Dari nilai produksi perikanan propinsi secara keseluruhan, ternyata pantai timur Lampung (termasuk perairan Labuhan Maringgai) memberikan kontribusi yang besar, terlebih untuk komoditas krustasea. Untuk jenis udang jerbung, dari total produksi di Propinsi Lampung sebesar 531,91 ton, 64 % diperoleh dari perairan timur Lampung (340,67 ton). Untuk udang dogol, dari total produksi sebesar 379,78 ton, seluruhnya berasal dari perairan timur Lampung. Sementara itu, untuk produksi total rajungan yang mencapai 2660,69 ton, sebesar 57 % diperoleh dari perairan timur Lampung. Pengusahaan rajungan di Labuhan Maringgai juga sudah dilakukan secara intensif sejak dahulu. Menurut hasil wawancara dengan salah satu pengepul rajungan, usaha yang ia lakukan sudah berjalan selama 17 tahun. Dibandingkan dengan udang penaeid, produksi rajungan di Labuhan Maringgai lebih besar. Hal ini dapat dilihat dari jumlah pengepulnya yang mencapai puluhan orang. Sebagian besar hasil tangkapan rajungan di daerah ini diekspor ke berbagai negara. Skema pengusahaan rajungan di Labuhan Maringgai dapat dilihat pada Gambar 2. Pasar ekspor Perusahaan pengalengan Pengepul/Pengumpul 2 & Pengolahan Pengepul/Pengumpul 1 Nelayan jaring rajungan Nelayan bubu Rajungan Gambar 2. Skema rantai pengusahaan rajungan di Labuhan Maringgai. 51 Nelayan penangkap rajungan tergolong menjadi dua tipe, yakni nelayan harian dan nelayan mingguan. Nelayan harian akan pergi melaut untuk menebar jaring rajungan pada saat sore hari dan akan membiarkannya selama 1 malam, kemudian akan kembali melaut lagi keesokan harinya untuk mengambil rajungan hasil tangkapan. Mereka biasa pergi pada pukul 05.00 dan akan kembali pukul 10.00. Sedangkan nelayan mingguan melaut selama hari setelah itu akan beristirahat selama 3 hari sebelum berangkat melaut untuk trip berikutnya. Armada Penangkapan dan Alat Tangkap Armada yang digunakan untuk kegiatan penangkapan rajungan terdapat dua tipe, yakni armada dengan alat tangkap jaring rajungan dan armada dengan alat tangkap bubu. Kedua armada tersebut merupakan perahu motor (PM) dengan material utama perahu terbuat dari kayu. Perahu dengan alat tangkap jaring rajungan memiliki dimensi panjang 9-12 m, lebar 1,8-2,5 m dan kedalaman 1,5-3 m. Mesin yang digunakan adalah mesin tempel produksi Cina (Jangdong) dengan ukuran 24 PK. Dalam satu kali pengoperasian, armada ini diisi oleh 3 orang ABK. Sedangkan perahu dengan alat tangkap bubu memiliki dimensi panjang 12 m, lebar 3 m dan kedalaman 1,5 m. Armada ini biasa diisi oleh 4 orang ABK. Perahu dengan alat tangkap jaringan rajungan memang memiliki ukuran yang relatif lebih kecil dibandingkan perahu dengan alat tangkap bubu. Profil perahu tersebut tampak seperti pada Gambar 4. Gambar 3. Armada penangkapan rajungan di Labuhan Maringgai: (a) perahu jaring rajungan dan (b) perahu bubu. Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap rajungan di Labuhan Maringgai terdapat dua jenis, yakni jaring rajungan dan bubu. Jaring rajungan 52 termasuk ke dalam jenis jaring insang (gill net), namun mempunyai ukuran yang lebih kecil dibandingkan dengan ukuran jaring insang yang biasa dipakai untuk menangkap ikan di perairan lainnya. alat tangkap rajungan ditampilkan pada Gambar 4. Gambar 4. Alat tangkap rajungan di Labuhan Maringgai (a) jaring rajungan dan (b) bubu. Spesifikasi jaring rajungan adalah sebagai berikut, tali ris berupa jaring PA monofilament dengan ukuran mata jaring antara 3,5-4 inchi, tinggi jaring 0,5 m dan panjang jaring 10-15 pice. Sebagian besar armada yang berbasis di Labuhan Maringgai mengoperasikan alat tangkap ini. Nelayan jaring rajungan jumlahnya lebih banyak dibandingkan nelayan bubu. Hasil tangkapannya antara 10-50 kg dalam satu kali trip. Alat tangkap bubu memiliki bahan dasar yang sama yaitu besi dan jaring. Jaring yang digunakan biasanya mempunyai ukuran mata jaring 1 inchi. Dimensi bubu yang digunakan di Labuhan Maringgai dapat dilihat pada ilustrasi di bawah ini (Gambar 5). 3m 3m 1m 40 cm 20 cm 60 cm Gambar 5. Ilustrasi alat tangkap bubu yang digunakan di Labuhan Maringgai. 53 Untuk satu kali trip penangkapan nelayan rajungan rata-rata membawa 700 bubu. Sebagai umpannya, biasa digunakan ikan rucah segar. Berdasarkan informasi dari nelayan, penangkapan rajungan terjadi sepanjang tahun, tetapi puncak musim dimana jumlah hasil tangkapan tampak paling banyak, terjadi pada bulan Januari sampai dengan April. Pada saat musim penangkapan, rata-rata nelayan rajungan mendapatkan hasil tangkapan sampai dengan 300 kg dalam satu trip. Nelayan-nelayan bubu biasanya melakukan perebusan rajungan selam berada di atas kapal sehingga ketika mendarat yang diserahkan ke pengepul adalah rajungan-rajungan matang. Hal ini untuk menghindari penurunan kualitas rajungan karena mereka berhari-hari melaut. Selain itu, nelayan bubu juga membawa es sekitar sepuluh balok untuk menjaga kualitas rajungan yang sudah direbus. Analisis Kelayakan Usaha Net Present Value (NPV) merupakan selisih antara arus bersih sekarang dengan nilai investasi sekarang selama umur investasi. Analisis yang dilakukan untuk usaha penangkapan dengan jaring rajungan, diperoleh NPV sebesar Rp. 200.640.366,00. Nilai ini menunjukkan bahwa pada akhir proyek usaha penangkapan rajungan menggunakan jaring rajungan akan memperoleh keuntungan sebesar Rp. 200.640.366,00. Untuk analisis rasio B/C didapatkan bahwa nilai rata-rata per tahun sebesar 1,31. Berdasarkan nilai B/C ratio tersebut, usaha penangkapan rajungan dengan menggunakan jaring rajungan layak untuk diusahakan atau dilanjutkan karena nilai rasio B/C lebih besar dari 1. Kriteria investasi Internal Rate of Return (IRR) memberikan pedoman bahwa usaha akan dipilih apabila IRR lebih besar rentang nilai suku bunga (discount rate). Jika sebaliknya, maka usaha sebaiknya tidak dijalankan. Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan, didapatkan bahwa nilai rata-rata IRR usaha penangkapan rajungan dengan jaring rajungan adalah 42 %. Nilai IRR tersebut lebih besar dari discount factor yaitu 15 % sehingga dapat dikatakan bahwa usaha penangkapan ini layak untuk dilanjutkan. Untuk memperoleh tingkat keuntungan yang dihasilkan dalam usaha penangkapan rajungan dengan menggunakan jaring rajungan, dalam penelitian ini 54 digunakan rasio R/C untuk mengetahui besarnya nilai perbandingan antara penerimaan atau pendapatan dan biaya produksi yang digunakan. Hasil dari perhitungan rasio R/C menunjukkan nilai rata-rata sebesar 1,39, di mana nilai trsebut lebih dari satu (R/C > 1) yang menunjukkan bahwa usaha perikanan tangkap dengan menggunakan alat tangkap jaring rajungan sudah menguntungkan dan artinya rata-rata setiap nelayan rajungan melakukan operasi penangkapan memperoleh penerimaan sebesar 1,39 kali lipat atas biaya-biaya yang dikeluarkan atau dengan kata lain memperoleh penerimaan sebesar 139 % dari biaya yang dikeluarkan. Perhitungan rentabilitas merupakan perbandingan antara keuntungan (pendapatan bersih nelayan) selama periode tertentu dengan modal yang dipergunakan untuk menghasilkan keuntungan tersebut. Nilai rentabilitas di atas 25% menunjukkan bahwa usaha tersebut bekerja pada kondisi efisien. Dari hasil perhitungan rentabilitas usaha penangkapan rajungan dengan menggunakan alat tangkap jaring rajungan diperoleh rata-rata ratio rentabilitas sebesar 89% yang artinya bahwa nilai tersebut sudah > 25% sehingga usaha tersebut dapat dikatakan sudah efisien dalam beroperasi. Nilai rata-rata 89% dari usaha penangkapan rajungan dengan menggunakan alat tangkap jaring rajungan merupakan nilai laba atau keuntungan yang didapatkan dari usaha penangkapan rajungan dari aktiva atau modal investasi awal. Perhitungan periode kembali investasi (payback period) diperlukan untuk mengetahui periode menggambarkan waktu panjangnya pengembalian waktu yang investasi diperlukan sehingga agar dana dapat yang diinvestasikan pada usaha penangkapan ikan dapat diperoleh kembali seluruhnya. Pada usaha perikanan tangkap dengan menggunakan alat tangkap jaring rajungan di Labuhan Maringgai diperoleh nilai PP rata-rata 1,11 tahun atau satu tahun satu bulan. Hal ini berarti nelayan dapat mengembalikan semua modal usaha dalam waktu kurang lebih satu tahun lebih satu bulan. Hubungan Panjang-Bobot Hasil analisis hubungan antara panjang dan bobot rajungan menunjukkan bahwa pertumbuhan rajungan jantan mengikuti persamaan W = 0,00001CW2,900 55 (n = 1607; r2 = 0,880). Persamaan hubungan panjang-bobot rajungan betina mengikuti persamaan W = 0,00003CW3,212 (n = 1449; r2 = 0,893) (Gambar 6). Setelah dilakukan uji t dengan tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05), didapatkan pola pertumbuhan rajungan jantan bersifat isometrik, di mana pertambahan panjang dan bobot rajungan seimbang. Sedangkan pertumbuhan rajungan betina bersifat allometrik positif, di mana pertambahan bobot rajungan lebih cepat dibandingkan pertambahan panjangnya. Gambar 6. Hubungan panjang-bobot rajungan (Portunus pelagicus) jantan (a) dan betina (b) di perairan Labuhan Maringgai, 2012. Faktor Kondisi Penghitungan faktor kondisi rajungan dilakukan secara bulanan maupun berdasarkan kelas lebar karapasnya. Secara bulanan, nilai faktor kondisi pada rajungan jantan berkisar antara 0,059-0,082 dengan rata-rata 0,072, sedangkan pada rajungan betina berkisar antara 0,062-0,074 dengan rata-rata 0,069 (Gambar 7). Nilai faktor kondisi terbesar pada rajungan jantan terdapat pada bulan Januari, sedangkan pada rajungan betina terdapat pada bulan April. Nilai faktor kondisi terkecil pada rajungan jantan maupun betina terdapat pada bulan Juli. Gambar 7. Faktor kondisi rajungan (Portunus pelagicus) jantan (a) dan betina (b) secara bulanan di perairan Labuhan Maringgai, 2012. 56 Penghitungan faktor kondisi berdasarkan kelas lebar karapas pada rajungan jantan berkisar antara 0,066-0,092 dengan rata-rata 0,073, sedangkan pada rajungan betina berkisar antara 0,064-0,088 dengan rata-rata 0,069 (Gambar 8). Nilai faktor kondisi terbesar pada rajungan jantan terdapat pada kelas lebar karapas 167,5, sedangkan pada rajungan betina terdapat kelas lebar karapas 77,5. Nilai faktor kondisi terkecil pada rajungan jantan terdapat pada kelas lebar karapas 112,5, sedangkan pada rajungan betina terdapat pada kelas lebar karapas 117,5 dan 162,5. Gambar 8. Faktor kondisi rajungan (Portunus pelagicus) jantan (a) dan betina (b) berdasarkan kelas lebar karapas di perairan Labuhan Maringgai, 2012. Nisbah Kelamin Jumlah rajungan jantan yang diukur selama penelitian sebanyak 1607 ekor dan rajungan betina sebanyak 1449 ekor, sehingga nisbah kelamin ikan beloso adalah 1 : 0,903. Berdasarkan uji Chi-Kuadrat dengan tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05), nisbah kelamin rajungan jantan dan betina secara keseluruhan berada dalam kondisi tidak seimbang. Rajungan jantan terlihat mendominasi hasil tangkapan dibandingkan rajungan betina. Gambar 9. Nisbah kelamin rajungan (Portunus pelagicus) secara bulanan (a) dan berdasarkan kelas lebar karapas (b) di perairan Labuhan Maringgai, 2012. 57 Selain menganalisis secara keseluruhan, dilakukan juga analisis nisbah kelamin berdasarakan data bulanan dan kelas lebar karapas. Hasil uji Chi-Kuadrat dengan tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05), menunjukkan nisbah kelamin rajungan jantan dan betina secara bulanan berada dalam kondisi tidak seimbang. Hasil ini menunjukkan kesimpulan yang sama dengan analisis nisbah kelamin secara keseluruhan. Analisis berdasarkan kelas lebar karapas menunjukkan pada kelas lebar karapas yang lebih kecil didominasi oleh rajungan jantan, sedangkan pada kelas lebar karapas yang lebih besar didominasi oleh rajungan betina. Kematangan Kelamin Pengamatan kematangan kelamin dilakukan dengan pengamatan secara fungsional, yaitu dengan mengamati rajungan betina yang membawa telur yang telah dibuahi pada bagian abdomen. Pengamatan ini dilakukan untuk mendapatkan vasriasi musiman persentase rajungan betina yang membawa telur. Selama perkembangan embrio, telur-telur ini mengalami perubahan warna dari juning sampai hitam-keabuan (Arshad et al., 2006). Hasil pengamatan secara bulanan menunjukkan persentase rajungan betina yang membawa telur pada abdomennya berkisar antara 1-20 % (Gambar 10). Persentase tertinggi terdapat pada bulan Juli dan terendah pada bulan Juni. Gambar 10. Perbandingan antara rajungan betina yang membawa telur dan tidak membawa telur setiap bulannya di perairan Labuhan Maringgai, 2012. Selanjutnya dari rajungan-rajungan betina yang membawa telur dilakukan penghitungan ukuran rata-rata matang kelamin secara fungsional (Lm) yang akan 58 dibandingkan dengan ukuran rata-rata tertangkap (Lc) (Gambar 11). Hasil analisis menunjukkan nilai Lc sebesar 109,72 mmCW dan nilai Lm sebesar 113,50 mmCW. Kedua nilai tersebut nantinya dapat dijadikan rekomendasi dalam penentuan ukuran rajungan terkecil yang boleh tertangkap (minimum legal size). Gambar 11. Ukuran rata-rata rajungan tertangkap dan matang kelamin secara fungsional di perairan Labuhan Maringgai, 2012. PEMBAHASAN Pengusahaan rajungan di Labuhan Maringgai sudah dilakukan secara intensif sejak kurang lebih 18 tahun yang lalu. Kontribusi produksinya saat ini mencapai 21 % terhadap produksi rajungan di Indonesia (APRI, 2012). Hal ini tentunya yang menyebabkan menjamurnya pengumpul-pengumpul rajungan di wilayah ini. Untuk itu, analisis-analisis terkait potensi keberlanjutan dari pengusahaan rajungan di wilayah ini perlu dilakukan. Dari penghitungan NPV (Net Present Value), IRR (Internal rate of return), B/C Ratio, rentabilitas, periode waktu kembali (payback period) terlihat bahwa pengusahaan rajungan dengan alat tangkap jaring rajungan di Labuhan Maringgai masih menguntungkan dan layak untuk diteruskan. Namun, yang perlu digarisbawahi adalah analisis ini belum dipadukan dengan aspek biologi, kelayakan teknis dan sosial masyarakat, hanya melihat dari sisi ekonomi semata. Untuk mendukung hasil analisis kelayakn usaha rajungan, diperlukan analisis dengan pendekatan aspek biologi. Dalam penelitian ini didapatkan pola pertumbuhan untuk rajungan jantan bersifat isometrik, sedangkan rajungan betina bersifat allometrik positif. Hasil penelitian Aslan et al. (2003) di perairan Purirano, Kendari menunjukkan pola pertumbuhan rajungan jantan dan betina bersifat allometrik negatif, sedangkan Sawusdee & Songrak (2009) di pesisir 59 Propinsi Trang, Thailand menunjukkan pola pertumbuhan isometrik baik rajungan jantan maupun betina. Variasi nilai b pada hubungan panjang-bobot menunjukkan pertumbuhan yang bersifat relatif, artinya dapat berubah menurut waktu. Apabila terjadi perubahan terhadap lingkungan dan ketersediaan makanan diperkirakan nilai ini juga akan berubah. Variasi nilai ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti jumlah rajungan contoh yang diukur (semakin banyak contoh akan semakin akurat), kondisi perairan dan musim (Gokhan et al., 2007 in Karna et al., 2011). Meskipun dipengaruhi terutama pada bentuk dan kegemukan dari masing-masing spesies, variasi nilai b juga disebabkan berbagai faktor, seperti suhu, salinitas, makanan (kuantitas, kualitas dan ukuran), jenis kelamin, tahap kematangan gonad, dan kelestarian habitat (Gulland, 1983; Sparre & Venema, 1992). Perubahan faktor kondisi setiap bulannya dapat disebabkan oleh perubahan musim yang mengakibatkan perubahan suhu dan salinitas, yang nantinya berpengaruh terhadap perubahan fungsi fisiologis rajungan. Pada saat bulan Juni diduga terdapat sebagian besar rajungan mengalami matang gonad (TKG III dan IV) dan diperkirakan pada bulan selanjutnya rajungan-rajungan tersebut memijah. Proses pemijahan ini berakibat pada menurunnya bobot tubuh rajungan sehingga faktor kondisinya cenderung mengecil. Hal ini yang meyebabkan nilai faktor kondisi rajungan pada bulan Juli mencapai titik terkecil. Tanod et al. (2000) menyatakan, pada saat musim pemijahan populasi rajungan yang matang gonad semakin banyak dan berakibat pada pertambahan bobot tubuh yang semakin meningkat dibandingkan pertambahan ukuran tubuh (lebar karapas). Komposisi nisbah kelamin akan mengikuti perubahan musim pemijahannya, dalam artian polanya dapat berubah menjelang dan selama musim pemijahan (Hill, 1982; Sumpton et al., 1994). Persentase hasil tangkapan rajungan betina yang rendah di Teluk Moreton selama periode pemijahan telah dikaitkan dengan migrasi rajungan betina dewasa ke daerah berpasir untuk untuk mengekstrusi telur (Sumpton et al., 1994). Selain itu, rajungan jantan dan betina juga mempunyai preferensi habitat yang berbeda, yang dapat dilihat dari 60 perbedaaan karakteristik suhu dan salinitas habitatnya pada waktu yang berbeda dalam satu tahun (Meagher, 1971 in Xiao & Kumar, 2004). Pada penelitian ini didapatkan jumlah rajungan jantan yang tertangkap lebih banyak dibandingkan rajungan betina. Hasil ini diperkuat dengan hasil penelitian Aslan et al. (2003) dan Xiao & Kumar (2004) yang memiliki hasil yang sama. Hal ini disebabkan karena rajungan betina pada saat tertentu sebelum memijah tidak menetap di perairan pantai atau muara-muara sungai seperti rajungan jantan sehingga ketika tertangkap jumlahnya akan lebih sedikit dibandingkan rajungan jantan (Potter & de Lestang, 2000). Dari sebaran nisbah kelamin setiap bulannya, dapat terlihat setiap periode dua sampai tiga bulan komposisi rajungan betina cenderung meningkat (Januari, April dan Agustus). Hal ini menunjukkan bahwa pada bulan-bulan tersebut mulai terjadi musim migrasi rajungan setelah memijah, sehingga dapat diperkirakan bahwa musim pemijahan rajungan terjadi pada bulan-bulan sebelumnya. Penghitungan ukuran rata-rata rajungan tertangkap (Lc) dan matang kelamin secara fungsional (Lm) dapat dijadikan dasar dalam penentuan ukuran minimum rajungan yang boleh ditangkap (minimum legal size). Dari kedua ukuran tersebut dapat kita tentukan bahwa sebaiknya ukuran rajungan yang tertangkap di atas 110 mmCW. Penentuan ukuran minimum lebar karapas ini (110 mmCW) sudah diterapkan di Australia Selatan (Svane & Hooper, 2004). Kondisi penangkapan yang baik untuk menunjang proses rekrutmen adalah ketika ukuran panjang individu yang ditangkap sama dengan ukuran panjang rata-rata matang gonad (Lm). Ukuran panjang tangkapan yang lebih rendah dibandingkan Lm akan mengakibatkan penurunan stok sumberdaya akibat terhambatnya proses rekrutmen (Henriques, 1999 in Pinheiro & Lins-Oliveira, 2006). KESIMPULAN 1. Pengusahaan rajungan dengan alat tangkap jaring rajungan di Labuhan Maringgai dilihat dari sisi ekonominya masih menguntungkan dan layak untuk diteruskan. 2. Pola pertumbuhan rajungan jantan bersifat isometrik dan rajungan betina bersifat allometrik positif. 61 3. Nilai faktor kondisi terbesar pada rajungan jantan terdapat pada bulan Januari, sedangkan pada rajungan betina terdapat pada bulan April. Nilai faktor kondisi terkecil pada rajungan jantan maupun betina terdapat pada bulan Juli. 4. Nisbah kelamin rajungan berada dalam kondisi tidak seimbang. 5. Ukuran minimum rajungan yang boleh ditangkap (minimum legal size) untuk dapat menunjang kelestariannya sebesar 110 mmCW. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan penelitian stok dan pengusahaan sumberdaya udang penaeid dan rajungan di WPP 712 Laut Jawa dan WPP 716 Laut Sulawesi, T. A. 2012, di Balai Penelitian Perikanan Laut-Muara Baru, Jakarta. DAFTAR PUSTAKA APRI. 2012. Peran Swasta dalam Penerapan Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan: Studi Kasus Perikanan Rajungan. Makalah Seminar. Disampaikan pada Seminar Nasional Perikanan Tangkap di Universitas Sam Ratulangi. Manado, 30 Oktober 2012. Arshad, A., Efrizal, M. S. Kamarudin, & C. R. Saad. 2006. Study on fecundity, embryology and larval development of blue swimming crab Portunus pelagicus (Linnaeus, 1758) under laboratory conditions. Res. J. Fish. & Hydrobiol. 1 (1): 35-44. Aslan, L.O.M., Nugaya, W., Sutriani, Marlina, W.O., & Nistiawaty. 2003. Biologi rajungan Portunus pelagicus Linnaeus di Perairan Pantai Purirano, Kendari, Sulawesi Tenggara. Seminar Nasional Krustasea ke-3. 20-21 Agustus 2003. IPB. Bogor. DKP Lampung. 2010. Statistik perikanan Propinsi Lampung. Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Lampung. Bandar Lampung. Gulland, J.A. 1983. Fish stock assessment. A Manual of Basic Methods. John Wiley & Sons. Chicester. 233 pp. Henriques, V. M. C. 1999. Dinâmica da Reprodução da cioba, Lutjanus analis (Cuvier, 1828) (Osteichthyes: Lutjanidae), no município de Baía Formosa, Rio Grande do Norte. In 62 Pinheiro, A. P.& J. E. Lins-Oliveira. 2006. Reproductive biology of Panulirus echinatus (Crustacea: Palinuridae) from São Pedro and São Paulo Archipelago, Brazil. Nauplius. 14(2): 89-97.Hill, B.J. 1982. The Queensland Mud Crab Fishery. Queensland Fish Inf. Australia. 7 pp. Jennings S., M. Kaiser & J.D. Reynolds. 2001. Marine Fisheries Ecology. Alden Press Ltd. Blackwell Publishing. United Kingdom. 417 pp. Karna, S.K., S. Panda & B.C. Guru. 2011. Length-weight relationship (Lwr) and seasonal distribution of Valamugil speigleri (Valancienues) through size frequency variation and landing assessment in Chilika Lagoon, India. Asian J. Exp. Biol. Sci. 2(4): 654-662. Kizhakudan, J.K. & Patel, S.K. 2010. Size at maturity in the mud spiny lobster Panulirus polyphagus (Herbst, 1793). J. Mar. Biol. Ass. India. 52 (2): 170179. Lagler, K.F. 1972. Freshwater Fishery Biology. W.M.C. Brown Company Publisher. Dubuque, Iowa. 421 pp. MacDiarmid, A. B. and B. Sainte-Marie. 2006. Reproduction. In: B. F. Phillips (Ed.) Lobsters: Biology, Management, Aquaculture and Fisheries. Blackwell Publishers, p. 45-77. Meagher, T.D., 1971. Ecology of the crab Portunus pelagicus in South Western Australia. Ph.D. Thesis. University of Western Australia, Australia, 232 pp. In Xiao, Y. & Kumar, M. 2004. Sex ratio, and probability of sexual maturity of females at size, of the blue swimmer crab, Portunus pelagicus Linneaus, off southern Australia. Fisheries Research. 68 (2004): 271-282. Potter, I.C. & de Lestang, S. 2000. Biology of the blue swimmer crab Portunus pelagicus (Linnaeus) (Decapoda: Brachyura) of the Madras Coast. Proc. Indian Acad. Sci. (B) 65: 76-82. Sawusdee, A. & Songrak, A. 2009. Population dynamics and stock assessment of blue swimming crab (Portunus pelagicus Linnaeus, 1758) in the coastal area of Trang Province, Thailand. Walailak J Sci & Tech. Vol. 6 (2): 189202. Simanjuntak, P. 1992. Pengantar Evaluasi Proyek. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Hal. 40-82. Sparre, P. & S. C. Venema. 1992. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Buku 1: Manual. Organisasi Pangan dan Petanian Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. 438 pp. Suman, A. 2010. Sumber daya udang penaeid di Indonesia dan alternatif pengelolaannya secara berkelanjutan. Orasi Pengukuhan Profesor Riset. 63 Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 51 pp. Sumpton, W.D., Potter, M.A. & Smith, G.S. 1994. Reproduction and growth of the commercial sand crab, Portunus pelagicus (L.) in Moreton Bay, Queensland. Asian Fisheries Science. Vol. 7 (1994): 103-113. Svane, I. & G. Hooper. 2004. Blue Swimmer Crab (Portunus pelagicus) Fishery. Fishery Assesment Report to PIRSA for the Blue Crab Fishery Management Committee. South Australian Research and Development Institute (Aquatic Sciences), Adelaide. RD03/0274-2. Tanod, A.L., Sulistiono & Watanabe, S. 2000. Reproduction and growth of three species mudcrab (Scylla serrata, S. tranquebarica and S. oceanica) in Segara Anakan Logoon, Indonesia. JSPS-DGHE International Symposium. 10 (4): 347-351. Walpole, R.E. 1993. Pengantar Statistika. Edisi ke-3. PT.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 515 pp. Xiao, Y. & Kumar, M. 2004. Sex ratio, and probability of sexual maturity of females at size, of the blue swimmer crab, Portunus pelagicus Linneaus, off southern Australia. Fisheries Research. 68 (2004): 271-282. 64 Lampiran 1. Perkembangan perubahan warna pada telur rajungan (Portunus pelagicus) pasca dibuahi. 3 2 1 4 5 65 OPTIMASI PEMANFAATAN SUMBER DAYA UDANG JERBUNG (Penaeus merguensis) DI PERAIRAN DEMAK DAN SEKITARNYA Oleh Renny Ramadhani1) dan Tri Ernawati1) 1) Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut ABSTRAK Penelitian yang dilakukan bertujuan menentukan strategi pemanfaatan sumber daya udang jerbung (Penaeus merguensis) secara optimal di Perairan Demak, yang dilaksanakan dari Maret 2012 sampai dengan Desember 2012. Metode yang digunakan adalah model optimasi program linear untuk menentukan kombinasi unit penangkapan yang optimal. Hasil penelitian menunjukkan kombinasi unit penangkapan optimal adalah dengan mengoperasikan 36.333 unit alat tangkap trammel net dengan keuntungan yang diperoleh sebesar Rp. 2,7 trilliun per tahun serta membuka peluang investasi pengembamgan sekitar 12.174 unit alat tangkap trammel net. Penerapan strategi ini dapat mengintegrasikan aspek ekonomi dan sosial sebagai dimensi dari perikanan yang berkelanjutan. Kata kunci : optimasi, Penaeus merguensis, perairan Demak PENDAHULUAN Udang jerbung (Penaeus merguensis) adalah jenis udang laut penting dengan nilai ekonomis tinggi. Penyebaran udang ini pada umumnya terdapat di perairan yang relatif dangkal di sepanjang pantai perairan Indonesia dengan potensi tertinggi di Selat Malaka (Naamin et al, 1992). Musim penangkapan udang ini berbeda-beda menurut daerah penyebarannya, dan hampir tertangkap sepanjang tahun dengan alat tangkap trammel net dan jaring arad. Perairan Demak merupakan daerah penangkapan udang jerbung di perairan pantai utara Jawa Tengah. Alat yang digunakan untuk menangkap udang tersebut terdiri dari dua jenis yaitu trammel net dan jaring arad. Pemanfaatan sumber daya udang jerbung di perairan Demak ini sudah berlangsung lama dan merupakan daerah padat nelayan (Naamin, 1979). Pengusahaan sumber daya udang jerbung di daerah ini semakin meningkat karena semakin 67 bertambahnya angkatan kerja di sektor nelayan, sedangkan daerah operasi penangkapan tetap terbatas. Walaupun udang termasuk sumber daya yang dapat pulih (renewable resources) tetapi penangkapan yang terus meningkat tanpa adanya pembatasan akan menyebabkan penurunan sumber daya tersebut. Tingginya intensitas penangkapan udang jerbung (Penaeus merguensis) di perairan Demak, yang dilakukan setiap hari sepanjang tahun, dikhawatirkan pemanfaatannya yang akan mengancam kelestarian dan keberlanjutan sumber daya udang jerbung di perairan ini. Dengan demikian, apabila kondisi pemanfaatan yang ada saat ini tetap berjalan, maka diduga dalam jangka panjang akan menyebabkan sumber daya udang jerbung di perairan Demak terancam kelestariannya. Melihat fenomena tersebut, di perairan Demak sebaiknya dilakukan upayaupaya pengelolaan pemanfaatan sumber daya udang jerbung yang lebih baik. Tulisan ini akan membahas tentang optimasi pemanfaatan sumber daya udang jerbung di perairan Demak dan diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk tujuan pengelolaan bagi pengkajian selanjutnya. Gambar 1. Daerah penangkapan di perairan Demak dan sekitarnya 68 BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret 2012 sampai dengan Desember 2012 di Perairan Demak dan sekitarnya. Penelitian dilakukan dengan pengamatan langsung di pusat-pusat pendaratan udang di perairan Demak dan sekitarnya (TPI Morodemak dan TPI Wedung). Seluruh pengumpulan data untuk keperluan pengkajian ini dilakukan dengan metode survey. Analisis data untuk optimasi digunakan program linier menggunakan software bahasa pemograman LINDO. Karena model regresi yang digunakan dalam penelitian ini bersifat linear dan dengan kondisi batasan (kendala) yang tidak boleh dilampaui maka model optimasi yang dipilih adalah model optimasi berkendala. Fungsi tujuan dari pengkajian ini adalah memaksimumkan keuntungan : Z=Cj.Xj ……………………………(1) Terhadap fungsi kendala: a11 x 1 + a12 x 2 +…+ a1n x n ≤ b1 a21 x 1 + a22 x 2 +…+ a2n x n ≤ b2 am1 x 1 + am2 x 2 +…+ amn x n ≤ bm Adapun X adalah variable putusan ke-j, c adalah parameter fungsi tujuan ke-j, b adalah kapasitas kendala ke-i. aij adalah parameter fungsi kendala ke-i dan variabel keputusan ke-j, i adalah 1,2,3,…m, j adalah 1,2,3, …n serta ej adalah galat baku. Elemen-elemen yang digunakan dalam model ini terdiri dari; (1) fungsi tujuan, yaitu nilai keuntungan maksimum dari usaha penangkapan udang, (2) fungsi pembatas, yaitu nilai hasil tangkapan maksimum (CMSY) dan upaya penangkapan maksimum (EMSY) dan (3) koefisien input-output, yaitu nilai keuntungan tiap jenis alat tangkap, nilai hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (CPUE) per alat tangkap dan indeks daya tangkap (FPI) per alat tangkap. Fungsi tujuan Fungsi tujuan dari penelitian ini adalah memaksimumkan keuntungan usaha penangkapan udang jerbung. Karena ada sejumlah alat tangkap yang dioperasikan di perairan sekitarnya, maka fungsi tujuan tersebut adalah; 69 ԉ=Σ(TR-TC)…………………………….(2) Karena satu jenis alat tangkap dapat menangkap lebih dari satu jenis udang maka fungsi tujuan menjadi: ∑ ԉ= ∑ ( ) ∑ ( ) atau ԉ=∑ …………………………(4) Adapun pi adalah harga udang jenis i, Yij adalah produktivitas alat tangkap j terhdap udang i (CPUEi), vj adalah jumlah jenis alat tangkap j, cj adalah biaya operasional armada-armada penangkapan j per tahun serta adalah nilai keuntungan masing- masing alat tangkap dalam setahun. Fungsi Pembatas Dalam melakukan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan (udang), jumlah hasil tangkapan dan upaya penangkapan biasanya didasarkan pada nilai optimum hasil tangkapan dan upaya penangkapan yang digunakan atau sering disebut sebagai nilai maximum sustainable yield (MSY). Pemanfaatan akan lestari dan berkelanjutan apabila hasil tangkapan maksimum mencapai nilai MSY. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam pengkajian ini nilai-nilai upaya penangkapan (EMSY) dan nilai hasil tangkapan (CMSY) pada kondisi MSY dijadikan sebagai faktor pembatas yang tidak boleh dilampaui dalam pemanfaatan sumber daya udang. Hasil Tangkapan Lestari (CMSY) Suatu jenis udang di daerah tropis seperti Indonesia dapat ditangkap lebih dari satu jenis alat tangkap, sehingga penggabungan hasi tangkapan dari beberapa jenis alat tangkap udang harus ≤ CMSY ∑ ∑ ( ) ( ) ………(5) Adapun Yij adalah produktivitas alat tangkap j terhadap udang i (CPUEij), vj adalah jumlah jenis alat tangkap j dan CMSY(i) adalah hasil tangkapan maksimum yang lestari. 70 Upaya Penangkapan Lestari (EMSY) Upaya penangkapan yang optimum yang diperoleh berdasarkan perhitungan model surplus produksi dalah merupakan upaya penangkapan standar yang disusun atas beberapa jenis alat tangkap udang,sehingga jumlah upaya penangkapan udang dari masing-masing alat tangkap harus diketahui. Untuk mendapatkan upaya penangkapan per jenis alat tangkap terhadap suatu jenis udang maka perlu dilakukan perhitungan sebagai berikut: ∑ ∑ ( ) ( )………(6) Adapun FPij adalah daya alat tangkap j terhadap jenis udang i, vj adalah jumlah jenis alat tangkap j dan EMSY(i) adalah upaya penangkapan maksimum lestari. HASIL DAN BAHASAN Aspek Penangkapan Udang Jerbung Alat tangkap arad merupakan trawl mini yang banyak beroperasi di Pantai Utara Jawa salah satunya di daerah Demak ditujukan untuk menangkap udang dan ikan-ikan demersal. Jaring Arad pada prinsipnya terdiri dari bagian kantong (codend), badan (body) dan sayap (wing). Jaring arad dilengkapi juga dengan sewakan (otter board) yang berbentuk persegi panjang dengan ukuran panjang 80 cm dan lebar 40 – 50 cm. Dimensi jaring arad secara umum memiliki panjang head rope 14 – 18 m, ground rope 17 – 24 m. Panjang sayap 9 m dengan besar mata jaring (mesh size) 2,5 inci. Panjang badan jaring 5 – 7 m yang tersusun oleh beberapa kisi yang masing-masing kisi memiliki besar mata jaring terdiri dari 2 inci, 1,75 inci; 1,5 inci; 1,25 inci. Panjang kantong jaring 2 m mesh size antara 0,75 - 1 inci . Panjang tali selambar (warp) berkisar 150 – 200 m. Jaring dioperasikan di perairan pantai pada kedalaman mulai dari 5 - 30 m. Pemberat yang digunakan terbuat dari timah dengan berat total 15 kg. Pengoperasian jaring arad dalam satu kapal umumnya dilakukan oleh 2 orang. Lama pengoperasian jaring arad yang berbasis di Demak umumnya adalah harian atau one day fishing, dengan jumlah tawur/setting per hari adalah 3 – 5 kali. Dalam sehari, perbekalan yang dibawa antara lain: solar 20 – 25 liter, es ¼ balok dan ransum 71 senilai Rp.53.000,00. Sehingga total perbekalan adalah sekitar Rp.203.000,00 per hari. Untuk alat tangkap trammel net (jaring 2 lapis) yang menangkap terbuat dari bahan PA multi filament dengan mesh size mata jaring 1,75 inchi pada bagian dalam (inner) dan 5 inchi pada bagian luar (outter), dalam satu set trammel net mencapai mempunyai panjang total 20 tingting dengan ukuran 1 tingting adalah 30 meter . Trammel net yang dioperasikan di perairan Demak dan sekitarnya, cara pengoperasiannya dengan cara jaring ditarik menyapu di perairan (trammel net aktif). Trammel net aktif trip harian dioperasikan dengan menarik jaring sekitar 0,5 jam satu kali tawur dan dilakukan empat kali tawur dalam satu trip. Satu trip penangkapan trammel net aktif harian (pukul 03.00-15.00 WIB) dalam operasinya menggunakan perahu dengan panjang 6,3 m, lebar 2,6 dan dalam 0,9 m. Tenaga penggerak trammel net aktif trip harian menggunakan perahu motor berbahan bakar solar yang berkekuatan 16-23 PK. Jumlah ABK trammel net aktif harian terdiri dari 3 orang. Optimasi Pemanfaatan Optimasi pemanfaatan udang jerbung yang dilakukan di Kabupaten Demak dan sekitarnya dimaksudkan untuk mencari nilai optimum masing-masing alat tangkap udang jerbung yang dioperasikan Kabupaten Demak dan sekitarnya sehingga memiliki keuntungan yang maksimum Model pendekatan yang dilakukan adalah dengan menggunakan aplikasi Linear Programming yang menggunakan format tertentu agar dapat diolah oleh program LINDO. Elemen-elemen yang digunakan dalam model ini terdiri dari (1) fungsi tujuan, yaitu keuntungan maksimum dari usaha penangkapan udang jerbung, (2) fungsi pembatas, yaitu nilai hasil tangkapan maksimum (CMSY) dan upaya penangkapan maksimum (EMSY) dan (3) koefisien input-output, yaitu nilai keuntungan tiap jenis alat tangkap untuk fungsi tujuan, nilai hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (CPUE) per alat tangkap bagi fungsi pembatas CMSY dan indeks daya tangkap (FPI) per alat tangkap untuk fungsi pembatas EMSY. 72 Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan maka fungsi-fungsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Fungsi tujuan, yaitu memaksimumkan keuntungan usaha pemanfaatan sumber daya udang jerbung ԉ = 60.572.000 X1 + 74.652.750 X2 Adapun ԉ adalah keuntungan yang akan dimaksimumkan, X1 adalah jumlah jaring kantong (trammel net)., X2 adalah jumlah armada jaring arad. 2. Fungsi pembatas, yaitu nilai-nilai yang tidak boleh dilampaui karena jika terlampaui maka akan merusak kelestarian sumber daya. (a) Hasil tangkapan yang lestari (CMSY) Suatu jenis udang di daerah tropis seperti di Indonesia dapat ditangkap oleh lebih dari satu alat tangkap, sehingga hasil tangkapan gabungan dari beberapa jenis alat tangkap udang jerbung harus ≤ CMSY. Dari hasil penelitian didapatkan potensi lestari (MSY) udang jerbung di kabupaten Demak dan sekitarnya adalah 109 ton, CPUE alat tangkap jarring arad 0,003 ton/unit/tahun, CPUE alat tangkap jarring kantong (trammel net) 0,02 ton/unit/tahun, sehingga fungsi pembatas udang jerbung terhadap hasil tangkapan lestari adalah : 0,02 X1 +0,003 X2 ≤ 109 Adapun X1 adalah jumlah armada jaring kantong (trammel net), X2 adalah jumlah armada jarring arad. (b) Upaya penangkapan yang lestari (EMSY) Dari hasil penelitian didapatkan upaya optimum (fopt) udang jerbung di Kabupaten Demak dan sekitarnya adalah 41816 unit alat tangkap standard (trammel net), Fishing Power Index (FPI) alat tangkap trammel net 1, FPI alat tangkap arad 0,15, maka fungsi pembatas terhadap upaya penangkapan adalah XI + 0,15X2 ≤ 41816 Adapun X1 adalah jumlah trammel net, X2 adalah jumlah armada jaring arad (3) Output 73 Berdasarkan hasil analisis optimasi dengan Liner Programming (Lampiran 1) terhadap fungsi tujuan dan pembatas yang telah ditentukan sebelumnya, diperoleh hasil untuk tidak mengoperasikan alat tangkap trammel net dalam pemanfaatan sumber daya udang jerbung secara berkelanjutan. Nilai optimal jenis alat tangkap yang direkomendasikan yaitu 36.333 unit trammel net. Apabila kombinasi optimal ini tidak dijalankan seutuhnya, maka setiap perubahan kombinasi dengan memaksakan pengoperasian setiap alat tangkap trammel net akan mengurangi pendapatan sebesar Rp. 437,1 juta per tahun. Dalam jangka panjang alat tangkap trammel net merupakan alat tangkap udang yang paling optimal, karena dapat memanfaatkan sumberdaya secara optimum dan lestari dengan keuntungan yang sangat tinggi yaitu Rp. 2,7 trilliun per tahun. Analisis Kelayakan Usaha Di Kabupaten Demak, usaha penangkapan dengan menggunakan alat tangkap jaring arad diketahui memiliki biaya operasional usaha (biaya tetap dan biaya variable) dalam satu tahun sebesar Rp. 96.932.000,- dan penerimaan usaha dalam satu tahun sebesar Rp.171.585.000,-. Untuk jangka panjang, alat tangkap jaring arad memiliki criteria kelayakan usaha dengan nilai NPV (Net Present Value) sebesar Rp. 242.646.218,- ,IRR (Internal Rate Return) sebesar 43%. Nilai IRR (Internal rate of return) tersebut lebih besar dari discount factor yaitu 18% sehingga dapat dikatakan bahwa usaha penangkapan ini layak untuk dilanjutkan. Nilai Net B/C ratio sebesar 9,2 (> 1) menunjukkan bahwa usaha tersebut layak untuk diusahakan atau dilanjutkan. Sedangkan pada usaha penangkapan dengan menggunakan jaring kantong (trammel net) di peroleh biaya operasional dan penerimaan usaha dalam satu tahun masing-masing adalah sebesar Rp. 137.388.000,- dan Rp. 197.960.000,-. Untuk jangka panjang, alat tangkap jaring kantong (trammel net) memiliki criteria kelayakan usaha dengan nilai NPV(Net Present Value) sebesar Rp. 181.644.355,- , IRR (Internal Rate Return) sebesar 41%. Nilai IRR (Internal rate of return) tersebut lebih 74 besar dari discount factor yaitu 18% sehingga dapat dikatakan bahwa usaha penangkapan ini layak untuk dilanjutkan. Nilai Net B/C ratio sebesar 5,63 (> 1) menunjukkan bahwa usaha tersebut layak untuk diusahakan atau dilanjutkan. Ditinjau dari analisis kelayakan usaha alat tangkap jaring arad maupun trammel net memiliki kelayakan investasi yang menguntungkan dan layak untuk diteruskan. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Alat tangkap udang jerbung (Penaeus merguensis) di perairan Demak dan sekitarnya terdiri dari 2 alat tangkap yaitu alat tangkap trammel net aktif harian dan jaring arad. 2. Optimasi pemanfaatan sumber daya udang jerbung di perairan Demak dalam rangka menjamin kelestariannya adalah dengan mengoperasikan 36.333 unit alat tangkap trammel net per tahun dan keuntungan yang diperoleh dari penerapan pola pemanfaatan ini diperkirakan sebesar 2,7 trilliun per tahun. 3. Alat tangkap yang lebih direkomendasikan untuk lebih banyak dioperasikan adalah trammel net. Kekurangan 12.174 unit trammel net untuk mencukupi jumlah 36.333 unit yang optimal dalam pemanfaatan udang jerbung, merupakan peluang investasi di perairan Demak dan sekitarnya. 4. Penerapan strategi optimasi pemanfaatan sumber daya jerbung di perairan jerbung di perairan Demak dan sekitarnya dapat menjamin kelestarian sumber daya dan meningkatkan kesejahteraan nelayan serta dapat mengintegrasikan aspek ekomoni dan sosial sebagai dimensi dari perikanan yang berkelanjutan. DAFTAR PUSTAKA Djamin Z. 1984. Perencanaan dan Analisa Proyek. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. hal 167. Mangkusubroto, K. dan C.L. Trisnadi. 1985. Analisis Keputusan. Pendekatan Sistem dalam Manajemen Usaha dan Proyek. Ganeca Exact. Bandung. hal. 271. 75 Naamin et al. 1992. Pedoman teknis pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya udang penaeid bagi pembangunan perikanan. Seri Pengembangan Penelitian Perikanan No.PHP/KANPT/22/1992. Badan Litbang Pertanian : hal. 89. Simajuntak P et al. 1992. Pengantar Evaluasi Proyek. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. hal 40-82. Soekartawi et al. 1986. Ilmu Usaha Tani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. Jakarta. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. hal 137-149 Soekartawi. 1995. Linear programming. Teori dan aplikasinya khusus dalam bidang pertanian. Penerbit Raja Grafindo Persada, Jakarta. Suman, A. , M.Rijal, & Yulianti. 1994. Biologi dan dinamika populasi udang jerbung (Penaeus merguensis de Man) di perairan Demak, Jawa Tengah. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. Jakarta. Vol. 87, hal. 10-23. Suman, A. 2004. Optimasi pemanfaatan sumber daya udang dogol (Metapenaeus ensis) di perairan Cilacap dan sekitarnya. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. No.4:39-51. Supranto, J. 1998. Riset operasi untuk pengambilan keputusan. Cetakan pertama. Universitas Indonesia, Jakarta. 76 Lampiran 1. Analisis usaha alat tangkap trammel net di perairan Demak dan sekitarnya Biaya Investasi Kapal : Rp. 20.000.000 mesin : Rp. 15.000.000 alat tangkap : Rp. 5.000.000 lain2 : Total Investasi : Rp. 40000000 solar : Rp. 180.000 es balok : Rp. 5.000 konsumsi : Rp. 100.000 Total biaya per trip : Rp. 285.000 Total per tahun : Rp. 57.570.000 perahu : Rp. 10.000.000 mesin : Rp. 3.000.000 alat tangkap : Rp. lain-lain : Total : Rp. - Biaya Operasi Biaya penyusutan 5.000.000 18000000 Biaya perawatan perahu : Rp. 1.280.000 mesin : Rp. 700.000 alat tangkap : Rp. 300.000 oli : Rp. 150.000 Total : Rp. 2430000 Hasil usaha per tahun 77 Hari operasi rata-rata per trip : 1 hari jumlah operasi rata-rata per tahun : 202 trip Jumlah ABK : Hasil tangkapan rata-rata per trip : Hasil penjualan rata-rata per kg : Rp. 2 orang 10 kg 98.000 Penerimaan rata-rata per tahun : Rp. 197.960.000 : Rp. 59.388.000 Penerimaan per tahun : Rp. 197.960.000 Biaya total per tahun : Rp. 137.388.000 pendapatan bersih per tahun : Rp. 60.572.000 bagi hasil Rekapitulasi Lampiran 2. Analisis usaha alat tangkap arad di perairan Demak dan sekitarnya Biaya Investasi Kapal : Rp. 20.000.000 mesin : Rp. 7.000.000 alat tangkap : Rp. 3.000.000 lain2 : Total Investasi : Rp. 30.000.000 solar : Rp. 150.000 es balok : Rp. 3.000 konsumsi : Rp. 50.000 Total biaya per trip : Rp. 203.000 Total per tahun : Rp. 41.615.000 perahu : Rp. 8.000.000 mesin : Rp. 3.000.000 - Biaya Operasi Biaya penyusutan 78 alat tangkap : Rp. lain-lain : Rp. 500.000 Total : Rp. 11.500.000 perahu : Rp. 1.000.000 mesin : Rp. 400.000 alat tangkap : Rp. 30.000 oli : Rp. 100.000 Total : Rp. 1.530.000 - Biaya perawatan Hasil usaha per tahun Hari operasi rata-rata per trip : 1 hari jumlah operasi rata-rata per tahun : 205 trip Jumlah ABK : Hasil tangkapan rata-rata per trip : Hasil penjualan rata-rata per kg : Rp. 2 orang 9 kg 93.000 Penerimaan rata-rata per tahun : Rp. 171.585.000 : Rp. 42.896.250 Penerimaan per tahun : Rp. 171.585.000 Biaya total per tahun : Rp. 96.932.250 pendapatan bersih per tahun : Rp. 74.652.750 bagi hasil Rekapitulasi Lampiran 3. Hasil perhitungan dengan program linear di perairan Demak dan sekitarnya LP OPTIMUM FOUND AT STEP OBJECTIVE FUNCTION VALUE 1) 2712356. 79 VARIABLE VALUE REDUCED COST X1 0.000000 437.108002 X2 36333.332031 0.000000 ROW SLACK OR SURPLUS DUAL PRICES 2) 0.000000 24884.000000 3) 36366.000000 0.000000 4) 0.000000 0.000000 5) 36333.332031 0.000000 NO. ITERATIONS= 0 RANGES IN WHICH THE BASIS IS UNCHANGED: OBJ COEFFICIENT RANGES VARIABLE CURRENT COEF ALLOWABLE ALLOWABLE INCREASE DECREASE X1 60.571999 437.108002 INFINITY X2 74.652000 INFINITY 65.566200 RIGHTHAND SIDE RANGES ROW CURRENT RHS 80 ALLOWABLE INCREASE ALLOWABLE DECREASE 2 109.000000 727.320007 108.999992 3 41816.000000 INFINITY 36366.000000 4 0.000000 0.000000 INFINITY 5 0.000000 36333.332031 INFINITY BIOLOGI REPRODUKSI DAN PERUBAHAN KARAKTER BIOLOGI IKAN PELAGIS KECIL DI LAUT JAWA Oleh Moh Fauzi1), Achmad Zamroni1) dan Suwarso1) 1) Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut ABSTRAK Kajian karakter biologi beberapa jenis ikan pelagis kecil di laut Jawa dilakukan dengan pengambilan contoh di Rembang selama 2012. Variasi bulanan diasumsikan dalam periode yang sama menunjukkan hasil bahwa populasi ikan yang tertangkap didominasi oleh ikan belum matang. Dugaan musim pemijahan terjadi setelah musim timur yakni sekitar bulan Agustus-September. Semakin mengecilnya ukuran reproduktif dibandingkan penelitian 20 tahun yang lalu menunjukkan semakin tertekannya sumber daya ikan pelagis di laut Jawa. Ukuran rata-rata tertangkap (L50%) yang lebih kecil daripada ukuran panjang pertama kali matang gonad (Lm) mengindikasikan hal yang sama. Kebijakan pengelolaan perikanan khususnya sumberdaya ikan pelagis kecil di laut Jawa menjadi hal yang mendesak dilakukan agar pemanfaatannya tetap lestari dan berkelanjutan. Kata Kunci : Biologi reproduksi, ikan pelagis kecil, Laut Jawa PENDAHULUAN Pengetahuan biologi perikanan merupakan faktor penting dalam usaha pengelolaan sumber daya perikanan yang lestari. Sumber daya hayati bersifat terbatas tapi dapat memperbaharui dirinya. Sampai tingkat tertentu kita memperoleh hasil tangkapan sejalan dengan peningkatan upaya penangkapan, tapi setelah tingkat tersebut pembaharuan sumber daya (reproduksi dan pertumbuhan tubuh) tidak dapat mengimbangi penangkapan, dan peningkatan tingkat eksploitasi lebih jauh akan menjurus kepada pengurangan hasil tangkapan (Sparre & Venema, 1999). Sumber daya ikan pelagis telah lama dieksploitasi oleh berbagai macam alat mulai dari alat tangkap payang, pukat cincin, pukat cincin yang dilengkapi dengan lampu sorot. Motorisasi perikanan tradisional dan substitusi alat tangkap telah menyebabkan crowding effect. Status perikanan pelagis kecil telah melampaui MSY (Atmaja, 2006). Hasil tangkapan terbesar kapal pukat cincin di Laut Jawa terutama ikan layang yang terdiri dari layang deles (Decapterus 81 macrosoma) dan layang biasa (D. russelli). Persentasi hasil tangkapan layang sekitar 52,4% dari seluruh hasil tangkapan ikan pelagic kecil yang didaratkan, komposisi hasil tangkapan cenderung berubah sejalan dengan perubahan daerah penangkapan (Sadhotomo et al., 1986). Tulisan ini dimaksudkan mendapatkan informasi tentang karakter biologi dan parameter reproduksi (Lm) berdasarkan hasil sampling pada 2012 di Laut Jawa (Tasik Agung dan Sarang, Rembang) terhadap beberapa spesies ikan pelagis kecil. Hasil analisa ini dibandingkan dengan kondisi parameter biologi reproduksi ikan-ikan pelagis kecil tersebut dalam 20 tahun terakhir. Dengan adanya tulisan ini diharapkan muncul opsi-opsi kebijakan yang diambil untuk pengelolaan perikanan di Laut Jawa agar tetap lestari dan berkelanjutan BAHAN DAN METODE Lokasi, Waktu dan Obyek Penelitian Penelitian dilakukan selama periode 2012 yang difokuskan pada dua tempat pendaratan ikan terbesar di Rembang yakni TPI Tasik Agung dan TPI Sarang. Kedua sampling site tersebut merupakan dua stasiun pendaratan ikan yang merepresentasikan hasil tangkapan pukat cincin di Laut Jawa. Spesies yang diamati terdiri dari ikan layang deles (Decapterus macrosoma), layang biasa (D. russelli), banyar (R. kanagurta), bentong (S. crumenophtalmus) dan siro (A. sirm). Pengambilan sampel ikan pelagis kecil dari kapal-kapal sampel dilakukan rutin tiap bulan baik berupa pengamatan biologi maupun sebaran ukuran panjang cagak (length frequency). Prosedur Pengambilan Sampel Pengambilan sampel dilakukan pada secara random pada kapal-kapal Mini Purse Seine yang mendarat di Pelabuhan perikanan pekalongan dan TPI sarang dan Tasik Agung Rembang. Dilakukan pengukuran parameter biologi meliputi panjang cagak(FL), panjang total(TL), berat total, sex, berat gonad dan status kematangan gonad. Pedoman pengukuran tingkat kematangan gonad mengacu pada Holden & Rait (1974). 82 Analisis Data Fluktuasi nilai GSI menunjukkan dugaan musim pemijahan dimana nilainya dapat diperoleh dengan rumus: GSI = 100% Dimana; Wg=berat gonad(gram), BW=berat total ikan(gram) Untuk mengetahui nilai Lm dan karakter biologi lainnya digunakan kematangan gonad kelompok ikan betina dewasa. Ukuran pertama kali matang gonad (Lm) diduga dengan cara Spearman-Karber seperti yang diusulkan oleh Udupa (1986) sebagai berikut: m = Xk + (X/2) – (XΣ pi) dimana: m = log panjang ikan pada kematangan gonad pertama Xk = log nilai tengah kelas panjang dimana semua ikan (100%) sudah matang gonad pi = proporsi ikan matang pada kelas I dimana pi = ri/ni apabila ni = ni + 1 ri = jumlah ikan matang pada kelas panjang ke i maka panjang ikan pada waktumencapai kematangan gonad pertama (M) adalah M = antilog (m) Jika α = 0,05 maka batas-batas kepercayaan 95% dari (m) adalah : Antilog[m 1.96(X2 (pi*qi)/(ni-1))] Metode penentuan ukuran ikan rata-rata tertangkap dapat dilakukan menggunakan metode kurva logistik baku, yaitu dengan memplotkan prosentase frekuensi kumulatif dengan panjangnya. HASIL Selama periode penelitian pada 2012 telah terukur sampel ikan pelagis kecil hasil tangkapan di Laut Jawa sebanyak 2.885 ekor yang berasal dari 5 jenis ikan dengan sebaran panjang cagak dan berat sampel terlihat pada Tabel 1. Sampel ikan didapat dari hasil pendaratan armada MPS di TPI Sarang dan Tasik Agung 83 Rembang. Kedua TPI tersebut dijadikan sebagai fokus sampling site karena merupakan basis perikanan MPS Laut Jawa. Tabel 1. Sebaran panjang dan berat sampel ikan pelagis kecil Spesies Panjang cagak (cm) n Min average Berat (gr) max Min Average max A. sirm 279 12,4 15,3 20,2 23,3 49,4 105,6 D. macrosoma 362 14,1 17,8 21,2 20,8 68 156,6 D. russelli 836 12,5 18,6 24,1 14,8 89,3 186,5 R. kanagurta 606 16 21,1 24 56 153,6 227,6 S. crumenophthalmus 802 13 19,9 24,4 32 149,5 283,6 Grand Total 2885 Komposisi kematangan seksual Sebagian besar ikan dalam kondisi masih muda subadult (54%) dan maturing pemasakan (30%). Ikan dalam kondisi matang ripe kurang dari 2% bahkan tidak didapatkan pada D. macrosoma dan S. crumenophthalmus. Komposisi kematangan seksual pada masing-masing spesies diperlihatkan pada Tabel 2. Tabel 2. Komposisi tingkat kematangan gonad ikan pelagis kecil di Laut Jawa Spesies % stage I II n III IV (ekor) V A. sirm 11,5 49,0 25 6.3 8,3 D. macrosoma 70,6 24,6 4,8 - D. russelli 33 22,2 43,8 0.6 0,3 315 R. kanagurta 15 23,4 57 4.2 0,3 286 S. crumenophthalmus 10,3 37,2 49,3 - 3,2 406 Total 23,5 29,8 43,2 1,9 1229 - 1,6 96 126 Perkembangan kematangan seksual PadaTabel 3 terlihat bahwa nilai GSI terbesar dimiliki oleh stage 4. Hal ini karena gonad ikan menjadi lebih besar dan berat dengan berkembangnya telur. 84 Pada stage 5 beratnya menurun karena ikan telah mengeluarkan sebagian besar telurnya yaitu dalam fase pemijahan. Tabel 3. Sebaran nilai indeks kematangan gonad ikan pelagis kecil betina menurut tingkat maturity di Laut Jawa Spesies A. sirm Tingkat Kematangan Seksual Karakter I II III IV V Kisaran 0,28-2,72 0,4-6,6 2,1-6,35 6,76-16,43 1,49-3,74 Rata-rata 0,63 1,74 3,21 10,13 2,96 n Kisaran D. macrosoma 11 47 24 0,13-2,26 2.13-2.84 * * 0,25 1,03 2.44 * * 89 31 6 * * 3,79-4,37 * 0,1-1,51 Rata-rata n Kisaran D. russelli R. kanagurta 0,07-3,23 0,37 1,59 2.95 4,08 n 104 70 138 2 Kisaran 0,07-4,74 0,45-1,98 Rata-rata 0,52 Kisaran S. 1.29-6.33 Rata-rata Rata-rata 0.22-6.4 3,44-7,87 8 * * 0,82-0,82 1.02 3.2 5,64 43 67 163 12 0,03-1,69 0,62-2,69 0.48-4.14 * 0,25-0,61 0,47 1,55 2.32 * 0.4 42 151 200 * 13 n crumenophthalmus 0,4-3,85 6 n 0,82 1 Keterangan = * tidak terdapat sampel Nisbah kelamin Perbandingan jantan-betina berguna untuk mengetahui hubungan jantanbetina suatu populasi pada sebuah perairan. Pada Tabel 4 terlihat rasio jenis kelamin ikan pelagis kecil di Laut Jawa. Tabel 4. Nisbah kelamin ikan pelagis kecil di Laut Jawa pada 2012 Spesies Betina : Jantan Total A. sirm 1 : 1,62 254 D. macrosoma 1 : 0,89 238 D. russelli 1 : 1,24 706 R. kanagurta 1 : 1,1 600 S. crumenophthalmus 1 : 0,97 799 85 Fluktuasi GSI dan Dugaan Musim Pemijahan Perkembangan kematangan seksual seiring dengan perkembangan ukuran tubuh sebagai fungsi dari umur. Tingkat kematangan gonad akan semakin naik sejalan dengan pertumbuhan ikan tersebut. Untuk melihat perkembangannya dapat dilihat dari nilai indeks kematangan gonad (GSI). Nilai GSI akan mencapai maksimum ketika gonad mencapai akhir dari proses reproduksinya yaitu pada saat akan memijah. Kondisi ini terjadi ketika ikan berada pada TKG IV. Pada Gambar 1 diperlihatkan fluktuasi rata-rata indeks kematangan bulanan ikan pelagis kecil di Laut Jawa. 86 Gambar 1. Fluktuasi rata-rata bulanan indeks kematangan gonad ikan pelagis kecil di Laut Jawa menurut jenis kelamin Dugaan panjang pertama kali matang (Lm) dan Panjang rata-rata tertangkap (L50%) Pendugaan ukuran pertama kali matang gonad merupakan salah satu cara untuk mengetahui perkembangan populasi dalam suatu perairan, seperti bilamana ikan akan memijah, baru memijah atau sudah selesai memijah. Berkurangnya populasi ikan di masa mendatang dapat terjadi karena ikan yang tertangkap adalah ikan yang akan memijah atau ikan belum pernah memijah, sehingga sebagai tindakan pencegahan diperlukan penggunaan alat tangkap yang selektif (Najamuddin et al, 2004). Dari analisa Lm menggunakan rumus Udupa (1986) didapatkan nilai Lm ikan-ikan pelagis kecil pada Tabel 5. Tabel 5. Dugaan ukuran pertama kali matang seksual dan ukuran rata-rata tertengkap ikan pelagis kecil di Laut Jawa Spesies Lm (saat ini) A. sirm 15,7 D. macrosoma Immature D. russelli 19,4 R. kanagurta 21 S. crumenophthalmus 19,9 n Biodynex (1991-1993) Lc (saat ini) 78 18,6 18 126 20,7 14 271 21 14,8 234 21,4 20 287 18,7 18,4 87 Ukuran rata-rata tertangkap dapat dilihat dari titik tengah 50 % hasil tangkapan. Ukuran rata-rata tertangkapnya ikan pelagis kecil pada sampel penelitian diperoleh dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2. Kurva logistik b yang menggambarkan ukuran rata-rata panjang ikan pelagis kecil yang Tertangkap di Laut Jawa BAHASAN Data yang diperoleh dari sampling biologi terhadap individu ikan kelompok dewasa/adult ,suatu tahapan atau ukuran ikan saat individu ikan betina dan jantan dapat dibedakan jenis kelaminnya dan untuk setiap spesies bervariasi, memperlihatkan komposisi ikan dalam kondisi matang (mature/TKG IV) terdapat lebih sedikit didalam populasi (4%), apalagi ikan kondisi mijah (spent, TKG V) jumlahnya kurang dari 2%. Kondisi demikian ditemukan hampir pada semua spesies yang diamati (layang, banyar, siro, dan bentong). Karakteristik biologi demikian biasanya ditemukan pada spesies-spesies pelagis sehubungan dengan strategi pemijahannya yang biasanya akan keluar dari daerah penangkapan menuju spawning ground sehingga tidak tertangkap oleh perikanan (Suwarso, 2008). Kecuali layang deles (D. macrosoma) yang jumlah ikan contohnya kurang karena saat ini hasil tangkapan jenis ini sangat kurang. Hal ini juga terlihat pada data GSI (Gonado Somatic Index) sebagai indek kematangan sexual ikan yang 88 jumlahnya juga relatif lebih sedikit. Kebiasaan ini akan terlihat pada data komposisi kematangan ikan dimana jumlah ikan-ikan yang matang akan menurun digantikan oleh makin dominannya ikan-ikan muda (immature), akibatnya nilai GSI rata-rata juga menurun. Pola fluktuasi GSI rata-rata menunjukkan perkembangan kematangan gonad/sexual ikan betina dimulai pada sekitar musim barat. Dalam perkembangannya GSI rata-rata semakin meningkat dan umumnya mencapai puncak pada musim timur. Pada waktu itu komposisi ikan matang lebih banyak sehingga GSI rata-rata mencapai maksimum. Namun pada bulan berikutnya (September-Oktober) GSI rata-rata menurun tajam karena individu ikan yang belum matang (immature, TKG I dan II) lebih dominan. Penurunan GSI rata-rata dan lebih dominannya ikan muda didalam populasi menjadi ciri terjadinya pemijahan (Suwarso, 2008a) yang diduga berlangsung beberapa waktu setelah Agustus. Pola fluktuasi GSI rata-rata dan komposisi kematangan seperti diuraikan di atas dapat dijumpai pada spesies-spesies yang diamati. Didasarkan pada data individu ikan kondisi maturing (TKG III), mature (TKG IV) dan spent (TKG V) yang ditemukan pada seluruh contoh biologi tiap species yang diperoleh, disusun tabel proporsi kematangan untuk pendugaan nilai Lm (length at first maturity) seperti tercantum dalam Tabel 5. Kecuali untuk layang deles (D. macrosoma) ikan contoh yang diperoleh hampir keseluruhannya berukuran kecil, masih dalam kondisi kematangan I (immature) dan II (developing), sehingga nilai Lm tidak dapat diperoleh. Terlepas dari jumlah contoh yang diperoleh dan status perikanan berbeda tapi dengan sampling prosedur yang sama, bila dibandingkan nilai Lm yang diperoleh penelitian ini dengan hasil penelitian tahun 1991-1993 (Atmaja, et.al.) dapat terlihat nilai Lm dari jenis ikan layang (D. russelli) lebih rendah bahkan pada layang deles (D. macrosoma) sulit diperoleh ikan contoh dalam kondisi gonad berkembang atau tahap pematangan (TKG III). Kondisi yang sama (Lm lebih rendah) juga ditemui pada jenis siro (A. sirm) dan banyar (R. kanagurta); hanya ikan bentong (S. crumenophthalmus) yang memiliki nilai Lm lebih besar. 89 Nilai Lm yang cenderung lebih rendah tersebut diperkirakan merupakan dampak dari eksploitasi berlebihan oleh perikanan purse seine yang berbasis di Tegal, Pekalongan dan Juana. Pada daerah ini didapatkan jumlah kapal purse seine yang aktif beroperasi tidak berkurang secara signifikan dan jumlah upayanya (jumlah hari laut) justru semakin lama. Tambahan lagi eksploitasi oleh kapal-kapal mini purse seine yang cenderung lepas kontrol juga. Rendahnya data landing purse seine diduga sebagian akibat dari kejadian transhipment yang banyak berlangsung ( Suwarso et.al., 2008b). Nilai panjang rata-rata tertangkap (L50%) cenderung lebih rendah dari nilai pertama kali matang kecuali pada ikan Siro. Hal ini menunjukkan bahwa 50% populasi yang tertangkap masih belum matang seksual. Pengaturan ukuran mata jaring yang tidak tepat dapat menyebabkan eksploitasi berlebih pada populasi yang masih muda. Untuk itu dalam pengelolaannya sangat penting untuk mempertimbangan aspek biologi perikanan sehingga pemanfaatannya dapat lestari dan berkelanjutan. KESIMPULAN 1. Ikan pelagis kecil di Lau tJawa didominasi oleh ikan yang belum matang, hanya 4% ikan dalam kondisi matang dan telah memijah. 2. Musim pemijahan diduga berlangsung pada akhir musim timur sekitar bulan Agustus dan September 3. Ukuran reproduktif dan dan rata-rata tertangkap semakin kecil bila dibandingkan penelitian 20 tahun sebelumnya yang mengindikasikan semakin tertekannya sumber daya ikan pelagis kecil di Laut Jawa. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan bagian dari kegiatan hasil riset Distribusi, Upaya Penangkapan Dan Biologi Populasi Stok Ikan Pelagis Kecil Di Laut Jawa Dan Laut Sulawesi T.A. 2012, di Balai Penelitian Perikanan Laut, Muara Baru, Jakarta. 90 DAFTAR PUSTAKA Atmaja, S.B., B. sadhotomo & Suwarso. 1995. Reproduction of the main small pelagic species. Biodynex. Scientific editors: M. Potier and S. Nurhakim. AARD, ORSTOM, and E.U:p.69-84 Atmaja, S.B & D. Nugroho. 2006. Indikator Penyusutan Sumber Daya Ikan Pelagis Kecil Di Laut Jawa Dan Sekitarnya. Bawal. 1(1) : 38-43 Genisa, A.S. & A. Jamali . 1983. Beberapa aspek biologi ikan layang (Decapterus lajang BLEEKER) di perairan sekitar Pulau Panggang , Pulau-Pulau Seribu. Konggres nasional biologi VI. Pusat penelitian Biologi. Lembaga Oseanologi nasional. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Holden, M.J. and D.F.S. Raitt. 1974. Manual of Fisheries science. Part 2. Methods of resources investigation and their application. FAO Fish. Tech. Pap. (115). Rev. 1. 214p. Najamuddin, A. Mallawa, budimawan & M.Y.N. Indar. 2004. Pendugaan ukuran pertama kali matang gonad Ikan layang deles (Decapterus macrosoma Bleeker). Jurnal Sains & Teknologi. 4(1) : 1-8 Potier, M., and B. Sadhotomo. 1995. Exploitation of the large and medium seiners fisheries. BIODYNEX. Scientific editors: M. Potier and S. Nurhakim. AARD, ORSTOM, and E.U:p.171-184 Sadhotomo, B., S. Nurhakim dan S.B. Atmaja. 1986. Perkembangan komposisi hasil tangkapan dan laju tangkap pukat cincin di Laut Jawa. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. No.35, th. 1986. BPPL. Jakarta. Hal 101-109 Sparre, Per & Veneme. S.C. 1999. Introduksi pengkajian stok Ikan tropis. Pusat penelitian dan Pengembangan perikanan. Jakarta. Hal 1-18 Suwarso, A. Zamroni Wudianto. 2008a. Biologi Reproduksi Dan Dugaan Musim Pemijahan Ikan Pelagis Kecil Di Laut Cina Selatan.Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 14(4): 379-391 Suwarso, Wudianto, &S.B. Atmaja. 2008b. Perubahan Upaya Dan Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil Di Sekitar Laut Jawa: Kajian Paska Kolaps Perikanan Pukat Cincin Besar. Bawal. 2(1): 15-24 Udupa, K.S. 1986. Statistical method of estimating the size at first maturity in fishes. Fishbyte. ICLARM. Philippines. 4.2.8-10. 91 HUBUNGAN PANJANG BOBOT, FAKTOR KONDISI DAN STRUKTUR UKURAN IKAN TONGKOL ABU-ABU (Thunnus tonggol) DI LAUT JAWA Oleh Umi Chodrijah1) 1) Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut Email : [email protected] ABSTRAK Ikan tongkol merupakan salah satu sumber daya perikanan yang penting yaitu sebagai komoditas ekpor dan komoditas strategis bagi nelayan untuk meningkatkan pendapatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan panjang dan bobot, faktor kondisi serta struktur ukuran ikan tongkol abu-abu di perairan Laut Jawa. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Februari hingga Desember 2012 dengan metode survey dan pengamatan langsung di lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan panjang dan bobot ikan tongkol abu-abu mengikuti persamaan W= 2E-05L2,9334 dan memiliki pola pertumbuhan isometrik. Nilai faktor kondisi relative berkisar antara 1,7 - 2,1 dan berfluktuasi setiap bulannya. Hasil ini diduga dipengaruhi oleh ketersediaan makanan. Ikan tongkol abu-abu berukuran antara 13 – 87cmFL dengan bobot tubuh berkisar antara 0,003-6,0 kg Kata kunci : Hubungan panjang bobot, faktor kondisi, struktur ukuran, ikan tongkol abu-abu, Laut Jawa PENDAHULUAN Tongkol abu-abu (Thunnus tonggol) termasuk dalam family Scombridae dan dalam perdagangan internasional dikenal dengan nama longtail tuna. Thunnus tonggol tersebar luas di Indo Pasifik antara 47oLU dan 33oLS (Froese dan Pauly, 2009). Daerah penyebaran spesies ini unik dibandingkan dengan genus Thunnus yang umumnya di laut lepas, Thunnus tonggol terdapat di perairan neritik (Yesaki, 1994). Ikan tongkol merupakan ikan pelagis, membentuk gerombolan, perenang cepat dan pemakan daging (carnivore). Dalam Statistik Perikanan Tangkap (2011), terdapat 3 jenis ikan tongkol yaitu tongkol krai (Frigate tuna), tongkol komo (kawakawa, Eastern little tuna) dan tongkol abu (Longtail tuna). Ikan tongkol merupakan salah satu sumber daya perikanan penting, Selain sebagai komoditi ekspor, ikan 93 tongkol juga merupakan komoditi strategis bagi nelayan untuk meningkatkan pendapatan. Sampai saat ini belum banyak dilakukan penelitian terhadap sumber daya tongkol abu-abu Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan panjang dan bobot, faktor kondisi serta struktur ukuran ikan tongkol abu-abu di perairan Laut Jawa. Informasi ini sangat diperlukan sabagai bahan dasar pengelolaan ikan tongkol sehingga dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. BAHAN DAN METODE Penelitian tentang biologi reproduksi ikan tongkol abu-abu (Thunnus tonggol) dilakukan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pekalongan, Jawa Tengah. Penelitian dilakukan dengan metode observasi langsung pada bulan Februari sampai dengan Desember 2012. Pengumpulan data dilakukan oleh peneliti dan dibantu oleh tenaga enumerator. Data morfometri ikan yaitu panjang cagak (diukur dengan ketelitian 0.1 cm) dan berat (ditimbang hingga ketelitian 0,1 kg) diukur untuk tiap individu ikan tongkol abu-abu (Thunnus tonggol) (Gambar1). Gambar 1. Ikan tongkol abu-abu yang didaratkan di PPN Pekalongan Analisis Data Hubungan panjang –bobot Untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan, isometric (b=3) atau alometrik (b±3), dihitung dari hubungan antara panjang dan berat ikan dengan menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Effendie (1979) yaitu : W = a*Lb…………………………………………………………………….(1) dimana : 94 W= berat ikan (kilogram) L = panjang cagak ikan (cm) a dan b = konstanta Nilai konstanta “b” yang diperoleh dari persamaan tersebut di atas selanjutnya diuji ketepatannya terhadap nilai b = 3 dengan menggunakan “uji-t”. Faktor Kondisi Menurut Vakily et al., (1986) dalam Manik (2000), faktor kondisi ikan umumnya antara 0,5 – 2,0 untuk pola pertumbuhan isometrik, faktor kondisinya dihitung dengan persamaan sebagai berikut : …………………………………………………………………………….(2) K= Nilai K pada ikan yang berbadan agak pipih berkisar antara 2,0-4,0 sedangkan pada ikan yang kurang pipih berkisar antara 1,0-3,0 (Effendie, 2002). Ikan dengan pola pertumbuhan allometrik, faktor kondisinya dihitung dengan menggunakan faktor kondisi relative, yaitu : Kn= ………………………………………………………………………………..(3) dimana : Kn = faktor kondisi relative W = bobot ikan hasil observasi W^= bobot ikan hasil estimasi (W^=aLb) Diamati pola hubungan panjang bobot dan perkembangan faktor kondisi ikan disajikan setiap bulan selama penelitian. HASIL DAN BAHASAN HASIL Struktur Ukuran Panjang Ikan Ikan tongkol abu-abu (Thunnus tonggol) yang terukur dalam penelitian ini mempunyai ukuran panjang cagak (FL) dengan nilai tengah 14,5 - 90,5 cmFL. Modus ukuran ikan tongkol abu-abu berkisar 46,5 cmFL, yaitu berjumlah 1602 ekor 95 (sebanyak 30,67%) (Gambar 2). Jumlah contoh ikan tongkol abu-abu yang diamati 90.5 86.5 82.5 78.5 74.5 70.5 66.5 62.5 58.5 54.5 50.5 46.5 42.5 38.5 34.5 30.5 26.5 22.5 18.5 35.00 30.67 30.00 25.00 20.02 20.00 14.47 15.00 11.41 10.00 6.07 5.13 6.20 5.00 0.08 1.13 2.11 1.17 0.75 0.27 0.13 0.13 0.11 0.08 0.02 0.04 0.02 0.00 14.5 Frekuensi (%) dalam penelitian ini adalah 5224 ekor. Nilai tengah kelas panjang/Midlength (cmFL) Gambar 2. Sebaran ukuran kelas panjang ikan tongkol abu-abu hasil tangkapan armada pukat cincin di Pekalongan . Hubungan Panjang Bobot Ikan tongkol abu-abu yang dianalisis memiliki kisaran ukuran panjang cagak (FL) antara 13 – 87 cmFL dengan bobot tubuh berkisar antara 0,003-6,0 kg. Hasil analisis hubungan panjang dan bobot menunjukkan bahwa pola pertumbuhan ikan tongkol mengikuti persamaan W= 2E-05L2,9334 (Gambar 3). Berdasarkan hasil uji –t terhadap nilai b (slope) ikan tongkol abu-abu pada selang kepecayaan 95% menunjukkan bahwa nilai b tidak berbeda nyata terhadap nilai 3. Hal tersebut berarti bahwa pola pertumbuhan ikan tongkol abu-abu bersifat isometrik. Apabila kita lihat besaran nilai b setiap bulannya, ternyata juga bersifat isometrik. Persamaan hubungan panjang bobot dan koefisien korelasi masing-masing lebih besar dari 0,9 (Tabel 1). Jika nilai koefisien korelasi mendekati -1 atau 1, maka terdapat hubungan linier yang kuat antara kedua variabel tersebut (Walpole, 1993). 96 Bobot/Weght (Kg) 12.00 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00 W = 2E-05L2.9334 R² = 0.9795 n=5224 0 20 40 60 80 100 Panjang cagak/Fork Length (Cm) Gambar 3. Hubungan panjang dan bobot ikan tongkol abu-abu Tabel 1. Hubungan panjang dan bobot ikan tongkol abu-abu (Thunnus tonggol ) setiap bulan tahun 2012 Persamaan W=aLb Sifat No Bulan r Uji t 1 Feb W = 6E-05L2,694 0,951 0,349 1,64 750 Isometrik 2 Mar W = 6E-05L2,657 0,904 0,247 1,64 238 Isometrik 3 Apr W = 3E-05L2,941 0,980 0,142 1,64 788 Isometrik 4 Mei W = 2E-05L2,999 0,990 0,002 1,64 467 Isometrik 5 Jun W = 1E-05L2.994 0,970 0,012 1,64 162 Isometrik 6 Jul W = 1E-05L3,093 0,991 0,210 1,64 347 Isometrik 7 Agt W = 2E-05L2,920 0,981 0,078 1,64 348 Isometrik 8 Sep W = 3E-05L2,886 0,981 0,161 1,64 563 Isometrik 9 Okt W = 2E-05L2,983 0,979 0,024 1,64 523 Isometrik 10 Nov W = 2E-05L2,905 0,954 0,075 1,64 527 Isometrik 11 Des W = 2E-05L3.003 0.988 0,008 1,64 811 Isometrik t Hit N pertumbuhan t tab(0.05) 97 Faktor Kondisi Rata-rata faktor kondisi relative ikan tongkol abu-abu (Thunnus tonggol) selama pengamatan adalah 1,79. Faktor kondisi relative ikan tongkol abu-abu mengalami fluktuasi berdasarkan bulan pengamatan. Nilai faktor kondisi dari bulan Februari sampai dengan bulan Oktober dapat dikatakan stabil, kemudian mengalami Faktor Kondisi relatif peningkatan pada bulan November (Gambar 3). 2.25 2.00 1.75 1.50 1.25 1.00 0.75 0.50 0.25 0.00 Feb Mrt Apr Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nov Des Gambar 3. Variasi bulanan faktor kondisi relative bulanan ikan tongkol abu-abu (Thunnus tonggol) tahun 2012 BAHASAN Struktur Ukuran Ikan tongkol abu-abu (Thunnus tonggol) yang terukur dalam penelitian ini mempunyai ukuran panjang cagak (FL) dengan nilai tengah 14,5-90,5 cmFL. Modus ukuran ikan tongkol abu-abu berkisar 46,5 cmFL, yaitu berjumlah 1602 ekor (sebanyak 30,67%. Berdasarkan penelitian sebelumnya, ikan tongkol abu-abu di perairan Taiwan berkisar antara 30 -74,5cmFL dan berat berkisar antara 0,43-5,9 kg. (Chiang, W.C.et al., 2011). Hubungan Panjang Bobot Pertumbuhan ikan tongkol abu-abu mengikuti persamaaan W= 2E-05L2,9334 , pertumbuhan bersifat isometrik yaitu pertambahan ukuran bobot tubuh ikan sebanding dengan pertambahan ukuran panjang tubuhnya. Menurut Chiang, W.C. et 98 al., (2011). pola pertumbuhan ikan longtail tuna (Thunnus tonggol) di perairan Taiwan mengikuti persamaan RW= 1x10-5FL3.1059 dengan R2 = 0,959. Pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh faktor dalam maupun faktor luar. Faktor dalam umumnya sulit dikontrol yang meliputi keturunan, sex umur, parasit dan penyakit. Sedangkan faktor luar yang mempengaruhi pertumbuhan ikan adalah ketersediaan makanan dan suhu perairan (Effendie, 2002). Perbedaan pola pertumbuhan dapat disebabkan karena ukuran ikan hasil tangkapan yang berbeda. Menurut Hossain (2010) hubungan panjang-bobot ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya habitat, lingkungan, musim, jenis makanan, matang gonad, kesehatan, dan jenis kelamin. Sementara King (2007) menyatakan bahwa hubungan panjang bobot ikan dapat digunakan untuk menentukan kemungkinan perbedaan antara jenis ikan yang sama pada stok yang berbeda. Kegunaan lain dari analisis hubungan panjang dan bobot yaitu dapat digunakan untuk melakukan estimasi faktor kondisi atau sering disebut dengan index of plumpness, yang merupakan salah satu derivate penting dari pertumbuhan untuk membandingkan kondisi atau keadaan kesehatan relative populasi ikan atau individu tertentu (Everhart & Youngs, 1981). Faktor Kondisi Salah satu derivate penting dari pertumbuhan adalah faktor kondisi atau indeks ponderal dan sering disebut faktor K. Faktor kondisi menunjukkan keadaan baik dari ikan dilihat dari segi kapasitas fisik untuk survival dan reproduksi. Di dalam penggunaan secara komersial maka kondisi ini mempunyai kualitas dan kuantitas daging ikan yang tersedia untuk dapat dimakan (Effendie, 2002). Berdasarkan hasil pengamatan, nilai faktor kondisi relative ikan tongkol abuabu berfluktuasi pada setiap bulannya. Menurut Effendie,(2002), perbedaan nilai factor kondisi dipengaruhi oleh kepadatan populasi, tingkat kematangan gionad, makanan, jenis kelamin dan umur ikan. Selanjutnya, nilai faktor kondisi relative ikan tongkol abu-abu selama penelitian berkisar antara1,7 – 2,1 dengan rata-rata 1,79. 99 Menurut Effendie 1997 ikan yang badannya kurang pipih atau montok memiliki nilai K berkisar antara 1-3. KESIMPULAN 1. Pola pertumbuhan ikan tonkol abu-abu secara umum bersifat isometrik. 2. Sebaran frekuensi panjang ikan tongkol didominasi ukuran 13 – 87cmFL dengan bobot tubuh berkisar antara 0.003-6,0 kg 3. Faktor kondisi relative ikan tongkol abu-abu berfluktuasi berdasarkan bulan pengamatan dengan nilai berkisar antara 1,7-2,1. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan penelitian Distribusi dan Kelimpahan Sumber daya Ikan Pelagis Besar di WPP 716 Laut Sulawesi dan WPP 712 Laut Jawa T.A. 2012, di Balai Penelitian Perikanan Laut Muara Baru, Jakarta. DAFTAR PUSTAKA Chiang, W.C. et al. 2011. Reproductive biology of longtail tuna (Thunnus tonggol) from coastal waters off Taiwan.15pp. IOTC-2011-WPNT01-30ng Diunduh pada 17/10/2012. Effendie, I.M. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Bogor. 163 p. Everhart, W. H. & W. D. Youngs. 1981. Principle of Fishery Science. 2nd Edition. Comstock Publising Associates, a Division of Cornell University Press. Ithaca and London. 345p. Froese, R., D.E. Pauly. 2011. FishBase. World Wide Web electronic publication. www.fishbase.org, version 08/2011. Manik, N. 2009. Hubungan panjang berat dan Faktor kondisi Ikan Layang (Decapterus ruselli) dari Perairan Sekitar Teluk Likupang Sulawesi Utara. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 35 (1):65-74 Walpole, R.E. 1992. Pengantar Statistika (Diterjemahkan oleh Bambang Sumantri. Edisi Ketiga. PT. Gramedia. Jakarta.515 pp. 100 Hossain, Y. 2010. Length-Weight, Length-length Relationship and Condition Faktors of Three Schibid Catfish from the Padma River, Northwestern Bangladesh. Asian Fisheries Science. (23): 329-339. King, M. 2007. Fisheries Biology, Assessment and Management. Second edition. Blackwell Sciencetific Publication. Oxford. 381 p. Yesaki, M. 1994. A review of the biology and fisheries for longtail tuna (Thunnus tonggol) in the Indo-Pacific Region. FAO Fisheries Technical Paper, 336: 370–387 101 Lampiran 1. Sebaran frekuensi panjang cagak ikan tongkol abu-abu yang tertangkap pada bulan Februari sampai Desember 2012 Appendix 1. Length frequency distribution of Thunnus tonggol caught from February to December 2012 102 Desember n = 811 20.0 15.0 10.0 5.0 86.5 78.5 70.5 62.5 54.5 46.5 38.5 30.5 22.5 0.0 14.5 Frekuensi (%) 25.0 Mid length (Cm) 103 ESTIMASI PARAMETER POPULASI IKAN TONGKOL KOMO (Euthynnus affinis) DI PERAIRAN LAUT JAWA Oleh Umi Chodrijah1), Thomas Hidayat1) dan Tegoeh Noegroho1) 1) Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut Email : [email protected] ABSTRAK Tongkol komo (Euthynnus affinis) termasuk dalam family Scombridae, dan dalam perdagangan internasional dikenal dengan nama kawakawa. Ikan tongkol merupakan ikan pelagis, membentuk gerombolan, perenang cepat dan pemakan daging (carnivore). Penelitian tentang estimasi parameter populasi ikan tongkol komo di perairan Laut Jawa telah dilakukan pada 2012 di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pekalongan, Jawa Tengah. Penelitian parameter populasi terhadap sumber daya tongkol komo belum banyak dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui estimasi parameter populasi ikan tongkol komo yang tertangkap di peraira Laut Jawa. Informasi ini sangat diperlukan sabagai bahan dasar pengelolaan ikan tongkol sehingga dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebaran frekuensi panjang cagak ikan tongkol komo diperoleh panjang minimum 11,7 cm FL, maksimum 55,4 cmFL dan panjang-rata-rata 34,1 cm. Persamaan dari hubungan panjang dan bobot ikan tongkol komo adalah W=0,00001L3,1267 (r2= 0,986). Hasil pendugaan parameter pertumbuhan ikan tongkol dari perairan Laut Jawa didapatkan L∞= 56,3 cm, K= 0,65 pertahun dan t0 = 1,273 tahun. Nilai total mortalitas ikan tongkol komo adalah 1,89 per tahun dengan mortalitas alami dan mortalitas penangkapan masing-masing 0,90 dan 0,99. Tingkat eksploitasi ikan tongkol komo adalah 0.52 pertahun. Kata Kunci: parameter populasi, tongkol komo, Laut Jawa PENDAHULUAN Tongkol komo (Euthynnus affinis) termasuk dalam family Scombridae, dan dalam perdagangan internasional dikenal dengan nama kawakawa. Ikan tongkol merupakan ikan pelagis, membentuk gerombolan, perenang cepat dan pemakan daging (carnivore). Dalam Statistik Perikanan Tangkap (2011), terdapat 3 jenis ikan tongkol yaitu tongkol krai (Frigate tuna), tongkol komo (kawa-kawa, Eastern little tuna) dan tongkol abu (Longtail tuna). Ikan tongkol merupakan salah satu sumber daya perikanan penting, Selain sebagai komoditi ekspor, ikan tongkol juga merupakan komoditi strategis bagi 105 nelayan untuk meningkatkan pendapatan. Menurut Statistik Ekpor Hasil Perikanan, (2010) ekspor komoditi tuna, cakalang dan tongkol sebesar 122.450 ton. Laut Jawa merupakan bagian dari paparan Sunda dimana seluruhnya merupakan perairan territorial dengan kedalaman maksimal 70 meter. Kegiatan penangkapan terutama terpusat di pantai utara Jawa (Nurhakim et al., 2007). Di Laut Jawa ikan tongkol menyumbang kontribusi sekitar 10% dari total hasil tangkapan ikan pelagis yang didaratkan, dimana 33 % diantaranya berasal dari alat tangkap gillnet dan 67% lainnya berasal dari alat tangkap purse seine (Suwarso, 2009). Sampai saat ini belum banyak dilakukan penelitian parameter populasi terhadap sumber daya tongkol komo. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui estimasi parameter populasi ikan tongkol komo yang tertangkap di perairan Laut Jawa. Informasi ini sangat diperlukan sabagai bahan dasar pengelolaan ikan tongkol sehingga dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. BAHAN DAN METODE Pengambilan sampel ikan tongkol komo untuk estimasi parameter populasinya dilakukan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pekalongan, Jawa Tengah. Penelitian lapangan dilakukan pada Februari sampai dengan Desember 2012 dan dibantu oleh tenaga enumerator. Ikan diperoleh dari hasil tangkapan pukat cincin yang didaratkan di PPN. Pekalongan, Jawa Tengah. Data morfometri ikan yaitu panjang cagak (diukur dengan ketelitian 0,1 cm) dan berat (ditimbang hingga ketelitian 0,1kg) diukur untuk tiap individu ikan tongkol como (Euthynnus affinis) dari hasil tangkapan nelayan pukat cincin di perairan Laut Jawa. Ciri morfologis ikan tongkol komo (Euthynnus affinis ) adalah badan memanjang seperti cerutu atau torpedo dan termasuk tuna kecil (kate), tapis insang pada busur insang pertama berjumlah 29-34, tidak bersisik kecuali pada korselet dan garis rusuk, terdapat lunas kuat pada batang ekor diapit dua lunas kecil pada ujung belakangnya dan memiliki dua sirip punggung. Sirip punggung pertama hanya memiliki jari-jari keras berjunlah 15. Sirip punggung kedua hanya memiliki jari-jari lemah berjumlah 13, dan jari-jari sirip tambahan (finlet) 106 berjumlah 8-10. Ikan ini memiliki sirip dubur dengan jari-jari lemah berjumlah 14 dan jari-jari sirip tambahan dengan junlah 6-8, serta terdapat dua lidah/cuping (interpelvic process) diantara sirip perutnya. Ciri lainnya terdapat ban-ban serong menggelombang berwarna hitam diatas garis rusuk serta noktah-noktah hitam terdapat diantara sirip dada dan perut. (Gambar 1). Gambar 1. Morfologi ikan tongkol komo Analisis Data Untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan, isometrik (b=3) atau alometrik (b≠3), dihitung dari hubungan antara panjang dan berat ikan menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Effendie (1979) yaitu : W = a*Lb dimana : W= berat ikan (gram) L = panjang cagak ikan (cm) a dan b = konstanta Nilai konstanta “b” yang diperoleh dari persamaan tersebut di atas selanjutnya diuji ketepatannya terhadap nilai b = 3 dengan menggunakan “uji-t”. Pendugaan parameter pertumbuhan (Von Bertalanffy) yaitu panjang total asimtotik (L∞) dan koefisien pertumbuhan (K) dihitung menggunakan program Elefan I (1987) dalam program computer FISAT (Gayanillo et al., 1995). Pendugaan nilai to (umur pada saat 0 tahun berdasarkan persamaan Pauly (1984) yaitu : 107 Log (-to) = 0,3922 - 0,2752 Log(L∞)-1.038Log(K)……………………………(1) Laju mortalitas alami (M) diduga dengan mengaplikasikan model empiris dari Pauly et al. (1984) yaitu : Log (M) = -0,0066 – 0,279 * Log (L∞)+0,6543*Log (k)+0,4634*Log(T)……(2) dimana : L∞ = panjang total asimtotik K = koefisien pertumbuhan T = rataan suhu lingkungan perairan, menurut Setyohadi (2010) = 28oC Koefisien mortalitas total (Z) diperoleh dari kurva hasil tangkapan berdasarkan pada ukuran panjang (length converted catch curve) (Pauly et al., 1984) yang perhitungannya dilakukan secara komputerisasi menggunakan paket program FISAT (Gayanilo et al., 1995). Koefisien mortalitas penangkapan (F) dihitung dari persamaan : F = (Z-M)……………………………………………………………………..…(3) Laju eksploitasi (E) dihitung menggunakan persamaan : E = F/Z (Pauly, 1980)………………………………………………….............(4) HASIL Distribusi panjang cagak dan hubungan panjang berat Dari sebaran frekuensi panjang cagak ikan tongkol komo, diperoleh panjang minimum 11,7 cmFL, maksimum 55,4 cmFL dan panjang-rata-rata 34,1cm (Gambar 2 dan Lampiran 1). Frekuensi (%) 20 n=8371 15 10 5 0 11 14 17 20 23 26 29 32 35 38 41 44 47 50 53 56 FL (cm) Gambar 2. Distribusi sebaran panjang cagak ikan tongkol komo 108 Dari analisis hubungan panjang dan berat ikan tongkol komo dari perairan Laut Jawa dihasilkan persamaan W=0,00001L3,1267 (r2= 0,986) dengan nilai b = 3,1267. Setelah dilakukan uji t, nilai t tabel (t tabel hitung (thitung= 0.004525 ) lebih kecil dari t =1,965) dengan tingkat kepercayaan 95% yang artinya peningkatan pertambahan berat sebanding dengan pertumbuhan panjangnya(Gambar 3). 3.50 W = 1E-05L3.1267 R² = 0.986 n = 8371 W (Kg) 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 FL (Cm) Gambar 3. Hubungan panjang dan bobot ikan tongkol komo Analisis dengan program FISAT pada ikan tongkol komo memperoleh nilai panjang infinitif (L∞) = 56.3 cm dan koefisien pertumbuhan (K) = 0.65 per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa ikan tongkol diperkirakan mampu tumbuh hingga mencapai panjang total 56,3 cm dengan laju pertumbuhan sebesar 0.65 cm pertahun. Total mortalitas (Z) dari ikan tongkol komo dari perairan Laut Jawa adalah 1,89 per tahun. Rata-rata suhu tahunan di perairan Laut Jawa 28oC, maka jika dimasukkan dalam persamaan empiris Pauly (1980) didapatkan mortalitas alami (M) dari ikan tongkol komo adalah 0,90 per tahun. Mortalitas penangkapan (F) yang didapatkan dari F = Z-M adalah 0,99 per tahun dengan rasio eksploitasi (E) yang diperoleh 0,52 per tahun. Gambar 4 menunjukkan grafik Von Bertalanffy Growth dari ikan tongkol komo dari perairan Laut Jawa tahun 2012. 109 Gambar 4. Grafik Von Bertalanffy Growth Function dari ikan tongkol komo BAHASAN Ikan tongkol komo memiliki panjang minimum 11,7 cm FL, maksimum 55,4 cmFL dan panjang-rata-rata 34,1cm. Ukuran panjang ikan tongkol komo di perairan Laut Jawa tersebut lebih kecil bila dibandingkan dengan ukuran ikan tongkol komo hasil penelitian sebelumnya. Menurut Kaymaram & Darvishi (2012) panjang ikan tongkol komo (Euthynnus affinis) di perairan Iran berkisar antara 28-88 cm, dengan rata-rata 66 cm. Selanjutnya Silas et al. (1985) melaporkan bahwa E.affinis di sepanjang Pantai India memiliki kisaran panjang 12-76 cm. Kasim & Abdussamad, (2003) melaporkan bahwa E.affinis mempunyai kisaran panjang 18 - 83 cm. Perbedaan kisaran panjang ikan tongkol diduga karena perbedaan alat tangkap yang digunakan, kondisi lingkungan dan variasi intensitas penangkapan (Motlagh et al., 2010). Hubungan panjang dan berat ikan tongkol komo dari perairan Laut Jawa adalah W = 0,00001L3,1267 (r2 = 0,986) dengan nilai b = 3,1267. Dari segi pertumbuhan, peningkatan pertambahan berat sebanding dengan pertumbuhan panjangnya. Hal ini memberikan gambaran bahwa ikan tongkol komo mempunyai pola pertumbuhan isometrik dengan nilai b = 3 (b = 3,1267) yang menunjukkan pertumbuhan bobot ikan seiring dengan pertambahan panjangnya. Sedangkan apabila dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya (Tabel 1), ternyata nilai 110 a dan b hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya. Menurut Biswas, (1993) perbedaan nilai a dan b ini tergantung pada jenis kelamin, tahap kedewasaan, intensitas makan, dan lain lainnya. Selanjutnya menurut Gulland (1983); Sparre & Venema (1992), variasi nilai b ini juga disebabkan berbagai faktor seperti suhu, salinitas, makanan (kuantitas, kualitas dan ukuran), jenis kelamin, tahap kematangan gonad dan kelestarian habitat. Tabel 1. Prameter a dan b pada hubungan panjang dan bobot beberapa penelitian dari ikan tongkol komo Penulis/Author Lokasi/Location "a" "b" Silas,1967 Samudera Hindia 0,0138 3,287 Rohit et al.,2012 India 0,0254 2,889 James et al., 1993 India 0,019 2,95 Kaymaram & Darvishi (2012) Iran 0,0186 2,87 Penelitian ini Laut Jawa 0,00001 3,127 Dari hasil analisis dengan program FISAT, ikan tongkol komo diperkirakan mampu tumbuh hingga mencapai panjang total 56,3 cm dengan laju pertumbuhan sebesar 0.65 cm pertahun. Panjang maksimum ini tentu jauh berbeda dengan estimasi panjang asimtotik ikan tongkol komo yang ditemukan di perairan Iran. Perbedaan karakteristik lingkungan diduga menjadi faktor utama perbedaan panjang maksimum ini. Penelitian sebelumnya oleh Rohit et al.,(2012) melaporkan bahwa ikan tongkol E. affinis akan tumbuh cepat pada umur 2 sampai 8 tahun, E.affinis akan tumbuh cepat pada ukuran panjang 49 cm, 69 cm, 79 cm dan 85 cm berturut-turut di akhir tahun pertama, kedua, ketiga dan keempat. Selanjutnya menurut Sparre & Venema (1992), nilai K merupakan suatu parameter yang menentukan seberapa cepat ikan mencapai panjang asimtotiknya. Ikan dengan nilai K yang tinggi pada umumnya memiliki umur yang ralatif pendek (Pauly, 1980 ). Nilai K yang diperoleh tidak jauh beda dengan penelitian dari Joseph et al. (1987); Talebzadeh et al., (1997) dan Kaymaram & Darvishi (2012) yang masing-masing percepatan pertumbuhannya 0,69 dan 0,67 (Tabel 2). 111 Tabel 2. Panjang asimtotik (L∞) beberapa penelitian dari ikan tongkol komo. k (tahun / Penulis /Author Lokasi / Location year) Lasimtotik(cm) Yesaki (1982) Thailand 0,46 76 Joseph et al.(1987) Srilanka 0,69 59,5 Talebzadeh et al.(1997) Iran 0,69 86 Pillai et al. 2002 India 0,90 81 Dayaratne & Silva (1991) Srilanka 0,52 76,8 Khan (2004) India 0,79 81,7 Rohit et al. (2012) India 0,56 81,92 Ghosh et al. (2010) India 0,56 72,5 Taghavi Motlagh et al. (2010) Iran 0,51 87,66 Kaymaram & Darvishi (2012) Iran 0,67 95,06 Penelitian ini Laut Jawa 0,65 56,3 Laju kematian karena penangkapan (F) bervariasi menurut keragaman upaya penangkapan (f) setiap tahunnya. Nilai F menunjukkan seberapa besar dan meningkatnya tekanan penangkapan (fishing pressure) terhadap stok ikan di suatu perairan (Suman & Boer, 2005). Jika nilai mortalitas alami dari ikan tongkol komo, M = 0,90 pertahun dan mortalitas penangkapan F= 0,99 pertahun maka diperoleh nilai tingkat eksploitasi E = 0,52. Nilai laju eksploitasi (E) tersebut mengindikasikan bahwa tingkat eksploitasi ikan tongkol komo di perairan Laut Jawa sudah berada pada nilai optimumnya (E=0,50) seperti yang disebutkan oleh Pauly et al. (1984). KESIMPULAN 1. Sebaran frekuensi panjang cagak ikan tongkol komo adalah panjang minimum 11,7 cm FL, maksimum 55,4 cmFL dan panjang-rata-rata 34,1cm 2. Persamaan dari hubungan panjang dan berat ikan tongkol komo adalah W=0,00001L3,1267 (r2= 0,986) . 3. Hasil pendugaan parameter pertumbuhan ikan tongkol dari perairan Laut Jawa didapatkan L∞= 56,3 cm, K= 0,65 pertahun dan t0 = 1,273 tahun. 112 4. Nilai total mortalitas ikan tongkol komo adalah 1,89 per tahun dengan mortalitas alami dan mortalitas penangkapan masing-masing 0,90 dan 0,99. 5. Tingkat eksploitasi ikan tongkol komo adalah 0,52. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan penelitian Distribusi dan Kelimpahan Sumber daya Ikan Pelagis Besar di WPP 716 Laut Sulawesi dan WPP 712 Laut Jawa T.A. 2012, di Balai Penelitian Perikanan Laut Muara Baru, Jakarta. DAFTAR PUSTAKA Biswas, S.P. 1993. Manual of methods in fish biology. South Asian publishers. 157 p. Effendie, I. M. 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri, Bogor.112 p. Dayaratne, P., De Silva, J., 1991. An assessment of Kawakawa stock on the west coast of Sri Lanka.Asian Fisheries Science 4(1991) : 219-226. Manila,Philippines. Gayanilo Jr F.C., P. Sparre & D. Pauly. 1995. The FAO-ICLARM stock assessment tools (FISAT) Userr’s guide. FAO copmputerized information series fisheries. ICLARM Contribution 1048. 126 p. Ghosh, S.S.,Pillai,N.G.K., and Dhokia,H.K. 2010. Fishery, population characteristics and yield estimates of coastal tunas at Veraval. Indian.J.Fish.,57(2):7-13. Gulland, J.A. 1983. Fish stock assessment. A manual of Basic Methods. John Wiley & Sons. Chicester. 233 p. James,P.S.B.R., P.P. Pillai, A.A.Jayaprakash, N.G.K.Pillai , G.Gopakumar , H.M. Kasim, M.Sivadas, and K.P.Said Koya. 1993. Fishery, biology and stock assessment of small tunas. In : D.Sudarsan and John,M.E. (Eds), Tuna research in India, Fishery Survey of India, Bombay, India, p.123-148. Joseph,L., R. Maldeniya, and M.Van derKnapp. 1987. Fishery, age and growth of Kawakawa and Frigate tuna. In : Collective volume of working documents 113 presented at the expert consultation on stock assessment of tunas in the Indian Ocean, Colombo, Sri Lanka, 4 - 8 Dec, 1986. Indo-Pac.Tuna. Dev. Mgt. Programme, Vol 2 : 113-23. Kasim, H.M. & E.M. Abdussamad. 2003. Stock assessment of coastal tunas along the east coast of India.In: Somvanshi,V.S.,Varghese,S. and Bhargava,A.K.(Eds), Proc.Tuna Meet. 2003, p. 42-53. Kaymaram, F. & M.Darvishi . 2012. Growth and mortality parameters of Euthynnus affinis in the northern part of the Persian Gulf and Oman Sea . Second Working Party on Neritic Tunas, Malaysia, 19–21 November 2012 IOTC–2012–WPNT02–14 Rev_1. 14 p. Khan,M.Z.,2004. Age and growth mortality and stock assessment of E.affinis from Maharashtra waters. Indian. J. Fish. 51(2) : 209-213. Nurhakim, S., V.PH., Nikijuluw, D. Nugroho & B.I. Prisantoso. 2007. Fisheries Management Area – Fisheries Status by Management Area. Research Center for Capture Fisheries, Jakarta. 47 p. Pauly, D. 1984. On the interrelationship between natural mortality, grwoth parameters, and mean environmental temperature in 175 fish stocks. J. Com. CIEM. 39(2) : 175-192. Pauly, D. J. Ingles, R. Neal. 1984. Application to shrimp stocks of objective methods for the estimation of growth, morlality, and recruitment related parameters from lemgth frequency data (ELEFAN I and II). In Penaeid Shrimp-Their Biology and Management. 220-234. Fishing News Book Limited. Farnham-Surrey-England. Pillai P.P., N.G.K. Pillai, C. Muthiah,Yohannan, T.M. H.,Mohamed Kasim, Gopakumar, G.SaidKoya,K.P., B.ManojKumar, Sivadas, M.Nasser,A.K.V., U.Ganga, H.K Dhokia, S. Kemparaju, M.M. Bhaskaran, M.N.K Elayathu, Balasubramanian, T.S.,Manimran, C.,Kunjikoya,V.A. and T.T. Ajith Kumar. 2002. Status of exploitation of coastal tunas in the Indian Seas. In : Pillai, N.G.K.,Menon,N.G.Pillai,P.P. and Ganga,U.(Eds). Management of Scombrid fisheries. Central Marine Fisheries Research Institute, Kochi, p.56-61. Rohit,P.,A.Chellappan, E.M.Abdussamad, K.K.Joshi, K.P. SaidKoya, M.Sivadas, Sh. Ghosh, A. Margaret Muthu Rathinam, S. Kemparaju, H.K.Dhokia, D.Prakasan and N. Beni. 2012. Fishery and bionomics of the little tuna, Euthynnus affinis exploited from Indian Waters. Sparre, P. & S.C. Venema. 1992. Introduksi Pengkajian Ikan Tropis.Buku 1: Manual. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Jakarta. 438 p. Setyohadi, D. 2010. Kajian pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru (Sardinella lemuru) di Selat Bali: Analisis simulasi kebijakan pengelolaan 2008- 114 2020. Disertasi (tidak dipublikasikan). Program Pascasarjana. Fakultas Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang. Silas,E.G., P.P. Pillai, M.Srinath, A.A.Jayaprakash, C.Muthiah, V.Balan, T.M.Yohannan, T.M.P. Sirameetan, M.Mohan, P.Livingston, K.K. Kunhikoya, M.A. Pillai & P.S. Sarma. 1985. Population dynamics of tuna: Stock assessment in tuna fisheries of the exclusive economic zone of India : Biology and stock assessment,edited by E.G.Silas Bulletin Center Marine Fisheries Institute,Cochin, p. 2-27. Statistik Ekspor Hasil Perikanan. 2010. Kementerian Kelautan &Perikanan. 526 p. Statistik Perikanan Tangkap Di Laut. 2011. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Kementerian Kelautan &Perikanan. Suman, A. & M. Boer. 2005. Ukuran pertama kali matang kelamin, musim pemijahan, dan parameter pertumbuhan udang dogol (Metapenaeus ensis de Haan) di perairan Cilacap dan sekitarnya. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 11(2) : 69-74. Suwarso. 2009. Variasi Musiman Hasil Tangkapan Ikan Tongkol (Euthynnus sp.; Fam. Scombridae) di Laut Jawa. Prosiding Seminar Nasional Tahunan VI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan. Universitas Gadjah Mada. 25 Juli 2009 Yogyakarta. 6 p. Talebzadeh,A., A. Salarpouri, S. Behzadi. 1997. Survey stocks of five species of Scombridae in Hormuzgan Coastal waters (Persan Gulf and Oman Sea). Persan Gulf and Oman Sea Ecological Research Institute. 155 p. Taghavi Motlagh, S.A. Hashemian and P. Kochanian. 2010. Population biology and assessment of Kawakawa in coastal waters of the Persian Gulf and Oman Sea (Hormozgan Province). Iran.J.Fish.Sci.,9 (2) : 315-326. Yesaki,M. 1982. Thailand. Biological and environmental observations. A report prepared for the Pole-and-Line Tuna Fishing in Southern Thailand Project.FAO.FI:DP/THA/77/008:46 p. 115 Lampiran 1. Distribusi frekuensi panjang cagak ikan tongkol komo (Euthynnus affinis) hasil tangkapan purse seine di perairan Laut Jawa pada 2012 No ML (cm) Feb Mar Apr Mei 1 6 4 55 Jun Jul Agt 1 1 1 72 11 7 Sep Okt Nov Des 1 12.5 2 16.5 3 20.5 2 155 22 284 116 50 60 2 3 4 24.5 73 517 182 219 120 63 87 24 40 5 28.5 57 82 129 153 179 60 105 53 2 3 136 6 32.5 64 34 42 101 62 9 125 12 18 57 69 7 36.5 81 93 41 45 29 5 81 87 46 117 77 8 40.5 177 50 15 32 30 6 29 136 77 154 104 9 44.5 298 184 72 40 71 66 60 129 121 182 218 10 48.5 222 120 228 49 70 137 101 130 139 129 128 11 52.5 26 14 96 8 14 10 7 21 6 15 11 12 56.5 3 Jumlah 1.003 987 764 418 663 594 409 657 786 116 4 1.255 835 KOMPOSISI, KEANEKARAGAMAN DAN RASIO KELAMIN IKAN PARI DI PERAIRAN CIREBON DAN SEKITARNYA Oleh Yoke Hany Restiangsih1), Umi Chodriyah1), Siti Mardlijah1) 1) Peneliti Balai Penelitian Perikanan Laut Email : [email protected] ABSTRAK Ikan pari saat ini sedang menghadapi masalah terhadap tingginya laju kepunahan akibat pengambilan berlebih (overfishing) yang dipicu oleh tingginya permintaan pasar akan daging dan kulit pari. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui komposisi, keanekaragaman dan rasio kelamin ikan pari. Peneitian ini menggunakan data obeservasi lapangan, dengan melakukan identifikasi secara langsung dan dianalisis dengan menggunakan Indeks Keanekaragaman (H') Shannon-Wienner. Hasil penelitian dikoleksi sebanyak 12 spesies yang termasuk dalam 4 famili dan 1.414 individu. didominasi oleh ikan pari jenis Himantura gerrardi dan Himantura bleekeri. Indeks keanekaragaman ikan pari antara 1,01 – 2,09 , dan indeks keseragaman antara 0,28 – 0,58. Rasio kelamin ikan pari didominasi Betina. Kata kunci : Ikan pari, komposisi, keanekaragaman, rasio kelamin PENDAHULUAN Ikan pari adalah kelompok ikan bertulang rawan yang penting dan memiliki nilai komersial tinggi. Ukuran tubuh yang besar, struktur tubuh yang terdiri atas tulang rawan dan sifatnya sebagai predator, sangat menarik untuk diamati. Ikan pari saat ini sedang menghadapi masalah terhadap tingginya laju kepunahan akibat pengambilan berlebih (overfishing) yang dipicu oleh tingginya permintaan pasar akan daging dan kulit pari. Penangkapan yang dilakukan oleh nelayan cenderung tidak didasari oleh ketersediaan informasi dan data ilmiah mengenai kondisi populasi ikan pari. Di Indonesia laju penangkapan ikan pari tinggi hal ini ditunjukkan oleh nilai produksi yang naik secara signifikan dari tahun ke tahun (Fahmi & Dharmadi, 2005). Apabila dibandingkan dengan kelompok ikan lainnya yakni ikan bertulang sejati, maka sifat-sifat biologi ikan pari (ikan bertulang rawan) sangat jauh berbeda. Faktor ini yang membuat ikan tersebut menjadi semakin terancam populasinya dari 117 tekanan penangkapan. Ikan pari memiliki sifat pertumbuhan yang lambat, umur panjang, dan mencapai dewasa (matang kelamin) ketika usia lanjut serta hanya menghasilkan beberapa ekor ikan muda saja ketika bereproduksi. Kegiatan penangkapan yang intensif tanpa kendali akan dapat membuat sumberdaya kelompok ikan pari sangat rentan terjadi tangkap lebih (overfishing) (Adrim, 2007). Makalah ini akan membahas komposisi, keanekaragaman, dan rasio kelamin ikan pari di perairan utara Jawa Barat. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukkan untuk tujuan pengelolaan dan dasar bagi kajian selanjutnya. BAHAN DAN METODE Penelitian telah dilaksanakan selama 5 bulan yaitu pada bulan Maret sampai Juli 2012 di tempat pendaratan ikan di Cirebon. Proses identifikasi sampel dilakukan di lapangan. Sampel yang diambil adalah semua spesies ikan pari yang ditangkap menggunakan pancing senggol dan cantrang. Sampel kemudian dikelompokkan berdasarkan spesies dan diukur morfometri tubuhnya. Pengukuran morfometri meliputi, ukuran (lebar cawan) dan jenis kelamin. Identifikasi pari merujuk pada Carpenter dan Niem (1998) dan penentuan tingkat kematangan kelamin pari mengacu pada Holden and Raitt (1974). Keanekaragaman spesies ikan pari dianalisis dengan menggunakan Indeks Keanekaragaman (H') Shannon-Wienner (Krebs, 1989): n H ' pi (log 2) pi i 1 Keterangan: H' = Indeks keanekaragaman Shannon-Wienner pi = ni/N ni = Jumlah individu genus ke-i N = Jumlah total individu Kategori penilaian untuk keanekaragaman jenis adalah sebagai berikut : 118 a. H’≤ 1 : Keanekaragaman rendah, Penyebaran rendah kestabilan komunitas rendah, b. 1<H’<3: Keanekaragaman sedang, penyebaran sedang, kestabilan komunitas sedang, c. H’≥ 3 :Keanekaragaman tinggi, penyebaran tinggi, kestabilan komunitas tinggi. Indeks keseragaman (E) menggambarkan ukuran jumlah individu antar spesies dalam suatu komunitas. Semakin merata penyebaran individu antar spesies, maka keseimbangan ekosistem akan makin meningkat. Indeks Keseragaman menggunakan : Indeks Keseragaman akan dianalisis menggunakan persamaan (Krebs, 1989): E = H'/(log 2) S Keterangan: E = Indeks keseragaman H' = Indeks keanekaragaman Shannon-Wienner S = Jumlah spesies Nilai indeks berkisar antara 0-1 dengan kategori sebagai berikut : a) 0< E ≤ 0,4 : Keseragaman kecil, komunitas tertekan b) 0,4 < E ≤ 0,6 : Keseragaman sedang, komunitas labil c) 0,6 < E ≤ 1,0 : Keseragaman tinggi, komunitas stabil Rasio kelamin dianalisis dengan cara membandingkan jumlah ikan jantan dan betina. Pengujian perbandingan jenis kelamin mengikuti cara yang dikemukakan oleh Sugiyono (2004) dengan rumus Chi-Square sebagai berikut : X2 = ∑ Keterangan : X2 = Chi – Square fo = Frekuensi yang di observasi fn = Frekuensi yang diharapkan 119 Uji tabel dalam taraf nyata 95% (n-1) dengan hipotesis sebagai berikut : H0 : tidak ada perbedaan yang nyata antara jumlah ikan jantan dan betina H1 : terdapat perbedaan yang nyata antara jumlah ikan jantan dan betina Jika, X2 hitung < X2 tabel, H0 diterima, H1 ditolak. Jika, X2 hitung > X2 tabel, H1 diterima, H0 ditolak. (Effendie, 2002) HASIL 1. Komposisi dan Keanekaragaman Hasil tangkapan ikan pari di perairan Cirebon dan sekitarnya teridentifikasi sebanyak 1.414 individu, yang terdiri atas 12 spesies dan 4 famili yaitu Dasyatidae, Myliobatidae, Gymnuridae, Rhinopteridae. Hasil tangkapan ikan pari paling banyak didapatkan pada bulan Juni dan Juli. Spesies yang paling banyak ditangkap berturutturut adalah Himantura bleekeri (45.55%) dan Himantura gerrardi (39.53%). Komposisi dan jenis ikan pari disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Spesies Ikan Pari yang Tertangkap di Cirebon Bulan Maret – Juli 2012 No Nama spesies Maret J 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Aetobatus narinari Aetoplatea zonura Dasyatis akajei Dasyatis kuhlii Dasyatis zugei Himantura bleekeri Himantura fai Himantura gerrardi Himantura granulata Himantura jenkinsii Himantura uarnak Rhinoptera javanica Total Betina Total Jantan Total Bulan Mei April B J 2 B 3 J 2 Juni B 6 J 3 Total Juli B 6 J B 2 1 1 31 9 30 43 74 6 12 27 6 2 61 3 3 43 15 32 1 32 3 2 88 2 69 40 3 1 209 144 80 58 72 224 53 45 7 1 1 1 47 160 92 28 49 1 166 1 282 143 281 40 8 108 329 97 425 426 Keterangan : J = Jantan , B = Betina Indeks keanekaragaman tertinggi pada bulan Juni sebesar 2,09 dan terendah bulan Maret 1 (Gambar 1). 120 24 1 1 71 8 644 3 559 89 11 1 2 1007 407 1414 Gambar 1. Diagram Nilai Indeks Keanekaragaman ikan Pari di Cirebon Indeks keseragaman menunjukkan besarnya komposisi dan jumlah individu yang dimiliki oleh setiap spesies ikan pari yang ditangkap. Nilai indeks keseragaman selengkapnya disajikan pada Gambar 2. Nilai indeks keseragaman berkorelasi positif dengan nilai indeks keanekaragaman. Pada bulan Agustus menunjukkan nilai keseragaman dan keanekaragaman yang tinggi. Gambar 2. Diagram Nilai Indeks Keseragaman ikan Pari di Cirebon 2. Rasio Kelamin Tiga spesies ikan pari terbanyak dipilih untuk melihat rasio antara jantan dan betina dalam masing-masing populasi. Ketiga spesies tersebut, yaitu Himatura bleekeri, Himantura gerrardi, dan Himantura granulata. Rasio kelamin dari hasil uji chi-kuadrat pada ketiga spesies tersebut disajikan pada Tabel 2. Hasil uji diketahui 121 adanya perbedaan yang nyata antara jumlah ikan jantan dan betina dimana X2 hitung > X2 tabel . Hal ini menandakan bahwa populasi ikan pari jantan dan betina di perairan cirebon, ikan jantan lebih sedikit dari pada ikan betina. Tabel 2. Hasil Uji Chi-Kuadrat Pada Tiga Jenis Ikan Pari Dominan Di Perairan Cirebon Hasil uji chi-kuadrat Spesies Jantan Betina X2 Hitung X2 Tabel Himantura 184 460 126 9.488 169 400 108 9.488 17 72 45 7.815 gerrardi Himantura bleekeri Himantura granulata BAHASAN Komposisi hasil tangkapan didapatkan 12 spesies ikan pari terdiri atas Himantura bleekeri (45.55%), Himantura gerrardi (39.53%), Himantura granulata (6,29%), dan Aetobatus narinari (1.7%). Perbedaan jumlah individu hasil tangkapan dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain lokasi penangkapan, waktu penangkapan dan perilaku ikan yang ditangkap. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, Widodo, A.A.P & J. Widodo (2003) komposisi hasil tangkapan ikan pari di Laut Jawa didominasi Himantura gerrardi (30,07%), Dasyatis kuhlii (18,57%), Himantura bleekeri (11,58%), Aetoplatea zonura (6,28%), dan Himantura jenkinsii (5 ,36%). Hasil penelitian Dharmadi & K. Kasim (2010) komposisi hasil tangkapan pancing rawai dasar terdiri atas Rhynchobatus djiddensis (30%), Himantura gerrardi dan Himantura undulata masing-masing (25%), dan Gymnura zonura (20%). Komposisi jenis pari dari hasil tangkapan cantrang didominansi oleh Himantura undulata (30%), Neotrygon kuhlii (20%), dan secara berturut-turut diikuti oleh Himantura gerrardi (15%), Pastinachus sephen, Himantura uarnacoides dan Dasyatis microps masingmasing (10%), dan Himantura jenskinsii (5%). Sedangkan hasil penelitian Nurdin, Erfind & Hufiadi (2006) komposisi hasil tangkapan pancing rawai dasar terdiri atas 122 Himantura gerrardi (36.4%), Himantura bleekeri (18.2%), Dasyatis fluviorum (18.2%), Himantura jenkinsii (13.6%), Himantura undulata (9.1%), dan Aebatus narinari (4.5%) Himantura gerrardi dan Himantura bleekeri juga termasuk spesies yang paling sering tertangkap pada semua bulan pengamatan. Menurut White et al (2006), kedua spesies tersebut merupakan sepesies yang memiliki sebaran luas dan hidup di perairan pantai hingga kedalaman 60 m. Ikan pari merupakan hewan vivipar dengan kecenderungan histotrofi; melahirkan 1–4 ekor anak dengan masa kandungan yang tidak diketahui, pari muda kerap tertangkap setiap bulannya, hal tersebut mengindikasikan ikan ini tidak memijah secara musiman. Dan status IUCN (International Union Conservation of Nature) belum dievaluasi. Nilai indeks keanekaragaman adalah suatu pernyataan atau penggambaran secara matematik yang menjelaskan informasi-informasi mengenai jumlah individu dan jumlah spesies suatu organisme (Kaswadji, 1976). Nilai indeks keanekaragaman (H’) pada setiap bulan berkisar antara 1 – 2.1, nilai indeks keanekaragaman tertinggi terdapat pada bulan Juni dengan nilai indeks keanekaragaman 2,1. Hal ini mengidentifikasikan bahwa pada bulan Juni tingkat keanekaragaman sedang, penyebaran jumlah individu sedang, dan kestabilan komunitas sedang. Pada bulan Maret, April, Mei dan Juli juga berada pada tingkat keankeragaman sedang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mason (1981) dalam Awaluddin (2008), yang menyatakan bahwa H’<1, keanekaragaman rendah, 1<H’<3, keanekaragaman sedang, dan H’>3, keanekaragaman tinggi. Hal ini diduga karena walaupun Himantura gerrardi dan Himantura bleekeri masih mendominasi tetapi ikan pari spesies lainnya pun ikut tertangkap. Hal ini juga didukung oleh pernyataan Soegianto (1994), bahwa suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman jenis tinggi, jika komunitas itu disusun oleh banyak spesies (jenis) dengan kelimpahan spesies yang sama atau hampir sama. Sebaliknya, jika komunitas itu disusun oleh sangat sedikit spesies, dan jika hanya sedikit saja spesies yang dominan, maka keanekaragaman jenisnya rendah. Nilai indeks keseragaman digunakan untuk menggambarkan keadaan jumlah spesies atau genus yang mendominasi dan bervariasi yang mempunyai kisaran nilai 0 123 – 1. Nilai indeks keseragaman di perairan Cirebon berkisar antara 0.28 – 0.58, dengan nilai indeks keseragaman tertinggi pada bulan Juni yaitu 0.58 dan dikategorikan pada tingkat keseragaman sedang. Hal ini berarti pada bulan Juni jumlah individu tiap spesies tidak sama atau merata, sementara pada bulan Maret, nilai indeks keseragamannya rendah dan mendekati angka 0, yang berarti semakin kecil keseragaman suatu komunitas.Hal ini menunjukkan bahwa penyebaran jumlah individu setiap spesies tidak sama dan ada kecenderung suatu spesies mendominasi komunitas tersebut (Pasengo, 1995). Nilai indeks keseragaman berkorelasi positif dengan nilai indeks keanekaragaman. bulan Juni menunjukkan nilai keseragaman dan keanekaragaman yang tinggi. Hal tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain besar kecilnya armada, tipe alat tangkap, lokasi penangkapan, dan waktu penangkapan. Pada bulan Juni ditemukan ikan pari yang tertangkap oleh jaring cantrang, banyak armada kapal yang berangkat melaut, sehingga sangat berpengaruh terhadap jumlah dan jenis tangkapan. Jika dilihat dari total penangkapan, jumlah betina lebih sering tertangkap dibandingkan jantan. Kondisi ini menandakan populasi pari jumlah betina lebih banyak dari jantan. Faktor yang dapat menyebabkan ketidakseimbangan populasi adalah jumlah individu betina yang dihasilkan pada satu kali reproduksi lebih banyak. Komposisi jantan dan betina dalam populasi merupakan faktor penting untuk kelestarian populasi. Untuk mempertahankan keberlangsungan spesies, perbandingan hewan jantan dan betina diharapkan seimbang. Rasio jantan lebih tinggi dapat mengganggu kelestarian spesies dengan asumsi bahwa peluang jantan untuk melakukan perkawinan dan menghasilkan keturunan akan lebih rendah karena jumlah hewan betina yang terdapat dalam populasi tersebut lebih sedikit. Gangguan pada kelestarian populasi ini kemungkinan dapat lebih buruk jika terjadi penangkapan oleh manusia. 124 KESIMPULAN Komposisi hasil tangkapan ikan pari di perairan Cirebon dan sekitarnya didominasi oleh Himantura bleekeri dan Himantura gerrardi. Indeks keanekaragaman ikan pari antara 1,01 – 2,09 , dan indeks keseragaman antara 0,28 – 0,58 Nilai indeks keseragaman berkorelasi positif dengan nilai indeks keanekaragaman. Rasio kelamin dari hasil uji chi-kuadrat menandakan bahwa populasi ikan pari jantan dan betina di perairan cirebon, ikan jantan lebih sedikit dari pada ikan betina. DAFTAR PUSTAKA Adrim,Mohammad. 2007. Penelitian Keanekaragaman Hayati Ikan Hiu dan Pari (Elasmobanchii) di Indonesia. LIPI.Jakarta. 40 hal. Awaluddin. 2008. Penentuan Hubungan Kondisi Perairan dan Struktur Komunitas Zooplakton Dengan Menggunakan Primer Software Di Perairan Danau Sidenreng, Sidrap. Skripsi. Jurusan Perikanan. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar. Carpenter, K.E & V.H. Niem. 1998. Vol. 3. FAO.Rome. Dharmadi & K. Kasim. 2010. Keragaan Perikanan Cucut dan Pari di Laut Jawa. Jurnal Penelitian Perikanan Laut Vol 16 No. 3 Hal : 205-216 Effendie, M.I. 2002. Biologi Reproduksi Ikan. Yayasan Dewi Sri, Bogor : viii + 116 hlm. Fahmi & Dharmadi. 2005. Status Perikanan Hiu dan Aspek Pengelolaannya. Oseana 30:1-8. Holden M.J., Raitt D.F.S (1974) Manual of fisheries science. 2. Methods of resource investigation and their application. FAO Fisheries Technical Paper, 115. Rev. 1:211pp Kaswadji, R. F. 1976. Studi Pendahuluan Tentang Penyebaran dan Kelimpahan Fitoplankton di Delta Upang Sumatera Selatan. Fakultas Perikanan, IPB.Bogor. Krebs, C.J. 1989. Ecological Methodology. Ed. Ke-2. HarperCollins Publ. New York. 125 Nurdin, Erfind & Hufiadi. 2006. Selektivitas Alat Tangkap Ikan Pari Di Perairan Laut Jawa. Bawal Vol 1. No.1. Jakarta. Pasengo, Y. L. 1995. Studi Dampak Limbah Pabrik Plywood Terhadap Kelimpahan dan Keanekaragaman Fitoplankton di Perairan Dangkang Desa Barowa Kecamatan Bua Kab. Luwu. Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan. Universitas Hasanuddin. Makassar. Soegianto, Agoes. 1994. Ekologi Kuantitatif. Usaha Nasional. Surabaya. Sugiyono. 2004. Statistik Nonparametris Untuk Penelitian. Penerbit CV. Alfabeta. Bandung. White, W.T, P.R. Last, J.D. Stevens, G.K Yearsley, Fahmi & Dharmadi. 2006. Economically Important Sharks and Rays of Indonesia. ACIAR. Canberra. Widodo, A.A.P & J. Widodo. 2003. Perikanan Pari Artisanal Di Laut Jawa. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia vol. 9 No.7. Jakarta 126 SEDIAAN DAN KONDISI HABITAT IKAN KARANG KONSUMSI (SERRANIDAE, CAESONIDAE AND SCARIDAE) DI PERAIRAN KEPULAUAN SERIBU Oleh Karsono Wagiyo1) dan Sri Turni Hartati2) 1) Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut 2) Peneliti pada Pusat Penelitian PengelolaanPerikanan dan Konservasi SDI E-mail: [email protected] ABSTRAK Kondisi habitat berperan penting pada ketersediaan sumberdaya. Serranidae, Caesionidae dan Scaridae merupakan ikan karang utama yang dikonsumsi, dengan produksi berfluktuasi sesuai kondisi habitat. Penelitian ini bertujuan mendapatkan data dan informasi sediaan dan kondisi habitat ikan karang konsumsi. Cacah ikan dengan transek visual sensus pada stratifikasi habitat; daerah perlindungan laut, daerah penyangga dan habitat buatan. Hasil visual sensus di daerah perlindungan laut didapatkan kepadatan Serranidae, Caesonidae dan Scaridae rata-rata 13 individu/250 m², 53 individu/250 m² dan 29 individu/250 m². Di daerah penyangga didapatkan kepadatan rata-rata 4 individu/250 m², 131 individu/250 m² dan 29 individu/250 m². Pada lokasi habitat buatan didapatkan kepadatan 46 individu/250 m², 114 individu/250 m² dan 32 individu/250 m². Konstribusi terbesar populasi, Serranidae, Caesionidae dan Scaridae pada lokasi penelitian adalah 2 %, 11 % dan 13 %. Tutupan karang hidup di daerah perlindungan laut rata-rata 52,9 %, dua lokasi dengan kondisi sangat baik (>75 %). Di daerah penyangga rata-rata 36,9 %, hanya satu lokasi dijumpai kondisi baik. Pada semua lokasi di daerah habitat buatan didapatkan 25 % ( kondisi buruk). Semua parameter fisiko-kimiawi menunjukan kondisi cocok untuk kehidupan biota laut. Biologi perairan berpotensi adanya red tide. Kata kunci ; Sediaan, kondisi habitat, kerapu, ekor kuning dan kakatua PENDAHULUAN Kepulauan Seribu terdiri dari 108 pulau yang dikelilingi oleh gugusan terumbu karang yang kaya sumberdaya perikanan. Sumberdaya perikanan dari Kepulauan Seribu antara lain; ikan yang tergolong dalam familia Serranidae (kerapu), Caesionidae (ekor kuning) dan Scaridae (kakatua). Tiga kelompok familia merupakan ikan karang mayor (Sale,1991). Di Kepulauan Seribu, awal eksploitasi intensif dimulai dekade tahun 1969 -1977 dengan produksi ekor kuning mencapai kisaran 800 – 1400 ton/tahun (Subani, 1978). Sejalan dengan ekploitasi terus menerus, produksi terus menurun menjadi 35,2 ton pada tahun 127 1981 (Subani, 1982). Pada dekade 2001-2007, hanya mencapai kisaran 1-34 ton/ tahun (TPI Muara Angke, 2007). Kerusakan habitat dan tangkapan berlebih merupakan faktor penyebab utama penurunan sumberdaya. Pengebomam didaerah tubir dan penangkapan dengan muro ami (Subani,1982). Perbaikan kondisi habitat dilakukan dengan transplantasi karang dan terumbu buatan. Pemasangan terumbu buatan dan tranpalantasi karang di Kepulauan Seribu diinisiasi oleh penelitian dari Balai Penelitian Perikanan Laut. Penelitian Wagiyo et. al. (1993 ) mendapatkan transplantasi karang dapat membentuk ekosistem mini buatan dengan tebentuknya food web dengan pertumbuhan karang transplant 0,01,9 cm/bulan. Suprapto et. al. (1993 ) menemukan 13 jenis ikan dalam terumbu buatan berukuran 1 m³. Di Philipina pertumbuhan karang transplant jenis Acropora sp. 0,0-1,1 cm/bulan, produksi ikan di terumbu buatan 8 kg/m³/tahun ( Polovina, 1991). Semenjak inisiasi tersebut kegiatan pemasangan terumbu buatan dan transplantasi karang di Kepulauan Seribu terus meningkat. Program Coremap yang dimulai dekade tahun yang sama, berhasil meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mengelola terumbu karang bersama, sehingga penangkapan ilegal semakin berkurang. Menurut Suku Dinas Kelautan dan Perikanan Kepulauan Seribu (2006) pada tahun 2004 tutupan karang rata-rata 32,69 % meningkat menjadi 33,61% pada tahun 2005. Kenyataan ini mendorong rencana peningkatkan tutupan karang hingga mencapai rata-rata 40 %, melalui program daerah perlindungan laut berbasis masyarakat. Monitoring secara periodik semenjak tahun 1985, 1995 dan 2005 menunjukkan sediaan ikan karang cenderung naik (Suharti, 2005). Monitoring di 29 pulau pada tahun 2005 didapatkan kepadatan tertinggi 2367 ekor/500m² dan terendah 6 ekor ekor/500m² . Kelompok ikan, target, indikator dan mayor populasinya cenderung naik. Kepadatan Chaetodontidae sebagai ikan indikator tertinggi 701 ekor/500m². Pada awal dekade 2010 terjadi kenaikan produksi ikan ekor kuning ( Anonymous, 2010). Kejadian ini diduga berhubungan dengan perbaikan habitat 128 dan pengurangan penangkapan ilegal yang sejalan dengan kesadaran masyarakat akan pentingnya kelestarian lingkungan. Fenomena ekor kuning dan ikan lainnya yang berasosiasi dengan terumbu karang perlu diidentifikasi penyebabnya. Identifikasi awal melalui penelitian ini bertujuan untuk memperoleh keadaan sediaan (kepadatan dan komposisi jenis) dan kondisi habitat. METODOLOGI Penelitian dilakukan di Perairan Kepulauan Seribu. Untuk memperoleh informasi sediaan dan kondisi habitat penelitian dilaksanakan pada tahun 2010, 2008 dan 2007. Lokasi penelitian pada tiga stratifikasi habitat yaitu; Daerah Perlindungan Laut, Daerah Penyangga dan Daerah dengan Habitat Buatan. Parameter sediaan ikan meliputi ; parameter kepadatan (Serranidae, Caesonidae dan Scaridae) dan komposisi ikan. Parameter kondisi habitat yang di ukur meliputi; tutupan karang, fisika-kimiawi (suhu, kecepatan arus, kecerahan, salinitas, oksigen terlarut dan pH) dan biologi perairan ( kelimpahan dan komposisi jenis fitoplankton dan zooplankton). Pengamatan kepadatan dan jenis ikan dan tutupan karang dilakukan secara visual sensus scuba diving pada garis transek garis sejajar pantai, sepanjang 50 m dengan luas sapuan pandang 50 x 5 m (English, et al. 1994). Identifikasi jenis ikan menurut buku panduan dari Thomas & Kailola (1984), Kuiter (1992) dan Carpenter & Niem (1998). Pengukuran fisika-kimiawi perairan dilakukan secara insitu; suhu dengan thermometer balik, kecepatan arus dengan current drift bottle, kecerahan dengan secchi disk, salinitas dengan refraktometer, oksigen terlarut dengan titrasi Winkler, pH dengan pH meter. Pengambilan contoh fitoplankton dan zooplankton dengan towing jaring fitoplankton dan jaring zooplankton, masing-masing mempunyai mata 25 µm dan 200 µm. Kelimpahan fitoplankton dan zooplankton dihitung pada satuan volume m³, dengan mencacah sel untuk fitoplankton dan individu untuk zooplankton, pada fraksi air tersaring dikalikan volume air tersaring. Jenis plankton diidentifikasi menurut buku panduan dari Newell&Newell (1963), Yamaji (1966) dan Taylor (1978). Indeks komunitas plankton meliputi keanekaragaman (H’), 129 kemerataan (e) dan dominasi C dihitung dengan rumus secara berurutan; H’=Σ(ni/N) log (ni/N), e = H /ln S dan C=Σ(ni/N)² (Fujita, et. al.1993). Kriteria tutupan karang hidup; 0-25 % buruk, 25 < -50 % kondisi sedang, 50<-75 % kondisi baik dan 75< kondisi sangat baik (KLH, 2004). Penilaian untuk indeks keanekaragaman mengikuti Lee et. al. (1978) dalam Soegianto (1994), adalah; H’> 2,0 keanekaragaman tinggi, H’= 1,6-2,0 keanekaragaman sedang, H’= 1,0-1,5 keanekaragaman rendah dan H’< 1,0 keanekragaman sangat rendah. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Sediaan a. Kepadatan Perhitungan kepadatan dilakukan pada tiga kelompok ikan konsumsi utama yaitu Serranidae, Casionidae dan Scaridae. Lokasi pengamatan dikategorikan daerah perlindungan laut, daerah penyangga dan habitat buatan. Didaerah penyangga dilakukan transek pada 13 lokasi ( Tabel 1). Kepadatan Serranidae rata-rata 4 individu/250 m², terkecil 1 individu/250 m² di Selatan Pulau Tikus terbesar 7 individu/250 m² di Selatan Pulau Burung. Serranidae tidak dijumpai pada Goba Pulau Tikus, Pulau Gosong Air dan Pulau Opak Kecil. Kepadatan Caesionidae rata-rata 131 individu/250 m², terkecil 15 individu/250 m² di Pulau Tikus dan terbesar 300 individu/250 m² di Pulau Genteng. Pada tiga lokasi ; Tenggara Pulau Pari, Timur Pulau Pari dan Pulau Opak Kecil tidak dijumpai Caesonidae. Scaridae tidak dijumpai pada empat lokasi, dengan kepadatan rata-rata 29 individu/250 m², terkecil 3 individu/250 m² dan terbesar 41 individu/250 m². Tabel 1. Hasil sensus visual kepadatan ikan di daerah penyangga 2 St. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. Lokasi Selatan Pulau Burung Selatan Pulau Pari Tenggara P. Pari Timur Pulau Pari Utara Pulau Kudus Barat Pulau Tikus Selatan Pulau Tikus) Goba Pulau Tikus* ) Pulau Panjang** ) Pulau Genteng** ) Pulau Gosong Air**) Pulau Kotok Kecil**) Pulau Opak Kecil** Total Total 393 507 235 315 455 200 437 64 121 536 463 229 154 Rata-rata Keterangan, *) Pengamatan 2008, **)Pengamatan 2007. 130 Kepadatan ikan (individu/250 m ) Scaridae Serranidae Caesionidae 7 31 23 3 25 36 3 0 23 3 0 41 4 18 32 2 15 20 1 19 21 0 40 3 4 50 0 2 300 0 0 250 0 2 120 0 0 0 0 31 868 199 4 131 29 Di Daerah Perlindungan Laut (DPL) dilakukan transek pada 7 lokasi ( Tabel 2). Kepadatan Serranidae rata-rata 13 individu/250 m², terkecil 2 individu/250 m² di Daerah Perlindungan Laut Pulau Pari dan Daerah Perlindungan Pulau Harapan, terbesar 31 individu/250 m² di Daerah Perlindungan Pulau Kelapa. Serranidae tidak dijumpai pada Daerah Perlindungan Pulau Tidung, Daerah Perlindungan Pulau Payung. Caesionidae dijumpai pada semua lokasi rata-rata 53 individu/250 m², terkecil 5 individu/250 m² di Daerah Perlindungan Pulau Kelapa dan terbesar 59 individu/250 m² di Daerah Perlindungan Pulau Pari. Scaridae hanya dijumpai pada tiga lokasi, dengan kepadatan rata-rata 29 individu/250 m², terkecil 2 individu/250 m² di Daerah Perlindungan Pulau Pari dan terbesar 79 individu/250 m² di Daerah Perlindungan Laut Pulau Pramuka. Tabel 2. Hasil sensus visual kepadatan ikan di daerah perlindungan laut Kepadatan Ikan (ind/250 m2) No. Lokasi Total Serranidae Caesionidae Scaridae 1. DPL Pulau Pramuka**) 292 12 10 79 2. DPL Wakrom P. Kelapa**) 438 31 5 0 3. DPL Kaliage P. Kelapa**) 326 6 6 59 4. DPL Pulau Harapan**) 121 2 12 0 5. DPL Pulau Tidung*) 127 0 47 0 6. DPL Pulau Payung*) 344 0 52 0 7. DPL Pulau Pari*) 397 2 59 2 Total 53 191 140 Rata-rata 13 53 29 Keterangan, *) Pengamatan 2008, **)Pengamatan 2007 Di habitat buatan hanya dilakukan pada dua lokasi (Tabel 3). Lokasi habitat buatan di daerah penyangga, Pulau Semak Daun tidak dijumpai tiga kelompok ikan konsumsi. Serranidae, Caesonidae dan Scaridae. Pada habitat buatan di Daerah Perlindungan Pulau Pramuka, masing-masing mempunyai kepadatan 92 individu/250 m², 228 individu/250 m² dan 63 individu/250 m². Tabel 3. Hasil sensus visual kepadatan ikan di habitat buatan No. Lokasi Kepadatan ikan (individu/250 m²) Caesionidae Scaridae Total Serranidae 1. DPL Pramuka (Terumbu Buatan) 486 92 228 63 2. P. Semak Daun (Terumbu Buatan) 42 0 0 0 Total 92 228 63 Rata-rata 46 114 32 131 Secara keseluruhan tanpa membedakan familia (total ikan karang) didapatkan, di daerah perlindungan mempunyai kepadatan ikan rata-rata sebesar 292 individu/250 m², daerah penyangga sebesar 316 individu/250 m², dan buatan sebesar 264 individu/250 m² (Tabel 4). Di daerah perlindungan mempunyai tutupan karang batu yang tinggi dapat mengurangi ruang gerak/persembunyian ikan. Tutupan karang batu yang tinggi mengurangi interaksi dengan berbagai jenis organisme. Di daerah penyangga dengan tutupan karang batu baik mempunyai kepadatan ikan tinggi karena memberikan ruang gerak/persembunyian lebih baik yang memungkinkan asosiasi dengan berbagai organisme. Hasil ini sesuai dengan penelitian di Karimunjawa (Wagiyo dan Prahoro, 1994) yang mendapatkan kepadatan ikan lebih tinggi di daerah terumbu karang dengan kondisi tutupan karang batu baik (50-74,9 %), dibandingkan dengan kondisi tutupan karang batu sangat baik (> 75%). Kepadatan rata-rata ikan target (Serranidae, Caesionidae dan Scaridae) di daerah perlindungan 32 individu/250 m², di daerah penyangga 55 individu/250 m² dan di daerah habitat buatan 64 individu/250 m² (Tabel 4). Di daerah habitat buatan tutupan karang batu rendah mempunyai kepadatan ikan target tinggi, karena pada terumbu buatan dibentuk ruangan persembunyian/gerak yang sesuai dengan ikan target. Familia Scaridae mempunyai kepadatan lebih tinggi di daerah penyangga dan habitat buatan disebabkan daerah dengan tutupan karang batu tinggi (daerah perlindungan) mempunyai komunitas algae lebih rendah. Scaridae bersifat graser yang menyukai turf algae/ rumput laut. Sebaliknya Serranidae mempunyai kepadatan lebih besar di daerah dengan tutupan karang batu tinggi (daerah perlindungan), karena Serranidae bersifat kriptik sembunyi di balik karang batu yang memudahkan memangsa ikan yang mendekati. 132 Tabel 4. Kepadatan ikan rata-rata pada seluruh lokasi Familia Kepadatan ikan rata-rata (individu/250m²) Daerah penyangga Habitat buatan Serranidae Daerah perlindungan 13 4 46 Caesionidae 53 131 114 Scaridae 29 29 32 Rata-rata ikan target 32 55 64 Total ikan 292 316 264 b. Komposisi familia Familia yang dominan adalah Pomacentridae sebesar 45,7 % dan Labridae sebesar 19,7 % (Tabel 5). Scaridae (8,6 %) dan Caesionidae (5 %) merupakan ikan target yang dominan. Suharti (2005) pada penelitian tahun 1985, 1995 dan 2005, menemukan Pomacentridae dan Labridae, sebagai ikan mayor yang dominan. Tabel 5. Komposisi familia ikan (persentase) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Familia Apogonidae Caesonidae Carangidae Chaetodontidae Labridae Lutjanidae Nemipteridae Pomacentridae Scaridae Serranidae Siganidae Lainnya 1 4 8 0 0 30 0 0 44 6 2 0 6 2 0 5 0 3 18 5 3 44 7 1 7 7 3 0 11 0 5 13 0 0 50 10 1 0 10 Stasiun 4 4 0 5 5 17 0 7 39 13 1 0 9 5 4 4 0 3 18 0 0 48 9 1 0 13 6 0 7 0 0 21 0 8 48 10 1 0 5 7 4 0 0 0 21 10 5 47 5 0 0 8 Total persentase 2,3 5 0,7 2,3 19,7 2,1 3,3 45,7 8,6 1,0 1,0 8,3 Keterangan stasiun; 1. Selatan P. Burung, 2. Selatan P. Pari, 3.Tenggara P. Pari, 4. Timur P. Pari, 5. Utara P. Kudus, 6. Barat P. Tikus dan 7. Selatan P. Tikus. c. Keanekaragaman Hasil transek di gugusan P. Pari menunjukan keanekaragaman ikan karang masih tinggi. Keanekaragaman terendah 3,06 di Barat Pulau Tikus (stasiun 6) dan tertinggi 3,78 di Selatan Pulau Pari (stasiun 2). Indeks dominasi terendah 0,03dan 133 tertinggi 0,06 dengan rata-rata 0,04. Indeks kemerataan terendah 0,86 dan tertinggi 0,88 dengan rata-rata 0,87 (Tabel 6) Tabel 6. Indeks komunitas ikan Stasiun Indeks keanekargaman Indeks dominasi Indeks kemerataan 1 3,56 0,04 0,86 2 3,78 0,03 0,86 3 3,15 0,06 0,88 4 3,36 0,05 0,87 5 3,62 0,03 0,86 6 3,06 0,06 0,88 7 3,56 0,04 0,87 Keterangan stasiun; 1. Selatan P. Burung, 2. Selatan P. Pari, 3.Tenggara P. Pari, 4. Timur P. Pari, 5. Utara P. Kudus, 6. Barat P. Tikus dan 7. Selatan P. Tikus. 2. Kondisi habitat a. Tutupan karang hidup Pengamatan pada 19 stasiun didapatkan; kondisi sangat baik 2 lokasi, baik 3, sedang 10 lokasi, dan buruk 4. Kondisi sangat baik ditemukan di daerah perlindungan laut yaitu; Pulau Pramuka dan Pulau Tidung. Kondisi buruk pada umumnya dijumpai di lokasi yang bukan daerah perlindungan laut, hanya ada satu lokasi dijumpai di daerah perlindungan laut yaitu di Pulau Harapan (Tabel 7) Tabel 7.Hasil pengamatan persentase tutupan karang hidup di Kepulauan Seribu No. Lokasai Prosentase tutupan 75 ) 1 DPL Pulau Pramuka** 2 DPL Wakrom P. Kelapa**) ) 35 65 3 DPL Kaliage P. Kelapa** 4 DPL Pulau Harapan**) 24 5 DPL Pulau Tidung*) 81 6 DPL Pulau Payung* ) 39 51 ) 7 DPL Pulau Pari* 8 Goba Pulau Tikus*) <25 9 Pulau Panjang**) 38 ) 10 Pulau Genteng** 11 Pulau Gosong Air**) 134 21 37 Kriteria Sangat baik Sedang Baik Buruk Sangat baik Sedang Baik Buruk Sedang Buruk Sedang 12 54 Pulau Kotok Kecil**) Baik 40 ) 13 Pulau Opak Kecil** 14 B.D. P. Pramuka (TB) **) >25 15 P. Semak Daun (TB) **) <25 16 Tenggara P. Pari 17 Timur Pulau Pari 18 Utara Pulau Kudus 19 Barat Pulau Tikus Sedang Sedang Buruk 50 Sedang 55 Baik 41 Sedang 32 Sedang Keterangan, *) Pengamatan 2008, **)Pengamatan 2007,TB= Terumbu Buatan b. Parameter fisiko-kimiawi Hasil pengukuran parameter fisiko-kimiawi perairan tercantum pada Tabel 8. Kecerahan 7,5-13,5 m dengan rata-rata 8 m. Kecepatan arus terkecil 1,6-5,6 cm/dt. dengan rata-rata 2,93 cm/dt.. Suhu air permukaan 28,98-30 oC, dengan ratarata 29,02 oC. Suhu dasar perairan 28,82-29,1 oC, dengan rata-rata 29 oC. Salinitas permukaan 32,5-33 o/oo, dengan rata-rata 33 o/oo. Salinitas dasar 32,5-33 o/oo, dengan rata-rata 33 o/oo. Oksigen terlarut permukaan 3,86-5,78 ml/l., dengan rata-rata 3,95 ml/l. Oksigen terlarut dasar perairan 3,57-4,34 ml/l., dengan rata-rata 3,95 ml/l. pH permukaan 7.60-7,75 ml/l., dengan rata-rata 7,6 ml/l. pH permukaan 7,58-7,75 ml/l., dengan rata-rata 7,64 ml/l. Tabel 8. Hasil pengukuran parameter fisika-kimiawi perairan (Juni 2010). o Suhu Air ( C) Salinitas (o/oo) Oksigen Terlarut (ml/l) pH Lokasi Pulau Kudus Pulau Tikus Tenggara Pulau Pari Timur Pulau Pari Kedalaman (m) Kecerah an (m) Kec. arus (cm/det) Per m. Dasa r Per m Dasa r Per m Dasr Per m Dasar 10 7.5 4.5 30 29.1 32.5 33 5.78 4.24 7.63 7.62 32.5 32.5 3.86 3.57 7.75 7.74 8 7.5 - 29.1 28.8 2 14.3 13.5 5.6 28.9 8 28.9 7 32.5 33 5.13 4.34 7.62 7.61 12 8 1.6 29.0 2 29 33 33 3.95 3.95 7.6 7.58 135 c. Biologi perairan (plankton) Komposisi jenis fitoplankton didominasi oleh Rhizosolenia sp.35,66 %, Chaetoceros sp. 19,24 % dan Trichodesmium sp. 9,18 % (Tabel 9). Rhizosolenia sp.dan Chaetoceros sp. adalah kelompok Diatomae, yang merupakan pakan utama ikan plankton feeder, tidak berpotensi red tide. Trichodesmium sp. merupakan fitoplankton yang berpotensi red tide. Trichodesmium sp. dapat menimbulkan red tide apabila kondisi perairan yang memiliki kandungan hara dan suhu lebih tinggi dari keadaan normal. Jenis fitoplankton lain yang berpotensi menyebabkan red tide adalah dari kelompok Dinophyceae (3,92 %). Anggota Dynophyceae yang dijumpai antara lain; Ceratium sp., Dinophysis sp. dan Pyrophacus sp. Tabel 9. Komposisi jenis fitoplankton (Juni 2010) No Jenis Organisme Jumlah Total lokasi Persentase (sel) BACILLARIOPHYCEAE 1 Asterionella sp. 2 Bacillaria sp. 53521 2,96 491 3 0,03 Bacteriastrum sp. 47591 2,63 4 Biddulphia sp. 1536 0,08 5 Chaetoceros sp. 348033 19,24 6 Coscinodiscus sp. 5884 0,33 7 Diploneis sp. 0 0,00 8 Fragillaria sp. 1045 0,06 9 Guinardia sp. 6272 0,35 10 Hemiaulus sp. 67265 3,72 11 Mastogloia sp. 491 0,03 12 Navicula sp. 5553 0,31 13 Nitzschia sp. 22381 1,24 14 Pleurosigma sp. 4064 0,22 15 Rhabdonema sp. 523 0,03 16 Rhizosolenia sp. 645089 35,66 17 Stephanophyxis sp. 49633 2,74 18 Thalassiosira sp. 17910 0,99 19 Thalassiothrix sp. 150705 8,33 131302 7,26 CHOLOROPHYCEAE 20 Richelia sp. CYANOPHYCEAE 136 21 Protoperidinium sp. 12605 0,70 22 Trichodesmium sp. 166059 9,18 DINOPHYCEAE 23 Ceratium sp. 47242 2,61 24 Dinophysis sp. 22748 1,26 25 Pyrophacus sp. 945 0,05 Indeks keanekaragaman fitoplankton pada umumnya sedang, dengan ratarata 2,02 dan terkecil 1,76. Ada dua stasiun dengan indeks keanekaragaman tinggi yaitu di Tenggara Pulau Pari sebesar 2,44 dan di Timur Pulau Pari sebesar 2,06. Indeks dominasi fitoplankton rata-rata 0,2 yang terkecil 0,12 di Tenggara Pulau Pari dan terbesar 0,26 di Pulau Kudus. Indeks keseragaman fitoplankton rata-rata 0,7 yang terkecil 0, 60 di Pulau Kudus dan terbesar 0,79 di Tenggara Pulau Pari (Gambar 1). Berdasarkan indeks keanekaragamanan, dominasi dankeseragaman lokasi Tenggara P. Pari lebih dari lokasi lainnya. Lokasi perairan P. Kudus lebih buruk dari lainnya karena di sekitarnya ada aktifitas masyarakat dan pariwisata. 2.06 1.81 0.76 0.79 0.12 0.65 0.24 0.6 1 0.5 0.26 1.5 0.18 1.76 2 2.44 3 2.5 0 P. Kudus P. Tikus Tenggara P. Pari Timur P. Pari Index Diversitas Index Dominansi Gambar 1. Grafik indeks komunitas fitoplankton Komposisi zooplankton didominasi oleh Sticholonche sp.44,96 %, Orbulina sp. 17,59 % dan Calanus sp. dan Oithona sp. masing-masing 13,12 % (Gambar 2). Sticholonche sp. merupakan sumber pakan zoop dan larva ikan (Anna, 2006). Orbulina sp. merupakan zooplankton dasar yang berperan penting pada simbiosis mebentuk terumbu karang dan mempengaruhi keasaman air (Fabry, 2008). Keberadaannya di permukaan karena adanya pengadukan masa air. 137 Dominasi keempat jenis zooplankton, kecuali Orbulina sp. menunjukan perairan 44.96 masih baik. 50 Calanus sp. Oithona sp. 10 4.64 20 6.58 13.12 17.59 30 13.12 Persentase 40 0 Oncaea sp. Orbulina sp. Sticholenche Oikopleura sp. sp. Gambar 2. Grafik komposisi zooplankton Indeks keanekaragaman zooplankton rata-rata 0,43 yang terkecil 0,0 di Pulau Tikus dan Timur Pulau Pari, terbesar 1,06 di Tenggara Pulau Pari. Indeks dominasi zooplankton rata-rata 0,73 yang terkecil 0,36 di Tenggara Pulau Pari dan terbesar 0,55 di Pulau Kudus. Indeks keseragaman zooplankton rata-rata 0,61 yang terkecil 0, 0 di Pulau Tikus dan Timur Pulau Pari terbesar 0,92 di Pulau P. Kudus Jumlah Jenis P. Tikus Index Diversitas Tenggara P. Pari Index Dominansi 1.00 0 0 1.00 1.52 0.36 1.06 1.00 0 0 1.00 0.92 0.55 2.00 0.64 4 3 2 1 0 3.00 Kudus (Gambar 3). Timur P. Pari Index Keseragaman Gambar 3. Grafik indeks komunitas zooplankton KESIMPULAN DAN SARAN a. Kesimpulan 1. Sediaan ikan konsumsi di perairan Kepulauan Seribu rendah 1-8,6 %. Sediaan Caesonidae lebih besar dibandingkan ikan konsumsi lainnya. Kelimpahan Caesonidae dan Scaridae lebih tinggi di daerah perlindungan sedangkan Serranidae lebih tinggi pada habitat buatan. 138 2. Kondisi habitat tutupan terumbu karang di Kepulauan Seribu dalam kategori sedang. Kondisi perairannya masih mendukung kehidupan biota laut tetapi berpotensi terjadinya red tide dan pengasaman air. b. Saran Untuk meningkatkan sumberdaya dan pemanfaatan Serranidae, Caesonidae dan Scaridae dapat di perluas dan diperbanyak daerah habitat buatan dengan kontruksi yang sesuai. Pemanfaatan karang batu dapat dilakukan pada lokasi dengan tutupan karang sangat baik didaerah penyangga, sehingga tutupan karang hidup menjadi kondisi baik. DAFTAR PUSTAKA Anna, E.S.E.M. 2006. Sticholonche zanclea (Protozoa, Actinopoda) in fecal Pellets of Copepods and Euphausia sp. in Brazilian coastal waters. Braz. J. Biol., 66(3): 839-847, Sao Carlos. http://dx.doi.org/10.1590/S151969842006000500009 Anonymous. 2010. Data statistik Dinas Kelautan dan Perikanan Kepulauan Seribu. 2010. Carpenter, K.E.; Niem V.H. (eds), 1998. The Living Resource of the Western Central Pacific. Volume 4. FAO Species Identification Guide for Fihsery Purposes. English, S., C. Wilkinson & V. Baker.1994. Survei manual for Tropical marine Resources. Australian Institute of Marine Science, Townsville. Australia. Fujita, T., Inada, T., Ishito, Y.1993. Density, Biomass and Community Structure of Demersal Fishes of the Pacific Coast of Northeastern Japan. Journal of Oceanography Vol.49. pp. 211 to 229. Fabry, V. J., Seibel, B. A., Feely, R. A., and Orr, J. C. 2008. Impacts of ocean acidification on marine fauna and ecosystem processes. – ICES Journal of Marine Science, 65: 414–432. KLH.2004. Himpunan peraturan di bidang pengelolaan lingkungan hidup dan penegakan hukum lingkungan. Kementerian Lingkungan Hidup. Kuiter, R.H. 1992. Tropical Reef-Fishes of the Western Pacific Indonesia and Adjacent Waters. Gramedia, Jakarta. Newell,G.E & R.C. Newell. 1963. Marine Plankton. A Practical Guide. Hutchinson of London: 244 hal. 139 Polovina, 1991. Ecological Consideration on the Aplication of Artificial reef in the Management of Artisanal Fishery, Tropical Coastal Area Management. ICLARM, Vol. 6 Nov.1-2, Manila:87-91 Sale, P.F. 1991. Coral Reef Fishes: Dynamics and Diversity in a Complex Ecosystem. San Diego, CA: Academic Press. p. 33-35. Soegianto, A. 1994. Ekologi Kuantitatif. Usaha Nasional. Surabaya Subani, W., 1978. Studi Perikanan Muroami Sebagai Penunjang Perikanan Rakyat, LPPL, Jakarta. _________., 1982. Penambangan karang serta dampaknya. Penelitian Perikanan Laut,Jakarta, No.28:17-23. Sudin Perikanan dan Kelauatan, Kepulauan Seribu, 2006. Terumbu Buatan di Kepulauan Seribu. Suharti, S.R. 2005. Keanekaragaman dan kekayaan jenis ikan karang di Kepulauan Seribu. Program Monitoring Jangka panjang keanekaragaman dan kekayaan jenis ikan karang di Kepulauan Seribu. Suprapto, Murniyati dan K. Wagiyo. 1993. Pengaruh berbagai bentuk dan bahan terumbu buatan terhadap komunitas dan komposisi jenis. Bulletin Penelitian Perikanan Laut. Edisi khusus No. 4. Pelestarian Lingkungan Hidup Perikanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan: 198-208. Taylor, F.J.R.1978. Dinoflagellates from the International Indian Ocean Expedition. Bibl. 132 : 234 pp. Thomas,G.T. & P.J. Kailola, 1984. Trawled Fishes of Southern Indonesia and Northwestern Australia. TPI Muara Angke, 2001-2007. Rekap Data Pendaratan Ikan. Sudin Perikanan dan Kelauatan, Jakarta Utara. Wagiyo, K., Wasilun dan Murniyati. 1993. Kajian beberapa aspek transplantasi karang dalam mendukung rehabilitasi terumbu karang. Bulletin Penelitian Perikanan Laut. Edisi khusus No. 4. Pelestarian Lingkungan Hidup Perikanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. 176-197. Wagiyo, K. dan P. Prahoro. 1994. Pengaruh Kondisi Karang terhadap Komunitas Ikan Hias di Kepulauan Karimunjawa. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. No. 2. p.21-26. Yamaji, I.1966. Illustrations of the Marine Plankton of Japan. Hoikusho, Osaka, Japan. 369 p. 140 DINAMIKA POPULASI IKAN SWANGGI (Priacanthus tayenus) DI PERAIRAN TANGERANG - BANTEN. Oleh Prihatiningsih1), Bambang Sadhotomo1) dan Muhammad Taufik1) 1) Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut Email : [email protected] ABSTRAK Ikan swanggi merupakan ikan ekonomis dan ekologis penting dan statusnya di perairan belum terevaluasi dengan baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan, umur dan mortalitas ikan swanggi yang dapat memberikan kontribusi terhadap pengelolaan sumber daya ikan yang berkelanjutan dan lestari. Data frekuensi panjang dan berat ikan pada Januari – Desember 2012 diperoleh dari perairan Tangerang dan sekitarnya berasal dari hasil tangkapan jaring cantrang. Sebaran frekuensi panjang ikan dipisahkan kedalam sebaran normal menggunakan metode Bhattacharya. Hubungan panjang-berat ikan swanggi jenis jantan dan betina bersifat allometrik negatif dan memiliki faktor kondisi yang baik (k=1,26). Rata-rata ukuran pertama kali tertangkap ikan swanggi (Lc=20,84 cm) lebih besar dibandingkan dengan ukuran pertama kali matang gonad (Lm=16,03 cm). Ikan swanggi dapat tumbuh hingga mencapai panjang infinitive (L∞) = 32,34 cm dengan laju pertumbuhan (K) sebesar 0,91 tahun-1 dan nilai dugaan umur teoritis pada saat panjang ikan sama dengan nol (t0) adalah 0,14 tahun-1. Panjang maksimal ikan swanggi diduga berumur 3,5 tahun dan rata-rata panjang ikan pertama kali matang gonad (Lm) diduga berumur 0,75 tahun. Mortalitas alami (M) ikan swanggi adalah 1,67, mortalitas karena penangkapan (F) 0,83, mortalitas total (Z) 2,50 dan tingkat eksploitasi (E) sebesar 0,33 yang berarti pemanfaatannya masih dapat ditingkatkan sekitar 34% dari keadaan saat ini. Kata kunci : Pertumbuhan, umur, mortalitas, ikan swanggi, Tangerang. PENDAHULUAN Ikan swanggi (Priacanthus tayenus) memiliki potensi besar dalam mendukung pemenuhan kebutuhan pangan. Menurut Sivakami et al. (2001) ikan swanggi pada awalnya bukan merupakan ikan hasil tangkapan utama, namun belakangan banyak didaratkan di pelabuhan perikanan sebagai salah satu hasil tangkapan yang bersifat komersial dan menjadikan ikan ini sebagai ikan komoditas ekspor. Ikan swanggi dikatakan bernilai ekologis karena merupakan salah satu ikan karang yang berperan dalam struktur trofik (Powell 2000). Ikan Priacanthidae merupakan ikan predator pemakan zooplankton dan dominasi makanannya berupa 141 udang-udangan yang berasal dari kelas krustasea (CMFRI, 2001). Dalam kaitan itu keberadaannya sangat berpengaruh terhadap keseimbangan ekosistem di perairan. Ikan swanggi merupakan ikan karang demersal dengan karakteristik khusus berwarna merah muda, memiliki mata besar, dan pada sirip perut terdapat bintik berwarna ungu kehitam-hitaman (FAO 1999). Ikan swanggi memiliki daya tahan yang rendah terhadap tekanan penangkapan. Jika upaya penangkapan ditingkatkan tanpa pengendalian yang memadai, maka akan segera menunjukkan tanda-tanda 'kejenuhan' yang seterusnya akan mengarah kepada 'overfishing'. Pemahaman tentang dinamika populasi dari suatu jenis ikan yang dieksploitasi merupakan hal yang sangat penting bagi pengelolaan yang efektif dari suatu perikanan untuk memperoleh manfaat yang maksimum (Gulland, 1983). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pendugaan dinamika populasi terutama pertumbuhan, umur dan mortalitas ikan swanggi di perairan Tangerang dan sekitarnya yang merupakan bagian dari WPP 712 Laut Jawa berdasarkan analisis secara analitik terhadap sejumlah data yang dikumpulkan secara periodik. BAHAN DAN METODE Penelitian Lapangan Pengambilan contoh ikan swanggi (Priacanthus tayenus) dilakukan di Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Kronjo dan Cituis (Tangerang, Banten) mulai Januari – Desember 2012. Contoh panjang dan berat individu ikan diperoleh dari hasil tangkapan jaring cantrang dengan mata jaring (mesh size) 1 inch. Jaring cantrang dioperasikan di perairan Utara Jawa khususnya di perairan Tangerang dan sekitarnya sampai kedalaman 30 m. Contoh ikan diukur panjang dengan ketelitian 0,1 cm dan bobotnya dengan ketelitian 0,1 gram. Analisis Data 1. Hubungan Panjang-Bobot Hubungan panjang-bobot mengacu pada Effendie (1979) dengan formula: W = aLb .................................................................................................................(1) dimana : W 142 = Bobot; L = panjang a = intersep (perpotongan kurva hubungan panjang-bobot dengan sumbu Y) b = kemiringan (slope) Untuk menguji nilai b = 3 atau b ≠3 dilakukan uji –t (uji parsial), maka dilakukan hipotesis terhadap nilai b dengan asumsi: H0 : b = 3, hubungan panjang dan bobot adalah isometrik H1 : b ≠3, hubungan panjang dengan bobot adalah allometrik yaitu : Pola hubungan panjang-bobot bersifat allometrik positif, bila b > 3 (pertambahan berat lebih cepat daripada pertambahan panjang), dan allometrik negatif, bila b < 3 (pertambahan panjang lebih cepat daripada pertambahan berat). 2. Faktor Kondisi Faktor kondisi dihitung menurut panjang dan berat ikan, setelah pola pertumbuhan panjang diketahui, perhitungan dilakukan berdasarkan pada rumus dari (Effendie, 1979): k = 102 W/L3 …………………………………………………………………...(2) dimana: k = faktor kondisi; W = bobot rata-rata ikan; L = panjang rata-rata ikan 3. Pendugaan Rata-rata Panjang Pertama Kali Tertangkap (Lc) dan Panjang Pertama Kali Matang Gonad (Lm) Pendugaan ukuran pertama kali tertangkap dilakukan dengan membuat grafik hubungan antara panjang ikan (sumbu X) dengan jumlah ikan (sumbu Y) sehingga diperoleh kurva berbentuk sigmoid. Nilai length at first capture yaitu panjang pada 50% pertama kali tertangkap dihitung dengan persamaan sebagai berikut (Jones, 1976 dalam Sparre & Venema, 1999) : S L est 1 .................................................................................(3) 1 exp( S1 S 2 * L) 1 Ln 1 S1 S 2 * L ......................................................................................(4) SL L50% S1 .............................................................................................................(5) S2 dimana : SL = kurva logistik; S1 dan S2 = konstanta pada rumus kurva logistik S1= a; S2= b 143 Pendugaan panjang pertama kali matang gonad (length at first maturity) dilakukan sesuai dengan prosedur penghitungan yang dilakukan oleh Udupa (1986), melalui rumus : m = Xk + X/2 – (X∑Pi....................................................(6) dimana : m = log ukuran ikan saat pertama matang gonad Xk = log ukuran ikan dimana 100% ikan sampel sudah matang X = selang log ukuran (log size increment) Pi = proporsi ikan matang pada kelompok ke-i Rata-rata ukuran ikan pertama matang gonada diperoleh dari nilai antilog (m). 4. Estimasi Parameter Pertumbuhan Penentuan kelompok ukuran (kohort) dilakukan menggunakan metode Bhattacharya dari program paket software FISAT. Pendugaan nilai koefesien pertumbuhan L∞ dan K dilakukan dengan menggunakan metode ELEFAN (Electronic Length – Frequency Analysis) I dan Gulland & Holt plot, sedangkan t0 diperoleh melalui persamaan Pauly (1983). Ketiga nilai dugaan parameter pertumbuhan tersebut dimasukkan ke model pertumbuhan Bartalanffy. Pola pertumbuhan ikan swanggi menggunakan rumus Von Bartalanffy (Sparre & Venema, 1999) sebagai berikut : Lt = L∞ (1- e-k (t – to))..............................................................................................(7) dimana : Lt = ukuran panjang ikan pada saat umur t tahun(cm) L∞ = panjang maksimum ikan yang dapat dicapai t0 = umur ikan teoritis pada saat panjangnya 0 cm K = Koefisien pertumbuhan Nilai t0 ikan diperoleh dengan menggunakan rumus (Pauly, 1984) yaitu : Log- (t0) = -0,3922–0,2752 Log L-1,038 Log K ..................................................(8) 144 5. Mortalitas Mortalitas total (Z) dalam suatu kegiatan perikanan tangkap sangat penting untuk menganalisis dinamika populasi atau stok ikan. Mortalitas dapat dibedakan dalam mortalitas alami (M) dan mortalitas karena penangkapan (F). Mortalitas total dapat diduga dari pergeseran kelimpahan kelompok umur dan dari analisis kurva hasil tangkapan menggunakan data frekuensi panjang (Sparre & Venema, 1999). Mortalitas total dihitung menggunakan rumus : Z = M + F ......................(9) Mortalitas alami (M) diduga dengan metode persamaan empiris Pauly (1983) dengan rumus : Ln M = -0,152–0,279*LnL∞+0,6543*LnK + 0,463*Ln T...........................................................................................................................(10) dimana : M = mortalitas alami per tahun L∞ = panjang maksimum ikan yang dapat dicapai K = Koefisien pertumbuhan T = Suhu rata-rata tahunan (ºC) HASIL Hubungan Panjang-Bobot Pengukuran individu terhadap 3.814 ekor ikan swanggi (Priacanthus tayenus) di perairan Tangerang - Banten diperoleh sebaran ukuran panjang cagak berkisar antara 11,3 – 31,0 cm FL dengan rata-rata 20,7 cm FL dan kisaran bobotnya antara 32,0 – 228,0 gram dengan rata-rata 110,5 gram. Persamaan panjang-bobot ikan swanggi bagi kelamin jantan adalah W = 2,467 0,074L dan kelamin betina adalah W = 0,126L2,286 dengan nilai koefesien korelasi (r) masing-masing 0,912 dan 0,847 (Gambar 1). Jika nilai koefisien korelasi (r) mendekati nilai -1 atau 1, maka terdapat hubungan linier yang kuat antara kedua variabel tersebut (Walpole, 1993). Dengan demikian terdapat hubungan yang erat sekitar 80-90% antara panjang dengan berat ikan swanggi di perairan Tangerang-Banten. 145 Gambar 1. Hubungan panjang – berat ikan swanggi (Priacanthus tayenus) di perairan Tangerang Faktor Kondisi Faktor kondisi adalah suatu keadaan yang menyatakan kemontokan ikan (Effendie, 1979). Nilai faktor kondisi ikan swanggi berkisar antara 1,14 – 1,49 dengan rata-rata 1,26. Nilai terkecil terdapat pada bulan Oktober (1,14) dan terbesar pada bulan Januari (1,49). Mengacu pada Effendie (1997) hasil ini menandakan ikan swanggi masih berada pada batas ambang kondisi yang baik dengan kisaran nilai (k) antara 1-3. Pendugaan Rata-rata Panjang Pertama Kali Tertangkap (Lc) dan Panjang Pertama Kali Matang Gonad (Lm) Pendugaan rata-rata ukuran panjang pertama kali tertangkap (Lc) ikan swanggi diperoleh nilai 20,84 cm FL dan rata-rata ukuran panjang pertama kali matang gonad (Lm) adalah 16,03 cm FL (Gambar 2). Gambar 2. Panjang rata-rata (50% kumulatif) ikan swanggi (Priacanthus tayenus) di perairan Tangerang. 146 4. Estimasi Parameter Pertumbuhan Dari model pertumbuhan Von Bartalanffy, didapat koefesien pertumbuhan (K) sebesar 0,91 tahun-1. Nilai panjang asimtotik (L∞) sebesar 32,34 cm, dan nilai dugaan umur teoritis pada saat panjang ikan sama dengan nol (t0) adalah 0,14 tahun-1 sehingga diperoleh persamaan pertumbuhan ikan swanggi di perairan Tangerang - Banten adalah Lt = 32,34 (1 – e-0,91(t-+0,14)) (Gambar 3 dan 4). Gambar 3. Kurva distribusi frekuensi panjang ikan swanggi (Priacanthus tayenus) Gambar 4. Kurva pertumbuhan von Bertalanffy ikan swanggi (Priacanthus tayenus) 5. Mortalitas Nilai mortalitas alami (M) ikan swanggi (Priacanthus tayenus) pada suhu air 29°C di perairan Banten adalah 1,67 tahun-1; mortalitas karena penangkapan (F) 0,83 tahun-1 dan mortalitas total (Z) 2,50 tahun-1 dan tingkat eksploitasi (E) ikan swanggi adalah 0,33. 147 BAHASAN Nilai b pada jenis kelamin jantan dan betina ikan swanggi adalah 2,467 dan 2,286. Dari hasil uji –t terhadap parameter b pada selang kepercayaan 95% (α=0,05), diperoleh thitung > ttabel, yang artinya b < 3. Secara keseluruhan pola pertumbuhan ikan swanggi baik jantan maupun betina bersifat allometrik negatif dimana pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan pertambahan berat. Hasil penelitian ini tidak berbeda dengan hasil penelitian Nugroho & Rustam (1983) bahwa pola pertumbuhan ikan swanggi di pantai Utara Jawa bersifat allometrik negatif. Penentuan faktor kondisi dilakukan untuk mendeteksi perubahan yang terjadi secara mendadak di suatu perairan yang mempengaruhi kondisi ikan. Nilai faktor kondisi hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ikan swanggi rata-rata memiliki kondisi yang baik (k = 1,26). Perubahan nilai faktor kondisi tiap bulan diduga adanya pengaruh pola musim yang terjadi di perairan Banten dimana pada Januari terjadi musim barat sehingga ikan harus beradaptasi terhadap perubahan kondisi lingkungan yang berpengaruh pada ketersediaan makanan. Tingginya nilai faktor kondisi (k) pada Januari diduga merupakan musim pemijahan ikan swanggi, hal ini ditunjang dengan tingkat kematangan gonad III pada bulan tersebut didapatkan lebih banyak. Pada saat kondisi ini pertambahan berat semakin meningkat dibandingkan pertambahan panjang ikan. Menurut Effendie (1997), nilai faktor kondisi berkaitan dengan makanan (indeks relatif penting), umur, jenis kelamin dan indeks kematangan gonad (IKG). Pendugaan rata-rata ukuran ikan swanggi pertama kali matang gonad di perairan Tangerang-Banten yaitu pada panjang 16,03 cm. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Sivakami et al. (2001) pada spesies satu genus dari Priacanthus tayenus yaitu Priacanthus hamrur yang diteliti disepanjang pantai India yang ratarata ukuran pertama kali matang gonad berada pada panjang 19,1-20,0 cm. Pendugaan rata-rata ukuran ikan swanggi pertama kali tertangkap lebih besar dibandingkan dengan ukuran pertama kali matang gonad (Lc>Lm ; 20,84cm > 16,03 cm). Keadaan ini baik untuk ketersediaan stok ikan swanggi karena sebelum ikan tersebut tertangkap maka terlebih dulu sudah melangsungkan proses 148 rekruitmen. Hal ini akan dapat menjamin sumberdaya ikan swanggi berada dalam keadaan berkelanjutan dan lestari. Koefesien pertumbuhan (K) ikan swanggi di perairan Tangerang-Banten sebesar 0,91 tahun-1 dan panjang total maksimum adalah 31,0 cm atau lebih kecil dibandingkan dengan panjang asimtotik (L∞) 32,34 cm. Perbedaan antara panjang maksimum yang diperoleh dengan panjang asimtotik, menimbulkan penafsiran bahwa ada ikan berukuran besar lebih dari 31,0 cm yang belum tertangkap. Hasil estimasi parameter pertumbuhan ikan swanggi (Priacanthus tayenus) di daerah penangkapan yang berbeda diantaranya Utara Jawa (Indonesia), Laut Samara dan Selatan Hongkong telah diteliti (Tabel 1). Dari beberapa parameter populasi yang berbeda, didapatkan panjang maksimum ikan yang dapat dicapai setiap wilayah dan laju pertumbuhan yang berbeda pula. Tabel 1. Estimasi parameter pertumbuhan ikan swanggi (Priacanthus tayenus) dengan daerah penangkapan yang berbeda. L∞ Spesies (cm) K (per tahun) Lokasi/Location Sumber/Ref Priacanthus macracanthus 26,7 (FL) 1,36 Utara Jawa Nugroho & Rustam (1983) Priacanthus macracanthus 23,7 (FL) 1,30 Laut Jawa (Jawa Tengah) Dwiponggo et al. (1986) Priacanthus hamrur 36,0 (FL) 0,73 Perairan Bombay (India) Chakraborthy (1994) Priacanthus tayenus 29,0 (FL) 1,25 Laut Samara Ingles & Pauly (1984) Priacanthus tayenus 30,0 (FL) 0,80 Selatan Hongkong Lester & Watson (1985) Priacanthus tayenus 32,34 (FL) 0,91 Perairan Banten Penelitian ini Keterangan/Remark : FL = Fork Length. Umur dan pertumbuhan ikan digunakan untuk memahami komposisi umur dari populasi, umur kematangan, rentang hidup yang merupakan dasar dalam perhitungan pertumbuhan, mortalitas, rekrutmen dan parameter populasi lainnya. Berdasarkan persamaan pertumbuhan ikan swanggi di perairan Tangerang-Banten diperoleh panjang maksimal ikan swanggi (L∞ = 32,34 cm) diduga berumur 3,5 tahun; rata-rata panjang ikan pada saat pertama kali tertangkap (Lc) : 20,84 cm diduga berumur 1,13 tahun serta rata-rata panjang ikan pertama kali matang gonad (Lm) : 16,03 cm diduga berumur 0,75 tahun. Hasil penelitian Nugroho & Rustam (1983) mendapatkan umur ikan swanggi jenis Priacanthus macracanthus untuk mencapai panjang maksimal diduga setelah 149 mencapai 4 – 5 tahun. Chakraborthy (1994) menemukan umur ikan swanggi jenis Priacanthus hamrur di perairan Bombay diduga berumur 1 tahun untuk panjang 19,3 cm dan berumur 2 tahun untuk panjang ikan 28,3 cm serta berumur 3 tahun untuk panjang ikan 32,3 cm. Dengan demikian, ikan swanggi memiliki laju pertumbuhan yang tinggi dan umur yang relatif pendek. Mortalitas alami (M) ikan swanggi (Priacanthus tayenus) di perairan Tangerang-Banten dan sekitarnya adalah 1,67, mortalitas karena penangkapan (F) 0,83, mortalitas total (Z) 2,50. Lester & Watson (1985) menemukan laju mortalitas alami (M) ikan swanggi (Priacanthus tayenus) di Laut Cina Selatan adalah 1,4; mortalitas karena penangkapan 0,6; dan mortalitas total 1,4. Menurut Aziz et al. (1992), perbedaan parameter pertumbuhan disebabkan perbedaan lama waktu, musim, ukuran ikan, alat tangkap yang digunakan dan daerah penangkapan pada saat sampling. Widodo (1988) juga menyatakan perbedaan nilai parameter pertumbuhan ini lebih dipengaruhi oleh komposisi ikan contoh dengan cara atau metode yang digunakan. Jika ikan-ikan muda lebih banyak tertangkap maka koefisien pertumbuhan akan tinggi dan sebaliknya jika ikan-ikan berumur tua yang banyak tertangkap, maka koefisien pertumbuhan akan rendah. Sparre & Venema (1999) menyatakan perbedaan nilai K dapat juga disebabkan oleh kondisi lingkungan perairan. Tingkat eksploitasi ikan swanggi adalah 0,33 yang berarti pemanfaatan sumberdaya ikan swanggi di eksploitasi sekitar 66,0% dari potensi lestarinya. Dengan demikian pemanfaatan sumberdaya ikan ini dapat ditingkatkan sekitar 34,0% dari kondisi saat ini. KESIMPULAN Hubungan panjang-berat ikan swanggi jenis jantan dan betina bersifat allometrik negatif dan memiliki faktor kondisi bersifat baik. Rata-rata ukuran pertama kali tertangkap ikan swanggi lebih besar dibandingkan dengan ukuran pertama kali matang gonad (Lc>Lm) . Ikan swanggi dapat tumbuh hingga mencapai panjang infinitive (L∞) = 32,34 cm dengan laju pertumbuhan (K) sebesar 0,91tahun-1. Panjang maksimal ikan swanggi diduga berumur 3,5 tahun 150 dan rata-rata panjang ikan pertama kali matang gonad (Lm) diduga berumur 0,75 tahun. Tingkat eksploitasi (E) ikan swanggi di perairan Banten sebesar 0,33 yang berarti pemanfaatannya masih dapat ditingkatkan sampai dengan mencapai (E=0,5). PERSANTUNAN Hasil dari kegiatan riset: Pengkajian Sumber Daya Ikan Demersal di WPP 716 Laut Sulawesi dan WPP 712 Laut Jawa T. A. 2012 di Balai Penelitian Perikanan Laut. DAFTAR PUSTAKA Azis, K.A., Muchsin, I. dan Boer, M. 1992. Kajian Dinamika Populasi Ikan-ikan Niaga Utama di Perairan Pantai Barat Bengkulu (Laporan Penelitian, tidak dipublikasikan). Fak. Perikanan IPB. Bogor. Chakraborty, S. K. 1994. Fishery, age, growth, mortality and stock assessment of Priacanthus hamrur Forsskal from Bombay waters. Bull. Cent. Mar. Fish. Res. Ins, 47: 121- 127. [CMFRI] Central Marine Fisheries Research Institute. 2001. Status of exploited marine fisheries of India.Kochi. India.p.152-155. Dwiponggo, A., T. Hariati, S. Banon, M.L. Palomares and D. Pauly. 1986. Growth, mortality and recruitment of commercially important fishes and penaeid shrimps in Indonesian waters. ICLARM Tech. Rep. 17. 91 p. Effendie, M. I. 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. 112 pp -----------. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta. 163 hal. ------------. 2002. Biologi perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta. 163 hlm.59 Food Agricultural Organization, 1999. The living marine mesources of Western Central Pasific. Spesies identification guide for fishery purpose. Department of Biological Sciences Old Dominion. Norfolk University, Virginia. Gulland, J. A., 1983. Fish stock assessment. A manual of basic methods. John Wiley and Sons. New York. 223 p. 151 Ingles, J. & D. Pauly. 1984. An atlas of the growth, mortality and recruitment of Philippine fishes. ICLARM Technical Report 13, 127 p. Lester, R. J. G. & Watson, R. A., 1985. Growth, mortality, parasitism and potential yield of two Priacanthus spp. in the South China Sea. J. Fish. Biol. 27 (3): 307-318. Nugroho D, & R. Rustam, 1983. Penelitian tentang pertumbuhan dan beberapa parameter biologi ikan swanggi (Priacanthus macracanthus) di pantai Utara Jawa. Laporan Penelitian Perikanan Laut. No 27. Hal 9 – 14. Pauly, D. 1983. A selection of simple methods for the assessment of tropical fish stocks. FAO Fish. Circ. 729: 54 pp. Pauly, D. 1984. Some simple methods for the assessment of tropical fish stocks. FAO Fish. Tech. Pap. (234): 52 p. Powell A. B. 2000. Preliminary identification of the early life history stages of Priacanthid fishes of the Western Central Atlantic. US.Departement of Commerce National Marine Fisheries Service. Southeast Fisheries. Science Center Beaufort :101 Pires Island Road Beaufort. Sivakami S, Raje SG, Feroz MK, Shobha JK, Vivekananda E, & R. Kumar 2001. Fishery and biology of Priacanthus hamrur (Forsskal) along the Indian coast. Indian journal of fisheries. 48(3) : 277-289. Sparre, P. & S. C. Venema. 1999. Introduksi pengkajian stok ikan tropis. Badan Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Terjemahan dari Introduction to Tropical fish stock assessment. FAO Fish Tech. Paper. 306.(1) 376 p. Udupa, K. S. 1986. StatisticaL method of estimating the size of first maturity in fish. Fishbyte ICLARM. Manila. Vol 4 No 2. August 1986. 8-1. Walpole, R. E. 1993. Pengantar Statistik. Edisi ke tiga. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Widodo, J. 1988. Population Dynamics and Management of Ikan Layang, Scad Mackerel, Decapterus spp. (Pisces: Carangidae) in The Java Sea. Ph.D. Dissertation. Univ. Wash. Seattle. 150p 152 KAPASITAS PENANGKAPAN PADA PERIKANAN CANTRANG DI BLANAKAN DAN SEKITARNYA Oleh Hufiadi1) , Asep Priatna1) dan Helman Nur Yusuf1) 1) Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut ABSTRAK Salah satu masalah yang dihadapi perikanan tangkap adalah adanya tangkap lebih dan kapasitas lebih. Kapasitas penangkapan berlebih merupakan suatu masalah krisis pada perikanan tangkap. Berkaitan dengan isu kapasitas tersebut, kajian ini dilakukan untuk mengukur kapasitas penangkapan perikanan cantrang di Blanakan dan sekitarnya apakah kondisinya sudah berlebih atau sebaliknya pada kondisi optimal dengan indikator tingkat efisiensi secara teknis. Efisiensi teknis penangkapan dan pemanfaatan kapasitas dari alat tangkap cantrang yang dikaji dianalisis berdasarkan musim penangkapan dengan menggunakan teknik data envelopment analysis (DEA). Terdapat indikasi excess capacity pada perikanan cantrang di Blanakan. Dengan demikian diperlukan perbaikan efisiensi penangkapan cantrang melalui pengurangan variabel input yang berlebih yaitu pada musim Barat mengurangi hari operasi rata-rata 7,6%, ABK 14,6%, BBM 18,1% dan es 26,9%; pada musim Timur hari operasi rata-rata 14,2%, ABK 2,2%, BBM 28,0% dan es 20,8% dan pada musim peralihan mengurangi hari operasi rata-rata 17,6%, ABK 8,4%, BBM 21,1% dan konsumsi es 15,4%. Kata kunci : efisiensi teknis, kapasitas penangkapan, cantrang, Blanakan. PENDAHULUAN Peningkatan tipe, jumlah, ukuran dan efisiensi alat tangkap pada perikanan skala kecil pantai yang bersifat multi species-multigear di negara berkembang ditengarai telah meningkatkan tekanan penangkapan terhadap ketersedian stok ikan. Berbagai cara telah ditempuh untuk meningkatkan kapasitas penangkapan ikan, seperti mekanisasi perahu penangkapan, motorisasi dan penambahan alat bantu lainnya (Wiyono 2005). Sebagai akibatnya, penurunan ketersediaan ikan dan kualitas ekologi di beberapa daerah tidak dapat dihindari dan akibat dari peningkatan kapasitas armada penangkapan di perairan Indonesia telah menimbulkan persoalan 153 yang berkaitan dengan overcapacity dan kelebihan jumlah upaya penangkapan (Berkes, et.al. 2001). Perkembangan kegiatan penangkapan yang tidak terkendali menyebabkan kegiatan perikanan menjadi tidak efisien. Sumber utama dari kerusakan perikanan di beberapa Negara adalah sulitnya mengontrol input (armada perikanan) bagi perikanan, sehingga manajemen perikanan kemudian didekati dengan pengaturan kapasitas penangkapan dari alat tangkap ikan itu sendiri atau istilah dalam FAO adalah management of fishing capacity (FAO, 1995). Blanakan merupakan salah satu wilayah di Kabupaten Subang yang lebih dikenal sebagai salah satu pusat penghasil udang penaeid di pantai utara Jawa. Alat tangkap cantrang menduduki urutan ketiga setelah alat tangkap trammel net dan pukat cincin. Salah satu Pusat Pendaratan Ikan (PPI) Blanakan, merupakan PPI dengan frekuensi kunjungan kapal paling tinggi dibandingkan dengan PPI yang ada di sekitarnya. Sampai dengan akhir tahun 2011, jumlah alat tangkap cantrang yang berbasis di PPI Blanakan yang dikelola KUD Mandiri Mina Fajar Sidik Blanakan, Subang, sebanyak 20% dari total alat tangkap yang dioperasikan nelayan. Untuk mencapai tujuan perikanan tangkap yang berkelanjutan maka perlu dilakukan terobosan dalam kaitan efisiensi input yang digunakan. Efisiensi input sangat berhubungan erat dengan konsep kapasitas penangkapan. Dengan memperhatikan perkembangan dan konstribusi perikanan cantrang Blanakan dan sekitarnya maka diperlukan pengelolaan perikanan tersebut sehingga usaha penangkapannya dapat berkesinambungan. Salah satu metoda pengelolaan perikanan dengan cara mengatur kapasitas perikanan tersebut. Untuk mengetahui perkembangan perikanan cantrang Blanakan yang beroperasi di perairan Laut Jawa, BPPL telah melakukan kegiatan kajian kapasitas penangkapan perikanan cantrang, guna mengetahui nilai efesiensi teknisnya. Tujuan penelitian adalah untuk menentukan tingkat efisiensi teknis dan kapasitas penangkapan perikanan cantrang (bottom seine) di perairan Laut Jawa dengan studi kasus cantrang Blanakan dan sekitarnnya. 154 BAHAN DAN METODE Analisis laju tangkap berupa catch per-unit effort terhadap perikanan cantrang selama kurun waktu 2010-2012. Penghitungan CPUE (Catch per Unit Effort) dengan menggunakan rumus Sparre and Venema, 1999 : CPUE Catch Effort .................................................................................................. (1) Dimana CPUE : Catch per unit Effort Catch : Jumlah hasil tangkapan (ton) Effort : Jumlah upaya ( trip, upaya) Sumber data yang dijadikan untuk menilai tingkat efisiensi penangkapan antar kapal cantrang adalah data dari catatan enumerator berupa pengoperasian cantrang selama tahun 2012. Data dianalisis dengan Data Envelopment Analysis (DEA) dengan pendekatan BCC (Cooper et al. 2004). Penghitungan pemanfaatan kapasitas penangkapan perikanan cantrang dilakukan dengan pendekatan multi output yaitu berdasarkan produksi hasil tangkapan ikan dominan (coklatan, kuniran, kurisi dan ikan linnya) pada musim Timur, Barat dan musim Peralihan. Analisis nilai efisiensi teknis diperoleh melalui perhitungan dengan teknik DEA yaitu dengan formula (Fare et al., 1989): TE Max 1 ......................................................................................................... , z , (2) subject to J 1 u jm z j u jm , (output dibandingkan DMU) j 1 J z j 1 j x jn x jn , n xf 155 J z j 1 j x jn jn x jn , n xv z j 0, j 1,2,..., J , jn 0, n 1,2,..., N , dimana zj adalah variable intensitas untuk jth pengamatan; 1 nilai efisiensi teknis atau proporsi dengan mana output dapat ditingkatkan pada kondisi produksi pada tingkat kapasitas penuh; dan *jn adalah rata-rata pemanfaatan variable input (variable input utilization rate, VIU), yaitu rasio penggunaan inputan secara optimum xjn terhadap pemanfaatan inputan dari pengamatan xjn. Kapasitas output pada efisiensi teknis (technical efficiency capacity output,TECU) kemudian didefinisikan dengan menggandakan 1* dengan produksi sesungguhnya. Pemanfaatan kapasitas (CU ) , berdasarkan pada output pengamatan, kemudian dihitung dengan persamaan berikut: TECU u 1*u 1 1* ..................................................................................................... (3) HASIL DAN PEMBAHASAN 1 Perikanan cantrang Berdasarkan kriteria ukuran kapal cantrang di Blanakan dan sekitarnya dikategorikan sebagai berikut; 5 - 10 GT, 10-20 GT dan 20 – 30 GT, (KUD Mina Fajar Sidik, 2012). Karakteristik ukuran kapal berpengaruh terhadap jumlah hari di laut (trip penangkapan). Berdasarkan kriteria ukuran kapal, lama hari operasi di laut dalam satu trip masing-masing 5 hari untuk kapal ukuran 5-10 GT, 8 hari (10-20 GT) dan 15 sampai 20 hari untuk kapal berukuran 20-30 GT. Dalam satu hari operasi jaring cantrang dioperasikan umumnnya antara 7-10 kali tawur (setting). Identifikasi terhadap sampel jaring cantrang yang berbasis di PPI Blanakan diperoleh data sebagai berikut: panjang tali ris atas (Head rope) mencapai 23 m, 156 menggunakan 1 buah tali PA Ø 15 mm. Deskripsi rancang bangun jaring cantrang disajikan dalam Lampiran 1. 2 Produksi dan laju tangkap Dari sejumlah alat tangkap yang ada, unit penangkapan cantrang menduduki urutan ketiga, setelah pukat cincin dan pancing dalam konstribusi terhadap produksi ikan yang didaratkan di PPI Blanakan (Gambar 1). Sumber, KUD Mina Fajar Sidik, Blanakan 2011 Gambar 1. Perkembangan produksi ikan per alat tangkap di Blanakan, tahun 20082011 Berbagai jenis ikan baik demersal, udang maupun pelagis tertangkap oleh alat tangkap cantrang. Jenis ikan yang dominan tertangkap adalah ikan pepetek (Leiognathidae), kuniran (Upeneus spp), swanggi (Priacanthus spp), kurisi (Nemipterus spp), kapasan (Pentrapion spp). Jenis ikan lain adalah biji nangka, kurisi, senangin, bloso, cucut, pari bawal, ikan sebelah. Biota lain yang tertangkap cantrang adalah cumi-cumi, udang krosok, udang dogol, banana, sotong, rajungan, tembang, ubur-ubur. Hasil analisis data upaya (trip) dan produksi (ikan demersal) perikanan cantrang yang berbasis di Blanakan tahun 2010-2012 diperoleh nilai laju tangkap rata-rata sebesar 5276 kg/trip, laju tangkap terhadap perbekalan es diperoleh rata-rata 1,1 kg ikan/1 kg es, sementara laju tangkap terhadap BBM sebesar 9,3 kg/liter BBM. 157 Gambar 2. Laju tangkap cantrang Blanakan, Subang realisasi penangkapan periode tahun 2010-2012 3 Musim dan daerah penangkapan cantrang Daerah penangkapan cantrang pada perairan dengan kedalaman antara 15 – 30 meter. Dasar perairan yang dikehendaki adalah pasir berlumpur dan tidak berkarang. Lokasi penangkapan tergantung dari dimensi kapal cantrang. Armada cantrang dengan ukuran 5-10 GT jarak daerah penangkapan sekitar 30 mil utara Indramayu, Subang-Karawang. Sementara kapal cantrang dengan ukuran 20-30 GT rata-rata hari operasi sekitar 20 hari dengan daerah penangkapan mencapai perairan selatan Kep. Bangka-Belitung, timur Lampung, dan selatan Kalimantan bagian barat. (Gambar 3). Gambar 3. Daerah penangkapan kapal cantrang Blanakan 158 7.1.5 Efisiensi teknis perikanan cantrang Analisis efisiensi antar kapal cantrang di daerah Blanakan, dihitung dengan pendekatan multi output (berdasarkan tangkapan ikan coklatan, kurisi, kuniran dan ikan lainnya). Penilaian kapasitas penangkapan berdasarkan data oprasional beberapa kapal cantrang yang berbasis di Blanakan. Berdasarkan penghitungan DEA dengan multi output terhadap kapal cantrang yang berbasis di Blanakan, Subang, Jawa Barat diperoleh angka efisiensi yang optimal dutunjukkan oleh beberapa armada dengan nilai efisiensi (TE) mencapai 1,00. Hasil penghitungan dugaan tingkat pemanfaatan atau tingkat efisiensi armada cantrang pada musim Barat diperoleh rata-rata 0,94. Distribusi nilai pemanfaatan kapasitas (CU) dari 76 sampel kapal yang beroperasi pada beberapa daerah penangkapan pada musim Barat, terdapat 26 kapal (34%) berada pada tingkat pemanfaatan optimal yang ditandai dengan nilai efisiensi mencapai 1,00 dan armada yang lainnya 50 armada (66%) berada pada tingkat tidak optimal yang ditandai dengan pencapaian nilai efisiensi < 1,00 (Gambar 4). Gambar 4. Efisiensi kapal cantrang Blanakan pada musim Barat Distribusi nilai pemanfaatan kapasitas penangkapan (CU) pada musim Timur, dari 86 sampel kapal terdapat 56 kapal (65%) berada pada tingkat pemanfaatan yang 159 optimal dan yang lainnya 30 armada (35%) tidak optimal. Berdasarkan nilai rata- rata efisiensi armada cantrang pada musim Timur diperoleh sebesar 0,93. Tingkat efisiensi masing masing armada seperti pada Gambar 5. Gambar 5. Efisiensi kapal cantrang Blanakan pada musim Timur Hasil penghitungan kapasitas penangkapan (CU) armada cantrang pada musim Peralihan diperoleh nilai efisiensi rata-rata 0,89. Distribusi pemanfaatan kapasitas dari 84 sampel kapal pada musim Peralihan diperoleh 44 kapal (52%) berada pada tingkat pemanfaatan optimal dan yang lainnya 40 armada (48%) berada pada tingkat yang tidak optimal yaitu secara detail perolehan skor efisiensi < 0.70 sebanyak 11 armada (13%), > 0.70 sebanyak 29 kapal (34,5%) dan skor efisiensi = 0.1 berjumlah 44 kapal (52.4%) (Gambar 6). Gambar 6. Efisiensi kapal cantrang Blanakan pada musim peralihan 160 Tingkat pemanfaatan variabel input (VIU) pada musim Barat, Timur dan Musim peralihan diperoleh nilai rata-rata VIU >0,90. Secara umum cantrang Blanakan dalam pemanfaatan variabel input pada ketiga musim tersebut sebagian besar berada pada tingkat pemanfaatan yang efisien yang ditandai oleh sebagian besar pencapaian nilai VIU =1,0 (Gambar 7). Gambar 7. Distribusi pemanfaatan variabel input cantrang Blanakan Kondisi faktual penangkapan ikan demersal dengan cantrang di Blanakan, Subang sebagian besar armada dalam pengoperasian penangkapan telah mencapai kapasitas yang optimal. Dalam hal ini, jumlah trip, hari operasi di laut (HOP), BBM, Es, ABK, dan biaya perbekalan Es merupakan variabel yang dapat dijadikan instrumen pengendalian kapasitas. Efisiensi kapal-kapal cantrang dapat ditingkatkan efisiensinya pada musim Barat dengan mengurangi hari operasi (HOP) rata-rata 7,6%, ABK 14,6%, BBM 18,1% dan konsumsi es 26,9%; pada Musim Timur dapat mengurangi operasi (HOP) rata-rata 14,2%, ABK 2,2%, BBM 28,0% dan konsumsi es 20,8%; pada musim Peralihan perlu mengurangi hari operasi 17,6%, ABK 8,4%, BBM 21,1% dan konsumsi es 15,4%. BAHASAN Dalam satu dekade terakhir, cantrang merupakan alat tangkap yang memberikan konstribusi terbesar bagi produksi ikan demersal di wilayah utara Jawa. Pada tahun 2011 perikanan cantrang di Blanakan memberikan konstribusi produksi tertinggi dengan jumlah produksi 5.600 ton. Kapal cantrang ukuran 20-30 GT yang 161 berbasis di PPI Blanakan memiliki nilai laju tangkap 5.200 kg/trip pada tahun 2012. Selain faktor kondisi daerah penangkapan dan ketersediaan sumberdaya nilai laju tangkap cantrang secara teknis dipengaruhi faktor panjang ris atas yang berpengaruh terhadap bukaan mulut jaring. Sampai saat ini perikanan cenderung mengalami perkembangan baik dari segi jumlah, ukuran kapal maupun sistem operasinya. Atmaja (2010) dalam penelitiannya tentang perikanan pukat cincin Laut Jawa bahwa dengan menurunnya hasil tangkapan per satuan upaya, sebagian armada pukat cincin mengalihkan usahanya ke perikanan cantrang. Kapal cantrang dengan ukuran 20-30 GT yang saat ini mendominasi di Blanakan, dalam satu trip penangkapan mencapai 15-20 hari operasi. umumnya semakin besar ukuran kapal, maka lokasi penangkapan akan semakin jauh. Meningkatnya jumlah hari operasi dalam trip penangkapan erat hubungannya dengan semakin besarnya ukuran kapal cantrang. Semakin besarnya ukuran kapal, kondisi cuaca nampaknya bukan lagi menjadi faktor pembatas dalam operasi penangkapan. Hal ini sangat berpengaruh terhadap komponen-komponen operasional seperti jumlah BBM, ABK, perbekalan dan lain-lain. Kisaran panjang tali ris atas antara 15 m hingga 36 m, bahan jaring adalah polyethelene dengan ukuran mata jaring di bagian kantong ¾ inchi. Ukuran mata jaring yang terlampau kecil, khususnya di bagian kantong menjadikan cantrang tergolong alat tangkap yang bersifat tidak selektif. Berdasarkan Permen KP 02/2011, ukuran mata jaring bagian kantong yang diijinkan minimal > 2 inchi. Perbandingan relatif tingkat pemanfaatan kapasitas penangkapan cantrang Blanakan, Subang, Jawa Barat, berdasarkan pada musim penangkapan selama tahun 2012 menggunakan multi output (ikan coklatan, kuniran, kurisi dan ikan lainnya), menunjukkan bahwa rata-rata tingkat pemanfaatan kapasitas penangkapan (CU) pada musim Barat, Timur dan musim Peralihan sebagian besar kapal dalam memanfaatkan input yang digunakan untuk usaha menangkap ikan secara efisien yang ditandai oleh nilai efisiensi teknis (TE) mencapai 1,00. Hal tersebut menanunjukkan bahwa sebagian besar nelayan cantrang, telah memanfaatkan kapasitas penangkapan secara optimal terhadap potensi ikan yang ada, sehingga efisien dalam usaha 162 penangkapannya. Sementara beberapa kapal yang pencapaian nilai efisiensinya < 1,00 menunjukkan tidak efisien dan telah terjadi kelebihan kapasitas input, sehingga kapal tersebut perlu mengurangi inputan yang berlebih untuk meningkatkan nilai efisiensi penangkapannya. Jika kapasitas perikanan dikendalikan maka produksi perikanan cantrang sebenarnya mampu ditingkatkan mencapai produksi yang optimal. Misal berdasarkan hasil analisis multi output yang sesuai kapasitas perikanan cantrang yang berbasis di Blanakan pada musim Barat, Timur dan musim Peralihan masing-masing adalah 7%, 7% dan 6% lebih besar dari produksi aktual. Sehingga berdasarkan pendekatan musim tersebut (Barat, Timur dan Peralihan) masing masing mengurangi kapasitas sebesar 6%, 7% dan 6% akan memungkinkan output saat ini diproduksi optimal secara ekonomi. Berdasarkan tingkat pemanfaatan input variabel menunjukkan bahwa pada musim Barat, Timur dan musim Peralihan telah terjadi surplus penggunaan input sehingga perlu mengurangi input tersebut (Fare et al. 1994). Untuk meningkatkan efisiensi kapasitas penangkapan kapal cantrang yang berbasis di Blanakan, secara teknis dapat ditingkatkan efisiensinya pada musim Barat, Timur dan musim Peralihan dengan cara mengurangi pada input variabel yang berlebih terutama trip, hari operasi (HOP), BBM, es, ABK dan perbekalan yang menjadi instrument dalam pengendalian kapasitas penangkapan cantrang Blanakan. KESIMPULAN Berdasarkan tingkat efisiensi bahwa adanya kelebihan kapasitas (excess capacity) pada beberapa armada cantrang di Blanakan. Tingkat efisiensi penangkapan pada ketiga musim dapat dilakukan dengan mengurangi jumlah hari operasi di laut yang dapat berimplikasi pula pada berkurangnya konsumsi BBM dan es. PERSANTUNAN Kegiatan dari hasil riset kapasitas penangkapan cantrang pada perikanan demersal di Laut Jawa serta pukat cincin pada perikanan cakalang dan pelagis di Laut Sulawesi 163 DAFTAR PUSTAKA Atmadja,S.B, & B. Sadhotomo. 1985. Aspek operacional pukat cincin di Laut Jawa. J.Lit. Perika. Laut. BPPL. Jakarta. (32): 65-72. Berkes FR. Mahon P. MicConney R. Pollnac & Pomeroy R. 2001. Managing SmallScale Fisheries: Alternative Directions Methods. IDRC. Ottawa. Cooper WC, Seiford, LM, Tone, Kaoru. 2004. Data Envelopment Analysis. Massachusets: Kluwer Academic Publisher. Fare, R. S., S. Grosskopf, & E. Kokkelenberg. 1989. Measurring Plant Capacity Utilization and Technical Change: A Nonparametric Approach. Int. Econ. Rev. 30: 655-666. Fare R, Grooskopf S, Lovel CAK. 1994. Production Frontiers. United Kingdom: Cambride University Press. 296p Food & Agricultural Organization. Fisheries. Rome. (1995) Code of Conduct for Responsible KUD Mina Fajar Sidik, 2012. Rekapitulasi Keberangkatan kapal Di Pos Pengawasan Sumber daya Kelautan dan Perikanan (SDKP) Blanakan Subang. Jawa Barat. Purwanto & D. Nugroho. 2011. Daya tangkap kapal pukat cincin dan upaya penangkapan pada perikanan pelagis kecil di Laut Jawa. J.Lit. Perikan. Ind. 17 (1): 23-30. Sadhotomo, B., S.Nurhakim, & S. B. Atmadja. 1986. Perkembangan komposisi hasil tangkapan dan laju tangkap pukat cincin di Laut Jawa. J.Lit. Perikan. Laut. BPPL. Jakarta. (35): 101-109 Sparre, P. & S.C.Venema. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Buku I: Manual. Food and Agriculture Organisation. UNO. 438 pp. Wiyono, E.S. 2005. Perspektif baru dalam pengelolaan sumberdaya ikan. Edisi Vol.3/XVII/Maret 2005-Nasional. (http:\\io.ppi-jepang.org.article.php). 164 Deskripsi rancang bangun cantrang di Blanakan, Subang Ris atas Ø 15 mm, P 23 m 80 # 90 # 100 # Ris bawah Ø 15 mm, P 24 m Lampiran 1. 115 # 125 # 8,25 “100 “ 8,25 “100 “ 8,25 “100 38 5” “ 400 # D15 5” 400 # D12 4” 3,5” 400 # D12 400 # D12 3” 410 # D9 D9 2,5” 380 # D9 D9 D9 2,25 ”90 2” 342 # 1,75 ” 1,5” 300 # 248 # 200 # 1” 200 # D12 150 150 ¾” Keterangan: Pemberat timah 50 – 60 kg, @ 200 gr. Bahan PE d9, d 12 dan d 15 Mata jaring (mesh size), sayap 8,25 inci, mulut 5 inci, badan 4 - 2 inci, kantong 1-3/4 inci 165 KOMPOSISI HASIL TANGKAPAN DAN HASIL PER UNIT UPAYA (CPUE) CANTRANG DI PERAIRAN UTARA JAWA Oleh Baihaqi1) dan Hufiadi1) 1) Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut Email : [email protected] ABSTRAK Penelitian beberapa aspek penangkapan alat tangkap cantrang dilakukan pada bulan September 2012 di Perairan Brondong, Lamongan, Jawa Timur. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode survei melalui kegiatan observasi dengan mengikuti kegiatan nelayan, Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mendapatkan informasi mengenai komposisi hasil tangkapan, CPUE, musim dan daerah penangkapan. Hasil penelitian menunjukkan hasil tangkapan cantrang didominasi oleh jenis ikan Leiognathidae (petek) sebesar lebih dari 45% hasil tangkapan, diikuti oleh Nemipteridae (kurisi) sebesar 19% dan sisa lainnya sebesar 37% yang berasal dari jenis ikan – ikan yang lain. Hasil tangkapan cantrang per trip CPUE berkisar antara 150 – 900 kg/ trip dengan rata – rata laju tangkap 44.26 kg/ tawur. Musim penangkapan armada cantrang adalah pada bulan Maret – Mei, Agustus dan Oktober – Desember dan daerah penangkapan berjarak sekitar 20 mil dari pantai dengan jarak tempuh sekitar 3 jam. Kata Kunci : Cantrang, laju tangkap, komposisi hasil tangkapan, musim dan daerah penangkapan. PENDAHULUAN Sejak dihapusnya ijin penggunaan alat tangkap pukat harimau (trawl) melalui Keppres No. 39/ Tahun 1980, nelayan kembali mengembangkan alat-alat tangkap konvensional yang pernah ada untuk menangkap jenis-jenis ikan demersal dan udang. Alat tangkap konvensional yang dimaksud antara lain; jaring insang dasar (bottom gillnet), jaring trammel (trammel net), jaring dogol/cantrang (bottom seine), pancing rawai dasar (bottom long line) dan bubu (trap). Perkembangan alat tangkap meliputi jumlah, dimensi, rancang bangun, konstruksi dan cara pengoperasian dan bahkan sistem operasinya cenderung kurang mengindahkan kaidah bagi pengelolaan perikanan berkelanjutan. Perikanan cantrang yang dalam satu dekade terakhir berkembang begitu pesat, merupakan alat tangkap tradisional yang telah lama dioperasikan di Laut Jawa. Sebelum tahun 1980 jaring cantrang dioperasikan dengan menggunakan 167 kapal berukuran relatif kecil, yaitu kurang dari 5 GT. Pengoperasian jaring sepenuhnya menggunakan tenaga manusia, baik dalam menggerakan kapal maupun saat operasi penangkapan (pengoperasian jaring). Pengembangan usaha perikanan tangkap telah memungkinkan terjadinya perubahan teknologi perikanan tangkap di wilayah Laut Jawa, termasuk cantrang yang merupakan alat tangkap alternatif yang telah mampu menggantikan trawl sebagai alat tangkap ikan demersal. Gardan/kapstan sebagai alat bantu penarik jaring digunakan pada tahun 1987, selain itu gardan juga digunakan untuk menarik tali slambar. Dengan adanya gardan, cantrang akhirnya dimodifikasi menjadi alat tangkap aktif dengan cara ditarik dengan sebuah perahu atau kapal. Alat tangkap cantrang sangat efektif untuk menangkap sumberdaya ikan demersal (Suhendrata dan Badrudin, 1990). Ukuran kapal yang digunakan untuk mengoperasikan cantrang untuk saat ini sangat bervariasi, mulai dari 5 GT hingga mencapai lebih dari 50 GT. Khusus di wilayah pantai utara Jawa, perikanan cantrang merupakan unit penangkapan yang mengalami perkembangan cukup pesat. Dalam satu dekade terakhir, cantrang merupakan alat tangkap yang memberikan konstribusi terbesar bagi perikanan demersal di wilayah utara Jawa. Salah satu wilayah yang menjadi basis perkembangan cantrang di Perairan Utara Jawa yaitu PPN Brondong, Lamongan, Jawa Timur. Berdasarkan waktu pengoperasian dalam setiap trip, armada cantrang yang berbasis di PPN Brondong terdapat 2 jenis yakni, armada cantrang harian (one day fishing) dan armada cantrang mingguan. Fokus penelitian melalui kegiatan observasi dilaksanakan pada armada cantrang harian (one day fishing) dan tujuan dari penulisan ini adalah untuk mendapatkan informasi mengenai komposisi hasil tangkapan, hasil tangkapan per unit upaya (CPUE) serta daerah dan musim penangkapannya. METODOLOGI Pengumpulan data Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode survei melalui kegiatan observer di laut. Periode pengumpulan data dilakukan pada bulan 168 September 2012. Kegiatan observer dilakukan pada unit kapal cantrang yang bernama KM. Sri Klumpuk (GT 6), mempunyai ukuran P = 10 m, L = 3 m dan D = 2.2 m. Mesin yang digunakan ada 2 macam yaitu mesin utama dan mesin bantu. Mesin utama dan mesin bantu yang digunakan berupa mesin donfeng 30 PK, begitu juga dengan mesin gardan yang digunakan yakni donfeng 30 PK. Sedangkan jaring cantrang yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 1. Panjang tali ris atas 51 m;tali ris bawah 52 m Gambar 1. Desain alat tangkap cantrang di PPN Brondong Analisis Data Hasil tangkapan per unit upaya (CpUE) dihitung menggunakan rumus Sparre and Venema (1997) sebagai berikut : CpUE Catch Effort , dimana : CpUE : Catch per unit Effort 169 Catch : hasil tangkapan (g, kg, t) Effort : Jumlah upaya (hari, trip, unit) Pola musim penangkapan ditentukan dengan Metode Persentase Rata-rata (The Average Percentage Methods) yang didasarkan pada Analisis Runtun Waktu (Times Series Analysis) sesuai dengan rumus Spiegel,M.R (1961) sebagai berikut : 1. Hasil tangkapan per upaya tangkap (CPUE = Catch Per Unit of Effort = U) per bulan (Ui) dan rata-rata bulanan CPUE dalam setahun ( U ) dihitung dengan rumus:. U 1 m U i m i 1 ……………….….......................................................……. (1) U = CPUE rata-rata bulanan dalam setahun (ton/unit) Ui = CPUE per bulan (ton/unit) m = 12 (jumlah bulan dalam setahun) 2. Up adalah rasio Ui terhadap U yang dinyatakan dalam persen : Up Ui x 100 % …........................................................……………..… (2) U 3. Indeks Musim Penangkapannya dihitung dengan rumus : IMi = 1 t U p ..........................................................……….………….. (3) t i 1 IMi = Indeks Musim ke i t = Jumlah tahun dari data Penentuan musim ikan ditentukan berdasarkan indeks, yaitu : a. Jika indeks musim lebih besar atau sama dengan satu (≥ 1) berarti pada waktu tersebut merupakan musim penangkapan ikan. b. Jika indeks musim lebih kecil dari satu (< 1) maka pada waktu tersebut bukan musim penangkapan ikan. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Komposisi Hasil Tangkapan Komposisi hasil tangkapan cantrang diperoleh lebih dari 10 jenis ikan yang sebagaian besar ikan demersal (Tabel 1). Komposisi hasil tangkapan cantrang didominasi oleh jenis Leiognathidae sekitar 45,47 % dan terendah adalah 170 udang sekitar 0,19 %. Ikan pelagis yang tertangkap adalah jenis Carangidae (dominan Carangoides sp) sekitar 1.99 % dan hasil tangkapan non ikan yakni dari jenis cumi – cumi (loligi sp) sekitar 1.39 %. Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan Achmad (2010) dan Noveldesra (2010) di perairan Brondong, menunjukkan bahwa Leiognathidae mendominasi hasil tangkapan armada cantrang di perairan Brondong sekitar 36,19 %. Berbeda halnya armada cantrang di PPP Tegalsari (Mahiswara et al. 2012) menunjukkan hasil tangkapan armada cantrang didominasi oleh tangkapan kuniran (Upeneus spp), hal ini menunjukkan bahwa daerah penangkapan yang berbeda berpengaruh terhadap komposisi hasil tangkapan. Dimana daerah penangkapan armada cantrang yang berbasis di PPP Tegalsari berada disekitar selatan Kalimantan (Perairan Utara Jawa bagian Barat), sedangkan armada cantrang yang berbasis di PPN Brondong berada di Perairan Utara Jawa bagian Timur. Menurut Widodo (1980), menyatakan bahwa perairan Laut Jawa bagian Barat terdapat jenis ikan demersal yang mempunyai daerah penyebaran merata dari kedalaman 20 – 80 m, diantara nya adalah kuniran (Upeneus spp), kurisi (Nemipterus spp) dan beloso (Saurida spp). Tabel 1. Komposisi hasil tangkapan cantrang di PPN Brondong No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Jenis Ikan PRIACANTHIDAE (swanggi) NEMIPTERIDAE (kurisi) CARANGIDAE (kuwe) DIODONTIDAE (Buntal) GERREIDAE (kapasan) LEIOGNATHIDAE (petek) MULLIDAE (kuniran) TRICHIURIDAE (layur) SQUIDS (Cumi) SHRIMP (Udang) IKAN RUCAH (Lainnya) Total Hasil Tangkapan Kg % 272.00 9.48 552.00 19.23 57.00 1.99 38.00 1.32 130.00 4.53 1,305.00 45.47 120.00 4.18 12.00 0.42 40.00 1.39 5.50 0.19 338.50 11.79 2,870.00 100 Menurut Burhanuddin et.al (1984) menyatakan bahwa kurisi kecil hidup di perairan pantai yang dangkal, sedangkan kurisi berukuran besar hidup sampai 171 kedalaman 60 m. Demikian halnya dengan ikan petek, menurut Nontji (1987) menyatakan bahwa ikan petek hidup bergerombol pada perairan yang dangkal. Beck dan Sudrajat (1978) menegaskan bahwa nilai tangkapan tertinggi ikan petek diperoleh pada kedalaman perairan antara 10 – 20 m. 2. Hasil Per Unit Upaya (CPUE) Selama kegiatan observasi pada bulan September 2012, pengoperasian cantrang dilakukan sebanyak 8 trip dengan armada cantrang one day fishing. Jumlah hasil tangkapan total per trip cukup berfluktuasi, begitu juga jumlah tawur masing – masing trip juga berbeda (Gambar 2 dan Gambar 3). Rata – rata hasil tangkapan cantrang setiap tripnya adalah 358,75 kg/trip, hasil tangkapan tertinggi terjadi pada trip hari pertama sebesar 900 kg (14 tawur) dan terendah pada trip ke7 sebesar 150 kg (7 tawur). Senada dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ernawati dan Sumiono (2009) di perairan Tegal, bahwa rata - rata tangkapan armada cantrang berkisar 333,6 kg/ hari pada tahun 2006 dan 424 kg/ hari pada tahun 2007. Berbeda dengan hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Achmad (2010) dan Noveldesra (2010) pada bulan Mei, menunjukkan bahwa hasil tangkapan cantrang di Perairan Brondong berkisar 552,5 kg/ hari, tampaknya hal ini dipengaruhi oleh musim penangkapan armada cantrang, dimana pada bulan Mei merupakan musim penangkapan armada cantrang, sedangkan observasi dilaksanakan pada bulan September yang merupakan bulan paceklik bagi perikanan cantrang. Berdasarkan perubahan – perubahan hasil tangkapan setiap tripnya, tampaknya jumlah tawur berpengaruh terhadap perolehan hasil tangkapan, selain itu hasil tangkap juga dipengaruhi oleh cuaca. Kondisi saat dilakukan kegiatan obsevasi adalah musim peralihan, dan ini menyebabkan cuaca yang tidak menentu setiap hari. Hal ini senada dengan hasil penelitian Ernawati dan Sumiono (2009), yang menyatakan bahwa perubahan cuaca sangat berpengaruh terhadap keberhasilan hasil tangkapan cantrang. Selain itu menurut Gunarso (1985), perubahan cuaca seperti terjadinya topan dapat mempengaruhi ruaya serta keberadaan ikan pada suatu wilayah perairan. Topan dapat menyebabkan terjadinya turbulensi dan ikan biasanya akan menghindari kondisi seperti ini karena sedimen laut yang terangkat dapat merusak filamen insang ikan. 172 Dampak perubahan cuaca, selain mempengaruhi keberadaan sumberdaya, juga berpengaruh terhadap keberhasilan pengoperasian alat tangkap. ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan pengoperasian alat tangkap cantrang, diantaranya: Kecepatan penarikan jaring waktu pengoperasian alat tangkap Arus yang berpengaruh terhadap pergerakan ikan dan alat tangkap, dimana tingkah laku ikan biasanya bergerak berlawanan dengan arah arus sehingga mulut jaring harus berlawanan dengan arah pergerakan ikan. Arah angin yang mempengaruhi pergerakan kapal pada saat operasi penangkapan. Gambar 2. Hasil Tangkapan Cantrang Per Trip. Gambar 3. Jumlah Tawur Cantrang Per Trip. 173 Total hasil tangkapan selama 8 trip sebesar 2.870 kg, dengan total jumlah tawur yang dilakukan sebanyak 62 kali tawur (rata – rata 7 hingga 8 kali per trip). Rata – rata laju tangkap adalah sebesar 44, 26 kg/ tawur dan waktu setiap kali tawur selama 30 menit, dengan demikian didapatkan nilai rata – rata laju tangkap cantrang sebesar 88,52 kg/ jam. Laju tangkap tertinggi terjadi pada trip ke-1 dan ke-5 sebesar 64.29 kg/ tawur atau 128.58 kg/ jam, sedangkan laju tangkap terendah terjadi pada trip ke-7 sebesar 21.43 kg/ tawur atau 42.86 kg/ jam (Gambar 4 dan Gambar 5). Gambar 4. Rata-rata Laju Tangkap Cantrang di Perairan Brondong, Jawa Timur Gambar 5. Rata-rata Laju Tangkap (kg/jam) Cantrang di Perairan Brondong, Jawa Timur Hasil penelitian sebelumnya di PPP Tegalsari (Mahiswara, et al. 2012), menunjukkan bahwa laju tangkap armada cantrang berkisar antara 90,6 – 150,1 kg/ tawur, tampaknya perbedaan laju tangkap antara perairan Brondong dan Tegal 174 dipengaruhi oleh perbedaan daerah penangkapan. Selain itu, armada cantrang yang beroperasi di PPP Tegalsari merupakan armada cantrang mingguan dengan ukuran alat tangkap dan armada penangkapan yang lebih besar dibandingkan alat tangkap cantrang harian di perairan Brondong. 3. Musim dan Daerah Penangkapan Berdasarkan pencatatan daerah penangkapan armada cantrang menggunakan alat bantu GPS, diketahui bahwa daerah penangkapan kapal cantrang pada waktu observasi laut berjarak kira – kira 20 mil dari pantai dengan waktu tempuh sekitar 3 (tiga) jam dan kedalaman 20 – 30 m. Posisi daerah penangkapan dapat dilihat pada Gambar 6. Gambar 6. Daerah penangkapan armada cantrang di PPN Brondong Musim penangkapan armada cantrang yang didasarkan pada nilai indeks musim penangkapan menunjukkan bahwa musim penangkapan terjadi pada bulan Maret – Mei, Agustus dan Oktober – Desember. Hal ini dapat terlihat dari nilai IMP diatas 100%. Sedangkan musim paceklik terjadi diluar bulan tersebut (Gambar 7). Hasil observasi yang telah dilakukan pada bulan September, menunjukkan bahwa rata – rata laju tangkap berada di bawah rata – rata tangkapan cantrang setiap tahun. Hal ini menunjukkan bahwa bulan September merupakan musim paceklik bagi perikanan cantrang di perairan Brondong. 175 Gambar 7. Musim penangkapan armada cantrang di PPN Brondong KESIMPULAN Komposisi hasil tangkapan cantrang didominasi ikan demersal dari jenis Leiognathidae sekitar 45,47 % dan terendah adalah udang sekitar 0,19 %. Ikan pelagis yang tertangkap adalah jenis Carangidae (dominan Carangoides sp) sekitar 1.99 % dan hasil tangkapan non ikan yakni dari jenis cumi – cumi (loligi sp) sekitar 1.39 %. Hasil tangkapan per unit upaya cantrang yang berbasis di PPN Brondong berkisar 21,43 – 64.29 kg/ tawur atau 44.86 – 128.56 kg/ jam. Daerah penangkapan cantrang berjarak sekitar 20 mil dari pantai dengan jarak tempuh selama 3 (tiga) jam dan kedalaman 20 – 30 m. Musim penangkapan cantrang berlangsung selama bulan Maret – Mei, Agustus dan Oktober – Desember. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan bagian dari kegiatan Riset Kapasitas PEnangkapan Cantrang pada Perikanan Demersal di Laut Jawa Serta Pukat Cincin pada Perikanan Cakalang dan Pelagis di Laut Sulawesi. 176 DAFTAR PUSTAKA Anonymous, 2012. Buku Laporan Tahunan Produksi Perikanan di PPN Brondong Tahun 2007 - 2011. Lamongan. Jawa Timur. Achmad A. L, 2010. Komposisi Hasil Tangkapan Cantrang di Perairan Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Skripsi. Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Beck, U. And A.Sudradjat., 1979. Variation in size and compositionof demersal trawl catches from the north coast of Java with estimated growth parameters fro three important food-fish species. Special Report. Contrib. of Dem.Fish.Pro. No. 7-1979. LPPL-GTZ. Burhanuddin., S. Martosewojo., A.Djamali dan R. Moeljanto. 1984. Perikanan Demersal di Indonesia. LON – LIPI, Jakarta. Ernawati, T. dan B. Sumiono. 2009. Fluktuasi Bulanan Hasil Tangkapan Cantrang yang Berbasis di Pelabuhan Perikanan Pantai Taegalsari Kota Tegal. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Gunarso, W. 1985. Tingkah Laku Ikan dalam Hubungannya dengan Alat, Metoda dan Taktik Penangkapan. Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan, Insitut Pertanian Bogor. Bogor. Mahiswara, et al. 2012. Pengkajian Kapasitas Penangkapan Cantrang Pada Perikanan Demersal Di Laut Jawa Serta Pukat Cincin Pada Perikanan Cakalang Dan Pelagis Di Laut Sulawesi. Laporan Teknis Riset. Balai Riset Perikan Laut. Jakarta. Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan, Jakarta. 367 hal. Noveldesra S. 2010. Kajian Teknis Pengoperasian Cantrang di Perairan Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Skripsi. Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suhendrata, T., dan M. Badrudin., 1990. Sumber Daya Perikanan Demersal di Perairan Pantai Utara Rembang. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. No 54. BPPL. Jakarta Sparre, P. and Venema, S.C. 1997. Introduction to tropical fish stock assessment. Part 1. Fisheries Technical Paper. Rome: FAO Spiegel, M. R., 1961. Theory and Problems of Statistics. New York: Schaum Publ. Co. Widodo, J. 1980. Potensi dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Demersal di Laut Jawa di Luar Kedalaman 20 meter. Tesis. Program Studi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 177 MUSIM PENANGKAPAN, LAJU TANGKAP DAN KOMPOSISI HASIL TANGKAPAN IKAN DEMERSAL DI LAUT JAWA Oleh Nurulludin1) dan Muhammad Taufik1) 1) Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut Email: [email protected] ABSTRAK Informasi aspek penangkapan ikan demersal salah satu faktor keberhasilan penangkapan dan diharapkan dapat membantu para pelaku usaha perikanan dalam agar lebih efektif. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui musim penangkapan, laju tangkap dan komposisi hasil tangkapan ikan demersal di Laut Jawa. Penelitian dilaksanakan selama 6 (enam) trip laut pada bulan Januari Oktober 2012. Data primer diperoleh dengan pencatatan langsung di lapangan yang dilakukan enumerator pada kapal cantrang besar yang beroperasi 20 – 25 hari. Hasil penelitian menunjukkan musim penangkapan terjadi pada sekitar bulan Maret, bulan Agustus dan bulan November. Hasil tangkapan tinggi terjadi pada trip ke-3 ( 23 Maret – 18 April ) sebesar 35.567 kg/trip, sedangkan terendah terjadi pada periode operasi 7 – 27 Oktober sebesar 26.240 kg/trip dan rata–rata hasil tangkapan cantrang adalah 32.021,5 kg/trip. Laju tangkap tertinggi terjadi pada periode operasi bulan Januari 2012 sebesar 330,1 kg/tawur, sedangkan ratarata laju tangkap adalah 263,75 kg /tawur. Kata kunci : Musim penangkapan, cantrang, laju tangkap, demersal PENDAHULUAN Laut Jawa merupakan wilayah perairan dengan paparan yang dangkal dan cukup luas serta merupakan bagian selatan dari Paparan Sunda. Keberadaan sumberdaya ikan demersal yang mempunyai sifat gerak yang tidak jauh dan diduga selalu berada di sekitar perairan Laut Jawa bisa dianggap satu unit stok (BRPL, 2004). Potensi lestari ikan demersal di Laut Jawa diduga sebesar 375,2 ribu ton/tahun (DJPT, 2011) . Cantrang merupakan alat tangkap yang cukup efektif untuk memanfaatkan sumberdaya ikan demersal (Suhendrata dan Pawarti, 1991). Badruddin, et al (1989) juga menyatakan bahwa selama dua dasa warsa terakhir ini telah berkembang alat tangkap cantrang yang digunakan secara luas untuk menangkap ikan demersal. Hasil tangkapan kapal cantrang pada dasarnya yang tertangkap 179 adalah jenis ikan dasar (demersal) seperti ikan petek, kuniran, kurisi, swanggi, gulamah, kerapu, sebelah, pari, cucut, gurita, bloso dan macam-macam udang (Subani & Barus, 1989). Tersedianya data dan informasi secara spasial dan temporal merupakan salah satu faktor pendukung keberhasilan dalam usaha penangkapan dan pengelolaan sumberdaya ikan. Informasi tentang sebaran sumberdaya ikan adalah informasi yang menjelaskan keberadaan sumberdaya ikan pada suatu perairan tertentu dan waktu atau musim (BRPL, 2004). Informasi musim penangkapan ikan demersal yang tertangkap oleh kapal cantrang masih kurang memadai. Informasi tentang musim penangkapan ikan demersal diharapkan dapat membantu para pelaku usaha perikanan dalam agar lebih efektif. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui musim penangkapan, laju tangkap dan komposisi hasil tangkapan ikan demersal yang didasarkan pada hasil tangkapan kapal cantrang besar di Laut Jawa. BAHAN DAN METODA Penelitian dilakukan pada tahun 2012 di perairan Laut Jawa dengan daerah pengambilan sampel pada Gambar 1. Gambar 1. Lokasi daerah sampling ikan demersal di Laut Jawa Musim penangkapan Data yang dianalisis merupakan data statistik perikanan dari Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tegalsari tahun 2007 – 2011. Dugaan musim penangkapan ikan ditentukan menggunakan metode persentase rata-rata (the 180 average percentage methods) yang didasarkan pada analisis runtun waktu (times series analysis) (Spiegel, M. R., 1961). 1. CPUE = Catch Per Unit of Effort U 1 m U i ……………….………. m i 1 (1) U = CPUE rata-rata bulanan dalam setahun (ton/trip) U i = CPUE per bulan (ton/trip) m = 12 (jumlah bulan dalam setahun) 2. Up yaitu rasio Ui terhadap U dinyatakan dalam persen : Up 3. Ui x 100 % ………………..… (2) U Indeks Musim IMi = 1 t U p ..……….………….. t i 1 (3) IMi = Indeks Musim ke i t = Jumlah tahun dari data 4. Kriteria penentuan musim ikan ialah jika indeks musim lebih dari 1 (lebih dari 100 %) atau di atas rata-rata, dan bukan musim jika indeks musim kurang dari 1 (kurang dari 100%). Apabila IM = 1 (100 %), nilai ini sama dengan harga rata-rata bulanan sehingga dapat dikatakan dalam keadaan normal atau berimbang. Data primer yang dianalisis diperoleh dengan pencatatan langsung di lapangan yang dilakukan melalui enumerasi yang dilakukan pada kapal cantrang contoh yang beroperasi 20 – 25 hari di PPP Tegalsari. Spesifik kapal cantrang contoh yaitu kapal dengan GT 30, Panjang 20 m, Lebar 6 m dan kedalaman kapal 4 m. Periode pengumpulan data selama 6 (enam) trip pada bulan Januari Oktober 2012. Data yang dicatat antara lain : hasil tangkapan per tawur, posisi pada saat operasi, dan kedalaman perairan Laju tangkap Laju tangkap kapal cantrang dianalisa dengan memisahkan waktu penangkapan berdasarkan musim. Pembagian musim terbagi 4 (BRPL, 2004) yaitu; 181 1) Musim Barat (Desember-Februari) 2) Musim Peralihan I (Maret-Mei) 3) Musim Timur (Juni-Agustus) 4) Musim Peralihan II (September-Nopember) Analisis hasil tangkapan kapal cantrang menggunakan perhitungan rumus Sparre and Venema (1998) ,sebagai berikut : CpUE Catch Effort dimana CpUE : Catch per unit Effort Catch : Jumlah hasil tangkapan (kg) Effort : Jumlah upaya (trip, hari, tawur) HASIL Musim penangkapan dalam periode waktu selama 5 (lima) tahun dari tahun 2007 sampai tahun 2011 didapatkan terjadi pada bulan Maret, Agustus dan November. Musim paceklik kapal cantrang Tegal terjadi pada bulan Januari, April, Mei dan September (Gambar 2). Indeks musim penangkapan sangat rendah pada bulan September, diduda karena bulan tersebut merupakan waktu hari raya umat Islam dalam rentang 5 tahun terakhir, sehingga nelayan tidak ada yang melaut. 0.40 0.20 J F M A M J J A S O N D (0.20) (0.40) Gambar 2. Indeks Musim penangkapan ikan kapal cantrang Laju tangkap Selama periode Januari – Oktober 2012 kapal contoh beroperasi sebanyak enam trip dan memiliki hasil tangkapan total per trip berfluktuasi (Gambar 3). Rata – rata hasil tangkapan cantrang setiap trip nya adalah 32.021,5 kg/trip. Hasil tangkapan tinggi terjadi pada trip ke-3 ( 23 Maret – 18 April ). Sedangkan hasil 182 tangkapan turun terjadi pada periode operasi tanggal 7 – 27 Oktober dengan hasil Catch kg/trip) tangkapan sebesar 26.240 kg/trip. 40,000 35,000 30,000 25,000 20,000 15,000 10,000 5,000 0 3 – 26 Januari 8 Februari - 23 Maret - 10 Mei - 2 5 Maret 18 April Juni 19 Juni -8 Juli 7 - 27 Oktober Gambar 3. Periode operasi kapal contoh tahun 2012 Laju tangkap kapal cantrang cenderung menurun tiap harinya. Laju tangkap perhari tertinggi terjadi pada musim barat sebesar 2178,6 kg/hari, sedangkan paling rendah pada musim peralihan 2 yang hanya 1543,56 kg/hari. Rata-rata laju tangkap kapal cantrang contoh pada 2012 adalah 258,38 kg /tawur Laju tangkap (kg/hari) (Gambar 4). 2500 2000 1500 1000 500 0 Musim Barat Musim Peralihan 1 Musim Timur Musim Peralihan 2 Gambar 4. Rata-rata hasil tangkapan kapal contoh (kg/ hari) Laju tangkap kapal cantrang berdasarkan musim juga cenderung menurun tiap tawur nya yang rata-rata satu jam penarikan jaring. Laju tangkap per tawur tertinggi juga terjadi pada musim barat sebesar 291,65 kg/tawur, sedangkan paling rendah pada musim peralihan 2. Rata-rata laju tangkap kapal cantrang contoh pada 2012 adalah 258,38 kg /tawur. 183 Laju tangkap (kg/tawur) 350 300 250 200 150 100 50 0 Musim Barat MusimPeralihan 1 MusimTimur MusimPeralihan 2 Gambar 5. Laju tangkap (kg/tawur) kapal cantrang berdasarkan musim. Nemipteridae Laju tangkap (kg/tawur) 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Scolopsis sp Priachantus sp Musim BaratMusim Peralihan 1Musim TimurMusim Peralihan 2 Gambar 6. Laju tangkap ikan dominan berdasarkan musim Laju tangkap ikan dominan mengalami fluktuasi tiap musimnya. Kenaikan ikan coklatan (Scolopsis sp) akan di ikuti dengan kenaikan kurisi (Nemipteridae) pada musim timur, tetapi diwaktu yang sama terjadi penurunan terhadap ikan kuniran (Mullidae), swanggi (Priacanthidae) dan petek (Leiognathidae). Komposisi Hasil Tangkapan Komposisi hasil tangkapan ikan kapal cantrang berdasarkan musim didominasi ikan kuniran (Mullidae), Coklatan (Scolopsis taeniopterus), Kurisi (Nemipteridae), swanggi (Priacanthidae), petek (Leiognathidae), kapasan (Pentaprion longimanus), kecuali pada musim peralihan II yang didominasi oleh cumi-cumi (Lolligo sp) 184 a) Musim Barat b) Peralihan I Mullidae Mullidae Nemipteridae Nemipteridae Priachantus sp Loligo spp Saurida spp pentaprion longimanus Sciaidae leioghnatidae Abalistes stellaris Carcharanidae Carangidae Caesio cuning Sphyraena spp Sphyraena spp Lutjanus malabaricus Haemulidae Haemulidae 0 5 10 15 20 25 30 0 Persentase (%) c) 10 15 20 25 30 Persentase (%) Musim Timur Scolopsis taeniopterus Selaroides Mullidae Nemipteridae tetraodontidae Saurida spp Loligo spp Abalistes stellaris Clupeidae Carangidae Lutjanidae Sphyraena spp Sciaidae Priachantus sp leioghnatidae Caesio cuning Epinephelus spp Campuran 5 d) Peralihan II Loligo spp Scolopsis taeniopterus Priachantus sp Mullidae Selaroides Nemipteridae Abalistes stellaris Caesio cuning pentaprion longimanus Sciaidae Sphyraena spp Epinephelus spp Haemulidae Letrinus lencam Saurida spp Lutjanus malabaricus 0 5 10 15 20 25 30 0 Persentase (%) 5 10 15 20 25 30 Persentase (%) Gambar 7. a)-d) Komposisi hasil tangkapan kapal cantrang berdasarkan musim . BAHASAN Musim penangkapan kapal cantrang besar di Tegal terjadi pada sekitar bulan Maret, bulan Agustus dan bulan November. Musim paceklik kapal cantrang Tegal terjadi pada bulan Januari, April, dan September. Perkiraan musim penangkapan ini berbeda dengan hasil yang diperoleh berdasarkan kapal contoh, dimana laju tangkap ikan tertinggi terjadi pada periode operasi musim barat (Januari-Februari). Pebedaan ini diperkirakan bahwa musim penangkapan berbeda dengan musim ikan di alam. Secara sederhana musim penangkapan ikan dalam 185 setiap tahun merupakan periode (bulan) dimana jumlah hasil tangkapan lebih dari rata-rata hasil tangkapan selama periode tahun tersebut (Uktolseja, 1993). Menurut Ernawati dan Sumiono (2009), perubahan cuaca sangat berpengaruh terhadap keberhasilan hasil tangkapan cantrang. Menurut Badrudin et al., (1989) bahwa pada periode musim barat dimana kawasan yang relatif teduh terjadi diperairan pantai timur Lampung atau sekitar Sumatera Selatan, ternyata menghasilkan laju tangkap yang tinggi dibandingkan dengan kawasan lainnya. Selama periode bulan Januari 2012 – Oktober 2012 kapal contoh beroperasi sebanyak 6 (enam) trip dan memiliki hasil tangkapan total per trip berfluktuasi. Hasil tangkapan tertinggi terjadi pada trip ke-3 ( 23 Maret – 18 April ) sebesar 35.567 kg/trip, sementara hasil tangkapan terendah terjadi pada periode operasi tanggal 7 – 27 Oktober dengan hasil tangkapan sebesar 26.240 kg/trip. Rata – rata hasil tangkapan cantrang setiap trip nya adalah 32.021,5 kg/trip dan hasil ini lebih tinggi dari hasil penelitian Ernawati et al. (2011) yang mendapatkan rata – rata hasil tangkapan cantrang setiap trip nya sekitar 27.298,6 kg/trip Komposisi hasil tangkapan ikan demersal tiap tawurnya berdasarkan musim menunjukan suatu pola, ketika jumlah hasil tangkapan jenis ikan Nemipteridae (Nemipterus spp dan Scolopsis spp) naik, akan diikuti dengan berkurangnya hasil tangkapan Priacanthidae dan Mullidae, begitu juga sebaliknya. Hal ini menunjukkan bahwa adanya 2 (dua) pengelompokan jenis-jenis ikan dan pola ini masih perlu penelitian lebih lanjut. Komposisi hasil tangkapan ikan kapal cantrang berdasarkan musim didominasi ikan kuniran (Mullidae), Coklatan (Scolopsis taeniopterus), Kurisi (Nemipteridae), Swanggi (Priacanthidae), Petek (Leiognathidae), Kapasan (Pentaprion longimanus), kecuali pada musim peralihan II yang didominasi oleh cumi-cumi (Lolligo sp). Menurut Badrudin et al. (2011), jenis ikan hasil hasil tangkapan cantrang yang dominan pada tahun 2008-2010 antara lain ikan Swanggi (Priacanthus spp), Coklatan (Scolopsis taenipterus), Kurisi (Nemipterus spp) dan Gulamah (Scianidae). Penelitian Sumiono et al. (2002) di perairan utara Jawa Tengah, menunjukkan komposisi hasil tangkapan ikan demersal didominasi oleh ikan petek (Leiognathidae) dan ikan kurisi (Nemipteridae). Widodo (1980), menemukan di perairan Laut Jawa bagian barat, jenis ikan demersal yang 186 daerah penyebarannya merata dari kedalaman 20 – 80 m adalah kuniran (Upeneus spp), kurisi (Nemipterus spp) dan beloso (Saurida spp). Penyebaran ikan demersal di perairan Indonesia sangat dipengaruhi oleh dua musim yang menonjol yaitu musim timur dan musim barat, dimana perubahan musim tersebut biasanya diikuti oleh adanya perubahan kondisi lingkungan perairan. Distribusi gerombolan ikan demersal baik pada musim timur maupun musim barat melakukan migrasi menuju suatu tempat yang relatif sempit (Dwiponggo et al., 1989). Ernawati et al. (2011) mendapatkan daerah penangkapan cantrang terbagi dalam dua kelompok area perairan. Kelompok pertama berada di Laut Jawa sebelah barat (Perairan Timur Sumatera dan selatan Bangka-Belitung) dan kelompok kedua di Laut Jawa Selatan Kalimantan (sekitar Tanjung Puting dan Tanjung Selatan). KESIMPULAN 1. Musim penangkapan ikan demersal terjadi pada sekitar bulan Maret, Agustus dan November serta musim paceklik terjadi pada Januari, April, Mei dan September. 2. Laju tangkap kapal cantrang besar tertinggi juga terjadi pada musim barat sebesar 291,65 kg/jam dan paling rendah pada musim peralihan 2 sebesar 240,7 kg/jam, sementara rata-rata laju tangkap adalah 258,38 kg /tawur. PESANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil penelitian pengkajian sumberdaya ikan demersal di WPP716- Laut Sulawesi dan WPP 712- Laut Jawa Tahun 2012 di Balai Penelitian Perikanan Laut, Jakarta. DAFTAR PUSTAKA Balai Riset Perikanan Laut. 2004. Musim Penangkapan Ikan di Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta 116 hal Badrudin, Aisyah, & Tri Ernawati. 2011. Kelimpahan stok sumberdaya ikan demersal di Perairan Sub Area Laut Jawa. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, no. 1 Vol. 17 Hal. 11-20. Jakarta 187 Badrudin, H. Wahyono, & S. Umiyati. 1989. Sumberdaya ikan demersal yang potensial bagi bahan baku pakan ikan budidaya. Prosiding Temu Karya Ilmiah Penelitian Menuju Program Swa-Sembada Pakan Ikan Budidaya. Prosiding Pusat Penelitian dan Pengembangan no. 17/1989: 73-77 DJPT, 2011. Peta Keragaan Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, 2011. Dwiponggo et al., 1989. Dwiponggo, A. Badaruddin, D. Nugroho dan S. Yono. 1989. Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Demersal. Jakarta: Dirjen Perikanan, Pustlitbang Oseanologi. Deptan. Ernawati, T & B. Sumiono. 2009. Fluktuasi Bulanan Hasil tangkapan Cantrang yang berbasis di Pelabuhan Perikanan Pantai Tegalsari Kota Tegal. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. No. 1 Vol. 15. Jakarta Ernawati, T, Nurulludin & Suherman Banon, 2011. Produktivitas, komposisi hasil tangkapan dan daerah penangkapan jaring cantrang yang berbasis di ppp Tegalsari, Tegal. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, no. 3 Vol. 17 Hal. 11-20. Jakarta Sparre & Venema, 1998.Introduction to Tropical Fish Stock Assessement. Part 1. FAO Spiegel, M. R., 1961. Theory and Problems of Statistics. Schaum Publ. Co., New York. 359 p. Subani, W. & Barus, H.R. 1989. Alat penangkapan ikan dan udang laut di Indonesia.Jurnal Penelitian Perikanan Laut, No.50 (Special Edition). Balai Penelitian Perikanan Laut. Jakarta. 248 hal Suhendrata, T., & M.D. Menick Pawarti, 1991. Perikanan Cantrang dan Prospek Pengembangannya di Perairan Kabupaten Batang. Jurnal Penelitian Perikanan Laut (64) 14 hal.Balitkanlut Jakarta Sumiono, B., Sudjianto, Yunus Soselisa, & T.S Murtoyo. 2002. Laju tangkap dan komposisi jenis ikan demersal dan udang pada musim timur di Perairan Utara Jawa Tengah. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. Jakarta. 8 (1) Uktolseja, J. C. B. 1993. Status perikanan ikan pelagis kecil dan kemungkinan pemanfaatannya sebagai ikan umpan hidup untuk perikanan rawai tuna di Prigi, Jawa Timur. Jurnal Penelitian Perikanan Laut No. 80 Th. 1983. Hal.18-45. Widodo J, 1980. Potensi dan pengelolaan sumberdaya perikanan demersal di Laut Jawa di luar kedalaman 20 meter. Tesis. SPS-IPB. Bogor 188 MODEL PRODUKTIVITAS UNIT PENANGKAPAN CANTRANG DI BLANAKAN-SUBANG Oleh Asep Priatna1) dan Hufiadi1) 1) Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut ABSTRAK Jumlah unit armada cantrang menduduki peringkat ketiga di pelabuhan Blanakan. Terdapat peningkatan jumlah armada cantrang dari bulan ke bulan di Blanakan untuk mendaratkan hasil tangkapannya. Perkembangan jumlah cantrang tersebut, mendorong perluasan daerah tangkapan yang akan menambah lama waktu operasi. Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh variabel-variabel operasional penangkapan terhadap produksi hasil tangkapan, sehingga dapat membangun suatu model produktivitas. Data aspek operasional dikumpulkan mulai bulan Januari-November 2012, seperti jumlah tangkapan, panjang kapal, panjang jaring, kekuatan mesin, lama operasi, volume palka, jumlah ABK, konsumsi bahan bakar dan es. Regresi linear dan korelasi bivariat digunakan untuk menganalisis 383 kapal sampel. Berdasarkan delapan variabel operasional penangkapan yang digunakan, hanya enam variabel yang signifikan terhadap produksi tangkapan, yaitu lama operasi, konsumsi es, panjang kapal, jumlah ABK, volume palka, dan panjang jaring. Variabel-variabel tersebut berpengaruh sekitar 65% terhadap perolehan hasil tangkapan, sementara 35% lainnya dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang belum terdapat pada model. Kata kunci: model produktivitas, regresi linier, korelasi bivariat, cantrang, Blanakan PENDAHULUAN Sejak dihapusnya ijin penggunaan alat tangkap pukat harimau (trawl) melalui Keppres No. 39/ Tahun 1980, nelayan kembali mengembangkan alat-alat tangkap konvensional yang pernah ada untuk menangkap jenis-jenis ikan demersal dan udang. Alat tangkap konvensional yang dimaksud antara lain; jaring insang dasar (bottom gillnet), jaring trammel (trammel net), jaring dogol/cantrang (bottom seine), pancing rawai dasar (bottom long line) dan bubu (pot). Perkembangan alat tangkap meliputi jumlah, dimensi, rancang bangun, konstruksi dan cara pengoperasian dan bahkan sistem operasinya. Khusus di wilayah pantai utara Jawa, perikanan cantrang merupakan unit penangkapan yang mengalami perkembangan cukup pesat. Dalam satu dekade terakhir, cantrang merupakan alat 189 tangkap yang memberikan konstribusi terbesar bagi perikanan demersal di wilayah utara Jawa. Meski keberadaannya cukup kontroversial, namun sampai saat ini perikanan cantrang tetap mengalami perkembangan dari segi jumlah arnada. BPPL (2010) dalam penelitiannya tentang perikanan pukat cincin Laut Jawa menuliskan bahwa dengan menurunnya hasil tangkapan per satuan upaya, sebagian armada pukat cincin mengalihkan usahanya ke perikanan cantrang. Perkembangan jumlah armada cantrang telah mendorong bertambah luasnya daerah penangkapan, sehingga mengakibatkan semakin meningkatnya jumlah hari operasi laut di dalam satu tripnya. Pengembangan usaha perikanan tangkap telah memungkinkan terjadinya perubahan teknologi perikanan tangkap di wilayah Laut Jawa, termasuk cantrang yang merupakan alat tangkap alternatif yang telah mampu menggantikan trawl, khususnya sebagai alat tangkap ikan demersal. Alat tangkap cantrang sangat efektif untuk menangkap sumberdaya ikan demersal (Suhendrata dan Badrudin, 1990). Ukuran kapal yang digunakan untuk mengoperasikan cantrang untuk saat ini sangat bervariasi, mulai dari 5 GT hingga mencapai lebih dari 50 GT. Menilik perkembangan dan konstribusi perikanan cantrang di Laut Jawa, unit penangkapan tersebut dapat dijadikan sebagai alat dalam pengelolaan perikanan. Pengelolaan perikanan tangkap diperlukan untuk menjamin keberlanjutan sumberdaya dan usaha perikanan. Pengelolaan produktivitas penangkapan ikan berikut metoda pengukurannya sudah menjadi isu penting dalam upaya pengelolaan perikanan yang berkelanjutan sebagai langkah menuju pengendalian. Blanakan merupakan salah satu wilayah di Kabupaten Subang yang lebih dikenal sebagai salah satu pusat penghasil udang penaeid di pantai utara Jawa. Di Blanakan, Kabupaten Subang terdapat tiga Pusat Pendaratan Ikan (PPI) yaitu; PPI Blanakan, PPI Cilamaya dan PPI Muara Ciasem. PPI Blanakan merupakan PPI dengan frekuensi kunjungan kapal lebih tinggi dibandingkan dengan PPI yang ada di sekitarnya. Sampai dengan akhir tahun 2011, jumlah alat tangkap cantrang yang berbasis di PPI Blanakan yang dikelola KUD Mandiri Mina Fajar Sidik Blanakan, Subang, sebanyak 20% dari total alat tangkap yang dioperasikan 190 nelayan. Cantrang menduduki urutan ketiga setelah alat tangkap trammel net dan pukat cincin di Blanakan dalam hal jumlah unit (KUD Mina Fajar Sidik, 2011) Selain untuk mengkaji aspek produktivitas dan komponen-komponen operasional apa saja yang berperan dalam perolehan hasil tangkapan, hasil penelitian juga akan menyajikan informasi tentang keragaan unit penangkapan cantrang yang berbasis di Blanakan Subang Jawa Barat. BAHAN DAN METODE Pengumpulan data Pengumpulan data dan informasi aspek penangkapan unit armada cantrang di lakukan di Pelabuhan Perikanan Mandiri Mina Fajar Sidik sebagai salah satu basis pendaratan ikan yang ada di Blanakan-Subang Jawa Barat. Data dan informasi diperoleh melalui observasi langsung terhadap kapal-kapal cantrang yang mendaratkan hasil tangkapannya, pencatatan data dilakukan selama 11 bulan mulai Januari sampai November 2012. Informasi aspek penangkapan yang berhasil di kumpulkan untuk menghitung nilai produktivitas cantrang antara lain total hasil tangkapan yang didaratkan, dimensi kapal, dimensi jaring, daya mesin yang digunakan, lama operasi trip penangkapan, volume palka, jumlah ABK, konsumsi bahan bakar, dan es. Selama kurun waktu 11 bulan tersebut diperoleh data dari 564 kapal sampel, dengan perolehan kapal sampel mulai dari Januari sampai November berturut-turut adalah 16, 56, 61, 38, 49, 54, 70, 53, 60, 63, dan 44 kapal cantrang. Analisis data Informasi tentang keragaan perikanan cantrang yang berbasis di Blanakan Subang seperti kondisi perikanan, alat tangkap, produksi dan laju tangkap cantrang dianalisis secara deskriptif. Untuk mengkaji saling keterkaitan antar komponen-komponen produktivitas cantrang yaitu dimensi kapal, dimensi jaring, daya mesin yang digunakan, lama operasi trip penangkapan, volume palka, jumlah ABK, konsumsi bahan bakar, dan es yang mempengaruhi hasil tangkapan dilakukan analisis statistika dengan menggunakan software SPSS 16.0 meliputi: korelasi Bivariate, 191 dan regresi linear berganda untuk menentukan model terbaik produktivitas yang diperoleh. Tinggi-rendahnya korelasi antar variabel dalam regresi linear dinyatakan oleh Usman dan Purnomo (2006) (Tabel 1): Tabel 1. Interpretasi dari nilai korelasi (r) Korelasi (r) Interpretasi 0 Tidak berkorelasi 0.01 – 0.20 Sangat rendah 0.21 – 0.40 Rendah 0.41 – 0.60 Agak rendah 0.61 – 0.80 Cukup 0.81 – 0.99 Tinggi 1 Sangat tinggi Hubungan kuantitatif antara produktivitas dan faktor-faktor produksi alat tangkap cantrang dihitung dengan menggunakan bantuan metode regresi berganda model Cobb-Douglas dengan formula sebagai berikut : Y = A.X1b1. X2b2. X3b3..............Xibi. Agar fungsi tersebut linier, maka perlu dilogaritmakan dengan menggunakan persamaan di bawah ini : Log Y = log A + b1 log X1 + b2 log X2 + b3 log X3 + b4 log X4 + b5 log X5 + b6 log X6 + b7 log X7 + b8 log X8 dimana : Y = produksi hasil tangkapan (ton) X1 = ukuran panjang kapal (m) X2 = ukuran panjang jaring (m) X3 = daya mesin yang digunakan (PK) X4 = hari operasional penangkapan (hari) X5 = volume palka (ton) X6 = jumlah ABK (orang) X7 = konsumsi bahan bakar (ton) 192 X8 = konsumsi es (ton) HASIL DAN BAHASAN Keragaan perikanan cantrang Selama kurun waktu antara tahun 2008 - 2011 produksi ikan demersal, yang sebagian didaratkan oleh unit penangkapan cantrang didominasi oleh jenis ikan: pepetek (Leiogntahidae), manyung (Arius spp), tiga waja (Scianidae). Jaring cantrang dioperasikan dengan mengunakan berbagai ukuran kapal yang berdasarkan statistik perikanan KUD Mina Fajar Sidik dikategorikan sebagai berikut; 5 - 10 GT, 10-20 GT dan 20 – 30 GT (Gambar-kiri). Ukuran kapal berpengaruh terhadap jumlah hari di laut (trip penangkapan). Berdasarkan kriteria ukuran kapal, lama hari operasi di laut dalam satu trip masing-masing 5 hari untuk kapal ukuran 5-10 GT, 8 hari (10-20 GT) dan 15 sampai 20 hari untuk kapal berukuran 20-30 GT. Dalam satu hari operasi jaring cantrang dioperasikan antara 8-10 kali tawur (setting). Gambar 1. Armada cantrang yang berbasis di Blanakan (kiri) dan alata tangkap cantrang (kanan) Identifikasi terhadap sampel jaring cantrang (Gambar 1-kanan) yang berbasis di PPI Blanakan diperoleh data sebagai berikut: panjang tali ris atas (Head rope) mencapai 23 m, menggunakan 1 buah tali PA Ø 15 mm. Deskripsi rancang bangun jaring cantrang disajikan dalam Gambar 2. 193 Gambar 2. Deskripsi rancang bangun cantrang di Blanakan, Subang Pemberat digunakan timah seberat 50 – 60 kg, @ 200 gr yang dipasang tersebar di bagian tali ris bawah (ground rope). Bahan jaring digunkan bahan PE terdiri dari dari d9, d 12 dan d 15 dengan besar mata jaring terus menurun dari bagian sayap, badan sampai kantong jaring yaitu mulai dari 8,25 inci pada bagian sayap, 5 inci pada bagian mulut, 4 - 2 inci pada bagian badan dan 1-3/4 inci pada bagian kantong. Produksi dan laju tangkap cantrang Dari sejumlah alat tangkap yang ada di PPI Blanakan, unit penangkapan cantrang menduduki urutan ketiga dalam berkonstribusi terhadap produksi ikan yang didaratkan di PPI Blanakan (Gambar 3). 1200 800 Purse seine J.Rampus 600 J.Udang Produksi (ton) 1000 400 J.Nilon 200 Pancing 0 2008 2009 2010 2011 Gambar 3. Perkembangan produksi ikan per alat tangkap di Blanakan, tahun 2008-2011. (Sumber, KUD Mina Fajar Sidik, Blanakan 2011) 194 Berbagai jenis ikan baik demersal, udang maupun pelagis tertangkap oleh alat tangkap cantrang. Jenis ikan yang dominan tertangkap adalah oleh ikan pepetek (Leiognathidae), kuniran (Upeneus spp), swanggi (Priacanthus spp), kurisi (Nemipterus spp), kapasan (Pentrapion spp). Jenis ikan lain adalah biji nangka, kurisi, senangin, bloso, cucut, pari bawal, ikan sebelah. Biota lain yang tertangkap cantrang adalah cumi-cumi, udang krosok, udang dogol, endevour, banana, sotong, rajungan, tembang, ubur-ubur. Hasil analisis data upaya (trip) dan produksi (ikan demersal) perikanan cantrang yang berbasis di Blanakan tahun 2010-2012 diperoleh nilai laju tangkap rata-rata sebesar 5276 kg/trip, laju tangkap terhadap perbekalan es diperoleh ratarata 1,1 kg ikan/1 kg es, sementara laju tangkap terhadap BBM sebesar 9,3 kg/liter BBM (Gambar 4). 3.3 2640 0.6 Min (kg/trip) Mak (kg/trip) 5276 7700 Rata-rata (kg/trip) Min (kg/kg es) 1.1 Mak (kg/ kg es) 1.7 Min (kg/liter BBM) 6.2 Mak (kg/Liter BBM) 9.3 Rata-rata (kg/Liter BBM) Rata-rata (kg/kg es) Gambar 4. Laju tangkap cantrang Blanakan, Subang realisasi penangkapan periode tahun 2010-2012 Musim dan daerah penangkapan cantrang Daerah penangkapan cantrang pada perairan dengan kedalaman antara 1530 meter. Dasar perairan yang dikehendaki adalah pasir berlumpur dan tidak berkarang. Lokasi penangkapan tergantung dari dimensi kapal cantrang. Berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun, umumnya semakin besar ukuran kapal, maka lokasi penangkapan akan semakin jauh. Hal ini terkait dengan komponen-komponen operasional seperti jumlah BBM, ABK, perbekalan dan lain-lain. Armada cantrang dengan ukuran 5-10 GT jarak daerah penangkapan sekitar 30 mil utara Indramayu, Subang-Karawang. Sementara kapal cantrang dengan ukuran 20-30 GT rata-rata hari operasi sekitar 20 hari dengan daerah 195 penangkapan mencapai perairan selatan Kep. Bangka-Belitung, timur Lampung, dan selatan Kalimantan bagian barat (Gambar 5). Gambar 5. Daerah penangkapan kapal cantrang Blanakan Produktivitas cantrang Dalam kegiatan penangkapan ikan, produksi adalah suatu hasil tangkapan yang diperoleh selama kegiatan penangkapan berlangsung. Secara umum nilai produksi antara kapal cantrang tidaklah sama, hal ini dikarenakan terdapat faktorfaktor yang mempengaruhi seperti dimensi kapal, dimensi jaring, daya mesin yang digunakan, lama operasi trip penangkapan, volume palka, jumlah ABK, konsumsi bahan bakar, dan es. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnnya, bahwa selama 11 bulan penelitian telah diperoleh data dari 565 kapal sampel. Untuk mendapatkan model terbaik dari produktivitas cantrang, terlebih dahulu dilakukan eksplorasi terhadap keseluruhan data. Analisis dengan program Minitab, terdapat 182 data yang merupakan pencilan (outlier) terhadap regresi antar komponen produktivitas cantrang sehingga yang dipergunakan 383 data (Tabel 2). 196 Tabel 2. Deskripsi nilai statistik komponen-komponen produkstivitas cantrang di Blanakan tahun 2012. Komponen N Minimum Maximum Mean Std. Deviation Variance Produksi 383 3.10 12.10 6.4952 1.39730 1.952 Panjang kapal 383 10.00 18.00 14.1227 1.45548 2.118 Panjang Jaring 383 25.00 50.00 37.7415 4.27197 18.250 PK 383 100.00 180.00 1.2145E2 21.41712 458.693 HOP 383 2.00 20.00 9.3238 2.74093 7.513 Palka 383 3.00 6.00 4.0274 .62655 .393 ABK 383 8.00 19.00 11.6084 1.92071 3.689 BBM 383 .42 4.40 1.6350 .70384 .495 Es 383 2.50 22.00 7.9178 3.52052 12.394 Korelasi antara faktor produksi terhadap hasil tangkapan Korelasi dari komponen atau faktor-faktor produksi (panjang kapal, panjang jaring, PK, HOP, palka, ABK, BBM, dan Es) sebagai varibel bebas terhadap produksi (hasil tangkapan) cantrang sebagai variabel tak bebas (Tabel 3), terdapat tiga komponen yang memiliki koefisien korelasi cukup tinggi terhadap produksi hasil tangkapan, yaitu HOP, BBM, dan Es. Ketiga komponen tersebut memiliki tingkat hubungan linier yang relatif tinggi terhadap produksi. Sementara komponen panjang jaring dan PK memiliki koefisien korelasi relatif kecil atau tingkat hubungan linier keduanya relatif rendah terhadap produksi cantrang di Blanakan. Hal ini memungkinkan salah satu atau kedua variabel (panjang jaring dan PK) tidak digunakan dalam membangun model produktivitas, namun ini akan diuji lebih lanjut dengan analisis regresi berganda pada subbab berikutnya. Sebenarnya nilai peluang nyata atau signifikansi semua variabel bebas (faktor-faktor produksi) lebih kecil dari taraf nyata α (0,05) artinya korelasi masing-masing faktor produksi tersebut terhadap hasil tangkapan cantrang adalah signifikan, atau terdapat hubungan linier yang nyata antara masing-masing faktor produksi terhadap produksi tangkapan ikan. Tiap faktor produksi berkorelasi positif terhadap hasil tangkapan, ini tidak berarti bahwa dengan penambahan 197 kuantitas maupun kualitas satu atau lebih faktor produksi akan diikuti oleh peningkatan produksi. Koefisien korelasi adalah koefisien yang menggambarkan tingkat keeratan hubungan linier antara dua peubah atau lebih. Besaran dari koefisien korelasi tidak menggambarkan hubungan sebab akibat antara dua peubah atau lebih tetapi semata-mata menggambarkan keterkaitan linier antar peubah (Mattjik dan Sumertajaya, 2006). Tabel 3. Koefisien korelasi sederhana (pearson correlation coefficient) antar masing-masing variabel produksi terhadap produksi hasil tangkapan cantrang. Produksi Produksi Signifikansi 1 Panjang Panjang PK HOP Palka ABK BBM Es kapal Jaring 0.440** 0.291** 0.285** 0.717** 0.436** 0.455** 0.711** 0.709** 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 **. Korelasi signifikan pada taraf nyata 0.01 Model produktivitas cantrang Model regresi linear berganda digunakan untuk meramalkan variabel tak bebas (produksi) berdasarkan dua atau lebih variabel bebas (panjang kapal, panjang jaring, PK, HOP, palka, ABK, BBM, dan Es) dalam suatu persamaan linear. Guna membangun model terbaik dari produktivitas cantrang yang berbasis di Balanakan, digunakan metode stepwise dalam regresi linier berganda. Metode stepwise memasukkan satu per satu variabel bebas untuk dianalisis. Hasil analisis diperoleh 6 model yang ditawarkan. Model-6 merupakan model dengan variabel bebas (faktor produksi) paling banyak yaitu HOP, es, panjang kapal, ABK, palka, dan panjang jaring, sementara varibel yang tidak dipakai untuk model ini adalah PK dan BBM (Lampiran 1). Model-6 merupakan model produktivitas cantrang yang akan dipilih karena memakai varibel faktor produksi paling banyak digunakan (Trihendradi, 2010). Tidak digunakannya variabel PK dan BBM pada model-6, karena secara statistik keduanya memiliki korelasi parsial paling rendah (Lampiran 1). Korelasi parsial adalah korelasi yang digunakan untuk menguji hubungan dua atau lebih variabel bebas (faktor-faktor produksi) dengan satu variabel tak bebas (hasil 198 tangkapan) dan dilakukan pengendalian pada salah satu variabel bebasnya. Pada model-6 variabel yang dikendalikan adalah PK dan BBM. Selain itu variabel PK memiliki tingkat hubungan linier paling kecil terhadap produksi cantrang di Blanakan (Tabel 1). Selain korelasi parsial, pengujian model regresi berganda juga harus memenuhi syarat tidak adanya multikolineritas, yaitu tidak terdapat korelasi yang kuat antara variabel-variabel bebasnya. Pendeteksian adanya multikolinearitas dilakukan dengan melihat nilai VIF (variance inflation factor). Nilai VIF ini menggambarkan kenaikan varians dari dugaan parameter antar peubah penjelas. Apabila nilai VIF lebih dari 5 atau 10, maka taksiran parameter kurang baik, terjadi multikolinearitas. Ini terjadi pada variabel BBM dimana VIF>5 (Lampiran 1), sehingga dikeluarkan dari model regresi. Jika faktor BBM dimasukkan ke dalam model regresi, akan timbul masalah kolinearitas sempurna, yang tidak mungkin diperoleh pendugaan koefisien parameter regresinya. Masalah multikolinearitas menjadi serius apabila digunakan untuk mengkaji hubungan antara peubah bebas (X) dengan peubah respon (Y) karena simpangan baku koefisiennya regresinya tidak siginifikan sehingga sulit memisahkan pengaruh dari masing-masing peubah bebas. Pemilihan model-6 sebagai model produktivitas cantrang di Blanakan juga didasarkan pada nilai koefisien korelasi ganda (R) dari model tersebut. Model-6 memiliki nilai R paling tinggi (R=0,804) diantara model-model lainnya yang ditawarkan (Lampiran 2). Nilai koefisien korelasi semakin mendekati 1, maka korelasi antar variabel-variabel bebas dengan variabel tak bebas semakin kuat. Untuk melihat signifikansi persamaan regresi (model-6) sebagai model produktivitas cantrang di Blanakan, dilakukan pengujian terhadap model regresi tersebut yaitu uji bersama atau uji F (Anova) dan uji parsial atau uji-t (per koefisien). Hasil uji ANOVA (Tabel 4) pada model-6 diperoleh nilai Fhitung (114.228) > Ftabel (6;376;0,05) 2,10 dan nilai signifikansi model yang sangat kecil (Sig. < 0,05), sehingga persamaan regresi pada model-6 dapat digunakan untuk prediksi produktivitas cantrang di Blanakan. 199 Tabel 4. ANOVA model-6 yang dihasilkan dari analisis regresi berganda Sumber keragaman Jumlah kuadrat Derajat bebas Kuadrat tengah Fhitung Sig. 114.228 0.000 Regression 481.612 6 80.269 Residual 264.218 376 0.703 Total 745.830 382 Pada lampiran 3, dapat dilihat koefisien-koefisien dari variabel-variabel faktor prosuksi pembentuk model produktivitas cantrang di Blanakan. Model yang diperoleh adalah: Hasil tangkapan = -2.090 + 0.198 HOP + 0.070 Es + 0.164 Panjang kapal + 0.138 ABK + 0.285 Palka + 0.030 Panjang Jaring Nilai koefisien determinasi (R2) model sebesar 0.646 yang berarti faktorfaktor produksi cantrang di Blanakan (HOP, es, panjang kapal, ABK, palka, dan panjang jaring) mempengaruhi hasil tangkapan sebesar 64,6%. Sementara 35,4% lainnya dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya yang tidak terdapat pada model. Menurut Kusnandar (2000), faktor-faktor produksi yang diduga dapat mempengaruhi produktivitas usaha cantrang adalah ukuran kapal, kapasitas palkah, jumlah bahan bakar, jumlah trip, kecepatan kapal, ukuran jaring dan jumlah ABK. Panayotou (1985) mengatakan bahwa faktor-faktor produksi yang dapat mempengaruhi hasil tangkapan antara lain ukuran kapal, kekuatan mesin penggerak kapal, ukuran mata jaring, panjang alat tangkap, jumlah ABK dan lama trip operasi penangkapan. Sedangkan Permana (2003) menyatakan bahwa beberapa faktor produksi yang mempengaruhi nilai produktivitas cantrang di Tegal adalah kekuatan mesin penggerak kapal, ukuran jaring, jumlah ABK, bahan bakar yang digunakan, dan lama trip operasi penangkapan. Selain dari keenam variabel yang terdapat pada model, masih terdapat faktor-faktor lain dapat mempengaruhi hasil tangkapan. Pengaruh dari faktorfaktor tersebut relatif cukup besar (35,4%) sehingga model produktivitas yang diperoleh belum maksimal. Pengaruh dari faktor yang belum teridentifikasi dapat berkorelasi positif maupun negatif terhadap hasil tangkapan. 200 Secara parsial, semua faktor-faktor dalam aspek penangkapan berkorelasi dengan hasil tangkapan yang diperoleh, baik itu dapat meningkatkan atau bahkan menghambat produksi. Namun bila kesemuanya diintegrasikan dalam suatu sistem, tidak semua variabel harus digunakan dalam mengukur suatu produktivitas alat tangkap. Variabel bahan bakar tidak digunakan dalam model karena berkorelasi dengan jumlah hari operasi. Namun yang secara langsung berpengaruh terhadap hasil tangkapan adalah jumlah hari operasi, bukan jumlah bahan bakar yang dibawa melaut. Variabel kekuatan mesin (PK) tidak digunakan dalam model karena korelasi kekuatan mesin dengan hasil tangkapan relatif sangat kecil. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas penangkapan armada cantrang tidak mengandalkan kekuatan mesin, karena kecepatan saat towing adalah relatif sama yaitu sekitar 3-4 knot, walaupun kekuatan mesin kapal-kapal tersebut bervariasi. KESIMPULAN Terdapat enam faktor produksi yang secara nyata mempengaruhi hasil tangkapan cantrang yang berbasis di Blanakan Subang Jawa Barat. Berdasarkan tingkat keeratan hubungan faktor-faktor tersebut dengan hasil tangkapan dari yang tertinggi secara berturut-turut keenam faktor adalah jumlah hari operasi, jumlah es yang digunakan, panjang kapal, jumlah ABK, volume palka, dan panjang jaring yang digunakan. Kesemuanya berkorelasi positif terhadap hasil tangkapan, dimana jika salah satu atau beberapa atau kesemuanya ditingkatkan, maka akan meningkatkan hasil tangkapan armada cantrang yang bersangkutan. Selain keenam variabel tersebut, masih terdapat faktor-faktor lain yang mempengaruhi produktivitas cantrang di Blanakan yang belum dapat diidentifikasi dengan kontribusi cukup besar terhadap hasil tangkapan. Oleh karena itu dimasa mendatang perlu dilakukan pencatatan yang menyeluruh dengan menambah variabel yang didata seperti dimensi kapal (GT), ukuran mata jaring, luas sapuan jaring, kecepatan kapal, dan lain-lain. 201 PERSANTUNAN Sumber data dan informasi dalam tulisan ini merupakan bagian dari hasil penelitian “Pengkajian kapasitas penangkapan cantrang pada perikanan demersal di laut Jawa serta pukat cincin pada perikanan cakalang dan pelagis di laut Sulawesi” dengan sumber dana dari DIPA BPPL Tahun Anggaran 2012. DAFTAR PUSTAKA BPPL, 2010. Dinamika Perilaku Perikanan Pukat Cincin: Perubahan Pola Eksploitasi dan Substitusi Alat Tangkap. Laporan Akhir Riset. Balai Riset Perikanan Laut. Jakarta Kusnandar, 2000. Perikanan Cantrang dan Kemungkinan Pengembangannya. IPB Bogor. Mattjik dan Sumertajaya. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Jilid 1 Edisi-2. IPB Press. 334p. Panayotou, 1985. Small-Scale Fisheries in Asia : Socioeconomic Analysis and Policy. International Development Research Centre. Ottawa. Permana, RM, 2003. Analisis Produksi Perikanan Cantrang di Kota Tegal. Tesis. Universitas Diponegoro. Semarang Suhendrata, T., dan M. Badrudin., 1990. Sumber Daya Perikanan Demersal di Perairan Pantai Utara Rembang. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. No 54. BPPL. Jakarta Trihendradi, C. 2010. Step by Step SPSS 18. Analisis Data Statistik. Penebit ANDI Yogyakarta. Usman H dan Purnomo S A. 2006. Pengantar Statistika. Jakarta: Bumi Aksara. Hal 200 – 201. 202 203 6 5 4 3 2 5.912 6.548 7.493 7.598 4.890 .215 .236a .391a .388a .172b Palka ABK BBM Es -2.014 3.859 2.020 2.753 -.080d .134d .151d .091e PK Palka BBM -2.159 1.766 -1.924 1.512 e -.084 .131e -.075f .112f PK BBM PK BBM Jaring 2.973 2.411 .184c BBM .100 4.610 .177c ABK Jaring 3.751 .134c Palka d -.405 -.016c .215b BBM PK 2.749 .142b ABK 2.319 3.604 .144b Palka .080 3.932 .004b PK Jaring .093 .111 Jaring c 3.247 b Panjang 3.751 a PK .135 2.627 Jaring a 5.617 .207a Panjang 1 .097a t Beta In Model .131 .055 .078 .032 .006 .044 .000 .045 .003 .016 .000 .000 .686 .021 .006 .000 .000 .926 .001 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .009 .000 Sig. .078 -.099 .091 -.111 .141 .103 .195 -.103 .151 .123 .231 .189 -.021 .118 .140 .182 .198 .005 .165 .244 .363 .359 .318 .290 .189 .134 .277 Partial Correlation .173 .619 .174 .625 .859 .175 .791 .625 .863 .177 .675 .791 .697 .876 .178 .693 .794 .705 .919 .851 .425 .409 .882 .883 .952 .921 .869 Tolerance 5.796 1.615 5.738 1.600 1.164 5.705 1.264 1.599 1.158 5.649 1.481 1.264 1.434 1.141 5.607 1.443 1.260 1.419 1.089 1.175 2.351 2.444 1.134 1.133 1.050 1.085 1.151 VIF Collinearity Statistics .165 .265 .167 .265 .296 .171 .297 .282 .321 .177 .321 .377 .313 .400 .178 .334 .383 .315 .404 .417 .425 .409 .882 .883 .952 .921 .869 Minimum Tolerance Lampiran 1. Variabel bebas (faktor produksi) yang dikeluarkan/tidak dipakai untuk masing-masing model produktivitas 204 .578 .760b 2 .640 .634 .620 .600 .576 .513 Adjusted R Square .83828 .84556 .86096 .88367 .90992 .97532 Std. Error of the Estimate .007 .014 .021 .025 .064 .514 R Square Change 7.581 14.894 21.252 23.916 57.735 403.055 F Change 1 1 1 1 1 1 df1 376 377 378 379 380 381 df2 .006 .000 .000 .000 .000 .000 Sig. F Change 1.597 DurbinWatson 4 3 .209 .165 Panjang HOP .140 Es -.343 .197 HOP (Constant) 1.219 .154 Es (Constant) .216 HOP .366 3.266 HOP (Constant) 3.087 (Constant) 1 2 B Model .025 .553 .034 .020 .026 .449 .020 .026 .167 .018 .177 Std. Error Unstandardized Coefficients .411 .172 .353 .387 .388 .423 .717 Beta Standardized Coefficients 8.361 -.620 4.890 7.040 7.726 2.717 7.598 8.275 19.590 20.076 17.451 t .000 .535 .000 .000 .000 .007 .000 .000 .000 .000 .000 Sig. .160 -1.431 .098 .101 .147 .337 .114 .164 2.938 .330 2.739 Lower Bound .259 .745 .231 .179 .248 2.102 .194 .267 3.594 .401 3.435 Upper Bound 95% Confidence Interval for B .717 .440 .709 .717 .709 .717 .717 Zero-order .395 .244 .340 .369 .363 .391 .717 Partial Correlations .264 .158 .228 .250 .253 .276 .717 Part .412 .851 .417 .417 .425 .425 1.000 Tolerance 2.426 1.175 2.400 2.401 2.351 2.351 1.000 VIF Collinearity Statistics Lampiran 3. Nilai koefisien regresi dan t-hitung tiap faktor produksi (variabel tak bebas) untuk masing-masing model produktivitas .804 .646 5 6 .639 .799e 4 f .624 .777 .790d 3 .603 .514 .717a 1 c R Square R Model Change Statistics Lampiran 2. Nilai koefisien korelasi dan determinasi untuk masing-masing model produktivitas cantrang di Blanakan 205 .070 .164 .138 .285 .030 Panjang ABK Palka Jaring .300 Palka .198 .129 ABK Es .182 Panjang HOP .067 Es -2.090 .210 HOP (Constant) -1.268 .129 ABK (Constant) .189 Panjang a. Dependent Variable: Produksi 6 5 .091 Es .011 .077 .027 .033 .022 .025 .660 .078 .027 .033 .023 .025 .594 .028 .033 .022 .091 .128 .190 .171 .176 .387 .134 .177 .189 .170 .413 .177 .197 .230 2.753 3.688 5.036 4.973 3.114 7.958 -3.167 3.859 4.698 5.557 2.989 8.559 -2.136 4.610 5.690 4.129 .006 .000 .000 .000 .002 .000 .002 .000 .000 .000 .003 .000 .033 .000 .000 .000 .009 .133 .084 .099 .026 .149 -3.388 .147 .075 .117 .023 .162 -2.436 .074 .124 .048 .051 .436 .192 .229 .114 .246 -.792 .452 .183 .246 .112 .259 -.101 .184 .254 .135 .291 .436 .455 .440 .709 .717 .436 .455 .440 .709 .717 .455 .440 .709 .141 .187 .251 .248 .159 .380 .195 .235 .275 .152 .403 .231 .281 .208 .085 .113 .155 .153 .096 .244 .119 .145 .172 .093 .265 .145 .179 .130 .859 .787 .665 .796 .296 .397 .791 .675 .826 .297 .412 .675 .829 .321 1.164 1.271 1.503 1.256 3.374 2.516 1.264 1.481 1.210 3.369 2.427 1.481 1.206 3.117 PRODUKTIVITAS ALAT TANGKAP CANTRANG DI PROBOLINGGO Oleh Tri Wahyu Budiarti 1) dan Mahiswara1) 1) Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut ABSTRAK Alat tangkap cantrang populer digunakan oleh nelayan Probolinggo sebagai pengganti payang sejak tahun 2010. Peningkatan jumlah kapal cantrang yang menggunakan TPI Mayangan, Kota Probolinggo sebagai fishing base mendorong bertambah luasnya daerah penangkapan. Hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap nilai input yang digunakan pada pengoperasian cantrang. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat produktivitas cantrang di Probolinggo. Pengambilan sampel dilakukan pada bulan Maret – Desember 2012, dengan menggunakan metode penelitian deskriptif analisis. Berdasarkan analisis regresi berganda diketahui bahwa secara bersama-sama seluruh variabel bebas mampu mempengaruhi variabel tidak bebas dengan koefisien determinasi (R2) 0,98 pada tingkat kepercayaan 95%. Dengan persamaan produktivitas yang diperoleh Y = 1,525X1 - 0,361X2 + 0,164X3 + 0,012X4 + 0,066X5 + 0,002X6 + 0,537X7 - 8,993, diperoleh faktor-faktor produksi yang mempengaruhi produktivitas adalah ukuran panjang kapal, GT kapal, daya mesin yang digunakan, panjang tali ris atas, hari operasional penangkapan, konsumsi bahan bakar, dan jumlah ABK. Kata kunci : analisis regresi, productivitas, cantrang, Probolinggo PENDAHULUAN Perikanan cantrang yang dalam satu dekade terakhir berkembang begitu pesat, merupakan alat tangkap tradisional yang telah lama dioperasikan di Laut Jawa. Sebelum tahun 1980 jaring cantrang dioperasikan dengan menggunakan kapal berukuran relatif kecil, yaitu kurang dari 5 GT. Pengoperasian jaring sepenuhnya menggunakan tenaga manusia, baik dalam menggerakan kapal maupun saat operasi penangkapan (pengoperasian jaring). Pengembangan usaha perikanan tangkap telah memungkinkan terjadinya perubahan teknologi perikanan tangkap di wilayah Laut Jawa, termasuk cantrang yang merupakan alat tangkap alternatif yang telah mampu menggantikan trawl, khususnya sebagai alat tangkap ikan demersal. Sejak digunakannya gardan/kapstan sebagai alat bantu penarik jaring pada tahun 1987, perikanan cantrang memanfaatkan gardan untuk menarik tali slambar. 207 Adanya gardan, cantrang akhirnya dimodifikasi menjadi alat tangkap aktif dengan cara ditarik dengan sebuah perahu atau kapal. Alat tangkap cantrang sangat efektif untuk menangkap sumberdaya ikan demersal (Suhendrata dan Badrudin, 1990). Ukuran kapal yang digunakan untuk mengoperasikan cantrang untuk saat ini sangat bervariasi, mulai dari 5 GT hingga mencapai lebih dari 50 GT. Meski keberadaannya cukup kontroversial, namun sampai saat ini perikanan cantrang tetap mengalami perkembangan dari segi jumlah arnada. Anonim (2010) dalam penelitiannya tentang perikanan Laut Jawa menuliskan bahwa dengan menurunnya hasil tangkapan per satuan upaya pukat cincin, sebagian armada pukat cincin mengalihkan usahanya ke perikanan cantrang. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat produktivitas cantrang di Probolinggo, yang nantinya dapat digunakan sebagai dasar dalam tujuan pengelolaan sumberdaya ikan yang berkelanjutan. BAHAN DAN METODE Penelitian di lakukan di TPI Mayangan pada bulan Maret sampai dengan Desember 2012 sebagai sentra perikanan cantrang di Kota Probolinggo, Jawa Timur. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara langsung dengan nelayan untuk data primer sedangkan data sekunder diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Probolinggo dan PPP Mayangan, Kota Probolinggo. Metode penelitian menggunakan metode deskriptif analisis dan metode survey terhadap beberapa sampel data. Data dan informasi yang terkumpul kemudian disusun, ditabulasi, dan di analisis menggunakan uji statistik. Analisis produksi digunakan untuk melihat langsung hubungan antara produksi dan faktor produksi yang diduga dapat mempengaruhi produktivitas usaha perikanan cantrang. Beberapa faktor produksi yang digunakan untuk menghitung nilai produktivitas antara lain : panjang kapal, Ukuran GT, daya mesin yang digunakan, panjang tali ris atas alat tangkap cantrang, konsumsi bahan bakar, lama operasi trip penangkapan, dan jumlah ABK. Hubungan kuantitatif antara produktivitas 208 dan faktor produksi alat tangkap cantrang dihitung dengan menggunakan bantuan metode regresi berganda model Cobb-Douglas dengan formula sebagai berikut : Y = A.X1b1. X2b2. X3b3..............Xibi. Agar fungsi tersebut linier, maka perlu dilogaritmakan dengan menggunakan persamaan di bawah ini : Log Y = log A + b1 log X1 + b2 log X2 + b3 log X3 + b4 log X4 + b5 log X5 + b6 log X6 + b7 log X7 Dimana : Y = produksi hasil tangkapan cantrang (ton) X1 = ukuran panjang kapal (m) X2 = GT kapal (ton) X3 = Daya mesin yang digunakan (HP) X4 = Panjang tali ris atas (m) X5 = Hari operasional penangkapan (hari) X6 = Konsumsi bahan bakar (ton) X7 = Jumlah ABK (orang) HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL Keragaan Perikanan Cantrang Terdapat tujuh jenis unit armada yang melakukan kegiatan bongkar di Probolinggo yaitu bubu, cantrang, gillnet, payang, pukat cincin, rawai dasar, dan kapal penampung (Gambar i). Berdasarkan data yang diperoleh terdapat tiga jenis alat tangkap yang aktif melakukan bongkar hasil trangkapan yaitu; rawai dasar/balai/bottom longline, cantrang/jonggrang, dan pukat cincin. Pada tahun 2011, armada cantrang merupakan armada yang paling aktif dalam kegiatan bongkar yaitu sebesar 119 unit atau 70 unit lebih banyak dibandingkan armada rawai dasar. Produksi ikan hasil tangkapan yang didaratkan sebagian besar berasal dari unit penangkapan rawai dasar, atau dengan istilah lokal „balai„. Perkembangan produksi ikan yang didaratkan selama kurun waktu 2008 – 2011 disajikan pada (Tabel 1). 209 unit 120 100 80 60 40 20 0 Gambar 1. Jumlah unit armada yang melakukan bongkar selama tahun 2011 Tabel 1. Perkembangan produksi berdasarkan alat tangkap tahun 2008 – 2011 Tahun Balai (Rawai) Jonggrang (Cantrang) Pukat cincin 2008 6,812,491 - - 2009 7,272,048 - - 2010 6,602,744 3,367,272 1,356,702 2011 4,881,031 4,125,093 2,563,061 Dalam Tabel 1. tampak bahwa perikanan cantrang memberikan konstribusi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pukat cincin. Berdasarkan data yang tersedia didapatkan informasi bahwa, sepanjang tahun 2011 produksi perikanan di Probolinggo masih didominasi oleh hasil tangkapan yang berasal dari alat tangkap rawai dasar (Gambar ii). Dalam Gambar ii. tampak bahwa perikanan cantrang atau istilah lokalnya „jonggrang‟ pada bulan tertentu (Maret, Mei, Juni, Juli, Agustus, September) memberikan konstribusi produksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan rawai dasar. Sejak tahun 2010 cantrang merupakan alat tangkap yang populer digunakan oleh nelayan di Probolinggo sebagai pengganti alat tangkap payang. Hampir setiap bulan terjadi peningkatan jumlah kapal cantrang yang menggunakan TPI Mayangan sebagai fishing base. Sampai dengan bulan Desember 2011, jumlah kapal yang menggunakan alat tangkap cantrang sebesat 104 unit yang mempunyai ijin resmi, dan diperkiran yang tidak memiliki ijin operasi mendekati jumlah yang 210 sama. Cantrang telah memberikan konstibusi nyata terhadap perkembangan produksi per alat tangkap (ton) produksi ikan di Probolinggo, tanpa memunculkan konflik. 700.00 Cantrang 600.00 Rawai Dasar 500.00 Bubu 400.00 Pukat Cincin 300.00 200.00 100.00 0.00 Jan Feb Mar April Mei Juni Juli Agst Sept Okt Nov Des bulan Gambar 2. Produksi ikan bulanan berdasarkan alat tangkap tahun 2011 Alat tangkap Cantrang Sebelum mengenal alat tangkap jonggrang/cantrang, nelayan di Probolinggo lebih banyak mengoperasikan payang. Perubahan alat tangkap payang ke cantrang berdasarkan informasi yang diperoleh lebih disebabkan karena semakin jauhnya daerah pengoperasian payang yang mentargetkan ikan layang dan jenis ikan pelagis lain. Alat tangkap cantrang di Probolinggo menempati basis TPI Mayangan sejak tahun 2010. Terdapat dua jenis trip dalam sistem pengoperasian cantrang di Probolinggo yaitu trip harian (one day fishing) dan trip mingguan. Pada kedua sistem pengoperasian tersebut, ukuran alat tangkap cantrang tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Letak perbedaan utamanya pada penggunaan jumlah gulungan/panjang tali slambar, terkait dengan kedalaman perairan di daerah penangkapan. Armada cantrang yang digunakan berbahan kayu berukuran 5-30 GT, dengan ukuran panjang (7,0-19,0 m) x Lebar (3-6 m) x dalam (1,3 – 1,9 m). Armada ini dilengkapi dengan mesin utama 2 x (30-120 PK), mesin untuk gardan 24 - 30 PK.(Gambar iii) Dimensi cantrang yang digunakan nelayan di Probolinggo mempunyai ukuran panjang sayap jaring 22,4 m – 30,5 m dengan ukuran meshsize 3 inci, 211 panjang badan jaring 14,4 m – 18 m ukuran meshsize 1¼ – 3 inci, dan panjang kantong 4 m – 4,5 m dengan ukuran meshsize 1 inci. (Gambar 4). Gambar 3. Armada penangkapan dengan alat tangkap cantrang Gambar 4. Deskripsi rancang bangun cantrang di Probolinggo Produksi dan laju tangkap cantrang Hasil analisis data terhadap hasil tangkapan yang berhasil dihimpun diperoleh informasi bahwa rata-rata laju tangkap cantrang harian yang didaratkan di TPI Mayangan sebesar 351,68 kg/kapal/trip. Hasil tangkapan unit cantrang harian ini didominasi oleh ikan pepetek, kuniran, kurisi serta bloso. Sedangkan rata-rata laju tangkap unit penangkapan cantrang yang mempunyai trip mingguan 212 yang didaratkan di TPI Mayangan adalah 1303,05 kg/kapal/trip yang didominasi oleh ikan swanggi, kurisi, bloso, dan pepetek. Gambar v. menunjukkan fluktuasi nilai produksi ikan hasil tangkapan cantrang tahun 2010 sampai dengan 2012. Terdapat kecenderungan kenaikan produksi dari tahun 2010 ke tahun 2011 sebesar rata-rata 70,39 % per bulan. Secara keseluruhan nilai produksi total selama tahun 2011 mengalami kenaikan sebesar 60,70% atau 2,04 ton dibandingkan total produksi selama tahun 2010. Hal ini berkebalikan dengan perbandingan produksi dari tahun 2011 ke tahun 2012, yaitu terjadi penurunan rata-rata sebesar 50,05 % per bulan. Secara keseluruhan penurunan total produksi selama tahun 2012 adalah 58,77% atau sebesar 3,17 ton dari total produksi selama tahun 2011. 800 2010 700 2011 600 2012 (ton) 500 400 300 200 100 0 J F M A M J J A S O N D bulan Gambar 5. Nilai produksi ikan hasil tangkapan cantrang tahun 2010 – 2012 Nilai CPUE tahun 2010 dan tahun 2011 mempunyai pola yang yang hampir sama. Rata-rata nilai CPUE bulanan pada tahun 2010 sebesar 0,77 ton/trip, dan nilai rata-rata CPUE bulanan pada tahun 2011 sebesar 0,78 ton/trip, terjadi kenaikan sebesar 0,01 ton/trip. Nilai rata-rata CPUE tahun 2012 sebesar 0,94 ton/trip atau terjadi kenaikan rata-rata CPUE bulanan sebesar 17,57% dari tahun 2011. Kenaikan ini dikarenakan adanya dua puncak CPUE pada bulan April sebesar 1,56 ton/trip dan Oktober 2012 sebesar 1,18 ton/trip. Fluktuasi nilai CPUE bulanan tahun 2010 sampai dengan 2012 disajikan dalam Gambar vi. 213 1.60 2010 CPUE (ton/trip) 1.40 2011 2012 1.20 1.00 0.80 0.60 0.40 J F M A M J J A S O N D bulan Gambar 6. Fluktuasi nilai CPUE bulanan tahun 2010 – 2012. Analisis Produksi Alat Tangkap Cantrang Dalam kegiatan penangkapan ikan produksi adalah suatu hasil tangkapan yang diperoleh selama kegiatan penangkapan berlangsung. Secara umum nilai produksi antara kapal cantrang tidaklah sama, hal ini dikarenakan terdapat faktorfaktor yang mempengaruhi. Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan regresi berganda model Cobb- Douglass diperoleh bentuk persamaan produktivitas cantrang di Probolinggo sebagai berikut : Y = -1,525X1 - 0,361X2 + 0,164X3 + 0,012X4 + 0,066X5 + 0,002X6 + 0,537X7 8,993 dengan nilai koefisien determinasi sebesar 0,98. Dengan nilai koefisien determinasi ini maka diperoleh hubungan bahwa antara faktor-faktor produksi tersebut mempunyai hubungan yang nyata dengan produktivitas cantrang sebesar 98%. Hasil uji ANOVA diperoleh bahwa nilai Fhitung (14,324) > Ftabel (5,591) pada tingkat kepercayaan sebesar 95% (Lampiran). Terdapat 7 jenis faktor-faktor produksi yang mempengaruhi nilai produktivitas alat tangkap cantrang di Probolinggo antara lain : ukuran panjang kapal, GT kapal, daya mesin yang digunakan, panjang tali ris atas, hari operasional penangkapan, konsumsi bahan bakar, dan jumlah ABK. (Tabel 2). 214 Tabel 2. Faktor-faktor produksi yang mempengaruhi produktivitas cantrang di Probolinggo Rata-rata Bulan Jumlah Panjang GT kapal (m) (ton) X1 X2 armada (unit) Daya Panjang Mesin Tali Ris (HP) Atas (m) X3 X4 Jumlah Total hasil ABK tangkapan (orang) (ton) X6 X7 Y HOP BBM (hari) (ton) X5 Maret 27 12,206 16,375 81,111 1266,667 5,222 0,712 9,222 1,127 April 26 12,902 17,115 85,000 1228,846 5,308 0,883 10,577 0,980 Mei 23 13,350 16,600 80,909 1291,304 5,043 0,883 11,478 1,034 Juni 35 13,628 18,846 84,130 1311,429 4,400 1,005 11,771 0,823 Juli 31 13,391 19,040 82,708 1291,935 4,645 0,818 12,323 0,738 Agust 37 13,310 16,148 72,273 1289,189 4,919 1,246 12,108 0,690 Sept 39 13,154 16,219 77,500 1251,923 4,256 1,012 12,026 0,878 Okto 38 12,997 16,031 74,808 1255,263 4,684 1,200 11,921 1,045 Nov 29 13,295 17,800 81,500 1249,138 4,862 1,166 11,793 0,836 Des 48 13,359 18,116 85,000 1265,625 4,771 1,307 10,583 1,008 Rataan 33,3 13,159 17,229 80,494 1270,132 4,811 1,023 11,380 0,916 Total 333 131,591 172,291 804,939 12701,320 48,111 10,230 113,803 9,158 PEMBAHASAN Menurut Kusnandar (2000), faktor-faktor produksi yang diduga dapat mempengaruhi produktivitas usaha cantrang adalah ukuran kapal, kapasitas palkah, jumlah bahan bakar, jumlah trip, kecepatan kapal, ukuran jaring dan jumlah ABK. Panayotou (1985) mengatakan bahwa faktor-faktor produksi yang dapat mempengaruhi hasil tangkapan antara lain ukuran kapal, kekuatan mesin penggerak kapal, ukuran mata jaring, panjang alat tangkap, jumlah ABK dan lama trip operasi penangkapan. Sedangkan Permana (2003) menyatakan bahwa beberapa faktor produksi yang mempengaruhi nilai produktivitas cantrang di Tegal adalah kekuatan mesin penggerak kapal, ukuran jaring, jumlah ABK, bahan bakar yang digunakan, dan lama trip operasi penangkapan. Hasil analisis menunjukkan bahwa faktor produksi ukuran panjang kapal dan GT mempunyai pengaruh negatif terhadap nilai produktivitas cantrang di Probolinggo. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan ukuran panjang sebesar 1% akan meningkatkan besaran GT kapal, untuk selanjutnya akan mengurangi nilai produksi cantrang sebesar 1,88%. Akan tetapi perubahan terhadap ukuran panjang dan GT tidak dapat dilakukan secara langsung karena kedua faktor 215 tersebut termasuk subyek tetap (fixed input) dalam pengoperasian unit penangkapan jaring cantrang. Sedangkan faktor- faktor produksi yang mempunyai nilai hubungan positif antara lain adalah daya mesin yang digunakan, panjang tali ris atas, hari operasional penangkapan (HOP), konsumsi bahan bakar (BBM), dan jumlah ABK. Penambahan terhadap daya mesin dan panjang tali ris atas dapat meningkatkan jumlah produksi cantrang. Penambahan terhadap kedua faktor tersebut dapat dilakukan secara langsung, tetapi akan menyebabkan kebutuhan modal awal sangat tinggi mengingat daya mesin dan panjang tali ris atas termasuk juga ke dalam subyek tetap (fixed input) pada pengoperasian unit penangkapan jaring cantrang. Begitupun pada penambahan subyek tidak tetap (variable input) dalam hal ini penambahan HOP akan menimbulkan konsumsi BBM meningkat, dan penambahan jumlah ABK akan memberikan efek negatif terhadap biaya ekspoitasi unit penangkapan jaring cantrang. Zen et.al (2002) dalam penelitiannya mengenai efisiensi teknis drifnet dan payang seine (lampara) di Sumatera Barat menggunakan faktor produksi perikanan laut, panjang kapal, ukuran kapal,kekuatan mesin kapal, ukuran alat tangkap, ukuran mata jaring, jumlah tenaga kerja, bahan bakar, dan pengalaman nelayan. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa kebanyakan nelayan di daerah Sumatera barat masih hidup di bawah garis kemiskinan. Fenomena ini disebabkan oleh karena produktivitas yang rendah dan penggunaan faktor produksi yang tidak efisien. Sejumlah 70% unit driftnet telah mencapai efisiensi teknik sebesar 90%. Dalam penelitian di Juwana Setyorini et al. (2009) mengemukakan bahwa brdasarkan hasil analisis efisiensi teknis (ET) dapat diketahui bahwa nilai rata-rata efisiensi teknis gillnet dan cantrang adalah sebesar 0,87974 dan 0,61968. Nilai efisiensi teknis tersebut masih di bawah nilai 1, artinya bahwa usaha produksi perikanan tangkap ini masih belum efisien dan masih memungkinkan untuk menambah beberapa variabel inputnya untuk dapat meningkatkan hasil yang optimal. Sedangkan efisiensi alokatif/harga (EH), usaha penangkapan ikan dengan gillnet dan cantrang ternyata belum efisien dengan nilai efisien harga sebesar 4,15074 dan 1,820. Sehingga efisiensi ekonomisnya juga belum efisien lebih dari 1 yaitu sebesar 3,65157 dan 1,601. 216 Perubahan faktor-faktor produksi baik yang mempunyai hubungan negatif maupun positif harus dilakukan dengan cara yang cermat dan efisien, sehingga tidak akan mengurangi jumlah keuntungan secara finansial yang diperoleh pada pengoperasian cantrang. Perkembangan jumlah armada cantrang di Probolinggo telah mendorong bertambah luasnya daerah penangkapan, sehingga mengakibatkan semakin meningkatnya HOP di dalam satu tripnya. Peningkatan upaya penangkapan yang diikuti dengan perluasan daerah penangkapan secara tidak langsung akan menyebabkan tekanan terhadap keberlangsungan sumberdaya perikanan. KESIMPULAN Faktor-faktor produksi yang mempunyai nilai hubungan negatif terhadap produktivitas cantrang di Probolinggo adalah ukuran panjang kapal dan GT kapal cantrang. Sedangkan yang bernilai positif (berpengaruh nyata) antara lain adalah : daya mesin yang digunakan, panjang tali ris atas, hari operasional penangkapan, konsumsi bahan bakar, dan jumlah ABK. Perubahan faktor-faktor produksi baik yang mempunyai hubungan negatif maupun positif harus dilakukan dengan cara yang cermat dan efisien, sehingga tidak akan mengurangi jumlah keuntungan secara finansial yang diperoleh pada pengoperasian cantrang. Perubahan faktor-faktor produksi baik yang mempunyai hubungan negatif maupun positif harus dilakukan dengan cara yang cermat dan efisien, dan perlu dibarengi dengan penggunaan alat tangkap yang selektif guna keberlanjutan sumberdaya perikanan. PERSANTUNAN Penelitian ini merupakan salah satu hasil penelitian dengan judul “Pengkajian kapasitas penangkapan cantrang pada perikanan demersal di laut Jawa serta pukat cincin pada perikanan cakalang dan pelagis di laut Sulawesi” dengan sumber dana dari DIPA BPPL Tahun Anggaran 2012. 217 DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2010. Dinamika Perilaku Perikanan Pukat Cincin: Perubahan Pola Eksploitasi dan Substitusi Alat Tangkap. Laporan Akhir Riset. Balai Riset Perikanan Laut. Jakarta. 82 hal. Kusnandar, 2000. Perikanan Cantrang dan Kemungkinan Pengembangannya. IPB Bogor. 98 hal. Panayotou, 1985. Small-Scale Fisheries in Asia : Socioeconomic Analysis and Policy. International Development Research Centre. Ottawa. 123 p. Permana, RM, 2003. Analisis Produksi Perikanan Cantrang di Kota Tegal. Tesis. Universitas Diponegoro. Semarang. 89 hal. Setyorini, Agus Suherman dan Imam Triarso, 2009. Analisis Perbandingan Produktivitas Usaha Penangkapan Ikan Rawai Dasar (Bottom Set Long Line) dan Cantrang (Boat Seine) Di Juwana Kabupaten Pati. Jurnal Saintek Perikanan Vol. 5, No. 1, 2009, UNDIP, Semarang. Hal 7 – 14. Suhendrata, T., dan M. Badrudin., 1990. Sumber Daya Perikanan Demersal di Perairan Pantai Utara Rembang. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. No 54. BPPL. Jakarta Zen , 2002. “Technical Efficiency of The Driftnet and Payang Seine (Lampara) Fisheries in west Sumatra, Indonesia”. Journal of Asian fisheries Science. vol.15. p. 97-106. 218 Lampiran SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R 0,990 R Square 0,980 Adjusted R Square 0,912 Standard Error 0,043 Observations 10 ANOVA df Regression Residual Total 7 2 9 SS 0,183 0,004 0,187 MS F 0,026 14,324 0,002 Significance F 0,067 Intercept -8,993 Standard Error 2,428 X Var 1 -1,525 0,309 -4,929 0,039 -2,857 X Var 2 X Var 3 X Var 4 X Var 5 X Var 6 X Var 7 -0,361 0,164 0,012 0,066 0,002 0,537 0,057 0,029 0,002 0,065 0,000 0,124 -6,294 5,679 4,929 1,024 4,939 4,339 0,024 0,030 0,039 0,414 0,039 0,049 -0,608 0,040 0,002 -0,213 0,000 0,005 Coefficients t Stat Pvalue Lower 95% Upper 95% Lower 95.0% Upper 95.0% -3,705 0,066 -19,438 1,452 0,194 0,114 0,288 0,022 0,346 0,003 1,069 -19,438 1,452 -2,857 -0,194 -0,608 -0,114 0,040 0,288 0,002 0,022 -0,213 0,346 0,000 0,003 0,005 1,069 219 EFISIENSI DAN PEMANFAATAN KAPASITAS PERIKANAN PUKAT CINCIN MINI DI PERAIRAN REMBANG DAN SEKITARNYA Oleh: Hufiadi1), Mahiswara1) dan Baihaqi1) 1) Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut ABSTRAK Kajian pengelolaan perikanan berbasis kapasitas penangkapan merupakan alternatif pendekatan guna mengendalikan faktor-faktor input yang tidak efisien yang digunakan dalam usaha penangkapan. Kapasitas input yang digunakan oleh armada penangkapan ikan bisa terjadi sama dalam setiap operasi penangkapannya, namun inputan yang digunakan armada penangkapan pada setiap musim penangkapan dapat berbeda tingkat efisiensinya. Efisiensi input sangat berhubungan erat dengan konsep kapasitas penangkapan. Tujuan penelitian ini adalah mengukur tingkat efisiensi teknis dan pemanfaatan kapasitas alat tangkap pukat cincin di Rembang. Tingkat pemanfaatan kapasitas dari alat tangkap pukat cincin yang dikaji berdasarkan pada daerah penangkapan dan dianalisis melalui pendekatan matematika dengan data envelopment analysis (DEA). Hasil analisis menunjukkan bahwa kapasitas perikanan pukat cincin di Rembang secara umum telah mengalami surplus input. Peningkatan efisiensi pukat cincin dapat ditempuh dengan mengurangi input effort yang tidak efisien yaitu mengurangi trip rata-rata 6,0%, hari operasi 17,7%, BBM 3,8%, es 12,7%, ABK 12,5% dan perbekalan rata-rata 13,8%. Kata kunci : efisiensi teknis, kapasitas penangkapan, pukat cincin, Rembang PENDAHULUAN Untuk mencapai tujuan perikanan tangkap yang berkelanjutan maka perlu dilakukan terobosan dalam kaitan efisiensi input yang digunakan. Efisiensi input sangat berhubungan erat dengan konsep kapasitas penangkapan. Perkembangan kegiatan penangkapan yang tidak terkendali menyebabkan kegiatan perikanan menjadi tidak efisien. Dalam pengendalian pukat cincin, melalui perizinan panangkapan ikan, pemerintah telah membatasi tonase dan jumlah kapal, ukuran mata jaring, maupun daerah penangkapan, namun tidak mengatur kekuatan mesin maksimum kaitannya dengan tonase kapal (Purwanto & Nugroho, 2011). Salah satu kegiatan penangkapan perikanan pelagis kecil di Kabupaten 221 Rembang adalah menggunakan alat tangkap pukat cincin mini merupakan alat tangkap ikan pelagis kecil yang memberikan konstribusi produksi cukup besar. Dalam rangka peningkatan produksi pukat cincin, maka daya dukung dan kemampuan armada menjadi hal yang sangat berpengaruh. Daya tangkap kapal pukat cincin yang dioperasikan untuk menangkap ikan pelagis kecil dipengaruhi secara signifikan oleh kekuatan mesin penggerak kapal, ukuran jaring pukat cincin, dan kekuatan lampu yang digunakan dalam penangkapan ikan. Ketiga faktor tersebut cenderung meningkat, sehingga daya tangkap kapal pukat cincin juga cenderung meningkat. Dengan semakin berkembangnya upaya penangkapan tidak menutup kemungkinan dapat terjadi persoalan pada pukat cincin berkaitan dengan kelebihan kapasitas penangkapan. Oleh karena itu, diperlukan adanya pengelolaan yang seksama agar produktifitas optimum dapat terjaga secara berkelanjutan. Dengan memperhatikan perkembangan dan konstribusi pukat cincin di Laut Jawa maka diperlukan pengelolaan perikanan tersebut sehingga usaha penangkapannya dapat berkesinambungan. Salah satu metoda pengelolaan perikanan dengan cara mengatur kapasitas perikanan tersebut. Persoalan yang mendasar adalah belum diketahuinya tingkat kapasitas penangkapan perikanan pukat cincin di Rembang. Untuk mengetahui perkembangan perikanan status pengusahaan pukat cincin yang beroperasi di Laut Jawa, maka dilakukan kegiatan kajian kapasitas penangkapan perikanan perikanan pukat cincin mini, guna mengetahui nilai efesiensi teknisnya. Tujuan penelitian adalah untuk menentukan tingkat efisiensi teknis dan kapasitas penangkapan perikanan pukat cincin mini (mini purse seine) Rembang. Tingkat efisiensi teknis (TE) dapat dijadikan indikator seberapa efisien alat tangkap perikanan digunakan. Sehingga dengan pendekatan terhadap aspek teknis (input control) memungkinkan perbaikan pada unit-unit yang digunakan yang diduga menjadi penyebab ketidak efisienan armada perikanan pukat cincin. 222 METODE PENELITIAN Pengumpulan Data Kegiatan menggunakan metode survei, meliputi pengumpulan data catch dan effort serta aspek perikanan lainnya selama bulan Mei – Nopember 2012 di tempat pendaratan ikan Pelabuhan Perikanan Tasik Agung, Rembang. Data utama yang digunakan bersumber dari hasil pencatatan enumerasi pada perikanan pukat cincin (purse seine). Jenis data aspek armada penangkapan meliputi: ukuran kapal, dimensi alat tangkap, kekuatan mesin kapal. Jenis data terkait kegiatan operasi penangkapan meliputi: trip kapal, taktik penangkapan dan hasil tangkapannya. Informasi utama dari faktor inputan unit penangkapan ikan yang dicari diantaranya: tonnage kapal (GT), dimensi kapal, dimensi alat tangkap, kekuatan mesin (HP), jumlah trip, jumlah ABK, konsumsi BBM, hari operasi (HOP), konsumsi es, dan perbekalan. Sedangkan aspek output adalah hasil tangkapan. Analisis Data Analisis kapasitas penangkapan dilakukan dengan membandingkan nilai efisiensi antar kapal pukat cincin yang berbasis di Pelabuhan Tasik Agung Rembang yang dijadikan sebagai decision making unit (DMU). Data dianalisis dengan Data Envelopment Analysis (DEA) dengan pendekatan Banker, Charnes and Cooper (BCC) (Cooper et al., 2004). Model analisis DEA yang digunakan dalam analisis efisiensi bersifat variable return to scale (VRS). Penghitungan pemanfaatan kapasitas penangkapan perikanan pukat cincin dilakukan dengan pendekatan single output (total tangkapan). Data yang telah terkumpul kemudian di tabulasikan, diolah dan dianalisis dengan serangkaian metode dan masing-masing disajikan dalam bentuk tabel, gambar dan grafik. Data di analisis menggunakan program linear (linier programming) dengan bantuan software DEAP kemudian pengolahan analisis dilanjutkan menggunakan program Microsoft Excel version 2007. DEA adalah analisis program matematik untuk mengestimasi efisiensi teknis kegiatan produksi secara simultan. Pertama kali kita tentukan vektor output sebagai u dan vektor inputs sebagai x. 223 Sementara adalah m outputs, n inputs dan j unit penangkapan ikan atau pengamatan. Input dibagi menjadi fixed input (xf) dan variable input (xv). Kapasitas output dan nilai pemanfaatan sempurna dari input, selanjutnya dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (Fare et al., 1989): TE Max 1 , z , ............................................................................................. (1) subject to J 1 u jm z j u jm , (output dibandingkan DMU) j 1 J z j 1 j x jn x jn , j x jn jn x jn , n xv J z j 1 n xf z j 0, j 1,2,..., J , jn 0, n 1,2,..., N , Dimana zj adalah variable intensitas untuk j pengamatan; 1 nilai efisiensi teknis atau proporsi dengan mana output dapat ditingkatkan pada kondisi produksi pada tingkat kapasitas penuh; dan *jn adalah rata-rata pemanfaatan variable input (variable input utilization rate, VIU), yaitu rasio penggunaan inputan secara optimum xjn terhadap pemanfaatan inputan dari pengamatan xjn. Kapasitas output pada efisiensi teknis (technical efficiency capacity output, TECU) kemudian didefinisikan dengan menggandakan 1* dengan produksi sesungguhnya. Pemanfaatan kapasitas (CU ) , berdasarkan pada output pengamatan, kemudian dihitung dengan persamaan berikut: TECU u 1*u 1 1* …………………………………………………...(2) Nilai efisiensi teknis diperoleh melalui penghitungan dengan teknik DEA 224 dengan bantuan software DEAP. Analisis efisiensi teknis dilakukan dengan membandingkan nilai efisiensi antar kapal yang dijadikan sebagai DMU (decision making unit). Proses penghitungan yaitu dengan menentukan nilai konstanta dari output (µ), fixed input (x) dan variable input pada masing-masing DMU sehingga diperoleh nilai efisiensi penangkapan berdasarkan tingkat pemanfaatan kapasitas (CU) penangkapan dan tingkat pemanfaatan kapasitas variabel input (VIU). HASIL Perikanan Pukat Cincin Alat tangkap pukat cincin (purse seine) di Kabupaten Rembang, utamanya terdapat di 3 (tiga) sentra pendaratan ikan yaitu Kecamatan Sarang, Rembang dan Kragan. Berdasarkan data statistik tahun 2011, jumlah alat tangkap pukat cincin terbanyak tercatat di Kragan yaitu 366 unit. Jumlah unit penangkapan pukat cincin terus mengalami peningkatan, terutama sejak tahun 2006 hingga tahun 2011. Pengoperasian pukat cincin menggunakan alat bantu penangkapan berupa rumpon dan lampu dalam operasi penangkapannya. Kapasitas penggunaan lampu bervariatif umumnya mencapai 7.000 – 18.000 watt. Kapal mengunakan 2 (dua) buah tenaga penggerak yang berperan sebagai mesin utama. Daerah penangkapan armada penangkapan pukat cincin Rembang hanya terfokus pada beberapa lokasi penangkapan, yakni Perairan Utara Rembang hingga sekitar Pulau Bawean. Dalam kegiatan operasionalnya memanfaatkan alat bantu rumpon. Produksi dan Laju Tangkap Pukat cincin merupakan unit penangkapan yang dominan dan memberikan konstribusi yang tinggi terhadap produksi perikanan pelagis di Kabupaten Rembang. Ikan layang merupakan tangkapan utama dan mendominasi produksi pukat cincin yang didaratkan, disusul kemudian ikan tembang dan kembung. Musim penangkapan ikan alat tangkap pukat cincin yang berbasis di TPI Tasik Agung berlangsung antara bulan Oktober sampai dengan Maret, sedangkan pada bulan April hingga bulan 225 September musim penangkapan ikan belum memasuki waktunya. Perkembangan CPUE alat tangkap pukat cincin, dalam kurun waktu 5 tahun (2007 – 2011) mengalami penurunan hingga 16 %, tercatat pada tahun 2007 CPUE pukat cincin sebesar 3.618 kg/trip turun hingga 3.023 kg/trip pada tahun 2011 (Gambar 1). CPUE (Kg/trip) 4000 3000 2000 1000 0 2007 2008 2009 2010 2011 Tahun Gambar 1. Fluktuasi CPUE Pukat Cincin di TPI Tasik Agung I Efisiensi Teknis Perikanan Pukat Cincin Realisasi operasional kapal pukat cincin Rembang dalam mengeksploitasi sumberdaya pelagis kecil berdasarkan total tangkapan diperoleh daya tangkap ratarata sebesar 2,7 ton/trip, konsumsi BBM rata-rata 484,9 liter/trip dan kebutuhan Es sebanyak 82 balok / trip. Pendekatan kapasitas pukat cincin yang berbasis di Rembang menggunakan single output. Berdasarkan dari hasil analisis DEA, terlihat bahwa kisaran nilai efisiensi kapasitas penangkapan pada musim Barat antara 0,13 - 1,00 dengan ratarata nilai efisiensi 0,66. Sebanyak 24 kapal (35 %) dari 68 kapal sample memiliki tingkat kapasitas penangkapan otimal dengan nilai efisiensi sebesar 1,00, sementara 44 kapal (65%) lainnya tidak optimal yaitu terdiri dari 19 (28%) kapal efisiensi > 5,00 (37%) dan 25 (37%) kapal < 5,00. Pada musim Timur kisaran nilai efisiensi antara 0,06-1,00 dengan rata-rata efisiensi 0,57. Dari 125 kapal sampel sebanyak 26 kapal (21%) mencapai tingkat kapasitas penangkapan optimal dengan nilai efisiensi sebesar 1,00, sedangkan 99 kapal (79%) lainnya tidak optimal. Pada musim Peralihan diperoleh rata-rata nilai 226 efisiensi sebesar 0,70 dengan kisaran nilai 0,02-1,00. Pada musim Peralihan diperoleh sebanyak 41 kapal (41%) dari 99 kapal sample memiliki tingkat kapasitas penangkapan otimal dengan nilai efisiensi sebesar 1,00, sedangkan 58 kapal (58%) lainnya tidak optimal yaitu terdiri dari 26 (26%) kapal efisiensi > 5,00 (37%) dan 32 (32%) kapal < 5,00. Tingkat penggunan input variabel kapal pukat cincin dengan pendekatan single output dapat terlihat pada Gambar 2. Tingkat penggunaan variabel menunjukkan bahwa rata-rata nilai pemanfaatan trip, hari operasi (HOP), ABK, BBM, es dan ransum masing masing 0,95; 0,83; 0,97, 0,89, 0,87 dan 0,90. Kapasitas berlebih dan tingkat pemanfaatan input variabel serta rata-rata proyeksi perbaikan pukat cincin Rembang pada ke tiga musim penangkapan dapat dilihat pada Tabel 1. Gambar 2. Tingkat pemanfaatan Variabel input pukat cincin Rembang Figure 2. The utilization rate of the input variables Rembang purse seine Tabel 1. Rata-rata tingkat kapasitas berlebih, pemanfaatan potensi perbaikan efisiensi. input variable dan Musim Uraian Season Barat Timur Peralihan West East Transition 1. Kapasitas Berlebih (%) 227 Trip -3.492 -4.776 -6.573 Hari Operasi (HOP) -14.259 -16.653 -14.068 ABK -2.312 -2.996 -4.063 BBM -10.417 -10.998 -10.681 Es -9.193 -12.946 -9.669 Perbekalan -12.455 -9.524 -12.451 Panjang kapal -8.875 -7.265 -4.679 Lebar kapal -3.053 -4.226 -1.094 GT -12.563 -13.260 -8.872 Kekuatan mesin (Hp) -9.192 -11.506 -2.641 Trip 0.965 0.952 0.934 Hari Operasi (HOP) 0.857 0.833 0.859 ABK 0.977 0.970 0.959 BBM 0.896 0.890 0.893 Es 0.908 0.871 0.903 Perbekalan 0.875 0.905 0.875 2. Tingkat VIU 3.Potensi Perbaikan (%) 228 Trip 4.07 5.07 8.79 Hari Operasi (HOP) 16.62 17.69 18.81 BBM 2.69 3.18 5.43 Es 12.14 11.68 14.28 ABK 10.71 13.75 12.93 Perbekalan 14.51 10.12 16.65 Panjang kapal 10.3 7.72 6.26 Lebar kapal 3.6 4.49 1.46 GT 14.6 14.08 11.86 Kekuatan mesin (Hp) 10.7 12.22 3.53 BAHASAN Peningkatan kemampuan tangkap dilakukan melalui perkembangan teknologi dan adaptasi taktik dan strategi pemanfaatannya. Laju eksploitasi pukat cincin meningkat pesat seiring dengan tingginya permintaan pasar lokal terhadap jenis ikan pelagis. Indikator peningkatan laju eksploitasi dapat digambarkan dengan bertambahnnya jumlah kapal dan peningkatan kemampuan tangkap dan kapasitas penangkapannya serta perluasan daerah penangkapan ke wilayah pengelolaan perikanan yang berbeda (Atmaja, 2011). Perikanan pukat cincin mini telah berkembang sejak lama di Rembang (Jawa Tengah). Pada awalnya penangkapan pukat cincin mini terbatas di daerah penangkapan tradisional di wilayah pesisir Rembang. Namun sejak tahun 2000-an kapal-kapal pukat cincin mini Rembang telah memperluas daerah penangkapannya ke wilayah perairan yang sama dengan pukat cincin semi industri (sekitar Karimunjawa dan Bawean), bahkan sampai perairan di utara Madura, Kangean dan Masalembo. Perkembangan pukat cincin yang signifikan terjadi dalam periode antara tahun 2006 2011. Perkembangan tidak hanya dari segi jumlah unit penangkapan, tetapi juga dalam (perubahan) taktik penangkapan melalui penggunaan lampu sorot (mercury dan halogen) dari sebelumnya hanya lampu petromak (sebagai bangkrak). Saat ini kapal pukat cincin mini di Rembang menggunakan lampu sorot dengan daya antara 7000 – 18000 watt. Aktivitas penangkapan tidak lagi bersifat trip harian tetapi mampu melakukan operasi penangkapan hingga 8 hari. Pukat cincin memberikan konstribusi terbesar produksi perikanan pelagis di Rembang, yang diindikasikan dari produksi produksi ikan layang (Decapterus spp) terus mengalami peningkatan. Tahun 2007 produksi ikan layang yang didaratkan sebesar 9.300 ton dan menjadi 14.400 ton pada tahun 2011. Bertambahnya upaya penangkapan, jumlah unit dan trip penangkapan menjadi faktor penghela utama meningkatnya produksi perikanan pukat cincin, tetapi disisi lain sudah mulai terjadi penurunan hasil tangkapan per satuan upaya (CPUE). Jangkauan daerah penangkapan pukat cincin yang berbasis di Rembang hampir mencapai perairan Bawean, utara Madura dan sekitar Kep. Kangean dan ke arah barat 229 nelayan mencapai lepas pantai utara Tegal dan Pekalongan. Terlihat pukat cincin mini mengisi daerah penangkapan yang ditinggalkan armada pukat cincin besar, utamanya di perairan Laut Jawa bagian timur. Mengacu pada analisis data yang berhasil dihimpun mengindikasikan bahwa musim penangkapan pukat cincin berlangsung antara bulan Oktober – Maret. Aktivitas pengoperasian pukat cincin relatif menurun antara bulan April – Agustus. Pemanfaatan kapasitas penangkapan perikanan pukat cincin Rembang dengan pendekatan single output, diperoleh rata-rata tingkat kapasitas penangkapan pada musim Barat, Timur dan musim Peralihan masing-masing diperoleh nilai efisiensi sebesar 0,66, 0,57 dan 0,70. Dari nilai efisiensi tertinggi dari ke tiga musim tersebut menunjukkan bahwa rata-rata input optimal yang digunakan sebesar 70% dari ratarata aktual selama kapal beroperasi. Hal ini menunjukkan bahwa pengoperasian kapal-kapal pukat cincin dalam jangka pendek telah mengalami excess capacity. Kondisi ini juga mengindikasikan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan penurunan efisiensi harus dikendalikan. Upaya perbaikan agar tingkat kapasitas pemanfaatan menjadi optimal dapat dilakukan dengan penambahan pada output atau pengurangan pada input (Kirkley & Squaire, 1999). Kapasitas berlebih dalam pemanfaatan input variabel, ditunjukkan rasio antara nilai potensial pemanfaatan input terhadap input aktual. Berdasarkan tingkat pemanfaatan input variabel menunjukkan bahwa perikanan pukat cincin Rembang telah terjadi surplus penggunaan input sehingga perlu mengurangi input tersebut ( Fare et al., 1994). Trip, hari operasi (HOP), ABK, BBM, es dan ransum merupakan variabel yang dapat dijadikan instrumen pengendalian kapasitas pukat cincin Rembang. Kondisi faktual penangkapan pelagis oleh pukat cincin Rembang sudah melebihi kapasitas (excess capacity) dilihat dari berlebihnya pemanfaatan (utility) faktor input seperti ukuran kapal, hari operasi, (HOP), dan beberapa input variabel lainnya. Analisis DEA dapat juga digunakan untuk menghitung perbaikan angka efisiensi yaitu dengan mengurangi input atau menambah output (Kirkley & Squires 1999). Perbaikan rata-rata efisiensi pada musim Barat dilakukan dengan mengurangi upaya (HOP) sebesar 16,62%, dan 230 konsumsi es 12,14%. Pada musim Timur dapat mengurangi upaya (HOP) 17,69% dan pada musim Peralihan mengurangi hari operasi (HOP) sebesar 18,81%.Jumlah ABK harus sesuai dengan kemampuan kapal sehingga tidak mengganggu operasi penangkapan ikan. Jumlah ABK yang sesuai dengan efektivitas operasi penangkapan memberikan peluang peningkatan produksi. Demikian juga ukuran unit penangkapan yang lebih besar akan lebih laik laut dapat menjangkau daerah penangkapan yang lebih jauh dan potensial saat operasi. Namun perubahan dimensi alat tangkap perlu mempertimbangkan perbandingan ukuran teknis alat dan kapal sehingga proses penangkapan tetap efektif untuk meningkatkan produktifitas. Variabel waktu operasi efektif memberikan pengaruh negatif terhadap fungsi produksi, mengindikasikan bahwa pertambahan waktu operasi efektif per trip dari kapal penangkapan berpeluang menurunkan hasil tangkapan. Proporsi waktu operasi efektif harus diminimalisasi dalam operasi penangkapan. Waktu untuk setting dan hauling alat tangkap diusahakan seoptimal mungkin dalam operasi penangkapan. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Suyasa (2007) yang menyatakan peningkatan waktu dalam setiap trip penangkapan perikanan pelagis kecil diakibatkan oleh semakain jauh daerah penangkapan ikan yang potensial. Menurut Metzner (2005), pada jangka pendek kebijakan pengendalian input produksi seperti pembatasan jumlah kapal akan mengurangi hasil tangkapan aktual, tetapi dalam jangka panjang akan memberikan pengaruh berupa peningkatan kapasitas penangkapan. Inovasi dalam pembaharuan eksploitasi sumberdaya ikan sebagai dampak berlebih baik positif maupun negatif. Oleh karena itu diperlukan pengurangan baik dalam hal jumlah kapal, kemampuan muat kapal (GT), daya mesin (HP) atau pengaturan waktu tangkap serta penyesuaian tingkat teknologi agar diperoleh tingkat pemanfaatan yang optimal. KESIMPULAN Tingkat kapasitas pukat cincin mini di peraiaran Rembang secara umum telah terjadi surplus penggunaan input (trip 3,49-6,57%, HOP 14,07-16,63%, ABK 2,31- 231 4,06%, BBM 10,42-10,99, es 9,19-12,45 dan perbekalan 9,52 – 12,45%) dan dalam jangka pendek telah mengalami excess capacity. Oleh karena itu diperlukan tindakan mengurangi input yang berlebih seperti pengurangan upaya (jumlah trip) dan hari operasi terutama pada musim Timur masing-masing sebesar 5,07% dan 17,68%. PERSANTUNAN Kegiatan dari hasil riset pengkajian kapasitas penangkapan cantrang pada perikanan demersal di laut jawa serta pukat cincin pada perikanan cakalang dan pelagis di laut sulawesi, T. A. 2012, di Balai Penelitian Perikanan Laut-Muara Baru, Jakarta. DAFTAR PUSTAKA Atmadja, S.B., B. Shadhotomo, & M. Natsir 2009. Tantangan Dalam Kajian Stok Dan Pengelolaan Prikanan. Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Indonesia. Dengan kasus Teluk Tomini. Balai Penelitian Perikanan Laut. Pusat pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan. Balitbang Kelautan dan Perikan. Kementerian kelautan dan Perikanan. Hal 17-31. Cooper, W.C., L.M. Seiford, Tone, & Kaoru. 2004. Data Envelopment Analysis. Massachusets: Kluwer Academic Publisher. FAO, Food and Agriculture Organisation of The Unit Nation. 1998. Report of the Technical Working Group on the Management of Fishing Capacity. Rome: FAO Fisheries Report No.586 Fare, R.S., S. Grosskopf, & E. Kokkelenberg. 1989. Measurring Plant Capacity Utilization and Technical Change: A Nonparametric Approach. Int. Econ. Rev. 30: 655-666. Fare, R., S,Grooskopf, & C.A.K Lovel. 1994. Production Frontiers. Kingdom: Cambride University Press. 296p United Kirkley, J.E. & D.E. Squires. 1999. Measuring Capacity and Capacity Utilization in Fisheries. Di Dalam Greboval D, Editor. Managing Fishing capacity. Rome: FAO Fisheries Technical Paper 386:75-2000. 232 Metzner, R. 2005. Fishing Aspiration & Fishing Capacity Key Management Issues. Paper Presented in Conference on The Governance of High Seas Fisheries and the Fish Agrement: Moving from words to Action. International Journal Marine and Costal Law 20 (3-4): 469-478. Purwanto, & D.Nugroho. 2010, Tingkat Optimal Pemanfaatan Stok Udang, Ikan Demersal, dan Pelagis Kecil di Laut Arafura, Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Volume 16. Nomor 4 Purwanto, & D. Nugroho. 2011. Daya tangkap kapal pukat cincin dan upaya penangkapan pada perikanan pelagis kecil di Laut Jawa. J.Lit. Perikan. Ind. 17 (1): 23-30. Suyasa, I.N, 2007. Keberlanjutan dan Produktivitas Perikanan Pelagis Kecil yang berbasis Di Pantai Utara Jawa [Desertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 357 hlm. . 233 PERIKANAN JARING INSANG HANYUT DI LAUT JAWA Oleh Thomas Hidayat1) dan Teguh Noegroho1) 1) Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut Email : [email protected] ABSTRAK Penelitian dilakukan dari bulan Februari sampai Desember 2012 di TPI Tegal yang bertujuan untuk memperoleh data dan informasi tentang laju tangkap, komposisi hasil tangkapan, dan ukuran ikan yang tertangkap jaring insang di Laut Jawa. Penelitian dilakukan dengan cara mencatat hasil tangkapan kapal jaring insang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju tangkap rata-rata jaring insang di Laut Jawa adalah 306 kg/setting, Komposisi jenis hasil tangkapan jaring insang yaitu : tongkol batik (Euthynnus affinis) 54 %, tongkol abu-abu (Thunnus tonggol) 36 %, tenggiri (Scomberomorus commerson) 9 %, lain-lain 1%, Ukuran tongkol batik yang tertangkap jaring insang antara 22-49 cm, sedangkan ukuran tongkol abu-abu antara 25-60 cm dan tenggiri antara 28-94 cm. Ukuran pertama kali tertangkap (Length at First capture = Lc) jaring insang hanyut tongkol batik adalah 38.8 cm, tongkol abu-abu adalah 41.4 cm dan tenggiri adalah 60.1 cm. Ikan tongkol batik dan tongkol abu-abu yang tertangkap jaring insang di Laut Jawa tergolong ikan yang sudah dewasa karena sudah memijah sehingga jaring insang tergolong ramah lingkungan. Kata kunci : Jaring insang, laju tangkap, komposisi hasil, Laut Jawa PENDAHULUAN Penangkapan ikan-ikan pelagis di Laut Jawa dilakukan sejak tahun 1970an dengan alat tangkap utama pukat cincin (purse seine). Hasil tangkapan pukat cincin sekitar 94% terdiri dari pelagis kecil seperti, layang (Decapterus spp), kembung (Rastrelliger spp), tembang (Sardinella spp), selar (Selar spp) sedangkan ikan-ikan tongkol tertangkap secara tidak sengaja bersama ikan-ikan lain seperti japuh (Dussumeieria acuta) dan bawal hitam (Formio Niger) (Potier & Sadhotomo, 1994). Ikan-ikan tongkol dan tenggiri (neritic tuna) banyak tertangkap dengan jaring insang hanyut. Menurut Cristianawati et al. (2013), komposisis hasil tangkapan jaring insang hanyut (gill net) di perairan lepas pantai Semarang-Laut Jawa yaitu : tenggiri (Scomberomorus commerson) 50% , tongkol (Euthynnus affinis) 47 % dan todak (Xipias gladius) 3%. 235 Penelitian keragaan jaring insang hanyut di Laut Jawa bertujuan untuk memperoleh data dan informasi tentang beberapa aspek penangkapan jaring insang hanyut di Laut Jawa da diharapkan dapat dijadikan bahan masukan untuk tujuan pengelolaan.. BAHAN DAN METODE Kapal dan Alat Tangkap Kegiatan penelitian dilakukan terhadap hasil tangkapan, teknik penangkapan dan daerah penangkapan kapal jaring insang hanyut dengan daerah penangkapan Laut Jawa yang didaratkan di TPI Pelabuhan Tegal, dari Februari sampai Desember 2012. Armada kapal jaring insang hanyut yang digunakan di Tegal adalah kapal kayu. Kapal rata-rata berukuran sekitar 30 GT dengan dimensi p x l x t = 17x 4.7x1.7 m dengan lama operasi satu trip sekitar 30 hari. Alat tangkap jaring insang hanyut yang digunakan nelayan di Tegal mempunyai panjang jaring sekitar 6000-10000 m, dalam 25 m dengan besar mata jaring 4-5 inch. Jaring ini merupakan jaring insang permukaan sehingga tidak memiliki pemberat pada bagian bawahnya, pemberat hanya di bagian ujung –ujung jaring. Lebih lengkap disain jaring insang seperti terlihat pada Gambar 1. Gambar 1. Disain jaring insang hanyut di Tegal Pengoperasian Jaring Insang di Tegal Pengoperasian jaring insang pada dasarnya sederhana yaitu setelah kapal sampai di daerah penangkapan (fishing ground) kapal akan berjalan pelan sambil menurunkan jaring, arah haluan kapal diusahakan membentuk sudut siku-siku 236 dengan arus laut. Setting atau penurunan alat tangkap biasanya dimulai sekitar pukul 17.00 WIB dan mulai diangkat/ditarik sekitar jam 24.00 WIB. Penarikan jaring ke atas dek kapal ditarik dengan tangan (manual) sambil melepaskan ikan yang terjerat/terpuntal pada jaring kemudian nelayan akan menyusun jaring agar mudah untuk operasi berikutnya Daerah Penangkapan Daerah Penangkapan kapal jaring insang hanyut (drift gill net) sekitar Kepulauan Karimunjawa, Pulau Bawean, sekitar Pulau Matasiri dan Pulau Sebuku (Selat Makassar). Lebih lengkap daerah penangkapan (fishing ground) kapal jaring insang hanyut seperti terlihat pada Gambar 2. Gambar 2. Daerah penangkapan jaring insang di Laut Jawa (keterangan: lingkaran adalah daerah penangkapan, angka merupakan bulan) Metode Analisis Data Analisis data dilakukan secara deskriptif meliputi laju tangkap (catch rate) dan komposisi jenis hasil tangkapan dan distribusi frekuransi panjang. Sebaran frekuensi panjang dipetakan dalam sebuah grafik untuk melihat distribusi normalnya. Dari grafik tersebut dapat terlihat jumlah puncak (modus) yang menggambarkan ukuran paling banyak tertangkap dengan alat tangkap tersebut. Perhitungan laju tangkap (catch rate) menggunakan rumus Sparre & Venema (1999): Laju tangkap = hasil tangkapan (kg) / satuan waktu (trip). Ukuran ikan pertama kali tertangkap atau Length at first capture (Lc) merupakan 50 % fraksi tertahan (ikan yang tertangkap) dari alat tangkap. Nilai Lc diperoleh 237 dari data sebaran panjang dihitung dengan rumus : S(L)= 1/(1+exp(S1-S2*L)). Lc=S2/S1 (Sparre & Venema, 1999) HASIL Laju Tangkap Nilai laju tangkap diperoleh dari hasil pencatatan enumerator terhadap hasil tangkapan tiap trip jaring insang hanyut yang mendaratkan hasilnya di TPI Pelabuhan Tegal. Laju tangkap rata-rata adalah 306.3 kg/setting (Tabel 1). Tabel 1. Laju tangkap jaringn insang di TPI Pelabuhan Tegal Bulan Hasil Jumlah tangkapan (kg) setting Laju tangkap (Kg/setting) Juli 5250 22 238.6 September 6094 25 243.8 Oktober 9510 27 352.2 November 11000 30 366.7 Jumlah 31854 104 306.3 Komposisi Jenis Hasil Tangkapan Komposisi jenis hasil tangkapan jaring insang hanyut di Laut Jawa yaitu tongkol batik (Euthynnus affinis) 54%, tongkol abu-abu (Thunnus tonggol) 36 %, tengiri (Scomberomorus commerson) 9 %, dan yang lain sekitar 1% (Gambar 3). Komposisi ini menunjukkan bahwa alat tangkap jaring insang hanyut (gill net) yang beroperasi di Laut Jawa sasaran utama penangkapannya (main target) adalah ikan-ikan tongkol (neritic tuna) seperti tongkol batik dan tongkol abu-abu. 1% 9% Tongkol batik Tongkol abu-abu 36% 54% tengiri lain-lain Gambar 3. Komposisi jenis hasil tangkapan jaring insang hanyut di Laut Jawa. (Sumber data dari pencatatan enumerator) 238 Struktur Ukuran Ikan tongkol batik (Euthynnus affinis) yang tertangkap jaring insang hanyut berukuran antara 21-50 cm, ukuran paling banyak tertangkap (modus) 37 cm kecuali pada bulan Agustus dan September modusnya 40 cm, panjang rataratanya 38,1 cm. (Gambar 4.) 60 Tongkol batik n=744 Midlength (cm) 50 40 30 modus 20 10 0 Feb Mar Apr Juni Agus sept Nov Des Gambar 4. Struktur ukuran tongkol batik yang tertangkap jaring insang hanyut Ikan tongkol abu-abu (Thunnus tonggol) yang tertangkap jaring insang hanyut berukuran antara 24-60 cm, ukuran paling banyak tertangkap (modus) 43 cm kecuali pada bulan Februari dan September modusnya 37 cm, dan bulan Maret 40 cm, panjang rata-ratanya 40,1 cm. (Gambar 5) 70 Tongkol abu-abu n=857 Midlength (cm) 60 50 40 modus 30 20 10 0 Feb Mar Apr Agus sept Des Gambar 5. Struktur ukuran tongkol abu-abu yang tertangkap jaring insang hanyut Ikan tenggiri (Scomberomorus commerson) yang tertangkap jaring insang hanyut berukuran antara 28-111 cm, ukuran paling banyak tertangkap (modus) 64, panjang rata-ratanya 67 cm. (Gambar 6) 239 MidLength (cm) 120 Tenggiri n=337 100 80 60 modus 40 20 0 Jan Mar Apr Mei Agus Sept Nov Des Gambar 6. Struktur ukuran tenggiri yang tertangkap jaring insang hanyut Rata-rata Ukuran Pertama Kali Tertangkap ( Lc) Hasil perhitungan ukuran pertama kali tertangkap (Length at First capture = Lc) jaring insang hanyut didapati nilai Lc untuk ikan tongkol batik adalah 38.8 cm, tongkol abu-abu adalah 41.4 cm dan untuk ikan tenggiri adalah 1.0 100 0.8 80 Frek. Kumulatif (%) Frek. Kumulatif (%) 60.1 cm. (Gambar 7) 0.6 Lc= 38,85 cm 0.4 0.2 B 60 Lc= 41.4 cm 40 20 A 20 30 40 20 50 30 40 50 60 70 Nilai Tengah (cm) Nilai Tengah (cm) 100 Frek. Kumulatif (%) 80 C 60 Lc= 60.1 cm 40 20 20 40 60 80 100 120 Nilai Tengah (cm) Gambar 7. Ukuran pertama kali tertangkap A. tongkol batik, B. tongkol abu-abu dan C. ikan tenggiri. 240 BAHASAN Laju tangkap rata-rata jaring insang hanyut di Laut Jawa adalah 306,3 kg/setting. Laju tangkap ini sedikit berbeda dengan laju tangkap jaring insang di Teluk Thailand tahun 223 kg/setting (Yesaki, 1991). Perbedaan ini karena perbedaan habitat atau daerah penangkapan. Komposisis jenis hasil tangkapan jaring insang hanyut (gill net) paling banyak yaitu tongkol batik (Euthynnus affinis) 54%, tongkol abu-abu (Thunnus tonggol) 36 %, tengiri (Scomberomorus commerson) 9 %, dan yang lain sekitar 1%. Penelitian Cristianawati et al., (2013) menyatakan komposisis hasil tangkapan jaring insang hanyut (gill net) di perairan lepas pantai Semarang-Laut Jawa yaitu : tenggiri (Scomberomorus commerson) 50% , tongkol (Euthynnus affinis) 47 % dan todak (Xipias gladius) 3%. Komposisi hasil tangkapan ini sedikit berbeda dimana tenggiri lebih banyak dari tongkol karena daerah penangkapannya hanya terbatas di lepas pantai Semarang. Komposisi hasil tangkapan jaring insang hanyut didominasi oleh ikan tongkol batik dan tongkol abu-abu karena ikan-ikan ini sering hidup bergerombol dalam kelompok (schooling) yang sama. (Collette & Nauen,1983). Dari Gambar 4, 5 dan 6 terlihat bahwa Ukuran ikan tongkol batik (Euthynnus affinis) yang tertangkap jaring insang hanyut antara panjang cagak (FL) 21-50 cm dan panjang rata-ratanya 38,1 cm. Ikan tongkol abu-abu (Thunnus tonggol) berukuran FL antara 24-60 cm, panjang rata-ratanya 40,1 cm. Ikan tenggiri (Scomberomorus commerson) berukuran FL antara 28-94 cm, panjang rata-ratanya 67 cm. Hal ini hampir sama dengan ukuran rata-rata ikan tongkol batik yang tertangkap jaring insang hanyut di Teluk Thailand tahun 1989 adalah 39,2 cm dan ukuran rata-rata ikan tongkol abu-abu 38.7 cm (Yesaki, 1991) Ukuran pertama kali tertangkap (Length at First capture = Lc) jaring insang hanyut tongkol batik adalah 38.8 cm, tongkol abu-abu adalah 41.4 cm dan tenggiri adalah 60.1 cm. (Gambar 7). Hal ini menunjukkan bahwa ikan tongkol batik dan tongkol abu-abu yang tertangkap sudah dewasa karena ukuran pertama kali tertangkap (Lc) lebih besar dari ukuran pertama kali matang gonad (Lm). Ukuran Lm tongkol batik yang tertangkap di Laut Jawa adalah 33,7 cm (Balai Penelitian Perikanan Laut, 2013), ukuran Lm tongkol abu-abu di perairan Taiwan adalah 37 cm (Chiang et al., 2011) dan Lm ikan tenggiri di perairan Kwandang 241 adalah 89 cm (Noegroho, 2013). Dengan demikian terlihat jaring insang merupakan alat tangkap yang ramah lingkungan, karena hasil tangkapannya berupa ikan tongkol batik dan tongkol abu-abu yang sudah dewasa. KESIMPULAN 1. Laju tangkap jaring insang hanyut di Laut Jawa adalah 306 kg/setting . 2. Komposisi jenis hasil tangkapan jaring insang hanyut di Laut Jawa didominasi ikantongkol batik (Euthynnus affinis) 54% dan tongkol abuabu (Thunnus tonggol) 36 %. 3. Rata-rata ukuran ikan tongkol dan tenggiri yang tertangkap (Lc) adalah lebih besar dari rata-rata ukuran pertama kali tertangkap (Lm), dengan demikian jaring insang hanyut merupakan alat tangkap yang ramah lingkungan, karena memberi kesempatan pada ikan-ikan untuk melakukan pembaruan populasi. PERSANTUNAN Makalah ini merupakan kontribusi dari Kegiatan ”Penelitian Distribusi dan Kelimpahan Sumberdaya Ikan Pelagis Besar di WPP-716 Laut Sulawesi dan WPP-712 Laut Jawa.”, Balai Penelitian Perikanan Laut Tahun 2012. DAFTAR PUSTAKA Balai Penelitian Perikanan Laut. 2012. Laporan Akhir. Penelitian Distribusi Dan Kelimpahan Sumberdaya Ikan Pelagis Besar Di WPP-716 Laut Sulawesi Dan WPP-712 Laut Jawa. Tidak Dipublikasikan. Chiang W.C., H. Hsu, S.C. Fu, S.C. Chen, C.L. Sun, W.Y. Chen, D.C. Liu, W.C. Su. Reproductive Biology of Longtail Tuna (Thunnus tonggol) From Coastal Waters Off Taiwan. Working Party on Neritic Tuna 01. IOTC. 2011. Collete B.B. and C.E. Nauen. 1983. FAO Special Catalogue. Vol. 2 Scombrids Of The World An Annotated And Illustrated Catalogue Of Tunas, Mackerels, Bonitos, And Related Species Known To Date. FAO Fisheries Synopsys.125 (2): 33-34 Cristianawati O., Pramonowibowo dan Hartoko. 2013. Analisa Spasial Daerah Penangkapan Ikan Dengan Jaring Insang (Gill Net) Di Perairan Kota 242 Semarang Jawa Tengah. Journal of Fisheries Resources Utilization Management and Technology. 2 ( 2). 1-10. 2013. Noegroho T. 2013. Penelitian Aspek Biologi Ikan Tenggiri (Scomberomorus commerson, LACEPEDE 1800) di Perairan Teluk Kuandang, Laut Sulawesi. Tesis. Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam. Magister Ilmu Kelautan. UI Depok. 2013. Nurhakim S, V. Nikijuluw, D. Nugroho, B.I. Prisantoso. 2007. Status Perikanan Menurut Wilayah Pengelolaan. Informasi Dasar Pemanfaatan Berkelanjutan. Pusat Riset Periknan Tangkap, Badan Riset Kelautan Perikanan. Departemen Kelautan Perikanan. Potier M. & B. Sadhotomo. 1992. Exploitation of the Large and Medium Seiner Fisheries. In Biologi, Dynamics, Exploitation Of the Small Pelagic Fishes in the Java Sea. Biodynex. Pelfish.1994. 283 hal. Sparre, P. dan S. C. Venema. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Jakarta. 438 hal. Yesaki M, 1991. Interaction Between Fisheries For Small Tunas Off The South China Sea Coast Of Thailand And Malaysia. In Interactions of Pacific Tuna Fisheries. Vol. 1-Summary Report and Paper on Interaction. FAO Fish. Tech. Pap. (336/1):300-319. 243 PERKEMBANGAN PERIKANAN MINI PURSE SEINE DI PERAIRAN UTARA JAWA Oleh Achmad Zamroni1), Suwarso1), dan Moh. Fauzi1) 1) Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut . ABSTRAK Alat tangkap mini purse seine (MPS) merupakan satu alat tangkap perikanan pelagis kecil utama dan cukup produktif di perairan utara Jawa selain perikanan purse seine (PS besar dan sedang) yang telah mengalami penurunan produksi sejak awal tahun 2000 an dan mengalami kebangkrutan sekitar tahun 2005. Hal ini menyebabkan berkembangnya perikanan MPS yang sampai saat ini cenderung tidak terkontrol dan terindikasi lebih tangkap. Uraian tentang status dan deskripsi perkembangan perikanan MPS di utara Jawa didasarkan pada monitoring hasil tangkapan di PPN Pekalongan dan TPI Sarang dan TPI Tasik Agung (Rembang). Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi MPS sampai saat ini cenderung meningkat, namun jumlah hari di laut juga semakin lama mencapai 29 hari pada MPS Rembang dan 17 hari pada MPS yang mendarat di Pekalongan. Laju tangkap (CPUE) optimal terindikasi hanya terjadi hingga hari ke 3-5. Dari pengalaman buruk yang terjadi pada perikanan PS jumlah hari operasi yang semakin lama pada MPS disarankan untuk dipertimbangkan. Kata kunci: mini purse seine, pelagis kecil, perairan utara jawa PENDAHULUAN Perikanan pelagis kecil di perairan utara Jawa saat ini diusahakan oleh alat tangkap mini purse seine (MPS) dan purse seine (PS) baik ukuran sedang maupun besar. Indikasi penyusutan stok/biomassa dari enam jenis utama ikan pelagis kecil seperti layang, deles, banyar, siro, selar dan tembang; akibat eksploitasi berlebih dan tak terkontrol dari perikanan PS yang telah berlangsung sebelum tahun 2000. Produksi perikanan sebenarnya telah mengalami penurunan terus menerus sejak awal tahun 2000an. Peningkatan upaya penangkapan tidak lagi diimbangi dengan hasil yang menguntungkan, hasil tangkapan terus menurun dan tidak menguntungkan secara ekonomi. Hal ini menyebabkan pula terjadi collapsnya perikanan PS di perairan utara Jawa, seperti Pekalongan dan Juana. Sejalan dengan hal tersebut sistem perikanan pelaigis kecil mengalami perubahan sebagai respon nelayan terhadap penyusutan biomassa. Salah satu respon dari penyusutan produksi dan biomassa serta collapsnya perikanan PS 245 adalah berkembangnya perikanan MPS di perairan Laut Jawa. Sampai saat ini baik jumlah armada, trip maupun produksi terjadi trend peningkatan. Peningkatan ini bahkan terjadi kecenderungan yang tidak terkontrol. Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan perkembangan perikanan MPS di perairan utara Jawa terutama di Rembang dan Pekalongan. BAHAN DAN METODE Penelitian ini didasarkan pada data hasil tangkapan per kapal dikumpulkan melalui ’catch monitoring’ terhadap kapal-kapal mini purse seine (MPS) yang mendarat dan bongkar ikan di Pelabuhan Perikanan Pantai Sarang, Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pekalongan dan data Statistik Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Rembang. Data catch monitoring diambil selamau tahun 2012, sedangkan data Statistik Dinas Kelautan dan Perikanan Rembang dari tahun 2003 – 2011. HASIL Profil Perikanan MPS Rembang dan Pekalongan Kabupaten Rembang merupakan salah satu basis perikanan pelagis kecil di Pulau Jawa dengan armada penangkap utama berupa MPS. Diantara 9 tempat pendaratan ikan yang tersebar di sepanjang pantai Kab. Rembang tiga tempat pendaratan ikan utama (TPI Tasik Agung, Sarang dan Karanganyar) memberi kontribusi terbesar dalam produksi perikanan laut Kab. Rembang, masing-masing sebesar 55%, 23% dan 15%; tempat pendaratan MPS lainnya terdapat di TPI Pandangan (Gambar 1). 246 Gambar 1. Produksi pendaratan ikan se Kab. Rembang menurut tempat pendaratan ikan (TPI), 2011. Armada penangkap MPS Rembang umumnya berukuran kurang dari 30 GT, Kapal dengan ukuran 14 GT mendominasi kapal purse seine di Tasik Agung. Berdasarkan data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Rembang, jumlah armada MPS di wilayah ini terus bertambah dari waktu ke waktu. Pada tahun 1998 jumlah MPS yang tercatat sebanyak 341 unit, bertambah mencapai 626 unit pada tahun 2011 (Gambar 2), bahkan mungkin lebih banyak. Berdasarkan catatan tahun 2012 jumlah kapal yang beroperasi 186 kapal. Kecamatan Kragan tercatat mempunyai jumlah armada kapal MPS terbesar di Kab. Rembang, akan tetapi kebanyakan dari nelayan-nelayan Kragan mendaratkan hasil tangkapannya di TPI Tasik Agung, Rembang. Selain dalam jumlah unit MPS, peningkatan ’effort’ (upaya penangkapan) juga terkait dengan penambahan jumlah hari laut dan perpindahan alat tangkap dari gillnet menjadi MPS. Gambar 2. Jumlah armada Mini Purse Seine dan Gillnet yang tercatat di Kab. Rembang tahun 1998 -2011 247 Seiring dengan trend peningkatan ’upaya’, peningkatan produksi perikanan tangkap juga terus terjadi hingga tahun 2011. Pada tahun 2007 tercatat produksi perikanan tangkap sekabupaten Rembang sebesar 29 618 ton, terus meningkat mencapai sekitar 50264 ton pada tahun 2011 dimana sekitar 70% berasal dari komoditi perikanan pelagis kecil. Produksi tangkapan MPS yang tercatat antara 2008 – 2011 di TPI Tasik Agung berturut-turut 17566,3 ton, 13575,3 ton, 11754,8 ton dan 15320,2 ton (Gambar 3). Gambar 3. Trend produksi perikanan tangkap di Kab. Rembang kurun 2007 2011. Perikanan pelagis kecil di Pekalongan umumnya diupayakan oleh alat tangkap PS dan MPS. Selain perbedaan ukuran kapal, daerah operasional penangkapan antara PS dan MPS juga berbeda. Umumnya kapal MPS beroperasi di Laut Jawa, sedangkan kapal PS operasinya lebih luas. Dari catatan harian dan monitoring hasil tangkapan kapal-kapal MPS yang mendarat di Pekalongan selama 2005-2011 dan Januari-Juli 2012 dapat diketahui terdapat trend penurunan jumlah kapal aktif beserta jumlah trips kapal yang masuk (Gambar 4). 248 Gambar 4. Perkembangan jumlah kapal aktif (unit) dan jumlah upaya (trips) MPS yang mendarat di Pekalongan tahun 2005-2012. Berdasarkan data monitoring secara harian terhadap kapal-kapal MPS yang mendarat selama tahun 2011 tercatat sebanyak 267 unit MPS masuk dan bongkar ikan di PPN Pekalongan, dimana sebagian besar berasal dari Rembang (47%); daerah asal MPS lainnya adalah Pekalongan (6%) dan daerah asal lainnya (Juana, Batang, Brebes, Kendal dan Tuban) masing-masing sekitar 1%. Selama Januari-Juli 2012 jumlah kapal yang melakukan aktivitas semakin banyak sebesar 293 unit kapal. Pada Gambar 5 terlihat peningkatan jumlah trip dan juga produksi pada periode Tahun 2011 – Juli 2012. Gambar 5. Trend jumlah produksi dan trip MPS bulanan di PPN Pekalongan tahun 2011 – Juli 2012. Profil MPS di Kab. Rembang Aspek Operasional Armada MPS yang aktif di Sarang berdasarkan hasil monitoring enumerator hingga bulan November 2012 mencapai 147 unit dengan kisaran volume 20-26 GT. Dalam satu kali trip disertai oleh ABK berjumlah antara 20-30 249 orang. Hari melaut berkisar antara 2 sampai 10 hari dengan rata-rata 7-8 hari (Gambar 6). Fishing ground berada di sekitar Matasiri, Masalembu dan Bawean. Lokasi fishing ground tergantung pada musim; pada musim baratan lokasi penangkapan berada di timur laut, barat dan utara Bawean sedangkan pada musim timuran lokasi penangkapan berada di tenggara Pulau Bawean. Armada MPS Sarang menjual hasil mendaratkan hasil tangkapannya di TPI Sarang dan TPI sekitarnya (Tasik Agung) bahkan hingga Juana Pati, utara Pekalongan bahkan mencapai Indramayu tergantung kondisi harga terbaik. Gambar 6. Sebaran dan rata-rata jumlah hari di laut (day at sea) nelayan Purse Seine Mini yang mendarat di Sarang, Jan-Nov 2012. Hasil Tangkapan dan Upaya Penangkapan Hasil tangkapan armada MPS Sarang yang didaratkan di TPI Sarang dimonitor oleh enumerator bulan Januari hingga Nopember 2012. Selain mencatat komposisi hasil tangkapan dicatat pula lokasi penangkapan dan lama hari di laut. Ikan layang Deles (D. Russelli) mendominasi hasil tangkapan sebesar 33.2%, disusul Bentong 14,3%; Tongkol 9,65%; dan Banyar 8,8% (Gambar 7). Sangat sedikit didapat ikan Layang Lonco (D. Macrosoma). 250 Gambar 7. Komposisi hasil tangkapan MPS yang didaratkan di TPI Sarang (Rembang) hasil monitoring oleh enumerator, Januari-Nop 2012. Hasil tangkapan armada MPS yang mendaratkan hasil tangkapannya di Sarang berfluktuasi tiap bulannya. Berdasarkan hasil monitoring enumerator selama periode penelitian dari Januari hingga Nopember 2012 rata-rata hasil tangkapan MPS di Sarang sebesar 512,8 ton/bulan dengan produksi tertinggi terjadi pada bulan Nopember (742,4ton). Laju tangkap (CPUE) rata-rata sebesar 4,3ton/trip atau 597 kg/hari dengan rata-rata lama hari di laut rata-rata 7-8 hari/trip. Setiap bulan rata-rata tercatat 118 trip dengan bulan jumlah trip tertinggi terjadi pada bulan Maret (158 trip). Gambar 8. Fluktuasi jumlah trip bulanan MPS Sarang Jan-Nov 2012 Peningkatan jumlah trip menyebabkan kenaikan jumlah tangkapan total namun menyebabkan penurunan laju tangkap (CPUE, baik kg/trip maupun kg/hari). Terkait dugaan kenaikan rata-rata jumlah hari laut trend laju tangkap dalam kg/hari nampak memiliki pola yang sama dengan trend laju dalam kg/trip. Laju tangkap tertinggi menurut hari laut terjadi jika nelayan melaut selama 3 hari 251 yakni sebesar 1.070kg/hari. Laju tangkap semakin menurun dengan bertambahnya hari melaut. Gambar 9. Fluktuasi produksi dan laju tangkap/CPUE (kg/trip) (kiri atas), (kg hari) (kanan atas) dan sebaran laju tangkap menuerut jumlah hari melaut (bawah) armada MPS Sarang tahun 2012. Profil MPS di Pekalongan Seperti halnya pada perikanan PS besar/sedang, terlihat kecenderungan peningkatan upaya (jumlah hari laut) juga terjadi pada perikanan MPS. Rata-rata hari laut per trip tiap kapal berkisar antara 1 – 29 hari pada 2011, secara keseluruhan rata-rata hari laut 5 hari, sedang pada Januari – Juli 2012 antara 1 – 16 hari (rata-rata 4,3 hari). Rata-rata lama di laut 1 – 2 hari dan antara 3 – 5 hari di laut dilakukan masing-masing oleh sekitar 29% kapal (2011), sedang yang di atas 5 hari laut lebih banyak sekitar 42% unit kapal. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan upaya dalam jumlah hari laut yang semakin lama hingga 29 hari. Sebaran rata-rata jumlah hari laut kapal MPS yang mendarat di Pekalongan tahun 2011 dan 2012 diperlihatkan pada Gambar 10. 252 Gambar 10. Rata-rata hari laut kapal purse seine mini yang mendarat di Pekalongan 2011 (4,3 hari) dan 2012 (5 hari). Gambar 11 merupakan sebaran rata-rata hasil tangkapan (CPUE, kg/hari) berdasarkan jumlah operasi di laut. Dari Gambar tersebut dapat terlihat bahwa semakin lama di laut ternyata diperoleh hasil tangkapan rata-rata semakin sedikit, sebaliknya bila hari operasi makin sedikit akan diperoleh hasil tangkapan per hari semakin besar. Gambar 11. Sebaran laju tangkap (CPUE, dalam kg/hari) berdasarkan jumlah hari laut kapal MPS yang mendarat di Pekalongan tahun 2011 dan Jan-Juli 2012. PEMBAHASAN Perikanan MPS tersebar di sepanjang pantai Utara Jawa. Diantara tipetipe MPS yang dikenal (MPS asal Gresik, Surabaya, Rembang, Demak, Batang, Tegal, Brebes, Indramayu hingga Jakarta) perkembangan yang lebih cepat terlihat pada perikanan MPS Rembang. Daerah penangkapan tersebar di perairan utara Rembang, Utara Sarang hingga Bawean, utara Pekalongan, utara Tegal dan Indramayu. Ekspansi penangkapan ke perairan utara Pekalongan (’andon’) pada tahun-tahun terakhir telah mendesak eksisnya perikanan MPS Jawa Timur di daerah ini hingga bergeser ke daerah lain (Batang, Tegal, Indramayu, Blanakan). 253 Kondisi ’collaps’nya perikanan PS besar/sedang di Laut Jawa diperkirakan berdampak terhadap perikanan skala kecil (MPS) di pantai utara Jawa. Meskipun total produksi MPS dan hasil tangkapan per trip menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun namun peningkatan ini sebenarnya tidak menjamin hasil tangkapan yang ’sustainable’ dan efisien secara ekonomis. Pada kenyataanya jumlah hari operasi di laut juga semakin lama. Jumlah hari di laut kapal-kapal MPS yang mendarat di Pekalongan saat ini berkisar antara 1-29 hari (rata-rata 3-4 hari), sedang di Sarang antara 1-17 hari (rata-rata 5 hari). Dengan hari operasi yang lebih lama ternyata hasil tangkapan per hari tidak menunjukan lebih baik secara ekonomi, bahkan jumlah hari semakin lama laju tangkap per hari menunjukan semakin kecil terutama di utara Pekalongan dan utara Rembang. Dengan jumlah hari lebih lama dari 5 hari diperoleh hasil tangkapan lebih kecil sehingga peningkatan upaya dalam jumlah hari lebih lama dari 5 hari tidak diperlukan. Hal ini karena frekuensi hasil tangkapan yang relatif lebih besar terjadi pada hari ke 1 – 5, apabila lebih lama dari itu menunjukkan hasil tangkapan perhari makin sedikit. Pengaturan jumlah hari dilaut maksimal lima hari dilaut sangat disarankan. Seperti halnya pada perikanan PS besar, kecenderungan lepas kontrol juga dialami perikanan MPS ini. Kemudahan perijinan melalui cara-cara illegal dan pemalsuan dokumen diperkirakan banyak terjadi. Kondisi ini semakin rumit dengan adanya ’management autorithy’ terkait zona penangkapan sehingga management perikanan yang sebenarnya menjadi terlupakan. Diperlukan kontrol yang baik terhadap perkembangan jumlah kapal dan jumlah hari operasi di laut untuk mengurangi tekanan penangkapan terhadap sumberdaya. KESIMPULAN Total produksi hasil tangkapan MPS di Rembang dan Pekalongan cenderung mengalamai peningkatan dari tahun ke tahun. Trend CPUE juga mengalami kenaikan setiap tahunnya. Peningkatan ini disertai dengan semakin lamanya jumlah hari operasi di laut, hal ini menyebabkan operasional kurang efisien. Peningkatan upaya dalam jumlah unit kapal aktif juga cenderung terjadi. Jumlah hari di laut kapal-kapal MPS yang mendarat di Pekalongan antara 1-29 254 hari (rata-rata 3-4 hari) dan di Sarang antara 1-17 hari (rata-rata 5 hari). Laju tangkapan (CPUE) optimal hanya tercapai hingga hari ke lima pada MPS Pekalongan, dan hari ke tiga pada MPS Sarang (Rembang). Aktivitas penangkapan lebih dari 5 hari disarankan untuk dipertimbangkan karena lebih dari 5 hari maka secara ekonomi menjadi kurang baik. DAFTAR PUSTAKA Atmaja, S. B., Suwarso dan S. Nurhakim. 1986. Hasil tangkapan pukat cincin menurut musim dan daerah penangkapan di Laut Jawa. Jurnal Penelitian Perikanan Laut 34: 57 – 68. Atmaja, S. B. 2006. Selektivitas pukat cincin dan seleksi manusia pada ikan pelagis kecil di Laut Jawa. Dalam: Perikanan pukat cincin dan sumberdaya ikan pelagis kecil di bagian selatan paparan Sunda. Balai Riset Perikanan Laut. p 50 – 56. Atmaja, S. B. 2006. Eksploitasi pukat cincin Pekalongan di perairan Laut Cina Selatan. Dalam: Perikanan pukat cincin dan sumberdaya ikan pelagis kecil di bagian selatan paparan Sunda. Balai Riset Perikanan Laut. p 57 – 64. Portier, M. & B. Sadhotomo. 1995. Exploitation of the large and medium seiners fisheries. In: Biodynex (Biology, Dynamics, Exploitation) of the Small Pelagic Fishes in the Java Sea. M. Potier and S. Nurhakim (Ed.), p 196 214. Sadhotomo, B., S. Nurhakim dan S. B. Atmaja. 1986. Perkembangan komposisi hasil tangkapan dan laju tangkap pukat cincin di laut Jawa. Jurnal Penelitian Perikanan Laut 35: 101 – 109. Sujastani, T dan E. M. Amin. 1978. Kemungkinan pengembangan dan modernisasi perikanan skala kecil atau perikanan rakyat di Laut Cina Selatan yang termasuk kawasan Kabupaten Kepulauan Riau. Simposium Modernisasi Perikanan Rakyat. LPPL. Litbang Pertanina. p 26. Widodo, J. 1990. Penyebaran kelimpahan, musim dan daerah penangkapan ikan pelagis pantai di laut Jawa. Jurnal Litbang Pertanian, IX (1). 255 SEBARAN UNIT STOK IKAN LAYANG (Decapterus spp.) DAN RISIKO PENGELOLAAN IKAN PELAGIS KECIL DI SEKITAR LAUT JAWA*) Oleh Suwarso1) dan Achmad Zamroni1) 1) Peneliti padaBalai Penelitian Perikanan Laut Email: [email protected]; [email protected] ABSTRAK Ikan layang (Decapterus russelli dan D. macrosoma, Fam. CARANGIDAE) merupakan komponen utama dari sumberdaya ikan pelagis kecil di perairan sekitar Laut JawaSelat Makassar. Peningkatan upaya secara tak terkontrol pada perikanan purse seine telah mengakibatkan penyusutan biomassa yang berdampak pada penurunan hasil tangkapan, sehingga tujuan pengelolaan yang sebenarnya (sustainable fishery) tak tercapai; ditambah lagi pengetahuan tentang karakter biologi dan keterkaitan diantara stok di sekitar zona utama belum diketahui secara jelas. Paper ini membahas dugaan sebaran stok dan risiko pengelolaannya berdasarkan data penstrukturan populasi dua species ikan layang (D. russelli dan D. macrosoma) dan aspek perikanan tangkap (komposisi jenis, sebaran fishing ground). Data struktur populasi diperoleh dari hasil analisis genetik terhadap marker DNA mitochondria (metode RFLP) yang telah dilaporkan sebelumnya; sedang data aspek penangkapan diperoleh dari tempat pendaratan utama di Pekalongan, Samarinda, Mamuju dan sekitarnya. Hasil menunjukkan kedua species layang memiliki masing-masing dua sub populasi (2 unit stok). D. russelli, tersebar di Laut Jawa bagian timur, Laut Flores bagian selatan dan Laut Banda bagian barat (sub populasi atau unit stok 1), sedang unit stok 2 tersebar di Selat Makassar laut dangkal di timur Kalimantan. Sedangkan pada D. macrosoma, unit stok Laut Banda (unit stok 1) terpisah (berbeda) dengan unit stok lain yang tersebar di Laut Flores zona pantai, Laut Jawa bagian timur dan Selat Makassar laut dangkal. Dari hal tersebut pengelolaan ikan pelagis kecil di Laut Jawa (WPP 712) dan Selat Makasar laut dangkal (WPP 713) sebaiknya disatukan sebagai satu unit stok dan satu unit managemen. Di pihak lain, perikanan pelagis di Selat Makasar laut dalam di perairan barat Sulawesi disarankan dikelola dalam konteks penstrukturan populasi ikan pelagis kecil laut dalam di sekitar Sulawesi (malalugis, D. macarellus). Pola migrasi ikan layang/pelagis dalam arah Laut Jawa – Selat Makasar dan sebaliknya dimungkinkan juga terkait dengan penstrukturan populasi layang tersebut. Kata kunci: Struktur genetik populasi, Decapterus russelli, D. macrosoma, Laut Jawa, Selat Makassar, pengelolaan perikanan. 257 PENDAHULUAN Ikan layang (Decapterus spp) merupakan sumberdaya ikan pelagis yang mempunyai nilai ekonomis dan memberi kontribusi utama pada produksi perikanan. Jenis ikan layang yang umum ditemukan di Laut Jawa dan sekitar Sulawesi adalah Decapterus macrosoma, D. ruselli dan D. macarelus, daerah penyebarannya luas serta telah dieksploitasi secara intensif di berbagai perairan di Indonesia, bahkan di beberapa wilayah perairan telah terindikasi lebih tangkap. Diantara sekian banyak pusat produksi layang, perairan Laut Jawa dan sekitarnya boleh dikatakan merupakan produsen terbesar di Indonesia, namun stok jenis tersebut juga telah mengalami kejenuhan akibat tekanan penangkapan berlebih (Hariati et al., 2005). Gejala stock depletion dibarengi oleh penurunan secara drastis hasil tangkapan per jenis ikan dan upaya (jumlah kapal aktif dan trips), diikuti dengan respon alamiah nelayan berupa relokasi daerah penangkapan, „alih‟ alat tangkap dan target species telah dilaporkan sebelumnya oleh Atmaja et al. (2007). Dari hal tersebut, tindakan „pengelolaan‟ yang logis dan bertanggung jawab adalah keperluan mendesak, yaitu untuk tercapainya tujuan jangka panjang pengelolaan sehingga dapat menjamin hasil tangkapan yang berkelanjutan (sustainable yield) dan menguntungkan serta konservasi sumberdaya. Suatu konsep manajemen berbasis „unit stok‟ dipercaya merupakan konsep pengelolaan yang logis dan bertanggung jawab („stok‟ yang dimaksud adalah unit biologi berbasis genetik), namun memerlukan data dan informasi tentang „unit stok‟ dengan difinisi yang jelas beserta karakter biologinya. Makalah ini membahas tentang sebaran unit stok dua species ikan layang (D. russelli dan D. macrosoma) beserta kajian tentang risiko pengelolaan yang sebaiknya dilaksanakan. Kajian didasarkan pada hasil penelitian sebelumnya tentang struktur populasi yang didukung oleh data aspek perikanan tangkap yang dikumpulkan di wilayah terkait. Hasil diharapkan dapat menjelaskan tentang profil stok layang beserta sebarannya serta saran pengelolaan yang lebih nyata berbasis habitat. 258 METODOLOGI Data yang digunakan: a) data struktur genetik populasi kedua species ikan layang di area studi; dan b) data karakteristik penangkapan oleh perikanan purse seine ‟Pekalongan‟ (besar dan sedang) dan Rembang. 1. Species dan area studi Dua species ikan layang yang dikaji dalam makalah ini adalah ikan layang (D. russelli) dan layang deles (D. macrosoma). Kedua species merupakan komponen utama pada perikanan pelagis kecil (purse seine) di Laut Jawa dan Selat Makassar. Kajian struktur populasi telah dilakukan pada tahun 2008-2009 di perairan Laut Jawa, Selat Makasar, Laut Flores dan Laut Banda bagian barat (Kendari). Pengambilan contoh jaringan (sirip dan daging) dilakukan dari hasil tangkapan purse seine yang melakukan penangkapan di sekitar lokasi pendaratan ikan di Rembang, Balikpapan, Donggala, Mamuju, Toli-toli, Kendari dan Maumere; (Gambar 1). 2. Data struktur genetik populasi ikan layang (D. russelli) dan layang deles (D. macrosoma) di sekitar Laut Jawa Data struktur populasi diperoleh melalui analisis genetik (RFLP, Restriction Fragment Length Polymorphism dengan menggunakan 8 enzym restriksi) terhadap genom mitochondria (mtDNA) yang dilanjutkan dengan penyusunan data genetik (ukuran fragmen restriksi, tipe haplotype, composite haplotype), dugaan parameter genetik (diversitas haplotype dan Jarak Genetik „Nei‟) dan penyusunan kedalam dendogram kekerabatannya (filogenetik). Genom mtDNA diperoleh dari hasil ekstraksi jaringan, purifikasi, isolasi dan proses amplifikasi dengan mesin PCR (Polymerase Chain Reaction). Ringkasan sampling prosedur, analisis lab dan dugaan struktur populasi diterangkan selengkapnya oleh Suwarso et al. (2010). 259 Gambar 1. Peta lokasi penelitian dan lokasi sampling jaringan (daging dan sirip) ikan layang (D. russelli) dan deles (D. macrosoma) tahun 2008-2009. 3. Data karakteristik penangkapan ikan pelagis kecil oleh alat purse seine Data ini meliputi komposisi jenis ikan yang tertangkap dan pola sebaran fishing ground (lokasi penangkapan), baik perikanan purse seine „Pekalongan‟ (PS besar dan sedang) maupun purse seine mini di lokasi-lokasi utama (Rembang, Mamuju, Kendari). Komposisi jenis ikan diperoleh dari data hasil tangkapan per kapal per jenis ikan yang dikumpulkan melalui monitoring hasil tangkapan harian di tempat pendaratan (PPS Pekalongan, PPS Kendari, TPI Tasik Agung dan Sarang di Rembang) atau juragan/pemilik kapal (Mamuju, Balikpapan). Informasi lokasi penangkapan secara umum diperoleh melalui wawancara dengan nakhoda kapal yang dipertegas dengan data posisi GPS untuk beberapa lokasi (log-book Pekalongan dan Kendari, lokasi sebaran rumpon nelayan Mamuju dan Balikpapan). HASIL DAN PEMBAHASAN 1. HASIL 1.1. Review keragaman genetik dan struktur populasi ikan layang Pengujian dengan 8 jenis enzim resriksi (enzim Afa I, Hae II, Mbo I/Nde II, Alu I, Hind III, Hin6 I dan Taq I) terhadap ikan layang (D. russelli) dan layang deles 260 (D. macrosoma) ternyata memperlihatkan hanya 4 enzim yang berhasil memotong sekuen DNA (memiliki situs restriksi) ikan layang (enzim Afa I, Alu I, Msp I dan Taq I) dan 6 jenis enzim yang dapat memotong sekuen DNA ikan layang deles (enzim Alu I, Taq I, Hin6 I, Afa I, Hind III dan Msp I). D. russelli Daerah control region mtDNA D-loop ikan layang (D. russelli) menunjukkan single band DNA (fragmen) dengan ukuran sekitar 1000 bp (base pairs), dan secara umum menunjukkan sifat polymorfisme; sedang setelah proses digesti/restriksi oleh enzim restriksi yang dapat memotong, „single band„ DNA tersebut memiliki ukuran antara 700-975 bp. Sifat polimorfisme hanya ditunjukkan oleh tiga enzim restriksi. Dari dua tipe haplotype yang diperoleh dapat teridentifikasi 2 jenis allele (composite haplotype), yaitu AA dan AB yang frekuensinya bervariasi di tiap populasi. Berdasarkan frekuensi kemunculan dua allele di tiap lokasi tersebut secara umum ke 7 populasi ikan layang memiliki tingkat variasi genetik („diversitas haplotype‟, h) cukup rendah antara 0 – 0,1528 (rata-rata 0,0585). Keragaman genetik lebih rendah (h=0) ditemukan pada populasi Balikpapan (Selat Makassar), sedang keragaman lebih tinggi terlihat pada populasi Rembang, Kendari dan Maumere. Dari dua allele (composite haplotype) yang teridentifikasi secara umum terlihat bahwa allele AB adalah allele yang lebih umum ditemukan di seluruh populasi, sedang allele AA hanya teramati dalam populasi Kendari, Rembang dan Maumere. Ini menandakan bahwa struktur populasi ikan layang dari ketujuh populasi tersebut dimungkinkan berasal dari sumber (sub species atau unit stock) yang sama. Dugaan nilai jarak genetik Nei (D) mempertegas hal tersebut. Jarak genetik (D) rata-rata antar populasi sekitar 0,0018. Jarak genetik terpendek (D = 0 - 0,0002) ditunjukkan oleh populasi Rembang & Maumere, Rembang & Kendari, dan Kendari & Maumere, sedang jarak genetik lebih jauh ditemukan antara populasi Balikpapan & Kendari (D = 0,0041) dan Balikpapan & Rembang (D = 0,0029). 261 Didasarkan atas parameter jarak genetik tersebut dapat disusun dendogram filogenetik dari ke tujuh populasi ikan layang (D. russelli) yang dikaji seperti terlihat pada Gambar 2. Terlihat bahwa ke tujuh populasi contoh dapat dipisahkan kedalam dua „group populasi‟ (sub populasi) yang berasal dari dua garis keturunan mtDNA (2 clade mtDNA), yaitu: group pertama (clade 1) terdiri dari populasi Kendari, Maumere dan Rembang; sedang group kedua (clade 2) terdiri dari populasi Balikpapan. D. macrosoma Sekuen mtDNA D-loop layang deles (D. macrosoma) memiliki ukuran panjang sekitar 1000 bp (base pairs). Dari 8 enzim restriksi yang diterapkan hanya 4 yang dapat memotong (memiliki situs pemotongan), yaitu enzim Alu I, TaqI, Ava I dan Msp I; sedang sifat polimorfisme pola pemotongan hanya ditemukan pada tiga enzim restriksi (Alu I, Afa I, Taq I). Dari 3 tipe haplotype yang muncul dapat teridentifikasi 4 jenis allele (composite haplotype) dengan 1 - 2 allele per populasi. Secara umum allele AAAAAA lebih umum dan dominan, kecuali populasi Kendari; sedang allele BBABAA dan BCABAA hanya ditemukan pada populasi Kendari. Keadaan ini mengindikasikan bahwa struktur populasi layang deles cenderung berasal dari sumber yang sama (sub species). Seperti halnya jenis D. russelli, jenis layang deles (D. macrosoma) juga memiliki tingkat keragaman genetik rendah; diversitas haplotype (h) berkisar antara 0 – 0,1975, rata-rata 0,0658. Indek keragaman terkecil ditemukan pada populasi Maumere, Tarakan, Donggala, Aceh Timur, sedang keragaman lebih tinggi ditemukan pada populasi Rembang dan Kendari. Jarak genetik rata-rata antar populasi sekitar 0,3354. Jarak terpendek (0) terlihat diantara populasi Maumere, Donggala dan Tarakan; sedang populasi Kendari menunjukkan jarak paling jauh. Didasarkan pada nilai-nilai jarak genetik dapat disusun dendrogram filogenetik (hubungan kekerabatan) dari ke enam populasi layang deles seperti terlihat pada Gambar 2. Terlihat bahwa 6 populasi contoh terpisah kedalam 2 grup 262 populasi (sub populasi): Grup pertama terdiri dari populasi Rembang, Maumere, Donggala dan Tarakan; sedang populasi Kendari memisah sebagai Grup kedua. Gambar 2. Dendogram filogenetik ikan layang, D. russelli (kiri) dan layang deles, D. macrosoma (kanan) dari hasil analisis RFLP mtDNA di sekitar Laut Jawa. (Keterangan: LAYANG: Populasi 1 – Rembang; 2 – Balikpapan; 3 – Kendari; 4 – Maumere; 5 – Fakfak; 6 – Aceh Timur; 7 – Labuhan); DELES: Populasi 1 - Maumere, 2 - Aceh Timur, 3 - Tarakan, 4 – Rembang; 5 - Kendari, 6 – Donggala). 1.2. Sebaran fishing ground dan dan perbedaan komposisi jenis Ekspansi eksploitasi ikan pelagis oleh perikanan PS ‟Jawa‟ yang berbasis di Tegal, Pekalongan dan Juana telah mencapai maksimum pada sekitar tahun 1996 (Durand & Widodo, 1997) seperti tergambar pada Gambar 3 (kiri). Eksploitasi di Selat Makasar terfokus di perairan karang sebelah tenggara Tanah Grogot atau sebelah selatan Balikpapan (Kalimantan Timur). Lokasi tersebut berada di perairan sekitar P. Balag-balagan, Kep. Lumu-lumu, P. Lari-larian dan P. Samber Gelap (ditandai dengan lingkaran warna merah). Lokasi ini bersifat coastal (perairan dangkal) dengan kedalaman kurang dari 60 m, sangat berbeda dengan fishing ground nelayan Mamuju (MPS) yang berada di habitat oseanik dengan kedalaman lebih dari 200 m (ditandai dengan lingkaran warna hitam). Fishing ground nelayan Mamuju dipertegas oleh sebaran posisi rumpon seperti terlihat pada Gambar 3 (kanan). 263 B Gambar 3. KIRI: Sebaran fishing ground perikanan PS Jawa (lingkaran warna merah) dan Mini Purse Seine Sulawesi (lingkaran warna hitam). KANAN: Posisi rumpon nelayan Mamuju (MPS) di Selat Makasar sebelah barat Mamuju, 2009 (B). Keterangan: A: 1- Balag-balagan; 2- Lumu-lumu, 3- Lari-larian; 4Samber Gelap. Variasi terdapat dalam komposisi jenis yang tertangkap baik oleh purse seine Jawa di perairan laut dangkal di timur Kalimantan maupun di laut dalam perairan barat Sulawesi. Perbedaan paling jelas terdapat pada kategori „layang‟ yang tertangkap. Dua species layang (D. russelli dan D. macrosoma) tertangkap di perairan dangkal timur Kalimantan, sedang species malalugis (D. macarellus) tertangkap di laut dalam barat Sulawesi (Gambar 4 dan 5). Kedua habitat ini sangat berbeda. Berdasarkan data catch-monitoring kapal purse seine di Pekalongan, kategori layang kontribusinya kira-kira 52% pada tahun 2007 di fishing ground Laut Jawa, sedang di Selat Makasar sekitar 44% (Gambar 4). Sejalan dengan perkembangan perikanan dan sistim pendaratan ikan, sejak beberapa tahun pendaratan ikan juga berlangsung di Balikpapan dan Samarinda melalui sistim kapal pengumpul (transshipment). Di Samarinda kategori layang didaratkan sebesar 35% dari total pendaratan di tempat tersebut. Dalam hasil tangkapan purse seine mini Sarang (Rembang) tahun 2012 kategori layang jumlahnya 33%. 264 Ayam2an 0% Bawal 0% TongkolTengiri Tembang 3% 6% 2007 Lainnya 14% Layang 52% Siro 14% Bentong 5% Banyar 6% 2007 Ayam2 an 0% Bawal 0% Tongkol-Tengiri 3% Tembang 4% Lainnya 14% Layang 44% Siro 24% Bentong 5% Banyar 6% 2007 Cumi2 2% Lainnya 19% Layang 36% Tongkol-Tengiri 29% Tembang 0% Selar 2% Banyar 7% Bentong 5% Gambar 4. Komposisi jenis hasil tangkapan purse seine „Jawa‟ di fishing ground Laut Jawa dan Selat Makasar serta yang didaratkan di Samarinda (Kalimantan Timur), 2007-2011. Berbeda dengan habitat perairan dangkal di timur Kalimantan, di perairan oseanik barat Sulawesi jenis layang biru/malalugis (Decapterus macarellus) merupakan jenis utama dalam hasil tangkapan purse seine mini dan bagan. Di perairan Mamuju (Sul Bar) malalugis memberi kontribusi sebesar 31%, di perairan Barru (Sul Sel) sekitar 32%, sedang di Teluk Bone dan Laut Flores mencapai 80% dari hasil tangkapan (Gambar 5). 265 Gambar 5. Komposisi jenis hasil tangkapan mini purse seine dan bagan di perairan oseanik Selat Makasar. 2. PEMBAHASAN a) Keragaman genetik dan dugaan sebaran unit stok ikan layang Kategori „layang‟ terdiri dari dua species dominan, yaitu layang biasa (D. russelli) dan layang deles (D. macrosoma). Dalam periode „normal hasil tangkapan kedua species sangat fluktuatif, sejak 1993 setiap tahun jumlahnya paling tidak mencapai 50% dari total hasil tangkapan dan berlimpah di setiap fishing ground (Potier & Sadhotomo, 1995). Sejalan dengan perluasan fishing ground ke arah timur hasil tangkapan kedua species menunjukkan trend berbeda; semakin ke arah timur jumlah D. russelli makin berkurang, sebaliknya D. macrosoma semakin meningkat (Suwarso et al., 1987; Potier & Sadhotomo, 1995). Secara tahunan dalam kurun 1967-1995 rasio layang/deles menunjukkan perubahan dimana %-ase deles semakin tinggi dalam hasil tangkapan (Sadhotomo, 1998). Keragaman genetik dapat dipakai sebagai indikator tentang sifat migrasi dan ukuran populasi; keragaman genetik yang rendah mencirikan populasi yang biasanya memiliki tingkat migrasi cukup tinggi. Keragaman genetik yang relatif rendah pada kedua species ikan layang ini mencirikan sifat tersebut sehingga memberi peluang lebih besar untuk terjadinya kawin silang dalam populasi. Selain itu, tingkat keragaman genetik yang relatif lebih rendah pada populasi D. russelli di Selat Makassar mengindikasikan suatu ukuran populasi (population size) lebih kecil dibanding populasi Rembang, Kendari dan Maumere. Hal tersebut memberi tanda kepada kita bahwa kondisi populasi layang Selat Makassar (Balikpapan) lebih rentan. 266 Sebagaimana halnya dengan D. russelli, pada D. macrosoma secara umum juga memperlihatkan keragaman genetik rendah yang mencirikan perilaku migrasi sehingga memberi peluang terjadinya kawin silang dalam populasi yang sama, namun kawin silang tersebut diduga tidak berlangsung dengan populasi Kendari. Dalam hal ukuran populasi (population size) nilai-nilai keragaman genetik mengindikasikan bahwa populasi layang deles Maumere, Tarakan dan Donggala memiliki ukuran populasi lebih kecil dibanding populasi Kendari dan Rembang. Secara keseluruhan, relatif rendahnya keragaman genetik pada populasi layang dan deles menunjukkan indikasi bahwa kondisi sumberdaya telah mengalami perubahan genetik yang radikal, diduga akibat tekanan penangkapan. Dari dugaan penstrukturan populasi kedua species layang tersebut (Gambar 2) dapat digambarkan pola sebaran geografinya seperti ditunjukkan pada Gambar 6. Pada D. russelli, memiliki dua „group populasi‟ (sub populasi/unit stok), group 1 (clade 1, unit stok 1) menyebar di Rembang, Maumere dan Kendari, sedang clade 2 (unit stok 2) tersebar di timur Kalimantan (Balikpapan). Pada D. macrosoma, dapat dipisahkan adanya 2 grup populasi (sub populasi): group 1 (clade 1, unit stok 1) menyebar dari Rembang (L. Jawa), Maumere (L. Flores bagian selatan), Donggala dan Tarakan (S. Makasar); sedang populasi Kendari secara signifikan memisah sebagai group kedua (clade 2, unit stok 2). Namun demikian, mempertimbangkan profil hasil tangkapan ikan pelagis kecil di Maumere dan Kendari, dua species D. russelli dan D. macrosoma tidak menunjukkan dominasi yang nyata, jika ada ukuran populasinya kecil; sedang populasi D. macrosoma terlihat cukup nyata di perairan timur Kendari. Di perairan sebelah utara Maumere (L. Flores) jenis D. macarellus sangat signifikan. b) Unit stok dan risiko pengelolaan berbasis ‘unit stock’ Dari uraian tersebut diatas dapat diduga masing-masing dua unit stok layang dan deles. Untuk D. russelli, unit stock 1 menyebar dari Laut Jawa ke pantai Maumere dan mungkin Kendari, sedang unit stok 2 tersebar di timur Balikpapan. Perlu meyakinkan status stok ikan ini di perairan timur Kalimantan di sebelah selatan 267 Balikpapan. Untuk D. macrosoma, unit stok 1 menyebar dari Laut Jawa kearah utara Selat Makasar dan ke timur di pantai Maumere, tapi di perairan ini sebaran terputus; populasi Kendari merupakan unit stok berbeda. Hal ini mengindikasikan bahwa stok layang deles dari Laut Jawa lebih tersebar kearah utara (Selat Makasar) daripada kearah timur (Laut Flores dan Laut Banda) seperti dihypotesakan oleh Hardenberg (1938). Eksistensi garis Wallace (Wallace line) di kedua habitat menunjukkan keberadaan barrier geografi yang memutuskan pola migrasi ikan layang. Gambar 6. Dugaan sebaran unit stok ikan layang (D. russelli) dan layang deles (D. macrosoma) di L. Jawa, Sel. Makassar dan sekitarnya. Jika didasarkan pada hal tersebut risiko terhadap pengelolaan perikanan pelagis kecil sebaiknya didasarkan pada dugaan unit stok tersebut. Berbasis pada sebaran unit stok layang deles sebagai komponen utama perikanan, pengelolaan 268 perikanan Laut Jawa dan Selat Makasar laut dangkal akan menjadi satu unit pengelolaan (unit management). Pola ekspansi perikanan yang menyebar dari Laut Jawa ke Selat Makasar laut dangkal, dengan mengikuti pola sebaran ikan serta taktik dan strategi penangkapan purse seine yang spesifik untuk perairan dangkal menegaskan saran sistim pengelolaan tersebut. KESIMPULAN Pola penstrukturan dari populasi dua species ikan layang berbeda, tapi masing-masing terdiri dari dua sub populasi (unit stok). Unit stok utama menyebar dari perairan Laut Jawa kearah Selat Makasar laut dangkal dan menyusur pantai Maumere; tidak ada indikasi menyebar di Selat Makasar laut dalam karena habitat dan komposisi jenis berbeda. Unit stok yang secara signifikan berbeda dari populasi layang deles Kendari dan adanya barrier geografi (garis Wallace) memperkuat pola sebaran stok tersebut. Indikasi lain menunjukkan tidak ada migrasi populasi layang dari arah timur (Laut Flores dan Laut Banda) ke Laut Jawa, dan sebaliknya. Dengan demikian pengelolaan perikanan pelagis kecil Laut Jawa sebaiknya menjadi satu unit management dengan perairan Selat Makasar laut dangkal di timur Kalimantan; sedang di habitat laut dalam Selat Makasar barat Sulawesi memiliki komoditi ikan pelagis berbeda (malalugis) sehingga pengelolaannya disarankan berbasis pada penstrukturan populasi „malalugis‟ (D. macarellus) yang tersebar di perairan oseanik sekitar Sulawesi. PERSANTUNAN Penelitian ini didukung oleh dana APBN tahun anggaran 2012 dan merupakan sebagian dari hasil penelitian berjudul “DISTRIBUSI, UPAYA PENANGKAPAN DAN BIOLOGI POPULASI STOK IKAN PELAGIS KECIL DI LAUT JAWA (WPP-712) DAN LAUT SULAWESI (WPP-716)” 269 DAFTAR PUSTAKA Atmaja, S. B., B. Sadhotomo dan D. Nugroho. 2007. Overfishing pada perikanan pukat cincin semi industry di Laut Lawa dan implikasi pengelolaannya. J. Kebijak. Perikan. Ind. 3(1): 51-60. Durand, J. R. & J. Widodo. 1997. Final report Java Sea pelagic fishery assessment project. ALA/INS/87/17. AARD-ORSTOM/EEC. Sci. Tech. Doc. No. 26. 76p. Hardenberg, J.D.F. 1938. Preliminary report on a migration of fish in the Java Sea. Treubia, Deel 16, Afl. 2, 295-300 p. Hariati, T., M. Taufik dan A. Zamroni. 2005. Beberapa aspek reproduksi ikan Layang (Decapterus russelli) dan ikan Banyar (Rastrelliger kanagurta) di perairan Selat Malaka Indonesia. JPPI, 11(2): 47-56. Potier, M., and B. Sadhotomo. 1995. Exploitation of the large and medium seiners fisheries. BIODYNEX. Scientific Editors: M. Potier and S. Nurhakim. AARD, ORSTOM, and E.U: p.171 –184. Potier, M. and Sadhotomo, B. 1995. Trends in scad fishery of the Java Sea. The Fourth Asian Fisheries Forum. Beijing, October 1995. Sadhotomo, B. 1998. Bioécologie des principales espèces pélagiques exploitées en mer de Java. These de Docteur de l‟UniversIté Montpellier II, Dicipline Biologie de l‟évolution et écologie. Academie de Montpellier, Universite Monpellier II. France. Suwarso, B.S. Atmaja dan M. Wahyono. 1987. Perkembangan komposisi ikan layang (Decapterus spp.) dari hasil tangkapan pukat cincin menurut daerah penangkapan di laut Jawa. Jurnal Penelitian Perikanan Laut, 38: 55-58. Suwarso, A. Zamroni dan Estu Nugroho. 2010. Penstrukturan populasi dan karakterisasi biologi ikan Layang (Decapterus spp.) di sekitar L. Jawa, Sel. Makasar, L. Banda dan L. Flores. Seminar Hasil Riset Perikanan dan Kelautan, Pusat Riset Perikanan Tangkap, 21-23 Mei 2010 di Palembang. 270