Proceding Islam dan Hukum Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) Program Pascasarjana STAIN Jurai Siwo Metro Lampung Proceding Islam dan Hukum Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) Penanggungjawab Dr. Ida Umami, M.Pd.Kons Editor Dharma Setyawan, MA ISBN : 978-602-74579-2-8 Diterbitkan oleh: Program Pascasarjana STAIN Jurai Siwo Metro Lampung Jl. Ki Hajar Dewantara 15 A Kampus Kota Metro Lampung Telp. 0725-41507, fax 0725-47296 Email : [email protected] Website : http://www.stainmetro.ac.id Islam dan Hukum Pandangan tentang pentingnya legislasi hukum dalam suatu negara pada dasarnya berangkat dari aliran positivisme hukum. Menurut aliran ini hukum yang utama adalah hukum yang berasal atau diciptakan oleh manusia, yakni hukum positif. Setelah manusia membentuk organisasi negara, hukum positif adalah hukum yang dibuat oleh badan-badan negara dan pemerintah.Hukum diartikan sebagai perintah atau larangan yang dibuat oleh lembaga-lembaga atau badan-badan negara dan pemerintah yang pemberlakuannya dipaksakan. Hukum tidak lain adalah kaidah normatif yang memaksa, eksklusif, hirarkis, sistematis dan dapat berlaku seragam, yang dapat dianggap sebagai hukum adalah produk legislasi (peraturan perundang-undangan). Aturan-aturan di luar legislasi hanya merupakan norma moral. Legislasi dianggap sebagai satusatunya hukum karena merupakan pengungkapan atau pembadanan hukum yang dianggap positif atau dapat ditangkap dengan panca indera.Selain itu, legislasi dibuat oleh negara dan pemerintah yang telah dianggap sebagai organisasi yang mengatasnamakan kehendak umum Noel J. Coulson dengan menyusun teori pilihan hukum; yaitu enam pasangan pilihan hukum yang dimaksud adalah: 1) pilihan antara wahyu dan akal (al-wahyu wa al-‘aqlu, revelation and reason); 2) pilihan antara kesatuan dan keragamaan (al-ittifaq wa al-ikhtilaf, unity and diversity); 3) pilihan antara otoritas keilmuan dan liberal (authoritarianism and liberalism); 4) pilihan antara kebenaran ideal dengan kebenaran nyata (idealism and realism); 5) pilihan antara hukum dan moralitas (law and morality); dan 6) pilihan antara stabilitas dan perubahan (stability and change). Sedangkan Muhammad ‘Imarah menjelaskan empat pilihan dalam tathbiqh hukum Islam: 1) pilihan antara kesempurnaan agama dan pembaharuan (iktimâl al-dîn wa tajdîduhu); 2) pilihan antara nashsh dan ijtihad (al-nashsh wa al-ijtihâd); 3) pilihan antara hukum agama dan hukum negara (al-dîn wa al-dawlah); dan 4) pilihan antara musyawarah dan syari‘ah (al-syûrâ al-basyariyyah wa al-syarî‘ah alilâhiyyah). Sebegitu pentingnya Islam memandang Hukum, maka beberapa tulisan dalam Proceeding ini mengulas mengenai Islam dan Hukum lewat sudut pandang dari berbagai penulis. Semoga bermanfaat, selamat membaca.[N] Metro, Desember 2016 Redaksi Daftar isi ASAS-ASAS HUKUM KEWARISAN ISLAM Jaih Mubarok 1-16 POSITIVISASI HUKUM EKONOMI ISLAM Isa Ansori 17-28 PEMBERIAN ASI; UPAYA PEMENUHAN HAK ANAK ANTARA REGULASI DAN IMPLEMENTASI 29-43 Enizar KONTROVERSI PEMBARUAN HUKUM ISLAM: MELACAK RESPON MASYARAKAT MUSLIM INDONESIA TERHADAP COUNTER LEGAL DRAFT (CLD) ATAS KHI Tobibatussaadah 44-63 MEMAHAMI IJTIHÂD KHATTÂB Solihin Panji HUKUM ISLAM ‘UMAR BIN AL64-85 BAHASA ARAB DALAM KONSTRUKSI HUKUM ISLAM (TELAAH ATAS FUNGSI DAN PENGARUH HURUF MA’ANI TERHADAP KHILAFIAH DALAM ISTINBATH HUKUM) 86-97 Husnul Fatarib PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA DAN KETERKAITANNYA DENGAN PERMASALAHAN GENDER DALAM PRESPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM 98-107 Ida Umami ASAS-ASAS HUKUM KEWARISAN ISLAM Jaih Mubarok Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung Abstrak Asas secara umum bersifat penyimpul (mirif dengan makna kaidah) dari rincian hukum yang ada, dan adakalanya berifat antisipatif-prediktif guna menyelesaikan masalah yang belum atau tidak diatur dalam hukum yang bersangkutan. Asas hukum yang menjadi landasan perbuatan hukum itu sendiri termasuk wilayah ijtihadi. Oleh karena itu, asas suatu hukum dapat ditelusuri dan digali secara akademik yang pada level peraturan perundang-undangan, penetapan sesuatu sebagai asas hukum memerlukan proses ijma„jama„i yang sekarang ini diartikan sebagai proses kesepakatan antara ahli hukum Islam dengan pihak eksekutif dan legislative sebuah Negara. Asas Tandhidh, asas Tertib Administratif, dan asas fungsi, merupakan tawaran yang diharapkan dapat memperkaya wacana yang bila dipandang layak oleh pihak-pihak pemangku yang terlibat, “disahkan” sebagai asas dalam pembagian harta warisan. Kata Kunci: Asas, Kewarisan A. Pengantar Asas merupakan unsur fundamental hukum yang pada umumnya mendasari dan mencakup substansi hukum dan teknik-teknik menjalankan/ mengoperasikannya. Oleh karena itu, asas secara umum bersifat penyimpul (mirif dengan makna kaidah) dari rincian hukum yang ada, dan adakalanya berifat antisipatif-prediktif guna menyelesaikan masalah yang belum atau tidak diatur dalam hukum yang bersangkutan. Tulisan ini disusun dalam kerangka menjelaskan asas-asas hukum waris Islam yang telah dijelaskan oleh pakarnya, serta tawaran yang mudah-mudahan layak untuk dipertimbangkan oleh para penyusun naskah akademis hukum (baca: RUU) kewarisan Islam. B. Teori-Teori Pilihan Hukum Noel J. Coulson dengan menyusun teori pilihan hukum; yaitu enam pasangan pilihan hukum yang dimaksud adalah: 1) pilihan antara wahyu dan akal (al-wahyu wa al-„aqlu, revelation and reason); 2) pilihan antara kesatuan dan keragamaan (al-ittifaq wa al-ikhtilaf, unity and diversity); 3) pilihan antara otoritas keilmuan dan liberal (authoritarianism and liberalism); 4) pilihan antara kebenaran ideal dengan kebenaran nyata (idealism and realism); 5) pilihan antara hukum dan moralitas (law and morality); dan 6) pilihan antara stabilitas dan perubahan (stability and change). Sedangkan Muhammad „Imarah menjelaskan empat pilihan dalam tathbiqh hukum Islam: 1) pilihan antara kesempurnaan agama dan pembaharuan (iktimâl al-dîn wa tajdîduhu); 2) pilihan antara nashsh dan ijtihad (al-nashsh wa al-ijtihâd); 3) pilihan antara hukum agama dan hukum negara (al-dîn wa al-dawlah); dan 4) Jaih Mubarok Asas-Asas Hukum… pilihan antara musyawarah dan syari„ah (al-syûrâ al-basyariyyah wa al-syarî„ah alilâhiyyah).1 Pertama, Coulson menjelaskan bahwa hukum Islam memiliki dua sisi. Di satu sisi, ulama menjelaskan bahwa hukum Islam adalah divine law (hukum yang diwahyukan Allah); sedangkan di sisi yang lain, ulama juga menjelaskan bahwa hukum Islam adalah hasil pemikiran mujtahid (human reasoning of jurists).2 Dua sisi ini saling tarik-menarik (dalam perspektif ketegangan) dan saling melengkapi (dalam perspektif harmoni). Kedua, pilihan antara Kesatuan dan Keragaman; terdapat terminology dalam hokum Islam yang menjadi pasangan untuk melihat kesatuan dan keragaman. Al-ittifâq digunakan untuk menggambarkan proses ijtihad yang menghasilkan pendapat yang sama (seragam); terminology lain yang lebih popular adalah ijmâ„; dan terminologi al-ikhtilâf digunakan untuk memperlihatkan pendapat yang ragam. Ketiga, pilihan antara Autoritarianisme dan Liberalisme; pembahasan mengenai posisi ulama dalam hubungannya dengan Allah dan kitab suci layak untuk diperhatikan. Syihab al-Din Abu al-„Abbas Ahmad Ibn Idris al-Qurafi (w. 684 H.) dalam kitab Syarh Tanqîh al-Fushûl fî Ikhtishâr al-Mahshûl fî al-Ushûl, menjelaskan tiga istilah yang berkenaan dengan ijtihad, yaitu al-wadh„, al-isti„mâl, dan al-haml. 3 Terminologi al-ijtihâd (Mujtahid), al-ittibâ„ (Muttabi„), dan al-taqlîd (Muqallid) relevan dengan teori pilihan ini. Keempat, pilihan antara Idealisme dan Realisme; kebenaran dalam ilmu filsafat ada dua: 1) kebenaran ideal (gagasan), dan 2) kebenaran real (nyata, apa adanya). Metode untuk mencapai kebenaran ideal adalah rasio (al-„aql) dan metode untuk mencapai kebenaran real adalah empiris (positivistik). M. Atho Mudzhar secara implisit menjelaskan bahwa pilihan terhadap fikih termasuk domain pilihan idealisme; sedangkan pilihan terhadap fatwa, qanun, dan qadha merupakan domain realisme. Kelima, pilihan antara Hukum dan Moralitas; di antara filosof membagi etika menjadi tiga: 1) etika deskriptif (descriptive ethic), yaitu penyeledikan tingkah-laku manusia secara individu atau pribadi-pribadi (personal morality), kelompok (social morality), dan di dalamnya dikaji mengenai motif perbuatan dan perbuatan yang terbuka; 2) etika normatif (normative ethic), penyelidikan tingkah-laku manusia secara individu atau pribadi (personal morality) dan kelompok (social morality) yang penyelidikannya dilakukan atas dasar prinsipprinsip yang harus dipakai dalam kehidupan. Etika deskriptif adalah penyelidikan yang dilakukan untuk menggambarkan tingkah laku manusia; sedangkan etika normatif adalah penyelidikan yang sudah membandingkan Muhammad „Imarah, Ma„alim al-Manhaj al-Islami (Kairo: Dar al-Syuruq. 1991). J. Coulson, Conflicts and Tensions in Islamic Jurisprudence (Chicago & London: The University of Chicago Press. 1969), hlm. 3. 3Syihab al-Din Abu al-„Abbas Ibn Idris al-Qurafi, Syarh Tanqîh al-Fushûl fî Ikhtishâr alMahshûl fî al-Ushûl (Kairo: Maktabah al-Kuliyyah al-Azhariyyah. 1973), hlm. 20. 1 2Noel Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 2 Jaih Mubarok Asas-Asas Hukum… antara nilai yang dianut dengan perilaku para penagnutnya; dan 3) etika kritis (metaethics), yaitu penyelidikan yang diarahkan uktuk menganalisis istilah-istilah yang digunakan dalam etika.4 Pilihan ini menggambarkan ketidaklinearan antara hokum dan moralitas; kadang-kadang suatu perbuatan dinilai benar secara hokum, tapi tidak/kurang relevan dengan moral yang dianut suatu masyarakat yang bersangkutan. Keenam, pilihan antara Tradisionalisme dan Modernisme; pilihan antara tradisionalisme (stability) dan modernisme (change; modify) adalah pilihan yang sejak abad IV H. hingga sekarang terus berlanjut. Istilah “Kaum Muda” dan “Kaum Tua”5 di di Indonesia merupakan kenyataan sejarah dari pilihan antara statis dan dinamis.6 Ketujuh, pilihan antara kesempurnaan agama dan pemabaharuan (iktimâl al-dîn wa tajdîduhu). Kesempurnaan agama Islam terletak pada nilai uiniversal yang dikandungnya. Di samping itu, kesempurnaan agama juga terletak pada kandungannya yang mendorong umat Islam untuk menggunakan kemampuan intelektualnya melakukan ijtihad. Oleh karena itu, kesempurnaan agama tidak dipahami bahwa agama telah mengatur segalanya (termasuk aturan-aturan teknis); akan tetapi, kesempurnaannya terletak pada nilai universal yang dikandungnya dan peluang mujtahid untuk berijtihad atas dasar perintah agama. Dengan kerangka yang demikian, wajarlah bila „Imarah menegaskan bahwa salafiah dan mujaddid bersifat saling melengkapi. Pilihan antara kesempurnaan agama dan pembaharuan juga pada dasarnya sepadan dengan pilihan antara nashsh dan ijtihad dan pilihan antara musyawarah dan syari„ah. Kedelapan, pilihan antara Hukum Agama dan Hukum Negara; Salah satu topik penting dalam hal terjadi ikhtuilaf antara gagasan fukaha dalam kitab fikih dengan peraturan perundang-undangan di sebuah Negara, adalah pilihan dalam taat hukum: apakah akan taat kepada hukum yang dibentuk oleh negara ataukah akan taat kepada aturan-aturan (fikih) yang disusun oleh ulama yang otoritatif. Dalam kajian perbandingan antara fikih dan peraturan perundangundangan, terdapat “kaidah” yang menyatakan bahwa suatu perbuatan hokum dinilai sah secara agama (shahha dîn[an]) dan tidak sah dari segi hukum negara (wa lâ yashihhu qadhâ‟[an]). Pernyataan ini menunjukan bahwa ketaatan masyarakat dalam menjalanakan hukum masih ganda dan kaidah yang menyatakan bahwa keputusan (hukum) yang dibuat oleh pemimpin dapat menyelesaikan perbedaan pendapat (hukm al-hâkim yarfa„u al-khilâf) belum sepenuhnya bisa diterima oleh masyarakat Muslim di berbagai negara. Ibid., hlm. 141-142. biasanya disebut aliran jumud (stability) dan modernisme disebut aliran rasional dan suka berubah (change). Lihat Coulson, Conflicts and, hlm. 96. 6Howard Federspiel, Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX (Jogjakarta: Gadjah Mada University Press. 1996), hlm. 60-61. 4 5Tradisionalisme Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 3 Jaih Mubarok Asas-Asas Hukum… C. Teori-teori Persaingan Hukum Waris dan Hukum Adat Diskursus mengenai persaingan hukum Islam dan “hukum Barat” guna menjadi hukum nasional diperkaya dengan teori-teori aplikasi hukum yang saling mendukung atau saling bertentangan. Di antara nya adalah: Pertama, teori Autoritas Hukum; H.A.R. Gibb mengemukakan bahwa umat Islam yang telah menerima Islam sebagai agamanya, telah menerima otoritas hukum Islam atas dirinya;7 umat Islam yang telah menyatakan diri memeluk agama Islam berarti telah siap menjalankan ajaran Islam, termasuk hukum-hukum yang dikandungnya. Kedua, teori Receptie in Complexu; teori yang dikemukakan oleh Gibb mendapat dukungan dari Lodewijk Willem Christian van den Berg (1845-1927) dengan teori receptie in complexu. Menurut teori ini, bagi orang Islam berlaku penuh hukum Islam sebab dia telah memeluk agama Islam walaupun dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan-penyimpangan. 8 Ketiga, teori Resepsi; teori ini merupakan penetangan terhadap teori Autoritas Hukum dari Gibb dan teori Receptie in Complexu dari van den Berg. Adalah Christian Snouck Hurgronye (1857-1936), C. van Vollenhoven, dan Ter Haar. Menurut teori ini, bagi rakyat pribumi pada dasarnya berlaku hukum adat; hukum Islam berlaku kalau norma hukum Islam itu telah diterima oleh masyarakat sebagai hukum adat. 9 Keempat, teori Resepsi Exit dari Hazairin; menurut teori ini, teori resepsi telah patah dan keluar dari Indonesia sejak diberlakukannya UUD 45;10 karena UUD 45 dan Pancasila memberikan tempat yang luas bagi berlakunya hukum agama (termasuk agama Islam). Oleh karena itu, Hazairin berpendapat bahwa teori resepsi yang dikemukan oleh Christian Snouck Hurgronye dan didukung oleh C. van Vollenhoven dan Ter Haar, adalah teori Iblis. Kelima, teori Receptio a Contrario dari Sayuthi Thalib; dalam teori ini ditegaskan bahwa bagi umat Islam, yang berlaku adalah hukum Islam; hukum adat baru berlaku apabila tidak bertentangan dengan hukum Islam.11 teori resepsi a contrario yang dikemukakan Sayuti Thalib yang menyatakan bahwa: a) bagi orang Islam berlaku hukum Islam; b) hal tersebut sesuai dengan keyakinan dan cita-cita hukum, cita-cita batin dan moralnya; dan c) hukum adat berlaku bagi umat Islam apabila tidak bertentangan dengan hukum Islam. 12 Keenam, teori Penegakan Hukum. Menurut teori ini, hukum dapat tegak di masyarakat bergantung pada tiga hal: 1) materi hukum, 2) penegak hukum, dan H. Ichtijanto, “Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia” dalam Tjun Sumardjan (ed.), Hukum Islam di Indonesia: Perkembangan dan Pembentukan (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 1991), hlm. 114-115. 8 Ibid., h. 120. 9 E. Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia (Jakarta: Balai Buku “Ichtiar.” 1959), hlm. 46. 10 Sumarjan (ed.), Hukum Islam, hlm. 128. 11 Ibid., h. 132. 12Ichtijanto SA, "Pengembangan Teori,” dalam Sumarjan (ed.), Hukum Islam, hlm. 102114,117,122, dan 130-132. 7 Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 4 Jaih Mubarok Asas-Asas Hukum… 3) kesadaran hukum masyarakat. Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah menegaskan bahwa kesadaran hukum merupakan suatu proses psikis yang terdapat dalam diri setiap manusia yang memiliki dua kemungkinan: timbul dan tenggelam. Sejumlah pakar hukum menganggap bahwa kepatuhan hukum terutama disebabkan: 1) rasa takut pada sanksi yang negatif, 2) pemeliharaan hubungan baik dengan teman-teman dan pemimpin, 3) kepentingannya terlindungi, dan/atau 4) cocok (sesuai) dengan nilai-nilai dan keyakinan yang dianutnya. Pakar sosiologi hukum menetapkan bahwa dalam kesadaran hukum terdapat empat indikator: 1) pengetahuan hukum; 2) pemahaman hukum; 3) penilaian dan sikap terhadap hukum; dan 4) ketaatan hukum. Soekanto menyebutkan bahwa kesadaran hukum sebenarnya menyangkut faktor-faktor apakah suatu hukum diketahui, diakui, dihargai, dan ditaati oleh warga negara. D. Survei Literatur Sejumlah tulisan mengenai asas hukum waris dalam Islam telah dipublikasikan, baik yang analisisnya cenderung bersifat normatif-rasional maupun analisis yang cenderung bersifat sosiologis-aplikatif yang cenderung berakar pada nilai budaya tertentu. Dalam website pribadi, Riana Kesuma Ayu menjelaskan mengenai sistem hukum waris adat. Ayu menjelaskan bahwa di antara asas hukum waris adat adalah: 1) asas ketuhanan dan pengendalian diri, 2) asas kesamaan dan kebersamaan hak, 3) asas kerukunan dan kekeluargaan, 4) asas musyawarah dan mufakat, dan 5) asas keadilan.13 Dalam Tesis yang berjudul “Hukum Islam Dipandang dari Perspektif Hukum Berkeadilan Gender (Studi di Kecamatan Mranggen Kabupaten Denak)” yang ditulis oleh Mintarno dalam rangka menyelesaikan studinya di Program Magister Kenotariatan, Universitas Diponegoro Semarang (2006), dijelaskan bahwa di antara asas hokum waris Islam adalah: 1) asas ijbari, 2) asas bilateral, 3) asas individual, dan 4) asas keadilan.14 H. Hatpiadi, Wakil Ketua Pengadilan Agama Samarinda, yang mempublikasikan artikelnya yang berjudul “beberapa Asas Hukum kewarisan Menurut KUHPerdata, Hukum Islam dan Hukum Adat.” H. Hatpiadi menjelaskan bahwa asas-asas hukum kewarisan adalah: pertama, asas kematian. Asas ini diatur berdasarkan pada Pasal 830 KUH Perdata, hukum adat, dan hukum Islam. H. Hatpiadi mengutip pendapat Muslimin Simar (hakim dan ketua Pengadilan Agama Watampone yang menjelaskan bahwa asas kematian merupakan asas yang paling utama dan dasar di dalam proses beralihnya harta seseorang sebagai harta warisan, dan berlaku untuk semua sistem kewarisan. 13 Riana Kesuma Ayu, “Sistem Hukum Waris Adat,” dalam websiteayu.com, diakses tahun 2011. Mintarno, “Hukum Waris Islam Dipandang dari Persepektif Hukum Berkeadilan Gender (Studi Di Kecamatan MranggenKabupaten Demak),” Tesis Magister, Program Pascasarjana, Magister Kenotariatan (Semarang: Universitas Diponegoro. 2006). 14 Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 5 Jaih Mubarok Asas-Asas Hukum… Kedua, asas hubungan darah dan hubungan perkawinan. Asas ini terdapat dalam pasal 832 ayat (1) dan Pasal 852 a KUH Perdata. Asas hubungan darah merupakan salah satu asas yang esensial dalam setiap sistem hukum kewarisan, karena faktor hubungan darah dan hubungan perkawinan menentukan kedekatan seseorang dengan pewaris, dan menentukan tentang berhak atau tidaknya bagi seseorang menjadi ahli waris. Ketiga, asas perderajatan; dalam KUH Perdata asas ini didasarkan pada prinsip de naaste in het bloed erf hetgoed, oleh karena itu, yang berhak menjadi ahli waris hanyalah keluarga yang lebih dekat dengan pewaris, sekaligus menentukan pula bahwa keluarga yang lebih dekat derajatnya dari pewaris akan menutup hak mewarisnya bagi keluarga yang lebih jauh derajatnya. KUH Perdata mengenal adanya kelompok keutamaan ahli waris sebagaimana yang terdapat dalam sistem hukum kewarisan Islam dan hukum adat. Dalam Hukum Kewarisan menurut Hukum Adat, anak, Bapak/ibu berkedudukan sebagai ahli waris yang lebih dekat dari pewaris melebihi dari paman/bibi, kakek/nenek, saudara-saudara pewaris, juga dalam hukum kewarisan Islam, bahwa penentuan kelompok keutamaan sangat jelas, misalnya “anak lebih utama dari cucu, ayah lebih utama (lebih dekat) kepada anak dari pada saudara: ayah lebih utama kepada anak dari pada kakek. Bahkan kelompok keutamaan dalam hukum kewarisan Islam menentukan juga kuatnya hubungan kekerabatan, misalnya saudara kandung lebih utama dari pada saudara se ayah atau se ibu, sebab saudara kandung mempunyai dua garis penghubung (dari ayah dan dari ibu), sedangkan saudara sebapak atau saudara seibu hanya dihubungkan oleh satu garis penghubung yaitu dari ayah atau dari ibu”. Ketiga sistem Hukum Kewarisan sama-sama menempatkan anak, suami/isteri, dan orang tua (Bapak/ibu) sebagai ahli waris yang memiliki derajat keutamaan pertama, yaitu anak sebagai ahli waris derajat keutamaan pertama dalam garis ke bawah, sedang orang tua (Bapak/ibu) sebagai ahli waris dalam derajat keutamaan pertama dalam garis ke atas, melibih derajat ahli waris lainnya seperti nenek, paman/bibi dan saudara. Di dalam Hukum Kewarisan Islam dan hukum kewarisan adat tidak demikian halnya, karena anak-anak pewaris dapat berbagi waris dengan Bapak/ibu pewaris, meskipun kedua sistem hukum kewarisan tersebut mengenal juga golongan ahli waris yang dapat menutup (menghijab) ahli waris tertentu. Keempat, asas pergantian tempat (Plaatsvervulling). Mengingat asas ini merupakan penerobosan asas ketentuan yang mengatakan bahwa “yang berhak menerima warisan haruslah ahli waris yang masih hidup pada waktu si pewaris meninggal dunia (Pasal 836 KUH Perdata), juga asas ini seolah-olah menyalahi ketentuan bahwa “keluarga yang derajatnya lebih dekat akan menutup keluarga yang derajatnya lebih jauh”, padahal sesungguhnya asas ini, malahan menjadi solusi atas kedua ketentuan di atas, sebab bila kedua ketentuan di atas dijalankan secara ketat, maka dipastikan menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpatutan Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 6 Jaih Mubarok Asas-Asas Hukum… terhadap cucu yang orang tuanya lebih dahulu meninggal dunia daripada pewaris, sehingga si cucu tidak menerima harta warisan yang seharusnya orang tuanya terima sebagai ahli waris, hanya karena orang tuanya meninggal dunia lebih dahulu. Mengenai asas pengertian tempat dalam hukum kewarisan Islam, menurut sebagian pendapat, seperti pendapat Wirjono Prodjodikoro dan pendapat dari pakar hukum Islam, antara lain menurut Mahmud Yunus menyebutkan bahwa pergantian dalam hukum Islam tidak dikenal. Berbeda dengan pendapat Hazairin yang mengatakan bahwa hukum kewarisan Islam mengenal asas pergantian tempat yang disebut dengan mawaly. Menurut Hazairin bahwa ahli waris pengganti (mawaly) didasarkan pada al-Qur'an pada Surah an-Nisa‟ (IV) ayat 33, yang artinya: “Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu-bapak dan karib kerabat, Kami (Allah) jadikan pewaris-pewarisnya”. Pendapat Hazairin di atas, kemudian diikuti oleh Sajuti Thalib. Tampaknya juga asas pergantian tempat ini menjadi salah satu asas penting dalam Hukum Kewarisan menurut Kompolasi Hukum Islam sebagaimana yang terdapat ketentuannya dalam Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam. Pasal 185 (1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173 (2). Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebih dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. Kelima, asas individual; asas ini menentukan tampilnya ahli waris untuk mewarisi secara individu-individu (perseorangan) bukan kelompok ahli waris dan bukan kelompok clan, suku atau keluarga. Asas ini mengandung pengertian bahwa harta warisan dapat dibagi-bagikan pada masing-masing ahli waris untuk dimiliki secara perseorangan, sehingga dalam pelaksanaan seluruh harta warisan dinyatakan dalam nilai dan setiap ahli waris berhak menurut kadar begiannya tanpa harus terikat dengan ahli waris lainnya. Konsekwensi dari ketentuan ini adalah, harta warisan yang sudah dibagi-bagikan atau dialihkan kepada ahli waris secara perseorangan itu menjadi hak miliknya, karena itu, asas ini sejalan dengan ketentuan pada Pasal 584 KUH Perdata bahwa salah satu cara memperoleh hak milik adalah melalui pewaris. Asas individual sangat popular pula dalam sistem hukum kewarisan Islam dan sistem hukum kewarisan adat. Asas individual dalam hukum kewarisan Islam berarti, “Setiap ahli waris secara individu berhak atas bagian yang didapatnya tanpa terikat kepada ahil waris lainnya”. Akan tetapi dalam hukum kewarisan adat, selain dikenal sistem pewaris individual, juga dikenal adanya sistem kolektif, dan mayorat namun dari ketiga macam sistem pewaris tersebut, maka sistem individual yang lebih umum berlaku dalam masyarakat, terutama dalam masyarakat adat parental yang tersebar hampir diseluruh daerah di Indonesia. Keenam, asas bilateral; yaitu seseorang tidak hanya mewarisi dari garis Bapak saja, akan tetapi juga mewaris menurut garis ibu, demikian juga dari saudara laki-laki maupun saudara perempuan. Asas ini memberi hak dan kedudukan yang sama antara anak lakiProceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 7 Jaih Mubarok Asas-Asas Hukum… laki dan perempuan dalam hal mewaris, bahkan dengan asas bilateral ini menetapkan juga suami isteri untuk saling mewaris. Ketujuh, asas segala hak dan kewajiban pewaris beralih kepada ahli waris; yaitu segala hak dan kewajiban pewaris dalam asas ini adalah hak dan kewajiban dalam lapangan harta kekayaan. Wirjono Prodjodikoro menje;askan bahwa BW mengenal tiga macam sikap dari ahli waris terhadap harta warisan, dan dapat memilih salah satu dari tiga sikap itu, yaitu : 1) menerima seluruhnya menurut hakikat yang tersebut dalam BW (hak dan kewajiban); 2) menerima dengan syarat, yaitu hutanghutangnya; dan 3) menolak menerima harta warisan”. Menurut H. Muhammad Daud Ali, “dalam diri seseorang harus senantiasa terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban yang harus ditunaikan”.Berdasarkan dengan berbagai penjelasan dan ketentuan yang telah dikemukakan tampak bahwa penjelasan dan ketentuan tersebut cenderung mendukung ke arah penerapan asas segala hak dan kewajiban pewaris beralih kepada ahil waris, namun sifatnya terbatas, artinya harta peninggalan pewaris yang bersifat aktiva secara otomatis berpindah dari pewaris kepada ahli waris, akan tetapi bagi warisan yang berupa pasiva (utang-utang, kewajiban-kewajiban) maka harus disesuaikan dengan hakhak yang diperoleh ahli waris agar melahirkan prinsip keadilan yang seimbang. Seimbang dengan hak yang sepantasnya diterima dari barang aktiva dengan kewajiban yang dipikulnya, berupa utang. Akan tetapi kalau ada ahli waris yang bersedia membayarkan utang-utang pewaris melalui harta pribadi ahli waris, maka itu tidak dilarang, bahkan merupakan perbuatan terpuji, dan cermin dari akhlak yang baik.15 H. Chatib Rasyid, Ketua Pengadilan Agama Yogyakarta, menulis “AzasAzas Hukum Waris dalam Islam,” yang substansinya menjelaskan bahwa asasasas hukum waris Islam adalah: pertama, asas Integrity/Ketulusan; yaitu ketulusan hati, kejujuran, keutuhan. Dalam asas ini terkandung pengertian bahwa pelaksanakan hukum kewarisan Islam diperlukan ketulusan hati untuk mentaatinya karena terikat dengan aturan yang diyakini kebenarannya. Kedua, asas ta' abbudi/penghambaan diri; yaitu pelaksanaan pembagian waris secara Islam merupakan bagian dari ibadah kepada Allah SWT; ketiga, asas huquq al-maliyah/hak-hak kebendaan; yaitu bahwa hanya hak dan kewajiban terhadap kebendaan yang dapat diwariskan kepada ahli waris, sedangkan hak dan kewajiban dalam lapangan hukum kekeluargaan atau hak-hak dan kewajiban yang bersifat pribadi seperti suami atau istri, jabatan, keahlian dalam suatu ilmu dan yang semacamnya tidak dapat diwariskan. Kewajiban ahli waris terhadap Muwaris diatur dalam pasal 175 Kompilasi Hukum Islam, yaitu: 1) mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai, 2) menyelesaikan hutang-hutang Muwaris, termasuk kewajiban menagih piutang, H. Hatpiadi, “Beberapa Asas Hukum Kewarisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Hukum Islam, dan Hukum Adat,” dalam www.badilag.net/ diakses tanggal 13 Pebruari 2011. 15 Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 8 Jaih Mubarok Asas-Asas Hukum… 3) menyelesaikan wasiat Muwaris, dan 4) membagi harta warisan di antara anti ahli waris yang berhak. Keempat, asas hukukun thabi‟iyah/hak-hak dasar; yaitu hak-hak dasar ahli waris sebagai manusia; meskipun ahli waris merupakan seorang bayi yang baru lahir atau seseorang yang sudah sakit menghadapi kematian sedangkan ia masih hidup ketika Muwaris meninggal dunia, begitu juga suami istri yang belum bercerai walaupun sudah pisah tempat tinggalnya, maka dipandang cakap untuk mewarisi. Sebab-sebab mewaris adalah: 1) hubungan keluarga, 2) perkawinan, 3) wala, dan 4) seagama. Hubungan keluarga adalah hubungan antar orang yang mempunyai hubungan darah (genetik) baik dalam garis keturunan lurus ke bawah (anak cucu dan seterusnya) maupun ke samping(saudara). Di samping itu, dalam hukum Islam dikenal penghalang untuk menerima warisan, yaitu: 1) murtad, 2) membunuh, dan 3) hamba sahaya. Dalam pasal 173 Kompilasi Hukurn Islam dijelaskan juga penghalang-penghalang menerima warisan, yaitu: 1) dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada muwaris; 2) dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat. Kelima, asas ijbari/keharusan/kewajiban; yaitu terjadinya peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal dunia (muwaris) kepada ahli warisnya sesuai dengan ketetapan Allah SWT tanpa digantungkan kepada kehendak seseorang baik pewaris maupun ahli waris. Asas ijbari juga berarti: 1) peralihan harta yang pasti terjadi setelah “Muwaris” meninggal dunia, 2) jumlah harta sudah ditentukan untuk masing-masing ahli waris, 3) orang-orang yang akan menerima harta warisan itu sudah ditentukan dengan pasti, yakni mereka yang mempunyai hubungan darah dan perkawinan. Keenam, asas bilateral; yaitu bahwa seseorang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak, yaitu dari kerabat keturunan laki-laki dan dari kerabat keturunan perempuan; ketujuh, asas individual/perorangan; yaitu harta warisan dapat dibagi-bagi pada masing masing ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Dalam pelaksanaannya seluruh harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang kemudian dibagi-bagikan kepada ahli waris yang berhak menerimanya menurut kadar bagian masing-masing. Kedelapan, asas keadilan yang berimbang; yaitu harus ada keseimbangan antara hak yang diperoleh seseorang dari harta warisan dengan kewajiban atau beban biaya kehidupan yang harus ditunaikannya. Laki-laki dan perempuan misalnya, mendapat bagian yang sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya masing-masing (kelak) dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Seorang lakilaki menjadi penanggung jawab dalam kehidupan keluarga, mencukupi keperluan hidup anak dan isterinya sesuai (QS.2:233) dengan kemampuannya. Tanggung jawab merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan, terlepas dari Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 9 Jaih Mubarok Asas-Asas Hukum… persoalan apakah isterinya mampu atau tidak, anak-anaknya memerlukan bantuan atau tidak. Kesembilan, asas kematian; yaitu kewarisan baru muncul bila “Muwaris‟ meninggal dunia. Dengan demikian, kewarisan semata-mata sebagai akibat dari kematian seseorang. Peralihan harta seseorang kepada orang lain yang disebut kewarisan terjadi setelah orang yang mempunyai harta itu meninggal dunia, artinya harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain (melalui pembagian harta warisan) selama orang yang mempunyai harta itu masih hidup, dan segala bentuk peralihan harta-harta seseorang yang masih hidup kepada orang lain, baik langsung maupun yang akan dilaksanakan kemudian sesudah kematiannya, tidak termasuk ke dalam kategori kewarisan menurut hukum Islam. Kesepuluh, asas membagi habis harta warisan; yaitu semua harta peninggalan dibagi habis sesuai dengan kadar bagian masing-masing ahli waris sehingga tidak tersisa lagi, dengan cara: 1) menentukan siapa yang menjadi ahli waris dengan bagiannya masing-masing, 2) membersihkan/ memurnikan harta warisan seperti hutang dan Wasiat, sampai dengan melaksanakan pembagian hingga tuntas, sehingga dikenalkan konsep Aul dan Radd.16 A. Ananlisis dan Tawaran Alternatif 1. Asas Kewarisan Islam tentang Sebab-sebab Mewarisi dan Pengahalangnya Muslimin Simar menjelaskan bahwa asas kematian merupakan asas yang paling utama dan dasar di dalam proses beralihnya harta mayit sebagai harta warisan (mauruts), di samping itu, Haptiadi juga memperkenalkan asas hubungan darah dan hubungan perkawinan, serta asas penderajatan dan asas pergantian tempat (Plaatsvervulling). Pada dasarnya, asas kematian, asas hubungan darah, dan asas hubungan perkawinan menjelaskan mengenai sebab-sebab mewarisi; yaitu sebabsebab mewarsi adalah karena wafatnya muwarits, dan ahli waris yang menerima tirkah karena hubungan darah atau karena hubungan perkawinan (suami-isteri). Tiga asas ini--kematian, hubungan darah, dan hubungan perkawinan--tidak terlalu banyak dipersoalkan oleh ulama. Akan tetapi, asas pergantian tempat (Plaatsvervulling) yang merupakan pengaruh dari hukum perdata Eropa yang telah diakomodir dalam Kompilasi Hukum Islam, sering juga mendapat penolakan kyai-kyai di pesantren, termasuk di antaranya dosen Perguruan Tinggi Islam. Asas ijbari diperkenalkan oleh ulama guna menjelaskan proses intiqal al-milkiyah dari milik fardiyah (Muwarits) menjadi milik ahli waris (terjadi syirkah-amlak dalam hal ahli warisnya lebih dari dua orang). Secara etimologis, ijbari berasal dari kata jabar yang di antara artinya H. Chatib Rasyid, Asas-Azas Hukum Waris dalam Islam,” www.badilag.net/ diakses tanggal 13 Pebruari 2011. 16 Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 10 Jaih Mubarok Asas-Asas Hukum… adalah terpaksa/paksaan; sedangkan arti terminologinya adalah perpindahan pemilikan harta dari Muwaris kepada ahli waris karena ketentuan yang terdapat dalam Quran-sunah. Dengan demikian, dalam proses perpindahan kepemilikan harta tersebut tidak terdapat unsure paksaan terhadap Muwaris, bahkan tidak ada larangan secara eksplisit dalam Quran-sunah bagi ahli waris untuk menolak menerima harta warisan yang bernilai positif (bukan dalam bentuk hutang). Sedangkan apabila ahli waris menerima warisan berupa utang, maka secara hukum yang bersangkutan berkewajiban secara agama untuk membayarnya sesuai dengan kemampuannya. Asas ijbari juga berarti peralihan harta yang pasti terjadi setelah “Muwaris” meninggal dunia, jumlah harta sudah ditentukan untuk masing-masing ahli waris, orang-orang yang akan menerima harta warisan itu sudah ditentukan dengan pasti, yaitu orang-orang yang mempunyai hubungan darah atau perkawinan. Dengan demikian, asas ijbari juga dapat dimasukkan sebagai asas yang menjelaskan sebab-sebab mewarisi. Arti etimologi ijbari dengan arti terminologinya tidak terlalu relevan. Asas huququn thabi‟iyah/hak-hak dasar menilai ahli waris dari segi kemanusiaannya; meskipun ahli waris merupakan seorang bayi yang baru lahir atau seseorang yang sudah sakit menghadapi kematian tetapi masih hidup ketika Muwaris meninggal dunia, begitu juga suami istri yang belum bercerai walaupun sudah pisah tempat tinggalnya, maka dipandang cakap untuk mewarisi. Dalam fikih mawaris dikenal konsep hijab-mahjub sesame ahli waris karena asas penderajatan (ketentuan hukum mengenai ahli waris dekat dan ahli waris jauh) dan dikenal juga sebab-sebab yang dapat membuat seseorang terhalang untuk menerima harta warisan (mawani„ alirtsi), di antaranya adalah murtad, membunuh, dan hamba sahaya. Mengenai sebab-sebab mewarisi, isu yang relative krusial adalah isu perbedaan agama antara Muwaris dengan ahli waris serta isu riddah. Pada umumnya, para terpelajar yang terpengaruh dengan doktrin Universal Declaration of Human Right (UDHR), terutama tentang ajaran menganai kebebasan beragama, menganggap bahwa ridah dan perbedaan agama sebagai penghalang untuk mewarisi merupakan ketentuan yang dinilai diskriminatif. 2. Asas Kewarisan Islam tentang Obyek yang Bisa Diwariskan dan Bagi Habis Asas huquq al-maliyah/hak-hak kebendaan merupakan penjelasan mengenai batasan-batasan mengenai harta yang dapat diwariskan. Oleh karena itu, hak-hak kebendaan menjelaskan mengenai obyek yang dapat dan tidak dapat diwariskan; yaitu hak dan kewajiban dalam hukum kekeluargaan atau hak-hak dan kewajiban yang bersifat pribadi tidak Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 11 Jaih Mubarok Asas-Asas Hukum… dapat diwariskan. Di samping itu, asas ini secara implisit mengenai proses-proses sebelum pembagian mauruts, antara lain melunasi hutanghutang muwaris kepada pihak lain sebelum harta peninggalan dibagikan kepada ahli waris dan melaksanakan wasiat Muwaris jika ada. Asas membagi habis harta warisan adalah asas yang mendasari aturan bahwa semua harta peninggalan dibagi habis sesuai dengan kadar bagian masing-masing ahli waris sehingga tidak tersisa lagi, dengan cara menentukan siapa yang menjadi ahli waris dengan bagiannya masingmasing, membersihkan/memurnikan harta warisan seperti hutang dan wasiat, sampai dengan melaksanakan pembagian hingga tuntas, sehingga dikenalkan konsep Aul dan Radd. 3. Asas Ta„abudi Versus Asas Ta„aquli Prinsip penerapan hukum Islam yang berupa pilihan antara wahyu dan akal (al-wahyu wa al-„aqlu, revelation and reason) dari Coluson, teori pilihan antara kesempurnaan agama dan pemabaharuan (iktimâl al-dîn wa tajdîduhu) dari Imarah, dan teori Autoritas Hukum dari Gibb yang didukung oleh Lodewijk Willem Christian van den Berg (1845-1927) dengan teori receptie in complex, pada dasarnya berhubungan dengan asas ketuhanan yang dikemukakan oleh Riana Kesuma Ayu dalam konteks hukum Adat di Indonesia, dan juga relevan dengan asas ta'abbudi/penghambaan diri, yaitu pelaksanaan pembagian waris secara Islam diyakini sebagai bagian dari ibadah kepada Allah SWT. Asas ketuhanan mengandung ajaran bahwa melaksanakan pembagian waris merupakan bagian dari menjalankan (baca: taat pada) ajaran agama Islam yang termasuk ibadah. Pada umumnya, asas ini memberikan ruang yang sangat luas dalam menerima teks Quran, sunah, dan pendapat ulama apa adanya; teks-teks suci yang terdapat dalam Quran-sunnah dipahami, diterima, dan dijalankan apa adanya; penafsiran terhadap Quran-sunah ditolelir dalam keadaan khusus atau tertentu. Asas ilahiyah (ta„abudi) memberikan ruang yang terbatas pada ijtihad karena para pembesar dan penganut madzhab/aliran berpikir ini berpendapat bahwa pemahaman dan pengamalan ajaran agama yang lebih dekat dengan makna teks secara tekstual dianggap lebih shahih dan selamat, dari pada memahami dan menjalankan ajaran agama berdasarkan nalar (ta‟wil) yang jauh dari makna tekstualnya. Asas ketuhanan/Ilahiyah dengan asas basyariyah/nalar harus diadopsi dan dipadankan secara seimbang. Metode yang paling sederhana, asas ketuhanan diterapkan terhadap obyek hukum yang sudah ditetapkan ketentuannya dalam Quran-sunah; sedangkan asas basyariyah/nalar diterapkan terhadap obyek/hal yang tidak ditentukan oleh Allah dan Rasul dalam Quran-sunah. Akan tetapi, pandangan ini biasanya dianggap pandangan sempit karena membatasi porsi ijtihad Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 12 Jaih Mubarok Asas-Asas Hukum… yang tidak sesuai dengan semangat nalar Islami seperti ditawarkan oleh al-Jabiri dalam kitab Bunyan al-„Aql al-„Arabi, termasuk para pengarusutamaan jender yang menuntut pembagian sama antara laki-laki dan perempuan karena ketentuan waris dalam Quran-sunah dianggap bias jender, tidak adil, kuno, dan tidak sesuai dengan spirit tahrir al-mar‟ah. H. Chatib Rasyid menambahkan bahwa asas ketuhanan dan asas ta‟abudi diperlukan karena ketulusan hati, kejujuran, keutuhan dalam memahami dan menjalankan ajaran Islam (baca: waris) selaras dengan asas integrity/ketulusan. 4. Tawaran: Asas Tandhidh, Asas Tertib Administratif, dan Asas Fungsi Pada kesempatan ini ddiajukan tiga asas yang berkaitan dengan cara pembagian harta warisan, yaitu asas Tandhidh, asas Tertib Administratif, dan asas Kegunaan/Musahamah yang dirinci pada bagian berikut. Pertama, dalam literatur fikih yang terbit pada tahun 2000an dikenalkan terminologi yang relatif baru dalam mu‟amalah, yaitu tandhidh; terminologi ini digunakan dalam bab mudharabah (bagian dari syirkah) dalam membagi keuntungan antara shahib al-mal/pemilik dana dengan mudharib/pengelola. Muhammad Abd al-Mun„im Abu Zaid menjelaskan bahwa tandhidh adalah asas dalam pembagian keuntungan (tandhidh asas li qismat al-ribhi); pakar hukum ekonomi Islam menjelaskan bahwa tandhidh adalah kaidah pembagian keuntungan yang menyatakan bahwa pembagian keuntungan dalam usaha dengan akad mudharabah tidak boleh dilakukan sebelum dilakukan tandhidh terhadap modal usaha mudharabah; yaitu melakukan tahwil (penaksiran) terhadap barang dengan harga/nilai tertentu (tahwiluhu min „urudh ila nuqud).17 Asas tandhidh kelihatannnya layak untuk dipertimbangkan dalam pembagian harta warisan, terutama terhadap mauruts/tirkah yang ragam dari segi bentuk dan nilai. Misalnya Tuan Ahmad meninggal dunia dengan harta peninggalan berupa sebuah bangunan ruko di Mangga Dua Jakarta, satu bangunan ruko di Jambu Dua Bogor, tanah sawah seluas 10 hektar di Jonggol, tiga buah mobil dengan merk Jaguar, Alpard, dan Avanza, dan tanah seluas 1o hektar di Pamengpeuk Garut. Maka ahli waris Tuan Ahmad atau juru taksir yang ditunjuk harus menaksir terlebih dahulu seluruh harta warisan ke dalam bentuk rupiah (nuqud), pembagian harta warisan dilakukan setelah dilakukan penaksiran sehingga sangat mungkin luas tanah atau bangunan yang diterima oleh ahli waris berbedabeda tapi relatif sama dari segi nilai/harga setelah dilakukan perhitungan 17Muhammad Abd al-Mun„im Abu Zaid, Nahw Tathwir Nizham al-Mudharabah fi al-Masharif al-Islamiyyah (Kairo: al-Ma„had al-„Alami li al-Fikrr al-Islami. 2000), hlm. 159. Penjelasan yang sama juga dapat dilihat dalam Ali Jum`ah Muhammad dkk, Mausu„ah Fatawa al-Mu„amalat al-Maliyyah li al-Masharif wa al-Mu‟assasat al-Maliyah al-Islamiyah (Kairo: Dar al-Salam. 2009), vol. II, hlm. 158. Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 13 Jaih Mubarok Asas-Asas Hukum… porsi/kadar bagian masing-masing ahli waris sesuai dengan derajat yang dimilikinya. Hal itu dilakukan karena harga ruko di Mangga Dua dan di Jambu Dua berbeda, harga tanah di Jonggol berbeda dengan harga tanah di pameungpeuk, dan harga mobil yang diwariskan juga berbeda-beda karena perbedaan merk. Asas tandhidh diduga kuat telah dipraktekkan di masyarakat meskipun cara penaksirannya dilakukan bukan oleh ahlinya (missal pihak aprassial); sehingga ada yang memperoleh harta warisan hanya 200 meter persegi karena terletak di pinggir jalan utama, sementara saudaranya yang lain menerima harta warisan berupa tanah yang luasnya mencapai 1000 meter persegi tapi tidak di pinggir jalan utama, karena perbedaan harga tanah yang disebabkan oleh letak tanah tersebut. Kedua, asas Tertib Administratif; yaitu pembagian harta warisan merupakan perbuatan hokum Islam yang seharusnya memiliki akta otentik yang dibuat oleh pejabat yang berwenang agar keluarga yang bersangkutan terhindar dari perselisihan yang terutama biasanya terjadi di kemudian hari (sunda: ngagugat). Apabila ahli waris berselisih dalam pembagian warisan, maka mereka dapat mengajukan penyelesaiannya ke pengadilan (Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri); terhadap pembagian warisan yang diputus/ditetapkan dengan putusan pengadilan dengan sendirinya memiliki alat bukti berupa putusan pengadilan. Sedangkan bagi ahli waris yang membagi harta warisan secara baik-baik (tidak berselisih) kadangkadang tidak memiliki alat bukti otentik mengenai pembagian harta warisan yang dilakukan. Oleh karena itu, layak kiranya dipikirkan untuk membentuk institusi yang berwenang untuk membuat akta otentik mengenai pembagian harta warisan agar keluarga yang bersangkutan terhindar dari perselisihan yang terjadi di kemudian hari. Ketiga, asas fungsi; dalam Kompilasi Hukum Islam, pasal 189 (1) dijelaskan bahwa harta warisan yang berupa lahan pertanian yang luasnya kurang dari dua hektar, supaya dipertahankan keutuhannya sebagaimana semula, dan dimanpaatkan untuk kepentingan bersama para ahli waris yang bersangkutan. Ketentuan ini--dalam pandangan Oyo Sunaryo Mukhlas--disebut sebagai asas pemeliharaan keutuhan dan kesatuan lahan.18 Harta warisan yang pengelolaannya memerlukan kehalian khusus, sebaiknya pembagiannya dilakukan secara musahamah; yaitu harta peninggalan tersebut secara operasional tetap dipelihara dan dikelola secara bisnis guna mendapatkan keuntungan yang dibagi bersama sesama ahli waris sesuai kesepakatan. 18Oyo Sunaryo Mukhlas, “Hukum Kewarisan Islam: Formulasi Baru Waris Islam dalam Tata Hukum Indonesia,” dalam al-Tadbir, vol. 1, nomor: 3, Pebruari 2000, hlm. 115. Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 14 Jaih Mubarok Asas-Asas Hukum… Apabila di antara ahli waris memiliki keahlian yang kurang-lebih sama, maka pemeliharaan dan pengelolaan harta peninggalan dapat dilakukan secara bergiliran. Umpama: Tuan Tarfin meninggalkan harta warisan bertipa rumah makan yang luasnya 10 meter persegi (4 m x 2.5 m) di Cikapundung Elektronik Center Bandung. Ia meninggalkan 2 orang anak laki-laki dan anak perempuan serta isterinya sebagai ahli waris, maka dengan bimbingan ibunya, dua anak tersebut sebagai ahli waris diberi hak untuk memelihara dan mengoperasikan rumah makan tersebut pada jangka waktu tertentu sesuai kesepakatan. Dengan cara demikian, keuntungan yang diterima keluarga masih bias diperoleh dalam jangka yang lebih lama bila dibandingkan dengan cara penjualan rumah makan tersebut. Dengan demikian, asas fungsi pada prinsipnya merupakan bagian dari asas mashlahah; yaitu harta muwarits yang dibagikan kepada ahli waris tidak boleh hilang fungsi dan manfaatnya. F. Penutup Asas hukum yang menjadi landasan perbuatan hukum itu sendiri termasuk wilayah ijtihadi. Oleh karena itu, asas suatru hukum dapat ditelusuri dan digali secara akademik yang pada level peraturan perundang-undangan, penetapan sesuatu sebagai asas hukum memerlukan proses ijma„-jama„i yang sekarang ini diartikan sebagai proses kesepakatan antara ahli hukum Islam dengan pihak eksekutif dan legislative sebuah Negara. Asas Tandhidh, asas Tertib Administratif, dan asas fungsi, merupakan tawaran yang diharapkan dapat memperkaya wacana yang bila dipandang layak oleh pihak-pihak pemangku yang terlibat, “disahkan” sebagai asas dalam pembagian harta warisan. Wa Allah A„lam bi al-shawwab. Daftar Pustaka Ali Jum`ah Muhammad dkk. 2009. Mausu„ah Fatawa al-Mu„amalat al-Maliyyah li alMasharif wa al-Mu‟assasat al-Maliyah al-Islamiyah. Kairo: Dar al-Salam. E. Utrecht. 1959. Pengantar dalam Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Buku “Ichtiar.” H. Hatpiadi. 2011. “Beberapa Asas Hukum Kewarisan Menurut Kitab UndangUndang Hukum Perdata, Hukum Islam, dan Hukum Adat,” dalam www.badilag.net/. H. Chatib Rasyid. 2011. Asas-Azas Hukum Waris dalam Islam,” www.badilag.net/. Howard Federspiel. 1996. Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX. Jogjakarta: Gadjah Mada University Press. Mintarno. 2006. “Hukum Waris Islam Dipandang dari Persepektif Hukum Berkeadilan Gender (Studi Di Kecamatan MranggenKabupaten Demak),” Tesis Magister, Program Pascasarjana, Magister Kenotariatan. Semarang: Universitas Diponegoro. Muhammad „Imarah. 1991. Ma„alim al-Manhaj al-Islami. Kairo: Dar al-Syuruq. Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 15 Jaih Mubarok Asas-Asas Hukum… Muhammad Abd al-Mun„im Abu Zaid. 2000. Nahw Tathwir Nizham alMudharabah fi al-Masharif al-Islamiyyah. Kairo: al-Ma„had al-„Alami li al-Fikrr al-Islami. Noel J. Coulson. 1969. Conflicts and Tensions in Islamic Jurisprudence. Chicago & London: The University of Chicago Press. Riana Kesuma Ayu. 2011. “Sistem Hukum Waris Adat,” dalam websiteayu. Syihab al-Din Abu al-„Abbas Ibn Idris al-Qurafi. 1973. Syarh Tanqîh al-Fushûl fî Ikhtishâr al-Mahshûl fî al-Ushûl. Kairo: Maktabah al-Kuliyyah al-Azhariyyah. Tjun Sumardjan (ed.). 1991. Hukum Islam di Indonesia: Perkembangan dan Pembentukan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 16 POSITIVISASI HUKUM EKONOMI ISLAM Isa Ansori Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Jurai Siwo Metro Lampung Abstract The views on the important of legislation on economics come from legal positivism. According to legal positivism, the main law is law made by state or legal institutions in a state which is forced, exclusive, hirarkhis, systematic and uniform for all the people. The positive economics law which is written on constitution or law is made to manage how economic in a country is managed and aimed to make prosperity among the people. The syariah economics law which its existence is received in Indonesia constitution also needs to be made as positive law using methods that can easily received by all Indonesia people, so that it would forced the people to implement it happily and could make prosperity for all Indonesian people. Key Word: Positivsm, Syariah Economics Law A. Pandangan tentang Pentingnya Positivisasi Hukum Ekonomi Pandangan tentang pentingnya legislasi hukum dalam suatu negara pada dasarnya berangkat dari aliran positivisme hukum.Menurut aliran ini hukum yang utama adalah hukum yang berasal atau diciptakan oleh manusia, yakni hukum positif.Setelah manusia membentuk organisasi negara, hukum positif adalah hukum yang dibuat oleh badan-badan negara dan pemerintah.Hukum diartikan sebagai perintah atau larangan yang dibuat oleh lembaga-lembaga atau badan-badan negara dan pemerintah yang pemberlakuannya dipaksakan.Hukum tidak lain adalah kaidah normatif yang memaksa, eksklusif, hirarkis, sistematis dan dapat berlaku seragam, yang dapat dianggap sebagai hukum adalah produk legislasi (peraturan perundang-undangan). Aturan-aturan di luar legislasi hanya merupakan norma moral. Legislasi dianggap sebagai satusatunya hukum karena merupakan pengungkapan atau pembadanan hukum yang dianggap positif atau dapat ditangkap dengan panca indera.Selain itu, legislasi dibuat oleh negara dan pemerintah yang telah dianggap sebagai organisasi yang mengatasnamakan kehendak umum.19 Secara umum, pengaturan negara pada bidang ekonomi yang dimuat dalam konstitusi dan undang-undang sebagai bentuk positivisasi, dibedakan dalam dua katagori, ialah negara kapitalis-liberal yang sangat membatasi peran negara dalam mengatur perekonomiannya dan negara sosialis yang mengatur kegiatan perekonomiannya. Tradisi kapitalis-liberal beranggapan bahwa perekonomian didasarkan atas mekanisme pasar bebas, sehingga tidak perlu diatur oleh negara, apalagi diatur dalam bentuk hukum setingkat undang-undang dasar. Dinamika kegiatan ekonomi kapitalis menggantungkan diri kepada pasar bebas (free market). Oleh 19Panduan bantuan hukum di Indonesia: pedoman anda memahami dan menyelesaikan masalah hukum, (Jakarta: YLBHI, 2007), h. 3. Isa Ansori Positivisasi Hukum Ekonomi … karena itu, kebijakan-kebijakan ekonomi tidak dipandang penting untuk dituangkan dalam bentuk peraturan tertulis, baik dalam regulasi, undangundang, ataupun undang-undang dasar.Perekonomian adalah urusan pasar, urusan praktik yang memiki logika dan normanya sendiri dalam kehidupan masyarakat.20 Tradisi model ini banyak dikembangkan oleh negara-negara common law seperti Inggris dan Amerika Serikat, yang mengembangkan tradisi hukum tidak dalam bentuk peraturan tertulis, melainkan lebih mengandalkan peranan (putusan) hakim dalam menyelesaikan setiap masalah hukum yang timbul dalam praktik, dalam tradisi ini muncul istilahjudge made law atau hukum buatan hakim. Sebaliknya, tradisi negara-negara sosialis memuat kebijakan dasar bidang perekonomian dalam konstitusinya.Soviet-Rusia yang komunis, sejak tahun 1918 sudah mencamtumkan pasal-pasal perekonomian dalam rumusan undangundang dasarnya.Jerman yang menganut paham liberal, juga sudah mengadopsikan ide pengaturan prinsip-prinsip kebijakan ekonomi itu dalam undang-undang dasar sejak Konstitusi Weimar 1919.Itu sebabnya, Jerman dianggap sebagai negara pertama yang menganut paham sosial demokarat di Eropa Barat, sedangkan Soviet-Rusia merupakan negara sosialis-komunis pertama di Eropa Timur. Tradisi untuk melakukan konstitusionalisasi kebijakan ekonomi itu dikembangkan pula secara lebih luar oleh Irlandia dalam Konstitusi Tahun 1937 dengan memperkenalkan konsep Directive Principles of Social Policy (DPSP) yang kemudian ditiru oleh banyak negara non-komunis.21 Dalam perkembangannya, kebutuhan untuk meregulasi permasalahan ekonomi oleh negara, tidak saja berkembang di kalangan negara-negara intervensionis seperti negara-negara sosialis dan komunis, tetapi juga di lingkungan negara-negara liberal barat yang menetapkan sistem ekonomi pasar. Alan Brudner, dalam bukunya Constitutional Goods, seperti dikutip oleh Jimly Asshiddieqie, menguraikan mengenai hak-hak ekonomi yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Amerika Serikat. Perlindungan hakhak sosial dan ekonomi merupakan salah satu hal yang dipandang penting.Menurutnya, “A life is not successfully self authored if success is guaranteed by some one else. A guarantee is consistent with self authorship beyond the power of individuals to secure. Thus the right to equality is a right to be governed by laws that assure to everyone the opportunity to live a life embodying self-authored ends”. Itu menunjukkan bahwa betapapun bebasnya dinamika perekonomian pasar hendak dikembangkan, tetap saja diperlukan intervensi negara dalam bentuk regulasi dan perizinan yang sangat berpengaruh dalam proses pembangunan ekonomi dan pengendalian pasar bebas.22 20Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, (Jakarta: Kompas Penerbit Buku, 2010), h. x-xi h. xii-xiii 22Ibid.,h. 12. 21Ibid., Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 18 Isa Ansori Positivisasi Hukum Ekonomi … B. Fungsi Positivisasi Hukum Ekonomi Hukum adalah produk negara, dalam hal ini lembaga legislatif, yang dalam proses pembuatannya juga melibatkan eksekutif. Hukum ekonomi positif berfungsi sebagai seperangkat aturan hukum yang dimuat dalam konstitusi atau perundang-undangan untuk mengatur bagaimana perekonomian suatu negara diselengarakan.Seperangkat hukum yang telah dirumuskan itu mampu menjadi instrumen yang berwibawa untuk mendukung pembangunan ekonomi. Hukum yang dibuat oleh negara dalam rangka mengatur kegiatan ekonomi sering disebut dengan istilah hukum ekonomi. Rochmat Soemitro memberikan definisi hukum ekonomi, menurutnya, hukum ekonomi ialah sebagian dari keseluruhan norma yang dibuat pemerintah atau penguasa sebagai satu personifikasi dari masyarakat yang mengatur kehidupan kepentingan ekonomi masyarakat yang saling berhadapan.23 Adi Sulistiyono dan Muhammad Rustamaji mengutip Douglass C. North, seorang pemenang hadiah nobel tahun 1993 dalam bidang Ilmu Ekonomi, dalam esseinya Institutions and Economic Growth: An Historical Introduction mengatakan bahwa kunci memahami peranan hukum dalam mengembangkan atau bahkan menekan pertumbuhan ekonomi terletak pada pemahaman konsep ekonomi “transaction cost” atau biaya-biaya transaksi.24Dalam konteks ini adalah biayabiaya nonproduktif yang harus ditanggung untuk mencapai suatu transaksi ekonomi. Secara lebih spesifik, terdapat tiga komponen dasar biaya transaksi yang mencakup: 1. ongkos untuk menggunakan pasar (market transaction cost), 2. biaya melakukan hak untuk memberikan pesanan (orders) di dalam perusahaan (managerial transaction cost), dan 3. biaya yang diasosiasikan untuk menggerakkan dan menyesuaikan dengan kerangka politik kelembagaan (political transaction costs). Dengan demikian hukum dibuat dalam kerangka mengatur biaya transaksi perekonomian suatu negara. Dengan mengatur komponen ini, suatu negara dapat menentukan hasil yang akan dicapai dari arah kebijakan perekonomiannya. J.D. Ny Hart mengemukakan adanya enam konsep dalam ilmu hukum yang mempunyai pengaruh bagi pengembangan ekonomi, yaitu:25 1. Prediktabilitas. Hukum harus mempunyai kemampuan untuk memberikan gambaran pasti di masa depan mengenai keadaan atau hubungan-hubungan yang dilakukan pada masa sekarang. 2. Kemampuan prosedural. Pembinaan di bidang hukum acara memungkinkan hukum material itu dapat merealisasikan dirinya dengan 23 Dikutip oleh Elsi Kartika Sari, Advendi Simangungsong, Hukum dalam Ekonomi, Ed.2., (Jakarta: Grasindo, 2007) h. 4-5. 24 Adi Sulistiyono, Muhammad Rustamaji, Hukum Ekonomi Sebagai Panglima, (Sidoarjo: Masmedia Buana Pustaka, 2009),h. 19. 25Ibid.,h. 20-1. Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 19 Isa Ansori Positivisasi Hukum Ekonomi … baik ke dalam pengertian hukum acara ini termasuk tidak hanya ketentuanketentuan hukum perundang-undangan, melainkan juga semua prosedur penyelesaian yang disetujui oleh para pihak yang bersengketa, misalnya arbitrasi, konsiliasi, dsb. Kesemua lembaga itu hendaknya bekerja dengan efisien, karena kehidupan ekonomi itu ingin mencapai tingkatannya yang maksimum. 3. Kodifikasi tujuan-tujuan. Perundang-undangan dapat dilihat sebagai suatu kodifikasi tujuan serta maksud sebagaimana dikehendaki oleh negara. Dalam bidang ekonomi tujuan-tujuan itu dirumuskan dalam perundangundangan yang baik secara langsung maupun tidak mempengaruhi perekonomian. 4. Faktor penyeimbang. Sistem hukum harus dapat menjadi kekuatan yang memberikan keseimbangan di antara nilai-nilai yang bertentangan di dalam masyarakat. Sistem itu memberikan “kesadaran akan keseimbangan” dalam usaha-usaha negara melakukan pembangunan ekonomi. 5. Akomodasi. Perubahan yang cepat menuntut dipulihkannya keseimbangan. Sistem hukum yang mengatur hubungan individu baik secara material maupun formal memberikan kesempatan kepada keseimbangan yang terganggu itu untuk menyesuaikan diri, dengan memberikan pegangan kepastian hukum dan membuka kesempatan bagi dipulihkannya keadilan melalui prosedur yang tertib dan sebagainya. 6. Definisi dan kejernihan tentang status, ialah memberikan ketegasan mengenai status orang-orang dan barang-barang di masyarakat. Peran hukum dalam bidang ekonomi sangat dibutuhkan.Hukum dibuat untuk mengatur subyek dan obyek hukum dalam lapangan perekonomian.Hukum ekonomi lahir disebabkan oleh semakin pesatnya pertumbuhan perekonomian.Hukum berfungsi untuk mengatur dan membatasi kegiatan ekonomi, dengan harapan pembangunan perekonomian tidak mengabaikan hak-hak dan kepentingan masyarakat. Sunaryati Hartono mengatakan bahwa hukum ekonomi adalah penjabaran hukum ekonomi pembangunan dan hukum ekonomi sosial, sehingga hukum ekonomi tersebut mempunyai dua aspek, sebagai berikut:26 1. Aspek pengaturan usaha-usaha pembangunan ekonomi, dalam arti peningkatan kehidupan ekonomi secara keseluruhan. 2. Aspek pengaturan usaha-usaha pembagian hasil pembangunan ekonomi secara merata di antara seluruh lapisan masyarakat, sehingga setiap warga negara Indonesia dapat menikmati hasil pembangunan ekonomi sesuai dengan sumbangan dalam usaha pembangunan ekonomi tersebut. Karenanya, hukum ekonomi Indonesia dapat dibedakan menjadi dua, yakni hukum ekonomi pembangunan dan hukum ekonomi sosial.27 26 Elsi Kartika Sari, Advendi Simangungsong, Op.cit., h. 4 -5 27Ibid. Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 20 Isa Ansori Positivisasi Hukum Ekonomi … 1. Hukum ekonomi pembangunan Hukum ekonomi pembangunan adalah yang meliputi pengaturan dan pemilikan hukum mengenai cara-cara peningkatan, dan pengembangan kehidupan ekonomi Indonesia secara nasional. 2. Hukum ekonomi sosial Hukum ekonomi sosial adalah yang menyangkut pengaturan pemikiran hukum mengenai cara-cara pembagian hasil pembangunan ekonomi nasional secara adil dan merata dalam martabat kemanusiaan (hak asasi manusia) manusia Indonesia. C. Positivisasi Hukum Ekonomi Islam dalam Tiori Relasi Hubungan Negara dan Agama Dalam kerangka legislasi yang memasukkan hukum Islam (termasuk di dalamnya ekonomi Islam) sebagai hukum positif, terdapat tiga teori yang menjelaskan relasi hubungan negara dan agama. Pertama, Paradigma Integralistik (unified paradigm) yang menyatakan bahwa agama dan negara menyatu (integrated). Wilayah agama meliputi politik atau negara.Negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus.Menurut paradigma ini, kepala negara adalah pemegang kekuasaan agama dan kekuasaan politik.Pemerintahannya diselenggarakan atas dasar “kedaulatan ilahi” (divine sovereignty), kedaulatan berasal dan berada di “tangan Tuhan” Karenanya dalam perspektif paradigma ini, pemberlakuan dan penerapan hukum Islam sebagai hukum positif negara adalah hal yang niscaya. Imam Khomeini salah seorang penganut paradigma ini menyatakan: “Dalam negara Islam wewenang menetapkan hukum berada pada Tuhan. Tiada seorang pun berhak menetapkan hukum.Dan hukum yang boleh berlaku hanyalah hukum dari Tuhan.”28 Dan diperkuat oleh Abu al-A‟la Al-Mawdudi: “Syariah adalah skema kehidupan yang sempurna dan meliputi tatanan kemasyarakatan; tidak ada yang lebih dan tidak ada yang kurang.”29 Kamaruzzaman meringkas pendapat Maududi dengan mengatakan bahwa:30 1. Tidak ada seorang pun, bahkan seluruh penduduk negara secara keseluruhan, dapat menggugat kedaulatan. Hanya Tuhan yang berdaulat, manusia hanyalah subyek; 2. Tuhan merupakan pemberi hukum sejati dan wewenang mutlak legislasi ada pada-Nya. Kaum mukmin tidak dapat berlindung pada legislasi yang Marzuki Wahid, Rumadi, Fiqh madzhab negara: kritik atas politik hukum Islam di Indonesia, h. 24, mengutip Imam Khomeini, Islam and Revolution: writings and declarations of Imam Khomeini, Terjemahan dan anotasi Hamid Algar, (Berkeley: 1981), h. 55. 29Ibid.,h 25, mengutip Abu al-A‟la al-Mawdudi, Islamic Law and Constitution, (Lahore: 1967), h. 243. 30 Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara: Perspektif modernis dan fundamentalis, (Magelang: Yayasan Indonesiatera, 2001), h. 83-4. 28 Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 21 Isa Ansori Positivisasi Hukum Ekonomi … sepenuhnya mandiri, tidak juga dapat mengubah hukum yang telah diletakkan Tuhan, sekalipun tuntutan untuk mewujudkan legislasi atau perubahan hukum Ilahi ini diambil secara mufakat bulat; 3. Suatu negara Islam dalam segala hal haruslah didirikan berlandaskan hukum yang telah diturunkan Allah kepada manusia melalui Rasulullah SAW. Kedua, Paradigma simbiotik (symbiotic Paradigm), memandang bahwa agama dan negara berhubungan secara simbiotik, yakni hubungan timbal balik dan saling memerlukan.Dalam hal ini, agama memerlukan negara karena dengan negara, agama dapat berkembang.Sebaliknya, negara juga memerlukan agama, karena dengan agama negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral-spiritual.31 Al-Mawardi dalam bukunya al-ahkâm al-Shulthaniyyah menyatakan bahwa: “Kepemimpinan negara merupakan instrumen untuk meneruskan misi kenabian dalam memelihara agama dan mengatur dunia.”32 Ibnu Taimiyah dalam bukunya al-Siyâsah al-Syar‟iyyah, menyatakan: “Sesungguhnya adanya kekuasaan yang mengatur urusan manusia merupakan kewajiban agama yang terbesar, sebab tanpa kekuasaan negara agama tidak bisa berdiri tegak.”33Menurut paradigma ini, Syariah (hukum Islam) menduduki posisi sentral sebagai sumber legitimasi terhadap realitas politik.Negara mempunyai peran besar untuk menegakkan hukum Islam dalam porsinya yang benar.34 Ketiga, Paradigma Sekularistik (Secularistic Paradigm). Paradigma ini mengajukan pemisahan (disparitas) agama atas negara dan pemisahan negara atas agama.Konsep al-dunyâ al-akhîrah, al-dîn al-daulah atau umur al-dunyâ umur aldîn didikhotomikan secara diametral.Dalam konteks Islam, paradigma ini menolak pendasaran negara kepada Islam, atau paling tidak, menolak determinasi Islam pada bentuk tertentu dari negara. Ali Abd ar-Raziq (1887-1966 M) tokoh paradigma ini mengatakan bahwa “Islam tidak menetapkan suatu rezim pemerintah tertentu, tidak pula mendasarkan kepada kaum Muslim suatu sistem pemerintahan tertentu lewat mana mereka harus diperintah; tapi Islam telah memberikan kita kebebasan mutlak untuk mengorganisasikan negara sesuai dengan kondisi-kondisi intelektual, sosial, dan ekonomi yang kita miliki dan dengan mempertimbangkan perkembangan sosial dan tututan zaman.”35 Menurutnya, Nabi Muhammad SAW. adalah semata-mata utusan Allah untuk mendakwahkan agama murni tanpa bermaksud untuk mendirikan negara. Nabi tidak mempunyai kekuasaan duniawi, negara, ataupun pemerintahan.Nabi tidak mendirikan kerajaan dalam arti politik atau sesuatu yang mirip dengan kerajaan.Dia adalah nabi semata sebagaimana halnya nabi-nabi sebelumnya.Dia 31 Marzuki Wahid, Rumadi, Loc.Cit., h. 26. mengutip Abu al-Hasan al-Mawardiy, al-ahkâm al-Sulthaniyyah, (Beirut: Dar al-Fikr, 32Ibid., tt.), h. 5 33Ibid., h. 27, mengutip Ibnu Taimiyah, As-Siyasah asy-Syar‟iyyah, h. 162 34Ibid. 35Ibid.,h. 29. Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 22 Isa Ansori Positivisasi Hukum Ekonomi … bukan raja, bukan pendiri negara, dan tidak pula mengajak umat untuk mendirikan kerajaan duniawi.Atas dasar ini, kalau ada kehidupan kemasyarakatan yang dibebankan kepada Nabi Muhammad, maka hal itu bukan termasuk tugas risalahnya.Karena itu, setelah beliau wafat, tidak seorang pun yang dapat menggantikan tugas risalah itu. Abu Bakar muncul hanya sebagai pemimpin yang bersifat duniawi (profane) atau pemimpin politik yang bercorak kekuasaan dan pemerintahan. Dengan demikian, menurut paradigma ini, hukum Islam tidak dapat begitu saja diterapkan dan diberlakukan dalam suatu wilayah politik tertentu.Disamping itu, hukum Islam tidak dapat dijadikan huum positif, kecuali telah diterima sebagai hukum nasionalnya.36 D. Metode Positivisasi Hukum Islam Dalam konteks Indonesia, pasca kemerdekaan perjuangan ke arah pengakuan hukum Islam tidak berhenti hanya pada tingkat pengakuan hukum Islam sebagai subsistem hukum yang hidup di masyarakat, tetapi sudah sampai pada tingkat lebih jauh yaitu legislasi.Sebagian tokoh Islam menghendaki hukum Islam menjadi bagian dari sistem hukum nasional, bukan semata substansinya, tapi secara legal formal dan positif. Fenomena ini pertama kali muncul seiring lahirnya Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945, dimana mencamtumkan sila pertama berbunyi: “Ketuhanan Yang Maha Esa Dengan Kewajiban Menjalankan Syari‟at Islam Bagi Pemeluk-Pemeluknya”. Meskipun pada akhirnya umat Islam bersedia untuk menghilangkan tujuh kata terakhir dari piagam itu demi keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa. Dengan dasar “Ketuhanan Yang Maha Esa” pada sila pertama Pancasila, dan Pasal 29 UUD 1945 - dimana negara menjamin kebebasan setiap penduduk untuk menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaan masing-masing negara memberi peluang dan membangun hubungan timbal balik yang saling memerlukan dan menguntungkan dengan semua agama di Indonesia, termasuk Islam sebagai agama mayoritas penduduk Indonesia. Ini artinya, legislasi hukum Islam termasuk ekonomi Islam dijamin dan diperkenankan oleh UndangUndang Dasar 1945. Dalam kenyataan dan praktiknya, terdapat tiga sistem hukum (termasuk hukum ekonomi) yang berlaku di Indonesia ialah Barat, adat dan Islam.Akan tetapi, kehadiran ketiga sistem hukum itu tidak pernah mendapat kesempatan untuk mencari titik-titik persamaan.Sebaliknya, oleh politik hukum kolonial, justru dipertajam, dan kalau perlu diadakan pertentangan-pertentangan antara ketiga sistem hukum itu.Karena ketiga sistem hukum itu berlaku dalam satu masyarakat, masyarakat Indonesia, maka sejarah hukum pada masa kolonial Belanda dipenuhi oleh sejarah perbenturan ketiga sistem hukum tersebut.37Ini 36Ibid., h. 29-30 Bustanul Arifin, Pelembagaan hukum Islam di Indonesia: akar sejarah, hambatan dan prospeknya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 70. 37 Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 23 Isa Ansori Positivisasi Hukum Ekonomi … menuntut pada perlunya perumusan kembali peraturan perundang-undangan yang digali dari sumber asli yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat Indonesia.Disinilah letak pentingnya ekonomi Islam memberikan kontribusi positif dalam perumusan hukum dan perundang-undangan ekonomi nasional yang diidam-idamkan. Peralihan dari ideologi hukum kolonial kepada hukum nasional mengakibatkan kebutuhan dominasi hukum antar-personal dalam menyelesaikan konflik hukum di antara berbagai tradisi hukum yang berlainan.Itu semua adalah dampak dari perubahan politik di era nasional, di mana sentralisme negara lebih menekankan keseragaman hukum.Konflik hukum lahir dari keragaman tatanan normatif yang muncul dalam situasi di mana negara dianggap sebagai satu-satunya institusi yang mampu menyelesaikannya.Karena itu, dalam pertemuan dengan misi nasionalisasi hukum, negara terus menerus berusaha menggiring berbagai tradisi subtantif ke dalam jalur tunggal. Di sini legislasi dipandang sebagai salah satu cara terbaik untuk mencapai tujuan tersebut. Walaupun keseragaman itu sendiri tidak mesti tercapai, namun metode legislasi mampu membantu negara dalam meredam konflik.38Legislasi menjadi salah satu sarana paling penting untuk menyelesaikan konflik dalam kasus-kasus hukum antar personal. Walau legislasi tidak selalu melahirkan sebuah penyelesaian, namun dalam kebanyakan kasus ia memainkan peran dalam mencetuskan upaya-upaya lebih lanjut penyelesaian konflik yang muncul akibat berbagai perbedaan dalam tatanan normatif.39 Usaha meretas hukum Islam yang mempu menjawab tantangan zaman terlihat juga dalam “Fiqh Madzhab Nasional (Madzhab Indonesia)” yang menjelma menjadi tema pemikiran hukum Islam Hazairin selama rentang waktu 1950-an hingga 1975. Dengan dilatarbelakangi oleh adanya disharmoni antara hukum Islam dengan tradisi (adat) dalam konteks ikhtiar mengintegrasikan hukum Islam ke dalam sistem hukum Nasional, terutama upaya legislasi hukum Islam yang dapat dipakai sebagai acuan perundang-undangan di lingkungan Peradilan Agama, tema pemikiran hukum Islam ini jelas bisa dikatakan sebagai usaha merespons tantangan pembangunan.40 Namun pada umumnya, metode yang dikembangkan dalam menangani isu penerapan hukum Islam biasanya masih bertumpu pada pendekatan yang ad hoc dan terpilah-pilah (fragmented) dengan mengeksploitasi prinsip-prinsip ushul fiqh lama, terutama takhayyur dan talfiq. Takhayyur adalah suatu motede yurisprudensi yang menurutnya seorang Muslim dalam suatu situasi spesifik diizinkan keluar dari penafsiran madzhab hukumnya sendiri untuk mengikuti penafsiran salah satu dari tiga madzhab Sunni lainnya. Eksploitasi metode ini 38 Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler: Studi tentang Konflik dan Resolusi Sistem Hukum Indonesia, (Ciputat: Pustaka Alvabet., 2008), h. 370-1. 39Ibid., h. 390 40 Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia: Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris, (Yogyakarta: LKiS, 2005), h. 172. Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 24 Isa Ansori Positivisasi Hukum Ekonomi … dalam isu penerapan syariat bahkan diperluas cakupannya untuk memilih opini di luar madzhab Sunni yang empat, atau opini para pakar hukum sebelum terkristalnya mazhab, atau opini pakar yang belakangan. Sementara talfiq adalah suatu metode yang dengannya pandangan-pandangan berbagai mazhab atau yuris Muslim dikombinasikan untuk membentuk suatu peraturan tunggal. Sebagaimana takhayyur, talfiq juga diperluas cakupannya dengan memasukkan pandangan-pandangan di luar madzhab Sunni yang empat.41 Menurut Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Pangabean, penerapan metode seleksi (takhayyur) dan eklektik (talfiq) akan menghasilkan pranatapranata hukum yang serampangan, arbitrer dan self-contradictory. Memungut fragmen-fragmen opini masa lalu yang terisolasi – tanpa melihat akar sosiohistorisnya – kemudian menyusunnya ke dalam sejénis mosaik yang arbitrer dengan menyelundupkan ke bawah permukaannya berbagai struktur ide yang diadopsi dari Barat tanpa mempertimbangkan kontradiksi atau inkonsistensinya, jelas merupakan upaya legislasi yang artifisial dan tidak realistis.42 Fazlur Rahman, pemikir neo-modernis dari Pakistan, bahkan mengkritik secara pedas kecenderungan penerapan metode seleksi dan eklektik dalam legislasi Islam Modern. Rahman mengakui bahwa pada taraf terbatas, prosedur semacam itu mungkin dapat diterapkan terhadap masalah-masalah tertentu tanpa merugikan asas-asas reformasi Islam, asalkan tuntutan konsistensi-internal tidak dikorbankan. Akan tetapi, penerapannya dalam skala besar-besaran pasti akan mengorbankan modernisme di atas altar tradisionalisme dan membuat ijtihad betul-betul pleonastic, karena metode tersebut menengok ke belakang, bukan ke depan.43 Sementara itu menurut an-Nabhani, Tatkala negara melegalisasi hukum apapun, pengambilannya harus berdasarkan pertimbangan dalil syar‟i yang kuat disertai pemahaman yang tepat mengenai peristiwa yang sedang terjadi.Karena itu, tindakan pertamayang dilakukan oleh negara hendaknya mengkajiperistiwa yang dihadapi.Sebab, memahami secarabenar setiap peristiwa merupakan halyang sangat penting dan diperlukan.Negara jugaharus memahami hukumsyari‟atIslam yangberkaitan dengan peristiwayang dihadapinya, disamping mengkaji dalil hukum syari‟at itu.Baru setelah itu, negara melegalisasi hukum berdasarkan kekuatan dalil.Perlu diperhatikan disini bahwa yudifikasihukum-hukum syari‟atIslam bisa diambil dari pendapat salah seorang mujtahid, setelah mengetahui dalilnya danmerasa puasterhadap kekuatan dalil tersebut.Bisa juga diambil (secaralangsung) dari Kitab, Sunah, Ijma‟ atauQiyas.Namun harus melalui ijtihad yang syar‟i, sekalipun berupa ijtihad masalah (ijtihad juz‟i). Misalnya, jika Daulah Islam ingin melegalisasikan 41 Taufik Adnan Amal, Samsu Rizal Pangabean, Politik Syariat Islam: dari Indonesia hingga Nigeria, (Ciputat: Pustaka Alvabet, 2004),h. 182. 42Ibid. 43Ibid., h. 183 Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 25 Isa Ansori Positivisasi Hukum Ekonomi … hukummengenai larangan asuransibarang, maka pertama-tama negara harusmempelajariapayang dimaksud denganasuransibarang, agardiketahuinya secara benar. Kemudian mempelajari sarana-sarana penguasaan pemilikan.Dan terakhir diterapkan hukum Allah mengenai hak pemilikan pada jenis asuransiitusekaligus melegalisasikan hukumsyara‟ untuk masalah tadi.44 Panitia khusus yang dibentuk oleh pemerintahah Mesir untuk merubah undang-undang di negara itu, mengukuhkan pasal 2-nya45 dengan mengharuskan legislatif kembali pada syariat Islam guna mencari tujuantujuannya, dengan keharusan tidak kembali pada syariat selainnya (Islam). Jika dalam syariat Islam tidak ditemukan suatu hukum yang jelas dan terang, maka jalan yang tepat untuk menetapkan hukum-hukum sosial dan syariat Islam adalah hendaknya legislatif menetapkan hukum yang sesuai dan yang tidak bertentangan dengan dasar-dasar dan prinsip-prinsip universal syariat Islam, dengan sumber-sumber syariat Islam yang fundamental adalah Al-Qur‟an, hadis, ijma‟, dan fiqh, disamping ada beberapa sumber lain yang masih diperselisihkan oleh berbagai madzhab, seperti al-maslahah al-mursalah, „urf, istihsan, dan sebagainya.46 Juga menetapkan bahwa hukum yang ketetapan dan dalalahnya pasti (qath‟iy al-śubut wa al-dalâlah), tidak menerima pembahasan atau ijtihad, sedangkan hukum yang masih menerima ijtihad, ialah hukum yang ketetapan atau dalalhnya zhanniy (dzanniy al-śubut wa al-dalâlah). Hukum-hukum yang masih menerima ijtihad (al-ahkâm al-ijtihâdiyyah) itu mengalami perubahan sesuai dengan perubahan waktu dan tempat, suatu hal yang melahirkan adanya beberapa madzhab dalam Islam, bahkan beberapa pendapat dalam satu madzhab.Inilah yang memberikan fiqh Islam elastis dan dinamis, memungkinkan syariat Islam tetap berlaku di segala tempat dan waktu.47 Dalam konteks Indonesia, metode baru penerapan syariat termasuk dalam system bernegara termasuk ekonomi diperkenalkan oleh Partai Keadilan Sejahtera. Strategi Partai Keadilan berpendapat bahwa berjuang untuk penggabungan syari'at dalam konstitusi diperlukan satu set langkah persiapan, yang dikenal sebagai tadarruj(pentahapan). Langkah pertama adalah menciptakan personalitas setiap individu yang Islami (takwin al-syakhşiyyah alIslâmiyyah), berkait dengan motto yang populer: “Jika Anda ingin mendirikan negara Islam, mulailah dengan mendirikan Islam di dalam diri Anda”. Langkah Taqyuddin an-Nabhani, Peraturan Hidup Dalam Islam, Penerjemah, Abu Amin dkk, (Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia, 2007), h. 136-7 45Pasal 2 berbunyi “Islam adalah agama negara dan bahasa Arab adalah bahasa resmi, dan dasardasar syariat Islam adalah sumber utama (al-mashdar ar-ra‟isi) legislasi hukum Islam”. Sebelumnya beberapa usulan diajukan untuk mengamandemen pasal ini, sebagian menguatkan pentingnya bersandar pada syariat Islam pada saat penetapan legislasi, dan sebagian yang lain menguatkan pentingnya menerapkan prinsip-prinsip syariat ini dengan menyatakan bahwa tidak ada paksaan dalam agama dan tidak adanya pembedaan di antara orang-orang Mesir karena mereka berbeda agama, dan tunduknya orang-orang non Muslim pada syariat agamanya masing-masing. 46 Muhammad Sa‟id „Ashmawi, Nalar Kritis Syariah, Penerjemah, Luthfi Tomafi, (Yogyakarta: LKIS, 2004),h. 218. 47Ibid. 44 Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 26 Isa Ansori Positivisasi Hukum Ekonomi … berikutnya adalah dakwah individu (dakwah farḍiyyah), khususnya mengislamkan keluarga (takwin al-bait al-muslim), diikuti oleh gerakan sosial dakwah terhadap masyarakat (irsyad al-mujtama‟ wa iṣlâhuhu). Gerakan ini dibagi ke dalam gerakan legislasi, mengacu kepada perjuangan di parlemen dan legislasi hukum Islam satu per satu, setelah itu, perjuangan konstitusional, mengacu kepada penulisan peristilahan syariah ke dalam konstitusi.Dua langkah terakhir adalah usaha untuk memulihkan khilafah islamiah (I‟adatu kayan alkhilâfah al-islâmiyah), dan paling akhir, menciptakan Islam sebagai dasar peradaban manusia (utadziyyat al „âlam).48 E. Kesimpulan Dalam era globalisasi saat ini, positivisasi hukum ekonomi adalah suatu keniscayaan. Positivisasi hukum ekonomi tidak lagi menjadi domain Negara komunis tetapi juga telah dipraktikkan oleh Negara-negara kapitalis liberal, ini tidak lain bertujuan untuk melindungi kepentingan ekonomi setiap Negara dari persaingan bisnis global yang semakin ketat. Hukum ekonomi Islam (Syariah), sebagai sumber hukum yang keberadaannya dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945, sudah saatnya didorong untuk menjadi hukum positif yang mengatur bisnis ekonomi syariah di Indonesia, tidak parsial tetapi dalam sekala yang lebih komprehensif sebagai bagian mewujudkan tujuan masyarakat adil makmur dan sejahtara. Negara berperan penting untuk mendorong positivisasi ini meggunakan beberapa pendekatan dan metode yang lebih diterima oleh masyarakat Indonesia. Daftar Pustaka Abu al-A‟la al-Mawdudi, Islamic Law and Constitution, Lahore: 1967 Abu al-Hasan al-Mawardiy, al-ahkâm al-Sulthaniyyah, Beirut: Dar al-Fikr, tt. Adi Sulistiyono, Muhammad Rustamaji, Hukum Ekonomi Sebagai Panglima, Sidoarjo: Masmedia Buana Pustaka, 2009 Bernard Platzdasch, Islamism in Indonesia: Politics in the emerging democracy, Pasir Panjang Singapore: Institute of Southeast Asian Studies ISEAS Publishing, 2009 Bustanul Arifin, Pelembagaan hukum Islam di Indonesia: akar sejarah, hambatan dan prospeknya, Jakarta: Gema Insani Press, 1996 Elsi Kartika Sari, Advendi Simangungsong, Hukum dalam Ekonomi, Ed.2., Jakarta: Grasindo, 2007 Imam Khomeini, Islam and Revolution: writings and declarations of Imam Khomeini, Terjemahan dan anotasi Hamid Algar, Berkeley: 1981 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, Jakarta: Kompas Penerbit Buku, 2010 Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara: Perspektif modernis dan fundamentalis, Magelang: Yayasan Indonesiatera, 2001 Bernard Platzdasch, Islamism in Indonesia: Politics in the emerging democracy, (Pasir Panjang Singapore: Institute of Southeast Asian Studies ISEAS Publishing, 2009), h. 203. 48 Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 27 Isa Ansori Positivisasi Hukum Ekonomi … Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia: Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris, Yogyakarta: LKiS, 2005 Marzuki Wahid, Rumadi, Fiqh madzhab negara: kritik atas politik hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: LKiS, 2001 Muhammad Sa‟id „Ashmawi, Nalar Kritis Syariah, Penerjemah, Luthfi Tomafi, Yogyakarta: LKIS, 2004 Panduan bantuan hukum di Indonesia: pedoman anda memahami dan menyelesaikan masalah hukum, Jakarta: YLBHI, 2007 Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler: Studi tentang Konflik dan Resolusi Sistem Hukum Indonesia, Ciputat: Pustaka Alvabet., 2008 Taqyuddin an-Nabhani, Peraturan Hidup Dalam Islam, Penerjemah, Abu Amin dkk, Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia, 2007 Taufik Adnan Amal, Samsu Rizal Pangabean, Politik Syariat Islam: dari Indonesia hingga Nigeria, Ciputat: Pustaka Alvabet, 2004 Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 28 PEMBERIAN ASI; UPAYA PEMENUHAN HAK ANAK ANTARA REGULASI DAN IMPLEMENTASI Enizar Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Jurai Siwo Metro Lampung Abstrak Salah satu hak bayi untuk menjamin keberlangsungan kehidupannya dan tumbuh kembangnya secara optimal adalah dengan mendapatkan ASI. ASI merupakan makanan yang paling tepat untuk bayi, karena Allah telah mempersiapkan jauh sebelum si bayi lahir ke dunia ini. Selain komposisinya yang sesuai untuk pertumbuhan bayi yang bisa berubah sesuai dengan kebutuhan pada setiap saat, ASI juga mengandung zat pelindung yang dapat menghindari bayi dari berbagai penyakit infeksi. Orang tua dalam hal ini ibu mempunyai kewajiban untuk memberikan ASI kepada anaknya. Baik hukum yang bersumber dari al-Qur‟an dan hadis atau pun hukum yang disandarkan pada regulasi yang ada di negara Indonesia menjelaskan hak bayi tersebut. Namun, dalam realitasnya banyak bayi yang tidak mendapatkan haknya, bayi tidak mendapatkan ASI tetapi diberi makanan pengganti ASI atau susu formula yang sebagian besar berasal dari ASPI (air susu sapi). Fenomena ini menunjukan adanya pelanggaran hak anak untuk mendapatkan makanan yang cocok. Dari pengkajian terhadap ayat dan hadis, serta aturan yang mengatur tentang pemberian ASI bahwa Ibu mempunyai kewajiban untuk memberikan ASI-nya sebagai makanan pokok bayinya, selama 2 (dua) tahun dan minimal sampai bayi berusia 6 bulan. Ketika Ibu kandung tidak dapat melaksanakan kewajibannya dengan alasan akan membahayakan bagi diri atau anaknya, Islam memberikan tuntunan untuk membayar Ibu lain yang dapat memberikan ASI. Islam mengarahkan agar anak tetap mengkonsumsi ASI. Berbeda dengan hukum yang ada di Indonesia, ketika ibu tidak dapat memberi ASI kepada bayinya, maka orang tua menggunakan makanan penggganti ASI yaitu susu formula atau donor ASI. Tidak memberikan ASI kepada bayi sama halnya dengan melanggar hak anak. Oleh sebab itu, orang tua harus mengikuti ketentuan yang oleh Islam 15 abad yang lalu telah memberikan solusi untuk pemberian ASI dari ibu kandung atau pun ibu susu. Dalam aturan di Indonesia ASI dari ibu kandung atau Donor ASI. Kata kunci : Hak Anak, ASI, Susu Formula, Ibu susu B. Pendahuluan Manusia dalam menjalani kehidupannya di dunia ini dimulai dari masa bayi. Bayi sangat tergantung kepada ibunya atau orang di sekitarnya. Salah satu kebutuhan pokok bayi adalah mendapatkan kebutuhan dasar hidupnya yaitu mendapatkan air susu ibu (ASI). Air susu ibu (ASI) merupakan makanan pokok bayi karena Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang telah mempersiapkan ASI sebelum bayi lahir. Sebagai makanan pokok yang disiapkan oleh Khaliq, tentu saja ASI mengandung semua zat yang dibutuhkan oleh bayi dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Sebagai warga negara Indonesia, negara memberikan jaminan yang diberikan negara agar bayi mendapatkan haknya. Dalam berbagai regulasi yang ada mulai dari UUD 1945, UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Enizar Pemberian ASI; Upaya… Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 03 Tahun 2010 Tentang Penerapan Sepuluh Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui. Dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. UUD 1945 secara tegas menjelaskan ada hak setiap anak dalam hal ini termasuk bayi, untuk mendapatkan asupan makanan yang sesuai dengan perkembangan pisiknya. Bayi dengan demikian berhak mendapatkan ASI agar bayi dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Selain itu menurut Undang Undang No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pada pasal 128 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap bayi berhak mendapatkan Air Susu Ibu Eksklusif 49 sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan. Bayi setelah 30 menit dari kelahirannya50 sampai 6 (enam) bulan bayi hanya diberikan air susu ibu saja tanpa makanan atau minuman lain. Setelah usia 6 bulan, anak tetap menerima pemberian ASI dengan makanan tambahan sampai anak berusia 2 tahun. Dalam ayat (2) pasal 128 Undang Undang No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan juga menyebutkan bahwa selama pemberian Air Susu Ibu, pihak keluarga, pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat harus mendukung ibu bayi secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus. Konsistensi terhadap ketentuan di atas diiringi dengan ditetapkannya Undang-Undang No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Pada pasal 29 huruf i Rumah Sakit diwajibkan untuk menyediakan sarana prasarana umum yang antara lain sarana untuk wanita menyusui dan anak-anak. Secara nyata sekarang di berbagai fasilitas umum seperti mall, bandara, dan fasilitas umum lainnya disediakan ruangan khusus untuk ibu menyusui. Sehingga dengan fasilitas tersebut ibu yang menyusui dapat memberikan ASInya di tempat khusus secara leluasa dan aman. Undang undang No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pun memberikan pesan yang sama, pada pasal 44 ayat (1) menyatakan bahwa Pemerintah wajib menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan upaya kesehatan yang komprehensif bagi anak, agar setiap anak memperoleh derajat kesehatan yang optimal sejak dalam kandungan. Meskipun regulasi yang mengatur hak bayi untuk mendapatkan ASI sampai usianya 2 (dua) tahun telah sangat jelas dengan segala fasilitas pendukungnya, namun dalam realitasnya masih banyak ibu yang tidak memberikan ASI kepada anak bayinya dan menggantinya dengan susu formula 49Air susu Ibu Eksklusif adalah pemberian hanya air susu ibu saja tanpa makanan atau minuman lain kepada bayi sejak lahir sampai berusia enam bulan Pasal 1 ayat 3 Permen PP dan PA, h. 2 50 Lampiran Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No. 02 tahun 2010 tentang Penerapan Sepuluh Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui, h.22 Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 30 Enizar Pemberian ASI; Upaya… (sufor).51 Berdasarkan hasil survey yang menjadi latar belakang disusunnya Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 03 Tahun 2010 Tentang Penerapan Sepuluh Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui terlihat bahwa data Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tercatat bahwa cakupan ASI Eksklusif sebesar 38% (SDKI,2007), menurun dari kondisi tahun 2002-2003 yaitu 39,5% dari keseluruhan bayi, sementara jumlah bayi di bawah 6 bulan yang diberi susu formula meningkat dari 16,7% (SDKI 2002-2003) menjadi 27,9% (SDKI,2007). Hal ini disebabkan antara lain masih adanya stigma dan stereotipe bahwa menyusui merupakan urusan perempuan/ibu saja yang selama ini masih melekat dengan erat di sebagian besar masyarakat Indonesia. 52 Pandangan yang sangat bias gender, karena meskipun pada hakikatnya perempuan yang memiliki kodrat untuk menyusui, namun laki-laki sangat berperan penting dalam memberikan dukungan bagi ibu untuk terus menyusui sehingga tercapai keberhasilan menyusui eksklusif hingga usia anak 6 bulan dan dilanjutkan dengan ASI dan Makanan Pendamping ASI hingga anak berusia dua tahun. Disamping itu, masih rendahnya pengetahuan ibu dan keluarga tentang pentingnya pemberian ASI Eksklusif di satu sisi dan di sisi lain, gencarnya promosi atau iklan susu formula yang sangat menarik dan menggoda, sehingga si ibu terdorong untuk menggunakan susu formula. Hal ini menjadi kendala dalam Upaya Peningkatan Pemberian ASI Eksklusif. Dengan demikian keberhasilan dan kelancaran ibu dalam menyusui memerlukan kondisi kesetaraaan antara laki-laki dan perempuan. Faktor lain yang juga ikut memberikan sumbangan pada belum optimalnya pemberian ASI, karena pada kenyataannya masih ada beberapa fasilitas pelayanan kesehatan yang belum menerapkan upaya-upaya penerapan sepuluh langkah menuju keberhasilan menyusui. Tenaga kesehatan pada beberapa fasilitas pelayanan kesehatan belum mendapatkan keterampilan untuk memberikan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) kepada ibu hamil dan menyusui tentang teknik pemberian ASI yang baik dan benar selama berada di sarana pelayanan kesehatan. Selain itu belum semua suami, keluarga, masyarakat, tempat kerja berperan dalam mendukung penerapan sepuluh langkah menuju keberhasilan menyusui. Berdasarkan kenyataan tersebut, dalam menghadapi situasi dan kondisi sekarang, perlu untuk memahami substansi pemberian ASI yang sesungguhnya. Sehingga pemberian ASI bukan hanya dari ibu kandung sendiri. Dalam Islam, 51 Susu Formula Bayi adalah susu yang secara khusus diformulasikan sebagai pengganti ASI untuk Bayi sampai berusia 6 (enam) bulan. (Peraturan Pemerintah No. 33 2012, tentang Pemberian ASI Eksklusif Pasal 1 ayat 5) 52 Lampiran Kepmen PP dan PA, h. 8 Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 31 Enizar Pemberian ASI; Upaya… ada isyarat dari Q.S. Baqarah [2]: 233 yang membenarkan ASI lain.53 Ayat ini memberikan prioritas memberikan ASI ditujukan kepada ibu kandung, namun di penghujung ayat Allah memperbolehkan Air Susu Ibu lain (Ibu Susu). Ayat ini dapat dijadikan sebagai legalisasi terhadap kebolehan untuk pemberian ASI kepada anak sampai usia 2 tahun, baik dari ibu kandung atau pun ibu susu. Untuk keperluan itu, ayat dan Hadis yang mengatur tentang hadiah harus dipahami sesuai dengan konteksnya dan komprehensif. Berdasarkan keterangan di atas, dalam pemberian ASI, ada kemungkinan dari Ibu kandung atau Ibu Susu, namun dalam realitasnya sangat jarang Ibu kandung menggunakan jasa Ibu Susu dan lebih memilih susu formula yang dari berbagai aspeknya susu formula tentu saja tidak dapat sebagai pengganti ASI.. Permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah bagaimana pemenuhan kebutuhan anak terhadap ASI menurut hukum positif dan hukum Islam ? Pembahasan ini bertujuan untuk mengetahui pemberian ASI sebagai pemenuhan hak bayi menurut hukum positif dan Islam dan solusi yang ditawarkan kepada Ibu Kandung yang tidak bisa memberikan ASI bagi anaknya. Hasil pembahasan ini diharapkan bermanfaat bagi akademisi untuk mengetahui tentang pemberian ASI sebagai upaya pemenuhan hak anak. Bagi ibu, dapat memberikan alternatif agar ASI tetap menjadi makanan pokok bayi meskipun ibu kandungnya tidak bisa memberkan ASI nya. Untuk menjawab permasalahan di atas, ketentuan dalam peraturan yang berlaku dan keterangan yang diberikan oleh Rasulullah Saw. merupakan suatu yang urgen untuk diperhatikan dan diungkapkan, karena terdapat beberapa alasan normatif dan logis tentang itu. Pertama, secara normatif, Rasulullah Saw. telah dinyatakan Allah sebagai teladan.54 Pada masa sekarang, untuk dapat meneladani Rasulullah Saw. tentu hanya bisa dilakukan melalui penelusuran terhadap Hadis yang ditinggalkannya. Begitu juga, secara eksplisit dinyatakan oleh Rasulullah Saw. bahwa Hadis merupakan pedoman, selain Al-Qur'an yang harus diperhatikan dan diamalkan oleh umat Islam yang tidak menginginkan keluar jalur yang sudah ditetapkan Allah.55 Sumber data pembahasan ini adalah regulasi yang berlaku di negara Indonesia. Sebagai umat Islam sumber data yang digunakan adalah kitab-kitab tafsir, hadis yang telah dinyatakan sebagai kitab standar dan kitab fiqh. Untuk menganalisis data dipergunakan content analysis. Analisis kontent merupakan analisis terhadap isi atau pesan yang dapat disamakan dengan 53 “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Ayah wajib memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma‟ruf. ….Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” 54 Q. S. al-Ahzab/33: 21 55 Malik bin Anas, al-Muwatha‟, (Beirut, Dar al-Fikr, 1970), h. 602 Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 32 Enizar Pemberian ASI; Upaya… analisis konteks.56 Dengan analisis kontent dapat diketahui maksud sebenarnya dari penyampai pesan. Untuk membahas data yang ditemukan dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. C. Kajian Teori Air Susu Ibu yang selanjutnya disebut ASI adalah cairan hidup yang mengandung sel-sel darah putih, imunoglobulin, enzim dan hormon, serta protein spesifik, dan zat-zat gizi lainnya yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan anak.57 Dalam PP No. 33 2012 Pasal 1 ayat 1 dijelaskan bahwa ASI adalah cairan hasil sekresi kelenjar payudara ibu.58 Berdasarkan pengertian ASI di atas, ASI memiliki keunggulan: 1. Kadar ASI bisa berubah sesuai dengan fase-fase pertumbuhan bayi. 2. Jumlah kalori dan zat gizi berubah berdasarkan keadaan bayi saat lahir, apakah ia lahir prematur ataukah tepat waktu. Bila bayi lahir prematur, kadar lemak dan protein ASI lebih tinggi daripada kebutuhan bayi umumnya, karena bayi prematur membutuhkan kalori lebih banyak. Kenggulan yang ada pada ASI di atas tidak bisa ditemui pada susu formula. Unsur-unsur sistem kekebalan tubuh yang dibutuhkan bayi, seperti anticore atau sel pertahanan tubuh, sangat tersedia dalam ASI. Ibaratnya mereka sebagai Paspampres, mempertahankan tubuh bayi yang sebenarnya asing bagi mereka, dan melindungi sang bayi dari musuh. Selain itu, ASI merupakan antibakteri. Perbedaanya dengan bakteri pada susu formula, bakteri bisa tumbuh dalam susu biasa yang disimpan pada suhu kamar selama enam jam. Namun, tidak ada bakteri yang muncul dalam ASI yang disimpan dalam suhu dan jangka waktu yang sama. Ilmu biologi tetap menganggap bahwa ASI sangat di butuhkan bayi dalam perkembangan otak dan tubuhnya. Namun, sampai saat ini, dengan banyaknya iklan susu formula membuat ibu-ibu lebih tertarij, untuk memilih susu formula dibandingkan dengan ASI. Susu formula adalah bentuk fermentasi dan modifikasi dari susu sapi sehingga bisa disebut Air Susu Sapi (ASPI). Di dalam ASI, terdapat tiga unsur protein yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ASPI. Sehingga, dampaknya masih akan dirasa sampai dewasa dalam menjaga kesehatannya. Sebab ASI akan memperbaiki dan mempertahankan sistem kekebalan tubuh. Ini bisa ditemukan pada air susu ibu pertama keluar atau 56 Klaus Krippendorff, Content Analysis, an Introduction to its Metodology, (London, Sage Publication, 1980), h. 21, Noeng 1996), h. 49-51 (Yogyakarta, Rake Sarasin, Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 03 Tahun 2010 Tentang Penerapan Sepuluh Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui pasal 1 ayat 2, h. 2 58 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2012 Tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif , h. 2 Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, 57 Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 33 Enizar Pemberian ASI; Upaya… colustrum yang meningkatkan produksi antibodi, menjadi anti-oksidan dan anti radikal bebas (free radicals), yang akan menghancurkan plasma sel.59 Selain itu, kadar 3,5-4,5 persen lemak menjadi sumber utama ASI dalam kandungan nutrien. Kemudian karbohidrat, yang kandungan utamanya adalah laktose, kadarnya paling tinggi dibanding susu mamalia lain (7%). Protein, dengan kadar 0,9 persen. ASI mengandung garam dan mineral lebih rendah dibanding susu sapi. Vitamin, ASI cukup banyak mengandung vitamin yang diperlukan bayi. Yaitu, vitamin K yang berfungsi sebagai katalisator pada proses pembekuan darah, dengan jumlah yang cukup, dan mudah diserap, juga mengandung vitamin E dan D. Selnjutnya, ASI juga mengandung zat protektif. yaitu flora normal akibat bakteri Laktobacilus sp. yang berfungsi mengubah laktose menjadi asam laktat dan asam asetat. Keduanya bersifat asam dalam pencernaan, yang mampu menghambat pertumbuhan mikro organisme, seperti bakteri E.Coli. juga laktoferin, yaitu protein yang berkaitan dengan zat besi. Dengan mengikat zat besi, maka laktoferin bermanfaat untuk menghambat pertumbuhan kuman tertentu, seperti Stafilokokus dan Escericia sp. Kemudian mengandung enzim yang dapat memecah dinding bakteri (Lizozim). Antistreptokokus, yang melindungi bayi dari infeksi kuman tertentu. Antibodi, yang dapat mencegah bakteri patogen dan enterovirus masuk kedalam usus.60 Tidak ada alasan bagi ibu untuk tidak memberikan ASI. seharusnya ibu memberikan ASI nya untuk hak anaknya.Ibu-ibu karier yang mengetahui keutamaan ASI dibanding makanan bayi lainnya tentu ibu tidak akan lekas menyapih anaknya. Kalaupun tidak bisa karena tuntutan karier, apa boleh buat. Zaman Rasulullah, pernah ada seorang ibu yang air susunya terus mengalir terus tanpa berhenti. Yaitu Halimah, sekaligus yang menyusui Nabi Muhammad SAW. Ada 10 Manfaat ASI Bagi Bayi: 1. Pemberian ASI pada bayi akan meningkatkan perlindungan terhadap banyak penyakit seperti radang otak dan diabetes. 2. ASI juga membantu melindungi dari penyakit-penyakit biasa seperti infeksi telinga, diare demam dan melindungi dari Sudden Infant Death Syndrome (SIDS) atau kematian mendadak pada bayi. 3. Ketika bayi yang sedang menyusui sakit, mereka perlu perawatan rumah sakit jauh lebih kecil dibanding bayi yang minum susu botol. 4. Air susu ibu memberikan zat nutrisi yang paling baik dan paling lengkap bagi pertumbuhan bayi. 5. Komponen air susu ibu akan berubah sesuai perubahan nutrisi yang diperlukan bayi ketika ia tumbuh. Lampiran Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, h. Lampiran Permen PP dan PA, h. 12 Sunoto, Aspek imunologik daripada Air Susu Ibu dalam Suharyono, Rulina Suradi dan Agus Finnansyah, Air Susu Ibu, Tinjauan dari beberapa Aspek. Fakultas Kedokteran U.I., 1992. 59 60 Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 34 Enizar Pemberian ASI; Upaya… 6. Air susu ibu akan melindungi bayi terhadap alergi makanan, jika makanan yang dikonsumsi sang ibu hanya mengandung sedikit makanan yang menyebabkan alergi. 7. Pemberian ASI akan menghemat pengeluaran keluarga yang digunakan untuk membeli susu formula dan segala perlengkapannya. 8. Air susu ibu sangat cocok dan mudah, tidak memerlukan botol untuk mensterilisasi, dan tidak perlu campuran formula. 9. Menyusui merupakan kegiatan eksklusif bagi ibu dan bayi. Kegiatan ini akan meningkatkan kedekatan antara anak dan ibu. 10. Resiko terjadinya kanker ovarium dan payudara pada wanita yang memberikan ASI bagi bayinya lebih kecil dari pada wanita yang tidak menyusui Namun, ada satu hal lagi anak yang tidak diasupi air susu sapi (ASPI) sebelum 2 tahun insyaAllah akan sangat mudah sekali diberi makanan padat, maksudnya tidak susah makan atau tidak pilih-pilih makan. Mengingat pentingnya ASI bagi pertumbuhan dan perkembangan anak, negara memberikan regulasi untuk menjamin terpenuhi kebutuhan dasar bayi tersebut. Regulasi yang mengatur tentang pemberian ASI kepada bayi adalah: 1. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 No. 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No.4235); 2. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No. 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No.4437), sebagaimana yang telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang No.12 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 No.59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No.4844); 3. Undang-Undang No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 No.144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No.5063); 4. Undang-Undang No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia No.153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 5072); 5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2012 Tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif 6. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 450/MENKES/SK/IV/2004 tentang Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Secara Eksklusif Pada Bayi di Indonesia. 7. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 237/MENKES/SK/IV/1997 tentang Pemasaran Pengganti Air Susu Ibu Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 35 Enizar Pemberian ASI; Upaya… 8. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 03 Tahun 2010 Tentang Penerapan Sepuluh Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui 9. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 450/Menkes/SK/IV/2004 tentang Pemberian ASI Secara Ekslusif pada bayi di Indonesia 10. Peraturan Bersama Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Menteri Kesehatan nomor : 48/Men.PP/XII/2008, PER.27/MEN/XII/2008, 1177/Menkes/PB/XII/ 2008 tanggal 22 Desember 2008 tentang Peningkatan Pemberian ASI Selama Waktu Kerja di Tempat Kerja. Di samping itu juga ada Konvensi tentang Hak Anak, mengatakan bahwa setiap anak menyandang hak untuk hidup dan kepastian untuk dapat bertahan hidup serta tumbuh kembang yang optimal. Untuk mencapai tumbuh kembang optimal, di dalam Global Strategy for Infant and Young Child Feeding, WHO/UNICEF merekomendasikan empat hal penting dalam pemberian makanan bayi dan anak yaitu : 1. Memberikan Air Susu Ibu (ASI) kepada bayi segera dalam waktu 30 menit setelah bayi lahir, 2. Memberikan hanya ASI saja atau pemberian ASI secara eksklusif sejak lahir sampai bayi berusia 6 bulan, 3. Memberikan Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) sejak bayi berusia 6 bulan sampai 2 tahun, dan 4. Meneruskan pemberian ASI sampai anak berusia 2 tahun. D. Keutamaan ASI ASI sudah dipersiapkan oleh Allah yang Maha Mengetahui untuk bayi dan secara ilmiah telah dibuktikan memiliki keunggulan yang sangat menakjubkan. Keunggulan dan manfaat ASI bagi anak dapat dilihat dari beberapa aspek: 1. Aspek Gizi 61 Manfaat Kolostrum (Air Susu Ibu yang keluar pada hari-hari pertama setelah bayi lahir) mengandung zat kekebalan terutama Imunoglobulin A (IgA) untuk melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi terutama diare. Kolostrum mengandung protein, vitamin A yang tinggi dan mengandung karbohidrat dan lemak rendah, sehingga sesuai dengan kebutuhan gizi bayi pada hari-hari pertama kelahiran. Di samping itu Kolostrum membantu mengeluarkan mekonium yaitu tinja (faeces) atau kotoran bayi yang pertama berwarna hitam kehijauan. ASI memiliki Komposisi 62 yang mudah dicerna, mengandung zat gizi yang sesuai, juga mengandung enzim-enzim untuk mencerna zatzat gizi yang terdapat dalam ASI ; mengandung protein yang tinggi 61 62 Lampiran Permen PP dan PA, h. 11 Kepmen PP dan PA, h. 11 Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 36 Enizar Pemberian ASI; Upaya… 2. 3. 4. 5. dan zat-zat gizi berkualitas tinggi yang berguna untuk pertumbuhan dan perkembangan kecerdasan bayi/anak. ASI juga memiliki komposisi Taurin 63, DHA64 dan AA 65 Aspek Imunologik, ASI mengandung zat anti infeksi, bersih dan bebas kontaminasi; ada kandungan zat yang dapat melumpuhkan bakteri patogen E. Coli dan berbagai virus pada saluran pencernaan; Laktoferin 66 ; Lysozim 67 dan sel darah putih; 68 Aspek Psikologik 69 Rasa percaya diri ibu dan kasih sayang terhadap bayi mempengaruhi produksi ASI; Interaksi Ibu dan Bayi akan berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan psikologik bayi; kontak langsung ibu-bayi akan menimbulkan rasa aman dan puas karena bayi merasakan kehangatan tubuh ibu dan mendengar denyut jantung ibu yang sudah dikenal sejak bayi masih dalam rahim. Penelitian terbaru tentang manfaat air susu ibu (ASI) dari ilmuwan Jerman menyatakan, anak yang diberi ASI berisiko rendah mengalami depresi saat ia dewasa. 70 Aspek Kecerdasan Pemberian ASI langsung sehingga terjadi interaksi ibu-bayi dan kandungan nilai gizi ASI dapat meningkatkan kecerdasan bayi.71 Aspek Neurologis Dengan menghisap payudara, koordinasi syaraf menelan, menghisap dan bernafas yang terjadi pada bayi baru lahir dapat lebih sempurna. 63Taurin adalah sejenis asam amino kedua yang terbanyak dalam ASI yang berfungsi sebagai neuro-transmitter dan berperan penting untuk proses maturasi sel otak. 64 Decosahexanoic Acid (DHA) dan Arachidonic Acid (AA) adalah asam lemak tak jenuh rantai panjang (polyunsaturated fatty acids) yang diperlukan untuk pembentukan sel-sel otak yang optimal 65 Kepmen PP dan PA, h. 11-12 66 Laktoferin yaitu sejenis protein yang merupakan komponen zat kekebalan yang mengikat zat besi di saluran pencernaan. 67 enzym yang melindungi bayi terhadap bakteri (E. coli dan salmonella) dan virus. Jumlah lysozim dalam ASI 300 kali lebih banyak daripada susu sapi. 68 Sel darah putih pada ASI pada 2 minggu pertama lebih dari 4000 sel per mil. Terdiri dari 3 macam yaitu: Bronchus-Asociated Lympocyte Tissue (BALT) antibodi pernafasan, Gut Asociated Lympocyte Tissue (GALT) antibodi saluran pernafasan, dan Mammary Asociated Lympocyte Tissue (MALT) antibodi jaringan payudara ibu. 69 Kepmen PP dan PA,h. 12 70 Peneliti mempelajari 52 orang, rata-rata berusia 44 tahun, yang menjalani pengobatan depresi di rumah perawatan, dibandingkan dengan 106 orang sehat. Hasilnya, 73 persen orang yang tidak depresi mendapat ASI waktu bayi, dan hanya 46 persen dari yang depresi mendapat ASI. Kompas. com 71 Penelitian menunjukkan bahwa IQ pada bayi yang diberi ASI memiliki point IQ 4,3 point lebih tinggi pada usia 18 bulan, 4 sampai 6 point lebih tinggi pada usia 3 tahun, dan 8,3 point lebih tinggi pada usia 8,5 tahun, dibandingkan dengan bayi yang tidak diberi ASI. Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 37 Enizar Pemberian ASI; Upaya… Dari uraian di atas terlihat jelas bahwa pemberian ASI tidak akan dapat tergantikan oleh susu formula apapun. ASI merupakan hak ibu dan anak, sehingga tidak ada alasan bagi ibu yang memiliki ASI untuk tidak menyusui anaknya. Kebolehan ibu tidak menyusukan sendiri secara langsung hanya dibolehkan dengan alasan karena ada alasan kesehatan. E. Hasil Penelitian dan Pembahasan ASI merupakan paket yang sudah disiapkan Allah bersamaan dengan kehidupan bayi. Islam sejak masa awal tasyri‟ telah memberikan aturan tentang pemberian ASI kepada anak bayi. Dalam Q.S. al-Baqarah ayat 233 Allah berfirman: وإٌ أردجى أٌ جسحرضعىا أوالدكى فال جُاح...وانىاندات يرضعٍ أوالدهٍ حىنيٍ كايهيٍ نًٍ أراد أٌ يحى انرضاعة عهيكى إذا سهًَّحى يا آجيحى بانًعروف Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma‟ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan (Al-Baqarah [2]: 233) Berdasarkan ayat di atas, ibu kandung diperintah Allah untuk memberikan ASI kepada bayinya. Menurut Rasyid Ridha: Ibu wajib memberikan ASI kepada anaknya selama tidak ada uzur syar‟i seperti ibu mengidap penyakit yang akan berbahaya bagi anak ketika mengkonsumsi ASInya. Akan tetapi, kewajiban ini tidak menghalangi orang tua untuk memberikan bayaran kepada ibu lain yang mau memberikan ASInya kepada anaknya asal tidak mendatangkan kemudaratan bagi bayi.72 Ulama Fiqh sepakat bahwa ibu wajib memberikan ASI kepada anak yang dilahirkannya. Adanya kewajiban tersebut karena bagi bayi ASI merupakan makanan pokok dan tidak ada pilihan lain yang cocok untuk dirinya. Menurut Malikiyah, Qadi dapat memaksa ibu yang tidak mau memberikan ASI kepada anaknya tanpa alasan Syar‟i kecuali perempuan bangsawan yang kaya yang Muhammad Rasyid ibn „Ali Riḍa (w. 1354 H) (selanjutnya disebut Rasyid Riḍa, Tafsir alQur‟an al-Hakim (al-Manar), 1990, juz 2, h. 325 72 Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 38 Enizar Pemberian ASI; Upaya… dapat mencarikan ibu lain untuk memberikan ASI kepada anaknya.73 Namun, ibu diwajibkan memberikan ASI pada 3 kondisi yaitu: 74 1. Bayi hanya mau menyusu dengan ibu dan tidak mau dengan ibu yang lain. 2. Tidak ada yang bisa memberikan ASI selain ibu, maka ibu wajib memberikan ASI 3. Tidak ada bapak sehingga hanya ibu yang dapat melakukannya atau bapak tidak mempunyai kemampuan financial untuk membayar orang lain untuk menyusukannya. Bahkan untuk menjamin keberlanjutan pemberian ASI bagi ibu yang sudah bercerai dengan suaminya, maka ibu si bayi berhak mendapatkan bayaran dari mantan suaminya. Hal itu secara eksplisit diatur Allah di dalam Q.S. alŢalāq/65:6 dan Q.S. al-Baqarah/2: 233. Bahkan ibu lain yang akan memberikan ASI kepada bayinya pun berhak menerima bayaran yang wajar. Dalam ayat tersebut di atas ASI bukan hanya diberikan oleh ibu kandungnya yang masih menjadi isteri ayahnya atau yang dalam iddah talak raj‟i, karena ada kebolehan memberikan ASI dari ibu lain. Keharusan memberikan ASI kepada bayi telah dibuktikan oleh masyarakat Islam bahkan sebelum Islam, yaitu dengan memberikan ASI lain (menyusu dengan ibu lain) Solusi yang sangat luar biasa telah diberikan kepada manusia agar tetap mengasup ASI meski bukan dari ibu kandung, seperti yang dialami oleh Rasulullah sendiri dengan ibu susu Tsuaibah Al-Aslamiyah dan Halimah AsSa‟diyah di Thaif, daerah yang subur banyak ditanami sayur dan buah-buahan serta bahasanya lembut dan bagus. Dilihat dari pemilihan ibu susu yang akan memberikan ASI adalah ibu yang memiliki ASI yang memenuhi syarat karena si ibu susu mengkonsumsi buah-buahan dan sayur-sayuran yang akan berpengaruh pada kadar ASI yang diproduksi. Begitu juga dengan Ibu lain pemberi ASI memiliki kelembutan dan bahasa yang santun. Ibu lain yang dipilih adalah ibu yang sehat secara pisik dan psikis. Dalam realitas di masyarakat terdapat bayi yang tidak mendapatkan ASI dan untuk menggantikannya bayi dipaksa mengkonsumsi susu formula. Alasan yang sering digunakan adalah kurangnya produksi ASI, ibu bekerja dan karena alasan kecantikan. Namun berdasarkan pengalaman Menteri Kesehatan RI Nafsiah Mboi saat melakukan kunjungan kerja di Gorontalo, 75 bahwa banyak orang tua di Indonesia mengabaikan Air Susu Ibu (ASI) dan dengan senang hati menggantinya dengan air susu sapi atau bahkan tidak keduanya. Data Kementrian Kesehatan RI menunjukkan hingga tahun 2011 satu juta anak 73 Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid, juz 2, h. 56, Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Damaskus: Dar al-Fikr, t.t. juz 10, h. 23 74 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh h. 25 bandingkan dengan Muhammad Ali al-Sayis, Tafsir Ayat al-Ahkam,Maktabat al-„Asriyah li Ţaba‟aṯ wa al-Nasyar, 2002, juz. 1, h. 163 75Antara News, Selasa 6/11 /2012. Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 39 Enizar Pemberian ASI; Upaya… Indonesia masih menderita gizi buruk. Ini wajar, salah satunya karena kesadaran orang tua untuk menyusui masih rendah. Alasan dari ibu yang tidak menyusui bervariasi karena produksi ASI kurang, ibu sibuk bekerja, takut bayi kurang gizi dan iklan susu formula yang membuat para ibu terpengaruh untuk memberikan yang terbaik. Menteri Kesehatan RI mencontohkan di Gorontalo cakupan bayi yang mendapatkan ASI esklusif pada tahun 2011 hanya 23,2 persen, sementara Angka Kematian Bayi (AKB) terus bertambah dari 179 orang di tahun 2007 menjadi 269 orang pada tahun 2011. Belum lagi Angka Kematian Balita (AKBA) juga menunjukkan kenaikan luar biasa dari 128 orang tahun 2007, menjadi 326 orang tahun 2011. "Tidak memberikan ASI dan imunisasi merupakan kombinasi yang tepat dan cepat untuk membunuh bayi," tukasnya.76 Untuk menjamin ibu memberikan ASI kepada bayinya, telah ditetapkan beberapa Undang-undang dan peraturan. Pasal 5 Penerapan Sepuluh Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui huruf c. menetapkan ada kewajiban petugas untuk menjelaskan kepada semua ibu hamil tentang manfaat menyusui dan penatalaksanaannya dimulai sejak masa kehamilan, masa bayi lahir sampai umur 2 (dua) tahun termasuk cara mengatasi kesulitan menyusui;77 Pasal 5 Huruf h. ada usaha membantu ibu menyusui semau bayi, tanpa pembatasan terhadap lama dan frekuensi menyusui; sementara huruf i. tidak memberikan dot atau kempeng kepada bayi yang diberi ASI;78 Di Jakarta sejak tahun 2007 telah terbentuk Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI). Saat pertama kali berdiri, dalam sebulan permintaan ASI donor melalui AIMI hanya satu-dua orang. Sekarang dalam sehari bisa ada tigaempat permintaan ASI donor," Ketika ibu tidak dapat memberikan ASI kepada anaknya ternyata juga diatur dalam Regulasi tentang pemberian ASI terbaru dijelaskan bahwa dalam hal ibu kandung tidak dapat memberikan ASI Eksklusif bagi bayinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, pemberian ASI Eksklusif dapat dilakukan oleh pendonor ASI.79 Namun untuk pemberian ASI dari pendonor diatur dalam pasal 11 ayat 2: Pemberian ASI Eksklusif oleh pendonor ASI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan persyaratan: 1. permintaan ibu kandung atau Keluarga Bayi yang bersangkutan; 2. identitas, agama, dan alamat pendonor ASI diketahui dengan jelas oleh ibu atau Keluarga dari Bayi penerima ASI; 3. persetujuan pendonor ASI setelah mengetahui identitas Bayi yang diberi ASI; Antara News, Selasa 6/11/2012 Permen PP dan PA h. 3 78 Permen PP dan PA h. 4 79 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2012 Tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif , h. 8 76 77 Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 40 Enizar Pemberian ASI; Upaya… 4. pendonor ASI dalam kondisi kesehatan baik dan tidak mempunyai indikasi medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7; dan 5. ASI tidak diperjualbelikan. Terkait dengan adanya larangan memperjualbelikan ASI pada huruf e di atas diperhadapkan dengan kebolehan membayar ibu susu dapat dipahami bahwa bayaran yang diberikan bukan untuk mencari keuntungan atau kekayaan akan tetapi untuk meningkatkan kualitas ASI yang dimilikinya dengan memakan berbagai makanan, minuman yang bergizi atau suplemen. Semua persyaratan tersebut di atas sangat jelas untuk menjamin keselamatan dan kesehatan bayi di satu sisi dan bagi umat Islam adanya kejelasan hubungan rada‟ah 80 sebagai konsekwensi dari pemberian ASI. Islam mempersaudarakan mereka yang sepersusuan sama dengan senasab, seperti pesan Rasulullah SAW. dalam sabdabya: 81ِ يٍَ ا ْنىالَ َد َّ سى ُل َ ِعٍَْ عَائ ُ شةَ قَانَثْ قَا َل نِى َر َ « يَ ْ ُر ُو ِيٍَ ان َّر-صهى َّللا عهيه وسهى- َِّللا ِ ضا َع ِة َيا يَ ْ ُر ُو ِ ‟Aisyah menyatakan bahwa Rasulullah SAW. bersabda menjadi muhrim karena susuan seperti muhrim karena keturunan. Pesan Al-Qur‟an surat al-Baqarah ayat 233 juga menjelaskan masa pemberian ASI paling lama 2 (dua) tahun, masa tersebut juga terdapat dalam Q.S. Luqman:14 . Rasyid Rida menjelaskan bahwa masa minimal pemberian ASI adalah 6 bulan. Merujuk pada aturan yang ada di negara Indonesia seharusnya tidak ada bayi yang diberikan susu formula karena pasal 12 ayat 1 PP No. 33/2012 berikut: 82 Setiap ibu yang melahirkan Bayi harus menolak pemberian Susu Formula Bayi dan/atau produk bayi lainnya Demikian pula kepada ibu susu harus mengingat dan mencatat siapa saja yang telah disusuinya. Saat anak-anaknya dewasa wajib diceritakan kepada mereka agar tidak terjadi pernikahan dengan saudara sesusu. Bila hal tersebut terjadi maka harus diputuskan atau dibatalkan. Peristiwa semacam itu pernah terjadi di zaman Rasulullah Saw, diterangkan dalam Hadits riwayat Al Bukhariy: ( وسًعحه عٍ عقبة ونكُي ن ديد عبيد أحفظ ) قال جسوجث ايرأ فجاءجُا ايرأ سىداء: عٍ عقبة بٍ ان ارخ قال فقانث إَي قد أرضعحكًا فأجيث انُبي صهى َّللا عهيه و سهى فقهث جسوجث فالَة بُث فالٌ فجاءجُا ايرأ سىداء فقانث إَي قد أرضعحكًا وهي كاذبة قال فأعرض عُي قال فأجيحه يٍ قبم وجهه فأعرض عُي بىجهه فقهث إَها كاذبة قال 83وكيف بها وقد زعًث أَها قد أرضعحكًا دعها عُك “Dari Uqbah bin al-Harits, bahwa ia menikahi anak perempuan Abi Ihab bin Aziz, kemudian datanglah seorang perempuan tua seraya berkata, “Sungguh saya telah menyusui Uqbah dan perempuan yang dinikahinya.” Kata Uqbah, “Saya tidak tahu, engkau telah menyusuiku dan engkau tidak memberitahu ku.” Hubungan rada‟ah berdampak terhadap pengharaman menikah antara bayi yang menjadi penerima ASI dengan Ibu Susu dan keluarganya. 81 Al-Bukhari, juz 16 h. 47, Abu al-Husain Muslim ibn al-Hajaj al-Qusyairi, al-Jami‟ al-Sahih (Sahih Muslim), Beirut: Dar al-Jail, tt., jilid 2 juz 4, h. 162 , Turmuzi, juz 3, h. 452, Abu daud, juz 2, 177, Ibn Majah, juz 3, h. 119 82 PP no. 33/ 2012, h. 9 83 Al-Bukhari, juz 16 h. 55, Turmuzi, juz 3, h. 457 80 Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 41 Enizar Pemberian ASI; Upaya… Lalu ia menunggang kendaraan pergi kepada Rasulullah Saw di Madinah dan mengadukan permasalahannya kepada beliau. Rasulullah Saw menjawab, “Mau bagaimana lagi, hal itu sudah ditetapkan.” Kemudian Uqbah memutuskan pernikahannya dengan istrinya dan menikah dengan perempuan lain.” (HR Al Bukhariy). Dari hadis di atas, pesan substansial adalah ketika keputusan untuk mengambil pemberian ASI lewat ibu lain, maka Ibu susu harus mencatat orang yang pernah disusukannya. Masing-masing saudara sepersusuan diberi tahu. F. Penutup Bayi mempunyai hak untuk mendapatkan ASI sebagai makanan pokok yang cocok untuknya. Bahkan pada 6 bulan pertama si anak tidak boleh diberi makanan pengganti ASI (susu formula). Sampai usia 2 tahun, anak tetap mendapatkan ASI dengan makanan tambahan. Namun dalam realitas, banyak ibu yang menggunakan susu formula untuk bayinya bahkan sejak hari pertama kelahirannya. Aturan agama dan negara sudah menjamin bayi mendapatkan ASI dari ibu kandungnya atau ibu lain. Ibu kandung yang ditalak dan ibu lain yang memberikan ASI dibolehkan dengan imbalan yang wajar. Ada perbedaan antara aturan agama mengenai ASI dari ibu lain yang ASI-nya diberikan langsung, sedangkan dalam aturan negara dengan donor ASI bisa disusukan langsung atau tidak, serta kebolehan susu formula hanya untuk ibu yang secara medis tidak bisa memberikan ASI-nya. Solusi yang diberikan Islam sejak 15 abad yang lalu sangat luar biasa karena bayi hanya mendapatkan ASI meski pun tidak dari ibu kandungnya. Adanya aturan bayaran kepada Ibu lain, jelas saling membantu. Ibu lain dengan dana yang diterima dapat memenuhi kebutuhan gizinya dan dapat memproduksi ASI yang berkualitas, sementara Ibu yang menggunakan ASI ibu lain tersebut dapat menerima ASI yang berkualitas. Dirokemendasikan kepada para ibu untuk memberikan ASI kepada bayinya. Jika karena alasan kesehatan si ibu tidak bisa memberikan ASI maka cara satu-satunya adalah dengan ASI dari ibu lain yang telah memenuhi kriteria. Pemerintah Pusat dan Daerah dapat melaksanakan amanah aturan yang telah ditetapkan. Mengawasi dan mengevaluasi sehingga ada jaminan bahwa ASI dapat diterima oleh bayi sebagai salah satu pemenuhan haknya. Daftar Pustaka Abu Daud, Sulaiman bin al-Asy‟as al-Sijistani, t.t., Sunan Abi Daud, juz 2, Ali al-Sayis , Muhammad, Tafsir Ayat al-Ahkam,Maktabat al-„Asriyah li Ţaba‟aṯ wa al-Nasyar, 2002, juz. 1 Antara News, Selasa 6/11 /2012. Bukhari, Muhammad bin Isma‟il Al-, Sahih al-Bukhari, juz 16 Ibn Majah, Abi „Abdillah Muhammad ibn Yazid al-Qazwini,. T.t., Sunan Ibn Majah. juz 3 Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 42 Enizar Pemberian ASI; Upaya… Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid, juz 2 Klaus Krippendorff, Content Analysis, an Introduction to its Metodology, (London, Sage Publication, 1980 Kompas. com Malik bin Anas, al-Muwatha‟, Beirut, Dar al-Fikr, 1970 Muslim, Abu al-Husain ibn al-Hajaj al-Qusyairi, al-Jami‟ al-Sahih (Sahih Muslim), Beirut: Dar al-Jail, tt., jilid 2 juz 4 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta, Rake Sarasin, 1996 Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 03 Tahun 2010 Tentang Penerapan Sepuluh Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No. 02 tahun 2010 tentang Penerapan Sepuluh Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui Peraturan Pemerintah No. 33 2012, tentang Pemberian ASI Eksklusif Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2012 Tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif Rasyid Riḍa, Muhammad Ibn „Ali (w. 1354 H) Tafsir al-Qur‟an al-Hakim (alManar), 1990, juz 2 Sunoto, Aspek imunologik daripada Air Susu Ibu dalam Suharyono, Rulina Suradi dan Agus Finnansyah, Air Susu Ibu, Tinjauan dari beberapa Aspek. Fakultas Kedokteran U.I., 1992. AL-Turmuzi, Abu „Isa Muhammad ibn „Isa ibn Tsaurat, t.t., Sunan al- Turmuzi (Jami‟ al-Shahih), juz 3 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Damaskus: Dar al-Fikr, t.t. juz 10 Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 43 KONTROVERSI PEMBARUAN HUKUM ISLAM: MELACAK RESPON MASYARAKAT MUSLIM INDONESIA TERHADAP COUNTER LEGAL DRAFT (CLD) ATAS KHI Tobibatussaadah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Jurai Siwo Metro Lampung Abstrak Polemik tentang rancangan Counter Legal Draft (CLD) Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang terjadi pada tahun 2004, meski sudah lama dan tim worknya telah dibubarkan, akan tetapi dalam perspektif perkembangan pembaruan pemikiran hukum Islam di Indonesia merupakan sebuah wacana baru yang cukup menarik. Dalam beberapa diktum yang terdapat dalam rancangan pasal-pasal Counter legal Draft KHI tersebut secara tegas menyatakan bahwa rancangan tersebut juga dimaksudkan untuk mempejuangkan masalah kesetaran gender (al-Musawa al-Jinsiyyah), liberalisasi hukum, demokratisasi dan sebagainya.Gagasan pembaruan hukum Islam yang ditawarkan oleh TPG melalui proyek CLD---khusunya menyangkut hukum keluarga dalam Islam----merupakan fenomena baru dalam spektrum pembaruan hukum Islam di Indonesia pada era Reformasi. Tetapi tampaknya gagasan pembaruan hukum Islam tersebut, belum banyak menyentuh kebutuhan riil masyarakat Muslim, sehingga tidak banyak mendapat “tempat” dan berkenan dalam masyarakat Muslim Indonesia. Mungkin dalam tataran wacana dalam rangka memperkaya khazanah intelektual hukum Islam kontemporer di Indonesia, CLD masih bisa ditolelir, akan tetapi dalam konteks praksis tampaknya masih perlu dikaji ulang secara seksama. Dalam perspektif lain tampaknya “fiqh lama” yang diformulasikan oleh para imam madzhab klasik Islam tetap kuat pengaruhnya, walaupun ada upaya untuk mereformasi bagian susbtansial dari wacana fiqh itu, tetapi tidak berhasil dengan baik. Kata Kunci: CLD, Pembaruan, KHI A. Pendahuluan Polemik tentang rancangan Counter Legal Draft (CLD) Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang terjadi pada tahun 2004 merupakan sebuah wacana baru yang cukup menarik dalam perspektif perkembangan pembaruan pemikiran hukum Islam di Indonesia. Pada awalnya gagasan pembaruan hukum Islam tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa terdapat berbagai kelemahan dalam pasal-pasal yang dalam KHI, hal yang paling kentara adalah adanya anggapan bahwa KHI kurang responsif terhadap perkembangan zaman, problematis, dan sarat dengan nuasa “bias gender” dalam berbagai pasalnya.84 Secara realitas ide pembaruan KHI tersebut merupakan gagasan sebuah tim yang menamakan diri “Pengarusutamaan Gender” (PUG) Departemen Agama, yang bermaksud mengkritisi KHI dalam rangka memperbarui isi dari 84 Dalam CLD disebutkan bahwa KHI merupakan produk kebijakan hukum pemerintah dan nuansa pemikiran fiqhnya sangat dipengaruhi oleh fikih madzhab Syafi‟i sehingga terlihat tidak akrab dengan hukum nasional maupun internasional yang memiliki ciri egaliter, pluralis, dan demokratis. Dan disinyalir bahwa pasal-pa sal dalam KHI mengandung potensi sebagai penghambat laju gerak demokrasi di Indonesia. Tim Pengarusutamaan Gender Depag, Pembaruan Hukum Islam Counter Legal Draft KHI, (Jakarta: Depag, 2004), h. 9. Tobibatussaadah Kontroversi Pembaruan Hukum… pada KHI untuk disesuaikan dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat Indonesia, dan proyek ini disponsori oleh The Asia Foundation (TAF).85 Pada akhirnya sebenarnya proyek revisi KHI ini juga dimaksudkan untuk meningkatkan status KHI, dari sekadar kompilasi hukum meningkat menjadi UU. Jadi dalam perspektif ini, CLD bisa dianggap semacam RUU. Namun dalam realitasnya ternyata rancangan revisi KHI tersebut mendapat kritik yang keras dari berbagai pihak, antara lain dari MUI, dan para pakar hukum Islam di Indonesia, dan akhirnya dibatalkan sendiri oleh Menteri Agama RI.86 Melihat kontroversi CLD tersebut maka sangat menarik untuk melihat respon masyarakat Muslim menyikapi kasus kontroversial tersebut. Karena dalam beberapa diktum yang terdapat dalam rancangan pasal-pasal Counter Legal Draft KHI tersebut secara tegas menyatakan bahwa rancangan tersebut juga dimaksudkan untuk mempejuangkan masalah kesetaran gender (al-Musawa al-Jinsiyyah), liberalisasi hukum, demokratisasi dan sebagainya. Oleh karena itu, tulisan ini akan mengungkap respon para tokoh masyarakat Muslim Indonesia terhadap polemik Counter Legal Draft KHI. Untuk itu dalam tulisan ini juga secara proporsional akan menyoroti terlebih dahulu konteks sosio-historis munculnya KHI dan urgensinya dalam peta pemikiran hukum Islam di Indonesia, dan mengkomparasikan proses munculnya KHI dengan proses munculnya gagasan revisi KHI, serta polemik yang mengitari proses sosialisasi CLD tersebut. Dalam perspektif yang lain, makalah ini diharapkan dapat mengetahui perubahan yang sedang terjadi di masyarakat Islam, khusunya menyangkut keberadaan Kompilasi Hukum Islam, yang merupakan produk hukum pemerintah yang disusun bersama-sama para pakar dan praktisi hukum Islam di Indonesia. Dengan demikian yang dimaksud respon masyarakat muslim dalam tulisan adalah tanggaapan para pemikir dan akademisi termasuk tokoh-tokoh masyarakat terhadap kemunculan CLD dalam konteks perkembangan hukum Islam kontemporer di tanah air. B. KHI dalam Konteks Sosio-Historis Sebenarnya munculnya CLD tidak bisa dilepaskan secara konteks historis dengan keberadaan KHI, karena CLD merupakan reaksi terhadap kemapanan hukum yang ada dalam pasal-pasal yang ada dalam KHI.. Secara kronologis historis terbentuknya Kompilasi Hukum Islam (KHI) melalui Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 merupakan salah momentum awal keberhasilan politik hukum Islam pada era Orde Baru. Sekaligus dianggap sebagai usaha yang sangat positif dalam rangka pembinaan hukum Islam sebagai salah satu sumber pembentukan Hukum Nasional. Dalam pembentukan Kompilasi Hukum Islam 85 Siti Musda Mulia , dalam “ Kata Pengantar”, Pembaruan Hukum Islam Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam , (Jakarta: Tim Pengarusutamaan Gender Depag, 2004), h. V-iv. 86 Huzaimah Tahido Yanggo, dalam bagian lampiran, Kontroversi Revisi Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta :Adelina, 2005), h.51-52. Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 45 Tobibatussaadah Kontroversi Pembaruan Hukum… telah ditangani bersama antara Departemen Agama dan Mahkamah Agung dan dengan melibatkan para ulama dari seluruh Indonesia. Dengan Kompilasi Hukum Islam Hakim Agama mempunyai pegangan tentang hukum yang harus diterapkan dalam masyarakat. Sebelum KHI diberlakukan secara realitas dalam perspektif sejarah perkembangan hukum Islam di Indonesia---terutama pada era Orde baru---telah diberlakukan juga UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan UU No. 7 tahun 1989 tentang peradilan Agama (PA). Dalam konteks ini pula menurut M. Atho Mudzhar, sesungguhnya umat Islam di Indonesia telah memiliki peraturan perundangan yang cukup memadai untuk mengatur masalah keluarga, perkawinan, perceraian dan warisan. Sementara sebagian ulama tradisional Indonesia masih ada yang belum sepenuhnya memahami atau menyetujui berbagai aturan dalam kedua undang-undang tersebut karena dianggap tidak selamanya sesuai dengan apa yang termuat dalam kitab-kitab fiqh. Namun demikian, sebagian yang lain cukup bangga dengan dengan lahirnya kedua undang-undang tersebut karena dianggap sebagai kemajuan besar dalam perkembangan pemikiran hukum Islam di Indonesia.87 Dalam perkembangan selanjutnya sebelum disahkannya UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, pada tahun 1988 sebenarnya telah disepakati hasil Kompilasi hukum Islam di Indonesia oleh para ulama, yang kemudian hasil kesepakatan tersebut diperkuat dengan Instruksi Presiden No. 1 tanggal 10 Juni 1991 untuk menyebarluaskan dan sedapat mungkin menerapkan Kompilasi Hukum Islam tersebut, maka hal itu secara realitas telah menandai lembaran baru dalam sejarah perkembangan pemikiran hukum Islam di Indonesia khususnya dalam bidang hukum keluarga.88 Dengan mencermati proses kelahiran KHI tersebut sebenarnya pada periode itu, secara ideal peraturan itu muncul dalam suasana yang sangat matang karena sebelumnya telah dibentuk institusi peradilan agama dan dalam waktu yang tidak lama kemudian diukuti oleh aturan berupa KHI yang menjadi pedoman para hakim agama dalam memecahkan berbagai problematika hukum keluarga Islam dalam konteks keindonesiaan. Namun dibalik data historis tersebut ternyata secara obyektif munculnya KHI sesungguhnya sudah ada sejak tahun 1985. Hal ini bisa dilacak dengan mencermati konsideran Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama tanggal 21 Maret 1985 No. 07/KMA/1985 dan No. 25 tahun 1985 tentang Penunjukan Pelaksanaan Proyek Pembangunan Hukum Islam melalui yurisprudensi atau lebih dikenal sebagai proyek Kompilasi Hukum 87 H. M. Atho Mudzhar , Membaca Gelombang Ijtihad Antara Tradisi dan Liberasi, ( Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), hlm. 173. 88 H.M. Atho Mudzhar, Ibid. Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 46 Tobibatussaadah Kontroversi Pembaruan Hukum… Islam.89 Melalui Keputusan Bersama Ketua MA dan Menteri Agama tersebut, maka dimulailah kegiatan proyek dimaksud dengan jangka waktu pelaksanaan 2 tahun. Pelaksanaan proyek ini kemudian didukung oleh Keputusan Presiden No. 191/1985 tanggal 10 desember 1985. 90 Disamping secara kronologis historis tersebut, proses kelahiran KHI dalam sistem hukum nasional di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari realitas hukum yang selama ini menjadi hambatan dalam putusan pengadilan agama oleh para hakim agama. Problem krusial tersebut adalah secara faktual kitabkitab rujukan yang dipakai oleh Pengadilan Agama sebelum lahirnya KHI adalah sangat beragam. Walaupun pernah dilakukan upaya unifikasi tentang aturan hukum bagi para hakim agama dalam memutuskan suatu perkara hukum. Hal ini bisa dilihat pada tahun 1958 telah dikeluarkan Surat Edaran Biro Peradilan Agama No. B/1/735, tanggal 18 Februari 1958 yang merupakan tindak lanjut dari peraturan pemerintah No. 45 tahun 1957 tentang pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar‟iyah di luar Jawa dan Madura. Dalam Surat edaran tersebut dijelaskan bahwa untuk mendapatkan kesatuan hukum yang memeriksa dan memutus perkara maka para hakim Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar‟iyah dianjurkan mempergunakan sebagai pedoman beberapa kitab yang berjumlah 13 buah.91 Kitab-kitab tersebut antara lain adalah ; alBajury, Fathul al-Muin, Syarqawy al Tahrir, Qulyuby/ Muhalli, Fath aal-Wahhab, Tuhfah, Targhibul Musytaq, Qawani al-Syar‟iyah karya Usman bin Yahya, Qawani al-Syar‟iyah karya Sayyid Shadaqah Dakhlan, Syamsuri li Faraidl, Bugyatul Mustarsyidin, al-Fiqh ala Madzahib al-Arba‟ah, dan Mughni Muhtaj.92 Daftar kitab-kitab tersebut adalah kitab fiqh klasik yang banyak dipengaruhi oleh Madzhab Syafi‟i, dan banyak menjadi rujukan oleh para hakim maupun ulama dalam menetapkan hukum keluarga di Indonesia, termasuk hukum muamalah dan ibadah. Materi tersebut ternya secara realitas masih belum mencukupi dalam penyelesaian perkara dari kasus per kasus hukum. Dan dengan langkah inipun kepastian hukum masih belum terpenuhi secara maksimal.93 Bahkan menurut Bustanul Arifin, diantara ke-13 kitab fiqh yang menjadi pedoman tersebut sudah jarang menjadi rujukan dan sering pula terjadi para hakim berselisih sesama mereka tentang pemilihan rujukan. Hal ini disebabkan oleh ruwetnya keputusan Peradilan Agama akibat dasar keputusan adalah kitabkitab fiqh yang berbeda-beda perspektifnya. Ini membuka peluang terjadinya H. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakrta: Akademika Pressindo, 1995), hlm. 15. 90 Panji Masyarakat No. 502, Th XXVII tanggal 1 Mei 1986. 91 H. Abdurraahman, op. cit. hlm. 22. 92 H. Abdurrahman, ibid, hlm. 22-23. 93 Abdul Gani Abdullah, Himpunan Perundang-Undangan dan Peraturan Peradilan Agama, (Jakarta: Intermasa, 1991), hlm. Hlm. Ix-xiv. 89 Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 47 Tobibatussaadah Kontroversi Pembaruan Hukum… pembangkangan atau setidaknya keluhan, ketika pihak yang kalah perkara mempertanyakan pemakaian kitab/pendapat yang menawarkan penyelesaian yang berbeda. Peluang demikian tidak terdapat dalam peradilan Umum, sebab setiap keputusan pengadilan selalu dinyatakan sebagai “pendapat pengadilan” meskipun mungkin hakim setuju dengan pendapat pengarang sebuah buku yang mungkin pula memang mempengaruhi putusan yang dijatuhkannya.94 Situasi hukum Islam seperti digambarkan diatas tersebut mendorong Mahkamah Agung untuk mengadakan Kompilasi Hukum Islam, sebagai alternatif pemecahan masalah hukum Islam yang sangat beragam dan berpotensi menimbulkan berbagai spekulasi hukum dan konflik sosial dalam masyarakat. Oleh karena itu kemunculan KHI menurut Masyfuk Zuhdi perlu disyukuri dan disambut poistif. Karena secara yuridis KHI ditetapkan secara resmi oleh pemerintah berdasarkan Inpres No 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 dan Keputusan Menteri Agama Nomor 154 tahun 1991 tanggal 22 juli 1991 menjadi hukum posistif yang bersifat unifikatif bagi seluruh umat Islam di Indonesia, dan terutama menjadi pedoman bagi para hakim di lembaga peradilan dalam menjalankan tugas-tugas mengadili perkara-perkara dalam bidang kewarisan, pernikahan, dan perwakafan.95 C. Munculnya Counter Legal Draft (CLD): KHI Tandingan Seiring dengan perkembangan waktu tampaknya KHI oleh sebagian kalangan praktisi dan pemikir hukum Islam di Indonesia, dianggap masih banyak kelemahannya. Sehingga memunculkan berbagai kritik yang pada gilirannnya memunculkan gagasan untuk memperbaharui materi dalam pasalpasal yang ada. Terutama yang dilakukan oleh sekelompok orang Islam yang keberatan tentang pasal-pasal dalam Kompilasi Hukum Islam dengan mengatasnamakan pluralisme, demokrasi dan HAM, kesetaraan gender, emansipatoris, humanis, inklusif, dan dekontruksi syariat Islam. Keberatan ini muncul setelah Kompilasi Hukum Islam sudah berumur tiga belas tahun dan sedang diupayakan menjadi undang-undang. Puncak dari polemik itu semakin tampak jelas pada era Reformasi ini, ketika muncul Counter Legal Draft (CLD) terhadap KHI yang berusaha merevisi, bahkan menggantikan KHI lama yang dianggap sudah tidak representatif lagi dengan perkembangan fiqh kontemporer di Indonesia. Bagi sebagian kalangan cendekiawan muslim rancangan pasalpasal CLD tersebut dianggap terlalu kontroversial bahkan ada yang mengatakan bertentangan jauh dengan prinsip ajaran Islam itu sendiri. Yang membedakan KHI dan CLD KHI adalah proses penyusunannya, disamping juga tentunya materi yang terdapat dalam pasal-pasal yang ada dalam kedua KHI tersebut. Dalam perspektif penyusunan dan KHI yang lama 94 Bustanul Arifin, Kompilasi; Fiqh dalam Bahasa Undang-Undang, dalam Pesantren No. 2, Vol. II tahun 11985, hlm. 27. 95 Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: Gunung Agung, 1989), hlm. 9. Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 48 Tobibatussaadah Kontroversi Pembaruan Hukum… prosesnya cukup lama dan dilakukan oleh tim pakar dan praktisi hukum Islam yang sangat berragam latar belakangnya antara lain, dari Departemen Agama, Mahkamah Agung, MUI, para akademisi dari berberapa IAIN, dan Pesantren (ulama). Perumusan draft materi KHI diperoleh melalui jalur antara lain, pengkajian dan penelitian kitab-kitab fiqh, wawancara dengan para ulama, yurisprudensi Pengadilan Agama, studi perbandingan hukum dengan negara lain, lokakarya/seminar materi hukum untuk Pengadilan Agama dan dilakukan secara akademis dibeberapa IAIN di Indonesia.96 Sementara itu CLD lahir melalui proses pemikiran untuk meningkatkan status hukum KHI dari sekadar Inpres menjadi Undang-undang. Dan upaya ini sebenarnya sudah pernah dilakukan oleh Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Depag, sebelum hijrah ke Mahkamah Agung (MA) pernah mengupayakan KHI menjadi Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Hukum Keluarga Islam.97 Upaya itu dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan status hukum dan melengkapi cakupan materi hukum Islam, tidak sekadar terbatas pada tiga bidang hukum perdata itu saja (perkawinan, perwakafan dan kewarisan), melainkan lebih luas dari itu. Upaya ini dalam konteks lain bisa menjadi alternatif dari kebutuhan pilihan hukum untuk menerapkan Syariat Islam ke dalam tubuh negara. Menurut Siti Musda Mulia sebagai ketua tim PUG, mengatakan bahwa proses penyusunan CLD KHI dilakukan dengan mengadakan penelitian yang dilakukan oleh para peneliti yang diturunkan diberbagai daerah di Indonesia untuk menyerap pelbagai informasi dan masukan dari masyarakat sekaligus juga merekam berbagai tradisi dan kearifan lokal yang belum terakomodasi dalam KHI.98 Dalam lampiran buku CLD KHI , terlihat bahwa proses penyusunannya melibatkan Tim Kajian dan Kontributor Aktif yang tergabung dalam pokja (kelompok kerja) Pengarusutamaan Gender Depag. Dari personel yang terlibat dalam proyek tersebut menujukkan bahwa nama-nama yang tergabung dalam kedua tim itu adalah para pakar hukum Islam yang aktif dalam beberapa bidang antara lain dari Depag, akademisi dari IAIN, ulama (pondok Pesantren), dan beberapa aktifis LSM. Dari perspektif ini, sebenarnya latar belakang dan proses penyusunan “KHI lama” dengan CLD cukup berbeda baik dari setting sosial penyusunan maupun proses yang melatar belakanginya. Oleh karena itu produk yang duihasilkan oleh kedua produk hukum tersebut sangat berseberangan, bahkan yang terakhir terkesan sangat kontroversial karena terlihat “menantang” arus pemikiran hukum Islam yang berlaku di Indonesia selama ini. Meskipun semangat “liberasi” hukum Islam dalam CLD sangat kental. Hal ini terlihat dalam visi yang ditawarkan CLD antara lain Pluralisme (alAbdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, hlm. 36-41. Tim PUG, Pembaruan Hukum Islam Couter Legal Draft KHI, hlm. 3. 98 Siti Musdah Mulia, dalam “Kata Pengantar” dalam CLD KHI, hlm. Vi. 96 97 Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 49 Tobibatussaadah Kontroversi Pembaruan Hukum… Ta‟addudiyah), Nasionalitas (Muwathanah), penegakan HAM (Iqamat al-Huquq alInsaniyah), Demokratis, kemaslahatan (al-Mashlahat) dan kesetaraan Gender (alMusawah al-Jinsiyah).99 Akan tetapi semangat yang tercermin dalam visi tersebut tidak cukup efektif dalam meredam kritik dan protes dari beberap pihak yang tidak sependapat dengan ide-ide pembaruan hukum Islam yang terdapat dalam CLD tersebut. Melihat polemik tersebut, secara esensial sebenarnya baik “HKI lama” maupun CLD KHI atau sebut saja “KHI baru”, keduanya merupakan masalah fiqh sebagai produk pemikiran hukum Islam. Sebagaimana yang dikemukakan oleh M. Atho Mudzhar, sedikitnya ada empat macam produk pemikiran hukum Islam yang dikenal dalam perjalanan sejarah hukum Islam yaitu fatwa-fatwa ulama, Keputusan-keputusan pengadilan agama, peratran perundangan dinegeri Muslim, dan kitab-kitab fiqh itu sendiri. Pertama, adalah fatwa-fatwa ulama-ulama atau mufti sifatnya adalah kasusistik karena merpakan respon atau jawaban pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa. Fatwa tidak mempunyai daya ikat, dalam arti bahwa si peminta tidak harus mengikuti isi/hukum fatwa yang diberikan kepadanya, tetapi biasanya fatwa cenderung bersifat dinamis kerena merupakan respon terhadap perkembangan baru yang sedang dihadapi oleh masyarakat si peminta fatwa. Isi fatwa itu sendiri belum tentu dinamis tetapi sifat responsifnya itulah yang sekurang-kurangya dapat dikatakan dinamis.100 Kedua, produk pemikiran hukum selanjutnya adalah keputusan-keputusan pengadilan agama. Berbeda dengan fatwa, keputusaan pengadilan agama sifatnya mengikat kepada pihak yang berperkara dan pada tingkat tertentu juga bersifat dianmis karena merupakan usaha untuk memberi jawaban atau mentyelesaikan masalah yang yang diajukan ke pengadilan pada suatu titik waktu tertentu. Ketiga, termasuk produk pemikiran hukum adalah peraturan perundangan di negeri muslim. Ini juga bersifat mengiukat dan bahkan daya ikatnya lebih luas. Orang yang terlibat di dalam perumusannya juga tidak terbatas pada para fuqaha atau ulama, tetapi juga para politisi dan cendekiawan lainnya. Masa laku peraturan perundangan itu biasanya dibatasi---atau kalaupun tidak---secara resmi dibatasi masa lakunya, di dalam kenyataan masa laku itu akan menjadi ada ketika peraturan perundangan itu dicabut atau diganti dengan peraturan perundangan lainnya. Keempat, produk pemikiran hukum selanjutnya adal kitab-kitab fiqh, diamana kitab-kitab tersebut oleh pengarangya sebenarnya tidak dimaksudkan untuk diberlalukan secara umum disuatu negeri. Meskipun di dalam sejarah kita kitab fiqh tertentu diberlakukan sebagai undangundang. Kitab-kitab fiqh juga tidak ketika ditulis juga tidak dimaksudkan utuk periode tertentu, dengan tidak adanya masa laku ini terkadang kitab fiqh oleh Tim PUG, Counter Legal Draft KHI, hlm. 25-30. M. Atho Mudzhar, “Fiqh sebagai Produk Pemikiran Hukum, dalam Membaca Gelombang Ijtihad Antara Tradisi dan Liberasi, ( Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), hlm. 91. 99 100 Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 50 Tobibatussaadah Kontroversi Pembaruan Hukum… sebagian orang dianggap harus berlaku untuk semua masa, sehingga oleh sebagian orang lainnya dianggap beku alias jumud.101 Dengan memperhatikan klasifikasi sumber pemikiran hukum Islam tersebut tampaknya KHI bisa dianggap sebagai fiqh produk ketiga yaitu fiqh produk dari peraturan-peratutan perundangan yang berlaku di negeri Muslim. Walaupun secara faktual KHI maupun CLD---meskipun masih dalam bentuk rancangan--- tidak bisa dilepaskan meterinya dari kitab-kitab fiqh yang mempengaruhi konstruski pemikiran hukum yang terdapat dalam materi keduanya. D. Respon Masyarakat terhadap Wacana Kontroversial CLD Respon masyarakat terhadap CLD cukup beragam dari berbagai kalangan, seperti para praktisi hukum, akademisi, intelektual Muslim dan sebagainya. Dalam proses sosialisasi CLD pada masa awal munculnya wacana pembaruan hukum Islam tersebut, secara realitas gagasan itu telah memicu kritik yang banyak dari beberapa kalangan, terutama mengenai materi CLD. Walaupun secara berurang-ulang menurut Musda Mulia menyatakan bahwa “Counter Legal Draft” bukan merupakan “tawaran mati”, seperti yang disampaikan dalam sebuah diskusi pada tanggal 4 Oktober 2004 di Jakarta. Menurutnya memang berat untuk meyakikankan publik mengenai mengapa diperlukan CLD terhadap KHI.102 Namun pembelaan tersebut tampaknya tidak cukup ampuh mengurangi kecaman dan rekasi keras beberapa kalangan, terutama para pakar hukum Islam dan beberapa ulama serta masyarakat lainnya. Dengan demikian sebenarnya secara realitas munculnya CLD dalam perspektif mainstream pembaruan hukum Islam di Indonesia mendapat reaksi dan respon yang luas. Walupun tidak semua respon tersebut antipati terhadap CLD, karena ada juga yang bisa menerimanya. Dalam perspektif ini sebenarnya respon terhadap CLD-KHI bisa dianggap cukup bervariasi, tergantung dari sudut pandang mana melihat materi CLD tersebut. Respon terhadap CLD dengan begitu cukup beragam yakni berupa respon yang pro dan kontra terhadap isu-isu yang dikembangkan dalam draf-draf materi yang terdapat dalam CLD. Secara umum sebenarnya lahirnya CLD telah menimbulkan respon kontra produktif terhadap eksistensi CLD itu sendiri, dan secara umum mayoritas masyarakat meresponnya dengan respon yang negatif atau respon yang kontra CLD. Hanya ada sedikit yang meresponnya dengan positif atau menerima gagasan CLD (kelompok pro CLD). 1. Kelompok yang Kontra-CLD Pada dasarnya respon masyarakat terhadap CLD mayoritas mengindikasikan penolakan dan kritik yang pedas dari berbagai M. Atho Mudzhar, Ibid. hlm. 91-92. Harian Kompas, Menyosialisasikan “Counter Legal Draft” Kompilasi Hukum Islam, tanggal 11 Oktober 2004. 101 102 Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 51 Tobibatussaadah Kontroversi Pembaruan Hukum… kalangan. Keberatan publik atas materi pembaruan yang ada dalam CLD misalnya, disampaikan oleh M. Tahir Azhari, Guru Besar Fakultas Hukum UI, yang tidak sependapat dengan hampir semua usulan di dalam CLD. Mengenai wali nikah, misalnya menurut Prof Tahir sudah merupakan konsensus alim ulama dan pakar hukum Islam sebagai rukun pernikahan. Kemudian mengenai pembagian warisan untuk anak lakilaki dan perempuan yang ditawarkan menjadi 1:1 atau 2:2 menurut Tahir bertentangan dengan Surat An-Nisa‟ (QS. 11), ayat 11. Begitu juga dengan mengenai perkawinan beda agama, menurut Tahir tidak sejalan dengan surat Al-Baqarah ayat 221.103 Selanjutnya Tahir mengungkapkan penolakannya terhadap CLD menyangkut masalah terminologi pernikahan. Menurutnya pengertian perkawinan adalah merupakan pengertian baku dalam hukum Islam dan bersifat universal, karena diakui oleh masyarakat muslim dimanapun mereka berada. Dipandang dari sudut hukum, pernikahan merupakan suatu perikatan tapi bukan hanya sekedar perikatan kemanusiaan saja namun suatu perjanjian yang sangat kokoh (mitsaqan ghalizan). Jadi pernikahan di dalam Islam bukan hanya hubungan antara dua manusia dalam arti muamalah saja, tetapi didalamnya terkandung nilai-nilai ubudiah. Oleh karena itu perkawinan antara orang Islam dan nonMuslim haarus secara tegas dilarang.104 Respon yang tidak setuju (kontra) dengan gagasan CLD juga dikemukakan oleh Rifyal Ka‟bah. Yang mengakui bahwa bahwa kemunculan CLD sebenarnya telah menimbulkan reaksi yang luas baik yang pro maupun kontra. Hal ini diperparah oleh beberapa alasan antara lain dari sudut kontroversi yang ditimbulkannya ditinjau dari sudut hukum Islam, pendanaan proyek berasal dari pihak asing---dari The Asia Foundation---, dan pengatasnamaan Departemen Agama.105 Selanjutnya Rifyal Ka‟bah mengkritik dengan pedas dan menyatakan bahwa pembaruan yang diajukan oleh perumus KHI tandingan bukanlah dalam konteks tajdid (pemurnian), dan ishlah (perbaikan terhadap fasad), tetapi dalam pengertian bid‟ah dan penyimpangan dan taghyir (perubahan) dari hukum Islam yang asli. Harian Kompas, Ibid. Keberatan M. Tahir Azhary terhadap pasal-pasal dalam CLD antara lain dalam masalah Wali Nikah, pencatatan perkawinan, batas usia perkawinan, mahar, poligami yang haram dilakukan, Iddah yang ddikenakan bagi suami, pencarian nafkah sebagai kewajiban bersama dan tugas reproduksi isteri lebih bernilai dari tugas pencarian nafkah, pengaturan jangka waktu perkawinan identik dengan nikah mut‟ah, waris beda agama, waris 1:1 atau 2:2 antara anak lakilaki dan perempuan, wakaf beda agama, Aul dan Rad yang dihapus. M. Tahir Azhary, Tanggapan Terhadap Pembaharuan Hukum Islam Counter Legal Draft KHI, Makalah Diskusi Disampaikan di hadapan Forum Diskusi pembaharuan Hukum Islam, Senin, 4 Oktober 2004 di Ball Room Hotel Aryaduta, Jakarta. 105 Rifyal Ka‟bah, Kompilasi Hukum Islam (KHI) Tandingan, Makalah Tanggapan Umum Terhadap CLD, Jakarta, 2004. 103 104 Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 52 Tobibatussaadah Kontroversi Pembaruan Hukum… Ditambahkannya pula bahwa para perumus KHI tandingan (CLD) menempatkan dirinya sebagai pembaru hukum Islam dan dengan telah mengkritik hukum Islam dari nushush al-Qur‟an dan al-Hadits serta hasil rumusan para imam madzhab sekaliber Syafi‟i dan imam-imam dianggap rendah. Rumusan para imam ini dicap dengan sebutan sinis, sebagai fiqh “purba”, fiqh “padang pasir” dan lain-lain. Di samping itu, rumusan CLD ini menurut perumus berdasarkan maqashid al-syariat versi sendiri, yang tidak dikenal dalam khaazanah hukum Islam. Menurut mereka, tujuaan syariat adalah untuk menegakkan nilai dan prinsip keadilan social, kemaslahatan ummat manusia, kerahmatan semesta, dan kearifan social. Sementara itu makashid al-syariat menurut fuqaha‟ bertujuan memelihara (1) agama, (2) akal pikiran, (3) keturunan, (4) kehormatan, dan (5) harta benda. Dengan merubah pengertian teks-teks agama dan membuat pemahaman sendiri, mereka sebenarnya telah merusak agama daan merusak maaksud-maksud syariat yang lain. Apalagi pendekatan utama yang digunakan oleh perumus CLD bukan pendekatan hukum Islaam, tetapi pendekatan (1) gender, (2) pluralisme, (3) hak asasi manusia dan (4) demokrasi. Karena alasan berpijak yang berbeda, maka hasil rumusannya juga berbeda, menjadi di luar konteks pembaruan hukum Islam yang di kenal dalam khazanah hukum Islam itu sendiri.106 Bahkan menurut Rifyal Ka‟bah dalam penutup makalahnya menyatakan, bahwa proyek CLD sebenarnya lebih bernuansa pragmatis, karena jauh dari tradisi yang diikuti oleh dunia Islam serta aqidah Islam. Proyek ini lebih mengedepankan kepentingan sponsor asing sebagai “God Father” mereka diluar negeri, terutama dari segi dana dan dukungan publikasi, yakni dari “The Asia Foundation”. Menurutnya, perlu juga dicatat bahwa secara realitas proyek KHI yang pernah ada dahulu juga mulanya akan didanai oleh Asia Foundation. Ketika gagasan tersebutdisampaikan kepada Presiden Soeharto, perasaan kebangsaan dan keislaman beliau terusik. Disamping kritikan-kritikan keras kepada Presiden Soeharto tentang politik Islamnya, gagasan beliau untuk membiayai proyek hukum Islam dari dana Indonesia sendiri, adalah suatu yang positif. Akhirnya proyek ini menggunakan dana kepresidenan.107 Respon penentangan yang keras terhadap isi CLD juga diberikan oleh KH. Ali Mustafa Yakub seorang ulama. Menurutnya draff UU yang ada dalam CLD, yang menyebutkan bahwa perkawinan bukan lagi ibadah melainkan sebagai hubungan sosial yang tidak berkaitan dengan ibadah. Dan ada hal yang lebih menukik, dalam pasal 3 ayat 1 tentang asas perkawinan monogami. Sedangkan dia ayat 2 dinyatakan, pasal 1 106 107 Rifyal Ka‟bah, ibid. hlm. 3-4. Rifyal Ka‟bah, ibid. Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 53 Tobibatussaadah Kontroversi Pembaruan Hukum… menjadi batal secar hukum, beberti menurut pandangan ini poligami itu haram. Ini yang sangat berbahaya, orang yang telah melakukan poligami menjadi “tidak sah” (haram). Berbahaya karena menentang haal yang ditetapkan dalam al-Qur‟an, Allah dan Rasulullah serta ijma‟ sahabat sepanjang masa.108 Selanjutnya Ali Mustafa Ya‟qub juga menilai bahwa menentang alQur‟an berarti dapat dihukum sebagai murtad. Semua itu merupakan poin pemikiran dari orang-orang yang tidak mau menjadikan a-Qur‟an dan al-Hadits sebagai sandaran hukum Islam. Menurutnya, pemikiran liberal berarti iblis, pemikiran otak dengan mendasarkan HAM dan kesetaraan gender. Pemikiran iblis liberal dan tidak Islam sebab Islam itu berarti tunduk hanya kepada Allah SWT.109 Akhirnya Ali Muatafa Ya‟qub menyarankan untuk kembali ke jalan yang benar bagi para anggota yang tergabung dalam tim perumus CLD. Dan menurutnya, pada prinsipnya hukum Islam itu adalah al-Qur‟an dan al-Hadits, sedangkan orang yang menggunakan rasio, mendasarkan pada HAM dan gender sehingga berdebat tidak akan pernah ketemu. Tidak ada gunanya lagi memperdebatkan kecuali semua sama-sama mendasarkan kepada al-Qur‟an dan al-Hadits, serta sumber-sumber hukum Islam yang disepakati masyarakat muslim.110 Senada dengan pendapat Ali Mustafa Ya‟kub, menurut Nabilah Lubis menyatakan bahwa sejak awal kemunculan CLD yang dimotori oleh TPG (Tim Pengarusutamaan Gender) langsung mendapatkan reaksi yang keras dari kaum muslimin Indonesia. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada saat itu langsung dengan tegas menyatakan bahwa draft tersebut bertetangan dengan syariat Islam. Sehingga akhirnya pada tanggal 12 Oktober 2004, Menteri Agama RI mengeluarkan larangan sosialisasi CLD KHI baik melalui seminar maupun kegiatan sejenis lainnya dengan melibatkan atau mengatasnamakan Departemen Agama RI. Lebih lanjut Nabilah mengibaratkan CLD sebagai “sel kanker” yang dapat meghancurkan keterikatan umat Islam pada al-Qur‟an dan alHadits.111 Secara umum perubahan isu-isu penting yang menjadi bahan polemik dalam CLD dapat dipetakan table sebagai berikut ini: Ali Mustafa Ya‟qub, Departemen Agama Kebobolan Pemikiran Iblis, dalam Harian Pelita, 8 Oktober 2004. 109 Ali Musatafa Ya‟qub, ibid. 110 Ali Muatafa Ya‟qub, ibid. 111 Nabilah Lubis, Perkembangan Pemikiran Akatual Hukum Perkawinan Indonesia dalam Perspektif Islam, makalah disampaikan dalam seminar yang diselenggarakan oleh Muslimat NU tanggal 14 Mei 2005 di Jakarta. 108 Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 54 Tobibatussaadah Kontroversi Pembaruan Hukum… Tabel No.1 No Isu-Isu Krusial 1 Pengertian Perkawinan KHI berdasarkan Inpres No. 1 tahun 1991 Merupakan ibadah yang wajib dilaksanakan CLD Kompilasi Hukum Islam Bukan ibadah, tapi hubungan sosial kemanusiaan biasa 2. Wali Nikah Menjadi Salah satu rukun Bukan rukun perkawinan perkawinan, perempuan boleh menikahkan dirinya sendiri 3. Pencatatan Tidak termasuk rukun Rukun perkawinan, perkawinan, hanya karenanya kewajiban administratif perkawinan tidak sah tanpa pencatatan 4. Batas Usia 16 tahun bagi calon istri 19 tahun dengan perkawinan dan 19 tahun bagi calon tidak membedakan suami antara calon istri dan suami. 5. Mahar Wajib diberikan oleh Wajib diberikan oleh calon suami kepada calon calon suami atau istri calon istri atau kedua-duanya sesuai dengan adat setempat 6. Kawin beda agama Haram dilakukan secara Boleh dilakukan mutlak selama dalam batas untuk mencapai tujuan perkawinan 7. Poligami Boleh dilakukan dengan Haram dilakukan persyaratan (haram li ghairihi) 8. Hak Cerai Istri dan Istri tidak mempunyai Istri mempunyai hak rujuk hak untuk menceraikan untuk menceraikan dan merujuk suami dan merujuk suaminya (setara dengan hak suaminya) 9. „Iddah „Iddah hanya untuk istri „Iddah dikenakan saja, tidak untuk suami bagi Istri dan suami 10. Ihdad Ihdad hanya untuk istri Ihdad dikenakan tidak untuk suami bagi suami dan istri 11. Pencarian Nafkah Menjadi kewajiban suami Kewajiban bersama antara suami dan istri, tugas reproduksi istri lebih bernilai dari pada tugas pencarian Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 55 Tobibatussaadah 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. Kontroversi Pembaruan Hukum… nafkah Tidak mengatur soal Mengatur soal jangka waktu perkawinan jangka waktu perkawinan Nusyuz Nusyuz hanya Nusyuz dapat dituduhkan kepada isteri ditudukan kepada suami atau isteri Hak dan kewajiban Hak dan kewajiban suami Hak dan kewajiban istri tidak sama, timpang suami dan istri sama Waris beda agama Beda agama adalah Beda agama bukan penghalang (mani‟) waris penghalang (mani‟) mewarisi untuk waris mewarisi Bagian Anak laki-laki Bagian anak laki-laki dan Bagian anak laki-laki dan perempuan perempuan adalah 2:1 dan perempuan adalah 1:1 dan 2:2 Wakaf beda agama Orang yang beda agama Dibolehkan orang dilarang menerima dan beda agama untuk memberi wakaf memberi dan menerima wakaf Anak diluar Hanya punya hubungan Jika diketahui ayah perkawinan saling mewaris dengan biologisnya maka ibunya, sekelipun ayah anak tetap memiliki biologisnya sudah hak waris dari ayah diketahui biologisnya Perjanjian Perkawinan Aul dan Rad Dipakai Dihapus Sumber: Tim Penyusun CLD Kompilasi Hukum Islam Pokja Pengarusutamaan Gender Depag RI. 2. Kelompok yang Pro-CLD Secara umum kelompok yang pro-CLD atau kelompok yang menerima rancangan CLD berasal dari Tim Pengarusutamaan Gender sendiri yang menjadi arsitek penyusunan CLD tersebut. Hal ini bisa dilacak dari berbagai pernyataan dari tokoh-tokoh yang terlibat dalam penyusunan CLD. Di samping beberapa aktivis perempuan yang tergabung dalam bebrapa gerakan feminisme di tanah air, juga menunjukkan indikasi dan fenomena yang mendukung CLD. Misalnya, komentar Musda Mulia sebagai ketua tim, yang mengeluarkan statement yang mendukung CLD dengan berbagai argumentasi. Menurut Musda, bahwa pada era otonomi daerah banyak daerah yang ingin memformulasikan Syariat Islam, dan setelah melakukan penelitian ternyata kebanyakan dareah tersebut tidak mempunyai konsep yang jelas. Oleh karena itu keberadaan CLD ini bisa menjadi alternatif untuk mengantisipasi kecenderungan tersebut. Untuk menyusun CLD ini, tim Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 56 Tobibatussaadah Kontroversi Pembaruan Hukum… mengundang banyak pakar yang menyusun argumen teologis, sosilogis, dan politis sehingga menghasilkan kesimpulan bahwa perubahan KHI bukan hanya perlu melainkan mendesak. Pendapat para pakar tersebut telah dilakukan uji shahih didalam berbagai forum.112 Di samping itu, menurut salah seorang anggota penyusun CLD, Abdul Moqsith al-Ghazali menyatakan bahwa tawaran yang ada dalam CLD kelihatannya memang bertentangan dengan al-Qur‟an tetapi tim pembaruan mengambil sikap untuk membaca al-Qur‟an dan Hadits bukan dari narasinya tetapi dari substansinya dengan memegang kaidah mendahulukan kebaikan bersama, keadilan, demokrasi dan kebijakan.113 Senada dengan pendapat tersebur, KH. Muhammad Husein, seorang ulama dari Cirebon, yang tergabung dalam Pokja Tim Pengarusutaman Gender, mengatakan bahwa apa yang ditawarkan oleh CLD berbeda dengan “arus” utama pemikiran fiqh yang dipakai mayoritas di Indonesia. Oleh karena itu ditambahkannya, apakah yang akan dipakai mayoritas atau minoritas, dengan menganalogikan ada banyak kejadian dimana suara satu orang bisa mengalahkan suara orang banyak karena kredibiltas yang dimiliki oleh oleh satu orang. Muhammad Husein, melanjukan bahwa teks bisa dinterpretasi kare itu al-Qur‟an mengandung sejumlah dimensi pemaknaan dan memberi makna pada teks adalah manusia. Beberapa isi CLD, seperti mengenai pembagian warisan 1:2 untuk anak perempuan dan laki-laki telah ditetapkan secara pasti dalam al-Qur‟an. Akan tetapi apakah yang pasti itu tetap, tidak bisa berubah karena konteks, tempat dan waktunya berubah.114 Pada dasarnya para pendukung terhadap CLD adalah mereka yang selama ini menolak praktek poligami, seperti pendapat Musda Mulia yang menyatakan bahwa praktek poligami lebih baik dilarang karena banyak merugikan perempuan. Kalau ada kasus isteri mengizinkan suaminya berpoligami maka sebaiknya diajukan ke Mahkamah Agung (MA) yang membuat keputusan lalu bisa menjadi jurispridensi.115 Sebagaimana pendapat Musda tersebut, seorang dosen IPB yang banyak meneliti mengenai perempuan, Aida Vitalaya Hubeis, menyatakan bahwa yang membedakan antara laki-laki dan perempuan adalah keadaan biaologisnya, yaitu mengandung dan menyusui. Dengan demikian dalam kemampuan dan kreativitas sebagai manusia yang berakal tidak ada bedanya antara laki-laki dan perempuan. Tetapi justru perbedaan biologis tersebut dipakai untuk membedakan sehingga kaum Kompas, tanggal 11 Oktober 2004, Menyosialisasikan “Conter Legal Draft”. Abdul Moqhsith dalam Kompas, Ibid. 114 Muhammad Husein dalam Kompas ibid. 115 Musda Mulia, dalam Kompas, ibid. 112 113 Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 57 Tobibatussaadah Kontroversi Pembaruan Hukum… perempuan bukan berada pada “kekinian” dan “kedisinian” tetapi tertinggal, jalan ditempat. Aida menyebutkan pasal KHI yang menyebutkan hanya laki-laki sebagai kepala keluarga, lalu bagaimana bila laki-laki tidak bisa menjadi kepala keluarga.116 Tidak jauh beda dengan pendapat tokoh-tokoh yang pro CLD-KHI, tampaknya Ulil Abshar Abdallah---Direktur “Freedom Institute” dan Direktur JIL (Jaringan Islam Liberal) juga mengeluarkan pendapatnya, bahwa di dalam Islam klasik banyak sekali pendapat yang kontradiktif karena fiqih merupakan pendapat pribadi dari para ahli fikih. Ketika fiqih akan dijadikan hukum positif sebagai hukum negara, maka berbagai pendapat di dalam negara itu harus juga didengar.117 Salah seorang aktivis feminisme muslim, Nurul Agustina juga menyatakan bahwa hukum keluarga islam sangat bersifat patriarkat dan tidak peka terhadap kedudukan perempuan. Jadi ketika produk hukum yang direkrut masuk ke dalam KHI mengandung bias gender yang merugikan perempuan, wajar jika keputusan yang dihasilkannya juga banyak yang tidak ramah terhadap kepentingan perempuan.118 Akhirnya Nurul Agustina berandai ketika melihat masa depan CLD, dengan menyatakan bahwa seandainya kelak usulan Musda dan teman-teman akhirnya ditolak karena terlalu pprogresif, namun wacana mengenai hal-hal yang dianggap kontroversial menyangkut hukum keluarga dan posisi perempuan didalamnya akan bertahan dalam waktu yang lama. Ini karena temuantemuan lapangan memperkuat usulan mereka.119 E. Analisis Wacana Polemik Melihat kontroversi yang ditimbulkan CLD berupa respon yang bergam tersebut, sebenarnya dalam konteks perkembangan hukum Islam di Indonesia wacana semacam itu juga terjadi dibeberapa negara. Gagasan pembaruan atau pemikiran pembaruan sebenarnya telah digulirkan oleh tokoh-tokoh pembaru Islam loka seperti Nurcholis Madjid dengan ide “Sekularisasi Islam” pada era 1980-an, Munawir Syadzali yang mencoba menawarkan ide “Reaktualisasi Islam” tentang pembagian warisan laki-laki dan perempuan perlu ditinjau lagi, atau Ibrahim Hosen tetang hukum ”Porkas” dan sebagainya. Bahkan di luar negeri ide-ide pembaruan hukum Islam juga terjadi di beberapa negara seperti di Tunisia, Suria, Mesir, Yordania, Irak dan sebagainya. Hampir setiap ide pembaruan mendapat respon yang berbeda-beda, tidak jarang ide-tersebut mendapat tantangan keras, bahkan tokoh-tokoh pembaruan tidak jarang yang Aida Vitalaya Hubeis, dakam Kompas, ibid. Ulil Absar Abdallah, dalam Kompas, ibid. 118 Nurul Agustina, “Gerakan Feminisme Islam dan Civil Society” dalam Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus, (ed.), Islam Negara dan Civil Society Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, (Jakarta:Paramadina, 2005), hlm. 375. 119 Nurul Agustina, ibid. hlm. 394. 116 117 Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 58 Tobibatussaadah Kontroversi Pembaruan Hukum… mendapat hukuman mati atau diusir dari negaranya, akibat ide-idenya yang dianggap telah melanggar syariat Islam. Dalam konteks ke-Indonesia-an respon yang beragam terhadap CLD tersebut disebabkan oleh beberapa faktor antara lain adalah latar belakang pendidikan, profesi, kecenderungan pola pemikiran, dan usia tokoh yang merepresentasikan trend dan corak pemikirannya. Secara umum terdapat perbedaan mencolok antara kelompok yang pro dan kontra CLD, dalam perspektif latar belakang pendidikan, profesi dan kecenderungan pemikiran serta usia para tokoh-tokoh tersebut. Kelompok yang banyak mengkritik CLD rata-rata mempunyai background pendidikan dari Perguruan Tinggi di Timur Tengah yang sangat konsens terhadap pendekatan fiqh Islam, seperti Huzaemah Tahido Yanggo, Nabilah Lubis, dan Ali Mustafa Ya‟kub dan M. Tahir Azhari dan Rifyal Ka‟bah yang berasal dari UI Jakarta. Dari perspektif disiplin ilmu yang menjadi kajiannya kebanyakan tokoh yang kontra CLD adalah terkenal sebagai kelompok memegang tradisi fiqh yang kuat dan mereka sangat faham dengan perbandingan madzhab fiqh dalam Islam, atau paham tentang seluk beluk hukum Islam. Dan pada umumnya mereka juga sangat menjaga tradisi intelektual dan dogma-dogma ajaran Islam secara “rigid” bahkan terlihat agak literal dalam melihat hukum Islam. Dari pesrpektif profesi kelompok kontra mayoritas adalah pengajar dan Guru Besar di beberapa perguruan tinggi Negeri di Jakarta. Selengkapnya dapat dilihat dalam table berikut ini: Table No. 2 Data Kelompok Kontra CLD No Nama Latar Belakang Pendidikan Profesi 1. Huzaemah Tahido S2 Universitas Al-Azhar Guru Besar UIN Yanggo Mesir Jakarta S3 Universitas Al-Azhar Mesir 2. Nabilah Lubis S2 Univ. Al-Azhar Mesir Guru Besar UIN S3 IAIN Jakarta Jakarta 3. M. Tahir Azhari S3 UI Jakarta Guru Besar UI Jakarta 4. Mustafa Ali Ya‟kub S2 Univ. Ummul Qura‟ Dosen dan Ulama Makkah 5. Rifyal Ka‟bah S3 UI Jakarta Dosen, dan Pengamat Politik Dari tabel tersebut dengan jelas dapat difahami bahwa latar belakang pendidikan juga mempengaruhi terhadap respon tokoh-tokoh tersebut terhadap CLD. Dan yang menarik adalah diantara para kritikus CLD tersebut adalah “perempuan” yang menjadi bagian terpenting dari bidang utama yang diperjuangkan dalam CLD. Tetapi tampaknya isu “gender” yang mengemuka Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 59 Tobibatussaadah Kontroversi Pembaruan Hukum… dalam CLD ternyata tidak cukup efektif mempengaruhi sikap para pengkritik CLD. Di samping itu, dilihat dari perspektif usia, tampaknya para pengkritik CLD rata-rata udah berada dalam usia diatas 50 tahunan, hal ini bisa dilihat dari jabatan dan profesinya sebagai guru besar senior di lembaga pendidikan tempat mereka bekerja. Sementara itu dari kelompok yang membela CLD atau kelompok yang pro CLD, pada umumnya mereka berasal dari latar belakang yang yang berbedabeda. Sebagian dari mereka adalah berpendidikan dari IAIN ada juga yang berasal dari pesantren tradisional NU, dan dari Perguruan Tinggi umum. Dari perspektif profesi diantarnya adalah pengajar IAIN dan para aktivis LSM, disamping para ulama. Karena yang mendukung CLD mayoritas berasal dari Tim Pengausutamaan Gender, maka latar belakang dan profesi kelompok ini bisa dilihat dalam daftar para kontributor yang tergabung dalam tim tersebut. Dari susunan tim tersebut kan terlihat komposisi latar belakang profesi dan latar belakang pendidikan, termasuk latar belakang organisasi sosial keagamaan yang mereka wakili. Secara singkat perbedaan kelompok pro-CLD, dapat dilihat dalam tabel berikut ini: Tabel No. 3 Data Kelompok Pro-CLD No Nama Latar Belakang Profesi Pendidikan 1. Siti Musda Mulia S3 IAIN Jakarta Dosen UIN, dan Peneliti 2. Abdul Moqsith Al-Ghazali S2 IAIN Jakarta Dosen Univ. Paramadina, dan aktivis JIL 3. Muhammad Husein IAIN Pengasuh Pesantren di Cirebon 4. Aida Vitalaya Hubeis S3 IPB Dosen IPB, dan aktivis LSM Perempuan 5. Ulil Abshar Abdallah LIPIA dan STF Direktur JIL dan Driyakara Freedom Institute Jakarta Dari tabel tersebut mengindikasikan bahwa kelompok yang mendukung CLD kebanyakan tergabung dalam pokja Tim Pengarusutaman Gender, kecuali Aida Vitalaya dan Ulil Abshar Abdallah, keduangya berasal dari aktivis LSM perempuan dan JIL. Latar belakang pendidikan mereka juga berbeda namun secara umum para pembela CLD tersebut adalah para aktivis perempuan termasuk Musda Mulia, meskipun dia juga berprofesi sebagai pengajar di UIN, di samping ada juga ulamanya dan aktifvis Jaringan Islam Liberal (JIL) seperti Abdul Moqsith al-Ghazali dan Ulil Abshar Abdallah. Dari segi usia kebanyakan yang membela CLD adalah para aktifis Islam pada periode pasca-Reformasi di Indonesia, jadi mereka terbilang masih cukup muda sekitar 40 tahunan. Dalam Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 60 Tobibatussaadah Kontroversi Pembaruan Hukum… konteks ini tampaknya polemik tentang CLD juga tampak sekana terjadi pertentangan secara vis-à-vis kelompok “tua” dan kelompok “muda”, dalam konteks pembaruan pemikiran Islam kontemporer di Indonesia. Secara realitas dalam konteks perkembangan pemikiran Islam di Indonesia, kelompok JIL merupakan kelompok baru---- pasca gerakan pembaruan Nurcholish Madjid pada tahun 1970-an dan 1980an---- gerakan ini terkenal dengan gagasan-gagasannya yang liberal dan terlihat berseberangan dengan pendapat kebanyakan para ulama Islam. Isu-isu semacam “dekonstruksi Syari‟ah” yang digagas El-Naim, kemudian gagasan “Kiri Islam” Hasan Hanafi, dan Hamid Nasr Abu Zaid dan sebagainya, sangat mempengaruhi paradigma pemikiran mereka. Oleh karena itu dalam mengungkapkan pendapatnya kebanyakan para aktivis tersebut kadang menimbulkan polemik di kalangan umat Islam, karena berseberangan dengan arus pemikiran Islam yang selama ini telah dianggap “mapan” dan Qath‟i. Termasuk dalam menggagas ide-ide yang terdapat dalam CLD juga sedikit banyak dipengaruhi oleh pemahaman mereka yang liberal terhadap teks-teks ajaran Islam, sehingga menyulut reaksi dan respon yang sangat luas dan keras serta menjadi isu yang ramai dibicarakan oleh para pakar hukum Islam, dan masyarakat Islam. Sebenarnya dalam konteks CLD ini tidak bisa dilepaskan dari faktor adanya proses bargaining kepentingan antara berbagai kelompok baik yang pro-CLD maupun kontra terhadap proses pembaruan hukum Islam yang ditawarkan CLD. Dan dalam perspektif sosiologi hukum Islam, hal ini wajar karena dalam pendekatan sososilogi dalam studi hukum Islam, sebagaimana pendapat M. Atho Mudzhar selalu berkaitan dengan tema-tema utama yang menjadi wilayah kajiannya. Pertama, terdapatnya pengaruh hukum Islam terhadap masyarakat dan perubahan masyarakat. Kedua, pengaruh perubahan dan perkembangan masyarakat terhadap pemikiran hukum Islam. Ketiga, Tingkat pengamalan hukum agama masyarakat. Keempat, pola intekasi social masyarakat muslim diseputar hukum Islam.120 Dalam kasus CLD tempaknya sinyalemen tersebut terjadi karena CLD telah menimbulkan reaksi dari berbagai lapisan masyarakat yang beragam, termasuk dampaknya bagi perkembangan hukum Islam di Indonesia pada periode mendatang. Tetapi tidak kalah menarik untuk dicermati adalah bahwa CLD sebenarnya berusaha merevisi KHI yang sedang dipersiapkan untuk ditetapkan menjadi undang-undang yang permanen. Dalam konteks ini nuansa politik dan kepentingan kelompok menjadi sangat mendominasi. Oleh karena itu, menurut Abdurrahman menilai bahwa KHI sebenarnya bukan produk hukum yang sudah final, karena pembentukan KHI bagi umat Islam merupakan langkah strategis dalam upaya penerapan hukum Islam. Penetapan KHI baru merupakan langkah awal yang perlu dikembangkan lebih lanjut, dengan M. Atho Mudzhar, Studi Hukum Islam dengan Pendekatan Sosiologi, Pidato Pengukuhan Guru Besar Madya Ilmu Sosiologi Hukum Islam, pada IAIN Sunan Kalijaga, 1999, hlm. 56. 120 Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 61 Tobibatussaadah Kontroversi Pembaruan Hukum… menyempurnakan susbtansi hukumnya,121 dengan catatan harus melibatkan semua komponen masyarakat Islam di Indonesia. F. Penutup Gagasan pembaruan hukum Islam yang ditawarkan oleh TPG melalui proyek CLD---khusunya menyangkut hukum keluarga dalam Islam----merupakan fenomena baru dalam spektrum pembaruan hukum Islam di Indonesia pada era Reformasi. Tetapi tampaknya gagasan pembaruan hukum Islam tersebut, belum banyak menyentuh kebutuhan riil masyarakat Muslim, sehingga tidak banyak mendapat “tempat” dan berkenan dalam masyarakat Muslim Indonesia. Mungkin dalam tataran wacana dalam rangka memperkaya khazanah intelektual hukum Islam kontemporer di Indonesia, CLD masih bisa ditolelir, akan tetapi dalam konteks praksis tampaknya masih perlu dikaji ulang secara seksama. Dalam perspektif lain tampaknya “fiqh lama” yang diformulasikan oleh para imam madzhab klasik Islam tetap kuat pengaruhnya, walaupun ada upaya untuk mereformasi bagian susbtansial dari wacana fiqh itu, tetapi tidak berhasil dengan baik. Prakarsa para perumus CLD atau “KHI Tandingan” sebenarnya bukanlah sebuah gejala baru dalam dunia Islam. Jauh sebelumnya telah muncul berbagai konsep sempalan. Misalnya gagasan sekularisasi Ali Abdur Raziq di Mesir pada tahun 1920-an, dan Khalid Muhammad Khalid ditahun 1940-an di Mesir, serta gagasan reformasi Mahmud Taha di Sudan dan muridnya Abdullah el-Naim, juga gagasan Abu Zaid di Mesir, gagasan sekularisasi Cak Nur, gagasan reaktualisasi Munawir Syadzali tahun 1980-an di Indonesia, kemudian gagasan liberal JIL. Semuanya dihubungkan oleh benag halus atau kasar karena takjub dengan nilai-nilai yang datang dari Barat, dukungan moril dan materil Barat untuk merombak ajaran Islam berangkat dari paham liberal. Oleh karena itu setting sosial dan politik termasuk kecenderungan fiqh yang berlaku di masyarakat juga perlu mendapatkan pertimbangan dari para praktisi dan pemikir hukum Islam sebelum melakukan pembaruan hukum Islam. Disamping itu pembaruan hukum Islam seperti kasus CLD harus mengedepankan kepentingan dan kecenderungan aliran yang dianut umat Islam dalam koteks pengamalan agamanya. Termasuk melibatkan seluruh komponen umat Islam, yang terdiri dari para akademisi, ulama, pakar dan praktisi dari berbadgai organisasi dan sekte-sekte, serta madzhab-madzhab fiqh yang beragam yang ada di Indonesia. 121 Abdurrahman, Beberapa Catatan Sekitar Pembaharuan Kompilasi Hukum Islam, Makalah pada Pembahasan CLD KHI, Kelompok Kerja Perdata Agama, Maaaahkamah agung RI 3 November 2004. Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 62 Tobibatussaadah Kontroversi Pembaruan Hukum… Daftar Pustaka Abdul Gani Abdullah, Himpunan Perundang-Undangan dan Peraturan Peradilan Agama, (Jakarta: Intermasa, 1991) Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakrta: Akademika Pressindo, 1995 ____________, Beberapa Catatan Sekitar Pembaharuan Kompilasi Hukum Islam, Makalah pada Pembahasan CLD KHI, Kelompok Kerja Perdata Agama, Mahkamah Agung RI, 3 November 2004. Ali Mustafa Ya‟qub, Departemen Agama Kebobolan Pemikiran Iblis, dalam Harian Pelita, 8 Oktober 2004. Bustanul Arifin, Kompilasi; Fiqh dalam Bahasa Undang-Undang, dalam Pesantren No. 2, Vol. II tahun 1985. Huzaimah Tahido Yanggo, dalam bagian lampiran, Kontroversi Revisi Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta :Adelina, 2005 Kompas, Menyosialisasikan “Counter Legal Draft” Kompilasi Hukum Islam, tanggal 11 Oktober 2004. M. Atho Mudzhar , Membaca Gelombang Ijtihad Antara Tradisi dan Liberasi, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998 _______________, Studi Hukum Islam dengan Pendekatan Sosiologi, Pidato Pengukuhan Guru Besar Madya Ilmu Sosiologi Hukum Islam, pada IAIN Sunan Kalijaga, 1999. Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: Gunung Agung, 1989 M. Tahir Azhary, Tanggapan Terhadap Pembaharuan Hukum Islam Counter Legal Draft KHI, Makalah Diskusi Disampaikan di hadapan Forum Diskusi pembaharuan Hukum Islam, Senin, 4 Oktober 2004 di Ball Room Hotel Aryaduta, Jakarta. Nabilah Lubis, Perkembangan Pemikiran Akatual Hukum Perkawinan Indonesia dalam Perspektif Islam, makalah disampaikan dalam seminar yang diselenggarakan oleh Muslimat NU tanggal 14 Mei 2005 di Jakarta. Nurul Agustina, “Gerakan Feminisme Islam dan Civil Society” dalam Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus, (ed.), Islam Negara dan Civil Society Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, (Jakarta:Paramadina, 2005 Panji Masyarakat No. 502, Th XXVII tanggal 1 Mei 1986. Rifyal Ka‟bah, Kompilasi Hukum Islam (KHI) Tandingan, Makalah Tanggapan Umum Terhadap CLD, Jakarta, 2004 Siti Musda Mulia , dalam “ Kata Pengantar”, Pembaruan Hukum Islam Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam , (Jakarta: Tim Pengarusutamaan Gender Depag, 2004) Tim Pengarusutamaan Gender Depag, Pembaruan Hukum Islam Counter Legal Draft KHI, (Jakarta: Depag, 2004 Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 63 MEMAHAMI IJTIHÂD HUKUM ISLAM ‘UMAR BIN AL- KHATTÂB Solihin Panji Program Pascasarjana (PPs) STAIN Jurai Siwo Metro Lampung Abstract Basically, this article will discuss the 'Umar bin al-Khattâb ijtihâd in Islamic law. One of the related problem is how to describe 'Umar bin al-Khattâb theoretical framework and methodology of Islamic law istinbât. According to this second caliph to develop Islamic law thought it is urgent need to explore the philosophy of Islamic law and public interest especially to response several contemporary problems of Islamic law at that time. In this context, the using and the integrating or combining the legal formal - ideal moral approach model and emphirical - inductive approach model constitutes the necessity because it is a way to produce solutive intellectual exercise in the field of Islamic law. Keywords: ijtihâd, istinbât, dan hukum Islam “Orang yang patut memegang kekuasaan seyogyanya hanya mereka yang memiliki empat sifat: lunak tetapi tidak lemah, keras tetapi tidak kejam, hemat tetapi tidak kikir, dan murah hati tetapi tidak berlebih-lebihan”. („Umar bin al-Khattâb)122 A. Pendahuluan „Umar bin al-Khattâb adalah salah seorang tokoh besar dalam khazanah sejarah Islam. Khalîfah kedua ini memeluk dîn al-Islâm pada tahun keenam dari kenabian Muhammad saw ketika beliau berumur 27 tahun.123 Ia adalah profil seorang pemimpin yang sukses, mujtahid ulung dan dikenal dengan sikapnya yang tegas dalam menegakkan keadilan. Sulit ditemukan kepribadian seorang penguasa yang banyak memberikan kekaguman orang-orang di sekitarnya sebagaimana yang ada pada pribadi „Umar bin al-Khattâb. Sehingga pokok-pokok pikiran maupun metodologi berijtihâdnya banyak diadopsi oleh pemikir-pemikir Islam modern dalam merumuskan produk hukum yang dinilai sesuai dengan perkembangan zaman. Muhammad Husain Haikal dalam prakata bukunya menulis:124 Jika orang berbicara tentang zuhud —meninggalkan kesenangan dunia— padahal orang itu mampu hidup senang, maka orang akan teringat pada zuhud Umar. Apabila orang berbicara tentang keadilan yang murni tanpa cacat, orang akan teringat pada keadilan Umar. Jika berbicara tentang kejujuran, tanpa membedabedakan keluarga dekat atau bukan, maka orang akan teringat pada kejujuran 122 Muhammad „Abdul „Azîz al-Halâwî, selanjutnya disebut al-Halâwî, Fatwa dan Ijtihad „Umar bin al-Khattâb; Ensiklopedia Berbagai Persoalan Fiqih, terj. Zubeir Suryadi Abdullah (Surabaya: Risalah Gusti, 1999), h. 8. 123 Ruwai'î, Fiqh „Umar bin al-Khattâb Muwâzinan bi Fiqh Asyhuril Mujtahidîn, Juz 1 (Beirut: Dâr al Garbi al-Islâmî, 1403 H), h. 21. 124 Muhammad Husain Haikal, Umar bin Khattab; Sebuah Talaah mendalam tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya Masa Itu, terj. Ali Audah, Cet. Kesepuluh (Jakarta: Lentera Antar Nusa, 2010), h. xix Solihin Panji Memahami Ijtihâd Hukum… Umar, dan jika ada yang berbicara tentang pengetahuan dan hukum agama yang mendalam, orang akan teringat pada Umar. Hal tersebut bisa terjadi lantaran dalam berbagai kesempatan „Umar bin alKhattâb tercatat sering diajak berunding oleh Rasulullah saw, terutama dalam menghadapi persoalan-persoalan kemasyarakatan.125 Tidak jarang apa yang disarankan „Umar bin al-Khattâb disetujui oleh Rasulullah saw, bahkan lebih jauh ada pula pendapatnya yang mendapat konfirmasi dari al-Qur‟an.126 Pada masa „Umar bin al-Khattâb menjabat sebagai khalifah kedua, wilayah kekuasaan Islam telah sedemikian luasnya hingga ke daerah Mesir. Dalam wilayah yang sedemikian luas itu, persoalan-persoalan baru dalam masyarakat menjadi bertambah kompleks. Berbagai pertimbangan terhadap situasi konkrit dan realitas umat nampaknya ikut mempengaruhi Khalîfah „Umar bin al-Khattâb dalam mengurus masyarakat dan menafsirkan kembali aturan-aturan yang sudah berlaku sebelumnya. Atas dasar pemahaman itu, dalam beberapa kasus Khalîfah „Umar bin al-Khattâb mengadakan perputaran hukum dan melakukan penyesuaian sesuai dengan kasus dan dasar perilaku orang yang berperkara. Namun perlu dicatat, bahwa keberhasilan penerapan hukum Islam masa Khalîfah „Umar bin al-Khattâb tidak lepas dari upayanya dalam melakukan “setting sosio-kultural” masyarakat masa itu. Setting sosio-kultural dimaksudkan untuk membangun paradigma berfikir masyarakat dengan menanamkan pemikiran yang logis tanpa mengesampingkan al-adillah alnaqliyah. Pada tataran inilah, makalah ini hadir sebagai usaha untuk mengeksplorasi dan mengelaborasi Pemikiran dan Ijtihad Hukum „Umar bin al-Khattâb, khususnya di bidang Hukum Keluarga, dengan berusaha menjawab apa yang melandasi Ijtihad Hukum „Umar bin al-Khattâb? dan bagaimana metodologi istinbât al-hukm „Umar bin al-Khattâb dalam berfatwa? Pembahasan akan dititikberatkan kepada kajian sejarah dan metodologi istinbât} al-hukm „Umar bin al-Khattâb yang digunakannya dalam memecahkan masalah-masalah sosial dan contoh-contoh ijtihâd Hukum „Umar bin al-Khattâb. Hal-hal lain yang berkaitan erat dengan pokok-pokok masalah tersebut akan dikemukakan secara garis besar, seperti sketsa biografis dan kontribusi pemikiran „Umar bin al-Khattâb dalam mewarnai khazanah intelektual Islam. 125 Amiur Nuruddin, Ijtihad „Umar bin al-Khattâb: Studi tentang Perubahan Hukum dalam Islam (Jakarta: Rajawali Pers,1987), h. xii 126 Setidaknya ada 14 masalah terkait dengan „Umar bin al-Khattâb yang mendapat konfirmasi dari Al Quran, antara lain: Pertama, Usulan „Umar bin al-Khattâb agar Maqâm Ibrahim dijadikan tempat salat, yang kemudian turun ayat "wattakhaz\û min maqâmi ibrâh>ima mus}allâ"; Kedua, Usulan „Umar bin al-Khat}t}âb kepada Nabi agar Muslimah memakai h}ijâb ketika berhadapan dengan orang laki-laki, kemudian turun ayat "Wa iz\â sa‟altumuhunna mata‟an fasa‟altumuhunna min warâ'i h}ijâb", Ketiga, Permohonan penjelasan dari „Umar bin al-Khat}t}âb atas keharaman arak yang kemudian dijawab oleh Allah swt dalam surat al-Mâidah ayat 90. Lebih jelas baca Ruwai'î, op.cit., h 23-28. Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 65 Solihin Panji Memahami Ijtihâd Hukum… Untuk membantu menganalisis data tersebut, pembahasan ini didukung oleh beberapa sumber data seperti kitab-kitab sejarah Islam, perkembangan pemikiran era al-khulafâ‟ al-râsyidûn, dan kitab-kitab pendukung lainnya. Daftar pustaka bukan hanya sekedar penulis maksudkan sebagai sumber rujukan, tetapi juga untuk bacaan lanjutan tentang hal-hal yang dibahas baik sejara detail maupun ringkas. Terakhir, untuk memetakan penulisan ini, penulis akan menggunakan model penelitian yang ditawarkan oleh Nasr Hâmid Abû Zaid sebagai metode “trans-posisi historis”, yaitu dengan: 1] membaca pemikiran masa lalu, dan 2] mendiskusikan pemikiran tersebut dalam konteks kekinian.127 B. Pembahasan 1. Sketsa Biografis ‘Umar bin al-Khattâb a. Nasab ‘Umar bin al-Khattâb Nama lengkap beliau adalah „Umar bin al-Khattâb bin Nufail bin „Abdul „Uzzâ bin Riyah bin Abdullâh bin Qart} bin Razah bin „Adî bin Ka‟ab bin Lu‟ay bin Gâlib, dari Banî Adî, salah satu rumpun suku Quraisy. Dilahirkan di Mekah pada tahun 561 M, 40 tahun sebelum hijriah. Ayahnya bernama Khattâb bin Nufail al-Simh al-Quraisyî dan ibunya Hantamah binti Hâsyim bin al Mugîrah al Makhzûmiyah. Rasulullah memberi beliau kunyah (nama panggilan berdasarkan sisilah) Abû Hafs (bapak Hafsah) karena Hafsah adalah anaknya yang paling tua dan memberi laqab (julukan) al-Fâruq kepadanya.128 Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah saw pada kakeknya, Ka‟ab. Antara beliau dengan Rasulullah selisih 8 kakek. Moyangnya memegang jabatan duta besar dan leluhurnya adalah pedagang. Ia salah satu dari 17 orang Mekah yang terpelajar ketika kenabian dianugerahkan kepada Muhammad saw. „Umar juga dikenal, karena fisiknya yang kuat dimana ia menjadi juara gulat di Mekkah.129 b. ‘Umar bin al-Khattâb memeluk Islam Ketika ajakan memeluk Islam dideklarasikan oleh Nabi Muhammad saw, „Umar bin al-Khattâb mengambil posisi untuk membela agama tradisional kaum Quraisy (menyembah berhala). Pada saat itu „Umar bin al-Khattâb adalah salah seorang yang sangat keras dalam melawan pesan Islam dan sering melakukan penyiksaan terhadap pemeluknya. Menurut pendapat yang masyhur, sebagaimana telah disinggung dimuka bahwa „Umar bin al-Khattâb masuk Islam pada tahun keenam 127 Nasr Hâmid Abû Zaid, Mafhûm al-Nâs; Dirâsah fî „Ulûm al-Qur‟ân (Hazîrân: al-Markâz alSaqafî al-Farabî, 1990), h. 5. 128 Muhammad Husain Haikal, Umar bin Khattab…, op.cit., h. 10 129 Ibid, h. 2 Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 66 Solihin Panji Memahami Ijtihâd Hukum… kenabian Muhammad saw.130 Dengan masuknya „Umar bin al-Khattâb dalam barisan orang-orang Islam waktu itu menambah kegembiraan dan menjadi penyemangat bagi Muslim yang lain. Sebab beliau di antara orang yang berpengaruh di kaumnya. c. Masa Ke-khalîfah-an ‘Umar bin al-Khattâb Setelah Khalîfah Abû Bakar al-Siddîq wafat maka tampuk pimpinan dipegang oleh „Umar bin al-Khattâb, dan pada masa „Umar bin al-Khattâb ini kondisi kenegaraan sangat damai, serta kesejahteraan masyarakat semakin membaik daripada masa sebelumnya. Meskipun „Umar bin al-Khattâb hanya memerintah selama 10 tahun 5 bulan 21 hari, namun pada masa yang sangat singkat ini beliau telah mampu Sejarah merekam detik-detik masuknya „Umar bin al-Khat}t}âb dalam Islam, bahwa suatu hari, beliau keluar dengan menghunus pedangnya bermaksud membunuh Rasulullah saw. Dalam perjalanan, beliau bertemu dengan Nu‟aim bin Abdullâh al „Adawî, seorang laki-laki dari Bani Zuhrah. Lelaki itu berkata kepada „Umar bin al-Khattâb, “Mau kemana wahai Umar?” „Umar bin al-Khattâb menjawab, “Aku ingin membunuh Muh}ammad.” Lelaki tadi berkata, “Bagaimana kamu akan aman dari Banî Hâsyim dan Bani Zuhrah, kalau kamu membunuh Muhammad?” Maka Umar menjawab, “Tidaklah aku melihatmu melainkan kamu telah meninggalkan agama nenek moyangmu.” Tetapi lelaki tadi menimpali, “Maukah aku tunjukkan yang lebih mencengangkanmu, hai Umar? Sesungguhnya adik perampuanmu dan iparmu telah meninggalkan agama yang kamu yakini.” Kemudian dia bergegas mendatangi adiknya yang sedang belajar al-Qur‟an, surat Tâhâ kepada Khabab bin al-Arat. Tatkala mendengar „Umar bin alKhat}t}âb datang, maka Khabab bersembunyi. „Umar bin al-Khattâb masuk rumahnya dan menanyakan suara yang didengarnya. Kemudian adik perempuan „Umar bin al-Khat}t}âb dan suaminya berkata, “Kami tidak sedang membicarakan apa-apa.” „Umar bin al-Khat}t}âb menimpali, “Sepertinya kalian telah keluar dari agama nenek moyang kalian.” Iparnya menjawab, “Wahai Umar, apa pendapatmu jika kebenaran itu bukan berada pada agamamu?” Mendengar ungkapan tersebut „Umar bin al-Khat}t}âb memukulnya hingga terluka dan berdarah, karena tetap saja saudaranya itu mempertahankan agama Islam yang dianutnya, „Umar bin al-Khattâb berputus asa dan menyesal melihat darah mengalir pada iparnya. „Umar bin al-Khattâb berkata, “Berikan kitab yang ada pada kalian kepadaku, aku ingin membacanya.” Maka adik perempuannya berkata, “Kamu itu kotor. Tidak boleh menyentuh kitab itu kecuali orang yang bersuci. Mandilah terlebih dahulu!” Lantas „Umar bin al-Khat}t}âb mandi dan mengambil kitab yang ada pada adik perempuannya. Ketika dia membaca surat Tâhâ, dia memuji dan muliakan isinya, kemudian minta ditunjukkan keberadaan Rasulullah. Tatkala Khabab mendengar perkataan„Umar bin al-Khattâb, dia muncul dari persembunyiannya dan berkata, “Aku akan beri kabar gembira kepadamu, wahai Umar! Aku berharap engkau adalah orang yang didoakan Rasulullah pada malam Kamis, „Ya Allah, muliakan Islam dengan „Umar bin al-Khattâb atau Abû Jahl (Amru) bin Hisyâm.‟ Waktu itu, Rasulullah saw berada di sebuah rumah di daerah Safâ.” „Umar bin al-Khattâb mengambil pedangnya dan menuju rumah tersebut, kemudian mengetuk pintunya. Ketika ada salah seorang melihat „Umar bin al-Khattâb datang dengan pedang terhunus dari celah pintu rumahnya, dikabarkannya kepada Rasulullah saw. Lantas mereka berkumpul. Hamzah bin Abdul Mut}âlib bertanya, “Ada apa kalian?” Mereka menjawab, “Umar datang!” Hamzah bin Abdul Mut}âlib berkata, “Bukalah pintunya. Kalau dia menginginkan kebaikan, maka kita akan menerimanya, tetapi kalau menginginkan kejelekan, maka kita akan membunuhnya dengan pedangnya.” Kemudian Rasulullah saw menemui „Umar bin al-Khattâb dan berkata kepadanya, “Ya Allah, ini adalah „Umar bin al-Khattâb. Ya Allah, muliakan Islam dengan „Umar bin Khattab.” Dan dalam riwayat lain, “Ya Allah, kuatkanlah Islam dengan Umar.” Seketika itu pula „Umar bin al-Khattâb bersyahadat, dan orang-orang yang berada di rumah tersebut bertakbir dengan keras. Menurut pengakuannya dia adalah orang yang ke-40 masuk Islam. Abdullâh bin Mas‟ûd berkomentar, “Kami senantiasa berada dalam kejayaan semenjak „Umar bin al-Khattâb masuk Islam.” Lihat Abû „Isâ al-Tirmizî, Sunan al-Tirmizî. (Indonesia: Maktabah Dahlan, tt.), nomor: 3614, hadîs hasan sahîh garîb. 130 Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 67 Solihin Panji Memahami Ijtihâd Hukum… mengantarkan negara Islam sebagai sebuah negara yang aman serta perekonomiannya makmur dan berkeadilan, hal ini terbukti dari kondisi perekonomian dan pendapatan masyarakat Arab pada masa itu yang bisa digolongkan pada taraf perekonomian merata. Adam Smith pun mengakui hal ini dengan mengatakan bahwa, masyarakat ekonomi maju yang menjadi sistem ekonomi panutan pada masa itu adalah bangsa Arab yang dipimpin oleh “Mahomet and his immediate successors” atau lebih tepatnya Rasûlullâh Muhammad s.a.w. dan al-Khulafâ‟ alRâsyidûn, yang hidup jauh sebelum dia lahir.131 Kekayaan dan kemakmuran negara pada masa pemerintahan khalîfah „Umar bin al-Khattâb tersebut bersumber dari harta rampasan perang (ganîmah dan fai‟),132 perpajakan (kharâj),133 perlindungan jiwa (jizyah),134 bea cukai („usyr),135 dan zakat.136 Di setiap provinsi, semua biaya untuk urusan administrasi lokal, belanja tahunan negara, gaji pasukan, dan berbagai bentuk layanan masyarakat dipenuhi dari pemasukan lokal, dan sisanya dimasukkan ke dalam kas negara.137 Adam Smith, The Wealth of Nations (New York: The Modern Library, 1937), h. 365. Ganîmah adalah harta rampasan perang dari kafir harbî yang ditinggalkan oleh mereka di medan peperangan, sedangkan Fai‟ adalah harta hasil rampasan dari kafir harbî yang diperoleh tanpa peperangan. Lihat Abû Ja‟far Muh}ammad bin Jarîr al-Tabarî selanjutnya disebut al-Tabari, Târikh al-Umam wa al-Mulûk, Jilid V (Beirut: Dâr al-Fikr, 1978), h. 78. 133 Kharâj (tributan soli) adalah pajak tanah yang dipungut dari non-muslim ketika tanah mereka berhasil ditaklukkan. Jumlah kharaj dari tanah ini tetap, yaitu setengah dari hasil produksi kepada negara (wazîfah). Lihat Abû „Ubaid al-Qâsim bin Sallâm al-Harwî, Kitâb al-Amwâl. ed. Muh}ammad Khalîl Harrâs (Beirut: Dâr al-Fikr li al-Tibâ„ah wa al-Nas}r wa al-Taujî„, 1988), Juz I, hlm. 94-95. Istilah kharâj ini, dilihat dari kacamata sejarah, dipinjam oleh bangsa Arab dari bahasa administratif Bizantium, yang pada mulanya berarti upeti, yang dalam bahasa Persia dikenal dengan istilah kharag. Terminologi ini sudah dikenal sejak masa Yunani ketika dibawah kekuasaan Romawi dengan istilah Tributan soli, yang kemudian diserap ke dalam bahasa Arab dan dicernakan dengan pertimbangan makna yang sama dengan hasil bumi, kemudian dalam terminologi ekonomi dimaknai dengan “Pajak yang harus dibayar atas dasar hak kepemilikan tanah”, Lihat Muh}ammad, Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Ekonomi Islam (Jakarta: Salemba Empat, 2002), hlm. 183. Berbeda dengan pengertian di atas, Masdar F Mas‟udi mengemukakan bahwa kharrâj bukanlah pajak tanah, melainkan semacam retribusi atau sewa tanah negara yang dibayarkan oleh penggarapanya. Lihat Masdar F Mas‟udi, Agama Keadilan Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), h. 2-6. 134 Jizyah (tributum capitis) adalah pajak yang dibayarkan oleh orang non-muslim khususnya ahlu-kitab, untuk jaminan perlindungan jiwa, properti, ibadah, serta bebas dari nilai-nilai, dan tidak wajib militer. Pada masa Rasûlullâh s.a.w., jizyah ditetapkan melalui sahabatnya Muaz\ bin Jabal ketika diutus ke Yaman, yaitu sebesar satu dinar per tahun bagi yang sudah balig dan mampu membayar. Pembayaran tidak harus berupa uang tunai, tetapi dapat juga berupa barang dan jasa. Namun menurut Abû „Ubaid, ukuran ini rupanya tidak menjadi ketentuan baku, hal ini beliau analogikan dari sikap „Umar bin al-Khat}t}âb yang memungut jizyah sebanyak 4 (empat) dinar atau 40 (empatpuluh) dirham. Lihat Abû „Ubaid, op. cit., Juz I, h. 37, no: 72. 135 „Usyr adalah bea cukai/import yang dikenakan kepada semua pedagang (baik pedagang Muslim maupun non-Muslim) ketika melintasi wilayah daulah Islamiyyah. Pedagang Muslim dikenakan rub„u al-„ushr (2,5%), ahlu al-dhimmah dikenakan nisf al-„ushr (5%) dan ahlu al-harb dikenakan „usyr (10%); bea cukai dikenakan terhadap barang-barang yang lebih dari 200 dirham. Abû „Ubaid, Ibid, Juz I, hlm. 24; Juz IV, h. 642. 136 Ibid, Juz I, h. 51, 76, 108-109. 137 al-Tabari, Târikh al-Umam wa al-Mulûk…., op.cit., h. 182. 131 132 Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 68 Solihin Panji Memahami Ijtihâd Hukum… Pada masa ini „Umar bin Khattâb membentangkan garis perbedaan mendasar pengelolaan ekonomi dengan kerajaan lainnya, seperti sistem feodalisme yang diterapkan di Iran dan Irak.138 Pengelolaaan harta selalu diserahkan dan disimpan dalam Bait al-Mâl yang siap digunakan untuk kepentingan umum, dan bukan untuk kepentingan khalîfah. Devisa Negara dan kekayaan Khalifah selalu disimpan secara terpisah dari aparat eksekutif, meskipun semuanya berada di bawah kekuasaan eksekutif. „Umar bin al-Khattâb juga menerapkan gaji bulanan ataupun tahunan bagi para aparat keamanan, selain itu juga masyarakat bisa memperoleh tunjangan yang diambil dari harta benda umum, bahkan para wanita dan bayi yang baru lahir berhak mendapat santunan dari negara.139 Selama pemerintahan „Umar bin al-Khattâb, kekuasaan Islam tumbuh dengan sangat pesat. Islam mengambil alih Mesopotamia dan sebagian Persia dari tangan dinasti Sassanid dari Persia (yang mengakhiri masa kekaisaran Sassanid) serta mengambil alih Mesir, Palestina, Syria, Afrika Utara dan Armenia dari kekaisaran Romawi (Byzantium). Saat itu ada dua negara adidaya yaitu Persia dan Romawi. Namun keduanya telah ditaklukkan Islam pada zaman „Umar bin alKhattâb.140 „Umar bin al-Khattâb melakukan banyak reformasi secara administratif dan mengontrol dari dekat kebijakan publik, termasuk membangun sistem administratif untuk daerah yang baru ditaklukkan. Ia juga memerintahkan diselenggarakannya di seluruh wilayah kekuasaan Islam. Tahun 638 M, ia memerintahkan untuk memperluas dan merenovasi Ia juga memulai proses.141 Pada sekitar tahun ke 17 Hijriah, tahun keempat kekhalîfahannya, „Umar bin al-Khattâb mengeluarkan keputusan bahwa penanggalan Islam hendaknya mulai dihitung saat peristiwa142 dan membentuk kas negara (Baitul Mâl), menyatukan orang-orang yang melakukan shalat 138 Iran dan Irak pada saat itu adalah Negara yang Monarkhi, yang mana sistem ekonomi yang diterapkan adalah sistem feodalisme yang membagi ekonomi menjadi dua kelas, yaitu kelas kaya dan kelas miskin. Kelas kaya yaitu terdiri dari raja, para anggota istana, para pejabat, para baron, para tuan tanah, dan pemimpin-pemimpin agama. Kelas ini menguasai segala sumber produksi yang ada. Sedangkan kelas yang miskin terdiri dari para petani, tukang-tukang dan para penghasil barang, dan mereka ini tidak dibenarkan untuk mengkonsumsikan barang yang mereka hasilkan sendiri. Dan cara ini dimaksudkan untuk membantu kelompok kaya agar selalu bertambah kaya dengan mengekploitasi kelompok orang-orang miskin. Dan yang paling berkuasa dalam penerapan sistem seperti ini adalah para raja yang bebas untuk menggunakan kekayaannya. 139 Joesoef Sou‟yb, Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 318. 140 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, Cet. Kelima (Jakarta Universitas Indonesia Press, 1985), h. 57-58. 141 Ibid. 142 Philip K. Hitti, History of the Arabs, Terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, Cet. II, 2010), h. 219. Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 69 Solihin Panji Memahami Ijtihâd Hukum… sunah Tarâwîh dengan satu imam, menciptakan lembaga peradilan, membentuk lembaga perkantoran, membangun balai pengobatan, membangun tempat penginapan, memanfaatkan kapal laut untuk perdagangan, mencetak mata uang dirham, audit bagi para pejabat serta pegawai dan juga konsep yang lainnya.143 d. Wafatnya Khalîfah ‘Umar bin al-Khattâb Khalîfah „Umar bin al-Khattâb meninggal dunia pada hari Ahad Awal Muharram tahun 24 H/644 M akibat luka-luka yang dideritanya atas percobaan pembunuhan terhadap dirinya pada hari Rabu tanggal 26 Zulhijjah tahun 23 H/644 M, beliau wafat dalam usia 63 tahun dan dimakamkan di samping Rasulullah saw dan Abû Bakar.144 Total masa pemerintahannya adalah 10 tahun 5 bulan 21 hari.145 Pelaku percobaan pembunan terhadapnya tersebut ialah seorang Parsi, bekas tawanan dari Nahawand yang telah dimerdekakan oleh Panglima al-Mugîrah bin Syu‟bah (oleh sebab itulah ia sering dipanggil sebagai anak angkat al-Mugirah). Ia bernama Abû Lu‟lu‟ al-Fairuz. Pembunuhan ini konon dilatarbelakangi dendam pribadi Abû Lu‟lu‟ alFairuz yang merasa merasa sakit hati atas kekalahan Persia yang saat itu merupakan negara digdaya, oleh „Umar bin al-Khattâb.146 Sebelum wafat, „Umar bin al-Khattâb berwasiat agar urusan khilâfah dan pimpinan pemerintahan, dimusyawarahkan oleh enam orang yang telah mendapat ridâ Allah dan Rasulullah saw. Mereka adalah Usmân bin „Affân, „Alî bin Abî Tâlib, Talhah bin Ubaidillâh, Zubair bin „Awwâm, Sa‟ad bin Abî Waqqâs, dan Abdurrahmân bin Auf.147 2. Ijtihâd Hukum ‘Umar bin al-Khattâb Khudri Bek, dalam Târîkh al-Tasyrî‟ al-Islâmî membagi sejarah pembentukan hukum Islam kepada enam periode, yaitu: 148 1. Pembentukan Hukum Islam pada masa hidupnya Nabi Muhammad saw; 2. Pembentukan hukum Islam pada masa sahabat besar. Masa ini berakhir dengan berakhirnya al-Khulafâ‟ al-Râsyidûn; 3. Pembentukan hukum Islam pada masa sahabat dan tâbi‟în yang sejajar dengan mereka kebaikannya. Masa ini berakhir dengan berakhirnya abad pertama hijriyah atau sedikit sesudah itu; Joesoef Sou‟yb, op.cit., h. 317. Ibid, h. 141. 145 Ibid, h. 311. 146 Ibid, h. 315 147 Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, 2009), h. 104. 148 Khudrî Bik, Târîkh al-Tasyrî‟ al-Islâmî (t.t.: al-Haramain, t.th.), h. 4. 143 144 Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 70 Solihin Panji Memahami Ijtihâd Hukum… 4. Pembentukan hukum pada masa fikih sudah menjadi cabang ilmu pengetahuan. Periode ini berakhir dengan berakhirnya abad ketiga hijriyah; 5. Pembentukan hukum pada masa yang di dalamnya telah dimasukkannya masalah-masalah yang berasal dari para Imam, dan munculnya karangan-karangan besar. Masa ini berakhir dengan berakhirnya Daulah Abbasiyah di Bagdad; 6. Pembentukan hukum pada masa taklid semata-mata. Masanya sesudah periode kelima sampai sekarang. Berdasarkan periodisasi tersebut di atas, maka Khalîfah „Umar bin alKhattâb masuk pada masa yang kedua. Penulis mencoba memaparkan proses pembentukan hukum Islam masa itu, yang bermuara pada ijtihâd khalîfah „Umar bin al-Khattâb. Sebelum jauh membahas ijtihad hukum, terlebih dahulu penulis akan mengemukakan definisi dari ijtihad dan hukum itu sendiri. Pengertian ijtihad atau al-Ijtihâd, berasal dari kata al-jahd atau al-juhd ()الجهد, secara etimologi berarti al-t}aqah ( )الطقةyang mengandung makna tenaga, kuasa, dan daya, sementara al-ijtihâd dan al-tajâhud berarti “penumpahan segala kesempatan dan tenaga”.149 Secara terminologis, Subhi Mahmassani mendefinikan ijtihad sebagai: “meluangkan kesempatan dalam usaha mengetahui ketentuan-ketentuan hukum dari dalil syari‟at”.150 Senada dengan itu, Abdul Wahab Khalaf mendefinisikannya sebagai: “suatu upaya berpikir secara optimal dalam menggali hukum Islam dari sumbernya untuk memperoleh jawaban terhadap permasalahan hukum yang muncul dalam masyarakat”.151 Sedangkan menurut ilmu usul fiqh, kata ijtihâd identik dengan kata “istinbat” yang berasal dari kata nabt ( )نبطyang berarti “air yang mulamula memancar keluar dari sumur yang digali”. Dengan demikian, menurut bahasa, arti istinbat adalah “mengeluarkan sesuatu dari persembunyiannya”. Jadi arti ijtihâd atau istinbât adalah “menggali hukum syara‟ yang belum ditegaskan secara langsung oleh nass al-Qur‟an atau Sunnah.152 Sedangkan hukum Islam, menurut istilah sering dipahami sebagai terjemahan dari “islamic law” yang menyamakannya dengan istilah 149 Jamâl al-Dîn Muh}ammad Ibn Marwân, Lisân al-Arab, Juz III (Mesir: Dâr al-Misriyyah alTa‟lîf wa Tarjamah, t.t.), h. 107-109. 150 Subhi Mahmassani, Falsafah al-Tasyrî‟ fî al-Islâm, terj. Ahmad Sudjono, Cet. I (Bandung: alMa‟arif, 1981), h. 143. 151 Abdul Wahab Khalaf, „Ilm Ushûl al-Fiqh (Kairo: Daar Al-Kuwaitiyah, 1968), h 216 152 Ibrahim Hosen (et.al), Ijtihad Dalam Sorotan, Cet. IV (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 13-25. Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 71 Solihin Panji Memahami Ijtihâd Hukum… syarî‟ah, tasyrî‟, dan fiqh, walaupun secara terminologi ada perbedaan dari ketiga istilah tersebut.153 3. Sumber Ijtihâd ‘Umar bin al-Khattâb dalam Hukum Islam Hukum Islam mengakui kehormatan manusia, dan di sisi yang lain mengarahkannya kepada perwujudan kemaslahatan masyarakat. Penerapan hukum Islam terhadap situasi yang beraneka ragam, baik dalam arti masa maupun dalam arti tempat membutuhkan hukum yang fleksibel. Karena tujuan hukum Islam adalah kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat kelak, dengan jalan mengambil segala yang bermanfaat dan mencegah yang mudarat yaitu yang tidak berguna bagi kehidupan. Dengan kata lain penerapan hukum adalah kemaslahatan hidup manusia, baik rohani maupun jasmani, individual dan sosial. Terpenuhinya kebutuhan masyarakat. Artinya fungsi hukum adalah memberikan jawaban terhadap problematika sosial. Pada masa Khalîfah „Umar bin al-Khattâb, setiap masalah hukum yang dihadapinya, beliau mencari ketetapan hukum dalam al-Qur‟an, bila tidak dijumpai dalam al-Qur‟an, kemudian dalam Sunnah Rasulullah saw, bila tidak ditemukan juga maka beliau konfirmasikan dan konsultasikan kepada sesama sahabat untuk menetapkan hukumnya.154 Diriwayatkan al-Baihaqi, bahwa „Umar bin al-Khattâb pernah mengirim surat instruksi kepada Syuraih yang isinya antara lain, “apabila engkau menghadapi suatu masalah, sementara masalah itu terdapat dalam kitab Allah, maka putuskan masalah itu denganya, dan jangan seorang pun dapat memalingkan keputusanmu darinya. Dan apabila masalah itu tidak terdapat dalam Kitab Allah, tetapi terdapat dalam sunnah Rosulullah saw, maka putuskanlah masalah itu dengannya. Jika masalah itu tidak terdapat dalam keduanya, maka putuskanlah dengan apa yang telah diputuskan oleh imam-imam (para pemimpin) yang mendapat petunjuk. Jika tidak terdapat dalam ketiganya, maka Anda bisa memilih di antara dua alternatif: Pertama, ber-ijtihâd dengan pendapatmu, dan kedua, meminta pertimbangan kepadaku. Aku yakin Anda meminta pertimbangan kepadaku tentu akan membuat Anda lebih selamat”.155 153 Kata syarî‟ah dalam bahasa Arab berarti tempat air minum yang selalu menjadi tujuan manusia maupun binatang. Oleh karena itu syarî‟at dalam arti hukum Islam berarti sumber hukum Islam yang tidak berubah sepanjang masa. Adapun kata tasyrî‟ berarti pembentukan hukum Islam secara sistematis, pembentukan hukum-hukum teoritis dan hukum-hukum praktis. Tasyrî‟ terbagi menjadi dua, yaitu tasyrî‟ samâwî (hukum buatan Allah swt) dan tasyrî‟ wad‟î (hukum buatan manusia). Sedangkan Fiqh mengandung arti hukum-hukm yang dibentuk berdasarkan syarî‟at, yaitu hukum-hukum yang penggaliannya memerlukan renungan yang mendalam, pemahaman atau pengetahuan ijtihâd. Lihat Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam (Bandung: Unisba, 1995), h. 10 154 Abdul Wahab Khalaf, Khulâs}ah Târîkh al-Tasyrî‟ al-Islâmî, terj. Wajidi Sayadi, Cet. I (Jakarta: Grafindo Persada, 2001), h. 55-56. 155 al-Halawî, op.cit., h. 9. Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 72 Solihin Panji Memahami Ijtihâd Hukum… Beberapa Produk Ijtihâd ‘Umar bin al-Khattâb 1. Persetujuan Calon Istri Menurut pandangan „Umar bin al-Khattâb, penegasan persetujuan calon mempelai putri dengan siapa ia hendak dinikahkan adalah sesuatu yang pokok dan hendaklah tidak ada pemaksaan di dalam memilihkan calon suami. Hal ini berlaku untuk perempuan yang masih gadis maupun seorang janda, hanya saja penekanannya agak berbeda. Bagi perempuan yang masih gadis, mereka cukup memperlihatkan “bahasa tubuh” untuk menunjukkan kesetujuannya, atau pun cukup dengan “diam”, seandainya mereka begitu malu untuk menjawabnya melalui kata-kata. Namun bagi mereka yang telah janda, maka persetujuannya harus diungkapkan dengan kata-kata, agar tidak terjadi salah pemahaman wali. Hal ini dilandaskan dari riwayat yang disampaikan oleh Abdurrazâq, bahwa tatkala itu di Madinah ada seorang janda yang menjadi “incaran” banyak lelaki, termasuk di antaranya „Umar bin alKhattâb. Suatu hari „Umar bin al-Khattâb menemui walinya, dan berkata, “Tolong sampaikan kepadanya kalau aku menginginkannya!” setelah agak lama tidak ada jawaban, „Umar bin al-Khattâb kemudian masuk ke dalam rumahnya, sementara perempuan itu didampingi oleh walinya. Lalu „Umar bin al-Khattâb bertanya kepadanya, “Aku belum tahu apakah ia (si wali) ini sudah memberitahumu?” Perempuan itu menjawab, “Ya, sudah, tetapi aku tidak membutuhkan Tuan dan tidak pula yang ia sebutkan, tetapi tolong katakan kepadanya agar menikahkan aku dengan si fulan Z.” Lalu walinya berkata, “Tidak, demi Allah aku tidak akan melakukannya.” „Umar bin al-Khattâb bertanya, kenapa demikian?” Walinya menjawab, “Karena Anda menginginkannya, si Fulan A menginginkannya, sementara si Fulan B juga menginginkannya, sampai-sampai aku tidak tahu siapa lagi orang yang terpandang di Madinah ini yang akan menginginkannya, tetapi semua ia tolak kecuali hanya si Fulan Z seorang.” „Umar bin al-Khattâb kemudian berkata, “Aku berharap Engkau menikahkannya dengan pilihannya, jika orangnya taat beragama.”156 Demikianlah pendapat „Umar bin al-Khattâb tentang pentingnya persetujuan calon istri terhadap calon suami yang akan membawanya ke dalam kehidupan rumah tangga yang dimaksudkan oleh al-Qur‟an (sakînah, mawaddah, wa rahmah), bukan sekedar pelampiasan hawa nafsu belaka. 156 Ibid, h. 160 Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 73 Solihin Panji Memahami Ijtihâd Hukum… 2. Nikah Mut’ah (kawin kontrak)157 Khalîfah „Umar bin al-Khattâb termasuk yang amat menentang praktik nikah mut‟ah yang terjadi di dalam masyarakat. Dalam sebuah riwayat yang disampaikan oleh Ibnu Majah dari Ibnu „Umar ra ia berkata: Ketika „Umar bin al-Khattâb menjadi khalîfah, beliau berpidato di depan khalayak, “Bahwa Rasulullah saw mengizinkan kepada kita untuk kawin mut‟ah tiga hari, kemudian setelah itu beliau mengharamkannya. Demi Allah, kalau ada seseorang melakukan nikah mut‟ah sedangkan ia telah beristri (muhsan), pasti ia akan saya hukum rajam dengan batu, kecuali kalau ia bisa mendatangkan empat orang saksi kepadaku yang semuanya menyatakan, bahwa Rasulullah saw telah menghalalkannya lagi setelah beliau mengharamkannya.”158 Hal ini diperkuat dengan sebuah asar yang diriwayatkan oleh Imam Malik bahwa Khaulah binti Hâkim pernah masuk ke rumah khalîfah „Umar bin al-Khattâb, kemudian ia berkata, “Sesungguhnya Rabî‟ah bin Umayyah melakukan nikah mut‟ah dengan seorang perempuan sampai ia mengandung.” „Umar bin al-Khattâb lalu keluar dengan menarik selendangnya dan berkata, “Sesungguhnya kejadian mut‟ah ini, kalau seandainya terjadi sesudah aku umumkan keharamannya di hadapan umat, pasti aku akan merajam orang yang melakukannya”.159 Apa yang telah dilakukan oleh khalîfah „Umar bin al-Khattâb merupakan upaya menyelamatkan umat Islam agar tidak terjerumus ke dalam lembah kemaksiatan berupa perbuatan zina, yang dianggap sebagian orang sebagai “mengamalkan sunnah Rasulullah saw” tanpa mau melihat ––atau kemungkinan juga benar-benar tidak tahu–– bahwa sebenarnya Rasulullah saw telah melarang nikah mut‟ah ini sampai datangnya hari kiamat. Sehingga amatlah tepat do‟a Sa‟îd bin Musayyab yang diriwayatkan oleh Ibnu Syaibah, bahwasanya ia berdo‟a, “Semoga Allah melimpahkan anugerah-Nya kepada „Umar bin al-Khattâb, andaikan ia tidak melarang kawin mut‟ah, pasti akan terjadi zina dengan terangterangan.”160 157 Disebut juga kawin sementara, atau kawin terputus, oleh karena laki-laki yang mengawini perempuannya itu untuk sehari atau seminggu atau sebulan. Dinamakan kawin mut‟ah karena laki-lakinya bermaksud untuk bersenang-senang sementara waktu. Lihat Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, terj. Moh. Thalib, Juz VI, Cet. Ke-10 (Bandung: Al-Ma‟arif, 1995), h. 57. 158 Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Mâjah dari Muh}ammad bin Khalf al-„Asqalânî, dari alFiryâbî, dari Abân bin Abî Hâzim, dari Abû Bakar bin Hafs, dari Ibnu „Umar. Lihat Ibnu Mâjah, Software Mausû‟ah al-Hadîs al-Syarîf (Global Islamic Software Company, versi. 2, 1997), hadis nomor 1953. 159 Mâlik bin Anas, Software Mausû‟ah al-Hadîs al-Syarîf (Global Islamic Software Company, versi. 2, 1997), hadis nomor 995. 160 al-Halawî, op.cit., h. 174. Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 74 Solihin Panji Memahami Ijtihâd Hukum… Menurut analisis penulis, kesimpangsiuran berita tentang masih atau tidak diperbolehkannya lagi praktik nikah mut‟ah pada masa-masa awal pemerintahan al-khulafâ‟ al-râsyidûn ini dimungkinkan karena, perkenan Rasulullah saw kepada para sahabat untuk melakukan nikah mut‟ah sebagaimana diterangkan oleh banyak hadis161 mencapai derajat qat‟î al-wurûd yang membawa kepada pemahaman yang meyakinkan (qat‟î al-dilâlah), sedangkan pengharamannya yang berlangsung dua kali ––walaupun juga diriwayatkan secara mutawâtir–– namun membuat sahabat yang berdomisili di luar Madinah atau yang sedang melakukan perjalanan perdagangan, tidak serta merta mendengar hadis ini, dan lantas melaksanakannya. Ini terbukti, ada sebagian kecil sahabat nabi yang masih menganggap halalnya nikah mut‟ah sepeninggal Nabi saw, bahkan hingga berlalu kepemimpinan khalîfah Abû Bakar dan „Umar bin Khattab.162 Hal ini bisa kita maklumi karena minimnya alat komunikasi dan transportasi kala itu yang memungkinkan sebuah berita bisa tersebar sedemikian cepat seperti yang terjadi dewasa ini dengan dukungan tehnologi informasi berupa media cetak dan elektronik. 3. Talak Tiga Sekaligus Demikian juga dalam memutuskan perkara talak tiga sekaligus. Sebelum kepemimpinan khalîfah „Umar bin al-Khattâb ra, Rasûlullâh saw, dilanjutkan oleh Abû Bakar menjatuhkan talak satu kepada suami yang mentalak tiga sekaligus istrinya. Pada masa kekhalîfahannya „Umar bin al-Khattâb ra merubah pernyataan talak tiga yang diucapkan sekaligus itu dihitung jatuh talak tiga. Alasannya adalah banyak suami yang mudah dan ringan saja menyatakan talak tiga sekaligus.163 Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ishâq bin Ibrâhîm dan Muh}ammad bin Râfi‟, menggunakan lafal Ibnu Râfi‟, ia berkata, “Abdurrazâq menyampaikan kepada kami, mengabarkan kepada kami Ma‟mar bin Rasyîd, dari Ibnu Tâwus, dari ayahnya (Tâwus bin Kaisân), dari Ibnu „Abbâs ra ia berkata, “Masalah talak pada masa Rasulullâh saw, Abû Bakar ra, dan dua tahun pertama masa pemerintahan „Umar bin al-Khattâb, talak tiga sekaligus dihitung sekali. Lalu „Umar bin al-Khattâb berkata, “Sesungguhnya orang-orang pada 161 Silahkan lihat al-Bukhâri: 2494; Muslim: 2495-2499; Ah}mad bin Hanbal: 15907, 15937, 15956. Ini dapat dilihat dari sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari al-Hasan bin al-Hulwânî, dari „Abdurrazâq, dari „Ata‟, dari sahabat Jabir bin „Abdillâh, ia berkata, “bahwa nikah mut‟ah telah disyariatkan (diperbolehkan) sejak zaman Rasulullâ saw, hingga zaman Abû Bakar, dan sampai zaman „Umar bin al-Khattâb.” dari riwayat ini bisa kita tangkap bahwa pemahaman para sahabat bisa berbeda antara satu sama lain tentang sebuah hukum, disebabkan intensitas pertemuan dengan Rasulullâh yang berbeda pula. 163 al-Halawî, op.cit., h. 193-195. 162 Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 75 Solihin Panji Memahami Ijtihâd Hukum… masa sekarang ini terlalu terburu-buru dalam menentukan perkara, dimana mereka seharusnya diperintahkan untuk bersabar karena mereka punya hak untuk merujuk kembali. Sehingga kalau masalah ini kami biarkan berlarut-larut, tentu kejadian ini akan terus berlanjut pada mereka”.164 Dan diriwayatkan Abdurrazâq dari „Umar bin al-Khattâb, pernah ada seorang laki-laki menceraikan istrinya dengan talak seribu, kemudian kasus ini dilaporkan kepada „Umar bin al-Khattâb, ia lalu bertanya, “Benarkah Engkau menceraikan istrimu?” Laki-laki itu menjawab, “Tidak, aku hanya main-main”. „Umar bin al-Khattâb lalu memukulnya dengan tongkat kecil, ia berkata, “Talak tiga sudah cukup bagimu”.165 Pemaparan di atas mengantarkan penulis untuk mengklasifikasi beberapa pendapat berkenaan dengan masalah ini, pertama, kelompok yang berpendapat bahwa talaknya jatuh tiga sekaligus, antara lain „Umar bin al-Khattâb, Aisyah, Empat Imam Mazhab Fiqh, dan jumhûr ulama salaf dan ulama khalaf, dan diantara dalîl yang digunakan untuk mendukung pendapat mereka adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Daruqutnî dari „Abdullâh bin „Umar. Sesungguhnya ia pernah menceraikan istrinya denga satu kali talak pada saat istrinya sedang mengalami pendarahan haid. Ketika istrinya sedang menjalani masa tunggu dalam daur bersih yang kedua, Ibnu „Umar ingin menambahkan talaknya lagi dengan dua kali talak. Rupanya berita ini akhirnya didengar oleh Rasûlullâh saw, kemudian Beliau bersabda, “Wahai Ibnu „Umar, tidak begitu Allah memerintahkan, sesungguhnya Engkau telah menyalahi sunnah, karena sunnah (menetapkan), bahwa di saat perempuan menjelang masa bersih itu, engkau boleh menjatuhkan talak untuk setiap masa bersih”. (Ibnu „Umar berkata, “Kemudian Rasulullah saw menyuruhku untuk merujuk kembal, lalu aku merujuknya kembali). Akhirnya Rasulullah saw bersabda kembali, “ Apabila ia telah bersih (suci), engkau boleh menceraikannya atau engkau biarkan ia tetap jadi istrimu”. Aku bertanya kepada Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat Tuan seandainya aku menceraikannya dengan talak tiga? Bolehkah aku merujuknya kembali?” Beliau menjawab, “ Tidak, karena engaku telah menceraikannya dengan talak ba‟in, (dan kalau itu kau lakukan), berarti engkau telah berbuat durhaka”.166 Kedua, Kelompok yang berpendapat bahwa seorang suami yang mentalak tiga sekaligus istrinya, maka talaknya hanya jatuh satu, Ibid. Ibid. 166 Imâm Muslim, Software Mausû‟ah al-Hadîs al-Syarîf (Global Islamic Software Company, versi. 2, 1997), hadis nomor 2676. 164 165 Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 76 Solihin Panji Memahami Ijtihâd Hukum… pendapat ini didasarkan pada riwayat Ibnu „Abbâs di atas, ada pun yang termasuk memegang pendapat ini antara lain, sebagian pengikut mazhab al-Zâhiriyyah.167 Ketiga, Kelompok yang berpendapat bahwa talak semacam ini adalah bid‟ah, sehingga tertolak dan dianggap tidak sah. Pendapat ini dipelopori oleh Ibnu Ulaiyyah dari ulama salaf, Ibnu Taymiyyah, Ibnu Hazm, dan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dan ulama khalaf, dan Sayyid Sâbiq dari ulama kontemporer.168 Keempat, Kelompok yang membedakan antara mereka yang sudah pernah digauli (hubungan seksual) dengan mereka yang belum pernah berhubungan seksual. Adapun istri yang sudah pernah diajak berhubungan seksual, talak tiga sekaligus dihitung tiga, sedangkan istri yang belum pernah disetubuhi tetap dihitung satu.169 4. Khulu’170 Khulu‟, dalam pandangan „Umar bin al-Khattâb harus disikapi secara bijaksana oleh seorang suami, dan beliau menganjurkan kepada para suami untuk mengabulkan permintaan khulu‟ istrinya. Sebagaimana diriwayatkan al-Baihaqî, sesungguhnya „Umar bin alKhattâb pernah mengemukakan tentang perempuan yang meminta khulu‟, bahwa ganti rugi yang diberikan oleh pihak istri bisa diterima asal memiliki nilai, sekali pun lebih rendah dari nilai kelabang sanggul kepalanya. Pendapat ini juga diikuti oleh imam Mâlik, al-Syâfi‟î, Abû Sulaimân, dan sahabat-sahabat mereka. Sementara itu imam Abû Hanîfah mengemukakan, bahwa pihak suami tidak boleh meminta ganti rugi khulu‟ dari istrinya yang nilainya lebih dari mahar yang pernah diberikan kepadanya. Kalau suaminya terpaksa melakukannya, maka hendaknya menyedekahkan kelebihan tersebut.171 Juga dengan tegas „Umar bin al-Khattâb mengatakan, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Baihaqî, “Apabila kaum perempuan menuntut cerai kepada suaminya dengan khulu‟, maka janganlah kalian menolaknya.”172 167al-Halawî, loc.cit. Sayyid Sâbiq, Fikih Sunnah, terj. Moh. Thalib, Juz VI, Cet. Ke-10 (Bandung: Al-Ma‟arif, 1995), h. 44-45. 169 Al-San‟ânî, Subul al-Salâm, Juz II (t.t.: t.tp, 1990), h. 1085 170 Khulu‟ secara secara etimologis bermakna melepaskan. Sedangkan menurut terminologi fiqhiyah adalah perceraian yang muncul karena pihak istri menuntut cerai dengan membayar ganti rugi yang diberikan kepada pihak suami yang menceraikan. 171 Ibnu Hazm, al-Muh}allâ (t.t.: t.tp., 1979), h. 594 172 al-Halawî, op.cit., h. 223. 168 Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 77 Solihin Panji Memahami Ijtihâd Hukum… 5. Zakat untuk Muallaf Pandangan „Umar bin al-Khattâb berikutnya yang juga menjadi sorotan banyak pihak pada masanya adalah ketika beliau melakukan pembagian zakat. Sesuai dengan ketentuan dalam al-Qur‟an,173 di antara yang berhak menerima zakat (mustahiq) adalah kaum muallaf. Baik pada masa Nabi saw maupun Khalîfah Abû Bakar al-Siddîq ra tidak ada perubahan dalam pembagiannya, kaum muallaf selalu mendapatkan porsi sesuai ketentuan al-Qur‟an, karena muallaf adalah mereka yang baru saja masuk Islam, diharapkan mereka mantap keislamannya. Namun sewaktu „Umar bin al-Khattâb menjadi khalîfah, beliau hentikan pemberian bagian zakat kepada muallaf dengan alasan bahwa pada masa Rasulullah saw dan khalîfah Abû Bakar al-Siddîq, pemberian zakat kepada muallaf agar mereka lebih tertarik kepada Islam. Di masa „Umar bin al-Khattâb, zakat sebagai instrumen penarik hati non-Muslim tidak lagi menjadi hal yang diperhitungkan, karena Islam telah kuat dan jaya dan tidak membutuhkan mereka lagi.174 6. Elastisme Hâd bagi Pencuri Ijtihad „Umar bin al-Khattâb yang tidak kalah menarik dan kontroversial lainnya adalah seputar pemberian hukuman (hâd) bagi pencuri. Sikap elastis „Umar bin al-Khattâb dalam menyelami permasalahan pencurian ini seyogyanya kita pegang teguh dalam memutuskan hukum dewasa ini, yang tidak hanya mengacu pada tekstualitas ayat, tetapi labih masuk pada komponen ideal moral yang disuguhkan al-Qur‟an. Ketika mendapatkan laporan tentang pencurian, „Umar bin alKhattâb tidak lantas menghukum dengan zâhir al-nass :175 “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” Namun beliau melakukan kajian dan penelusuran terlebih dahulu, tentang apa, dan mengapa pelaku pencurian tersebut melakukan aksinya, sehingga akhirnya bisa diambil keputusan yang adil dan berkeadilan. Ini bisa dilihat dari sebuah as\ar yang diriwayatkan oleh Imam Mâlik, bahwasanya „Abdullah bin „Amr al-Hadramî datang membawa seorang budak kepada Khalîfah „Umar bin al-Khattâb dan berkata, "Potonglah tangan budakku ini karena dia telah mencuri!" Khalîfah „Umar bin al-Khattâb bertanya, "Apakah yang dicurinya?" Q.S. al-Taubah (9): 60. Munawir Sadjali, Ijtihad Kemanusiaan, Cet. I (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 40 175 Q.S. al-Mâ‟idah (5): 38 173 174 Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 78 Solihin Panji Memahami Ijtihâd Hukum… „Abdullah bin „Amr menjawab, "Dia telah mencuri cermin istriku seharga 80 dirham." Kemudian Khalîfah „Umar bin al-Khattâb berkata: "Lepaskan ia! Karena tidak ada hukuman potong (tangan atau kaki) yang dijatuhkan kepada pembantu yang telah mencuri harta kalian”.176 Riwayat lain yang menguatkan adalah apa yang disampaikan oleh Ibn Abî Syaibah dari al-Qâsim bin Abdir Rohman, "Sesungguhnya seorang laki-laki mencuri dari Baitul Mâl (kas Negara). Kemudian „Abdullâh bin Mas‟ûd melaporkannya kepada Khalîfah „Umar bin alKhattâb. Khalîfah „Umar bin al-Khattâb menyatakan kepada „Abdullâh bin Mas‟ûd agar tidak memotong tangannya karena bagi pencuri itu ada bagian dari harta Baitul Mâl itu."177 „Umar bin al-Khattâb telah menyebutkan faktor yang menyebabkan gagalnya hukuman pidana terhadap terdakwa, karena ia ikut memiliki hak (andil) terhadap harta yang dicuri, sehingga akan muncul faktor ketidakjelasan (syubhat) yang bisa menghalangi dijatuhkannya hukuman potong. Namun demikian, „Umar bin alKhattâb tidak langsung membiarkan terpidaa bebas begitu saja, tetapi tetap menjatuhkan hukuman ta‟zîr terhadap terpidana dalam beberapa kasus serupa, sebagai tindakan preventif. Demikian pula dalam kasus pencurian yang disebabkan kerena pencuri dalam kondisi kelaparan, maka hukum potong tidak diterapkan oleh „Umar bin al-Khattâb terhadap mereka, sebagaimana riwayat yang disampaikan Imâm Mâlik, sebagai berikut: 178 “…bahwa beberapa budak milik Hâtib bin Abî Balta‟ah pernah mencuri seekor unta milik seseorang dari banî Muzainah, kemudian mereka menyembelihnya. Kasus ini diajukan kepada khalîfah „Umar bin al-Khattâb, maka beliau memerintah Kasîr bin al-Salt untuk memotong tangan mereka. Tetapi tidak lama kemudian pikiran „Umar bin al-Khattâb berubah dalam memutuskan perkaranya. “Andaikan aku tidak menduga bahwa engkau telah membiarkan budak-budakmu kelaparan, sampai akhirnya salah satu di antara mereka “menerjang” apa yang diharamkan Allah swt, tentu sudah kupotong tangan mereka… Demi Allah, sungguh jika kau tetap membiarkan mereka kelaparan, aku akan menuntut ganti rugi yang bisa memberatkanmu,” kata „Umar bin al-Khattâb kepada Hâtib bin Abî Balta‟ah menjelaskan perkara budak-budaknya. “Berapa harga untamu yang telah dicurinya?” tanya „Umar bin alKhattâb kepada pemilik unta. Mâlik bin Anas, op.cit., hadis nomor 1321. al-Halawî, op.cit., h. 258. 178 Mâlik bin Anas, op.cit., hadis nomor 1240. 176 177 Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 79 Solihin Panji Memahami Ijtihâd Hukum… “Harganya kupertahankan empatratus dirham”. Jawab pemilik unta. “Bayarlah delapanratus!” perintah „Umar bin al-Khattâb kepada Hâtib bin Abî Balta‟ah. Imâm Mâlik dan al-Syâfi'î memandang bahwa apa yang dilakukan oleh Khalîfah „Umar bin al-Khattâb adalah sebuah takhsîs atas ayat alQur'an yang masih mutlaq179 yang terdapat dalam lafaz sâriq dan sâriqah yaitu hukum potong tangan dikecualikan atas orang-orang yang memiliki unsur hak atas harta yang dicuri sehingga orang yang mencuri di Baitul Mâl dan Tuannya tidak dihukum potong tangan. Hal ini juga difatwakan oleh Nabi bahwa orang yang memiliki bagian atas harta yang dicuri dia tidak dipotong tangannya.180 7. Hâd Orang yang meminum Khamr Contoh ijtihâd „Umar bin Khattâb berikutnya adalah pemberian hukuman untuk orang yang meminum khamer. Sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu „Abbas ra, bahwa orang-orang yang menenggak khamer pada zaman Rasulullah saw dipukul dengan tangan atau dengan tongkat. Kemudian setelah Rasulullah saw wafat jumlah mereka justru semakin banyak, sehingga khalîfah Abû Bakar ra mengambil keputusan untuk menjatuhkan hukuman cambuk sebanyak empatpuluh kali. Sepeninggal Abû Bakar, ketentuan ini masih diberlakukan oleh „Umar bin al-Khattâb. Diriwayatkan Abdurrazâq, "Sesungguhnya Khalîfah „Umar bin alKhattâb mendera dengan 40 kali. Ketika dia tidak melihat hal itu dapat mencegahnya, dia menambahkannya dengan 60 kali. Dan ketika dia tidak melihat hukuman itu dapat mencegahnya, dia menambahkan dengan 80 kali. Khalîfah „Umar bin al-Khattâb kemudian berkomentar, "Inilah hukuman yang paling ringan!"181 Sehingga dari kacamata hukum, apa yang dilakukan Khalîfah „Umar bin al-Khattâb dengan memberikan hâd hukuman yang bagi pemabuk yang melebihi dari sunnah Rasul saw, Ruwai'î menyatakan bahwa hal itu boleh saja dilakukan apabila dimaksudkan sebagai ta‟zîr, hal ini terkait dengan zâhir al-as\ar yang menyatakan kalau hukuman itu tidak mencegahnya baru kemudian ditambahkan hukuman. Dengan begitu penambahan hukuman hanya bersifat ta‟zir. Hal ini mengingat bahwa apa yang menjadi perilaku Nabi, adalah hujjah yang tidak boleh 179 Menurut A. Hanafi, Usul Fiqh (Jakarta: Widjaya, 1963), hlm. 75; Mutlaq ialah suatu lafaz yang menunjukkan sesuatu hal atau barang atau orang yang tidak tertentu tanpa ada ikatan yang tersendiri berupa perkataan. 180 Ruwai'î, op.cit., hlm. 287 181 al-Halawî, op.cit., hlm. 265. Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 80 Solihin Panji Memahami Ijtihâd Hukum… ditinggalkan dan ijma' atas hal-hal yang menyimpanginya hukumnya tidak sah.182 8. Salat Tarâwîh Berjama’ah Terakhir, penulis akan memaparkan contoh ijtihâd „Umar bin alKhattâb yang tidak kalah populernya dengan contoh sebelumnya, yakni mengenai perintah salat tarâwîh berjama‟ah. Sebagaimana diketahui, bahwa sebelum masa „Umar bin al-Khattâb menjadi khalîfah, salat tarâwîh dilaksanakan masing-masing oleh para sahabat, baik di rumah maupun di masjid, kemudian terjadilah seperti apa yang diberitakan oleh Imam Mâlik, Bukhârî, Ibnu Huzaimah dan yang lain, dari „Abdurrahmân bin „Abdul Qâri‟, ia berkata sebagai berikut: 183 “…Pada suatu malam di bulan Ramadân, aku pernah keluar bersama „Umar bin al-Khattâb ke masjid. Ternyata orang-orang berpencar di sana-sini, ada yang salat sendiri-sendiri, ada pula yang swlat bersama kelompoknya. „Umar bin al-Khattâb lalu berkata, “Aku yakin kalau semua orang ini aku kumpulkan dalam satu jama‟ah dengan satu imam tentu lebih ideal dan representatif.” Kemudian „Umar bin al-Khattâb bermaksud mewujudkan niatnya dengan menunjuk Ubay bin Ka‟ab sebagai imam jama‟ah. Di malam yang berbeda, aku keluar lagi bersama „Umar bin al-Khattâb ke masjid, ternyata aku dapati semua orang melaksanakan salat berjama‟ah dengan satu imam, lalu „Umar bin al-Khat}t}âb berkata, ”Inilah sebaik-baik bid‟ah, padahal waktu yang mereka gunakan untuk tidur di akhir malam itu lebih baik daripada waktu yang mereka gunakan untuk salat tarâwîh di awal malam”. „Umar bin al-Khattâb berkata demikian karena orangorang melakukan salat tarâwîh di awal malam. Inilah sebagian kecil dari Fatwâ dan Ijtihâd „Umar bin al-Khattâb yang mampu penulis hadirkan dalam makalah ini. Masih banyak Fatwâ dan Ijtihâd „Umar bin al-Khattâb dalam berbagai persoalan yang belum tergali dan masih “berserakan” di berbagai kitab fiqh dan sejarah. Oleh karena itu, segala literatur, referensi, dan kitab rujukan yang penulis suguhkan dalam tulisan ini, tidak semata-mata menjadi “kitab mati”, akan tetapi penulis harapkan menjadi bahan telaah lanjutan untuk kita semua tentang permasalahan-permasalahan yang dibahas secara ringkas. C. Kesimpulan Melalui praktik hukum Islam yang rasional dan dinamis, Khalîfah „Umar bin al-Khattâb secara tidak langsung mengukuhkan dirinya sebagai ahli hukum 182 183 Ruwai'î, op.cit., hlm. 315 al-Halawî, op.cit., hlm. 80. Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 81 Solihin Panji Memahami Ijtihâd Hukum… Islam yang sangat memperhatikan perkembangan masyarakat dan perubahan sosial. Berbagai gagasan tentang hukum Islam dan perubahan sosial digagas oleh beliau dalam berbagai kesempatan sepanjang hidupnya. Kesan umum dari berbagai pemikiran beliau adalah, bahwa hukum Islam bersifat dinamis, adaptif, dan relevan dengan perubahan dan perkembangan masyarakat.184 Untuk mengukuhkan dan memperkuat gagasan tersebut, Khalîfah „Umar bin al-Khattâb sering melakukan ijtihâd tatbîqî.185 Berkat gagasan dan pemikirannya tentang hukum Islam yang bersifat dinamis, adaptif, dan relevan dengan perubahan dan perkembangan masyarakat di atas, mengantarkan kepada pemikiran bahwa beliaulah pencetus awal ide-ide cemerlang dalam dunia Islam.186 Akan tetapi, karena semangat inovatifnya itu, „Umar bin al-Khattâb tidak terhindar dari penilaian negatif dan tuduhan sebagai telah menyimpang dari agama yang benar. Sekurang-kurangnya Ibnu Taimiyah, seorang pembaharu pemikiran Islam dari Syiria pada abad VIII H / XIV M yang bersemangat dan sangat kritis, telah mencatat berbagai kesalahan „Umar bin al-Khattâb. sedangkan kaum Syi‟ah, yang diketahui mempunyai kecenderungan anti Umar secara berlebihan, menuduh khalîfah kedua itu tidak saja melakukan berbagai bid‟ah, tetapi bahkan ia telah berbangga dengan penyelewengan-penyelewengan yang diperbuatnya itu.187 Namun patutlah diingatkan bahwa penilaian-penilaian negatif kepada gagasan dan tindakan „Umar bin al-Khattâb serupa itu terjadi hanyalah sesudah „Umar bin al-Khattâb sendiri lama tiada. Hal ini terutama sekali berkenaan dengan tuduhan kaum Syî‟ah. Ada dugaan kuat ––semisal sinyalemen yang dilontarkan Nurcholis Madjid–– bahwa perasaan anti „Umar yang berlebihan Nurkholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hlm. 6. Dalam pandangan Satria Effendi kasus-kasus hukum ijtihad „Umar bin al-Khattâb termasuk kategori ijtihâd tatbîqî, dengan demikian ijtihâd „Umar bin al-Khattâb dalam berbagai kasus hukum tersebut tidak meninggalkan nass, apalagi mengganti atau menghapuskannya. Ijtihad dalam pandangan Satria Effendi M. Zein terbagi menjadi 2 macam, yaitu ijtihâd istinbâtî dan ijtihâd tatbîqî, ijtihâd istinbâtî adalah upaya menyimpulkan hukum dari sumber-sumbernya, sedangkan ijtihâd tatbîqî adalah upaya menerapkan hukum itu secara tepat terhadap suatu kasus. Dalam ijtihâd istinbâtî, yang menjadi pusat perhatian adalah sumber-sumber hukum Islam, yang dilakukan baik dengan pendekatan kebahasaan maupun pendekatan maqâsid syarî‟ah. Dalam ijtihâd tatbîqi yang menjadi perhatian utama adalah untuk mengantarkan seorang penerap hukum kepada penerapan hukum secara tepat dalam suatu kasus, yang menjadi objek kajiannya adalah hal-hal yang meliputi perbuatan manusia dengan segala bentuk objek perbuatan itu, juga manusia itu sendiri sebagai pelaku hukum dengan segala kondisi dan perbuatannya. Ijtihâd tat}bîqi dapat berlaku pada setiap hukum, baik yang dinilai qat‟î, rinci maupun yang zannî. Lihat Satria Effendi M. Zein. “Metodologi Hukum Islam”, dalam Amrullah Ahmad dkk (Editor), Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional Mengenang 65 Th Prof. Dr. Busthanul Arifin, SH (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 117128. 186 Alî Muhammad al-Sya‟labi, The Great Leader of „Umar bin al-Khattâb; Kisah Kehidupan dan Kepemimpinan Khalifah Kedua, terj. Khoirul Amru Harahap (Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar, 2008), hlm. 45; Bandingkan dengan Jalâl a-Dîn al-Suyût}î, Târikh Khulafâ‟. Terj. Samson Rahman (Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar, 2003), h. 158. 187 Al-Bagdâdî, al-Farq baina al-Firâq (Kairo: t.tp, 1924), h. 106. 184 185 Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 82 Solihin Panji Memahami Ijtihâd Hukum… dari golongan Syî‟ah,188 telah tercampur dengan unsur luar Islam semacam Persianisme atau Iranisme yang muncul ke permukaan oleh dorongan gerakan Syu‟ûbiyyah ––semacam chauvinisme/paham kesukuan––. Mengingat bahwa di bawah kekhalifahan „Umar itulah Persia dibebaskan oleh tentara Islam Arab, dan mengingat mayoritas golongan Syî‟ah adalah orang-orang Persia atau Iran. Sedangkan lepas dari penilaian kurang baik dari kelompok tertentu terhadap „Umar bin al-Khattâb itu, khalîfah kedua ini oleh umat Islam Ahlu alSunnah (sunni) disepakati sebagai pemimpin kaum beriman yang paling berhasil. Boleh dikata bahwa, dari sudut peninjauan yang menyeluruh, masa „Umar bin al-Khattâb adalah masa keemasan sejarah Islam. maka tak mengherankan kiranya bahwa pada zaman mutakhir ini, bilamana aspirasi reformasi keagamaan, sosial dan politik Islam harus mencari model klasik bagi wawasannya, ia akan dengan bersemangat dan penuh simpati menyebut masa „Umar bin al-Khattâb. golongan pemikir Islam modernis misalnya, sangat mengagumi „Umar bin al-Khattâb tidak saja karena ia menauladani bagaimana menangkap semangat Islam secara menyeluruh, tetapi juga karena ia berhasil menciptakan masyarakat yang menurut jargon-jargon modern tentunya akan dinamakan demokratis dan sosialistis. Wallahu A‟lam bi al-Sawâb Daftar Pustaka Bagdâdî, al-. al-Farq baina al-Firâq, Kairo: t.tp, 1924 Baltajî, Muhammad. Metodologi Ijtihad Umar bin al-Khattâb, terj. Masturi Ilham, Jakarta: Khalifah, 2005 Bik, Muh}ammad Khudrî. Tarikh Tasyrî‟ al-Islâmî, Kairo: Matba‟ah al- Istiqomah, Cet. V, Tt. CD-ROM. Software Mausû‟ah al-Hadîs\ al-Syarîf, Global Islamic Software Company, versi. 2, 1997 Djauli, A. (et.al.), Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktek, Cet. I., Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991 Godgson, Marshall G. S.. The Venture of Islam, Terj. Mulyadi Kartanegara, Jakarta: Yayasan paramadina, 1999 Hâkim, Abdul Hamîd. Mabadi' Awwaliyah, Jakarta: Sâdiyah Putra, t.t. Paling tidak ada 5 pandangan terhadap ijtihâd „Umar bin al-Khat}t}âb, yaitu: (1) ijtihâd „Umar bin al-Khattâb tidak meninggalkan nass, apalagi mengganti atau menghapuskan ketentuannya, (2) ijtihâd „Umar bin al-Khattâb memang meninggalkan zâhir-nya nass. Karena ia berpegang pada ruh nass atau maqâsid al-syarî‟ah, (3) ijtihâd „Umar bin al-Khattâb berkenaan dengan masalah yang qat‟iyah yang bukan bidang ijtihâd, tetapi ini diperbolehkan khusus „Umar bin alKhattâb, (4) ijtihâd „Umar bin al-Khattâb telah menginggalkan nass yang sarih, tetapi sebagaimana berlaku pada setiap mujtahid, ijtihâd-nya tetap memperoleh satu ganjaran, dan (5) ijtihâd „Umar bin al-Khattâb memang banyak melanggar nass yang qat‟i, tetapi itu dilakukan „Umar bin al-Khattâb karena kekurangan informasi yang diterimanya untuk persoalan-persoalan yang bersangkutan. Baca Jalaluddin Rakhmat, “Kontroversi Sekitar Ijtihad Khalîfah „Umar bin al-Khattâb R.A. dalam Iqbal Abdurrauf Saimina (Penyunting), Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988), h. 43-59. 188 Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 83 Solihin Panji Memahami Ijtihâd Hukum… Haekal, Muhammad Husain. Umar bin Khattâb; Sebuah Telaah Mendalam tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya Masa Itu, terj. Ali Audah, cet. Kesepuluh, Jakarta: Litera Antarnusa, 2010 Halâwî, Muhammad „Abdul „Azîz al-. Fatwa dan Ijtihad „Umar bin al-Khattâb; Ensiklopedia Berbagai Persoalan Fiqih, terj. Zubeir Suryadi Abdullah, Surabaya: Risalah Gusti, 1999 Hanafi, A. Usul Fiqh, Jakarta: Widjaya, 1963 Harwî, Abû „Ubaid al-Qâsim bin Sallâm al-. Kitâb al-Amwâl. Beirut: Dâr al-Fikr li al-Tibâ„ah wa al- Nas}r wa al-Taujî„, 1988 Hazm, Ibnu. al-Muh}allâ, t.t.: t.tp., 1979 Hitti, Philip K. History of The Arabs. Terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2010 Hosen, Ibrahim (et.al.), Ijtihad Dalam Sorotan, Cet. IV, Bandung: Mizan, 1996 Khalaf, Abdul Wahab. „Ilm Ushûl al-Fiqh, Kairo: Daar Al-Kuwaitiyah, 1968 --------. Khulâsah Târîkh al-Tasyrî‟ al-Islâmî, terj. Wajidi Sayadi, Cet. I, Jakarta: Grafindo Persada, 2001 Madjid, Nurkholis (ed.). Khazanah Intelektual Islam. Jakarta : Bulan Bintang, 1994 Mahmassani, Subhi. Falsafah al-Tasyrî‟ fî al-Islâm, terj. Ahmad Sudjono, Cet. I, Bandung: al-Ma‟arif, 1981 Marwân, Jamâl al-Dîn Muh}ammad Ibn. Lisân al-Arab, Juz III, Mesir: Dâr alMisriyyah al-Ta‟lîf wa Tarjamah, t.t. Mas‟udi, Masdar F. Agama Keadilan Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991 Muhammad, Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Ekonomi Islam, Jakarta: Salemba Empat, 2002 Munir, Samsul. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 2009 Munthoha, dkk. Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: UII Press, 2009 Nakosteen, Mehdi. Kontribusi Islam terhadap Dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, terj. Joko S Kahhar dan Supriyanto Abdullah, Surabaya: Risalah Gusti, 2003 Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, Jakarta: UI Press, 1985 Nûruddin, Amiur. Ijtihad Umar bin al-Khattab; Studi tentang Perubahan Hukum dalam Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 1987. Praja, Juhaya S. Filsafat Hukum Islam, Bandung: Unisba, 1995 Pulungan, J. Sayuti. Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: LSIK, 1994 Rahman, Fazlur. Islam. terj. Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka, 2000 Rakhmat, Jalaluddin. “Kontroversi Sekitar Ijtihad Khalîfah „Umar bin al-Khattâb R.A. dalam Iqbal Abdurrauf Saimina (Penyunting), Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988 Ruwai'î, Fiqh „Umar bin al-Khattâb Muwâzinan bi Fiqh Asyhuril Mujtahidîn, Juz 1, Beirut: Dâr al Garbi al-Islâmî, 1403 H San‟ânî, al-. Subul al-Salâm, Juz II, t.t.: t.tp, 1990 Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah, terj. Moh. Thalib, Juz VI, Cet. Ke-10, Bandung: AlMa‟arif, 1995 Shiddieqy, M. Hasbi ash-. Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits, Cet. Keenam, Jakarta: Bulan Bintang, 1994 Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 84 Solihin Panji Memahami Ijtihâd Hukum… Sjadzali, Munawir. Ijtihad Kemanusiaan, Cet. I, Jakarta: Paramadina, 1997 --------. Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. Jakarta: UI Press, 1993 Smith, Adam. The Wealth of Nations, New York: The Modern Library, 1937 Sou‟yb, Joesoef. Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin, Jakarta: Bulan Bintang, 1979 Suyûtî, Jalâl a-Dîn al-. Târikh Khulafâ‟. terj. Samson Rahman, Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar, 2003 Sya‟labi, Ahmad. Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Al-Husna Zikra, 1995 Sya‟labi, Alî Muh}ammad al-. The Great Leader of „Khalîfah „Umar bin al-Khattâb bin Khatab; Kisah Kehidupan dan Kepemimpinan Khalifah Kedua, terj. Khoirul Amru Harahap, Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar, 2008 Syâtibî, Abû Ishâq al-. al-Muwâfaqât fî Usûl al-Syarî‟ah, juz II, Beirut: Dâr alMa‟ârif, tth Tabarî, Abû Ja‟far Muhammad bin Jarîr al-. Târîkh al-Umam wal al-Mulûk, Jilid VI, Beirut: Dâr al-Fikr, 1978 Tirmizî, Abû „Isâ al-. Sunan al-Tirmizî, Indonesia: Maktabah Dahlan, tt. Zaid, Nasr Hâmid Abû. Mafhûm al-Nâs; Dirâsah fî „Ulûm al-Qur‟ân, Hazîrân: alMarkâz al-S|aqafî al-Farabî, 1990 Zein, Satria Effendi M. “Metodologi Hukum Islam”, dalam Amrullah Ahmad dkk (Editor), Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional Mengenang 65 Th Prof. Dr. Busthanul Arifin, SH, Jakarta: Gema Insani Press, 1996 Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 85 BAHASA ARAB DALAM KONSTRUKSI HUKUM ISLAM (TELAAH ATAS FUNGSI DAN PENGARUH HURUF MA’ANI TERHADAP KHILAFIAH DALAM ISTINBATH HUKUM) Husnul Fatarib Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Jurai Siwo Metro Lampung Abstrak Peran bahasa dalam kajian keislaman tidak hanya terbatas pada pemaknaan terhadap sebuah subyek, melainkan juga turut memberikan pengertian terminology dan epistimologi terhadap subyek tersebut, bahkan juga tidak jarang dijumpai bahasa memberikan penafsiran dan perluasan makna terhadap rangaian teks atau kata yang terangkai menjadi siyaqul kalam tersendiri. Para pelaku analisis hukum, pemerhati hukum, mufti, bahkan mujtahid, harus memahami dan menguasai bahasa Arab sebagai bahasa awal setiap rumpun keilmuah tentang hukum Islam. Perbedaan dalam pemaknaan terhadap sebuah kata atau keragaman dalam penggunaan sebuah kata telah banyak berkontribusi terhadap konstruksi hukum Islam yang merupakan awal munculnya varian baru dalam nomenklatur hukum Islam yaitu khilafiah fikih yang pada mulanya adalah sub unit dari muqaranah madzahib. Huruf ma‟ani dari huruf „athaf, huruf ma‟ani dari huruf jar dan huruf ma‟ani dari adawat syarth, maka semua perbedaan makna dari masing-masing huruf sebagai produk dari ulama bahasa (Al-Nahwiyun) tidak bisa tidak juga mempengaruhi makna teks hukum (nas hukum) baik dari Al-Quran maupun dari Al-Sunnah. Perbedaan dalam pemaknaan ini pada tahap selanjutnya memberikan warna dalam konstruksi hukum Islam dengan muncuklnya varian produk fikih yang selanjutnya disebut khilafiyah. Khilafiyah hukum yang terjadi dari perbedaan pemaknaan terhadap huruf-huruf ma‟ani dalam konstelasi ijtihad dan istinbath hukum bisa diterima selama masing-masing pihak menggunakan sandaran atau dalil yang mandukung pemaknaan itu; apakah dalil itu bersumber dari nas atau teks itu sendiri atau dari pemahaman umum dari bahasa tersebut di kalangan bangsa arab Kata Kunci: Bahasa Arab, Huruf ma‟ani, Hukum Islam A. Latar Belakang Masalah Sudah menjadi adagium umum bahwa setiap pengkajian hukum Islam sering bermuara pada bermacam persepsi hukum yang merupakan produk ijtihad yang selanjutnya disebut fikih. Varian produk hukum yang dimunculkan oleh proses istinbath itu tentu juga merupakan produk dari subyek yang lebih awal yang telah membentuk siklus analisis tersendiri. Salah satu instrument yang diyakini memiliki domino effect dalam produk hukum / fikih ialah instrument linguistic atau bahasa. Mengingat urgensi dan peran yang dimainkan oleh unsur bahasa, membuat kajian linguistic menjadi salah satu kajian utama dan pertama dalam setiap bahasan hukum, seperti istilah “Lughatan”, Lughawiyah” dan “Secara Gramatikal” dan istilah-istilah lainya yang semakna, yang selalu muncul di awal pembahasan tentang pengertian sebuah subyek hukum. Dan memang dalam setiap kajian keislamaan tidak bisa terlepas dari kajian bahasa, sehingga sering dijumpai dalam karya-karya keislaman itu istilah Husnul Fatarib Bahasa Arab dalam… “Lughawi dan Ishthilahy” yang berarti makna secara sebuah subyek secara bahasa dan secara terminologi. Peran bahasa dalam kajian keislaman tidak hanya terbatas pada pemaknaan terhadap sebuah subyek, melainkan juga turut memberikan pengertian terminology dan epistimologi terhadap subyek tersebut, bahkan juga tidak jarang dijumpai bahasa memberikan penafsiran dan perluasan makna terhadap rangaian teks atau kata yang terangkai menjadi siyaqul kalam tersendiri.189 Dalam konteks kajian ini, lagi-lagi bahasa menunjukkan peran yang sangat signifikan yang pada gilirannya memaksa pelaku analisis hukum Islam untuk memberikan ruang khusus pada awal setiap pembahasannya terhadap bahasa dan mengkorelasikannya dengan pokok bahasan. Hal inilah yang menyebabkan kajian-kajian bahasa selalu mengawali setiap kajian apa pun subyek hukum dalam diskursus keislaman. Selanjutnya sesuatu yang tak terbantahkan dalam hal ini ialah bahwa pelaku analisis hukum, pemerhati hukum, mufti, bahkan mujtahid, harus memahami dan menguasai bahasa Arab sebagai bahasa awal setiap rumpun keilmuah tentang hukum Islam. Pengetahuan tentang bahasa dan ilmu bahasa Arab tidaklah dipahami kalau kemampuan itu dimonopoli oleh bangsa Arab atau Negara Arab saja, tapi pensyaratan kompetensi ini merupakan persyaratan universal yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang hendak melakukan kegiatan ijtihad, baik dari bangsa Arab maupun bukan Arab („Ajam). Prinsip umum dalam ijtihad adalah bahwa selama persyaratan ijtihad terpenuhi dan ada kebutuhan untuk itu, maka ijitihad bisa dilakukan oleh siapa pun, kapan saja dan dimana saja. Mungkin ini agaknya manisfestasi dari istilah “Al-nushus mutanahiyah, al-masail al-fiqhiyah ghairu mutanahiyah”, walaupun (masa turun) wahyu telah berakhir, tetapi persoalan-persoalan hukum tetap hidup dan berkembang. Dengan mencermati subyek-subyek hukum utama dalam kajian hukum Islam, maka pengetahuan dan penguasaan terhadap kandungan substantive dari kedua sumber hukum utama; Al-Quran dan Al-Sunnah menjadi sesuatu yang tidak bisa tidak dalam setiap kajian dan diskursus hukum Islam, hal ini tidak saja dikarenakan keduanya turun dan diriwayatkan dalam bahasa Arab, tapi yang urgen adalah penggunaan kata dan bahasa dalam kedua sumber itu sangat sarat dengan makna Lughawy hingga sampai ke tingkat penggunaan huruf, karena pemakaian sebuah huruf pun juga memberikan pemaknaan yang mungkin bisa 189 Lihat As‟as Abd Al-Ghany Alsayyid Al-Kafrawy : Istidlal „Inda Al-Ushuliyyin, Dar AlSalam, Kairo, hal. 434-435. Hal serupa juga yang disinyalir oleh Yusuf al-Qaradahwi, bahwa penafsiran teks wahyu bisa dilakukan dengan menggunakan pendekatan bahasa (lughawi) selama masih mengacu kepada dalalah alfazh (makna kata), kaidah-kaidah bahasa arab serta balaghahnya. Dan lebih lanjut al-Qaradhawi mengatakan, pendekatan bahasa dipentingkan dalam penafsiran dan heurmenetika teks/wahyu karena bahwa teks wahyu juga banyak tersusun dengan bahasa majaz dan musytarak. Lih. Yusuf al-Qaradhawi, Bagaimana Beriinteraksi dengan Al-Quran, Jakarta, Al-Kautsar 2000, hal. 245, dan Al-Quran dan Al-Sunnah Sebagai Referensi Tertinggi Ummat Islam, Jakarta, Rabbani Press, 1997, hal. 54. Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 87 Husnul Fatarib Bahasa Arab dalam… memicu khilafiyah di antara sesama pelaku ijtihad (mujtahid). Hal ini tergambar dalam pemakaian dan pemakanaan huruf “Ba” ( ) بdalam Q.S. Al-Maidah, ayat 6 tentang pemaknaan antara littab‟idh (ضٞ )ىيتثؼatau lil kull ()ىينو. Perbedaan dalam pemaknaan terhadap sebuah kata atau keragaman dalam penggunaan sebuah kata telah banyak berkontribusi terhadap konstruksi hukum Islam yang merupakan awal munculnya varian baru dalam nomenklatur hukum Islam yaitu khilafiah fikih yang pada mulanya adalah sub unit dari muqaranah madzahib. Berdasarkan fenomena sosiolinguistik di atas, maka semakin jelas fungsi dan kedudukan bahasa Arab dalam sebuah rangakaian ijtihad atau istinbath hukum dari teks-teks hukum (nushus syar‟i). Setiap pemahaman yang selalu beranjak dari teks hukum (nash) selalu terbuka untuk ruang polemik / khilafiah fikih yang menjadi salah satu sebab perbedaan pendapat dalam hukum Islam atau bahkan munculnya mazhab atau aliran fikih baru.190 Peran dan kedudukan bahasa Arab ini – yang bersumber dari pemahaman mujtahid-memang sudah diketahui khalayak sebagai salah satu sumber khilafiah dalam hukum Islam, namun seperti apa peran dan bagaimana peran itu dimainkan serta unsur apa saja dari bahasa Arab itu yang memainkan peran sebagai instrument dan media pemahaman berikut implikasi dari peran tersebut dalam meracik hukum Islam (fikih), masih menjadi perdebatan akademik dan materi yang tetap segar untuk disajikan dalam setiap diskusi sejak periode salaf umat ini.191 Mencermati struktur kajian bahasa dalam hukum Islam seperti yang baru saja dipaparkan tadi, menunjukkan bahwa ruang lingkup kajian kebahasaan dalam hukum Islam sangat luas sehingga perlu membatasi obyek penelitian ini pada aspek huruf ma‟ani yang merupakan salah satu variable bahasa Arab yang dominan dalam memunculkan khilafiah terhadap pemahaman hukum. Untuk itu dirasa sangat perlu menyemarakkan kajian-kajian fikih perspektif bahasa atau peran bahasa Arab dalam konstruksi hukum Islam secara komprehensif dan simultan, dan walaupun penelitian ini bukan lah penelitian pertama atau awal dalam topik ini, tetapi paling tidak bisa menjawab kedahagaan ilmiyah tentang upaya membuka tabir peran dan kontribusi bahasa Karena pada dasarnya perbedaan pendapat / khilafiyah di kalangan ulama / fuqaha bersumber kepada dua penyebab utama; pertama: perbedaan pandangan mereka dalam teori keabsaha sebuah teks / nash, teori ini yang lazim disebut ikhtilaf fi tsubut al-nash wa darajutu. Kedua : perbedaan mereka dalam memahami dan penafsiran nash, teori ini disebut juga ikhtilaf fi fahmi al-nash wa idrak hikmatihi. Yang terakhir inilah yang perna disebut Umar Ibn al-Khattab bahwa beliau berijtihad dalam memahami nash. Lih. Abdu Al-Wahab Abd Al-Salam Al-Thawilah : Atsaru Al-Lughah fi Ikhtilafi Al-Mujtahidin, hal.4. 191 Kajian-kajian fikih dan lughah (bahasa) secara khusus sudah lama dimulai oleh fuqaha periode salaf, seperti Muhammad Ibnu Al-hasan Al-Syaibani yang menyusun kitab khusus kajian fikih dengan nahwu dalam kitabnya “Al-Jami‟ Al-Kabir”, Imam Syafi‟i dengan kitabnya yang fenomenal “Al-Umm”, dan Imam Al-Asnawi dengan kitabnya “Al-Kaukab Al-Durry”. Lihat Abdul Wahab Abdu Al-Salam Al-Thawilah, Atsaru Al-Lughah fi ikhtilafi al-Mujtahidin, h.4-5. 190 Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 88 Husnul Fatarib Bahasa Arab dalam… Arab – dalam hal ini huruf ma‟ani - terhadap hukum Islam secara umum dan dalam bingkai kebahasaan secara khusus. B. Lokus Kajian dan Penelahaan Dalam mengurai dan menganalisis fenomena linguistik ini, tulisan ini mencoba memfokuskan bahasa pada diskursus pemikiran hukum Islam di ranah kebahasaan, yang lokus kajiannya mengarah pada peran dan pengaruh Huruf Ma‟ani dalam kajian dan perumusan hukum Islam. Sehubungan dengan hal tersebut, tulisan ini akan mencoba menjawab dan mendialogkan secara epistemologis dan menyandingkannnya dengan normatifitas hukum Islam (fikih) yang ditengarai sebagai domino effect dari aspek bahasa atau linguistic yang terdapat dalam teks-teks wahyu. Adapun sejumlah pertanyaan pokok dalam tulisan ini, yaitu : bagaimana formulasi huruf ma‟ani dalam struktur organisasi bahasa Arab, bagaimana peran dan fungsi huruf ma‟ani dalam istinbath hukum, dan bagaimana kontribusi huruf ma‟ani dalam konstruksi hukum Islam. Seperti disinggung di atas, semua pertanyaan ini akan didialogkan dengan norma dan kaidah kebahasaan arab sesuai dengan keadaan yang menggiring pembahasan ini secara sistematis. Dengan kata lain, ketiga pertanyaan sudstantif ini akan mendapatkan jawaban secara komprehensif dan integrative dengan analisis berimbang tanpa harus memisah-misahkan masingmasing jawaban untuk setiap pertanyaan tersebut. Karena menurut penulis, supaya satu obyek bisa dibahas dari berbagai sudut pandang, maka pemunculan setiap obyek akan dibahas dari tiga perspektif di atas. Secara teoritik, tulisan ini diharapkan bisa memberikan masukan dan informasi tentang kedudukan dan posisi huruf ma‟ani dalam struktur Bahasa Arab pada umumnya. Dan di sisi lain, yaitu dalam kontek istinbath, penelitian ini akan membantu mencairkan polemik seputar aplikasi huruf ma‟ani dalam istinbath hukum Islam, dan sekaligus mencairkan sebahagian kegelisahan akademik dalam memformulasikan eksistensi huruf ma‟ani dalam tatanan hukum Islam. Hal ini disebabkan, karena berdasarkan thesa-thesa yang ada sementara ini, tidak semua huruf ma‟ani yang memiliki peran dalam nas-nas hukum. Dan adapun secara praktis, tulisan ini diharapkan dapat memberikan masukan untuk pemerhati hukum Islam dalam merumuskan hukum-hukum ijtihadi yang terstandar secara metodologi dan membawa spirit maqashid syari‟ atau syari‟ah. Dan lebih mengerucut lagi, tulisan ini juga diharapkan bisa menjadi sumber pengayaan khazanah metodologi hukum bagi para ulama dalam menjawab persoalan hukum di tengah masyarakat (seperti ijtihad, fatwa, kesepakatan hukum/ijma‟ dan lain-lain), dan juga bisa membantu para hakim dan mufti dalam memberikan pertimbangan hukum terhadap hal-hal yang berkaitan dengan penggunaan huruf ma‟ani dan bahasa dalam nas syar‟i. Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 89 Husnul Fatarib Bahasa Arab dalam… C. Huruf Ma’ani dalam Bahasa Arab Sejak periode awal hukum Islam, ulama ushul fikih sudah memberikan perhatian khusus terhadap kajian kebahasaan Arab. Hal ini membuat ulama ushul fikih mensyaratkan penguasaan ilmu bahasa arab bagi setiap pelaku ijtihad (mujtahid) yang akan melakukan penelaahan terhadap sumber hukum yang banyak mengandung dimensi kebahasaan (bahasa arab). Karena secara kajian sederhana ditemukan bahwa hukum-hukum yang terkandung dalam teks-teks hukum (wahyu) akan mengalami perbedaan seiring perbedaan varian huruf yang terdapat di dalamnya. Dan memang perbedaan ulama ushul fikih dan fikih dalam pemaknaan terhadap huruf ini, pada gilirannya berimplikasi pada perbedaan produk hukum (fikih) yang dihasilkan. Dalam nomenklatur kajian bahasa arab, terdapat dua varian huruf; huruf mabani dan huruf ma‟ani. Huruf mabani adalah huruf-huruf yang menjadi materi pembentukan sebuah kalimat. Dan huruf-huruf ini juga disebut hurufhuruf tahajji. Sedangkan huruf ma‟ani yaitu huruf-huruf yang menunjukkan / memiliki makna sendiri, dan di samping itu huruf-huruf ini juga memiliki makna lain tergantung posisi atau status dalam rangkaian sebuah kalimat atau kata. Karena huruf-huruf ini berkaitan erat dengan pemaknaan sebuah kalimat maka huruf-huruf ini disebut huruf ma‟ani.192 Pembicaraan tentang huruf ma‟ani akan menggiring kajian ini ke sejumlah teori dan pengkodifikasian huruf ma‟ani yang bervariasi di kalangan ulama bahasa (ahli nahwu). Dalam tulisan ini akan dipaparkan pengkodifikasian huruf ma‟ani yang sajikan oleh Musthafa Al-Ghalayani sebagai berikut; huruf ma‟ani dalam versi ini mencakup hamper semua huruf hijaiyah, karena hampir setiap huruf hijaiyah memiliki makna sendiri. Musthafa al-Ghalayani – sebagai gambaran – mengatakan bahwa huruf ma‟ani terdiri dari 31 macam, yaitu: harf al-nahyi, harf al-„ird, harf al-tanbih, harf al-mashdariyah, harf al-istiqbaliyah, harf al-taukid, harf al-istifham, harf al-tamanni, harf al-taraji wa al-isyfaq, harf altasybih, harf al-shilah, harf al-ta‟lil, harf al-rad‟u wa al-zajar, harf al-lamat, ta alta‟nis al-sakinah, ha al-sakat, harf al-tanwin, harf al-nida‟, harf al-„athaf, harf alnashbi al-mudhara‟ah, harf al-jazam, harf al-amr, harf al-nahyi, har almusyabbahah bi al-fi‟li, harf al-musyabbahah bi laisa, dan harf al-jar.193 Berdasarkan keterangan di atas diketahui bahwa yang dimaksudkan dengan huruf dalam penelitian ini adalah sejumlah huruf yang harus diketahui ulama fikih tentang maknanya dan penggunaanya dalam kalimat, jadi huruf di Ibnu Mandzur al-Afriqy al-Mishry dalam karyanya yang fenomenal “ Lisan al-„Arab” mengatakan:”huruf dalam bahasa arab terbagi kepada dua macam; pertama huruf hijaiyyah yang juga disebut dengan huruf tahajji, yaitu huruf-huruf yang tidak memiliki arti atau makna sendiri, yang kedua huruf ma‟ani, yaitu huruf-huruf yang memilki makna atau arti tertentu tergantung posisi dan penempatannya dalam kalimat. Lih. Lisan al-Arab, Dar al-Shadir, cet II, Maktabah Syamilah. 193 Lih. Mushthafa al-Ghalayani, Jami‟ al-Durus al-“Arabiyah, maktabah al-Syamilah. 192 Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 90 Husnul Fatarib Bahasa Arab dalam… sini bukanlah huruf yang merupakan qasimah (rangkaian dari fi‟il dan isim) dalam diskursus bahasa arab.194 Berikut ini adalah huruf-huruf ma‟ani yang telah penulis pilih berdasarkan penggunaanya dalam teks wahyu yang banyak memunculkan makna-makna beragam sesuai dengan penempatannya dalam kalimat.195 D. Aplikasi Huruf Ma’ani dalam Teks Hukum 1. Huruf Athaf ()حشف اىؼطف a. Waw (ٗ) Huruf “ٗ” memiliki sejumlah makna sesuai penempatannya dalam kalimat. Pertama, makna untuk jama‟ (menurut ahli bahasa kontemporer), seperti dalam ayat berikut : ِٞل ٗجاػي٘ٓ ٍِ اىَشسيٞئّا سادٗٓ ئى, Bahwa Allah mengembalikannya (Musa) kepada ibunya tatkala dia masih menyusu, dan kami akan mengangkatnya menjadi seorang nabi. 196 Dan “ٗ” juga bermakna “bersamaan/dengan”( )ٍغseperti جاء اىثشد ٗاىَطشyaitu musim hujan datang bersamaan dengan musim dingin. Waw “ٗ” juga memilki makna “atau”, seperti dalam ayat berikut: فاّنح٘ا ٍا طاب ىنٌ ٍِ اىْساء ٗحالث ٗستاعٍْٚخ, huruf waw di sini bermakna atau. Dan masih terdapat sejumlah makan lain lagi bagi “ٗ”. Berikut aplikasi “ٗ” dalam istinbath hukum yang berpeluang memunculkan khilafiyah hukum/fikih. Firman Allah Dalam ayat berikut:197 ٌ اىَشافق ٗاٍسح٘ا تشؤٗسنٌ ٗأسجينٚنٌ ئىٝذٝ اىصالج فاغسي٘ا ٗجٕ٘نٌ ٗأِٚ آٍْ٘ا ئرا قَتٌ ئىٖٝا اىزٝا أٝ ِٞ اىنؼثٚئى Pemaknaan terhadap “ٗ” di ayat ini menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama fikih sebagai berikut; Menurut jumhur ulama, bahwa “ٗ” dalam ayat ini bermakna tartib (untuk urutan), sedangkan ulama mazhab Hanafiah berpendapat “ٗ” di sini bukan untuk tartib. Jumhur ulama termasuk syafi‟iyyah berpendapat bahwa makna tartib itu didasarkan pada cara bersuci yang dilakukan Rasulullah SAW, dan tidak ditemui satu dalil pun yang menunjukkan bahwa rasul bersuci dengan cara yang berbeda.198 Yang menarik untuk dicermati dalam teks hukum di atas adalah pemaknaan “wau” antara tartib dan penghubung biasa (bukan tartib). 194 Dalam literature ushul fikih, ulama ushul fikih biasanya menempatkan pembahasan makna huruf ini dalam Bab tentang Hakikat dan Majaz, karena biasanya huruf itu disamping dugunakan untuk makna hakikat (dasar) juga bisa digunakan untuk makna yang lain (majaz), dalam metode mereka biasanya makna hahikat didapat dengan cara induksi, dan selaian metode induksi (istiqra‟) adalah makna majazi. 195 Lih. Mushthafa al-Ghalayani, Jami‟ al-Durus al-“Arabiyah, maktabah al-Syamilah. 196 Q.S. Al-Qashash:7 197 Q.S Al-Maidah:6 198 Abdul Wahab Abdul Al-Salam Al-Thawilah: Atsar Al-Lughah fi Ikhtilaf al-Mujtahidin, h.222. Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 91 Husnul Fatarib Bahasa Arab dalam… Memang menurut ulama Hanafiah, huruf “wau” dalam ayat ini menunjukkan makna umum untuk jama‟ atau kumpulan sesuatu, yang nantinya ayat ini dipahami sebagai berikut: bahwa semua anggota tubuh yang disebutkan itu adalah wajib di basuh/cuci tanpa harus mendahulukan yang satu dari yang lain. Sedangkan menurut jumhur yang menafsirkan “wau” li-tartib (untuk urutan hirarki) mengartikan ayat ini dengan kewajiban mencuci/basuh anggota tubuh untuk berwudhu‟ sesuai dengan urutan teks hukum. Pemahaman jumhur ini tidak bisa disandarkan pada normatifitas hukum yang sedang menjadi lahan perdebatan, atau disandarkan pada aspek linguistic yang debatable, melainkan menurut penulis diperlukan pendekatan lain, yaitu hukum empiris, dengan dibuktikan dalam sejumlah riwayat bahwa Rasulullah berwudhi dengan urutan seperti yang ada dalam teks hukum itu (terlepas dari makna huruf ma‟ani yang ada), karena memnag sejarah mencatat bahwa tidak ada dalam sejarah hukum bahwa Rasulullah berwudhu dengan yang berbeda dengan yang disebutkan dari ayat di atas. b. Huruf “(حشاىفاء اىج٘اب)”اىفاء Huruf ini memiliki arti yang juga berbeda sesuai posisinya dalam kalimat seperti huruf “waw” tadi. Di antara makna nya yaitu; untuk menunjukkan tertib/berurutan (tartib dan ta‟qib) seperti dalam ayat berikut: ٔٞطاُ ػْٖا فأخشجَٖا ٍَا ماّا فٞ فأصىَٖا اىش, huruf “fa” dalam ayat ini menunjukkan makna litartib (urutan). “ ”اىفاءjuga bermakna untuk “sebab perbuatan” (sababiyah) seperti dalam ayat berikut : ٌٞٔ ئّٔ ٕ٘ اىت٘اب اىشحٞ آدً ٍِ ستٔ ميَاخ فتاب ػيٚ فتيق, makan “fa” dalam “fataba „alaihi” adalah sebab. 199 Contoh aplikasi “ ”اىفاءyang menimbulkan khilafiah hukum fikih yaitu dalam hadits berikut; ٔؼتقٞٔ فٝشتشٞجذٓ ٍَي٘ك فٝ ُ ٗىذ ٗاىذ ئال أٛجضٝ ال200 . Ulama berbeda pendapat tentang substansi hadits ini, yaitu seorang anak yang memiliki bapaknya (bapaknya menjadi budaknya), apakah dia dianggap telah memerdekaan bapaknya dengan kepeimilikanya itu secara hukum (otomatis), atau harus memerdekaan bapaknya terlebih dahulu? Menurut ulama mazhab Zhahiriyah, “ ”اىفاءdi hadits ini untuk tartib, jadi si bapak tidak merdeka dengan sendirinya tapi harus dimerdekakan oleh anaknya yang memilikinya. Sedangkan menurut jumhur ulama, si bapak merdeka dengan sendirinya walaupun tanpa dimerdekakan oleh anaknya. 2. Huruf Jar ()حشف اىجش a. Huruf “ٍِ” (min) 199 200 Q.S Al-Baqarah:37 Hadits Ahkrajahu Al-Turmudzi dan Abu Daud. Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 92 Husnul Fatarib Bahasa Arab dalam… Huruf ini memiliki sejumlah makna sesuai dengan posisinya dalam kalimat. Di antara makna “min” yaitu; Ibtida‟/bidayah untuk menunjukkan tempat atau waktu, seperti “minal masjidil haram ilal masjidil aqsha”, ada juga yang berarti tab‟dh / ba‟dhu, yaitu untuk menyatakan makan sebahagian, seperti “lan tanalul birra hatta tunfiku minma tuhibbun”, ada juga berarti al-bayan yaitu meneranagkan sesuatu, seperti “ ijtanibu al-rijsa minal autsan”, dan ada lagi makna-makna lain seperti: ta‟kid, zharfiyah, sababiyah dan ta‟lil dan lain-lain. Dalam teks berikut kita akan melihat Min yang menunjukkan arti awal tempat atau waktu, seperti dalam ayat berikut201 : ٚ اىَسجذ األقصٚال ٍِ اىَسجذ اىحشاً ئىٞ تؼثذٓ ىٙ أسشٛسثحاُ اىز Min dalam ayat ini menunjukkan awal atau batas lokasi dari masjidil haram. Min juga menunjukkan makna “tab‟idh” (ضٞ )اىتثؼseperti dalam ayat :202 ٍِْٞخش ٍٗا ٌٕ تَإًٟ٘ اٞق٘ه آٍْا تاهلل ٗتاىٝ ٍِ ٍِٗ اىْاط Yang artinya sebagian manusia. Dalam ayat lain “min” juga bisa bermakna “sebab” (ta‟lil) sebuah perbuatan. Contoh dalam ayat berikut:203 آراٌّٖ ٍِ اىص٘اػقٜجؼيُ٘ أصاتؼٌٖ فٝ Min dalam ayat ini adalah untuk sebab atau alasan mereka menutup kupingnya, yaitu ketakutan dengan petir yang besar. Berikut ini contoh aplikasi “min” dalam khilafiyah di kalangan ulama, yaitu pada ayat Al-Quran: 204 ٌنٞتٌ ّؼَتٔ ػيٞطٖشمٌ ٗىٞذ ىٝشٝ ِنٌ ٍِ حشد ٗىنٞجؼو ػيٞذ هللا ىٝشٝ نٌ ٍْٔ ٍاٝذٝفاٍسح٘ا ت٘جٕ٘نٌ ٗأ ُٗىؼينٌ تشنش Jadi makna “minhu” dalam bagian belakang ayat menunjukkan arti sebagian (tab‟idh) menurut sebagian ulama. Karena makna dasar dari “min” memang untuk “tab‟idh”, sedangkan memaknainya dengan selain itu adalah makna majazi. Sedangkan sebagian ulama lagi ada yang berpendapat bahwa “min” dalam ayat ini menunjukkan batas awal atau permulaan, dan inilah makna yang sebenarnya, adapun memaknainya dengan selain ini termasuk makna majazi.205 Huruf “ٍِ” (min) dalam ketiga nas ini (min annas, min alshawaiq, dan minhu) memiliki arti yang berbeda satu dengan yang lainnya. Yang pertama menunjukkan sebagian manusia dengan jumlah yang tidak tertentu, dan min pada “minhu” menunjukkan sebagian dari tangan yang sudah tertentu secara majaji dan menunjukkan makna semuanya (bacaQ.S Al-Isra‟ : 1 Q.S Al-Isra‟ : 8 203 Q.S. Al-Baqarah:19 204 Q.S Al-Maidah:6 205 Abdul Wahab Abdul Al-Salam Al-Thawilah: Atsar Al-Lughah fi Ikhtilaf al-Mujtahidin, h.249-250. 201 202 Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 93 Husnul Fatarib Bahasa Arab dalam… seluruh tangan) menurut makna lafzhi. Adapun min pada “min alshawa‟iq” menunjukkan makna ta‟lil, sebab atau ilat, yaitu mereka menutup kuping mereka karena takut (makna min) terhadap suara keras petir. b. Huruf “( ”ئىئIla) Seperti huruf-huruf Jar yang lainya , “Ila” ini juga mempunyai beberapa arti yang tergantung pada posisi dan penempatannya dalam kalimat atau siyaqul kalam. Di antara maknanya yaitu “sampai” untuk menunjukkan akhir waktu atau tempat, atau secara hukum untuk menyatakan berakhirnya hukum subyek sebelumnya. “Ila” juga dipakaikan untuk makna-makna berikut; intiha‟, yaitu untuk menunjukkan akhir dari sesuatu, baik waktu maupun tempat, seperti “tsuma atimmu al-shiyam ila al-lail”, juga berarti al-Mushahabah, yaitu berrati bersama atau dengan, seperti; “qala man anshari ila Allah?” dan juga bisa berarti sama dengan “inda”/ ػْذyang berarti bagi atau untuk, seperti; rabbi al-sijnu ahabbu ilayya mimma yad‟unani ilaihi”. Ada pun aplikasinya dapat dilihat seperti dalam ayat berikut :206 َُ٘ش ىنٌ ئُ مْتٌ تؼيٞسشج ٗأُ تصذق٘ا خٍٞ ٚٗئُ ماُ رٗ ػسشج فْظشج ئى “Ila” dalam “fanazhiratun Ila Maisaroh” berarti mengabaikan waktu sampai datangnya maisaroh/kelapangan. “Ila” juga dimaknai dengan “bersama” sepadan dengan “”ٍغ (dengan/bersama), seperti dalam ayat berikut: 207 شاٞ أٍ٘اىنٌ ئّٔ ماُ ح٘تا مثٚة ٗال تأمي٘ا أٍ٘اىٌٖ ئىٞج تاىطٞ أٍ٘اىٌٖ ٗال تتثذى٘ا اىخثٍٚتاٞٗآت٘ا اى “Ila” dalam bagian ayat “amwalahum ila amwalikum” adalah “dengan” atau “bersama”, yaitu bermakan “”ٍغ. Contoh aplikasi pemaknaan “ ”ئىئyang berkontribusi dalam khilafiyah fikih Islam yaitu pada ayat berikut:208 ٌ اىَشافق ٗاٍسح٘ا تشؤٗسنٌ ٗأسجينٚنٌ ئىٝذٝ اىصالج فاغسي٘ا ٗجٕ٘نٌ ٗأِٚ آٍْ٘ا ئرا قَتٌ ئىٖٝا اىزٝا أٝ ِٞ اىنؼثٚئى Ulama berbeda pendapat dalam posisi siku; apakah termasuk ke dalam tangan dan wajib membasuhnya dalam berwudhu‟ atau tidak. Sebagian ulama – Zufar dari Hanafiah dan sebagian ulama mutaakhirin dari Malikiyah, sebagian Zhahiriyah dan Imam Thabary berpendapat bahwa siku tidak termasuk ke dalam tangan dan tidak wajib membasuhnya waktu berwudhu‟. Pendapat fikih didasarkan pada argumentasi ulama nahwu (Al-Nahwiyun) bahwa “Ila” berfungsi untuk menunjukkan batas akhir sebuah obyek.209 Q.S. Al-Baqarah:280 Q.S. Q.S. Al-Nisa:2 208 Q.S. Al-Maidah:6 209 Maksudnya kalau narasi ayat berbunyi :”basuhlah tanganmu sampai ke siku, artinya siku tidak masuk ke bagian tangan, karena tangan sudah berakhir sampai di siku.” 206 207 Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 94 Husnul Fatarib Bahasa Arab dalam… Sedangkan jumhur ulama berpendapat lain yaitu “Ila” memasukkan obyek setelahnya ke dalam obyek yang dibicarakan, karena itu menurut jumhur wajib membasuh semua tangan saat berwudhu‟ sampai ke dua siku (siku juga wajib dibasuh). Jumhur beralasan dengan alasan makna bahasa untuk tangan, yaitu tanagn secara bahasa arab mencakup dari ujung jari tangan samapi ke lengan atas dan ketiak. Sedangkan siku berada dalam bagian itu, karena itu wajib membasuh siku saat berwudhu‟ karena siku masuk bagian tangan. Pendapat ini dipakai oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu‟, dan Imam Al-Qurthuby dalam Tafsirnya (Al-Jami‟ Li Ahkam Al-Quran). Kalau dilihat dari beberapa makna “Ila” yang lain, seperti “ma‟a” ( )ٍغmaka dimungkinkan pemaknaan “Ila” dengan memasukkan obyek setelahnya; yaitu memasukkan siku ke dalam bagian tangan lebih banyak disukung dalil bahasa karena adanya sejumlah makna “ila” yang saling mendukung. c. Huruf “ٜ( ”فFi) Huruf “Fi” seperti huruf jar lainnya juga memiliki makna-makna khusus sesuai dengan kalimat yan dimasukinya, salah satu bentuk khilafiyah yang sering dibacaran dalam fikih Islam yaitu, persepsi para sahabat dalam memaknai hadits Rasulullah SAW. Berikut : ظحٝ قشْٜ تِٜ أحذ اىؼصش ئال فٞصيٝ ال Diriwayatkan bahwa shahabat berbeda pendapat dalam penafsiran hadits ini menjadi dua macam, pertama : huruf jar “Fi” dalam hadits ini menunjukkan tempat tertentu yaitu Bani Quraizhah, artinya hadits ini bermakna”tidak satu orang shalat kecuali setelah sampai di Bani Quraizhah”. Pemaknaan seperti ini adalah pola pemaknaan lafzhiah (tekstual), sedangkan sebagain shahabat lagi memaknai hadits ini bukan dari pemakaian huruf “fi” di sini, sehingga hadits ini ada juga dimaknai sebagai berikut: bahwa supaya para shahabat mempercepat jalannya sehingga nanti bisa shalat „ashr di Bani Quraizhah, pola pemaknaan seperti ini disebut pemaknaan majazi. 3. Adawat Al-Syarth ()أدٗاخ اىششط Huruf “( ”ئراidza) “”ئراseperti huruf-huruf jar yang lain, huruf ini juga memiliki sejumlah makna yang bisa berubah tergantung posisi huruf yang bersangkutan dalam kalaimat. Berikut ini beberapa makna “ ;”ئراyang pertama untuk menyatakan makna “tiba-tiba” ()ٍفاجأج, makna ini biasanya ketika “ ”ئراdiikuti oleh mubtada ()ٍثتذأ, seperti dalam ayat berikut: 210ٚح تسؼٞ حٜٕ فأىقإا فارا “idza” di ayat ini mengandung makna sebagai Zharaf (kata keterangan) yang mempunyai keterangan waktu masa yang akan datang (mustaqbal), di samping itu tetap mempunyai makna syarat, seperti dalam ayat berikut:211 210 211 Q.S Thaahaa:20 Q.S. Al-Nahl:53 Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 95 Husnul Fatarib Bahasa Arab dalam… ُٗٔ تجأسٍٞٗا تنٌ ٍِ ّؼَح فَِ هللا حٌ ئرا ٍسنٌ اىضش فاى Dalam ayat ini menunjukkan kalau seandianya nanti akan terjadi sesuatu (kemudharatan) di laut, maka kepadanya kalian akan minta tolong. Kemudian jika makna ini diterpakan dalam istinbath hukum, bisa diumpamakan dalam ungkapan berikut: “ Jika seseorang memiliki beberapa budak dan beberapa isteri, kemudian dia berkata; jika saya menthalaq seorang wanita / isteri maka salah satu dari budakku menjadi merdeka. Kemudian dia menthalaq empat orang isterinya secara berturut-turut atau sekaligus, maka kejadian ini hanya memerdekan satu orang budak saja (bukan empat budak), dengan alasan bahwa secara bahasa, “idza” itu tidak dipakai untuk umum.212 E. Simpulan Melihat dari pemakaian dan pemaknaan beberapa kelompuk huruf ma‟ani dalam pembahasan ini ; huruf ma‟ani dari huruf „athaf, huruf ma‟ani dari huruf jar dan huruf ma‟ani dari adawat syarth, maka semua perbedaan makna dari masing-masing huruf sebagai produk dari ulama bahasa (Al-Nahwiyun) tidak bisa tidak juga mempengaruhi makna teks hukum (nas hukum) baik dari AlQuran maupun dari Al-Sunnah. Perbedaan dalam pemaknaan ini pada tahap selanjutnya memberikan warna dalam konstruksi hukum Islam dengan muncuklnya varian produk fikih yang selanjutnya disebut khilafiyah. Khilafiyah hukum yang terjadi dari perbedaan pemaknaan terhadap hurufhuruf ma‟ani dalam konstelasi ijtihad dan istinbath hukum bisa diterima selama masing-masing pihak menggunakan sandaran atau dalil yang mandukung pemaknaan itu; apakah dalil itu bersumber dari nas atau teks itu sendiri atau dari pemahaman umum dari bahasa tersebut di kalangan bangsa arab. Semoga penelitian ini bisa memberikan sebagian informasi dari kekayaan khazanah bahasa arab dan rahasia teks wahyu dan nas hukum yang diturunkan dalam bahasa arab. Dan semoga penelitian ini bisa menjadi penyemangat kaum muslimin untuk lebih meminati kajian linguistic arab yang masih menyimpan banyak rahasia dan hikmah yang yang tak terhingga. Semoga. Daftar Pustaka A.Qadri Azizi : Eklektisme Reformasi Bermazhab Sebuah Ikhtiyar menuju Ijtihad Saintifik Medoern, Cet. 2, Teraju Mizan, Jakarta 2005. Abdul Wahab Abdu Al-Salam Al-Thawilah, Al-Lughah fi ikhtilafi al-Mujtahidin, Dar Al-salam, Kairo Mesir, tt. As‟ad Abd Al-Ghani Al-Sayyid Al-Kafrawy : Istidlal „Inda Al-Ushuliyyin, Dar AlSalam, Mesir, 2002. Syamsul Ma‟arif : Nahwu Kilat, Cet.III, Nuansa Mulia, Bandung, 2010. 212 Abdul Wahab Abdul Al-Salam Al-Thawilah: Atsar Al-Lughah fi Ikhtilaf al-Mujtahidin, h.268-272 Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 96 Husnul Fatarib Bahasa Arab dalam… Antaoine El-Dahdah : Arabic Grammatical Nomenclature, Librairie Du Liban Publisher, Libanon, 1997 Antaoine El-Dahdah : A Dictioray of Arabic Grammar in Chart and Tables, Librairie Du Liban Publisher, Libanon, 1997 Fuad Nikmah : Mulakhkhash Qawa‟id Al-Lughah Al-„Arabiyah, Cet.21, Al-Maktabah Al-„Ilmy Al-Tarjamah, Kairo Mesir, tt. Mahmud Isma‟il Shiny dkk. : Al-Mu‟jam Al-Siyaqy Li Al-Ta‟birat Al-Ishthilahiyyah, Du Liban Publisher, Libanon, 1996 Jamal Al-Banna : Nahwa Fikih Jadid, Dar al-fikri, Kairo : 1995 Cik Hasan Bisri : Model Penelitian fikih, Kencana, Jakarta : 2003 Husnul Fatarib : Nazhariat Fiqh al-Ikhtilaf „Inda al-Imam Hasan al-Banna Min Khilal Ushuluhu al-„Isyrien, Thesis, Univ. Al-Quran Al-Kariem, Sudan:2003 _____________: Ijtihadat al-Fuqaha al-Mu‟ashirin fi al-Qadhaya al-Mustajiddah, Disertasi, Univ. Al-Nileen, Sudan : 2006 Majallah al-syari‟ah wa al-dirasat al-islamiyah: Univ. Kuwait, edisi Desember 2001 Yusuf Al-Qaradhawi : Taisisr al-fikh lil muslim al-mu‟ashir fi dhou‟ al-quran wa alsunnah, Maktabah Wahbah, Kairo : 1999 Romli SA : Muqaranah almazahib fi al-ushul, Gaya media pratama, Jakarta : 1999 Qutub Musthafa Sano : Adawat al-nazhar al-ijtihadi al-mansyud fi dhou‟ al-waqi‟ almu‟ashir, Dar al-fikr, Beirut : 2002 Adnan Muahmmad Umamah : Al-Tajdid fi al-fikri al-islami, Dar ibn al-jauzi : KSA. 2000. Zuhaily, wahbah dan Jamal „athiyah : Tajdid al-Fiqh al-Islami, Dar al-fikr, Beirut:2002 Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 97 PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA DAN KETERKAITANNYA DENGAN PERMASALAHAN GENDER DALAM PRESPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM Ida Umami Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Jurai Siwo Metro Lampung Abstract Man is created by the God as perfect creature and granted with high standing and prestige better than the other creatures. One of them is materialized by human right . the Materialization of the human right must be in line with execution of the obligation and responsibility applied universally. In Al-Qur''an prespektif, judicially man has the same position either men and also woman, while becoming distinguishment is level of belief in God and his godfearing. Women also have potential in developing their environmental conditions and give directions on the social, economic, political, and personal. Various human quality to support a positive quality of life should be developed in the dignity of women and men. Furthermore, women‟s beliefs and attitudes influenced by myths and stereotypes that apply to her. In this case, the effect of adverse social and cultural development of status and dignity of women can be changed. Therefore it is necessary for the preparation of empowerment format that can refer to a gender gap so that the similarities between the position of lacquers and men in law can realized that the difference is due to faith of Allah SWT. Keyword: Human Right, Gender, and Perspective of Qur‟an A. Pendahuluan Pengkajian tentang hak-hak asasi manusia, sejarah hak asasi manusia dimulai di Inggris dengan lahirnya Magna Charta (1215), yaitu perlindungan tentang kaum bangsawan dan gereja. Pada tahun 1776 di Amerika Serikat terdapat Declaration of Independence (Deklarasi Kemerdekaan) yang di dalamnya memuat hak asasi manusia dan hak asasi warga negara. Perkembangan selanjutnya adalah setelah Revolusi Prancis. Tuntutan tentang hak-hak asasi warga negara dengan semboyannya kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan. Setelah Perang Dunia II peristiwa yang penting dalam perkembangan hak-hak asasi manusia, adalah paham demokrasi (dari, oleh, untuk) rakyat dan peristiwa penting diakuinya hak-hak asasi manusia secara umum (universal), yaitu lahirnya ”Universal Declaration of Human Rights” sebagai pernyataan umum tentang hak-hak asasi manusia, pada tanggal 10 Desember 1948 dalam sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsabangsa di Paris yang memuat 30 pasal tentang hak asasi manusia (H.A.W. Widjaja, 2000).213 Namun demikian, sampai saat ini, masih terjadi pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia terutama terkait dengan permasalahan gender, dalam hal ini, kaum perempuan sering menjadi korban perampasan hak-hak asasinya. Padahal dalam Islam melalui alqur‟an, jelas sekali adanya persamaan 213 H.A.W. Widjaja. 2000. Penegakan Hak-hak Asasi Manusia. Jakarta: Rineka Cipta. Ida Umami Perlindungan Hak Asasi... antara kedudukan lak-laki dan perempuan dalam hukum, sedangkan yang menjadi pembeda adalah ketaqwaannya kepada Allah SWT. B. Pembahasan Hak asasi manusia tercantum dalam dokumen naskah deklarasi sedunia tentang hak-hak asasi manusia yang diadakan di Teheran, 22 April-13 Mei 1968, U.N. Doc.A/CONF.32/41, Sales No. E. 68, XIV dalam Pasal 1 disebutkan bahwa semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal budi dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan (Arend, 1994). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Ruswiati Suryasaputra (2006) bahwa sejarah hukum internasional menjadi saksi adanya perjanjian internasional yang memberi perlindungan hak-hak asasi manusia kepada seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian, hak-hak asasi manusia memang sudah memiliki dasar dan fondasi yang kuat. Hak asasi manusia di Indonesia tertuang dalam pembukaan Undangundang Dasar 1945 sebagai perwujudan Pancasila (sumber dari segala sumber hukum) sebagai dasar negara, memuat ajaran tentang hak-hak asasi manusia sebagai berikut: 1. Alinea pertama: mengandung pengakuan adanya hak asasi di samping kewajiban asasi. Hak asasi manusia baik perseorangan maupun sebagai bangsa berdasarkan martabat kemanusiaan dan keadilan. 2. Alinea kedua: mengandung adanya pengakuan dari bangsa Indonesia untuk mewujudkan negara yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur. Perwujudan dan keinginan ini terkandung di dalamnya hakhak asasi baik dalam bidang politik, ekonomi dan sosial budaya. 3. Alinea ketiga: mengandung adanya pengakuan tercakup di dalamnya hak-hak asasi beragama dan hak-hak asasi di bidang sosial budaya dan bidang politik. 4. Alinea keempat: menyimpulkan pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia, hak-hak dan kewajiban warga negara, yaitu bersama-sama berkewajiban mewujudkan tujuan nasional dalam segala bidang baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial budaya dan hankam. Dengan memperhatikan isi dan makna pembukaan Undang-undang Dasar 1945 jelas bahwa bangsa Indonesia mengakui tentang adanya hak-hak asasi manusia dan kewajiban-kewajiban warga negara (nasional). Hak dan kewajiban warga negara diatur secara khusus dalam pasal-pasal dan batang tubuh Undangundang Dasar 1945. Adapun pasal-pasal yang mengatur hak-hak dan kewajibankewajiban warga negara ialah: 1. Pasal 27 Ayat 1, segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 2. Pasal 27 Ayat 2, tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan perlindungan yang layak bagi manusia. Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 99 Ida Umami Perlindungan Hak Asasi... 3. Pasal 28, kemerdekaan berserikat, berkumpul, berpendapat, dengan lisan atau tulisan. 4. Pasal 29 ayat 2, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat. 5. Pasal 30 Ayat 1, tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara. 6. Pasal 31 Ayat 1, tiap warga negara berhak mendapat pengajaran. 7. Pasal 33 Ayat 1, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. 8. Pasal 33 Ayat 2, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. 9. Pasal 33 Ayat 3, bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. 10. Pasal 34, fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Ditinjau dari perspektif Islam, menurut Abul A‟la Al-Maududi (1998:78-80) hak-hak asasi manusia tercantum dalam teks-teks ayat Al-Qur‟an antara lain: 1. Hak /kebebasan dan Beriman (kepercayaan) Artinya: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut (syetan atau selain Allah) dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui (Q.S Al Baqaráh (2): 256). 2. Hak Memiliki Harta Kekayaan Artinya: ” Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (QS. Al Baqaráh (2):188). Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 100 Ida Umami Perlindungan Hak Asasi... 3. Hak untuk Berbeda Pendapat Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur‟an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS. An Nisaa‟ (4):59). 4. Hak Milik Pribadi Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum minta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat”. QS. An Nuur (24):27). 5. Kebebasan Berorganisasi Artinya: ”Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebijakan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”. (QS Ali Imran (3):104) 6. Hak untuk Hidup Artinya: ”Tahukah kamu (orang) yangmendustakan Agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak mengajurkan memberi makan anak. (QS. Al Maa‟uun (107):13). Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 101 Ida Umami Perlindungan Hak Asasi... 7. Kebebasan Berfikir dan Mengemukakan Pendapat Artinya: Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulang bagi manusia dalam al-Qur‟an bermacam-macam perumpamaan. Dan manusia adalah makhluk yang banyak membantah (QS. Al-Kahfi (18): 54) Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa dalam agama Islam, hak-hak asasi manusia dalam pelaksanaannya memiliki landasan yang kuat. Hak-hak asasi manusia dilaksanakan selaras dengan pemenuhan kewajibannya sebagai warga negara terhadap masyarakat, bangsa dan negara. Pelaksanaan hak asasi menurut tidak dapat secara mutlak, karena penuntutan pelaksanaan yang demikian itu secara mutlak berarti melanggar hak asasi manusia yang sama bagi orang lain. Sedangkan hak asasi manusia menurut Ruswiati Suryasaputra (2006) juga tercantum pada pasal 2 paragraf 2 konvensi tentang Hak Anak menyebutkan bahwa: negara-negara peserta harus mengambil langkah-langkah yang layak untuk memastikan bahwa anak dilindungi dari segala bentuk diskriminasi atau hukuman yang didasarkan pada status, kegiatan, pendapat yang disampaikan, atau kepercayaan orang tua anak, walinya yang sah, atau anggota keluarganya.214 Uraian di atas dapat dijadikan sebagai dasar berpikir dan berperilaku bahwa pada hakekatnya manusia memiliki hak-hak asasi yang tidak boleh dilanggar oleh orang lain, namun hak-hak asasi tersebut harus diiringi dengan tanggung jawab yang tinggi terhadap penunaian kewajiban. Manusia pada hakekatnya adalah makluk jasmani dan rohani yang memiliki kesempurnaan bentuk fisik dan psikis, makhluk yang memiliki derajat tinggi, bertaqwa dan makhluk khalifah di bumi, serta pemilih hak azazi manusia. Hakekat kemanusiaan yang sarat dengan berbagai potensi ini perlu dikembangkan dengan seoptimal mungkin melalui pendidikan terutama untuk pemberdayaan perempuan sehingga bisa lebih berkiprah dan berperan dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat dan bangsa. Pemberdayaan perempuan merupakan bagian dari pemberdayaan yang bertujuan membangun tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam rangka mewujudkan kemajuan di semua bidang. Oleh sebab itu, visi pembangunan pemberdayaan perempuan adalah "kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara." Pada dasarnya, keberhasilan pemberdayaan perempuan terletak pada lima agenda utama: (1) peningkatan kualitas hidup perempuan di berbaghai bidang strategis, (2) penggalakan sosialisasi kesetaraan dan keadilan Ruswianti Suryasaputra. 2006. Perlindungan Hak Asasi Bagi Kelompok Khusus terhadap Diskriminasi dan Kekerasan. Jakarta: Restu Agung. 214 Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 102 Ida Umami Perlindungan Hak Asasi... gender, (3) penghapusan segala bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan, (4) penegakan hak asasi manusia bagi perempuan, (5) pemampuan dan peningkatan kemandirian lembaga dan organisasi perempuan. Lima hal inilah yang menjadi misi utama pembangunan pemberdayaan perempuan. Untuk mewujudkan hal itu, dilaksanakan pengarusutamaan gender (gender mainstreaming) dalam semua aspek kebijakan dan kehidupan perempuan. Istilah gender sering dirancukan dengan jenis kelamin, bahkan sering disetarakan dengan jenis kelamin perempuan. Padahal, istilah gender mengacu kepada jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Konsep gender mengacu pada seperangkat sifat, peran dan tanggung jawab, fungsi, hal dan perilaku yang melekat pada diri laki-laki dan peerempuan akibat benturan budaya atau lingkungan masyarakat. Oleh sebab itu, di masyarakat laki-laki selalu digambarkan dengan sifat maskulin dan perempuan dengan sifat feminim. Sifat maskulin dan feminin ini lebih merupakan hasil konstruksi sosial, bukan hal yang kodrati (Depdiknas, 2003). Jadi, pada dasarnya, konsep gender merupakan konsep sosial. Adapun istilah feminitas dan maskulinitas yang berkaitan dengan istilah gender berkaitan dengan sejumlah karakteristik psikologis dan perilaku yang secara kompleks telah dipelajari seseorang melalui pengalaman sosialisasinya (Sadli dalam Ihromi, 1995).215 Pembedaan sifat maskulin dan feminin itu kemudian menimbulkan berbagai ketimpangan, di antaranya: a. Pemberian beban kerja yang lebih berat kepada perempuan (perempuan pekerja) b. Perlakukan kekerasan terhadap perempuan c. Anggapan bahwa perempuan sekadar pelengkap laki-laki (subordinasi) d. Pelabelan yang negatif (stereotipe) yang dilekatkan pada perempuan. Sebenarnya, masalah kesenjangan gender merupakan masalah yang sudah berurat berakar di dunia ini dan mungkin sudah berusia ribuan tahun. Kesenjangan gender ini (yang sudah dianggap wajar dan alamiah) selalu menempatkan perempuan pada posisi yang lemah, inferior, dan subordinat. Adanya pemikiran bahwa perempuan lebih lemah daripada laki-laki membawa akibat pada kepercayaan masyarakat bahwa perempuan sebaiknya hidup di lingkungan rumah tangga, sedangkan laki-laki bertugas ke luar rumah untuk mencari nafkah (Djajanegara, 2000).216 Pandangan itu tentu tidak sesuai dengan konsep hak asasi manusia (HAM) karena salah satu komponen penting dalam HAM adalah perlindungan 215 Sadli, Saparinah. 1995. "Pengantar Tentang Kajian Wanita". Dalam Ihromi. 1995. Kajian Wanita dalam Pembangunan. Jakarta : Obor. 216 Djajanegara, Soenarjati. 2000. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta : Gramedia Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 103 Ida Umami Perlindungan Hak Asasi... dan pemajuan sumber daya manusia (SDM) menurut jenis kelamin untuk menjamin kesetaraan dan keadilan gender di berbagai bidang kehidupan, termasuk pendidikan. Dalam bidang pendidikan, kesenjangan gender pada umumnya disebabkan oleh empat faktor, yaitu: a. Faktor akses yang tampak dalam proses penyusunan kurikulum dan pembelajaran yang cenderung bias. b. Faktor kontrol terhadap kebijakan pendidikan yang lebih didominasi oleh laki-laki (posisi strategis lebih banyak ditempati oleeh laki-laki). c. aktor partisipasi yang nampak pada jumlah perempuan dan laki-laki peserta didik. d. Faktor benefit yang terlihat dari dominannya laki-laki sebagai penentu kebijakan Saat ini, di tingkat dunia, sebanyak 880 juta orang dewasa buta aksara, dua pertiga di antaranya adalah perempuan. Dari 110 juta anak yang tidak dapat menikmati pendidikan dasar, dua pertiganya adalah anak perempuan (Depdiknas, 2003).217 Hal itu menunjukkan bahwa kesenjangan gender masih terjadi dalam bidang pendidikan. Oleh sebab itu diperlukan upaya untuk menanggulanginya.. Di Indonesia, dalam GBHH, sejak tahun 1978 dicantumkan bahwa "Wanita mempunyai hak, kewajiban, dan kesempatan yang sama dengan lakilaki untuk ikut serta sepenuhnya dalam segala kegiatan pembangunan." Hal itu mengisyaratkan bahwa pemerintah mengakui adanya kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam segala kegiatan pembangunan di Indonesia . Paling tidak, pernyataan pemerintah ini memberi peluang yang seluas-luasnya pada pengembangan wawasan gender dalam hal kemitrasejajaran antara perempuan dan laki-laki di Indonesia . Dalam wawasan gender, perempuan perlu diterima dan dihargai sebagai sesama manusia yang punya potensi. Karakteristik perempuan seperti tidak kompeten, lemah, tidak mandiri yang merupakan konstruk budaya perlu diimbangi dengan gambaran tentang perempuan yang berpotensi, cerdas, mandiri, etis. Memang, berdasarkan perjalanan sejarah, salah satu konsep yang sampai saat ini masih melekat kuat pada diri setiap manusia adalah konsep pembagian kerja secara seksual yang selalu menempatkan perempuan pada posisi yang lemah. Namun, sadarkah manusia bahwa seorang anak laki-laki dan perempuan semenjak lahir sudah diasuh untuk menjadi laki-laki dan perempuan secara sosial. Mereka senantiasa diarahkan untuk menyesuaikan diri dengan gagasan tentang sifat laki-laki dan perempuan melalui imbalan dan hukuman. Imbalan dalam wujud hadiah atau pujian akan diberikan jika mereka menyesuaikan diri dengan apa yang dianggap pantas bagi jenis kelamin mereka, sedangkan 217 Depdiknas. 2003. Pedoman Umum Sosialisasi Pengarusutamaan Gender Bidang Pendidikan. Jakarta . Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 104 Ida Umami Perlindungan Hak Asasi... hukuman akan diberikan jika mereka tidak menyesuaikan diri dengan apa yang dianggap pantas bagi jenis kelamin mereka. Menurut hasil temuan antropologi, apa yang dianggap sebagai peran "alamiah" (kodrat) perempuan dan laki-laki di setiap masyarakat sama sekali tidak ditetapkan secara biologis. Oleh sebab itu, "pengabsahan pembagian kerja secara seksual sebagai tatanan alamiah bisa dibantah karena hal itu jelas merupakan konstruksi sosial yang dibuat laki-laki." (Ibrahim dan Suranto, 1990).218 Selanjutnya, beberapa pengamatan dan penelitian terdahulu menyatakan perlakuan subordinatif masih selalu diterima perempuan. Sebut saja istilah 'bekerja' yang secara rasional dibatasi oleh waktu, misalnya: 8 jam per hari, dalam masyarakat cenderung mempunyai konotasi "maskulin". Sementara perempuan yang melaksanakan pekerjaan rumah tangga hampir sepanjang hari, mulai bangun tidur sampai akan tidur lagi tidak dikatakan "bekerja" karena mereka hanya akan mendapatkan sebutan ibu rumah tangga. Padahal, produk hasil pekerjaan ibu rumah tangga digunakan secara langsung oleh keluarga, tetapi mereka tidak pernah dibayar untuk "pekerjaan"nya itu Apabila ada perempuan yang merambah pada "bekerja" dengan konotasi maskulin ini, dia akan dijuluki sebagai perempuan yang berperan ganda, yaitu sebagai ibu rumah tangga dan sebagai perempuan pekerja. Adapun istilah "peran ganda laki-laki" tidak pernah muncul karena laki-laki memang tidak dididentikkan dengan pekerjaan rumah tangga (Budiman, 1982).219 Untuk mengatasi ketimpangan gender inilah pemerintah berusaha untuk menyosialisasikan program pengarusutaaan gender (gender mainstreeaming). Program itu terdapat dalam Instruksi Presiden no. 9 tahun 2000 yang antara lain mengemukakan hal-hal sebagai berikut: a. Agar setiap instansi pemerintah mengintegrasikan program pemberdayaan perempuan. b. Untuk itu dapat ddigunakan pedoman teknis yang disusun oleh kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan sebagai acuan c. Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan bertugas memfasilitasi dan membantu instansi dan daerah yang memerlukan (bekerja sama dengan lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan perguruan tinggi yang ada) d. Sesuai fungsi dan kewenangannya, setiap instansi dan daerah dapat mengembangkan lebih lanjut pelaksanaan inpres ini kepada masyarakat. 218 Ibrahim, Idi Subandy dan Hanif Suranto. 1998. Wanita dan Media: Konstruksi Ideologi Gender dalam Ruang Publik Orde Baru. Bandung : Remaja Rosdakarya. 219 Budiman, Arief. 1982. Pembagian Kerja Secara Seksual: Sebuah Pembahasan Sosiologis tentang Peran Wanita di Dalam Masyarakat. Jakarta : Gramedia. Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 105 Ida Umami Perlindungan Hak Asasi... Secara umum, sumber daya kaum perempuannya belumlah semaju sumber daya kaum laki-lakinya, khususnya dari sisi sumber daya tenaga akademis. Oleh sebab itu perlu dilakukan penyusunan format pemberdayaan yang dapat merujuk pada kesenjangan gender. Secara garis besar, data pembuka wawasan yang dimaksudkan tergambar ke dalam faktor-faktor berikut ini. 1. Faktor Akses Program Pemberdayaan terhadap perempuan harus diupayakan semaksimal mungkin agar perempuan mampu mengakses berbagai kesempatan yang ada dan mungkin dimasuki, baik dalam bidang akademik maupun non akademik. Peningkatan peran perempuan dalam berbagai bidang kehidupan keluarga dan masyarakat bahkan kenegaraan harus selalu terus ditingkatkan. Selain itu, perlu dilakukan berbagai kajian baik melalui penelitian maupun melalui studi-dtudi terhadap permasalahan perempuan dalam upaya peningkatan peran perempuan dalam berbagai aspek dan sendi kehidupan. Langkah-langkah yang merujuk pada peningkatan mutu dan relevansi pendidikan maupuan pekerjaan yang berwawasan gender tampak terus dikembangkan dan ditambah dengan langkah-langkah lainnya guna terwujudnya kesetaraan gender baik dalam pendidikan maupun bidang lain yang terkait baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan manusia. 2. Faktor Kontrol dan Benefit Kehidupan manusia mencangkup berbagai bidang kehidupan terutama bidang vokasional dan jabatan yang lebih banyak didominasi oleh laki-laki, demikian pula halnya dengan bidang akademikyang menunjukkan adanya kesenjangan gender. Kesenjangan ini antara lain merujuk kepada minimnya perempuan meraih faktor kontrol dan benefit karena pengambilan kebijakan juga masih didominasi oleh laki-laki. 3. Faktor Partisipasi Dewasa ini, partisipasi perempuan dalam berbagai bidang kehidupan sudah mulai nampak menggeliat dan berbagai upaya untuk mendorong lebih besar partisipasi tersebut juga sudah banyak dilakukan. Namun demikian, pada kenyataannya, partisipasi perempuan masih perlu untuk terus ditingkatkan dalam seluruh sendi dan bidang kehidupan baik kehidupan pribadi, sosial kemasyaraktan maupun kenegaraan. Partisipasi aktif perempuan dalam segala bidang akan lebih mendorong pencapaian setiap tujuan dengan lebih kuat dan lebih baik. C. Simpulan Berdasarkan pembahasan di atas dapat dikemukakan bahwa dalam prespektif Al-qur‟an, kaum laki-laki dan perempuan memiliki derajat yang sama. Pembeda antara kaum laki-laki dan perempuan di mata Allah SWT adalah derajat keimanan dan ketaqwaaanya. Oleh karena itu, perlu adanya persamaan Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 106 Ida Umami Perlindungan Hak Asasi... pemahaman, persepsi dan bahkan keyakinan bahwa perempuan akan mempu menempatkan diri dan potensinya sejajar dengan kaum laki-laki dalam berbagai bidang kehidupan. Lak-laki dan perempuan juga dikaruniai harkat dan martabat serta hak asasi yang sama. Kondisi kesejajaran ini akan memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk saling membantu, saling mendorong dan menguatkan dalam mencapai seluruh tujuan kebahagiaan hidup yang hakiki. Untuk mewujudkan hal itu, seyogyanya terbuka pintu yang lebar bagi semua pihak, khsususnya bagi para perempuan agar dapat menapak lebih lanjut dengan kepastian tanpa harus diragukan kemampuannya karena keperempuannya. Daftar Pustaka Budiman, Arief. 1982. Pembagian Kerja Secara Seksual: Sebuah Pembahasan Sosiologis tentang Peran Wanita di Dalam Masyarakat. Jakarta : Gramedia. Depdiknas. 2003. Pedoman Umum Sosialisasi Pengarusutamaan Gender Bidang Pendidikan. Jakarta : Depdiknas Djajanegara, Soenarjati. 2000. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta : Gramedia. H.A.W. Widjaja. 2000. Penegakan Hak-hak Asasi Manusia. Jakarta: Rineka Cipta. Ibrahim, Idi Subandy dan Hanif Suranto. 1998. Wanita dan Media: Konstruksi Ideologi Gender dalam Ruang Publik Orde Baru. Bandung : Remaja Rosdakarya. Ihromi, T.O. 1995. Kajian Wanita dalam Pembangunan. Jakarta : Obor. Ruswianti Suryasaputra. 2006. Perlindungan Hak Asasi Bagi Kelompok Khusus terhadap Diskriminasi dan Kekerasan. Jakarta: Restu Agung. Sadli, Saparinah. 1995. Pengantar Tentang Kajian Wanita, Kajian Wanita dalam Pembangunan. Jakarta : Obor. _________. 1995. Identitas Gender dan Peranan Gender Kajian Wanita dalam Pembangunan. Jakarta : Obor. Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro 107