INTERVENSI TERHADAP KEDAULATAN SUATU NEGARA

advertisement
INTERVENSI TERHADAP KEDAULATAN SUATU NEGARA MENURUT
HUKUM INTERNASIONAL
(Studi Tentang Kasus Perang Korea Tahun 1950-1953)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Disusun oleh:
ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA
E1A010140
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2015
i
LEMBAR PENGESAHAN
INTERVENSI TERHADAP KEDAULATAN SUATU NEGARA MENURUT
HUKUM INTERNASIONAL
(Studi Tentang Kasus Perang Korea Tahun 1950-1953)
Oleh:
ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA
E1A010140
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Diterima dan Disahkan
Pada tanggal……………………………
Penguji I/ Pembimbing I,
Penguji II/Pembimbing II,
Penguji
Dr. Noer Indriati, S.H.,M.Hum. Dr. H. Isplancius Ismail, S.H.,M.Hum. Aryuni Yuliantiningsih S.H.,M.H.
NIP. 19600426 198702 2 001
NIP. 19550404 199203 1 001
NIP. 19710702 199802 2 001
Mengetahui,
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman
Dr. Angkasa, S.H., M.Hum.
NIP. 19640923 198901 1 001
ii
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya,
Nama
: Andrew Firdaus S.P
NIM
: E1A010140
Judul Skripsi
: INTERVENSI
TERHADAP
KEDAULATAN
SUATU
NEGARA MENURUT HUKUM INTERNASIONAL (Studi
Tentang Kasus Perang Korea Tahun 1950-1953)
Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya
sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang lain.
Apabila dikemudian hari terbukti saya melakukan Pelanggaran sebagaimana
tersebut di atas, maka saya bersedia dikenakan sanksi sesuai dengan aturan yang ada
dari fakultas.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sungguh-sungguh.
Purwokerto,
Februari 2015
Andrew Firdaus S.P
NIM. E1A010140
iii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT sehingga
dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul: INTERVENSI
TERHADAP KEDAULATAN SUATU NEGARA MENURUT HUKUM
INTERNASIONAL (Studi Tentang Kasus Perang Korea Tahun 1950-1953).
Skripsi ini tidak akan terselesaikan dengan baik tanpa bantuan dan dukungan dari
semua pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan penghargaan dan terima
kasih kepada :
1. Dr. Angkasa, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman;
2. Dr. Noer Indriati, S.H., M.Hum. selaku dosen Pembimbing I yang
telah banyak membantu penulis dalam menyusun dan menyelesaikan
skripsi ini;
3. Dr. H. Isplancius Ismail, S.H., M.Hum. selaku dosen Pembimbing II
yang telah banyak memberikan bantuan serta dorongan untuk
menyelesaikan skripsi ini;
4. Aryuni Yuliantiningsih, S.H., M.H. selaku dosen Penguji yang telah
memberikan
saran
yang
sangat
membangun
dalam
rangka
penyempurnaan penulisan skripsi ini;
5. Sutoyo, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik yang telah
memberikan dukungan selama penulis menempuh studi;
6. Keluarga tercinta, yaitu Papah (Sunarso, S.E., M.M), Mamah (Sri
Endah Indriawati, S.H., M.H.), dan adik-adikku (Philein Sophiana S.P
dan Alysabel Apriliana S.P) serta mbahti (Hj. Maslicha) dan mbah
kakung (H.Munajad) yang telah mendukung dan mendoakan dalam
setiap langkah penulis;
iv
7. Seluruh dosen pengajar Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman yang telah mentransferkan ilmunya selama penulis
menempuh studi;
8. Sahabat penulis, Wira Satya Widyatmoko yang telah banyak
membantu penulis selama penulis menyelesaikan studi;
9. Keluarga besar ALSA LC UNSOED
10. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang
telah membantu penyelesaian skripsi ini.
Penulis menyadari sepenuhnya skripsi ini masih belum sempurna serta
terdapat banyak kekurangan karena keterbatasan kemampuan yang penulis miliki.
Penulis menerima saran dan kritik dengan segala kerendahan hati untuk
kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan
manfaat bagi yang membacanya.
Purwokerto,
Februari 2015
Penulis
Andrew Firdaus S.P
v
ABSTRAK
Intervensi dapat diartikan sebagai campur tangan secara diktator oleh
suatu negara terhadap urusan dalam negeri lainnya dengan maksud baik untuk
memelihara atau mengubah kondisi nyata di negara tersebut. Intervensi
menimbulkan kontroversi karena bertentangan dengan Prinsip Kedaulatan Negara
dan Prinsip non-intervensi dalam hukum internasional.
Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui pelaksanaan intervensi
dalam perang korea tahun 1950-1953 menurut hukum internasional. Metode
pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah normatif dengan
pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Semua data dalam
penelitian ini berasal dari data sekunder yang disajikan secara sistematis dan
dianalisis dengan metode normatif kualitatif.
Hasil dari penelitian menunjukan bahwa intervensi dalam Perang Korea
tahun 1950-1953 dilakukan oleh Uni Soviet, Amerika Serikat, dan China melalui
operasi militer dan kebijakan politik terhadap Korea. Intervensi dalam Perang
Korea tahun 1950-1953 termasuk dalam intervensi yang dilarang menurut
ketentuan hukum internasional karena melanggar prinsip kedaulatan negara dan
prinsip non-intervensi yang terdapat dalam pasal 2 ayat (1), pasal 2 ayat (4), dan
pasal 2 ayat (7) Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa. Intervensi dalam Perang
Korea tahun 1950-1953 dilakukan dengan campur tangan secara dictator yang
menyerang kedaulatan negara lain dengan cara-cara kekerasan. Implikasi dari
intervensi dalam Perang Korea 1950-1953 menyebabkan penyelesaian konflik
antara Korea Utara dan Korea Selatan menjadi sebuah kebuntuan perang serta
korban jiwa yang besar di masing-masing pihak.
Kata kunci: Intervensi, Kedaulatan Negara, Hukum Internasional, Perang Korea
1950-1953.
vi
ABSTRACT
Intervention can be interpreted as dictatorial interference by a State in the
affairs of another State for the purpose of either maintaining or altering the
actual condition of things. The intervention created a controversy among the
society because it has contradicted with State sovereignty and non-intervention
principles on international law.
The aim of the research is to know the implementation of the intervention
towards sovereignty in Korean War 1950-1953 according by international law.
The approach method of this research is normative with statute approach and
case approach. All data of this research is taken from secondary data that served
systematically and had been analyzed by qualitative normative method.
The result of the research showed that the intervention in Korean War
1950-1953 had done by Uni Soviet, United States of America, and China with
military operation and political policy toward Korea. The intervention in Korean
War 1950-1953 can be included as the intervention that prohibited by
international law because it had offended the sovereignty and non-intervention
principles on article 2 paragraph (1), article 2 paragraph (4), and article 2
paragraph (7) United Nations Charter. The intervention in Korean War 19501953 had done by dictatorial interference that offence the sovereignty of another
country with violence ways. The implication of the intervention in Korean War
1950-1953 had caused a settlement of the conflict between North Korea and
South Korea became stalemate along with a great number of victims on both side.
Keywords: Intervention, Sovereignty, International Law, Korean War 1950-1953
vii
Halaman
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………………… i
HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………………………. ii
SURAT PERNYATAAN ………………………………………………………… iii
KATA PENGANTAR …………………………………………………………….. iv
ABSTRAK ……………………………………………………………………….. v
ABSTRACT ……………………………………………………………………….. vi
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………... vii
BAB I
PENDAHULUAN ………………………………………….……. 1
A. Latar Belakang Masalah ……………………………………… 1
B. Rumusan Masalah …………………………………………….. 8
C. Tujuan Penelitian ………………………………………........... 8
D. Manfaat Penelitian ……………………………………………. 8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………….. 9
A. Tinjauan Tentang Negara Menurut HI ……………………….. 9
I. Pengertian Negara ………………………………………… 9
II. Kualifikasi Negara ………………………………............... 13
III. Kedaulatan Negara ……………………………………….. 17
B. Tinjauan Tentang Penyelesaian Sengketa Internasional ……... 26
I. Pengertian Sengketa Internasional ………………………. 26
C. Cara-cara Penyelesaian Sengketa Internasional ....................... 30
D. Tinjauan Umum Tentang Intervensi ………………………… 46
viii
BAB III
METODE PENELITIAN …………………………………………. 61
A. Metode Pendekatan …………………………………………… 61
B. Spesifikasi Penelitian …………………………………………. 62
C. Lokasi Penelitian ……………………………………………... 62
D. Sumber Data ………………………………………………….. 62
E. Metode Pengumpulan Data …………………………………... 63
F. Metode Penyajian Data ………………………………………. 64
G. Metode Analisis Data ………………………………………… 64
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………………….. 65
BAB V
PENUTUP ………………………………………………………... 97
A. Kesimpulan ……………………………………………........... 101
B. Saran ………………………………………………………….. 102
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………. 103
LAMPIRAN
ix
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada hakikatnya manusia hidup dalam wilayah dan kesatuan berbeda
beda yang diciptakan dalam sebuah wadah yaitu Negara. Negara merupakan
subjek hukum yang terpenting dan memiliki kewenangan terbesar sebagai
subjek hukum internasional sehingga mampu menyatakan perang dan damai
serta mampu mengadakan hubungan internasional dengan masyarakat
internasional lainnya. Negara sebagai wadah dari suatu masyarakat memiliki
dasar, keyakinan, cita-cita ataupun tujuan untuk mendirikan sebuah Negara
yang maju dan terpandang. Tujuan Negara merupakan kepentingan utama dari
tatanan suatu Negara.1
Tujuan tersebut diartikan sebagai sebuah ideologi bagi Negara.
Ideologi adalah suatu pandangan atau sistem nilai yang menyeluruh dan
mendalam tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh suatu masyarakat, dan
mengerti cara-cara yang paling dianggap baik untuk mencapai tujuan. Tujuan
dan cara itu secara moral dianggap paling baik dan adil untuk mengatur
perilaku sosial warga masyarakat dalam berbagai segi kehidupan.2
1
Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 1998, hlm.146.
Ramlan Subakti, Memahami Ilmu Politik, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia,
Jakarta, 1992, hlm. 48.
2
2
Seiring dengan berkembangnya pola pemikiran tokoh-tokoh besar
dalam suatu Negara ataupun dengan kemajuan suatu Negara itu sendiri,
ideologi menjadi terbagi atas beberapa macam, diantaranya ialah ideologi
kapitalisme, sosialisme komunisme, fasisme, atau bahkan pragmatisme (tidak
memiliki ideologi/anti ideologi). Setiap ideologi memiliki cara dan tujuan
tersendiri dalam penerapannya. Negara akan mempunyai pengaruh terhadap
masyarakatnya dengan adanya ideologi. Hal ini sering menimbulkan adanya
pertentangan antar Negara sampai pada konflik dan perang yang
berkepanjangan demi menyatukan pemahaman dan pandangan mereka satu
sama lain. Pertentangan ideologi suatu negara pernah terjadi dengan adanya
Perang dingin (Cold War) antara Amerika Serikat beserta sekutunya yang
disebut Blok Barat dengan ideologi Kapitalisme-Liberal dan Uni Soviet
beserta sekutunya yang disebut Blok Timur dengan ideologi sosialiskomunisme. Setelah berakhirnya Perang Dunia II yang ditandai dengan
kekalahan Jepang di Pasifik, negara-negara jajahan Jepang sebagian langsung
memerdekakan diri dan sebagian masih berada dalam administrasi pasukan
sekutu sebelum memproklamasikan kemerdekaannya. 3
Salah satu Negara bekas jajahan Jepang yang masih berada dalam
pengaruh sekutu adalah Negara Korea. Negara ini dikuasai oleh Jepang pada
tahun 1910 sampai tahun 1945, pada akhir pendudukan Jepang terdapat dua
3
Syasya,
Korea
Terbagi
Dua:
Siapa
Biang
Keroknya?,
dalam
http://sejarah.kompasiana.com/2013/04 /07/korea-terbagi-dua-siapa-biang-keroknya-549025.html,
diakses 12 Mei 2014.
3
kekuatan besar pasukan sekutu yang berpengaruh yaitu Amerika Serikat (AS)
dan Uni Soviet (USSR). Alasan dari kedua Negara tersebut berada di Korea
adalah untuk mengawasi transisi pengalihan kekuasaan kepada bangsa Korea
sampai terciptanya Korea yang mandiri dan mengawasi Jepang yang terletak
dekat dengan Korea. Amerika Serikat dalam praktiknya memiliki alasan lain
bahwa mereka khawatir Uni Soviet akan menduduki Korea pasca perang. Hal
ini menandai awal dari intervensi dua Negara adidaya pemenang perang
terhadap Korea karena kepentingan politik masing-masing Negara adidaya
tersebut.4
Melalui Konferensi Postdam pada Juli sampai dengan Agustus 1945,
sekutu secara sepihak memutuskan membagi wilayah Korea menjadi dua
tanpa persetujuan pihak Korea sendiri. Korea dibagi menjadi dua di garis
lintang 38 derajat yang dikenal sebagai 38th parallel, kemudian secara resmi
membentuk Rakyat Demokratik Republik Korea Utara dan Republik Korea
dengan wilayah utara di bawah penguasaan Uni Soviet dengan RRC dan
wilayah selatan di bawah penguasaan Amerika Serikat dengan sekutunya. 5
Kelompok sayap-kanan Representative Democratic Council, yang
dipimpin oleh nasionalis Syngman Rhee menentang perwalian SovietAmerika di Korea. Syngman Rhee terpilih sebagai presiden Republik Korea
4
Mochtar Lubis, Catatan Perang Korea, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2010,
hlm. 89.
5
Radio Australia, Sejarah Dibalik Ketegangan Korea Utara Dan Korea Selatan: Kilas
Balik, dalam http://www.radioaustralia.net.au/indonesian/2013-04-05/sejarah-di-balik-ketegangankorea-utara-dan-korea-selatan-kilas-balik/1112046, diakses pada tanggal 14 Mei 2014.
4
Selatan pada 15 Agustus 1948. Uni Soviet mendirikan pemerintahan komunis
Korea Utara yang dipimpin oleh Kim Il-Sung. Para nasionalis, baik Syngman
Rhee dan Kim Il-Sung bermaksud menyatukan Korea di bawah sistem politik
yang dianut masing-masing pihak. Korea Utara berhasil meningkatkan
ketegangan di perbatasan dengan persenjataan yang lebih baik dan kemudian
menyerang setelah sebelumnya melakukan provokasi.6
Perang terjadi pada tanggal 25 Juni 1950, dimulai oleh penyerbuan
Korea Utara dengan melakukan invasi darat dan udara melintasi perbatasan
yang disebut 38th parallel sehingga Seoul berhasil dikuasai oleh Korea Utara
pada akhir juni 1950. Melihat sekutunya diserang Amerika Serikat tidak
tinggal diam, Presiden Truman kemudian memerintahkan Mc Arthur yang
mengepalai angkatan perang Amerika di Jepang untuk membantu Korea.
Perang pertama antara tentara Amerika Serikat dan Korea Utara dimulai pada
tanggal 5 juli 1950, dilanjutkan dengan operasi pendaratan di Incheon untuk
menyerbu pasukan Korea Utara. RRC ikut memasuki medan pertempuran
dengan 270.000 tentara dan didukung oleh Uni Soviet dengan alat
persenjataannya pada tanggal 25 Oktober 1950.7
Perang berakhir pada tanggal 27 Juli 1953 saat Amerika Serikat,
Republik Rakyat Cina, dan Korea Utara menandatangani persetujuan gencatan
6
Wikipedia, Perang Korea, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Korea, diakses
pada tanggal 10 Mei 2014.
7
Wikipedia,
Aksi
Polisional
:
Intervensi
Amerika
Serikat,
dalam
http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_
Korea#Aksi_
Polisional:_Intervensi_Amerika_Serikat,
diakses 12 Mei 2014.
5
senjata. Persetujuan gencatan senjata tersebut secara resmi belum mengakhiri
perang antara Korea Utara dan Korea Selatan sampai saat ini. Perang tersebut
menyebabkan lebih dari 2 juta orang tewas termasuk tentara AS dan RRC,
85% dari sekitar satu juta orang Korea Selatan yang tewas adalah warga sipil,
hampir setengah juta tentara AS tewas, lebih dari 700.000 tentara RRC dan
beberapa ratus pilot Soviet jadi korban serta lebih dari 7 juta orang terpaksa
harus kehilangan/terpisah dari sanak familinya.8
Intervensi yang dilakukan oleh Sekutu menyerang kedaulatan Korea
dengan cara memutuskan secara sepihak, membagi wilayah Korea menjadi
dua tanpa persetujuan pihak Korea. Hal tersebut dilakukan agar masingmasing Negara dapat menanamkan kehendaknya terhadap Negara lain
sehingga melakukan campur tangan terhadap urusan internal suatu Negara.
Campur tangan terhadap urusan internal suatu Negara dalam Perang Korea
dilakukan dengan cara intervensi. Intervensi tidak diartikan secara baku,
namun definisi dari intervensi menurut Oppenheim Lauterpacht adalah
campur tangan secara diktator oleh suatu Negara terhadap urusan dalam
negeri lainnya dengan maksud baik untuk memelihara dan mengubah
keadaan, situasi, atau barang di negeri tersebut.9
8
Andy
Chand,
Sejarah
Perang
Korea,
dalam
http://sejarahandychand.blogspot.com/2012/10/sejarah-perang-korea.html, diakses pada tanggal 12 Mei 2014.
9
Huala Adolf, Aspek-aspek Negara Dalam Hukum Internasional, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1996, hlm. 30.
6
Piagam PBB telah mengatur prinsip kedaulatan negara dan prinsip
non-intervensi, khususnya pada Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (4), dan Pasal 2
ayat (7) Piagam PBB, sebagai berikut:10
Pasal 2 ayat (1)
Organisasi bersendikan pada prinsip-prinsip persamaan kedaulatan dari semua
anggota.
Pasal 2 ayat (4)
Segenap anggota dalam hubungan internasional mereka, menjauhkan diri dari
tindakan mengancam atau menggunakan kekerasan terhadap integritas
wilayah atau kemerdekaan politik sesuatu negara lain atau dengan cara apapun
yang bertentangan dengan tujuan-tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pasal 2 ayat (7)
Tidak ada satu ketentuan-pun dalam piagam ini yang memberi kuasa kepada
Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mencampuri urusan-urusan yang pada
hakekatnya termasuk urusan dalam negeri sesuatu negara atau mewajibkan
anggota-anggotanya untuk menyelesaikan urusan-urusan demikian menurut
ketentuan-ketentuan dalam piagam ini, akan tetapi prinsip ini tidak
mengurangi ketentuan mengenai penggunaan tindakan-tindakan pemaksaan
seperti tercantum dalam bab VII.
Pasal-pasal tersebut mensyaratkan bahwa anggota organisasi (PBB)
diharuskan menghormati kedaulatan negara lain dan dilarang untuk ikut
campur dalam urusan domestik suatu Negara (to intervere in matters which
are essentially within the domestic jurisdiction of any State) kecuali dalam
rangka memelihara perdamaian menurut Bab VII piagam PBB. 11 Pengaturan
tersebut semakin dikuatkan dengan Resolusi Majelis Umum PBB tahun 1970
10
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Piagam PBB Dan Statuta Mahkamah Internasional,dalam
https://unic.un.org/aroundworld/unics/common/documents/publications/uncharter/jakarta_charter_
bahasa.pdf, diakses pada tanggal 9 Maret 2014.
11
Huala Adolf, Loc.Cit.
7
[G.A. Res 2625 (XXV)] pada tanggal 24 Oktober 1970, yang berbunyi semua
Negara menikmati persamaan kedaulatan. Mereka mempunyai hak dan
kewajiban yang sama dan sederajat sebagai anggota masyarakat internasional,
meskipun terdapat perbedaan ekonomi, sosial, politik, atau bidang lainnya. 12
Suatu tindakan intervensi yang tidak diperbolehkan dengan alasan
apapun dan sesungguhnya tidak ada alasan apapun yang dapat dibuat sebagai
pembenaran yaitu suatu intervensi yang nyata-nyata akan menimbulkan atau
akan lebih membuat suatu keadaan menjadi lebih memburuk. J.G. Starke
mengatakan intervensi ini dengan istilah subversive intervention. Tindakan
intervensi ini bukanlah untuk memberi jalan keluar menuju suatu perdamaian.
Intervensi tersebut mengacu kepada propaganda atau kegiatan lainnya yang
dilakukan oleh suatu Negara dengan tujuan untuk mendorong terjadinya
revolusi atau perang saudara di Negara lain.13
Berdasarkan
hal
tersebut
di
atas,
penulis
tertarik
untuk
mengangkatnya dalam sebuah penelitian guna penyusunan skripsi dengan
judul: Intervensi Terhadap Kedaulatan Suatu Negara Menurut Hukum
Internasional (Studi Tentang Kasus Perang Korea Tahun 1950-1953).
12
Deni
Biantong,
Kedaulatan
Negara,
dalam
http://dennybiantong.blogspot.com/2012/07/kedaulatan-negara.html, diakses pada tanggal
9 Maret 2014.
13
J.G Starke, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 1988,
hlm.136-137.
8
B. Perumusan Masalah
Bagaimanakah intervensi terhadap kedaulatan suatu Negara dalam kasus
perang Korea tahun 1950-1953 menurut hukum internasional ?
C. Tujuan Penelitian
Berkaitan dengan permasalahan yang telah dirumuskan, penelitian ini
memiliki tujuan sebagai berikut:
Untuk mengetahui pelaksanaan intervensi terhadap kedaulatan suatu Negara
dalam kasus Perang Korea tahun 1950-1953.
D. Manfaat Penelitian
1. Secara Teoritis
a) Memperluas wawasan peneliti dan pembaca pada umumnya.
b) Memberikan manfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi pada umumnya dan ilmu Hukum Internasional pada
khususnya.
2. Secara Praktis
a) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi kepustakaan
hukum yang berkaitan dengan hukum internasional.
b) Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para akademisi
dan masyarakat pada umumnya serta dapat dipergunakan sebagai
acuan oleh peneliti lain dengan kajian yang berbeda.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Negara Menurut Hukum Internasional
I. Pengertian Negara
Fenwick mendefinisikan Negara sebagai suatu masyarakat politik
yang diorganisasi secara tetap, menduduki suatu daerah tertentu, dan hidup
dalam batas-batas daerah tersebut, bebas dari pengawasan Negara lain,
sehingga dapat bertidak sebagai badan yang merdeka di muka bumi.
Menurut J.L Bierly, Negara adalah suatu lembaga (institution), sebagai
suatu wadah dimana manusia mencapai tujuan-tujuannya dan dapat
melaksanakan kegiatan-kegiatannya, sedangkan Malcver mendefinisikan
Negara sebagai suatu kesatuan yang memiliki kekuasaan berdasarkan
hukum di suatu wilayah yang dibatasi oleh adanya kondisi-kondisi tertib
sosial eksternal yang sifatnya universal. Beliau mendefinisikan Negara
sebagai berikut :14
“…as association which acting through law as promulgated by
government endowed to this end with coercive power, maintains within
a community territorially demarcated the universal external conditions
of social order.”
14
Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Keni Media,
Bandung, 2011, hlm. 1-2.
10
Definisi yang lebih lengkap dikemukakan oleh Henry C. Black,
sebagai berikut: 15
Negara diartikan sebagai sekumpulan orang yang secara permanen
menempati suatu wilayah yang tetap, diikat oleh ketentuan-ketentuan
hukum yang, melalui pemerintahnya, mampu menjalankan
kedaulatannya yang merdeka, dan mengawasi masyarakat dan harta
bendanya dalam wilayah perbatasannya, mampu menyatakan perang
dan damai serta mampu mengadakan hubungan internasional dengan
masyarakat internasional lainnya.
Menurut L.J Van Apeldorn pengertian Negara menunjuk kepada
berbagai gejala yang sebagian termasuk pada kenyataan dan sebagian lagi
menunjukkan pada gejala-gejala hukum. Salah satu pengertian Negara
menurutnya adalah suatu wilayah atau daerah tertentu yang didiami oleh
suatu bangsa. Lebih lanjut dijelaskan bahwa negara mempunyai arti
sebagai berikut:16
a. Perkataan Negara dipakai dalam arti penguasa, jadi untuk menyatakan
orang atau orang-orang yang memiliki kekuasaan tertinggi atas
persekutuan rakyat yang bertempat tinggal dalam suatu daerah.
b. Perkataan Negara juga dapat diartikan sebagai suatu persekutuan
rakyat, yaitu untuk menyatakan suatu bangsa yang hidup dalam suatu
daerah, di bawah kekuasaan tertinggi, menurut kaidah-kaidah hukum
yang sama.
15
16
Idem, hlm.2.
L.J. Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradaya Paramita, Jakarta, 1981, hlm. 304.
11
c. Negara ialah suatu wilayah tertentu. Perkataan Negara digunakan
untuk menyatakan suatu daerah, dimana tempat suatu bangsa berdiri di
bawah kekuasaan yang tertinggi.
d. Negara diartikan sebagai kas negara atau fiskus, yang maksudnya
adalah harta yang dipegang oleh penguasa guna kepentingan umum.
Pendapat L.J. Van Apeldorn disempurnakan oleh Biere de Hans
yang menunjukkan bahwa dalam suatu Negara tidak hanya terdiri dari satu
bangsa saja, melainkan juga dijumpai adanya Negara yang di dalamnya
terdiri dari berbagai bangsa sepanjang pengertian bangsa yang dimaksud
masuk dalam lingkup Nasionaliteit (kewarganegaraan). Selengkapnya
Biere de Hans mengemukakan sebagai berikut :17
Negara adalah lembaga manusia; manusialah yang membentuk
Negara. Manusia yang membentuk negara itu merupakan makhluk
perorangan (endelwezen) dan juga merupakan makhluk sosial
(gemeenschapswezen). Masyarakat dalam dirinya secara alami
mengandung keinginan untuk berorganisasi yang timbul karena
dorongan dari dalam. Negara adalah bentuk dari berorganisasinya
suatu masyarakat, yaitu masyarakat bangsa meskipun masyarakat
bangsa terbagi dalam kelompok-kelompok, negara membentuk
kesatuan yang bulat dan mewakili sebuah cita (een idee
vertegenwoordigt).
Masih
berkaitan
dengan
pengertian
Negara,
Max
Weber
mengemukakan bahwa negara adalah satu-satunya lembaga yang memiliki
keabsahan untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap warganya. Hal ini
17
B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan, dan Hak Asasi
Manusia (Memahami Proses Konsolidasi Sistem Demokrasi di Indonesia), Universitas Atma Jaya,
Yogyakarta, 2003, hlm. 8.
12
menunjukkan bahwa jika berbicara mengenai negara salah satu aspek yang
paling menonjol adalah kekuasaannya yang besar. Peranan Negara juga
semakin
dominan
karena
hubungan-hubungan
internasional
yang
melahirkan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional
dilakukan oleh negara-negara.18
Pada hakikatnya Negara merupakan pribadi terpenting (principle
person) dalam hukum internasional. Hukum internasional pada dasarnya
merupakan produk dari hubungan antar Negara baik melalui praktik yang
membentuk hukum internasional atau melalui kesepakatan (perjanjian)
internasional Negara itu sendiri. Negara merupakan suatu satuan yang
memiliki wilayah tetap, penduduk permanen, di bawah pengawasan suatu
pemerintahan dan terlibat, atau mempunyai kapasitas untuk terlibat dalam
hubungan formal dengan lembaga-lembaga yang resmi lainnya dalam
hukum internasional. Negara juga merupakan subjek hukum internasional
yang paling tua usianya karena negara yang pertama muncul sebagai subjek
hukum internasional dan baru belakangan diikuti oleh kemunculan subjeksubjek hukum internasional lainnya. Dominannya peran Negara dalam
hubungan-hubungan hukum internasional juga tidak terlepas dari
18
I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Cetakan I, Mandar Maju,
Bandung, 1990, hlm.60.
13
keunggulan Negara jika dibandingkan dengan subjek-subjek hukum
internasional yang lain, yakni Negara memiliki Kedaulatan.19
II. Kualifikasi Negara
Negara adalah subjek hukum yang paling utama, terpenting, dan
memiliki kewenangan terbesar sebagai subjek hukum internasional.
Sarjana filsafat hukum terkemuka, HLA Hart, mengkualifikasikan negara
sebagai gambaran dari dua fakta yang di dalamnya memuat unsur-unsur
dari negara. Beliau menyatakan sebagai berikut:20
The expression of a state is not the name of some person or thing
inherently or by nature outside the law; it is a way of reffering to two
facts: first, that a population inhabiting a territory lives under that form
of ordered government provided by a legal system within its
characteristic structure of legislature, Courts, and primary rules; and
secondly, that the government enjoys a vaguely defined degree of
independence.
Menurut pendapat HLA Hart ciri-ciri negara adalah memiliki:
1. Penduduk;
2. Wilayah;
3. Pemerintahan;
4. Sistem hukum; dan
5. Independensi
Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 tentang hak dan kewajiban
negara adalah sumber hukum yang memuat unsur-unsur negara dan kapan
19
Rebbecca Wallace, Hukum Internasional (Pengantar untuk mahasiswa), Sweet &
Maxwell, London, 1986, hlm. 63-64.
20
HLA Hart, The Concept of Law, Oxford: Oxford U.P., 2nd .ed., 1994, hlm. 22, (lihat
juga: Huala Adolf, Op.cit., hlm. 1-2).
14
suatu entitas politik dapat dikatakan sebagai suatu Negara. Pasal tersebut
berbunyi sebagai berikut:21
The State as a person of international law should possess the
following qualifications:
a. a permanent population
b. a defined territory
c. a government; and
d. a capacity to enter into relations with other States.
Unsur-unsur di atas juga dikemukakan oleh penulis-penulis hukum
internasional. Berikut adalah uraian dari masing-masing unsur tersebut
sebagai berikut:
a. Penduduk yang tetap
Penduduk atau rakyat suatu negara adalah kelompok orang
yang secara tetap atau permanen mendiami suatu wilayah yang juga
pasti luasnya. Penduduk merupakan unsur pokok bagi pembentukan
suatu negara karena suatu pulau atau wilayah yang tidak ada
penduduknya tidak akan dapat dikatakan sebagai negara. 22 Unsur ini
bermakna sebagai kelompok orang yang hidup bersama di suatu
tempat tertentu sehingga merupakan suatu kesatuan masyarakat yang
diatur oleh suatu tertib hukum nasional. Kelompok orang ini mungkin
saja berasal dari keturunan yang berlainan, menganut kepercayaan
21
Lihat Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933.
Jawahir Thontowi, Hukum Internasional Kontemporer, Refika Aditama, Bandung,
2006, hlm. 106.
22
15
yang berbeda, dan memiliki kepentingan yang saling bertentangan.23
Syarat penting untuk unsur ini yaitu bahwa rakyat atau masyarakat
harus terorganisir dengan baik (organized population). Masyarakat
tidak dibatasi jumlahnya dalam mendirikan suatu negara menurut
hukum internasional.24
b. Wilayah tertentu
Wilayah adalah unsur yang sangat penting untuk tempat rakyat
menetap dan mewujudkan kedaulatan serta menerapkan jurisdiksinya
di dalam wilayahnya itu. Wilayah dikatakan sebagai wilayah tetap
apabila memiliki batas wilayah. Hal tersebut penting untuk
memperjelas batas-batas mana saja kedaulatan negara tersebut akan
berlaku. Luas wilayah juga tidak diberikan pembatasan oleh hukum
internasional seperti halnya penduduk, bahkan suatu negara dapat
diakui sebagai negara apabila mempunyai wilayah betapapun besar
atau kecilnya sepanjang wilayah tersebut cukup konsisten. (sufficient
consistency).25
23
24
Ibid
R.C. Hingorani, Modern International Law, Oceana Publications Inc., India, 1984,
hlm. 35.
25
Ibid
16
c. Pemerintah
Pemerintah adalah seorang atau beberapa orang yang mewakili
rakyat dan memerintah menurut hukum negaranya. Bengt Broms
menyebut kriteria ini sebagai organized government (Pemerintahan
yang terorganisir) yang berlaku atau diterapkan sepenuhnya kepada
rakyatnya berupa republik, kerajaan, atau bentuk lainnya yang
dikehendaki rakyatnya.26 Rakyat yang menduduki suatu wilayah hidup
dengan mengorganisasikan diri sehingga tentu ada pimpinan dan ada
yang dipimpin. Negara memerlukan sejumlah organ yang terdiri dari
individu-individu untuk mewakili dan menyalurkan kehendaknya.
Individu-individu sebagai pemimpin organisasi inilah yang kemudian
dinamakan pemerintah. Bentuk dari pemerintah dapat berbeda antara
yang satu dengan lainnya sebab penentuan atau pemilihan bentuk
pemerintahan
sepenuhnya
urusan
dari
rakyat
negara
yang
bersangkutan.27
d. Kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara lain
Kemampuan untuk melakukan hubungan dengan negara lain
merupakan manifestasi dari kedaulatan. Suatu negara yang merdeka,
dan tidak di bawah kedaulatan negara lain akan mampu melakukan
hubungan dengan negara lain. Suatu negara dikatakan merdeka (legal
26
Bengt Broms, State, dalam Mohammed Bedjaoui, International Law: Achievements
and Prospects, UNESCO, Martinus Nijhoff publ., Paris, 1991, hlm. 44.
27
Malcolm N. Shaw, dalam Jawahir Thontowi, Op.cit., hlm. 107.
17
independence) jika wilayahnya tidak berada di bawah otoritas
berdaulat yang sah dari negara lain.28 Kemampuan untuk melakukan
hubungan dengan negara lain adalah kemampuan dalam pengertian
yuridis berdasarkan hukum nasional maupun internasional, bukan
kemampuan secara fisik. Oppenheim Lautherpacht menggunakan
kalimat pemerintah harus berdaulat, yaitu kekuasaan tertinggi yang
merdeka dari pengaruh suatu kekuasaan lain di muka bumi.29
III. Kedaulatan Negara
Kedaulatan adalah hak eksklusif untuk menguasai suatu wilayah
pemerintahan, masyarakat, atau diri sendiri. Konsep kedaulatan berkaitan
dengan pemerintahan yang memiliki kendali penuh urusan dalam
negerinya di dalam suatu wilayah atau batas teritorial atau geografisnya,
dan dalam konteks tertentu, terkait dengan berbagai organisasi atau
lembaga yang memiliki yurisdiksi hukum.30 Pernyataan ini mengandung
suatu pengertian bahwa bangsa dalam suatu negara yang merdeka
memiliki kewenangan atau kekuasaan secara eksklusif dan bebas
melakukan berbagai kegiatan kenegaraan sesuai kepentingannya, asalkan
28
Sefriani, Hukum Internasional: Suatu Pengantar, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2014, hlm. 106.
29
Ibid
30
Kedaulatan berasal dari kata daulat yang artinya kekuasaan atau pemerintahan, lihat
http://providert.blogspot.com/2010/02/makna-kedaulatan-rakyat.html; lihat pula Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Jakarta, 1988.
18
kegiatan atau kebijakan tersebut tidak bertentangan dengan kepentingan
negara lain dan hukum internasional.31
Kedaulatan merupakan terjemahan dari kata sovereignty (Bahasa
Inggris) atau souverinete (Bahasa Perancis) atau sovranus (Bahasa Italia).
Jean Bodin menganggap kedaulatan sebagai atribut Negara, sebagai ciri
khusus dari Negara. Menurutnya, kedaulatan merupakan hal pokok dari
setiap kesatuan politik yang disebut Negara. Kedaulatan mengandung
satu-satunya kekuasaan yang:32
a. Asli, yaitu tidak diturunkan dari suatu kekuasaan lain;
b. Tertinggi, yaitu tidak ada kekuasaan lain yang lebih tinggi yang
dapat membatasi kekuasaannya;
c. Bersifat abadi atau kekal;
d. Tidak dapat dibagi-bagi karena hanya ada satu kekuasaan tertinggi;
e. Tidak dapat dipindahkan atau diserahkan kepada badan lain.
Negara berdaulat adalah Negara yang mampu dan berhak
mengurus kepentingan dalam negeri ataupun luar negeri tanpa
bergantung pada suatu Negara lain.33 Kelebihan Negara sebagai subjek
hukum internasional dibandingkan dengan subjek hukum internasional
lainnya
adalah Negara
memiliki apa
yang disebut
kedaulatan
(sovereignty). Kedaulatan yang berarti kekuasaan tertinggi pada awal
mulanya diartikan sebagai suatu kebulatan dan keutuhan yang tidak dapat
31
Jawahir Thontowi, Op.cit., hlm. 169.
Dedi Supriyadi, Hukum Internasional (dari konsepsi sampai aplikasi), Pustaka Setia,
Bandung, 2013, hlm. 124.
33
Ibid
32
19
dipecah-pecah dan dibagi-bagi serta tidak dapat ditempatkan di bawah
kekuasaan lain.
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, kedaulatan merupakan kata
yang sulit diartikan karena orang memberi arti yang berlainan. Menurut
sejarah, asal kata kedaulatan, kata ini dalam bahasa Inggris dikenal
dengan istilah sovereignty yang berasal dari kata latin superanus berarti
yang teratas. Negara dikatakan berdaulat atau sovereign karena
kedaulatan merupakan suatu sifat atau ciri hakiki Negara. Negara
berdaulat yang dimaksud adalah bahwa Negara itu mempunyai kekuasaan
tertinggi.34
Menurut asal katanya, kedaulatan memang berarti kekuasaan
tertinggi. Negara berdaulat memang berarti Negara tersebut tidak
mengakui suatu kekuasaan yang lebih tinggi daripada kekuasaannya,
walaupun demikian, kekuasaan tertinggi ini mempunyai batas-batas.
Ruang berlaku kekuasaan tertinggi ini dibatasi oleh batas wilayah Negara
itu, artinya suatu Negara hanya memiliki kekuasaan tertinggi di dalam
batas wilayahnya. Di luar wilayahnya, suatu Negara tidak lagi memiliki
kekuasaan demikian. Misalnya, Negara A berbatasan dengan Negara B,
maka di luar batas wilayah Negara A itu, tegasnya di wilayah Negara B,
bukan Negara A melainkan B-lah yang memiliki kekuasaan tertinggi.
34
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional Buku I, Putra abardin,
Jakarta, 1999, hlm. 13.
20
Jadi pengertian kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi mengandung dua
pembatasan penting dalam dirinya, yaitu:35
a. Kekuasaan itu terbatas pada batas wilayah Negara yang memiliki
kekuasaan itu; dan
b. Kekuasaan itu berakhir dimana kekuasaan suatu Negara lain mulai.
Suatu akibat paham kedaulatan dalam arti yang terbatas ini selain
kemerdekaan (independence) juga paham persamaan derajat (equality),
artinya bahwa Negara-negara yang berdaulat itu masing-masing merdeka,
artinya yang satu bebas dari yang lainnya, juga sama derajatnya satu
dengan yang lainnya. Dilihat secara demikian maka tiga konsep atau
pengertian ini yaitu kedaulatan, kemerdekaan, dan kesamaan derajat tidak
bertentangan satu sama lain bahkan kemerdekaan dan persamaan derajat
Negara merupakan bentuk perwujudan dan pelaksanaan pengertian
kedaulatan dalam arti yang wajar.36
Pengertian kedaulatan, kemerdekaan dan persamaan derajat,
merupakan suatu pengertian yang mempunyai fungsi yang sangat penting
dalam mewujudkan suatu masyarakat internasional yang diatur oleh
hukum internasional sebagai suatu kenyataan. Hubungan antara Negaranegara atau hubungan internasional yang teratur tidak mungkin tanpa
35
36
Idem, hlm. 14.
Idem, hlm. 15.
21
menerima pembatasan terhadap kedaulatan Negara yang menjadi anggota
masyarakat itu.
Kedaulatan suatu negara sering dikaitkan dengan permasalahan
sejauh mana negara tersebut memiliki kewenangan dalam menjalankan
kebijakan atau kegiatan-kegiatan kenegaraannya. Negara berwenang
untuk melaksanakan hukum nasionalnya. Kedaulatan terbagi atas dua
konsep yaitu kedaulatan berdasarkan jangkauan (scope) dan kedaulatan
berdasarkan atas konsep wilayah (territorial) suatu negara, sebagai
berikut :
1. Kedaulatan berdasarkan jangkauan (scope)
Kedaulatan mencakup suatu bentuk hubungan tertentu di
dalam suatu negara yang merdeka, yaitu independensi dan supremasi.
Dua aspek tersebut sering disebut sebagai kedaulatan eksternal
(external sovereignty) dan kedaulatan internal (internal sovereignty).
Kedaulatan eksternal dan kedaulatan internal tidak diperoleh dengan
cara yang mudah melainkan dengan perjuangan melalui berbagai
instrumen seperti persuasi, negosiasi, sampai dengan kekerasan.
a. Kedaulatan eksternal ( independensi )
Kedaulatan eksternal adalah hak atau kewenangan eksklusif
bagi setiap negara untuk secara bebas menentukan hubungan
internasional dengan berbagai negara atau kelompok lain tanpa
22
ada halangan, rintangan, dan tekanan dari pihak manapun juga (a
freedom in international relationship). Kedaulatan eksternal juga
sering disebut dengan independensi negara, yang dicirikan oleh
adanya kedudukan yang sama (equal) bagi sebuah negara dalam
interaksi internasional dengan negara-negara lainnya.37
Suatu Negara dalam menjamin keberadaan kedaulatan
eksternalnya harus memiliki:38
1) Sebuah jurisdiksi (kewenangan) atas wilayah dan warga
negara yang mendiaminya.
2) Sebuah prinsip non-intervensi, yaitu kewajiban bagi negaranegara lain untuk tidak campur tangan atas persoalan yang
terjadi di wilayah tersebut, yang ditegaskan dengan rumusan
International
Commission
on
Intervention
and
State
Sovereignty (ICISS), sebagai berikut: The concept is normally
used to encompass all matters in which state is permitted by
international law to decide an act without intrusions from
other state.
3) Pengakuan dari negara-negara lain yang sederajat, karena
dengan
37
pengakuan
berarti
negara
tersebut
berhasil
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional : Edisi Kedua, Cetakan I,
PT Alumni, Bandung, 2003, hlm. 34.
38
Idem, hlm. 35.
23
meyakinkan negara lain bahwa kedaulatan yang dimilikinya
merupakan sesuatu yang sah.
b. Kedaulatan internal (supremacy)
Kedaulatan internal adalah hak atau kewenangan eksklusif
suatu negara untuk menentukan bentuk lembaga-lembaga
negaranya, cara kerja lembaga negara, hak untuk membentuk
undang-undang dasar (konstitusi) tanpa ada campur tangan atau
intervensi negara lain, mendapatkan kepatuhan atau ketundukan
dari rakyatnya (obedience in social society), dan memiliki
kewenangan sendiri untuk memutus persoalan-persoalan yang
timbul di dalam jurisdiksinya. Secara singkat kedaulatan internal
suatu Negara dapat dijamin apabila Negara tersebut memiliki
sumber-sumber hukum seperti: Constitution, Statutes, Regulation,
dan Customs. Constitution adalah dasar suatu negara, yang
merupakan sesuatu yang lebih luas yakni keseluruhan dari
peraturan-peraturan baik yang tertulis (written law) maupun yang
tidak tertulis (unwritten law) yang mengatur secara mengikat
cara-cara bagaimana suatu pemerintahan diselenggarakan dalam
suatu masyarakat.39 Statutes adalah undang-undang sedangkan
Regulations
39
peraturan-peraturan
yang
pembuatannya
telah
Dahlan Thaib, Teori dan Hukum Konstitusi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001,
dalam Mirza Satria Buana, Hukum Internasional Teori dan Praktek, Nusamedia, 2007, hlm. 36.
24
melalui power delegation dari badan legislatif kepada badan
eksekutif.
Customs
merupakan
kebiasaan-kebiasaan
yang
dipraktikkan dalam masyarakat dan tidak dituangkan dalam
bentuk tertulis. Kedaulatan internal juga sering disebut dengan
istilah supremasi negara atau kedaulatan ke dalam. Supremasi
negara itu berada pada struktur hierarkis (instrumen pemerintah,
hukum, dan perundang-undangan)
yang digunakan untuk
menyelenggarakan otoritas negara.
2. Kedaulatan berdasarkan konsep wilayah (territorial)
Kedaulatan teritorial adalah kekuasaan penuh yang dimiliki
oleh suatu negara dalam hal melaksanakan jurisdiksi (kewenangan)
secara eksklusif di wilayah negaranya, yang mana di dalam wilayah
tersebut negara memiliki kewenangan penuh untuk melaksanakan dan
menegakkan hukum nasionalnya (exercise and enforce law). Hal ini
menandakan bahwa setiap individu yang mendiami suatu wilayah
tertentu haruslah tunduk dan patuh kepada kekuasaan hukum dari
negara yang memiliki wilayah tersebut.40
40
Huala Adolf, Op.cit., hlm. 115.
25
Secara geografis, kedaulatan teritorial mencakup 3 (tiga)
wilayah dasar, yaitu wilayah tanah atau daratan, wilayah laut, dan
wilayah udara. Beberapa macam rezim status wilayah dikenal dalam
kedaulatan wilayah (territorial), sebagai berikut:41
a. Status wilayah mandat
Wilayah mandat adalah wilayah yang tidak mandiri atau belum
mampu mengadakan hubungan dengan pihak-pihak asing tanpa
ada dukungan dari negara yang mendukungnya. Kedaulatan suatu
negara tidak dikenal dalam wilayah mandat karena wilayah
tersebut belum merdeka dan mandiri. Istilah wilayah mandat sering
digunakan pada waktu Perang Dunia I dan Perang Dunia II sebagai
refleksi dari imperialisme dan kolonialisme, tetapi sekarang tidak
lagi ditemukan wilayah mandat.
b. Status wilayah Terra Nullius
Terra
Nullius
adalah
istilah
yang
digunakan
untuk
menggambarkan suatu wilayah atau aset yang belum dimiliki oleh
siapapun dan dapat dimiliki oleh siapapun juga (wilayah tak
bertuan). Penguasaan atas wilayah Terra Nullius biasanya bisa
dilakukan dengan penemuan wilayah baru (discovery). Benua
Amerika sebelum ditemukan oleh Christoper Columbus tergolong
ke dalam wilayah Terra Nullius.
41
Mirza Satria Buana, Op.Cit., hlm. 38-40.
26
c. Status wilayah Terra Communis
Terra
Communis
adalah
istilah
yang
digunakan
untuk
menggambarkan keadaan suatu wilayah yang wilayahnya atau aset
yang dikandungnya tidak bisa dimiliki oleh siapapun juga dan
merupakan milik bersama umat manusia karena menyangkut hajat
hidup orang banyak (a heritage for humankind). Contohnya:
wilayah Antariksa yang diatur dalam Space Treaty 1967 tentang
prinsip-prinsip yang mengatur aktivitas-aktivitas negara-negara
dalam kaitannya dengan eksploitasi ruang angkasa. Ketentuan
Traktat tersebut tercantum dalam Pasal 2 yang berbunyi sebagai
berikut: Outer space including moon and other celestial bodies is
not subject to national appropriation by claim of sovereignty, by
mean of use or occupation by any other mean.
B. Tinjauan Tentang Penyelesaian Sengketa Internasional
I. Pengertian Sengketa Internasional
Menurut J.G. Merills, sengketa dapat didefinisikan sebagai
perselisihan mengenai masalah fakta, hukum atau politik dimana suatu
tuntutan atau pernyataan pihak dapat ditolak, dituntut balik atau diingkari
oleh pihak lain. Sengketa internasional dalam arti yang lebih luas
dikatakan ada apabila perselisihan itu melibatkan pemerintah, lembaga,
juristic person (badan hukum) atau individu dalam bagian dunia yang
27
berlainan.42 Adapun John Collier dan Vaughan Lowe membedakan antara
sengketa (dispute) dengan konflik (conflict). Sengketa (dispute) adalah:43
A specific disagreement concerning a matter of fact, law or policy in
which a claim or assertion of one party is met with refusal, counter claim
or denial by another.
Konflik adalah istilah umum atau genus dari pertikaian (hostility)
antara para pihak-pihak yang seringkali tidak fokus. setiap sengketa
adalah konflik, tetapi tidak semua konflik dapat dikategorikan sebagai
sengketa (dispute). Sengketa Internasional dapat diartikan sebagai
sengketa yang bukan secara eksklusif merupakan urusan dalam negeri
suatu Negara. Sengketa internasional juga tidak hanya eksklusif
menyangkut hubungan antar Negara saja mengingat subjek-subjek hukum
internasional saat ini sudah mengalami perluasan sedemikian rupa
melibatkan banyak aktor non Negara.44
Menurut Starke, sengketa internasional adalah sengketa yang
terjadi antara Negara dengan Negara, Negara dengan Individu, badan
korporasi serta badan-badan bukan Negara di pihak lain. Menurut
Mahkamah Internasional, sengketa internasional adalah suatu situasi
ketika dua Negara mempunyai pandangan yang bertentangan mengenai
42
Achmad Fauzan, Penyelesaian Sengketa Internasional, Tarsito, Bandung, 1986, hlm. 1.
Sefriani, Op.cit., hlm. 322.
44
Ibid
43
28
dilaksanakan atau tidaknya
kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam
perjanjian. Selengkapnya Mahkamah Internasional ini menyatakan:
…whether there exist an international dispute is a matter for objective
determination. The mere denial of existence of a dispute does not
prove it’s nonexistence .. there has thus arisen a situation in which the
two sides hold clearly opposite views concerning the question of the
performance or nonperformance of treaty obligations. Confronted
with such a situation, the court must conclude that international
dispute has arisen.
Hukum
menyelesaikan
internasional
sengketa
mempunyai
internasional.
peranan
Pada
besar
prinsipnya
dalam
hukum
internasional berupaya agar hubungan antar negara terjalin lewat ikatan
persahabatan dan tidak mengharapkan adanya persengketaan. Hukum
Internasional memberikan aturan-aturan pokok kepada negara-negara yang
bersengketa untuk menyelesaikan sengketanya dan memberikan pilihan
yang bebas kepada para pihak tentang cara, prosedur atau upaya yang
sebaiknya ditempuh untuk menyelesaikan sengketanya. Dikenal adanya
dua macam sengketa internasional dalam studi hukum internasional yaitu
sengketa hukum dan sengketa politik yang sebenarnya tidak ada kriteria
yang jelas dan diterima umum mengenai pengertian kedua istilah tersebut.
Sengketa hukum adalah suatu istilah yang sering digunakan untuk ukuran
suatu
sengketa
internasional
manakala
diselesaikan oleh pengadilan internasional.
sengketa
tersebut
dapat
29
Menyangkut substansi sengketa tersebut beberapa pakar mencoba
untuk memisahkan antara sengketa hukum (Legal dispute) dan sengketa
politik (Political dispute). Friedmann misalnya mengemukakan bahwa
karakteristik sengketa hukum, sebagai berikut:45
1. Capable of being settled by the application of certain principles and
rules of international law
2. Influenced vital interest of State such as territorial integrity
3. Implementation of the existing international law enough to raise a
justice decision and support to progressive international relation
4. The dispute related with legal rights by claims to change the existing
rule.
Selanjutnya Oppenheim-Kelsen mengemukakan :
All dispute have their political aspects by the very fact that they concern
relation between sovereign States. Dispute which according to the
distinction, are said to be a legal nature might involve highly important
political interests of the states concerned, conversely, dispute reputed
according to that distinction be a political character more often than not
concern the application of a principle or a norm of international law.46
Menurut Waldock, penentuan suatu sengketa menjadi sengketa
politik atau hukum tergantung dari para pihak. Jika para pihak
menentukan sengketanya sebagai sengketa hukum maka sengketa tersebut
adalah sengketa hukum. Sebaliknya jika sengketa tersebut membutuhkan
patokan tertentu yang tidak ada dalam hukum internasional, misalnya
pelucutan senjata, maka sengketa tersebut adalah sengketa politik.47
45
Idem, hlm. 192
Idem, hlm. 323
47
Aryuni Yuliantiningsih, Bahan Kuliah Hukum Internasional, Fakultas Hukum,
Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, 2011, hlm. 72-73.
46
30
Melihat pada pendapat ketika pakar tersebut adalah tidak mudah
untuk memisahkan secara tegas antara sengketa hukum dengan sengketa
politik. Hal ini berarti semua sengketa yang dapat diselesaikan
menggunakan prinsip-prinsip juga aturan-aturan hukum internasional,
menyangkut hak-hak yang dijamin oleh hukum internasional merupakan
sengketa hukum. Hal ini juga senada dengan apa yang tertera dalam
Statuta Mahkamah Internasional bahwa Mahkamah Internasional memiliki
kewenangan menyelesaikan segala sengketa hukum yaitu: the sense of a
dispute capable of being settled by the application of principles and rules
of international law.48
Selanjutnya Pasal 36 ayat (2) Statuta Mahkamah Internasional
menegaskan bahwa sengketa hukum yang dapat diajukan ke Mahkamah
menyangkut hal-hal sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
Interpretation of treaty
Any question of international law
The existence of any fact which, if established, would constitute a
breach of an international obligation
The nature or extent of the reparation to be made for the breach of
an international obligation.
II. Cara-cara Penyelesaian Sengketa Internasional
Pada
umumnya,
metode-metode
penyelesaian
sengketa
digolongkan dalam dua kategori: 49
48
Dedi Supriyadi, Op.cit., hlm. 193.
J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional edisi kesepuluh- Buku kedua, Sinar
Grafika, Jakarta, 1988, hlm. 646.
49
31
a. Cara-cara penyelesaian secara damai, yaitu apabila para pihak telah
dapat menyepakati untuk menemukan suatu solusi yang bersahabat.
b. Cara-cara penyelesaian secara paksa atau dengan kekerasan, yaitu
apabila solusi yang dipakai atau dikenakan adalah melalui kekerasan.
Penyelesaian sengketa di dalam hukum internasional terbagi
menjadi dua, penyelesaian sengketa yang dilakukan secara damai dan
penyelesaian sengketa secara kekerasan.
1) Penyelesaian sengketa internasional secara damai
Pengaturan mengenai penyelesaian sengketa internasional
secara damai, diatur dalam:
a. Konvensi Den Haag 1899 mengenai Penyelesaian SengketaSengketa Secara Damai.
b. Konvensi Den Haag mengenai Penyelesaian Sengketa-Sengketa
Secara Damai Tahun 1907
c. Piagam PBB
Penyelesaian sengketa internasional secara damai dapat
dilakukan melalui penyelesaian sengketa secara diplomatik dan
penyelesaian sengketa secara hukum. Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB
menyebutkan macam-macam cara penyelesaian sengketa internasional
32
secara damai yang dapat dipilih oleh negara-negara yang bersengketa,
yaitu:50
a. Perundingan (negotiation)
Negosiasi adalah cara penyelesaian yang paling dasar dan
paling tua digunakan oleh umat manusia. Penyelesaian melalui
negosiasi merupakan cara yang paling penting. Banyak sengketa
diselesaikan melalui cara ini tanpa adanya publisitas atau perhatian
publik. Alasan utama cara ini dipergunakan adalah para pihak dapat
mengawasi
prosedur
penyelesaian
sengketa
dan
setiap
penyelesaiannya didasarkan kesepakatan atau konsensus para pihak.
Negosiasi dalam pelaksanaannya memiliki dua bentuk utama, yaitu
bilateral dan multilateral. Negosiasi dapat dilangsungkan melalui
saluran diplomatik pada konferensi internasional atau dalam suatu
lembaga atau organisasi. Cara ini dapat digunakan untuk
menyelesaikan setiap bentuk sengketa, baik sengketa ekonomi,
politik, hukum, sengketa wilayah, keluarga, suku, dan lain-lain.
Proses
penyelesaian
sengketa
melalui
negosiasi
ini
masih
dimungkinkan untuk dilaksanakan apabila para pihak telah
menyerahkan sengketanya kepada suatu badan peradilan tertentu.
50
Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika, Jakarta,
2004, hlm. 19-22.
33
b. Pencarian fakta (fact-finding)
Suatu sengketa kadangkala mempersoalkan konflik para
pihak mengenai suatu fakta. Suatu sengketa berkaitan dengan hak
dan kewajiban, namun seringkali permasalahan bermula pada
perbedaan pandangan para pihak terhadap fakta yang menentukan
hak dan kewajiban tersebut. Penyelesaian sengketa demikian
bergantung pada penguraian fakta-fakta para pihak yang tidak
disepakati. Oleh sebab itu, pemastian kedudukan fakta yang
sebenarnya dianggap sebagai bagian penting dari prosedur
penyelesaian sengketa. Para pihak dapat memperkecil masalah
sengketanya dengan menyelesaikan melalui metode pecarian fakta
yang menimbulkan persengketaan. Pada intinya para pihak
mempersengketakan perbedaan mengenai fakta, maka untuk
meluruskan perbedaan tersebut, campur tangan pihak lain dirasakan
perlu untuk menyelidiki kedudukan fakta yang sebenarnya. Biasanya
para pihak tidak meminta pengadilan tapi meminta pihak ketiga
yang sifatnya kurang formal. Inquiry dapat dilaksanakan oleh suatu
komisi yang tugasnya terbatas hanya untuk memberikan pernyataan
menyangkut kebenaran fakta dan tidak berwenang memberikat suatu
putusan.51
51
Sefriani, Op.cit., hlm. 332.
34
Cara ini ditempuh manakala cara konsultasi atau negosiasi
telah dilakukan dan tidak menghasilkan suatu penyelesaian. Melalui
cara ini, pihak ketiga akan berupaya melihat suatu permasalahan dari
semua sudut guna memberikan penjelasan mengenai kedudukan
masing-masing pihak. Negara-negara juga telah membentuk badanbadan penyelidik baik yang sifatnya ad hoc ataupun terlembaga.
c. Jasa-Jasa Baik (Good Offices)
Jasa-jasa baik adalah cara penyelesaian sengketa melalui
bantuan pihak ketiga. Pihak ketiga berupaya mempertemukan para
pihak sedemikian rupa sehingga mereka mau bertemu, duduk
bersama dan bernegosiasi. Keikutsertaan pihak ketiga dalam suatu
penyelesaian sengketa ada dua macam, yaitu atas permintaan para
pihak dan inisiatif pihak ketiga itu sendiri yang menawarkan jasajasa baiknya guna menyelesaikan sengketa. Syarat mutlak yang
harus ada yaitu kesepakatan para pihak dalam kedua cara tersebut.
Jasa-jasa baik sudah dikenal dalam praktik kenegaraan. jasa-jasa
baik juga telah dikenal dalam praktik penyelesaian antara pihakpihak swasta.52
52
Peter Behrens, Alternative Methods of Dispute Settlement in International Economic
Relations, Fribourg U.P, 1992, hlm. 14, (lihat juga: Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa
Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hlm. 19-22).
35
d. Mediasi (Mediation)
Mediasi adalah cara penyelesaian melalui pihak ketiga
(disebut mediator), yang ikut aktif dalam proses mediasi. Mediator
bisa negara, organisasi internasional (misalnya PBB) atau individu
(politikus, ahli hukum atau ilmuwan). Biasanya mediator dengan
kapasitasnya sebagai pihak yang netral berupaya mendamaikan para
pihak dengan memberikan saran penyelesaian sengketa. Jika usulan
tersebut tidak diterima, mediator masih dapat melanjutkan fungsi
mediasinya dengan membuat usulan-usulan baru. Karena itu, salah
satu fungsi utama mediator adalah mencari berbagai solusi
(penyelesaian), mengidentifikasi hal-hal yang dapat disepakati para
pihak serta membuat usulan-usulan yang dapat mengakhiri sengketa.
Seperti halnya dalam negosiasi, tidak ada prosedur khusus yang
harus ditempuh dalam proses mediasi. Para pihak bebas menentukan
prosedurnya, yang penting adalah kesepakatan para pihak. Mulai
dari proses pemilihan mediator, cara mediasi, diterima atau tidaknya
usulan-usulan
yang
diberikan
oleh
mediator,
sampai
pada
berakhirnya tugas mediator.53
e. Konsiliasi (Consiliation)
Konsiliasi adalah cara penyelesaian sengketa yang sifatnya
lebih formal dibanding mediasi. Konsiliasi adalah suatu cara
53
Idem, hlm. 21.
36
penyelesaian sengketa oleh pihak ketiga atau komisi yang dibentuk
para pihak. Komisi ini disebut dengan komisi konsiliasi. Komisi
konsiliasi bisa yang sudah terlembaga atau ad hoc (sementara) yang
berfungsi untuk menetapkan persyaratan penyelesaian yang diterima
oleh para pihak, namun putusannya tidak mengikat para pihak.
Persidangan suatu komisi konsiliasi biasanya terdiri atas dua tahap,
yaitu tahap tertulis dan tahap lisan. Pertama, sengketa (yang
diuraikan secara tertulis) diserahkan kepada badan konsiliasi.
Kemudian badan ini akan mendengarkan keterangan lisan dari para
pihak. Para pihak dapat hadir pada tahap pendengaran tersebut,
tetapi bisa juga diwakili oleh kuasanya. Berdasarkan fakta-fakta
yang diperolehnya, konsiliator
atau badan konsiliasi akan
menyerahkan laporannya kepada para pihak disertai dengan
kesimpulan, dan usulan-usulan penyelesaian sengketanya. Sekali
lagi usulan ini sifatnya tidaklah mengikat, karena diterima tidaknya
usulan tersebut bergantung sepenuhnya kepada para pihak.54
Penyelesaian sengketa secara damai juga bisa dilakukan
melalui pengadilan. Pengadilan dapat dibagi dalam dua kategori,
yaitu pengadilan permanen dan pengadilan ad hoc atau pengadilan
khusus.
Contoh:
pengadilan
permanen
internasional
adalah
Mahkamah Internasional (the International Court of Justice).
54
Idem, hlm. 22.
37
Pengadilan
ad hoc atau pengadilan khusus lebih populer
dibandingkan dengan pengadilan permanen, terutama dalam
kerangka suatu organisasi ekonomi internasional. Badan pengadilan
ini berfungsi cukup penting dalam menyelesaikan sengketa yang
timbul dari perjanjian ekonomi internasional.
f. Arbitrase (Arbitration)
Arbritase adalah penyerahan sengketa secara sukarela kepada
pihak ketiga yang netral yang mengeluarkan putusan bersifat final
dan mengikat (binding). Lembaga arbritase dewasa ini sudah
semakin
populer
dan
semakin
banyak
digunakan
dalam
menyelesaikan sengketa-sengketa internasional. Penyerahan suatu
sengketa kepada lembaga arbitrase dapat dilakukan dengan
pembuatan compromis, yaitu penyerahan kepada lembaga arbitrase
suatu sengketa yang telah lahir atau melalui pembuatan suatu klausul
arbitrase dalam suatu perjanjian, sebelum sengketanya muncul
(clause compromissoire).55 Orang yang dipilih melakukan arbitrase
disebut arbitrator atau arbiter. Pemilihan arbitrator sepenuhnya
berada pada kesepakatan para pihak. Biasanya arbitrator yang
dipilih adalah mereka yang telah ahli mengenai pokok sengketa serta
disyaratkan netral. Arbitrator tidak selalu harus ahli hukum, seorang
arbitrator bisa saja yang menguasai bidang-bidang lainnya seperti
55
Idem, hlm. 23.
38
seorang insinyur, pimpinan perusahaan (manajer), ahli asuransi, ahli
perbankan dan lain-lain. Setelah arbitrator ditunjuk, selanjutnya
arbitrator menetapkan term of reference atau aturan permainan
(hukum acara) yang menjadi patokan kerja mereka. Biasanya
dokumen ini memuat pokok masalah yang akan diselesaikan,
kewenangan yuridiksi arbitrator dan aturan-aturan (acara) sidang
arbitrase. Muatan term of reference harus disepakati oleh para
pihak.56
g. Peradilan Internasional
Peradilan internasional yang dimaksud ialah penyelesaian
masalah dengan menerapkan ketentuan hukum oleh badan peradilan
internasional yang dibentuk secara teratur. Peradilan internasional
dewasa ini dapat dilakukan oleh Mahkamah Internasional atau oleh
badan peradilan lain, Mahkamah Internasional kini merupakan satusatunya badan peradilan internasional tetap yang dapat digunakan
dalam masyarakat internasional. Lembaga peradilan lain dapat
melakukan peradilan internasional berdasarkan persetujuan pihakpihak
yang
bersengketa.
Mahkamah
Internasional
dibentuk
berdasarkan Piagam PBB. Piagam itu menetapkan kedudukan dan
wewenang Mahkamah Internasional. Pelaksanaan fungsi Mahkamah
Internasional itu selanjutnya diatur dalam Statuta Mahkamah
56
Ibid
39
Internasional yang merupakan bagian integral dari Piagam
tersebut.57
Penyelesaian sengketa oleh Mahkamah Internasional hanya
dapat diminta oleh negara dalam persengketaannya dengan negara
lain. Organisasi internasional dan individu tidak dapat berperkara
dihadapan
Mahkamah
Internasional.
Yuridiksi
Mahkamah
Internasional dalam penyelesaian sengketa hanya terbatas pada
sengketa antar negara, namun yuridiksi Mahkamah Internasional
dalam hal itu meliputi semua perkara.58
h. Badan-Badan Regional
Melibatkan lembaga atau organisasi regional baik sebelum
maupun sesudah PBB berdiri. Ruang lingkup mengenai objek
sengketa yang dapat diselesaikan oleh badan atau organisasi
internasional regional ini sedikit banyak bergantung kepada
instrumen hukum yang mendasarinya. Instrumen hukum itu sendiri
sesungguhnya sangat bergantung kepada sifat atau karakteristik dari
organisasi yang bersangkutan. Misal: letak geografis atau letak
organisasi tersebut berada, badan-badan kelengkapannya, tugas, dan
wewenang
organisasi
tersebut,
termasuk
wewenang
dalam
penyelesaian sengketa internasional. Misal: organisasi internasional
57
F. Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2010,
hlm. 128.
58
Idem., hlm. 131.
40
regional yang dibentuk untuk masalah-masalah perdagangan atau
ekonomi akan mengatur dan membatasi dirinya antara lain untuk
memberi saran penyelesaian sengketa khusus di bidang perdagangan
atau ekonomi.
Hadirnya lembaga atau mekanisme penyelesaian sengketa yang
diciptakan oleh masyarakat internasional, pada umumnya ditujukan untuk
suatu maksud utama, yaitu memberi cara bagaimana seyogyanya sengketa
internasional diselesaikan secara damai. Cara-cara tersebut yang diberi
landasan hukum, berupa piagam, perjanjian atau konvensi, mengikat
negara-negara yang mengikatkan diri terhadapnya. Pengaturan cara-cara
damai yang dituangkan dalam instrumen atau perjanjian internasional
adalah untuk mencegah atau menghindari negara-negara menggunakan
cara-cara kekerasan, militer atau perang sebagai cara penyelesaian
sengketa mereka.
2) Penyelesaian sengketa internasional dengan kekerasan
Penyelesaian sengketa internasional secara kekerasan (perang),
telah diatur oleh hukum internasional terutama dalam hukum humaniter
internasional.
Pengaturan
mengenai
penyelesaian
sengketa
internasional dengan kekerasan diatur dalam:59
59
Arlina Permanasari dkk, Pengantar Hukum Humaniter Internasional, International
Committe of the Red Cross, Jakarta, 1999, hlm. 21.
41
a. Konvensi Den Haag 1899 mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang
di Darat;
b. Konvensi Den Haag 1899 mengenai adaptasi Asas-Asas Konvensi
Jenewa tentang Hukum Perang di Laut;
c. Konvensi Den Haag 1907 mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang
di Darat;
d. Konvensi Den Haag 1907 mengenai Cara Memulai Perang;
e. Konvensi Den Haag 1907 mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang
di Darat;
f. Konvensi Jenewa 1949 mengenai Perlakuan Terhadap Tawanan
Perang;
g. Konvensi Jenewa 1949 mengenai Perlindungan Terhadap Penduduk
Sipil di Waktu Perang.
Penggunaan
cara-cara
kekerasan
atau
paksaan
dalam
menyelesaikan suatu sengketa dilarang oleh ketentuan hukum
internasional
walaupun
dimungkinkan
bagi
para
pihak untuk
menyelesaikan sengketa mereka melalui jalan kekerasan atau paksaan
apabila penyelesaian sengketa secara damai tidak tercapai kesepakatan.
Penyelesaian sengketa secara paksa atau kekerasan dapat dilakukan
melalui:60
60
J.G. Starke, Op.cit, hlm. 679-685.
42
a. Perang
Perang bertujuan untuk menaklukkan negara lawan sehingga
negara yang kalah tidak memiliki alternatif lain kecuali menerima
syarat-syarat penyelesaian yang ditentukan oleh negara pemenang
perang. Jadi, dengan berakhirnya perang berarti sengketa telah
diselesaikan. Perang dalam kasus Driefontein Consolidated Gold
mines v Janson memberikan pernyataan bahwa apabila perselisihan
antara negara-negara mencapai suatu titik dimana kedua belah pihak
berusaha untuk memaksa atau salah satu dari mereka melakukan
tindakan kekerasan, yang dipandang oleh pihak lain sebagai suatu
pelanggaran perdamaian, maka terjadi hubungan perang, di mana
pihak-pihak yang bertempur satu sama lain dapat menggunakan
kekerasan sesuai dengan peraturan sampai salah satu dari mereka
menerima syarat-syarat sebagaimana yang dikehendaki oleh
musuhnya.61
Pada awal perkembangan hukum internasional, penggunaan
kekerasan (use of force) oleh negara diatur dalam Just War Doctrine
yang dikembangkan antara lain oleh ST Augustine dan Grotius.
Doktrin ini menyatakan bahwa perang adalah ilegal kecuali jika
dilakukan untuk suatu just cause. Kekerasan atau perang diizinkan
sebagai suatu cara untuk menjamin hak suatu negara manakala tidak
61
Sefriani, Op.cit., hlm. 353.
43
ada cara lain yang efektif. Perang adil pada masa itu adalah suatu
peperangan dengan menggunakan peralatan perang yang sederhana
yang disertai dengan pernyataan perang oleh suatu pihak dan pihak
lain yang akan diserang bersiap-siap untuk membela diri.62
Perkembangan setelah dibentuknya
menunjukkan
bahwa
pengaturan
hak
PBB tahun 1945
negara
menggunakan
kekerasan (use of force) merupakan penggabungan dari hukum
kebiasaan internasional dan perjanjian internasional karena dalam
hukum kebiasaan internasional tidak ada larangan penggunaan
kekerasan, sedangkan dalam perjanjian internasional seperti Kellog
Briand Pact melarang penggunaan perang. Piagam PBB tidak
menggunakan istilah perang (war) tetapi menggunakan istilah
penggunaan kekerasan (use of force). Perang adalah teknis dalam
pandangan hukum internasional yang seringkali digunakan sebagai
istilah dalam praktik negara-negara seperti insiden di perbatasan
baik insiden kecil, short war, sampai operasi militer besar-besaran
yang dilakukan oleh para pihak bertikai.63
b. Retorsi (Retortion)
Retorsi adalah istilah teknis untuk pembalasan dendam oleh
suatu negara terhadap tindakan-tindakan tidak pantas atau tidak patut
62
63
Idem, hlm. 354.
Ibid
44
dari negara lain, balas dendam tersebut dilakukan dalam bentuk
tindakan-tindakan sah yang tidak bersahabat di dalam konferensi
negara yang kehormatannya dihina. Misalnya, merenggangnya
hubungan
diplomatik,
pencabutan
privilege
diplomatik
atau
penarikan diri dari konsesi-konsesi fiskal dan bea. Demikian
banyaknya praktik-praktik mengenai retorsi sehingga tidak mungkin
untuk menentukan secara tepat syarat-syarat bahwa tindakantindakan itu dibenarkan.
c. Tindakan-Tindakan Pembalasan (Repraisals)
Pembalasan merupakan metode-metode yang dipakai negaranegara untuk mengupayakan diperolehnya ganti rugi dari negaranegara lain dengan melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya
pembalasan. Perbedaan antara tindakan pembalasan dengan retorsi
adalah pembalasan mencakup tindakan yang pada umumnya boleh
dikatakan sebagai perbuatan ilegal, sedangkan retorsi meliputi
tindakan yang sifatnya balas dendam yang dapat dibenarkan oleh
hukum. Bentuk-bentuk dari pembalasan diantaranya: pemboikotan
barang-barang terhadap suatu negara tertentu, embargo, demonstrasi
angkatan laut atau pemboman.64
64
J.G. Starke, Op.cit, hlm. 680.
45
d. Blokade secara Damai (Pacific Blockade)
Pada waktu perang, blokade terhadap pelabuhan suatu negara
yang terlibat perang sangat lazim dilakukan oleh angkatan laut.
Blokade secara damai adalah suatu tindakan yang dilakukan pada
waktu damai. Kadang-kadang digolongkan sebagai pembalasan,
tindakan itu pada umumnya ditujukan untuk memaksa negara yang
pelabuhannya diblokade menaati permintaan ganti rugi atas kerugian
yang diderita oleh negara yang memblokade. Manfaat nyata
penggunaan blokade secara damai adalah tindakan ini merupakan
cara tindakan yang jauh dari kekerasan dibandingkan perang dan
blokade juga sifatnya fleksibel.65
e. Intervensi (Intervention)
Intervensi adalah campur tangan secara diktator oleh suatu
negara terhadap urusan dalam negeri lainnya dengan maksud baik
untuk memelihara atau mengubah kondisi nyata di negara tersebut.
Lauterpacht
selengkapnya
menyatakan
sebagai
berikut: 66
...dictatorial interference by a State in the affairs of another State for
the purpose of either maintaining or altering the actual condition of
things.
65
66
Ibid
Huala Adolf, Op.cit., hlm. 36.
46
Hukum internasional pada umumnya melarang campur tangan
yang berkaitan dengan urusan-urusan negara lain, yang dalam kaitan
khusus ini berarti suatu tindakan yang dari sekedar campur tangan saja dan
lebih kuat daripada mediasi atau usulan diplomatik. Menurut Hyde, yang
termasuk dalam larangan itu umumnya yang bertentangan dengan
kepentingan negara lain, campur tangan itu hampir selalu disertai dengan
bentuk atau implikasi tindakan untuk menggangu kemerdekaan politik
negara yang bersangkutan.
C. Tinjauan Umum Tentang Intervensi
Menurut Oppenheim Lauterpacht intervensi adalah campur tangan
secara diktator oleh suatu Negara terhadap urusan dalam negeri lainnya
dengan maksud baik untuk memelihara dan mengubah keadaan, situasi, atau
barang di negeri tersebut.67 Intervensi dalam Black’s Law Dictionary diartikan
sebagai turut campurnya sebuah Negara dalam urusan dalam negeri Negara
lain atau urusan dengan Negara lain dengan menggunakan kekuatan atau
ancaman kekuatan, sedangkan intervensi kemanusiaan (Humanitarian
Intervention) diartikan sebagai intervensi yang dilakukan oleh komunitas
67
Oppenheim-Lauterpacht, International Law: A Treaties vol 1: Peace, edisi ke-8,
Longmans, 1967, hlm. 305 dalam Huala Adolf,
Aspek-aspek Negara Dalam Hukum
Internasional, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm. 30.
47
internasional untuk mengurangi pelanggaran hak asasi manusia dalam sebuah
Negara, walaupun tindakan tersebut melanggar kedaulatan Negara tersebut.68
Sir William Harcout mengemukakan bahwa intervensi merupakan
suatu masalah yang lebih dekat kaitannya dengan kebijakan dibandingkan
dengan hukum. Intervensi berada jauh di atas dan di luar jangkauan hukum
(bila dilaksanakan oleh pihak yang memiliki kekuasaan dimaksudkan untuk
mendapat pengaruh daripadanya) dan merupakan kebijakan tingkat tinggi
yang berkaitan dengan keadilan dan kemanusiaan.69
Historicus mengemukakan bahwa intervensi merupakan prosedur yang
tinggi dan ringkas yang kadang-kadang bisa menjadi pemicu adanya
perbaikan tanpa tersentuh oleh hukum. Namun begitu, harus diakui bahwa
dalam kasus intervensi, sebagaimana juga revolusi, intinya adalah
ketidaksahan, dan justifikasinya adalah keberhasilan yang dicapainya.
Intervensi tidak dibenarkan dan dianggap tidak politis jika mengalami
kegagalan.70
Wirjono Prodjodikoro memberi pengertian intervensi yaitu dalam
hukum internasional intervensi tidak berarti luas sebagai segala bentuk
campur tangan Negara asing dalam urusan satu negara, melainkan berarti
68
Bryan A Garner ed., Black Law Dictionary, Seventh Edition, Book 1, West Group,
ST.Paul, Minn, 1999, hlm. 826.
69
William Vernon Harcourt, Letters by Historicus on Some Questions of International
Law: Reprinted from “tha times” with considerable addition, dalam Simon Chesterman, Just war
or Peace?: Humanitarian Intervention and International Law (New York: Oxford University
Press, 2001) hlm. 39, dalam www.uop.com, diakses tanggal 5 Desember 2013.
70
Simon Chesterman,Idem, hlm.42 , dalam www.uop.com, diakses tanggal 5 Desember
2013.
48
sempit, yaitu suatu campur tangan negara asing yang bersifat menekan dengan
alat kekerasan (force) atau dengan ancaman melakukan kekerasan, apabila
keinginannya tidak terpenuhi.71
Intervensi dan prinsip non-intervensi terdapat dalam berbagai
dokumen atau instrumen hukum internasional sebagai berikut:72
1. Piagam PBB
Pasal 2 ayat (7) dan 2 ayat (4) Piagam PBB mensyaratkan bahwa
organisasi PBB dilarang untuk ikut campur dalam urusan domestik
suatu negara kecuali dalam rangka memelihara perdamaian menurut
Bab VII Piagam.
2. Rancangan ILC (International Law Commission) mengenai Hak-hak
dan Kewajiban Negara 1949
Ketentuan mengenai larangan intervensi ini dapat pula ditemukan
dalam Pasal 3 Rancangan Deklarasi mengenai Hak-hak dan Kewajiban
Negara yang dibuat oleh komisi hukum internasional pada tahun 1949.
Pasal tersebut menyebutkan bahwa setiap negara berkewajiban untuk
menahan diri mengintervensi ke dalam urusan dalam atau luar negeri
negara lain.73
71
Wirjono Prodjodikoro, Azaz-azaz Hukum Publik Internasional, PT. Pembimbing Masa,
Jakarta, 1967, hlm.149-150.
72
Huala Adolf, Op.cit., hlm. 37.
73
Idem, hlm. 38.
49
3. Hasil konferensi Asia Afrika 1955
Larangan intervensi dimuat dalam keputusan akhir konferensi Asia
Afrika April 1955 di Bandung yang terkenal dengan Dasa Sila
Bandung.
4. Deklarasi Majelis Umum PBB 1965
Majelis Umum PBB pada tahun 1965 mengeluarkan suatu Deklarasi
penting yang melarang intervensi suatu negara terhadap negara lain
yang berjudul ‘Declaration on the inadmissibility of Intervention in the
Domestic Affairs of States and the Protection of Their Independence
and Sovereignty.’ Paragraf 1 Deklarasi menyebutkan dengan tegas
larangan intervensi baik secara langsung ataupun tidak langsung atau
untuk alasan apapun juga, baik pula intervensi terhadap urusan dalam
negeri atau pun urusan luar negeri suatu negara.74
5. Deklarasi Majelis Umum PBB 1970
Ketentuan mengenai larangan intervensi juga dapat pula ditemukan
dalam Deklarasi Majelis Umum PBB yaitu friendly relations
declaration [G.A Res. 2625 (XXV)], yang menyebutkan prinsip bahwa
Negara-negara berkewajiban untuk tidak mengintervensi ke dalam
masalah-masalah domestik Negara lain.
74
Idem, hlm. 39.
50
6. Piagam ASEAN 2007
Prinsip non-intervensi ditegaskan dan dijunjung tinggi di antara negaranegara anggota ASEAN. Prinsip ini termuat dalam Preambule,
menyebutkan bahwa non-interference ini dipandang sebagai prinsip
ASEAN di mana Negara-negara anggota harus menghormatinya.
Prinsip larangan campur tangan terhadap urusan-urusan dalam negeri
sesama negara anggota ASEAN dituangkan pula ke dalam muatan
Pasal 2 Piagam ASEAN yang memuat prinsip-prinsip ASEAN.75
Intervensi menimbulkan perdebatan karena berhadapan langsung
dengan prinsip-prinsip umum dalam hukum internasional, yaitu Prinsip
Kedaulatan Negara dan Prinsip non-intervensi.76 Hukum internasional pada
umumnya melarang campur tangan berupa suatu tindakan yang lebih dari
sekedar campur tangan saja dan lebih kuat dari mediasi atau usulan
diplomatik. Larangan tersebut umumnya adalah campur tangan yang
berkaitan dengan kepentingan negara terkait seperti yang dikatakan Hyde
serta dijelaskan oleh International Court of Justice pada tahun 1986 dalam
kasus Nicaragua v United States of America, campur tangan itu hampir selalu
disertai bentuk atau implikasi tindakan untuk mengganggu kemerdekaan
politik negara yang bersangkutan. Menurut Mahkamah Internasional, suatu
intervensi dilarang oleh hukum internasional apabila: (a) merupakan campur
75
76
Idem, hlm. 40.
Lihat Pasal 2 (1) dan Pasal 2 (4) Piagam PBB
51
tangan yang berkaitan dengan masalah-masalah di mana setiap negara
dibolehkan untuk mengambil keputusan secara bebas (misalnya mengenai
sistem politik atau ekonomi atau penganutan politik luar negerinya sendiri);
dan (b) campur tangan itu meliputi gangguan terhadap kemerdekaan negara
lain dengan cara-cara paksa, khususnya kekerasan (misal: memberikan
dukungan secara tidak langsung terhadap aktivitas-aktivitas subversif
terhadap negara yang menjadi tujuan intervensi tersebut). Segala sesuatu yang
tidak termasuk dalam pengertian yang dikemukakan secara tegas ini bukanlah
intervensi dalam arti yang dilarang oleh hukum internasional.77
Hukum internasional mengklasifikasikan intervensi dalam 3 (tiga)
macam, yang didasarkan atas jangkauan (Scope) dari intervensi tersebut,
yaitu:78
a. Intervensi Internal
Intervensi atau campur tangan yang melibatkan negara luar sebagai
penyokong atau pendukung suatu pemberontakan, peperangan, atau
konflik politik di Negara lain dengan cara yang diktator.
b. Intervensi Eksternal
Intervensi atau campur tangan Negara lain terhadap peperangan atau
konflik yang sudah terjadi antara dua Negara atau lebih.
77
J.G Starke, Pengantar Hukum Internasional-Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta,
2012, hlm. 135-136.
78
Mirza Satria Buana, Op.cit., hlm. 31.
52
c. Intervensi Repraisal
Intervensi atau campur tangan suatu Negara yang dilakukan atas dasar
pembalasan (a repraisal) terhadap kerugian yang telah ditimbulkan
oleh Negara lain, dengan melakukan perang kecil atau blokade damai.
J.G Starke dalam bukunya yang berjudul Pengantar Hukum
Internasional juga menjabarkan 3 (tiga) macam intervensi, yaitu : 79
a.
Intervensi Intern (Internal Intervention). Contoh Negara A yang
mencampuri persengketaan antara pihak-pihak bertikai di Negara B,
dengan cara mendukung salah satu pihak, baik pihak pemerintah yang
sah ataupun pihak pemberontak.
b. Intervensi Ekstern (External Intervention). Contoh Negara A yang ikut
campur tangan dalam hubungan, umumnya hubungan permusuhan,
seperti ketika Italia melibatkan diri dalam perang dunia kedua dengan
memihak Jerman dan melawan Inggris.
c. Intervensi Penghukuman (Punitive Intervention). Bentuk intervensi ini
merupakan suatu tindakan pembalasan (repraisal), yang bukan perang,
atas kerugian yang diderita oleh Negara lain. Misal: suatu blokade
damai yang dilakukan terhadap Negara yang menimbulkan kerugian
sebagai pembalasan atas tindakannya yang merupakan pelanggaran
berat traktat.
79
J.G Starke, Op.cit., hlm.136.
53
Istilah intervensi juga digunakan oleh beberapa penulis untuk
menyatakan intervensi subversif, untuk menunjukkan aktivitas propaganda
atau aktivitas lainnya yang dilakukan oleh suatu Negara dengan maksud untuk
menyulut revolusi atau perang saudara di Negara lain, untuk tujuan Negara itu
sendiri. Hukum internasional melarang intervensi subversif demikian.80
Salah satu doktrin yang terkenal sehubungan dengan prinsip non
intervensi adalah Doktrin Monroe. Doktrin ini bermula dari pesan (message)
Presiden Amerika Serikat Monroe kepada Kongres pada 2 Desember 1823.
Presiden Monroe dalam pesannya itu menyinggung soal ancaman pendudukan
Soviet terhadap Alaska dan ancaman intervensi terhadap Aliansi Suci (Holy
Alliance) Amerika yang berbunyi sebagai berikut :81
We owe it, therefore, to candor, and to the amicable relations existing
between the United States and those Europeans, former colonial
powers, to declare that we should consider any attempt on their part
to extend their system to any portion of this hemisphere as dangerous
to our peace and safety.
Doktrin ini mengandung dua arti penting sebagai berikut:82
a. Prinsip non-kolonisasi, yaitu Amerika Serikat berkepentingan
untuk menjamin bahwa tidak ada satu bagian pun dari benua
Amerika yang bersifat terra nullius (tidak ada yang memiliki) dan
menjadi wilayah kolonisasi Negara Eropa.
80
Idem, hlm. 137
Parry and grant, dkk., Encyclopaedic Dictionary of International Law, Oceana
Publications inc., New York, 1986, hlm. 241.
82
D.P. O’Connel, Op.cit., hlm. 306-307.
81
54
b. Prinsip Non Intervensi yang pada pokoknya menetapkan bahwa
setiap upaya Negara asing untuk memperluas sistem politiknya ke
Benua Amerika akan merupakan ancaman bahaya terhadap
perdamaian dan keamanan Amerika.
Intervensi dalam keadaan tertentu tidaklah selalu merupakan
pelanggaran kemerdekaan atau integritas wilayah Negara lain sebab hukum
internasional pun memberikan pengecualian terhadap prinsip tersebut.
Pengecualian prinsip intervensi yang dimaksud adalah sebagai berikut:83
a. Suatu Negara pelindung (protector) telah diberikan hak-hak intervensi
(intervention rights) yang dituangkan dalam suatu perjanjian oleh
Negara yang meminta perlindungan. Contoh: Perjanjian persahabatan,
hubungan bertetangga baik dan kerjasama (the Treaty of friendship,
good neighbourliness and cooperation) yang ditandatangani oleh Uni
Soviet dan Afghanistan pada tanggal 5 Desember 1978. Pasal 4 the
treaty
of
friendship,
good
neighbourliness
and
cooperation
menetapkan bahwa kedua belah pihak akan mengambil langkah yang
diperlukan untuk melindung keamanan, kemerdekaan, dan keutuhan
wilayah kedua Negara. Isi ketentuan perjanjian demikian dapat
dimaksudkan sebagai pembenaran terhadap tindakan Uni Soviet ketika
menginvasi Afghanistan pada Desember 1979.
83
Gerhard von Glahn, Law Among Nation, Macmillan Publishing Co.,Inc., edisi ke-4,
1981, hlm. 161-162, (lihat dalam Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam hukum internasional,
PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm. 30-32).
55
b. Jika suatu Negara berdasarkan suatu perjanjian dilarang untuk
mengintervensi namun ternyata melanggar larangan ini, maka Negara
lainnya yang juga adalah pihak/peserta dalam perjanjian tersebut
berhak untuk melakukan intervensi.
c. Jika suatu Negara melanggar dengan serius ketentuan-ketentuan dalam
hukum kebiasaan yang telah diterima umum, Negara lainnya
mempunyai hak untuk mengintervensi Negara tersebut. Jadi, jika
pemberontak terus-menerus melanggar hak-hak suatu Negara netral
selama terjadinya konflik, maka Negara netral tersebut memiliki hak
untuk mengintervensi terhadap Negara pemberontak tersebut.
d. jika warga negaranya diperlakukan semena-mena di luar negeri maka
Negara tersebut memiliki hak untuk mengintervensi atas nama wargawarga tersebut, setelah semua cara damai diambil untuk menangani
masalah tersebut.
e. Suatu intervensi dapat pula dianggap sah dalam hal tindakan bersama
oleh suatu organisasi internasional yang dilakukan atas kesepakatan
bersama Negara-negara anggotanya.
f. Suatu intervensi dapat juga sah manakala tindakan tersebut dilakukan
atas permintaan yang sungguh-sungguh dan tegas-tegas (genuine and
explicit) dari pemerintah yang sah dari suatu Negara (invitational
intervention). Intervensi ini cukup banyak dilakukan oleh Negara-
56
negara besar dewasa ini. Pengiriman tentara Inggris ke Yordania pada
tahun yang sama setelah Republik Persatuan Arab melakukan
intervensi terhadap masalah-masalah dalam negeri Yordania. Tahun
1964, kembali tentara inggris didaratkan di Tanganyika Uganda, dan
Kenya atas permintaan masing-masing Negara tersebut untuk
meredakan pemberontakan di negeri-negeri tersebut, dan lain-lain.
Berikut ini juga yang umumnya dinyatakan sebagai kasus-kasus
terdapat kekecualian pokok dimana menurut hukum internasional suatu
Negara berhak melakukan intervensi sah sebagai berikut:84
a. Intervensi kolektif sesuai dengan Piagam Perserikatan BangsaBangsa;
b. Intervensi untuk melindungi hak-hak dan kepentingan-kepentingan
serta keselamatan jiwa warga-warga Negara di luar yang menjadi
dasar bagi pemerintah Amerika Serikat membenarkan tindakan
pengiriman tentara multinasional di pulau Grenada bulan oktober
1983;
c. Pertahanan
diri,
apabila
intervensi
diperlukan
untuk
menghilangkan bahaya serangan bersenjata yang nyata;
d. Dalam
urusan-urusan
kekuasaannya;
84
Ibid
protektorat
yang
berada
di
bawah
57
e. Apabila Negara yang menjadi subjek intervensi dipersalahkan
melakukan
pelanggaran
berat
atas
hukum
internasional
menyangkut Negara yang melakukan intervensi, sebagai contoh,
apabila Negara pelaku intervensi sendiri telah diintervensi secara
melawan hukum.
Hak-hak kekecualian intervensi dilaksanakan dengan syarat Negaranegara harus tunduk kepada kewajiban-kewajiban pokok menurut Piagam
Perserikatan
Bangsa-Bangsa,
sehingga
kecuali
charter
sendiri
memperbolehkan pelaksanaan hak itu, intervensi tidak boleh berkembang
menjadi ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap integritas territorial
atau kemerdekaan politik Negara-negara manapun (lihat Pasal 2 ayat 4).85
Intervensi dapat dikatakan akan selalu bersinggungan dengan
kedaulatan suatu Negara. Bila campur tangan itu hanya sebatas sugesti
diplomatik, hal ini bukanlah suatu masalah atau belum dianggap suatu
pelanggaran terhadap kedaulatan suatu Negara. Intervensi harus sampai pada
tingkat kedaulatan suatu Negara dalam pelaksanaannya diambil alih oleh
Negara lain. Intervensi demikian merupakan suatu pelanggaran terhadap
hukum internasional. Hukum internasional juga membolehkan tindakan
tersebut dengan syarat bahwa timbulnya suatu keadaan atau hal tertentu yang
merupakan ancaman bahaya bagi perdamaian dan keamanan dunia dan juga
merupakan pelanggaran bagi hukum internasional dan memungkinkan untuk
85
J.G Starke, Op.cit., hlm. 137.
58
timbulnya perang. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan oleh
Ali Sastroamijojo bahwa intervensi itu dapat dijalankan sewaktu-waktu dalam
taraf perkembangan persengketaan antar Negara yang lazimnya dijalankan
pada saat akan meletus peperangan. Jadi intervensi dalam hal ini bermaksud
untuk mencegah meletusnya peperangan, artinya tidak untuk memihak salah
satu dari pihak yang bersengketa.86
Suatu tindakan intervensi yang diperbolehkan dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu intervensi yang berdasarkan suatu hak dan tindakan lain
yang walaupun tidak berdasarkan suatu hak namun diizinkan oleh hukum
internasional. Seperti yang dikatakan oleh L. Oppenheim, sebagai berikut :87
That intervention, as a rule, forbidden by international law, which
protect the international personality of the state, there is no doubt, on
the other hand, there is just a little doubt, that this rule has exception,
for there are intervention which take place by right, and there are
other which, although they do not take place by right, are nevertheless
permited by international law.
Pelaksanaan dari intervensi yang disebutkan di atas, di samping tidak
menjadi ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap integritas wilayah atau
kemerdekaan politik, juga harus mendapat ijin atau tidak melanggar
ketentuan-ketentuan dalam Piagam PBB. Suatu intervensi harus mendapat ijin
dari PBB melalui Dewan Keamanan. Ijin ini berbentuk rekomendasi yang
berisikan pertimbangan-pertimbangan terhadap keadaan yang menjadi alasan
86
87
hlm. 137.
Ali Sastroamidjoyo, Op.cit., hlm. 191.
Oppenheim Lauterpacht, International Law and Treaties, Longmans, London, 1952,
59
tindakan intervensi dan intervensi itu diperlukan terhadap keadaan-keadaan
tersebut. Pasal 51 Piagam PBB juga mengatur salah satu bentuk intervensi
yang mana intervensi ini dilakukan atas nama PBB atau secara kolektif
dengan tujuan self defence terhadap suatu keadaan yang timbul yang
membahayakan perdamaian atau merusak perdamaian atau merupakan suatu
agresi sehingga dapat disimpulkan bahwa di bawah naungan PBB, suatu
intervensi dikategorikan sebagai tujuan pembelaan diri terhadap suatu
serangan yang membahayakan perdamaian atau merusak perdamaian dan
merupakan suatu agresi.88
Bentuk lain dari suatu intervensi yang diperbolehkan adalah blokade
dalam waktu damai. Intervensi ini dijalankan oleh suatu Negara untuk
memaksa Negara lain menepati kewajibannya menurut perjanjian yang dibuat
dengan Negara yang menjalankan intervensi. Blokade dalam waktu damai
sekiranya hanya dapat dijalankan menurut hukum internasional, apabila
penyelesaian sengketa dengan jalan perundingan telah dilakukan tetapi
menemui jalan buntu. Suatu intervensi haruslah bersifat memaksa atau
kekerasan. Sifat inilah yang membedakan intervensi dengan tindakan campur
tangan lainnya. Intervensi dijalankan secara lebih aktif terhadap urusan dalam
dan luar negeri suatu Negara, dan intervensi dapat begitu luas sehingga
mencakup tindakan-tindakan militer. Larangan seperti ini juga ditemukan
88
Bab VII Piagam PBB, Pasal 39, 41, dan 51.
60
dalam kompromi antara berbagai kepentingan yang dimulai oleh bangsabangsa di dunia ini dengan sejauh mungkin menghindari friksi atau
pergesekan antar kekuatan yang mereka miliki.89
Penggunaan paksaan ekonomi atau tekanan psikologi tidak dapat
dijadikan rujukan, namun penggunaan paksaan tersebut tetap dilarang dalam
Pasal 39. Jessup menyatakan bahwa pelarangan kekerasan bersenjata (use of
force) yang dinyatakan dalam Pasal 2 (4) tidak absolut, jika penggunaan
kekerasan tersebut tidak mengancam kesatuan wilayah atau kebebasan politik
dari suatu Negara. Syarat tersebut dapat menghindari dari batasan yang
digunakan dalam kalimat pertama pasal tersebut. 90
89
Eka Putra, Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Damai, dalam
www.hukumit.blogspot.com, diakses tanggal 10 November 2013.
90
Goodrich dan Hambro, Charter of The United Nations Commentary and Documents,
World Peace Foundation Boston, 1949, hlm. 110-121.
61
BAB III
METODE PENELITIAN
1. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
yuridis normatif, yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan
kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum normatif.91 Pendekatan
masalah yang digunakan dalam penelitian yuridis normatif ini adalah
pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus
(case approach). Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan
menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan
isu hukum yang sedang ditangani.92 Pendekatan kasus bertujuan untuk
mempelajari norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik
hukum. Kasus tersebut dipelajari untuk memperoleh gambaran terhadap
dampak dimensi penormaan dari suatu aturan hukum dalam praktik hukum,
serta menggunakan hasil analisisnya untuk bahan masukan (input) dalam
eksplanasi hukum.93
91
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media,
Malang, 2008, hlm.306.
92
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Normatif, Kencana, Jakarta, 2005, hlm. 93.
93
Johnny Ibrahim, Op.cit., hlm. 321.
62
2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian ini adalah penelitian deskriptif, merupakan
suatu penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan keadaan atau gejala
dari objek yang diteliti tanpa bermaksud mengambil kesimpulan yang berlaku
umum. Penelitian deskriptif adalah penelitian untuk memberikan data yang
seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya dengan
membatasi permasalahan dan pendekatannya. Penelitian yang dilakukan
hanya menggambarkan peraturan perundang-undangan yang dikaitkan
dengan teori-teori hukum dan kesesuaian dengan praktik pelaksanaannya. 94
3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Perpustakaan Pusat Universitas Jenderal
Soedirman dan di Pusat Informasi Ilmiah (PII) Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman serta media elektronik dengan menggunakan internet.
4. Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini hanya menggunakan data
sekunder, yaitu data yang diperoleh peneliti dari penelitian kepustakaan dan
dokumentasi. Data sekunder adalah data pustaka yang mencakup dokumendokumen resmi, buku-buku kepustakaan, peraturan perundang-undangan,
karya ilmiah, artikel-artikel, serta dokumen-dokumen yang berkaitan dengan
materi penelitian.
94
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UII Press, Jakarta, 1981, hlm. 10.
63
Data sekunder terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder dan bahan hukum tersier. Data sekunder meliputi:95
1) Bahan hukum primer yaitu bahan yang mempunyai kekuatan hukum
mengikat
seperti: peraturan perundang-undangan,
yurisprudensi,
traktat, dan perjanjian.
2) Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang bersumber langsung dari
kepustakaan, doktrin, dan referensi ilmiah yang relevan dengan
penelitian.
3) Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk
dan penjelasan mengenai bahan yang sifatnya melengkapi kedua bahan
hukum di atas yaitu bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,
seperti kamus.
5. Metode Pengumpulan Data
Bahan hukum diperoleh dengan cara melakukan inventarisasi
peraturan perundang-undangan, konvensi-konvensi internasional, dokumen
resmi, dan literatur yang berkaitan dengan penelitian ini. Penelitian ini hanya
menggunakan data sekunder dan proses pengumpulan data dengan studi
kepustakaan, internet browsing, telaah artikel ilmiah, dan telaah karya ilmiah
sarjana.
95
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjuan Singkat, Rajawali,
Jakarta, 1985, hlm.15.
64
6. Metode Penyajian Data
Data yang diperoleh berupa bahan-bahan hukum disajikan secara
deskriptif dalam bentuk teks naratif, yaitu uraian-uraian yang disusun secara
sistematis, logis dan rasional. Keseluruhan data yang diperoleh dihubungkan
satu dengan lainnya dan disesuaikan dengan pokok permasalahan yang
diteliti sehingga merupakan suatu kesatuan yang utuh.
7. Metode Analisis Data
Metode analisis ini mempergunakan metode secara normatif kualitatif,
yaitu analisis yang dilakukan dengan cara memahami dan merangkai bahan
hukum yang telah dikumpulkan dan disusun secara sistematis dan diuraikan
dengan secara bermutu dalam kalimat yang teratur, runtut, dan logis,
kemudian ditarik kesimpulan.
65
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Perang Korea adalah perang yang terjadi di Semenanjung Korea antara
Korea Utara dengan dukungan Uni Soviet beserta Republik Rakyat China
melawan Korea Selatan dengan dukungan Amerika Serikat beserta pasukan
koalisi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berlangsung selama tiga
tahun yaitu pada tahun 1950 – 1953. Awal dari perseteruan di Korea dimulai
dari masuknya kekuatan asing ke dalam negeri tersebut setelah kolonialisasi
Jepang melalui sebuah pertemuan oleh para pemimpin Blok Sekutu pada
bulan November hingga Desember 1943. Rapat yang diselenggarakan di
Kairo dan diberi sandi Sextant ini dihadiri oleh Franklin Delano Roosevelt,
Winston Churchill, dan Chiang Kai Sek guna membahas hal-hal yang perlu
dilakukan seandainya Jepang kalah dalam perang.
Hasil dari pertemuan rahasia tersebut kemudian dikenal dengan
Deklarasi Kairo menyebutkan bahwa Jepang nantinya tidak diperbolehkan
lagi memiliki atau menguasai semua wilayah yang diperoleh dengan kekuatan
66
militer setelah tahun 1895 yang di dalamnya termasuk Semenanjung Korea.
Deklarasi Kairo memuat ketentuan sebagai berikut:96
The several military missions have agreed upon future military operations
against Japan. The Three Great Allies expressed their resolve to bring
unrelenting pressure against their brutal enemies by sea, land, and air.
This pressure is already mounting.The Three Great Allies are fighting this
war to restrain and punish the aggression of Japan. They covet no gain for
themselves and have no thought of territorial expansion. It is their purpose
that Japan shall be stripped of all the islands in the Pacific which she has
seized or occupied since the beginning of the first World War in 1914, and
that all the territories Japan has stolen form the Chinese, such as
Manchuria, Formosa, and the Pescadores, shall be restored to the
Republic of China. Japan will also be expelled from all other territories
which she has taken by violence and greed. The aforesaid three great
powers, mindful of the enslavement of the people of Korea, are determined
that in due course Korea shall become free and independent. With these
objects in view the three Allies, in harmony with those of the United
Nations at war with Japan, will continue to persevere in the serious and
prolonged operations necessary to procure the unconditional surrender of
Japan.
Oleh karena itu, Korea kelak akan menjadi negara yang bebas dan
merdeka (in due course). Deklarasi Kairo memuat ketentuan bahwa Amerika
Serikat, Inggris, dan China tidak memiliki rencana apapun terhadap
Semenanjung Korea walaupun dalam praktiknya pihak Amerika tidak
memberikan pernyataan ketika pemerintahan pengasingan Korea bertanya
mengenai pengertian rumusan in due course yang masih belum jelas.97
96
Lilian
Goldman
Law
Library,
Cairo
Conference
1943,
dalam
http://www.ndl.go.jp/constitution/e/shiryo/01/002_46/002_46tx.html, diakses 20 Agustus 2014.
97
Djati Prihantono, Perang Korea: Konflik Dua Saudara, Mata Padi Pressindo,
Yogyakarta, 2013, hlm. 9.
67
Selanjutnya dalam Konferensi Yalta di Krimea bulan Februari 1945
dibahas tentang pembentukan perwalian (trusteeship) oleh empat negara di
Korea setelah Jepang menyerah yaitu Amerika Serikat, Uni Soviet, Inggris,
dan China. Namun, nasib Korea tidak dibahas lebih lanjut dalam konferensi
tersebut sehingga Konferensi Yalta tidak merumuskan kesepakatan mengenai
masa depan Korea. Pada Juli 1945 diadakan Pertemuan kembali di Potsdam
yang dikenal dengan Konferensi Potsdam untuk membahas tuntutan terhadap
Jepang untuk menyerah tanpa syarat, termasuk pelaksanaan Deklarasi Kairo.
Keputusan tersebut didukung penuh oleh Uni Soviet dan memberikan janji
kemerdekaan pada Korea.98
Pada Konferensi Potsdam, Sekutu secara sepihak membelah wilayah
Korea tanpa mengikutsertakan pihak Korea. Keputusan tersebut dinilai
menyalahi Deklarasi Kairo yang menyebutkan bahwa Korea harus menjadi
negara yang bebas dan merdeka. Oleh karena itu, sejak berakhirnya kekuasaan
Jepang wilayah Korea terpisah menjadi dua bagian melalui garis 38th Parallel
yang dilakukan tanpa pernyataan resmi, dimana pada bagian utara dikuasai
oleh Uni Soviet dan bagian selatan dikuasai oleh Amerika Serikat. Konferensi
Potsdam memuat ketentuan sebagai berikut:99
98
Idem, hlm.10.
Wikipedia, Potsdam Declaration, dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Potsdam_Declara
tion, diakses 10 September 2014.
99
68
For Japan, the terms of the declaration specified:
a. the elimination "for all time of the authority and influence of those
who have deceived and misled the people of Japan into embarking
on world conquest"
b. the occupation of "points in Japanese territory to be designated by
the Allies"
c. that the "Japanese sovereignty shall be limited to the islands
of Honshu, Hokkaido, Kyushu, Shikoku, and such minor islands as
we determine," as had been announced in the Cairo Declaration in
1943.
d. that "[t]he Japanese military forces, after being completely
disarmed, shall be permitted to return to their homes with the
opportunity to lead peaceful and productive lives."
e. that we do not intend that the Japanese shall be enslaved as a race
or destroyed as a nation, but stern justice shall be meted out to
all war criminals, including those who have visited cruelties upon
our prisoners.
Amerika Serikat segera merealisasikan isi dari Konferensi Postdam
melalui Perintah Umum No. 1 tanggal 11 Agustus 1945 segera setelah Jepang
menyerah kepada sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945. Perintah tersebut
menyatakan agar seluruh pasukan Jepang yang masih berada di utara garis
paralel ke 38 (38th Parallel) untuk menyerahkan diri kepada Uni Soviet
sedangkan yang berada di selatan takluk pada Amerika Serikat. Kutipan
Perintah Umum No. 1 tanggal 11 Agustus 1945 tentang pemisahan Korea
memuat ketentuan sebagai berikut:100
Excerpt of the General Order No. 1 for the Surrender of Japan:
a. The senior Japanese commanders and all ground, sea, air and auxiliary
forces within China (excluding Manchuria), Formosa and French
Indo-China north of 16° north latitude shall surrender to
Generalissimo Chiang Kai-shek.
100
Wikipedia, General Order No. 1, dalam http://en.wikipedia.org/wiki/General_Order_
No._1, diakses 10 September 2014.
69
b. The senior Japanese commanders and all ground, sea, air and auxiliary
forces within Manchuria, Korea north of 38° north latitude and
Karafuto shall surrender to the Commander in Chief of Soviet Forces
in the Far East.
c. The senior Japanese commanders and all ground, sea, air and auxiliary
forces within the Andamans, Nicobars, Burma, Thailand, French IndoChina south of 16 degrees north latitude, Malaya, Borneo,
Netherlands Indies, New Guinea, Bismarcks and the Solomons, shall
surrender to the Supreme Allied Commander, Southeast Asia
Command.
d. The senior Japanese commanders and all ground, sea, air and auxiliary
forces in the Japanese Mandated Islands, Ryukyus, Bonins, and other
Pacific Islands shall surrender to the Commander in Chief, U.S.
Pacific Fleet.
e. The Imperial General Headquarters, its senior commanders, and all
ground, sea, air and auxiliary forces in the main islands of Japan,
minor islands adjacent thereto, Korea south of 38° north latitude, and
the Philippines shall surrender to the Commander in Chief, U. S. Army
Forces in the Pacific.
Alasan pemisahan wilayah tersebut disebutkan bahwa Uni Soviet
sudah terlebih dahulu memasuki wilayah Korea Utara, sebagai upaya
pencegahan agar Korea tidak dikuasai seluruhnya oleh Uni Soviet maka
dilakukan pemisahan dengan tanda garis 38th Parallel yang tepat membagi
Semenanjung Korea menjadi dua bagian.101 Semenjak pemisahan tersebut
kekuasaan Korea berada di bawah pemerintahan militer yang secara langsung
mengontrol Korea Selatan dengan membentuk USAMGIK (United States
Army Military Government in Korea) pada tahun 1945-1948. Ada dua
kebijakan
yang
dilakukan
oleh
Pemerintahan
USAMGIK,
yaitu
mengembalikan kekuasaan administrator-administrator kunci kolonial Jepang
101
Efzhuaska, Op.cit., dalam http://efzhuaska.blogspot.com/2012/04/sejarah-perangkorea.html, diakses 12 Maret 2014.
70
dan menolak pengakuan terhadap pemerintahan sementara yang berkuasa di
Semenanjung Korea karena dianggap sebagai Komunis. Kebijakan tersebut
memunculkan gejolak dalam masyarakat Korea yang berujung pada revolusi
di selatan.102
Pada Bulan September 1947, Amerika Serikat membawa persoalan
unifikasi Korea ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Kebanyakan anggota
PBB berpihak pada Blok Barat pada saat itu sehingga Majelis Umum PBB
kemudian
memberikan
suara
mendukung
Amerika
Serikat
dengan
mengeluarkan resolusi yang menetapkan diadakannya Pemilu (Pemilihan
umum) di seluruh Korea untuk membentuk sebuah pemerintahan nasional di
negeri itu dengan pengawasan Komisi Sementara PBB untuk Korea yaitu
UNTCOK (United Nations Temporary Commision on Korea) yang bertugas
untuk mengawasai jalannya Pemilu. Ada tiga hal yang ingin dicapai dalam
pemilu tersebut yaitu memilih anggota Majelis Nasional, membentuk sebuah
pemerintahan, dan mengatur penarikan semua tentara pendudukan dari Korea.
Uni Soviet menolak diadakannya pemilihan umum yang diawasi PBB di Utara
karena apabila Korea diizinkan menyelenggarakan pemilihan yang betul-betul
bebas maka bangsa itu akan memilih pemerintahan yang pro pada Blok Barat.
102
Djati Prihantono, Op.cit., hlm. 11-13.
71
Oleh karena itu, pemilihan umum hanya dilaksanakan di wilayah selatan 38th
Parallel.103
Pada tanggal 20 Juli 1948, Syngman Rhee ditetapkan menjadi Presiden
Korea Selatan dari hasil pemilihan umum dan Republik Korea Selatan resmi
dibentuk pada tanggal 15 Agustus 1948. Korea Selatan merupakan satusatunya pemerintahan yang sah resmi diakui oleh PBB di Semenanjung
Korea. Melihat kenyataan bahwa Korea bagian selatan telah memiliki
pemerintahan yang resmi, Uni Soviet tidak tinggal diam, pada 18 November
1947 dibentuk Majelis Rakyat Tertinggi Korea dengan mengangkat Kim Il
Sung sebagai Perdana Menteri. Pada 9 September 1948 kawasan di sebelah
utara 38th Parallel resmi menjadi sebuah Negara yaitu Korea Utara (Republik
Demokrasi Rakyat Korea).104
Setelah Korea Utara dan Korea Selatan resmi terbentuk, pihak
Amerika Serikat secara bertahap mulai meninggalkan Korea Selatan dan
hanya menyisakan sedikit tentara untuk melatih tentara Korea Selatan yang
baru terbentuk. Korea Selatan sangat kekurangan tentara, senjata, dan
pertahanan militer dalam menjaga kedaulatan negaranya. Di lain pihak, Korea
Utara telah meningkatkan kekuatan militernya melalui bantuan Uni Soviet
dengan mengorganisasikan sekitar 20.000 personel militer. Tentara Korea
Utara telah diperkuat dan dilatih oleh Uni Soviet sebelum meninggalkan
103
Nino Oktorino, Konflik Bersejarah Perang Yang Tidak Boleh Dimenangkan: Kisah
Perang Korea 1950-1953, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, 2013, hlm. 11.
104
Djati Prihantono Op.cit., hlm. 13-16.
72
Korea Utara pada Desember 1948. Korea Selatan dan Korea Utara sebenarnya
memiliki keinginan untuk mempersatukan Korea, namun Kim Il Sung
menyatakan bahwa persatuan Korea hanya mungkin dilakukan dengan jalan
kekerasan agar kaum komunis dapat menguasai seluruh Korea. Kondisi Korea
Selatan yang tidak stabil dan pertikaian politik di dalam negerinya oleh rezim
pemerintahan Syngman Rhee yang sewenang-wenang membuat keadaan
semakin kacau dan memanas sehingga mendorong Korea Utara untuk
melakukan invasi ke Korea Selatan.105
Pada tanggal 25 Juni 1950, 110.000 pasukan Korea Utara yang
didukung oleh persenjataan lengkap menyebrangi garis 38th Parallel dan
memulai invasinya ke Korea Selatan. Penyerbuan Korea Utara tersebut
langsung mendapatkan reaksi Amerika Serikat dengan meminta Dewan
Keamanan PBB segera bersidang agar kekuatan militer Amerika Serikat
dipertahankan. Alasan tersebut dengan dalih untuk mencegah Korea Utara
melakukan intervensi terhadap evakuasi warga Amerika dari Seoul dan
Incheon. Penugasan militer tersebut pada akhirnya diputuskan secara sepihak
oleh Presiden Truman tanpa mengacu pada ketentuan-ketentuan PBB.
Latar belakang penyerbuan Korea Utara terhadap Korea Selatan belum
diketahui secara jelas karena terdapat banyak spekulasi dan pendapat. Ada
pendapat yang menyebutkan bahwa Korea Selatan yang memulai serangan
atas dasar reunifikasi seperti yang diinginkan oleh Presiden Syngman Rhee.
105
Ibid.
73
Pihak Korea Utara berasalan bahwa Tentara Republik Korea di bawah
kepemimpinan Syngman Rhee telah menyebrangi perbatasan terlebih dahulu.
Invasi tersebut dilakukan untuk menangkap pasukan Korea Selatan yang
sebelumnya menyerang di perbatasan dan melarikan diri. Serangan Korea
Utara juga merupakan balasan atas berbagai provokasi yang sering dilakukan
oleh Korea Selatan di perbatasan. Namun, pendapat tersebut dibantah karena
pada kenyataannya kekuatan Korea Utara lebih besar dan terkoordinasi untuk
suatu serangan balasan.106 Selain itu, terdapat alasan kuat invasi Korea Utara
disebabkan oleh pernyataan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Dean
Acheson melalui pidatonya mengenai kebijakan pertahanan Amerika Serikat
di Asia pada tanggal 12 Januari 1950 yang mengecualikan Korea dan Formosa
dari garis pertahanan Amerika sehingga memicu pihak Komunis untuk
merebut Korea Selatan yang berdiri sendiri dalam rangka penyatuan Korea. 107
Serangan Korea Utara yang mendadak dari arah utara dan barat garis
38th Parallel serta kondisi Korea Selatan yang lemah dalam pertahanan dan
keamanan mengakibatkan Seoul harus jatuh ke tangan Korea Utara. Pemimpin
Korea Utara Kim Il Sung menyiarkan berita penyerbuan pasukannya ke Korea
Selatan melalui Radio Pyongyang dengan pesan sebagai berikut:108
Boneka Korea Selatan telah menolak semua cara damai untuk penyatuan
damai kembali yang diusulkan oleh Republik Demokratik Rakyat Korea,
dan malah berani-beraninya melakukan agresi bersenjata ke utara garis
106
Idem, hlm. 28-29.
Nino Oktorino, Op.cit., hlm. 15-16.
108
Djati Prihantono, Op.cit., hlm. 35.
107
74
38th Parallel. Republik Demokrasi Rakyat Korea memerintahkan serangan
balasan untuk memukul mundur pasukan penyerbu. Korea Selatan akan
dituntut pertanggungjawabannya, apapun hasil dari perkembangannya saat
ini.
Melihat keadaan demikian, Amerika Serikat tidak tinggal diam,
Jenderal Douglas MacArthur yang berada di Tokyo ditugaskan untuk
memimpin pasukannya ke Semenanjung Korea. Keterlibatan Amerika Serikat
dalam Perang Korea awalnya tidak diketahui oleh rakyat Amerika secara
umum, namun berita jatuhnya ibu kota Korea Selatan ini akhirnya diketahui
oleh Negara-negara di seluruh dunia. Dewan Keamanan Perserikatan BangsaBangsa (DK PBB) mengutuk serangan Korea Utara ke Korea Selatan dan
meminta Negara-negara anggotanya menyiapkan pasukan untuk membantu
pihak Korea Selatan. Niat PBB untuk mengintervensi Perang Korea lewat
jalur militer merupakan pengaruh politik Amerika Serikat di PBB yang
sebenarnya dapat digagalkan oleh Uni Soviet sebagai salah satu anggota DK
PBB yang memegang hak veto. Namun, Uni Soviet memilih untuk
memboikot sidang PBB pada periode itu karena PBB lebih memilih untuk
menempatkan Taiwan daripada China sebagai anggota Dewan Keamanan
tetap PBB. Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi DK PBB nomor
83 tertanggal 27 Juni 1950 yang memuat ketentuan sebagai berikut:109
109
UN Security Council, Resolution 83 (1950) of 27 June 1950, dalam
http://www.refworld.org/cgi-bin/texis/vtx/rwmain?docid=3b00f20a2c, diakses 9 September 2014.
75
The Security Council,
Having determined that the armed attack upon the Republic of Korea by
forces from North Korea constitutes a breach of the peace, Having called
for an immediate cessation of hostilities, Having called upon the authorities
in North Korea to withdraw forthwith their armed forces to the 38th
parallel, Having noted from the report of the United Nations Commission on
Korea that the authorities in North Korea have neither ceased hostilities nor
withdrawn their armed forces to the 38th parallel, and that urgent military
measures are required to restore international peace and security, Having
noted the appeal from the Republic of Korea to the United Nations for
immediate and effective steps to secure peace and security,
Recommends that the Members of the United Nations furnish such
assistance to the Republic of Korea as may be necessary to repel the armed
attack and to restore international peace and security in the area.
Setelah muncul resolusi dari PBB, ada 21 negara yang bersedia
mengirimkan personil militernya ke dalam pasukan PBB. Ke-21 negara
tersebut adalah Amerika Serikat (AS), Inggris Raya, Afrika Selatan, Australia,
Belgia, Denmark, Ethiopia, India, Italia, Kanada, Norwegia, Perancis,
Filipina, Kolombia, Yunani, Luxemburg, Belanda, Selandia Baru, Swedia,
Thailand, dan Turki. Negara yang paling banyak menyumbangkan personil
militernya adalah Amerika Serikat dari sekian banyak Negara yang terlibat
dalam Perang Korea. Pemimpin dari pasukan koalisi PBB juga merupakan
orang berkebangsaan Amerika Serikat, yaitu Jenderal Douglas MacArthur.110
Pada 1 Juli 1950, pasukan Amerika bersama koalisi PBB dari Jepang
tiba di Korea dan langsung didaratkan di Taejon. Sementara itu, pihak Korea
Utara terus bergerak dan langsung berhadapan dengan pasukan Amerika
110
Rep. Eusialis, Perang Korea: Konflik Ideologi yang Membelah Semenanjung,
http://republik-tawon.blogspot.com/2012/10/perang-korea-konflik-ideologi-yang.html, diakses 18
Maret 2014.
76
Serikat yang baru saja didaratkan. Keadaan Korea Selatan yang telah semakin
terjepit membuat Amerika Serikat harus secara cepat menyusun strategi
menghadapi serangan Korea Utara. Formasi pasukan Amerika Serikat
berjumlah 75.000 personel yang terdiri dari pasukan Korea Selatan dan tentara
Amerika Serikat bersiap melakukan serangan balasan. Posisi Korea Utara
yang sudah terlanjur kuat membuat pasukan Amerika mundur dari wilayah
Taejon ke Pusan. Pusan adalah Ibu kota darurat Korea Selatan setelah
sebelumnya Seoul berhasil dikuasai Korea Utara. Keadaan semakin
mencekam manakala pasukan Korea Utara telah mencapai perbatasan Pusan
sehingga pasukan Amerika Serikat membuat garis pertahanan akhir (Perimeter
Pusan) yang akan menentukan nasib Korea Selatan ke depan.
Pusan merupakan kota pelabuhan paling ujung selatan di Semenanjung
Korea dengan kondisi geografis pegunungan serta terdapat sungai yang
memisahkan antara dataran tinggi dan dataran rendahnya yaitu Naktong River
(Sungai Naktong). Pusan merupakan pusat pertahanan pasukan PBB yang
didukung oleh Amerika Serikat. Letaknya yang dekat dengan Jepang dan Laut
membuat suplai logistik serta pasukan mudah untuk didatangkan. Kekuatan
pasukan Amerika Serikat semakin besar dengan dukungan kondisi alam dan
logistik yang mumpuni, namun Korea Utara berhasil menguasai kawasan vital
yaitu Cloverleaf Hill dan Naktong River yang merupakan tempat terakhir
pertahanan Korea Selatan. Kondisi demikian membuat pasukan Amerika yang
77
terjepit melakukan serangan balik secara cepat dengan mendatangkan pasukan
tambahan sehingga pasukan Korea Utara berhasil dipukul mundur dari
Naktong River. Pertempuran Pusan merupakan titik balik dari peperangan
yang menandai awal bangkitnya kekuatan Korea Selatan dalam Perang Korea.
Korea Utara berhasil memukul mundur pasukan koalisi Amerika
Serikat-PBB dan Korea Selatan ke ujung daerah paling selatan Semenanjung
Korea. Pasukan koalisi Amerika Serikat-PBB dan Korea Selatan hanya
menguasai 10 persen dari keseluruhan wilayah Semenanjung Korea yang
kemudian menjadi garis pertahanan terakhir Korea Selatan (Perimeter Pusan).
Perimeter Pusan ini digunakan untuk memulai rencana serangan balik yang
disebut dengan Operasi Chromite oleh Jenderal MacArthur, yaitu operasi
bersenjata dengan melakukan pendaratan di Incheon yang merupakan
serangan tiba-tiba dari belakang garis pertahanan musuh. Operasi Chromite
ditentang oleh sebagian Pemerintah Amerika Serikat karena merupakan
operasi yang dianggap akan menyebabkan banyak korban di pihak Amerika
Serikat. Jenderal MacArthur dengan keyakinan kuat menegaskan bahwa
rencana perangnya akan menyerupai operasi pendaratan sekutu di Normandia
pada saat Perang Dunia II, operasi tersebut merupakan titik awal kemenangan
Sekutu terhadap Jerman dalam Perang Dunia II.
78
Pada 13 September 1950, Amerika memulai Operasi Chromite dengan
pendaratan pasukan di pantai Incheon. Operasi Chromite melibatkan seluruh
kekuatan Amerika Serikat dengan mengerahkan kekuatan militer darat, laut,
dan udara. Ada tiga tahapan misi yang ingin dicapai dalam Operasi Chromite,
yaitu:111
a. Mensterilkan Pulau Wolmi yang merupakan pulau paling strategis
karena letaknya dekat dengan Seoul serta mengamankan pelabuhan
Incheon.
b. Menguasai landasan pesawat Gimpo yang letaknya di sebelah selatan
Seoul. Pangkalan ini menjadi basis pertahanan pesawat tempur
Amerika Serikat-PBB sehingga lebih leluasa melancarkan serangan
udara ke wilayah Korea.
c. Menyerbu sekaligus menguasai Seoul yang merupakan Ibu kota Korea
Selatan.
Pulau Wolmi berhasil dikuasai oleh Amerika Serikat dalam hitungan
hari walaupun mendapat perlawanan dari Korea Utara. Perebutan Pulau
Wolmi dilakukan tanpa menimbulkan banyak korban jiwa dari pihak Amerika
Serikat. Operasi berlanjut dengan penyerbuan lapangan terbang Gimpo yang
dapat dikuasai pada tanggal 18 September 1950 sehingga dapat difungsikan
sebagai pusat pangkalan strategis bagi pesawat tempur Amerika Serikat-PBB.
Operasi Chromite telah berhasil merebut Pulau Wolmi, Pelabuhan Incheon,
111
Djati Prihantono, Op.cit., hlm. 54-55.
79
dan Lapangan Terbang Gimpo. Sasaran selanjutnya dari Operasi Chromite
adalah merebut Seoul, pada pertempuran Seoul strategi perang yang dilakukan
oleh Amerika Serikat berbeda dengan yang sebelumnya yaitu peperangan
jarak dekat. Seoul adalah wilayah penting baik secara politik maupun militer
bagi kedua belah pihak yang bertikai. Korea Utara secara membabi buta
mempertahankan kota Seoul dari serbuan pasukan Amerika Serikat-PBB,
meski demikian secara perlahan Seoul dapat dikuasai. Terdapat serangkaian
peristiwa menyedihkan yang berujung pada tragedi kemanusiaan selama
perang di Seoul yaitu terjadi pembunuhan besar-besaran yang dilakukan oleh
Korea Utara terhadap warga sipil Seoul sehingga kota Seoul menjadi ladang
pembantaian bagi warga sipil maupun tawanan perang Korea Utara. Kota
Seoul berhasil dikuasai sepenuhnya oleh pasukan Amerika Serikat-PBB pada
tanggal 22 September 1950.112
Setelah Seoul berhasil dikuasai, timbul kekhawatiran di pihak Korea
Utara, mental dan kekuatan pasukan Korea Utara melemah hingga Korea
Selatan berhasil dikuasai sepenuhnya di bawah garis 38th Parallel seperti pada
keadaan sebelum perang. Seluruh pasukan Korea Utara perlahan-lahan
mundur ke utara garis 38th Parallel hingga terdesak sampai Manchuria yang
dekat dengan perbatasan China. Tentara Korea Utara sampai melewati sungai
Yalu di perbatasan China untuk menyelamatkan diri dari serangan pasukan
Amerika Serikat-PBB. Keadaan tersebut membuat China merasa negaranya
112
Idem, hlm 57-60.
80
dalam ancaman, hingga dirasa perlu mengangkat senjata untuk membantu
Korea Utara dengan menerjunkan kekuatan militernya menghadapi pasukan
Amerika Serikat-PBB. Pihak China dan Soviet juga telah mengkoordinasikan
usaha-usaha untuk membantu Korea Utara menyatukan Korea dengan
kekerasan pada saat kunjungan Mao Zhe Dong ke Moskow pada tahun 19491950 sehingga ketika terjadi Perang Korea, sejumlah besar Tentara
Pembebasan Rakyat China telah disiagakan di dekat perbatasan China-Korea
Utara.113
China mulai memasuki wilayah Korea pada tanggal 13 Oktober 1950,
keadaan tersebut membuat kaget Amerika Serikat karena sebelumnya beredar
kabar bahwa China tidak akan mungkin melakukan intervensi besar-besaran
terhadap Korea. People’s Liberation Army (PLA) adalah tentara pembebasan
rakyat China yang diterjunkan sebanyak 400.000 pasukan ke medan perang
Korea. Serangan pertama dimulai pada tanggal 25 Oktober 1950 yang
membuat seluruh pertahanan pasukan gabungan Amerika Serikat-PBB di
Korea Utara hancur dan mundur sampai ke belakang garis 38th Parallel.
Serangan militer China mencapai puncaknya ketika korban jiwa di pihak
Amerika Serikat-PBB mulai berjatuhan dan wilayah yang menjadi sengketa
tidak bergeser hingga menjadi sebuah kebuntuan perang (stalemate). Fase
pertempuran berikutnya tetap menjadi sebuah pertempuran darah antara para
pihak yang bertikai karena hanya menimbulkan korban tanpa ada kemajuan
113
Nino Oktorino, Op.cit., hlm. 23.
81
operasi perang. Perang antara PLA melawan pasukan koalisi Amerika SerikatPBB berlangsung selama hampir tiga tahun sampai pada tanggal 10 Juli 1953
sebelum diadakannya perundingan gencatan senjata.
Selama Perang Korea berlangsung Uni Soviet memegang peranan
yang penting bagi kesuksesan Korea Utara dan China sebagai penyandang
dana, pemasok perlengkapan militer, dan pemegang kebijakan politik China
maupun Korea Utara. Gagasan perundingan gencatan senjata dimulai pada
Mei 1951, yaitu diadakannya pertemuan rahasia antara perwakilan Amerika
Serikat dengan Uni Soviet. Perundingan tersebut menghasilkan sebuah
kesepakatan dari Uni Soviet bahwa pihaknya akan menyetujui serta membuka
diskusi perdamaian antara Korea Utara, China, dan Amerika Serikat-PBB.
Pada 10 Juli 1951 perundingan lanjutan direncanakan akan diadakan di
Kaesong, namun karena
keselamatan para
delegasi
perang tempat
perundingan dialihkan ke Kota Panmunjom. Kota Panmunjom terletak di
sebelah barat Kaesong atau 52 kilometer barat-laut Seoul. Tim perundingan
PBB dipimpin oleh Komandan Angkatan Laut Amerika Laksamana Charles
Turner Joy dengan Jenderal China Hsieh Fang dan Teng Hua serta para
petinggi militer Korea yaitu Jenderal Nam Il, Jenderal Lee Sang Cho, dan
Jenderal Chang Pyong San.114
114
Djati Prihantono, Op.cit., hlm. 90.
82
Perundingan Panmunjom merupakan perundingan damai terlama
sepanjang sejarah karena memakan waktu 25 bulan dan dilakukan dalam
keadaan para pihak yang masih tengah bertempur. Perundingan Panmunjom
mencapai kesepakatan pertama pada April 1953 yaitu mengenai pertukaran
tawanan perang yang dikenal sebagai Operation Little Switch. Kesepakatan
kedua dicapai pada bulan Juni 1953 adalah para pihak setuju membentuk
Neutral Nations Repatriation Commission (Komisi Repatriasi Negara Netral)
untuk mengawasi pengembalian tawanan perang. Perjanjian perdamaian
berupa gencatan senjata tercapai sepenuhnya pada 27 Juli 1953. Perjanjian
tersebut memuat bahwa kedua Korea akan tetap dipisahkan oleh garis 38th
Parallel dan batas wilayah Korea Utara menjadi lebih kecil yaitu 21.000 mil
daripada sebelum Perang Korea terjadi. Panmunjom yang menjadi tempat
ditandatanganinya perjanjian perdamaian gencatan senjata secara de facto
menjadi batas antara Korea Utara dan Korea Selatan dengan ditandai
Demilitarized Zone (DMZ).115
Perang Korea disebut sebagai perang yang dimandatkan (Proxy war).
Di Amerika Serikat, perang ini secara resmi dideskripsikan sebagai aksi
polisional karena tidak adanya deklarasi perang resmi dari Kongres AS.
Perang ini juga sering disebut perang yang terlupakan dan perang yang tidak
diketahui karena dianggap sebagai urusan PBB yang berakhir dengan
kebuntuan (stalemate). Perang tersebut hingga saat ini sebenarnya masih
115
Idem, hlm. 91-92.
83
berlangsung karena masih belum adanya kesepakatan damai yang jelas antara
pihak-pihak yang berperang. Perang Korea merupakan tragedi kemanusiaan
yang terjadi hanya beberapa tahun setelah Perang Dunia II, perang tersebut
merupakan kelanjutan aksi pertama Perang Dingin karena Kubu yang
membantu atas nama PBB sesungguhnya adalah pasukan sekutu yang
dimotori oleh Amerika Serikat mempunyai kepentingan untuk menghadang
pengaruh ideologi komunis di Korea. Pihak yang lain muncul untuk
memberikan dukungan atas kesamaan ideologi komunisnya yaitu Uni Soviet
dan China dalam menghadang pengaruh Ideologi Kapitalisme-Liberal.
Seluruh komponen di Semenanjung Korea sebenarnya menginginkan
untuk membentuk unifikasi Korea, namun perbedaan ideologi yang dianut
oleh berbagai komponen di Korea membuat proses unifikasi menjadi sulit
karena masing-masing kubu memiliki strategi, cara, dan gagasan tersendiri
dalam mempersatukan Korea. Perbedaan tersebut menciptakan dua kubu yang
saling berkonflik dengan pendukungnya masing-masing. Perang Korea
merupakan peristiwa besar dalam sejarah militer dunia, konflik yang awalnya
merupakan perang saudara (civil war) berkembang menjadi sebuah perang
konvensional ketika banyak pihak turut mengintervensi dua negara yang
bersengketa tersebut.
84
B. Pembahasan
Korea adalah sebuah Negara yang dijajah oleh Jepang dari tahun 1910
sampai 1945, Korea menjadi terpisah karena intervensi kekuatan Negara lain
yang mempunyai kepentingan terhadap negara tersebut. Korea dipisahkan
menjadi dua bagian melalui garis 38th Parallel, yaitu garis 38 derajat lintang
utara yang sengaja dibuat oleh Sekutu dalam Konferensi Postdam pada Juli Agustus 1945. Pemisahan kedua Korea dilakukan tanpa melibatkan pihak
Korea. Keputusan tersebut dinilai menyalahi ketentuan dalam Deklarasi Kairo
yang sebelumnya telah disepakati Sekutu bahwa Korea akan menjadi Negara
yang bebas dan merdeka. Setelah terpisah, kedua Korea resmi merdeka dan
membuat pemerintahannya masing-masing, di mana Korea bagian utara 38th
Parallel menjadi Negara Korea Utara dan di bagian selatan garis 38th Parallel
menjadi Negara Korea Selatan.
Hal tersebut menandakan bahwa Korea Utara maupun Korea Selatan
menjadi sebuah negara yang merdeka dan berdaulat karena pada hakikatnya
Negara merupakan pribadi terpenting (principle person) dalam hukum
internasional dan memiliki kedaulatan sehingga memiliki hak eksklusif dan
bebas untuk menguasai suatu wilayah pemerintahan, masyarakat, atau diri
sendiri karena konsep kedaulatan berkaitan dengan pemerintahan yang
memiliki kendali penuh urusan dalam negerinya di dalam suatu wilayah atau
batas teritorial atau geografisnya, dan dalam konteks tertentu, terkait dengan
85
berbagai organisasi atau lembaga yang memiliki yurisdiksi hukum sendiri.
Pernyataan ini mengandung suatu pengertian bahwa bangsa dalam suatu
negara yang merdeka memiliki kewenangan atau kekuasaan secara eksklusif
dan bebas melakukan berbagai kegiatan kenegaraan sesuai kepentingannya,
asalkan kegiatan atau kebijakan tersebut tidak bertentangan dengan
kepentingan negara lain dan hukum internasional.116
Merdeka dan memiliki pemerintahan yang berdaulat tidak serta merta
membuat situasi dan keadaan kedua Korea membaik, muncul berbagai
provokasi di perbatasan karena didasari niat menyatukan Korea. Niat
menyatukan kedua Korea dilakukan dengan cara penyelesaian sengketa secara
paksa atau dengan kekerasan. Korea Utara melakukan invasi pertama kali ke
wilayah Korea Selatan dengan jalan perang. Korea Utara menggunakan cara
penyelesaian sengketa secara paksa atau kekerasan karena beralasan bahwa
unifikasi Korea hanya akan mungkin terjadi dengan jalan kekerasan sehingga
Korea Utara jelas memiliki kepentingan dalam melancarkan invasinya ke
Korea Selatan.
Perang bertujuan untuk menaklukkan negara lawan sehingga negara
yang kalah tidak memiliki alternatif lain kecuali menerima syarat-syarat
penyelesaian yang ditentukan oleh negara pemenang perang. Penggunaan
cara-cara kekerasan atau paksaan dalam menyelesaikan suatu sengketa
dilarang oleh ketentuan dalam hukum internasional walaupun dimungkinkan
116
Jawahir Thontowi, Op.cit., hlm. 169.
86
bagi para pihak untuk menyelesaikan sengketa mereka melalui jalan
kekerasan atau paksaan apabila penyelesaian sengketa secara damai tidak
tercapai kesepakatan. Ketentuan mengenai penyelesaian sengketa secara
kekerasan dibatasi dan dilarang oleh PBB dalam Pasal 2 ayat (3) Piagam PBB
yaitu semua anggota harus menyelesaikan persengketaan internasional dengan
jalan damai
sedemikian rupa
sehingga
perdamaian
dan
keamanan
internasional, dan keadilan, tidak terancam.
Menurut Komisi Hukum Internasional, prinsip larangan atau
penggunaan kekerasan sebagaimana tersurat dalam Pasal 2 ayat (3) sudah
merupakan hukum internasional umum yang penerapannya sudah universal,
selengkapnya Komisi Hukum Internasional menyatakan: The principles
regarding the threat or use of force laid down in the charter are … rules of
general international law which are of today universal application.
Kewajiban menyelesaikan sengketa secara damai dijelaskan lebih
lanjut dalam Pasal 33 Piagam PBB, sebagai berikut:117
Pasal 33
Para pihak dalam suatu persengketaan yang tampaknya sengketa tersebut
akan membahayakan perdamaian dan keamanan internasional, harus
pertama-tama mencari penyelesaian dengan cara negosiasi (perundingan),
penyelidikan, mediasi, konsolidasi, arbitrase, pengadilan, menyerahkannya
kepada organisasi-organisasi atau badan-badan regional, atau dengan caracara penyelesaian damai lainnya.
117
Pasal 33 Piagam PBB
87
Korea Utara secara sepihak menyatakan bahwa latar belakang invasi
ke Korea Selatan adalah tindakan pembalasan terhadap provokasi Korea
Selatan sangat tidak beralasan dan tidak dapat dibenarkan menurut ketentuan
hukum internasional karena penyelesaian sengketa secara paksa hanya boleh
dilakukan apabila tidak tercapai kesepakatan penyelesaian sengketa secara
damai. Mendasarkan pada fakta Perang Korea tahun 1950-1953, Korea Utara
menggunakan cara kekerasan tanpa memulai suatu penyelesaian sengketa
secara damai sebagaimana dinyatakan oleh Kim Il Sung sebagai pemimpin
tertinggi Korea Utara bahwa unifikasi Korea harus dan hanya dapat dilakukan
dengan cara kekerasan. Keputusan Korea Utara melakukan invasi ke Korea
Selatan dapat dinyatakan telah melanggar beberapa ketentuan hukum
internasional dalam penyelesaian sengketa hukum internasional sebagaimana
yang dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (3) dan Pasal 33 Piagam PBB.
Invasi Korea Utara tersebut melanggar kedaulatan Korea Selatan dan
mengundang intervensi dari negara lain yang mempunyai kepentingan atas
ideologinya di Korea Selatan sehingga menyebabkan proses penyatuan Korea
menjadi terhambat. Hal tersebut dibuktikan dengan reaksi dari Amerika
Serikat sebagai sekutu Korea Selatan yang meminta Dewan Keamanan PBB
segera bersidang agar kekuatan militer Amerika Serikat dipertahankan di
wilayah Korea Selatan. Tujuan resmi penugasan ini adalah untuk mencegah
Korea Utara melakukan intervensi terhadap evakuasi warga Amerika dari
88
wilayah Korea Selatan. Amerika Serikat secara sepihak memutuskan
penugasan militer tanpa memperhatikan ketentuan PBB. Amerika Serikat juga
telah mendatangkan berbagai perlengkapan militer beserta pasukan marinir
untuk menghadapi
secara
langsung serangan
Korea
Utara
melalui
pengaruhnya di PBB.
Amerika Serikat pada kenyataannya tidak hanya berniat membantu
dalam penyelesaian konflik di Korea, namun Amerika Serikat juga
mempunyai kepentingan mempertahankan ideologinya di Korea Selatan
melalui serangkaian operasi dan bantuan militer. Latar belakang bantuan
Amerika Serikat terhadap Korea Selatan ini didasari oleh kekuatan komunis
yang sudah terlanjur kuat di seluruh wilayah Korea sehingga akan mengancam
stabilitas keamanan Amerika di Asia Timur. Syngman Rhee merupakan
Presiden Korea Selatan melawan pengaruh Amerika Serikat, namun karena
kekuatan politik Amerika Serikat yang terlanjur kuat dalam pemerintahan,
Korea Selatan seperti tunduk pada kebijakan Amerika Serikat.118
Uni Soviet dan China juga merupakan pihak yang secara langsung
terlibat melakukan intervensi dalam Perang Korea, Uni Soviet melalui
kekuatan politik dan militernya memberikan bantuan sebagai penyandang
dana, pemasok perlengkapan militer, dan pemegang kebijakan politik kepada
China dan Korea Utara dalam upaya penyatuan Korea. China sendiri
bertanggung jawab terhadap intervensi militer di Korea atas perintah Uni
118
Mochtar Lubis, Op.cit., hlm. 123.
89
Soviet. Tindakan Uni Soviet didasari oleh kepentingan Negara tersebut
menguasai wilayah Korea dengan ideologi komunis. Melalui perundingan
secara tertutup pada bulan April 1950, Stalin sebagai pemimpin tertinggi Uni
Soviet mendesak Kim Il Sung sebagai pemimpin tertinggi Korea Utara untuk
menyerang Korea Selatan pada waktu yang telah ditentukan. Stalin memiliki
tiga alasan dalam dukungannya tersebut yaitu direbutnya Korea Selatan akan
memperkuat keamanan Uni Soviet di Asia Timur, kekhawatiran Stalin akan
ancaman Syngman Rhee yang akan segera menyerang Korea Utara sehingga
dapat menimbulkan suatu keadaan yang tidak terkontrol, dan suatu keyakinan
Stalin bahwa perang akan membuat China komunis semakin terikat dengan
Uni Soviet dan menjegal hubungan baik China dengan Amerika Serikat. 119
Tindakan
Amerika
Serikat
beserta
Pasukan
Koalisi
PBB
, Uni Soviet, dan China merupakan sebuah intervensi terhadap kedaulatan
Negara Korea melalui serangkaian operasi militer dan kebijakan politik secara
sepihak. Menurut Huala Adolf, intervensi adalah campur tangan secara
diktator oleh suatu Negara terhadap urusan dalam negeri lainnya dengan
maksud baik untuk memelihara dan mengubah keadaan, situasi, atau barang di
negeri tersebut.120 Intervensi juga diartikan oleh Wirjono Prodjodikoro bahwa
intervensi tidak berarti luas sebagai segala bentuk campur tangan Negara
asing dalam urusan satu negara, melainkan berarti sempit, yaitu suatu campur
119
120
Nino Oktorino, Op.cit., hlm. 22-23.
Huala Adolf, Op.cit., hlm. 36.
90
tangan negara asing yang bersifat menekan dengan alat kekerasan (force) atau
dengan ancaman melakukan kekerasan, apabila keinginannya tidak terpenuhi.
Berdasarkan fakta dalam Perang Korea tahun 1950-1953, intervensi
Amerika Serikat beserta Pasukan Koalisi PBB, Uni Soviet, dan China
termasuk dalam intervensi yang dilarang menurut ketentuan hukum
internasional karena menurut Mahkamah Internasional suatu intervensi
dilarang oleh hukum internasional apabila merupakan campur tangan yang
berkaitan dengan masalah-masalah di mana setiap negara dibolehkan untuk
mengambil keputusan secara bebas (misalnya mengenai sistem politik atau
ekonomi atau penganutan politik luar negerinya sendiri), dan campur tangan
itu meliputi gangguan terhadap kemerdekaan negara lain dengan cara-cara
paksa, khususnya kekerasan (misalnya memberikan dukungan secara tidak
langsung terhadap aktivitas-aktivitas subversif terhadap negara yang menjadi
tujuan intervensi tersebut).121 Suatu tindakan oleh Negara yang juga dikatakan
sebagai intervensi atau tindakan campur tangan yang dilarang dalam hukum
internasional adalah bila tindakan tersebut bertentangan dengan kehendak
negara dan mengurangi kedaulatan suatu negara.122
121
J.G Starke, Op.cit., hlm. 135-136.
Anwar, M., Intervensi Suatu Negara Terhadap Kelompok Separatis, dalam
http://alaric-one.blogspot.com/2012/06/intervensi-suatu-negara-terhadap.html, diakses 14 Mei
2014.
122
91
Intervensi Amerika Serikat beserta Pasukan Koalisi PBB dapat
dikategorikan sebagai intervensi yang bersifat subversif karena tujuannya
adalah sebagai aktivitas propaganda untuk menghalau pengaruh ideologi
komunis di Korea. Intervensi Amerika Serikat dalam Perang Korea tahun
1950-1953 dikategorikan oleh J.G Starke sebagai Internal Intervention karena
dilakukan dengan cara melibatkan diri sebagai penyokong atau pendukung
suatu pemberontakan, peperangan, atau konflik politik di Negara lain dengan
cara yang diktator.
Amerika Serikat berperan sebagai komandan tertinggi angkatan
bersenjata Pasukan Koalisi PBB melalui perintah Douglas MacArthur untuk
menjalankan kehendaknya di dalam Perang Korea yang menandakan bahwa
Amerika Serikat mempunyai peran penting dalam strategi dan kebijakan
selama Perang Korea sebagai tindakan dari intervensinya tersebut.
Pembenaran intervensi Amerika Serikat dilakukan melalui strategi kebijakan
luar negeri terhadap PBB untuk menjatuhkan sanksi kepada Korea Utara guna
mencari pengesahan terhadap tindakannya tersebut. Amerika Serikat
berpendapat bahwa serangan Korea Utara merupakan suatu serangan terhadap
PBB karena PBB (UNTCOK) adalah badan resmi yang telah mengawasi
jalannya pemilu di Korea. Amerika Serikat mendapat dukungan PBB dengan
Resolusi PBB No. 83 tertanggal 27 Juni 1950 yang berisi kutukan terhadap
92
invasi Korea Utara serta ijin rekomendasi sebuah komando terpadu di bawah
pimpinan Amerika Serikat atas nama PBB di Korea.123
Pembenaran intervensi Amerika Serikat dan Pasukan Koalisi PBB
memang dapat dikatakan diperbolehkan menurut ketentuan dalam hukum
internasional karena dilakukan melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB.
Hukum
internasional
memuat
beberapa
ketentuan
mengenai
syarat
diijinkannya intervensi sebagai berikut:124 a. suatu Negara pelindung
(protector) telah diberikan hak-hak intervensi (intervention rights) yang
dituangkan dalam suatu perjanjian oleh Negara yang meminta perlindungan.
Contoh: Perjanjian persahabatan, hubungan bertetangga baik dan kerjasama
(the Treaty of friendship, good neighbourliness and cooperation) yang
ditandatangani oleh Uni Soviet dan Afghanistan pada tanggal 5 Desember
1978. Pasal 4 the treaty of friendship, good neighbourliness and cooperation
menetapkan bahwa kedua belah pihak akan mengambil langkah yang
diperlukan untuk melindungi keamanan, kemerdekaan, dan keutuhan wilayah
kedua Negara. Isi ketentuan perjanjian demikian dapat dimaksudkan sebagai
pembenaran terhadap tindakan Uni Soviet ketika menginvasi Afghanistan
pada Desember 1979; b. jika suatu Negara berdasarkan suatu perjanjian
dilarang untuk mengintervensi namun ternyata melanggar larangan ini, maka
123
Nino Oktorino, Op.cit., hlm. 30.
Gerhard von Glahn, Law Among Nation, Macmillan Publishing Co.,Inc., edisi ke-4,
1981, hlm. 161-162, (lihat dalam Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam hukum internasional,
PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm. 30-32).
124
93
Negara lainnya yang merupakan pihak/peserta dalam perjanjian tersebut
berhak untuk melakukan intervensi; c. jika suatu Negara melanggar dengan
serius ketentuan-ketentuan dalam hukum kebiasaan yang telah diterima
umum, Negara lainnya mempunyai hak untuk mengintervensi Negara
tersebut. Jadi, jika pemberontak terus-menerus melanggar hak-hak suatu
Negara netral selama terjadinya konflik, maka Negara netral tersebut memiliki
hak untuk mengintervensi terhadap Negara pemberontak tersebut; d. jika
warga negaranya diperlakukan semena-mena di luar negeri maka Negara
tersebut memiliki hak untuk mengintervensi atas nama warga negara tersebut,
setelah semua cara damai diambil untuk menangani masalah tersebut; e. suatu
intervensi dapat pula dianggap sah dalam hal tindakan bersama oleh suatu
organisasi internasional yang dilakukan atas kesepakatan bersama Negaranegara anggotanya; f. suatu intervensi dapat juga sah manakala tindakan
tersebut dilakukan atas permintaan yang sungguh-sungguh dan tegas-tegas
(genuine and explicit) dari pemerintah yang sah dari suatu Negara
(invitational intervention). Intervensi ini cukup banyak dilakukan oleh
Negara-negara besar dewasa ini. Pengiriman tentara Inggris ke Yordania pada
tahun yang sama setelah Republik Persatuan Arab melakukan intervensi
terhadap masalah-masalah dalam negeri Yordania. Tahun 1964, kembali
tentara Inggris didaratkan di Tanganyika Uganda, dan Kenya atas permintaan
94
masing-masing Negara untuk meredakan pemberontakan di negeri-negeri
tersebut.
Lebih lanjut disebutkan bahwa yang umumnya dinyatakan sebagai
kasus-kasus kekecualian pokok dimana menurut hukum internasional suatu
Negara berhak melakukan intervensi sah adalah:125 a. intervensi kolektif
sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa; b. intervensi untuk
melindungi hak-hak dan kepentingan-kepentingan serta keselamatan jiwa
warga Negara di luar yang menjadi dasar bagi pemerintah Amerika Serikat
membenarkan tindakan pengiriman tentara multinasional di pulau Grenada
bulan oktober 1983; c. pertahanan diri, apabila intervensi diperlukan untuk
menghilangkan bahaya serangan bersenjata yang nyata; d. dalam urusanurusan protektorat yang berada di bawah kekuasaannya; e. apabila Negara
yang menjadi subjek intervensi dipersalahkan melakukan pelanggaran berat
atas hukum internasional menyangkut Negara yang melakukan intervensi,
sebagai contoh, apabila Negara pelaku intervensi sendiri telah diintervensi
secara melawan hukum.
Intervensi yang dilakukan oleh Amerika Serikat melalui Resolusi DK
PBB No. 83 tetap tidak dapat dibenarkan dan melanggar ketentuan hukum
internasional karena dapat dikategorikan sebagai intervensi yang dilarang
menurut ketentuan hukum internasional seperti fakta yang menerangkan
bahwa Resolusi Dewan Keamanan PBB dikeluarkan atas dasar tekanan politik
125
Ibid
95
Amerika Serikat dan niat dalam menghalau pengaruh ideologi komunis di
Korea.
Dewan keamanan PBB dalam menetapkan suatu sanksi melalui sebuah
resolusi dapat mengambil langkah-langkah awal berupa sanksi ekonomi tanpa
menggunakan kekuatan senjata agar keputusannya dapat ditaati jika memang
ada ancaman dan pelanggaran terhadap perdamaian.126 Namun, jika langkahlangkah yang diambil itu tidak cukup maka Dewan Keamanan PBB dapat
menjatuhkan sanksi militer dengan syarat adanya persetujuan khusus (special
agreement) terlebih dahulu dari negara-negara anggota mengenai penyediaan
pasukan dalam operasi-operasi militer dan pembentukan Komite Staf Militer
yang anggotanya terdiri dari Kepala Staf Angkatan Perang dari kelima
anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Aksi-aksi militer tidak mungkin
dilakukan tanpa terpenuhinya syarat-syarat tersebut.127
Kekuasaan Dewan Keamanan PBB sebagai badan pelaksana sanksi
terhadap agresor (Korea Utara) bukan tidak tak terbatas karena tindakantindakannya dibatasi oleh ketentuan Pasal 24 (2) Piagam PBB. Dewan dalam
melakukan tindakannya harus didasarkan atas prinsip-prinsip dan tujuan PBB.
Atas dasar tersebut Dewan Keamanan PBB mempunyai kewajiban untuk tetap
menghormati keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik suatu negara.
Pelaksanaan sanksi militer bagaimanapun juga tidak boleh mengakibatkan
126
127
Sumaryo Suryokusumo, Studi Kasus Hukum Internasional, PT. Tatanusa, Jakarta, 2007, hlm. 33.
Idem, hlm. 34.
96
pemisahan-pemisahan negara yang hakekatnya dapat berpengaruh terhadap
keutuhan wilayah suatu negara.128
Hal tersebut telah dijelaskan dalam prinsip pertama Deklarasi
Mengenai Prinsip-prinsip Hukum Internasional Yang Mengatur Tentang
Hubungan Bersahabat Dan Kerja Sama Antar Negara Menurut Piagam PBB
maupun dalam Pasal 5 ayat (2) resolusi 3314 yang menyatakan: ... untuk
melakukan perang agresi semata-mata, tetapi bukan setiap tindakan yang
didukung untuk dinyatakan tidak sah oleh naskah resolusi tersebut,
menciptakan suatu kejahatan yang memerlukan tanggung jawab menurut
hukum internasional.129
Intervensi Amerika Serikat dan Pasukan Koalisi PBB dalam Perang
Korea juga dilakukan dengan pengambil-alihan kedaulatan Korea Selatan
yang artinya intervensi tersebut menyerang kedaulatan negara lain dalam
menentukan nasib negaranya. Intervensi tersebut bertentangan dengan prinsip
kedaulatan negara dalam Pasal 2 ayat (1) Piagam PBB yaitu organisasi
bersendikan pada prinsip-prinsip persamaan kedaulatan dari semua anggota.
Intervensi Amerika Serikat dan Pasukan Koalisi PBB bukan hanya
melanggar ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) Piagam PBB namun juga Pasal 2
ayat (4) dan Pasal 2 ayat (7) Piagam PBB sebagai berikut:
128
129
Idem, hlm. 35-36.
Idem, hlm. 37.
97
Pasal 2 ayat (4)
Segenap anggota dalam hubungan internasional mereka, menjauhkan diri
dari tindakan mengancam atau menggunakan kekerasan terhadap
integritas wilayah atau kemerdekaan politik sesuatu negara lain atau
dengan cara apapun yang bertentangan dengan tujuan-tujuan Perserikatan
Bangsa-Bangsa.
Pasal 2 ayat (7)
Tidak ada satu ketentuan-pun dalam piagam ini yang memberi kuasa
kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mencampuri urusan-urusan
yang pada hakekatnya termasuk urusan dalam negeri sesuatu negara atau
mewajibkan anggota-anggotanya untuk menyelesaikan urusan-urusan
demikian menurut ketentuan-ketentuan dalam piagam ini, akan tetapi
prinsip ini tidak mengurangi ketentuan mengenai penggunaan tindakantindakan pemaksaan seperti tercantum dalam bab VII.
Setiap hak-hak kekecualian intervensi dapat dilaksanakan dengan
syarat Negara-negara harus tunduk kepada kewajiban-kewajiban pokok
menurut Piagam PBB, kecuali piagam sendiri memperbolehkan pelaksanaan
hak itu, intervensi tidak boleh berkembang menjadi ancaman atau penggunaan
kekerasan terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik Negara
manapun (lihat Pasal 2 ayat 4).130
Intervensi bukanlah suatu masalah atau belum dianggap suatu
pelanggaran terhadap kedaulatan suatu negara jika hanya sebatas sugesti
diplomatik. Hukum internasional membolehkan intervensi dengan syarat
bahwa timbulnya suatu keadaan atau hal tertentu yang merupakan ancaman
bahaya bagi perdamaian dan keamanan dunia, merupakan pelanggaran bagi
hukum internasional dan memungkinkan untuk timbulnya perang.
130
J.G Starke, Op.cit., hlm. 137.
98
Intervensi Uni Soviet di Korea juga termasuk sebagai intervensi yang
bersifat subversif dengan tujuan untuk menunjukkan aktivitas propaganda atau
aktivitas lainnya yang dilakukan oleh suatu Negara dengan maksud untuk
menyulut revolusi atau perang saudara di negara lain untuk tujuan Negara itu
sendiri. Intervensi tersebut dapat dikategorikan sebagai intervensi internal
(internal Intervention) seperti intervensi yang dilakukan oleh Amerika Serikat
karena melibatkan negara luar sebagai penyokong atau pendukung suatu
pemberontakan, peperangan, atau konflik politik di Negara lain dengan cara
yang diktator.
Intervensi yang dilakukan oleh Uni Soviet sedikit berbeda dengan
Amerika Serikat karena dilakukan secara tidak langsung yaitu melalui alatalat perang dan kebijakan politik terhadap Korea Utara. Hal tersebut
dibuktikan dengan banyaknya tank T-34 dan pesawat Mikoyan-Gurevich
(MiG-15) buatan Uni Soviet yang digunakan oleh tentara Korea Utara serta
ahli strategi perang dan politik kepada Kim Il Sung dalam usaha penyatuan
Korea di bawah pengaruh komunis. Tujuan Uni Soviet melakukan intervensi
adalah untuk membantu Korea Utara agar dapat menguasai Korea dalam
pengaruh ideologi komunis dan menjadikan alasan keamanan sebagai
pembenaran dalam intervensi tersebut. Tindakan Uni Soviet jelas melanggar
ketentuan hukum internasional karena menyulut perang saudara Korea dan
memiliki tujuan sebagai propaganda politik.
99
Intervensi yang dilakukan oleh China dalam Perang Korea tahun 19501953 merupakan kelanjutan dari perintah Uni Soviet melalui Mao Zhe Dong
untuk mempertahankan wilayah Korea Utara dari serangan Amerika Serikat
dan pasukan koalisi PBB. Intervensi China dapat dikategorikan sebagai
intervensi eksternal (external intervention) karena intervensi atau campur
tangan dilakukan terhadap peperangan atau konflik yang sudah terjadi antara
dua Negara atau lebih. Campur tangan China dilakukan dengan menurunkan
pasukan serta persenjataan perang. Intervensi China menyebabkan sebuah
kebuntuan perang (stalemate) yang membuat keadaan semakin buruk. Dasar
pembenaran yang digunakan oleh China karena kedaulatan negaranya
terancam oleh agresi militer Amerika-PBB dan Korea Selatan.
Pembenaran oleh China terhadap tindakannya tersebut bukan
merupakan sebuah alasan sebagai ancaman terhadap kedaulatan negaranya
tetapi lebih diketahui sebagai kepentingan propaganda politik komunis.
Pembenaran China dalam intervensinya juga dapat dikatakan melanggar
ketentuan hukum internasional sebagaimana tertuang pada pasal-pasal dalam
BAB VII Piagam PBB. Suatu kedaulatan negara dalam ancaman ketika
kekuasaan negara dipecah-pecah dan dibagi-bagi serta tidak dapat
ditempatkan di bawah kekuasaan lain. Mao Zhe Dong sebagai pemimpin
tertinggi China telah merencanakan suatu siasat perang dengan penggunaan
100
kekuatan militer yang berjaga di perbatasan China dan Korea Utara sebagai
tindakan penjagaan jika sewaktu-waktu Korea Utara kalah dalam perang.
Berdasarkan fakta yang terjadi, setelah Korea Utara hampir kalah oleh
serangan Amerika Serikat dan pasukan koalisi PBB, China segera melakukan
intervensi militer ke dalam wilayah Korea. Intervensi militer China dilakukan
tanpa Resolusi Dewan Keamanan PBB dan secara sengaja melanggar
ketentuan hukum internasional.
101
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Intervensi Amerika Serikat beserta Pasukan Koalisi PBB, Uni
Soviet, dan China dalam Perang Korea tahun 1950-1953 termasuk dalam
intervensi yang dilarang menurut ketentuan hukum internasional karena
merupakan campur tangan yang menyerang kedaulatan negara lain dengan
cara-cara kekerasan sehingga menyebabkan penyelesaian konflik Korea
Utara dan Korea Selatan menjadi sebuah kebuntuan perang (stalemate) serta
korban jiwa yang besar di masing-masing pihak. Intervensi tersebut
dilakukan melalui serangkaian operasi militer dan kebijakan politik secara
sepihak terhadap Korea serta termasuk sebagai intervensi yang bersifat
subversif (subversive intervention) dengan tujuan untuk menunjukkan
aktivitas propaganda atau aktivitas lainnya yang dilakukan dengan maksud
untuk menyulut revolusi atau perang saudara di Korea untuk tujuan Negara
itu sendiri.
Intervensi yang dilakukan oleh Amerika Serikat beserta Pasukan
Koalisi PBB melanggar prinsip-prinsip dan tujuan Piagam PBB yang
menimbulkan pemisahan suatu Negara. Intervensi Amerika Serikat beserta
pasukan koalisi PBB dan Uni Soviet dikategorikan sebagai internal
102
intervention karena dilakukan dengan cara melibatkan diri sebagai
penyokong atau pendukung suatu pemberontakan, peperangan, atau konflik
politik di Korea dengan cara yang diktator. Intervensi China dikategorikan
sebagai external intervention karena campur tangan dilakukan terhadap
peperangan atau konflik yang sudah terjadi antara dua Negara atau lebih.
Intervensi tersebut merupakan pelanggaran terhadap ketentuan hukum
internasional yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1), (4), dan (7) Piagam PBB.
B. Saran
Setiap Negara hendaknya dapat menghargai perbedaan ideologi dan
pandangan negara lain agar tidak terjadi konflik yang menyebabkan
pertumpahan
darah
dan
Intervensi
seharusnya
dilakukan
dengan
memperhatikan syarat dan ketentuan hukum internasional yang berlaku.
103
DAFTAR PUSTAKA
Buku
A Garner ed, Bryan, Black Law Dictionary-Seventh Edition, Book 1, West Group,
ST.Paul Minn, 1999.
Adolf, Huala, Aspek-aspek Negara dalam hukum internasional, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1996.
________, Aspek-aspek Negara dalam hukum internasional. Keni Media, Bandung,
2011.
Adolf, Huala, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika, Jakarta,
2004.
Arlina Permanasari dkk, Pengantar Hukum Humaniter Internasional, International
Committe of the Red Cross, Jakarta, 1999.
Bedjaoui, Mohammed, International Law: Achievements and Prospects, UNESCO,
Martinus Nijhoff publ., Paris, 1991.
Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary- edisi ke-5, West Publishing Comp,
St. Paul Minn, 1979.
Fauzan, Achmad, Penyelesaian Sengketa Internasional, Tarsito, Bandung, 1986.
Goodrich dan Hambro, Charter of The United Nations Commentary and Documents,
World Peace Foundation Boston, 1949.
Hestu Cipto Handoyo, B., Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan, dan Hak Asasi
Manusia (Memahami Proses Konsolidasi Sistem Demokrasi di Indonesia),
Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2003.
Hingorani, R.C., Modern International Law, Oceana Publications Inc., India, 1984.
Ibrahim, Johny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media,
Malang, 2008.
Kusumaatmadja, Mochtar, Pengantar Hukum Internasional, Binacipta, Bandung,
1981.
104
________, Pengantar Hukum Internasional Buku I, Putra Abardin, Jakarta, 1999.
Lauterpacht, Oppenheim, International Law and Treaties, Longmans, London, 1952.
Lubis, Mochtar, Catatan Perang Korea, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta,
2010.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum Normatif, Kencana, Jakarta, 2005.
Martono, K., Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik (Public International
and National Air Law), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012.
O’Connel, D.P. , International Law-edisi ke-2, Vol.1, Stevens and Sons, London,
1970.
Oktorino, Nino, Konflik Bersejarah Perang Yang Tidak Boleh Dimenangkan: Kisah
Perang Korea 1950-1953, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, 2013.
Parry and grant, dkk, Encyclopaedic Dictionary of International Law, Oceana
Publications inc, New York, 1986.
Parthiana, I Wayan, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung, 2003.
Prihantono, Djati, Perang Korea: Konflik Dua Saudara, Mata Padi Pressindo,
Yogyakarta, 2013.
Prodjodikoro, Wirjono, Azaz-azaz Hukum Publik Internasional, PT. Pembimbing
Masa, Jakarta, 1967.
Satria Buana, Mirza, Hukum Internasional Teori dan Praktek, Nusamedia, Bandung
2007.
Sefriani, Hukum Internasional: Suatu Pengantar, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2014.
Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 1998.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, UII Press, Jakarta, 1981.
Soekanto, Soerjono, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjuan Singkat, Rajawali,
Jakarta, 1985.
105
Soemitro, Rony Hanitijo, Metode Penelitian Hukum dan Jurumetri, Alumni, Jakarta,
1988.
Sastroamidjoyo, Ali, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit Batara, Jakarta 1971.
Sugeng Istanto, F., Hukum Internasional, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2010.
Supriyadi, Dedi, Hukum Internasional (dari konsepsi sampai aplikasi), Pustaka
Setia, Bandung, 2013.
Starke, J.G., Pengantar Hukum Internasional. Sinar Grafika, Jakarta, 1988.
________, Pengantar Hukum Internasional-Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta,
2001.
Subakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia,
Jakarta, 1992.
Suryokusumo, Sumaryo, Studi Kasus Hukum Internasional, PT. Tatanusa, Jakarta, 2007,
Tasrif, S., Hukum Internasional Tentang Pengakuan dalam Teori dan Praktek-Cet.2.,
Abardin, Bandung, 1987.
Thontowi, Jawahir, Hukum Internasional Kontemporer, Refika Aditama, Bandung,
2006.
Van Apeldorn, L.J., Pengantar Ilmu Hukum, Pradaya Paramita, Jakarta, 1981.
Wallace, Rebbecca, Hukum Internasional (Pengantar untuk mahasiswa), Sweet &
Maxwell, London, 1986.
Peraturan perundang-undangan
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1945
Konvensi Montevideo 1933
Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 83 tahun 1950
Resolusi Majelis Umum PBB tahun 1970 [G.A. Res 2625 (XXV)]
106
Bahan lainnya
Yuliantiningsih, Aryuni, Bahan Kuliah Hukum Internasional, Fakultas Hukum
Unsoed, Purwokerto, 2011.
Andy
Chand,
Sejarah
Perang
Korea,
2010,
http://sejarahandychand.blogspot.com/2012/10/sejarah-perang-korea.html, diakses 12 Mei
2014.
_________, Kedaulatan, 2010, http://providert.blogspot.com/2010/02/maknakedaulatan-rakyat.html, diakses 10 Desember 2013.
Anwar, M., Intervensi Suatu Negara Terhadap Kelompok Separatis, 2012, dalam
http://alaric-one.blogspot.com/2012/06/intervensi-suatu-negara-terhadap.html,
diakses 14 Mei 2014.
Deny
Biantong,
Kedaulatan
Negara,
2012,
http;//dennybiantong.blogspot.com/2012/07/kedaulatan-negara.html , diakses 9
Maret 2014.
Eka Putra, Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Damai, 2013, dalam
www.hukumit.blogspot.com, diakses 10 November 2013.
Lilian
Goldman
Law
Library,
Cairo
Conference
1943,
http://www.ndl.go.jp/constitution/e/shiryo/01/002_46/002_46tx.html,
20 Agustus 2014.
dalam
diakses
Perserikatan Bangsa-Bangsa,
Piagam
PBB
dan Statuta
Mahkamah
Internasional,1990,https://unic.un.org/aroundworld/unics/common/documents/
publications/uncharter/jakarta_charter_bahasa.pdf , diakses 9 Maret 2014.
Radio Australia, Sejarah dibalik ketegangan korea Utara dan Korea Selatan: kilas
balik, 2010,http://www.radioaustralia.net.au/indonesian/2013-04-05/sejarah-dibalik-ketegangan-korea-utara-dan-korea-selatan-kilasbalik/1112046, diakses 14
mei 2014.
Rep. Eusialis, Perang Korea: Konflik Ideologi yang Membelah Semenanjung, 2012,
http://republik-tawon.blogspot.com/2012/10/perang-korea-konflik-ideologiyang.html, diakses 18 Maret 2014.
107
Syasya,
Korea
terbagi
dua;
siapa
biang
keroknya?,
2011,
http;//sejarah.kompasiana.com/2013/04/07/korea-terbagi-dua-siapa-biang kero
knya549025.html, diakses 12 Mei 2014.
UN Security Council, Resolution 83 (1950) of 27 June 1950, dalam
http://www.refworld.org/cgi-bin/texis/vtx/rwmain?docid=3b00f20a2c, diakses
9 September 2014.
Wikipedia, Perang Korea, 2014, http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Korea, diakses
10 Mei 2014.
Wikipedia,
Aksi
Polisional
:
Intervensi
Amerika
Serikat,
2014,
http://id.wikipedia.org/wiki/PerangKorea#AksiPolisional:Intervensi_Amerika_
Serikat, diakses 12 Mei 2014.
Wikipedia,
Potsdam
Declaration,
dalam
http://en.wikipedia.org/wiki/Potsdam_Declaration, diakses 10 September 2014.
Wikipedia, General Order No. 1, dalam http://en.wikipedia.org/wiki/General_Order_
No._1, diakses 10 September 2014.
William Vernon Harcourt, Letters by Historicus on Some Questions of International
Law: Reprinted from tha times with considerable addition, 2011,
www.uop.com, diakses 5 Desember 2013.
Download