9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 PARTISIPASI

advertisement
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 PARTISIPASI
Partisipasi merupakan gagasan kunci untuk psikologi sosial. Partisipasi
melibatkan kesadaran individu dan sosial. Tugas utama konsep partisipasi ialah
mencerminkan dan membuat teorisasi komunitas. Penulis berpendapat bahwa partisipasi
merupakan kunci dari konstituen komunitas yang berlaku. Masyarakat dan partisipasi
secara intrinsik memiliki keterkaitan dan penulis perlu membahas dua konsep dalam
kaitannya dengan lain.
2.1.1 Definisi Partisipasi
Dalam berjalannya waktu, terjadi definisi ulang terhadap partisipasi. Dalam
praktek konvensional, seringkali hanya diminta partisipasi masyarakat sebagai donor
atau sukarelawan. dalam pembangunan. Sehingga yang terjadi hanyalah fenomena
"partisipasi yang dibayar", dimana partisipasi hanya muncul jika ada proyek dengan
kucuran dana dari atas. Dalam tiga dasawarsa belakangan ini telah diperoleh sebuah
spektrum makna dan semangat baru untuk melakukan partisipasi secara berbeda.
Secara etimologi, partisipasi berasal dari bahasa inggris “participation” yang
berarti mengambil bagian/keikutsertaan. Dalam kamus lengkap Bahasa Indonesia
dijelaskan “partisipasi” berarti: hal turut berperan serta dalam suatu kegiatan,
keikutsertaan, peran serta. Secara umum pengertian dari partisipasi masyarakat dalam
pembangunan adalah keperansertaan semua anggota atau wakil-wakil masyarakat untuk
ikut membuat keputusan dalam proses perencanaan dan pengelolaan pembangunan
10
termasuk di dalamnya memutuskan tentang rencana- rencana kegiatan yang akan
dilaksanakan, manfaat yang akan diperoleh, serta bagaimana melaksanakan dan
mengevaluasi hasil pelaksanaannya (Manolang, 2013).
Partisipasi adalah keterlibatan seseorang dalam situasi baik secara mental, pikiran
atau emosi dan perasaan yang mendorongnya untuk memberikan sumbangan dalam upaya
untuk memberikan sumbangan dalam usaha mencapai tujuan yang telah ditentukan dan
ikut bertanggung jawab terhadap kegiatan pencapaian tujuan tersebut (Adam, 1993).
2.1.2 Dimensi Partisipasi
Dimensi-dimensi dari partisipasi dalam aktivitas komunitas (Campbell & Jovchelovitch,
2000):
(1) Partisipasi dalam berbagi identitas (shared indetity), di mana komunitas
diartikulasikan atau diaktualisasikan. Identitas dikonstruksi dan direkonstruksi dalam
jangkauan batas-batas struktural dan simbolik yang memungkinkan orang untuk
mengkonstruksi citra (images) tentang dirinya sendiri yang mencerminkan potensipotensi dan minat-minatnya. Partisipasi merupakan sebuah tindakan yang secara organik
terkait dengan kesadaran tentang siapa, apa yang diinginkan kelompok komunitas.
Identitas dapat dibentuk, diregenosiasi, bahkan bila perlu diganti.
(2) Partisipasi dalam representasi sosial, yang mengorganisasikan pandangan
tentang anggota komunitas dan memandu penafsiran terhadap realitas dan praktik
sehari-hari. Degan kata lain partisipasi berhubungan dengan bagaimana sebuah
komunitas membangun pengetahuan lokalnya (tentang komunitas itu sendiri) dan
menjadikannya terbagi (shared). Representasi pengetahuan ini tidak pernah terlepas dari
konteks sosial, kultural, dan sejarah yang konkret di mana komunitas tumbuh dan
11
berkembang. Partisipasi dalam aktivitas komunitas memungkinkan individu-individu
anggotanya untuk mengekspresikan, meneguhkan kembali, atau menegosiasikan
representasi sosial itu.
(3) Partisipasi dalam kekuasaan, baik terhadap sumber daya maupun pengakuan
simbolik. Kekuasaan dalam hal ini tidak dijelaskan sebagai sebuah negativitas intrinsik,
melainkan sebagai ruang daritindakan-tindakan yang mungkin, di mana subjek secara
sosial memperjuangkan dan mengekspresikan pengaruhnya. Melalui partisipasi yang
berinteraksi dengan kekuasaan, orang menghasilkan pengaruh, membangun realitas, atau
membangun makna bagi komunitas.
Partisipasi dalam aktivitas komunitas didefinisikan sebagai pelaksanaan ketiga
dimensi tersebut dalam proses di mana komunitas diaktualisasikan, dinegosiasikan, dan
ditransformasikan.
Melalui
partisipasi
dalam
kelompok
komunitas,
orang
mengembangkan kesadaran mengenai sumber daya komunitas dan terlibat dengan
orang-orang lain yang penting (significant others) dalam arena publik.
2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi
Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat terdiri dari faktor dari
dalam masyarakat (internal), yaitu kemampuan dan kesediaan masyarakat untuk
berpartisipasi, maupun faktor dari luar masyarakat (eksternal) yaitu peran aparat dan
lembaga formal yang ada. Kemampuan masyarakat akan berkaitan dengan stratifikasi
sosial dalam masyarakat. Menurut Max Weber dan Zanden (1988, dalam Yulianti, 2012),
mengemukakan pandangan multidimensional tentang stratifikasi masyarakat yang
mengidentifikasi adanya 3 komponen di dalamnya, yaitu kelas (ekonomi), status
(prestise) dan kekuasaan.
12
Menurut Slamet (1993, dalam Chusnah, 2008), faktor-faktor yang mempengaruhi
partisipasi masyarakat adalah jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan
dan mata pencaharian.
a. Jenis Kelamin
Partisipasi yang diberikan oleh seorang pria akan berbeda dengan partisipasi
yang diberikan oleh seorang wanita. Hal ini disebabkan karena adanya sistem pelapisan
sosial yang terbentuk dalam masyarakat yang membedakan kedudukan dan derajat
antara pria dan wanita, sehingga menimbulkan perbedaan-perbedaan hak dan kewajiban.
b. Usia
Dalam masyarakat terdapat perbedaan kedudukan dan derajat atas dasar
senioritas, sehingga memunculkan golongan tua dan golongan muda yang berbeda-beda
dalam hal-hal tertentu, misalnya menyalurkan pendapat dan mengambil keputusan.
c. Tingkat Pendidikan
Faktor pendidikan mempengaruhi dalam berpartisipasi karena dengan latar
belakang pendidikan yang diperoleh, seseorang lebih mudah berkomunikasi dengan
orang luar dan cepat tanggap terhadap inovasi.
d. Tingkat Penghasilan
Besarnya tingkat penghasilan akan memberi peluang lebih besar bagi masyarakat
untuk berperan serta. Tingkat pendapatan ini mempengaruhi kemampuan finansial
masyarakat untuk berinvestasi.
e. Mata Pencaharian
Jenis
pekerjaan
seseorang
akan
menentukan
tingkat
penghasilan
dan
mempengaruhi waktu luang seseorang yang dapat digunakan dalam berpartisipasi,
misalnya menghadiri pertemuan-pertemuan.
13
Dalam hal lain, Ndraha (1990, dalam Handayani, 2011) mengutarakan bahwa
dalam keadaan dan unsur penting penting timbulnya partisipasi masyarakat pada
pelaksanaan kegiatan pembangunan atau kebijaksanaan daerah, maka paling tidak
terdapat beberapa faktor dasar yang mempengaruhi tingkat partisipasi itu, antara lain :
a. Proses penentuan rencana (pembuatan keputusan) yang akomodatif terhadap
aspirasi masyarakat. Unsur akomodatif ini juga diwujudkan pada kemanfaatan yang
akan diterima masyarakat dari pelaksanaan kegiatan itu.
b. Adanya kesadaran, yaitu sejumlah sikap, perilaku dan pola sikap yang
didasarkan pada pengetahuan akan manfaat atau juga oleh sejumlah nilai yang menuntut
seseorang melaksanakan kegiatan yang ditetapkan. Hal ini berkaitan dengan kebudayaan
ataupun kebudayaan politik, yaitu kebudayaan yang berhubungan dengan perumusan
rencana (keputusan) dan pelaksanaan keputusan-keputusan yang mengikat bersama
(masyarakat).
c. Adanya upaya motivasi pengarahan dan penggerakan dari pemimpin dalam
masyarakat untuk menimbulkan partisipasi itu. Dalam hal ini, kepemimpinan daerah
yang dapat menimbulkan kesadaran anggota masyarakat dalam berpartisipasi, sangat
dibutuhkan. Gaya kepemimpinan yang mampu mengakomodasikan terhadap aspirasi
masyarakat, merupakan sesuatu yang penting.
2.1.4 Bentuk Partisipasi
Konkon dan Suryatna (1978, dalam Chusnah, 2008) memberikan tawaran bahwa
partisipasi dapat diwadahi dalam:
a) buah pikiran, dalam hal ini seperti rapat, diskusi, seminar, pelatihan dan
penyuluhan,
14
b) tenaga, seperti gotong royong,
c) harta benda dan
d) keterampilan.
Adapun bentuk partisipasi yang mungkin dari wadah tersebut menurut Konkon
(dalam Chusnah, 2008) adalah sebagai berikut:
a) sumbangan tenaga fisik,
b) sumbangan finasial,
c) sumbangan material,
d) sumbangan moral (nasihat, petuah, amanat)
2.1.5 Tingkatan Partisipasi
Pendapat yang diusulkan oleh Club Du Sahel dalam Khadiyanto (2007, dalam
Chusnah, 2008). Menurutnya, terdapat pendekatan-pendekatan untuk memajukan
partisipasi masyarakat dengan terlebih dahulu mengetahui tingkat partisipasi. Tingkatan
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Partisipasi Pasif, Pelatihan dan Informasi
Partisipasi ini merupakan tipe komunikasi satu arah seperti arah antara guru dan
muridnya.
b. Sesi Partisipasi Aktif
Partisipasi ini merupakan dialog dan komunikasi dua arah dengan memberikan
kesempatan kepada masyarakat untuk berinteraksi dengan petugas penyuluhan dan
pelatihan di luar.
c. Partisipasi dengan keterkaitan
15
Masyarakat setempat baik pribadi maupun kelompok diberi pilihan untuk
bertanggung jawab atas setiap kegiatan masyarakat maupun proyek.
d. Partisipasi atas permintaan setempat
Kegiatan proyek lebih berfokus pada menjawab kebutuhan masyarakat setempat,
bukan kebutuhan yang dirancang dan disuarakan oleh orang luar.
Untuk mengukur tingkat partisipasi, Chapin (dalam Slamet, 1993; dalam
Chusnah, 2008) menawarkan dengan cara mengukur tingkat partisipasi individu atau
keterlibatan individu dalam kegiatan bersama dengan skalanya. Menurut Chapin skala
partisipasi dapat diperoleh dari penilaian-penilaian terhadap kriteria-kriteria tingkat
partisipasi sosial, yaitu:
a. Keanggotaan dalam organisasi atau lembaga-lembaga sosial
b. Kehadiran dalam pertemuan
c. Membayar iuran/sumbangan
d. Keanggotaan di dalam kepengurusan
e. Kedudukan di dalam kepengurusan
2.2 TRUST
2.2.1 Definisi Trust
Rotter (1967, dalam Rofiq, 2007) mendefinisikan trust adalah keyakinan bahwa
kata atau janji seseorang dapat dipercaya dan seseorang akan memenuhi kewajibannya
dalam sebuah hubungan pertukaran.
Morgan dan Hunt (1994, dalam Rofiq, 2007) mendefinisikan bahwa trust akan
16
terjadi apabila seseorang memiliki kepercayaan diri dalam sebuah pertukaran dengan
mitra yang memiliki integritas dan dapat dipercaya.
Mayer et al. (1995, dalam Rofiq, 2007) mendefinisikan trust adalah kemauan
seseorang untuk peka terhadap tindakan orang lain berdasarkan pada harapan bahwa
orang lain akan melakukan tindakan tertentu pada orang yang mempercayainya, tanpa
tergantung pada kemampuannya untuk mengawasi dan mengendalikannya.
Ba dan Pavlou (2002, dalam Rofiq, 2007) mendefinisikan trust adalah penilaian
hubungan seseorang dengan orang lain yang akan melakukan transaksi tertentu menurut
harapan orang kepercayaannya dalam suatu lingkungan yang penuh ketidakpastian.
Berdasarkan definisi di atas, maka dapat dinyatakan bahwa trust adalah
kepercayaan pihak tertentu terhadap yang lain dalam melakukan hubungan transaksi
berdasarkan suatu keyakinan bahwa orang yang dipercayainya tersebut akan memenuhi
segala kewajibannya secara baik sesuai yang diharapkan (Rofiq, 2007).
2.2.2 Kecenderungan Trust
Kecenderungan trust (Wade & Robison, 2012) merunjuk pada seberapa banyak
mereka bersedia untuk bergantung pada orang lain secara umum. Hal ini dibentuk oleh
pengalaman hidup. Kepercayaan adalah kecenderungan sifat kepribadian yang umumnya
stabil yang dapat diukur.
Individu dengan kecenderungan kepercayaan yang tinggi atau rendah cenderung
memiliki
ciri-ciri kepribadian dan karakteristik tertentu. Faktor-faktor yang telah
mempengaruhi kecenderungan kepercayaan meliputi:
a. Level of extroversion/neuroticism
Orang dengan keterbukaan tinggi (fleksibel atau energik) dan neurotisisme
17
rendah (percaya diri) cenderung lebih dapat mempercayai.
b. Participation in religion
Beberapa studi telah menemukan bahwa peserta agama memiliki tingkat
kepercayaan yang lebih tinggi dari kaum yang tidak memiliki agama (atheis).
c. Family interaction
Orang tua yang menepati sebagian besar janji-janji mereka dan lebih percaya
kepada anak mereka dapat menyebabkan anak cenderung memiliki kepercayaan tinggi.
d. Gender
Dalam beberapa studi telah melaporkan bahwa pria memiliki tingkat
kepercayaan yang lebih tinggi pada lembaga formal dan pemerintah bila dibandingkan
dengan wanita.
2.2.3 Tingkatan Trust
Menurut Quinhong Fu (2004, dalam Rahmawati, 2011) yang merujuk pada
beberapa pandangan sosiolog, pada dasarnya kepercayaan dapat dibagi menjadi 3
tingkatan, yaitu:
a) Tingkatan individual
Kepercayaan pada tingkatan individual merupakan kekayaan batin, norma, dan
nilai individual yang merupakan variabel personal dan sekaligus sebagai karakteristik
individu. Merujuk Nahapiet dan Ghoshal (1998, dalam Rahmawati, 2011), pada
tingkatan individual kepercayaan bersumber dari nilai-nilai, diantaranya dari: agama
yang dianut, kompetensi seseorang, dan keterbukaan, yang telah menjadi norma di
masyarakat dan diyakini oleh seseorang.
b) Tingkatan relasi sosial
18
Kepercayaan di dalam tingkatan relasi sosial, merupakan atribut kolektif untuk
mencapai tujuan kelompok yang didasari oleh semangat altruism, social resiprocity, dan
manusia sebagai makhluk sosial. Mengikuti Coleman (1999, dalam Rahmawati, 2011)
pada tingkatan relasi sosial sumber kepercayaan berasal dari norma sosial yang memang
telah melekat pada stuktur sosial komunitas (masyarakat/bangsa /organisasi) yang diikat
dengan nilai-nilai budaya. Hal ini terutama berkaitan dengan kepatuhan anggota
komunitas terhadap berbagai kewajiban bersama yang telah menjadi kesepakatan tidak
tertulis pada komunitas tersebut.
c) Tingkatan sistem sosial
Kepercayaan pada tingkatan sistem sosial, merupakan nilai publik komunitas,
atau masyarakat, atau bangsa, yang perkembangnya difasilitasi oleh sistem sosial yang
ada, dimana didasari pada nilai-nilai budaya unggul. Menurut Putnam (1993, dalam
Rahmawati, 2011), di tingkat sistem sosial kepercayaan bersumber dari karakteristik
sistem sosial tersebut yang memberi nilai tinggi pada tanggung jawab sosial setiap
anggota komunitas.
2.2.4 Dimensi Trust in Government
Dimensi trust in government menurut Leon Schiffman (2010) adalah:
a) Political Cynicism
Political Cynicism terkait dengan ketidakpercayaan masyarakat terhadap
pemerintah, seperti masyarakat yang merasa diabaikan oleh pemerintah, pemerintah
yang dirasa kurang mengayomi masyarakat, struktur pemerintahan yang merugikan
masyarakat, dan lain-lain.
b) Trust in Government Form
19
Trust in Government Form berkaitan dengan kepercayaan masyarakat terhadap
pemerintah, seperti kepercayaan terhadap pengelolaan sistem pemerintahan, kepedulian
pemerintah terhadap masyarakat, tanggap terhadap kebutuhan masyarakat, dan lain-lain.
2.3 CITY ATTACHMENT
2.3.1 Definisi Place Attachment
Place attachment merupakan kelekatan kepada suatu tempat. "Place attachment
melibatkan ikatan pengalaman secara positif, terkadang terjadi tanpa kesadaran, yang
tumbuh sepanjang waktu dari ikatan perilaku, afektif, dan kognitif antara seseorang
dan/atau kelompok dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisiknya" (Brown &
Perkins, 1992).
Hidalgo dan Hernandez berpendapat bahwa place attachment berkaitan dengan
ikatan afektif atau hubungan antara individu dengan tempat-tempat tertentu yang
diekspresikan melalui afeksi dan emosi, pengetahuan dan kepercayaan, serta sikap dan
tindakan yang saling mempengaruhi (2001; dalam Ujang & Dola, 2012). Moore dan
Graefe (1994; dalam Ujang & Dola, 2012) dan Smaldone et al. Dimensi utama place
attachment yang relevan dari penelitian ini adalah place dependece (tempat
ketergantungan) dan place identity (identitas tempat).
Place dependence (ketergantungan tempat) merupakan segi fungsional pada
attachment. Place dependence dapat dibangun ketika sebuah tempat dirasa signifikan
oleh individu dan dapat memberikan kondisi untuk memenuhi kebutuhan dan
mendukung tercapainya goal (Williams, et al., 1992; dalam Ujang & Dola, 2012). Hal
ini tercermin dalam keinginan untuk menjaga kedekatan dengan objek keterikatan dan
20
memiliki hubungan emosional khsusu terhadap tempat tertentu (Hidalgo & Hernandez,
2001; dalam Ujang & Dola, 2012). Sedangkan place identity (identitas tempat) sangat
terkait dengan segi emosional pada attachment yang dibentuk atas hasil dari keterikatan
dan identifikasi individu terhadap tempat melalui aktivitas dan individu yang berkaitan
(Davenport & Anderson, 2005; dalam Ujang & Dola, 2012).
2.3.2 Faktor–faktor yang Mempengaruhi Place Attachment
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses attachment to place (Davenport &
Anderson, 2005; dalam Ujang & Dola, 2012) yakni:
1. Kesesuaian antara needs dengan goals individu dengan setting fisiknya
2. Pilihan tetap tinggal atau pergi
3. Mobilitas rendah.
4. Jaringan sosial & setting fisik yang ada
5. Jangka waktu bertempat tinggal di suatu tempat (Shumaker& Taylor, 1983;
dalam Widjajanti, 2013)
2.3.3 Tingkatan Place Attachment
Intensitas attachment to place menurut Rubinstein (1984; dalam Widjajanti,
2013)
Level 1, manusia hanya tahu tentang suatu tempat dan memikirkannya tanpa
mengalami perasaan atau memori pribadi yang kuat.
Level 2, “personalized attachment”, bila manusia mempunyai memori tentang
suatu tempat yang tidak dipisahkan dari pengalaman pribadinya.
Level 3, “extention”, bila suatu tempat memberikan memori emosional atau
21
secara psikologi
melibatkan individu dengan berbagai cara.
Level 4, “embodiment”, bila batas antara diri (the self) dengan lingkungan
menjadi kabur bahkan bagi beberapa individu identitas pribadi & identitas tempat
menjadi satu.
2.3.4 Teritori Place Attachment
Atman (1975; dalam Widjajanti, 2013), membagi teritori menjadi tiga kategori
dikaitkan dengan keterlibatan personal, involvement, kedekatan dengan kehidupan
sehari-hari individu atau kelompok, dan frekuensi penggunaan. Tiga kategori tersebut
adalah: primary, secondary, serta public territory.
1. Teritori utama (primary) adalah suatu area yang dimiliki, digunakan secara
ekslusif, disadari oleh orang lain, dikendalikan secara permanen, serta menjadi bagian
utama dalam kehidupan sehari-hari penghuninya.
2. Teritori sekunder (secondary) adalah suatu area yang tidak terlalu digunakan
secara ekslusif oleh seseorang atau sekelompok orang, mempunyai cakupan area yang
relatif luas, dikendalikan secara berkala oleh kelompok yang menuntutnya.
3. Teritori publik (public) adalah suatu area yang dapat digunakan atau dimasuki
oleh siapapun, akan tetapi mereka harus mematuhi norma-norma serta aturan yang
berlaku di area tersebut.
2.3.5 Dimensi Place Attachment
Dimensi Place Attachment menurut Scannel dan Gifford (2010) adalah:
a) Attachment to the Physical Place
Attachment to the physical place mengacu pada lingkup dan skala yang berkaitan
dengan elemen tempat, seperti bagaimana perasaan individu ketika berada dalam
22
lingkungannya.
b) Attachment to the Social Place
Attachment to the social place mengacu pada interaksi interpersonal dan
intrapersonal individu dalam lingkungannya, seperti bagaimana interaksi interpersonal
dengan individu-individu lain di lingkungan tempat tinggalnya dan bagaimana interaksi
intrapersonal individu dengan dirinya sendiri.
2.4 KERANGKA BERPIKIR
Kota merupakan representasi dari
pemerintah.
Apabila pemerintah
tidak melayani masyarakat dengan
baik, maka masyarakat menjadi
tidak trust dengan pemerintah.
Diduga dampaknya adalah
masyarakat menjadi tidak attach
dengan kotanya.
Komunitas musik merupakan
bagian dari kota yang
seringkali menjadi ikon
aktivitas sebuah kota.
Apabila individu semakin
intens berpartisipasi dalam
aktivitas komunitas musik
perkotaan, maka diduga
dampaknya adalah individu
akan semakin dekat dengan
kotanya.
Apakah masyarakat yang tidak trust
dengan pemerintah dapat attach dengan
kotanya?
Apakah partisipasi dalam aktivitas
komunitas musik perkotaan mampu
melekatkan masyarakat terhadap
kotanya?
23
Kerangka berpikir dari penelitian ini adalah kota merupakan representasi dari
pemerintah. Apabila pemerintah tidak melayani masyarakat dengan baik, maka
masyarakat menjadi tidak trust dengan pemerintah. Diduga dampaknya adalah
masyarakat menjadi tidak attach dengan kotanya.
Komunitas musik merupakan bagian dari kota yang seringkali menjadi ikon
aktivitas sebuah kota. Apabila individu semakin intens berpartisipasi dalam aktivitas
komunitas musik perkotaan, maka diduga dampaknya adalah individu akan semakin
dekat dengan kotanya.
Dari fenomena yang telah dijabarkan, maka dalam penelitian ini akan mengukur
apakah masyarakat yang tidak trust dengan pemerintah dapat attach dengan kotanya
dan mengukur apakah partisipasi dalam aktivitas komunitas musik perkotaan mampu
melekatkan masyarakat terhadap kotanya.
Download