Identitas Militer Dalam Bahasa Slang Pada Komunitas Kadet Akademi Angkatan Laut Di Surabaya Oleh: Brigita Galih R.A. (071015022) - C Email: [email protected] ABSTRAK Penelitian ini membahas tentang identitas militer dalam bahasa slang yang digunakan komunitas kadet Akademi Angkatan Laut (AAL) di Surabaya, yakni dengan melakukan wawancara dan observasi. Komunitas kadet menggunakan bahasa slang di dalam kehidupan sehari-hari mereka sebagai ciri khas kelompok, walaupun seharusnya tidak diperkenankan menggunakan bahasa lain selain bahasa Indonesia di lingkungan akademi. Berdasarkan hasil analisis, didapatkan bahwa bahasa slang muncul karena adanya interaksi, sehingga komunitas kadet menciptakan bahasanya sendiri. Bahasa slang tidak hanya menjadi bahasa pergaulan sehari-hari, namun bahasa slang digunakan untuk menemukan rasa informalitas didalam kehidupan yang serba formal dan kaku. Selain itu, dengan bahasa slang justru semakin menguatkan identitas dan eksistensi dari komunitas kadet AAL, karena bahasa slang dapat menjadi pantulan dari identitas militer mereka. Kata Kunci: Identitas, Bahasa Slang, Identitas Militer, Kadet PENDAHULUAN Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana identitas militer dipantulkan dalam peggunaan bahasa slang pada komunitas Kadet Akademi Angkatan Laut (AAL) di Surabaya. Akademi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut atau disingkat AAL adalah lembaga pendidikan dlingkungan TNI AL, dimana tempat bagi pemuda Indonesia yang telah memilih untuk mengabdi kepada nusa dan bangsa yang bersedia ditugaskan dan berkarir menjadi perwira TNI. Para siswa AAL akan menempuh pendidikan selama 4 tahun sebagai Kadet dengan Kualifikasi Khusus (Korps), diantaranya adalah korps pelaut, teknik, elektronika, suplai, dan marinir. “Kadet” adalah sebutan bagi siswa atau Taruna AAL. Penelitian ini dilakukan karena bahasa merupakan salah satu identitas bagi setiap individu. Oleh karena itu,bahasa pun bisa digunakan oleh kelompok tertentu untuk memperlihatkan identitas mereka. Dengan mendengar kata atau istilah yang dipakai atau melihat slogan oleh suatu kelompok, seseorang dapat secara cepat mengetahui bahwa bahasa tersebut merupakan bagian dari suatu kelompok tertentu. Sehingga penulis tertarik untuk meneliti bahasa sebagai identitas kelompok. 411 COMMONLINE DEPARTEMEN KOMUNIKASI| VOL. 4/ NO. 1 Terkait penggunaan bahasa yang dipakai oleh kadet Akademi Angkatan Laut, ditemukan kosakata bahasa slang dalam komunitas mereka dimana penggunaan bahasa slang ini digunakan untuk berkomunikasi antar anggota kelompok kadet dan tidak untuk konsumsi kelompok diluar komunitas kadet. Penggunaan bahasa slang dalam komunitas kadet, berbeda dengan penggunaan bahasa militer pada masa Orde Baru. Pada masa Orde Baru, militer ikut andil dalam menduduki kursi pemerintahan. Sehingga militer memiliki suatu kekuasaan dan peranan penting dalam pemerintahan. Termasuk peranan dalam penggunaan bahasa, yang pada masa itu bahasa baku wajib digunakan dan yang biasa disebut Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Benny (2004) mengatakan bahwa bahasa baku digunakan sebagai alat kepentingan kekuasaan yang dianggap sebagai kunci keberhasilan pembangunan Orde Baru. Oleh sebab itu, militer erat dikaitkan dengan formalitas dan penggunaan bahasa baku. Namun bahasa yang digunakan militer pada Orde Baru telah bergeser dengan adanya bahasa slang. Bahasa slang justru muncul didalam komunitas militer sendiri yaitu komunitas kadet AAL, yang pada masa Orde Baru hampir tidak ada upaya pemberontakan dari militer. Adanya pergeseran bahasa ini, menjadikan penelitian ini menarik untuk melihat bagaimana komunitas kadet sebagai kelompok berbasis militer menggunakan bahasa slang sebagai pantulan dari identitas militer. Masyarakat pada umumnya hanya mengetahui bahwa kadet adalah seorang siswa yang sedang menempuh pendidikan militer. Namun kadet tidak hanya sekumpulan siswa yang sedang ditempa didalam akademi militer. Pada dasarnya karena manusia adalah makhluk sosial, walau didalam area akademi yang tertutup dari dunia luar, mendorong kesadaran bersama akan keanggotaan untuk saling berinteraksi sehingga terbentuknya sebuah kelompok atau komunitas. Dari terbentuknya komunitas dan interaksi yang terus menerus, dengan sendirinya bahasa slang muncul dalam interaksi tersebut. Komunitas kadet AAL diteliti karena komunitas ini bukan kelompok minoritas yang tersingkir di masyarakat, namun komunitas kadet justru merupakan bagian dari kelompok militer yang menonjol di masyarakat. Menurut Mastuti (2008), penggunaan bahasa slang biasanya ditemukan dalam kelompok marginal atau kelompok yang dikucilkan masyarakat seperti 412 COMMONLINE DEPARTEMEN KOMUNIKASI| VOL. 4/ NO. 1 kelompok waria, gay, anak alay, anak punk, dan semacamnya. Dimana bahasa ini dianggap sebagai sarana komunikasi untuk menyampaikan hal-hal yang dianggap rahasia dan tertutup. Berdasar pengertian yang umum kelompok militer bisa berarti angkatan bersenjata yang biasanya terdiri dari serdadu atau tentara. Dalam pengertian yang lebih khusus dapat diartikan sebagai kelompok yang terkemuka di bidang persenjataan dan perang, yang memegang kekuasaan dalam hal mempertahankan negara. Sehingga bisa menempati kedudukan tertentu dalam masyarakat. Karena dilatih untuk selalu siap, militer dibina dalam lingkungan yang keras. Seperti yang disebutkan Abdoel (2005), TNI sebagai pasukan siap perang, mendidik pasukannya dalam kondisi tertekan dan keras, agar menghasilkan militer yang tegas dan profesional dalam tugas. Menurut Hans (2006), pada periode awal kekuasaan Orde Baru, Bahasa Indonesia formal atau baku ditempatkan sebagai instrumen kebijakan kebudayaan Orde Baru menuju ketertiban yang mampu menyumbang kesuksesan pada pembangunan Orde Baru. Pada masa ini, secara jelas bahasa ditempatkan sebagai instrumen ketertiban. Dengan penertiban bahasa diyakini bahwa cara berpikir, bersikap, dan bertindak akan menjadi tertib dan seragam. Adanya penertiban bahasa maka akan lebih mudah untuk mengendalikan tindakantindakan yang mungkin dihasilkan sejalan dengan kepentingan kekuasaan Orde Baru. Untuk menghasilkan tindakan yang diharapkan, partai politik, ormas, dan militer menjadi alat penyokong pada masa Orde Baru. Militer yang pada saat itu juga menduduki posisi penting dalam politik membuatnya menjadi salah satu bagian yang erat dengan formalitas bahasa. (Muridan, 2004) Militer memiliki kekuasaan dan kedudukan penting dalam peranan politik Orde Baru. Kekuasaan yang ada pada badan militer, menunjukkan bahwa militer juga mampu berperan tidak hanya dalam institusi negara namun juga dalam penggunaan bahasa formal dan pembentukan bahasa baru. Daniel Dhakidae (2003) dalam bukunya yang berjudul Cendekiawan dan Kekuasaan menyebutkan bahwa bahasa menghasilkan kekuasaan dan kekuasaan juga menunjukkan kemampuan produktifnya dengan menghasilkan bahasa baru. Sehingga militer yang termasuk golongan memiliki kekuasaan dan menempati kedudukan dalam masyarakat, dianggap dapat menghasilkan bahasa baru termasuk penggunaan bahasa baku. Contohnya 413 COMMONLINE DEPARTEMEN KOMUNIKASI| VOL. 4/ NO. 1 penyingkatan nama lembaga atau sebutan pemimpin, sebutan ini merupakan istilah yang dibuat oleh militer sendiri. Karena militer memiliki peran penting di politik kala itu, penertiban bahasa dengan cara pembakuan bahasa masuk dan melekat pada militer. Bahasa yang formal menjadi suatu keharusan yang ada dalam militer, karena sesuai dengan tujuan pada masa Orde Baru yaitu untuk menyeragamkan cara berpikir, bersikap dan bertindak. Sehingga bahasa formal secara langsung menjadi identitas yang melekat di kalangan militer. Menurut buku Persuskad (Peraturan Kusus Kadet, 2006) penggunaan formalitas bahasa tersebut kini masih erat digunakan secara formal dalam militer. Penggunaan bahasa formal masih dijalankan dalam kehdiupan sehari-hari di komunitas Kadet AAL. Kadet merupakan calon perwira yang nantinya memiliki pangkat lebih tinggi daripada siswa yang mengemban pendidikan militer lainnya yaitu dari kelas bintara dan tamtama, dan mereka memiliki jabatan dikalangan masyarakat. Oleh sebab itu, dengan terbiasanya menggunakan bahasa formal akan ia akan terkesan lebih bersahaja. Terbentuknya sebuah komunitas terjadi karena adanya suatu perasaan dan ikatan antara individu yang satu dengan yang lainnya, ikatan ini biasa disebut dengan perasaan dalam kelompok atau “in group.” Menurut Soerjono (2007) kelompok sosial merupakan di mana individu mengidentifikasikan dirinya. Sifat-sifat in group pada umumnya didasarkan pada faktor simpati, selalu mempunyai perasaan dekat dengan anggota-anggota kelompok dan mempunyai pola tingkah laku bertindak berpikir yang seragam. Didalam in group ada hubungan dimana tiaptiap individu anggota kelompok menanamkan rasa kesetiaan dan solidaritas antar individu. Terkait in group komunitas kadet, bahasa slang digunakan dalam percakapan antar anggotanya, karena bahasa slang yang timbul ini dianggap bisa mengatasi suasana militer yang formal dan kaku, sehingga diharapkan dengan menggunakan bahasa slang bisa membaurkan antar anggota walaupun dalam kondisi yang formal dan kaku. Oleh karena itu bahasa slang yang digunakan oleh mereka hanya dipahami oleh komunitas kadet (in group) dan bersifat rahasia, sehingga tidak ada orang diluar komunitas kadet (out group) yang menggunakan bahasa yang telah menjadi bagian dari kehidupan mereka sehari-hari. 414 COMMONLINE DEPARTEMEN KOMUNIKASI| VOL. 4/ NO. 1 Beberapa kosakata banyak mengalami penyimpangan makna serta menjadi sesuatu yang tabu ketika dilihat dari realita yang ada terkait kekakuan bahasa militer yang pakem pada bahasabahasa baku. Sehingga ragam bahasa yang terjadi atas kesepakatan kelompok dalam pembentukan bahasa slang dalam wilayah akademi militer bisa menjadi menarik untuk diteliti. PEMBAHASAN Pada umumnya komunitas kadet AAL menggunakan bahasa yang sama dengan bahasa sosial lainnya yaitu penggunaan bahasa Indonesia. Hal ini dikarenakan Akademi AAL merupakan institusi yang nantinya menciptakan calon angkatan yang bekerja untuk negara sehingga bahasa Indonesia sebagai bahasa negara selalu digunakan. Karena militer mempunyai dan menyimpan informasi yang bersifat rahasia, bahasa isyarat atau phonetic pun juga digunakan, agar tidak tersebarnya informasi penting kepada pihak yang salah. Selain Bahasa Indonesia dan bahasa isyarat, bahasa prokem (bahasa slang) juga digunakan dalam lingkungan militer. Bahasa prokem yang digunakan berfungsi sebagai bahasa penghubung secara tidak resmi dikalangan militer saja, sehingga bahasa tersebut dapat menciptakan suatu hubungan emosional yang baik antar anggota didalam lingkungan militer. Bahasa prokem yang digunakan merupakan bahasa yang digunakan sehari-hari untuk menciptakan suasana yang harmonis dan lebih bersifat kekeluargaan. Berdasar kondisi serta waktu-waktu non formal komunitas kadet AAL menggunakan bahasa khusus (bahasa slang) untuk berkomunikasi. hal ini dijelaskan oleh Egistya Pranda: “Seorang perwira mempunyai strandar operasional memang harus menggunakan bahasa formal. Bahasa slang ada waktunya, waktu-waktu tertentu kapan kita menggunakan bahasa slang. Dan ini merupakan ciri khas kita. Untuk penggunaan bahasa slang itu sendiri kita biasanya menggunakan dengan satu tim, dan untuk-adik-adik junior.” (Pranda, 2 November 2013) Berdasar hasil wawancara dengan Egis dapat disimpulkan bahwa seorang kadet sebenarnya memahami bahwa mereka adalah anggota militer yang seharusnya menggunakan bahasa yang baku pada komunikasi sehari-hari, namun penggunaan bahasa non baku (bahasa slang) sering pula digunakan untuk mengantisipasi situasi yang kaku dalam berkomunikasi. 415 COMMONLINE DEPARTEMEN KOMUNIKASI| VOL. 4/ NO. 1 Bahasa slang terlebih dulu digunakan di Amerika. Salah satu penggunanya adalah orangorang militer di Amerika. Bahasa slang juga digunakan oleh pasukan Amerika, sebagai sandi dan bagian dari percakapan. Bahasa slang memberi kemudahan pada saat berkomunikasi dan memberikan situasi nyamanbagi penggunanya. Pasukan Amerika yang bertugas di Iraq dalam satuan tugas “Operation Iraqi Freedom” menggunakan bahasa slang untuk berkomunikasi dengan sesama pasukan Amerika lainnya. Pada saat penempatan tugas tersebut, para tentara ini menemukan kosakata baru yang digunakan sebagai istilah dan memasukannya dalam daftar bahasa slang mereka. Dalam website (globalsecurity.org/) pada artikel yang berjudul ‘Slang from Operation Iraqi Freedom’ disebutkan contoh bahasa slang pada perang Iraq adalah sebagai berikut: 1. Angel : Prajurit yang gagal atau tewas dalam pertempurandarat. 2. FallenAngel : Prajurit yang gagal dalam perang; Prajurit gugur saat pertempuran udara. 3. FUBAR (Fouled Up Beyond All Recognition/Repair) : Sesuatu yang sudah hancur dan tak bisa dikenali. 4. Haji : Sebutan orang Amerika untuk orang Irak atau keturunan Arab, termasuk orang berkulit coklat seperti orang Bangladesh, Iran. 5. Haji mart : Toko kelontong milik orang Iraq yang menjual barang-barang keperluan kepada orang Amerika. 6. Sandbox : Sebutan untuk Irak atau area padang pasir. Kosakata dalam bahasa slang tersebut tidak hanya diambil dari istilah-istilah bahasa Inggris saja. Salah satu kata yang digunakan oleh pasukan Amerika tersebut, mengambil salah satu kata dari bahasa Jerman. Singkatan kata “FUBAR” yang bisa dimaknai hancur, sama dengan kata “furchtbar” dalam bahasa Jerman yang berarti mengerikan. Sedangkan penggunaan bahasa slang di dalam militer Indonesia pada awalnya merupakan sebuah bahasa khusus yang digunakan para gerilyawan untuk mengatur perlawanan terhadap musuh. Bahasa slang yang digunakan di dalam militer Indonesia awalnya terbentuk dari bahasa Indonesia, maupun bahasa daerah. Salah satu dari penggunaan bahasa slang dalam militer di 416 COMMONLINE DEPARTEMEN KOMUNIKASI| VOL. 4/ NO. 1 Indonesia adalah digunakannya “osob kawilan” atau bahasa terbalik yang digunakan para gerilyawan perang di Malang (Prayogi, 2007). Contoh dari bahasa terbalik ini adalah sebagai berikut: “arudam” berarti Madura; “ayabarus” berarti Surabaya; “ketam” berarti matek atau mati. Bahasa slang ini terus berkembang dan akhirnya kini menjadi salah satu ciri khas dari kota Malang. Contoh penggunaan bahasa slang yang menggunakan bahasa Indonesia adalah kata “macan” dan “kaleng”. Kedua kata ini telah memiliki arti yang berbeda dari makna sebenarnya. Dalam arti yang umum macan diartikan sebagai seekor hewan buas dan kaleng sebagai wadah yang terbuat dari baja dan timah. Pada penggunaan bahasa slang, kata “macan” berarti menakutkan dan kata “kaleng” merupakan sebuah lencana jabatan yang terbuat dari logam. Walau menggunakan bahasa Indonesia, namun telah terjadi penyelewengan makna, oleh sebab itu bahasa ini dapat diartikan sebagai bahasa slang karena telah memiliki arti yang berbeda. Terkait perkembangannya, bahasa slang yang dipakai oleh kadet AAL tidak hanya berasal dari bahasa Indonesia atau bahasa Jawa saja, tetapi juga terdapat unsur serapan dari bahasa lainnya. Salah satunya mengambil beberapa kata dari bahasa Inggris. Kata “style” bisa diartikan dengan gaya, tetapi kadet mengartikannya sebagai sesuatu bagus; memiliki selera yang bagus; gaya yang trendy. Kata “iger” diambil dari bahasa Inggris “trigger” yang berarti pelatuk pistol, diartikan sebagai akan datangnya sebuah letusan atau ledakan, dalam hal ini letusan artinya adalah senior yang marah dan bisa pula diartikan menakutkan. Bahasa digunakan sebagai pembentukan identitas kelompok. Identitas ini diharapkan dapat dijadikan sebagai representasi. Identitas sosial ditentukan oleh kategori diri sendiri atau orang lain. Kategori ini memang ditentukan oleh perilaku individu atas kehendak masyarakat. Selain itu, pilihan varian linguistik juga berperan penting dalam membentuk identitas. Bahasa juga berperan dalam pembentukan identitas militer. Jae-Jung (2007) mengatkan bahwa dengan penggunaan bahasa yang khas, seperti pemberian simbol, penyingkatan, dan penggunaan istilah, militer diakui memiliki kedudukannya sendiri didalam masyarakat. Militer membentuk identitas sosialnya dengan ciri khas militer seperti yang mereka ingin tampilkan kepada masyarakat. Contohnya seperti kekompakan dan kedisiplinan yang selalu ditonjolkan. 417 COMMONLINE DEPARTEMEN KOMUNIKASI| VOL. 4/ NO. 1 Identitas militer juga merupakan salah satu bentuk upaya untuk membangun dan menciptakan jiwa militer yaitu jiwa korsa, rasa satu sepenangguan dan saling bahu membantu. Setelah berkelompok, dan mencari suatu kebanggaan bersama, sehingga akhirnya melahirkan suatu kebanggan akan identitas kelompok sosial tersebut. Sehingga memunculkan rasa kebanggaan atas kebersamaan antar anggota dalam instansi militer (Volker, 1999). Identitas militer ini tentunya dibangun karena anggota antar kelompok saling berinteraksi dan saling mempengaruhi satu sama lain, sehingga mereka menciptakan dan mendapatkan suatu identitas sosial bersama-sama (Johnson, 2006). Identitas kelompok biasanya terbentuk melalui sebuah konflik sosial. Konflik ini juga melibatkan konflik linguistik. Konflik linguistik yang dimaksud adalah penggunaan label-label identitas diberikan untuk kelompok sendiri maupun untuk kelompok lain (Soerjono, 2007). Akhirnya terbentuknya kelompok dalam (in group) dan kelompok luar (out group). Contohnya kadet senior menyebut kadet junior menggunakan istilah “sisun” yang berarti adik, sedangkan kadet junior menyebut kadet senior menggunakan istilah “mentor” yang berarti kakak asuh. Membahas identitas dan militer, perlu dipahami apa arti militer itu sendiri. “Militer adalah kekuatan angkatan perang dari suatu negara yang diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan” (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2004). Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah badan militer yang berfungsi sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia. TNI telah diatur oleh negara sebagaimana tertulis dan dirumuskan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2004. TNI adalah badan militer yang ditanggung penuh oleh negara, dan menjadi garis depan negara. “TNI merupakan milik nasional yang berjuang untuk kepentingan seluruh bangsa” (Abdoel, 2005). Abdoel (2005) mengatakan bahwa militer merupakan unit sosial yang punya otonomi dan kemandirian dalam urusan internal, tradisi, dan kebiasaan, yang membedakannya dengan unit sosial lain dalam masyarakat. Militer memiliki tradisi dalam penggunaan bahasa yang tentunya berbeda dengan organisasi lainnya, tradisi ini menumbuhkan l’esprit de corps atau jiwa korsa didalam diri tentara. Pengartian ini dikuatkan oleh hasil wawancara dengan Egis ketika ditanya terkait fungsi bahasa slang bagi kadet AAL: 418 COMMONLINE DEPARTEMEN KOMUNIKASI| VOL. 4/ NO. 1 “Bahasa slang ini kan terpentingnya di akademi ini ya, jadi kadang kita perlu penggambaran gimana untuk kata-kata formal Indonesia kurang mampu mendeskripsikan keinginan kita. jadi kita menggunakan katakata slang ini untuk menyimbolkan sesuatu. Dampaknya mungkin akan mengeluarkan kata-kata yang banyak tidak simple, contohnya kata coro, coro itu kalau dibahasa indonesiakan artinya malas ditambah elek-elek’an ditambah tidak mau tahu. Kalau kita menggunakan kata coro jadinya kan lebih simpel dan lebih khas dibanding kita menggunakan bahasa indonesia sehari-hari yang sepertinya kurang menggambarkan secara tepat.” (Pranda, 2 November 2013) Menurut narasumber, Bahasa Indonesia tidak dapat mendeskripsikan apa yang diinginkan, sehingga bahasa baru muncul untuk membuat kosa kata lebih singkat dan jelas seperti apa yang diinginkan. Jika ditinjau dari maknanya, kata “coro” merupakan kata yang umum digunakan untuk menyebut hewan kecoa, namun ada pergeseran makna dari arti kata coro sendiri yang akhirnya menjadi sebutan untuk kadet pemalas. Sehingga bukan berarti bahwa jika bahasa slang digunakan, maka akan meninggalkan bahasa Indonesia sepenuhnya. Bahasa slang tidak digunakan sepenuhnya, istilah slang ini disisipkan dalam kalimat, sehingga bahasa slang bukanlah bentuk dari kalimat penuh. Terjadinya pergerseran makna dari bahasa Indonesia, bukan berarti bahasa Indonesia tergeser posisinya sebagai bahasa utama. Bahasa baku tetaplah digunakan, karena menurut Gravin dan Mathint (dalam Chaer, 2002) menyebutkan bahwa bahasa baku bersifat sosial politik, yaitu fungsi pemersatu, fungsi pemisah, fungsi harga diri, dan fungsi kerangka acuan, yang bisa berarti bahasa baku dapat dimengerti siapa saja. “Dengan menggunakan bahasa formal, pasti semua orang tentunya akan mengerti dan paham. Sifatnya lebih tegas dan digunakan pada senior kita, kepada pengasuh kita dan kepada orang lain.” (Keulana, Oktober 2013) Walau kadet pun menggunakan bahasa slang, tetapi kadet sebisa mungkin untuk menggunakan bahasa formal baik dalam lingkungan akademi maupun non akademi. Fungsinya agar orang lain paham dengan apa yang diucapkan. Namun jika dilihat pada kenyataannya, bahasa slang justru dilanggengkan dan terus diturunkan untuk menghilangkan suasana militer yang formal. Hal ini tentunya bertolak belakang dengan keadaan dimana pada saat Orde Baru, militer kental dengan formalitas dan penggunaan bahasa baku. Walaupun penggunaan bahasa Indonesia baik dan benar tidak benar-benar dihilangkan dalam komunitas kadet AAL. Bahasa slang yang digunakan di AAL tak lepas dari terbawanya bahasa tersebut oleh pendiri-pendiri AAL dan diturunkan kesetiap generasinya, bahkan setiap generasi selalu ada 419 COMMONLINE DEPARTEMEN KOMUNIKASI| VOL. 4/ NO. 1 penambahan kosakata-kosakata baru. Setiap angkatan memiliki penambahan bahasa, tanpa mengurangi bahasa yang sudah ada dan itu akan diturunkan kepada angkatan berikutnya. Bahasa turunan ini juga menjadi ciri khas Akademi Angkatan Laut karena pasti akan berbeda dengan akademi atau komunitas lainnya.Kata-kata slang yang baru mereka dapatkan dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa slang yang muncul dalam komunitas kadet umumnya adalah bahasa yang diturunkan dari senior. “Bahasa slang itu sendiri, tumbuh dan berkembang di lingkungan di TNI Angkatan Laut, jadi diturunkan dari senior secara turun menurun, dan mungkin setiap pertemuan yang mempunyai khas tersendiri, akan menciptakan bahasa baru, dan mungkin akan diturunkan, ke berikutnya.” (Pranda, 2 Oktober 2013) Penggunaan bahasa pun hanya dimengerti dan digunakan dalam komunitas kadet TNI AL saja, untuk orang awam menurut mereka agaknya kurang pas digunakan. Hal ini diperkuat dengan hasil wawancara dengan salah satu kadet yang bernama Septian Wahyudi: “Kalau digunakan diluar akademi, menurut saya aneh, bahasa slang yang kami gunakan disini itu gak lazim. Maksud saya itu, makna dari bahasa yang diluar bukan seperti yang kami maksud jadi apabila orang lain yang menggunakan bahasa ini saya rasa ini aneh. Karena yang tahu hanya orang taruna dan ada hubungannya dengan taruna.” (Wahyudi, 3 November 2013) Berdasar hasil wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa penggunaan bahasa slang yang digunakan pada komunitas kadet memang disengaja digunakan oleh suatu komunitas kadet saja, dan tidak ada tujuan untuk digunakan pada masyarakat diluar komunitas. Komunitas Kadet memiliki istilah atau kata-kata yang mereka buat sendiri. Kosakata-kosakata tersebut muncul dan membentuk sebuah istilah-istilah yang hanya mereka pahami bersama. Istilah-istilah tersebut memiliki pengertian khusus yang hanya mereka gunakan didalam ranah komunitas mereka. Mengabadikan daftar bahasa slang dalam sebuah kamus, merupakan salah satu cara untuk mengembangkan dan mengingat bahasa slang. Istilah 420 Arti Alutsiksa Benda yang digunakan untuk menghukum Coro Sebutan kadet pemalas COMMONLINE DEPARTEMEN KOMUNIKASI| VOL. 4/ NO. 1 Dril Tindakan yang diberi hitungan atau dipaksa Kaleng Lencana jabatan kadet yang terbuat dari logam Kecelakaan Teguran atau kesalahan Kucing Kelebihan berat badan Macan Menakutkan Ngerid Mencuri Permak Sebutan untuk memperbaiki sikap Tekel Melindungi Yanus Sebutan untuk kegiatan ekstrakulikuler Tabel 1. Istilah Slang Yang Digunakan Komunitas Kadet Penggunaan bahasa slang kadet AAL banyak mengalami perkembangan dan perubahan makna dari makna bahasa Indonesia pada umumnya sesuai dengan kebutuhan kadet itu sendiri. Bahasa slang tidak digunakan dalam satu kalimat penuh tetapi hanya kata-kata yang sisipkan saja. Bahasa ini juga merupakan hasil pengembangan dari kata yang sudah ada, plesetan kata yang sudah ada,dan istilah atau kata baru yang sengaja diciptakan. “Makna pada dasarnya tidak stabil dan terus-menerus terpeleset.” (Barker, 2006:178). Dimana pada contoh ini makna terus diplesetkan dan ditambahkan atau dilengkapi oleh makna kata lain. Adoel (2005) mengatakan bahwa ragam bahasa militer dikenal dengan cirinya yang ringkas dan bersifat tegas dengan berbeagai singkatan dan akronim. Seringkali orang yang diluar militer akan sukar untuk memahami bahasa tersebut. Penggunaan bahasa slang dalam komunitas kadet yang digunakan menunjukkan perbedaan dalam pemilihan diksi yang tidak biasa, diksi- 421 COMMONLINE DEPARTEMEN KOMUNIKASI| VOL. 4/ NO. 1 diksi tersebut dipilih dengan ciri khas militer yang tentu saja masyarakat awam atau masyarakat biasa tidak mengetahuinya. Sedangkan jika bahasa slang digunakan oleh orang yang bukan anggota dari komunitas kadet, dianggap tidak pantas karena beberapa kata yang digunakan adalah kata yang kasar. Karena bahasa slang ini dibuat dan dipahami hanya oleh kadet sebagai anggota komunitas yang mayoritasnya laki-laki dan dalam lingkungan yang serba keras, perempuan pun dirasa tidak pantas untuk menggunakan bahasa ini. Hal ini disebutkan oleh narasumber: “Kalau menurut saya bahasa slang ini muncul untuk digunakan komunitas saja, bukan untuk dikonsumsi oleh masyarakat luar. Masyarakat awam juga tidak akan tahu maksud dari komunikasi kita Karena menurut saya, bahasa ini agak kasar. Bahasa laki-laki, karena disini lakilaki semua. Kalau ada perempuan yang pakai rasanya tidak pantas.” (Gumilar, 3 Oktober 2013) Selain dapat diartikan berbeda,kalimat tersebut dapat menimbulkan kesalahpahaman jika dikatakan kepada orang di luar komunitas. Dari perbedaan penggunaan kosakata yang berbeda, terlihat bahwa kadet tinggal didalam lingkungan yang berbeda, dimana lingkungan tersebut didominasi oleh laki-laki. Dimana laki-laki akan lebih menggunakan bahasa-bahasa yang terus terang dan mungkin kasar, sehingga menggunakan nama hewan sebagai pengganti kata “malas” dengan julukan “coro.” Pease (1993:3) “Laki-laki dan perempuan berbeda karena mereka hidup dalam dunia yang berbeda, dengan nilai dan peraturan yang sangat berbeda. Perbedaan ini juga ditemukan dalam hal bahasa. Seringnya laki-laki akan lebih tegas dalam bertutur, sedangkan perempuan dinilai lebih lembut dan halus.” Maka jika perempuan menggunakan bahasa slang yang digunakan kadet AAL, dirasa kurang pantas karena kadet AAL adalah seorang tentara yang kehidupannya keras, kasar, dan tegas sehingga penggunaan bahasa slang dianggap terlalu kasar dan tidak layak untuk digunakan oleh sembarang orang dan termasuk perempua Terkait bahasa baru yang awalnya digunakan untuk mengurangi suasana formal dengan mengganti bahasa Indonesia yang kurang mampu mengekspresikan makna. Walau dengan adanya perubahan makna dalam bahasa Indonesia, maka penggu bahasa slang tidak mninggalkan bahasa Indonesia sepenuhnya. Dengan bahasa slang semakin menguatkan eksistensi dan ekslusifitas komunitas. 422 COMMONLINE DEPARTEMEN KOMUNIKASI| VOL. 4/ NO. 1 Ekslusifitas kelompok ini terbentuk karena adanya suatu perasaan dan ikatan antara individu yang satu dengan yang lainnya, ikatan ini biasa disebut dengan perasaan dalam kelompok. Bahasa slang bisa dijadikan salah satu alat untuk mengakrabkan komunikasi dalam kelompok dan meningkatkan solidaritas. ”The importance of language in establishing social identity is also shown in the case of slang. One way to characterize slang is as special kinds of “intimate” or in-group speech. Slang is a kind of jargon marked by its rejection of formal rules, its comparative freshness and its common ephermerality, and its marked use to claim solidarity.” (B. Spolsky, 1998:35) Bahasa khusus yang digunakan di dalam in group dapat membentuk identitas, karena praktik penggunaan bahasa berkaitan erat dengan pembentukan personal. Adanya identitas yang melekat di komunitas dengan praktik penggunaan bahasa slang, muncul nilai ekslusifitas dengan bagaimana kelompok memandang dan menganggap diri sendiri sebagai sosok yang terbaik sehingga cenderung untuk menganggap remeh kelompok atau orang lain, termasuk dalam penggunaan bahasa. Tajfel (dalam Slamet, 2006) mengatakan bahwa identitas sosial juga berkaitan dengan keterlibatan, rasa peduli dan juga rasa bangga dari keanggotaan dalam suatu kelompok tertentu. Ada sisi ekslusifitas pada penggunaan istilah slang, yang mana awalnya penggunaan bahasa slang ini adalah untuk mengatasi situasi formal justru malah melanggengkan keberadaan bahasa slang tersebut. Bahasa formal yang dianggap tidak dapat menggambarkan ekspresi yang diinginkan, akhirnya membuat komunitas ini menciptakan bahasanya sendiri. Karena bahasa yang diciptakan berpengaruh dari lingkungannya, komunitas kadet menciptakan istilah-istilah yang menurut mereka pantas untuk dipakai di lingkungan komunitas mereka saja. “Identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan, tentang aspek personal dan sosial. Tentang kesamaan anda dengan sejumlah orang dan apa yang membedakan anda dari orang lain.” (Weeks, dalam Barker, 2006:172). Sehingga komunitas kadet menggunakan bahasa sebagai identitas pembeda komunitas mereka dengan komunitas lainnya. 423 COMMONLINE DEPARTEMEN KOMUNIKASI| VOL. 4/ NO. 1 KESIMPULAN Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang membahas tentang identitas militer dalam bahasa slang yang digunakan kadet AAL, yakni bagaimana bahasa slang sebagai pantulan dari identitas komunitas. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa bahasa slang digunakan sebagai bahasa pergaulan didalam keseharian kadet di Akademi Angkatan Laut. Bahasa slang merupakan bentuk penyelewengan kata dari bahasa Indonesia dan merupakan bahasa baru yang diciptakan sendiri oleh kadet. Dari penggunaan bahasa slang ini, tentunya ada makna yang ingin disampaikan komunitas kadet, sehingga bahasa slang menjadi sebuah cerminan identitas militer. Fungsi dari penggunaan bahasa slang ini adalah; untuk mengukuhkan eksistensi komunitas, ekslusifitas kelompok, sebagai solidaritas sesama kadet, untuk hiburan, identitas dan ekspresi diri, serta pembeda dari kelompok lainnya. Ada identitas militer yang tercermin contohnya dari fungsi penggunaan labelling dalam bahasa slang yang tentunya berbeda pada era Orde Baru. Penggunaan labelling atau julukan untuk kadet digunakan untuk memotivasi dan menyemangati jika ada kadet yang mendapat julukan buruk. Sehingga labelling disini tidak digunakan untuk memojokkan dan mengucilkan kadet itu sendiri. Dari penggunaan labelling ini tercermin identitas militer kadet yang peduli akan rekannya dan saling mengingatkan satu sama lain, sehingga mencerminkan komunitas militer yang kompak. Bahasa slang digunakan secara turun temurun, sehingga warisan bahasa ini dapat terlihat sebagai cerminan dari tradisi komunitas. Hal ini menandakan bahwa bawaan tradisi yang kuat merupakan salah satu dari identitas militer dalam komunitas kadet AAL. Lalu, ada pula pembentukan identitas dalam penggunaan bahasa slang di dalam in group komunitas kadet AAL. Contohnya kadet junior tidak menggunakan bahasa slang kepada kadet senior karena ada aturan berbahasa yang masih berlaku. Hal ini menandakan bahwa meskipun dalam satu komunitas, terdapat kekuasaan dan status yang lebih tinggi antara sesama kadet. Dari hal ini mencerminkan identitas militer yang taat dan memegang teguh pada hirarki. 424 COMMONLINE DEPARTEMEN KOMUNIKASI| VOL. 4/ NO. 1 Bahasa slang kadet adalah bahasa yang maskulin. Memiliki sisi maskulinitas karena latar belakang militer yang keras dan serba tertib dan karena dominasi laki-laki sebagai penggunanya. Identitas militer yang ditonjolkan melalui bahasa slang adalah kadet sebagai laki-laki lebih tegas dalam berbicara dan lebih lugas. Sehingga bahasa slang kadet mencerminkan identitas militer yang keras, disiplin, tegas, dan kuat. DAFTAR PUSTAKA Abdoel, Fattah. 2005. Demiliterisasi Tentara: Pasang Surut Politik Militer 1945-2004. Yogyakarta : LKiS Yogyakarta Alwi, H., Hans, L. , Anton M. , Soenjono, D. 2006. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Benny H. , Muridan S. Widjojo , Mashudi S. 2004. Bahasa Negara Versus Bahasa Gerakan Mahasiswa. Jakarta: LIPI Press. Barker, Chris. 2006. Cultural Studies: Teori & Praktik. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Daniel, Dhakidae. 2003. Cendekiawan Dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru. Jakarta: PT. Ikrar Mandiri. Icuk Prayogi (2008). Proses Pembentukan Slang Malang http://www.ejurnal.com/2014/04/proses-pembentukan-slang-malang.html (diakses pada tanggal 5 Oktober 2014) Jae-Jung Suh (2007). Power, Interest, and Identity in Military Alliances. http://en.bookfi.org/book/1123082 (Diakses tanggal 29 Januari 2015) Johnson, D.W. & Johnson, F.P. (2000). Joining Together:Group Theory and Group Skill. Seventh edition. Boston:Ally & Bacon. Mastuti Indah, 2008. Bahasa Baku vs Bahasa Gaul. Jakarta: Highfest Publishing. Pease, Allan 1993, Bahasa Tubuh, Bagaimana Membaca Pikiran Seseorang Melalui Gerak Isyarat. Jakarta. PT. Gramedia Peraturan Khusus Kadet. 2006. Dinas Penerangan TNI-AL Slamet, Samtoso. 2006. Dinamika kelompok; kelompok sosial. Jakarta: Bumi Aksara. Soerjono, Soekanto 2007. Sosiologi suatu pengantar. Jakarta: P.T.Raja Grafindo. Spolsky, Bernard. 1998. Sociolinguistics.Oxford: Oxford University Press Volker Franke. (1999). Preparing for peace: Military identity, value orientation, and professional military education. http://en.bookfi.org/book/1036731 (Diakses tanggal 29 Januari 2015) 425 COMMONLINE DEPARTEMEN KOMUNIKASI| VOL. 4/ NO. 1