BAB I Subjek 1 : Ibu Icih A. Proses Pendekatan dan Pertemuan dengan Subyek Sebenarnya, ini bukan pertama kalinya bagi kelompok kami untuk bertemu dengan bu Icih karena bu icih merupakan tetangga dari teman salah satu anggota kelompok kami. Jadi, kami sudah pernah bertemu dengan bu Icih sebelum nya, jauh sebelum proses Eksposure ini diadakan. Pada saat eksposure ini diadakan, kami langsung menghubungi teman dari salah satu anggota kelompok kami yaitu bernama Rafi agar bisa memberi tahu kepada Bu Icih untuk meluangkan sedikit waktunya karena kelompok kami berencana ingin mengunjungi tempat tinggal Bu Icih. Setelah kami berjanjian dengan Bu Icih, pada tanggal 10 April 2015 kami langsung mengunjungi tempat tinggal Bu Icih yang berada di kawasan Punclut. Agar proses eksposure ini berjalan dengan lebih efektif, kami berencana untuk membagi kelompok ini kedalam 2 inti, jadi untuk proses eksposure subjek 1 ada 2 orang yang menjalankannya dan begitu juga dengan proses eksposure pada subjek 2. Pada saat hari pertama, kami mengunjungi tempat tinggal Bu Icih di Sore hari setelah kegiatan kuliah kami selesai. Pada saat itu, kami langsung disambut dengan Bu Icih dan anak nya yang bernama Yani. Kami dipersilakan masuk ke tempat tinggal nya, dan setelah itu, kami berbincang dengan Bu Icih dan Yani mengenai bagaimana kehidupan mereka berjalan, lalu bagaimana mereka bisa mencukupi kebutuhan hidup di zaman yang semakin berat ini, setelah itu Bu Acih juga bercerita bagaimana suaminya bisa meninggal, lalu bagaimana Bu Icih bisa bertemu dengan suaminya lalu menikah dan bagaimana mereka bisa tinggal di tempat tersebut. Pada hari kedua, kami datang ke tempat tinggalnya dan menanyakan bagaimana kabar mereka lalu kami juga berniat ingin membantu Bu Icih untuk meringankan bebannya dalam melakukan pekerjaannya. Jadi kami meminta izin kepada Bu Icih untuk ikut serta dalam membantu pekerjaannya. Pada hari ketiga, kami bertemu bu Icih di daerah yang biasa beliau pakai untuk bekerja, yaitu di daerah kawasan Punclut juga. Di sana , kita membantu Bu Icih memulung barang-barang yang tidak terpakai seperti kardus, gelas plastik, dan lain-lain. Setelah selesai membantu Bu Icih, kami berpamitan kepada Bu Icih dan mengucapkan terimakasih yang sebesar-sebesarnya karena telah bersedia untuk diwawancara dalam kegiatan eksposure ini. Kami juga, memberikan beberapa barang seperti buah-buahan dan baju bekas yang masih layak untuk dipakai sebagai tanda ucapan terima kasih kami. B. Deskripsi Tentang Subyek: 1. Identitas Diri dan Keluarganya Nama : Icih Tempat, tanggal lahir : Bogor, 6 Maret 1957 Umur : 56 Kota asal : Bogor Kota sekarang : Bandung Pendidikan : Tidak tamat SD Pekerjaan : Pemulung Jumlah keluarga : 3 (Ibu, Kakak, Adik) Anak ke-satu Nama : Dian Umur : 19 Kota : Bandung Pendidikan : SD Pekerjaan : Kuli Bangunan Anak ke-dua Nama : Yani Umur : 15 Kota : Bandung Pendidikan : SD Pekerjaan : Pengrajn kayu 2. Aktivitas Pekerjaan dan Keseharian Subyek Ibu Icih yang berprofesi sebagai pemulung biasa beroperasi disekitar daerah punclut. Barang-barang yang ia pungut berupa botol bekas air kemasan, baik botol plastik maupun botol kaca, kaleng-kalengan, kardus, dan segala barang bekas yang bisa dikilo untuk dijual kepada tukang rongsokan. Dalam sehari ia biasa mengumpulkan 1 kilo barang rongsokan, biasanya ia langsung menjualnya atau di tampung di rumah, untuk dikumpulkan dan bila dirasa sudah cukup dan akan menguntungkan baru barang-barang tersebut akan dijual. Dalam memulung ia biasa mendapat penghasilan sekitar Rp 8.000 hingga Rp 11.000. Ia biasa bekeja dari mulai pagi hingga menjelang malam, namun saat ini ia membatasi jam kerjanya dari pagi hingga menjelang sore hari, hal tersebut dilakukan karena saat ini usianya sudah semakin tua, dan sering terkena penyakit karena ia bekerja terlalu keras dan mengabaikan kondisi tubuhnya, selama ini ia sering ditegur oleh anak-anaknya karena bekerja terlalu keras sehingga ia harus membatasi jam kerja untuk mencegah penyakit yang mungkin akan timbul. Ia juga biasa bekerja seminggu penuh namun karena ada kebijakan baru dari pemerintah setempat yang melarangnya untuk memulung karena sudah ada petugas kebersihan yang bertugas membersihkan sampah hingga ke tempat penampungan sampah (TPS), karena itu untuk bekerja ia harus beroperasi sembunyi sembunyi dari petugas setempat. Ibu Icih memfokuskan kerjanya pada akhir pekan, karena pada hari tersebut pertugas kebersihan libur dan karena punclut merupakan tempat rekreasi yang ramai diakhir pekan, yang sering menarik banyak pengunjung, sehingga memungkinkan ia untuk mendapatkan penghasilan yang cukup. Untuk mencari tambahan penghasilaan, ibu Icih melakukan pekerjaan sampingan seperti membantu membuang sampah milik tetangga disekitar rumahnya, para tetangga membayar secara kolektif kepada ibu Icih setiap bulannya Rp 50.000 yang “katanya” lumayan. Ia juga kadang-kadang bekerja mencuci piring dirumah makan punclut dan dibayar Rp 5.000. Selain itu juga ibu Icih bisa dipanggil untuk menggunakan jasanya memangkas rumput. Ia biasa dibayar Rp 30.000 dalam sehari dan jika orang yang baik akan memberinya konsumsi makan, namun ia pun tidak menolak jika harus dibayar Rp 10.000 saja, padahal saat memangkas rumput ia bekerja seharian dan panas-panasan. Pekerjaan sampingan tersebut hanya sesekali ia lakukan tergantung terhadap permintaan dari pengguna jasanya. Sehingga tak jarang ia selalu kekurangan untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Dengan penghasilannya yang minim itu ibu Icih selalu bilang cukup tidak cukup ya dicukup-cukupi saja untuk memenuhi segala kebutuhannya, yang penting bisa makan nasi, mau ada lauknya apa tidak itu urusan belakangan. Ibu Icih adalah orangtua tunggal karena suaminya sudah lama meninggal, sehingga ia harus menjadi ibu sekaligus ayah bagi kedua anaknya, sepulang bekerja ia kembali harus bekerja membersihkan rumah dan mengurus anak seperti membuat masakan untuk dimakan anakanaknya. Karena saat ini anak-anaknya sudah bukan anak kecil lagi, ibu Icih tidak terlalu repot untuk mengurus anak, bahkan anak ibu Icih yang pertama, Dian, sudah bisa membantunya untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan memberikan uang jika sedang bekerja, mengingat pekerjaannya hanya sebagai seorang kuli bangunan, pekerjaan yang tidak tetap, sehingga jika tidak ada panggilan harus menganggur dan mencari kerjaan lain. Anak ibu Icih yang keduapun, Yani, harus berhenti sekolah saat akan naik ke kelas 2 smp karena kekurangan biaya, dan ia ada kesadaran untuk membantu ibunya mencari uang dengan membuat kerajinan anyaman dari kayu untuk dijadikan kursi, itupun kerjaan yang tidak tetap dan dari satu kursi hanya mendapatkan Rp 10.000. Yani mempunyai keinginan untuk mendapatkan pekerjaan tetap, supaya bisa mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Namun keluarga ini tetap percaya bahwa rejeki sudah ada yang mengatur, uang bisa dating dari mana saja, yang penting halal. 3. Kondisi Tempat Tinggal Keluarga ibu Icih tinggal di kampung Cipicung, dimana daerah tersebut jauh dari kota maupun jalan raya dan tidak ada kendaraan umum, sehingga untuk bepergian harus berjalan kaki, kondisi jalan menuju kampung Cipicung jelek dan berlubang, jalannya sempit dan hanya muat satu mobil, disertai jalan yang berkelok dan medannya berat karena jalanan yang menanjak sehingga memungkinkan terjadinya kecelakaan. Ibu Icih tinggal di gang sempit yang menanjak, yang tidak memungkinkan motor untuk masuk, dan disekitarnya ada banyak kebon kosong. Kondisi rumah masih setengah jadi dan sempit, atapnya bocor ketika hujan sehingga menyebabkan banjir. Lantainya masih berupa tanah sehingga untuk berjalan-jalan dirumahpun harus menggunakan sandal. Bahkan pertama kali mengunjungi rumah ibu Icih saat itu belum ada listrik sehingga tidak ada lampu untuk penerangan, penerangan dimalam hari hanya menggunakan lilin, itupun jika punya uang untuk membeli lilin, jika tidak keluarga ibu Icih harus melaksanakan aktivitasnya gelap-gelapan. Namun, pada kunjungan kedua rumah ibu Icih sudah dipasang listrk, sehingga sekarang sudah ada lampu untuk penerangan, dan tidak perlu repot-repot membeli lilin, atau beraktivitas dengan gelapgelapan. Dirumahnya, ibu Icih tidak memiliki sumber air bersih seperti sumur, sehingga untuk mandi, mencuci, bahkan untuk minum harus pergi kesungai yang jaraknya jauh dari rumah, namun karena sekarang sudah ada listrik, dipasanglah selang air. Ibu Icih memasak diluar rumah karena tidak punya dapur, dan ia memasak tidak menggunakan kompor melainkan menggunakan kayu. Sehingga pada saat hujan ibu Icih tidak bisa memasak karena pasti kehujanan. 4. Kondisi Ekonomi Kondisi perekonomiannya sangat memprihatinkan, karena ibu Icih sudah tua dan hidup tanpa suami, dan bekerja hanya sebagai pemulung, meskipun ada pekerjaan sampingan namun itu tidak tentu dan hasilnya masih sangatlah minim. Sering kali ibu Icih dan keluarga dalam sehari tidak mendapat penghasilan, sehingga mereka tidak makan seharian, kadang ketika salah satu dari keluarga sedang sakit terpaksa menahan rasa sakit dan menunggu hingga sembuh sendiri. Jika sangat membutuhkan, biasanya ibu Icih terpaksa mengutang di warung untuk belanja makan, namun ia masih sering merasa malu karena harus mengutang. Pada saat hari perayaan besar, seperti hari lebaran, disaat semua orang libur dan beristirahat untuk berkumpul bersama sanak-saudara, ibu Icih tetap memaksakan diri untuk bekerja dibandingkan untuk beristirahat dan bersenang-senang bersama keluarga, bahkan pada hari itu dijadikannya peluang untuk mendapatkan penghasilan yang lebih besar dari biasanya. 5. Kehidupan Sosial dan Keagamaan Jika dilihat dari segi kehidupan sosialnya, Ibu Icih dikenal oleh tetangganya sebagai pribadi yang ramah, hal tersebut menurun kepada anak-anaknya, anaknya juga dikenal sebagai pribadi yang sopan dan santun. Ketika tetangga terdekat ibu Icih sedang memiliki rejeki lebih, mereka tidak lupa untuk mebagikan sedikit rejeki mereka kepada keluarga ibu Icih, begitulah pengakuan dari ibu Icih sendiri. Bahkan ketika tetangga mebutuhkan bantuan dari ibu Icih, ibu Icih bersedia membantu dengan senang hati tanpa menuntut bayaran, namun mereka yang mempunyai kesadaran selalu memberi lebih atas jasa yang telah dikerjakan oleh ibu Icih. Sedangkan jika dilihat dari segi kehidupan agamanya, Ibu Icih merupakan seseorang yang sangat taat kepada Tuhan. Karena Ibu Icih menempati tempat tinggal yang daerahnya berdekatan dengan Masjid, beliau jadi merasa beruntung karena merasa selalu diingatkan untuk beribadah ketika adzan berkumandang. Ibu Icih dan anak-anaknya sangat rajin untuk melakukan ibadah 5 waktu. Bahkan ibu Icih juga melakukan puasa setiap hari senin dan kamis. Walaupun kehidupan mereka serba kekurangan, hal itu tidak mempengaruhi mereka untuk tidak beribadah kepada Tuhan atau menyalahkan-Nya akan kehidupan yang sangat sulit ini. Ibu Icih juga tidak lupa untuk selalu bersyukur akan apa yang telah diberikan oleh Tuhan kepada nya. Ibu icih bahkan pernah mendapatkan sebuah tawaran untuk tinggal di sebuah rumah yang layak untuk ditempati dan kehidupannya juga akan terjamin jika Bu Icih dan sekeluarga berniat untuk pindah agama, tetapi tawaran tersebut ditolak mentah-mentah oleh Bu Icih karena menurut pendapat dari Bu Icih sendiri, jika ingin mendapatkan kehidupan yang layak tidaklah seharusnya dengan berpindah agama/keyakinan tetapi kita bisa mendapatkannya dengan kerja keras dan dengan sunggguh-sungguh. Dilihat dari hal tersebut, bisa disimpulkan bahwa Bu Icih bukan hanya memiliki sikap yang baik hati, tetapi Bu Icih juga memiliki iman yang kuat terhadap Tuhan. C. Analisa Masalah Masalah-masalah apa yang dihadapi subyek: Mengapa subyek menjalani pekerjaan sekarang Ibu Icih menjalani pekerjaan sekarang karena sebelumnya sudah diajak oleh suaminya untuk sama-sama bekerja sebagai pemulung. Sebelumnya ibu Icih dan keluarga merupakan keluarga yang mampu, dan ibu Icih bersama suami sama-sama mempuyai pekerjaan tetap, sehingga tidak ada permasalahan dalam ekonomi. Namun, karena ada konflik internal dalam keluarga tersebut, menyebabkan keluarga ibu Icih harus bekerja sebagai pemulung dan bertahan sampai saat ini dengan profesi sebagai pemulung. Masalah yang kerap dihadapi dalam pekerjaan mereka - Kelebihan muatan, sedangakan ibu Icih bekerja tanpa menggunakan roda atau alat bantu lainnya. - Cuaca yang tidak mendukung, seperti kehujanan dijalan, sehingga barang bawaan menjadi basah dan perlu dikeringkan pada saat dijual seperti kardus bekas. - Intimidasi preman, atau sesama pemulung, karena merasa lahan kerjanya adalah wilayah kekuasaanya sehingga tidak ada orang yang boleh melakukan kegiatan yang sama, di tempat yang sama. - Larangan-larangan dari pihak pemerintah, karena kebijakan pemerintah berlandaskan hukum, sehingga menjadi anacaman tersendiri bagi pemulung seperti ibu Icih. Masalah-masalah yang dihadapi dalam keluarga - Terserang penyakit, membuat ibu Icih harus berhenti sementara dari pekerjaannya, sementara ia perlu uang untuk makan. Sedangkan anaknya belum tentu punya uang untuk mengobati penyakit. - Hujatan yang dialami oleh anak-anak ibu Icih dari teman-temannya, karena profesi pemulung dianggap pekerjaan yang hina. - Kelaparan, jika tidak mendapatkan penghasilan, keluarga ibu Icih terpaksa harus puasa. Keluarga ibu Icih tetap sabar dan tidak ingin mendengarkan apa kata orang lain mengenai kondisi mereka maupun profesi ibu Icih yang sebagai pemulung, yang penting adalah bagaimana usaha mereka untuk dapat tetap bertahan hidup, karena selain memulung mereka tetap mencari pekerjaan lain, bahkan mereka mempunyai watak yang tidak betah menganggur, dalam kata lain mereka semua adalah pribadi yang pekerja keras. D. Solusi yang ditawarkan Menurut kelompok kami, langkah konkret yang bisa kami lakukan untuk membantu mereka keluar dari keterbatasan hidup mereka adalah dengan mengadakan kegiatan sosial seperti penggalangaan dana untuk membantu memenuhi kebutuhan hidup mereka, sering berkunjung ke rumah mereka untuk memberi bantuan berupa sembako, selain itu mengadakan kegiatan belajar bersama untuk anak mereka agar wawasan mereka bertambah sehingga bisa membantu orang tua mereka untuk masa depan yang lebih baik. Dalam masalah ini adapun lembaga atau institusi yang bisa dilibatkan untuk mengatasi keterbatasan hidup mereka adalah lembaga keagamaan seperti pada agama Katolik ada saat menjelang Natal dan Paska ada suatu kegiatan seperti AAP dan APP yang berfungsi untuk meringankan sesame kita manusia yang berkekurangan melalui sumbangan. Pada agama Islam pada saat menjelang Idul Fitri para kaum muslim yang memiliki pekerjaan tetap diwajibkan untuk meneyerahkan sebagian hartanya kepada kaum duafa. Pada saat Idul Adha para kaum muslim menyembelih daging sapi atau kambing lalu hasil penyembelihan tersebut diserahkan kepada kaum duafa. BAB II Subjek 2 : Bapak Maksudi A. Proses Pendekatan dan pertemuan dengan Subjek Pada saat pemberian tugas eksposure kami merasa bingung untuk mencari subjek unutk tugas ini. Namun, kelompok kami memutuskan untuk menjadi dua kelompok kecil untuk mencari subjek dan melalukakn pendekatan subjek itu. Deky dan Boas yang melakukan pendekatan terhadap subjek dua yang bernama Bapak Maksudi. Kami mendapatkan subjek itu di daerah Cihapit dan bapak itu bekerja sebagai tukang gorengan. Pada hari pertama tanggal 7 April 2015 kami melalukakan eksposure dengan cara mendatangi bapak Maksudi itu yang sedang berjualan gorengan disitu kami berdua berkenalan dan kebetulan bapak itu sedang bersama anaknya yang berjualan nasi uduk dan kami berdua pun menyapa dan memperkenalkan diri kami pada bapak Maksudi dan anaknya. Setelah itu kami berdua memulai percakapan dengan bapak Maksudi. Kami merasa dekat dengan bapak Maksudi hingga kamu menjadi akrab dengan bapak Maksudi dan keluarganya. Saat itu juga kami melihat bapak Maksudi yang sudah cukup tua terus melayani para pembeli yang membeli dagangannya. Di akhir percakapan kami dengan bapak Maksudi dan anaknya kami berdua juga mencoba membeli dagangan bapak itu meskipun tidak seberapa namun kami harap dapat membantu beban bapak Maksudi. Pada hari kedua tanggal 10 April 2015 kami berdua mengunjungi bapak Maksudi di tempat ia berjualan namun pada saat itu beliau sedang sangat sibuk dan tidak mau diganggu maka dengan itu kita berdua mengerti bapak Maksudi yang sedang sibuk itu sehingga kami tidak jadi melakukan pertemuan dengan beliau karena kesibukannya. Pada hari ketiga tanggal 12 April 2015 kami mencoba berkunjung lagi ke tempat bapak Maksudi berjualan dan akhirnya bapak Maksudi mau kami ajak menuruskan pendekatan kami yang sempat tertunda. Setelah itu kami berdua mulai melanjutkan pendekatan kami yang sempat tertunda. Pada hari itu kami melihat satu anaknya lagi yang bersama bapak Maksudi sedang membantu berjualan disitu kami melihat keluarga yang damai saling bercanda gurau meskipun lelah saat berjualan namun di wajah mereka tidak ada kata lelah. Setelah selesai seperti biasa kami membeli dagangan bapak Maksudi tersebut dan diakhir perbincangan kami berdua meminta dokumentasi bersama bapak Maksudi. B. Deskripsi tentang subjek Subjek ke dua ini bernama Bapak Maksudi. Bapak Maksudi sudah berumur 71 tahun. Bapak Maksudi bekerja sebagai tukang gorengan di daerah Cihapit. Bapak Maksudi ini anak 7 orang dan cucu 17 orang. Bapak Maksudi berasal dari Sikijing (daerah Majalengka).bapak Maksudi ini sudah berjualan gorengan selama 20 tahun namun sebelum menjadi tukang gorengan bapak Maksudi pernak bekerja sebagai tukang sayur. Keseharian bapak Maksudi selalu berjualan gorengan meskipun hari libur pun bapak Maksudi selalu berjualan. Bapak Maksudi berjualan dari pagi hingga jam 3 atau jam 5 sore setelah itu bapak selalu mempersiapkan bahan yang diperlukan berjualan esok harinya begitu seterusnya bapak selalu melakukan hal itu dibantu dengan anaknya. Kondisi ekonomi dari keluarga bapak Maksudi ini sangat kurang dari penghasilan berjualan gorengan itu pun untung yang diperoleh sangat kecil yaitu sekitar 50.000 dan itu untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Anak bapak semuanya pun berjualan membantu bapak yang sudah cukup tua itu. Kehidupan sosial bapak dan keluarganya sangat ramah ini terbukti saat berjualan pedagang lainnya yang berada di sebelahnya selalu berbicara dengan ramah pada bapak Maksudi dan terlihat kesederhanaan dari cara berpakaian dan berbicara bapak dan anaknya. Kehidupan agamanya pun bapak Maksudi sangat kuat ini terlihat saat berbicara dengan bapak Maksudi dia selalu bersyukur apapun yang diberikan Tuhan padanya hingga saat ini. C. Analisa Masalah Pada awalnya,subyek bekerja sebagai pedagang sayur dipasar Cihapit semenjak 20 tahun yang lalu.Namun,pekerjaan sebagai tukang sayur kurang diminati oleh subyek sehingga beliau memilih pekerjaan sebagai pedagang gorengan.Selama pekerjaan menjadi tukang gorengan,beliau mengambil keuntungan 40% dari harga jual.Pada hari-hari libur,biasanya banyak orang yang berminat membeli dagangan beliau sehingga diatas jam 12 siang,dagangan beliau bisa cepat laku (kisaran 30-50 ribu).Pada hari-hari biasa,beliau sering mengalami kerugian karena sedikit pembeli yang mengunjungi pasar ini(keuntungan hanya sampai sekitar 30 ribu dalam sehari).Keluarga bapak Maksudi terdiri dari beliau dan 7 orang anak yang semuanya sudah berkeluarga.Istri bapak Maksudi sudah lama meninggal,sehingga beliau menjalani kehidupan masa tua nya sendirian. Usaha yang keluarga bapak Maksudi sudah lakukan yaitu dengan anaknya yang membantu bapaknya berjualan seperti berjualan nasi uduk, tukang tambal bal dan masih banyak lagi sehingga membantu bapak yang sudah tua itu. Adapun keinginan bapak Maksudi di masa depan adalah ingin menikmati masa tuanya dengan tetap berjualan namun berjualan yang ringan karena berjualan gorengan seperti ini bapak Maksudi sudah tidak kuat lagi karena faktor usia yang sudah cukup tua. D. Solusi yang ditawarkan Menurut kelompok kami, langkah konkret yang bisa kami lakukan untuk membantu mereka keluar dari keterbatasan hidup mereka adalah dengan mengadakan kegiatan sosial seperti penggalangaan dana untuk membantu memenuhi kebutuhan hidup mereka, sering berkunjung ke rumah mereka untuk memberi bantuan berupa sembako, selain itu mengadakan kegiatan belajar bersama untuk anak mereka agar wawasan mereka bertambah sehingga bisa membantu orang tua mereka untuk masa depan yang lebih baik. Dalam masalah ini adapun lembaga atau institusi yang bisa dilibatkan untuk mengatasi keterbatasan hidup mereka adalah lembaga keagamaan seperti pada agama Katolik ada saat menjelang Natal dan Paska ada suatu kegiatan seperti AAP dan APP yang berfungsi untuk meringankan sesame kita manusia yang berkekurangan melalui sumbangan. Pada agama Islam pada saat menjelang Idul Fitri para kaum muslim yang memiliki pekerjaan tetap diwajibkan untuk meneyerahkan sebagian hartanya kepada kaum duafa. Pada saat Idul Adha para kaum muslim menyembelih daging sapi atau kambing lalu hasil penyembelihan tersebut diserahkan kepada kaum duafa. BAB III Refleksi Pengalaman Eksposure A Terkait dengan subjek Menurut kelompok kami, pengalaman yang berharga yang kami dapatkan selama eksposure adalah kita menyadari bahwa mencari uang itu tidak semudah seperti yang kita bayangkan, tidak pernah mengeluh dalam menjalani kehidupan ini, selalu bekerja keras untuk meraih apa yang mereka inginkan. Dengan melihat kondisi subjek dalam keadaan itu menyadarkan kami untuk lebih bersyukur terhadap keadaan kita sekarang yang diberikan oleh Tuhan. Tuhan Yesus juga mengajak kita untuk membela yang miskin dan tersisih. Yesus dalam mewartakan mewartakan kerajaan Allah selalu bergaul dengan semua orang yang menderita, berdosa, orangorang yang disingkirkan. Yesus juga tidak membiarkan penderitaan terjadi pada umatnya maka kita semua sebagai manusia yang beriman harus saling menolong dan bersyukur apa yang Tuhan berikan kepada kita semua. Sumber : Yoh 6:1-15 (Yesus memberi makan 5000 orang);Mat 11:25-30 (Ajakan Juruselamat) B Terkait dengan kerja dalam kelompok Pengalaman inspirasi berharga yang kami dapat pada saat mengerjakan eksposure adalah ikut tejun langsung dalam melaksakan pekerjaan mereka sehingga kita dapat belajar mengenai kesulitan dalam menghadapi kehidupan ini. Kami juga merasa senang karena dapat meringankan beban mereka dan membuat mereka tersenyum, membuat kami ingin menjadi pribadi pekerja keras, serta selalu bersyukur pada setiap situasi dan kondisi yang diberikan oleh Tuhan. Gereja juga selalu keberpihakan bagi orang miskin. Di zaman yang modern ini perubahan kebudayaan, tata kehidupan berubah dengan cepat maka gereja hadir untuk bersosialisasi dengan semangat kasih dalam keterlibatan atau keberpihakannya kepada mereka yang miskin. Gereja juga memilih sikap mendahulukan pelayanan kepada rakyat kecil. Serta kita sebagai pengikut Kristus wajib menolong mereka yang miskin dan menderita karena mereka adalah satu anggota yang mengambil bagian dalam satu Tubuh mistik Kristus. Dari sinilah kita harus menyebarkan kasih yang menjadi hukum utama kita dengan sesama dan Tuhan. Sumber:(RefleksiAtasMateretMagistraArtikel159) BAB IV Lampiran A. Rekap Interaksi dan Keterlibatan dengan Subjek Subjek 1 : Kelas : V Kelompok : VII , Subyek : Pemulung No. Waktu 1. Jumat, 10 April 2015 Aktivitas&Durasi Wawancara dan mengunjungi rumah Anggota yang Ikut Nadia&Niken Ibu Icih di Puclut, 2jam 2. Sabtu, 11 April 2015 Wawancara dengan Ibu Icih dan Nadia&Niken berbincang-bincang dengan Bu icih Pkl. 12.00-13.00, 1 jam 3. Sabtu, 18 April 2015 Membantu Bu Icih memulung barangbarang di jalanan, Pkl. 09.00-11.00 Subjek 2 : Kelas : V Kelompok : VII , Subyek : Tukang Gorengan Nadia&Niken No. 1. Waktu Selasa, 7 April 2015 Aktivitas&Durasi Wawancara dan mengunjungi Anggota yang Ikut Deky&Boas tempat berjualan Bapak Maksudi di di Cihapit, 1jam 2. Jumat, 10 April 2015 Mengunjungi tempat berjualan Deky&Boas Bapak Maksudi di di Cihapit, subjek tidak bisa diganggu, 20 menit 3. Minggu, 12 April 2015 Wawancara dan mengunjungi Deky&Boas tempat berjualan Bapak Maksudi di di Cihapit dan melihat aktivitas keluarga bapak Maksudi, 1 jam B. Artikel yang diacu 1. Terkait dengan subjek TEMA: YESUS MEMBELA YANG MISKIN DAN TERSISIH Referensi biblis : Yoh 6:1-15 (Yesus memberi makan 5000 orang) ; Mat 11:25-30 (Ajakan Juruselamat) Pokok-pokok iman dan refleksi: Dalam perjalanan kehidupan Yesus untuk mewartakan kerajaan Allah, selain karya Yesus memulihkan orang sakit dan menderita, memberikan pengajaran tentang keselamatan, Yesus juga banyak membela orang miskin dan disingkirkan oleh masyarakat. Orang-orang ini seringkali jadi korban dieksploitasi, dimanfaatkan oleh untuk kepentingan orang-orang berkuasa. Yesus membela mereka, merangkul mereka, dan bergaul bersama dengan mereka untuk menunjukan bahwa kasih Allah juga dikaruniakan bagi mereka. Yesus bersabda: “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit. Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa.” (Mrk 2:17). Yesus mendekati orang-orang berdosa untuk menyelamatkan mereka dari dosa dan penderitaannya. Gereja Katolik juga secara konsisten mengikuti perintah dan teladan Yesus dengan merangkul dan mendampingi mereka yang miskin, menderita, dan tersisih dari masyarakat. Yesus bergaul dengan semua orang termasuk orang-orang mederita, berdosa, orang-orang yang disingkirkan masyarakat dan bahkan wanita tuna susila, semata-mata untuk menyelamatkan mereka. Sebenarnya pergaulan Yesus dengan orang berdosa dan yang dinggap najis tidak sesuai dengan adar budaya dan sopan santun pada waktu itu, tapi Yesus berani menentang dan merombak segala peraturan yang dianggap salah, karena yang terpentinga bagi Yesus adalah keselamatan mereka semua. Yesus inigin menyatakan rasa solidaritas dan menawarkan rahmat pengampunan Allah kepada manusia yang berdosa, untuk menyelamatkan mereka. Yesus datang membawa belaskasihan Allah kepada manusia “Yang Ku-kehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan; karena Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa.” (Mat 9:13). Bagaimana sikap kita terhadap orang yang miskin atau orang yang disingkirkan oleh masyarakat? Yesus peduli dan menolong kelaparan: kisa Yesus memberi makan 5000 orang (lih Yoh 6:115), hati Yesus tergerak oleh belas kasih melihat orang kelaparan/menderita. Lima roti dan dua ikan, symbol sesuatu yang kecil, tapi Yesus mengucap syukur atas hal kecil tersebut dan mempersatukan kepada Allah, sehingga terjadi karya yang besar. Dia tidak membiarkan penderitaan terjadi kepada orang beriman dan Dia akan menolong asal manusia datang, berharap dan percaya kepadaNya. Orang yang tersingkir, ditinggalkan oleh keluarga, miskin menjadi sorotan dalam perjalanan hidup Yesus. Sabda bahagia: “Berbahagialah, kamu yang miskin, lapar, menangis, karena kamulah empunya kerajaan surge, kamu akan dipuaskan …” (lih Luk 6:20-21). Mengapa orang miskin atau sengsara dinyatakan berbagia oleh Yesus? Karena justru mereka yang miskin, mederita, dan tak memiliki apa-apa, tak berdaya di dunia ini, paling condong mengharapkan segalanya dari Tuhan sebagai satu-satunya harapan dan sandaran. Tuhan adalah segalanya, mereka inilah yang dinyatakan berbahagia oleh Yesus. “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu” (Mat 11:28). Itulah janji Yesus yang ditawarkan kepada manusia. Betapa baiknya Dia! CATATAN http://programkatekese.blogspot.com/2010/05/tema-ix-yesus-membela-yang-miskin.html 2. Terkait kerja dalam kelompok KEBERPIHAKAN GEREJA BAGI ORANG MISKIN (OPTION FOR THE POOR) (Refleksi Atas Mater et Magistra Artikel 159) 1. Pengantar Kemiskinan merupakan problem kemanusiaan yang menimpa kehidupan sebagian manusia zaman ini. Ini merupakan kenyataan yang yang tak dapat dihindari oleh sebagian orang dalam kehidupannya. Kenyataan ini merupakan sesuatu yang memperihatinkan karena menyangkut hidup manusia. Pada dasarnya manusia dalam hidupnya ingin merasakan adanya kebahagiaan, segalanya terpenuhi. Tidak ada orang dalam kehidupannya ingin hidup dalam suasana menderita karena miskin. Namun, karena keterbatasan dan perbedaan kemampan manusia, disertai dengan struktur sosial yang kurang menguntungkan sebagian orang, membuat kemiskinan menjadi tak dapat dihindari. Salah satu ciri yang menandai kehidupan manusia zaman ini adalah adanya persaingan. Persaingan ini terjadi dalam segala aspek kehidupan manusia, yakni dalam bidang ekonomi, ilmu pengetahtahuan dan teknologi, sosial dan politik/kekuasaan. Dampak yang nyata dari adanya persaingan itu adalah terjadi kesenjangan dalam hidup manusia. Persaingan dalam bidang ekonomi dan teknologi menempatkan manusia dalam kelas-kelas. Mereka yang memiliki modal banyak menempati kelas yang atas dalam masyarakat, sedangkan mereka yang tidak memiliki modal menempati kelas bawah. Terbentuknya sistem yang demikian, di mana terjadinya persaingan, menciptakan sebuah situasi baru: yang menang dalam persaingan yakni mereka yang berkuasa dan memiliki modal banyak akan semakin kaya, sedangkan yang kalah akan menjadi miskin. Demikian pun ketika praktik ketidakadilan terjadi, bahwa para pekerja tidak mendapat upah yang layak, yang sesuai dengan tenaga yang mereka berikan. Angka pengangguran semakin bertambah menyebabkan kemiskinan semakin menjadi-jadi. Orang tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan hidupnya dari pekerjaan yang dilakukannya. Bila kita menyaksikan kenyataan hidup sebagian orang di sekitar kita, kita akan menemukan sekian banyak para gelandangan/penganggur, pengemis, yang tidak memiliki rumah yang layak untuk kehidupannya, dsb. Mereka menculupi kebutuhan hidupnya dengan mulung, meminta-minta, hanyabergantung pada uluran tangan dari mereka yang lebih. Masa depan hidupnya tidaklah pasti. Mereka tentu tidak mempunyai harapan untuk bisa berubah dari cara hidup yang demikian. Kenyataan di atas tentu sangatlah memperihatinkan. Dalam situasi ini, Gereja dituntut untuk membuka mata dan perihatin dengan keadaan hidup yang demikian. Gereja hendaknya mengambil bagian dalam kemiskinan yang dialami lewat karya-karya yang dapat dilakukannya. Karya pelayanannya hendaknya merupakan suatu keberpihakan kepada mereka yang miskin atau kurang beruntung dalam kehidupannya (Option for the poor). Dalam paper ini, selanjutnya penulis ingin mendalami dan menampilkan lebih lanjut siapakah orang miskin, sebab-sebab kemiskinan, kehadiran Gereja khususnya Gereja Indonesia yang berpihak kepada orang miskin atau “option for the poor”. Dalam terang ensiklik Mater et Magistra artikel 159, penulis membahasnya sebagai dasar keberpihakan Gereja kepada mereka yang miskin dan menderita. Penulis ingin melihat bagaimana ensiklik ini mendasari seluruh kehidupan Gereja, khususnya Gereja Indonesia,. 2. Sekilas tentang Orang Miskin 2.1. Arti Orang Miskin Dalam kehidupan setiap kita sering mengartikan orang miskin yakni mereka yang tidak memiliki sesuatu yang dapat mencukupi kebutuhan hidupnya. Akan tetapi, pengertian orang miskin adalah sesuatu yang sangat luas. Di sini tercantum beberapa definisi orang miskin: Orang miskin itu biasanya berciri-ciri memiliki pendapatan rendah, akses sumber daya terbatas (air, lingkungan kesehata) tidak memiliki kewenangan dan biasanya mengalami penindasan dan menjadi mainan pihak yang memperoleh keuntungan. Orang miskin adalah mereka yang tidak berdaya untuk memperjuangkan hidupnya menuju ke taraf hidup yang lebih baik. Demikian pun dokumen Majelis Antar-serikat Religius Indonesia (MASRI) sebagaimana dikutip oleh Putranta C. mendefinisikan orang miskin. Orang miskin adalah mereka yang tak berdaya karena berbagaimacam kemiskinan…..yang membuat semakin banyak orang hidup semakin tidak manusiawi dan tidak menggambarkan bahwa dia adalah citra Allah yang bermartabat sebagai manusia (no. 6). Pada umumnya mereka hidup di bawah taraf kewajaran manusiawi. Lebih lanjut, dokumen ini menyebut orang keci (miskin) sebagai mereka yang “tersisih secara social” akibat “perbedaan-perbedaan masyarakat atas dasar distribusi yang tidak adil” (no. 16). Dari definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian orang miskin tidak terbatas pada kemiskinan secara material, yakni tidak adanya barang-barang ekonomi yang dibutuhkan dalam hidupnya. Di dalamnya juga mencakupi mereka yang lemah dan tak berdaya dalam persaingan untuk memenuhi atau tercapainya kehidupan yang layak. Demikian pun dokumen di atas melihat orang miskin diartikan secara rohani, yakni mereka yang karena keadaan tertentu tidak mampu dan tidak layak menghayati martabatnya sebagai manusia yang merupakan citra Allah. 2.2. Penyebab Kemiskinan Kemajuan zaman yang ditandai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknilogi menuntut orang untuk bersaing, berusaha mencapai kesejahtraan. Telah dikatakan bahwa orang miskin adalah orang yang tidak memiliki kemampuan tertentu dan modal yang cukup untuk mencapai kehidupan yang layak. Dengan demikian tuntutan akan adanya persaingan mengakibatkan orang miskin tersingkir, tidak menghasilkan apa-apa demi mencukupi kebutuhan hidupnya. Keterbatasan kemanusiaan, modal dan sarana membuat dia kalah dalam persaingan sehingga dia tetap berada dalam situasi kemiskinan. Merupakan kenyataan kemanusiaan yang ada bahwa setiap orang mempunya kemampuan yang berbeda. Perbedaan kemampuan yang demikian berdampak pada ketidakmampuan sebagian orang untuk bersaing dalam kehidupannya. Keterbatasan kemampuan manusia yang mencakup keahlian, modal dan sarana produksi akan berdampak pada kecilnya penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain itu, penyebab kemiskinan juga karena struktur yang berlaku dalam masyarakat. Struktur yang ada menciptakan kesenjangan dalam kehidupan, di mana perekonomian menjadi monopoli mereka yang berkusa dan memiliki modal banyak. Dengan demikian, mereka yang tidak memilii modal yang banyak akan tersingkir dari persaingan itu. Mereka akan semakin bergantung kepada mereka yang berada. Karena mereka tidak memiliki kemampuan dalam mengejar dan menggapai kehidupan yang layak, akibatnya mereka tetap hidup menderita. 3. Ensiklik Mater et Magistra Artkel 159: Dasar Keberpihakan Gereja Kepada Orang Miskin Mater et Magistra ditulis pada saat dunia sedang mengahadapi pergolakan besar. Ensiklik ini merupakan buah keprihatinan Paus Yohanes XIII pada tahun 1961 dalam menanggapi kemajuan dalam bidang tehknologi yang memicu terjadinya pergolakan antara negara-negara maju, misalnya perang dingin dan ancaman senjata nuklir. Selain itu, ensiklik ini juga merupakan sebuah harapan bahwa dalam situasi kemajuan global, dituntut suatu keadilan dan solidaritas antara negara-negara kaya dengan negara-negara yang baru merdeka atau yang masih dalam taraf kemiskinan. Dalam pergolakan dunia yang sedang terjadi ini, solidaritas Gereja dituntut untuk mengambil bagian dalam bentuk keterlibatannya bagi mereka yang miskin dan menderita. Dengan demikian, ensiklik Mater et Magistra artikel 159 mengunkapkan bentuk solidaritas Gereja itu dalam keterlibatannya bagi mereka yang miskin dan menderita. “Selalu ditekankan oleh Gereja , bahwa kewajiban untuk menolong mereka yang hidup dalam menderia dan kemiskinan seharusnya paling mendalam disadari oleh umat katolik, mengingat kenyataan bahwa mereka anggota Tubuh nistik Kristus. “Demikianlah kita ketahui kasih Kristus”, kata St. Yohanes, “yaitu bahwa Ia telah menyerahkan nyawaNya untuk kita, jadi kita pun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudarasaudara kita. Barangsiapa mempunyai harta duniawi dan melihat saudaranya menderita kekurangan, tetapi menutup pintu hatinya terhadap saudaranya itu, bagaimanakah kasih Allah dapat tetap di dalam Dirinya?” 4. Keberpihakan Gereja Kepada Orang Miskin (Option for the Poor) Dengan melihat latar belakang munculnya ensiklik ini, penulis ingin memperlihatkan dalam tulisan ini bagaimana esnsiklik ini, khususnya artikel 159 seperti yang telah dicatumkan di atas, berperan sebagai dasar keterlibatan Gereja dalam “option for the poor”. Hal ini adalah penting untuk melihat bagaimana keperihatinan Gereja, khususya berhadapan dengan situasi kemiskinan yang terjadi di negara Indonesia. Persoalan kemanusiaan yang terjadi sekarang ditandai dengan adanya jurang pemisah antara yang kaya dan miskin. Persaingan yang menuntut kemampuan manusia yang disertai dengan modal yang cukup, membuat sebagian orang tersingkirkan. Dalam bidang perekonomian, monipoli para penguasa dan pemilik modal membuat tidak sedikit orang tidak mampu menikmati kehidupan yang layak. Yang kaya akan menjadi semakin kaya, sedangkan orang miskin dan yang tidak memiliki modal akan semakin menderita. Dengan dekikian, keterlibatan Gereja bagi orang miskin diharapkan akan membantu untuk meringankan penderitaan, sambil menumbuhkan harapan mereka untuk dapat hidup sebagai pribadi citra Allah. Melalui ensiklik ini, penulis ingin memperlihatkan bagaimana bentuk keterlibatan Gereja bagi mereka yang miskin dan menderita. Bentuk keterlibatan Gereja itu terlihat dalam peran Gereja sebagai Tubuh mistik Kristus, di mana orang Katolik berkewajiban untuk menolong mereka yang miskin dan menderita karena mereka juga adalah satu anggota yang mengambil bagian dalam satu Tubuh mistik Kristus. Selain itu, penulis juga ingin memperlihatkan Gereja yang berperan sebagai perwujudan kasih Allah bagi sesamanya. Tugas ini tentu merupakan kelanjutan tugas Yesus sebagai kepala Tubuh mistik, yang diutus ke dunia untuk mewujutkan kasih Allah bagi mereka yang miskin dan menderita dalam hidupnya. 4.1. Gereja Sebagai Tubuh Mistik Kristus Menurut Katekismus Gereja katolik, istilah “Tubuh Mistik” mengacu pada persekutuan nyata para anggota Gereja (baik hidup maupun mati) dengan Yesus, yang adalah Kepala, dan dengan satu sama lain melalui pencurahan rahmat Roh Kudus. (no.787-795). Dalam persekutuan ini, Gereja berkewajiban untuk menolong mereka yang hidup dalam penderitaan karena kemiskinan. Persekutuan kita sebagai anggota Gereja adalah sebuah persekutuan hidup yang tidak membedakan antara yang kaya dan yang miskin. Kita adalah anggota dengan satu kepala yakni Yesus Kristus. Dalam hidupNya, karya pelayanan Yesus ditujukan tanpa membedakan kelaskelas, suku dan bangsa manusia. Perumpamaan tentang orang Samaria yang murah hati (Luk. 10:25-37) menunjukan sebuah pelayanan dan perhatian kita sebagai anggota Gereja yang tidak terbatas pada suku dan bangsa sendiri, tetapi mencakupi semua orang, khususnya mereka yang menderita. Di akhir kisah itu, Yesus menyuruh agar kita pergi dan melakukan hal yang sama untuk bermurah hati kepada semua orang, khususnya mereka yang menderita tanpa membedakan siapakah dia dalam kelas sosial, suku dan agamanya. Demikian juga Ia menyebut semua orang sebagai ibu dan saudara-saudaraNya bukan terbatas karena hubungan darah, tetapi mereka semua yang melakukan kehendak Allah (Mar. 3:31-35). Keterlibatan Gereja bagi mereka yang miskin dan menderita merupakan tanda solidaritas karena telah mengambil bagian dalam satu Tubuh mistik Kristus dengan Yesus sebagai kepalanya. Di sini, anggota Gereja dituntut untuk saling memperhatikan satu sama lain, khususnya mereka yang menderita dan miskin. Dengan demikian, jika satu onggota menderita, maka semua anggota juga turut menderita. “Allah telah menyususn tubuh kita begitu rupa, sehingga kepada anggotaanggota yang tidak mulia diberi penghormatan khusus, supaya jangan terjadi perpecahan dalam tubuh, tetapi supaya anggota-anggota yng berbeda itu saling memperhatikan. Karena itu, jika satu orang menderita, semua anggota turut menderita; jika satu anggota dihormati, semua anggota turut dihormati” (1 Kor. 12:24b-26). Dalam kehidupan setiap hari, kita sering menjumpai mereka yang miskin dan menderita. Mereka itu adalah orang-orang yang tidak mampu bersaing dalam kancah dunia modern dengan aneka tuntutannya. Keterbatasan modal atau lebih karena kemiskinan yang menimpa diri mereka, juga disertai dengan keterbatasan kemampuan atau skil, memyebabkan mereka menjadi tersingkir dan hidup tergantung dari belas kasihan orang lain. Di jalan-jalan kita temukan mereka yang hidup dengan mengemis. Mereka itu berasal dari suku dan agama yang berbeda-beda yang masa depan hidupnya bergantung pada uluran tangan kasih dari mereka yang berada. Selain itu, kita juga temukan di mana-mana orang hidup dalam kemiskinan akibat bencana alam. Sesungguhnya mereka itu hidup hanya mengandalkan bantuan pihak lain yang berkecukupan. Bagi mereka ini, Gereja hadir dengan bantuan kemanusiaan, baik secara material maupun spiritual. Kehadiran Gereja hendaknya tidak memandang siapakan mereka dengan suku dan agama tertentu. Bantuan material yang Gereja berikan dalam bentuk barang dan uang, harapannya dapat meringankan beban hidup mereka. Namun, pemberian ini bukan bertujuan atau tidak bermaksut agar mereka manjadi bergantung atau hidup hanya mengandalkan pemberian orang lain. Sehingga dengan bantuan spiritual dalam bentuk renungan atau ceramah, Gereja kiranya mampu membangkitkan harapan dan semangat hidup bagi mereka untuk tetap berjuang, hidup sebagai manusia citra Allah. Demikanpun beberapa kebiasaan yang dilakukan oleh kelompok atau secara khusus ada tarekat religius tertentu menyediakan waktu khusus untuk beberapa jangka waktu tertentu pergi untuk tinggal dan mengalami hidup bersama dengan mereka. Ini merupakan salah satu sikap solidaritas sebagai anngota Gereja untuk berempati dan masuk dalam kehidupan bersama mereka. Dengan cara itu, mereka akan merasa tersapa, diperhatikan. Di sini dibutuhkan suatu karya kerasulan yang tidak hanya dalam bentuk kata-kata, tetapi sebuah cara hidup sebagai kesaksian. Inilah salah satu bentuk panggilan Gereja sebagai option for the poor, yang memberikan kesejahtraan dan harapan hidup bagi mereka sebagai satu anggota dalam satu Tubuh mistik Kristus. 4.2. Gereja Sebagai Tanda Perwujudan Kasih Allah Kasih Allah yang begitu besar bagi manusia, sehingga Ia mengutus PutraNya untuk rela menjadi manusia, wafat dan dibangkitkan dari antara orang mati. Kebesaran kasih Allah itu nyata dalam diri PutraNya, yakni Yesus Kristus. Dengan demikian, seluruh hidup dan karya pelayanan Yesus merupakan perwujudan kasih Allah dalam kehidupan manusia. Karya pelayanan Yesus adalah karya pelayanan kasih, di mana Ia menghantar manusia untuk mengalami kasih Allah dalam hidupnya. KehadiranNya mencakupi semua orang tanpa pandang kelas sosial. Di tengan persoalan hidup yang di alami manusia, Yesus hadir dan berkata: "Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orangorang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang.” (Luk. 17-19). Sabda Yesus ini mau menegaskan tugas atau misi Yesus di dunia ini. KehadiranNya mau membela dan membawa manusia untuk hidup sebagai citra Allah, hidup dalam kebahagiaan. Kini tugas perutusan Yesus dilanjutkan oleh Gereja. Tujuan keterlibatan Gereja sebagai komunitas adalah melanjutkan karya Yesus dalam membangunkan kerajaan Allah dan memuliakan martabat manusia. Di sini, Gereja akan menjadi Garam ayang mengubah dunia secara perlahan, dengan menjadi garam akan memberi rasa (warna) di lingkungan sekitarnya. Dengan demikian, seluruh karya pelayan Gereja merupakan kelanjutan tugas Perutusan Yesus yang diterima dari BapaNya. Di sini Gereja akan menjadi garam di mana manusia akan mengalami kasih Allah dalam kehidupannya. Yesus merupakan isnpirasi bagi Gereja dalam kehadiran dan keberpihakannya bagi mereka yang miskin. Kehadiran Gereja merupakan sebuah kabar gembira bagi mereka yang miskin bahwa kerajaan Allah hadir dan nyata dalam kehidupan mereka. Kerajaan Allah yang nyata merupakan suatu keadaan di mana kasih Allah dirasakan oleh semua manusia. Namun, kasih yang diwartakan itu bukanlah kasih yang sebatas pada kata-kata saja. Kasih itu hendaknya terungkap dalam tindakan nyata. Tindakan nyata ini terungkap dalam sikap soloider Gereja dengan mereka yang miskin. “Barangsiapa mempunyai harta duniawi dan melihat saudaranya menderita kekurangan tetapi menutup pintu hatinya terhadap saudaranya itu, bagaimanakah kasih Allah dapat tetap di dalam dirinya? Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran” (1 Yoh. 17-18). Tanda solider Gereja harus diwujudkan dalam pergaulan setiap hari. Hendaknya Gereja menerima dan menganggap mereka yang miskin sebagai bagian dari kehidupannya. Kasih berarti penghargaan terhadap setiap manusia tanpa pandang bulu. “Kasihi sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” kamu berbuat baik (Yak. 2:8). Dengan demikian, kasih yang diungkapkan Gereja merangkum semua orang, baik yang kaya maupun yang miskin, tanpa memandang suku dan agama tertentu. Kasih yang terungkap itu seperti kasih Allah dalam putraNya Yesus Kristus hingga wafatNya di salib. Ini merupakan konsekuensi panggilan setiap anggota Gereja sebagai pengikut Kristus. Hal ini memang sangatlah tidak mudah. Yesus meminta agar setiap pengikuNya dapat menjadi seperti matahari yang mampu memberikan segala kebaikannya yang tidak hanya kepada orang yang baik, tetapi juga bagi mereka yang jahat (Mat. 5:45). Dengan itu kita (sebagai anggota Gereja) akan menjadi anak Bapa yang baik, yang mampu membagikan kasih kepada semua orang, terutama mereka yang miskin dan menderita. 5. Penutup Persoalan kemiskinan yang menimpa sebagian umat manusia adalah persoalan kemanusiaan yang sungguh memperihatinkan. Perkembangan dunia sekarang telah ditandai dengan adanya persaingan dalam segala bidang kehidupan manusia. Dengan kemampuan dan segala cara, manusia bersaing untuk memperoleh kehidupan yang layak, kebahagiaan, segalanya terpenuhi. Itulah harapan setiap manusia di balik perjuangan yang letih dan melelahkan itu. Namun, harapan ini tidak membawa semua orang pada terwujutnya kebahagiaan dalam hidupnya, segalanya terpenuhi. Sebagian orang mengalami ketidakberuntungan. Tidak jarang kita menjumpai mereka, yang kalah dalam persaingan, hidup dalam kemiskinan, tersingkirkan karena keterbatasan kemampuan dan tidak memiliki modal yang cukup. Kemiskinan yang dialami membuat mereka tidak bisa menikmati kehidupan yang layak. Merka hnya hidup dalam ketergantungan dari mereka yang memiliki lebih. Demikian pun mereka ini kadang dijadikan mainan mereka yang beruntung, diperalat untuk memperoleh keuntungan yang sebanyakbanyaknya. Dalam konteks kemiskinan ini, Gereja hadir untuk bersolidaritas dengan semangat kasih dalam keterlibatan atau keberpihakannya kepada mereka yang miskin. Dengan demikian, ensiklik Mater et Magistra artikel 159 mengunkapkan bentuk solidaritas Gereja itu dalam keterlibatannya bagi mereka yang miskin dan menderita. Ensiklik ini sangatlah atau masih aktual ketika melihat apa yang dilakukan oleh Gereja di Indonesia berhadapan dengan persoalan kemanusiaan saat ini. Berbagai cara yang telah dilakukan Gereja, baik secara individu sebagai satu umat Allah, maupun dalam bentuk kelompok atau isntitusi berupaya untuk bersikap solider dalam meringankan beban hidup bagi mereka yang miskin dan menderita. Apa yang terungkap dalam Pedoman Gereja Katolik Indonesia menampilkan himbauan kepada Gereja untuk memihak rakyat kecil. Gereja, khususnya sejak Sonode Para Uskup 1971, memilih sikap mendahulukan pelayanan kepada rakyat kecil. Rakyat kecil adalah ‘orang yang tersisih’ karena tidak mampu dan miskin serta tidak memiliki koneksi maupun keterampilan yang dapat meningkatkan hidup mereka. Mereka juga tidak memiliki kekuasaan atau akses kepada kekuasaan serta alat produksi. Yang tergolong orang kebnyakan adalah para buruh, pelayan, pegawai rendah, tukang kecil, kuli bangunan, ….. Seluruh pendapatan mereka jauh lebih kecil dibandingkan dengan sekelompok orang yang berpunya, yang jumlahnya di negri kita tidak banyak. Kehadiran Gereja dalam keberpihakannya bagi orang miskin dan menderita terlihat dalam peran Gereja sebagai Tubuh mistik Kristus, di mana orang Katolik berkewajiban untuk menolong mereka yang miskin dan menderita karena mereka juga adalah satu anggota yang mengambil bagian dalam satu Tubuh mistik Kristus. Selain itu, peran Gereja dilihat sebagai perwujudan kasih Allah bagi sesamanya. Tugas ini tentu merupakan kelanjutan tugas Yesus sebagai kepala Tubuh mistik, yang diutus ke dunia untuk mewujutkan kasih Allah bagi mereka yang miskin dan menderita dalam hidupnya. CATATAN http://epiq-rumpu-rampe.blogspot.com/2010/01/keberpihakan-gereja-bagi-orang-miskin.html 1. Terkait dengan Subyek 1 Kondisi ruang tamu dalam Rumah Bu Icih Jalan menuju tempat tinggal Bu Icih Tempat untuk Memasak Nasi(berada di luar rumah) Keluarga Bu Icih 2. Terkait dengan subjek 2 Foto bersama dengan Bapak Maksudi Ujian Akhir Semester Pendidikan Agama Katolik (REFLEKSI EKSPOSURE KELOMPOK) Kelas :V Kelompok :7 Subjek : Pemulung dan Pedagang Gorengan Dosen : Anggota Kelompok 1. Nadya Putri Budiman (2014320142) 2. Patricia Niken (2014320008) 3. Boas Tua Hotasi (2014620054) 4. Edwin Ligasetiawan (2014200031) 5. Deky Septianto Hadi S (2014620070) Lembaga Pengembangan Humaniora Universitas Katolik Parahyangan Bandung 2105