v. hasil dan pembahasan

advertisement
51
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil pengumpulan data selama penelitian di ketiga lokasi yaitu
TNBK, TNGGP, dan TNAP diketahui bahwa pada ketiga taman nasional tersebut
terdapat 33 resort. Di TNBK terdapat 5 resort, TNGGP terdapat 22 resort dan di
TNAP terdapat 6 resort. Gambaran mengenai kondisi kinerja pengamanan
diuraikan berikut ini :
5.1.
Deskripsi Pengamanan Kawasan
5.1.1. Jumlah personel pengamanan
Idealnya untuk menentukan jumlah personel pengamanan yang
dibutuhkan didasarkan pada kriteria tertentu seperti rasio jumlah personel
per luas area, panjang batas kawasan dan intensitas tekanan masyarakat
terhadap kawasan. Jika berdasarkan rasio jumlah personel per area maka
pada ketiga taman nasional dapat dihitung rata-rata jumlah personel per
area sebagaimana disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Jumlah personel pengamanan pada ketiga taman nasional
No.
1.
2.
3.
4.
Jumlah Personel
Jumlah Personel
pengamanan
Jumlah personel
ditempatkan di Resort
Rata-rata jumlah personel
per resort
Rata-rata rasio jumlah
personel per area (ha)
Taman Nasional
Betung Kerihun
Taman Nasional
Gn. Gede
Pangrango
Taman Nasional
Alas Purwo
9
49
44
8
44
30
2
3
5
1 : 519,3 ha
1 : 1.447,33 ha
1 : 100.000 ha
Dari data di atas diketahui rata-rata rasio jumlah personel
pengamanan per area pada ketiga taman nasional berbeda-beda. Perbedaan
tersebut dapat terjadi karena sampai dengan saat ini belum tersedia standar
yang dapat dijadikan acuan secara umum untuk menetapkan jumlah
personel pengamanan per luas area pada setiap resort-resort taman
nasional. Penentuan standar jumlah personel pengamanan per area sulit
dilakukan karena setiap taman nasional mempunyai karakteristik biofisik
dan tingkat ancaman yang berbeda-beda. Meskipun demikian beberapa
52
pihak berupaya membuat benchmark terkait dengan rasio jumlah personel
per luas area.
Menurut Rambaldi (2000) sebaiknya perbandingan jumlah personel
pengamanan per luas rea adalah 1 orang per 1000 hektar. Rasio tersebut
merupakan hasil studi kasus mengenai efisiensi jumlah personel
pengamanan yang dilakukan pada delapan kawasan konservasi di Filipina.
Berdasarkan rasio tersebut apabila diterapkan pada ketiga taman nasional
hanya TNGGP yang sebagian besar resortnya mempunyai perbandingan
mendekati 1 orang : 1000 hektar. Meskipun mendekati perbandingan
tersebut bahkan di bawahnya, kenyataannya pengamanan belum dapat
berjalan dengan efektif. Hal ini ditunjukkan dengan masih terjadinya
gangguan pada semua resort di TNGGP.
Berkaitan dengan jumlah personel
pengamanan, sebenarnya
Departemen Kehutanan sudah menyusun aturan mengenai jumlah personel
pengamanan pada setiap resort. Aturan tersebut tertuang dalam Keputusan
Bersama Menteri Kehutanan dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia
Nomor : 10/Kpts-11/93-Skep/07/I/93 tentang Susunan Organisasi dan Tata
Kerja Jagawana. Dalam peraturan tersebut dinyatakan bahwa jumlah
personel dalam satuan tugas resort terdiri dari 10 (sepuluh) orang.
Peraturan lain yang mengatur tentang jumlah personel pada setiap resort
adalah Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 597/KptsVI/1998 tentang Satuan Tugas Operasional Jagawana yang menyebutkan
bahwa Satuan Jagawana/Polisi Kehutanan (Polhut) yang berkedudukan di
resort/subseksi Balai Taman Nasional terdiri dari 11 (sebelas) orang atau
lebih. Kenyataan menunjukkan bahwa jumlah personel per resort pada
ketiga lokasi penelitian jauh di bawah jumlah yang ditetapkan dalam kedua
peraturan tersebut.
Berdasarkan data selama 5 tahun terakhir menunjukkan jumlah
personel pengamanan di TNGGP hanya bertambah 2 orang (Balai TNGGP
2009). Selama 5 tahun terakhir jumlah personel pengamanan di TNBK
tidak bertambah malah berkurang 2 orang, sedangkan jumlah personel
pengamanan di TNAP selama 5 tahun terakhir hanya bertambah 3 orang.
53
Kondisi demikian akan sulit untuk mengharapkan jumlah personel
pengamanan dapat mencapai jumlah yang sesuai dengan ketetapan yang
diatur pada kedua peraturan di atas.
Dinamika perkembangan jumlah Polhut dalam 5 tahun terakhir pada
ketiga taman nasional mununjukkan kurangnya kemampuan pemerintah
dalam menyediakan personel pengamanan. Kondisi demikian sebenarnya
sudah disadari oleh para pengelola taman nasional. Untuk mengatasi
kekurangan personel pengamanan para pengelola di ketiga taman nasional
melakukannya dengan membuat kebijakan di tingkat internal unit
pengelola. Balai TNGGP melakukannya dengan mengangkat pegawai nonstruktural (bukan fungsional) menjadi Pegawai Perlindungan Hutan Non
Fungsional (PPHNF). Balai TNAP dalam menempatkan personel di resortresort menerapkan jumlah minimal personel pengamanan yang harus ada
di resort. Balai TNBK merekrut masyarakat di sekitar kawasan untuk
membantu tugas-tugas Polhut.
Kebijakan-kebijakan yang sudah dilakukan oleh pengelola di ketiga
taman nasional, apabila dikaitkan dengan tugas dan wewewang resort
maka penerapan jumlah minimal di setiap resort yang dilakukan oleh
TNAP merupakan kebijakan yang perlu dijadikan contoh. Penerapan
jumlah minimal personel pengamanan pada setiap resort menjadikan setiap
resort tidak pernah kosong (selalu ada personel pengamanan di resort)
sehingga kegiatan pengamanan dapat intensif dilakukan.
Data selengkapnya mengenai personel pengamanan pada semua
resort di ketiga taman nasional dapat dilihat pada tabel Lampiran 1.
5.1.2. Kualifikasi Personel
Kualifikasi personel pengamanan berhubungan dengan latar
belakang pendidikan dan pelatihan yang pernah diikuti. Secara singkat
kualifikasi personel pengamanan pada ketiga taman nasional dapat dilihat
pada Tabel 4.
54
Tabel 4 Kualifikasi personel pengamanan pada ketiga taman nasional
No.
Kualifikasi
Personel
1.
Tingkat pendidikan
2.
Rata-rata jumlah
pendidikan dan
pelatihan yang
pernah diikuti
Taman Nasional
Betung Kerihun
Taman Nasional
Gn. Gede
Pangrango
Taman Nasional
Alas Purwo
Sebagian besar tamatan
SMA/Sederajat
Sebagian besar
tamatan
SMA/Sederajat
Sebagian besar
tamatan
SMA/Sederajat
5
6
3
Berdasarkan latar belakang pendidikan sebagian besar personel
pengamanan mempunyai latar belakang pendidikan SMA/sederajat.
Jumlah personel yang memiliki latar belakang pendidikan SMA/Sederajat
adalah 74 dari 82 orang personel pengamanan (90%). Personel lainnya
memiliki latar belakang Sarjana dan Diploma III. Personel yang memiliki
latar belakang Sarjana terdapat di resort Kucur di TNAP, resort
Selabintana di TNGGP. Personel dengan latar belakang pendidikan
setingkat Diploma III dapat dijumpai di TNBK seperti di resort Sadap dan
Nanga Potan.
Disamping latar belakang pendidikan kompetensi seorang Polhut
akan sangat menentukan keberhasilan pelaksaanan tugasnya. Pada
umumnya kompetensi seorang Polhut adalah di bidang penegakan hukum,
namun dinamika dalam pengelolaan taman nasional menghendaki tidak
hanya kompetensi dalam bidang penegakan hukum. Appleton et al. (2003)
merekomendasikan bahwa seorang Polhut juga harus mempunyai
kompetensi dalam bidang pendidikan dan penyadaran masyarakat serta
kehumasan. Kemampuan demikian akan sangat bermanfaat khususnya
untuk menangani gangguan sebagaimana yang terjadi di TNGGP, yaitu
gangguan yang diakibatkan karena ketergantungan masyarakat terhadap
sumberdaya hutan seperti pencurian kayu bakar.
Kompetensi adalah kelayakan kemampuan seseorang dalam
melaksanakan suatu tugas. Kompetensi seseorang terkadang berbeda
dengan latar belakang pendidikannya. Kompetensi seseorang lebih sering
55
dibentuk oleh pembelajaran atau pelatihan yang pernah dialami oleh
seseorang (Tri Hermawan 2006). Dari keseluruhan personel pengamanan
hanya sebagian kecil yang berasal dari SMA yang sesuai dengan bidang
pekerjaan yang sekarang dijalani yaitu berasal dari SMA jurusan
kehutanan (SKMA : Sekolah Kehutanan Menengah Atas). Personel
lainnya umumnya berasal dari SMA dan sebagian memiliki latar belakang
yang berbeda dengan bidang profesi yang sekarang dijalani, seperti SMEA
Tata Buku, STM Bangunan, dan juga SPMA (Sekolah Pertanian). Dengan
berbagai macam latar belakang pendidikan tersebut ketrampilan dan
keahlian yang dimiliki lebih banyak didapatkan dengan mengikuti
pendidikan dan pelatihan atau secara otodidak dalam melaksanakan tugas
sehari-hari. Data selengkapnya mengenai kualifikasi personel pengamanan
pada semua resort di ketiga taman nasional dapat dilihat pada tabel
Lampiran 2.
5.1.3. Sarana Pengamanan
Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan kegiatan perlindungan
dan pengamanan kawasan di tingkat resort maka setiap resort perlu
ditunjang dengan sarana dan prasarana
yang memadai.
Sarana
pengamanan bagi Polhut berupa peralatan untuk menunjang kegiatan
perlindungan dan pengamanan yang kebutuhannya disesuaikan dengan
kondisi masing-masing resort. Secara singkat sarana pengamanan yang
terdapat pada ketiga taman nasional disajikan pada Tabel 5.
Sarana untuk satuan unit resort sudah diatur dalam Surat
Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 597/KptsVI/1998 Tanggal 18 Agustus 1998 tentang Satuan Tugas Operasional
Jagawana. Bahkan saat ini, peraturan yang mengatur standar peralatan
untuk Polhut telah diterbitkan yaitu melalui Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor : P.5/Menhut-II/2010 tentang Standar Peralatan Polisi Kehutanan.
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.5/Menhut-II/2010 tentang
Standar Peralatan Polisi Kehutanan tergolong masih baru sehingga belum
dijadikan pedoman oleh para pengelola taman nasional dalam penyediaan
sarana dan prasarana pengamanan. Sebelum peraturan tersebut diterbitkan
56
sebenarnya para pengelola taman nasional (Balai Taman Nasional) sudah
berusaha untuk menyediakan sarana pengamanan yang jenisnya sudah
disesuaikan
dengan
karakteristik
masing-masing
resort,
namun
kenyataannya pada beberapa taman nasional terdapat beberapa sarana
yang belum tersedia di resort seperti : GPS (Global Positioning System) di
TNBK dan TNGGP, senjata yang belum tersedia di semua resort di
TNBK. Disamping itu beberapa sarana pengamanan dalam keadaan rusak
berat seperti : speed boat di TNBK dan TNAP, beberapa alat komunikasi
di TNBK dan TNGGP. Dengan kondisi sarana demikian tidak akan dapat
menunjang kegiatan perlindungan dan pengamanan di tingkat resort
dengan optimal.
Tabel 5 Sarana pengamanan pada ketiga taman nasional
No.
Sarana
Pengamanan
Taman Nasional
Betung Kerihun
Taman Nasional
Gn. Gede
Pangrango
Taman Nasional
Alas Purwo
1.
Alat Transportasi
Tersedia, sebagian
besar dalam
keadaan rusak
Tersedia, sebagian
kecil dalam keadaan
rusak
Tersedia, sebagian
kecil dalam
keadaan rusak
2.
Alat Komunikasi
(Radio, Rig., HT)
Tersedia, sebagian
kecil dalam keadaan
rusak
Tidak semua tersedia
alat komunikasi
Tersedia alat
komunikasi dalam
keadaan baik
3.
Senjata
Tidak tersedia di resort
Tersedia di resort
Tersedia di resort
4.
Alat Navigasi, Alat
Dokumentasi
Hanya alat
dokumentasi
Tidak Tersedia
Tersedia
Keadaan yang kurang lebih sama dengan penyediaan personel
pengamanan, penyediaan sarana pengamanan juga tergantung kemampuan
pemerintah dalam mengadakan sarana untuk pengamanan kawasan taman
nasional. Kondisi demikian oleh para pengelola disikapi dengan berbagai
kebijakan internal. Penerapan standar minimal peralatan di setiap resort
yang dilakukan oleh TNAP merupakan salah satu kebijakan yang dapat
dijadikan contoh di tempat lain. Standar peralatan minimal yang harus
tersedia di setiap resort meliputi : peta kerja, GPS, blangko register, phi
band, kompas, aikom, kamera digital, senjata dan kendaranan roda dua
57
atau angkutan air. Data selengkapnya mengenai sarana pengamanan pada
semua resort di ketiga taman nasional dapat dilihat pada tabel Lampiran
3.
5.1.4. Prasarana Pengamanan
Sama dengan sarana pengamanan, ketersediaan sarana prasarana
pengamanan di tingkat resort juga mengacu pada ketentuan Surat
Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 597/KptsVI/1998 Tanggal 18 Agustus 1998 tentang Satuan tugas Operasional
Jagawana dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.5/Menhut-II/2010
tentang Standar Peralatan Polisi Kehutanan. Menurut peraturan tersebut
prasarana yang harus tersedia di unit resort antara lain meliputi pondok
jaga, pos jaga serta perumahan bagi Polhut.
Fakta di lokasi penelitian menunjukkan bahwa resort-resort di
TNBK telah didukung dengan prasarana pengamanan berupa Pondok Jaga
yang berfungsi juga sebagai pos jaga. Kondisi demikian berbeda dengan di
TNAP dimana hampir semua resort (kecuali Tanjung Pasir) sudah
mempunyai Pondok Jaga dan Pos Jaga. Kondisi prasarana pengamanan di
TNGGP pada umumnya sudah terpenuhi, namun sejak berkembangnya
jumlah resort dari 16 menjadi 22 resort terdapat beberapa resort yang
belum memiliki prasarana pengamanan. Resort-resort yang belum
mempunyai prasarana pengamanan yaitu resort Pasir Sumbul, Resort
Cipetir, Resort Cirendeu, Resort PPKAB dan Resort Tugu. Data
selengkapnya mengenai prasarana pengamanan pada semua resort di
ketiga taman nasional dapat dilihat pada tabel Lampiran 4.
5.1.5. Penganggaran Pengamanan
Sebagaimana umumnya pembiayaan kawasan konservasi selalu
dalam keadan terbatas, hal demikian menuntut pengelola harus mampu
mengatur pembiayaan seefisien mungkin sesuai dengan prioritas-prioritas
yang telah direncanakan (MacKinnon 1990).
Penganggaran
kegiatan
perlindungan dan pengamanan kawasan di tingkat resort pengelolaan
TNBK meliputi : gaji pegawai, uang makan, tunjangan fungsional, dan
bantuan operasional patroli. Pembiayaan pengamanan di tingkat resort di
58
TNGGP hanya meliputi : gaji, uang makan, tunjangan fungsional dan
operasional resort. Tidak tersedia tambahan biaya operasional lainnya
dalam bentuk insentif maupun bantuan operasional untuk kegiatan
penjagaan dan patroli.
Perbedaan penganggaran biaya untuk kegiatan pengamanan di
setiap resort disebabkan oleh karakteristik biofisik masing-masing resort
yang berbeda-beda. Karakteristik biofisik kawasan menentukan biaya
operasional dalam kegiatan pengamanan seperti patroli. Perbedaan
pembiayaan pengamanan lebih didasarkan pada biaya operasional untuk
patroli. Perbedaan tersebut berkaitan dengan aksesibilitas menuju resort.
Beberapa resort sebagian wilayahnya berbatasan dengan laut sehingga
untuk menjangkaunya perlu sarana transportasi laut (beberapa resort di
TNAP). Resort-resort di TNBK umumnya hanya dapat diakses melalui
jalur sungai (hampir semua resort di TNBK). Kondisi demikian dalam
setiap kegiatan patroli memerlukan biaya yang tidak sedikit khususnya
untuk operasional kendaraan yang digunakan.
Kondisi sebagaimana dijelaskan di atas tidak terjadi di TNGGP
karena resort-resort relatif mudah dijangkau tanpa peralatan transportasi
khusus. Aksesibilitas yang mudah menuju resort merupakan salah satu
alasan tidak adanya bantuan operasional untuk kegiatan perlindungan dan
pengamanan di TNGGP.
Pada ketiga taman nasional alokasi anggaran untuk setiap resort
kurang lebih sama tetapi terdapat perbedaan dalam pemberian insentif
kepada setiap personel di resort. Dari ketiga taman nasional hanya di
TNAP yang mempunyai alokasi anggaran berupa insentif yang diberikan
kepada setiap personel di resort. Pemberian insentif ini diberikan sebagai
bentuk penghargaan atas “tugas khusus” yang dilaksanakan secara rutin di
resort yattu tugas untuk melakukan kegiatan patroli aktif. Pemberian
insentif kepada personel resort merupakan pembelajaran yang berharga
khususnya
dalam
memotivasi
personel
pengamanan
agar
dapat
menghasilkan kinerja yang lebih baik. Data selengkapnya mengenai
59
penganggaran pengamanan pada semua resort di ketiga taman nasional
dapat dilihat pada tabel Lampiran 5.
5.1.6. Kegiatan Pengamanan
Kegiatan perlindungan dan pengamanan hutan meliputi kegiatan
preemtif, preventif dan operasi represif. Di tingkat resort pada umumnya
kegiatan yang dapat dilakukan adalah kegiatan pengamanan yang bersifat
rutin seperti penjagaan dan patroli. Intensitas kegiatan pengamanan
tersebut bergantung pada jumlah personel yang tersedia. Dalam satu
kesempatan setidaknya dibutuhkan 3 orang personel untuk dapat
melaksanakan dua kegiatan tersebut. Kegiatan patroli mensyaratkan
minimal dua orang untuk pelaksanaannya (MacKinnnon 1990), sedangkan
penjagaan dapat dilakukan oleh satu orang. Dengan batasan demikian
maka resort–resort yang mempunyai personel banyak dapat melakukan
kegiatan penjagaan dan patroli setiap hari.
Jumlah personel pengamanan di resort TNBK dan TNGGP terdiri
atas 1 - 2 orang saja. Dengan jumlah tersebut akan sulit untuk dapat
melaksanakan kegiatan pengamanan rutin secara intensif. Disamping itu
personel pengamanan di TNBK masih dihadapkan dengan luasnya
kawasan resort yang harus dikelola. Dengan jumlah personel yang ada di
resort-resort TNBK maka akan sulit mengharapkan kegiatan pengamanan
dapat berjalan efektif. Dibanding dengan TNBK sebenarnya luas kawasan
resort di TNGGP jauh lebih sempit, namun karena jumlah personel yang
ada di setiap resort sangat terbatas maka akan sulit untuk mengharapkan
kegiatan pengamanan dapat dilakukan secara intensif.
Berbeda dengan di TNBK dan TNGGP jumlah personel
pengamanan di setiap resort di TNAP lebih banyak. Jumlah personel
pengamanan di tiap resort di TNAP rata-rata adalah 5 orang. Dengan
jumlah tersebut dan masih ditambah dengan personel fungsional lain
seperti Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) dan Penyuluh memungkinkan
pada satu kesempatan waktu terdapat personel dengan jumlah minimal 3
orang. Jumlah personel 3 orang pada setiap resort pada satu kesempatan
waktu memungkinkan pelaksanaan kegiatan rutin penjagaan dan patroli
60
setiap hari. Semua resort di TNAP sudah menerapkan pola yang demikian
sehingga kegiatan pengamanan dapat dilaksanakan secara intensif.
Disamping itu TNAP juga menerapkan kegiatan pengamanan
khusus yang dinamakan “patroli aktif”. Patroli aktif merupakan salah satu
bentuk kegiatan pengamanan yang dalam pelaksanaannya berbeda dengan
patroli rutin biasa. Perbedaan dengan patroli rutin biasa, pelaksanaan
patroli aktif disertai dengan kegiatan pencatatan/perekaman data sepanjang
perjalanan, meliputi bekas pelanggaran, pasokan (jalur pelanggaran),
potensi unggulan baik keanekeragaman hayati maupun obyek wisata dan
perjumpaan satwa. Kegiatan patroli aktif yang sudah dilakukan di TNAP
terbukti telah banyak membantu pengumpulan data dan informasi terkait
daerah-daerah rawan, data-data dan informasi mengenai keanekaragaman
hayati serta potensi obyek wisata dan jasa lingkungan di kawasan TNAP.
Kegiatan patroli aktif merupakan kegiatan rutin yang dilaksanakan
di resort-resort TNAP. Hasil dari kegiatan patroli aktif ini terekam dalam
bentuk data-data yang berasal dari lapangan. Pengawasan terhadap
kegiatan tersebut dilakukan oleh Polhut Mobile yang berkedudukan di
kantor Balai. Polhut Mobile merupakan satuan tugas pengamanan (bagian
dari struktur organisasi Polhut) yang dalam pelaksanaan tugasnya bersifat
mobile ke seluruh wilayah taman nasional/lintas resort dan berfungsi juga
mendukung pelaksanaan kegiatan pengamanan di resort-resort.
Data
selengkapnya mengenai jumlah kegiatan pengamanan selama tahun 2009
pada semua resort di ketiga taman nasional dapat dilihat pada tabel
Lampiran 6.
5.2. Kondisi Keamanan Kawasan Berdasarkan Besarnya Gangguan
Keamanan kawasan taman nasional berhubungan dengan gangguan
kawasan yang terjadi. Resort-resort mempunyai tanggung jawab dalam
mengamankan kawasan dari gangguan, oleh karena itu salah satu indikator
kinerja pengamanan dari resort-resort dapat dilihat berdasarkan besarnya
gangguan yang terjadi. Fakta di lapangan menunjukkan gangguan yang
terjadi di resort–resort taman nasional umumnya adalah pemanfaatan hasil
hutan secara illegal yang volume fisik dan nilai rupiahnya dapat dihitung.
61
Data mengenai gangguan yang terjadi di resort–resort taman nasional selama
tahun 2009 dapat dilihat selengkapnya pada Lampiran 10. Jika besarnya
volume gangguan dinilai berdasarkan harga pasar yang berlaku pada tahun
2009, maka diperoleh data nilai rupiah kerugian yang diderita masing-masing
resort seperti disajikan pada tabel 6.
Tabel 6 Kerugian akibat gangguan kawasan (Rupiah/Resort) pada Tahun 2009
No.
Resort
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26
27
28.
29.
30.
31.
32.
33
Pancur
Grajagan
Nanga Potan
Nanga Hovat
Nanga Bungan
Tanjung Lokang
Selabintana
Goalpara
Cirendeu
Maleber
Cimungkad
Gunung Putri
Mandalawangi
Cimande
Tegallega
Cipetir
Sarongge
Cisarua
Tapos
Bodogol
Nagrak
Pasir Hantap
PPKAB
Situgunung
Pasir Sumbul
Sembulungan
Kucur
Tugu
Nanga Sadap
Cijoho
Tanjung Pasir
Sukamulya
Rowobendo
Perkiraann
Kerugian
0
0
0
0
0*
0*
60.000
300.000
321.000
360.000
472.000
540.000
580.000
747.000
780.000
940.000
1.200.000
1.460.000
1.520.000
1.537.000
1.550.000
1.620.000
1.680.000
1.840.000
2.240.000
2.615.000
3.884.000
3.920.500
4.000.000
4.795.000
8.559.000
10.600.000
63.490.000
Taman Nasional
Alas Purwo
Alas Purwo
Betung Kerihun
Betung Kerihun
Betung Kerihun
Betung Kerihun
Gunung Gede Pangrango
Gunung Gede Pangrango
Gunung Gede Pangrango
Gunung Gede Pangrango
Gunung Gede Pangrango
Gunung Gede Pangrango
Gunung Gede Pangrango
Gunung Gede Pangrango
Gunung Gede Pangrango
Gunung Gede Pangrango
Gunung Gede Pangrango
Gunung Gede Pangrango
Gunung Gede Pangrango
Gunung Gede Pangrango
Gunung Gede Pangrango
Gunung Gede Pangrango
Gunung Gede Pangrango
Gunung Gede Pangrango
Gunung Gede Pangrango
Gunung Gede Pangrango
Alas Purwo
Gunung Gede Pangrango
Betung Kerihun
Gunung Gede Pangrango
Alas Purwo
Gunung Gede Pangrango
Alas Purwo
Keterangan : - * terjadi gangguan penambangan emas tetapi tidak ada data kerugian akibat kegiatan tersebut
Sumber data : diolah dari laporan rekapitulasi kegiatan perlindungan dan pengamanan hutan Balai Besar TN Betung
Kerihun Tahun 2009; laporan rekapitulasi gangguan keamanan Bidang Wilayah I Cianjur, Bidang Wilayah II Sukabumi
dan Bidang Wilayah III Bogor Balai Besar TN Gunung Gede Pangrango Tahun 2009;, Laporan statistik Balai Taman
Nasional Alas Purwo Tahun 2009.
62
Perkiraaan nilai kerugian yang tercantum pada tabel di atas merupakan
hasil perhitungan dari nilai rupiah gangguan yang terjadi (berdasarkan harga
pasar yang berlaku tahun 2009). Nilai-nilai sebagaimana disajikan pada tabel
di atas menggambarkan kinerja resort-resort berdasarkan gangguan yang
terjadi. Berdasarkan data di atas menunjukkan dua resort di TNAP yaitu
resort Pancur dan Rowobendo mempunyai nilai kerugian paling rendah dan
paling tinggi.
Berdasarkan data pada tabel Lampiran 10, diketahui di TNBK
gangguan kawasan yang terjadi meliputi penebangan kayu, pembukaan lahan,
dan penambangan emas. Jenis-jenis gangguan yang dijumpai di setiap resort
dapat berbeda-beda tergantung kondisi biofisik dan sosial ekonomi
masyarakat di sekitar resort.
Gangguan yang terjadi di TNGGP didominasi oleh pencurian kayu
bakar. Pencurian kayu bakar terjadi di semua resort dengan volume yang
berbeda-beda. Persentase perkiraan kerugian akibat gangguan adalah 42,92%
penebangan kayu, 37,97% pencurian kayu bakar, pencurian pakis 13,82%,
perburuan burung 3,52%, pencurian bambu 0,45% dan lainnya 1,17%.
Sumber gangguan umumnya berasal dari masyarakat sekitar resort. karena
ketergantungan penggunaan kayu bakar masih tinggi.
Gangguan yang terjadi di TNAP didominasi oleh perburuan liar.
Persentase perkiraan kerugian akibat gangguan adalah 90,89% perburuan liar,
4,64% penebangan liar, 4,43% pencurian bambu dan 0,02% adalah pencurian
kayu bakar. Perburuan terhadap banteng merupakan sumber kerugian
terbesar.
Gangguan yang terdata oleh resort-resort di ketiga taman nasional
umumnya merupakan bentuk gangguan berupa pemanfaatan hasil hutan
secara illegal. Besarnya nilai kerugian setiap resort ditentukan oleh nilai dari
hasil hutan yang hilang/dicuri. Semakin bernilai hasil hutan yang
hilang/dicuri semakin besar kerugian yang diderita oleh setiap resort. Sebagai
contoh gangguan yang terjadi di resort Rowobendo (TNAP) yang kehilangan
4 (empat) ekor banteng akibat perburuan liar. Harga banteng di Banyuwangi
(lokasi TNAP) 1 ekor adalah Rp. 15.000.000,00. Nilai kerugian yang kecil
63
dikarenakan hasil hutan yang hilang/dicuri nilainya rendah seperti pencurian
kayu bakar (harga per ikat Rp.10.000,00).
Sumber gangguan pada umumnya disebabkan oleh manusia khususnya
masyarakat disekitar kawasan maupun masyarakat bukan dari sekitar
kawasan yang mempunyai tujuan-tujuan khusus. Timbulnya gangguan
dipengaruhi faktor internal dan eksternal. Faktor-faktor internal meliputi
kondisi kawasan, personel, sarana, prasrana dan anggaran, sedangkan faktor
eksternal meliputi sosial ekonomi, sosial budaya dan politik.
5.3. Faktor yang Mempengaruhi Kerugian
Sebagaimana diuraikan sebelumnya faktor-faktor yang mempengaruhi
gangguan antara lain adalah personel, sarana, prasarana dan anggaran maka
untuk membuktikan faktor-faktor tersebut berpengaruh nyata atau tidak
dilakukan uji statistik. Uji statistik dilakukan berdasarkan perhitungan nilai
rupiah kerugian akibat gangguan, nilai rupiah personel pengamanan, nilai
rupiah sarana, prasarana dan besarnya anggaran operasonal resort. Model
statistik yang digunakan adalah regresi linier berganda. Berdasarkan uji
statistik menunjukkan data yang tidak menyebar normal. Terhadap hasil
tersebut kemudian dilakukan trasformasi data menggunakan fungsi logaritma
natural supaya data menjadi menyebar normal. Hasil analisis regresi berganda
menggunakan transformasi data dengan logaritma natural (ln) didapatkan
nilai R-sq = 59,2%. Nilai R-sq = 59,2% menunjukkan bahwa keragaman
kerugian dipengaruhi oleh model regresi, sisanya dipengaruhi faktor-faktor
lain diluar model. Nilai P-value = 0.000 < alpha = 5%, Tolak H0, Model
Regresi berpengaruh nyata terhadap respon ln kerugian. Nilai DW1 = 1.92
mendekati 2, sehingga dapat disimpulkan tidak ada autokorelasi.
Persamaan regresinya :
ln Rugi = - 4,18 + 1,37 ln Personel - 0,144 ln Sarana - 0,0334 ln Prasarana 0,330 ln Operasional.
1
DW = Durbin Watson adalah salah satu statistik untuk melihat ada tidaknya autokorelasi dalam
satu variabel. Jika nilai Durbin Watson mendekati angka 2 maka dapat diduga bahwa dalam
variabel tersebut tidak ada autokorelasi (Nachrowi 2006)
64
Intepretasi
terhadap
persamaan
regresi
menunjukkan
bahwa
penambahan biaya personel akan menambah kerugian tetapi penambahan
sarana, prasarana dan anggaran operasional akan mengurangi kerugian. Biaya
personel meliputi gaji, tunjangan, uang makan dan insentif yang merupakan
upah dan bentuk penghargaan terhadap pekerjaan personel pengamanan.
Segala bentuk pembiayaan yang diberikan kepada personel diharapkan dapat
meningkatkan kinerja personel dalam melakukan pengamanan sehingga
gangguan dapat berkurang. Berkurangnya gangguan terhadap keamanan
kawasan dapat mengurangi kerugian atas hilangnya sumberdaya hutan yang
dimanfaatkan secara illegal. Namun berdasarkan persamaan regressi
penambahan biaya untuk personel justru meningkatkan kerugian. Hal ini
kemungkinan disebabkan kinerja personel pengamanan yang belum sesuai
dengan harapan. Personel tidak mempunyai kemampuan yang mencukupi
(kompetensi) dalam melakukan pengamanan. Ketidakmampuan personel
pengamanan berpengaruh dalam upaya mengatasi atau menanggulangi
gangguan yang terjadi.
Intepretasi
terhadap
persamaan
regresi
menunjukkan
bahwa
penambahan nilai rupiah sarana, prasarana dan anggaran operasional akan
mengurangi kerugian. Nilai rupiah sarana dan prasarana dapat diartikan
penambahan sarana dan perbaikan sarana. Perbaikan sarana pengamanan
perlu dilakukan karena beberapa sarana dan prasarana pengamanan di
beberapa resort dalam keadaan rusak. Kerusakan sarana pengamanan dapat
disebabkan oleh beberapa hal seperti usia alat yang sudah tua, penggunaan
alat
yang
kurang
hati-hati,
kecelakaan
maupun
kesalahan
dalam
pengoperasiannya.
Beberapa perlengkapan dan peralatan kerja untuk pengamanan
mempunyai spesifikasi tertentu yang dalam penggunaannya diperlukan
ketrampilan dan pengetahuan khusus. Oleh karena itu terkait dengan beberapa
saranan pengamanan yang rusak selain perbaikan dan pengadaan sarana
pengamanan maka untuk menjamin terpeliharanya sarana pengamanan,
personel pengamanan perlu dilatih untuk menggunakan peralatan dan
perlengkapan kerja yang digunakan sesuai standar operasionalnya
65
5.4. Efisiensi Pengamanan
Efisiensi adalah kemampuan untuk melakukan pekerjaan dengan benar
yang merupakan sebuah konsep “masukan-keluaran” (Stoner dan Freeman
1992). Efisiensi harus selalu bersifat kuantitatif dan dapat diukur
(measurable). Efisiensi menunjukkan hubungan antara input dan output
dengan mencari biaya sumber daya minimum (Robin dan Coultar 1996, diacu
dalam Wibowo 2009). Dalam bidang ekonomi efisiensi selalu berhubungan
dengan upaya penggunaan sumber daya minimum yang dapat menghasilkan
produksi barang dan jasa maksimum. Pengertian tersebut sulit diterapkan
dalam pengelolaan kawasan konservasi karena penggunaan sumber daya
tidak diorientasikan untuk menghasilkan produk dalam bentuk barang namun
lebih pada kondisi terjaminnya kelestarian kawasan konservasi. Berdasarkan
penjelasan tersebut maka dalam pengelolaan kawasan konservasi, keamanan
kawasan merupakan salah satu keluaran (output) yang indikatornya dapat
dilihat dari besarnya gangguan kawasan. Efisiensi pengamanan ditunjukkan
dengan penggunaan sumber daya minimum yang dapat mengamankan
kawasan sebaik-baiknya. Dengan pengertian tersebut maka efisiensi dapat
diukur dengan menghitung perbandingan tingkat gangguan output dengan
input yaitu sumber daya pengamanan.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar gangguan yang
terjadi adalah pencurian hasil hutan yang dimanfaatkan secara illegal. Hasil
hutan tersebut mempunyai nilai yang dapat dihitung dalam rupiah
berdasarkan harga pasar yang berlaku. Karena hasil hutan merupakan salah
satu asset Negara, maka nilai rupiah tersebut dihitung sebagai kerugian
Negara atas hilangnya asset berupa hasil hutan.
Sumber daya pengamanan juga dapat dihitung nilai rupiahnya
berdasarkan pembiayaan yang dikeluarkan untuk personel, nilai rupiah sarana
dan prasarana dan operasional resort. Hasil perhitungan tersebut kemudian
digunakan untuk menghitung efisiensi berdasarkan rasio nilai kerugian akibat
gangguan (output) dengan nilai rupiah sumber daya pengamanan (input).
Berdasarkan rasio tersebut maka semakin besar nilai rasio bukan
66
menunjukkan efisiensi tetapi nilai ketidakefisienan kinerja pengamanan suatu
resort. Nilai efisiensi dari setiap resort disajikan pada tabel 7.
Tabel 7 Nilai efisiensi resort-resort TNBK, TNAP dan TNGGP berdasarkan
perbandingan nilai rupiah kerugian dan nilai rupiah input
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
Resort
Pancur
Grajagan
Nanga Potan
Nanga Hovat
Bungan
Tanjung Lokang
Selabintana
Goalpara
Cireundeu
Cimungkad
Mandalawangi
Gunung Putri
Maleber
Cimande
Cipetir
Tegallega
Sembulungan
Sarongge
Kucur
Bodogol
Nagrak
Cisarua
Tapos
Situgunung
PPKAB
Pasir Hantap
Tanjung Pasir
Sadap
Pasir Sumbul
Cijoho
Tugu
Sukamulya
Rowobendo
Nilai
Efisiensi
0
0
0
0
0
0
0.0003
0.002
0.003
0.003
0.003
0.004
0.005
0.006
0.006
0.006
0.007
0.008
0.009
0.01
0.011
0.0122
0.013
0.014
0.015
0.017
0.026
0.028
0.032
0.044
0.066
0.121
0.157
Taman Nasional
TNAP
TNAP
TNBK
TNBK
TNBK
TNBK
TNGGP
TNGGP
TNGGP
TNGGP
TNGGP
TNGGP
TNGGP
TNGGP
TNGGP
TNGGP
TNAP
TNGGP
TNAp
TNGGP
TNGGP
TNGGP
TNGGP
TNGGP
TNGGP
TNGGP
TNAP
TNGGP
TNBK
TNGGP
TNGGP
TNGGP
TNAP
Berdasarkan perhitungan nilai efisiensi dari ke-33 resort, resort yang
paling efisien adalah resort Pancur sedangkan resort yang paling tidak efisien
adalah resort Rowobendo. Di TNBK resort yang paling efisien adalah resort
Nanga Potan sedangkan yang paling tidak efisien adalah resort Sadap. Resort
yang paling tidak efisien di TNAP adalah resort Rowobendo sedangkan
resort yang paling efisien adalah resort Pancur. Di TNGGP resort yang paling
67
efisien adalah resort Selabintana sedangkan resort yang paling tidak efisien
adalah resort Sukamulya.
Nilai
efisiensi
masing-masing
taman
nasional
berdasarkan
perhitungan rasio nilai rata-rata kerugian setiap resort dan nilai rata-rata input
(biaya personel, nilai rupiah sarana dan prasarana serta biaya operasional)
menunjukkan taman nasional yang paling tidak efisien adalah berturut-turut
TNAP, TNGGP dan TNBK. Hasil pengukuran efisiensi pada ketiga taman
nasional tersebut hanya didasarkan pada kerugian yang diakibatkan atas
pencurian hasil hutan, sehingga tidak secara keseluruhan menggambarkan
kinerja pengamanan dalam mengatasi gangguan lainnya seperti penambangan
emas di TNBK maupun penyerobotan lahan di TNGGP dan gangguan yang
diakibatkan bencana alam seperti tanah longsor di TNGGP.
5.5. Analisis Perbandingan antar Resort
Berdasarkan perhitungan efisiensi pada semua resort menunjukkan
variasi nilai dari yang paling rendah sampai dengan yang paling tinggi.
Berikut ditampilkan situasi resort-resort pada setiap taman nasional yang
mempunyai nilai efisiensi paling rendah dan resort-resor yang mempunyai
nilai paling tinggi sebagaimana disajikan pada tabel 8.
Perhitungan nilai ketidakefisienan didasarkan pada perbandingan nilai
output (nilai kerugian akibat gangguan) dengan nilai input (nilai rupiah
sumberdaya
pengamanan).
Dengan
demikian
nilai
ketidakefsienan
bergantung pada nilai output dan input, semakin tinggi nilai output dan
semakin
rendah
nilai
input
maka
semakin
tidak
efisien
kinerja
pengamanannya. Berdasarkan nilai efisiensi pada semua resort menunjukkan
bahwa resort yang paling efisien adalah resort yang tidak mengalami
gangguan sedangkan resort yang tidak efisien adalah resort yang menderita
kerugian akibat gangguan paling besar. Tingginya kerugian diakibatkan
tingginya nilai/asset hasil hutan yang hilang atau dicuri.
68
Tabel 8 Perbandingan kondisi resort-resort yang mempunyai nilai efisiensi paling
rendah dan paling tinggi pada setiap taman nasional.
No.
Taman Nasional
1.
TNBK
-
2.
3.
Luas
Jumlah Personel
Kondisi Sarana
Kondisi
Prasarana
Jumlah
penjagaan
Jumla Patroli
Karakteristik
TNAP
- Luas
- Jumlah Personel
- Kondisi Sarana
- Kondisi Prasarana
Jumlah
penjagaan
Jumla Patroli
- Karakteristik
TNGGP
- Luas
- Jumlah Personel
- Kondisi Sarana
- Kondisi Prasarana
- Jumlah penjagaan
- Jumlah Patroli
- Karakteristik
Resort dengan Rasio
Kerugian/Input
Rendah
Resort dengan Rasio
Kerugian/Input
Tinggi
Nangan Potan
133.240
2
Tidak memadai
Tidak memadai
Sadap
220.886
2
Tidak memadai
Tidak memadai
-
-
49 hari
Topografi berbukit dengan
akses
hanya
melewati
sungai jarak desa terdekat
dengan batas resort 25 km
49 hari
Topografi berbukit dengan
akses hanya melewati sungai
jarak desa terdekat dengan
batas resort 35 km. Terdapat
beberapa
wilayah
yang
vegetasi dominannya adalah
jenis
pohon
belian
(Eusideroxyilon zwagerii).
Pancur
14.012,98
5
Memadai
Memadai
365 hari
Rowobendo
2.042
5
Memadai
Memadai
365 hari
240 hari
Topografi cenderung datar
berbatasan langsung dengan
Samudra
Hindia,
merupakan resort yang
letaknya
Selabintana
874.3
2
Tidak Memadai
Memadai
365 hari
26 hari
Tidak berbatasan langsung
dangan
lahan
garapan
masyarakat tapi berbatasan
dengan perkebunan teh.
240 hari
Resort yang merupakan pintu
masuk ke TN Alas Pirwo,
terdapat padang savanna yang
merupakan habitat banteng.
Sukamulya
598,37
2
Tidak Memadai
Memadai
96 hari
36 hari
Kaya akan potensi pakis dan
pohon Rasamala. Terdapat area
perluasan kawasan dari hutan
produksi eks-Perum Perhutani
dimanan
terdapat
lahan
garapan masyarakat seluas
35.324 m2 yang terdapat di
desa Sarampad dan Sukamulya
Berdasarkan data yang ditampilkan pada tabel 8, menunjukkan bahwa
gambaran kondisi input (sumberdaya pengamanan) pada resort-resort yang
diperbandingkan kurang lebih sama namun nilai kerugian yang diderita
69
berbeda. Nilai kerugian yang tinggi diakibatkan oleh hilangnya hasil hutan
yang dimanfaatkan secara illegal/dicuri. Hasil hutan yang dimanfaatkan secara
illegal/dicuri mempunyai nilai ekonomi yang tinggi seperti banteng, kayu
belian dan kayu rasamala. Keberadaan hasil hutan (asset) yang mempunyai
nilai tinggi banyak dijumpai pada resort-resort yang menderita kerugian
tinggi. Kenyataan demikian menunjukkan bahwa timbulnya gangguan
dipengaruhi juga oleh karakteristik biofisik kawasan.
Disamping kondisi biofisik diketahui juga bahwa kondisi sosial
ekonomi masyarakat di sekitar kawasan berpengaruh untuk timbulnya
gangguan. Ketergantungan masyarakat terhadap kayu bakar yang banyak
dijumpai di TNGGP dan TNAP merupakan bukti bahwa kondisi sosial
ekonomi masyarakat berpengaruh terhadap kinerja pengamanan. Fakta lain
adalah terjadinya penambangan emas di TNBK yang banyak dilakukan oleh
masyarakat di sekitar kawasan yang sejauh ini belum dapat dihitung nilai
kerugiannnya.
5.6. Sumber Daya Hutan yang Dimanfaatkan Secara Illegal
Menurut
Peraturan
Pemerintah
No.
45
Tahun
2004
tentang
Perlindungan Hutan gangguan terhadap hutan dibedakan menjadi gangguan
terhadap hutan, kawasan hutan dan hasil hutan. Gangguan yang terjadi di
resort-resort pada umumnya disebabkan oleh pemanfaatan hasil hutan secara
illegal (pencurian flora dan fauna). Jenis-jenis hasil hutan yang dimanfaat
secara illegal disajikan dalam tabel 9.
Tabel. 9 Jenis-jenis sumber daya hutan yang dimanfaatkan secara illegal
No.
Sumberdaya
Hutan
1.
Satwa liar
Jenis Yang Dimanfaatkan
- Mamalia besar : babi hutan, banteng,
-
2.
Tumbuhan
-
rusa
Burung : burung cucak ijo, tledekan,
julang emas, trocok ijo, perkutut
Reptil : penyu
Kayu pertukangan : belian, rasamala,
tapen, manggong, laban, jati
Kayu bakar : laban, kaliandra,
Bambu : bambu ori, wuluh
Tanaman hias : pakis, kantong semar
Kejadian
TNAP, TNGGP
TNAP, TNGGP,
TNBK
70
Pemanfaatan secara illegal sumber daya hutan merupakan ancaman
terhadap keutuhan dan kelestarian kawasan taman nasional. Beberapa hasil hutan
yang dimanfaatkan baik satwa liar maupun tumbuhan merupakan jenis-jenis yang
dilindungi sesuai Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan
Jenis Tumbuhan dan Satwa. Beberapa jenis satwa seperti banteng, rusa, penyu
merupakan satwa dilindungi. Beberapa jenis lainnya merupakan jenis endemis
seperti kayu belian yang hanya ditemukan di pulau Kalimantan dan tidak
ditemukan di tempat lain.
Download