BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi KonsepdanBatasanKonsep

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi KonsepdanBatasanKonsep
1. Gay
Sebutan gay sering digunakan untuk menyebut pria yang
memiliki kecendrungan mencintai sesama jenis. Definisi gay yakni
lelaki yang memiliki orientasi seksual terhadap sesama lelaki
(Duffy & Atwater, 2005: 11).
Michael dkk (Kendal, 1998: 81-82) mengidentifikasikan tiga
kriteria dalam menentukan seseorang itu gay, yakni sebagai
berikut:
a. Ketertarikan seksual terhadap orang yang memiliki
kesamaan gender dengan dirinya.
b. Keterlibatan seksual dengan satu orang atau lebih
yang memiliki kesamaan gender dengan dirinya.
c. Mengidentifikasi diri sebagai gay.
Sedangkan
biseksual
adalah
orientasi
seksual
yang
menunjukan ketertarikan seseorang terhadap orang lain tanpa
memperdulikan gender. Seseorang pelaku biseksual biasanya tidak
memperdulikan seseorang itu pelaku heterosex, gay, ataupun
transgender.
2. Perilaku Seksual
Perilaku diartikan sebagai reaksi yang dapat bersifat
sederhana maupun komplek serta mempunyai sifat diferensial,
artinya satu stimulus dapat menimbulkan lebih dari satu
respons yang berbeda dan beberapa stimulus yang berbeda
dapat saja menimbulkan satu respon yang sama (Azwar, 1995:
32).
Morgan (Poespitarini,1990: 22) mendefinisikan perilaku
sebagai segala sesuatu yang dapat dilakukan individu dan yang
dapat diobservasi baik secara langsung maupun tidak langsung.
Ditambahkan pula bahwa perilaku itu dapat diukur dengan
melihat apa yang dikerjakan sehingga dapat dibuat satu
kesimpulan mengenai perasaan-perasaan, sikap-sikap dan
proses mental yang lain.
Chaplin (1989: 12-13) mengelompokkan perilaku
menjadi dua yaitu, perilaku yang tidak dapat diamati secara
langsung seperti pikiran, perasaan dan kehendak serta perilaku
yang dapat diamati secara langsung seperti berpegangan
tangan, berciuman, dan berhubungan seks. Dengan demikian
dapat
ditariksuatu
kesimpulan
bahwa
perilaku
adalah
manifestasi dari proses mental secara internal, yang bisa
diobservasi dan diukur dengan berbagai cara baik secara
langsung maupun tidak langsung. Salah satu bentuk perilaku
manusia yang selalu mewarnai hari-hari hidupnya adalah
perilaku dalam kaitannya dengan masalah-masalah seksual.
Dalam kamus bahasa seks berarti jenis kelamin. Segala sesuatu
yang berhubungan dengan jenis kelamin disebut dengan
seksualitas.
Menurut Masters (1992: 72) seksualitas menyangkut
berbagai dimensi yang sangat luas, diantaranya adalah dimensi
biologis, psikologis, sosial dan kultural. Martono (1981: 21)
berpendapat bahwa seks merupakan sesuatu kekuatan yang
dapat mendorong organisme untuk melakukan aktivitas yang
sifatnya seksual baik untuk tujuan reproduksi atau tidak.
Menurut Sarwono dan Siamsidar (Poespitarini, 1990:
14-15) memberikan pengertian seksualitas dalam dua arti yaitu
dalam arti sempit, seksualitas berarti kelamin yang terdiri dari
alat kelamin, anggota tubuh dan ciri-ciri badaniah yang
membedakan pria dan wanita, kelenjar dan hormon kelamin,
hubungan seksual serta pemakaian alat kontrasepsi, sedangkan
pengertian dalam arti luas seksualitas merupakan segala hal
yang terjadi akibat dari adanya perbedaan jenis kelamin,seperti
tingkah laku, perbedaan atribut, perbedaan peran atau pekerjaan
dan hubungan pria dan wanita. Secara ringkas seksualitas
adalah dorongan hidup manusia yang sifatnya naluriah, baik
dalam arti organ-organ tubuh dan ciri badaniah yang
membedakan laki-laki dan perempuan maupun hal-hal lain
yang terjadi akibat adanya perbedaan jenis kelamin.
Sarwono (1989: 23-24) memberikan definisi perilaku
seksual sebagai segala macam bentuk kegiatan yang dapat
menyalurkan dorongan seksual seseorang. Dalam hubungan
antar jenis, bentuk-bentuk kegiatan yang dapat menyalurkan
dorongan seksual biasanya melibatkan dua orang yang berbeda
jenis kelaminnya. Perilaku seksual menurut Kallen (1984: 92)
adalah salah satu dari perilaku sosial yang diatur masyarakat
melalui norma-norma dan dipelajari melalui proses sosialisasi.
Dengan demikian penyaluran dan pemuasan dorongan seksual
dapat dikendalikan melalui proses belajar.
Sementara Mayasari (2000: 17-18) berpendapat bahwa
perilaku seksual dapat diartikan sebagai manifestasi dari
dorongan seksual individu dalam bentuk perbuatan yangtampak
atau terselubung dengan berbagai macam objek seksual yang
dapat diobservasi dan diukur dengan berbagai cara, baik secara
langsung mapun tidak langsung. Sementara menurut Vener dan
Stewart (Thornburg, 1982: 17) perilaku seksual itu dimulai dari
saling berpegangan tangan, berpelukan, berciuman, necking,
petting tahap ringan hingga berat dan kemudian melakukan
senggama.
3. Nikah
Nikah secara bahasa adalah berkumpul dan bergabung.
Dikatakan, nakahat al-asyjar, yaitu pohon-pohon tumbuh saling
berdekatan dan berkumpul dalam satu tempat. Berkata Imam
Nawawi : “Nikah secara bahasa adalah bergabung, kadang
digunakan untuk menyebut “akad nikah” , kadang digunakan
untuk menyebut hubungan seksual.”
Al-Fara’ seorang ahli bahasa Arab mengatakan bahwa
orang Arab menyebutkan kata “Nukah al Mar-atu” artinya
adalah organ kewanitaan. Jika mereka mengatakan “nakaha almar-ata”
artinya telah menggauli di organ kewanitaannya.
Adapun “Nikah” secara istilah adalah : “Akad yang dilakukan
antara laki-laki dan perempuan yang dengannya dihalalkan
baginya
untuk
melakukan
hubungan
seksual.(www.ahmadzain.com/read/karya-tulis/271/pengertianmenikah-dan-hukumnya/diunduh pada 14 Maret 2014 pukul
21.00 WIB).
Dalam Kehidupan manusia di dunia ini, yang berlainan jenis
kelaminya (laki-laki dan perempuan) secara alamiah mempunyai
daya tarik menarik antara satu dengan yang lainya untuk dapat
hidup bersama atau secara logis dapat dikatakan untuk membentuk
suatu keluarga atau rumah tangga yang rukun, bahagia, sejahtera
dan abadi. Hal ini dapat terwujud jika ada suatu pernikahan.
Definisi mengenai pernikahan ada beberapa macam, yaitu:
a. Menurut Agama Islam
Berdasarkan Al Quran surat An Nisa’ ayat 1, yaitu “ Hai
sekalian manusia bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan menjadikan istri
daripadanya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakan
pria dan wanita”(Anwar Abu Bakar, 2007: 148).
b. Menurut Agama Kristen
Pernikahan adalah persekutuan hidup dari dua orang yang
bersedia tolong-menolong (saling melayani) secara timbal balik.
Tuhan Allah mengenali laki-laki dan melengkapi dengan
memberikan seorang penolong sebagai pasangannya. Selaku
penolong perempuan akan menyelamatkan laki-laki dari
kesepian dan kesunyian. Keduanya tidak lebih rendah atau lebih
tinggi.
c. Menurut Agama Katholik
Pernikahan adalah perkawinan yang menerima sakramen
pernikahan dari Gereja.
d. Menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan bertujuan
membentuk keluarga(rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasar ketuhanan Yang Maha Esa.
Menurut
Syamsul
Rijal
Hamid,
pernikahan
adalah
menciptakan ikatan lahir dan batin seorang pria dan wanita
sebagai suami-istri dengan syarat dan rukun yang telah
ditetapkan (1997:240). Beberapa definisi mengenai pernikahan,
kita dapat membandingkan definisi dari sudut agama baik
agama Islam, Kristen atau Katholik, dari sudut perundangundangan yaitu Undang-Undang Pernikahan No.1 Tahun 1974
dan dari pandapat pakar, sehingga kita dapat mengerti definisi
pernikahan secara menyeluruh dari berbagaia aspek.
Soerojo Wignjodipoero (1987: 122) menyatakan bahwa
pernikahan adalah peristiwa sebagai rentetan perbuatan magis
yang bertujuan untuk manjamin ketenangan, kebahagiaan dan
kesuburan. Sedangkan Moch Ali Hasan (1994: 32) menyatakan
bahwa nikah adalah aqad yang mengandung arti halalnya
hubungan antara pria dan wanita dan berkewajiban tolongmenolong, serta menentukan hak dan kewajiban masing-masing
sebagai suami-isteri.
Sedangkan Goodenough (dalam William A. Havilland,
1993: 77) menyatakan bahwa pernikahan adalah suatu transaksi
dan kontak yang sah dan resmi antara seorang wanita dan
seorang pria yang mengukuhkan hak mereka yang tetap untuk
berhubungan seksual satu sama lain dan yang menegaskan
bahwa wanita yang bersangkutan sudah memenuhi syarat untuk
melahirkan anak. Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka
dapat disimpulkan bahwa pernikahan adalah hubungan antara
seorang pria dengan seorang wanita yang bertujuan untuk
menjamin ketenangan, kebahagiaan, dan kesuburan, serta
menimbulkan hak dan kewajiban masing-masing sebagai suami
isteri.
B. Penelitian Terdahulu
Penelitian berjudul Fenomena Gay di Kota Yogyakarta, oleh
Gesti lestari (2012).
Penelitian ini menghasilkan bahwa pertama, alasan memilih jalan
hidup sebagai gay diantaranya adalah kebutuhan seksual yang mana
dirasakan oleh kaum gay hanya bisa tertarik dengan sesama laki-laki
saja, trauma percintaan dengan lawan jenis yang dirasakan cukup
dalam oleh laki-laki sehingga memilih pasangan yang sejenis dengan
harapan rasa sakitnya tidak terulang dan pengalaman seks yang kurang
menyenangkan (sodomi) mengakibatkan trauma berkepanjangan yang
akhirnya menjadikan apa yang telahdialaminya sebagai pengalaman
seks dan berlanjut sampai dengan waktu yang lama. Kedua Pada
dasarnya
semua
narasumber
(masyarakat
umum)
berasumsi
samabahwa gay merupakan individu dengan orientasi seks yang tidak
wajar.
Sikap yang ditunjukan terhadap para gay berbeda-beda, ada yang
cenderung terbuka dan bisa menerima keberadaannya, ada pula yang
kurang bisa menerima keberadaannya bahkan ada yang sama sekali
tidak
bisa
menerima
keberadaanya
sehingga
para
gaykerap
mendapatkan cibiran dari sebagian masyarakat.
Penelitian berjudul Fenomena Komunitas Gay di Kota Malang,
oleh Albertin Danis (2011).
Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui pola-pola
interaksi dan komunikasi verbal dan non verbal yang digunakan oleh
kaum gay ditinjau melalui Komunikasi Antar Pribadi (KAP), saat
mereka melakukan hubungan secara sosial dengan sesama gay di
dalam suatu kelompok maupun masyarakat secara umum.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan komunikasi verbal yang
dilakukan oleh komunitas gay di dalam kelompok memiliki sebuah
keunikan pemakaian bahasa, yang disebut sebagai bahasa gaul.
Komunikasi nonverbal dalam komunitas gay juga memiliki tujuan
yang sama yaitu memberikan tanda bahwa mereka adalah gay pada
sesama gay, menyembunyikan maksud pembicaraan pada orang di luar
komunitas gay, serta membedakan kedekatan antar anggota maupun
kelompok berbeda dalam satu komunitas. Interaksi kaum gay ternyata
tidak hanya sebatas melalui interaksi secara langsung, tapi juga melalui
media massa. Banyak keluarga dari para gay yang belum tahu tentang
kehidupan anggota keluarga mereka yang menjadi seorang gay.
Apabila ketahuan pasti akan nada permasalahan yang cukup besar
dihadapi. Tapi tidak menutup kemungkinan, keluarga dari para gay
menerima kondisi yang sebenarnya.
Penelitian berjudul Pembentukan Identitas Seksual KaumGay,
oleh Urin Laila Sa’adah (2008).
Hasil
dari
penelitian
ini
menunjukkan
bahwa
kronologis
pembentukan identitas seksual gay mulai dirasa oleh subjek ketika
menginjak usia Sekolah Menengah Pertama. Walaupun pada usia
Sekolah Dasar seringkali mereka sudah berbeda dalam menjalani
kehidupan bersosialisasi bersama teman-teman yang lain, namun
semua itu tidak terlalu dirasakan oleh subjek. Menginjak usia di
Sekolah Menengah Atas dilema keberbedaan ketika lebih menyukai
teman laki-laki sudah mulai muncul saat itu subjek belum bisa
mendefinisikan kalau dirinya gay. Setelah subjek mengetahui adanya
terminologi gaybaru subjek mulai menafsirkan dirinya apakah sesuai
dengan ungkapan tersebut. Penguatan dan keyakinan diri bahwa
identitas seksualnya adalah sebagai seorang gay setelah melakukan
hubungan seksual dengan sesama jenis atau ketika subjek menemukan
komunitas gay. Melakukan hubungan seksualitas dengan sesama jenis
bagi gay sudah menjadi bagian hidup yang tidak mudah digantikan.
Untuk itu banyak hal yang dilakukan kaum gay untuk tetap bisa
melakukan hubungan seksual gay salah satunya melalui politik
identitas. Politik identitas di sini merupakan salah satu siasat untuk
tetap mempertahankan identitas, dengan cara menyesuaikan diri sesuai
dengan kondisi yang menuntut gay untuk bersikap sesuai dengan
lingkungannya. Dan akhirnya, identitas diri dimaknai oleh gay tetap
sebagai laki-laki walaupun seringkali mereka berdandan seperti
layaknya perempuan. Laki-laki tetap diakui sebagai identitas diri
mereka.
International Journal of Gay; Implicit and Explicit Measures of
Sexual Orientation Attitudes: In Group Preferences and Related
Behaviors and Beliefs among Gay and Straight Men: The
Personality and Social Psychology Bulletin by William A. Jellison,
(2004)
The relations among implicit and explicit measures of sexual
orientation attitudes and sexual-orientation-related behavior and
beliefs among gay men (Study 1) and straight men (Studies 1 and 2)
were explored. Study 1 found relations between implicit and explicit
measures of sexual orientation attitudes, large differences between gay
and straight men on both implicit and explicit measures, and that these
measures predicted sexual-orientation-related behaviors among gay
men. Also, only straight men exhibited a negative relation between
their attitudes toward homosexuality and heterosexuality. Study 2
found that as straight men held more negative attitudes toward
homosexuality, they more strongly endorsed the importance of
heterosexual identity and of traditional masculine gender roles. These
endorsements mediated the negative relation between their attitudes
toward heterosexuality and homosexuality. Implications for assessing
attitudes toward sexual orientation and their relations for sexual
orientation identity are discussed.
Jurnal Internasional yang ditulis oleh William A. Jellison pada
tahun 2004 tersebut menemukan bahwa pria normal (straight) dengan
pria gay memiliki perbedaan dalam memandang pentingnya identitas
seksual.
International Journal of Transcultural Nursing; Family and
Community Influences on the Social and Sexual Lives of Latino Gay
Men: by Peter A. Guarnero, (2007)
The purpose of this study was to explore the effect of family and
community on the social and sexual lives of a group of Latino gay men
living in a metropolitan area. A secondary analysis of four focus
groups with 28 Latino gay men was conducted. Families had a difficult
time acknowledging and supporting participants’ homosexuality.
Participants experienced racism, discrimination, and physical and
verbal abuse as a result of their ethnicityand homosexuality. These
negativeeffects contributed to their marginalization and made them
vulnerable to depression and suicide. Health care professionals should
be aware of the effect of family and culture on the social and sexual
lives of Latino gay men so that they can intervene and direct the client
to the services needed to manage depression, suicidal ideation, and
high-risk sexual behavior.
Jurnal Internasional yang ditulis oleh Peter A. Guarnero pada tahun
2007 menemukan bahwa untuk mengeksplorasi efek dari keluarga dan
masyarakat pada kehidupan sosial dan seksual dari kelompok laki-laki
gay Latino tinggal di daerah metropolitan yang mana kelompokkelompok gay latin mengalami marginalisasi dan meembuat mereka
rentan terhadap derpresi dan bunuh diri.
International Journal of prison ;Sexual Orientation Perspectives
of Incarcerated Bisexual and Gay Men: The County Jail Protective
Custody Experience: by Leanne Fiftal Alarid,(2000)
This study examined sexual identity and perceptions of treatment
by other prisoners and staff of incarcerated bisexual and gay men in
special housing. Eigenberg's social constructionist model guided
theoretical inquiry, and questions were derived from Wooden and
Parker's survey. Although all inmates surveyed felt safer in protective
custody than in general population, gay men were more likely to
pressure bisexual and/or heterosexual offenders for sex while in
protective custody. Bisexual offenders who preferred women to men
more often sought protection from another inmate, reported more
pressure from others to have sex, and felt less safe in jail than gay or
bisexual men who preferred men over women. Sexual patterns tended
to be indistinct for bisexuals, a factor that contributed to lower
institutional adjustment and less satisfaction with regard to their
sexual identity.
Jurnal Internasional yang ditulis oleh Leanne Fiftal Alarid pada
tahun 2000 menemukan bahwa identitas seksual dan persepsi
pengobatan oleh para tahanan dan staf dipenjara pria biseksual dan
gaydi perumahan khusus lainnya, yang mana Pola seksual cenderung
tidak jelas untuk biseksual, faktor yang berkontribusi untuk
menurunkan penyesuaian kelembagaan dan kurang puas dengan hal
identitas seksual.
C. Landasan Teori
(Erving Goffman: 1992: 33-35) mendalami dramaturgi dari segi
sosiologi. Beliau menggali segala macam perilaku interaksi yang kita
lakukan
dalam
pertunjukan
kehidupan
kita
sehari-hari
yang
menampilkan diri kita sendiri dalam cara yang sama dengan cara
seorang aktor menampilkan karakter orang lain dalam sebuah
pertunjukan drama. Cara yang sama ini berarti mengacu kepada
kesamaan yang berarti ada pertunjukanyang ditampilkan. Goffman
mengacu pada pertunjukan sosiologi. Pertunjukan yang terjadi di
masyarakat untuk memberi kesan yang baik untuk mencapai tujuan.
Tujuan dari presentasi dari Goffman ini adalah penerimaan
penonton akan manipulasi. Bila seorang aktor berhasil, maka penonton
akan melihat aktor sesuai sudut yang memang ingin diperlihatkan oleh
aktor tersebut. Aktor akan semakin mudah untuk membawa penonton
untuk mencapai tujuan dari pertunjukan tersebut. Ini dapat dikatakan
sebagai bentuk lain dari komunikasi. Karena komunikasi sebenarnya
adalah alat untuk mencapai tujuan. Bila dalam komunikasi
konvensional manusia berbicara tentang bagaimana memaksimalkan
indera verbal dan non-verbal untuk mencapai tujuan akhir komunikasi,
agar orang lain mengikuti kemauan kita. Maka dalam dramaturgis,
yang diperhitungkan adalah konsep menyeluruh bagaimana kita
menghayati peran sehingga dapat memberikan feedback sesuai yang
kita mau. Perlu diingat, dramatugis mempelajari konteks dari perilaku
manusia dalam mencapai tujuannya dan bukan untuk mempelajari
hasil dari perilakunya tersebut. Dramaturgi memahami bahwa dalam
interaksi antar manusia ada “kesepakatan” perilaku yang disetujui yang
dapat mengantarkan kepada tujuan akhir dari maksud interaksi sosial
tersebut. Bermain peran merupakan salah satu alat yang dapat
mengacu kepada tercapainya kesepakatan tersebut.
Dalam teori Dramatugis menjelaskan bahwa identitas manusia
adalah tidak stabil dan merupakan setiap identitas tersebut merupakan
bagian kejiwaan psikologi yang mandiri. Identitas manusia bisa saja
berubah-ubah tergantung dari interaksi dengan orang lain. Disinilah
dramaturgis masuk, bagaimana kita menguasai interaksi tersebut.
Dalam
dramaturgis,
interaksi
sosial
dimaknai
sama
dengan
pertunjukan teater. Manusia adalah aktor yang berusaha untuk
menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain
melalui “pertunjukan dramanya sendiri”.
Dalam Dramaturgi terdiri dari Front stage (panggung depan) dan
Back Stage (panggung belakang). Front Stage yaitu bagian
pertunjukan
yang
berfungsi
mendefinisikan
situasi
penyaksi
pertunjukan. Front stage dibagi menjadi dua bagian. Setting yaitu
pemandangan fisik yang harus ada jika sang aktor memainkan
perannya. Dan Front Personal yaitu berbagai macam perlengkapan
sebagai pembahasa perasaan dari sang aktor. Front personal masih
terbagi menjadi dua bagian, yaitu Penampilan yang terdiri dari
berbagai jenis barang yang mengenalkan status sosial aktor. Dan gaya
yang berarti mengenalkan peran macam apa yang dimainkan aktor
dalam situasi tertentu.
Back stage (panggung belakang) yaitu ruang dimana disitulah
berjalan skenario pertunjukan oleh “tim” (masyarakat rahasia yang
mengatur pementasan masing-masing aktor).
Dalam mencapai tujuannya tersebut, menurut konsep dramaturgis,
manusia akan mengembangkan perilaku-perilaku yang mendukung
perannya tersebut. Selayaknya pertunjukan drama, seorang aktor
drama kehidupan juga harus mempersiapkan kelengkapan pertunjukan.
Kelengkapan ini antara lain memperhitungkan setting, kostum,
penggunakan kata (dialog) dan tindakan non verbal lain, hal ini
tentunya bertujuan untuk meninggalkan kesan yang baik pada lawan
interaksi dan memuluskan jalan mencapai tujuan. Oleh Goffman,
tindakan diatas disebut dalam istilah “impression management”.
Goffman juga melihat bahwa ada perbedaan akting yang besar saat
aktor berada di atas panggung (front stage) dan di belakang panggung
(back stage) drama kehidupan. Kondisi akting di front stage adalah
adanya penonton (yang melihat kita) dan kita sedang berada dalam
bagian pertunjukan. Saat itu kita berusaha untuk memainkan peran kita
sebaik-baiknya agar penonton memahami tujuan dari perilaku kita.
Perilaku kita dibatasi oleh oleh konsep-konsep drama yang bertujuan
untuk membuat drama yang berhasil (lihat unsur-unsur tersebut pada
impression management diatas). Sedangkan back stage adalah keadaan
dimana kita berada di belakang panggung, dengan kondisi bahwa tidak
ada penonton. Sehingga kita dapat berperilaku bebas tanpa
mempedulikan plot perilaku bagaimana yang harus kita bawakan.
Contohnya, seorang teller senantiasa berpakaian rapi menyambut
nasabah dengan ramah, santun, bersikap formil dan perkataan yang
diatur. Tetapi, saat istirahat siang, sang teller bisa bersikap lebih santai,
bersenda gurau dengan bahasa gaul dengan temannya atau bersikap
tidak formil lainnya (ngerumpi). Saat teller menyambut nasabah,
merupakan saat front stage baginya (saat pertunjukan). Tanggung
jawabnya adalah menyambut nasabah dan memberikan pelayanan
kepada nasabah tersebut. Oleh karenanya, perilaku sang teller juga
adalah perilaku yang sudah digariskan skenarionya oleh pihak
manajemen.
Saat
istirahat
makan
siang,
teller
bebas
untuk
mempersiapkan dirinya menuju babak ke dua dari pertunjukan
tersebut. Karenanya, skenario yang disiapkan oleh manajemen adalah
bagaimana sang teller tersebut dapat refresh untuk menjalankan
perannya di babak selanjutnya.
Sebelum berinteraksi dengan orang lain, seseorang pasti akan
mempersiapkan perannya dulu, atau kesan yang ingin ditangkap oleh
orang lain. Kondisi ini sama dengan apa yang dunia teater katakan
sebagai “breaking character”. Dengan konsep dramaturgis dan
permainan peran yang dilakukan oleh manusia, terciptalah suasanasuasana dan kondisi interaksi yang kemudian memberikan makna
tersendiri. Munculnya pemaknaan ini sangat tergantung pada latar
belakang sosial masyarakat itu sendiri. Terbentuklah kemudian
masyarakat yang mampu beradaptasi dengan berbagai suasana dan
corak kehidupan. Masyarakat yang tinggal dalam komunitas heterogen
perkotaan,
menciptakan
panggung-panggung
sendiri
yang
membuatnya bisa tampil sebagai komunitas yang bisa bertahan hidup
dengan keheterogenannya. Begitu juga dengan masyarakat homogen
pedesaan,
menciptakan
panggung-panggung
sendiri
melalui
interaksinya, yang terkadang justru membentuk proteksi sendiri
dengan komunitas lainnya. Apa yang dilakukan masyarakat melalui
konsep permainan peran adalah realitas yang terjadi secara alamiah
dan berkembang sesuai perubahan yang berlangsung dalam diri
mereka. Permainan peran ini akan berubah-rubah sesuai kondisi dan
waktu berlangsungnya. Banyak pula faktor yang berpengaruh dalam
permainan peran ini, terutama aspek sosial psikologis yang
melingkupinya.
Dramarturgi hanya dapat berlaku di institusi total,Institusi total
maksudnya adalah institusi yang memiliki karakter dihambakan oleh
sebagian kehidupan atau keseluruhan kehidupan dari individual yang
terkait dengan institusi tersebut, dimana individu ini berlaku sebagai
sub-ordinat yang mana sangat tergantung kepada organisasi dan orang
yang berwenang atasnya. Ciri-ciri institusi total antara lain
dikendalikan oleh kekuasan (hegemoni) dan memiliki hierarki yang
jelas. Contohnya, sekolah asrama yang masih menganut paham
pengajaran kuno (disiplin tinggi), kamp konsentrasi (barak militer),
institusi pendidikan, penjara, pusat rehabilitasi (termasuk didalamnya
rumah sakit jiwa, biara, institusi pemerintah, dan lainnya). Dramaturgi
dianggap dapat berperan baik pada instansi-instansi yang menuntut
pengabdian tinggi dan tidak menghendaki adanya “pemberontakan”.
Karena di dalam institusi-institusi ini peran-peran sosial akan lebih
mudah untuk diidentifikasi. Orang akan lebih memahami skenario
semacam apa yang ingin dimainkan. Bahkan beberapa ahli percaya
bahwa teori ini harus dibuktikan dahulu sebelum diaplikasikan (Erving
Goffman, 1992: 45-47).
D. Kerangka Pemikiran
Yogyakarta sering dijuluki sebagai kota multietnis karena
masyarakat Kota Yogyakarta saat ini banyak didominasi oleh warga
pendatang atau mahasiswa yang berasal dari bermacam-macam daerah
di Indonesia bahkan dari Negara lain, sehingga dapat dikatakan bahwa
Kota Yogyakarta merupakan suatu bentuk Indonesia mini karena di
dalamnya terdapat berbagai macam model dan jenis orang di mana
mereka berasal dari latar belakang dan adat istiadat serta kebiasaan
berbeda. Salah satunya keberadaan kaum gay yang ada di Kota
Yogyakarta.
Penelitian ini akan membahas bagaimana perilaku kaum gayyang
telah menikah yang ada di kota Yogyakarta, yang mana kaum gay
sebelum menikah, saatmenikahdan setelah menikah. Alasan penulis
mengambil judul ini dikarenakan terdapat hal unik dimana kaum gay
yang telah menikah apakah masih berhubungan dengan pasangan
sesama jenisnya melalui perilaku seksualnya atau telah berhenti
berhubungan dengan sesama jenisnya melalui perilaku seksualnya.
Untuk lebih jelas, kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat
pada kerangka penelitian berikut ini :
Perilaku Seksual
Gay
Teori Dramaturgi
Panggung
Depan
Panggung
Belakang
Bagan 2.1
Kerangka pemikiran
Penelitian ini akan menggunakan teori dramaturgi dari Erving
Goffman dimana menjabarkan bahwa segala macam perilaku interaksi
yang kita lakukan dalam pertunjukan kehidupan kita sehari-hari yang
menampilkan diri kita sendiri dalam cara yang sama dengan cara
seorang aktor menampilkan karakter orang lain dalam sebuah
pertunjukan drama.
Dalam Dramaturgi terdiri dari panggung depan dan panggung
belakang. Panggung depanberarti kaum gaydihadapan istrinya sebagai
laki-laki heterosex. Panggung Belakang berarti kaum gay dibelakang
istrinya menjadi seorang gay yang bisa berperan sebagai Top (lakilaki) atau pun Bottom (perempuan) maupun Versatile(bisa keduaduanya sebagai laki-laki maupun sebagai perempuan) terhadap
pasangan sesama jenisnya (laki-laki).
Download