INTERVENSI TERHADAP KEDAULATAN SUATU NEGARA MENURUT HUKUM INTERNASIONAL (Studi Tentang Kasus Perang Korea Tahun 1950-1953) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Disusun oleh: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2015 i LEMBAR PENGESAHAN INTERVENSI TERHADAP KEDAULATAN SUATU NEGARA MENURUT HUKUM INTERNASIONAL (Studi Tentang Kasus Perang Korea Tahun 1950-1953) Oleh: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140 Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Diterima dan Disahkan Pada tanggal…………………………… Penguji I/ Pembimbing I, Penguji II/Pembimbing II, Penguji Dr. Noer Indriati, S.H.,M.Hum. Dr. H. Isplancius Ismail, S.H.,M.Hum. Aryuni Yuliantiningsih S.H.,M.H. NIP. 19600426 198702 2 001 NIP. 19550404 199203 1 001 NIP. 19710702 199802 2 001 Mengetahui, Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Dr. Angkasa, S.H., M.Hum. NIP. 19640923 198901 1 001 ii SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya, Nama : Andrew Firdaus S.P NIM : E1A010140 Judul Skripsi : INTERVENSI TERHADAP KEDAULATAN SUATU NEGARA MENURUT HUKUM INTERNASIONAL (Studi Tentang Kasus Perang Korea Tahun 1950-1953) Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang lain. Apabila dikemudian hari terbukti saya melakukan Pelanggaran sebagaimana tersebut di atas, maka saya bersedia dikenakan sanksi sesuai dengan aturan yang ada dari fakultas. Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sungguh-sungguh. Purwokerto, Februari 2015 Andrew Firdaus S.P NIM. E1A010140 iii KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT sehingga dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul: INTERVENSI TERHADAP KEDAULATAN SUATU NEGARA MENURUT HUKUM INTERNASIONAL (Studi Tentang Kasus Perang Korea Tahun 1950-1953). Skripsi ini tidak akan terselesaikan dengan baik tanpa bantuan dan dukungan dari semua pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada : 1. Dr. Angkasa, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman; 2. Dr. Noer Indriati, S.H., M.Hum. selaku dosen Pembimbing I yang telah banyak membantu penulis dalam menyusun dan menyelesaikan skripsi ini; 3. Dr. H. Isplancius Ismail, S.H., M.Hum. selaku dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan bantuan serta dorongan untuk menyelesaikan skripsi ini; 4. Aryuni Yuliantiningsih, S.H., M.H. selaku dosen Penguji yang telah memberikan saran yang sangat membangun dalam rangka penyempurnaan penulisan skripsi ini; 5. Sutoyo, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik yang telah memberikan dukungan selama penulis menempuh studi; 6. Keluarga tercinta, yaitu Papah (Sunarso, S.E., M.M), Mamah (Sri Endah Indriawati, S.H., M.H.), dan adik-adikku (Philein Sophiana S.P dan Alysabel Apriliana S.P) serta mbahti (Hj. Maslicha) dan mbah kakung (H.Munajad) yang telah mendukung dan mendoakan dalam setiap langkah penulis; iv 7. Seluruh dosen pengajar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman yang telah mentransferkan ilmunya selama penulis menempuh studi; 8. Sahabat penulis, Wira Satya Widyatmoko yang telah banyak membantu penulis selama penulis menyelesaikan studi; 9. Keluarga besar ALSA LC UNSOED 10. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah membantu penyelesaian skripsi ini. Penulis menyadari sepenuhnya skripsi ini masih belum sempurna serta terdapat banyak kekurangan karena keterbatasan kemampuan yang penulis miliki. Penulis menerima saran dan kritik dengan segala kerendahan hati untuk kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi yang membacanya. Purwokerto, Februari 2015 Penulis Andrew Firdaus S.P v ABSTRAK Intervensi dapat diartikan sebagai campur tangan secara diktator oleh suatu negara terhadap urusan dalam negeri lainnya dengan maksud baik untuk memelihara atau mengubah kondisi nyata di negara tersebut. Intervensi menimbulkan kontroversi karena bertentangan dengan Prinsip Kedaulatan Negara dan Prinsip non-intervensi dalam hukum internasional. Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui pelaksanaan intervensi dalam perang korea tahun 1950-1953 menurut hukum internasional. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Semua data dalam penelitian ini berasal dari data sekunder yang disajikan secara sistematis dan dianalisis dengan metode normatif kualitatif. Hasil dari penelitian menunjukan bahwa intervensi dalam Perang Korea tahun 1950-1953 dilakukan oleh Uni Soviet, Amerika Serikat, dan China melalui operasi militer dan kebijakan politik terhadap Korea. Intervensi dalam Perang Korea tahun 1950-1953 termasuk dalam intervensi yang dilarang menurut ketentuan hukum internasional karena melanggar prinsip kedaulatan negara dan prinsip non-intervensi yang terdapat dalam pasal 2 ayat (1), pasal 2 ayat (4), dan pasal 2 ayat (7) Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa. Intervensi dalam Perang Korea tahun 1950-1953 dilakukan dengan campur tangan secara dictator yang menyerang kedaulatan negara lain dengan cara-cara kekerasan. Implikasi dari intervensi dalam Perang Korea 1950-1953 menyebabkan penyelesaian konflik antara Korea Utara dan Korea Selatan menjadi sebuah kebuntuan perang serta korban jiwa yang besar di masing-masing pihak. Kata kunci: Intervensi, Kedaulatan Negara, Hukum Internasional, Perang Korea 1950-1953. vi ABSTRACT Intervention can be interpreted as dictatorial interference by a State in the affairs of another State for the purpose of either maintaining or altering the actual condition of things. The intervention created a controversy among the society because it has contradicted with State sovereignty and non-intervention principles on international law. The aim of the research is to know the implementation of the intervention towards sovereignty in Korean War 1950-1953 according by international law. The approach method of this research is normative with statute approach and case approach. All data of this research is taken from secondary data that served systematically and had been analyzed by qualitative normative method. The result of the research showed that the intervention in Korean War 1950-1953 had done by Uni Soviet, United States of America, and China with military operation and political policy toward Korea. The intervention in Korean War 1950-1953 can be included as the intervention that prohibited by international law because it had offended the sovereignty and non-intervention principles on article 2 paragraph (1), article 2 paragraph (4), and article 2 paragraph (7) United Nations Charter. The intervention in Korean War 19501953 had done by dictatorial interference that offence the sovereignty of another country with violence ways. The implication of the intervention in Korean War 1950-1953 had caused a settlement of the conflict between North Korea and South Korea became stalemate along with a great number of victims on both side. Keywords: Intervention, Sovereignty, International Law, Korean War 1950-1953 vii Halaman HALAMAN JUDUL ……………………………………………………………… i HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………………………. ii SURAT PERNYATAAN ………………………………………………………… iii KATA PENGANTAR …………………………………………………………….. iv ABSTRAK ……………………………………………………………………….. v ABSTRACT ……………………………………………………………………….. vi DAFTAR ISI ……………………………………………………………………... vii BAB I PENDAHULUAN ………………………………………….……. 1 A. Latar Belakang Masalah ……………………………………… 1 B. Rumusan Masalah …………………………………………….. 8 C. Tujuan Penelitian ………………………………………........... 8 D. Manfaat Penelitian ……………………………………………. 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………….. 9 A. Tinjauan Tentang Negara Menurut HI ……………………….. 9 I. Pengertian Negara ………………………………………… 9 II. Kualifikasi Negara ………………………………............... 13 III. Kedaulatan Negara ……………………………………….. 17 B. Tinjauan Tentang Penyelesaian Sengketa Internasional ……... 26 I. Pengertian Sengketa Internasional ………………………. 26 C. Cara-cara Penyelesaian Sengketa Internasional ....................... 30 D. Tinjauan Umum Tentang Intervensi ………………………… 46 viii BAB III METODE PENELITIAN …………………………………………. 61 A. Metode Pendekatan …………………………………………… 61 B. Spesifikasi Penelitian …………………………………………. 62 C. Lokasi Penelitian ……………………………………………... 62 D. Sumber Data ………………………………………………….. 62 E. Metode Pengumpulan Data …………………………………... 63 F. Metode Penyajian Data ………………………………………. 64 G. Metode Analisis Data ………………………………………… 64 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………………….. 65 BAB V PENUTUP ………………………………………………………... 97 A. Kesimpulan ……………………………………………........... 101 B. Saran ………………………………………………………….. 102 DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………. 103 LAMPIRAN ix 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada hakikatnya manusia hidup dalam wilayah dan kesatuan berbeda beda yang diciptakan dalam sebuah wadah yaitu Negara. Negara merupakan subjek hukum yang terpenting dan memiliki kewenangan terbesar sebagai subjek hukum internasional sehingga mampu menyatakan perang dan damai serta mampu mengadakan hubungan internasional dengan masyarakat internasional lainnya. Negara sebagai wadah dari suatu masyarakat memiliki dasar, keyakinan, cita-cita ataupun tujuan untuk mendirikan sebuah Negara yang maju dan terpandang. Tujuan Negara merupakan kepentingan utama dari tatanan suatu Negara.1 Tujuan tersebut diartikan sebagai sebuah ideologi bagi Negara. Ideologi adalah suatu pandangan atau sistem nilai yang menyeluruh dan mendalam tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh suatu masyarakat, dan mengerti cara-cara yang paling dianggap baik untuk mencapai tujuan. Tujuan dan cara itu secara moral dianggap paling baik dan adil untuk mengatur perilaku sosial warga masyarakat dalam berbagai segi kehidupan.2 1 Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 1998, hlm.146. Ramlan Subakti, Memahami Ilmu Politik, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1992, hlm. 48. 2 2 Seiring dengan berkembangnya pola pemikiran tokoh-tokoh besar dalam suatu Negara ataupun dengan kemajuan suatu Negara itu sendiri, ideologi menjadi terbagi atas beberapa macam, diantaranya ialah ideologi kapitalisme, sosialisme komunisme, fasisme, atau bahkan pragmatisme (tidak memiliki ideologi/anti ideologi). Setiap ideologi memiliki cara dan tujuan tersendiri dalam penerapannya. Negara akan mempunyai pengaruh terhadap masyarakatnya dengan adanya ideologi. Hal ini sering menimbulkan adanya pertentangan antar Negara sampai pada konflik dan perang yang berkepanjangan demi menyatukan pemahaman dan pandangan mereka satu sama lain. Pertentangan ideologi suatu negara pernah terjadi dengan adanya Perang dingin (Cold War) antara Amerika Serikat beserta sekutunya yang disebut Blok Barat dengan ideologi Kapitalisme-Liberal dan Uni Soviet beserta sekutunya yang disebut Blok Timur dengan ideologi sosialiskomunisme. Setelah berakhirnya Perang Dunia II yang ditandai dengan kekalahan Jepang di Pasifik, negara-negara jajahan Jepang sebagian langsung memerdekakan diri dan sebagian masih berada dalam administrasi pasukan sekutu sebelum memproklamasikan kemerdekaannya. 3 Salah satu Negara bekas jajahan Jepang yang masih berada dalam pengaruh sekutu adalah Negara Korea. Negara ini dikuasai oleh Jepang pada tahun 1910 sampai tahun 1945, pada akhir pendudukan Jepang terdapat dua 3 Syasya, Korea Terbagi Dua: Siapa Biang Keroknya?, dalam http://sejarah.kompasiana.com/2013/04 /07/korea-terbagi-dua-siapa-biang-keroknya-549025.html, diakses 12 Mei 2014. 3 kekuatan besar pasukan sekutu yang berpengaruh yaitu Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet (USSR). Alasan dari kedua Negara tersebut berada di Korea adalah untuk mengawasi transisi pengalihan kekuasaan kepada bangsa Korea sampai terciptanya Korea yang mandiri dan mengawasi Jepang yang terletak dekat dengan Korea. Amerika Serikat dalam praktiknya memiliki alasan lain bahwa mereka khawatir Uni Soviet akan menduduki Korea pasca perang. Hal ini menandai awal dari intervensi dua Negara adidaya pemenang perang terhadap Korea karena kepentingan politik masing-masing Negara adidaya tersebut.4 Melalui Konferensi Postdam pada Juli sampai dengan Agustus 1945, sekutu secara sepihak memutuskan membagi wilayah Korea menjadi dua tanpa persetujuan pihak Korea sendiri. Korea dibagi menjadi dua di garis lintang 38 derajat yang dikenal sebagai 38th parallel, kemudian secara resmi membentuk Rakyat Demokratik Republik Korea Utara dan Republik Korea dengan wilayah utara di bawah penguasaan Uni Soviet dengan RRC dan wilayah selatan di bawah penguasaan Amerika Serikat dengan sekutunya. 5 Kelompok sayap-kanan Representative Democratic Council, yang dipimpin oleh nasionalis Syngman Rhee menentang perwalian SovietAmerika di Korea. Syngman Rhee terpilih sebagai presiden Republik Korea 4 Mochtar Lubis, Catatan Perang Korea, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2010, hlm. 89. 5 Radio Australia, Sejarah Dibalik Ketegangan Korea Utara Dan Korea Selatan: Kilas Balik, dalam http://www.radioaustralia.net.au/indonesian/2013-04-05/sejarah-di-balik-ketegangankorea-utara-dan-korea-selatan-kilas-balik/1112046, diakses pada tanggal 14 Mei 2014. 4 Selatan pada 15 Agustus 1948. Uni Soviet mendirikan pemerintahan komunis Korea Utara yang dipimpin oleh Kim Il-Sung. Para nasionalis, baik Syngman Rhee dan Kim Il-Sung bermaksud menyatukan Korea di bawah sistem politik yang dianut masing-masing pihak. Korea Utara berhasil meningkatkan ketegangan di perbatasan dengan persenjataan yang lebih baik dan kemudian menyerang setelah sebelumnya melakukan provokasi.6 Perang terjadi pada tanggal 25 Juni 1950, dimulai oleh penyerbuan Korea Utara dengan melakukan invasi darat dan udara melintasi perbatasan yang disebut 38th parallel sehingga Seoul berhasil dikuasai oleh Korea Utara pada akhir juni 1950. Melihat sekutunya diserang Amerika Serikat tidak tinggal diam, Presiden Truman kemudian memerintahkan Mc Arthur yang mengepalai angkatan perang Amerika di Jepang untuk membantu Korea. Perang pertama antara tentara Amerika Serikat dan Korea Utara dimulai pada tanggal 5 juli 1950, dilanjutkan dengan operasi pendaratan di Incheon untuk menyerbu pasukan Korea Utara. RRC ikut memasuki medan pertempuran dengan 270.000 tentara dan didukung oleh Uni Soviet dengan alat persenjataannya pada tanggal 25 Oktober 1950.7 Perang berakhir pada tanggal 27 Juli 1953 saat Amerika Serikat, Republik Rakyat Cina, dan Korea Utara menandatangani persetujuan gencatan 6 Wikipedia, Perang Korea, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Korea, diakses pada tanggal 10 Mei 2014. 7 Wikipedia, Aksi Polisional : Intervensi Amerika Serikat, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_ Korea#Aksi_ Polisional:_Intervensi_Amerika_Serikat, diakses 12 Mei 2014. 5 senjata. Persetujuan gencatan senjata tersebut secara resmi belum mengakhiri perang antara Korea Utara dan Korea Selatan sampai saat ini. Perang tersebut menyebabkan lebih dari 2 juta orang tewas termasuk tentara AS dan RRC, 85% dari sekitar satu juta orang Korea Selatan yang tewas adalah warga sipil, hampir setengah juta tentara AS tewas, lebih dari 700.000 tentara RRC dan beberapa ratus pilot Soviet jadi korban serta lebih dari 7 juta orang terpaksa harus kehilangan/terpisah dari sanak familinya.8 Intervensi yang dilakukan oleh Sekutu menyerang kedaulatan Korea dengan cara memutuskan secara sepihak, membagi wilayah Korea menjadi dua tanpa persetujuan pihak Korea. Hal tersebut dilakukan agar masingmasing Negara dapat menanamkan kehendaknya terhadap Negara lain sehingga melakukan campur tangan terhadap urusan internal suatu Negara. Campur tangan terhadap urusan internal suatu Negara dalam Perang Korea dilakukan dengan cara intervensi. Intervensi tidak diartikan secara baku, namun definisi dari intervensi menurut Oppenheim Lauterpacht adalah campur tangan secara diktator oleh suatu Negara terhadap urusan dalam negeri lainnya dengan maksud baik untuk memelihara dan mengubah keadaan, situasi, atau barang di negeri tersebut.9 8 Andy Chand, Sejarah Perang Korea, dalam http://sejarahandychand.blogspot.com/2012/10/sejarah-perang-korea.html, diakses pada tanggal 12 Mei 2014. 9 Huala Adolf, Aspek-aspek Negara Dalam Hukum Internasional, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm. 30. 6 Piagam PBB telah mengatur prinsip kedaulatan negara dan prinsip non-intervensi, khususnya pada Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (4), dan Pasal 2 ayat (7) Piagam PBB, sebagai berikut:10 Pasal 2 ayat (1) Organisasi bersendikan pada prinsip-prinsip persamaan kedaulatan dari semua anggota. Pasal 2 ayat (4) Segenap anggota dalam hubungan internasional mereka, menjauhkan diri dari tindakan mengancam atau menggunakan kekerasan terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik sesuatu negara lain atau dengan cara apapun yang bertentangan dengan tujuan-tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pasal 2 ayat (7) Tidak ada satu ketentuan-pun dalam piagam ini yang memberi kuasa kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mencampuri urusan-urusan yang pada hakekatnya termasuk urusan dalam negeri sesuatu negara atau mewajibkan anggota-anggotanya untuk menyelesaikan urusan-urusan demikian menurut ketentuan-ketentuan dalam piagam ini, akan tetapi prinsip ini tidak mengurangi ketentuan mengenai penggunaan tindakan-tindakan pemaksaan seperti tercantum dalam bab VII. Pasal-pasal tersebut mensyaratkan bahwa anggota organisasi (PBB) diharuskan menghormati kedaulatan negara lain dan dilarang untuk ikut campur dalam urusan domestik suatu Negara (to intervere in matters which are essentially within the domestic jurisdiction of any State) kecuali dalam rangka memelihara perdamaian menurut Bab VII piagam PBB. 11 Pengaturan tersebut semakin dikuatkan dengan Resolusi Majelis Umum PBB tahun 1970 10 Perserikatan Bangsa-Bangsa, Piagam PBB Dan Statuta Mahkamah Internasional,dalam https://unic.un.org/aroundworld/unics/common/documents/publications/uncharter/jakarta_charter_ bahasa.pdf, diakses pada tanggal 9 Maret 2014. 11 Huala Adolf, Loc.Cit. 7 [G.A. Res 2625 (XXV)] pada tanggal 24 Oktober 1970, yang berbunyi semua Negara menikmati persamaan kedaulatan. Mereka mempunyai hak dan kewajiban yang sama dan sederajat sebagai anggota masyarakat internasional, meskipun terdapat perbedaan ekonomi, sosial, politik, atau bidang lainnya. 12 Suatu tindakan intervensi yang tidak diperbolehkan dengan alasan apapun dan sesungguhnya tidak ada alasan apapun yang dapat dibuat sebagai pembenaran yaitu suatu intervensi yang nyata-nyata akan menimbulkan atau akan lebih membuat suatu keadaan menjadi lebih memburuk. J.G. Starke mengatakan intervensi ini dengan istilah subversive intervention. Tindakan intervensi ini bukanlah untuk memberi jalan keluar menuju suatu perdamaian. Intervensi tersebut mengacu kepada propaganda atau kegiatan lainnya yang dilakukan oleh suatu Negara dengan tujuan untuk mendorong terjadinya revolusi atau perang saudara di Negara lain.13 Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis tertarik untuk mengangkatnya dalam sebuah penelitian guna penyusunan skripsi dengan judul: Intervensi Terhadap Kedaulatan Suatu Negara Menurut Hukum Internasional (Studi Tentang Kasus Perang Korea Tahun 1950-1953). 12 Deni Biantong, Kedaulatan Negara, dalam http://dennybiantong.blogspot.com/2012/07/kedaulatan-negara.html, diakses pada tanggal 9 Maret 2014. 13 J.G Starke, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 1988, hlm.136-137. 8 B. Perumusan Masalah Bagaimanakah intervensi terhadap kedaulatan suatu Negara dalam kasus perang Korea tahun 1950-1953 menurut hukum internasional ? C. Tujuan Penelitian Berkaitan dengan permasalahan yang telah dirumuskan, penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut: Untuk mengetahui pelaksanaan intervensi terhadap kedaulatan suatu Negara dalam kasus Perang Korea tahun 1950-1953. D. Manfaat Penelitian 1. Secara Teoritis a) Memperluas wawasan peneliti dan pembaca pada umumnya. b) Memberikan manfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada umumnya dan ilmu Hukum Internasional pada khususnya. 2. Secara Praktis a) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi kepustakaan hukum yang berkaitan dengan hukum internasional. b) Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para akademisi dan masyarakat pada umumnya serta dapat dipergunakan sebagai acuan oleh peneliti lain dengan kajian yang berbeda. 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Negara Menurut Hukum Internasional I. Pengertian Negara Fenwick mendefinisikan Negara sebagai suatu masyarakat politik yang diorganisasi secara tetap, menduduki suatu daerah tertentu, dan hidup dalam batas-batas daerah tersebut, bebas dari pengawasan Negara lain, sehingga dapat bertidak sebagai badan yang merdeka di muka bumi. Menurut J.L Bierly, Negara adalah suatu lembaga (institution), sebagai suatu wadah dimana manusia mencapai tujuan-tujuannya dan dapat melaksanakan kegiatan-kegiatannya, sedangkan Malcver mendefinisikan Negara sebagai suatu kesatuan yang memiliki kekuasaan berdasarkan hukum di suatu wilayah yang dibatasi oleh adanya kondisi-kondisi tertib sosial eksternal yang sifatnya universal. Beliau mendefinisikan Negara sebagai berikut :14 “…as association which acting through law as promulgated by government endowed to this end with coercive power, maintains within a community territorially demarcated the universal external conditions of social order.” 14 Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Keni Media, Bandung, 2011, hlm. 1-2. 10 Definisi yang lebih lengkap dikemukakan oleh Henry C. Black, sebagai berikut: 15 Negara diartikan sebagai sekumpulan orang yang secara permanen menempati suatu wilayah yang tetap, diikat oleh ketentuan-ketentuan hukum yang, melalui pemerintahnya, mampu menjalankan kedaulatannya yang merdeka, dan mengawasi masyarakat dan harta bendanya dalam wilayah perbatasannya, mampu menyatakan perang dan damai serta mampu mengadakan hubungan internasional dengan masyarakat internasional lainnya. Menurut L.J Van Apeldorn pengertian Negara menunjuk kepada berbagai gejala yang sebagian termasuk pada kenyataan dan sebagian lagi menunjukkan pada gejala-gejala hukum. Salah satu pengertian Negara menurutnya adalah suatu wilayah atau daerah tertentu yang didiami oleh suatu bangsa. Lebih lanjut dijelaskan bahwa negara mempunyai arti sebagai berikut:16 a. Perkataan Negara dipakai dalam arti penguasa, jadi untuk menyatakan orang atau orang-orang yang memiliki kekuasaan tertinggi atas persekutuan rakyat yang bertempat tinggal dalam suatu daerah. b. Perkataan Negara juga dapat diartikan sebagai suatu persekutuan rakyat, yaitu untuk menyatakan suatu bangsa yang hidup dalam suatu daerah, di bawah kekuasaan tertinggi, menurut kaidah-kaidah hukum yang sama. 15 16 Idem, hlm.2. L.J. Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradaya Paramita, Jakarta, 1981, hlm. 304. 11 c. Negara ialah suatu wilayah tertentu. Perkataan Negara digunakan untuk menyatakan suatu daerah, dimana tempat suatu bangsa berdiri di bawah kekuasaan yang tertinggi. d. Negara diartikan sebagai kas negara atau fiskus, yang maksudnya adalah harta yang dipegang oleh penguasa guna kepentingan umum. Pendapat L.J. Van Apeldorn disempurnakan oleh Biere de Hans yang menunjukkan bahwa dalam suatu Negara tidak hanya terdiri dari satu bangsa saja, melainkan juga dijumpai adanya Negara yang di dalamnya terdiri dari berbagai bangsa sepanjang pengertian bangsa yang dimaksud masuk dalam lingkup Nasionaliteit (kewarganegaraan). Selengkapnya Biere de Hans mengemukakan sebagai berikut :17 Negara adalah lembaga manusia; manusialah yang membentuk Negara. Manusia yang membentuk negara itu merupakan makhluk perorangan (endelwezen) dan juga merupakan makhluk sosial (gemeenschapswezen). Masyarakat dalam dirinya secara alami mengandung keinginan untuk berorganisasi yang timbul karena dorongan dari dalam. Negara adalah bentuk dari berorganisasinya suatu masyarakat, yaitu masyarakat bangsa meskipun masyarakat bangsa terbagi dalam kelompok-kelompok, negara membentuk kesatuan yang bulat dan mewakili sebuah cita (een idee vertegenwoordigt). Masih berkaitan dengan pengertian Negara, Max Weber mengemukakan bahwa negara adalah satu-satunya lembaga yang memiliki keabsahan untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap warganya. Hal ini 17 B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan, dan Hak Asasi Manusia (Memahami Proses Konsolidasi Sistem Demokrasi di Indonesia), Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2003, hlm. 8. 12 menunjukkan bahwa jika berbicara mengenai negara salah satu aspek yang paling menonjol adalah kekuasaannya yang besar. Peranan Negara juga semakin dominan karena hubungan-hubungan internasional yang melahirkan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional dilakukan oleh negara-negara.18 Pada hakikatnya Negara merupakan pribadi terpenting (principle person) dalam hukum internasional. Hukum internasional pada dasarnya merupakan produk dari hubungan antar Negara baik melalui praktik yang membentuk hukum internasional atau melalui kesepakatan (perjanjian) internasional Negara itu sendiri. Negara merupakan suatu satuan yang memiliki wilayah tetap, penduduk permanen, di bawah pengawasan suatu pemerintahan dan terlibat, atau mempunyai kapasitas untuk terlibat dalam hubungan formal dengan lembaga-lembaga yang resmi lainnya dalam hukum internasional. Negara juga merupakan subjek hukum internasional yang paling tua usianya karena negara yang pertama muncul sebagai subjek hukum internasional dan baru belakangan diikuti oleh kemunculan subjeksubjek hukum internasional lainnya. Dominannya peran Negara dalam hubungan-hubungan hukum internasional juga tidak terlepas dari 18 I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Cetakan I, Mandar Maju, Bandung, 1990, hlm.60. 13 keunggulan Negara jika dibandingkan dengan subjek-subjek hukum internasional yang lain, yakni Negara memiliki Kedaulatan.19 II. Kualifikasi Negara Negara adalah subjek hukum yang paling utama, terpenting, dan memiliki kewenangan terbesar sebagai subjek hukum internasional. Sarjana filsafat hukum terkemuka, HLA Hart, mengkualifikasikan negara sebagai gambaran dari dua fakta yang di dalamnya memuat unsur-unsur dari negara. Beliau menyatakan sebagai berikut:20 The expression of a state is not the name of some person or thing inherently or by nature outside the law; it is a way of reffering to two facts: first, that a population inhabiting a territory lives under that form of ordered government provided by a legal system within its characteristic structure of legislature, Courts, and primary rules; and secondly, that the government enjoys a vaguely defined degree of independence. Menurut pendapat HLA Hart ciri-ciri negara adalah memiliki: 1. Penduduk; 2. Wilayah; 3. Pemerintahan; 4. Sistem hukum; dan 5. Independensi Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 tentang hak dan kewajiban negara adalah sumber hukum yang memuat unsur-unsur negara dan kapan 19 Rebbecca Wallace, Hukum Internasional (Pengantar untuk mahasiswa), Sweet & Maxwell, London, 1986, hlm. 63-64. 20 HLA Hart, The Concept of Law, Oxford: Oxford U.P., 2nd .ed., 1994, hlm. 22, (lihat juga: Huala Adolf, Op.cit., hlm. 1-2). 14 suatu entitas politik dapat dikatakan sebagai suatu Negara. Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:21 The State as a person of international law should possess the following qualifications: a. a permanent population b. a defined territory c. a government; and d. a capacity to enter into relations with other States. Unsur-unsur di atas juga dikemukakan oleh penulis-penulis hukum internasional. Berikut adalah uraian dari masing-masing unsur tersebut sebagai berikut: a. Penduduk yang tetap Penduduk atau rakyat suatu negara adalah kelompok orang yang secara tetap atau permanen mendiami suatu wilayah yang juga pasti luasnya. Penduduk merupakan unsur pokok bagi pembentukan suatu negara karena suatu pulau atau wilayah yang tidak ada penduduknya tidak akan dapat dikatakan sebagai negara. 22 Unsur ini bermakna sebagai kelompok orang yang hidup bersama di suatu tempat tertentu sehingga merupakan suatu kesatuan masyarakat yang diatur oleh suatu tertib hukum nasional. Kelompok orang ini mungkin saja berasal dari keturunan yang berlainan, menganut kepercayaan 21 Lihat Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933. Jawahir Thontowi, Hukum Internasional Kontemporer, Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm. 106. 22 15 yang berbeda, dan memiliki kepentingan yang saling bertentangan.23 Syarat penting untuk unsur ini yaitu bahwa rakyat atau masyarakat harus terorganisir dengan baik (organized population). Masyarakat tidak dibatasi jumlahnya dalam mendirikan suatu negara menurut hukum internasional.24 b. Wilayah tertentu Wilayah adalah unsur yang sangat penting untuk tempat rakyat menetap dan mewujudkan kedaulatan serta menerapkan jurisdiksinya di dalam wilayahnya itu. Wilayah dikatakan sebagai wilayah tetap apabila memiliki batas wilayah. Hal tersebut penting untuk memperjelas batas-batas mana saja kedaulatan negara tersebut akan berlaku. Luas wilayah juga tidak diberikan pembatasan oleh hukum internasional seperti halnya penduduk, bahkan suatu negara dapat diakui sebagai negara apabila mempunyai wilayah betapapun besar atau kecilnya sepanjang wilayah tersebut cukup konsisten. (sufficient consistency).25 23 24 Ibid R.C. Hingorani, Modern International Law, Oceana Publications Inc., India, 1984, hlm. 35. 25 Ibid 16 c. Pemerintah Pemerintah adalah seorang atau beberapa orang yang mewakili rakyat dan memerintah menurut hukum negaranya. Bengt Broms menyebut kriteria ini sebagai organized government (Pemerintahan yang terorganisir) yang berlaku atau diterapkan sepenuhnya kepada rakyatnya berupa republik, kerajaan, atau bentuk lainnya yang dikehendaki rakyatnya.26 Rakyat yang menduduki suatu wilayah hidup dengan mengorganisasikan diri sehingga tentu ada pimpinan dan ada yang dipimpin. Negara memerlukan sejumlah organ yang terdiri dari individu-individu untuk mewakili dan menyalurkan kehendaknya. Individu-individu sebagai pemimpin organisasi inilah yang kemudian dinamakan pemerintah. Bentuk dari pemerintah dapat berbeda antara yang satu dengan lainnya sebab penentuan atau pemilihan bentuk pemerintahan sepenuhnya urusan dari rakyat negara yang bersangkutan.27 d. Kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara lain Kemampuan untuk melakukan hubungan dengan negara lain merupakan manifestasi dari kedaulatan. Suatu negara yang merdeka, dan tidak di bawah kedaulatan negara lain akan mampu melakukan hubungan dengan negara lain. Suatu negara dikatakan merdeka (legal 26 Bengt Broms, State, dalam Mohammed Bedjaoui, International Law: Achievements and Prospects, UNESCO, Martinus Nijhoff publ., Paris, 1991, hlm. 44. 27 Malcolm N. Shaw, dalam Jawahir Thontowi, Op.cit., hlm. 107. 17 independence) jika wilayahnya tidak berada di bawah otoritas berdaulat yang sah dari negara lain.28 Kemampuan untuk melakukan hubungan dengan negara lain adalah kemampuan dalam pengertian yuridis berdasarkan hukum nasional maupun internasional, bukan kemampuan secara fisik. Oppenheim Lautherpacht menggunakan kalimat pemerintah harus berdaulat, yaitu kekuasaan tertinggi yang merdeka dari pengaruh suatu kekuasaan lain di muka bumi.29 III. Kedaulatan Negara Kedaulatan adalah hak eksklusif untuk menguasai suatu wilayah pemerintahan, masyarakat, atau diri sendiri. Konsep kedaulatan berkaitan dengan pemerintahan yang memiliki kendali penuh urusan dalam negerinya di dalam suatu wilayah atau batas teritorial atau geografisnya, dan dalam konteks tertentu, terkait dengan berbagai organisasi atau lembaga yang memiliki yurisdiksi hukum.30 Pernyataan ini mengandung suatu pengertian bahwa bangsa dalam suatu negara yang merdeka memiliki kewenangan atau kekuasaan secara eksklusif dan bebas melakukan berbagai kegiatan kenegaraan sesuai kepentingannya, asalkan 28 Sefriani, Hukum Internasional: Suatu Pengantar, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014, hlm. 106. 29 Ibid 30 Kedaulatan berasal dari kata daulat yang artinya kekuasaan atau pemerintahan, lihat http://providert.blogspot.com/2010/02/makna-kedaulatan-rakyat.html; lihat pula Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, 1988. 18 kegiatan atau kebijakan tersebut tidak bertentangan dengan kepentingan negara lain dan hukum internasional.31 Kedaulatan merupakan terjemahan dari kata sovereignty (Bahasa Inggris) atau souverinete (Bahasa Perancis) atau sovranus (Bahasa Italia). Jean Bodin menganggap kedaulatan sebagai atribut Negara, sebagai ciri khusus dari Negara. Menurutnya, kedaulatan merupakan hal pokok dari setiap kesatuan politik yang disebut Negara. Kedaulatan mengandung satu-satunya kekuasaan yang:32 a. Asli, yaitu tidak diturunkan dari suatu kekuasaan lain; b. Tertinggi, yaitu tidak ada kekuasaan lain yang lebih tinggi yang dapat membatasi kekuasaannya; c. Bersifat abadi atau kekal; d. Tidak dapat dibagi-bagi karena hanya ada satu kekuasaan tertinggi; e. Tidak dapat dipindahkan atau diserahkan kepada badan lain. Negara berdaulat adalah Negara yang mampu dan berhak mengurus kepentingan dalam negeri ataupun luar negeri tanpa bergantung pada suatu Negara lain.33 Kelebihan Negara sebagai subjek hukum internasional dibandingkan dengan subjek hukum internasional lainnya adalah Negara memiliki apa yang disebut kedaulatan (sovereignty). Kedaulatan yang berarti kekuasaan tertinggi pada awal mulanya diartikan sebagai suatu kebulatan dan keutuhan yang tidak dapat 31 Jawahir Thontowi, Op.cit., hlm. 169. Dedi Supriyadi, Hukum Internasional (dari konsepsi sampai aplikasi), Pustaka Setia, Bandung, 2013, hlm. 124. 33 Ibid 32 19 dipecah-pecah dan dibagi-bagi serta tidak dapat ditempatkan di bawah kekuasaan lain. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, kedaulatan merupakan kata yang sulit diartikan karena orang memberi arti yang berlainan. Menurut sejarah, asal kata kedaulatan, kata ini dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah sovereignty yang berasal dari kata latin superanus berarti yang teratas. Negara dikatakan berdaulat atau sovereign karena kedaulatan merupakan suatu sifat atau ciri hakiki Negara. Negara berdaulat yang dimaksud adalah bahwa Negara itu mempunyai kekuasaan tertinggi.34 Menurut asal katanya, kedaulatan memang berarti kekuasaan tertinggi. Negara berdaulat memang berarti Negara tersebut tidak mengakui suatu kekuasaan yang lebih tinggi daripada kekuasaannya, walaupun demikian, kekuasaan tertinggi ini mempunyai batas-batas. Ruang berlaku kekuasaan tertinggi ini dibatasi oleh batas wilayah Negara itu, artinya suatu Negara hanya memiliki kekuasaan tertinggi di dalam batas wilayahnya. Di luar wilayahnya, suatu Negara tidak lagi memiliki kekuasaan demikian. Misalnya, Negara A berbatasan dengan Negara B, maka di luar batas wilayah Negara A itu, tegasnya di wilayah Negara B, bukan Negara A melainkan B-lah yang memiliki kekuasaan tertinggi. 34 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional Buku I, Putra abardin, Jakarta, 1999, hlm. 13. 20 Jadi pengertian kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi mengandung dua pembatasan penting dalam dirinya, yaitu:35 a. Kekuasaan itu terbatas pada batas wilayah Negara yang memiliki kekuasaan itu; dan b. Kekuasaan itu berakhir dimana kekuasaan suatu Negara lain mulai. Suatu akibat paham kedaulatan dalam arti yang terbatas ini selain kemerdekaan (independence) juga paham persamaan derajat (equality), artinya bahwa Negara-negara yang berdaulat itu masing-masing merdeka, artinya yang satu bebas dari yang lainnya, juga sama derajatnya satu dengan yang lainnya. Dilihat secara demikian maka tiga konsep atau pengertian ini yaitu kedaulatan, kemerdekaan, dan kesamaan derajat tidak bertentangan satu sama lain bahkan kemerdekaan dan persamaan derajat Negara merupakan bentuk perwujudan dan pelaksanaan pengertian kedaulatan dalam arti yang wajar.36 Pengertian kedaulatan, kemerdekaan dan persamaan derajat, merupakan suatu pengertian yang mempunyai fungsi yang sangat penting dalam mewujudkan suatu masyarakat internasional yang diatur oleh hukum internasional sebagai suatu kenyataan. Hubungan antara Negaranegara atau hubungan internasional yang teratur tidak mungkin tanpa 35 36 Idem, hlm. 14. Idem, hlm. 15. 21 menerima pembatasan terhadap kedaulatan Negara yang menjadi anggota masyarakat itu. Kedaulatan suatu negara sering dikaitkan dengan permasalahan sejauh mana negara tersebut memiliki kewenangan dalam menjalankan kebijakan atau kegiatan-kegiatan kenegaraannya. Negara berwenang untuk melaksanakan hukum nasionalnya. Kedaulatan terbagi atas dua konsep yaitu kedaulatan berdasarkan jangkauan (scope) dan kedaulatan berdasarkan atas konsep wilayah (territorial) suatu negara, sebagai berikut : 1. Kedaulatan berdasarkan jangkauan (scope) Kedaulatan mencakup suatu bentuk hubungan tertentu di dalam suatu negara yang merdeka, yaitu independensi dan supremasi. Dua aspek tersebut sering disebut sebagai kedaulatan eksternal (external sovereignty) dan kedaulatan internal (internal sovereignty). Kedaulatan eksternal dan kedaulatan internal tidak diperoleh dengan cara yang mudah melainkan dengan perjuangan melalui berbagai instrumen seperti persuasi, negosiasi, sampai dengan kekerasan. a. Kedaulatan eksternal ( independensi ) Kedaulatan eksternal adalah hak atau kewenangan eksklusif bagi setiap negara untuk secara bebas menentukan hubungan internasional dengan berbagai negara atau kelompok lain tanpa 22 ada halangan, rintangan, dan tekanan dari pihak manapun juga (a freedom in international relationship). Kedaulatan eksternal juga sering disebut dengan independensi negara, yang dicirikan oleh adanya kedudukan yang sama (equal) bagi sebuah negara dalam interaksi internasional dengan negara-negara lainnya.37 Suatu Negara dalam menjamin keberadaan kedaulatan eksternalnya harus memiliki:38 1) Sebuah jurisdiksi (kewenangan) atas wilayah dan warga negara yang mendiaminya. 2) Sebuah prinsip non-intervensi, yaitu kewajiban bagi negaranegara lain untuk tidak campur tangan atas persoalan yang terjadi di wilayah tersebut, yang ditegaskan dengan rumusan International Commission on Intervention and State Sovereignty (ICISS), sebagai berikut: The concept is normally used to encompass all matters in which state is permitted by international law to decide an act without intrusions from other state. 3) Pengakuan dari negara-negara lain yang sederajat, karena dengan 37 pengakuan berarti negara tersebut berhasil Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional : Edisi Kedua, Cetakan I, PT Alumni, Bandung, 2003, hlm. 34. 38 Idem, hlm. 35. 23 meyakinkan negara lain bahwa kedaulatan yang dimilikinya merupakan sesuatu yang sah. b. Kedaulatan internal (supremacy) Kedaulatan internal adalah hak atau kewenangan eksklusif suatu negara untuk menentukan bentuk lembaga-lembaga negaranya, cara kerja lembaga negara, hak untuk membentuk undang-undang dasar (konstitusi) tanpa ada campur tangan atau intervensi negara lain, mendapatkan kepatuhan atau ketundukan dari rakyatnya (obedience in social society), dan memiliki kewenangan sendiri untuk memutus persoalan-persoalan yang timbul di dalam jurisdiksinya. Secara singkat kedaulatan internal suatu Negara dapat dijamin apabila Negara tersebut memiliki sumber-sumber hukum seperti: Constitution, Statutes, Regulation, dan Customs. Constitution adalah dasar suatu negara, yang merupakan sesuatu yang lebih luas yakni keseluruhan dari peraturan-peraturan baik yang tertulis (written law) maupun yang tidak tertulis (unwritten law) yang mengatur secara mengikat cara-cara bagaimana suatu pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat.39 Statutes adalah undang-undang sedangkan Regulations 39 peraturan-peraturan yang pembuatannya telah Dahlan Thaib, Teori dan Hukum Konstitusi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, dalam Mirza Satria Buana, Hukum Internasional Teori dan Praktek, Nusamedia, 2007, hlm. 36. 24 melalui power delegation dari badan legislatif kepada badan eksekutif. Customs merupakan kebiasaan-kebiasaan yang dipraktikkan dalam masyarakat dan tidak dituangkan dalam bentuk tertulis. Kedaulatan internal juga sering disebut dengan istilah supremasi negara atau kedaulatan ke dalam. Supremasi negara itu berada pada struktur hierarkis (instrumen pemerintah, hukum, dan perundang-undangan) yang digunakan untuk menyelenggarakan otoritas negara. 2. Kedaulatan berdasarkan konsep wilayah (territorial) Kedaulatan teritorial adalah kekuasaan penuh yang dimiliki oleh suatu negara dalam hal melaksanakan jurisdiksi (kewenangan) secara eksklusif di wilayah negaranya, yang mana di dalam wilayah tersebut negara memiliki kewenangan penuh untuk melaksanakan dan menegakkan hukum nasionalnya (exercise and enforce law). Hal ini menandakan bahwa setiap individu yang mendiami suatu wilayah tertentu haruslah tunduk dan patuh kepada kekuasaan hukum dari negara yang memiliki wilayah tersebut.40 40 Huala Adolf, Op.cit., hlm. 115. 25 Secara geografis, kedaulatan teritorial mencakup 3 (tiga) wilayah dasar, yaitu wilayah tanah atau daratan, wilayah laut, dan wilayah udara. Beberapa macam rezim status wilayah dikenal dalam kedaulatan wilayah (territorial), sebagai berikut:41 a. Status wilayah mandat Wilayah mandat adalah wilayah yang tidak mandiri atau belum mampu mengadakan hubungan dengan pihak-pihak asing tanpa ada dukungan dari negara yang mendukungnya. Kedaulatan suatu negara tidak dikenal dalam wilayah mandat karena wilayah tersebut belum merdeka dan mandiri. Istilah wilayah mandat sering digunakan pada waktu Perang Dunia I dan Perang Dunia II sebagai refleksi dari imperialisme dan kolonialisme, tetapi sekarang tidak lagi ditemukan wilayah mandat. b. Status wilayah Terra Nullius Terra Nullius adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu wilayah atau aset yang belum dimiliki oleh siapapun dan dapat dimiliki oleh siapapun juga (wilayah tak bertuan). Penguasaan atas wilayah Terra Nullius biasanya bisa dilakukan dengan penemuan wilayah baru (discovery). Benua Amerika sebelum ditemukan oleh Christoper Columbus tergolong ke dalam wilayah Terra Nullius. 41 Mirza Satria Buana, Op.Cit., hlm. 38-40. 26 c. Status wilayah Terra Communis Terra Communis adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan keadaan suatu wilayah yang wilayahnya atau aset yang dikandungnya tidak bisa dimiliki oleh siapapun juga dan merupakan milik bersama umat manusia karena menyangkut hajat hidup orang banyak (a heritage for humankind). Contohnya: wilayah Antariksa yang diatur dalam Space Treaty 1967 tentang prinsip-prinsip yang mengatur aktivitas-aktivitas negara-negara dalam kaitannya dengan eksploitasi ruang angkasa. Ketentuan Traktat tersebut tercantum dalam Pasal 2 yang berbunyi sebagai berikut: Outer space including moon and other celestial bodies is not subject to national appropriation by claim of sovereignty, by mean of use or occupation by any other mean. B. Tinjauan Tentang Penyelesaian Sengketa Internasional I. Pengertian Sengketa Internasional Menurut J.G. Merills, sengketa dapat didefinisikan sebagai perselisihan mengenai masalah fakta, hukum atau politik dimana suatu tuntutan atau pernyataan pihak dapat ditolak, dituntut balik atau diingkari oleh pihak lain. Sengketa internasional dalam arti yang lebih luas dikatakan ada apabila perselisihan itu melibatkan pemerintah, lembaga, juristic person (badan hukum) atau individu dalam bagian dunia yang 27 berlainan.42 Adapun John Collier dan Vaughan Lowe membedakan antara sengketa (dispute) dengan konflik (conflict). Sengketa (dispute) adalah:43 A specific disagreement concerning a matter of fact, law or policy in which a claim or assertion of one party is met with refusal, counter claim or denial by another. Konflik adalah istilah umum atau genus dari pertikaian (hostility) antara para pihak-pihak yang seringkali tidak fokus. setiap sengketa adalah konflik, tetapi tidak semua konflik dapat dikategorikan sebagai sengketa (dispute). Sengketa Internasional dapat diartikan sebagai sengketa yang bukan secara eksklusif merupakan urusan dalam negeri suatu Negara. Sengketa internasional juga tidak hanya eksklusif menyangkut hubungan antar Negara saja mengingat subjek-subjek hukum internasional saat ini sudah mengalami perluasan sedemikian rupa melibatkan banyak aktor non Negara.44 Menurut Starke, sengketa internasional adalah sengketa yang terjadi antara Negara dengan Negara, Negara dengan Individu, badan korporasi serta badan-badan bukan Negara di pihak lain. Menurut Mahkamah Internasional, sengketa internasional adalah suatu situasi ketika dua Negara mempunyai pandangan yang bertentangan mengenai 42 Achmad Fauzan, Penyelesaian Sengketa Internasional, Tarsito, Bandung, 1986, hlm. 1. Sefriani, Op.cit., hlm. 322. 44 Ibid 43 28 dilaksanakan atau tidaknya kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam perjanjian. Selengkapnya Mahkamah Internasional ini menyatakan: …whether there exist an international dispute is a matter for objective determination. The mere denial of existence of a dispute does not prove it’s nonexistence .. there has thus arisen a situation in which the two sides hold clearly opposite views concerning the question of the performance or nonperformance of treaty obligations. Confronted with such a situation, the court must conclude that international dispute has arisen. Hukum menyelesaikan internasional sengketa mempunyai internasional. peranan Pada besar prinsipnya dalam hukum internasional berupaya agar hubungan antar negara terjalin lewat ikatan persahabatan dan tidak mengharapkan adanya persengketaan. Hukum Internasional memberikan aturan-aturan pokok kepada negara-negara yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketanya dan memberikan pilihan yang bebas kepada para pihak tentang cara, prosedur atau upaya yang sebaiknya ditempuh untuk menyelesaikan sengketanya. Dikenal adanya dua macam sengketa internasional dalam studi hukum internasional yaitu sengketa hukum dan sengketa politik yang sebenarnya tidak ada kriteria yang jelas dan diterima umum mengenai pengertian kedua istilah tersebut. Sengketa hukum adalah suatu istilah yang sering digunakan untuk ukuran suatu sengketa internasional manakala diselesaikan oleh pengadilan internasional. sengketa tersebut dapat 29 Menyangkut substansi sengketa tersebut beberapa pakar mencoba untuk memisahkan antara sengketa hukum (Legal dispute) dan sengketa politik (Political dispute). Friedmann misalnya mengemukakan bahwa karakteristik sengketa hukum, sebagai berikut:45 1. Capable of being settled by the application of certain principles and rules of international law 2. Influenced vital interest of State such as territorial integrity 3. Implementation of the existing international law enough to raise a justice decision and support to progressive international relation 4. The dispute related with legal rights by claims to change the existing rule. Selanjutnya Oppenheim-Kelsen mengemukakan : All dispute have their political aspects by the very fact that they concern relation between sovereign States. Dispute which according to the distinction, are said to be a legal nature might involve highly important political interests of the states concerned, conversely, dispute reputed according to that distinction be a political character more often than not concern the application of a principle or a norm of international law.46 Menurut Waldock, penentuan suatu sengketa menjadi sengketa politik atau hukum tergantung dari para pihak. Jika para pihak menentukan sengketanya sebagai sengketa hukum maka sengketa tersebut adalah sengketa hukum. Sebaliknya jika sengketa tersebut membutuhkan patokan tertentu yang tidak ada dalam hukum internasional, misalnya pelucutan senjata, maka sengketa tersebut adalah sengketa politik.47 45 Idem, hlm. 192 Idem, hlm. 323 47 Aryuni Yuliantiningsih, Bahan Kuliah Hukum Internasional, Fakultas Hukum, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, 2011, hlm. 72-73. 46 30 Melihat pada pendapat ketika pakar tersebut adalah tidak mudah untuk memisahkan secara tegas antara sengketa hukum dengan sengketa politik. Hal ini berarti semua sengketa yang dapat diselesaikan menggunakan prinsip-prinsip juga aturan-aturan hukum internasional, menyangkut hak-hak yang dijamin oleh hukum internasional merupakan sengketa hukum. Hal ini juga senada dengan apa yang tertera dalam Statuta Mahkamah Internasional bahwa Mahkamah Internasional memiliki kewenangan menyelesaikan segala sengketa hukum yaitu: the sense of a dispute capable of being settled by the application of principles and rules of international law.48 Selanjutnya Pasal 36 ayat (2) Statuta Mahkamah Internasional menegaskan bahwa sengketa hukum yang dapat diajukan ke Mahkamah menyangkut hal-hal sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. Interpretation of treaty Any question of international law The existence of any fact which, if established, would constitute a breach of an international obligation The nature or extent of the reparation to be made for the breach of an international obligation. II. Cara-cara Penyelesaian Sengketa Internasional Pada umumnya, metode-metode penyelesaian sengketa digolongkan dalam dua kategori: 49 48 Dedi Supriyadi, Op.cit., hlm. 193. J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional edisi kesepuluh- Buku kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 1988, hlm. 646. 49 31 a. Cara-cara penyelesaian secara damai, yaitu apabila para pihak telah dapat menyepakati untuk menemukan suatu solusi yang bersahabat. b. Cara-cara penyelesaian secara paksa atau dengan kekerasan, yaitu apabila solusi yang dipakai atau dikenakan adalah melalui kekerasan. Penyelesaian sengketa di dalam hukum internasional terbagi menjadi dua, penyelesaian sengketa yang dilakukan secara damai dan penyelesaian sengketa secara kekerasan. 1) Penyelesaian sengketa internasional secara damai Pengaturan mengenai penyelesaian sengketa internasional secara damai, diatur dalam: a. Konvensi Den Haag 1899 mengenai Penyelesaian SengketaSengketa Secara Damai. b. Konvensi Den Haag mengenai Penyelesaian Sengketa-Sengketa Secara Damai Tahun 1907 c. Piagam PBB Penyelesaian sengketa internasional secara damai dapat dilakukan melalui penyelesaian sengketa secara diplomatik dan penyelesaian sengketa secara hukum. Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB menyebutkan macam-macam cara penyelesaian sengketa internasional 32 secara damai yang dapat dipilih oleh negara-negara yang bersengketa, yaitu:50 a. Perundingan (negotiation) Negosiasi adalah cara penyelesaian yang paling dasar dan paling tua digunakan oleh umat manusia. Penyelesaian melalui negosiasi merupakan cara yang paling penting. Banyak sengketa diselesaikan melalui cara ini tanpa adanya publisitas atau perhatian publik. Alasan utama cara ini dipergunakan adalah para pihak dapat mengawasi prosedur penyelesaian sengketa dan setiap penyelesaiannya didasarkan kesepakatan atau konsensus para pihak. Negosiasi dalam pelaksanaannya memiliki dua bentuk utama, yaitu bilateral dan multilateral. Negosiasi dapat dilangsungkan melalui saluran diplomatik pada konferensi internasional atau dalam suatu lembaga atau organisasi. Cara ini dapat digunakan untuk menyelesaikan setiap bentuk sengketa, baik sengketa ekonomi, politik, hukum, sengketa wilayah, keluarga, suku, dan lain-lain. Proses penyelesaian sengketa melalui negosiasi ini masih dimungkinkan untuk dilaksanakan apabila para pihak telah menyerahkan sengketanya kepada suatu badan peradilan tertentu. 50 Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hlm. 19-22. 33 b. Pencarian fakta (fact-finding) Suatu sengketa kadangkala mempersoalkan konflik para pihak mengenai suatu fakta. Suatu sengketa berkaitan dengan hak dan kewajiban, namun seringkali permasalahan bermula pada perbedaan pandangan para pihak terhadap fakta yang menentukan hak dan kewajiban tersebut. Penyelesaian sengketa demikian bergantung pada penguraian fakta-fakta para pihak yang tidak disepakati. Oleh sebab itu, pemastian kedudukan fakta yang sebenarnya dianggap sebagai bagian penting dari prosedur penyelesaian sengketa. Para pihak dapat memperkecil masalah sengketanya dengan menyelesaikan melalui metode pecarian fakta yang menimbulkan persengketaan. Pada intinya para pihak mempersengketakan perbedaan mengenai fakta, maka untuk meluruskan perbedaan tersebut, campur tangan pihak lain dirasakan perlu untuk menyelidiki kedudukan fakta yang sebenarnya. Biasanya para pihak tidak meminta pengadilan tapi meminta pihak ketiga yang sifatnya kurang formal. Inquiry dapat dilaksanakan oleh suatu komisi yang tugasnya terbatas hanya untuk memberikan pernyataan menyangkut kebenaran fakta dan tidak berwenang memberikat suatu putusan.51 51 Sefriani, Op.cit., hlm. 332. 34 Cara ini ditempuh manakala cara konsultasi atau negosiasi telah dilakukan dan tidak menghasilkan suatu penyelesaian. Melalui cara ini, pihak ketiga akan berupaya melihat suatu permasalahan dari semua sudut guna memberikan penjelasan mengenai kedudukan masing-masing pihak. Negara-negara juga telah membentuk badanbadan penyelidik baik yang sifatnya ad hoc ataupun terlembaga. c. Jasa-Jasa Baik (Good Offices) Jasa-jasa baik adalah cara penyelesaian sengketa melalui bantuan pihak ketiga. Pihak ketiga berupaya mempertemukan para pihak sedemikian rupa sehingga mereka mau bertemu, duduk bersama dan bernegosiasi. Keikutsertaan pihak ketiga dalam suatu penyelesaian sengketa ada dua macam, yaitu atas permintaan para pihak dan inisiatif pihak ketiga itu sendiri yang menawarkan jasajasa baiknya guna menyelesaikan sengketa. Syarat mutlak yang harus ada yaitu kesepakatan para pihak dalam kedua cara tersebut. Jasa-jasa baik sudah dikenal dalam praktik kenegaraan. jasa-jasa baik juga telah dikenal dalam praktik penyelesaian antara pihakpihak swasta.52 52 Peter Behrens, Alternative Methods of Dispute Settlement in International Economic Relations, Fribourg U.P, 1992, hlm. 14, (lihat juga: Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hlm. 19-22). 35 d. Mediasi (Mediation) Mediasi adalah cara penyelesaian melalui pihak ketiga (disebut mediator), yang ikut aktif dalam proses mediasi. Mediator bisa negara, organisasi internasional (misalnya PBB) atau individu (politikus, ahli hukum atau ilmuwan). Biasanya mediator dengan kapasitasnya sebagai pihak yang netral berupaya mendamaikan para pihak dengan memberikan saran penyelesaian sengketa. Jika usulan tersebut tidak diterima, mediator masih dapat melanjutkan fungsi mediasinya dengan membuat usulan-usulan baru. Karena itu, salah satu fungsi utama mediator adalah mencari berbagai solusi (penyelesaian), mengidentifikasi hal-hal yang dapat disepakati para pihak serta membuat usulan-usulan yang dapat mengakhiri sengketa. Seperti halnya dalam negosiasi, tidak ada prosedur khusus yang harus ditempuh dalam proses mediasi. Para pihak bebas menentukan prosedurnya, yang penting adalah kesepakatan para pihak. Mulai dari proses pemilihan mediator, cara mediasi, diterima atau tidaknya usulan-usulan yang diberikan oleh mediator, sampai pada berakhirnya tugas mediator.53 e. Konsiliasi (Consiliation) Konsiliasi adalah cara penyelesaian sengketa yang sifatnya lebih formal dibanding mediasi. Konsiliasi adalah suatu cara 53 Idem, hlm. 21. 36 penyelesaian sengketa oleh pihak ketiga atau komisi yang dibentuk para pihak. Komisi ini disebut dengan komisi konsiliasi. Komisi konsiliasi bisa yang sudah terlembaga atau ad hoc (sementara) yang berfungsi untuk menetapkan persyaratan penyelesaian yang diterima oleh para pihak, namun putusannya tidak mengikat para pihak. Persidangan suatu komisi konsiliasi biasanya terdiri atas dua tahap, yaitu tahap tertulis dan tahap lisan. Pertama, sengketa (yang diuraikan secara tertulis) diserahkan kepada badan konsiliasi. Kemudian badan ini akan mendengarkan keterangan lisan dari para pihak. Para pihak dapat hadir pada tahap pendengaran tersebut, tetapi bisa juga diwakili oleh kuasanya. Berdasarkan fakta-fakta yang diperolehnya, konsiliator atau badan konsiliasi akan menyerahkan laporannya kepada para pihak disertai dengan kesimpulan, dan usulan-usulan penyelesaian sengketanya. Sekali lagi usulan ini sifatnya tidaklah mengikat, karena diterima tidaknya usulan tersebut bergantung sepenuhnya kepada para pihak.54 Penyelesaian sengketa secara damai juga bisa dilakukan melalui pengadilan. Pengadilan dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu pengadilan permanen dan pengadilan ad hoc atau pengadilan khusus. Contoh: pengadilan permanen internasional adalah Mahkamah Internasional (the International Court of Justice). 54 Idem, hlm. 22. 37 Pengadilan ad hoc atau pengadilan khusus lebih populer dibandingkan dengan pengadilan permanen, terutama dalam kerangka suatu organisasi ekonomi internasional. Badan pengadilan ini berfungsi cukup penting dalam menyelesaikan sengketa yang timbul dari perjanjian ekonomi internasional. f. Arbitrase (Arbitration) Arbritase adalah penyerahan sengketa secara sukarela kepada pihak ketiga yang netral yang mengeluarkan putusan bersifat final dan mengikat (binding). Lembaga arbritase dewasa ini sudah semakin populer dan semakin banyak digunakan dalam menyelesaikan sengketa-sengketa internasional. Penyerahan suatu sengketa kepada lembaga arbitrase dapat dilakukan dengan pembuatan compromis, yaitu penyerahan kepada lembaga arbitrase suatu sengketa yang telah lahir atau melalui pembuatan suatu klausul arbitrase dalam suatu perjanjian, sebelum sengketanya muncul (clause compromissoire).55 Orang yang dipilih melakukan arbitrase disebut arbitrator atau arbiter. Pemilihan arbitrator sepenuhnya berada pada kesepakatan para pihak. Biasanya arbitrator yang dipilih adalah mereka yang telah ahli mengenai pokok sengketa serta disyaratkan netral. Arbitrator tidak selalu harus ahli hukum, seorang arbitrator bisa saja yang menguasai bidang-bidang lainnya seperti 55 Idem, hlm. 23. 38 seorang insinyur, pimpinan perusahaan (manajer), ahli asuransi, ahli perbankan dan lain-lain. Setelah arbitrator ditunjuk, selanjutnya arbitrator menetapkan term of reference atau aturan permainan (hukum acara) yang menjadi patokan kerja mereka. Biasanya dokumen ini memuat pokok masalah yang akan diselesaikan, kewenangan yuridiksi arbitrator dan aturan-aturan (acara) sidang arbitrase. Muatan term of reference harus disepakati oleh para pihak.56 g. Peradilan Internasional Peradilan internasional yang dimaksud ialah penyelesaian masalah dengan menerapkan ketentuan hukum oleh badan peradilan internasional yang dibentuk secara teratur. Peradilan internasional dewasa ini dapat dilakukan oleh Mahkamah Internasional atau oleh badan peradilan lain, Mahkamah Internasional kini merupakan satusatunya badan peradilan internasional tetap yang dapat digunakan dalam masyarakat internasional. Lembaga peradilan lain dapat melakukan peradilan internasional berdasarkan persetujuan pihakpihak yang bersengketa. Mahkamah Internasional dibentuk berdasarkan Piagam PBB. Piagam itu menetapkan kedudukan dan wewenang Mahkamah Internasional. Pelaksanaan fungsi Mahkamah Internasional itu selanjutnya diatur dalam Statuta Mahkamah 56 Ibid 39 Internasional yang merupakan bagian integral dari Piagam tersebut.57 Penyelesaian sengketa oleh Mahkamah Internasional hanya dapat diminta oleh negara dalam persengketaannya dengan negara lain. Organisasi internasional dan individu tidak dapat berperkara dihadapan Mahkamah Internasional. Yuridiksi Mahkamah Internasional dalam penyelesaian sengketa hanya terbatas pada sengketa antar negara, namun yuridiksi Mahkamah Internasional dalam hal itu meliputi semua perkara.58 h. Badan-Badan Regional Melibatkan lembaga atau organisasi regional baik sebelum maupun sesudah PBB berdiri. Ruang lingkup mengenai objek sengketa yang dapat diselesaikan oleh badan atau organisasi internasional regional ini sedikit banyak bergantung kepada instrumen hukum yang mendasarinya. Instrumen hukum itu sendiri sesungguhnya sangat bergantung kepada sifat atau karakteristik dari organisasi yang bersangkutan. Misal: letak geografis atau letak organisasi tersebut berada, badan-badan kelengkapannya, tugas, dan wewenang organisasi tersebut, termasuk wewenang dalam penyelesaian sengketa internasional. Misal: organisasi internasional 57 F. Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2010, hlm. 128. 58 Idem., hlm. 131. 40 regional yang dibentuk untuk masalah-masalah perdagangan atau ekonomi akan mengatur dan membatasi dirinya antara lain untuk memberi saran penyelesaian sengketa khusus di bidang perdagangan atau ekonomi. Hadirnya lembaga atau mekanisme penyelesaian sengketa yang diciptakan oleh masyarakat internasional, pada umumnya ditujukan untuk suatu maksud utama, yaitu memberi cara bagaimana seyogyanya sengketa internasional diselesaikan secara damai. Cara-cara tersebut yang diberi landasan hukum, berupa piagam, perjanjian atau konvensi, mengikat negara-negara yang mengikatkan diri terhadapnya. Pengaturan cara-cara damai yang dituangkan dalam instrumen atau perjanjian internasional adalah untuk mencegah atau menghindari negara-negara menggunakan cara-cara kekerasan, militer atau perang sebagai cara penyelesaian sengketa mereka. 2) Penyelesaian sengketa internasional dengan kekerasan Penyelesaian sengketa internasional secara kekerasan (perang), telah diatur oleh hukum internasional terutama dalam hukum humaniter internasional. Pengaturan mengenai penyelesaian sengketa internasional dengan kekerasan diatur dalam:59 59 Arlina Permanasari dkk, Pengantar Hukum Humaniter Internasional, International Committe of the Red Cross, Jakarta, 1999, hlm. 21. 41 a. Konvensi Den Haag 1899 mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat; b. Konvensi Den Haag 1899 mengenai adaptasi Asas-Asas Konvensi Jenewa tentang Hukum Perang di Laut; c. Konvensi Den Haag 1907 mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat; d. Konvensi Den Haag 1907 mengenai Cara Memulai Perang; e. Konvensi Den Haag 1907 mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat; f. Konvensi Jenewa 1949 mengenai Perlakuan Terhadap Tawanan Perang; g. Konvensi Jenewa 1949 mengenai Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil di Waktu Perang. Penggunaan cara-cara kekerasan atau paksaan dalam menyelesaikan suatu sengketa dilarang oleh ketentuan hukum internasional walaupun dimungkinkan bagi para pihak untuk menyelesaikan sengketa mereka melalui jalan kekerasan atau paksaan apabila penyelesaian sengketa secara damai tidak tercapai kesepakatan. Penyelesaian sengketa secara paksa atau kekerasan dapat dilakukan melalui:60 60 J.G. Starke, Op.cit, hlm. 679-685. 42 a. Perang Perang bertujuan untuk menaklukkan negara lawan sehingga negara yang kalah tidak memiliki alternatif lain kecuali menerima syarat-syarat penyelesaian yang ditentukan oleh negara pemenang perang. Jadi, dengan berakhirnya perang berarti sengketa telah diselesaikan. Perang dalam kasus Driefontein Consolidated Gold mines v Janson memberikan pernyataan bahwa apabila perselisihan antara negara-negara mencapai suatu titik dimana kedua belah pihak berusaha untuk memaksa atau salah satu dari mereka melakukan tindakan kekerasan, yang dipandang oleh pihak lain sebagai suatu pelanggaran perdamaian, maka terjadi hubungan perang, di mana pihak-pihak yang bertempur satu sama lain dapat menggunakan kekerasan sesuai dengan peraturan sampai salah satu dari mereka menerima syarat-syarat sebagaimana yang dikehendaki oleh musuhnya.61 Pada awal perkembangan hukum internasional, penggunaan kekerasan (use of force) oleh negara diatur dalam Just War Doctrine yang dikembangkan antara lain oleh ST Augustine dan Grotius. Doktrin ini menyatakan bahwa perang adalah ilegal kecuali jika dilakukan untuk suatu just cause. Kekerasan atau perang diizinkan sebagai suatu cara untuk menjamin hak suatu negara manakala tidak 61 Sefriani, Op.cit., hlm. 353. 43 ada cara lain yang efektif. Perang adil pada masa itu adalah suatu peperangan dengan menggunakan peralatan perang yang sederhana yang disertai dengan pernyataan perang oleh suatu pihak dan pihak lain yang akan diserang bersiap-siap untuk membela diri.62 Perkembangan setelah dibentuknya menunjukkan bahwa pengaturan hak PBB tahun 1945 negara menggunakan kekerasan (use of force) merupakan penggabungan dari hukum kebiasaan internasional dan perjanjian internasional karena dalam hukum kebiasaan internasional tidak ada larangan penggunaan kekerasan, sedangkan dalam perjanjian internasional seperti Kellog Briand Pact melarang penggunaan perang. Piagam PBB tidak menggunakan istilah perang (war) tetapi menggunakan istilah penggunaan kekerasan (use of force). Perang adalah teknis dalam pandangan hukum internasional yang seringkali digunakan sebagai istilah dalam praktik negara-negara seperti insiden di perbatasan baik insiden kecil, short war, sampai operasi militer besar-besaran yang dilakukan oleh para pihak bertikai.63 b. Retorsi (Retortion) Retorsi adalah istilah teknis untuk pembalasan dendam oleh suatu negara terhadap tindakan-tindakan tidak pantas atau tidak patut 62 63 Idem, hlm. 354. Ibid 44 dari negara lain, balas dendam tersebut dilakukan dalam bentuk tindakan-tindakan sah yang tidak bersahabat di dalam konferensi negara yang kehormatannya dihina. Misalnya, merenggangnya hubungan diplomatik, pencabutan privilege diplomatik atau penarikan diri dari konsesi-konsesi fiskal dan bea. Demikian banyaknya praktik-praktik mengenai retorsi sehingga tidak mungkin untuk menentukan secara tepat syarat-syarat bahwa tindakantindakan itu dibenarkan. c. Tindakan-Tindakan Pembalasan (Repraisals) Pembalasan merupakan metode-metode yang dipakai negaranegara untuk mengupayakan diperolehnya ganti rugi dari negaranegara lain dengan melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya pembalasan. Perbedaan antara tindakan pembalasan dengan retorsi adalah pembalasan mencakup tindakan yang pada umumnya boleh dikatakan sebagai perbuatan ilegal, sedangkan retorsi meliputi tindakan yang sifatnya balas dendam yang dapat dibenarkan oleh hukum. Bentuk-bentuk dari pembalasan diantaranya: pemboikotan barang-barang terhadap suatu negara tertentu, embargo, demonstrasi angkatan laut atau pemboman.64 64 J.G. Starke, Op.cit, hlm. 680. 45 d. Blokade secara Damai (Pacific Blockade) Pada waktu perang, blokade terhadap pelabuhan suatu negara yang terlibat perang sangat lazim dilakukan oleh angkatan laut. Blokade secara damai adalah suatu tindakan yang dilakukan pada waktu damai. Kadang-kadang digolongkan sebagai pembalasan, tindakan itu pada umumnya ditujukan untuk memaksa negara yang pelabuhannya diblokade menaati permintaan ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh negara yang memblokade. Manfaat nyata penggunaan blokade secara damai adalah tindakan ini merupakan cara tindakan yang jauh dari kekerasan dibandingkan perang dan blokade juga sifatnya fleksibel.65 e. Intervensi (Intervention) Intervensi adalah campur tangan secara diktator oleh suatu negara terhadap urusan dalam negeri lainnya dengan maksud baik untuk memelihara atau mengubah kondisi nyata di negara tersebut. Lauterpacht selengkapnya menyatakan sebagai berikut: 66 ...dictatorial interference by a State in the affairs of another State for the purpose of either maintaining or altering the actual condition of things. 65 66 Ibid Huala Adolf, Op.cit., hlm. 36. 46 Hukum internasional pada umumnya melarang campur tangan yang berkaitan dengan urusan-urusan negara lain, yang dalam kaitan khusus ini berarti suatu tindakan yang dari sekedar campur tangan saja dan lebih kuat daripada mediasi atau usulan diplomatik. Menurut Hyde, yang termasuk dalam larangan itu umumnya yang bertentangan dengan kepentingan negara lain, campur tangan itu hampir selalu disertai dengan bentuk atau implikasi tindakan untuk menggangu kemerdekaan politik negara yang bersangkutan. C. Tinjauan Umum Tentang Intervensi Menurut Oppenheim Lauterpacht intervensi adalah campur tangan secara diktator oleh suatu Negara terhadap urusan dalam negeri lainnya dengan maksud baik untuk memelihara dan mengubah keadaan, situasi, atau barang di negeri tersebut.67 Intervensi dalam Black’s Law Dictionary diartikan sebagai turut campurnya sebuah Negara dalam urusan dalam negeri Negara lain atau urusan dengan Negara lain dengan menggunakan kekuatan atau ancaman kekuatan, sedangkan intervensi kemanusiaan (Humanitarian Intervention) diartikan sebagai intervensi yang dilakukan oleh komunitas 67 Oppenheim-Lauterpacht, International Law: A Treaties vol 1: Peace, edisi ke-8, Longmans, 1967, hlm. 305 dalam Huala Adolf, Aspek-aspek Negara Dalam Hukum Internasional, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm. 30. 47 internasional untuk mengurangi pelanggaran hak asasi manusia dalam sebuah Negara, walaupun tindakan tersebut melanggar kedaulatan Negara tersebut.68 Sir William Harcout mengemukakan bahwa intervensi merupakan suatu masalah yang lebih dekat kaitannya dengan kebijakan dibandingkan dengan hukum. Intervensi berada jauh di atas dan di luar jangkauan hukum (bila dilaksanakan oleh pihak yang memiliki kekuasaan dimaksudkan untuk mendapat pengaruh daripadanya) dan merupakan kebijakan tingkat tinggi yang berkaitan dengan keadilan dan kemanusiaan.69 Historicus mengemukakan bahwa intervensi merupakan prosedur yang tinggi dan ringkas yang kadang-kadang bisa menjadi pemicu adanya perbaikan tanpa tersentuh oleh hukum. Namun begitu, harus diakui bahwa dalam kasus intervensi, sebagaimana juga revolusi, intinya adalah ketidaksahan, dan justifikasinya adalah keberhasilan yang dicapainya. Intervensi tidak dibenarkan dan dianggap tidak politis jika mengalami kegagalan.70 Wirjono Prodjodikoro memberi pengertian intervensi yaitu dalam hukum internasional intervensi tidak berarti luas sebagai segala bentuk campur tangan Negara asing dalam urusan satu negara, melainkan berarti 68 Bryan A Garner ed., Black Law Dictionary, Seventh Edition, Book 1, West Group, ST.Paul, Minn, 1999, hlm. 826. 69 William Vernon Harcourt, Letters by Historicus on Some Questions of International Law: Reprinted from “tha times” with considerable addition, dalam Simon Chesterman, Just war or Peace?: Humanitarian Intervention and International Law (New York: Oxford University Press, 2001) hlm. 39, dalam www.uop.com, diakses tanggal 5 Desember 2013. 70 Simon Chesterman,Idem, hlm.42 , dalam www.uop.com, diakses tanggal 5 Desember 2013. 48 sempit, yaitu suatu campur tangan negara asing yang bersifat menekan dengan alat kekerasan (force) atau dengan ancaman melakukan kekerasan, apabila keinginannya tidak terpenuhi.71 Intervensi dan prinsip non-intervensi terdapat dalam berbagai dokumen atau instrumen hukum internasional sebagai berikut:72 1. Piagam PBB Pasal 2 ayat (7) dan 2 ayat (4) Piagam PBB mensyaratkan bahwa organisasi PBB dilarang untuk ikut campur dalam urusan domestik suatu negara kecuali dalam rangka memelihara perdamaian menurut Bab VII Piagam. 2. Rancangan ILC (International Law Commission) mengenai Hak-hak dan Kewajiban Negara 1949 Ketentuan mengenai larangan intervensi ini dapat pula ditemukan dalam Pasal 3 Rancangan Deklarasi mengenai Hak-hak dan Kewajiban Negara yang dibuat oleh komisi hukum internasional pada tahun 1949. Pasal tersebut menyebutkan bahwa setiap negara berkewajiban untuk menahan diri mengintervensi ke dalam urusan dalam atau luar negeri negara lain.73 71 Wirjono Prodjodikoro, Azaz-azaz Hukum Publik Internasional, PT. Pembimbing Masa, Jakarta, 1967, hlm.149-150. 72 Huala Adolf, Op.cit., hlm. 37. 73 Idem, hlm. 38. 49 3. Hasil konferensi Asia Afrika 1955 Larangan intervensi dimuat dalam keputusan akhir konferensi Asia Afrika April 1955 di Bandung yang terkenal dengan Dasa Sila Bandung. 4. Deklarasi Majelis Umum PBB 1965 Majelis Umum PBB pada tahun 1965 mengeluarkan suatu Deklarasi penting yang melarang intervensi suatu negara terhadap negara lain yang berjudul ‘Declaration on the inadmissibility of Intervention in the Domestic Affairs of States and the Protection of Their Independence and Sovereignty.’ Paragraf 1 Deklarasi menyebutkan dengan tegas larangan intervensi baik secara langsung ataupun tidak langsung atau untuk alasan apapun juga, baik pula intervensi terhadap urusan dalam negeri atau pun urusan luar negeri suatu negara.74 5. Deklarasi Majelis Umum PBB 1970 Ketentuan mengenai larangan intervensi juga dapat pula ditemukan dalam Deklarasi Majelis Umum PBB yaitu friendly relations declaration [G.A Res. 2625 (XXV)], yang menyebutkan prinsip bahwa Negara-negara berkewajiban untuk tidak mengintervensi ke dalam masalah-masalah domestik Negara lain. 74 Idem, hlm. 39. 50 6. Piagam ASEAN 2007 Prinsip non-intervensi ditegaskan dan dijunjung tinggi di antara negaranegara anggota ASEAN. Prinsip ini termuat dalam Preambule, menyebutkan bahwa non-interference ini dipandang sebagai prinsip ASEAN di mana Negara-negara anggota harus menghormatinya. Prinsip larangan campur tangan terhadap urusan-urusan dalam negeri sesama negara anggota ASEAN dituangkan pula ke dalam muatan Pasal 2 Piagam ASEAN yang memuat prinsip-prinsip ASEAN.75 Intervensi menimbulkan perdebatan karena berhadapan langsung dengan prinsip-prinsip umum dalam hukum internasional, yaitu Prinsip Kedaulatan Negara dan Prinsip non-intervensi.76 Hukum internasional pada umumnya melarang campur tangan berupa suatu tindakan yang lebih dari sekedar campur tangan saja dan lebih kuat dari mediasi atau usulan diplomatik. Larangan tersebut umumnya adalah campur tangan yang berkaitan dengan kepentingan negara terkait seperti yang dikatakan Hyde serta dijelaskan oleh International Court of Justice pada tahun 1986 dalam kasus Nicaragua v United States of America, campur tangan itu hampir selalu disertai bentuk atau implikasi tindakan untuk mengganggu kemerdekaan politik negara yang bersangkutan. Menurut Mahkamah Internasional, suatu intervensi dilarang oleh hukum internasional apabila: (a) merupakan campur 75 76 Idem, hlm. 40. Lihat Pasal 2 (1) dan Pasal 2 (4) Piagam PBB 51 tangan yang berkaitan dengan masalah-masalah di mana setiap negara dibolehkan untuk mengambil keputusan secara bebas (misalnya mengenai sistem politik atau ekonomi atau penganutan politik luar negerinya sendiri); dan (b) campur tangan itu meliputi gangguan terhadap kemerdekaan negara lain dengan cara-cara paksa, khususnya kekerasan (misal: memberikan dukungan secara tidak langsung terhadap aktivitas-aktivitas subversif terhadap negara yang menjadi tujuan intervensi tersebut). Segala sesuatu yang tidak termasuk dalam pengertian yang dikemukakan secara tegas ini bukanlah intervensi dalam arti yang dilarang oleh hukum internasional.77 Hukum internasional mengklasifikasikan intervensi dalam 3 (tiga) macam, yang didasarkan atas jangkauan (Scope) dari intervensi tersebut, yaitu:78 a. Intervensi Internal Intervensi atau campur tangan yang melibatkan negara luar sebagai penyokong atau pendukung suatu pemberontakan, peperangan, atau konflik politik di Negara lain dengan cara yang diktator. b. Intervensi Eksternal Intervensi atau campur tangan Negara lain terhadap peperangan atau konflik yang sudah terjadi antara dua Negara atau lebih. 77 J.G Starke, Pengantar Hukum Internasional-Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 135-136. 78 Mirza Satria Buana, Op.cit., hlm. 31. 52 c. Intervensi Repraisal Intervensi atau campur tangan suatu Negara yang dilakukan atas dasar pembalasan (a repraisal) terhadap kerugian yang telah ditimbulkan oleh Negara lain, dengan melakukan perang kecil atau blokade damai. J.G Starke dalam bukunya yang berjudul Pengantar Hukum Internasional juga menjabarkan 3 (tiga) macam intervensi, yaitu : 79 a. Intervensi Intern (Internal Intervention). Contoh Negara A yang mencampuri persengketaan antara pihak-pihak bertikai di Negara B, dengan cara mendukung salah satu pihak, baik pihak pemerintah yang sah ataupun pihak pemberontak. b. Intervensi Ekstern (External Intervention). Contoh Negara A yang ikut campur tangan dalam hubungan, umumnya hubungan permusuhan, seperti ketika Italia melibatkan diri dalam perang dunia kedua dengan memihak Jerman dan melawan Inggris. c. Intervensi Penghukuman (Punitive Intervention). Bentuk intervensi ini merupakan suatu tindakan pembalasan (repraisal), yang bukan perang, atas kerugian yang diderita oleh Negara lain. Misal: suatu blokade damai yang dilakukan terhadap Negara yang menimbulkan kerugian sebagai pembalasan atas tindakannya yang merupakan pelanggaran berat traktat. 79 J.G Starke, Op.cit., hlm.136. 53 Istilah intervensi juga digunakan oleh beberapa penulis untuk menyatakan intervensi subversif, untuk menunjukkan aktivitas propaganda atau aktivitas lainnya yang dilakukan oleh suatu Negara dengan maksud untuk menyulut revolusi atau perang saudara di Negara lain, untuk tujuan Negara itu sendiri. Hukum internasional melarang intervensi subversif demikian.80 Salah satu doktrin yang terkenal sehubungan dengan prinsip non intervensi adalah Doktrin Monroe. Doktrin ini bermula dari pesan (message) Presiden Amerika Serikat Monroe kepada Kongres pada 2 Desember 1823. Presiden Monroe dalam pesannya itu menyinggung soal ancaman pendudukan Soviet terhadap Alaska dan ancaman intervensi terhadap Aliansi Suci (Holy Alliance) Amerika yang berbunyi sebagai berikut :81 We owe it, therefore, to candor, and to the amicable relations existing between the United States and those Europeans, former colonial powers, to declare that we should consider any attempt on their part to extend their system to any portion of this hemisphere as dangerous to our peace and safety. Doktrin ini mengandung dua arti penting sebagai berikut:82 a. Prinsip non-kolonisasi, yaitu Amerika Serikat berkepentingan untuk menjamin bahwa tidak ada satu bagian pun dari benua Amerika yang bersifat terra nullius (tidak ada yang memiliki) dan menjadi wilayah kolonisasi Negara Eropa. 80 Idem, hlm. 137 Parry and grant, dkk., Encyclopaedic Dictionary of International Law, Oceana Publications inc., New York, 1986, hlm. 241. 82 D.P. O’Connel, Op.cit., hlm. 306-307. 81 54 b. Prinsip Non Intervensi yang pada pokoknya menetapkan bahwa setiap upaya Negara asing untuk memperluas sistem politiknya ke Benua Amerika akan merupakan ancaman bahaya terhadap perdamaian dan keamanan Amerika. Intervensi dalam keadaan tertentu tidaklah selalu merupakan pelanggaran kemerdekaan atau integritas wilayah Negara lain sebab hukum internasional pun memberikan pengecualian terhadap prinsip tersebut. Pengecualian prinsip intervensi yang dimaksud adalah sebagai berikut:83 a. Suatu Negara pelindung (protector) telah diberikan hak-hak intervensi (intervention rights) yang dituangkan dalam suatu perjanjian oleh Negara yang meminta perlindungan. Contoh: Perjanjian persahabatan, hubungan bertetangga baik dan kerjasama (the Treaty of friendship, good neighbourliness and cooperation) yang ditandatangani oleh Uni Soviet dan Afghanistan pada tanggal 5 Desember 1978. Pasal 4 the treaty of friendship, good neighbourliness and cooperation menetapkan bahwa kedua belah pihak akan mengambil langkah yang diperlukan untuk melindung keamanan, kemerdekaan, dan keutuhan wilayah kedua Negara. Isi ketentuan perjanjian demikian dapat dimaksudkan sebagai pembenaran terhadap tindakan Uni Soviet ketika menginvasi Afghanistan pada Desember 1979. 83 Gerhard von Glahn, Law Among Nation, Macmillan Publishing Co.,Inc., edisi ke-4, 1981, hlm. 161-162, (lihat dalam Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam hukum internasional, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm. 30-32). 55 b. Jika suatu Negara berdasarkan suatu perjanjian dilarang untuk mengintervensi namun ternyata melanggar larangan ini, maka Negara lainnya yang juga adalah pihak/peserta dalam perjanjian tersebut berhak untuk melakukan intervensi. c. Jika suatu Negara melanggar dengan serius ketentuan-ketentuan dalam hukum kebiasaan yang telah diterima umum, Negara lainnya mempunyai hak untuk mengintervensi Negara tersebut. Jadi, jika pemberontak terus-menerus melanggar hak-hak suatu Negara netral selama terjadinya konflik, maka Negara netral tersebut memiliki hak untuk mengintervensi terhadap Negara pemberontak tersebut. d. jika warga negaranya diperlakukan semena-mena di luar negeri maka Negara tersebut memiliki hak untuk mengintervensi atas nama wargawarga tersebut, setelah semua cara damai diambil untuk menangani masalah tersebut. e. Suatu intervensi dapat pula dianggap sah dalam hal tindakan bersama oleh suatu organisasi internasional yang dilakukan atas kesepakatan bersama Negara-negara anggotanya. f. Suatu intervensi dapat juga sah manakala tindakan tersebut dilakukan atas permintaan yang sungguh-sungguh dan tegas-tegas (genuine and explicit) dari pemerintah yang sah dari suatu Negara (invitational intervention). Intervensi ini cukup banyak dilakukan oleh Negara- 56 negara besar dewasa ini. Pengiriman tentara Inggris ke Yordania pada tahun yang sama setelah Republik Persatuan Arab melakukan intervensi terhadap masalah-masalah dalam negeri Yordania. Tahun 1964, kembali tentara inggris didaratkan di Tanganyika Uganda, dan Kenya atas permintaan masing-masing Negara tersebut untuk meredakan pemberontakan di negeri-negeri tersebut, dan lain-lain. Berikut ini juga yang umumnya dinyatakan sebagai kasus-kasus terdapat kekecualian pokok dimana menurut hukum internasional suatu Negara berhak melakukan intervensi sah sebagai berikut:84 a. Intervensi kolektif sesuai dengan Piagam Perserikatan BangsaBangsa; b. Intervensi untuk melindungi hak-hak dan kepentingan-kepentingan serta keselamatan jiwa warga-warga Negara di luar yang menjadi dasar bagi pemerintah Amerika Serikat membenarkan tindakan pengiriman tentara multinasional di pulau Grenada bulan oktober 1983; c. Pertahanan diri, apabila intervensi diperlukan untuk menghilangkan bahaya serangan bersenjata yang nyata; d. Dalam urusan-urusan kekuasaannya; 84 Ibid protektorat yang berada di bawah 57 e. Apabila Negara yang menjadi subjek intervensi dipersalahkan melakukan pelanggaran berat atas hukum internasional menyangkut Negara yang melakukan intervensi, sebagai contoh, apabila Negara pelaku intervensi sendiri telah diintervensi secara melawan hukum. Hak-hak kekecualian intervensi dilaksanakan dengan syarat Negaranegara harus tunduk kepada kewajiban-kewajiban pokok menurut Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, sehingga kecuali charter sendiri memperbolehkan pelaksanaan hak itu, intervensi tidak boleh berkembang menjadi ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap integritas territorial atau kemerdekaan politik Negara-negara manapun (lihat Pasal 2 ayat 4).85 Intervensi dapat dikatakan akan selalu bersinggungan dengan kedaulatan suatu Negara. Bila campur tangan itu hanya sebatas sugesti diplomatik, hal ini bukanlah suatu masalah atau belum dianggap suatu pelanggaran terhadap kedaulatan suatu Negara. Intervensi harus sampai pada tingkat kedaulatan suatu Negara dalam pelaksanaannya diambil alih oleh Negara lain. Intervensi demikian merupakan suatu pelanggaran terhadap hukum internasional. Hukum internasional juga membolehkan tindakan tersebut dengan syarat bahwa timbulnya suatu keadaan atau hal tertentu yang merupakan ancaman bahaya bagi perdamaian dan keamanan dunia dan juga merupakan pelanggaran bagi hukum internasional dan memungkinkan untuk 85 J.G Starke, Op.cit., hlm. 137. 58 timbulnya perang. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Ali Sastroamijojo bahwa intervensi itu dapat dijalankan sewaktu-waktu dalam taraf perkembangan persengketaan antar Negara yang lazimnya dijalankan pada saat akan meletus peperangan. Jadi intervensi dalam hal ini bermaksud untuk mencegah meletusnya peperangan, artinya tidak untuk memihak salah satu dari pihak yang bersengketa.86 Suatu tindakan intervensi yang diperbolehkan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu intervensi yang berdasarkan suatu hak dan tindakan lain yang walaupun tidak berdasarkan suatu hak namun diizinkan oleh hukum internasional. Seperti yang dikatakan oleh L. Oppenheim, sebagai berikut :87 That intervention, as a rule, forbidden by international law, which protect the international personality of the state, there is no doubt, on the other hand, there is just a little doubt, that this rule has exception, for there are intervention which take place by right, and there are other which, although they do not take place by right, are nevertheless permited by international law. Pelaksanaan dari intervensi yang disebutkan di atas, di samping tidak menjadi ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik, juga harus mendapat ijin atau tidak melanggar ketentuan-ketentuan dalam Piagam PBB. Suatu intervensi harus mendapat ijin dari PBB melalui Dewan Keamanan. Ijin ini berbentuk rekomendasi yang berisikan pertimbangan-pertimbangan terhadap keadaan yang menjadi alasan 86 87 hlm. 137. Ali Sastroamidjoyo, Op.cit., hlm. 191. Oppenheim Lauterpacht, International Law and Treaties, Longmans, London, 1952, 59 tindakan intervensi dan intervensi itu diperlukan terhadap keadaan-keadaan tersebut. Pasal 51 Piagam PBB juga mengatur salah satu bentuk intervensi yang mana intervensi ini dilakukan atas nama PBB atau secara kolektif dengan tujuan self defence terhadap suatu keadaan yang timbul yang membahayakan perdamaian atau merusak perdamaian atau merupakan suatu agresi sehingga dapat disimpulkan bahwa di bawah naungan PBB, suatu intervensi dikategorikan sebagai tujuan pembelaan diri terhadap suatu serangan yang membahayakan perdamaian atau merusak perdamaian dan merupakan suatu agresi.88 Bentuk lain dari suatu intervensi yang diperbolehkan adalah blokade dalam waktu damai. Intervensi ini dijalankan oleh suatu Negara untuk memaksa Negara lain menepati kewajibannya menurut perjanjian yang dibuat dengan Negara yang menjalankan intervensi. Blokade dalam waktu damai sekiranya hanya dapat dijalankan menurut hukum internasional, apabila penyelesaian sengketa dengan jalan perundingan telah dilakukan tetapi menemui jalan buntu. Suatu intervensi haruslah bersifat memaksa atau kekerasan. Sifat inilah yang membedakan intervensi dengan tindakan campur tangan lainnya. Intervensi dijalankan secara lebih aktif terhadap urusan dalam dan luar negeri suatu Negara, dan intervensi dapat begitu luas sehingga mencakup tindakan-tindakan militer. Larangan seperti ini juga ditemukan 88 Bab VII Piagam PBB, Pasal 39, 41, dan 51. 60 dalam kompromi antara berbagai kepentingan yang dimulai oleh bangsabangsa di dunia ini dengan sejauh mungkin menghindari friksi atau pergesekan antar kekuatan yang mereka miliki.89 Penggunaan paksaan ekonomi atau tekanan psikologi tidak dapat dijadikan rujukan, namun penggunaan paksaan tersebut tetap dilarang dalam Pasal 39. Jessup menyatakan bahwa pelarangan kekerasan bersenjata (use of force) yang dinyatakan dalam Pasal 2 (4) tidak absolut, jika penggunaan kekerasan tersebut tidak mengancam kesatuan wilayah atau kebebasan politik dari suatu Negara. Syarat tersebut dapat menghindari dari batasan yang digunakan dalam kalimat pertama pasal tersebut. 90 89 Eka Putra, Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Damai, dalam www.hukumit.blogspot.com, diakses tanggal 10 November 2013. 90 Goodrich dan Hambro, Charter of The United Nations Commentary and Documents, World Peace Foundation Boston, 1949, hlm. 110-121. 61 BAB III METODE PENELITIAN 1. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum normatif.91 Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian yuridis normatif ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.92 Pendekatan kasus bertujuan untuk mempelajari norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum. Kasus tersebut dipelajari untuk memperoleh gambaran terhadap dampak dimensi penormaan dari suatu aturan hukum dalam praktik hukum, serta menggunakan hasil analisisnya untuk bahan masukan (input) dalam eksplanasi hukum.93 91 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media, Malang, 2008, hlm.306. 92 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Normatif, Kencana, Jakarta, 2005, hlm. 93. 93 Johnny Ibrahim, Op.cit., hlm. 321. 62 2. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian ini adalah penelitian deskriptif, merupakan suatu penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan keadaan atau gejala dari objek yang diteliti tanpa bermaksud mengambil kesimpulan yang berlaku umum. Penelitian deskriptif adalah penelitian untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya dengan membatasi permasalahan dan pendekatannya. Penelitian yang dilakukan hanya menggambarkan peraturan perundang-undangan yang dikaitkan dengan teori-teori hukum dan kesesuaian dengan praktik pelaksanaannya. 94 3. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Perpustakaan Pusat Universitas Jenderal Soedirman dan di Pusat Informasi Ilmiah (PII) Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman serta media elektronik dengan menggunakan internet. 4. Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini hanya menggunakan data sekunder, yaitu data yang diperoleh peneliti dari penelitian kepustakaan dan dokumentasi. Data sekunder adalah data pustaka yang mencakup dokumendokumen resmi, buku-buku kepustakaan, peraturan perundang-undangan, karya ilmiah, artikel-artikel, serta dokumen-dokumen yang berkaitan dengan materi penelitian. 94 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UII Press, Jakarta, 1981, hlm. 10. 63 Data sekunder terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Data sekunder meliputi:95 1) Bahan hukum primer yaitu bahan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat seperti: peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, traktat, dan perjanjian. 2) Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang bersumber langsung dari kepustakaan, doktrin, dan referensi ilmiah yang relevan dengan penelitian. 3) Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk dan penjelasan mengenai bahan yang sifatnya melengkapi kedua bahan hukum di atas yaitu bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus. 5. Metode Pengumpulan Data Bahan hukum diperoleh dengan cara melakukan inventarisasi peraturan perundang-undangan, konvensi-konvensi internasional, dokumen resmi, dan literatur yang berkaitan dengan penelitian ini. Penelitian ini hanya menggunakan data sekunder dan proses pengumpulan data dengan studi kepustakaan, internet browsing, telaah artikel ilmiah, dan telaah karya ilmiah sarjana. 95 Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjuan Singkat, Rajawali, Jakarta, 1985, hlm.15. 64 6. Metode Penyajian Data Data yang diperoleh berupa bahan-bahan hukum disajikan secara deskriptif dalam bentuk teks naratif, yaitu uraian-uraian yang disusun secara sistematis, logis dan rasional. Keseluruhan data yang diperoleh dihubungkan satu dengan lainnya dan disesuaikan dengan pokok permasalahan yang diteliti sehingga merupakan suatu kesatuan yang utuh. 7. Metode Analisis Data Metode analisis ini mempergunakan metode secara normatif kualitatif, yaitu analisis yang dilakukan dengan cara memahami dan merangkai bahan hukum yang telah dikumpulkan dan disusun secara sistematis dan diuraikan dengan secara bermutu dalam kalimat yang teratur, runtut, dan logis, kemudian ditarik kesimpulan. 65 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Perang Korea adalah perang yang terjadi di Semenanjung Korea antara Korea Utara dengan dukungan Uni Soviet beserta Republik Rakyat China melawan Korea Selatan dengan dukungan Amerika Serikat beserta pasukan koalisi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berlangsung selama tiga tahun yaitu pada tahun 1950 – 1953. Awal dari perseteruan di Korea dimulai dari masuknya kekuatan asing ke dalam negeri tersebut setelah kolonialisasi Jepang melalui sebuah pertemuan oleh para pemimpin Blok Sekutu pada bulan November hingga Desember 1943. Rapat yang diselenggarakan di Kairo dan diberi sandi Sextant ini dihadiri oleh Franklin Delano Roosevelt, Winston Churchill, dan Chiang Kai Sek guna membahas hal-hal yang perlu dilakukan seandainya Jepang kalah dalam perang. Hasil dari pertemuan rahasia tersebut kemudian dikenal dengan Deklarasi Kairo menyebutkan bahwa Jepang nantinya tidak diperbolehkan lagi memiliki atau menguasai semua wilayah yang diperoleh dengan kekuatan 66 militer setelah tahun 1895 yang di dalamnya termasuk Semenanjung Korea. Deklarasi Kairo memuat ketentuan sebagai berikut:96 The several military missions have agreed upon future military operations against Japan. The Three Great Allies expressed their resolve to bring unrelenting pressure against their brutal enemies by sea, land, and air. This pressure is already mounting.The Three Great Allies are fighting this war to restrain and punish the aggression of Japan. They covet no gain for themselves and have no thought of territorial expansion. It is their purpose that Japan shall be stripped of all the islands in the Pacific which she has seized or occupied since the beginning of the first World War in 1914, and that all the territories Japan has stolen form the Chinese, such as Manchuria, Formosa, and the Pescadores, shall be restored to the Republic of China. Japan will also be expelled from all other territories which she has taken by violence and greed. The aforesaid three great powers, mindful of the enslavement of the people of Korea, are determined that in due course Korea shall become free and independent. With these objects in view the three Allies, in harmony with those of the United Nations at war with Japan, will continue to persevere in the serious and prolonged operations necessary to procure the unconditional surrender of Japan. Oleh karena itu, Korea kelak akan menjadi negara yang bebas dan merdeka (in due course). Deklarasi Kairo memuat ketentuan bahwa Amerika Serikat, Inggris, dan China tidak memiliki rencana apapun terhadap Semenanjung Korea walaupun dalam praktiknya pihak Amerika tidak memberikan pernyataan ketika pemerintahan pengasingan Korea bertanya mengenai pengertian rumusan in due course yang masih belum jelas.97 96 Lilian Goldman Law Library, Cairo Conference 1943, dalam http://www.ndl.go.jp/constitution/e/shiryo/01/002_46/002_46tx.html, diakses 20 Agustus 2014. 97 Djati Prihantono, Perang Korea: Konflik Dua Saudara, Mata Padi Pressindo, Yogyakarta, 2013, hlm. 9. 67 Selanjutnya dalam Konferensi Yalta di Krimea bulan Februari 1945 dibahas tentang pembentukan perwalian (trusteeship) oleh empat negara di Korea setelah Jepang menyerah yaitu Amerika Serikat, Uni Soviet, Inggris, dan China. Namun, nasib Korea tidak dibahas lebih lanjut dalam konferensi tersebut sehingga Konferensi Yalta tidak merumuskan kesepakatan mengenai masa depan Korea. Pada Juli 1945 diadakan Pertemuan kembali di Potsdam yang dikenal dengan Konferensi Potsdam untuk membahas tuntutan terhadap Jepang untuk menyerah tanpa syarat, termasuk pelaksanaan Deklarasi Kairo. Keputusan tersebut didukung penuh oleh Uni Soviet dan memberikan janji kemerdekaan pada Korea.98 Pada Konferensi Potsdam, Sekutu secara sepihak membelah wilayah Korea tanpa mengikutsertakan pihak Korea. Keputusan tersebut dinilai menyalahi Deklarasi Kairo yang menyebutkan bahwa Korea harus menjadi negara yang bebas dan merdeka. Oleh karena itu, sejak berakhirnya kekuasaan Jepang wilayah Korea terpisah menjadi dua bagian melalui garis 38th Parallel yang dilakukan tanpa pernyataan resmi, dimana pada bagian utara dikuasai oleh Uni Soviet dan bagian selatan dikuasai oleh Amerika Serikat. Konferensi Potsdam memuat ketentuan sebagai berikut:99 98 Idem, hlm.10. Wikipedia, Potsdam Declaration, dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Potsdam_Declara tion, diakses 10 September 2014. 99 68 For Japan, the terms of the declaration specified: a. the elimination "for all time of the authority and influence of those who have deceived and misled the people of Japan into embarking on world conquest" b. the occupation of "points in Japanese territory to be designated by the Allies" c. that the "Japanese sovereignty shall be limited to the islands of Honshu, Hokkaido, Kyushu, Shikoku, and such minor islands as we determine," as had been announced in the Cairo Declaration in 1943. d. that "[t]he Japanese military forces, after being completely disarmed, shall be permitted to return to their homes with the opportunity to lead peaceful and productive lives." e. that we do not intend that the Japanese shall be enslaved as a race or destroyed as a nation, but stern justice shall be meted out to all war criminals, including those who have visited cruelties upon our prisoners. Amerika Serikat segera merealisasikan isi dari Konferensi Postdam melalui Perintah Umum No. 1 tanggal 11 Agustus 1945 segera setelah Jepang menyerah kepada sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945. Perintah tersebut menyatakan agar seluruh pasukan Jepang yang masih berada di utara garis paralel ke 38 (38th Parallel) untuk menyerahkan diri kepada Uni Soviet sedangkan yang berada di selatan takluk pada Amerika Serikat. Kutipan Perintah Umum No. 1 tanggal 11 Agustus 1945 tentang pemisahan Korea memuat ketentuan sebagai berikut:100 Excerpt of the General Order No. 1 for the Surrender of Japan: a. The senior Japanese commanders and all ground, sea, air and auxiliary forces within China (excluding Manchuria), Formosa and French Indo-China north of 16° north latitude shall surrender to Generalissimo Chiang Kai-shek. 100 Wikipedia, General Order No. 1, dalam http://en.wikipedia.org/wiki/General_Order_ No._1, diakses 10 September 2014. 69 b. The senior Japanese commanders and all ground, sea, air and auxiliary forces within Manchuria, Korea north of 38° north latitude and Karafuto shall surrender to the Commander in Chief of Soviet Forces in the Far East. c. The senior Japanese commanders and all ground, sea, air and auxiliary forces within the Andamans, Nicobars, Burma, Thailand, French IndoChina south of 16 degrees north latitude, Malaya, Borneo, Netherlands Indies, New Guinea, Bismarcks and the Solomons, shall surrender to the Supreme Allied Commander, Southeast Asia Command. d. The senior Japanese commanders and all ground, sea, air and auxiliary forces in the Japanese Mandated Islands, Ryukyus, Bonins, and other Pacific Islands shall surrender to the Commander in Chief, U.S. Pacific Fleet. e. The Imperial General Headquarters, its senior commanders, and all ground, sea, air and auxiliary forces in the main islands of Japan, minor islands adjacent thereto, Korea south of 38° north latitude, and the Philippines shall surrender to the Commander in Chief, U. S. Army Forces in the Pacific. Alasan pemisahan wilayah tersebut disebutkan bahwa Uni Soviet sudah terlebih dahulu memasuki wilayah Korea Utara, sebagai upaya pencegahan agar Korea tidak dikuasai seluruhnya oleh Uni Soviet maka dilakukan pemisahan dengan tanda garis 38th Parallel yang tepat membagi Semenanjung Korea menjadi dua bagian.101 Semenjak pemisahan tersebut kekuasaan Korea berada di bawah pemerintahan militer yang secara langsung mengontrol Korea Selatan dengan membentuk USAMGIK (United States Army Military Government in Korea) pada tahun 1945-1948. Ada dua kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintahan USAMGIK, yaitu mengembalikan kekuasaan administrator-administrator kunci kolonial Jepang 101 Efzhuaska, Op.cit., dalam http://efzhuaska.blogspot.com/2012/04/sejarah-perangkorea.html, diakses 12 Maret 2014. 70 dan menolak pengakuan terhadap pemerintahan sementara yang berkuasa di Semenanjung Korea karena dianggap sebagai Komunis. Kebijakan tersebut memunculkan gejolak dalam masyarakat Korea yang berujung pada revolusi di selatan.102 Pada Bulan September 1947, Amerika Serikat membawa persoalan unifikasi Korea ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Kebanyakan anggota PBB berpihak pada Blok Barat pada saat itu sehingga Majelis Umum PBB kemudian memberikan suara mendukung Amerika Serikat dengan mengeluarkan resolusi yang menetapkan diadakannya Pemilu (Pemilihan umum) di seluruh Korea untuk membentuk sebuah pemerintahan nasional di negeri itu dengan pengawasan Komisi Sementara PBB untuk Korea yaitu UNTCOK (United Nations Temporary Commision on Korea) yang bertugas untuk mengawasai jalannya Pemilu. Ada tiga hal yang ingin dicapai dalam pemilu tersebut yaitu memilih anggota Majelis Nasional, membentuk sebuah pemerintahan, dan mengatur penarikan semua tentara pendudukan dari Korea. Uni Soviet menolak diadakannya pemilihan umum yang diawasi PBB di Utara karena apabila Korea diizinkan menyelenggarakan pemilihan yang betul-betul bebas maka bangsa itu akan memilih pemerintahan yang pro pada Blok Barat. 102 Djati Prihantono, Op.cit., hlm. 11-13. 71 Oleh karena itu, pemilihan umum hanya dilaksanakan di wilayah selatan 38th Parallel.103 Pada tanggal 20 Juli 1948, Syngman Rhee ditetapkan menjadi Presiden Korea Selatan dari hasil pemilihan umum dan Republik Korea Selatan resmi dibentuk pada tanggal 15 Agustus 1948. Korea Selatan merupakan satusatunya pemerintahan yang sah resmi diakui oleh PBB di Semenanjung Korea. Melihat kenyataan bahwa Korea bagian selatan telah memiliki pemerintahan yang resmi, Uni Soviet tidak tinggal diam, pada 18 November 1947 dibentuk Majelis Rakyat Tertinggi Korea dengan mengangkat Kim Il Sung sebagai Perdana Menteri. Pada 9 September 1948 kawasan di sebelah utara 38th Parallel resmi menjadi sebuah Negara yaitu Korea Utara (Republik Demokrasi Rakyat Korea).104 Setelah Korea Utara dan Korea Selatan resmi terbentuk, pihak Amerika Serikat secara bertahap mulai meninggalkan Korea Selatan dan hanya menyisakan sedikit tentara untuk melatih tentara Korea Selatan yang baru terbentuk. Korea Selatan sangat kekurangan tentara, senjata, dan pertahanan militer dalam menjaga kedaulatan negaranya. Di lain pihak, Korea Utara telah meningkatkan kekuatan militernya melalui bantuan Uni Soviet dengan mengorganisasikan sekitar 20.000 personel militer. Tentara Korea Utara telah diperkuat dan dilatih oleh Uni Soviet sebelum meninggalkan 103 Nino Oktorino, Konflik Bersejarah Perang Yang Tidak Boleh Dimenangkan: Kisah Perang Korea 1950-1953, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, 2013, hlm. 11. 104 Djati Prihantono Op.cit., hlm. 13-16. 72 Korea Utara pada Desember 1948. Korea Selatan dan Korea Utara sebenarnya memiliki keinginan untuk mempersatukan Korea, namun Kim Il Sung menyatakan bahwa persatuan Korea hanya mungkin dilakukan dengan jalan kekerasan agar kaum komunis dapat menguasai seluruh Korea. Kondisi Korea Selatan yang tidak stabil dan pertikaian politik di dalam negerinya oleh rezim pemerintahan Syngman Rhee yang sewenang-wenang membuat keadaan semakin kacau dan memanas sehingga mendorong Korea Utara untuk melakukan invasi ke Korea Selatan.105 Pada tanggal 25 Juni 1950, 110.000 pasukan Korea Utara yang didukung oleh persenjataan lengkap menyebrangi garis 38th Parallel dan memulai invasinya ke Korea Selatan. Penyerbuan Korea Utara tersebut langsung mendapatkan reaksi Amerika Serikat dengan meminta Dewan Keamanan PBB segera bersidang agar kekuatan militer Amerika Serikat dipertahankan. Alasan tersebut dengan dalih untuk mencegah Korea Utara melakukan intervensi terhadap evakuasi warga Amerika dari Seoul dan Incheon. Penugasan militer tersebut pada akhirnya diputuskan secara sepihak oleh Presiden Truman tanpa mengacu pada ketentuan-ketentuan PBB. Latar belakang penyerbuan Korea Utara terhadap Korea Selatan belum diketahui secara jelas karena terdapat banyak spekulasi dan pendapat. Ada pendapat yang menyebutkan bahwa Korea Selatan yang memulai serangan atas dasar reunifikasi seperti yang diinginkan oleh Presiden Syngman Rhee. 105 Ibid. 73 Pihak Korea Utara berasalan bahwa Tentara Republik Korea di bawah kepemimpinan Syngman Rhee telah menyebrangi perbatasan terlebih dahulu. Invasi tersebut dilakukan untuk menangkap pasukan Korea Selatan yang sebelumnya menyerang di perbatasan dan melarikan diri. Serangan Korea Utara juga merupakan balasan atas berbagai provokasi yang sering dilakukan oleh Korea Selatan di perbatasan. Namun, pendapat tersebut dibantah karena pada kenyataannya kekuatan Korea Utara lebih besar dan terkoordinasi untuk suatu serangan balasan.106 Selain itu, terdapat alasan kuat invasi Korea Utara disebabkan oleh pernyataan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Dean Acheson melalui pidatonya mengenai kebijakan pertahanan Amerika Serikat di Asia pada tanggal 12 Januari 1950 yang mengecualikan Korea dan Formosa dari garis pertahanan Amerika sehingga memicu pihak Komunis untuk merebut Korea Selatan yang berdiri sendiri dalam rangka penyatuan Korea. 107 Serangan Korea Utara yang mendadak dari arah utara dan barat garis 38th Parallel serta kondisi Korea Selatan yang lemah dalam pertahanan dan keamanan mengakibatkan Seoul harus jatuh ke tangan Korea Utara. Pemimpin Korea Utara Kim Il Sung menyiarkan berita penyerbuan pasukannya ke Korea Selatan melalui Radio Pyongyang dengan pesan sebagai berikut:108 Boneka Korea Selatan telah menolak semua cara damai untuk penyatuan damai kembali yang diusulkan oleh Republik Demokratik Rakyat Korea, dan malah berani-beraninya melakukan agresi bersenjata ke utara garis 106 Idem, hlm. 28-29. Nino Oktorino, Op.cit., hlm. 15-16. 108 Djati Prihantono, Op.cit., hlm. 35. 107 74 38th Parallel. Republik Demokrasi Rakyat Korea memerintahkan serangan balasan untuk memukul mundur pasukan penyerbu. Korea Selatan akan dituntut pertanggungjawabannya, apapun hasil dari perkembangannya saat ini. Melihat keadaan demikian, Amerika Serikat tidak tinggal diam, Jenderal Douglas MacArthur yang berada di Tokyo ditugaskan untuk memimpin pasukannya ke Semenanjung Korea. Keterlibatan Amerika Serikat dalam Perang Korea awalnya tidak diketahui oleh rakyat Amerika secara umum, namun berita jatuhnya ibu kota Korea Selatan ini akhirnya diketahui oleh Negara-negara di seluruh dunia. Dewan Keamanan Perserikatan BangsaBangsa (DK PBB) mengutuk serangan Korea Utara ke Korea Selatan dan meminta Negara-negara anggotanya menyiapkan pasukan untuk membantu pihak Korea Selatan. Niat PBB untuk mengintervensi Perang Korea lewat jalur militer merupakan pengaruh politik Amerika Serikat di PBB yang sebenarnya dapat digagalkan oleh Uni Soviet sebagai salah satu anggota DK PBB yang memegang hak veto. Namun, Uni Soviet memilih untuk memboikot sidang PBB pada periode itu karena PBB lebih memilih untuk menempatkan Taiwan daripada China sebagai anggota Dewan Keamanan tetap PBB. Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi DK PBB nomor 83 tertanggal 27 Juni 1950 yang memuat ketentuan sebagai berikut:109 109 UN Security Council, Resolution 83 (1950) of 27 June 1950, dalam http://www.refworld.org/cgi-bin/texis/vtx/rwmain?docid=3b00f20a2c, diakses 9 September 2014. 75 The Security Council, Having determined that the armed attack upon the Republic of Korea by forces from North Korea constitutes a breach of the peace, Having called for an immediate cessation of hostilities, Having called upon the authorities in North Korea to withdraw forthwith their armed forces to the 38th parallel, Having noted from the report of the United Nations Commission on Korea that the authorities in North Korea have neither ceased hostilities nor withdrawn their armed forces to the 38th parallel, and that urgent military measures are required to restore international peace and security, Having noted the appeal from the Republic of Korea to the United Nations for immediate and effective steps to secure peace and security, Recommends that the Members of the United Nations furnish such assistance to the Republic of Korea as may be necessary to repel the armed attack and to restore international peace and security in the area. Setelah muncul resolusi dari PBB, ada 21 negara yang bersedia mengirimkan personil militernya ke dalam pasukan PBB. Ke-21 negara tersebut adalah Amerika Serikat (AS), Inggris Raya, Afrika Selatan, Australia, Belgia, Denmark, Ethiopia, India, Italia, Kanada, Norwegia, Perancis, Filipina, Kolombia, Yunani, Luxemburg, Belanda, Selandia Baru, Swedia, Thailand, dan Turki. Negara yang paling banyak menyumbangkan personil militernya adalah Amerika Serikat dari sekian banyak Negara yang terlibat dalam Perang Korea. Pemimpin dari pasukan koalisi PBB juga merupakan orang berkebangsaan Amerika Serikat, yaitu Jenderal Douglas MacArthur.110 Pada 1 Juli 1950, pasukan Amerika bersama koalisi PBB dari Jepang tiba di Korea dan langsung didaratkan di Taejon. Sementara itu, pihak Korea Utara terus bergerak dan langsung berhadapan dengan pasukan Amerika 110 Rep. Eusialis, Perang Korea: Konflik Ideologi yang Membelah Semenanjung, http://republik-tawon.blogspot.com/2012/10/perang-korea-konflik-ideologi-yang.html, diakses 18 Maret 2014. 76 Serikat yang baru saja didaratkan. Keadaan Korea Selatan yang telah semakin terjepit membuat Amerika Serikat harus secara cepat menyusun strategi menghadapi serangan Korea Utara. Formasi pasukan Amerika Serikat berjumlah 75.000 personel yang terdiri dari pasukan Korea Selatan dan tentara Amerika Serikat bersiap melakukan serangan balasan. Posisi Korea Utara yang sudah terlanjur kuat membuat pasukan Amerika mundur dari wilayah Taejon ke Pusan. Pusan adalah Ibu kota darurat Korea Selatan setelah sebelumnya Seoul berhasil dikuasai Korea Utara. Keadaan semakin mencekam manakala pasukan Korea Utara telah mencapai perbatasan Pusan sehingga pasukan Amerika Serikat membuat garis pertahanan akhir (Perimeter Pusan) yang akan menentukan nasib Korea Selatan ke depan. Pusan merupakan kota pelabuhan paling ujung selatan di Semenanjung Korea dengan kondisi geografis pegunungan serta terdapat sungai yang memisahkan antara dataran tinggi dan dataran rendahnya yaitu Naktong River (Sungai Naktong). Pusan merupakan pusat pertahanan pasukan PBB yang didukung oleh Amerika Serikat. Letaknya yang dekat dengan Jepang dan Laut membuat suplai logistik serta pasukan mudah untuk didatangkan. Kekuatan pasukan Amerika Serikat semakin besar dengan dukungan kondisi alam dan logistik yang mumpuni, namun Korea Utara berhasil menguasai kawasan vital yaitu Cloverleaf Hill dan Naktong River yang merupakan tempat terakhir pertahanan Korea Selatan. Kondisi demikian membuat pasukan Amerika yang 77 terjepit melakukan serangan balik secara cepat dengan mendatangkan pasukan tambahan sehingga pasukan Korea Utara berhasil dipukul mundur dari Naktong River. Pertempuran Pusan merupakan titik balik dari peperangan yang menandai awal bangkitnya kekuatan Korea Selatan dalam Perang Korea. Korea Utara berhasil memukul mundur pasukan koalisi Amerika Serikat-PBB dan Korea Selatan ke ujung daerah paling selatan Semenanjung Korea. Pasukan koalisi Amerika Serikat-PBB dan Korea Selatan hanya menguasai 10 persen dari keseluruhan wilayah Semenanjung Korea yang kemudian menjadi garis pertahanan terakhir Korea Selatan (Perimeter Pusan). Perimeter Pusan ini digunakan untuk memulai rencana serangan balik yang disebut dengan Operasi Chromite oleh Jenderal MacArthur, yaitu operasi bersenjata dengan melakukan pendaratan di Incheon yang merupakan serangan tiba-tiba dari belakang garis pertahanan musuh. Operasi Chromite ditentang oleh sebagian Pemerintah Amerika Serikat karena merupakan operasi yang dianggap akan menyebabkan banyak korban di pihak Amerika Serikat. Jenderal MacArthur dengan keyakinan kuat menegaskan bahwa rencana perangnya akan menyerupai operasi pendaratan sekutu di Normandia pada saat Perang Dunia II, operasi tersebut merupakan titik awal kemenangan Sekutu terhadap Jerman dalam Perang Dunia II. 78 Pada 13 September 1950, Amerika memulai Operasi Chromite dengan pendaratan pasukan di pantai Incheon. Operasi Chromite melibatkan seluruh kekuatan Amerika Serikat dengan mengerahkan kekuatan militer darat, laut, dan udara. Ada tiga tahapan misi yang ingin dicapai dalam Operasi Chromite, yaitu:111 a. Mensterilkan Pulau Wolmi yang merupakan pulau paling strategis karena letaknya dekat dengan Seoul serta mengamankan pelabuhan Incheon. b. Menguasai landasan pesawat Gimpo yang letaknya di sebelah selatan Seoul. Pangkalan ini menjadi basis pertahanan pesawat tempur Amerika Serikat-PBB sehingga lebih leluasa melancarkan serangan udara ke wilayah Korea. c. Menyerbu sekaligus menguasai Seoul yang merupakan Ibu kota Korea Selatan. Pulau Wolmi berhasil dikuasai oleh Amerika Serikat dalam hitungan hari walaupun mendapat perlawanan dari Korea Utara. Perebutan Pulau Wolmi dilakukan tanpa menimbulkan banyak korban jiwa dari pihak Amerika Serikat. Operasi berlanjut dengan penyerbuan lapangan terbang Gimpo yang dapat dikuasai pada tanggal 18 September 1950 sehingga dapat difungsikan sebagai pusat pangkalan strategis bagi pesawat tempur Amerika Serikat-PBB. Operasi Chromite telah berhasil merebut Pulau Wolmi, Pelabuhan Incheon, 111 Djati Prihantono, Op.cit., hlm. 54-55. 79 dan Lapangan Terbang Gimpo. Sasaran selanjutnya dari Operasi Chromite adalah merebut Seoul, pada pertempuran Seoul strategi perang yang dilakukan oleh Amerika Serikat berbeda dengan yang sebelumnya yaitu peperangan jarak dekat. Seoul adalah wilayah penting baik secara politik maupun militer bagi kedua belah pihak yang bertikai. Korea Utara secara membabi buta mempertahankan kota Seoul dari serbuan pasukan Amerika Serikat-PBB, meski demikian secara perlahan Seoul dapat dikuasai. Terdapat serangkaian peristiwa menyedihkan yang berujung pada tragedi kemanusiaan selama perang di Seoul yaitu terjadi pembunuhan besar-besaran yang dilakukan oleh Korea Utara terhadap warga sipil Seoul sehingga kota Seoul menjadi ladang pembantaian bagi warga sipil maupun tawanan perang Korea Utara. Kota Seoul berhasil dikuasai sepenuhnya oleh pasukan Amerika Serikat-PBB pada tanggal 22 September 1950.112 Setelah Seoul berhasil dikuasai, timbul kekhawatiran di pihak Korea Utara, mental dan kekuatan pasukan Korea Utara melemah hingga Korea Selatan berhasil dikuasai sepenuhnya di bawah garis 38th Parallel seperti pada keadaan sebelum perang. Seluruh pasukan Korea Utara perlahan-lahan mundur ke utara garis 38th Parallel hingga terdesak sampai Manchuria yang dekat dengan perbatasan China. Tentara Korea Utara sampai melewati sungai Yalu di perbatasan China untuk menyelamatkan diri dari serangan pasukan Amerika Serikat-PBB. Keadaan tersebut membuat China merasa negaranya 112 Idem, hlm 57-60. 80 dalam ancaman, hingga dirasa perlu mengangkat senjata untuk membantu Korea Utara dengan menerjunkan kekuatan militernya menghadapi pasukan Amerika Serikat-PBB. Pihak China dan Soviet juga telah mengkoordinasikan usaha-usaha untuk membantu Korea Utara menyatukan Korea dengan kekerasan pada saat kunjungan Mao Zhe Dong ke Moskow pada tahun 19491950 sehingga ketika terjadi Perang Korea, sejumlah besar Tentara Pembebasan Rakyat China telah disiagakan di dekat perbatasan China-Korea Utara.113 China mulai memasuki wilayah Korea pada tanggal 13 Oktober 1950, keadaan tersebut membuat kaget Amerika Serikat karena sebelumnya beredar kabar bahwa China tidak akan mungkin melakukan intervensi besar-besaran terhadap Korea. People’s Liberation Army (PLA) adalah tentara pembebasan rakyat China yang diterjunkan sebanyak 400.000 pasukan ke medan perang Korea. Serangan pertama dimulai pada tanggal 25 Oktober 1950 yang membuat seluruh pertahanan pasukan gabungan Amerika Serikat-PBB di Korea Utara hancur dan mundur sampai ke belakang garis 38th Parallel. Serangan militer China mencapai puncaknya ketika korban jiwa di pihak Amerika Serikat-PBB mulai berjatuhan dan wilayah yang menjadi sengketa tidak bergeser hingga menjadi sebuah kebuntuan perang (stalemate). Fase pertempuran berikutnya tetap menjadi sebuah pertempuran darah antara para pihak yang bertikai karena hanya menimbulkan korban tanpa ada kemajuan 113 Nino Oktorino, Op.cit., hlm. 23. 81 operasi perang. Perang antara PLA melawan pasukan koalisi Amerika SerikatPBB berlangsung selama hampir tiga tahun sampai pada tanggal 10 Juli 1953 sebelum diadakannya perundingan gencatan senjata. Selama Perang Korea berlangsung Uni Soviet memegang peranan yang penting bagi kesuksesan Korea Utara dan China sebagai penyandang dana, pemasok perlengkapan militer, dan pemegang kebijakan politik China maupun Korea Utara. Gagasan perundingan gencatan senjata dimulai pada Mei 1951, yaitu diadakannya pertemuan rahasia antara perwakilan Amerika Serikat dengan Uni Soviet. Perundingan tersebut menghasilkan sebuah kesepakatan dari Uni Soviet bahwa pihaknya akan menyetujui serta membuka diskusi perdamaian antara Korea Utara, China, dan Amerika Serikat-PBB. Pada 10 Juli 1951 perundingan lanjutan direncanakan akan diadakan di Kaesong, namun karena keselamatan para delegasi perang tempat perundingan dialihkan ke Kota Panmunjom. Kota Panmunjom terletak di sebelah barat Kaesong atau 52 kilometer barat-laut Seoul. Tim perundingan PBB dipimpin oleh Komandan Angkatan Laut Amerika Laksamana Charles Turner Joy dengan Jenderal China Hsieh Fang dan Teng Hua serta para petinggi militer Korea yaitu Jenderal Nam Il, Jenderal Lee Sang Cho, dan Jenderal Chang Pyong San.114 114 Djati Prihantono, Op.cit., hlm. 90. 82 Perundingan Panmunjom merupakan perundingan damai terlama sepanjang sejarah karena memakan waktu 25 bulan dan dilakukan dalam keadaan para pihak yang masih tengah bertempur. Perundingan Panmunjom mencapai kesepakatan pertama pada April 1953 yaitu mengenai pertukaran tawanan perang yang dikenal sebagai Operation Little Switch. Kesepakatan kedua dicapai pada bulan Juni 1953 adalah para pihak setuju membentuk Neutral Nations Repatriation Commission (Komisi Repatriasi Negara Netral) untuk mengawasi pengembalian tawanan perang. Perjanjian perdamaian berupa gencatan senjata tercapai sepenuhnya pada 27 Juli 1953. Perjanjian tersebut memuat bahwa kedua Korea akan tetap dipisahkan oleh garis 38th Parallel dan batas wilayah Korea Utara menjadi lebih kecil yaitu 21.000 mil daripada sebelum Perang Korea terjadi. Panmunjom yang menjadi tempat ditandatanganinya perjanjian perdamaian gencatan senjata secara de facto menjadi batas antara Korea Utara dan Korea Selatan dengan ditandai Demilitarized Zone (DMZ).115 Perang Korea disebut sebagai perang yang dimandatkan (Proxy war). Di Amerika Serikat, perang ini secara resmi dideskripsikan sebagai aksi polisional karena tidak adanya deklarasi perang resmi dari Kongres AS. Perang ini juga sering disebut perang yang terlupakan dan perang yang tidak diketahui karena dianggap sebagai urusan PBB yang berakhir dengan kebuntuan (stalemate). Perang tersebut hingga saat ini sebenarnya masih 115 Idem, hlm. 91-92. 83 berlangsung karena masih belum adanya kesepakatan damai yang jelas antara pihak-pihak yang berperang. Perang Korea merupakan tragedi kemanusiaan yang terjadi hanya beberapa tahun setelah Perang Dunia II, perang tersebut merupakan kelanjutan aksi pertama Perang Dingin karena Kubu yang membantu atas nama PBB sesungguhnya adalah pasukan sekutu yang dimotori oleh Amerika Serikat mempunyai kepentingan untuk menghadang pengaruh ideologi komunis di Korea. Pihak yang lain muncul untuk memberikan dukungan atas kesamaan ideologi komunisnya yaitu Uni Soviet dan China dalam menghadang pengaruh Ideologi Kapitalisme-Liberal. Seluruh komponen di Semenanjung Korea sebenarnya menginginkan untuk membentuk unifikasi Korea, namun perbedaan ideologi yang dianut oleh berbagai komponen di Korea membuat proses unifikasi menjadi sulit karena masing-masing kubu memiliki strategi, cara, dan gagasan tersendiri dalam mempersatukan Korea. Perbedaan tersebut menciptakan dua kubu yang saling berkonflik dengan pendukungnya masing-masing. Perang Korea merupakan peristiwa besar dalam sejarah militer dunia, konflik yang awalnya merupakan perang saudara (civil war) berkembang menjadi sebuah perang konvensional ketika banyak pihak turut mengintervensi dua negara yang bersengketa tersebut. 84 B. Pembahasan Korea adalah sebuah Negara yang dijajah oleh Jepang dari tahun 1910 sampai 1945, Korea menjadi terpisah karena intervensi kekuatan Negara lain yang mempunyai kepentingan terhadap negara tersebut. Korea dipisahkan menjadi dua bagian melalui garis 38th Parallel, yaitu garis 38 derajat lintang utara yang sengaja dibuat oleh Sekutu dalam Konferensi Postdam pada Juli Agustus 1945. Pemisahan kedua Korea dilakukan tanpa melibatkan pihak Korea. Keputusan tersebut dinilai menyalahi ketentuan dalam Deklarasi Kairo yang sebelumnya telah disepakati Sekutu bahwa Korea akan menjadi Negara yang bebas dan merdeka. Setelah terpisah, kedua Korea resmi merdeka dan membuat pemerintahannya masing-masing, di mana Korea bagian utara 38th Parallel menjadi Negara Korea Utara dan di bagian selatan garis 38th Parallel menjadi Negara Korea Selatan. Hal tersebut menandakan bahwa Korea Utara maupun Korea Selatan menjadi sebuah negara yang merdeka dan berdaulat karena pada hakikatnya Negara merupakan pribadi terpenting (principle person) dalam hukum internasional dan memiliki kedaulatan sehingga memiliki hak eksklusif dan bebas untuk menguasai suatu wilayah pemerintahan, masyarakat, atau diri sendiri karena konsep kedaulatan berkaitan dengan pemerintahan yang memiliki kendali penuh urusan dalam negerinya di dalam suatu wilayah atau batas teritorial atau geografisnya, dan dalam konteks tertentu, terkait dengan 85 berbagai organisasi atau lembaga yang memiliki yurisdiksi hukum sendiri. Pernyataan ini mengandung suatu pengertian bahwa bangsa dalam suatu negara yang merdeka memiliki kewenangan atau kekuasaan secara eksklusif dan bebas melakukan berbagai kegiatan kenegaraan sesuai kepentingannya, asalkan kegiatan atau kebijakan tersebut tidak bertentangan dengan kepentingan negara lain dan hukum internasional.116 Merdeka dan memiliki pemerintahan yang berdaulat tidak serta merta membuat situasi dan keadaan kedua Korea membaik, muncul berbagai provokasi di perbatasan karena didasari niat menyatukan Korea. Niat menyatukan kedua Korea dilakukan dengan cara penyelesaian sengketa secara paksa atau dengan kekerasan. Korea Utara melakukan invasi pertama kali ke wilayah Korea Selatan dengan jalan perang. Korea Utara menggunakan cara penyelesaian sengketa secara paksa atau kekerasan karena beralasan bahwa unifikasi Korea hanya akan mungkin terjadi dengan jalan kekerasan sehingga Korea Utara jelas memiliki kepentingan dalam melancarkan invasinya ke Korea Selatan. Perang bertujuan untuk menaklukkan negara lawan sehingga negara yang kalah tidak memiliki alternatif lain kecuali menerima syarat-syarat penyelesaian yang ditentukan oleh negara pemenang perang. Penggunaan cara-cara kekerasan atau paksaan dalam menyelesaikan suatu sengketa dilarang oleh ketentuan dalam hukum internasional walaupun dimungkinkan 116 Jawahir Thontowi, Op.cit., hlm. 169. 86 bagi para pihak untuk menyelesaikan sengketa mereka melalui jalan kekerasan atau paksaan apabila penyelesaian sengketa secara damai tidak tercapai kesepakatan. Ketentuan mengenai penyelesaian sengketa secara kekerasan dibatasi dan dilarang oleh PBB dalam Pasal 2 ayat (3) Piagam PBB yaitu semua anggota harus menyelesaikan persengketaan internasional dengan jalan damai sedemikian rupa sehingga perdamaian dan keamanan internasional, dan keadilan, tidak terancam. Menurut Komisi Hukum Internasional, prinsip larangan atau penggunaan kekerasan sebagaimana tersurat dalam Pasal 2 ayat (3) sudah merupakan hukum internasional umum yang penerapannya sudah universal, selengkapnya Komisi Hukum Internasional menyatakan: The principles regarding the threat or use of force laid down in the charter are … rules of general international law which are of today universal application. Kewajiban menyelesaikan sengketa secara damai dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 33 Piagam PBB, sebagai berikut:117 Pasal 33 Para pihak dalam suatu persengketaan yang tampaknya sengketa tersebut akan membahayakan perdamaian dan keamanan internasional, harus pertama-tama mencari penyelesaian dengan cara negosiasi (perundingan), penyelidikan, mediasi, konsolidasi, arbitrase, pengadilan, menyerahkannya kepada organisasi-organisasi atau badan-badan regional, atau dengan caracara penyelesaian damai lainnya. 117 Pasal 33 Piagam PBB 87 Korea Utara secara sepihak menyatakan bahwa latar belakang invasi ke Korea Selatan adalah tindakan pembalasan terhadap provokasi Korea Selatan sangat tidak beralasan dan tidak dapat dibenarkan menurut ketentuan hukum internasional karena penyelesaian sengketa secara paksa hanya boleh dilakukan apabila tidak tercapai kesepakatan penyelesaian sengketa secara damai. Mendasarkan pada fakta Perang Korea tahun 1950-1953, Korea Utara menggunakan cara kekerasan tanpa memulai suatu penyelesaian sengketa secara damai sebagaimana dinyatakan oleh Kim Il Sung sebagai pemimpin tertinggi Korea Utara bahwa unifikasi Korea harus dan hanya dapat dilakukan dengan cara kekerasan. Keputusan Korea Utara melakukan invasi ke Korea Selatan dapat dinyatakan telah melanggar beberapa ketentuan hukum internasional dalam penyelesaian sengketa hukum internasional sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (3) dan Pasal 33 Piagam PBB. Invasi Korea Utara tersebut melanggar kedaulatan Korea Selatan dan mengundang intervensi dari negara lain yang mempunyai kepentingan atas ideologinya di Korea Selatan sehingga menyebabkan proses penyatuan Korea menjadi terhambat. Hal tersebut dibuktikan dengan reaksi dari Amerika Serikat sebagai sekutu Korea Selatan yang meminta Dewan Keamanan PBB segera bersidang agar kekuatan militer Amerika Serikat dipertahankan di wilayah Korea Selatan. Tujuan resmi penugasan ini adalah untuk mencegah Korea Utara melakukan intervensi terhadap evakuasi warga Amerika dari 88 wilayah Korea Selatan. Amerika Serikat secara sepihak memutuskan penugasan militer tanpa memperhatikan ketentuan PBB. Amerika Serikat juga telah mendatangkan berbagai perlengkapan militer beserta pasukan marinir untuk menghadapi secara langsung serangan Korea Utara melalui pengaruhnya di PBB. Amerika Serikat pada kenyataannya tidak hanya berniat membantu dalam penyelesaian konflik di Korea, namun Amerika Serikat juga mempunyai kepentingan mempertahankan ideologinya di Korea Selatan melalui serangkaian operasi dan bantuan militer. Latar belakang bantuan Amerika Serikat terhadap Korea Selatan ini didasari oleh kekuatan komunis yang sudah terlanjur kuat di seluruh wilayah Korea sehingga akan mengancam stabilitas keamanan Amerika di Asia Timur. Syngman Rhee merupakan Presiden Korea Selatan melawan pengaruh Amerika Serikat, namun karena kekuatan politik Amerika Serikat yang terlanjur kuat dalam pemerintahan, Korea Selatan seperti tunduk pada kebijakan Amerika Serikat.118 Uni Soviet dan China juga merupakan pihak yang secara langsung terlibat melakukan intervensi dalam Perang Korea, Uni Soviet melalui kekuatan politik dan militernya memberikan bantuan sebagai penyandang dana, pemasok perlengkapan militer, dan pemegang kebijakan politik kepada China dan Korea Utara dalam upaya penyatuan Korea. China sendiri bertanggung jawab terhadap intervensi militer di Korea atas perintah Uni 118 Mochtar Lubis, Op.cit., hlm. 123. 89 Soviet. Tindakan Uni Soviet didasari oleh kepentingan Negara tersebut menguasai wilayah Korea dengan ideologi komunis. Melalui perundingan secara tertutup pada bulan April 1950, Stalin sebagai pemimpin tertinggi Uni Soviet mendesak Kim Il Sung sebagai pemimpin tertinggi Korea Utara untuk menyerang Korea Selatan pada waktu yang telah ditentukan. Stalin memiliki tiga alasan dalam dukungannya tersebut yaitu direbutnya Korea Selatan akan memperkuat keamanan Uni Soviet di Asia Timur, kekhawatiran Stalin akan ancaman Syngman Rhee yang akan segera menyerang Korea Utara sehingga dapat menimbulkan suatu keadaan yang tidak terkontrol, dan suatu keyakinan Stalin bahwa perang akan membuat China komunis semakin terikat dengan Uni Soviet dan menjegal hubungan baik China dengan Amerika Serikat. 119 Tindakan Amerika Serikat beserta Pasukan Koalisi PBB , Uni Soviet, dan China merupakan sebuah intervensi terhadap kedaulatan Negara Korea melalui serangkaian operasi militer dan kebijakan politik secara sepihak. Menurut Huala Adolf, intervensi adalah campur tangan secara diktator oleh suatu Negara terhadap urusan dalam negeri lainnya dengan maksud baik untuk memelihara dan mengubah keadaan, situasi, atau barang di negeri tersebut.120 Intervensi juga diartikan oleh Wirjono Prodjodikoro bahwa intervensi tidak berarti luas sebagai segala bentuk campur tangan Negara asing dalam urusan satu negara, melainkan berarti sempit, yaitu suatu campur 119 120 Nino Oktorino, Op.cit., hlm. 22-23. Huala Adolf, Op.cit., hlm. 36. 90 tangan negara asing yang bersifat menekan dengan alat kekerasan (force) atau dengan ancaman melakukan kekerasan, apabila keinginannya tidak terpenuhi. Berdasarkan fakta dalam Perang Korea tahun 1950-1953, intervensi Amerika Serikat beserta Pasukan Koalisi PBB, Uni Soviet, dan China termasuk dalam intervensi yang dilarang menurut ketentuan hukum internasional karena menurut Mahkamah Internasional suatu intervensi dilarang oleh hukum internasional apabila merupakan campur tangan yang berkaitan dengan masalah-masalah di mana setiap negara dibolehkan untuk mengambil keputusan secara bebas (misalnya mengenai sistem politik atau ekonomi atau penganutan politik luar negerinya sendiri), dan campur tangan itu meliputi gangguan terhadap kemerdekaan negara lain dengan cara-cara paksa, khususnya kekerasan (misalnya memberikan dukungan secara tidak langsung terhadap aktivitas-aktivitas subversif terhadap negara yang menjadi tujuan intervensi tersebut).121 Suatu tindakan oleh Negara yang juga dikatakan sebagai intervensi atau tindakan campur tangan yang dilarang dalam hukum internasional adalah bila tindakan tersebut bertentangan dengan kehendak negara dan mengurangi kedaulatan suatu negara.122 121 J.G Starke, Op.cit., hlm. 135-136. Anwar, M., Intervensi Suatu Negara Terhadap Kelompok Separatis, dalam http://alaric-one.blogspot.com/2012/06/intervensi-suatu-negara-terhadap.html, diakses 14 Mei 2014. 122 91 Intervensi Amerika Serikat beserta Pasukan Koalisi PBB dapat dikategorikan sebagai intervensi yang bersifat subversif karena tujuannya adalah sebagai aktivitas propaganda untuk menghalau pengaruh ideologi komunis di Korea. Intervensi Amerika Serikat dalam Perang Korea tahun 1950-1953 dikategorikan oleh J.G Starke sebagai Internal Intervention karena dilakukan dengan cara melibatkan diri sebagai penyokong atau pendukung suatu pemberontakan, peperangan, atau konflik politik di Negara lain dengan cara yang diktator. Amerika Serikat berperan sebagai komandan tertinggi angkatan bersenjata Pasukan Koalisi PBB melalui perintah Douglas MacArthur untuk menjalankan kehendaknya di dalam Perang Korea yang menandakan bahwa Amerika Serikat mempunyai peran penting dalam strategi dan kebijakan selama Perang Korea sebagai tindakan dari intervensinya tersebut. Pembenaran intervensi Amerika Serikat dilakukan melalui strategi kebijakan luar negeri terhadap PBB untuk menjatuhkan sanksi kepada Korea Utara guna mencari pengesahan terhadap tindakannya tersebut. Amerika Serikat berpendapat bahwa serangan Korea Utara merupakan suatu serangan terhadap PBB karena PBB (UNTCOK) adalah badan resmi yang telah mengawasi jalannya pemilu di Korea. Amerika Serikat mendapat dukungan PBB dengan Resolusi PBB No. 83 tertanggal 27 Juni 1950 yang berisi kutukan terhadap 92 invasi Korea Utara serta ijin rekomendasi sebuah komando terpadu di bawah pimpinan Amerika Serikat atas nama PBB di Korea.123 Pembenaran intervensi Amerika Serikat dan Pasukan Koalisi PBB memang dapat dikatakan diperbolehkan menurut ketentuan dalam hukum internasional karena dilakukan melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB. Hukum internasional memuat beberapa ketentuan mengenai syarat diijinkannya intervensi sebagai berikut:124 a. suatu Negara pelindung (protector) telah diberikan hak-hak intervensi (intervention rights) yang dituangkan dalam suatu perjanjian oleh Negara yang meminta perlindungan. Contoh: Perjanjian persahabatan, hubungan bertetangga baik dan kerjasama (the Treaty of friendship, good neighbourliness and cooperation) yang ditandatangani oleh Uni Soviet dan Afghanistan pada tanggal 5 Desember 1978. Pasal 4 the treaty of friendship, good neighbourliness and cooperation menetapkan bahwa kedua belah pihak akan mengambil langkah yang diperlukan untuk melindungi keamanan, kemerdekaan, dan keutuhan wilayah kedua Negara. Isi ketentuan perjanjian demikian dapat dimaksudkan sebagai pembenaran terhadap tindakan Uni Soviet ketika menginvasi Afghanistan pada Desember 1979; b. jika suatu Negara berdasarkan suatu perjanjian dilarang untuk mengintervensi namun ternyata melanggar larangan ini, maka 123 Nino Oktorino, Op.cit., hlm. 30. Gerhard von Glahn, Law Among Nation, Macmillan Publishing Co.,Inc., edisi ke-4, 1981, hlm. 161-162, (lihat dalam Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam hukum internasional, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm. 30-32). 124 93 Negara lainnya yang merupakan pihak/peserta dalam perjanjian tersebut berhak untuk melakukan intervensi; c. jika suatu Negara melanggar dengan serius ketentuan-ketentuan dalam hukum kebiasaan yang telah diterima umum, Negara lainnya mempunyai hak untuk mengintervensi Negara tersebut. Jadi, jika pemberontak terus-menerus melanggar hak-hak suatu Negara netral selama terjadinya konflik, maka Negara netral tersebut memiliki hak untuk mengintervensi terhadap Negara pemberontak tersebut; d. jika warga negaranya diperlakukan semena-mena di luar negeri maka Negara tersebut memiliki hak untuk mengintervensi atas nama warga negara tersebut, setelah semua cara damai diambil untuk menangani masalah tersebut; e. suatu intervensi dapat pula dianggap sah dalam hal tindakan bersama oleh suatu organisasi internasional yang dilakukan atas kesepakatan bersama Negaranegara anggotanya; f. suatu intervensi dapat juga sah manakala tindakan tersebut dilakukan atas permintaan yang sungguh-sungguh dan tegas-tegas (genuine and explicit) dari pemerintah yang sah dari suatu Negara (invitational intervention). Intervensi ini cukup banyak dilakukan oleh Negara-negara besar dewasa ini. Pengiriman tentara Inggris ke Yordania pada tahun yang sama setelah Republik Persatuan Arab melakukan intervensi terhadap masalah-masalah dalam negeri Yordania. Tahun 1964, kembali tentara Inggris didaratkan di Tanganyika Uganda, dan Kenya atas permintaan 94 masing-masing Negara untuk meredakan pemberontakan di negeri-negeri tersebut. Lebih lanjut disebutkan bahwa yang umumnya dinyatakan sebagai kasus-kasus kekecualian pokok dimana menurut hukum internasional suatu Negara berhak melakukan intervensi sah adalah:125 a. intervensi kolektif sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa; b. intervensi untuk melindungi hak-hak dan kepentingan-kepentingan serta keselamatan jiwa warga Negara di luar yang menjadi dasar bagi pemerintah Amerika Serikat membenarkan tindakan pengiriman tentara multinasional di pulau Grenada bulan oktober 1983; c. pertahanan diri, apabila intervensi diperlukan untuk menghilangkan bahaya serangan bersenjata yang nyata; d. dalam urusanurusan protektorat yang berada di bawah kekuasaannya; e. apabila Negara yang menjadi subjek intervensi dipersalahkan melakukan pelanggaran berat atas hukum internasional menyangkut Negara yang melakukan intervensi, sebagai contoh, apabila Negara pelaku intervensi sendiri telah diintervensi secara melawan hukum. Intervensi yang dilakukan oleh Amerika Serikat melalui Resolusi DK PBB No. 83 tetap tidak dapat dibenarkan dan melanggar ketentuan hukum internasional karena dapat dikategorikan sebagai intervensi yang dilarang menurut ketentuan hukum internasional seperti fakta yang menerangkan bahwa Resolusi Dewan Keamanan PBB dikeluarkan atas dasar tekanan politik 125 Ibid 95 Amerika Serikat dan niat dalam menghalau pengaruh ideologi komunis di Korea. Dewan keamanan PBB dalam menetapkan suatu sanksi melalui sebuah resolusi dapat mengambil langkah-langkah awal berupa sanksi ekonomi tanpa menggunakan kekuatan senjata agar keputusannya dapat ditaati jika memang ada ancaman dan pelanggaran terhadap perdamaian.126 Namun, jika langkahlangkah yang diambil itu tidak cukup maka Dewan Keamanan PBB dapat menjatuhkan sanksi militer dengan syarat adanya persetujuan khusus (special agreement) terlebih dahulu dari negara-negara anggota mengenai penyediaan pasukan dalam operasi-operasi militer dan pembentukan Komite Staf Militer yang anggotanya terdiri dari Kepala Staf Angkatan Perang dari kelima anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Aksi-aksi militer tidak mungkin dilakukan tanpa terpenuhinya syarat-syarat tersebut.127 Kekuasaan Dewan Keamanan PBB sebagai badan pelaksana sanksi terhadap agresor (Korea Utara) bukan tidak tak terbatas karena tindakantindakannya dibatasi oleh ketentuan Pasal 24 (2) Piagam PBB. Dewan dalam melakukan tindakannya harus didasarkan atas prinsip-prinsip dan tujuan PBB. Atas dasar tersebut Dewan Keamanan PBB mempunyai kewajiban untuk tetap menghormati keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik suatu negara. Pelaksanaan sanksi militer bagaimanapun juga tidak boleh mengakibatkan 126 127 Sumaryo Suryokusumo, Studi Kasus Hukum Internasional, PT. Tatanusa, Jakarta, 2007, hlm. 33. Idem, hlm. 34. 96 pemisahan-pemisahan negara yang hakekatnya dapat berpengaruh terhadap keutuhan wilayah suatu negara.128 Hal tersebut telah dijelaskan dalam prinsip pertama Deklarasi Mengenai Prinsip-prinsip Hukum Internasional Yang Mengatur Tentang Hubungan Bersahabat Dan Kerja Sama Antar Negara Menurut Piagam PBB maupun dalam Pasal 5 ayat (2) resolusi 3314 yang menyatakan: ... untuk melakukan perang agresi semata-mata, tetapi bukan setiap tindakan yang didukung untuk dinyatakan tidak sah oleh naskah resolusi tersebut, menciptakan suatu kejahatan yang memerlukan tanggung jawab menurut hukum internasional.129 Intervensi Amerika Serikat dan Pasukan Koalisi PBB dalam Perang Korea juga dilakukan dengan pengambil-alihan kedaulatan Korea Selatan yang artinya intervensi tersebut menyerang kedaulatan negara lain dalam menentukan nasib negaranya. Intervensi tersebut bertentangan dengan prinsip kedaulatan negara dalam Pasal 2 ayat (1) Piagam PBB yaitu organisasi bersendikan pada prinsip-prinsip persamaan kedaulatan dari semua anggota. Intervensi Amerika Serikat dan Pasukan Koalisi PBB bukan hanya melanggar ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) Piagam PBB namun juga Pasal 2 ayat (4) dan Pasal 2 ayat (7) Piagam PBB sebagai berikut: 128 129 Idem, hlm. 35-36. Idem, hlm. 37. 97 Pasal 2 ayat (4) Segenap anggota dalam hubungan internasional mereka, menjauhkan diri dari tindakan mengancam atau menggunakan kekerasan terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik sesuatu negara lain atau dengan cara apapun yang bertentangan dengan tujuan-tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pasal 2 ayat (7) Tidak ada satu ketentuan-pun dalam piagam ini yang memberi kuasa kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mencampuri urusan-urusan yang pada hakekatnya termasuk urusan dalam negeri sesuatu negara atau mewajibkan anggota-anggotanya untuk menyelesaikan urusan-urusan demikian menurut ketentuan-ketentuan dalam piagam ini, akan tetapi prinsip ini tidak mengurangi ketentuan mengenai penggunaan tindakantindakan pemaksaan seperti tercantum dalam bab VII. Setiap hak-hak kekecualian intervensi dapat dilaksanakan dengan syarat Negara-negara harus tunduk kepada kewajiban-kewajiban pokok menurut Piagam PBB, kecuali piagam sendiri memperbolehkan pelaksanaan hak itu, intervensi tidak boleh berkembang menjadi ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik Negara manapun (lihat Pasal 2 ayat 4).130 Intervensi bukanlah suatu masalah atau belum dianggap suatu pelanggaran terhadap kedaulatan suatu negara jika hanya sebatas sugesti diplomatik. Hukum internasional membolehkan intervensi dengan syarat bahwa timbulnya suatu keadaan atau hal tertentu yang merupakan ancaman bahaya bagi perdamaian dan keamanan dunia, merupakan pelanggaran bagi hukum internasional dan memungkinkan untuk timbulnya perang. 130 J.G Starke, Op.cit., hlm. 137. 98 Intervensi Uni Soviet di Korea juga termasuk sebagai intervensi yang bersifat subversif dengan tujuan untuk menunjukkan aktivitas propaganda atau aktivitas lainnya yang dilakukan oleh suatu Negara dengan maksud untuk menyulut revolusi atau perang saudara di negara lain untuk tujuan Negara itu sendiri. Intervensi tersebut dapat dikategorikan sebagai intervensi internal (internal Intervention) seperti intervensi yang dilakukan oleh Amerika Serikat karena melibatkan negara luar sebagai penyokong atau pendukung suatu pemberontakan, peperangan, atau konflik politik di Negara lain dengan cara yang diktator. Intervensi yang dilakukan oleh Uni Soviet sedikit berbeda dengan Amerika Serikat karena dilakukan secara tidak langsung yaitu melalui alatalat perang dan kebijakan politik terhadap Korea Utara. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya tank T-34 dan pesawat Mikoyan-Gurevich (MiG-15) buatan Uni Soviet yang digunakan oleh tentara Korea Utara serta ahli strategi perang dan politik kepada Kim Il Sung dalam usaha penyatuan Korea di bawah pengaruh komunis. Tujuan Uni Soviet melakukan intervensi adalah untuk membantu Korea Utara agar dapat menguasai Korea dalam pengaruh ideologi komunis dan menjadikan alasan keamanan sebagai pembenaran dalam intervensi tersebut. Tindakan Uni Soviet jelas melanggar ketentuan hukum internasional karena menyulut perang saudara Korea dan memiliki tujuan sebagai propaganda politik. 99 Intervensi yang dilakukan oleh China dalam Perang Korea tahun 19501953 merupakan kelanjutan dari perintah Uni Soviet melalui Mao Zhe Dong untuk mempertahankan wilayah Korea Utara dari serangan Amerika Serikat dan pasukan koalisi PBB. Intervensi China dapat dikategorikan sebagai intervensi eksternal (external intervention) karena intervensi atau campur tangan dilakukan terhadap peperangan atau konflik yang sudah terjadi antara dua Negara atau lebih. Campur tangan China dilakukan dengan menurunkan pasukan serta persenjataan perang. Intervensi China menyebabkan sebuah kebuntuan perang (stalemate) yang membuat keadaan semakin buruk. Dasar pembenaran yang digunakan oleh China karena kedaulatan negaranya terancam oleh agresi militer Amerika-PBB dan Korea Selatan. Pembenaran oleh China terhadap tindakannya tersebut bukan merupakan sebuah alasan sebagai ancaman terhadap kedaulatan negaranya tetapi lebih diketahui sebagai kepentingan propaganda politik komunis. Pembenaran China dalam intervensinya juga dapat dikatakan melanggar ketentuan hukum internasional sebagaimana tertuang pada pasal-pasal dalam BAB VII Piagam PBB. Suatu kedaulatan negara dalam ancaman ketika kekuasaan negara dipecah-pecah dan dibagi-bagi serta tidak dapat ditempatkan di bawah kekuasaan lain. Mao Zhe Dong sebagai pemimpin tertinggi China telah merencanakan suatu siasat perang dengan penggunaan 100 kekuatan militer yang berjaga di perbatasan China dan Korea Utara sebagai tindakan penjagaan jika sewaktu-waktu Korea Utara kalah dalam perang. Berdasarkan fakta yang terjadi, setelah Korea Utara hampir kalah oleh serangan Amerika Serikat dan pasukan koalisi PBB, China segera melakukan intervensi militer ke dalam wilayah Korea. Intervensi militer China dilakukan tanpa Resolusi Dewan Keamanan PBB dan secara sengaja melanggar ketentuan hukum internasional. 101 BAB V PENUTUP A. Simpulan Intervensi Amerika Serikat beserta Pasukan Koalisi PBB, Uni Soviet, dan China dalam Perang Korea tahun 1950-1953 termasuk dalam intervensi yang dilarang menurut ketentuan hukum internasional karena merupakan campur tangan yang menyerang kedaulatan negara lain dengan cara-cara kekerasan sehingga menyebabkan penyelesaian konflik Korea Utara dan Korea Selatan menjadi sebuah kebuntuan perang (stalemate) serta korban jiwa yang besar di masing-masing pihak. Intervensi tersebut dilakukan melalui serangkaian operasi militer dan kebijakan politik secara sepihak terhadap Korea serta termasuk sebagai intervensi yang bersifat subversif (subversive intervention) dengan tujuan untuk menunjukkan aktivitas propaganda atau aktivitas lainnya yang dilakukan dengan maksud untuk menyulut revolusi atau perang saudara di Korea untuk tujuan Negara itu sendiri. Intervensi yang dilakukan oleh Amerika Serikat beserta Pasukan Koalisi PBB melanggar prinsip-prinsip dan tujuan Piagam PBB yang menimbulkan pemisahan suatu Negara. Intervensi Amerika Serikat beserta pasukan koalisi PBB dan Uni Soviet dikategorikan sebagai internal 102 intervention karena dilakukan dengan cara melibatkan diri sebagai penyokong atau pendukung suatu pemberontakan, peperangan, atau konflik politik di Korea dengan cara yang diktator. Intervensi China dikategorikan sebagai external intervention karena campur tangan dilakukan terhadap peperangan atau konflik yang sudah terjadi antara dua Negara atau lebih. Intervensi tersebut merupakan pelanggaran terhadap ketentuan hukum internasional yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1), (4), dan (7) Piagam PBB. B. Saran Setiap Negara hendaknya dapat menghargai perbedaan ideologi dan pandangan negara lain agar tidak terjadi konflik yang menyebabkan pertumpahan darah dan Intervensi seharusnya dilakukan dengan memperhatikan syarat dan ketentuan hukum internasional yang berlaku. 103 DAFTAR PUSTAKA Buku A Garner ed, Bryan, Black Law Dictionary-Seventh Edition, Book 1, West Group, ST.Paul Minn, 1999. Adolf, Huala, Aspek-aspek Negara dalam hukum internasional, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996. ________, Aspek-aspek Negara dalam hukum internasional. Keni Media, Bandung, 2011. Adolf, Huala, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2004. Arlina Permanasari dkk, Pengantar Hukum Humaniter Internasional, International Committe of the Red Cross, Jakarta, 1999. Bedjaoui, Mohammed, International Law: Achievements and Prospects, UNESCO, Martinus Nijhoff publ., Paris, 1991. Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary- edisi ke-5, West Publishing Comp, St. Paul Minn, 1979. Fauzan, Achmad, Penyelesaian Sengketa Internasional, Tarsito, Bandung, 1986. Goodrich dan Hambro, Charter of The United Nations Commentary and Documents, World Peace Foundation Boston, 1949. Hestu Cipto Handoyo, B., Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan, dan Hak Asasi Manusia (Memahami Proses Konsolidasi Sistem Demokrasi di Indonesia), Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2003. Hingorani, R.C., Modern International Law, Oceana Publications Inc., India, 1984. Ibrahim, Johny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media, Malang, 2008. Kusumaatmadja, Mochtar, Pengantar Hukum Internasional, Binacipta, Bandung, 1981. 104 ________, Pengantar Hukum Internasional Buku I, Putra Abardin, Jakarta, 1999. Lauterpacht, Oppenheim, International Law and Treaties, Longmans, London, 1952. Lubis, Mochtar, Catatan Perang Korea, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2010. Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum Normatif, Kencana, Jakarta, 2005. Martono, K., Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik (Public International and National Air Law), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012. O’Connel, D.P. , International Law-edisi ke-2, Vol.1, Stevens and Sons, London, 1970. Oktorino, Nino, Konflik Bersejarah Perang Yang Tidak Boleh Dimenangkan: Kisah Perang Korea 1950-1953, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, 2013. Parry and grant, dkk, Encyclopaedic Dictionary of International Law, Oceana Publications inc, New York, 1986. Parthiana, I Wayan, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung, 2003. Prihantono, Djati, Perang Korea: Konflik Dua Saudara, Mata Padi Pressindo, Yogyakarta, 2013. Prodjodikoro, Wirjono, Azaz-azaz Hukum Publik Internasional, PT. Pembimbing Masa, Jakarta, 1967. Satria Buana, Mirza, Hukum Internasional Teori dan Praktek, Nusamedia, Bandung 2007. Sefriani, Hukum Internasional: Suatu Pengantar, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014. Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 1998. Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, UII Press, Jakarta, 1981. Soekanto, Soerjono, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjuan Singkat, Rajawali, Jakarta, 1985. 105 Soemitro, Rony Hanitijo, Metode Penelitian Hukum dan Jurumetri, Alumni, Jakarta, 1988. Sastroamidjoyo, Ali, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit Batara, Jakarta 1971. Sugeng Istanto, F., Hukum Internasional, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2010. Supriyadi, Dedi, Hukum Internasional (dari konsepsi sampai aplikasi), Pustaka Setia, Bandung, 2013. Starke, J.G., Pengantar Hukum Internasional. Sinar Grafika, Jakarta, 1988. ________, Pengantar Hukum Internasional-Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta, 2001. Subakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1992. Suryokusumo, Sumaryo, Studi Kasus Hukum Internasional, PT. Tatanusa, Jakarta, 2007, Tasrif, S., Hukum Internasional Tentang Pengakuan dalam Teori dan Praktek-Cet.2., Abardin, Bandung, 1987. Thontowi, Jawahir, Hukum Internasional Kontemporer, Refika Aditama, Bandung, 2006. Van Apeldorn, L.J., Pengantar Ilmu Hukum, Pradaya Paramita, Jakarta, 1981. Wallace, Rebbecca, Hukum Internasional (Pengantar untuk mahasiswa), Sweet & Maxwell, London, 1986. Peraturan perundang-undangan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1945 Konvensi Montevideo 1933 Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 83 tahun 1950 Resolusi Majelis Umum PBB tahun 1970 [G.A. Res 2625 (XXV)] 106 Bahan lainnya Yuliantiningsih, Aryuni, Bahan Kuliah Hukum Internasional, Fakultas Hukum Unsoed, Purwokerto, 2011. Andy Chand, Sejarah Perang Korea, 2010, http://sejarahandychand.blogspot.com/2012/10/sejarah-perang-korea.html, diakses 12 Mei 2014. _________, Kedaulatan, 2010, http://providert.blogspot.com/2010/02/maknakedaulatan-rakyat.html, diakses 10 Desember 2013. Anwar, M., Intervensi Suatu Negara Terhadap Kelompok Separatis, 2012, dalam http://alaric-one.blogspot.com/2012/06/intervensi-suatu-negara-terhadap.html, diakses 14 Mei 2014. Deny Biantong, Kedaulatan Negara, 2012, http;//dennybiantong.blogspot.com/2012/07/kedaulatan-negara.html , diakses 9 Maret 2014. Eka Putra, Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Damai, 2013, dalam www.hukumit.blogspot.com, diakses 10 November 2013. Lilian Goldman Law Library, Cairo Conference 1943, http://www.ndl.go.jp/constitution/e/shiryo/01/002_46/002_46tx.html, 20 Agustus 2014. dalam diakses Perserikatan Bangsa-Bangsa, Piagam PBB dan Statuta Mahkamah Internasional,1990,https://unic.un.org/aroundworld/unics/common/documents/ publications/uncharter/jakarta_charter_bahasa.pdf , diakses 9 Maret 2014. Radio Australia, Sejarah dibalik ketegangan korea Utara dan Korea Selatan: kilas balik, 2010,http://www.radioaustralia.net.au/indonesian/2013-04-05/sejarah-dibalik-ketegangan-korea-utara-dan-korea-selatan-kilasbalik/1112046, diakses 14 mei 2014. Rep. Eusialis, Perang Korea: Konflik Ideologi yang Membelah Semenanjung, 2012, http://republik-tawon.blogspot.com/2012/10/perang-korea-konflik-ideologiyang.html, diakses 18 Maret 2014. 107 Syasya, Korea terbagi dua; siapa biang keroknya?, 2011, http;//sejarah.kompasiana.com/2013/04/07/korea-terbagi-dua-siapa-biang kero knya549025.html, diakses 12 Mei 2014. UN Security Council, Resolution 83 (1950) of 27 June 1950, dalam http://www.refworld.org/cgi-bin/texis/vtx/rwmain?docid=3b00f20a2c, diakses 9 September 2014. Wikipedia, Perang Korea, 2014, http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Korea, diakses 10 Mei 2014. Wikipedia, Aksi Polisional : Intervensi Amerika Serikat, 2014, http://id.wikipedia.org/wiki/PerangKorea#AksiPolisional:Intervensi_Amerika_ Serikat, diakses 12 Mei 2014. Wikipedia, Potsdam Declaration, dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Potsdam_Declaration, diakses 10 September 2014. Wikipedia, General Order No. 1, dalam http://en.wikipedia.org/wiki/General_Order_ No._1, diakses 10 September 2014. William Vernon Harcourt, Letters by Historicus on Some Questions of International Law: Reprinted from tha times with considerable addition, 2011, www.uop.com, diakses 5 Desember 2013.