analisis perbandingan perilaku seksual siswa sman dengan siswa

advertisement
ANALISIS PERBANDINGAN PERILAKU SEKSUAL SISWA SMAN
DENGAN SISWA MAN DI JAKARTA TIMUR DAN FAKTOR-FAKTOR
YANG MEMPENGARUHINYA, TAHUN 2013
Zahra Fadhila, Milla Herdayati1)
1.
Departemen Biostatistika dan Ilmu Kependudukan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia, Kampus UI Depok Jawa Barat 16424.
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Isu kesehatan reproduksi remaja menjadi isu penting karena fakta menyebutkan dampak
pergaulan global. Hubungan seksual yang hanya boleh dilakukan oleh sepasang suami-istri
sebagai fungsi reproduktif, kini remaja melakukannya sebagai fungsi rekreatif, yang
merupakan gaya hidup hedonistik. Salah satu cara orang tua melindungi anaknya adalah
dengan menyekolahkan ke sekolah berbasis keagamaan. Dengan kurikulum keagamaan yang
lebih mendalam, orang tua berharap anak-anaknya terlindung dari pergaulan berisiko.
Penelitian ini dilakukan dengan metode kros-seksional yang dilakukan selama Bulan MeiJuli 2013 untuk mengetahui perbedaan perilaku seksual siswa salah satu SMAN dan MAN di
Jakarta Timur. Penelitian ini melibatkan 113 orang siswa SMAN dan 123 orang siswaMAN
yang diambil secara acak dengan sistem SRS dan pengumpulan data dilakukan dengan
metode angket. Teori Belajar Sosial Bandura digunakan sebagai kerangka kerja utama
penelitian ini. Secara umum, penelitian ini mengemukakan fakta bahwa tidak ada perbedaan
perilaku seksual siswa SMAN dengan siswa MAN, tetapi ada perbedaan faktor risiko yang
mempengaruhinya. Faktor yang paling mempengaruhi perilaku seksual siswa SMAN adalah
sikap terhadap perilaku seksual pranikah dan pemanfaatan fasilitas komunikasi dan
transportasi, sementara faktor yang paling mempengaruhi perilaku seksual siswa MAN
adalah jenis kelamin dan peran teman sebaya. Pengembangan program peduli remaja harus
dikhususkan pada pembentukan sikap asertif, peningkatan supervisi orang tua kepada anak,
kesetaraan hak untuk mendapatkan pengetahuan kesehatan reproduski antara laki-laki dan
perempuan, serta pembentukan lingkungan sosial yang baik untuk perkembangan remaja.
1. PENDAHULUAN
Isu kesehatan reproduksi remaja menjadi isu penting karena fakta menyebutkan dampak
pergaulan global. Hubungan seksual yang hanya boleh dilakukan oleh sepasang suami-istri
sebagai fungsi reproduktif, kini dilakukan oleh remaja sebagai fungsi rekreatif (fun), yang
merupakan gaya hidup hedonistik. UNFPA memperkirakan ada 15 juta remaja perempuan
berusia 15-19 tahun di dunia yang melahirkan setiap tahunnya, 4 juta melakukan aborsi, dan
hampir 100 juta remaja dunia terjangkit infeksi menular seksual (IMS) yang dapat
Analisis perbandingan…, Zahra Fadhila, FKM UI, 2013
disembuhkan. Selain itu, 40 persen kasus HIV/AIDS terjadi pada kaum muda berusia 15-24
tahun. Laporan Epidemi Global HIV/AIDS pada tahun 1997 bahkan berani menyebutkan
bahwa terjadi 7.000 infeksi HIV pada remaja di dunia setiap hari (UNAIDS, 1997). Salah
satu cara orang tua untuk melindungi anaknya dari pergaulan yang buruk adalah dengan
menyekolahkan mereka ke sekolah berbasis keagamaan. Dengan kurikulum keagamaan yang
lebih mendalam, orang tua berharap agar anak-anaknya terlindung dari pergaulan berisiko.
Religiusitas adalah faktor protektif terhadap aktivitas seksual yang dilakukan oleh remaja
(McCullough, Hoyt, Larson, Koenig, & Thoreson, 2000; Wallace & Williams, 1997). Sebuah
penelitian menyebutkan bahwa prevalensi remaja yang bersekolah di sekolah berbasis
keagamaan dan sudah melakukan aktivitas seksual lebih rendah dibandingkan dengan remaja
yang bersekolah di sekolah umum (Donahue & Benson, 1995; Wallace & Williams, 1997).
Efek protektif dari tingkat religiusitas terhadap penggunaan narkoba dan perilaku seks
berisiko menunjukkan suatu mekanisme bahwa religiusitas seseorang mungkin berkontibusi
pada kesehatan yang lebih berkualitas (cf. McCullough et al., 2000).
Tujuan umum penelitian adalah untuk mengetahui gambaran perilaku seksual siswa SMAN
dan MAN di Jakarta Timur tahun 2013 dan faktor-faktor yang berpengaruh. Penelitian ini
juga bertujuan untuk mengetahui perbedaan perilaku seksual siswa SMAN dan MAN dan
perbedaan faktor individu dan faktor lingkungan yang mempengaruhinya.
Penelitian dapat dimanfaatkan untuk 1) meningkatkan kesehatan reproduksi remaja di tingkat
sekolah formal dengan mengembangkan kebijakan yang youth-friendly dan didukung saranaprasarana yang memadai; 2) menjadi baseline bagi para LSM untuk bertindak dan merancang
program kerja yang sesuai dengan kebutuhan remaja serta mengerti keinginan remaja; 3)
menjadi esensi dan mengambil langkah lanjutan oleh pihak sekolah untuk mengantisipasi
perilaku seksual pranikah pada remaja, terutama remaja di sekolahnya; 4) menjadi landasan
dan bahan masukan tentang apa yang harus diketahui para remaja mengenai kesehatan alat
reproduksinya melalui orang tua mereka; 5) mengetahui kondisi pergaulan yang terjadi saat
ini sehingga remaja bisa memfilter pergaulan yang baik atau tidak baik bagi dirinya; 6)
menjadi pembelajaran bagi para calon orang tua untuk lebih bijaksana dalam mengarahkan
anak-anaknya agar tidak terjerumus ke pergaulan yang menyesatkan
2. TINJAUAN TEORITIS
Masa remaja adalah tahap perkembangan yang sangat krusial dari masa kanak-kanak menuju
masa dewasa karena di masa inilah terjadi perubahan besar pada diri seseorang dan terkadang
Analisis perbandingan…, Zahra Fadhila, FKM UI, 2013
terjadi kekacauan (Sarafino, 2005). Lonjakan pertumbuhan jasmani selama masa remaja
merupakan segi yang paling tampak, tetapi bukan merupakan yang paling penting. Remaja
adalah pribadi yang telah mencapai kematangan seksual dan telah mewarisi semua
kemungkinan dan masalah yang terkandung dalam kedudukan itu (Tanner, et all, 1983).
Agar remaja dapat melaksanakan fungsi reproduksi secara sehat dalam pengertian fisik,
mental, maupun sosial, ada beberapa prasayat yang harus dipenuhi, yaitu (Mohamad, 1998):
1. Tidak ada kelainan anatomis dan fisiologis, baik pada perempuan maupun pada laki-laki;
2. Perlu landasan psikis yang memadai agar perkembangan emosi berlangsung optimal, baik
pada perempuan maupun laki-laki;
3. Bebas dari kelainan atau penyakit yang mengenai organ reproduksinya, baik secara
langsung maupun tidak langsung;
4. Perempuan hamil memerlukan jaminan bahwa ia akan dapat melewati masa tersebut
dengan aman dan kehamilan tersebut bukanlah penyakit atau kelainan.
Sistem sosial dan kepercayaan masyarakat Indonesia melarang adanya konsepsi antara sel
telur dan sperma (hubungan kelamin atau senggama) sebelum adanya ikatan pernikahan.
Oleh sebab itu, laki-laki dan perempuan yang belum menikah, terutama remaja, harus
mengetahui batasan-batasan untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis secara sehat, baik
sehat fisik, mental, maupun sosial. Jadi, meskipun remaja perempuan sudah bisa hamil, rahim
perempuan belum siap secara biologis untuk “menampung” bayi.
Religi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, memiliki arti kepercayaan kepada Tuhan,
kepercayaan akan adanya kekuatan adikodrati di atas manusia, dan kepercayaan pada agama.
Religiusitas berasal dari kata religius yang berkenaan dengan religi atau sifat religi yang
melekat pada diri seseorang (Thontowi, 2010). Religiusitas adalah suatu keadaan yang ada di
dalam diri seseorang yang mendorongnya bertingkah laku, bertindak, dan bersikap sesuai
dengan ajaran agamanya (Zaki, 2004).
Pengetahuan remaja terhadap kesehatan reproduksi dan seksualitas diperlukan untuk
membentengi remaja dari serangan mitos-mitos, pengaruh pergaulan, pengaruh media massa,
dan bahkan serangan batin akibat perkembangan hormon seksual. Pengetahuan yang kurang
dari remaja, orang tua, guru, organisasi pembina turut mempengaruhi kematangan organorgan reproduksi dan pencarian identitas diri remaja (Soetjiningsih, 2004). Pendidikan
seksual oleh pihak yang berkompeten adalah hak anak agar “selamat” menjadi manusia
dewasa dalam perikehidupannya dengan lawan jenis (Kesproholic, 2009).
Semakin buruk tingkat komunikasi antara orang tua dan remaja, semakin besar kemungkinan
remaja melakukan perilaku seksual berisiko (Sarwono, dalam Lestary, 2011). Buruknya
Analisis perbandingan…, Zahra Fadhila, FKM UI, 2013
komunikasi dengan orang tua mengakibatkan kedekatan yang berlebihan kepada teman
sebaya dan media massa. Remaja yang memiliki hubungan yang baik dengan orang tuanya
memiliki kecenderungan untuk dapat melindungi diri dari pengaruh negatif pergaulan (Yusuf,
2009, dalam Lestary, 2011).
Masngudin (2008, dalam Hapsari et al, 2009) menyebutkan bahwa waktu luang yang tidak
digunakan secara positif adalah faktor utama penyebab terjadinya kenakalan remaja, selain
pengaruh teman sebaya dan lingkungan sekitar. Terkait perilaku seksual, remaja bisa
berpacaran dan beraktivitas seksual di rumah karena kedua orang tua sedang bekerja. Kondisi
sepi ditambah dengan hasrat seksual yang menggebu adalah kombinasi yang pas untuk
mendorong terjadinya perilaku seksual pranikah.
Remaja adalah salah satu korban teknologi baru ini. Remaja masa kini sudah memiliki
telepon genggam super canggih, laptop, kamera digital, komputer mini atau tablet, motor
pribadi, hingga mobil pribadi. Memang, penelitian yang dilakukan oleh Ngudi, et al. (2010,
dalam Yuliantini, 2012) menyatakan bahwa semakin banyak fasilitas sebagai sumber
informasi, semakin banyak pula pengetahuan yang bisa diketahui. Namun, sebagian besar
remaja berlomba-lomba memperbanyak fasilitas bukan hanya sekadar untuk menambah
pengetahuan, tetapi juga keinginan untuk diakui keberadaannya dalam suatu lingkungan.
Sering kali, remaja menyalahgunakan fasilitas tersebut untuk hal-hal negatif.
Masalah yang dialami remaja ini adalah salah satu stressor yang dapat mempengaruhi remaja
untuk tidak berpikir secara jernih. Di sinilah, ikatan dan hubungan sosial berperan penting
selama masa-masa remaja yang penuh masalah. Dukungan sosial mengarah pada
kenyamanan yang dirasakan, kepedulian, harga diri, atau bantuan yang diberikan seseorang
(Sarafino, 2006). Dukungan sosial berasal dari berbagai sumber, seperti pacar, teman sebaya,
organisasi, keluarga, teman kerja, dokter, dan komunitas. Individu percaya bahwa mereka
dicintai, dihargai, dan bagian dari orang lain.
Secara ekologis, perilaku manusia didefinisikan sebagai interaksi antara perilaku prokreatif
dengan dengan situasi fisik dan sosial yang menyertainya (Mohamad, 1998). Namun, konsep
seksualitas manusia seperti dikutip oleh Mohamad (1998) menerangkan bahwa sesungguhnya
seksualitas manusia bukan sekadar kegiatan genitalia dengan tujuan prokreatif, tetapi lebih
merupakan perilaku mencari kesenangan dalam arti yang lebih luas (atau eros) yang terdiri
dari dua unsur, yaitu pelestarian pribadi (self preservation) dan reproduksi. Ada hal mendasar
yang membedakan perilaku seks hewan dan manusia. Jika hewan berperilaku seks murni
akibat pengaruh hormon, manusia berperilaku seks karena adanya pengaruh antara hormon
dan pikiran. Cara manusia berpikir dipengaruhi oleh pengalaman, pendidikan, dan budaya.
Analisis perbandingan…, Zahra Fadhila, FKM UI, 2013
3. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan metode cross-sectional selama bulan Maret hingga Juli 2013
yang sampelnya adalah salah satu sekolah umum (disebut SMAN) dan salah satu sekolah
keagamaan (disebut MAN) di Jakarta Timur. Kedua sekolah tersebut dipilih secara purposive
sampling, yaitu pemilihan sampel secara sengaja karena peneliti menentukan sendiri sekolah
tersebut dan mendapat persetujuan dari pimpinan sekolah yang bersangkutan. Responden
penelitian adalah siswa dari dua sekolah tersebut dan terpilih secara acak sesuai dengan besar
sampel yang telah ditentukan,.yaitu sebanyak 113 responden SMAN dan 123 responden
MAN yang dipilih secara acak sederhana dari 1 kelas X, 1 kelas XI IPA, dan 1 kelas XI IPS.
Sampel penelitian adalah siswa-siswa yang terpilih secara random dan memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah siswa terpilih yang secara
sukarela bersedia menjadi responden penelitian untuk mengisi kuesioner (self-administered
questionnaire). Kriteria eksklusi adalah siswa yang terpilih untuk menjadi sampel, tetapi
menolak untuk ikut dalam penelitian.
Penelitian ini menggunakan variabel-variabel yang dikategorikan berdasarkan kerangka
Social Learning Theory (Bandura, 1976). Teori Belajar Sosial menjelaskan bahwa perilaku
manusia didasarkan pada faktor individu dan faktor lingkungan. Dalam penelitian ini, faktor
individu dan faktor lingkungan adalah variabel independen, sementara faktor perilaku seksual
adalah variabel dependen.
Faktor individu adalah pengetahuan kesehatan reproduksi, sikap terhadap perilaku seksual
pranikah, religiusitas, dan aktivitas sosial. Faktor lingkungan adalah komunikasi anak dan
orang tua, pemanfaatan fasilitas komunikasi dan transportasi. Faktor perilaku seksual adalah
aktivitas seksual, mulai dari berpacaran, berpegangan tangan, berciuman kering (pipi dan
kening), berciuman bibir, berpelukan, petting, oral sex, sexual intercourse, masturbasi, dan
berfantasi.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Representasi hasil penelitian ini tidak bisa menggambarkan estimasi perilaku seks remaja di
seluruh sekolah menengah atas umum dan sekolah menengah atas keagamaan di Jakarta
Timur. Namun, peneliti mempunyai keyakinan bahwa hasil penelitian ini bisa
menggambarkan perilaku seksual di dua sekolah terpilih, yaitu SMAN dan MAN. Terkait
besar sampel, responden penelitian ini (113 responden dari SMAN dan 123 responden dari
MAN) sudah memenuhi target besar sampel dengan perhitungan menggunakan rumus uji
Analisis perbandingan…, Zahra Fadhila, FKM UI, 2013
beda proporsi. Dengan tingkat kepercayaan 95% dan sampling error 5%, kekuatan uji (power
of the test) pada penelitian di SMAN adalah 80.4% dan kekuatan uji pada penelitian di MAN
adalah 83,7%.
1. Karakteristik Siswa SMAN dan MAN, Tahun 2013 (%)
Karakteristik Siswa
Jenis Kelamin (Perempuan)
Pendidikan Ayah
• Tamat SMA
• Tamat PT
Pendidikan Ibu
• Tamat SMA
• Tamat PT
Pekerjaan Ayah
• Wirausahawan
• Karyawan swasta/buruh
Pekerjaan Ibu (Tidak bekerja)
Total Penghasilan Ortu
• Rp500.000,00 - Rp2.000.000,00
• > Rp6.000.000,00
Status Perkawinan Ortu (Menikah)
Pengasuh 3 tahun terakhir (Orang tua)
Frekuensi Diskusi dengan Ortu (Setiap hari)
Umur (rerata + SD)
Umur PertamaMenstruasi1) (Mean + SD)
Umur Pertama Mimpi Basah2) (Mean + SD)
1)
2)
SMAN (N =113)
MAN (N = 123)
60,2
69,7
9,0%
90,1
54,5
27,3
20,7
76,
57,9
19
23,9
42,2
51,4
37,7
37,4
66,4
8,7
53,3
91,9
100
71,4
16,08 + 0,67
12,12 + 0,99
13,40 + 1,28
43
13,2
90,2
94,3
72,4
15,95 + 0,77
12,53 + 1,08
12,65 + 1,25
Pada responden perempuan (NSMA = 68; NMAN = 85)
Pada responden kali-laki (NSMA = 45; NMAN = 37)
Jumlah murid perempuan di setiap kelas lebih banyak dibandingkan laki-laki, hal ini sejalan
dengan hasil Sensus Penduduk 2010 yang menyebutkan bahwa terjadi kenaikan proporsi
penduduk produktif perempuan yang cukup besar dari 66,9% pada tahun 1990 menjadi
73,76% pada tahun 2010, sementara kenaikan proporsi penduduk produktif laki-laki
meningkat dari 65,9% pada tahun 1990 menjadi 72,36% pada tahun 2010 (Badan Pusat
Statistik, 2010).
Sesuai dengan budaya masyarakat Indonesia yang baru “melepas” anak ketika anak sudah
menikah, sebagian besar orang tua responden SMAN dan MAN berstatus menikahm masih
tinggal bersama, dan menjadi pengasuh responden tiga tahun terakhir. Sebagian besar
responden SMAN dan MAN menjalin komunikasi yang cukup baik dengan orang tua mereka
karena mereka saling berdiskusi atau mengobrol setiap hari. Komunikasi orang tua kepada
anaknya adalah salah satu faktor protektif terhadap perilaku remaja yang berisiko. Remaja
yang memiliki hubungan yang baik dengan orang tuanya memiliki kecenderungan untuk
dapat melindungi diri dari pengaruh negatif pergaulan (Yusuf, 2009, dalam Lestary, 2011).
Analisis perbandingan…, Zahra Fadhila, FKM UI, 2013
Hampir semua ayah/ibu responden SMAN berpendidikan tamat perguruan tinggi, sementara
sebagian besar ayah/ibu responden MAN berpendidikan tamat SMA. Karena SMAN adalah
salah satu SMA unggulan di Jakarta Timur, hampir dapat dipastikan bahwa murid SMAN
berasal dari keluarga berpendidikan tinggi. Di lain pihak, MAN bukan termasuk sekolah
agama negeri unggulan di Jakarta Timur sehingga hampir dipastikan pendidikan orang tua
murid MAN tidak setinggi pendidikan orang tua murid SMAN.
Sebagian besar ayah/wali laki-laki responden SMAN adalah karyawan swasta, sementara
ayah/wali laki-laki responden MAN adalah wirausahawan. Hal ini sesuai dengan hasil Sensus
Penduduk 2010 yang menyatakan bahwa sebagian besar penduduk yang berpendidikan tamat
SMA/MA/sederajat berdagang sebagai pekerjaan utamanya (23%), sementara sebagian besar
penduduk yang berpendidikan tamat PT bekerja sebagai karyawan atau pegawai (82%)
(Badan Pusat Statistik, 2010). Sesuai dengan budaya Indonesia yang menyatakan bahwa
tugas utama seorang ibu adalah sebagai penjaga utama keutuhan rumah tangga, sebagian
besar ibu/wali perempuan, baik SMAN dan MA, adalah ibu rumah tangga atau tidak bekerja.
Tabel 2. Gambaran Faktor Individu dan Lingkungan
Siswa SMAN dan MAN, 2013 (%)
Faktor
Pengetahuan Kesehatan Reproduksi
• Rendah
• Tinggi
Sikap terhadap Perilaku Seks Pranikah
• Negatif
• Positif
Religiusitas
• Rendah
• Tinggi
Aktivitas Sosial
• Rendah
• Tinggi
Komunikasi Anak-Orang Tua
• Rendah
• Tinggi
Pemanfaatan Fasilitas Komunikasi dan
Transportasi
• Rendah
• Tinggi
Peran Teman Sebaya
• Rendah
• Tinggi
SMAN (N = 113)
MAN (N = 123)
70,8
29,2
65,9
34,1
52,2
47,8
51,2
48,8
50,4
49,6
54,5
45,5
61,9
38,1
53,7
46,3
61,9
38,1
54,5
45,5
51,3
48,7
52,8
47,2
57,5
42,5
53,7
46,3
Sebagian besar responden, baik responden SMAN maupun responden MAN, memiliki
tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi yang rendah. Hal ini membuktikan bahwa
Analisis perbandingan…, Zahra Fadhila, FKM UI, 2013
masyarakat masih percaya bahwa pendidikan seksualitas adalah hal yang tabu dan tidak patut
dibicarakan. Padahal, pendidikan seksualitas adalah pembekalan tata nilai hidup dengan
lawan jenis yang justru akan memberikan efek proteksi terhadap pergaulan berisiko.
Pengetahuan kesehatan reproduksi yang kurang akan melahirkan korban seks (Nadesul,
2009). Siswa yang bersikap negatif maupun positif terhadap perilaku seks pranikah hampir
seimbang, meskipun proporsi responden SMAN dan MAN yang bersikap negatif sedikit lebih
banyak. Indikator sikap tidak permisif terhadap perilaku seks pranikah (traditional
permisiveness) adalah religiusitas dan keagamaan (Clayton dan Bokemeir, 1980). Hasil
penelitian ini menjadi sesuai karena setengah responden memiliki tingkat religiusitas rendah
sehingga setengah responden memiliki sikap permisif terhadap perilaku seks pranikah.
Sebagian besar responden SMAN dan MAN memiliki aktivitas sosial yang tinggi. Masngudin
(2008, dalam Hapsari et al, 2009) menyebutkan bahwa waktu luang yang tidak digunakan
secara positif adalah faktor utama penyebab terjadinya kenakalan remaja, selain pengaruh
teman sebaya dan lingkungan sekitar.
Sebagian besar responden SMAN dan sebagian besar responden MAN memiliki intensitas
komunikasi kesehatan reproduksi dan seksualitas yang rendah dengan orang tua/wali. Hasil
analisis pun menunjukkan bahwa sebagian besar siswa yang sudah pernah berpacaran tidak
pernah mendiskusikan masalah berpacaran dengan orang tua mereka. Sebagian besar
responden SMAN dan MAN memiliki intensitas pemanfataan fasilitas komunikasi dan
transportasi yang rendah. Semakin mudah remaja mendapatkan akses terhadap informasi
seksual, semakin tinggi pula kemungkinan remaja untuk mendapatkan informasi yang sesat.
Fasilitas ini juga memudahkan remaja untuk mendapat paparan pornografi. Televisi dengan
saluran internasional adalah salah satu fasilitas penyumbang pornografi yang cukup
berpengaruh karena sebagian besar saluran televisi internasional memportontonkan aktivitas
seksual antarmanusia.
Sebagian responden menjawab mereka memiliki lingkungan sosial yang menyetujui adanya
perilaku seksual pranikah. Bahkan, penelitian ini juga membuktikan bahwa hampir setengah
responden SMAN dan MAN mengaku bahwa mereka mempunyai teman sebaya yang sudah
pernah berhubungan seksual dan teman-teman tersebut tidak mempermasalahkannya. Sebuah
penelitian terdahulu mendukung penelitian ini. Sebagian besar responden mempelajari
masalah seks melalui teman (64%), lalu secara berurutan menjawab melalui film porno,
orang tua, pengalaman pribadi, dan internet. Fakta inilah yang membuat miris karena peran
orang tua yang seharusnya menjadi pusat informasi jauh di bawah peran teman sebaya dan
film porno.
Analisis perbandingan…, Zahra Fadhila, FKM UI, 2013
Tabel 3. Perilaku Seksual Siswa SMAN dan MAN, 2013 (%)
SMAN
Perilaku Seksual
Pegangan Tangan
Berciuman Kering (Pipi dan Kening)
Berpelukan
Berciuman Basah (Bibir)
Meraba (grepe-grepe)
Pernah Berfantasi Seksual
Pernah oral sex
Pernah Petting
Pernah melakukan sexual intercourse
Pernah Masturbasi
Pernah Mencintai atau Tertarik secara
Seksual dengan Sesama Jenis
Ada temang sebaya yang pernah
berhubungan seks (intercourse)
MAN
Pernah
Pacaran
(N=92)
Tidak
Pernah
Pacaran
(N=21)
Pernah
Pacaran
(N=101)
Tidak
Pernah
Pacaran
(N=22)
92,4
52,2
65,2
33,7
19,6
46,7
7,6
5,4
4,3
43,5
95,2
0
0
0
0
28,6
0
0
0
28,6
85,1
40,6
39,6
24,8
14,9
36,6
2
1
2
22
0
0
0
0
0
36,4
0
0
0
13,6
5,4
9,5
12,9
22,7
71,7
33,3
47,5
31,8
Selanjutnya, analisis hanya akan dilakukan pada siswa yang pernah berpacaran untuk
mengetahui seberapa besar kemungkinan siswa yang pernah menjalin hubungan dengan
lawan jenis untuk berperilaku seksual pranikah, baik perilaku seksual risiko ringan maupun
risiko tinggi. Perilaku seks berisiko ringan adalah berpacaran, berpegangan tangan,
berfantasi, berciuman kering, masturbasi, dan berpelukan; Perilaku seks berisiko tinggi
adalah berciuman basah, meraba, oral sex, petting, dan intercourse. (Soetjiningsih, 2004).
Berdasarkan tabel tersebut, diketahui bahwa sebagian besar responden SMAN dan MAN
memiliki perilaku seksual yang berisiko ringan. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa
sebagian besar responden memilih sekolah sebagai tempat berpacaran.
Tabel 4. Gambaran Perilaku Seksual menurut Jenis Sekolah, 2013
Jenis Sekolah
• MAN
• SMAN
Perilaku Seksual
Berisiko
Berisiko
Ringan
Tinggi
64 (63,4%)
37 (36,6%)
54 (58,7%)
38 (41,3%)
Total
OR
(95% CI)
Pvalue
92
101
1,22
(0,68-2,17)
0,51
Hal ini menujukkan bahwa tidak ada perbedaan perilaku seksual antara remaja dari
sekolah umum (SMAN) dan sekolah keagamaan (MAN). Hampir seluruh siswa SMAN dan
MAN pernah melakukan aktivitas seksual dan proporsi siswa yang pernah melakukan
aktivitas seksual risiko tinggi pun cukup besar. Padahal, sekolah keagamaan memiliki
kurikulum keagamaan yang lebih detail dibandingkan sekolah umum. Diharapkan, siswa
Analisis perbandingan…, Zahra Fadhila, FKM UI, 2013
sekolah keagamaan memiliki pengetahuan agama yang baik yang dapat mencegah siswa dari
perilaku seksual pranikah.
Tabel 5. Hubungan Faktor Individu, Faktor Lingkungan, dan Perilaku Seksual
Siswa SMAN dan MAN, Tahun 2013
SMAN (N = 92)
Perilaku Seksual
OR
Risiko
Risiko
(95% CI)
Ringan
Tinggi
FAKTOR
P
Value
MAN (N = 101)
Perilaku Seksual
OR
Risiko
Risiko
(95% CI)
Tinggi
Ringan
P
Value
Jenis Kelamin
21
18
(53,8%)
(46,2%)
0,71
(0,31-1,64)
33
20
• Perempuan
(62,3%)
(37,7%)
Pengetahuan Kesehatan Reproduksi
35
28
• Rendah
(55,6%)
(44,4 %)
0,69
(0,28-1,69)
19
10
• Tinggi
(65,5%)
(34,5%)
Sikap terhadap Perilaku Seks Pranikah
35
9
• Negatif
(79,5%)
(20,5 %)
5,94
(2,33-15,1)
19
29
• Positif
(39,6%)
(60,4 %)
Religiusitas
26
20
• Rendah
(56,5%)
(43,5 %)
0,84
(0,36-1,92)
28
18
• Tinggi
(60,9%)
(39,1 %)
Aktivitas Sosial
34
17
• Rendah
(66,7%)
(33,3%)
2,1
(0,9-4,89)
20
21
• Tinggi
(48,8%)
(51,2 %)
Komunikasi Anak-Orang Tua
31
21
• Rendah
(59,6%)
(40,4 %)
1,34
(0,59-3,1)
23
17
• Tinggi
(57,5%)
(42,5 %)
Pemanfaatan Fasilitas Komunikasi dan Transportasi
30
12
• Rendah
(71,4%)
(28,6%)
2,71
(1,14-6,4)
24
26
• Tinggi
(48%)
(52 %)
Peran Teman Sebaya
36
13
• Rendah
(73,5%)
(26,5 %)
3,85
(1,6-9,25)
18
25
• Tinggi
(41,9%)
(58,1%)
0,42
12
(40%)
52
(74,3%)
18
(60%)
18
(25,7%)
0,23
(0,09-0,57)
0,002*)
0,658
47
(70,1%)
17
(50%)
20
(29,9%)
17
(50%)
2,35
(1,00-5,51)
0,05*)
0,001*)
36
(78,3%)
28
(50,9%)
10
(21,7%)
27
(49,1%)
3,47
(1,44-8,35)
0,005*)
0,67
34
(61,8%)
30
(65,2%)
21
(38,2%)
16
(34,8%)
0,86
(0,38-1,95)
0,72
0,085
31
(59,6%)
33
(67,3%)
21
(40,4%)
16
(32,7%)
0,72
(0,32-1,62)
0,42
0,483
31
(57,4%)
33
(70,2%)
23
(42,6%)
14
(29,8%)
0,57
(0,25-1,31)
0,19
0,025*)
30
(60%)
34
(66,7%)
20
(40%)
17
(33,3%)
0,75
(0,33-1,69)
0,49
0,003*)
37
(74%)
27
(52,9%)
13
(26%)
24
(47,1%)
2,53
(1,1-5,85)
0,03*)
• Laki
*)
P < 0,05 Analisis perbandingan…, Zahra Fadhila, FKM UI, 2013
Siswa yang memiliki tingkat religiusitas yang rendah memiliki proporsi yang sama, yaitu 1
dari 2 siswa SMAN dan siswa MAN memiliki tingkat religiusitas yang rendah. Sementara
itu, 2 dari 5 siswa SMAN dan 7 dari 20 siswa MAN memiliki perilaku seksual risiko tinggi.
Dari hasil bivariat, dapat diketahui bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis
sekolah dan perilaku seksual siswa. Pada penelitian di SMAN, faktor individu yang paling
mempengaruhi perilaku seksual responden adalah sikap terhadap perilaku seks pranikah.
Sementara pada penelitian di MAN, faktor individu yang paling berpengaruh adalah jenis
kelamin. Pada penelitian di SMAN, faktor lingkungan yang paling mempengaruhi perilaku
seksual responden adalah pemanfaatan fasilitas transportasi dan komunikasi. Sementara pada
penelitian di MAN, faktor lingkungan yang paling berpengaruh adalah peran teman sebaya
terhadap perilaku seks pranikah
Tabel 6. Faktor-faktor yang Berpengaruh pada Perilaku Seksual Siswa SMAN dan
MAN di Jakarta Timur, Tahun 2013
Parameter
B
Std.
Error
Hypothesis Test
T
Df
Sig.
OR
-1,98
0,37
28,06
1,00
0,00
0,14
Jenis Kelamin
0,59
0,35
2,84
1,00
0,09
1,80
Jenis Sekolah
0,29
0,33
0,76
1,00
0,38
1,34
Sikap terhadap Perilaku Seks Pranikah
1,11
0,35
9,91
1,00
0,00
3,05
Peran Teman Sebaya
0,96
0,34
8,12
1,00
0,00
2,61
(Intercept)
Setelah dilakukan uji regresi logistik dengan mengontrol variabel jenis sekolah, pengetahuan
kesehatan reproduksi, religiusitas, aktivitas sosial, komunikasi anak dan orang tua, serta
fasilitas komunikasi dan transportasi, terbukti adanya variabel yang secara bersama-sama
mempengaruhi perilaku seks remaja, yaitu sikap terhadap perilaku seks pranikah, dan peran
teman sebaya. Jenis kelamin adalah variabel perancu yang ternyata dapat mempengaruhi
terjadinya perilaku seksual pada remaja. Namun, faktor yang paling dominan dalam
mempengaruhi perilaku seks remaja adalah sikap positif terhadap perilaku seks pranikah.
Analisis perbandingan…, Zahra Fadhila, FKM UI, 2013
5. KESIMPULAN
Kesimpulan utama dari penelitian ini adalah tidak ada perbedaan perilaku seksual siswa
SMAN dan siswa MAN. Sebagian besar responden SMAN dan MAN pernah berpacaran.
Sebagaimana orang berpacaran pada umumnya, mereka juga pernah melakukan aktivitas
seksual, mulai hanya sekadar berpegangan tangan hingga sexual intercourse. Disimpulkan
bahwa 4 dari 10 remaja memiliki perilaku seks risiko tinggi. Angka signifikansi tidak
menujukkan adanya perbedaan perilaku seksual antara siswa SMAN dan MAN. Artinya,
menyekolahkan remaja di sekolah keagamaan belum tentu dapat melindungi mereka dari
perilaku seksual risiko tinggi;
Meskipun tidak ada perbedaan perilaku seksual siswa SMAN dan siswa MAN, ada perbedaan
faktor risiko yang mempengaruhi perilaku seksual di kedua sekolah tersebut. Faktor individu
yang paling berpengaruh di SMAN adalah sikap terhadap perilaku seks pranikah. Responden
SMAN yang pernah berpacaran dan bersikap positif terhadap perilaku seksual pranikah 6
kali lebih berisiko untuk berperilaku seksual risiko tinggi. Sementara pada penelitian di
MAN, faktor individu yang paling berpengaruh adalah jenis kelamin. Responden perempuan
MAN yang pernah berpacaran berisiko 4 kali lebih besar untuk berperilaku seksual risiko
tinggi dibandingkan laki-laki.
Faktor lingkungan yang paling berpengaruh di SMAN adalah pemanfaatan fasilitas
transportasi dan komunikasi. Responden SMAN yang pernah berpacaran dan memiliki
pemanfaatan fasilitas yang tinggi 2,7 kali lebih berisiko untuk berperilaku seksual risiko
tinggi. Sementara pada penelitian di MAN, faktor lingkungan yang paling berpengaruh
adalah peran teman sebaya. Responden MAN yang pernah berpacaran, memiliki peran teman
sebaya yang pro terhadap perilaku seksual pranikah 2,5 lebih berisiko untuk berperilaku seks
risiko tinggi.
Uji regresi logistik membuktikan adanya variabel yang secara bersama-sama mempengaruhi
perilaku seksual remaja di kedua sekolah, yaitu sikap terhadap perilaku seks pranikah dan
peran teman sebaya setelah dikontrol oleh variabel pengetahuan kesehatan reproduksi,
religiusitas, aktivitas sosial, komunikasi anak dan orang tua, serta fasilitas komunikasi dan
transportasi. Jenis kelamin adalah variabel perancu dan faktor yang paling dominan dalam
mempengaruhi perilaku seksual remaja adalah sikap terhadap perilaku seksual pranikah.
Siswa yang memiliki sikap positif atau menyetujui perilaku seks pranikah mempunyai
kemungkinan 3 kali lebih besar untuk berperilaku seks risiko tinggi. Siswa yang berada
Analisis perbandingan…, Zahra Fadhila, FKM UI, 2013
dalam lingkungan sosial yang mendukung perilaku seks pranikah berisiko 2,6 kali lebih besar
untuk melakukan perilaku seks risiko tinggi. Siswa laki-laki yang bersikap positif terhadap
perilaku seksual pranikah dan bersosialisasi dalam lingkungan yang mendukung perilaku
seksual pranikah mempunyai risiko 1,8 kali lebih besar untuk berperilaku seksual risiko
tinggi dibandingkan siswa perempuan yang bersikap positif terhadap perilaku seksual
pranikah dan bersosialisasi dalam lingkungan yang mendukung perilaku seksual pranikah.
6. SARAN
Berdasarkan hasil penelitian yang menyatakan bahwa perilaku seksual siswa SMAN dan
siswa MAN tidak berbeda, peneliti menyarankan kepada orang tua untuk tetap melakukan
supervisi kepada anak-anak remajanya. Sebagian besar siswa, baik siswa SMAN maupun
siswa MAN, setuju proses memahami sifat lawan jenis adalah dengan pacaran. Artinya, jika
pacaran tidak bisa dihindari, orang tua harus membuka diri untuk lebih mengenal pasangan
anak remajanya karena remaja cenderung merasa nyaman dengan orang tua jika mereka
berpikiran terbuka. Hal ini dilakukan agar remaja memahami batasan-batasan dalam
berpacaran yang tidak boleh dilakukan.
Pendidikan seksual dasar harus secara komprehensif diberikan oleh orang tua sejak anakanak mulai memasuki masa pubertas (terjadi mimpi basah atau menstruasi). Tidak hanya
kepada anak perempuan, orang tua pun harus secara komunikatif membicarakan isu
kesehatan reproduksi kepada anak laki-laki. Pemberian fasilitas komunikasi dan transportasi
yang berlebihan juga harus dihindari. Berikan fasilitas sewajarnya, serta awasi dan batasi
pemakaiannya agar anak tetap dapat menjalin komunikasi face-to-face dengan orang tua,
bukan hanya via telepon atau video chat.
Selain itu, sekolah bertanggung jawab untuk membentuk lingkungan yang “sehat” untuk
ditempati. Jika ilmu kesehatan reproduksi dasar sudah didapatkan dari orang tua, pihak
sekolah bertanggung jawab mengadakan kegiatan pendidikan seksual (sex education) yang
komprehensif. Pihak sekolah bisa meminta puskesmas atau lembaga swadaya masyarakat
(LSM) yang menangani kesehatan reproduksi remaja untuk memberikan penyuluhan jika
pihak sekolah merasa tidak cukup kompeten untuk membicarakan masalah kesehatan
reproduksi dan seksualitas kepada para siswanya.
Orang tua kelompok sebaya bisa menjadi sahabat dan bekerja sama dengan orang tua remaja
dalam kelompok bermain tersebut untuk bersama-sama mengawasi dan melindungi anakanaknya dari aktivitas pergaulan yang berisiko. Para orang tua pun harus menjadi sahabat
Analisis perbandingan…, Zahra Fadhila, FKM UI, 2013
untuk bisa berperan sebagai “sahabat” bagi anak-anak agar mereka merasa nyaman dan tidak
akan mengecewakan orang tua.
Peneliti juga menyarankan beberapa alternatif informasi yang harus disampaikan oleh para
pemegang kebijakan kesehatan kepada remaja, antara lain: 1) informasi mengenai anatomi
alat reproduksi dan cara menjaga kebersihan alat reproduksi; 2) mitos bahwa perempuan
memiliki perilaku seksual yang lebih agresif harus diluruskan karena perempuan bisa menjadi
kaum yang terpojok dan dipersalahkan jika hubungan seksual terjadi; 3) remaja harus
diarahkan dan diajarkan untuk menyalurkan dorongan seksual mereka dengan berkegiatan
yang lebih positif; 4) remaja harus secara komprehensif diberikan informasi mengenai proses,
risiko, dan dampak kehamilan yang terjadi pada remaja; 5) remaja harus diajarkan cara
bersikap asertif dan cara untuk berkata “tidak” jika pasangannya mengajak melakukan
aktivitas seksual; 6) Remaja juga harus dibekali cara-cara untuk menahan nafsu seksualnya
dengan selalu mengingat Tuhan karena dampak negatif aktivitas seksual pranikah tidak hanya
terjadi di dunia, tetapi juga di akhirat; 7) remaja juga harus mengerti kiat-kiat untuk memilih
teman pergaulan yang bisa membawanya ke arah yang lebih baik; 8) keaktifan dan
pembinaan PIK KRR dapat dilakukan di semua sekolah, baik sekolah keagamaan maupun
sekolah umum. Dengan adanya teman sebaya yang memiliki pengetahuan yang
komprehensif, diharapkan tidak ada lagi remaja yang tersesat dalam pemikirannya sendiri
maupun pemikiran orang-orang yang tidak bertanggung jawab; 9) Jadikan remaja sebagai
mitra dengan melibatkan remaja dalam pembuatan keputusan sehingga mereka merasakan
manfaat dirinya sebagai bagian dari komunitas; 10) penyuluhan dan pendidikan kesehatan
reproduksi juga bisa dilakukan kepada para orang tua yang memiliki anak usia remaja 10-24
tahun.
Penelitian ini hanya terbatas pada SMAN dan MAN yang diteliti sehingga tidak dapat
digeneralisasikan untuk seluruh siswa sekolah umum dan sekolah keagamaan di Jakarta
Timur. Selain itu, faktor agama yang diukur hanya dari segi religiusitas, bukan dari segi
pengetahuan agama sehingga penelitian ini belum dapat benar-benar mengukur efek
kurikulum keagamaan terhadap pembentukan perilaku. Oleh sebab itu, diperlukan penelitian
lanjutan untuk mengetahui efek kurikulum keagamaan terhadap pembentukan perilaku siswa
dan generalisasinya terhadap seluruh remaja di wilayah tertentu.
Analisis perbandingan…, Zahra Fadhila, FKM UI, 2013
KEPUSTAKAAN
Ajzen, I., & Fishbein, M. (2005). The Influence of Attitudes on Behavior. In D. Albarracín,
B. T. Johnson, & M. P. Zanna (Eds.), The handbook of attitudes (pp. 173-221). Mahwah,
NJ: Erlbaum.
Atkins, Robin, Phd. 2008. The Association of Childhood Personalityon Sexual Risk Taking
during Adolescence. USA: The Journal of School Health; Nov 2008; 78, 11; ProQuest pg.
594.
Bandura, Albert. 1977. Social Learning Theory. Stanford University: Prentice-Hall, Inc.
Clayton, R.R.. & Bokemeir, J.L. 1980. Premarital Sex in The Seventies. Journal of Marriage
and The Family. 42, 34-50.
Donahue, M. J., & Benson, P. L. (1995). Religion and the well-being of adolescents. Journal
of Social Issues, 51, 145–160.
Lestary, Heny, et al. 2011. Perilaku Berisiko Remaja di Indonesia Menurut Survei Kesehatan
Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) Tahun 2007. Jurnal Kesehatan Reproduksi.
Lianna, Dessy. 2007. Perilaku Seksual pada Remaja Ditinjau dari Komunikasi antara Orang
Tua dan Anak tentang Seksualitas. Semarang: Universitas Katolik Soegijapranata.
Mathew, R. M., Shugaba, A. I., & Ogala, W. N. 2006. Parent-adolescent Communication
and HIV/AIDS in Jos Local Goverment Area, Plateau State, Nigeria. J.Med.Sci,2006.
6(4), 537-45.
McCullough, M. E., Hoyt, W. T., Larson, D. B., Koenig, H. G., & Thoresen, C. (2000).
Religious involvement and mortality: A review. Health Psychology, 19, 211–222.
Mohamad, Kartono. 1998. Kontradiksi dalam Kesehatan Reproduksi. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Nadesul, Hendrawan, et. al. 2009. Mitos Seputar Masalah Seksualitas dan Kesehatan
Reproduksi. Jakarta: Tim Mitra Inti.
Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia. 2005. Kesehatan Reproduksi untuk Remaja
Islam. Jakarta: PKBI Pusat.
Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia. 2009. Dorongan Seksual. Jakarta: PKBI Pusat.
Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia. 2009. Remaja dan Kesehatan Reproduksi.
Jakarta: PKBI Pusat.
Ristianti, Amie, et al. 2009. Hubungan antara Dukungan Sosial Teman Sebaya dengan
Identitas Diri pada Remaja di SMA Pusaka 1 Jakarta. Jakarta: Universitas Gunadarma.
Analisis perbandingan…, Zahra Fadhila, FKM UI, 2013
Retno, Dewi. 2011. www.tempo.co/read/news/2011/12/06/205370095/5-Manfaat-Berpelukan
(diunduh pada tanggal 30 Maret 2013 pukul 11:49).
Sarafino, Edward P. 2006. Health Psychology: Biopsychososial Interaction (Fifth Edition).
USA: John Wiley & Sons Inc.
Sari, Desi Kurnia, et al. 2010. Komunikasi Orang Tua dan Perilaku Seksual Remaja Sekolah
Menengah Kejuruan di Kota Baturaja. Jurnal Pembangunan Manusia Vol. 4, No.11.
Soetjiningsih, Sp(A)K, IBCLC, Prof., dr. 2004. Tumbuh Kembang Remaja dan
Permasalahannya.Jakarta: CV Sagung Seto.
Suryoputro, Antono, et al. 2006. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Remaja
di Jawa Tengah: Implikasinya terhadap Kebijakan dan Layanan KesehatanSeksual dan
Reproduksi. UI: Jurnal Makara.
Tanner, James M., Taylor, Gordon Rattray. 1983. Pertumbuhan (Edisi Terjemahan). Jakarta:
Tira Pusaka Ilmu.
Team of CHRUI, Kusuma Buana Foundation, dan Population Council. 1998. Adolescent
Reproductive Health for Parents. Jakarta: Population Council.
Thontowi, Drs.H. Ahmad. 2010. Hakekat Religiusitas. Sumatera Selatan: Kementerian
Agama.
Utaminingsih, Astari Ina. 2006. Pengaruh Penggunaan Ponsel pada Remaja terhadap
Interaksi Sosial Remaja (Kasus SMUN 68, Salemba, Jakarta Pusat, DKI Jakarta). Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
Wills, Thomas Ashby, et al. 2003. Family Communication and Substance Use and Sexual
Behavior in Early Adolescent: A Test Pathways Through Self-Control and Prototype
Perceptions. University of Georgia: Educational Publishing Foundation.
Yuliantini, Herlia. 2012. Tingkat Pengetahuan HIV/AIDS dan Sikap Remaja terhadap
Perilaku Seksual Pranikah di SMA X di Jakarta Timur. Depok: Universitas Indonesia.
Analisis perbandingan…, Zahra Fadhila, FKM UI, 2013
Analisis perbandingan…, Zahra Fadhila, FKM UI, 2013
Download