Fungsi Konselor dalam Konseling Non Direktif

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam hidupnya, manusia memiliki banyak peristiwa dan pengalaman
yang telah dilaluinya. Peristiwa dan pengalaman tersebut terkadang akan
ditemui suatu masalah yang ringan hingga masalah berat yang tidak dapat
diatasi sendiri olehnya. Biasanya mereka akan berbagi cerita dengan keluarga,
teman atau orang terdekat lain di sekitarnya. Namun, cerita hanya cerita
karena tidak semua orang mampu memberi masukan dan membantu
mengatasi masalah tersebut.
Berdasarkan hal diatas, konseling merupakan sesuatu yang patut
dicoba dan memiliki lebih besar kemungkinan dalam membantu mengatasi
permasalahan seseorang. Pada proses konseling, konselor mendengarkan
cerita-cerita konseli dan terjadilah sebuah hubungan kerja sama untuk
bersama-sama menemukan solusi dari permasalahan tersebut. Proses tersebut
membutuhkan pendekatan-pendekatan, metode serta teknik uang tepat untuk
konseli seingga dapat menyelesaikan masalah konseli dengan cepat, tepat,
dan akurat.
Salah satu pendekatan dalam konseling adalah pendekatan non
directive, yaitu suatu metode perawatan psikis yang dilakukan secara
berdialog antara konselor dan konseli agar tercapai gambaran yang selaras
antara ideal self (diri konseli yang ideal) dengan actual self (diri konseli yang
sebenarnya).
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan pendekatan non directive dalam konseling?
2. Apa saja ciri-ciri pendekatan non directive dalam konseling?
3. Bagaimana dasar pandangan pendekatan non directive dalam konseling?
4. Apa saja karakteristik pendekatan non directive dalam konseling?
5. Apa saja fungsi konselor dalam konseling yang menggunakan pendekatan
non directive?
6. Apa saja sifat dan karakteristik yang harus dimiliki oleh konselor yang
menggunakan pendekatan non directive?
7. Apa saja kelebihan dan kelemahan pendekatan non directive?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagi berikut:
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan pendekatan non directive dalam
konseling.
2. Mengetahui ciri-ciri pendekatan non directive dalam konseling.
3. Mengetahui dasar pandangan pendekatan non directive dalam konseling.
4. Mengetahui karakteristik pendekatan non directive dalam konseling.
5. Mengetahui fungsi konselor dalam konseling yang menggunakan
pendekatan non directive.
6. Mengetahui sifat dan karakteristik yang harus dimiliki oleh konselor yang
menggunakan pendekatan non directive.
7. Mengetahui kelebihan dan kelemahan pendekatan non directive?
BAB II
PEMBAHASAN
1.1 Pengertian Konseling Non Direktif
Konseling non-direktif sering juga disebut “Client Centered Therapy”.
Pendekatan ini diperoleh oleh Carl Rogers dari Universitas Wisconsin di
Amerika serikat.
Konseling non-direktif
merupakan
upaya
bantuan
pemecahan masalah yang berpusat pada klien.Melalui pendekatan ini, klien
diberi kesempatan mengemukakan persoalan, perasaan dan pikiranpikirannya secara bebas.
Pendekatan ini berasumsi dasar bahwa seseorang yang mempunyai
masalah pada dasarnya tetap memiliki potensi dan mampu mengatasi
masalahnya sendiri. Tetapi oleh karena sesuatu hambatan, potensi dan
kemampuannya itu tidak dapat berkembang atau berfungsi sebagaimana
mestinya.
Untuk
mengembangkan
dan
mengfungsikan
kembali
kemampuannya itu klien itu memerlukan bantuan. Bertitik tolak dari
anggapan dan pandangan tersebut, maka dalam konseling, inisiatif dan
peranan utama pemecahan masalah diletakkan dipindak klien sendiri,
sedangkan kewajiban dan peranan utama konselor adalah menyiapkan
suasana agar potensi dan kemampuan yang ada pada dasarnya ada pada diri
klien itu berkembang secara optimal, dengan jalan menciptakan hubungan
konseling yang hangat dan permisif. Suasana seperti itu akan memungkinkan
klien mampu memecahkan masalahnya.
Dalam suasana seperti itu konselor merupakan “ agen pembangunan yang
mendorong terjadinya perubahan pada diri klien tanpa konselor sendiri
banyak masuk dan terlibat langsung dalam proses perubahan tersebut.
Menurut Rogers, adalah menjadi tanggung jawab klien untuk membantu
dirinya. Salah satu prinsip yang dalam konseling non direktif adalah
mengupayakan agar klien mencapai kematangannya, produktif, merdeka, dan
dapat menyesuaikan diri dengan baik. Sesuai dengan teori
yang
mendasarinya, yaitu teori Rogers tentang hakikat manusia dan tingkah
lakunya, pendekatan konseling non-direktif sering juga disebut konseling
yang beraliran Humanistik. Aliran ini menekankan pentingnya pengembangan
potensi dan kemampuannya secara hakiki ada pada setiaap individu. Potensi
dan kemampuan yang berkembang itu menjadi penggerak bagi upaya
individu untuk mencapai tujuan-tujuan hidupnya.
1.2 Ciri-ciri Hubungan Non Direktif
1. Menempatkan klien pada kedudukan sentral, klien aktif untuk
mengungkapkan dan mencari pemecahan masalah. Jadi, hubungan ini
menekankan pada aktivitas klien dan tanggung jawab klien sendiri.
2. Konselor berperan hanya sebagai pendorong dan pencipta situasi yang
memungkinkan klien untuk bisa berkembang sendiri. Jadi, konselor
berperan membantu klien dalam merefleksikan sikap dan perasaanperasaannya.
Ciri-ciri hubungan otoriter :
a. Klien atau siswa adalah merupakan objek dari subjek yang memegang
otoritas (guru, orang tua, atau konselor). Sedangkan siswa/klien harus
mengikuti dan taat kepada apa yang digariskan oleh pemegang
otoritas.
b. Pemegang otoritas adalah orang yang paling tahu segala hal, dialah
yang menunjukkan, mencarikan atau memberikan jalan pada klien.
Jadi, pemegang otoritas adalah berperan sebagai faktor penentu bagi
klien.
1.3 Dasar Pandangan Non Direktif tentang Individu
Konseling non-direktif sering pula disebut “client-centered counseling”,
yang memberikan suatu gambaran bahwa proses konseling yang menjadi
pusatnya adalah klien, dan bukan konselor. Karena itu, dalam proses
konseling ini kegiatan sebagian besar diletakkan di pundak klien itu sendiri.
Dalam pemecahan masalah, maka klien itu sendiri didorong oleh konselor
untuk mencari serta menemukan cara yang terbaik dalam pemecahan
masalahnya.
Konseling non-direktif dikembangkan oleh Carl R. Rogers guru besar
dalam Psikologi dan Psikiatri, Universitas Wisconsin, dan dipandang sebagai
Bapak Konseling Non-Direktif (client-centered counseling).
1. Dasar filsafat Rogers mengenai manusia
Dasar filsafat Rogers mengenai manusia berorientasi kepada filosofi
humanistic. Dasar filsafat Rogers dimaksud ialah bahwa :
a. Inti sifat manusia adalah positif, sosial, menuju ke muka, dan realistic.
b. Manusia pada dasarnya adalah kooperatif, konstruktif, dan dapat
dipercaya.
c. Manusia mempunyai tendensi dan usaha dasar untuk mengaktualisasi
pribadi, berprestasi dan mempertahankan diri.
d. Manusia mempunyai kemampuan dasar untuk memilih tujuan yang
benar, dan membuat pemilihan yang benar, apabila ia diberi situasi
yang bebas dari ancaman.
2. Pokok-pokok teori Rogers
Ada tiga pokok teori mengenai kepribadian yang di kemukakan oleh
Rogers yang mendasari teknik konselingnya. Di antaranya adalah sebagai
berikut :
a. Organisme
a) Bereaksi secara keseluruhan sebagai satu kesatuan yang teratur
terhadap medan phenomenal untuk memenuhi kebutuhankebutuhannya.
b) Memiliki motif dasar, yaitu mengaktualisasi, mempertahankan
dan mengembangkan diri.
c) Organisme
kemungkinan
melambangkan
pengalaman-
pengalaman, sehingga menjadi disadari atau menolak untuk
melambangkan pengalaman-pengalaman tersebut sehingga
tetap tidak disadari, atau kemmungkinan tidak memperdulikan
pengalaman tersebut.
b. Medan Phenomenal
Medan phenomenal adalah keseluruhan pengalaman yang pernah
dialami. Pengalaman tersebut disadari atau tidak tergantung dari
apakah pengalaman tersebut disimbolkan atau tidak. Medan
phenomenal hanya dapat mengetahui pengalaman seseorang melalui
kesimpulan atas dasar empatik (empatic inference). Kesadaran
tercapai kalau pengalaman itu disimbolisasikan.
Menurut Rogers, pengalaman terdiri dari :
a) Pengalaman yang tersimbolisasikan.
b) Pengalaman yang tidak tersimbolisasikan.
Organisme bereaksi terhadap kedua hal tersebut. Kemungkinan ada
bahwa pengalaman tidak dapat dites dengan kenyataan, sehingga
mungkin dilaksanakan tindakan yang tak realistis.
c. Self
Self merupakan bagian yang terpisah dari medan phenomenal,
yang berisi pola pengalaman dari penilaian yang sadar dari subjek.
Dari pengalaman-pengalaman, seseorang akan dapat membentuk pola
pengamatan dan penilaian terhadap diri sendiri secara sadar baik
okrang tersebut sebagai objek. Self ini juga dinamakan juga selfconcept (konsep diri).
Berkaitan dengan client-centered counseling dari Carl R. Rogers
menyatakan bahwa konseling yang berpusat pada klien haruslah
dilandasi pada pemahaman klien tentang dirinya. Atau dengan kata
lain pendekatan. Rogers mentitikberatkan kepada kemampuan klien
untuk menentukan sendiri masalah-masalah yang terpenting bagi
dirinya dan memecahkan sendiri masalahnya. Campur tangan konselor
sedikit sekali. Klien akan mampu menghadapi sifat-sifat dirinya yang
tidak dapat diterima lingkungannya tanpa ada perasaan terancam dan
cemas, sehingga ia menuju kearah menerima dirinya dan nilai-nilai
yang selama ini dimiliki dan dianutnya, serta mampu mengubah
aspek-aspek dirinya sebagai sesuatu yang dirasakan perlu diubah.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa konse pdiri (self-concept
or self structure) adalah merupakan gambaran seseorang tentang
dirinya sendiri. Gambaran yang lengkap tentang dirinya meliputi
berbagai kemampuan, kelemahan, sifat-sifatnya, dan bagaimana
hubungan dirinya dengan lingkungannya. Jadi, konsep diri adalah
bagaimana inividu menyadari dirinya sendiri, dan mengenal dirinya
sendiri.
a) Teori kepribadian Rogers
Rogers memandang manusia sebagai makhluk sosial, maju terus,
rasional, dan realistik. Manusia bukan robot atau mesin, bukan
pula kumpulan dan reaksi-reaksi terhadap berbagai respon dan
bukan objek. Manusia itu adalah subjek yang utuh, aktif dan unik.
Pendapat Carl R. Rogers dirumuskan dalam 19 dalil (Carl R.
Rogers
Ph.D.,
Client-Centered
Therapy,
Houghton-Mifflin
Company, Boston 1962, halaman 483-424) disarikan sebagai
berikut:
1) Tiap inividu ada dalam dua pengalamannya yang selalu
berubah-ubah, yang pusatnya adalah dia. Manusia selalu ada
dalam dunianya, yang dunia sebagaimana dihayatinya.
Maknanya pada inividu bersangkutan. Karena itu sumber
informasi yang paling tepat mengenai seseorang adalah orang
yang bersangkutan itu sendiri.
2) Organisme bereaksi terhadap medan termpat dia ada menurut
penghayatannya mengenai medan itu. Medan persepsi itu
adalah realistas bagi inividu yang bersangkutan. Sesuatu hal
yang secara objektif sama mungkin berarti berbeda bagi
inividu lain atau bagi inividu yang sam dalam kondisi yang
berlainan.
3) Organisme bereaksi terhadap medan phenomenal sebagai suatu
kesatuan yang terorganisasi. Apa yang dilakukan inividu dalam
sesuatu keseluruhan, meliputi keseluruhan kepribadiannya.
4) Organisasi mempunyai satu kencenderungan, dan dorongan
dasar,
yaitu
mangaktualisasikan,
mempertahankan,
dan
meningkatkan organisme yang menghayati. Pada diri inividu
terdapat dorongan untuk maju dan dorongan untuk mengejar
perkembangan yang lebih lanjut dan meningkat, yang pada
akhirnya mencapai aktualisasi diri, yaitu pribadi yang dalam
taraf optimal.
5) Perilaku pada dasarnya adalah terarah kepada tujuan, yang
dilakukan oleh inividu untuk memuaskan kebutuhannya
sebagaimana dihayatinya dalam dunianya, yaitu dunia menurut
penghayatannya.
6) Emosi menyertai dan pada umumnya menunjang perilaku yang
terarah pada tujuan itu. Emosi ada sebagai dari reaksi total
organisme terhadap phenomenalnya. Dengan artilain dapat
dikatakan bahwa kebanyakan cara-cara bertingkah laku yang
diambil oleh inividu adalah sesuai dengan konsep dirinya (selfconcept). Sehingga cara yang terbaik untuk mengubah perilaku
adalah dengan terlebih dahulu mengubah konsep mengenai
dirinya.
7) Sudut pandang terbaik untuk memahami perilaku inividu
adalah kerangka acuan yang ada dalam diri inividu yang
bersangkutan. Dengan arti lain bahwa untuk memahami
perilaku inividu ialah dengan cara memahami kerangka
oreantsinya (bagaimana inividu memandang dunia sekitarnya)
8) Suatu bagian dari medan penghidupan secara keseluruhan
secara berangsur-angsur terdefinisikan menjadi diri atau self.
9) Sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungan, terutama
sebagai hasil dari interaksi evaluasi dengan orang-orang lain,
terbentuklah “diri” itu, yaitu suatu konsep pola kehidupan aku
yang kenyal dan konsisten, yang padanya terletak pola sistem
nilai. Atau dengan kata lain “konsep diri” itu terbentuk karena
inividu berinteraksi dengan lingkungan.
10) Nilai-nilai yang terletak pada pengalaman, dan nilai-nilai yang
merupakan bagian dari struktur diri, adalah nilai-nilai yang
dihayati langsung oleh inividu atau yang diintrojeksikan dari
penghayatan orang lain, tetapi yang telah diwarnai oleh makna
yang diberikan oleh inividu yang bersangkutan. Jadi, nilai-nilai
yang membentuk konsep diri itu diperoleh inividu secara
langusng atau dari orang lain.
11) Hal-hal dalam dunia pengalaman seseorang itu ditangkap oleh
orang
yang
bersangkutan
dalam
tiga
cara,
yaitu
:
dilambangkan, dihayati, dan diorganisasikan ke dalam
hubungan tertentu dengan diri, diabaikan karena tidak ada
terlihat hubungan dengan struktur diri, atau ditolak atau
dilambangkan dengan perubahan karena hal yang dihadapi itu
tidak konsisten dengan struktur diri. Jadi, pengalaman yang
diperoleh inividu, mungkin akan diterima dan dihubungkan
dengan konsep diri, mungkin pula ditolak, dibuang, atau
disingkirkan karena tidak cocok dengan konsep diri.
12) Kebanyakan cara-cara berperilaku yang dijalankan oleh inividu
adalah perilaku yang konsisten dengan konsep diri. Perilaku
seseorang itu sejalan dengan konsep tentang dirinya.
13) Dalam beberapa hal perilaku mungkin ditimbulkan oleh
pengalaman
organik
atau
kebutuhan
yang
belum
dilambangkan. Perilaku yang demikian itu tidak konsisten
dengan struktur diri, tetapi yang demikian itu sebenarnya
perilaku menjadi “bagian” dari inividu yang bersangkutan atau
perilaku itu dapat berasal dari pengalaman dan dapat pula
berasal dari kebutuhan yang belum diketahui.
14) Penyesuaian psikologis yang tidak baik terjadi bilamana
organisme menolak menyadari pengalaman-pengalaman dan
viseral yang penting, yang karenanya dilambangkan dan
diorganisasikan ke dalam struktur diri. Apabila hal yang
demikian ini berlangsung, maka akan terjadi ketegangan
psikologis. Ganguan psikologis (mental) terjadi apabila inividu
menolak kenyataan yang tidak sesuai dengan konsep dirinya.
15) Penyesuainan psikologis yang baik terjadi apabila diri itu
memungkinkan semua pengalaman sensoris dan viseral
organisme dapat diasimilasikan dengan simbolik kedalam
relasasi yang konsisten dengan konsep diri.
16) Setiap pengalaman yang tidak konsisten dengan organissasi
atau struktur diri mungkin diamati sebagai ancaman, dan
semakin banyak struktur pengalaman yang demikian kukuhlah
diri itu diorganissasikan, untuk mempertahankan diri.
17) Pada
kondisi-kondisi
menimbulkan
tertentu,
ancaman
bila
terhadap
sama
struktur
sekali
tidak
diri,
maka
pengalaman-pengalaman yang tidak konsisten dengan struktur
diri itu mungkin diamati, diuji, dan struktur diri direvis agar
dapat mengasimilasi dan mencakup pengalaman-pengalaman
yang demikian itu. Dengan demikian, dapat dikatakan apabila
pengalaman baru itu tidak menimbulkan ancaman, maka
pengalaman ini akan diterima dan dapat merubah atau
memperbaiki konsep diri.
18) Apabila
inividu
mengamati
dan
menerima
semua
pengalamannya yang sensoris dan viseral kedalam suatu
integral, maka ia akan dapat lebih memahami dan menerima
orang lain. Dengan arti kata lebih sederhana dapat dikatakan,
bahwa apabila pengalaman sosial diterima dan membentuk
konsep diri, kemudian inividu dapat memahami inividu
lainnya, maka ia pun akan lebih diterima oleh lingkungannya.
19) Apabila inividu mengamati dan menerima lebih banyak
pengalaman organismenya, maka ia akan menyadari bahwa ia
sedang menggantikan sistem nilai-nilainya yang sekarang
dengan baru, dengan suati proses evaluasi organis.
Teori Rogers ini telah menjadi dasar pengembangan konseling
non-direktif dan usaha-usaha lain yang bertujuan membantu
inividu untuk mengembangkan apa yang telah ada pada
dirinya. Dengan memahami teori ini, maka akan dipahami pula
hubungan dunia kehidupan – pengalaman-konsep diri –
penerimaan lingkungan – kondisi sehat mental.
1.4 Karakteristik Konseling Non Direktif
Peran klien yang besar dibandingkan dengan konselornya dalam hubungan
konseling adalah merupakan karakterisisik utama dari konseling non-direktif.
Karakteristik untuk dari konseling non-direktif, masing-masing menekankan
pada :
1. Tanggung jawab dan kemampuan klien dalam menghadapi kenyataan.
Seseorang berfungsi sempurna apabila memiliki pemahaman tentang
dirinya sendiri, terbuka terhadap pengalaman baru. Untuk memperoleh
pemahaman akan dirinya, terbuka hal-hal yang baru itu haruslan diberikan
suatu kesempatan, pengalaman dan tanggung jawab untuk menghadapi
kenyataan. Kenyataan itu pada hakikatnya adalah sesuatu yang diamati
dan dialami inividu (Carl R. Rogers). Jadi, klien didorong untuk
menentukan pilihan dan keputusan serta tanggung jawab atas pilihan dan
keputusan yang telah di ambilnya.
2. Pengalaman-pengalaman sekarang.
Konseling non-direktif tidak beorientasi pada pengalaman masa
lalu, tetapi
menitikberatkan
pada
pengalaman-pengalaman sekarang.
Untuk mengungkapkan pengalaman dan permasalahannya yang dihadapi
sekarang
ini
(saat
ini),
konselor
mendorong
klien
untuk
mengungkapkannya dengan sikap yang empatik, terbuka, asli (tidak
berpura-pura), dan permisif.
3. Konseling non-direktif tidak bersifat dogmatis.
Konseling non-direktif bukanlah suatu bentuk hubungan atau pendekatan
yang bersifat kaku atau merupakan suatu dogma. Tetapi merupakan suatu
pola kehidupan yang berisikan penukaran pengalaman, dimana konselor
dan klien memperlihatkan sifat-sifat kemanusiaan dan berpartisipasi
dalam menemukan berbagai pengalaman baru.
4. Konseling non-direktif menekankan kepada persepsi klien.
Konseling ini mengutamakan dunia fenomenal dari klien. Konselor
berusaha memahami keseluruhan pengalaman yang pernah dialami (dunia
fenomenal) dari klien dari sudut pandang persepsi klien sendiri, apakah
itu berupa persepsi klien tentang dirinya sendiri maupun tentang dunia
luar.
5. Tujuan konseling non-direktif ada pada diri klien dan tidak ditentukan
oleh konselor.
Konseling non-direktif ini menempatkan klien pada kedudukan sentral,
sedangkan konselor berusaha membantu klien mengungkap dan
menemukan pemecahan masalah oleh dirinya sendiri. Jadi, tujuan
konseling dengan sendirinya ada dan di tentukan oleh klien itu sendiri.
1.5 Fungsi Konselor dalam Konseling Non Direktif
Dalam konseling non-direktif ada beberapa fungsi yang perlu dipenuhi oleh
seorang konselor. Fungsi yang dimaksud, sebagai berikut :
1. Menciptakan hubungan yang bersifat permisif.
Menciptakan hubungan yang bersifat permisif, penuh pengertian, penuh
penerimaan, kehangatan, terhindar dari segala bentuk ketegangan, tanpa
memberikan penilaian baik positif maupun negatif. Dengan terciptanya
hubungan yang demikian itu, secara langsung dapat melupakan
ketegangan-ketegangan, perasaan-perasaan, dan mempertahankan diri
klien. Menciptakan hubungan permisif bukan saja secara verbal tetapi
juga secara nonverbal.
2. Mendorong pertumbuhan pribadi
Dalam konseling non-direktif fungsi konselor bukan saja membantu klien
untuk melepaskan diri dari masalah-masalah yang dihadapinya, tetapi
lebih dari itu adalah berfungsi untuk menumbuhkan perubahan-perubahab
yang fudamental (terutama perubahan sikap). Jadi, proses hubungan
konseling di sini adalah proses untuk membantu pertumbuhan dan
pengembangan pribadi klien.
3. Mendorong kemampuan memecahkan masalah.
Dalam konseling non-direktif, konselor berfungsi dalam membantu klien
agar ia mengambangkan kemampuan untuk memecahkan masalah. Jadi,
dengan demikian salah satu potensi yang perli dikembangkan atau
diaktualisasikan diri klien adalah potensi untuk memecahkan masalahnya
sendiri.
1.6 Persyaratan Sifat dan Sikap Seorang Konselor Non Direktif
Beberapa persyaratan yang berhubungan dengan sifat dan sikap agar dapat
melaksanakan hubungan konseling non-direktif, diantaranya adalah sebagai
berikut :
1. Kemampuan berempati.
Empati pada dasarnya adalah mengerti dan dapat merasakan orang lain
(klien). Empati ini akan lebih lengkap dan sempurna apabila diiringi oleh
pengertian dan penerimaan konselor tentang apa yang dipikirkan oleh
klien. Empati adalah saling hubungan akan dua orang, dan kuat lemahnya
empati itu sangat bergantung pada saling pengertian dan penerimaan
terhadap suasana yang diutarakan oleh klien. Empati yang dalam, dapat
dirasakan oleh kedua belah pihak, yaitu baik oleh konselor maupun oleh
klien itu sendiri.
2. Kemampuan menerima klien.
Kemampuan konselor untuk benar-benar menerima klien sebagaimana
adanya adalah memegang peran penting dalam hubungan konseling.
Dasar dari kemampuan ini adalah penghargaan terhadap orang lain (dalam
diri kllien) sebagai seorang yang pada dasarnya baik. Dalam menerima
klien ini ada dua unsur yang perlu diingat ialah :
a. Konselor berkehenda untuk membiarkan adanya perbedaan antara
konselor dengan klien
b. Konselor menyadari bahwa pengalaman yang akan dilalui oleh
klien ada usaha yang penuh dengan perjuangan, pembinaan, dan
perasaan.
Penerimaan konselor terhadap klien secara langsung bersangkut paut
dengan kemampuan konselor untuk tidak memberikan penilaian tertentu
terhadap klien.
3. Kemampuan untuk menghargai klien.
Seorang konselor non-direktif harus menghargai pribadi klien tanpa syarat
apapun. Apabila rasa dihargai dirasakan oleh klien, maka timbullah rasa
percaya bahwa dirinya mempunyai harga sebagai individu (tidak
dipandang rendah/tidak berarti), maka klien akan berani mengemukakan
segala masalahnya, maka timbul pula keinginan bahwa dirinya berharga
untuk mengambil keputusan bagi dirinya sendiri. Konselor harus dapat
menerima klien sebagaimana adanya. Dengan sikap dan kemampuan yang
dimiliki konselor untuk menghargai klien tanpa syarat, serta menerima
klien apa adanya secara langsung akan membina hubungan yang akrab
penuh rasa persahabatan, hangat, terbuka dengan kliennya.
4. Kemampuan untuk memperhatikan.
Kemampuan memperhatikan menuntut keterlibatan sepenuhnya dari
konselor terhadap segala sesuatu yang dikemukakan oleh klien.
Kemampuan ini memerlukan keterampilan dalam mendengarkan dan
mengamati untuk dapat mengetahui dan mengerti inti dari isi dan suasana
perasaan bagaimana yang diungkapkan klien. Melalui mendengarkan dan
mengamati itu konselor tidak hanya menangkap dan mengerti apa yang
dikemukakan oleh klien, tetapi juga bagaimana klien menyampaikan hal
itu. Bagaimanapun juga, suka atau tidak suka, klien menginginkan
perhatian penuh terhadap apa yang diungkapkan oleh klien, baik melalui
kata-kata (verbal) maupun isyarat (non-verbal).
5. Kemampuan membina keakraban.
Keakraban merupakan syarat yang sangat penting demi terbinanya
hubungan yang nyaman dan serasi antara konselor dan klien. Keakraban
ini akan tumbuh terus-menerus dan terbina dengan baik apabila konselor
benar-benar menaruh perhatian dan menerima klien dengan permisif.
Perhatian dan penerimaan yang murni (tidak semu dan palsu) ini
sebenarnya tidak dipaksakan, direncanakan ataupun dibuat-buat. Seorang
konselor yang memaksakan dirinya menaruh perhatian dan menerima
klien, maka wujud perhatian itu tidak akan wajar, ketidakwajaran itu
sendiri akan mewarnai hubungan tersebut. Keakraban yang murni dan
wajar diwarnai oleh adanya perhatian, tanggapan, dan keterlibatan
perasaan secara tulus dan tanpa pamrih. Keakraban itu adalah lebih dalam
dari hanya sekadar ucapan salam atau mengenakkan hati klien. Lebih jauh
dari itu keakraban itu merupakan keastuan suasana hubungan yang
ditandai oleh rasa saling percaya mempercayai, kerjasama, kesungguhan,
ketulusan hati, dan perhatian.
6. Sifat keaslian (gunuin)
Seorang konselor non-direktif harus memperlihatkan sifat keaslian dan
tidak
berpura-pura.
Kepura-puraan
dalam
hubungan
konseling
menyebabkan klien menutup diri. Jadi, proses konseling non-direktif
mengharapkan keterbukaan dari klien. Klien akan terbuka apabila
konselor dapat dipercaya dan bersungguh-sungguh.
7. Sikap terbuka
Konselin non-direktif mengharapkan adanya keterbukaan dari klien baik
untuk mengemukakan segala masalahnya maupun untuk menerima
pengalaman-pengalaman. Keterbukaan dari klien akan terwujud apabila
ada keterbukaan dari konselor pula.
1.7 Proses Konseling Non Direktif
Secara umum tujuan yang ingin dicapai melalui pendekatan Konseling NonDirektif adalah untuk membantu klien agar berkembang secara optimal
sehingga ia mampu menjadi manusia yang berguna. Dimana tujuan dasar
Konseling Non-Direktif secara rinci adalah sebagai berikut:
1. Membebaskan klien dari berbagai konflik psikologis yang dihadapinya.
2. Menumbuhkan kepercayaan diri klien untuk mengambil satu atau
serangkaian keputusan yang terbaik bagi dirinya sendiri tanpa merugikan
orang lain.
3. Memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada klien untuk belajar
mempercayai orang lain dan memiliki kesiapan secara terbuka untuk
menerima berbagai pengalaman orang lain yang bermanfaat bagi dirinya
sendiri.
4. Memberikan kesadaran diri pada klien bahwa dirinya adalah merupakan
bagian dari suatu lingkup social budaya yang luas, dimana ia masih
memiliki keunikan tersendiri.
5. Menumbuhkan suatu keyakinan pada klien bahwa dirinya terus
bertumbuh dan berkembang (process of becoming).
6. Ciri-ciri Proses
Adapun ciri-ciri dalam pendekatan Konseling Non-Direktif, yaitu:
a. Klien berperan lebih dominan daripada konselor. Dimana konselor
hanya sebagai fasilitator atau cermin.
b. Keputusan akhir tetap berada ditangan klien, sedangkan konselor
berperan dalam mengarahkan klien untuk mampu mengambil
keputusan sendiri atas masalah yang dihadapinya.
c. Dalam proses Konseling Non-Direktif menekankan pada pentingnya
hubungan yang bersifat permisif, intim sebgai persyaratan mutlak bagi
berhasilnya hubungan konseling. Komunikasi antara konselor dan
klien akan lebih mudah apabila berbentuk keakraban (raport), karena
keakraban adalah dasar membentuk kepercayaan antara klien dan
konselor. Dimana konselor harus memberikan keleluasaan pada klien
untuk mengungkapkan perasaannya dan pada saat yang bersamaan
konselor memisahkan semua informasi yang relevan dengan tujuan
dari konseling,
d. Konselor harus benar-benar menerima klien apa adanya dan sebelum
memberikan bantuan konselor harus menghadapi klien dengan tulus
sebagai individu yang berpotensi untuk mengambil keputusan sendiri
atas permasalahannya.
e. Proses konseling tidak bisa ditentukan oleh konselor. Sehingga lebih
cepat klien mengungkapkan masalahnya, maka secepat itu pula
konselor dapat mengarahkan klien dalam menyelesaikan masalahnya.
f. Empati menduduki tempat terpenting. Karena dengan empati konselor
dapat mengerti dan merasakan perasaan klien seutuhnya.
7.
Langkah-langkah
Adapun menurut Carl R. Rogers, ada dua belas langkah yang dapat
digunakan sebagai pedoman dalam melaksanakan konseling NonDirektif. Namun kedua belas langkah yang dikemukan itu bukanlah
langkah yang baku, dapat diubah-ubah. Langkah-langkah dimaksud
adalah sebagai berikut:
a. Klien datang untuk meminta bantuan kepada konselor secara sukarela.
Bila klien datang atas petunjuk seseorang, maka konselor harus
mampu menciptakan suasana permisif, santai, penuh keakraban dan
kehangatan, serta terbuka, sehingga klien dapat menetukan sikap
dalam pemecahan masalahnya.
b. Merumuskan situasi bantuan.
Dalam merumuskan konseling sebagai bantuan untuk klien , klien
didorong untuk menerima tanggung jawab untuk melaksanakan
pemecahan masalahnya sendiri. Dimana dorongan ini hanya bisa
dilakukan apabila konselor yakin pada kemampuan klien untuk
mampu membantu dirinya sendiri.
c. Konselor mendorong klien untuk mengungkapkan perasaannya secara
bebas, berkaitan dengan masalahnya.
Dengan menunjukkan sikap permisif, santai, penuh keakraban,
kehangatan, terbuka, serta terhindar dari ketegangan-ketegangan,
memungkinkan klien untuk mengungkapkan perasaannya, sehingga
dirasakan meredanya ketegangan atau tekanan batinnya.
d. Konselor secara tulus menerima dan menjernihkan perasaan klien
yang sifatnya negative dengan memberikan respons yang tulus dan
menjernihkan kembali perasaan negative dari klien.
e. Setelah perasaan negative dari klien terungkapkan,maka secara
psikologis bebannya mulai berkurang. Sehingga ekspresi-ekspresi
positif akan muncul, dan memungkinkan klien untuk bertumbuh dan
berkembang.
f. Konselor menerima perasaan positif yang diungkapkan klien.
g. Saat klien mencurahkan perasaannya secara berangsur muncul
perkembangan terhadap wawasan (insight) klien mengenal dirinya,
dan pemahaman (understanding)serta penerimaan diri tersebut.
h. Apabila klien telah memiliki pemahaman terhadap masalahnya dan
menerimanya,
maka
klien
mulai
membuat
keputusan
untuk
melangkah memikirkan tindakan selanjutnya. Artinya bersamaan
dengan timbulnya pemahaman, muncul proses verfikasi untuk
mengambil keputusan dan tindakan memungkinkan yang akan
diambil.
i. Dasar Pertimbangan Penggunaan
Pertimbangan yang menjadi pendorong digunakannya konseling NonDirektif didasarkan pada :
a) Sifat Klien
Dalam proses konseling diharapkan konselor mampu memahami
sifat-sifat kliennya secara baik. Karena pada hakikatnya klien
sebagai individu memiliki keunikan tersendiri. Dimana Konseling
Non-Direktif sebagai suatu pendekatan memberikan keleluasaan
pada klien yang memiliki sifat-sifat: agresif, terbuka, terus terang,
serta mampu mengungkapkan masalahnya secara terus terang,
bebas, dan lancar.
b) Sifat Konselor
Sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang konselor dalam
Konseling Non-Direktif, yaitu:
1) Kemampuan dan kesediaan untuk menjadi pendengar yang
baik. Disamping itu juga bersedian untuk menyimak,
mengkaji, dan menangkap apa yang diungkapkan oleh klien.
2) Kemampuan
menciptakan
hubungan
keakraban(raport). Karena hal ini merupakan dasar dalam
membentuk kepercayaan dan pengertian antara konselor dan
klien.
3) Kesediaan konselor untuk meluangkan waktu yang cukup
banyak, karena Konseling Non-Direktif berpotensi untuk
memakan waktu yang lama.
4) Sifat Masalah
Dalam Konseling Non-Direktif pada dasarny dapat digunakan
pada setiap masalah yang dihadapi klien. Tetapi konseling ini
lebih
tepat
bersifat konflik
dimaksudkan
digunakan
untuk
psikologis.
adalah
yang
masalah-masalah
Konflik
terkait
psikologis
dengan
yang
yang
ketegangan-
ketegangan psikologis, sebagai akibat tertekannya individu
oleh lingkungan maupun dirinya sendiri.
1.8 Kelebihan Dan Kelemahan Pendekatan Non Directive
Pendekatan non directive memiliki berbagai kelebihan, diantaranya adalah :
1. Diperoleh hasil yang lebih baik dalam keterbatasan sumber daya
2. Membantu perkembangan masyarakat  dengan learning by doing
3.
Menumbuhkan rasa kebersamaan (we feeling)
4.
Memunculkan kesempatan (petugas) untuk mendidik dan mempengaruhi
masyarakat
Disamping memiliki berbagai kelebihan, pendekatan ini memiliki beberapa
kelemahan, yakni sebagai berikut :
1. Petugas : tidak dapat sepenuhnya menjamin bahwa hasil akhir
pembangunan sesuai keinginan petugas
2.
Masyarakat : merasa “dipaksa” untuk aktif dan bertanggung jawab
terhadap keputusan yang ditetapkan
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Konseling suatu proses dimana konselor mendengarkan cerita-cerita konseli
dan terjadilah sebuah hubungan kerja sama untuk bersama-sama menemukan
solusi dari permasalahan tersebut. Pendekatan non directive dalam konseling
merupakan suatu metode perawatan psikis yang dilakukan secara berdialog antara
konselor dan konseli agar tercapai gambaran yang selaras antara ideal self (diri
konseli yang ideal) dengan actual self (diri konseli yang sebenarnya).
Pendekatan non directive berasumsi dasar bahwa seseorang yang mempunyai
masalah pada dasarnya tetap memiliki potensi dan mampu mengatasi masalahnya
sendiri. Tetapi oleh karena sesuatu hambatan, potensi dan kemampuannya itu
tidak dapat
berkembang atau berfungsi
sebagaimana mestinya.
Untuk
mengembangkan dan mengfungsikan kembali kemampuannya itu maka klien
memerlukan bantuan konselor melalui proses konseling.
DAFTAR PUSTAKA
Everdnandya. (2012, Mei 27). Pendekatan Konseling Non Directive. Retrieved
November
27,
2016,
from
wordpress:
https://everdnandya.wordpress.com/2012/05/27/pendekatan-konselingnon-direktif/
Ikma. (n.d.). Pendekatan non directive. Retrieved November 27, 2016, from 3.
ikma11.weebly.com/uploads/1/2/0/7/.../pendekatan_direktif_dan_non_dire
ktif.pptx
Krisnawati. (2010). Pendekatan Non Directive. Retrieved November 27, 2016,
from
digilib
UIN
Sunan
http://digilib.uinsby.ac.id/6992/3/bab%202.pdf
Ampel
Surabaya:
Download