Sebaran Mineral Amorf Pada Andisol di Jawa Tengah - PUR

advertisement
Proseding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 8-9 Oktober 2015
ISBN 979-587-580-9
Sebaran Mineral Amorf Pada Andisol di Jawa Tengah
Amorphous Mineral Distribution at Andisols in Central Java
NP. Sri Ratmini1*)
1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
*)
NP. Sri Ratmini: Tel./Faks. +62711410155/+62711888888
email: [email protected]
ABSTRACT
It is known well that Andisols is soils with high content of amorphous minerals. The main
objective of the research was to determine the distribution of the amorphous minerals of
Andisols collected from 4 mountainous area located in Central Java. Soil samples was
taken out from B/C Horizon of soil profiles from the land surrounding of Mt.Slamet,
Dieng, Merbabu and Lawu. Soil sampling is considered a representative of the age of the
parent materials (old and young formation) and position in the slope (upper, middle and
lower). Characterization of the amorphous minerals was carried out for clay fraction by
applying the pipette method (Stock’s Principle). The amorphous minerals were composed
of allophane/imogolite in young formation of parenrt meterial the range between 19,88–
57,22% and old formation of parenrt meterial the range between 2,31– 51,66%.
Key words: allophane, amorphous, andisolss, imogolite.
PENDAHULUAN
Andisol merupakan tanah yang berkemban dari pelapukan bahan volkanik seperti
abu volkan, batu apung, sinder, lava dan sebagainya, dan/atau bahan volkaniklastik. Luas
Andisol di Indonesia diperkirakan sekitar 5,4 juta hektar atau 2,9% dari total luas lahan
kering. Penyebarannya meliputi Sumatera, Jawa, Nusa Tengara, Kalimantan, Sulawesi,
Maluku dan Irian Jaya. Andisol umumnya terbentuk pada daerah dengan fisiografi
wilayah berbukit dan bergunung yang menyusun hampir 47% wilayah daratan di Indonesia
(Subagyo et al., 2004; Hidayat dan Mulyani, 2002).
Tipikal andisol di pulau Jawa menurut Munir (1996) terjadi di daerah lereng pada
ketinggian 700-1500 m dpl, dengan kondisi iklim agak dingin dan lebih basah dibanding
dataran rendah. Pada tempat tinggi, keadaan iklim kurang sesuai untuk terjadinya
kristalisasi mineral sehingga pada andisol banyak dijumpai alofan dan bahan-bahan amorf
lainnya. Curah hujan tahunan bervariasi 2000-7000 mm, suhu tahunan berkisar antara 18 22 0C (Munir, 1996). Genesis andisol difokuskan pada pelapukan abu vulkanik menjadi
alofan dan pembentukan alofan-humus atau kompleks alumunium-humus (khelat). Pada
iklim basah pelapukan abu vulkanik berlangsung cepat. Alofan yang mengandung oksida
Al dan Fe terbentuk pada horizon B atau terakumulasi di horizon A jika pengikatan Al oleh
senyawa humat kurang dominan daripada di horizon permukaan. Karena pelapukan dan
perkembangan tanah berlangsung terus, maka banyak silika yang ditambahkan pada alofan
membentuk halloysit ataupun mineral kristalin lainnya (Wada, 1977).
Andisol merupakan tanah berwarna hitam kelam, sangat sarang, mengandung
bahan organik tinggi dan lempung tipe amorf terutama alofan sedikit silika, alumina atau
hidroxida-besi (Darmawijaya, 1997 dan Munir, 1996). Tanah digolongkan kedalam
Andisol apabila mempunyai sifat andik > 60% (Rachim, 2001; Van Ranst, 1991; Tan,
1998). Ciri lain dari Andisol adalah keberadaan komplek Al (Fe) humus, alofan atau
Proseding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 8-9 Oktober 2015
ISBN 979-587-580-9
imogolit, ferihidrit melalui proses andosolisasi dan glas volkan. Muatan Andisol beragam
menurut pH, sehingga digolongkan kedalam tanah-tanah bermuatan terubahkan (Munir
1996; Hardjowigeno, 1993; Gracia-Rodeja et al., 2004; Shoji -et al., 1993b). Kehadiran
bahan amorf mempengaruhi sifat kimia dan sifat fisik dari tanah yang terbentuk. Andisol
mempunyai tingkat jerapan P yang tinggi akibat dari keberadaan amorf. Jerapan P oleh
mineral amorf dibedakan menjadi jerapan spesifik dan non spesifik (Tan, 1998; Munir
1996). Andisol juga dicirikan dengan nilai PZC (Point of Zero charge) yang tinggi
(Uehara dan Gilman, 1981). Nilai ZPC tanah akan berpengaruh terhadap besarnya jerapan
P, hal ini dipengaruhi dengan proses jerapan ion pada permukaan koloid tanah (Mott,
1981; Marcono-Martinez & McBride, 1989).
Fraksi koloid Andisols bisa didominasi oleh mineral order selang pendek atau
komplek humus mengandung oksida-hidroksida silika dan alumina, yang bersamaan
dengan alofan dan imogolit mengakibatkan tersedianya banyak permukaan-permukaan
reaktif sangat tinggi (Rachim, 2001; Sances, 1992; Tan, 1998; Van Ranst, 1991; Wada,
1980). Tanah-tanah mineral seperti ini mempuyai kemampuan menjerap P yang sangat
tinggi (Sanchez, 1976). Berdasarkan hal tersebut maka salah satu permasalahan pada
Andisols sebagai lahan pertanian adalah ketersediaan P yang rendah karena terjadi jerapan.
Tisdale et al. (1985), memperkirakan hanya seperempat bagian dari pupuk P yang dapat
segera dimanfaatkan tanaman. Paper ini bertujuan untuk mengetahui agihan kandungan
bahan amorf yang terbentuk pada berbagai umur bahan induk dari Andisol yang
berkembang pada beberapa gunungapi di Jaawa Tengah.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian diawali dengan pengambilan contoh tanah di 4 lokasi sekitar Gunung
Slamet, Pegunungan Dieng, Merbabu dan Lawu. Sampel tanah diambil pada horison B/C
di masing-masing lokasi yang mewakili bahan induk muda dan bahan induk tua yaitu G.
Slamet Muda (SM) di wilayah Hutan Damar, Selamet Tua (ST) di wilayah Gomblang;
Dieng Muda (DM) di wilayah Desa Sumberbakti, Jojogan dan Merdodo; Dieng Tua (DT)
di wilayah Desa Lobang, Parikesit dan Kalilembu; Merbabu Muda (MM) di wilayah
Tekelan, Merbabu Tua (MT) di wilayah Genikan; Lawu Muda (LM) di wilayah
Cemarasewu dan Lawu Tua (LT) di wilayah Mitis. Analisis tanah secara umum meliputi
sifat fisik dan kimia tanahnya. Metode yang digunakan dalam penentuan kandungan
bahan amorf adalah metode pelarut selektif yaitu pelarut ditionit-sitrat bikarbonat,
fungsinya untuk menduga senyawa Fe, Al, dan Si oksida kristalin tetapi tidak melarutkan
alofan dan imogolit (Wada, 1977 cit Kusmiyanti, 1988); larutan asam oksalik-oksalat pada
pH + 3,5 digunakan untuk menduga kandungan Fe, Al, dan Si oksida yang masih bersifat
amorf; dan larutan natrium pyrofosfat yang digunakan untuk menduga kandungan Fe, Al,
dan Si oksida yang berikatan dengan bahan organik atau sering disebut dengan Fe, Al, dan
Si organik. Menurut Mehra and Jackson (1960); Blakemore (1987); McKeague dan Day
(1967), pendugaan kandungan Fe, Al, dan Si oksida tersebut adalah sebagai berikut:

Fe, Al, dan Si oksida kristalin = Fe, Al, dan Si ditionit - Fe, Al, dan Si oksalat

Fe, Al, dan Si oksida amorf = Fe, Al, dan Si oksalat - Fe, Al, dan Si pyrofosfat

Fe, Al, dan Si kompleks organik = Fe, Al, dan Si pyrofosfat
Fraksionasi Lempung
Fraksionasi lempung dilakukan dengan cara mendispersi tanah dari bahan-bahan
pengikat seperti bahan organik dengan pemberian H2O2 30% kemudian ditambahkan HCl
untuk menurunkan pH sampai 4 atau NaOH untuk meningkatkan pH sampai 10, pH tanah
diusahakan antara 4 – 10 agar komponen mineral amorf pada Andisols yang digunakan
Proseding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 8-9 Oktober 2015
ISBN 979-587-580-9
dalam penelitian ini tidak rusak. Analisis lempung terdiri dari kandungan Al- dan Sioksalat serta Al- dan Si-pyrifosfat. Jumlah kandungan alofan pada lempung dihitung
menggunakan tiga pelarut selektif. Penghitungan % alofan dan imogolit menggunakan
rumus dari Nanzyo et al. (1993).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kandungan Bahan Organik
Bahan organik yang terkandung pada horison B/C berkisar antara 8,59% sampai
20,66%, nilai ini termasuk harkat sangat tinggi (PPT, 1983). Kandungan bahan organik
lebih tinggi pada bahan induk lebih muda dibandingkan dengan bahan induk tua (Gambar
1). Tingginya bahan organik dipengaruhi oleh genesis dari Andisol. Andisol berkembang
dari endapan tepra gunung api yang berulang ulang, hal ini mengkaibatkan kandungan
bahan organik di lapisan bawah tinggi (Shoji et al., 1993). Vegetasi hutan dan input pupuk
organik, keberadaan bahan amorf yang bereaksi dengan bahan humat membentuk ikatan
yang sukar didekomposisi oleh mikroorganisme sehingga terjadi akumulasi bahan organik
(Tan, 1997). Bahan organik pada umur bahan induk yang lebih tua leboh rendah, hal ini
menunjukkan terjadinya proses pelapukan. Pelapukan bahan organik diperkirakan sebesar
2-5% dalam setahun, hal ini memungkinkan kadar bahan organik akan menurun seiring
dengan bertambahnya umur bahan induk (Jenkinson dan Rayner, 1977 cit Martin dan
Haider, 1986).
Kandungan bahan organik dipengaruhi vegetasi yang tumbuh di atasnya,
pelapukan, pengelolaan lahan, dan kondisi lingkungan. Tingginya bahan organik di daerah
Slamet dikarenakan vegetasi yang tumbuh utamanya pohon damar dan lingkungan tanah
belum banyak terusik sehingga mampu menyumbangkan bahan organik lebih besar,
sedangkan di daerah Dieng yang merupakan daerah pengembangan budidaya pertanian
secara intensif terjadi penambahan dan pengeluaran bahan organik yang berlangsung
secara berkelanjutan. Adanya penambahan pupuk organik ini akan berpengaruh terhadap
keberadaan bahan organik tanah.
Gambar 1.
Agihan kadar bahan organik horison B/C dari G. Slamet, Dieng, Merbabu dan
Lawu, Jawa Tengah
Kandungan bahan organik di gunung Merbabu dan Lawu secara keseluruhan lebih
rendah dibandingkan dengan di daerah lainnya, hal ini karena vegetasi yang mendominasi
di wilayah ini adalah pohon pinus yang menghasilkan bahan organik rendah dan sukar
Proseding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 8-9 Oktober 2015
ISBN 979-587-580-9
lapuk dan kepadatan vegetasi tidak sebanyak di gunung Slamet, selain itu faktor kebakaran
lahan dan penebangan pohon oleh penduduk sekitar sebagai bahan bakar sangat
berpengaruh terhadap keberadaan bahan organik. Berdasarkan informasi yang diperoleh di
lapang, daerah Merbabu dan Lawu tua sering mengalami kebakaran hutan pada saat
musim kemarau.
Nilai Kemasaman (pH H2O dan NaF)
Kemasaman bahan induk tanah berada pada kisaran antara 5 – 5,89 (Gambar 2).
Berdasrkan harkat dari Balai Penelitian Tanah (2005) kemasaman bahan induk tergolong
masam. Keberadaan mineral amorf dan kadar bahan organik yang tinggi mempengaruhi
nilai pH-H2O yang relatif rendah. Andisol memiliki komponen penyusun tanah yang
didominasi oleh senyawa Al-aktif utamanya dalam bentuk senyawa kompleks Al-humus
dan mineral dengan ordor rangkaian pendek, hal ini menjadi penyebab rendahnya pH
suatu tanah (Kusmiyarti, 1998). Tanah yang mempunyai persenyawaan kompleks Alhumus mempunyai tingkat kemasaman yang relatif tinggi (Shoji et al., 1987). Mineral
ordorineral rangkaian pendek seperti alofan, mirip alofan, dan imogolit juga bersifat asam
lemah (Yoshida, 1971 cit Wada, 1986). Bahan organik khususnya humus bersifat fleksibel
yang merupakan polielektrolit bersifat asam lemah.
Gambar 2. Nilai pH (H2O) horison B/C dari G. Slamet, Dieng, Merbabu dan Lawu, Jawa
Tengah
Nilai pH NaF merupakan salah satu penciri bahwa suatu tanah tergolong kedalam
Andisol atau bukan. Suatu tanah gapat digolongkan dalam Andisol apabila mempunyai
nilai pH NaF > 9,4, atau bersifat andik. Nilai NaF disebabkan karena melimpahnya
mineral amorf yang kaya akan gugus Al/Fe-OH sebagai penyusun tanah (Kusmayati,
1998). Gambar 3 menunjukkan bahwa tanah tersebut dapat dikategorikan Andsol terihat
dari nilai pH NaF menunjukkan > dari 11.
Tanah yang mengandung sejumlah nyata gugus Al/Fe-OH aktif menghasilkan reaksi
yang sangat alkalis (> 10) apabila diekstrak dengan larutan NaF 0,5 M (Kawaguchi el al.
(1954) dalam Wada (1986). Ion Flour (F) akan mendesak ion OH- dari mineral amorf,
reaksi pertukaran ligan terjadi antara flourida dengan ikatan gugus Al/Fe-OH dalam alofan,
anasir mirip alofan, imogolit, dan kompleks humus-Al/Fe.
Al – OH + NaF
Al – F + Na+ + OHFe – OH + NaF
Fe – F + Na+ + OH-
Proseding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 8-9 Oktober 2015
ISBN 979-587-580-9
Gambar 3. Nilai pH (H2O) horison B/C dari G. Slamet, Dieng, Merbabu dan Lawu, Jawa
Tengah
Agihan Mineral Amorf
Hasil analisis kadar Al-o, Si-o, Al-p dan Si-p lempung disajikan pada Tabel 1.
Data nilai nisbah dari Si/Al menunjukkan bahwa di daerah Slamet muda, Dieng muda dan
Merbabu muda mempunyai tipe alofan dengan nisbah Si/Al rendah, sedangkan di Daerah
Slamet tua, Dieng tua, Merbabu tua, Lawu muda dan Lawu tua merupakan tipe alofan
dengan nisbah Si/Al tinggi. Data dari Tabel 1 menunjukkan bahwa, pada umur bahan
induk tua mempunyai persentase jumlah alofan dan imogolit lebih tinggi dari pada umur
bahan induk muda kecuali di daerah Lawu. Kandungan alofan dan imogolit terendah
diperoleh dari daerah Lawu tua sebesar 2,31% dan yang tertinggi pada Lawu Muda dengan
nilai 57,22%. Nilai alofan dan imogolit yang tinggi di daerah Lawu muda disebabkan
karena kadar Si yang terekstrak oksalat sangat tinggi. Persentase alofan dan imogolit serta
nisbah Si/Al pada lempung akan berpengaruh terhadap sifat kimianya, seperti jerapan dan
ketersediaan P terhadap tanaman, nilai KPK dan KPA. Semakin rendah nisbah Si/Al dari
persentase lempung kekuatan menjerap P akan semakin kuat.
Tabel 1.
Hasil analisis Si, Al terekstrak asam oksalik-oksalat dan pyrofosfat lempung
yang berasal dari G. Slamet, Dieng, Merbabu, dan Lawu, Jawa Tengah
Lokasi
Si-o (%)
Al-o (%)
Al-p (%)
Slamet Muda
Slamet Tua
Dieng Muda
Dieng Tua
Merbabu Muda
Merbabu Tua
Lawu Muda
Lawu Tua
s5,37
7,28
2,80
5,71
4,48
7,16
8,06
0,32
9,63
9,34
7,13
9,12
8,86
9,45
9,60
0,82
0,34
0,35
1,00
1,28
0,42
0,60
0,33
0,64
Nisbah
Si/Al
0,58
0,81
0,46
0,73
0,53
0,81
0,87
1,84
% alofan +
Imogolit
38,15
51,66
19,88
40,54
31,80
50,87
57,22
2,31
Proseding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 8-9 Oktober 2015
ISBN 979-587-580-9
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian karakteristik kimiawi komponen mineral amorf pada
Andisols yang berkembang dati tuff abu volkan di daerah penelitian dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Kandungan bahan organik dan nilai pH H2O lebih tinggi paa bahan induk yang berumur
lebih muda dibandingkan dengan bahan induk yang lebih tua, namun sebaliknya untuk
nilai pH NaF lebih tinggi pada umur bahan induk tua dibandingkan umur bahan induk
yang muda.
2. Tipe mineral amorf semua wilayah mempunyai nisbah Si/Al tinggi rendah kecuali pada
Lawu Tua tipe mineral amorfnya mempunyai nisbah Si/Al tinggi
DAFTAR PUSTAKA
Balai Penelitian Tanah. 2005. Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air, dan Pupuk. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Indonesia.
Blakemore, L. C., P. L. Searle, and B. K. Daly. 1987. Methods for Chemical Analysis of
Soils. NZ Soil Bureau, New Zealand.
Darmawijaya, M. I. 1997. Klasifikasi Tanah, Dasar Teori Bagi Peneliti Tanah dan
Pelaksana Pertanian di Indonesia. UGM Press, Yogyakarta.
Gracia-Rodeja, E., J.C. Novoa, X. Pontevedra, A. Matinez-Cortizas and. P. Buurman.
2004. Aluminium Fractionation of European Volcanic Soils by Selective
Dissolution Techniques. Catena 56, 155-183.
Hardjowigeno, S. 1993. Klasifikasi tanah dan Pedogenesis. Akademika Persindo, Jakarta.
Hidayat dan Mulyani. 2002. Lahan Kering Untuk Pertanian. Dalam Buku Teknologi
Pengelolaan Lahan Kering Menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Bogor.
Kusmiyarti, T. B. 1998. Karakteristik Humus di Bawah Tiga Macam Penggunaan Lahan
dan Hubungannya dengan Sifat Kimia Andisol. Tesis. UGM, Yogyakarta.
Marcono-Martinez, E. and M.B. McBride. 1989. Calciun and Sulphate Retention by two
Oxisols of the Brazilian Cerrado. Soil Sci. Soc. J. Am. 53: 63-69
McKeague. 1978. Manual on Soil Sampling and Method of Analysis. Secon Edition.
Canadian Society of Soil Science.
Mehra, O.P. and D M. L. Jackson. 1960. Iron Oxide Removal from Soils and Clays by a
dithinite-citrate System Buffered with Sodium Bicarbonate. 7th Natl. Conf. Clay
and Clay Minerals. Department of Soils, University of isconsin, Madison,
Wisconsin. Pp 31-327.
Mott, C.J.B. 1981. Anion Ligan Exchange. In Marcono-Martinez, E. and M.B. McBride.
1989. Calciun and Sulphate Retention by two Oxisols of the Brazilian Cerrado.
Soil Sci. Soc. J. Am. 53: 63-69
Munir, M.S. 1996. Tanah-Tanah Utama Indonesia, Karakteristik; Klasifikasi dan
Pemanfatannya. PT. Dunia Pustaka Jaya, Jakarta.
Nanzyo, M., R. Dahlgren, and Shoji, S. 1993. Chemical Characteristics of volcanic ash
soil. In Shoji. 1993. Volcanic Ash. Amsterdam.
PPT. 1983. Kriteria Penilaian Data Analisis Sifat Kimia Tanah. Pusat Penelitian Tanah,
Bogor.
Rachim, D. A. 2001. Mengenal Taksonomi Tanah. Jurusan Tanah Fakultas Pertanian,
IPB. Bogor.
Proseding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 8-9 Oktober 2015
ISBN 979-587-580-9
Sanchez, P.A. 1976. Properties and Management of Soil in the Tropics. John Willy &
Sons. Inc. 411 p.
Sanchez, P.A. 1992. Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika. ITB, Bandung.
Shoji, S., R. Dahlgren and M. Nanzyo. 1993a. Terminology, Concets and Geographic
Distribution of Volvanic Ash Soils. In Shoji. 1993. Volcanic Ash. Amsterdam.
Shoji, S., R. Dahlgren and M. Nanzyo. 1993b. Genesis of Volvanic Ash Soils. In Shoji.
1993. Volcanic Ash. Amsterdam.
Subagyo, L.I Amien, dan E. Surmaini. 2004. Tanah-Tanah Pertanian di Indonesia. Dalam
Buku Sumber Daya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Departemen Pertanian, Bogor.
Tan, K. H. 1997. Degradasi Mineral Tanah oleh Asam Organik dalam P. M. Huang & M.
Schnitzer (ed.) Interaksi Mineral Tanah dengan Organik Alami dan Mikroba. UGM
Press, Yogyakarta.
Tan, K. H. .1998. Andosol. Universitas Sumatera Utara, Medan.
Tan, K. H.
.1998. Dasar-Dasar Kimia Tanah. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Tisdale, S.L., W.L. Nelson d\and J.D. Beaton. 1985. Soil Fertility and Fertilizers. Mc
Macmillan Co. New York.
Uehara, G and G. Gilman. 1981. The Mineralogy, Chemistry, and Physics of Tropical
Soils with Variabel Charge Clays. Westview Press/Boulder, Colorado.
Van Ranst. 1991. Regional Pedology Soils of The Tropics and The Subtropics.
International Training Center For Post-Graduate Soil Scientists State University
Gent, Belgium.
Wada, K. 1980. Mineralogical characteristics of Andisols. In: Theng, B.K. (Ed.). Soil
With Variable Charge. New Zealand Soc. Of Soil Sci. pp: 87-107.
Wada, K. 1986. Ando Soils in Japan. Kyushu University Press, Jepang.
Download