BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Value dan growth merupakan dua jenis strategi investasi yang berlawanan. Investor yang berinvestasi pada saham-saham value stock percaya bahwa saham tersebut undervalued. Di sisi lain growth stock adalah perusahaan-perusahaan yang memiliki potensi pertumbuhan yang tinggi (Zarowin, 1990) sehingga saham-saham perusahaan tersebut dihargai lebih tinggi oleh investor. Dalam sudut pandang pasar saham yang efisien, perusahaan dengan kinerja yang baik pada masa lalu akan banyak diminati dan dihargai lebih mahal oleh investor. Lakonishok et al. (1994) mengatakan bahwa investor kadang terlalu optimis terhadap kinerja perusahaan pada masa lalu. Investor memandang bahwa kinerja perusahaan pada masa lalu akan berlanjut pada periode berikutnya. Lintner dan Glauber (1967) mengatakan bahwa kinerja perusahaan bergerak secara random. Kinerja perusahaan pada masa lalu tidak dapat digunakan untuk memperkirakan tingkat pengembalian saham pada masa depan. Dalam sudut pandang value investing, pasar saham dinilai kurang efisien Adanya miss pricing valuation menyebabkan harga saham dihargai terlalu mahal dan terlalu murah. Value investor percaya bahwa saham-saham value stock dalam posisi undervalued dan akan menghasilkan tingkat pengembalian yang tinggi pada periode berikutnya. Yeh dan Hsu (2014) mengatakan bahwa saham-saham value stock dan growth stock mengalami over-reaction dan mengakibatkan harga saham dihargai terlalu murah dan terlalu mahal terhadap fundamentalnya. 1 Bondt dan Thaler (1985) mengatakan bahwa investor kadang kala bereaksi berlebihan terhadap informasi yang masuk. Dalam penelitiannya, Bondt dan Thaler (1985) menunjukkan bahwa saham-saham underperformed (loser) pada periode 5 tahun sebelumnya akan mengungguli tingkat pengembalian (return) saham-saham winner pada periode selanjutnya. Saham-saham dengan P/E yang rendah akan mendapatkan tingkat pengembalian yang lebih tinggi dibanding saham dengan P/E yang tinggi. Dengan demikian terdapat hubungan terbalik antara P/E dengan portfolio return dan investor dapat mendapatkan tingkat pengembalian yang lebih tinggi dengan berinvestasi pada saham yang memiliki P/E yang rendah. Penjelasan anomali adanya fenomena over-reaction tersebut disebut dengan price to earning hypothesis. Perusahaan dengan P/E yang rendah menunjukkan perusahaan yang mengalami financial distress (Fama dan French, 1992) serta pertumbuhan pendapatan dan laba yang rendah (Lakonishok et al., 1994). Investor terlalu pesimis atas laporan keuangan yang tidak diharapkan dan ketika earning pada masa depan lebih baik dari perkiraan maka harga saham akan kembali pada harga wajarnya. Menurut Bondt dan Thaler (1985), jika harga saham secara sistematis over-shoot, maka pembalikan harga saham bisa diprediksi hanya dengan data rata-rata return saham pada masa lalu tanpa melihat fundamentalnya (earning). Fama dan French (1992) mengatakan bahwa saham-saham value stock tersebut menghasilkan tingkat pengembalian (return) yang lebih tinggi dibanding saham-saham growth stock terutama pada saham-saham berkapitalisasi kecil. Fama dan French (1992) juga mengatakan bahwa kemampuan beta dalam menjelaskan tingkat pengembalian sangat kecil dan tidak dapat menjelaskan cross sectional 2 antara beta dengan market to book (value stock vs growth stock). Jika model CAPM dapat menjelaskan tingkat pengembalian (return), saham-saham tersebut harus mempunyai beta yang tinggi. Terkait dengan momentum, Asness (1997) mengatakan bahwa saham-saham value stock menghasilkan tingkat pengembalian yang tinggi terutama pada saham-saham loser stock. Penelitian-penelitian terdahulu sebagian besar berfokus apakah sahamsaham value stock mengungguli kinerja (tingkat pengembalian) saham-saham growth stock tanpa memperhatikan lebih jauh perubahan dalam fundamentalnya. Literatur-literatur terdahulu menyebutkan bahwa kinerja keuangan atau fundamental perusahaan dapat mempengaruhi harga saham. Fama dan French (2002) mengatakan dalam penelitiannya pada tahun 1951 sampai 2000 bahwa tingkat pengembalian suatu saham (return) dapat diperkirakan besarnya berdasarkan dividend dan tingkat pertumbuhan laba (earning growth). Piotroski (2000) mengidentifikasi perusahaan menjadi perusahaan dengan fundamental baik dan buruk berdasarkan tiga faktor utama yakni faktor profitabilitas (ROA, perubahan ROA dan CFO), perubahan leverage dan likuiditas (perubahan leverage, perubahan likuiditas dan issuance) serta perubahan dalam efisiensi operasional (perubahan margin dan perubahan turnover). Terkait hubungan antara valuasi saham dan fundamental, Ahmed dan Nanda (2000) mengatakan bahwa untuk menangkap pertumbuhan harga saham tidak cukup hanya berinvestasi pada saham-saham value stock. Dalam penelitiannya pada bursa saham di NYSE, AMEX dan NASDAQ periode 1982-1997, strategi yang berfokus pada saham-saham yang memiliki dual characteristic yakni high E/P 3 (value stock) dengan pertumbuhan laba yang tinggi akan menghasilkan tingkat pengembalian yang lebih tinggi dibanding investasi yang hanya berfokus pada E/P semata. Fama dan French (2008) juga mengatakan bahwa untuk menangkap pertumbuhan harga saham, book to market (B/M) perlu dikaitkan dengan perubahan dalam ekuitasnya (nilai buku). Fama dan French (2008) mengatakan bahwa book to market (B/M) menunjukkan informasi yang independen pada arus kas di masa depan. Oleh karena itu saham-saham value stock akan menghasilkan tingkat pengembalian yang lebih tinggi jika disertai dengan terjadinya perubahan cash flow yang positif dan disertai dengan prospek yang bagus di masa depan. Lakonishok et al. (1997) mengatakan bahwa saham-saham value stock mengungguli growth stock terutama ketika terjadi kejutan positif (earning surprise) dalam hal pendapatan. Piotroski (2000) juga mengatakan bahwa kinerja kuat (return) pada value stock jika terjadi perubahan dalam hal arus kas perusahaan. Clubb dan Naffi (2007) mengatakan bahwa book to market (B/M) akan mempunyai hubungan yang positif dengan tingkat pengembalian yang diharapkan jika disertai dengan cash flow yang positif pada masa depan. Artinya book to market (B/M) mempunyai pengaruh terhadap harga saham jika perusahaan tersebut mempunyai fundamental yang bagus. Chahine (2008) mengatakan bahwa kinerja (return) saham-saham value stock dan growth stock sensitif terhadap pertumbuhan laba perusahaan. Sahamsaham yang memiliki pertumbuhan laba yang tinggi pada value stock menunjukkan 4 bahwa saham tersebut dihargai terlalu murah. Saham-saham perusahaan tersebut disebut dengan undervalued value stock. Piotroski dan Eric (2012) mengatakan jika growth stock mencerminkan optimisme dan value stock mencerminkan pesimisme, maka harus terjadi kecocokan antara value stock dan growth stock dengan fundamental perusahaan. Ketika terjadi masalah dalam hal kinerja keuangan pada saham-saham growth stock, maka harga saham akan jatuh dan saham tersebut tidak layak untuk dikoleksi. Saham-saham tersebut disebut dengan overvalued growth stock Di sisi lain saham-saham value stock dengan fundamental yang baik (undervalued value stock) akan menghasilkan tingkat pengembalian yang lebih tinggi dibanding saham-saham value stock lainnya yang mempunyai fundamental yang buruk. Hal ini menunjukkan bahwa faktor fundamental berpengaruh dalam tingkat pengembalian saham. Saham-saham value stock dengan kinerja perusahaan yang buruk disebut dengan purely value stock. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang dapat diambil dari penelitian ini antara lain : 1. Apakah value stock akan menghasilkan tingkat pengembalian (return) yang lebih tinggi dibanding growth stock? 2. Apakah undervalued value stock akan menghasilkan tingkat pengembalian (return) yang lebih tinggi dibanding purely value stock? 5 3. Apakah undervalued value stock akan menghasilkan tingkat pengembalian (return) yang lebih tinggi dibanding overvalued growth stock? 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menguji apakah value stock akan menghasilkan tingkat pengembalian (return) yang lebih tinggi dibanding growth stock? 2. Menguji apakah undervalued value stock akan menghasilkan tingkat pengembalian (return) yang lebih tinggi dibanding purely value stock? 3. Menguji apakah undervalued value stock akan menghasilkan tingkat pengembalian (return) yang lebih tinggi dibanding overvalued growth stock? 1.4. Manfaat Penelitian Bagi peneliti dan investor, secara umum penelitian ini akan memberikan manfaat-manfaat sebagai berikut : 1. Memberikan bukti empiris adanya miss pricing valuation antara value stock dan growth stock. terutama dalam pengujian jangka panjang pada pasar modal di Indonesia. 2. Memberikan kontribusi pada penggunaan berbagai model valuasi saham dan fundamental yang dapat digunakan dalam strategi investasi di pasar modal Indonesia beserta karakteristik saham yang lain. 6