iv. kondisi umum lokasi praktek

advertisement
17
IV. KONDISI UMUM LOKASI PRAKTEK
4.1. Sejarah dan Status Kawasan
Kawasan Taman Nasional Lore Lindu berasal dari tiga fungsi kawasan
konservasi, yaitu :
a. Suaka Margasatwa Lore Kalamanta yang ditunjuk oleh Menteri
Pertanian tahun 1973.
b. Hutan Wisata/Hutan Lindung Danau Lindu yang ditunjuk oleh Menteri
Pertanian tahun 1978.
c. Suaka Margasatwa Lore Lindu (perluasan Suaka Margasatwa Lore
Kalamanta) yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian tahun 1981.
Pertama kali pemberian status bagi Taman Nasional Lore Lindu adalah
pada tahun 1982 bertepatan dengan Kongres Ketiga Taman Nasional Dunia di
Bali. Luas pada saat pengumuman ini adalah 231.000 Ha. Pengumuman tersebut
kemudian diperkuat dengan penunjukan oleh Menteri Kehutanan pada tahun
1993 dan luas kawasannya menjadi 229.000 Ha. Kawasan ini kemudian
ditetapkan oleh Menteri Kehutanan pada tahun 1999 dengan luas 217.991,18 Ha
sebagai Taman Nasional Lore Lindu (PHKA 2004).
4.2. Letak dan Luas
Taman Nasional Lore Lindu dibentuk atas dasar penunjukan Keputusan
Menteri Kehutanan Nomor : No. 593/KPTS-II/1993. Secara umum Taman
Nasional Lore Lindu terletak di Provinsi Sulawesi Tengah, Kabupaten Poso dan
Kabupaten Donggala. Secara Geografis terletak dikordinat 1o03’-1o58’ LS,
119o57’-120o22’ BT. Luas Taman Nasional Lore Lindu lebih kurang 217.991,18
Ha (PHKA 2004).
4.3. Kondisi Fisik Kawasan
4.3.1. Topografi
Taman Nasional Lore Lindu berada pada ketinggian 300 m dpl sampai
dengan lebih dari 2.000 m dpl, dengan puncak tertinggi Gunung Nokilalaki (2.355
m dpl) dan Gunung Tokosa/Rorekatimbu (2.160 m dpl). Lembah atau daratan
18
yang relatif luas terdapat di Lembah Palolo, Lindu, Napu, Bada, dan Kulawi
(PHKA 2004).
Wilayah dataran tinggi yang terletak di dalam wilayah batas Taman
Nasional sebagian besar terdiri dari hutan pegunungan yang terjal, berlipat,
diselingi dengan banyaknya lembah sungai dan membentuk sebuah pola drainase
tak beraturan yang kompleks. Kondisi kelerengan di TNLL ditunjukkan pada tabel
1. Pada umumnya, ujung dari Taman Nasional mengikuti satu sisi dari lembah
sungai utama kira-kira dimana endapan-endapan dari lantai lembah datar bertemu
dengan lereng yang lebih rendah dari sebuah punggung gunung yang panjang
(PHKA & TNC-IP 2000).
Tabel 1 Kondisi kelerengan di TN. Lore Lindu
Kelerengan
% kelerengan
% Luas
Datar
0-8
7
Landai
8-15
6
Agak curam
15-22
15
Curam
25-45
4
>45
68
Sangat Curam
Pegunungan TNLL dibentuk pada zaman Pliocene dan Miocene sekitar 25
sampai 3 juta tahun lalu, sebagai hasil dari aktivitas plat tektonik yang
menyebabkan pergerakan naik massa daratan. Permukaan lembah-lembah yang
datar, besar, dan subur, seperti Besoa dan Napu adalah ciri dari Taman Nasional
dan wilayah sekitarnya. TNLL diikat oleh tiga ciri utama yaitu Patahan Palu Koro,
Patahan Dorongan Poso, dan Lembah Palolo-Sopu (PHKA & TNC-IP 2000).
4.3.2. Iklim
Curah hujan disekitar TNLL bervariasi dan tidak merata sepanjang tahun.
Fontannel dan Chanterfort (1978, dalam RPTN Lore Lindu) melaporkan bahwa
rata-rata curah hujan tahunan secara umum berada diatas 3.000 mm. Bahkan pada
bulan-bulan kering, terutama di wilayah pada ketinggian 1.000 m dpl atau lebih
kondisi curah hujan masih tinggi. Suhu maksimum pada kisaran 26o C hingga
35oC, sedangkan suhu minimumnya pada kisaran 12o C hingga 17o C.
Kelembaban udara rata-rata 98% dan kecepatan angin rata-rata 3,6 km per jam
(PHKA 2004).
19
4.3.3. Hidrologi
TNLL mempunyai fungsi tangkapan air yang besar, didukung oleh dua
sungai besar yaitu Sungai Gumbasa di bagian utara yang bergabung dengan
Sungai Palu di bagian barat serta Sungai Lariang di bagian Timur, Selatan, dan
Baratnya. Fungsi hidrologis ini sangat besar manfaatnya bagi masyarakat sekitar
kawasan TNLL dan Sulawesi Tengah pada umumnya (PHKA 2004).
4.3.4. Aksesbilitas
Taman Nasional Lore Lindu dapat dicapai melalui jalur darat dari kota
Palu. Lokasi yang dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua maupun roda empat
dari Kota Palu adalah SKW I Kulawi, SKW II Kamarora, dan SKW III Wuasa.
Beberapa resort hanya dapat ditempuh dengan jalan kaki maupun berkuda
diataranya jalur Gimpu-Bada, Bada-Doda, dan Rahmat-Dataran Lindu (PHKA
2004).
4.4. Kondisi Biologi
TNLL merupakan salah satu perwakilan tipe ekosistem hutan tropika
humida. Hutan tropika humida memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi
disebabkan oleh tingginya kelimpahan serangga dan melimpahnya berbagai
spesies burung, mamalia, dan tumbuh-tumbuhan. Delapan formasi vegetasi utama
yang dapat dijumpai di TNLL yaitu :
1. Rawa
Merupakan wilayah-wilayah yang tidak terairi dengan baik pada berbagai
tipe tanah dan pada beberapa ketinggian. Tumbuhan yang dapat dijumpai antara
lain Pandan, Dacrydium sp., Sagu, Burmania disticha, serta anggrek besar yang
tumbuh di tanah (Phaeustankervillae) seperti Nephentes sp., dan Rhododendron.
2. Hutan Monsoon
Wilayah dengan tipe hutan hujan kering musiman pada pojok barat TNLL
dengan
ketinggian
rendah
Pterospermum cf diversivolium.
(300-700
m dpl).
Wilayah
ini
didominasi
20
3. Hutan Dataran Rendah
Hutan dataran rendah mencakup hampir 90% wilayah TNLL yang berada
pada ketinggian 900 m dpl. Artocarpus vriesianus dan Elmerillia ovalis
disebutkan oleh Wirawan (1981) sebagai karakteristik spesies dataran rendah dan
tercatat pada pegunungan lembab yang lebih rendah serta hutan-hutan sekunder
tua yang berada pada ketinggian antara 1.000-1.300 m dpl. Kehadiran dari
spesies-spesies ini pada wilayah dataran rendah mungkin dipengaruhi oleh kondisi
lembab karena lokasi yang berada dekat sungai. Spesies dari Dipterocarpaceae
biasanya mendominasi wilayah yang terairi dengan baik pada lereng-lereng
sedang sampai datar, tetapi para ahli botani mencatat bahwa sangat sedikit
individu dari keluarga ini dalam batas-batas taman nasional.
4. Pegunungan Rendah
Perbedaan pada kondisi drainase mempengaruhi struktur dan komposisi
tipe hutan ini. Famili dari Sapotaceae dan Fagaceae mendominasi hutan
pegunungan rendah yang terairi dengan baik, sementara banyak dari spesiesspesies individu seperti Acer niveum (Acera.), Bruinsmia styracea (Styra.), dan
Santiria sp. (Burse.), merupakan karakteristik (tetapi tidak terbatas pada) sub-tipe
hutan ini. Annonaceae, Moraceae, dan Lauraceae juga merupakan famili yang
sering ditemukan dan tersebar di wilayah ini. Pohon-pohon palem yang tumbuh di
darat (Calamus sp.) dan tumbuh-tumbuhan kayu merambat juga umum ditemui.
5. Pegunungan Tinggi
Tipe hutan ini umumnya ditemukan di atas ketinggian 1.800 m dpl, tetapi
secara mengejutkan mewakili komunitas yang beragam. Indikator yang paling
mudah dari hutan ini adalah pohon tegak Dawsonia (berduri dan seperti pohon
natal). Tumbuh-tumbuhan lumut ini sering memiliki tinggi 10 cm. Tumbuhtumbuhan bambu kecil, seperti Begonia spp.(Begon.), Elatostema spp, dan
Cyrtdanra spp, cukup beragam dan sering ditemui di semak-semak di bawah
kondisi-kondisi basah. Individu-individu yang terpencar dari Agathis cf. celebica,
Ternstroemia spp., Lithocarpus spp., dan Phyllocladus hypophyllus.
6. Hutan Semak Belukar
Wilayah ini merupakan tipe hutan yang sangat berbeda dan dapat
ditemukan dalam taman nasional terutama di ketinggian di atas 1.700 m dpl.
21
Tanahnya tertutup oleh akumulasi bahan humus yang tebal dan struktur hutannya
hampir seluruhnya terdiri dari pohon-pohon ramping. Spesies pohon yang dapat
dijumpai diantaranya Rhododendron sp. dan Phyllocladus hypophyllus.
7. Hutan Awan
Pada puncak-puncak gunung di atas ketinggian 2.000 m dpl, hutan ini
dibedakan oleh pertumbuhan tebal dari tumbuhan lumut dan sejenis pohon kecil
jamur dan alga yang menutupi batang, ranting, dan bahkan daun dari pohon-pohon
yang ada. Gambaran kondisi hutan awan dapat dilihat pada gambar 7.
Gambar 7 Hutan awan di TN. Lore Lindu.
8. Anthropogenik
Kegiatan manusia selalu memiliki dampak yang sangat besar pada vegetasi
Taman Nasional. Kegiatan manusia ini berkisar dari aktivitas kecil seperti
pengambilan getah damar dari pohon-pohon Agathis serta pengumpulan rotan
(Calamus spp.) sampai ke dampak yang besar seperti pembukaan dan pembakaran
hutan untuk sawah perbukitan, perkebunan kopi dan coklat, serta pembukaan
padang rumput untuk penggembalaan binatang ternak. Formasi vegetasi inilah
yang disebut Anthropogenik. Seperti pada umumnya jenis – jenis gangguan,
aktivitas ini memiliki dampak positif dan negatif pada kondisi keseluruhan dari
vegetasi di TNLL.
Terdapat berbagai spesies fauna yang dapat dijumpai di TNLL. Berbagai
spesies burung, mamalia, herpetofauna, dan insekta dapat dijumpai di TNLL
(PHKA, 2004). Sampai tahun 2002 tercatat 225 spesies burung didalam kawasan
TNLL, termasuk didalamnya 78 endemik Sulawesi serta 46 spesies termasuk
22
kategori langka. Spesies burung yang terkenal diantaranya burung Maleo dan
Enggang Paruh Merah (PHKA 2004).
Tercatat sebanyak 77 spesies mamalia ditemukan di kawasan TNLL.
Empat puluh tujuh diantaranya merupakan mamalia endemik Sulawesi. Spesies
mamalia yang terkenal dari TNLL diantaranya yaitu Anoa, Tarsius, Monyet Boti,
dan Musang Sulawesi (PHKA 2004).
Berdasarkan Draft Management Plan 2002-2027 TNLL (2004) tercatat 34
jenis satwa reptil dan 21 jenis amfibi. Laporan lain mengenai catatan jumlah
spesies reptil dan amfibi di TNLL adalah Draft Management Plan yang disusun
oleh WWF pada tahun 1985.
Download