Kabupaten Jeneponto "DARI 200.000 jiwa penduduknya, rata-rata 60 sampai 70 persen mengalami kekurangan bahan makanan..." begitu bunyi penggalan isi surat bernomor Sek 6/I/3/72. Surat tahun 1972 itu dibuat oleh Mora Daeng Billu, Bupati Jeneponto, ditujukan kepada Gubernur Sulawesi Selatan waktu itu, Achmad Lamo. Melalui surat itu bupati mengharapkan agar gubernur segera turun tangan mengatasi bencana kelaparan yang menimpa rakyat Jeneponto. Kabupaten Jeneponto yang terletak di ujung bagian barat dari wilayah Sulawesi Selatan memang pernah tertimpa bencana. Sebelum memperoleh bantuan bahan makanan dari tetangganya yang lebih subur, Kabupaten Wajo, penduduk terpaksa makan batang pisang, biji mangga, dan rumput laut untuk mengganjal perut. Kejadian hampir 30 tahun yang lampau itu memang tidak lagi terulang, meskipun sampai saat ini kondisi alam Kabupaten Jeneponto masih sama. Secara umum, kabupaten seluas 749,79 kilometer persegi ini memang kurang subur, bahkan cenderung kering. Dari sembilan kecamatan, hanya Kecamatan Ke-lara yang berada pada ketinggian 700 meter di atas permukaan laut. Kecamatan ini pun memiliki lima hingga enam bulan basah dan dua hingga empat bulan lembab. Delapan kecamatan lainnya, selain berada pada ketinggian 0-500 meter dari permukaan laut, juga hanya memiliki satu bulan basah dalam satu tahun. Selebihnya bulan kering. Tahun lalu, curah hujan di kabupaten ini hanya 45 milimeter. Curah hujan ini merupakan yang terendah dari 24 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan yang memiliki curah hujan rata-rata 184 milimeter per tahun. Tidak heran bila kabupaten yang beribu kota Bontosunggu ini merasa di"anak tiri"-kan oleh alam. Hasil sensus penduduk tahun 2000 mencatat jumlah penduduk Kabupaten Jeneponto sekitar 317.000 jiwa. Kepadatan penduduk terbesar berada di Kecamatan Tamalatea, yang terdiri dari 11 desa. Seluruh desa di kabupaten ini berjumlah 111 dengan 42,3 persen tergolong desa miskin. Untuk pembangunan seluruh desa di kabupaten disediakan dana Proyek Inpres Bantuan Pembangunan Desa. Pada tahun anggaran 2000 nilainya Rp 1.066.125.000, naik 47,8 persen dari tahun anggaran sebelumnya. Usaha memerangi "bau kemiskinan" di daerah ini telah diupayakan oleh pejabat pemerintah daerah (pemda) kabupaten. Pada tahun 1985/1986 umpama-nya, dilakukan Proyek Pemanfaatan dan Pengembangan La-han Kering. Alternatif yang dipilih saat itu adalah menanam pisang. Penyemaian pisang-tanaman yang dapat hidup di daerah kering dan tidak terlalu banyak membutuhkan air-besar-besaran dilakukan menggunakan bibit hasil sistem anak dan sistem belahan bonggol. Areal penanaman pisang seluas 100 hektar yang disebar pada lima kecamatan masing-masing 20 hektar. Proyek ini bisa dikatakan berhasil, meskipun produksinya masih tergolong kecil. Tahun lalu 6.247 ton pisang dihasilkan dari 228.986 pohon. Hasil ini hanya enam persen dari seluruh pisang di Sulawesi Selatan. Daerah ini juga menghasilkan mangga. Dari 153.133 pohon, dihasilkan 8.879 ton atau 12 persen dari total produksi mangga seluruh provinsi sehingga menempatkan Jeneponto sebagai daerah penghasil terbesar ketiga. Penghasil terbesar pertama Kabupaten Bone (21.748 ton) dan terbesar kedua Kabupaten Takalar (11.317 ton). Dalam kelompok sayuran, Kabupaten Jeneponto merupakan penghasil cabai terbesar. Sebanyak 20 persen dari 20.643 ton cabai yang dihasilkan Sulawesi Selatan, hasil dari daerah ini. Tanaman lain yang berpotensi dikembangkan adalah jambu mete. Dengan luas areal 2.845 hektar yang dikerjakan 4.267 rumah tangga petani, dihasilkan 629 ton jambu mete. Jumlah ini 48 persen di bawah produksi Kabupaten Selayar yang luas areal dan jumlah petaninya lebih sedikit. Jambu mete, dalam bentuk gelondongan atau kupas, merupakan salah satu komoditas yang diekspor Sulawesi Selatan, antara lain ke Amerika, Australia, Jerman, dan Belanda. Dari 3.242 ton jambu mete yang diekspor tahun lalu dihasilkan 6,1 juta dollar AS. Di tingkat desa, harga jambu mete gelondongan per kilogram Rp 4.853, di tingkat kabupaten Rp 5.644, dan di tingkat provinsi Rp 6.870. Sedangkan harga kacang mete kupas per kilogram di desa Rp 28.708, kabupaten Rp 32.005, dan provinsi Rp 45.920. Komoditas perkebunan ini mampu menembus pasar luar negeri. Oleh karena itu, layak bila jambu mete dikembangkan. Lahan kosong tanaman perkebunan yang 22.597 hektar bisa diberdayakan untuk menanam buah yang di Pulau Jawa lazim disebut jambu monyet ini. Pada subsektor peternakan, meskipun populasi 19.067 ekor kuda masih di bawah populasi kuda Kabupaten Bulukumba 24.318 ekor, daerah ini dikenal sebagai penghasil daging kuda terbesar di seluruh provinsi. Produksi daging kuda mencapai 46,4 ton. Harga daging kuda yang seekornya Rp 1 juta hingga Rp 2,5 juta, selain dikonsumsi sehari-hari dalam bentuk "coto kuda", juga wajib tersedia dalam pesta perkawinan maupun pesta sunatan. Pesta yang diadakan tanpa daging kuda ibarat sayur tanpa garam. Hewan berjari tunggal dan berkuku ini memang dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Jeneponto. Hewan berbahasa Latin Equus ini selain untuk menarik sado juga digunakan untuk olahraga pacuan. Sebegitu populernya kuda di Jeneponto, menyebabkan hewan ini diabadikan sebagai lambang kabupaten. Subsektor tanaman bahan pangan, tanaman perkebunan dan peternakan yang masuk da-lam sektor pertanian merupakan lapangan kerja utama penduduk. Dari tenaga kerja 130.419 orang, sektor pertanian menyerap hingga 75 persen. Total kegiatan ekonomi sektor ini sekitar Rp 365 milyar atau 62 persen dari keseluruhan kegiatan ekonomi senilai Rp 590 milyar. (BE Julianery/ Litbang Kompas)