Perkembangan Histamin Selama Proses

advertisement
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Salah satu potensi hasil perikanan Kota Ternate Provinsi Maluku Utara
yang
cukup
besar
untuk
dikembangkan
adalah
ikan
cakalang
(Katsuwonus pelamis, Lin). Data Statistik Perikanan Tangkap Dinas Perikanan
dan Kelautan Provinsi Maluku Utara (2007) menunjukkan bahwa jumlah produksi
ikan yang ada di Kota Ternate terdiri atas cakalang 40.591,60 ton/tahun, teri
12.687,72 ton/tahun, tuna 7.979,99 ton/tahun, tongkol 7.795,10 ton/tahun dan
kakap 541,40 ton/tahun.
Ikan cakalang selain sebagai komoditas dalam bentuk ekspor beku juga
dimanfaatkan secara tradisional oleh masyarakat Kota Ternate. Pengolahan
tradisional yang sudah umum dikenal adalah ikan asin, ikan asap dan produk
fermentasi seperti kecap ikan, terasi dan bakasang.
Pada umumya proses
pengolahan ikan cakalang seperti pengasapan dan penggaraman hanya
memanfaatkan bagian dagingnya saja, sedangkan bagian lainnya seperti jeroan
(usus, lambung, hati, jantung, paru dan telur) umumnya dibuang dan sebagiannya
dimanfaatkan sebagai produk sampingan.
Jeroan ikan merupakan limbah perikanan sumber enzim proteolitik yang
cukup tinggi terutama pada bagian pilorikaeka dan usus. Pada pilorikaeka
terdapat enzim tripsin dan kimotripsin, sedangkan pada usus terdapat enzim
protease (Poernomo 1992), selain itu pada bagian lambung juga terdapat enzim
proteolitik seperti pepsin, lipase dan esterase (Hidayat 1994). Jeroan ikan juga
merupakan depot penyimpanan lemak dan sumber protein. Terdapat 17 jenis
asam amino dalam jeroan ikan yaitu asam aspartat, treonin, serin, asam glutamat,
leusin, glisin, alanin, sistein, valin, metionin, isoleusin, tirosin, fenilalanin,
histidin, lisin dan arginin (Poernomo 1992).
Pemanfaatan limbah perikanan khususnya jeroan secara tradisional telah
dilakukan nelayan-nelayan di tepi pantai Indonesia bagian timur seperti Provinsi
Sulawesi Utara dan Maluku Utara dengan cara fermentasi menggunakan garam
dengan menghasilkan produk yang dikenal dengan nama ” bakasang ”.
Pengolahan bakasang dengan cara fermentasi merupakan cara pengawetan yang
2
relatif sederhana dan mudah diterapkan turun temurun, proses pengolahannnya
secara
tradisional
berdasarkan
kebiasaan
masyarakat
setempat,
tidak
membutuhkan biaya yang tinggi (mahal), menghasilkan bahan buangan (limbah)
dalam jumlah kecil, produk fermentasi mempunyai daya simpan yang lama dan
produk dapat diterima oleh semua lapisan masyarakat (Rahayu et al. 1992).
Menurut Brink et al. (1990); Ijong dan Ohta (1995); McLauchlin et al.
(2005); Jiang et al. (2007), bakasang merupakan salah satu produk fermentasi
oleh mikroba fermentatif golongan bakteri asam laktat.
Bakasang umumnya
dibuat dari jeroan ikan cakalang yang merupakan golongan scombroid yang
berasal dari famili Scombroidae. Jenis ikan tersebut mengandung banyak histidin
bebas di dalam jaringan daging dan bagian isi perutnya (jeroan) yang dapat diubah
menjadi histamin melalui reaksi dekarboksilasi dan aktivitas bakteri penghasil
histamin.
Proses pengolahan bakasang di Kota Ternate dilakukan secara tradisional
dan dipasarkan secara lokal. Segera setelah ikan didatangkan ke tempat
pengolahan, ikan langsung ditangani dengan cara merendamnya dengan air es
dalam ember besar beberapa menit, kemudian dilanjutkan dengan penanganan isi
perut untuk pembuatan bakasang. Penanganan bahan baku, praktek sanitasi dan
higiene yang dilakukan menjadi permasalahan penting selama pengolahan
bakasang, dimana jeroan ikan yang sudah ditangani tidak diberi es dan
masih bercampur dengan kotoran-kotoran lain seperti insang dan isi lambung.
Penanganan jeroan (usus, lambung, hati, jantung, paru dan telur) selanjutnya
dilakukan pencucian dengan air kran untuk mengeluarkan sisa-sisa darah dan
kotoran lain yang masih menempel. Jeroan tersebut kemudian diberi garam 25 %
lalu ditutup dengan kain kasa dan difermentasi selama 8 hari pada suhu kamar.
Proses selanjutnya adalah pemasakan jeroan selama 30 menit (dalam keadaan
mendidih) merupakan tahapan setelah proses fermentasi.
Hasil pemasakan
kemudian didinginkan dan disaring (diambil filtrat atau larutan yang berwarna
coklatnya) kemudian dimasukkan ke dalam botol dan dilanjutkan dengan proses
penyimpanan pada suhu kamar untuk siap dijual atau dikonsumsi. Daya tahan
bakasang yang ada di Kota Ternate dapat mencapai 7 bulan dimana produk belum
3
menunjukkan penyimpangan atau kerusakan dari sisi organoleptik seperti warna,
bau, rasa dan tekstur sehingga masih dapat diterima oleh masyarakat1.
Sebagai upaya meningkatkan mutu sekaligus menyediakan makanan
yang berbasis ikan dan produk olahannya yang aman dan bergizi perlu dilakukan
suatu upaya perbaikan dalam pengolahan ikan seperti menjaga sanitasi dan
higiene serta menerapkan proses pengolahan yang baik (good processing
practices) dalam menghasilkan produk yang aman dikonsumsi.
Terbatasnya
informasi tentang perkembangan histamin pada produk bakasang dalam kaitannya
dengan proses fermentasi dan penyimpanan menjadikan alasan pentingnya
dilakukannya penelitian ini. Perkembangan histamin dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor diantaranya adalah lama fermentasi, lama penyimpanan, suhu dan
aktivitas mikroorganisme pembentuk histamin.
Pada penelitian ini dipelajari
pengaruh lama fermentasi dan lama penyimpanan terhadap perkembangan
histamin pada bakasang jeroan ikan cakalang termasuk karakteristik organoleptik,
kimia dan mikrobiologi.
1.2. Perumusan Masalah
Proses fermentasi dalam pembuatan bakasang terjadi secara spontan
dimana dalam pembuatannya hanya menambahkan garam tanpa penambahan
mikroba starter maupun karbohidrat (nasi dan pati), sehingga pertumbuhan dan
aktivitas mikroba dapat terangsang karena adanya penambahan garam
tersebut. Penambahan garam dalam pembuatan bakasang mengakibatkan hanya
mikroba tertentu saja yang dapat tumbuh.
Penanganan dan pengolahan bahan baku jeroan (fermentasi) sampai
menjadi bakasang yang dilakukan di Kota Ternate belum memenuhi persyaratan
sanitasi higiene dan tidak diterapkannya sistem rantai dingin. Kondisi tersebut
menyebabkan pembentukan senyawa biogenik amin sebagai hasil dekarboksilasi
asam amino bebas seperti histidin menjadi histamin dapat meningkat pada jeroan
ikan yang difermentasi sehingga bisa menyebabkan keracunan atau alergi pada
manusia.
1
Berkaitan dengan keberadaan histamin yang belum pernah dilakukan
Komunikasi pribadi dengan pemilik usaha pengolahan bakasang di Kota Ternate bulan Oktober 2007
4
uji keamanannya pada pada produk bakasang, maka diperlukan penelitian yang
dapat memberikan informasi tentang kandungan histamin dan mutu bakasang
terbaik yang dihasilkan pengolah tradisional di Kota Ternate, dalam kaitannya
dalam penanganan dan pengolahan bakasang selama proses fermentasi dan selama
penyimpanan.
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk membuat produk bakasang
dengan cara fermentasi garam dari jeroan ikan cakalang, sedangkan tujuan
khususnya adalah:
1) Mempelajari pengaruh lama fermentasi terhadap perkembangan histamin pada
jeroan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin).
2) Mempelajari pengaruh lama penyimpanan terhadap perkembangan histamin
pada bakasang jeroan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin).
3) Mempelajari
interaksi
antara
pengaruh
lama
fermentasi
dan
lama
penyimpanan terhadap perkembangan histamin pada bakasang jeroan ikan
cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin).
Manfaat penelitian ini diharapkan sebagai sumber informasi tentang
perkembangan histamin selama proses fermentasi dan selama penyimpanan
terhadap produk bakasang yang diproduksi pengolah tradisional di Kota Ternate
Provinsi Maluku Utara.
1.4 Hipotesis
1) Lama fermentasi diduga berpengaruh terhadap perkembangan histamin pada
jeroan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin).
2) Lama penyimpanan diduga berpengaruh terhadap perkembangan histamin
bakasang jeroan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin).
3) Interaksi lama fermentasi dan lama penyimpanan diduga berpengaruh
terhadap
perkembangan
(Katsuwonus pelamis, Lin).
histamin
bakasang
jeroan
ikan
cakalang
5
1.5 Kerangka Pemikiran
Jeroan merupakan limbah perikanan yang perlu mendapat perhatian,
mengingat jeroan merupakan bagian yang digunakan dalam proses pengolahan
produk bakasang sehingga perlunya penanganan dan pengolahan sesuai
persyaratan dalam sanitasi dan higiene. Jeroan ikan merupakan salah satu limbah
perikanan yang memiliki kandungan histamin dalam jumlah tinggi. Keberadaan
histamin dalam ikan dan produk perikanan merupakan masalah besar karena dapat
menyebabkan alergi dan efek keracunan bagi kesehatan manusia jika kadarnya
melebihi 100 ppm.
Salah satu produk olahan ikan yang sangat digemari oleh masyarakat Kota
Ternate adalah ”bakasang”. Pengolahan bakasang dari jeroan ikan cakalang
melalui proses penggaraman dan perebusan menghasilkan bakasang dengan
jumlah histamin yang rendah. Teknik lama fermentasi dan lama penyimpanan
merupakan salah satu faktor penting dalam menghasilkan produk yang benilai
tambah dan bergizi serta aman dikonsumsi sehingga dapat dijadikan alternatif
dalam mengurangi jumlah histamin. Tingginya kandungan gizi dan rendahnya
jumlah histamin menjadikan produk bakasang berkualitas dan aman, dengan
demikian dapat meningkatkan nilai tambah bagi pengolah tradisional di Kota
Ternate Provinsi Maluku Utara. Kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada
Gambar 1.
6
Jeroan ikan cakalang
Penanganan dan pengolahan
Lama fermentasi
(0, 2, 4, 6, 8 hari)
Lama penyimpanan
(0, 30, 60, 90 hari)
Bakasang
Perkembangan histamin dan karakterisasi
Kualitas bakasang yang terbaik
Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian perkembangan histamin selama
proses fermentasi dan penyimpanan produk bakasang jeroan
ikan cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin)
Download