161 VIII. GERBANG PENGENDALI KEMEROSOTAN SOSIAL Kajian sosial dalam masalah lingkungan sebenarnya sudah dimulai sejak lama oleh para ahli ilmu sosial, dalam artikel Bernard (1922), yang berjudul The Significance of Environment as a Social Factor merupakan artikel yang pertama menguraikan tetang permasalahan lingkungan dan faktor sosial. Selanjutnya permasalahan diangkat lebih jauh oleh Riley Dunlap dan William Catton (1978) dalam suatu cabang ilmu sosiologi yang mereka beri nama sosiologi lingkungan. Dalam kajian tentang pengelolaan HTI yang berkelanjutan, faktor sosial yang dibahas oleh para ahli sosiologi lingkungan di atas cukup relevan untuk diterapkan dalam pengelolaan HTI berbasis masyarakat. Untuk itu judul dalam bab ini merupakan bahasan mengenai pengendalian faktor sosial dalam pengelolaan HTI yang berkelanjutan. Gerbang pengendali kemerosotan sosial di terjemahkan dari bahasa aslinya Socio-Entrophic Controlling Interface (SECI). Istilah SECI ini pertama kali di kemukakan oleh Sjarkowi (2010) dalam laporan penelitian ACIAR untuk menunjukkan pentingnya kontrol sosial dalam kerjasama kemitraan antara perusahaan dan masyarakat. Dalam pengelolaan Hutan Tanaman Industri, SECI diperlukan sebagai suatu faktor penghubung yang dapat mengontrol agar kemerosotan sosial dapat diminimalisir sehingga manfaat yang dihasikan menjadi optimal dan dalam jangka panjang pengelolaan HTI dapat berkelanjutan. Socio-Entrophic yang dimaksud adalah suatu keadaan sosial masyarakat yang jika tidak dikelola dengan baik, dapat menjadi sumber konflik yang berkepanjangan dan faktor penghambat yang 162 dapat merugikan kedua belah pihak, yaitu perusahaan disatu sisi dan masyarakat disisi lain. Kerugian ini bisa dialami oleh perusahaan karena asset yang mereka miliki berupa lahan dapat di klaim oleh masyarakat sebagai milik adat mereka, teknologi, dan peralatan yang ada dapat saja dirusak atau dicuri oleh masyarakat. Hal ini dapat menyebabkan iklim usaha yang tidak kondusif bagi perusahaan untuk dapat berproduksi dengan produktivitas yang optimal. Masyarakat juga mengalami kerugian, karena gangguan atau pengrusakan yang mereka lakukan dapat berakibat mereka berurusan dengan hukum, yang dapat menyita waktu, tenaga, dan biaya yang dapat merugikan mereka. Perusahaan selalu berusaha untuk meredam setiap konflik yang terjadi agar tidak meluas menjadi konflik horizontal yang lebih besar. Dalam teori konflik, menurut sosiolog Amerika Serikat, Lewis Coser (1913-2003), terdapat dua tipe dasar konflik, yaitu konflik yang realistik dan non realistik. Dalam pandangan Coser konflik dilihat secara terintegrasi sebagai dua sisi yang saling memperkuat atau memperlemah satu sama lain. Konflik realistik memiliki sumber yang kongkrit atau bersifat material, seperti sengketa sumber ekonomi atau wilayah. Dalam kasus PT. MHP sengketa lahan yang berkepanjangan. Jika mereka telah memperoleh sumber sengketa itu, dan bila dapat diperoleh secara musaywarah mupakat, maka konflik dapat diatasi dengan baik. Konflik non realistik didorong oleh keinginan yang tidak rasional dan cenderung bersifat ideologis, konflik ini seperti konflik antar agama, antar etnis, dan konflik antar kepercayaan lainnya. Konflik yang banyak terjadi di 163 lokasi penelitian adalah konflik tipe pertama, sedangkan konflik tipe kedua hingga saat ini belum pernah terjadi. Konflik yang realistik muncul dalam bentuk yang bervariasi antara lain sengketa lahan, kecemburuan sosial, dan jurang kemiskinan. Konflik-konflik ini telah menyebabkan terjadinya instabilitas usaha bagi perusahaan yang pernah mencapai puncaknya pada tahun 1999/2000 dan menyebabkan penurunan produktivitas dan kelangsung usaha terganggu. Dalam SECI faktor instabilitas ini dapat dikelompokkan dalam empat bagian penting yang merupakan prasayarat bagi perusahaan agar dapat berproduksi secara berkelanjutan. Pengelolan faktor SECI ini juga berpengaruh kepada kemungkinan untuk dapat meningkatkan nilai total ekonomi yang diperoleh dengan produktifitas. bersinergisnya faktor-faktor sosial tersebut terhadap Keempat faktor SECI tersebut adalah: sosial psikologi, sosial ekologi, sosial ekonomi dan sosial budaya. Beberapa kondisi nyata yang terjadi di lapangan dari keempat komponen gerbang pengendalian kemerosotan soial atau SECI tersebut berdasarkan informasi teknis dan manajemen yang menimbulkan konsekwensi berupa pelayanan teknis dan pelayanan manajemen untuk kasus di perusahaan PT. MHP secara rinci akan dijabarkan dalam tabel 25 berikut ini. 164 Tabel 25. Analisis Informasi Teknis dan Manajemen serta Pelayanan Teknis dan Manajemen SECI SECI 1. Sosial Psikologi Informasi Teknis dan Manajemen − Adanya rasa sentimen Masyarakat − Adanya kecurigaan terhadap perusahaan − Terjadinya kerusuhan karena rasa frustasi − Konflik lahan konsesi dengan lahan eks marga − Tidak adanya pendekatan personal dan kelompok oleh perusahaan Pelayanan Teknis dan Manajemen − Melakukan pembinaan masyarakat melalui penyuluhan dan edukasi. − Sosialisasi program MHBM dan MHR. − Adanya pendekatan personal dan kelompok melalui pelayanan umum bidang pendidikan, pelatihan dan kesehatan. − Belum adanya edukasi bagi masyarakat 2. Sosial Ekologi − Terjadinya kebakaran hutan, kekeringan, kebanjiran, dan erosi − Belum dilibatkannya masyarakat dalam penanganan kebakaran 3. Sosial Ekonomi − Belum ada SOP tentang penanganan kebakaran, kekeringan, kebanjiran, dan erosi − Dilibatkannya masyarakat dalam penanganan kebakaran − Rendahnya kesempatan kerja dan berusaha masyarakat − Membangun kemitraan dalam program MHBM dan MHR dengan kontrak kerjasama. − Rendahnya pendapatan masyarakat sekitar kawasan − Kemitraan dan kerjasama belum terjalin dengan baik karena belum terbukanya akses informasi perusahaan terhadap masyarakat 4. Sosial Budaya − Dibangunnya menara api sebagai pengendali kebakaran dan adanya bantuan bencana alam. − Adat istiadat, prilaku, dan kebiasaan masyarakat yang kurang baik. − Belum di adopsinya kearifan lokal sebagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan − Adanya SOP yang jelas utk penanganan kebakaran, kekeringan dan kebanjiran serta erosi yang dilakukan oleh perusahaan bersama-sama masyarakat. − Adanya informasi yang dapat diakses oleh seluruh masyarakat untuk mendapat kesempatan dan peluang yang sama dalam kerjasama ekonomi. − Mengadopsi kembali kearifan lokal dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan masyarakat sekitar kawasan. − Menfasilitasi musyawarah dan diskusi kelompok yang tergabung dalam FGD. 165 8.1. Sosial Psikologis Dalam sosial psikologi pengamatan yang dilakukan adalah mengidentifikasi respon (cara bereaksi) dari sebagian besar atau kebanyakan orang dalam suatu situasi dan mengamati bagaimana situasi itu mempengaruhi respon tersebut. Faktor sosial psikologi lebih berpusat pada usaha memahami bagaimana seseorang bereaksi terhadap situasi sosial yang terjadi. Faktor ini mempelajari perasaan subyektif yang biasanya muncul dalam situasi sosial tertentu, dan bagaimana perasaan itu mempengaruhi perilaku. Situasi interpersonal apa yang menimbulkan perasaan marah, dan meningkatkan atau menurunkan kemungkinan munculnya perilaku agresi. Salah satu prinsip dasar sosial psikologi adalah bahwa situasi frustasi akan membuat orang marah, yang memperbesar kemungkinan timbulnya perilaku agresi. Akibat situasi yang menimbulkan frustasi ini merupakan salah satu penjelasan mengenai sebab timbulnya kejahatan. Hubungan itu tidak hanya menjelaskan mengapa perilaku agresif terjadi dalam situasi tertentu, tetapi juga menjelaskan mengapa faktor ekonomi dan kemasyarakatan menimbulkan kejahatan. Secara lebih lanjut informasi teknis dan manajemen berikut ini akan menggambarkan bagaimana faktor sosial psikologis ini dapat menurunkan kinerja perusahaan dan keberlanjutan pengelolaan HTI. Untuk itu pelayanan teknis dan manajemen dalam dimensi sosial psikologi ini sangat dibutuhkan untuk pengelolaan HTI yang berkelanjutan. 166 a. Informasi Teknis dan Manajemen dalam Dimensi Sosial Psikologis Berdasarkan informasi teknis dan manajemen yang diperoleh dilapangan sebelum SECI ini diterapkan terdapat banyak kasus yang termasuk dalam kelompok sosial psikologis ini. Diantaranya kasus sosial psikologi yang teramati adalah adanya rasa sentimen dan curiga masyarakat terhadap perusahaan, terjadi kerusuhan karena rasa frustasi masyarakat, konflik lahan yang berkepanjangan. Disamping itu secara manajemen perusahaan belum melakukan pendekatan baik secara personal maupun kelompok dan perusahaan juga belum melakukan edukasi yang baik terhadap masyarakat. Dalam kasus sosial psikologis yang terjadi di lapangan, adalah adanya sentimen masyarakat terhadap perusahaan. Sentimen ini akan menyulut banyak persoalan dalam berbagai konflik yang dengan mudah dapat timbul dan mencuat kepermukaan. Sentimen ini muncul karena tidak adanya rasa memiliki masyarakat terhadap keberadaan perusahaan. Pemicu rendahnya rasa memiliki (sense of belonging) masyarakat ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya yang sempat teramati adalah tidak dilibatkannya masyarakat dalam kegiatan ekonomi produktif, sehingga masyarakat tidak dapat merasakan manfaat langsung dari keberadaan perusahaan. Aktifitas perusahaan dengan mobilitas yang tinggi dengan laju pertumbuhan ekonomi yang cepat dapat menimbulkan ketimpangan yang besar, yang dapat menimbulkan kecemburuan sosial yang tinggi. Sebagai contoh lalu lalangnya kendaraan dinas perusahaan yang bagus dan mahal, telah membangkitkan angan-angan masyarakat. Terkadang mereka ingin 167 ikut menumpang, namun tidak ada keberanian dan kesempatan. Sikap sopir perusahaan yang sombong, ditambah debu berterbangan yang ditimbulkan oleh kendaraan yang lalu lalang di jalanan dapat memperbesar sentimen masyarakat terhadap perusahaan. Rasa sentimen negatif ini jika tidak dikelola secara baik dalam kondisi sosial psikologis yang nyaman, tentu akan menurunkan produktivitas secara umum dan berdampak pada menurunnya nilai ekonomi. Hal ini dalam jangka panjang akan menjadi hambatan bagi keberlanjutan perusahan dimasa mendatang. Rasa curiga masyarakat yang berlebihan akan melahirkan prasangka buruk masyarakat sekitar kawasan konsesi terhadap keberadaan perusahaan. Ketakutan yang berlebihan menyebabkan masyarakat lebih bersifat protektif dan menutup diri, sehingga kebaikan apapun yang dilakukan oleh perusahaan selalu direspon negatif oleh masyarakat. Masyarakat sekitar merasa pada saatnya nanti lahan usaha mereka saat ini juga akan diambil oleh perusahaan untuk ditanami akasia. Pada kasus yang lain, penduduk yang menganggur berduyun-duyun datang ke perusahaan HTI untuk mendapatkan pekerjaan, mereka akan mengalami frustasi, bila ternyata mereka sulit mendapatkan pekerjaan, mereka tidak dapat membeli apa yang mereka inginkan, tidak dapat hidup layak seperti yang mereka bayangkan. Dan frustasi ini merupakan sebab utama munculnya sebagian besar perilaku kriminal. Dalam sosial psikologi biasanya juga menyangkut perasaanperasaan subyektif yang ditimbulkan situasi interpersonal, yang kemudian mempengaruhi perilaku individu. Dalam kasus ini situasi frustasi menimbulkan kemarahan, yang kemudian menyebabkan timbulnya perilaku agresif. 168 Berdasarkan data lapangan konflik lahan konsesi terjadi secara berlarutlarut dan berkepanjangan dengan masyarakat hingga tahun 2000. Masyarakat mengklaim bahwa lahan konsesi perusahaan saat ini sebagaian besar adalah lahan eks marga yang secara adat mereka berhak untuk mengelola dan mengusahakannya. Keadaan di atas diperparah oleh ketidak pedulian perusahaan terhadap kondisi masyarakat sekitar, baik melalui pendekatan personal maupun kelompok. Tidak adanya edukasi bagi masyarakat sekitar kawasan tentang perusahaan, menambah kesalahpahaman semakin besar. Dari data yang ada tidak kurang sekitar 20 kerusuhan per tahun yang terjadi mulai dari skala kecil hingga sedang yang memakan kerugian dari puluhan juta hingga ratusan juta rupiah. Puncak kerusuhan terjadi pada tahun 1999/2000 yang telah menyebabkan amuk massa dengan kerugian mencapai ratusan miliar rupiah. b. Pelayanan Teknis dan Manajemen dalam Dimensi Sosial Psikologis Belajar dari pengalaman masa lalu, perusahaan mencoba menata kembali pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat, dengan menempatkan masyarakat sebagai bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat. Untuk sejak tahun 2000 perusahaan mulai melakukan pelayanan teknis dan manajemen untuk memperbaiki dimensi sosial psikologis masyarakat sekitar kawasan konsesi dengan melakukan pembinaan masyarakat melalui penyuluhan dan edukasi, sosialisasi program MHBM dan MHR, dan melakukan pendekatan personal dan kelompok melalui pelayanan umum bidang pendidikan pelatihan dan kesehatan. 169 Pembinaan masyarakat yang telah dilakukan oleh prusahaan diantaranya adalah pengembangan tumpang sari dalam HTI dengan program agrotrisula. Pembinaan usahatani karet, dan tanaman palawija. Penyuluhan dan edukasi yang telah dilakukan oleh perusahaan adalah tentang sanitasi dan kesehatan, serta peluang usaha ekonomi produktif yang bisa dilakukan oleh masyarakat yang menunjang kebutuhan perusahaan. Sosialisasi program MHBM dilakukan dengan musyawarah desa, dimana masyarkat diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mendapatkan pekerjaan di perusahaan, baik sebagai pekerja maupun sebagai pemborong pekerjaan yang diikat dengan akte kesepakatan. Sosialisasi program MHR dilakukan sedemikian rupa untuk masyarakat yang memiliki lahan kosong yang menganggur atau tidak produktif, perusahaan bersedia mengelola lahan tersebut untuk ditanami akasia dengan perjanjian bagi hasil dan semua biaya ditanggung oleh perusahaan. Pendekatan personal dan kelompok dilakukan oleh perusahaan dengan memberikan bantuan pelayanan di bidang pendidikan, pelatihan dan kesehatan. Bantuan dibidang pendidikan yang telah dilakukan oleh perusahaan adalah pemberian beasiswa kepada 100 orang mahasiswa dan 100 orang pelajar SLTA, pembangunan 7 unit gedung SD dan SMP, penyediaan honor guru SD dan SMP, bantuan buku pelajaran dan seragam sekolah bagi pelajar yang kurang mampu. Dalam bidang kesehatan masyarakat dapat berobat dan memerikasakan diri di klinik perusahaan. 170 8.2. Sosial Ekologi Dalam pandangan konsep ekologi yang mendalam, tidak ada pemisahan antara manusia atau apapun dari lingkungan alamiah. Dalam konteks ini dunia dilihat sebagai kumpulan objek-objek yang tak terpisah, tetapi sebagai suatu jaringan fenomena yang saling berhubungan dan saling bergantung satu sama lain secara fundamental. Pandangan sosial ekologi mengakui nilai intrinsik semua makhluk hidup dan memandang manusia sebagai salah satu untaian dalam jaringan kehidupan. Secara lebih lanjut informasi teknis dan manajemen mengenai dimensi sosial ekologi berikut ini akan menggambarkan bagaimana faktor sosial ekologi dapat menurunkan produktivitas perusahaan dan keberlangsungan produksi dalam jangka panjang. Untuk itu pelayanan teknis dan manajemen dalam dimensi sosial ekologi ini sangat diperlukan untuk pengelolaan HTI yang berkelanjutan. a. Informasi Teknis dan Manajemen dalam Dimensi Sosial Ekologi Berdasarkan informasi teknis dan manajemen yang diperoleh dilapangan terdapat banyak kasus yang termasuk dalam kelompok sosial ekologi ini. Diantaranya kasus sosial ekologi yang teramati adalah terjadinya kebakaran hutan, kekeringan, kebanjiran, dan erosi. Belum dilibatkannya masyarakat dalam penangan kebakaran hutan. Disamping itu secara manajemen belum ada SOP dari perusahaan tentang penanganan kebakaran, kekeringan dan kebanjiran serta erosi. Prilaku masyarakat sekitar kawasan konsesi yang sudah mentradisi selama ini dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat menjadi ancaman bagi perusahaan. Kasus sosial ekologi yang sering terjadi adalah kebakaran hutan. Hal 171 ini disebabkan oleh kebiasaan masyarakat yang kurang baik selama ini dalam membuka lahan. Dalam membuka lahan pertanian, masyarakat terbiasa dengan sistem tebas, tebang, dan bakar. Hal ini seringkali menyebabkan api menjalar dari kebun masyarakat ke lahan HTI yang ada diksekitarnya. Kebiasaan merokok yang kurang baik juga sering menjadi pemicu kebakaran HTI. Pada musim kemarau umumnya di bawah lahan HTI banyak sekali terdapat serasah kering yang cukup tebal, serasah kering ini mudah sekali terbakar akibat putung rokok yang dibuang sembarangan oleh masyarakat. Kebiasaan lainnya adalah cara mengambil madu lebah pada malam hari yang menggunakan obor, hal ini juga sering menjadi penyebab kebakaran hutan tanaman yang ada di wilayah perusahaan MHP. Berdasarkan data lapangan sebelum tahun 2000, dimana kontrol faktor sosial ekologi belum dijalankan secara baik, terjadi 50 – 100 kasus kebakaran hutan setiap tahunnya dengan luas antara ratusan sampai ribuan hektar, dan kerugian antara Rp5 – Rp25 miliar per tahun. Masih banyaknya lahan kosong dan lahan-lahan marjinal disekitar kawasan pada tahun 2000 ke bawah, sering menyebabkan banjir dan erosi pada musim penghujan, terutama desa-desa yang dekat dengan aliran sungai, dan kekeringan pada musim kemarau. Hal ini disebabkan gundulnya hutan yang ada disekitar wilayah konsesi, sedangkan penanaman HTI belum berjalan optimal. Kondisi sosial ekologis yang terjadi akibat kebiasaan kurang baik masyarakat terhadap kerusakan ekologi saat ini harus dilakukan dengan baik dengan membangunan kemitraan antara perusahaan dan masyarakat yang dapat 172 menimbulkan rasa memiliki masayarakat yang tinggi, jika keberadaan perusahaan telah memberikan kontribusi yang tinggi terhadap kesejahteraan masyarakat. b. Pelayanan Teknis dan Manajemen dalam Dimensi Sosial Ekologi Belajar dari kasus kebakaran hutan yang sering terjadi, perusahaan mencoba menata kembali pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat, dengan menempatkan masyarakat sebagai bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat. Untuk itu sejak tahun 2000 perusahaan mulai melakukan pelayanan teknis dan manajemen untuk memperbaiki dimensi sosial ekologi masyarakat sekitar kawasan konsesi dengan dibangunnya menara api sebagai pengendali kebakaran dan adanya bantuan bencana alam, dan adanya SOP yang jelas utk penanganan kebakaran, kekeringan dan kebanjiran serta erosi yang dilakukan oleh perusahaan bersama-sama masyarakat. Untuk mengantisipasi merembetnya kebakaran dilakukan dengan membuat sekat bakar di setiap blok. Pada musim kemarau regu pengendalian api disiagakan selama 24 jam dengan tiga shift. Regu pengendalian api diambil dari masyarakat sekitar yang dikontrak selama musim kemarau saja. Saat ini PT. MHP mempunyai 15 unit satuan khusus pengendalian kebakaran, dimana setiap unit membawahi areal seluas 10.000 – 15.000 hektar. Perusahaan hingga saat ini telah membangun sebanyak 41 menara api setinggi 25 meter dengan luas peliputan 3000 – 5000 hektar untuk membantu deteksi dini terjadinya kebakaran. Perusahaan hingga saat ini telah membentuk satuan pengendalian api yang memperkerjakan masyarakat sekitar, yang di kontrak dan dipekerjakan pada 173 musim kemarau yang rentan terhadap kebakaran. Satuan pengendalian dilatih dan dilengkapi dengan peralatan standar untuk pengendalian api. Dalam penanggulangan kebakaran PT. MHP mempunyai SOP yang jelas. Jika terjadi kebakaran pos komando akan memberi tanda peringatan pada semua satuan pengendalian api. Melalui radio komunikasi pos komando memerintahkan segera pemadaman api dengan peralatan tangan. Pada waktu yang sama pos komando juga memerintahkan kepada satuan khusus pengendali api dengan peralatan beratnya untuk bersiaga bila kebakaran yang terjadi tidak dapat dikendalikan oleh regu pengendali api yang ada. Pendekatan masalah sosial ekologi ini harus mulai diatasi dengan kolaborasi yang sungguh-sungguh antar sektor dan antara masyarakat serta pemerintah. Langkah-langkah ini sebagai persiapan untuk meningkatkan nilai ekonomi HTI dalam menyongsong perdagangan karbon sebagai upaya penanggulangan dampak perubahan iklim dan pemanasan global. Strategi yang berbasis komunitas dengan memperhatikan posisi masyarakat dalam tata sosial ekologi dengan keuntungan ekologis bagi masyarakat. Dalam aspek sosial ekologi ini upaya yang dilakukan untuk tujuan peningkatan produktivitas hutan tanaman dan untuk keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya alam untuk generasi mendatang. Dengan demikian jelas bahwa aspek sosial ekologi merupakan keseimbangan antara daya dukung ekologi dan pemanfaatan yang bijak dari sumberdaya alam, yang merupakan keharusan demi memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya secara berkelanjutan. Perlu disadari bahwa perubahan sosial ekologis akan membawa perubahan ekonomi jangka panjang. Selanjutnya dibutuhkan pembelajaran bersama untuk 174 mengurus pemenuhan syarat sosial ekologis wilayah konsesi perusahaan sebagai bentuk pengelolaan hutan tanaman yang berkelanjutan. 8.3. Sosial Ekonomi Dari sisi sosial ekonomi, perusahaan HTI sudah semestinya berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat sekitar perusahaan, karena aktivitas perusahaan yang luas dapat menimbulkan peluang berbagai aktivitas ekonomi bagi masyarakat sekitar. Aktivitas angkutan, perdagangan, warung dan lain-lain dapat tumbuh karena terdapat aktivitas yang melayani kebutuhan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan HTI. Perusahaan HTI cukup berpengaruh dan harus betul-betul mempunyai komitmen yang kuat terhadap perluasan kesempatan bekerja dan berusaha bagi masyarakat tempatan yang terkait dengan kegiatan pengelolaan di hutan tanaman mulai dari pembukaan lahan, penanaman, pemeliharaan, hingga penebangan kayu, dan pengangkutan kayu ke pabrik pengolahan. Kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar kawasan yang baik akan sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan perusahaan HTI. Kondisi sosial ekonomi masyarakat sangat terkait dengan penyediaan lapangan kerja yang luas, serta munculnya wirausaha baru yang melayani kebutuhan perusahaan dan perkembangan daerah yang kian maju. a. Informasi Teknis dan Manajemen dalam Dimensi Sosial Ekonomi Berdasarkan informasi teknis dan manajemen yang diperoleh dilapangan sebelum SECI ini diterapkan terdapat banyak kasus yang termasuk dalam kelompok sosial ekonomi ini. Diantaranya kasus sosial ekonomi yang teramati 175 adalah rendahnya kesempatan kerja dan berusaha masyarakat, rendahnya pendapatan masyarakat sekitar kawasan, kemitraan dan kerjasama belum terjalin dengan baik karena belum terbukanya akses informasi perusahaan terhadap masyarakat. b. Pelayanan Teknis dan Manajemen dalam Dimensi Sosial Ekonomi Belajar dari kasus kebakaran hutan yang sering terjadi, perusahaan mencoba menata kembali pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat, dengan menempatkan masyarakat sebagai bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat. Untuk itu sejak tahun 2000 perusahaan mulai melakukan pelayanan teknis dan manajemen untuk memperbaiki dimensi sosial ekonomi masyarakat sekitar kawasan konsesi dengan membangun kemitraan dalam program MHBM dan MHR dengan kontrak kerjasama, adanya informasi yang dapat diakses oleh seluruh masyarakat untuk mendapat kesempatan dan peluang yang sama dalam kerjasama ekonomi. Penyediaan lapangan kerja di perusahaan MHP dirumuskan secara rinci dalam Standard Operating Procedures (SOP) untuk setiap pekerjaan, mulai pekerjaan di persemaian sampai penebangan. Dengan adanya SOP ini semua pihak mempunyai informasi yang sama dan kesempatan yang sama untuk setiap aktivitas pembangunan HTI. Dampak adanya SOP ini bermunculan banyak pemborong atau kontraktor baru yang berasal dari masyarakat lokal. Dalam setiap pekerjaan yang dikontrakan, kontraktor akan menerima SPK (surat perjanjian kerja) yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, dan menerima BAP (berita acara pemerikasaan). Pembayaran hasil pekerjaan di 176 dasarkan pada BAP yang dihitung dari volume pekerjaan dikalikan upah per satuan volume, dikurangi penalti. Sebagai gambaran, untuk pekerjaan penebangan di wilayah Lematang dana yang di bayarkan ke kontraktor pada tahun 2003 sejumlah Rp2 miliar lebih. Deskripsi ini menunjukkan bahwa perusahaan telah memberikan pasokan dana yang cukup besar ke masyarakat atas semua pekerjaan yang dapat dikontrakkan, mulai dari penyiapan lahan, penanaman, pengendalian gulma, pemangkasan cabang, penebangan, pemuatan kayu ke truk, hingga transportasi kayu ke pabrik. Disampig itu perusahaan juga membayar dana ke masyarakat untuk sewa kendaraan dan alat-alat produksi. Selama tahun 2003 jumlah dana yang dibayarkan ke masyarakat mencapai Rp8 miliar lebih. Keberadaan PT. MHP juga telah menciptakan Peluang bisnis atau usaha baru, yaitu berupa toko dan warung makan. Sejak keberadaan PT. MHP dengan segala aktivitasnya, telah bermunculan warung-warung makan yang melayani kebutuhan karyawan perusahaan dan sopir truk logging. Dari hasil kajian ratarata warung makan yang ada di wilayah ini setiap harinya mencapai omzet antara Rp500 ribu sampai Rp1 juta. Munculnya peluang usaha baru tersebut telah berhasilkan meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar kawasan. Selain itu, PT. MHP sebagai badan usaha yang bergerak di sektor kehutanan, khususnya hutan tanaman industri dengan tanaman utamanya Acacia mangium telah melakukan manajemen hutan secara berkelanjutan guna menjaga kelestarian alam. Seiring dengan kemajuan Ilmu dan Teknologi, pemanfaatan sumberdaya yang optimal perlu dilakukan dalam memenangkan persaingan industri dan pasar global. Demikian juga dengan PT. Musi Hutan Persada (MHP), 177 yang selalu melakukan berbagai inovasi untuk meningkatkan nilai tambah produk dalam mencapai kunggulan kompetitif (competitive advantage) dan meningkatkan devisa. Selain itu PT. MHP berupaya meningkatkan produktifitas lahan, kualitas lingkungan hidup dan memperluas lapangan usaha secara terus menerus sesuai dengan tujuan pengusahaan hutan tanaman industri. Disamping itu dalam upaya mewujudkan pengelolaan hutan secara berkelanjutan (sustainable forest management) salah satu upaya yang akan dilakukan oleh PT. MHP adalah meningkatkan nilai tambah (value-added) Acacia mangium, yaitu dengan cara melakukan diversifikasi produk berbasis Acacia mangium. Produk kayu Acacia mangium dari MHP selama ini hanya diperuntukkan untuk industri pulp dan kertas, yaitu memasok kebutuhan kayu bulat PT. Tanjung Enim Lestari (TEL); pasar monopsonis. Kini MHP berencana untuk mengembangkan menjadi beberapa produk, yaitu bahan bangunan, kayu gergajian kayu olahan (KGKO), produk furniture, plywood, moulding, MDF, papan partikel, arang industri (charcoal) atau arang aktif, bahan perekat dari ekstrak tanin kulit kayu dan produk-produk turunan lainnya. Dalam melakukan pengembangan produk dan usahanya PT. MHP masih memiliki peluang yang sangat besar. Hal tersebut tampak dari rencana produksi kayu yang stabil dan terus meningkat yaitu sekitar 2.5 juta m3/tahun pada tahun 2004 dan 2005. Dengan demikian, dari sisi sumber bahan baku utamanya, yaitu kayu A. Mangium, PT. MHP tidak kekurangan, bahkan masih berlebih dan belum termanfaatkan secara optimal, karena sudah melebihi target kapasitas yang dipasok ke PT. Tanjung Enim Lestari (TEL), yaitu rata-rata sebesar 2.25 juta m3/tahun atau setara dengan 500 ribu ton/tahun pulp dan kertas sedangkan 178 kemampuan produksi PT. MHP sebesar 4.5 juta m3/tahun dengan luas hutan tanaman 193 500 ha. Dengan demikian ada kelebihan produk sebesar 2.25 juta m3/tahun yang dihasilkan PT. MHP (PT. MHP, 2004). Berdasarkan data PT. MHP (2004), dengan memasok bahan baku pulp dari kayu-kayu yang berdiameter kecil ke PT. TEL, PT. MHP hanya memperoleh US $30-35/m3, sedangkan apabila dilakukan diversifikasi produk maka diduga dapat diperoleh pendapatan bernilai lebih dari US $200/m3 atau setara Rp 1.8 juta/m3, bahkan bisa mencapai lebih dari US $ 300/m3, misalnya untuk kayu perkakas atau produk furniture lainnya. Oleh sebab itu, sangat disayangkan apabila kayu berdiameter besar 30 cm dicacah kecil-kecil hanya untuk dijadikan pulp, karena selain tidak efisien, hal tersebut merupakan pemborosan. Oleh karena itu, tujuan dari diversifikasi produk tersebut adalah untuk meningkatkan nilai tambah, baik secara ekonomi maupun produksi, melakukan pengembangan komoditas dan untuk memperkuat kompetensi pemasaran, serta menciptakan produk yang ramah lingkungan, yang mempunyai tanggung jawab sosial (social responsibility) yang tinggi. Dengan demikian diversifikasi produk tersebut diharapkan dapat menunjang Pengelolaan Hutan Secara Berkelanjutan (sustainable forest management) yang dicita-citakan perusahaan. 8.4. Sosial Budaya Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Budaya adalah 179 suatu pola hidup menyeluruh yang bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak prilaku masyarakat yang berada disekitar kawasan hutan tanaman perusahaan MHP. a. Informasi Teknis dan Manajemen dalam Dimensi Sosial Budaya Berdasarkan informasi teknis dan manajemen yang diperoleh dilapangan sebelum SECI ini diterapkan terdapat banyak kasus yang termasuk dalam kelompok sosial budaya ini. Diantaranya kasus sosial budaya yang teramati adalah adat istiadat, prilaku, dan kebiasaan masyarakat yang kurang baik serta belum di adopsinya kearifan lokal sebagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Dalam faktor sosial budaya, kajian dalam penelitian ini tidak terlepas dari kondisi sosial budaya masyarakat sekitar yang telah tumbuh dan berkembang secara turun-temurun selama ini. Salah satu budaya yang berkembang selama ini adalah budaya yang berkembang dalam sistem pemerintahan marga. Dalam pemerintahan marga berkembang pola budaya yang dikenal dengan istilah “Simbur Cahaya” yang segala sesuatu diputuskan berdasarkan musyawarah dengan mengedepankan kearifan lokal. Bubarnya pemerintahan marga dan masuknya investor telah menyebabkan terkikisnya budaya marga dan kearifan lokal tersebut. Hilangnya elemen budaya dan kearifan lokal tersebut akan berdampak luas terhadap keberlanjutan usaha hutan tanaman saat ini. Dari kajian Sjarkowi (2010) di perkirakan dari sekitar 100 orang pemuda yang bersekolah kekota, hanya sekitar 20% yang dapat pekerjaan dan 180 penghidupan di kota. Sisanya 80% terpaksa kembali ke desa karena tidak mendapat lapangan kerja di kota. Mereka yang terdidik ini, tetapi tidak mempunyai pekerjaan mulai mencari celah untuk mengklaim tanah-tanah perusahaan dengan alasan bahwa itu adalah tanah marga, milik nenek moyang mereka. Prilaku seperti ini jika tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan permasalahan bagi perusahaan. b. Pelayanan Teknis dan Manajemen dalam Dimensi Sosial Budaya Belajar dari pengalaman masa lalu, perusahaan mencoba menata kembali pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat, dengan menempatkan masyarakat sebagai bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat. Untuk sejak tahun 2000 perusahaan mulai melakukan pelayanan teknis dan manajemen untuk memperbaiki dimensi sosial budaya masyarakat sekitar kawasan konsesi dengan mengadopsi kembali kearifan lokal dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan masyarakat sekitar kawasan, serta menfasilitasi musyawarah dan diskusi kelompok yang tergabung dalam FGD untuk. Dengan demikian, aspek sosial budaya menyediakan suatu kerangka yang koheren untuk mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkannya meramalkan perilaku orang lain. Kondisi sosial budaya sangat erat hubungannya dengan prilaku masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh budaya yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri, yang disebut dengan istilah Cultural-Determinism. 181 Tata nilai sosial budaya dapat diartikan sebagai pola cara berpikir atau aturan-aturan yang mempengaruhi tindakan-tindakan dan tingkah laku warga masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Pada cara berpikir itu tumbuh berkembang dan kokoh sebagai pedoman dalam bertingkah laku dalam masyarakat itu sendiri. Nilai-nilai sosial budaya yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat merupakan salah satu modal dasar bagi peningkatan kesejahteraan termasuk gairah masyarakat dalam melaksanakan pembangunan di wilayah mereka. Hubungan-hubungan kekerabatan adat dan budaya harus terus didorong sehingga dapat menciptakan sinergitas yang handal bagi upaya bersama membangun HTI di masa mendatang. Selanjutnya implementasi Sustainable Forest Management yang meliputi kelestarian fungsi produksi, kelestarian fungsi ekologi dan kelestarian fungsi sosial ekonomi dan budaya. Kelestarian fungsi produksi meliputi kelestarian sumberdaya, kelestarian hasil hutan dan kelestarian usaha. Dilain pihak kelestarian fungsi ekologi/lingkungan meliputi kelestarian kualitas lahan dan air serta kelestarian keanekaragaman hayati, sedangkan kelestarian fungsi sosial ekonomi dan budaya meliputi kelestarian akses dan kontrol komunitas, kelestarian integrasi sosial dan budaya serta kelestarian hubungan tenaga kerja. Ketiga hal di atas, menjadi area kompetensi dari PT. MHP dalam menjalankan usahanya. Dalam menjalankan manajemen perusahaan, PT. MHP berorientasi pada community profit oriented dimana lingkungan dan pemberdayaan masyarakat tidak dipandang sebagai biaya bagi perusahaan, namun menjadi unsur penting dalam menjalankan usahanya. Untuk itu, perusahaan menerapkan sustainable 182 forest management bagi hutan industrinya. Penerapan prinsip tersebut juga dilakukan dalam upaya memenuhi permintaan pasar terhadap produk ecolabelling. Ditinjau dari prospek investasi dan analisis finansial ekonomi hutan tanaman serta aspek modal dan teknologi yang dimiliki PT. MHP masih sangat memungkinkan untuk mengembangkan produk dan unit usahanya, salah satunya melalui diversifikasi produk. Hal tersebut tampak dari pendapatan tegakan Acacia mangium sejak umur komersial (4–8 tahun) untuk bahan baku pulp. Untuk itu perlu dikaji lebih mendalam prospek pengembangan usaha melalui diversifikasi produk tersebut.