edisi II tahun 2013 Membangun Kelembagaan Penataan Ruang: Upaya Pengembangan Kelembagaan Penataan Ruang yang Telah dan Akan Dilakukan BKPRN dan BKPRD: Sudah Sinergikah? Ir. Muh. Marwan, M.Si Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah, Kementerian Dalam Negeri Menjelang 25 Tahun BKPRN (1989-2013): Konstribusi dan Tantangan Prof. Dr. Herman Haeruman, Dr. Herry Darwanto, Dr. Abdul Kamarzuki Pengendalian Pemanfaatan Ruang: Mencari Kelembagaan Pengendalian Pemanfaatan Ruang yang Efektif Dr. Ir. Basoeki Hadimoeljono, M.Sc Direktur Jenderal Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum Tantangan Koordinasi Penataan Ruang ke Depan: Berharap pada Peningkatan Kiprah BKPRN Dr. Ir. Max H. Pohan, CES Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah, Kementerian PPN/Bappenas, 2007-2013 buletin tata ruang & pertanahan 5 dari redaksi Harmonisasi peraturan yang disusun oleh berbagai lembaga pengguna ruang telah selesai dikupas dalam Buletin Tata Ruang & Pertanahan Edisi I/2013. Berbagai langkah maju telah dilaksanakan oleh Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN), salah satunya dengan menginisiasi berbagai pertemuan koordinasi antarsektor yang kegiatan maupun aturannya saling terkait. Sampai dengan saat ini BKPRN sebagai badan yang awalnya dibentuk untuk menyelesaikan berbagai konflik antarsektor masih berjalan cukup baik dalam mengkoordinasikan berbagai kepentingan sektoral dan daerah. Tidak terasa, sudah hampir 25 tahun BKPRN berkiprah di Indonesia. Awalnya dibentuk pada Tahun 1989 dengan nama Tim Tata Ruang, Tim ini kemudian bertransformasi menjadi BKTRN dan kemudian BKPRN. Sampai dengan saat ini, peran dan tujuan pembentukan Tim Tata Ruang tetap konsisten. Koordinasi dan resolusi konflik masih menjadi area utama Tim Tata Ruang di masa lalu dan BKPRN di masa kini. Namun, bagaimana dengan efektivitasnya? Meningkat ataukah justru berkurang? lainnya yang diangkat dalam edisi kali ini adalah Pengendalian Pemanfaatan Ruang yang menjadi langkah strategis berikutnya setelah penyusunan rencana tata ruang berhasil ditetapkan. Materi ini diulas secara komprehensif oleh Dr. Basoeki Hadimoeljono (Dirjen Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum). Seperti halnya pada edisi-edisi sebelumnya, keseimbangan isi antara Bidang Tata Ruang dan Bidang Pertanahan selalu dipertahankan. Untuk edisi kali ini, Rubrik Ringkas Buku, Koordinasi dan Kajian akan diisi oleh Bidang Pertanahan dengan materi Bank Tanah, Kegiatan Reforma Agraria Nasional, dan Arah Kebijakan Pengelolaan Pertanahan Nasional 2015-2019. Tidak lupa berbagai kegiatan penting yang telah dilakukan sejak pertengahan Tahun 2013 sampai dengan akhir Tahun 2013 tetap kami hadirkan, termasuk juga perkenalan perdana dari Direktur Tata Ruang dan Pertanahan yang baru. Selamat datang Pak Oswar ke dalam Keluarga Besar Tata Ruang dan Pertanahan. Selamat membaca kepada seluruh penerima Buletin ini, saran untuk perbaikan tetap kami tunggu! [ma]. Selain BKPRN yang berkiprah di Pemerintah Pusat yang mengkoordinasikan berbagai kementerian dan lembaga, pemerintah daerah dituntut pula membentuk Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) untuk menjalankan fungsi yang sama di daerah. Bedanya adalah, BKPRD bertugas mengkoordinasikan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) untuk menyelesaikan masalah koordinasi lokal dan juga konflik antarsektor yang menjadi urusan pemerintah daerah. Baik BKPRN maupun BKPRD adalah badan pemerintah yang bersifat ad-hoc yang dibentuk berdasarkan keputusan pimpinan tertinggi pemerintahan. Bentuk yang bersifat ad-hoc serta jalur komunikasi yang tidak formal dan hirarkis antara BKPRN dan BKPRD dapat menjadi kekuatan maupun juga kekurangan kedua lembaga koordinasi ini. Bagaimana tanggapan para pelaku di masa lalu dan saat ini tentang kondisi tersebut? Menyambut 25 tahun BKPRN, Buletin Tata Ruang & Pertanahan mengangkat tema Kelembagaan Penataan Ruang: Upaya Pengembangan yang Telah dan Perlu Dilakukan. Fokus diskusi utama adalah koordinasi penataan ruang di Indonesia sejak Tahun 1989 sampai dengan Tahun 2013 dengan narasumber Prof. Dr. Herman Haeruman, Dr. Ir. Herry Darwanto dan Dr. Ir. Abdul Kamarzuki. Diskusi diantara ketiga narasumber tersebut menarik untuk disimak karena mewakili tiga periode yang berbeda dalam koordinasi penataan ruang nasional. Selanjutnya, untuk mewakili perdebatan hangat pembagian peran BKPRN dan BKPRD, wawancara kali ini menghadirkan Dr. Muh Marwan (Dirjen Bina Pembangunan Daerah, Kementerian Dalam Negeri) dengan topik Sinergikah BKPRN dan BKPRD?. Selain itu, topik penting susunan redaksi pelindung Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah penanggung jawab Direktur Tata Ruang dan Pertanahan pemimpin redaksi Mia Amalia dewan redaksi Dwi Hariyawan S Uke M. Hussein Nana Apriyana Rinella Tambunan editor Khairul Rizal 6 buletin tata ruang & pertanahan redaksi Hernydawati Santi Yulianti Aswicaksana Agung Dorodjatoen Raffli Noor Gina Puspitasari Indra Ade Saputra Idham Khalik desain & tata letak Dodi Rahadian distribusi & administrasi Sylvia Krisnawati Redha Sofiya Cindie Ranotra Riani Nurjanah Octavia Rahma Mahdi Chandrawulan Padmasari Gita Nurrahmi Hadian Idhar Yasaditama Dea Chintantya alamat redaksi Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, Kementerian PPN/ Bappenas Jl. Taman Suropati No. 2 Gedung Madiun Lt. 3 Jakarta 10310 021 - 392 66 01 [email protected] http://www.trp.or.id edisi II tahun 2013 daftar isi 2 Membangun Kelembagaan Penataan Ruang: Upaya Pengembangan Kelembagaan Penataan Ruang yang Telah dan Akan Dilakukan BKPRN dan BKPRD: Sudah Sinergikah? Ir. Muh. Marwan, M.Si Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah, Kementerian Dalam Negeri 4 Menjelang 25 Tahun BKPRN (1989-2013): Kontribusi dan Tantangan Prof. Dr. Herman Haeruman, Dr. Herry Darwanto, Dr. Abdul Kamarzuki 12 Pengendalian Pemanfaatan Ruang: Mencari Kelembagaan Pengendalian Pemanfaatan Ruang yang Efektif Dr. Ir. Basoeki Hadimoeljono, M.Sc. Direktur Jenderal Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum 14 Tantangan Koordinasi Penataan Ruang ke Depan: Berharap pada Peningkatan Kiprah BKPRN Dr. Ir. Max H. Pohan, CES Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah, Kementerian PPN/Bappenas, 2007-2013 25 Sosialisasi Peraturan Pemerintah Permen PU No.1 Tahun 2013 Pelimpahan Kewenangan Pemberian Persetujuan Substansi dalam Penetapan Raperda tentang RTR Kab/Kota Inpres No.8 Tahun 2013 Penyelesaian Penyusunan RTRWP & Kab/Kota 1 daftar isi 16 melihat dari dekat 18 dalam berita 20 ringkas buku 22 kajian 27 koordinasi trp buletin tata ruang & pertanahan 1 wawancara BKPRN dan BKPRD: Sudah Sinergikah? Ir. Muh. Marwan, M.Si Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah, Kementerian Dalam Negeri Saat ini, upaya penguatan kelembagaan penataan ruang, baik di nasional maupun di daerah terus dilakukan untuk menjamin keberlanjutan implementasi produk-produk penataan ruang. Kelembagaan penataan ruang yang kuat dipercaya untuk mendukung penyelenggaraan penataan ruang yang baik, dengan didukung kuantitas dan kualitas aparat yang kompeten. Peningkatan kapasitas kelembagaan penataan ruang perlu dilakukan secara terus menerus mengingat dinamika perubahan sosial, politik dan ekonomi dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang sangat berpengaruh pada pencapaian tujuan penyelenggaraan penataan ruang. Kelembagaan dalam penataan ruang menjadi elemen penting dalam penyelenggaraan penataan ruang. Koordinasi menjadi kata kunci penting untuk mengatasi berbagai kendala kelembagaan. Sebagai Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah, Kementerian Dalam Negeri, Dr. Muh. Marwan, M.Sc. menjelaskan kepada Redaksi Buletin TRP bagaimana upaya sinergis Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) dan Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) dalam penyelenggaraan penataan ruang, termasuk tantangan dan kendala yang dihadapi. Berikut hasil wawancara Redaksi: Koordinasi antar lembaga menjadi sangat penting dalam pelaksanaan pembangunan yang bersifat lintas sektor. Sebenarnya, apa urgensi dibentuknya BKPRN dan BKPRD? Penataan ruang merupakan kegiatan strategis dan bersifat multidimensional, multifungsional dan multisektoral sehingga dalam penyelenggaraannya harus ditangani secara terpadu oleh berbagai instansi di pusat maupun di daerah yang memiliki tugas dan fungsi koordinatif. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah telah mendesentralisasikan 26 urusan wajib yang salah satu diantaranya adalah Urusan Penataan Ruang, dan delapan urusan pilihan kepada daerah. Sesuai UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pemerintah berwenang dalam penyelenggaraan penataan ruang nasional, pemerintah provinsi berwenang dalam penyelenggaraan penataan ruang provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota berwenang dalam penyelenggaraan penataan ruang kabupaten/kota. Dalam implementasi kebijakan penataan ruang, peran antar BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG PUSAT Keputusan Presiden No. 4 Tahun 20009 tentang Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional. BKPRN DAERAH Pemendagri Nomor 50 Tahun 2009 tentang Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah. BKPRD Implikasi dan Pemendagri tersebut adalah penetapan Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) Provinsi dan Kabupaten/Kota di masing-masing daerah Gambar 1 Dasar Pembentukan BKPRN dan BKPRD 2 buletin tata ruang & pertanahan pemerintahan yang dilakukan secara bersama dengan prinsip kongruen diperlukan untuk mewujudkan keterpaduan dan keserasian penyelenggaraan penataan ruang nasional dan daerah. Atas dasar tersebut, Pemerintah telah membentuk BKPRN melalui Keppres No. 4/2009 tentang BKPRN. Di daerah dibentuk BKPRD sesuai dengan amanat Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 50/2009 tentang Pedoman Koordinasi Penataan Ruang Daerah, seperti terlihat pada Gambar1. Dengan dibentuknya BKPRD, Menteri Dalam Negeri bertugas untuk melakukan pembinaan dan fasilitasi pelaksanaan penataan ruang berkaitan dengan peningkatan kapasitas kelembagaan penataan ruang dan penyelenggaraan penataan ruang di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. BKPRD ini sangat penting, karena mempunyai peran strategis untuk mengawal proses penyusunan hingga penetapan Perda RTRW serta mengawal implementasi pelaksanaan pemanfaatan dan pengendalian ruang pasca penetapan Perda RTRW. Perda RTRW adalah dokumen perencanaan yang menjadi acuan kegiatan pembangunan di daerah bersangkutan yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh berbagai sektor secara konsisten. Setiap pelanggaran akan dikenakan sanksi, baik sanksi administrasi maupun sanksi pidana. BKPRN maupun BKPRD mempunyai tugas dan peran yang sangat penting dalam mengawal dan memberikan rekomendasi alternatif penyelesaian apabila ada permasalahan pemanfaatan ruang yang timbul di lapangan, baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah. Dengan perannya yang cukup strategis, sejauh ini bagaimana efektivitas kinerja BKPRN dan BKPRD? Berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sampai awal November 2013, seluruh provinsi pada prinsipnya sudah membentuk BKPRD. Dari 33 provinsi, 30 provinsi sudah merevitalisasi BKPRD sesuai dengan amanat Permendagri No. 50/2009, dan tiga provinsi yang belum merevitalisasi BKPRD-nya yaitu Sulawesi Barat, NTT, dan Papua Barat. Walaupun sudah hampir seluruh provinsi membentuk BKPRD, BKPRD belum berhasil mendorong penetapan Perda RTRW Provinsi dan RTRW Kab/Kota tepat pada waktunya. Sampai awal Bulan November 2013, dari 33 Provinsi di Indonesia, baru 18 Provinsi yang telah menetapkan perdanya, dan dari 491 kabupaten/kota di seluruh Indonesia, 322 kabupaten/kota yang telah menetapkan perdanya. Berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi yang telah dilakukan oleh Ditjen Bina Pembangunan Daerah, keterlambatan penyusunan dan penetapan Raperda RTRW Provinsi dan Kabupaten/Kota disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: 1. Lamanya proses penetapan usulan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan; 2. Masih terbatasnya sumberdaya manusia pemerintah daerah yang kompeten dalam penyusunan RTRW Provinsi dan Kabupaten/Kota; 3. Kurang optimalnya peran BKPRD dalam proses penyusunan RTRW Provinsi dan Kabupaten/Kota; dan 4. Lamanya pembahasan dengan DPRD yang sering memakan waktu cukup lama. BKPRN dan BKPRD, keduanya merupakan badan ad-hoc yang memiliki fungsi koordinasi, tapi dalam pelaksanaan fungsinya BKPRN jauh lebih aktif dibandingkan BKPRD. Bagaimana sebenarnya pola hubungan kelembagaan, baik secara struktural maupun fungsional antara BKPRN dan BKPRD? Dalam rangka menggali isu strategis di Bidang Penataan Ruang, secara hirarkis dijaring melalui pendekatan bottom-up yaitu dimulai dari forum pertemuan yang diselenggarakan oleh BKPRD Kabupaten/Kota yang dilaporkan ke BKPRD Provinsi untuk selanjutnya dibahas dalam forum Rakernas BKPRD. Beberapa isu strategis yang telah diformulasikan dalam Rakernas BKPRD kemudian dipertajam dalam Raker Regional yang dibagi menjadi Raker Regional Barat dan Raker Regional Timur. Hasil pelaksanaan Raker ini akan menjadi isu strategis yang harus dicari solusi penyelesaiannya dalam Rakernas BKPRN untuk kemudian menjadi agenda dan program kerja kementerian terkait BKPRN. Tindak lanjut dari BKPRN akan menjadi embrio program dan agenda kerja kegiatan dua tahun kedepan yang akan dilaksanakan oleh pemerintah daerah baik oleh Pemerintah Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota. Mekanisme konsolidasi isu-isu strategis penataan ruang dapat dilihat pada Gambar 2. MEKANISME KONSOLIDASI ISU-ISU STRATEGIS PENATAAN RUANG BUPATI / WALIKOTA RekomendasiR 12 Agenda BKPRN Kab/Kota GUBERNUR Input/masukan ekomendasi 4a Raker Regional BKPRN 3 Agenda BKPRN Provinsi Raker BKPRN Input/masukan 6 4b Raker Regional BKPRN Isu Strategis Tindak Lanjut Kementerian/ Lembaga Rakernas BKPRN Program Kerja 5 Gambar 2 Mekanisme Konsolidasi Isu-Isu Strategis Penataan Ruang Dalam perjalanannya, tantangan krusial yang masih dihadapi BKPRN dan BKPRD, antara lain adalah kurang sinerginya langkah kerja antar kementerian/lembaga anggota BKPRN dan SKPD anggota BKPRD. Penyebab utamanya adalah belum ditetapkannya mekanisme dan tata kerja internal BKPRN serta hubungan kerja antara BKPRN dengan BKPRD, sehinggapenyelenggaraan penataan ruang belum dapat terselenggara secara optimal. Dalam hal penyelenggaraan penataan ruang daerah, hasil pemantauan dan evaluasi yang dilakukan Ditjen Bina Pembangunan Daerah menunjukkan bahwa kinerja BKPRD sebagai badan ad-hoc yang berfungsi membantu pelaksanaan tugas Gubernur dan Bupati/ Walikota dalam koordinasi penataan ruang di daerah belum optimal. Penyebab utama BKPRD belum optimal adalah: 1. Masih tumpang tindihnya peraturan perundangan dan fungsi antar institusi; 2. Belum rincinya pedoman dan tata kerja organisasi, 3. Belum ada dukungan pendanaan yang signifikan, 4. Masih banyaknya pihak yang tidak memandang penting BKPRD; 5. Belum adanya mekanisme reward and punishment sehingga daerah tidak terpacu untuk mengefektifkan peran BKPRD; dan 6. Masih rendahnya kapasitas sumberdaya manusia daerah khususnya terkait dengan penguasaan materi Bidang Penataan Ruang. Bagaimana upaya perbaikan yang perlu dilakukan, khususnya untuk meningkatkan kapasitas BKPRD? Dalam konteks hubungan kerja antara BKPRN dan BKPRD, perlu disusun mekanisme hubungan kerja antara BKPRN dan BKPRD dalam upaya mensinergikan program kerja kedua lembaga tersebut agar peran dan fungsinya optimal dalam melakukan koordinasi penyelenggaraan penataan ruang nasional dan daerah khususnya dalam menyelesaikan berbagai permasalahan penataan ruang lintas sektor, lintas daerah dan lintas wilayah. Dalam penyelesaian konflik permasalahan pemanfaatan ruang yang memerlukan rekomendasi dari BKPRD, diperlukan peningkatan peran BKPRD agar BKPRD dapat melaksanakan tugasnya secara lebih efektif. Upaya ini dilakukan agar setiap konflik pemanfaatan ruang yang terjadi di daerah tidak harus dibawa sampai pada tingkat BKPRN karena penyelesaian permasalahan pemanfaatan ruang dilaksanakan sesuai dengan kewenangannya. Dalam rangka mengoptimalkan peran BKPRD untuk percepatan penyelesaian Perda RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota dan penyelesaian permasalahan penyelenggaraan penataan ruang, telah dilakukan langkah-langkah strategis sebagai upaya memantapkan kelembagaan penataan ruang daerah. Beberapa diantaranya adalah menyusun mekanisme dan tata kerja (SOP) BKPRD, pengembangan data dan informasi, peningkatan kualitas aparatur pemerintah daerah, dan pemberian reward and punishment di Bidang Penataan Ruang. Saat ini, Kemdagri melalui Ditjen Bina Pembangunan Daerah sedang menyusun Pedoman Tata Kerja BKPRD tersebut. Selain itu, dilakukan upaya revitalisasi dan pembentukan BKPRD sesuai amanat Permendagri No. 50/2009 serta memberdayakan BKPRD yang diarahkan tidak hanya untuk keperluan pemecahan berbagai Masalah Penataan Ruang tetapi juga untuk pengembangan kelembagaan penataan ruang yang lebih utuh di daerah, dan yang mempunyai agenda kerja yang baik. Kelembagaan yang telah dibentuk, perlu didukung dengan upaya peningkatan kapasitas sumberdaya manusia daerah khususnya di Bidang Penataan Ruang, dan penyediaan sarana, prasarana, serta data dan informasi penataan ruang secara komprehensif. Hal krusial untuk menjamin efektivitas BKPRD adalah komitmen Kepala Daerah untuk mengalokasikan anggaran APBD-nya masing-masing untuk operasionalisasi pelaksanaan tugas BKPRD. Dalam hal ini Sekretariat BKPRD mempunyai peran penting untuk menyusun program kerja BKPRD dan kebutuhan anggarannya untuk selanjutnya diintegrasikan dengan rencana pembangunan daerah baik untuk rencana pembangunan jangka pendek (tahunan) maupun rencana pembangunan jangka menengah. buletin tata ruang & pertanahan 3 Menjelang 25 tahun BKPRN (1989-2013): artikel kontribusi dan tantangan Prof. Dr. Herman Haeruman, pernah menjabat Deputi Bidang Regional dan Sumberdaya Alam, Kementerian PPN/ Bappenas Dr. Herry Darwanto, pernah menjabat Staf Ahli Kepala Bappenas Bidang Penataan Ruang, Kementerian PPN/ Bappenas Dr. Abdul Kamarzuki, Asisten Deputi Bidang Pengembangan Wilayah dan Daerah Tertinggal, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Perjalanan BKPRN selama 25 tahun ini telah menemui berbagai tantangan dan kendala. Banyak permasalahan yang berhasil ditangani, banyak pula pihak yang tidak dapat menerima penyelesaian masalah yang direkomendasikan. Untuk mendapatkan gambaran peran optimal BKPRN, kami melakukan wawancara dengan tiga tokoh penting yang selama ini berperan aktif di BKPRN, baik di era sentralisasi, dalam peralihan dari sentralisasi ke desentralisasi dan di masa otonomi daerah sudah berjalan. Ketiga tokoh tersebut adalah Prof Dr Herman Haeruman (pernah menjabat sebagai Deputi Bidang Regional dan Sumberdaya Alam, Bappenas/Sekretaris BKTRN), Dr Ir Herry Darwanto, MSc (pernah menjabat sebagai Staf Ahli Kepala Bappenas Bidang Penataan Ruang, Direktur Penataan Ruang, Pertanahan dan Lingkungan Hidup, Bappenas) dan Dr Ir Abdul Kamarzuki, MPM (sekarang menjabat sebagai Asisten Deputi Bidang Pengembangan Wilayah dan Daerah Tertinggal, Menko Perekonomian/Sekretaris Pokja 4 BKPRN). Lembaga Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) merupakan forum koordinasi penataan ruang yang dibentuk melalui Keputusan Presiden No. 2/2009 sebagai pengembangan dari forum sebelumnya yang bernama Tim Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional yang dikenal dengan sebutan Tim Tata Ruang pada Tahun 19891 yang kemudian diubah menjadi Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN) pada Tahun 19932 yang kemudian diubah keanggotaannya pada Tahun 20003. Komposisi keanggotaan BKPRN ini bertahan sampai dengan Tahun 20094 (Abdul Kamarzuki (AK)). Tujuan utama Tim Tata Ruang, BKTRN dan BKPRN adalah untuk melaksanakan pembangunan nasional secara terkoordinasi dan menangani masalah pemanfaatan ruang bagi keperluan pembangunan. Dampak akhir yang diharapkan adalah sinerginya penggunaan ruang oleh berbagai sektor (Herry Darwanto (HD)). Pada saat yang sama, di pusat, BKTRN berfungsi untuk koordinasi lintas sektor dalam penggunaan ruang, di daerah, BKPRD melaksanakan fungsi yang sama untuk mengkoordinasikan pemanfaatan ruang lintas SKPD (Herman Haeruman (HH)). Anggota Tim Tata Ruang,yang ditetapkan pada Tahun 1989, beranggotakan Menteri PPN/Ketua Bappenas, Menteri/Sekretaris Negara, Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, dan Menteri Dalam Negeri/Kepala Badan Pertanahan Nasional. Seluruh anggota Tim Tata Ruang memiliki akses untuk merencanakan penggunaan ruang, namun tidak secara langsung menggunakan ruang. Resolusi konflik diantara pengguna ruang dapat dilakukan dengan mudah karena independensi Tim Tata Ruang ini sehingga penyelesaiannya adil dan tidak memihak. Pada saat itu pembangunan wilayah dilaksanakan antarsektor berdasarkan fungsi ruang (HH). Pada Tahun 1993, keanggotaan Tim Tata Ruang ditambah oleh Menteri Pertahanan dan Menteri Pekerjaan Umum. Namanya diubah 1 Keppres 57/1989 tentang Tim Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional. 2 Keppres 75/1993 tentang Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional. 3 Keppres 62/2000 tentang Koordinasi Penataan Ruang Nasional. 4 Keppres 4/2009 tentang Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional. 5 Keppres 4/2009 tentang Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional 4 buletin tata ruang & pertanahan menjadi Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN). Pada masa 1993-1997, penataan ruang dimulai dengan pembangunan infrastruktur sampai dengan selesainya PP No. 47/1997 tentang RTRWN. Setelah itu, penataan ruang kembali menjadi acuan utama pengembangan wilayah (HH). Pada Tahun 2000, BKTRN dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri. Anggota BKTRN pada saat itu adalah Menteri Permukiman dan Pengembangan Wilayah, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertahanan, Menteri Pertanian, Menteri Negara Pekerjaan Umum, Menteri Negara Lingkungan Hidup, Menteri Negara Otonomi Daerah, Kepala Badan Pertanahan Nasional dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional selaku Sekretaris BKTRN. Pada masa tersebut penataan ruang dan pembangunan infrastruktur kembali bergabung pelaksanaannya di Kementerian Permukiman dan Pengembangan Wilayah. Namun demikian perizinan dan pembangunan di lapangan harus dikoordinasikan dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) karena hanya BPN yang memiliki hubungan langsung dengan pelaksana kegiatan. Pada saat itu, dana yang cukup besar untuk penataan ruang dialokasikan ke BPN untuk penyusunan peta dasar, kemudian pada Bakosurtanal (saat ini BIG) berperan dalam pembuatan informasi spasial (peta). Kedua badan ini, BPN dan Bakosurtanal, yang menjadi motor informasi dalam penyelenggaraan tata ruang (HH). Pada Tahun 2007, UU No. 26/2007 ditetapkan untuk mengganti UU No. 24/1992. Seiring dengan perubahan UUPR, BKTRN berubah menjadi BKPRN5 dan menambah anggotanya dengan menteri pengguna ruang: Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral, Menteri Perindustrian, Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan, Menteri Perhubungan, Menteri Kelautan dan Perikanan (AK). Peran Peran penting yang dilaksanakan oleh BKPRN adalah menetapkan strategi nasional pengembangan pola tata ruang secara terpadu dengan pendekatan kewilayahan. Selain itu, BKPRN berperan penting untuk untuk koordinasi perumusan kebijakan dan pelaksanaan strategi nasional pengembangan pola ruang serta untuk melaksanakan UU No. 24/1992 tentang Penataan Ruang (HD). Di awal pembentukannya, Tim Tata Ruang berperan penting untuk membatasi penggunaan kawasan lindung. Kawasan lindung adalah kawasan yang memiliki fungsi perlindungan daerah diluarnya, seperti hulu sungai, sempadan sungai, sempadan danau dan pantai. Kawasan ini tidak harus dijadikan milik negara, tapi dibutuhkan etika membangun. Kawasan lindung yang di dalamnya terdapat kampung adat seharusnya memiliki perlindungan terhadap lereng gunung. Masyarakat yang hidup di dalamnya menjadi bagian penting pengelolaan kawasan lindung. Kebijakan tersebut dipegang teguh oleh pemerintah pusat dan diacu oleh pemerintah daerah (HH). Perubahan fungsi kawasan lindung menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Pendekatan yang berbeda dilakukan untuk pengembangan kawasan budidaya. Kawasan budidaya adalah kawasan yang menguntungkan banyak orang secara ekonomi. Namun demikian, pengguaan dan manfaat langsungnya ‘tidak boleh dipertandingkan dengan kawasan lindung’. Target penting yang harus dihasilkan dari kawasan ini adalah output regionalnya. Perubahan fungsi kawasan budidaya boleh dilakukan, tapi dilakukan pengawasan oleh daerah (HH). BKTRN dulu begitu kuatnya, seperti contoh kasus di Sumatera Barat. Gubernur mengajukan pembangunan jalan dari pantai menuju gunung menembus taman nasional dengan tujuan untuk membuka akses bagi masyarakat pengunungan. Namun setelah dikaji, biayanya terlalu besar, kemudian BKTRN dan daerah berdiskusi, akhirnya diputuskan bahwa jika ingin tetap membangun, jalan dibuat melingkar dan agar tidak terlihat jauh orang dibuat berkeliling tempat-tempat yang berkembang disepanjang jalan tersebut, bisa tempat makan, wisata, dan lainnya sehingga memunculkan regional outputnya. Hal yang sama terjadi juga untuk pembangunan Jalan Ladiagalaska yang direncanakan melintas TN Leuser (HH). Perbedaan signifikan atas peran BKPRN sangat terasa setelah perubahan UUPR dari UU No. 24/1992 menjadi UU No. 26/2007. Beberapa contoh diantaranya seperti menurunnya konsep perlindungan kawasan lindung dan konsep dana kompensasi kawasan lindung. Daerah dengan kawasan lindung mendapatkan dana kompensasi sehingga tidak perlu mencari pendapatan dengan mengkonversi kawasan hutannya. Seperti kasus di kabupaten sebelah barat Aceh yang memiliki 60 persen lebih kawasan lindung, artinya daerah mendapat dana kompensasi untuk perannya memelihara kawasan hutan tersebut (HH). Kinerja Kesepakatan dalam forum BKTRN bermuara pada penetapan peraturan perundangan. Dengan mengandalkan Tim Pelaksana, BKPRN telah menyelesaikan PP dan Perpres yang diamanatkan oleh UU No. 26/2007 kecuali RPP tentang Penataan Ruang Kawasan Pertahanan dan Keamanan. Selain itu, BKPRN, melalui Tim Pelaksana, telah mengkoordinasikan berbagai kementerian/ lembaga anggotanya, untuk mempercepat proses pembahasan Perda RTRW Provinsi dan Kabupaten/Kota berikut mendorong penetapannya oleh pemerintah daerah. Kelembagaan Sampai dengan saat ini, BKPRN adalah lembaga ad-hoc. Seluruh rekomendasi dan persetujuan teknis yang dihasilkan BKPRN bersifat saran ataupun arahan bagi pemangku kepentingan dalam pemanfaatan ruang. Saran atau arahan tersebut akan memiliki legitimasi jika telah diakomodir dalam bentuk produk hukum (PP, Perpres, dan Perda) (AK). Beberapa pendapat menyatakan bahwa, bentuk ad-hoc ini tidak efektif untuk melaksanakan penataan ruang dan dibutuhkan kementerian/lembaga khusus yang dapat mengkoordinasikan seluruh proses penataan ruang yang dilakukan oleh berbagai sektor dan pemerintahan pada saat yang sama. Pendapat ini menjadi salah satu pemikiran yang mendorong forum BKPRN menjadi lembaga yang lebih permanen. Kekurangan yang sangat menonjol adalah lembaga permanen ini kemungkinan besar tidak dapat menangani konflik pemanfaatan ruang apabila berdiri sebagai bagian yang terpisah sama sekali dari kementerian atau lembaga pengguna ruang lainnya, menjadi sektor tata ruang, menghilangkan sifat koordinasi. Hal penting lain yang perlu diperhatikan adalah upaya reformasi birokasi,yang sedang dijalankan saa ini, mengarah pada perampingan dan efisiensi birokrasi, sehingga pembentukan badan baru menjadi langkah yang tidak strategis (AK). Tim Pelaksana BKPRN diketuai oleh Menteri Pekerjaan Umum. Secara teknis, melalui Tim Pelaksana, forum BKTRN berfungsi untuk memberikan pendapat (rekomendasi) yang merupakan kesepakatan serta persetujuan teknis bagi dalam proses penyiapan produkproduk tata ruang baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), maupun Peraturan Daerah (Perda Kab/Kota) (AK). Rekomendasi dari forum BKPRN ini merupakan acuan atau terjemahan lebih detail dari substansi Peraturan Perundang-undangan yang ada agar dapat mendukung kebijakan pemanfaatan ruang. Sejak BKPRN memiliki Tim Pelaksana6, rapat koordinasi tingkat menteri tidak sepenuhnya efektif digunakan untuk pengambilan keputusan dan resolusi konflik antarsektor. Padahal, konflikkonflik utama muncul karena kewenangan beberapa kementerian yang sangat tinggi untuk mengatur penggunaan ruang nasional. Konflik tersebut hanya dapat diselesaikan melalui Sidang BKPRN, mekanisme pengambilan keputusan tertinggi yang berada di tangan para menteri. Konsep Konsep penataan ruang yang pertama kali disusun saat Tim Tata Ruang dibentuk adalah, rencana tata ruang (RTR) secara makro harus melalui persetujuan BKTRN dan sektoral/daerah boleh mengajukan usulan, tapi perlu dilengkapi dengan kajian khusus dampak lingkungannya. Setelah disetujui BKTRN, daerah hanya melakukan pengawasan. Kewenangan BKTRN sangat kuat, terlihat dari kemampuan BKTRN menghentikan pembangunan yang dilakukan oleh pejabat daerah di berbagai kawasan penting. Kewenangan ini diperkuat karena masa pemerintahan masih bersifat sentral sehingga Bupati tunduk pada aturan. Kewenangan ini menjadi penting karena memudahkan pemanfaatan ruang yang sesuai dengan rencana tata ruang (HH). Peran Pemerintah yang 6 Keppres No 4 Tahun 2009 tentang BKPRN Pasal 6 menyebutkan bahwa: “(1) dalam rangka kelancaran pelaksanaan tugas Tim Pelaksana dapat dibentuk Kelompok Kerja untuk menangani tugas-tugas yang bersifat khusus; (2) Pembentukan, tugas, susunan keanggotaan, dan tata kerja Kelompok Kerja diatur lebih lanjut oleh Ketua BKPRN.” buletin tata ruang & pertanahan 5 kuat saat itu, Bupati wajib melaporkan segala bentuk perizinan ke BKTRN sehingga BKTRN memiliki informasi aktual dari daerah. Pada saat yang sama, koordinasi bukan masalah besar dalam penyelenggaraan penataan ruang karena sejak awal, pengalokasian fungsi ruang sudah tergambar dalam peta dengan menggunakan Sistem Informasi Geospasial. Namun memang yang menjadi kendala adalah skala peta yang digunakan masih terlalu kecil. Untuk mengatasinya, Kementerian Kehutanan dibawah koordinasi BKTRN memiliki badan planologi kehutanan (UPT) antar kabupaten. Mereka melakukan koordinasi dengan BPN, BPN berperan memetakan tata guna tanah. BPN dan kehutanan bekerja sama ketika sebagian kawasan hutan akan diubah untuk mengakomodasi pembangunan, hutan dilepas dan BPN mengambil alih proses tata guna lahan. Saat itu BKTRN fokus pada menjaga fungsi utama ruang: kawasan lindung dan kawasan budidaya. Selain itu, secara desain, fokus antara RTRWN, RTRWP dan RTRWK dibuat berbeda. RTRWN yang bersifat makro bertujuan untuk mempertahankan fungsi kawasan agar tidak berubah dalam jangka waktu 25 tahun. Sementara itu, RTRWK yang bersifat lebih dinamis dengan skala peta yang lebih besar berfungsi dalam proses pemberian izin penggunaan ruang. Karena itu, jangka waktu RTRWK didesain lebih pendek, hanya 10 tahun untuk mengatasi dinamika penggunaan ruang di lapangan. Logika yang sama digunakan dalam penyusunan RPJPN dan RPJMN. RPJMN menjabarkan RPJPN namun juga harus dapat mengatasi dinamika tahunan. Dengan menggunakan logika yang sama, RTRWN pada saat itu berupa visi yang dijabarkan dalam progam dan kegiatan di dalam RTRWK. Saat ini, perlu didorong agar RTRW didesain untuk memberikan masukan kebijakan spasial bagi rencana pembangunan yang bersifat deskriptif. Apabila dipergunakan, maka RTRW dapat memberikan kepastian lokasi berjangka panjang bagi para pelaku pembangunan. Kepastian ini dapat menjamin pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Fungsi RTRW yang tetap harus dipertahankan adalah perlindungan kepada fungsi ekosistem dan memberikan kesempatan kepada pertumbuhan ekonomi regional dan nasional yang bersifat jangka panjang serta melindungi tujuan pembangunan nasional dari kepentingan jangka pendek sektoral dan daerah. RTRW harus dapat cukup fleksibel memberi kesempatan pada perkembangan teknologi modern untuk pemanfaatan fungsi ruang untuk mengakomodasi pembangunan yang tidak terbatas. Dalam konsep ini, daerah boleh melakukan perencanaan, tapi hanya di kawasan budidaya, sedangkan kawasan lindung bersifat given karena ada di RTRWN. Indonesia harus belajar dari Amerika, dimana mereka memiliki daerah khusus yang dipertahankan kawasan lindungnya yang juga memberikan pendapatan daerah terbesar (HH). Setelah konsep ecoregion diperkenalkan untuk menghubungan konsep penataan ruang dengan pelestarian fungsi dan daya dukung lingkungan, Pemda dituntut lebih cakap untuk mengenali karakter wilayahnya (ekologi & ekonomi). Setelah seluruh isunya ditemukenali, Pemda menyusun interaksi antara kawasan dan melakukan KLHS untuk rencana yang sedang disusun (HH). Hubungan antara berbagai bidang ilmu harus benar-benar terjaga dalam penataan ruang karena pada dasarnya penataan ruang adalah bagian dari landscape architecture yang mengkombinasikan tiga keilmuan, yakni lingkungan (ecogeografi), planologi, dan design engineering, yang membentuk keterpaduan wilayah. Saat ini, ketidakpaduan terletak pada masalah pemahaman dan ego sektoral yang kuat sehingga aturan yang ditetapkan setelah era desentraliasi 6 buletin tata ruang & pertanahan berbeda-beda. Tata ruang ini seharusnya berperan membangun sektor-sektor yang lebih luas sehingga peningkatan perekonomian wilayah dapat terwujud (HH). Permasalahan Cukup banyak permasalahan yang dihadapi BKPRN di masa desentralisasi ini, masalah utama yang diangkat para narasumber adalah: (1) kurangnya koordinasi yang berakibat pada perbedaan persepsi antara pemangku kepentingan, banyaknya aturan sektoral yang tidak serasi, selain itu, SOP koordinasi di dalam BKPRN belum didefinisikan dengan baik; (2) rendahnya kualitas rencana yang salah satunya disebabkan oleh belum memadainya sistem informasi spasial yang memadai; dan (3) pemanfaatan ruang yang belum optimal (HH, HD, AK). Koordinasi Kelemahan koordinasi antar sektor dimulai dengan perbedaan pemahanan atas sektor lain yang bermuara pada tidak serasinya peraturan sektoral. Dalam peraturan sektoral, kepentingan setiap sektor dituangkan ke dalam berbagai peraturan dalam berbagai bentuk, UU, PP, Perpres dan Keppres (AK). Perbedaan pemahaman antarpemangku kepentingan semakin memperlemah koordinasi yang belum tercipta dengan baik. Baik koordinasi antarsektor dan antarlevel pemerintahan (AK). Selain itu, prosedur harmonisasi peraturan dan koordinasi pelaksanaan penataan ruang belum dilakukan dengan baik (AK), BKPRN tidak dapat memaksa instansi terkait untuk mengimplementasikan tata ruang (HD).Koordinasi antar sektor menyebabkan beberapa RTRW Provinsi/Kabupaten/ Kota yang telah selesai disusun tidak dapat segera ditetapkan. Prosedur resolusi konflik yang ada di dalam BKPRN tidak mampu mengubah keputusan salah satu sektor yang menjadi anggota BKPRN (HH). Lemahnya koordinasi ini berakibat cukup besar dalam pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang. Kecenderungan yang muncul adalah terlalu banyak kewenangan di satu daerah atau tidak ada yang berwenang sama sekali di daerah lainnya. Kondisi tersebut menimbulkan konflik antarpelaku pembangunan. Contohnya adalah kurangnya informasi di lapangan bahwa suatu kawasan ditetapkan sebagai kawasan lindung. Masyarakat yang seumur hidupnya berada di kawasan tersebut akhirnya membangun rumah, atau mendirikan bangunan sesuai dengan keperluannya. Contoh lainnya adalah informasi tersedia yang menunjukkan bahwa suatu kawasan tidak boleh ada pembangunan karena statusnya sebagai kawasan lindung, namun tidak ada upaya yang serius untuk menegakkan peraturan itu. Pengendalian yang tidak efektif karena tidak ada yang merasa berwenang menyebabkan tumbuhnya permukiman di sepanjang sempadan sungai di kotakota besar (HD). Kualitas rencana Rendahnya kualitas rencana tata ruang sebagian besar disebabkan oleh informasi geospasial yang tersedia belum memadai untuk menyusun rencana yang paripurna. Sejak awal, pengalokasian fungsi ruang sudah tergambar dalam peta dengan menggunakan GIS. Namun skala peta yang digunakan masih terlalu kecil. Saat itu teknologi satelit belum ada sehingga untuk peta skala besar sangat mahal, tapi sekarang sudah ada teknologinya jadi seharusnya tata ruang dilengkapi peta skala 1:10.000, bukan hanya untuk implementasi rencana, tapi juga pengendalian. Rencana yang baik hanya bisa terwujud apabila kita mampu mengejar ketertinggalan dalam penyediaan informasi geospasial ini (HH). Belum lagi pengertian ‘rencana hirarkis’ yang belum cukup baik dimengerti sehingga pemerintah daerah cenderung mencontoh RTR yang dibuat pemerintah lebih tinggi. Pemerintah daerah gamang untuk membuat RTR yang berbeda, karena khawatir tidak mendapatkan persetujuan substansi dari pemerintah pusat. Permasalahan yang timbul di kemudian hari adalah kemiripan rencana tata ruang yang disahkan oleh berbagai daerah (HD). Pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang Setelah rencana selesai disusun, langkah berikutnya yang perlu dilakukan adalah pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang. Masalah yang paling banyak timbul adalah pemanfaatan kawasan lindung dan budidaya. Pemanfaatan ruang di kawasan lindung dan terutama daerah resapan air yang akan berpengaruh pada kawasan di bawahnya perlu dikendalikan dengan baik karena dampaknya sangat luas. Namun demikian, pengendalian pemanfaatan ruang tidak dilaksanakan dengan baik. Contohnya adalah pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan puncak yang terlihat tidak serius dan tidak berhasil secara signifikan. Perpres tentang Penataan Ruang Jabodetabekpunjur telah ditetapkan begitu pula Perda RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota yang berada di Jabodetabekjur, namun outcome dari peraturan itu tidak terlihat, dengan kata yang lugas, tidak ada pengaruhnya apa-apa (HD). Di tingkat nasional dan daerah, sudah cukup banyak kegiatan yang dilakukan dan telah didukung alokasi dana yang cukup besar seperti: undang-undang dan peraturan pelaksanaannya; lembaga BKPRN dan BKPRD yang mengkoordinasikan kebijakan dan pelaksanaan penataan ruang; rencana tata ruang mulai dari skala nasional, pulau, provinsi hingga kabupaten/kota. Namun, berbagai permasalahan muncul justru setelah rencana ditetapkan, semakin terlihat bahwa pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang harus dilakukan dengan konsisten (HH). Alternatif penyelesaian masalah Koordinasi Untuk mengatasi ketiga permasalahan di atas, alternatif penyelesaian masalah yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah kurangnya koordinasi adalah penyamaan persepsi di dalam forum BKPRN sebelum menyelesaian masalah koordinasi di daerah (AK). Prakondisi yang dibutuhkan adalah menyepakati prinsip penataan ruang di dalam BKPRN, caranya adalah dengan membangun idealisme dari masing-masing bidang keilmuan yang membentuk BKPRN dan konsensus yang telah dibangun, dengan tetap memperhatikan kondisi saat ini (HH). Harapan di masa yang akan datang, keteraturan, kepastian penggunaan ruang perlu menjadi prioritas utama yang dikoordinasikan oleh BKPRN dengan pertimbangan bahwa jumlah ruang tetap sementara jumlah penduduk akan terus bertambah (HH). Untuk koordinasi di daerah, Bappeda perlu menjadi ujung tombak penggerak BKPRD. Koordinasi tidak dapat diserahkan kepada sektor karena pengambilan keputusan terutama untuk penyelesaian konflik tidak akan berimbang (HH). Catatan penting untuk kondisi lembaga saat ini adalah bentuk BKTRN/D yang menyatukan kelompok independen yg tak terikat dengan pembangunan ruang dengan kelompok pemakai ruang, maka kesepakatan ad-hoc itu banyak masalah perbedaan kepentingan, maka diperlukan suatu independen group di luar BKTRN/D untuk membantu mencapai keseimbangan antara kepentingan negara dengan kepentingan daerah, antara kepentingan sektoral dengan kepentingan nasional/ regional, dan kepentingan pemeliharaan cadangan ruang yang harus dipelihara untuk masa depan ketika iptek dan social perception mampu menanggapi berbagai konflik (HH). Perencanaan Untuk mengatasi masalah perencanaan, pemerintah pusat perlu mengubah paradigma dari menyusun rencana tata ruang dari skala nasional hingga skala rinci tingkat lokal secara hirarkis, menjadi mengamankan kawasan strategis untuk kepentingan nasional saat ini dan untuk pembangunan berkelanjutan, dan mendukung, persisnya memberikan bantuan dana kepada daerah, untuk mengerjakan penataan ruang sesuai konsep yang disusun daerah. Pemerintah daerah perlu mewujudkan tata ruang yang nyaman, memberi penekanan pada pembuatan taman-taman dan RTH, pembuangan sampah, perbaikan gorong-gorong, pembenahan kampung padat, pembuatan paving,penyediaan air bersih.Orientasi penataan ruang yang semula menekankan konsep atau rencana dan berskala makro, diubah menjadi bersifat konkrit dan mikro, tentu dengan perspektif jangka panjang(HD) sesuai dengan yang telah tercantum secara makro di dalam RTRWN (HH). Pembagian peran antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam penataan ruang perlu dikaji lebih detail lagi. Contoh kawasan yang perlu diatur pusat adalah kawasan cagar budaya, hutan lindung, suaka margasatwa; kemudian kawasan untuk keperluan pertahanan negara, seperti kawasan peluncuran roket, kawasan latihan perang. Kawasan-kawasan ini harus ditetapkan batasbatasnya dan kemudian dikelola oleh lembaga pusat tertentu. Dengan mengingat tragedy of the commons, yaitu kalau suatu kawasan menjadi milik bersama atau tidak jelas siapa yang memilikinya, maka setiap orang akan mengeksploitasi kawasan itu sehabis-habisnya. Pemda menata kawasan di luar kawasankawasan strategis nasional ini. Kemudian beri kepercayaan kepada daerah untuk mengatur sendiri penggunaan ruang wilayah itu. Daerah-daerah pada mulanya mungkin kesulitan membuat rencana tata ruangnya, namun lama kelamaan akan mampu membuat RTR sendiri. Banyak contoh dari dalam dan luar negeri mengenai rencana tata ruang yang baik dan dapat dicontoh.Tidak perlu ada pedoman penyusunan RTR yang harus ditaati secara ketat oleh daerah (HD). Perencanaan tetap perlu, tetapi jangan menunggu harus semua selesai. Misalnya jangan menunggu sampai rencana rinci ditetapkan DPRD dan disahkan Provinsi, baru kemudian melakukan implementasinya. Itu akan memakan waktu lama. Kerjakan saja dulu yang dapat dilakukan dan jelas bermanfaat. Masyarakat sudah menunggu hasil konkrit, hulu penundaan biasanya adalah pemikiran birokratis dan penyusunan konsep rencana yang sulit diimplementasikan. Misalnya, untuk bisa menghasilkan rencana detil tata ruang diperlukan peta dasar yang berskala besar. Menghasikan peta ini untuk seluruh wilayah kota bisa memakan waktu bebeberapa tahun. Jadi gunakan saja informasi yang ada untuk membuat kebijakan, mana daerah yang tidak boleh digunakan sebagai kawasan permukiman, dan mana yang boleh. Jadi rencana penataan ruang tetap perlu ada, namun jangan terganggu oleh prosedur yang birokratis.Bila masyarakat melihat hasil yang nyata, pasti akan diapresiasi dan di-bela jika dimejahijaukan karena menabrak peraturan perundangan. Di sini diperlukan kebijakan seorang kepala daerah. Juga jangan kuatir kebijakan itu akan diubah oleh kepala daerah berikutnya. Masyarakat akan mengawasi dan mencegah kebijakan yang tidak didasarkan pada pertimbangan yang benar (HD). Kemudian dari sisi substansi, RTR yang dibutuhkan untuk pengendalian ruang kabupaten/kota adalah rencana tata ruang yang rinci, dengan skala peta yang besar.Jika belum ada peta dasarnya, perlu dibuat ketentuan yang jelas, sehingga tidak buletin tata ruang & pertanahan 7 disalahtafsirkan. Ingat, bangsa kita punya kemampuan menyusun rencana tata kota sejak berabad-abad yang lalu dengan bukti adanya candi Borobudur, kota Trowulan yang menjadi ibukota kerajaan Majapahit. Kalau saat ini kita belum melihat banyak RTR yang kualitasnya baik, penyebab utamanya adalah belum ada kesungguhan untuk mengusahakannya (HD). Pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang Untuk pemanfaatan ruang, BKPRN perlu mengubah orientasinya dari perencanaan menjadi pelaksanaan, dari “merencanakan” menjadi “mewujudkan”. BKPRN perlu menggunakan kapasitas yang dimilikinya untuk membantu pemerintah kabupaten/kota untuk mewujudkan tata ruang yang dapat dinikmati oleh masyarakat. Kementerian Kehutanan dapat mencontoh Jarum Foundation menanam pohon trembesi di sepanjang jalan Pantura, misalnya dengan melakukan hal sama di jalur Jawa Selatan serta di pulaupulau lain. Kementerian Pekerjaan Umum membantu pemerintah kota membangun RTH. Kementerian Lingkungan Hidup membantu pemda mendaur ulang sampah. Kementerian Perumahan Rakyat membantu pemerintah kabupaten/kota membangun prasarana lingkungan permukiman. Begitu pula halnya dengan kementerian/ lembaga lainnya terutama anggota BKPRN, melakukan hal yang sama sesuai kewenangan masing-masing, tetapi dengan tujuan yang jelas dan sesuai kebutuhan daerah. Daerah jangan lagi didorong untuk menyelesaikan perda RTRWnya saja, tetapi dibantu langsung untuk mewujudkan tata ruang seperti yang diharapkan oleh masyarakat. BKPRN juga perlu melibatkan swasta untuk mengerjakan hal yang sama secara terkoordinasi. Lembagalembaga internasional pasti akan bersedia jika diajak menata kota secara konkrit, karena dampak ekonomi dan sosialnya yang besar (HD). Apabila kemudian muncul pertanyaan tentang masalah kewenangan yang dilangkahi karena skema tersebut di atas, jawabannya adalah bahwa sistem pemerintahan yang ada membuat pemda tidak mempunyai cukup anggaran untuk melakukan semua urusan yang menjadi tanggungjawabnya secara memadai. Jadi pemerintah pusat perlu ikut terjun membantu pemda. Lebih baik lagi bila kenaikan penerimaan pemerintah pusat setiap tahun ditransfer kepada pemda melalui mekanisme DAK untuk mengisi tata ruang yang direncanakan pemda. Namun, langkah ini memerlukan persetujuan DPR yang mungkin sulit diwujudkan dalam waktu dekat.Yang dapat dilakukan saat ini adalah kerjasama antara kementerian/lembaga anggota BKPRN menggunakan anggaran yang ada untuk membantu kota-kota besar dan kecil mewujudkan tata ruang yang lebih berkualitas (HD). Contoh-contoh pelaksanaan dapat diambil dari yang telah dikerjakan oleh pemerintah daerah yang visioner dan telah terbukti berhasil dalam penataan ruang. Salah satunya adalah Pemerintah Kota Surabaya. Pemerintah Kota Surabaya telah berhasil menghadirkan tata ruang yang nyaman, indah, bersih, lancar, teratur dan inklusif, serta atribut lain yang seperti itu, yang saya yakin juga sama dengan yang diamanatkan oleh UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang. Penataan ruang yang efektif di Kota Surabaya dapat dinikmati oleh masyarakat warga kota dan diapresiasi oleh pengunjung dari luar. Yang ditata di Kota Surabaya bukan hanya kawasan di pusat kota seperti umumnya di banyak kota lain, namun hingga ke kampung-kampung. Terasa ada tangantangan pemerintah kota yang mengatur lingkungan permukiman penduduk, termasuk sarana MCK, saluran pembuangan, sarana pedestrian dan taman lingkungan. Hasil akhir yang bisa dinikmati oleh warga dan pengunjung adalah kebersihan, keindahan dan kelancaran lalulintas di pusat Kota Surabaya tidak kalah dengan kota-kota lain di negara maju. Ini adalah wujud penataan ruang yang kita harapkan ada di kota-kota seluruh Indonesia. Sekali lagi kinerja upaya penataan ruang tidak dilihat dari peraturan dan rencana tata ruang yang dihasilkan, namun dari wujud tata ruang yang dapat dinikmati oleh penduduk (HD) [ma/gp]. Status Penyelesaian Peraturan Daerah RTRW Provinsi Status Penyelesaian RTRW yang Belum Perda Provinsi No. 8 A Proses Revisi B Proses Persetujuan Substansi B1 : Proses Persetujuan Substansi Teknis PU B2 : Proses Persetujuan Substansi Kehutanan C Memperoleh Persetujuan Substansi C1 : Memperoleh Persetujuan Substansi Menteri PU C2 : Memperoleh Persetujuan Substansi Menteri Kehutanan D Pembahasan DPRD E Evaluasi di Kementerian Dalam Negeri buletin tata ruang & pertanahan 1 NAD 2 Sumatera Utara 3 Riau 4 Sumatera Selatan 5 Kep. Riau 6 Kep. Bangka Belitung 7 Kalimantan Barat 8 Kalimantan Tengah 9 Kalimantan Selatan 10 Kalimantan Timur 11 Sulawesi Utara 12 Sulawesi Tengah 13 Sulawesi Tenggara 14 Sulawesi Barat 15 Papua Jumlah A AD 15 B C B1 B2 C1 C2 15 15 15 13 D E 13 5 Profil Direktur TRP profil Oswar Mungkasa Senin, 16 September 2013, Bapak Oswar Mungkasa yang sering disapa ‘Pak Os’ dilantik oleh Menteri PPN/ Bappenas, sebagai Direktur Tata Ruang dan Pertanahan-Kementerian PPN/Bappenas menggantikan Bapak Deddy Koespramoedyo (Alm). Lahir di Makassar, 26 Juli 1963, dengan nama Oswar Muadzin Mungkasa adalah doktor lulusan ekonomi publik (Universitas Indonesia); master perencanaan wilayah dan kota (Univesitas Pittsburgh); serta insinyur (Institut Teknologi Bandung. Ayah dari Fachriey Fadhlullah Mungkasa ini, dikenal sebagai pribadi yang cerdas, energik, dan supel. Sudah lebih dari 20 tahun beliau berkecimpung di dunia pemerintahan menjadi pegawai negeri sipil. Karirnya dimulai pada 1992 sebagai staf perencana di Biro Pengembangan Regional I, Bappenas. Dan sejak 2002, selama delapan tahun, beliau menjadi Kepala Sub Direktorat di Direktorat Permukiman dan Perumahan, Bappenas. Pengalaman dan lamanya karir yang digeluti di Bidang Perumahan dan Permukiman mengantarkan beliau sebagai Kepala Biro Perencanaan dan Anggaran Kementerian Perumahan Rakyat. Selama menjadi Kepala Sub Direktorat di Direktorat Permukiman dan Perumahan, beliau juga menjadi pelaksana harian dari Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (Pokja AMPL) yang merupakan wadah koordinasi instansi pemerintah yang terkait dengan pembangunan AMPL (Bappenas, Kemenkeu, KemenPU, Kemenkes, Kemendagri, Kemendiknas, KemenLH), dan LSM Internasional yaitu Plan Internasional Indonesia. Beberapa proyek yang juga sukses beliau pimpin, adalah Water Supply and Sanitation Policy Formulation and Action Planning (WASPOLA) yang merupakan proyek kerjasama pemerintah dengan Australia (AusAID) dalam pembenahan kebijakan air minum dan penyehatan lingkungan berbasis masyarakat di Indonesia, dan Water and Environmental Sanitation (WES) Unicef yang merupakan kerjasama pemerintah dan Unicef dalam penyediaan air minum dan sanitasi di Indonesia Timur pada 31 kabupaten/kota yang dananya berasal dari hibah Belanda dan Swedia. Saat ini, selain menjadi Direktur Tata Ruang dan Pertanahan, beliau juga aktif sebagai anggota Dewan Pakar Ikatan Ahli Penyehatan Lingkungan dan Teknik Lingkungan Indonesia (IATPI) periode 2010-2014. Hobi menulis, beliau realisasikan melalui tulisantulisan yang dibuat di berbagai media, seperti majalah, koran, dan lainnya. Sudah banyak media tulisan yang beliau ciptakan, seperti Media Informasi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan untuk Anak ‘Percik Yunior’ dan Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman ‘Inforum’. Hingga saat ini, beliau masih menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Perumahan, Infrastruktur, dan Perkotaan ‘HUDmagz’- LP P3I; Anggota Tim Editor Bidang Perumahan dan Permukiman Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia-IPLBI dan Media Informasi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan ‘Percik’; dan Anggota Dewan Redaksi Majalah Perencanaan Pembangunan-Bappenas [gp]. Gambar 1 Dr. Oswar Mungkasa, MURP (kanan) bersama Dr. Ir. Max Pohan, CES, MA – Deputi Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah (kiri) • Salah satu metode peningkatan produktivitas dalam suatu organisasi yang bertujuan untuk memanfaatkan sumber daya manusia yang ada di dalam organisasi secara optimal serta menggali potensi yang dimiliki oleh anggota organisasi agar mereka dapat meningkatkan kreativitas dan berinovasi untuk meningkatkan produktivitas suatu organisasi secara keseluruhan. tahukah anda • Suatu disiplin ilmu yang mempromosikan suatu pendekatan terintegrasi untuk identifikasi, pengelolaan dan distribusi aset informasi yang dimiliki suatu organisasi. www.facebook.com/trp.bappenas Knowledge Management (Pengelolaan Pengetahuan) adalah: Sumber: http://mariana46.blogstudent.mb.ipb. ac.id/2011/10/02/knowledge-management/ buletin tata ruang & pertanahan 9 dalam berita: Juli-Desember 2013 Menjelang akhir tahun 2013, berita media cetak seputar tata ruang dan pertanahan banyak diwarnai dengan berita mengenai permasalahan pertanahan di berbagai daerah. Kisruh kebijakan dan administrasi Pertanahan Nasional dianggap sebagai akar terkendalanya pembangunan Jalan Tol Jakarta Outer Ring Road West 2 (JORR W2) dari Kebon Jeruk-Ulujami dan konflik yang terjadi di Desa Pering Baru, Ujung Padang, Provinsi Bengkulu. Selain itu juga terdapat berita terkait kewenangan BPN yang terbatas untuk mengatasi berbagai permasalahan pertanahan. Sedangkan untuk tata ruang, melesetnya pencapaian target Perda RTRW di tahun 2013 mendorong Presiden untuk mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) tetang percepatan peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah. Selain itu, kejadian tumpang tindih fungsi lahan di lapangan, mewajibkan Jakarta metropolitan memiliki zonasi laut di teluk Jakarta. Berikut ringkasan beberapa berita tentang tata ruang dan pertanahan. September Penyidik Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan mengungkap fakta baru dalam kasus dugaan tindak pidana pelanggaran izin pengelolaan lahan di areal kawasan tambang PT Isco Polman Resources di Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Menurut Humas Kejati Sulsel, Nur Alim Rachim, Badan Pertanahan setempat tidak pernah dilibatkan dalam pengelolaan tambang dikawasan hutang lindung itu. Mantan Kasipidum Kejari Parepare ini menambahkan, fakta baru ditemukan penyidik setelah kejaksaan melakukan koordinasi dengan Badan Pertanahan Polewali Mandar. (Tribun Timur, 20 September 2013) Masyarakat menaruh harapan besar terhadap institusi Badan Pertanahan Nasional (BPN RI) dalam carut marut pertanahan negeri ini. Namun, menurut Kurnia Toha, Kepala Pusat Hukum & Hubungan Masyarakat/Juru Bicara BPN RI,masih ada perbedaan persepsi sejauhmana peran BPN RI dalam bidang pertanahan. Jika melihat Pasal 33 ayat 3 UUD 45 bahwa tanah untuk kesejahteraan rakyat, berarti kewenangan BPN RI dalam pertanahan sangat luas, ternyata tidak. Dari sisi peraturan sendiri BPN RI tidak cukup kuat untuk mendesak Kementerian lain untuk segera menyelesaikan kasus pertanahan diantara mereka, paling bisa menghimbau saja. Dalam soal urusan sengketa pertanahan yang melibatkan masyarakat, kewenangan versi BPN RI sendiri, mendamaikan, menginventaris data, melihat duduk persoalannya dan ekspose perkara. BPN RI kewenangannya terbatas dalam menyelesaikan Peraturan yang berkaitan dengan penataan ruang (kota) modern di Indonesia mulai disusun ketika kota Jayakarta (kemudian menjadi Batavia) dikuasai oleh Belanda pada awal abad ke-7, tetapi peraturan tersebut baru dikembangkan secara intensif pada awal abad ke-20. Peraturan pertama tercatat adalah De Statuen Van 1642 yang dikeluarkan oleh VOC khusus untuk Kota Batavia. Sumber: diolah dari beberapa Ungkapan Sejarah Penataan Ruang Indonesia 1948 – 2000. Departemen permukiman dan Prasarana Wilayah Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah Permukiman. Jakarta, Desember 2003. 10 buletin tata ruang & pertanahan tahukah anda Sejarah Tata Ruang di Indonesia sengketa. BPN bukan peradilan yang memutus ini benar ini salah. Jadi lebih kepada mendamaikan para pihak, bisa diselesaikan secara musyawarah, dan mengeluarkan rekomendasi buat para pihak yang bersengketa. Namun, jika para pihak tidak mau menerima rekomendasi itu, akan dilanjutkan ke pengadilan. Maka pilihan solusi yang efektif untuk mengatasi berbagai permasalahan pertanahan adalah seperti mengubah BPN RI yang saat ini hanya setingkat Kementerian menjadi Kementerian, UU Pertanahan, atau membentuk peradilan khusus pertanahan. (Suaraagraria, 30 September 2013) Oktober Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan bakal menggratiskan sertifikasi tanah di wilayah Jawa Barat bagi rakyat tidak mampu.Hal ini sesuai dengan permintaan Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI. Penggratisan biaya juga termasuk pengurusan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB). Program gratis sertifikasi tanah hanya ditujukan bagi rakyat yang tidak mampu. Untuk kategori mampu dan tidak mampu, Heryawan menyatakan akan memakai data Badan Pusat Statistik (BPS). Mengenai pelaksanaannya, Aher tidak mengetahui apakah akan menggunakan subsidi daerah atau tidak. Namun, ia mengatakan bisa saja menggunakan subsidi daerah jika diperlukan. (Kompas, 8 Oktober 2013) Pembangunan Jalan Tol Jakarta Outer Ring Road West 2 (JORR W2) dari Kebon Jeruk-Ulujami masih terhambat persoalan ganti rugi tanah. Keberadaan jalan tol ini diharapkan mampu mengurangi kemacetan di kawasan Jakarta Selatan dan sekitarnya. Dalam prosesnya, terlihat adanya upaya yang menghambat pembangunan tol JORR W2, terlebih untuk menentukan harga tanah.Sugiyanto, pengamat Ibu Kota, juga menyesalkan sikap warga Petukangan Selatan yang mengedepankan kepentingan pribadi daripada kepentingan umum.“Masa mintanya sampai Rp18 juta per meter persegi, padahal negara sudah menawar hingga Rp6 juta. Lebih baik kasih pengadilan saja,” ujarnya. Proyek pembangunan JORR-W2 ruas Kebon Jeruk-Ulujami diperkirakan menelan dana investasi senilai Rp2,2 triliun. Dengan adanya tol ini diharapkan dapat mengurangi kemacetan di tol dalam kota, karena warga pengguna lalu lintas dari arah Bogor ataupun Cibubur menuju Bandara Soekarno-Hatta tidak perlu lagi melewati tol dalam kota ruas Cawang-Tomang. Diperkirakan akan ada 90.000 kendaraan per hari yang melewati JORR-W2. (Metrotvnews, 23 Oktober 2013) Kurang dari 50 persen pemerintah kabupaten atau kota belum mengeluarkan peraturan daerah mengenai tata ruang. Akibatnya, banyak proyek pembangunan seperti perumahan melanggar tata ruang. Enggannya pemda mengeluarkan aturan soal tata ruangdikarenakan permasalahan pergantian kepala daerah.Oleh karena itu, September kemarin Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) percepatan peratuan daerah tentang tata ruang. Tata ruang ini penting karena bicara grand desain di lapangan termasuk masalah konversi lahan pertanian. Konversi lahan dilegalkan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah, misalnya, di utara dan di selatan Karawang. Sedangkan Direktur Perkotaan, Direktorat Jenderal Tata Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum, Dadang Rukmana menilai, pengalihan konversi lahan pertanian itu diperbolehkan asal sesuai dengan aturan, tapi jika konversi tidak sesuai peruntukannya itu tidak diperbolehkan.Jika ada yang melanggar tata ruang, semisal konversi bukan peruntukannya, maka pelanggarnya akan mendapatkan sanksi administratif dari pemda setempat. Sanksinya berupa teguran, pembatalan izin, penyegelan dan lainnya. Jika pelanggarannya berat di mana mengakibatkan kerugian harta benda, maka sanksinya berupa pidana.(Tempo, 30 Oktober 2013) November Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIY bersama Teknik Geodesi UGM dan Bank Dunia membuat pemetaan kolaboratif zona terlarang Merapi. Pemetaan ini merupakan perpaduan dari berbagai peta rawan bencana yang dibuat sejumlah pihak sebelumnya. Peta kolaboratif ini menghasilkan peta dengan skala 1:2.000, yang artinya setiap rumah dan lahan milik warga di daerah rawan bencana akan terlihat dengan jelas. Nantinya akan tersusun rencana detil tata ruang (RDTR) guna melengkapi Perda Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW). Gambar 1 Zona Terlarang Merapi Peta ini akan berisi zona-zona kawasan terlarang untuk pemukiman dan rekomendasi pemanfaatan lahan di dalamnya. Peta ini dibuat dengan memadukan data citra foto udara pemetaan LIDAR dari BNPB, data kawasan rawan bencana dan data area terdampak langsung dari BPPTKG, lokasi sabo dam dari BBWS, dokumen digital rencana detil tata ruang dari Dinas PU ESDM DIY, data batas dusun dan batas desa dari Dinas Pengendalian Pertanahan Daerah Sleman, data hunian tetap dalam kawasan dari PMT Rekompak dan batas bidang tanah dari BPN. (Harianjogja, 1 November 2013) Gambar 2 Teluk Jakarta Kementerian Kelautan dan Perikanan mendorong pemerintah daerah untuk segera menyusun perda rencana zonasi kawasan konservasi perairan. Selain itu, melarang izin reklamasi sebelum terbit perda rencana zonasi. Penetapan zonasi kawasan bertujuan mengalokasikan ruang perairan secara berkeadilan sesuai ekosistem, berkelanjutan ekologi, pemberdayaan masyarakat dan perlindungan wilayah masyarakat adat dan nelayan tradisional. Dari 319 kabupaten/kota di wilayah pesisir, tercatat baru 9 kabupaten/ kota yang punya perda rencana zonasi. Adapun 60 kabupaten/ kota masih dalam proses penyusunan. Sementera itu, beberapa kota besar sudah mengeluarkan izin reklamasi, belum memiliki perda rencana zonasi, yakni Jakarta, Surabaya dan Semarang. Prioritas penyusunan perda rencana zonasi adalah kawasan strategis nasional, kabupaten/kota dengan pemanfaatan tinggi terhadap pesisir, kelautan dan perikanan dan wilayah perbatasan. Untuk mendukung penyusunan perda zonasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan sedang menyusun revisi peraturan menteri tentang rencana pengelolaan dan zonasi kawasan konservasi perairan. (Kompas, 22 November 2013) Workshop Roadmap Advokasi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh yang diselenggarakan oleh Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA) digelar untuk mengkritisi dan mengadvokasi Rancangan Qanun RTRW Aceh yang pada akhir tahun ini akan disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh itu menghasilkan beberapa Sejarah Tata Ruang di Indonesia tahukah anda Layaknya sistem tata ruang didarat, dengan adanya zonasi laut, maka pemerintah daerah dapat mengetahui mana saja wilayah laut yang dapat dibangun sebagai wilayah industri atau untuk wilayah perikanan, sehingga tata ruang di laut akan tertata dengan baik, tidak ada lagi tumpang tindih. Untuk pengaturan zonasi laut di teluk Jakarta, menurutnya sangat dibutuhkan karena Jakarta selain metropolitan, ekonominya tertinggi di antara yang lainnya, sehingga DKI punya kepentingan besar untuk atur tata ruang kelautan. Ditargetkan, pengaturan zonasi laut Jakarta akan dilakukan pada tahun depan, 2014. Sementara itu, Jokowi menambahkan, zonasi di laut Jakarta akan disesuaikan dengan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Jakarta. “Di bawah laut itu kan ada kabel, pipa gas, semuanya harus menyesuaikan dengan zonasi itu, karena sudah pembagian yang jelas,” kata Jokowi. (Liputan6, 29 Oktober 2013) Peraturan tata ruang sejak abad ke-20 sudah mengatur tidak hanya membangun pengaturan jalan, jembatan dan bangunan lainnya, tetapi juga merumuskan wewenang dan tanggung jawab pemerintah kota. Undang-Undang Desentralisasi pada tahun 1903 yang mengatur pembentukan pemerintah kota dan daerah memberikan hak kepada kota-kota untuk mempunyai pemerintahan, administrasi dan keuangan kota sendiri. Tak lama kemudian, pada tahun 1905 diterbitkan Localen-Raden Ordonantie, Stb 1905/191 Tahun 1905 yang antara lain berisi pemberian wewenang pada pemerintahan kota untuk menentukan prasyarat persoalan pembangunan kota. Sumber: diolah dari beberapa Ungkapan Sejarah Penataan Ruang Indonesia 1948 – 2000. Departemen permukiman dan Prasarana Wilayah Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah Permukiman. Jakarta, Desember 2003. buletin tata ruang & pertanahan 11 Para pengembang properti mengeluhkan soal beberapa kendala pembangunan rumah murah di Indonesia. Sedikitnya ada 3(tiga) masalah utama yang menyulitkan pengembang properti membangun rumah murah: (1) perizinan, izin lokasi yang berbiaya tinggi dan waktu perizinan yang tidak jelas. (2) sertipikasi tanah, pengembang mengeluhkan soal beban biaya perizinan dan sertifikat tanah masih tinggi yang sangat memberatkan dunia usaha. (3) Pajak, pengembang meminta agar pemerintah khususnya Kementerian Keuangan memberikan insentif bagi para pelaku usaha. Besaran insentif pajak yang diberikan pemerintah berpengaruh terhadap harga jual rumah terutama bagi MBR. Pemberian insentif pajak juga bisa diberikan kepada pelaku usaha agar harga rumah bisa disesuaikan terutama untuk masyarakat berpenghasilan rendah. (detikfinance, 25 November 2013) Ketua Umum DPP Real Estate Indonesia (REI), Setyo Maharso mengeluh atas mahalnya pemberian izin lokasi untuk pembangunan pemukiman dan pembebasan biaya perumahan sederhana tapak (landed house) untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Setyo juga meminta otoritas pertanahan tersebut menindak aparatnya yang tidak mendukung proses penerbitan sertifikat untuk perumahan bagi masyarakat kelas tersebut. Selain itu, dia juga berharap RUU Pertanahan segera diselesaikan untuk mengatasi ketidakpastian hukum atas kepemilikan tanah yang telah diterbitkan BPN. Menurutnya, kepastian hukum dengan RUU Pertanahan tersebut seharusnya menjadi prioritas utama untuk diatur pada pasal dalam RUU Pertanahan untuk menjamin kepastian bagi investor dan masyarakat.”Hal tersebut sesuai pasal 28 ayat 1 UUD 1945, di mana setiap orang berhak atas perlindungan diri dan harta bedanya,” pungkas Setyo.( Sindonews, 25 November 2013) Gambar 3 Aksi unjuk rasa petani Selama ini sengketa pertanahan, kalau mediasi buntu, diselesaikan lewat jalur peradilan umum. Sayangnya, seperti yang sudah-sudah, peradilan umum itu mahal, lama dan selalu mengedepankan bukti otentik tertulis. Walhasil banyak sekali kasus pertanahan yang tidak selesai-selesai. Harus ada peradilan khusus pertanahan, 12 buletin tata ruang & pertanahan ucap Kurnia Toha, Kepala Pusat Hukum & Hubungan Masyarakat/ Juru Bicara BPN RI.“Nantinya dalam peradilan khusus itu hakimhakimnya diisi oleh orang-orang yang harus paham dalam bidang pertanahan, filosofi teori-teori latar belakang keluarnya suatu peraturan,” ujar Toha. Sayangnya, wacana pembentukan peradilan pertanahan masih belum mendapatkan penerimaan yang positif. Ide lahirnya peradilan pertanahan karena banyak kasus pertanahan tidak selesai-selesai. Makanya lewat RUU pertanahan yang sedang dibahas, BPN RI mengusulkan supaya ada peradilan pertanahan yang merupakan bagian dari peradilan umum, ad-hoc. Kemudian prosesnya bisa berlangsung dengan cepat, yaitu hanya PN dan MA. Waktunya pun dibatasi, dan alat-alat bukti yang dipakai tidak hanya yang tertulis saja, tapi juga yang tidak tertulis. (Suaraagraria, 28 November 2013) Desember Tidak kurang dari 20 orang petani warga Desa Pering Baru, Ujung Padang, Provinsi Bengkulu, berjuang mengambil alih ladang, yang sejak 1984 “dicaplok” oleh salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak dibidang perkebunan kelapa sawit. Proses perjuangan berkepanjangan memasuki 38 tahun, mereka tetap kukuh memperjuangkan haknya. Setidaknya, secara adat, kawasan tersebut dimiliki oleh 14 kepuyangan (leluhur) yang telah beranak pinak.“Memang saat itu kami tidak mengerti sertifikat, namun kami memiliki bukti tanam tumbuh dan beberapa surat dari pasirah,” tambah Nahadin, salah satu petani. Mulanya, Bupati menekankan tanah yang boleh digarap BUMN itu adalah padang ilalang dan hutan yang tidak digarap warga. Saat itu syarat disanggupi oleh BUMN, namun pada perkembangan berikutnya, BUMN justru mencaplok semua tanah milik warga setidaknya ada 518 hektar lahan diambil secara paksa dan kekerasan yang melibatkan aparat TNI dan Polri. Puncak pertikaian antara perusahaan dan warga terjadi pada 2010 tidak kurang dari 18 warga dijebloskan ke penjara selama 3 bulan 20 hari hanya karena menuntut agar tanah mereka dikembalikan. Hingga pada pertengahan tahun 2013, BUMN yang saat ini menguasai hampir 1.600 hektare tanah masyarakat itu diminta oleh pemerintah setempat melakukan ukur ulang.Jika perkebunan BUMN itu lebih dari 518 hektare, maka kelebihannya wajib dikembalikan kepada petani yang kehilangan tanah. (Kompas, 1 Desember 2013) [ias] Sejarah Tata Ruang di Indonesia tahukah anda rekomendasi. Diantaranya, (1)mendorong lahirnya pasal tentang penyesuaian aktivitas ekonomi dalam kawasan ekologis yang tidak mengganggu fungsi lindung; (2) memberikan arahan terhadap pemanfaatan ruang dengan prinsip kearifan lokal, RTRW Aceh memerintahkan pengelolaan wilayah DAS diatur kembali dalam qanun kabupaten/kota dengan prinsip kearifan lokal; (3) melakukan cross-check data dengan lembaga-lembga yang memiliki data kebencanaan, baik Peta sensitifitas lahan, peta konflik satwa dan peta koridor satwa; (4) melakukan kajian akademis terkait harmonisasi regulasi antara pusat dan daerah yang berhubungan dengan RTRW Aceh, baik kajian konsideran maupun kajian mendalam, dll. Rekomendasi-rekomendasi ini nantinya akan disampaikan kepada Pemerintah Aceh dan DPR Aceh yang saat ini sedangmenggodok Qanun RTRW Aceh.(Atjehlink, 22 November 2013) Pengembangan perencanaan kota di Indonesia dipicu oleh persoalan pembentukan kota pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Meskipun saat itu belum ada peraturan pemerintah yang seragam, pemerintah Hindia Belanda menyadari perlunya perencanaan kota secara menyeluruh. Setelah melalui proses yang panjang, akhirnya Indonesia menyusun Undang-undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, yang akhirnya undang-undang tersebut disahkan dan berlaku. Namun seiring dengan adanya perubahan terhadap paradigma otonomi daerah melalui ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka ketentuan mengenai penataan ruang mengalami perubahan yang ditandai dengan digantikanya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, menjadi UndangUndang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Sumber: diolah dari beberapa Ungkapan Sejarah Penataan Ruang Indonesia 1948 – 2000. Departemen permukiman dan Prasarana Wilayah Direktorat Jenderal Penataan Ruang, DepartemenPermukiman dan Prasarana Wilayah Permukiman. Jakarta, Desember 2003. Hari Tata Ruang Nasional Tahun 2013 “Harmoni Ruang dan Air untuk Hidup Lebih Baik” Peringatan Haritaru dilaksanakan pertama kali pada tahun 2008 oleh Direktorat Jenderal Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum. Penetapan tanggalnya diadopsi dari peringatan World Town Planning Day (WTPD) yang diperingati di 35 negara di seluruh dunia. Puncak peringatan Hari Tata Ruang (Haritaru) dilaksanakan pada 8 November 2013. Tahun ini tema yang diusung adalah Harmoni Ruang dan Air untuk Hidup Lebih Baik. Tema ini diangkat dengan kesadaran bahwa saat ini intensitas bencana yang terus meningkat, terutama banjir, merupakan salah satu dampak dari penataan ruang dan pengelolaan sumber daya air yang kurang tepat. “Pemberdayaan Kota Hijau”, dan tahun lalu, 2012, bertema “Kota Hijau, Hidup Lebih Baik”. Tema tahun ini, “Harmoni Ruang dan Air untuk Hidup Lebih Baik” bertujuan untuk menjelaskan urgensi penyelenggaraan penataan ruang yang holistik dari suatu proses penataan kawasan hulu dan menjaga kawasan hilir sebagai satu kesatuan wilayah. Perencanaan secara terpadu ini adalah solusi untuk mengintegrasikan fungsi sosial, ekonomi, dan ekologi sumberdaya air untuk mendukung seluruh pemangku kepentingan. Gambar 1 Pasar Terapung di Banjarmasin Pemikiran tentang penataan ruang di Indonesia dirintis pada awal abad XX sejak ditetapkannya Undang-Undang Desentralisasi (Decentralisatiewet) yang mengakhiri administrasi pusat yang berkuasa di Batavia. Pemikiran-pemikiran tersebut terus berkembang, hingga pada 1948 perencanaan tata ruang mulai diselenggarakan melalui penetapan Ordonansi Pembentukan Kota (Stadsvormingsordonantie) yang mengatur tentang ketentuan penataan kembali kota-kota yang mengalami kerusakan akibat Perang Dunia ke-2. Dan pada awal tahun 1970-an, digagas RUU Bina Kota yang kemudian ditetapkan menjadi UU No.24/1992 tentang Penataan Ruang. UU ini kemudian diperbarui oleh UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang yang menjadi payung bagi upaya pengembangan wilayah dan perkotaan yang lebih baik di Indonesia. Gambar 2 Rencana Pola Ruang Wilayah Nasional Haritaru telah diselenggarakan lima kali, dengan tema umum “Planning for All” yang dilengkapi dengan tema khusus setiap tahunnya. Tema khusus pada tahun 2008 adalah “Perencanaan untuk Semua”, kemudian di tahun 2009 bertema “Perencanaan Ruang Hijau”, tahun 2010 “Kotaku Hijau”, tahun 2011 Arti logo Haritaru • Warna biru menjelaskan dominasi air pada permukaan bumi, termasuk 2/3 wilayah Negara Indonesia. • Simbol Bumi menjelaskan tujuan akhir dari program Harmoni Ruang dan Alam. • Pohon mewakili fungsi ekologi. • Manusia mewakili fungsi sosial. • Bangunan mewakili fungsi ekonomi. • Siklus air menjelaskan penyelenggaraan penataan ruang harus mampu mengintegrasikan fungsi sosial, ekologi, dan ekonomi. Peringatan Haritaru diselenggarakan setiap tahun untuk meningkatkan kesadaran setiap pemangku kepentingan akan pentingnya penataan ruang sebagai elemen penting pembangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia terhadap upaya perwujudan ruang Nusantara yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan [gp]. buletin tata ruang & pertanahan 13 Pengendalian Pemanfaatan Ruang: artikel Mencari Kelembagaan Pengendalian Pemanfaatan Ruang yang Efektif Dr. Ir. Basoeki Hadimoeljono, M.Sc. Direktur Jenderal Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum Penataan Ruang merupakan suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang, yang diselenggarakan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Saat ini, banyak rencana tata ruang yang telah disusun sesuai dengan amanat UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang (UUPR), baik di tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota. Sebagai upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang, pemanfaatan ruang yang merupakan tahap mewujudkan rencana tata ruang tersebut perlu diimbangi dengan pengendalian pemanfaatan ruang. PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG Ps. 36 ayat (1) upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang Ps. 1 angka 15 Penetapan Peraturan Zonasi Perizinan Pemberian Insentif & Disinsentif Pengenaan Sanksi Ps. 35 tindakan penertiban yang dilakukan terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan RTR dan peraturan zonasi Ps. 37 ayat (1) Izin Pemanfaatan Ruang Rencana Rinci Tata Ruang Ps. 36 ayat (2) batal demi hukum Ps. 37 ayat (3) PP untuk arahan peraturan zonasi sistem nasional dapat dibatalkan Perda Provinsi untuk arahan peraturan zonasi sistem provinsi Perda kabupaten/kota untuk peraturan zonasi Ps. 36 ayat (3) Ps. 37 ayat (4) Ps. 37 ayat (6) penggantian/ ganti kerugian yang layak Gambar 1 Instrumen Pengendalian Pemanfaatan Ruang Berdasarkan UUPR, pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui: (1) penetapan peraturan zonasi, (2) perizinan, (3) pemberian insentif dan disinsentif, serta (4) pengenaan sanksi. Instrumen pengendalian berupa penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif merupakan instrumen yang sifatnya untuk pencegahan pelanggaran, sedangkan pengenaan sanksi merupakan instrumen untuk penindakan pelanggaran. Permasalahan dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang Saat ini, setelah 6 tahun diterbitkannya UUPR, sudah saatnya mengalihkan fokus utama pelaksanaan penataan ruang, dari perencanaan tata ruang ke pengendalian pemanfaatan ruang. Namun implementasi pengendalian pemanfaatan ruang ini menemui berbagai macam permasalahan. Persoalan pertama dalam implementasi pengendalian adalah belum seluruh daerah memiliki perda RTRW dan Rencana Rinci, padahal dokumen perencanaan tersebut adalah dasar untuk melakukan pengendalian pemanfaatan ruang; sampai dengan awal bulan Oktober 2013, tercatat baru 16 provinsi, 247 kabupaten, dan 65 kota yang telah memiliki perda RTRW. Berdasarkan UUPR pasal 22 ayat 2 huruf e, RTRW Provinsi menjadi pedoman untuk penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi.Arahan perizinan pemanfaatan ruang yang terkandung dalam RTRW provinsi merupakan acuan untuk perizinan pemanfaatan ruang, baik di wilayah provinsi maupun kawasan strategis provinsi. Sedangkan RTRW Kab/Kota menjadi pedoman untuk penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi (Pasal 26 ayat 2 huruf e UUPR) dan menjadi dasar untuk penerbitan perizinan lokasi pembangunan 14 buletin tata ruang & pertanahan dan administrasi pertanahan di Kab/Kota (Pasal 26 ayat 3). RTRW kabupaten/kota menjadi dasar untuk penerbitan izin prinsip, izin lokasi, izin penggunaan pemanfaatan tanah, IMB, dan izin lainnya. Dalam hal kabupaten/kota yang bersangkutan sudah memiliki rencana detail tata ruang kabupaten/kota maka dasar penerbitan izin di atas adalah rencana detail tata ruang kabupaten/kota. Peraturan zonasi, sebagai salah satu instrumen pengendalian pemanfaatan ruang, merupakan ketentuan yang mengatur tentang persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya dan disusun untuk setiap blok/zona peruntukan yang penetapan zonanya dalam rencana rinci tata ruang. Peraturan zonasi kabupaten/kota disusun sebagai kelengkapan RTRW kabupaten/ kota, dan merupakan dasar dalam pemberian insentif dan disinsentif, pemberian izin, dan pengenaan sanksi di tingkat kabupaten/kota. Namun sampai saat ini belum ada pemerintah daerah yang mengatur dengan rinci mengenai pengendalian pemanfaatan ruang dalam bentuk peraturan daerah. Instrumen pengendalian pemanfaatan ruang dalam RTRW (provinsi/kabupaten/ kota) masih bersifat normatif dan perlu dirinci lagi sehingga dapat lebih implementatif. Dalam implementasi pengendalian pemanfaatan ruang tersebut, dan juga di setiap tahapan penataan ruang, perlu dukungan sistem informasi yang berkaitan dengan dinamika pemanfaatan ruang di lapangan. Namun kondisi di daerah saat ini adalah tidak tersedianya sistem informasi tata ruang yang lengkap. Keterbatasan data/ informasi, dokumen, peta RTRWdan kondisi di lapangan seringkali menyulitkan upaya-upaya pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam hal pengawasan penataan ruang, PP No. 15/2010 menyebutkan bahwa masyarakat dapat melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan penataan ruang dengan menyampaikan hasil pengawasan melalui sarana yang disediakan oleh Pemerintah/ pemerintah daerah.Terkait dengan peran masyarakat dalam penataan ruang, kurangnya partisipasi masyarakat dalam memanfaatkan dan mengendalikan pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruangmenjadi permasalahan lain yang dihadapi dalam pengendalian pemanfaatan ruang. Masyarakat dan/atau organisasi sosial kemasyarakatan maupun LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang ada masih belum berpartisipasi dalam penataan ruang, meskipun bentuk dan tata cara partisipasi masyarakat dalam penataan ruang ini telah diatur dalam PP No. 68/2010. Berbagai permasalahan dalam implementasi pengendalian pemanfaatan ruang sangat erat kaitannya dengan isu efektivitas kelembagaan dalam pengendalian penataan ruang. Aspek Agar dapat menciptakan tertib ruang sesuai dengan rencana tata ruang, maka pengendalian pemanfaatan ruang harus dilakukan secara terpadu yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang sesuai dengan otoritasnya. Jika melihat struktur organisasi terkait penataan ruang di pusat dan daerah, banyak lembaga/ instansi struktural yang berkepentingan dalam penataan ruang, baik di pusat maupun di daerah, namun perbedaan struktur organisasi pemerintah daerah menyebabkan terjadinya perbedaan level (eselonering) unit organisasi yang berwenang melakukan pengendalian pemanfaatan ruang. Kurangnya koordinasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang yang berakibat pada rendahnya keterpaduan pemanfaatan ruang, mengingat penataan ruang merupakan urusan yang bersifat lintas sektor, lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan. Mengingat implementasi pengendalian penataan ruang ini melibatkan berbagai lembaga/instansi yang ada, maka penguatan kelembagaan dilakukan dengan meningkatkan kemampuan lembaga dalam melakukan koordinasi dengan lembaga lain. Dalam pelaksanaan koordinasi, terdapat banyak faktor yang mempengaruhi kesuksesan dan kegagalan koordinasi. Faktor yang berperan penting dalam pelaksanaan koordinasi adalah aktor yang terlibat dalam koordinasi tersebut. Aktor beserta institusinya memiliki tujuan dan prioritas yang terkadang menimbulkan konflik dengan tujuan dan prioritas aktor/institusi lain, atau dengan tujuan dan prioritas suatu sistem secara keseluruhan. Aktor-aktor yang memiliki kekuasaan tersebut dapat memanfaatkan diskresi yang dimilikinya dalam pengambilan keputusan, sehingga diperlukan suatu lembaga yang dapat mengkoordinasikan berbagai aktor dalam implementasi pengendalian pemanfaatan ruang. Untuk pelaksanaan fungsi koordinasi dalam penyelenggaraan penataan ruang, telah dibentuk BKPRN (melalui Keppres No. 4/2009) dan BKPRD (melalui Permendagri No. 50/2009) yang merupakan badan bersifat ad-hoc di pusat dan daerah.Sesuai dengan tugas dan tanggungjawabnya, BKPRD memiliki fungsi membantu pelaksanaan tugas Gubernur/Bupati/Walikota dalam koordinasi penataan ruang yang meliputi koordinasi dalam perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam hal pengendalian pemanfaatan ruang, peran BKPRD dirasakan belum optimal meskipun dalam Permendagri No. 50/2009 sudah disebutkan tugas BKPRD dalam koordinasi pengendalian pemanfaatan ruang yang meliputi: a. Mengkoordinasikan penetapan arahan peraturan zonasi sistem provinsi/penetapan peraturan zonasi sistem kabupaten/kota; b. Memberikan rekomendasi perizinan pemanfaatan ruang provinsi dan kabupaten/kota; c. Melakukan fasilitasi dalam pelaksanaan penetapan insentif dan disinsentif dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang provinsi dan/ atau lintas provinsi serta lintas kabupaten/kota; d. Melakukan fasilitasi pelaksanaan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan penyelenggaraan penataan ruang; e. Melakukan fasilitasi pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang untuk menjaga konsistensi pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang; f. Mengoptimalkan peran masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang; dan g. Melakukan evaluasi atas kinerja pelaksanaan penataan ruang kabupaten/kota. Dalam melaksanakan tugasnya tersebut, dalam struktur BKPRD terdapat Kelompok Kerja Pemanfaatan dan Pengendalian yang mempunyai tugas: a. Memberikan masukan kepada Ketua BKPRD dalam rangka perumusan kebijakan pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang kabupaten/kota; b. Melakukan fasilitasi pelaksanaan pemantauan terhadap penegakkan peraturan daerah tentang rencana tata ruang; c. Melakukan fasilitasi pelaksanaan evaluasi terhadap penegakkan peraturan daerah tentang rencana tata ruang; d. Melakukanfasilitasi pelaksanaan pelaporan terhadap penegakkan peraturan daerah tentang rencana tata ruang; e. Melakukan fasilitasi pelaksanaan perizinan pemanfaatan ruang; f. Melakukan fasilitasi pelaksanaan penertiban pemanfaatan ruang; dan g. Menginventarisasi dan mengkaji permasalahan dalam pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang serta memberikan alternatif pemecahannya untuk dibahas dalam sidang pleno BKPRD. Dari gambaran mengenai kewenangan yang dimiliki oleh BKPRD tersebut, dalam dilihat bahwa BKPRD memiliki peran yang sangat penting dalam implementasi pengendalian pemanfaatan ruang, baik yang bersifat pencegahan pelanggaran pemanfaatan ruang maupun yang bersifat penertiban pelanggaran.Jika mengacu pada efektifnya peran BKPRD dalam proses perencanaan tata ruang, maka diperlukan pedoman yang lebih teknis terkait mekanisme pengendalian pemanfaatan ruang. Upaya Peningkatan Kelembagaan Pengendalian Penataan Ruang Keberhasilan suatu kegiatan yang melibatkan peran serta banyak pihak mensyaratkan suatu bentuk pengaturan yang jelas agar segala sesuatunya berjalan sesuai dengan aturan yang ditetapkan. Oleh karena itu, untuk meningkatkan efektivitas koordinasi pengendalian penataan ruang ini diperlukan perangkat sebagai acuan pelaksanaan pengendalian. Sesuai dengan amanat UUPR, dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang, Pemerintah berwenang menyusun dan menetapkan pedoman Bidang Penataan Ruang. Dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang, Pemerintah c.q Direktorat Jenderal Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum perlu menyediakan NSPK yang akan menjadi acuan bagi daerah dalam pembuatan instrumen pengendalian pemanfaatan ruang. tahukah anda kelembagaan merupakan hal yang sangat erat kaitannya dengan kewenangan dalam penataan ruang. Sejalan penerapan sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya. Berdasarkan PP No. 38/2007, penataan ruang merupakan urusan pemerintahan yang bersifat kongruen yang dibagi bersama antar pemerintahan. Knowledge Management (KM) memiliki fungsi penting dalam hal: a) Identifikasi aset kunci dari knowledge yang ada di dalam perusahaan; b) Merefleksikan apa yang organisasi diketahui; c) Saling berbagi (sharing) segala knowledge kepada siapapun yang membutuhkannya; d) Menerapkan penggunaan knowledge untuk meningkatkan kinerja organisasi. Sumber: http://mariana46.blogstudent.mb.ipb. ac.id/2011/10/02/knowledge-management/ buletin tata ruang & pertanahan 15 NSPK terkait pengendalian pemanfaatan ruang yang telah ada sampai saat ini adalah Pedoman Penyusunan RDTR dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota yang ditetapkan melalui Permen PU No. 20/2011. Sedangkan NSPK lain yang masih dalam proses penyusunan atau legalisasi antara lain: 1. Pedoman Kriteria Zona, Sub Zona, dan Blok dalam Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota, dengan muatan mengenai ketentuan umum klasifikasi zona, sub zona, dan blok serta ketentuan teknis pengaturan zona, sub zona, dan blok; 2. Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Perkotaan, dengan muatan mengenai kelembagaan pengendalian pemanfaatan ruang serta tata cara pengendalian pemanfaatan ruang; 3. Pedoman tentang Bentuk dan Tata Cara Pemberian Insentif dan Disinsentif Penataan Ruang, dengan muatan mengenai bentuk dan perangkat, persyaratan, serta mekanisme pemberian insentif dan disinsentif; 4. Pedoman Perizinan Pemanfaatan Ruang, dengan muatan mengenai jenis perizinan pemanfaatan ruang, klasifikasi kegiatan pemanfaatan ruang, serta proses dan prosedur (penyelenggara perizinan, prosedur perizinan, dan prosedur pengaduan); 5. Pedoman Kriteria dan Tata Cara Pemberian Sanksi Administratif, dengan muatan mengenai kriteria, unsur pelanggaran, dan jenis sanksi serta tata cara pengenaan sanksi administratif; 6. Pedoman Pengawasan Penataan Ruang Provinsi dan Kabupaten /Kota, dengan muatan mengenai tata cara pengawasan teknis, tata cara pengawasan khusus, serta kelembagaan dan peran masyarakat. TUGAS DAN FUNGSI PPNS PENATAAN RUANG TUGAS PENYIDIK POLRI Koordinasi PPNS Penataan Ruang PENYIDIKAN TNDAK PIDANA PENATAAN RUANG FUNGSI PENEGAKAN HUKUM BIDANG PENATAAN RUANG Gambar 2 Skema Tugas dan Fungsi PPNS Penataan Ruang Sedangkan dalam implementasi pengendalian pemanfaatan ruang, Ditjen Penataan Ruang Kementerian PU melakukan peningkatan peran PPNS Penataan Ruang yang memiliki kewenangan melakukan penyidikan terhadap pelanggaran pemanfaatan ruang. Sesuai dengan UUPR, PPNS Penataan Ruang memiliki kewenangan untuk: a. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana dalam bidang penataan ruang; b. Melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana dalam bidang penataan ruang; c. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang sehubungan dengan peristiwa tindak pidana dalam bidang penataan ruang; d. Melakukan pemeriksaan atas dokumen-dokumen yang berkenaan dengan tindak pidana dalam bidang penataan ruang; e. Melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti dan dokumen lain serta melakukan penyitaan dan penyegelan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana dalam bidang penataan ruang; dan f. Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana dalam bidang penataan ruang. Berdasarkan data dari Sekretariat Direktorat Jenderal Penataan Ruang Kementerian PU, terdapat 31 provinsi (dari total 33 provinsi), 103 kabupaten (dari total 399 kabupaten), dan 32 kota (dari total 94 kota) yang telah memiliki PPNS Penataan Ruang. Kebutuhan ideal PPNS sampai dengan tahun 2015 adalah setiap kabupaten/ kota memiliki 3 orang PPNS dan 2 orang atasan PPNS. Tantangan dalam pembentukan PPNS Penataan Ruang untuk memenuhi kebutuhan ideal jumlah PPNS antara lain adalah pengendalian pemanfaatan ruang belum menjadi prioritas dalam penataan ruang daerah karena Pemerintah Daerah masih fokus pada penyusunan rencana tata ruang wilayah. Pengendalian yang belum menjadi prioritas di daerah dan pelanggaran penataan ruang yang masih dianggap hal yang biasa dan mudah ditolerir berdampak pada belum dirasakannya kebutuhan terhadap keberadaan PPNS Penataan Ruang di daerah. Hal lain yang menjadi tantangan dalam pembentukan PPNS Penataan Ruang di daerah adalah pemerintah daerah memandang PPNS sebagai beban dan ancaman terhadap pejabat pemberi izin. Untuk memenuhi kebutuhan jumlah ideal PPNS Penataan Ruang, Perekrutan dan pendidikan PPNS Penataan Ruang dilakukan setiap tahun melalui Diklat 200 JP dan Diklat 400 JP. Dari perekrutan dan pendidikan PPNS yang rutin diselenggarakan oleh Setditjen Penataan Ruang Kementerian PU, telah terjadi peningkatan jumlah PPNS Penataan Ruang, dari semula 26 PPNS pada tahun 2009 menjadi 514 PPNS pada tahun 2013.Selain itu, perlu juga diberikan pemahaman tentang pentingnya peran PPNS, tidak hanya dalam proses penertiban pelanggaran penataan ruang, tetapi dalam menjalankan fungsi pengawasan sebagai upaya pencegahan (preventif) agar pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang. Salah satu bentuk pelaksanaan tugas PPNS Penataan Ruang dalam rangka pengendalian penataan ruang adalah menindaklanjuti pengaduan pelanggaran pemanfaatan ruang yang disampaikan oleh masyarakat. Direktorat Jenderal Penataan Ruang Kementerian PU telah memfasilitasi sarana pengaduan masyarakat sehingga masyarakat diminta berperan aktif mengadukan pelanggaran pemanfaatan ruang yang terjadi di sekitarnya melalui berbagai media yang telah disediakan. Tahapan penanganan terhadap pengaduan pelanggaran pemanfaatan ruang tersebut adalah: 1. Pencatatan registrasi oleh Sekretariat PPNS; 2. Pemeriksaan Data dan Informasi; 3. Pengajuan Tindak Lanjut Pulbaket; 4. Melakukan Pulbaket; 5. Rekomendasi Pulbaket; 6. Gelar Perkara dan Perintah Penyidikan (Sprindik dan SPDP); 7. Penyidikan; 8. Tindak Lanjut Penyidikan (BAP), penyampaian ke Kejaksaan melalui Penyidik POLRI. Sampai dengan bulan Oktober 2013, Sekretariat PPNS Ditjen Penataan Ruang telah menerima 17 pengaduan yang saat ini sedang ditindaklanjuti oleh PPNS di Ditjen Penataan Ruang.Salah satu dari pengaduan tersebut seperti pembangunan industri pengolahan baja di kawasan situs Majapahit di Kecamatan Trowulan Kabupaten Mojokerto1. 1Kasus Pembangunan Industri Pengolahan Baja di Kawasan Situs Majapahit, Kecamatan Trowulan dapat dilihat pada Kotak Kasus 16 buletin tata ruang & pertanahan Penyusunan NSPK terkait pengendalian pemanfaatan ruang dan peningkatan peran PPNS Penataan Ruang merupakan sebagian dari skenario pengendalian pemanfaatan ruang yang akan dilakukan oleh Ditjen Penataan Ruang Kementerian PU mulai tahun 2014 melalui Program Peningkatan Pengawasan dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang (P5R). Program ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang di pusat dan di daerah dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan penataan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan serta menciptakan tertib tata ruang. Untuk mencapai tujuan tersebut, sasaran yang hendak dicapai program ini adalah: 1. Terwujudnya tata kelola dan kelembagaan pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif dan efisien; 2. Peningkatan peran serta masyarakat atau komunitas dalam pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang; 3. Tersedianya mekanisme/tata cara dalam manajemen pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang; 4. Tersedianya Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang; 5. Terciptanya aparatur atau Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas dalam pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang. Program ini dimaksudkan agar pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang mempunyai arah dalam meningkatkan kinerja pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang di pusat maupun di daerah. Dalam P5R ini, Pemerintah Daerah diharapkan dapat berpartisipasi aktif guna mewujudkan upaya pengendalian pemanfaatan ruang yang sinergis, efektif, dan efisien.Dan dengan dukungan semua pihak serta penegakan hukum yang konsisten, maka tertib tata ruang guna mencapai tujuan penataan ruang dapat diwujudkan. Manajemen Pengawasan mecanism POKMAS WASDAL community P5R Kelembagaan organization NSPK tools SDM Aparatur subject Gambar 3 Skema Program Peningkatan Pengawasan dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang (P5R) Kasus Pembangunan Industri di Kawasan Situs Majapahit di Kecamatan Trowulan Kabupaten 1 kawasan pemeliharaan cagar budaya. Berikut, kronologi Rencana Pembangunan Pabrik Pengolahan Baja di Desa Jatipasar Kecamatan Trowulan. Gambar 5 Kronologis Rencana Pembangunan Pabrik Pengolahan Baja di Kecamatan GambarTrowulan 5 Pro Kontra Pembangunan Pabrik Baja di Trowulan Gambar 4 Lokasi Pembangunan Industri Baja di Kawasan Situs Majapahit Di Kabupaten Mojokerto, tepatnya di Kecamatan Trowulan terdapat area situs yang letaknya cukup strategis karena dilalui jalan arteri primer nasional yang menghubungkan Surabaya-Yogyakarta. Berdasarkan Kepmendikbud Nomor 177/M/1998 tentang Penetapan Situs dan Benda Cagar Budaya di Wilayah Provinsi Jawa Timur, Kompleks Trowulan ini dinyatakan sebagai situs dan benda cagar budaya. Pada November 2012, Bupati Mojokerto memberikan izin pada PT. Manunggal Sejati Group untuk mendirikan Industri Pengolahan Baja di Desa Jatipasar, Kecamatan Trowulan. Permasalahannya, wilayah berdirinya industri tersebut masih belum jelas statusnya, berada di dalam atau di luar Kompleks Trowulan. Oleh karena itu pada Juli 2013, Kemdikbud melalui Balai Pelestarian Cagar Budaya Mojokerto mengajukan surat pada DPRD Kab. Mojokerto yang isinya menyatakan bahwa IMB atas rencana pendirian pabrik baja tidak benar karena Balai tidak pernah menerbitkan surat rekomendasi. Status terakhir, dinyatakan bahwa lokasi pabrik berada di luar Saat ini, kasus tersebut masih belum selesai diputuskan dan sedang dalam proses pemeriksaan oleh Tim Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)-Ditjen Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum. Berdasarkan hasil laporan sementara, Tim PPNS mengungkapkan bahwa apabila pembangunan pabrik tersebutditeruskan, maka akan terbuka sekitar 300400 lapangan pekerjaan baru yang akan meningkatkan PAD Kab. Mojokerto. Sedangkan dampak negatifnya adalah kelestarian situs tersebut terancam dan mungkin akan terjadi gugatan dari masyarakat sipil (Komunitas ‘Save Trowulan’) kepada Pemerintah. Dalam proses penyelesaiannya, kondisi dilematis terjadi karena adanya perbedaan substansi antara RTRW Provinsi Jawa Timur dan RTRW Kab. Mojokerto terkait penetapan Kec. Trowulan sebagai kawasan cagar budaya. Sejauh ini, rekomendasi yang diajukan adalah merelokasi rencana pembangunan pabrik ke Kawasan Industri Ngoro dan segala konsekuensi dibicarakan lebih lanjut oleh Pemkab Mojokerto, Pemprov Jawa Timur, dan Pemerintah Pusat. Kemudian area calon pabrik yang dibatalkan (3,4 Ha) dimiliki oleh Pemerintah, dan dimanfaatkan untuk kegiatan pengembangan Trowulan sebagai Kawasan Taman Majapahit. buletin tata ruang & pertanahan 17 Tantangan Koordinasi Penataan Ruang ke Depan: artikel Berharap pada Peningkatan Kiprah BKPRN Dr. Ir. Max H. Pohan, CES Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah, Kementerian PPN/Bappenas, 2007-2013 Penataan ruang nasional1 tidak pelak lagi merupakan elemen yang penting dalam pembangunan nasional kita. Penataan ruang yang baik dan dipatuhi akan menjamin keberlanjutan kehidupan bangsa sambil berupaya untuk peningkatan kesejahteraan rakyat. Ruang dan sumberdaya alam memiliki nilai sangat strategis bagi kehidupan setiap individu, masyarakat, dan bangsa dengan berbagai kepentingan masing-masing. Ruang dan sumberdaya alam juga memiliki keterbatasan (scarcity) sehingga dalam penggunaannya sering menimbulkan konflik dan segala macam ekses negatifnya. Oleh karena itu diperlukan pengaturan dan pengkoordinasian penataan ruang dalam perencanaan, pemanfaatan, dan pengendaliannya. Dalam skala nasional, koordinasi dalam penataan ruang sangat dibutuhkan dalam menciptakan keterpaduan pembangunan antarsektor, antarwilayah, dan antarpemangku kepentingan. Koordinasi penataan ruang akan mendorong terciptanya pemanfaatan ruang yang optimal. Dengan demikian, koordinasi menjadi salah satu kunci keberhasilan penataan ruang, dan pada gilirannya, keberhasilan pembangunan nasional itu sendiri. Pentingnya koordinasi dalam penataan ruang telah sejak awal disadari oleh Pemerintah dan para pengambil kebijakan. Dikeluarkannya Keputusan Presiden (Keppres) No. 57/1989 tentang Tim Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional (selanjutnya disebut “Tim Tata Ruang”) yang mendahului keberadaan Undang Undang (UU) No. 24/1992 tentang Penataan Ruang. Pembentukan Tim Tata Ruang ini menunjukkan bahwa upaya koordinasi sejak awal telah ditetapkan untuk diserahkan pada sebuah badan khusus yang diberi peran utama melakukan koordinasi penyelenggaraan tata ruang, yang kemudian menjelma menjadi BKPRN (Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional) yang kita kenal sekarang. Evolusi Menuju BKPRN Perjalanan menuju bentuk BKPRN dimulai dengan diterbitkannya Keppres No. 57/1989 tentang Tim Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional sebagaimana telah disebutkan di atas. Keppres ini merujuk pada UU No. 4 /1982 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pada saat tersebut, nama BKPRN atau BKTRN belum ada, dan tim koordinasi ini hanya disebut sebagai Tim Tata Ruang yang (hanya) beranggotakan lima instansi yaitu Bappenas, Departemen Dalam Negeri (Depdagri), Sekretariat Negara (Setneg), Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), dan Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan diketuai oleh Meneg PPN/Ketua Bappenas. Walaupun masih baru dibentuk, namun tugas yang diemban cukup berat, yaitu menyangkut (i) perumusan kebijakan dan strategi, (ii) koordinasi penanganan masalah termasuk penelitian masalah, (iii) pengembangan dan penetapan kriteria, prosedur dan pengendalian pengelolaan tata ruang. Menyusul terbitnya UU No. 24/1992 tentang Penataan Ruang, dilakukanlah penyempurnaan terhadap Tim Tata Ruang melalui penerbitan Keppres No. 75/1993 tentang Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional. Selanjutnya Tim Tata Ruang berubah menjadi Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN), diketuai Meneg PPN/Ketua Bappenas dan anggotanya bertambah dengan masuknya Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam) dan Departemen Pekerjaan Umum (Dep. PU). Keberadaan UU No. 24/1992 kemudian menjadikan tugas BKTRN menjadi lebih berat dari sebelumnya, yaitu melakukan inventarisasi sumber daya, mengoordinasikan pelaksanaan strategi nasional pengembangan pola tata ruang secara terpadu, menyelenggarakan pembinaan pelaksanaan penataan ruang daerah, dan mengoordinasikan penyusunan peraturan pelaksanaan UU No. 24/1992. Memasuki era desentralisasi dan otonomi daerah pasca gerakan reformasi 1998 yang ditandai dengan lahirnya UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, telah mendorong perubahan terhadap BKTRN melalui penerbitan Keppres No. 62/2000 tentang Koordinasi Penataan Ruang Nasional. Perubahan utama yang terjadi berupa perubahan BKTRN menjadi Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN), dan diketuai oleh Menteri Negara Koordinator (Menko) Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri atau Menko Ekuin. Ini menyusul akibat adanya degradasi status Kemeneg PPN/Bappenas dari setingkat Menteri Negara menjadi “hanya” setingkat “Badan” pada Kabinet Gus Dur. Dengan demikian posisi Ketua BKTRN dipegang oleh Menko Ekuin. Beberapa anggota baru BKTRN adalah Kementerian Negara Otonomi Daerah dan Departemen Pertanian (Deptan). Selain itu, tugas yang diemban menjadi semakin banyak bahkan beberapa bersifat eksekusi diantaranya mengoordinasikan dan memantau pelaksanaan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN); mengoordinasikan penyusunan peraturan perundang-undangan bidang tata ruang (TR); memaduserasikan UU No. 24/1992 dan peraturan pelaksanaannya dengan pelaksanaan UU No. 22/1999 serta memaduserasikan penatagunaan tanah dan sumberdaya alam (SDA) dengan Rencana Tata Ruang (RTR); menyelenggarakan pembinaan tata ruang di daerah serta pembinaan dan penentuan prioritas terhadap Kawasan Strategis Nasional (KSN); membina kelembagaan dan sumberdaya manusia (SDM) penyelenggara tata ruang (TR); menyelenggarakan pembinaan dan standarisasi perpetaan TR. Melihat dan mempertimbangkan bahwa UU No. 24/1992 sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan pengaturan penataan ruang, maka ditetapkanlah UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang. Mengimbangi lahirnya UU yang baru ini, kemudian dilahirkan Keppres No. 4/2009 tentang Badan Koordinasi Penataan Ruang 1 Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang (UU No. 26/2007) 18 buletin tata ruang & pertanahan Nasional. Dalam Keppres ini tercatat beberapa perubahan mendasar terkait BKPRN yaitu: (i) bertambahnya anggota BKPRN dengan masuknya Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) , Kementerian Perindustrian, Kementerian Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan; (ii) secara tegas dinyatakan tugas BKPRN adalah melakukan koordinasi, sehingga tidak ada lagi kegiatan yang bersifat eksekusi; (iii) kegiatan tambahan berupa koordinasi pemasilitasian kerjasama penataan ruang antarprovinsi, kerjasama penataan ruang antarnegara dan penyebarluasan informasi penataan ruang. Tabel 1 Perbandingan Peran dan Fungsi BKPRN (1989-2014) Keputusan Presiden (Keppres) No 57/1989 tentang Tim Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional No 75/1993 tentang Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional No 62/2000 tentang Koordinasi Penataan Ruang Nasional No 4/2009 tentang Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional Rujukan UU 4/1982 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup UU 24/1992 tentang Penataan Ruang UU 24/1992 tentang Penataan UU 26/2007 tentang Penataan Ruang Ruang UU 27/2007 tentang Pengelolaan UU 22/1999 tentang Pemerintahan wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Daerah Keanggotaan Tim Tata Ruang berasal dari dari 5(lima) instansi, yaitu Bappenas, Depdagri, Setneg,KLH, BPN Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN) terdiri dari 7 (tujuh) instansi, yaitu Bappenas, Setneg, Depdagri, Dephankam, Dep PU, Kemeng LH, BPN. Badan Koordinasi Penataan Ruang (BKPRN) terdiri dari 10 institusi yaitu Kemenko Ekuin, Bappenas, Depkimpraswil, Depdagri, Dephan, Deptan, MenegPU, MenegLH, MenegOtda, Kepala BPN BKPRN terdiri dari 14 institusi KemenkoPerek, KemenPU,Kemdagri,Bappenas, Ke menhankam,KemenESDM,Kemenp erindustrian, Kementan, Kemenhut, KemenKP,KemengLH,BPN,Setneg Struktur Ketua: Meneg PPN/Ketua Bappenas, Waka: Menteri/Sekneg, Meneg KLH Anggota: 4 eselon 1. Didukung oleh Pokja dan sekretariat Ketua: Meneg PPN/Ketua Bappenas Waka: Sekneg Anggota: 5 menteri dan 1 eselon I Didukung oleh Pokja dan Tim Teknis Ketua: Menko Ekuin Waka: Menkimpraswil Sekretaris: Kepala Bappenas Anggota: 7 menteri dan 1 eselon I Didukung Tim Teknis dan Pokja Ketua: Menko Perekonomian Waka: MenPU, Mendagri Sekretaris: MenPPN/Kepala Bappenas Anggota: 10 menteri dan 1 wamen Didukung Pokja dan Sekretariat Tugas (*) 1. Merumuskan kebijaksanaan dan mengoordinasikan langkah penanganan masalah pemanfaatan ruang 2. Menyusun strategi nasional pengembangan pola tata ruang secara terpadu serta mengendalikan pemanfaatan ruang 3. Mengembangkan dan menetapkan kriteria pengelolaan tata ruang 4. Mengembangkan dan menetapkan prosedur pengelolaan tata ruang dan mengendalikannya 5. Meneliti masalah pemanfaatan ruang di daerah dan memberikan pengrahan serta saran pemecahan. 1. Melakukan inventarisasi sumber daya dalam rangka penyusunan dan penyempurnaan strategi nasional pengembangan pola tata ruang dan pola pengelolaannya 2. Mengoordinasikan pelaksanaan strategi nasional pengembangan pola tata ruang secara terpadu 3. Menyelenggarakan pembinaan pelaksanaan penataan ruang daerah 4. Mengembangkan dan menetapkan prosedur pengelolaan tata ruang 5. Merumuskan kebijaksanaan dan mengoordinasikan penanganan dan penyelesaian masalah penataan ruang, baik di nasional maupun daerah, danmemberikan pengarahan dan saran pemecahan 6. Mengoordinasikan penyusunan perturan pelaksanaan UU 24/1992. 1. Mengoordinasikan pelaksanaan RTRWN secara terpadu yang dijabarkan dalam programpembangunan sektor dan program pembangunan di daerah; 2. Merumuskan kebijakan dan mengoordinasikan penanganan dan penyelesaian masalah yang timbul baik di tingkat nasional maupun daerah, dan memberikanpengarahan serta saran pemecahannya; 3. Mengoordinasikan penyusunan peraturan perundang-undangan bidang TR 4. Memaduserasikan UU 24/1992 dan peraturan pelaksanaannya dengan pelaksanaan UU 22/1999 5. Memaduserasikan penatagunaan tanah dan SDA dengan RTR 6. Memantau pelaksanaan RTRWN dan memanfaatkan hasilnya untuk penyempurnaan 7. Menyelenggarakan pembinaan tata ruang di daerah melalui sinkronisasi RTRWN/Prop/kab/kota 8. Mengembangkan dan menetapkan prosedur pengelolaan tata ruang 9. Menyelenggarakan pembinaan dan penentuan prioritas terhadap KSN 10. Membina kelembagaan dan SDM penyelenggara TR 11. Menyelenggarakan pembinaan dan standarisasi perpetaan TR Melakukan koordinasi dalam: 1. Penyiapan kebijakan penataan ruang nasional 2. Pelaksanaan RTRWN secara terpadu yang dijabarkan dalam program pembangunan sektor dan di daerah 3. Penanganan dan penyelesaian masalah yang timbul, baik di tingkat nasional dan daerah, memberi pengarahan dan pemecahannya 4. Penyusunan peraturan per UU an di bidang TR, termasuk standar, prosedur dan kriteria 5. Pemaduserasian berbagai peraturan terkait penyelenggaraan TR 6. Pemaduserasian penatagunaan tanah dan SDA lainnya dengan RTR 7. Pemantauan pelaksanaan RTRWN dan pemanfaatan hasil pemantauan untuk penyempurnaan 8. Penyelenggaraan , pembinaan dan penentuan prioritas pelaksanaan penataan ruang KSN 9. Pelaksanaan penataan ruang wilayah nasional dan KSN 10. Pemasilitasian kerjasama penataan ruang antarpropvinsi 11. Kerjasama penataan ruang antarnegara 12. Penyebarluasan informasi penataan ruang 13. Sinkronisasi rencana umum dan rencana rinci TR daerah dengan per UU an, termasuk RTRWN dan rencana rincinya 14. Upaya peningkatan kapasitas kelembagaan pemerintah dan pemda dalam penyelenggaraan TR Catatan (*): telah diringkas Sumber: Hasil olahan buletin tata ruang & pertanahan 19 Kiprah BKPRN Saat Ini Sebagai sebuah badan koordinasi, BKPRN telah melaksanakan fungsi dan tugasnya dengan cukup baik walaupun disadari masih belum optimal mengingat semakin banyak serta semakin kompleksnya masalah-masalah penataan ruang. Saat ini, fungsi koordinasi berjalan baik terlihat dari berlangsungnya secara rutin kegiatan utama yang bersifat koordinatif seperti Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Penataan Ruang setiap dua tahun dengan agenda utama penyiapan rencana kerja tahunan dan penanganan isu dan masalah tata ruang. Selain itu, rapat berkala mulai dari Tingkat Menteri, Eselon I, Eselon II, dan Eselon III secara berjenjang pun berlangsung secara rutin. Di sisi lain, harus diakui bahwa saat ini belum seluruh tugas dan fungsi BKPRN dijalankan dengan baik. Kegiatan BKPRN masih didominasi oleh penyelesaian konflik penggunaan ruang, baik di tingkat pusat maupun daerah. Hal ini terlihat dari beberapa keberhasilan menyelesaikan konflik pemanfaatan ruang. Sebut saja, keberhasilan BKPRN dalam mengendalikan pemanfaatan ruang dengan memanfaatkan keberadaan Perpres No. 54/2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur dan Perpres No. 45/2011 tentang RTR Kawasan Perkotaan Sarbagita (Lihat Boks: Kisah Sukses BKPRN). Selain itu, penyusunan dan penetapan beberapa regulasi terkait tata ruang juga telah berhasil diselesaikan melalui koordinasi BKPRN, termasuk upaya pemaduserasian berbagai peraturan. Tantangan dan Agenda BKPRN Ke Depan kisah sukses BKPRN Penyelesaian RTRW. Disadari adanya keinginan kita semua untuk menjadikan Rencana Tata Ruang sebagai “panglima” pelaksanaan pembangunan di Indonesia. Namun keinginan ini masih terkendala oleh kenyataan bahwa masih belum seluruh provinsi, kabupaten dan kota memiliki RTRW. Oleh karena itu, penyelesaian RTRW yang masih tersisa adalah agenda utama BKPRN ke depan: bagaimana memasilitasi pemerintah daerah agar paling lambat akhir tahun 2014 seluruh RTRW telah diselesaikan. Hal ini tentu bukan pekerjaan yang mudah. Penyelesaian RTRW perlu disertai jaminan kualitas produk RTRW yang memenuhi standar. BKPRN diharapkan berperan lebih besar dalam mengoordinasikan keseluruhan bantuan teknis dan bentuk fasilitasi lainnya dari pemerintah agar terjadi percepatan penyelesaian RTRW. Penggunaan data geospasial Sinergi dan Harmonisasi Perundang-undangan. Tahun 2015, tahun awal pelaksanaan RPJMN 2015-2019, harus menjadi momentum penting bagi penyelenggara tata ruang untuk menciptakan sinergi dan harmonisasi diantara berbagai peraturan perundangan terkait penyelenggaraan tata ruang. Untuk itu, dibutuhkan terobosan BKPRN dalam menyelesaikan belum harmonisnya berbagai regulasi terkait penataan ruang di Indonesia. Selain itu, masih banyak regulasi yang merupakan bagian dari amanat Undang-Undang yang perlu segera dilengkapi. Kerjasama BKPRN-BKPRD. Sebagai konsekuensi hukum dari kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, maka penyelenggaraan penataan ruang juga menjadi tugas pemerintah daerah. Terkait dengan itu, fungsi koordinasi juga ditangani pada tingkat pemerintahan daerah (provinsi, kabupaten, kota). Keberadaan BKPRD (Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah) menjadi sesuatu keharusan dalam memastikan terselenggaranya fungsi koordinasi di tingkat daerah. BKPRN harus mendorong pemerintah daerah agar membentuk BKPRD, meningkatkan dan mempertahankan kualitas BKPRD, dan menjaga hubungan fungsional antara BKPRN dan BKPRD provinsi/kabupaten/kota. Koordinasi Sektoral-Spasial. Salah satu isu utama yang selama ini mengemuka adalah belum dijadikannya RTRW sebagai acuan sehingga terjadi ketidaksinkronan antara RTRW dan rencana pembangunan sektoral. Keberadaan BKPRN dan BKPRD diharapkan dapat menjembatani kesenjangan antara RTRW dan rencana pembangunan sektoral. Keterlibatan aktif BKPRN dan BKPRD dalam proses perencanaan pembangunan melalui mekanisme Musyawarah Perencanaan Pembangunan (musrenbang) dapat menjadi pintu masuk dimulainya upaya sinkronisasi RTRW dan rencana pembangunan baik sektoral maupun regional. Sosialisasi dan diseminasi Penataan Ruang. Pelanggaran terhadap pemanfaatan ruang diancam oleh sanksi pidana, namun dalam kenyataannya masyarakat termasuk para pemangku kepentingan utama masih belum sepenuhnya memahami secara baik tentang penataan ruang dengan segala atributnya. Upaya meningkatkan pemahaman masyarakat secara umum dapat menjadi salah satu agenda BKPRN. Dimulai dengan melakukan advokasi kepada para pengambil keputusan, dan sosialisasi pada masyarakat secara BKPRN telah menggunakan Perpres No. 54/2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur sebagai alat pengendalian pemanfaatan ruang. Rencana pembangunan Pusat Arsip PPATK di Ciloto, Kab. Cianjur telah memiliki HGB, namun belum memiliki IMB. Permohonan IMB yang diajukan ditolak karena pemanfaatannya tidak sesuai dengan Perpres No. 54/2008 dan Perda RTRW Kab. Cianjur No. 7/1997. Rekomendasi BKPRN dikeluarkan untuk menyelesaikan masalah tersebut melalui Surat Menko Perekonomian (selaku Ketua BKPRN) No. S-83/M.EKON/05/2011 tanggal 23 Mei 2011 yang menolak keberadaan gedung DRC dan PPATK karena tidak sesuai dengan arahan Perpres No. 54/2008. Kemudian Menko Perekonomian menyerahkan penertibannya kepada Pemda Kab Cianjur. BKPRN telah menggunakan Perpres No. 45/2011 tentang RTR Kawasan Perkotaan Sarbagita sebagai acuan dalam pemberian rekomendasi pemanfaatan ruang kawasan pariwisata. Pembangunan Bali International Park (BIP) sebagai Kawasan Pariwisata memiliki perbedaan penafsiran antara RTRW Kab. Badung dengan Perpres No. 45/2011 (RTR Kaw.Perkotaan Sarbagita). Surat No. TR.03 03-Mn/658 (Desember 2011) dari Menteri PU kepada Menko Perekonomian: izin prinsip pembangunan kawasan terpadu BIP dapat diterbitkan sesuai dengan acuan Perpres No. 45/2011 diterbitkan sebagai rekomendasi dari BKPRN yang berisi himbauan kepada Pemda Kab. Badung untuk mempercepat proses penetapan Perda RTRW Kab. Badung. Sumber: Buku Kinerja Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) I dan II, Bappenas, 2013 20 yang dikeluarkan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG, dahulu Bakosurtanal) dalam hal ini perlu ditingkatkan lebih banyak. buletin tata ruang & pertanahan berjenjang dari pusat sampai ke desa. Langkah ini perlu ditunjang dengan skenario yang jelas dengan melibatkan BKPRD. Kampanye dan publikasi masif yang terus menerus melalui berbagai media termasuk media sosial nantinya sewajarnya menjadi bagian dari rutinitas BKPRN dan BKPRD. Pemantauan dan evaluasi. Pemantauan dan evaluasi sementara ini juga belum tersentuh secara berarti oleh BKPRN. Sementara memasuki era RPJMN tahap III (2015-2019), penyelenggaraan tata ruang akan mulai memasuki tahapan pemanfaatan dan pengendalian tata ruang. Sehingga menjadi suatu keniscayaan ketika kemudian BKPRN berperan dalam mengoordinasikan upaya pemantauan dan pengendalian dari berbagai institusi mulai dari pusat sampai daerah. Dengan demikian diharapkan hasil pemantauan dan pengendalian dapat lebih berdayaguna. Kerjasama. Kerjasama antarprovinsi harus sudah mulai dirintis dengan mempertimbangkan semakin banyaknya masalah lintas wilayah, juga maraknya isu perkembangan kota-kota besar menuju terbentuknya metropolitan bahkan megapolitan. Tidak kalah penting perlunya dirintis kerjasama antarnegara baik dengan alasan berbagi pengalaman maupun dalam konteks perbatasan negara. BKPRN diharapkan dapat menginisiasi hal ini bersama BKPRD. Proses Pengambilan Keputusan BKPRN. Salah satu kritik yang sering mengemuka terhadap BKPRN adalah kelambanan dalam pengambilan keputusan dikarenakan proses pengambilan keputusan BKPRN harus melalui sidang BKPRN yang nota bene terdiri dari sejumlah menteri terkait. Selama ini, di masa reformasi, mengumpulkan seluruh menteri terkait ternyata tidak mudah. Diperlukan suatu terobosan agar kendala ini dapat teratasi. agenda Januari-Juli 2014 Pimpinan BKPRN. Persoalan penataan ruang adalah persoalan lintas sektoral, lintaswilayah, lintas institusi, dalam pembangunan nasional. Oleh karena itu fungsi dan keberadaaan BKPRN (dan/atau BKPRD) sebagai perpanjangan tangan dan sekaligus pembantu Januari 2014 • Penyusunan rencana kerja tahunan BKPRN berdasarkan agenda kerja BKPRN 2014-2015 • Penyusunan rencana kerja Sekretariat RAN 2014 – 2015; • Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2015; • Pertemuan Tingkat Eselon I, II, dan III BKPRN untuk tema: a) Monitoring Implementasi mekanisme Holding Zone; b) Kajian hukum percepatan percepatan penyelesaian penetapan perda RTRW; • Pelaksanaan rapat antar pokja BKPRN untuk tema: a) Penyelarasan Implementasi RZWP-3-K; b) Penyusunan Pedoman Penyelesaian Konflik Penataan Ruang • Penyusunan TOR untuk pemetaan kegiatan dan penyusunan materi teknis masukan pedoman; • Lokakarya pemetaan kegiatan. Februari 2014 • Penyusunan jadwal dan rencana kerja kegiatan Sekretariat BKPRN 2014-2015; • Laporan Semester I BKPRN Tahun 2014; • Pertemuan Koordinasi Access Reform Sekretariat RAN 2014. Maret 2014 • Rapat teknis pelaksanaan Publikasi Tata Batas Kawasan Hutan, Sekretariat RAN 2014; • Pengumpulan dan pengolahan bahan, data dan informasi BKPRN dan pengembangan e-BKPRN; • Forum Sosialisasi Hasil Kajian Background Study dan Kajian SCDRR di Kementerian PPN/Bappenas dan IRSA; Presiden sangatlah penting agar semua rencana pembangunan dapat tersususn secara terintegrasi, sinergis, dan efisien dalam penggunaan sumberdaya, serta efektif dalam pelaksanaannya. Fungsi rencana tata ruang sebagai rencana spasial sangat erat terkait dengan rencana pembangunan sektoral yang a-spasial. Oleh karena itu, peranan Ketua BKPRN dan BKPRD sangat penting sebagai mediator/penengah bagi semua kepentingan sektoral dan daerah. Ke depan, penulis berpendapat bahwa posisi Ketua BKPRN harus dikembalikan kepada Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas sebagaimana dulu pernah terjadi, mengingat tugas dan fungsinya yang juga mengoordinasikan semua rencana pembangunan baik sektoral maupun daerah, yang harus sejalan dengan rencana penataan ruang. Dengan demikian tujuan pembangunan yang berkelanjutan, terutama penekanan pada RPJMN 2015-2019, akan dapat lebih terjamin pencapaiannya. Namun tentu keputusan mengenai hal ini sepenuhnya merupakan kewenangan dan diskresi Presiden terpilih nantinya. Penutup Keberadaan BKPRN dan BKPRD sangat penting dan sangat diperlukan (pivotal) mengingat pekerjaan pembangunan nasional yang bersifat lintas sektoral, lintas daerah, lintas lembaga, dan lintas waktu. Diperlukan lembaga yang dapat berfungsi sebagai perekat (integrator), koordinator, sekaligus sebagai penyelesai masalah (solver), dan ini hanya bisa dilakukan oleh lembaga yang lintas sektoral pula. Di dalam menghadapi pembangunan ke depan, khususnya pembangunan jangka menengah 2015-2019, siapapun pemimpin pemerintahan negara ini nanti, diharapkan BKPRN akan tetap dapat dipertahankan, bahkan diperbaiki kinerjanya sehingga merupakan tangan Presiden untuk mewujudkan visi dan misinya secara lebih efektif lagi, dan pembangunan yang berkelanjutan akan dapat dijamin pewujudannya. Semoga. • Penggunaan internal secara intensif, Sosialisasi II, penggunaan lintas K/L dalam penggunaan eBKPRN; • Pembuatan data yang dapat dianalisis (peta, rencana) dalam Portal TRP; • Penyusunan konsep dan pembuatan Web RAN dan eRAN; • Diskusi internal, diskusi pakar, penyusunan TOR lengkap Kegiatan Knowledge Management. April 2014 • Pertemuan (Breakfast meeting) Tingkat Eselon I, II, dan III BKPRN • Kunjungan lapangan ke Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Bangka Belitung dalam rangka Koordinasi Access Reform Sekretariat RAN • Penyusunan Laporan Pokja III BKPRN; • Mengikuti pelaksanaan Musrenbangnas Mei 2014 • Penyusunan agenda Kerja BKPRN untuk Semester II Tahun 2014 • Rapat Kerja Regional (Rakereg) BKPRN 2014; • Kunjungan lapangan ke Propinsi Bali dalam rangka Publikasi Tata Batas Kawasan Hutan, Sekretariat RAN; • Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan pembangunan Bidang Tata Ruang dan Pertanahan Juni 2014 • Sidang BKPRN Tahun 2014; • Laporan Semester I dan II BKPRN Tahun 2014; • Pembahasan Bank Tanah; • Penerbitan Buletin TRP Edisi I Tahun 2014. buletin tata ruang & pertanahan 21 kajian Kajian Arah Kebijakan Pengelolaan Pertanahan Nasional 2015-2019 Latar Belakang Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dinyatakan bahwa seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Selanjutnya dalam ayat (2) dinyatakan seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan kekayaan nasional. Kedua ayat ini mengandung makna bahwa tanah di seluruh wilayah Indonesiamerupakan tanah bersama Bangsa Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa. Didasarkan kepada Pasal 9 ayat (2) UUPA yang menyatakan bahwa tiap-tiap warga-negara Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dari hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya, diakui kepemilikan secara individu di dalam konsep tanah bersama. Falsafah Indonesia dalam konsep hubungan antara manusia dengan tanah menempatkan individu dan masyarakat sebagai kesatuan yang tak terpisahkan. Pemenuhan kebutuhan seseorang terhadap tanah diletakkan dalam kerangka kebutuhan seluruh masyarakat sehingga hubungannya tidak bersifat individualistis semata, tetapi lebih bersifat kolektif dengan tetap memberikan tempat dan penghormatan terhadap hak perseorangan (Maria Soemardjono, 2009). Dalam prakteknya, falsafah hubungan antara manusia dengan tanah ini kurang dipahami sehingga muncul berbagai permasalahan. Peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan yang sudah ada sejak tahun 1960, masih belum mampu menjadi alat dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Tujuan kajian ini adalah menyusun draf rancang bangun kebijakan bidang pertanahan Tahun 2015-2019, meliputi: 1. Rumusan arah kebijakan Bidang Pertanahan dalam RPJMN 2015-2019; 2. Rumusan program dan kegiatan Bidang Pertanahan 20152019; dan 3. Rumusan indikator input, ouput, dan outcome Bidang Pertanahan 2015-2019. Permasalahan dan Isu Strategis Bidang Pertanahan Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengklasifikasi kasus pertanahan menjadi konflik, sengketa dan perkara.Konflik merupakan permasalahan pertanahan yang memiliki nuansa/ aspek sosial dan politik yang luas, sedangkan sengketa adalah permasalahan pertanahan yang tidak memiliki nuansa sosial politik yang begitu luas, umumnya antar individu.Kemudian perkara merupakan konflik dan sengketa yang sudah masuk ke pengadilan baik itu pengadilan negeri, tinggi, maupun PTUN. Terjadinya sengketa dan konflik pertanahan karena adanya perbedaan persepsi, pendapat, kepentingan, nilai antara dua pihak atau lebih mengenai status tanah, status penguasaan, status kepemilikan, status surat keputusan mengenai kepemilikan atas tanah tertentu, yang berkepanjangan dan dianggap merugikan salah satu pihak dan muncul kepermukaan. Munculnya kasus pertanahan tersebut berpengaruh pada kondisi ekonomi, sosial, politik, pertahanan dan keamanan. Data BPN pada tahun 2012 mencatat 7.196 kasus pertanahan yang terdiri atas sengketa, konflik dan perkara. Dari jumlah tersebut, baru 22 buletin tata ruang & pertanahan 4.291 kasus yang telah diselesaikan. Munculnya kasus-kasus pertanahan yang diliput oleh berbagai media massa pada awal tahun 2012 merupakan akumulasi dari kasus pertanahan yang telah berlangsung lama dan tidak terselesaikan. Berikut gambaran proporsi kasus pertanahan berdasarkan subjek. 1,95 Masyarakat-Instansi Pemerintahan Individu-Instansi Pemerintahan Badan Hukum-Instansi Pemerintah 26,6 71,45 18,4 50,8 Antar Instansi Pemerintahan Antara Masyarakat-Pemerintahan Antar Masyarakat 3,4 2,8 16,9 25,3 Sumber: BPN, 2012 30,8 51,6 Masyarakat-Masyarakat Individu-Individu Individu-Badan Hukum Badan Hukum-Badan Hukum Badan Hukum-Masyarakat Gambar 1 Proporsi Kasus Pertanahan Berdasarkan Subjek Indonesia memiliki hukum pertanahan yang mengatur secara jelas mengenai tata cara baik kepemilikan maupun proses jual beli. Namun penggunaan hukum pertanahan nasional tidak dapat dilakukan khususnya pada wilayah ulayat/adat terutama wilayah timur Indonesia. Adanya perbedaan penggunaan hukum tanah di berbagai wilayah di Indonesia seringkali menimbulkan konflik pertanahan. Sehingga sistem tenurial dan pola kerjasama pemanfaatan berdasarkan hukum pertanahan nasional tidak dapat dilakukan dengan serta merta tanpa upaya matrikulasi penyamaan pemahaman konsep terlebih dahulu. Model-model pengenalan konsep atau modifikasi tenurial pada sistem pertanahan nasional perlu dikembangkan lebih lanjut untuk mengakomodasi model permasalahan kasus pertanahan ini. Tanah dengan kepemilikan ulayat/adat memerlukan adanya sistem pengelolaan yang jelas agar pihak-pihak terkait dapat mengetahui dengan jelas batas wilayah, tata cara pengelolaan (identifikasi dan penetapan) termasuk kewenangan para pihak dalam pengelolannya. Salah satu arah kebijakan Reforma Agraria sebagaimana dimuat dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam adalah melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat, baik tanah pertanian maupun tanah perkotaan. Ini berarti kegiatan Reforma Agraria melalui Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) telah menjadi komitmen Pemerintah Republik Indonesia dalam upaya memperbaiki permasalahan utama pada ketimpangan Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T). Secara umum, tujuan Reforma Agraria antara lain: a. Menata kembali ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah ke arah yang lebih adil; b. Mengurangi sengketa dan konflik pertanahan; c. Memperbaiki akses rakyat kepada sumber-sumber ekonomi, terutama tanah; d. Mengurangi kemiskinan; e. Menciptakan lapangan kerja; f. Memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup; dan g. Menguatkan ketahanan pangan dan energi. Salah satu permasalahan mendasar pertanahan adalah kecenderungan sebagian kecil penduduk Indonesia menguasai tanah yang amat luas sedangkan di sisi lain sebagian besar penduduk harus hidup di tanah yang sempit sehingga tidak efisien apabila diusahakan. Sehingga program landreform melalui redistribusi tanah melakukan koreksi agar sebagian besar penduduk dapat hidup di tanah yang luasannya layak secara ekonomi, sosial, dan budaya. Untuk menjamin keadilan semua pihak, tentunya perlu batas waktu dan parameter kinerja dimana pada satu waktu kegiatan redistribusi tanah dinyatakan selesai dan proporsi inventarisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (IP4T) telah dikoreksi ke tingkat yang layak baik secara ekonomi, sosial, maupun budaya. Berdasarkan data dari BPN (2013), saat ini masih terdapat berbagai permasalahan terkait dengan landreform, yaitu kelangkaan tanah yang dapat dijadikan sumber tanah objek reforma agraria (TORA), dan terjadinya pengalihan hak atas tanah yang telah diredistribusikan. Sebagian besar sumber tanah yang dapat dijadikan TORA hanya tinggal berasal dari tanah negara yang meliputi kawasan hutan yang dapat dikonversi dan tanah terlantar. Namun pada pelaksanaannya perubahan fungsi kawasan hutan menjadi non hutan memerlukan beberapa persyaratan khusus sehingga proses perubahannya memerlukan waktu yang lama. Selain itu, BPN juga mengalami kesulitan dalam menetapkan sebidang tanah sebagai tanah terlantar karena beberapa hal yaitu (i) pemegang hak dapat melakukan upaya teknis untuk menghindari status tanah terlantar; (ii) Data subjek untuk penerima reforma agraria belum tersedia dengan baik; (iii) Ketentuan tentang tata cara pengaturan (delivery mechanism) pelaksanaan redistribusi tanah belum jelas secara operasional; (iv) Pengukuran kadastral dan identifikasi P4T belum mencakup seluruh wilayah nasional. Sementara itu permasalahan lainnya terkait dengan implementasi redistribusi tanah yang telah dilakukan adalah terjadinya pengalihan hak atas tanah yang telah diredistribusikan oleh pemerintahan kepada masyarakat miskin kepada pihak lain dikarenakan masyarakat miskin penerima tidak memiliki akses sumberdaya yang cukup untuk mengolah dan memanfaatkan tanah tersebut. Sehingga pada akhirnya program redistribusi tanah sebagai bagian dari reforma agraria yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan keadilan, belum dapat menunjukan hasil yang signifikan dalam memperbaiki kesejahteraan masyarakat miskin. Berikut gambar diagram fenomena penyediaan tanah objek reforma agraria. WILAYAH REPUBLIK INDONESIA Tanah Negara Tanah Hak Kriteria Terlantar Hutan Pelepasan Hak BMN Tanah Tidak Terlantar Terlantar Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) Redistribusi & Akses Sumberdaya Gambar 2 Diagram Fenomena Penyediaan Tanah Objek Reforma Agraria Pada tahun 2012 telah diterbitkan UU No. 2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (selanjutnya disebut UU Pengadaan Tanah). UU ini kemudian dilengkapi dengan Perpres No. 71/2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Diterbitkannya UU Pengadaan Tanah dirasakan perlu karena peraturan perundang-undangan di bidang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum sebelumnya belum dapat menjamin perolehan tanah untuk pelaksanaan pembangunan. Selain itu pengaturannya hanya berbentuk Keputusan Presiden dan Keputusan Menteri. Meskipun maksud dan tujuan penerbitan semua ketentuan tersebut untuk lebih memberikan jaminan kepastian hukum bagi pelaksanaan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, namun pada kenyataannya kegiatan pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum dalam pelaksanaannya tetap mengalami kesulitan. Keberadaan UU yang baru diharapkan dalam pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dapat lebih terukur karena adanya kerangka waktu pengadaan tanah. Proses pengadaan tanah dapat dilakukan dalam kurun waktu terhitung sejak dokumen perencanaan resmi diterima oleh gubernur paling cepat (tanpa adanya gugatan) selama 319 hari kerja dan paling lama (dengan adanya gugatan) selama 583 hari kerja. BPN memiliki tugas dan fungsi pokok sebagai instansi Pemerintah yang melakukan penataan dan pengelolaan bidang pertanahan di seluruh wilayah Republik Indonesia (Perpres No. 10/2006 dan Perpres No. 85/2012). Dalam melaksanakan tupoksi di atas, dari hasil evaluasi sementara, BPN secara ideal diharapkan memiliki kekuatan pegawai negeri sipil sebanyak 26.000 orang, dengan proporsi kompetensi ideal untuk juru ukur sekitar 10.000 orang. Dengan demikian terlihat bahwa kekuatan SDM BPN masih jauh dari memadai untuk dapat memberikan pelayanan pertanah-an nasional yang baik. Selain itu dari sisi pola penyebaran SDM, tercatat sebagian besar hanya terkonsentrasi di wilayah Jawa-Bali serta kota-kota besar lainnya di Indonesia, seperti Makasar, Medan, dll. Di sisi lain, saat ini BPN sedang memiliki prioritas utama dalam kegiatan percepatan pendaftaran tanah di seluruh Indonesia. Dari aspek proporsi kompetensi, saat ini jumlah sumberdaya manusia juru ukur/surveyor masih sangat kurang yaitu baru mencapai sekitar 1.689 orang dari total kebutuhan ideal sekitar 10.000 orang. Pada Tahun 2012, proporsi pegawai BPN untuk juru ukur bila dibandingkan dengan keseluruhan 20.184 orang, baru buletin tata ruang & pertanahan 23 mencapai 8 persen. Kebijakan penerimaan pegawai yang berjalan belum mengarah pada upaya mencapai kekuatan ideal, termasuk proporsi juru ukur sebagai ujung tombak pelayanan pertanahan nasional. Kerangka Kebijakan Bidang Pertanahan 2015-2019 Perubahan Sistem Pendaftaran Tanah Stelsel Negatif Menjadi Stelsel Positif. Sistem pendaftaran tanah di Indonesia yang menggunakan sistem stelsel negatif telah teridentifikasi tidak dapat memberikan kepastian hukum bagi pemilik sertipikat atau pemilik hak atas tanah tersebut. Penggunaan sistem ini memicu timbulnya berbagai permasalahan dalam bidang pertanahan yang kemudian memicu terjadinya konflik dan sengketa tanah. Di lain sisi, kepastian hukum atas kepemilikan tanah akan mengurangi kasus klaim kepemilikan oleh pihak lain yang tidak berhak pada sebidang tanah sehingga mendorong pembentukan iklim investasi ekonomi yang kondusif yang pada akhirnya berpengaruh kepada menguatnya daya saing perekonomian nasional di dunia internasional. Pada dasarnya walaupun secara hukum formal sistem pendaftaran tanah di Indonesia menggunakan sistem pendaftaran tanah publikasi negatif, namun beberapa karakter publikasi positif telah mulai diaplikasikan sebagai pelengkap dalam kebijakan pendaftaran tanah nasional. Hal ini terlihat dalam proses pendaftaran tanah yang melibatkan panitia ajudikasi atau panitia penilai sebagaimana diterangkan dalam PP No. 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah. Terdapatnya panitia penilai atau panitia ajudikasi terhadap bidang tanah yang akan didaftarkan merupakan salah satu ciri penggunaan karakter pendaftaran tanah secara positif. Namun demikian, untuk melakukan penjaminan atas kepastian hak kepemilikan tanah masih diperlukan persiapan panjang yang matang terutama dari kemampuan keuangan negara dalam melakukan ganti rugi pada kasus dimana sertipikat yang telah diterbitkan terbukti oleh Pengadilan dinyatakan tidak sah. Saat ini, masih besar potensi terjadinya sertipikat ganda mengingat dua faktor yang amat terkait, yaitu (i) cakupan peta dasar pertanahan yang baru mencapai 11 persen dari wilayah nasional daratan bukan hutan; serta (ii) cakupan wilayah bidang tanah yang bersertipikat baru mencapai 47 persen dari wilayah nasional daratan bukan hutan. Untuk itu sebelum dilakukan perubahan sistem pendaftaran tanah menjadi publikasi positif, perlu dilakukan beberapa langkah teknis meliputi: (i) Percepatan Sertipikasi Tanah; dan (ii) Percepatan Penyediaan Peta Dasar Pertanahan. Terkait dengan potensi terjadinya kesalahan negara dalam menerbitkan sertipikat, diasumsikan bahwa tingkat kesalahan yang mengakibatkan beban keuangan negara dalam menyediakan ganti rugi, akan mencapai tingkat yang dapat dikelola bila cakupan peta dasar pertanahan dan cakupan wilayah nasional yang telah bersertipikat, keduanya mencapai 80 (atau 90) persen dari wilayah nasional daratan bukan hutan. Pada kondisi ini, diyakini bahwa secara teknis kemungkinan terjadi sertipikat sah ganda menjadi amat kecil sehingga bila memang masih terjadi, resiko beban keuangan negara dalam memberikan ganti rugi masih dapat dikelola dengan baik. Percepatan Penyelesaian Kasus-Kasus Pertanahan. Hasil keputusan beberapa pengadilan yang berbeda pada beberapa acara peradilan yang juga berbeda untuk kasus yang sama, selain akan menimbulkan potensi konflik yang berkepanjangan antara pihakpihak yang bersengketa, juga akan merusak kepastian hukum hak atas tanah yang pada akhirnya juga mempengaruhi iklim investasi suatu negara. Salah satu faktor utama penyebab perbedaan keputusan di atas adalah minimnya pengetahuan pertanahan dari 24 buletin tata ruang & pertanahan para hakim penyelenggara acara peradilan tersebut. Selain itu juga dibukanya opsi banding yang sama dengan kasus peradilan lainnya, baik perdata, pidana, maupun tata usaha negara, menyebabkan rentang waktu penyelesaian kasus pertanahan di pengadilan menjadi hampir tidak terbatas. Untuk itu perlu dilakukan upaya-upaya mendasar di sektor kebijakan penyelesaian permasalahan pertanahan pada acara peradilan yang dengan memperhatikan praktek selama ini, secara logis seharusnya paling tidak meliputi: (i) pelibatan hakim khusus yang menguasai permasalahan teknis pertanahan; (ii) pembatasan jenis pengadilan bagi penyelesaian kasus pertanahan; (iii) pembatasan banding yang boleh dilakukan. Dengan demikian terlihat bahwa Indonesia, sebagaimana pengalaman negara lain pada hal yang sama, membutuhkan sebuah pengadilan khusus di bidang pertanahan untuk menyelesaikan sengketa pertanahan, karena selain adil dan lebih berkepastian hukum serta dilakukan dengan cepat, juga meniadakan kemungkinan keputusan berbagai pengadilan yang berbeda-beda untuk kasus pertanahan yang sama. Kebijakan Reforma Agraria (Pemberian Asset dan Access Reform). Sepanjang sejarah Indonesia, para petani yang menjadi tulang punggung sektor agraris, sejak jaman penjajahan, kemerdekaan, hingga sekarang, sebagian besar belum menikmati apa arti kemerdekaan yang sesungguhnya, yaitu bebas dari ketertindasan, kemiskinan dan menjadi bangsa yang bermartabat di dunia internasional. Oleh sebab itu dapat dipahami mengapa para founding fathers bangsa ini menempatkan mereka pada prioritas utama untuk ditingkatkan kesejahteraannya. Itulah sebabnya, Indonesia melalui UUPA, yang mengandung jiwa landreform, menghendaki adanya perubahan struktur pemilikan dan penguasaan tanah yang mencerminkan rasa keadilan bagi bagian terbesar rakyat Indonesia yaitu petani (Ahmad Sodiki. 2013 Hal 130). Telah teridentifikasi sebelumnya beberapa hal terkait pelaksanaan redistribusi tanah di Indonesia selama ini, yaitu (i) Bahwa pelaksanaan redistribusi tanah tidak memiliki kerangka waktu; sedangkan di sisi lain; (ii) Tanah sumber TORA semakin langka, dan saat ini sebagian besar TORA bersumber dari perlepasan kawasan hutan dan tanah terlantar; dan (iii) Terjadi pengalihan hak atas tanah segera setelah bidang tanah diserahkan kepada penduduk miskin, walaupun tidak melalui transaksi jual beli formal (di bawah tangan), karena penduduk miskin bersangkutan tidak memiliki sumber daya untuk mengolah dan memanfaatkan bidang tanah tersebut. Mengingat keadaan nyata pada masih terdapatnya ketimpangan tajam terhadap proporsi pemilikan dan penguasaan tanah terutama masyarakat miskin yang tidak memiliki akses ke sumber daya tanah, dengan memperhatikan amanat UUPA dan telah diperkuat dengan TAP MPR IX/2001 Indonesia perlu melanjutkan kebijakan pelaksanaan redistribusi tanah yang merupakan bagian dari sebuah Reforma Agraria.Namun demikian dengan memperhatikan beberapa masalah yang teridentifikasi, tentunya kebijakan redistribusi tanah saat ini perlu disempurnakan dan dilengkapi sehingga dapat lebih berkontribusi secara nasional dalam mengentaskan kemiskinan dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia. Redistribusi tanah sebagai bagian Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) harus dilengkapi dengan kerangka waktu pelaksanaan. Mengingat pengalaman Filipina, Brasil, Thailand, Brasil, Indonesia juga memiliki masalah sengketa tanah skala besar yang perlu diselesaikan terlebih dahulu. Selain itu Indonesia juga berambisi mengembangkan teknologi pangan untuk mewujudkan kebijakan swasembada pangan nasional seperti yang telah dilaksanakan oleh Thailand. Pada kasus Filipina, dibutuhkan 14 tahun upaya redistribusi tanpa pengembangan teknologi dan tanpa penyelesaian konflik skala besar. Sebagai upaya untuk menyelesaikan konflik skala besar dan kebutuhan untuk mengakomodasi pengembangan teknologi pertanian dan pangandiusulkan agar pelaksanaan redistribusi tanah di Indonesia dapat dilakukan dalam kurun waktu 10 tahun secara bertahap, yaitu: Tahap I, dalam waktu 5 tahun. Selain melakukan identifikasi potensi rinci, berapa luas dan lokasi sumber TORA, dan melakukan pelaksanaan redistribusi itu sendiri, penyelesaian sengketa dan konflik pertanahan skala nasional (besar) menjadi prioritas utama pada tahap ini. Pengembangan teknologi pertanian dan pangan juga harus sudah dimulai dengan bekerjasama dengan instansi Pemerintah terkait dan juga dunia usaha swasta. Sebagai gambaran pengalaman negara-negara lain, Filipina berhasil melakukan redistribusi seluas 5,96 juta Ha; Thailand telah melakukan redistribusi tanah seluas 6,22 Juta Ha, dan Brasil setelah menyelesaikan sengketa dan konflik pertanahan skala besar berhasil melakukan redistribusi tanah seluas 85,8 juta Ha; Tahap II, dalam waktu 5 Tahun. Pelaksanaan redistribusi sejalan dengan pengembangan teknologi pertanian dan pangan. Pengembangan interkoneksi antara usaha petani kecil dengan Usaha Kecil Menengah (UKM) serta badan usaha besar dengan fokus kepada orientasi ekspor. Penyediaan input sumberdaya pendamping bagi penerima program redistribusi tanah–Access Reform. Upaya mengeluarkan penduduk miskin dari “jebakan kemiskinan” (poverty trap), di mana dalam pelaksanaan redistribusi tanah telah terjadi pengalihan hak atas tanah yang telah diserahkan, Pemerintah perlu melengkapi pemberian bidang tanah dengan sumber daya lain yang dibutuhkan penduduk miskin penerima untuk dapat mengolah dan memanfaatkan tanah yang telah redistribusi. Bila bidang tanah redistribusi dianggap sebagai asset, maka sumberdaya pelengkap yang diperlukan dapat dianggap sebagai access menuju tingkat kesejahteraan yang lebih layak. Dengan demikian diusulkan kebijakan penyediaan sumberdaya pelengkap disebut sebagai kebijakan Access Reform. Penerimaan (Orang) Juru Ukur Non Juru Ukur Eksisting 292 323 1 1.500 0 2 1.500 0 3 1.350 4 Jumlah Penerimaan (Orang) Tujuan utama dari pembangunan interkoneksi ini adalah membangun apa yang dikenal sebagai Innovation System atau di beberapa negara juga dikenal sebagai Technology Policy dalam skala kecil yang dikhususkan bagi petani miskin penerima redistribusi tanah. Dalam innovation system, selain hubungan timbal balik antara pasar-produksi-lembaga litbang, feedback dari pasar atas permintaan spesifikasi tertentu atas barang produk dan/ atau inovasi produk juga amat penting dan strategis. Peningkatan Kualitas dan Proporsi SDM Bidang Pertanahan. Memperhatikan kebutuhan pelayanan pertanahan dan jumlah pegawai BPN saat ini, perlu disusun kebijakan penerimaan PNS baru yang dapat merubah jumlah dan komposisi PNS menjadi lebih ideal. Dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan negara yang terbatas dan kebijakan organisasi birokrasi yang efektif dan efisien, kemudian beberapa pokok kebijakan yang diusulkan dapat dilihat pada Tabel 1. Kesimpulan Kebijakan bidang Pertanahan tahun 2015 – 2019, perlu mendasarkan pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, bahwa tanah yang ada di seluruh wilayah Indonesia dipergunakan sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat. Guna melaksanakan kebijakan pertanahan tersebut, ditetapkan prioritas pembangunan berupa reforma agraria, dengan strategi dan arah kebijakantercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.Kerangka kebijakan dan fokus prioritas bidang pertanahan yang diusulkan untuk 2015-2019, dapat dilihat pada Tabel 2 [ik]. Isu Strategis Rancangan Kebijakan Kepastian hukum hak masyarakat atas tanah Sumber daya pelengkap dimaksud dapat meliputi: (i) pinjaman uang sebagai modal usaha kecil/menengah; (ii) penyediaan bibit unggul (termasuk bibit ternak) dan/atau pupuk; (iii) penyediaan teknologi dan/atau alat produksi; (iii) pelatihan-pelatihan; (iv) bantuan pemasaran termasuk pengembangan pasar baru; (v) pemberian sumber daya lainnya bagi keperluan peningkatan kesejahteraan terkait pengelolaan dan pemanfaatan bidang tanah redistribusi. Jangka Waktu (Tahun) Pembangunan interkoneksi usaha. Secara akademis sebenarnya pembangunan interkoneksi usaha merupakan bagian dari bantuan pemasaran dan pengembangan pasar baru, namun dalam pelaksanaannya seringkali tidak mendapat cukup perhatian dan dilakukan dengan seadanya. Untuk itu diusulkan pembangunan interkoneksi menjadi sub kebijakan tersendiri. Upaya pembangunan interkoneksi membutuhkan koordinasi yang kuat, yang dapat diterima oleh seluruh stakeholder terkait, meliputi berbagai Instansi Pemerintah terkait, badan usaha swasta, dan petani miskin atau Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan). Percepatan Penyelesaian Kasus-Kasus Pertanahan - Pembentukan pengadilan khusus pertanahan Kepastian Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat - Pemetaan Tanah Adat Ulayat Ketimpangan Pemilikan, Penguasaan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah (P4T) & Kesejahteraan Masyarakat Redistribusi Tanah dan Access Reform Meningkatkan Pelayanan Pertanahan Peningkatan Kualitas & Proporsi SDM Bidang Pertanahan Penyediaan Tanah Untuk Pembangunan Bagi Kepentingan Umum Pencadangan Tanah Untuk Pembangunan Kepentingan Umum - Pembentukan Bank Tanah Tabel 2 Isu strategis dan Rancangan Kebijakan Bidang Pertanahan Pensiun/Purnajabatan (Orang) Juru Ukur Non Juru Ukur 615 4424 88 1.500 4424 88 1.500 4424 150 1.500 1.350 150 5 1.350 6 Jumlah Penerimaan (Orang) Jumlah Sumber Daya Manusia (Orang) Juru Ukur Non Juru Ukur 930 1.689 930 2.747 88 930 4424 88 1.500 4424 150 1.500 1.200 300 7 1.200 8 Persentase Jumlah SDM Juru Ukur Non Juru Ukur 18.495 8% 92% 18.007 13% 87% 3.805 17.519 18% 82% 930 4.713 17.181 22% 78% 88 930 5.621 16.843 25% 75% 4424 88 930 6.529 16.505 28% 72% 1.500 4424 88 930 7.287 16.317 31% 69% 300 1.500 4424 88 930 8.045 16.129 33% 67% 1.200 300 1.500 4424 88 930 8.803 15.941 36% 64% 9 1.200 300 1.500 4424 88 930 9.561 15.753 38% 62% 10 1.200 300 1.500 4424 88 930 10.319 15.565 40% 60% Tabel 1 Usulan Peningkatan Jumlah dan Komposisi Pegawai BPN buletin tata ruang & pertanahan 25 melihat dari dekat Kepulauan Bangka Belitung Rencana Pilot Project Program Reforma Agraria Pada edisi kali ini, Redaksi Buletin TRP memilih Provinsi Kepulauan Bangka Belitung untuk rubrik melihat dari dekat. Provinsi Bangka Belitung diangkat menjadi objek tulisan ini karena provinsi ini akan menjadi salah satu lokasi pilot project Program Reforma Agraria dan publikasi tata batas kawasan hutan pada Tahun 2014. Berikut cerita kami mengenai Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung atau yang disingkat Babel adalah provinsi kepulauan yang terdiri dari Pulau Bangka dan Pulau Belitung, serta pulau-pulau kecil seperti P. Lepar, P. Pongok, dengan total pulau ± 470 buah. Di antaranya hanya 50 pulau yang berpenghuni. Secara geografis, Bangka-Belitung terletak di bagian Timur Pulau Sumatera dekat dengan Provinsi Sumatera Selatan, dengan luas wilayah 16.424,06 km2. Pulau ini dikenal sebagai pulau penghasil timah. Keistimewaan Provinsi Babel ini adalah Program Satam Emas, yaitu program pemerataan pembangunan melalui pemberian bantuan senilai 1 Milyar Rupiah untuk setiap kecamatan. Program yang secara resmi di luncurkan pada 2 Oktober 2013 lalu itu merupakan salah satu prioritas pembangunan provinsi Babel yang telah ditetapkan dalam RPJMD 2012-2017. Bentuk Program Satam Emas sendiri secara umum meliputi beberapa kegiatan seperti bedah rumah; pemberdayaan UMKM; revitalisasi komoditas lada, perikanan tangkap; serta revitalisasi komoditas rumput laut . Pada pelaksanaannya, pemerintah kecamatan-lah yang nantinya akan melakukan assessment (penilaian) terhadap bentuk kebutuhan bantuan warganya serta penentuan jumlah calon penerima yang telah memenuhi kriteria, sehingga selanjutnya pemerintah provinsi dapat dengan segera menyalurkan bantuan senilai 1 Milyar tersebut. Terkait dengan Program Reforma Agraria, Program Satam Emas dalam hal ini dapat dijadikan pelengkap bagi kegiatan asset reform (redistribusi tanah) yang telah dilakukan oleh BPN. Di masa depan, masyarakat dapat memanfaatkan tanah-tanah tersebut secara maksimal bagi peningkatan kesejahteraannya. Salah satu kasus pertanahan yang seringkali muncul dan tidak terselesaikan adalah kasus yang berlokasi di wilayah-wilayah yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan. Salah satu penyebab utama yang teridentifikasi adalah karena perbedaan skala peta kawasan hutan (1:100.000) dengan non hutan (1:5.000), serta tidak terpublikasinya batas-batas kawasan hutan tersebut. Uji coba publikasi tata batas kawasan hutan sebagaimana diusulkan oleh Kementerian PPN/Bappenas, akan dilakukan pula di Provinsi Babel. Dua lokasi yang direkomendasikan adalah Hutan Lindung Pantai Rebo dan Hutan Konservasi Gunung Mangkol. Lokasi tersebut dipilih berdasarkan kriteria yang telah disepakati oleh Kementerian PPN/Bappenas dan Kanwil BPN Provinsi Bangka Belitung. Kedua lokasi tersebut memiliki kondisi yang serupa, yakni keberagaman corak penggunaan lahan di sekitarnya dengan beberapa potensi intrusi yang mungkin terjadi. Pada lokasi hutan lindung Pantai Rebo terdapat sebuah kuil yang tergolong berukuran besar. Adapun di sekitarnya telah terdapat beberapa penggunaan lahan berupa perkebunan, pertambangan, kawasan pariwisata maupun permukiman masyarakat setempat. Adapun pada lokasi hutan konservasi Gunung Mangkol telah terdapat perumahan, dengan dominasi sekitarnya berupa penggunaan lahan perkebunan (termasuk sawit), bahkan pertambangan di lokasi yang lebih mengarah ke dalam kawasan hutan [hi]. Kawasan Hutan Lindung Pantai Rebo Kawasan Hutan Konservasi Gunung Mangkol Kawasan Hutan Hutan Lindung Hutan Produksi Hutan Produksi yg dapat di Konversi KSA/KPA Gambar 1 Pembahasan Pilot Project Program Reforma Agraria 26 buletin tata ruang & pertanahan Gambar 2 Kawasan Hutan Penyusunan Background Study RPJMN 2015-2019 Bidang Tata Ruang dan Pertanahan Kegiatan yang mendukung agenda penting Tahun 2014 sebagai tahun penyusunan rencana pembangunan jangka menengah, pada Tahun 2013, Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan (TRP) sedang menyusun Kajian Background Study penyiapan RPJMN tersebut. Berbagai kegiatan telah dilakukan antara lain adalah review RPJPN, RPJMN 2010-2014 Bidang Tata Ruang dan Pertanahan serta berbagai peraturan yang mendasari penyelenggaraan penataan ruang dan pengelolaan pertanahan nasional. Kajian berbagai kebijakan ini ditujukan untuk mengidentifikasi Indikator Pencapaian Minimal 2015-2019, backlog selama 5 tahun, dan kebutuhan penyelenggaraan penataan ruang dan pengelolaan pertanahan. Dalam proses kajian, telah dilaksanakan ekspose Hasil Review RTRWN dan FGD dan survei di pusat dan daerah untuk menjaring persepsi direktorat sektoral di Bappenas dan aspirasi daerah. Dari berbagai rangkaian kegiatan tersebut, telah berhasil diidentifikasi permasalahan dan isu strategis untuk Bidang Tata Ruang dan Bidang Pertanahan. Beberapa permasalahan Bidang Tata Ruang: a. Banyaknya peraturan perundangan terkait ruang yang perlu disinkronkan; b. Kompetensi SDM penyelenggara penataan ruang yang belum memadai; c. Kurangnya kapasitas dan koordinasi kelembagaan di bidang penataan ruang; d. Belum terintegrasinya indikasi program dalam RTR dengan rencana pembangunan dan program sektoral; e. Tingginya variasi kualitas RTR; f. Masih lemahnya penegakan hukum dalam implementasi RTR; g. Belum operasionalnya perangkat pengendalian yang jelas dan lengkap; dan h. Masih terbatasnya sistem informasi penataan ruang dalam rangka monitoring dan evaluasi. Isu strategis Bidang Pertanahan: a. Belum jelasnya kepastian hukum hak atas tanah; b. Masih timpangnya pemilikan, penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah (P4T); c. Rendahnya pelayanan pertanahan; serta d. Semakin mendesaknya penyediaan lahan untuk pembangunan bagi kepentingan umum [as/rn/ad]. Gambar 1 Focus Group Discussion (FGD) Background Studi RPJMN 20152019 Bidang Tata Ruang dan Pertanahan Isu strategis yang diangkat untuk Bidang Tata Ruang: a. Belum efektifnya kelembagaan penyelenggaraan penataan ruang; b. Belum efektifnya pemanfaatan dan pengendalian penataan ruang; dan c. RTRW belum dijadikan acuan pembangunan berbagai sektor. Untuk Bidang Pertanahan, permasalahan yang berhasil diidentifikasi adalah: a. Tingginya konflik pertanahan; b. Lambatnya penyelesaian kasus pertanahan; c. Rendahnya cakupan peta dasar pertanahan; d. Rendahnya cakupan bidang tanah bersertipikat; e. Kurangnya SDM Bidang Pertanahan khususnya juru ukur; f. Belum semua kantor pertanahan memiliki fasilitas memadai; g. Sulitnya pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum; h. Sebagian besar masyarakat (petani) hanya menguasai tanah dengan luasan yang kecil (<0,5 ha) sehingga tidak efisien untuk sebagai lahan usaha; dan i. Masalah tanah adat dan ulayat. Gambar 2 Lokakarya Kajian Background Study RPJMN 2015-2019 Bidang Tata Ruang dan Pertanahan buletin tata ruang & pertanahan 27 ringkas buku Bank Tanah Penulis Buku: Dr. Bernhard Limbong, S.Sos, SH, MH. Salah satu permasalahan rumit di Bidang Pertanahan di Indonesia adalah penyediaan tanah untuk kebutuhan pembangunan, terutama di perkotaan. Kelangkaan ini menyebabkan harga tanah di perkotaan terus naik dan taksiran harga tanah berdasarkan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) tidak berlaku. Yang berlaku adalah harga pasar yang dihasilkan dari persaingan tidak sempurna, sehingga pembebasan tanah untuk pembangunan memerlukan biaya yang sangat tinggi untuk pembayaran ganti rugi. Kendala besar bagi pembangunan fasilitas publik perkotaan. Kondisi ini menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran nilai tanah. Makna filosofis dan sosiologis tanah semakin dikerdilkan, dimana saat ini masyarakat cenderung melihat tanah sebagai komoditas. Apabila telah dilihat sebagai sebuah komoditas, maka selanjutnya praktik-praktik spekulasi tanah menjadi tidak dapat dibendung. Pemerintah dalam hal ini perlu mengupayakan untuk menyeimbangkan kebutuhan dan ketersediaan tanah. Fungsi dan tugas ini adalah perwujudan dari hak menguasai Negara yaitu mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan kekayaan alam, termasuk tanah untuk berbagai kepentingan. Untuk mewujudkan hak penggunaan kekayaan alam ini, perlu mekanisme yang menetapkan proses penyediaan tanah yang bersifat jangka panjang. Salah satu solusinya adalah pembentukan bank tanah. Landasan hukum pembentukan bank tanah adalah UUD 1945 (Pasal 33) dan UUPA Tahun 1960 (Pasal 2 ayat 2) yang menjamin terwujudnya kemakmuran rakyat dari sumber-sumber kekayaan alam, termasuk di dalamnya adalah tanah. Konsep dan Urgensi Bank Tanah Bank tanah adalah salah satu sarana manajemen sumber daya yang penting untuk meningkatkan produktivitas pemanfaatan tanah. Konsep bank tanah telah diterapkan berpuluh-puluh tahun silam di beberapa Negara khususnya di daratan Eropa dan Amerika. Metode yang diusung dalam bank tanah ini adalah control pasar dan stabilisasi pasar tanah lokal. Sebagai sarana manajemen tanah, bank tanah memiliki tujuan: (1) membentuk pertumbuhan regional dan masyarakat; (2) menata perkembangan kota; (3) menangkap peningkatan nilai tanah; (4) meningkatkan pengelolaan dan pengendalian pasar tanah, utamanya untuk mengurangi spekulasi tanah; (5) menyediakan tanah untuk keperluan publik; (6) memastikan pasokan tanah yang cukup untuk kebutuhan investasi swasta; (7) melindungi kualitas tanah dan menjaga kualitas lingkungan; (8) menurunkan biaya perbaikan yang harus ditanggung oleh masyarakat; (9) menurunkan biaya pelayanan publik; dan (10) mengatur hubungan antar pemilik tanah. Dampak pembentukan bank tanah adalah: (1)tersedianya tanah untuk berbagai keperluan pembangunan di masa depan; (2) efisiensi APBN/APBD; (3) mengurangi konflik dalam proses pembebasan tanah, dan(4) mengurangi dampak buruk liberalisasi tanah, termasuk membatasi ruang gerak para spekulan dan mafia tanah. Tersedianya tanah untuk berbagai keperluan pembangunan. Bank tanah dapat menyediakan tanah yang dapat digunakan pemerintah sewaktu-waktu. Pemerintah harus memiliki stok tanah yang banyak 28 buletin tata ruang & pertanahan untuk kemudahan pelaksanaan pembangunan di berbagai bidang pada masa mendatang. Efisiensi APBN. Setiaptahundanadari APBN/APBD selalu dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur maupun fasilitas umum dengan jumlah alokasi yang cenderung naik setiap tahunnya. Penyebab utama kenaikan adalah harga tanah yang terus meningkat, sehingga ganti rugi dan biaya relokasi penduduk semakin tinggi. Bank Tanah memungkinkan pemerintah mendapatkan tanah dengan yang mendekati NJOP setelah identifikasi jumlah dan lokasi tanah ditetapkan dalam RTRW. Mengurangi konflik dalam proses pembebasan lahan. Konflik pembebasan tanah sering terjadi karena pemegang hak atas tanah umumnya menolak menyerahkan tanah untuk kegiatan pembangunan, terutama terkait tarik ulur dalam penentuan nilai ganti rugi. Keberadaan bank tanah dapat mengintervensi permasalahan tersebut, karena lahan dibebaskan sebelum adanya kebutuhan pembangunan, sehingga diperkirakan masyarakat tidak akan berpolemik mengenai tarik ulur harga. Dalam pelaksanaannya, bank tanah dapat dijalankan oleh lembaga publik dan organisasi swasta atau kombinasi dari keduanya. Bank Tanah Publik adalah bank tanah yang penyelenggaraannya melibatkan lembaga-lembaga publik yang independen dengan tugas yang murni bersifat layanan publik. Bank tanah publik kemudian dapat dibedakan menjadi bank tanah umum dan bank tanah khusus . Bank tanah umum melayani perolehan tanah yang belum dikembangkan dan terlantar, memegang tanah dan membagi tanah untuk semua jenis penggunaan lahan. Bank tanah ini bertujuan untuk mengontrol pola pertumbuhan kota dan mengatur harga tanah. Bank tanah khusus lebih focus dengan area fungsional tertentu, misalnya untuk kegiatan pembaruan perkotaan, penyediaan perumahan kelas berpendapatan rendah, maupun penyediaan fasilitas umum. Bank Tanah Swasta adalah bank tanah yang dimiliki dan dilakukan oleh individu, kelompok, koperasi, perusahaan dan atau kelompok usaha milik swasta untuk berbagai kegiatan investasi yang berorientasi profit. Berbeda dengan bank tanah publik, mekanisme perolehan tanah bank tanah swasta dilakukan dengan sistem jual beli atau tukar guling di pasar tanah umum. Dalam tataran implementasi, sudah relatif banyak perusahaan swasta yang menjalankan bank tanah di Indonesia. Beberapa perusahaan tersebut terutama bergerak di bidang properti, pengembang kawasan bisnis, pusat perdagangan, kawasan industri, dan investasi perkebunan. Secara umum, jenis bank tanah swasta dibagi menjadi bank tanah untuk: (1) investasi; (2) pengembang; dan (3) kawasan industri. Bank tanah untuk investasi diproyeksikan untuk meraih keuntungan dari kenaikan nilai tanah. Usaha membeli atau menghimpun tanah bertujuan untuk pemasaran kembali tanpa pengolahan untuk meningkatkan nilai tanah. Bank tanah untuk pengembang digunakan untuk mengubah fungsi suatu daerah atau kawasan. Fungsi baru tersebut meliputi real estate, ruang terbuka hijau, dan kawasan rekreasi. Kategori bank tanah semacam ini paling banyak dilakukan oleh investor swasta serta pada pelaksanaannya menyangkut praktik spekulasi. Bank tanah untuk kawasan industri naiknya kebutuhan lahan kawasan industri tersebut mendorong pembentukan bank tanah kawasan industri di Indonesia. Untuk bank tanah swasta ini, pemerintah tetap menjalankan peran menyediakan kebijakan yang menunjang, menjamin kepastian hukum dan administrasi pertanahan, menciptakan iklim usaha, menetapkan RTRW serta menyediakan infrastruktur . Bank tanah campuran dijalankan bersama-sama oleh pemerintah dan swasta. Kombinasi kelembagaan ini dilakukan terutama untuk menyiasati keterbatasan pembiayaan karena akuisisi lahan biasanya membutuhkan dana besar dan berkelanjutan. Pada implementasinya, kepemilikan bank tanah campuran harus didominasi oleh pihak pemerintah sehingga dapat tetap berorientasi pada layanan publik. Secara umum dalam mengelola tanah, bank tanah melakukan tiga tahapan kegiatan, meliputi: (1) penyediaan; (2) pematangan; dan (3) pendistribusian. Untuk penyediaan tanah, pemerintah dapat menerapkan mekanisme pengadaan tanah, memanfaatkan tanah terlantar , tanah aset pemerintah, mengambil tanah kelebihan berdasarkan ketentuan pembatasan luas maksimum kepemilikan, memanfaatkan tanah hasil sitaan, tanah dengan kepemilikan secara absentee , tanah yang sudah habis masa pakai/sewa , tanah hibah masyarakat, serta program konsolidasi tanah.Untuk pematangan tanah, bank tanah dapat menyiapkan sarana prasarana atau fasilitas pendukung dengan mengacu pada RTRW yang telah ditetapkan. Pendistribusian tanah dilaksana-kan untuk mewujudkan RTRW, termasuk di dalamnya untuk pembangunan fasilitas sosial dan fasilitas umum, pengembangan kota dan permukiman murah. Manajemen yang dibutuhkan dalam pengelolaan bank tanah adalah: (1) hukum, termasuk di dalamnya aspek keperdataan tanah; (2) tata ruang yang menetapkan alokasi ruang jangka panjang; dan (3) pajak, terutama yang mengelola pajak bumi dan bangunan. Fungsi manajamen ini akan mengatur pula sumber-sumber pembiayaan bank tanah seperti: (1) APBN/APBD; (2) lembaga non pemerintah (BUMN/BUMD, swasta, LSM/yayasan); (3) lembaga keuangan nasional (bank, koperasi); (4) lembaga keuangan internasional; (5) lembaga donor internasional; (6) lembaga kerjasama bilateral. Pada implementasinya di negara lain, bank tanah juga dapat mengambil keuntungan untuk mencapai keseimbangan fiscal operasionalnya. Hanya saja keuntungan tersebut harus sangat dibatasi jangan sampai mengutamakan profit mengingat bank tanah pada dasarnya lebih berorientasi pada kepentingan umum. Untuk mensukseskan pelaksanaan bank tanah, pemerintah dituntut untuk dapat memperkuat peran tata ruang sebagai ujung tombak pembangunan wilayah sesuai amanat. Seiring dengan itu, pemerintah juga harus memperkuat lembaga pertanahan dan membenahi mutu administrasi pertanahan nasional, khususnya terkait dengan pendaftaran tanah dan sertipikas itanah. Selain tata ruang yang jelas, bank tanah tentu membutuhkan kepastian bukti kepemlikan atau penguasaan atas tanah. Lembaga pertanahan yang kuat dan berwibawa didukung penegakan hukum yang tegas dan konsisten pada akhirnya akan mencegah tumpang tindih kepemilikan/penguasaan tanah. [rn/ih/hi/gn/dc] Matriks sumber-sumber tanah untuk Bank Tanah No. Sumber Tanah Jenis Hak Mekanisme Perobahan 1 Tanah Terlantar HGU, HGB, Tanah Ulayat Akuisisi/jual beli 2 Tanah Aset Pemerintah HGB Akuisisi/jual beli, tukar guling 3 Tanah Erfacht HGU Akuisisi/jual beli, tukar guling 4 Tanah Absentee Hak Milik Akuisisi/jual beli, hibah 5 Tanah Fasos/Fasum HPL Pengembang Hibah 6 Tanah Aset BUMN/BUMD HGU, HGB 7 Tanah Sitaan Akuisisi/ tukar guling Aset BPPN, Sitaan Bank, Putusan Pengadilan Pencabutan Hak, Pembelian pd KPKNL 1 Flechner, L.H. Land Banking in the Control of Urban Development of Urban Development. Gambar 1 Pencadangan Tanah oleh Pihak Swasta di Kawasan Setiabudi, Jakarta berbanding 94 persen yang disediakan oleh swasta. 4 Tanah absentee adalah tanah pertanian yang dimiliki oleh perorangan atau keluarga yang berdomisili di luar kecamatan tanah tersebut berada. UUPA tidak mengizinkan pemilikan tanah secara absentee. Dalam waktu enam bulan tanah tersebut harus dikembalikan kepada orang yang berdomisili di kecamatan tanah tersebut berada. 3 Tanah terlantar adalah tanah yang sudah diberikan hak oleh negara berupa Hak 5 Tanah bekas erfacht verponding (tanah bekas perkebunan) dapat saja dialihkan untuk Praeger Publishers, New York, 1974, hal 7. 2 Penyediaan tanah untuk kawasan industri oleh pemerintah saat ini sekitar enam persen Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya. Peruntukan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah negara bekas tanah terlantar didayagunakan untuk kepentingan masyarakat dan negara melalui reforma agraria dan program strategis negara serta untuk cadangan negara lainnya. kepemilikan pribadi tergantung kebijakan pemerintah daerah. Tanah bekas erfacht secara hukum menjadi tanah negara sejak tahun 1980 atau 20 tahun setelah UUPA diterbitkan tahun 1960. Dengan telah menjadi tanah negara, kebijakan peruntukan berikutnya tergantung dari kebijakan pemerintah sebagai pihak yang mengurus negara. buletin tata ruang & pertanahan 29 sosialisasi peraturan Inpres No. 8 Tahun 2013 Penyelesaian Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRW Kab/Kota) Permen PU No. 1 Tahun 2013 Pelimpahan Kewenangan Pemberian Persetujuan Substansi dalam Penetapan Raperda tentang RTRW Kab/Kota Inpres No. 8 Tahun 2013 Penyelesaian Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRW Kab/Kota) Penetapan Perda tentang RTRW Provinsi atau Kab/Kota sangat penting bagi daerah sebagai landasan pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang. Selain itu, perda ini adalah salah satu instrumen penyerasian pembangunan antarsektor dan antarwilayah untuk mendukung pembangunan ekonomi nasional. Saat ini masih terdapat beberapa provinsi dan kab/kota yang belum menetapkan Perda RTRWnya. Status penyelesaian Perda RTRW Provinsi dan RTRW Kab/Kota dapat dilihat pada Gambar 1. Salah satu kendala dalam proses penyelesaian RTRW adalah belum selesainya penetapan kawasan hutan untuk beberapa provinsi. Kawasan hutan yang masih dalam proses pembahasan tersebut biasanya berupa sebagian kecil area dari seluruh area rencana pola pemanfaatan ruang yang akan ditetapkan. Untuk mengatasi kendala tersebut, penetapan RTRW tetap dapat dilakukan, sedangkan kawasan hutan dan non-hutan yang diusulkan untuk diubah peruntukan dan fungsinya ditetapkan sebagai holding zone. Inpres ini menjadi salah satu instrumen dalam upaya percepatan yang dilakukan. Presiden menginstruksikan seluruh kementerian dan/lembaga terkait untuk mengambil langkah sesuai tupoksi masing-masing melakukan percepatan penyelesaian penyusunan perda. Dan juga memberikan instruksi khusus yang ditujukan pada kementerian/lembaga tertentu (lihat Gambar 2) [gp]. 16 Provinsi 146 Kabupaten 252 Kabupaten 23 Ko ta Gambar 2 Skema Percepatan Penyelesaian Penyusunan Perda RTRW Provinsi dan RTRW Kab/Kota buletin tata ruang & pertanahan 73 Ko ta Ket: Status Perda per 6 Desember 2013 Gambar 1 Status Penyelesaian Perda RTRW Provinsi dan RTRW Kab/Kota Instruksi Presiden 30 18 Provinsi Permen PU No. 1 Tahun 2013 Pelimpahan Kewenangan Pemberian Persetujuan Substansi dalam Penetapan Raperda tentang RTRW Kab/Kota Permen ini dimaksudkan sebagai dasar pelaksanaan pelimpahan kewenangan Pemerintah kepada gubernur untuk melaksanakan pemberian persetujuan substansi dalam penetapan rancangan Perda tentang RRTR kab/ kota. Persetujuan substansi adalah persetujuan Menteri PU bahwa materi muatan teknis rancangan Perda tentang RTRW mengacu pada UU No.26/2007 telah mengacu pada rencana umum tata ruang. Prosedur Pelimpahan kewenangan persetujuan substansi dari Menteri kepada Gubernur berlaku jika provinsi memenuhi kriteria: (a) telah menetapkan Perda RTRWP; (b) paling sedikit 50 persen dari jumlah kab/kota di provinsi tersebut telah memiliki Perda RTRW Kab/Kota; (c) memiliki unit eselon III teknis yang menyelenggarakan urusan pemerintah bidang penataan ruang; (d) memiliki Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah provinsi yang operasional dan aktif; dan (e) memiliki sumberdaya manusia yang kompeten dan responsif. KemudianDirjen Penataan Ruang melakukan penilaianterhadap kriteria tersebut. Tahapan dalam pelimpahan kewenangan ini, meliputi: (a) pemberitahuan rencana pelimpahan kewenangan yang disampaikan Menteri kepada gubernur mengenai rencana pelaksanaan kegiatan dekonsentrasi untuk tahun anggaran berikutnya; (b) kesediaan dan permohonan pelimpahan kewenangan yang diajukan oleh gubernur melalui jawaban tertulis kepada Menteri melalui Dirjen; (c) penilaian pemenuhan kriteria pelimpahan kewenangan; dan (d) pelaksanaan pelimpahan kewenangandiberikan kepada gubernur melalui Keputusan Menteri jika provinsi telah memenuhi kriteria, sedangkan provinsi yang belum memenuhi kriteria diberi surat pemberitahuan disertai arahan penyempurnaan dari Menteri (seperti terlihat pada Gambar 3). Gambar 4 Kegiatan Dekonsentrasi Gambar 5 Kondisi Penarikan Wewenang oleh Menteri Pembinaan & Pengawasan Dalam rangka pelaksanaan kegiatan dekonsentrasi, Dirjen (Penataan Ruang) melakukan pembinaan dan pengawasan kepada gubernur, dan selanjutnya gubernur juga melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap perangkat daerah kab/ kota yang melaksanakan penyusunan RRTR kab/kota. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kinerja serta menjamin pelaksanaan dekonsentrasi sesuai dengan tujuan pemberian kegiatan. Pembinaan oleh Dirjen dan gubernur dilakukan melalui sosialisasi, bimbingan, supervisi, konsultasi, dan pendidikan serta pelatihan penyusunan dan evaluasi rancangan Perda RRTR Kab/Kota. Gambar 3 Tahapan Pelimpahan Kewenangan Pemberian Persetujuan Substansi dalam Penetapan Raperda RTRW Kab/Kota Selanjutnya, setelah ditetapkannya Keputusan Menteri Pekerjaan Umum, kegiatan dekonsentrasi dapat dilaksanakan. Kegiatan dekonsentrasi meliputi: perencanaan, pelaksanaan, dan pemeriksaan, yang urusannya terbagi atas pemerintah pusat dan daerah, seperti yang terlihat pada Gambar 4. Melalui ketetapan Menteri,penarikan kembali pelimpahan wewenang dapat dilakukan dalam kondisi: (a) dekonsentrasi yang dilimpahkan tidak ditindaklanjuti karena adanya perubahan kebijakan; (b) pelaksanaan dekonsentrasi tidak sesuai peraturan perundang-undangan; (c) gubernur mengusulkan kewenangan yang telah dilimpahkan ditarik kembali; dan (d) gubernur tidak dapat melaksanakan kewenangan yang dilimpahkan. Untuk ringkasnya, kondisi penarikan wewenang dapat dilihat pada Gambar 5. Sedangkan pengawasan dilakukan melalui pemantauan dan evaluasi sesuai dengan petunjuk teknis yang ditetapkan oleh Dirjen (Gambar 6) [gp]. Gambar 6 Pembinaan dan Pengawasan Kegiatan Dekonsentrasi buletin tata ruang & pertanahan 31 koordinasi trp Rakernas BKPRN 2013 Road Map Knowledge Management Pemantauan dan Evaluasi Bidang Tata Ruang dan Pertanahan Melalui Forum Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) 2013 Bidang Tata Ruang dan Pertanahan Rakernas BKPRN 2013 Pada Kamis (7/11) telah dilaksanakan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) BKPRN 2013. Rakernas BKPRN ini adalah forum penataan ruang tingkat nasional yang melibatkan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang diselenggarakan setiap dua tahun sekali. Penyelenggaraan Rakernas BKPRN ini bertujuan untuk menyusun dan menyepakati agenda kerja BKPRN untuk tahun 2014 – 2015. Raker ini terdiri atas dua kegiatan utama: Sidang Pleno dan Sidang Komisi, serta dihadiri oleh seluruh Anggota BKPRN terkait. undangan bidang pentaan ruang; (2) koordinasi peningkatan kapasitas kelembagaan; (3) koordinasi perencanaan dan program penataan ruang; dan (4) koordinasi penyelesaian sengketa dan konflik penataan ruang. Dalam masing-masing sidang komisi ini dihasilkan isu strategis serta rumusan penyelesaiannya. Gambar 1 Pembukaan Rakernas BKPRN Tahun 2013 Acara Rakernas BKPRN 2013 dibuka oleh Menko Perekonomian selaku ketua BKPRN dan juga dihadiri oleh Menteri Pekerjaan Umum selaku wakil ketua dan Menteri PPN/Kepala Bappenas selaku sekretaris BKPRN. Selain itu acara ini juga dihadiri sejumlah kepala daerah dan pejabat Eselon I perwakilan kementerian angota BKPRN. Dalam rapat pleno ini dibahasmengenai pelaksanaan agenda kerja BKPRN Tahun 2012-2013, rencana tata ruang sebagai mantra spasial pengembangan wilayah dan isu-isu strategis penataan ruang, serta penguatan kelembagaan penataan ruang dan penerapan prinsip tata pemerintahan yang baik dalam penataan ruang. Sidang komisi I dipimpin oleh Dirjen Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum, Dr. Ir. M. Basoeki Hadimoeljono, M.Sc. Dalam siding ini disepakati empat isu strategis, yaitu: (1) belum selesainya peraturan perundang-undangan di bidang penataan ruang; (2) konsistensi implementasi rencana tata ruang yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan; (3) percepatan penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR); dan (4) keberadaan tanah ulayat. Sedangkan dalam Sidang komisi II yang dipimpin oleh Direktur Fasilitasi Penataan Ruang dan LH, Ditjen Bina Bangda, Kemendagri, Edi Sugiharto, SH., M.Si, disepakati 5 (lima) isu strategis yaitu (1) masih terbatasnya kapasitas SDM; (2) masih lemahnya penegakan hukum; (3) masih terbatasnya ketersediaan data dan informasi yang diperlukan dalam penyusunan rencana tata ruang, khususnya dalam penyusunan Rencana Rinci Tata Ruang; (4) belum optimalnya kinerja BKPRD dalam koordinasi penataan ruang di daerah, baik dalam proses penyusunan dan penetapan rencana tata ruang maupun dalam pemanfaatan dan pengendaliannya; dan (5) masih belum efektifnya peran BKPRD dalam pengendalian pemanfaatan ruang. Berdasarkan isu-isu tersebut dihasilkan rumusan untuk masing-masing isu, untuk isu ke-4 misalnya, rumusan yang dihasilkan adalah (1) perlu disusun SOP BKPRD; (2) penguatan peran BKPRD provinsi untuk memfasilitasi penyelesaian permasalahan penataan ruang Kab/Kota; (3) perlu komitmen Pemda untuk mengalokasikan anggaran guna membiayai pelaksanaan tugas dan fungsi BKPRD; dan (4) perlu reward and punishment terhadap pelaksanaan BKPRD dalam mendukung penyelenggaraan penataaan ruang daerah. Gambar 2 Sidang Pleno dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Ir. M. Hatta Rajasa Setelah rapat pleno yang dipimpin oleh Menko Perekonomian selaku Ketua BKPRN, acara Rakernas BKPRN dilanjutkan dengan sidang komisi yang dibagi menjadi empat komisi. Keempat komisi tersebut mengusung tema masing-masing yang mencerminkan empat Pokja yang ada didalam struktur BKPRN, meliputi (1) koordinasi penyiapan kebijakan dan pengaturan perundang- 32 buletin tata ruang & pertanahan Gambar 3 Sidang Komisi III dipimpin oleh Deputi Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah-Bappenas, Dr Ir Max Pohan, CES Dalam pembagian sidang komisi, Direktur Tata Ruang dan Pertanahan, Bappenas mendapat tugas sebagai fasilitator pada komisi III yang dipimpin oleh Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah, Bappenas. Adapun tema Sidang Komisi III adalah “Sinergi Kebijakan, Rencana, dan Program Pembangunan Nasional dan Daerah”. Bertempat di Ruang Banda A, Hotel Borobudur. Peserta Sidang memilih Kepala Bappeda Provinsi Maluku Utara selaku Sekretaris Komisi III. Di akhir sidang disepakati tiga isu strategis yang dihasilkan yaitu isu pertama adalah kurang sinergisnya berbagai peraturan perundangan sektoral yang mengatur pemanfaatan ruang. Berdasarkan isu tersebut dihasilkan empat rumusan yaitu: (1) penyesuaian kembali UU 41/1999 tentang Kehutanan dengan UU 26/2007 tentang Penataan Ruang; (2) RTRW Provinsi dan Kab/ Kota yang mengakomodir materi teknis rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K) sehingga dapat ditetapkan menjadi satu Perda, termasuk di dalamnya rencana pengelolaan pesisir, pulau-pulau kecil dan laut sampai dengan 12 mil laut; (3) seluruh peraturan perundangan sektoral yang mengindikasikan penggunaan ruang perlu mewajibkan pencantuman peta pada peraturan perundangan turunannya; dan (4) BKPRN perlu memfasilitasi pemerintah daerah dalam proses penyusunan Perda yang mengakomodasi hak ulayat. (5) perlu dikaitkan antara proses penganggaran dengan penyusunan rencana tata ruang; (6) untuk pembangunan Kawasan Strategis Nasional dan Kawasan Strategis Nasional Tertentu, harus ada penganggaran di dalam RPJM Nasional. Demikian juga untuk pembangunan Kawasan Strategis Provinsi di dalam RPJM Provinsi; dan (7) Perlu ada percepatan penetapan Perda RTRW Provinsi dan Kabupaten/Kota dan Perda RZWP3K. Dan pada sidang komisi tersebut juga diusulkan batas waktu holding zone paling lama lima tahun sejak rencana tata ruang ditetapkan dengan Perda yang dimasukkan dalam isu strategis lainnya. Berbeda dengan ketiga sidang komisi sebelumnya, dalam sidang komisi IV yang dipimpin oleh Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah, Kemenko Bidang Perekonomian, dibahas mengenai penyelesaian konflik penataan ruang di dalam kawasan KSN dan bersifat strategis nasional. Beberapa konflik tersebut diantaranya terkait dengan: (1) perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B); (2) perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan di Provinsi; (3) penyusunan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K); (4) rencana reklamasi di Teluk Benoa; dan (5) pemanfaatan ruang di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Dari masing-masing konflik tersebut telah disepakati tindak lanjut yang harus dilakukan, misalnya untuk konflik LP2B disepakati tiga rumusan, yaitu: (1) pada akhir 2013 Kementerian Pertanian akan menerbitkan peta LP2B tingkat nasional (skala 1:50.000) yang nantinya peta tersebut akan dibahas dalam forum BKPRN; (2) BKPRN perlu mempertahankan keberadaan sawah eksisting dan memfasilitasi proses integrasi LP2B ke dalam RTRW (yang sudah dan belum perda); dan (3) integrasi LP2B ke dalam RTRW perlu mempertimbangkan potensi minerba dan migas bawah tanah. Gambar 4 Suasana Rakernas BKPRN Tahun 2013 Kemudian yang menjadi isu strategis kedua adalah belum terintegrasinya rencana pembangunan dengan rencana tata ruang yang diikuti dengan 7 rumusan, yaitu: (1) indikasi program dalam RTR seringkali tidak diacu di dalam RPJP dan RPJM. Usulan solusinya adalah penyusunan pedoman penyerasian antara kedua rencana, sesuai amanat PP 15/2010 pasal 102, misalnya RPI2JM. Program pembangunan yang sesuai dengan indikasi program akan memudahkan evaluasi, pengendalian dan pengawasan; (2) penyusunan RPJMD Provinsi dan Kab/Kota harus mengacu kepada RTRW Provinsi dan Kab/Kota; (3) perlu penguatan kapasitas kelembagaan BKPRD, terutama dalam rangka proses persetujuan substansi RDTR yang didekonsentrasikan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Provinsi; (4) mekanisme penyerasian RTRW dengan RPJMN, misalnya melalui forum BKPRD atau melalui Musrenbang; Gambar 5 Rapat koordinasi persiapan Rakernas BKPRN 2013 Kesuksesan Rakernas ini tidak lepas dari matangnya persiapan yang dilakukan oleh panitia [ma/na/rt/gp/cp/cr/or/ri]. Road Map Knowledge Management Dalam suatu organisasi kita dapat belajar bersama dengan cara saling tukar pendapat, berdiskusi dengan harapan akan terjadi transfer pengetahuan diantara anggota organisasi. Melalui transfer pengetahuan dapat memunculkan kreatifitas dalam kinerja untuk mencapai tujuan organisasi. Adanya keragaman pemikiran dari anggota organisasi ini harus dihargai dan perlu dikelola dengan baik yang dikenal dengan sebutan pengelolaan pengetahuan (knowledge management). Knowledge Management (KM) merupakan salah satu metode peningkatan produktifitas dalam suatu organisasi, perusahaan maupun instansi pemerintah. KM dilaksanakan untuk memanfaatan sumber daya manusia secara optimal dengan menggali potensi yang dimiliki. Kepemilikan anggota organisasi yang kreatif dan mampu berinovasi dapat meningkatkan produktivitas suatu organisasi dengan strategi yang tepat. Salah satu strategi yang digunakan dalam KM adalah peran aktif untuk mengelola pengetahuan (push strategy). Dalam strategi ini, individu yang berada di dalam satu organisasi untuk secara langsung membagi serta mengambil pengetahuan yang mereka miliki ke dan dari dalam satu sistem penyimpanan bersama, misalnya dalam bentuk database. Strategi lain adalah mencari pengetahuan baru dengan melibatkan berbagai ahli di bidang yang buletin tata ruang & pertanahan 33 digelutinya (pull strategy). Dalam strategi ini, ahli memberikan wawasan baru kepada individu yang memerlukan. Kedua strategi di atas dikenal dengan strategi codification dan personalization. Codification fokus pada pengumpulan dan penyimpanan pengetahuan yang telah melalui proses coding ke dalam database elektronik. Database ini akan mempermudah suatu organisasi untuk mengakses sumber pengetahuan tersebut. Sedangkan strategi personalization bertujuan untuk mendorong satu individu untuk membagi pengetahuan secara langsung. Dalam KM, teknologi informasi berperan penting untuk memfasilitasi komunikasi dan knowledge sharing di antara anggota organisasi. Instrumen KM lain yang dapat digunakan dalam satu organisasi adalah cross-project learning, after action reviews, knowledge mapping, expert directories serta best practices transfer. Sebagai sebuah institusi pemerintah, Kementerian PPN/Bappenas telah banyak melakukan berbagai kegiatan keilmuan/birokratis dalam penyusunan berbagai kebijakannya, terutama dalam penyelenggaraan penataan ruang dan pengelolaan pertanahan. Dalam rangka melakukan pengintegrasian berbagai pengalaman, wawasan, dan berbagai data yang dimiliki, maka dituangkan dalam bentuk KM. KM menjadi sangat penting untuk Bidang Tata Ruang dan Pertanahan (TRP) yang bersifat lintas sektor dalam membangun ruang nasional. Banyak kegiatan yang dilakukan antara lain diskusi, lokakarya, seminar, dan kajian yang selalu diadakan setiap tahunnya telah menghasilkan berbagai pengetahuan baik dalam bentuk peraturan maupun kebijakan lainnya. Di Bidang Tata Ruang, telah dilakukan Kajian Kebijakan Insentif dan Disinsentif Tata Ruang dalam Penataan Ruang, dan Kajian Penyeimbangan Penataan Ruang, Produksi Biomassa yang Berkelanjutan dan Konservasi. Di Bidang Pertanahan, telah dilakukan Kajian Sertifikasi Tanah. Hal ini menjadi sangat penting untuk pengembangan kebijakan yang tepat di Bidang Tata Ruang dan Pertanahan yang diacu oleh berbagai sektor. Belum tersosialisasikannya kebijakan TRP kepada seluruh pemangku kepentingan juga menjadi kondisi yang melatarbelakangi pentingnya dikembangkan KM. Tujuan dari KM Bidang TRP ini adalah untuk mempermudah proses penciptaan, pengumpulan, penyimpanan, dan berbagi-tukar pengetahuan, menutup kesenjangan pengetahuan, baik didalam internal organisasi, maupun dengan masyarakat, serta menyusun pendekatan sistematis untuk pengelolaan informasi dan aliran pengetahuan untuk meningkatkan efisiensi pengambilan keputusan. Sasaran yang ingin dicapai adalah dengan terkumpulnya data dan informasi Bidang TRP untuk kemudian dapat dianalisa, disusun dan diolah menjadi sebuah pengetahuan sesuai dengan target, serta tersebarnya pengetahuan kepada stakeholders melalui berbagai media yang sesuai. Kegiatan KM Bidang TRP ini mencakup: (1) pengelolaan sistem informasi di bidang tata ruang dan pertanahan, seperti Portal TRP; (2) pelaksanaan kegiatan kehumasan yang aktual dan dokumentasi melalui pengembangan website, seperti landspatial.bappenas.go.id, bkprn.org, ran.org; (3) pengelolaan sistem koordinasi, seperti eTRP dan eBKPRN; Portal TRP, Buletin TRP, Leaflet, dan eNewsletter; (4) pengolahan data dan informasi melalui kajian dan eNewsletter; (5) pelaksanaan kegiatan sosialisasi melalui lokakarya dan seminar serta publikasi cetak dan digital yang meliputi CD, Leaflet, dan Buletin TRP.Berikut merupakan Road Map Knowledge Management Bidang TRP Tahun 2014 (Gambar2). Gambar 2 Road Map Knowledge Management Bidang TRP Tahun 2014 Untuk mendukung pelaksanaan KM ini di Tahun 2015– 2019, Direktorat TRP akan melakukan (i) pengumpulan data dan informasi secara terstruktur melalui eTRP, (ii) pengolahan dan analisis data dan informasi menjadj pengetahuan, dan (iii) penyebaran pengetahuan melalui media yang disesuaikan dengan pemangku kepentingan. Pemetaan database website juga dilakukan dengan mitra kerja terkait, seperti Menko Perekonomian, Dirjen Penataan Ruang- Kementerian PU, Badan Pertanahan Nasional (BPN), Ditjen Bangda-Kementerian Dalam Negeri, Sekretariat Kabinet dan Kementerian Kehutanan. Berikut merupakan gambaran analisis Pemangku Kepentingan (PK) dalam KM Bidang TRP (Gambar 3) [ma]. INPUT PENGETAHUAN UNTUK PK MASYARAKAT PERGURUAN TINGGI TRP PEERENCANAAN PEMANTAUAN EKSEKUTIF & LEGISLATIF EVALUASI SWASTA KAJIAN Kord. strategis Data dan Informasi dari Anggota RAN Data dan Informasi dari Anggota BKPRN OUTPUT Secara sederhana proses KM untuk Bidang TRP dapat digambarkan dalam Gambar 1 di bawah ini. Gambar 1 Tahapan Knowledge Management Bidang TRP 34 buletin tata ruang & pertanahan Gambar 3 Analisis Pemangku Kepentingan (PK) Bidang TRP Pemantauan dan Evaluasi Bidang TRP melalui Forum Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) 2013 Kementerian PPN/Bappenas melalui Deputi Bidang Evaluasi Kinerja Pembangunan melaksanakan kegiatan Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) 2013 di 33 Provinsi. Dalam kegiatan ini, Kementerian PPN/ Bappenas bekerja sama dengan 33 Perguruan Tinggi Negeri (PTN) untuk mengevaluasi pelaksanaan RPJMN 2010 – 2014 di 33 Provinsi. Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan mendapatkan materi yang cukup lengkap dari forum ini untuk melengkapi data Pemantauan dan Evaluasi Bidang TRP Tahun 2013. EKPD bertujuan untuk mengevaluasi capaian indikator-indikator terpilih dari 11 prioritas nasional dan 3 prioritas lainnya dalam RPJMN 2010 – 2014 dengan fokus utama pada: 1. Analisis capaian kinerja pada tahun 2010, 2011, 2012 dan kemajuan pelaksanaan 2013; 2. Penentuan isu strategis prioritas nasional; 3. Penentuan isu strategis provinsi; dan 4. Proyeksi target capaian kinerja daerah. Berdasarkan hasil evaluasi dan identifikasi isu strategis yang dilakukan, Tim Evaluasi Provinsi menyampaikan rekomendasi sampai pada level kegiatan yang akan bermanfaat sebagai masukan untuk perencanaan berikutnya. Secara umum, permasalahan yang muncul ketika melakukan evaluasi di daerah adalah: 1. Data yang dibutuhkan tidak tersedia atau berbeda satu sama lain, hal ini salah satunya disebabkan oleh perbedaan indikator yang dibuat oleh Kementerian PPN/Bappenas dan Kementerian Dalam Negeri, juga perbedaan ren-tang RPJMD yang digunakan; dan 2. Tidak adanya definisi operasional dari Kementerian PPN/ Bappenas terhadap indikator yang ditentukan sehingga dapat menimbulkan perbedaan interpretasi dan hasil evaluasi antar wilayah. Terkait dengan Ruang Terbuka Hijau (RTH), RTH Kota Denpasar mencapai luasan 38.5 persen dari luasan total kota yang artinya melebihi dari ketentuan minimal proporsi RTH pada wilayah kota yaitu 30 persen (UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang). Provinsi Bali bekomitmen untuk mempertahankan RTH minimal 30 persen dengan menertibkan pembangunan yang kurang memperhatikan fungsi ekologis, sosial, ekonomi, arsitektural, dan nilai estetika serta kelangsungan kehidupan terutama di kawasan perkotaan. Provinsi Jawa Tengah. Prioritas lingkungan hidup dan penanggulangan bencana di Jawa tengah terus dilakukan mengingat: a. Masih tingginya lahan kritis pada DAS dan kawasan lindung; b. Masih rendahnya produktivitas sumberdaya hutan; c. Masih tingginya potensi gangguan terhadap hutan, dan d. Belum optimalnya pemberdayaan dan distribusi manfaat bagi masyarakat sekitar hutan. Selain itu juga peningkatan dan perbaikan infrastruktur jalan masih perlu diperhatikan untuk infrasktruktur perhubungan lainnya seperti pelabuhan, bandara, terminal [sy]. w w w. t r p . o r. i d Untuk melengkapi kegiatan pemantauan dan evaluasi TRP telah diamati pencapaian untuk beberapa provinsi yang permasalahan terkait dengan Bidang TRP: Provinsi Aceh. Pertumbuhan ekonomi Aceh masih cenderung rendah. Masalah yang terkait dengan Bidang TRP di Aceh adalah belum adanya kepastian ruang untuk lahan peternakan sehingga pengembangannya masih terbatas. Sampai dengan sekarang RTRW Aceh belum diperdakan sehingga dikhawatirkan akan menghambat masuknya investasi ke daerah dengan status otonomi khusus tersebut.Dalam hal infrastruktur terutama jalan dalam kondisi baik karena selalu diperbaiki dan saat ini terdapat banyak pelabuhan bebas yang dibuka untuk impor. Provinsi Bangka Belitung. Kebutuhan Babel yang bergantung pada impor (wilayah lain) berakibat pada tingginya inflasi. Sampai dengan saat ini RTRWP dan RTRWK belum diperdakan. Rencana akan segera terealisasi dalam waktu deka adalah pembangunan bandara dan pelabuhan baru dengan kapasitas yang 5 kali lebih besar dari kapasitas pelabuhan yang ada saat ini. Banyaknya timah di provinsi ini menjadi lahan pekerjaan temporer bagi penduduknya. Provinsi Provinsi Bali. Produksi pertanian Bali termasuk di dalamnya padi, kedelai, dan jagung) dari Tahun 2009 ke Tahun 2012 cenderung menurun. Penyebab utamanya adalah alih fungsi lahan pertanian, terutama sawah, yang umumnya disebabkan karena cuaca tidak mendukung, hama penyakit, serangan tikus. Diharapkan pemerintah menegakkan RTRW untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan dan menjaga kemampuan produksi daerah dalam rangka ketersediaan bahan pangan secara lokal. buletin tata ruang & pertanahan 35 Rapat Koordinasi Kegiatan Reforma Agraria Tingkat Eselon II Dalam rangka pelaksanaan Koordinasi Reforma Agraria Nasional (RAN), Tim Koordinasi RAN mengadakan rapat pembahasan kegiatan Reforma Agraria pada 30 Oktober 2013. Kegiatan Reforma Agraria dilaksanakan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemanfaatan tanah. Rapat ini dihadiri oleh perwakilan dari Kementerian Pertanian, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Perumahan Rakyat, Badan Pertanahan Nasional, Kementerian PPN/Bappenas serta Bappeda Provinsi Jawa Tengah. Rapat Koordinasi ini dilaksanakan untuk mendapatkan kesepakatan: (1) koordinasi lintas sektor dalam bentuk grand design reforma agraria; dan (2) skema dan lokasi pilot project yang dilakukan untuk penyusunan grand design. Dalam rapat tersebut disepakati pelaksanaan reforma agrarian dengan Skema I sebagai skema utama: access reform oleh K/L mengikuti kegiatan asset reform yang dilaksanakan oleh BPN. Gambar 1 Dr. Ir. Oswar Mungkasa, MURP. Direktur TRP-Bappenas memaparkan hasil Background Study RPJMN Bidang Pertanahan Namun demikian tidak tertutup kemungkinan pelaksanaan Skema II yaitu redistribusi asset oleh BPN mengikuti kegiatan access reform yang dilakukan oleh K/L. Khusus untuk pelaksanaan Skema II, tanah yang akan dilegalkan telah berstatus clean and clear sesuai dengan definisi yang telah ditetapkan oleh BPN. Tindak lanjut rapat adalah verifikasi data dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung dan Provinsi Jawa Tengah sebagai upaya koordinasi lebih lanjut dengan daerah [gn]. Gambar 2 Rapat Koordinasi dihadiri oleh Bappenas, BPN, dan Kementerian/ Lembaga terkait. Rapat Kerja Kedeputian Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah Setiap tahunnya, Kedeputian Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah-Bappenas menyelenggarakan Rapat Kerja (Raker) untuk mengevaluasi kinerja pembangunan dan menyusun kebijakan pembangunan ke depan. Tahun ini, Raker dilaksanakan dua kali pada 17 September dan 18 November 2013 yang membahas hasil evaluasi kinerja pembangunan 2010-2014 dan background study RPJMN 20152019. Pembahasan background study RPJMN 2015-2019 yang disusun oleh setiap direktorat menjadi agenda utama dalam kedua raker di atas mengingat tahun 2014 nanti akan menjadi tahun penyusunan rencana pembangunan 5 tahun ke depan. Dalam raker ini, seluruh direktorat memaparkan isu strategis serta kerangka kebijakan untuk tahun 2015-2019. Raker ini menjadi momen saling memahami, saling memperbaiki, dan mengintegrasikan kebijakan satu sama lain sehingga dihasilkan kebijakan pengembangan wilayah dan otonomi daerah yang terpadu dan lebih komprehensif. Selain itu, kegiatan ini menjadi 36 buletin tata ruang & pertanahan momen untuk meningkatkan keeratan hubungan antar direktorat dibawah kedeputian regional dan otonomi daerah. Gambar Raker dipimpin oleh Deputi Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah, Dr Ir Max Pohan, CES Hari Habitat Dunia Tahun 2013 Setiap Senin pertama Oktober ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai Hari Habitat Dunia (World Habitat Day). Hari Habitat ini sudah diperingati sejak 1989 sebagai momen untuk membahas kondisi permukiman dunia dan hak atas hunian yang layak terhadap warganya, serta untuk mengingatkan para stakeholder akan tanggung jawab bersama untuk masa depan permukiman yang lebih baik. Tahun ini PBB menetapkan tema Urban Mobility atau Mobilitas Perkotaan sebagai tema peringatan Hari Habitat Dunia karena disadari bahwa mobilitas (pergerakan) dan akses manusia terhadap jasa dan pelayanan sangat penting untuk menunjang fungsi kota yang efektif. Kota yang mudah diakses akan mendorong pergeseran ke jenis transportasi yang berkelanjutan dan menarik lebih banyak orang untuk menggunakan transportasi publik. Disini, perencanaan kota dan desain perkotaan berperan pentingd alam mensinergikan manusia dan ruangkota, bukan hanya infrastruktur transportasi perkotaan. Dengan perlu menyadari bahwa kota sebagai engine of growth terus berkembang dan membuka peluang untuk menarik penduduk tinggal di perkotaandengan harapan dapat meningkatkan kesejahteraan hidup mereka. Pada Konferensi PBB tentang Permukiman di Vancouver dan Turki dimulai pemikiran kritis terhadap kondisi permukiman dunia. Saat itu, sebanyak 171 pimpinan di dunia menyepakati Deklarasi Istanbul dan Agenda Habitat II yang bertujuan mencapai hunianlayak bagi semua dan urbanisasi berkelanjutan. Memasuki millennium kedua, kondisi permukiman sangat menjadi perhatian karena diketahui hampir separuh penduduk dunia (termasuk Indonesia) tinggal di perkotaan, dan diperkirakan pada 2030 dua pertiga penduduk dunia akan tinggal di perkotaan. Karena itu, ketidakmampuan pengelolaan sumberdaya secara efisien terutama dalam menghadapi perkembangan perkotaan menjadi salah satu isu global saat ini. Gambar 2 Kemacetan di Jakarta Gambar 3 Hari Habitat Dunia ‘Urban Mobility’ Gambar 1 Kondisi Perkotaan Jakarta Tahun ini, Hari Habitat diperingati pada 7 Oktober 2013, dan di Indonesia, Hari Habitat dirayakan melalui serangkaian kegiatan seperti seminar, pameran, funbike, dan hiburan rakyat. Sejalan dengan tema Urban Mobility, Kementerian Pekerjaan Umum sebagai penyelenggara Hari Habitat di Indonesia mengangkat tema ‘Kota untuk Semua’. Melalui tema ini semua pihak diingatkan terhadap perwujudan hak atas kota, kemudahan aksesibilitas masyarakat terhadap berbagai sarana, prasarana, dan jasa pelayanan kota, serta tata kelola pemerintahan yang baik. Untuk itu, dalam perwujudannya diperlukan dukungan pemerintah bersama masyarakat dan dunia usaha sehingga dipahami bahwa kota adalah milik semua, pembangunan untuk semua, dan keberlanjutan masa depan menjadi tanggung jawab bersama [gp]. buletin tata ruang & pertanahan 37 Membangun Kelembagaan Penataan Ruang: Upaya Pengembangan Kelembagaan Penataan Ruang yang Telah dan Akan 4 buletin tata ruang & pertanahan