BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Skizofrenia merupakan suatu gangguan jiwa berat yang bersifat kronik progresif, karena merupakan suatu defek otak yang dapat diturunkan secara genetik (Osborn,2009). Angka kejadian skizofrenia di Amerika Serikat sebesar 7,2 per 1000 orang, atau sekitar 1,1% dari penduduk Amerika Serikat (Mercer MJ,2013). Di Indonesia angka kejadian skizofrenia mencapai 1,7 per 1000 penduduk Indonesia atau sekitar 400.000 orang (Depkes, 2014). Berbagai hipotesis terjadinya skizofrenia telah banyak dikemukakan. Bagaimana mekanisme patofisiologi neurokimiawi secara terinci mendasari munculnya gejala skizofrenia belum jelas terungkap (Zhang M, et al, 2009). Namun berbagai bukti menunjukkan bahwa skizofrenia berkaitan erat dengan stress oksidatif sebagai pemicu proses neuropatologi pada skizofrenia. Beberapa gen pembawa skizofrenia seperti glutamate cysteine ligase modifier (GCLM), manganese superoxide dismutase (Mn-SOD) dan glutathion S-transferase T1 (GSTT1) diketahui terlibat dalam sistem redoks. Stres oksidatif menyebabkan ketidakseimbangan antara sistem pro-oksidan dan sistem anti-oksidan (Zhang M, et al, 2009). Selain stress oksidatif, aktifitas respon inflamasi central dan perifer juga sebagai pemicu proses neuropatologi pada skizofrenia. Pada skizofrenia dikenal suatu hipotesis yang menyatakan bahwa skizofrenia terjadi akibat paparan pra-perinatal yang menghasilkan kerentanan imun. Hal ini menjelaskan pasien skizofrenia lebih rentan terhadap infeksi dan rentan mengalami disregulasi sistem 1 2 imun (Kinney, et al, 2009). Kondisi stres oksidatif dan inflamasi menyebabkan gangguan struktur membran neuronal dan metabolismenya sehingga mempengaruhi neuropatologi yang tentunya berpengaruh pada perjalanan penyakit dan progresifitas skizofrenia (Nobert M, et al, 2015; Zhang M, et al, 2009). Pada skizofrenia, hipotesis gangguan jalur dopaminergik merupakan hipotesis yang saat ini dikenal luas. Menurut hipotesis ini, dinyatakan bahwa skizofrenia disebabkan dari terlalu banyaknya aktivitas dopaminergik. Teori ini menyebutkan bahwa jalur dopamin di otak seperti jalur mesokortikal dan mesolimbik paling sering terlibat. Neuron dopaminergik di dalam jalur tersebut berjalan dari badan selnya di otak tengah ke neuron dopaminoseptif di sistem limbik dan korteks serebral. Reseptor dopamin tipe 1 (D1) memainkan peranan atas timbulnya gejala negatif, Reseptor dopamin tipe 2 (D2) memainkan peranan atas timbulnya gejala positif (Saddock, 2010). Selain hipotesis jalur dopaminergik, dikenal juga jalur glutamatergik dan GABA-ergik. Glutamat adalah suatu neurotransmiter eksitatori dan dianggap sebagai switch masker otak, karena dapat membangkitkan dan mengaktifkan hampir semua neuron CNS. Peran GABA-ergik, GABA adalah suatu neurotransmiter inhibitorik. Data yang ada menunjukkan hipotesis bahwa penderita skizofrenia mengalami kehilangan neuron GABA-ergik didalam hipokampus (Stahl, et al, 2008; Saddock, 2010). Skizofrenia yang merupakan neurodevelopmental psychiatric disorder masuk dalam 10 besar gangguan di dunia yang menyebabkan hendaya berat dalam fungsi peran. Ciri utama skizofrenia adalah gejala positif, gejala negatif, 3 gangguan kognitif dan gangguan afektif. Gejala positif lebih mudah dikenali dan lebih banyak menyebabkan penderita harus menjalani perawatan di rumah sakit. Namun, belum ada terapi yang paling efektif bagi gejala negatif dan gangguan kognitif yang ditimbulkan skizofrenia (Abhisek Ghosh, et al, 2011). Obat antipsikotik sebagai first-line therapy pada skizofrenia. Obat antipsikotik digunakan terutama untuk mengatasi gejala positif. Gejala positif skizofrenia berupa halusinasi, waham ataupun gangguan pikir yang berhubungan dengan penyakit. Namun pemberian antipsikotik dapat menimbulkan kerugian, diantaranya berupa EPS (extra pyramidal syndrome), tardive dyskinesia, sindrom neuroleptik maligna, sindroma metabolik dan peningkatan prolaktin yang dapat menyebabkan disfungsi seksual (Stahl, 2008). Dibutuhkan kepatuhan penderita untuk mengkonsumsi obat antipsikotik. Jika obat antipsikotik dikonsumsi tidak teratur akan memudahkan penderita mengalami keadaan relaps atau kekambuhan. Penderita skizofrenia 95% akan mengalami penyakitnya seumur hidup. Penderita skizofrenia 45% dapat mengalami perbaikan gejala pada tahun pertama, 20% penderita skizofrenia tidak mengalami remisi gejala, dan 35% mengalami gejala yang bervariasi dengan eksaserbasi. Studi di Inggris menunjukkan 22% penderita skizofrenia dapat mengalami perbaikan remisi penuh dari episode pertamanya, 35% mengalami hendaya sedang, dan 35% mengalami hendaya yang progresif (WHO, 1998). Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) Depkes RI tahun 2013 menunjukkan sekitar 80% pasien yang di rawat di RSJ dengan skizofrenia 25% 4 dapat sembuh, 25% dapat mandiri, 25% membutuhkan bantuan, dan 25% jatuh kedalam kondisi berat (Riskedas, 2013). Skizofrenia sifatnya adalah gangguan yang kronis dan melemahkan dibandingkan dengan gangguan mental yang lain. Pasien skizofrenia yang pernah dirawat di Rumah Sakit akan kambuh 50-80%. Gangguan jiwa berat menimbulkan beban bagi pemerintah, keluarga serta masyarakat oleh karena besarnya produktivitas yang hilang pada pasien serta keluarga dan berdampak pada beban biaya yang besar. Gangguan ini menghabiskan biaya pengeluaran kesehatan jiwa dan juga biaya pengeluaran kesehatan yang besar (Riskesdas, 2013). Patobiologi yang mendasari terjadinya skizofrenia masih belum seutuhnya terungkap. Teori bahwa patobiologi skizofrenia dimulai sejak masa prenatal dan perinatal banyak dikemukakan. Hal tersebut didasari defisiensi nutrisi dimasa prenatal dan perinatal, faktor lingkungan seperti infeksi masa kehamilan, paparan glukokortikoid saat masa kehamilan yang diduga menginduksi dan mempengaruhi struktur, fisiologis dan metabolisme (fetal programming) yang menjelaskan predisposisi gangguan psikiatrik terutama skizofrenia (Aravindakshan, et al, 2006). Paparan dari lingkungan sehingga menyababkan stres oksidatif yang ditunjukkan dengan disfungsi mitokondria juga menjadi bahasan patobiologi skizofrenia. Radikal bebas biasanya dihasilkan selama metabolisme sel dalam sel aerobik. Kondisi peningkatan produksi radikal bebas, ketidakseimbangan menuju keadaan pro-oksidan terbentuk, yang dianggap sebagai patogenesis penyakit otak 5 akut atau kronis seperti parkinson, tardive dyskinesia, skizofrenia (Stohs SJ, 2005). Otak manusia adalah suatu organ yang kaya lemak, terdiri dari bermacam polar phospholipids, sphingolipids, gangliosides dan kolesterol. Semua jenis lemak tersebut terlibat baik dalam struktur maupun fungsi fisiologis dalam membran sel otak seorang manusia. Glycerophospholipids dalam otak berisi polyunsaturated fatty acids (PUFA) suatu derivat asam lemak omega-3. Omega-3 utama di otak adalah suatu docosahexaenoic acid (DHA) yang berasal dari derivat omega-3 (Ehrlich, 2013). Setelah omega--3 dilepaskan dari membran, mereka dapat berpartisipasi dalam transduksi sinyal, baik secara langsung maupun setelah konversi enzimatik untuk berbagai derivatif bioaktif ('mediator'). Omega-3 dan mediator mereka mengatur beberapa proses dalam otak, seperti neurotransmisi, kelangsungan hidup sel, peradangan saraf, dan pelindung neuron (Bazinet R dan Laye S, 2014). Produk akhir metabolisme sel otak, salah satunya adalah reaksi peroksidasi lipid, meliputi aldehida sitotoksik.; dan malondialdehid (MDA), yang dianggap sebagai ukuran spesifik dan sensitif dari lipid auto-oksidasi. Peningkatan produksi radikal bebas, ketidakseimbangan menuju keadaan pro-oksidan terbentuk, ketidakseimbangan yang berlangsung lama dapat menimbulkan penyakit neuropsikiatri (Stohs SJ,2005). Beberapa tahun terakhir, telah banyak studi dilakukan berkaitan dengan pengobatan skizofrenia. Diet dan obat-obatan yang menargetkan omega-3 dapat menjadi pendekatan terapi tambahan baru untuk pencegahan dan pengobatan gangguan mental. Sejumlah studi farmakoterapi adjuvant yang ditambahkan dari 6 terapi utama antipsikotik untuk memperbaiki gejala skozofrenia telah berkembang. Preparat antioksidan untuk mengurangi kontribusi stress oksidatif pada penderita skizofrenia terus dipelajari (Kee-Hong Choi, et al, 2013; Bazinet R dan Laye S, 2014). Hubungan antara omega-3, stress oksidatif dan inflamasi pada skizofrenia sudah diteliti pada penderita skizofrenia (Balasubramanian, 2013; Gonzalez, et al., 2014). Stres oksidatif akan menginduksi sejumlah ROS (reactive oxygen species) yang menyebabkan kerusakan sel. Hal ini menjelaskan penyebab terjadinya bebagai macam penyakit dan gangguan mental, tidak hanya skizofrenia, banyak diakibatkan salah satunya stres oksidatif (Gonzalez, et al, 2014). Proses infeksi yang menjadi salah satu faktor pencetus skizofrenia banyak dikemukakan. Gambaran cairan cerbrospinal dan darah penderita skizofrenia menunjukkan kenaikan kadar sitokin pro-inflamasi, termasuk prostaglandin E2 (PGE2/siklooksigenase), protein C-reaktif (Muller, et al, 2015). Salah satu mekanisme neuroimunologi yang menghubungkan peningkatan aktivitas proinflamasi dengan induksi gangguan afektif, emosional, dan sosial adalah pada metabolisme triptofan, yaitu suatu asam amino untuk sintesa serotonin. Di saat terjadi peningkatan aktifitas pro-inflamasi CNS dapat menyebabkan terjadinya defisiensi serotonin central. Insufisiensi serotonin ini berperan dalam patogenesis gejala negatif skizofrenia (Keller, et el, 2013; Young G dan Conquer J,2004). Omega-3 secara biologi sefamili dengan asam lemak, yang terlibat diberbagai mekanisme yang berkaitan dengan koneksi antar membran sel, sitosol dan nucleus. Omega-3 terlibat juga pada perubahan signaling process membran 7 sel asam lemak. Sel manusia cenderung memiliki kandungan asam lemak tinggi yang terlibat dalam banyak fungsi fisiologis dan patofisiologis (Calder, 2012). Dalam sepuluh tahun terakhir, sudah banyak studi yang mempelajari penambahan omega-3 ini sebagai terapi adjuvant untuk memperbaiki gangguan mental (depresi dan skizofrenia). Penambahan omega-3 memiliki berbagai macam mekanisme yang diduga mempengaruhi perubahan pada fisiologis otak, terutama mempengaruhi fungsi membran sel otak, mempengaruhi ekspresi gen di otak, dan memperbaiki inflamasi di otak (Andrew, et al, 2007). Penambahan terapi adjuvant omega-3 bermanfaat pada terapi skizofrenia melalui mekanisme inhibisi siklooksigenase dan mekanisme antioksidan. Sebuah studi menunjukkan omega-3 secara signifikan menurunkan pengeluaran myeloperoxidase, lactat dehidrogenase. Omega-3 terlibat dalam menginhibisi cyclooksigenase dan microglial activation yang bertanggung jawab atas keluarnya sitokin pro-inflamasi seperti tnf-α (Nobre, et al, 2013; Balasubramanian, 2013). Suatu studi RCT omega-3 sebagai terapi tambahan penderita skizofrenia oleh Jamilian, et al, 2014, melaporkan dari hasil studinya bahwa terdapat perbedaan yang perbaikan gejala skizofrenia yang signifikan pada kelompok yang mendapat terapi taahan omega-3. Selain itu, omega-3 meningkatkan kemanjuran antipsikotik yang diberikan kepada penderita skizofrenia, memperbaiki gejala skizofrenia, efek samping yang minimal dan mudah didapatkan (Jamilian, et al, 2014). Studi oleh Jamilian, et al, 2014 berlokasi di Arak, Iran, yang tentunya hasil studi tersebut sangat dipengaruhi sosial, ekonomi dan budaya setempat. Iran 8 merupakan negara yang individual. Kecenderungan Iran terhadap individualisme sebagai hasil dari kondisi geografis, modalitas kehidupan keluarga, atau struktur rezim politik. Iran secara ekonomi mandiri dengan mengandalkan dari hasil minyak dan gas bumi (Shmuel Bar, 2004). Gross national income Iran lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Namun dibidang kesehatan, gangguan neuro-psikiatrik menempati urutan ke-2 penyakit terbanyak di Iran, berbeda dengan Indonesia, gangguan neuro-psikiatrik di indonesia menempati urutan ke-4 penyakit terbanyak (WHO,2012). Pengaruh gaya hidup dan sosial budaya Iran yang individualis sangat berpengaruh terhadap keadaan tersebut (Shmuel Bar, 2004). Pengaruh gaya hidup masyarakat suatu daerah tentu menjadi pengaruh besar bagi individu. Di Indonesia, khususnya daerah di Jawa Tengah merupakan wilayah yang memiliki potensi alam yang besar, akan tetapi potensi yang besar itu hanya sebagian kecil yang telah dikembangkan menjadi aktivitas perekonomian. Faktor lain seperti demografis dan budaya mempengaruhi kehidupan masyarakat Jawa tengah. Budaya Jawa yang kekeluargaan banyak mempengaruhi pola perilaku berkehidupan masyarakatnya (Jaya, 2012) Asupan makanan sangat mempengaruhi kecukupan gizi dalam memenuhi kebutuhan tubuh. Omega-3 mudah didapatkan dari makanan terutama ikan. Konsumsi ikan rata-rata masyarakat Indonesia masih rendah dibanding dengan negara ASEAN lainnya, hal ini dinyatakan oleh Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Saut P. Hutagalung menyatakan bahwa konsumsi ikan untuk masyarakat Indonesia sementara ini baru 9 mencapai 89 persen, sementara untuk negara-negara anggota ASEAN lainnya rata-rata sudah mencapai 91,3 persen (Widodo J, 2013). Penderita skizofrenia rata-rata memiliki gaya hidup yang buruk, sedentary life style, kurangnya aktivitas fisik, asupan makanan yang buruk. Sebagian dari faktor-faktor gaya hidup dipengaruhi oleh aspek-aspek dari gangguan seperti gejala negatif dan kerentanan terhadap stres (De Hert et al, 2009). Penderita skizofrenia yang mendapat perawatan yang tepat dan dukungan, keluarga, diharapkan akan mampu mengurangi gejala mereka, dapat hidup dan bekerja secara mandiri, membangun hubungan yang memuaskan, dan menikmati hidup. Meskipun kesalahpahaman luas bahwa orang dengan skizofrenia tidak memiliki kesempatan untuk pemulihan atau perbaikan, kenyataannya jauh lebih penuh harapan. Pikirkan skizofrenia sebagai mirip dengan kondisi medis kronis seperti diabetes: meskipun saat ini tidak ada obat, dapat diobati dan dikelola dengan obat dan terapi suportif (Smith M dan Segal, 2015). Berdasarkan bukti-bukti tersebut, maka omega-3 mempunyai peluang untuk digunakan sebagai terapi tambahan pada skizofrenia untuk mendapatkan hasil terapi yang lebih baik dalam memperbaiki gejala skizofrenia di Indonesia, khususnya Surakarta. B. Rumusan Masalah Apakah pemberian terapi tambahan omega-3 1 gr/hari dapat memperbaiki skor PANSS pasien skizofrenia kronis di RSJD Arif Zainudin Surakarta? 10 C. Tujuan Penelitian Tujuan Penelitian ini adalah untuk membuktikan keefektifan penambahan terapi omega-3 pasien skizofrenia kronis untuk memperbaiki skor PANSS di RSJD Arif Zainudin Surakarta. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis a. Menambah pengetahuan tentang manfaat pemberian terapi tambahan omega-3 1 gr/hari pada penatalaksanaan pasien skizofrenia dalam memperbaiki skor PANSS. b. Menjadi landasan bagi penelitian selanjutnya tentang pemberian terapi tambahan omega-3 pada penatalaksanaan pasien skizofrenia. 2. Manfaat Praktis a. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai terapi tambahan dalam penatalaksanaan pasien skizofrenia b. Sebagai wacana khususnya bagi dokter atau tenaga medis dibidang ilmu kedokteran jiwa dalam penatalaksanaan pasien skizofrenia. 11 E. Orisinalitas Penelitian Berikut ini disampaikan beberapa penelitian sebelumnya: No. Peneliti, Tahun/ Populasi Judul 1. (Jamilian & Randomized, Solhi, Placebo2014) Controlled /Iran Clinical Trial of Omega-3 as Supplemental Treatment in Schizophrenia Desain ∑ A 60 Randomized Clinical Trial 20 Hasil Penambahan terapi adjuvant omega-3 menambah efikasi antipsikotik, memperbaiki gejala skizofrenia Memperbaiki gejala skizofrenia dengan efek samping minimal 2. (Boskovick & Vovk, 2008) / Slovenia Can Prospective Supplementation Open Study with vitamin E or C and Omega 3 or 6 Fatty Acid Improve The Outcome of Schizophrenia? CB, 3. (Joy Mumby CR, Joy LA, 2006) /berbagai negara Polyunsaturated Metaanalisis 313 Memperbaiki Fatty Acid gejala Supplementation skizofrenia for Schizophrenia Perbedaan dengan Penelitian yang dilakukan Penulis Populasi di Iran, Instrumen PANSS Populasi di Slovenia, Instrumen PANSS & AIMS, Suplemen omega-3 dan Vitamin C atau E Populasi dari berbagai negara, Instrumen PANSS Dari beberapa penelitian sebelumnya, dapat disimpulkan perbedaan penelitian diatas dengan studi kami: 1. Perbedaan dengan penelitian oleh Jamilian dan solhi, 2014, lokasi penelitian tersebut di Iran, instrumen yang digunakan PANSS, jumlah 12 subyek studi 60 subyek. Perbedaan lokasi memungkinkan ada perbedaan budaya, gaya hidup, dan perekonomian. 2. Perbedaan dengan penelitian oleh Boskovick & Vovk, 2008, lokasi penelitian tersebut di Slovenia, instrumen yang digunakan PANSS dan AIMS. Jumlah subyek studi 20 subyek. Perbedaan metode penelitan, Boskovick & Vovk, 2008 menggunakan metode penelitian prospective open study.Terapi tambahan yang diberikan tidak tunggal omega-3, namun juga diberikan vitamin-C dan vitamin-E. Perbedaan lokasi memungkinkan ada perbedaan budaya, gaya hidup, dan perekonomian. Perbedaan terapi tambahan omega-3, vitamin-C dan vitamin-E, memunkinkan perbedaan hasil studi. 3. Perbedaan dengan penelitian oleh Joy CB, Mumby CR, Joy LA, 2006, bahwa penelitian yang dilakukan adalah sebuah studi metaanalisis, meninjau banyak studi serupa dari berbagai negara, berbeda-beda jumlah populasi studi. Perbedaan dari bermacam-macam asal negara, budaya dan perekonomian. Maka, dapat penulis sampaikan simpulan perbedaan dengan studi oleh penulis yang menjadi landasan orisinalitas studi penulis, bahwa studi hanya dilakukan di kota Solo, subyek studi dari RSJD Arif Zainudin. Perbedaan dengan studi sebelumnya, bahwa ada perbedaan lokasi studi, dengan perbedaan iklim, cuaca, perbedaan perekonomian, perbedaan genetik, perbedaan kepribadian premorbid, perbedaan caregiver pasien skizofrenia, 13 perbedaan kultur budaya, karena kultur budaya banyak berpengaruh terhadap timbulnya gangguan jiwa.