GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, USUS DAN OTOT PADA IKAN MUJAIR (Oreochromis mossambicus ) DI DAERAH CIAMPEA BOGOR IVAN MAULANA ERSA B04104012 FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 ABSTRAK IVAN MAULANA ERSA. Gambaran Histopatologi Insang, Usus dan Otot pada Ikan Mujair (Oreochromis mossambicus) Di Daerah Ciampea Bogor. (Di Bawah Bimbingan Bambang Pontjo Priosoeryanto dan Risa Tiuria). Ikan mujair (Oreochromis mossambicus) sejak dahulu telah dikonsumsi manusia. Ikan mujair merupakan ikan yang baik dibudidayakan pada daerah air hangat. Ikan ini lebih toleran terhadap kadar salinitas, temperatur air yang tinggi, oksigen terlarut yang rendah, dan konsentrasi amonia tinggi dibandingkan dengan ikan air tawar lain yang umumnya dibudidayakan. Beberapa penyakit pada ikan mujair dapat disebabkan oleh agen-agen seperti virus, bakteri, jamur, parasit, serta toksikan dan defisiensi nutrisi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran histopatologi insang, usus dan otot ikan mujair yang berasal dari daerah Ciampea, Bogor. Sebanyak 12 ekor ikan mujair yang diambil langsung dari kolam ikan di Ciampea, Bogor digunakan dalam penelitian ini. Pengamatan histopatologi digunakan untuk mengetahui perubahan-perubahan yang mungkin terjadi akibat penyakit infeksi dan penyakit non-infeksi pada jaringan insang, usus dan otot dengan metode pewarnaan Haematoksilin dan Eosin. Hasil pengamatan histopatologi pada insang menunjukkan adanya hiperplasia, fusi, proliferasi sel goblet, edema, nekrosis epitel lamela insang dan invasi metazoa. Pada otot umumnya terjadi degenerasi dan nekrosa sel. Pada usus terjadi proliferasi sel goblet dan nekrosa sel. Berdasarkan hasil pengamatan ini dapat disimpulkan bahwa terdapat berbagai perubahan histopatologi pada ketiga bagian tubuh ikan yang diamati dan hal ini kemungkinan disebabkan oleh infeksi mikroba maupun parasit serta kualitas air kolam atau manajemen pemeliharaan yang kurang baik. ABSTRACT IVAN MAULANA ERSA. Histopathology Image Of Gill, Intestine and Muscle at Mujair Fish (Oreochromis mossambicus) In Ciampea Bogor. (Under Tuition of Bambang Pontjo Priosoeryanto and Risa Tiuria). Mujair fish (Oreochromis mossambicus) have been known and used for human consumption for a long time. They have been good growth in warm-water aquaculture, more tolerant than most commonly farmed freshwater fish to a range of salinity, high water temperature, low dissolved oxygen and high ammonia concentrations. There have several diseases of Mujair fish, mainly those in aquaculture disease cause by virus, bacteria, fungi, parasites, toxicant as well as nutrition deficiencies. The aim of the research was to described the histopathological lesions of gill, intestines and muscle tissue of Mujair fish from Ciampea, Bogor . Totally of 12 Mujair fish from a fishpond in Ciampea, Bogor were used. The observation parameters were histopathological lesions that possibly found due to an infection or non-infection disease in gill, intestines and muscle tissue using a Haematoksilin and Eosin stain. Result of the study showed that there were hyperplasia, fussion, proliferation of goblet cells, oedema, epithelial necrosis and metazoa parasitic infestation in gills lamella. Degeneration and cells necroses were commonly found in the tissue muscle; while in the intestines proliferation of goblet cells and cells necrosis were also common. Based on the result mentioned above, we concluded that there were several types of histopathological lesions on these three observed organs and these lesions seem due to infections of microbes and parasites or poorly water quality as well as mismanagement. GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, USUS DAN OTOT PADA IKAN MUJAIR (Oreochromis mossambicus ) DI DAERAH CIAMPEA BOGOR Oleh : IVAN MAULANA ERSA B04104012 SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 LEMBAR PENGESAHAN Judul :GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, USUS DAN OTOT PADA IKAN MUJAIR (Oreochromis mossambicus) DI DAERAH CIAMPEA BOGOR. Nama Mahasiswa : Ivan Maulana Ersa NRP : B04104012 Menyetujui, Dosen Pembimbing 1 Dosen Pembimbing 2 drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS, Ph.D NIP : 131 578 839 drh. Risa Tiuria, MS, Ph.D NIP :131 690 352 Mengetahui, Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Dr. Nastiti Kusumorini NIP : 131 669 942 Tanggal Lulus : RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Pamekasan, Madura, Jawa Timur pada tanggal 3 November 1985. Penulis merupakan anak keempat dari enam bersaudara dari Bapak Sahuri Abbas dan Ibu Ettin Rochyatini. Tahun 1997 penulis menyelesaikan pendidikan SDN selama lima tahun pertama di SDN Waru Barat 1 Kecamatan Waru dan satu tahun selanjutnya di SDN Barurambat Kota V Kota Pamekasan pada tahun 1998. Pada tahun 2001 penulis menyelesaikan pendidikan SLTP di SLTP Negeri 1 Kota Pamekasan. Penulis lulus dari SMU Negeri 1 Pamekasan pada tahun 2004. Tahun 2004 penulis diterima menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI pada Jurusan Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan. Pada tahun 2006 penulis tergabung di Organisasi Eksternal HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Komisariat FKH-IPB selama satu tahun menjabat sebagai Bendahara Umum. Karya ilmiah yang dihasilkan penulis untuk meraih gelar Sarjana Kedokteran Hewan diperoleh melalui penelitian selama delapan bulan di Bogor yang berjudul “Gambaran Histopatologi Insang, Usus dan Otot pada Ikan Mujair (Oreochromis mossambicus) Di Daerah Ciampea Bogor” di bawah bimbingan drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS, Ph.D dan drh Risa Tiuria, MS,Ph.D. KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan Kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga skripsi yang berjudul “Gambaran Histopatologi Insang, Usus dan Otot pada Ikan Mujair (Oreochromis mossambicus) Di Daerah Ciampea Bogor” dapat selesai sesuai dengan yang diharapkan. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah turut membantu terlaksananya tugas akhir ini dan secara khusus kepada: 1. Drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto,MS,Ph.D dan drh Risa Tiuria, MS, Ph.D selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama penulisan skripsi ini. 2. Drh. Kusdiantoro Mohammad, Msi selaku dosen pembimbing akademik penulis selama menjalani perkuliahan. 3. Bapak, Ibu, kakak-kakak dan adik-adik saya tercinta atas do’a dan dukungan, kasih sayang dan motivasi yang diberikan kepada penulis. 4. Teman-teman gila Arios, Dhani, Abhin, Rico, Arie, Yuzar, Bagus buat persahabatannya selama 4 tahun terakhir. 5. Teman-teman kosan (Bama, Desri, Giono, Faiz dan Taufan) dan Asteroidea 41. 6. Teman-teman penelitian, teknisi laboratorium Helminthologi, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner serta laboratorium Histopatologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan-Institut Pertanian Bogor. Dan kepada semua pihak yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah membantu penulis selama perkuliahan dan penelitian, semoga skripsi ini dapat memberikan informasi dan manfaat yang berharga bagi para pembaca dan semoga Allah SWT rahmat dan karunia-Nya bagi kita semua. Amin. Bogor, Agustus 2008 Penulis DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ....................................................................................... vii DAFTAR GAMBAR................................................................................... viii PENDAHULAN .......................................................................................... 1 Latar Belakang................................................................................... 1 Tujuan Penelitian ............................................................................... 2 Manfaat Penelitian ............................................................................. 2 TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 3 Ikan Mujair ........................................................................................ 3 Perubahan Patologi Umum Ikan ........................................................ 5 Gangguan Sistim Sirkulasi Ikan ................................................... 5 Degenerasi Seluler pada Ikan ....................................................... 6 Nekrosis Jaringan Ikan ................................................................. 7 Gangguan Perkembangan dan Pertumbuhan Ikan ........................ 8 Inflamasi pada Ikan....................................................................... 8 Melano-makrofag Centers (MMCs)................................................... 9 Organ Ikan......................................................................................... 9 Insang ............................................................................................ 9 Usus............................................................................................... 11 Otot................................................................................................ 12 Penyakit Infeksi pada Ikan ................................................................. 14 Infeksi Virus pada Ikan ................................................................. 14 Infeksi Bakteri pada Ikan .............................................................. 14 Infeksi Fungi pada Ikan................................................................. 15 Infeksi Protozoa pada Ikan............................................................ 16 Infeksi Cacing Parasit dan Arthropoda pada Ikan......................... 16 Penyakit Non-Infeksi .................................................................... 17 MATERI DAN METODE.......................................................................... 18 Tempat dan Waktu Penelitian........................................................... 18 Bahan dan Alat Penelitian ................................................................ 18 Metode Penelitian ............................................................................. 18 Pembuatan Sediaan Histopatologi .................................................... 19 HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 21 Insang................................................................................................. 21 Otot .................................................................................................... 31 Usus ................................................................................................... 38 KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 42 Kesimpulan ........................................................................................ 42 Saran .................................................................................................. 42 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 43 LAMPIRAN................................................................................................. 49 DAFTAR TABEL No Teks Halaman 1 Perubahan Histopatologi Insang pada Ikan Mujair......................... 22 2 Perbedaan Histopatologi antara Penyakit Insang akibat Bakteri dan Defisiensi Asam Pantotenat..................................................... 24 3 Perubahan Histopatologi Otot pada Ikan Mujair............................ 33 4 Perubahan Histopatologi Usus pada Ikan Mujair........................... 39 Lampiran 5 6 Jumlah Sel Goblet Pada Insang Ikan Mujair (3 lamela primer)............................................................................................. 52 Jumlah Sel Goblet Pada Usus Ikan Mujair (4x Lapang Pandang).......................................................................................... 52 DAFTAR GAMBAR No Teks Halaman 1 Ikan mujair yang digunakan pada saat Penelitian.......................... 4 2 Persebaran Ikan Mujair Di Dunia (Webb et al. 2007)…………… 5 3 Histologi Normal Insang Ikan bagian 1………………………….. 10 4 Histologi Normal Insang Ikan bagian 2………………………….. 11 5 Histologi Normal Usus Ikan …………………………………...... 12 6 Histologi Normal Otot Ikan……………………………………… 13 7 Hiperplasia dan fusi epitel lamela. Pewarnaan HE (Bar = 100 μm).................................................................................................. 23 Clubbing dan fusi lamela sekunder pada ujung filamen insang. Lamela memanjang dan bengkok serta hemoragi (a). Pewarnaan HE (Bar = 100 μm)......................................................................... 24 Edema filamen (a) dan lamela sekunder (a), serta desquamasi lamela (c) yang mungkin terjadi akibat zat-zat kimia dan logamlogam berat. Pewarnaan HE (Bar = 60 μm)................................... 25 Hemoragi (a), edema (b), proliferasi sel epitel (c) dan infiltrasi sel-sel granul eosinofil (d). Pewarnaan HE (Bar = 20 μm)……… 27 Monogenea (a) pada insang. Terjadi edema lamela sekunder (b) dan primer (c), hemoragi (d), proliferasi sel goblet (e). Pewarnaan HE (A. Bar = 60 μm, B. Bar = 40 μ m)……………... 28 Myxospora plasmodia di epitel antara lamela insang (X). Terjadi hemoragi (a) dan infiltrasi sel radang (Z), desquamasi lamela (b), edema filamen (c) dan hipertropi sel (d). Pewrnaan HE (Bar = 20 μm).................................................................................................. 29 8 9 10 11 12 No Teks Halaman 13 Myxospora plasmodia di epitel filamen insang (X). Terjadi infiltrasi sel radang (a) dan proliferasi sel epitel (b). Pewarnaan HE. (Bar = 20 μm).......................................................................... 30 Teleangiektasis lamela sekunder (a). Ruptur sel tiang lamela sekunder, edema filamen (b), desquamasi epitel lamela (c) dan proliferasi sel goblet (d). Pewarnaan HE (Bar = 40 μm).............. 31 Atropi sel otot berwarna lebih merah (a), nekrotik sel (b), degenerasi vakuola (c). Pewarnaan HE (Bar = 20 μm).................. 33 Degenerasi lemak (b) dan edema (c). Pewarnaan HE (Bar 40 = μm).................................................................................................. 34 Degenerasi Hialin dan Zenkers (a) pada serabut otot. Pewarnaan HE (Bar = 40 μm)........................................................................... 35 Edema pada otot berupa rongga antar serabut otot (x). Dislokasi nukleus (a) dan endomisium (c) pada serabut otot akibat edema. Pewarnaan HE (Bar = 40 μm)........................................................ 35 Gambaran histopatologi jaringan otot yang terinfeksi Mikrospora. Infiltrasi sel radang dan hemoragi. Pewarnaan HE (Bar = 20 μm)................................................................................. 36 Gambaran histopatologi jaringan otot yang terinfeksi Mikrospora. Multifokal spora (Gambar B) dan nekrotik jaringan (Gambar A). Pewarnaan HE (A. Bar = 100 μm, B. Bar = 40 μm)……………………………………………………………….. 37 Kongesti pembuluh darah (a), edema submukosa (b) dan proliferasi sel goblet (c) yang mungkin terjadi akibat trauma. Pewarnaan HE (Bar = 100 μm)………………………………….. 39 Infiltrasi sel-sel limfoid (a), edema submukosa (b), nekrosa dan atropi vili usus (x). Pewarnaan HE (Bar = 20 μm)………………. 40 Protozoa pada usus (a). Oocysts bersporulasi pada epitelium. Terjadi proliferasi sel goblet (b) dan edema (c). Pewarnaan HE (Bar = 20 μm)................................................................................. 41 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 DAFTAR LAMPIRAN No Teks Halaman 1 Teknik Pembuatan Preparat Histologi (Metode Humason 1967)................................................................................................ 50 Teknik Pewarnaan dengan Zat Warna Haematoksilin dan Eosin (Metode Humason 1967)…………………………………………. 51 2 PENDAHULUAN Latar Belakang Budidaya perairan salah satunya adalah budidaya ikan, baik diperairan air tawar, payau maupun laut. Di tahun 1996, hampir 22 % produksi total ikan dunia dari 120 juta ton berasal dari budidaya perairan. Data statistik terakhir menyatakan bahwa 32% produksi total ikan di dunia yang dikonsumsi manusia berasal dari budidaya perairan (FAO 2003) dalam Bardach (1993). Pertambahan penduduk dunia meningkatkan kebutuhan akan sumber protein makanan daging dan ikan. Manfaat ikan semakin disadari sebagai pemacu pertumbuhan tubuh manusia, peningkatan pertumbuhan otak manusia, mencegah penyakit kolestrol/penyakit jantung serta manfaat lainnya bagi kesehatan manusia. Ikan mengandung protein sekitar 16-24%, lemak 0,2-2,2%; karbohidrat, garamgaram mineral, dan vitamin (Susanto 1999). Satu-satunya pilihan untuk memenuhi kebutuhan ikan di masa mendatang adalah melalui budidaya. Hanya saja bagaimana dapat mewujudkan hal itu dengan baik. Beberapa kendala bagi kelangsungan aktivitas budi daya terletak pada kejadian suatu penyakit yang berhubungan dengan faktor lingkungan yang tidak menguntungkan. Misalnya, penangkapan ikan yang hampir tidak terkendali dan dampak pencemaran oleh limbah rumah tangga, industri atau tumpahan minyak yang semakin meluas dan bioaggresors yang mengurangi dan memutus siklus kehidupan ikan di perairan di seluruh dunia sehingga menjadikan perbandingan antara kebutuhan dan ketersediaan semakin besar dan tajam. "Tilapia" adalah nama umum dari suatu kelompok ikan komersial penting untuk konsumsi yang berasal dari famili Cichlidae dan endemik di Afrika. Nama tilapia mungkin berasal dari kata Bechuana-Afrika "thiape" yang artinya ikan. Tilapia berkembang luas di negara-negara tropis. Kelompok ikan dari famili Cichlidae yang penting untuk budidaya terdiri dari tiga genus, yaitu Oreochromis, Sarotherodon dan Tilapia (Geer dan Kamila 2005). Ikan Mujair (Oreochromis mossambicus) sejak dahulu telah dikonsumsi manusia dan merupakan sumber protein, vitamin, dan mineral yang diperlukan oleh tubuh. Insang, usus dan otot ikan mujair merupakan organ yang sering terpapar oleh agen dan bagian penting dalam hubungannya dengan penyakit. Organ-organ ini dapat mengalami perubahan patologi yang dapat disebabkan oleh perubahan fisik dan kimiawi pada air. Penyakit ikan merupakan salah satu masalah utama yang sering dihadapi oleh pembudidaya ikan. Kerugian yang terjadi bukan hanya pada jumlah populasi ikan saja, melainkan secara material merupakan pukulan yang cukup berat bagi para pembudidaya ikan. Di Indonesia, produksi ikan melalui budidaya perairan, baik air tawar maupun air payau telah memberikan kontribusi yang signifikan kepada perekonomian negara. Penyakit ikan epizootik yang menyebabkan kerugian besar terhadap industri perikanan indonesia yang terjadi di tahun 1951 mewabahnya Myxobolus pyriformis. Pada tahun 1953 mewabahnya Learnea cyprinacea dan di tahun 1980 mewabahnya suatu spesies yang tidak teridentifikasi, tetapi kemungkinannya adalah Aeromonas Sp. Peristiwa ini menghabiskan biaya jutaan rupiah dan agen-agen penyakit tersebut dicurigai berasal dari ikan-ikan yang diimpor. Adanya penyakit ikan erat hubungannya dengan lingkungan dimana ikan itu berada. Oleh karena itu dalam pencegahan dan pengobatan penyakit ikan, selain dilakukan pengendalian terhadap lingkungan juga perlu diketahui hal-hal yang berkaitan dengan timbulnya penyakit ikan, misalnya perubahan patologi organ ikan, khususnya ikan mujair. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran histopatologi insang, usus dan otot ikan mujair Oreochromis mossambicus. Manfaat Penelitian Dari penelitian ini diharapkan dapat diketahui dengan jelas perubahan- perubahan histopatologi penyakit ikan akibat penyakit infeksi dan non-infeksi, khususnya pada ikan mujair. TINJAUAN PUSTAKA Ikan Mujair Menurut Webb et al. 2007, nama umum: Tilapia mozambique atau Mozambique mouthbrooder, Kurper atau mud bream (South Africa), Ikan mujair atau Miracle fish (Indonesia). Klasifikasi ikan mujair sebagai berikut: Domain : Eukaryota (Whittaker & Margulis 1978) Kingdom : Animalia (Linnaeus1758) Subkingdom : Bilateria (Hatschek 1888, Cavalier-Smith 1983, Hatschek 1888, cavalier-smith 1983) Filum : Chordata (Bateson 1885) Superkelas : Osteichthyes (Huxley 1880) Series : Percomorpha Kelas : Actinopterygii (Cope 1887 ) Ordo : Perciformes Subordo : Labroidei Famili : Cichlidae Genus : Oreochromis (Castelnau 1861) Spesies : Oreochromis mossambicus (Peters 1852) Sinonim : Chromis mossambicus (Peters 1852), Tilapia mossambica (Peters 1852), Sarothredon mossambica (Peters 1852), Sarotherodon mossambica (Peters 1852), Sarotherodon mossambicum (Peters 1852), Oreochromis mozambica (Peters 1852), Tilapia mossambica mossambica (Peters 1852), Tilapia mossambicus (Peters 1852), Oreochromis mossambica (Peters 1852), Chromis niloticus mossambicus (Peters 1852), Cromis mossambicus (Peters 1852), Tilapia dumerili, Tilapia dumerilii, Chromis dumerilii, Chromis vorax, Tilapia vorax (Pfeffer 1893), Sarotherodon mossambicus natalensis, Chromis natalensis, Tilapia arnoldi. Gambar 1. Ikan mujair yang digunakan pada saat Penelitian Ikan Mujair merupakan jenis ikan konsumsi air tawar, bentuk badan pipih dengan warna abu-abu, coklat atau hitam (Gambar 1). Ikan ini berasal dari perairan Afrika dan pertama kali di Indonesia ditemukan oleh bapak Mujair di muara sungai Serang pantai selatan Blitar Jawa Timur pada tahun 1939. Menurut Webb et al. (2007), ikan mujair mempunyai toleransi yang besar terhadap kadar salinitas, temperatur air yang tinggi, oksigen terlarut yang rendah, dan konsentrasi amonia yang tinggi dibandingkan dengan ikan air tawar lain yang umum untuk budidaya. Jenis ikan ini mempunyai kecepatan pertumbuhan yang relatif lebih cepat, tetapi setelah dewasa percepatan pertumbuhannya akan menurun. Berat ikan dapat mencapai 120 sampai 200 gram dalam waktu empat bulan dengan sedikitnya 80% yang dapat bertahan hidup (EVIFRDC 1997). Panjang total maksimum yang dapat dicapai ikan mujair adalah 40 cm (Skelton 1994). Ikan mujair bersifat herbivora, tetapi ikan ini juga mengkonsumsi detritus, crustacea, bentos, dan berbagai bentuk makanan suplemen yang tersedia di air. Ikan mujair tahan terhadap kerumunan dan resisten terhadap hama dan penyakit. Ikan mujair merupakan sumber protein, vitamin, dan mineral yang diperlukan oleh tubuh dan dapat dijadikan makanan pengganti ikan laut yang baik yang mana harga ikan laut semakin hari semakin mahal (EVIFRDC 1997). Webb et al. (2007) menyatakan bahwa ikan mujair berasal dari Afrika, yaitu sekitar dataran rendah Zambezi, Shiré dan dataran pantai delta Zambezi sampai pantai Algoa. Pada saat ini, ikan mujair telah tersebar luas sekurang-kurangnya ke-90 negara di dunia, termasuk Indonesia (Gambar 2). Ikan mujair diperkenalkan sebagai ikan budi daya atau ikan komersial dan di Indonesia, ikan Mujair awalnya diperkenalkan sebagai ikan hias. Gambar 2. Persebaran Ikan Mujair Di dunia (Webb et al. 2007) Perubahan Patologi Umum Ikan Gangguan Sistim Sirkulasi Ikan Hemoragi adalah keluarnya darah dari pembuluh darah dan banyak terdapat di kulit, membran mukosa, di dalam rongga-rongga yang mengandung serous atau diantara sel-sel jaringan atau organ. Darah keluar dari pembuluh darah karena adanya lubang pada dinding atau darah menerobos dinding yang utuh karena peningkatan porositas dari pembuluh darah tersebut. Hemoragi dapat disebabkan oleh trauma, ruptur pembuluh darah atau peningkatan porositas akibat infeksi bakteri, virus atau bahan toksik. Pada ikan, semua pengaruh dari proses hemoragi bersifat ringan jika terjadi proses pembentukan darah dengan cepat. Anemia dapat terjadi pada ikan jika proses hemoragi bersifat akut akibat penyakit infeksi. Anemia ini ditandai dengan kepucatan insang dan organ-organ bagian dalam (Plumb 1994). Edema adalah suatu akumulasi cairan yang abnormal di dalam rongga-rongga tubuh atau di dalam ruang-ruang interstitial dari jaringan dan organ yang dapat mengakibatkan kebengkakan. Edema ditandai oleh adanya cairan kuning di dalam rongga abdominal atau material encer/berair, seperti gelatin di dalam jaringan. Edema mengindikasikan adanya suatu ketidakseimbangan tekanan hidrostatik atau kesalahan pada tekanan osmotis darah, peningkatan permeabilitas pembuluh kapiler, limfe, obstruksi atau disfungsi ginjal. Kondisi-kondisi ini dapat dihubungkan dengan bahan-bahan toksik kimia, virus, bakteri dan penyakit parasitik. Kerusakan mekanis atau penyakit dapat mempengaruhi ikan terhadap infeksi lebih lanjut karena edematos menyediakan suatu medium yang baik untuk pertumbuhan bakteri (Hibiya and Fumio 1995). Teleangiectasis adalah membengkaknya pembuluh darah pada insang ikan dan mirip dengan aneurisma pada hewan vertebrata tingkat tinggi. Aneurisma merupakan pembengkakan yang permanen dari arteri, sedangkan telangiectasis merupakan suatu kondisi yang reversibel dan pasif. Teleangiectasis dapat disebabkan oleh kerusakan mekanis, bahan toksik, virus, bakteri, toksin-toksin bakteri, parasit-parasit dan dalam beberapa kasus defisiensi nutrisi (Plumb 1994). Degenerasi Seluler pada Ikan Degenerasi dapat disebabkan oleh kekurangan material essensial (misalnya, oksigen atau nutrisi yang vital), kekurangan sumber energi yang mengganggu metabolisme, pemanasan mekanik atau dapat disebabkan oleh luka akibat listrik, akumulasi substansi yang abnormal di dalam sel-sel yang disebabkan oleh virus, bakteri, atau patogen-patogen seperti parasit dan toksin yang dihasilkan atau oleh bahan kimia beracun, ketidakseimbangan nutrisi dan zat-zat iritan yang ringan. Degenerasi granuler merupakan perubahan yang paling berat yang muncul pada serabut otot dan dikenal sebagai nekrosis pencairan, yaitu degenerasi granuler yang mempengaruhi seluruh serabut atau hanya suatu bagian saja (Plumb 1994). Cloudy atau degenerasi berbutir sering disebabkan oleh toksemia bakteri, perubahan awal (mikroskopis), yaitu adanya indikasi degenerasi seluler. Sel-sel akibat penyakit "Cloudy" akan mengalami pembesaran, sitoplasmanya tampak homogen, dan kusam. Hal ini sering muncul selama awal perubahan patologi serabut otot. Cloudy swelling pada serabut otot mengacu pada suatu kebengkakan yang terlokalisir atau umum yang disertai oleh hilangnya kelurikan pada bagian yang dipengaruhi. Nukleus hanya mengalami sedikit perubahan, tetapi bagian yang bengkak cenderung memperlihatkan material yang eosinofilik. Cloudy swelling mungkin merupakan suatu kondisi yang dapat balik yang dihasilkan oleh perubahan-perubahan dari sitoplasma (Plumb 1994). Degenerasi hialin merupakan perubahan yang mengikuti cloudy swelling dan dapat disebut juga nekrosis koagulasi. Nukleus kromatin berkondensasi dan menyebabkan lurik pada serabut otot menghilang. Degenerasi lemak merupakan hasil dari suatu akumulasi lipid, terutama di dalam hati dan diikuti piknosis serta nekrosis. Perubahan ini biasanya disebabkan oleh suatu penyakit infeksi, ketidakseimbangan nutrisi, hipoksia, anemia, dan mungkin beberapa bahan toksik (Hibiya and Fumio 1995). Nekrosis Jaringan Ikan Menurut Plumb (1994), nekrosis adalah kematian sel-sel atau jaringan yang menyertai degenerasi sel pada setiap kehidupan hewan dan merupakan tahap akhir degenerasi yang irreversibel. Karakteristik dari jaringan nekrotik, yaitu memiliki warna yang lebih pucat dari warna normal, hilangnya daya rentang (jaringan menjadi rapuh dan mudah terkoyak), atau memiliki konsistensi yang buruk atau pucat (seperti bubur), dan kadang-kadang menimbulkan bau yang tidak enak serta kalsifikasi . Nekrosis dapat disebabkan oleh trauma, agen-agen biologis (virus, bakteri, jamur dan parasit), agen-agen kimia atau terjadinya gangguan terhadap penyediaan darah pada suatu daerah khusus. Nekrosis pencairan adalah jenis nekrosis yang paling umum terjadi pada ikan. Enzim-enzim di dalam sel akan menghancurkan sel dan jika hal ini terjadi pada epitelium atau otot ikan, maka jaringan yang nekrosa akan terkelupas. Nekrosis koagulasi mengacu pada suatu daerah nekrosis yang mana berat dan sifat mikroskopis alami jaringan itu dapat dikenal. Hal ini dihubungkan dengan perlukaan yang disebabkan oleh beberapa jenis dari bahan toksik. Nekrosis kaseosa muncul ketika suatu organisme yang patogen menghasilkan bahan perkejuan, material keputihan pada suatu lesio dan nekrosis ini tidak umum terjadi pada ikan yang sakit (Plumb 1994). Gangguan-gangguan Perkembangan dan Pertumbuhan Ikan Atropi merupakan berkurangnya ukuran dari suatu bagian tubuh yang dewasa atau organ karena pengurangan ukuran atau jumlah dari sel-sel yang ada. Atropi adalah suatu proses lambat yang dapat disebabkan oleh kelaparan atau malnutrisi (penyebab paling umum), kekurangan persediaan darah yang cukup atau infeksi kronis (Plumb 1994). Hipertropi adalah bertambahnya ukuran atau volume dari suatu bagian tubuh karena suatu peningkatan ukuran dari sel-sel individu. Hipertropi biasanya disebabkan oleh peningkatan permintaan terhadap fungsi, tetapi dapat juga diinisiasikan oleh agen infeksi (Plumb 1994). Hiperplasia merupakan penambahan dari suatu bagian tubuh atau organ karena adanya peningkatan dalam jumlah sel-sel. Satu bentuk hiperplasia pada ikan ditandai oleh meningkatnya ketebalan dari epitel lamela insang karena infeksi atau iritasi ringan yang berkelanjutan. Hiperplasia dapat diakibatkan oleh polutan-polutan air seperti dari beberapa virus ikan yang menyebabkan pembentukan lesio-lesio hiperplastik, hal ini terutama sekali terjadi pada integument (Robert 2001). Inflamasi pada Ikan Plumb (1994) menyatakan bahwa inflamasi adalah suatu respon agresif dari pembuluh darah dan seluler dari jaringan hewan hidup terhadap suatu luka yang subletal dan salah satu reaksi pertahanan yang paling penting yang dimiliki hewan. Ketika luka masuk dalam tubuh, respon utama terhadap luka berupa suatu akumulasi cairan dari sistem pembuluh darah dan migrasi limfosit, neutrofil, makrofag, dan komponen-komponen darah yang lain menuju daerah yang terluka. Inflamasi dapat disebabkan oleh virus, bakteri, parasit, trauma, panas, iradiasi dan bahan toksik. Inflamasi hemoragik ditandai oleh kehadiran dari sejumlah besar eritrosit dan komponen-komponen darah lain pada permukaan organ atau di dalam eksudat. Inflamasi hemoragik secara umum tersebar pada membran-membran yang mengandung atau mengeluarkan serum atau mukus. Inflamasi ini dapat disebabkan oleh virus, bakteri, parasit, atau bahan toksik. Erythemia merupakan suatu kondisi pada kulit, yang biasanya dihubungkan dengan inflamasi hemoragik (Plumb 1994). Fagositosis dan reaksi selular merupakan infiltrasi selular (mayoritas oleh sel fagosit) daerah yang rusak dapat terjadi pada suatu periode tertentu setelah onset lesio dan sulit untuk diidentifikasi oleh material pewarnaan. Sel fagosit tersebut dapat berupa neutrofil, limfosit, histiosit dan fibroblas-fibroblas dari endomisium (Hibiya and Fumio 1995). Melano-Makrofag Centres (MMCs) Ikan memiliki kumpulan-kumpulan dari makrofag, yang lebih dikenal dengan pusat melano-makrofag (MMCs) (Agius and Robert 1981) dalam Robert (2001). MMCs melokalisir akumulasi makrofag-makrofag yang berisi hemosiderin, lipofuchsin dan ceroid sama seperti pigmen melanin. MMCs banyak ditemukan di dalam jaringan limfoid kebanyakan teleost, dan juga pada lesio-lesio akibat peradangan. Fungsi melanin di dalam jaringan tidak jelas. Hal ini mungkin didasarkan atas material radikal bebas yang stabil dari melanin dan kemampuannya untuk menetralkan reaksi radikal bebas. Ellis (1981b) menyatakan bahwa melanin pada organ viscera dapat sebagai alat perlindungan dari kerusakan akibat radikal bebas. Pada organisme yang lebih tinggi, melanin memiliki peran yang luas dalam perlindungan melawan invasi parasit tertentu pada jaringan dan juga pertahanan melawan mekanisme yang berpotensi menimbulkan bahaya pada diri sendiri, selama pengaktifan sistim pertahanan dalam tubuh itu sendiri. Organ Ikan Insang Komponen pernapasan insang terdiri dari filamen atau lamela primer dan lamela sekunder. Di tengah lamela primer terdapat tulang atau plat-plat kartilago yang mendukung struktur lamela. Diantara struktur pendukung terdapat suatu lapisan jaringan ikat yang berisi sel-sel eosinofilik dan pembuluh darah. Lamela primer merupakan tempat suplai darah dari dan ke lengkungan insang yang mana terdapat limfosit dan granul eosinifilik (EGCs). Wakabayashi dan Egusa (1980) dalam Robert (2001) menyatakan bahwa adanya limfosit dan granul eosinifilik terjadi akibat adanya penyakit-penyakit bakteri. Lamela sekunder terdiri atas dua permukaan yang dihubungkan oleh sel-sel tiang yaitu sel yang terletak diantara sirkulasi darah menjaga kesatuan lamela. Sel-sel pernapasan ikan yang sehat hanya terdiri dari dua atau tiga lapis sel epitelium yang rata dan terletak di membran basal. Di antara sel epitelium terdapat sel goblet yang menghasilkan sel-sel mukus dan sel klorid yang penting di dalam osmoregulasi. Lamela sekunder ikan memiliki sedikit mukus, yaitu suatu lapisan sel epitelia (Roberts 1978) dan kapiler-kapiler darah yang dibatasi oleh sel tiang dan makrofag (Hibiya and Fumio 1995). Insang merupakan organ respirasi yang utama dan vital pada ikan. Epitel insang ikan merupakan bagian utama untuk pertukaran gas, keseimbangan asam basa, regulasi ion, dan ekskresi nitrogen. Oleh karena itu, jika ikan tercemar oleh polutan lingkungan seperti amonia, pestisida, logam, nitrit, dan petroleum hidrokarbon, fungsi vital ini dalam keadaan bahaya karena menghalangi penerimaan oksigen misalnya terjadi fusi. Gambar 3. Histologi Normal Insang Ikan bagian 1. (www.ehu.es/europeanclass2003/Image45.gif) Gambar 4. Histologi Normal Insang Ikan bagian 2. (http://www.histologyworld.com/photoalbum/thumbnails.php?album=72&page=6) Usus Usus merupakan organ yang sering terpapar oleh agen-agen mikroba dan organ penting dalam hubungannya dengan penyakit. Patogen dan parasit dapat masuk ke dalam usus melului oral, khususnya melalui bahan makanan yang tercemar. Apabila terjadi infeksi, maka limfosit akan menginvasi lapisan usus. kemudian, terjadi peradangan dan kondisi tersebut akan meningkat menjadi degenerasi, deskuamasi sel dan sekresi mukus ke dalam lumen. Setelah itu, nekrosis menyebar ke bagian lamina propia dan jaringan otot licin. Pada epitel mukosa yang sensitif dapat terjadi peradangan yang terlokalisir dan timbul ulcerasi. Hal ini dapat terjadi akibat patogen-patogen usus dan benda-benda asing yang dicerna seperti kayu dan batu. Pada kasus-kasus degenerasi usus yang berat, fungsi absorbsi usus terhenti dan ikan mati (Hoole et al. 2001) Bagian transversal usus merupakan lumen yang tertutup oleh lipatan jaringan yang tersusun dari epitelium dan didukung oleh lamina propia, serta selsel didekatnya/zona penghubung. Jaringan ini dibatasi oleh dua lapisan otot licin, yaitu suatu lapisan serosa dari jaringan ikat dan pembuluh darah (Hibiya dan Fumio 1995). Usus ikan mengandung sel-sel eosinofil granular mukosa yang fungsinya belum diketahui (Irianto 2005). Gambar 5. Histologi Normal Usus Ikan (http://www.histologyworld.com/photoalbum/thumbnails.php?album=72&page=6) Otot Otot licin ditemukan di dalam dinding pembuluh darah, saluran pencernaan, saluran empedu dan saluran pankreas yang terdiri dari bundel panjang membentuk serat-serat, bersifat polos, disuplai oleh pembuluh darah dan diinervasi saraf. Serat otot bersifat fleksibel, kuat dan dapat melakukan gerakan kontraksi involunter dan mempertahankan bentuk banyak jaringan (Hoole et al. 2001). Pada saluran pencernaan terdapat dua lapisan otot licin. Satu berjalan secara longitudinal sepanjang saluran dan yang lain membatasi saluran. Pada sebagian kecil jaringan otot saluran pencernaan terdapat fibroblas, kolagen dan serabut-serabut elastis, kapiler-kapiler dan syaraf. Nukleus kaya akan kromatin dan berisi satu, dua atau lima nukleolus. Perubahan-perubahan patologi yang terjadi pada otot licin dapat berupa inflamasi dan nekrosis yang biasanya terjadi akibat parasit dan infeksi bakteri. Otot bergaris melintang membentuk otot rangka dan otot jantung yang terdiri dari miomer-miomer. Miomer-miomer tersebut dipisahkan oleh septa kolagen. Ada dua jenis otot bergaris melintang, yaitu otot putih dan otot merah. Secara histologi, serabut-serabut tersebut terdiri atas sarkoplasma, miofibril-miofibril, nukleus dan sarkolema. Sarkoplasma mengisi ruang di antara miofibril-miofibril, meskipun terutama sekali menonjol di sekitar nucleus dan di dekat syaraf terakhir yan menginervasi serabut-serabut otot. Sarkoplasma menyediakan nutrisi untuk miofibril-miofibril dan memainkan suatu peran yang penting di dalam proses-proses kontraktilitas dari serabut-serabut otot. Nukleus berbentuk oval yang memperlihatkan ukuran yang sangat bervariasi dan selalu terletak di bawah sarkolema. Karakteristik otot bergaris melintang, yaitu terdapat banyak nukleus di dalam serabut ototnya (Hibiya and Fumio 1995). Disekitar serabut otot terdapat endomisium yang berisi fibroblas dan makrofag tertentu. Perubahan-perubahan patologi yang terjadi pada otot ini dapat berupa nekrosis (miopati) yang merupakan suatu wujud dari defisiensi vitamin, inflamasi, degenerasi hialin dan tumor otot rangka, misalnya rhabdomyoma (Hoole et al. 2001). Gambar 6. Histologi Normal Otot Ikan (http://www.histologyworld.com/photoalbum/thumbnails.php?album=72&page=6) Penyakit Infeksi pada Ikan Penyakit meliputi penyakit infeksi dan non-infeksi. Penyakit infeksi merupakan masalah utama, meliputi penyakit-penyakit yang disebabkan oleh virus, bakteri, fungi dan parasit. Menurut Kinne (1980) dalam Irianto 2005, penyakit pada hewan perairan dapat disebabkan oleh cacat genetis, cedera fisik, ketidakseimbangan nutrien, patogen dan polusi. Penyakit infeksius dapat dibagi menjadi akut, subakut dan wujud-wujud kronis berdasarkan atas gambaran klinis, misalnya jika enteritis akut terjadi pada ikan tertentu, maka akan menyebabkan kematian yang cepat. Sebaliknya, enteritis kronis hanya membunuh sedikit ikan per hari, tetapi hal ini berlangsung untuk waktu yang lama. Infeksi Virus pada Ikan Virus merupakan agen infeksi non-seluler dan hanya dapat melakukan multiplikasi dalam sel inang, baik inang definitif maupun inang antara. Virus berukuran sangat kecil, yaitu bervariasi dari 18-200 nm (Smail and Munro 1989), sehingga hanya dapat dilihat dengan bantuan mikroskop elektron. Satu partikel virus disebut sebagai virion, yang mengandung suatu genom (materi asam nukleat) yang diselubungi oleh bungkus protein asam nukleat yang dapat berupa DNA atau RNA, tetapi bukan keduanya (Smail and Munro 1989). Infeksi virus pada sel-sel inang, baik inang definitif maupun inang antara akan merangsang pertahanan tubuh inang tersebut misalnya terbentuknya antibodi. Infeksi oleh virus mungkin tanpa tanda-tanda klinis dan baru dikenali melalui deteksi antibodi. Infeksi Bakteri pada Ikan Menurut DuHamel (2007), bakteri dapat masuk ke dalam tubuh ikan melalui insang atau kulit atau dapat tinggal di permukaan dari tubuh ikan. Jenis-jenis penyakit ikan akibat bakteri dapat dibedakan menjadi, penyakit bakteri dengan insang sebagai target yang utama, penyakit bakteri sistemik yang mana bakteri menginvasi tubuh ikan dan merusak organ/ bagian tubuh internal ikan, Ulkus berupa lesio pada tubuh ikan, dapat bersifat ringan atau berat dan kebusukan pada sirip yang hampir bisa dipastikan sebagai akibat stres lingkungan. Bakteri memiliki keragaman morfologi, ekologi dan fisiologis tinggi. Di alam, bakteri dapat bersifat saprofit, fotosintesis, ototrof atau parasit. Pada Ikan, bakteri dapat ditemukan pada permukaan tubuh eksternal dan saluran pencernaan. Sejumlah besar bakteri bersifat menguntungkan bagi ikan karena membantu pencernaan, sintesa vitamin serta dekomposisi materi organik di perairan. Sebagian bakteri bersifat patogen oportunistik yang akan menimbulkan penyakit manakala terjadi stres atau daya tubuh ikan menurun. Contoh bakteri ini adalah vibrio, Pseudomonas, Flexibacter dan bakteri patogen obligat misalnya Aeromonas salmonocida, Haemophilus piscium dan Renibacterium salmoninarum. Sebagian besar bakteri patogen pada ikan memiliki sel berbentuk batang pendek, bulat, bersifat gram negatif dan gram positif. Bakteri patogen yang berbentuk batang, bergram positif biasanya tahan asam. Penyakit-penyakit yang timbul akibat bakteri patogen dapat menunjukkan tanda-tanda tipikal seperti septikemia dan borok. Austin dan Austin (1999) mengidentifikasi 13 kelompok bakteri yang terdiri dari 51 genus yang merupakan penyebab utama penyakit infeksi bakterial pada ikan. Genus yang utama antara lain: Mycobacterium, Aeromonas, Flavobacterium, Pseudomonas dan Vibrio. Infeksi Fungi pada Ikan Fungi merupakan kelompok organisme berfilamen, non-fotosintesis dan bersifat heterotrof. Secara umum fungi cenderung pada lingkungan yang bersifat asam dengan pertumbuhan optimal umumnya pada pH 4-6 dan suhu 5-400C. Penyakit mikosis yang sering dijumpai pada ikan, umumnya merupakan anggota dari subdivisi Mastigomycotina, Zygomycotina, dan Deuteromycotina yang keseluruhannya meliputi lima ordo, yaitu Saprolegniales, Chytridiales, Entomophthorales, Moniliales dan Sphaeopsidales. Fungi parasitik ini akan berkembang biak pada tubuh ikan dan menyebabkan luka, stres ataupun infeksi. Fungi dapat menyebabkan infeksi sekunder apabila kondisi buruk , seperti kualitas air yang buruk, infeksi bakteri serta infeksi parasit. Infeksi Protozoa pada Ikan Klinger and Floyd (2002) menyatakan bahwa protozoa merupakan jenis parasit yang umum ditemukan pada ikan. Protozoa dapat dengan mudah diidentifikasi, dan biasanya paling mudah untuk dikendalikan. Protozoa merupakan organisme bersel tunggal, banyak hidup bebas di lingkungan air dan memiliki keragaman yang tinggi, baik dari segi morfologi maupun ukuran. Pada umumnya, protozoa tidak memerlukan inang antara untuk reproduksinya karena protozoa memiliki daur hidup langsung, tetapi hanya pada kondisi tertentu menjadi bersifat parasit, contohnya Epistylis. Adapun sebagian protozoa yang bersifat parasit obligat , misalnya Ichthyophthirus dan Piscinoodinium (Hoole et al. 2001). Jenis-jenis protozoa tersebut memperoleh makanan yang dibutuhkan dari inangnya. Protozoa dapat berjumlah sangat banyak (berkoloni) yang dapat menyebabkan kehilangan bobot badan, tenaga (lemah), dan kematian. Lima kelompok protozoa yang umum ditemukan, yaitu Ciliata, Flagelata, Myxozoa, Mikrosporidia, dan Koksidia (Durborow 2003). Infeksi Cacing parasit dan Arthropoda pada Ikan Cacing parasitik meliputi filum Platyhelminthes, Nemathelminthes, Acantocephala, Annelida dan Artrhopoda. Parasit tersebut sangat beragam morfologi, sifat-sifat, inang dan organ atau jaringan yang diinfeksinya. Trematoda Monogenea, juga disebut cacing pipih atau cacing hati, biasanya menginvasi insang, kulit, dan sirip ikan. Sejumlah hewan dari filum Arthropoda bersifat parasit pada ikan, karakteristik hewannya sangat beragam, tetapi umumnya berasal dari kelas Crustacea, subkelas Branchiura (Misalnya Argulus) dan Copepoda (misalnya, Ergasilus dan Learnaea). Penyakit Non-Infeksius pada Ikan Penyakit non-infeksius dapat disebabkan oleh hal-hal yang sederhana seperti situasi lingkungan, nutrisi, atau situasi-situasi genetik. Penyebab lain dapat disebabkan oleh oksigen yang rendah atau tingkat amonia yang tinggi, dan masih banyak lagi yang disebabkan oleh alam. Menurut DuHamel (2007), penyakit noninfeksius pada ikan dapat berupa: • Penyakit akibat lingkungan, yaitu ammonia yang tinggi, nitrit yang tinggi, oksigen yang rendah atau toksin yang terdapat di air. • Penyakit nutrisi sulit untuk diidentifikasi. Biasanya terjadi karena kekurangan vitamin, seperti vitamin C dan asam pantotenat. • Kelainan genetik, dapat terjadi pada setiap jenis ikan, seperti tidak adanya ekor atau tambahan ekor Kerusakan yang ringan pada ikan akibat penyakit ini dapat mempengaruhi kinerja ikan, meskipun tidak mengakibatkan kematian secara langsung. Keparahan yang terjadi secara lokal atau kerusakan yang luas mungkin dapat menjadi jalan masuk bagi patogen-patogen atau secara langsung dapat mengakibatkan kematian. MATERI DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di laboratorium Helminthologi, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner serta laboratorium Histopatologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian berlangsung dari bulan Juli 2007 sampai dengan Februari 2008. Bahan dan Alat Penelitian Hewan penelitian yang digunakan adalah ikan mujair (Oreochromis mossambicus) sebanyak 12 ekor dengan berat (± 200) gram. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah spesimen organ insang, usus dan otot dari ikan mujair (Oreochromis mossambicus), Buffer Netral Formalin (BNF) 10%, xylol, alkohol 70%, alkohol 80%, alkohol 90% dan alkohol absolut 96%, parafin, putih telur, permount dan pewarna Haematoxillin Eosin (HE). Penelitian ini menggunakan sebuah aquarium berukuran 100x50x50 cm, alat bedah (gunting, pinset, dan skalpel), alas berupa gabus yang dilapisi plastik berwarna hitam, plastik ukuran ¼ ons, karet pengikat, mikrotom, casette, alas kayu, timbangan dan tisu. Metode Penelitian Metode yang digunakan, yaitu metode pengambilan sampel langsung. Hewan penelitian ikan mujair (Oreochromis mossambicus) diambil dari tambak sebanyak 12 ekor dan disimpan dalam akuarium selama dua hari dengan tujuan agar dapat menyesuaikan diri dengan keadaan akuarium. Pada hari ketiga, ikan penelitian dikeluarkan dari akuarium satu persatu. Ikan penelitian diidentifikasi, ditimbang beratnya dan dilakukan nekropsi untuk diambil insang, otot dan ususnya. Insang, usus dan otot ikan dimasukkan ke dalam larutan fiksatif BNF 10%. Selanjutnya dibuat preparat histologis dengan pewarnaan Haematoxillin dan Eosin. Pembuatan Sediaan Histopatologi Spesimen organ (insang, usus dan otot) yang telah ada, dipotong dengan ukuran 1x1cm dengan ketebalan 2-3 mm dan diletakkan dalam tissue cassette. Organ yang telah dipotong direndam ke dalam larutan fiksasi Buffer Netral Formalin (BNF) 10%, minimal selama 24 jam. Hal ini bertujuan untuk menghentikan proses enzimatis pada jaringan dan menjaga bagian-bagian sel terfiksasi pada tempatnya. Selanjutnya dilakukan proses dehidrasi, yaitu proses untuk menarik air dari jaringan dengan merendam organ hasil fiksasi ke dalam larutan alkohol dengan konsentrasi bertingkat, yaitu alkohol 70%, alkohol 80%, alkohol 90%, alkohol 95% dan alkohol absolut 100%. Perendaman organ hasil fiksasi pada masing-masing konsentrasi alkohol dilakukan selama 2 jam. Ada dua tahap dalam melakukan perendaman organ terfiksasi pada alkohol 95% dan alkohol absolut 100%, yaitu menggunakan gelas beker 1 dan gelas beker 2. Hal ini bertujuan agar air yang terkandung dalam pori-pori jaringan dapat tertarik dengan sempurna. Pori-pori yang telah terdehidrasi akan menjadi kosong dan nantinya akan diisi oleh parafin dalam proses infiltrasi (Humason 1967). Tahap selanjutnya adalah clearing, yaitu proses yang dilakukan dengan cara merendam organ hasil dehidrasi pada larutan xylol. Xylol mudah bercampur dengan alkohol yang berasal dari proses dehidrasi tersebut. Proses clearing juga dapat melarutkan parafin pada proses infiltrasi sehingga diperoleh jaringan yang jernih dan bersih tanpa kotoran ataupun artefak yang dapat mengganggu proses pembacaan. Setelah dilakukan proses clearing, maka dilakukan infiltrasi, yaitu proses pengisian parafin ke dalam pori-pori jaringan organ. Hal ini bertujuan untuk mengeraskan jaringan agar mudah dipotong setipis mungkin dengan menggunakan pisau mikrotom. Parafin yang digunakan adalah berplastik yang memiliki titik lebur 580 C. Proses infiltrasi dilakukan dengan dua tahap, yaitu tahap parafin 1 dan parafin 2, masing-masing tahapan dilakukan selama dua jam agar pori-pori jaringan organ terisi parafin dengan sempurna (Humason 1967). Embedding (blocking) merupakan proses penanaman spesimen organ ke dalam parafin yang dicetak menjadi blok-blok parafin dalam wadah khusus berupa tissue cassette/block besi. Parafin yang digunakan sama dengan parafin yang digunakan dalam proses infiltrasi. Embedding (blocking) bertujuan untuk memudahkan proses pemotongan jaringan karena blok parafin yang terbentuk dapat dilekatkan pada holder mikrotom tepat di depan pisaunya. Setelah parafin menjadi blok-bok, maka selanjutnya dilakukan pemotongan spesimen berparafin menggunakan Rotary Mikrotom Spencer, USA. Spesimen dipotong dengan ketebalan 4-5 μm yang nantinya akan berupa “pita-pita” jaringan yang saling bersambungan. Potongan-potongan tersebut diletakkan di atas penangas air dengan suhu 370C. Hal ini bertujuan agar potongan “pita-pita” tersebut tidak mengkerut dan tidak berlekatan satu sama lain. Sediaan potongan-potongan jaringan, dipilih yang terbaik dan diletakkan pada gelas objek yang telah ditetesi perekat putih telur. Kemudian disimpan di dalam inkubator selama 24 jam dengan suhu 560C untuk mencairkan parafin yang melekat pada jaringan dan melekatkan jaringan pada gelas objek secara sempurna (Humason 1967). Preparat yang telah difiksasi pada gelas objek diwarnai dengan Haematoxillin dan Eosin. Awalnya preparat dimasukkan kedalam xylol 1 dan xylol 2 selama dua menit untuk melarutkan parafin yang masih melekat pada gelas objek. Untuk hidrasi diperlukan larutan alkohol absolut 100% selama dua menit, alkohol 95%, dan alkohol 80% masing-masing selama satu menit. Kemudian cuci dalam air kran selama satu menit,dimasukkan ke dalam pewarna Mayer’s Haematoxyllin selama 10 menit, cuci lagi dalam air kran selama 30 detik, dimasukkan ke dalam Lithium carbonat selama 15-30 detik, dan cuci dalam air kran selama dua menit. Setelah itu preparat diamasukkan ke dalam larutan pewarna Eosin selama 2-3 menit , kemudian cuci dalam air kran selama 30-60 detik untuk menghilangkan Eosin yang masih tertinggal. Setelah pewarnaan, preparat dimasukkan ke dalam larutan alkohol 95% dan alkohol absolut 1 sebanyak 10 celupan serta alkohol absolut 2 selama dua menit. Setelah tahap pewarnaan selesai, maka dilakukan perekatan (mounting) menggunakan zat perekat permount dengan entelan, kemudian ditutup dengan gelas penutup (cover glass). Selanjutnya sediaan preparat siap diamati (Humason 1967). HASIL DAN PEMBAHASAN INSANG Insang ikan rentan terhadap parasit, bakteri, fungi serta sensitif terhadap perubahan fisik dan kimiawi pada air. Menurut Robert (2001), ada hubungan yang erat antara perubahan-perubahan morfologi insang, stres (Barton 2002) dan beberapa agen infeksius yang dapat dihubungkan dengan proliferasi dan nekrosis sel-sel insang. Morfologi insang dapat menjadi suatu indikator yang baik terhadap kualitas air dan kondisi kesehatan umum ikan yang dibudidayakan. Hasil pengamatan perubahan histopatologi pada insang dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Perubahan Histopatologi Insang pada Ikan Mujair No 1 Keterangan Ikan Mujair 1 2 Ikan Mujair 2 3 Ikan Mujair 3 4 Ikan Mujair 4 5 Ikan Mujair 5 6 Ikan Mujair 6 7 Ikan Mujair 7 8 Ikan Mujair 8 Gambaran Histopatologi Teleangiektasis, proliferasi sel goblet, hiperplasia, fusi dan desquamasi epitel lamela, kongesti kapiler, hemoragi, infiltrasi sel radang (netrofil) akibat cacing parasit. Kongesti kapiler, edema lamela primer, hiperplasia dan fusi epitel lamela. Edema lamela sekunder dan lamela primer, hiperplasia dan fusi epitel lamela, kongesti kapiler, hemoragi, teleangiektasis, desquamasi epitel lamela Kongesti kapiler, hiperplasia dan fusi epitel lamela, edema lamela, proliferasi sel goblet, atropi lamela sekunder. Hemoragi, hiperplasia, fusi dan desquamasi epitel lamela, edema lamela, proliferasi sel goblet, dan kongesti kapiler. Hipertropi sel epitel, hiperplasia dan fusi epitel lamela, proliferasi sel goblet, edema lamela, kongesti dan nekosis sel epitel lamela. Kongesti kapiler, proliferasi sel goblet, edema lamela, hiperplasia dan fusi epitel lamela. Hiperplasia dan fusi lamela, proliferasi sel goblet, edema lamela dan infeksi parasit cacing. Lanjutan Tabel 1. Perubahan Histopatologi Insang pada Ikan Mujair No 9 Keterangan Ikan Mujair 9 10 Ikan Mujair 10 11 Ikan Mujair 11 12 Ikan Mujair 12 Gambaran Histopatologi Proliferasi sel goblet, hiperplasia dan fusi epitel lamela, edema lamela, kongesti kapiler, dan atropi lamela sekunder. Proliferasi sel goblet, hiperplasia dan fusi epitel lamela, edema lamela, hemoragi dan infeksi parasit cacing. Proliferasi sel goblet, hiperplasia dan fusi epitel lamela, kongesti kapiler, edema lamela, hemoragi, infeksi cacing. Hemoragi, infiltrasi sel radang (netrofil), proliferasi sel mukus, edema Perubahan histopatologi yang paling umum terjadi pada insang ikan mujair dalam penelitian ini adalah hiperplasia dan fusi sel-sel epitel lamela insang lamela seperti gambar 7. Menurut Robert 2001, hiperplasia terjadi pada tingkat iritasi yang lebih rendah dan biasanya disertai peningkatan jumlah sel-sel mukus di dasar lamela dan mengakibatkan fusi dari lamela. Ruang interlamela yang merupakan saluran air dan ruang produksi mukus dapat tersumbat akibat hiperplasia sel epitel yang berasal dari filemen primer. Pada akhirnya, seluruh ruang interlamela diisi oleh sel-sel yang baru. Hiperplasia mengakibatkan penebalan jaringan epitel di ujung filamen yang memperlihatkan bentuk seperti pemukul bisbol (clubbing distal) atau penebalan jaringan epitelium yang terletak di dekat dasar lamela (basal hiperplasia). Lesio-lesio penting lainnya yang terjadi pada insang ikan mujair berupa gangguan-gangguan teleangiectasis dan aliran darah, konstriksi termasuk dari kongesti sinus-sinus pembuluh pembuluh darah, darah. Perubahan-perubahan akut pada jaringan insang berupa fusi (peleburan) lamela dan piknosis sel-sel. Pada kasus kronis akan terjadi nekrosis, deskuamasi sel, edema dan ditandai oleh infiltrasi sel-sel granuler eosinofilik (EGCs). Kondisi-kondisi ini dapat mengurangi efisiensi difusi gas (Hoole et al. 2001). Hiperplasia ini dapat terjadi akibat berbagai polutan kimia dan logam berat terutama Cadmium, Cuprum dan Zinc. Ikan yang terpapar oleh logam berat, deterjen, amoniak, pestisida, dan nitrofenol memperlihatkan pemisahan antara sel epitelium dan sistim yang mendasari sel tiang yang dapat mengarah kepada runtuhnya keutuhan dari struktur lamela sekunder (Olurin et al. 2006) dan dapat menyebabkan peningkatan jumlah sel-sel klorid. Gambar 7. Hiperplasia dan fusi epitel lamela. Pewarnaan HE (Bar = 100 μm). Chacko (1984) menyatakan bahwa defisiensi nutrisi dapat juga mengakibatkan kondisi-kondisi patologi khusus, misalnya penyakit-penyakit insang yang disebabkan oleh defisiensi asam pantotenat. Defisiensi asam pantotenat dapat menyebabkan pertumbuhan yang buruk, hemoragi, kematian yang tinggi, anemia, hiperplasia dari sel-sel epitel insang, penebalan lamela dan terjadi fusi. Penyakit akibat defisiensi asam pantotenat dapat meningkat menjadi penyakit bakteri jika defisiensi tersebut tidak dapat segera ditangani dan kondisi lingkungan kurang baik. Pada kasus-kasus yang ekstrim, infeksi bakteri mengakibatkan proliferasi epitelium insang dan fusi filamen insang. Salah satu gejala-gejala yang konstan adalah peningkatan sekresi mukus oleh insang (Schachte 2008). Insang membengkak dan terjadi kongesti yang mengakibatkan insang terlihat lebih merah dari biasanya. Kasus utama pada lamela, yaitu "Clubbing" dan peleburan (fusi) dari lamela akibat hiperplasia epitelium insang (Gambar 8). Tabel 2 memperlihatkan perbedaan perubahan histopatologi akibat bakteri dan defisiensi asam pantotenat menurut Wood dan Yasutake (1957) dalam Shiau (2002). Gambar 8. Clubbing dan fusi lamela sekunder pada ujung filamen insang. Lamela memanjang dan bengkok serta hemoragi (a). Pewarnaan HE (Bar = 100 μm). Tabel 2. Perbedaan Histopatologi antara Penyakit Insang akibat Bakteri dan Penyakit Insang akibat Defisiensi Asam Pantotenat No 1 2 3 4 5 6 Pembeda Hiperplasia lamela Hiperplasia di dasar lamela Hiperplasia di ujung lamela Lesio bermula di akhir distal filamen Lamela memendek Lamela memanjang dan bengkok Penyakit Insang akibat Bakteri Ya Tidak Ya Kadang-kadang Tidak Ya Sumber: Wood dan Yasutake (1957) dalam Shiau (2002). Penyakit Insang Perihal Nutrisi Ya Ya Tidak Ya Ya Tidak Perubahan lain yang ditemukan pada insang ikan mujair dalam penelitian ini adalah edema, desquamasi lamela, yaitu pemisahan epitel pernapasan pada lamela primer dan lamela sekunder yang disertai nekrosis sel epitel lamela serta akumumlasi mukus (Gambar 9). Robert (2001) menyatakan bahwa pembengkakan pada lamela sekunder dapat dihubungkan dengan edema lamela, hipertropi sel epitel dan perubahan pada dasar arsitektur sel tiang. Edema sering terjadi akibat pemaparan polutan-polutan yang berasal dari bahan kimia, seperti logam-logam berat, metaloid, pestisida, dan penggunaan bahan-bahan terapeutik (formalin dan H2O2) yang berlebihan. Hal ini sesuai dengan penelitian Crespo et al. (1988) yang menyatakan bahwa beberapa kasus berat akibat polutan kimia dan logam berat pada ikan budi daya Salmo trutta fario terjadi akumulasi mukus, hiperplasia epitel, yang diikuti oleh kematian sel epitel, embolisme, infiltrasi sel radang berupa pengerahan EGCs dan limfosit ke lamela sekunder. Menurut Nilsson1 (2005), pembengkakan, deskuamasi epitel dan fusi lamela pada insang ikan mas dapat disebabkan oleh panas dan polusi (asam, amonia, logam berat, pestisida) yang menyebabkan berubahnya struktur sel klorid. a c b Gambar 9. Edema filamen (a) dan lamela sekunder (b), serta desquamasi lamela (c) yang mungkin terjadi akibat zat-zat kimia dan logam-logam berat. Pewarnaan HE (Bar = 60 μm). Ada beberapa permasalahan yang dapat mempengaruhi struktur dan fungsi insang. Perubahan-perubahan ini disebabkan oleh agen-agen seperti parasit cacing. Monogenea dapat dikategorikan sebagai salah satu dari cacing parasit yang sering mempengaruhi insang sehingga dapat menyebabkan iritasi dan nekrosis insang menuju ke arah perusakan pernapasan (Snieszko dan Axelord 1971). Gambar 11 kemungkinannya merupakan Monogenea Dactylogyridae. Dactylogyridae merupakan cacing parasit insang yang paling umum ditemukan pada ikan air tawar khususnya ikan muda (Robert 2001). Ikan muda dari tilapia lebih peka terhadap monogeniasis (sebagian besar Dactylogyrus dan Gyrodactylus) dibandingkan ikan dewasa (Diab et al. ). Faktor predisposisi akibat investasi berat monogenea dapat berupa buruknya sanitasi dan kepadatan lingkungan ikan. Cacing menempel pada kulit, sirip dan insang dengan bantuan organ khusus (opisthohaptors). Organ ini biasanya terdiri atas kait-kait ganda atau alat penghisap seperti cakram. Jumlah parasit yang sedikit pada insang biasanya dapat ditoleransi, apabila parasit dalam jumlah banyak dapat mengakibatkan kematian ikan. Monogenea hidup pada lapisan-lapisan superfisial kulit dan insang yang mengakibatkan iritasi fokal, hemoragi, dan penampilan seperti awan akibat akumulasi mukus yang berlebihan. Sel-sel goblet membebaskan material mukusnya ke permukaan epitelial untuk melindungi jaringan insang. Terdapat dua jenis cacing parasit monogenea yang sering menyerang ikan mujair dan menyebabkan perubahan patologi pada insang, yaitu: 1) Gyrodactylus spp. : Parasit pada kulit dan insang; pipih dan seperti daun, tanpa bintik mata, ujung kepala berbentuk V; organ untuk menempel (opisthohaptor) memiliki dua alat penempel yang besar dengan 16 kait tipis. 2) Dactylogyrus spp.: Parasit insang; pipih dan seperti daun, memiliki dua atau empat bintik mata anterior; ujung kepala seperti kulit kerang; terdapat telur; organ menempel (opisthohaptor) memiliki jangkar-jangkar. Kedua monogenea tersebut memiliki siklus hidup langsung. Gyrodactylus spp. bersifat vivipar, larva dilepaskan dan langsung menempel pada inang. Dactylogyrus spp. bersifat ovipar dan menghasilkan telur dengan filamen panjang yang biasanya menempel pada insang. Telur Dactylogyrus spp. yang berkembang menjadi oncomirasidium yang kemudian menempel pada insang ikan. Perubahan-perubahan histopatologi yang terjadi pada ikan mujair dalam penelitian ini akibat cacing parasit sebagian besar berupa hiperplasia, desquamasi lamela insang sekunder, kongesti pembuluh darah yang berdekatan yang disertai oleh peningkatan jumlah sel-sel granul eosinofil (EGCs)(Gambar 10). d a c d b Gambar 10. Hemoragi (a), edema (b), proliferasi sel epitel (c) dan infiltrasi sel-sel granul eosinofil (d). Pewarnaan HE (Bar = 20 μm). e e A c b a d B Gambar 11. Monogenea (a) pada insang. Terjadi edema lamela sekunder (b) dan primer (c), hemoragi (d) dan proliferasi sel goblet (e). Pewarnaan HE (A. Bar = 60 μm, B. Bar = 40 μ m). Robert (2001) menyatakan bahwa myxospora merupakan parasit kulit dan insang yang paling umum menginfeksi ikan air laut dan ikan air tawar. Banyak spesies dari myxospora telah teridentifikasi, tetapi hanya beberapa spesies yang bersifat patogen. Beberapa jenis myxospora pada umumnya membentuk plasmodia di dalam lamela insang dan lainnya di filamen insang (Molnar 2002). Pada insang infeksi tipe ini (Gambar 12) kemungkinannya disebabkan oleh protozoa myxospora. Plasmodia berkembang di dalam epitel banyak lapis lamela insang, yaitu diantara 2 lamela yang bersebelahan. Plasmodia mengisi ruang interlamela. z c x d b a Gambar 12. Myxospora plasmodia di epitel antara lamela insang (X). Terjadi hemoragi (a) dan infiltrasi sel radang (Z), desquamasi lamela (b), edema filamen (c) dan hipertropi sel (d). Pewrnaan HE (Bar = 20 μm). Pada gambar 13, plasmodia besar dibentuk di dalam epitel banyak lapis dari filamen (di daerah tanpa lamela sekunder). Infeksi jenis ini adakalanya teramati pada beberapa jenis plasmodia yang tidak teridentifikasi; akan tetapi, tidak ada dokumentasi yang sesuai untuk mendukung hal ini (Molnar 2002). Perubahan histopatologi pada insang ikan mujair dalam penelitian akibat protozoa ini sebagian besar berupa perusakan epitel lamela, edema, desquamasi epitel, hemoragi, hipertropi sel dan infiltrasi sel radang. Menurut Robert 2001, Protozoa ini dapat menyebabkan anemia dan kematian ikan. a x b Gambar 13. Myxospora plasmodia di epitel filamen insang (X). Terjadi infiltrasi sel radang (neutrofil) (a) dan proliferasi sel epitel (b). Pewarnaan HE. (Bar = 20 μm). Menurut Crespo et al. (1988), suatu karakteristik perubahan patologi pada insang ikan yang dihubungkan dengan trauma fisik atau kimia adalah kondisi yang dikenal sebagai teleangiektasis. Gambar 14 merupakan teleangiektasis yang ditemukan di lamela sekunder ikan mujair. Lesio ini menyebabkan rupturnya pilar penahan atau sel-sel tiang lamela sekunder ikan mujair, terjadi dilatasi kapiler, genangan darah, trombus dan pada akhirnya fibrosa, fusi dengan lamela yang bersebelahan. Robert (2001) menyatakan bahwa teleangiektasis ini dapat mengakibatkan dua atau tiga lamela melebur (fusi), dan biasanya terjadi edema maupun deskuamasi epitel. Teleangiektasis biasanya ditemukan pada ikan yang dibudidayakan setelah pergantian air kolam, berasosiasi dengan kondisi parasit, sisa metabolisme dan polutan kimia. Jika banyak terjadi teleangiektasis lamela, maka fungsi pernapasan dapat terganggu, terutama pada temperatur-temperatur tinggi, tingkat oksigen terlarut yang rendah dan kebutuhan akan oksigen metabolik tinggi dari normal. Hemoragi dapat terjadi jika pada ikan terjadi trauma yang berkelanjutan, ruptur dan fatal. Teleangiektasis (dilatasi lamela insang) dapat terjadi akibat pemaparan NH3, kerusakan mekanis, bahan toksik, virus, bakteri, toksin bakteri, parasit dan dalam beberapa kasus defisiensi nutrisi (Plumb 1994). b d a c Gambar 14. Teleangiektasis lamela sekunder (a). Ruptur sel tiang lamela sekunder, edema filamen (b), desquamasi epitel lamela (c) dan proliferasi sel goblet (d). Pewarnaan HE (Bar = 40 μm). OTOT Perubahan-perubahan patologi utama pada otot ikan mujair adalah gangguan-gangguan terhadap perkembangan dan pertumbuhan akibat suatu respon terhadap infeksi, bahan toksik, atau iritan lain. Perubahan-perubahan ini dapat melibatkan pertumbuhan berlebihan, pertumbuhan tidak sempurna, atau pola pertumbuhan abnormal pada jaringan atau organ. Hasil pengamatan perubahan histopatologi pada otot dapat dilihat pada Tabel 3. Pada penelitian ini perubahan yang terjadi pada otot ikan mujair berupa atropi (Gambar 15). Atropi adalah suatu proses berkurangnya ukuran dari suatu bagian tubuh atau organ karena pengurangan ukuran atau jumlah dari sel-sel yang ada dan biasanya berlangsung lambat. Pada otot ikan mujair yang atropi, sarkoplasma lebih tipis dan menghilang, lepas dari sarkolema dan endomisium. Atropi dapat disebabkan oleh kelaparan atau malnutrisi (penyebab paling umum), kekurangan suplai darah yang cukup atau infeksi kronis (Plumb 1994). Tabel 3. Perubahan Histopatologi Otot pada Ikan Mujair No 1 Keterangan Ikan Mujair 1 2 Ikan Mujair 2 3 Ikan Mujair 3 4 5 6 7 8 Ikan Mujair 4 Ikan Mujair 5 Ikan Mujair 6 Ikan Mujair 7 Ikan Mujair 8 9 10 Ikan Mujair 9 Ikan Mujair 10 11 Ikan Mujair 11 12 Ikan Mujair 12 Gambaran Histopatologi Atropi serabut otot, degenerasi dan nekrosis sel-sel otot, edema serta adanya infeksi protozoa. Hemoragi, infiltrasi sel radang (Limfosit) akibat infeksi protozoa, degenerasi dan nekrosis sel-sel otot, serta edema. Degenerasi hyalin dan zenkers, dan edema pada serabut otot. Degenerasi dan nekrosis serabut otot. Edema, degenerasi dan nekrosis serabut otot. Degenerasi dan nekrosis serabut otot, infeksi protozoa Degenerasi dan nekrosis serabut otot, infeksi protozoa Degenerasi dan nekrosis serabut otot serta infiltrasi sel lemak. Degenerasi dan nekrosis serabut otot serta edema. Degenerasi dan nekrosis serabut otot, edema dan infiltrasi sel lemak. Degenerasi dan nekrosis serabut otot, edema dan infiltrasi sel lemak. Degenerasi dan nekrosi serabut otot. Perubahan lain yang terjadi pada otot ikan mujair dalam penelitian ini adalah degenerasi dan nekrosis sel-sel otot. Gambar 15, otot ikan mujair terlihat berlubang, terjadi migrasi nukleus, nekrosis sarkoplasma, edema yang terlokalisir dan inti sel otot mengalami karyopiknosis dan karyorhexis. Degenerasi dan nekosis sel otot dapat disebabkan oleh kekurangan dari material essensial (misalnya, oksigen atau asam pantotenat), kekurangan sumber energi yang menggangngu metabolisme, pemanasan mekanik atau luka akibat listrik, akumulasi subtansi yang abnormal di dalam sel-sel yang disebabkan oleh virus, bakteri, parasit, bahan kimia beracun, ketidakseimbangan nutrisi dan zat-zat iritan ringan (Feist 2003). b a b Gambar 15. Atropi sel otot berwarna lebih merah (a), degenerasi dan nekrosis serabut otot (b). Pewarnaan HE (Bar = 20 μm). Menurut Smith dan Thomas (1961), Degenerasi lemak merupakan hasil dari suatu akumulasi lipid, terutama di dalam hati yang diikuti piknosis serta nekrosis. Degenerasi lemak dapat terjadi pada otot, tetapi sangat jarang misalnya pada gambar 16. Pada otot ikan mujair, lemak kelihatan sebagai ruang kosong, bersih atau hampir bersih, tidak bernoda atau tidak terwarnai, membulat di dalam jaringan otot. Perubahan ini biasanya disebabkan oleh suatu penyakit infeksi, ketidakseimbangan nutrisi, hipoksia, anemia, dan mungkin beberapa bahan toksik. b c Gambar 16. Degenerasi lemak (b) dan edema (c). Pewarnaan HE (Bar = 40 μm). Gambar 17 merupakan perubahan histopatologi yang ditemukan dalam otot ikan mujair penelitian berupa degenerasi hialin dan zenkers. Otot ikan mujair memperlihatkan serabut-serabut yang membengkak, homogen dan berwarna pink. Otot kelihatan pucat atau putih serta agak berkilauan, sarkoplasma asidofilik, miofibril-miofibril tidak dapat terlihat, nukleus gelap dan kecil pada daerah yang terjadi degenerasi zenkers. Smith dan Thomas (1961) menyatakan bahwa serabut-serabut otot yang mengalami zenkers biasanya mengalami nekrosis. Regenerasi serabut otot yang lain dapat terlihat disekitar serabut otot yang mengalami Zenkers, tetapi hal ini jarang terjadi. Zenkers biasanya diakibatkan oleh toksin atau mikroorganisme patogen yang muncul dalam hubungannya dengan infeksi lokal dan sistemik. Pada Gambar 18 jaringan otot ikan mujair memperlihatkan suatu edema, ruang antara sel-sel dan serabut otot yang bersebelahan meluas, satu atau dua nukleus menempel di dalam serabut dan yang lainnya terdislokasi. Hibiya dan Fumio (1995) menyatakan bahwa nukleus biasanya terletak berdekatan dengan permukaan dalam sarkolema dan terlihat di perifer serabut otot apabila otot dipotong secara melintang. Edema dapat disebabkan oleh kelebihan cairan (air) di dalam rongga antarsel, termasuk rongga-rongga tubuh yang biasanya terjadi akibat konsekuensi pasca kongesti. a a a Gambar 17. Degenerasi Hialin dan Zenkers (a) pada serabut otot. Pewarnaan HE (Bar = 40 μm). a b x Gambar 18 Edema pada otot berupa rongga antar serabut otot (x). Dislokasi nukleus (a) dan endomisium (c) pada serabut otot akibat edema. Pewarnaan HE (Bar = 40 μm). Perubahan-perubahan patologi pada sel otot ikan mujair dapat juga disebabkan oleh parasit protozoa. Gambar 19 dan 20 kemungkinan adalah salah satu parasit protozoa mikrospora yang menyebabkan otot degenerasi, nekrosis, hemoragi dan adanya infiltrasi sel radang. Menurut Langdon et al. (1992), Mikrospora merupakan satu-satunya protozoa yang memiliki spora Gram-positif dan parasit intrasel yang banyak menginfeksi grup hewan, termasuk ikan air tawar yang dibudidayakan. Mikrospora muncul sebagai kista individu atau ganda yang dapat membesar (dengan diameter sampai beberapa mm). Kista-kista yang besar ini berisi spora-spora refraktil disebut xenomas yang berukuran antara 1 sampai 2 µm dan dapat menyebabkan myoliquefaksi. Kista parasit dapat menginduksi hipertropi sel yang terinfeksi (Glugea spp., Loma spp., Spraguea spp., dan Ichthyosporidium spp.) atau tidak menyebabkan hipertropi sel yang terinfeksi (Pleistophora spp.). Mikrospora dapat ditemukan pada sejumlah besar ikan air tawar dan ikan air laut. Beberapa mikrospora memenempati inang yang tepat dan jaringan yang spesifik, sedangkan beberapa lainnya memiliki kisaran inang yang luas. Gambar 19. Gambaran histologi jaringan otot yang terinfeksi Mikrospora. Infiltrasi sel radang, degenerasi otot dan hemoragi . Pewarnaan HE (Bar = 20 μm). A B Gambar 20. Gambaran histologi jaringan otot yang terinfeksi Mikrospora. Multifokal spora (Gambar B) dan nekrotik jaringan (Gambar A). Pewarnaan HE (A. Bar = 100 μm, B. Bar = 40 μm). Dengan jelas, kerusakan yang signifikan pada otot akan merugikan karena mempengaruhi kinerja ikan untuk mencari makan, bermigrasi ke tempat bertelur dan menghindari pemangsa. USUS Usus adalah salah satu organ yang sering terpapar oleh agen-agen penyakit. Hasil pengamatan perubahan histopatologi pada usus dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Perubahan Histopatologi Usus pada Ikan Mujair No 1 2 Keterangan Ikan Mujair 1 Ikan Mujair 2 3 Ikan Mujair 3 4 Ikan Mujair 4 5 6 Ikan Mujair 5 Ikan Mujair 6 7 Ikan Mujair 7 8 Ikan Mujair 8 9 Ikan Mujair 9 10 Ikan Mujair 10 11 Ikan Mujair 11 12 Ikan Mujair 12 Gambaran Histopatologi Proliferasi sel goblet dan infeksi protozoa. Desquamasi epitel, proliferasi sel goblet, edema submukosa dan infiltrasi melano-makrofag centers(MMCs). Proliferasi sel goblet, edema submukosa, nekrosis epitel, kongesti pembuluh darah dan desquamasi epitel usus. Proliferasi sel goblet, hemoragi, edema, degenerasi pada tunika muskularis, nekrosis sel, dan desquamasi lapisan epitel. Desquamasi lapisan epitel usus, proliferasi sel goblet, nekrosis sel, edema submukosa, infiltrasi sel-sel limfoid dan MMCs, serta atropi vili. Proliferasi sel goblet, kongesti pembuluh darah, edema dan hemoragi. Proliferasi sel goblet, edema submukosa, dan infeksi protozoa. Proliferasi sel goblet, edema, desquamasi lapisan epitel, degenerasi otot dan nekrosi sel. Proliferasi sel goblet, infiltrasi sel-sel limfoid, edema dan desquamasi lapisan epitel. Edema submukosa, nekrosis sel epitel, proliferasi sel gobletdan desquamasi lapisan epitel Desquamasi sel epitel, nekrosis vili usus. Perubahan histopatologi yang terjadi pada usus halus ikan mujair dalam penelitian ini, yaitu proliferasi sel goblet, hemoragi, atropi vili usus, kongesti, desquamasi epitel dan edema. Gambar 21 dan 22 adalah perubahan yang berupa atropi vili dan nekrosis dari sel epitelium mukosa duodenum. Perubahan ini paling umum terjadi di dalam saluran pencernaan. Deskuamasi epitelium mukosa atau infiltrasi limfosit ke dalam lamina propia dan submukosa mengikuti perubahan tersebut. Lesio ini dapat menyebabkan saluran pencernaan berdilatasi, hilang keelastisannya, desquamasi epitelium atau darah yang bercampur eksudat dan lendir juga hadir di dalam lumen. Hiperplasia dan deskuamasi epitelium mukosa yang disertai haemoragi dari lamina propia merupakan suatu contoh akibat degenerasi progesif di dalam saluran pencernaan. Hiperplastik akibat penebalan epitelium mukosa dapat menyebabkan konstriksi lumen saluran pencernaan (Plumb 1994). a b c Gambar 21. Kongesti pembuluh darah (a), edema submukosa (b), proliferasi sel goblet (c) dan degenerasi hyalin pada tunika muskularis . Pewarnaan HE (Bar = 100 μm). Menurut Robert (2001), pada kondisi toksik akut yang disebabkan oleh toksin bakteri, virus, parasit, zat kimia atau alga, mukosa usus dapat terangkat seluruhnya. Sel-sel epitel mukosa usus individu dapat menggulung yang disertai penebalan kromatin dan sitoplasma eosinofil yang dapat terjadi akibat kelaparan dan kondisi kaheksia. Pada bentuk khusus terjadi pelepasan mukosa ke dalam lumen, kadang-kadang disertai hemoragi dan edema submukosa. MMCs (Melano-makrofag centers) banyak ditemukan di dalam jaringan limfoid kebanyakan ikan dan juga pada lesio-lesio akibat peradangan, misalnya gambar 22. Menurut Ellis (1981b), melanin pada organ viscera dapat sebagai alat perlindungan dari kerusakan akibat radikal bebas. a b x MMCs Gambar 22. Infiltrasi sel-sel limfoid (a), edema submucosa (b), nekrosa dan atropi vili usus (x). Pewarnaan HE (Bar = 20 μm). Pada kondisi pembudidayaan yang intensif, peluang untuk terinfeksi berat oleh parasit ada dan perubahan patologi usus ikan dapat terjadi sebagai contoh penyakit protozoa seperti koksidiosis. Gambar 23 kemungkinan merupakan protozoa koksidia. Perubahan histopatologi yang terjadi pada usus ikan mujair dalam penelitian akibat protozoa koksidia yang terdapat pada mukosa epitel usus ini berupa proliferasi sel goblet, edema, hemoragi dan kerusakan sel epitel. Hal ini sesuai dengan penelitian Molnar (1989) yang menyatakan bahwa pada ikan cyprinid, protozoa koksidia ini berkembang di dalam epitelium dan adakalanya di dalam lamina propria dan menyebabkan atropi epitel usus (Kent 2002). Pengaruh patologi terbatas pada kehancuran sel-sel epitelia yang terinfeksi. Mukus dilepaskan dari sel epitel, melindungi usus dalam bentuk seperti tabung dan berisi massa ookista. Sampai kini, informasi mengenai koksidia ikan masih terbatas, tetapi jenis koksidia ikan yang dilaporkan telah sangat meningkat. a b a c Gambar 23. Protozoa pada usus (a). Oocysts bersporulasi pada proliferasi sel goblet (b) dan edema (c). Pewarnaan HE (Bar = 20 μm). epitelium. Terjadi KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian pada ikan mujair di daerah Ciampea Bogor, maka dapat disimpulkan : 1. Insang ikan mujair umumnya mengalami hiperplasia, inflamasi, hemoragi dan fusi epitelium lamela. Ada beberapa insang ikan mengalami edema, telangiectasis, hipertropi epitel, proliferasi sel goblet, nekrosis sel, kongesti pembuluh darah dan invasi cacing dan protozoa. 2. Pada usus ikan mujair paling banyak ditemukan proliferasi sel goblet, nekrosa sel dan invasi protozoa. Otot ikan mujair menunjukkan adanya degenerasi sel, infiltrasi sel lemak, atropi sel dan miositis akibat invasi protozoa yang diikuti oleh infitrasi sel radang. 3. Perubahan-perubahan histopatologi yang terjadi pada jaringan insang, usus dan otot ikan mujair mungkin terjadi akibat trauma fisik, kimia maupun invasi parasit, bakteri, virus dan defisiensi nutrisi. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas air kolam atau manajemen pemeliharaan kolam kurang baik. Saran 1. Berdasarkan hasil penelitian, maka pemilik kolam ikan disarankan dapat mengurangi resiko terjadinya perubahan patologi pada ikan mujair. Hal ini dapat dilakukan dengan cara membersihkan filter kolam secara reguler, membuat saluran irigasi yang baik, tidak memberi makan ikan secara berlebihan, memelihara stabilitas level zat kimia, memelihara temperatur air kolam, dan sebaiknya kolam tidak terlalu penuh dengan ikan. Meskipun penyakit yang timbul tidak bersifat zoonosis pada manusia, tetapi hal ini dapat menimbulkan kematian ikan sehingga menimbulkan kerugian yang berarti bagi pembudi daya ikan khususnya dan devisa negara umumnya karena Indonesia merupakan negara perairan. 2. Jumlah dan lokasi penelitian perlu diperbanyak agar didapat data yang lebih banyak dan mewakili untuk daerah Bogor. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2007. Parasitic Diseases of Fish http://ag.ansc.purdue.edu/courses/aq448/diseases/parasites.htm [17 September 2007]. Anonim. 2008. Oreochromis mossambicus http://www.zipcodezoo.com/Animals/O/Oreochromis_mossambicus.asp [25 Februari 2008]. Anonim. 2008. Fish Health - Neon Tetra Disease http://www.fish-helpline.co.uk/health/neon_tetra_disease.html [28 Februari 2008]. Alaska Fisheries Science Center. 2008. Fisheries Resources Pathobiology - Active Research. http://www.afsc.noaa.gov/race/shellfish/pathobiology/pathoResearch.htm. [27 Februari 2008]. Austin B & Austin DA. 1999. Bacterial Fish Pathogens, Disease of Farmed and Wild Fish, 3rd (Revised) edn. Godalming: Springer- Praxis. Bardach JE. 1993. Fish as Food and the Case for Aquaculture. P 1. In John E. Bardach (Eds.). Sustainable Aquaculture. John Wiley and Sons Inc. Canada. Barton BA. 2002. Stress in Fishes: A Diversity of Responses with Particular Reference to Changes in Circulating Corticosteroids1. Integ. and Comp. Biol., 42:517–525. Browser PR. 1999. Diseases of Fish. http://www.afip.org/vetpath/POLA/99/Diseases_of_Fish.htm [17 September 2007]. Cadwallader PL & GN. Backhouse. 2007. Some Parasites of Freshwater Fish. http://www.dpi.vic.gov.au/DPI/nreninf.nsf/childdocs [ 27 Februari 2008]. Chacko AJ. 1984. A Report on Nutritional Studies on Summer Chinook Salmon Fry at McCall State Fish Hatchery, Idaho: Histological Findings. Crespo SF, Padros RS and MJ. Marlasca. 1988. Gill structure of cultured Salmo trutta fario related to sampling techniques. Journal. Dis. aquat. Org. 4: 219-221pp. Dana D dkk. 1985. Monogeneans from some Fresh Water Fishes of Java, Indonesia dalam Training Course on Fish Diseases, Their Prevention and Control, Volume III: Technical Reports. Scameo-Biotrop. Diab AS, El-Bouhy Z.M, Sakr SF and Abdel-Hadi YM. 2003. Prevalence of some parasitic agents affecting the gills of some cultured fishes in Sharkia, Damietta and Fayium governorates. Faculty of Veterinary Medicine, Zagazig University*. The Central Laboratory for Aquaculture Research (CLAR), Abbassa. DuHamel, D. 2007. Identifying Fish Diseases: Bacterial, Fungal, Non-Infectious, Viral, and Protozoan Ailments. http://www. fish.suite101.com/article.cfm/identifying_fish_diseases [25 Februari 2008]. Durborow RM. 2003. Protozoan Parasites. Southern Regional Aquaculture Center (SRAC). USA. Ellis AE. 1982. Differences Between The Immune Mechanism of Fish and Higher Vertebrates. In R. J. Roberts (Eds.). Microbial Diseases of Fish. Society for General Microbiology. Chapter 5 Crown. Copyright. Elmbe. 2006. Koi Diseases Gill Flukes. http://www.koiandponds.com/disease-gillflukes.htm [ 27 Februari 2008]. Eastern Visayas Integrated Fisheries Research & Development Center (EVIFRDC) BFAR RFO 8. 1997. Tilapia Hatchery and Nursery Management. CRM Center, Brgy. Diit, Tacloban City. 10p. Fahdi M. 2005. Identifikasi Bakteri pada Ikan Red Fin Shark Albino Ephalzeorhyncus frenatus [Skripsi]. Budidaya Perairan. FPIK-IPB. Fanta FSR, S. Romão, Ana CCV and Sandra F. 2002. Histopathology of the fish Corydoras paleatus contaminated with sublethal levels of organophosphorus in water and food [Abstrak] http://www.sciencedirect.com/science [ 27 Februari 2008]. Feist S, Thain J dan Förlin C. 2003. Molecular or cellular Process and The Health of The Individual. p 147-152. In A. J Lawrence and K. L Hemingway (Eds.). Effects of Pollution on Fish. Blackwell Publishing. UK. Geer TS dan Kamila S. 2005. Training Course on Tilapia Seed Production. Mon Repos, East Coast Demerara. Hibiya T dan Fumio T. 1995. An Atlas of Fish Histology: Normal and Pathological Features. Edisi kedua. Japan. Kodansha Ltd. Hirschhorn HH. 1989. Dieter Untergasser. Herbert R. Axelrod (Eds.). Hanbook of Fish Diseases, T.F.H Publications Inc, USA. p 160. Hoole D, D.Bucke, P. Burgess and I. Wellby. 2001. Diseases of Carp and other Cyprinid Fishes. Blackwell Science. USA. 264p. Iman C dan Mohamad Junedi. Mujair (Tilapia mossambica) http://id.wikipedia.org/wiki/Mujair [20 September 2007]. Irianto, A. 2005. Patologi Ikan Teleostei. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta. Iwama GK dan Farrell AP. 1998. Disorders of The Cardiovascular and Respiratory System. p 266-269. In J. F. Leatherland and P. T. K Woo (Eds.). Fish Diseases and Disorders, volume 2, Non-infectious Disorders. CABI Publishing. USA. Kalita B. 2008. Common Freshwater Fish Diseases, Their Symptoms and Control Measures http://www.assamagribusiness.nic.in/2ndoct/freshwaterfishdiseases.pdf [25 Februari 2008]. Kent ML. 2002 Diseases of Opakapaka http:// www.soest.hawaii.edu/.../opakapaka/diseases.html [17/9/2007]. Killian HS. 1977. Proliferative Gill Disease of Catfish. http://www.uaex.edu/aquaculture2/FSA/FSA9073.htm - 12k. FSA9073.htm [27 Februari 2008]. Klinger RE dan RF Floyd. 2002. Introduction to Freshwater Fish Parasites. http://www.edis.ifas.ufl.edu/FA041 [ 27 Februari 2008]. Langdon JS, T Thorne and WJ. Fletcher. 1992. Reservoir and New Clupeoid Host Record for The Myoliquefacive Myxosporean Parasit Kudoa thyrsites (Gilchrist), Journal of Fish Diseases. 15:459-471. Lannan CN, JL Bartholomew dan JL Fryer. Rickettsial and Chlamydial Infections. p 245-267. In P. T. K Woo and D. W Bruno (Eds.), Fish Diseases and Disorders, Volume 3, Viral, Bacterial and Fungal Infections, CABI Publishing. USA. Leo N. 2007. Oreochromis mossambicus. http://nas.er.usgs.gov/queries/FactSheet. [20 September 2007]. Mawdesley LE dan Thomas. 1972. Diseasess of Fish. Academic Press, London. p 380. Moeller RB. Jr. 2007. Diseases of Fish http://www.aquaworldnet.com/awmag/diseases.htm#gyro [17/9/2007]. Molnar K. 1989. Nodular and epicellular coccidiosis in the intestine of cyprinid fishes. Journal. Dis. aquat. Org. 7: 1-12pp. Molnar K. 2002. Site preference of fish myxosporeans in the gill. Journal. Dis. aquat. Org. 48: 197–207pp. Mulyani, S. 2006. Gambaran Darah Ikan Gurame Osphrenemus gouramy yang Terinfeksi Cendawan Achlya Sp. [Skripsi]. Program Studi Teknologi dan Manajemen Aquakultur. FPIK-IPB. Nabib R dan FH Pasaribu. 1989. Patologi dan Penyakit Ikan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Bioteknologi Institut Pertanian Bogor. 158 Hal. Nilsson1 GE, Jørund S1,* and Roy EW. 2005. Temperature alters the respiratory surface area of crucian carp Carassius carassius and goldfish Carassius auratus. The Journal of Experimental Biology 208, 1109-1116. Olurin KB, Olojo EAA, Mbaka GO and Akindele AT. 2006. Histopathological responses of the gill and liver tissues of Clarias gariepinus fingerlings to the herbicide, glyphosate, African Journal of Biotechnology. Academic Journals 5 (24): 2480-2487pp. Osward E dan Hulse JH. 982. Fish Quarantine and Fish Diseases in South East Asia. Report of a Workshop Held in Jakarta, Indonesia, 7-10 December. UNDP/FAO South China Sea Fisheries Development and Coordinating Program (Philipines) and The International Development Research Center. 9p. Paperna L. 1996. Parasites, Infections and Diseases of Fishes In Africa: An Update CIFA Technical Paper. FAO. Roma. 31: 220 p. Plumb JA. 1994. Health Maintenance of Cultured Fishes: Principal Microbial Diseases. CRC Press Inc. USA. 254 p. Purwanto A. 2006. Gambaran Darah Ikan Mas Cyprinus carpio yang Terinfeksi Koi Herpes Virus. [Skripsi]. Program Studi Teknologi dan Manajemen Aquakultur. FPIK-IIPB. Purwitosari R. 2006. Histopatologi Organ Testis Kelinci (Lepus spp) Akibat Paparan Sulfur dioxide (SO2) Perinhalasi. [skripsi]. FKH-IPB. Rao TR. 2003. Ecological and Ethological Perspective in Larval Fish Feeding, p 146. In. B.B Jana, and Carl D. Webster (Eds.). Sustainable Aquaculture: Global Perspectives. The Haworth Press Inc. Canada. Robert RJ. 2001. Fish Pathology. W. B. Saunders, USA. Robert RJ and CJ Shepherd. 1979. Handbook of Trout and Salmon Diseases. The Whitefriars Press Ltd, London. Rombout SHW, Taverne-Thiele JJ. Proliferation and differentiation of intestinal epithelial cells during development of Barbus conchonius (Teleostei, Cyprinidae). http://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez [25 Februari 2008]. Sari NMW. 1991. Gambaran Mikroskopik Organ Ginjal dan Jantung pada Hewan Percobaan Mus musculus albinus Akibat Pemberian Sodium Nitrit [skripsi]. FKH-IPB. Schachte JH. 2008. Bacterial Gill Disease. New York. Shiau SY. 2002. Tilapia, Oreochromis spp. In C. D Webster and C. E Lim (Eds.). Nutrien Requirements and Feeding of Finfish for Aquaculture. CABI Publishing. USA. Skelton, PH. 1994. Diversity and distribution of freshwater fishes in East and Southern Africa. p.95-131. In G.G. Teugels, J.F. Guégan and J.J. Albaret (eds.) Biological diversity of African fresh- and brackish water fishes. Geographical overviewsSmith HA and Thomas CJ. 1961. Veterinary Pathology. Philadelphia. Lea and Febiger. Smail DM, Munro ALS (1989) The virology of teleosts. In: Roberts RJ (ed) Fish pathology, 2nd edn. Bailliere Tindall, London, p 173–186 Smail, D.A. 1999. Viral haemorrhagic septicaemia. In: Fish Diseases and Disorders. Viral, Bacterial and Fungal Infections, Woo, P.T.K. and Bruno, D.W. (eds). CABI Publishing, NY, pp. 123-148. Smith HA and Jones TC. 1961. Veterinary Pathology. Philadelphia, LEA & Febiger. 24-270 p. Snieszko SF and Axelrod. 1971. Diseases of Fishes. T.F.H publications Inc. USA. 77-81p. Spector WG ang TD Spector. 1993. An Introduction to General Pathology 3rd. penerjemah Soetjipto dkk, Pengantar Patologi Umum edisi ketiga, penyunting M.P Eddy Moelyono. Gadjah Mada University Press. Susanto H. 1999. Budi Daya Ikan Di Pekarangan. Jakarta: Penebar Swadaya. Suyanto dan S. Rachmatun. 1981. Parasit Ikan dan Cara-cara Pemberantasannya. Cetakan ke-3. Yayasan Sosial Tani Membangun, Jakarta. Webb A, M. Maughan and M. Knott. 2007. Pest fish profiles Oreochromis mossambicus - Mozambique tilapia. ACTFR, James Cook University, Australia. p 12. Wissman MA. 2006. Freshwater Fish Parasites. http://www.exoticpetvet.net/aqua/parasites.html [ 27 Februari 2008]. Woo PTK, Bruno DW and Lim LHS. 2002. Diseases and Disorders of Finfish in Cage Culture. CABI Publishing. USA. Woo PTK. 2006. Diseases and Disorders, volume I, Protozoan and Metazoan Infections 2nd Edition. CAB International, Canada. Yokoyama H, Sun-Joung L and Andrew SB. 2002. Occurrence of a New Microsporodium in The skeletal Muscle of The Flying Fish Cypcelurus Pinnatibarbatus japonicus (Exocoetidae) from Yakushima, Japan. Folia Parasitologica. Tokyo. 49: 9-15. LAMPIRAN Lampiran 1. Teknik Pembuatan Preparat Histologis (Metode Humason 1967) Organ Fiksasi : Dehidrasi : Larutan Bouin (24 jam) Alkohol 70% (Beberapa kali sampai warna kuning hilang) Alkohol 80% (2 jam) Alkohol 90% (2 jam) Alkohol 95% (2 jam) Alkohol 100% (1 jam) Alkohol 100% (1 jam) Alkohol 100% (1jam) Clearing : Alkohol 100% + Xylol (1:1) selama 30 menit Xylol (30 menit) Xylol (30 menit) Xylol (45 menit) dimasukkan oven 630C Infiltrasi : Xylol + Parafin (1:1) selama 45 menit Parafin 630C selama 45 menit Parafin 630C selama 45 menit Parafin 630C selama 45 menit Embedding : Parafin Sayat dengan menggunakan mikrotom Lekatkan pada gelas objek dengan larutan putih telur Pemeriksaan dibawah mikroskop Lampiran II. Teknik Pewarnaan dengan Zat Wrna Hematoksilin dan Eosin (Metode Humason 1967) Sayatan yang telah dilekatkan pada gelas objek Deparafinasi : Xylol Xylol Hidrasi : Alkohol Absolut (100%) selama 30 menit Alkohol 90% (30 menit) Alkohol 80% (30 menit) Alkohol 70% (30 menit) Alkohol 50% (30 menit) Air (1 menit) Hematoksilit (2-3 menit) Lithium Karbonat (15-30 detik) Air Mengalir Eosin Usap Eosin yang berlebihan Alkohol 70% (2-3 detik) Alkohol 80% (2-3 detik) Alkohol 90% (2-3 detik) Alkohol 100% (2-3 detik) Alkohol 100% (2-3 detik) Xylol (2-3 detik) Xylol (2-3 detik) Xylol (2-3 detik) Mounting : Keringkan dengan Lap dan beri entelan Tutup dengan gelas penuup Tabel 5. Jumlah Sel Goblet Pada Insang Ikan Mujair (3 lamela primer) No Keterangan Jumlah Sel Goblet 1 Mujair 1 414 2 Mujair 2 372 3 Mujair 3 184 4 Mujair 4 314 5 Mujair 5 427 6 Mujair 6 191 7 Mujair 7 306 8 Mujair 8 310 9 Mujair 9 155 10 Mujair 10 198 11 Mujair 11 185 12 Mujair 12 254 Rata-rata 275.83 ± 95.22 Tabel 6. Jumlah Sel Goblet Pada Usus Ikan Mujair (4x Lapang Pandang) No Keterangan Jumlah Sel Goblet 1 Mujair 1 119 2 Mujair 2 222 3 Mujair 3 124 4 Mujair 4 141 5 Mujair 6 49 6 Mujair 7 221 7 Mujair 8 101 8 Mujair 9 56 9 Mujair 10 140 10 Mujair 11 97 11 Mujair 12 26 Rata-rata 117.82 ± 63.46