BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemajuan teknologi komputer memungkinkan organisasi untuk mengumpulkan dan mengelola sejumlah besar data, informasi dari pesanan, transaksi keuangan, kegiatan manufaktur, sumber daya manusia, peraturan pemerintah, dan informasi dari banyak sumber lain bersama-sama menyediakan suatu model dari semua tindakan yang mempengaruhi organisasi. Kemampuan untuk menyimpan, mengambil dan memanipulasi informasi ini memungkinkan organisasi mengelola operasinya secara efektif dan efisien (McLeod, 2004). Meskipun relatif terlambat daripada sektor lainnya, apotek secara perlahan-lahan akhirnya mengadopsi teknologi informasi. Alasan berinvestasi teknologi informasi biasanya adalah efisiensi, sehingga jenis aplikasi yang diutamakan biasanya billing sistems, inventory maupun fungsi transaksional lainnya (Fuad Noor dkk., 2011). Apotek adalah salah satu fasilitas pelayanan kesehatan yang merupakan sarana pelayanan kefarmasian, tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker. Praktek atau pekerjaan kefarmasian yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat, dan obat tradisional dilakukan oleh apoteker untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien (Kementerian Kesehatan RI, 2014). Peraturan Pemerintah No 51, 2009, Apotek 1 2 dikelola oleh Apoteker Pengelola Apotek (APA), yang bertanggung jawab dalam seluruh kegiatan yang dilakukan di apotek pada umumnya dan pelayanan kefarmasian terhadap masyarakat pada khususnya terutama dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan melalui pengelolaan dan pemberian informasi penggunaan obat yang rasional (Peraturan Pemerintah, 2009) Pelayanan Kefarmasian merupakan kegiatan yang terpadu dengan tujuan untuk mengidentifikasi, mencegah dan menyelesaikan masalah obat dan masalah yang berhubungan dengan kesehatan (Hepler dan Strand, 1990). Tuntutan pasien dan masyarakat akan peningkatan mutu Pelayanan Kefarmasian, mengharuskan adanya perluasan dari paradigma lama yang berorientasi kepada produk (drug oriented) menjadi paradigma baru yang berorientasi pada pasien (patient oriented) dengan filosofi Pelayanan Kefarmasian (pharmaceutical care) (Kementerian Kesehatan RI, 2014). Komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai obat adalah tugas dan tanggung jawab apoteker, terutama dalam pemilihan obat yang tepat, mencegah terjadinya kesalahan dan penyalahgunaan serta kesalahan penggunaan obat. Oleh karena itu seorang apoteker perlu dibekali pengetahuan serta ketrampilan dan sikap dalam berinteraksi dengan pasien (Seto, 2001). Bentuk interaksi langsung dengan pasien meliputi pelaksanaan pemberian informasi mengenai obat, monitoring penggunaan obat, pemberian obat yang rasional dan memberitahu tujuan akhir pengobatan kepada pasien, dan adanya dokumentasi dengan baik. Apoteker juga harus menyadari kemungkinan terjadinya medication error dalam proses pelayanan sehingga apoteker dalam 3 menjalankan prakteknya harus sesuai dengan standar yang telah ditetapkan untuk menghindari kejadian tersebut. Apoteker merupakan tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan sekaligus menjabat sebagai manajer di apotek. Peran apoteker di apotek selain dalam pelayanan kefarmasian juga sebagai manajer yaitu mengelola sumber daya yang ada dengan maksimal. Apoteker harus efektif dalam mengelola sumber daya (manusia, fisik, anggaran) termasuk informasi yang ada di apotek. Pengelolaan yang baik akan berdampak positif pada kontinuitas dan perkembangan apotek di masa mendatang. Untuk mendukung hal tersebut suatu apotek membutuhkan Sistem Informasi Manajemen (SIM). Sistem Informasi Manajemen adalah jaringan prosedur pengolahan data yang dikembangkan dalam suatu organisasi dan disatukan bila dipandang perlu dengan maksud memberikan data kepada manajemen setiap waktu yang diperlukan baik data yang bersifat internal maupun yang bersifat eksternal untuk dasar pengambilan keputusan dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.51 Tahun 2009 tentang kefarmasian, resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada apoteker untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Penulisan resep harus memenuhi persyaratan administrasi, persyaratan farmasetis, persyaratan klinis. Kesalahan pengobatan dapat dikurangi dengan melakukan skrining awal (Hepler dan Strand, 1990). Skrining awal yang dilakukan seorang farmasis meliputi skrining administratif, farmasetis dan klinis. Peran farmasi klinik dalam 4 melakukan pengkajian resep pengobatan sangatlah penting, diantaranya skrining resep. Skrining resep di apotek Kota Yogyakarta yang dilakukan oleh farmasi masih secara manual dan hal ini membutuhkan waktu yang cukup lama dan angka kejadian error-nya lebih tinggi sehingga masih sering terjadi kesalahan pengobatan. Dewi, 2009, melakukan penelitian deskriptif dengan mengambil populasi dan sampel berupa resep pasien anak di apotek Kabupaten Sukoharjo periode bulan Agustus-Oktober 2009. Hasil penelitian menunjukkan terdapat kasus ketidaksesuaian resep dengan persyaratan administrasi resep, yaitu tidak tercantumkannya nama dokter 0,29%, SIP dokter 0,86%, alamat dokter 0,29%, potensi 93,71%, jumlah obat 0,29%, bentuk sediaan 1,43%, dosis 3,71%, alamat pasien 66,86%, berat badan pasien 90%, jenis kelamin pasien 100%, paraf dokter 0,29%. Ketidaksesuaian ketidaksesuaian bentuk resep dengan persyaratan sediaan 29,19% dan farmasetis, inkompatibilitas yaitu 43,72%. Ketidaksesuaian persyaratan klinis, yaitu dosis lebih 27,56%, dosis kurang 66,17%, frekuensi lebih 15,38%, frekuensi kurang 9,22%, durasi lebih 0,23%, durasi kurang 6,60%, dan interaksi obat 6% dari keseluruhan resep (Dewi, 2009). Dengan melihat kondisi di atas ternyata banyak sekali permasalahan yang sering terjadi terutama yang berkaitan dengan farmasi klinik khususnya pasien rawat jalan. Karena peran apoteker yang menjalankan kefarmasian klinik saat ini masih belum maksimal dalam pelaksanaannya, dikarenakan sarana dan prasarananya masih sangat kurang terutama dalam hal sistem informasi manajemen skrining resep. Berdasarkan observasi, pada saat ini sudah terdapat 5 apotek di wilayah Kota Yogyakarta yang memiliki aplikasi sistem informasi manajemen apotek. Oleh sebab itu peneliti ingin mengembangkan sistem informasi manajemen skrining resep yang merupakan sub-sistem bagian sistem informasi manajemen apotek yang sudah digunakan. Fungsi dari sistem ini diharapkan dapat mendukung, membantu dan mempermudah tenaga kefarmasian dalam melakukan skrining awal resep secara komputerisasi sehingga dapat meningkatkan kinerja di bidang pelayanan kesehatan yang berhubungan dengan permasalahan obat. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah gambaran analisis kebutuhan sistem informasi manajemen yang dibutuhkan untuk membuat desain sistem informasi manajemen skrining resep di apotek Kota Yogyakarta? 2. Bagaimanakah desain model sistem informasi manajemen skrining resep yang diperlukan untuk melakukan kegiatan dalam pengkajian peresepan di apotek Kota Yogyakarta? C. Keaslian Penelitian Penelitian dibawah ini adalah penelitian yang berhubungan dengan Sistem Informasi Kesehatan di apotek, diantaranya adalah 1. Inggarputri, 2009, dengan judul Rancangan Bangun Sistem Informasi Manajemen Apotek pada Apotek Paramedika Tembalang. Tujuan penelitian ini untuk membuat desain sistem yang selama ini di Apotek Tembalang, merancang kebutuhan dari sistem yang akan dikembangkan, merancang 6 SIMANTEK dan basis datanya, membangun SIMANTEK dan basis datanya, menguji coba SIMANTEK dan basis datanya. 2. Wijaya, dkk., 2009, dengan judul Rancang bangun Sistem Informasi Manajemen Apotek berbasis Client Server. Pada penelitian ini menggunakan metode basis client server merupakan studi, analisis, dan mengelola data serta menyimpan data (storage), mengelola data transaksi pembelian dan penjualan, menyimpan data – data ke dalam database, sehingga pengelolaan dan penyimpanan persediaan obat lebih efisien dan efektif. 3. Suprawoto dan Sumiyatun, 2013, dengan judul Analisis dan perancangan Sistem Informasi stok pada Apotek Arjowinangun. Pada penelitian ini tujuannya adalah menghasilkan perancangan sistem informasi stok obat pada Apotek Arjowinangun. Perbedaan pada penelitian yang akan dilakukan dengan beberapa penelitian tersebut adalah terletak pada pengembangan SIM apotek, dimana SIM apotek yang akan dikembangkan ini lebih kearah sistem informasi manajemen skrining resep. Subyek dan tempat penelitian yang digunakan juga berbeda yaitu peresepan pasien di apotek Kota Yogyakarta. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi apotek Diperoleh suatu desain model sistem informasi manajemen tentang skrining resep yang membantu tenaga kesehatan dalam mengidentifikasi masalah pengobatan. 7 2. Bagi Farmasi Komunitas Adanya Sistem informasi manajemen skrining resep yang dapat membantu tenaga kefarmasian dalam melakukan skrining resep lebih cepat. 3. Bagi Peneliti Memberikan pengalaman peneliti tentang pembuatan model desain sistem informasi manajemen dan sebagai wahana untuk mengaplikasikan ilmu khususnya dalam bidang sistem informasi manajemen apotek E. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui analisis kebutuhan sistem yang diperlukan untuk mengembangkan desain sistem informasi manajemen skrining resep di apotek Kota Yogyakarta. 2. Mengetahui desain model untuk pengembangan sistem informasi manajemen skrining resep yang diperlukan untuk melakukan kegiatan pengkajian peresepan pasien di apotek Kota Yogyakarta