PERANAN ENZIM PROTEASE JEROAN IKAN BANDENG (Chanos chanos) DALAM PROSES KEMUNDURAN MUTU NINA FENTIANA DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 RINGKASAN NINA FENTIANA. C34050150. Peranan Enzim Protease Jeroan Ikan Bandeng (Chanos chanos) Dalam Proses Kemunduran Mutu. Dibimbing oleh TATI NURHAYATI dan ELLA SALAMAH. Salah satu penyebab kemunduran mutu ikan segar adalah proses perombakan oleh aktivitas enzim terutama enzim proteolitik yang terdapat secara alami pada ikan. Katepsin dan kolagenase merupakan enzim proteolitik yang terdapat pada jeroan ikan dan memiliki peranan penting dalam penguraian protein selama proses kemunduran mutu. Penelitian ini terbagi empat tahap yaitu penelitian tahap 1 untuk menentukan fase post mortem ikan secara organoleptik, tahap 2 untuk mempelajari pola kemunduran mutu ikan, tahap 3 untuk mengekstraksi enzim katepsin dan tahap 4 proses ekstraksi enzim kolagenase. Pengamatan dilakukan terhadap empat kelompok ikan yaitu ikan bandeng yang dipuasakan sebelum dipanen dan disimpan pada suhu ruang (sampel A), ikan bandeng yang tidak dipuasakan dan disimpan pada suhu ruang (sampel B), ikan bandeng yang dipuasakan sebelum dipanen dan disimpan pada suhu chilling (sampel C) dan ikan bandeng yang tidak dipuasakan pada penyimpanan suhu chilling (sampel D). Penelitian tahap 1 bertujuan untuk mengetahui waktu terjadinya fase post mortem. Penelitian tahap 2 dilakukan untuk mengetahui tingkat kesegaran ikan bandeng dengan menggunakan uji subjektif (organoleptik) dan objektif (TVB, TPC, pH), sedangkan penelitian tahap 3 dan 4 berturut-turut bertujuan untuk menentukan aktivitas enzim katepsin dan kolagenase. Uji organoleptik dilakukan setiap satu jam selama 19 jam penyimpanan suhu ruang dan setiap 12 jam selama 41 hari (971 jam) penyimpanan suhu chiling. Uji TVB, TPC, pH, assay aktivitas enzim katepsin dan kolagenase dan konsentrasi protein enzim dilakukan pada fase pre rigor, rigor, post rigor dan busuk serta sangat busuk (hanya penyimpanan suhu chilling). Sampel A dan B mencapai fase pre rigor, rigor mortis, post rigor, dan busuk secara berturut-turut pada jam penyimpanan ke-0, 10, 15 dan 19. Sampel C dan D mencapai fase pre rigor, rigor mortis, post rigor, busuk, dan sangat busuk secara berturut-turut pada jam penyimpanan ke-0, 84, 300, 540 dan 971. Aktivitas katepsin jeroan tertinggi ditemukan pada sampel D saat fase post rigor yaitu sebesar 1,1071 U/ml, sedangkan aktivitas kolagenase jeroan tertinggi pada sampel A saat fase post rigor yaitu sebesar 0,0792 U/ml. Hasil uji ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa pada tingkat kepercayaan 95 % perlakuan kombinasi kondisi ikan sebelum dipanen dan suhu penyimpanan serta fase kemunduran mutu ikan (pre rigor, rigor mortis, post rigor, busuk dan sangat busuk) dari masing-masing sampel A, B, C dan D memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap aktivitas katepsin dan kolagenase. Analisis korelasi linier sederhana menunjukkan bahwa aktivitas enzim (katepsin dan kolagenase) dan parameter kesegaran ikan (nilai organoleptik, pH, TVB dan TPC) memiliki hubungan yang sangat erat (r=>0,7) secara linier dalam proses kemunduran mutu dari fase pre rigor hingga post rigor dan tidak erat (r=<0,7) pada fase busuk dan sangat busuk. PERANAN ENZIM PROTEASE JEROAN IKAN BANDENG (Chanos chanos) DALAM PROSES KEMUNDURAN MUTU SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor Oleh : Nina Fentiana C34050150 DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 Judul Skripsi : Peranan Enzim Protease Jeroan Ikan Bandeng (Chanos chanos) dalam Proses Kemunduran Mutu Nama Mahasiswa : Nina Fentiana Nomor Pokok : C34050150 Disetujui, Komisi Pembimbing Pembimbing I Pembimbing II Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si. NIP. 132 149 436 Dra. Ella Salamah, M.Si. NIP. 131 788 597 Diketahui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP. 131 578 799 Tanggal lulus : PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “ Peranan Enzim Protease Jeroan Ikan Bandeng (Chanos chanos) Dalam Proses Kemunduran Mutu” adalah hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi. Bogor, Maret 2009 Nina Fentiana C34050150 RIWAYAT HIDUP Penulis bernama lengkap Nina Fentiana. Dilahirkan di Tembilahan pada tanggal 21 November 1987 dari pasangan Bapak Amat Daud dan Ibu Elly Sulistiawaty. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara, memiliki kakak yang bernama Yayuk Amatasari dan adik yang bernama Joehandra. Penulis mengawali pendidikan formal di SD Negeri 001 Bagansiapiapi tahun 1993 dan menyelesaikan pendidikan pada tahun 1999. Pada tahun yang sama penulis diterima di SLTPN 1 Bagansiapiapi dan menyelesaikan pendidikannya pada tahun 2002. Penulis melanjutkan pendidikan ke SMUN 1 Bangko, Bagansiapiapi dan menyelesaikannya pada tahun 2005. Pada tahun yang sama, penulis diterima menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui Program Beasiswa Utusan Daerah (BUD) Propinsi Riau di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama masa perkuliahan penulis aktif menjadi asisten Iktiologi (2007/2008), asisten Fisiologi, Formasi dan Degradasi Metabolit Sekunder Hasil Perairan (2008/2009), anggota paduan suara FPIK (2006/2009) serta menjadi pengurus dan anggota Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) Riau 2005 hingga sekarang. Penulis tercatat sebagai anggota Mahasiswa Dharmasiswa Caltex (Chevron) Riau tahun 2005 hingga sekarang. Pada bulan Juli 2008 penulis melaksanakan praktek lapang di PT Lautan Niaga Jaya, Muara Baru, Jakarta Utara. Penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, dengan judul “Peranan Enzim Protease Jeroan Ikan Bandeng (Chanos chanos) Dalam Proses Kemunduran Mutu”, dibawah bimbingan Ibu Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si dan Dra. Ella Salamah M.Si. KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat serta hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul ” Peranan Enzim Protease Jeroan Ikan Bandeng (Chanos chanos) Dalam Proses Kemunduran Mutu”. Penelitian ini berjalan atas pembiayaan dari program Hibah Bersaing 2008 atas nama Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si. Penyusunan skripsi ini adalah sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, terutama kepada: 1. Ibu Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si dan ibu Dra, Ella Salamah, M.Si selaku komisi pembimbing, atas segala bimbingan dan pengarahan yang diberikan kepada penulis. 2. Ayah dan ibu tercinta (Bapak Amat Daud dan Ibu Elly Sulistiawaty), Kakakku Yayuk Amatasari, SE dan adikku Joehandra atas semua dukungan dan kasih sayang yang diberikan. 3. Seluruh staf dosen dan TU THP (Mas Mail, Pak Ade, Pak Jamhuri, Pak Tatang, Mba Heni, dan Umi), terima kasih atas dukungan dan bantuannya. 4. Ibu Ema (Laboran THP), Mbak Martini dan Pak Arya (Biokimia) serta Pak Wahyu (FKH) yang telah memberikan banyak sekali pembelajaran kepada penulis. 5. Pemerintah Propinsi Riau, Bupati (H. Annas Makmun) dan Wakil Bupati (H. Suyatno) Kabupaten Rokan Hilir, Pak Surya Arfan dan seluruh staf Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Rokan Hilir. Trimakasih atas dukungannya hingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan. 6. Chevron Indonesia (Darmasiswa Caltex Riau). Trimakasih atas bantuannya selama penulis menjalankan pendidikan. 7. Tim yang solid : Rijan Zakaria, S.Pi, Dede Saputra, S.Pi, Pak Kurnianto, M.Irfan dan Rustamaji atas semua bantuan tenaga dan semangat selama penulis melakukan penelitian. 8. Sahabat-sahabatku: Maisyah Ahmad, Hermi Apriani, Mbak Tati Yuniarti, Debi, Dewi Mariana Manurung, Stefanus Senoadi, Erdita Hasian Sianipar, Junide Mastuty, Ari Aprilan, Purwaty, Evi, teman-teman di Asrama Riau “Dang Merdu” dan THPers 42. Teman satu bimbinganku: Tyas dan Jamal. Terima kasih atas kebersamaan, bantuan, semangat dan doa nya. 9. Kakak-kakak kelasku (THP 40 dan THP 41) dan adik-adik kelasku (THP 43 dan THP 44) dan semua pihak yang telah membantu penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangannya karena keterbatasan ilmu dan pengalaman penulis. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua pihak demi penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya. Bogor, Maret 2009 Nina Fentiana DAFTAR ISI Hal DAFTAR TABEL .......................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... x DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xi 1. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1 1.2 Tujuan Penelitian ................................................................................ 2 2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 3 2.1 Identifikasi dan Deskripsi Ikan Bandeng (Chanos chanos) ................ 3 2.2 Jeroan Ikan .......................................................................................... 4 2.3 Kemunduran Mutu Ikan ...................................................................... 5 2.3.1 2.3.2 2.3.3 2.3.4 Tahapan post mortem ikan ........................................................ Proses perubahan enzimatis (autolisis) ..................................... Proses perubahan karena aktivitas mikroba.............................. Proses perubahan karena oksidasi ............................................ 5 7 8 9 2.4 Proses Penguraian Protein secara Enzimatis oleh Enzim Proteolitik.. 10 2.5 Enzim .................................................................................................. 13 2.5.1 Enzim katepsin ......................................................................... 2.5.2 Enzim kolagenase ..................................................................... 14 15 2.6 Peranan Katepsin dan Kolagenase dalam Kemunduran Mutu Ikan .... 16 3. METODOLOGI ........................................................................................ 18 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian .............................................................. 18 3.2 Bahan dan Alat Penelitian .................................................................... 18 3.3 Tahapan Penelitian ............................................................................... 19 3.3.1 Penentuan fase post mortem ikan secara organoleptik (BSN 2006) .............................................................................. 3.3.2 Penentuan pola kemunduran mutu ikan.................................... 3.3.3 Ekstraksi enzim katepsin (Dinu et al. 2002)............................. 3.3.4 Ekstraksi enzim kolagenase (Moore dan Stein 1954 diacu dalam Kim et al. 2002)............................................................. 3.4 Prosedur Analisis ................................................................................. 19 19 20 20 21 3.4.1 3.4.2 3.4.3 3.4.4 3.4.5 3.4.6 Uji organoleptik (BSN 2006) ................................................... Nilai pH (Apriyantono et al. 1989) .......................................... Uji total plate count (TPC) (Fardiaz 1987) .............................. Uji total volatile base (TVB) (Apriyantono et al. 1989) .......... Assay aktivitas katepsin (Dinu et al. 2002) .............................. Assay aktivitas kolagenase (Moore dan Stein 1954 diacu dalam Park et al. 2002) ............................................................ 3.4.7 Pengukuran konsentrasi protein enzim (Breadford 1976) ........ 21 22 22 23 23 3.5 Analisis Data ....................................................................................... 26 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 28 4.1 Penentuan Fase Post Mortem Ikan ...................................................... 28 4.2 Pola Kemunduran Mutu Ikan .............................................................. 29 4.2.1 4.2.2 4.2.3 4.2.4 24 25 Penilaian organoleptik ............................................................... Nilai TPC (Total Plate Count) .................................................. Nilai pH ..................................................................................... Nilai TVB .................................................................................. 30 35 38 40 4.3 Aktivitas Katepsin ............................................................................... 42 4.4 Aktivitas Kolagenase .......................................................................... 46 4.5 Hubungan Antara Aktivitas Enzim dan Parameter Kesegaran Ikan ... 49 5. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 63 5.1 Kesimpulan ......................................................................................... 63 5.2 Saran .................................................................................................... 64 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 65 LAMPIRAN .................................................................................................... 70 DAFTAR TABEL No Teks Hal 1. Komposisi kimia ikan bandeng (Chanos cahos) ......................................... 4 2. Spesifikasi persyaratan mutu ikan basah..................................................... 5 3. Pengelompokan mikroorganisme berdasarkan suhu pertumbuhannya ....... 9 4. Enzim proteolitik yang berhubungan dengan lisosom ikan ........................ 14 5. Pembuatan larutan standar BSA konsentrasi 0,1-1,0 mg/ml....................... 26 6. Kondisi isi perut (jeroan) ikan bandeng selama proses kemunduran mutu 33 7. Koefisien korelasi linier sederhana aktivitas enzim dan parameter kesegaran ikan pada fase pre rigor hingga busuk........................................ 61 DAFTAR GAMBAR No Teks Hal 1. Morfologi ikan bandeng (Chanos cahos).................................................. 3 2. Isi perut ikan setelah dibedah .................................................................... 4 3. Rata-rata nilai organoleptik sampel A, B, C, dan D ................................. 30 4. Rata-rata nilai organoleptik jeroan sampel A, B, C, dan D....................... 32 5. Rata-rata nilai log TPC jeroan sampel A, B, C, dan D ............................. 36 6. Rata-rata nilai pH jeroan sampel A, B, C, dan D ...................................... 38 7. Rata-rata nilai TVB jeroan sampel ikan A, B, C, dan D ........................... 41 8. Rata-rata nilai aktivitas enzim katepsin jeroan sampel A, B, C, dan D .... 43 9. Rata-rata nilai konsentrasi protein enzim katepsin jeroan sampel A, B, C, dan D .................................................................................................... 45 10. Rata-rata nilai aktivitas enzim kolagenase jeroan sampel A, B, C, dan D ................................................................................................................ 46 11. Rata-rata nilai konsentrasi protein enzim kolagenase jeroan sampel A, B, C, dan D ................................................................................................ 48 12. Hubungan antara aktivitas enzim dan parameter kesegaran sampel A ..... 50 13. Hubungan antara aktivitas enzim dan parameter kesegaran sampel B ..... 51 14. Hubungan antara aktivitas enzim dan parameter kesegaran sampel C ..... 52 15. Hubungan antara aktivitas enzim dan parameter kesegaran sampel D ..... 53 16. Koefisien korelasi aktivitas enzim dan parameter kesegaran ikan fase pre rigor hingga post rigor sampel A ....................................................... 54 17. Koefisien korelasi aktivitas enzim dan parameter kesegaran ikan fase pre rigor hingga post rigor sampel B ....................................................... 55 18. Koefisien korelasi aktivitas enzim dan parameter kesegaran ikan fase pre rigor hingga post rigor sampel C ...................................................... 56 19. Koefisien korelasi aktivitas enzim dan parameter kesegaran ikan fase pre rigor hingga post rigor sampel D ....................................................... 57 DAFTAR LAMPIRAN No Hal 1a. Format uji organoleptik ikan segar (SNI 01-2346-2006) ........................ 71 1b. Format uji organoleptik dinding perut dan isinya (Intestine).................. 73 2a. Bahan-bahan untuk ekstraksi enzim katepsin (Dinu et al. 2002) ............ 74 2b. Bahan-bahan untuk ekstraksi enzim kolagenase (Moore dan Stein 1954 diacu dalam Park et al. 2002) ................................................................. 74 2c. Bahan-bahan untuk pengukuran aktivitas enzim katepsin (Dinu et al. 2002) ....................................................................................................... 74 2d. Bahan-bahan untuk pengukuran aktivitas enzim kolagenase (Moore dan Stein 1954 diacu dalam Park et al. 2002)......................................... 75 3. Hasil pengujian tingkat kesegaran ikan bandeng pada penentuan pola kemunduran mutu ........................................................................... 76 4. Hasil pengujian aktivitas enzim selama kemunduran mutu ................... 77 5. Kurva standar penentuan konsentrasi protein ......................................... 78 6. Dokumentasi kondisi jeroan ikan bandeng ............................................. 80 7. Hasil analisis dan uji statistik (ANOVA) ................................................ 83 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Produksi perikanan tangkap dari penangkapan ikan di laut dan di perairan umum pada tahun 2006 masing-masing sekitar 4.468.010 ton dan 301.150 ton (Ditjen Perikanan Tangkap 2007). Produksi perikanan budidaya pada tahun 2006 mencapai 2.625.800 ton yang didominasi oleh udang 327.260 ton, rumput laut 1.079.850 ton, ikan mas 285.250 ton, bandeng 269.530 ton, nila 227.000 ton, ikan lele 94.160 ton, gurami 35.570 ton dan kerapu 8.430 ton (Ditjen Perikanan Budidaya 2007). Ikan bandeng merupakan komoditas budidaya yang digunakan dalam beberapa jenis pemanfaatan dengan jumlah permintaan yang cukup tinggi. Data warta penelitian perikanan budidaya tahun 2005 menunjukkan kebutuhan ikan bandeng untuk konsumsi (300-500 g/ekor) sekitar 6 juta ton per tahun, sedangkan untuk keperluan umpan (80-150 g/ekor) dan induk (>4000 g/ekor) berturut-turut adalah 200 juta ekor per tahun dan 13.200 ekor per tahun. Hasil penelitian Atjo dan Syahrun (2005) melaporkan bahwa kebutuhan ikan bandeng untuk pasar spesifik berupa rumah makan seafood, hotel, dan pasar swalayan khususnya di kota Madya Makasar diperkirakan mencapai 6 ton per hari dan saat ini baru terpenuhi 25 %. Selanjutnya, dikatakan bahwa salah satu masalah yang dihadapi adalah konsistensi mutu. Hal ini disebabkan karena ikan merupakan komoditas yang mudah busuk (highly perishable) sehingga cepat mengalami kemunduran mutu. Salah satu penyebab kemunduran mutu ikan adalah proses perombakan oleh aktivitas enzim yang terdapat secara alami pada ikan. Enzim proteolitik merupakan salah satu enzim yang berperan penting dalam kemunduran mutu ikan yang mampu menguraikan protein menjadi pepton, polipeptida, dan asam-asam amino (Kreuzer 1965). Katepsin dan kolagenase merupakan enzim proteolitik yang terdapat pada jeroan ikan dan memiliki peranan penting dalam penguraian protein selama proses kemunduran mutu. Pada ikan budidaya yang biasa disimpan dalam keadaan utuh, enzimenzim dalam organ pencernaannya dapat menyerang jaringan daging yang menyebabkan pembusukan. Adanya makanan dalam perut ikan saat dipanen 2 menyebabkan tingginya aktivitas enzim pada saluran pencernaan yang akhirnya mendegradasi jaringan di daerah sekitar perut dan menyerang bagian tubuh ikan lainnya sehingga memperpendek umur simpan. Aktivitas proteolitik pada jeroan ikan berlangsung lebih lambat bila ikan disimpan pada suhu 0 0C atau lebih rendah. Penyimpanan ikan pada suhu rendah merupakan salah satu usaha untuk menghambat aktivitas proteolitik pada jeroan sehingga proses pembusukan menjadi terhambat dan ikan dapat disimpan lebih lama (Bihan et al. 2006). Hidrolisis protein oleh aktivitas katepsin menyebabkan timbulnya akumulasi metabolit, perubahan citra rasa, komponen volatil serta peningkatan jumlah bakteri yang pada akhirnya menimbulkan kebusukan pada ikan (Lawrie 1985). Aktivitas kolagenase dari hepatopankreas ikan mempengaruhi tekstur setelah ikan mati sehingga jaringan daging melunak (Simpson 2000). Hal ini dapat merugikan industri pengolahan ikan karena mengakibatkan menurunnya harga ikan dan ikan menjadi tidak sehat untuk dikonsumsi. Oleh karena itu, perlu diketahui peranan aktivitas enzim dalam proses kemunduran mutu sebagai landasan dalam pengambil tindakan yang tepat pada penanganan maupun pengolahan ikan. 1.2 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : (1) menentukan fase post mortem ikan selama penyimpanan suhu ruang dan suhu chilling; (2) mempelajari pola kemunduran mutu ikan bandeng selama penyimpanan suhu ruang dan suhu chilling berdasarkan analisis tingkat kesegaran ikan (organoleptik, pH, TVB, TPC); (3) menentukan aktivitas enzim katepsin dan enzim kolagenase dalam proses kemunduran mutu ikan bandeng; (4) mengetahui korelasi aktivitas enzim terhadap parameter kesegaran ikan. 3 2. 2.1 TINJAUAN PUSTAKA Identifikasi dan Deskripsi Ikan Bandeng (Chanos chanos) Klasifikasi ikan bandeng, menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut : Filum : Chordata Sub filum : Vertebrata Kelas : Pisces Sub kelas : Teleostei Ordo : Malacopterigii Family : Chanidae Genus : Chanos Spesies : Chanos chanos Ikan bandeng termasuk ikan pemakan tumbuhan (herbivora), dapat hidup di air tawar, air payau dan air laut (Ratna 2001). Ikan bandeng mempunyai bentuk tubuh langsing dan mirip torpedo, moncong yang agak runcing, ekor bercagak, dan sisik yang halus menyebabkan ikan ini dapat bergerak dengan cepat (Mudjiman 1983). Secara lengkap morfologi ikan bandeng disajikan pada Gambar 1. Gambar 1. Morfologi ikan bandeng (Chanos chanos) Sumber : www.google-image.com Salah satu sifat yang mencolok dari ikan ini adalah sifat euryhalien (tahan tehadap perubahan salinitas air), yang memungkinkannya untuk dipelihara di air payau. Ikan bandeng juga dapat dipelihara di air tawar karena sifat euryhalinnya mampu hidup pada kisaran salinitas yang luas meskipun untuk memijah induk dan larva masih membutuhkan air asin. Bahkan pada salinitas nol per mil, ikan bandeng mampu hidup dan tumbuh besar (Susanto 2006). Ikan 4 bandeng mempunyai komposisi zat gizi bernilai cukup tinggi. Kandungan masingmasing zat gizi ikan bandeng disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi kimia ikan bandeng (Chanos chanos) Zat gizi Kalori Protein Lemak Air Kalsium Posfor Besi Vitamin A Vitamin B6 Vitamin B12 Sumber : Nutritiondata (2007) 2.2 Jumlah 126 17,4 5,7 60,2 43,4 138 0,3 85,0 0,4 2,9 Satuan kalori gram gram gram miligram miligram miligram miligram miligram miligram Jeroan Ikan Jeroan adalah bagian-bagian yang terdapat di dalam tubuh hewan yang telah dimatikan. Biasanya jeroan terdiri dari berbagai jenis organ yang terdapat di dalam rongga perut ikan yang disiangi. Menurut Hadiwiyoto (1993) organ-organ yang terlihat saat ikan disiangi adalah bladder (kandung kemih), ginjal, perut besar, usus buntu, empedu, dan instestine (usus halus). Secara lengkap letak organ-organ tersebut disajikan pada Gambar 2. Gambar 2. Isi perut ikan setelah dibedah Sumber : A. Aitken et al. (1992) diacu dalam Hadiwiyoto (1993) Jeroan ikan merupakan sumber enzim protease yang tinggi terutama pada bagian pilorik kaeka dan pankreas. Enzim protease yang ditemukan adalah 5 trypsin, chymotrypsin, kolagenase, elastase, karboksipeptidase dan karboksil esterase (Simpson 2000). Pada umumnya jeroan ikan dimanfaatkan sebagai makanan ternak yaitu di buat silase (Bihan et al. 2006). Pemanfaatan jeroan ikan sebagai bahan pangan di Indonesia umumnya masih sangat terbatas. Salah satu produk yang dihasilkan dikenal sebagai bekasang (Ibrahim dan Salamah 1991). Di Jepang dikenal produk fermentasi jeroan ikan yang disebut Shiokara atau Katsuono shiokara. Jeroan tersebut ditempatkan dalam tong dan ditambahkan garam sebanyak 20-30 % (Anonim 2006). 2.3 Kemunduran Mutu Ikan Berbagai proses perubahan fisik dan biokimia terjadi dengan cepat setelah ikan mengalami kematian. Semua proses perubahan ini akhirnya mengarah pada pembusukan (Eskin 1990). Proses penurunan mutu ikan segar terutama diawali dengan proses perombakan oleh aktivitas enzim yang secara alami terdapat di dalam ikan. Proses ini disebut proses kemunduran mutu kesegaran ikan yang berlangsung hingga tahap tertentu dan disusul dengan makin berkembangnya aktivitas mikroba pembusuk yang dikenal dengan proses pembusukan (Ilyas 1983). 2.3.1 Tahapan post mortem ikan Pada ikan segar atau produk perikanan lainnya, mutu identik dengan kesegaran. Ikan yang baru ditangkap memiliki tingkat kesegaran tinggi dan akan mengalami penurunan mutu seiring lamanya waktu penyimpanan (Ilyas 1983). Spesifikasi persyaratan mutu ikan segar dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Spesifikasi persyaratan mutu ikan basah (SNI 01-2729-2006) Jenis Uji a). Organoleptik Nilai min. b). Cemaran mikroba 1). ALT/gr, maks 2). Escherichia coli 3). Vibrio cholerae *) Satuan Persyaratan Mutu 7 koloni/gr APM/gr Per 25 gram 5 x 105 <3 Negatif Keterangan : ALT = Angka Lempeng Total APM = Angka Paling Memungkinkan 6 Segera setelah ikan mati, terjadi perubahan-perubahan yang dapat mengakibatkan penurunan mutu ikan. Penurunan tingkat kesegaran ikan ini terlihat dengan adanya perubahan fisik, kimia dan organoleptik pada ikan yang disebabkan oleh aktivitas enzim, mikroorganisme, fisik, dan kimiawi. Urutan proses perubahan yang terjadi setelah ikan mati, meliputi perubahan pre rigor, rigor mortis, dan post rigor (Eskin 1990). Fase pre rigor merupakan perubahan pertama yang terjadi ketika ikan mati. Fase ini ditandai dengan melemasnya otot-otot ikan sesaat setelah ikan mati sehingga ikan mudah dilenturkan. Pada fase ini terjadi peristiwa terlepasnya lendir dibawah kelenjar permukaan kulit yang sebagian besar terdiri dari glukoprotein dan musin yang merupakan media ideal bagi pertumbuhan bakteri. Secara biokimia ditandai dengan menurunya kadar adenosine triposfat (ATP) dan keratin fosfat (seperti pada reaksi glikolisis) (Eskin 1990). Adenosine triposfat merupakan sumber energi tertinggi bagi aktivitas ikan. Setelah ikan mati, ATP diperoleh dari penguraian kreatin fosfat. Kemudian ATP mulai mengalami penguraian ketika kandungan kreatin fosfat dan ATP mencapai titik yang sama. Hidrolisis ATP menjadi ADP dengan bantuan enzim ATPase akan menghilangkan energi (Eskin 1990). Energi pada jaringan otot ikan setelah ikan mati diperoleh secara anerobik dari pemecahan glikogen melalui proses glikolisis menghasilkan ATP dan asam laktat. Akumulasi asam laktat selain menurunkan pH otot, juga diikuti oleh peristiwa rigor mortis (Eskin 1990). Segera setelah ikan mati, suplai oksigen dalam jaringan berkurang sehingga terjadi perubahan glikogen menjadi asam laktat. Hal ini mengakibatkan pH tubuh ikan menurun, diikuti pula dengan penurunan jumlah adenosine triposfat (ATP) (Gopakumar 2000). Penurunan kelenturan otot terus berlangsung seiring dengan semakin sedikitnya jumlah ATP. Hilangnya kelenturan otot ikan ini akibat ion Ca2+ yang berikatan dengan protein troponin, sehingga menyebabkan terjadinya ikatan elektrostatik antara filamen aktin dan miosin (aktomiosin) yang ditandai dengan terjadinya pengkerutan atau kontraksi serabut otot yang tidak dapat balik (irreversible). Saat konsentrasi ATP 0,1 mikro mol/gram akan terjadi rigor mortis sempurna. Waktu yang diperlukan ikan untuk masuk dan melewati fase 7 rigor mortis tergantung pada spesies, kondisi fisik ikan, derajat perjuangan ikan sebelum mati, ukuran, cara penangkapan, dan suhu selama penyimpanan (Eskin 1990). Nilai pH ikan yang baru mati mendekati netral. Pada fase rigor mortis pH tubuh ikan menurun hingga sekitar 6,2-6,5. Nilai pH ikan dipengaruhi jumlah glikogen yang ada. Ikan yang mati meronta-ronta mengalami penurunan jumlah glikogen lebih cepat dan pH dapat turun hingga 5,5. Pada saat pH turun enzim katepsin menjadi aktif. Enzim ini mendegradasi garis gelap Z pada miofilamen, menghilangkan daya adhesi antara serabut-serabut otot, dan bersifat proteolitik yang melonggarkan struktur protein serat daging (Eskin 1990). Fase terakhir post mortem ikan adalah fase post rigor. Tahap ini ditandai dengan mulai melunaknya kembali otot ikan secara bertahap (Wang et al. 1998). Proses pembusukan ikan ditandai dengan terbentuknya senyawa-senyawa basa volatil. Komponen utama total volatile base (TVB) adalah amoniak (NH3), trimetil amin (TMA), dan dimetil amin (DMA). Nukleotida utama yang berperan dalam mentransfer energi, yaitu ATP juga berperan dalam penambahan jumlah ammonia pada volatil amin setelah kematian ikan. Nukleotida ATP adalah senyawa utama pembawa energi kimia dalam sel. Kondisi anaerob setelah ikan mati akan menyebabkan ATP terurai dengan melepaskan energi (Gill 2000). ATP berubah menjadi ADP oleh enzim ATPase, kemudian diubah menjadi AMP oleh miokinase. Selanjutnya AMP diubah oleh enzim deaminase menjadi IMP dan IMP diubah menjadi inosin oleh enzim fosfatase. Kemudian inosin dengan cepat berubah menjadi hipoksantin. Deaminase AMP menjadi IMP telah melepaskan molekul ammonia (NH3) dari gugusan basa purin adenine (Eskin 1990). 2.3.2 Proses perubahan enzimatis (autolisis) Autolisis (auto = sendiri; dan lysis = penguraian) adalah proses penguraian organ-organ tubuh ikan oleh enzim-enzim (protease dan lipase) yang terdapat di dalam tubuh ikan sendiri. Proses ini biasanya terjadi setelah ikan yang mati melewati fase rigor mortis (FAO 1995). Autolisis dimulai dengan menurunya pH. Mula-mula protein dipecah menjadi molekul-molekul makro yang menyebabkan peningkatan dehidrasi 8 protein dan molekul-molekulnya pecah menjadi proteose, lalu pecah menjadi pepton, peptida dan akhirnya menjadi asam amino. Disamping asam amino, autolisis menghasilkan pula sejumlah kecil purin dan pirimidin basa yang dibebaskan pada waktu asam nukleat pecah. Bersamaan dengan itu hidrolisis lemak menghasilkan asam lemak dan gliserol (Hames dan Hooper 2005). Bila protein dihidrolisis dengan asam, alkali atau enzim maka akan dihasilkan campuran asam-asam amino yang terdiri dari sebuah gugus amino, sebuah gugus karboksil, sebuah atom hidrogen dan gugus R yang terikat pada sebuah atom C yang dikenal sebagai karbon α, serta gugus R merupakan rantai cabang (Hames dan Hooper 2005). 2.3.3 Proses perubahan karena aktivitas mikroba Selama ikan hidup, bakteri yang terdapat dalam saluran pencernaan, insang, saluran darah, dan permukaan kulit tidak dapat merusak dan menyerang bagian-bagian tubuh ikan. Hal ini disebabkan karena bagian-bagian tubuh ikan tersebut mempunyai batas pencegah (barrier) terhadap penyerangan bakteri. Setelah ikan mati, kemampuan barrier hilang sehingga bakteri segera masuk ke dalam daging ikan (Eskin 1990). Akibat serangan bakteri, ikan mengalami berbagai perubahan, yaitu lendir menjadi pekat, bergetah, amis, mata terbenam, dan pudar sinarnya, serta insang berubah warna dengan susunan tidak teratur dan bau menusuk. Bakteri-bakteri tersebut menyerang tubuh ikan mulai dari insang atau luka yang terdapat pada kulit menuju jaringan daging ikan dan dari permukaan kulit menuju ke jaringan tubuh bagian dalam (Ilyas 1983). Suhu lingkungan yang sesuai merupakan syarat utama bagi bakteri untuk hidup. Selama ikan masih hidup, suhu tubuhnya masih cukup rendah untuk menunjang pertumbuhan bakteri secara optimal. Setelah ikan mati dan proses autolisis berlangsung, suhu tubuh ikan berangsur-angsur meningkat sehingga akhirnya akan tercipta suatu kondisi yang cocok untuk pertumbuhan bakteri. Jenis bakteri yang umum ditemukan pada tubuh ikan adalah Acromobacter, Vibrio, Pseudomonas, flavobacter, dan Micrococcus (Eskin 1990). Pengelompokan mikroorganisme berdasarkan suhu pertumbuhannya dapat dilihat pada Tabel 3. 9 Tabel 3. Pengelompokan mikroorganisme berdasarkan suhu pertumbuhannya Kelompok Suhu Pertumbuhan Mikroorganisme Minimum Optimum Maksimum Psikorofil -15 10 20 Psikrotrof -5 25 35 Mesofil -5-0 30-37 45 Thermofil 40 45-55 60-80 Thermotrof 15 42-46 50 Sumber : Lan et al. (2007) 2.3.4 Proses perubahan karena oksidasi Proses perubahan pada ikan dapat juga terjadi karena proses oksidasi lemak sehingga timbul aroma tengik yang tidak diinginkan dan perubahan rupa serta warna daging kearah coklat kusam. Perubahan warna daging ini disebabkan oleh kandungan asam lemak tidak jenuh berantai panjang PUFA (polyunsaturated fatty acids) yang tinggi dalam tubuh (FAO 1995). Autooksidasi dimulai dengan pembentukan radikal-radikal bebas yang disebabkan oleh faktor-faktor yang dapat mempercepat reaksi seperti cahaya, panas, peroksida lemak, adanya logam (Cu, Fe, Co, Mn) (FAO 1995). Bau tengik yang tidak sedap tersebut disebabkan oleh pembentukan senyawa-senyawa hasil pemecahan hidroperoksida. Selain itu dengan adanya air, lipida dapat terhidrolisis menjadi gliserol dan asam lemak bebas yang terbentuk. Hidrolisis dapat memacu oksidasi dan asam lemak bebas yang terbentuk dapat menyebabkan soapy flavor, yaitu bau yang menyerupai sabun (FAO 1995). Proses oksidasi lemak menghasilkan sejumlah substansi yang dapat menyebabkan timbulnya bau dan rasa tengik yang disebut proses ketengikan. Proses ini dipercepat dengan adanya logam-logam berat, enzim-enzim lipooksidase, cahaya, dan panas. Senyawa hasil pemecahan hidroperoksida merupakan produk sekunder yang sebagian besar berupa aldehid, keton, alkohol, asam karboksilat, dan alkana yang menyebabkan timbulnya diskolorisasi atau bau tengik pada ikan (FAO 1995). 10 2.4 Proses Penguraian Protein secara Enzimatis oleh Enzim Proteolitik Setelah ikan mati, banyak perubahan yang terjadi pada daging ikan, baik secara fisikawi maupun biokimiawi. Kerusakan biokimiawi disebabkan oleh adanya enzim-enzim dan reaksi-reaksi biokimiawi yang masih berlangsung pada tubuh ikan segar (FAO 1995). Pada mulanya, enzim-enzim tersebut hanya membongkar beberapa senyawa untuk menutupi kekurangan-kekurangan di dalam metabolisme. Tetapi lama-lama hal tersebut tidak dapat berlangsung terusmenerus, sehingga makin lama aktivitas enzim makin tidak terkendali lagi, enzimenzim akan dapat membongkar senyawa apa saja yang ada. Senyawa-senyawa makromolekul akan diuraikan menjadi senyawa-senyawa yang lebih kecil sampai pada akhirnya terjadi berbagai senyawa yang mudah menguap yang baunya tidak sedap lagi (Eskin 1990). Enzim-enzim yang berperan dalam proses enzimatis terutama adalah enzim proteolitik. Hal ini berhubungan dengan kadar protein ikan yang relatif tinggi (Dinu et al. 2002). Pada ikan air tawar yang biasa disimpan dalam keadaan utuh, enzim-enzim dalam organ pencernaannya dapat menyerang jaringan daging yang menyebabkan pembusukan. Selain itu enzim-enzim yang terdapat dalam daging dapat menimbulkan keadaan yang cocok bagi bakteri untuk berkembang biak secara optimal (Bramstedt dan Auerbach 1961). Beberapa enzim yang berperan dalam proses ini antara lain katepsin (dalam daging dan organ pencernaan), tripsin, kemotripsin, kimosin dan pepsin (dalam organ pencernaan), serta enzim dari mikroorganisme yang terdapat dalam tubuh ikan (Bihan et al. 2006). Proses enzimatis ikan lebih banyak dihubungkan dengan proses penguraian (hidrolisis) protein menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana. Pada proses enzimatis, protein akan diuraikan menjadi pepton, polipeptida, dan asam-asam amino. Disamping itu, hidrolisis protein membentuk sedikit basa purin dan pirimidin (Kreuzer 1965). Enzim-enzim yang terlibat dalam proses penguraian protein, antara lain : katepsin, peptidase, transaminase, amidase, asam amino dekarboksilase, dan glutamat dehidrogenase. Proses penguraian protein terjadi akibat adanya penurunan pH jaringan otot karena terbentuknya asam laktat. Nilai pH yang rendah dengan bantuan ATP akan menyebabkan aktin dan miosin 11 bergabung membentuk aktomiosin yang relatif mudah mengalami penguraian. Hal ini menyebabkan terjadinya peristiwa rigor mortis (kekakuan) (FAO 1995). Pembebasan dan pengaktifan katepsin selanjutnya akan menyebabkan terjadinya penguraian protein menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana. Hal ini menimbulkan terjadinya akumulasi metabolit dan pembentukan senyawasenyawa basa volatil yang berakibat terhadap kenaikan pH dan peningkatan jumlah bakteri karena senyawa-senyawa basa tersebut merupakan media yang sangat cocok bagi pertumbuhan bakteri terutama golongan bakteri pembusuk (Lawrie 1985). Menurut Ladrat et al. (2004) pada akhir fase rigor mortis, saat hasil penguraian jaringan makin banyak, kegiatan bakteri pembusuk dengan enzimnya makin meningkat dan setelah melewati fase rigor (badan ikan mulai menjadi lembek) kecepatan pembusukan atau kemunduran mutu makin meningkat. Dalam berbagai kajian proses pembusukan ikan, penguraian protein baru akan terjadi pada tingkat lanjut sedangkan pada tahap-tahap permulaan boleh dikatakan hampir tidak terjadi penguraian protein. Pembentukan senyawasenyawa volatil seperti trimetilamin (TMA) pada tahap awal bukan terjadi dari protein tetapi dari senyawa lain yang bukan protein, antara lain karena penggabungan asam laktat dengan TMAO (TMA-Oksida). Dengan kata lain kecepatan penguraian senyawa makro molekul pada tahap awal masih rendah. Demikian pula senyawa-senyawa makro molekul lainnya yang mempunyai berat molekul lebih besar dari pada 5000 tidak mengalami penguraian selama tahap permulaan proses pembusukan daging ikan (Hadiwiyoto 1993). Salah satu perubahan yang terjadi pada ikan pelagis akibat degradasi jaringan oleh aktivitas enzim adalah terjadi peristiwa belly bursting. Belly bursting merupakan hasil kecepatan degradasi jaringan yang didahului oleh post mortem yang berlangsung pada dinding perut (abdominal) ikan pada beberapa spesies ikan pelagis (Martinez 2006). Peristiwa belly bursting terjadi selama ikan berada pada musim makan yang tinggi, dan kadangkala degradasi jaringan yang mengakibat belly bursting juga dapat terjadi dengan cepat beberapa jam setelah penangkapan, yaitu pada kondisi makanan cukup bagi kebutuhan ikan. Banyaknya keberadaan makanan 12 dalam perut ikan atau dalam usus (saluran pencernaan) ikan saat dipanen atau ditangkap menyebabkan tingginya aktivitas enzim pada saluran pencernaan ikan yang akhirnya mendegradasi jaringan disekitar perut ikan. Proses pendegradasian jaringan ini akan berlangsung cepat setelah ikan memasuki fase post mortem dan terus meningkat dengan semakin lamanya penyimpanan. Ketika ikan menuju proses pembusukan peristiwa ini terus berlangsung dengan lebih cepat (Martinez 2006). Intensitas makan pada ikan mempengaruhi siklus biologi ikan tersebut. Ikan menggunakan energi yang diperoleh dari makanan untuk pembentukan jaringan otot dan pematangan gonad. Adanya makanan pada saluran pencernaan setelah ikan mati menyebabkan autolisis disekitar daerah perut (belly burst) yang biasanya terjadi pada ikan berukuran kecil seperti Anchovy. Peristiwa ini juga dipengaruhi oleh aktivitas enzim protease yang terdapat pada pencernaan ikan. Enzim protease yang terdapat pada perut, intestine (usus), maupun yang berasal dari bakteri akan melakukan aktivitas proteolitik pada pH asam. Pada pH diatas 6,5 degdradasi jaringan sekitar perut masih terjadi akan tetapi lebih banyak disebabkan oleh aktivitas tripsin yang berasal dari pankreas. Aktivitas protease lainnya yang berhubungan dengan belly burst pada sejumlah ikan teleostei adalah aktivitas kolagenase. Aktivitas enzim ini dipengaruhi oleh suhu. Penyimpanan ikan pada suhu rendah hingga 0 0C mampu mengurangi kecepatan degradasi jaringan sekitar perut (Sikorski dan Kolakowski 2000). Komposisi makanan ikan mempengaruhi aktivitas proteolitik pada pencernaannya. Aktivitas proteolitik pada ikan predator lebih tinggi dari pada ikan omnivora. Aktivitas enzim protease ini dapat ditekan bila ikan mengkonsumsi detritus dalam jumlah banyak (Sikorski dan Kolakowski 2000). Ikan dengan keadaan perut yang penuh dengan makanan sebelum ditangkap memiliki hubungan jaringan yang lemah pada otot-otot perutnya dibandingkan dengan ikan dalam kondisi lapar atau dipuasakan terlebih dahulu sebelum ditangkap. Hubungan jaringan yang lemah ini terjadi pada post mortem dimana pH daging ikan rendah. Saat post mortem berlangsung, pH ikan akan rendah ketika ikan ditangkap dalam keadaan kenyang. Degradasi jaringan yang lebih cepat terjadi pada pH asam (Gildberg 1978). 13 Peristiwa belly bursting secara visual dapat diamati dengan terbentuk lubang pada daerah sekitar insang dan lubang anal. Lubang ini akan terus membesar dengan meningkatnya waktu penyimpanan dan saat ikan menuju tahap pembusukan. Semakin besar lubang yang terbentuk mengindikasikan bahwa belly bursting sudah sangat kompleks terjadi. Peristiwa ini juga merupakan satu indikator bahwa ikan sudah dalam keadaan tidak baik (busuk) (Martinez 2006). 2.5 Enzim Enzim merupakan unit fungsional dari metabolisme sel yang bekerja dengan urutan-urutan yang teratur. Enzim mengkatalisis ratusan reaksi bertahap yang menguraikan molekul nutrein, reaksi yang menyimpan dan mengubah energi kimiawi, dan yang membuat makromolekul sel dari prekursor sederhana (Lehninger 1993). Enzim pada saluran pencernaan ikan banyak terdapat pada hati, pankreas, perut besar, usus halus, dan ginjal. Enzim-enzim ini dapat digolongkan berdasarkan sensitivitas pH, yaitu (Simpson 2000): (1) Proteinase asam (aspartil) yang termasuk dalam golongan enzim endoproteinase dan memiliki aktivitas tertinggi pada pH asam. Proteinase asam yang berhasil diisolasi dari perut ikan adalah pepsin, kimosin, dan gastriksin. (2) Proteinase serin yang membutuhkan kelompok imidazol, aspartyl carboxyl, dan residu serin untuk kegiatan katalisisnya. Protease serin yang berhasil dimurnikan dari saluran pencernaan ikan adalah tripsin, kemotripsin, kolagenase dan elastase. (3) Protease thiol (cysteine) yang membutuhkan kelompok thiol untuk kegiatan katalisisnya. Protease thiol yang terdapat pada saluran pencernaan ikan adalah katepsin B. (4) Metalloproteinase yang merupakan enzim hidrolitik dan aktivitasnya tergantung pada ikan kation divalent dan termasuk dalam golongan enzim eksopeptidase. Metalloproteinase tidak ditemukan pada saluran pencernaan ikan tetapi terdapat pada daging. 14 2.5.1 Enzim katepsin Katepsin merupakan salah satu enzim proteolitik yang ditemukan pada jaringan hewan termasuk ikan yang dapat menghidrolisis protein menjadi polipeptida. Pada jaringan otot ikan, katepsin dan enzim penghidrolisis lainnya ditempatkan dalam organel subseluler atau disebut lisosom dan dibagi dalam dua tempat, yakni pada serabut otot dan matriks ekstraseluler (Shahidi dan Botta 1994). Berbagai jenis katepsin yang terdapat pada lisosom disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Enzim proteolitik yang berhubungan dengan lisosom ikan Enzim Katepsin B Family Sistein Aktivitas Endopeptidase Proses dan asal enzim Dimurnikan dari otot berbagai spesies ikan, identifikasi pada berbagai spesies Katepsin H Sistein Endopeptidase Identifikasi pada otot ikan salmon Katepsin J Sistein Endopeptidase - Katepsin L Sistein Endopeptidase Identifikasi pada otot ikan salmon dan mackerel Katepsin C Sistein Endopeptidase (Dipeptidil Diidentifikasi dari otot berbagai spesies ikan peptidase I) Dipeptidil peptidase Sistein Endopeptidase - II Katepsin D Aspartat Endopeptidase Dimurnikan dan diidentifikasi dari otot berbagai spesies ikan Γ-glutamil Aspartat Endopeptidase - Eksopeptidase Dimurnikan dari berbagai spesies karboksipeptidase Katepsin A dan I Serin (karboksipeptidase ikan dan diidentifikasi pada otot A) dari berbagai spesies Katepsin S Sistein Eksopeptidase Diidentifikasi pada otot mackerel Sumber : Goll et al. (1989) diacu dalam Shahidi dan Botta (1994) Katepsin A dan termasuk jenis eksopeptidase dan memiliki pH optimum 5-6 serta inaktif oleh panas dan alkali (Shahidi dan Botta 1994). Katepsin B yang 15 memiliki ikatan polipeptida tunggal dengan berat molekul 13,6-25 kDa ditemukan pada saluran pencernaan ikan. Enzim ini memiliki aktivitas maksimum pada pH 3,5-8,0 (Simpson 2000). Katepsin C memiliki aktivitas eksopeptidase dan mutlak memerlukan ion Cl- untuk aktivitasnya dan secara relatif spesifik untuk memisahkan residu dipeptidil dari amino terminal rantai polipeptida. Katepsin D adalah enzim peptidase yang memiliki substrat protein seperti pepsin, tetapi berbeda aktivitasnya pada substrat dengan berat molekul rendah. Katepsin D adalah glikoprotein yang memiliki aktivitas optimal pada pH 3,5. Katepsin D mendegradasi aktin dan miosin pada pH asam (Okitani et al. 1981 diacu dalam Shahidi dan Botta 1994). Penelitian menunjukkan bahwa katepsin D ikan dapat menghidrolisis protein miofibril pada kondisi asam tetapi tidak terhidrolisis pada pH netral. Studi lainnya melaporkan bahwa adanya kontribusi katepsin D pada autolisis otot ikan. Katepsin H aktif pada pH netral, stabil terhadap panas dan menunjukkan aktivitas molekuler dengan substrat miosin. Katepsin L merupakan jenis endoprotease yang sangat aktif dalam mendegradasi protein miofibril. Katepsin L yang berhasil ditemukan pada hati ikan memiliki berat molekul 30 kDa (Simpson 2000). Aktivitas molekular dari katepsin L dengan substrat miosin adalah 10 kali lebih besar dari pada katepsin B. Katepsin L dapat mendegradasi miofibril termasuk aktin, miosin, dan tropomiosin pada pH 6,5 dan secara khusus aktif untuk troponin serta berperan dalam pemindahan Ca2+ dari ATPase miofibril pada pH netral. Enzim proteinase ini memiliki aktivitas optimum pada suhu 40-50 0C dan pada suhu 65-70 0C enzim ini akan kehilangan aktivitasnya proteolitiknya (Shahidi dan Botta 1994). 2.5.2 Enzim kolagenase Umumya enzim protease terdapat didalam organ dalam (isi perut) ikan terutama pada bagian organ yang berhubungan dengan pencernaan makanan. Organ tersebut misalnya lambung, usus, pyloric caeca dan kelenjer pankreas. Salah satu enzim protease yang terdapat di dalam isi perut ikan adalah enzim kolagenase (Affandi et al. 2005). 16 Secara umum kolagenase didefinisikan sebagai enzim yang mampu mendegradasi ikatan polipeptida. Enzim ini dibagi menjadi dua tipe yang berbeda berdasarkan fungsi fisiologinya. Serin kolagenase terlibat dalam produksi hormon dan farmakologi-peptida aktif, sebagai fungsi seluler. Fungsi tersebut meliputi pencernaan protein, penggumpalan darah, fibrinolisis, aktivasi kompleks, dan fertilisasi (Neurath 1984; Bond and van Wart diacu dalam Park et al. 2002). Enzim jenis ini secara luas digunakan dalam industri kimia, industri obat, makanan dan eksperimen biologi molekular. Tipe kedua adalah metallokolagenase terdiri dari zinc yang mengandung enzim yang membutuhkan kalsium untuk kestabilan (Stricklin et al. 1977 diacu dalam Park et al. 2002). Metallokolagenase termasuk dalam enzim ekstraseluler yang terlibat dalam pembentukan kembali matriks ekstraseluler dengan berat molekul yang bervariasi dari 30 hingga 150 kDa (Park et al. 2002). Kolagenase aktif pada pH 6,6 hingga 8,0 dan inaktif pada pH dibawah 5,0. Kolagenase memiliki berat molekul sebesar 25.000 Da dan mampu dihambat aktivitasnya oleh DFP (Diisopropyhfluorophosphate), TLCK (N-P-toluenesulfonyl-L-lysine chloromethyl keton), dan PMSF (Penil Metil Sufonil Floride) (Simpson 2000). 2.6 Peranan Katepsin dan Kolagenase dalam Kemunduran Mutu Ketika ikan mati (fase pre rigor) maka kondisi menjadi anaerob dan ATP terurai oleh enzim yang terdapat di dalam tubuh ikan dengan melepaskan energi. Proses ini kemudian diikuti dengan peristiwa glikolisis yang akan menguraikan glikogen menjadi asam laktat. Pembentukan asam laktat akan menyebabkan terjadinya penurunan pH, dan jaringan otot tidak mampu mempertahankan fleksibilitasnya. Kondisi inilah yang dikenal dengan istilah rigor mortis (FAO 1995). Nilai pH yang semakin menurun mengakibatkan katepsin yang terdapat dalam jaringan otot menjadi aktif (Simpson 2000). Pengaktifan enzim katepsin selanjutnya akan menyebabkan terjadinya penguraian protein menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana. Hal ini menimbulkan terjadinya akumulasi metabolit dan pembentukan senyawa-senyawa basa volatil yang berakibat terhadap kenaikan pH dan peningkatan jumlah bakteri karena senyawa-senyawa basa tersebut merupakan media yang sangat cocok bagi pertumbuhan bakteri terutama golongan bakteri pembusuk (Lawrie 1985). 17 Aktivitas katepsin akan memberikan pengaruh pada tekstur daging ikan karena katepsin dapat menurunkan fleksibilitas (kekenyalan) sehingga daging ikan menjadi tidak elastis dan jaringan daging ikan melunak (lembek). Daging yang melunak ini merupakan salah satu sumber masalah pada industri surimi karena katepsin dapat menurunkan kemampuan pembentukan gel dalam proses pembuatan surimi dari daging ikan akibat degradasi protein miofibril yang dapat mengurangi elastisitas dan kekuatan gel surimi (Jiang 2000). Kolagen adalah polimer asam amino yang mempunyai residu non polar dan sebagian besar mengandung prolin dan hidroksi prolin. Matriks Metalloproteinases (MMPs) merupakan salah satu tipe enzim yang berperan dalam pendegradasian kolagen. Famili Metalloproteinases terbagi dalam empat subfamili yaitu kolagenase, gelatinase, stromelysin, dan membrane MMP. Kolagenase dan beberapa subfamili metalloproteinase mampu memecah triple helical dari kolagen yang akhirnya mendegradasi kolagen yang menghasilkan hidrolisis asam amino glysin dan leusin dari rantai α molekul kolagen. Serin kolagenase dan cistein akan mendegradasi bagian lain dari kolagen yang tidak memiliki struktur helic (Saito et al. 2000). Aktivitas kolagenase pada hati ikan mempengaruhi tekstur ikan setelah mati sehingga jaringan daging melunak (Simpson 2000). 18 3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan April sampai Bulan Juli 2008 di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Hasil Perairan, Laboratorium Biokimia, Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Laboratorium Penelitian I, Departemen Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Laboratorium Terpadu, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. 3.2 Bahan dan Alat Penelitian Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari bahan utama berupa jeroan ikan bandeng (Chanos chanos) dengan ukuran 200-250 gr/ekor. Ikan bandeng yang digunakan diberi empat perlakuan yaitu ikan bandeng yang dipuasakan sebelum dipanen dan disimpan pada suhu ruang (sampel A), ikan bandeng yang tidak dipuasakan dan disimpan pada suhu ruang (sampel B), ikan bandeng yang dipuasakan sebelum dipanen dan disimpan pada suhu chilling (sampel C) dan ikan bandeng yang tidak dipuasakan pada penyimpanan suhu chilling (sampel D). Bahan-bahan untuk analisis pH (larutan buffer standar pH 7, akuades), analisis TPC (larutan garam 0,85 % steril, nutrient agar), analisis TVB (H3BO3, K2CO3, trichloroacetic acid (TCA) 7 %, HCl 0,01 N). Bahan-bahan untuk ekstraksi enzim katepsin adalah buffer tris HCl (pH 7,4), assay aktivitas enzim katepsin (hemoglobin HCl 1N, TCA 5 %, pereaksi folin, tirosin), pembuatan kolagen (kulit ikan bandeng dan asam asetat), ekstraksi enzim kolagenase (buffer tris-HCl (pH 8,0) yang terdiri dari 0,25 % Triton-X 100 dan 10 mM CaCl2), assay aktivitas enzim kolagenase (tris-HCl (pH 7,5) yang mengandung 5 mM CaCl2, TCA 50 % ninhydrin, 50 % 1-propanol), dan pengukuran konsentrasi protein enzim (bovine serum albumin (BSA), coomassie brilian blue G-250, etanol 95 % (v/v), asam fosfat 85 % (w/v), dan akuades. Alat-alat yang digunakan yaitu refrigerator, inkubator (Termolina), oven (Yammato), sentifuse suhu dingin (Bed Man), spektrofotometer (Yamato), mikropipet (Pipetman), tip, timbangan analitik, homogenizer, magnetic stirrer, hot plate, pipet volumetrik, bulb, pipet tetes, tabung reaksi, cawan petri, 19 erlenmeyer, pH meter, kapas, tisu, aluminium foil, bunsen, beaker glass dan peralatan gelas lainnya serta peralatan uji organoleptik. 3.3 Tahapan Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam empat tahap, meliputi penelitian tahap 1 untuk menentukan fase post mortem ikan secara organoleptik, tahap 2 untuk mempelajari pola kemunduran mutu ikan, tahap 3 untuk mengekstraksi enzim katepsin dan tahap 4 proses ekstraksi enzim kolagenase. 3.3.1 Penentuan fase post mortem ikan secara organoleptik (BSN 2006) Penelitian tahap ini bertujuan untuk mengetahui waktu terjadinya fase post mortem ikan, meliputi pre rigor, rigor mortis, post rigor, dan waktu ketika pembusukan berlangsung cepat serta fase sangat busuk dimana terjadi pemecahan perut ikan atau belly bursting (pada penyimpanan suhu chilling). Pada tahap ini dilakukan penyimpanan pada suhu ruang (26-30 0C) dan suhu chiling ((-1)-5 0C). Penyimpanan pada suhu ruang dilakukan selama 19 jam dengan interval waktu pengamatan satu jam, sedangkan pada suhu chilling penyimpanan dilakukan selama 971 jam (41 hari) dengan interval waktu pengamatan 12 jam hingga ditemukannya proses pemecahan perut (belly bursting). Pengamatan dilakukan secara organoleptik menggunakan scoresheet berdasarkan SNI 012346-2006 (Lampiran 1a) dan scoresheet organoleptik dinding perut dan isinya (intestine) ikan segar (Laporan Penelitian Lembaga Teknologi Perikanan, No.2 1973 diacu dalam Ilyas 1983) (Lampiran 1b). 3.3.2 Penentuan pola kemunduran mutu ikan Penentuan pola kemunduran mutu ikan bertujuan untuk mengetahui pola dan perbedaan pola kemunduruan mutu antara sampel A, B, C dan D berdasarkan analisis tingkat kesegaran ikan pada setiap tahap post mortem. Pada tahap ini dilakukan pengamatan terhadap sampel ikan berdasarkan waktu yang didapat dari hasil penentuan fase post mortem pada penelitian tahap 1. Analisis yang dilakukan pada setiap pengamatan scorsheet berdasarkan SNI 01-2346-2006 (BSN 2006), scoresheet organoleptik dinding perut dan isinya (intestine) ikan segar (Laporan Penelitian Lembaga Teknologi Perikanan, No.2 1973 diacu dalam Ilyas 1983), uji 20 nilai pH (Apriyanto et al. 1989), uji total plate count (Fardiaz 1987), uji total volatil base (Apriyanto et al. 1989). 3.3.3 Ekstraksi enzim katepsin (Dinu et al. 2002) Penelitian tahap ini bertujuan untuk memperoleh ekstrak kasar enzim katepsin yang siap digunakan dalam pengujian selanjutnya. Ekstraksi katepsin dilakukan pada sampel A, B, C dan D pada setiap tahap kemunduran mutu. Proses ektraksi katepsin dilakukan dengan metode analisis yang mengacu pada Dinu et al. 2002. Tahap pertama dilakukan preparasi sampel untuk memperoleh ekstrak kasar protease dengan cara ikan dimatikan, kemudian perut ikan dibedah dan jeroan ikan diambil dengan cepat. Jeroan ikan disuspensikan dalam akuades dengan perbandingan jeroan ikan dan akuades sebesar 1:5, lalu dihomogenisasikan pada suhu 0-4 0C. Ekstrak daging hasil homogenisasi ini disentrifuse pada 1.000 rpm selama 10 menit dan supernatan yang diperoleh kemudian disentrifuse lagi pada 10.000 rpm selama 10 menit. Pelet yang dihasilkan dari sentrifugasi ini kemudian dilarutkan dalam 0,1 M buffer tris HCl 7,4 (Lampiran 2a) dengan jumlah yang sama seperti jumlah akuades tadi dan disentrifuse pada 4.000 rpm selama 10 menit. Supernatan (ekstrak kasar enzim) yang diperoleh merupakan protein utama dari mitokondria dan lisosom yang siap untuk diteliti aktivitasnya lebih lanjut. 3.3.4 Ekstraksi enzim kolagenase (Moore dan Stein 1954 diacu dalam Kim et al. 2002) Penelitian tahap ini bertujuan untuk memperoleh ekstrak kasar enzim kolagenase yang siap digunakan dalam pengujian selanjutnya. Ekstraksi kolagenase dilakukan pada sampel A, B, C dan D pada setiap tahap kemunduran mutu. Proses ekstraksi dilakukan dengan cara mencuci jeroan ikan bandeng dengan air dingin, dan ditambahkan dengan 100 mM buffer Tris-HCl (pH 8,0) (Lampiran 2b), dengan perbandingan bahan baku : larutan buffer adalah 1:5, kemudian dihomogenkan dengan homogenezer. Selanjutnya jeroan yang telah homogen tersebut, disentrifugasi dengan kecepatan 7.000 rpm selama 20 menit. 21 Setelah itu, pelet yang telah dihasilkan disentrifugasi kembali dengan kecepatan 7.000 rpm selama 20 menit menggunakan larutan buffer yang sama. Perbandingan antara bahan baku:larutan buffer sebesar 1:3. Selanjutnya supernatan yang dihasilkan ditambahkan dengan 20 mM Tris-HCl (pH 8,0) yang terdiri dari 0,36 mM CaCl2, dan didiamkan pada suhu rendah (± 4 0C) selama 48 jam. Larutan yang dihasilkan merupakan ekstrak kasar kolagenase yang akan digunakan untuk pengujian selanjutnya. 3.4 Prosedur Analisis Sampel ikan pada setiap waktu tahap post mortem akan dilakukan analisis, meliputi analisis tingkat kesegaran ikan (penilaian organoleptik, penentuan nilai pH, perhitungan total bakteri dengan menggunakan metode TPC, perhitungan TVB), uji aktivitas katepsin, uji aktivitas kolagenase, dan pengukuran konsentrasi protein enzim. 3.4.1 Uji organoleptik (BSN 2006) Metode yang digunakan untuk uji organoleptik adalah dengan scoresheet berdasarkan SNI 01-2346-2006 (BSN 2006) dan scoresheet organoleptik dinding perut dan isinya (intestine) ikan segar (Laporan Penelitian Lembaga Teknologi Perikanan, No.2 1973 diacu dalam Ilyas 1983). Pengujian organoleptik merupakan cara pengujian yang bersifat subjektif menggunakan indera yang ditujukan pada mata, insang, lendir permukaan badan, daging, bau, tekstur dan isi perut (jeroan) sampel ikan. Pada uji organoleptik ini ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh panelis (SNI 01-2346-2006), antara lain : tertarik dan mau berpartisipasi dalam uji organoleptik, terampil dan konsisten dalam mengambil keputusan, siap sedia pada saat dibutuhkan dalam pengujian, tidak menolak contoh yang akan diuji, berbadan sehat, bebas dari penyakit THT dan tidak buta warna (psikologis), tidak sedang merokok, serta jumlah panelis minimum untuk satu kali pengujian adalah 15 orang (panelis semi terlatih). Dari data yang diperoleh, kemudian dilakukan analisis kesegaran ikan dengan kriteria: Segar : nilai organoleptik berkisar antara 7-9 Agak segar : nilai organoleptik berkisar antara 5-6 Tidak segar : nilai organoleptik berkisar antara 1-3 22 3.4.2 Nilai pH (Apriyantono et al. 1989) Analisis derajat keasaman (pH) ditentukan menggunakan alat pH meter yang sebelumnya telah dikalibrasi terlebih dahulu. Alat pH meter dinyalakan dan dibiarkan stabil selama 15-20 menit, kemudian elektroda dibilas dengan larutan buffer atau akuades. Bila menggunakan akuades, elektroda dikeringkan dengan kertas tisu. Elektroda dicelupkan ke dalam larutan buffer dan didiamkan beberapa saat hingga diperoleh pembacaan yang stabil. Angka pH meter disesuaikan dengan pH buffer, yaitu buffer pH 4 dan buffer pH 7. Sampel sebanyak 10 gram yang diambil dari bagian dinding perut ikan dihancurkan dan dihomogenkan dengan 90 ml air destilata, lalu dibiarkan ±15 menit untuk diukur pH-nya. 3.4.3 Uji total plate count (TPC) (Fardiaz 1987) Prinsip kerja analisis TPC adalah perhitungan jumlah bakteri yang ada di dalam sampel (jeroan ikan) dengan pengenceran sesuai keperluan dan dilakukan secara duplo. Pembuatan larutan contoh dilakukan dengan mencampurkan 10 g sampel yang telah dihancurkan yang diambil dari bagian jeroan ikan, lalu dimasukkan kedalam botol yang berisi 90 ml larutan garam 0,85 % steril, kemudian dikocok sampai larutan homogen. Campuran larutan contoh tersebut diambil 1 ml dan dimasukkan kedalam botol berisi 9 ml larutan garam 0,85 % steril sehingga diperoleh contoh dengan pengenceran 10-2, setelah itu dikocok agar homogen. Banyaknya pengenceran dilakukan sesuai dengan keperluan penelitian, biasanya sampai pengenceran 10-5. Pemipetan dilakukan dari masing-masing tabung pengenceran sebanyak 1 ml larutan contoh dan dipindahkan ke dalam cawan petri steril secara duplo menggunakan pipet steril. Media agar dimasukkan ke dalam cawan petri sebanyak 10 ml dan digoyangkan sampai permukaan agar merata (metode tuang), kemudian didiamkan beberapa saat hingga dingin dan mengeras. Cawan petri yang telah berisi agar dan larutan contoh dimasukkan kedalam inkubator pada suhu 30 0C selama 48 jam dengan posisi cawan petri yang dibalik. Selanjutnya dilakukan pengamatan dengan menghitung jumlah koloni yang ada di dalam cawan petri tersebut. Jumlah koloni bakteri yang dihitung adalah cawan petri yang mempunyai koloni bakteri 30-300 koloni. 23 3.4.4 Uji total volatile base (TVB) (Apriyantono et al. 1989) Penetapan ini bertujuan untuk menentukan jumlah kandungan senyawasenyawa basa volatil yang terbentuk akibat degradasi protein. Prinsip dari analisis TVB adalah menguapkan senyawa-senyawa basa volatil (amin, mono-, di-, dan trimetilamin). Senyawa tersebut kemudian diikat oleh asam borat dan kemudian dititrasi dengan larutan HCl. Preparasi sampel dilakukan dengan cara menimbang 15 g sampel yang diambil dari jeroan ikan, kemudian ditambahkan 45 ml TCA 7 % dan dihomogenkan selama 1 menit. Hasil homogenisasi kemudian disaring sehingga diperoleh filtrat yang berwarna jernih. Setelah penyiapan sampel maka dilakukan uji TVB dengan cara memasukkan 1 ml H3BO3 ke dalam inner chamber cawan conway dan tutup cawan diletakkan dengan posisi hampir menutupi cawan. Filtrat dimasukkan ke dalam outer chamber disebelah kiri. Kemudian 1 ml larutan K2CO3 jenuh ditambahkan ke dalam outer chamber sebelah kanan sehingga filtrat dan K2CO3 tidak tercampur. Sebelum cawan ditutup pinggir cawan diolesi vaselin agar proses penutupan sempurna, lalu digerakkan memutar sehingga kedua cairan di outer chamber tercampur. Disamping itu dikerjakan blanko dengan prosedur yang sama tetapi filtrat diganti dengan TCA 7 %. Kedua cawan Conway tersebut diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 0C. Setelah diinkubasi, larutan asam borat dalam inner chamber cawan conway yang berisi blanko dititrasi dengan larutan HCl 0,01 N dan cawan digoyang-goyang sampai larutan asam borat berubah warna menjadi merah muda. Selanjutnya cawan conway yang berisi sampel juga dititrasi dengan larutan yang sama dengan blanko. Kadar TVB dapat dihitung dengan menggunakan rumus ; %N (mg N/100g) = (j – i) x N HCl x 100 x fp x 14 mg N/100 g g contoh 1 Keterangan : J : ml titrasi sampel fp : factor pengenceran I : ml titrasi blanko N : normalitas HCl 3.4.5 Assay aktivitas katepsin (Dinu et al. 2002) Aktivitas proteolitik dari katepsin diuji menggunakan hemoglobin terdenaturasi asam sebagai substratnya. Sebanyak 8 % hemoglobin dilarutkan 24 dalam akuades dengan perbandingan 1:3. Kemudian pH dibuat menjadi 2,0 dengan HCl 1 N dan konsentrasi akhir hemoglobin dibuat sebesar 2 % dengan akuades. Selanjutnya 1 ml dari larutan substrat diinkubasi dengan 0,2 ml larutan enzim pada 37 0C selama 10 menit. Reaksi dihentikan dengan penambahan 2 ml TCA 5 % (Lampiran 2c). Setelah 15 menit pada suhu ruang campuran disaring. Supernatan (1 ml) ditambahkan dengan 1 ml pereaksi folin dan diinkubasi pada suhu ruang selama 15 menit serta diukur absorbansinya pada 750 nm. Selain itu dilakukan pula pengukuran untuk larutan blanko dan larutan standar dengan prosedur yang sama seperti larutan sampel hanya untuk larutan blanko dan larutan standar enzimnya digantikan dengan akuades dan tirosin. Aktivitas enzim protease dapat dihitung dengan rumus berikut : UA = Absorbansi sampel – absorbansi blanko x P x 1 Absorbansi standar – absorbansi blanko T Keterangan : P = faktor pengenceran (5); T = waktu inkubasi (10 menit) 3.4.6 Assay aktivitas kolagenase (Moore dan Stein (1954) diacu dalam Park et al. 2002) Aktivitas kolagenolitik dapat diukur dengan metode Moore dan Stein (1954) yang telah dimodifikasi. Sebelum dilakukan pengukuran aktivitas kolagenase terlebih dahulu dilakukan proses pembuatan kolagen sebagai substrat dengan menggunakan metode modifikasi Lestari (2005). Tahap pembuatan kolagen dari kulit ikan bandeng meliputi pembersihan dan preparasi, perendaman dalam larutan asam dan ekstraksi. Pada tahap pembersihan dan preparasi, sisa daging, lemak, dan kotoran lainnya dibersihkan kemudian dipotong dengan ukuran 8x5 cm untuk memudahkan homogenisasi saat perendaman dan ekstraksi. Kulit yang telah dipotong direndam dalam larutan asam asetat 1,5 % selama 24 jam dengan perbandingan kulit : asam asetat 1:2. Selanjutnya kulit dicuci hingga keasamannya hilang. Kulit yang telah mengembang tersebut diekstrak dalam air dengan perbandingan kulit : air sebesar 2:1. Ekstraksi dilakukan selama 3 jam pada suhu 40-50 0C. Cairan hasil ekstraksi disaring menjadi larutan kolagen. Aktivitas kolagenolitik selanjutnya diukur dengan mereaksikan 5 ml kolagen dengan 1ml 0,05 M Tris-HCl (pH 7,5) yang mengandung 5 mM CaCl2 25 (Lampiran 2d) dan 0,1 ml larutan enzim diinkubasi pada suhu 37 0C selama 1 jam. Reaksi dihentikan dengan penambahan 0,2 ml 50 % TCA. Setelah 10 menit pada suhu ruang disaring dengan menggunakan kertas saring. Supernatan (0,2 ml) dicampur dengan 1,0 ml larutan ninhydrin yang diencerkan, diinkubasi pada suhu 100 0C selama 20 menit, kemudian didinginkan pada suhu kamar. Campuran tersebut diencerkan dengan 5 ml 50 % 1-propanol untuk pengukuran absorbansi dengan panjang gelombang 570 nm. Larutan buffer (50 mM Tris-HCl pH 7,5) yang mengandung 5 mM CaCl2 digunakan sebagai pengganti larutan enzim sebagai kontrol, dan larutan tirosin digunakan sebagai larutan standar enzim kolagenase. Aktivitas kolagenase dapat dihitung dengan menggunakan rumus : UA = Absorbansi sampel – absorbansi blanko x P x 1 Absorbansi standar – absorbansi blanko T Keterangan : P = faktor pengenceran (5); T = waktu inkubasi (60 menit) 3.4.7 Pengukuran konsentrasi protein enzim (Bradford 1976) Konsentrasi protein ditentukan dengan menggunakan metode Bradfort dengan bovine serum albumin sebagai standar. Persiapan pereaksi Bradford dilakukan dengan cara melarutkan 25 mg coomasie brilliant blue G-250 dalam 12,5 ml etanol 95 %, lalu ditambahkan dengan 25 ml asam fosfat 85 % (w/v). Jika telah larut dengan sempurna, maka ditambahkan akuades hingga 0,5 liter dan disaring dengan kertas saring Whatman no.1 dan diencerkan lima kali sesaat sebelum digunakan. Konsentrasi protein ditentukan menggunakan metode Bradford dengan cara 0,1 ml enzim dimasukkan kedalam tabung reaksi. Kemudian ditambahkan sebanyak 5 ml pereaksi Bradford, diinkubasi selama lima menit dan diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 595 nm. Demikian pula untuk larutan standar dilakukan sama dengan larutan sampel dengan konsentrasi antara 0,1-1,0 mg/ml. Nilai absorbansi yang didapat kemudian dimasukkan kedalam kurva standar Bradfort untuk menentukan konsentrasi protein yang terkandung dalam sampel enzim. Larutan standar dibuat dengan cara melarutkan 100 mg protein BSA kedalam 50 ml akuades, sebagai larutan stok dengan konsentrasi 2 mg/ml. Larutan 26 stok diencerkan menjadi beberapa larutan dengan konsentrasi yang lebih rendah yaitu 0,1-1,0 mg/ml. Tabel komposisi volume larutan dalam pembuatan larutan standar konsentrasi 0,1-1,0 mg/ml dari larutan stok BSA konsentrasi 2 mg/ml disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Pembuatan larutan standar BSA konsentrasi 0,1-1,0 mg/ml Konsentrasi BSA (mg/ml) 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1,0 3.5 Volume BSA (ml) 0,025 0,050 0,075 0,10 0,125 0,150 0,175 0,20 0,225 0,250 Volume akuades (ml) 0,475 0,450 0,425 0,400 0,375 0,350 0,325 0,300 0,275 0,250 Analisis Data Hasil yang diperoleh dari pengamatan serta pengukuran terhadap nilai organoleptik, pH, TPC, TVB, aktivitas enzim katepsin dan kolagenase, serta konsentrasi protein enzim dicari nilai rata-ratanya. Nilai rata-rata tersebut dihitung menggunakan rumus berikut (Steel dan Torrie 1989) : n Xi X i 1 n Keterangan : X = Nilai rata-rata N = Jumlah data Xi = Nilai X ke-i Analisis terhadap hubungan tingkat kesegaran ikan (TPC, TVB, dan nilai pH), nilai aktivitas enzim dan konsentrasi protein enzim dilakukan melalui uji ragam (ANOVA) berupa rancangan acak kelompok dengan 4 perlakuan (sampel A, B, C dan D) dan 5 kelompok (pre rigor, rigor mortis, post rigor, busuk dan sangat busuk). Persamaan umum model rancangan tersebut sebagai berikut: Yij = µ + τi + βj + εij Keterangan: Yij = nilai pengamatan pada perlakuan ke-i kelompok ke-j µ = nilai tengah populasi 27 τi βj εij = pengaruh perlakuan τ taraf ke-i = pengaruh kelompok β taraf ke-j = galat percobaan pada perlakuan ke-i kelompok ke-j Hipotesis yang digunakan adalah : 1. Hipotesis perlakuan a. H0 : pengaruh perlakuan tidak berbeda nyata b. H1 : minimal ada 1 perlakuan yang memberikan pengaruh berbeda nyata 2. Hipotesis kelompok a. H0 : pengaruh kelompok tidak berbeda nyata b. H1 : minimal ada 1 kelompok yang memberikan pengaruh berbeda nyata Apabila pengaruh perlakuan dan kelompok berbeda nyata dengan selang kepercayaan 95 % (P<0.05), maka diadakan uji lanjut Duncan (Steel dan Torrie 1989). Derajat hubungan linier antara aktivitas enzim (katepsin dan kolagenase) n Xi X i 1 n terhadap parameter kesegaran mutu (nilai organoleptik, pH, TVB, TPC) dilihat menggunakan koefisien korelasi linier sederhana dengan rumus (Snedecor dan Cochran 1967): r xy x2 y2 Keterangan: x = simpangan dari rataan peubah pertama (yang mempengaruhi) y = simpangan dari rataan peubah kedua (yang dipengaruhi) Nilai derajat korelasinya adalah: r ≥0,7 : hubungan sangat erat 0,5<r <0,7 : hubungan erat r ≤0,5 : hubungan tidak erat 28 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penentuan Fase Post Mortem Ikan Penentuan fase post mortem ikan dilakukan untuk mengetahui dan menilai derajat kesegaran ikan bandeng serta waktu dan lama terjadinya tahapan-tahapan kemunduran mutu pada ikan bandeng melalui metode penilaian sensori, yakni secara organoleptik. Berdasarkan hasil pengamatan kondisi post mortem sampel A dan B diperoleh empat titik analisis pola kemunduran mutu ikan. Pada sampel A dan B kondisi pre rigor (sesaat setelah ikan dimatikan) terjadi pada jam ke 0 penyimpanan, rigor mortis pada jam ke-10 penyimpanan, post rigor pada jam ke-15 dan fase busuk terjadi pada jam ke-19 penyimpanan. Pada sampel C dan D diperoleh lima titik analisis pola kemunduran mutu. Fase pre rigor terjadi pada jam ke-0 penyimpanan, rigor mortis pada jam ke-84 penyimpanan, post rigor pada jam ke-300 penyimpanan, fase busuk berlangsung pada jam ke540 dan fase sangat busuk terjadi pada jam ke-971 penyimpanan. Fase pre rigor merupakan perubahan pertama yang terjadi ketika ikan mati yang ditandai dengan melemasnya otot-otot ikan sesaat setelah ikan mati sehingga ikan mudah dilenturkan. Sampel A dan B (penyimpanan suhu ruang) mengalami masa pre rigor selama 10 jam sedangkan sampel C dan D (penyimpanan suhu chilling) mengalami pre rigor selama 84 jam (4 hari) penyimpanan. Fase rigor mortis ditandai dengan keadaan otot yang kaku atau menjadi lebih keras dari keadaan sebelumnya. Pada ikan, otot yang kaku itu biasanya bermula dari ekor, berangsur-angsur menjalar sepanjang tubuh kearah kepala. Sekujur tubuh ikan menjadi kaku biarpun dipegang dikepalanya pada posisi horizontal, ikan tidak terkulai. Menurut Ilyas (1983) fase rigor mortis ini dapat berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari, tergantung dari sejumlah faktor. Biasanya proses ini berlangsung sekitar 5 jam. Waktu yang diperlukan ikan memasuki, melewati, dan melalui masa rigor mortis tergantung pada jenis dan ukuran ikan, kondisi fisik, derajat keletihan sebelum atau sesaat mati, cara penanganan selama kejang dan suhu penyimpanan ikan. Pada penelitian ini sampel A dan B (penyimpanan suhu ruang) mengalami masa rigor mortis selama 5 jam sedangkan sampel C dan 29 D (penyimpanan suhu chilling) mengalami rigor mortis selama 216 jam (9 hari) penyimpanan. Fase terakhir dari post mortem ikan adalah fase post rigor yang merupakan permulaan dari proses pembusukan. Fase ini ditandai dengan melunaknya kembali otot ikan secara perlahan-lahan yang disebabkan oleh autolisis, pembusukkan oleh bakteri dan ketengikan. Pada umumnya proses ini berlangsung singkat karena bakteri segera berkembang dan hanya dapat ditunda dengan menurunkan suhu. Pada penelitian ini sampel A dan B (penyimpanan suhu ruang) mengalami masa post rigor selama 4 jam sedangkan sampel C dan D (penyimpanan suhu chilling) mengalami post rigor selama 431 jam (18 hari) penyimpanan. Pada tahap post rigor, peran bakteri dalam kerusakan ikan mulai tampak menonjol setelah dihasilkan senyawa-senyawa sederhana hasil autolisis yang berfungsi sebagai media pertumbuhannya. Pertumbuhan bakteri yang luar biasa cepat ini menyebabkan proses kerusakan ikan juga berlangsung semakin cepat (Eskin 1990). Proses perubahan selanjutnya merupakan satu perangkat yang kompleks dari reaksi biokimia dan tergantung pada jumlah dan jenis enzim yang ada pada ikan dan bakteri yang menghuni ikan. Arah dan kelanjutan dari perubahan biokimia oleh enzim itu tergantung pada substrat, pH, suhu dan adanya oksigen (Bihan et al. 2006). 4.2 Pola Kemunduran Mutu Ikan Penelitian pola kemunduran mutu ikan bertujuan untuk mengetahui pola dan perbedaan pola kemunduruan mutu antara sampel A, B, C, dan D berdasarkan analisis tingkat kesegaran ikan pada setiap tahap post mortem. Pada tahap ini dilakukan pengamatan terhadap sampel ikan A, B, C, dan D berdasarkan waktu yang didapat dari hasil penentuan fase post mortem pada penelitian tahap 1 secara subjektif yaitu uji organoleptik dan objektif yaitu uji TPC, TVB, pH dengan mengambil sampel dari bagian jeroan ikan bandeng. Uji objektif pada sampel A dan B dilakukan pada 4 titik, yaitu pada fase pre rigor, rigor mortis, post rigor dan busuk. Uji objektif pada sampel C dan D dilakukan pada 5 titik yaitu pre rigor, rigor mortis, post rigor, busuk dan sangat busuk. 30 4.2.1 Penilaian Organoleptik Pengamatan organoleptik untuk setiap faktor-faktor mutu dilakukan dengan mengamati kondisi ikan secara keseluruhan termasuk semua bagianbagian ikan yang mengalami perubahan penurunan mutu, seperti keadaan mata, insang, lendir permukaan badan, jeroan dan organ-organ yang terdapat di dalam jeroan ikan, selaput rongga perut dan khusus untuk pengamatan terhadap sayatan daging dilakukan pada ikan bandeng yang telah disayat dagingnya. Selama proses deteriorasi (kemunduran mutu), ikan mengalami perubahan-perubahan organoleptik yang dapat diamati dengan menilai derajat kesegaran ikan tersebut. Untuk mengetahui derajat kesegaran ikan, faktor-faktor mutu organoleptik diberi nilai dengan angka 9 untuk nilai yang terbaik dan angka 1 untuk nilai terjelek. Sebagai batas baik dan jelek diambil angka 5 yang juga disebut garis batas (Ilyas 1983). Rata-rata nilai organoleptik pada sampel A, B, C, dan D disajikan pada Gambar 3. Rata-rata Nilai Organoleptik Ikan Bandeng Utuh 10 8 6 4 2 0 0 5 10 15 20 Waktu Penyimpanan Suhu Ruang (Jam) 0 200 400 600 800 1000 1200 Waktu Penyimpanan Suhu Chilling (Jam) A B C D (Dipuasakan, Penyimpanan Suhu Ruang) (Tidak dipuasakan, Penyimpanan Suhu Ruang) (Dipuasakan,Penyimpanan Suhu Chilling) (Tidak dipuasakan, Penyimpanan suhu Chilling) Gambar 3. Rata-rata nilai organoleptik sampel A, B, C, dan D Berdasarkan Gambar 3 dapat dilihat bahwa rata-rata nilai organoleptik sampel A, B, C dan D menunjukkan nilai organoleptik yang semakin menurun dengan semakin lamanya waktu penyimpanan. Sampel A dan B (penyimpanan suhu ruang) memiliki nilai organoleptik yang sama pada setiap fase kemunduran 31 mutu. Pada fase rigor mortis sampel D memiliki nilai organoleptik yang lebih rendah dibandingkan dengan sampel C. Hal ini disebabkan karena pengaruh perlakuan sebelum ikan dipanen. Sampel D yang tidak dipuasakan sebelum dipanen memiliki jeroan yang penuh makanan. Keberadaan makanan ini merupakan substrat yang baik bagi bakteri pembusuk, sumber enzim dan sumber pembusukan lainnya. Kondisi pre rigor sampel A, B, C, dan D menunjukkan nilai organoleptik 9. Hal ini menggambarkan bahwa ikan bandeng dalam kondisi sangat segar. Ikan yang masih segar memiliki penampilan yang menarik. Ikan tampak cemerlang, mengkilap keperakan sesuai jenisnya. Permukaan tubuh tidak berlendir, atau berlendir tipis dengan lendir bening dan encer. Sisik tidak mudah lepas, perut padat dan utuh, sedangkan lubang anus tertutup. Mata ikan cerah, putih jernih, tidak berdarah dengan pupil hitam. Insang masih tampak cerah dan tidak berlendir. Ikan masih lentur dengan tekstur daging pejal dan jika ditekan cepat pulih. Bau ikan segar atau sedikit agak amis. Pada fase rigor mortis ikan bandeng memiliki nilai organoleptik sekitar 6-8 dengan ciri-ciri mata cerah, bola mata menonjol, kornea jernih, pupil berwarna putih. Insang berwarna merah kurang cemerlang, ada sedikit lendir. Permukaan kulit mengeluarkan lendir dalam jumlah banyak, lapisan lendir agak keruh, kurang transparan. Sayatan daging cemerlang spesifik jenis, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang, dinding perut utuh. Bau segar spesifik jenis. Tekstur padat, elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang belakang. Kondisi ikan kaku, ekor mengejang dan sulit dibengkokkan. Fase post rigor ikan bandeng dengan nilai organoleptik sekitar 5-6 ditunjukkan dengan ciri-ciri bola mata agak cekung, pupil berubah keabu-abuan, kornea agak keruh. Insang merah agak kusam, sedikit lendir. Permukaan kulit mengeluarkan lendir tapi tidak terlalu banyak, keruh, warna putih kusam, kurang transparan. Sayatan daging sedikit kurang cemerlang, sedikit pemerahan sepanjang tulang belakang, dinding perut agak lunak. Bau agak segar, spesifik jenis. Tekstur agak lunak, kurang elastis bila ditekan dengan jari, agak mudah menyobek daging dari tulang belakang, kondisi lemas, bagian ekor dapat 32 dibengkokkan. Nilai organoleptik 5-6 ini merupakan ambang batas antara kondisi ikan baik dan jelek. Ikan bandeng yang memasuki fase busuk dan sangat busuk memiliki nilai organoleptik 3 (busuk) dan 1 (sangat busuk). Nilai ini berada di bawah ambang batas kondisi ikan masih dapat diterima oleh konsumen, sehingga mutu ikan dengan nilai tersebut sudah “ditolak” (rejected). Ikan sudah definitif tidak dapat dimakan (inedible). Ikan ini memiliki ciri-ciri: bola mata sangat cekung, kornea agak kuning, insang berwarna merah coklat ada sedikit putih, lendir tebal. Lendir pada permukaan kulit tebal menggumpal, warna kuning kecoklatan. Sayatan daging kusam sekali, warna merah jelas sekali sepanjang tulang belakang, dinding perut sangat lunak. Bau busuk jelas. Tekstur sangat lunak, bekas jari tidak hilang bila ditekan, mudah sekali menyobek daging dari tulang belakang. Sumber-sumber pembusukan pada ikan yang baru ditangkap tidak terdistribusi secara merata pada seluruh bagian tubuh ikan, melainkan terpusat pada tiga tempat yakni lendir pada kulit, insang dan jeroan ikan. Tiga pemusatan sumber pembusukan ini akan menyerang berbagai bagian tubuh ikan setelah ikan mati. Jeroan ikan (isi perut) mengandung jumlah bakteri dan sumber enzim pembusukan yang lebih banyak dari pada insang dan kulit. Rata-rata nilai organoleptik jeroan ikan (isi perut) disajikan pada Gambar 4. Rata-rata Nilai Organoleptik Isi Perut (Jeroan) Ikan Bandeng 10 8 6 4 2 0 0 5 10 15 20 Waktu Penyimpanan Suhu Ruang (Jam) 0 200 400 600 800 1000 1200 Waktu Penyimpanan Suhu Chilling (Jam) A B C D (Dipuasakan, Penyimpanan Suhu Ruang) (Tidak dipuasakan, Penyimpanan Suhu Ruang) (Dipuasakan, Penyimpanan Suhu Chilling) (Tidak dipuasakan, Penyimpanan Suhu Chilling) Gambar 4. Rata-rata nilai organoleptik jeroan sampel A, B, C, dan D 33 Berdasarkan Gambar 4 dapat dilihat bahwa rata-rata nilai organoleptik jeroan (isi perut) sampel A, B, C, dan D mengalami penurunan dengan semakin meningkatnya waktu penyimpanan. Rata-rata nilai organoleptik jeroan sampel A, B, C, dan D disajikan pada Lampiran 4. Kondisi jeroan sampel A, B, C, dan D disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Kondisi jeroan (isi perut) ikan bandeng selama proses kemunduran mutu Fase kemun duran mutu Pre rigor Rigor Post Rigor Busuk Ikan A Ikan B Ikan C Ikan D Susunan jeroan teratur, kompak, cemerlang, amis segar, selaput hitam mengkilap, organ melekat erat, dinding perut merah muda perak cemerlang Susunan organorgan teratur, kompak, cemerlang, amis segar, selaput hitam mengkilap, organ melekat erat, dinding perut merah muda perak cemerlang, warna lebih gelap Susunan isi perut teratur, kompak, cemerlang, amis segar, selaput hitam mengkilap, organ melekat erat, dinding perut merah muda perak cemerlang Susunan organorgan teratur, kompak, cemerlang, amis segar, selaput hitam mengkilap, organ melekat erat, dinding perut merah muda perak cemerlang, warna lebih gelap Ciri-ciri seperti kondisi pre rigor akan tetapi warna mulai redup Susunan organ-organ tidak teratur, warna pucat, bau amis alkali, dinding lembek dan tulang rusuk menonjol Bau busuk menyengat, dinding perut mudah rusak, lendir tebal. Sama seperti pre rigor akan tetapi mulai terjadi perubahan warna Mulai terjadi perubahan warna, dan ada sedikit lendir Ciri-ciri seperti kondisi pre rigor akan tetapi warna mulai redup Organ-organ tidak teratur, warna pucat, bau amis alkali, dinding lembek dan tulang rusuk menonjol Susunan organorgan tidak teratur, warna pucat, bau amis alkali, dinding lembek dan tulang rusuk menonjol Organ-organ tidak teratur, warna pucat, bau amis alkali, dinding lembek dan tulang rusuk menonjol Bau busuk menyengat, dinding perut mudah rusak, lendir tebal. Isi perut mulai berantakan, amis keras, mudah lepas dari rongga perut. isi perut mulai berantakan, amis keras, mudah lepas dari rongga perut. 34 Tabel 6. Lanjutan Kondisi Sangat busuk Susunan isi perut sudah tidak teratur, pucat, bau amis sekali dinding lembek,mudah lepas dan rusuk menonjol Susunan isi perut sudah tidak teratur, pucat, bau amis sekali dinding lembek,mudah lepas dan rusuk menonjol Pada fase pre rigor, sampel A, B, C, dan D memiliki nilai organoleptik 9 yang menunjukkan bahwa susunan jeroan ikan masih teratur, belum ada kerusakan organ-organ pencernaan dan organ-organ penting lainnya, serta masih memiliki bau amis yang spesifik. Ketika ikan memasuki fase rigor mortis ikan bandeng memiliki nilai organoleptik jeroan sekitar 7-8. Pada kondisi ini jeroan ikan masih kompak, belum ada kerusakan yang berarti pada susunan organ-organ seperti ginjal dan sebagainya, bau amis spesifik, namun lendir mulai muncul disekitar dinding perut. Fase post rigor dengan nilai organoleptik jeroan 5 menunjukkan kondisi jeroan dengan susunan yang sudah tidak teratur, organ-organ menjadi lembek, timbul bau amis, dan terjadi perubahan warna menjadi pucat. Fase busuk dan sangat busuk (sampel C dan D) ditunjukkan dengan nilai organoleptik jeroan 3 dan 1. Pada fase ini susunan organ-organ sudah berantakan, dinding perut lembek dan mudah rusak, bau amis yang kuat, warna pucat. Pada fase sangat busuk jeroan ikan sudah hancur berantakan, bau busuk, lendir semakin tebal dan beberapa bagian organ telah hancur. Pada sampel C dan D yang disimpan pada suhu chilling, ketika ikan berada pada fase sangat busuk terjadi pemecahan perut ikan (belly burst) yang ditandai dengan terbentuk lubang sekitar anus menuju ke kepala sebesar 0,6 cm pada sampel C dan 0,7 cm pada sampel D. Keberadaan makanan pada ikan sebelum dipanen mempengaruhi kemunduran mutu ikan. Hal ini disebabkan karena bakteri, enzim dan sumber pembusuk lainnya terdapat lebih banyak pada sampel D dan lebih cepat menguraikan protein serta segera mencerna dinding sekitar rongga perut sampel D. 35 Pada penelitian ini diperoleh sampel A dan B (penyimpanan suhu ruang) masih layak konsumsi setelah penyimpanan selama 15 jam sedangkan sampel C dan D (penyimpanan pada suhu chiling) setelah penyimpanan sekitar 13 hari (300 jam penyimpanan). Menurut Wibowo dan Yunizal (1998) ikan bandeng utuh yang disimpan pada suhu sekitar 24-32,2 0C memiliki umur simpan sekitar 9,5-16,5 jam, ikan bandeng utuh dalam kondisi kenyang yang di es memiliki umur simpan 11 hari dan ikan bandeng utuh dalam kondisi lapar yang di es mampu bertahan hingga 16 hari. Hal ini membuktikan bahwa umur simpan ikan dapat dipertahankan dan diperpanjang dengan menurunkan suhu dan praktek-praktek penanganan yang baik dengan menerapkan rantai dingin. Hal ini disebabkan karena kemunduran mutu ikan sangat berbeda-beda menurut jenis ikan, musim, ukuran, kadar senyawa tertentu, suhu, lingkungan hidup dan lain-lain. Semakin tinggi suhu penyimpanan semakin cepat terjadi penurunan mutu, sehingga semakin pendek umur simpan ikan tersebut (Ilyas 1983). 4.2.2 Nilai TPC (Total Plate Count) Pertambahan jumlah bakteri pada ikan basah atau segar dan hasil perikanan lainnya selama penyimpanan merupakan salah satu indikator menurunnya derajat mutu kesegaran ikan yang akhirnya mengarah pada pembusukan (Ilyas 1983). Gejala umum yang terlihat adalah semakin busuk seekor ikan, akan semakin besar pula jumlah bakterinya. Dengan menghitung jumlah bakteri yang terdapat pada ikan diharapkan dapat dinilai derajat mutu ikan tersebut. Perhitungan jumlah bakteri pada penenlitian ini menggunakan metode total plate count (TPC). Metode ini didasarkan pada anggapan bahwa jumlah koloni yang muncul pada cawan merupakan suatu indeks bagi jumlah mikroorganisme yang dapat hidup yang terkandung dalam sampel (Hadiwiyoto 1993). Hasil pengujian nilai log TPC jeroan sampel A, B, C, dan D disajikan pada Gambar 5. Berdasarkan Gambar 5 diketahui bahwa nilai log TPC jeroan sampel A, B, C, dan D mengalami peningkatan pada tiap fase kemunduran mutu. Hasil uji ragam (ANOVA α=0,05) menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi kondisi ikan sebelum dipanen dan suhu penyimpanan dari masing-masing sampel A, B, C dan 36 D memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap jumlah bakteri pada tingkat kepercayaan 95 %. 10 Rata-rata Nilai Log TPC (CFU/ml) 8 6 4 2 0 0 5 10 15 20 Waktu Penyimpanan Suhu Ruang (Jam) 0 200 400 600 800 1000 1200 Waktu Penyimpanan Suhu Chilling (Jam) A B C D (Dipuasakan, Penyimpanan Suhu Ruang) (Tidak dipuasakan, Penyimpanan Suhu Ruang) (Dipuasakan, Penyimpanan Suhu Chilling) (Tidak dipuasakan, Penyimpanan Suhu Chilling) Gambar 5. Rata-rata nilai log TPC jeroan sampel A, B, C, dan D Nilai log TPC sampel A, B, C, dan D pada fase pre rigor secara berturutturut adalah 3,69 CFU/ml, 3,82 CFU/ml, 3,69 CFU/ml, 3,82 CFU/ml. Sampel B dan D (ikan yang tidak dipuasakan sebelum dipanen) memiliki nilai TPC yang lebih tinggi dibandingkan dengan sampel A dan C (ikan yang dipuasakan sebelum dipanen). Jumlah bakteri tertinggi ditemukan pada perlakuan ikan tidak dipuasakan dan disimpan pada suhu chilling (sampel D) yaitu 9 CFU/ml pada fase sangat busuk. Hal ini karena pada jeroan ikan yang lapar terdapat sedikit bakteri penyebab kerusakan, sedangkan pada ikan yang kenyang terdapat sejumlah besar bakteri yaitu sekitar 107 per gram jeroan atau sekitar 103-108/ml cairan intestinal (Ilyas 1983). Pada penelitian ini diperoleh jumlah bakteri pada sampel penyimpanan suhu ruang (sampel A dan B) lebih rendah dari pada sampel penyimpanan suhu chilling (sampel C dan D). Menurut Ilyas (1983) suhu mempunyai pengaruh besar terhadap jenis dan kecepatan pertumbuhan bakteri pembusuk. Suhu penyimpanan yang rendah tidak mampu menghentikan kegiatan semua jenis bakteri yang 37 terdapat pada jeroan ikan, karena bakteri psikorofil, psikrotrof, dan mesofil masih mampu hidup (Lan et al. 2007). Tingginya jumlah bakteri pada penyimpanan suhu chilling diduga karena pada jeroan ikan terdapat banyak kelompok bakteri yang memiliki kemampuan untuk tetap hidup pada suhu rendah seperti psikrotrof yang masih mampu hidup pada suhu 0 0C (Eskin 1990). Penurunan suhu suatu substrat (makanan dasar) yang mengandung campuran beberapa jenis bakteri, terbukti memperpanjang tahap pertumbuhan bakteri dan hilangnya secara berangsur beberapa tipe bakteri selagi suhu minimum mereka dicapai dan dilewati (Lan et al. 2007). Pengaruh suhu pada pertumbuhan bakteri akan tampak jelas pada siklus pertumbuhannya, terutama perpanjangan atau perpendekan masa adaptasinya tergantung pada tinggi rendahnya suhu. Suhu yang tinggi akan menyebabkan fase adaptasi menjadi lebih pendek sebaliknya suhu rendah akan menyebabkan fase adaptasi menjadi lebih panjang. Hal ini terlihat pada ikan yang disimpan pada suhu chilling (sampel C dan D) mengandung bakteri sekitar 4,86-5,16 CFU/ml setelah 84 jam (4 hari) penyimpanan. Ikan yang disimpan pada suhu ruang (sampel A dan B) mengandung bakteri sekitar 4,82-4,87 CFU/ml pada waktu yang lebih cepat yaitu 10 jam penyimpanan. Hasil uji ragam (ANOVA α=0,05) juga menunjukkan bahwa fase kemunduran mutu ikan (pre rigor, rigor mortis, post rigor, busuk dan sangat busuk) dari masing-masing sampel A, B, C dan D memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap jumlah bakteri pada tingkat kepercayaan 95 %. Jeroan ikan bandeng memiliki nilai log TPC pada fase pre rigor, rigor mortis, dan post rigor berturut-turut sekitar 3,69-3,82 CFU/ml, 4,82-5,16 CFU/ml dan 6,77-6,88 CFU/ml. Jumlah bakteri pada jeroan ikan bandeng terus bertambah ketika ikan memasuki fase busuk yang diperlihatkan oleh nilai log TPC sekitar 7,42-8,19 CFU/ml dan nilai log TPC mencapai titik tertinggi pada fase sangat busuk yakni sebesar 8,99-9 CFU/ml (sampel C dan D). Hal ini disebabkan karena pada fase ini terdapat banyak senyawa-senyawa hasil penguraian protein yang merupakan substrat yang baik bagi pertumbuhan bakteri (Ilyas 1983). Pada fase post rigor, jeroan ikan sudah dalam kondisi tidak baik karena keberadaan bakteri pembusuk yang tinggi dan siap menyerang daging ikan 38 sehingga daging ikan busuk. Ketika jeroan ikan berada pada fase busuk dan sangat busuk bakteri pada jeroan ikan bandeng terus meningkat dan menyerang daging serta bagian tubuh lainnya sehingga daging ikan tidak layak untuk dikonsumsi yang ditunjukkan dengan nilai organoleptik berturut-turut 3 dan 1. Keberadaan bakteri yang terus meningkat sejalan dengan waktu penyimpanan akan menyebabkan perubahan-perubahan biokimia seperti bau yang tidak enak dan perubahan warna yang mengakibatkan ikan tidak layak untuk dikonsumsi. 4.2.3 Nilai pH Salah satu metode penentuan kesegaran ikan adalah dengan melakukan pemeriksaan nilai pH (Bihan et al. 2006). Produksi asam laktat dari hasil proses glikolisis secara anaerob setelah ikan mati akan menentukan perubahan pH pada daging ikan. Perubahan nilai pH pada ikan bergantung pada berbagai faktor seperti jenis ikan, cara menangkap, pemberian pakan dan kondisi lainnya (Ladrat et al.2004). Hasil pengukuran nilai pH jeroan sampel A, B, C, dan D disajikan pada Gambar 6. 8 Rata-rata Nilai pH 6 4 2 0 0 5 10 15 20 Waktu Penyimpanan Suhu Ruang (Jam) 0 200 400 600 800 1000 1200 Waktu Penyimpanan Suhu Chilling (Jam) A (Dipuasakan, Penyimpanan Suhu Ruang) waktu penyimpanan vs Tidak dipuasakan C (Dipuasakan, Penyimpanan Suhu Chilling) D (Tidak dipuasakan, Penyimpanan Suhu Chilling) Gambar 6. Rata-rata nilai pH jeroan sampel A, B, C dan D Sampel B dan D pada fase pre rigor memiliki nilai pH yang sama yaitu 6,53 dan sampel A dan C juga memiliki nilai pH yang sama yaitu 6,82. 39 Berdasarkan hasil uji ragam (ANOVA α=0,05) menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi kondisi ikan sebelum dipanen dan suhu penyimpanan dari masingmasing sampel A, B, C dan D memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap nilai pH pada tingkat kepercayaan 95 %. Hasil uji ragam (ANOVA α=0,05) juga menunjukkan fase kemunduran mutu ikan (pre rigor, rigor mortis, post rigor, busuk dan sangat busuk) dari masing-masing sampel A, B, C dan D memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai pH pada tingkat kepercayaan 95 %. Nilai pH jeroan ikan bandeng pada penelitian ini mengalami penurunan dari fase rigor mortis sampai fase post rigor, lalu nilai pH akan meningkat kembali ketika ikan memasuki fase busuk dan terus meningkat hingga ikan memasuki fase sangat busuk pada penyimpanan suhu chilling. Nilai pH mencapai titik tertinggi pada fase busuk (7,19) untuk sampel A dan B dan fase sangat busuk (7,4) pada sampel C dan D. Hal ini disebabkan karena pada fase ini terjadi akumulasi senyawa-senyawa yang bersifat basa seperti ammonia, trimetilamin, dan senyawa-senyawa volatil lainnya hasil pemecahan makro melekul terutama protein oleh aktivitas enzim protease (FAO 1995) . Nilai pH yang menurun pada fase rigor mortis sampai fase post rigor ini disebabkan karena terjadinya akumulasi asam laktat yang terbentuk melalui proses glikolisis. Akumulasi asam laktat inilah yang dapat menyebabkan jeroan ikan bertambah asam sehingga terjadi penurunan pH. Nilai pH ikan bandeng pada penelitian ini mencapai titik terendah pada fase post rigor yaitu sebesar 6,2. Hasil penelitian Bihan et al. (2006) melaporkan bahwa pH jeroan dari cuttlefish pada penyimpanan suhu 4 0C dan 25 0C mencapai titik terendah sekitar 6,285 dan nilai pH semakin meningkat hingga sekitar 7,19. Dilaporkan juga peningkatan atau penurunan nilai pH yang terjadi tidak begitu signifikan. Menurut Eskin (1990) pH ikan segar merupakan pH netral (sekitar 6,4). Setelah ikan mati pH terendah yang dapat dicapai hanya 6,2 kecuali untuk ikanikan tertentu yang dapat mencapai pH 5,5. Meskipun pH tidak banyak turun akan tetapi kondisi asam ini banyak memberikan perubahan pada ikan. Nilai-nilai pH tersebut akan meningkat lagi pada fase post rigor dan terus meningkat hingga ikan menjadi busuk. Menurut Ladrat et al. (2004) nilai pH ikan yang mendekati nilai 40 pH basa ini merupakan salah satu indikator bahwa ikan sudah tidak segar. Pada umumnya ikan yang sudah tidak segar mempunyai pH lebih tinggi dari pada yang masih segar. Hal ini disebabkan karena timbulnya senyawa-senyawa yang bersifat basa seperti misalnya ammonia, trimetilamin, dan senyawa-senyawa volatil lainnya. Kecepatan perubahan nilai pH dipengaruhi oleh banyaknya kandungan glikogen awal ikan (Robb 2002). Kecepatan penurunan pH juga dipengaruhi suhu yang digunakan untuk penyimpanan. Nilai pH akan turun dengan cepat jika suhu yang digunakan tinggi dan penurunan pH akan semakin lambat jika suhu yang digunakan rendah (Price dan Schweigert 1971). Hal ini dapat dilihat pada ikan bandeng penyimpanan suhu ruang (sampel A dan B) mengalami penuruan pH terendah pada penyimpanan jam ke-15 sedangkan penyimpanan suhu chilling (sampel C dan D) pada penyimpanan jam ke-300. 4.2.4 Nilai TVB Metode penilaian mutu ikan yang bersifat kimiawi dapat dilakukan dengan pengujian nilai TVB (total volatile bases). Prinsip penetapan TVB adalah menguapkan senyawa-senyawa yang terbentuk karena penguraian asam-asam amino yang terdapat pada daging ikan (Hadiwiyoto 1993). Berbagai komponen, seperti basa volatil, terakumulasi pada ikan sesaat setelah mati. Akumulasi ini terjadi akibat reaksi biokimia post mortem dan aktivitas mikroba pada seluruh bagian ikan. Hasil pengujian nilai TVB jeroan sampel A, B, C, dan D disajikan pada Gambar 7. Nilai TVB jeroan sampel A, B, C, dan D berturut-turut pada fase pre rigor sebesar 11,59 mg N/100 g, 14,28 mg N/100 g, 11,59 mg N/100 g, dan 14,28 mg N/100 g. Nilai tersebut menunjukkan ikan pada awal penyimpanan masih dalam keadaan sangat segar. Berdasarkan hasil uji ragam (ANOVA α=0,05) menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi kondisi ikan sebelum dipanen dan suhu penyimpanan dari masing-masing sampel A, B, C dan D memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap nilai TVB pada tingkat kepercayaan 95 %. Hasil uji ragam (ANOVA α=0,05) juga menunjukkan bahwa fase kemunduran mutu ikan (pre rigor, rigor mortis, post rigor, busuk dan sangat busuk) dari 41 masing-masing sampel A, B, C dan D memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai TVB pada tingkat kepercayaan 95 %. 250 Rata-rata Nilai TVB (mg N/100 g) 200 150 100 50 0 0 5 10 15 20 Waktu Penyimpanan Suhu Ruang (Jam) 0 200 400 600 800 1000 1200 Waktu Penyimpanan Suhu Chilling (Jam) A B C D (Dipuasakan, Penyimpanan Suhu Ruang) (Tidak dipuasakan, Penyimpanan Suhu Ruang) (Dipuasakan, Penyimpanan Suhu chilling) (Tidak dipuasakan, Penyimpanan Suhu Chilling) Gambar 7. Rata-rata nilai TVB jeroan sampel A, B, C, dan D Nilai TVB jeroan ikan bandeng pada penelitian ini akan semakin meningkat dengan semakin lamanya waktu penyimpanan akibat adanya degradasi protein oleh enzim-enzim dalam tubuh ikan menghasilkan senyawa-senyawa sederhana yang merupakan komponen-komponen penyusun senyawa basa volatil (Simpson 2000). Menurut Karungi et al. (2003) peningkatan nilai TVB selama penyimpanan akibat degradasi protein dan derivatnya menghasilkan sejumlah basa yang mudah menguap seperti amoniak, histamin, H2S, dan trimetilamin yang berbau busuk. Pada penelitian ini, nilai TVB jeroan ikan bandeng tertinggi dicapai setelah penyimpanan 19 jam penyimpanan suhu ruang (198,8mg N/100 g) dimana ikan berada pada fase busuk, dan fase sangat busuk pada penyimpanan suhu chilling setelah penyimpanan 971 jam (41 hari) yakni 198,8mg N/100 g. Nilai tersebut menujukkan bahwa jeroan ikan bandeng sudah dalam kondisi sangat rusak. 42 Kesegaran ikan dapat dibagi menjadi 4 kriteria berdasarkan nilai TVB. Ikan termasuk kriteria sangat segar apabila nilai TVB kurang dari 10 mg N/100 g. Ikan dengan nilai TVB antara 10-20 mg N/100 g termasuk dalam kriteria segar. Ikan termasuk kriteria masih bisa dikonsumsi apabila nilai TVB antara 20-30 mg N/100 g dan tidak bisa dikonsumsi apabila nilai TVB lebih dari 30 mg N/100 g (Farber 1965). Berdasarkan kriteria tersebut pada fase rigor mortis nilai TVB jeroan ikan bandeng sudah melewati batas yang tidak dapat diterima oleh konsumen. Akan tetapi pada sejumlah penelitian dilaporkan bahwa daging ikan masih layak untuk dikonsumsi ketika ikan berada pada fase post rigor. Penguraian protein akan berlangsung terlebih dahulu pada bagian jeroan sebelum akhirnya proses penguraian ini merambat ke daging dan seluruh tubuh ikan. Hal ini disebabkan jeroan ikan merupakan sumber bakteri pembusuk dan enzim penyebab kerusakan terbesar pada ikan (Ilyas 1983). Selain itu kelenjar yang terdapat pada usus halus ikan mengeluarkan cairan yang bersifat asam yang banyak mengandung enterokinase yaitu sejenis enzim penghasil senyawa-senyawa sederhana yang merupakan komponen-komponen penyusun senyawa basa volatil (Simpson 2000). Proses penyimpanan pada suhu chilling dapat menghambat proses kemunduran mutu ikan bandeng. Karungi et al. (2003) menyatakan akumulasi nitrogen yang bersifat volatil berlangsung lebih lambat dibandingkan ikan yang disimpan pada suhu lingkungan. Aktivitas enzim pada daging ikan berjalan lebih lambat sehingga ikan tetap segar dalam jangka waktu lama. Hal ini terlihat pada ikan bandeng yang disimpan pada suhu ruang (sampel A dan B) busuk setelah 19 jam penyimpanan sedangkan pada penyimpanan suhu chilling (sampel C dan D) busuk stelah 21 hari penyimpanan. 4.3 Aktivitas Katepsin Pengujian aktivitas enzim katepsin dilakukan dengan mengekstrak enzim katepsin dari jeroan ikan bandeng terlebih dahulu. Aktivitas enzim katepsin sampel A, B, C, dan D pada setiap fase kemunduran mutu disajikan pada Gambar 8. 43 1.2 Rata-rata Aktivitas Katepsin (U/mg) 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 0 5 10 15 20 Waktu Penyimpanan Suhu Ruang (Jam) 0 200 400 600 800 1000 1200 Waktu Penyimpanan Suhu Chilling (Jam) A B C D (Dipuasakan, Penyimpanan Suhu Ruang) (Tidak dipuasakan, Penyimpanan Suhu Ruang) (Dipuasakan, Penyimpanan Suhu Chilling) (Tidak dipuasakan, Penyimpanan Suhu Chilling) Gambar 8. Rata-rata nilai aktivitas enzim katepsin jeroan sampel A, B, C, dan D Berdasarkan Gambar 8 dapat dilihat bahwa aktivitas ekstrak kasar katepsin sampel A, B, C, dan D tertinggi berturut-turut adalah 0,5714 U/ml, 0,5 U/ml, 0,6607 U/ml dan 1,1071 U/ml. Berdasarkan hasil uji ragam (ANOVA α=0,05) menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi kondisi ikan sebelum dipanen dan suhu penyimpanan dari masing-masing sampel A, B, C dan D memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap aktivitas katepsin pada tingkat kepercayaan 95 %. Nilai aktivitas enzim katepsin jeroan ikan bandeng tertinggi dari keempat perlakuan ditemukan pada sampel D (tidak dipuasakan, penyimpanan suhu chilling) yaitu sebesar 1,1071 U/ml. Hal ini disebabkan karena perlakuan sebelum ikan dipanen (dipuasakan dan tidak dipuasakan) memberikan rasio substrat yang berbeda-beda, sehingga memberikan pengaruh yang berbeda terhadap aktivitas enzim katepsin. Pada ikan air tawar yang diberi pakan kaya akan protein, adanya makanan dalam perut saat ikan ditangkap akan meningkatkan aktivitas proteolitik enzim karena substrat tersedia dalam jumlah yang cukup. 44 Hasil uji ragam (ANOVA α=0,05) pada aktivitas katepsin juga menunjukkan bahwa fase kemunduran mutu ikan (pre rigor, rigor mortis, post rigor, busuk dan sangat busuk) dari masing-masing sampel A, B, C dan D memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap aktivitas katepsin pada tingkat kepercayaan 95 %. Aktivitas katepsin tertinggi terdapat pada fase post rigor (1,1071 U/ml). Hal ini disebabkan karena pada fase ini pH jeroan paling rendah yakni sekitar 6,20-6,48 sehingga sangat cocok untuk berlangsungnya aktivitas enzim katepsin yang akan menguraikan protein dalam jaringan tubuh ikan. Hasil penelitian Bihan et al. (2006) melaporkan bahwa aktivitas enzim katepsin pada Cuttlefish yang disimpan pada suhu 4 0C dan 25 0C mencapai peningkatan tertinggi yakni sekitar 90 % dari aktivitas total saat nilai pH jeroan paling rendah yakni 6,285. Hasil penelitian Apriyanti (2007) juga melaporkan bahwa aktivitas enzim katepsin pada daging ikan mencapai titik tertinggi yaitu 1,3917 U/ml pada fase post rigor dimana pada fase itu pH ikan paling rendah. Sentandreu et al. (2003) yang mengatakan bahwa aktivitas katepsin B pada ginjal sapi sebesar 21,9 U/ml dan aktivitas spesifiknya 0,04 U/mg. Aktivitas spesifik ini akan semakin tinggi jika dilakukan pemurnian enzim dengan beberapa tahap. Pada penelitian ini ditemukan aktivitas katepsin jeroan ikan bandeng tertinggi pada penyimpanan suhu chilling. Menurut Montgomery dan Anglemier (1975) diacu dalam Bihan et al. (2006) yang berhasil menguji aktivitas katepsin dari lisosom ikan air tawar mengatakan bahwa katepsin baru memperlihatkan aktivitasnya setelah lepas dari lisosom pada suhu 4 0C. Aktivitas katepsin pada lisosom akan menurun, sedangkan aktivitas katepsin pada ekstrak kasar enzim lisosom akan meningkat pada penyimpanan 0 0C. Aktivitas katepsin yang tinggi pada suhu chilling ini diduga karena hampir seluruh bagian katepsin adalah protein yang akan terdenaturasi dan rusak pada suhu yang tinggi sehingga menyebabkan bagian aktif enzim akan terganggu dan dengan demikian konsentrasi efektif enzim menjadi berkurang dan aktivitas biologinya mengalami penurunan. Konformasi bagian aktif enzim katepsin yang lebih stabil pada suhu yang lebih rendah ini menyebabkan aktivitas katepsin lebih tinggi pada suhu rendah. 45 Pengukuran aktivitas katepsin sangat erat kaitannya dengan konsentrasi protein enzim katepsin. Konsentrasi protein enzim katepsin sampel A, B, C, dan D pada setiap fase kemunduran mutu disajikan pada Gambar 9. Rata-rata Konsentrasi Protein Enzim Katepsin (mg/ml) 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 0 5 10 15 20 Waktu Penyimpanan Suhu Ruang (Jam) 0 200 400 600 800 1000 1200 Waktu Penyimpanan Suhu Chilling (Jam) A B C D (Dipuasakan, Penyimpanan Suhu Ruang) (Tidak dipuasakan, Penyimpanan Suhu Ruang) (Dipuasakan, Penyimpanan Suhu Chilling) (Tidak dipuasakan, Penyimpanan Suhu Chilling) Gambar 9. Rata-rata nilai konsentrasi protein katepsin jeroan sampel A, B, C, dan D Aktivitas enzim katepsin jeroan ikan bandeng yang tinggi pada fase post rigor ini tentunya berkaitan erat dengan tingginya konsentrasi protein enzim katepsin dari masing-masing ikan. Konsentrasi protein enzim katepsin sampel A, B, C, dan D pada fase post rigor berturut-turut adalah 0,8658 mg/ml, 0,6603 mg/ml, 0,5655 mg/ml dan 0.6675 mg/ml. Pada penelitian ini diperoleh konsentrasi protein katepsin tertinggi pada sampel A, namun aktivitas katepsin tertinggi ditemukan pada sampel D. Hal ini diduga karena pada ekstrak kasar katepsin terdapat lebih banyak protein non enzim. Menurut Suhartono (1989) proses ekstraksi enzim yang menggunakan sentrifusi atau filtrasi untuk memisahkan enzim dan bagian-bagian non enzim akan menghasilkan enzim yang belum murni dan tercampur dengan protein lainnya, walaupun sudah bebas dari kontaminan non protein. Berdasarkan hasil uji ragam (ANOVA α=0,05) menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi kondisi ikan sebelum dipanen dan suhu penyimpanan dari masing-masing sampel A, B, C dan D memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap konsentrasi protein pada tingkat kepercayaan 95 %. Hal ini disebabkan 46 karena perlakuan sebelum ikan dipanen (dipuasakan dan tidak dipuasakan) memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada aktivitas katepsin yang akhirnya mempengaruhi konsentrasi protein enzim. Hasil uji ragam (ANOVA α=0,05) pada konsentrasi protein katepsin dengan rancangan acak kelompok juga menunjukkan bahwa fase kemunduran mutu ikan (pre rigor, rigor mortis, post rigor, busuk dan sangat busuk) dari masing-masing sampel A, B, C dan D memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap konsentrasi protein katepsin pada tingkat kepercayaan 95 %. Konsentrasi protein katepsin yang tinggi pada fase post rigor disebabkan karena pada fase ini aktivitas katepsin jeroan ikan bandeng juga mencapai titik tertinggi. 4.4 Aktivitas Kolagenase Salah satu enzim protease yang terdapat di dalam isi perut ikan adalah enzim kolagenase (Hultmann dan Rustad 2004). Secara umum kolagenase didefenisikan sebagai enzim yang mampu mendegradasi ikatan polipeptida. Aktivitas kolagenase akan mempengaruhi tekstur ikan selama waktu penyimpanan (Simpson 2000). Aktivitas enzim kolagenase sampel A, B, C. dan D disajikan pada Gambar 10. Rata-rata Aktivitas Enzim Kolagenase (U/mg) 0.10 0.08 0.06 0.04 0.02 0.00 0 5 10 15 20 Waktu Penyimpanan Suhu Ruang (Jam) 0 200 400 600 800 1000 1200 Waktu Penyimpanan Suhu Chilling (Jam) A B C D (Dipuasakan, Suhu Ruang) (Tidak dipuasakan, Suhu Ruang) (Dipuasakan, Suhu Chilling) (Tidak dipuasakan, Suhu Chilling) Gambar 10. Rata-rata nilai aktivitas enzim kolagenase jeroan sampel A, B, C, dan D 47 Berdasarkan Gambar 10 dapat dilihat bahwa aktivitas kolagenase jeroan sampel A, B, C, dan D mengalami peningkatan seiring dengan lamanya waktu penyimpanan dan mencapai titik tertinggi pada fase post rigor berturut-turut yaitu 0,0792 U/ml, 0,0667 U/ml, 0,0708 U/ml, dan 0,0708 U/ml. Aktivitas kolagenase mengalami penurunan kembali saat ikan berada pada fase busuk hingga fase sangat busuk pada penyimpanan suhu chilling. Berdasarkan hasil uji ragam (ANOVA α=0,05) menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi kondisi ikan sebelum dipanen dan suhu penyimpanan dari masing-masing sampel A, B, C dan D memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap aktivitas kolagenase pada tingkat kepercayaan 95 %. Aktivitas kolagenase jeroan tertinggi dari keempat perlakuan ditemukan pada sampel A yaitu sebesar 0,0792 U/ml. Hal ini disebabkan karena suhu penyimpanan sampel A yang lebih mendekati suhu optimum aktivitas kolagenase. Menurut Lehninger (1993) kerja enzim juga dipengaruhi oleh konsentrasi substrat dan suhu. Setiap enzim memiliki aktivitas maksimum pada suhu tertentu. Kim et al. (2002) melaporkan bahwa enzim kolagenase memiliki aktivitas optimal pada suhu 55 0C. Menurut Hadiwiyoto (1993) lapisan tengah dari kandung kemih ikan banyak mengandung kolagen yang merupakan substrat bagi aktivitas kolagenase. Hasil uji ragam (ANOVA α=0,05) juga menunjukkan bahwa fase kemunduran mutu ikan (pre rigor, rigor mortis, post rigor, busuk dan sangat busuk) dari masing-masing sampel A, B, C dan D memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap aktivitas kolagenase pada tingkat kepercayaan 95 %. Aktivitas kolagenase tertinggi terdapat pada fase post rigor. Hal itu disebabkan karena pada fase ini pH jeroan ikan berada pada pH optimum aktivitas enzim kolagenase yaitu sekitar 6,2-6,48. Menurut Simpson (2000) kolagenase memiliki aktivitas optimum pada pH 6,6 hingga 8,0 dan inaktif pada pH dibawahnya. Penelitian Kim et al. (2002) yang telah berhasil memurnikan enzim kolagenase dari organ dalam Novoden modesterus juga melaporkan bahwa enzim kolagenase memiliki aktivitas optimal pada pH 7,0-8,0. Aktivitas kolagenase mencapai titik tertinggi pada ikan bandeng yang disimpan pada suhu ruang setelah 15 jam penyimpanan yaitu fase post rigor, 48 sedangkan pada penyimpanan suhu chilling, aktivitas kolagenase tertinggi setelah 300 jam atau 23 hari penyimpanan. Suhu juga turut mempengaruhi kecepatan reaksi enzimatis. Pada suhu rendah reaksi berlangsung lambat, sedangkan pada suhu yang lebih tinggi reaksi berlangsung lebih cepat (Lehninger 1993). Pengukuran aktivitas kolagenase sangat erat kaitannya dengan konsentrasi protein enzim kolagenase. Konsentrasi protein enzim kolagenase jeroan ikan bandeng dalam kondisi kenyang dan lapar pada penyimpanan suhu ruang dan Rata-rata Konsentrasi Protein Enzim Kolagenase (mg/ml) chilling pada setiap fase kemunduran mutu disajikan pada Gambar 11. 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0 5 10 15 20 Waktu Penyimpanan Suhu Ruang (Jam) 0 200 400 600 800 1000 1200 Waktu Penyimpanan Suhu Chilling (Jam) A B C D (Dipuasakan, Suhu (Tidak dipuasakan, (Dipuasakan, Suhu (Tidak dipuasakan, Ruang) Suhu Ruang) Chilling) Suhu Chilling) Gambar 11. Rata-rata nilai konsentrasi protein enzim kolagenase jeroan sampel A, B, C, dan D Aktivitas enzim kolagenase jeroan ikan bandeng yang tinggi pada fase post rigor ini tentunya berkaitan erat dengan tingginya konsentrasi protein enzim kolagenase dari masing-masing sampel. Konsentrasi protein kolagenase sampel A, B, C, dan D pada fase post rigor secara berturut-turut adalah 0,7697 mg/ml, 0,8039 mg/ml, 0,8553 mg/ml, dan 0,7224 mg/ml. Pada penelitian ini diperoleh konsentrasi protein kolagenase tertinggi pada sampel C, namun aktivitas katepsin tertinggi ditemukan pada sampel A. Hal ini diduga karena pada ekstrak kasar katepsin terdapat lebih banyak protein non enzim. Menurut Suhartono (1989) proses ekstraksi enzim yang menggunakan sentrifusi atau filtrasi untuk memisahkan enzim dan bagian-bagian non enzim 49 akan menghasilkan enzim yang belum murni dan tercampur dengan protein lainnya, walaupun sudah bebas dari kontaminan non protein. Berdasarkan hasil uji ragam (ANOVA α=0,05) pada konsentrasi protein kolagenase dengan rancangan acak kelompok menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi kondisi ikan sebelum dipanen dan suhu penyimpanan dari masingmasing sampel A, B, C dan D memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap konsentrasi protein pada tingkat kepercayaan 95 %. Hal ini disebabkan karena perlakuan sebelum ikan dipanen (dipuasakan dan tidak dipuasakan) memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada aktivitas kolagenase yang akhirnya mempengaruhi konsentrasi protein enzim. Hasil uji ragam (ANOVA α=0,05) pada konsentrasi protein kolagenase dengan rancangan acak kelompok juga menunjukkan bahwa fase kemunduran mutu ikan (pre rigor, rigor mortis, post rigor, busuk dan sangat busuk) dari masing-masing sampel A, B, C dan D memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap konsentrasi protein kolagenase pada tingkat kepercayaan 95 %. Konsentrasi protein kolagenase yang tinggi pada fase post rigor disebabkan karena pada fase ini aktivitas kolagenase jeroan ikan bandeng juga mencapai titik tertinggi. 4.5 Hubungan Antara Aktivitas Enzim dan Parameter Kesegaran Ikan Mutu ikan dapat diketahui dengan melakukan uji subjektif (organoleptik) dan uji objektif (TVB, TPC dan pH). Parameter-parameter kesegaran tersebut memiliki keterkaitan selama proses kemunduran mutu ikan bandeng berlangsung. Hubungan antar parameter kesegaran ikan untuk setiap perlakuannya (sampel A, B, C, dan D) dapat dilihat pada Gambar 12, 13, 14 dan 15. Gambar 12, 13, 14 dan 15 menunjukkan parameter kemunduran mutu seperti nilai organoleptik, pH, TVB, dan TPC memiliki korelasi dengan aktivitas enzim. Nilai organoleptik sampel A, B, C, dan D akan mengalami penurunan dengan meningkatnya waktu penyimpanan. Pada awal penyimpanan ikan dalam kondisi segar yang ditunjukkan dengan nilai organoleptik tertinggi yaitu 9 dan berangsur-angsur mengalami berbagai macam perubahan selama penyimpanan yang akhirnya ikan membusuk dan mencapai nilai organoleptik terendah yaitu 1. 0.02 0.00 6 4 4 2 2 0 0 8 8 6 6 4 4 2 2 180 0.6 160 140 120 100 80 60 40 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 20 0 0 0 5 10 15 0 0.0 20 Waktu Penyimpanan Suhu Ruang (Jam) Rata-rata Nilai Organoleptik Ikan Bandeng Utuh Rata-rata Nilai Organoleptik Isi Perut (Jeroan) Rata-rata Nilai pH Rata-rata Nilai TVB (mg N/100 g) Rata-rata Nilai Log TPC (CFU/ml) Rata-rata Aktivitas Katepsin (U/ml) Rata-rata Aktivitas Kolagenase (U/ml) 0.00 6 4 2 0 4 2 0 10 8 8 6 6 4 4 2 2 0 250 0 0 5 10 15 200 150 100 50 0 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 Rata-rata Aktivitas katepsin (U/ml) 6 10 Rata-rata Nilai TVB (mg N/100 g) 0.02 8 Rata-rata Nilai Organoleptik Isi Perut (Jeroan) 0.04 8 Rata-rata Nilia pH 0.06 Rata-rata Nilai Log TPC (CFU/ml) Rata-rata Aktivitas kolagenase (U/ml) 0.08 Rata-rata Nilai Organoleptik Ikan Bandeng Utuh Gambar 12. Hubungan antara aktivitas enzim dan parameter kesegaran sampel A 0.0 20 Waktu Penyimpanan Suhu Ruang (Jam) Rata-rata Nilai Organoleptik Ikan Bandeng Utuh Rata-rata Nilai Organoleptik Isi Perut (Jeroan) Rata-rata Nilai pH Rata-rata Nilai TVB Rata-rata Nilai TPC Rata-rata Aktivitas Katepsin (U/ml) Rata-rata Aktivitas Kolagenase (U/ml) Gambar 13. Hubungan antara aktivitas enzim dan parameter kesegaran sampel B Aktivitas katepsin (U/ml) 0.04 6 10 Rata-rata Nilai TVB (mg N/100 g) 0.06 8 Rata-rata Nilai pH 0.08 10 Rata-rata Nilai Organoleptik Isi Perut (Jeroan) 8 10 Rata-rata Nilai Log TPC (CFU/ml) Aktivitas kolagenase (U/ml) 0.10 Rata-rata Nilai Organoleptik Ikan Bandeng Utuh 50 51 0.04 0.03 0.02 6 4 4 2 2 0.01 0.00 0 8 8 6 6 4 4 2 2 0 0 250 0.6 200 150 100 50 200 400 600 800 1000 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 0 0.7 0 0.0 1200 Waktu Penyimpanan Suhu Chilling (Jam) Rata-rata Nilai Organoleptik Ikan Bandeng Utuh Rata-rata Nilai Organoleptik Isi Perut (Jeroan) Rata-rata Nilai pH Rata-rata Nilai TVB (mg N/100g) Rata-rata Nilai TPC (CFU/ml) Rata-rata Aktivitas Katepsin (U/ml) Rata-rata Aktivitas Kolagenase (U/ml) Gambar 14. Hubungan antara aktivitas enzim dan parameter kesegaran sampel C 0.04 0.03 6 4 4 2 2 0.02 0.01 0 0 8 8 6 6 4 4 2 2 0 180 0 0 200 400 600 800 1000 1.2 160 140 120 100 80 60 40 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 20 0 1200 Waktu Penyimpanan Suhu Chilling (Jam) Rata-rata Nilai Organoleptik Ikan Bandeng Utuh Rata-rata Nilai Organoleptik Isi Perut (Jeroan) Rata-rata Nilai pH Rata-rata Nilai TVB (mg N/100 g) Rata-rata Nilai TPC (CFU/ml) Rata-rata Aktivitas Katepsin (U/ml) Rata-rata Aktivitas Kolagenase (U/ml) Gambar 15. Hubungan antara aktivitas enzim dan parameter kesegaran sampel D 0.0 Rata-rata Aktivitas Katepsin (U/ml) 0.05 6 Rata-rata Nilai pH 0.06 8 10 Rata-rata Nilai TVB (mg N/100 g) 0.07 10 Rata-rata Nilai Organoleptik Isi Perut (Jeroan) 8 Rata-rata Nilai Organoleptik Ikan Bandeng Utuh 10 Rata-rata Nilai TPC (CFU/ml) Rata-rata Aktivitas Kolagenase (U/ml) 0.08 Rata-rata Aktivitas Katepsin (U/ml) 0.05 6 Rata-rata Nilai pH 0.06 8 10 Rata-rata Nilai TVB (mg N/100 g) 0.07 10 Rata-rata Nilai Organoleptik Isi Perut (Jeroan) 8 Rata-rata Nilai Organoleptik Ikan Bandeng Utuh 10 Rata-rata Nilai Log TPC (CFU/ml) Rata-rata Aktivitas Kolagenase (U/ml) 0.08 52 (a) (b) (c) (d) (e) (f) (g) (h) (i) (j) Gambar 16. Koefisien korelasi aktivitas enzim dan parameter kesegaran ikan fase pre rigor hingga post rigor sampel A; (a) aktivitas katepsin dan pH; (b) aktivitas katepsin dan TVB; (c) aktivitas katepsin dan TPC; (d) aktivitas katepsin dan nilai organoleptik ikan; (e) aktivitas katepsin dan nilai organoleptik jeroan; (f) aktivitas kolagenase dan pH; (g) aktivitas kolagenase dan TVB; (h) aktivitas kolagenase dan TPC; (i) aktivitas kolagenase dan nilai organoleptik ikan; (j) aktivitas kolagenase dan nilai organoleptik jeroan. 53 (a) (b) (c) (d) (e) (f) (g) (h) (i) (j) Gambar 17. Koefisien korelasi aktivitas enzim dan parameter kesegaran ikan fase pre rigor hingga post rigor sampel B; (a) aktivitas katepsin dan pH; (b) aktivitas katepsin dan TVB; (c) aktivitas katepsin dan TPC; (d) aktivitas katepsin dan nilai organoleptik ikan; (e) aktivitas katepsin dan nilai organoleptik jeroan; (f) aktivitas kolagenase dan pH; (g) aktivitas kolagenase dan TVB; (h) aktivitas kolagenase dan TPC; (i) aktivitas kolagenase dan nilai organoleptik ikan; (j) aktivitas kolagenase dan nilai organoleptik jeroan. 54 (a) (b) (c) (d) (e) (f) (g) (h) (i) (j) Gambar 18. Koefisien korelasi aktivitas enzim dan parameter kesegaran ikan fase pre rigor hingga post rigor sampel C; (a) aktivitas katepsin dan pH; (b) aktivitas katepsin dan TVB; (c) aktivitas katepsin dan TPC; (d) aktivitas katepsin dan nilai organoleptik ikan; (e) aktivitas katepsin dan nilai organoleptik jeroan; (f) aktivitas kolagenase dan pH; (g) aktivitas kolagenase dan TVB; (h) aktivitas kolagenase dan TPC; (i) aktivitas kolagenase dan nilai organoleptik ikan; (j) aktivitas kolagenase dan nilai organoleptik jeroan. 55 (a) (b) (c) (d) (e) (f) (g) (h) (i) (j) Gambar 19. Koefisien korelasi aktivitas enzim dan parameter kesegaran ikan fase pre rigor hingga post rigor sampel D; (a) aktivitas katepsin dan pH; (b) aktivitas katepsin dan TVB; (c) aktivitas katepsin dan TPC; (d) aktivitas katepsin dan nilai organoleptik ikan; (e) aktivitas katepsin dan nilai organoleptik jeroan; (f) aktivitas kolagenase dan pH; (g) aktivitas kolagenase dan TVB; (h) aktivitas kolagenase dan TPC; (i) aktivitas kolagenase dan nilai organoleptik ikan; (j) aktivitas kolagenase dan nilai organoleptik jeroan. 56 Hal ini sejalan dengan aktivitas enzim katepsin dan kolagenase yang memiliki aktivitas rendah pada awal penyimpanan. Aktivitas enzim kemudian meningkat dan mencapai titik tertinggi saat ikan mencapai fase post rigor yang merupakan awal kebusukkan ikan, karena enzim akan menguraikan protein dan menghasilkan senyawa-senyawa metabolit yang menyebabkan perubahan bau, tekstur dan cita rasa ikan. Analisis korelasi linier sederhana menunjukkan bahwa aktivitas katepsin dan nilai organoleptik sampel A, B, C, dan D (r=>0,7) memiliki hubungan yang kuat satu sama lain secara linier pada fase pre rigor hingga post rigor. Koefisien korelasi linier sederhana juga menunjukkan bahwa aktivitas kolagenase dan nilai organoleptik sampel A, B, C, dan D (r=>0,7) memiliki hubungan yang sangat erat satu sama lainnya dalam proses kemunduran mutu pada fase pre rigor hingga post rigor. Hal ini menunjukkan seiring lamanya waktu penyimpanan, aktivitas enzim jeroan terus meningkat dan mencapai titik tertinggi pada fase post rigor juga diikuti dengan nilai organoleptik ikan yang semakin menurun karena enzim mendegradasi protein menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana hingga terjadi perubahan-perubahan pada ikan yang mengarah pada proses pembusukkan. Nilai organoleptik jeroan (isi perut) sampel A, B, C, dan D mengalami penurunan dengan semakin meningkatnya waktu penyimpanan. Pada awal penyimpanan jeroan sampel A, B, C, dan D memiliki nilai organoleptik 9 yang menunjukkan bahwa susunan jeroan ikan masih baik. Seiring meningkatnya waktu penyimpanan nilai organoleptik jeroan menurun hingga mencapai nilai terendah yaitu 1 yang menandakan bahwa jeroan ikan sudah rusak. Hal ini sejalan dengan aktivitas enzim katepsin dan kolagenase yang memiliki aktivitas rendah pada awal penyimpanan. Aktivitas enzim kemudian meningkat dan mencapai titik tertinggi saat ikan mencapai fase post rigor dan mulai mendegradasi jaringan sekitar perut ikan. Analisis korelasi linier sederhana menunjukkan bahwa aktivitas katepsin dan nilai organoleptik jeroan sampel A, B, C, dan D (r=>0,7) memiliki hubungan yang kuat satu sama lain secara linier pada fase pre rigor hingga post rigor. Koefisien korelasi linier sederhana juga menunjukkan bahwa aktivitas kolagenase 57 dan nilai organoleptik jeroan sampel A, B, C, dan D (r=>0,7) memiliki hubungan yang sangat erat satu sama lainnya dalam proses kemunduran mutu pada fase pre rigor hingga post rigor. Hal ini menunjukkan seiring lamanya waktu penyimpanan, aktivitas enzim jeroan terus meningkat dan mencapai titik tertinggi pada fase post rigor juga diikuti dengan nilai organoleptik jeroan yang semakin menurun karena enzim mendegradasi jaringan disekitar daerah perut hingga menyebabkan kerusakan jeroan. Ikan dikatakan masih segar jika perubahan-perubahan biokimia, mikrobiogi dan fisikawi yang terjadi belum menyebabkan kerusakan berat pada ikan. Setelah ikan mati sirkulasi darah dan suplai oksigen terhenti sehingga terjadi perubahan glikogen menjadi asam laktat. Penumpukan asam laktat menyebabkan penurunan nilai pH. Enzim katepsin selanjutnya menjadi aktif karena nilai pH yang rendah (Eskin 1990). Enzim kolagenase juga akan aktif dan mencapai titik tertinggi saat pH jeroan ikan mencapai nilai pH optimum. Analisis korelasi linier sederhana menunjukkan bahwa aktivitas katepsin dan nilai pH sampel A, B, C, dan D (r=>0,7) memiliki hubungan yang kuat satu sama lain secara linier pada fase pre rigor hingga post rigor. Aktivitas katepsin tertinggi terdapat pada sampel D saat fase post rigor dimana pH ikan paling rendah yaitu 6,2. Hal ini sejalan dengan penelitian Bihan et al. (2006) yang mengamati perubahan post mortem pada jeroan cuttlefish Sepia officinalis L. menyebutkan bahwa aktivitas enzim katepsin tertinggi terdapat pada pH paling rendah (6,285). Koefisien korelasi linier sederhana juga menunjukkan bahwa aktivitas kolagenase dan nilai pH sampel A, B, C, dan D (r=>0,7) memiliki hubungan yang sangat erat satu sama lainnya dalam proses kemunduran mutu pada fase pre rigor hingga post rigor. Hal ini menunjukkan seiring lamanya waktu penyimpanan, aktivitas enzim jeroan terus meningkat dan mencapai titik tertinggi pada fase post rigor juga diikuti dengan perubahan pH jeroan ikan yang mencapai pH optimum aktivitas enzim kolagenase. Aktivitas kolagenase tertinggi terdapat pada sampel A saat fase post rigor dimana pH jeroan 6,36 yang lebih mendekati pH optimum aktivitas enzim kolagenase. Penelitian Kim et al. (2002) yang telah berhasil memurnikan enzim kolagenase dari organ dalam Novoden modesterus 58 juga melaporkan bahwa enzim kolagenase memiliki aktivitas optimum pada pH 7,0-8,0. Park et al. (2002) yang melakukan purifikasi dan karakteristik enzim kolagenase dari organ dalam ikan Makarel (Scomber japanicus) melaporkan bahwa pH optimum aktivitas kolagenase adalah 7,5. Seiring dengan semakin lamanya waktu penyimpanan, proses kemunduran mutu ikan meningkat cepat. Nilai TVB memiliki korelasi yang cukup baik dengan perubahan sensori selama penurunan mutu atau pembusukan. Sesaat setelah ikan mati nilai TVB ikan memiliki nilai paling rendah dan terus meningkat dan mencapai titik tertinggi ketika ikan mengalami pembusukan. Menurut Ozogul (1999), peningkatan nilai TVB disebabkan oleh aktivitas autolisis enzim protease dan kegiatan bakteri pembusuk selama proses penyimpanan. Hal ini terlihat dari nilai TVB yang semakin meningkat setelah aktivitas enzim mencapai titik tertinggi, karena pada proses enzimatis, protein akan diuraikan menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana, seperti peptida, asam amino, dan amonia. Analisis korelasi linier sederhana menunjukkan bahwa aktivitas katepsin dan nilai TVB jeroan sampel A, B, C, dan D (r=>0,7) memiliki hubungan yang kuat satu sama lain secara linier pada fase pre rigor hingga post rigor. Koefisien korelasi linier sederhana juga menunjukkan bahwa aktivitas kolagenase dan nilai TVB jeroan sampel A, B, C, dan D (r=>0,7) memiliki hubungan yang sangat erat satu sama lainnya dalam proses kemunduran mutu pada fase pre rigor hingga post rigor. Hal ini menunjukkan seiring lamanya waktu penyimpanan, aktivitas enzim jeroan terus meningkat dan mencapai titik tertinggi pada fase post rigor juga diikuti dengan nilai TVB jeroan yang semakin tinggi karena enzim proteolitik menghidrolisis protein selama post mortem. Hal ini menyebabkan timbulnya akumulasi metabolit dan komponen volatil yang pada akhirnya menimbulkan kebusukan pada ikan (Bihan et al. 2006). Jumlah bakteri juga mengalami peningkatan dengan meningkatnya waktu penyimpanan. Nilai TPC semakin meningkat setelah aktivitas enzim mencapai titik tertinggi. Hal ini disebabkan karena hasil penguraian protein oleh aktivitas enzim merupakan media pertumbuhan yang baik bagi bakteri. Serangan bakteri akan meningkat setelah ikan melewati fase post rigor dimana hasil degradasi protein yang merupakan substrat hidupnya semakin banyak. Analisis korelasi 59 linier sederhana menunjukkan bahwa aktivitas katepsin dan nilai TPC jeroan sampel A, B, C, dan D (r=>0,7) memiliki hubungan yang kuat satu sama lain secara linier pada fase pre rigor hingga post rigor. Koefisien korelasi linier sederhana juga menunjukkan bahwa aktivitas kolagenase dan nilai TPC jeroan sampel A, B, C, dan D (r=>0,7) memiliki hubungan yang sangat erat satu sama lainnya dalam proses kemunduran mutu pada fase pre rigor hingga post rigor. Hal ini menunjukkan seiring lamanya waktu penyimpanan, aktivitas enzim jeroan terus meningkat dan mencapai titik tertinggi pada fase post rigor juga diikuti dengan nilai TPC jeroan yang semakin tinggi karena enzim menghidrolisis protein hingga menyebabkan timbulnya zatzat metabolit dan komponen-komponen lainnya yang merupakan substrat yang baik bagi pertumbuhan bakteri. Bihan et al. (2006) menyatakan bahwa jeroan ikan mengandung protein yang merupakan dasar terjadinya proses autolisis selama post mortem yang berhubungan erat dengan aktivitas enzim proteolitik. Fase post rigor merupakan titik awal perubahan pada ikan yang mengarah pada proses pembusukkan. Pada fase ini enzim berhubungan sangat erat secara linier dengan parameter kesegaran ikan, namun setelah ikan busuk hubungan ini tidak begitu erat. Hal ini dapat dilihat dari koefisien korelasi linier sederhana aktivitas enzim dan parameter kesegaran ikan pada fase pre rigor hingga busuk (r= <0,7) yang disajikan secara lengkap pada Tabel 7. Tabel 7. Koefisien korelasi linier sederhana aktivitas enzim dan parameter kesegaran ikan pada fase pre rigor hingga busuk sampel A sampel B sampel C sampel D Parameter Kesegaran Ikan Nilai organoleptik ikan utuh Nilai organoleptik jeroan Nilai pH Nilai TVB Nilai TPC Keterangan: 1 0,5 0,6 0,5 0,5 0,1 2 0,5 0,7 0,6 0,5 0,8 1 0,5 0,5 0,009 0,4 0,6 2 0,7 0,7 0,1 0,6 0,6 1 0,2 0,2 0,5 0,4 0,1 2 0,5 0,5 0,1 0,3 0,5 1 0,2 0,2 0,1 0,07 0,3 2 0,5 0,5 0,1 0,4 0,5 (1) koefisien korelasi (r) aktivitas enzim katepsin (2) koefisien korelasi (r) aktivitas enzim kolagenase Berdasarkan Tabel 7 dapat dilihat bahwa setelah fase post rigor, zat-zat metabolit hasil degradasi protein oleh enzim mulai terakumulasi pada ikan dan 60 ikan dinyatakan busuk, aktivitas enzim dan parameter kesegaran ikan memiliki hubungan yang sudah tidak erat. Perubahan-perubahan pada ikan selanjutnya lebih banyak disebabkan oleh aktivitas bakteri, karena aktivitas enzim menghasilkan substrat yang baik bagi pertumbuhan bakteri pembusuk. Koefisien korelasi linier sederhana sampel A (tabel 7) menunjukkan pada sampel A (dipuasakan, penyimpanan suhu ruang) ditemukan aktivitas kolagenase dan nilai TPC masih menunjukkan hubungan yang sangat erat dalam proses kemunduran mutu secara linier hingga ikan berada pada fase busuk (r= >0,7). Tingginya jumlah bakteri ini diduga karena pada fase busuk, sampel A memiliki pH (6,92) yang memungkinkan kolagenase masih memiliki aktivitas (pH optimum kolagenase adalah 7,5). Hal ini menunjukkan bahwa hingga fase busuk aktivitas kolagenase masih memiliki peran penting dalam proses kemunduran mutu. 61 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Hasil penentuan fase post mortem sampel A dan B selama 19 jam penyimpanan dengan interval waktu pengamatan satu jam diperoleh kondisi pre rigor, rigor mortis, post rigor, dan busuk secara berturut-turut terjadi pada jam penyimpanan ke-0, 10, 15 dan 19. Sampel C dan D dengan penyimpanan suhu chilling selama 971 jam (41 hari) dengan interval waktu pengamatan 12 jam diperoleh pre rigor, rigor mortis, post rigor, busuk, dan sangat busuk secara berturut-turut pada jam penyimpanan ke-0, 84, 300, 540 dan 971. Pola kemunduran mutu ikan bandeng dari fase pre rigor hingga ikan busuk berlangsung lebih cepat pada penyimpanan suhu ruang dari pada penyimpanan suhu chilling. Aktivitas katepsin jeroan tertinggi ditemukan pada sampel D (tidak dipuasakan, penyimpanan suhu chilling) saat fase post rigor yaitu sebesar 1,1071 U/m, sedangkan aktivitas kolagenase jeroan tertinggi pada sampel A (dipuasakan, penyimpanan suhu ruang) saat fase post rigor yaitu sebesar 0,0792 U/ml. Berdasarkan hasil uji ragam (ANOVA) diketahui bahwa perlakuan kombinasi kondisi ikan sebelum dipanen dan suhu penyimpanan dari masingmasing sampel A, B, C dan D memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95 % terhadap aktivitas katepsin dan kolagenase. Hasil uji ragam (ANOVA α=0,05) dengan rancangan acak kelompok juga menunjukkan bahwa fase kemunduran mutu ikan (pre rigor, rigor mortis, post rigor, busuk dan sangat busuk) dari masing-masing sampel A, B, C dan D memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap aktivitas katepsin dan kolagenase pada tingkat kepercayaan 95 %. Analisis korelasi linier sederhana menunjukkan bahwa aktivitas enzim (katepsin dan kolagenase) dan parameter kesegaran ikan (nilai organoleptik, pH, TVB dan TPC) memiliki hubungan yang sangat erat (r=>0,7) secara linier dalam proses kemunduran mutu dari fase pre rigor hingga post rigor dan tidak erat (r=<0,7) pada fase busuk dan sangat busuk. 62 5.2 Saran Berdasarkan hasil penelitian diatas, maka disarankan : 1. menentukan aktivitas enzim lainnya yang berperan dalam perubahan post mortem 2. menentukan aktivitas enzim yang berperan dalam perubahan post mortem pada ikan bandeng dengan ukuran ikan yang berbeda 3. menentukan aktivitas enzim dalam perubahan post mortem dari jenis ikan lain 4. penggunaan inhibitor enzim untuk menghambat kemunduran mutu. 63 DAFTAR PUSTAKA [Anonim]. 2006. Jeroan ikan. http://www.google.com. [04 Juli 2008]. [Anonim]. 2008. Ikan bandeng-image. http://www.google-image.com. [10 Mei 2008]. Affandi R, Syafei DS, Rahardjo MF, Sulistiono. 2005. Fisiologi ikan. Bogor: Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Atjo dan Syahrun . 2005. Ikan bandeng potensial dibudidayakan dalam KJA di laut. www.dkp.go.id . [05 April 2008]. Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati Y, Budianto S. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor. Apriyanti M. 2007. Peranan inhibitor katepsin dalam menghambat proses kemunduran mutu ikan nila (Oreochromis niloticus). [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bihan Estelle L, Zatylny C, Perrin A, Koueta N. 2006. Post mortem in viscera of Cuttlefish Sepia officinalis L. during storage at two different temperatures. Food Chemistry 98: 39-51. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. Standar Nasional Indonesia 01-2345.2006. Uji Organoleptik Ikan Segar. Jakarata: Badan Standarisasi Nasional Indonesia. Bradford MM. 1976. A rapid and sensitive for the quantitation of mocrogram quantities of protein utilization the principles of protein-dye binding. Analytical Biochemistry 72: 248-254. Bramsted F, Auerbach M. 1961. The spoilage of-fresh-water fish. Di dalam: Fish as Food Vol. 1. Borgstorm G, editor. New York: Academic Press. Chung L, Dinakarpandian D, Yoshida N, Laurel-Fields JL, Fields GB, Visse R, Nagase H. 2004. Collagenase unwinds triple helical collagen prior to peptide bond hydrolysis. EMBO Journal 23: 3020-3030. Dinu D, Dumitru IF, Nichifor MT. 2002. Isolation and characterization of two chatepsins from muscle of Carasiuss auratus gibelio. Romania: Faculty of Biology, Universitay of Bucharest, 91-95 Spl. Independentei , 76201 Bucharest. 64 Ditjen Perikanan Tangkap. 2007. Kebijakan dan program prioritas tahun 2008. Makalah disampaikan dalam Rakornas Departemen Kelautan dan Perikanan tahun 2007. Departemen Kelautan dan Perikanan. http://bp2tp.litbang.deptan.go.id. [05 Juli 2008]. Ditjen Perikanan Budidaya. 2007. Kebijakan dan program prioritas tahun 2008. Makalah disampaikan dalam Rakornas Departemen Kelautan dan Perikanan tahun 2007. Departemen Kelautan dan Perikanan. http://bp2tp.litbang.deptan.go.id. [05 Juli 2008]. Eskin NAM. 1990. Biochemistry of Foods. Second edition. San Diegor Academic Press. Inc. Farber L. 1965. Freshness Test. Borgstorm G, editor. Di Dalam: Fish as Food Vol IV. New York: Academic Press. Fardiaz S. 1987. Penuntun Praktek Mikrobiologi Pangan. Bogor: LSI. IPB. [FAO] Food and Agriculture Organization. 1995. Quality and quality changes in fresh fish. Hush HH, editor. Rome: FAO Fisheris Technical Paper No.331.75 pp. 0-65. Gildberg A . 1978. Proteolytic activity and the frequency of burst bellies in Capelin. J. Fd. Technol 13: 409-416. Gill Tom. 2000. Nucleotide-Degrading Enzymes. Di dalam: Haard NF dan Simpson BK, editor. Seafood Enzymes Utilization and Influence on Postharvest Seafood Quality. New York: Marcel Dekker, Inc. Hlm 191207. Gopakumar K. 2000. Enzymes and Enzymes Product as Quality Indices. Di dalam: Haard NF dan Simpson BK, editor. Seafood Enzymes Utilization and Influence on Postharvest Seafood Quality. New York: Marcel Dekker, Inc. Hlm 337-363. Hadiwiyoto S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan Jilid I. Jakarta: Liberty. Hames D dan Hooper N. 2005. Biochemistry Third edition. Leeds UK: University of Leeds. Hultmann L, dan Rustad T. 2004. Iced storage of Atlantic salmon (Salmon salar)effects on endogenous enzymes and their impact on muscle proteins and texture. Food chemistry 87: 31-41. Ibrahim B, Salamah E. 1991. Pengaruh glukosa dan garam dalam fermentasi bakteri asam laktat jeroan ikan tuna (Thunnus sp.). [laporan penelitian]. 65 Bogor: Jurusan Pengolahan Hasil Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Ilyas S. 1983. Teknologi Refrigrasi Hasil Perikanan. Jakarta: CV. Paripurna. Jiang ST. 2000. Enzymes and Their Effects on Seafood Texture. Di dalam: Haard NF dan Simpson BK, editor. Seafood Enzymes Utilization and Influence on Postharvest Seafood Quality. New York: Marcel Dekker, Inc. Hlm 411-450. Karungi C, Byaruhanga YB, Muyonga JH. 2003. Effect of pre-icing duration on quality deterioration of iced nile perch (Lates niloticus). J. Food Chemistry 85: 13-17. Kim S, Park P, Kim J, Shahidi F. 2002. Purification and characterization of the collagenase from the tissue of filefish, Novoden modestrus. Journal of Biochemistery and Molecular Biology 35 (2): 165-171. Kreuzer R. 1965. The Technology of Fish Utilization. England: Fishing News (Books) Ltd. Ludgate House 110 Fleet Street London EC4. Ladrat CD, Bagnis VV, Noel J, Fleurence J. 2004. Relative contribution of calpain and cathepsin to protein degradation in muscle sea bass (Dicentrarcus Labrax L.). J. Food Chemistry 88: 389-395. Lan NT, Dallsgaard A, Cam PD, Mara D. 2007. Microbiological quality of fish grown in wastewater-fed and non wastewater-fed fishpond in Hanoi, Vietnam: influence of hygiene practices in local retail markets. J. Water and Health 5: 209-218. Lawrie RA. 1985. Meat Science. 4th Edition. Lowa: MC Brown Comp. Publisher. Lehninger AL. 1993. Dasar-dasar Biokimia Jilid I. Thenawidjaya M, penerjemah. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari : The Foundations of Biochemistry. Lestari SD. 2005. Analisis sifat fisika, kimiawi, dan rheologi gelatin kulit hiu gepeng (Alopis sp.) dengan penambahan MgSO4, sukrosa dan gliserol. [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Martinez . 2006. The Search for causes of belly bersting in pelagic fish. www.sintef.com . [05 April 2008]. Mudjiman. 1983. Budidaya Ikan Bandeng di Tambak. Jakarta: Penebar Swadaya. Naiola E, Widhiyastuti N. 2007. Semi purifikasi dan karakteristik enzim protease Bacillus sp. Journal Berk Penel Hayati 13: 51-56. 66 Nutrition Data. 2007. Nutrition Raw Milkfish. http://www.nutritiondata.com. [05 April 2008]. Ozogul F. 1999. Comparison of methods used for determination of total volatile basic nitrogen (TVB-N) in rainbow trout (Oncorhynchus mykiss). Turk J. Zool 24:113-120. Park PJ, Lee SH, Byun HG, Kim SH, Kim SK. 2002. Purification and characteristization of a collagenase from the Mackerel, Scomber japonicus. Journal of Biochemistry and Moleculer Biology 35 (6): 576682. Price JF, Schweigert BS. 1971. The Science of Meat and Meat Product. San Fransisco: W.H Freeman and Company. Ratna. 2001. Usaha Perikanan Di Indonesia. Jakarta: Mutiara Sumber Widya. Robb D. 2002. The Killing of Quality: The Impact of Slaughter Procedures on Fish Flesh. Dalam Alasalvar C dan Taylor T (eds): Seafood-Quality, Technology and Nutraceutical Applications. New York. Springer. Hal 7. Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Jakarta: Bina Cipta. Saito M, Sato K, Kunisaki N, Kimura S. 2000. Characterization of a rainbow trout matrix metalloproteinase capable of degrading type I collagen. Journal Biochem 267 : 6943-6950. Sentandreu MA, Aubry L, Ouali A. 2003. Purification of bovine cathepsin B: proteomic characterization of the different forms and production of specific antibodies. Journal Biochem, Cell Biol 1: 317-326. Shahidi F, Botta JR. 1994. Seafood: Chemistry, Processing Technology and Quality. Glasgow: Blackie Academic and Professional. Sikorski ZE dan Kolakowski ZE. 2000. Endegenous Enzymes Activity and Seafood Quality: Influence of Chilling, Freezing, and Other Environmental factors. Di dalam: Haard NF dan Simpson BK, editor. Seafood Enzymes Utilization and Influence on Postharvest Seafood Quality. New York: Marcel Dekker, Inc. Hlm 451-487. Simpson BK. 2000. Digestives Proteinases from Marine Animals. Di dalam: Haard NF dan Simpson BK, editor. Seafood Enzymes Utilization and Influence on Postharvest Seafood Quality. New York: Marcel Dekker, Inc. Hlm 191-207. Snedecor GW dan Cochran WG. 1967. Statistical Methods. New Delhi: Oxford and IBH Publishing Co. 67 Steel RGD, Torrie JH. 1989. Prinsip dan Prosedur Statistika. Suatu Pendekatan Biometrik. Sumantri B, penerjemah. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari : The Principle and Procedure of Statistic. A Biometrics Approach. Suhartono MT. 1989. Enzim Dan Bioteknologi. Bogor: Departemen pendidikan Dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. Susanto . 2006. Budidaya Ikan Di Pekarangan. Jakarta: Penebar Swadaya. Warta Penelitian Perikanan Budidaya. (2005). Budidaya ikan kaya gizi. www.google.com . [05 April 2008]. Wang D, Jang T, Correia L.R, Gill T.A.1998. Postmortem changes of cultivated atlantic Salmon and their effects on salt uptake. Journal of Food Science. Vol 63. No.4: 635. 68 69 Lampiran 1a. Format uji organoleptik ikan segar (SNI 01-2346-2006) Nama Panelis : Tanggal : Cantumkan kode contoh pada kolom yang tersedia sebelum melakukan pengujian. Berilah tanda V pada nilai yang dipilih sesuai kode contoh yang diuji. Spesifikasi Nilai Kode contoh 1 A. 1. - Kenampakan Mata Cerah, bola mata menonjol, kornea jernih. Cerah, bola mata rata, kornea jernih. Agak cerah, bola mata rata, pupil agak keabu-abuan, kornea agak keruh. - Bola mata agak cekung, pupil berubah keabu-abuan, kornea agak keruh. - Bola mata agak cekung, pupil keabu-abuan, kornea agak keruh. - Bola mata cekung, pupil mulai berubah menjadi putih susu, kornea keruh. - Bola mata sangat cekung, kornea agak kuning. 2. Insang - Warna merah cemerlang, tanpa lendir. - Warna merah kurang cemerlang, tanpa lendir. - Warna merah agak kusam, tanpa lendir. - Merah agak kusam, sedikit lendir. - Mulai ada perubahan warna, merah kecoklatan, sedikit lendir, tanpa lendir. - Warna merah coklat, lendir tebal. - Warna merah coklat ada sedikit putih, lendir tebal. 3. Lendir permukaan badan - Lapisa lendir jernih, transparan, mengkilat cerah, belum ada perubahan warna. - Lapisan lendir jernih, transparan, cerah, belum ada perubahan warna. - Lapisan lendir mulai agak keruh, warna agak putih, kurang transparan. - Lapisan lendir mulai keruh, warna putih agak kusam, kurang transparan. - Lendir tebal menggumpal, mulai berubah warna putih, keruh. - Lendir tebal menggumpal, warna putih kuning. - Lendir tebal menggumpal, warna kuning kecoklatan 9 8 7 6 5 3 1 9 8 7 6 5 3 1 9 8 7 6 5 3 1 2 3 4 5 70 4. Daging (warna dan kenampakan) - Sayatan daging sangat cemerlang, spesifik jenis, tidak ada perubahan sepanjang tulang belakang, dinding perut daging utuh. - Sayatan daging cemerlang, spesifik jenis, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang, dinding perut utuh. - Sayatan daging sedikit kurang cemerlang, spesifik jenis, tidaka ada pemerahan sepanjang tulang belakang, dinding perut daging utuh. - Sayatan daging mulai pudar, banyak pemerahan sepanjang tulang belakang, dinding perut lunak. - Sayatan daging kusam, warna merah jelas sekali sepanjang tulang belakang, dinding perut lunak. - Sayatan daging kusam sekali, warna merah jelas sekali sepanjang tulang belakang, dinding perut sangat lunak. II. Bau - Bau sangat segar, spesifikasi jenis. - Segar, spesifik jenis. - Netral. - Bau amoniak mulai tercium, sedikit bau asam. - Bau amoniak kuat, ada bau H2S, bau asam jelas dan busuk. - Bau busuk jelas. III. Tekstur - Padat, elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang belakang. - Agak padat, elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang belakang. - Agak padat, agak elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang belakang. - Agak lunak, kurang elastis bila ditekan dengan jari, agak mudah menyobek daging dari tulang belakang. - Lunak, bekas jari terlihat bila ditekan, mudah menyobek daging dari tulang belakang. - Sangat lunak, bekas jari tidak hilang bila ditekan, mudah sekali menyobek daging dari tulang belakang. 9 8 7 5 3 1 9 8 7 5 3 1 9 8 7 5 3 1 71 Lampiran 1b. Format uji organoleptik dinding perut dan isinya (Intestine) Score sheet organoleptik dinding perut dan isinya (Intestine) ikan segar (Laporan Penelitian Lembaga Teknologi Perikanan, No.2 (1973) diacu dalam Ilyas (1983)) Nama Panelis : Tanggal : Cantumkan kode contoh pada kolom yang tersedia sebelum melakukan pengujian. Berilah tanda V pada nilai yang dipilih sesuai kode contoh yang diuji. Spesifikasi - - Susunan isi perut teratur, kompak, cemerlang, amis segar, selaput hitam mengkilat, lekat erat, dinding perut merah muda (pink) perak cemerlang. Gejala seperti diatas tetapi mulai redup. Susunan berubah, amis keras, selaput keabu-abuan, mudah lepas, redup. Bau amis rancid, pucat, selaput abu-abu, mudah lepas. Susunan tidak teratur, pucat, bau amis alkali, dinding lembek, rusak menonjol. Bau rancid-alkali keras, dinding perut mudah rusak. Susunan hancur berantakan, busuk, tulang rusuk lepas dan dinding. Nilai 9 8 7 6 5 3 1 Kode contoh 1 2 3 4 5 72 Lampiran 2a. Bahan-bahan untuk ekstraksi enzim katepsin (Dinu et al. 2002) 1. Buffer Tris-HCl 0,1 M (pH 7,4) Tris base (Mr = 121,14) sebanyak 12,114 gram dilarutkan ke dalam 995 ml akuades. Lalu ditepatkan pH nya hingga 7,4 dengan penambahan HCl pekat (1 N) sedikit demi sedikit. Kemudian ditepatkan volumenya hingga satu liter. Lampiran 2b. Bahan-bahan untuk ekstraksi enzim kolagenase (Moore dan Stein (1954) diacu dalam Kim et al. (2002)) 1. Buffer Tris-HCl 100 mM (pH 8,0) yang terdiri dari 0,25 % Triton-X 100 dan 10 mM CaCl2 Tris base (Mr = 121,14) sebanyak 12,114 gram ditambah 1,4702 gram CaCl2 dan 2,5 ml Triton-X 100 dilarutkan ke dalam 995 ml akuades. Lalu ditapatkan pH nya hingga 8,0 dengan penambahan HCl (4 N) pekat sedikit demi sedikit. Kemudian ditepatkan volumenya hingga satu liter. 2. Buffer Tris-HCl 20 mM (pH 8,0) yang terdiri dari 0,36 mM CaCl2 Tris base (Mr = 121,14) sebanyak 2,4228 gram ditambah 0,0529 gram CaCl2 dilarutkan ke dalam 995 ml akuades. Lalu ditapatkan pH nya hingga 8,0 dengan penambahan HCl (4 N) pekat sedikit demi sedikit. Kemudian ditepatkan volumenya hingga satu liter. Lampiran 2c. Bahan-bahan untuk pengukuran aktivitas enzim katepsin (Dinu et al. 2002) 1. Hemoglobin 2 % dengan pH 2,0 Hemoglobin 8 % sebanyak 50 ml dilarukan ke dalam 145 ml akuades (perbandingan hemoglobin : akuades adalah 1:3). Kemudian pH dibuat menjadi 2,0 dengan penambahan HCl 1 N dan volume akhir ditepatkan menjadi 150 ml. 2. TCA 5 % Sebanyak 5 gram TCA dilarutkan diacu dalam akuades hingga volume akhir 100 ml. 73 Lampiran 2d. Bahan-bahan untuk pengukuran aktivitas enzim kolagenase (Moore dan Stein (1954) diacu dalam Park et al. (2002)) 1. Buffer Tris-HCl 0,05 M pH 7,5 yang terdiri dari 5 mM CaCl2 Tris base sebanyak 6,057 gram ditambahkan CaCl2 sebanyak 1,4702 gram. Kemudian bahan tersebut dilarutkan ke dalam 995 ml akuades. Lalu ditepatkan pH nya hingga 7,5 dengan penambahan HCl pekat sedikit demi sedikit. Kemudian ditepatkan volumenya hingga satu liter. 2. Tirosin standar Tirosin sebanyak 0,2 g dilarutkan ke dalam 220 ml buffer Trsi-HCl 0,2 M pH 8,0. Selanjutnya larutan diaduk perlahan dengan magnetic stirrer. Larutan ini disimpan pada suhu 0-4 0C dan dapat digunakan selama satu minggu. 3. Asam trikloro asetat (TCA) 50 % (w/v) Sebanyak 50 gram TCA dilarutkan dalam akuades hingga volume akhirnya 100 ml. Selanjutnya diaduk dengan magnetic stirrer hingga larut dan disimpan pada suhu 0-4 0C. 4. Larutan nynhydrin 0,1 % (w/v) Sebanyak 0,1 gram larutan nynhidrin dilarutkan dalam akuades hingga volume akhirnya 100ml. Selanjutnya diaduk dengan magnetic stirrer hingga larut dan disimpan pada suhu 0-4 0C. 5. 1-propanol 50 % (v/v) Sebanyak 50 ml 1-propanol dilarutkan dalam akuades hingga volume akhirnya sebanyak 100 ml. Selanjutnya diaduk dengan magnetic stirrer hingga larut dan disimpan pada suhu 0-4 0C. 74 Lampiran 3. Hasil pengujian tingkat kesegaran ikan bandeng pada penentuan pola kemunduran mutu Sa mp el A 1 2 Pre Rigor 3 4 5 1 2 Rigor Mortis 3 4 9 9 6,82 11,5 9 3,69 8 7 6,70 B 9 9 6,53 14,2 8 3,82 8 7 C 9 9 6,82 11,5 9 3,69 8 D 9 9 6,53 14,2 8 3,82 6 Post Rigor 3 4 5 1 2 38,92 4,82 6 5 6,36 6,44 48,44 4,87 6 5 8 6,60 54,6 4,86 5 7 6,33 53,2 5,16 5 Keterangan : A = Dipuasakan, Suhu Ruang Bandeng Utuh B = Tidak dipuasakan, Suhu Ruang (Jeroan) C = Dipuasakan, Suhu Chilling D = Tidak dipuasakan, Suhu Chilling Busuk 3 4 5 1 2 66,36 6,77 3 3 6,92 6,27 66,36 6,87 3 3 7,19 5 6,48 82,04 6,77 3 3 7,2 5 6,2 82,6 6,88 3 3 7 Nilai Organoleptik 1= Rata-rata 5 Sangat Busuk 2 3 4 5 1 6 5 , 2 1 9 8 , 8 1 1 2 7 , 7 8 , 1 9 1 1 7 , 4 1 0 9 , 2 7 , 8 6 1 1 7 , 3 7 , 4 2 Ikan 2= Rata-rata Nilai Organoleptik Isi Perut 3= Rata-rata Nilai pH 4= Rata-rata Nilai TVB (mg N/100 g) 5= Rata-rata Nilai Log TPC (CFU/ml) 1 1 9 8 , 8 1 6 5 , 2 8 , 9 9 9 75 Lampiran 4. Hasil pengujian aktivitas enzim selama kemunduran mutu 1. Ssampel A B C D Sampel A B C D Hasil pengujian aktivitas enzim katepsin Pre Rigor Rigor Mortis Post Rigor Aktifitas Konsent Aktifitas Konsentra Aktifitas Konsentr (U/ml) rasi (U/ml) si Protein (U/ml) asi Protein (mg/ml) Protein (mg/ml) (mg/ml) 0,3066 0,2317 0,4821 0,5537 0,5714 0,8658 0,1964 0,1911 0,3571 0,5118 0,5 0,6603 0,3036 0,2408 0,3393 0,4371 0,6607 0,5655 0,1964 0,2568 0,625 0,4456 1,1071 0,6675 2. Hasil pengujian aktivitas enzim kolagenase Pre Rigor Aktifita Konsentra s (U/ml) si Protein (mg/ml) 0,0208 0,0208 0,0125 0,0208 Rigor Mortis Aktifitas Konsentras (U/ml) i Protein (mg/ml) Post Rigor Aktifitas Konsentras (U/ml) i Protein (mg/ml) 0,3566 0,0375 0,5355 0,0792 0,3408 0,0417 0,6816 0,0667 0,3276 0,0333 0,5066 0,0708 0,3526 0,0375 0,5961 0,0708 Keterangan : A = Dipuasakan, Suhu Ruang B = Tidak dipuasakan, Suhu Ruang 0,7697 0,8039 0,8553 0,7224 C D Aktifitas (U/ml) Busuk Konsentra si Protein (mg/ml) 0,5 0,3929 0,5357 0,6964 Aktifitas (U/ml) 0,0583 0,0583 0,0542 0,05 0,6998 0,5685 0,5085 0,5111 Busuk Konsentras i Protein (mg/ml) 0,4579 0,5329 0,4461 0,4868 Sangat Busuk Aktifitas Konsentra (U/ml) si Protein (mg/ml) 0,0464 0,3166 0,0538 0,2602 Sangat Busuk Aktifitas Konsent (U/ml) rasi Protein (mg/ml) 0,0375 0,0417 = Dipuasakan, Suhu Chilling = Tidak dipuasakan, Suhu Chilling 0,4316 0,4171 76 Lampiran 5. Kurva standar penentuan konsentrasi protein (1) Penentuan konsentrasi protein enzim katepsin (a) Standar BSA (ekstrak kasar enzim katepsin) Konsentrasi 0.025 0.05 0.075 0.1 0.125 0.15 0.175 0.2 0.225 0.25 Absorbansi 0.011 0.035 0.0421 0.063 0.075 0.089 0.093 0.097 0.145 0.153 (b) Kurva standar BSA (ekstrak kasar enzim katepsin) Contoh perhitungan konsentrasi protein akstrak kasar enzim katepsin : Y = 0.588X - 0 0.1315 = 0.588X - 0.000 X = 0.1315+0.000 0. 588 = 0.2236 77 (2) Penentuan konsentrasi protein enzim kolagenase (a) Standar BSA (ekstrak kasar enzim kolagenase) Konsentrasi 0.025 0.05 0.075 0.1 0.125 0.15 0.175 0.2 0.225 0.25 Absorbansi 0.0211 0.043 0.063 0.078 0.085 0.089 0.097 0.103 0.109 0.115 (b) Kurva standar BSA (ekstrak kasar enzim kolagenase) Contoh perhitungan konsentrasi protein akstrak kasar enzim katepsin : Y = 0.380X + 0.028 0.1650 = 0.380X + 0.028 X = 0.1650 - 0.028 0.380 = 0.3605 78 Lampiran 6. Dokumentasi Kondisi Jeroan Sampel Bandeng Pemecahan perut a. Sampel C b. Sampel D Kondisi isi perut (1) Sampel A a. Fase pre rigor b. Fase rigor mortis c. d. Fase post rigor Fase busuk (2) Sampel B a. Fase pre rigor b. Fase rigor mortis 79 c. Fase post rigor d. Fase busuk (3) Sampel C a. Fase pre rigor b. Fase rigor mortis c. Fase post rigor d. fase busuk e. Fase sangat busuk 80 (4) Sampel D a. Fase pre rigor b. Fase rigor mortis c. Fase post rigor d. Fase busuk e. Fase sangat busuk 81 Lampiran 7. Hasil analisis dan uji statistik (ANOVA) 1. pH Tabel Sidik Ragam SK db JK KT F Model 7 5,8758 0,8394 20,78 Galat 28 1,1309 0,0403 Total 35 7,0068 SK Perlakuan Kelompok db 3 4 JK 0,2410 5,7234 KT 0,0803 1,4308 Pr>F <,0001 F 1,99 35,42 Pr>F 0,1385 <.0001* 2. TVB SK Model Galat Total SK Perlakuan Kelompok db 7 28 35 db 3 4 Tabel Sidik Ragam JK KT 122287,6137 17469,6591 12180,6199 435,0221 134468,2336 JK KT 1772,2827 7609,7609 120205,0590 30051,2647 F 40,16 Pr>F <,0001 F 1,36 69,08 Pr>F 0,2759 <.0001* 3. TPC SK Model Galat Total db 7 28 35 SK Perlakuan Kelompok 3 4 db Tabel Sidik Ragam JK KT 122,6005 17,5143 3,7882 0,1352 126,3887 JK 0,7003 115,7929 KT 0,2334 28,9482 F 129,45 F 1,73 213,97 Pr>F <,0001 Pr>F <.0001* <.0001* 4. Aktivitas katepsin SK Model Galat Total SK Perlakuan Kelompok db 7 28 35 db 3 4 Tabel Sidik Ragam JK KT 0,0500 0,0071 0,0868 0,0031 0,1369 JK 0,0296 0,0204 KT 0,0098 0,0051 F Pr>F <,0001 F Pr>F 0,0392* <.0001* 2,31 3,18 1,65 82 5. Konsentrasi protein katepsin SK Model Galat Total SK Perlakuan Kelompok db 7 28 35 db 3 4 6. Aktivitas kolagenase Tabel Sidik Ragam SK db Model 7 Galat 28 Total 35 SK db Perlakuan 3 Kelompok 4 Tabel Sidik Ragam JK KT 1,7537 0,2505 0,2250 0,0080 1,9787 JK 0,2025 1,3435 JK 0,0153 0,0128 0,0282 JK 0,0037 0,011 7. Konsentrasi protein kolagenase Tabel Sidik Ragam SK db JK Model 7 0,9091 Galat 28 0,0869 Total 35 0,9960 SK Perlakuan Kelompok Keterangan: SK db JK KT Perlakuan Kelompok * db 3 4 JK 0,0186 0,8762 KT 0,0675 0,3358 KT 0,0021 0,0004 KT 0,0012 0,0028 KT 0,1298 0,0031 KT 0,0062 0,2190 F 31,18 Pr>F <,0001 F 8,40 41,80 F Pr>F 0,0004* <.0001* Pr>F 0,0012 4,79 F 2,74 6,17 F 41,82 F 2,00 70,54 Pr>F 0,0497* 0,0011* Pr>F <,0001 Pr>F 0,0276* <.0001* : sumber keragaman : derajat bebas : jumlah kuadrat : kuadrat tengah : kombinasi kondisi ikan sebelum dipanen dan suhu penyimpanan : fase kemunduran mutu (pre rigor, rigor, post rigor, busuk dan sangat busuk) : berbeda nyata