BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam dunia ilmu sosial, kebudayaan umumnya diperlakukan sebagai suatu variabel independen dan kontekstual yang berguna untuk menerangkan variasi-variasi perilaku diantara kelompok-kelompok masyarakat. Hubungan ilmu politik dari pendekatan ini terdapat pada karya tulis Gabriel Almond dan Sidney Verba, The Civic Culture, sebuah analisis komparatif lima negara mengenai hubungan antara sikap rakyat terhadap politik dan demokrasi yang stabil. Pendekatan ini diterapkan kepada Dunia Ketiga dan amat berpengaruh di dalam buku Lucian Pye dan Sidney Verba yaitu, Political Culture and Political Development. Pye menulis: Pandangan budaya politik adalah sikap, sentimen, dan kesadaran yang memberi informasi serta mengatur perilaku politik di dalam setiap kelompok masyarakat adalah bukan hanya kumpulan sembarangan, tetapi mewakili pola-pola yang koheren, yang sama-sama sesuai dan saling memperkuat.1 Budaya politik merupakan bagian dari kehidupan politik, walaupun sementara pihak seringkali memandang budaya politik tak lebih hanya sebagai kondisi-kondisi yang mewarnai corak kehidupan masyarakat, tanpa memiliki hubungan baik dengan sistem politik maupun struktur politik. Budaya politik tidak diperhitungkan sama sekali dalam proses1 Lucian Pye, Political Culture and Political Development. New Haven, 1971. Hal. 7 1 proses politik. Asumsi itu banyak digunakan sebelum berkembangnya pendekatan yang mendasarkan diri pada budaya politik. Budaya politik merupakan fenomena dalam masyarakat, yang memiliki pengaruh terhadap struktur dan sistem politik. Sehingga Rusadi, dalam membahas budaya politik menyamakan dengan struktur politik, karena berhubungan dengan fungsi konversi (conversion function), dan kapabilitas (capabilities). Dalam membahas keterkaitan antara budaya politik dengan sistem politik, budaya politik perlu dikedepankan karena menyangkut disiplin ilmu sosial yang berkaitan dengan fenomena masyarakat. Terlebih lagi sistem politik dapat ditinjau sebagai bagian dari ilmu sosial (social system) yang hidup dalam sociosphere yang merupakan bidang telaah baik sosiologi, antropologi maupun geografi.2 Budaya politik tertentu selalu inheren (melekat) pada setiap masyarakat yang terdiri atas sejumlah individu yang hidup baik dalam sistem politik tradisional, transisional maupun modern. Dengan meneliti budaya politik kita akan mengenal atribut dan ciri-ciri yang terpokok untuk menguji proses yang berlanjut maupun yang berubah seirama dengan proses perkembangan, perubahan atau mutasi sosial. Sebagaimana dikemukakan ilmuwan politik seperti Immanuel H. Beer dan Adam B. Ulam atau oleh Gilbert Abcarian dan George S. Masanat, bahwa salah satu variabel sistem politik adalah kebudayaan politik. Bahkan oleh sementara ilmuwan politik dikatakan bahwa 2 Rusadi Sumintapura, Sistem Politik Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1988, hal. 25 2 kebudayaan politik (political culture) merupakan salah satu variabel penting dalam sistem politik, karena variabel ini lebih mencerminkan faktor-faktor subyektif dibanding dengan variabel-variabel lainnya. Dalam hal ini, kebudayaan politik lebih dimaksudkan sebagai keseluruhan pandangan politik seperti norma-norma, pola-pola orientasi terhadap politik, legitimasi, pengaturan kekuasaan, proses pembuatan kebijaksanaan pemerintah, kegiatan partai-partai politik, prilaku aparatur pemerintah serta gejolak masyarakat terhadap kekuasaan yang memerintah, dan bahkan dianggap sebagai pandangan hidup manusia pada umumnya.3 Dalam studi-studi politik Indonesia, penerapan yang paling dikenal dari pandangan hubungan antara budaya dan politik, adalah buku Benedict Anderson The Idea of Power in Javanese Culture. Secara singkat Anderson memperkenalkan empat sifat dari apa yang dia percaya menjadi konsepsi kekuatan tradisional Jawa, yaitu kekonkretan, homogenitas, kuantitas yang tetap dan amoralitas yang kontras secara tajam dengan ide kekuasaaan barat, konsep ini sebagaimana Anderson memahaminya. Lau dia mencoba menunjukkan kebaikan pikiran-pikiran Jawa sebagai piranti analisis dengan mempergunakannya untuk menafsirkan berbagai keputusan-keputusan kebijaksanaan Presiden Sukarno dan Presiden Suharto.4 3 4 Arifin Rahman, Sistem Politik Indonesia, SIC, Surabaya, 2002, hal. 31-32 R. William Liddle, Islam, Politik dan Modernisasi, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1997, hal. 4 3 Bila dibandingkan pendekatan dari Anderson dengan konsepsi Robert Bellah mengenai budaya politik Amerika di dalam bukunya, Habits of the Heart: Dari masa-masa awalnya, orang Amerika sudah melihat maksud dan tujuan bangsa sebagai upaya merealisasikan harapan Injili lama tentang suatu masyarakat adil yang penuh kasih, sebagian berjuang membina semangat hidupnya dan undang-undang bangsa sesuai dengan cita-cita kewarganegaraan dan partisipasi republikan. Masih ada yang lainnya, yaitu yang mengemukakan mimpi-mimpi nyata mengenai nasib baik dan kemenangan nasional. Dan selalu ada para pendukung, yang sering kali bergairah, bahwa kebebasan berarti semangat wiraswasta dan adanya hak menimbun kekayaan serta kekuasaan untuk pribadi. 5 Buku Bellah selanjutnya menguji bagaimana berbagai sub budaya ini: harapan Injili, republikan, nasionalis dan individualis berinteraksi sekarang. Tidak adanya piranti-piranti analisis dengan mana memahami bagaimana budaya-budaya berubah atau dipertahankan dari masa ke masa. Kita perlu untuk memeriksa nilai-nilai, kepercayaan dan adat, bukan saja sebagai pikiran-pikiran, tetapi ketika nilai, kepercayaan dan adat itu berhubungan dengan proses-proses dan lembaga-lembaga internasional dan domestik yang konkret, naik turunnya gerakan kelompok-kelompok dan arus-arus sosial dan politik. Dan hal ini sangat dipengaruhi oleh sistem politik yang ada di suatu negara. 5 Bellah et al, Habits of The Heart. Hal. 28 4 Kehidupan manusia di dalam masyarakat, memiliki peranan penting dalam sistem politik suatu negara. Manusia dalam kedudukannya sebagai makhluk sosial, senantiasa akan berinteraksi dengan manusia lain dalam upaya mewujudkan kebutuhan hidupnya. Kebutuhan hidup manusia tidak cukup yang bersifat dasar, seperti makan, minum, biologis, pakaian dan papan (rumah). Lebih dari itu, juga mencakup kebutuhan akan pengakuan eksistensi diri dan penghargaan dari orang lain dalam bentuk pujian, pemberian upah kerja, status sebagai anggota masyarakat, anggota suatu partai politik tertentu dan sebagainya. Setiap warga negara, dalam kesehariannya hampir selalu bersentuhan dengan aspek-aspek politik praktis baik yang bersimbol maupun tidak. Dalam proses pelaksanaannya dapat terjadi secara langsung atau tidak langsung dengan praktik-praktik politik. Jika secara tidak langsung, hal ini sebatas mendengar informasi, atau berita-berita tentang peristiwa politik yang terjadi. Dan jika secara langsung, berarti orang tersebut terlibat dalam peristiwa politik tertentu. Kehidupan politik yang merupakan bagian dari keseharian dalam interaksi antar warga negara dengan pemerintah, dan institusi-institusi di luar pemerintah (non-formal), telah menghasilkan dan membentuk variasi pendapat, pandangan dan pengetahuan tentang praktik-praktik perilaku politik dalam semua sistem politik. Oleh karena itu, seringkali kita bisa melihat dan mengukur pengetahuan-pengetahuan, perasaan dan sikap 5 warga negara terhadap negaranya, pemerintahnya, pemimpim politik dan lai-lain. Kegiatan politik juga memasuki dunia keagamaan, kegiatan ekonomi dan sosial, kehidupan pribadi dan sosial secara luas. Dengan demikian, budaya politik langsung mempengaruhi kehidupan politik dan menentukan keputusan nasional yang menyangkut pola pengalokasian sumber-sumber masyarakat. Dalam dunia keagamaan dan dalam konteks kehidupan sosial kemasyarakatan, hubungan antara agama dan politik jelas memiliki suatu keterkaitan, namun tetap harus dibedakan. Di satu pihak, masyarakat agama memiliki kepentingan mendasar agar agama tidak dikotori oleh kepentingan politik, karena bila agama berada dalam dominasi politik, maka agama akan sangat mudah diselewengkan. Akibatnya agama tidak lagi menjadi kekuatan pembebas atas berbagai bentuk penindasan dan ketidakadilan, sebaliknya agama akan berkembang menjadi kekuatan yang menindas dan kejam. Di pihak lain, adalah kewajiban moral agama untuk ikut mengarahkan politik agar tidak berkembang menurut seleranya sendiri yang bisa membahayakan kehidupan. Agar agama dapat menjalankan peran moral tersebut, maka agama harus dapat mengatasi politik, bukan terlibat langsung ke dalam politik praktis. Karena bila agama berada di dalam kooptasi politik, maka agama akan kehilangan kekuatan moralnya yang mampu mengarahkan politik agar tidak berkembang menjadi 6 kekuatan yang menekan kehidupan dan menyimpang dari batas-batas moral dan etika agama, masyarakat, dan hukum. Dalam agama Islam Paradigma pemikiran yang berkembang seputar korelasi antara politik dan agama, selalu diwakili dua kutub pemikiran yang bertolak belakang. Qaradhawi mengistilahkannya dengan kelompok sekuler dan kelompok Islamis. Masing-masing kelompok ini intens mengembangkan premis-premis yang mendukung pendapatnya dalam berbagai tulisan, buku, dan wacana.6 Perspektif kaum sekuler dan materialis selalu menganggap bahwa agama tidak lebih hanya sebatas hubungan vertikal antara seorang individu dengan Tuhannya. Bahkan mereka mengklaim bahwa agama dan politik adalah suatu hal yang mustahil untuk dipertemukan. Agama bersumber dari Tuhan, karakteristiknya pun selalu identik dengan nilainilai kesucian, dan tujuan jangka panjangnya adalah kehidupan akhirat. Sementara politik adalah kreatifitas dan rekaan akal manusia, karakteristiknya pun selalu kotor dan penuh tipu daya, dan tujuan akhirnya tidak lebih hanya pemuas kehidupan dunia. Pemikiran ini berkembang di dunia barat, namun cukup banyak juga pemikir Arab dan dunia Islam yang berpikiran sama, semisal Ali Abdul Raziq dan Mustafa Kemal Pasha. Berbeda dengan tokoh-tokoh seperti Khairuddin At-Tunisy, Muhammad Abduh, Hasan Al-Banna, Syakib Arselan, dan Al-Maududi. Mereka melihat bahwa Islam, disamping sebagai akidah, juga merupakan 6 www.google.com, Nasution Parlungun, Agama dan Politik, 15-oktober-2010, pkl. 07.17 WITA 7 syariah, peraturan, serta perundangan yang mengatur seluruh dimensi kehidupan. Islam sebagai akidah dan syariah, dakwah dan negara, serta agama dan politik. Pemikiran mereka secara spesifik berangkat dari tiga perspektif:7 Pertama, Islam sebagai agama yang komprehensif mengatur seluruh dimensi kehidupan. Baik dimensi materil ataupun spirituil, baik secara individu maupun kolektif dalam konteks kehidupan bernegara. Bahkan seluruh gerak individu muslim tidak lepas dari hukum (wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah). Barangkali apa yang telah Allah firmankan dalam surat An-Nahl ayat 89: “...Dan kami turunkan kitab (Al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk, rahmat, serta kabar gembira bagi orang yang berserah diri," merupakan justifikasi nilai-nilai Islam sebagai agama yang komprehensif. Kedua, Islam sangat mengecam sikap parsial dalam pelaksanaan dan pengamalan nilai-nilainya, karena seluruh aturan dan dogma yang ada di dalamnya merupakan suatu kesatuan utuh yang tidak bisa dipisahkan. Seorang muslim tidak hanya harus menerjemahkan kemuslimannya di mesjid, mushalla, akad pernikahan, dan sebagainya. Akan tetapi ia harus tetap menjadi seorang muslim ketika bergelut di dunia bisnis, berorasi politik dalam sebuah pesta demokrasi, bahkan dalam berperang pun, ia harus tetap menjaga etika yang telah diajarkan Islam dalam peperangan. Firman Allah SWT: “Wahai orang-orang yang beriman 7 Ibid, 8 masuklah kedalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh ia musuh yang nyata bagimu”. (QS. AlBaqarah: 208), ”dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpinpemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami”. (QS. As-Sajadah: 24). Ketiga, Sejak dahulu kala hingga saat ini, peradaban dan kebudayaan dimanapun sadar bahwa sebuah institusi negara atau kekuatan politik menjalankan merupakan seluruh salah aktifitas satu penerapan sarana terpenting hukum, untuk perundangan, pengajaran, dan perlindungan terhadap segala bentuk kerusakan secara internal, maupun serangan dari kekuatan luar yang berniat untuk merampas ataupun menjajah. Bukan hanya itu, realitas dunia modern saat ini justru lebih menuntut seluruh komponen umat merambah semua sektor riil dan peluang serta potensi yang ada untuk mengambil peran. Integrasi antara kekuatan sekuler dan kekuatan religius mestinya merupakan representasi ideal dalam kepemimpinan nasional. Kekuatan kelompok sekuler dapat diandalkan dalam kapabilitas; sedangkan kekuatan religius dapat mengimbanginya dengan moralitas. Namun harapan ini agaknya masih jauh dari kenyataan. Di Indonesia kita mengenal salah satu kelompok sosial-religius yaitu santri. Para sarjana yang berminat terhadap telaah mengenai suku Jawa selalu mengenal dengan baik istilah santri yang khas itu. Istilah dan 9 konsep santri telah terkenal akrab dan sering dipakai dalam karya-karya para sarjana tentang sejarah , politik dan masyarakat Jawa. Di samping para penulis dari Indonesia, Clifford Geertz ahli antropologi asal Amerika Serikat yang terkemuka, menggunakan istilah tersebut secara luas dalam karyanya, The Religion of Java (1960). Telaah terhadap golongan santri memang penting, khususnya untuk orang yang hendak memeriksa dengan seksama perkembangan Islam di Jawa. Dalam setiap pemilu, kaum santri adalah kekuatan sosial dan politik yang selalu diperhitungkan. Pertautan elit dan santri itu akan membekali legitimasi bagi seorang calon presiden. SBY pun tak mau kehilangan kesempatan meraih kaum santri ini. Disinilah, konvergensi kepentingan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk menghadiri acara Jambore Santri Nusantara di Jatinangor, Jawa Barat. Jambore yang berlangsung 15-20 Juni 2009 lalu ini diikuti oleh 6.000 santri dari 800 pesantren se-Indonesia.8 SBY dan kaum santri yang acaranya berlangsung meriah ini juga dimaksudkan untuk menjalin tali silaturahmi para santri, sekaligus sebagai upaya elit untuk mengkooptasi para santri ini. Dalam jambore ini, juga diisi dengan perlombaan yang menampilkan kreativitas para santri. Diperkirakan, ratusan kiai hadir dalam acara tersebut, dengan menggelar pertemuan bersama para santri, jelas suatu kekuatan sosial sudah diserap oleh SBY untuk menopang dukungan bagi pencalonannya. Dengan cara 8 www.google.com, SBY tak lupa garap kaum santri, 3-februari-2010 pkl. 18.37 WITA 10 itu, SBY ingin menunjukkan komitmennya pula bagi kaum santri yang tersebar di negeri ini. Dukungan kaum santri bagi SBY sangat bermakna secara politik maupun ideologi. SBY jelas berkepentingan agar tidak ada oposisi dari kaum santri. Bagaimanapun, SBY sadar bahwa tumbuhnya oposisi santri, yakni sikap kritis terhadap kebijakan pemerintah yang dilancarkan kalangan santri, baik dari kalangan NU maupun Muhammadiyah dan lainnya, merupakan ancaman bagi legitimasi pemerintah. SBY berkeinginan menyerap aspirasi kaum santri secara simbolik, meski sesudah itu, seperti biasanya, kaum santri kemudian hanya menjadi penonton di luar panggung teater negara. Dari dulu, sebagai modal sosial, kaum santri hanya menjadi obyek politik karena lemah dari segi modal ekonomi. “Namun demikian, pesantren tetap menjadi basis sosial yang diperhitungkan, menurut pengamat politik Unair Prof. Kacung Maridjan. SBY yang didera isu neoliberalisme, jelas sangat paham bahwa oposisi santri otomatis senantiasa berjalan, karena kritisisme mereka terhadap berbagai kebijakan negara sudah menjadi perintah iman dan keyakinan. Kritisisme itu merupakan akibat logis dari ajaran Islam yang senantiasa menekankan prinsip amar ma`ruf nahi munkar.9 Dengan titik temu SBY dan kaum santri itu, oposisionis santri bisa dikurangi, jika pun tak bisa diredam sama sekali. Di sisi lain, semua berharap santri dapat berkembang dan 9 Ibid 11 mendapatkan posisi strategis dalam kehidupan ekonomi dan berkebangsaan. Hal di atas berlaku juga untuk Pondok Pesantren Darul Arqam Gombara Muhammadiyah, Makassar. Pondok pesantren ini berdiri ketika ulama Muhammadiyah berpandangan bahwa Pendidikan Tarjih Muhammadiyah yang diselenggarakan di jalan Bandang No. 7 Makassar khususnya di Pimpinan Cabang Muhammadiyah Bontoala tidak lagi relevan dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Dalam rangka pembinaan pondok pesantren, maka pada Musyawarah Wilayah Muhammadiyah di pare-pare menetapkan agar Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah menjadi proyek pengkaderan Muhammadiyah. Sebagaimana dikemukakan Haedar Nashir, hubungan Muhammadiyah dan politik dapat di ketahui dari dua variabel. Variabel pertama adalah aspek teologis atau pemikiran-pemikiran keagamaan yang dianut Muhammadiyah dan memiliki persentuhan dengan dunia politik, yang memberi gambaran mengenai pandangan Muhammadiyah tentang politik. Variabel kedua ialah aspek sosio-historis atau sosiologis, yang melukiskan kenyataan sejarah dan pengalaman sosiologis dalam politik yang dialami Muhammadiyah sejak organisasi ini berdiri pada tahun 1912.10 Dalam bagian sejarahnya Muhammadiyah sering terlibat dalam percaturan politik, bahkan pernah menjadi Anggota Istimewa Partai Islam 10 Haedar Nashir, Dinamika Politik Muhamadiyah. UMM Press, 2006. Hal. 27 12 Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Kendati diakui pula bahwa keterlibatannya dalam politik tampaknya tidak sejauh Nahdhatul Ulama (NU) yang pernah menjadi partai politik. Keterlibatan Muhammadiyah dalam politik dengan tidak pernah menjadi partai politik menjadi kekuatan tersendiri. Muhammadiyah menjadi tampak lebih memiliki pengaruh sebagai moral force dan political force yang memainkan fungsi sebagai kelompok kepentingan (interest group) yang kuat karena didukung oleh massa yang relatif besar terutama dari masyarakat kelas menengah kota. Haedar Nashir juga mengemukakan bahwa, Muhammadiyah pada bagian umum sejarah yang dilaluinya menunjukkan sikap dan prilaku politik yang akomodatif, artinya relatif lentur dalam menghadapi perkembangan politik dan kebijakan pemerintah tanpa harus terpisah dari prinsip-prinsip dan idealisasi sebagai gerakan Islam amar ma’ruf nahi munkar. Sikap dan prilaku yang cenderung akomodatif ini ternyata tidaklah berwarna hitam-putih, karena dalam bagian-bagian lain dari sejarah yang dialaminya juga berani mengambil sikap kritis dan tegas dalam menyikapi perkembangan politik dan kebijakan pemerintah yang dianggap bertentangan dengan misi gerakan dan kepentingan masyarakat pada umumnya.11 Hal ini dibuktikan dengan hubungan Muhammadiyah dengan dunia politik yang bersifat personal dan tidak langsung, ditandai oleh keterlibatan aktif tokoh-tokoh puncak Muhammadiyah yang memperoleh dukungan 11 Ibid, Hal. 106-107 13 luas dari anggota Muhammadiyah dalam membidani kelahiran dan mendukung keberadaan partai politik tertentu. Pola hubungan ini dikatakan bersifat tidak langsung karena tidak memiliki kaitan formal dan organisatoris langsung dengan Muhammadiyah. Dalam konteks organisasi Muhammadiyah sering pula disebut dengan hubungan yang bersifat moral dan sosiologis, atau hubungan ideologis. Hal ini dapat terlihat dari pembentukan Partai Amanat Nasional pada tahun 1998. Kelahiran PAN yang dipimpin oleh Prof. Dr. H. M. Amien Rais merupakan fenomena menarik karena dianggap sebagai eksperimen politik tokoh santri dalam membangun partai politik baru yang bersifat majemuk di tengah suasana baru yaitu era reformasi. Secara formal dan langsung Muhammadiyah tidak memiliki kaitan organisatoris dengan partai yang didirikan pada 23 Agustus 1998 di Jakarta itu.12 Sebagai proyek pengkaderan Muhammadiyah Pondok Pesantren Darul Arqam juga memiliki hubungan yang bersifat personal dan tidak langsung dengan dunia politik. Hal ini dapat terlihat oleh keterlibatan aktif alumni pondok pesantren dengan politik yang memperoleh dukungan dari pondok pesantren, seperti Anis Matta (Sekjen PKS), Ridwan Hamsah (anggota DPRD Kota Makassar), Syamsi Ali (Ketua KPU Bulukumba), dan Wakil Ketua DPRD Jeneponto. Walaupun secara kelembagaan mereka tidak memiliki kaitan yang formal dengan pondok pesantren. Sebagaimana juga dikemukakan Ust. Ridwan salah seorang pengajar 12 Ibid, hal. 47-48 14 bahwa PAN mendapat dukungan dari sebagian besar elemen pondok pesantren. B. Rumusan Masalah Bagaimana pola orientasi dan sikap politik santri pada Pondok Pesantren Darul Arqam Gombara Muhammadiyah Makassar? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Mengambarkan dan menganalisis pola orientasi dan sikap politik santri pada Pondok Pesantren Darul Arqam Gombara Muhammadiyah Makassar. 2. Manfaat Penelitian Manfaat teoritis 1) Hasil dari penelitian ini nanti diharapkan dapat memberikan kontribusi dan menambah khasanah pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang sosial dan politik 2) Hasil dari penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi literatur yang bermanfaat sebagai bahan kajian ilmu politik Manfaat Praktis 1) Sebagai salah satu prasyarat untuk memenuhi gelar sarjana Ilmu Politik 2) Sebagai sarana pengembangan ilmu bagi penulis secara pribadi 15 3) Sebagai rujukan bagi para santri untuk dapat meningkatkan eksistensinya dalam kehidupan politik 16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan pustaka sangat penting untuk lebih memperjelas dan mempertegas penelitian dari aspek teoritis. Literatur-literatur yang berisi pendapat para ahli maupun website banyak digunakan untuk penyempurnaan penelitian ini. Sehubungan dengan pembahasan sebelumnya, maka pada tinjauan pustaka ini akan dijelaskan beberapa pengertian yang disertai pendapat para ahli yang memiliki kaitan dengan pokok bahasan serta hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan penelitian ini yang meliputi: pengertian budaya politik, komponen budaya politik, kalsifikasi model-model budaya politik, pembahasan mengenai santri, dan kerangka pikir. A. Budaya Politik Konsep budaya politik muncul dan mewarnai wacana ilmu politik pada akhir Perang Dunia II, sebagai dampak perkembangan ilmu politik di Amerika Serikat. Sebagaimana diungkapkan oleh banyak kalangan ilmuwan politik, setelah PD II selesai, di Amerika Serikat terjadi apa yang disebut revolusi dalam ilmu politik, yang dikenal sebagai Behavioral Revolution, atau ada juga yang menamakannya dengan Behavioralism.13 Behavioral revolution terjadi dalam ilmu politik adalah sebagai dampak dari semakin menguatnya tradisi atau madzhab positivisme, 13 Afan Gaffar, Politik Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, halaman 97 17 sebuah paham yang percaya bahwa ilmu sosial mampu memberikan penjelasan akan gejala sosial seperti halnya ilmu-ilmu alam memberikan penjelasan tehadap gejala-gejala alam, dalam ilmu sosial, termasuk ilmu politik. Paham ini sangat kuat diyakini oleh tokoh-tokoh besar sosiologi, seperti Herbert Spencer, Auguste Comte, juga Emile Durkheim. Paham positivisme merupakan pendapat yang sangat kuat di Amerika Serikat semenjak Charles E. Merriam mempeloporinya di Universitas Chicago, yang kemudian dikenal sebagai The Chicago School atau Madzhab Chicago, yang memulai pendekatan baru dalam ilmu politik (Somit and Tannenhaus, 1967; Almond and Verba, 1963; Almond, 1990). Salah satu dampak yang sangat menyolok dari behavioral revolutuion ini adalah munculnya sejumlah teori, baik yang bersifat grand maupun pada tingkat menengah (middle level theory). Kemudian, ilmu politik diperkaya dengan sejumlah istilah, seperti misalnya sistem analysis, interest aggregation, interest articulation, political socialization, politic culture, conversion, rule making, rule aplication, dan lain sebagainya. Budaya politik merupakan pola perilaku suatu masyarakat dalam kehidupan benegara, penyelenggaraan administrasi negara, politik pemerintahan, hukum, adat istiadat, dan norma kebiasaan yang dihayati oleh seluruh anggota masyarakat setiap harinya. Budaya politik juga dapat di artikan sebagai suatu sistem nilai bersama suatu masyarakat yang memiliki kesadaran untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan kolektif dan penentuan kebijakan publik untuk masyarakat seluruhnya. 18 Sebagaimana yang tersirat dalam adjektif yang disandangnya, kebudayaan politik menunjuk pada perwujudan kebudayaan di dalam konteks kehidupan yang lebih terbatas, yakni kehidupan politik. Mereka yang menaruh perhatian untuk menganalisa hubungan antara struktur dan operasi komunitas politik dengan kebudayaan di mana mereka beroperasi telah merumuskan kebudayaan politik secara mendalam. Teori tentang budaya politik merupakan salah satu bentuk teori yang dikembangkan dalam memahami sistem politik. Teori tentang sistem politik yang diajukan oleh David Easton, yang kemudian dikembangkan pula oleh Gabriel Almond, ini mewarnai kajian ilmu politik pada kala itu (1950-1970). Dan diantara kalangan teoritisi dalam ilmu politik yang sangat berperanan dalam mengembangkan teori kebudayaan politik adalah Gabriel Almond dan Sidney Verba, ketika keduanya melakukan kajian di lima negara yang kemudian melahirkan buku yang sangat berpengaruh pada 1960-an dan 1970-an, yaitu The Civic Culture. Civic Culture inilah yang menurut Almond dan Verba merupakan basis bagi budaya politik yang membentuk demokrasi.14 Almond (1965:20), menunjukkan bahwa “tiap sistem politik mewujudkan dirinya didalam pola orientasi-orientasi dan tindakantindakan politik tertentu”. Dalam pengertian yang hampir sama, Lucian W. Pye (1965:24) mendefinisikan budaya politik sebagai “the ordered subjective realism of politic, tertib dunia subjektif politik”. Definisi Verba 14 Ibid, halaman 99 19 (1965:31) berikut merupakan yang paling jelas. “budaya politik”, demikian katanya, “menunjuk pada sistem kepercayaan-kepercayaan tentang polapola interaksi politik dan institusi-institusi politik.15 Almond menunjuk bukan pada apa yang diyakini orang tentang kejadian-kejadian tersebut kepercayaan-kepercayaan yang dimaksud dapat mengenai beraneka jenis, berupa kepercayaan-kepercayaan empirik mengenai situasi kehidupan politik, dapat berupa keyakinankeyakinan mengenai tujuan-tujuan atau nilai-nilai yang harus dihayati di dalam kehidupan politik dan semuanya itu dapat memiliki perwujudan atau dimensi emosional yang sangat penting. Almond dan Verba mendefinisikan budaya politik sebagai: “Suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada di dalam sistem itu. 16 Prof. Miriam Budiardjo menyatakan bahwa salah satu aspek penting dalam sistem politik adalah budaya politik yang mencerminkan faktor subyektif. Budaya politik adalah keseluruhan dari pandangan-pandangan politik, seperti norma-norma, pola-pola orientasi terhadap politik dan pandangan hidup pada umumnya. Budaya politik mengutamakan dimensi psikologis dari suatu sistem politik, yaitu sikap-sikap, sistem-sistem kepercayaan, simbol-simbol yang dimiliki oleh individu-individu dan beroperasi di dalam seluruh masyarakat, serta harapan-harapannya.17 15 Hasmirah, Budaya Politik Etnis Tionghoa. Skripsi, Makassar, 2007, hal. 9-10 Verba dalam Afan Gaffar, Politik Indonesia Pustaka Pelajar, halaman 101 17 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007, halaman 49 16 20 Kegiatan politik seseorang misalnya, tidak hanya ditentukan oleh tujuan-tujuan yang didambakannya, akan tetapi juga oleh harapanharapan politik yang dimilikinya dan oleh pandangannya mengenai situasi politik. Bentuk dari budaya politik dalam suatu masyarakat dipengaruhi antara lain oleh sejarah perkembangan dari sistem, oleh agama yang terdapat dalam masyarakat itu, kesukuan, status sosial, konsep mengenai kekuasaan, kepemimpinan dan sebagainya. Dengan kata lain, budaya politik suatu bangsa dapat didefinisikan sebagai pola distribusi orientasi-orientasi yang dimiliki oleh anggota masyarakat terhadap objek-objek politik atau bagaimana distribusi polapola orientasi khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat itu. Lebih jauh dinyatakan, bahwa warga negara senantiasa mengidentifikasikan diri mereka dengan simbol-simbol dan lembaga kenegaraan berdasarkan orientasi yang mereka miliki. Dengan orientasi itu pula mereka menilai serta mempertanyakan tempat dan peranan mereka di dalam sistem politik. Rusadi Sumintapura menyatakan bahwa budaya politik tidak lain adalah pola tingkah laku individu dan orientasinya terhadap kehidupan politik yang dihayati oleh para anggota suatu sistem politik.18 Pengertian budaya politik diatas, nampaknya membawa kita pada suatu pemahaman konsep yang memadukan dua tingkat orientasi politik, yaitu sistem dan individu. Konsep orientasi mengikuti pengertian Talcott Parsons dan Verba yang mendefinisikan orientasi sebagai aspek-aspek 18 Rusadi, Op.cit, hal. 23 21 dari objek dan hubungan-hubungan yang diinternalisasikan di dalam dunia subjektif individu. Dengan orientasi yang bersifat individual ini, tidaklah berarti bahwa dalam memandang sistem politiknya kita menganggap masyarakat akan cenderung bergerak ke arah individualisme. Jauh dari anggapan yang demikian, pandangan ini melihat aspek individu dalam orientasi politik hanya sebagai pengakuan akan adanya fenomena dalam masyarakat tertentu, yang semakin mempertegas bahwa masyarakat secara keseluruhan tidak dapat melepaskan diri dari orientasi individual.19 Dengan memahami budaya politik, kita akan memperoleh paling tidak dua manfaat. Pertama, sikap-sikap warga negara terhadap sistem politik akan mempengaruhi tuntutan-tuntutannya, tanggapannya, dukungannya serta orientasinya terhadap sistem politik itu. Kedua, dengan memahami hubungan antara budaya politik dan sistem politik, maksud-maksud individu melakukan kegiatannya dalam sistem politik atau faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya pergeseran politik dapat dimengerti. a. Orientasi dan Sikap dalam Budaya Politik Dalam pendekatan perilaku, terdapat interaksi antara manusia satu dengan lainnya dan akan selalu terkait dengan pengetahuan, sikap dan nilai seseorang yang kemudian memunculkan orientasi sehingga timbul budaya politik. Orientasi politik itulah yang kemudian membentuk tatanan 19 Arifin Rahman, Op.cit, halaman 32-33 22 dimana interaksi-interaksi yang muncul tersebut akhirnya mempengaruhi budaya politik seseorang. Orientasi politik tersebut dapat dipengaruhi oleh orientasi individu dalam memandang obyek-obyek politik. Almond dan Verba mengajukan klasifikasi tipe-tipe orientasi politik, yaitu : komponen kognitif, yaitu kemampuan yang menyangkut tingkat pengetahuan dan pemahaman serta kepercayaan dan keyakinan individu terhadap jalannya sistem politik dan aributnya, seperti tokoh-tokoh pemerintahan, kebijaksanaan yang mereka ambil, atau mengenai simbol-simbol yang dimiliki oleh sistem politiknya, seperti ibukota negara, lambang negara, kepala negara, batasbatas negara, mata uang yang dipakai, dan lain sebagainya. Komponen afektif, yaitu menyangkut perasaan seorang warga negara terhadap sistem politik dan peranan yang dapat membuatnya menerima atau menolak sistem politik itu. Komponen evaluatif, yaitu menyangkut keputusan dan praduga tentang obyek-obyek politik yang secara tipikal melibatkan kombinasi standar nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan. 20 Perlu disadari bahwa dalam realitas kehidupan, ketiga komponen ini tidak terpilah-pilah tetapi saling terkait atau sekurang-kurangnya saling mempengaruhi. Semisal seorang warga negara dalam melakukan penilaian terhadap seorang pemimpin, ia harus mempunyai pengetahuan yang memadai tentang si pemimpin. Pengetahuan itu tentu saja sudah 20 Opcit, halaman 99-100 23 dipengaruhi, diwarnai atau dibentuk oleh perasaannya sendiri. Sebaliknya, pengetahuan orang tersebut tentang sesuatu simbol politik, misalnya, dapat pula membentuk atau mewarnai perasaannya terhadap simbol politik itu. Boleh jadi, pengetahuan tentang suatu simbol sering mempengaruhi perasaan seseorang terhadap sistem politik secara keseluruhan. Karena hakekat kebudayaan politik suatu masyarakat terdiri dari sistem kepercayaan yang sifatnya empiris, simbol-simbol yang ekspresif, dan sejumlah nilai yang membatasi tindakan-tindakan politik, maka kebudayaan politik selalu menyediakan arah dan orientasi subyektif bagi politik. Karena kebudayaan politik hanya merupakan salah satu aspek dari kehidupan politik, maka jika kita ingin mendapatkan gambaran dan ciri politik suatu kelompok masyarakat secara bulat dan utuh, maka kitapun dituntut melakukan penelaahan terhadap sisinya yang lain. Orientasi politik sebenarnya merupakan suatu cara pandang dari suatu golongan masyarakat dalam suatu struktur masyarakat. Timbulnya orientasi itu dilatarbelakangi oleh nilai-nilai yang ada dalam masyarakat maupun dari luar masyarakat yang kemudian membentuk sikap dan menjadi pola mereka untuk memandang suatu obyek politik. Berkaitan dengan sistem politik, kebudayaan politik masyarakat dipengaruhi oleh sejarah perkembangan sistem, di samping itu kebudayaan politik lebih mengutamakan dimensi psikologis suatu sistem, seperti sikap, sistem kepercayaan, atau simbol-simbol yang dimiliki dan 24 diterapkan oleh individu-individu dalam suatu masyarakat sekaligus harapan-harapannya. Variabel yang ada bisa berawal dari suasana psikologis seseorang, argumentasi umum dalam jajaran psikologi sosial, dan terminal terakhir bertumpu pada status sosial-ekonomi yang dimiliki oleh seseorang atau sekolompok orang sebagai determinan pembentukan orientasi, sikap dan tingkah laku politik. Alfian, menganggap bahwa lahirnya kebudayaan politik sebagai pantulan langsung dari keseluruhan sistem sosial-budaya masyarakat dalam arti luas.21 Hal ini terjadi melalui proses sosialisasi politik agar masyarakat mengenal, memahami, dan menghayati nilai-nilai politik tertentu yang dipengaruhi oleh sikap dan tingkah laku politik mereka sehari-hari. Adapun nilai-nilai politik yang terbentuk dalam diri seseorang biasanya berkaitan erat dengan atau bagian dari nilai-nilai lain yang hidup dalam masyarakat itu, seperti nilai-nilai sosial budaya dan agama. Alfian nampaknya menempatkan faktor lingkungan budaya sebagai salah satu faktor penentu orientasi politik seseorang disamping sejumlah faktor lainnya. 22 Mar’at, yang menetapkan bahwa sikap suatu kecenderungan berprilaku adalah produk dari proses sosialisasi yang banyak ditentukan oleh faktor budaya. Proses pembentukan sikap politik yang pada gilirannya berupa perilaku politik yang diperoleh melalui sosialisasi politik, tak pernah hadir di kehampaan budaya. Budaya politik adalah pola 21 Dr. Alfian, Masalah dan Prospek Pembangunan Politik Indonesia, Gramedia, Jakarta, 1986, halaman 244-245 22 Dr. Alfian, Politik, Kebudayaan dan Manusia Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1985, halaman 24 25 perilaku seseorang atau sekelompok orang yang dipengaruhi faktor eksternal seperti situasi lingkungan atau faktor internal seperti; kebutuhan, SINA (Sitem Nilai dan Asumsi) dan SKSM (Sistem Koordinasi Senso Motorik) yang orientasinya berkisar pada situasi kehidupan politik yang sedang berlaku, bagaimana tujuan-tujuan yang didambakan oleh sistem politik itu sendiri, serta harapan-harapan politik apa yang dimilikinya, biasanya akan bercampurbaur dengan prestasi di bidang peradaban. 23 Beberapa definisi sikap yaitu, berorientasi kepada respon : sikap adalah suatu bentuk dari perasaan, yaitu perasaan mendukung atau memihak (favourable) maupun perasaan tidak mendukung (Unfavourable) pada suatu objek politik. Berorientasi kepada kesiapan respon : sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek politik dengan cara-cara tertentu, apabila dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya respon dan suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif untuk menyesuaikan diri dari situasi sosial politik yang telah terkondisikan. Berorientasi kepada skema triadik : sikap merupakan konstelasi komponen-komponen kognitif dan afektif yang saling berinteraksi dalam memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap suatu objek politik di lingkungan sekitarnya. Secara sederhana sikap didefinisikan sebagai Ekspresi sederhana dari bagaimana kita suka atau tidak suka terhadap beberapa hal. 24 23 Mar’at, Sikap Manusia: Perubahan serta Pengukurannya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, halaman 25-26 24 Ibid, halaman 8-9 26 Komponen atau struktur sikap menurut Mar’at : 1. Komponen kognisi yang berhubungan dengan belief (kepercayaan atau keyakinan), ide, konsep persepsi, stereotipe, opini yang dimiliki individu mengenai sesuatu 2. Komponen Afeksi yang berhubungan dengan kehidupan emosional seseorang menyangkut perasaan individu terhadap objek sikap dan menyangkut masalah emosi Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap : pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi/lembaga pendidikan dan agama, dan faktor emosional. Eagly & Chaiken (1993) mengemukakan bahwa sikap dapat diposisikan sebagai hasil evaluasi terhadap objek politik, yang diekspresikan ke dalam prosesproses kognitif, afektif, dan perilaku. Sebagai hasil evaluasi, sikap yang disimpulkan dari berbagai pengamatan terhadap objek diekspresikan dalam bentuk respon kognitif, afektif (emosi), maupun perilaku.25 Menurut ahli psikologi sosial, yang memandang bahwa belajar sebagai suatu proses yang berakhir dengan terjadinya perubahan pola tingkah laku seseorang. Menurut para ahli itu, bahwa nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan dalam suatu masyarakat, termasuk didalamnya nilai-nilai politik, senantiasa mengalami proses transformasi, pemahaman dan internalisasi ke dalam individu melalui tiga mekanisme utama, yakni 25 Kras, S. J. "Attitudes and Prediction of Behavior," Personality and Social Psychology Bulletin, Januari 1995, hal. 58-75 27 asosiasi, peneguhan dan imitasi, di mana tingkah laku para aktor politik penting ditiru, sebagai bagian dari perilaku masyarakat.26 Dari tiga proses di atas, apa yang disebut nilai-nilai dan kebiasaankebiasaan yang membentuk budaya politik diwariskan dari generasi ke generasi untuk kemudian mendikte orientasi, sikap dan tingkah laku politik warga budaya. Pada dimensi inilah keterkaitan antara budaya politik dengan orientasi, sikap dan tingkah laku politik, termasuk didalamnya partisipasi politik. Dimensi lain yang cukup mendasar perlu dicermati, adalah refleksi dari proses budaya politik masyarakat dalam upaya menjabarkan kekuasaan masyarakat, sebagai cerminan wajah nyata dari orientasi, sikap dan tingkah laku. Selain itu budaya politik juga merupakan dialektika dari suatu masyarakat politik dalam menjawab tantangantantangan politik yang menghalangi pada setiap fase pemantapan perkembangannya. Penelitian kebudayaan politik ditandai adanya titik pusat perhatian pada masalah-masalah sosialisasi dan pengalaman-pengalaman politik yang dialami oleh berbagai pihak, yang diwarisi dari generasi ke generasi berikutnya serta situasi di mana kebudayaan politik itu berubah. Penelitiannya dapat pula menjurus pada suatu perspektif baru dari perjalanan sejarah suatu masyarakat, dengan memberikan perhatian utama yakni, bagaimana kepercayaan politik yang asasi dipengaruhi oleh ingatan atas peristiwa-peristiwa politik masa lampau. 26 Arifin Rahman, Op.cit, hal. 36 28 Budaya politik dapat dilihat dari aspek doktrinnya dan aspek generikanya. Pertama, menekan pada isi atau materi budaya politik yang dapat dijumpai pada studi tentang doktrin; seperti sosialisme, demokrasi atau nasionalisme dan Islam. Kedua, aspek generika, menganalisis bentuk, peranan, dan ciri-ciri budaya politik. Umpanya, apakah budaya politiknya militan, utopis, terbuka atau tertutup. Pada aspek generikanya dari budaya politik, dapat dilihat dari hakekat, bentuk dan peranannya. 27 Hakekat atau ciri-ciri pokok dari budaya politik menyangkut masalah nilai-nilai. Nilai-nilai adalah prinsip-prinsip dasar yang melandasi doktrin atau suatu pandangan hidup. Nilai-nilai yang dimaksud ini berhubungan dengan masalah tujuan, seperti nilai-nilai pragmatis atau utopis.28 Almond dan Powell mencatat, bahwa aspek lain yang menetukan orientasi politik seseorang, adalah hal-hal yang berkaitan dengan “rasa percaya” (trust) dan “permusuhan” (hostility).29 Perasaan ini dalam realitas sosial berwujud dalam kerjasama dan konflik yang merupakan dua bentuk kualitas politik. Rasa percaya mendorong kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk bekerjasama dengan kelompok lain. Sebaliknya kelompok-kelompok yang bekerjasama memungkinkan timbulnya konflik. Dengan demikian, kerjasama dan konflik tidak saja mewarnai kehidupan masyarakat, tetapi juga merupakan ciri budaya politik. 27 Op.cit, Arifin Rahman, halaman 36-37 Ibid, hal. 37 29 Gabriel A. Almon and Bingham Powell, Comprative Politic A Developmental Approach seperti dikutip Rusadi K, 1988, halaman 42 28 29 Budaya politik suatu masyarakat dengan sendirinya berkembang di dalam dan dipengaruhi oleh kompleks nilai yang ada dalam masyarakat tersebut. Hal ini terjadi, karena kehidupan masyarakat dipenuhi oleh interaksi antar-orientasi dan antar-nilai. Interaksi yang demikian memungkinkan timbulnya kontak antar budaya, dan menjadi pemicu dalam menjalin proses integrasi dan pengembangan budaya politik masyarakat. b. Klasifikasi Budaya Politik Almond dan Verba membagi budaya politik dalam tiga klasisifikasi, yakni budaya politik parokial, budaya politik kaula atau subjek dan budaya politik partisipan. Yang penting dari klasifikasi tersebut adalah kepada objek politik apa aktor politik individual berorientasi, bagaimana mereka mengorientasikan diri, dan apakah objek-objek politik tersebut terlibat secara mendalam di dalam arus ke atas, atau pembuatan kebijaksanaan atau di dalam arus ke bawah, pelaksanaan kebijaksanaan. Hasilnya adalah klasifikasi tiga tipe ideal budaya politik berikut: 1. Budaya politik spesialisasi parokial (parochial peranan-peranan politik political atau culture) tingkat adalah partisipasi politiknya sangat rendah, yang disebabkan faktor kognitif (misalnya tingkat pendidikan relatif rendah). Budaya politik parokial juga ditandai oleh tidak berkembangnya harapan-harapan akan perubahan yang akan datang dari sistem politik. Budaya politik parokial yang kurang lebih bersifat murni merupakan fenomena 30 umum yang biasa ditemukan didalam masyarakat-masyarakat yang belum berkembang, dimana spesialisasi politik sangat minimal. Budaya politik parokial biasanya terdapat dalam sistem politik tradisional dan sederhana, dengan ciri khas spesialisasi masih sangat kecil, sehingga pelaku-pelaku politik belumlah memiliki pengkhususan tugas. Tetapi peranan yang satu dilakukan bersamaan dengan peranan yang lain seperti aktivitas dan peranan pelaku politik dilakukan bersamaan dengan peranannya baik dalam bidang ekonomi, sosial maupun keagamaan/spritual. 2. Budaya politik subyek/kaula memiliki frekuensi orientasi-orientasi yang tinggi terhadap sistem politiknya, namun perhatian dan intensitas orientasi mereka terhadap aspek masukan (input) dan partisipasinya dalam aspek keluaran (output) sangat rendah. Subjek individual menyadari akan otoritas pemerintah yang memiliki spesialisasi, ia bahkan secara afektif mengorientasikan diri kepadanya, ia memiliki kebanggan terhadapnya atau sebaliknya tidak menyukainya, dan ia menilainya sebagai otoritas yang absah. Namun demikian, posisinya sebagai subyek (kaula) mereka pandang sebagai posisi yang pasif. Diyakini bahwa posisinya tidak akan menetukan apa-apa terhadap perubahan politik. Mereka beranggapan bahwa dirinya adalah subyek yang tidak berdaya untuk mempengaruhi atau mengubah sistem. Dengan demikian secara umum mereka menerima segala keputusan dan 31 kebijaksanaan yang diambil oleh pejabat yang berwenang dalam masyarakat. Bahkan rakyat memiliki keyakinan bahwa apapun keputusan/kebijakan pejabat adalah mutlak, tidak dapat diubahubah, dikoreksi apalagi ditentang. 3. Budaya politik partisipan adalah suatu budaya politik dimana para warga masyarakat memilki orientasi politik yang secara eksplisit ditujukan kepada sistem secara keseluruhan, bahkan terhadap struktur, proses politik dan administratif. Dengan perkataan lain, perhatian dan intensitas terhadap masukan maupun keluaran dari sistem politik sangat itnggi. Dalam budaya politik partisipasi dirinya atau orang lain dianggap sebagai anggota aktif dalam kehidupan politik, ia memiliki kesadaran terhadap hak dan tanggung jawabnya. Masyarakat juga merealisasi dan mempergunakan hakhak politiknya. Dengan demikian, masyarakat dalam budaya politik partisipan tidak begitu saja menerima keputusan politik. Hal ini karena masyarakat telah sadar bahwa betapapun kecilnya mereka dalam sistem politik, mereka tetap memiliki arti bagi berlangsungnya sistem itu.30 Klasifikasi budaya politik kedalam tiga tipe ideal sebagaimana diungkapkan oleh Almond dan Verba sama sekali tidak mengasumsikan bahwa tipe yang satu meniadakan tipe yang lain. Klasifikasi itu tidak harus 30 Almond, dan Sidney Verba, Budaya Politik, Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara (terj. Sahat Simamora), Bumi Aksara, Jakarta, 1990, halaman 20-22 32 disimpulkan bahwa orientasi yang satu akan menggantikan orientasi yang lain. Model-model di atas kaitannya dengan studi tentang budaya politik dirasakan penting karena dapat menunjukkan karakteristik-karakteristik khas serta orientasi-orientasi warga negara terhadap sistem dan proses politik. B. Santri Perkataan santri digunakan untuk menunjuk pada golongan orangorang Islam di Jawa yang memiliki kecenderungan lebih kuat pada ajaranajaran agamanya, sedangkan untuk orang-orang yang lebih mengutamakan tradisi kejawaannya biasanya disebut kaum “abangan”. Mengenai asal-usul perkataan “santri” ada dua pendapat yang bisa dijadikan acuan. Pertama, adalah pendapat yang mengatakan bahwa “santri” itu berasal dari perkataan “sastri”, sebuah kata dari bahasa Sansakerta, yang artinya melek huruf. Agaknya dulu, lebih-lebih pada permulaan tumbuhnya kekuasaan politik Islam di Demak, kaum santri adalah kelas “leterary” bagi orang Jawa. Ini disebabkan pengetahuan mereka tentang agama melalui kitab-kitab bertulisan dan berbahasa Arab. Dari sini bisa kita asumsikan bahwa menjadi santri berarti juga menjadi tahu agama (melalui kitab-kitab tersebut). Atau paling tidak seorang santri itu bisa membaca Al-Qur’an yang dengan sendirinya membawa pada sikap lebih serius dalam memandang agamanya. 33 Kedua, adalah pendapat yang mengatakan bahwa perkataan santri sesungguhnya berasal dari bahasa Jawa, persisnya dari kata cantrik, yang artinya seseorang yang selalu mengikuti seorang guru ke mana guru ini pergi menetap. Tentunya dengan tujuan didapat darinya mengenai suatu keahlian. Sebenarnya kebiasaan cantrik ini masih bisa kita lihat sampai sekarang, tetapi sudah tidak “sekental” seperti yang pernah kita dengar. Misalnya, seseorang yang hendak memperoleh kepandaian dalam pewayangan, menjadi dalang atau manabuh gamelan, dia akan mengikuti orang lain yang sudah ahli, dalam hal ini biasanya dia disebut “dalang cantrik”. Sebab dulu, dan mungkin juga sampai sekarang, tidak terdapat cara yang sungguh-sungguh dan “profesional” dalam mengajarkan kepandaian-kepandaian tersebut. Pemindahan kepandaian itu, sebagaimana juga dengan pemindahan obyek kebudayaan lain pada orang Jawa “abangan”, lebih banyak melalui pewarisan langsung dalam pengalaman sehari-hari.31 Pola hubungan “guru-cantrik” itu kemudian diteruskan dalam masa Islam. Pada proses evolusi selanjutnya “guru-cantrik” menjadi “gurusantri”. Sekalipun perkataan “guru” masih dipakai secara luas sekali, tetapi untuk guru yang terkemuka kemudian digunakan perkataan “kiai”, untuk laki-laki, dan “nyai” untuk wanita. Perkataan “kiai” sendiri agaknya berarti tua, pernyataan dari panggilan orang Jawa kepada kakeknya yahi, merupakan singkatan dari pada kiai, dan kepada nenek perempuannya 31 Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantern. Dian Rakyat. Jakarta, hal. 21-22 34 “nyahi”. Tetapi disitu terkandung juga rasa pensucian pada yang tua, sebagaimana kecenderungan itu umum dikalangan orang Jawa. Sehingga “kiai” tidak saja berarti “tua” (yang kebetulan sejalan dengan pengertian “syeikh” dalam bahasa Arab), tetapi juga berarti “sakral”, keramat, dan sakti. Begitulah, maka benda-benda yang dianggap keramat seperti keris pusaka, dan pusaka keraton disebut juga kiai.32 Proses belajarnya santri kepada kiai atau guru itu sering juga sejajar dengan sesuatu kegiatan pertanian. Agaknya arti sesungguhnya dari perkataan “cantrik” adalah orang yang menumpang hidup atau dalam bahasa Jawa juga disebut ngenger. Pada masa sebelum kemerdekaan, orang yang datang menumpang di rumah orang lain yang mempunyai sawah-ladang untuk ikut menjadi buruh tani adalah juga disebut santri. Tentu ini juga berasal dari perkataan cantrik tadi. Seorang Kiai adalah juga seorang pemilik sawah yang cukup luas. Umumnya memang demikian. Dengan sendirinya biasanya mereka adalah juga seorang haji.33 Kedudukan guru atau kiai sebagai seorang haji itu kiranya dapat menerangkan, mengapa kemudian proses belajar kepada kiai disebut “ngaji” adalah bentuk kata kerja aktif dari perkataan kaji, yang berarti mengikuti jejak haji, yaitu belajar agama dengan berbahasa Arab. Agaknya karena keadaan pada abad-abad yang lalu memaksa orang yang menunaikan ibadah haji untuk tinggal cukup lama di tanah suci 32 33 Ibid Ibid 35 sehingga ini memberi kesempatan padanya untuk belajar agama di Mekkah, yang kelak diajarkan kepada orang lain ketika pulang.34 Perkataan “ngaji” itu mungkin juga berasal sebagai bentuk kata kerja aktif dari aji yang berarti terhormat, mahal, atau kadang-kadang sakti. Keterkaitan ini bisa kita buktikan dari adanya perkataan aji-aji yang berarti jimat. Jadi “ngaji”, “santri”, dan “kiai” ini, ngaji adalah memang merupakan kegiatan belajar yang dianggap suci atau aji oleh seorang santri yang menyerahkan dan menitipkan hidupnya kepada seorang kiai yang selain sangat dihormati juga biasanya sudah tua dan sudah menunaikan ibadah haji karena kemampuan ekonominya. Pada mulanya seorang santri atau beberapa orang dapat ditampung hidupnya di rumah seorang kiai. Mereka itu bekerja untuk kiai di sawah dan di ladang atau menggembalakan ternaknya. Dan ketika bekerja ini kehidupan mereka ditanggung oleh kiai. Tetapi lama kelamaan hal itu tidak lagi terpikul kiai, dan mulailah para santri mendirikan bangunanbangunan kecil tempat tinggal mereka yang semula sementara itu disebut pondok. Pergi ke pesantren adalah pergi ke pondok atau “mondok”, bagi orang yang ingin menjadi santri. Setelah jumlah santri dalam sebuah pesantren menjadi semakin banyak, kiai juga tidak dapat lagi menyediakan pekerjaan bagi mereka yang biasanya digunakan untuk menghidupi mereka. Sebab sawah, ladang, dan ternak yang dimiliki kiai tentunya sangat terbatas dibanding 34 Ibid. Halaman 23 36 dengan jumlah santrinya. Maka mulailah para santri memikirkan sendiri penghidupan mereka dengan berbagai jalan. Meskipun banyak yang mencari pekerjaan disekitar pondok , misalnya menjadi tukang setrika, menjadi pembantu diwarung, dan menyewakan sepeda kepada sesama santri, tetapi kebanyakan mereka menggantungkan biaya hidupnya dari kiriman bulanan orang-tuanya. Karena alasan menghemat (mereka berasal dari keluarga-keluarga sederhana di desa-desa) atau lainnya, kebanyakan para santri mengerjakan sendiri segala sesuatu yang mereka perlukan seperti menanak nasi, memasak, mencuci pakaian, dan menyetrika. Satu istilah lain untuk santri sebagaimana lazimnya digunakan oleh orang Jawa ialah kata putihan, yang diturunkan dari pangkal kata putih, dengan akhiran –an. Istilah ini agaknya dipakai karena pakaian putih yang mereka kenakan waktu bersholat. Para putihan biasanya memakai kopyah terbuat dari beludru hitam serupa fez, sehelai kemeja putih dan sarung (terutama bila mereka ikut bersholat dalam mesjid). Setelah mereka naik haji ke Mekkah, dan setelah menjadi kaji (haji), mereka tukarkan kopyah tadi dengan peci katun putih atau kopyah kaji.35 Pada zaman pra-Islam pernah ada desa-desa beragama yang penghuninya taat pada peraturan-peraturan ketat tertentu. Setelah penghuninya masuk Islam, desa-desa tersebut menjadi desa keramat Islam yang penghuninya patuh sekali kepada ajaran agama Islam dan 35 Zaini Muchtarom, Santri dan Abangan di Jawa, INIS, Jakarta, 1988, halaman 6 37 kepada ulama dan kiyai mereka. Ada beberapa pesantren yang didirikan dalam desa-desa seperti itu. Sampai sekarang desa-desa tersebut dinamakan desa mutihan. Sejak raja-raja yang beragama Islam membebaskan desa-desa itu dari pajak dan supaya mampu memelihara pesantren atau menjalankan kewajiban agama lainnya, desa tersebut dinamakan desa perdikan yang dibebaskan dari pajak dan tugas. Pranata desa perdikan ini benar-benar merupakan pranata yang sudah berjalah selama zaman Jawa Hindu.36 Jelaslah dari alinea tersebut tadi bahwa istilah santri yang memang lebih sering dipakai dari putihan, dalam artinya yang asli dan sempit, digunakan untuk mengacu kepada para siswa sekolah agama yang disebut pesantren, seperti pesantren di Madura, pondok di Pasundan, rangkang meunasah di Aceh dan surau di Minangkabau. Dalam pesantren para santri melakukan telaah agama, dan di sana mereka memperoleh bermacam-macam pendidikan rohani, mental dan sedikit banyak juga jasmani. Dalam arti luas dan lebih biasa, istilah santri mengacu kepada segolongan Muslim Jawa yang menyatakan kebaktian yang paling sungguh-sungguh kepada agama Islam, dengan menjalankan ibadah sholat, siam (puasa), haji dan seterusnya. Istilah santri di Jawa Tengah, sampai tahun duapuluhan, sematamata berarti siswa atau murid sebuah pesantren, sementara di kota istilah tersebut mangacu kepada para Muslimin Jawa yang tinggal dalam 36 Ibid 38 pemukiman sekitar mesjid yang dinamakan kauman. Dalam hal ini lebihlebih penting kita minta perhatian terhadap cara para cendikiawan muslim Indonesia menanggapi penggunaan istilah santri oleh para pengamat dari luar , terutama Clifford Geertz. Pada umumnya para Muslimin Indonesia memakai istilah lain, mereka lebih menyukai menggunakan ungkapan “pemeluknya yang setia” dan bukan istilah santri.37 Inti lembaga kelompok-kelompok santri ada di sekitar mesjid dan dalam pesantren. Adapun pesantren itu lebih berhasil mendirikan ummah Islam sebab sifatnya berdasarkan pola biara zaman lampau yang diubah. Dalam pesantren itu santri-santri dari berbagai daerah tinggal bersama dalam asrama, memasak makanannya sendiri dan biasanya bekerja di sawah milik pesantren tersebut atau milik para pendukung pesantren itu. Jadi di sekitar pesantren itulah peguyuban santri desa berkembang. Dalam mempertahankan Islam yang lebih berpengaruh ialah inti para mukminin yang giat, yaitu kiyai dan ulama yang merupakan inti pola kehidupan santri. Semula peradaban santri itu rupanya terbatas pada kota perdagangan di pantai; kemudian peradaban itu menembus ke daerah pedalaman pulau Jawa. Pusat ide Islam terletak dalam konsepsi ummah (peguyuban Islam). Orang yang baru masuk Islam sama-sama terikat oleh kepatuhannya kepada ajaran Islam. Maka pesantren menjadi saluran utama bagi masuknya Islam ke dalam kehidupan desa. Pesantrenpesantren besar yang dipimpin oleh kiyai-kiyai yang termasyhur, tumbuh 37 Ibid, halaman 10 39 dalam berbagai desa, sedangkan pesantren-pesantren yang agak kecil timbul di seluruh pulau Jawa. Kelak dalam hampir setiap desa muncullah orang-orang didikan pesantren yang dapat memberikan pelajaran dalam ibadah Islam dan membaca ayat-ayat Al-Qur’an.38 Ummat beragama sekitar pesantren yang terdiri dari para kiyai dan santri, bertanggung jawab atas didirikannya ortodoksi Islam karena tidak terdapat tatatingkat semacam di gereja atau masyarakat para penyebar agama. Sebaliknya pesantren, sebagai inti ummat Islam yang saleh, merupakan peguyuban ibadah, suasana tempat para Muslimin hidup mewujudkan ummah (umat). Inilah yang merupakan tempat bagi dorongan kepada pengislaman di Jawa. Diantara para santri perhatian terhadap ajaran Islam hampir seluruhnya mengatasi segi-segi upacaranya. Bagi para santri, arti pentingnya bukan saja terletak pada pengetahuan tentang seluk beluk upacara, terutama shalat sehari-hari, puasa, sedekah, dan sebagainya, tetapi juga pada penerapan ajaran Islam dalam kehidupan. Para santri juga berkeras bahwa mereka adalah Muslimin sejati, dan keterikatan mereka kepada agama Islam menguasai sebagian terbesar kehidupannya. Sikap itu terwujud dan mudah diketahui dalam pengamalan syariat. Bagi para santri, kesadaran ummah (ummat) mendapat arti penting dan utama. Islam dipandang oleh para santri sebagai rangkaian lingkaran-lingkaran sosial yang membentang dari santri perseorangan 38 Zaini Muchtarom, op.cit., halaman 23 40 sampai ke masyarakat besar yang meliputi para mukminin yang sama derajatnya serta keseluruhan dunia Islam. Rasa persamaan dan rasa keanggotaan ummah berdasarkan sokoguru Islam, iman dan amalnya. Iman dan amal saleh melakukan shalat sehari-hari dan shalat jum’at terbatas pada para santri.39 Santri adalah sebutan bagi murid yang mengikuti pendidikan di pondok pesantren. Pondok Pesantren adalah sekolah pendidikan umum yang persentasi ajarannya lebih banyak ilmu-ilmu pendidikan agama Islam. Kebanyakan muridnya tinggal di asrama yang disediakan di sekolah itu. Pondok Pesantren banyak berkembang di pulau Jawa. Panggilan Santri Pondok X artinya ia pernah/lulus dari Pondok Pesantren X. Panggilan Santri Kyai KH artinya ia pernah diajar oleh Kyai KH. Umumnya, sebutan santri Kyai juga berarti ia pernah menjadi anak asuh, anak didik, kadang-kadang mengabdi (biasanya di rumah kediaman) kyai yang bersangkutan.40 Santri, yaitu orang muslim saleh yang memeluk agama Islam dengan sungguh-sungguh dan dengan teliti menjalankan perintah-perintah agama Islam sebagaimana yang diketahuinya, sambil berusaha membersihkan akidahnya dari syirik yang terdapat di daerahnya. Santri yang mewakili sikap menitikberatkan pada segi-segi Islam. Clifford Geertz menerapkan istilah santri pada kebudayaan para 39 40 Ibid, halaman 33-34 www.google.com, wilkipedia bahasa Indonesia, 2-feb-2010 41 Muslimin yang memegang peraturan dengan keras dan biasanya tinggal bersama di kota dalam perkampungan dekat sebuah mesjid.41 C. KERANGKA PIKIR Gabriel A. Almond dan Sidney Verba mengaitkan budaya politik dengan orientasi dan sikap politik seseorang terhadap sistem politik dan bagian-bagiannya yang lain serta sikap terhadap peranan kita sendiri dalam sistem politik. Almond dan Verba melihat bahwa dalam pandangan tentang objek politik, terdapat tiga komponen yaitu : komponen kognitif, yaitu kemampuan yang menyangkut tingkat pengetahuan dan pemahaman serta kepercayaan dan keyakinan individu terhadap jalannya sistem politik dan atributnya, seperti tokoh-tokoh pemerintahan, kebijaksanaan yang mereka ambil, atau mengenai simbol-simbol yang dimiliki oleh sistem politiknya, seperti ibukota negara, lambang negara, kepala negara, batasbatas negara, mata uang yang dipakai, dan lain sebagainya. Komponen afektif, yaitu menyangkut perasaan seorang warga negara terhadap sistem politik dan peranan yang dapat membuatnya menerima atau menolak sistem politik itu. Komponen evaluatif, yaitu menyangkut keputusan dan praduga tentang obyek-obyek politik yang secara tipikal melibatkan kombinasi standar nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan. Eagly & Chaiken mengemukakan bahwa sikap 41 Zaini Muchtarom, op.cit., halaman 40 42 dapat diposisikan sebagai hasil evaluasi terhadap objek politik, yang diekspresikan ke dalam proses-proses kognitif, afektif, dan perilaku. Sebagai hasil evaluasi, sikap yang disimpulkan dari berbagai pengamatan terhadap objek diekspresikan dalam bentuk respon kognitif, afektif (emosi), maupun perilaku. Gabriel Almond mengajukan pengklasifikasian budaya politik sebagai berikut : 1. Budaya politik parokial, yaitu tingkat partisipasi politiknya sangat rendah, yang disebabkan faktor kognitif (misalnya tingkat pendidikan relatif rendah). 2. Budaya politik kaula atau subyek, yaitu masyarakat bersangkutan sudah relatif maju tetapi masih bersifat pasif. 3. Budaya politik partisipan, yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik sangat tinggi. Dari ketiga komponen tersebut di atas yang digunakan penulis untuk menentukan budaya politik santri pada pondok pesantren Darul Arqam Gombara Muhammadiyah, Makassar. Skema Kerangka Pikir: Pola Orientasi : -Kognitif -Afektif -Evaluatif BUDAYA POLITIK -Parokial -Subyek/kaula -Partisipan Santri di Pondok Pesantren Darul Arqam Gombara Muhammadiyah Makassar 43 BAB III METODE PENELITIAN Metode pada dasarnya merupakan cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan. Metode sangat penting dalam sebuah penelitian sebab tujuan utama penelitian adalah untuk memecahkan masalah, oleh karena itu, langkah-langkah yang ditempuh harus relevan dengan masalah yang telah dirumuskan dalam penelitian yang digunakan penulis dalam membahas rumusan masalah yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya. Metode penelitian tersebut terdiri atas: lokasi penelitian, tipe penelitian dan dasar penelitian, sumber data, tekhnik pengumpulan data, dan metode analisis data. A. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pondok Pesantren Darul Arqam Gombara, kota Makassar. Pondok Pesantren ini berdiri ketika ulama Muhammadiyah berpandangan bahwa Pendidikan Tarjih Muhammadiyah yang diselenggarakan di jalan Bandang No. 7 C Ujung Pandang (sekarang Makassar) khususnya di Pimpinan Cabang Muhammadiyah Bontoala tidak lagi relevan atau sesuai dengan perkembangan zaman. Dalam rangka pembinaan pondok pesantren, maka pada Musyawarah Wilayah Muhammadiyah di Parepare menetapkan agar Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah menjadi proyek 44 Pengkaderan Muhammadiyah. Tanggal 25 Januari 1976 berlangsung serah terima pesantren dari PCM Bontoala kepada PWM Sul-Selra. B. Tipe dan Dasar Penelitian Penelitian ini akan menggunakan tipe penelitian deskriptif untuk memenuhi tujuan dan kerangka logika. Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk menggambarkan sejumlah variabel-variabel yang berkenaan dengan masalah dan unit yang sedang diteliti. Metode ini sangat berguna dalam penelitian ini untuk mendapatkan variasi permasalahan karena berkaitan dengan tingkah laku manusia (perilaku). Jadi diharapkan dengan metode penelitian ini, peneliti akan mudah untuk menggambarkan hasil penelitian, sesuai dengan judul atau tema yang akan diteliti.42 Dasar penelitian ini adalah metode kualitatif, karena metode kualitatif memliiki varian yang beragam untuk menganalisis secara mendalam gejala yang terjadi, agar dapat melihat kenyataan-kenyataan yang ada pada objek penelitian sehingga peneliti dapat menjelaskan kenyataan tersebut secara ilmiah. C. Sumber Data Data dari penelitian ini akan diperoleh dari dua sumber, yaitu data primer dan data sekunder : 42 Sulistyo Basuki, Metode Penelitian, Wedatama Widya Sastra, 2006, halaman 94 45 a. Data primer Data primer adalah data yang diperoleh melalui lapangan atau daerah penelitian. Peneliti turun langsung ke daerah penelitian untuk mengumpulkan data. Misalnya dari observasi langsung ke pesantren dan dari hasil wawancara dengan santri. b. Data Sekunder Penulis juga melakukan telaah pustaka, yaitu mengumpulkan data dari Penelitian sebelumnya berupa buku, jurnal, koran, dan sumber informasi lainnya yang ada kaitannya dengan masalah penelitian ini. D. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini merupakan penelitian lapangan dan sasaran penelitian adalah informan dan referensi. Data penelitian tersebut dikumpulkan dengan menggunakan observasi langsung, teknik wawancara dan dokumentasi sebagai berikut: 1. Observasi langsung Pengamatan yang dilakukan secara langsung oleh peneliti terhadap objek penelitian dengan cara menjadi partisipan dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh para santri. Observasi ini membantu peneliti dalam menganalisa keadaan yang sebenarnya. 2. Teknik Wawancara 46 Dalam penelitian ini peneliti menggunakan wawancara. Wawancara menggunakan alat re-cheking atau pembuktian terhadap informasi atau keterangan yang diperoleh sebelumnya. Teknik wawacara yang digunakan dalam penelitian kualitatif adalah wawancara mendalam. Penulis melakukan pengumpulan data dengan cara wawancara secara langsung dengan informan dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) agar wawancara fokus pada masalah penelitian. Pertama peneliti membuat pedoman wawancara. Pedoman wawancara ini berisi pertanyaan-pertanyaan mendasar yang nantinya akan berkembang dalam wawancara. Pedoman wawancara yang telah disusun, ditunjukan kepada yang lebih ahli dalam hal ini adalah pembimbing penelitian untuk mendapat masukan mengenai isi pedoman wawancara. Setelah mendapat masukan dan koreksi dari pembimbing, peneliti membuat perbaikan terhadap pedoman wawancara dan mempersiapkan diri untuk melakukan wawancara. Tahap persiapan selanjutnya adalah peneliti membuat pedoman observasi yang disusun berdasarkan hasil observasi terhadap perilaku subjek selama wawancara dan observasi terhadap lingkungan atau setting wawancara, serta pengaruhnya terhadap perilaku subjek dan pencatatan langsung yang dilakukan pada saat peneliti melakukan observasi. Namun apabila tidak memungkinkan maka peneliti sesegera mungkin mencatatnya setelah wawancara selesai. Peneliti selanjutnya mencari subjek yang sesuai dengan karakteristik subjek penelitian. Sebelum wawancara dilaksanakan 47 peneliti bertanya kepada subjek tentang kesiapanya untuk diwawancarai. Setelah subjek bersedia untuk diwawancarai, peneliti membuat kesepakatan dengan subjek tersebut mengenai waktu dan tempat untuk melakukan wawancara. Peneliti membuat kesepakatan dengan subjek mengenai waktu dan tempat untuk melakukan wawancara berdasarkan pedoman yang dibuat. Setelah wawancara dilakukan, peneliti memindahakan hasil rekaman berdasrkan wawancara dalam bentuk tertulis. Selanjutnya peneliti melakukan analisis data dan interprestasi data sesuai dengan langkahlangkah yang dijabarkan pada bagian metode analisis data di akhir bab ini. setelah itu, peneliti membuat dinamika psikologis dan kesimpulan yang dilakukan, peneliti memberikan saran-saran untuk penelitian selanjutnya. Adapun informan pengumpulan data terkait masalah penelitian adalah sebagai berikut : 1) DR. K.H. Mustari Bosra, MA. sebagai pimpinan pondok pesantren Darul Arqam Gombara Muhammadiyah Makassar 2) Ustad. Arsyad sebagai Pengajar di pondok pesantren Darul Arqam Gombara Muhammadiyah Makassar. 3) Ustad. Ridwan sebagai Pengajar di pondok pesantren Darul Arqam Gombara Muhammadiyah Makassar. 4) Santri pondok pesantren Darul Arqam Gombara Muhammadiyah Makassar. 48 3. Dokumen Metode atau teknik pengumpulan data dan informasi melalui pencarian dan penemuan bukti-bukti. Metode dokumenter ini merupakan metode pengumpulan data yang berasal dari sumber non manusia. Dokumen berguna karena dapat memberikan latar belekang yang lebih luas mengenai pokok penelitian. Dokumen dan arsip mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan fokus penelitian merupakan salah satu sumber data yang paling penting dalam penelitian. Dokumen yang dimaksud adalah dokumen tertulis, gambar/foto, atau film audio-visual, data statistik laporan penelitian sebelumnya, tulisan-tulisan ilmiah tentang masalah yang diteliti.43 E. Metode Analisis Data Data yang dikumpulkan dilapangan diolah menggunakan analisis kualitatif untuk menjelaskan hasil yang diperoleh pada saat penelitian. Secara umum, analisa kualitatif yang dimaksud menggunakan metode penalaran induktif. Selain itu digunakan metode deskriptif analisis untuk menjelaskan data. Data dari hasil wawancara dan observasi sehari-hari dicatat serinci mungkin dan dikumpulkan sehingga menjadi suatu catatan lapangan. Semua data kemudian dianalisis secara kualitatif sehingga apa yang terkandung di balik realitas dapat segera terungkap. 43 Lexy J.Moleong, Metodologi penelitian kualitatif, Bandung :PT Remaja Rosdakarya, 2005, Hal.188. 49 Proses analisis data secara keseluruhan di mulai dengan menggelar seluruh data mentah yang tersedia dari berbagai sumber yaitu, wawancara, pengamatan atau observasi yang ditulis dalam catatan lapangan dan dokumentasi. Data tersebut kemudian dibaca, dipelajari, ditelaah, kemudian direduksi atau dipilah sesuai dengan kategori-kategori tertentu (tema, topik) sehingga mendapatkan gambaran yang jelas. Selanjutnya, mengabstraksikan data tersebut dengan berpegang pada keaslian data. Hasil dari abstraksi kemudian dianalisa berdasarkan kerangka pemikiran, konsep-konsep atau teori-teori yang digunakan kemudian dideskripsikan, setelah itu baru diinterpretasikan. 50 BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Gambaran Umum Kota Makassar 1. Sejarah Kota Makassar Awal Kota dan bandar makassar berada di muara sungai Tallo dengan pelabuhan niaga kecil di wilayah itu pada penghujung abad XV. Sumber-sumber Portugis memberitakan, bahwa bandar Tallo itu awalnya berada dibawah Kerajaan Siang di sekitar Pangkajene, akan tetapi pada pertengahan abad XVI, Tallo bersatu dengan sebuah kerajaan kecil lainnya yang bernama Gowa, dan mulai melepaskan diri dari kerajaan Siang, yang bahkan menyerang dan menaklukan kerajaan-kerajaan sekitarnya. Akibat semakin intensifnya kegiatan pertanian di hulu sungai Tallo, mengakibatkan pendangkalan sungai Tallo, sehingga bandarnya dipindahkan ke muara sungai Jeneberang, disinilah terjadi pembangunan kekuasaan kawasan istana oleh para ningrat Gowa-Tallo yang kemudian membangun pertahanan benteng Somba Opu, yang untuk selanjutnya seratus tahun kemudian menjadi wilayah inti Kota Makassar. Pada masa pemerintahan Raja Gowa XVI didirikan Benteng Rotterdam dibagian utara. Pada masa itu terjadi peningkatan aktifitas pada sektor perdagangan lokal, regional dan Internasional, sektor politik serta sektor pembangunan fisik oleh kerajaan. Masa ini merupakan puncak kejayaan Kerajaan Gowa, namun selanjutnya dengan adanya 51 perjanjian Bungaya menghantarkan Kerajaan Gowa pada awal keruntuhan. Komoditi ekspor utama Makassar adalah beras, yang dapat ditukar dengan rempah-rempah di Maluku maupun barang-barang manufaktur asal Timur Tengah, India dan Cina di Nusantara Barat. Dari laporan Saudagar Portugal maupun catatan-catatan lontara setempat, diketahui bahwa peranan penting Saudagar Melayu dalam perdagangan yang berdasarkan pertukaran surplus pertanian dengan barang-barang impor itu. Dengan menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil disekitarnya, yang pada umumnya berbasis agraris pula, maka Makassar meningkatkan produksi komoditi itu dengan berarti, bahkan, dalam menyerang kerajaankerajaan kecil lainnya. Hanya dalam seabad saja, Makassar menjadi salah satu kota niaga terkemuka dunia yang dihuni lebih 100.000 orang. Pada zaman itu jumlah penduduk Amsterdam, kota terbesar musuh utamanya, baru mencapai sekitar 60.000 orang. Perkembangan bandar Makasar yang demikian pesat itu, berkat hubungannya dengan perubahan pada tatanan perdagangan internasional masa itu. Pusat utama jaringan perdagangan di Malaka, ditaklukkan oleh Portugal pada tahun 1511. Bahkan ketika Malaka diambil alih oleh Kompeni Dagang Belanda VOC pada tahun 1641, sekian banyak pedagang Portugis ikut berpindah ke Makassar. Sampai pada pertengahan abad ke-17, Makassar berupaya merentangkan kekuasaannya ke sebagian besar Indonesia Timur dengan menaklukkan Pulau Selayar dan sekitarnya, kerajaan-kerajaan Wolio di 52 Buton, Bima di Sumbawa, Banggai dan Gorontalo di Sulawesi bagian Timur dan Utara serta mengadakan perjanjian dengan kerajaan-kerajaan di Seram dan pulau-pulau lain di Maluku. Secara internasional, sebagai salah satu bagian penting dalam Dunia Islam, Sultan Makassar menjalin hubungan perdagangan dan diplomatik yang erat dengan kerajaan Banten dan Aceh, Golconda di India dan Kekaisaran Otoman di Timur Tengah. Hubungan Makassar dengan Dunia Islam diawali dengan kehadiran Abdul Ma'mur Khatib Tunggal atau Dato' Ri Bandang yang berasal dari Minangkabau Sumatera Barat yang tiba di Tallo (sekarang Makassar) pada bulan September 1605. Beliau mengislamkan Raja Gowa yang keXIV I-Mangngarangi Daeng Manrabia dengan gelar Sultan Alauddin (memerintah 1593-1639), dan Mangkubumi I Mallingkaang Daeng Manyonri Karaeng Katangka yang juga sebagai Raja Tallo. Kedua raja ini, yang mulai memeluk Agama Islam di Sulawesi Selatan. Pada tanggal 9 November 1607, tepatnya hari Jum’at, diadakanlah sembahyang Jum’at pertama di Mesjid Tallo dan dinyatakan secara resmi penduduk Kerajaan Gowa-Tallo tetah memeluk Agama Islam. Pada waktu bersamaan pula, diadakan sembahyang Jum’at di Mesjid Mangallekana di Somba Opu. Tanggal inilah yang selanjutnya diperingati sebagai hari jadi kota Makassar sejak tahun 2000, yang sebelumnya hari jadi kota Makassar jatuh pada tanggal 1 April. Bagi Sulawesi Selatan, kejatuhan Makassar di tangan federasi itu merupakan sebuah titik balik yang berarti Bandar Niaga Makassar menjadi 53 wilayah kekuasaan VOC, dan beberapa pasal perjanjian perdamaian membatasi kegiatan pelayaran antar-pulau Gowa-Tallo dan sekutunya. Pelabuhan Makassar ditutup bagi pedagang asing, sehingga komunitas saudagar hijrah ke pelabuhan-pelabuhan lain. Beberapa dekade setelah pemusnahan kota dan bandar Makassar, penduduk yang tersisa membangun sebuah pemukiman baru di sebelah utara bekas Benteng Ujung Pandang. Benteng pertahanan kota lama itu pada tahun 1673 ditata ulang oleh VOC sebagai pusat pertahanan dan pemerintahan dan diberi nama barunya Fort Rotterdam. Pemukiman itu jauh lebih kecil daripada Kota Raya Makassar yang telah dihancurkan. Pada dekade pertama seusai perang. Selama dikuasai VOC, Makassar menjadi sebuah kota yang tertupakan. “Jan Kompeni” maupun para penjajah kolonial pada abad ke19 itu tak mampu menaklukkan jazirah Sulawesi Selatan yang sampai awal abad ke-20 masih terdiri dari selusinan kerajaan kecil yang independen dari pemerintahan asing, bahkan sering harus mempertahankan diri terhadap serangan militer yang ditancurkan kerajaan-kerajaan itu. Maka, 'Kota Kompeni' itu hanya berfungsi sebagai pos pengamanan di jalur utara perdagangan rempah-rempah, bentuknya pun bukan 'bentuk kota', tetapi suatu aglomerasi kampung-kampung di pesisir pantai sekeliling Fort Rotterdam. 54 Setetah Pemerintah Kolonial Hindia Belanda menggantikan kompeni perdagangan VOC yang bangkrut pada akhir abad ke-18, Makassar dihidupkan kembali dengan menjadikannya sebagai pelabuhan bebas pada tahun 1846. Tahun-tahun berikutnya Makassar berkembang dari sebuah pelabuhan backwater kembali menjadi bandar internasional. Dengan semakin berputarnya roda perekonornian Makassar, jumlah penduduknya meningkat dari sekitar 15.000 penduduk pada pertengahan abad ke-19 menjadi kurang lebih 30.000 jiwa pada awal abad berikutnya. Makassar abad ke-19 itu dijuluki "kota kecil terindah di seluruh Hindia-Belanda" (Joseph Conrad, seorang penulis InggrisPotandia), dan menjadi salah satu port of call utama bagi para pedagang Eropa, India dan Arab dalam pemburuan hasil-hasil hutan yang amat laku di pasaran dunia maupun perahu-perahu pribumi yang beroperasi di antara Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku. Pada awal abad ke-20, Belanda menaklukkan daerah-daerah independen di Sulawesi. Makassar dijadikan sebagai pusat pemerintahan kolonial Indonesia Timur. Tiga setengah dasawarsa pemerintahan kolonial itu adalah masa tanpa perang paling lama yang pernah dialami Sulawesi Selatan, dan sebagai akibatnya ekonominya berkembang dengan pesat. Penduduk Makassar dalam kurun waktu itu meningkat sebanyak tiga kali lipat, dan wilayah kota diperluas ke semua penjuru. Dideklarasikan sebagai Kota Madya pada tahun 1906, Makassar tahun 1920-an adalah kota besar kedua di luar Jawa yang membanggakan dirinya dengan 55 sembilan perwakilan asing, sederetan panjang toko di tengah kota yang menjual barang-barang mutakhir dari seluruh dunia dan kehidupan sosialbudaya yang dinamis dan kosmopolitan. Perang Dunia Kedua dan pendirian Republik Indonesia sekali lagi mengubah wajah Makassar. Hengkangnya sebagian besar warga asingnya pada tahun 1949 dan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing pada akhir tahun 1950-an menjadikannya sebuah kota provinsi. Bahkan, sifat asli Makassar pun semakin menghilang dengan kedatangan warga baru dari daerah pedalaman yang berusaha menyelamatkan diri dari kekacauan akibat berbagai pergolakan pasca revolusi. Antara tahun 1930-an sampai tahun 1961 jumlah penduduk meningkat dari sekitar 90.000 menjadi hampir 400.000 jiwa, lebih daripada setengahnya pendatang baru dari wilayah luar kota. Hal ini dicerminkan dalam penggantian nama kota menjadi Ujung Pandang berdasarkan julukan ”Jumpandang” yang selama berabad-abad lamanya menandai Kota Makassar bagi orang pedalaman pada tahun 1971. Baru pada tahun 1999 kota ini kembali dinamakan Makassar, tepatnya 13 Oktober berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 1999. Sesuai Undang-Undang Pemerintahan Daerah luas wilayah Kota Makassar pun bertambah kurang lebih 4 mil kearah laut, dari sekitar 10.000 Ha, menjadi 27.577Ha. 56 2. Letak Georafis dan Luas Wilayah Makassar adalah Ibu Kota Provinsi Sulawesi Selatan, yang terletak dibagian Selatan Pulau Sulawesi. Kota yang dahulu bernama Ujung Pandang tersebut secara geografis terletak antara 119 0 Bujur Timur dan 50 Lintang Selatan. Batas wilayah Kota Makassar adalah sebagai berikut: Sebelah Utara : Kabupaten Pangkep Sebelah Timur : Kabupaten Maros Sebelah Selatan : Kabupaten Gowa Sebelah Barat : Selat Makassar Luas wilayah Kota Makassar adalah 175,77 km 2 dengan luas laut44 sebesar 29,9 km2. Wilayah ini terbagi menjadi empat belas kecamatan dan secara keseluruhan terbagi lagi dalam satuan wilayah yang lebih kecil yaitu dari 143 wilayah kelurahan. Kode Wil. 44 Kecamatan Luas Wil. (km2) Kelurahan RW RT 010 MARISO 1,82 9 50 230 020 MAMAJANG 2,25 14 57 292 030 TAMALATE 9,23 10 71 308 011 RAPPOCINI 20,21 10 37 140 040 MAKASSAR 2,52 14 45 159 050 UJUNG PANDANG 2,63 10 58 262 060 WAJO 1,99 8 81 504 070 BONTOALA 2,10 12 51 201 080 UJUNG TANAH 5,94 12 91 445 090 TALLO 5,63 13 101 553 100 PANAKKUKANG 17,05 11 91 420 101 MANGGALA 24,14 6 66 368 Dihitung 12 mil dari daratan 57 110 BIRINGKANAYA 48,22 8 89 480 111 TAMALANREA 31,22 6 82 427 7371 MAKASSAR 175,77 143 971 4789 Sumber : Kantor Walikota Makassar, Bagian Tata Pemerintahan 3. Keadaan Penduduk Jumlah penduduk Kota Makassar pada tahun 2010 adalah sebanyak 1.339.374 jiwa dengan laju pertumbuhan 1,67 persen. Dari jumlah keseluruhan penduduk Sulawesi Selatan yang mancapai 8.032.551 jiwa45, Kota Makassar merupakan daerah dengan jumlah penduduk terbesar (16,67 %). Kepadatan penduduk di Kota Makassar mencapai 7620 orang per km2. Dari aspek jenis kelamin, perempuan masih mendominasi penduduk Kota Makassar. Hasil sensus penduduk tahun 2010 menunjukkan jumlah pendududk perempuan sebanyak 677.995 jiwa (50,6 %) dan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 661.379 jiwa (49,4 %). Tamalate menjadi kecamatan dengan populasi penduduk terbesar di Makassar. Hasil Sensus Penduduk 2010 menujukkan, saat ini Tamalate berpenduduk 154.464 jiwa. Persentasenya mencapai 11,53 persen dari total penduduk Makassar yang 1.339.374 jiwa. 4. Agama dan Bahasa Kota dengan populasi 1.339.374 jiwa ini, mayoritas penduduknya beragama Islam yang kemudian diikuti dengan agama Kristen, Buddha dan paling sedikit adalah hindu. Dalam sejarah perkembangan Islam, 45 BPS Kota Makassar 2010 58 Makassar adalah kota kunci dalam penyebaran agama Islam ke Kalimantan, Philipina Selatan, NTB dan Maluku. Munculnya kasus SARA di Ambon dan Poso pada beberapa tahun terakhir ini, tidak terlepas dari peran strategis Makassar sebagai kota pintu di wilayah Timur Indonesia. Kekristenan di Makassar dalam beberapa tahun terakhir ini sering menjadi sasaran serbuan. Perkembangan pembangunan dibidang spiritual dapat dilihat dari besarnya sarana peribadatan masing-masing agama. Tempat peribadatan umat Islam berupa mesjid dan mushalla pada tahun 2009 masing-masing berjumlah 923 buah dan 48 buah. Tempat peribadatan Kristen berupa gereja masing-masing 137 buah gereja protestan dan 8 buah gereja katholik. Tempat peribadatan untuk agama Budha dan Hindu masingmasing berjumlah 26 buah dan 3 buah. Bahasa yang digunakan masyarakat sudah sangat beragam, mulai dari bahasa Makassar, bahasa bugis, bahasa toraja, bahasa mandar, bahasa jawa dan masih banyak lagi. Namun secara umum masyarakat menggunakan bahasa Indonesia dalam kegiatan sehari-hari, meskipun kerap kali masih banyak masyarakat yang mengggunakan bahasa makasar. Hal tersebut sebab etnis Makassar masih cukup dominan di Kota Makassar. 59 B. Gambaran Umum Pondok Pesantren Darul Arqam Gombara Muhammadiyah Makassar Pondok Pesantren ini berdiri ketika ulama Muhammadiyah berpandangan bahwa Pendidikan Tarjih Muhammadiyah yang diselenggarakan di jalan Bandang No. 7 C Ujung Pandang (sekarang Makassar) khususnya di Pimpinan Cabang Muhammadiyah Bontoala tidak lagi relefan sesuai dengan perkembangan zaman. Olehnya itu tokoh-tokoh ulama Muhammadiyah sebagai konsultan dakwah pada waktu itu adalah : 1. DR. S. Madjidi 2. K.H. Abdul Jabbar Asysyiri 3. K.H. Fattul Muin Dg. Magading 4. K.H. Marsuki Hasan 5. K.H. Bakri Wahid Tahun 1970 sepakat ulama Muhammadiyah untuk mencari lokasi Pembinaan Tarjih Muhammadiyah dipindahkan ke luar kota. Dengan usaha kerja keras itulah membuahkan hasil dengan mendapatkan lokasi sekarang sebagai sumbangan dari Kepala Daerah Kab. Maros (Bapak Kasim DM). Tanggal 14 April 1971 resmi menjadi Pondok Pesantren Darul Arqam dengan akte notaris No. 22 tanggal 09 Juni 1972. Pada Musyawah Wilayah Muhammadiyah Wilayah di Limbung Gowa terpilihlah K.H. Abdul Jabbar Asysyri sebagai Ketua dan Drs. Zainuddin Sialla menjadi sekretaris. 60 Dalam rangka pembinaan pondok pesantren, maka pada Musyawarah Wilayah Muhammadiyah di Parepare menetapkan agar Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah menjadi proyek Pengkaderan Muhammadiyah. Tanggal 25 Januari 1976 berlangsung serah terima pesantren dari PCM Bontoala kepada PWM Sul-Selra. Dalam perkembangannya, Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Sulawesi Selatan telah mengalami 6 (enam) kali pergantian kepemimpinan yaitu : 1. K.H. Abdul Jabbar Asysyiri tahun 1971 s/d 1987. (almarhum) 2. K.H. Drs. Makmur Ali tahun 1987 s/d 1992. (almarhum) 3. H. Iskandar Tompo tahun 1992 s/d 1993. 4. K. H. Andi Bakri Kasim tahun 1993 s/d 1994. 5. K. H. Muchtar Waka, BA. 1994 s/d 2007 6. DR. K.H. Mustari Bosra, MA. 2007 – sekarang Identitas Pesantren Nama : Pondok Pesantren Darul Arqam Gombara Muhammadiyah makassar Alamat : Jalan Prof. Dr. Ir. Sutami, poros tol Makassar – Maros, Kelurahan Pai, Kecamatan Biringkanata, Kota Makassar. Penyelenggara : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Majelis Dikdasmen Sulawesi Selatan 61 Misi : menjadi pondok pesantren terkemuka di Indonesia dalam membina kader persyarikatan yang berakhlak mulia, cakap, percaya pada diri sendiri dan berguna bagi masyarakat bangsa dan negara. Visi : 1. Memperkokoh landasan ketakwaan dengan mewujudkan kesalehan yang dijiwai Tauhid dan Semangat Amar Ma’ruf dan Nahi Mungkar. 2. Mengoptimalkan pengembangan bakat dan keunggulan secara intensif dan komprehensif yang dilandasi tradisi keilmuan dan kintelektualan. 3. Mempertajam semangat kepeloporan dan kepemimpinan yang dilandasi Akhlaqul Karimah dan Keikhlasan. 4. Membangun semangat kemandirin dan etos kerja yang dilandasi berbagai keterampilan dan penguasaan teknologi. 62 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Pola orientasi dan sikap politik santri Pada bab ini akan membahas secara mendalam tentang pola orientasi dan sikap politik santri yang dipengaruhi oleh orientasi individu dalam memandang obyek-obyek politik. Almond dan Verba mengajukan klasifikasi tipe-tipe orientasi politik, yaitu : komponen kognitif, afektif, dan evaluatif. Serta perilaku politik budaya politik para santri. Budaya politik adalah keseluruhan dari pandangan-pandangan politik, seperti norma-norma, pola-pola orientasi terhadap politik dan pandangan hidup pada umumnya. Budaya politik mengutamakan dimensi psikologis dari suatu sistem politik, yaitu sikap-sikap, sistem-sistem kepercayaan, simbol-simbol yang dimiliki oleh individu-individu yang beroperasi di dalam seluruh masyarakat. Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua yang merupakan produk budaya Indonesia. Pesantren merupakan lembaga non formal tertua dalam tradisi pendidikan agama Islam di Indonesia, dimana pesantren tempat membina, mendidik santri sehingga mampu dan ahli dalam agama sekaligus menjadi manusia yang memanusiakan manusia (Pakuhumanika). Selain itu, pesantren mampu menjadi agen perubahan sosial dalam pembangunan masyarakat. Hal tersebut semata-mata karena kedekatannya dengan masyarakat yang mengakar dan sampai 63 sekarangpun pesantren tetap menarik untuk diteliti dan dikaji. Keberadaan Pesantren di Indonesia dimulai sejak Islam masuk negeri ini dengan mengadopsi sistem pendidikan keagamaan yang sebenarnya telah lama berkembang sebelum kedatangan Islam. Sebagai lembaga pendidikan yang telah lama berurat akar di negeri ini, pondok pesantren diakui memiliki andil yang sangat besar terhadap perjalanan sejarah bangsa. Ini juga diungkapkan Ustad. Arsyad : “Pesantren adalah tempat menimba sekaligus memperdalam ilmu keagamaan (Islam) pesantren masih menjadi rujukan bagi siapapun yang ingin mendalami ilmu keagamaannya dan pesantren juga memiliki peran dalam kemerdekaan Indonesia.”46 Pesantren juga sebagai penjaga moral “moral force” dan kepatuhan umat/masyarakat dalam menjalani kehidupan di dunia, karena kharisma seorang kyai/ulama. Pesantren merupakan sebuah pendidikan Islam yang mempunyai budaya tersendiri, berperan penting dibidang sosial keagamaan. Pesantren merupakan pusat perubahan dibidang pendidikan, politik, budaya, sosial, dan keagamaan, bahkan pada perkembangan selanjutnya pesantren juga dapat menjadi salah satu pusat pengembangan masyarakat di bidang ekonomi. Pesantren membawa misi dakwah, karena didalamnya banyak santri yang datang untuk mendalami ilmu pengetahuan agama yang kemudian mereka akan menyebar keseluruh pelosok masyarakat untuk menyebarkan ajaran agama Islam dengan binaan aqidah dan spirit amal serta bermoral baik hingga tercipta 46 Wawancara dengan Ustad. Arsyad sebagai Pengajar di pondok pesantren Darul Arqam Gombara Muhammadiyah Makassar, 15 November 2011 pukul 15.00 wita 64 kondisi yang stabil, aman dan nyaman, sejahtera dunia akhirat. Menurut Cliffort Geertz pondok atau biasa disebut pesantren merupakan pusat sistem sekolah tradisional, sebuah pondok terdiri dari seorang gurupemimpin umumnya seorang haji, yang disebut kyai, dan sekelompok murid laki-laki yang berjumlah antara tiga atau empat ratus sampai seribu orang yang disebut santri. Orientasi dan sikap politik santri bersumber dari dua pandangan dasar. Pertama, melihat dunia politik sebagai wilayah yang terbuka bagi partisipasi publik tanpa memandang kualitas keberagamaan. Kedua, melihat dunia politik sebagai realisasi kebenaran agama yang absolut dan hanya dikuasai sekelompok elit keagamaan dengan beragam sebutan seperti ulama, wilayatul faqih atau ahlul halil wal aqdi. Berdasarkan pandangan kedua, partisipasi publik dalam pengambilan keputusan politik hanya melalui wilayah elit keagamaan yang di Indonesia dikenal dengan sebagai kelas kiai dan ulama atau pemimpin gerakan Islam. Inilah penyebab sulitnya santri berkomunikasi terbuka dan dialogis dengan publik. A. Pola Orientasi Dalam Komponen Kognitif Pengetahuan santri terhadap jalannya sistem politik dapat dikatakan cukup baik. Hal tersebut dapat terlihat dari jawaban para informan pada saat wawancara mengenai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia, seperti yang diungkapkan DR. K.H. Mustari Bosra, MA: 65 “Kami mengamalkan ajaran dan hukum Islam dalam setiap kegiatan, namun sebagai warga Indonesia kami juga tetap menghargai dan mengamalkan Pancasila.” 47 Dari pernyataan tersebut dapat dilihat bahwa sebagai seorang yang taat dalam beragama, dalam hal ini agama Islam, santri pun taat akan hukum-hukum negara Indonesia, karena berada dalam wilayah Kesatuan Republik Indonesia dan merupakan warga negara Indonesia. Pancasila merupakan dasar negara yang dapat dipakai sebagai nilai universal pemersatu baik yang seagama maupun berbeda agama. Hal senada juga diungkapkan oleh Ustad. Ridwan : “Pancasila adalah falsafah bangsa Indonesia, Pancasila adalah alat pemersatu bangsa, di dalamnya terdapat nilai kemanusiaan, dan saling menghormati, tenggang rasa antar sesama, walaupun berbeda agama”48 Dalam bingkai sistem politik Indonesia arah, tujuan, serta cita-cita berpusat pada poros Pancasila dan UUD 1945 sebagai payung hukum di Indonesia yang harus ditaati semua elemen masyarakat Indonesia, ini dilakukan agar tidak sewenang-wenang dalam kebebasan berpolitik. Seperti yang diungkapkan Farida : “menurut saya Pancasila merupakan dasar negara Indonesia yang didalamnya banyak mengandung nilai-nilai dasar yang dijadikan sebagai pedoman oleh bangsa Indonesia dalam melaksanakan kehidupan bangsa sedangkan UUD itu sumber hukum yang berlaku di negara ini yang terdiri dari beberapa pasal dan bab dan 47 Wawancara dengan DR. K.H. Mustari Bosra, MA selaku pimpinan pondok pesantren Darul Arqam Gombara Muhammadiyah Makassar, 16 November 2011, Pukul 10.35 Wita 48 Wawancara Ustad. Ridwan selaku pengajar pondok pesantren Darul Arqam Gombara Muhammadiyah Makassar, 15 November 2011, Pukul 13.48 Wita 66 mencakup semua aspek hukum yang berlaku di dalam negara yang isinya dapat diamandemen” 49 Dari jawaban tersebut dapat dilihat bahwa santri di pesantren memiliki pengetahuan yang cukup baik mengenai Pancasila dan UndangUndang Dasar (UUD). Penulis menganggap penting menanyakan mengenai konstitusi karena konstitusilah yang mengatur secara mengikat cara-cara pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat dan ide pokok dari konstitusi adalah bahwa pemerintah perlu dibatasi kekuasaannya, agar penyelenggaraan negara tidak bersifat sewenangwenang. Pemahaman santri terhadap jalannya sistem politik juga dapat dikatakan cukup baik. Hal tersebut juga dapat terlihat dari jawaban para informan pada saat wawancara mengenai pemerintah khususnya Presiden, misalnya wawancara dengan Muhammad Ahkam Basir sebagai berikut: “menurut saya presiden harusnya menjalankan tugasnya dengan baik, yaa karena baik buruknya Indonesia salah satunya juga berasal dari tangan presiden dan bahkan presiden sangat berperan penting dalam perbaikan Indonesia”50 Kepemimpinan merupakan faktor penting di dalam penyelenggaraan negara. Presiden sebagai pemimpin suatu negara harus dapat menjadi teladan atau contoh yang baik bagi rakyat yang dipimpinnya. Hal ini adalah hal dasar kepemimpinan dalam Islam. Seperti 49 Wawancara dengan Farida, Santriwati di pondok pesantren Darul Arqam Gombara Muhammadiyah Makassar, 17 November 2011, Pukul 09.32 50 Wawancara dengan Muhammad Ahkam Basir, Santri di pondok pesantren Darul Arqam Gombara Muhammadiyah Makassar, 18 November 2011, Pukul 11.45 Wita 67 yang diungkapkan Fitriani mengenai contoh Presiden Indonesia yang tidak menjalankan tugasnya dengan baik: “pertama dia tidak mengawasi menterinya dengan baik sehingga menterinya itu lalai dalam menjalankan tugas, kemudian dia korupsi dan presiden tidak mengatasi masalah ekonomi padahal rakyat miskin juga punya hak untuk makmur”51 Berdasarkan jawaban kedua informan tersebut, dapat dilihat betapa pentingnya peran kepala negara dalam mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya. Jika tugas presiden adalah menjalankan amanat UndangUndang, maka jawaban santri di atas memperlihatkan pemahamannya terhadap tugas presiden. Walaupun begitu tidak mengherankan bila ada pondok pesantren yang menganut sistem Islam radikal yang membatasi diri dari lingkungan luar dan memisahkan antara agama dengan politik. Pemikiran radikal dalam konsep keagamaan lebih kepada sistem dan ajaran yang dianut dalam Islam, seperti yang diungkapkan DR. K.H. Mustari Bosra, MA: “ ....saya tidak memungkiri ada beberapa pondok pesantren yang memiliki sistem tertutup dengan konsep radikal Islam, yang hanya fokus pada ajaran Islam, namun disini kami membuka diri keluar untuk bisa bersosialisasi dengan pengetahuan luar, salah satunya tentang kewarganegaraan dan politik, namun kami tetap memegang ajaran Islam sebagai pedoman yang hakiki, dan pengetahuan dari luar kami ambil yang positifnya”52 Pesantren pada mulanya merupakan pusat penggemblengan nilainilai dan penyiaran agama Islam Namun, dalam perkembangannya, 51 Wawancara dengan Fitriani, Santriwati di pondok pesantren Darul Arqam Gombara Muhammadiyah Makassar, 18 November 2011, Pukul 10.35 Wita 52 Wawancara dengan DR. K.H. Mustari Bosra, MA selaku pimpinan pondok pesantren Darul Arqam Gombara Muhammadiyah Makassar, 16 November 2011, Pukul 10.35 Wita 68 lembaga ini semakin memperlebar wilayah garapannya yang tidak melulu mengakselerasikan mobilitas vertical (dengan penjejalan materi-materi keagamaan), tetapi juga mobilitas horizontal (kesadaran sosial). Pesantren kini tidak lagi berkutat pada kurikulum yang berbasis keagamaan (regional-based curriculum) dan cenderung melangit, tetapi juga kurikulum yang menyentuh persoalan kekinian masyarakat (societybased curriculum). Hal senada diungkapkan Anissa: “dalam proses belajar mengajar di pesantren orang mengira kita hanya belajar agama, mengaji dan sholat, memang itu menjadi kegiatan utama kita, tapi di pesantren kita juga diajarkan ilmu pengetahuan seperti sekolah biasanya.”53 Sehingga pesantren tidak bisa lagi didakwa semata-mata sebagai lembaga keagamaan murni, tetapi juga (seharusnya) menjadi lembaga sosial yang hidup yang terus merespon carut marut persoalan masyarakat di sekitarnya. Pondok Pesantren di Indonesia memiliki peran yang sangat besar, baik bagi kemajuan Islam itu sendiri maupun bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan. Menyadari hal itu, pesantren memiliki peran yang sangat strategis. Sebab, unsur-unsur pesantren yang ada di dalamnya mempunyai peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan kepercayaan santri terhadap jalannya sistem politik dapat dikatakan cukup beragam. Ada yang percaya, namun ada juga yang tidak menaruh kepercayaan terhadap sistem politik yang ada dalam hal ini harapannya terhadap pemerintah. Hal tersebut dapat terlihat dari jawaban 53 Wawancara dengan Anissa, Santriwati di pondok pesantren Darul Arqam Gombara Muhammadiyah Makassar, 17 November 2011, Pukul 10.35 Wita 69 para informan pada saat wawancara, misalnya wawancara dengan M. Arsal seperti berikut: “saya tidak percaya dengan hal itu, harapan saya pemerintah dapat memakmurkan rakyatnya, tetapi ditempat saya tinggal masih ada orang tua yang tidak mampu menyekolahkan anaknya”54 Harapan besar santri terhadap pemerintah untuk dapat memakmurkan rakyatnya merupakan hal yang wajar, melihat sumber daya alam Indonesia yang besar. Hal ini seharusnya dapat memberikan kemudahan pendidikan bagi rakyat kecil. Ada juga ungkapan Asri Asis mengenai kepercayaannya mengenai PEMILU (Pemilihan Umum) sebagai berikut: “saya cukup percaya karena rakyat dapat memilih langsung pemimpin yang mereka sukai”55 Dari jawaban di atas dapat dilihat bahwa santri memiliki tingkat pengetahuan dan pemahaman yang cukup tinggi sehingga dapat menghasilkan kepercayaan maupun ketidakpercayaan terhadap sistem politik yang ada. Namun sangat disayangkan apabila santri tidak ikut serta terhadap jalannya sistem politik. Ada juga santri yang tidak yakin terhadap jalannya sistem politik dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal ini diungkapkan 54 Wawancara dengan M. Arsyal Santri di pondok pesantren Darul Arqam Gombara Muhammadiyah Makassar, 19 November 2011, Pukul 14.55 Wita 55 Wawancara dengan Asri Asis, Santri di pondok pesantren Darul Arqam Gombara Muhammadiyah Makassar, 20 November 2011, Pukul 08.34 WITA 70 secara terang-terangan oleh salah seorang santri dalam wawancara, misalnya wawancara dengan Abdurrahman seperti berikut: “saya tidak yakin kak, karena yang saya tahu mereka hanya hidup mewah dengan menuntut kenaikan gaji dan kenyamanan dari negara. Baru-baru ini juga dikoran saya baca ada anggota dewan yang terkena kasus korupsi”56 Berdasarkan jawaban informan tersebut, dapat dilihat bahwa gaya hidup anggota dewan yang berlebihan dan adanya anggota dewan yang terlibat kasus korupsi menimbulkan ketidakyakinan didalam diri santri. Hal tersebut sejalan dengan kehidupan santri yang mereka jalani dengan kesederhanaan dan pembelajaran tentang nilai-nilai agama yang mereka terima setiap harinya tidak sesuai dengan adanya anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang terlibat kasus korupsi. B. Pola Orientasi Dalam Komponen Afektif Komponen Afektif berhubungan dengan kehidupan emosional seseorang menyangkut perasaan individu terhadap objek sikap dan menyangkut masalah emosi. Afektif atau sikap adalah respon yang dikeluarkan seseorang terhadap apa yang terjadi dalam hal ini sikap terhadap sistem politik. Seperti yang dikatakan David Easton dalam teori sistem politik, ada input yang berupa masukan dan tuntutan yang akan kemudian di konversi menjadi output berupa kebijakan. Lingkungan akan melihat positif atau negatif, jika lingkungan berpandangan positif terhadap 56 Wawancara dengan Abdurrahman, santri di Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Makassar, 21 November 2011, pukul 15.38 WITA 71 kebijakan maka akan mendukung kebijakan, tetapi jika lingkungan berpandangan negatif maka akan melahirkan tuntutan/protes dan implementasi kebijakan dapat dinyatakan gagal. Teori Sistem politik Almond pun memandang bahwa sikap politik dipengaruhi oleh lingkungan yang terbias menjadi perilaku politik. Perasaan santri di Pondok Pesantren Darul Arqam terhadap jalannya sistem politik khususnya mengenai kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam menaikkan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) adalah timbulnya perasaan kecewa. Hal tersebut diungkapkan Riskawati seperti berikut: “saya sangat kecewa kak, BBM itukan dibutuhkan sama semua masyarakat kalau itu mahal mungkin yang lain juga jadi ikut mahal. Jadinya orang yang susah jadi tambah susah” 57 Dari jawaban tersebut dapat dilihat bahwa perasaan kecewa yang timbul dalam diri santri diakibatkan oleh perasaan simpatik terhadap masyarakat, khususnya yang miskin. Kenaikan BBM (bahan bakar minyak) yang merupakan kebutuhan sehari-hari masyarakat pada umumnya sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat. Perasaan berbeda juga diungkapkan santri mengenai kinerja anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) yang menjalankan kewajiban serta tugas-tugasnya dengan baik. Hal tersebut dapat dilihat dari ungkapan salah seorang informan, yakni Yusuf seperti berikut : 57 Wawancara dengan Riskawati, santriwati di Pondok Peasantren Darul Arqam Muhammadiyah GombaraMakassar, 22 November 2011, pukul 09.43 WITA 72 “saya senang dan bangga melihat dan mendengar ada anggota DPR yang bekerja dengan sungguh-sungguh untuk kepentingan rakyat”58 Dari pandangan kedua informan tersebut di atas dapat dilihat bahwa apabila santri dihadapkan pada jalannya sistem politik yang menghasilkan sesuatu yang merugikan masyarakat banyak, maka yang timbul adalah perasaan negatif seperti misalnya kekecewaan terhadap Pemerintah. Sebaliknya apabila dihadapkan pada jalannya sistem politik yang menghasilkan sesuatu yang baik bagi masyarakat, maka akan menghasilkan perasaan positif misalnya senang dan bangga. Perasaan positif dan negatif yang timbul dalam diri santri dapat menentukan orientasi politiknya. Dengan munculnya perasaan positif pada diri santri maka akan menimbulkan “rasa percaya” (trust) dan sebaliknya jika perasaan negatif yang muncul maka akan menimbulkan rasa “permusuhan” (hostility). Almond dan Powell mencatat bahwa aspek penting yang menentukan orientasi politik seseorang, adalah hal-hal yang berkaitan dengan “rasa percaya” (trust) dan “permusuhan” (hostility). C. Pola Orientasi Dalam Komponen Evaluatif Sekarang penulis telah sampai pada komponen terakhir dari budaya politik yaitu orientasi evaluatif. Dari komponen inilah dapat ditentukan tipe dari budaya politik yang ada pada santri di Pondok Pesantren Darul Arqam Gombara Muhammadiyah Makassar. 58 Wawancara dengan Yusuf, santri di Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Gombara Makassar, 23 November 2011, pukul 08.21 WITA 73 Penulis mulai dengan menanyakan mengenai dukungan santri terhadap PEMILU (Pemilihan Umum) yang merupakan salah satu bagian dari sistem politik yang ada di Indonesia. Dari hasil PEMILU (Pemilihan Umum) yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, diharapkan mencerminkan partisipasi serta aspirasi masyarakat dalam hal ini santri. Wawancara dengan Lukman Azis: “saya dukung kak. Kalau yang terpilih adalah orang yang jujur, adil dan amanah. Tetapi kalau yang terpilih orang yang suka korupsi sebaiknya tidak usah ada PEMILU”59 Dari jawaban santri di atas dapat dilihat bahwa dukungan akan diberikan apabila hasil dari PEMILU itu sesuai dengan apa yang diharapkan santri yaitu terpilihnya pemimpin yang jujur, adil dan amanah. Dimana hasil dari PEMILU yang diharapkan santri sangat dekat dengan nilai-nilai yang ada dalam ajaran Islam yang santri pelajari setiap harinya. Hal ini membuktikan bahwa pengaruh dari Islam terhadap santri bisa dikatakan cukup kuat. Kaitan dengan budaya politik Almond dan Verba , pada umumnya kecenderungan budaya politik santri masih tergolong Budaya politik subyek/kaula memiliki frekuensi orientasi-orientasi yang tinggi terhadap sistem politiknya, namun perhatian dan intensitas orientasi mereka terhadap aspek masukan (input) dan partisipasinya dalam aspek keluaran 59 Wawancara dengan Lukman Azis, santri di Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Gpmbara Makassar, 24 November 2011, pikul 09.56 WITA 74 (output) sangat rendah. Subjek individual menyadari akan otoritas pemerintah yang memiliki spesialisasi, ia bahkan secara afektif mengorientasikan diri kepadanya, ia memiliki kebanggaan terhadapnya atau sebaliknya tidak menyukainya, dan ia menilainya sebagai otoritas yang absah. Namun demikian, posisinya sebagai subyek (kaula) mereka pandang sebagai posisi yang pasif. Di yakini bahwa posisinya tidak akan menentukan apa-apa terhadap perubahan politik. Lebih lanjut penulis kemudian menanyakan mengenai apa yang dapat santri lakukan untuk menginterpretasikan dukungan maupun penolakan terhadapa jalannya sistem politik, dalam hal ini Pemerintah dan DPR. Jawaban santri ini semakin memperjelas tipe dari budaya politik yang dianut oleh santri, seperti yang diungkapkan Abd. Jabbar: “apa ya kak, saya rasa tidak ada yang dapat saya lakukan. Yaa mungkin karena keadaan kami yang berada di dalam pesantren yang tidak memungkinkan untuk menyampaikan aspirasi dan juga kami masih setingkat pelajar mungkin kalau jadi mahasiswa baru bisa”60 Berdasarkan jawaban santri tersebut dapat dilihat bahwa santri tidak dapat melakukan apa-apa terhadap kebijakan yang diambil Pemerintah maupun DPR. Hal ini diakibatkan oleh kondisi santri yang berada di dalam pesantren yang mereka anggap tidak memungkinkan untuk menyampaikan aspirasi dan juga posisi santri yang setingkat pelajar 60 Wawancara dengan Abd. Jabbar sebagai santri di pondok pesantren Darul Arqam Gombara Muhammadiyah Makassar, 25 November 2011, pukul 13.45 WITA 75 mereka anggap sebagai posisi yang tidak tepat untuk menyampaikan aspirasi terhadap kebijakan negara. Ada juga santri yang berpendapat bahwa walaupun mereka berusaha untuk bertindak tidak akan mempengaruhi atau mengubah kebijakan yang telah diambil oleh negara. Sebab keadaan mereka sebagai santri yang tinggal di pondok pesantren, sehingga tidak mampu berbuat apa-apa tanpa ijin dari pimpinan pondok pesantren. Seperti yang diungkapkan Firdaus: “biarpun kita keluar kak untuk misalnya menyampaikan aspirasi saya yakin tidak bermanfaatji, karena kita cuma santri apalagi tanpa ijin dari Kiai tidak mampuki berbuat apa-apa.” 61 Mereka beranggapan bahwa dirinya adalah subyek yang tidak berdaya untuk mempengaruhi atau mengubah sistem. secara umum mereka menerima segala keputusan dan kebijaksanaan yang diambil oleh pejabat yang berwenang dalam masyarakat. Keberadaan kiai atau ulama di Pondok Pesantren Darul Arqam Gombara Muhammadiyah Makassar sebagai tokoh otoritatif adalah unsur penting pendidikan pesantren yang sejatinya adalah juga unsur pendidikan Islam. Dalam tradisi kehidupan sosial di lingkungan umat Islam, hirarki wewenang dan status sosial dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan ke Islaman seseorang dan kemampuan orang tersebut yang disebut ulama dalam mengkomunikasikan dan mensosialisasikan 61 Wawancara dengan Firdaus sebagai santri di pondok pesantren Darul Arqam Gombara Muhammadiyah Makassar, 26 November 2011, pukul 17.01 WITA 76 pengetahuannya tersebut kepada umat dan masyarakat. Ulama, sebagai elit santri adalah orang yang memiliki status sosial dengan suatu kedudukan yang tinggi dalam struktur masyarakat Islam. Ulama dalam kehidupan sosial kemasyarakatan seringkali disebut kyyai, khatib, mubaligh, atau guru ngaji. Berbagai keputusan tindakan masyarakat seringkali diserahkan dan lebih banyak ditentukan oleh ulama sebagai referensi tindakan sosial. Begitu pula dengan keputusan-keputusan politik dalam kehidupan masyarakat pesantren lebih banyak dipengaruhi dan ditentukan oleh peran seorang kyai. Hal senada juga diungkapkan Rahmat: “Bagi kami Kyai itu pemimpin, dan apapun yang dikatakannya kami akan ikuti, karena bagi kami Kiai adalah teladan.”62 Bagi santri ketaatan terhadap Kiai merupakan kewajiban, apapun perintah kiai harus dilaksanakan. Kiai dianggap memiliki pengetahuan dan pemahaman agama yang luas serta memiliki keutamaan akhlak sehingga dapat menjadi teladan bagi santri dan masyarakat di sekitar pesantren, ini juga diungkapkan Ustad Ridwan: “Karena kyai, sebagai pengasuh pesantren, mempunyai karisma yang luar biasa di mata santri dan masyarakat sekitarnya. Dalam kiai memegang monopoli interpretasi atas dunia di luar pesantren dan monopoli suara kolektif pesantren ke dunia luar. Dengan berbasis keagamaan santri dan masyarakat akan mendengar titah dan patuh (sam’an wa thaatan) kepada kiai.”63 Menurut teori Coser bahwa legitimasi kepemimpinan kharismatik bisa lebih kokoh daripada bentuk kepemimpinan birokratif yang cenderung 62 Wawancara dengan Rahmat, santri di pondok pesantren Darul Arqam Gombara Muhammadiyah Makassar, 27 November 2011, Pukul 11.00 Wita 63 Wawancara Ustad. Ridwan selaku pengajar pondok pesantren Darul Arqam Gombara Muhammadiyah Makassar, 28 November 2011, Pukul 13.48 Wita 77 legal dan formalistik. Legitimasi ini berperan aktif bahkan mendominsai kepemimpinan terutama dalam masyarakat tradisional. Dimana struktur dan strata sosial sangat menggema. Apalagi masyarakat tradisional dikenal sebagai masyarakat yang terikat dalam klaim patron-client. Polapola pengaruh pemimpin kharismatik banyak didasarkan kepada kepemilikan kekuasaan sosial. Dalam teori sosiologi kekuasaan sosial ini dirumuskan sebagai kemampuan untuk mengontrol pihak lain. Kekuasaan sosial ini juga sering dikaitkan dengan wewenang (authority) atau pengaruh (influence). Kepemimpinan seorang kyai dalam kehidupan pesantren sangat unik, dalam arti mempertahankan ciri-ciri pramodern, sebagaimana hubungan pemimpin-pengikut yang didasarkan atas sistem kepercayaan dibandingkan hubungan patron-klient yang sebagaimana diterapkan dalam masyarakat pada umumnya. Para santri menerima kepemimpinan kyainya karena mereka mempercayai konsep barokah, yang berdasarkan pada “doktrin emanasi” dari para sufi. Ketaatan serta harapan para santri untuk mendapatkan barokah dari kyai menjadikan pola kehidupan politik para santri menjadi sangat monolitik namun disisi lain fenomena demikian menjadi sangat berarti bagi para santri yang mempunyai kemampuan secara politis untuk bisa masuk di ruang publik. 78 BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Pesantren memiliki peran signifikan dalam proses pembentukan budaya bangsa, termasuk sektor pendidikan. Pesantren tidak hanya mengambil peran budaya lokal, tetapi juga budaya nasional. Telah terjadi perubahan-perubahan fungsi Pondok Pesantren dalam kerangka pengembangan kebudayaan nasional. Pondok pesantren yang semula hanya berfungsi sebagai pusat pengembangan budaya yang bernafaskan tasawuf yang bersekala kecil dan lokal, berubah menjadi sentral pengembangan budaya bersekala besar, nasional bahkan global. Di kalangan kiai juga terjadi perubahan, dari figur kiai yang pengasah dan pengasuh santri di pondok pesantren menjadi kiai agung menjadi politikus dan birokrat yang terkadang ada kesan tugas kekiyaiannya terabaikan. Pada bagian ini akan diuraikan kesimpulan dari budaya politik santri pada pondok pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Gombara Makassar. Kesimpulan yang diuraikan meliputi tipe budaya politik yang diajukan oleh Gabriel Almond dan Sidney Verba. Budaya politik santri sangat dipengaruhi oleh orientasi politik yaitu afektif, kognitif dan evaluatif. Dimana ketiga komoponen ini saling mempengaruhi sehingga menghasilkan tipe budaya politik yaitu subyek atau biasa juga disebut kaula. Hasil ini berdasarkan wawancara dengan 79 santri di Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Gombara Makassar. Dari hasil wawancara tersebut santri di Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Gombara Makassar memiliki frekuensi orientasi yang relatif tinggi terhadap pengetahuan sistem politik secara umum dan objek pemahaman mengenai pembuatan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dan merasa mereka adalah bagian dari warga suatu negara. Mereka juga memberikan perhatian yang cukup besar terhadap politik tetapi sifatnya pasif. Disaat yang sama ketika keluar kebijakan negara yang menurut mereka tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat banyak, mereka kemudian merasa lemah dan tidak dapat berbuat apaapa. Mereka meyakini bahwa posisinya tidak akan menetukan apa-apa terhadap perubahan politik dan juga beranggapan bahwa dirinya adalah subyek yang tidak berdaya untuk mempengaruhi ataupun mengubah sistem. Dengan demikian secara umum mereka menerima segala keputusan yang diambil dari segala kebijaksanaan pejabat bersifat mutlak, tidak dapat diubah-ubah, dikoreksi, apalagi ditentang. Bagi mereka yang prinsip adalah mematuhi perintahnya, menerima, loyal, dan setia terhadap anjuran, perintah, serta kebiaksanaan pimpinannya dalam hal ini Kiai. 80 B. Saran Setelah melakukan penelitian selama kurang dari satu bulan dengan berbagai temuan di lapangan, maka penulis memberikan beberapa saran terkait dengan budaya politik santri yakni : 1. Konsistensi pesantern sebagai dari agen sosialisasi nilai-nilai politik harus selalu peka terhadap dinamika perkembangan yang terjadi dengan tetap tidak mengabaikan peran dan fungsi pesantren yang sesungguhnya, karena itu sosialisasi yang dilakukan harus mengupayakan pendidikan yang berorientasi pada kesadaran politik. Disamping itu para santri harus lebih difasilitasi, sehingga pesantren mampu mencetak santri yang lebih egalitarian, rasional, independen, kritis, kredibel, dan aktif di masyarakat agar nilai-nilai budaya pesantren sebagai Grand Design Culture untuk mewarnai kehidupan politik masyarakat akan terlefeksi secara realistik (waqi’iyah) sesuai ajaran Islam yang rahmatan lil’ alamin. 2. Sistem pendidikan pesantren harus selalu berupaya melakukan rekonstruksi pemahaman terhadap ajaran yang dilakukan agar tetap relevan dan survive menghadapi perkembangan zaman, bahkan lebih lanjut pesantern harus mampu mewujudkan sistem sinergik, yakni sistem yang memadukan akar tradisi dan modernitas. Jika ini berhasil dilakukan hubungan pesantren dengan dunia lain pun sinergik. 81 3. Kyai sebagi pusat kendali (centra figure) pesantren, harus tetap menjadi benteng aktif yang membina, mendidik, mengayomi, dan mengawal umat dalam implementasi nilai-nilai politik yang memiliki entitas ajaran Islam dalam setiap kehidupan, termasuk dalam dinamika atmosfer politik. 4. Santri harus termotivasi untuk belajar memupuk wawasan yang mendalam tentang politik, aktif berorganisasi agar memangkas budaya “minder”, sehingga memiliki orientasi yang jelas dengan dibuktikan dengan gerakan politik aktif ketika berkiprah dalam kepemimpinan akan mampu menciptakan kultur yang the man on righ place, baik kepemimpinan masyarakat lokal maupun dalam skala yang lebih luas. 5. Pemerintah harus lebih proaktif dan serius dalam menjaga nilai-nilai kultur pesantren. Hal ini dianggap perlu karena pesantren memiliki peranan besar dalam peranan politik memperjuangkan kemerdekaan bangsa. 6. Partai Politik, budayawan, pakar politik dan akademisi yang beragama Islam harus lebih banyak mengkaji kultur pesantren yang merupakan bagian dari agen sosialisasi nilai-nilai politik dalam kaitan dengan pendidikan politik, sehingga hubungan pesantren dengan lembaga lain saling memberikan masukan dalam upaya membangun bangsa dengan kultur ke-Indonesia-an. 82