11 PENDAHULUAN Vitamin C digunakan secara topikal untuk mencegah penuaan dini melalui mekanisme antioksidan dan prekursor sintesis kolagen. Aktivitas antioksidan vitamin C didasarkan pada nilai potensial reduksinya yang lebih tinggi sehingga lebih mudah teroksidasi. Oleh karena itu sediaan dengan bahan aktif vitamin C harus memiliki kemampuan berdifusi melalui kulit agar dapat mencapai dermis. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi difusi zat aktif dari sediaan semisolida, diantaranya adalah bentuk dan pH sediaan. Bentuk sediaan semisolida meliputi bentuk sediaan krim, gel, pasta dan salep. Pada saat ini bentuk sediaan semisolida vitamin C yang ada di pasaran adalah bentuk krim, padahal ada bentuk sediaan lain yang dapat memberikan keuntungan ditinjau dari kenyamanan pada saat pemakaian diantaranya adalah bentuk sediaan gel. Gel merupakan sediaan semisolida yang terdiri dari suspensi yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar dimana suatu cairan terpenetrasi kedalamnya. Terbentuknya gel dengan struktur tiga dimensi disebabkan karena adanya cairan yang terperangkap sehingga molekul pelarut tidak dapat bergerak. Krim merupakan sistem emulsi yang memiliki konsistensi semisolida yang merupakan sistem dispersi suatu cairan dalam cairan lain yang secara spontan tidak dapat bercampur dan secara termodinamika tidak stabil. Untuk memperlambat terjadinya ketidakstabilan diperlukan komponen ketiga yang disebut sebagai stabilisator atau bahan pengemulsi. Formula gel vitamin C dibuat dengan pembawa hydroxypropyl methylcellulose (HPMC) dan pelarut dapar fosfat pH 3, pH 5 dan pH 7. Untuk sediaan krim digunakan minyak parafin dan emulgator yang digunakan adalah kombinasi Tween 60 dan Span 60. Penelitian ini dilakukan untuk meneliti pengaruh bentuk dan pH sediaan semisolida terhadap kecepatan difusi vitamin C. Bentuk sediaan yang diteliti adalah sediaan gel dan krim. Uji difusi dilakukan dengan menggunakan sel difusi. Konsentrasi vitamin C yang berdifusi ditentukan dengan menggunakan spektrofotometri UV pada panjang gelombang 266 nm. Dengan mengetahui pengaruh pH terhadap profil difusi ini diharapkan dapat merancang formula sediaan semisolida vitamin C dengan laju difusi yang cepat untuk mempersingkat lama pemakaian. 12 BAB 1 TINJAUAN PUSTAKA 1. 1 Vitamin C Vitamin C dikenal pula dengan nama asam askorbat yang berfungsi sebagai antioksidan dan prekursor sintesis kolagen. 1.1.1 Monografi Vitamin C Vitamin C dengan bobot molekul 176,13 mengandung tidak kurang dari 99,0% dan tidak lebih dari 100,5% C6H8O6. Pemerian vitamin C yaitu hablur atau serbuk putih atau agak kuning. Struktur vitamin C dapat dilihat pada Gambar 1.1. Gambar 1.1 Struktur vitamin C * 1.1.2 Sifat fisikokimia Vitamin C Vitamin C oleh pengaruh cahaya akan berubah menjadi berwarna gelap. Dalam keadaan kering stabil di udara tetapi dalam bentuk larutan mudah teroksidasi. Titik lebur kurang lebih 190°C, rotasi jenis antara +20,5° sampai dengan +21,5°. Penetapan kadar dapat dilakukan dengan titrasi asam basa, titrasi menggunakan iodin, titrasi menggunakan 2,6 diklorofenolindofenol, spektrofotometri, kromatografi cair kinerja tinggi dan fluorometri. Vitamin C pada suhu 20°C praktis tidak larut dalam kloroform, larut dalam 50 bagian etanol, dalam 25 bagian etanol 95%, praktis tidak larut dalam eter, larut dalam 100 bagian gliserin, larut dalam 20 bagian propilenglikol, dan larut dalam 3,5 bagian air. Penyimpanan vitamin C dalam wadah tertutup rapat dan tidak tembus cahaya (Wade, 1994). Vitamin C memiliki rentang pH 2,1 – 2,6 dalam larutan 5% dengan pelarut air. Vitamin C memiliki 2 nilai pKa yaitu 4,17 dan 11,57. Bobot jenis partikel adalah 1,65 g/cm3 sedangkan bobot * http://en.wikipedia.org/wiki/Vitamin_C 13 jenis mampat 1 – 1,2 g /cm3 untuk vitamin C yang berbentuk kristal dan 0,9 – 1,1 g/cm3 untuk vitamin C berbentuk serbuk. Vitamin C inkompatibel dengan alkali, ion logam berat terutama temabaga dan besi, senyawa pengoksidasi, metenamin, fenilefrinhidroklorida, pirilaminmaleat, salisilamid, natrium nitrit, natrium salisilat dan teobromin salisilat. Vitamin C tidak stabil dalam larutan air. Laju perusakan meningkat dengan adanya logam, terutama tembaga dan besi dan juga oleh adanya enzim. Pemaparan oleh oksigen atau pemanasan yang terlalu lama dapat meningkatkan ketidakstabilan vitamin C. Stabilitas maksimum larutan vitamin C berada pada pH 5,4 (Wade, 1994). Vitamin terdiri dari 2 bentuk yaitu : asam L-askorbat dan asam D-Askorbat memiliki aktivitas biologi sedangkan asam D-Askorbat tidak memiliki aktivitas biologi (DeMan, 1997). 1.1.3 Aktivitas Farmakologi Vitamin C Topikal Vitamin C merupakan vitamin yang berperan sebagai antioksidan dan juga dalam proses sintesis kolagen. Sebagai antioksidan vitamin C berperan dalam melindungi sel-sel tubuh dari proses oksidasi. Vitamin C mempunyai potensial oksidasi yang lebih tinggi atau potensial reduksi yang lebih rendah sehingga lebih mudah teroksidasi dibandingkan dengan sel-sel tubuh. Kolagen adalah komponen utama lapisan kulit dermis yang dibuat oleh sel fibroblast. Kolagen adalah senyawa protein rantai panjang yang tersusun atas asam amino alanin, arginin, lisin, glisin, prolin, serta hiroksiprolin. Produksi kolagen menurun seiring dengan bertambahnya usia, yang mengakibatkan kulit kurang elastis. Fibroblast dermis memproduksi prekursor yang dikenal sebagai pro kolagen. Pro kolagen mengandung terdiri dari 300-400 asam amino tambahan pada setiap cabangnya. Sintesis kolagen melibatkan hidroksilasi prolil dan lisil yang merupakan residu dari pro kolagen. Reaksi ini dikatalisis oleh enzim prolilhidroksilase dan lisilhidroksilase yang membutuhkan Fe2+ dan asam askorbat untuk menghasilkan hidroxiprolin dan hidroxilisin yang berperan dalam pembentukan massa kolagen (Combs, 1995). Produksi kolagen merupakan proses dinamis meliputi sintesis berkelanjutan oleh fibroblast dan penguraian oleh enzim Kolagenase. Sinar UV dapat merusak kulit dengan 14 meningkatkan produksi enzim proteolitik (Kolagenase) yang menguraikan kolagen pada lapisan dermis kulit. 1.2 Kulit Kulit merupakan organ paling luas pada tubuh kita. Luas permukaan kulit adalah sekitar 1,5 - 2 m2. Kulit menerima sekitar satu pertiga peredaran darah dalam tubuh dan terdiri dari lapisan-lapisan selular yang berbeda-beda yang tersusun secara paralel ke permukaan. Membran kulit terdiri dari 3 komponen yaitu epidermis atau superficial epithelium, dermis yang berada di bawah epidermis, dan subkutan (Martini, 2001). a. Lapisan epidermis Berdasarkan lokasi kulit maka epidermis terdiri dari sel-sel epitel berlapis 4 sampai 5. Misalnya pada telapak kaki dan tangan epidermis terdiri dari 5 lapisan sedangkan pada bagian lainnya epidermis terdiri dari 4 lapisan. Kelima lapisan epidermis tersebut dari luar ke dalam yaitu stratum korneum, stratum lucidum, stratum granulosum, stratum spinosum, dan stratum germinativum atau stratum basale. Stratum germinativum merupakan lapisan dasar epidermis dan merupakan satu-satunya lapisan yang mampu mengalami reproduksi. Lapisan ini didominasi oleh stem cell. Hasil pembelahan stem cell ini menghasilkan sel-sel baru yang akan mendesak sel-sel diatasnya atau masuk ke lapisan lebih atas yaitu stratum spinosum. Stratum spinosum mengandung sel Langerhans yang berperan dalam sistem pertahanan tubuh dalam jumlah banyak. Beberapa sel di stratum spinosum dapat mengalami pembelahan namun aktivitas ini berakhir pada saat sel-sel ini mencpai stratum granulosum. Pada stratum granulosum terjadi sintesis keratohyalin. Pada kulit yang tebal seperti telapak kaki dan tangan terdapat stratum lucidum yang menutupi stratum granulosum. Sel-sel di stratum lucidum berbentuk pipih dan berisi eleidin. Eleidin dan keratohyalin merupakan bahan dasar pembentukan keratin. Bila serabu keratin telah berkembang sempurna maka sel-sel penghasilnya akan berubah bentuk menjadi pipih dan tipis, membrannya menebal sehingga permeabilitasnya berkurang, kemudian inti dan organel lainnya mengalami desintegrasi dan akhirnya mati. Membran sel akhirnya tertutup oleh keratin. Lapisan yang terdiri dari sel-sel pipih dan mati disebut stratum korneum. Permukaan stratum korneum relatif kering sehingga mikroba sulit hidup pada permukaan kulit (Martini, 2001). 15 b. Dermis Dermis mengandung jaringan ikat yang tergolong dalam jaringan ikat kencang dan tidak teratur. Pada lapisan ini terdapat pula pembuluh darah, pembuluh limfatik, otot, serabut (elastis, retikular dan kolagen), saraf, berbagai reseptor, kelenjar, dan folikel rambut. Dermis terdiri dari 2 lapisan utama yaitu lapisan papilari yang terdiri dari jaringan ikat longgar dan serabut elastis sehingga bersifat elastis dan lapisan retikular yang mengandung serabut yang tidak beraturan sehingga bersifat fleksibel. Daerah retikular berhubungan dengan organ-organ yang berada di bawahnya seperti tulang dan otot melalui lapisan hipodermis (Martini, 2001). c. Hipodermis atau Subkutan Lapisan ini merupakan lapisan yang terikat sangat lemah dengan dermis. Antara dermis dan hipodermis tidak ada pembatas yang jelas. Hipodermis tersusun dari jaringan ikat longgar yang banyak mengandung lemak. Lapisan ini berperan dalam stabilisasi posisi kulit dalam kaitannya dengan jaringan atau organ lain (Martini, 2001). 1.3 Permeasi Kulit Permeasi kulit adalah masuknya bahan obat atau zat aktif dari luar kulit ke dalam jaringan kulit, dengan melewati membran sebagai pembatas. Membran pembatas ini adalah stratum corneum yang bersifat tidak permeabel terutama terhadap zat larut air, dibandingkan terhadap zat larut lemak. Penetrasi melintasi stratum korneum dapat terjadi karena adanya proses difusi melalui dua rute yaitu transepidermal dan transappendagel (Barry, 1992). Transepidermal merupakan jalur utama absorpsi perkutan karena luas permukaan kulit 100 sampai 1000 kali lebih besar daripada luas permukaan kelenjar dalam kulit. Absorpsi melalui rute transepidermal sangat ditentukan oleh keadaan stratum corneum yang berfungsi sabagai membran semipermeabel. Jumlah zat aktif yang berpenetrasi tergantung pada gradien konsentrasi dan koefisien partisi senyawa aktif dalam minyak dan air. Difusi melalui rute transepidermal terjadi melalui dua jalur yaitu transeluler melalui sel korneosit yang berisi keratin, dan interseluler, melalui ruang antar sel stratum korneum yang kaya akan lipid (Aulton, 1998). Rute transappendagel adalah rute penetrasi molekul zat aktif melalui pori – pori pada folikel rambut dan ujung saluran keringat dan kelenjar minyak. Rute ini penting bagi 16 senyawa-senyawa yang dapat terionisasi dan senyawa-senyawa polar dengan molekul besar yang tidak dapat menembus stratum korneum. Fenomena permeasi kulit terdiri dari dua tahap, yaitu pelepasan zat aktif dari pembawa untuk diabsorpsi di atas permukaan stratum korneum dan difusi molekul zat aktif ke dalam lapisan di bawah kulit. Jumlah zat aktif yang dilepaskan dari sediaan semisolida dipengaruhi oleh waktu dan formulasi. Uji pelepasan merupakan salah satu metode untuk mengetahui absorpsi perkutan secara in vitro tanpa membran sebagai pembatas. Pelarut yang dapat digunakan sebagai media penerima adalah air, agar, gelatin, isopropil miristat, dan campuran pelarut yang bersifat polar dan non polar (Barry, 1992). 1.4 Sediaan Semisolida Sediaan semisolida adalah sediaan setengah padat yang didesain untuk memberikan efek lokal setelah digunakan pada permukaan kulit atau mukosa membran. Sediaan semisolida umumnya digunakan untuk memberikan efek perlindungan, pelembab, ataupun yang memberikan efek terapi. Bentuk sediaan semisolida dapat bervariasi tergantung kepada basis yang digunakan. Bentuk sediaan semisolida antara lain adalah salep, krim, gel dan pasta. Formulasi sediaan semisolida terdiri dari zat aktif, zat pembawa, dan zat tambahan. Perbedaan bentuk sediaan semisolida didasrkan pada perbedaan viskositas hasil jadi. Pada umumnya, penambahan fasa cair yang makin banyak akan mengurangi viskositas sediaan Pemilihan bahan pembawa didasarkan pada sifat zat yang akan digunakan dan keadaan kulit tempat pemberian sediaan topikal tersebut. Fungsi bahan pembawa adalah untuk meningkatkan atau membantu proses penetrasi perkutan bahan aktif. Selain itu, bahan pembawa juga dipakai sebagai pelindung kulit, pendingin kulit, oklusif atau astringen. Bahan tambahan sediaan topikal pada umumnya dapat dikelompokkan sebagai berikut: (a) Bahan untuk memperbaiki konsistensi, (b) Pengawet, untuk menghindari pertumbuhan mikroorganisme, (c) Pelembab, untuk melembutkan kulit pada saat pemakaian, (d) Dapar, untuk menjaga stabilitas zat aktif yang dipengaruhi pH, (e) Antioksidan, untuk mencegah reaksi oksidasi fasa minyak (f) Pengkompleks, untuk mencegah penguraian zat akibat 17 adanya sesepora logam, (g) Peningkat penetrasi, untuk meningkatkan absorpsi zat aktif melalui kulit. 1.4.1 Gel Gel merupakan sediaan semisolida yang terdiri suspensi partikel halus anorganik maupun molekul organik besar yang saling berinterpenetrasi dengan cairan (Ditjen POM, 1995). Gel adalah sistem setengah padat dari dua komponen atau lebih yang terdiri dari massa seperti pagar yang rapat dan disusupi oleh cairan (Martin, 1993). Berdasarkan jenis fasa terdispersi, gel dapat dibedakan menjadi gel fasa tunggal dan gel dua fasa. Gel fasa tunggal terdiri dari makromolekul organik yang tersebar serba sama dalam suatu cairan sedemikian hingga tidak terlihat adanya ikatan antara molekul makro yang terdispersi dan cairan. Gel fasa tunggal dapat dibuat dari makromolekul sintetik atau dari gom alam. Gel sistem dua fasa terbentuk jika massa gel terdiri dari jaringan partikel kecil yang terpisah dan apabila ukuran partikel fasa terdispersi relatif besar, massa gel dapat dinyatakan sebagai magma. Berdasarkan sifat fasa koloidal, gel dapat dikelompokkan menjadi gel anorganik dan gel organik. Berdasarkan sifat pelarut, gel dikelompokkan menjadi hidrogel dan organogel. Hidrogel adalah gel dengan pelarut air dan organogel adalah gel dengan pelarut non air. Hidrogel umumnya terbentuk oleh molekul polimer hidrofil yang saling sambung silang melalui ikatan hidrogen, interaksi ionik atau interaksi hidrofob (Lieberman, 1989). Polimer-polimer pembentuk gel yaitu: a. Protein Yang termasuk polimer golongan ini adalah kolagen dan gelatin. Kolagen adalah protein penghubung jaringan utama hewan. Kolagen dibentuk dari glisin (33%), prolin dan hidroksiprolin (23%), asam amino lain (44%). Kolagen tidak larut dalam air, namun sekitar 2 hingga 3% dapat larut dalam larutan asam. Kolagen juga dapat terlarut dengan menggunakan enzim proteolida. Gelatin adalah kolagen yang terdenaturasi yang dapat diurai oleh air atau lingkungan asam basa menghasilkan gelatin tipe A dan B. Gelatin membentuk gel yang elastik, yang sifat fisikanya tergantung kepada : konsentrasi protein, bobot molekul rata-rata, suhu, pH, dan zat tambahan. 18 b. Polisakarida Polimer golongan polisakarida meliputi: agar, alginat, karagenan, glisirizin, gum guar, pektin, pati, tragakan. c. Polimer semisintetik Yang termasuk ke dalam polimer golongan ini adalah natrium karboksimetilselulosa, hidroksipropilselulosa, hidroksimetilselulosa, metilselulosa. d. Polimer sintetik Yang termasuk polimer sintetik adalah: karbomer, poloksamer, poliakrilamida, polivinilalkohol. e. Senyawa-senyawa anorganik Golongan ini meliputi : aluminium hidroksida Gel merupakan bentuk sediaan semisolida transparan sampai opak yang mengandung perbandingan yang tinggi dari pelarut terhadap bahan pembentuk gel. Ketika didispersikan dalam pelarut yang sesuai, bahan pembentuk gel akan bergabung membentuk koloid struktur tiga dimensi yang membatasi aliran cairan melalui penjeratan molekul pelarut dan membuatnya tidak bergerak. Struktur tersebut menyebabkan gel tahan terhadap perubahan bentuk dengan adanya sifat viskoelastis (Osborne, 1990). Stuktur dari jaringan gel diantaranya adalah struktur kumparan acak (random coil), heliks, timbunan (stacks), dan rumah kartu (house of cards). Gel yg banyak digunakan dalam industri farmasi umumnya membentuk struktur kumparan acak. Struktur kumparan acak sering ditunjukkan oleh polimer sintetik seperti resin dan derivat selulosa (Osborne, 1990). Mekanisme pembentukan struktur kumparan acak disebabkan oleh interaksi polimer dengan polimer dan polimer dengan pelarut. Meskipun struktur gel pada dasarnya dibentuk oleh interaksi polimer, afinitas dari pelarut dengan polimer juga mempengaruhi integritas dari gel. Teori klasik gel membagi pelarut dalam tiga kategori yaitu: (i) Pelarut bebas yang mudah bergerak (ii) Pelarut yang terikat pada lapisan pelarutan, biasanya karena ikatan hidrogen (iii) Pelarut yang terjerat dalam struktur gel. Perbandingan dari ketiga pelarut tersebut terhadap bahan pembentuk gel tergantung dari konsentrasi polimer dan afinitas 19 pelarut terhadap polimer. Dalam pelarut yang sesuai, rantai polimer terinterpenetrasi oleh molekul pelarut, dan lapisan pelarutan dipertahankan. Fenomena tersebut akan memfasilitasi ekspansi dari kumparan acak dan pembentukan struktur gel. Dalam pelarut yang tidak sesuai, kontak rantai polimer dengan pelarut berkurang sehingga efektitivitas jumlah dari ikatan silang berkurang dan struktur gel menjadi melemah (Osborne, 1990). Gel memiliki sifat yang khas yaitu pengembangan dan sineresis. Gel dapat mengembang dengan menyerap cairan dan menyebabkan peningkatan volume. Pelarut berpenetrasi ke dalam matriks gel kemudian terjadi proses interaksi gel dengan gel digantikan oleh interaksi gel dengan pelarut (Lieberman, 1989). Sineresis adalah proses yang terjadi karena kondisi kontraksi dialami oleh banyak sistem gel yang mengakibatkan cairan interstisial terkumpul pada permukaan gel. Sineresis tidak hanya terjadi pada hidrogel organik, tetapi juga dapat terjadi pada organogel dan hidrogel anorganik. Mekanisme dari kontraksi ini berkaitan dengan relaksasi dari tekanan elastis yang berkembang pada saat pembentukan gel. Setelah tekanan kembali, ruang interstisial yang tersedia untuk pelarut berkurang, sehingga mendorong keluarnya cairan ke permukaan (Lieberman, 1989). Reologi dari larutan pembentuk gel dan sistem dispersi dari zat padat terflokulasi, bersifat pseudoplastik, menunjukkan aliran non-newtonian yang dikarakterisasi oleh penurunan viskositas dengan peningkatan dari kecepatan geser. Perubahan yang irreversibel dalam reologi disebabkan oleh formulasi gel yang tidak stabil dan ketidakstabilan gel dapat ditunjukkan selama penyimpanan seperti terjadinya sineresis atau sedimentasi partikel dan penurunan viskositas atau konsistensi sehingga berubah bentuk dari semisolid menjadi liquid yang kental. 1.4.2 Krim Krim merupakan sistem emulsi yang memiliki konsistensi semisolida yang merupakan sistem dispersi suatu cairan dalam cairan lain yang secara spontan tidak dapat bercampur dan secara termodinamika tidak stabil. Komponen cairan yang terdispersi sebagi globul disebut fase terdisperi, fase tidak kontinu dan fase internal. Komponen cairan yang berfungsi sebagai medium dispersi disebut sebagai fase eksternal, fase pendispersi atau fase kontinu. Jika salah satu fase adalah air dan fase lainnya adalah minyak maka ada 2 tipe 20 jenis emulsi, yaitu emulsi minyak dalam air dan emulsi air dalam minyak. Kedua cairan tersebut jika didiamkan akan cenderung berkoalesensi (berkelompok) dan akhirnya memisah sempurna membentuk dua lapisan. Untuk memperlambat terjadinya koalesensi dan untuk meningkatkan jumlah fase terdispersi diperlukan komponen ketiga yang disebut sebagai stabilisator atau bahan pengemulsi. Pembentukan emulsi terdiri dari tahap pemecahan, yaitu proses perubahan bentuk kedua cairan menjadi globul dengan ukuran tertentu lalu diikuti dengan tahap penstabilan, yaitu proses perlambatan terjadinya koalesensi dari fase terdispersi sehingga tetap terbentuk globul dalam lingkungan fase pendispersi yang kontinu. Tahap pemecahan berlangsung dalam waktu relatif lebih singkat dibandingkan dengan tahap penstabilan (Agoes, 1993). Tahap pemecahan dalam pembuatan emulsi dapat dilakukan dengan tangan, mesin, dan teknik lain yaitu pemaparan dengan gelombang ultrasonik. Mesin yang dapat digunakan pada tahap pemecahan adalah mixer, colloid mills dan homogenizer. Mekanisme kerja bahan penstabil emulsi meliputi: a. Menurunkan tegangan antarmuka kedua cairan. Zat yang bekerja dengan mekanisme ini memiliki dua jenis gugus yaitu: gugus hidrofil dan gugus lipofil. Gugus hidrofil akan berasosiasi dengan fase yang lebih hidrofil dari kedua komponen, sedangkan gugus lipofil akan berasosiasi dengan komponen yang lebih lipofil. Karena zat ini bekerja secara aktif pada permukaan, maka sering disebut sebagai zat aktif permukaan (surfaktan). b. Membentuk lapisan selaput pada antarmuka kedua cairan. Adanya lapisan selaput antar muka akan menghalangi terjadinya koalesensi dari fase terdispersi sehingga globul tetap stabil. Zat yang bekerja dengan mekanisme ini biasanya berupa polimer yang dapat membentuk selaput seperti : protein, gom, amilum, dan karboksimetilselulosa. Lapisan yang terbentuk dapat terdiri dari satu lapisan, dua lapisan atau lebih tergantung jumlah bahan pengemulsi yang ditambahkan. c. Membentuk lapisan pelindung dari partikel-partikel halus. Mekanisme ini hampir sama dengan mekanisme pembentukan selaput, tetapi yang membentuk lapisan pada mekanisme ini adalah partikel-partikel yang sangat halus yang 21 teradsorpsi pada antarmuka kedua cairan sehingga dapat mencegah koalesensi dari fase terdispersi. Contoh jenis pengemulsi jenis ini adalah bentonit. Bentuk-bentuk ketidakstabilan emulsi meliputi creaming, inverse fasa dan demulsifikasi. Penyebabdari ketidakstabilan emulsi adalah keberadaan zat kimia, gaya sentrifuga, arus listrik, panas dan penyaringan (Agoes, 1993). Krim dapat berupa sistem minyak dalam air atau air dalam minyak. Krim air dalam minyak relatif lebih sulit dihilangkan dari kulit pada pencucian dibandingkan dengan krim minyak dalam air, sehingga secara umum krim minyak dalam air lebih disukai dibandingkan krim air dalam minyak. Namun krim minyak dalam air memiliki keterbatasan yaitu cepatnya kehilangan air dari krim bila diletakkan pada udara terbuka. Keberadaan air dalam jumlah besar dapat membantu pertumbuhan jamur bila tidak ditambahkan pengawet kedalamnya. I.4.3 Metode Pembuatan Sediaan Semisolida a. Metode Pelelehan (Fusion) Zat aktif dan pembawa dilelehkan bersama dan diaduk sampai membentuk fasa yang homogen. Bahan-bahan yang tidak tahan panas dan senyawa-senyawa mudah menguap ditambahkan ke dalam campuran pada suhu yang tidak akan menyebabkan pengurain atau penguapan senyawa. Pada pembuatan krim dilakukan dua langkah pembuatan yaitu proses pelelehan diikuti dengan proses emulsifikasi. Bahan-bahan tidak larut air seperti minyak dan malam dilelehkan bersamaan pada penangas uap suhu 70 – 750C. Sedangkan bahanbahan larut air yang stabil terhadap panas dipanaskan pada suhu yang sama. Kedua larutan dicampurkan dengan cara menambahkan lelehan bahan larut dalam air ke lelehan bahan larut minyak sedikit demi sedikit diikuti dengan pengadukan yang konstan selama 5 sampai 10 menit dan suhu dijaga tetap untuk mencegah terjadinya kristalisasi malam. Kemudian campuran didinginkan perlahan sambil terus diaduk. Jika suhu lelehan air tidak sama dengan suhu lelehan minyak maka akan terjadi pemadatan sebagian malam ketika lelehan air ditambahkan ke lelehan minyak (Agoes, 1993). b. Metode Triturasi Zat yang tidak larut dicampur dengan sedikit basis yang akan dipakai atau dengan salah satu zat pembantu, kemudian dilanjutkan dengan penambahan sisa basis. Dapat juga 22 dengan menggunakan pelarut organik untuk melarutkan terlebih dahulu zat aktifnya, kemudian baru dicampur dengan basis yang akan digunakan (Agoes, 1993). 1.4.4 Evaluasi Sediaan Semisolida a. Evaluasi fisik Pengujian yang dilakukan meliputi pemeriksaan homogenitas, konsistensi, bau, warna, dan pH. Pengukuran konsistensi bertujuan untuk mendapatkan sediaan yang mudah dikeluarkan dari tube dan mudah dioleskan pada permukaan kulit. Pengukuran konsistensi dapat dilakukan dengan penetrometer dan viskometer. b. Evaluasi kimia Evaluasi kimia sediaan semisolida meliputi penentuan kadar dan stabilitas zat aktif dan zat lain yang terdapat dalam sediaan semisolida. c. Evaluasi biologi Evaluasi bilogi sediaan semisolida dilakukan dengan menentuan kontaminasi mikroba. I.4.5 Proses Biofarmasetik Obat dari Sediaan Gel dan Krim Proses biofarmasetik dari suatu sediaan meliputi proses pelepasan (liberation), proses pelarutan (dissolution), proses difusi (diffusion), proses transfer dan proses absorpsi (Aiache, 1993). Proses biofarmasetik obat dari sediaan gel diawali dengan pelepasan zat aktif dari basis gel masuk ke stratum korneum yang dipengaruhi oleh kelarutan zat aktif dalam basis, perbedaan konsentrasi dan koefisien partisi zat aktif dalam stratum korneum dan pembawa sediaan gel. Zat aktif menembus stratum korneum dan masuk ke dermis berdasarkan perbedaan konsentrasi dan koefisien partisi antara dermis dan stratum korneum. Proses biofarmasetik obat dari sediaan krim diawali dengan pelepasan zat aktif dari fase luar (fase eksternal) masuk ke stratum korneum yang dipengaruhi oleh kelarutan zat aktif dalam fase luar, perbedaan konsentrasi dan koefisien partisi zat aktif dalam stratum korneum dan fase luar. Zat aktif yang berada pada fase luar berkurang sehingga untuk mencapai kesetimbangan zat aktif yang berada pada fase dalam (fase internal) berdifusi ke fase luar dan selanjutnya akan dilepaskan ke stratum korneum. Zat aktif aktif menembus 23 stratum korneum dan masuk ke dermis berdasarkan perbedaan konsentrasi dan koefisien partisi zat aktif dalam dermis stratum korneum. 1.5 Difusi Sediaan Semisolida Difusi didefinisikan sebagai proses transfer massa suatu molekul senyawa disebabkan perbedaan gradien konsentrasi yang menyebabkan gerakan acak molekul ke segala arah. Perpindahan molekul yang mengalir melalui suatu barrier seperti membran polimer merupakan cara yang cocok untuk meneliti proses difusi. Aliran molekul melalui suatu barrier dapat terjadi melalui permeasi molekul sederhana atau melalui pergerakan melewati pori atau saluran. Difusi molekular atau permeasi melalui media tidak berpori tergantung kepada kelarutan senyawa yang akan berdifusi dalam membran. Jika digunakan membran berpori maka difusi senyawa akan terjadi melalui pori-pori yang akan sangat dipengaruhi oleh ukuran partikel yang berdifusi dan diameter pori (Aiache, 1993). Absorpsi zat aktif akan terjadi bila zat aktif dilepaskan dari pembawanya kemudian berpenetrasi ke lapisan kulit yang lebih dalam. Menurut hukum Fick: Q Keterangan: Q = jumlah zat aktif yang menetrasi kulit Km = koefisien partisi zat D = konstanta difusi zat aktif A = luas pemakaian Cs = konsentrasi zat aktif dalam sediaan Cmk = konsentrasi zat aktif dalam membran kulit h = ketebalan membran kulit Absorpsi zat aktif dari sediaan topikal berdasarkan rumus diatas dipengaruhi oleh sifat fisiko kimia dari zat aktif (Km, D), luas permukaan (A), konsentrasi zat aktif dalam sediaan (Cs) serta kondisi kulit itu sendiri. Dalam hal ini ada hubungannya dengan tempat pemakaian sediaan kulit yang mempunyai ketebalan epidermis yang berbeda serta keadaan kulit itu sendiri, apakah kulit masih utuh atau tidak (Aiache, 1993). Aktivitas termodinamik zat aktif dalam sediaan berbanding terbalik dengan afinitas zat aktif dengan bahan pembawa. Semakin tinggi afinitas zat aktif dengan bahan pembawa 24 maka pelepasan zat aktif dari sediaan semakin kecil. Jumlah zat aktif yang diabsorpsi kulit sebanding dengan pelepasan zat aktif dari sediaan. Konsentrasi yang sama dari zat aktif dalam dua sediaan kulit yang berbeda bahan pembawanya, tidak menjamin jumlah zat aktif yang diabsorpsi kulit dari kedua sediaan itu sama. Pemilihan jenis dan komposisi bahan pembawa sediaan kulit diharapkan dapat memperbaiki kecepatan difusi zat aktifnya, sesuai dengan tujuan pembuatan sediaan tersebut.