KARYA ILMIAH CESTODA Oleh: Sri Agung Fitri Kusuma, M.Si., Apt UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS FARMASI JUNI 2010 CESTODA 1. Pendahuluan Tentang Cacing (Helminth) Penyakit yang disebabkan cacing atau biasa disebut dengan helminthiasis merupakan salah satu penyakit yang banyak terjadi, terutama di daerah tropis. Keberadaan penyakit ini berkaitan dengan faktor cuaca, tingkat sanitasi lingkungan dan sosio-ekonomi masyarakat. Cacing memerlukan suhu dan kelembaban udara tertentu untuk hidup dan berkembang biak. Penyebaran penyakit ini dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Kebiasaan masyarakat dalam mengkonsumsi sayuran mentah, daging atau ikan yang dimasak setengah matang merupakan salah satu cara penularan secara langsung. Bila dalam bahan makanan tersebut terdapat kista atau larva cacing, maka siklus hidup cacing dapat menjadi lengkap, dan terjadilah infeksi dalam tubuh manusia. Berbeda dengan infeksi bakteri, virus dan mikroorganisme lainnya, cacing dewasa tidak bertambah banyak di dalam tubuh manusia. Penyebaran penyakit ini pun dapat terjadi melalui perantaraan serangga seperti nyamuk dan lalat pengisap darah yang dapat menyebarkan telur cacing dari feses penderita cacingan. Di samping itu, kebiasaan penggunaan feses manusia sebagai pupuk tanaman dapat meningkatkan penyebaran telur cacing, karena dapat mengkontaminasi tanah, air rumah tangga dan tanaman pangan tertentu. Cacing yang bersifat parasit pada manusia terbagi atas dua golongan besar yaitu cacing bulat (nemathelminthes)dan cacing pipih (platyhelminthes). Golongan Nemathelminthes terbagi lagi menjadi kelas nematode, sdangkan golongan platyhelminthes terbagi menjadi kelas trematoda dan cestoda. Pada bahasan ini, akan diuraikan mengenai kelas cestoda secara umum dan dua contoh parasit yang paling banyak menginfeksi manusia yaitu Taenia saginata dan T. solium. 2. Cestoda 2.1 pendahuluan Cestoda atau cacing pita merupakan cacing pita yang siklus hidupnya ada yang memerlukan air untuk menetaskan telurnya (contoh : Diphyllobothrium latum) sedangkan yang lainnya cukup menggunakan tanah. Dalam penularannya kepada manusia, ada yang memerlukan intermediate host, namun ada juga yang dapat menulari manusia tanpa perantara (contoh: Hymenolepis nana). 2.2 Morfologi Umum Cestoda Ukuran cacing dewasa bervariasi dari yang panjangnya hanya 40 mm ( contoh: Hymenolepis nana) hingga yang panjangnya 10-12 m (contoh: Taenia saginata dan Diphyllobothrium latum). Bnetuk badan cacing dewasa memanjang menyerupai pita, biasanya pipih dorsoventral (dari belakang ke depan). Cacing ini terdiri atas scolex (kepala) yang dilengkapi dengan alat isap dan kait-kait, berfungsi sebagai alat untuk melekatkan atau mengaitkan diri pada dinding usus manusia. Di belakang scolex terdapat leher, yang merupakan bagian cacing yang tidak bersegmen. Di belakang leher terdapat proglotid yang semakin lama semakin banyak, sehingga menyebabkan cacing menjadi semakin panjang dan bersegmen-segmen. Setiap proglotid atau segmen dilengkapai dengan alat reproduksi jantan dan betina. Semakin jauh dari scolex, maka proglotid nya semakin tua, sehingga proglotid yang paling ujung seolah-olah hanya sebagai kantong telur saja. Proglotid yang paling ujung tersebut disebut dengan gravida. Seluruh bagian cacing, mulai dari scollex samapi proglotid gravid disebut dengan strobila. 2.3 Sistem Reproduksi Cestoda Cestoda merupakan cacing yang bersifat hermafrodit. 2.4 Sistem Pencernaan Cestoda Cestoda berbeda dengan nematode dan trematoda, tidak mempunyai usus. Cestoda tidak mempunyai saluran cerna. Makanan masuk ke dalam tubh cacing melalui penyerapan oleh permukaan sel cacing. 2.5 Spesies Kelas cestoda Spesies kelas cestoda yang dapat menimbulkan infeksi pada manusia adalah sebagai berikut: Diphyllobothrium latum, Hymenolepis nana, Taenia saginata, T. solium, Echinococcus granulosus dan E. multilocularis. 2.6 Host Manusia merupakan host cestoda ini dalam bentuk sebagai berikut: Cacing dewasa, untuk spesies D. latum, T. saginata, T. solium, H. nana, H. diminuta, dan Dypylidium caninum. Larva, untuk spesies Diphyllobothrium sp., T. solium, H. nana, E. granulosus, dan multiceps. 3. Taenia solium 3.1 Distribusi Geografik Taenia solium adalah parasit kosmopolit, namun akan sulit ditemukan pada Negara-negra islami. T. solium merupakan pathogen yang umum terdapat di lingkungan yang buruk, dimana manusia tinggalnya sangat berdekatan dengan babi- babi dan memakan daging babi yang kurang matang. Oleh karena itu, penyakit cacingan karena cacing T. solium ini sangat jarang ditemukan pada lingkungan muslim. Caing tersebut banyak ditemukan di negara-negara yang mempunyai banyak peternakan babi dan di daerah yang penduduknya banyak menyantap daging babi atau berhubungan dengan religi tertentu yang memiliki kebiasaan untuk mengkonsumsi daging babi, seperti di Eropa (Gzech, Slowakia, Kroatia, dan Serbia), Amerika latin, Cina, India, Amerika Utara, dan juga beberapa daerah di Indonesia ( Irian Jaya, Bali dan Sumatera Utara). Hasil survey lapangan yang diadakan pada tahun 2000 dan 2001, para peneliti menemukan bahwa menunjukkan 5 (8.6%) dari 58 masyarakat lokal dan 7 (11%) dari 64 anjing local yang hidup kira-kira 1 km dari ibukota local, wamena, Jayawijaya, ditemukan cacing pita dewasa dan sistiserkus T. solium. Karena prevalensi cacing ini telah mendunia dan meningkatnya imigrasi dan jumlah turis asing, T. solium merupakan salah satu pathogen penting di United stated. Dari 100 juta infeksi cacingan per tahunnya, 50 juta kasus infeksi tersebut disebabkan oleh T. solium. Infeksi T. solium jarang memasuki United states kecuali daerah dengan tingkat imigrasi tinggi dari Mexico, Latin America, Iberian peninsula, Slavic countries, Africa, India, Southeast Asia, dan China. 3.2 Morfologi Cacing dewasa dapat berukuran 3-8m. Struktur tubuh cacing ini terdiri dari skolex, leher dan proglotid. Cacing dewasa menempel pada dinding usus dengan scolex nya, sedangkan sistiserkus nya terdapat di jaringan otot atau subkutan. Cacing ini terdiri dari 800-1000 ruas proglotid. Skolex yang bulat berukuran kira-kira 1 mm, mempunyai 4 buah batil isap dengan rostelum (tonjolan lemak) yang mempunyai 2 baris kait, masing-masing sebanyak 25-30 buah. Bentuk proglotid gravid nya mempunyai ukuran panjang yang hamper sama dengan lebarnya, dapat dilihat pada gambar…. Jumlah cabang uterus pada proglotid gravid adalah 7-12 buah pada satu sisi. Lubang kelamin letaknya bergantian selang seling pada sisi kanan atau kiri strobila secara tidak beraturan. Proglotid gravid berisi kira-kira 30.000-50.000 buah telur. Telurnya keluar melalui robekan celah pada proglotid. Telur dapat dilepaskan bersama proglotid atau tersendiri melalui lubang uterus. 3.3 Host Host definitive cacing ini adalah manusia, sedangkan host intermediate nya adalah babi, monyet, onta, anjing, babi hutan, domba, kucing, tikus dan manusia. Hal ini terjadi bila manusia memakan daging babi yang mengandung sistiserkus T. solium. Sebagai host intermediate, babi dapat mengandung cacing ini bila telur cacing yang terdapat pada feses manusia yang terinfeksi termakan. Bila manusia bertindak sebagai intermediate host, maka sistiserkus T. solium berada di dalam jaringan otot atau jaringan subkutan. Hal ini terjadi bila manusia makan makanan yang terkontaminasi oleh telur T. solium. Infeksi pada manusia, umumnya terjadi melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi telur cacing T. solium. Telur cacing tersebut dapat berasal dari penderita yang mengandung cacing dewasa ataupun autoinfeksi dari penderita itu sendiri (feses-tangan-mulut). Hewan lain dan anjing pun dapat mengandung sistiserkus di dalam dagingnya bila terinfeksi oleh telur T. solium. (Keterangan: definitive host adalah tempat parasit hidup, tumbuh menjadi dewasa dan berkembangbiak secara seksual). Intermediat host adalah tempat parasit tumbuh menjadi bentuk infektif yang siap ditularkan kepada manusia.). Nama penyakit yang disebabkan oleh cacing dewasa disebut Teniasis solium, sedangkan yang disebabkan oleh stadium larva disebut sistiserkosis. 3.4 siklus hidup Telur keluar dari proglotid gravid, baik setelah proglotid lepas dari strobila, ataupun belum. Telur keluar dari tubuh manusia bersama feses. Telur yang jatuh ke tanah bila termakan manusia atau babi, akan memasuki usus dan menetas di usus. Kemudian larva akan menembus dinding usus dan dapat memasuki aliran darah limpa atau aliran darah, serta beredar ke seluruh tubuh.Sebagian besar akan masuk ke dalam otot atau ke dalam jaringan subkutan. Dalam waktu 60-70 hari akan berkembang menjadi sistiserkus (cacing gelembung) yang menetap di dalam otot atau jaringan subkutan pada pundak dan punggung babi. Bila manusia memakan daging babi yang mengandung sistiserkus, maka sistiserkus ini akan menetas di dalam usus menjadi larva dan dalam waktu 5-12 minggu tumbuh menjadi cacing dewasa yang menetap di dalam usus, kemudian melepasakan proglotid dengan telur. Biasanya hanya ada satu cacing yang menempati usus saat itu, namun dikerahui bahwa di usus manusia juga dapat ditempati oleh banyak cacing. Bahkan dilaporkan cacing T. solium ini dapat bertahan dalam tubuh manusia selama 25 tahun atau lebih. Siklus hidup T. solium dan T. saginata mempunyai banyak kesamaan, hanya berbeda di host intermediatnya saja, dapat dilihat pada gambar… Gambar 1. Daur hidup T. solium Keterangan: Orang menelan larva cacing dengan memakan daging babi yang terkontaminasi dengan larva dalam sistiserkus, yang belum matang. Larava berkembang menjadi bentuk dewasa (hanya terjadi dalam tubuh manusia)…(tapeworm) Cacing dewasa tersebut kemudian melekat pada lapisan usus manusia dan melepaskan telurnya dalam tinja manusia tersebut. Babi kontak dengan tinja manusia tersebut. tersebut dan menelantelur cacing Telur cacing tersebut kemudian berpenetrasi menuju usus kecil babi, mamasuki pembuluh darah portal hati, kemudian memasuki sirkulasi darah umum. Telur tersebut pindah ke kerangka atau otot jantung dan berubah menajdi sistiserkus. Autoinfeksi dapat terjadi dalam kasus ini bila terkadang manusia yang terinfeksi tersebut tanpa sengaja menelan telur T. soilum yang terdapat pada tinjanya. Jika hal ini terjadi maka sistiserkus dapat terbentuk dalam jaringan tubuh, tapi biasanya otak merupakan temapat yang cocok berdasarkan afinitasnya. Oleh karena itu, neurosistiserkosis dapat terjadi. 3.5 Gejala Penyakit Cacing dewasa yang berada di dalam usus jarang menimbulkan gejala. Gejala yang sering muncul adalah sakit ulu hati, nafsu makn meningkat, lemah dan berat badan menurun. Gejala yang disebabkan adanya sistiserkus di dalam jaringan tubuh, bermacam-macam tergantung pada organ yang terinfeksi dan jumlah sistiserkus. Bila jumlahnya sedikit dan hanya tersebar di jaringan subkutan, biasanya tanpa gejala atau hanya berupa benjolan-benjolan kecil di bawah kulit (subkutan). Pada manusia, sistiserkus atau larva T. solium sering menghinggapi jaringan subkutan, mata, jaringan otak, otot, otot jantung, hati, paru dan rongga perut. Bila sistiserkus berada di jaringan otak, sumsum tulang belakang, mata atau otot jantung, akan mengakibatkan hal yang serius bahkan sampai kematian. Dilaporkan bahwa sebuah sistiserkus tunggal yang ditemukan dalam ventrikel IV dari otak dapat menyebabkan kematian. Patologi yang berkaitan dengan sistiserkosis tergantung bagian organ yang terinfeksi dan jumlah sistiserkusnya. Infeksi yang hanya terdiri dari sejumlah kecil sistiserkus dalam hati atau otot biasanya tidak terlalu berbahaya dan biasanya tanpa gejala, namun dapat juga mengakibatkan miositis, yang disertai dengan demam dan eosinofilia. Di samping itu, sejumlah sistiserkus yang sedikit, jika berlokasi dalam beberapa daeran yang sensitive pada badan, dapat menyebabkan kerusakan yang sulit diperbaiki. Contohnya, bila sistiserkus sampai di mata, dapat menyebabkan terjadinya kebutaan; sistiserkus yang sampai ke urat saraf tulang belakang, dapat menyebabkan terjadinya paralisis (kelumpuhan); atau bila sistiserkus tersebut berada di otak (neurosistiserkosis) dapat menyebabkan terjadinya kerusakan saraf yang dahsyat atau serangan epilepsi. Bentuk neurosistiserkosis tersebut dapat dilihat pada gambar…..Oleh karena itu, sistiserkosis yang berada di system saraf pusat atau di mata lebih mendapatkan perhatian khusus dibandingkan ketika sistiserkus tersebut berada di otot. 3.6 bahan Pemeriksaan Untuk laboratorium dan Diagnosis Sampel berupa feses penderita untuk diperiksa keberadaan proglotid dan telur cacingnya.Telur T. solium sulit dibedakan dengan telur T. saginata. Diagnosis sistiserkosis kulit dapat dilakukan dengan biopsy pada otot dan secara radiologi, pada jaringan otak dengan computerized tomographic scan (CT scan). Beberapa cara serologi yang dapat digunakan adalah uji hemaglutinasi Counter Immuno electrophoresis, ELISA, EIBT (Western Blot), dan PCR. Telur taenia dan proglotid dapat juga diidentifikasi menggunakan mikroskop. Namun, teknik ini tidak memungkinkan dilakukan selama 3 bulan pertama setelah infeksi, karena telah berkembang menjadi cacing dewasa. Pemeriksaan mikroskopik telur tidak dapat membedakan telur kedua spesies taenia ini. Spesies tersebut hanya dapat ditentukan dari pemeriksaan proglotid nya. Teknik imunologi dapat mendeteksi adanya sistiserkus dan teknik seperti CAT dan MRI dapat juga berguna dalam mendeteksi sistiserkus dalam berbagai organ. 3.7 Pengobatan Pengobatan teniasis solium dapat dilakukan dengan pemberian prazikuantel, sedangkan untuk sistiserkosis dapat digunakan obat prazikuantel, albendazol atau dapat dilakukan dengan cara pembedahan. 3.8 pencegahan Pencegahan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut : Pencegahan dapat dilakukan dengan memasak daging sampai matang. Perbaikan cara pembuangan kotoran Peningkatan hieginitas pribadi Menjaga kebersihan makanan dan minuman Mengobati penderita hingga tuntas 4. Taenia saginata 4.1 morfologi Cacing dewasa panjangnya antara 5-10 m. hidup di dalam usus. Struktur badan cacing ini terdsiri dari skoleks, leher dan strobila yang merupakan ruas-ruas proglotid, sebanyak 1000-2000 buah. Skoleks hanya berukuran 1-2 mm, mempunyai emapt batil isap dengan otot-otot yang kuat, tanpa kait-kait. Bentuk leher sempit, ruas-ruas tidak jelas dan didalamnya tidak terliohat struktur tertentu. Strobila terdiri dari rangkaian proglotid yang belum dewasa, dewasa dan matang yang mengandung telur, disebut gravid. Pada proglotid yang belum dewasa, belum terlihat struktur alat kelamin yang jelas. Pada proglotid yang dewasa terlihat struktur alat kelamin seperti folikel testis ynag berjumlah 300-400 buah, tersebar di bidang dorsal. Vasa eferensnya bergabung untuk masuk ke rongga kelamin (genital atrium), yang ebrakhir di lubang kelamin. Lubang kelamin letaknya berselang seling pada sisi kanan dan kiri strobila. Di bagian posterior lubang kelamin, dekat va deferens, terdapat tabung vagina yang berpangkal pada ootip. Ovarium terdiri dari dua lobus, berbentuk kipas, besarnya hampir sama. Letak ovarium di sepertiga bagian posterior dari proglotid. Vitelaria letaknya di belakang ovarium dan merupakan kumpulan folikel yang eliptik. Uterus tumbuh dari bagian anterior ootip dan menjulur ke bagian anterior proglotid. Setelah uterus ini penuh dengan telur, maka cabag-cabangnya akan tumbuh, yang berjumalah 15-30 buah pada satu sisinya dan tidak memiliki lubang uterus. Proglotid gravid letaknya diterminal dans erring lepas daris trobila. Proglotid gravid ini dapat bergerak aktif, keluar dengan tinja atau keluar sendiri dari lubang dubur secara spontan. Setiap harinya kira-kira 9 buah proglotid dilepas. Proglotid ini bentuknya lebih panjang dan lebar. Telur dibungkus embriofor, berisi suatu embrio heksakan yang dinamakan onkosfer. Telur yang baru keluar dari uterus masih diliputi selaput tipis yang disebut lapisan luar telur. Sebuah proglotid gravid berisi kira-kira 100.000 buah telur. Waktu proglotid terlepas dari rangkaiannya dan menjadi koyak, cairan putih susu yang mengandung banyak telur mengalir keluar dari sisi anterior proglotid tersebut, terutama bila proglotidnya berkontraksi waktu bergerak. 4.2 Host Host definitive nya adalah manusia, sedangkan host intermediatnya adalah hewan ternak 4.3 siklus hidup Telur cacing yang keluar bersama feses penderita bila terjatuh di tanah dan termakan oleh sapi atau kerbau, maka akan menetas menjadi larva di dalam usus hewan ternak tersebut. Larva ini akan menembus dinding usus, kemudian masuk ke aliran darah dan menyebar ke seluruh tubuh sapi. Bila sampai ke jaringan otot, akan menetap dan berkembang menjadi sistiserkus. Manusia yang bersifat host definitive akan tertulari T. saginata bila memakan daging sapi yang mengandung sistiserkus, yang dimasak kurang matang. Di dalam usus, sistiserkus akan menetas dan berkembang menjadi cacing dewasa. Dalam waktu 12 minggu, cacing dewasa dapat menghasilkan telur kembali. Bagian ternak yang sering dihinggapi larva tersebut adalah otot maseter, paha belakang dan punggung.otot dib again lain juga dihinggapi. Setelah satu tahun, cacaing ini biasanya mengalami degenerasi, walaupun ada juga yang dapat hidup samapi tiga tahun. Biasanya di rongga usus host terdapat sesekor cacing. Keterangan gambar: Tinja manusia yang mengandung telur cacing. Telur cacing kemudian tertelan oleh hewan ternak. Telur tersebut menetas untuk melepaskan larva dengan hexacynth (six-hooked)di usus kecil. Larva tersebut kemudian pindah ke usus kecil dan memasuki system peredaran darah. Larva terbawa sampai ke beberapa jaringan seperti jantung dan otot-otot lain untuk membentuk sistiserkus. Manusia kemudian terinfeksi dengan cara menelan sistiserkus yang terdapat dalam daging hewan ternak tersebut yang tidak dimasak dengan baik. Begitu tertelan, skolek parasit tersebut melekat pada dinding usus dan tumbuh menjadi cacing dewasa yang matang yang dapat menetaskan telurnya melalui tinja manusia yang terinfeksi tersebut. 4.4 Gejala Penyakit Biasanya tanpa gejala. Pada infeksi yang berat, dapat timbul gejala berupa sakit ulu hati, nafsu makan meningkat, lemas dan berat badan menurun. Kadang-kadang disertai dengan vertigo, nausea, muntah, sakit kepala dan diare.gejala tersebut biasanya timbul bila ditemukan cacing yang bergerakgerak dalam tinja, atau cacing keluar dari lubang dubur, walaupun yang sebenarnya keluar adalah proglotid cacing. Gejala yang lebih berat dapatterjadi bila proglotid menyasar masuk ke apendiks, atau terdapat ileus yang disebabkan obstruksi usus oleh strobila cacing. Berat badan tidak jelas menurun. Eosinofilia dapat ditemukan di darah tepi. 4.5 Bahan Pemeriksaan Untuk laboratorium Sampel yang diperiksa untuk mendeteksi infeksi oleh T. saginata adalah feses penderita. Pemeriksaan dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya telur cacing dan proglotidnya.proglotid tersebut dapat dalam keadaan masih aktif bergerak di dalam tinja atau keluar spontan. Telur cacing dapat ditemukan dalam tinja atau usap anus.proglotid dapat diidentifikasi dengan merendamnya dalam cairan laktofenol sampai jernih. Setelah uterus dengan cabng-cabangnya terlihat jelas, jumlh cabang-cabang dapat dihitung. 4.6 Pengobatan Obat yang digunakan untuk mengobati teniasis saginata dapat berupa obat herbal, seperti biji labu merah dan biji pinang atau obat sintetis seperti kuinakrin, amodiakuin, niklosamid dan prazikuantel. 4.7 Pencegahan Pencegahan dapat dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut: Memasak daging samapi matang Hanya hewan yang sehat saja yang boleh dipotong dan dagingnya dapat diperjualbelikan. Atau dengan membekukan daging pada suhu -5˚C selama 4 hari, 15˚C selama 3 hari, atau -24˚C selama 1 hari, dapat membunuh larva dengan baik. Daftar pustaka Entjang, I., 2003, Mikrobiologi dan parasitologi Untuk Akademi Keperawatan dan Sekolah tenaga Kesehatan yang sederajat, Bandung: PT. Citra Adtya Bakti. Gandahusada, S., Illahude, D. H., dan pribadi, W., 2000, Parasitologi Kedokteran, edisi ketiga, Jakarta: FKUI. Markell, Edward, David John, Wojciech Krotoski. Medical Parasitology. Philadelphia: W.B Saunders, 1999. Warren, Kenneth. Immunology and Molecular Biology of Parasitic Infections. Boston: Blackwell Scientific, 1993. Schantz PM. Taenia solium cysticercosis: an overview of global distribution and transmission. Chapter in Taenia Solium cysticercosis. From basic to clinical science. CABI Publishing 2002. pp. 63-74. Townes JM, Hoffman CJ, Kohn MA. Neurocysticercosis in Oregon, 1995–2000. Emerg Infect Dis [serial online] 2004 March. 2004 May 25. Available from: http://www.cdc.gov/ncidod/EID/vol10no3/03-0542.htm Wandra T, Ito A, Yamasaki H, Suroso T, Margono SS. Taenia solium systicercosis, Irian Jaya, Indonesia. Emerg Infect Dis [serial online] 2003 July. 2004 May 25. Available from: URL: http://www.cdc.gov/ncidod/EID/vol9no7/020709.htm