DEMA 2014

advertisement
PENTINGNYA GERAKAN KOLABORATIF-MUTUALISTIK:
MEWUJUDKAN MAHASISWA UIN SGD BANDUNG SEBAGAI AGEN PERUBAHAN SOSIAL
Oleh: Dr. H. Dindin Jamaluddin, M. Ag
Dosen FTK dan Ketua LPMUIN SGD Bandung
Disampaikan pada Pelatihan Kepemimpinan Mahasiswa Tingkat Lanjut
DEMA UIN SGD Bandung
Dunia Kita Kini
Saya ingin memulainya dari persoalan modernisme dan post modernisme yang kini menjadi
bagian kehidupan manusia. Sebagai pengingat tentang posisi kita sebagai mahasiswa yang
hidup di jaman ini. Tentu saja harus ada peran besar yang dilakukan, sebagai implementasi
dari nilai: Khoirunnâs ‘anfauhum linnâs.
Meminjam istilah dialektika Hegel, modernisme merupakan anti-tesa dari zaman pra
modern. Pun demikian, post modernisme adalah anti-tesa dari modernisme. Secara
epistemologis, modernisme dibangun oleh filsafat Rasionalisme-Cartesianisme (Rene
Descartes). Sementara paradigma teori modernisasi lebih banyak didominasi oleh
pemikiran fungsionalisme struktural dengan pemikiran behaviorisme kultural Parsonian.
Secara historis, modernisme lahir sejak abad 18, dimulai dari Rene Descartes menyatakan
Cogito Er go Sum (Aku berpikir maka Aku ada). Sejak itu lah kesadaran manusia modern
terbentuk. Manusia didorong untuk berpikir agar eksis. Humanisme dan individualisme
berkembang. Manusia menjadi pusat, sains dan teknologi pun dikembangkan.
Di awal abad 20-an, modernisme semakin memiliki pijakan. Setidaknya ada tiga faktor yang
mendorong menguatnya gagasan modernisme. Pertama, setelah munculnya Amerika Serikat
sebagai negara adikuasa dunia. Pada tahun 1950-an Amerika Serikat menjadi pemimpin
dunia sejak pelaksanaan Marshall Plan yang diperlukan membangun kembali Eropa Barat
setelah Perang Dunia Kedua.
Kedua, pada saat yang sama terjadi perluasan komunisme di seantero jagad. Uni Soviet
memperluas pengaruh politiknya sampai di Eropa Timur dan Asia, antara lain di Cina dan
Korea. Hal ini mendorong Amerika Serikat untuk berusaha memperluas pengaruh
politiknya selain Eropa Barat, sebagai salah satu usaha membendung penyuburan ideologi
komunisme.
Ketiga, lahirnya negara-negara baru di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, yang sebelumnya
merupakan wilayah koloni negara-negara Eropa dan Amerika. Negara-negara tersebut
mencari model-model pembangunan yang bisa digunakan sebagai contoh untuk
membangun ekonominya dan mencapai kemerdekaan politiknya. Dalam situasi dunia
seperti ini bisa dipahami jika elit politik Amerika Serikat memberikan dorongan dan fasilitas
bagi ilmuwan untuk mempelajari permasalahan Dunia Ketiga. Kebijakan ini diperlukan
sebagai langkah awal untuk membantu membangun ekonomi dan kestabilan politik Dunia
Ketiga, seraya untuk menghindari kemungkinan jatuhnya negara baru tersebut ke pangkuan
Uni Soviet.
1
Ciri dari modernisme antara lain:
1. Berpikir dengan logika oposisi biner (benar-salah). Tidak ada ruang dialogis bagi
yang dinilai salah. Pemilik kebenaran adalah mereka yang umumnya berkuasa;
2. Sains adalah satu satunya sumber kebenaran, agama adalah milik kaum tertindas,
manusia di era pra- modern;
3. Alam adalah objek yang dapat dieksploitasi. Demikian pula, manusia dari negara
dunia ketiga sah untuk dieksploitasi.
Sebagaimana modernisme yang menggugat kehidupan zaman kegelapan dominasi Gereja,
maka post modernisme pun mulai bangkit sejak awal abad 20. Ibarat pendulum balik,
ketika modernisme mulai mengembangkan sayapnya ke seluruh penjuru dunia, pada saat
yang bersamaan kesadaran anti universalitas mulai bermunculan.
Postmodernisme mempunyai karakter fragmentatif, tidak menentukan, ketidakpercayaan
terhadap semua hal universal. Sebagaimana ditekankan oleh salah satu tokoh
pendukungnya, yaitu Paul Feyerabend, everything goes, anti metode dan dominasi. Menurut
Feyerabend, tidak ada metode dominan, semuanya boleh, sains, agama atau pun metode
lainnya dapat dipergunakan sejauh itu memiliki nilai dan manfaat.
Ada beberapa gugatan postmodernisme bagi modernisme yaitu:
1. Alam bukan objek eksploitasi, demikian pula masyarakat dari negara ketiga
2. Tidak ada kebenaran mutlak, universal, semua metode dibolehkan
3. Agama dibutuhkan manusia, demikian pula sains. Sains jangan sampai berkembang
destruktif
Tentu saja gagasan postmodernisme masih terus berkembang, demikian pula, gagasan
modernisme masih sama-sama berkembang. Filosof dan cerdikcendikia lah yang terus
berdebat sekaligus mencoba merumuskan seperti apa wajah peradaban manusia saat ini dan
masa depan. Para nabi pemikiran masih terus berdialog, berdialektika untuk menemukan
sintesis atas tesis dan antitesis pemikiran dan fakta kehidupan yang terus berubah dengan
cepatnya.
Setelah menjelaskan dunia dan zaman yang kini tengah terjadi, mari bersama menengok diri
kita dalam perannya sebagai mahasiswa. Kenapa, karena mahasiswa adalah kelas menengah,
memiliki peran besar untuk melakukan perubahan sosial.
Perubahan Sosial dan Organisasi
Heraclitus, filosof Yunani, pernah menyatakan bahwa yang tetap adalah perubahan itu
sendiri. Berbeda dengan pemahaman Quraish Shihab, bahwa dalam Islam, bukan hanya
perubahan yang pasti tetap, iman juga jangan sampai berubah-ubah. Tapi, pertanyaan
retorisnya adalah will chance come for twice?
Secara umum, dalam ilmu sosiologi, perubahan sosial dapat dilihat dari 3 sisi:
1. Perubahan sosial sebagai bentuk evolusi (Herbert Spenser dan August Comte;
optimisme)
2
2. Perubahan sosial sebagai bentuk “siklus” (Oswald Spengler: pesemisme)
3. Perubahan sosial dalam teori fungsional (Talcott Parson; Adaptasi, pencapaian,
integrasi dan pemeliharaan pola)
Apabila merujuk pada Ilmu Manajemen Perubahan (Change Management), perubahan
sebuah organisasi setidaknya harus melalui beberapa tahapan agar berhasil dengan baik.
Maha Guru Change Management John P Kotter dalam bukunya: Leading Change; An Action
Plan From The World’s Foremost Expert on Business Leadership, mengingatkan bahwa ada
delapan tahap dalam strategi perubahan yang harus dilalui dengan baik dan tak terputus.
Kedelapan tahap itu adalah ; (1) Menciptakan rasa kemendesakan; (2). Membentuk koalisi
pendukung perubahan; (3). Membuat visi dan strategi perubahan tersebut; (4).
Mengkomunikasikan visi perubahan itu; (5). Memberdayakan anggota untuk melakukan
tindakan perubahan; (6). Mencapai kemenangan jangka pendek; (7). Mengkonsolidasikan
hasil perubahan yang telah dicapai dan melanjutkan perubahan-perubahan berikutnya; (8).
Mengokohkan pendekatan baru yang telah dicapai ke dalam budaya organisasi.
Kolaboratif-Mutualistik
Menurut pandangan saya, secara garis besar pandangan perubahan selalu dihadaphadapkan: given atau taken, buttom up atau top down, struktural atau kultural, reformasi atau
revolusi. Akan tetapi, mesti disadari bersama bahwa selalu ada ruang kosong diantara dua
kubu yang diametral, itulah yang saya sebut perubahan dalam bentuk kolaboratifmutualistik. Apa sebab, karena kompleksitas kehidupan dunia dewasa ini tidak dapat
dicarikan solusinya hanya melalui satu perspektif. Ideologi dunia sudah menjadi semu
menuju trans-ideologi.
Kompleksitas itu bertambah jika kita berada dalam lingkup organisasi. Karena di dalam
organisasi berkumpul beragam karakter, bermacam pola pikir, dan heterogennya banyak hal
untuk mencapai tujuan organisasi. Karenanya, dibutuhkan pola kepemimpinan yang dapat
diterima oleh semua kalangan. Kepemimpinan yang tidak selalu melihat dari mana dan
siapa. Akan tetapi, “apa” yang dibawa serta kemampuan dan kemauan
mengejawantahkannya. Dimana beberapa faktor utamanya adalah;
1.
2.
3.
4.
Kepercayaan
Optimisme
Konsistensi
Kewajaran
Sikap kolaboratif-mutalistik adalah mampu dengan jujur melihat kelebihan dan kekurangan
orang lain. Tidak melulu mengedepankan ego, kemudian memarkir eksistensi orang lain.
Menegasikan peran para “kurcaci” di lapangan, menganggap ide jauh lebih “mahal”
dibandingkan modal tenaga. Kemudian melupakan dimensi masa lalu hanya untuk
kepentingan masa depan. Jika sikap kolaboratif-mutalistik dapat mewujud dalam setiap
pribadi tokoh mahasiswa UIN SGD Bandung. Maka perubahan secara massif hanya tinggal
menunggu waktu.
Mahasiswa UIN SGD Bandung, adalah bagian dari perubahan itu sendiri. Apalagi dalam
konteks dunia global yang semakin sempit ini. Sulit kita untuk “tiada” dalam produk
kemajuan teknologi informasi dewasa ini. Satu sama lain harus saling mengenal. Jika tidak,
yang terjadi adalah terbuang dari zaman. Pilihan untuk menjadi bagian dari perubahan tentu
3
bukan lotere atau untung-untungan. Secara filosofis, langkah itu merupakan produk dari
berfikir logis dan akuntabel.
Seperti piramida, dasar piramida adalah maksimum. Maka kita lihat secara kasat mata
bahwa mahasiswa UIN SGD Bandung pada level ini adalah mayoritas. Semua berhak
masuk dan menjadi bagian dari civitas akademika. Semakin tinggi tentu saja semakin
mengecil, apalagi untuk mencapi top organisasi. Untuk pencapaian tersebut, menurut saya
ada beberapa faktor:
1.
2.
3.
4.
Niat yang tulus ikhlas
Buah dari pergulatan logika dan nurani
Ketahanan fisik dan non fisik
Kolektivitas kolegial
Empat faktor tersebut dapat ditransformasikan ke dalam kehidupan yang lebih nyata di
masyarakat. Mahasiswa UIN SGD Bandung memiliki branding yang berbeda dengan
kampus lain. Untuk dewasa ini, mau tidak mau branding yang kita miliki harus memiliki daya
tawar dalam dunia global. Untuk mewujudkan bagian dari perubahan sosial. Paling tidak
mahasisawa UIN SGD Bandung penting memiliki empat kompetensi minimal;
1.
2.
3.
4.
Penguasaan Bahasa Inggris dan Arab
Kemampuan ilmiah-akademik
Penguasaan teknologi informasi
Keluasan net-working
Permata Biru, 080214
Wallahu ‘alam bi al-Shawwab
Wassalam.
4
Download