65 pengaruh latihan rentang gerak sendi ekstremitas bawah

advertisement
Jurnal Kesehatan Bakti Tunas Husada
Volume 12 No 1 Agustus 2014
PENGARUH LATIHAN RENTANG GERAK SENDI EKSTREMITAS BAWAH
TERHADAP KEKUATAN OTOT DAN LUAS GERAK SENDI ANAK DENGAN
TUNA GRAHITA SEDANG DI SEKOLAH LUAR BIASA C KOTA BOGOR
Yuliastati*
*Dosen Program Studi Keperawatan Bogor
Poltekkes Kemenkes Bandung
ABSTRAK
Keterbatasan fungsi motorik kasar merupakan salah satu masalah yang sering terjadi pada anak dengan
tuna grahita sedang. Upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalkan gangguan ini diantaranya
adalah dengan melakukan latihan rentang gerak sendi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan antara latihan rentang gerak sendi pada ekstremitas bawah terhadap kekuatan otot dan luas
gerak sendi anak dengan tuna grahita sedang. Desain yang digunakan adalah quasi-experimental
dengan control group pretest-postest design. Sampel berjumlah 30 anak di dua sekolah luar biasa di
Bogor. Hasilnya menunjukkan ada peningkatan kekuatan otot dan luas gerak sendi lutut dan panggul
pada kelompok intervensi. Latihan ini dapat membantu anak tuna grahita meningkatkan fungsi
motoriknya dan dapat dikembangkan di sekolah.
Kata kunci : Tuna grahita sedang, latihan rentang gerak sendi, kekuatan otot, luas gerak sendi.
ABSTRACT
Limitations of gross motor function is one problem that often occurs in children with mental
retardation. Joint range of motion exercises are one of the efforts that can be done to deal with clients
with limited motor function. This study aims to determine the relationship between joint range of
motion exercises on lower limb muscle strength and extent of joint motion children with moderate
mental retardation. The design used was quasi-experimental with the control group pretest-postest
design. Sample are 30 children at two SLB in Bogor. The results showed increase in muscle strength
and extent of knee and hip joint motion in the intervention group. This exercise can be used to help
children with limited motor function improving their motor function and can be developed into one of
the programs in SLB.
Key words : Moderate mental retardation, range of motion exercise, muscle strength, extend joint
motion.
PENDAHULUAN
kecerdasan/intelektual secara menyeluruh
Tuna grahita atau kata lainnya disebut
yaitu
retardasi mental menurut World Health
motorik dan sosial. Selain itu, menurut
Organization (WHO, 2001) merupakan
American
suatu keadaan perkembangan jiwa yang
Retardation
terhenti atau tidak lengkap yang terutama
intelektual
ditandai
hambatan
pemeriksaan Intelligence Quotient (IQ)
(impairment) keterampilan selama masa
yang berada pada 2 Standar Deviasi (SD)
perkembangan. Hambatan yang dialami
dibawah rata-rata populasi (100) yaitu <70
ini
serta keterbatasan fungsi adaptif
oleh
terjadinya
berpengaruh
pada
tingkat
kemampuan
kognitif,
Assosiation
(AAMR),
merujuk
of
bahasa,
Mental
keterbatasan
kepada
hasil
yang
65
Jurnal Kesehatan Bakti Tunas Husada
Volume 12 No 1 Agustus 2014
didasarkan
pada
setidaknya
adanya
dua
dari
gangguan
sepuluh
gangguan
pada
fungsi
motoriknya.
bidang
Gangguan ini dapat bervariasi tergantung
keterampilan (Armatas, 2009). Sepuluh
dari berat ringannya derajat tuna grahita.
bidang
adalah
Berdasarkan karakteristiknya, gangguan
diri,
aktifitas
fungsi motorik lebih terlihat pada anak
keterampilan
sosial/
dengan tuna grahita sedang sampai sangat
keterampilan
komunikasi,
tersebut
perawatan
sehari-hari,
interpersonal, penggunaan sumber-sumber
berat
di
mobilitas
masyarakat,
keterampilan
pengarahan
akademik
diri,
fungsional,
sehingga
dapat
fisiknya.
diperlukan
mengganggu
Untuk
suatu
itu
upaya
maka
untuk
bekerja, bersenang-senang, kesehatan dan
meminimalkan dampak dari gangguan
keamanan/ keselamatan (Ball &Bindler,
mobilitas
2003). WHO (2001) mengklasifikasikan
fisik. Salah satunya adalah latihan rentang
tuna grahita menjadi empat yaitu
gerak
ringan (IQ antara 50–69), sedang (IQ
merupakan latihan yang dilakukan secara
antara 35–49), berat (IQ antara 20–34)
teratur dan berulang-ulang dengan cara
dan sangat berat (IQ dibawah 20).
meluruskan atau menekuk satu atau
ini dengan melakukan terapi
sendi
RGS).
Latihan
RGS
beberapa sendi serta menggerakannya ke
Keadaan
lingkungan
merupakan
faktor
dan
genetik
yang
dapat
semua arah sebagaimana gerakan sendi
secara normal (Werner, 2009).
menyebabkan tuna grahita. Selain itu
faktor
perilaku
dan
seperti
Latihan RGS dapat dilakukan secara
kemiskinan, malnutrisi, penggunaan obat-
pasif, aktif atau aktif asistif. Latihan pasif
obatan berbahaya dan alkohol selama
dilakukan ketika klien tidak dapat atau
hamil serta kurangnya stimulus juga
tidak diperbolehkan untuk bergerak aktif
diyakini dapat
berkontribusi terhadap
pada ruas atau seluruh tubuh, misalnya
kejadian tuna grahita (McLaren & Bryson,
keadaan koma, kelumpuhan atau bed rest
1987 dalam Armatas, 2009). Namun, dari
total. Latihan aktif dilakukan pada saat
total kejadian anak dengan tuna grahita,
klien dapat melakukan kontraksi otot
kira-kira
tidak
secara aktif dan menggerakkan ruas
dilakukan
sendinya baik dengan bantuan atau tidak.
evaluasi diagnostik secara menyeluruh
Pada saat klien memiliki kelemahan dan
(Cury
tidak
30-50%
diketahui
penyebabnya
walaupun
et
Bodensteiner,
al.,
sosial
telah
1997;
1992
Schaefer
dalam
&
Armatas,
2009).
dapat
menggerakan
persendian
sepenuhnya, maka latihan dapat dilakukan
secara aktif asistif (Werner, 2009). Anak
dengan tuna grahita sedang secara fisik
Salah satu masalah yang muncul pada
anak dengan tuna grahita adalah adanya
mengalami
kelemahan
pada
fungsi
motoriknya tetapi mereka masih dapat
66
Jurnal Kesehatan Bakti Tunas Husada
Volume 12 No 1 Agustus 2014
menggerakkan ekstrimitasnya baik dengan
kontrol. Penelitian dilakukan di SLB
bantuan maupun tidak, sehingga latihan
Dharma Wanita Bogor untuk kelompok
RGS ini dapat dilakukan secara aktif
intervensi dan SLB Tunas Kasih II untuk
asistif.
kelompok kontrol.
METODE
Pengumpulan data dilakukan dalam dua
Metode
penelitian
ini
menggunakan
tahap: yaitu: Tahap pertama dilakukan
Kuasi Experimen dengan desain control
sebelum
group
mengakaji
pretest-postest.
Desain
ini
latihan
RGS
dengan
karakteristik
cara
responden,
digunakan untuk membandingkan hasil
menilai kekuatan otot ekstremitas
intervensi dua kelompok yaitu kelompok
luas gerak sendi lutut dan panggul dan
intervensi yaitu anak tuna grahita sedang
mencatatnya
ke
yang melakukan latihan RGS ekstremitas
pengumpulan
data.
bawah minimal 2 kali sehari selama 3
pengumpulan data dilakukan setelah 3
minggu dengan kelompok kontrol yaitu
minggu melakukan latihan RGS dengan
anak tuna grahita yang tidak melakukan
menilai kekuatan otot ekstremitas bawah
latihan
sampel
dan luas gerak sendi lutut dan panggul
Purposive
pada kelompok intervensi dan kelompok
RGS.
dilakukan
Pengambilan
melalui
teknik
sampling, dengan kriteria inklusi: IQ anak
berada
pada
rentang
35-49
dalam
serta
format
Tahap
kedua
kontrol
yang
dibuktikan dengan hasil test IQ yang
dilakukan oleh pejabat berwenang yang
ditunjuk oleh sekolah, anak kooperatif,
menderita gangguan fungsi motorik pada
ekstrimitas bawah, mendapat persetujuan
dari orang tua untuk dijadikan responden,
usia anak adalah usia sekolah dan remaja
(6-18 tahun) dan anak tidak dalam
keadaan sakit. Sedangkan kriteria eksklusi
yaitu: anak yang menggunakan alat bantu
gerak (kruk, kursi roda) dan anak dengan
fraktur ekstrimitas bawah. Sampel pada
penelitian ini berjumlah 30 orang yang
terdiri dari 15 anak untuk kelompok
intervensi dan 15 anak untuk kelompok
HASIL
Karakteristik Responden
Hasil analisis menunjukkan rerata usia
responden berada pada rentang usia
sekolah yaitu 11 tahun dengan usia
termuda 6 tahun dan usia tertua 18 tahun.
Rerata
responden
berdasarkan
jenis
kelamin hampir merata antara laki-laki
(53,3%)
dan
perempuan
(46,7%).
Sedangkan berdasarkan aktifitas, sebagian
besar responden aktifitasnya pasif yaitu
66,7%
dan
sisanya
yaitu
33,3%
aktifitasnya aktif.
Hubungan
Latihan
RGS
terhadap
Kekuatan Otot Ekstremitas Bawah
67
Jurnal Kesehatan Bakti Tunas Husada
Volume 12 No 1 Agustus 2014
Tabel 1. Analisis Perbedaan Rerata Nilai Kekuatan Otot Ekstremitas Bawah Sebelum dan
setelah dilakukan Latihan RGS Pada Kelompok Intervensi dan Kontrol Anak Tuna
Grahita Sedang di SLB C Kota Bogor. (n=30)
Variabel
Kekuatan
Otot
Kelompok
Kanan
Intervensi
Kontrol
Kiri
Intervensi
Kontrol
sebelum
sesudah
sebelum
sesudah
sebelum
sesudah
sebelum
sesudah
Rerata
Beda
%
SD
3,47
3,93
3,40
3,47
3,47
3,93
3,40
3,47
0,46
13,3
0,07
0,02
0,46
13,3
0,07
0,02
0,64
1,03
0,63
0,74
0,64
1,03
0,63
0,74
P
Value
0,004
N
15
0,334
15
0,004
15
0,334
15
Berdasarkan hasil analisis menunjukkan
selama tiga minggu mempunyai pengaruh
bahwa setelah dilakukan latihan RGS
yang signifikan terhadap peningkatan
selama 3 minggu terdapat kenaikan rerata
kekuatan
kekuatan otot sebesar 0,46 (13,3%).
(P=0,004,
Kesimpulannya
bahwa
latihan
otot
ekstremitas
bawah
α=0,05).
RGS
Tabel 2. Hasil Analisis Kovarian (ANCOVA) Faktor Perancu Pada Pengaruh Latihan RGS Terhadap
Kekuatan Otot Ekstremitas Bawah Pada Anak dengan Tuna Grahita Sedang di SLB C
Kota Bogor.
Parameter
Intercept
Usia
Jenis kelamin
Aktifitas fisik
Latihan RGS
B
1,623
0,185
-0,773
0,626
0,595
P value
0,020
0,0005
0,003
0,017
0,017
Partial eta square 0.206
Analisis lebih lanjut dengan menggunakan
untuk faktor perancunya sendiri yaitu usia,
uji Ancova didapatkan bahwa dengan
jenis kelamin dan aktifitas fisik juga
pengaruh sebesar 20,6% ternyata latihan
memberikan kontribusi yang signifikan
RGS
terhadap
memberikan
kontribusi
secara
peningkatan
kekuatan
otot
signifikan terhadap peningkatan kekuatan
ekstremitas bawah dengan masing-masing
otot ekstremitas bawah (P value=0,017)
memiliki P value < α.
walaupun telah dikontrol oleh usia, jenis
Hubungan Latihan RGS Terhadap
Luas Gerak Sendi Lutut dan Panggul
kelamin dan aktifitas fisik. Demikian pula
Tabel 3. Analisis Perbedaan Rerata Nilai Luas Gerak Sendi Lutut dan Panggul Sebelum dan
setelah dilakukan Latihan RGS Pada Kelompok Intervensi dan Kontrol Anak Tuna
Grahita Sedang di SLB C Kota Bogor (n=30)
68
Jurnal Kesehatan Bakti Tunas Husada
Volume 12 No 1 Agustus 2014
Variabel
Luas
Gerak
Sendi
Kelompok
Lutut
Kanan
1. Intervensi
2. Kontrol
Lutut
Kiri
1. Intervensi
2. Kontrol
Panggul
Kanan
1. Intervensi
2. Kontrol
Panggul
Kiri
1. Intervensi
2. Kontrol
sebelum
sesudah
sebelum
sesudah
sebelum
sesudah
sebelum
sesudah
sebelum
sesudah
sebelum
sesudah
sebelum
sesudah
sebelum
sesudah
Rerata
Beda
%
SD
127,67
130,33
130,67
132,33
126,33
130
133,33
135,33
88
94,33
112
112,67
86
94
103,33
106,33
2,66
2
1,66
1
3,67
3
2
1,5
6,33
7,2
0,67
0,6
8
9,3
3
3
10,15
9,15
13,61
12,66
14,70
3,48
10,12
9,54
27,95
28,33
21,94
21,37
29,04
28,80
18,68
21,42
P
Value
0,015
0,238
0,003
0,189
0,014
0,433
0,009
0,120
N
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
Berdasarkan hasil analisis menunjukkan
kanan sebelum dan setelah intervensi dari
terdapat peningkatan rerata LGS lutut
88º menjadi 94,33º dengan perbedaan
kanan sebelum dan setelah intervensi dari
sebesar 6,33º (7,2%). Berdasarkan hal
127,67º
dengan
tersebut maka dapat disimpulkan latihan
(2%).
RGS selama tiga minggu mempunyai
menjadi
perbedaan
130,33º
sebesar
2,66º
Berdasarkan hal tersebut maka latihan
pengaruh
RGS selama tiga minggu mempunyai
peningkatan
pengaruh
(P=0,014, α=0,05).
yang
signifikan
terhadap
yang
signifikan
LGS
terhadap
panggul
kanan
peningkatan LGS lutut kanan (P=0,015,
Untuk analisis LGS panggul kiri dapat
α=0,05).
dilihat bahwa pada kelompok intervensi
Untuk analisis LGS lutut kiri dapat dilihat
terdapat peningkatan rerata LGS panggul
bahwa terdapat peningkatan rerata LGS
kiri sebelum dan setelah intervensi dari
lutut kiri sebelum dan setelah intervensi
86º menjadi 94º dengan perbedaan sebesar
dari
126,33º
130º
dengan
8º (9,3%). Berdasarkan hal tersebut maka
3,67º
(3%).
dapat disimpulkan latihan RGS selama
Berdasarkan hal tersebut maka latihan
tiga minggu mempunyai pengaruh yang
RGS selama tiga minggu mempunyai
signifikan terhadap peningkatan LGS
pengaruh
panggul kiri (P=0,009, α=0,05).
perbedaan
menjadi
sebesar
yang
signifikan
terhadap
peningkatan LGS lutut kiri (P=0,003,
α=0,05).
Analisis lebih lanjut dengan menggunakan
Ancova didapatkan bahwa usia, jenis
Untuk analisis LGS panggul kanan dapat
kelamin
dan
aktifitas
fisik
tidak
dilihat bahwa pada kelompok intervensi
memberikan kontribusi pada latihan gerak
terdapat peningkatan rerata LGS panggul
69
Jurnal Kesehatan Bakti Tunas Husada
Volume 12 No 1 Agustus 2014
sendi terhadap luas gerak sendi lutut dan
kekuatan otot dan meningkatkan performa
panggul.
ekstremitas bawah.
PEMBAHASAN
Penelitian lain dilakukan oleh Jogi (2010)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
yang melakukan intervensi latihan rentang
pengaruh latihan rentang gerak sendi
gerak sendi dan latihan kekuatan otot pada
terhadap kekuatan otot ekstremitas bawah
klien post Total Hip Arthroplasty (THA)
pada anak dengan tuna grahita sedang di
dan Total Knee Arthroplasty (TKA)
SLB C Kota Bogor. Hasil penelitian
kepada 30 responden. Latihan dilakukan
menunjukkan bahwa setelah dilakukan
sebanyak 1-2 kali seminggu selama 5-7
latihan rentang gerak sendi selama tiga
minggu. Hasilnya terjadi peningkatan
minggu dengan frekuensi minimal dua
secara signifikan pada keseimbangan dan
kali sehari terdapat peningkatan rerata
kekuatan otot terutama pada saat posisi
kekuatan otot ekstremitas bawah baik
berdiri.
kanan maupun kiri sebesar 13.3%.
Hasil penelitian Jogi (2010) ini juga
Penelitian ini sejalan dengan penelitian
dikuatkan oleh Werner (2009) yang
yang dilakukan
menyatakan
yang
oleh Eek, et al. (2008)
meneliti tentang pengaruh latihan
dilakukan
bahwa latihan RGS yang
secara
teratur
dapat
kekuatan otot terhadap cara berjalan pada
meningkatkan kekuatan otot pada klien
anak dengan cerebral palsy. Penelitian
yang
dilakukan pada enam belas anak dengan
keterbatasan fungsi motorik. Latihan RGS
cerebral
mengalami
yang dilakukan secara kontinyu sepanjang
Penilaian dilakukan
hidup dapat mempertahankan fungsi sendi
palsy
yang
kelemahan otot.
dengan
menggunakan
Gross
Motor
Function Measure (GMFM), analisis cara
mengalami
gangguan
atau
serta mencegah terjadinya kontraktur dan
deformitas.
jalan 3 dimensi, penilaian rentang gerak
dan tingkat kekakuan sebelum dan setelah
latihan selama 8 minggu. Latihan ini
dilakukan tiga kali dalam seminggu. Hasil
yang didapat adalah nilai kekuatan otot
dan
GMFM
kecepatannya
meningkat,
tidak
berubah,
namun
panjang
langkah meningkat, dan irama berkurang.
Dengan
demikian
dapat
disimpulkan
bahwa latihan kekuatan otot selama
delapan
minggu
dapat
meningkatkan
Secara teori, apabila otot-otot termasuk
otot ekstremitas bawah tidak dilatih
terutama pada klien yang mengalami
gangguan fungsi motorik kasar dalam
jangka waktu tertentu maka otot akan
kehilangan
fungsi
motoriknya
secara
permanen. Hal ini terjadi karena otot
cenderung dalam keadaan immobilisasi.
Keterbatasan mobilisasi mempengaruhi
otot klien melalui kehilangan daya tahan,
70
Jurnal Kesehatan Bakti Tunas Husada
Volume 12 No 1 Agustus 2014
penurunan
massa
otot,
atrofi
dan
penurunan stabilitas.
meningkat
sehingga
jaringan
kehilangan
kepadatannya
tulang
dan
terjadi
osteoporosis (Holm, 1989 dalam Potter &
Pengaruh lain dari keterbatasan mobilisasi
adalah gangguan metabolisme kalsium
dan
gangguan
mobilisasi
sendi.
Immobilisasi dapat mempengaruhi fungsi
otot dan skeletal. Akibat pemecahan
protein
pada
otot,
klien
mengalami
kehilangan massa tubuh yang membentuk
sebagian otot. Oleh karena itu penurunan
massa otot tidak mampu mempertahankan
aktifitas tanpa peningkatan kelelahan.
Perry, 2006).
Dampak imobilisasi juga
dapat mengakibatkan kontraktur sendi
yaitu
suatu
kondisi
abnomal
dan
permanen yang ditandai dengan fleksi
sendi dan terfiksasi. Hal ini terjadi akibat
sendi tidak digunakan, atrofi dan terjadi
pemendekan
kontraktur
serat
maka
mempertahankan
otot.
sendi
Jika
terjadi
tidak
dapat
rentang
geraknya
dengan penuh.
Massa otot menurun akibat metabolisme
dan otot yang tidak digunakan. Jika
Besarnya keuntungan yang didapat dari
imobilisasi berlanjut dan otot tidak dilatih
latihan
maka akan terjadi penurunan massa yang
ditimbulkan, maka jelaslah bahwa latihan
berkelanjutan (Potter & Perry, 2006).
RGS sangat dianjurkan untuk dilakukan
RGS
serta
dampak
yang
secara teratur terutama pada klien dengan
Penurunan
mobilisasi
dan
gerakan
mengakibatkan kerusakan muskuloskeletal
yang besar dengan perubahan patofisiologi
utamanya adalah atrofi. Atrofi adalah
suatu keadaan sebagai respons tehadap
penyakit dan penurunan aktifitas sehari-
gangguan fungsi motorik termasuk pada
anak dengan tuna grahita. Karena dengan
latihan ini maka fungsi motorik menjadi
meningkat
sehingga
anak
dapat
melakukan mobilisasi dengan lebih baik
untuk menunjang aktifitas sehari-harinya.
hari seperti pada imobilisasi dan tirah
baring (Kasper et al, 1993 dalam Potter
Berdasarkan hasil analisis menunjukkan
Perry, 2006). Penurunan stabilitas terjadi
bahwa terdapat kenaikan pada luas gerak
akibat kehilangan daya tahan, penurunan
sendi baik lutut maupun panggul setelah
massa otot, atrofi dan kelainan sendi yang
dilakukan latihan RGS selama 3 minggu
aktual
mampu
dengan frekuensi 2 kali sehari. Pada
bergerak terus menerus dan beresiko
analisis lebih lanjut juga menunjukkan
untuk jatuh.
bahwa dengan pengaruh sebesar 17%,
sehingga
klien
tidak
latihan RGS memberikan kontribusi yang
Seperti yang telah dijelaskan diatas,
bahwa imobilisasi dapat menyebabkan
signifikan terhadap peningkatan LGS
panggul kanan.
gangguan metabolisme kalsium dan sendi.
Akibatnya
resorpsi
tulang
menjadi
71
Jurnal Kesehatan Bakti Tunas Husada
Volume 12 No 1 Agustus 2014
Berdasarkan
hal
ini
maka
dapat
adalah intervensi ini memberikan
efek
disimpulkan bahwa latihan RGS yang
positif dan harapan bagi klien dengan
dilakukan selama tiga minggu berturut
gangguan sendi terutama lutut bahwa
turut dengan frekuensi minimal 2 kali
dengan latihan rentang gerak secara dini
sehari dapat meningkatkan LGS lutut dan
yang dilakukan minimal selama 2 minggu
panggul secara bermakna pada anak tuna
pasca pembedahan
grahita sedang yang mengalami gangguan
pemulihan ke arah normal.
dapat mempercepat
motorik. Walaupun kenaikannya tidak
terlalu besar tetapi hasil ini cukup
membuktikan
dilakukan
bahwa
intervensi yang
memberikan
hasil
yang
diharapkan. Hal ini berbeda dibandingkan
dengan kelompok kontrol yang tidak
mendapatkan
intervensi
latihan
RGS
dimana setelah dilakukan pengukuran
kedua
terdapat
kenaikan
tetapi
kenaikannya sangat kecil dibandingkan
dengan kelompok intervensi dan secara
statistik
tidak
memberikan
pengaruh
secara bermakna.
yang dilakukan oleh Kelln, et al (2009)
yang menyatakan bahwa pelaksanaan
program latihan rentang gerak sendi
secara dini pada klien dengan gangguan
seperti
pasca
pembedahan
menghasilkan suatu peningkatan yang
signifikan bagi pemulihan yang lebih
cepat.
Peningkatan
yang
terlihat
diantaranya adalah cara berjalan yang
lebih baik, peningkatan dalam fleksi dan
ekstensi lutut kearah normal, walaupun
secara
statistik
pengaruh
yang
oleh Cadenhead, Mc Ewen & Thompson
(2002) yang menyatakan bahwa latihan
rentang gerak pasif yang dilakukan pada
klien dengan keterbatasan mental dan
cerebral
tidak
memberikan
signifikan
terhadap
peningkatan ketebalan ekstremitas dan
luas gerak sendi lutut. Kesimpulannya
palsy
tidak
memberikan
pengaruh terhadap kenaikan luas gerak
sendi ekstremitas bawah setelah diukur
dengan menggunakan goniometer.
Secara teori, latihan RGS yang dilakukan
secara rutin sangat penting karena tujuan
utama
Penelitian ini sejalan dengan penelitian
lutut
Tetapi penelitian Kelln, et al. ini dibantah
latihan
RGS
adalah
untuk
memelihara sendi agar tetap fleksibel.
Latihan ini juga dapat membantu sendi
agar
tidak
kaku,
kontraktur
serta
menghindari deformitas. Bahaya paling
besar ketika terjadi paralisis atau spastis
yang menyebabkan ketidakseimbangan
otot, dimana sendi tertarik lebih kuat ke
satu arah sehingga menekuk secara terus
menerus (Werner, 2009). Keadaan ini
akan mengakibatkan sendi kehilangan
elastisitasnya sehingga luas gerak sendi
menjadi menurun.
Kontraktur merupakan gangguan yang
umum terjadi pada klien dengan tuna
grahita yang disertai dengan serebral
palsy khususnya tipe spastik. Kontraktur
72
Jurnal Kesehatan Bakti Tunas Husada
Volume 12 No 1 Agustus 2014
bisa berupa kontraksi otot yang permanen,
geraknya.
tahanan yang tinggi pada peregangan
mungkin dapat mengurangi dan mencegah
pasif, hipoekstensibilitas, berkurangnya
terjadinya keterbatasan.
rentang peregangan pasif dan pemendekan
Selain melihat pengaruh latihan RGS
otot.
terhadap kekuatan otot dan LGS sendi
lutut
Banyak faktor yang dapat menyebabkan
kontraktur pada klien retardasi mental
yang disertai dengan cerebral palsy,
diantaranya adalah aktifitas otot yang
berlebihan pada satu sisi dibandingkan
dengan sisi yang lain, perubahan pada
jaringan
penghubung,
panjang
otot,
pertumbuhan otot yang lambat dan posisi
yang tidak benar. Klien dengan spastic
cerebral palsy yang tidak dapat berjalan
dan
gerakan
volunter
yang
terbatas
sehingga tidak dapat melakukan rentang
gerak
secara
penuh
beresiko
tinggi
memperparah kontraktur (Cadenhead, Mc
Ewen & Thompson, 2002).
deformitas, latihan RGS harus dilakukan
secara kontinyu sepanjang hidup. Penting
bagi anak untuk menggerakan tubuhnya
melalui pergerakan sendi secara penuh
dalam aktifitas kehidupan sehari-hari. Jika
rentang gerak dalam keadaan baik, maka
anak dapat dengan mudah melakukan
kegiatan sehari-hari (Werner, 2009).
Menurut Bowden & Greenberg (2008)
agar sendi tidak kehilangan fungsinya,
maka latihan RGS sebaiknya dilakukan
setidaknya 2 kali dalam sehari. Latihan
RGS harus dilakukan sedini mungkin
sendi
kehilangan
dan
latihan
panggul
kelompok,
pada
membandingkan
sedini
masing-masing
penelitian
ini
bagaimana
juga
pengaruh
latihan RGS antara kelompok intervensi
dan
kelompok
kontrol.
Hasilnya
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
latihan RGS sebelum dan setelah latihan
RGS antara kelompok intervensi dan
kontrol.
Hasil
analisis
menunjukkan
bahwa pada pengukuran kedua baik
kelompok intervensi maupun kelompok
kontrol sama-sama mengalami kenaikan
walaupun kenaikan yang terjadi pada
kelompok kontrol jauh lebih kecil jika
dibandingkan
dengan
kelompok
intervensi.
Untuk mencegah terjadinya kontraktur dan
sebelum
Memulai
Salah satu alasan yang dapat dijelaskan
adalah desain yang digunakan dalam
penelitian
ini
experimental
menggunakan
dengan
pretest-postest
responden
purposive
control
dimana
dilakukan
sampling
quasigroup
penentuan
dengan
yang
cara
ditentukan
berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi.
Pada penelitian ini kelompok intervensi
dan
kelompok
kontrol
dipisahkan
berdasarkan tempat penelitian dengan
tujuan untuk meminimalkan interaksi
diantara keduanya. Kelemahan penentuan
kelompok berdasarkan
rentang
73
Jurnal Kesehatan Bakti Tunas Husada
Volume 12 No 1 Agustus 2014
tempat ini salah satunya adalah responden
membuktikan
yang
struktur antara proses kognitif dan motorik
seharusnya
masuk
kedalam
kelompok intervensi mungkin ada yang
dimana
masuk
bersamaan
ke
dalam
kelompok
kontrol
sehingga seleksinya menjadi bias.
bahwa
mereka
yang
ada
kesamaan
berkembang
secara
disebut
dengan
cerebellum hypothesis (Diamond 2000;
Ridler et al, 2006 dalam Hartman et al
Selain itu, penelitian ini difokuskan pada
bagaimana
latihan
RGS
2010).
dapat
mempengaruhi kekuatan otot ektremitas
dan luas gerak sendi lutut dan panggul
pada anak dengan tuna grahita sedang
tanpa melihat aspek-aspek lain yang
kemungkinan
berpengaruh
terhadap
kejadian tuna grahita misalnya aspek
kognitif.
Secara
motorik
teori,
merupakan
perkembangan
perkembangan
pengendalian gerakan jasmaniah melalui
kegiatan susunan saraf pusat dan saraf tepi
serta otot yang terkoordinasi. Sebelum
perkembangan itu terjadi maka anak akan
tetap tidak berdaya (Hurlock, 2008). Anak
dengan tuna grahita dicirikan dengan
adanya
keterbatasan
intelektualnya
seperti
dalam
fungsi
belajar,
proses
pengambilan keputusan serta perilaku
Lebih lanjut Hartman et al (2010) dalam
penelitiannya tentang hubungan antara
performa motorik dengan fungsi motorik
pada
anak
dengan
tuna
menemukan bahwa dari semua penilaian
yang
diukur,
secara
signifikan
memperlihatkan hasil yang rendah pada
semua penilaian. Untuk keterampilan
motorik, anak dengan tuna grahita ringan
lebih rendah dibandingkan dengan anak
pada
taraf
borderline.
Tetapi
tidak ada hubungan yang signifikan antara
kedua
kelompok.
berkorelasi
secara
Performa
motorik
signifikan
dengan
fungsi intelektual.
Keterbatasan Penelitian
sosial
Faktor pendukung penelitian
praktis
(AAMR,
2002).
untuk
keterampilan dalam mengontrol obyek
adaptif seperti keterampilan konseptual,
dan
grahita
Disamping keterbatasan fungsi intelektual,
Kendala yang dihadapi terutama berkaitan
anak
dengan sarana yang tersedia dan riwayat
tuna
keterbatasan
grahita
juga
keterampilan
kesehatan
anak
yang
motoriknya (Frey & Chow 2006; Simons
gangguan
yang
dialaminya
et al. 2008 dalam Hartman et al 2010).
Idealnya
Kelemahan motorik pada anak dengan
kekuatan otot dan luas gerak sendi
tuna
dilakukan
grahita
dalam
mempunyai
berhubungan
dengan
pelaksanaan
di
tempat
mempengaruhi
sekarang.
pengukuran
yang
tertutup
keterbatasan fungsi intelektualnya. Study
sehingga dapat menjamin rasa aman dan
neurology tentang hubungan antara fungsi
nyaman anak. Di SLB Dharma Wanita
motorik dengan fungsi intelektual telah
dan SLB Tunas Kasih II Bogor belum
74
Jurnal Kesehatan Bakti Tunas Husada
Volume 12 No 1 Agustus 2014
tersedia ruangan khusus UKS sehingga
merata antara perempuan dan laki-laki.
pengukuran dilakukan diruangan kelas
Aktifitas fisik responden sebagian besar
dengan tetap memperhatikan rasa aman
adalah pasif.
dan nyaman anak. Latar belakang anak
terutama
yang
berhubungan
dengan
riwayat kesehatannya juga tidak tersedia.
Hal ini penting dikaji untuk mengetahui
penyebab awal gangguan motorik yang
dialami anak sekarang sehingga dapat
menentukan
latihan
apa
yang
tepat
Latihan rentang gerak sendi selama tiga
minggu dengan frekuensi minimal 2 kali
sehari
memberikan
bermakna
terhadap
ekstremitas
bawah
pengaruh
secara
kekuatan
pada
otot
kelompok
intervensi. Demikian pula untuk LGS lutut
dan panggul, latihan RGS berpengaruh
diberikan kepada anak.
terhadap LGS lutut dan panggul pada
Keterbatasan
dalam
pelaksanaan
kelompok intervensi dengan hasil uji
penelitian
statistik didapatkan nilai P value lebih
Rencana awal latihan RGS ini akan
kecil dari α.
dilaksanakan sebanyak dua kali sehari
Rekomendasi
pada pagi hari sebelum belajar dan siang
Bagi Layanan Keperawatan Kepada
hari setelah belajar. Pada pelaksanaannya
Masyarakat
waktu latihan disesuaikan dengan keadaan
Latihan RGS dapat dijadikan sebagai
anak. Pada anak yang kooperatif, latihan
alternatif penyelesaian masalah bagi klien
dilaksanakan sesuai dengan rencana tetapi
dengan
pada
khususnya anak dengan kebutuhan khusus
anak yang sulit untuk diajak
keterbatasan
meningkatkan
fungsi
bekerjasama maka latihan disesuaikan
untuk
dengan kondisi dan mood anak. Pada
ekstremitas dan Luas gerak sendi.
motorik
kekuatan
otot
penelitian ini juga belum tergambar
berapa waktu minimal latihan yang dapat
dicapai oleh masing-masing anak. Waktu
minimal
ini
penting
dicatat
untuk
mengetahui toleransi anak terhadap latihan
Diharapkan perawat anak dapat lebih
berperan dalam peningkatan kesehatan
dan kemandirian anak dengan kebutuhan
khusus dalam hal ini anak dengan tuna
grahita melalui upaya promotif dengan
RGS yang dilakukan.
cara melakukan sosialisasi tentang latihan
RGS ini pada orang tua dan guru. Upaya
Simpulan
Penelitian
ini
telah
mengidentifikasi
preventif
dilakukan
dengan
cara
beberapa karakteristik dari 30 responden.
memberikan pendidikan kesehatan bagi
Usia responden berada pada rentang usia
anak dan orang tua, anticipatory guidence
sekolah dan remaja dengan rerata usia 11
serta
tahun. Jenis kelamin responden hampir
secara komprehensif. Upaya
pemberian
asuhan
keperawatan
kuratif
75
Jurnal Kesehatan Bakti Tunas Husada
Volume 12 No 1 Agustus 2014
dilakukan
dengan
dengan
dinas
melaksanakan
cara
bekerjasama
kesehatan
pemeriksaan
untuk
kesehatan
secara rutin dan dilakukan rujukan ke
fasilitas kesehatan apabila tidak dapat
ditangani ditempat. Upaya
dilakukan
dengan
rehabilitatif
cara
bekerjasama
dengan fisioterapis untuk menangani anak
tuna grahita berhubungan dengan fungsi
intelektualnya. Dengan demikian maka
selain intervensi latihan RGS untuk
meningkatkan fungsi motoriknya anak
juga perlu mendapatkan stimulasi untuk
melatih
latihan
RGS
ini
dapat
dijadikan sebagai program unggulan dan
menjadi bagian dari strategi kegiatan
pembelajaran di sekolah luar biasa yang
pelaksanaannya dapat dimasukkan ke
dalam bidang studi olah raga. Diharapkan
latihan RGS ini dapat berlangsung secara
kontinyu dan terus menerus sehingga
manfaatnya dapat dirasakan tidak hanya
oleh anak dengan keterbatasan fungsi
motorik tetapi juga oleh anak yang lain
maka
pada
anak dengan tuna grahita berat dan sangat
berat karena sebagian besar dari mereka
menderita gangguan fungsi motorik dari
yang ringan sampai yang sangat berat.
REFERENSI
1. American
Association
Retardation.(2002).
dapat
Washington,
definitions, etiology, epidemiology
and diagnosis. Journal of Sport and
Health Research,Vol.1 No. 2, 112122.
instrumen penelitian yang
dinamometer dan penggunaan goniometer
American
2. Armatas, V.(2009). Mental retardation:
otot serta intervensi dengan menggunakan
menggunakan
DC:
Association on Mental Retardation.
latihan kekuatan otot, latihan ketahanan
dengan
Mental
and systems of supports, 10th edition.
motorik anak dengan tuna grahita seperti
lebih canggih seperti pengukuran otot
on Mental
retardation: definition, classification,
dikembangkan
intervensi lain untuk meningkatkan fungsi
penelitian
dengan tuna grahita sedang tetapi juga
penelitian lebih lanjut terkait dengan
digital.
kiranya
penentuan sampel tidak hanya anak
dan Teknologi bidang keperawatan
dengan
perlu
latihannya ditambah. Selain itu juga
Bagi Perkembangan Ilmu Pengetahuan
dan
misalnya
berikutnya waktu penelitian dan intensitas
dan guru.
alat
kognitifnya
Agar kemaknaan penelitian lebih besar,
Bagi Sekolah
Diharapkan
fungsi
dengan cara latihan brain gym.
dengan keterbatasan fungsi motorik.
Diharapkan
Keterampilan motorik pada anak denga
3.
Ariawan, I. (1998). Besar dan Metode
Sampel pada Penelitian Kesehatan.
Jakarta:
Jurusan
Biostatistik
dan
kependudukan FKM UI.
76
Jurnal Kesehatan Bakti Tunas Husada
Volume 12 No 1 Agustus 2014
4.
Ball, J.W, & Bindler, R.C. (2003).
Pediatric nursing caring for children.
New Jersey: Pearson Education.
5.
6.
Science. Oregon State University.
11. Hartman, E., Houwen, S., Scherder, E
Bowden, V.R & Greenberg, C.S.
& Visscher, C. (2010). On the
(2008). Pediatric nursing procedures.
relationship
Second edition. Philadelphia: Lipincot
performance
William and Wilkins.
functioning
Cadenhead,
S.L.,McEwen,
between
motor
and
in
executive
children
with
I.R.,
intellectual
Thompson, D..M. (2002). Effect of
Intellectual
passive range of motion exercises on
volume 54 part 5: pp 468–477.
lower extremity.
disabilities..Journal
Disability
of
Research,
12.Hastono, S.P. (2007). Analisis data
Diagnostic and Statistical
kesehatan.
Jakarta.
Fakultas
Manual of Mental Disorder-Text
Kesehatan
Masyarakat
Universitas
Revision (DSM-IV TR) Diunduh
Indonesia. Tidak dipublikasikan.
1.1.1 7.
tanggal 14 Februari 2011 dari
8.
Philosophy in Exercise and Sport
13. Hurlock, E.B. (2008). Perkembangan
http://en.wikipedia.org.
anak (Edisi keenam) Alih Bahasa
Doriot, N & wang, X (2006). Effects
Meitasari Tjandrasa. Jakarta: Penerbit
of age and gender on maximum
Erlangga.
voluntary range of motion of the
14. Jogi, P. (2010). Effectiveness Of
upper body joints. Ergonomics. Vol.
Balance Exercises Following Total
49 No. 3, 269–281. goniometric
Hip And Knee Joint Arthroplasty.
measurements of adult with cerebra
Dissertation for the degree of Doctor
alsy, Physical Therapy, Volume 82,
Philosophy
number
Reahabilitation
9. Eek, M.N., Tranberg, R., Zügner, R,
Alkema, K., Beckung, E. (2008).
in
University
of
Health
and
sciences.
The
Western
Ontario
London, Canada.
Muscle strength training to improve
15. Kelln,B.M, Ingersoll, C.D.,Saliba, S.,
gait function in children with cerebral
Miller, M.D., Hertel, J. (2009). Effect
palsy.. Developmental Medicine
of early active range of motion
&
Chilh Neurology. 1469-8749.
10. Foley, J.T. (2006). Exploring the
rehabilitation on outcome measures
after partial meniscectomy.
physical activity levels of students
Surg
with mental retardation and student
Volume 17, 607–616.
without disabilities in both school
and
after
school
environments.
Dissertation for the degree of Doctor
Sports
Traumatol
Knee
Arthrosc,
16. Kilgour, G. M.,McNair, P. J & Stott,
N.S. (2005). Range of Motion in
Children
with
Spastic
Diplegia,
GMFCS I-II Compared to Age and
77
Jurnal Kesehatan Bakti Tunas Husada
Volume 12 No 1 Agustus 2014
Gender Matched Controls. Physical.
&
Occupational
Therapy
in
Pediatrics, Vol. 25(3).
17. Maslim, R. (2001). Buku saku
health
workers,
workers,
and
California:
ringkas
Foundation.
dari
PPDGJ-III.
Jakarta:
Yan. Medik, Depkes RI.
H.,
Wagner,
rehabilitation
families.
The
Barkeley,
Hesperian
25. Williamson, E. M. & Marshall, P. H.
(2009). Motor control of the knee as
Nordmark,E.,Hägglund,G.,
Pedersen,
19.
Children A guide for community
diagnosis gangguan jiwa, rujukan
Direktorat Kesehatan Jiwa, Dirjen
18.
24. Werner, D. (2009). Disabled Village
LaugeP.,
afunction of age and range of motion.
and
Experimental Aging Research, 35:
Westbom, L. (2009). Development of
457–468 :Taylor & Francis Group,
lower limb range of motion from early
LLC.
childhood to adolescence in cerebral
26. Willner, P., Bailey, R., Parry1, R &
palsy: a population-based study. BMC
Dymond, S. (2010). Evaluation of
Medicine 7:65.
executive functioning in people with
Pollit, D.F., & Beck, C.T. (2006).
intellectual disabilities. Journal of
Essentials of Nursing Research :
Intellectual
Methods, Appraisal and Utilization.
volume 54 part 4: pp 366–379.
(6th
Ed).
Philadelphia:
Lippincott
Williams & Walkins.
Disability
Research,
27. World Health Report. (2001). Mental
Health: New Understanding New Hope
20. Potter, P.A, and Perry,A.G. (2006).
World Health Organization Library.
Buku ajar fundamental keperawatan:
konsep, proses, dan praktik edisi 4
volume 2 Jakarta : EGC
21. Sastroasmoro, S. & Ismail, S. (2006).
Dasar-Dasar Metodologi Penelitian
Klinis. (2nd
Ed).
Jakarta. Sagung
Seto.
22. Sugiyono. (2010). Metode penelitian
kuantitatif, kualitatif dan R & D.
Bandung: Alfabeta.
23. Tseng, C.-N., Chen, C. C.-H., Wu, S.C., & Lin, L.-C. (2007). Effects of a
range-of-motion exercise programme.
Journal of Advanced Nursing, 57(2),
181-191.
78
Download