PERANAN ENZIM PROTEASE JEROAN IKAN BANDENG

advertisement
PERANAN ENZIM PROTEASE JEROAN IKAN BANDENG
(Chanos chanos) DALAM PROSES KEMUNDURAN MUTU
NINA FENTIANA
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
RINGKASAN
NINA FENTIANA. C34050150. Peranan Enzim Protease Jeroan Ikan Bandeng
(Chanos chanos) Dalam Proses Kemunduran Mutu. Dibimbing oleh TATI
NURHAYATI dan ELLA SALAMAH.
Salah satu penyebab kemunduran mutu ikan segar adalah proses perombakan
oleh aktivitas enzim terutama enzim proteolitik yang terdapat secara alami pada ikan.
Katepsin dan kolagenase merupakan enzim proteolitik yang terdapat pada jeroan ikan
dan memiliki peranan penting dalam penguraian protein selama proses kemunduran
mutu.
Penelitian ini terbagi empat tahap yaitu penelitian tahap 1 untuk menentukan
fase post mortem ikan secara organoleptik, tahap 2 untuk mempelajari pola
kemunduran mutu ikan, tahap 3 untuk mengekstraksi enzim katepsin dan tahap 4
proses ekstraksi enzim kolagenase. Pengamatan dilakukan terhadap empat kelompok
ikan yaitu ikan bandeng yang dipuasakan sebelum dipanen dan disimpan pada suhu
ruang (sampel A), ikan bandeng yang tidak dipuasakan dan disimpan pada suhu
ruang (sampel B), ikan bandeng yang dipuasakan sebelum dipanen dan disimpan
pada suhu chilling (sampel C) dan ikan bandeng yang tidak dipuasakan pada
penyimpanan suhu chilling (sampel D).
Penelitian tahap 1 bertujuan untuk mengetahui waktu terjadinya fase post
mortem. Penelitian tahap 2 dilakukan untuk mengetahui tingkat kesegaran ikan
bandeng dengan menggunakan uji subjektif (organoleptik) dan objektif (TVB, TPC,
pH), sedangkan penelitian tahap 3 dan 4 berturut-turut bertujuan untuk menentukan
aktivitas enzim katepsin dan kolagenase. Uji organoleptik dilakukan setiap satu jam
selama 19 jam penyimpanan suhu ruang dan setiap 12 jam selama 41 hari (971 jam)
penyimpanan suhu chiling. Uji TVB, TPC, pH, assay aktivitas enzim katepsin dan
kolagenase dan konsentrasi protein enzim dilakukan pada fase
pre rigor, rigor,
post rigor dan busuk serta sangat busuk (hanya penyimpanan suhu chilling).
Sampel A dan B mencapai fase pre rigor, rigor mortis, post rigor, dan busuk
secara berturut-turut pada jam penyimpanan ke-0, 10, 15 dan 19. Sampel C dan D
mencapai fase pre rigor, rigor mortis, post rigor, busuk, dan sangat busuk secara
berturut-turut pada jam penyimpanan ke-0, 84, 300, 540 dan 971. Aktivitas katepsin
jeroan tertinggi ditemukan pada sampel D saat fase post rigor yaitu sebesar 1,1071
U/ml, sedangkan aktivitas kolagenase jeroan tertinggi pada sampel A saat fase post
rigor yaitu sebesar 0,0792 U/ml.
Hasil uji ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa pada tingkat kepercayaan 95
% perlakuan kombinasi kondisi ikan sebelum dipanen dan suhu penyimpanan serta
fase kemunduran mutu ikan (pre rigor, rigor mortis, post rigor, busuk dan sangat
busuk) dari masing-masing sampel A, B, C dan D memberikan pengaruh yang
berbeda nyata terhadap aktivitas katepsin dan kolagenase. Analisis korelasi linier
sederhana menunjukkan bahwa aktivitas enzim (katepsin dan kolagenase) dan
parameter kesegaran ikan (nilai organoleptik, pH, TVB dan TPC) memiliki hubungan
yang sangat erat (r=>0,7) secara linier dalam proses kemunduran mutu dari fase pre
rigor hingga post rigor dan tidak erat (r=<0,7) pada fase busuk dan sangat busuk.
PERANAN ENZIM PROTEASE JEROAN IKAN BANDENG
(Chanos chanos) DALAM PROSES KEMUNDURAN MUTU
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan
pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
Oleh :
Nina Fentiana
C34050150
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
Judul Skripsi
: Peranan Enzim Protease Jeroan Ikan Bandeng (Chanos
chanos) dalam Proses Kemunduran Mutu
Nama Mahasiswa
: Nina Fentiana
Nomor Pokok
: C34050150
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si.
NIP. 132 149 436
Dra. Ella Salamah, M.Si.
NIP. 131 788 597
Diketahui,
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc
NIP. 131 578 799
Tanggal lulus :
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan
ini
saya
menyatakan
bahwa
skripsi
saya
yang
berjudul
“ Peranan Enzim Protease Jeroan Ikan Bandeng (Chanos chanos) Dalam Proses
Kemunduran Mutu” adalah hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
kutipan dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi.
Bogor, Maret 2009
Nina Fentiana
C34050150
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Nina Fentiana. Dilahirkan di
Tembilahan pada tanggal 21 November 1987 dari pasangan
Bapak Amat Daud dan Ibu Elly Sulistiawaty. Penulis adalah
anak kedua dari tiga bersaudara, memiliki kakak yang
bernama Yayuk Amatasari dan adik yang bernama Joehandra.
Penulis mengawali pendidikan formal di SD Negeri 001
Bagansiapiapi tahun 1993 dan menyelesaikan pendidikan
pada tahun 1999. Pada tahun yang sama penulis diterima di SLTPN 1 Bagansiapiapi
dan menyelesaikan pendidikannya pada tahun 2002. Penulis melanjutkan pendidikan
ke SMUN 1 Bangko, Bagansiapiapi dan menyelesaikannya pada tahun 2005. Pada
tahun yang sama, penulis diterima menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor
melalui Program Beasiswa Utusan Daerah (BUD) Propinsi Riau di Departemen
Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Selama masa perkuliahan penulis aktif menjadi asisten Iktiologi (2007/2008),
asisten Fisiologi, Formasi dan Degradasi Metabolit Sekunder Hasil Perairan
(2008/2009), anggota paduan suara FPIK (2006/2009) serta menjadi pengurus dan
anggota Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) Riau 2005 hingga sekarang. Penulis
tercatat sebagai anggota Mahasiswa Dharmasiswa Caltex (Chevron) Riau tahun 2005
hingga sekarang. Pada bulan Juli 2008 penulis melaksanakan praktek lapang di PT
Lautan Niaga Jaya, Muara Baru, Jakarta Utara.
Penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, dengan judul “Peranan Enzim Protease Jeroan Ikan Bandeng (Chanos
chanos) Dalam Proses Kemunduran Mutu”, dibawah bimbingan Ibu Dr. Tati
Nurhayati, S.Pi, M.Si dan Dra. Ella Salamah M.Si.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat
serta hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul
”
Peranan Enzim Protease Jeroan Ikan Bandeng (Chanos chanos) Dalam Proses
Kemunduran Mutu”. Penelitian ini berjalan atas pembiayaan dari program Hibah
Bersaing 2008 atas nama Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si. Penyusunan skripsi ini
adalah sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana di Departemen Teknologi
Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini,
terutama kepada:
1. Ibu Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si dan ibu Dra, Ella Salamah, M.Si selaku komisi
pembimbing, atas segala bimbingan dan pengarahan yang diberikan kepada
penulis.
2. Ayah dan ibu tercinta (Bapak Amat Daud dan Ibu Elly Sulistiawaty), Kakakku
Yayuk Amatasari, SE dan adikku Joehandra atas semua dukungan dan kasih
sayang yang diberikan.
3. Seluruh staf dosen dan TU THP (Mas Mail, Pak Ade, Pak Jamhuri, Pak Tatang,
Mba Heni, dan Umi), terima kasih atas dukungan dan bantuannya.
4. Ibu Ema (Laboran THP), Mbak Martini dan Pak Arya (Biokimia) serta Pak
Wahyu (FKH)
yang telah memberikan banyak sekali pembelajaran kepada
penulis.
5. Pemerintah Propinsi Riau, Bupati (H. Annas Makmun) dan Wakil Bupati
(H.
Suyatno) Kabupaten Rokan Hilir, Pak Surya Arfan dan seluruh staf Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Rokan Hilir. Trimakasih atas
dukungannya hingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan.
6. Chevron Indonesia (Darmasiswa Caltex Riau). Trimakasih atas bantuannya
selama penulis menjalankan pendidikan.
7. Tim yang solid : Rijan Zakaria, S.Pi, Dede Saputra, S.Pi, Pak Kurnianto, M.Irfan
dan Rustamaji atas semua bantuan tenaga dan semangat selama penulis
melakukan penelitian.
8. Sahabat-sahabatku: Maisyah Ahmad, Hermi Apriani, Mbak Tati Yuniarti, Debi,
Dewi Mariana Manurung, Stefanus Senoadi, Erdita Hasian Sianipar, Junide
Mastuty, Ari Aprilan, Purwaty, Evi, teman-teman di Asrama Riau “Dang Merdu”
dan THPers 42. Teman satu bimbinganku: Tyas dan Jamal. Terima kasih atas
kebersamaan, bantuan, semangat dan doa nya.
9. Kakak-kakak kelasku (THP 40 dan THP 41) dan adik-adik kelasku (THP 43 dan
THP 44) dan semua pihak yang telah membantu penulis selama penelitian dan
penyusunan skripsi, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak
kekurangannya karena keterbatasan ilmu dan pengalaman penulis. Oleh karena itu
penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua pihak
demi penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak yang memerlukannya.
Bogor, Maret 2009
Nina Fentiana
DAFTAR ISI
Hal
DAFTAR TABEL ..........................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
xi
1. PENDAHULUAN ......................................................................................
1
1.1 Latar Belakang ....................................................................................
1
1.2 Tujuan Penelitian ................................................................................
2
2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................
3
2.1 Identifikasi dan Deskripsi Ikan Bandeng (Chanos chanos) ................
3
2.2 Jeroan Ikan ..........................................................................................
4
2.3 Kemunduran Mutu Ikan ......................................................................
5
2.3.1
2.3.2
2.3.3
2.3.4
Tahapan post mortem ikan ........................................................
Proses perubahan enzimatis (autolisis) .....................................
Proses perubahan karena aktivitas mikroba..............................
Proses perubahan karena oksidasi ............................................
5
7
8
9
2.4 Proses Penguraian Protein secara Enzimatis oleh Enzim Proteolitik..
10
2.5 Enzim ..................................................................................................
13
2.5.1 Enzim katepsin .........................................................................
2.5.2 Enzim kolagenase .....................................................................
14
15
2.6 Peranan Katepsin dan Kolagenase dalam Kemunduran Mutu Ikan ....
16
3. METODOLOGI ........................................................................................
18
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ..............................................................
18
3.2 Bahan dan Alat Penelitian ....................................................................
18
3.3 Tahapan Penelitian ...............................................................................
19
3.3.1 Penentuan fase post mortem ikan secara organoleptik
(BSN 2006) ..............................................................................
3.3.2 Penentuan pola kemunduran mutu ikan....................................
3.3.3 Ekstraksi enzim katepsin (Dinu et al. 2002).............................
3.3.4 Ekstraksi enzim kolagenase (Moore dan Stein 1954 diacu
dalam Kim et al. 2002).............................................................
3.4 Prosedur Analisis .................................................................................
19
19
20
20
21
3.4.1
3.4.2
3.4.3
3.4.4
3.4.5
3.4.6
Uji organoleptik (BSN 2006) ...................................................
Nilai pH (Apriyantono et al. 1989) ..........................................
Uji total plate count (TPC) (Fardiaz 1987) ..............................
Uji total volatile base (TVB) (Apriyantono et al. 1989) ..........
Assay aktivitas katepsin (Dinu et al. 2002) ..............................
Assay aktivitas kolagenase (Moore dan Stein 1954 diacu
dalam Park et al. 2002) ............................................................
3.4.7 Pengukuran konsentrasi protein enzim (Breadford 1976) ........
21
22
22
23
23
3.5 Analisis Data .......................................................................................
26
4. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................
28
4.1 Penentuan Fase Post Mortem Ikan ......................................................
28
4.2 Pola Kemunduran Mutu Ikan ..............................................................
29
4.2.1
4.2.2
4.2.3
4.2.4
24
25
Penilaian organoleptik ...............................................................
Nilai TPC (Total Plate Count) ..................................................
Nilai pH .....................................................................................
Nilai TVB ..................................................................................
30
35
38
40
4.3 Aktivitas Katepsin ...............................................................................
42
4.4 Aktivitas Kolagenase ..........................................................................
46
4.5 Hubungan Antara Aktivitas Enzim dan Parameter Kesegaran Ikan ...
49
5. KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................
63
5.1 Kesimpulan .........................................................................................
63
5.2 Saran ....................................................................................................
64
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
65
LAMPIRAN ....................................................................................................
70
DAFTAR TABEL
No
Teks
Hal
1. Komposisi kimia ikan bandeng (Chanos cahos) .........................................
4
2. Spesifikasi persyaratan mutu ikan basah.....................................................
5
3. Pengelompokan mikroorganisme berdasarkan suhu pertumbuhannya .......
9
4. Enzim proteolitik yang berhubungan dengan lisosom ikan ........................
14
5. Pembuatan larutan standar BSA konsentrasi 0,1-1,0 mg/ml.......................
26
6. Kondisi isi perut (jeroan) ikan bandeng selama proses kemunduran mutu
33
7. Koefisien korelasi linier sederhana aktivitas enzim dan parameter
kesegaran ikan pada fase pre rigor hingga busuk........................................
61
DAFTAR GAMBAR
No
Teks
Hal
1. Morfologi ikan bandeng (Chanos cahos)..................................................
3
2. Isi perut ikan setelah dibedah ....................................................................
4
3. Rata-rata nilai organoleptik sampel A, B, C, dan D .................................
30
4. Rata-rata nilai organoleptik jeroan sampel A, B, C, dan D.......................
32
5. Rata-rata nilai log TPC jeroan sampel A, B, C, dan D .............................
36
6. Rata-rata nilai pH jeroan sampel A, B, C, dan D ......................................
38
7. Rata-rata nilai TVB jeroan sampel ikan A, B, C, dan D ...........................
41
8. Rata-rata nilai aktivitas enzim katepsin jeroan sampel A, B, C, dan D ....
43
9. Rata-rata nilai konsentrasi protein enzim katepsin jeroan sampel A, B,
C, dan D ....................................................................................................
45
10. Rata-rata nilai aktivitas enzim kolagenase jeroan sampel A, B, C, dan
D ................................................................................................................
46
11. Rata-rata nilai konsentrasi protein enzim kolagenase jeroan sampel A,
B, C, dan D ................................................................................................
48
12. Hubungan antara aktivitas enzim dan parameter kesegaran sampel A .....
50
13. Hubungan antara aktivitas enzim dan parameter kesegaran sampel B .....
51
14. Hubungan antara aktivitas enzim dan parameter kesegaran sampel C .....
52
15. Hubungan antara aktivitas enzim dan parameter kesegaran sampel D .....
53
16. Koefisien korelasi aktivitas enzim dan parameter kesegaran ikan fase
pre rigor hingga post rigor sampel A .......................................................
54
17. Koefisien korelasi aktivitas enzim dan parameter kesegaran ikan fase
pre rigor hingga post rigor sampel B .......................................................
55
18. Koefisien korelasi aktivitas enzim dan parameter kesegaran ikan fase
pre rigor hingga post rigor sampel C ......................................................
56
19. Koefisien korelasi aktivitas enzim dan parameter kesegaran ikan fase
pre rigor hingga post rigor sampel D .......................................................
57
DAFTAR LAMPIRAN
No
Hal
1a. Format uji organoleptik ikan segar (SNI 01-2346-2006) ........................
71
1b. Format uji organoleptik dinding perut dan isinya (Intestine)..................
73
2a. Bahan-bahan untuk ekstraksi enzim katepsin (Dinu et al. 2002) ............
74
2b. Bahan-bahan untuk ekstraksi enzim kolagenase (Moore dan Stein 1954
diacu dalam Park et al. 2002) .................................................................
74
2c. Bahan-bahan untuk pengukuran aktivitas enzim katepsin (Dinu et al.
2002) .......................................................................................................
74
2d. Bahan-bahan untuk pengukuran aktivitas enzim kolagenase (Moore
dan Stein 1954 diacu dalam Park et al. 2002).........................................
75
3. Hasil pengujian tingkat kesegaran ikan bandeng pada penentuan
pola kemunduran mutu ...........................................................................
76
4. Hasil pengujian aktivitas enzim selama kemunduran mutu ...................
77
5. Kurva standar penentuan konsentrasi protein .........................................
78
6. Dokumentasi kondisi jeroan ikan bandeng .............................................
80
7. Hasil analisis dan uji statistik (ANOVA) ................................................
83
1
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Produksi perikanan tangkap dari penangkapan ikan di laut dan di perairan
umum pada tahun 2006 masing-masing sekitar 4.468.010 ton dan 301.150 ton
(Ditjen Perikanan Tangkap 2007). Produksi perikanan budidaya pada tahun 2006
mencapai 2.625.800 ton yang didominasi oleh udang 327.260 ton, rumput laut
1.079.850 ton, ikan mas 285.250 ton, bandeng 269.530 ton, nila 227.000 ton, ikan
lele 94.160 ton, gurami 35.570 ton dan kerapu 8.430 ton (Ditjen Perikanan
Budidaya 2007).
Ikan bandeng merupakan komoditas budidaya yang digunakan dalam
beberapa jenis pemanfaatan dengan jumlah permintaan yang cukup tinggi. Data
warta penelitian perikanan budidaya tahun 2005 menunjukkan kebutuhan ikan
bandeng untuk konsumsi (300-500 g/ekor) sekitar 6 juta ton per tahun, sedangkan
untuk keperluan umpan (80-150 g/ekor) dan induk (>4000 g/ekor) berturut-turut
adalah 200 juta ekor per tahun dan 13.200 ekor per tahun.
Hasil penelitian Atjo dan Syahrun (2005) melaporkan bahwa kebutuhan
ikan bandeng untuk pasar spesifik berupa rumah makan seafood, hotel, dan pasar
swalayan khususnya di kota Madya Makasar diperkirakan mencapai 6 ton per hari
dan saat ini baru terpenuhi 25 %. Selanjutnya, dikatakan bahwa salah satu
masalah yang dihadapi adalah konsistensi mutu. Hal ini disebabkan karena ikan
merupakan komoditas yang mudah busuk (highly perishable) sehingga cepat
mengalami kemunduran mutu.
Salah satu penyebab kemunduran mutu ikan adalah proses perombakan
oleh aktivitas enzim yang terdapat secara alami pada ikan. Enzim proteolitik
merupakan salah satu enzim yang berperan penting dalam kemunduran mutu ikan
yang mampu menguraikan protein menjadi pepton, polipeptida, dan asam-asam
amino (Kreuzer 1965). Katepsin dan kolagenase merupakan enzim proteolitik
yang terdapat pada jeroan ikan dan memiliki peranan penting dalam penguraian
protein selama proses kemunduran mutu.
Pada ikan budidaya yang biasa disimpan dalam keadaan utuh, enzimenzim dalam organ pencernaannya dapat menyerang jaringan daging yang
menyebabkan pembusukan. Adanya makanan dalam perut ikan saat dipanen
2
menyebabkan tingginya aktivitas enzim pada saluran pencernaan yang akhirnya
mendegradasi jaringan di daerah sekitar perut dan menyerang bagian tubuh ikan
lainnya sehingga memperpendek umur simpan. Aktivitas proteolitik pada jeroan
ikan berlangsung lebih lambat bila ikan disimpan pada suhu 0 0C atau lebih
rendah. Penyimpanan ikan pada suhu rendah merupakan salah satu usaha untuk
menghambat aktivitas proteolitik pada jeroan sehingga proses pembusukan
menjadi terhambat dan ikan dapat disimpan lebih lama (Bihan et al. 2006).
Hidrolisis protein oleh aktivitas katepsin menyebabkan timbulnya
akumulasi metabolit, perubahan citra rasa, komponen volatil serta peningkatan
jumlah bakteri yang pada akhirnya menimbulkan kebusukan pada ikan
(Lawrie 1985). Aktivitas kolagenase dari hepatopankreas ikan mempengaruhi
tekstur setelah ikan mati sehingga jaringan daging melunak (Simpson 2000). Hal
ini dapat merugikan industri pengolahan ikan karena mengakibatkan menurunnya
harga ikan dan ikan menjadi tidak sehat untuk dikonsumsi. Oleh karena itu, perlu
diketahui peranan aktivitas enzim dalam proses kemunduran mutu sebagai
landasan dalam pengambil tindakan yang tepat pada penanganan maupun
pengolahan ikan.
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
(1) menentukan fase post mortem ikan selama penyimpanan suhu ruang
dan suhu chilling;
(2) mempelajari
pola
kemunduran
mutu
ikan
bandeng
selama
penyimpanan suhu ruang dan suhu chilling berdasarkan analisis tingkat
kesegaran ikan (organoleptik, pH, TVB, TPC);
(3) menentukan aktivitas enzim katepsin dan enzim kolagenase dalam
proses kemunduran mutu ikan bandeng;
(4) mengetahui korelasi aktivitas enzim terhadap parameter kesegaran
ikan.
3
2.
2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Identifikasi dan Deskripsi Ikan Bandeng (Chanos chanos)
Klasifikasi ikan bandeng, menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut :
Filum
: Chordata
Sub filum
: Vertebrata
Kelas
: Pisces
Sub kelas
: Teleostei
Ordo
: Malacopterigii
Family
: Chanidae
Genus
: Chanos
Spesies
: Chanos chanos
Ikan bandeng termasuk ikan pemakan tumbuhan (herbivora), dapat hidup
di air tawar, air payau dan air laut (Ratna 2001). Ikan bandeng mempunyai bentuk
tubuh langsing dan mirip torpedo, moncong yang agak runcing, ekor bercagak,
dan sisik yang halus menyebabkan ikan ini dapat bergerak dengan cepat
(Mudjiman 1983). Secara lengkap morfologi ikan bandeng disajikan pada
Gambar 1.
Gambar 1. Morfologi ikan bandeng (Chanos chanos)
Sumber : www.google-image.com
Salah satu sifat
yang mencolok dari ikan ini adalah sifat euryhalien
(tahan tehadap perubahan salinitas air), yang memungkinkannya untuk dipelihara
di air payau. Ikan bandeng juga dapat dipelihara di air tawar karena sifat
euryhalinnya mampu hidup pada kisaran salinitas yang luas meskipun untuk
memijah induk dan larva masih membutuhkan air asin. Bahkan pada salinitas nol
per mil, ikan bandeng mampu hidup dan tumbuh besar (Susanto 2006). Ikan
4
bandeng mempunyai komposisi zat gizi bernilai cukup tinggi. Kandungan masingmasing zat gizi ikan bandeng disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi kimia ikan bandeng (Chanos chanos)
Zat gizi
Kalori
Protein
Lemak
Air
Kalsium
Posfor
Besi
Vitamin A
Vitamin B6
Vitamin B12
Sumber : Nutritiondata (2007)
2.2
Jumlah
126
17,4
5,7
60,2
43,4
138
0,3
85,0
0,4
2,9
Satuan
kalori
gram
gram
gram
miligram
miligram
miligram
miligram
miligram
miligram
Jeroan Ikan
Jeroan adalah bagian-bagian yang terdapat di dalam tubuh hewan yang
telah dimatikan. Biasanya jeroan terdiri dari berbagai jenis organ yang terdapat di
dalam rongga perut ikan yang disiangi. Menurut Hadiwiyoto (1993) organ-organ
yang terlihat saat ikan disiangi adalah bladder (kandung kemih), ginjal, perut
besar, usus buntu, empedu, dan instestine (usus halus). Secara lengkap letak
organ-organ tersebut disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Isi perut ikan setelah dibedah
Sumber : A. Aitken et al. (1992) diacu dalam
Hadiwiyoto (1993)
Jeroan ikan merupakan sumber enzim protease yang tinggi terutama pada
bagian pilorik kaeka dan pankreas. Enzim protease yang ditemukan adalah
5
trypsin, chymotrypsin, kolagenase, elastase, karboksipeptidase dan karboksil
esterase (Simpson 2000).
Pada umumnya jeroan ikan dimanfaatkan sebagai makanan ternak yaitu di
buat silase (Bihan et al. 2006). Pemanfaatan jeroan ikan sebagai bahan pangan di
Indonesia umumnya masih sangat terbatas. Salah satu produk yang dihasilkan
dikenal sebagai bekasang (Ibrahim dan Salamah 1991). Di Jepang dikenal produk
fermentasi jeroan ikan yang disebut Shiokara atau Katsuono shiokara. Jeroan
tersebut ditempatkan dalam tong dan ditambahkan garam sebanyak 20-30 %
(Anonim 2006).
2.3
Kemunduran Mutu Ikan
Berbagai proses perubahan fisik dan biokimia terjadi dengan cepat setelah
ikan mengalami kematian. Semua proses perubahan ini akhirnya mengarah pada
pembusukan (Eskin 1990). Proses penurunan mutu ikan segar terutama diawali
dengan proses perombakan oleh aktivitas enzim yang secara alami terdapat di
dalam ikan. Proses ini disebut proses kemunduran mutu kesegaran ikan yang
berlangsung hingga tahap tertentu dan disusul dengan makin berkembangnya
aktivitas mikroba pembusuk yang dikenal dengan proses pembusukan
(Ilyas 1983).
2.3.1 Tahapan post mortem ikan
Pada ikan segar atau produk perikanan lainnya, mutu identik dengan
kesegaran. Ikan yang baru ditangkap memiliki tingkat kesegaran tinggi dan akan
mengalami penurunan mutu seiring lamanya waktu penyimpanan (Ilyas 1983).
Spesifikasi persyaratan mutu ikan segar dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Spesifikasi persyaratan mutu ikan basah (SNI 01-2729-2006)
Jenis Uji
a). Organoleptik
Nilai min.
b). Cemaran mikroba
1). ALT/gr, maks
2). Escherichia coli
3). Vibrio cholerae *)
Satuan
Persyaratan Mutu
7
koloni/gr
APM/gr
Per 25 gram
5 x 105
<3
Negatif
Keterangan : ALT = Angka Lempeng Total APM = Angka Paling Memungkinkan
6
Segera setelah ikan mati, terjadi perubahan-perubahan yang dapat
mengakibatkan penurunan mutu ikan. Penurunan tingkat kesegaran ikan ini
terlihat dengan adanya perubahan fisik, kimia dan organoleptik pada ikan yang
disebabkan oleh aktivitas enzim, mikroorganisme, fisik, dan kimiawi. Urutan
proses perubahan yang terjadi setelah ikan mati, meliputi perubahan pre rigor,
rigor mortis, dan post rigor (Eskin 1990).
Fase pre rigor merupakan perubahan pertama yang terjadi ketika ikan
mati. Fase ini ditandai dengan melemasnya otot-otot ikan sesaat setelah ikan mati
sehingga ikan mudah dilenturkan. Pada fase ini terjadi peristiwa terlepasnya lendir
dibawah kelenjar permukaan kulit yang sebagian besar terdiri dari glukoprotein
dan musin yang merupakan media ideal bagi pertumbuhan bakteri. Secara
biokimia ditandai dengan menurunya kadar adenosine triposfat (ATP) dan keratin
fosfat (seperti pada reaksi glikolisis) (Eskin 1990).
Adenosine triposfat merupakan sumber energi tertinggi bagi aktivitas ikan.
Setelah ikan mati, ATP diperoleh dari penguraian kreatin fosfat. Kemudian ATP
mulai mengalami penguraian ketika kandungan kreatin fosfat dan ATP mencapai
titik yang sama. Hidrolisis ATP menjadi ADP dengan bantuan enzim ATPase
akan menghilangkan energi (Eskin 1990).
Energi pada jaringan otot ikan setelah ikan mati diperoleh secara anerobik
dari pemecahan glikogen melalui proses glikolisis menghasilkan ATP dan asam
laktat. Akumulasi asam laktat selain menurunkan pH otot, juga diikuti oleh
peristiwa rigor mortis (Eskin 1990). Segera setelah ikan mati, suplai oksigen
dalam jaringan berkurang sehingga terjadi perubahan glikogen menjadi asam
laktat. Hal ini mengakibatkan pH tubuh ikan menurun, diikuti pula dengan
penurunan jumlah adenosine triposfat (ATP) (Gopakumar 2000).
Penurunan kelenturan otot terus berlangsung seiring dengan semakin
sedikitnya jumlah ATP. Hilangnya kelenturan otot ikan ini akibat ion Ca2+ yang
berikatan dengan protein troponin, sehingga menyebabkan terjadinya ikatan
elektrostatik antara filamen aktin dan miosin (aktomiosin) yang ditandai dengan
terjadinya pengkerutan atau kontraksi serabut otot yang tidak dapat balik
(irreversible). Saat konsentrasi ATP 0,1 mikro mol/gram akan terjadi rigor mortis
sempurna. Waktu yang diperlukan ikan untuk masuk dan melewati fase
7
rigor mortis tergantung pada spesies, kondisi fisik ikan, derajat perjuangan ikan
sebelum mati, ukuran, cara penangkapan, dan suhu selama penyimpanan
(Eskin 1990).
Nilai pH ikan yang baru mati mendekati netral. Pada fase rigor mortis pH
tubuh ikan menurun hingga sekitar 6,2-6,5. Nilai pH ikan dipengaruhi jumlah
glikogen yang ada. Ikan yang mati meronta-ronta mengalami penurunan jumlah
glikogen lebih cepat dan pH dapat turun hingga 5,5. Pada saat pH turun enzim
katepsin menjadi aktif. Enzim ini mendegradasi garis gelap Z pada miofilamen,
menghilangkan daya adhesi antara serabut-serabut otot, dan bersifat proteolitik
yang melonggarkan struktur protein serat daging (Eskin 1990).
Fase terakhir post mortem ikan adalah fase post rigor. Tahap ini ditandai
dengan mulai melunaknya kembali otot ikan secara bertahap (Wang et al. 1998).
Proses pembusukan ikan ditandai dengan terbentuknya senyawa-senyawa basa
volatil. Komponen utama total volatile base (TVB) adalah amoniak (NH3),
trimetil amin (TMA), dan dimetil amin (DMA). Nukleotida utama yang berperan
dalam mentransfer energi, yaitu ATP juga berperan dalam penambahan jumlah
ammonia pada volatil amin setelah kematian ikan. Nukleotida ATP adalah
senyawa utama pembawa energi kimia dalam sel. Kondisi anaerob setelah ikan
mati akan menyebabkan ATP terurai dengan melepaskan energi (Gill 2000). ATP
berubah menjadi ADP oleh enzim ATPase, kemudian diubah menjadi AMP oleh
miokinase. Selanjutnya AMP diubah oleh enzim deaminase menjadi IMP dan
IMP diubah menjadi inosin oleh enzim fosfatase. Kemudian inosin dengan cepat
berubah menjadi hipoksantin. Deaminase AMP menjadi IMP telah melepaskan
molekul ammonia (NH3) dari gugusan basa purin adenine (Eskin 1990).
2.3.2
Proses perubahan enzimatis (autolisis)
Autolisis (auto = sendiri; dan lysis = penguraian) adalah proses penguraian
organ-organ tubuh ikan oleh enzim-enzim (protease dan lipase) yang terdapat di
dalam tubuh ikan sendiri. Proses ini biasanya terjadi setelah ikan yang mati
melewati fase rigor mortis (FAO 1995).
Autolisis dimulai dengan menurunya pH. Mula-mula protein dipecah
menjadi molekul-molekul makro yang menyebabkan peningkatan dehidrasi
8
protein dan molekul-molekulnya pecah menjadi proteose, lalu pecah menjadi
pepton, peptida dan akhirnya menjadi asam amino. Disamping asam amino,
autolisis menghasilkan pula sejumlah kecil purin dan pirimidin basa yang
dibebaskan pada waktu asam nukleat pecah. Bersamaan dengan itu hidrolisis
lemak menghasilkan asam lemak dan gliserol (Hames dan Hooper 2005).
Bila protein dihidrolisis dengan asam, alkali atau enzim maka akan
dihasilkan campuran asam-asam amino yang terdiri dari sebuah gugus amino,
sebuah gugus karboksil, sebuah atom hidrogen dan gugus R yang terikat pada
sebuah atom C yang dikenal sebagai karbon α, serta gugus R merupakan rantai
cabang (Hames dan Hooper 2005).
2.3.3
Proses perubahan karena aktivitas mikroba
Selama ikan hidup, bakteri yang terdapat dalam saluran pencernaan,
insang, saluran darah, dan permukaan kulit tidak dapat merusak dan menyerang
bagian-bagian tubuh ikan. Hal ini disebabkan karena bagian-bagian tubuh ikan
tersebut mempunyai batas pencegah (barrier) terhadap penyerangan bakteri.
Setelah ikan mati, kemampuan barrier hilang sehingga bakteri segera masuk ke
dalam daging ikan (Eskin 1990).
Akibat serangan bakteri, ikan mengalami berbagai perubahan, yaitu lendir
menjadi pekat, bergetah, amis, mata terbenam, dan pudar sinarnya, serta insang
berubah warna dengan susunan tidak teratur dan bau menusuk. Bakteri-bakteri
tersebut menyerang tubuh ikan mulai dari insang atau luka yang terdapat pada
kulit menuju jaringan daging ikan dan dari permukaan kulit menuju ke jaringan
tubuh bagian dalam (Ilyas 1983).
Suhu lingkungan yang sesuai merupakan syarat utama bagi bakteri untuk
hidup. Selama ikan masih hidup, suhu tubuhnya masih cukup rendah untuk
menunjang pertumbuhan bakteri secara optimal. Setelah ikan mati dan proses
autolisis berlangsung, suhu tubuh ikan berangsur-angsur meningkat sehingga
akhirnya akan tercipta suatu kondisi yang cocok untuk pertumbuhan bakteri. Jenis
bakteri yang umum ditemukan pada tubuh ikan adalah Acromobacter, Vibrio,
Pseudomonas, flavobacter, dan Micrococcus (Eskin 1990). Pengelompokan
mikroorganisme berdasarkan suhu pertumbuhannya dapat dilihat pada Tabel 3.
9
Tabel 3. Pengelompokan mikroorganisme berdasarkan suhu pertumbuhannya
Kelompok
Suhu Pertumbuhan
Mikroorganisme
Minimum
Optimum
Maksimum
Psikorofil
-15
10
20
Psikrotrof
-5
25
35
Mesofil
-5-0
30-37
45
Thermofil
40
45-55
60-80
Thermotrof
15
42-46
50
Sumber : Lan et al. (2007)
2.3.4
Proses perubahan karena oksidasi
Proses perubahan pada ikan dapat juga terjadi karena proses oksidasi
lemak sehingga timbul aroma tengik yang tidak diinginkan dan perubahan rupa
serta warna daging kearah coklat kusam. Perubahan warna daging ini disebabkan
oleh kandungan asam lemak tidak jenuh berantai panjang PUFA (polyunsaturated
fatty acids) yang tinggi dalam tubuh (FAO 1995).
Autooksidasi dimulai dengan pembentukan radikal-radikal bebas yang
disebabkan oleh faktor-faktor yang dapat mempercepat reaksi seperti cahaya,
panas, peroksida lemak, adanya logam (Cu, Fe, Co, Mn) (FAO 1995). Bau tengik
yang tidak sedap tersebut disebabkan oleh pembentukan senyawa-senyawa hasil
pemecahan hidroperoksida. Selain itu dengan adanya air, lipida dapat terhidrolisis
menjadi gliserol dan asam lemak bebas yang terbentuk. Hidrolisis dapat memacu
oksidasi dan asam lemak bebas yang terbentuk dapat menyebabkan soapy flavor,
yaitu bau yang menyerupai sabun (FAO 1995).
Proses oksidasi lemak menghasilkan sejumlah substansi yang dapat
menyebabkan timbulnya bau dan rasa tengik yang disebut proses ketengikan.
Proses ini dipercepat dengan adanya logam-logam berat, enzim-enzim
lipooksidase, cahaya, dan panas. Senyawa hasil pemecahan hidroperoksida
merupakan produk sekunder yang sebagian besar berupa aldehid, keton, alkohol,
asam karboksilat, dan alkana yang menyebabkan timbulnya diskolorisasi atau bau
tengik pada ikan (FAO 1995).
10
2.4
Proses Penguraian Protein secara Enzimatis oleh Enzim Proteolitik
Setelah ikan mati, banyak perubahan yang terjadi pada daging ikan, baik
secara fisikawi maupun biokimiawi. Kerusakan biokimiawi disebabkan oleh
adanya enzim-enzim dan reaksi-reaksi biokimiawi yang masih berlangsung pada
tubuh ikan segar (FAO 1995). Pada mulanya, enzim-enzim tersebut hanya
membongkar beberapa senyawa untuk menutupi kekurangan-kekurangan di dalam
metabolisme. Tetapi lama-lama hal tersebut tidak dapat berlangsung terusmenerus, sehingga makin lama aktivitas enzim makin tidak terkendali lagi, enzimenzim akan dapat membongkar senyawa apa saja yang ada. Senyawa-senyawa
makromolekul akan diuraikan menjadi senyawa-senyawa yang lebih kecil sampai
pada akhirnya terjadi berbagai senyawa yang mudah menguap yang baunya tidak
sedap lagi (Eskin 1990).
Enzim-enzim yang berperan dalam proses enzimatis terutama adalah
enzim proteolitik. Hal ini berhubungan dengan kadar protein ikan yang relatif
tinggi (Dinu et al. 2002). Pada ikan air tawar yang biasa disimpan dalam keadaan
utuh, enzim-enzim dalam organ pencernaannya dapat menyerang jaringan daging
yang menyebabkan pembusukan. Selain itu enzim-enzim yang terdapat dalam
daging dapat menimbulkan keadaan yang cocok bagi bakteri untuk berkembang
biak secara optimal (Bramstedt dan Auerbach 1961). Beberapa enzim yang
berperan dalam proses ini antara lain katepsin (dalam daging dan organ
pencernaan), tripsin, kemotripsin, kimosin dan pepsin (dalam organ pencernaan),
serta
enzim
dari
mikroorganisme
yang
terdapat
dalam
tubuh
ikan
(Bihan et al. 2006).
Proses enzimatis ikan lebih banyak dihubungkan dengan proses
penguraian (hidrolisis) protein menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana.
Pada proses enzimatis, protein akan diuraikan menjadi pepton, polipeptida, dan
asam-asam amino. Disamping itu, hidrolisis protein membentuk sedikit basa purin
dan pirimidin (Kreuzer 1965). Enzim-enzim yang terlibat dalam proses
penguraian protein, antara lain : katepsin, peptidase, transaminase, amidase, asam
amino dekarboksilase, dan glutamat dehidrogenase. Proses penguraian protein
terjadi akibat adanya penurunan pH jaringan otot karena terbentuknya asam laktat.
Nilai pH yang rendah dengan bantuan ATP akan menyebabkan aktin dan miosin
11
bergabung membentuk aktomiosin yang relatif mudah mengalami penguraian. Hal
ini menyebabkan terjadinya peristiwa rigor mortis (kekakuan) (FAO 1995).
Pembebasan dan pengaktifan katepsin selanjutnya akan menyebabkan
terjadinya penguraian protein menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana.
Hal ini menimbulkan terjadinya akumulasi metabolit dan pembentukan senyawasenyawa basa volatil yang berakibat terhadap kenaikan pH dan peningkatan
jumlah bakteri karena senyawa-senyawa basa tersebut merupakan media yang
sangat cocok bagi pertumbuhan bakteri terutama golongan bakteri pembusuk
(Lawrie 1985).
Menurut Ladrat et al. (2004) pada akhir fase rigor mortis, saat hasil
penguraian jaringan makin banyak, kegiatan bakteri pembusuk dengan enzimnya
makin meningkat dan setelah melewati fase rigor (badan ikan mulai menjadi
lembek) kecepatan pembusukan atau kemunduran mutu makin meningkat.
Dalam berbagai kajian proses pembusukan ikan, penguraian protein baru
akan terjadi pada tingkat lanjut sedangkan pada tahap-tahap permulaan boleh
dikatakan hampir tidak terjadi penguraian protein. Pembentukan senyawasenyawa volatil seperti trimetilamin (TMA) pada tahap awal bukan terjadi dari
protein tetapi dari senyawa lain yang bukan protein, antara lain karena
penggabungan asam laktat dengan TMAO (TMA-Oksida). Dengan kata lain
kecepatan penguraian senyawa makro molekul pada tahap awal masih rendah.
Demikian pula senyawa-senyawa makro molekul lainnya yang mempunyai berat
molekul lebih besar dari pada 5000 tidak mengalami penguraian selama tahap
permulaan proses pembusukan daging ikan (Hadiwiyoto 1993).
Salah satu perubahan yang terjadi pada ikan pelagis akibat degradasi
jaringan oleh aktivitas enzim adalah terjadi peristiwa belly bursting. Belly
bursting merupakan hasil kecepatan degradasi jaringan yang didahului oleh
post mortem yang berlangsung pada dinding perut (abdominal) ikan pada
beberapa spesies ikan pelagis (Martinez 2006).
Peristiwa belly bursting terjadi selama ikan berada pada musim makan
yang tinggi, dan kadangkala degradasi jaringan yang mengakibat belly bursting
juga dapat terjadi dengan cepat beberapa jam setelah penangkapan, yaitu pada
kondisi makanan cukup bagi kebutuhan ikan. Banyaknya keberadaan makanan
12
dalam perut ikan atau dalam usus (saluran pencernaan) ikan saat dipanen atau
ditangkap menyebabkan tingginya aktivitas enzim pada saluran pencernaan ikan
yang akhirnya mendegradasi jaringan disekitar perut ikan. Proses pendegradasian
jaringan ini akan berlangsung cepat setelah ikan memasuki fase post mortem dan
terus meningkat dengan semakin lamanya penyimpanan. Ketika ikan menuju
proses pembusukan peristiwa ini terus berlangsung dengan lebih cepat
(Martinez 2006).
Intensitas makan pada ikan mempengaruhi siklus biologi ikan tersebut.
Ikan menggunakan energi yang diperoleh dari makanan untuk pembentukan
jaringan otot dan pematangan gonad. Adanya makanan pada saluran pencernaan
setelah ikan mati menyebabkan autolisis disekitar daerah perut (belly burst) yang
biasanya terjadi pada ikan berukuran kecil seperti Anchovy. Peristiwa ini juga
dipengaruhi oleh aktivitas enzim protease yang terdapat pada pencernaan ikan.
Enzim protease yang terdapat pada perut, intestine (usus), maupun yang berasal
dari bakteri akan melakukan aktivitas proteolitik pada pH asam. Pada pH diatas
6,5 degdradasi jaringan sekitar perut masih terjadi akan tetapi lebih banyak
disebabkan oleh aktivitas tripsin yang berasal dari pankreas. Aktivitas protease
lainnya yang berhubungan dengan belly burst pada sejumlah ikan teleostei adalah
aktivitas kolagenase. Aktivitas enzim ini dipengaruhi oleh suhu. Penyimpanan
ikan pada suhu rendah hingga 0 0C mampu mengurangi kecepatan degradasi
jaringan sekitar perut (Sikorski dan Kolakowski 2000).
Komposisi makanan ikan mempengaruhi aktivitas proteolitik pada
pencernaannya. Aktivitas proteolitik pada ikan predator lebih tinggi dari pada ikan
omnivora. Aktivitas enzim protease ini dapat ditekan bila ikan mengkonsumsi
detritus dalam jumlah banyak (Sikorski dan Kolakowski 2000).
Ikan dengan keadaan perut yang penuh dengan makanan sebelum
ditangkap memiliki hubungan jaringan yang lemah pada otot-otot perutnya
dibandingkan dengan ikan dalam kondisi lapar atau dipuasakan terlebih dahulu
sebelum ditangkap. Hubungan jaringan yang lemah ini terjadi pada post mortem
dimana pH daging ikan rendah. Saat post mortem berlangsung, pH ikan akan
rendah ketika ikan ditangkap dalam keadaan kenyang. Degradasi jaringan yang
lebih cepat terjadi pada pH asam (Gildberg 1978).
13
Peristiwa belly bursting secara visual dapat diamati dengan terbentuk
lubang pada daerah sekitar insang dan lubang anal. Lubang ini akan terus
membesar dengan meningkatnya waktu penyimpanan dan saat ikan menuju tahap
pembusukan. Semakin besar lubang yang terbentuk mengindikasikan bahwa belly
bursting sudah sangat kompleks terjadi. Peristiwa ini juga merupakan satu
indikator bahwa ikan sudah dalam keadaan tidak baik (busuk) (Martinez 2006).
2.5
Enzim
Enzim merupakan unit fungsional dari metabolisme sel yang bekerja
dengan urutan-urutan yang teratur. Enzim mengkatalisis ratusan reaksi bertahap
yang menguraikan molekul nutrein, reaksi yang menyimpan dan mengubah energi
kimiawi, dan yang membuat makromolekul sel dari prekursor sederhana
(Lehninger 1993).
Enzim pada saluran pencernaan ikan banyak terdapat pada hati, pankreas,
perut besar, usus halus, dan ginjal. Enzim-enzim ini dapat digolongkan
berdasarkan sensitivitas pH, yaitu (Simpson 2000):
(1) Proteinase
asam
(aspartil)
yang
termasuk
dalam
golongan
enzim
endoproteinase dan memiliki aktivitas tertinggi pada pH asam. Proteinase
asam yang berhasil diisolasi dari perut ikan adalah pepsin, kimosin, dan
gastriksin.
(2) Proteinase serin yang membutuhkan kelompok imidazol, aspartyl carboxyl,
dan residu serin untuk kegiatan katalisisnya. Protease serin yang berhasil
dimurnikan dari saluran pencernaan ikan adalah tripsin, kemotripsin,
kolagenase dan elastase.
(3) Protease thiol (cysteine) yang membutuhkan kelompok thiol untuk kegiatan
katalisisnya. Protease thiol yang terdapat pada saluran pencernaan ikan adalah
katepsin B.
(4) Metalloproteinase yang merupakan enzim hidrolitik dan aktivitasnya
tergantung pada ikan kation divalent dan termasuk dalam golongan enzim
eksopeptidase. Metalloproteinase tidak ditemukan pada saluran pencernaan
ikan tetapi terdapat pada daging.
14
2.5.1
Enzim katepsin
Katepsin merupakan salah satu enzim proteolitik yang ditemukan pada
jaringan hewan termasuk ikan yang dapat menghidrolisis protein menjadi
polipeptida. Pada jaringan otot ikan, katepsin dan enzim penghidrolisis lainnya
ditempatkan dalam organel subseluler atau disebut lisosom dan dibagi dalam dua
tempat,
yakni
pada
serabut
otot
dan
matriks
ekstraseluler
(Shahidi dan Botta 1994). Berbagai jenis katepsin yang terdapat pada lisosom
disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Enzim proteolitik yang berhubungan dengan lisosom ikan
Enzim
Katepsin B
Family
Sistein
Aktivitas
Endopeptidase
Proses dan asal enzim
Dimurnikan dari otot berbagai
spesies ikan, identifikasi pada
berbagai spesies
Katepsin H
Sistein
Endopeptidase
Identifikasi pada otot ikan salmon
Katepsin J
Sistein
Endopeptidase
-
Katepsin L
Sistein
Endopeptidase
Identifikasi pada otot ikan salmon
dan mackerel
Katepsin C
Sistein
Endopeptidase
(Dipeptidil
Diidentifikasi dari otot berbagai
spesies ikan
peptidase I)
Dipeptidil peptidase Sistein
Endopeptidase
-
II
Katepsin D
Aspartat
Endopeptidase
Dimurnikan
dan
diidentifikasi
dari otot berbagai spesies ikan
Γ-glutamil
Aspartat
Endopeptidase
-
Eksopeptidase
Dimurnikan dari berbagai spesies
karboksipeptidase
Katepsin A dan I Serin
(karboksipeptidase
ikan dan diidentifikasi pada otot
A)
dari berbagai spesies
Katepsin S
Sistein
Eksopeptidase
Diidentifikasi pada otot mackerel
Sumber : Goll et al. (1989) diacu dalam Shahidi dan Botta (1994)
Katepsin A dan termasuk jenis eksopeptidase dan memiliki pH optimum
5-6 serta inaktif oleh panas dan alkali (Shahidi dan Botta 1994). Katepsin B yang
15
memiliki ikatan polipeptida tunggal dengan berat molekul 13,6-25 kDa ditemukan
pada saluran pencernaan ikan. Enzim ini memiliki aktivitas maksimum pada
pH 3,5-8,0 (Simpson 2000).
Katepsin C memiliki aktivitas eksopeptidase dan mutlak memerlukan ion
Cl- untuk aktivitasnya dan secara relatif spesifik untuk memisahkan residu
dipeptidil dari amino terminal rantai polipeptida. Katepsin D adalah enzim
peptidase yang memiliki substrat protein seperti pepsin, tetapi berbeda
aktivitasnya pada substrat dengan berat molekul rendah. Katepsin D adalah
glikoprotein yang memiliki aktivitas optimal pada pH 3,5. Katepsin D
mendegradasi aktin dan miosin pada pH asam (Okitani et al. 1981 diacu dalam
Shahidi dan Botta 1994).
Penelitian menunjukkan bahwa katepsin D ikan dapat menghidrolisis
protein miofibril pada kondisi asam tetapi tidak terhidrolisis pada pH netral. Studi
lainnya melaporkan bahwa adanya kontribusi katepsin D pada autolisis otot ikan.
Katepsin H aktif pada pH netral, stabil terhadap panas dan menunjukkan aktivitas
molekuler dengan substrat miosin. Katepsin L merupakan jenis endoprotease yang
sangat aktif dalam mendegradasi protein miofibril. Katepsin L yang berhasil
ditemukan pada hati ikan memiliki berat molekul 30 kDa (Simpson 2000).
Aktivitas molekular dari katepsin L dengan substrat miosin adalah 10 kali
lebih besar dari pada katepsin B. Katepsin L dapat mendegradasi miofibril
termasuk aktin, miosin, dan tropomiosin pada pH 6,5 dan secara khusus aktif
untuk troponin serta berperan dalam pemindahan Ca2+ dari ATPase miofibril
pada pH netral. Enzim proteinase ini memiliki aktivitas optimum pada suhu
40-50 0C dan pada suhu 65-70 0C enzim ini akan kehilangan aktivitasnya
proteolitiknya (Shahidi dan Botta 1994).
2.5.2
Enzim kolagenase
Umumya enzim protease terdapat didalam organ dalam (isi perut) ikan
terutama pada bagian organ yang berhubungan dengan pencernaan makanan.
Organ tersebut misalnya lambung, usus, pyloric caeca dan kelenjer pankreas.
Salah satu enzim protease yang terdapat di dalam isi perut ikan adalah enzim
kolagenase (Affandi et al. 2005).
16
Secara umum kolagenase didefinisikan sebagai enzim yang mampu
mendegradasi ikatan polipeptida. Enzim ini dibagi menjadi dua tipe yang berbeda
berdasarkan fungsi fisiologinya. Serin kolagenase terlibat dalam produksi hormon
dan farmakologi-peptida aktif, sebagai fungsi seluler. Fungsi tersebut meliputi
pencernaan protein, penggumpalan darah, fibrinolisis, aktivasi kompleks, dan
fertilisasi (Neurath 1984; Bond and van Wart diacu dalam Park et al. 2002).
Enzim jenis ini secara luas digunakan dalam industri kimia, industri obat,
makanan dan eksperimen biologi molekular.
Tipe kedua adalah metallokolagenase terdiri dari zinc yang mengandung
enzim yang membutuhkan kalsium untuk kestabilan (Stricklin et al. 1977 diacu
dalam Park et al. 2002). Metallokolagenase termasuk dalam enzim ekstraseluler
yang terlibat dalam pembentukan kembali matriks ekstraseluler dengan berat
molekul yang bervariasi dari 30 hingga 150 kDa (Park et al. 2002). Kolagenase
aktif pada pH 6,6 hingga 8,0 dan inaktif pada pH dibawah 5,0. Kolagenase
memiliki berat molekul sebesar 25.000 Da dan mampu dihambat aktivitasnya oleh
DFP
(Diisopropyhfluorophosphate),
TLCK
(N-P-toluenesulfonyl-L-lysine
chloromethyl keton), dan PMSF (Penil Metil Sufonil Floride) (Simpson 2000).
2.6
Peranan Katepsin dan Kolagenase dalam Kemunduran Mutu
Ketika ikan mati (fase pre rigor) maka kondisi menjadi anaerob dan ATP
terurai oleh enzim yang terdapat di dalam tubuh ikan dengan melepaskan energi.
Proses ini kemudian diikuti dengan peristiwa glikolisis yang akan menguraikan
glikogen menjadi asam laktat. Pembentukan asam laktat akan menyebabkan
terjadinya penurunan pH, dan jaringan otot tidak mampu mempertahankan
fleksibilitasnya. Kondisi inilah yang dikenal dengan istilah rigor mortis
(FAO 1995). Nilai pH yang semakin menurun mengakibatkan katepsin yang
terdapat dalam jaringan otot menjadi aktif (Simpson 2000).
Pengaktifan enzim katepsin selanjutnya akan menyebabkan terjadinya
penguraian protein menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana. Hal ini
menimbulkan terjadinya akumulasi metabolit dan pembentukan senyawa-senyawa
basa volatil yang berakibat terhadap kenaikan pH dan peningkatan jumlah bakteri
karena senyawa-senyawa basa tersebut merupakan media yang sangat cocok bagi
pertumbuhan bakteri terutama golongan bakteri pembusuk (Lawrie 1985).
17
Aktivitas katepsin akan memberikan pengaruh pada tekstur daging ikan
karena katepsin dapat menurunkan fleksibilitas (kekenyalan) sehingga daging ikan
menjadi tidak elastis dan jaringan daging ikan melunak (lembek). Daging yang
melunak ini merupakan salah satu sumber masalah pada industri surimi karena
katepsin dapat menurunkan kemampuan pembentukan gel dalam proses
pembuatan surimi dari daging ikan akibat degradasi protein miofibril yang dapat
mengurangi elastisitas dan kekuatan gel surimi (Jiang 2000).
Kolagen adalah polimer asam amino yang mempunyai residu non polar
dan sebagian besar
mengandung prolin dan
hidroksi
prolin. Matriks
Metalloproteinases (MMPs) merupakan salah satu tipe enzim yang berperan
dalam pendegradasian kolagen. Famili Metalloproteinases terbagi dalam empat
subfamili yaitu kolagenase, gelatinase, stromelysin, dan membrane MMP.
Kolagenase dan beberapa subfamili metalloproteinase mampu memecah triple
helical dari kolagen yang akhirnya mendegradasi kolagen yang menghasilkan
hidrolisis asam amino glysin dan leusin dari rantai α molekul kolagen. Serin
kolagenase dan cistein akan mendegradasi bagian lain dari kolagen yang tidak
memiliki struktur helic (Saito et al. 2000). Aktivitas kolagenase pada hati ikan
mempengaruhi tekstur ikan setelah mati sehingga jaringan daging melunak
(Simpson 2000).
18
3. METODOLOGI
3.1
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan April sampai Bulan Juli 2008 di
Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Hasil Perairan, Laboratorium Biokimia,
Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Laboratorium Penelitian I, Departemen Biokimia,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Laboratorium Terpadu,
Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
3.2
Bahan dan Alat Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari bahan utama
berupa jeroan ikan bandeng (Chanos chanos) dengan ukuran 200-250 gr/ekor.
Ikan bandeng yang digunakan diberi empat perlakuan yaitu ikan bandeng yang
dipuasakan sebelum dipanen dan disimpan pada suhu ruang (sampel A), ikan
bandeng yang tidak dipuasakan dan disimpan pada suhu ruang (sampel B), ikan
bandeng yang dipuasakan sebelum dipanen dan disimpan pada suhu chilling
(sampel C) dan
ikan bandeng yang tidak dipuasakan pada penyimpanan
suhu chilling (sampel D). Bahan-bahan untuk analisis pH (larutan buffer standar
pH 7, akuades), analisis TPC (larutan garam 0,85 % steril, nutrient agar), analisis
TVB (H3BO3, K2CO3, trichloroacetic acid (TCA) 7 %, HCl 0,01 N).
Bahan-bahan untuk ekstraksi enzim katepsin adalah buffer tris HCl
(pH 7,4), assay aktivitas enzim katepsin (hemoglobin HCl 1N, TCA 5 %, pereaksi
folin, tirosin), pembuatan kolagen (kulit ikan bandeng dan asam asetat), ekstraksi
enzim kolagenase (buffer tris-HCl (pH 8,0) yang terdiri dari 0,25 % Triton-X 100
dan 10 mM CaCl2), assay aktivitas enzim kolagenase (tris-HCl (pH 7,5) yang
mengandung 5 mM CaCl2, TCA 50 % ninhydrin, 50 % 1-propanol), dan
pengukuran konsentrasi protein enzim (bovine serum albumin (BSA), coomassie
brilian blue G-250, etanol 95 % (v/v), asam fosfat 85 % (w/v), dan akuades.
Alat-alat yang digunakan yaitu refrigerator, inkubator (Termolina), oven
(Yammato), sentifuse suhu dingin (Bed Man), spektrofotometer (Yamato),
mikropipet (Pipetman), tip, timbangan analitik, homogenizer, magnetic stirrer,
hot plate, pipet volumetrik, bulb, pipet tetes, tabung reaksi, cawan petri,
19
erlenmeyer, pH meter, kapas, tisu, aluminium foil, bunsen, beaker glass dan
peralatan gelas lainnya serta peralatan uji organoleptik.
3.3
Tahapan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam empat tahap, meliputi penelitian tahap 1
untuk menentukan fase post mortem ikan secara organoleptik, tahap 2 untuk
mempelajari pola kemunduran mutu ikan, tahap 3 untuk mengekstraksi enzim
katepsin dan tahap 4 proses ekstraksi enzim kolagenase.
3.3.1 Penentuan fase post mortem ikan secara organoleptik (BSN 2006)
Penelitian tahap ini bertujuan untuk mengetahui waktu terjadinya fase
post mortem ikan, meliputi pre rigor, rigor mortis, post rigor, dan waktu ketika
pembusukan berlangsung cepat serta fase sangat busuk dimana terjadi pemecahan
perut ikan atau belly bursting (pada penyimpanan suhu chilling). Pada tahap ini
dilakukan penyimpanan pada suhu ruang (26-30 0C) dan suhu chiling ((-1)-5 0C).
Penyimpanan pada suhu ruang dilakukan selama 19 jam dengan interval
waktu pengamatan satu jam, sedangkan pada suhu chilling penyimpanan
dilakukan selama 971 jam (41 hari) dengan interval waktu pengamatan 12 jam
hingga ditemukannya proses pemecahan perut (belly bursting). Pengamatan
dilakukan secara organoleptik menggunakan scoresheet berdasarkan SNI 012346-2006 (Lampiran 1a) dan scoresheet organoleptik dinding perut dan isinya
(intestine) ikan segar (Laporan Penelitian Lembaga Teknologi Perikanan, No.2
1973 diacu dalam Ilyas 1983) (Lampiran 1b).
3.3.2 Penentuan pola kemunduran mutu ikan
Penentuan pola kemunduran mutu ikan bertujuan untuk mengetahui pola
dan perbedaan pola kemunduruan mutu antara sampel A, B, C dan D berdasarkan
analisis tingkat kesegaran ikan pada setiap tahap post mortem. Pada tahap ini
dilakukan pengamatan terhadap sampel ikan berdasarkan waktu yang didapat dari
hasil penentuan fase post mortem pada penelitian tahap 1. Analisis yang dilakukan
pada setiap pengamatan scorsheet berdasarkan SNI 01-2346-2006 (BSN 2006),
scoresheet organoleptik dinding perut dan isinya (intestine) ikan segar (Laporan
Penelitian Lembaga Teknologi Perikanan, No.2 1973 diacu dalam Ilyas 1983), uji
20
nilai pH (Apriyanto et al. 1989), uji total plate count (Fardiaz 1987), uji total
volatil base (Apriyanto et al. 1989).
3.3.3 Ekstraksi enzim katepsin (Dinu et al. 2002)
Penelitian tahap ini bertujuan untuk memperoleh ekstrak kasar enzim
katepsin yang siap digunakan dalam pengujian selanjutnya. Ekstraksi katepsin
dilakukan pada sampel A, B, C dan D pada setiap tahap kemunduran mutu. Proses
ektraksi katepsin dilakukan dengan metode analisis
yang mengacu pada
Dinu et al. 2002.
Tahap pertama dilakukan preparasi sampel untuk memperoleh ekstrak
kasar protease dengan cara ikan dimatikan, kemudian perut ikan dibedah dan
jeroan ikan diambil dengan cepat. Jeroan ikan disuspensikan dalam akuades
dengan
perbandingan
jeroan
ikan
dan
akuades
sebesar
1:5,
lalu
dihomogenisasikan pada suhu 0-4 0C. Ekstrak daging hasil homogenisasi ini
disentrifuse pada 1.000 rpm selama 10 menit dan supernatan yang diperoleh
kemudian disentrifuse lagi pada 10.000 rpm selama 10 menit. Pelet yang
dihasilkan dari sentrifugasi ini kemudian dilarutkan dalam 0,1 M buffer
tris HCl 7,4 (Lampiran 2a) dengan jumlah yang sama seperti jumlah akuades tadi
dan disentrifuse pada 4.000 rpm selama 10 menit. Supernatan (ekstrak kasar
enzim) yang diperoleh merupakan protein utama dari mitokondria dan lisosom
yang siap untuk diteliti aktivitasnya lebih lanjut.
3.3.4 Ekstraksi enzim kolagenase (Moore dan Stein 1954 diacu dalam Kim et al.
2002)
Penelitian tahap ini bertujuan untuk memperoleh ekstrak kasar enzim
kolagenase yang siap digunakan dalam pengujian selanjutnya. Ekstraksi
kolagenase dilakukan pada sampel A, B, C dan D pada setiap tahap kemunduran
mutu.
Proses ekstraksi dilakukan dengan cara mencuci jeroan ikan bandeng
dengan air dingin, dan ditambahkan dengan 100 mM buffer Tris-HCl (pH 8,0)
(Lampiran 2b), dengan perbandingan bahan baku : larutan buffer adalah 1:5,
kemudian dihomogenkan dengan homogenezer. Selanjutnya jeroan yang telah
homogen tersebut, disentrifugasi dengan kecepatan 7.000 rpm selama 20 menit.
21
Setelah itu, pelet yang telah dihasilkan disentrifugasi kembali dengan kecepatan
7.000 rpm selama 20 menit menggunakan larutan buffer yang sama. Perbandingan
antara bahan baku:larutan buffer sebesar 1:3. Selanjutnya supernatan yang
dihasilkan ditambahkan dengan 20 mM Tris-HCl (pH 8,0) yang terdiri dari
0,36 mM CaCl2, dan didiamkan pada suhu rendah (± 4 0C) selama 48 jam.
Larutan yang dihasilkan merupakan ekstrak kasar kolagenase yang akan
digunakan untuk pengujian selanjutnya.
3.4
Prosedur Analisis
Sampel ikan pada setiap waktu tahap post mortem akan dilakukan analisis,
meliputi analisis tingkat kesegaran ikan (penilaian organoleptik, penentuan nilai
pH, perhitungan total bakteri dengan menggunakan metode TPC, perhitungan
TVB), uji aktivitas katepsin, uji aktivitas kolagenase, dan pengukuran konsentrasi
protein enzim.
3.4.1 Uji organoleptik (BSN 2006)
Metode yang digunakan untuk uji organoleptik adalah dengan scoresheet
berdasarkan SNI 01-2346-2006 (BSN 2006) dan scoresheet organoleptik dinding
perut dan isinya (intestine) ikan segar (Laporan Penelitian Lembaga Teknologi
Perikanan, No.2 1973 diacu dalam Ilyas 1983). Pengujian organoleptik
merupakan cara pengujian yang bersifat subjektif menggunakan indera yang
ditujukan pada mata, insang, lendir permukaan badan, daging, bau, tekstur dan isi
perut (jeroan) sampel ikan. Pada uji organoleptik ini ada beberapa syarat yang
harus dipenuhi oleh panelis (SNI 01-2346-2006), antara lain : tertarik dan mau
berpartisipasi dalam uji organoleptik, terampil dan konsisten dalam mengambil
keputusan, siap sedia pada saat dibutuhkan dalam pengujian, tidak menolak
contoh yang akan diuji, berbadan sehat, bebas dari penyakit THT dan tidak buta
warna (psikologis), tidak sedang merokok, serta jumlah panelis minimum untuk
satu kali pengujian adalah 15 orang (panelis semi terlatih). Dari data yang
diperoleh, kemudian dilakukan analisis kesegaran ikan dengan kriteria:
Segar
: nilai organoleptik berkisar antara 7-9
Agak segar
: nilai organoleptik berkisar antara 5-6
Tidak segar
: nilai organoleptik berkisar antara 1-3
22
3.4.2 Nilai pH (Apriyantono et al. 1989)
Analisis derajat keasaman (pH) ditentukan menggunakan alat pH meter
yang sebelumnya telah dikalibrasi terlebih dahulu. Alat pH meter dinyalakan dan
dibiarkan stabil selama 15-20 menit, kemudian elektroda dibilas dengan larutan
buffer atau akuades. Bila menggunakan akuades, elektroda dikeringkan dengan
kertas tisu. Elektroda dicelupkan ke dalam larutan buffer dan didiamkan beberapa
saat hingga diperoleh pembacaan yang stabil.
Angka pH meter disesuaikan
dengan pH buffer, yaitu buffer pH 4 dan buffer pH 7. Sampel sebanyak 10 gram
yang diambil dari bagian dinding perut ikan dihancurkan dan dihomogenkan
dengan 90 ml air destilata, lalu dibiarkan ±15 menit untuk diukur pH-nya.
3.4.3 Uji total plate count (TPC) (Fardiaz 1987)
Prinsip kerja analisis TPC adalah perhitungan jumlah bakteri yang ada di
dalam sampel (jeroan ikan) dengan pengenceran sesuai keperluan dan dilakukan
secara duplo. Pembuatan larutan contoh dilakukan dengan mencampurkan
10 g sampel yang telah dihancurkan yang diambil dari bagian jeroan ikan, lalu
dimasukkan kedalam botol yang berisi 90 ml larutan garam 0,85 % steril,
kemudian dikocok sampai larutan homogen. Campuran larutan contoh tersebut
diambil 1 ml dan dimasukkan kedalam botol berisi 9 ml larutan garam
0,85 % steril sehingga diperoleh contoh dengan pengenceran 10-2, setelah itu
dikocok agar homogen. Banyaknya pengenceran dilakukan sesuai dengan
keperluan penelitian, biasanya sampai pengenceran 10-5. Pemipetan dilakukan dari
masing-masing tabung pengenceran sebanyak 1 ml larutan contoh dan
dipindahkan ke dalam cawan petri steril secara duplo menggunakan pipet steril.
Media agar dimasukkan ke dalam cawan petri sebanyak 10 ml dan digoyangkan
sampai permukaan agar merata (metode tuang), kemudian didiamkan beberapa
saat hingga dingin dan mengeras. Cawan petri yang telah berisi agar dan larutan
contoh dimasukkan kedalam inkubator pada suhu 30 0C selama 48 jam dengan
posisi cawan petri yang dibalik. Selanjutnya dilakukan pengamatan dengan
menghitung jumlah koloni yang ada di dalam cawan petri tersebut. Jumlah koloni
bakteri yang dihitung adalah cawan petri yang mempunyai koloni bakteri
30-300 koloni.
23
3.4.4 Uji total volatile base (TVB) (Apriyantono et al. 1989)
Penetapan ini bertujuan untuk menentukan jumlah kandungan senyawasenyawa basa volatil yang terbentuk akibat degradasi protein. Prinsip dari analisis
TVB adalah menguapkan senyawa-senyawa basa volatil (amin, mono-, di-, dan
trimetilamin). Senyawa tersebut kemudian diikat oleh asam borat dan kemudian
dititrasi dengan larutan HCl.
Preparasi sampel dilakukan dengan cara menimbang 15 g sampel yang
diambil dari jeroan ikan, kemudian ditambahkan 45 ml TCA 7 % dan
dihomogenkan selama 1 menit. Hasil homogenisasi kemudian disaring sehingga
diperoleh filtrat yang berwarna jernih. Setelah penyiapan sampel maka dilakukan
uji TVB dengan cara memasukkan 1 ml H3BO3 ke dalam inner chamber cawan
conway dan tutup cawan diletakkan dengan posisi hampir menutupi cawan. Filtrat
dimasukkan ke dalam outer chamber disebelah kiri. Kemudian 1 ml
larutan K2CO3 jenuh ditambahkan ke dalam outer chamber sebelah kanan
sehingga filtrat dan
K2CO3 tidak tercampur. Sebelum cawan ditutup pinggir
cawan diolesi vaselin agar proses penutupan sempurna, lalu digerakkan memutar
sehingga kedua cairan di outer chamber tercampur. Disamping itu dikerjakan
blanko dengan prosedur yang sama tetapi filtrat diganti dengan TCA 7 %. Kedua
cawan Conway tersebut diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 0C. Setelah
diinkubasi, larutan asam borat dalam inner chamber cawan conway yang berisi
blanko dititrasi dengan larutan HCl 0,01 N dan cawan digoyang-goyang sampai
larutan asam borat berubah warna menjadi merah muda. Selanjutnya cawan
conway yang berisi sampel juga dititrasi dengan larutan yang sama dengan
blanko. Kadar TVB dapat dihitung dengan menggunakan rumus ;
%N (mg N/100g) = (j – i) x N HCl x
100 x fp x 14 mg N/100 g
g contoh
1
Keterangan :
J
: ml titrasi sampel
fp
: factor pengenceran
I
: ml titrasi blanko
N
: normalitas HCl
3.4.5 Assay aktivitas katepsin (Dinu et al. 2002)
Aktivitas proteolitik dari katepsin diuji menggunakan hemoglobin
terdenaturasi asam sebagai substratnya. Sebanyak 8 % hemoglobin dilarutkan
24
dalam akuades dengan perbandingan 1:3. Kemudian pH dibuat menjadi 2,0
dengan HCl 1 N dan konsentrasi akhir hemoglobin dibuat sebesar 2 % dengan
akuades. Selanjutnya 1 ml dari larutan substrat diinkubasi dengan 0,2 ml
larutan enzim pada 37 0C selama 10 menit. Reaksi dihentikan dengan penambahan
2 ml TCA 5 % (Lampiran 2c). Setelah 15 menit pada suhu ruang campuran
disaring. Supernatan (1 ml) ditambahkan dengan 1 ml pereaksi folin dan
diinkubasi pada suhu ruang selama 15 menit serta diukur absorbansinya pada
750 nm. Selain itu dilakukan pula pengukuran untuk larutan blanko dan larutan
standar dengan prosedur yang sama seperti larutan sampel hanya untuk larutan
blanko dan larutan standar enzimnya digantikan dengan akuades dan tirosin.
Aktivitas enzim protease dapat dihitung dengan rumus berikut :
UA = Absorbansi sampel – absorbansi blanko x P x 1
Absorbansi standar – absorbansi blanko
T
Keterangan
: P = faktor pengenceran (5);
T = waktu inkubasi (10 menit)
3.4.6 Assay aktivitas kolagenase (Moore dan Stein (1954) diacu dalam Park et al.
2002)
Aktivitas kolagenolitik dapat diukur dengan metode Moore dan Stein
(1954) yang telah dimodifikasi. Sebelum dilakukan pengukuran aktivitas
kolagenase terlebih dahulu dilakukan proses pembuatan kolagen sebagai substrat
dengan menggunakan metode modifikasi Lestari (2005). Tahap pembuatan
kolagen dari kulit ikan bandeng meliputi pembersihan dan preparasi, perendaman
dalam larutan asam dan ekstraksi. Pada tahap pembersihan dan preparasi, sisa
daging, lemak, dan kotoran lainnya dibersihkan kemudian dipotong dengan
ukuran 8x5 cm untuk memudahkan homogenisasi saat perendaman dan ekstraksi.
Kulit yang telah dipotong direndam dalam larutan asam asetat 1,5 % selama
24 jam dengan perbandingan kulit : asam asetat 1:2. Selanjutnya kulit dicuci
hingga keasamannya hilang. Kulit yang telah mengembang tersebut diekstrak
dalam air dengan perbandingan kulit : air sebesar 2:1. Ekstraksi dilakukan selama
3 jam pada suhu 40-50 0C. Cairan hasil ekstraksi disaring menjadi larutan
kolagen.
Aktivitas kolagenolitik selanjutnya diukur dengan mereaksikan 5 ml
kolagen dengan 1ml 0,05 M Tris-HCl (pH 7,5) yang mengandung 5 mM CaCl2
25
(Lampiran 2d) dan 0,1 ml larutan enzim diinkubasi pada suhu 37 0C selama 1 jam.
Reaksi dihentikan dengan penambahan 0,2 ml 50 % TCA. Setelah 10 menit pada
suhu ruang disaring dengan menggunakan kertas saring. Supernatan (0,2 ml)
dicampur dengan 1,0 ml larutan ninhydrin yang diencerkan, diinkubasi pada
suhu 100 0C selama 20 menit, kemudian didinginkan pada suhu kamar. Campuran
tersebut diencerkan dengan 5 ml 50 % 1-propanol untuk pengukuran absorbansi
dengan panjang gelombang 570 nm. Larutan buffer (50 mM Tris-HCl pH 7,5)
yang mengandung 5 mM CaCl2 digunakan sebagai pengganti larutan enzim
sebagai kontrol, dan larutan tirosin digunakan sebagai larutan standar enzim
kolagenase. Aktivitas kolagenase dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
UA = Absorbansi sampel – absorbansi blanko x P x 1
Absorbansi standar – absorbansi blanko
T
Keterangan
: P = faktor pengenceran (5);
T = waktu inkubasi (60 menit)
3.4.7 Pengukuran konsentrasi protein enzim (Bradford 1976)
Konsentrasi protein ditentukan dengan menggunakan metode Bradfort
dengan bovine serum albumin sebagai standar. Persiapan pereaksi Bradford
dilakukan dengan cara melarutkan 25 mg coomasie brilliant blue G-250 dalam
12,5 ml etanol 95 %, lalu ditambahkan dengan 25 ml asam fosfat 85 % (w/v). Jika
telah larut dengan sempurna, maka ditambahkan akuades hingga 0,5 liter dan
disaring dengan kertas saring Whatman no.1 dan diencerkan lima kali sesaat
sebelum digunakan.
Konsentrasi protein ditentukan menggunakan metode Bradford dengan
cara 0,1 ml enzim dimasukkan kedalam tabung reaksi. Kemudian ditambahkan
sebanyak 5 ml pereaksi Bradford, diinkubasi selama lima menit dan diukur
dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 595 nm. Demikian pula untuk
larutan standar dilakukan sama dengan larutan sampel dengan konsentrasi antara
0,1-1,0 mg/ml. Nilai absorbansi yang didapat kemudian dimasukkan kedalam
kurva standar Bradfort untuk menentukan konsentrasi protein yang terkandung
dalam sampel enzim.
Larutan standar dibuat dengan cara melarutkan 100 mg protein BSA
kedalam 50 ml akuades, sebagai larutan stok dengan konsentrasi 2 mg/ml. Larutan
26
stok diencerkan menjadi beberapa larutan dengan konsentrasi yang lebih rendah
yaitu 0,1-1,0 mg/ml. Tabel komposisi volume larutan dalam pembuatan larutan
standar konsentrasi 0,1-1,0 mg/ml dari larutan stok BSA konsentrasi 2 mg/ml
disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Pembuatan larutan standar BSA konsentrasi 0,1-1,0 mg/ml
Konsentrasi BSA
(mg/ml)
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
1,0
3.5
Volume BSA
(ml)
0,025
0,050
0,075
0,10
0,125
0,150
0,175
0,20
0,225
0,250
Volume akuades
(ml)
0,475
0,450
0,425
0,400
0,375
0,350
0,325
0,300
0,275
0,250
Analisis Data
Hasil yang diperoleh dari pengamatan serta pengukuran terhadap nilai
organoleptik, pH, TPC, TVB, aktivitas enzim katepsin dan kolagenase, serta
konsentrasi protein enzim dicari nilai rata-ratanya. Nilai rata-rata tersebut dihitung
menggunakan rumus berikut (Steel dan Torrie 1989) :
n
Xi
X
i 1
n
Keterangan :
X = Nilai rata-rata
N = Jumlah data
Xi = Nilai X ke-i
Analisis terhadap hubungan tingkat kesegaran ikan (TPC, TVB, dan nilai
pH), nilai aktivitas enzim dan konsentrasi protein enzim dilakukan melalui uji
ragam (ANOVA) berupa rancangan acak kelompok dengan 4 perlakuan (sampel
A, B, C dan D) dan 5 kelompok (pre rigor, rigor mortis, post rigor, busuk dan
sangat busuk). Persamaan umum model rancangan tersebut sebagai berikut:
Yij = µ + τi + βj + εij
Keterangan:
Yij
= nilai pengamatan pada perlakuan ke-i kelompok ke-j
µ
= nilai tengah populasi
27
τi
βj
εij
= pengaruh perlakuan τ taraf ke-i
= pengaruh kelompok β taraf ke-j
= galat percobaan pada perlakuan ke-i kelompok ke-j
Hipotesis yang digunakan adalah :
1. Hipotesis perlakuan
a. H0 : pengaruh perlakuan tidak berbeda nyata
b. H1 : minimal ada 1 perlakuan yang memberikan pengaruh berbeda nyata
2. Hipotesis kelompok
a. H0 : pengaruh kelompok tidak berbeda nyata
b. H1 : minimal ada 1 kelompok yang memberikan pengaruh berbeda nyata
Apabila pengaruh perlakuan dan kelompok berbeda nyata dengan selang
kepercayaan
95
%
(P<0.05),
maka
diadakan
uji
lanjut
Duncan
(Steel dan Torrie 1989).
Derajat hubungan linier antara aktivitas enzim (katepsin dan kolagenase)
n
Xi
X
i
1
n
terhadap parameter kesegaran mutu (nilai organoleptik, pH, TVB, TPC) dilihat
menggunakan koefisien korelasi linier sederhana dengan rumus (Snedecor dan
Cochran 1967):
r
xy
x2
y2
Keterangan:
x = simpangan dari rataan peubah pertama (yang mempengaruhi)
y = simpangan dari rataan peubah kedua (yang dipengaruhi)
Nilai derajat korelasinya adalah:
r ≥0,7
: hubungan sangat erat
0,5<r <0,7
: hubungan erat
r ≤0,5
: hubungan tidak erat
28
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Penentuan Fase Post Mortem Ikan
Penentuan fase post mortem ikan dilakukan untuk mengetahui dan menilai
derajat kesegaran ikan bandeng serta waktu dan lama terjadinya tahapan-tahapan
kemunduran mutu pada ikan bandeng melalui metode penilaian sensori, yakni
secara organoleptik. Berdasarkan hasil pengamatan kondisi post mortem sampel A
dan B diperoleh empat titik analisis pola kemunduran mutu ikan. Pada sampel A
dan B kondisi pre rigor (sesaat setelah ikan dimatikan) terjadi pada jam ke 0
penyimpanan, rigor mortis pada jam ke-10 penyimpanan, post rigor pada
jam ke-15 dan fase busuk terjadi pada jam ke-19 penyimpanan. Pada sampel C
dan D diperoleh lima titik analisis pola kemunduran mutu. Fase pre rigor terjadi
pada jam ke-0 penyimpanan, rigor mortis pada jam ke-84 penyimpanan,
post rigor pada jam ke-300 penyimpanan, fase busuk berlangsung pada jam ke540 dan fase sangat busuk terjadi pada jam ke-971 penyimpanan.
Fase pre rigor merupakan perubahan pertama yang terjadi ketika ikan mati
yang ditandai dengan melemasnya otot-otot ikan sesaat setelah ikan mati sehingga
ikan mudah dilenturkan. Sampel A dan B (penyimpanan suhu ruang) mengalami
masa pre rigor selama 10 jam sedangkan sampel C dan D (penyimpanan suhu
chilling) mengalami pre rigor selama 84 jam (4 hari) penyimpanan. Fase
rigor mortis ditandai dengan keadaan otot yang kaku atau menjadi lebih keras dari
keadaan sebelumnya. Pada ikan, otot yang kaku itu biasanya bermula dari ekor,
berangsur-angsur menjalar sepanjang tubuh kearah kepala. Sekujur tubuh ikan
menjadi kaku biarpun dipegang dikepalanya pada posisi horizontal, ikan tidak
terkulai.
Menurut Ilyas (1983) fase rigor mortis ini dapat berlangsung beberapa jam
sampai beberapa hari, tergantung dari sejumlah faktor. Biasanya proses ini
berlangsung sekitar 5 jam. Waktu yang diperlukan ikan memasuki, melewati, dan
melalui masa rigor mortis tergantung pada jenis dan ukuran ikan, kondisi fisik,
derajat keletihan sebelum atau sesaat mati, cara penanganan selama kejang dan
suhu penyimpanan ikan. Pada penelitian ini sampel A dan B (penyimpanan
suhu ruang) mengalami masa rigor mortis selama 5 jam sedangkan sampel C dan
29
D (penyimpanan suhu chilling) mengalami rigor mortis selama 216 jam (9 hari)
penyimpanan.
Fase terakhir dari post mortem ikan adalah fase post rigor yang merupakan
permulaan dari proses pembusukan. Fase ini ditandai dengan melunaknya kembali
otot ikan secara perlahan-lahan yang disebabkan oleh autolisis, pembusukkan oleh
bakteri dan ketengikan. Pada umumnya proses ini berlangsung singkat karena
bakteri segera berkembang dan hanya dapat ditunda dengan menurunkan suhu.
Pada penelitian ini sampel A dan B (penyimpanan suhu ruang) mengalami masa
post rigor selama 4 jam sedangkan sampel C dan D (penyimpanan suhu chilling)
mengalami post rigor selama 431 jam (18 hari) penyimpanan.
Pada tahap post rigor, peran bakteri dalam kerusakan ikan mulai tampak
menonjol setelah dihasilkan senyawa-senyawa sederhana hasil autolisis yang
berfungsi sebagai media pertumbuhannya. Pertumbuhan bakteri yang luar biasa
cepat ini menyebabkan proses kerusakan ikan juga berlangsung semakin cepat
(Eskin 1990). Proses perubahan selanjutnya merupakan satu perangkat yang
kompleks dari reaksi biokimia dan tergantung pada jumlah dan jenis enzim yang
ada pada ikan dan bakteri yang menghuni ikan. Arah dan kelanjutan dari
perubahan biokimia oleh enzim itu tergantung pada substrat, pH, suhu dan adanya
oksigen (Bihan et al. 2006).
4.2 Pola Kemunduran Mutu Ikan
Penelitian pola kemunduran mutu ikan bertujuan untuk mengetahui pola
dan perbedaan pola kemunduruan mutu antara sampel A, B, C, dan D berdasarkan
analisis tingkat kesegaran ikan pada setiap tahap post mortem. Pada tahap ini
dilakukan pengamatan terhadap sampel ikan A, B, C, dan D berdasarkan waktu
yang didapat dari hasil penentuan fase post mortem pada penelitian tahap 1 secara
subjektif yaitu uji organoleptik dan objektif yaitu uji TPC, TVB, pH dengan
mengambil sampel dari bagian jeroan ikan bandeng. Uji objektif pada sampel A
dan B dilakukan pada 4 titik, yaitu pada fase pre rigor, rigor mortis, post rigor
dan busuk. Uji objektif pada sampel C dan D dilakukan pada 5 titik yaitu
pre rigor, rigor mortis, post rigor, busuk dan sangat busuk.
30
4.2.1 Penilaian Organoleptik
Pengamatan organoleptik untuk setiap faktor-faktor mutu dilakukan
dengan mengamati kondisi ikan secara keseluruhan termasuk semua bagianbagian ikan yang mengalami perubahan penurunan mutu, seperti keadaan mata,
insang, lendir permukaan badan, jeroan dan organ-organ yang terdapat di dalam
jeroan ikan, selaput rongga perut dan khusus untuk pengamatan terhadap sayatan
daging dilakukan pada ikan bandeng yang telah disayat dagingnya.
Selama
proses
deteriorasi
(kemunduran
mutu),
ikan
mengalami
perubahan-perubahan organoleptik yang dapat diamati dengan menilai derajat
kesegaran ikan tersebut. Untuk mengetahui derajat kesegaran ikan, faktor-faktor
mutu organoleptik diberi nilai dengan angka 9 untuk nilai yang terbaik dan angka
1 untuk nilai terjelek. Sebagai batas baik dan jelek diambil angka 5 yang juga
disebut garis batas (Ilyas 1983). Rata-rata nilai organoleptik pada sampel A, B, C,
dan D disajikan pada Gambar 3.
Rata-rata Nilai Organoleptik Ikan Bandeng Utuh
10
8
6
4
2
0
0
5
10
15
20
Waktu Penyimpanan Suhu Ruang (Jam)
0
200
400
600
800
1000
1200
Waktu Penyimpanan Suhu Chilling (Jam)
A
B
C
D
(Dipuasakan, Penyimpanan Suhu Ruang)
(Tidak dipuasakan, Penyimpanan Suhu Ruang)
(Dipuasakan,Penyimpanan Suhu Chilling)
(Tidak dipuasakan, Penyimpanan suhu Chilling)
Gambar 3. Rata-rata nilai organoleptik sampel A, B, C, dan D
Berdasarkan Gambar 3 dapat dilihat bahwa rata-rata nilai organoleptik
sampel A, B, C dan D menunjukkan nilai organoleptik yang semakin menurun
dengan semakin lamanya waktu penyimpanan. Sampel A dan B (penyimpanan
suhu ruang) memiliki nilai organoleptik yang sama pada setiap fase kemunduran
31
mutu. Pada fase rigor mortis sampel D memiliki nilai organoleptik yang lebih
rendah dibandingkan dengan sampel C. Hal ini disebabkan karena pengaruh
perlakuan sebelum ikan dipanen. Sampel D yang tidak dipuasakan sebelum
dipanen memiliki jeroan yang penuh makanan. Keberadaan makanan ini
merupakan substrat yang baik bagi bakteri pembusuk, sumber enzim dan sumber
pembusukan lainnya.
Kondisi pre rigor sampel A, B, C, dan D menunjukkan nilai organoleptik
9. Hal ini menggambarkan bahwa ikan bandeng dalam kondisi sangat segar. Ikan
yang masih segar memiliki penampilan yang menarik. Ikan tampak cemerlang,
mengkilap keperakan sesuai jenisnya. Permukaan tubuh tidak berlendir, atau
berlendir tipis dengan lendir bening dan encer. Sisik tidak mudah lepas, perut
padat dan utuh, sedangkan lubang anus tertutup. Mata ikan cerah, putih jernih,
tidak berdarah dengan pupil hitam. Insang masih tampak cerah dan tidak
berlendir. Ikan masih lentur dengan tekstur daging pejal dan jika ditekan cepat
pulih. Bau ikan segar atau sedikit agak amis.
Pada fase rigor mortis ikan bandeng memiliki nilai organoleptik sekitar
6-8 dengan ciri-ciri mata cerah, bola mata menonjol, kornea jernih, pupil
berwarna putih. Insang berwarna merah kurang cemerlang, ada sedikit lendir.
Permukaan kulit mengeluarkan lendir dalam jumlah banyak, lapisan lendir agak
keruh, kurang transparan. Sayatan daging cemerlang spesifik jenis, tidak ada
pemerahan sepanjang tulang belakang, dinding perut utuh. Bau segar spesifik
jenis. Tekstur padat, elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari
tulang belakang. Kondisi ikan kaku, ekor mengejang dan sulit dibengkokkan.
Fase post rigor ikan bandeng dengan nilai organoleptik sekitar 5-6
ditunjukkan dengan ciri-ciri bola mata agak cekung, pupil berubah keabu-abuan,
kornea agak keruh. Insang merah agak kusam, sedikit lendir. Permukaan kulit
mengeluarkan lendir tapi tidak terlalu banyak, keruh, warna putih kusam, kurang
transparan. Sayatan daging sedikit kurang cemerlang, sedikit pemerahan
sepanjang tulang belakang, dinding perut agak lunak. Bau agak segar, spesifik
jenis. Tekstur agak lunak, kurang elastis bila ditekan dengan jari, agak mudah
menyobek daging dari tulang belakang, kondisi lemas, bagian ekor dapat
32
dibengkokkan. Nilai organoleptik 5-6 ini merupakan ambang batas antara kondisi
ikan baik dan jelek.
Ikan bandeng yang memasuki fase busuk dan sangat busuk memiliki nilai
organoleptik 3 (busuk) dan 1 (sangat busuk). Nilai ini berada di bawah ambang
batas kondisi ikan masih dapat diterima oleh konsumen, sehingga mutu ikan
dengan nilai tersebut sudah “ditolak” (rejected). Ikan sudah definitif tidak dapat
dimakan (inedible). Ikan ini memiliki ciri-ciri: bola mata sangat cekung, kornea
agak kuning, insang berwarna merah coklat ada sedikit putih, lendir tebal. Lendir
pada permukaan kulit tebal menggumpal, warna kuning kecoklatan. Sayatan
daging kusam sekali, warna merah jelas sekali sepanjang tulang belakang, dinding
perut sangat lunak. Bau busuk jelas. Tekstur sangat lunak, bekas jari tidak hilang
bila ditekan, mudah sekali menyobek daging dari tulang belakang.
Sumber-sumber pembusukan pada ikan yang baru ditangkap tidak
terdistribusi secara merata pada seluruh bagian tubuh ikan, melainkan terpusat
pada tiga tempat yakni lendir pada kulit, insang dan jeroan ikan. Tiga pemusatan
sumber pembusukan ini akan menyerang berbagai bagian tubuh ikan setelah ikan
mati. Jeroan ikan (isi perut) mengandung jumlah bakteri dan sumber enzim
pembusukan yang lebih banyak dari pada insang dan kulit. Rata-rata nilai
organoleptik jeroan ikan (isi perut) disajikan pada Gambar 4.
Rata-rata Nilai Organoleptik Isi Perut (Jeroan) Ikan Bandeng
10
8
6
4
2
0
0
5
10
15
20
Waktu Penyimpanan Suhu Ruang (Jam)
0
200
400
600
800
1000
1200
Waktu Penyimpanan Suhu Chilling (Jam)
A
B
C
D
(Dipuasakan, Penyimpanan Suhu Ruang)
(Tidak dipuasakan, Penyimpanan Suhu Ruang)
(Dipuasakan, Penyimpanan Suhu Chilling)
(Tidak dipuasakan, Penyimpanan Suhu Chilling)
Gambar 4. Rata-rata nilai organoleptik jeroan sampel A, B, C, dan D
33
Berdasarkan Gambar 4 dapat dilihat bahwa rata-rata nilai organoleptik
jeroan (isi perut) sampel A, B, C, dan D mengalami penurunan dengan semakin
meningkatnya waktu penyimpanan. Rata-rata nilai organoleptik jeroan sampel A,
B, C, dan D disajikan pada Lampiran 4. Kondisi jeroan sampel A, B, C, dan D
disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Kondisi jeroan (isi perut) ikan bandeng selama proses kemunduran mutu
Fase
kemun
duran
mutu
Pre
rigor
Rigor
Post
Rigor
Busuk
Ikan A
Ikan B
Ikan C
Ikan D
Susunan jeroan
teratur,
kompak,
cemerlang,
amis
segar,
selaput hitam
mengkilap,
organ melekat
erat, dinding
perut
merah
muda
perak
cemerlang
Susunan organorgan
teratur,
kompak,
cemerlang, amis
segar,
selaput
hitam mengkilap,
organ
melekat
erat,
dinding
perut merah muda
perak cemerlang,
warna lebih gelap
Susunan
isi
perut
teratur,
kompak,
cemerlang, amis
segar, selaput
hitam
mengkilap,
organ melekat
erat,
dinding
perut
merah
muda
perak
cemerlang
Susunan organorgan
teratur,
kompak,
cemerlang, amis
segar,
selaput
hitam mengkilap,
organ
melekat
erat,
dinding
perut merah muda
perak cemerlang,
warna lebih gelap
Ciri-ciri seperti
kondisi
pre
rigor
akan
tetapi
warna
mulai redup
Susunan
organ-organ
tidak teratur,
warna pucat,
bau
amis
alkali, dinding
lembek
dan
tulang rusuk
menonjol
Bau
busuk
menyengat,
dinding perut
mudah rusak,
lendir tebal.
Sama seperti pre
rigor akan tetapi
mulai
terjadi
perubahan warna
Mulai
terjadi
perubahan
warna, dan ada
sedikit lendir
Ciri-ciri seperti
kondisi pre rigor
akan tetapi warna
mulai redup
Organ-organ
tidak
teratur,
warna pucat, bau
amis
alkali,
dinding lembek
dan tulang rusuk
menonjol
Susunan organorgan
tidak
teratur, warna
pucat, bau amis
alkali, dinding
lembek
dan
tulang
rusuk
menonjol
Organ-organ
tidak
teratur,
warna pucat, bau
amis
alkali,
dinding lembek
dan tulang rusuk
menonjol
Bau
busuk
menyengat,
dinding
perut
mudah
rusak,
lendir tebal.
Isi perut mulai
berantakan,
amis
keras,
mudah
lepas
dari
rongga
perut.
isi perut mulai
berantakan, amis
keras,
mudah
lepas dari rongga
perut.
34
Tabel 6. Lanjutan
Kondisi
Sangat
busuk
Susunan
isi
perut
sudah
tidak
teratur,
pucat, bau amis
sekali dinding
lembek,mudah
lepas dan rusuk
menonjol
Susunan
isi
perut
sudah
tidak
teratur,
pucat, bau amis
sekali dinding
lembek,mudah
lepas dan rusuk
menonjol
Pada fase pre rigor, sampel A, B, C, dan D memiliki nilai organoleptik 9
yang menunjukkan bahwa susunan jeroan ikan masih teratur, belum ada
kerusakan organ-organ pencernaan dan organ-organ penting lainnya, serta masih
memiliki bau amis yang spesifik. Ketika ikan memasuki fase rigor mortis ikan
bandeng memiliki nilai organoleptik jeroan sekitar 7-8. Pada kondisi ini jeroan
ikan masih kompak, belum ada kerusakan yang berarti pada susunan organ-organ
seperti ginjal dan sebagainya, bau amis spesifik, namun lendir mulai muncul
disekitar dinding perut.
Fase post rigor dengan nilai organoleptik jeroan 5 menunjukkan kondisi
jeroan dengan susunan yang sudah tidak teratur, organ-organ menjadi lembek,
timbul bau amis, dan terjadi perubahan warna menjadi pucat. Fase busuk dan
sangat busuk (sampel C dan D) ditunjukkan dengan nilai organoleptik jeroan 3
dan 1. Pada fase ini susunan organ-organ sudah berantakan, dinding perut lembek
dan mudah rusak, bau amis yang kuat, warna pucat. Pada fase sangat busuk jeroan
ikan sudah hancur berantakan, bau busuk, lendir semakin tebal dan beberapa
bagian organ telah hancur.
Pada sampel C dan D yang disimpan pada suhu chilling, ketika ikan
berada pada fase sangat busuk terjadi pemecahan perut ikan (belly burst) yang
ditandai dengan terbentuk lubang sekitar anus menuju ke kepala sebesar 0,6 cm
pada sampel C dan 0,7 cm pada sampel D. Keberadaan makanan pada ikan
sebelum dipanen mempengaruhi kemunduran mutu ikan. Hal ini disebabkan
karena bakteri, enzim dan sumber pembusuk lainnya terdapat lebih banyak pada
sampel D dan lebih cepat menguraikan protein serta segera mencerna dinding
sekitar rongga perut sampel D.
35
Pada penelitian ini diperoleh sampel A dan B (penyimpanan suhu ruang)
masih layak konsumsi setelah penyimpanan selama 15 jam sedangkan sampel C
dan D (penyimpanan pada suhu chiling) setelah penyimpanan sekitar 13 hari
(300 jam penyimpanan). Menurut Wibowo dan Yunizal (1998) ikan bandeng utuh
yang disimpan pada suhu sekitar 24-32,2 0C memiliki umur simpan sekitar
9,5-16,5 jam, ikan bandeng utuh dalam kondisi kenyang yang di es memiliki umur
simpan 11 hari dan ikan bandeng utuh dalam kondisi lapar yang di es mampu
bertahan hingga 16 hari. Hal ini membuktikan bahwa umur simpan ikan dapat
dipertahankan dan diperpanjang dengan menurunkan suhu dan praktek-praktek
penanganan yang baik dengan menerapkan rantai dingin. Hal ini disebabkan
karena kemunduran mutu ikan sangat berbeda-beda menurut jenis ikan, musim,
ukuran, kadar senyawa tertentu, suhu, lingkungan hidup dan lain-lain. Semakin
tinggi suhu penyimpanan semakin cepat terjadi penurunan mutu, sehingga
semakin pendek umur simpan ikan tersebut (Ilyas 1983).
4.2.2 Nilai TPC (Total Plate Count)
Pertambahan jumlah bakteri pada ikan basah atau segar dan hasil
perikanan lainnya selama penyimpanan merupakan salah satu indikator
menurunnya derajat mutu kesegaran ikan yang akhirnya mengarah pada
pembusukan (Ilyas 1983). Gejala umum yang terlihat adalah semakin busuk
seekor ikan, akan semakin besar pula jumlah bakterinya. Dengan menghitung
jumlah bakteri yang terdapat pada ikan diharapkan dapat dinilai derajat mutu ikan
tersebut. Perhitungan jumlah bakteri pada penenlitian ini menggunakan metode
total plate count (TPC). Metode ini didasarkan pada anggapan bahwa jumlah
koloni yang muncul pada cawan merupakan suatu indeks bagi jumlah
mikroorganisme
yang
dapat
hidup
yang
terkandung
dalam
sampel
(Hadiwiyoto 1993). Hasil pengujian nilai log TPC jeroan sampel A, B, C, dan D
disajikan pada Gambar 5.
Berdasarkan Gambar 5 diketahui bahwa nilai log TPC jeroan sampel A, B,
C, dan D mengalami peningkatan pada tiap fase kemunduran mutu. Hasil uji
ragam (ANOVA α=0,05) menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi kondisi ikan
sebelum dipanen dan suhu penyimpanan dari masing-masing sampel A, B, C dan
36
D memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap jumlah bakteri pada tingkat
kepercayaan 95 %.
10
Rata-rata Nilai Log TPC (CFU/ml)
8
6
4
2
0
0
5
10
15
20
Waktu Penyimpanan Suhu Ruang (Jam)
0
200
400
600
800
1000
1200
Waktu Penyimpanan Suhu Chilling (Jam)
A
B
C
D
(Dipuasakan, Penyimpanan Suhu Ruang)
(Tidak dipuasakan, Penyimpanan Suhu Ruang)
(Dipuasakan, Penyimpanan Suhu Chilling)
(Tidak dipuasakan, Penyimpanan Suhu Chilling)
Gambar 5. Rata-rata nilai log TPC jeroan sampel A, B, C, dan D
Nilai log TPC sampel A, B, C, dan D pada fase pre rigor secara berturutturut adalah 3,69 CFU/ml, 3,82 CFU/ml, 3,69 CFU/ml, 3,82 CFU/ml. Sampel B
dan D (ikan yang tidak dipuasakan sebelum dipanen) memiliki nilai TPC yang
lebih tinggi dibandingkan dengan sampel A dan C (ikan yang dipuasakan sebelum
dipanen). Jumlah bakteri tertinggi ditemukan pada perlakuan ikan tidak
dipuasakan dan disimpan pada suhu chilling (sampel D) yaitu 9 CFU/ml pada fase
sangat busuk. Hal ini karena pada jeroan ikan yang lapar terdapat sedikit bakteri
penyebab kerusakan, sedangkan pada ikan yang kenyang terdapat sejumlah besar
bakteri yaitu sekitar 107 per gram jeroan atau sekitar 103-108/ml cairan intestinal
(Ilyas 1983).
Pada penelitian ini diperoleh jumlah bakteri pada sampel penyimpanan
suhu ruang (sampel A dan B) lebih rendah dari pada sampel penyimpanan suhu
chilling (sampel C dan D). Menurut Ilyas (1983) suhu mempunyai pengaruh besar
terhadap jenis dan kecepatan pertumbuhan bakteri pembusuk. Suhu penyimpanan
yang rendah tidak mampu menghentikan kegiatan semua jenis bakteri yang
37
terdapat pada jeroan ikan, karena bakteri psikorofil, psikrotrof, dan mesofil masih
mampu hidup (Lan et al. 2007). Tingginya jumlah bakteri pada penyimpanan
suhu chilling diduga karena pada jeroan ikan terdapat banyak kelompok bakteri
yang memiliki kemampuan untuk tetap hidup pada suhu rendah seperti psikrotrof
yang masih mampu hidup pada suhu 0 0C (Eskin 1990).
Penurunan suhu suatu substrat (makanan dasar) yang mengandung
campuran beberapa jenis bakteri, terbukti memperpanjang tahap pertumbuhan
bakteri dan hilangnya secara berangsur beberapa tipe bakteri selagi suhu
minimum mereka dicapai dan dilewati (Lan et al. 2007). Pengaruh suhu pada
pertumbuhan bakteri akan tampak jelas pada siklus pertumbuhannya, terutama
perpanjangan atau perpendekan masa adaptasinya tergantung pada tinggi
rendahnya suhu. Suhu yang tinggi akan menyebabkan fase adaptasi menjadi lebih
pendek sebaliknya suhu rendah akan menyebabkan fase adaptasi menjadi lebih
panjang. Hal ini terlihat pada ikan yang disimpan pada suhu chilling (sampel C
dan D) mengandung bakteri sekitar 4,86-5,16 CFU/ml setelah 84 jam (4 hari)
penyimpanan. Ikan yang disimpan pada suhu ruang (sampel A dan B)
mengandung bakteri sekitar 4,82-4,87 CFU/ml pada waktu yang lebih cepat yaitu
10 jam penyimpanan.
Hasil uji ragam (ANOVA α=0,05) juga menunjukkan bahwa fase
kemunduran mutu ikan (pre rigor, rigor mortis, post rigor, busuk dan sangat
busuk) dari masing-masing sampel A, B, C dan D memberikan pengaruh yang
berbeda nyata terhadap jumlah bakteri pada tingkat kepercayaan 95 %. Jeroan
ikan bandeng memiliki nilai log TPC pada fase pre rigor, rigor mortis, dan post
rigor
berturut-turut
sekitar
3,69-3,82
CFU/ml,
4,82-5,16 CFU/ml
dan
6,77-6,88 CFU/ml. Jumlah bakteri pada jeroan ikan bandeng terus bertambah
ketika ikan memasuki fase busuk yang diperlihatkan oleh nilai log TPC sekitar
7,42-8,19 CFU/ml dan nilai log TPC mencapai titik tertinggi pada fase sangat
busuk yakni sebesar 8,99-9 CFU/ml (sampel C dan D). Hal ini disebabkan karena
pada fase ini terdapat banyak senyawa-senyawa hasil penguraian protein yang
merupakan substrat yang baik bagi pertumbuhan bakteri (Ilyas 1983).
Pada fase post rigor, jeroan ikan sudah dalam kondisi tidak baik karena
keberadaan bakteri pembusuk yang tinggi dan siap menyerang daging ikan
38
sehingga daging ikan busuk. Ketika jeroan ikan berada pada fase busuk dan
sangat busuk bakteri pada jeroan ikan bandeng terus meningkat dan menyerang
daging serta bagian tubuh lainnya sehingga daging ikan tidak layak untuk
dikonsumsi yang ditunjukkan dengan nilai organoleptik berturut-turut 3 dan 1.
Keberadaan bakteri yang terus meningkat sejalan dengan waktu penyimpanan
akan menyebabkan perubahan-perubahan biokimia seperti bau yang tidak enak
dan perubahan warna yang mengakibatkan ikan tidak layak untuk dikonsumsi.
4.2.3 Nilai pH
Salah satu metode penentuan kesegaran ikan adalah dengan melakukan
pemeriksaan nilai pH (Bihan et al. 2006). Produksi asam laktat dari hasil proses
glikolisis secara anaerob setelah ikan mati akan menentukan perubahan pH pada
daging ikan. Perubahan nilai pH pada ikan bergantung pada berbagai faktor
seperti jenis ikan, cara menangkap, pemberian pakan dan kondisi lainnya
(Ladrat et al.2004). Hasil pengukuran nilai pH jeroan sampel A, B, C, dan D
disajikan pada Gambar 6.
8
Rata-rata Nilai pH
6
4
2
0
0
5
10
15
20
Waktu Penyimpanan Suhu Ruang (Jam)
0
200
400
600
800
1000
1200
Waktu Penyimpanan Suhu Chilling (Jam)
A (Dipuasakan, Penyimpanan Suhu Ruang)
waktu penyimpanan vs Tidak dipuasakan
C (Dipuasakan, Penyimpanan Suhu Chilling)
D (Tidak dipuasakan, Penyimpanan Suhu Chilling)
Gambar 6. Rata-rata nilai pH jeroan sampel A, B, C dan D
Sampel B dan D pada fase pre rigor memiliki nilai pH yang sama yaitu
6,53 dan sampel A dan C juga memiliki nilai pH yang sama yaitu 6,82.
39
Berdasarkan hasil uji ragam (ANOVA α=0,05) menunjukkan bahwa perlakuan
kombinasi kondisi ikan sebelum dipanen dan suhu penyimpanan dari masingmasing sampel A, B, C dan D memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata
terhadap nilai pH pada tingkat kepercayaan 95 %. Hasil uji ragam
(ANOVA α=0,05) juga menunjukkan fase kemunduran mutu ikan (pre rigor,
rigor mortis, post rigor, busuk dan sangat busuk) dari masing-masing sampel A,
B, C dan D memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai pH pada
tingkat kepercayaan 95 %.
Nilai pH jeroan ikan bandeng pada penelitian ini mengalami penurunan
dari fase rigor mortis sampai fase post rigor, lalu nilai pH akan meningkat
kembali ketika ikan memasuki fase busuk dan terus meningkat hingga ikan
memasuki fase sangat busuk pada penyimpanan suhu chilling. Nilai pH mencapai
titik tertinggi pada fase busuk (7,19) untuk sampel A dan B dan fase sangat busuk
(7,4) pada sampel C dan D. Hal ini disebabkan karena pada fase ini terjadi
akumulasi senyawa-senyawa yang bersifat basa seperti ammonia, trimetilamin,
dan senyawa-senyawa volatil lainnya hasil pemecahan makro melekul terutama
protein oleh aktivitas enzim protease (FAO 1995) .
Nilai pH yang menurun pada fase rigor mortis sampai fase post rigor ini
disebabkan karena terjadinya akumulasi asam laktat yang terbentuk melalui
proses glikolisis. Akumulasi asam laktat inilah yang dapat menyebabkan jeroan
ikan bertambah asam sehingga terjadi penurunan pH. Nilai pH ikan bandeng pada
penelitian ini mencapai titik terendah pada fase post rigor yaitu sebesar 6,2. Hasil
penelitian Bihan et al. (2006) melaporkan bahwa pH jeroan dari cuttlefish pada
penyimpanan suhu 4 0C dan 25 0C mencapai titik terendah sekitar 6,285 dan nilai
pH semakin meningkat hingga sekitar 7,19. Dilaporkan juga peningkatan atau
penurunan nilai pH yang terjadi tidak begitu signifikan.
Menurut Eskin (1990) pH ikan segar merupakan pH netral (sekitar 6,4).
Setelah ikan mati pH terendah yang dapat dicapai hanya 6,2 kecuali untuk ikanikan tertentu yang dapat mencapai pH 5,5. Meskipun pH tidak banyak turun akan
tetapi kondisi asam ini banyak memberikan perubahan pada ikan. Nilai-nilai pH
tersebut akan meningkat lagi pada fase post rigor dan terus meningkat hingga ikan
menjadi busuk. Menurut Ladrat et al. (2004) nilai pH ikan yang mendekati nilai
40
pH basa ini merupakan salah satu indikator bahwa ikan sudah tidak segar. Pada
umumnya ikan yang sudah tidak segar mempunyai pH lebih tinggi dari pada yang
masih segar. Hal ini disebabkan karena timbulnya senyawa-senyawa yang bersifat
basa seperti misalnya ammonia, trimetilamin, dan senyawa-senyawa volatil
lainnya.
Kecepatan perubahan nilai pH dipengaruhi oleh banyaknya kandungan
glikogen awal ikan (Robb 2002). Kecepatan penurunan pH juga dipengaruhi suhu
yang digunakan untuk penyimpanan. Nilai pH akan turun dengan cepat jika suhu
yang digunakan tinggi dan penurunan pH akan semakin lambat jika suhu yang
digunakan rendah (Price dan Schweigert 1971). Hal ini dapat dilihat pada ikan
bandeng penyimpanan suhu ruang (sampel A dan B) mengalami penuruan pH
terendah pada penyimpanan jam ke-15 sedangkan penyimpanan suhu chilling
(sampel C dan D) pada penyimpanan jam ke-300.
4.2.4 Nilai TVB
Metode penilaian mutu ikan yang bersifat kimiawi dapat dilakukan dengan
pengujian nilai TVB (total volatile bases). Prinsip penetapan TVB adalah
menguapkan senyawa-senyawa yang terbentuk karena penguraian asam-asam
amino yang terdapat pada daging ikan (Hadiwiyoto 1993).
Berbagai komponen, seperti basa volatil, terakumulasi pada ikan sesaat
setelah mati. Akumulasi ini terjadi akibat reaksi biokimia post mortem dan
aktivitas mikroba pada seluruh bagian ikan. Hasil pengujian nilai TVB jeroan
sampel A, B, C, dan D disajikan pada Gambar 7.
Nilai TVB jeroan sampel A, B, C, dan D berturut-turut pada fase pre rigor
sebesar 11,59 mg N/100 g, 14,28 mg N/100 g, 11,59 mg N/100 g, dan 14,28 mg
N/100 g. Nilai tersebut menunjukkan ikan pada awal penyimpanan masih dalam
keadaan sangat segar. Berdasarkan hasil uji ragam (ANOVA α=0,05)
menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi kondisi ikan sebelum dipanen dan suhu
penyimpanan dari masing-masing sampel A, B, C dan D memberikan pengaruh
yang tidak berbeda nyata terhadap nilai TVB pada tingkat kepercayaan 95 %.
Hasil uji ragam (ANOVA α=0,05) juga menunjukkan bahwa fase kemunduran
mutu ikan (pre rigor, rigor mortis, post rigor, busuk dan sangat busuk) dari
41
masing-masing sampel A, B, C dan D memberikan pengaruh yang berbeda nyata
terhadap nilai TVB pada tingkat kepercayaan 95 %.
250
Rata-rata Nilai TVB (mg N/100 g)
200
150
100
50
0
0
5
10
15
20
Waktu Penyimpanan Suhu Ruang (Jam)
0
200
400
600
800
1000
1200
Waktu Penyimpanan Suhu Chilling (Jam)
A
B
C
D
(Dipuasakan, Penyimpanan Suhu Ruang)
(Tidak dipuasakan, Penyimpanan Suhu Ruang)
(Dipuasakan, Penyimpanan Suhu chilling)
(Tidak dipuasakan, Penyimpanan Suhu Chilling)
Gambar 7. Rata-rata nilai TVB jeroan sampel A, B, C, dan D
Nilai TVB jeroan ikan bandeng pada penelitian ini akan semakin
meningkat dengan semakin lamanya waktu penyimpanan akibat adanya degradasi
protein oleh enzim-enzim dalam tubuh ikan menghasilkan senyawa-senyawa
sederhana yang merupakan komponen-komponen penyusun senyawa basa volatil
(Simpson 2000). Menurut Karungi et al. (2003) peningkatan nilai TVB selama
penyimpanan akibat degradasi protein dan derivatnya menghasilkan sejumlah
basa yang mudah menguap seperti amoniak, histamin, H2S, dan trimetilamin yang
berbau busuk.
Pada penelitian ini, nilai TVB jeroan ikan bandeng tertinggi dicapai
setelah penyimpanan 19 jam penyimpanan suhu ruang (198,8mg N/100 g) dimana
ikan berada pada fase busuk, dan fase sangat busuk pada penyimpanan suhu
chilling setelah penyimpanan 971 jam (41 hari) yakni 198,8mg N/100 g. Nilai
tersebut menujukkan bahwa jeroan ikan bandeng sudah dalam kondisi sangat
rusak.
42
Kesegaran ikan dapat dibagi menjadi 4 kriteria berdasarkan nilai TVB.
Ikan termasuk kriteria sangat segar apabila nilai TVB kurang dari 10 mg N/100 g.
Ikan dengan nilai TVB antara 10-20 mg N/100 g termasuk dalam kriteria segar.
Ikan termasuk kriteria masih bisa dikonsumsi apabila nilai TVB antara
20-30 mg N/100 g dan tidak bisa dikonsumsi apabila nilai TVB lebih dari
30 mg N/100 g (Farber 1965).
Berdasarkan kriteria tersebut pada fase rigor mortis nilai TVB jeroan ikan
bandeng sudah melewati batas yang tidak dapat diterima oleh konsumen. Akan
tetapi pada sejumlah penelitian dilaporkan bahwa daging ikan masih layak untuk
dikonsumsi ketika ikan berada pada fase post rigor. Penguraian protein akan
berlangsung terlebih dahulu pada bagian jeroan sebelum akhirnya proses
penguraian ini merambat ke daging dan seluruh tubuh ikan. Hal ini disebabkan
jeroan ikan merupakan sumber bakteri pembusuk dan enzim penyebab kerusakan
terbesar pada ikan (Ilyas 1983). Selain itu kelenjar yang terdapat pada usus halus
ikan mengeluarkan cairan yang bersifat asam yang banyak mengandung
enterokinase yaitu sejenis enzim penghasil senyawa-senyawa sederhana yang
merupakan komponen-komponen penyusun senyawa basa volatil (Simpson 2000).
Proses penyimpanan pada suhu chilling dapat menghambat proses
kemunduran mutu ikan bandeng. Karungi et al. (2003) menyatakan akumulasi
nitrogen yang bersifat volatil berlangsung lebih lambat dibandingkan ikan yang
disimpan pada suhu lingkungan. Aktivitas enzim pada daging ikan berjalan lebih
lambat sehingga ikan tetap segar dalam jangka waktu lama. Hal ini terlihat pada
ikan bandeng yang disimpan pada suhu ruang (sampel A dan B) busuk setelah
19 jam penyimpanan sedangkan pada penyimpanan suhu chilling (sampel C dan
D) busuk stelah 21 hari penyimpanan.
4.3
Aktivitas Katepsin
Pengujian aktivitas enzim katepsin dilakukan dengan mengekstrak enzim
katepsin dari jeroan ikan bandeng terlebih dahulu. Aktivitas enzim katepsin
sampel A, B, C, dan D pada setiap fase kemunduran mutu disajikan pada
Gambar 8.
43
1.2
Rata-rata Aktivitas Katepsin (U/mg)
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
0
5
10
15
20
Waktu Penyimpanan Suhu Ruang (Jam)
0
200
400
600
800
1000
1200
Waktu Penyimpanan Suhu Chilling (Jam)
A
B
C
D
(Dipuasakan, Penyimpanan Suhu Ruang)
(Tidak dipuasakan, Penyimpanan Suhu Ruang)
(Dipuasakan, Penyimpanan Suhu Chilling)
(Tidak dipuasakan, Penyimpanan Suhu Chilling)
Gambar 8. Rata-rata nilai aktivitas enzim katepsin jeroan sampel A, B, C, dan D
Berdasarkan Gambar 8 dapat dilihat bahwa aktivitas ekstrak kasar
katepsin sampel A, B, C, dan D tertinggi berturut-turut adalah 0,5714 U/ml,
0,5 U/ml, 0,6607 U/ml dan 1,1071 U/ml. Berdasarkan hasil uji ragam
(ANOVA α=0,05) menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi kondisi ikan
sebelum dipanen dan suhu penyimpanan dari masing-masing sampel A, B, C dan
D memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap aktivitas katepsin pada
tingkat kepercayaan 95 %.
Nilai aktivitas enzim katepsin jeroan ikan bandeng tertinggi dari keempat
perlakuan ditemukan pada sampel D (tidak dipuasakan, penyimpanan suhu
chilling) yaitu sebesar 1,1071 U/ml. Hal ini disebabkan karena perlakuan sebelum
ikan dipanen (dipuasakan dan tidak dipuasakan) memberikan rasio substrat yang
berbeda-beda, sehingga memberikan pengaruh yang berbeda terhadap aktivitas
enzim katepsin. Pada ikan air tawar yang diberi pakan kaya akan protein, adanya
makanan dalam perut saat ikan ditangkap akan meningkatkan aktivitas proteolitik
enzim karena substrat tersedia dalam jumlah yang cukup.
44
Hasil uji ragam (ANOVA α=0,05) pada aktivitas katepsin juga
menunjukkan bahwa fase kemunduran mutu ikan (pre rigor, rigor mortis,
post rigor, busuk dan sangat busuk) dari masing-masing sampel A, B, C dan D
memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap aktivitas katepsin pada
tingkat kepercayaan 95 %. Aktivitas katepsin tertinggi terdapat pada fase
post rigor (1,1071 U/ml). Hal ini disebabkan karena pada fase ini pH jeroan
paling
rendah
yakni
sekitar
6,20-6,48
sehingga
sangat
cocok
untuk
berlangsungnya aktivitas enzim katepsin yang akan menguraikan protein dalam
jaringan tubuh ikan.
Hasil penelitian Bihan et al. (2006) melaporkan bahwa aktivitas enzim
katepsin pada Cuttlefish yang disimpan pada suhu 4 0C dan 25 0C mencapai
peningkatan tertinggi yakni sekitar 90 % dari aktivitas total saat nilai pH jeroan
paling rendah yakni 6,285. Hasil penelitian Apriyanti (2007) juga melaporkan
bahwa aktivitas enzim katepsin pada daging ikan mencapai titik tertinggi yaitu
1,3917 U/ml pada fase post rigor dimana pada fase itu pH ikan paling rendah.
Sentandreu et al. (2003) yang mengatakan bahwa aktivitas katepsin B pada ginjal
sapi sebesar 21,9 U/ml dan aktivitas spesifiknya 0,04 U/mg. Aktivitas spesifik ini
akan semakin tinggi jika dilakukan pemurnian enzim dengan beberapa tahap.
Pada penelitian ini ditemukan aktivitas katepsin jeroan ikan bandeng
tertinggi pada penyimpanan suhu chilling. Menurut Montgomery dan Anglemier
(1975) diacu dalam Bihan et al. (2006) yang berhasil menguji aktivitas katepsin
dari lisosom ikan air tawar mengatakan bahwa katepsin baru memperlihatkan
aktivitasnya setelah lepas dari lisosom pada suhu 4 0C. Aktivitas katepsin pada
lisosom akan menurun, sedangkan aktivitas katepsin pada ekstrak kasar enzim
lisosom akan meningkat pada penyimpanan 0 0C.
Aktivitas katepsin yang tinggi pada suhu chilling ini diduga karena hampir
seluruh bagian katepsin adalah protein yang akan terdenaturasi dan rusak pada
suhu yang tinggi sehingga menyebabkan bagian aktif enzim akan terganggu dan
dengan demikian konsentrasi efektif enzim menjadi berkurang dan aktivitas
biologinya mengalami penurunan. Konformasi bagian aktif enzim katepsin yang
lebih stabil pada suhu yang lebih rendah ini menyebabkan aktivitas katepsin lebih
tinggi pada suhu rendah.
45
Pengukuran aktivitas katepsin sangat erat kaitannya dengan konsentrasi
protein enzim katepsin. Konsentrasi protein enzim katepsin sampel A, B, C, dan D
pada setiap fase kemunduran mutu disajikan pada Gambar 9.
Rata-rata Konsentrasi Protein Enzim Katepsin (mg/ml)
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
0
5
10
15
20
Waktu Penyimpanan Suhu Ruang (Jam)
0
200
400
600
800
1000
1200
Waktu Penyimpanan Suhu Chilling (Jam)
A
B
C
D
(Dipuasakan, Penyimpanan Suhu Ruang)
(Tidak dipuasakan, Penyimpanan Suhu Ruang)
(Dipuasakan, Penyimpanan Suhu Chilling)
(Tidak dipuasakan, Penyimpanan Suhu Chilling)
Gambar 9. Rata-rata nilai konsentrasi protein katepsin jeroan sampel A, B, C, dan
D
Aktivitas enzim katepsin jeroan ikan bandeng yang tinggi pada fase
post rigor ini tentunya berkaitan erat dengan tingginya konsentrasi protein enzim
katepsin dari masing-masing ikan. Konsentrasi protein enzim katepsin sampel A,
B, C, dan D pada fase post rigor berturut-turut adalah 0,8658 mg/ml,
0,6603 mg/ml, 0,5655 mg/ml dan 0.6675 mg/ml.
Pada penelitian ini diperoleh konsentrasi protein katepsin tertinggi pada
sampel A, namun aktivitas katepsin tertinggi ditemukan pada sampel D. Hal ini
diduga karena pada ekstrak kasar katepsin terdapat lebih banyak protein non
enzim. Menurut Suhartono (1989) proses ekstraksi enzim yang menggunakan
sentrifusi atau filtrasi untuk memisahkan enzim dan bagian-bagian non enzim
akan menghasilkan enzim yang belum murni dan tercampur dengan protein
lainnya, walaupun sudah bebas dari kontaminan non protein.
Berdasarkan hasil uji ragam (ANOVA α=0,05) menunjukkan bahwa
perlakuan kombinasi kondisi ikan sebelum dipanen dan suhu penyimpanan dari
masing-masing sampel A, B, C dan D memberikan pengaruh yang berbeda nyata
terhadap konsentrasi protein pada tingkat kepercayaan 95 %. Hal ini disebabkan
46
karena perlakuan sebelum ikan dipanen (dipuasakan dan tidak dipuasakan)
memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada aktivitas katepsin yang akhirnya
mempengaruhi konsentrasi protein enzim. Hasil uji ragam (ANOVA α=0,05) pada
konsentrasi protein katepsin dengan rancangan acak kelompok juga menunjukkan
bahwa fase kemunduran mutu ikan (pre rigor, rigor mortis, post rigor, busuk dan
sangat busuk) dari masing-masing sampel A, B, C dan D memberikan pengaruh
yang berbeda nyata terhadap konsentrasi protein katepsin pada tingkat
kepercayaan 95 %. Konsentrasi protein katepsin yang tinggi pada fase post rigor
disebabkan karena pada fase ini aktivitas katepsin jeroan ikan bandeng juga
mencapai titik tertinggi.
4.4
Aktivitas Kolagenase
Salah satu enzim protease yang terdapat di dalam isi perut ikan adalah
enzim kolagenase (Hultmann dan Rustad 2004). Secara umum kolagenase
didefenisikan sebagai enzim yang mampu mendegradasi ikatan polipeptida.
Aktivitas kolagenase akan mempengaruhi tekstur ikan selama waktu penyimpanan
(Simpson 2000). Aktivitas enzim kolagenase sampel A, B, C. dan D disajikan
pada Gambar 10.
Rata-rata Aktivitas Enzim Kolagenase (U/mg)
0.10
0.08
0.06
0.04
0.02
0.00
0
5
10
15
20
Waktu Penyimpanan Suhu Ruang (Jam)
0
200
400
600
800
1000
1200
Waktu Penyimpanan Suhu Chilling (Jam)
A
B
C
D
(Dipuasakan, Suhu Ruang)
(Tidak dipuasakan, Suhu Ruang)
(Dipuasakan, Suhu Chilling)
(Tidak dipuasakan, Suhu Chilling)
Gambar 10. Rata-rata nilai aktivitas enzim kolagenase jeroan sampel A, B, C,
dan D
47
Berdasarkan Gambar 10 dapat dilihat bahwa aktivitas kolagenase jeroan
sampel A, B, C, dan D mengalami peningkatan seiring dengan lamanya waktu
penyimpanan dan mencapai titik tertinggi pada fase post rigor berturut-turut yaitu
0,0792 U/ml, 0,0667 U/ml, 0,0708 U/ml, dan 0,0708 U/ml. Aktivitas kolagenase
mengalami penurunan kembali saat ikan berada pada fase busuk hingga fase
sangat busuk pada penyimpanan suhu chilling. Berdasarkan hasil uji ragam
(ANOVA α=0,05) menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi kondisi ikan
sebelum dipanen dan suhu penyimpanan dari masing-masing sampel A, B, C dan
D memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap aktivitas kolagenase pada
tingkat kepercayaan 95 %.
Aktivitas kolagenase jeroan tertinggi dari keempat perlakuan ditemukan
pada sampel A yaitu sebesar 0,0792 U/ml. Hal ini disebabkan karena suhu
penyimpanan sampel A yang lebih mendekati suhu optimum aktivitas kolagenase.
Menurut Lehninger (1993) kerja enzim juga dipengaruhi oleh konsentrasi substrat
dan suhu. Setiap enzim memiliki aktivitas maksimum pada suhu tertentu.
Kim et al. (2002) melaporkan bahwa enzim kolagenase memiliki aktivitas optimal
pada suhu 55 0C. Menurut Hadiwiyoto (1993) lapisan tengah dari kandung kemih
ikan banyak mengandung kolagen yang merupakan substrat bagi aktivitas
kolagenase.
Hasil uji ragam (ANOVA α=0,05) juga menunjukkan bahwa fase
kemunduran mutu ikan (pre rigor, rigor mortis, post rigor, busuk dan sangat
busuk) dari masing-masing sampel A, B, C dan D memberikan pengaruh yang
berbeda nyata terhadap aktivitas kolagenase pada tingkat kepercayaan 95 %.
Aktivitas kolagenase tertinggi terdapat pada fase post rigor. Hal itu disebabkan
karena pada fase ini pH jeroan ikan berada pada pH optimum aktivitas enzim
kolagenase yaitu sekitar 6,2-6,48. Menurut Simpson (2000) kolagenase memiliki
aktivitas optimum pada pH 6,6 hingga 8,0 dan inaktif pada pH dibawahnya.
Penelitian Kim et al. (2002) yang telah berhasil memurnikan enzim kolagenase
dari organ dalam Novoden modesterus juga melaporkan bahwa enzim kolagenase
memiliki aktivitas optimal pada pH 7,0-8,0.
Aktivitas kolagenase mencapai titik tertinggi pada ikan bandeng yang
disimpan pada suhu ruang setelah 15 jam penyimpanan yaitu fase post rigor,
48
sedangkan pada penyimpanan suhu chilling, aktivitas kolagenase tertinggi setelah
300 jam atau 23 hari penyimpanan. Suhu juga turut mempengaruhi kecepatan
reaksi enzimatis. Pada suhu rendah reaksi berlangsung lambat, sedangkan pada
suhu yang lebih tinggi reaksi berlangsung lebih cepat (Lehninger 1993).
Pengukuran aktivitas kolagenase sangat erat kaitannya dengan konsentrasi
protein enzim kolagenase. Konsentrasi protein enzim kolagenase jeroan ikan
bandeng dalam kondisi kenyang dan lapar pada penyimpanan suhu ruang dan
Rata-rata Konsentrasi Protein Enzim Kolagenase (mg/ml)
chilling pada setiap fase kemunduran mutu disajikan pada Gambar 11.
0.9
0.8
0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0
5
10
15
20
Waktu Penyimpanan Suhu Ruang (Jam)
0
200
400
600
800
1000
1200
Waktu Penyimpanan Suhu Chilling (Jam)
A
B
C
D
(Dipuasakan, Suhu
(Tidak dipuasakan,
(Dipuasakan, Suhu
(Tidak dipuasakan,
Ruang)
Suhu Ruang)
Chilling)
Suhu Chilling)
Gambar 11. Rata-rata nilai konsentrasi protein enzim kolagenase jeroan sampel A,
B, C, dan D
Aktivitas enzim kolagenase jeroan ikan bandeng yang tinggi pada fase
post rigor ini tentunya berkaitan erat dengan tingginya konsentrasi protein enzim
kolagenase dari masing-masing sampel. Konsentrasi protein kolagenase sampel A,
B, C, dan D pada fase post rigor secara berturut-turut adalah 0,7697 mg/ml,
0,8039 mg/ml, 0,8553 mg/ml, dan 0,7224 mg/ml.
Pada penelitian ini diperoleh konsentrasi protein kolagenase tertinggi pada
sampel C, namun aktivitas katepsin tertinggi ditemukan pada sampel A. Hal ini
diduga karena pada ekstrak kasar katepsin terdapat lebih banyak protein non
enzim. Menurut Suhartono (1989) proses ekstraksi enzim yang menggunakan
sentrifusi atau filtrasi untuk memisahkan enzim dan bagian-bagian non enzim
49
akan menghasilkan enzim yang belum murni dan tercampur dengan protein
lainnya, walaupun sudah bebas dari kontaminan non protein.
Berdasarkan hasil uji ragam (ANOVA α=0,05) pada konsentrasi protein
kolagenase dengan rancangan acak kelompok menunjukkan bahwa perlakuan
kombinasi kondisi ikan sebelum dipanen dan suhu penyimpanan dari masingmasing sampel A, B, C dan D memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap
konsentrasi protein pada tingkat kepercayaan 95 %. Hal ini disebabkan karena
perlakuan sebelum ikan dipanen (dipuasakan dan tidak dipuasakan) memberikan
pengaruh yang berbeda nyata pada aktivitas kolagenase yang akhirnya
mempengaruhi konsentrasi protein enzim.
Hasil uji ragam (ANOVA α=0,05) pada konsentrasi protein kolagenase
dengan rancangan acak kelompok juga menunjukkan bahwa fase kemunduran
mutu ikan (pre rigor, rigor mortis, post rigor, busuk dan sangat busuk) dari
masing-masing sampel A, B, C dan D memberikan pengaruh yang berbeda nyata
terhadap konsentrasi protein kolagenase pada tingkat kepercayaan 95 %.
Konsentrasi protein kolagenase yang tinggi pada fase post rigor disebabkan
karena pada fase ini aktivitas kolagenase jeroan ikan bandeng juga mencapai titik
tertinggi.
4.5
Hubungan Antara Aktivitas Enzim dan Parameter Kesegaran Ikan
Mutu ikan dapat diketahui dengan melakukan uji subjektif (organoleptik)
dan uji objektif (TVB, TPC dan pH). Parameter-parameter kesegaran tersebut
memiliki keterkaitan selama proses kemunduran mutu ikan bandeng berlangsung.
Hubungan antar parameter kesegaran ikan untuk setiap perlakuannya (sampel A,
B, C, dan D) dapat dilihat pada Gambar 12, 13, 14 dan 15.
Gambar 12, 13, 14 dan 15 menunjukkan parameter kemunduran mutu
seperti nilai organoleptik, pH, TVB, dan TPC memiliki korelasi dengan aktivitas
enzim. Nilai organoleptik sampel A, B, C, dan D akan mengalami penurunan
dengan meningkatnya waktu penyimpanan. Pada awal penyimpanan ikan dalam
kondisi segar yang ditunjukkan dengan nilai organoleptik tertinggi yaitu 9 dan
berangsur-angsur mengalami berbagai macam perubahan selama penyimpanan
yang akhirnya ikan membusuk dan mencapai nilai organoleptik terendah yaitu 1.
0.02
0.00
6
4
4
2
2
0
0
8
8
6
6
4
4
2
2
180
0.6
160
140
120
100
80
60
40
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
20
0
0
0
5
10
15
0
0.0
20
Waktu Penyimpanan Suhu Ruang (Jam)
Rata-rata Nilai Organoleptik Ikan Bandeng Utuh
Rata-rata Nilai Organoleptik Isi Perut (Jeroan)
Rata-rata Nilai pH
Rata-rata Nilai TVB (mg N/100 g)
Rata-rata Nilai Log TPC (CFU/ml)
Rata-rata Aktivitas Katepsin (U/ml)
Rata-rata Aktivitas Kolagenase (U/ml)
0.00
6
4
2
0
4
2
0
10
8
8
6
6
4
4
2
2
0
250
0
0
5
10
15
200
150
100
50
0
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
Rata-rata Aktivitas katepsin (U/ml)
6
10
Rata-rata Nilai TVB (mg N/100 g)
0.02
8
Rata-rata Nilai Organoleptik Isi Perut (Jeroan)
0.04
8
Rata-rata Nilia pH
0.06
Rata-rata Nilai Log TPC (CFU/ml)
Rata-rata Aktivitas kolagenase (U/ml)
0.08
Rata-rata Nilai Organoleptik Ikan Bandeng Utuh
Gambar 12. Hubungan antara aktivitas enzim dan parameter kesegaran sampel A
0.0
20
Waktu Penyimpanan Suhu Ruang (Jam)
Rata-rata Nilai Organoleptik Ikan Bandeng Utuh
Rata-rata Nilai Organoleptik Isi Perut (Jeroan)
Rata-rata Nilai pH
Rata-rata Nilai TVB
Rata-rata Nilai TPC
Rata-rata Aktivitas Katepsin (U/ml)
Rata-rata Aktivitas Kolagenase (U/ml)
Gambar 13. Hubungan antara aktivitas enzim dan parameter kesegaran sampel B
Aktivitas katepsin (U/ml)
0.04
6
10
Rata-rata Nilai TVB (mg N/100 g)
0.06
8
Rata-rata Nilai pH
0.08
10
Rata-rata Nilai Organoleptik Isi Perut (Jeroan)
8
10
Rata-rata Nilai Log TPC (CFU/ml)
Aktivitas kolagenase (U/ml)
0.10
Rata-rata Nilai Organoleptik Ikan Bandeng Utuh
50
51
0.04
0.03
0.02
6
4
4
2
2
0.01
0.00
0
8
8
6
6
4
4
2
2
0
0
250
0.6
200
150
100
50
200
400
600
800
1000
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0
0.7
0
0.0
1200
Waktu Penyimpanan Suhu Chilling (Jam)
Rata-rata Nilai Organoleptik Ikan Bandeng Utuh
Rata-rata Nilai Organoleptik Isi Perut (Jeroan)
Rata-rata Nilai pH
Rata-rata Nilai TVB (mg N/100g)
Rata-rata Nilai TPC (CFU/ml)
Rata-rata Aktivitas Katepsin (U/ml)
Rata-rata Aktivitas Kolagenase (U/ml)
Gambar 14. Hubungan antara aktivitas enzim dan parameter kesegaran sampel C
0.04
0.03
6
4
4
2
2
0.02
0.01
0
0
8
8
6
6
4
4
2
2
0
180
0
0
200
400
600
800
1000
1.2
160
140
120
100
80
60
40
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
20
0
1200
Waktu Penyimpanan Suhu Chilling (Jam)
Rata-rata Nilai Organoleptik Ikan Bandeng Utuh
Rata-rata Nilai Organoleptik Isi Perut (Jeroan)
Rata-rata Nilai pH
Rata-rata Nilai TVB (mg N/100 g)
Rata-rata Nilai TPC (CFU/ml)
Rata-rata Aktivitas Katepsin (U/ml)
Rata-rata Aktivitas Kolagenase (U/ml)
Gambar 15. Hubungan antara aktivitas enzim dan parameter kesegaran sampel D
0.0
Rata-rata Aktivitas Katepsin (U/ml)
0.05
6
Rata-rata Nilai pH
0.06
8
10
Rata-rata Nilai TVB (mg N/100 g)
0.07
10
Rata-rata Nilai Organoleptik Isi Perut (Jeroan)
8
Rata-rata Nilai Organoleptik Ikan Bandeng Utuh
10
Rata-rata Nilai TPC (CFU/ml)
Rata-rata Aktivitas Kolagenase (U/ml)
0.08
Rata-rata Aktivitas Katepsin (U/ml)
0.05
6
Rata-rata Nilai pH
0.06
8
10
Rata-rata Nilai TVB (mg N/100 g)
0.07
10
Rata-rata Nilai Organoleptik Isi Perut (Jeroan)
8
Rata-rata Nilai Organoleptik Ikan Bandeng Utuh
10
Rata-rata Nilai Log TPC (CFU/ml)
Rata-rata Aktivitas Kolagenase (U/ml)
0.08
52
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
(g)
(h)
(i)
(j)
Gambar 16. Koefisien korelasi aktivitas enzim dan parameter kesegaran ikan fase pre
rigor hingga post rigor sampel A; (a) aktivitas katepsin dan pH; (b) aktivitas
katepsin dan TVB; (c) aktivitas katepsin dan TPC; (d) aktivitas katepsin dan
nilai organoleptik ikan; (e) aktivitas katepsin dan nilai organoleptik jeroan;
(f) aktivitas kolagenase dan pH; (g) aktivitas kolagenase dan TVB; (h)
aktivitas kolagenase dan TPC; (i) aktivitas kolagenase dan nilai organoleptik
ikan; (j) aktivitas kolagenase dan nilai organoleptik jeroan.
53
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
(g)
(h)
(i)
(j)
Gambar 17. Koefisien korelasi aktivitas enzim dan parameter kesegaran ikan fase pre
rigor hingga post rigor sampel B; (a) aktivitas katepsin dan pH; (b) aktivitas
katepsin dan TVB; (c) aktivitas katepsin dan TPC; (d) aktivitas katepsin dan
nilai organoleptik ikan; (e) aktivitas katepsin dan nilai organoleptik jeroan;
(f) aktivitas kolagenase dan pH; (g) aktivitas kolagenase dan TVB; (h)
aktivitas kolagenase dan TPC; (i) aktivitas kolagenase dan nilai organoleptik
ikan; (j) aktivitas kolagenase dan nilai organoleptik jeroan.
54
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
(g)
(h)
(i)
(j)
Gambar 18. Koefisien korelasi aktivitas enzim dan parameter kesegaran ikan fase pre
rigor hingga post rigor sampel C; (a) aktivitas katepsin dan pH; (b) aktivitas
katepsin dan TVB; (c) aktivitas katepsin dan TPC; (d) aktivitas katepsin dan
nilai organoleptik ikan; (e) aktivitas katepsin dan nilai organoleptik jeroan;
(f) aktivitas kolagenase dan pH; (g) aktivitas kolagenase dan TVB; (h)
aktivitas kolagenase dan TPC; (i) aktivitas kolagenase dan nilai organoleptik
ikan; (j) aktivitas kolagenase dan nilai organoleptik jeroan.
55
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
(g)
(h)
(i)
(j)
Gambar 19. Koefisien korelasi aktivitas enzim dan parameter kesegaran ikan fase pre
rigor hingga post rigor sampel D; (a) aktivitas katepsin dan pH; (b) aktivitas
katepsin dan TVB; (c) aktivitas katepsin dan TPC; (d) aktivitas katepsin dan
nilai organoleptik ikan; (e) aktivitas katepsin dan nilai organoleptik jeroan;
(f) aktivitas kolagenase dan pH; (g) aktivitas kolagenase dan TVB; (h)
aktivitas kolagenase dan TPC; (i) aktivitas kolagenase dan nilai organoleptik
ikan; (j) aktivitas kolagenase dan nilai organoleptik jeroan.
56
Hal ini sejalan dengan aktivitas enzim katepsin dan kolagenase yang
memiliki aktivitas rendah pada awal penyimpanan. Aktivitas enzim kemudian
meningkat dan mencapai titik tertinggi saat ikan mencapai fase post rigor yang
merupakan awal kebusukkan ikan, karena enzim akan menguraikan protein dan
menghasilkan senyawa-senyawa metabolit yang menyebabkan perubahan bau,
tekstur dan cita rasa ikan. Analisis korelasi linier sederhana menunjukkan bahwa
aktivitas katepsin dan nilai organoleptik sampel A, B, C, dan D (r=>0,7) memiliki
hubungan yang kuat satu sama lain secara linier pada fase pre rigor hingga
post rigor.
Koefisien korelasi linier sederhana juga menunjukkan bahwa aktivitas
kolagenase dan nilai organoleptik sampel A, B, C, dan D (r=>0,7) memiliki
hubungan yang sangat erat satu sama lainnya dalam proses kemunduran mutu
pada fase pre rigor hingga post rigor. Hal ini menunjukkan seiring lamanya
waktu penyimpanan, aktivitas enzim jeroan terus meningkat dan mencapai titik
tertinggi pada fase post rigor juga diikuti dengan nilai organoleptik ikan yang
semakin menurun karena enzim mendegradasi protein menjadi molekul-molekul
yang lebih sederhana hingga terjadi perubahan-perubahan pada ikan yang
mengarah pada proses pembusukkan.
Nilai organoleptik jeroan (isi perut) sampel A, B, C, dan D mengalami
penurunan dengan semakin meningkatnya waktu penyimpanan. Pada awal
penyimpanan jeroan sampel A, B, C, dan D memiliki nilai organoleptik 9 yang
menunjukkan bahwa susunan jeroan ikan masih baik. Seiring meningkatnya
waktu penyimpanan nilai organoleptik jeroan menurun hingga mencapai nilai
terendah yaitu 1 yang menandakan bahwa jeroan ikan sudah rusak. Hal ini sejalan
dengan aktivitas enzim katepsin dan kolagenase yang memiliki aktivitas rendah
pada awal penyimpanan. Aktivitas enzim kemudian meningkat dan mencapai titik
tertinggi saat ikan mencapai fase post rigor dan mulai mendegradasi jaringan
sekitar perut ikan.
Analisis korelasi linier sederhana menunjukkan bahwa aktivitas katepsin
dan nilai organoleptik jeroan sampel A, B, C, dan D (r=>0,7) memiliki hubungan
yang kuat satu sama lain secara linier pada fase pre rigor hingga post rigor.
Koefisien korelasi linier sederhana juga menunjukkan bahwa aktivitas kolagenase
57
dan nilai organoleptik jeroan sampel A, B, C, dan D (r=>0,7) memiliki hubungan
yang sangat erat satu sama lainnya dalam proses kemunduran mutu pada fase
pre rigor hingga
post rigor. Hal ini menunjukkan seiring lamanya waktu
penyimpanan, aktivitas enzim jeroan terus meningkat dan mencapai titik tertinggi
pada fase post rigor juga diikuti dengan nilai organoleptik jeroan yang semakin
menurun karena enzim mendegradasi jaringan disekitar daerah perut hingga
menyebabkan kerusakan jeroan.
Ikan dikatakan masih segar jika perubahan-perubahan biokimia,
mikrobiogi dan fisikawi yang terjadi belum menyebabkan kerusakan berat pada
ikan. Setelah ikan mati sirkulasi darah dan suplai oksigen terhenti sehingga terjadi
perubahan glikogen menjadi asam laktat. Penumpukan asam laktat menyebabkan
penurunan nilai pH. Enzim katepsin selanjutnya menjadi aktif karena nilai pH
yang rendah (Eskin 1990). Enzim kolagenase juga akan aktif dan mencapai titik
tertinggi saat pH jeroan ikan mencapai nilai pH optimum.
Analisis korelasi linier sederhana menunjukkan bahwa aktivitas katepsin
dan nilai pH sampel A, B, C, dan D (r=>0,7) memiliki hubungan yang kuat satu
sama lain secara linier pada fase pre rigor hingga post rigor. Aktivitas katepsin
tertinggi terdapat pada sampel D saat fase post rigor dimana pH ikan paling
rendah yaitu 6,2. Hal ini sejalan dengan penelitian Bihan et al. (2006) yang
mengamati perubahan post mortem pada jeroan cuttlefish Sepia officinalis L.
menyebutkan bahwa aktivitas enzim katepsin tertinggi terdapat pada pH paling
rendah (6,285).
Koefisien korelasi linier sederhana juga menunjukkan bahwa aktivitas
kolagenase dan nilai pH sampel A, B, C, dan D (r=>0,7) memiliki hubungan yang
sangat erat satu sama lainnya dalam proses kemunduran mutu pada fase pre rigor
hingga post rigor. Hal ini menunjukkan seiring lamanya waktu penyimpanan,
aktivitas enzim jeroan terus meningkat dan mencapai titik tertinggi pada fase
post rigor juga diikuti dengan perubahan pH jeroan ikan yang mencapai pH
optimum aktivitas enzim kolagenase. Aktivitas kolagenase tertinggi terdapat pada
sampel A saat fase post rigor dimana pH jeroan 6,36 yang lebih mendekati pH
optimum aktivitas enzim kolagenase. Penelitian Kim et al. (2002) yang telah
berhasil memurnikan enzim kolagenase dari organ dalam Novoden modesterus
58
juga melaporkan bahwa enzim kolagenase memiliki aktivitas optimum pada pH
7,0-8,0. Park et al. (2002) yang melakukan purifikasi dan karakteristik enzim
kolagenase dari organ dalam ikan Makarel (Scomber japanicus) melaporkan
bahwa pH optimum aktivitas kolagenase adalah 7,5.
Seiring dengan semakin lamanya waktu penyimpanan, proses kemunduran
mutu ikan meningkat cepat. Nilai TVB memiliki korelasi yang cukup baik dengan
perubahan sensori selama penurunan mutu atau pembusukan. Sesaat setelah ikan
mati nilai TVB ikan memiliki nilai paling rendah dan terus meningkat dan
mencapai titik tertinggi ketika ikan mengalami pembusukan.
Menurut
Ozogul (1999), peningkatan nilai TVB disebabkan oleh aktivitas autolisis enzim
protease dan kegiatan bakteri pembusuk selama proses penyimpanan. Hal ini
terlihat dari nilai TVB yang semakin meningkat setelah aktivitas enzim mencapai
titik tertinggi, karena pada proses enzimatis, protein akan diuraikan menjadi
senyawa-senyawa yang lebih sederhana, seperti peptida, asam amino, dan amonia.
Analisis korelasi linier sederhana menunjukkan bahwa aktivitas katepsin dan nilai
TVB jeroan sampel A, B, C, dan D (r=>0,7) memiliki hubungan yang kuat satu
sama lain secara linier pada fase pre rigor hingga post rigor.
Koefisien korelasi linier sederhana juga menunjukkan bahwa aktivitas
kolagenase dan nilai TVB jeroan sampel A, B, C, dan D (r=>0,7) memiliki
hubungan yang sangat erat satu sama lainnya dalam proses kemunduran mutu
pada fase pre rigor hingga post rigor. Hal ini menunjukkan seiring lamanya
waktu penyimpanan, aktivitas enzim jeroan terus meningkat dan mencapai titik
tertinggi pada fase post rigor juga diikuti dengan nilai TVB jeroan yang semakin
tinggi karena enzim proteolitik menghidrolisis protein selama post mortem. Hal
ini menyebabkan timbulnya akumulasi metabolit dan komponen volatil yang pada
akhirnya menimbulkan kebusukan pada ikan (Bihan et al. 2006).
Jumlah bakteri juga mengalami peningkatan dengan meningkatnya waktu
penyimpanan. Nilai TPC semakin meningkat setelah aktivitas enzim mencapai
titik tertinggi. Hal ini disebabkan karena hasil penguraian protein oleh aktivitas
enzim merupakan media pertumbuhan yang baik bagi bakteri. Serangan bakteri
akan meningkat setelah ikan melewati fase post rigor dimana hasil degradasi
protein yang merupakan substrat hidupnya semakin banyak. Analisis korelasi
59
linier sederhana menunjukkan bahwa aktivitas katepsin dan nilai TPC jeroan
sampel A, B, C, dan D (r=>0,7) memiliki hubungan yang kuat satu sama lain
secara linier pada fase pre rigor hingga post rigor.
Koefisien korelasi linier sederhana juga menunjukkan bahwa aktivitas
kolagenase dan nilai TPC jeroan sampel A, B, C, dan D (r=>0,7) memiliki
hubungan yang sangat erat satu sama lainnya dalam proses kemunduran mutu
pada fase pre rigor hingga post rigor. Hal ini menunjukkan seiring lamanya
waktu penyimpanan, aktivitas enzim jeroan terus meningkat dan mencapai titik
tertinggi pada fase post rigor juga diikuti dengan nilai TPC jeroan yang semakin
tinggi karena enzim menghidrolisis protein hingga menyebabkan timbulnya zatzat metabolit dan komponen-komponen lainnya yang merupakan substrat yang
baik bagi pertumbuhan bakteri. Bihan et al. (2006) menyatakan bahwa jeroan ikan
mengandung protein yang merupakan dasar terjadinya proses autolisis selama
post mortem yang berhubungan erat dengan aktivitas enzim proteolitik.
Fase post rigor merupakan titik awal perubahan pada ikan yang mengarah
pada proses pembusukkan. Pada fase ini enzim berhubungan sangat erat secara
linier dengan parameter kesegaran ikan, namun setelah ikan busuk hubungan ini
tidak begitu erat. Hal ini dapat dilihat dari koefisien korelasi linier sederhana
aktivitas enzim dan parameter kesegaran ikan pada fase pre rigor hingga busuk
(r= <0,7) yang disajikan secara lengkap pada Tabel 7.
Tabel 7. Koefisien korelasi linier sederhana aktivitas enzim dan parameter
kesegaran ikan pada fase pre rigor hingga busuk
sampel A
sampel B
sampel C
sampel D
Parameter Kesegaran Ikan
Nilai organoleptik ikan utuh
Nilai organoleptik jeroan
Nilai pH
Nilai TVB
Nilai TPC
Keterangan:
1
0,5
0,6
0,5
0,5
0,1
2
0,5
0,7
0,6
0,5
0,8
1
0,5
0,5
0,009
0,4
0,6
2
0,7
0,7
0,1
0,6
0,6
1
0,2
0,2
0,5
0,4
0,1
2
0,5
0,5
0,1
0,3
0,5
1
0,2
0,2
0,1
0,07
0,3
2
0,5
0,5
0,1
0,4
0,5
(1) koefisien korelasi (r) aktivitas enzim katepsin
(2) koefisien korelasi (r) aktivitas enzim kolagenase
Berdasarkan Tabel 7 dapat dilihat bahwa setelah fase post rigor, zat-zat
metabolit hasil degradasi protein oleh enzim mulai terakumulasi pada ikan dan
60
ikan dinyatakan busuk, aktivitas enzim dan parameter kesegaran ikan memiliki
hubungan yang sudah tidak erat. Perubahan-perubahan pada ikan selanjutnya
lebih banyak disebabkan oleh aktivitas bakteri, karena aktivitas enzim
menghasilkan substrat yang baik bagi pertumbuhan bakteri pembusuk.
Koefisien korelasi linier sederhana sampel A (tabel 7) menunjukkan pada
sampel A (dipuasakan, penyimpanan suhu ruang) ditemukan aktivitas kolagenase
dan nilai TPC masih menunjukkan hubungan yang sangat erat dalam proses
kemunduran mutu secara linier hingga ikan berada pada fase busuk (r= >0,7).
Tingginya jumlah bakteri ini diduga karena pada fase busuk, sampel A memiliki
pH (6,92) yang memungkinkan kolagenase masih memiliki aktivitas (pH optimum
kolagenase adalah 7,5). Hal ini menunjukkan bahwa hingga fase busuk aktivitas
kolagenase masih memiliki peran penting dalam proses kemunduran mutu.
61
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Hasil penentuan fase post mortem sampel A dan B selama 19 jam
penyimpanan dengan interval waktu pengamatan satu jam diperoleh kondisi
pre rigor, rigor mortis, post rigor, dan busuk secara berturut-turut terjadi pada
jam penyimpanan ke-0, 10, 15 dan 19. Sampel C dan D dengan penyimpanan
suhu chilling selama 971 jam (41 hari) dengan interval waktu pengamatan 12 jam
diperoleh pre rigor, rigor mortis, post rigor, busuk, dan sangat busuk secara
berturut-turut pada jam penyimpanan ke-0, 84, 300, 540 dan 971.
Pola kemunduran mutu ikan bandeng dari fase pre rigor hingga ikan
busuk berlangsung lebih cepat pada penyimpanan suhu ruang dari pada
penyimpanan suhu chilling. Aktivitas katepsin jeroan tertinggi ditemukan pada
sampel D (tidak dipuasakan, penyimpanan suhu chilling) saat fase post rigor yaitu
sebesar 1,1071 U/m, sedangkan aktivitas kolagenase jeroan tertinggi pada sampel
A (dipuasakan, penyimpanan suhu ruang) saat fase post rigor yaitu sebesar
0,0792 U/ml.
Berdasarkan hasil uji ragam (ANOVA) diketahui bahwa perlakuan
kombinasi kondisi ikan sebelum dipanen dan suhu penyimpanan dari masingmasing sampel A, B, C dan D memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada
tingkat kepercayaan 95 % terhadap aktivitas katepsin dan kolagenase. Hasil uji
ragam (ANOVA α=0,05) dengan rancangan acak kelompok juga menunjukkan
bahwa fase kemunduran mutu ikan (pre rigor, rigor mortis, post rigor, busuk dan
sangat busuk) dari masing-masing sampel A, B, C dan D memberikan pengaruh
yang berbeda nyata terhadap aktivitas katepsin dan kolagenase pada tingkat
kepercayaan 95 %.
Analisis korelasi linier sederhana menunjukkan bahwa aktivitas enzim
(katepsin dan kolagenase) dan parameter kesegaran ikan (nilai organoleptik, pH,
TVB dan TPC) memiliki hubungan yang sangat erat (r=>0,7) secara linier dalam
proses kemunduran mutu dari fase pre rigor hingga post rigor dan tidak erat
(r=<0,7) pada fase busuk dan sangat busuk.
62
5.2
Saran
Berdasarkan hasil penelitian diatas, maka disarankan :
1. menentukan aktivitas enzim lainnya yang berperan dalam perubahan post
mortem
2. menentukan aktivitas enzim yang berperan dalam perubahan post mortem
pada ikan bandeng dengan ukuran ikan yang berbeda
3. menentukan aktivitas enzim dalam perubahan post mortem dari jenis ikan
lain
4. penggunaan inhibitor enzim untuk menghambat kemunduran mutu.
63
DAFTAR PUSTAKA
[Anonim]. 2006. Jeroan ikan. http://www.google.com. [04 Juli 2008].
[Anonim]. 2008. Ikan bandeng-image. http://www.google-image.com. [10 Mei
2008].
Affandi R, Syafei DS, Rahardjo MF, Sulistiono. 2005. Fisiologi ikan. Bogor:
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Atjo dan Syahrun . 2005. Ikan bandeng potensial dibudidayakan dalam KJA di
laut. www.dkp.go.id . [05 April 2008].
Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati Y, Budianto S. 1989.
Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas.
Institut Pertanian Bogor.
Apriyanti M. 2007. Peranan inhibitor katepsin dalam menghambat proses
kemunduran mutu ikan nila (Oreochromis niloticus). [skripsi]. Bogor:
Program Studi Teknologi Hasil Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. IPB.
Bihan Estelle L, Zatylny C, Perrin A, Koueta N. 2006. Post mortem in viscera of
Cuttlefish Sepia officinalis L. during storage at two different temperatures.
Food Chemistry 98: 39-51.
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. Standar Nasional Indonesia 01-2345.2006.
Uji Organoleptik Ikan Segar. Jakarata: Badan Standarisasi Nasional
Indonesia.
Bradford MM. 1976. A rapid and sensitive for the quantitation of mocrogram
quantities of protein utilization the principles of protein-dye binding.
Analytical Biochemistry 72: 248-254.
Bramsted F, Auerbach M. 1961. The spoilage of-fresh-water fish. Di dalam: Fish
as Food Vol. 1. Borgstorm G, editor. New York: Academic Press.
Chung L, Dinakarpandian D, Yoshida N, Laurel-Fields JL, Fields GB, Visse R,
Nagase H. 2004. Collagenase unwinds triple helical collagen prior to
peptide bond hydrolysis. EMBO Journal 23: 3020-3030.
Dinu D, Dumitru IF, Nichifor MT. 2002. Isolation and characterization of two
chatepsins from muscle of Carasiuss auratus gibelio. Romania: Faculty of
Biology, Universitay of Bucharest, 91-95 Spl. Independentei , 76201
Bucharest.
64
Ditjen Perikanan Tangkap. 2007. Kebijakan dan program prioritas tahun 2008.
Makalah disampaikan dalam Rakornas Departemen Kelautan dan
Perikanan tahun 2007. Departemen Kelautan dan Perikanan.
http://bp2tp.litbang.deptan.go.id. [05 Juli 2008].
Ditjen Perikanan Budidaya. 2007. Kebijakan dan program prioritas tahun 2008.
Makalah disampaikan dalam Rakornas Departemen Kelautan dan
Perikanan tahun 2007. Departemen Kelautan dan Perikanan.
http://bp2tp.litbang.deptan.go.id. [05 Juli 2008].
Eskin NAM. 1990. Biochemistry of Foods. Second edition. San Diegor Academic
Press. Inc.
Farber L. 1965. Freshness Test. Borgstorm G, editor. Di Dalam: Fish as Food
Vol IV. New York: Academic Press.
Fardiaz S. 1987. Penuntun Praktek Mikrobiologi Pangan. Bogor: LSI. IPB.
[FAO] Food and Agriculture Organization. 1995. Quality and quality changes in
fresh fish. Hush HH, editor. Rome: FAO Fisheris Technical Paper
No.331.75 pp. 0-65.
Gildberg A . 1978. Proteolytic activity and the frequency of burst bellies in
Capelin. J. Fd. Technol 13: 409-416.
Gill Tom. 2000. Nucleotide-Degrading Enzymes. Di dalam: Haard NF dan
Simpson BK, editor. Seafood Enzymes Utilization and Influence on
Postharvest Seafood Quality. New York: Marcel Dekker, Inc. Hlm 191207.
Gopakumar K. 2000. Enzymes and Enzymes Product as Quality Indices. Di
dalam: Haard NF dan Simpson BK, editor. Seafood Enzymes Utilization
and Influence on Postharvest Seafood Quality. New York: Marcel Dekker,
Inc. Hlm 337-363.
Hadiwiyoto S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan Jilid I. Jakarta:
Liberty.
Hames D dan Hooper N. 2005. Biochemistry Third edition. Leeds UK: University
of Leeds.
Hultmann L, dan Rustad T. 2004. Iced storage of Atlantic salmon (Salmon salar)effects on endogenous enzymes and their impact on muscle proteins and
texture. Food chemistry 87: 31-41.
Ibrahim B, Salamah E. 1991. Pengaruh glukosa dan garam dalam fermentasi
bakteri asam laktat jeroan ikan tuna (Thunnus sp.). [laporan penelitian].
65
Bogor: Jurusan Pengolahan Hasil Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Ilyas S. 1983. Teknologi Refrigrasi Hasil Perikanan. Jakarta: CV. Paripurna.
Jiang ST. 2000. Enzymes and Their Effects on Seafood Texture. Di dalam: Haard
NF dan Simpson BK, editor. Seafood Enzymes Utilization and Influence
on Postharvest Seafood Quality. New York: Marcel Dekker, Inc. Hlm
411-450.
Karungi C, Byaruhanga YB, Muyonga JH. 2003. Effect of pre-icing duration on
quality deterioration of iced nile perch (Lates niloticus). J. Food
Chemistry 85: 13-17.
Kim S, Park P, Kim J, Shahidi F. 2002. Purification and characterization of the
collagenase from the tissue of filefish, Novoden modestrus. Journal of
Biochemistery and Molecular Biology 35 (2): 165-171.
Kreuzer R. 1965. The Technology of Fish Utilization. England: Fishing News
(Books) Ltd. Ludgate House 110 Fleet Street London EC4.
Ladrat CD, Bagnis VV, Noel J, Fleurence J. 2004. Relative contribution of
calpain and cathepsin to protein degradation in muscle sea bass
(Dicentrarcus Labrax L.). J. Food Chemistry 88: 389-395.
Lan NT, Dallsgaard A, Cam PD, Mara D. 2007. Microbiological quality of fish
grown in wastewater-fed and non wastewater-fed fishpond in Hanoi,
Vietnam: influence of hygiene practices in local retail markets. J. Water
and Health 5: 209-218.
Lawrie RA. 1985. Meat Science. 4th Edition. Lowa: MC Brown Comp. Publisher.
Lehninger AL. 1993. Dasar-dasar Biokimia Jilid I. Thenawidjaya M, penerjemah.
Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari : The Foundations of Biochemistry.
Lestari SD. 2005. Analisis sifat fisika, kimiawi, dan rheologi gelatin kulit hiu
gepeng (Alopis sp.) dengan penambahan MgSO4, sukrosa dan gliserol.
[skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perikanan. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB.
Martinez . 2006. The Search for causes of belly bersting in pelagic fish.
www.sintef.com . [05 April 2008].
Mudjiman. 1983. Budidaya Ikan Bandeng di Tambak. Jakarta: Penebar Swadaya.
Naiola E, Widhiyastuti N. 2007. Semi purifikasi dan karakteristik enzim protease
Bacillus sp. Journal Berk Penel Hayati 13: 51-56.
66
Nutrition Data. 2007. Nutrition Raw Milkfish. http://www.nutritiondata.com. [05
April 2008].
Ozogul F. 1999. Comparison of methods used for determination of total volatile
basic nitrogen (TVB-N) in rainbow trout (Oncorhynchus mykiss). Turk J.
Zool 24:113-120.
Park PJ, Lee SH, Byun HG, Kim SH, Kim SK. 2002. Purification and
characteristization of a collagenase from the Mackerel, Scomber
japonicus. Journal of Biochemistry and Moleculer Biology 35 (6): 576682.
Price JF, Schweigert BS. 1971. The Science of Meat and Meat Product. San
Fransisco: W.H Freeman and Company.
Ratna. 2001. Usaha Perikanan Di Indonesia. Jakarta: Mutiara Sumber Widya.
Robb D. 2002. The Killing of Quality: The Impact of Slaughter Procedures on
Fish Flesh. Dalam Alasalvar C dan Taylor T (eds): Seafood-Quality,
Technology and Nutraceutical Applications. New York. Springer. Hal 7.
Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Jakarta: Bina Cipta.
Saito M, Sato K, Kunisaki N, Kimura S. 2000. Characterization of a rainbow trout
matrix metalloproteinase capable of degrading type I collagen. Journal
Biochem 267 : 6943-6950.
Sentandreu MA, Aubry L, Ouali A. 2003. Purification of bovine cathepsin B:
proteomic characterization of the different forms and production of
specific antibodies. Journal Biochem, Cell Biol 1: 317-326.
Shahidi F, Botta JR. 1994. Seafood: Chemistry, Processing Technology and
Quality. Glasgow: Blackie Academic and Professional.
Sikorski ZE dan Kolakowski ZE. 2000. Endegenous Enzymes Activity and
Seafood Quality: Influence of Chilling, Freezing, and Other
Environmental factors. Di dalam: Haard NF dan Simpson BK, editor.
Seafood Enzymes Utilization and Influence on Postharvest Seafood
Quality. New York: Marcel Dekker, Inc. Hlm 451-487.
Simpson BK. 2000. Digestives Proteinases from Marine Animals. Di dalam:
Haard NF dan Simpson BK, editor. Seafood Enzymes Utilization and
Influence on Postharvest Seafood Quality. New York: Marcel Dekker, Inc.
Hlm 191-207.
Snedecor GW dan Cochran WG. 1967. Statistical Methods. New Delhi: Oxford
and IBH Publishing Co.
67
Steel RGD, Torrie JH. 1989. Prinsip dan Prosedur Statistika. Suatu Pendekatan
Biometrik. Sumantri B, penerjemah. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama.
Terjemahan dari : The Principle and Procedure of Statistic. A Biometrics
Approach.
Suhartono MT. 1989. Enzim Dan Bioteknologi. Bogor: Departemen pendidikan
Dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Antar Universitas
Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor.
Susanto . 2006. Budidaya Ikan Di Pekarangan. Jakarta: Penebar Swadaya.
Warta Penelitian Perikanan Budidaya. (2005). Budidaya ikan kaya gizi.
www.google.com . [05 April 2008].
Wang D, Jang T, Correia L.R, Gill T.A.1998. Postmortem changes of cultivated
atlantic Salmon and their effects on salt uptake. Journal of Food Science.
Vol 63. No.4: 635.
68
69
Lampiran 1a. Format uji organoleptik ikan segar (SNI 01-2346-2006)
Nama Panelis :
Tanggal :
Cantumkan kode contoh pada kolom yang tersedia sebelum melakukan
pengujian.
Berilah tanda V pada nilai yang dipilih sesuai kode contoh yang diuji.
Spesifikasi
Nilai
Kode contoh
1
A.
1.
-
Kenampakan
Mata
Cerah, bola mata menonjol, kornea jernih.
Cerah, bola mata rata, kornea jernih.
Agak cerah, bola mata rata, pupil agak
keabu-abuan, kornea agak keruh.
- Bola mata agak cekung, pupil berubah
keabu-abuan, kornea agak keruh.
- Bola mata agak cekung, pupil keabu-abuan,
kornea agak keruh.
- Bola mata cekung, pupil mulai berubah
menjadi putih susu, kornea keruh.
- Bola mata sangat cekung, kornea agak
kuning.
2. Insang
- Warna merah cemerlang, tanpa lendir.
- Warna merah kurang cemerlang, tanpa
lendir.
- Warna merah agak kusam, tanpa lendir.
- Merah agak kusam, sedikit lendir.
- Mulai ada perubahan warna, merah
kecoklatan, sedikit lendir, tanpa lendir.
- Warna merah coklat, lendir tebal.
- Warna merah coklat ada sedikit putih, lendir
tebal.
3. Lendir permukaan badan
- Lapisa lendir jernih, transparan, mengkilat
cerah, belum ada perubahan warna.
- Lapisan lendir jernih, transparan, cerah,
belum ada perubahan warna.
- Lapisan lendir mulai agak keruh, warna agak
putih, kurang transparan.
- Lapisan lendir mulai keruh, warna putih agak
kusam, kurang transparan.
- Lendir tebal menggumpal, mulai berubah
warna putih, keruh.
- Lendir tebal menggumpal, warna putih
kuning.
- Lendir tebal menggumpal, warna kuning
kecoklatan
9
8
7
6
5
3
1
9
8
7
6
5
3
1
9
8
7
6
5
3
1
2
3
4
5
70
4. Daging (warna dan kenampakan)
- Sayatan daging sangat cemerlang, spesifik
jenis, tidak ada perubahan sepanjang tulang
belakang, dinding perut daging utuh.
- Sayatan daging cemerlang, spesifik jenis,
tidak ada pemerahan sepanjang tulang
belakang, dinding perut utuh.
- Sayatan daging sedikit kurang cemerlang,
spesifik jenis, tidaka ada pemerahan
sepanjang tulang belakang, dinding perut
daging utuh.
- Sayatan daging mulai pudar, banyak
pemerahan sepanjang tulang belakang,
dinding perut lunak.
- Sayatan daging kusam, warna merah jelas
sekali sepanjang tulang belakang, dinding
perut lunak.
- Sayatan daging kusam sekali, warna merah
jelas sekali sepanjang tulang belakang,
dinding perut sangat lunak.
II. Bau
- Bau sangat segar, spesifikasi jenis.
- Segar, spesifik jenis.
- Netral.
- Bau amoniak mulai tercium, sedikit bau
asam.
- Bau amoniak kuat, ada bau H2S, bau asam
jelas dan busuk.
- Bau busuk jelas.
III. Tekstur
- Padat, elastis bila ditekan dengan jari, sulit
menyobek daging dari tulang belakang.
- Agak padat, elastis bila ditekan dengan jari,
sulit menyobek daging dari tulang belakang.
- Agak padat, agak elastis bila ditekan dengan
jari, sulit menyobek daging dari tulang
belakang.
- Agak lunak, kurang elastis bila ditekan
dengan jari, agak mudah menyobek daging
dari tulang belakang.
- Lunak, bekas jari terlihat bila ditekan, mudah
menyobek daging dari tulang belakang.
- Sangat lunak, bekas jari tidak hilang bila
ditekan, mudah sekali menyobek daging dari
tulang belakang.
9
8
7
5
3
1
9
8
7
5
3
1
9
8
7
5
3
1
71
Lampiran 1b. Format uji organoleptik dinding perut dan isinya (Intestine)
Score sheet organoleptik dinding perut dan isinya (Intestine) ikan segar (Laporan
Penelitian Lembaga Teknologi Perikanan, No.2 (1973) diacu dalam Ilyas (1983))
Nama Panelis :
Tanggal :
Cantumkan kode contoh pada kolom yang tersedia sebelum melakukan
pengujian.
Berilah tanda V pada nilai yang dipilih sesuai kode contoh yang diuji.
Spesifikasi
-
-
Susunan isi perut teratur, kompak,
cemerlang, amis segar, selaput hitam
mengkilat, lekat erat, dinding perut merah
muda (pink) perak cemerlang.
Gejala seperti diatas tetapi mulai redup.
Susunan berubah, amis keras, selaput
keabu-abuan, mudah lepas, redup.
Bau amis rancid, pucat, selaput abu-abu,
mudah lepas.
Susunan tidak teratur, pucat, bau amis
alkali, dinding lembek, rusak menonjol.
Bau rancid-alkali keras, dinding perut
mudah rusak.
Susunan hancur berantakan, busuk, tulang
rusuk lepas dan dinding.
Nilai
9
8
7
6
5
3
1
Kode contoh
1 2 3 4 5
72
Lampiran 2a. Bahan-bahan untuk ekstraksi enzim katepsin (Dinu et al. 2002)
1. Buffer Tris-HCl 0,1 M (pH 7,4)
Tris base (Mr = 121,14) sebanyak 12,114 gram dilarutkan ke dalam 995 ml
akuades. Lalu ditepatkan pH nya hingga 7,4 dengan penambahan HCl pekat (1 N)
sedikit demi sedikit. Kemudian ditepatkan volumenya hingga satu liter.
Lampiran 2b. Bahan-bahan untuk ekstraksi enzim kolagenase (Moore dan
Stein (1954) diacu dalam Kim et al. (2002))
1. Buffer Tris-HCl 100 mM (pH 8,0) yang terdiri dari 0,25 % Triton-X 100
dan 10 mM CaCl2
Tris base (Mr = 121,14) sebanyak 12,114 gram ditambah 1,4702 gram
CaCl2 dan 2,5 ml Triton-X 100 dilarutkan ke dalam 995 ml akuades. Lalu
ditapatkan pH nya hingga 8,0 dengan penambahan HCl (4 N) pekat sedikit demi
sedikit. Kemudian ditepatkan volumenya hingga satu liter.
2. Buffer Tris-HCl 20 mM (pH 8,0) yang terdiri dari 0,36 mM CaCl2
Tris base (Mr = 121,14) sebanyak 2,4228 gram ditambah 0,0529 gram
CaCl2 dilarutkan ke dalam 995 ml akuades. Lalu ditapatkan pH nya hingga 8,0
dengan penambahan HCl (4 N) pekat sedikit demi sedikit. Kemudian ditepatkan
volumenya hingga satu liter.
Lampiran 2c. Bahan-bahan untuk pengukuran aktivitas enzim katepsin
(Dinu et al. 2002)
1. Hemoglobin 2 % dengan pH 2,0
Hemoglobin 8 % sebanyak 50 ml dilarukan ke dalam 145 ml akuades
(perbandingan hemoglobin : akuades adalah 1:3). Kemudian pH dibuat menjadi
2,0 dengan penambahan HCl 1 N dan volume akhir ditepatkan menjadi 150 ml.
2. TCA 5 %
Sebanyak 5 gram TCA dilarutkan diacu dalam akuades hingga volume
akhir 100 ml.
73
Lampiran 2d. Bahan-bahan untuk pengukuran aktivitas enzim kolagenase
(Moore dan Stein (1954) diacu dalam Park et al. (2002))
1. Buffer Tris-HCl 0,05 M pH 7,5 yang terdiri dari 5 mM CaCl2
Tris base sebanyak 6,057 gram ditambahkan CaCl2 sebanyak 1,4702 gram.
Kemudian bahan tersebut dilarutkan ke dalam 995 ml akuades. Lalu ditepatkan
pH nya hingga 7,5 dengan penambahan HCl pekat sedikit demi sedikit. Kemudian
ditepatkan volumenya hingga satu liter.
2. Tirosin standar
Tirosin sebanyak 0,2 g dilarutkan ke dalam 220 ml buffer Trsi-HCl 0,2 M
pH 8,0. Selanjutnya larutan diaduk perlahan dengan magnetic stirrer. Larutan ini
disimpan pada suhu 0-4 0C dan dapat digunakan selama satu minggu.
3. Asam trikloro asetat (TCA) 50 % (w/v)
Sebanyak 50 gram TCA dilarutkan dalam akuades hingga volume
akhirnya 100 ml. Selanjutnya diaduk dengan magnetic stirrer hingga larut dan
disimpan pada suhu 0-4 0C.
4. Larutan nynhydrin 0,1 % (w/v)
Sebanyak 0,1 gram larutan nynhidrin dilarutkan dalam akuades hingga
volume akhirnya 100ml. Selanjutnya diaduk dengan magnetic stirrer hingga larut
dan disimpan pada suhu 0-4 0C.
5. 1-propanol 50 % (v/v)
Sebanyak 50 ml 1-propanol dilarutkan dalam akuades hingga volume
akhirnya sebanyak 100 ml. Selanjutnya diaduk dengan magnetic stirrer hingga
larut dan disimpan pada suhu 0-4 0C.
74
Lampiran 3. Hasil pengujian tingkat kesegaran ikan bandeng pada
penentuan pola kemunduran mutu
Sa
mp
el
A
1
2
Pre Rigor
3
4
5
1
2
Rigor Mortis
3
4
9
9
6,82
11,5
9
3,69
8
7
6,70
B
9
9
6,53
14,2
8
3,82
8
7
C
9
9
6,82
11,5
9
3,69
8
D
9
9
6,53
14,2
8
3,82
6
Post Rigor
3
4
5
1
2
38,92
4,82
6
5
6,36
6,44
48,44
4,87
6
5
8
6,60
54,6
4,86
5
7
6,33
53,2
5,16
5
Keterangan :
A
= Dipuasakan, Suhu Ruang
Bandeng Utuh
B
= Tidak dipuasakan, Suhu Ruang
(Jeroan)
C
= Dipuasakan, Suhu Chilling
D
= Tidak dipuasakan, Suhu Chilling
Busuk
3
4
5
1
2
66,36
6,77
3
3
6,92
6,27
66,36
6,87
3
3
7,19
5
6,48
82,04
6,77
3
3
7,2
5
6,2
82,6
6,88
3
3
7
Nilai
Organoleptik
1=
Rata-rata
5
Sangat Busuk
2 3 4 5
1
6
5
,
2
1
9
8
,
8
1
1
2
7
,
7
8
,
1
9
1
1
7
,
4
1
0
9
,
2
7
,
8
6
1
1
7
,
3
7
,
4
2
Ikan
2= Rata-rata Nilai Organoleptik Isi Perut
3= Rata-rata Nilai pH
4= Rata-rata Nilai TVB (mg N/100 g)
5= Rata-rata Nilai Log TPC (CFU/ml)
1
1
9
8
,
8
1
6
5
,
2
8
,
9
9
9
75
Lampiran 4. Hasil pengujian aktivitas enzim selama kemunduran mutu
1.
Ssampel
A
B
C
D
Sampel
A
B
C
D
Hasil pengujian aktivitas enzim katepsin
Pre Rigor
Rigor Mortis
Post Rigor
Aktifitas
Konsent Aktifitas
Konsentra Aktifitas
Konsentr
(U/ml)
rasi
(U/ml)
si Protein (U/ml)
asi
Protein
(mg/ml)
Protein
(mg/ml)
(mg/ml)
0,3066
0,2317
0,4821
0,5537
0,5714
0,8658
0,1964
0,1911
0,3571
0,5118
0,5
0,6603
0,3036
0,2408
0,3393
0,4371
0,6607
0,5655
0,1964
0,2568
0,625
0,4456
1,1071
0,6675
2. Hasil pengujian aktivitas enzim kolagenase
Pre Rigor
Aktifita Konsentra
s (U/ml) si Protein
(mg/ml)
0,0208
0,0208
0,0125
0,0208
Rigor Mortis
Aktifitas
Konsentras
(U/ml)
i
Protein
(mg/ml)
Post Rigor
Aktifitas
Konsentras
(U/ml)
i
Protein
(mg/ml)
0,3566
0,0375
0,5355
0,0792
0,3408
0,0417
0,6816
0,0667
0,3276
0,0333
0,5066
0,0708
0,3526
0,0375
0,5961
0,0708
Keterangan :
A
= Dipuasakan, Suhu Ruang
B
= Tidak dipuasakan, Suhu Ruang
0,7697
0,8039
0,8553
0,7224
C
D
Aktifitas
(U/ml)
Busuk
Konsentra
si Protein
(mg/ml)
0,5
0,3929
0,5357
0,6964
Aktifitas
(U/ml)
0,0583
0,0583
0,0542
0,05
0,6998
0,5685
0,5085
0,5111
Busuk
Konsentras
i Protein
(mg/ml)
0,4579
0,5329
0,4461
0,4868
Sangat Busuk
Aktifitas
Konsentra
(U/ml)
si Protein
(mg/ml)
0,0464
0,3166
0,0538
0,2602
Sangat Busuk
Aktifitas
Konsent
(U/ml)
rasi
Protein
(mg/ml)
0,0375
0,0417
= Dipuasakan, Suhu Chilling
= Tidak dipuasakan, Suhu Chilling
0,4316
0,4171
76
Lampiran 5. Kurva standar penentuan konsentrasi protein
(1) Penentuan konsentrasi protein enzim katepsin
(a) Standar BSA (ekstrak kasar enzim katepsin)
Konsentrasi
0.025
0.05
0.075
0.1
0.125
0.15
0.175
0.2
0.225
0.25
Absorbansi
0.011
0.035
0.0421
0.063
0.075
0.089
0.093
0.097
0.145
0.153
(b) Kurva standar BSA (ekstrak kasar enzim katepsin)
Contoh perhitungan konsentrasi protein akstrak kasar enzim katepsin :
Y
= 0.588X - 0
0.1315 = 0.588X - 0.000
X
= 0.1315+0.000
0. 588
= 0.2236
77
(2) Penentuan konsentrasi protein enzim kolagenase
(a) Standar BSA (ekstrak kasar enzim kolagenase)
Konsentrasi
0.025
0.05
0.075
0.1
0.125
0.15
0.175
0.2
0.225
0.25
Absorbansi
0.0211
0.043
0.063
0.078
0.085
0.089
0.097
0.103
0.109
0.115
(b) Kurva standar BSA (ekstrak kasar enzim kolagenase)
Contoh perhitungan konsentrasi protein akstrak kasar enzim katepsin :
Y
= 0.380X + 0.028
0.1650 = 0.380X + 0.028
X
= 0.1650 - 0.028
0.380
= 0.3605
78
Lampiran 6. Dokumentasi Kondisi Jeroan Sampel Bandeng
Pemecahan perut
a. Sampel C
b. Sampel D
Kondisi isi perut
(1) Sampel A
a. Fase pre rigor
b. Fase rigor mortis
c.
d.
Fase post rigor
Fase busuk
(2) Sampel B
a. Fase pre rigor
b. Fase rigor mortis
79
c.
Fase post rigor
d. Fase busuk
(3) Sampel C
a. Fase pre rigor
b.
Fase rigor mortis
c.
Fase post rigor
d. fase busuk
e.
Fase sangat busuk
80
(4) Sampel D
a. Fase pre rigor
b. Fase rigor mortis
c.
Fase post rigor
d. Fase busuk
e.
Fase sangat busuk
81
Lampiran 7. Hasil analisis dan uji statistik (ANOVA)
1. pH
Tabel Sidik Ragam
SK
db
JK
KT
F
Model
7
5,8758
0,8394
20,78
Galat
28
1,1309
0,0403
Total
35
7,0068
SK
Perlakuan
Kelompok
db
3
4
JK
0,2410
5,7234
KT
0,0803
1,4308
Pr>F
<,0001
F
1,99
35,42
Pr>F
0,1385
<.0001*
2. TVB
SK
Model
Galat
Total
SK
Perlakuan
Kelompok
db
7
28
35
db
3
4
Tabel Sidik Ragam
JK
KT
122287,6137 17469,6591
12180,6199 435,0221
134468,2336
JK
KT
1772,2827
7609,7609
120205,0590 30051,2647
F
40,16
Pr>F
<,0001
F
1,36
69,08
Pr>F
0,2759
<.0001*
3. TPC
SK
Model
Galat
Total
db
7
28
35
SK
Perlakuan
Kelompok
3
4
db
Tabel Sidik Ragam
JK
KT
122,6005
17,5143
3,7882
0,1352
126,3887
JK
0,7003
115,7929
KT
0,2334
28,9482
F
129,45
F
1,73
213,97
Pr>F
<,0001
Pr>F
<.0001*
<.0001*
4. Aktivitas katepsin
SK
Model
Galat
Total
SK
Perlakuan
Kelompok
db
7
28
35
db
3
4
Tabel Sidik Ragam
JK
KT
0,0500
0,0071
0,0868
0,0031
0,1369
JK
0,0296
0,0204
KT
0,0098
0,0051
F
Pr>F
<,0001
F
Pr>F
0,0392*
<.0001*
2,31
3,18
1,65
82
5. Konsentrasi protein katepsin
SK
Model
Galat
Total
SK
Perlakuan
Kelompok
db
7
28
35
db
3
4
6. Aktivitas kolagenase
Tabel Sidik Ragam
SK
db
Model
7
Galat
28
Total
35
SK
db
Perlakuan
3
Kelompok
4
Tabel Sidik Ragam
JK
KT
1,7537
0,2505
0,2250
0,0080
1,9787
JK
0,2025
1,3435
JK
0,0153
0,0128
0,0282
JK
0,0037
0,011
7. Konsentrasi protein kolagenase
Tabel Sidik Ragam
SK
db
JK
Model
7
0,9091
Galat
28
0,0869
Total
35
0,9960
SK
Perlakuan
Kelompok
Keterangan:
SK
db
JK
KT
Perlakuan
Kelompok
*
db
3
4
JK
0,0186
0,8762
KT
0,0675
0,3358
KT
0,0021
0,0004
KT
0,0012
0,0028
KT
0,1298
0,0031
KT
0,0062
0,2190
F
31,18
Pr>F
<,0001
F
8,40
41,80
F
Pr>F
0,0004*
<.0001*
Pr>F
0,0012
4,79
F
2,74
6,17
F
41,82
F
2,00
70,54
Pr>F
0,0497*
0,0011*
Pr>F
<,0001
Pr>F
0,0276*
<.0001*
: sumber keragaman
: derajat bebas
: jumlah kuadrat
: kuadrat tengah
: kombinasi kondisi ikan sebelum dipanen dan suhu penyimpanan
: fase kemunduran mutu (pre rigor, rigor, post rigor, busuk dan sangat
busuk)
: berbeda nyata
Download