BAB VI PENUTUP 1. KESIMPULAN Dominasi politik Dinasti Mustohfa di Desa Puput telah dirintis sejak lama di tahun-tahun awal Orde Baru. Walaupun struktur politik nasional maupun lokal mengalami perubahan yang fundamental, dari rezim yang sentralistik dan otoriter ke rezim yang demokratis, namun perubahan struktur politik tersebut tidak mampu meruntuhkan dominasi sebuah dinasti politik yang berlangsung di tingkat desa. Eksistensi Dinasti Mustohfa pada puncak kekuasaan di Desa Puput karena kemampuannya mereproduksi basis sumber daya patronase yang terkonversikan melalui jaringan klientelistik menjadi dukungan politik yang masif dan berkelanjutan (sustainable). Legitimasi kekuasaannya diperoleh karena kemampuan menjaga soliditas keluarga inti (elit dinasti) dan sumber daya patronase terutama sumber daya ekonomi yang sangat kuat menopang Dinasti Mustohfa. Hal tersebut dibarengi dengan kemampuan memelihara soliditas eksternal (di luar elit dinasti) yang diidentifikasikan sebagai jaringan klientelistik yang tidak pernah melapuk, bahkan cenderung menguat. Dalam setiap Pilkades tidak pernah terjadi fragmentasi di antara elit dinasti, sehingga secara solid mereka mendukung satu orang kandidat dari kalangan internal. Kalaupun pernah terjadi fragmentasi, hal tersebut hanya berlangsung dalam jaringan klientelistik seperti pada kasus Asmadi dan Samson yang mana selalu bisa dikonsolidasikan melalui pendekatan personal dan redistribusi sumber daya patronase. 213 Argumen di atas menegaskan bahwa survivabilitas dinasti politik sangat tegantung pada kemampuan mengelola tiga hal ; pertama, sustainabilitas pengikut inti jaringan klientelistik yang terdiri dari ikatan kekerabatan dan orang-orang dekat dalam struktur pemerintahan desa dan organisasi desa. Kedua, penguasaan terhadap sumber-sumber ekonomi dan akumulasi kekayaan yang dimiliki. Ketiga, kemampuan memelihara soliditas jaringan klientelistik dengan kekuatan-kekuatan di luar struktur pemerintahan desa dan organisasi desa, yang telah difungsikan sebagai mesin mobilisasi massa untuk meraih kekuasaan, sekaligus sebagai “tameng” dalam rangka melindungi kekuasaan yang telah diraih. Berbagai konsekuensi politik yang dihadirkan oleh masing rezim pemerintahan yang berpotensi menggusurnya dari puncak kekuasaan, berhasil dilewati oleh Dinasti Mustohfa. Artinya, meskipun rezim Orde Baru dan orde Reformasi sekilas terkesan bisa berkompromi dengan kehadiran sebuah dinasti politik di desa, namun sesekali kedua rezim itu menampakkan karakter predatornya yang bisa mengakhiri dominasi dinasti tersebut. Sampai pada titik ini, dapat difahami bahwa Dinasti Mustohfa cukup fleksibel bernegosiasi dengan situasi dan kondisi politik di kedua rezim dalam rangka mempertahankan kekuasaannya. Menarik untuk disimak adalah konversi sumber daya patronase bukan sengaja dirancang (by design) untuk memperoleh dukungan suara pada Pilkades, namun elektabilitas yang tinggi lebih merupakan hubungan kausalitas dari aktifitas spiritual, sifat kedemawanan, aktifitas ekonomi, dan aktifitas pemerintahan. Artinya, elektabilitas tidak diperoleh secara instan melalui 214 pertukaran-pertukaran sumber daya patronase dengan suara para pemilih setiap menjelang Pilkades. Namun merupakan hasil dari sebuah proses yang panjang melalui relasi antara patron dan klien yang mana dalam setiap distribusi sumber daya patronase muncul pula aspek emosional, karena dilakukan secara langsung (face to face) dan berlangsung dalam jaringan klientelistik pedesaan. Pelayanan spiritual merupakan upaya Mustohfa mengambil alih peran keluarga besarnya sebagai ulama di Desa Puput, yang sudah dimulai sejak masa H. Marzuki ayah dari kakeknya. Demikian halnya dengan pendistribusian zakat mal dan bantuan materi lainnya, merupakan tradisi kedermawanan yang sudah melekat pada keluarga tersebut. Bila dicermati kedermawanan Dinasti Mustohfa lebih banyak bermain di ranah kereligiusan, di mana sebagian besar distribusi materi dialokasikan dalam bentuk zakat mal, bantuan ibadah umroh, bantuan pembangunan tempat ibadah, dan bantuan untuk sarana pendidikan agama islam. Hal ini dapat dibaca sebagai upaya Dinasti Mustohfa untuk memelihara kesan (image) mereka sebagai keluarga yang religius. Sektor usaha yang banyak menampung tenaga kerja memang berkontribusi dalam menggerakkan roda perekonomian di Desa Puput. Namun harus disadari bahwa luasnya lapangan kerja yang disediakan oleh Dinasti Mustohfa saat ini bukan semata-mata untuk tujuan-tujuan politik, tetapi merupakan konsekuensi atas gencarnya aktifitas ekonomi mereka dengan melakukan ekspansi dan diversifikasi usaha dalam rangka meningkatkan akumulasi kekayaan yang berbanding lurus dengan meningkatnya alokasi distribusi sumber daya ekonomi. 215 Bila kemudian distribusi sumber daya ekonomi di masa Mustohfa dan Mazlah lebih kecil dari generasi berikutnya, hal tersebut disebabkan oleh sektor usaha yang dikuasai masih terbatas, dan mereka bergerak tunggal dalam melakukan aktifitas ekonomi. Selanjutnya distribusi sumber daya ekonomi mengalami peningkatan yang signifikan di masa Jumrah Toha dan Zulkarnain. Hal tersebut merupakan dampak positif dari gencarnya ekspansi dan diversifikasi usaha yang dilakukan, dan mereka bergerak kolektif dalam melakukan aktifitas ekonomi. Meskipun usaha-usaha tersebut dimiliki secara pribadi oleh masingmasing elit Dinasti Mustohfa. Jumlah perangkat desa dan pengurus organisasi desa yang semakin bertambah menjadi potensi bagi meluasnya jaringan klientelistik melalui rekrutmen jabatan-jabatan formal di desa. Namun, pemekaran struktur pemerintahan desa dan organisasi desa bukan sebuah aktifitas politik maupun pemerintahan yang menjadi inisiatif kepala desa, melainkan ketentuan yang harus dilaksanakan sebagaimana telah diamanatkan oleh peraturan perundangundangan. Transformasi politik Dinasti Mustohfa nampak dalam rekrutmen jabatan-jabatan formal ini, di mana pada masa jabatan Mustohfa dan Mazlah (Orde Baru) struktur pemerintahan desa dan organisasi desa didominasi oleh para klien dari ikatan afektif (nepotisme). Pasca berdirinya rezim Reformasi, Jumrah Toha dan Zulkarnain memberi ruang bagi lawan-lawan politiknya untuk mengabdi sebagai perangkat desa dan pengurus organisasi desa, dalam rangka mendukung kinerja kepala desa. Selanjutnya lawan-lawan politik yang telah menjadi 216 subordinasi kepala desa tersebut, akhirnya menjadi klien sehingga memperluas jaringan klientelistik Dinasti Mustohfa. Sebagai keluarga kaya, religius dan dikenal dermawan, Dinasti Mustohfa melihat distribusi sumber daya patronase sebagai sebuah kewajiban untuk berbagi dengan warga desa lainnya melalui ruang-ruang yang disediakan oleh struktur sosial dan ekonomi setempat. Artinya, distribusi sumber daya patronase tersebut merupakan bentuk kepekaan sosial sebuah dinasti politik terhadap lingkungannya, tanpa disertai dengan motif politik. Sebagaimana orang yang pernah menerima jasa-jasa baik, bantuan materi dan pekerjaan atau jabatan, maka para klien berusaha membalas kebaikankebaikan tersebut dengan tetap setia berada dalam jaringan klientelistik. Mereka berusaha mengidentifikasikan diri sebagai klien yang setia kepada patron dengan memberikan dukungan dan memobilisasi suara (voter) pada saat Pilkades, mendukung kinerja patron di pemerintahan desa dan usaha pribadinya, serta membela patron pada saat berkonflik dengan pihak lain. Dalam studi kasus ini tindakan klien tersebut adalah kesadaran pribadinya sendiri bukan atas permintaan ataupun tekanan dari Dinasti Mustohfa. Tujuannya adalah dalam rangka menjamin sustainabilitas subsistensinya dan aliran berbagai bantuan patron kepada mereka. Selain Pilkades dan membantu kinerja patron, hampir tidak tersedia ruang bagi klien untuk membalas kebaikan patronnya, sementara itu distribusi sumber daya patronase masih rutin mereka terima dalam berbagai bentuk. Akumulasi kebaikan patron itu kemudian akan dianggap sebagai “hutang” oleh klien. Kondisi 217 ini semakin mempersulit klien “keluar” dari kekuasaan Dinasti Mustohfa, bahkan mereka semakin tenggelam ke dalam jaringan klientelistik. 2. REFLEKSI TEORITIK Eksistensi dinasti Mustohfa seperti yang telah dijelaskan dalam tesis ini, telah memberikan gambaran lain tentang pola relasi antara patron-klien dan merevisi pendapat Scott terkait prilaku pengikut inti (core) dan pengikut pinggiran (periphery) dari sebuah jaringan kleintelisme. Menurut Scott (1972a : 99) para pengikut inti yang berasal dari ikatan afektif tidak terlalu tergantung pada kelanjutan keuntungan materi, hanya karena kesetiaan mereka sebagian didasarkan pada pertukaran nonmaterial. Sedangkan pengikut pinggiran terdiri dari pengikut yang terikat oleh hadiah (reward) instrumental (materi). Para pengikut afektif yang terdiri dari kerabat, teman dekat, teman sekolah, dan buruh lebih mengutamakan kedekatan personal dari pada keuntungan materi untuk terikat kepada seorang patron. Sementara itu, loyalitas pengikut pinggiran yang berasal dari ikatan instrumental sangat tergantung kepada kelanjutan distribusi materi dari patronnya. Hasil studi penulis di Desa Puput menunjukkan bahwa pengikut inti dari ikatan afektif ini memiliki perilaku yang sama dengan para pengikut pinggiran, sehingga bila tidak melihat hubungan mereka sebelumnya dengan patron sulit membedakan mereka dengan pengikut pinggiran. Loyalitas para pendukung inti jaringan klientelisme dari ikatan afektif, kenyataannya sangat bergantung pada kelanjutan keuntungan materi, yang mana patron harus selalu mendistribusikan 218 sumber daya ekonomi kepada mereka dalam berbagai bentuk secara rutin maupun insidentil, meskipun di antara mereka ada yang sudah direkrut menduduki jabatanjabatan formal di Desa Puput. Potret demokrasi di tingkat desa sebagaimana telah ditampilkan dalam studi ini, berseberangan dengan argumen Gaffar tentang rekrutmen politik yang terbuka untuk memungkinkan terjadinya rotasi kekuasaan, di mana setiap orang yang memenuhi syarat untuk mengisi suatu jabatan politik yang dipilih oleh rakyat memiliki peluang yang sama dalam melakukan kompetisi untuk mengisi jabatan tersebut (2006 : 8). Meskipun berada dalam rezim Reformasi yang demokratis, namun rekrutmen politik melalui Pilkades di Desa Puput tetap didominasi oleh Dinasti Mustohfa. Elit desa lainnya yang menjadi kandidat kepala desa gagal memanfaatkan peluang yang disediakan oleh rezim Reformasi untuk menggusur Dinasti Mustohfa dari puncak kekuasaan di Desa Puput. Akibatnya jabatan Kepala Desa Puput hanya berotasi diantara elit Dinasti. Kalaupun ada rotasi kekuasaan hanya terbatas pada beberapa jabatan perangkat desa dan organisasi desa, yang mana oleh kepala desa jabatan-jabatan tersebut diberikan kepada orang-orang dari luar jaringan klientelismenya. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa demokratisasi di Desa Puput baru sebatas tahap prosedural dan belum menyentuh tataran substansial. Bagaimanapun, demokrasi tidak berdiri sendiri tetapi sangat dipengaruhi oleh ruang-ruang yang menyertainya. Ruang-ruang tersebut bisa saja mendukung pelaksanaan demokrasi atau bahkan sebaliknya menghalangi pelaksanaan nilainilai demokrasi secara komprehensif. 219 Dalam struktur sosial dan ekonomi seperti di Desa Puput, di mana sistem kekerabatan yang masih kuat dan luas, pendidikan masyarakat yang rendah, dan sumber-sumber ekonomi yang sebagian besar masih terkonsentrasi ditangan sekelompok kecil masyarakat, jaringan klientelisme akan tetap tumbuh subur dan semakin meluas. Dalam kondisi seperti ini sulit untuk menerapkan nilai-nilai demokrasi secara ideal. Dipaksa ataupun tidak, ketergantungan yang tinggi kepada patron menyebabkannya klien tidak bisa menentukan pilihan politiknya secara objektif, apabila sang patron mendukung atau menjadi salah satu kandidat dalam Pilkades. Klien berada pada posisi inferior, yang harus selalu mendukung setiap langkah-langkah politik patronnya. 220