BAB I PENDAHULUAN Kejadian kegawatan ortopedi (emergency orthopedics) banyak dijumpai. Penanganan emergency orthopedics telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Teknologi dalam bidang kesehatan juga memberikan kontribusi yang sangat untuk menunjang penanganan emergency orthopedics. Tenaga medis dituntut untuk mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang adekuat terkait dengan proses perawatan emergency orthopedics pertama kali di IGD yang komprehensif, yang dimulai dari pengkajian yang komprehensif, perencanaan intervensi yang tepat, implementasi tindakan, evaluasi hasil yang ditemukan selama perawatan serta dokumentasi hasil yang sistematis. Kasus-kasus yang termasuk dalam emergency orthopedics, yaitu open fracture, compartment syndrome, dislokasi dan fractur dislokasi, lesi vascular besar, septic arthritis, acute osteomyelitis, unstable pelvis, fat emboli, unstable cervical spine, dan traumatic amputasi. Berdasar sifatnya emergency orthopedics dibedakan menjadi dua, yaitu sifatnya yang mengancam jiwa (life threatening ) dan yang mengancam kelangsungan ekstremitas ( limb threatening). Kejadian fraktur banyak ditemukan saat ini, begitu juga kasus open fraktur di IGD. Kalau tidak ditangani akan menjadikannya infeksi kronis yang berkepanjangan.“Once osteomyelitis, forever” : Appley. Jangan sampai melewati Golden periode (0 s/d 6 jam) pada awalnya infestasi kuman masih melekat secara fisik, sesudah itu akan melekat secara kimawi dan sulit dibersihkan dengan pencucian saja. Penanganan definitif fraktur ada yang perlu tindakan operatif ada yang tidak. Fraktur yang harus di operasi : Fraktur yang gagal dengan tindakan konservatif, fraktur intra artikuler, fraktur joint depressed lebih dari 5 mm, fraktur avulsi akibat tarikan ligament, dan fraktur dengan atrioventriculer node disturbances. Kasus emengency ortopedics lain adalah compartment syndrome . Compartment syndrome adalah peningkatan tekanan intra compartement (Osteofascial compartement) pada cruris atau pada Antebrachii akibat peningkatan permeabilitas sesudah terjadinya trauma, menyebabkan odema dan menghalangi aliran arteri yang menyebabkan ischemia jaringan yang diikuti gejala klinis 5 P (Pulseless, Pale, Pain, Paraestesi, Paralyse). Bila tak segera dilakukan fasciotomi akan 1 menyebabkan nekrosis otot dan timbul cacat menetap volkmann ischemic contracture. Selain kasus open fraktur dan kompartemen sindrom, kejadian dislokasi dan fractur dislokasi juga bisa ditemui di IGD. Pada keadaan normal cartilage mendapat nutrisi dari cairan synovial yang berasal dari darah yang sudah tersaring eritrositnya, terjadi diffusi masuk ke joint space bila terjadi mekanisme gerak sendi. Saat dislokasi nutrisi terhenti. Cartilage yang mati sulit regenerasi. Penanganan dislokasi adalah segera reposisi dan stabilisasi 2-3 minggu. Selain kasus kasus di atas, lesi vasculer besar juga termasuk dalam emergency orthopedics. Lesi vaskuler besar yang tersering adalah arteri poplitea dan arteri radialis, juga plexus vein sacral pada sacro iliac disruption atau unstable pelvis atau fractur malgaigne. Kasus emergency ortopedic lain adalah septic arthritis. Pasien akan mengalami panas badan , nyeri sendi sangat hebat bila digerakkan. Area yang sering terkena septic artritis adalah sendi panggul (coxitis) dan lutut (gonitis). Pus yang ada dalam sendi akan merusak sendi, bila tidak segera ditangani, maka arthrotomi pilihan terapi septic artritis pada sendi yang rusak. Dan, acute osteomyelitis merupakan kasus emergency ortopedics. Osteomelitis akut menunjukkan gejala panas, nyeri bila extremitas yang mengalami infeksi dipegang, tanda radang ( rubor, color , dolor , palor, functio laesa). Komplikasi osteomelitis akut adalah sepsis. Lalu, fat emboli, unstable cervical spine, dan traumatic amputasi juga merupakan kasus emergency ortopedics. Fraktur pelvis dapat bersifat unstable apabila cincin pelvis mengalami kerusakan pada 2 tempat atau lebih, biasanya terjadi karena high energy injury. Pada daerah pelvis terdapat plexus plexus vena, jika ada trauma seringkali menyebabkan pecahnya pembuluh darah ini, dan pendarahan baru berhenti jika cavum pelvis terisi penuh dengan darah. Pada fraktur unstable, pendarahan tidak berhenti karena pelvis tidak terfiksasi dengan sempurna. Fat emboly sering terjadi 3-5 hari sesudah fraktur tulang panjang (femur & tibia). Fat globule dari sumsum tulang masuk sirkulasi dan bila masuk ke otak akan mengganggu kesadaran, serta bila masuk paru mengakibatkan sesak. Pertolongan fat emboli adalah oxygenasi dengan PEEP (positive expirasi end pressure) respirator dan heparin atau antikoagulan. Diharapkan dengan mengetahui penanganan awal kasus emergency ortopedic dapat menyelamatkan nyawa (life threatening ) dan yang menyelamatkan extremitas (save the limb). 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. OPEN FRACTURE Dikatakan fraktur terbuka jika terdapat hubungan antara daerah yang fraktur dengan dunia luar, biasanya karena kulit di atasnya sudah tidak intak. Fraktur merupakan terbuka emergensi bedah ortopedi, karena risiko untuk terjadinya infeksi pada tulang yang fraktur tinggi. Komplikasi jangka panjang adalah terancamnya fungsi tungkai, dan dalam kasus infeksi sistemik dapat mengancam jiwa (Budiman, 2010). Manajemen fraktur awal adalah untuk mengontrol perdarahan, mengurangi nyeri, mencegah iskemia-reperfusi cedera, dan mencegah kontaminasi serta infeksi misal benda asing dan jaringan nonviable. Hal ini akan meminimalkan komplikasi yang mungkin dapat terjadi (Buckley, 2012). a. Klasifikasi Fraktur Terbuka Dibawah ini menjelaskan suatu klasifikasi fraktur terbuka menurut Gustilo/Anderson (Rasjad, 2007): Tipe Fraktur I Deskripsi Kulit terbuka < 1 cm, bersih; paling mungkin lesi dalam daripada luar; kontusio otot minimal, fraktur transversum atau oblique yang sederhana II Laserasi > 1 cm dengan kerusakan jaringan lunak luas, flap, atau avulsi; kehancuran minimal sampai sedang; fraktur transversum atau oblique pendek yang sederhana dengan kominutif minimal III Kerusakan jaringan lunak luas, termasuk otot, kulit dan struktur neurovaskular; seringnya cedera kecepatan-tinggi dengan komponen kehancuran yang berat III A Laserasi luas, mencakup tulang adekuat; fraktur segmental, cedera tembak III B Kerusakan jaringan lunak luas dengan terkupasnya periosteal dan ekspos tulang, biasanya berhubungan dengan kontaminasi luas III C Cedera vaskular membutuhkan perbaikan 3 b. Penatalaksanaan Fraktur Terbuka Tantangan penatalaksanaan yang sulit pada fraktur terbuka telah dikenal selama berabad-abad. Amputasi telah menjadi pengobatan menetap sampai pertengahan abad ke 18, dimana teknik antiseptik mulai digunakan. Antiseptik, bersama dengan debridement semua jaringan yang terkontaminasi dan devitalisasi, membuktikan reduksi pertama pada mortalitas. Kemajuan serentak pada profilaksis antibiotik, debridement agresif dan manajemen luka terbuka, flap otot rotasional, transfer jaringan bebas, dan teknik cangkok tulang memperlihatkan peningkatan yang dramatis pada kemampuan seorang dokter untuk menangani fraktur terbuka berat sebagai akibat dari kecelakaan kendaraan bermotor dan luka tembak. Fraktur terbuka merupakan suatu keadaan darurat yang memerlukan penanganan yang terstandar untuk mengurangi risiko infeksi. Selain mencegah infeksi juga diharapkan terjadi penyembuhan fraktur dan restorasi fungsi anggota gerak (Rasjad, 2007). Penangan fraktur terbuka di IGD: 1. ABCD Nilai status kesadaran, bebaskan airway, breathing, resusitasi cairan, dan hentikan perdarahan. 2. Cuci luka Mencuci luka dengan larutan menghilangkan kontaminasi makro dan NaCl fisiologis bekuan darah bertujuan yang dapat meminimalkan kontaminasi serta kerusakan jaringan (Schaller,2012). 3. Debridement dalam golden period (6 jam) dengan general anestesia. Adanya jaringan yang mati akan mengganggu proses penyembuhan luka dan merupakan daerah tempat pembenihan bakteri sehingga diperlukan eksisi secara operasi pada kulit, jaringan subkutaneus, lemak, fasia, otot dan fragmen-fragmen yang lepas (Buckley, 2012). 4. Imobilisasi, luka ditutup kain bersih, fragmen jangan dimasukkan Pembidaian dan imobilisasi fraktur penting pada emergensi ortopedi. Fungsinya adalah untuk mengontrol nyeri dan pembengkakan, mengurangi deformitas/dislokasi, dan imobilisasi fraktur atau cedera. Tujuan pembidaian dan imobilisasi adalah membebaskan nyeri, meningkatkan penyembuhan, stabilisasi fraktur, mencegah sehingga cedera lebih lanjut. Untuk fraktur 4 terbuka grade I-II dapat diberikan internal fixasi, gips dengan window. Sedangkan untuk grade III yaitu external fixasi, gips dengan window hingga amputasi apabila organ tidak viable/beresiko menimbulkan mortalitas. Kebanyakan cedera ekstremitas atas dapat ditangani dengan menggunakan belat posterior long arm. Cedera pada jari ditangani dengan belat jari busa atau belat plastik kaku. Cedera bahu dapat ditangani dengan sebuah selempang/balutan gendong, atau imobiliser bahu. Cedera ekstremitas bawah dapat ditangani dengan imobiliser lutut atau bidai cetak posterior (Budiman, 2010). 5. Antibiotik dan analgetik Pemberian antibiotik bertujuan untuk mencegah infeksi. Antibiotik diberikan dalam dosis yang adekuat sebelum, pada saat dan sesudah tindakan operasi. 6. Pencegahan tetanus Semua penderita dengan fraktur terbuka perlu diberikan pencegahan tetanus. Pada penderita yang telah mendapat imunisasi aktif cukup dengan pemberian toksoid tapi bagi yang belum,dapat diberikan 250 unit tetanus imunoglobulin (manusia). B. COMPARTMENT SYNDROME Sindrom kompartemen akut terjadi ketika tekanan jaringan dalam kompartemen otot tertutup melebihi tekanan perfusi dan menyebabkan otot dan saraf iskemia. Ini biasanya terjadi setelah peristiwa traumatis, paling sering patah tulang. Pilihan penanganan untuk sindrom kompartemen akut adalah dekompresi dini (Rasul, 2012; Paula, 2011). Berbagai sindroma kompartemen telah diuraikan untuk kedua ekstremitas atas dan bawah. Uraian tersebut termasuk sindroma kompartemen pada bahu, lengan atas, lengan bawah, tangan, bokong, paha, tungkai bawah, dan kaki. Penyebab sindroma kompartemen beragam dan termasuk fraktur terbuka dan fraktur tertutup, cedera arteri, luka tembak, gigitan ular, kompresi tungkai, dan luka bakar (Paula, 2007). Meningkatnya tekanan pada ruang fascia tertutup menyebabkan menurunnya tekanan perfusi dan pada akhirnya cedera sel dan kematian neuron 5 dan jaringan otot. Mekanismenya sebagai berikut: hipoksia menyebabkan cedera sel, melepaskan mediator, dan meningkatkan permeabilitas endotel yang menyebabkan oedem, selanjutnya meningkatkan tekanan kompartemen, pH jaringan menurun, lalu terjadi nekrosis, dan terlepasnya mioglobin. Tekanan jaringan lebih besar dari tekanan kapiler; biasanya terlihat pada > 30 mmHg tekanan intra-kompartemen. Waktu iskemik: nervus < 4 jam, otot < 4 jam beberapa mengatakan sampai 6 jam (Paula R. 2007). Gambaran Klinis yang biasa ditimbulkan pada seseorang dengan Sindroma Kompartemen yakni : a. Nyeri yang melebihi kapasitas cedera b. Pemeriksaan fisik: bukti ketegangan kompartemen, menurunnya perfusi (pengisian kembali kapiler, nyeri) dan kehilangan fungsi jaringan (mati rasa dan lemah; nervus dan otot terlibat pada kompartemen yang terinfeksi) c. Diagnosa pasti dengan mengukur tekanan kompartemen. (Paula R. 2007) Penegakkan diagnosa pada Sindroma Kompartemen secara klasik yakni : a. Misal : sekunder akibat luka bakar, pembengkakan jaringan lunak, balutan ketat, iskemis reperfusi, kompresi berkepanjangan, infiltrasi intravena, perdarahan, cedera vaskuler, kejang, dan trauma. b. Kenali 6 P: Pain (nyeri), Pallor (pucat), Pulselessness (tidak ada pulsasi), Parasthesia (tidak ada rasa), Paralysis (lumpuh) dan Poikilothermic. c. Iskemia dan nekrosis dapat muncul bahkan jika masih terdapat pulsasi. d. Nervus sensorik yang lebih dulu terkena, diikuti oleh motorik. e. Waktu: gejala dapat muncul dalam beberapa jam sampai beberapa hari setelah cedera. (Paula R. 2007) Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada pasien dengan Sindroma Kompartemen yakni: a. Singkirkan penyebab kompresi b. O2 c. Pertahankan ekstremitas setinggi jantung d. Konsultasi ortopedi atau bedah darurat e. Fasciotomi: o Indikasi: sindroma kompartemen akut: tekanan kompartemen > 30 mmHg 6 o Ahli bedah harus melakukan fasciotomi; bagaimanapun, pada tungkai yang tekanannya meningkat atau terdapat penundaan pembedahan, fasciotomi emergensi mungkin perlu dilakukan di departemen emergensi. o Pendekatan dua-insisi fasciotomi pada tungkai bawah merupakan prosedur langsung dan dapat dipercaya, mengingat bahwa anatominya mudah dipahami. C. DISRUPSI CINCIN PELVIS DENGAN PERDARAHAN Disrupsi cincin pelvis merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas pada pasien cedera multipel. Dimana kefatalannya disebabkan oleh perdarahan retroperitoneal dan cedera-cedera lain sehubungan dengannya. Fraktur bisa jadi sangat mematikan jika muncul dalam kombinasinya bersama dengan cedera penting pada sistem organ mayor. Karena daya yang tinggi penting untuk disrupsi cincin pelvis pada pasien dewasa muda, tidaklah mengejutkan kalau sampai 80% pasien ini juga mendapat cedera muskuloskeletal. Angka mortalitas pada pasien cedera cincin pelvis berkekuatan-tinggi rata-rata 15-20%. Kematian ini umumnya disebabkan oleh cedera yang umumnya sehubungan dengan pola cedera. Mortalitas meningkat hampir 13 kali jika pasien mengalami hipotensi. Ketika berkombinasi dengan cedera kepala atau cedera abdomen yang membutuhkan intervensi bedah, mortalitas meningkat sampai 50%. Jika kedua prosedur diperlukan, mortalitas meningkat sampai 90% (Guthrie et al., 2010). Ahli bedah ortopedi dan ahli traumatologi secara luas mengklasifikasikan disrupsi cincin pelvis kedalam dua kelompok mayor : stabil dan tidak stabil. Pelvis yang stabil didefenisikan sebagai sesuatu yang dapat tetap bertahan dari gaya fisiologis tanpa dislokasi. Stabilitas ini bergantung pada integritas struktur ligamen dan tulang (Guthrie et al., 2010). Dislokasi ini dapat dinilai pada screening radiografi AP awal. Cedera stabil termasuk fraktur non-dislokasi cincin pelvis dan dislokasi anterior < 2,5 cm. Instabilitas rotasional ditandai dengan melebarnya simfisis pubis atau dislokasi fraktur rami pubis > 2,5 cm. Dasar instabilitas vertikal adalah pemindahan superior hemipelvis melalui fraktur sacrum atau ilium dan disrupsi sendi sacroiliaca > 1 cm. Karena pelvis merupakan struktur cincin sebenarnya, dislokasi 7 anterior penting harus dibarengi dengan disrupsi posterior yang bersesuaian. Disrupsi cincin pelvis biasanya merupakan sebuah kombinasi fraktur dan cedera ligament (Guthrie et al., 2010). Biasanya penyebab perdarahan pada fraktur pelvis adalah dari pleksus vena pelvis posterior dan perdarahan yang menghapus permukaan tulang. Sekitar < 10% kasus perdarahan, disebabkan dari perdarahan arteri yang cukup dikenal. Pengobatan awal harus berfokus pada kontrol perdarahan vena. Reduksi dan stabilisasi pada dislokasi cincin pelvis membantu mencapai pengontrolan tersebut. Reduksi akan mengurangi volume pelvis dan lakukan tampon pembuluh darah yang mengalami perdarahan dengan cara kompresi viscera dan hematom pelvis. Stabilisasi mempertahankan reduksi dan mencegah pergerakan hemipelvis, mengurangi nyeri dan membatasi disrupsi gumpalan terorganisir. Reduksi dan stabilisasi saja biasanya mengontrol perdarahan vena, maka pasien yang tidak merespon manuver ini lebih mungkin mendapat perdarahan arteri (Guthrie et al., 2010). Penatalaksanaan disrupsi cincin pelvis dengan perdarahan: a. Resusitasi cairan b. Hentikan perdarahan, dengan 1) Direct pressure 2) Pemasangan stagen, pelvic sling, PASG 3) Terapi definitif: c. Terapi definitif, pemasangan C-CLAMP. d. Rujuk D. DISLOKASI Dislokasi adalah cedera yang terisolasi, melumpuhkan anggota badan dan segera pasien diangkut. Kontrol perdarahan dengan tekanan langsung dan mencakup dislokasi terbuka dengan kasa steril. Setiap dislokasi terbuka terkait dengan atau tanpa fraktur biasanya tidak boleh direduksi IGD. Antibiotik profilaksis yang tepat harus diberikan, dan status tetanus pasien harus diperbarui. Dressing steril harus diterapkan. Menilai status neurovaskular dari kaki sebagai bagian dari survei sekunder. Pertimbangkan pengurangan mendesak setiap dislokasi yang menyebabkan kompromi neurovaskular signifikan. 8 Di IGD, perawatan biasanya melibatkan analgesia yang tepat, es, dan elevasi. Dislokasi dari jari-jari kaki sering dapat dikurangi dengan anestesi lokal (blok digital) di UGD dengan traksi longitudinal yang sederhana. Dislokasi dari kaki pertama mungkin sulit untuk direduksi. Selain itu, metatarsophalangeal pertama (MTP) dan dislokasi interphalangeal (IP) yang terbuka atau tidak dapat direduksi memerlukan konsultasi ortopedi. Sebagian lainnya MTP dan IP dislokasi mudah dikelola oleh dokter IGD. E. TRAUMATIC AMPUTATION Amputasi traumatik adalah hilangnya bagian tubuh biasanya jari, jari kaki, lengan, atau kaki yang terjadi sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma. Sebuah amputasi traumatik dapat melibatkan bagian tubuh, termasuk lengan, tangan, jari tangan, kaki, jari kaki, telinga, hidung, kelopak mata dan alat kelamin. Anggota tubuh bagian atas termasuk jari-jari (falang), tangan (metakarpal), pergelangan tangan (carpals), lengan (radius/ulna), lengan atas (humerus), tulang belikat (tulang belikat) dan tulang kerah (klavikula). Amputasi ekstremitas lebih dari 65% dari traumatik amputasi, sementara orang yang dapat terlibat dalam amputasi korban kebanyakan antara usia 15 dan sebagian besar korban 80% adalah laki-laki utama (Pike, 2001). Yang paling penting di sini adalah meminimalkan perdarahan, shock, dan infeksi. Hasil jangka panjang untuk diamputasi telah meningkat karena pemahaman yang lebih baik dari manajemen amputasi traumatik, darurat awal dan manajemen perawatan kritis, teknik bedah baru, rehabilitasi awal, dan prostetik baru. Teknik ekstremitas replantation baru telah cukup berhasil, tapi regenerasi saraf tidak lengkap tetap menjadi faktor pembatas utama (Pike, 2001). F. TRAUMA VASKULER BESAR Lesi vaskuler besar yang tersering adalah arteri poplitea dan arteri radialis, arteri inguinalis, arteri brachialis dan arteri femoralis. Diagnosis umumnya ditegakkan dengan arteriografi atau Dopler, dan pengukuran saturasi O2 jari distal. Penanganan cedera vena diligasi dan berikan resusitasi cairan. Kontrol pendarahan dengan penekanan untuk pembuluh darah proksimal dari cedera (misalnya, tekanan femoralis di luka ekstremitas bawah) (Scott, 2011). 9 G. SEPTIC ARTHRITIS Septic artritis adalah suatu proses inflamasi yang steril biasanya hasil dari proses ekstra-artikular. Septic arthritis biasanya menyebabkan ketidaknyamanan dan kesulitan menggerakkan sendi yang terkena (Yuliasih, 2009). Tanda dan gejalanya antara lain: a. Demam b. Nyeri parah pada sendi yang terkena, terutama ketika menggerakkan sendi c. Pembengkakan sendi yang terkena d. Hangat di daerah sendi yang terkena Penanganan awal yang dapat dilakukan pada pasien dengan arthrititis septik yakni: 1. Drainase Manajemen medis arthritis infektif berfokus pada drainase yang memadai dan tepat waktu dari cairan sinovial yang terinfeksi, pemberian terapi antimikroba yang tepat, dan imobilisasi sendi untuk mengontrol rasa sakit (Brusch, 2011). 2. Antibiotik Dokter harus mengidentifikasi bakteri yang menyebabkan infeksi terlebih dahulu, baru kemudian memilih antibiotik yang paling efektif untuk menargetkan bakteri. Antibiotik biasanya diberikan melalui pembuluh darah vena di lengan pada awalnya. Pasien kemudian bisa beralih ke antibiotik oral. Lama pengobatan antibiotik tergantung pada kesehatan, jenis bakteri yang menginfeksi dan sejauh mana infeksinya. Biasanya, pengobatan berlangsung sekitar dua sampai enam minggu (Brusch, 2011). 3. Mobilisasi sendi secara lembut Setelah infeksi dapat dikontrol, dokter biasanya merekomendasikan pasien melakukan gerakan lembut untuk menjaga fungsi sendi. Pergerakan sendi dapat menjaga tubuh dari kekakuan sendi dan otot-otot. Gerakan juga mendorong aliran darah dan sirkulasi yang membantu proses penyembuhan tubuh (Yuliasih, 2009). 10 H. OSTEOMIELITIS AKUT Osteomyelitis adalah proses inflamasi akut atau kronik pada tulang dan struktur sekundernya karena infeksi oleh bakteri piogenik. Begitu diagnosis secara klinis ditegakkan, ekstremitas yang terkena diistirahatkan dan segera berikan antibiotik. Bila dengan terapi intensif selama 24 jam tidak didapati perbaikan, dianjurkan untuk mengebor tulang yang terkena. Bila ada cairan yang keluar perlu dibor dibeberapa tampat untuk mengurang tekanan intraostal. Cairan tersebut perlu dibiakkan untuk menentuka jenis kuman dan resistensinya. Bila terdapat perbaikan, antibiotik parenteral diteruskan sampai 2 minggu, kemudian diteruskan secara oral paling sedikit empat minggu (Schwartz et al., 2000). Penyulit berupa kekambuhan yang dapat mencapai 20%, cacat berupa dekstruksi sendi, gangguan pertumbuhan karena kerusakan cakram epifisis, dan osteomyelitis kronik (Schwartz et al., 2000). Penanganan yang dilakukan di IGD antara lain: 1. Resusitasi cairan 2. Antibiotika. Antibiotika yang efektif terhadap gram negatif maupun gram positi diberikan langsung tanpa menunggu hasil biakan darah, dan dilakukan secara parenteral selama 3-6 minggu. 3. Pemeriksaan biakan darah. 4. Imobilisasi anggota gerak yang terkena 5. Analgetik antipiretik (Schwartz et al., 2000). 11 H. FAT EMBOLYSM SYNDROME Fat embolism syndrome (FES) adalah suatu keadaan klinis diamana emboli lemak atau fat macrobules dalam sirkulasi menyebabkan disfungsi multisistem (Shaikh, 2009). Fat embolism sebenarnya terjadi pada semua pasien dengan fraktur tulang panjang setelah dilakukan nailing. Biasanya bersifat asimptomatik, namun pada beberapa pasien akan menunjukkan gejala disfungsi multi organ, utamanya triad paru-paru, otak, dan kulit (Georgopoulos dan Bouros, 2003). Diagnosis dari FES secara esensial adalah diagnosis klinis. Untuk membantu diagnosis dapat dipakai kriteria dari Gurd (Gurd’s Criteria). Menurut kriteria Gurd, diagnosis FES membutuhkan setidaknya 1 tanda dari kriteriamayor dan setidaknya 4 tanda dari kriteria minor. Kriteria ini telah sedikit dimodifikasi dari kriteria Gurd yang sebenarnya (Schwartz et al, 2000). Kriteria mayor : 1. Petekhie axiler atau subkonjungtival. 2. Terjadi sebentar saja (4 – 6 jam). 3. Hipoksemia, PaO2 di bawah 60 mmHg. 4. Depresi saraf pusat yang tidak sesuai dengan hipokseminya, dan edema pulmonal Kriteria minor : 1. Takikardi lebih dari 110 bpm 2. Demam lebih dari 38,5ºC. 3. Emboli tampak pada retina pada pemeriksaan fundoskopi. 4. Lemak terdeteksi pada urine. 5. Penurunan hematokrit atau jumlah platelet yang mendadak dan tidak diketahui penyebabnya. 6. Peningkatan LED atau viskositas plasma. 7. Gumpalan lemak tampak pada sputum. Penatalaksanaan FES umumnya berupa oksigenasi dan ventilasi adekuat, stabilisasi hemodinamik, rehidrasi, produk darah sesuai indikasi, serta profilaksis trombosis vena dan profilaksis perdarahan intestinal, juga menjaga kebutuhan nutrisi (Jain,2008). Sebenarnya tidak ada terapi khusus untuk FES; pencegahan dan diagnosis dini, serta penanganan simptomatik merupakan hal yang paling 12 penting. FES merupakan self-limiting disease penatalaksanaan utamanya adalah terapi suportif berupa: 1. Spontaneous ventilation Penatalaksanaan awal hipoksia yang berkaitan dengan emboli lemak adalah oksigenasi spontan. Oksigen diinhalasi menggunakan facemask dan sistem aliran tingggi oksigen dapat digunakan untuk mendapatkan FIO2 (konsentrasi O2 yang diinpirasi) mencapai 50-80%. 2. CPAP dan ventilasi noninvasif CPAP (continuous positive airway pressure) dapat ditambahkan untuk meningkatkan PaO2 tanpa meningkatkan FIO2. Ventilasi mekanik dapat digunakan menggunakan masker CPAP. 3. Mechanical ventilation and PEEP Jika FIO2 of >60% and CPAP of > 10 cm diperlukan untuk mencapai PaO2 > 60 mmHg, maka intubasi endotrakheal, ventilasi mekanis dengan PEEP (positive end expiratory pressure) harus dipertimbangkan (Wofe dan De Vries, 1975). PEEP dapat meningkatkan PaO2, namun kadang dapat menurunkan PaO2 karena terjadinya peningkatan tekanan atrium kanan dan menurunnya cardiac output. Oleh karena itu, monitoring analisis gas darah harus dilaksanakan bila menggunakan PEEP atau ventilasi mekanik. 4. Resusitasi cairan Mengembalikan volume intravaskuler juga penting, karena shock dapat dapat menyebabkan lesi pada paru-paru akibat FES. Albumin direkomendasikan untuk resusitasi cairan karena selain mengembalikan volume darah albumin juga dapat berikatan dengan asam lemak, sehingga menurunkan kemungkinan lesi paru-paru (Jawed dan Naseem, 2005). 13 I. UNSTABLE CERVICAL SPINE Pengangkutan pasien cedera cervical dengan papan juga kerah semirigid, dengan leher stabil pada sisi kepala dengan kantong pasir atau blok busa diletakkan sisi kanan dan kiri leher. Jika malalignment tulang belakang diidentifikasi, pasien di traksi skeletal sesegera mungkin (dengan sangat sedikit pengecualian), bahkan jika tidak ada bukti defisit neurologis ada. Cedera tertentu yang terlibat dan kemampuan manajemen konsultasi staf ahli lebih lanjut (Moira Davenport,2008). Penanganan pasien fraktur cervical di IGD: 1. Ambulasi, seperti 4 orang mengangkat balok. o 1 orang memegang kepala dengan ekstensi dan traksi leher o 1 orang mengangkat punggung o 1 orang mengangkat pinggang dan paha o 1 orang mengangkat tungkai bawah. 2. Di atas bed dengan alas datar dan keras o Pasien diposisikan telentang. o Pasang collar brace o Letakkan kantong pasir bila perlu, untuk memfiksasi posisi pasien di bed. o Ekstensi leher 3. Infus RL, beri analgetik, dan puasakan pasien 4. Lakukan prosedur diagnostik, misal rontgen. 5. Crutchfild, Glisson Traction 3-5 kg 6. Pindahkan ke bangsal. 14 BAB III PENUTUP Kesimpulan Emergensi ortopedi merupakan suatu keadaan yang dapat mengancam jiwa dan hilangnya fungsi dari organ tertentu di bidang ortopedi, seperti ekstremitas dan persendian. Emergensi ortopedi disampaikan sekitar 20% pasien yang datang ke rumah sakit membutuhkan suatu penanganan atau tindakan awal yang cepat serta dibutuhkan keterampilan seseorang dokter. Pengetahuan dasar mengenai cedera ortopedi, pola fraktur, dislokasi, teknik reduksi, dan teknik bidai, dibutuhkan untuk mengelola cedera serta pemahaman tentang pembacaan radiologi, membuat dan menginterpretasikan suatu hasil radiologi yang dibutuhkan dalam penanganan terhadap kasus emergensi ortopedi. Beberapa emergensi ortopedi dalam lingkup dunia kedokteran yang menjadi prioritas dan penanganan khusus, yaitu : open fracture, dislokasi, fraktur pelvic yang tidak stabil, osteomyelitis akut, compartement syndrome, fraktur dengan cidera vaskuler, traumatik amputasi, dan fat embolism syndrome 15 DAFTAR PUSTAKA Budiman C. 2010. Patah Tulang dan Pembidaian. Bandung: KORPS Sukarela PMI UNPAD. xa.yimg.com/kq/groups/.../Patah+Tulang+dan+Pembidaian.pptx (10 Desember 2012) Georgopoulos D, Bouros D. 2003. Fat embolism syndrome clinical examination is still the preferable diagnostic method. Chest. 2003;123:982–3. Guthrie HC, Owens R, Bircher MD, 2010. Focus On Pelvic Fractures. The journal of bone and joint surgery.http://www.jbjs.org.uk/media/29777/focuson_pelvic.pdf (29 Januari 2013) Jawed M, Naseem M. 2005. An update on fat embolism syndrome. Pak J Med Sci. 2005;21:2–6. John L Brusch. 2011. Septic Arthritis. http://emedicine.medscape.com/article/236299-treatment#showall Diakses tanggal 30 Januari 2013. Moira Davenport. Spine serviks Fraktur di Pengobatan Darurat.2008. http://emedicine.medscape.com/article/824380-overview#showall Diakses tanggal 30 Januari 2013 Paula R. 2007. Compartment syndrome, extremity. http://www.emedicine.com (29 Januari 2013) Pike, Rockville. 2001. AmputationTraumatic. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000006.html (30 Januari 2012) Rasjad, C. Buku pengantar Ilmu Bedah Ortopedi ed. III. Yarsif Watampone. Makassar: 2007. pp. 352-489 Richard Buckley. 2012. TREATMENT FRACTURE. http://emedicine.medscape.com/article/1270717-treatment#showall Diakses tanggal 29 Januari 2013 Schwartz.SI; Shires.GT; Spencer.FC. 2000. Intisari Prinsip Prinsip Ilmu Bedah. EGC: Jakarta. Scott H Bjerke. 2011. Ekstremitas Vascular Trauma Perawatan & Manajemen. http://emedicine.medscape.com/article/462752-workup#showall Diakses tanggal 30 Januari 2013 Shaikh, Nissar. 2009. Emergency management of fat embolism syndrome. J Emerg Trauma Shock. 2009 Jan-Apr; 2(1): 29–33. doi: 10.4103/09742700.44680 16 Thomas M Schaller. 2012. Open fracture. http://emedicine.medscape.com/article/1269242-overview#showall Diakses tanggal 29 Januari 2013 Wofe WG, De Vries WC. 1975. Oxygen toxicity. Annu Rev Med 1975;26:20314. Yuliasih. 2009. Artritis Septik. http://penelitian.unair.ac.id/artikel/879a293390a8508635485ed7e5b2e45 f_Unair.pdf (10 Desember 2012) 17