Bab II KAJIAN TEORITIS JUST WAR 1. PENDAHULUAN Pada masa sekarang ini, tidaklah asing lagi jika mendengar tentang just war yang dikaitkan dengan perang-perang yang sedang terjadi. Tetapi bagaimana just war itu muncul dan berkembang, serta apakah prinsip-prinsipnya yang ditentukan didalamnya mungkin belum secara dalam diketahui. Oleh karena itu pula, sebelum menjelaskan tentang hal-hal tersebut, penting untuk diketahui bahwa menurut David Lenihan, teori Just War dibangun di dalam tulisan dari Agustinus. Dikatakannya bahwa Agustinus merupakan sumber dari teori yang banyak digunakan pada abad pertengahan ini.1 Tokoh lainnya, seperti R. E. Santoni menyatakan bahwa teori just war telah mengalihkan pemikiran Kekristenan tentang perang dan telah menjadi bagian dalam pemikiran dunia Barat dalam hal membenarkan alasan untuk berperang yang memang tidak dapat disangkal. Ia pun menyetujui bahwa Agustinus adalah pemikir yang sangat penting dalam pergerakan kekristenan yang menerima beberapa perang sebagai perang yang dapat dibenarkan. Hal ini dikarenakan Agustinus membawa perspektif baru melalui pertanyaan penting tentang pernahkah dapat dibenarkan orang Kristen berpartisipasi dalam perang?2 Tanggapan khususnya terhadap hal ini-dengan menyebutkan bahwa beberapa perang adalah adil jika dibutuhkan untuk menuntut kerugian yang dialami dan untuk mempertahankan keadilanmenjadi tanda terhadap lahirnya pemikiran just war. 1 D. A. Lenihan, “The Just War Theory in the Work of Saint Augustine” dalam Augustinian Studies. Volume 19 Tahun 1988, 37 2 R.E. Santoni, “The Nurture of War, Just War Theory’s Contribution” dalam Philosophy Today. Tahun 1991,84. 10 2. Awal Perkembangan Just War oleh Pemikir Klasik Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Agustinus merupakan tokoh yang oleh banyak ahli disebut sebagai tokoh awal yang mempunyai sumbangsih besar dalam memunculkan pemikiran tentang just war. Dari dasar pemikirannya ini, tokoh selanjutnya yang tidak jauh masanya dari Agustinus, juga memberi perhatian terhadap pemikiran tentang just war, yakni St. Thomas Aquinas. Oleh karena itu, pada bagian ini akan dijelaskan tentang pemikiran kedua tokoh tersebut yang mengembangkan awal just war. 2.1 Agustinus Pada abad kelima, Agustinus mengampuni orang Kristen yang berpartisipasi didalam ketentaraan Roma dengan membenarkan penggunaan defensif kekuatan bersenjata dan menemukan bahwa tidak ada kesalahan moral dengan tugas tersebut. 3 Pemikirannya tentang partisipasi orang Kristen dalam perang inilah yang melahirkan sebuah teori just war. Namun, walaupun ia dipandang sebagai pemikir pertama yang mencetuskan ide tentang just war, ia tidak pernah merumuskannya secara sistematis. Menurut Lenihan, Just war dalam tulisan Agustinus bukanlah teori yang terpadu, karena ia tidak melakukan penafsiran yang lebih lengkap terhadapnya jika dibandingkan dengan doktrin-doktrin lain seperti Trinitas, Anugerah, Dosa Asal, dan Predestinasi. 4 Oleh karena itu, pemikirannya ini dapat dilihat dalam beberapa tulisannya sebagai berikut. a. Dalam Contra Faustum Agustinus mengemukakan di dalam tulisannya itu tentang benarnya keikutsertaan prajurit untuk melaksanakan perintah dari pemimpin atau 3 Antonia Malone, “The Just War Theory: A Wolf in Sheep’s Cloting?” dalam Studying WarNo More. Ed. Brien Wicker. Tahun 1993, 91. 4 D. A. Lenihan, “The Just War Theory in the Work of Saint Augustine….,84 11 perintah militer yang mengharuskan kepatuhan tugas atau tanggung jawab. Selanjutnya ia menunjukan, bahwa perang menjadi adil hanya dalam otoritas Tuhan dan para prajurit dapat dibebaskan dari kesalahan. 5 Ia menyatakan pula: “adanya manusia di dalam tatanan alam ini, dapat membuat damai menjadi hilang, oleh karena itu, dibutuhkan kekuasaan dan keputusan untuk menyatakan perang dan harus terletak pada penguasa.” Namun, dilanjutkannya bahwa kekejaman, balas dendam, semangat dan bersikeras terhadap kekerasan, arogansi dalam kemenangan, kehausan untuk kekuasaan, dan hal-hal yang sama dengan ini, semuanya dengan benar dikutuki dalam perang.6 b. Dalam letter 229—to Darius Setahun sebelum meninggal, Agustinus menulis kepada pangeran Darius, yang didalamnya pun ia membenarkan partisipasi orang Kristen dalam perang, tetapi ia tetap mempertahankan keutamaan dan keunggulan kedamaian. Agustinus menyatakan, meskipun ia menerima perang sebagai sebuah pertimbangan, ia tetap memberkati mereka yang melakukan hal-hal yang menjadikan keadaan damai.7 c. Questions concerning the Heptateuch Dalam tulisan ini, Agustinus menyusun didalamnya beberapa hal mengenai perang yang dikatakan sebagai adil. Ia menyatakan bahwa jika perang tersebut adalah adil, maka orang Kristen boleh ikut serta didalamnya tetapi jika perang itu tidaklah adil, maka orang Kristen tidak boleh ikut serta. Hal pertama yang jelas dari pemikirannya tentang just war 5 D. A. Lenihan, “The Just War Theory in the Work of Saint Augustine….,45 William V. O’Brien. The Conduct of Just War and Limited War(Amerika: Praegar Publisher, 1981), 16 7 D. A. Lenihan, “The Just War Theory in the Work of Saint Augustine...., 48 6 12 adalah bahwa hal tersebut diperintahkan oleh Tuhan. Mengenai hal ini, Agustinus tidak ragu sama sekali tentang wajarnya perjuangan seperti yang ada di dalam perang. Hal kedua terkait dengan just war yaitu berdasarkan tujuan perang yakni untuk membalas kerugian. Pernyataan ini digambarkan sebagai pernyataan yang sangat penting dari just war pada masa abad pertengahan. Kerugian yang dimaksud dalam membenarkan perang adalah kerugian nasional dan terjadi ketika sebuah bangsa atau suku gagal untuk membuat reparasi terhadap kerugian yang dilakukan oleh warganya. Kerugian nasional ini juga muncul ketika orang-orang atau sebuah negara gagal mengembalikan tanah atau barang-barang yang diambil secara salah.8 d. Dalam The City of GOD Dalam tulisan ini, Agustinus memberikan pembelaan terhadap umat Kristen yang saat itu oleh kekaisaran Romawi dituduh sebagai penyebab melemahnya kekuatan kerajaan. Menghadapi tuduhan itu, Agustinus menulis bahwa kekristenan sama sekali tidak meniadakan patriotisme, melainkan justru mengangkat semangat itu hingga menjadi sebuah ketaatan iman (religious obligation). Baginya, perang yang didasarkan bukan pada motivasi kenikmatan terhadap kekerasan, tetapi karena ketaatan kepada Allah dan penghukuman terhadap pelaku kejahatan demi mencegah dosa yang lebih besar, merupakan tindakan kasih. Oleh karena itu, Agustinus mengatakan bahwa kasih tidak selalu bertentangan dengan penggunaan kekerasan.9 8 ibid., 49 Kalvin Budiman, “Prinsip Dasar Etika Kristen Tentang Perang: Sebuah Tinjauan Terhadap Pacifism dan Just War Theory” dalam Veritas Jurnal Teologi dan Pelayanan. Volume 4, Nomor 1 April 2003, 44-46 9 13 Seperti dalam tulisan-tulisannya yang lebih awal, Agustinus menemukan adanya kejahatan perang dalam nafsu atau keinginan besar untuk menguasai, yang ada dalam jiwa-jiwa ambisius militer dan yang mungkin memarakan setiap perang sipil. Oleh karena itu, Agustinus melihat perang yang seperti ini sebagai penyakit endemis terhadap kota dunia; tetapi tidak seperti orang Kristen yang primitif, ia tidak menolak dunia dalam ukuran tersebut. Karena ia pun melihat penderitaan manusia sebagai suatu kebaikan, karena tujuan akhirnya adalah kedamaian. Dengan demikian, tujuan dari perang pun adalah kedamaian, sehingga kedamaian dunia ini dapat dikatakan sebagai hasil dari perang.10 Menurutnya, menjadi murid Kristus pun sama sekali tidak berarti menjauhkan diri dari penggunaan kekerasan demi mempertahankan kesejahteraan sosial atau keadilan. Tetapi yang lebih menjadi fokus dan perhatian Agustinus adalah hati yang sudah diperbaharui, bukan profesi atau tindakan perang itu sendiri. Artinya, kalaupun seseorang memutuskan untuk pergi berperang, hal itu harus dilaksanakan di dalam “maksud kebaikan tanpa kekerasan yang tidak semestinya.” Ia mengakui bahwa dalam situasi tertentu kondisi damai dapat dicapai melalui pengampunan tanpa harus menggunakan kekerasan. Tetapi dalam situasi-situasi lain, membiarkan kejahatan tanpa adanya usaha untuk mencegahnya dengan segala daya upaya, termasuk menggunakan kekerasan, sama saja dengan membiarkan kejahatan menindas keadilan. Dengan demikian, perang adalah suatu tindakan yang sifatnya “diperbolehkan,” tetapi hanya dan jika “dilakukan dalam keadaan terpaksa dan demi sebuah perdamaian.” Namun 10 D. A. Lenihan, “The Just War Theory in the Work of Saint Augustine....,50 14 demikian, di bagian lain, ia menyangkal adanya perang yang dibenarkan jika alasannya adalah untuk kepentingan pribadi. Ia menegaskan bahwa penggunaan kekerasan untuk kepentingan pribadi akan selalu merupakan ekspresi kebencian.11 Agustinus menyatakan bahwa esensi dari kota dunia adalah penderitaan yang terus terjadi untuk sebuah kedamaian yang abadi. Pernyataan ini merupakan gambaran bahwa ia menerima kenyataan dunia yang cacat dan tidak sempurna ini sebagai akibat dari adanya dosa asal. Secara jelas pun, ia mengakui peperangan sebagai bagian dan paket dari keberadaan manusia dan satu dari misteri kehidupan manusia.12 Namun, ketika Agustinus berbicara tentang perang yang merupakan bagian dari keberadaan manusia, ia meratapinya dengan sedih. 13 Walaupun begitu, terdapat lipur terhadap ratapannya itu, yang ditunjukan dalam pengakuannya bahwa ada beberapa perang yang “adil.” Keadilan untuk perang ini ditemukan melalui adanya ketidakadilan yang dilakukan oleh penyerang atau lawan dan mempunyai tujuan untuk melindungi orang yang tidak berdaya. Dengan kata lain, baginya, perang bukanlah cara positif untuk meraih keadilan dan kedamaian, melainkan sebuah “cara negatif untuk mencegah ketidakadilan.”14 2.2 Thomas Aquinas Pada abad ke-13, Thomas Aquinas merupakan salah satu teolog filosofis yang sangat berpengaruh di Gereja Katolik Roma, ia mengambil alih dan 11 Kalvin Budiman, “Prinsip Dasar Etika Kristen Tentang Perang….,45 D. A. Lenihan, “The Just War Theory in the Work of Saint Augustine....,51 13 ibid. 14 Kalvin Budiman, “Prinsip Dasar Etika Kristen Tentang Perang….,46 12 15 meneruskan ajaran yang Agustinus telah mulai sebelumnya. Kebutuhan dasar dari Agustinus dan pengikutnya bahwa untuk sebuah perang menjadi adil harus dilatarbelakangi oleh “sebab yang adil” (misalnya, untuk menghukum mereka yang melakukan kekerasan norma) dan dimulai oleh seorang yang tepat atau otoritas “sah.“ Melihat hal ini, Aquinas menambahkan kondisi lainnya. Aquinas mengakui bahwa akibat negatif atau buruk mungkin dapat diakibatkan dari sebuah tindakan yang dimaksudkan baik sekalipun. Ia berpendapat bahwa sebuah pembunuhan yang tidak diinginkan terhadap orang lain tidaklah adil. Namun, dalam usaha berperang, adalah adil ketika terdapat otoritas “yang sah,” mempunyai sebab yang adil, tetapi juga yang harus mempunyai “tujuan benar.” Seseorang harus bertujuan untuk mendukung keadilan dan kebaikan, bukan kejahatan. Dengan kata lain, merupakan keharusan bagi Aquinas bahwa sebuah perang menjadi adil yang dimulai oleh otoritas yang sah, terlepas dari akibat tak terduga atau yang tak diharapkan, dengan didorong oleh tujuan yang baik-oleh keinginan otoritas sah tersebut, seperti untuk memperbaiki kebaikan umum atau membawa keadaan yang lebih adil.15 3. Karakteristik Just War 3.1 Karakteristik Just War dalam pemikiran Agustinus Melalui tulisan-tulisan Agustinus dan pengikutnya yang didalamnya menguraikan tentang perang yang dapat dikatakan adil, maka Lenihan 15 R.E. Santoni, “The Nurture of War, Just War Theory’s Contribution” dalam Philosophy Today. Tahun 1991,85. 16 mengemukakan beberapa karakteristik dari Agustinus terkait dengan pemikiran just war tersebut sebagai berikut. 16 a. Bellum, “perang” bagi Agustinus merupakan tindakan kebijakan ketertiban untuk mempertahankan ketentraman dalam kerajaan. Sama halnya, bahwa menurutnya perang yang adil merupakan tindakan yang mempunyai tujuan untuk mempertahankan kebaikan dan ketentraman masyarakat. b. Menurut Agustinus, terdapat dikotomi antara keadilan sebuah hukum dan keadilan dari Allah. Keadilan dari hukum berasal dari ketakutan; keadilan Allah berasal dari Anugerah. Agustinus kemudian membedakannya dengan menyatakan bahwa keadilan yang sejati berasal dari Roh Kudus sedangkan keadilan hukum bukanlah keadilan sejati karena didasarkan pada ketakutan. Oleh karena itu, baginya, sebuah tindakan dapat menjadi “adil”, misalnya, adanya kesesuaian dengan aturan yang dibuat, tetapi mungkin saja tidak dapat sesuai dengan Injil Yesus Kristus. c. Dari tulisan Agustinus jelas bahwa perang adalah sebuah kesedihan dan suatu aspek yang diratapi dari keberadan manusia dalam kota dunia. The city of God menunjukan bahwa ia menerima kerajaan Roma sebagai bagian dari rencana ilahi. Perang-perang yang menciptakan kerajaan ini juga dilihatnya sebagai bagian dari rencana ilahi dan oleh karena itu, perang tidak dapat dianggap tercela secara moral di dalam hal tersebut. d. Pembicaraan tentang yang adil dari Agustinus menunjukkan dirinya sebagai penulis tentang kedamaian dan kasih. Tidak ada dalam tulisannya yang menjelaskan pokok dari perang adalah sebuah pengaggungan. 16 D. A. Lenihan, “The Just War Theory in the Work of Saint Augustine....,52-57 17 Suratnya kepada Boniface menunjukan pendiriannya melalui pernyataan “seseorang harus dapat menjadi pembuat damai pun ketika pelaksanaan perang,” sedangkan kejahatan dalam perang merupakan sesuatu yang subjektif dan bergantung pada tingkah laku seseorang. e. Sebuah pertanyaan pokok, apa yang Agustinus ajarkan tentang partisipasi orang Kristen di dalam peperangan? Agustinus tidak melarang orang Kristen untuk berpastisipasi atau terlibat di dalam perang. Namun, orang Kristen harus mengasihi dan peduli, bahkan sikap atau pendirian tentang kasih itu pun masuk dalam medan perang. Mengutip pernyataan Robert Holmes, Santoni menyatakan karakteristik selanjutnya bahwa pemikiran Agustinus tentang perang mengarah tentang kekerasan dan keadilan manusia dalam hubungan dengan sebuah negara. Hal ini hendak mengatakan bahwa ia membenarkan adanya perang dalam bentuk yang ia samakan dengan membenarkan sebuah hukuman, atau dengan kata lain, tuntutan untuk menetapkan perang adalah sama seperti tuntutan untuk memberikan hukuman terhadap sebuah kesalahan. Dari pandangan ini, just war dipahaminya sebagai sebuah bentuk pemberian hukuman terhadap sebuah negara dan penguasanya ketika perilaku mereka serakah sehingga melanggar norma-norma dari keadilan.17 Santoni pun menyetujui bahwa dari hal inilah, Agustinus membawa sebuah perspektif yang baru tentang dapatkah dibenarkan untuk orang Kristen berpartisipasi dalam perang dan tanggapannya bahwa beberapa perang adalah adil jika diperlukan untuk menuntut kerugian kerugian dan mempertahankan keadilan.18 Santoni, “The Nurture of War….,84 Ibid., 85 17R.E. 18 18 Dari karakteristik ini, maka just war bagi Agustinus, diusahakan untuk menghukum perbuatan yang salah, mengatur kembali keseimbangan yang terganggu akibat ketidakadilan, dan memperbarui keadaan yang adil dan damai.19 3.2 Karakteristik Just War dalam Pemikiran Thomas Aquinas Mengambil hidup seorang manusia merupakan tindakan yang tidak diizinkan kecuali terdapat pembenaran khusus atau pengecualian. Just war memberikan pembenaran-pembenaran ini tetapi merupakan pembelaan khusus terhadap perang yang dianggap sebagai adil termasuk untuk mengatasi anggapan terhadap pembunuhan. Oleh karena itu, untuk sebuah perang yang dimaksud, terdapat 3 kondisi yang dibutuhkan, yakni otoritas yang sah, alasan adil dan tujuan benar, yang dijelaskan sebagai berikut.20 Pertama, Otoritas yang Sah Bagi Aquinas, otoritas penguasa mempunyai kemampuan untuk menyatakan perang. Individu secara pribadi mungkin tidak mengumumkan perang; karena ia dapat mempunyai jalan lain untuk menerima pertimbangan dari seseorang yang dianggap lebih mempunyai kemampuan dalam melindungi hak-haknya. Begitupun ia tidak mempunyai hak untuk mengerahkan orang-orang, ketika adanya kebutuhan untuk keputusan berperang. Tetapi ketika tanggung jawab untuk urusan publik dipercayakan pada penguasa, maka merekalah yang dibebankan dengan pembelaan terhadap kota, kalangan, atau provinsi, yang tunduk pada mereka…. Hal ini terkait dengan pernyataan Agustinus yang juga telah mengatakan dalam bukunya 19 Richard B. Miller, “Just War, Civic Virtue, and Democratic Social Criticism: Augustinian Reflection” dalam The Journal of Religion.Volume 89 Tahun 2009,15 20 William V. O’Brien. The Conduct of Just War….,16 19 Contra Faustum tentang kekuasaan dan keputusan untuk menyatakan perang yang harus terletak pada penguasa. Kedua, Alasan yang Adil Aquinas melanjutkan tanggapannya tentang perang yang adil: yaitu, membutuhkan sebuah alasan yang adil: bahwa penyerangan dilakukan karena beberapa kejahatan, sehingga hal itu pantas dilakukan. Hal ini dapat dikaitkan dengan pernyataan Agustinus: perang-perang yang secara umum didefinisikan sebagai adil adalah yang dilakukan sebagai sebuah pembelaan atau pembalasan terhadap beberapa kesalahan, ketika sebuah negara atau bangsa dihukum karena gagal untuk melakukan ganti rugi atas kesalahan yang dilakukan, atau mengembalikan apa yang diambil secara tidak adil.21 Pertahanan diri pada umumnya diterima sebagai hal yang adil. Pertahanan dari sebuah negara pun dilihat sebagai gambaran pokok pertahanan dari sebuah esensi intitusi sosial. Dalam hal ini terdapat anggapan yang sangat kuat terhadap hak pembelaan diri yang mensyaratkan kemungkinan berhasil dan kesebandingan.22 Dalam pemikiran dasar just war, sebuah perang untuk pembalasan keadilan merupakan perang yang berjuang untuk menentang kesalahan dan kejahatan (sebagai pokok masalah) dan bukan dari kebutuhan lain yang tidak dibenarkan dalam just war. Ketiga, Tujuan yang Benar Yang ketiga, terdapat tujuan yang benar mengenai berperang yakni tiap pencapaian yang diinginkan mempunyai maksud yang baik atau menghindari kejahatan. Pandangannya ini berdasarkan yang ditulis Agustinus dalam buku: De Verbis Domini: “Sebagai pengikut Tuhan yang benar, perang 21 22 ibid., 20 ibid., 21 20 tidak dijadikan untuk ketamakan atau kekejaman, tetapi dari keinginan untuk damai, untuk mencegah kejahatan dan membantu bertumbuhnya kebaikan. Jadi hal ini dapat terjadi ketika perang dinyatakan oleh otoritas yang sah dan terdapat alasan yang adil, meskipun demikian tetap merupakan keputusan tidak adil karena adanya tujuan yang jahat.23 4. Perkembangan Pemikiran Just War dalam Masa Kontemporer Salah satu pemikir just war komtemporer, James T. Johnson, menyatakan bahwa teori just war berkembang dengan batasan-batasan yang ditetapkan sesuai dengan pemahaman tentang perang yang adil, yang digunakan untuk menjalankan tujuan moral tertentu yang bersifat umum. Menurutnya, just war memberikan perhatian khusus pada isu moral yang membolehkan usaha perang dan bagaimana mengendalikan atau membatasi perang yang terjadi. Johnson pun percaya bahwa pemikiran just war dimulai dengan sebuah anggapan untuk menentang ketidakadilan yang terjadi.24 David Pratt pun menyatakan dalam tulisannya bahwa pemikiran just war dimulai dengan sebuah keputusan dari pihak berwenang dari masyarakat umum yang dianggap sah dan adanya pandangan untuk sebuah keadilan.25 Oleh karena itu, dengan menyetujui Agustinus dan Aquinas, menurutnya, ketentuanketentuan yang diberikan terkait just war merupakan hal penting yang berasal dari keputusan pihak yang berkuasa.26 23 ibid., 34. James T. Johnson. Just War Tradition and the Restraint of War, A Moral and Historical Inquiry (Amerika: Princeton University Press, 1984), 25 David Pratt, “From Just War Fictions to Virtues of Benevolence: Renovating the Just War Theory” dalam Louvain Studies. Volume 31 No. 3-4 Tahun 2006 26 ibid. 24 21 Terhadap kondisi atau syarat-syarat yang diberikan oleh Agustinus dan Aquinas untuk just war maka beberapa pemikir modern mengembangkan pemikirannya sebagai berikut. O’Brien tetap menerima kriteria yang telah dikembangkan sebelumnya oleh Agustinus dan Aquinas yaitu otoritas yang sah, alasan yang adil dan tujuan yang benar. Terkait dengan otoritas yang sah, ia menyatakan bahwa otoritas yang sah dalam abad 13 mungkin merupakan hal yang berbeda jika dibandingkan periode modern ini. Hal ini dikarenakan adanya desentralisasi sistem politik didalam kehidupan publik, pribadi dan adanya kekerasan kriminal yang terjadi dengan saling tumpang tindih, begitu pun dengan keadaan militer dan sains, yang mengizinkan perang-perang yang bersifat pribadi. Namun, menurutnya masih sangat penting untuk mengatakan bahwa perang harus dilaksanakan dalam perintah otoritas publik yang tepat untuk tujuan publik pula.27 Fransisco de Victoria, salah satu pemikir just war kontemporer juga beranggapan bahwa perang yang adil pun dapat diumumkan oleh sebuah kelompok bersama namun melalui pihak yang dianggap sah. Pembelaan tersebut pun untuk kebaikan umum dan dilakukan terhadap mereka yang telah melakukan kejahatan. Perang dilakukan terkhususnya oleh sebuah kelompok ketika sudah berada dalam keadaan yang sangat bahaya, sehingga pembelaan dapat dibutuhkan ketika merupakan sarana yang dapat dibenarkan dalam perang.28 O’Brien juga mengatakan bahwa dari tahun ke tahun, definisi yang singkat tentang just war dikembangkan dan diuraikan. Oleh karenanya, O’Brien menyajikan alasan yang adil, dalam 4 bagian umum:29 1. isi pokok dari alasan yang adil, 27 William V. O’Brien. The Conduct of Just War and Limited War….,17 James T. Johnson, Can Modern War be Just? (America: Company,1984),21 29 William V. O’Brien. The Conduct of Just War and Limited War…., 20 28 22 Murray Printing 2. bentuk lanjut dari adanya alasan yang adil, 3. keharusan proporsionalitas terhadap tujuan dan sarana, dan 4. keharusan usaha damai. Dengan mengutip pernyataan James F. Childres, O’Brien menyebut alasan yang adil sebagai pokok yang “serius dan penting” karena terdapat kewajiban seperti berikut: (1) Untuk melindungi orang yang tidak bersalah dari penyerangan yang tidak adil, (2) untuk menuntut hak-hak yang secara salah diambil, (3) untuk membangun kembali keadaan yang adil. Pokok ini sangat berkaitan dengan tujuan yang benar oleh para pimikir klasik. Bagi O’Brien, tujuan yang benar mensyaratkan bahwa pihak yang memutuskan untuk berperang harus mempunyai maksud pokok untuk perang yang adil dan kedamaian pada akhirnya. Tujuan ini membatasi adanya pernyataan alasan yang dianggap adil dari pihak yang memutuskan berperang.30 Bentuk yang mengikuti hal ini adalah bertahan dan menyerang sebagai keputusan untuk berperang.31 Secara umum, proporsionalitas atau kesebandingan antara tujuan dan sasaran yang adil, memberi perhatian pada hubungan antara kepentingan yang baik dan penggunaan peralatan perang sebagai sarana untuk mencapai hal yang penting ini. Konsep proporsionalitas dalam jus ad belllum berada pada kepentingan atau tujuan yang baik dari pihak yang berperang. Tujuan yang dimaksudkan didasarkan pada alasan adil yang harus penting dan baik untuk membenarkan pembelaan dengan penggunaan sarana kekerasan didalamnya.32 Johnson menyatakan gagasan proporsionalitas ini bermaksud memastikan bahwa kerusakan terhadap nilai-nilai manusia yang diakibatkan dari penggunaan kekuatan (bersenjata) yang akan digunakan setidaknya akan seimbang dengan 30 ibid., 34 ibid.,20 32 ibid. 31 23 banyaknya nilai yang dijaga dan dilindungi atau kebaikan yang diharapkan dari penggunaan kekuatan tersebut. 33 Proporsionalitas juga memperkirakan bahwa akibat bahaya yang akan ditimbulkan harus tidak lebih besar jika dibandingkan dengan kerugian yang diakibatkan penyerang (jika telah dilakukan penyerangan terlebih dahulu). 34 Oleh karena itu, hitungan proporsionalitas antara kemungkinan baik dan buruk dalam perang harus dibuat sebelum adanya keputusan untuk berperang. Menurut O’Brien, perhitungan ini pun harus dibuat dengan tetap menghargai pihak lain yang berperang dan pengaruh yang ditimbulkan.35 Selain itu, terdapat juga hal penting sebelum berperang yaitu proyeksi dari hasil perang mengharuskan adanya harapan akan kemungkinan baik yang menghasilkan keberhasilan, bukan untuk kemungkinan buruk yang akan akibatkan oleh perang. Kemungkinan berhasil ini merupakan bagian yang diperkirakan secara masuk akal dan bertanggung jawab. Hal ini sangat berkaitan dengan perhitungan proporsionalitas, karena melalui hitungan yang harus dibuat secara jelas tersebut akan dilakukan perkiraan yang realistis untuk kemungkinan keberhasilan. 36 Konsep kemungkinan keberhasilan ini kemudian dimasukan dalam bagian yang penting dari just war. Komponen terakhir yaitu perang harus digunakan hanya sebagai usaha akhir setelah dilakukan alternatif damai. 37 Hal ini pun sama dengan yang dinyatakan oleh Johnson bahwa penggunaan kekuatan harus sebagai jalan akhir James Turner Johnson, Can Modern War be Just …., 24 Roger Burggraeve dan Jo De Tavernier, “Radicalism and Realism of a Peace Ethic of Christian Inspiration in a World of Evil and Injustice” dalam Studying War-No More. Ed. Brien Wicker. Tahun 1993, 44 35 William V. O’Brien. The Conduct of Just War and Limited War...,27-28 36 ibid.,28 37 .ibid. 33 34 24 yang harus sesuai dengan tujuan dan pengendalian yang dibenarkan.38 Sebelum menggunakan kekuatan atau kekerasan, semua sarana non-kekerasan haruslah dilakukan seperti perundingan dan mediasi.39 Oleh karena itu, upaya berperang hanya dilakukan setelah gagalnya alternatif damai.40 Seperti penjelasan diatas, Amaladoss menyatakan bahwa dalam sebuah situasi ketika perang tidak dapat dihindari maka ditetapkan kondisi untuk menjaga batas-batas moral. Kondisi yang memungkinkan perang diantaranya dengan memperhatikan latar belakang keputusan untuk dilakukan perang, deklarasi perang oleh otoritas yang tepat, sebuah orientasi untuk tujuan damai, kurangnya keberhasilan melalui penggunaan alternatif kedamaian, penggunaan kekerasan yang sebanding dengan keinginan untuk damai dan adanya kemungkinan untuk keberhasilan. 41 Terhadap hal ini, sebelumnya just war digunakan terhadap perang yang terjadi antara negara atau bangsa. Namun, berkembang bahwa, pemikiran just war juga dapat diterapkan secara seimbang pula untuk perang antara kelompok.42 Pada perkembangan selanjutnya, para pemikir just war, memasukan jus in bello yang berarti keadilan dalam pelaksanaan perang. Jus in bello adalah komponen yang sangat diperlukan untuk matangnya teori just war, meskipun Aquinas hanya menyatakan apa yang ia pertimbangkan yakni, syarat jus ad bellum. Jus in bello yang muncul agak akhir dalam perkembangan doktrin just war ini, memuat dua dasar pembatasan dalam pelaksaan perang. Pertama yaitu prinsip sebanding/proporsi yang mensyaratkan kesebandingan sarana perang pada saat pelaksanaan perang sampai pada akhirnya. Prinsip yang lain yaitu 38 James Turner Johnson, Can Modern War be Just …., 29 Roger Burggraeve dan Jo De Tavernier, “Radicalism and Realism of a Peace Ethic …., 43 40 William V. O’Brien. The Conduct of Just War and Limited War...,,28 41 Michael Amaladoss, “A Just War?”…., 68 42 ibid.,70 39 25 diskriminasi, yang melarang penyerangan langsung dengan sengaja terhadap orang yang tidak ikut berperang. Dua kategori dalam jus in bello ini merupakan penafsiran yang berkembang di dalam tulisan-tulisan modern tentang just war.43 Proporsionalitas dalam jus in bello, melanjutkan prinsip yang sama dalam jus ad bellum, yaitu memperkirakan kebaikan dan kehancuran yang terjadi.44 Selain itu, juga berkaitan dengan penggunaan kekerasan atau sarana melalui taktik ataupun strategi dalam perang. Taktik yang dimaksudkan adalah kesebandingan sarana perang terhadap tujuan penggunaan kekerasan. Bagi O’Brien, perhitungan proporsionalitas terhadap penggunaan alat-alat perang ini merupakan pertimbangan yang masuk akal dan dapat diterima. Strategi yang dimaksudkan adalah adanya kesebandingan terhadap alasan adil untuk berperang. Kesebandingan sarana perang ini, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, merupakan hal untuk membandingkan kemungkinan baik dan buruk sehingga menghasilkan keberhasilan yang dilanjutkan dari proporsionalitas dalam jus ad belllum.45 Pemikiran para tokoh just war terhadap diskriminasi yaitu sebuah larangan serang secara langsung yang disengaja terhadap orang-orang yang tidak ikut berperang. Menurut Santoni, prinsip diskriminasi merupakan sumber kritis dalam pembatasan moral dan sah tentang perilaku berperang. Seperti yang ia kutip dari pandangan Tucker bahwa, terdapat hal penting dari pembatasan prinsip ini diantara kedua pihak yang berperang yaitu adanya pembatasan terhadap orang yang tidak berperang. Seorang teolog Spanyol yang juga dikenal sebagai pemikir just war modern, Francisco de Victoria, mengemukakan begitu kuat tentang karakter mutlak dari prinsip ini yang memberikan pembedaan 43 William V. O’Brien. The Conduct of Just War and Limited War...,,37 44 45 R.E. Santoni, “The Nurture of War, Just War Theory’s Contribution….,88 William V. O’Brien. The Conduct of Just War and Limited War...,,42 26 terhadap orang yang tidak berperang, sehingga terdapat pembatasan pembunuhan tentang orang yang tidak ikut berperang selama perang yang adil dilakukan.46 Kategori orang-orang yang dianggap sebagai orang yang tidak ikut berjuang antara lain yaitu anak-anak, perempuan, pendeta atau pemimpin agama, orang asing dan juga…. “ sisanya penduduk sipil yang cinta damai.47 Seperti yang telah dikemukakan oleh tokoh yang lain, O’Brien menyatakan, aspek yang mendasar dalam prinsip diskriminasi terletak dalam hubungan langsung terhadap pembenaran untuk membunuh dalam perang. Dalam perang, sasaran yang hanya dibolehkan dalam penyerangan langsung adalah lawan yang ikut berperang. Baginya, ini merupakan prinsip mutlak dalam just war dan berdasarkan pada moral tetap yang sangat penting. Dalam rumusan ini, membunuh orang-orang yang tidak berjuang dengan sengaja selalu merupakan sebuah kejahatan yang tidak dapat diterima. 48 Memahami akan prinsip ini pula, Fr. Richard McCormick mengatakan bahwa diskriminasi merupakan prinsip yang mendasar karena adalah tindakan yang immoral jika mengambil hidup manusia yang tidak bersalah kecuali adanya penguasaan yang bersifat ilahi. 49 Namun, terhadap hal ini, J.T. Johnson menyetujui pendapat Victoria yang mengakui bahwa orang yang tidak ikut dalam berperang mungkin juga terbunuh dalam perang tetapi hal ini tetap merupakan bagian dari just war. Hal ini dibolehkan hanya ketika ini merupakan akibat pelaksanaan perang dengan tujuan yang dianggap adil. Pendapatnya ini, dikaitkan dengan prinsip sebanding pada jus ad bellum yaitu, membandingkan kejahatan dan kebaikan 46 R.E. Santoni, “The Nurture of War, Just War Theory’s Contribution …., 88 James T. Johnson. Just War Tradition and the Restraint of War…., 200 48 William V. O’Brien. The Conduct of Just War and Limited War….,46 49 ibid. 47 27 yang diperoleh dalam perang bukan dikaitkan dengan perhitungan kerugian yang dialami. 50 5. Prinsip-Prinsip Just War Dari adanya pemikiran just war oleh Agustinus, maka teori ini berkembang dengan menawarkan dua prinsip seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya yaitu pembenaran dari usaha untuk berperang (jus ad bellum) di satu sisi dan maksud tindakan dalam berperang (jus in bello) di lain sisi. Kedua prinsip ini didasarkan pada usaha sebelum mengambil jalan berperang dan untuk tindakan dalam perang sedang dilakukan.51 Prinsip-prinsip ini juga tidak lain merupakan syarat moral yang mulai muncul dari pemikiran Agustinus hingga berkembang dengan dipengaruhi oleh pemikiran tokoh-tokoh kontemporer yang mempunyai tujuan untuk melengkapi pemikiran-pemikiran yang telah berkembang sebelumnya dan terangkum dalam prinsip-prinsip sebagai berikut. 5.1 Jus ad bellum Jus ad bellum merupakan kumpulan prinsip yang membenarkan pengambilan jalan untuk berperang, yang didalamnya terdapat enam prinsip, tiga prinsip pertama bersifat deontologis sedangkan tiga prinsip selanjutnya bersifat jaminan untuk konsekuensi yang terbaik. Prinsip-prinsip itu sebagai berikut. • Memiliki alasan yang adil Syarat pertama ini memperhatikan dengan jelas dan nyata adanya bahaya yang dihadapi oleh pihak yang akan memutuskan untuk 50 James T. Johnson. Just War Tradition and the Restraint of War…., 201-203 51 R.E. Santoni, “The Nurture of War, Just War Theory’s Contribution…., 88 28 berperang. Perang juga mungkin dilaksanakan karena telah dilakukan penyerangan terlebih dahulu terhadap pihak tersebut. Alasan yang dianggap adil ini mempunyai maksud untuk melindungi dan mempertahankan hidup orang-orang yang tidak bersalah, untuk menuntut hak yang secara salah telah diambil dengan tujuan memelihara keadaan dan nilai-nilai yang penting untuk keberadaan manusia yang layak. • Diusahakan oleh otoritas yang sah Keputusan untuk berperang harus dilakukan dengan otoritas yang sah walaupun itu merupakan sebuah deklarasi publik. Misalnya, diumumkan oleh pihak yang mempunyai tanggung jawab untuk mempertahankan kebaikan umum. Mereka ini yang dipercayai oleh umum untuk menyatakan pembolehan dalam penggunaan kekerasan atau mengadakan perang. • Memiliki tujuan yang benar. Tujuan yang benar untuk berjuang dalam perang timbul karena adanya sebab yang dianggap adil. Tujuan yang dimaksud yaitu mencapai perdamaian dengan menghindari tindakan destruktif yang dapat timbul. • Adanya proporsionalitas (kesebandingan) Tanggapan terhadap pernyataan untuk perang haruslah sebanding. Maksudnya, membandingkan pentingnya kebaikan yang dapat diperoleh melalui perang yang akan dilakukan dibandingkan dengan kejahatan yang kemungkinan besar akan terjadi. Dalam pengiraan 29 yang dilakukan, haruslah membandingkan semua kerusakan yang dialami dengan melakukan perhitungan kerugian. • Merupakan usaha akhir Perang diajukan untuk dilaksanakan setelah semua alternatif yang damai telah digunakan untuk mempertahankan keadaan dan nilai-nilai yang harus dilindungi. • Kemungkinan Keberhasilan Perang yang akan dilakukan bukan atas dasar yang tidak logis, diramalkan sia-sia dan tidak sebanding. Tetapi, diperkirakan berhasil dengan mencapai tujuan dari perang yang akan dilaksanakan atau dengan kata lain adanya kemungkinan keberhasilan dalam menyelesaikan kejahatan melalui perang. 5.2 Jus in bello • Proporsionalitas Keadilan dalam perang mensyaratkan pertama-tama melihat pada kesebandingan ketika perang berlangsung. Didalam perang digunakan alat-alat atau sarana perang. Penggunaaan alat-alat perang mempunyai tujuan untuk memperkecil kehancuran dan jumlah orang yang luka dan tewas dan yang digunakan harus tidak lebih besar dibandingkan dengan sasaran perang. Penggunaan sarana perang harus sesuai dengan tujuan dan maksud dari perang dilakukan. • Diskriminasi Yang kedua dalam jus in bello ini mensyaratkan adanya perbedaan terhadap orang yang tidak ikut berperang. Perbedaan ini dilakukan 30 dengan perlindungan terhadap warga sipil dan orang yang tidak ikut berperang.52 6. Tujuan Just War Duncan Forrester menyatakan bahwa teori Just War diuraikan berdasarkan kecenderungan orang Kristen untuk melawan kekerasan dengan memiliki tujuan untuk pendamaian melalui penetapan dan pengendalian kekerasan atau dapat dikatakan sebagai model alternatif resolusi konflik.53 Dari prinsip-prinsip just war yang dikembangkan, Miller menyatakan bahwa just war memberikan sebuah kerangka moral tidak hanya yang dapat digunakan untuk pemimpin politik dan pekerja militer tetapi juga untuk tanggung jawab warga penduduk kota dalam kehidupan umum. Prinsip-prinsip ini memungkinkan penduduk kota untuk mempertanyakan penyebab perang, otoritas, tujuan, waktu dan resiko, dan dapat memikirkan tentang metode perang yang layak atau sebaliknya yang tidak tepat. Oleh karena itu, penduduk negara maupun kota mempunyai tonggak dalam just war sepanjang mereka memiliki bagian dalam kekuasaan yang bersifat umum dan adanya kebutuhan terhadap moral sosial yang berkaitan dengan masalah masyarakat umum.54 Berkaitan dengan sebuah negara, maka just war yang digerakan oleh prinsipprinsipnya, memberikan norma-norma yang menilai kebijakan politis dan tindakan perang. 55 Selain itu, melalui teori ini, diusahakan untuk dapat memahami bagaimana perang dan penggunaan peralatan didalamnya dapat 52 ibid., 90 James Turner Johnson, Can Modern War be Just….,159 54 Richard B. Miller, “Just War, Civic Virtue, and Democratic Social Criticism…., 2 55 ibid.,6 53 31 dikendalikan dan diarahkan kepada tujuan untuk terciptanya perdamaian dan keadilan. Secara umum, prinsip-prinsip dalam just war membuka pemikiran tentang moralitas dan perang. Paling tidak, hal ini mewakili cara berpikir kita terkhususnya pertanyaan-pertanyaan yang harus diajukan tentang kemungkinan menggunakan kekuatan (bersenjata) untuk melindungi nilai-nilai yang dianggap penting. 7. Kesimpulan Pada awal perkembangannya, just war ini lebih bersifat teologis, yang ketika itu penerimaan teologis terhadapnya, ditunjukan sebagai dasar untuk pengajaran gereja tentang perang. Di dalam perkembangan kemudian, teori ini dipadukan dengan pemikiran yang bersifat filosofis. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa just war merupakan hukum dasar yang secara esensial didalam perkembangannya dipengaruhi oleh perspektif teolog Kristen pada satu sisi dan hukum yang bersifat normatif pada sisi lain. Agustinus disebutkan oleh banyak ahli sebagai tokoh awal yang mengembangkan tentang just war. Namun sayangnya, ia tidak mencoba untuk menjawab semua kemungkinan pertanyaan dan meninggalkan banyak kekurangan-kekurangan yang menganga dalam pengajarannya tentang perang. Karena ia pun tidak menguraikannya secara luas seperti yang ia lakukan terhadap pokok pikirannya yang lain. Terlepas dari hal ini, inti dari pemikirannya yaitu bahwa penggunaan kekuatan dibenarkan dalam tanggapannya terhadap sebuah keluhan demi keadilan sipil dan dilakukan ketika diumumkan secara sah oleh otoritas yang tepat. Agustinus ketika itu pun belum merumuskan prinsip-prinsip 32 yang sistematis dari pemikirannya tentang just war ini. Perumusan yang jelas ini disusun kemudian oleh Thomas Aquinas dengan memberikan 3 kriteria yaitu sebab yang adil, dinyatakan oleh otoritas yang sah dan adanya tujuan yang benar. Namun, jika dihubungkan antara keriteria yang diberikan oleh Aquinas dengan pemikiran Agustinus, maka dapat dilihat bahwa ketiga kriteria yang dimunculkan oleh Aquinas merupakan lanjutan persetujuannya terhadap pemikiran yang dikembangkan oleh Agustinus. Otoritas yang sah, alasan yang dianggap adil dan termasuk tujuan yang benar telah dikembangkan oleh Agustinus sebelumnya, walaupun tidak ditulisnya secara sistematis, sehingga dipahami bahwa Agustinus mengembangkan hanya pada dua kriteria. Pemikirannya tentang tujuan yang benar yang diikuti oleh Aquinas dapat terlihat dalam tulisannya pada De Verbis Domini, yakni keinginan untuk kedamaian. Diikuti dengan perkembangannya pada masa kini, para pemikir just war kelihatan setuju dalam mengikuti syarat atau keadaan untuk sebuah keadilan dari pengambilan jalan untuk perang,56 seperti yang telah dijelaskan oleh para pemikir klasik, Agustinus dan Aquinas. Tetapi tidak hanya berhenti pada tiga kriteria yang diberikan, para pemikir kontemporer ini memberikan kriteria-kriteria yang lainnya dalam menyepakati tentang just war, yang disebut prinsip-prinsip just war. Sesuai dengan prinsip-prinsip just war, sebelum dan didalam perang pun, terdapat norma-norma etik tertentu yang harus diperhatikan. Prinsip-prinsip yang dilengkapi oleh para pemikir kontemporer antara lain yaitu proporsionalitas (sebanding), usaha akhir dan kemungkinan keberhasilan yang dimasukan bersama tiga prinsip yang telah dikembangkan sebelumnya, kemudian diikuti dua prinsip yakni proporsionalitas dan diskriminasi sebagai prinsip ketika perang dilakukan. 56 R.E. Santoni, “The Nurture of War, Just War Theory’s Contribution….,86 33 Oleh karena itu, prinsip-prinsip ini merupakan upaya untuk membedakan caracara yang dapat dibenarkan dengan yang tidak dapat dibenarkan dalam perang yang dianggap adil. Melihat pada prinsip yang dikembangkan oleh para pemikir kontemporer, maka ada beberapa prinsip yang yang berhubungan dengan pemikir klasik. Prinsip yang pertama yakni, usaha akhir, sesungguhnya telah dikemukakan sebelumnya oleh Agustinus dalam pernyataannya bahwa ia meratapi tentang adanya perang, namun baginya perang dibolehkan ketika dalam keadaan terpaksa. Prinsip kedua yang berhubungan yakni proporsionalitas yang sebelumnya telah dikatakan oleh Agustinus bahwa perang dilakukan atas dasar ketidakadilan yang telah dilakukan oleh para penyerang, membutuhkan penggunaan kekerasan pula untuk tidak membiarkan kejahatan terus dilakukan oleh penyerang. Kemungkinan berhasil dan kesebandingan/proporsionalitas dalam jus ad bellum, yang dimasukkan dalam prinsip-prinsip just war oleh para pemikir kontemporer ternyata juga merupakan bagian pemikiran yang telah Agustinus paparkan dalam pentingnya sebuah alasan yang dianggap adil untuk berperang. Dari beberapa hal ini, maka pemikiran para tokoh kontemporer merupakan perkembangan dari pemikiran para tokoh klasik, walaupun terdapat juga perkembangan yang berbeda dengan sebelumnya, yaitu dalam tulisan Agustinus, just war diterapakannya dalam sebuah negara, sedangkan dalam pemikiran kontemporer, just war pun dapat diterapkan dalam perang antarkelompok dengan memenuhi prinsip-prinsip yang ada. Berkembang dari pandangan Agustinus yang dilanjutkan dengan prinsipprinsip yang dirumuskan oleh tokoh-tokoh yang kemudian ini, just war secara mendasar mencenderungkan manusia untuk mempertimbangkan dan memikirkan 34 martabat individu dan hak-haknya dalam negara maupun dalam kelompok masyarakat ketika menghadapi situasi perang.57 Hal ini mewujud dalam prinsip just war seperti pada upaya bagaimana kekerasan dan kekuatan dapat dikendalikan dan pada akhirnya ditujukan pada upaya untuk menciptakan perdamaian dan keadilan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kepedulian dari just war adalah perlindungan terhadap orang-orang yang tidak bersalah, penyusunan aturan-aturan yang dapat membatasi jatuhnya korban terkait pelaksanaan perang di dalam batas-batas yang ditetapkan tersebut. 57 Richard B. Miller, “Just War, Civic Virtue, and Democratic Social Criticism…., 6 35