View/Open - Repository | UNHAS

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam dunia ilmu sosial, kebudayaan umumnya diperlakukan
sebagai suatu variabel independen dan kontekstual yang berguna untuk
menerangkan
variasi-variasi
perilaku
diantara
kelompok-kelompok
masyarakat. Hubungan ilmu politik dari pendekatan ini terdapat pada
karya tulis Gabriel Almond dan Sidney Verba, The Civic Culture, sebuah
analisis komparatif lima negara mengenai hubungan antara sikap rakyat
terhadap politik dan demokrasi yang stabil. Pendekatan ini diterapkan
kepada Dunia Ketiga dan amat berpengaruh di dalam buku Lucian Pye
dan Sidney Verba yaitu, Political Culture and Political Development. Pye
menulis: Pandangan budaya politik adalah sikap, sentimen, dan
kesadaran yang memberi informasi serta mengatur perilaku politik di
dalam setiap kelompok masyarakat adalah bukan hanya kumpulan
sembarangan, tetapi mewakili pola-pola yang koheren, yang sama-sama
sesuai dan saling memperkuat.1
Budaya politik merupakan bagian dari kehidupan politik, walaupun
sementara pihak seringkali memandang budaya politik tak lebih hanya
sebagai kondisi-kondisi yang mewarnai corak kehidupan masyarakat,
tanpa memiliki hubungan baik dengan sistem politik maupun struktur
politik. Budaya politik tidak diperhitungkan sama sekali dalam proses1
Lucian Pye, Political Culture and Political Development. New Haven, 1971. Hal. 7
1
proses politik. Asumsi itu banyak digunakan sebelum berkembangnya
pendekatan yang mendasarkan diri pada budaya politik.
Budaya politik merupakan fenomena dalam masyarakat, yang
memiliki pengaruh terhadap struktur dan sistem politik. Sehingga Rusadi,
dalam membahas budaya politik menyamakan dengan struktur politik,
karena berhubungan dengan fungsi konversi (conversion function), dan
kapabilitas (capabilities). Dalam membahas keterkaitan antara budaya
politik dengan sistem politik, budaya politik perlu dikedepankan karena
menyangkut disiplin ilmu sosial yang berkaitan dengan fenomena
masyarakat. Terlebih lagi sistem politik dapat ditinjau sebagai bagian dari
ilmu sosial (social system) yang hidup dalam sociosphere yang
merupakan bidang telaah baik sosiologi, antropologi maupun geografi.2
Budaya politik tertentu selalu inheren (melekat) pada setiap
masyarakat yang terdiri atas sejumlah individu yang hidup baik dalam
sistem politik tradisional, transisional maupun modern. Dengan meneliti
budaya politik kita akan mengenal atribut dan ciri-ciri yang terpokok untuk
menguji proses yang berlanjut maupun yang berubah seirama dengan
proses perkembangan, perubahan atau mutasi sosial.
Sebagaimana dikemukakan ilmuwan politik seperti Immanuel H.
Beer dan Adam B. Ulam atau oleh Gilbert Abcarian dan George S.
Masanat, bahwa salah satu variabel sistem politik adalah kebudayaan
politik. Bahkan oleh sementara ilmuwan politik dikatakan bahwa
2
Rusadi Sumintapura, Sistem Politik Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1988, hal. 25
2
kebudayaan politik (political culture) merupakan salah satu variabel
penting dalam sistem politik, karena variabel ini lebih mencerminkan
faktor-faktor subyektif dibanding dengan variabel-variabel lainnya. Dalam
hal ini, kebudayaan politik lebih dimaksudkan sebagai keseluruhan
pandangan politik seperti norma-norma, pola-pola orientasi terhadap
politik,
legitimasi,
pengaturan
kekuasaan,
proses
pembuatan
kebijaksanaan pemerintah, kegiatan partai-partai politik, prilaku aparatur
pemerintah
serta
gejolak
masyarakat
terhadap
kekuasaan
yang
memerintah, dan bahkan dianggap sebagai pandangan hidup manusia
pada umumnya.3
Dalam studi-studi politik Indonesia, penerapan yang paling dikenal
dari pandangan hubungan antara budaya dan politik, adalah buku
Benedict Anderson The Idea of Power in Javanese Culture. Secara
singkat Anderson memperkenalkan empat sifat dari apa yang dia percaya
menjadi
konsepsi
kekuatan
tradisional
Jawa,
yaitu
kekonkretan,
homogenitas, kuantitas yang tetap dan amoralitas yang kontras secara
tajam dengan ide kekuasaaan barat, konsep ini sebagaimana Anderson
memahaminya. Lau dia mencoba menunjukkan kebaikan pikiran-pikiran
Jawa
sebagai
piranti
analisis
dengan
mempergunakannya
untuk
menafsirkan berbagai keputusan-keputusan kebijaksanaan Presiden
Sukarno dan Presiden Suharto.4
3
4
Arifin Rahman, Sistem Politik Indonesia, SIC, Surabaya, 2002, hal. 31-32
R. William Liddle, Islam, Politik dan Modernisasi, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1997, hal. 4
3
Bila dibandingkan pendekatan dari Anderson dengan konsepsi
Robert Bellah mengenai budaya politik Amerika di dalam bukunya, Habits
of the Heart: Dari masa-masa awalnya, orang Amerika sudah melihat
maksud dan tujuan bangsa sebagai upaya merealisasikan harapan Injili
lama tentang suatu masyarakat adil yang penuh kasih, sebagian berjuang
membina semangat hidupnya dan undang-undang bangsa sesuai dengan
cita-cita kewarganegaraan dan partisipasi republikan. Masih ada yang
lainnya, yaitu yang mengemukakan mimpi-mimpi nyata mengenai nasib
baik dan kemenangan nasional. Dan selalu ada para pendukung, yang
sering kali bergairah, bahwa kebebasan berarti semangat wiraswasta dan
adanya hak menimbun kekayaan serta kekuasaan untuk pribadi. 5 Buku
Bellah selanjutnya menguji bagaimana berbagai sub budaya ini: harapan
Injili, republikan, nasionalis dan individualis berinteraksi sekarang.
Tidak adanya piranti-piranti analisis dengan mana memahami
bagaimana budaya-budaya berubah atau dipertahankan dari masa ke
masa. Kita perlu untuk memeriksa nilai-nilai, kepercayaan dan adat, bukan
saja sebagai pikiran-pikiran, tetapi ketika nilai, kepercayaan dan adat itu
berhubungan dengan proses-proses dan lembaga-lembaga internasional
dan domestik yang konkret, naik turunnya gerakan kelompok-kelompok
dan arus-arus sosial dan politik. Dan hal ini sangat dipengaruhi oleh
sistem politik yang ada di suatu negara.
5
Bellah et al, Habits of The Heart. Hal. 28
4
Kehidupan manusia di dalam masyarakat, memiliki peranan penting
dalam sistem politik suatu negara. Manusia dalam kedudukannya sebagai
makhluk sosial, senantiasa akan berinteraksi dengan manusia lain dalam
upaya mewujudkan kebutuhan hidupnya. Kebutuhan hidup manusia tidak
cukup yang bersifat dasar, seperti makan, minum, biologis, pakaian dan
papan (rumah). Lebih dari itu, juga mencakup kebutuhan akan pengakuan
eksistensi diri dan penghargaan dari orang lain dalam bentuk pujian,
pemberian upah kerja, status sebagai anggota masyarakat, anggota suatu
partai politik tertentu dan sebagainya.
Setiap
warga
negara,
dalam
kesehariannya
hampir
selalu
bersentuhan dengan aspek-aspek politik praktis baik yang bersimbol
maupun tidak. Dalam proses pelaksanaannya dapat terjadi secara
langsung atau tidak langsung dengan praktik-praktik politik. Jika secara
tidak langsung, hal ini sebatas mendengar informasi, atau berita-berita
tentang peristiwa politik yang terjadi. Dan jika secara langsung, berarti
orang tersebut terlibat dalam peristiwa politik tertentu.
Kehidupan politik yang merupakan bagian dari keseharian dalam
interaksi antar warga negara dengan pemerintah, dan institusi-institusi di
luar pemerintah (non-formal), telah menghasilkan dan membentuk variasi
pendapat, pandangan dan pengetahuan tentang praktik-praktik perilaku
politik dalam semua sistem politik. Oleh karena itu, seringkali kita bisa
melihat dan mengukur pengetahuan-pengetahuan, perasaan dan sikap
5
warga negara terhadap negaranya, pemerintahnya, pemimpim politik dan
lai-lain.
Kegiatan politik juga memasuki dunia keagamaan, kegiatan ekonomi
dan sosial, kehidupan pribadi dan sosial secara luas. Dengan demikian,
budaya politik langsung mempengaruhi kehidupan politik dan menentukan
keputusan nasional yang menyangkut pola pengalokasian sumber-sumber
masyarakat.
Dalam dunia keagamaan dan dalam konteks kehidupan sosial
kemasyarakatan, hubungan antara agama dan politik jelas memiliki suatu
keterkaitan, namun tetap harus dibedakan. Di satu pihak, masyarakat
agama memiliki kepentingan mendasar agar agama tidak dikotori oleh
kepentingan politik, karena bila agama berada dalam dominasi politik,
maka agama akan sangat mudah diselewengkan. Akibatnya agama tidak
lagi menjadi kekuatan pembebas atas berbagai bentuk penindasan dan
ketidakadilan, sebaliknya agama akan berkembang menjadi kekuatan
yang menindas dan kejam.
Di
pihak
lain,
adalah
kewajiban
moral
agama
untuk
ikut
mengarahkan politik agar tidak berkembang menurut seleranya sendiri
yang bisa membahayakan kehidupan. Agar agama dapat menjalankan
peran moral tersebut, maka agama harus dapat mengatasi politik, bukan
terlibat langsung ke dalam politik praktis. Karena bila agama berada di
dalam kooptasi politik, maka agama akan kehilangan kekuatan moralnya
yang mampu mengarahkan politik agar tidak berkembang menjadi
6
kekuatan yang menekan kehidupan dan menyimpang dari batas-batas
moral dan etika agama, masyarakat, dan hukum.
Dalam agama Islam Paradigma pemikiran yang berkembang seputar
korelasi antara politik dan agama, selalu diwakili dua kutub pemikiran
yang bertolak belakang. Qaradhawi mengistilahkannya dengan kelompok
sekuler dan kelompok Islamis. Masing-masing kelompok ini intens
mengembangkan premis-premis yang mendukung pendapatnya dalam
berbagai tulisan, buku, dan wacana.6
Perspektif kaum sekuler dan materialis selalu menganggap bahwa
agama tidak lebih hanya sebatas hubungan vertikal antara seorang
individu dengan Tuhannya. Bahkan mereka mengklaim bahwa agama dan
politik adalah suatu hal yang mustahil untuk dipertemukan. Agama
bersumber dari Tuhan, karakteristiknya pun selalu identik dengan nilainilai kesucian, dan tujuan jangka panjangnya adalah kehidupan akhirat.
Sementara
politik
adalah
kreatifitas
dan
rekaan
akal
manusia,
karakteristiknya pun selalu kotor dan penuh tipu daya, dan tujuan akhirnya
tidak lebih hanya pemuas kehidupan dunia. Pemikiran ini berkembang di
dunia barat, namun cukup banyak juga pemikir Arab dan dunia Islam yang
berpikiran sama, semisal Ali Abdul Raziq dan Mustafa Kemal Pasha.
Berbeda
dengan
tokoh-tokoh
seperti
Khairuddin
At-Tunisy,
Muhammad Abduh, Hasan Al-Banna, Syakib Arselan, dan Al-Maududi.
Mereka melihat bahwa Islam, disamping sebagai akidah, juga merupakan
6
www.google.com, Nasution Parlungun, Agama dan Politik, 15-oktober-2010, pkl. 07.17 WITA
7
syariah, peraturan, serta perundangan yang mengatur seluruh dimensi
kehidupan. Islam sebagai akidah dan syariah, dakwah dan negara, serta
agama dan politik. Pemikiran mereka secara spesifik berangkat dari tiga
perspektif:7
Pertama, Islam sebagai agama yang komprehensif mengatur seluruh
dimensi kehidupan. Baik dimensi materil ataupun spirituil, baik secara
individu maupun kolektif dalam konteks kehidupan bernegara. Bahkan
seluruh gerak individu muslim tidak lepas dari hukum (wajib, sunnah,
haram, makruh, dan mubah). Barangkali apa yang telah Allah firmankan
dalam surat An-Nahl ayat 89: “...Dan kami turunkan kitab (Al-Qur’an)
kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk, rahmat,
serta kabar gembira bagi orang yang berserah diri," merupakan justifikasi
nilai-nilai Islam sebagai agama yang komprehensif.
Kedua, Islam sangat mengecam sikap parsial dalam pelaksanaan
dan pengamalan nilai-nilainya, karena seluruh aturan dan dogma yang
ada di dalamnya merupakan suatu kesatuan utuh yang tidak bisa
dipisahkan.
Seorang
muslim
tidak
hanya
harus
menerjemahkan
kemuslimannya di mesjid, mushalla, akad pernikahan, dan sebagainya.
Akan tetapi ia harus tetap menjadi seorang muslim ketika bergelut di dunia
bisnis, berorasi politik dalam sebuah pesta demokrasi, bahkan dalam
berperang pun, ia harus tetap menjaga etika yang telah diajarkan Islam
dalam peperangan. Firman Allah SWT: “Wahai orang-orang yang beriman
7
Ibid,
8
masuklah kedalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti
langkah-langkah setan. Sungguh ia musuh yang nyata bagimu”. (QS. AlBaqarah: 208), ”dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpinpemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka
sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami”. (QS. As-Sajadah:
24).
Ketiga, Sejak dahulu kala hingga saat ini, peradaban dan
kebudayaan dimanapun sadar bahwa sebuah institusi negara atau
kekuatan
politik
menjalankan
merupakan
seluruh
salah
aktifitas
satu
penerapan
sarana
terpenting
hukum,
untuk
perundangan,
pengajaran, dan perlindungan terhadap segala bentuk kerusakan secara
internal, maupun serangan dari kekuatan luar yang berniat untuk
merampas ataupun menjajah. Bukan hanya itu, realitas dunia modern saat
ini justru lebih menuntut seluruh komponen umat merambah semua sektor
riil dan peluang serta potensi yang ada untuk mengambil peran. Integrasi
antara kekuatan sekuler dan kekuatan religius mestinya merupakan
representasi ideal dalam kepemimpinan nasional. Kekuatan kelompok
sekuler dapat diandalkan dalam kapabilitas; sedangkan kekuatan religius
dapat mengimbanginya dengan moralitas. Namun harapan ini agaknya
masih jauh dari kenyataan.
Di Indonesia kita mengenal salah satu kelompok sosial-religius yaitu
santri. Para sarjana yang berminat terhadap telaah mengenai suku Jawa
selalu mengenal dengan baik istilah santri yang khas itu. Istilah dan
9
konsep santri telah terkenal akrab dan sering dipakai dalam karya-karya
para sarjana tentang sejarah , politik dan masyarakat Jawa. Di samping
para penulis dari Indonesia, Clifford Geertz ahli antropologi asal Amerika
Serikat yang terkemuka, menggunakan istilah tersebut secara luas dalam
karyanya, The Religion of Java (1960). Telaah terhadap golongan santri
memang penting, khususnya untuk orang yang hendak memeriksa
dengan seksama perkembangan Islam di Jawa.
Dalam setiap pemilu, kaum santri adalah kekuatan sosial dan politik
yang selalu diperhitungkan. Pertautan elit dan santri itu akan membekali
legitimasi bagi seorang calon presiden. SBY pun tak mau kehilangan
kesempatan meraih kaum santri ini. Disinilah, konvergensi kepentingan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk menghadiri acara
Jambore Santri Nusantara di Jatinangor, Jawa Barat. Jambore yang
berlangsung 15-20 Juni 2009 lalu ini diikuti oleh 6.000 santri dari 800
pesantren se-Indonesia.8
SBY dan kaum santri yang acaranya berlangsung meriah ini juga
dimaksudkan untuk menjalin tali silaturahmi para santri, sekaligus sebagai
upaya elit untuk mengkooptasi para santri ini. Dalam jambore ini, juga diisi
dengan
perlombaan
yang
menampilkan
kreativitas
para
santri.
Diperkirakan, ratusan kiai hadir dalam acara tersebut, dengan menggelar
pertemuan bersama para santri, jelas suatu kekuatan sosial sudah diserap
oleh SBY untuk menopang dukungan bagi pencalonannya. Dengan cara
8
www.google.com, SBY tak lupa garap kaum santri, 3-februari-2010 pkl. 18.37 WITA
10
itu, SBY ingin menunjukkan komitmennya pula bagi kaum santri yang
tersebar di negeri ini. Dukungan kaum santri bagi SBY sangat bermakna
secara politik maupun ideologi.
SBY jelas berkepentingan agar tidak ada oposisi dari kaum santri.
Bagaimanapun, SBY sadar bahwa tumbuhnya oposisi santri, yakni sikap
kritis terhadap kebijakan pemerintah yang dilancarkan kalangan santri,
baik dari kalangan NU maupun Muhammadiyah dan lainnya, merupakan
ancaman bagi legitimasi pemerintah. SBY berkeinginan menyerap aspirasi
kaum santri secara simbolik, meski sesudah itu, seperti biasanya, kaum
santri kemudian hanya menjadi penonton di luar panggung teater negara.
Dari dulu, sebagai modal sosial, kaum santri hanya menjadi obyek
politik karena lemah dari segi modal ekonomi. “Namun demikian,
pesantren tetap menjadi basis sosial yang diperhitungkan, menurut
pengamat politik Unair Prof. Kacung Maridjan. SBY yang didera isu
neoliberalisme, jelas sangat paham bahwa oposisi santri otomatis
senantiasa berjalan, karena
kritisisme mereka
terhadap
berbagai
kebijakan negara sudah menjadi perintah iman dan keyakinan. Kritisisme
itu merupakan akibat logis dari ajaran Islam yang senantiasa menekankan
prinsip amar ma`ruf nahi munkar.9 Dengan titik temu SBY dan kaum santri
itu, oposisionis santri bisa dikurangi, jika pun tak bisa diredam sama
sekali. Di sisi lain, semua berharap santri dapat berkembang dan
9
Ibid
11
mendapatkan
posisi
strategis
dalam
kehidupan
ekonomi
dan
berkebangsaan.
Hal di atas berlaku juga untuk Pondok Pesantren Darul Arqam
Gombara Muhammadiyah, Makassar. Pondok pesantren ini berdiri ketika
ulama
Muhammadiyah
berpandangan
bahwa
Pendidikan
Tarjih
Muhammadiyah yang diselenggarakan di jalan Bandang No. 7 Makassar
khususnya di Pimpinan Cabang Muhammadiyah Bontoala tidak lagi
relevan dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Dalam rangka
pembinaan
pondok
pesantren,
maka
pada
Musyawarah
Wilayah
Muhammadiyah di pare-pare menetapkan agar Pondok Pesantren Darul
Arqam Muhammadiyah menjadi proyek pengkaderan Muhammadiyah.
Sebagaimana
dikemukakan
Haedar
Nashir,
hubungan
Muhammadiyah dan politik dapat di ketahui dari dua variabel. Variabel
pertama adalah aspek teologis atau pemikiran-pemikiran keagamaan
yang dianut Muhammadiyah dan memiliki persentuhan dengan dunia
politik, yang memberi gambaran mengenai pandangan Muhammadiyah
tentang politik. Variabel kedua ialah aspek sosio-historis atau sosiologis,
yang melukiskan kenyataan sejarah dan pengalaman sosiologis dalam
politik yang dialami Muhammadiyah sejak organisasi ini berdiri pada tahun
1912.10
Dalam bagian sejarahnya Muhammadiyah sering terlibat dalam
percaturan politik, bahkan pernah menjadi Anggota Istimewa Partai Islam
10
Haedar Nashir, Dinamika Politik Muhamadiyah. UMM Press, 2006. Hal. 27
12
Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Kendati diakui pula bahwa
keterlibatannya dalam politik tampaknya tidak sejauh Nahdhatul Ulama
(NU) yang pernah menjadi partai politik. Keterlibatan Muhammadiyah
dalam politik dengan tidak pernah menjadi partai politik menjadi kekuatan
tersendiri. Muhammadiyah menjadi tampak lebih memiliki pengaruh
sebagai moral force dan political force yang memainkan fungsi sebagai
kelompok kepentingan (interest group) yang kuat karena didukung oleh
massa yang relatif besar terutama dari masyarakat kelas menengah kota.
Haedar Nashir juga mengemukakan bahwa, Muhammadiyah pada
bagian umum sejarah yang dilaluinya menunjukkan sikap dan prilaku
politik yang akomodatif, artinya
relatif
lentur dalam menghadapi
perkembangan politik dan kebijakan pemerintah tanpa harus terpisah dari
prinsip-prinsip dan idealisasi sebagai gerakan Islam amar ma’ruf nahi
munkar. Sikap dan prilaku yang cenderung akomodatif ini ternyata
tidaklah berwarna hitam-putih, karena dalam bagian-bagian lain dari
sejarah yang dialaminya juga berani mengambil sikap kritis dan tegas
dalam menyikapi perkembangan politik dan kebijakan pemerintah yang
dianggap bertentangan dengan misi gerakan dan kepentingan masyarakat
pada umumnya.11
Hal ini dibuktikan dengan hubungan Muhammadiyah dengan dunia
politik yang bersifat personal dan tidak langsung, ditandai oleh keterlibatan
aktif tokoh-tokoh puncak Muhammadiyah yang memperoleh dukungan
11
Ibid, Hal. 106-107
13
luas dari anggota Muhammadiyah dalam membidani kelahiran dan
mendukung keberadaan partai politik tertentu. Pola hubungan ini
dikatakan bersifat tidak langsung karena tidak memiliki kaitan formal dan
organisatoris
langsung
dengan
Muhammadiyah.
Dalam
konteks
organisasi Muhammadiyah sering pula disebut dengan hubungan yang
bersifat moral dan sosiologis, atau hubungan ideologis.
Hal ini dapat terlihat dari pembentukan Partai Amanat Nasional pada
tahun 1998. Kelahiran PAN yang dipimpin oleh Prof. Dr. H. M. Amien Rais
merupakan fenomena menarik karena dianggap sebagai eksperimen
politik tokoh santri dalam membangun partai politik baru yang bersifat
majemuk di tengah suasana baru yaitu era reformasi. Secara formal dan
langsung Muhammadiyah tidak memiliki kaitan organisatoris dengan
partai yang didirikan pada 23 Agustus 1998 di Jakarta itu.12
Sebagai proyek pengkaderan Muhammadiyah Pondok Pesantren
Darul Arqam juga memiliki hubungan yang bersifat personal dan tidak
langsung dengan dunia politik. Hal ini dapat terlihat oleh keterlibatan aktif
alumni pondok pesantren dengan politik yang memperoleh dukungan dari
pondok pesantren, seperti Anis Matta (Sekjen PKS), Ridwan Hamsah
(anggota DPRD Kota Makassar), Syamsi Ali (Ketua KPU Bulukumba), dan
Wakil Ketua DPRD Jeneponto. Walaupun secara kelembagaan mereka
tidak
memiliki
kaitan
yang
formal
dengan
pondok
pesantren.
Sebagaimana juga dikemukakan Ust. Ridwan salah seorang pengajar
12
Ibid, hal. 47-48
14
bahwa PAN mendapat dukungan dari sebagian besar elemen pondok
pesantren.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana pola orientasi dan sikap politik santri pada Pondok
Pesantren Darul Arqam Gombara Muhammadiyah Makassar?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian

Mengambarkan dan menganalisis pola orientasi dan sikap
politik santri pada Pondok Pesantren Darul Arqam Gombara
Muhammadiyah Makassar.
2. Manfaat Penelitian

Manfaat teoritis
1) Hasil dari penelitian ini nanti diharapkan dapat memberikan
kontribusi dan menambah khasanah pengembangan ilmu
pengetahuan dalam bidang sosial dan politik
2) Hasil dari penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi
literatur yang bermanfaat sebagai bahan kajian ilmu politik

Manfaat Praktis
1) Sebagai salah satu prasyarat untuk memenuhi gelar sarjana
Ilmu Politik
2) Sebagai sarana pengembangan ilmu bagi penulis secara
pribadi
15
3) Sebagai rujukan bagi para santri untuk dapat meningkatkan
eksistensinya dalam kehidupan politik
16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan pustaka sangat penting untuk lebih memperjelas dan
mempertegas penelitian dari aspek teoritis. Literatur-literatur yang berisi
pendapat
para
ahli
maupun
website
banyak
digunakan
untuk
penyempurnaan penelitian ini.
Sehubungan dengan pembahasan sebelumnya, maka pada tinjauan
pustaka ini akan dijelaskan beberapa pengertian yang disertai pendapat
para ahli yang memiliki kaitan dengan pokok bahasan serta hal-hal yang
berkaitan dengan pelaksanaan penelitian ini yang meliputi: pengertian
budaya politik, komponen budaya politik, kalsifikasi model-model budaya
politik, pembahasan mengenai santri, dan kerangka pikir.
A. Budaya Politik
Konsep budaya politik muncul dan mewarnai wacana ilmu politik
pada akhir Perang Dunia II, sebagai dampak perkembangan ilmu politik di
Amerika Serikat. Sebagaimana diungkapkan oleh banyak kalangan
ilmuwan politik, setelah PD II selesai, di Amerika Serikat terjadi apa yang
disebut revolusi dalam ilmu politik, yang dikenal sebagai Behavioral
Revolution, atau ada juga yang menamakannya dengan Behavioralism.13
Behavioral revolution terjadi dalam ilmu politik adalah sebagai
dampak dari semakin menguatnya tradisi atau madzhab positivisme,
13
Afan Gaffar, Politik Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, halaman 97
17
sebuah paham yang percaya bahwa ilmu sosial mampu memberikan
penjelasan akan gejala sosial seperti halnya ilmu-ilmu alam memberikan
penjelasan tehadap gejala-gejala alam, dalam ilmu sosial, termasuk ilmu
politik. Paham ini sangat kuat diyakini oleh tokoh-tokoh besar sosiologi,
seperti Herbert Spencer, Auguste Comte, juga Emile Durkheim.
Paham positivisme merupakan pendapat yang sangat kuat di
Amerika Serikat semenjak Charles E. Merriam mempeloporinya di
Universitas Chicago, yang kemudian dikenal sebagai The Chicago School
atau Madzhab Chicago, yang memulai pendekatan baru dalam ilmu politik
(Somit and Tannenhaus, 1967; Almond and Verba, 1963; Almond, 1990).
Salah satu
dampak yang sangat menyolok
dari behavioral
revolutuion ini adalah munculnya sejumlah teori, baik yang bersifat grand
maupun pada tingkat menengah (middle level theory). Kemudian, ilmu
politik diperkaya dengan sejumlah istilah, seperti misalnya sistem analysis,
interest aggregation, interest articulation, political socialization, politic
culture, conversion, rule making, rule aplication, dan lain sebagainya.
Budaya politik merupakan pola perilaku suatu masyarakat dalam
kehidupan benegara, penyelenggaraan administrasi negara, politik
pemerintahan, hukum, adat istiadat, dan norma kebiasaan yang dihayati
oleh seluruh anggota masyarakat setiap harinya. Budaya politik juga dapat
di artikan sebagai suatu sistem nilai bersama suatu masyarakat yang
memiliki kesadaran untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan
kolektif dan penentuan kebijakan publik untuk masyarakat seluruhnya.
18
Sebagaimana yang tersirat dalam adjektif yang disandangnya,
kebudayaan politik menunjuk pada perwujudan kebudayaan di dalam
konteks kehidupan yang lebih terbatas, yakni kehidupan politik. Mereka
yang menaruh perhatian untuk menganalisa hubungan antara struktur dan
operasi komunitas politik dengan kebudayaan di mana mereka beroperasi
telah merumuskan kebudayaan politik secara mendalam. Teori tentang
budaya politik merupakan salah satu bentuk teori yang dikembangkan
dalam memahami sistem politik.
Teori tentang sistem politik yang diajukan oleh David Easton, yang
kemudian dikembangkan pula oleh Gabriel Almond, ini mewarnai kajian
ilmu politik pada kala itu (1950-1970). Dan diantara kalangan teoritisi
dalam ilmu politik yang sangat berperanan dalam mengembangkan teori
kebudayaan politik adalah Gabriel Almond dan Sidney Verba, ketika
keduanya melakukan kajian di lima negara yang kemudian melahirkan
buku yang sangat berpengaruh pada 1960-an dan 1970-an, yaitu The
Civic Culture. Civic Culture inilah yang menurut Almond dan Verba
merupakan basis bagi budaya politik yang membentuk demokrasi.14
Almond
(1965:20),
menunjukkan
bahwa
“tiap
sistem
politik
mewujudkan dirinya didalam pola orientasi-orientasi dan tindakantindakan politik tertentu”. Dalam pengertian yang hampir sama, Lucian W.
Pye (1965:24) mendefinisikan budaya politik sebagai “the ordered
subjective realism of politic, tertib dunia subjektif politik”. Definisi Verba
14
Ibid, halaman 99
19
(1965:31) berikut merupakan yang paling jelas. “budaya politik”, demikian
katanya, “menunjuk pada sistem kepercayaan-kepercayaan tentang polapola interaksi politik dan institusi-institusi politik.15
Almond menunjuk bukan pada apa yang diyakini orang tentang
kejadian-kejadian tersebut kepercayaan-kepercayaan yang dimaksud
dapat mengenai beraneka jenis, berupa kepercayaan-kepercayaan
empirik mengenai situasi kehidupan politik, dapat berupa keyakinankeyakinan mengenai tujuan-tujuan atau nilai-nilai yang harus dihayati di
dalam kehidupan politik dan semuanya itu dapat memiliki perwujudan atau
dimensi
emosional
yang
sangat
penting.
Almond
dan
Verba
mendefinisikan budaya politik sebagai:
“Suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem
politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan
warga negara yang ada di dalam sistem itu. 16
Prof. Miriam Budiardjo menyatakan bahwa salah satu aspek penting
dalam sistem politik adalah budaya politik yang mencerminkan faktor
subyektif. Budaya politik adalah keseluruhan dari pandangan-pandangan
politik, seperti norma-norma, pola-pola orientasi terhadap politik dan
pandangan hidup pada umumnya. Budaya politik mengutamakan dimensi
psikologis dari suatu sistem politik, yaitu sikap-sikap, sistem-sistem
kepercayaan, simbol-simbol yang dimiliki oleh individu-individu dan
beroperasi di dalam seluruh masyarakat, serta harapan-harapannya.17
15
Hasmirah, Budaya Politik Etnis Tionghoa. Skripsi, Makassar, 2007, hal. 9-10
Verba dalam Afan Gaffar, Politik Indonesia Pustaka Pelajar, halaman 101
17
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007,
halaman 49
16
20
Kegiatan politik seseorang misalnya, tidak hanya ditentukan oleh
tujuan-tujuan yang didambakannya, akan tetapi juga oleh harapanharapan politik yang dimilikinya dan oleh pandangannya mengenai situasi
politik. Bentuk dari budaya politik dalam suatu masyarakat dipengaruhi
antara lain oleh sejarah perkembangan dari sistem, oleh agama yang
terdapat dalam masyarakat itu, kesukuan, status sosial, konsep mengenai
kekuasaan, kepemimpinan dan sebagainya.
Dengan kata lain, budaya politik suatu bangsa dapat didefinisikan
sebagai pola distribusi orientasi-orientasi yang dimiliki oleh anggota
masyarakat terhadap objek-objek politik atau bagaimana distribusi polapola orientasi khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat itu. Lebih
jauh dinyatakan, bahwa warga negara senantiasa mengidentifikasikan diri
mereka dengan simbol-simbol dan lembaga kenegaraan berdasarkan
orientasi yang mereka miliki. Dengan orientasi itu pula mereka menilai
serta mempertanyakan tempat dan peranan mereka di dalam sistem
politik. Rusadi Sumintapura menyatakan bahwa budaya politik tidak lain
adalah pola tingkah laku individu dan orientasinya terhadap kehidupan
politik yang dihayati oleh para anggota suatu sistem politik.18
Pengertian budaya politik diatas, nampaknya membawa kita pada
suatu pemahaman konsep yang memadukan dua tingkat orientasi politik,
yaitu sistem dan individu. Konsep orientasi mengikuti pengertian Talcott
Parsons dan Verba yang mendefinisikan orientasi sebagai aspek-aspek
18
Rusadi, Op.cit, hal. 23
21
dari objek dan hubungan-hubungan yang diinternalisasikan di dalam dunia
subjektif individu. Dengan orientasi yang bersifat individual ini, tidaklah
berarti bahwa dalam memandang sistem politiknya kita menganggap
masyarakat akan cenderung bergerak ke arah individualisme. Jauh dari
anggapan yang demikian, pandangan ini melihat aspek individu dalam
orientasi politik hanya sebagai pengakuan akan adanya fenomena dalam
masyarakat tertentu, yang semakin mempertegas bahwa masyarakat
secara keseluruhan tidak dapat melepaskan diri dari orientasi individual.19
Dengan memahami budaya politik, kita akan memperoleh paling
tidak dua manfaat. Pertama, sikap-sikap warga negara terhadap sistem
politik
akan
mempengaruhi
tuntutan-tuntutannya,
tanggapannya,
dukungannya serta orientasinya terhadap sistem politik itu. Kedua,
dengan memahami hubungan antara budaya politik dan sistem politik,
maksud-maksud individu melakukan kegiatannya dalam sistem politik atau
faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya pergeseran politik dapat
dimengerti.
a. Orientasi dan Sikap dalam Budaya Politik
Dalam pendekatan perilaku, terdapat interaksi antara manusia satu
dengan lainnya dan akan selalu terkait dengan pengetahuan, sikap dan
nilai seseorang yang kemudian memunculkan orientasi sehingga timbul
budaya politik. Orientasi politik itulah yang kemudian membentuk tatanan
19
Arifin Rahman, Op.cit, halaman 32-33
22
dimana interaksi-interaksi yang muncul tersebut akhirnya mempengaruhi
budaya politik seseorang.
Orientasi politik tersebut dapat dipengaruhi oleh orientasi individu
dalam memandang obyek-obyek politik. Almond dan Verba mengajukan
klasifikasi tipe-tipe orientasi politik, yaitu : komponen kognitif, yaitu
kemampuan yang menyangkut tingkat pengetahuan dan pemahaman
serta kepercayaan dan keyakinan individu terhadap jalannya sistem politik
dan aributnya, seperti tokoh-tokoh pemerintahan, kebijaksanaan yang
mereka ambil, atau mengenai simbol-simbol yang dimiliki oleh sistem
politiknya, seperti ibukota negara, lambang negara, kepala negara, batasbatas negara, mata uang yang dipakai, dan lain sebagainya.
Komponen afektif, yaitu menyangkut perasaan seorang warga
negara terhadap sistem politik dan peranan yang dapat membuatnya
menerima atau menolak sistem politik itu. Komponen evaluatif, yaitu
menyangkut keputusan dan praduga tentang obyek-obyek politik yang
secara tipikal melibatkan kombinasi standar nilai dan kriteria dengan
informasi dan perasaan. 20
Perlu disadari bahwa dalam realitas kehidupan, ketiga komponen ini
tidak terpilah-pilah tetapi saling terkait atau sekurang-kurangnya saling
mempengaruhi. Semisal seorang warga negara dalam melakukan
penilaian terhadap seorang pemimpin, ia harus mempunyai pengetahuan
yang memadai tentang si pemimpin. Pengetahuan itu tentu saja sudah
20
Opcit, halaman 99-100
23
dipengaruhi, diwarnai atau dibentuk oleh perasaannya sendiri. Sebaliknya,
pengetahuan orang tersebut tentang sesuatu simbol politik, misalnya,
dapat pula membentuk atau mewarnai perasaannya terhadap simbol
politik itu. Boleh jadi, pengetahuan tentang suatu simbol sering
mempengaruhi perasaan seseorang terhadap sistem politik secara
keseluruhan.
Karena hakekat kebudayaan politik suatu masyarakat terdiri dari
sistem kepercayaan yang sifatnya empiris, simbol-simbol yang ekspresif,
dan sejumlah nilai yang membatasi tindakan-tindakan politik, maka
kebudayaan politik selalu menyediakan arah dan orientasi subyektif bagi
politik. Karena kebudayaan politik hanya merupakan salah satu aspek dari
kehidupan politik, maka jika kita ingin mendapatkan gambaran dan ciri
politik suatu kelompok masyarakat secara bulat dan utuh, maka kitapun
dituntut melakukan penelaahan terhadap sisinya yang lain.
Orientasi politik sebenarnya merupakan suatu cara pandang dari
suatu golongan masyarakat dalam suatu struktur masyarakat. Timbulnya
orientasi itu dilatarbelakangi oleh nilai-nilai yang ada dalam masyarakat
maupun dari luar masyarakat yang kemudian membentuk sikap dan
menjadi pola mereka untuk memandang suatu obyek politik.
Berkaitan dengan sistem politik, kebudayaan politik masyarakat
dipengaruhi
oleh
sejarah
perkembangan
sistem,
di
samping
itu
kebudayaan politik lebih mengutamakan dimensi psikologis suatu sistem,
seperti sikap, sistem kepercayaan, atau simbol-simbol yang dimiliki dan
24
diterapkan oleh individu-individu dalam suatu masyarakat sekaligus
harapan-harapannya. Variabel yang ada bisa berawal dari suasana
psikologis seseorang, argumentasi umum dalam jajaran psikologi sosial,
dan terminal terakhir bertumpu pada status sosial-ekonomi yang dimiliki
oleh seseorang atau sekolompok orang sebagai determinan pembentukan
orientasi, sikap dan tingkah laku politik.
Alfian, menganggap bahwa lahirnya kebudayaan politik sebagai
pantulan langsung dari keseluruhan sistem sosial-budaya masyarakat
dalam arti luas.21 Hal ini terjadi melalui proses sosialisasi politik agar
masyarakat mengenal, memahami, dan menghayati nilai-nilai politik
tertentu yang dipengaruhi oleh sikap dan tingkah laku politik mereka
sehari-hari. Adapun nilai-nilai politik yang terbentuk dalam diri seseorang
biasanya berkaitan erat dengan atau bagian dari nilai-nilai lain yang hidup
dalam masyarakat itu, seperti nilai-nilai sosial budaya dan agama. Alfian
nampaknya menempatkan faktor lingkungan budaya sebagai salah satu
faktor penentu orientasi politik seseorang disamping sejumlah faktor
lainnya. 22
Mar’at, yang menetapkan bahwa sikap suatu kecenderungan
berprilaku adalah produk dari proses sosialisasi yang banyak ditentukan
oleh faktor budaya. Proses pembentukan sikap politik yang pada
gilirannya berupa perilaku politik yang diperoleh melalui sosialisasi politik,
tak pernah hadir di kehampaan budaya. Budaya politik adalah pola
21
Dr. Alfian, Masalah dan Prospek Pembangunan Politik Indonesia, Gramedia, Jakarta, 1986,
halaman 244-245
22
Dr. Alfian, Politik, Kebudayaan dan Manusia Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1985, halaman 24
25
perilaku seseorang atau sekelompok orang yang dipengaruhi faktor
eksternal seperti situasi lingkungan atau faktor internal seperti; kebutuhan,
SINA (Sitem Nilai dan Asumsi) dan SKSM (Sistem Koordinasi Senso
Motorik) yang orientasinya berkisar pada situasi kehidupan politik yang
sedang berlaku, bagaimana tujuan-tujuan yang didambakan oleh sistem
politik itu sendiri, serta harapan-harapan politik apa yang dimilikinya,
biasanya akan bercampurbaur dengan prestasi di bidang peradaban. 23
Beberapa definisi sikap yaitu, berorientasi kepada respon : sikap
adalah suatu bentuk dari perasaan, yaitu perasaan mendukung atau
memihak (favourable) maupun perasaan tidak mendukung (Unfavourable)
pada suatu objek politik. Berorientasi kepada kesiapan respon : sikap
merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek politik dengan
cara-cara tertentu, apabila dihadapkan pada suatu stimulus yang
menghendaki adanya respon dan suatu pola perilaku, tendensi atau
kesiapan antisipatif untuk menyesuaikan diri dari situasi sosial politik yang
telah terkondisikan. Berorientasi kepada skema triadik : sikap merupakan
konstelasi
komponen-komponen
kognitif
dan
afektif
yang
saling
berinteraksi dalam memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap
suatu objek politik di lingkungan sekitarnya. Secara sederhana sikap
didefinisikan sebagai Ekspresi sederhana dari bagaimana kita suka atau
tidak suka terhadap beberapa hal. 24
23
Mar’at, Sikap Manusia: Perubahan serta Pengukurannya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984,
halaman 25-26
24
Ibid, halaman 8-9
26
Komponen atau struktur sikap menurut Mar’at :
1.
Komponen kognisi yang berhubungan dengan belief (kepercayaan
atau keyakinan), ide, konsep persepsi, stereotipe, opini yang dimiliki
individu mengenai sesuatu
2. Komponen Afeksi yang berhubungan dengan kehidupan emosional
seseorang menyangkut perasaan individu terhadap objek sikap dan
menyangkut masalah emosi
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap : pengalaman
pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa,
institusi/lembaga pendidikan dan agama, dan faktor emosional. Eagly &
Chaiken (1993) mengemukakan bahwa sikap dapat diposisikan sebagai
hasil evaluasi terhadap objek politik, yang diekspresikan ke dalam prosesproses kognitif, afektif, dan perilaku. Sebagai hasil evaluasi, sikap yang
disimpulkan dari berbagai pengamatan terhadap objek diekspresikan
dalam bentuk respon kognitif, afektif (emosi), maupun perilaku.25
Menurut ahli psikologi sosial, yang memandang bahwa belajar
sebagai suatu proses yang berakhir dengan terjadinya perubahan pola
tingkah laku seseorang. Menurut para ahli itu, bahwa nilai-nilai dan
kebiasaan-kebiasaan dalam suatu masyarakat, termasuk didalamnya
nilai-nilai politik, senantiasa mengalami proses transformasi, pemahaman
dan internalisasi ke dalam individu melalui tiga mekanisme utama, yakni
25
Kras, S. J. "Attitudes and Prediction of Behavior," Personality and Social Psychology Bulletin,
Januari 1995, hal. 58-75
27
asosiasi, peneguhan dan imitasi, di mana tingkah laku para aktor politik
penting ditiru, sebagai bagian dari perilaku masyarakat.26
Dari tiga proses di atas, apa yang disebut nilai-nilai dan kebiasaankebiasaan yang membentuk budaya politik diwariskan dari generasi ke
generasi untuk kemudian mendikte orientasi, sikap dan tingkah laku politik
warga budaya. Pada dimensi inilah keterkaitan antara budaya politik
dengan orientasi, sikap dan tingkah laku politik, termasuk didalamnya
partisipasi politik. Dimensi lain yang cukup mendasar perlu dicermati,
adalah refleksi dari proses budaya politik masyarakat dalam upaya
menjabarkan kekuasaan masyarakat, sebagai cerminan wajah nyata dari
orientasi, sikap dan tingkah laku. Selain itu budaya politik juga merupakan
dialektika dari suatu masyarakat politik dalam menjawab tantangantantangan politik yang menghalangi pada setiap fase pemantapan
perkembangannya.
Penelitian kebudayaan politik ditandai adanya titik pusat perhatian
pada masalah-masalah sosialisasi dan pengalaman-pengalaman politik
yang dialami oleh berbagai pihak, yang diwarisi dari generasi ke generasi
berikutnya serta situasi di mana kebudayaan politik itu berubah.
Penelitiannya dapat pula menjurus pada suatu perspektif baru dari
perjalanan sejarah suatu masyarakat, dengan memberikan perhatian
utama yakni, bagaimana kepercayaan politik yang asasi dipengaruhi oleh
ingatan atas peristiwa-peristiwa politik masa lampau.
26
Arifin Rahman, Op.cit, hal. 36
28
Budaya politik dapat dilihat dari aspek doktrinnya dan aspek
generikanya. Pertama, menekan pada isi atau materi budaya politik yang
dapat dijumpai pada studi tentang doktrin; seperti sosialisme, demokrasi
atau nasionalisme dan Islam. Kedua, aspek generika, menganalisis
bentuk, peranan, dan ciri-ciri budaya politik. Umpanya, apakah budaya
politiknya militan, utopis, terbuka atau tertutup. Pada aspek generikanya
dari budaya politik, dapat dilihat dari hakekat, bentuk dan peranannya. 27
Hakekat atau ciri-ciri pokok dari budaya politik menyangkut masalah
nilai-nilai. Nilai-nilai adalah prinsip-prinsip dasar yang melandasi doktrin
atau suatu pandangan hidup. Nilai-nilai yang dimaksud ini berhubungan
dengan masalah tujuan, seperti nilai-nilai pragmatis atau utopis.28
Almond dan Powell mencatat, bahwa aspek lain yang menetukan
orientasi politik seseorang, adalah hal-hal yang berkaitan dengan “rasa
percaya” (trust) dan “permusuhan” (hostility).29 Perasaan ini dalam realitas
sosial berwujud dalam kerjasama dan konflik yang merupakan dua bentuk
kualitas politik. Rasa percaya mendorong kelompok-kelompok dalam
masyarakat untuk bekerjasama dengan kelompok lain. Sebaliknya
kelompok-kelompok yang bekerjasama memungkinkan timbulnya konflik.
Dengan demikian, kerjasama dan konflik tidak saja mewarnai kehidupan
masyarakat, tetapi juga merupakan ciri budaya politik.
27
Op.cit, Arifin Rahman, halaman 36-37
Ibid, hal. 37
29
Gabriel A. Almon and Bingham Powell, Comprative Politic A Developmental Approach seperti
dikutip Rusadi K, 1988, halaman 42
28
29
Budaya politik suatu masyarakat dengan sendirinya berkembang di
dalam dan dipengaruhi oleh kompleks nilai yang ada dalam masyarakat
tersebut. Hal ini terjadi, karena kehidupan masyarakat dipenuhi oleh
interaksi
antar-orientasi
dan
antar-nilai.
Interaksi
yang
demikian
memungkinkan timbulnya kontak antar budaya, dan menjadi pemicu
dalam menjalin proses integrasi dan pengembangan budaya politik
masyarakat.
b. Klasifikasi Budaya Politik
Almond dan Verba membagi budaya politik dalam tiga klasisifikasi,
yakni budaya politik parokial, budaya politik kaula atau subjek dan budaya
politik partisipan. Yang penting dari klasifikasi tersebut adalah kepada
objek politik apa aktor politik individual berorientasi, bagaimana mereka
mengorientasikan diri, dan apakah objek-objek politik tersebut terlibat
secara mendalam di dalam arus ke atas, atau pembuatan kebijaksanaan
atau di dalam arus ke bawah, pelaksanaan kebijaksanaan. Hasilnya
adalah klasifikasi tiga tipe ideal budaya politik berikut:
1. Budaya
politik
spesialisasi
parokial
(parochial
peranan-peranan
politik
political
atau
culture)
tingkat
adalah
partisipasi
politiknya sangat rendah, yang disebabkan faktor kognitif (misalnya
tingkat pendidikan relatif rendah). Budaya politik parokial juga
ditandai
oleh
tidak
berkembangnya
harapan-harapan
akan
perubahan yang akan datang dari sistem politik. Budaya politik
parokial yang kurang lebih bersifat murni merupakan fenomena
30
umum yang biasa ditemukan didalam masyarakat-masyarakat yang
belum berkembang, dimana spesialisasi politik sangat minimal.
Budaya politik parokial biasanya terdapat dalam sistem politik
tradisional dan sederhana, dengan ciri khas spesialisasi masih
sangat kecil, sehingga pelaku-pelaku politik belumlah memiliki
pengkhususan
tugas.
Tetapi
peranan
yang
satu
dilakukan
bersamaan dengan peranan yang lain seperti aktivitas dan peranan
pelaku politik dilakukan bersamaan dengan peranannya baik dalam
bidang ekonomi, sosial maupun keagamaan/spritual.
2. Budaya politik subyek/kaula memiliki frekuensi orientasi-orientasi
yang tinggi terhadap sistem politiknya, namun perhatian dan
intensitas orientasi mereka terhadap aspek masukan (input) dan
partisipasinya dalam aspek keluaran (output) sangat rendah.
Subjek individual menyadari akan otoritas pemerintah yang memiliki
spesialisasi, ia bahkan secara afektif mengorientasikan diri
kepadanya, ia memiliki kebanggan terhadapnya atau sebaliknya
tidak menyukainya, dan ia menilainya sebagai otoritas yang absah.
Namun demikian, posisinya sebagai subyek (kaula) mereka
pandang sebagai posisi yang pasif. Diyakini bahwa posisinya tidak
akan menetukan apa-apa terhadap perubahan politik. Mereka
beranggapan bahwa dirinya adalah subyek yang tidak berdaya
untuk mempengaruhi atau mengubah sistem. Dengan demikian
secara
umum
mereka
menerima
segala
keputusan
dan
31
kebijaksanaan yang diambil oleh pejabat yang berwenang dalam
masyarakat. Bahkan rakyat memiliki keyakinan bahwa apapun
keputusan/kebijakan pejabat adalah mutlak, tidak dapat diubahubah, dikoreksi apalagi ditentang.
3. Budaya politik partisipan adalah suatu budaya politik dimana para
warga masyarakat memilki orientasi politik yang secara eksplisit
ditujukan kepada sistem secara keseluruhan, bahkan terhadap
struktur, proses politik dan administratif. Dengan perkataan lain,
perhatian dan intensitas terhadap masukan maupun keluaran dari
sistem politik sangat itnggi. Dalam budaya politik partisipasi dirinya
atau orang lain dianggap sebagai anggota aktif dalam kehidupan
politik, ia memiliki
kesadaran terhadap hak dan tanggung
jawabnya. Masyarakat juga merealisasi dan mempergunakan hakhak politiknya. Dengan demikian, masyarakat dalam budaya politik
partisipan tidak begitu saja menerima keputusan politik. Hal ini
karena masyarakat telah sadar bahwa betapapun kecilnya mereka
dalam
sistem
politik,
mereka
tetap
memiliki
arti
bagi
berlangsungnya sistem itu.30
Klasifikasi budaya politik kedalam tiga tipe ideal sebagaimana
diungkapkan oleh Almond dan Verba sama sekali tidak mengasumsikan
bahwa tipe yang satu meniadakan tipe yang lain. Klasifikasi itu tidak harus
30
Almond, dan Sidney Verba, Budaya Politik, Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara
(terj. Sahat Simamora), Bumi Aksara, Jakarta, 1990, halaman 20-22
32
disimpulkan bahwa orientasi yang satu akan menggantikan orientasi yang
lain.
Model-model di atas kaitannya dengan studi tentang budaya politik
dirasakan penting karena dapat menunjukkan karakteristik-karakteristik
khas serta orientasi-orientasi warga negara terhadap sistem dan proses
politik.
B. Santri
Perkataan santri digunakan untuk menunjuk pada golongan orangorang Islam di Jawa yang memiliki kecenderungan lebih kuat pada ajaranajaran
agamanya,
sedangkan
untuk
orang-orang
yang
lebih
mengutamakan tradisi kejawaannya biasanya disebut kaum “abangan”.
Mengenai asal-usul perkataan “santri” ada dua pendapat yang bisa
dijadikan acuan. Pertama, adalah pendapat yang mengatakan bahwa
“santri” itu berasal dari perkataan “sastri”, sebuah kata dari bahasa
Sansakerta, yang artinya melek huruf. Agaknya dulu, lebih-lebih pada
permulaan tumbuhnya kekuasaan politik Islam di Demak, kaum santri
adalah kelas “leterary” bagi orang Jawa. Ini disebabkan pengetahuan
mereka tentang agama melalui kitab-kitab bertulisan dan berbahasa Arab.
Dari sini bisa kita asumsikan bahwa menjadi santri berarti juga menjadi
tahu agama (melalui kitab-kitab tersebut). Atau paling tidak seorang santri
itu bisa membaca Al-Qur’an yang dengan sendirinya membawa pada
sikap lebih serius dalam memandang agamanya.
33
Kedua, adalah pendapat yang mengatakan bahwa perkataan santri
sesungguhnya berasal dari bahasa Jawa, persisnya dari kata cantrik,
yang artinya seseorang yang selalu mengikuti seorang guru ke mana guru
ini pergi menetap. Tentunya dengan tujuan didapat darinya mengenai
suatu keahlian. Sebenarnya kebiasaan cantrik ini masih bisa kita lihat
sampai sekarang, tetapi sudah tidak “sekental” seperti yang pernah kita
dengar. Misalnya, seseorang yang hendak memperoleh kepandaian
dalam pewayangan, menjadi dalang atau manabuh gamelan, dia akan
mengikuti orang lain yang sudah ahli, dalam hal ini biasanya dia disebut
“dalang cantrik”. Sebab dulu, dan mungkin juga sampai sekarang, tidak
terdapat
cara
yang
sungguh-sungguh
dan
“profesional”
dalam
mengajarkan kepandaian-kepandaian tersebut. Pemindahan kepandaian
itu, sebagaimana juga dengan pemindahan obyek kebudayaan lain pada
orang Jawa “abangan”, lebih banyak melalui pewarisan langsung dalam
pengalaman sehari-hari.31
Pola hubungan “guru-cantrik” itu kemudian diteruskan dalam masa
Islam. Pada proses evolusi selanjutnya “guru-cantrik” menjadi “gurusantri”. Sekalipun perkataan “guru” masih dipakai secara luas sekali, tetapi
untuk guru yang terkemuka kemudian digunakan perkataan “kiai”, untuk
laki-laki, dan “nyai” untuk wanita. Perkataan “kiai” sendiri agaknya berarti
tua, pernyataan dari panggilan orang Jawa kepada kakeknya yahi,
merupakan singkatan dari pada kiai, dan kepada nenek perempuannya
31
Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantern. Dian Rakyat. Jakarta, hal. 21-22
34
“nyahi”. Tetapi disitu terkandung juga rasa pensucian pada yang tua,
sebagaimana kecenderungan itu umum dikalangan orang Jawa. Sehingga
“kiai” tidak saja berarti “tua” (yang kebetulan sejalan dengan pengertian
“syeikh” dalam bahasa Arab), tetapi juga berarti “sakral”, keramat, dan
sakti. Begitulah, maka benda-benda yang dianggap keramat seperti keris
pusaka, dan pusaka keraton disebut juga kiai.32
Proses belajarnya santri kepada kiai atau guru itu sering juga sejajar
dengan sesuatu kegiatan pertanian. Agaknya arti sesungguhnya dari
perkataan “cantrik” adalah orang yang menumpang hidup atau dalam
bahasa Jawa juga disebut ngenger. Pada masa sebelum kemerdekaan,
orang yang datang menumpang di rumah orang lain yang mempunyai
sawah-ladang untuk ikut menjadi buruh tani adalah juga disebut santri.
Tentu ini juga berasal dari perkataan cantrik tadi. Seorang Kiai adalah
juga seorang pemilik sawah yang cukup luas. Umumnya memang
demikian. Dengan sendirinya biasanya mereka adalah juga seorang haji.33
Kedudukan guru atau kiai sebagai seorang haji itu kiranya dapat
menerangkan, mengapa kemudian proses belajar kepada kiai disebut
“ngaji” adalah bentuk kata kerja aktif dari perkataan kaji, yang berarti
mengikuti jejak haji, yaitu belajar agama dengan berbahasa Arab.
Agaknya karena keadaan pada abad-abad yang lalu memaksa orang
yang menunaikan ibadah haji untuk tinggal cukup lama di tanah suci
32
33
Ibid
Ibid
35
sehingga ini memberi kesempatan padanya untuk belajar agama di
Mekkah, yang kelak diajarkan kepada orang lain ketika pulang.34
Perkataan “ngaji” itu mungkin juga berasal sebagai bentuk kata kerja
aktif dari aji yang berarti terhormat, mahal, atau kadang-kadang sakti.
Keterkaitan ini bisa kita buktikan dari adanya perkataan aji-aji yang berarti
jimat. Jadi “ngaji”, “santri”, dan “kiai” ini, ngaji adalah memang merupakan
kegiatan belajar yang dianggap suci atau aji oleh seorang santri yang
menyerahkan dan menitipkan hidupnya kepada seorang kiai yang selain
sangat dihormati juga biasanya sudah tua dan sudah menunaikan ibadah
haji karena kemampuan ekonominya.
Pada mulanya seorang santri atau beberapa orang dapat ditampung
hidupnya di rumah seorang kiai. Mereka itu bekerja untuk kiai di sawah
dan di ladang atau menggembalakan ternaknya. Dan ketika bekerja ini
kehidupan mereka ditanggung oleh kiai. Tetapi lama kelamaan hal itu
tidak lagi terpikul kiai, dan mulailah para santri mendirikan bangunanbangunan kecil tempat tinggal mereka yang semula sementara itu disebut
pondok. Pergi ke pesantren adalah pergi ke pondok atau “mondok”, bagi
orang yang ingin menjadi santri.
Setelah jumlah santri dalam sebuah pesantren menjadi semakin
banyak, kiai juga tidak dapat lagi menyediakan pekerjaan bagi mereka
yang biasanya digunakan untuk menghidupi mereka. Sebab sawah,
ladang, dan ternak yang dimiliki kiai tentunya sangat terbatas dibanding
34
Ibid. Halaman 23
36
dengan jumlah santrinya. Maka mulailah para santri memikirkan sendiri
penghidupan mereka dengan berbagai jalan. Meskipun banyak yang
mencari pekerjaan disekitar pondok , misalnya menjadi tukang setrika,
menjadi pembantu diwarung, dan menyewakan sepeda kepada sesama
santri, tetapi kebanyakan mereka menggantungkan biaya hidupnya dari
kiriman bulanan orang-tuanya. Karena alasan menghemat (mereka
berasal dari keluarga-keluarga sederhana di desa-desa) atau lainnya,
kebanyakan para santri mengerjakan sendiri segala sesuatu yang mereka
perlukan seperti menanak nasi, memasak, mencuci pakaian, dan
menyetrika.
Satu istilah lain untuk santri sebagaimana lazimnya digunakan oleh
orang Jawa ialah kata putihan, yang diturunkan dari pangkal kata putih,
dengan akhiran –an. Istilah ini agaknya dipakai karena pakaian putih yang
mereka kenakan waktu bersholat. Para putihan biasanya memakai kopyah
terbuat dari beludru hitam serupa fez, sehelai kemeja putih dan sarung
(terutama bila mereka ikut bersholat dalam mesjid). Setelah mereka naik
haji ke Mekkah, dan setelah menjadi kaji (haji), mereka tukarkan kopyah
tadi dengan peci katun putih atau kopyah kaji.35
Pada zaman pra-Islam pernah ada desa-desa beragama yang
penghuninya taat pada peraturan-peraturan ketat tertentu. Setelah
penghuninya masuk Islam, desa-desa tersebut menjadi desa keramat
Islam yang penghuninya patuh sekali kepada ajaran agama Islam dan
35
Zaini Muchtarom, Santri dan Abangan di Jawa, INIS, Jakarta, 1988, halaman 6
37
kepada ulama dan kiyai mereka. Ada beberapa pesantren yang didirikan
dalam desa-desa seperti itu. Sampai sekarang desa-desa tersebut
dinamakan desa mutihan. Sejak raja-raja yang beragama Islam
membebaskan desa-desa itu dari pajak dan supaya mampu memelihara
pesantren atau menjalankan kewajiban agama lainnya, desa tersebut
dinamakan desa perdikan yang dibebaskan dari pajak dan tugas. Pranata
desa perdikan ini benar-benar merupakan pranata yang sudah berjalah
selama zaman Jawa Hindu.36
Jelaslah dari alinea tersebut tadi bahwa istilah santri yang memang
lebih sering dipakai dari putihan, dalam artinya yang asli dan sempit,
digunakan untuk mengacu kepada para siswa sekolah agama yang
disebut pesantren, seperti pesantren di Madura, pondok di Pasundan,
rangkang meunasah di Aceh dan surau di Minangkabau. Dalam pesantren
para santri melakukan telaah agama, dan di sana mereka memperoleh
bermacam-macam pendidikan rohani, mental dan sedikit banyak juga
jasmani. Dalam arti luas dan lebih biasa, istilah santri mengacu kepada
segolongan Muslim Jawa yang menyatakan kebaktian yang paling
sungguh-sungguh kepada agama Islam, dengan menjalankan ibadah
sholat, siam (puasa), haji dan seterusnya.
Istilah santri di Jawa Tengah, sampai tahun duapuluhan, sematamata berarti siswa atau murid sebuah pesantren, sementara di kota istilah
tersebut mangacu kepada para Muslimin Jawa yang tinggal dalam
36
Ibid
38
pemukiman sekitar mesjid yang dinamakan kauman. Dalam hal ini lebihlebih penting kita minta perhatian terhadap cara para cendikiawan muslim
Indonesia menanggapi penggunaan istilah santri oleh para pengamat dari
luar , terutama Clifford Geertz. Pada umumnya para Muslimin Indonesia
memakai istilah lain, mereka lebih menyukai menggunakan ungkapan
“pemeluknya yang setia” dan bukan istilah santri.37
Inti lembaga kelompok-kelompok santri ada di sekitar mesjid dan
dalam pesantren. Adapun pesantren itu lebih berhasil mendirikan ummah
Islam sebab sifatnya berdasarkan pola biara zaman lampau yang diubah.
Dalam pesantren itu santri-santri dari berbagai daerah tinggal bersama
dalam asrama, memasak makanannya sendiri dan biasanya bekerja di
sawah milik pesantren tersebut atau milik para pendukung pesantren itu.
Jadi di sekitar pesantren itulah peguyuban santri desa berkembang.
Dalam mempertahankan Islam yang lebih berpengaruh ialah inti para
mukminin yang giat, yaitu kiyai dan ulama yang merupakan inti pola
kehidupan santri. Semula peradaban santri itu rupanya terbatas pada kota
perdagangan di pantai; kemudian peradaban itu menembus ke daerah
pedalaman pulau Jawa. Pusat ide Islam terletak dalam konsepsi ummah
(peguyuban Islam). Orang yang baru masuk Islam sama-sama terikat oleh
kepatuhannya kepada ajaran Islam. Maka pesantren menjadi saluran
utama bagi masuknya Islam ke dalam kehidupan desa. Pesantrenpesantren besar yang dipimpin oleh kiyai-kiyai yang termasyhur, tumbuh
37
Ibid, halaman 10
39
dalam berbagai desa, sedangkan pesantren-pesantren yang agak kecil
timbul di seluruh pulau Jawa. Kelak dalam hampir setiap desa muncullah
orang-orang didikan pesantren yang dapat memberikan pelajaran dalam
ibadah Islam dan membaca ayat-ayat Al-Qur’an.38
Ummat beragama sekitar pesantren yang terdiri dari para kiyai dan
santri, bertanggung jawab atas didirikannya ortodoksi Islam karena tidak
terdapat tatatingkat semacam di gereja atau masyarakat para penyebar
agama. Sebaliknya pesantren, sebagai inti ummat Islam yang saleh,
merupakan peguyuban ibadah, suasana tempat para Muslimin hidup
mewujudkan ummah (umat). Inilah yang merupakan tempat bagi
dorongan kepada pengislaman di Jawa. Diantara para santri perhatian
terhadap
ajaran
Islam
hampir
seluruhnya
mengatasi
segi-segi
upacaranya. Bagi para santri, arti pentingnya bukan saja terletak pada
pengetahuan tentang seluk beluk upacara, terutama shalat sehari-hari,
puasa, sedekah, dan sebagainya, tetapi juga pada penerapan ajaran
Islam dalam kehidupan.
Para santri juga berkeras bahwa mereka adalah Muslimin sejati, dan
keterikatan mereka kepada agama Islam menguasai sebagian terbesar
kehidupannya. Sikap itu terwujud dan mudah diketahui dalam pengamalan
syariat. Bagi para santri, kesadaran ummah (ummat) mendapat arti
penting dan utama. Islam dipandang oleh para santri sebagai rangkaian
lingkaran-lingkaran sosial yang membentang dari santri perseorangan
38
Zaini Muchtarom, op.cit., halaman 23
40
sampai ke masyarakat besar yang meliputi para mukminin yang sama
derajatnya serta keseluruhan dunia Islam. Rasa persamaan dan rasa
keanggotaan ummah berdasarkan sokoguru Islam, iman dan amalnya.
Iman dan amal saleh melakukan shalat sehari-hari dan shalat jum’at
terbatas pada para santri.39
Santri adalah sebutan bagi murid yang mengikuti pendidikan di
pondok pesantren. Pondok Pesantren adalah sekolah pendidikan umum
yang persentasi ajarannya lebih banyak ilmu-ilmu pendidikan agama
Islam. Kebanyakan muridnya tinggal di asrama yang disediakan di
sekolah itu. Pondok Pesantren banyak berkembang di pulau Jawa.
Panggilan Santri Pondok X artinya ia pernah/lulus dari Pondok Pesantren
X. Panggilan Santri Kyai KH artinya ia pernah diajar oleh Kyai KH.
Umumnya, sebutan santri Kyai juga berarti ia pernah menjadi anak asuh,
anak didik, kadang-kadang mengabdi (biasanya di rumah kediaman) kyai
yang bersangkutan.40 Santri, yaitu orang muslim saleh yang memeluk
agama Islam dengan sungguh-sungguh dan dengan teliti menjalankan
perintah-perintah agama Islam sebagaimana yang diketahuinya, sambil
berusaha
membersihkan
akidahnya
dari
syirik
yang
terdapat
di
daerahnya. Santri yang mewakili sikap menitikberatkan pada segi-segi
Islam. Clifford Geertz menerapkan istilah santri pada kebudayaan para
39
40
Ibid, halaman 33-34
www.google.com, wilkipedia bahasa Indonesia, 2-feb-2010
41
Muslimin yang memegang peraturan dengan keras dan biasanya tinggal
bersama di kota dalam perkampungan dekat sebuah mesjid.41
C. KERANGKA PIKIR
Gabriel A. Almond dan Sidney Verba mengaitkan budaya politik
dengan orientasi dan sikap politik seseorang terhadap sistem politik dan
bagian-bagiannya yang lain serta sikap terhadap peranan kita sendiri
dalam sistem politik.
Almond dan Verba melihat bahwa dalam pandangan tentang objek
politik, terdapat tiga komponen yaitu : komponen kognitif, yaitu
kemampuan yang menyangkut tingkat pengetahuan dan pemahaman
serta kepercayaan dan keyakinan individu terhadap jalannya sistem politik
dan atributnya, seperti tokoh-tokoh pemerintahan, kebijaksanaan yang
mereka ambil, atau mengenai simbol-simbol yang dimiliki oleh sistem
politiknya, seperti ibukota negara, lambang negara, kepala negara, batasbatas negara, mata uang yang dipakai, dan lain sebagainya.
Komponen afektif, yaitu menyangkut perasaan seorang warga
negara terhadap sistem politik dan peranan yang dapat membuatnya
menerima atau menolak sistem politik itu. Komponen evaluatif, yaitu
menyangkut keputusan dan praduga tentang obyek-obyek politik yang
secara tipikal melibatkan kombinasi standar nilai dan kriteria dengan
informasi dan perasaan. Eagly & Chaiken mengemukakan bahwa sikap
41
Zaini Muchtarom, op.cit., halaman 40
42
dapat diposisikan sebagai hasil evaluasi terhadap objek politik, yang
diekspresikan ke dalam proses-proses kognitif, afektif, dan perilaku.
Sebagai hasil evaluasi, sikap yang disimpulkan dari berbagai pengamatan
terhadap objek diekspresikan dalam bentuk respon kognitif, afektif
(emosi), maupun perilaku. Gabriel Almond mengajukan pengklasifikasian
budaya politik sebagai berikut :
1. Budaya politik parokial, yaitu tingkat partisipasi politiknya
sangat rendah, yang disebabkan faktor kognitif (misalnya
tingkat pendidikan relatif rendah).
2. Budaya
politik
kaula
atau
subyek,
yaitu
masyarakat
bersangkutan sudah relatif maju tetapi masih bersifat pasif.
3. Budaya politik partisipan, yaitu budaya politik yang ditandai
dengan kesadaran politik sangat tinggi.
Dari ketiga komponen tersebut di atas yang digunakan penulis untuk
menentukan budaya politik santri pada pondok pesantren Darul Arqam
Gombara Muhammadiyah, Makassar.
Skema Kerangka Pikir:
Pola Orientasi :
-Kognitif
-Afektif
-Evaluatif
BUDAYA POLITIK
-Parokial
-Subyek/kaula
-Partisipan
Santri di Pondok Pesantren
Darul Arqam Gombara Muhammadiyah
Makassar
43
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode pada dasarnya merupakan cara yang dipergunakan untuk
mencapai tujuan. Metode sangat penting dalam sebuah penelitian sebab
tujuan utama penelitian adalah untuk memecahkan masalah, oleh karena
itu, langkah-langkah yang ditempuh harus relevan dengan masalah yang
telah dirumuskan dalam penelitian yang digunakan penulis dalam
membahas rumusan masalah yang telah dikemukakan pada bab
sebelumnya. Metode penelitian tersebut terdiri atas: lokasi penelitian, tipe
penelitian dan dasar penelitian, sumber data, tekhnik pengumpulan data,
dan metode analisis data.
A. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Pondok Pesantren Darul Arqam Gombara,
kota Makassar. Pondok Pesantren ini berdiri ketika ulama Muhammadiyah
berpandangan
bahwa
Pendidikan
Tarjih
Muhammadiyah
yang
diselenggarakan di jalan Bandang No. 7 C Ujung Pandang (sekarang
Makassar) khususnya di Pimpinan Cabang Muhammadiyah Bontoala tidak
lagi relevan atau sesuai dengan perkembangan zaman.
Dalam
rangka
pembinaan
pondok
pesantren,
maka
pada
Musyawarah Wilayah Muhammadiyah di Parepare menetapkan agar
Pondok
Pesantren
Darul
Arqam
Muhammadiyah
menjadi
proyek
44
Pengkaderan Muhammadiyah. Tanggal 25 Januari 1976 berlangsung
serah terima pesantren dari PCM Bontoala kepada PWM Sul-Selra.
B. Tipe dan Dasar Penelitian
Penelitian ini akan menggunakan tipe penelitian deskriptif untuk
memenuhi tujuan dan kerangka logika. Penelitian deskriptif dimaksudkan
untuk menggambarkan sejumlah variabel-variabel yang berkenaan
dengan masalah dan unit yang sedang diteliti. Metode ini sangat berguna
dalam penelitian ini untuk mendapatkan variasi permasalahan karena
berkaitan dengan tingkah laku manusia (perilaku). Jadi diharapkan
dengan metode penelitian ini, peneliti akan mudah untuk menggambarkan
hasil penelitian, sesuai dengan judul atau tema yang akan diteliti.42
Dasar penelitian ini adalah metode kualitatif, karena
metode
kualitatif memliiki varian yang beragam untuk menganalisis secara
mendalam gejala yang terjadi, agar dapat melihat kenyataan-kenyataan
yang ada pada objek penelitian sehingga peneliti dapat menjelaskan
kenyataan tersebut secara ilmiah.
C. Sumber Data
Data dari penelitian ini akan diperoleh dari dua sumber, yaitu data
primer dan data sekunder :
42
Sulistyo Basuki, Metode Penelitian, Wedatama Widya Sastra, 2006, halaman 94
45
a. Data primer
Data primer adalah data yang diperoleh melalui lapangan atau
daerah penelitian. Peneliti turun langsung ke daerah penelitian
untuk mengumpulkan data. Misalnya dari observasi langsung ke
pesantren dan dari hasil wawancara dengan santri.
b. Data Sekunder
Penulis juga melakukan telaah pustaka, yaitu mengumpulkan data
dari Penelitian sebelumnya berupa buku, jurnal, koran, dan sumber
informasi lainnya yang ada kaitannya dengan masalah penelitian
ini.
D. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian
ini merupakan
penelitian
lapangan
dan
sasaran
penelitian adalah informan dan referensi. Data penelitian tersebut
dikumpulkan
dengan
menggunakan
observasi
langsung,
teknik
wawancara dan dokumentasi sebagai berikut:
1. Observasi langsung
Pengamatan yang dilakukan secara langsung oleh peneliti terhadap
objek penelitian dengan cara menjadi partisipan dalam setiap kegiatan
yang dilakukan oleh para santri. Observasi ini membantu peneliti dalam
menganalisa keadaan yang sebenarnya.
2. Teknik Wawancara
46
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan wawancara. Wawancara
menggunakan alat re-cheking atau pembuktian terhadap informasi atau
keterangan
yang
diperoleh
sebelumnya.
Teknik
wawacara
yang
digunakan dalam penelitian kualitatif adalah wawancara mendalam.
Penulis melakukan pengumpulan data dengan cara wawancara secara
langsung dengan informan dengan menggunakan pedoman wawancara
(interview guide) agar wawancara fokus pada masalah penelitian.
Pertama
peneliti
membuat
pedoman
wawancara.
Pedoman
wawancara ini berisi pertanyaan-pertanyaan mendasar yang nantinya
akan berkembang dalam wawancara. Pedoman wawancara yang telah
disusun, ditunjukan kepada yang lebih ahli dalam hal ini adalah
pembimbing penelitian untuk mendapat masukan mengenai isi pedoman
wawancara. Setelah mendapat masukan dan koreksi dari pembimbing,
peneliti
membuat
perbaikan
terhadap
pedoman
wawancara
dan
mempersiapkan diri untuk melakukan wawancara. Tahap persiapan
selanjutnya adalah peneliti membuat pedoman observasi yang disusun
berdasarkan hasil observasi terhadap perilaku subjek selama wawancara
dan observasi terhadap lingkungan atau setting wawancara, serta
pengaruhnya terhadap perilaku subjek dan pencatatan langsung yang
dilakukan pada saat peneliti melakukan observasi. Namun apabila tidak
memungkinkan maka peneliti sesegera mungkin mencatatnya setelah
wawancara selesai. Peneliti selanjutnya mencari subjek yang sesuai
dengan karakteristik subjek penelitian. Sebelum wawancara dilaksanakan
47
peneliti bertanya kepada subjek tentang kesiapanya untuk diwawancarai.
Setelah
subjek
bersedia
untuk
diwawancarai,
peneliti
membuat
kesepakatan dengan subjek tersebut mengenai waktu dan tempat untuk
melakukan wawancara.
Peneliti membuat kesepakatan dengan subjek mengenai waktu dan
tempat untuk melakukan wawancara berdasarkan pedoman yang dibuat.
Setelah wawancara dilakukan, peneliti memindahakan hasil rekaman
berdasrkan wawancara dalam bentuk tertulis. Selanjutnya peneliti
melakukan analisis data dan interprestasi data sesuai dengan langkahlangkah yang dijabarkan pada bagian metode analisis data di akhir bab
ini. setelah itu, peneliti membuat dinamika psikologis dan kesimpulan yang
dilakukan, peneliti memberikan saran-saran untuk penelitian selanjutnya.
Adapun informan pengumpulan data terkait masalah penelitian adalah
sebagai berikut :
1) DR. K.H. Mustari Bosra, MA. sebagai pimpinan pondok pesantren
Darul Arqam Gombara Muhammadiyah Makassar
2) Ustad. Arsyad sebagai Pengajar di pondok pesantren Darul Arqam
Gombara Muhammadiyah Makassar.
3) Ustad. Ridwan sebagai Pengajar di pondok pesantren Darul Arqam
Gombara Muhammadiyah Makassar.
4) Santri pondok pesantren Darul Arqam Gombara Muhammadiyah
Makassar.
48
3. Dokumen
Metode atau teknik pengumpulan data dan informasi melalui
pencarian dan penemuan bukti-bukti. Metode dokumenter ini merupakan
metode pengumpulan data yang berasal dari sumber non manusia.
Dokumen berguna karena dapat memberikan latar belekang yang lebih
luas mengenai pokok penelitian. Dokumen dan arsip mengenai berbagai
hal yang berkaitan dengan fokus penelitian merupakan salah satu sumber
data yang paling penting dalam penelitian. Dokumen yang dimaksud
adalah dokumen tertulis, gambar/foto, atau film audio-visual, data statistik
laporan penelitian sebelumnya, tulisan-tulisan ilmiah tentang masalah
yang diteliti.43
E. Metode Analisis Data
Data yang dikumpulkan dilapangan diolah menggunakan analisis
kualitatif untuk menjelaskan hasil yang diperoleh pada saat penelitian.
Secara umum, analisa kualitatif yang dimaksud menggunakan metode
penalaran induktif. Selain itu digunakan metode deskriptif analisis untuk
menjelaskan data.
Data dari hasil wawancara dan observasi sehari-hari dicatat serinci
mungkin dan dikumpulkan sehingga menjadi suatu catatan lapangan.
Semua data kemudian dianalisis secara kualitatif sehingga apa yang
terkandung di balik realitas dapat segera terungkap.
43
Lexy J.Moleong, Metodologi penelitian kualitatif, Bandung :PT Remaja Rosdakarya, 2005,
Hal.188.
49
Proses analisis data secara keseluruhan di mulai dengan menggelar
seluruh data mentah yang tersedia dari berbagai sumber yaitu,
wawancara, pengamatan atau observasi yang ditulis dalam catatan
lapangan dan dokumentasi. Data tersebut kemudian dibaca, dipelajari,
ditelaah, kemudian direduksi atau dipilah sesuai dengan kategori-kategori
tertentu (tema, topik) sehingga mendapatkan gambaran yang jelas.
Selanjutnya, mengabstraksikan data tersebut dengan berpegang pada
keaslian data. Hasil dari abstraksi kemudian dianalisa berdasarkan
kerangka pemikiran, konsep-konsep atau teori-teori yang digunakan
kemudian dideskripsikan, setelah itu baru diinterpretasikan.
50
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Gambaran Umum Kota Makassar
1. Sejarah Kota Makassar
Awal Kota dan bandar makassar berada di muara sungai Tallo
dengan pelabuhan niaga kecil di wilayah itu pada penghujung abad XV.
Sumber-sumber Portugis memberitakan, bahwa bandar Tallo itu awalnya
berada dibawah Kerajaan Siang di sekitar Pangkajene, akan tetapi pada
pertengahan abad XVI, Tallo bersatu dengan sebuah kerajaan kecil
lainnya yang bernama Gowa, dan mulai melepaskan diri dari kerajaan
Siang, yang bahkan menyerang dan menaklukan kerajaan-kerajaan
sekitarnya. Akibat semakin intensifnya kegiatan pertanian di hulu sungai
Tallo, mengakibatkan pendangkalan sungai Tallo, sehingga bandarnya
dipindahkan ke muara sungai Jeneberang, disinilah terjadi pembangunan
kekuasaan kawasan istana oleh para ningrat Gowa-Tallo yang kemudian
membangun pertahanan benteng Somba Opu, yang untuk selanjutnya
seratus tahun kemudian menjadi wilayah inti Kota Makassar.
Pada masa pemerintahan Raja Gowa XVI didirikan Benteng
Rotterdam dibagian utara. Pada masa itu terjadi peningkatan aktifitas
pada sektor perdagangan lokal, regional dan Internasional, sektor politik
serta sektor pembangunan fisik oleh kerajaan. Masa ini merupakan
puncak kejayaan Kerajaan Gowa, namun selanjutnya dengan adanya
51
perjanjian
Bungaya
menghantarkan
Kerajaan
Gowa
pada
awal
keruntuhan. Komoditi ekspor utama Makassar adalah beras, yang dapat
ditukar dengan rempah-rempah di Maluku maupun barang-barang
manufaktur asal Timur Tengah, India dan Cina di Nusantara Barat. Dari
laporan Saudagar Portugal maupun catatan-catatan lontara setempat,
diketahui bahwa peranan penting Saudagar Melayu dalam perdagangan
yang berdasarkan pertukaran surplus pertanian dengan barang-barang
impor itu. Dengan menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil disekitarnya, yang
pada umumnya berbasis agraris pula, maka Makassar meningkatkan
produksi komoditi itu dengan berarti, bahkan, dalam menyerang kerajaankerajaan kecil lainnya.
Hanya dalam seabad saja, Makassar menjadi salah satu kota niaga
terkemuka dunia yang dihuni lebih 100.000 orang. Pada zaman itu jumlah
penduduk Amsterdam, kota terbesar musuh utamanya, baru mencapai
sekitar 60.000 orang. Perkembangan bandar Makasar yang demikian
pesat itu, berkat hubungannya dengan perubahan pada tatanan
perdagangan internasional masa itu. Pusat utama jaringan perdagangan
di Malaka, ditaklukkan oleh Portugal pada tahun 1511. Bahkan ketika
Malaka diambil alih oleh Kompeni Dagang Belanda VOC pada tahun
1641, sekian banyak pedagang Portugis ikut berpindah ke Makassar.
Sampai pada pertengahan abad ke-17, Makassar berupaya
merentangkan kekuasaannya ke sebagian besar Indonesia Timur dengan
menaklukkan Pulau Selayar dan sekitarnya, kerajaan-kerajaan Wolio di
52
Buton, Bima di Sumbawa, Banggai dan Gorontalo di Sulawesi bagian
Timur dan Utara serta mengadakan perjanjian dengan kerajaan-kerajaan
di Seram dan pulau-pulau lain di Maluku. Secara internasional, sebagai
salah satu bagian penting dalam Dunia Islam, Sultan Makassar menjalin
hubungan perdagangan dan diplomatik yang erat dengan kerajaan Banten
dan Aceh, Golconda di India dan Kekaisaran Otoman di Timur Tengah.
Hubungan Makassar dengan Dunia Islam diawali dengan kehadiran
Abdul Ma'mur Khatib Tunggal atau Dato' Ri Bandang yang berasal dari
Minangkabau Sumatera Barat yang tiba di Tallo (sekarang Makassar)
pada bulan September 1605. Beliau mengislamkan Raja Gowa yang keXIV I-Mangngarangi Daeng Manrabia dengan gelar Sultan Alauddin
(memerintah 1593-1639), dan Mangkubumi I Mallingkaang Daeng
Manyonri Karaeng Katangka yang juga sebagai Raja Tallo. Kedua raja ini,
yang mulai memeluk Agama Islam di Sulawesi Selatan. Pada tanggal 9
November 1607, tepatnya hari Jum’at, diadakanlah sembahyang Jum’at
pertama di Mesjid Tallo dan dinyatakan secara resmi penduduk Kerajaan
Gowa-Tallo tetah memeluk Agama Islam. Pada waktu bersamaan pula,
diadakan sembahyang Jum’at di Mesjid Mangallekana di Somba Opu.
Tanggal inilah yang selanjutnya diperingati sebagai hari jadi kota
Makassar sejak tahun 2000, yang sebelumnya hari jadi kota Makassar
jatuh pada tanggal 1 April.
Bagi Sulawesi Selatan, kejatuhan Makassar di tangan federasi itu
merupakan sebuah titik balik yang berarti Bandar Niaga Makassar menjadi
53
wilayah kekuasaan VOC, dan beberapa pasal perjanjian perdamaian
membatasi kegiatan pelayaran antar-pulau Gowa-Tallo dan sekutunya.
Pelabuhan Makassar ditutup bagi pedagang asing, sehingga komunitas
saudagar hijrah ke pelabuhan-pelabuhan lain.
Beberapa dekade setelah pemusnahan kota dan bandar Makassar,
penduduk yang tersisa membangun sebuah pemukiman baru di sebelah
utara bekas Benteng Ujung Pandang. Benteng pertahanan kota lama itu
pada tahun 1673 ditata ulang oleh VOC sebagai pusat pertahanan dan
pemerintahan dan diberi nama barunya Fort Rotterdam. Pemukiman itu
jauh lebih kecil daripada Kota Raya Makassar yang telah dihancurkan.
Pada dekade pertama seusai perang.
Selama dikuasai VOC, Makassar menjadi sebuah kota yang
tertupakan. “Jan Kompeni” maupun para penjajah kolonial pada abad ke19 itu tak mampu menaklukkan jazirah Sulawesi Selatan yang sampai
awal abad ke-20 masih terdiri dari selusinan kerajaan kecil yang
independen
dari
pemerintahan
asing,
bahkan
sering
harus
mempertahankan diri terhadap serangan militer yang ditancurkan
kerajaan-kerajaan itu. Maka, 'Kota Kompeni' itu hanya berfungsi sebagai
pos pengamanan di jalur utara perdagangan rempah-rempah, bentuknya
pun bukan 'bentuk kota', tetapi suatu aglomerasi kampung-kampung di
pesisir pantai sekeliling Fort Rotterdam.
54
Setetah
Pemerintah
Kolonial
Hindia
Belanda
menggantikan
kompeni perdagangan VOC yang bangkrut pada akhir abad ke-18,
Makassar dihidupkan kembali dengan menjadikannya sebagai pelabuhan
bebas pada tahun 1846. Tahun-tahun berikutnya Makassar berkembang
dari sebuah pelabuhan backwater kembali menjadi bandar internasional.
Dengan semakin berputarnya roda perekonornian Makassar,
jumlah penduduknya meningkat dari sekitar 15.000 penduduk pada
pertengahan abad ke-19 menjadi kurang lebih 30.000 jiwa pada awal
abad berikutnya. Makassar abad ke-19 itu dijuluki "kota kecil terindah di
seluruh Hindia-Belanda" (Joseph Conrad, seorang penulis InggrisPotandia), dan menjadi salah satu port of call utama bagi para pedagang
Eropa, India dan Arab dalam pemburuan hasil-hasil hutan yang amat laku
di pasaran dunia maupun perahu-perahu pribumi yang beroperasi di
antara Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku.
Pada awal abad ke-20, Belanda menaklukkan daerah-daerah
independen di Sulawesi. Makassar dijadikan sebagai pusat pemerintahan
kolonial Indonesia Timur. Tiga setengah dasawarsa pemerintahan kolonial
itu adalah masa tanpa perang paling lama yang pernah dialami Sulawesi
Selatan, dan sebagai akibatnya ekonominya berkembang dengan pesat.
Penduduk Makassar dalam kurun waktu itu meningkat sebanyak tiga kali
lipat, dan wilayah kota diperluas ke semua penjuru. Dideklarasikan
sebagai Kota Madya pada tahun 1906, Makassar tahun 1920-an adalah
kota besar kedua di luar Jawa yang membanggakan dirinya dengan
55
sembilan perwakilan asing, sederetan panjang toko di tengah kota yang
menjual barang-barang mutakhir dari seluruh dunia dan kehidupan sosialbudaya yang dinamis dan kosmopolitan.
Perang Dunia Kedua dan pendirian Republik Indonesia sekali lagi
mengubah wajah Makassar. Hengkangnya sebagian besar warga
asingnya pada tahun 1949 dan nasionalisasi perusahaan-perusahaan
asing pada akhir tahun 1950-an menjadikannya sebuah kota provinsi.
Bahkan, sifat asli Makassar pun semakin menghilang dengan kedatangan
warga baru dari daerah pedalaman yang berusaha menyelamatkan diri
dari kekacauan akibat berbagai pergolakan pasca revolusi. Antara tahun
1930-an sampai tahun 1961 jumlah penduduk meningkat dari sekitar
90.000 menjadi hampir 400.000 jiwa, lebih daripada setengahnya
pendatang baru dari wilayah luar kota. Hal ini dicerminkan dalam
penggantian nama kota menjadi Ujung Pandang berdasarkan julukan
”Jumpandang” yang selama berabad-abad lamanya menandai Kota
Makassar bagi orang pedalaman pada tahun 1971. Baru pada tahun 1999
kota ini kembali dinamakan Makassar, tepatnya 13 Oktober berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 1999. Sesuai Undang-Undang
Pemerintahan Daerah luas wilayah Kota Makassar pun bertambah kurang
lebih 4 mil kearah laut, dari sekitar 10.000 Ha, menjadi 27.577Ha.
56
2. Letak Georafis dan Luas Wilayah
Makassar adalah Ibu Kota Provinsi Sulawesi Selatan, yang terletak
dibagian Selatan Pulau Sulawesi. Kota yang dahulu bernama Ujung
Pandang tersebut secara geografis terletak antara 119 0 Bujur Timur dan
50 Lintang Selatan. Batas wilayah Kota Makassar adalah sebagai berikut:
Sebelah Utara
: Kabupaten Pangkep
Sebelah Timur
: Kabupaten Maros
Sebelah Selatan
: Kabupaten Gowa
Sebelah Barat
: Selat Makassar
Luas wilayah Kota Makassar adalah 175,77 km 2 dengan luas laut44
sebesar 29,9 km2. Wilayah ini terbagi menjadi empat belas kecamatan
dan secara keseluruhan terbagi lagi dalam satuan wilayah yang lebih kecil
yaitu dari 143 wilayah kelurahan.
Kode Wil.
44
Kecamatan
Luas Wil. (km2)
Kelurahan
RW
RT
010
MARISO
1,82
9
50
230
020
MAMAJANG
2,25
14
57
292
030
TAMALATE
9,23
10
71
308
011
RAPPOCINI
20,21
10
37
140
040
MAKASSAR
2,52
14
45
159
050
UJUNG PANDANG
2,63
10
58
262
060
WAJO
1,99
8
81
504
070
BONTOALA
2,10
12
51
201
080
UJUNG TANAH
5,94
12
91
445
090
TALLO
5,63
13
101
553
100
PANAKKUKANG
17,05
11
91
420
101
MANGGALA
24,14
6
66
368
Dihitung 12 mil dari daratan
57
110
BIRINGKANAYA
48,22
8
89
480
111
TAMALANREA
31,22
6
82
427
7371
MAKASSAR
175,77
143
971
4789
Sumber : Kantor Walikota Makassar, Bagian Tata Pemerintahan
3. Keadaan Penduduk
Jumlah penduduk Kota Makassar pada tahun 2010 adalah
sebanyak 1.339.374 jiwa dengan laju pertumbuhan 1,67 persen. Dari
jumlah
keseluruhan
penduduk
Sulawesi
Selatan
yang
mancapai
8.032.551 jiwa45, Kota Makassar merupakan daerah dengan jumlah
penduduk terbesar (16,67 %). Kepadatan penduduk di Kota Makassar
mencapai 7620 orang per km2. Dari aspek jenis kelamin, perempuan
masih mendominasi penduduk Kota Makassar. Hasil sensus penduduk
tahun 2010 menunjukkan jumlah pendududk perempuan sebanyak
677.995 jiwa (50,6 %) dan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 661.379
jiwa (49,4 %).
Tamalate menjadi kecamatan dengan populasi penduduk terbesar
di Makassar. Hasil Sensus Penduduk 2010 menujukkan, saat ini Tamalate
berpenduduk 154.464 jiwa. Persentasenya mencapai 11,53 persen dari
total penduduk Makassar yang 1.339.374 jiwa.
4. Agama dan Bahasa
Kota dengan populasi 1.339.374 jiwa ini, mayoritas penduduknya
beragama Islam yang kemudian diikuti dengan agama Kristen, Buddha
dan paling sedikit adalah hindu. Dalam sejarah perkembangan Islam,
45
BPS Kota Makassar 2010
58
Makassar adalah kota kunci dalam penyebaran agama Islam ke
Kalimantan, Philipina Selatan, NTB dan Maluku. Munculnya kasus SARA
di Ambon dan Poso pada beberapa tahun terakhir ini, tidak terlepas dari
peran strategis Makassar sebagai kota pintu di wilayah Timur Indonesia.
Kekristenan di Makassar dalam beberapa tahun terakhir ini sering menjadi
sasaran serbuan.
Perkembangan pembangunan dibidang spiritual dapat dilihat dari
besarnya sarana peribadatan masing-masing agama. Tempat peribadatan
umat Islam berupa mesjid dan mushalla pada tahun 2009 masing-masing
berjumlah 923 buah dan 48 buah. Tempat peribadatan Kristen berupa
gereja masing-masing 137 buah gereja protestan dan 8 buah gereja
katholik.
Tempat
peribadatan
untuk
agama
Budha
dan
Hindu
masingmasing berjumlah 26 buah dan 3 buah.
Bahasa yang digunakan masyarakat sudah sangat beragam, mulai
dari bahasa Makassar, bahasa bugis, bahasa toraja, bahasa mandar,
bahasa jawa dan masih banyak lagi. Namun secara umum masyarakat
menggunakan bahasa Indonesia dalam kegiatan sehari-hari, meskipun
kerap kali masih banyak masyarakat yang mengggunakan bahasa
makasar. Hal tersebut sebab etnis Makassar masih cukup dominan di
Kota Makassar.
59
B. Gambaran Umum Pondok Pesantren Darul Arqam Gombara
Muhammadiyah Makassar
Pondok Pesantren ini berdiri ketika ulama Muhammadiyah
berpandangan
bahwa
Pendidikan
Tarjih
Muhammadiyah
yang
diselenggarakan di jalan Bandang No. 7 C Ujung Pandang (sekarang
Makassar) khususnya di Pimpinan Cabang Muhammadiyah Bontoala tidak
lagi relefan sesuai dengan perkembangan zaman. Olehnya itu tokoh-tokoh
ulama Muhammadiyah sebagai konsultan dakwah pada waktu itu adalah :
1.
DR. S. Madjidi
2.
K.H. Abdul Jabbar Asysyiri
3.
K.H. Fattul Muin Dg. Magading
4.
K.H. Marsuki Hasan
5.
K.H. Bakri Wahid
Tahun 1970 sepakat ulama Muhammadiyah untuk mencari lokasi
Pembinaan Tarjih Muhammadiyah dipindahkan ke luar kota. Dengan
usaha kerja keras itulah membuahkan hasil dengan mendapatkan lokasi
sekarang sebagai sumbangan dari Kepala Daerah Kab. Maros (Bapak
Kasim DM).
Tanggal 14 April 1971 resmi menjadi Pondok Pesantren Darul
Arqam dengan akte notaris No. 22 tanggal 09 Juni 1972. Pada Musyawah
Wilayah Muhammadiyah Wilayah di Limbung Gowa terpilihlah K.H. Abdul
Jabbar Asysyri sebagai Ketua dan Drs. Zainuddin Sialla menjadi
sekretaris.
60
Dalam
rangka
pembinaan
pondok
pesantren,
maka
pada
Musyawarah Wilayah Muhammadiyah di Parepare menetapkan agar
Pondok
Pesantren
Darul
Arqam
Muhammadiyah
menjadi
proyek
Pengkaderan Muhammadiyah. Tanggal 25 Januari 1976 berlangsung
serah terima pesantren dari PCM Bontoala kepada PWM Sul-Selra.
Dalam
perkembangannya,
Pondok
Pesantren
Darul
Arqam
Muhammadiyah Sulawesi Selatan telah mengalami 6 (enam) kali
pergantian kepemimpinan yaitu :
1.
K.H. Abdul Jabbar Asysyiri tahun 1971 s/d 1987. (almarhum)
2.
K.H. Drs. Makmur Ali tahun 1987 s/d 1992. (almarhum)
3.
H. Iskandar Tompo tahun 1992 s/d 1993.
4.
K. H. Andi Bakri Kasim tahun 1993 s/d 1994.
5.
K. H. Muchtar Waka, BA. 1994 s/d 2007
6.
DR. K.H. Mustari Bosra, MA. 2007 – sekarang
Identitas Pesantren
Nama : Pondok Pesantren Darul Arqam Gombara Muhammadiyah
makassar
Alamat : Jalan Prof. Dr. Ir. Sutami, poros tol Makassar – Maros, Kelurahan
Pai, Kecamatan Biringkanata, Kota Makassar.
Penyelenggara : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Majelis Dikdasmen
Sulawesi Selatan
61
Misi : menjadi pondok pesantren terkemuka di Indonesia dalam membina
kader persyarikatan yang berakhlak mulia, cakap, percaya pada diri
sendiri dan berguna bagi masyarakat bangsa dan negara.
Visi :
1. Memperkokoh landasan ketakwaan dengan mewujudkan kesalehan yang
dijiwai Tauhid dan Semangat Amar Ma’ruf dan Nahi Mungkar.
2. Mengoptimalkan pengembangan bakat dan keunggulan secara intensif
dan komprehensif yang dilandasi tradisi keilmuan dan kintelektualan.
3. Mempertajam semangat kepeloporan dan kepemimpinan yang dilandasi
Akhlaqul Karimah dan Keikhlasan.
4.
Membangun semangat kemandirin dan etos kerja yang dilandasi
berbagai keterampilan dan penguasaan teknologi.
62
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pola orientasi dan sikap politik santri
Pada bab ini akan membahas secara mendalam tentang pola
orientasi dan sikap politik santri yang dipengaruhi oleh orientasi individu
dalam memandang obyek-obyek politik. Almond dan Verba mengajukan
klasifikasi tipe-tipe orientasi politik, yaitu : komponen kognitif, afektif, dan
evaluatif. Serta perilaku politik budaya politik para santri.
Budaya politik adalah keseluruhan dari pandangan-pandangan
politik, seperti norma-norma, pola-pola orientasi terhadap politik dan
pandangan hidup pada umumnya. Budaya politik mengutamakan dimensi
psikologis dari suatu sistem politik, yaitu sikap-sikap, sistem-sistem
kepercayaan, simbol-simbol yang dimiliki oleh individu-individu yang
beroperasi di dalam seluruh masyarakat.
Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua yang
merupakan produk budaya Indonesia. Pesantren merupakan lembaga non
formal tertua dalam tradisi pendidikan agama Islam di Indonesia, dimana
pesantren tempat membina, mendidik santri sehingga mampu dan ahli
dalam agama sekaligus menjadi manusia yang memanusiakan manusia
(Pakuhumanika). Selain itu, pesantren mampu menjadi agen perubahan
sosial dalam pembangunan masyarakat. Hal tersebut semata-mata
karena kedekatannya dengan masyarakat yang mengakar dan sampai
63
sekarangpun pesantren tetap menarik untuk diteliti dan dikaji. Keberadaan
Pesantren di Indonesia dimulai sejak Islam masuk negeri ini dengan
mengadopsi sistem pendidikan keagamaan yang sebenarnya telah lama
berkembang sebelum kedatangan Islam. Sebagai lembaga pendidikan
yang telah lama berurat akar di negeri ini, pondok pesantren diakui
memiliki andil yang sangat besar terhadap perjalanan sejarah bangsa. Ini
juga diungkapkan Ustad. Arsyad :
“Pesantren adalah tempat menimba sekaligus memperdalam ilmu
keagamaan (Islam) pesantren masih menjadi rujukan bagi siapapun
yang ingin mendalami ilmu keagamaannya dan pesantren juga
memiliki peran dalam kemerdekaan Indonesia.”46
Pesantren juga sebagai penjaga moral “moral force” dan kepatuhan
umat/masyarakat dalam menjalani kehidupan di dunia, karena kharisma
seorang kyai/ulama. Pesantren merupakan sebuah pendidikan Islam yang
mempunyai
budaya
tersendiri,
berperan
penting
dibidang
sosial
keagamaan. Pesantren merupakan pusat perubahan dibidang pendidikan,
politik, budaya, sosial, dan keagamaan, bahkan pada perkembangan
selanjutnya
pesantren
juga
dapat
menjadi
salah
satu
pusat
pengembangan masyarakat di bidang ekonomi. Pesantren membawa misi
dakwah, karena didalamnya banyak santri yang datang untuk mendalami
ilmu pengetahuan agama yang kemudian mereka akan menyebar
keseluruh pelosok masyarakat untuk menyebarkan ajaran agama Islam
dengan binaan aqidah dan spirit amal serta bermoral baik hingga tercipta
46
Wawancara dengan Ustad. Arsyad sebagai Pengajar di pondok pesantren Darul Arqam
Gombara Muhammadiyah Makassar, 15 November 2011 pukul 15.00 wita
64
kondisi yang stabil, aman dan nyaman, sejahtera dunia akhirat. Menurut
Cliffort Geertz pondok atau biasa disebut pesantren merupakan pusat
sistem sekolah tradisional, sebuah pondok terdiri dari seorang gurupemimpin umumnya seorang haji, yang disebut kyai, dan sekelompok
murid laki-laki yang berjumlah antara tiga atau empat ratus sampai seribu
orang yang disebut santri.
Orientasi dan sikap politik santri bersumber dari dua pandangan
dasar. Pertama, melihat dunia politik sebagai wilayah yang terbuka bagi
partisipasi publik tanpa memandang kualitas keberagamaan. Kedua,
melihat dunia politik sebagai realisasi kebenaran agama yang absolut dan
hanya dikuasai sekelompok elit keagamaan dengan beragam sebutan
seperti ulama, wilayatul faqih atau ahlul halil wal aqdi. Berdasarkan
pandangan kedua, partisipasi publik dalam pengambilan keputusan politik
hanya melalui wilayah elit keagamaan yang di Indonesia dikenal dengan
sebagai kelas kiai dan ulama atau pemimpin gerakan Islam. Inilah
penyebab sulitnya santri berkomunikasi terbuka dan dialogis dengan
publik.
A. Pola Orientasi Dalam Komponen Kognitif
Pengetahuan
santri
terhadap
jalannya
sistem
politik
dapat
dikatakan cukup baik. Hal tersebut dapat terlihat dari jawaban para
informan pada saat wawancara mengenai dasar Negara Kesatuan
Republik Indonesia, seperti yang diungkapkan DR. K.H. Mustari Bosra,
MA:
65
“Kami mengamalkan ajaran dan hukum Islam dalam setiap
kegiatan, namun
sebagai warga Indonesia kami juga tetap
menghargai dan mengamalkan Pancasila.” 47
Dari pernyataan tersebut dapat dilihat bahwa sebagai seorang yang
taat dalam beragama, dalam hal ini agama Islam, santri pun taat akan
hukum-hukum negara Indonesia, karena berada dalam wilayah Kesatuan
Republik Indonesia dan merupakan warga negara Indonesia. Pancasila
merupakan dasar negara yang dapat dipakai sebagai nilai universal
pemersatu baik yang seagama maupun berbeda agama. Hal senada juga
diungkapkan oleh Ustad. Ridwan :
“Pancasila adalah falsafah bangsa Indonesia, Pancasila adalah alat
pemersatu bangsa, di dalamnya terdapat nilai kemanusiaan, dan
saling menghormati, tenggang rasa antar sesama, walaupun
berbeda agama”48
Dalam bingkai sistem politik Indonesia arah, tujuan, serta cita-cita
berpusat pada poros Pancasila dan UUD 1945 sebagai payung hukum di
Indonesia yang harus ditaati semua elemen masyarakat Indonesia, ini
dilakukan agar tidak sewenang-wenang dalam kebebasan berpolitik.
Seperti yang diungkapkan Farida :
“menurut saya Pancasila merupakan dasar negara Indonesia yang
didalamnya banyak mengandung nilai-nilai dasar yang dijadikan
sebagai pedoman oleh bangsa Indonesia dalam melaksanakan
kehidupan bangsa sedangkan UUD itu sumber hukum yang berlaku
di negara ini yang terdiri dari beberapa pasal dan bab dan
47
Wawancara dengan DR. K.H. Mustari Bosra, MA selaku pimpinan pondok pesantren Darul
Arqam Gombara Muhammadiyah Makassar, 16 November 2011, Pukul 10.35 Wita
48
Wawancara Ustad. Ridwan selaku pengajar pondok pesantren Darul Arqam Gombara
Muhammadiyah Makassar, 15 November 2011, Pukul 13.48 Wita
66
mencakup semua aspek hukum yang berlaku di dalam negara yang
isinya dapat diamandemen” 49
Dari jawaban tersebut dapat dilihat bahwa santri di pesantren
memiliki pengetahuan yang cukup baik mengenai Pancasila dan UndangUndang Dasar (UUD). Penulis menganggap penting menanyakan
mengenai konstitusi karena konstitusilah yang mengatur secara mengikat
cara-cara pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat dan ide
pokok
dari
konstitusi
adalah
bahwa
pemerintah
perlu
dibatasi
kekuasaannya, agar penyelenggaraan negara tidak bersifat sewenangwenang.
Pemahaman santri terhadap jalannya sistem politik juga dapat
dikatakan cukup baik. Hal tersebut juga dapat terlihat dari jawaban para
informan pada saat wawancara mengenai pemerintah khususnya
Presiden, misalnya wawancara dengan Muhammad Ahkam Basir sebagai
berikut:
“menurut saya presiden harusnya menjalankan tugasnya dengan
baik, yaa karena baik buruknya Indonesia salah satunya juga
berasal dari tangan presiden dan bahkan presiden sangat berperan
penting dalam perbaikan Indonesia”50
Kepemimpinan
merupakan
faktor
penting
di
dalam
penyelenggaraan negara. Presiden sebagai pemimpin suatu negara harus
dapat menjadi teladan atau contoh yang baik bagi rakyat yang
dipimpinnya. Hal ini adalah hal dasar kepemimpinan dalam Islam. Seperti
49
Wawancara dengan Farida, Santriwati di pondok pesantren Darul Arqam Gombara
Muhammadiyah Makassar, 17 November 2011, Pukul 09.32
50
Wawancara dengan Muhammad Ahkam Basir, Santri di pondok pesantren Darul Arqam
Gombara Muhammadiyah Makassar, 18 November 2011, Pukul 11.45 Wita
67
yang diungkapkan Fitriani mengenai contoh Presiden Indonesia yang tidak
menjalankan tugasnya dengan baik:
“pertama dia tidak mengawasi menterinya dengan baik sehingga
menterinya itu lalai dalam menjalankan tugas, kemudian dia korupsi
dan presiden tidak mengatasi masalah ekonomi padahal rakyat
miskin juga punya hak untuk makmur”51
Berdasarkan jawaban kedua informan tersebut, dapat dilihat betapa
pentingnya peran kepala negara dalam mewujudkan kesejahteraan bagi
rakyatnya. Jika tugas presiden adalah menjalankan amanat UndangUndang, maka jawaban santri di atas memperlihatkan pemahamannya
terhadap tugas presiden.
Walaupun begitu tidak mengherankan bila ada pondok pesantren
yang menganut sistem Islam radikal yang membatasi diri dari lingkungan
luar dan memisahkan antara agama dengan politik. Pemikiran radikal
dalam konsep keagamaan lebih kepada sistem dan ajaran yang dianut
dalam Islam, seperti yang diungkapkan DR. K.H. Mustari Bosra, MA:
“ ....saya tidak memungkiri ada beberapa pondok pesantren yang
memiliki sistem tertutup dengan konsep radikal Islam, yang hanya
fokus pada ajaran Islam, namun disini kami membuka diri keluar
untuk bisa bersosialisasi dengan pengetahuan luar, salah satunya
tentang kewarganegaraan dan politik, namun kami tetap
memegang ajaran Islam sebagai pedoman yang hakiki, dan
pengetahuan dari luar kami ambil yang positifnya”52
Pesantren pada mulanya merupakan pusat penggemblengan nilainilai dan penyiaran agama Islam Namun, dalam perkembangannya,
51
Wawancara dengan Fitriani, Santriwati di pondok pesantren Darul Arqam Gombara
Muhammadiyah Makassar, 18 November 2011, Pukul 10.35 Wita
52
Wawancara dengan DR. K.H. Mustari Bosra, MA selaku pimpinan pondok pesantren Darul
Arqam Gombara Muhammadiyah Makassar, 16 November 2011, Pukul 10.35 Wita
68
lembaga ini semakin memperlebar wilayah garapannya yang tidak melulu
mengakselerasikan mobilitas vertical (dengan penjejalan materi-materi
keagamaan),
tetapi
juga
mobilitas
horizontal
(kesadaran
sosial).
Pesantren kini tidak lagi berkutat pada kurikulum yang berbasis
keagamaan (regional-based curriculum) dan cenderung melangit, tetapi
juga kurikulum yang menyentuh persoalan kekinian masyarakat (societybased curriculum). Hal senada diungkapkan Anissa:
“dalam proses belajar mengajar di pesantren orang mengira kita
hanya belajar agama, mengaji dan sholat, memang itu menjadi
kegiatan utama kita, tapi di pesantren kita juga diajarkan ilmu
pengetahuan seperti sekolah biasanya.”53
Sehingga pesantren tidak bisa lagi didakwa semata-mata sebagai
lembaga keagamaan murni, tetapi juga (seharusnya) menjadi lembaga
sosial yang hidup yang terus merespon carut marut persoalan masyarakat
di sekitarnya. Pondok Pesantren di Indonesia memiliki peran yang sangat
besar, baik bagi kemajuan Islam itu sendiri maupun bagi bangsa
Indonesia secara keseluruhan. Menyadari hal itu, pesantren memiliki
peran yang sangat strategis. Sebab, unsur-unsur pesantren yang ada di
dalamnya mempunyai peranan penting dalam kehidupan masyarakat.
Sedangkan kepercayaan santri terhadap jalannya sistem politik
dapat dikatakan cukup beragam. Ada yang percaya, namun ada juga yang
tidak menaruh kepercayaan terhadap sistem politik yang ada dalam hal ini
harapannya terhadap pemerintah. Hal tersebut dapat terlihat dari jawaban
53
Wawancara dengan Anissa, Santriwati di pondok pesantren Darul Arqam Gombara
Muhammadiyah Makassar, 17 November 2011, Pukul 10.35 Wita
69
para informan pada saat wawancara, misalnya wawancara dengan M.
Arsal seperti berikut:
“saya tidak percaya dengan hal itu, harapan saya pemerintah dapat
memakmurkan rakyatnya, tetapi ditempat saya tinggal masih ada
orang tua yang tidak mampu menyekolahkan anaknya”54
Harapan
besar
santri
terhadap
pemerintah
untuk
dapat
memakmurkan rakyatnya merupakan hal yang wajar, melihat sumber daya
alam Indonesia yang besar. Hal ini seharusnya dapat memberikan
kemudahan pendidikan bagi rakyat kecil. Ada juga ungkapan Asri Asis
mengenai kepercayaannya mengenai PEMILU (Pemilihan Umum) sebagai
berikut:
“saya cukup percaya karena rakyat dapat memilih langsung
pemimpin yang mereka sukai”55
Dari jawaban di atas dapat dilihat bahwa santri memiliki tingkat
pengetahuan dan pemahaman yang cukup tinggi sehingga dapat
menghasilkan kepercayaan maupun ketidakpercayaan terhadap sistem
politik yang ada. Namun sangat disayangkan apabila santri tidak ikut serta
terhadap jalannya sistem politik.
Ada juga santri yang tidak yakin terhadap jalannya sistem politik
dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal ini diungkapkan
54
Wawancara dengan M. Arsyal Santri di pondok pesantren Darul Arqam Gombara
Muhammadiyah Makassar, 19 November 2011, Pukul 14.55 Wita
55
Wawancara dengan Asri Asis, Santri di pondok pesantren Darul Arqam Gombara
Muhammadiyah Makassar, 20 November 2011, Pukul 08.34 WITA
70
secara terang-terangan oleh salah seorang santri dalam wawancara,
misalnya wawancara dengan Abdurrahman seperti berikut:
“saya tidak yakin kak, karena yang saya tahu mereka hanya hidup
mewah dengan menuntut kenaikan gaji dan kenyamanan dari
negara. Baru-baru ini juga dikoran saya baca ada anggota dewan
yang terkena kasus korupsi”56
Berdasarkan jawaban informan tersebut, dapat dilihat bahwa gaya
hidup anggota dewan yang berlebihan dan adanya anggota dewan yang
terlibat kasus korupsi menimbulkan ketidakyakinan didalam diri santri. Hal
tersebut sejalan dengan kehidupan santri yang mereka jalani dengan
kesederhanaan dan pembelajaran tentang nilai-nilai agama yang mereka
terima setiap harinya tidak sesuai dengan adanya anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) yang terlibat kasus korupsi.
B. Pola Orientasi Dalam Komponen Afektif
Komponen Afektif berhubungan dengan kehidupan emosional
seseorang menyangkut perasaan individu terhadap objek sikap dan
menyangkut masalah emosi. Afektif atau sikap adalah respon yang
dikeluarkan seseorang terhadap apa yang terjadi dalam hal ini sikap
terhadap sistem politik. Seperti yang dikatakan David Easton dalam teori
sistem politik, ada input yang berupa masukan dan tuntutan yang akan
kemudian di konversi menjadi output berupa kebijakan. Lingkungan akan
melihat positif atau negatif, jika lingkungan berpandangan positif terhadap
56
Wawancara dengan Abdurrahman, santri di Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah
Makassar, 21 November 2011, pukul 15.38 WITA
71
kebijakan maka akan mendukung kebijakan, tetapi jika lingkungan
berpandangan negatif maka akan melahirkan tuntutan/protes dan
implementasi kebijakan dapat dinyatakan gagal.
Teori Sistem politik
Almond pun memandang bahwa sikap politik dipengaruhi oleh lingkungan
yang terbias menjadi perilaku politik.
Perasaan santri di Pondok Pesantren Darul Arqam terhadap
jalannya sistem politik khususnya mengenai kebijakan yang diambil oleh
pemerintah dalam menaikkan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) adalah
timbulnya perasaan kecewa. Hal tersebut diungkapkan Riskawati seperti
berikut:
“saya sangat kecewa kak, BBM itukan dibutuhkan sama semua
masyarakat kalau itu mahal mungkin yang lain juga jadi ikut mahal.
Jadinya orang yang susah jadi tambah susah” 57
Dari jawaban tersebut dapat dilihat bahwa perasaan kecewa yang
timbul dalam diri santri diakibatkan oleh perasaan simpatik terhadap
masyarakat, khususnya yang miskin. Kenaikan BBM (bahan bakar
minyak) yang merupakan kebutuhan sehari-hari masyarakat pada
umumnya sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat.
Perasaan berbeda juga diungkapkan santri mengenai kinerja
anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) yang menjalankan kewajiban
serta tugas-tugasnya dengan baik. Hal tersebut dapat dilihat dari
ungkapan salah seorang informan, yakni Yusuf seperti berikut :
57
Wawancara dengan Riskawati, santriwati di Pondok Peasantren Darul Arqam Muhammadiyah
GombaraMakassar, 22 November 2011, pukul 09.43 WITA
72
“saya senang dan bangga melihat dan mendengar ada anggota
DPR yang bekerja dengan sungguh-sungguh untuk kepentingan
rakyat”58
Dari pandangan kedua informan tersebut di atas dapat dilihat
bahwa apabila santri dihadapkan pada jalannya sistem politik yang
menghasilkan sesuatu yang merugikan masyarakat banyak, maka yang
timbul adalah perasaan negatif seperti misalnya kekecewaan terhadap
Pemerintah. Sebaliknya apabila dihadapkan pada jalannya sistem politik
yang menghasilkan sesuatu yang baik bagi masyarakat, maka akan
menghasilkan perasaan positif misalnya senang dan bangga.
Perasaan positif dan negatif yang timbul dalam diri santri dapat
menentukan orientasi politiknya. Dengan munculnya perasaan positif pada
diri santri maka akan menimbulkan “rasa percaya” (trust) dan sebaliknya
jika perasaan negatif yang muncul maka akan menimbulkan rasa
“permusuhan” (hostility). Almond dan Powell mencatat bahwa aspek
penting yang menentukan orientasi politik seseorang, adalah hal-hal yang
berkaitan dengan “rasa percaya” (trust) dan “permusuhan” (hostility).
C. Pola Orientasi Dalam Komponen Evaluatif
Sekarang penulis telah sampai pada komponen terakhir dari
budaya politik yaitu orientasi evaluatif. Dari komponen inilah dapat
ditentukan tipe dari budaya politik yang ada pada santri di Pondok
Pesantren Darul Arqam Gombara Muhammadiyah Makassar.
58
Wawancara dengan Yusuf, santri di Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Gombara
Makassar, 23 November 2011, pukul 08.21 WITA
73
Penulis mulai dengan menanyakan mengenai dukungan santri
terhadap PEMILU (Pemilihan Umum) yang merupakan salah satu bagian
dari sistem politik yang ada di Indonesia. Dari hasil PEMILU (Pemilihan
Umum) yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan
kebebasan
berpendapat
dan
kebebasan
berserikat,
diharapkan
mencerminkan partisipasi serta aspirasi masyarakat dalam hal ini santri.
Wawancara dengan Lukman Azis:
“saya dukung kak. Kalau yang terpilih adalah orang yang jujur, adil
dan amanah. Tetapi kalau yang terpilih orang yang suka korupsi
sebaiknya tidak usah ada PEMILU”59
Dari jawaban santri di atas dapat dilihat bahwa dukungan akan
diberikan apabila hasil dari PEMILU itu sesuai dengan apa yang
diharapkan santri yaitu terpilihnya pemimpin yang jujur, adil dan amanah.
Dimana hasil dari PEMILU yang diharapkan santri sangat dekat dengan
nilai-nilai yang ada dalam ajaran Islam yang santri pelajari setiap harinya.
Hal ini membuktikan bahwa pengaruh dari Islam terhadap santri bisa
dikatakan cukup kuat.
Kaitan dengan budaya politik Almond dan Verba , pada umumnya
kecenderungan budaya politik santri masih tergolong Budaya politik
subyek/kaula memiliki frekuensi orientasi-orientasi yang tinggi terhadap
sistem politiknya, namun perhatian dan intensitas orientasi mereka
terhadap aspek masukan (input) dan partisipasinya dalam aspek keluaran
59
Wawancara dengan Lukman Azis, santri di Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah
Gpmbara Makassar, 24 November 2011, pikul 09.56 WITA
74
(output) sangat rendah. Subjek individual menyadari akan otoritas
pemerintah
yang
memiliki
spesialisasi,
ia
bahkan
secara
afektif
mengorientasikan diri kepadanya, ia memiliki kebanggaan terhadapnya
atau sebaliknya tidak menyukainya, dan ia menilainya sebagai otoritas
yang absah. Namun demikian, posisinya sebagai subyek (kaula) mereka
pandang sebagai posisi yang pasif. Di yakini bahwa posisinya tidak akan
menentukan apa-apa terhadap perubahan politik. Lebih lanjut penulis
kemudian menanyakan mengenai apa yang dapat santri lakukan untuk
menginterpretasikan dukungan maupun penolakan terhadapa jalannya
sistem politik, dalam hal ini Pemerintah dan DPR. Jawaban santri ini
semakin memperjelas tipe dari budaya politik yang dianut oleh santri,
seperti yang diungkapkan Abd. Jabbar:
“apa ya kak, saya rasa tidak ada yang dapat saya lakukan. Yaa
mungkin karena keadaan kami yang berada di dalam pesantren
yang tidak memungkinkan untuk menyampaikan aspirasi dan juga
kami masih setingkat pelajar mungkin kalau jadi mahasiswa baru
bisa”60
Berdasarkan jawaban santri tersebut dapat dilihat bahwa santri
tidak dapat melakukan apa-apa terhadap kebijakan yang diambil
Pemerintah maupun DPR. Hal ini diakibatkan oleh kondisi santri yang
berada di dalam pesantren yang mereka anggap tidak memungkinkan
untuk menyampaikan aspirasi dan juga posisi santri yang setingkat pelajar
60
Wawancara dengan Abd. Jabbar sebagai santri di pondok pesantren Darul Arqam Gombara
Muhammadiyah Makassar, 25 November 2011, pukul 13.45 WITA
75
mereka anggap sebagai posisi yang tidak tepat untuk menyampaikan
aspirasi terhadap kebijakan negara.
Ada juga santri yang berpendapat bahwa walaupun mereka
berusaha untuk bertindak tidak akan mempengaruhi atau mengubah
kebijakan yang telah diambil oleh negara. Sebab keadaan mereka
sebagai santri yang tinggal di pondok pesantren, sehingga tidak mampu
berbuat apa-apa tanpa ijin dari pimpinan pondok pesantren. Seperti yang
diungkapkan Firdaus:
“biarpun kita keluar kak untuk misalnya menyampaikan aspirasi
saya yakin tidak bermanfaatji, karena kita cuma santri apalagi
tanpa ijin dari Kiai tidak mampuki berbuat apa-apa.” 61
Mereka beranggapan bahwa dirinya adalah subyek yang tidak
berdaya untuk mempengaruhi atau mengubah sistem. secara umum
mereka menerima segala keputusan dan kebijaksanaan yang diambil oleh
pejabat yang berwenang dalam masyarakat.
Keberadaan kiai atau ulama di Pondok Pesantren Darul Arqam
Gombara Muhammadiyah Makassar sebagai tokoh otoritatif adalah unsur
penting pendidikan pesantren
yang sejatinya
adalah
juga unsur
pendidikan Islam. Dalam tradisi kehidupan sosial di lingkungan umat
Islam, hirarki wewenang dan status sosial dipengaruhi oleh tingkat
pengetahuan ke Islaman seseorang dan kemampuan orang tersebut yang
disebut
ulama
dalam
mengkomunikasikan
dan
mensosialisasikan
61
Wawancara dengan Firdaus sebagai santri di pondok pesantren Darul Arqam Gombara
Muhammadiyah Makassar, 26 November 2011, pukul 17.01 WITA
76
pengetahuannya tersebut kepada umat dan masyarakat. Ulama, sebagai
elit santri adalah orang yang memiliki status sosial dengan suatu
kedudukan yang tinggi dalam struktur masyarakat Islam. Ulama dalam
kehidupan sosial kemasyarakatan seringkali disebut kyyai, khatib,
mubaligh, atau guru ngaji. Berbagai keputusan tindakan masyarakat
seringkali diserahkan dan lebih banyak ditentukan oleh ulama sebagai
referensi tindakan sosial.
Begitu pula dengan keputusan-keputusan politik dalam kehidupan
masyarakat pesantren lebih banyak dipengaruhi dan ditentukan oleh
peran seorang kyai. Hal senada juga diungkapkan Rahmat:
“Bagi kami Kyai itu pemimpin, dan apapun yang dikatakannya kami
akan ikuti, karena bagi kami Kiai adalah teladan.”62
Bagi santri ketaatan terhadap Kiai merupakan kewajiban, apapun
perintah kiai harus dilaksanakan. Kiai dianggap memiliki pengetahuan dan
pemahaman agama yang luas serta memiliki keutamaan akhlak sehingga
dapat menjadi teladan bagi santri dan masyarakat di sekitar pesantren, ini
juga diungkapkan Ustad Ridwan:
“Karena kyai, sebagai pengasuh pesantren, mempunyai karisma
yang luar biasa di mata santri dan masyarakat sekitarnya. Dalam
kiai memegang monopoli interpretasi atas dunia di luar pesantren
dan monopoli suara kolektif pesantren ke dunia luar. Dengan
berbasis keagamaan santri dan masyarakat akan mendengar titah
dan patuh (sam’an wa thaatan) kepada kiai.”63
Menurut teori Coser bahwa legitimasi kepemimpinan kharismatik
bisa lebih kokoh daripada bentuk kepemimpinan birokratif yang cenderung
62
Wawancara dengan Rahmat, santri di pondok pesantren Darul Arqam Gombara
Muhammadiyah Makassar, 27 November 2011, Pukul 11.00 Wita
63
Wawancara Ustad. Ridwan selaku pengajar pondok pesantren Darul Arqam Gombara
Muhammadiyah Makassar, 28 November 2011, Pukul 13.48 Wita
77
legal dan formalistik. Legitimasi ini berperan aktif bahkan mendominsai
kepemimpinan terutama dalam masyarakat tradisional. Dimana struktur
dan strata sosial sangat menggema. Apalagi masyarakat tradisional
dikenal sebagai masyarakat yang terikat dalam klaim patron-client. Polapola
pengaruh
pemimpin
kharismatik
banyak
didasarkan
kepada
kepemilikan kekuasaan sosial. Dalam teori sosiologi kekuasaan sosial ini
dirumuskan sebagai kemampuan untuk mengontrol pihak lain. Kekuasaan
sosial ini juga sering dikaitkan dengan wewenang (authority) atau
pengaruh (influence).
Kepemimpinan seorang kyai dalam kehidupan pesantren sangat
unik, dalam arti mempertahankan ciri-ciri pramodern, sebagaimana
hubungan pemimpin-pengikut yang didasarkan atas sistem kepercayaan
dibandingkan hubungan patron-klient yang sebagaimana diterapkan
dalam masyarakat pada umumnya. Para santri menerima kepemimpinan
kyainya karena mereka mempercayai konsep barokah, yang berdasarkan
pada “doktrin emanasi” dari para sufi. Ketaatan serta harapan para santri
untuk mendapatkan barokah dari kyai menjadikan pola kehidupan politik
para santri menjadi sangat monolitik namun disisi lain fenomena demikian
menjadi sangat berarti bagi para santri yang mempunyai kemampuan
secara politis untuk bisa masuk di ruang publik.
78
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pesantren memiliki peran signifikan dalam proses pembentukan
budaya bangsa, termasuk sektor pendidikan. Pesantren tidak hanya
mengambil peran budaya lokal, tetapi juga budaya nasional. Telah terjadi
perubahan-perubahan
fungsi
Pondok
Pesantren
dalam
kerangka
pengembangan kebudayaan nasional. Pondok pesantren yang semula
hanya berfungsi sebagai pusat pengembangan budaya yang bernafaskan
tasawuf yang bersekala kecil dan lokal, berubah menjadi sentral
pengembangan budaya bersekala besar, nasional bahkan global. Di
kalangan kiai juga terjadi perubahan, dari figur kiai yang pengasah dan
pengasuh santri di pondok pesantren menjadi kiai agung menjadi politikus
dan birokrat yang terkadang ada kesan tugas kekiyaiannya terabaikan.
Pada bagian ini akan diuraikan kesimpulan dari budaya politik
santri pada pondok pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Gombara
Makassar. Kesimpulan yang diuraikan meliputi tipe budaya politik yang
diajukan oleh Gabriel Almond dan Sidney Verba.
Budaya politik santri sangat dipengaruhi oleh orientasi politik yaitu
afektif, kognitif dan evaluatif. Dimana ketiga komoponen ini saling
mempengaruhi sehingga menghasilkan tipe budaya politik yaitu subyek
atau biasa juga disebut kaula. Hasil ini berdasarkan wawancara dengan
79
santri di Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Gombara
Makassar.
Dari hasil wawancara tersebut santri di Pondok Pesantren Darul
Arqam Muhammadiyah Gombara Makassar memiliki frekuensi orientasi
yang relatif tinggi terhadap pengetahuan sistem politik secara umum dan
objek pemahaman mengenai pembuatan kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah dan merasa mereka adalah bagian dari warga suatu negara.
Mereka juga memberikan perhatian yang cukup besar terhadap politik
tetapi sifatnya pasif. Disaat yang sama ketika keluar kebijakan negara
yang menurut mereka tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat
banyak, mereka kemudian merasa lemah dan tidak dapat berbuat apaapa. Mereka meyakini bahwa posisinya tidak akan menetukan apa-apa
terhadap perubahan politik dan juga beranggapan bahwa dirinya adalah
subyek yang tidak berdaya untuk mempengaruhi ataupun mengubah
sistem. Dengan demikian secara umum mereka menerima segala
keputusan yang diambil dari segala kebijaksanaan pejabat bersifat mutlak,
tidak dapat diubah-ubah, dikoreksi, apalagi ditentang. Bagi mereka yang
prinsip adalah mematuhi perintahnya, menerima, loyal, dan setia terhadap
anjuran, perintah, serta kebiaksanaan pimpinannya dalam hal ini Kiai.
80
B. Saran
Setelah melakukan penelitian selama kurang dari satu bulan dengan
berbagai temuan di lapangan, maka penulis memberikan beberapa saran
terkait dengan budaya politik santri yakni :
1. Konsistensi pesantern sebagai dari agen sosialisasi nilai-nilai politik
harus selalu peka terhadap dinamika perkembangan yang terjadi
dengan tetap tidak mengabaikan peran dan fungsi pesantren yang
sesungguhnya, karena itu sosialisasi yang dilakukan harus
mengupayakan pendidikan yang berorientasi pada kesadaran
politik. Disamping itu para santri harus lebih difasilitasi, sehingga
pesantren mampu mencetak santri yang lebih egalitarian, rasional,
independen, kritis, kredibel, dan aktif di masyarakat agar nilai-nilai
budaya pesantren sebagai Grand Design Culture untuk mewarnai
kehidupan politik masyarakat akan terlefeksi secara realistik
(waqi’iyah) sesuai ajaran Islam yang rahmatan lil’ alamin.
2. Sistem pendidikan pesantren harus selalu berupaya melakukan
rekonstruksi pemahaman terhadap ajaran yang dilakukan agar
tetap relevan dan survive menghadapi perkembangan zaman,
bahkan lebih lanjut pesantern harus mampu mewujudkan sistem
sinergik, yakni sistem yang memadukan akar tradisi dan
modernitas. Jika ini berhasil dilakukan hubungan pesantren
dengan dunia lain pun sinergik.
81
3. Kyai sebagi pusat kendali (centra figure) pesantren, harus tetap
menjadi benteng aktif yang membina, mendidik, mengayomi, dan
mengawal umat dalam implementasi nilai-nilai politik yang memiliki
entitas ajaran Islam dalam setiap kehidupan, termasuk dalam
dinamika atmosfer politik.
4. Santri harus termotivasi untuk belajar memupuk wawasan yang
mendalam tentang politik, aktif berorganisasi agar memangkas
budaya “minder”, sehingga memiliki orientasi yang jelas dengan
dibuktikan dengan gerakan politik aktif ketika berkiprah dalam
kepemimpinan akan mampu menciptakan kultur yang the man on
righ place, baik kepemimpinan masyarakat lokal maupun dalam
skala yang lebih luas.
5. Pemerintah harus lebih proaktif dan serius dalam menjaga nilai-nilai
kultur pesantren. Hal ini dianggap perlu karena pesantren memiliki
peranan
besar
dalam
peranan
politik
memperjuangkan
kemerdekaan bangsa.
6. Partai Politik, budayawan, pakar politik dan akademisi yang
beragama Islam harus lebih banyak mengkaji kultur pesantren
yang merupakan bagian dari agen sosialisasi nilai-nilai politik
dalam kaitan dengan pendidikan politik, sehingga hubungan
pesantren dengan lembaga lain saling memberikan masukan
dalam upaya membangun bangsa dengan kultur ke-Indonesia-an.
82
Download