PENTINGNYA GERAKAN KOLABORATIF-MUTUALISTIK: MEWUJUDKAN MAHASISWA UIN SGD BANDUNG SEBAGAI AGEN PERUBAHAN SOSIAL Oleh: Dr. H. Dindin Jamaluddin, M. Ag Dosen FTK dan Ketua LPMUIN SGD Bandung Disampaikan pada Pelatihan Kepemimpinan Mahasiswa Tingkat Lanjut DEMA UIN SGD Bandung Dunia Kita Kini Saya ingin memulainya dari persoalan modernisme dan post modernisme yang kini menjadi bagian kehidupan manusia. Sebagai pengingat tentang posisi kita sebagai mahasiswa yang hidup di jaman ini. Tentu saja harus ada peran besar yang dilakukan, sebagai implementasi dari nilai: Khoirunnâs ‘anfauhum linnâs. Meminjam istilah dialektika Hegel, modernisme merupakan anti-tesa dari zaman pra modern. Pun demikian, post modernisme adalah anti-tesa dari modernisme. Secara epistemologis, modernisme dibangun oleh filsafat Rasionalisme-Cartesianisme (Rene Descartes). Sementara paradigma teori modernisasi lebih banyak didominasi oleh pemikiran fungsionalisme struktural dengan pemikiran behaviorisme kultural Parsonian. Secara historis, modernisme lahir sejak abad 18, dimulai dari Rene Descartes menyatakan Cogito Er go Sum (Aku berpikir maka Aku ada). Sejak itu lah kesadaran manusia modern terbentuk. Manusia didorong untuk berpikir agar eksis. Humanisme dan individualisme berkembang. Manusia menjadi pusat, sains dan teknologi pun dikembangkan. Di awal abad 20-an, modernisme semakin memiliki pijakan. Setidaknya ada tiga faktor yang mendorong menguatnya gagasan modernisme. Pertama, setelah munculnya Amerika Serikat sebagai negara adikuasa dunia. Pada tahun 1950-an Amerika Serikat menjadi pemimpin dunia sejak pelaksanaan Marshall Plan yang diperlukan membangun kembali Eropa Barat setelah Perang Dunia Kedua. Kedua, pada saat yang sama terjadi perluasan komunisme di seantero jagad. Uni Soviet memperluas pengaruh politiknya sampai di Eropa Timur dan Asia, antara lain di Cina dan Korea. Hal ini mendorong Amerika Serikat untuk berusaha memperluas pengaruh politiknya selain Eropa Barat, sebagai salah satu usaha membendung penyuburan ideologi komunisme. Ketiga, lahirnya negara-negara baru di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, yang sebelumnya merupakan wilayah koloni negara-negara Eropa dan Amerika. Negara-negara tersebut mencari model-model pembangunan yang bisa digunakan sebagai contoh untuk membangun ekonominya dan mencapai kemerdekaan politiknya. Dalam situasi dunia seperti ini bisa dipahami jika elit politik Amerika Serikat memberikan dorongan dan fasilitas bagi ilmuwan untuk mempelajari permasalahan Dunia Ketiga. Kebijakan ini diperlukan sebagai langkah awal untuk membantu membangun ekonomi dan kestabilan politik Dunia Ketiga, seraya untuk menghindari kemungkinan jatuhnya negara baru tersebut ke pangkuan Uni Soviet. 1 Ciri dari modernisme antara lain: 1. Berpikir dengan logika oposisi biner (benar-salah). Tidak ada ruang dialogis bagi yang dinilai salah. Pemilik kebenaran adalah mereka yang umumnya berkuasa; 2. Sains adalah satu satunya sumber kebenaran, agama adalah milik kaum tertindas, manusia di era pra- modern; 3. Alam adalah objek yang dapat dieksploitasi. Demikian pula, manusia dari negara dunia ketiga sah untuk dieksploitasi. Sebagaimana modernisme yang menggugat kehidupan zaman kegelapan dominasi Gereja, maka post modernisme pun mulai bangkit sejak awal abad 20. Ibarat pendulum balik, ketika modernisme mulai mengembangkan sayapnya ke seluruh penjuru dunia, pada saat yang bersamaan kesadaran anti universalitas mulai bermunculan. Postmodernisme mempunyai karakter fragmentatif, tidak menentukan, ketidakpercayaan terhadap semua hal universal. Sebagaimana ditekankan oleh salah satu tokoh pendukungnya, yaitu Paul Feyerabend, everything goes, anti metode dan dominasi. Menurut Feyerabend, tidak ada metode dominan, semuanya boleh, sains, agama atau pun metode lainnya dapat dipergunakan sejauh itu memiliki nilai dan manfaat. Ada beberapa gugatan postmodernisme bagi modernisme yaitu: 1. Alam bukan objek eksploitasi, demikian pula masyarakat dari negara ketiga 2. Tidak ada kebenaran mutlak, universal, semua metode dibolehkan 3. Agama dibutuhkan manusia, demikian pula sains. Sains jangan sampai berkembang destruktif Tentu saja gagasan postmodernisme masih terus berkembang, demikian pula, gagasan modernisme masih sama-sama berkembang. Filosof dan cerdikcendikia lah yang terus berdebat sekaligus mencoba merumuskan seperti apa wajah peradaban manusia saat ini dan masa depan. Para nabi pemikiran masih terus berdialog, berdialektika untuk menemukan sintesis atas tesis dan antitesis pemikiran dan fakta kehidupan yang terus berubah dengan cepatnya. Setelah menjelaskan dunia dan zaman yang kini tengah terjadi, mari bersama menengok diri kita dalam perannya sebagai mahasiswa. Kenapa, karena mahasiswa adalah kelas menengah, memiliki peran besar untuk melakukan perubahan sosial. Perubahan Sosial dan Organisasi Heraclitus, filosof Yunani, pernah menyatakan bahwa yang tetap adalah perubahan itu sendiri. Berbeda dengan pemahaman Quraish Shihab, bahwa dalam Islam, bukan hanya perubahan yang pasti tetap, iman juga jangan sampai berubah-ubah. Tapi, pertanyaan retorisnya adalah will chance come for twice? Secara umum, dalam ilmu sosiologi, perubahan sosial dapat dilihat dari 3 sisi: 1. Perubahan sosial sebagai bentuk evolusi (Herbert Spenser dan August Comte; optimisme) 2 2. Perubahan sosial sebagai bentuk “siklus” (Oswald Spengler: pesemisme) 3. Perubahan sosial dalam teori fungsional (Talcott Parson; Adaptasi, pencapaian, integrasi dan pemeliharaan pola) Apabila merujuk pada Ilmu Manajemen Perubahan (Change Management), perubahan sebuah organisasi setidaknya harus melalui beberapa tahapan agar berhasil dengan baik. Maha Guru Change Management John P Kotter dalam bukunya: Leading Change; An Action Plan From The World’s Foremost Expert on Business Leadership, mengingatkan bahwa ada delapan tahap dalam strategi perubahan yang harus dilalui dengan baik dan tak terputus. Kedelapan tahap itu adalah ; (1) Menciptakan rasa kemendesakan; (2). Membentuk koalisi pendukung perubahan; (3). Membuat visi dan strategi perubahan tersebut; (4). Mengkomunikasikan visi perubahan itu; (5). Memberdayakan anggota untuk melakukan tindakan perubahan; (6). Mencapai kemenangan jangka pendek; (7). Mengkonsolidasikan hasil perubahan yang telah dicapai dan melanjutkan perubahan-perubahan berikutnya; (8). Mengokohkan pendekatan baru yang telah dicapai ke dalam budaya organisasi. Kolaboratif-Mutualistik Menurut pandangan saya, secara garis besar pandangan perubahan selalu dihadaphadapkan: given atau taken, buttom up atau top down, struktural atau kultural, reformasi atau revolusi. Akan tetapi, mesti disadari bersama bahwa selalu ada ruang kosong diantara dua kubu yang diametral, itulah yang saya sebut perubahan dalam bentuk kolaboratifmutualistik. Apa sebab, karena kompleksitas kehidupan dunia dewasa ini tidak dapat dicarikan solusinya hanya melalui satu perspektif. Ideologi dunia sudah menjadi semu menuju trans-ideologi. Kompleksitas itu bertambah jika kita berada dalam lingkup organisasi. Karena di dalam organisasi berkumpul beragam karakter, bermacam pola pikir, dan heterogennya banyak hal untuk mencapai tujuan organisasi. Karenanya, dibutuhkan pola kepemimpinan yang dapat diterima oleh semua kalangan. Kepemimpinan yang tidak selalu melihat dari mana dan siapa. Akan tetapi, “apa” yang dibawa serta kemampuan dan kemauan mengejawantahkannya. Dimana beberapa faktor utamanya adalah; 1. 2. 3. 4. Kepercayaan Optimisme Konsistensi Kewajaran Sikap kolaboratif-mutalistik adalah mampu dengan jujur melihat kelebihan dan kekurangan orang lain. Tidak melulu mengedepankan ego, kemudian memarkir eksistensi orang lain. Menegasikan peran para “kurcaci” di lapangan, menganggap ide jauh lebih “mahal” dibandingkan modal tenaga. Kemudian melupakan dimensi masa lalu hanya untuk kepentingan masa depan. Jika sikap kolaboratif-mutalistik dapat mewujud dalam setiap pribadi tokoh mahasiswa UIN SGD Bandung. Maka perubahan secara massif hanya tinggal menunggu waktu. Mahasiswa UIN SGD Bandung, adalah bagian dari perubahan itu sendiri. Apalagi dalam konteks dunia global yang semakin sempit ini. Sulit kita untuk “tiada” dalam produk kemajuan teknologi informasi dewasa ini. Satu sama lain harus saling mengenal. Jika tidak, yang terjadi adalah terbuang dari zaman. Pilihan untuk menjadi bagian dari perubahan tentu 3 bukan lotere atau untung-untungan. Secara filosofis, langkah itu merupakan produk dari berfikir logis dan akuntabel. Seperti piramida, dasar piramida adalah maksimum. Maka kita lihat secara kasat mata bahwa mahasiswa UIN SGD Bandung pada level ini adalah mayoritas. Semua berhak masuk dan menjadi bagian dari civitas akademika. Semakin tinggi tentu saja semakin mengecil, apalagi untuk mencapi top organisasi. Untuk pencapaian tersebut, menurut saya ada beberapa faktor: 1. 2. 3. 4. Niat yang tulus ikhlas Buah dari pergulatan logika dan nurani Ketahanan fisik dan non fisik Kolektivitas kolegial Empat faktor tersebut dapat ditransformasikan ke dalam kehidupan yang lebih nyata di masyarakat. Mahasiswa UIN SGD Bandung memiliki branding yang berbeda dengan kampus lain. Untuk dewasa ini, mau tidak mau branding yang kita miliki harus memiliki daya tawar dalam dunia global. Untuk mewujudkan bagian dari perubahan sosial. Paling tidak mahasisawa UIN SGD Bandung penting memiliki empat kompetensi minimal; 1. 2. 3. 4. Penguasaan Bahasa Inggris dan Arab Kemampuan ilmiah-akademik Penguasaan teknologi informasi Keluasan net-working Permata Biru, 080214 Wallahu ‘alam bi al-Shawwab Wassalam. 4