Proceding Islam dan Hukum

advertisement
Proceding
Islam dan Hukum
Metro International Conference on Islamic
Studies (MICIS)
Program Pascasarjana STAIN Jurai Siwo
Metro Lampung
Proceding
Islam dan Hukum
Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
Penanggungjawab
Dr. Ida Umami, M.Pd.Kons
Editor
Dharma Setyawan, MA
ISBN : 978-602-74579-2-8
Diterbitkan oleh:
Program Pascasarjana STAIN Jurai Siwo Metro Lampung
Jl. Ki Hajar Dewantara 15 A Kampus Kota Metro Lampung
Telp. 0725-41507, fax 0725-47296
Email : [email protected]
Website : http://www.stainmetro.ac.id
Islam dan Hukum
Pandangan tentang pentingnya legislasi hukum dalam suatu negara pada
dasarnya berangkat dari aliran positivisme hukum. Menurut aliran ini hukum
yang utama adalah hukum yang berasal atau diciptakan oleh manusia, yakni
hukum positif. Setelah manusia membentuk organisasi negara, hukum positif
adalah hukum yang dibuat oleh badan-badan negara dan pemerintah.Hukum
diartikan sebagai perintah atau larangan yang dibuat oleh lembaga-lembaga atau
badan-badan negara dan pemerintah yang pemberlakuannya dipaksakan.
Hukum tidak lain adalah kaidah normatif yang memaksa, eksklusif, hirarkis,
sistematis dan dapat berlaku seragam, yang dapat dianggap sebagai hukum
adalah produk legislasi (peraturan perundang-undangan). Aturan-aturan di luar
legislasi hanya merupakan norma moral. Legislasi dianggap sebagai satusatunya hukum karena merupakan pengungkapan atau pembadanan hukum
yang dianggap positif atau dapat ditangkap dengan panca indera.Selain itu,
legislasi dibuat oleh negara dan pemerintah yang telah dianggap sebagai
organisasi yang mengatasnamakan kehendak umum
Noel J. Coulson dengan menyusun teori pilihan hukum; yaitu enam
pasangan pilihan hukum yang dimaksud adalah: 1) pilihan antara wahyu dan
akal (al-wahyu wa al-‘aqlu, revelation and reason); 2) pilihan antara kesatuan dan
keragamaan (al-ittifaq wa al-ikhtilaf, unity and diversity); 3) pilihan antara otoritas
keilmuan dan liberal (authoritarianism and liberalism); 4) pilihan antara kebenaran
ideal dengan kebenaran nyata (idealism and realism); 5) pilihan antara hukum dan
moralitas (law and morality); dan 6) pilihan antara stabilitas dan perubahan
(stability and change).
Sedangkan Muhammad ‘Imarah menjelaskan empat pilihan dalam tathbiqh
hukum Islam: 1) pilihan antara kesempurnaan agama dan pembaharuan (iktimâl
al-dîn wa tajdîduhu); 2) pilihan antara nashsh dan ijtihad (al-nashsh wa al-ijtihâd); 3)
pilihan antara hukum agama dan hukum negara (al-dîn wa al-dawlah); dan 4)
pilihan antara musyawarah dan syari‘ah (al-syûrâ al-basyariyyah wa al-syarî‘ah alilâhiyyah).
Sebegitu pentingnya Islam memandang Hukum, maka beberapa tulisan
dalam Proceeding ini mengulas mengenai Islam dan Hukum lewat sudut
pandang dari berbagai penulis. Semoga bermanfaat, selamat membaca.[N]
Metro, Desember 2016
Redaksi
Daftar isi
ASAS-ASAS HUKUM KEWARISAN ISLAM
Jaih Mubarok
1-16
POSITIVISASI HUKUM EKONOMI ISLAM
Isa Ansori
17-28
PEMBERIAN ASI; UPAYA PEMENUHAN HAK ANAK ANTARA
REGULASI DAN IMPLEMENTASI
29-43
Enizar
KONTROVERSI PEMBARUAN HUKUM ISLAM: MELACAK
RESPON MASYARAKAT MUSLIM INDONESIA TERHADAP
COUNTER LEGAL DRAFT (CLD) ATAS KHI
Tobibatussaadah
44-63
MEMAHAMI IJTIHÂD
KHATTÂB
Solihin Panji
HUKUM
ISLAM ‘UMAR
BIN
AL64-85
BAHASA ARAB DALAM KONSTRUKSI HUKUM ISLAM (TELAAH
ATAS FUNGSI DAN PENGARUH HURUF MA’ANI TERHADAP
KHILAFIAH DALAM ISTINBATH HUKUM)
86-97
Husnul Fatarib
PERLINDUNGAN
HAK
ASASI
MANUSIA
DAN
KETERKAITANNYA DENGAN PERMASALAHAN GENDER
DALAM PRESPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM
98-107
Ida Umami
ASAS-ASAS HUKUM KEWARISAN ISLAM
Jaih Mubarok
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung
Abstrak
Asas secara umum bersifat penyimpul (mirif dengan makna kaidah) dari rincian hukum
yang ada, dan adakalanya berifat antisipatif-prediktif guna menyelesaikan masalah yang
belum atau tidak diatur dalam hukum yang bersangkutan. Asas hukum yang menjadi
landasan perbuatan hukum itu sendiri termasuk wilayah ijtihadi. Oleh karena itu, asas
suatu hukum dapat ditelusuri dan digali secara akademik yang pada level peraturan
perundang-undangan, penetapan sesuatu sebagai asas hukum memerlukan proses ijma„jama„i yang sekarang ini diartikan sebagai proses kesepakatan antara ahli hukum Islam
dengan pihak eksekutif dan legislative sebuah Negara. Asas Tandhidh, asas Tertib
Administratif, dan asas fungsi, merupakan tawaran yang diharapkan dapat memperkaya
wacana yang bila dipandang layak oleh pihak-pihak pemangku yang terlibat, “disahkan”
sebagai asas dalam pembagian harta warisan.
Kata Kunci: Asas, Kewarisan
A. Pengantar
Asas merupakan unsur fundamental hukum yang pada umumnya
mendasari dan mencakup substansi hukum dan teknik-teknik menjalankan/
mengoperasikannya. Oleh karena itu, asas secara umum bersifat penyimpul
(mirif dengan makna kaidah) dari rincian hukum yang ada, dan adakalanya
berifat antisipatif-prediktif guna menyelesaikan masalah yang belum atau tidak
diatur dalam hukum yang bersangkutan. Tulisan ini disusun dalam kerangka
menjelaskan asas-asas hukum waris Islam yang telah dijelaskan oleh pakarnya,
serta tawaran yang mudah-mudahan layak untuk dipertimbangkan oleh para
penyusun naskah akademis hukum (baca: RUU) kewarisan Islam.
B. Teori-Teori Pilihan Hukum
Noel J. Coulson dengan menyusun teori pilihan hukum; yaitu enam
pasangan pilihan hukum yang dimaksud adalah: 1) pilihan antara wahyu dan
akal (al-wahyu wa al-„aqlu, revelation and reason); 2) pilihan antara kesatuan dan
keragamaan (al-ittifaq wa al-ikhtilaf, unity and diversity); 3) pilihan antara otoritas
keilmuan dan liberal (authoritarianism and liberalism); 4) pilihan antara kebenaran
ideal dengan kebenaran nyata (idealism and realism); 5) pilihan antara hukum dan
moralitas (law and morality); dan 6) pilihan antara stabilitas dan perubahan
(stability and change).
Sedangkan Muhammad „Imarah menjelaskan empat pilihan dalam tathbiqh
hukum Islam: 1) pilihan antara kesempurnaan agama dan pembaharuan (iktimâl
al-dîn wa tajdîduhu); 2) pilihan antara nashsh dan ijtihad (al-nashsh wa al-ijtihâd); 3)
pilihan antara hukum agama dan hukum negara (al-dîn wa al-dawlah); dan 4)
Jaih Mubarok
Asas-Asas Hukum…
pilihan antara musyawarah dan syari„ah (al-syûrâ al-basyariyyah wa al-syarî„ah alilâhiyyah).1
Pertama, Coulson menjelaskan bahwa hukum Islam memiliki dua sisi. Di
satu sisi, ulama menjelaskan bahwa hukum Islam adalah divine law (hukum yang
diwahyukan Allah); sedangkan di sisi yang lain, ulama juga menjelaskan bahwa
hukum Islam adalah hasil pemikiran mujtahid (human reasoning of jurists).2 Dua
sisi ini saling tarik-menarik (dalam perspektif ketegangan) dan saling
melengkapi (dalam perspektif harmoni).
Kedua, pilihan antara Kesatuan dan Keragaman; terdapat terminology
dalam hokum Islam yang menjadi pasangan untuk melihat kesatuan dan
keragaman. Al-ittifâq digunakan untuk menggambarkan proses ijtihad yang
menghasilkan pendapat yang sama (seragam); terminology lain yang lebih
popular adalah ijmâ„; dan terminologi al-ikhtilâf digunakan untuk
memperlihatkan pendapat yang ragam.
Ketiga, pilihan antara Autoritarianisme dan Liberalisme; pembahasan
mengenai posisi ulama dalam hubungannya dengan Allah dan kitab suci layak
untuk diperhatikan. Syihab al-Din Abu al-„Abbas Ahmad Ibn Idris al-Qurafi (w.
684 H.) dalam kitab Syarh Tanqîh al-Fushûl fî Ikhtishâr al-Mahshûl fî al-Ushûl,
menjelaskan tiga istilah yang berkenaan dengan ijtihad, yaitu al-wadh„, al-isti„mâl,
dan al-haml. 3 Terminologi al-ijtihâd (Mujtahid), al-ittibâ„ (Muttabi„), dan al-taqlîd
(Muqallid) relevan dengan teori pilihan ini.
Keempat, pilihan antara Idealisme dan Realisme; kebenaran dalam ilmu
filsafat ada dua: 1) kebenaran ideal (gagasan), dan 2) kebenaran real (nyata, apa
adanya). Metode untuk mencapai kebenaran ideal adalah rasio (al-„aql) dan
metode untuk mencapai kebenaran real adalah empiris (positivistik). M. Atho
Mudzhar secara implisit menjelaskan bahwa pilihan terhadap fikih termasuk
domain pilihan idealisme; sedangkan pilihan terhadap fatwa, qanun, dan qadha
merupakan domain realisme.
Kelima, pilihan antara Hukum dan Moralitas; di antara filosof membagi
etika menjadi tiga: 1) etika deskriptif (descriptive ethic), yaitu penyeledikan
tingkah-laku manusia secara individu atau pribadi-pribadi (personal morality),
kelompok (social morality), dan di dalamnya dikaji mengenai motif perbuatan
dan perbuatan yang terbuka; 2) etika normatif (normative ethic), penyelidikan
tingkah-laku manusia secara individu atau pribadi (personal morality) dan
kelompok (social morality) yang penyelidikannya dilakukan atas dasar prinsipprinsip yang harus dipakai dalam kehidupan. Etika deskriptif adalah
penyelidikan yang dilakukan untuk menggambarkan tingkah laku manusia;
sedangkan etika normatif adalah penyelidikan yang sudah membandingkan
Muhammad „Imarah, Ma„alim al-Manhaj al-Islami (Kairo: Dar al-Syuruq. 1991).
J. Coulson, Conflicts and Tensions in Islamic Jurisprudence (Chicago & London: The
University of Chicago Press. 1969), hlm. 3.
3Syihab al-Din Abu al-„Abbas Ibn Idris al-Qurafi, Syarh Tanqîh al-Fushûl fî Ikhtishâr alMahshûl fî al-Ushûl (Kairo: Maktabah al-Kuliyyah al-Azhariyyah. 1973), hlm. 20.
1
2Noel
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
2
Jaih Mubarok
Asas-Asas Hukum…
antara nilai yang dianut dengan perilaku para penagnutnya; dan 3) etika kritis
(metaethics), yaitu penyelidikan yang diarahkan uktuk menganalisis istilah-istilah
yang digunakan dalam etika.4 Pilihan ini menggambarkan ketidaklinearan antara
hokum dan moralitas; kadang-kadang suatu perbuatan dinilai benar secara
hokum, tapi tidak/kurang relevan dengan moral yang dianut suatu masyarakat
yang bersangkutan.
Keenam, pilihan antara Tradisionalisme dan Modernisme; pilihan antara
tradisionalisme (stability) dan modernisme (change; modify) adalah pilihan yang
sejak abad IV H. hingga sekarang terus berlanjut. Istilah “Kaum Muda” dan
“Kaum Tua”5 di di Indonesia merupakan kenyataan sejarah dari pilihan antara
statis dan dinamis.6
Ketujuh, pilihan antara kesempurnaan agama dan pemabaharuan (iktimâl
al-dîn wa tajdîduhu). Kesempurnaan agama Islam terletak pada nilai uiniversal
yang dikandungnya. Di samping itu, kesempurnaan agama juga terletak pada
kandungannya yang mendorong umat Islam untuk menggunakan kemampuan
intelektualnya melakukan ijtihad. Oleh karena itu, kesempurnaan agama tidak
dipahami bahwa agama telah mengatur segalanya (termasuk aturan-aturan
teknis); akan tetapi, kesempurnaannya terletak pada nilai universal yang
dikandungnya dan peluang mujtahid untuk berijtihad atas dasar perintah
agama. Dengan kerangka yang demikian, wajarlah bila „Imarah menegaskan
bahwa salafiah dan mujaddid bersifat saling melengkapi. Pilihan antara
kesempurnaan agama dan pembaharuan juga pada dasarnya sepadan dengan
pilihan antara nashsh dan ijtihad dan pilihan antara musyawarah dan syari„ah.
Kedelapan, pilihan antara Hukum Agama dan Hukum Negara; Salah satu
topik penting dalam hal terjadi ikhtuilaf antara gagasan fukaha dalam kitab fikih
dengan peraturan perundang-undangan di sebuah Negara, adalah pilihan
dalam taat hukum: apakah akan taat kepada hukum yang dibentuk oleh negara
ataukah akan taat kepada aturan-aturan (fikih) yang disusun oleh ulama yang
otoritatif. Dalam kajian perbandingan antara fikih dan peraturan perundangundangan, terdapat “kaidah” yang menyatakan bahwa suatu perbuatan hokum
dinilai sah secara agama (shahha dîn[an]) dan tidak sah dari segi hukum negara
(wa lâ yashihhu qadhâ‟[an]). Pernyataan ini menunjukan bahwa ketaatan
masyarakat dalam menjalanakan hukum masih ganda dan kaidah yang
menyatakan bahwa keputusan (hukum) yang dibuat oleh pemimpin dapat
menyelesaikan perbedaan pendapat (hukm al-hâkim yarfa„u al-khilâf) belum
sepenuhnya bisa diterima oleh masyarakat Muslim di berbagai negara.
Ibid., hlm. 141-142.
biasanya disebut aliran jumud (stability) dan modernisme disebut aliran
rasional dan suka berubah (change). Lihat Coulson, Conflicts and, hlm. 96.
6Howard Federspiel, Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX (Jogjakarta:
Gadjah Mada University Press. 1996), hlm. 60-61.
4
5Tradisionalisme
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
3
Jaih Mubarok
Asas-Asas Hukum…
C. Teori-teori Persaingan Hukum Waris dan Hukum Adat
Diskursus mengenai persaingan hukum Islam dan “hukum Barat” guna
menjadi hukum nasional diperkaya dengan teori-teori aplikasi hukum yang
saling mendukung atau saling bertentangan. Di antara nya adalah: Pertama, teori
Autoritas Hukum; H.A.R. Gibb mengemukakan bahwa umat Islam yang telah
menerima Islam sebagai agamanya, telah menerima otoritas hukum Islam atas
dirinya;7 umat Islam yang telah menyatakan diri memeluk agama Islam berarti
telah siap menjalankan ajaran Islam, termasuk hukum-hukum yang
dikandungnya.
Kedua, teori Receptie in Complexu; teori yang dikemukakan oleh Gibb
mendapat dukungan dari Lodewijk Willem Christian van den Berg (1845-1927)
dengan teori receptie in complexu. Menurut teori ini, bagi orang Islam berlaku
penuh hukum Islam sebab dia telah memeluk agama Islam walaupun dalam
pelaksanaannya terdapat penyimpangan-penyimpangan. 8
Ketiga, teori Resepsi; teori ini merupakan penetangan terhadap teori
Autoritas Hukum dari Gibb dan teori Receptie in Complexu dari van den Berg.
Adalah Christian Snouck Hurgronye (1857-1936), C. van Vollenhoven, dan Ter
Haar. Menurut teori ini, bagi rakyat pribumi pada dasarnya berlaku hukum adat;
hukum Islam berlaku kalau norma hukum Islam itu telah diterima oleh
masyarakat sebagai hukum adat. 9
Keempat, teori Resepsi Exit dari Hazairin; menurut teori ini, teori resepsi
telah patah dan keluar dari Indonesia sejak diberlakukannya UUD 45;10 karena
UUD 45 dan Pancasila memberikan tempat yang luas bagi berlakunya hukum
agama (termasuk agama Islam). Oleh karena itu, Hazairin berpendapat bahwa
teori resepsi yang dikemukan oleh Christian Snouck Hurgronye dan didukung
oleh C. van Vollenhoven dan Ter Haar, adalah teori Iblis.
Kelima, teori Receptio a Contrario dari Sayuthi Thalib; dalam teori ini
ditegaskan bahwa bagi umat Islam, yang berlaku adalah hukum Islam; hukum
adat baru berlaku apabila tidak bertentangan dengan hukum Islam.11 teori resepsi
a contrario yang dikemukakan Sayuti Thalib yang menyatakan bahwa: a) bagi
orang Islam berlaku hukum Islam; b) hal tersebut sesuai dengan keyakinan dan
cita-cita hukum, cita-cita batin dan moralnya; dan c) hukum adat berlaku bagi
umat Islam apabila tidak bertentangan dengan hukum Islam. 12
Keenam, teori Penegakan Hukum. Menurut teori ini, hukum dapat tegak di
masyarakat bergantung pada tiga hal: 1) materi hukum, 2) penegak hukum, dan
H. Ichtijanto, “Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia” dalam Tjun
Sumardjan (ed.), Hukum Islam di Indonesia: Perkembangan dan Pembentukan (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya. 1991), hlm. 114-115.
8
Ibid., h. 120.
9
E. Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia (Jakarta: Balai Buku “Ichtiar.” 1959), hlm. 46.
10
Sumarjan (ed.), Hukum Islam, hlm. 128.
11
Ibid., h. 132.
12Ichtijanto SA, "Pengembangan Teori,” dalam Sumarjan (ed.), Hukum Islam, hlm. 102114,117,122, dan 130-132.
7
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
4
Jaih Mubarok
Asas-Asas Hukum…
3) kesadaran hukum masyarakat. Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah
menegaskan bahwa kesadaran hukum merupakan suatu proses psikis yang
terdapat dalam diri setiap manusia yang memiliki dua kemungkinan: timbul dan
tenggelam.
Sejumlah pakar hukum menganggap bahwa kepatuhan hukum terutama
disebabkan: 1) rasa takut pada sanksi yang negatif, 2) pemeliharaan hubungan
baik dengan teman-teman dan pemimpin, 3) kepentingannya terlindungi,
dan/atau 4) cocok (sesuai) dengan nilai-nilai dan keyakinan yang dianutnya.
Pakar sosiologi hukum menetapkan bahwa dalam kesadaran hukum terdapat
empat indikator: 1) pengetahuan hukum; 2) pemahaman hukum; 3) penilaian
dan sikap terhadap hukum; dan 4) ketaatan hukum. Soekanto menyebutkan
bahwa kesadaran hukum sebenarnya menyangkut faktor-faktor apakah suatu
hukum diketahui, diakui, dihargai, dan ditaati oleh warga negara.
D. Survei Literatur
Sejumlah tulisan mengenai asas hukum waris dalam Islam telah
dipublikasikan, baik yang analisisnya cenderung bersifat normatif-rasional
maupun analisis yang cenderung bersifat sosiologis-aplikatif yang cenderung
berakar pada nilai budaya tertentu. Dalam website pribadi, Riana Kesuma Ayu
menjelaskan mengenai sistem hukum waris adat. Ayu menjelaskan bahwa di
antara asas hukum waris adat adalah: 1) asas ketuhanan dan pengendalian diri,
2) asas kesamaan dan kebersamaan hak, 3) asas kerukunan dan kekeluargaan, 4)
asas musyawarah dan mufakat, dan 5) asas keadilan.13
Dalam Tesis yang berjudul “Hukum Islam Dipandang dari Perspektif
Hukum Berkeadilan Gender (Studi di Kecamatan Mranggen Kabupaten Denak)”
yang ditulis oleh Mintarno dalam rangka menyelesaikan studinya di Program
Magister Kenotariatan, Universitas Diponegoro Semarang (2006), dijelaskan
bahwa di antara asas hokum waris Islam adalah: 1) asas ijbari, 2) asas bilateral, 3)
asas individual, dan 4) asas keadilan.14
H. Hatpiadi, Wakil Ketua Pengadilan Agama Samarinda, yang
mempublikasikan artikelnya yang berjudul “beberapa Asas Hukum kewarisan
Menurut KUHPerdata, Hukum Islam dan Hukum Adat.”
H. Hatpiadi
menjelaskan bahwa asas-asas hukum kewarisan adalah: pertama, asas kematian.
Asas ini diatur berdasarkan pada Pasal 830 KUH Perdata, hukum adat, dan
hukum Islam. H. Hatpiadi mengutip pendapat Muslimin Simar (hakim dan
ketua Pengadilan Agama Watampone yang menjelaskan bahwa asas kematian
merupakan asas yang paling utama dan dasar di dalam proses beralihnya harta
seseorang sebagai harta warisan, dan berlaku untuk semua sistem kewarisan.
13
Riana Kesuma Ayu, “Sistem Hukum Waris Adat,” dalam websiteayu.com, diakses tahun
2011.
Mintarno, “Hukum Waris Islam Dipandang dari Persepektif Hukum Berkeadilan Gender
(Studi Di Kecamatan MranggenKabupaten Demak),” Tesis Magister, Program Pascasarjana,
Magister Kenotariatan (Semarang: Universitas Diponegoro. 2006).
14
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
5
Jaih Mubarok
Asas-Asas Hukum…
Kedua, asas hubungan darah dan hubungan perkawinan. Asas ini terdapat
dalam pasal 832 ayat (1) dan Pasal 852 a KUH Perdata. Asas hubungan darah
merupakan salah satu asas yang esensial dalam setiap sistem hukum kewarisan,
karena faktor hubungan darah dan hubungan perkawinan menentukan
kedekatan seseorang dengan pewaris, dan menentukan tentang berhak atau
tidaknya bagi seseorang menjadi ahli waris.
Ketiga, asas perderajatan; dalam KUH Perdata asas ini didasarkan pada
prinsip de naaste in het bloed erf hetgoed, oleh karena itu, yang berhak menjadi ahli
waris
hanyalah keluarga yang lebih dekat dengan pewaris, sekaligus
menentukan pula bahwa keluarga yang lebih dekat derajatnya dari pewaris akan
menutup hak mewarisnya bagi keluarga yang lebih jauh derajatnya. KUH
Perdata mengenal adanya kelompok keutamaan ahli waris sebagaimana yang
terdapat dalam sistem hukum kewarisan Islam dan hukum adat. Dalam Hukum
Kewarisan menurut Hukum Adat, anak, Bapak/ibu berkedudukan sebagai ahli
waris yang lebih dekat dari pewaris melebihi dari paman/bibi, kakek/nenek,
saudara-saudara pewaris, juga dalam hukum kewarisan Islam, bahwa penentuan
kelompok keutamaan sangat jelas, misalnya “anak lebih utama dari cucu, ayah
lebih utama (lebih dekat) kepada anak dari pada saudara: ayah lebih utama
kepada anak dari pada kakek. Bahkan kelompok keutamaan dalam hukum
kewarisan Islam menentukan juga kuatnya hubungan kekerabatan, misalnya
saudara kandung lebih utama dari pada saudara se ayah atau se ibu, sebab
saudara kandung mempunyai dua garis penghubung (dari ayah dan dari ibu),
sedangkan saudara sebapak atau saudara seibu hanya dihubungkan oleh satu
garis penghubung yaitu dari ayah atau dari ibu”. Ketiga sistem Hukum
Kewarisan sama-sama menempatkan anak, suami/isteri, dan orang tua
(Bapak/ibu) sebagai ahli waris yang memiliki derajat keutamaan pertama, yaitu
anak sebagai ahli waris derajat keutamaan pertama dalam garis ke bawah,
sedang orang tua (Bapak/ibu) sebagai ahli waris dalam derajat keutamaan
pertama dalam garis ke atas, melibih derajat ahli waris lainnya seperti nenek,
paman/bibi dan saudara. Di dalam Hukum Kewarisan Islam dan hukum
kewarisan adat tidak demikian halnya, karena anak-anak pewaris dapat berbagi
waris dengan Bapak/ibu pewaris, meskipun kedua sistem hukum kewarisan
tersebut mengenal juga golongan ahli waris yang dapat menutup (menghijab)
ahli waris tertentu.
Keempat, asas pergantian tempat (Plaatsvervulling). Mengingat asas ini
merupakan penerobosan asas ketentuan yang mengatakan bahwa “yang berhak
menerima warisan haruslah ahli waris yang masih hidup pada waktu si pewaris
meninggal dunia (Pasal 836 KUH Perdata), juga asas ini seolah-olah menyalahi
ketentuan bahwa “keluarga yang derajatnya lebih dekat akan menutup keluarga
yang derajatnya lebih jauh”, padahal sesungguhnya asas ini, malahan menjadi
solusi atas kedua ketentuan di atas, sebab bila kedua ketentuan di atas dijalankan
secara ketat, maka dipastikan menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpatutan
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
6
Jaih Mubarok
Asas-Asas Hukum…
terhadap cucu yang orang tuanya lebih dahulu meninggal dunia daripada
pewaris, sehingga si cucu tidak menerima harta warisan yang seharusnya orang
tuanya terima sebagai ahli waris, hanya karena orang tuanya meninggal dunia
lebih dahulu. Mengenai asas pengertian tempat dalam hukum kewarisan Islam,
menurut sebagian pendapat, seperti pendapat Wirjono Prodjodikoro dan
pendapat dari pakar hukum Islam, antara lain menurut Mahmud Yunus
menyebutkan bahwa pergantian dalam hukum Islam tidak dikenal. Berbeda
dengan pendapat Hazairin yang mengatakan bahwa hukum kewarisan Islam
mengenal asas pergantian tempat yang disebut dengan mawaly. Menurut
Hazairin bahwa ahli waris pengganti (mawaly) didasarkan pada al-Qur'an pada
Surah an-Nisa‟ (IV) ayat 33, yang artinya: “Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari
harta yang ditinggalkan ibu-bapak dan karib kerabat, Kami (Allah) jadikan
pewaris-pewarisnya”. Pendapat Hazairin di atas, kemudian diikuti oleh Sajuti
Thalib. Tampaknya juga asas pergantian tempat ini menjadi salah satu asas
penting dalam Hukum Kewarisan menurut Kompolasi Hukum Islam
sebagaimana yang terdapat ketentuannya dalam Pasal 185 Kompilasi Hukum
Islam. Pasal 185 (1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada si pewaris
maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang
tersebut dalam Pasal 173 (2). Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh
melebih dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. Kelima, asas
individual; asas ini menentukan tampilnya ahli waris untuk mewarisi secara
individu-individu (perseorangan) bukan kelompok ahli waris dan bukan
kelompok clan, suku atau keluarga. Asas ini mengandung pengertian bahwa
harta warisan dapat dibagi-bagikan pada masing-masing ahli waris untuk
dimiliki secara perseorangan, sehingga dalam pelaksanaan seluruh harta warisan
dinyatakan dalam nilai dan setiap ahli waris berhak menurut kadar begiannya
tanpa harus terikat dengan ahli waris lainnya. Konsekwensi dari ketentuan ini
adalah, harta warisan yang sudah dibagi-bagikan atau dialihkan kepada ahli
waris secara perseorangan itu menjadi hak miliknya, karena itu, asas ini sejalan
dengan ketentuan pada Pasal 584 KUH Perdata bahwa salah satu cara
memperoleh hak milik adalah melalui pewaris. Asas individual sangat popular
pula dalam sistem hukum kewarisan Islam dan sistem hukum kewarisan adat.
Asas individual dalam hukum kewarisan Islam berarti, “Setiap ahli waris secara
individu berhak atas bagian yang didapatnya tanpa terikat kepada ahil waris
lainnya”. Akan tetapi dalam hukum kewarisan adat, selain dikenal sistem
pewaris individual, juga dikenal adanya sistem kolektif, dan mayorat namun
dari ketiga macam sistem pewaris tersebut, maka sistem individual yang lebih
umum berlaku dalam masyarakat, terutama dalam masyarakat adat parental
yang tersebar hampir diseluruh daerah di Indonesia. Keenam, asas bilateral; yaitu
seseorang tidak hanya mewarisi dari garis Bapak saja, akan tetapi juga mewaris
menurut garis ibu, demikian juga dari saudara laki-laki maupun saudara
perempuan. Asas ini memberi hak dan kedudukan yang sama antara anak lakiProceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
7
Jaih Mubarok
Asas-Asas Hukum…
laki dan perempuan dalam hal mewaris, bahkan dengan asas bilateral ini
menetapkan juga suami isteri untuk saling mewaris. Ketujuh, asas segala hak dan
kewajiban pewaris beralih kepada ahli waris; yaitu segala hak dan kewajiban
pewaris dalam asas ini adalah hak dan kewajiban dalam lapangan harta
kekayaan. Wirjono Prodjodikoro menje;askan bahwa BW mengenal tiga macam
sikap dari ahli waris terhadap harta warisan, dan dapat memilih salah satu dari
tiga sikap itu, yaitu : 1) menerima seluruhnya menurut hakikat yang tersebut
dalam BW (hak dan kewajiban); 2) menerima dengan syarat, yaitu hutanghutangnya; dan 3) menolak menerima harta warisan”. Menurut H. Muhammad
Daud Ali, “dalam diri seseorang harus senantiasa terdapat keseimbangan antara
hak dan kewajiban yang harus ditunaikan”.Berdasarkan dengan berbagai
penjelasan dan ketentuan yang telah dikemukakan tampak bahwa penjelasan
dan ketentuan tersebut cenderung mendukung ke arah penerapan asas segala
hak dan kewajiban pewaris beralih kepada ahil waris, namun sifatnya terbatas,
artinya harta peninggalan pewaris yang bersifat aktiva secara otomatis
berpindah dari pewaris kepada ahli waris, akan tetapi bagi warisan yang berupa
pasiva (utang-utang, kewajiban-kewajiban) maka harus disesuaikan dengan hakhak yang diperoleh ahli waris agar melahirkan prinsip keadilan yang seimbang.
Seimbang dengan hak yang sepantasnya diterima dari barang aktiva dengan
kewajiban yang dipikulnya, berupa utang. Akan tetapi kalau ada ahli waris yang
bersedia membayarkan utang-utang pewaris melalui harta pribadi ahli waris,
maka itu tidak dilarang, bahkan merupakan perbuatan terpuji, dan cermin dari
akhlak yang baik.15
H. Chatib Rasyid, Ketua Pengadilan Agama Yogyakarta, menulis “AzasAzas Hukum Waris dalam Islam,” yang substansinya menjelaskan bahwa asasasas hukum waris Islam adalah: pertama, asas Integrity/Ketulusan; yaitu
ketulusan hati, kejujuran, keutuhan. Dalam asas ini terkandung pengertian
bahwa pelaksanakan hukum kewarisan Islam diperlukan ketulusan hati untuk
mentaatinya karena terikat dengan aturan yang diyakini kebenarannya.
Kedua, asas ta' abbudi/penghambaan diri; yaitu pelaksanaan pembagian
waris secara Islam merupakan bagian dari ibadah kepada Allah SWT; ketiga,
asas huquq al-maliyah/hak-hak kebendaan; yaitu bahwa hanya hak dan kewajiban
terhadap kebendaan yang dapat diwariskan kepada ahli waris, sedangkan hak
dan kewajiban dalam lapangan hukum kekeluargaan atau hak-hak dan
kewajiban yang bersifat pribadi seperti suami atau istri, jabatan, keahlian dalam
suatu ilmu dan yang semacamnya tidak dapat diwariskan. Kewajiban ahli waris
terhadap Muwaris diatur dalam pasal 175 Kompilasi Hukum Islam, yaitu: 1)
mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai, 2)
menyelesaikan hutang-hutang Muwaris, termasuk kewajiban menagih piutang,
H. Hatpiadi, “Beberapa Asas Hukum Kewarisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, Hukum Islam, dan Hukum Adat,” dalam www.badilag.net/ diakses tanggal 13 Pebruari
2011.
15
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
8
Jaih Mubarok
Asas-Asas Hukum…
3) menyelesaikan wasiat Muwaris, dan 4) membagi harta warisan di antara anti
ahli waris yang berhak.
Keempat, asas hukukun thabi‟iyah/hak-hak dasar; yaitu hak-hak dasar ahli
waris sebagai manusia; meskipun ahli waris merupakan seorang bayi yang baru
lahir atau seseorang yang sudah sakit menghadapi kematian sedangkan ia masih
hidup ketika Muwaris meninggal dunia, begitu juga suami istri yang belum
bercerai walaupun sudah pisah tempat tinggalnya, maka dipandang cakap untuk
mewarisi. Sebab-sebab mewaris adalah: 1) hubungan keluarga, 2) perkawinan, 3)
wala, dan 4) seagama. Hubungan keluarga adalah hubungan antar orang yang
mempunyai hubungan darah (genetik) baik dalam garis keturunan lurus ke
bawah (anak cucu dan seterusnya) maupun ke samping(saudara). Di samping
itu, dalam hukum Islam dikenal penghalang untuk menerima warisan, yaitu: 1)
murtad, 2) membunuh, dan 3) hamba sahaya. Dalam pasal 173 Kompilasi
Hukurn Islam dijelaskan juga penghalang-penghalang menerima warisan, yaitu:
1) dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya
berat pada muwaris; 2) dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan
pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam
dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
Kelima, asas ijbari/keharusan/kewajiban; yaitu terjadinya peralihan harta
dari seseorang yang telah meninggal dunia (muwaris) kepada ahli warisnya
sesuai dengan ketetapan Allah SWT tanpa digantungkan kepada kehendak
seseorang baik pewaris maupun ahli waris. Asas ijbari juga berarti: 1) peralihan
harta yang pasti terjadi setelah “Muwaris” meninggal dunia, 2) jumlah harta
sudah ditentukan untuk masing-masing ahli waris, 3) orang-orang yang akan
menerima harta warisan itu sudah ditentukan dengan pasti, yakni mereka yang
mempunyai hubungan darah dan perkawinan.
Keenam, asas bilateral; yaitu bahwa seseorang menerima hak kewarisan
dari kedua belah pihak, yaitu dari kerabat keturunan laki-laki dan dari kerabat
keturunan perempuan; ketujuh, asas individual/perorangan; yaitu
harta
warisan dapat dibagi-bagi pada masing masing ahli waris untuk dimiliki secara
perorangan. Dalam pelaksanaannya seluruh harta warisan dinyatakan dalam
nilai tertentu yang kemudian dibagi-bagikan kepada ahli waris yang berhak
menerimanya menurut kadar bagian masing-masing.
Kedelapan, asas keadilan yang berimbang; yaitu harus ada keseimbangan
antara hak yang diperoleh seseorang dari harta warisan dengan kewajiban atau
beban biaya kehidupan yang harus ditunaikannya. Laki-laki dan perempuan
misalnya, mendapat bagian yang sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya
masing-masing (kelak) dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Seorang lakilaki menjadi penanggung jawab dalam kehidupan keluarga, mencukupi
keperluan hidup anak dan isterinya sesuai (QS.2:233) dengan kemampuannya.
Tanggung jawab merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan, terlepas dari
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
9
Jaih Mubarok
Asas-Asas Hukum…
persoalan apakah isterinya mampu atau tidak, anak-anaknya memerlukan
bantuan atau tidak.
Kesembilan, asas kematian; yaitu kewarisan baru muncul bila “Muwaris‟
meninggal dunia. Dengan demikian, kewarisan semata-mata sebagai akibat dari
kematian seseorang. Peralihan harta seseorang kepada orang lain yang disebut
kewarisan terjadi setelah orang yang mempunyai harta itu meninggal dunia,
artinya harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain (melalui
pembagian harta warisan) selama orang yang mempunyai harta itu masih hidup,
dan segala bentuk peralihan harta-harta seseorang yang masih hidup kepada
orang lain, baik langsung maupun yang akan dilaksanakan kemudian sesudah
kematiannya, tidak termasuk ke dalam kategori kewarisan menurut hukum
Islam.
Kesepuluh, asas membagi habis harta warisan; yaitu semua harta
peninggalan dibagi habis sesuai dengan kadar bagian masing-masing ahli waris
sehingga tidak tersisa lagi, dengan cara: 1) menentukan siapa yang menjadi ahli
waris dengan bagiannya masing-masing, 2) membersihkan/ memurnikan harta
warisan seperti hutang dan Wasiat, sampai dengan melaksanakan pembagian
hingga tuntas, sehingga dikenalkan konsep Aul dan Radd.16
A. Ananlisis dan Tawaran Alternatif
1. Asas Kewarisan Islam tentang Sebab-sebab Mewarisi dan Pengahalangnya
Muslimin Simar menjelaskan bahwa asas kematian merupakan asas
yang paling utama dan dasar di dalam proses beralihnya harta mayit
sebagai harta warisan (mauruts), di samping itu, Haptiadi juga
memperkenalkan asas hubungan darah dan hubungan perkawinan, serta
asas penderajatan dan asas pergantian tempat (Plaatsvervulling). Pada
dasarnya, asas kematian, asas hubungan darah, dan asas hubungan
perkawinan menjelaskan mengenai sebab-sebab mewarisi; yaitu sebabsebab mewarsi adalah karena wafatnya muwarits, dan ahli waris yang
menerima tirkah karena hubungan darah atau karena hubungan
perkawinan (suami-isteri). Tiga asas ini--kematian, hubungan darah, dan
hubungan perkawinan--tidak terlalu banyak dipersoalkan oleh ulama.
Akan tetapi, asas pergantian tempat (Plaatsvervulling) yang merupakan
pengaruh dari hukum perdata Eropa yang telah diakomodir dalam
Kompilasi Hukum Islam, sering juga mendapat penolakan kyai-kyai di
pesantren, termasuk di antaranya dosen Perguruan Tinggi Islam.
Asas ijbari diperkenalkan oleh ulama guna menjelaskan proses
intiqal al-milkiyah dari milik fardiyah (Muwarits) menjadi milik ahli waris
(terjadi syirkah-amlak dalam hal ahli warisnya lebih dari dua orang).
Secara etimologis, ijbari berasal dari kata jabar yang di antara artinya
H. Chatib Rasyid, Asas-Azas Hukum Waris dalam Islam,” www.badilag.net/ diakses
tanggal 13 Pebruari 2011.
16
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
10
Jaih Mubarok
Asas-Asas Hukum…
adalah terpaksa/paksaan; sedangkan arti terminologinya adalah
perpindahan pemilikan harta dari Muwaris kepada ahli waris karena
ketentuan yang terdapat dalam Quran-sunah. Dengan demikian, dalam
proses perpindahan kepemilikan harta tersebut tidak terdapat unsure
paksaan terhadap Muwaris, bahkan tidak ada larangan secara eksplisit
dalam Quran-sunah bagi ahli waris untuk menolak menerima harta
warisan yang bernilai positif (bukan dalam bentuk hutang). Sedangkan
apabila ahli waris menerima warisan berupa utang, maka secara hukum
yang bersangkutan berkewajiban secara agama untuk membayarnya
sesuai dengan kemampuannya. Asas ijbari juga berarti peralihan harta
yang pasti terjadi setelah “Muwaris” meninggal dunia, jumlah harta
sudah ditentukan untuk masing-masing ahli waris, orang-orang yang
akan menerima harta warisan itu sudah ditentukan dengan pasti, yaitu
orang-orang yang mempunyai hubungan darah atau perkawinan. Dengan
demikian, asas ijbari juga dapat dimasukkan sebagai asas yang
menjelaskan sebab-sebab mewarisi. Arti etimologi ijbari dengan arti
terminologinya tidak terlalu relevan.
Asas huququn thabi‟iyah/hak-hak dasar menilai ahli waris dari segi
kemanusiaannya; meskipun ahli waris merupakan seorang bayi yang
baru lahir atau seseorang yang sudah sakit menghadapi kematian tetapi
masih hidup ketika Muwaris meninggal dunia, begitu juga suami istri
yang belum bercerai walaupun sudah pisah tempat tinggalnya, maka
dipandang cakap untuk mewarisi.
Dalam fikih mawaris dikenal konsep hijab-mahjub sesame ahli
waris karena asas penderajatan (ketentuan hukum mengenai ahli waris
dekat dan ahli waris jauh) dan dikenal juga sebab-sebab yang dapat
membuat seseorang terhalang untuk menerima harta warisan (mawani„ alirtsi), di antaranya adalah murtad, membunuh, dan hamba sahaya.
Mengenai sebab-sebab mewarisi, isu yang relative krusial adalah isu
perbedaan agama antara Muwaris dengan ahli waris serta isu riddah.
Pada umumnya, para terpelajar yang terpengaruh dengan doktrin
Universal Declaration of Human Right (UDHR), terutama tentang ajaran
menganai kebebasan beragama, menganggap bahwa ridah dan perbedaan
agama sebagai penghalang untuk mewarisi merupakan ketentuan yang
dinilai diskriminatif.
2. Asas Kewarisan Islam tentang Obyek yang Bisa Diwariskan dan Bagi
Habis
Asas huquq al-maliyah/hak-hak kebendaan merupakan penjelasan
mengenai batasan-batasan mengenai harta yang dapat diwariskan. Oleh
karena itu, hak-hak kebendaan menjelaskan mengenai obyek yang dapat
dan tidak dapat diwariskan; yaitu hak dan kewajiban dalam hukum
kekeluargaan atau hak-hak dan kewajiban yang bersifat pribadi tidak
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
11
Jaih Mubarok
Asas-Asas Hukum…
dapat diwariskan. Di samping itu, asas ini secara implisit mengenai
proses-proses sebelum pembagian mauruts, antara lain melunasi hutanghutang muwaris kepada pihak lain sebelum harta peninggalan dibagikan
kepada ahli waris dan melaksanakan wasiat Muwaris jika ada.
Asas membagi habis harta warisan adalah asas yang mendasari
aturan bahwa semua harta peninggalan dibagi habis sesuai dengan kadar
bagian masing-masing ahli waris sehingga tidak tersisa lagi, dengan cara
menentukan siapa yang menjadi ahli waris dengan bagiannya masingmasing, membersihkan/memurnikan harta warisan seperti hutang dan
wasiat, sampai dengan melaksanakan pembagian hingga tuntas, sehingga
dikenalkan konsep Aul dan Radd.
3. Asas Ta„abudi Versus Asas Ta„aquli
Prinsip penerapan hukum Islam yang berupa pilihan antara wahyu
dan akal (al-wahyu wa al-„aqlu, revelation and reason) dari Coluson, teori
pilihan antara kesempurnaan agama dan pemabaharuan (iktimâl al-dîn wa
tajdîduhu) dari Imarah, dan teori Autoritas Hukum dari Gibb yang
didukung oleh Lodewijk Willem Christian van den Berg (1845-1927)
dengan teori receptie in complex, pada dasarnya berhubungan dengan asas
ketuhanan yang dikemukakan oleh Riana Kesuma Ayu dalam konteks
hukum Adat di Indonesia, dan juga relevan dengan asas
ta'abbudi/penghambaan diri, yaitu pelaksanaan pembagian waris secara
Islam diyakini sebagai bagian dari ibadah kepada Allah SWT.
Asas ketuhanan mengandung ajaran bahwa melaksanakan
pembagian waris merupakan bagian dari menjalankan (baca: taat pada)
ajaran agama Islam yang termasuk ibadah. Pada umumnya, asas ini
memberikan ruang yang sangat luas dalam menerima teks Quran, sunah,
dan pendapat ulama apa adanya; teks-teks suci yang terdapat dalam
Quran-sunnah dipahami, diterima, dan dijalankan apa adanya; penafsiran
terhadap Quran-sunah ditolelir dalam keadaan khusus atau tertentu.
Asas ilahiyah (ta„abudi) memberikan ruang yang terbatas pada
ijtihad karena para pembesar dan penganut madzhab/aliran berpikir ini
berpendapat bahwa pemahaman dan pengamalan ajaran agama yang
lebih dekat dengan makna teks secara tekstual dianggap lebih shahih dan
selamat, dari pada memahami dan menjalankan ajaran agama
berdasarkan nalar (ta‟wil) yang jauh dari makna tekstualnya.
Asas ketuhanan/Ilahiyah dengan asas basyariyah/nalar harus
diadopsi dan dipadankan secara seimbang. Metode yang paling
sederhana, asas ketuhanan diterapkan terhadap obyek hukum yang sudah
ditetapkan ketentuannya dalam Quran-sunah; sedangkan asas
basyariyah/nalar diterapkan terhadap obyek/hal yang tidak ditentukan
oleh Allah dan Rasul dalam Quran-sunah. Akan tetapi, pandangan ini
biasanya dianggap pandangan sempit karena membatasi porsi ijtihad
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
12
Jaih Mubarok
Asas-Asas Hukum…
yang tidak sesuai dengan semangat nalar Islami seperti ditawarkan oleh
al-Jabiri dalam kitab Bunyan al-„Aql al-„Arabi, termasuk para
pengarusutamaan jender yang menuntut pembagian sama antara laki-laki
dan perempuan karena ketentuan waris dalam Quran-sunah dianggap
bias jender, tidak adil, kuno, dan tidak sesuai dengan spirit tahrir al-mar‟ah.
H. Chatib Rasyid menambahkan bahwa asas ketuhanan dan asas ta‟abudi
diperlukan karena ketulusan hati, kejujuran, keutuhan dalam memahami
dan menjalankan ajaran Islam (baca: waris) selaras dengan asas
integrity/ketulusan.
4. Tawaran: Asas Tandhidh, Asas Tertib Administratif, dan Asas Fungsi
Pada kesempatan ini ddiajukan tiga asas yang berkaitan dengan
cara pembagian harta warisan, yaitu asas Tandhidh, asas Tertib
Administratif, dan asas Kegunaan/Musahamah yang dirinci pada bagian
berikut.
Pertama, dalam literatur fikih yang terbit pada tahun 2000an
dikenalkan terminologi yang relatif baru dalam mu‟amalah, yaitu
tandhidh; terminologi ini digunakan dalam bab mudharabah (bagian dari
syirkah) dalam membagi keuntungan antara shahib al-mal/pemilik dana
dengan mudharib/pengelola. Muhammad Abd al-Mun„im Abu Zaid
menjelaskan bahwa tandhidh adalah asas dalam pembagian keuntungan
(tandhidh asas li qismat al-ribhi); pakar hukum ekonomi Islam menjelaskan
bahwa tandhidh adalah kaidah pembagian keuntungan yang menyatakan
bahwa pembagian keuntungan dalam usaha dengan akad mudharabah
tidak boleh dilakukan sebelum dilakukan tandhidh terhadap modal usaha
mudharabah; yaitu melakukan tahwil (penaksiran) terhadap barang
dengan harga/nilai tertentu (tahwiluhu min „urudh ila nuqud).17
Asas tandhidh kelihatannnya layak untuk dipertimbangkan dalam
pembagian harta warisan, terutama terhadap mauruts/tirkah yang ragam
dari segi bentuk dan nilai. Misalnya Tuan Ahmad meninggal dunia
dengan harta peninggalan berupa sebuah bangunan ruko di Mangga Dua
Jakarta, satu bangunan ruko di Jambu Dua Bogor, tanah sawah seluas 10
hektar di Jonggol, tiga buah mobil dengan merk Jaguar, Alpard, dan
Avanza, dan tanah seluas 1o hektar di Pamengpeuk Garut. Maka ahli
waris Tuan Ahmad atau juru taksir yang ditunjuk harus menaksir terlebih
dahulu seluruh harta warisan ke dalam bentuk rupiah (nuqud), pembagian
harta warisan dilakukan setelah dilakukan penaksiran sehingga sangat
mungkin luas tanah atau bangunan yang diterima oleh ahli waris berbedabeda tapi relatif sama dari segi nilai/harga setelah dilakukan perhitungan
17Muhammad Abd al-Mun„im Abu Zaid, Nahw Tathwir Nizham al-Mudharabah fi al-Masharif
al-Islamiyyah (Kairo: al-Ma„had al-„Alami li al-Fikrr al-Islami. 2000), hlm. 159. Penjelasan yang sama
juga dapat dilihat dalam Ali Jum`ah Muhammad dkk, Mausu„ah Fatawa al-Mu„amalat al-Maliyyah li
al-Masharif wa al-Mu‟assasat al-Maliyah al-Islamiyah (Kairo: Dar al-Salam. 2009), vol. II, hlm. 158.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
13
Jaih Mubarok
Asas-Asas Hukum…
porsi/kadar bagian masing-masing ahli waris sesuai dengan derajat yang
dimilikinya. Hal itu dilakukan karena harga ruko di Mangga Dua dan di
Jambu Dua berbeda, harga tanah di Jonggol berbeda dengan harga tanah
di pameungpeuk, dan harga mobil yang diwariskan juga berbeda-beda
karena perbedaan merk.
Asas tandhidh diduga kuat telah dipraktekkan di masyarakat
meskipun cara penaksirannya dilakukan bukan oleh ahlinya (missal pihak
aprassial); sehingga ada yang memperoleh harta warisan hanya 200 meter
persegi karena terletak di pinggir jalan utama, sementara saudaranya yang
lain menerima harta warisan berupa tanah yang luasnya mencapai 1000
meter persegi tapi tidak di pinggir jalan utama, karena perbedaan harga
tanah yang disebabkan oleh letak tanah tersebut.
Kedua, asas Tertib Administratif; yaitu pembagian harta warisan
merupakan perbuatan hokum Islam yang seharusnya memiliki akta
otentik yang dibuat oleh pejabat yang berwenang agar keluarga yang
bersangkutan terhindar dari perselisihan yang terutama biasanya terjadi
di kemudian hari (sunda: ngagugat).
Apabila ahli waris berselisih dalam pembagian warisan, maka
mereka dapat mengajukan penyelesaiannya ke pengadilan (Pengadilan
Agama atau Pengadilan Negeri); terhadap pembagian warisan yang
diputus/ditetapkan dengan putusan pengadilan dengan sendirinya
memiliki alat bukti berupa putusan pengadilan. Sedangkan bagi ahli waris
yang membagi harta warisan secara baik-baik (tidak berselisih) kadangkadang tidak memiliki alat bukti otentik mengenai pembagian harta
warisan yang dilakukan. Oleh karena itu, layak kiranya dipikirkan untuk
membentuk institusi yang berwenang untuk membuat akta otentik
mengenai pembagian harta warisan agar keluarga yang bersangkutan
terhindar dari perselisihan yang terjadi di kemudian hari.
Ketiga, asas fungsi; dalam Kompilasi Hukum Islam, pasal 189 (1)
dijelaskan bahwa harta warisan yang berupa lahan pertanian yang
luasnya kurang dari dua hektar, supaya dipertahankan keutuhannya
sebagaimana semula, dan dimanpaatkan untuk kepentingan bersama para
ahli waris yang bersangkutan. Ketentuan ini--dalam pandangan Oyo
Sunaryo Mukhlas--disebut sebagai asas pemeliharaan keutuhan dan
kesatuan lahan.18
Harta warisan yang pengelolaannya memerlukan kehalian khusus,
sebaiknya pembagiannya dilakukan secara musahamah; yaitu harta
peninggalan tersebut secara operasional tetap dipelihara dan dikelola
secara bisnis guna mendapatkan keuntungan yang dibagi bersama sesama
ahli waris sesuai kesepakatan.
18Oyo
Sunaryo Mukhlas, “Hukum Kewarisan Islam: Formulasi Baru Waris Islam dalam Tata
Hukum Indonesia,” dalam al-Tadbir, vol. 1, nomor: 3, Pebruari 2000, hlm. 115.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
14
Jaih Mubarok
Asas-Asas Hukum…
Apabila di antara ahli waris memiliki keahlian yang kurang-lebih
sama, maka pemeliharaan dan pengelolaan harta peninggalan dapat
dilakukan secara bergiliran. Umpama: Tuan Tarfin meninggalkan harta
warisan bertipa rumah makan yang luasnya 10 meter persegi (4 m x 2.5 m)
di Cikapundung Elektronik Center Bandung. Ia meninggalkan 2 orang
anak laki-laki dan anak perempuan serta isterinya sebagai ahli waris,
maka dengan bimbingan ibunya, dua anak tersebut sebagai ahli waris
diberi hak untuk memelihara dan mengoperasikan rumah makan tersebut
pada jangka waktu tertentu sesuai kesepakatan. Dengan cara demikian,
keuntungan yang diterima keluarga masih bias diperoleh dalam jangka
yang lebih lama bila dibandingkan dengan cara penjualan rumah makan
tersebut. Dengan demikian, asas fungsi pada prinsipnya merupakan
bagian dari asas mashlahah; yaitu harta muwarits yang dibagikan kepada
ahli waris tidak boleh hilang fungsi dan manfaatnya.
F. Penutup
Asas hukum yang menjadi landasan perbuatan hukum itu sendiri
termasuk wilayah ijtihadi. Oleh karena itu, asas suatru hukum dapat ditelusuri
dan digali secara akademik yang pada level peraturan perundang-undangan,
penetapan sesuatu sebagai asas hukum memerlukan proses ijma„-jama„i yang
sekarang ini diartikan sebagai proses kesepakatan antara ahli hukum Islam
dengan pihak eksekutif dan legislative sebuah Negara.
Asas Tandhidh, asas Tertib Administratif, dan asas fungsi, merupakan
tawaran yang diharapkan dapat memperkaya wacana yang bila dipandang layak
oleh pihak-pihak pemangku yang terlibat, “disahkan” sebagai asas dalam
pembagian harta warisan. Wa Allah A„lam bi al-shawwab.
Daftar Pustaka
Ali Jum`ah Muhammad dkk. 2009. Mausu„ah Fatawa al-Mu„amalat al-Maliyyah li alMasharif wa al-Mu‟assasat al-Maliyah al-Islamiyah. Kairo: Dar al-Salam.
E. Utrecht. 1959. Pengantar dalam Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Buku “Ichtiar.”
H. Hatpiadi. 2011. “Beberapa Asas Hukum Kewarisan Menurut Kitab UndangUndang Hukum Perdata, Hukum Islam, dan Hukum Adat,” dalam
www.badilag.net/.
H. Chatib Rasyid. 2011. Asas-Azas Hukum Waris dalam Islam,”
www.badilag.net/.
Howard Federspiel. 1996. Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX.
Jogjakarta: Gadjah Mada University Press.
Mintarno. 2006. “Hukum Waris Islam Dipandang dari Persepektif Hukum
Berkeadilan Gender (Studi Di Kecamatan MranggenKabupaten Demak),”
Tesis Magister, Program Pascasarjana, Magister Kenotariatan. Semarang:
Universitas Diponegoro.
Muhammad „Imarah. 1991. Ma„alim al-Manhaj al-Islami. Kairo: Dar al-Syuruq.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
15
Jaih Mubarok
Asas-Asas Hukum…
Muhammad Abd al-Mun„im Abu Zaid. 2000. Nahw Tathwir Nizham alMudharabah fi al-Masharif al-Islamiyyah. Kairo: al-Ma„had al-„Alami li al-Fikrr
al-Islami.
Noel J. Coulson. 1969. Conflicts and Tensions in Islamic Jurisprudence. Chicago &
London: The University of Chicago Press.
Riana Kesuma Ayu. 2011. “Sistem Hukum Waris Adat,” dalam websiteayu.
Syihab al-Din Abu al-„Abbas Ibn Idris al-Qurafi. 1973. Syarh Tanqîh al-Fushûl fî
Ikhtishâr al-Mahshûl fî al-Ushûl. Kairo: Maktabah al-Kuliyyah al-Azhariyyah.
Tjun Sumardjan (ed.). 1991. Hukum Islam di Indonesia: Perkembangan dan
Pembentukan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
16
POSITIVISASI HUKUM EKONOMI ISLAM
Isa Ansori
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Jurai Siwo Metro Lampung
Abstract
The views on the important of legislation on economics come from legal positivism.
According to legal positivism, the main law is law made by state or legal institutions in a
state which is forced, exclusive, hirarkhis, systematic and uniform for all the people. The
positive economics law which is written on constitution or law is made to manage how
economic in a country is managed and aimed to make prosperity among the people. The
syariah economics law which its existence is received in Indonesia constitution also needs
to be made as positive law using methods that can easily received by all Indonesia people,
so that it would forced the people to implement it happily and could make prosperity for
all Indonesian people.
Key Word: Positivsm, Syariah Economics Law
A. Pandangan tentang Pentingnya Positivisasi Hukum Ekonomi
Pandangan tentang pentingnya legislasi hukum dalam suatu negara pada
dasarnya berangkat dari aliran positivisme hukum.Menurut aliran ini hukum
yang utama adalah hukum yang berasal atau diciptakan oleh manusia, yakni
hukum positif.Setelah manusia membentuk organisasi negara, hukum positif
adalah hukum yang dibuat oleh badan-badan negara dan pemerintah.Hukum
diartikan sebagai perintah atau larangan yang dibuat oleh lembaga-lembaga atau
badan-badan
negara
dan
pemerintah
yang
pemberlakuannya
dipaksakan.Hukum tidak lain adalah kaidah normatif yang memaksa, eksklusif,
hirarkis, sistematis dan dapat berlaku seragam, yang dapat dianggap sebagai
hukum adalah produk legislasi (peraturan perundang-undangan). Aturan-aturan
di luar legislasi hanya merupakan norma moral. Legislasi dianggap sebagai satusatunya hukum karena merupakan pengungkapan atau pembadanan hukum
yang dianggap positif atau dapat ditangkap dengan panca indera.Selain itu,
legislasi dibuat oleh negara dan pemerintah yang telah dianggap sebagai
organisasi yang mengatasnamakan kehendak umum.19
Secara umum, pengaturan negara pada bidang ekonomi yang dimuat
dalam konstitusi dan undang-undang sebagai bentuk positivisasi, dibedakan
dalam dua katagori, ialah negara kapitalis-liberal yang sangat membatasi peran
negara dalam mengatur perekonomiannya dan negara sosialis yang mengatur
kegiatan perekonomiannya.
Tradisi kapitalis-liberal beranggapan bahwa perekonomian didasarkan atas
mekanisme pasar bebas, sehingga tidak perlu diatur oleh negara, apalagi diatur
dalam bentuk hukum setingkat undang-undang dasar. Dinamika kegiatan
ekonomi kapitalis menggantungkan diri kepada pasar bebas (free market). Oleh
19Panduan bantuan hukum di Indonesia: pedoman anda memahami dan menyelesaikan masalah
hukum, (Jakarta: YLBHI, 2007), h. 3.
Isa Ansori
Positivisasi Hukum Ekonomi …
karena itu, kebijakan-kebijakan ekonomi tidak dipandang penting untuk
dituangkan dalam bentuk peraturan tertulis, baik dalam regulasi, undangundang, ataupun undang-undang dasar.Perekonomian adalah urusan pasar,
urusan praktik yang memiki logika dan normanya sendiri dalam kehidupan
masyarakat.20 Tradisi model ini banyak dikembangkan oleh negara-negara
common law seperti Inggris dan Amerika Serikat, yang mengembangkan tradisi
hukum tidak dalam bentuk peraturan tertulis, melainkan lebih mengandalkan
peranan (putusan) hakim dalam menyelesaikan setiap masalah hukum yang
timbul dalam praktik, dalam tradisi ini muncul istilahjudge made law atau hukum
buatan hakim.
Sebaliknya, tradisi negara-negara sosialis memuat kebijakan dasar bidang
perekonomian dalam konstitusinya.Soviet-Rusia yang komunis, sejak tahun 1918
sudah mencamtumkan pasal-pasal perekonomian dalam rumusan undangundang dasarnya.Jerman yang menganut paham liberal, juga sudah
mengadopsikan ide pengaturan prinsip-prinsip kebijakan ekonomi itu dalam
undang-undang dasar sejak Konstitusi Weimar 1919.Itu sebabnya, Jerman
dianggap sebagai negara pertama yang menganut paham sosial demokarat di
Eropa Barat, sedangkan Soviet-Rusia merupakan negara sosialis-komunis
pertama di Eropa Timur. Tradisi untuk melakukan konstitusionalisasi kebijakan
ekonomi itu dikembangkan pula secara lebih luar oleh Irlandia dalam Konstitusi
Tahun 1937 dengan memperkenalkan konsep Directive Principles of Social Policy
(DPSP) yang kemudian ditiru oleh banyak negara non-komunis.21
Dalam perkembangannya, kebutuhan untuk meregulasi permasalahan
ekonomi oleh negara, tidak saja berkembang di kalangan negara-negara
intervensionis seperti negara-negara sosialis dan komunis, tetapi juga di
lingkungan negara-negara liberal barat yang menetapkan sistem ekonomi pasar.
Alan Brudner, dalam bukunya Constitutional Goods, seperti dikutip oleh Jimly
Asshiddieqie, menguraikan mengenai hak-hak ekonomi yang diatur dalam
berbagai peraturan perundang-undangan di Amerika Serikat. Perlindungan hakhak sosial dan ekonomi merupakan salah satu hal yang dipandang
penting.Menurutnya, “A life is not successfully self authored if success is guaranteed
by some one else. A guarantee is consistent with self authorship beyond the power of
individuals to secure. Thus the right to equality is a right to be governed by laws that
assure to everyone the opportunity to live a life embodying self-authored ends”. Itu
menunjukkan bahwa betapapun bebasnya dinamika perekonomian pasar
hendak dikembangkan, tetap saja diperlukan intervensi negara dalam bentuk
regulasi dan perizinan yang sangat berpengaruh dalam proses pembangunan
ekonomi dan pengendalian pasar bebas.22
20Jimly
Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, (Jakarta: Kompas Penerbit Buku, 2010), h. x-xi
h. xii-xiii
22Ibid.,h. 12.
21Ibid.,
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
18
Isa Ansori
Positivisasi Hukum Ekonomi …
B. Fungsi Positivisasi Hukum Ekonomi
Hukum adalah produk negara, dalam hal ini lembaga legislatif, yang
dalam proses pembuatannya juga melibatkan eksekutif. Hukum ekonomi positif
berfungsi sebagai seperangkat aturan hukum yang dimuat dalam konstitusi atau
perundang-undangan untuk mengatur bagaimana perekonomian suatu negara
diselengarakan.Seperangkat hukum yang telah dirumuskan itu mampu menjadi
instrumen yang berwibawa untuk mendukung pembangunan ekonomi.
Hukum yang dibuat oleh negara dalam rangka mengatur kegiatan
ekonomi sering disebut dengan istilah hukum ekonomi. Rochmat Soemitro
memberikan definisi hukum ekonomi, menurutnya, hukum ekonomi ialah
sebagian dari keseluruhan norma yang dibuat pemerintah atau penguasa sebagai
satu personifikasi dari masyarakat yang mengatur kehidupan kepentingan
ekonomi masyarakat yang saling berhadapan.23
Adi Sulistiyono dan Muhammad Rustamaji mengutip Douglass C. North,
seorang pemenang hadiah nobel tahun 1993 dalam bidang Ilmu Ekonomi, dalam
esseinya Institutions and Economic Growth: An Historical Introduction mengatakan
bahwa kunci memahami peranan hukum dalam mengembangkan atau bahkan
menekan pertumbuhan ekonomi terletak pada pemahaman konsep ekonomi
“transaction cost” atau biaya-biaya transaksi.24Dalam konteks ini adalah biayabiaya nonproduktif yang harus ditanggung untuk mencapai suatu transaksi
ekonomi. Secara lebih spesifik, terdapat tiga komponen dasar biaya transaksi
yang mencakup:
1. ongkos untuk menggunakan pasar (market transaction cost),
2. biaya melakukan hak untuk memberikan pesanan (orders) di dalam
perusahaan (managerial transaction cost), dan
3. biaya yang diasosiasikan untuk menggerakkan dan menyesuaikan dengan
kerangka politik kelembagaan (political transaction costs).
Dengan demikian hukum dibuat dalam kerangka mengatur biaya transaksi
perekonomian suatu negara. Dengan mengatur komponen ini, suatu negara
dapat menentukan hasil yang akan dicapai dari arah kebijakan
perekonomiannya.
J.D. Ny Hart mengemukakan adanya enam konsep dalam ilmu hukum
yang mempunyai pengaruh bagi pengembangan ekonomi, yaitu:25
1. Prediktabilitas. Hukum harus mempunyai kemampuan untuk memberikan
gambaran pasti di masa depan mengenai keadaan atau hubungan-hubungan
yang dilakukan pada masa sekarang.
2. Kemampuan prosedural. Pembinaan di bidang hukum acara
memungkinkan hukum material itu dapat merealisasikan dirinya dengan
23 Dikutip oleh Elsi Kartika Sari, Advendi Simangungsong, Hukum dalam Ekonomi, Ed.2.,
(Jakarta: Grasindo, 2007) h. 4-5.
24 Adi Sulistiyono, Muhammad Rustamaji, Hukum Ekonomi Sebagai Panglima, (Sidoarjo:
Masmedia Buana Pustaka, 2009),h. 19.
25Ibid.,h. 20-1.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
19
Isa Ansori
Positivisasi Hukum Ekonomi …
baik ke dalam pengertian hukum acara ini termasuk tidak hanya ketentuanketentuan hukum perundang-undangan, melainkan juga semua prosedur
penyelesaian yang disetujui oleh para pihak yang bersengketa, misalnya
arbitrasi, konsiliasi, dsb. Kesemua lembaga itu hendaknya bekerja dengan
efisien, karena kehidupan ekonomi itu ingin mencapai tingkatannya yang
maksimum.
3. Kodifikasi tujuan-tujuan. Perundang-undangan dapat dilihat sebagai suatu
kodifikasi tujuan serta maksud sebagaimana dikehendaki oleh negara.
Dalam bidang ekonomi tujuan-tujuan itu dirumuskan dalam perundangundangan yang baik secara langsung maupun tidak mempengaruhi
perekonomian.
4. Faktor penyeimbang. Sistem hukum harus dapat menjadi kekuatan yang
memberikan keseimbangan di antara nilai-nilai yang bertentangan di dalam
masyarakat. Sistem itu memberikan “kesadaran akan keseimbangan” dalam
usaha-usaha negara melakukan pembangunan ekonomi.
5. Akomodasi. Perubahan yang cepat menuntut dipulihkannya keseimbangan.
Sistem hukum yang mengatur hubungan individu baik secara material
maupun formal memberikan kesempatan kepada keseimbangan yang
terganggu itu untuk menyesuaikan diri, dengan memberikan pegangan
kepastian hukum dan membuka kesempatan bagi dipulihkannya keadilan
melalui prosedur yang tertib dan sebagainya.
6. Definisi dan kejernihan tentang status, ialah memberikan ketegasan
mengenai status orang-orang dan barang-barang di masyarakat.
Peran hukum dalam bidang ekonomi sangat dibutuhkan.Hukum dibuat
untuk
mengatur
subyek
dan
obyek
hukum
dalam
lapangan
perekonomian.Hukum ekonomi lahir disebabkan oleh semakin pesatnya
pertumbuhan perekonomian.Hukum berfungsi untuk mengatur dan membatasi
kegiatan ekonomi, dengan harapan pembangunan perekonomian tidak
mengabaikan hak-hak dan kepentingan masyarakat.
Sunaryati Hartono mengatakan bahwa hukum ekonomi adalah penjabaran
hukum ekonomi pembangunan dan hukum ekonomi sosial, sehingga hukum
ekonomi tersebut mempunyai dua aspek, sebagai berikut:26
1. Aspek pengaturan usaha-usaha pembangunan ekonomi, dalam arti
peningkatan kehidupan ekonomi secara keseluruhan.
2. Aspek pengaturan usaha-usaha pembagian hasil pembangunan ekonomi
secara merata di antara seluruh lapisan masyarakat, sehingga setiap warga
negara Indonesia dapat menikmati hasil pembangunan ekonomi sesuai
dengan sumbangan dalam usaha pembangunan ekonomi tersebut.
Karenanya, hukum ekonomi Indonesia dapat dibedakan menjadi dua,
yakni hukum ekonomi pembangunan dan hukum ekonomi sosial.27
26
Elsi Kartika Sari, Advendi Simangungsong, Op.cit., h. 4 -5
27Ibid.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
20
Isa Ansori
Positivisasi Hukum Ekonomi …
1. Hukum ekonomi pembangunan
Hukum ekonomi pembangunan adalah yang meliputi pengaturan dan
pemilikan hukum mengenai cara-cara peningkatan, dan pengembangan
kehidupan ekonomi Indonesia secara nasional.
2. Hukum ekonomi sosial
Hukum ekonomi sosial adalah yang menyangkut pengaturan pemikiran
hukum mengenai cara-cara pembagian hasil pembangunan ekonomi nasional
secara adil dan merata dalam martabat kemanusiaan (hak asasi manusia)
manusia Indonesia.
C. Positivisasi Hukum Ekonomi Islam dalam Tiori Relasi Hubungan Negara
dan Agama
Dalam kerangka legislasi yang memasukkan hukum Islam (termasuk di
dalamnya ekonomi Islam) sebagai hukum positif, terdapat tiga teori yang
menjelaskan relasi hubungan negara dan agama.
Pertama, Paradigma Integralistik (unified paradigm) yang menyatakan
bahwa agama dan negara menyatu (integrated). Wilayah agama meliputi politik
atau
negara.Negara merupakan
lembaga
politik
dan
keagamaan
sekaligus.Menurut paradigma ini, kepala negara adalah pemegang kekuasaan
agama dan kekuasaan politik.Pemerintahannya diselenggarakan atas dasar
“kedaulatan ilahi” (divine sovereignty), kedaulatan berasal dan berada di “tangan
Tuhan” Karenanya dalam perspektif paradigma ini, pemberlakuan dan
penerapan hukum Islam sebagai hukum positif negara adalah hal yang niscaya.
Imam Khomeini salah seorang penganut paradigma ini menyatakan: “Dalam
negara Islam wewenang menetapkan hukum berada pada Tuhan. Tiada seorang
pun berhak menetapkan hukum.Dan hukum yang boleh berlaku hanyalah
hukum dari Tuhan.”28 Dan diperkuat oleh Abu al-A‟la Al-Mawdudi: “Syariah
adalah skema kehidupan yang sempurna dan meliputi tatanan kemasyarakatan;
tidak ada yang lebih dan tidak ada yang kurang.”29
Kamaruzzaman meringkas pendapat Maududi dengan mengatakan
bahwa:30
1. Tidak ada seorang pun, bahkan seluruh penduduk negara secara
keseluruhan, dapat menggugat kedaulatan. Hanya Tuhan yang berdaulat,
manusia hanyalah subyek;
2. Tuhan merupakan pemberi hukum sejati dan wewenang mutlak legislasi ada
pada-Nya. Kaum mukmin tidak dapat berlindung pada legislasi yang
Marzuki Wahid, Rumadi, Fiqh madzhab negara: kritik atas politik hukum Islam di Indonesia,
h. 24, mengutip Imam Khomeini, Islam and Revolution: writings and declarations of Imam Khomeini,
Terjemahan dan anotasi Hamid Algar, (Berkeley: 1981), h. 55.
29Ibid.,h 25, mengutip Abu al-A‟la al-Mawdudi, Islamic Law and Constitution, (Lahore:
1967), h. 243.
30 Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara: Perspektif modernis dan fundamentalis, (Magelang:
Yayasan Indonesiatera, 2001), h. 83-4.
28
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
21
Isa Ansori
Positivisasi Hukum Ekonomi …
sepenuhnya mandiri, tidak juga dapat mengubah hukum yang telah
diletakkan Tuhan, sekalipun tuntutan untuk mewujudkan legislasi atau
perubahan hukum Ilahi ini diambil secara mufakat bulat;
3. Suatu negara Islam dalam segala hal haruslah didirikan berlandaskan hukum
yang telah diturunkan Allah kepada manusia melalui Rasulullah SAW.
Kedua, Paradigma simbiotik (symbiotic Paradigm), memandang bahwa
agama dan negara berhubungan secara simbiotik, yakni hubungan timbal balik
dan saling memerlukan.Dalam hal ini, agama memerlukan negara karena
dengan negara, agama dapat berkembang.Sebaliknya, negara juga memerlukan
agama, karena dengan agama negara dapat berkembang dalam bimbingan etika
dan moral-spiritual.31 Al-Mawardi dalam bukunya al-ahkâm al-Shulthaniyyah
menyatakan bahwa: “Kepemimpinan negara merupakan instrumen untuk
meneruskan misi kenabian dalam memelihara agama dan mengatur dunia.”32
Ibnu Taimiyah dalam bukunya al-Siyâsah al-Syar‟iyyah, menyatakan:
“Sesungguhnya adanya kekuasaan yang mengatur urusan manusia merupakan
kewajiban agama yang terbesar, sebab tanpa kekuasaan negara agama tidak bisa
berdiri tegak.”33Menurut paradigma ini, Syariah (hukum Islam) menduduki
posisi sentral sebagai sumber legitimasi terhadap realitas politik.Negara
mempunyai peran besar untuk menegakkan hukum Islam dalam porsinya yang
benar.34
Ketiga, Paradigma Sekularistik (Secularistic Paradigm). Paradigma ini
mengajukan pemisahan (disparitas) agama atas negara dan pemisahan negara
atas agama.Konsep al-dunyâ al-akhîrah, al-dîn al-daulah atau umur al-dunyâ umur aldîn didikhotomikan secara diametral.Dalam konteks Islam, paradigma ini
menolak pendasaran negara kepada Islam, atau paling tidak, menolak
determinasi Islam pada bentuk tertentu dari negara. Ali Abd ar-Raziq (1887-1966
M) tokoh paradigma ini mengatakan bahwa “Islam tidak menetapkan suatu
rezim pemerintah tertentu, tidak pula mendasarkan kepada kaum Muslim suatu
sistem pemerintahan tertentu lewat mana mereka harus diperintah; tapi Islam
telah memberikan kita kebebasan mutlak untuk mengorganisasikan negara
sesuai dengan kondisi-kondisi intelektual, sosial, dan ekonomi yang kita miliki
dan dengan mempertimbangkan perkembangan sosial dan tututan zaman.”35
Menurutnya, Nabi Muhammad SAW. adalah semata-mata utusan Allah untuk
mendakwahkan agama murni tanpa bermaksud untuk mendirikan negara. Nabi
tidak mempunyai kekuasaan duniawi, negara, ataupun pemerintahan.Nabi tidak
mendirikan kerajaan dalam arti politik atau sesuatu yang mirip dengan
kerajaan.Dia adalah nabi semata sebagaimana halnya nabi-nabi sebelumnya.Dia
31
Marzuki Wahid, Rumadi, Loc.Cit., h. 26.
mengutip Abu al-Hasan al-Mawardiy, al-ahkâm al-Sulthaniyyah, (Beirut: Dar al-Fikr,
32Ibid.,
tt.), h. 5
33Ibid.,
h. 27, mengutip Ibnu Taimiyah, As-Siyasah asy-Syar‟iyyah, h. 162
34Ibid.
35Ibid.,h.
29.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
22
Isa Ansori
Positivisasi Hukum Ekonomi …
bukan raja, bukan pendiri negara, dan tidak pula mengajak umat untuk
mendirikan kerajaan duniawi.Atas dasar ini, kalau ada kehidupan
kemasyarakatan yang dibebankan kepada Nabi Muhammad, maka hal itu bukan
termasuk tugas risalahnya.Karena itu, setelah beliau wafat, tidak seorang pun
yang dapat menggantikan tugas risalah itu. Abu Bakar muncul hanya sebagai
pemimpin yang bersifat duniawi (profane) atau pemimpin politik yang bercorak
kekuasaan dan pemerintahan. Dengan demikian, menurut paradigma ini,
hukum Islam tidak dapat begitu saja diterapkan dan diberlakukan dalam suatu
wilayah politik tertentu.Disamping itu, hukum Islam tidak dapat dijadikan
huum positif, kecuali telah diterima sebagai hukum nasionalnya.36
D. Metode Positivisasi Hukum Islam
Dalam konteks Indonesia, pasca kemerdekaan perjuangan ke arah
pengakuan hukum Islam tidak berhenti hanya pada tingkat pengakuan hukum
Islam sebagai subsistem hukum yang hidup di masyarakat, tetapi sudah sampai
pada tingkat lebih jauh yaitu legislasi.Sebagian tokoh Islam menghendaki
hukum Islam menjadi bagian dari sistem hukum nasional, bukan semata
substansinya, tapi secara legal formal dan positif. Fenomena ini pertama kali
muncul seiring lahirnya Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945, dimana
mencamtumkan sila pertama berbunyi: “Ketuhanan Yang Maha Esa Dengan
Kewajiban Menjalankan Syari‟at Islam Bagi Pemeluk-Pemeluknya”. Meskipun
pada akhirnya umat Islam bersedia untuk menghilangkan tujuh kata terakhir
dari piagam itu demi keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.
Dengan dasar “Ketuhanan Yang Maha Esa” pada sila pertama Pancasila,
dan Pasal 29 UUD 1945 - dimana negara menjamin kebebasan setiap penduduk
untuk menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaan masing-masing negara memberi peluang dan membangun hubungan timbal balik yang saling
memerlukan dan menguntungkan dengan semua agama di Indonesia, termasuk
Islam sebagai agama mayoritas penduduk Indonesia. Ini artinya, legislasi hukum
Islam termasuk ekonomi Islam dijamin dan diperkenankan oleh UndangUndang Dasar 1945.
Dalam kenyataan dan praktiknya, terdapat tiga sistem hukum (termasuk
hukum ekonomi) yang berlaku di Indonesia ialah Barat, adat dan Islam.Akan
tetapi, kehadiran ketiga sistem hukum itu tidak pernah mendapat kesempatan
untuk mencari titik-titik persamaan.Sebaliknya, oleh politik hukum kolonial,
justru dipertajam, dan kalau perlu diadakan pertentangan-pertentangan antara
ketiga sistem hukum itu.Karena ketiga sistem hukum itu berlaku dalam satu
masyarakat, masyarakat Indonesia, maka sejarah hukum pada masa kolonial
Belanda dipenuhi oleh sejarah perbenturan ketiga sistem hukum tersebut.37Ini
36Ibid.,
h. 29-30
Bustanul Arifin, Pelembagaan hukum Islam di Indonesia: akar sejarah, hambatan dan
prospeknya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 70.
37
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
23
Isa Ansori
Positivisasi Hukum Ekonomi …
menuntut pada perlunya perumusan kembali peraturan perundang-undangan
yang digali dari sumber asli yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah
masyarakat Indonesia.Disinilah letak pentingnya ekonomi Islam memberikan
kontribusi positif dalam perumusan hukum dan perundang-undangan ekonomi
nasional yang diidam-idamkan.
Peralihan dari ideologi hukum kolonial kepada hukum nasional
mengakibatkan
kebutuhan
dominasi
hukum
antar-personal
dalam
menyelesaikan konflik hukum di antara berbagai tradisi hukum yang
berlainan.Itu semua adalah dampak dari perubahan politik di era nasional, di
mana sentralisme negara lebih menekankan keseragaman hukum.Konflik hukum
lahir dari keragaman tatanan normatif yang muncul dalam situasi di mana
negara
dianggap
sebagai
satu-satunya
institusi
yang
mampu
menyelesaikannya.Karena itu, dalam pertemuan dengan misi nasionalisasi
hukum, negara terus menerus berusaha menggiring berbagai tradisi subtantif ke
dalam jalur tunggal. Di sini legislasi dipandang sebagai salah satu cara terbaik
untuk mencapai tujuan tersebut. Walaupun keseragaman itu sendiri tidak mesti
tercapai, namun metode legislasi mampu membantu negara dalam meredam
konflik.38Legislasi menjadi salah satu sarana paling penting untuk menyelesaikan
konflik dalam kasus-kasus hukum antar personal. Walau legislasi tidak selalu
melahirkan sebuah penyelesaian, namun dalam kebanyakan kasus ia memainkan
peran dalam mencetuskan upaya-upaya lebih lanjut penyelesaian konflik yang
muncul akibat berbagai perbedaan dalam tatanan normatif.39
Usaha meretas hukum Islam yang mempu menjawab tantangan zaman
terlihat juga dalam “Fiqh Madzhab Nasional (Madzhab Indonesia)” yang
menjelma menjadi tema pemikiran hukum Islam Hazairin selama rentang waktu
1950-an hingga 1975. Dengan dilatarbelakangi oleh adanya disharmoni antara
hukum Islam dengan tradisi (adat) dalam konteks ikhtiar mengintegrasikan
hukum Islam ke dalam sistem hukum Nasional, terutama upaya legislasi hukum
Islam yang dapat dipakai sebagai acuan perundang-undangan di lingkungan
Peradilan Agama, tema pemikiran hukum Islam ini jelas bisa dikatakan sebagai
usaha merespons tantangan pembangunan.40
Namun pada umumnya, metode yang dikembangkan dalam menangani
isu penerapan hukum Islam biasanya masih bertumpu pada pendekatan yang ad
hoc dan terpilah-pilah (fragmented) dengan mengeksploitasi prinsip-prinsip ushul
fiqh lama, terutama takhayyur dan talfiq. Takhayyur adalah suatu motede
yurisprudensi yang menurutnya seorang Muslim dalam suatu situasi spesifik
diizinkan keluar dari penafsiran madzhab hukumnya sendiri untuk mengikuti
penafsiran salah satu dari tiga madzhab Sunni lainnya. Eksploitasi metode ini
38 Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler: Studi tentang Konflik dan Resolusi Sistem
Hukum Indonesia, (Ciputat: Pustaka Alvabet., 2008), h. 370-1.
39Ibid., h. 390
40 Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia: Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris,
(Yogyakarta: LKiS, 2005), h. 172.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
24
Isa Ansori
Positivisasi Hukum Ekonomi …
dalam isu penerapan syariat bahkan diperluas cakupannya untuk memilih opini
di luar madzhab Sunni yang empat, atau opini para pakar hukum sebelum
terkristalnya mazhab, atau opini pakar yang belakangan. Sementara talfiq adalah
suatu metode yang dengannya pandangan-pandangan berbagai mazhab atau
yuris Muslim dikombinasikan untuk membentuk suatu peraturan tunggal.
Sebagaimana takhayyur, talfiq juga diperluas cakupannya dengan memasukkan
pandangan-pandangan di luar madzhab Sunni yang empat.41
Menurut Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Pangabean, penerapan
metode seleksi (takhayyur) dan eklektik (talfiq) akan menghasilkan pranatapranata hukum yang serampangan, arbitrer dan self-contradictory. Memungut
fragmen-fragmen opini masa lalu yang terisolasi – tanpa melihat akar sosiohistorisnya – kemudian menyusunnya ke dalam sejénis mosaik yang arbitrer
dengan menyelundupkan ke bawah permukaannya berbagai struktur ide yang
diadopsi dari Barat tanpa mempertimbangkan kontradiksi atau inkonsistensinya,
jelas merupakan upaya legislasi yang artifisial dan tidak realistis.42 Fazlur
Rahman, pemikir neo-modernis dari Pakistan, bahkan mengkritik secara pedas
kecenderungan penerapan metode seleksi dan eklektik dalam legislasi Islam
Modern. Rahman mengakui bahwa pada taraf terbatas, prosedur semacam itu
mungkin dapat diterapkan terhadap masalah-masalah tertentu tanpa merugikan
asas-asas reformasi Islam, asalkan tuntutan konsistensi-internal tidak
dikorbankan. Akan tetapi, penerapannya dalam skala besar-besaran pasti akan
mengorbankan modernisme di atas altar tradisionalisme dan membuat ijtihad
betul-betul pleonastic, karena metode tersebut menengok ke belakang, bukan ke
depan.43
Sementara itu menurut an-Nabhani, Tatkala negara melegalisasi hukum
apapun, pengambilannya harus berdasarkan pertimbangan dalil syar‟i yang kuat
disertai pemahaman yang tepat mengenai peristiwa yang sedang terjadi.Karena
itu, tindakan pertamayang dilakukan oleh negara hendaknya mengkajiperistiwa
yang dihadapi.Sebab, memahami secarabenar setiap peristiwa merupakan
halyang sangat penting dan diperlukan.Negara jugaharus memahami
hukumsyari‟atIslam yangberkaitan dengan peristiwayang dihadapinya,
disamping mengkaji dalil hukum syari‟at itu.Baru setelah itu, negara
melegalisasi hukum berdasarkan kekuatan dalil.Perlu diperhatikan disini bahwa
yudifikasihukum-hukum syari‟atIslam bisa diambil dari pendapat salah seorang
mujtahid, setelah mengetahui dalilnya danmerasa puasterhadap kekuatan dalil
tersebut.Bisa juga diambil (secaralangsung) dari Kitab, Sunah, Ijma‟
atauQiyas.Namun harus melalui ijtihad yang syar‟i, sekalipun berupa ijtihad
masalah (ijtihad juz‟i). Misalnya, jika Daulah Islam ingin melegalisasikan
41 Taufik Adnan Amal, Samsu Rizal Pangabean, Politik Syariat Islam: dari Indonesia hingga
Nigeria, (Ciputat: Pustaka Alvabet, 2004),h. 182.
42Ibid.
43Ibid., h. 183
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
25
Isa Ansori
Positivisasi Hukum Ekonomi …
hukummengenai larangan asuransibarang, maka pertama-tama negara
harusmempelajariapayang dimaksud denganasuransibarang, agardiketahuinya
secara benar. Kemudian mempelajari sarana-sarana penguasaan pemilikan.Dan
terakhir diterapkan hukum Allah mengenai hak pemilikan pada jenis
asuransiitusekaligus melegalisasikan hukumsyara‟ untuk masalah tadi.44
Panitia khusus yang dibentuk oleh pemerintahah Mesir untuk merubah
undang-undang di negara itu, mengukuhkan pasal 2-nya45 dengan
mengharuskan legislatif kembali pada syariat Islam guna mencari tujuantujuannya, dengan keharusan tidak kembali pada syariat selainnya (Islam). Jika
dalam syariat Islam tidak ditemukan suatu hukum yang jelas dan terang, maka
jalan yang tepat untuk menetapkan hukum-hukum sosial dan syariat Islam
adalah hendaknya legislatif menetapkan hukum yang sesuai dan yang tidak
bertentangan dengan dasar-dasar dan prinsip-prinsip universal syariat Islam,
dengan sumber-sumber syariat Islam yang fundamental adalah Al-Qur‟an, hadis,
ijma‟, dan fiqh, disamping ada beberapa sumber lain yang masih diperselisihkan
oleh berbagai madzhab, seperti al-maslahah al-mursalah, „urf, istihsan, dan
sebagainya.46 Juga menetapkan bahwa hukum yang ketetapan dan dalalahnya
pasti (qath‟iy al-śubut wa al-dalâlah), tidak menerima pembahasan atau ijtihad,
sedangkan hukum yang masih menerima ijtihad, ialah hukum yang ketetapan
atau dalalhnya zhanniy (dzanniy al-śubut wa al-dalâlah). Hukum-hukum yang
masih menerima ijtihad (al-ahkâm al-ijtihâdiyyah) itu mengalami perubahan sesuai
dengan perubahan waktu dan tempat, suatu hal yang melahirkan adanya
beberapa madzhab dalam Islam, bahkan beberapa pendapat dalam satu
madzhab.Inilah yang memberikan fiqh Islam elastis dan dinamis,
memungkinkan syariat Islam tetap berlaku di segala tempat dan waktu.47
Dalam konteks Indonesia, metode baru penerapan syariat termasuk dalam
system bernegara termasuk ekonomi diperkenalkan oleh Partai Keadilan
Sejahtera. Strategi Partai Keadilan berpendapat bahwa berjuang untuk
penggabungan syari'at dalam konstitusi diperlukan satu set langkah persiapan,
yang dikenal sebagai tadarruj(pentahapan). Langkah pertama adalah
menciptakan personalitas setiap individu yang Islami (takwin al-syakhşiyyah alIslâmiyyah), berkait dengan motto yang populer: “Jika Anda ingin mendirikan
negara Islam, mulailah dengan mendirikan Islam di dalam diri Anda”. Langkah
Taqyuddin an-Nabhani, Peraturan Hidup Dalam Islam, Penerjemah, Abu Amin dkk,
(Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia, 2007), h. 136-7
45Pasal 2 berbunyi “Islam adalah agama negara dan bahasa Arab adalah bahasa resmi, dan dasardasar syariat Islam adalah sumber utama (al-mashdar ar-ra‟isi) legislasi hukum Islam”. Sebelumnya
beberapa usulan diajukan untuk mengamandemen pasal ini, sebagian menguatkan pentingnya
bersandar pada syariat Islam pada saat penetapan legislasi, dan sebagian yang lain menguatkan
pentingnya menerapkan prinsip-prinsip syariat ini dengan menyatakan bahwa tidak ada paksaan
dalam agama dan tidak adanya pembedaan di antara orang-orang Mesir karena mereka berbeda
agama, dan tunduknya orang-orang non Muslim pada syariat agamanya masing-masing.
46 Muhammad Sa‟id „Ashmawi, Nalar Kritis Syariah, Penerjemah, Luthfi Tomafi,
(Yogyakarta: LKIS, 2004),h. 218.
47Ibid.
44
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
26
Isa Ansori
Positivisasi Hukum Ekonomi …
berikutnya adalah dakwah individu (dakwah farḍiyyah), khususnya
mengislamkan keluarga (takwin al-bait al-muslim), diikuti oleh gerakan sosial
dakwah terhadap masyarakat (irsyad al-mujtama‟ wa iṣlâhuhu). Gerakan ini dibagi
ke dalam gerakan legislasi, mengacu kepada perjuangan di parlemen dan
legislasi hukum Islam satu per satu, setelah itu, perjuangan konstitusional,
mengacu kepada penulisan peristilahan syariah ke dalam konstitusi.Dua langkah
terakhir adalah usaha untuk memulihkan khilafah islamiah (I‟adatu kayan alkhilâfah al-islâmiyah), dan paling akhir, menciptakan Islam sebagai dasar
peradaban manusia (utadziyyat al „âlam).48
E. Kesimpulan
Dalam era globalisasi saat ini, positivisasi hukum ekonomi adalah suatu
keniscayaan. Positivisasi hukum ekonomi tidak lagi menjadi domain Negara
komunis tetapi juga telah dipraktikkan oleh Negara-negara kapitalis liberal, ini
tidak lain bertujuan untuk melindungi kepentingan ekonomi setiap Negara dari
persaingan bisnis global yang semakin ketat.
Hukum ekonomi Islam (Syariah), sebagai sumber hukum yang
keberadaannya dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945, sudah saatnya
didorong untuk menjadi hukum positif yang mengatur bisnis ekonomi syariah di
Indonesia, tidak parsial tetapi dalam sekala yang lebih komprehensif sebagai
bagian mewujudkan tujuan masyarakat adil makmur dan sejahtara. Negara
berperan penting untuk mendorong positivisasi ini meggunakan beberapa
pendekatan dan metode yang lebih diterima oleh masyarakat Indonesia.
Daftar Pustaka
Abu al-A‟la al-Mawdudi, Islamic Law and Constitution, Lahore: 1967
Abu al-Hasan al-Mawardiy, al-ahkâm al-Sulthaniyyah, Beirut: Dar al-Fikr, tt.
Adi Sulistiyono, Muhammad Rustamaji, Hukum Ekonomi Sebagai Panglima,
Sidoarjo: Masmedia Buana Pustaka, 2009
Bernard Platzdasch, Islamism in Indonesia: Politics in the emerging democracy, Pasir
Panjang Singapore: Institute of Southeast Asian Studies ISEAS
Publishing, 2009
Bustanul Arifin, Pelembagaan hukum Islam di Indonesia: akar sejarah, hambatan dan
prospeknya, Jakarta: Gema Insani Press, 1996
Elsi Kartika Sari, Advendi Simangungsong, Hukum dalam Ekonomi, Ed.2., Jakarta:
Grasindo, 2007
Imam Khomeini, Islam and Revolution: writings and declarations of Imam Khomeini,
Terjemahan dan anotasi Hamid Algar, Berkeley: 1981
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, Jakarta: Kompas Penerbit Buku, 2010
Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara: Perspektif modernis dan fundamentalis,
Magelang: Yayasan Indonesiatera, 2001
Bernard Platzdasch, Islamism in Indonesia: Politics in the emerging democracy, (Pasir
Panjang Singapore: Institute of Southeast Asian Studies ISEAS Publishing, 2009), h. 203.
48
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
27
Isa Ansori
Positivisasi Hukum Ekonomi …
Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia: Dari Nalar Partisipatoris Hingga
Emansipatoris, Yogyakarta: LKiS, 2005
Marzuki Wahid, Rumadi, Fiqh madzhab negara: kritik atas politik hukum Islam di
Indonesia, Yogyakarta: LKiS, 2001
Muhammad Sa‟id „Ashmawi, Nalar Kritis Syariah, Penerjemah, Luthfi Tomafi,
Yogyakarta: LKIS, 2004
Panduan bantuan hukum di Indonesia: pedoman anda memahami dan menyelesaikan
masalah hukum, Jakarta: YLBHI, 2007
Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler: Studi tentang Konflik dan Resolusi
Sistem Hukum Indonesia, Ciputat: Pustaka Alvabet., 2008
Taqyuddin an-Nabhani, Peraturan Hidup Dalam Islam, Penerjemah, Abu Amin
dkk, Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia, 2007
Taufik Adnan Amal, Samsu Rizal Pangabean, Politik Syariat Islam: dari Indonesia
hingga Nigeria, Ciputat: Pustaka Alvabet, 2004
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
28
PEMBERIAN ASI; UPAYA PEMENUHAN HAK ANAK
ANTARA REGULASI DAN IMPLEMENTASI
Enizar
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Jurai Siwo Metro Lampung
Abstrak
Salah satu hak bayi untuk menjamin keberlangsungan kehidupannya dan tumbuh
kembangnya secara optimal adalah dengan mendapatkan ASI. ASI merupakan makanan
yang paling tepat untuk bayi, karena Allah telah mempersiapkan jauh sebelum si bayi
lahir ke dunia ini. Selain komposisinya yang sesuai untuk pertumbuhan bayi yang bisa
berubah sesuai dengan kebutuhan pada setiap saat, ASI juga mengandung zat pelindung
yang dapat menghindari bayi dari berbagai penyakit infeksi. Orang tua dalam hal ini ibu
mempunyai kewajiban untuk memberikan ASI kepada anaknya. Baik hukum yang
bersumber dari al-Qur‟an dan hadis atau pun hukum yang disandarkan pada regulasi
yang ada di negara Indonesia menjelaskan hak bayi tersebut. Namun, dalam realitasnya
banyak bayi yang tidak mendapatkan haknya, bayi tidak mendapatkan ASI tetapi diberi
makanan pengganti ASI atau susu formula yang sebagian besar berasal dari ASPI (air
susu sapi).
Fenomena ini menunjukan adanya pelanggaran hak anak untuk
mendapatkan makanan yang cocok. Dari pengkajian terhadap ayat dan hadis, serta
aturan yang mengatur tentang pemberian ASI bahwa Ibu mempunyai kewajiban untuk
memberikan ASI-nya sebagai makanan pokok bayinya, selama 2 (dua) tahun dan minimal
sampai bayi berusia 6 bulan. Ketika Ibu kandung tidak dapat melaksanakan kewajibannya
dengan alasan akan membahayakan bagi diri atau anaknya, Islam memberikan tuntunan
untuk membayar Ibu lain yang dapat memberikan ASI. Islam mengarahkan agar anak
tetap mengkonsumsi ASI. Berbeda dengan hukum yang ada di Indonesia, ketika ibu tidak
dapat memberi ASI kepada bayinya, maka orang tua menggunakan makanan penggganti
ASI yaitu susu formula atau donor ASI. Tidak memberikan ASI kepada bayi sama halnya
dengan melanggar hak anak. Oleh sebab itu, orang tua harus mengikuti ketentuan yang
oleh Islam 15 abad yang lalu telah memberikan solusi untuk pemberian ASI dari ibu
kandung atau pun ibu susu. Dalam aturan di Indonesia ASI dari ibu kandung atau
Donor ASI.
Kata kunci : Hak Anak, ASI, Susu Formula, Ibu susu
B. Pendahuluan
Manusia dalam menjalani kehidupannya di dunia ini dimulai dari masa
bayi. Bayi sangat tergantung kepada ibunya atau orang di sekitarnya. Salah satu
kebutuhan pokok bayi adalah mendapatkan kebutuhan dasar hidupnya yaitu
mendapatkan air susu ibu (ASI). Air susu ibu (ASI) merupakan makanan pokok
bayi karena Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang telah
mempersiapkan ASI sebelum bayi lahir. Sebagai makanan pokok yang disiapkan
oleh Khaliq, tentu saja ASI mengandung semua zat yang dibutuhkan oleh bayi
dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Sebagai warga negara Indonesia,
negara memberikan jaminan yang diberikan negara agar bayi mendapatkan
haknya. Dalam berbagai regulasi yang ada mulai dari UUD 1945, UU No. 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan
Enizar
Pemberian ASI; Upaya…
Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 03 Tahun 2010
Tentang Penerapan Sepuluh Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui.
Dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa setiap anak
berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
UUD 1945 secara tegas
menjelaskan ada hak setiap anak dalam hal ini termasuk bayi, untuk
mendapatkan asupan makanan yang sesuai dengan perkembangan pisiknya.
Bayi dengan demikian berhak mendapatkan ASI agar bayi dapat tumbuh dan
berkembang dengan baik.
Selain itu menurut Undang Undang No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,
pada pasal 128 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap bayi berhak mendapatkan Air
Susu Ibu Eksklusif 49 sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan. Bayi setelah 30
menit dari kelahirannya50 sampai 6 (enam) bulan bayi hanya diberikan air susu
ibu saja tanpa makanan atau minuman lain. Setelah usia 6 bulan, anak tetap
menerima pemberian ASI dengan makanan tambahan sampai anak berusia 2
tahun.
Dalam ayat (2) pasal 128 Undang Undang No.36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan juga menyebutkan bahwa selama pemberian Air Susu Ibu, pihak
keluarga, pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat harus mendukung
ibu bayi secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus.
Konsistensi terhadap ketentuan di atas diiringi dengan ditetapkannya
Undang-Undang No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Pada pasal 29 huruf i
Rumah Sakit diwajibkan untuk menyediakan sarana prasarana umum yang
antara lain sarana untuk wanita menyusui dan anak-anak. Secara nyata
sekarang di berbagai fasilitas umum seperti mall, bandara, dan fasilitas umum
lainnya disediakan ruangan khusus untuk ibu menyusui. Sehingga dengan
fasilitas tersebut ibu yang menyusui dapat memberikan ASInya di tempat
khusus secara leluasa dan aman.
Undang undang No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pun
memberikan pesan yang sama, pada pasal 44 ayat (1) menyatakan bahwa
Pemerintah wajib menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan upaya kesehatan
yang komprehensif bagi anak, agar setiap anak memperoleh derajat kesehatan
yang optimal sejak dalam kandungan.
Meskipun regulasi yang mengatur hak bayi untuk mendapatkan ASI
sampai usianya 2 (dua) tahun telah sangat jelas dengan segala fasilitas
pendukungnya, namun dalam realitasnya masih banyak ibu yang tidak
memberikan ASI kepada anak bayinya dan menggantinya dengan susu formula
49Air susu Ibu Eksklusif adalah pemberian hanya air susu ibu saja tanpa makanan atau
minuman lain kepada bayi sejak lahir sampai berusia enam bulan Pasal 1 ayat 3 Permen PP dan
PA, h. 2
50 Lampiran Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No. 02
tahun 2010 tentang Penerapan Sepuluh Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui, h.22
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
30
Enizar
Pemberian ASI; Upaya…
(sufor).51 Berdasarkan hasil survey yang menjadi latar belakang disusunnya
Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik
Indonesia Nomor 03 Tahun 2010 Tentang Penerapan Sepuluh Langkah Menuju
Keberhasilan Menyusui terlihat bahwa data Survey Demografi dan Kesehatan
Indonesia (SDKI) tercatat bahwa cakupan ASI Eksklusif sebesar 38% (SDKI,2007),
menurun dari kondisi tahun 2002-2003 yaitu 39,5% dari keseluruhan bayi,
sementara jumlah bayi di bawah 6 bulan yang diberi susu formula meningkat
dari 16,7% (SDKI 2002-2003) menjadi 27,9% (SDKI,2007). Hal ini disebabkan
antara lain masih adanya stigma dan stereotipe bahwa menyusui merupakan
urusan perempuan/ibu saja yang selama ini masih melekat dengan erat di
sebagian besar masyarakat Indonesia. 52
Pandangan yang sangat bias gender, karena meskipun pada hakikatnya
perempuan yang memiliki kodrat untuk menyusui, namun laki-laki sangat
berperan penting dalam memberikan dukungan bagi ibu untuk terus menyusui
sehingga tercapai keberhasilan menyusui eksklusif hingga usia anak 6 bulan dan
dilanjutkan dengan ASI dan Makanan Pendamping ASI hingga anak berusia dua
tahun.
Disamping itu, masih rendahnya pengetahuan ibu dan keluarga tentang
pentingnya pemberian ASI Eksklusif di satu sisi dan di sisi lain, gencarnya
promosi atau iklan susu formula yang sangat menarik dan menggoda, sehingga
si ibu terdorong untuk menggunakan susu formula. Hal ini menjadi kendala
dalam Upaya Peningkatan Pemberian ASI Eksklusif. Dengan demikian
keberhasilan dan kelancaran ibu dalam menyusui memerlukan kondisi
kesetaraaan antara laki-laki dan perempuan.
Faktor lain yang juga ikut memberikan sumbangan pada belum
optimalnya pemberian ASI, karena pada kenyataannya masih ada beberapa
fasilitas pelayanan kesehatan yang belum menerapkan upaya-upaya penerapan
sepuluh langkah menuju keberhasilan menyusui. Tenaga kesehatan pada
beberapa fasilitas pelayanan kesehatan belum mendapatkan keterampilan untuk
memberikan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) kepada ibu hamil dan
menyusui tentang teknik pemberian ASI yang baik dan benar selama berada di
sarana pelayanan kesehatan. Selain itu belum semua suami, keluarga,
masyarakat, tempat kerja berperan dalam mendukung penerapan sepuluh
langkah menuju keberhasilan menyusui.
Berdasarkan kenyataan tersebut, dalam menghadapi situasi dan kondisi
sekarang, perlu untuk memahami substansi pemberian ASI yang sesungguhnya.
Sehingga pemberian ASI bukan hanya dari ibu kandung sendiri. Dalam Islam,
51 Susu Formula Bayi adalah susu yang secara khusus diformulasikan sebagai pengganti
ASI untuk Bayi sampai berusia 6 (enam) bulan. (Peraturan Pemerintah No. 33 2012, tentang
Pemberian ASI Eksklusif Pasal 1 ayat 5)
52 Lampiran Kepmen PP dan PA, h. 8
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
31
Enizar
Pemberian ASI; Upaya…
ada isyarat dari Q.S. Baqarah [2]: 233 yang membenarkan ASI lain.53 Ayat ini
memberikan prioritas memberikan ASI ditujukan kepada ibu kandung, namun
di penghujung ayat Allah memperbolehkan Air Susu Ibu lain (Ibu Susu). Ayat ini
dapat dijadikan sebagai legalisasi terhadap kebolehan untuk pemberian ASI
kepada anak sampai usia 2 tahun, baik dari ibu kandung atau pun ibu susu.
Untuk keperluan itu, ayat dan Hadis yang mengatur tentang hadiah harus
dipahami sesuai dengan konteksnya dan komprehensif.
Berdasarkan keterangan di atas, dalam pemberian ASI, ada kemungkinan
dari Ibu kandung atau Ibu Susu, namun dalam realitasnya sangat jarang Ibu
kandung menggunakan jasa Ibu Susu dan lebih memilih susu formula yang dari
berbagai aspeknya susu formula tentu saja tidak dapat sebagai pengganti ASI..
Permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah bagaimana pemenuhan
kebutuhan anak terhadap ASI menurut hukum positif dan hukum Islam ?
Pembahasan ini bertujuan untuk mengetahui pemberian ASI sebagai
pemenuhan hak bayi menurut hukum positif dan Islam dan solusi yang
ditawarkan kepada Ibu Kandung yang tidak bisa memberikan ASI bagi anaknya.
Hasil pembahasan ini diharapkan bermanfaat bagi akademisi untuk mengetahui
tentang pemberian ASI sebagai upaya pemenuhan hak anak. Bagi ibu, dapat
memberikan alternatif agar ASI tetap menjadi makanan pokok bayi meskipun
ibu kandungnya tidak bisa memberkan ASI nya.
Untuk menjawab permasalahan di atas, ketentuan dalam peraturan yang
berlaku dan keterangan yang diberikan oleh Rasulullah Saw. merupakan suatu
yang urgen untuk diperhatikan dan diungkapkan, karena terdapat beberapa
alasan normatif dan logis tentang itu. Pertama, secara normatif, Rasulullah Saw.
telah dinyatakan Allah sebagai teladan.54 Pada masa sekarang, untuk dapat
meneladani Rasulullah Saw. tentu hanya bisa dilakukan melalui penelusuran
terhadap Hadis yang ditinggalkannya. Begitu juga, secara eksplisit dinyatakan
oleh Rasulullah Saw. bahwa Hadis merupakan pedoman, selain Al-Qur'an yang
harus diperhatikan dan diamalkan oleh umat Islam yang tidak menginginkan
keluar jalur yang sudah ditetapkan Allah.55
Sumber data pembahasan ini adalah regulasi yang berlaku di negara
Indonesia. Sebagai umat Islam sumber data yang digunakan adalah kitab-kitab
tafsir, hadis yang telah dinyatakan sebagai kitab standar dan kitab fiqh.
Untuk menganalisis data dipergunakan content analysis. Analisis kontent
merupakan analisis terhadap isi atau pesan yang dapat disamakan dengan
53 “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan. Ayah wajib memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma‟ruf.
….Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan,
maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada
dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah
dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”
54 Q. S. al-Ahzab/33: 21
55 Malik bin Anas, al-Muwatha‟, (Beirut,
Dar al-Fikr, 1970), h. 602
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
32
Enizar
Pemberian ASI; Upaya…
analisis konteks.56 Dengan analisis kontent dapat diketahui maksud sebenarnya
dari penyampai pesan. Untuk membahas data yang ditemukan dilakukan
dengan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris.
C. Kajian Teori
Air Susu Ibu yang selanjutnya disebut ASI adalah cairan hidup yang
mengandung sel-sel darah putih, imunoglobulin, enzim dan hormon, serta
protein spesifik, dan zat-zat gizi lainnya yang diperlukan untuk pertumbuhan
dan perkembangan anak.57 Dalam PP No. 33 2012 Pasal 1 ayat 1 dijelaskan
bahwa ASI adalah cairan hasil sekresi kelenjar payudara ibu.58
Berdasarkan pengertian ASI di atas, ASI memiliki keunggulan:
1. Kadar ASI bisa berubah sesuai dengan fase-fase pertumbuhan bayi.
2. Jumlah kalori dan zat gizi berubah berdasarkan keadaan bayi saat lahir,
apakah ia lahir prematur ataukah tepat waktu. Bila bayi lahir prematur,
kadar lemak dan protein ASI lebih tinggi daripada kebutuhan bayi
umumnya, karena bayi prematur membutuhkan kalori lebih banyak.
Kenggulan yang ada pada ASI di atas tidak bisa ditemui pada susu
formula. Unsur-unsur sistem kekebalan tubuh yang dibutuhkan bayi, seperti
anticore atau sel pertahanan tubuh, sangat tersedia dalam ASI. Ibaratnya mereka
sebagai Paspampres, mempertahankan tubuh bayi yang sebenarnya asing bagi
mereka, dan melindungi sang bayi dari musuh. Selain itu, ASI merupakan
antibakteri. Perbedaanya dengan bakteri pada susu formula, bakteri bisa tumbuh
dalam susu biasa yang disimpan pada suhu kamar selama enam jam. Namun,
tidak ada bakteri yang muncul dalam ASI yang disimpan dalam suhu dan jangka
waktu yang sama.
Ilmu biologi tetap menganggap bahwa ASI sangat di butuhkan bayi dalam
perkembangan otak dan tubuhnya. Namun, sampai saat ini, dengan banyaknya
iklan susu formula membuat ibu-ibu lebih tertarij, untuk memilih susu formula
dibandingkan dengan ASI. Susu formula adalah bentuk fermentasi dan
modifikasi dari susu sapi sehingga bisa disebut Air Susu Sapi (ASPI). Di dalam
ASI, terdapat tiga unsur protein yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
ASPI. Sehingga, dampaknya masih akan dirasa sampai dewasa dalam menjaga
kesehatannya. Sebab ASI akan memperbaiki dan mempertahankan sistem
kekebalan tubuh. Ini bisa ditemukan pada air susu ibu pertama keluar atau
56 Klaus Krippendorff, Content Analysis, an Introduction to its Metodology,
(London, Sage Publication, 1980), h. 21, Noeng
1996), h. 49-51
(Yogyakarta, Rake Sarasin,
Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak
Republik Indonesia Nomor 03 Tahun 2010 Tentang Penerapan Sepuluh Langkah Menuju
Keberhasilan Menyusui pasal 1 ayat 2, h. 2
58 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2012 Tentang Pemberian
Air Susu Ibu Eksklusif , h. 2
Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif,
57
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
33
Enizar
Pemberian ASI; Upaya…
colustrum yang meningkatkan produksi antibodi, menjadi anti-oksidan dan anti
radikal bebas (free radicals), yang akan menghancurkan plasma sel.59
Selain itu, kadar 3,5-4,5 persen lemak menjadi sumber utama ASI dalam
kandungan nutrien. Kemudian karbohidrat, yang kandungan utamanya adalah
laktose, kadarnya paling tinggi dibanding susu mamalia lain (7%). Protein,
dengan kadar 0,9 persen. ASI mengandung garam dan mineral lebih rendah
dibanding susu sapi. Vitamin, ASI cukup banyak mengandung vitamin yang
diperlukan bayi. Yaitu, vitamin K yang berfungsi sebagai katalisator pada proses
pembekuan darah, dengan jumlah yang cukup, dan mudah diserap, juga
mengandung vitamin E dan D. Selnjutnya, ASI juga mengandung zat protektif.
yaitu flora normal akibat bakteri Laktobacilus sp. yang berfungsi mengubah
laktose menjadi asam laktat dan asam asetat. Keduanya bersifat asam dalam
pencernaan, yang mampu menghambat pertumbuhan mikro organisme, seperti
bakteri E.Coli. juga laktoferin, yaitu protein yang berkaitan dengan zat besi.
Dengan mengikat zat besi, maka laktoferin bermanfaat untuk menghambat
pertumbuhan kuman tertentu, seperti Stafilokokus dan Escericia sp. Kemudian
mengandung enzim yang dapat memecah dinding bakteri (Lizozim).
Antistreptokokus, yang melindungi bayi dari infeksi kuman tertentu. Antibodi,
yang dapat mencegah bakteri patogen dan enterovirus masuk kedalam usus.60
Tidak ada alasan bagi ibu untuk tidak memberikan ASI. seharusnya ibu
memberikan ASI nya untuk hak anaknya.Ibu-ibu karier yang mengetahui
keutamaan ASI dibanding makanan bayi lainnya tentu ibu tidak akan lekas
menyapih anaknya. Kalaupun tidak bisa karena tuntutan karier, apa boleh buat.
Zaman Rasulullah, pernah ada seorang ibu yang air susunya terus mengalir terus
tanpa berhenti. Yaitu Halimah, sekaligus yang menyusui Nabi Muhammad
SAW.
Ada 10 Manfaat ASI Bagi Bayi:
1. Pemberian ASI pada bayi akan meningkatkan perlindungan terhadap
banyak penyakit seperti radang otak dan diabetes.
2. ASI juga membantu melindungi dari penyakit-penyakit biasa seperti
infeksi telinga, diare demam dan melindungi dari Sudden Infant Death
Syndrome (SIDS) atau kematian mendadak pada bayi.
3. Ketika bayi yang sedang menyusui sakit, mereka perlu perawatan
rumah sakit jauh lebih kecil dibanding bayi yang minum susu botol.
4. Air susu ibu memberikan zat nutrisi yang paling baik dan paling
lengkap bagi pertumbuhan bayi.
5. Komponen air susu ibu akan berubah sesuai perubahan nutrisi yang
diperlukan bayi ketika ia tumbuh.
Lampiran Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, h.
Lampiran Permen PP dan PA, h. 12 Sunoto, Aspek imunologik daripada Air Susu Ibu
dalam Suharyono, Rulina Suradi dan Agus Finnansyah, Air Susu Ibu, Tinjauan dari beberapa Aspek.
Fakultas Kedokteran U.I., 1992.
59
60
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
34
Enizar
Pemberian ASI; Upaya…
6. Air susu ibu akan melindungi bayi terhadap alergi makanan, jika
makanan yang dikonsumsi sang ibu hanya mengandung sedikit
makanan yang menyebabkan alergi.
7. Pemberian ASI akan menghemat pengeluaran keluarga yang digunakan
untuk membeli susu formula dan segala perlengkapannya.
8. Air susu ibu sangat cocok dan mudah, tidak memerlukan botol untuk
mensterilisasi, dan tidak perlu campuran formula.
9. Menyusui merupakan kegiatan eksklusif bagi ibu dan bayi. Kegiatan ini
akan meningkatkan kedekatan antara anak dan ibu.
10. Resiko terjadinya kanker ovarium dan payudara pada wanita yang
memberikan ASI bagi bayinya lebih kecil dari pada wanita yang tidak
menyusui
Namun, ada satu hal lagi anak yang tidak diasupi air susu sapi (ASPI)
sebelum 2 tahun insyaAllah akan sangat mudah sekali diberi makanan padat,
maksudnya tidak susah makan atau tidak pilih-pilih makan. Mengingat
pentingnya ASI bagi pertumbuhan dan perkembangan anak, negara memberikan
regulasi untuk menjamin terpenuhi kebutuhan dasar bayi tersebut.
Regulasi yang mengatur tentang pemberian ASI kepada bayi adalah:
1. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 No. 109, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia No.4235);
2. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No. 125, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia No.4437), sebagaimana yang
telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang No.12
tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No.32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 No.59, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia No.4844);
3. Undang-Undang No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 No.144, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia No.5063);
4. Undang-Undang No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran
Negara Republik Indonesia No.153, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia No. 5072);
5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2012
Tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif
6. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 450/MENKES/SK/IV/2004
tentang Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Secara Eksklusif Pada Bayi di
Indonesia.
7. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 237/MENKES/SK/IV/1997
tentang Pemasaran Pengganti Air Susu Ibu
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
35
Enizar
Pemberian ASI; Upaya…
8. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Dan
Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 03 Tahun 2010 Tentang
Penerapan Sepuluh Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui
9. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 450/Menkes/SK/IV/2004
tentang Pemberian ASI Secara Ekslusif pada bayi di Indonesia
10. Peraturan Bersama Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Menteri Kesehatan nomor :
48/Men.PP/XII/2008, PER.27/MEN/XII/2008, 1177/Menkes/PB/XII/
2008 tanggal 22 Desember 2008 tentang Peningkatan Pemberian ASI
Selama Waktu Kerja di Tempat Kerja.
Di samping itu juga ada Konvensi tentang Hak Anak, mengatakan bahwa
setiap anak menyandang hak untuk hidup dan kepastian untuk dapat bertahan
hidup serta tumbuh kembang yang optimal. Untuk mencapai tumbuh kembang
optimal, di dalam Global Strategy for Infant and Young Child Feeding,
WHO/UNICEF merekomendasikan empat hal penting dalam pemberian
makanan bayi dan anak yaitu :
1. Memberikan Air Susu Ibu (ASI) kepada bayi segera dalam waktu 30
menit setelah bayi lahir,
2. Memberikan hanya ASI saja atau pemberian ASI secara eksklusif sejak
lahir sampai bayi berusia 6 bulan,
3. Memberikan Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) sejak bayi
berusia 6 bulan sampai 2 tahun, dan
4. Meneruskan pemberian ASI sampai anak berusia 2 tahun.
D. Keutamaan ASI
ASI sudah dipersiapkan oleh Allah yang Maha Mengetahui untuk bayi dan
secara ilmiah telah dibuktikan memiliki keunggulan yang sangat menakjubkan.
Keunggulan dan manfaat ASI bagi anak dapat dilihat dari beberapa aspek:
1. Aspek Gizi 61
Manfaat Kolostrum (Air Susu Ibu yang keluar pada hari-hari
pertama setelah bayi lahir) mengandung zat kekebalan terutama
Imunoglobulin A (IgA) untuk melindungi bayi dari berbagai penyakit
infeksi terutama diare. Kolostrum mengandung protein, vitamin A
yang tinggi dan mengandung karbohidrat dan lemak rendah, sehingga
sesuai dengan kebutuhan gizi bayi pada hari-hari pertama kelahiran. Di
samping itu Kolostrum membantu mengeluarkan mekonium yaitu tinja
(faeces) atau kotoran bayi yang pertama berwarna hitam kehijauan.
ASI memiliki Komposisi 62 yang mudah dicerna, mengandung zat
gizi yang sesuai, juga mengandung enzim-enzim untuk mencerna zatzat gizi yang terdapat dalam ASI ; mengandung protein yang tinggi
61
62
Lampiran Permen PP dan PA, h. 11
Kepmen PP dan PA, h. 11
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
36
Enizar
Pemberian ASI; Upaya…
2.
3.
4.
5.
dan zat-zat gizi berkualitas tinggi yang berguna untuk pertumbuhan
dan perkembangan kecerdasan bayi/anak.
ASI juga memiliki
komposisi Taurin 63, DHA64 dan AA 65
Aspek Imunologik,
ASI mengandung zat anti infeksi, bersih dan bebas kontaminasi;
ada kandungan zat yang dapat melumpuhkan bakteri patogen E. Coli
dan berbagai virus pada saluran pencernaan; Laktoferin 66 ; Lysozim 67
dan sel darah putih; 68
Aspek Psikologik 69
Rasa percaya diri ibu dan kasih sayang terhadap bayi
mempengaruhi produksi ASI; Interaksi Ibu dan Bayi akan berpengaruh
pada
pertumbuhan dan perkembangan psikologik bayi; kontak
langsung ibu-bayi akan menimbulkan rasa aman dan puas karena bayi
merasakan kehangatan tubuh ibu dan mendengar denyut jantung ibu
yang sudah dikenal sejak bayi masih dalam rahim.
Penelitian terbaru tentang manfaat air susu ibu (ASI) dari
ilmuwan Jerman menyatakan, anak yang diberi ASI berisiko rendah
mengalami depresi saat ia dewasa. 70
Aspek Kecerdasan
Pemberian ASI langsung sehingga terjadi interaksi ibu-bayi dan
kandungan nilai gizi ASI dapat meningkatkan kecerdasan bayi.71
Aspek Neurologis
Dengan menghisap payudara, koordinasi syaraf menelan,
menghisap dan bernafas yang terjadi pada bayi baru lahir dapat lebih
sempurna.
63Taurin
adalah sejenis asam amino kedua yang terbanyak dalam ASI yang berfungsi
sebagai neuro-transmitter dan berperan penting untuk proses maturasi sel otak.
64 Decosahexanoic Acid (DHA) dan Arachidonic Acid (AA) adalah asam lemak tak jenuh
rantai panjang (polyunsaturated fatty acids) yang diperlukan untuk pembentukan sel-sel otak yang
optimal
65 Kepmen PP dan PA, h. 11-12
66
Laktoferin yaitu sejenis protein yang merupakan komponen zat kekebalan yang
mengikat zat besi di saluran pencernaan.
67 enzym yang melindungi bayi terhadap bakteri (E. coli dan salmonella) dan virus.
Jumlah lysozim dalam ASI 300 kali lebih banyak daripada susu sapi.
68 Sel darah putih pada ASI pada 2 minggu pertama lebih dari 4000 sel per mil. Terdiri
dari 3 macam yaitu: Bronchus-Asociated Lympocyte Tissue (BALT) antibodi pernafasan, Gut
Asociated Lympocyte Tissue (GALT) antibodi saluran pernafasan, dan Mammary Asociated
Lympocyte Tissue (MALT) antibodi jaringan payudara ibu.
69 Kepmen PP dan PA,h. 12
70 Peneliti mempelajari 52 orang, rata-rata berusia 44 tahun, yang menjalani pengobatan
depresi di rumah perawatan, dibandingkan dengan 106 orang sehat. Hasilnya, 73 persen orang
yang tidak depresi mendapat ASI waktu bayi, dan hanya 46 persen dari yang depresi mendapat
ASI. Kompas. com
71 Penelitian menunjukkan bahwa IQ pada bayi yang diberi ASI memiliki point IQ 4,3
point lebih tinggi pada usia 18 bulan, 4 sampai 6 point lebih tinggi pada usia 3 tahun, dan 8,3 point
lebih tinggi pada usia 8,5 tahun, dibandingkan dengan bayi yang tidak diberi ASI.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
37
Enizar
Pemberian ASI; Upaya…
Dari uraian di atas terlihat jelas bahwa pemberian ASI tidak akan dapat
tergantikan oleh susu formula apapun. ASI merupakan hak ibu dan anak,
sehingga tidak ada alasan bagi ibu yang memiliki ASI untuk tidak menyusui
anaknya. Kebolehan ibu tidak menyusukan sendiri secara langsung hanya
dibolehkan dengan alasan karena ada alasan kesehatan.
E. Hasil Penelitian dan Pembahasan
ASI merupakan paket yang sudah disiapkan Allah bersamaan dengan
kehidupan bayi. Islam sejak masa awal tasyri‟ telah memberikan aturan tentang
pemberian ASI kepada anak bayi. Dalam Q.S. al-Baqarah ayat 233 Allah
berfirman:
‫ وإٌ أردجى أٌ جسحرضعىا أوالدكى فال جُاح‬...‫وانىاندات يرضعٍ أوالدهٍ حىنيٍ كايهيٍ نًٍ أراد أٌ يحى انرضاعة‬
‫عهيكى إذا سهًَّحى يا آجيحى بانًعروف‬
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu
bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi
makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma‟ruf. Seseorang tidak dibebani
melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita
kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun
berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun)
dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas
keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak
ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.
Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa
yang kamu kerjakan (Al-Baqarah [2]: 233)
Berdasarkan ayat di atas, ibu kandung diperintah Allah untuk memberikan
ASI kepada bayinya. Menurut Rasyid Ridha: Ibu wajib memberikan ASI kepada
anaknya selama tidak ada uzur syar‟i seperti ibu mengidap penyakit yang akan
berbahaya bagi anak ketika mengkonsumsi ASInya. Akan tetapi, kewajiban ini
tidak menghalangi orang tua untuk memberikan bayaran kepada ibu lain yang
mau memberikan ASInya kepada anaknya asal tidak mendatangkan
kemudaratan bagi bayi.72
Ulama Fiqh sepakat bahwa ibu wajib memberikan ASI kepada anak yang
dilahirkannya. Adanya kewajiban tersebut karena bagi bayi ASI merupakan
makanan pokok dan tidak ada pilihan lain yang cocok untuk dirinya. Menurut
Malikiyah, Qadi dapat memaksa ibu yang tidak mau memberikan ASI kepada
anaknya tanpa alasan Syar‟i kecuali perempuan bangsawan yang kaya yang
Muhammad Rasyid ibn „Ali Riḍa (w. 1354 H) (selanjutnya disebut Rasyid Riḍa, Tafsir alQur‟an al-Hakim (al-Manar), 1990, juz 2, h. 325
72
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
38
Enizar
Pemberian ASI; Upaya…
dapat mencarikan ibu lain untuk memberikan ASI kepada anaknya.73 Namun,
ibu diwajibkan memberikan ASI pada 3 kondisi yaitu: 74
1. Bayi hanya mau menyusu dengan ibu dan tidak mau dengan ibu yang
lain.
2. Tidak ada yang bisa memberikan ASI selain ibu, maka ibu wajib
memberikan ASI
3. Tidak ada bapak sehingga hanya ibu yang dapat melakukannya atau
bapak tidak mempunyai kemampuan financial untuk membayar orang
lain untuk menyusukannya.
Bahkan untuk menjamin keberlanjutan pemberian ASI bagi ibu yang sudah
bercerai dengan suaminya, maka ibu si bayi berhak mendapatkan bayaran dari
mantan suaminya. Hal itu secara eksplisit diatur Allah di dalam Q.S. alŢalāq/65:6 dan Q.S. al-Baqarah/2: 233. Bahkan ibu lain yang akan memberikan
ASI kepada bayinya pun berhak menerima bayaran yang wajar.
Dalam ayat tersebut di atas ASI bukan hanya diberikan oleh ibu
kandungnya yang masih menjadi isteri ayahnya atau yang dalam iddah talak
raj‟i, karena ada kebolehan memberikan ASI dari ibu lain.
Keharusan
memberikan ASI kepada bayi telah dibuktikan oleh masyarakat Islam bahkan
sebelum Islam, yaitu dengan memberikan ASI lain (menyusu dengan ibu lain)
Solusi yang sangat luar biasa telah diberikan kepada manusia agar tetap
mengasup ASI meski bukan dari ibu kandung, seperti yang dialami oleh
Rasulullah sendiri dengan ibu susu Tsuaibah Al-Aslamiyah dan Halimah AsSa‟diyah di Thaif, daerah yang subur banyak ditanami sayur dan buah-buahan
serta bahasanya lembut dan bagus.
Dilihat dari pemilihan ibu susu yang akan memberikan ASI adalah ibu
yang memiliki ASI yang memenuhi syarat karena si ibu susu mengkonsumsi
buah-buahan dan sayur-sayuran yang akan berpengaruh pada kadar ASI yang
diproduksi. Begitu juga dengan Ibu lain pemberi ASI memiliki kelembutan dan
bahasa yang santun. Ibu lain yang dipilih adalah ibu yang sehat secara pisik dan
psikis.
Dalam realitas di masyarakat terdapat bayi yang tidak mendapatkan ASI
dan untuk menggantikannya bayi dipaksa mengkonsumsi susu formula. Alasan
yang sering digunakan adalah kurangnya produksi ASI, ibu bekerja dan karena
alasan kecantikan. Namun berdasarkan pengalaman Menteri Kesehatan RI
Nafsiah Mboi saat melakukan kunjungan kerja di Gorontalo, 75 bahwa banyak
orang tua di Indonesia mengabaikan Air Susu Ibu (ASI) dan dengan senang hati
menggantinya dengan air susu sapi atau bahkan tidak keduanya. Data
Kementrian Kesehatan RI menunjukkan hingga tahun 2011 satu juta anak
73 Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid, juz 2, h. 56, Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa
Adillatuh, Damaskus: Dar al-Fikr, t.t. juz 10, h. 23
74 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh h. 25 bandingkan dengan Muhammad Ali al-Sayis, Tafsir
Ayat al-Ahkam,Maktabat al-„Asriyah li Ţaba‟aṯ wa al-Nasyar, 2002, juz. 1, h. 163
75Antara News, Selasa 6/11 /2012.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
39
Enizar
Pemberian ASI; Upaya…
Indonesia masih menderita gizi buruk. Ini wajar, salah satunya karena kesadaran
orang tua untuk menyusui masih rendah.
Alasan dari ibu yang tidak menyusui bervariasi karena produksi ASI
kurang, ibu sibuk bekerja, takut bayi kurang gizi dan iklan susu formula yang
membuat para ibu terpengaruh untuk memberikan yang terbaik. Menteri
Kesehatan RI mencontohkan di Gorontalo cakupan bayi yang mendapatkan ASI
esklusif pada tahun 2011 hanya 23,2 persen, sementara Angka Kematian Bayi
(AKB) terus bertambah dari 179 orang di tahun 2007 menjadi 269 orang pada
tahun 2011. Belum lagi Angka Kematian Balita (AKBA) juga menunjukkan
kenaikan luar biasa dari 128 orang tahun 2007, menjadi 326 orang tahun 2011.
"Tidak memberikan ASI dan imunisasi merupakan kombinasi yang tepat dan
cepat untuk membunuh bayi," tukasnya.76
Untuk menjamin ibu memberikan ASI kepada bayinya, telah ditetapkan
beberapa Undang-undang dan peraturan. Pasal 5 Penerapan Sepuluh Langkah
Menuju Keberhasilan Menyusui huruf c. menetapkan ada kewajiban petugas
untuk menjelaskan kepada semua ibu hamil tentang manfaat menyusui dan
penatalaksanaannya dimulai sejak masa kehamilan, masa bayi lahir sampai
umur 2 (dua) tahun termasuk cara mengatasi kesulitan menyusui;77
Pasal 5 Huruf h. ada usaha membantu ibu menyusui semau bayi, tanpa
pembatasan terhadap lama dan frekuensi menyusui; sementara huruf i. tidak
memberikan dot atau kempeng kepada bayi yang diberi ASI;78
Di Jakarta sejak tahun 2007 telah terbentuk Asosiasi Ibu Menyusui
Indonesia (AIMI). Saat pertama kali berdiri, dalam sebulan permintaan ASI
donor melalui AIMI hanya satu-dua orang. Sekarang dalam sehari bisa ada tigaempat permintaan ASI donor,"
Ketika ibu tidak dapat memberikan ASI kepada anaknya ternyata juga
diatur dalam Regulasi tentang pemberian ASI terbaru dijelaskan bahwa dalam
hal ibu kandung tidak dapat memberikan ASI Eksklusif bagi bayinya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, pemberian ASI Eksklusif dapat dilakukan
oleh pendonor ASI.79 Namun untuk pemberian ASI dari pendonor diatur dalam
pasal 11 ayat 2: Pemberian ASI Eksklusif oleh pendonor ASI sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan persyaratan:
1. permintaan ibu kandung atau Keluarga Bayi yang bersangkutan;
2. identitas, agama, dan alamat pendonor ASI diketahui dengan jelas oleh
ibu atau Keluarga dari Bayi penerima ASI;
3. persetujuan pendonor ASI setelah mengetahui identitas Bayi yang diberi
ASI;
Antara News, Selasa 6/11/2012
Permen PP dan PA h. 3
78 Permen PP dan PA h. 4
79 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2012 Tentang Pemberian
Air Susu Ibu Eksklusif , h. 8
76
77
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
40
Enizar
Pemberian ASI; Upaya…
4. pendonor ASI dalam kondisi kesehatan baik dan tidak mempunyai
indikasi medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7; dan
5. ASI tidak diperjualbelikan.
Terkait dengan adanya larangan memperjualbelikan ASI pada huruf e di
atas diperhadapkan dengan kebolehan membayar ibu susu dapat dipahami
bahwa bayaran yang diberikan bukan untuk mencari keuntungan atau kekayaan
akan tetapi untuk meningkatkan kualitas ASI yang dimilikinya dengan
memakan berbagai makanan, minuman yang bergizi atau suplemen.
Semua persyaratan tersebut di atas sangat jelas untuk menjamin
keselamatan dan kesehatan bayi di satu sisi dan bagi umat Islam adanya
kejelasan hubungan rada‟ah 80 sebagai konsekwensi dari pemberian ASI. Islam
mempersaudarakan mereka yang sepersusuan sama dengan senasab, seperti
pesan Rasulullah SAW. dalam sabdabya:
81ِ ‫يٍَ ا ْنىالَ َد‬
َّ ‫سى ُل‬
َ ِ‫عٍَْ عَائ‬
ُ ‫شةَ قَانَثْ قَا َل نِى َر‬
َ ‫ « يَ ْ ُر ُو ِيٍَ ان َّر‬-‫صهى َّللا عهيه وسهى‬- ِ‫َّللا‬
ِ ‫ضا َع ِة َيا يَ ْ ُر ُو‬
ِ
‟Aisyah menyatakan bahwa Rasulullah SAW. bersabda menjadi muhrim karena susuan
seperti muhrim karena keturunan.
Pesan Al-Qur‟an surat al-Baqarah ayat 233 juga menjelaskan masa
pemberian ASI paling lama 2 (dua) tahun, masa tersebut juga terdapat dalam
Q.S. Luqman:14 . Rasyid Rida menjelaskan bahwa masa minimal pemberian ASI
adalah 6 bulan.
Merujuk pada aturan yang ada di negara Indonesia seharusnya tidak ada
bayi yang diberikan susu formula karena pasal 12 ayat 1 PP No. 33/2012 berikut:
82 Setiap ibu yang melahirkan Bayi harus menolak pemberian Susu Formula Bayi
dan/atau produk bayi lainnya
Demikian pula kepada ibu susu harus mengingat dan mencatat siapa saja
yang telah disusuinya. Saat anak-anaknya dewasa wajib diceritakan kepada
mereka agar tidak terjadi pernikahan dengan saudara sesusu. Bila hal tersebut
terjadi maka harus diputuskan atau dibatalkan. Peristiwa semacam itu pernah
terjadi di zaman Rasulullah Saw, diterangkan dalam Hadits riwayat Al Bukhariy:
‫ ( وسًعحه عٍ عقبة ونكُي ن ديد عبيد أحفظ ) قال جسوجث ايرأ فجاءجُا ايرأ سىداء‬: ‫عٍ عقبة بٍ ان ارخ قال‬
‫فقانث إَي قد أرضعحكًا فأجيث انُبي صهى َّللا عهيه و سهى فقهث جسوجث فالَة بُث فالٌ فجاءجُا ايرأ سىداء فقانث‬
‫إَي قد أرضعحكًا وهي كاذبة قال فأعرض عُي قال فأجيحه يٍ قبم وجهه فأعرض عُي بىجهه فقهث إَها كاذبة قال‬
83‫وكيف بها وقد زعًث أَها قد أرضعحكًا دعها عُك‬
“Dari Uqbah bin al-Harits, bahwa ia menikahi anak perempuan Abi Ihab bin
Aziz, kemudian datanglah seorang perempuan tua seraya berkata, “Sungguh
saya telah menyusui Uqbah dan perempuan yang dinikahinya.” Kata Uqbah,
“Saya tidak tahu, engkau telah menyusuiku dan engkau tidak memberitahu ku.”
Hubungan rada‟ah berdampak terhadap pengharaman menikah antara bayi yang
menjadi penerima ASI dengan Ibu Susu dan keluarganya.
81 Al-Bukhari, juz 16 h. 47, Abu al-Husain Muslim ibn al-Hajaj al-Qusyairi, al-Jami‟ al-Sahih
(Sahih Muslim), Beirut: Dar al-Jail, tt., jilid 2 juz 4, h. 162 , Turmuzi, juz 3, h. 452, Abu daud, juz 2,
177, Ibn Majah, juz 3, h. 119
82 PP no. 33/ 2012, h. 9
83 Al-Bukhari, juz 16 h. 55, Turmuzi, juz 3, h. 457
80
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
41
Enizar
Pemberian ASI; Upaya…
Lalu ia menunggang kendaraan pergi kepada Rasulullah Saw di Madinah dan
mengadukan permasalahannya kepada beliau. Rasulullah Saw menjawab, “Mau
bagaimana lagi, hal itu sudah ditetapkan.” Kemudian Uqbah memutuskan
pernikahannya dengan istrinya dan menikah dengan perempuan lain.” (HR Al
Bukhariy).
Dari hadis di atas, pesan substansial adalah ketika keputusan untuk
mengambil pemberian ASI lewat ibu lain, maka Ibu susu harus mencatat orang
yang pernah disusukannya. Masing-masing saudara sepersusuan diberi tahu.
F. Penutup
Bayi mempunyai hak untuk mendapatkan ASI sebagai makanan pokok
yang cocok untuknya. Bahkan pada 6 bulan pertama si anak tidak boleh diberi
makanan pengganti ASI (susu formula). Sampai usia 2 tahun, anak tetap
mendapatkan ASI dengan makanan tambahan. Namun dalam realitas, banyak
ibu yang menggunakan susu formula untuk bayinya bahkan sejak hari pertama
kelahirannya.
Aturan agama dan negara sudah menjamin bayi mendapatkan ASI dari ibu
kandungnya atau ibu lain. Ibu kandung yang ditalak dan ibu lain yang
memberikan ASI dibolehkan dengan imbalan yang wajar. Ada perbedaan antara
aturan agama mengenai ASI dari ibu lain yang ASI-nya diberikan langsung,
sedangkan dalam aturan negara dengan donor ASI bisa disusukan langsung atau
tidak, serta kebolehan susu formula hanya untuk ibu yang secara medis tidak
bisa memberikan ASI-nya.
Solusi yang diberikan Islam sejak 15 abad yang lalu sangat luar biasa
karena bayi hanya mendapatkan ASI meski pun tidak dari ibu kandungnya.
Adanya aturan bayaran kepada Ibu lain, jelas saling membantu. Ibu lain dengan
dana yang diterima dapat memenuhi kebutuhan gizinya dan dapat
memproduksi ASI yang berkualitas, sementara Ibu yang menggunakan ASI ibu
lain tersebut dapat menerima ASI yang berkualitas.
Dirokemendasikan kepada para ibu untuk memberikan ASI kepada
bayinya. Jika karena alasan kesehatan si ibu tidak bisa memberikan ASI maka
cara satu-satunya adalah dengan ASI dari ibu lain yang telah memenuhi kriteria.
Pemerintah Pusat dan Daerah dapat melaksanakan amanah aturan yang
telah ditetapkan. Mengawasi dan mengevaluasi sehingga ada jaminan bahwa
ASI dapat diterima oleh bayi sebagai salah satu pemenuhan haknya.
Daftar Pustaka
Abu Daud, Sulaiman bin al-Asy‟as al-Sijistani, t.t., Sunan Abi Daud, juz 2,
Ali al-Sayis , Muhammad, Tafsir Ayat al-Ahkam,Maktabat al-„Asriyah li Ţaba‟aṯ
wa al-Nasyar, 2002, juz. 1
Antara News, Selasa 6/11 /2012.
Bukhari, Muhammad bin Isma‟il Al-, Sahih al-Bukhari, juz 16
Ibn Majah, Abi „Abdillah Muhammad ibn Yazid al-Qazwini,. T.t., Sunan Ibn
Majah. juz 3
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
42
Enizar
Pemberian ASI; Upaya…
Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid, juz 2
Klaus Krippendorff, Content Analysis, an Introduction to its Metodology, (London,
Sage Publication, 1980
Kompas. com
Malik bin Anas, al-Muwatha‟, Beirut, Dar al-Fikr, 1970
Muslim, Abu al-Husain ibn al-Hajaj al-Qusyairi, al-Jami‟ al-Sahih (Sahih Muslim),
Beirut: Dar al-Jail, tt., jilid 2 juz 4
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta, Rake Sarasin, 1996
Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak
Republik Indonesia Nomor 03 Tahun 2010 Tentang Penerapan Sepuluh
Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui
Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No. 02
tahun 2010 tentang Penerapan Sepuluh Langkah Menuju Keberhasilan
Menyusui
Peraturan Pemerintah No. 33 2012, tentang Pemberian ASI Eksklusif
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2012 Tentang
Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif
Rasyid Riḍa, Muhammad Ibn „Ali (w. 1354 H) Tafsir al-Qur‟an al-Hakim (alManar), 1990, juz 2
Sunoto, Aspek imunologik daripada Air Susu Ibu dalam Suharyono, Rulina
Suradi dan Agus Finnansyah, Air Susu Ibu, Tinjauan dari beberapa Aspek.
Fakultas Kedokteran U.I., 1992.
AL-Turmuzi, Abu „Isa Muhammad ibn „Isa ibn Tsaurat, t.t., Sunan al- Turmuzi
(Jami‟ al-Shahih), juz 3
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Damaskus: Dar al-Fikr, t.t. juz
10
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
43
KONTROVERSI PEMBARUAN HUKUM ISLAM:
MELACAK RESPON MASYARAKAT MUSLIM INDONESIA TERHADAP
COUNTER LEGAL DRAFT (CLD) ATAS KHI
Tobibatussaadah
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Jurai Siwo Metro Lampung
Abstrak
Polemik tentang rancangan Counter Legal Draft (CLD) Kompilasi Hukum Islam
(KHI) yang terjadi pada tahun 2004, meski sudah lama dan tim worknya telah
dibubarkan, akan tetapi dalam perspektif perkembangan pembaruan pemikiran hukum
Islam di Indonesia merupakan sebuah wacana baru yang cukup menarik. Dalam beberapa
diktum yang terdapat dalam rancangan pasal-pasal Counter legal Draft KHI tersebut
secara tegas menyatakan bahwa rancangan tersebut juga dimaksudkan untuk
mempejuangkan masalah kesetaran gender (al-Musawa al-Jinsiyyah), liberalisasi hukum,
demokratisasi dan sebagainya.Gagasan pembaruan hukum Islam yang ditawarkan oleh
TPG melalui proyek CLD---khusunya menyangkut hukum keluarga dalam Islam----merupakan fenomena baru dalam spektrum pembaruan hukum Islam di Indonesia pada
era Reformasi. Tetapi tampaknya gagasan pembaruan hukum Islam tersebut, belum
banyak menyentuh kebutuhan riil masyarakat Muslim, sehingga tidak banyak mendapat
“tempat” dan berkenan dalam masyarakat Muslim Indonesia. Mungkin dalam tataran
wacana dalam rangka memperkaya khazanah intelektual hukum Islam kontemporer di
Indonesia, CLD masih bisa ditolelir, akan tetapi dalam konteks praksis tampaknya masih
perlu dikaji ulang secara seksama. Dalam perspektif lain tampaknya “fiqh lama” yang
diformulasikan oleh para imam madzhab klasik Islam tetap kuat pengaruhnya, walaupun
ada upaya untuk mereformasi bagian susbtansial dari wacana fiqh itu, tetapi tidak
berhasil dengan baik.
Kata Kunci: CLD, Pembaruan, KHI
A. Pendahuluan
Polemik tentang rancangan Counter Legal Draft (CLD) Kompilasi Hukum
Islam (KHI) yang terjadi pada tahun 2004 merupakan sebuah wacana baru
yang cukup menarik dalam perspektif perkembangan pembaruan pemikiran
hukum Islam di Indonesia. Pada awalnya gagasan pembaruan hukum Islam
tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa terdapat berbagai kelemahan dalam
pasal-pasal yang dalam KHI, hal yang paling kentara adalah adanya anggapan
bahwa KHI kurang responsif terhadap perkembangan zaman, problematis, dan
sarat dengan nuasa “bias gender” dalam berbagai pasalnya.84
Secara realitas ide pembaruan KHI tersebut merupakan gagasan sebuah
tim yang menamakan diri “Pengarusutamaan Gender” (PUG) Departemen
Agama, yang bermaksud mengkritisi KHI dalam rangka memperbarui isi dari
84 Dalam CLD disebutkan bahwa KHI merupakan produk kebijakan hukum pemerintah
dan nuansa pemikiran fiqhnya sangat dipengaruhi oleh fikih madzhab Syafi‟i sehingga terlihat
tidak akrab dengan hukum nasional maupun internasional yang memiliki ciri egaliter, pluralis,
dan demokratis. Dan disinyalir bahwa pasal-pa
sal dalam KHI mengandung potensi sebagai penghambat laju gerak demokrasi di
Indonesia. Tim Pengarusutamaan Gender Depag, Pembaruan Hukum Islam Counter Legal Draft KHI,
(Jakarta: Depag, 2004), h. 9.
Tobibatussaadah
Kontroversi Pembaruan Hukum…
pada KHI untuk disesuaikan dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat
Indonesia, dan proyek ini disponsori oleh
The Asia Foundation (TAF).85 Pada
akhirnya sebenarnya proyek revisi KHI ini juga dimaksudkan untuk
meningkatkan status KHI, dari sekadar kompilasi hukum meningkat menjadi
UU. Jadi dalam perspektif ini, CLD bisa dianggap semacam RUU. Namun
dalam realitasnya ternyata rancangan revisi KHI tersebut mendapat kritik yang
keras dari berbagai pihak, antara lain dari MUI, dan para pakar hukum Islam di
Indonesia, dan akhirnya dibatalkan sendiri oleh Menteri Agama RI.86
Melihat kontroversi CLD tersebut maka sangat menarik untuk melihat
respon masyarakat Muslim menyikapi kasus kontroversial tersebut. Karena
dalam beberapa diktum yang terdapat dalam rancangan pasal-pasal Counter
Legal Draft KHI tersebut secara tegas menyatakan bahwa rancangan tersebut
juga dimaksudkan untuk mempejuangkan masalah kesetaran gender (al-Musawa
al-Jinsiyyah), liberalisasi hukum, demokratisasi dan sebagainya.
Oleh karena itu, tulisan ini akan mengungkap respon para tokoh
masyarakat Muslim Indonesia terhadap polemik Counter Legal Draft KHI. Untuk
itu dalam tulisan ini juga secara proporsional akan menyoroti terlebih dahulu
konteks sosio-historis munculnya KHI dan urgensinya dalam peta pemikiran
hukum Islam di Indonesia, dan mengkomparasikan proses munculnya KHI
dengan proses munculnya gagasan revisi KHI, serta polemik yang mengitari
proses sosialisasi CLD tersebut. Dalam perspektif yang lain, makalah ini
diharapkan dapat mengetahui perubahan yang sedang terjadi di masyarakat
Islam, khusunya menyangkut keberadaan Kompilasi Hukum Islam, yang
merupakan produk hukum pemerintah yang disusun bersama-sama para pakar
dan praktisi hukum Islam di Indonesia. Dengan demikian yang dimaksud
respon masyarakat muslim dalam tulisan adalah tanggaapan para pemikir dan
akademisi termasuk tokoh-tokoh masyarakat terhadap kemunculan CLD dalam
konteks perkembangan hukum Islam kontemporer di tanah air.
B. KHI dalam Konteks Sosio-Historis
Sebenarnya munculnya CLD tidak bisa dilepaskan secara konteks historis
dengan keberadaan KHI, karena CLD merupakan reaksi terhadap kemapanan
hukum yang ada dalam pasal-pasal yang ada dalam KHI.. Secara kronologis
historis terbentuknya Kompilasi Hukum Islam (KHI) melalui Instruksi Presiden
Nomor 1 tahun 1991 merupakan salah momentum awal keberhasilan politik
hukum Islam pada era Orde Baru. Sekaligus dianggap sebagai usaha yang sangat
positif dalam rangka pembinaan hukum Islam sebagai salah satu sumber
pembentukan Hukum Nasional. Dalam pembentukan Kompilasi Hukum Islam
85 Siti Musda Mulia , dalam “ Kata Pengantar”, Pembaruan Hukum Islam Counter Legal Draft
Kompilasi Hukum Islam , (Jakarta: Tim Pengarusutamaan Gender Depag, 2004), h. V-iv.
86 Huzaimah Tahido Yanggo, dalam bagian lampiran, Kontroversi Revisi Kompilasi Hukum
Islam, (Jakarta :Adelina, 2005), h.51-52.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
45
Tobibatussaadah
Kontroversi Pembaruan Hukum…
telah ditangani bersama antara Departemen Agama dan Mahkamah Agung dan
dengan melibatkan para ulama dari seluruh Indonesia. Dengan Kompilasi
Hukum Islam Hakim Agama mempunyai pegangan tentang hukum yang harus
diterapkan dalam masyarakat.
Sebelum KHI diberlakukan secara realitas dalam perspektif sejarah
perkembangan hukum Islam di Indonesia---terutama pada era Orde baru---telah
diberlakukan juga UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan UU No. 7
tahun 1989 tentang peradilan Agama (PA). Dalam konteks ini pula menurut M.
Atho Mudzhar, sesungguhnya umat Islam di Indonesia telah memiliki peraturan
perundangan yang cukup memadai untuk mengatur masalah keluarga,
perkawinan, perceraian dan warisan. Sementara sebagian ulama tradisional
Indonesia masih ada yang belum sepenuhnya memahami atau menyetujui
berbagai aturan dalam kedua undang-undang tersebut karena dianggap tidak
selamanya sesuai dengan apa yang termuat dalam kitab-kitab fiqh. Namun
demikian, sebagian yang lain cukup bangga dengan dengan lahirnya kedua
undang-undang tersebut karena dianggap sebagai kemajuan besar dalam
perkembangan pemikiran hukum Islam di Indonesia.87
Dalam perkembangan selanjutnya sebelum disahkannya UU No.7 tahun
1989 tentang Peradilan Agama, pada tahun 1988 sebenarnya telah disepakati
hasil Kompilasi hukum Islam di Indonesia oleh para ulama, yang kemudian hasil
kesepakatan tersebut diperkuat dengan Instruksi Presiden No. 1 tanggal 10 Juni
1991 untuk menyebarluaskan dan sedapat mungkin menerapkan Kompilasi
Hukum Islam tersebut, maka hal itu secara realitas telah menandai lembaran
baru dalam sejarah perkembangan pemikiran hukum Islam di Indonesia
khususnya dalam bidang hukum keluarga.88 Dengan mencermati proses
kelahiran KHI tersebut sebenarnya pada periode itu, secara ideal peraturan itu
muncul dalam suasana yang sangat matang karena sebelumnya telah dibentuk
institusi peradilan agama dan dalam waktu yang tidak lama kemudian diukuti
oleh aturan berupa KHI yang menjadi pedoman para hakim agama dalam
memecahkan berbagai problematika hukum keluarga Islam dalam konteks
keindonesiaan.
Namun dibalik data historis tersebut ternyata secara obyektif munculnya
KHI sesungguhnya sudah ada sejak tahun 1985. Hal ini bisa dilacak dengan
mencermati konsideran Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan
Menteri Agama tanggal 21 Maret 1985 No. 07/KMA/1985 dan No. 25 tahun
1985 tentang Penunjukan Pelaksanaan Proyek Pembangunan Hukum Islam
melalui yurisprudensi atau lebih dikenal sebagai proyek Kompilasi Hukum
87 H. M. Atho Mudzhar , Membaca Gelombang Ijtihad Antara Tradisi dan Liberasi, (
Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), hlm. 173.
88 H.M. Atho Mudzhar, Ibid.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
46
Tobibatussaadah
Kontroversi Pembaruan Hukum…
Islam.89 Melalui Keputusan Bersama Ketua MA dan Menteri Agama tersebut,
maka dimulailah kegiatan proyek dimaksud dengan jangka waktu pelaksanaan
2 tahun. Pelaksanaan proyek ini kemudian didukung oleh Keputusan Presiden
No. 191/1985 tanggal 10 desember 1985. 90
Disamping secara kronologis historis tersebut,
proses kelahiran KHI
dalam sistem hukum nasional di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari realitas
hukum yang selama ini menjadi hambatan dalam putusan pengadilan agama
oleh para hakim agama. Problem krusial tersebut adalah secara faktual kitabkitab rujukan yang dipakai oleh Pengadilan Agama sebelum lahirnya KHI
adalah sangat beragam.
Walaupun pernah dilakukan upaya unifikasi tentang aturan hukum bagi
para hakim agama dalam memutuskan suatu perkara hukum. Hal ini bisa dilihat
pada tahun 1958 telah dikeluarkan Surat Edaran Biro Peradilan Agama No.
B/1/735, tanggal 18 Februari 1958 yang merupakan tindak lanjut dari peraturan
pemerintah
No. 45 tahun 1957 tentang pembentukan Pengadilan
Agama/Mahkamah Syar‟iyah di luar Jawa dan Madura. Dalam Surat edaran
tersebut dijelaskan bahwa untuk mendapatkan kesatuan hukum yang
memeriksa dan memutus perkara maka para hakim Pengadilan Agama/
Mahkamah Syar‟iyah dianjurkan mempergunakan sebagai pedoman beberapa
kitab yang berjumlah 13 buah.91 Kitab-kitab tersebut antara lain adalah ; alBajury, Fathul al-Muin, Syarqawy al Tahrir, Qulyuby/ Muhalli, Fath aal-Wahhab,
Tuhfah, Targhibul Musytaq, Qawani al-Syar‟iyah karya Usman bin Yahya, Qawani
al-Syar‟iyah karya Sayyid Shadaqah Dakhlan, Syamsuri li Faraidl, Bugyatul
Mustarsyidin, al-Fiqh ala Madzahib al-Arba‟ah, dan Mughni Muhtaj.92
Daftar kitab-kitab tersebut adalah kitab fiqh klasik yang banyak
dipengaruhi oleh Madzhab Syafi‟i, dan banyak menjadi rujukan oleh para hakim
maupun ulama dalam menetapkan hukum keluarga di Indonesia, termasuk
hukum muamalah dan ibadah. Materi tersebut ternya secara realitas masih
belum mencukupi dalam penyelesaian perkara dari kasus per kasus hukum. Dan
dengan langkah inipun kepastian hukum masih belum terpenuhi secara
maksimal.93
Bahkan menurut Bustanul Arifin, diantara ke-13 kitab fiqh yang menjadi
pedoman tersebut sudah jarang menjadi rujukan dan sering pula terjadi para
hakim berselisih sesama mereka tentang pemilihan rujukan. Hal ini disebabkan
oleh ruwetnya keputusan Peradilan Agama akibat dasar keputusan adalah kitabkitab fiqh yang berbeda-beda perspektifnya. Ini membuka peluang terjadinya
H. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakrta: Akademika Pressindo,
1995), hlm. 15.
90 Panji Masyarakat No. 502, Th XXVII tanggal 1 Mei 1986.
91 H. Abdurraahman, op. cit. hlm. 22.
92 H. Abdurrahman, ibid, hlm. 22-23.
93 Abdul Gani Abdullah, Himpunan Perundang-Undangan dan Peraturan Peradilan Agama,
(Jakarta: Intermasa, 1991), hlm. Hlm. Ix-xiv.
89
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
47
Tobibatussaadah
Kontroversi Pembaruan Hukum…
pembangkangan atau setidaknya keluhan, ketika pihak yang kalah perkara
mempertanyakan pemakaian kitab/pendapat yang menawarkan penyelesaian
yang berbeda. Peluang demikian tidak terdapat dalam peradilan Umum, sebab
setiap keputusan pengadilan selalu dinyatakan sebagai “pendapat pengadilan”
meskipun mungkin hakim setuju dengan pendapat pengarang sebuah buku
yang mungkin pula memang mempengaruhi putusan yang dijatuhkannya.94
Situasi hukum Islam seperti digambarkan diatas tersebut mendorong
Mahkamah Agung untuk mengadakan Kompilasi Hukum Islam, sebagai
alternatif pemecahan masalah hukum Islam yang sangat beragam dan berpotensi
menimbulkan berbagai spekulasi hukum dan konflik sosial dalam masyarakat.
Oleh karena itu kemunculan KHI menurut Masyfuk Zuhdi perlu disyukuri dan
disambut poistif. Karena secara yuridis KHI ditetapkan secara resmi oleh
pemerintah berdasarkan Inpres No 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 dan
Keputusan Menteri Agama Nomor 154 tahun 1991 tanggal 22 juli 1991 menjadi
hukum posistif yang bersifat unifikatif bagi seluruh umat Islam di Indonesia, dan
terutama menjadi pedoman bagi para hakim di lembaga peradilan dalam
menjalankan tugas-tugas mengadili perkara-perkara dalam bidang kewarisan,
pernikahan, dan perwakafan.95
C. Munculnya Counter Legal Draft (CLD): KHI Tandingan
Seiring dengan perkembangan waktu tampaknya KHI oleh sebagian
kalangan praktisi dan pemikir hukum Islam di Indonesia, dianggap masih
banyak kelemahannya. Sehingga memunculkan berbagai kritik yang pada
gilirannnya memunculkan gagasan untuk memperbaharui materi dalam pasalpasal yang ada. Terutama yang dilakukan oleh sekelompok orang Islam yang
keberatan tentang pasal-pasal dalam Kompilasi Hukum Islam dengan
mengatasnamakan pluralisme, demokrasi dan HAM, kesetaraan gender,
emansipatoris, humanis, inklusif, dan dekontruksi syariat Islam. Keberatan ini
muncul setelah Kompilasi Hukum Islam sudah berumur tiga belas tahun dan
sedang diupayakan menjadi undang-undang. Puncak dari polemik itu semakin
tampak jelas pada era Reformasi ini, ketika muncul Counter Legal Draft (CLD)
terhadap KHI yang berusaha merevisi, bahkan menggantikan KHI lama yang
dianggap sudah tidak representatif lagi dengan perkembangan fiqh kontemporer
di Indonesia. Bagi sebagian kalangan cendekiawan muslim rancangan pasalpasal CLD tersebut dianggap terlalu kontroversial bahkan ada yang mengatakan
bertentangan jauh dengan prinsip ajaran Islam itu sendiri.
Yang membedakan KHI dan CLD KHI adalah proses penyusunannya,
disamping juga tentunya materi yang terdapat dalam pasal-pasal yang ada
dalam kedua KHI tersebut. Dalam perspektif penyusunan dan KHI yang lama
94 Bustanul Arifin, Kompilasi; Fiqh dalam Bahasa Undang-Undang, dalam Pesantren No. 2,
Vol. II tahun 11985, hlm. 27.
95 Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: Gunung Agung, 1989), hlm. 9.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
48
Tobibatussaadah
Kontroversi Pembaruan Hukum…
prosesnya cukup lama dan dilakukan oleh tim pakar dan praktisi hukum Islam
yang sangat berragam latar belakangnya antara lain, dari Departemen Agama,
Mahkamah Agung, MUI, para akademisi dari berberapa IAIN, dan Pesantren
(ulama). Perumusan draft materi KHI diperoleh melalui jalur antara lain,
pengkajian dan penelitian kitab-kitab fiqh, wawancara dengan para ulama,
yurisprudensi Pengadilan Agama, studi perbandingan hukum dengan negara
lain, lokakarya/seminar materi hukum untuk Pengadilan Agama dan dilakukan
secara akademis dibeberapa IAIN di Indonesia.96
Sementara itu CLD lahir melalui proses pemikiran untuk meningkatkan
status hukum KHI dari sekadar Inpres menjadi Undang-undang. Dan upaya ini
sebenarnya sudah pernah dilakukan oleh Direktorat Pembinaan Peradilan
Agama Depag,
sebelum hijrah
ke Mahkamah Agung (MA) pernah
mengupayakan KHI menjadi Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang
Hukum Keluarga Islam.97 Upaya itu dilakukan dengan tujuan untuk
meningkatkan status hukum dan melengkapi cakupan materi hukum Islam,
tidak sekadar terbatas pada tiga bidang hukum perdata itu saja (perkawinan,
perwakafan dan kewarisan), melainkan lebih luas dari itu. Upaya ini dalam
konteks lain bisa menjadi alternatif dari kebutuhan pilihan hukum untuk
menerapkan Syariat Islam ke dalam tubuh negara.
Menurut Siti Musda Mulia sebagai ketua tim PUG, mengatakan bahwa
proses penyusunan CLD KHI dilakukan dengan mengadakan penelitian yang
dilakukan oleh para peneliti yang diturunkan diberbagai daerah di Indonesia
untuk menyerap pelbagai informasi dan masukan dari masyarakat sekaligus
juga merekam berbagai tradisi dan kearifan lokal yang belum terakomodasi
dalam KHI.98 Dalam lampiran buku CLD KHI , terlihat bahwa proses
penyusunannya melibatkan Tim Kajian dan Kontributor Aktif yang tergabung
dalam pokja (kelompok kerja) Pengarusutamaan Gender Depag.
Dari personel yang terlibat dalam proyek tersebut menujukkan bahwa
nama-nama yang tergabung dalam kedua tim itu adalah para pakar hukum
Islam yang aktif dalam beberapa bidang antara lain dari Depag, akademisi dari
IAIN, ulama (pondok Pesantren), dan beberapa aktifis LSM. Dari perspektif ini,
sebenarnya latar belakang dan proses penyusunan “KHI lama” dengan CLD
cukup berbeda baik dari setting sosial penyusunan maupun proses yang melatar
belakanginya. Oleh karena itu produk yang duihasilkan oleh kedua produk
hukum tersebut sangat berseberangan, bahkan yang terakhir terkesan sangat
kontroversial karena terlihat “menantang” arus pemikiran hukum Islam yang
berlaku di Indonesia selama ini.
Meskipun semangat “liberasi” hukum Islam dalam CLD sangat kental. Hal
ini terlihat dalam visi yang ditawarkan CLD antara lain Pluralisme (alAbdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, hlm. 36-41.
Tim PUG, Pembaruan Hukum Islam Couter Legal Draft KHI, hlm. 3.
98 Siti Musdah Mulia, dalam “Kata Pengantar” dalam CLD KHI, hlm. Vi.
96
97
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
49
Tobibatussaadah
Kontroversi Pembaruan Hukum…
Ta‟addudiyah), Nasionalitas (Muwathanah), penegakan HAM (Iqamat al-Huquq alInsaniyah), Demokratis, kemaslahatan (al-Mashlahat) dan kesetaraan Gender (alMusawah al-Jinsiyah).99 Akan tetapi semangat yang tercermin dalam visi tersebut
tidak cukup efektif dalam meredam kritik dan protes dari beberap pihak yang
tidak sependapat dengan ide-ide pembaruan hukum Islam yang terdapat dalam
CLD tersebut.
Melihat polemik tersebut, secara esensial sebenarnya baik “HKI lama”
maupun CLD KHI atau sebut saja “KHI baru”, keduanya merupakan masalah
fiqh sebagai produk pemikiran hukum Islam. Sebagaimana yang dikemukakan
oleh M. Atho Mudzhar, sedikitnya ada empat macam produk pemikiran hukum
Islam yang dikenal dalam perjalanan sejarah hukum Islam yaitu fatwa-fatwa
ulama, Keputusan-keputusan pengadilan agama, peratran perundangan dinegeri
Muslim, dan kitab-kitab fiqh itu sendiri.
Pertama, adalah fatwa-fatwa ulama-ulama atau mufti sifatnya adalah
kasusistik karena merpakan respon atau jawaban pertanyaan yang diajukan oleh
peminta fatwa. Fatwa tidak mempunyai daya ikat, dalam arti bahwa si peminta
tidak harus mengikuti isi/hukum fatwa yang diberikan kepadanya, tetapi
biasanya fatwa cenderung bersifat dinamis kerena merupakan respon terhadap
perkembangan baru yang sedang dihadapi oleh masyarakat si peminta fatwa. Isi
fatwa itu sendiri belum tentu dinamis tetapi sifat responsifnya itulah yang
sekurang-kurangya dapat dikatakan dinamis.100
Kedua, produk pemikiran hukum selanjutnya adalah keputusan-keputusan
pengadilan agama. Berbeda dengan fatwa, keputusaan pengadilan agama
sifatnya mengikat kepada pihak yang berperkara dan pada tingkat tertentu juga
bersifat dianmis karena merupakan usaha untuk memberi jawaban atau
mentyelesaikan masalah yang yang diajukan ke pengadilan pada suatu titik
waktu tertentu. Ketiga, termasuk produk pemikiran hukum adalah peraturan
perundangan di negeri muslim. Ini juga bersifat mengiukat dan bahkan daya
ikatnya lebih luas. Orang yang terlibat di dalam perumusannya juga tidak
terbatas pada para fuqaha atau ulama, tetapi juga para politisi dan cendekiawan
lainnya. Masa laku peraturan perundangan
itu biasanya dibatasi---atau
kalaupun tidak---secara resmi dibatasi masa lakunya, di dalam kenyataan masa
laku itu akan menjadi ada ketika peraturan perundangan itu dicabut atau diganti
dengan peraturan perundangan lainnya. Keempat, produk pemikiran hukum
selanjutnya adal kitab-kitab fiqh, diamana kitab-kitab tersebut oleh pengarangya
sebenarnya tidak dimaksudkan untuk diberlalukan secara umum disuatu negeri.
Meskipun di dalam sejarah kita kitab fiqh tertentu diberlakukan sebagai undangundang. Kitab-kitab fiqh juga tidak ketika ditulis juga tidak dimaksudkan utuk
periode tertentu, dengan tidak adanya masa laku ini terkadang kitab fiqh oleh
Tim PUG, Counter Legal Draft KHI, hlm. 25-30.
M. Atho Mudzhar, “Fiqh sebagai Produk Pemikiran Hukum, dalam Membaca
Gelombang Ijtihad Antara Tradisi dan Liberasi, ( Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), hlm. 91.
99
100
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
50
Tobibatussaadah
Kontroversi Pembaruan Hukum…
sebagian orang dianggap harus berlaku untuk semua masa, sehingga oleh
sebagian orang lainnya dianggap beku alias jumud.101
Dengan memperhatikan klasifikasi sumber pemikiran hukum Islam
tersebut tampaknya KHI bisa dianggap sebagai fiqh produk ketiga yaitu fiqh
produk dari peraturan-peratutan perundangan yang berlaku di negeri Muslim.
Walaupun secara faktual KHI maupun CLD---meskipun masih dalam bentuk
rancangan--- tidak bisa dilepaskan meterinya dari kitab-kitab fiqh yang
mempengaruhi konstruski pemikiran hukum yang terdapat dalam materi
keduanya.
D. Respon Masyarakat terhadap Wacana Kontroversial CLD
Respon masyarakat terhadap CLD cukup beragam dari berbagai
kalangan, seperti para praktisi hukum, akademisi, intelektual Muslim dan
sebagainya. Dalam proses sosialisasi CLD pada masa awal munculnya wacana
pembaruan hukum Islam tersebut, secara realitas gagasan itu telah memicu kritik
yang banyak dari beberapa kalangan, terutama mengenai materi CLD.
Walaupun secara berurang-ulang menurut Musda Mulia menyatakan bahwa
“Counter Legal Draft” bukan merupakan “tawaran mati”, seperti yang
disampaikan dalam sebuah diskusi pada tanggal 4 Oktober 2004 di Jakarta.
Menurutnya memang berat untuk meyakikankan publik mengenai mengapa
diperlukan CLD terhadap KHI.102 Namun pembelaan tersebut tampaknya tidak
cukup ampuh mengurangi kecaman dan rekasi keras beberapa kalangan,
terutama para pakar hukum Islam dan beberapa ulama serta masyarakat lainnya.
Dengan demikian sebenarnya secara realitas munculnya CLD dalam
perspektif mainstream pembaruan hukum Islam di Indonesia mendapat reaksi
dan respon yang luas. Walupun tidak semua respon tersebut antipati terhadap
CLD, karena ada juga yang bisa menerimanya. Dalam perspektif ini sebenarnya
respon terhadap CLD-KHI bisa dianggap cukup bervariasi, tergantung dari
sudut pandang mana melihat materi CLD tersebut. Respon terhadap CLD
dengan begitu cukup beragam yakni berupa respon yang pro dan kontra
terhadap isu-isu yang dikembangkan dalam draf-draf materi yang terdapat
dalam CLD. Secara umum sebenarnya lahirnya CLD telah menimbulkan respon
kontra produktif terhadap eksistensi CLD itu sendiri, dan secara umum
mayoritas masyarakat meresponnya dengan respon yang negatif atau respon
yang kontra CLD. Hanya ada sedikit yang meresponnya dengan positif atau
menerima gagasan CLD (kelompok pro CLD).
1. Kelompok yang Kontra-CLD
Pada dasarnya respon masyarakat terhadap CLD mayoritas
mengindikasikan penolakan dan kritik yang pedas dari berbagai
M. Atho Mudzhar, Ibid. hlm. 91-92.
Harian Kompas, Menyosialisasikan “Counter Legal Draft” Kompilasi Hukum Islam, tanggal
11 Oktober 2004.
101
102
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
51
Tobibatussaadah
Kontroversi Pembaruan Hukum…
kalangan. Keberatan publik atas materi pembaruan yang ada dalam CLD
misalnya, disampaikan oleh M. Tahir Azhari, Guru Besar Fakultas
Hukum UI, yang tidak sependapat dengan hampir semua usulan di
dalam CLD. Mengenai wali nikah, misalnya menurut Prof Tahir sudah
merupakan konsensus alim ulama dan pakar hukum Islam sebagai rukun
pernikahan. Kemudian mengenai pembagian warisan untuk anak lakilaki dan perempuan yang ditawarkan menjadi 1:1 atau 2:2 menurut Tahir
bertentangan dengan Surat An-Nisa‟ (QS. 11), ayat 11. Begitu juga
dengan mengenai perkawinan beda agama, menurut Tahir tidak sejalan
dengan surat Al-Baqarah ayat 221.103
Selanjutnya Tahir mengungkapkan penolakannya terhadap CLD
menyangkut masalah terminologi pernikahan. Menurutnya pengertian
perkawinan adalah merupakan pengertian baku dalam hukum Islam dan
bersifat universal, karena diakui oleh masyarakat muslim dimanapun
mereka berada. Dipandang dari sudut hukum, pernikahan merupakan
suatu perikatan tapi bukan hanya sekedar perikatan kemanusiaan saja
namun suatu perjanjian yang sangat kokoh (mitsaqan ghalizan). Jadi
pernikahan di dalam Islam bukan hanya hubungan antara dua manusia
dalam arti muamalah saja, tetapi didalamnya terkandung nilai-nilai
ubudiah. Oleh karena itu perkawinan antara orang Islam dan nonMuslim haarus secara tegas dilarang.104
Respon yang tidak setuju (kontra) dengan gagasan CLD juga
dikemukakan oleh Rifyal Ka‟bah. Yang mengakui bahwa bahwa
kemunculan CLD sebenarnya telah menimbulkan reaksi yang luas baik
yang pro maupun kontra. Hal ini diperparah oleh beberapa alasan antara
lain dari sudut kontroversi yang ditimbulkannya ditinjau dari sudut
hukum Islam, pendanaan proyek berasal dari pihak asing---dari The Asia
Foundation---, dan pengatasnamaan Departemen Agama.105
Selanjutnya Rifyal Ka‟bah mengkritik dengan pedas
dan
menyatakan bahwa pembaruan yang diajukan oleh perumus KHI
tandingan bukanlah dalam konteks tajdid (pemurnian), dan ishlah
(perbaikan terhadap fasad), tetapi dalam pengertian bid‟ah dan
penyimpangan dan taghyir (perubahan) dari hukum Islam yang asli.
Harian Kompas, Ibid.
Keberatan M. Tahir Azhary terhadap pasal-pasal dalam CLD antara lain dalam
masalah Wali Nikah, pencatatan perkawinan, batas usia perkawinan, mahar, poligami yang haram
dilakukan, Iddah yang ddikenakan bagi suami, pencarian nafkah sebagai kewajiban bersama dan
tugas reproduksi isteri lebih bernilai dari tugas pencarian nafkah, pengaturan jangka waktu
perkawinan identik dengan nikah mut‟ah, waris beda agama, waris 1:1 atau 2:2 antara anak lakilaki dan perempuan, wakaf beda agama, Aul dan Rad yang dihapus. M. Tahir Azhary, Tanggapan
Terhadap Pembaharuan Hukum Islam Counter Legal Draft KHI, Makalah Diskusi Disampaikan di
hadapan Forum Diskusi pembaharuan Hukum Islam, Senin, 4 Oktober 2004 di Ball Room Hotel
Aryaduta, Jakarta.
105 Rifyal Ka‟bah, Kompilasi Hukum Islam (KHI) Tandingan, Makalah Tanggapan Umum
Terhadap CLD, Jakarta, 2004.
103
104
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
52
Tobibatussaadah
Kontroversi Pembaruan Hukum…
Ditambahkannya pula bahwa para perumus KHI tandingan (CLD)
menempatkan dirinya sebagai pembaru hukum Islam dan dengan telah
mengkritik hukum Islam dari nushush al-Qur‟an dan al-Hadits serta hasil
rumusan para imam madzhab sekaliber Syafi‟i dan imam-imam dianggap
rendah. Rumusan para imam ini dicap dengan sebutan sinis, sebagai fiqh
“purba”, fiqh “padang pasir” dan lain-lain. Di samping itu, rumusan
CLD ini menurut perumus berdasarkan maqashid al-syariat versi sendiri,
yang tidak dikenal dalam khaazanah hukum Islam. Menurut mereka,
tujuaan syariat adalah untuk menegakkan nilai dan prinsip keadilan
social, kemaslahatan ummat manusia, kerahmatan semesta, dan kearifan
social. Sementara itu makashid al-syariat menurut fuqaha‟ bertujuan
memelihara (1) agama, (2) akal pikiran, (3) keturunan, (4) kehormatan,
dan (5) harta benda. Dengan merubah pengertian teks-teks agama dan
membuat pemahaman sendiri, mereka sebenarnya telah merusak agama
daan merusak maaksud-maksud syariat yang lain. Apalagi pendekatan
utama yang digunakan oleh perumus CLD bukan pendekatan hukum
Islaam, tetapi pendekatan (1) gender, (2) pluralisme, (3) hak asasi
manusia dan (4) demokrasi. Karena alasan berpijak yang berbeda, maka
hasil rumusannya juga berbeda, menjadi di luar konteks pembaruan
hukum Islam yang di kenal dalam khazanah hukum Islam itu sendiri.106
Bahkan menurut Rifyal Ka‟bah dalam penutup makalahnya
menyatakan,
bahwa
proyek CLD sebenarnya lebih bernuansa
pragmatis, karena jauh dari tradisi yang diikuti oleh dunia Islam serta
aqidah Islam. Proyek ini lebih mengedepankan kepentingan sponsor
asing sebagai “God Father” mereka diluar negeri, terutama dari segi dana
dan dukungan publikasi, yakni dari “The Asia Foundation”.
Menurutnya, perlu juga dicatat bahwa secara realitas proyek KHI yang
pernah ada dahulu juga mulanya akan didanai oleh Asia Foundation.
Ketika gagasan tersebutdisampaikan kepada Presiden Soeharto, perasaan
kebangsaan dan keislaman beliau terusik. Disamping kritikan-kritikan
keras kepada Presiden Soeharto tentang politik Islamnya, gagasan beliau
untuk membiayai proyek hukum Islam dari dana Indonesia sendiri,
adalah suatu yang positif. Akhirnya proyek ini menggunakan dana
kepresidenan.107
Respon penentangan yang keras terhadap isi CLD juga diberikan
oleh KH. Ali Mustafa Yakub seorang ulama. Menurutnya draff UU yang
ada dalam CLD, yang menyebutkan bahwa perkawinan bukan lagi
ibadah melainkan sebagai hubungan sosial yang tidak berkaitan dengan
ibadah. Dan ada hal yang lebih menukik, dalam pasal 3 ayat 1 tentang
asas perkawinan monogami. Sedangkan dia ayat 2 dinyatakan, pasal 1
106
107
Rifyal Ka‟bah, ibid. hlm. 3-4.
Rifyal Ka‟bah, ibid.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
53
Tobibatussaadah
Kontroversi Pembaruan Hukum…
menjadi batal secar hukum, beberti menurut pandangan ini poligami itu
haram. Ini yang sangat berbahaya, orang yang telah melakukan poligami
menjadi “tidak sah” (haram). Berbahaya karena menentang haal yang
ditetapkan dalam al-Qur‟an, Allah dan Rasulullah serta ijma‟ sahabat
sepanjang masa.108
Selanjutnya Ali Mustafa Ya‟qub juga menilai bahwa menentang alQur‟an berarti dapat dihukum sebagai murtad. Semua itu merupakan
poin pemikiran dari orang-orang yang tidak mau menjadikan a-Qur‟an
dan al-Hadits sebagai sandaran hukum Islam. Menurutnya, pemikiran
liberal berarti iblis, pemikiran otak dengan mendasarkan HAM dan
kesetaraan gender. Pemikiran iblis liberal dan tidak Islam sebab Islam itu
berarti tunduk hanya kepada Allah SWT.109
Akhirnya Ali Muatafa
Ya‟qub menyarankan untuk kembali ke jalan yang benar bagi para
anggota yang tergabung dalam tim perumus CLD. Dan menurutnya,
pada prinsipnya hukum Islam itu adalah al-Qur‟an dan al-Hadits,
sedangkan orang yang menggunakan rasio, mendasarkan pada HAM
dan gender sehingga berdebat tidak akan pernah ketemu. Tidak ada
gunanya lagi memperdebatkan kecuali semua sama-sama mendasarkan
kepada al-Qur‟an dan al-Hadits, serta sumber-sumber hukum Islam yang
disepakati masyarakat muslim.110
Senada dengan pendapat Ali Mustafa Ya‟kub, menurut Nabilah
Lubis menyatakan bahwa sejak awal kemunculan CLD yang dimotori
oleh TPG (Tim Pengarusutamaan Gender) langsung mendapatkan reaksi
yang keras dari kaum muslimin Indonesia. Majelis Ulama Indonesia
(MUI) pada saat itu langsung dengan tegas menyatakan bahwa draft
tersebut bertetangan dengan syariat Islam. Sehingga akhirnya pada
tanggal 12 Oktober 2004, Menteri Agama RI mengeluarkan larangan
sosialisasi CLD KHI baik melalui seminar maupun kegiatan sejenis
lainnya dengan melibatkan atau mengatasnamakan Departemen Agama
RI. Lebih lanjut Nabilah mengibaratkan CLD sebagai “sel kanker” yang
dapat meghancurkan keterikatan umat Islam pada al-Qur‟an dan alHadits.111
Secara umum perubahan isu-isu penting yang menjadi bahan
polemik dalam CLD dapat dipetakan table sebagai berikut ini:
Ali Mustafa Ya‟qub, Departemen Agama Kebobolan Pemikiran Iblis, dalam Harian Pelita, 8
Oktober 2004.
109 Ali Musatafa Ya‟qub, ibid.
110 Ali Muatafa Ya‟qub, ibid.
111 Nabilah Lubis,
Perkembangan Pemikiran Akatual Hukum Perkawinan Indonesia dalam
Perspektif Islam, makalah disampaikan dalam seminar yang diselenggarakan oleh Muslimat NU
tanggal 14 Mei 2005 di Jakarta.
108
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
54
Tobibatussaadah
Kontroversi Pembaruan Hukum…
Tabel No.1
No
Isu-Isu Krusial
1
Pengertian
Perkawinan
KHI
berdasarkan Inpres No. 1
tahun 1991
Merupakan ibadah yang
wajib dilaksanakan
CLD
Kompilasi
Hukum Islam
Bukan ibadah, tapi
hubungan
sosial
kemanusiaan biasa
2.
Wali Nikah
Menjadi Salah satu rukun Bukan
rukun
perkawinan
perkawinan,
perempuan
boleh
menikahkan dirinya
sendiri
3.
Pencatatan
Tidak termasuk rukun Rukun perkawinan,
perkawinan,
hanya karenanya
kewajiban administratif
perkawinan
tidak
sah tanpa pencatatan
4.
Batas
Usia 16 tahun bagi calon istri 19 tahun dengan
perkawinan
dan 19 tahun bagi calon tidak membedakan
suami
antara calon istri dan
suami.
5.
Mahar
Wajib diberikan oleh Wajib diberikan oleh
calon suami kepada calon calon suami atau
istri
calon
istri
atau
kedua-duanya
sesuai dengan adat
setempat
6.
Kawin beda agama
Haram dilakukan secara Boleh
dilakukan
mutlak
selama dalam batas
untuk
mencapai
tujuan perkawinan
7.
Poligami
Boleh dilakukan dengan Haram
dilakukan
persyaratan
(haram li ghairihi)
8.
Hak Cerai Istri dan Istri tidak mempunyai Istri mempunyai hak
rujuk
hak untuk menceraikan untuk menceraikan
dan merujuk suami
dan
merujuk
suaminya
(setara
dengan
hak
suaminya)
9.
„Iddah
„Iddah hanya untuk istri „Iddah
dikenakan
saja, tidak untuk suami
bagi Istri dan suami
10. Ihdad
Ihdad hanya untuk istri Ihdad
dikenakan
tidak untuk suami
bagi suami dan istri
11. Pencarian Nafkah
Menjadi kewajiban suami Kewajiban bersama
antara suami dan
istri,
tugas
reproduksi istri lebih
bernilai dari pada
tugas
pencarian
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
55
Tobibatussaadah
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
Kontroversi Pembaruan Hukum…
nafkah
Tidak mengatur soal Mengatur
soal
jangka waktu perkawinan jangka
waktu
perkawinan
Nusyuz
Nusyuz
hanya Nusyuz
dapat
dituduhkan kepada isteri ditudukan kepada
suami atau isteri
Hak dan kewajiban
Hak dan kewajiban suami Hak dan kewajiban
istri tidak sama, timpang
suami dan istri sama
Waris beda agama
Beda
agama
adalah Beda agama bukan
penghalang (mani‟) waris penghalang (mani‟)
mewarisi
untuk
waris
mewarisi
Bagian Anak laki-laki Bagian anak laki-laki dan Bagian anak laki-laki
dan perempuan
perempuan adalah 2:1
dan
perempuan
adalah 1:1 dan 2:2
Wakaf beda agama
Orang yang beda agama Dibolehkan
orang
dilarang menerima dan beda agama untuk
memberi wakaf
memberi
dan
menerima wakaf
Anak
diluar Hanya punya hubungan Jika diketahui ayah
perkawinan
saling mewaris dengan biologisnya
maka
ibunya, sekelipun ayah anak tetap memiliki
biologisnya
sudah hak waris dari ayah
diketahui
biologisnya
Perjanjian
Perkawinan
Aul dan Rad
Dipakai
Dihapus
Sumber: Tim Penyusun CLD Kompilasi Hukum Islam Pokja
Pengarusutamaan Gender Depag RI.
2. Kelompok yang Pro-CLD
Secara umum kelompok yang pro-CLD atau kelompok yang
menerima rancangan CLD berasal dari Tim Pengarusutamaan Gender
sendiri yang menjadi arsitek penyusunan CLD tersebut. Hal ini bisa
dilacak dari berbagai pernyataan dari tokoh-tokoh yang terlibat dalam
penyusunan CLD. Di samping beberapa aktivis perempuan yang
tergabung dalam bebrapa gerakan feminisme di tanah air, juga
menunjukkan indikasi dan fenomena yang mendukung CLD. Misalnya,
komentar Musda Mulia sebagai ketua tim, yang mengeluarkan statement
yang mendukung CLD dengan berbagai argumentasi. Menurut Musda,
bahwa pada era otonomi daerah banyak daerah yang ingin
memformulasikan Syariat Islam, dan setelah melakukan penelitian
ternyata kebanyakan dareah tersebut tidak mempunyai konsep yang
jelas. Oleh karena itu keberadaan CLD ini bisa menjadi alternatif untuk
mengantisipasi kecenderungan tersebut. Untuk menyusun CLD ini, tim
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
56
Tobibatussaadah
Kontroversi Pembaruan Hukum…
mengundang banyak pakar yang menyusun argumen teologis, sosilogis,
dan politis sehingga menghasilkan kesimpulan bahwa perubahan KHI
bukan hanya perlu melainkan mendesak. Pendapat para pakar tersebut
telah dilakukan uji shahih didalam berbagai forum.112
Di samping itu, menurut salah seorang anggota penyusun CLD,
Abdul Moqsith al-Ghazali menyatakan bahwa tawaran yang ada dalam
CLD kelihatannya memang bertentangan dengan al-Qur‟an tetapi tim
pembaruan mengambil sikap untuk membaca al-Qur‟an dan Hadits
bukan dari narasinya tetapi dari substansinya dengan memegang kaidah
mendahulukan kebaikan bersama, keadilan, demokrasi dan kebijakan.113
Senada dengan pendapat tersebur, KH. Muhammad Husein,
seorang ulama dari Cirebon, yang tergabung dalam Pokja Tim
Pengarusutaman Gender, mengatakan bahwa apa yang ditawarkan oleh
CLD berbeda dengan “arus” utama pemikiran fiqh yang dipakai
mayoritas di Indonesia. Oleh karena itu ditambahkannya, apakah yang
akan dipakai mayoritas atau minoritas, dengan menganalogikan ada
banyak kejadian dimana suara satu orang bisa mengalahkan suara orang
banyak karena kredibiltas yang dimiliki oleh oleh satu orang.
Muhammad Husein, melanjukan bahwa teks bisa dinterpretasi kare itu
al-Qur‟an mengandung sejumlah dimensi pemaknaan dan memberi
makna pada teks adalah manusia. Beberapa isi CLD, seperti mengenai
pembagian warisan 1:2 untuk anak perempuan dan laki-laki telah
ditetapkan secara pasti dalam al-Qur‟an. Akan tetapi apakah yang pasti
itu tetap, tidak bisa berubah karena konteks, tempat dan waktunya
berubah.114
Pada dasarnya para pendukung terhadap CLD adalah mereka yang
selama ini menolak praktek poligami, seperti pendapat Musda Mulia
yang menyatakan bahwa praktek poligami lebih baik dilarang karena
banyak merugikan perempuan. Kalau ada kasus isteri mengizinkan
suaminya berpoligami maka sebaiknya diajukan ke Mahkamah Agung
(MA) yang membuat keputusan lalu bisa menjadi jurispridensi.115
Sebagaimana pendapat Musda tersebut, seorang dosen IPB yang banyak
meneliti mengenai perempuan, Aida Vitalaya Hubeis, menyatakan
bahwa yang membedakan antara laki-laki dan perempuan adalah
keadaan biaologisnya, yaitu mengandung dan menyusui. Dengan
demikian dalam kemampuan dan kreativitas sebagai manusia yang
berakal tidak ada bedanya antara laki-laki dan perempuan. Tetapi justru
perbedaan biologis tersebut dipakai untuk membedakan sehingga kaum
Kompas, tanggal 11 Oktober 2004, Menyosialisasikan “Conter Legal Draft”.
Abdul Moqhsith dalam Kompas, Ibid.
114 Muhammad Husein dalam Kompas ibid.
115 Musda Mulia, dalam Kompas, ibid.
112
113
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
57
Tobibatussaadah
Kontroversi Pembaruan Hukum…
perempuan bukan berada pada “kekinian” dan “kedisinian” tetapi
tertinggal, jalan ditempat. Aida menyebutkan pasal KHI yang
menyebutkan hanya laki-laki sebagai kepala keluarga, lalu bagaimana
bila laki-laki tidak bisa menjadi kepala keluarga.116
Tidak jauh beda dengan pendapat tokoh-tokoh yang pro CLD-KHI,
tampaknya Ulil Abshar Abdallah---Direktur “Freedom Institute” dan
Direktur JIL (Jaringan Islam Liberal) juga mengeluarkan pendapatnya,
bahwa di dalam Islam klasik banyak sekali pendapat yang kontradiktif
karena fiqih merupakan pendapat pribadi dari para ahli fikih. Ketika fiqih
akan dijadikan hukum positif sebagai hukum negara, maka berbagai
pendapat di dalam negara itu harus juga didengar.117 Salah seorang
aktivis feminisme muslim, Nurul Agustina juga menyatakan bahwa
hukum keluarga islam sangat bersifat patriarkat dan tidak peka terhadap
kedudukan perempuan. Jadi ketika produk hukum yang direkrut masuk
ke dalam KHI mengandung bias gender yang merugikan perempuan,
wajar jika keputusan yang dihasilkannya juga banyak yang tidak ramah
terhadap kepentingan perempuan.118 Akhirnya Nurul Agustina berandai
ketika melihat masa depan CLD, dengan menyatakan bahwa seandainya
kelak usulan Musda dan teman-teman akhirnya ditolak karena terlalu
pprogresif, namun wacana mengenai hal-hal yang dianggap
kontroversial menyangkut hukum keluarga dan posisi perempuan
didalamnya akan bertahan dalam waktu yang lama. Ini karena temuantemuan lapangan memperkuat usulan mereka.119
E. Analisis Wacana Polemik
Melihat kontroversi yang ditimbulkan CLD berupa respon yang bergam
tersebut, sebenarnya dalam konteks perkembangan hukum Islam di Indonesia
wacana semacam itu juga terjadi dibeberapa negara. Gagasan pembaruan atau
pemikiran pembaruan sebenarnya telah digulirkan oleh tokoh-tokoh pembaru
Islam loka seperti Nurcholis Madjid dengan ide “Sekularisasi Islam” pada era
1980-an, Munawir Syadzali yang mencoba menawarkan ide “Reaktualisasi
Islam” tentang pembagian warisan laki-laki dan perempuan perlu ditinjau lagi,
atau Ibrahim Hosen tetang hukum ”Porkas” dan sebagainya. Bahkan di luar
negeri ide-ide pembaruan hukum Islam juga terjadi di beberapa negara seperti di
Tunisia, Suria, Mesir, Yordania, Irak dan sebagainya. Hampir setiap ide
pembaruan mendapat respon yang berbeda-beda, tidak jarang ide-tersebut
mendapat tantangan keras, bahkan tokoh-tokoh pembaruan tidak jarang yang
Aida Vitalaya Hubeis, dakam Kompas, ibid.
Ulil Absar Abdallah, dalam Kompas, ibid.
118 Nurul Agustina, “Gerakan Feminisme Islam dan Civil Society” dalam Komarudin
Hidayat dan Ahmad Gaus, (ed.), Islam Negara dan Civil Society Gerakan dan Pemikiran Islam
Kontemporer, (Jakarta:Paramadina, 2005), hlm. 375.
119 Nurul Agustina, ibid. hlm. 394.
116
117
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
58
Tobibatussaadah
Kontroversi Pembaruan Hukum…
mendapat hukuman mati atau diusir dari negaranya, akibat ide-idenya yang
dianggap telah melanggar syariat Islam.
Dalam konteks ke-Indonesia-an respon yang beragam terhadap CLD
tersebut disebabkan oleh beberapa faktor antara lain adalah latar belakang
pendidikan, profesi, kecenderungan pola pemikiran, dan usia tokoh yang
merepresentasikan trend dan corak pemikirannya. Secara umum terdapat
perbedaan mencolok antara kelompok yang pro dan kontra CLD, dalam
perspektif latar belakang pendidikan, profesi dan kecenderungan pemikiran
serta usia para tokoh-tokoh tersebut.
Kelompok yang banyak mengkritik CLD rata-rata mempunyai background
pendidikan dari Perguruan Tinggi di Timur Tengah yang sangat konsens
terhadap pendekatan fiqh Islam, seperti Huzaemah Tahido Yanggo, Nabilah
Lubis, dan Ali Mustafa Ya‟kub dan M. Tahir Azhari dan Rifyal Ka‟bah yang
berasal dari UI Jakarta. Dari perspektif disiplin ilmu yang menjadi kajiannya
kebanyakan tokoh yang kontra CLD adalah terkenal sebagai kelompok
memegang tradisi fiqh yang kuat dan mereka sangat faham dengan
perbandingan madzhab fiqh dalam Islam, atau paham tentang seluk beluk
hukum Islam. Dan pada umumnya mereka juga sangat menjaga tradisi
intelektual dan dogma-dogma ajaran Islam secara “rigid” bahkan terlihat agak
literal dalam melihat hukum Islam. Dari pesrpektif profesi kelompok kontra
mayoritas adalah pengajar dan Guru Besar di beberapa perguruan tinggi Negeri
di Jakarta. Selengkapnya dapat dilihat dalam table berikut ini:
Table No. 2
Data Kelompok Kontra CLD
No Nama
Latar Belakang Pendidikan Profesi
1.
Huzaemah
Tahido S2 Universitas Al-Azhar Guru Besar UIN
Yanggo
Mesir
Jakarta
S3 Universitas Al-Azhar
Mesir
2.
Nabilah Lubis
S2 Univ. Al-Azhar Mesir
Guru Besar UIN
S3 IAIN Jakarta
Jakarta
3.
M. Tahir Azhari
S3 UI Jakarta
Guru Besar UI
Jakarta
4.
Mustafa Ali Ya‟kub
S2 Univ. Ummul Qura‟ Dosen dan Ulama
Makkah
5.
Rifyal Ka‟bah
S3 UI Jakarta
Dosen,
dan
Pengamat Politik
Dari tabel tersebut dengan jelas dapat difahami bahwa latar belakang
pendidikan juga mempengaruhi terhadap respon tokoh-tokoh tersebut terhadap
CLD. Dan yang menarik adalah diantara para kritikus CLD tersebut adalah
“perempuan” yang menjadi bagian terpenting dari bidang utama yang
diperjuangkan dalam CLD. Tetapi tampaknya isu “gender” yang mengemuka
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
59
Tobibatussaadah
Kontroversi Pembaruan Hukum…
dalam CLD ternyata tidak cukup efektif mempengaruhi sikap para pengkritik
CLD. Di samping itu, dilihat dari perspektif usia, tampaknya para pengkritik
CLD rata-rata udah berada dalam usia diatas 50 tahunan, hal ini bisa dilihat dari
jabatan dan profesinya sebagai guru besar senior di lembaga pendidikan tempat
mereka bekerja.
Sementara itu dari kelompok yang membela CLD atau kelompok yang pro
CLD, pada umumnya mereka berasal dari latar belakang yang yang berbedabeda. Sebagian dari mereka adalah berpendidikan dari IAIN ada juga yang
berasal dari pesantren tradisional NU, dan dari Perguruan Tinggi umum. Dari
perspektif profesi diantarnya adalah pengajar IAIN dan para aktivis LSM,
disamping para ulama. Karena yang mendukung CLD mayoritas berasal dari
Tim Pengausutamaan Gender, maka latar belakang dan profesi kelompok ini
bisa dilihat dalam daftar para kontributor yang tergabung dalam tim tersebut.
Dari susunan tim tersebut kan terlihat komposisi latar belakang profesi dan latar
belakang pendidikan, termasuk latar belakang organisasi sosial keagamaan yang
mereka wakili. Secara singkat perbedaan kelompok pro-CLD, dapat dilihat
dalam tabel berikut ini:
Tabel No. 3
Data Kelompok Pro-CLD
No Nama
Latar Belakang Profesi
Pendidikan
1.
Siti Musda Mulia
S3 IAIN Jakarta Dosen UIN, dan Peneliti
2.
Abdul Moqsith Al-Ghazali S2 IAIN Jakarta Dosen
Univ.
Paramadina, dan aktivis
JIL
3.
Muhammad Husein
IAIN
Pengasuh Pesantren di
Cirebon
4.
Aida Vitalaya Hubeis
S3 IPB
Dosen IPB, dan aktivis
LSM Perempuan
5.
Ulil Abshar Abdallah
LIPIA dan STF Direktur
JIL
dan
Driyakara
Freedom Institute
Jakarta
Dari tabel tersebut mengindikasikan bahwa kelompok yang mendukung
CLD kebanyakan tergabung dalam pokja Tim Pengarusutaman Gender, kecuali
Aida Vitalaya dan Ulil Abshar Abdallah, keduangya berasal dari aktivis LSM
perempuan dan JIL. Latar belakang pendidikan mereka juga berbeda namun
secara umum para pembela CLD tersebut adalah para aktivis perempuan
termasuk Musda Mulia, meskipun dia juga berprofesi sebagai pengajar di UIN,
di samping ada juga ulamanya dan aktifvis Jaringan Islam Liberal (JIL) seperti
Abdul Moqsith al-Ghazali dan Ulil Abshar Abdallah. Dari segi usia kebanyakan
yang membela CLD adalah para aktifis Islam pada periode pasca-Reformasi di
Indonesia, jadi mereka terbilang masih cukup muda sekitar 40 tahunan. Dalam
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
60
Tobibatussaadah
Kontroversi Pembaruan Hukum…
konteks ini tampaknya polemik tentang CLD juga tampak sekana terjadi
pertentangan secara vis-à-vis kelompok “tua” dan kelompok “muda”, dalam
konteks pembaruan pemikiran Islam kontemporer di Indonesia.
Secara realitas dalam konteks perkembangan pemikiran Islam di Indonesia,
kelompok JIL merupakan kelompok baru---- pasca gerakan pembaruan
Nurcholish Madjid pada tahun 1970-an dan 1980an---- gerakan ini terkenal
dengan gagasan-gagasannya yang liberal dan terlihat berseberangan dengan
pendapat kebanyakan para ulama Islam. Isu-isu semacam “dekonstruksi
Syari‟ah” yang digagas El-Naim, kemudian gagasan “Kiri Islam” Hasan Hanafi,
dan Hamid Nasr Abu Zaid dan sebagainya, sangat mempengaruhi paradigma
pemikiran mereka. Oleh karena itu dalam mengungkapkan pendapatnya
kebanyakan para aktivis tersebut kadang menimbulkan polemik di kalangan
umat Islam, karena berseberangan dengan arus pemikiran Islam yang selama ini
telah dianggap “mapan” dan Qath‟i. Termasuk dalam menggagas ide-ide yang
terdapat dalam CLD juga sedikit banyak dipengaruhi oleh pemahaman mereka
yang liberal terhadap teks-teks ajaran Islam, sehingga menyulut reaksi dan
respon yang sangat luas dan keras serta menjadi isu yang ramai dibicarakan oleh
para pakar hukum Islam, dan masyarakat Islam.
Sebenarnya dalam konteks CLD ini tidak bisa dilepaskan dari faktor
adanya proses bargaining kepentingan antara berbagai kelompok baik yang
pro-CLD maupun kontra terhadap proses pembaruan hukum Islam yang
ditawarkan CLD. Dan dalam perspektif sosiologi hukum Islam, hal ini wajar
karena dalam pendekatan sososilogi dalam studi hukum Islam, sebagaimana
pendapat M. Atho Mudzhar selalu berkaitan dengan tema-tema utama yang
menjadi wilayah kajiannya. Pertama, terdapatnya pengaruh hukum Islam
terhadap masyarakat dan perubahan masyarakat. Kedua, pengaruh perubahan
dan perkembangan masyarakat terhadap pemikiran hukum Islam. Ketiga,
Tingkat pengamalan hukum agama masyarakat. Keempat, pola intekasi social
masyarakat muslim diseputar hukum Islam.120
Dalam kasus CLD tempaknya sinyalemen tersebut terjadi karena CLD
telah menimbulkan reaksi dari berbagai lapisan masyarakat yang beragam,
termasuk dampaknya bagi perkembangan hukum Islam di Indonesia pada
periode mendatang. Tetapi tidak kalah menarik untuk dicermati adalah bahwa
CLD sebenarnya berusaha merevisi KHI yang sedang dipersiapkan untuk
ditetapkan menjadi undang-undang yang permanen. Dalam konteks ini nuansa
politik dan kepentingan kelompok menjadi sangat mendominasi. Oleh karena
itu, menurut Abdurrahman menilai bahwa KHI sebenarnya bukan produk
hukum yang sudah final, karena pembentukan KHI bagi umat Islam merupakan
langkah strategis dalam upaya penerapan hukum Islam. Penetapan KHI baru
merupakan langkah awal yang perlu dikembangkan lebih lanjut, dengan
M. Atho Mudzhar, Studi Hukum Islam dengan Pendekatan Sosiologi, Pidato Pengukuhan
Guru Besar Madya Ilmu Sosiologi Hukum Islam, pada IAIN Sunan Kalijaga, 1999, hlm. 56.
120
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
61
Tobibatussaadah
Kontroversi Pembaruan Hukum…
menyempurnakan susbtansi hukumnya,121 dengan catatan harus melibatkan
semua komponen masyarakat Islam di Indonesia.
F. Penutup
Gagasan pembaruan hukum Islam yang ditawarkan oleh TPG melalui
proyek CLD---khusunya menyangkut hukum keluarga dalam Islam----merupakan fenomena baru dalam spektrum pembaruan hukum Islam di
Indonesia pada era Reformasi. Tetapi tampaknya gagasan pembaruan hukum
Islam tersebut, belum banyak menyentuh kebutuhan riil masyarakat Muslim,
sehingga tidak banyak mendapat “tempat” dan berkenan dalam masyarakat
Muslim Indonesia. Mungkin dalam tataran wacana dalam rangka memperkaya
khazanah intelektual hukum Islam kontemporer di Indonesia, CLD masih bisa
ditolelir, akan tetapi dalam konteks praksis tampaknya masih perlu dikaji ulang
secara seksama. Dalam perspektif lain tampaknya “fiqh lama” yang
diformulasikan oleh para imam madzhab klasik Islam tetap kuat pengaruhnya,
walaupun ada upaya untuk mereformasi bagian susbtansial dari wacana fiqh itu,
tetapi tidak berhasil dengan baik.
Prakarsa para perumus CLD atau “KHI Tandingan” sebenarnya bukanlah
sebuah gejala baru dalam dunia Islam. Jauh sebelumnya telah muncul berbagai
konsep sempalan. Misalnya gagasan sekularisasi Ali Abdur Raziq di Mesir pada
tahun 1920-an, dan Khalid Muhammad Khalid ditahun 1940-an di Mesir, serta
gagasan reformasi Mahmud Taha di Sudan dan muridnya Abdullah el-Naim,
juga gagasan Abu Zaid di Mesir, gagasan sekularisasi Cak Nur, gagasan
reaktualisasi Munawir Syadzali tahun 1980-an di Indonesia, kemudian gagasan
liberal JIL. Semuanya dihubungkan oleh benag halus atau kasar karena takjub
dengan nilai-nilai yang datang dari Barat, dukungan moril dan materil Barat
untuk merombak ajaran Islam berangkat dari paham liberal.
Oleh karena itu setting sosial dan politik termasuk kecenderungan fiqh
yang berlaku di masyarakat juga perlu mendapatkan pertimbangan dari para
praktisi dan pemikir hukum Islam sebelum melakukan pembaruan hukum
Islam. Disamping itu pembaruan hukum Islam seperti kasus CLD harus
mengedepankan kepentingan dan kecenderungan aliran yang dianut umat Islam
dalam koteks pengamalan agamanya. Termasuk melibatkan seluruh komponen
umat Islam, yang terdiri dari para akademisi, ulama, pakar dan praktisi dari
berbadgai organisasi dan sekte-sekte, serta madzhab-madzhab fiqh yang
beragam yang ada di Indonesia.
121 Abdurrahman, Beberapa Catatan Sekitar Pembaharuan Kompilasi Hukum Islam, Makalah
pada Pembahasan CLD KHI, Kelompok Kerja Perdata Agama, Maaaahkamah agung RI 3
November 2004.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
62
Tobibatussaadah
Kontroversi Pembaruan Hukum…
Daftar Pustaka
Abdul Gani Abdullah, Himpunan Perundang-Undangan dan Peraturan Peradilan
Agama, (Jakarta: Intermasa, 1991)
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakrta: Akademika Pressindo,
1995
____________, Beberapa Catatan Sekitar Pembaharuan Kompilasi Hukum Islam,
Makalah pada Pembahasan CLD KHI, Kelompok Kerja Perdata Agama,
Mahkamah Agung RI, 3 November 2004.
Ali Mustafa Ya‟qub, Departemen Agama Kebobolan Pemikiran Iblis, dalam Harian
Pelita, 8 Oktober 2004.
Bustanul Arifin, Kompilasi; Fiqh dalam Bahasa Undang-Undang, dalam Pesantren
No. 2, Vol. II tahun 1985.
Huzaimah Tahido Yanggo, dalam bagian lampiran, Kontroversi Revisi Kompilasi
Hukum Islam, (Jakarta :Adelina, 2005
Kompas, Menyosialisasikan “Counter Legal Draft” Kompilasi Hukum Islam, tanggal
11 Oktober 2004.
M. Atho Mudzhar , Membaca Gelombang Ijtihad Antara Tradisi dan Liberasi,
(Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998
_______________,
Studi Hukum Islam dengan Pendekatan Sosiologi, Pidato
Pengukuhan Guru Besar Madya Ilmu Sosiologi Hukum Islam, pada IAIN
Sunan Kalijaga, 1999.
Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: Gunung Agung, 1989
M. Tahir Azhary, Tanggapan Terhadap Pembaharuan Hukum Islam Counter Legal
Draft KHI, Makalah Diskusi Disampaikan di hadapan Forum Diskusi
pembaharuan Hukum Islam, Senin, 4 Oktober 2004 di Ball Room Hotel
Aryaduta, Jakarta.
Nabilah Lubis, Perkembangan Pemikiran Akatual Hukum Perkawinan Indonesia
dalam Perspektif Islam, makalah disampaikan
dalam seminar yang
diselenggarakan oleh Muslimat NU tanggal 14 Mei 2005 di Jakarta.
Nurul Agustina, “Gerakan Feminisme Islam dan Civil Society” dalam
Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus, (ed.), Islam Negara dan Civil Society
Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, (Jakarta:Paramadina, 2005
Panji Masyarakat No. 502, Th XXVII tanggal 1 Mei 1986.
Rifyal Ka‟bah, Kompilasi Hukum Islam (KHI) Tandingan, Makalah Tanggapan
Umum Terhadap CLD, Jakarta, 2004
Siti Musda Mulia , dalam “ Kata Pengantar”, Pembaruan Hukum Islam Counter
Legal Draft Kompilasi Hukum Islam , (Jakarta: Tim Pengarusutamaan Gender
Depag, 2004)
Tim Pengarusutamaan Gender Depag, Pembaruan Hukum Islam Counter Legal
Draft KHI, (Jakarta: Depag, 2004
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
63
MEMAHAMI IJTIHÂD HUKUM ISLAM ‘UMAR BIN AL- KHATTÂB
Solihin Panji
Program Pascasarjana (PPs) STAIN
Jurai Siwo Metro Lampung
Abstract
Basically, this article will discuss the 'Umar bin al-Khattâb ijtihâd in Islamic law. One of
the related problem is how to describe 'Umar bin al-Khattâb theoretical framework and
methodology of Islamic law istinbât. According to this second caliph to develop Islamic
law thought it is urgent need to explore the philosophy of Islamic law and public interest
especially to response several contemporary problems of Islamic law at that time. In this
context, the using and the integrating or combining the legal formal - ideal moral
approach model and emphirical - inductive approach model constitutes the necessity
because it is a way to produce solutive intellectual exercise in the field of Islamic law.
Keywords: ijtihâd, istinbât, dan hukum Islam
“Orang yang patut memegang kekuasaan seyogyanya hanya mereka yang memiliki
empat sifat: lunak tetapi tidak lemah, keras tetapi tidak kejam, hemat tetapi tidak kikir,
dan murah hati tetapi tidak berlebih-lebihan”.
(„Umar bin al-Khattâb)122
A. Pendahuluan
„Umar bin al-Khattâb adalah salah seorang tokoh besar dalam khazanah
sejarah Islam. Khalîfah kedua ini memeluk dîn al-Islâm pada tahun keenam dari
kenabian Muhammad saw ketika beliau berumur 27 tahun.123 Ia adalah profil
seorang pemimpin yang sukses, mujtahid ulung dan dikenal dengan sikapnya
yang tegas dalam menegakkan keadilan.
Sulit ditemukan kepribadian seorang penguasa yang banyak memberikan
kekaguman orang-orang di sekitarnya sebagaimana yang ada pada pribadi
„Umar bin al-Khattâb. Sehingga pokok-pokok pikiran maupun metodologi berijtihâdnya banyak diadopsi oleh pemikir-pemikir Islam modern dalam
merumuskan produk hukum yang dinilai sesuai dengan perkembangan zaman.
Muhammad Husain Haikal dalam prakata bukunya menulis:124
Jika orang berbicara tentang zuhud —meninggalkan kesenangan dunia— padahal
orang itu mampu hidup senang, maka orang akan teringat pada zuhud Umar.
Apabila orang berbicara tentang keadilan yang murni tanpa cacat, orang akan
teringat pada keadilan Umar. Jika berbicara tentang kejujuran, tanpa membedabedakan keluarga dekat atau bukan, maka orang akan teringat pada kejujuran
122 Muhammad „Abdul „Azîz al-Halâwî, selanjutnya disebut al-Halâwî, Fatwa dan Ijtihad
„Umar bin al-Khattâb; Ensiklopedia Berbagai Persoalan Fiqih, terj. Zubeir Suryadi Abdullah (Surabaya:
Risalah Gusti, 1999), h. 8.
123 Ruwai'î, Fiqh „Umar bin al-Khattâb Muwâzinan bi Fiqh Asyhuril Mujtahidîn, Juz 1 (Beirut:
Dâr al Garbi al-Islâmî, 1403 H), h. 21.
124 Muhammad Husain Haikal, Umar bin Khattab; Sebuah Talaah mendalam tentang
Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya Masa Itu, terj. Ali Audah, Cet. Kesepuluh (Jakarta: Lentera
Antar Nusa, 2010), h. xix
Solihin Panji
Memahami Ijtihâd Hukum…
Umar, dan jika ada yang berbicara tentang pengetahuan dan hukum agama yang
mendalam, orang akan teringat pada Umar.
Hal tersebut bisa terjadi lantaran dalam berbagai kesempatan „Umar bin alKhattâb tercatat sering diajak berunding oleh Rasulullah saw, terutama dalam
menghadapi persoalan-persoalan kemasyarakatan.125 Tidak jarang apa yang
disarankan „Umar bin al-Khattâb disetujui oleh Rasulullah saw, bahkan lebih
jauh ada pula pendapatnya yang mendapat konfirmasi dari al-Qur‟an.126
Pada masa „Umar bin al-Khattâb menjabat sebagai khalifah kedua, wilayah
kekuasaan Islam telah sedemikian luasnya hingga ke daerah Mesir. Dalam
wilayah yang sedemikian luas itu, persoalan-persoalan baru dalam masyarakat
menjadi bertambah kompleks. Berbagai pertimbangan terhadap situasi konkrit
dan realitas umat nampaknya ikut mempengaruhi Khalîfah „Umar bin al-Khattâb
dalam mengurus masyarakat dan menafsirkan kembali aturan-aturan yang
sudah berlaku sebelumnya. Atas dasar pemahaman itu, dalam beberapa kasus
Khalîfah „Umar bin al-Khattâb mengadakan perputaran hukum dan melakukan
penyesuaian sesuai dengan kasus dan dasar perilaku orang yang berperkara.
Namun perlu dicatat, bahwa keberhasilan penerapan hukum Islam masa
Khalîfah „Umar bin al-Khattâb tidak lepas dari upayanya dalam melakukan
“setting sosio-kultural” masyarakat masa itu. Setting sosio-kultural
dimaksudkan untuk membangun paradigma berfikir masyarakat dengan
menanamkan pemikiran yang logis tanpa mengesampingkan al-adillah alnaqliyah.
Pada tataran inilah, makalah ini hadir sebagai usaha untuk mengeksplorasi
dan mengelaborasi Pemikiran dan Ijtihad Hukum „Umar bin al-Khattâb,
khususnya di bidang Hukum Keluarga, dengan berusaha menjawab apa yang
melandasi Ijtihad Hukum „Umar bin al-Khattâb? dan bagaimana metodologi
istinbât al-hukm „Umar bin al-Khattâb dalam berfatwa?
Pembahasan akan dititikberatkan kepada kajian sejarah dan metodologi
istinbât} al-hukm „Umar bin al-Khattâb yang digunakannya dalam memecahkan
masalah-masalah sosial dan contoh-contoh ijtihâd Hukum „Umar bin al-Khattâb.
Hal-hal lain yang berkaitan erat dengan pokok-pokok masalah tersebut akan
dikemukakan secara garis besar, seperti sketsa biografis dan kontribusi
pemikiran „Umar bin al-Khattâb dalam mewarnai khazanah intelektual Islam.
125 Amiur Nuruddin, Ijtihad „Umar bin al-Khattâb: Studi tentang Perubahan Hukum dalam Islam
(Jakarta: Rajawali Pers,1987), h. xii
126 Setidaknya ada 14 masalah terkait dengan „Umar bin al-Khattâb yang mendapat
konfirmasi dari Al Quran, antara lain: Pertama, Usulan „Umar bin al-Khattâb agar Maqâm Ibrahim
dijadikan tempat salat, yang kemudian turun ayat "wattakhaz\û min maqâmi ibrâh>ima mus}allâ";
Kedua, Usulan „Umar bin al-Khat}t}âb kepada Nabi agar Muslimah memakai h}ijâb ketika
berhadapan dengan orang laki-laki, kemudian turun ayat "Wa iz\â sa‟altumuhunna mata‟an
fasa‟altumuhunna min warâ'i h}ijâb", Ketiga, Permohonan penjelasan dari „Umar bin al-Khat}t}âb atas
keharaman arak yang kemudian dijawab oleh Allah swt dalam surat al-Mâidah ayat 90. Lebih jelas
baca Ruwai'î, op.cit., h 23-28.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
65
Solihin Panji
Memahami Ijtihâd Hukum…
Untuk membantu menganalisis data tersebut, pembahasan ini didukung
oleh beberapa sumber data seperti kitab-kitab sejarah Islam, perkembangan
pemikiran era al-khulafâ‟ al-râsyidûn, dan kitab-kitab pendukung lainnya. Daftar
pustaka bukan hanya sekedar penulis maksudkan sebagai sumber rujukan,
tetapi juga untuk bacaan lanjutan tentang hal-hal yang dibahas baik sejara detail
maupun ringkas.
Terakhir, untuk memetakan penulisan ini, penulis akan menggunakan
model penelitian yang ditawarkan oleh Nasr Hâmid Abû Zaid sebagai metode
“trans-posisi historis”, yaitu dengan: 1] membaca pemikiran masa lalu, dan 2]
mendiskusikan pemikiran tersebut dalam konteks kekinian.127
B. Pembahasan
1. Sketsa Biografis ‘Umar bin al-Khattâb
a. Nasab ‘Umar bin al-Khattâb
Nama lengkap beliau adalah „Umar bin al-Khattâb bin Nufail bin
„Abdul „Uzzâ bin Riyah bin Abdullâh bin Qart} bin Razah bin „Adî bin
Ka‟ab bin Lu‟ay bin Gâlib, dari Banî Adî, salah satu rumpun suku
Quraisy. Dilahirkan di Mekah pada tahun 561 M, 40 tahun sebelum
hijriah. Ayahnya bernama Khattâb bin Nufail al-Simh al-Quraisyî dan
ibunya Hantamah binti Hâsyim bin al Mugîrah al Makhzûmiyah.
Rasulullah memberi beliau kunyah (nama panggilan berdasarkan sisilah)
Abû Hafs (bapak Hafsah) karena Hafsah adalah anaknya yang paling
tua dan memberi laqab (julukan) al-Fâruq kepadanya.128
Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah saw pada
kakeknya, Ka‟ab. Antara beliau dengan Rasulullah selisih 8 kakek.
Moyangnya memegang jabatan duta besar dan leluhurnya adalah
pedagang. Ia salah satu dari 17 orang Mekah yang terpelajar ketika
kenabian dianugerahkan kepada Muhammad saw. „Umar juga dikenal,
karena fisiknya yang kuat dimana ia menjadi juara gulat di Mekkah.129
b. ‘Umar bin al-Khattâb memeluk Islam
Ketika ajakan memeluk Islam dideklarasikan oleh Nabi
Muhammad saw, „Umar bin al-Khattâb mengambil posisi untuk
membela agama tradisional kaum Quraisy (menyembah berhala). Pada
saat itu „Umar bin al-Khattâb adalah salah seorang yang sangat keras
dalam melawan pesan Islam dan sering melakukan penyiksaan
terhadap pemeluknya.
Menurut pendapat yang masyhur, sebagaimana telah disinggung
dimuka bahwa „Umar bin al-Khattâb masuk Islam pada tahun keenam
127 Nasr Hâmid Abû Zaid, Mafhûm al-Nâs; Dirâsah fî „Ulûm al-Qur‟ân (Hazîrân: al-Markâz alSaqafî al-Farabî, 1990), h. 5.
128 Muhammad Husain Haikal, Umar bin Khattab…, op.cit., h. 10
129 Ibid, h. 2
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
66
Solihin Panji
Memahami Ijtihâd Hukum…
kenabian Muhammad saw.130 Dengan masuknya „Umar bin al-Khattâb
dalam barisan orang-orang Islam waktu itu menambah kegembiraan
dan menjadi penyemangat bagi Muslim yang lain. Sebab beliau di
antara orang yang berpengaruh di kaumnya.
c. Masa Ke-khalîfah-an ‘Umar bin al-Khattâb
Setelah Khalîfah Abû Bakar al-Siddîq wafat maka tampuk
pimpinan dipegang oleh „Umar bin al-Khattâb, dan pada masa „Umar
bin al-Khattâb ini kondisi kenegaraan sangat damai, serta kesejahteraan
masyarakat semakin membaik daripada masa sebelumnya. Meskipun
„Umar bin al-Khattâb hanya memerintah selama 10 tahun 5 bulan 21
hari, namun pada masa yang sangat singkat ini beliau telah mampu
Sejarah merekam detik-detik masuknya „Umar bin al-Khat}t}âb dalam Islam, bahwa
suatu hari, beliau keluar dengan menghunus pedangnya bermaksud membunuh Rasulullah saw.
Dalam perjalanan, beliau bertemu dengan Nu‟aim bin Abdullâh al „Adawî, seorang laki-laki dari
Bani Zuhrah. Lelaki itu berkata kepada „Umar bin al-Khattâb, “Mau kemana wahai Umar?” „Umar
bin al-Khattâb menjawab, “Aku ingin membunuh Muh}ammad.” Lelaki tadi berkata, “Bagaimana
kamu akan aman dari Banî Hâsyim dan Bani Zuhrah, kalau kamu membunuh Muhammad?” Maka
Umar menjawab, “Tidaklah aku melihatmu melainkan kamu telah meninggalkan agama nenek
moyangmu.” Tetapi lelaki tadi menimpali, “Maukah aku tunjukkan yang lebih
mencengangkanmu, hai Umar? Sesungguhnya adik perampuanmu dan iparmu telah
meninggalkan agama yang kamu yakini.” Kemudian dia bergegas mendatangi adiknya yang
sedang belajar al-Qur‟an, surat Tâhâ kepada Khabab bin al-Arat. Tatkala mendengar „Umar bin alKhat}t}âb datang, maka Khabab bersembunyi. „Umar bin al-Khattâb masuk rumahnya dan
menanyakan suara yang didengarnya. Kemudian adik perempuan „Umar bin al-Khat}t}âb dan
suaminya berkata, “Kami tidak sedang membicarakan apa-apa.” „Umar bin al-Khat}t}âb
menimpali, “Sepertinya kalian telah keluar dari agama nenek moyang kalian.” Iparnya menjawab,
“Wahai Umar, apa pendapatmu jika kebenaran itu bukan berada pada agamamu?” Mendengar
ungkapan tersebut „Umar bin al-Khat}t}âb memukulnya hingga terluka dan berdarah, karena tetap
saja saudaranya itu mempertahankan agama Islam yang dianutnya, „Umar bin al-Khattâb berputus
asa dan menyesal melihat darah mengalir pada iparnya. „Umar bin al-Khattâb berkata, “Berikan
kitab yang ada pada kalian kepadaku, aku ingin membacanya.” Maka adik perempuannya berkata,
“Kamu itu kotor. Tidak boleh menyentuh kitab itu kecuali orang yang bersuci. Mandilah terlebih
dahulu!” Lantas „Umar bin al-Khat}t}âb mandi dan mengambil kitab yang ada pada adik
perempuannya. Ketika dia membaca surat Tâhâ, dia memuji dan muliakan isinya, kemudian minta
ditunjukkan keberadaan Rasulullah. Tatkala Khabab mendengar perkataan„Umar bin al-Khattâb,
dia muncul dari persembunyiannya dan berkata, “Aku akan beri kabar gembira kepadamu, wahai
Umar! Aku berharap engkau adalah orang yang didoakan Rasulullah pada malam Kamis, „Ya
Allah, muliakan Islam dengan „Umar bin al-Khattâb atau Abû Jahl (Amru) bin Hisyâm.‟ Waktu itu,
Rasulullah saw berada di sebuah rumah di daerah Safâ.” „Umar bin al-Khattâb mengambil
pedangnya dan menuju rumah tersebut, kemudian mengetuk pintunya. Ketika ada salah seorang
melihat „Umar bin al-Khattâb datang dengan pedang terhunus dari celah pintu rumahnya,
dikabarkannya kepada Rasulullah saw. Lantas mereka berkumpul. Hamzah bin Abdul Mut}âlib
bertanya, “Ada apa kalian?” Mereka menjawab, “Umar datang!” Hamzah bin Abdul Mut}âlib
berkata, “Bukalah pintunya. Kalau dia menginginkan kebaikan, maka kita akan menerimanya,
tetapi kalau menginginkan kejelekan, maka kita akan membunuhnya dengan pedangnya.”
Kemudian Rasulullah saw menemui „Umar bin al-Khattâb dan berkata kepadanya, “Ya Allah, ini
adalah „Umar bin al-Khattâb. Ya Allah, muliakan Islam dengan „Umar bin Khattab.” Dan dalam
riwayat lain, “Ya Allah, kuatkanlah Islam dengan Umar.” Seketika itu pula „Umar bin al-Khattâb
bersyahadat, dan orang-orang yang berada di rumah tersebut bertakbir dengan keras. Menurut
pengakuannya dia adalah orang yang ke-40 masuk Islam. Abdullâh bin Mas‟ûd berkomentar,
“Kami senantiasa berada dalam kejayaan semenjak „Umar bin al-Khattâb masuk Islam.” Lihat Abû
„Isâ al-Tirmizî, Sunan al-Tirmizî. (Indonesia: Maktabah Dahlan, tt.), nomor: 3614, hadîs hasan sahîh
garîb.
130
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
67
Solihin Panji
Memahami Ijtihâd Hukum…
mengantarkan negara Islam sebagai sebuah negara yang aman serta
perekonomiannya makmur dan berkeadilan, hal ini terbukti dari
kondisi perekonomian dan pendapatan masyarakat Arab pada masa itu
yang bisa digolongkan pada taraf perekonomian merata. Adam Smith
pun mengakui hal ini dengan mengatakan bahwa, masyarakat ekonomi
maju yang menjadi sistem ekonomi panutan pada masa itu adalah
bangsa Arab yang dipimpin oleh “Mahomet and his immediate successors”
atau lebih tepatnya Rasûlullâh Muhammad s.a.w. dan al-Khulafâ‟ alRâsyidûn, yang hidup jauh sebelum dia lahir.131
Kekayaan dan kemakmuran negara pada masa pemerintahan
khalîfah „Umar bin al-Khattâb tersebut bersumber dari harta rampasan
perang (ganîmah dan fai‟),132 perpajakan (kharâj),133 perlindungan jiwa
(jizyah),134 bea cukai („usyr),135 dan zakat.136 Di setiap provinsi, semua
biaya untuk urusan administrasi lokal, belanja tahunan negara, gaji
pasukan, dan berbagai bentuk layanan masyarakat dipenuhi dari
pemasukan lokal, dan sisanya dimasukkan ke dalam kas negara.137
Adam Smith, The Wealth of Nations (New York: The Modern Library, 1937), h. 365.
Ganîmah adalah harta rampasan perang dari kafir harbî yang ditinggalkan oleh mereka di
medan peperangan, sedangkan Fai‟ adalah harta hasil rampasan dari kafir harbî yang diperoleh
tanpa peperangan. Lihat Abû Ja‟far Muh}ammad bin Jarîr al-Tabarî selanjutnya disebut al-Tabari,
Târikh al-Umam wa al-Mulûk, Jilid V (Beirut: Dâr al-Fikr, 1978), h. 78.
133 Kharâj (tributan soli) adalah pajak tanah yang dipungut dari non-muslim ketika tanah
mereka berhasil ditaklukkan. Jumlah kharaj dari tanah ini tetap, yaitu setengah dari hasil produksi
kepada negara (wazîfah). Lihat Abû „Ubaid al-Qâsim bin Sallâm al-Harwî, Kitâb al-Amwâl. ed.
Muh}ammad Khalîl Harrâs (Beirut: Dâr al-Fikr li al-Tibâ„ah wa al-Nas}r wa al-Taujî„, 1988), Juz I,
hlm. 94-95. Istilah kharâj ini, dilihat dari kacamata sejarah, dipinjam oleh bangsa Arab dari bahasa
administratif Bizantium, yang pada mulanya berarti upeti, yang dalam bahasa Persia dikenal
dengan istilah kharag. Terminologi ini sudah dikenal sejak masa Yunani ketika dibawah kekuasaan
Romawi dengan istilah Tributan soli, yang kemudian diserap ke dalam bahasa Arab dan dicernakan
dengan pertimbangan makna yang sama dengan hasil bumi, kemudian dalam terminologi ekonomi
dimaknai dengan “Pajak yang harus dibayar atas dasar hak kepemilikan tanah”, Lihat
Muh}ammad, Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Ekonomi Islam (Jakarta: Salemba Empat, 2002), hlm.
183. Berbeda dengan pengertian di atas, Masdar F Mas‟udi mengemukakan bahwa kharrâj
bukanlah pajak tanah, melainkan semacam retribusi atau sewa tanah negara yang dibayarkan oleh
penggarapanya. Lihat Masdar F Mas‟udi, Agama Keadilan Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1991), h. 2-6.
134 Jizyah (tributum capitis) adalah pajak yang dibayarkan oleh orang non-muslim khususnya
ahlu-kitab, untuk jaminan perlindungan jiwa, properti, ibadah, serta bebas dari nilai-nilai, dan tidak
wajib militer. Pada masa Rasûlullâh s.a.w., jizyah ditetapkan melalui sahabatnya Muaz\ bin Jabal
ketika diutus ke Yaman, yaitu sebesar satu dinar per tahun bagi yang sudah balig dan mampu
membayar. Pembayaran tidak harus berupa uang tunai, tetapi dapat juga berupa barang dan jasa.
Namun menurut Abû „Ubaid, ukuran ini rupanya tidak menjadi ketentuan baku, hal ini beliau
analogikan dari sikap „Umar bin al-Khat}t}âb yang memungut jizyah sebanyak 4 (empat) dinar atau
40 (empatpuluh) dirham. Lihat Abû „Ubaid, op. cit., Juz I, h. 37, no: 72.
135 „Usyr adalah bea cukai/import yang dikenakan kepada semua pedagang (baik pedagang
Muslim maupun non-Muslim) ketika melintasi wilayah daulah Islamiyyah. Pedagang Muslim
dikenakan rub„u al-„ushr (2,5%), ahlu al-dhimmah dikenakan nisf al-„ushr (5%) dan ahlu al-harb
dikenakan „usyr (10%); bea cukai dikenakan terhadap barang-barang yang lebih dari 200 dirham.
Abû „Ubaid, Ibid, Juz I, hlm. 24; Juz IV, h. 642.
136 Ibid, Juz I, h. 51, 76, 108-109.
137 al-Tabari, Târikh al-Umam wa al-Mulûk…., op.cit., h. 182.
131
132
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
68
Solihin Panji
Memahami Ijtihâd Hukum…
Pada masa ini „Umar bin Khattâb membentangkan garis
perbedaan mendasar pengelolaan ekonomi dengan kerajaan lainnya,
seperti sistem feodalisme yang diterapkan di Iran dan Irak.138
Pengelolaaan harta selalu diserahkan dan disimpan dalam Bait al-Mâl
yang siap digunakan untuk kepentingan umum, dan bukan untuk
kepentingan khalîfah. Devisa Negara dan kekayaan Khalifah selalu
disimpan secara terpisah dari aparat eksekutif, meskipun semuanya
berada di bawah kekuasaan eksekutif. „Umar bin al-Khattâb juga
menerapkan gaji bulanan ataupun tahunan bagi para aparat keamanan,
selain itu juga masyarakat bisa memperoleh tunjangan yang diambil
dari harta benda umum, bahkan para wanita dan bayi yang baru lahir
berhak mendapat santunan dari negara.139
Selama pemerintahan „Umar bin al-Khattâb, kekuasaan Islam
tumbuh dengan sangat pesat. Islam mengambil alih Mesopotamia dan
sebagian Persia dari tangan dinasti Sassanid dari Persia (yang
mengakhiri masa kekaisaran Sassanid) serta mengambil alih Mesir,
Palestina, Syria, Afrika Utara dan Armenia dari kekaisaran Romawi
(Byzantium). Saat itu ada dua negara adidaya yaitu Persia dan Romawi.
Namun keduanya telah ditaklukkan Islam pada zaman „Umar bin alKhattâb.140
„Umar bin al-Khattâb melakukan banyak reformasi secara
administratif dan mengontrol dari dekat kebijakan publik, termasuk
membangun sistem administratif untuk daerah yang baru ditaklukkan.
Ia juga memerintahkan diselenggarakannya
di seluruh wilayah
kekuasaan Islam. Tahun 638 M, ia memerintahkan untuk memperluas
dan merenovasi Ia juga memulai proses.141
Pada sekitar tahun ke 17 Hijriah, tahun keempat kekhalîfahannya,
„Umar bin al-Khattâb mengeluarkan keputusan bahwa penanggalan
Islam hendaknya mulai dihitung saat peristiwa142 dan membentuk kas
negara (Baitul Mâl), menyatukan orang-orang yang melakukan shalat
138 Iran dan Irak pada saat itu adalah Negara yang Monarkhi, yang mana sistem ekonomi
yang diterapkan adalah sistem feodalisme yang membagi ekonomi menjadi dua kelas, yaitu kelas
kaya dan kelas miskin. Kelas kaya yaitu terdiri dari raja, para anggota istana, para pejabat, para
baron, para tuan tanah, dan pemimpin-pemimpin agama. Kelas ini menguasai segala sumber
produksi yang ada. Sedangkan kelas yang miskin terdiri dari para petani, tukang-tukang dan para
penghasil barang, dan mereka ini tidak dibenarkan untuk mengkonsumsikan barang yang mereka
hasilkan sendiri. Dan cara ini dimaksudkan untuk membantu kelompok kaya agar selalu
bertambah kaya dengan mengekploitasi kelompok orang-orang miskin. Dan yang paling berkuasa
dalam penerapan sistem seperti ini adalah para raja yang bebas untuk menggunakan kekayaannya.
139 Joesoef Sou‟yb, Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 318.
140 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, Cet. Kelima (Jakarta
Universitas Indonesia Press, 1985), h. 57-58.
141 Ibid.
142 Philip K. Hitti, History of the Arabs, Terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi
(Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, Cet. II, 2010), h. 219.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
69
Solihin Panji
Memahami Ijtihâd Hukum…
sunah Tarâwîh dengan satu imam, menciptakan lembaga peradilan,
membentuk lembaga perkantoran, membangun balai pengobatan,
membangun tempat penginapan, memanfaatkan kapal laut untuk
perdagangan, mencetak mata uang dirham, audit bagi para pejabat serta
pegawai dan juga konsep yang lainnya.143
d. Wafatnya Khalîfah ‘Umar bin al-Khattâb
Khalîfah „Umar bin al-Khattâb meninggal dunia pada hari Ahad
Awal Muharram tahun 24 H/644 M akibat luka-luka yang dideritanya
atas percobaan pembunuhan terhadap dirinya pada hari Rabu tanggal
26 Zulhijjah tahun 23 H/644 M, beliau wafat dalam usia 63 tahun dan
dimakamkan di samping Rasulullah saw dan Abû Bakar.144 Total masa
pemerintahannya adalah 10 tahun 5 bulan 21 hari.145
Pelaku percobaan pembunan terhadapnya tersebut ialah seorang
Parsi, bekas tawanan dari Nahawand yang telah dimerdekakan oleh
Panglima al-Mugîrah bin Syu‟bah (oleh sebab itulah ia sering dipanggil
sebagai anak angkat al-Mugirah). Ia bernama Abû Lu‟lu‟ al-Fairuz.
Pembunuhan ini konon dilatarbelakangi dendam pribadi Abû Lu‟lu‟ alFairuz yang merasa merasa sakit hati atas kekalahan Persia yang saat itu
merupakan negara digdaya, oleh „Umar bin al-Khattâb.146
Sebelum wafat, „Umar bin al-Khattâb berwasiat agar urusan
khilâfah dan pimpinan pemerintahan, dimusyawarahkan oleh enam
orang yang telah mendapat ridâ Allah dan Rasulullah saw. Mereka
adalah Usmân bin „Affân, „Alî bin Abî Tâlib, Talhah bin Ubaidillâh,
Zubair bin „Awwâm, Sa‟ad bin Abî Waqqâs, dan Abdurrahmân bin
Auf.147
2. Ijtihâd Hukum ‘Umar bin al-Khattâb
Khudri Bek, dalam Târîkh al-Tasyrî‟ al-Islâmî membagi sejarah
pembentukan hukum Islam kepada enam periode, yaitu: 148
1. Pembentukan Hukum Islam pada masa hidupnya Nabi Muhammad
saw;
2. Pembentukan hukum Islam pada masa sahabat besar. Masa ini berakhir
dengan berakhirnya al-Khulafâ‟ al-Râsyidûn;
3. Pembentukan hukum Islam pada masa sahabat dan tâbi‟în yang sejajar
dengan mereka kebaikannya. Masa ini berakhir dengan berakhirnya
abad pertama hijriyah atau sedikit sesudah itu;
Joesoef Sou‟yb, op.cit., h. 317.
Ibid, h. 141.
145 Ibid, h. 311.
146 Ibid, h. 315
147 Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, 2009), h. 104.
148 Khudrî Bik, Târîkh al-Tasyrî‟ al-Islâmî (t.t.: al-Haramain, t.th.), h. 4.
143
144
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
70
Solihin Panji
Memahami Ijtihâd Hukum…
4. Pembentukan hukum pada masa fikih sudah menjadi cabang ilmu
pengetahuan. Periode ini berakhir dengan berakhirnya abad ketiga
hijriyah;
5. Pembentukan hukum pada masa yang di dalamnya telah
dimasukkannya masalah-masalah yang berasal dari para Imam, dan
munculnya karangan-karangan besar. Masa ini berakhir dengan
berakhirnya Daulah Abbasiyah di Bagdad;
6. Pembentukan hukum pada masa taklid semata-mata. Masanya sesudah
periode kelima sampai sekarang.
Berdasarkan periodisasi tersebut di atas, maka Khalîfah „Umar bin alKhattâb masuk pada masa yang kedua. Penulis mencoba memaparkan
proses pembentukan hukum Islam masa itu, yang bermuara pada ijtihâd
khalîfah „Umar bin al-Khattâb.
Sebelum jauh membahas ijtihad hukum, terlebih dahulu penulis akan
mengemukakan definisi dari ijtihad dan hukum itu sendiri. Pengertian
ijtihad atau al-Ijtihâd, berasal dari kata al-jahd atau al-juhd (‫)الجهد‬, secara
etimologi berarti al-t}aqah (‫ )الطقة‬yang mengandung makna tenaga,
kuasa, dan daya, sementara al-ijtihâd dan al-tajâhud berarti “penumpahan
segala kesempatan dan tenaga”.149 Secara terminologis, Subhi Mahmassani
mendefinikan ijtihad sebagai: “meluangkan kesempatan dalam usaha
mengetahui ketentuan-ketentuan hukum dari dalil syari‟at”.150 Senada
dengan itu, Abdul Wahab Khalaf mendefinisikannya sebagai: “suatu upaya
berpikir secara optimal dalam menggali hukum Islam dari sumbernya
untuk memperoleh jawaban terhadap permasalahan hukum yang muncul
dalam masyarakat”.151
Sedangkan menurut ilmu usul fiqh, kata ijtihâd identik dengan kata
“istinbat” yang berasal dari kata nabt (‫ )نبط‬yang berarti “air yang mulamula memancar keluar dari sumur yang digali”. Dengan demikian,
menurut bahasa, arti istinbat
adalah “mengeluarkan sesuatu dari
persembunyiannya”. Jadi arti ijtihâd atau istinbât adalah “menggali hukum
syara‟ yang belum ditegaskan secara langsung oleh nass al-Qur‟an atau
Sunnah.152
Sedangkan hukum Islam, menurut istilah sering dipahami sebagai
terjemahan dari “islamic law” yang menyamakannya dengan istilah
149 Jamâl al-Dîn Muh}ammad Ibn Marwân, Lisân al-Arab, Juz III (Mesir: Dâr al-Misriyyah alTa‟lîf wa Tarjamah, t.t.), h. 107-109.
150 Subhi Mahmassani, Falsafah al-Tasyrî‟ fî al-Islâm, terj. Ahmad Sudjono, Cet. I (Bandung: alMa‟arif, 1981), h. 143.
151 Abdul Wahab Khalaf, „Ilm Ushûl al-Fiqh (Kairo: Daar Al-Kuwaitiyah, 1968), h 216
152 Ibrahim Hosen (et.al), Ijtihad Dalam Sorotan, Cet. IV (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 13-25.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
71
Solihin Panji
Memahami Ijtihâd Hukum…
syarî‟ah, tasyrî‟, dan fiqh, walaupun secara terminologi ada perbedaan dari
ketiga istilah tersebut.153
3. Sumber Ijtihâd ‘Umar bin al-Khattâb dalam Hukum Islam
Hukum Islam mengakui kehormatan manusia, dan di sisi yang lain
mengarahkannya kepada perwujudan kemaslahatan masyarakat.
Penerapan hukum Islam terhadap situasi yang beraneka ragam, baik dalam
arti masa maupun dalam arti tempat membutuhkan hukum yang fleksibel.
Karena tujuan hukum Islam adalah kebahagiaan hidup manusia di dunia
dan di akhirat kelak, dengan jalan mengambil segala yang bermanfaat dan
mencegah yang mudarat yaitu yang tidak berguna bagi kehidupan.
Dengan kata lain penerapan hukum adalah kemaslahatan hidup
manusia, baik rohani maupun jasmani, individual dan sosial.
Terpenuhinya kebutuhan masyarakat. Artinya fungsi hukum adalah
memberikan jawaban terhadap problematika sosial.
Pada masa Khalîfah „Umar bin al-Khattâb, setiap masalah hukum
yang dihadapinya, beliau mencari ketetapan hukum dalam al-Qur‟an, bila
tidak dijumpai dalam al-Qur‟an, kemudian dalam Sunnah Rasulullah saw,
bila tidak ditemukan juga maka beliau konfirmasikan dan konsultasikan
kepada sesama sahabat untuk menetapkan hukumnya.154
Diriwayatkan al-Baihaqi, bahwa „Umar bin al-Khattâb pernah
mengirim surat instruksi kepada Syuraih yang isinya antara lain, “apabila
engkau menghadapi suatu masalah, sementara masalah itu terdapat dalam
kitab Allah, maka putuskan masalah itu denganya, dan jangan seorang pun
dapat memalingkan keputusanmu darinya. Dan apabila masalah itu tidak
terdapat dalam Kitab Allah, tetapi terdapat dalam sunnah Rosulullah saw,
maka putuskanlah masalah itu dengannya. Jika masalah itu tidak terdapat
dalam keduanya, maka putuskanlah dengan apa yang telah diputuskan
oleh imam-imam (para pemimpin) yang mendapat petunjuk. Jika tidak
terdapat dalam ketiganya, maka Anda bisa memilih di antara dua
alternatif: Pertama, ber-ijtihâd dengan pendapatmu, dan kedua, meminta
pertimbangan kepadaku. Aku yakin Anda meminta pertimbangan
kepadaku tentu akan membuat Anda lebih selamat”.155
153 Kata syarî‟ah dalam bahasa Arab berarti tempat air minum yang selalu menjadi tujuan
manusia maupun binatang. Oleh karena itu syarî‟at dalam arti hukum Islam berarti sumber hukum
Islam yang tidak berubah sepanjang masa. Adapun kata tasyrî‟ berarti pembentukan hukum Islam
secara sistematis, pembentukan hukum-hukum teoritis dan hukum-hukum praktis. Tasyrî‟ terbagi
menjadi dua, yaitu tasyrî‟ samâwî (hukum buatan Allah swt) dan tasyrî‟ wad‟î (hukum buatan
manusia). Sedangkan Fiqh mengandung arti hukum-hukm yang dibentuk berdasarkan syarî‟at,
yaitu hukum-hukum yang penggaliannya memerlukan renungan yang mendalam, pemahaman
atau pengetahuan ijtihâd. Lihat Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam (Bandung: Unisba, 1995), h. 10
154 Abdul Wahab Khalaf, Khulâs}ah Târîkh al-Tasyrî‟ al-Islâmî, terj. Wajidi Sayadi, Cet. I
(Jakarta: Grafindo Persada, 2001), h. 55-56.
155 al-Halawî, op.cit., h. 9.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
72
Solihin Panji
Memahami Ijtihâd Hukum…
Beberapa Produk Ijtihâd ‘Umar bin al-Khattâb
1. Persetujuan Calon Istri
Menurut pandangan „Umar bin al-Khattâb, penegasan persetujuan
calon mempelai putri dengan siapa ia hendak dinikahkan adalah
sesuatu yang pokok dan hendaklah tidak ada pemaksaan di dalam
memilihkan calon suami. Hal ini berlaku untuk perempuan yang masih
gadis maupun seorang janda, hanya saja penekanannya agak berbeda.
Bagi perempuan yang masih gadis, mereka cukup memperlihatkan
“bahasa tubuh” untuk menunjukkan kesetujuannya, atau pun cukup
dengan “diam”, seandainya mereka begitu malu untuk menjawabnya
melalui kata-kata.
Namun bagi mereka yang telah janda, maka persetujuannya harus
diungkapkan dengan kata-kata, agar tidak terjadi salah pemahaman
wali. Hal ini dilandaskan dari riwayat yang disampaikan oleh
Abdurrazâq, bahwa tatkala itu di Madinah ada seorang janda yang
menjadi “incaran” banyak lelaki, termasuk di antaranya „Umar bin alKhattâb. Suatu hari „Umar bin al-Khattâb menemui walinya, dan
berkata, “Tolong sampaikan kepadanya kalau aku menginginkannya!”
setelah agak lama tidak ada jawaban, „Umar bin al-Khattâb kemudian
masuk ke dalam rumahnya, sementara perempuan itu didampingi oleh
walinya. Lalu „Umar bin al-Khattâb bertanya kepadanya, “Aku belum
tahu apakah ia (si wali) ini sudah memberitahumu?” Perempuan itu
menjawab, “Ya, sudah, tetapi aku tidak membutuhkan Tuan dan tidak
pula yang ia sebutkan, tetapi tolong katakan kepadanya agar
menikahkan aku dengan si fulan Z.” Lalu walinya berkata, “Tidak, demi
Allah aku tidak akan melakukannya.” „Umar bin al-Khattâb bertanya,
kenapa
demikian?”
Walinya
menjawab,
“Karena
Anda
menginginkannya, si Fulan A menginginkannya, sementara si Fulan B
juga menginginkannya, sampai-sampai aku tidak tahu siapa lagi orang
yang terpandang di Madinah ini yang akan menginginkannya, tetapi
semua ia tolak kecuali hanya si Fulan Z seorang.” „Umar bin al-Khattâb
kemudian berkata, “Aku berharap Engkau menikahkannya dengan
pilihannya, jika orangnya taat beragama.”156 Demikianlah pendapat
„Umar bin al-Khattâb tentang pentingnya persetujuan calon istri
terhadap calon suami yang akan membawanya ke dalam kehidupan
rumah tangga yang dimaksudkan oleh al-Qur‟an (sakînah, mawaddah,
wa rahmah), bukan sekedar pelampiasan hawa nafsu belaka.
156
Ibid, h. 160
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
73
Solihin Panji
Memahami Ijtihâd Hukum…
2. Nikah Mut’ah (kawin kontrak)157
Khalîfah „Umar bin al-Khattâb termasuk yang amat menentang
praktik nikah mut‟ah yang terjadi di dalam masyarakat. Dalam sebuah
riwayat yang disampaikan oleh Ibnu Majah dari Ibnu „Umar ra ia
berkata: Ketika „Umar bin al-Khattâb menjadi khalîfah, beliau berpidato
di depan khalayak, “Bahwa Rasulullah saw mengizinkan kepada kita
untuk kawin mut‟ah tiga hari, kemudian setelah itu beliau
mengharamkannya. Demi Allah, kalau ada seseorang melakukan nikah
mut‟ah sedangkan ia telah beristri (muhsan), pasti ia akan saya hukum
rajam dengan batu, kecuali kalau ia bisa mendatangkan empat orang
saksi kepadaku yang semuanya menyatakan, bahwa Rasulullah saw
telah menghalalkannya lagi setelah beliau mengharamkannya.”158
Hal ini diperkuat dengan sebuah asar yang diriwayatkan oleh
Imam Malik bahwa Khaulah binti Hâkim pernah masuk ke rumah
khalîfah „Umar bin al-Khattâb, kemudian ia berkata, “Sesungguhnya
Rabî‟ah bin Umayyah melakukan nikah mut‟ah dengan seorang
perempuan sampai ia mengandung.” „Umar bin al-Khattâb lalu keluar
dengan menarik selendangnya dan berkata, “Sesungguhnya kejadian
mut‟ah ini, kalau seandainya terjadi sesudah aku umumkan
keharamannya di hadapan umat, pasti aku akan merajam orang yang
melakukannya”.159
Apa yang telah dilakukan oleh khalîfah „Umar bin al-Khattâb
merupakan upaya menyelamatkan umat Islam agar tidak terjerumus ke
dalam lembah kemaksiatan berupa perbuatan zina, yang dianggap
sebagian orang sebagai “mengamalkan sunnah Rasulullah saw” tanpa
mau melihat ––atau kemungkinan juga benar-benar tidak tahu–– bahwa
sebenarnya Rasulullah saw telah melarang nikah mut‟ah ini sampai
datangnya hari kiamat.
Sehingga amatlah tepat do‟a Sa‟îd bin Musayyab yang
diriwayatkan oleh Ibnu Syaibah, bahwasanya ia berdo‟a, “Semoga Allah
melimpahkan anugerah-Nya kepada „Umar bin al-Khattâb, andaikan ia
tidak melarang kawin mut‟ah, pasti akan terjadi zina dengan terangterangan.”160
157 Disebut juga kawin sementara, atau kawin terputus, oleh karena laki-laki yang
mengawini perempuannya itu untuk sehari atau seminggu atau sebulan. Dinamakan kawin mut‟ah
karena laki-lakinya bermaksud untuk bersenang-senang sementara waktu. Lihat Sayyid Sabiq,
Fikih Sunnah, terj. Moh. Thalib, Juz VI, Cet. Ke-10 (Bandung: Al-Ma‟arif, 1995), h. 57.
158 Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Mâjah dari Muh}ammad bin Khalf al-„Asqalânî, dari alFiryâbî, dari Abân bin Abî Hâzim, dari Abû Bakar bin Hafs, dari Ibnu „Umar. Lihat Ibnu Mâjah,
Software Mausû‟ah al-Hadîs al-Syarîf (Global Islamic Software Company, versi. 2, 1997), hadis nomor
1953.
159 Mâlik bin Anas, Software Mausû‟ah al-Hadîs al-Syarîf (Global Islamic Software Company,
versi. 2, 1997), hadis nomor 995.
160 al-Halawî, op.cit., h. 174.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
74
Solihin Panji
Memahami Ijtihâd Hukum…
Menurut analisis penulis, kesimpangsiuran berita tentang masih
atau tidak diperbolehkannya lagi praktik nikah mut‟ah pada masa-masa
awal pemerintahan al-khulafâ‟ al-râsyidûn ini dimungkinkan karena,
perkenan Rasulullah saw kepada para sahabat untuk melakukan nikah
mut‟ah sebagaimana diterangkan oleh banyak hadis161 mencapai derajat
qat‟î al-wurûd yang membawa kepada pemahaman yang meyakinkan
(qat‟î al-dilâlah), sedangkan pengharamannya yang berlangsung dua kali
––walaupun juga diriwayatkan secara mutawâtir–– namun membuat
sahabat yang berdomisili di luar Madinah atau yang sedang melakukan
perjalanan perdagangan, tidak serta merta mendengar hadis ini, dan
lantas melaksanakannya. Ini terbukti, ada sebagian kecil sahabat nabi
yang masih menganggap halalnya nikah mut‟ah sepeninggal Nabi saw,
bahkan hingga berlalu kepemimpinan khalîfah Abû Bakar dan „Umar
bin Khattab.162
Hal ini bisa kita maklumi karena minimnya alat komunikasi dan
transportasi kala itu yang memungkinkan sebuah berita bisa tersebar
sedemikian cepat seperti yang terjadi dewasa ini dengan dukungan
tehnologi informasi berupa media cetak dan elektronik.
3. Talak Tiga Sekaligus
Demikian juga dalam memutuskan perkara talak tiga sekaligus.
Sebelum kepemimpinan khalîfah „Umar bin al-Khattâb ra, Rasûlullâh
saw, dilanjutkan oleh Abû Bakar menjatuhkan talak satu kepada suami
yang mentalak tiga sekaligus istrinya. Pada masa kekhalîfahannya
„Umar bin al-Khattâb ra merubah pernyataan talak tiga yang diucapkan
sekaligus itu dihitung jatuh talak tiga. Alasannya adalah banyak suami
yang mudah dan ringan saja menyatakan talak tiga sekaligus.163
Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ishâq bin
Ibrâhîm dan Muh}ammad bin Râfi‟, menggunakan lafal Ibnu Râfi‟, ia
berkata, “Abdurrazâq menyampaikan kepada kami, mengabarkan
kepada kami Ma‟mar bin Rasyîd, dari Ibnu Tâwus, dari ayahnya (Tâwus
bin Kaisân), dari Ibnu „Abbâs ra ia berkata, “Masalah talak pada masa
Rasulullâh saw, Abû Bakar ra, dan dua tahun pertama masa
pemerintahan „Umar bin al-Khattâb, talak tiga sekaligus dihitung sekali.
Lalu „Umar bin al-Khattâb berkata, “Sesungguhnya orang-orang pada
161
Silahkan lihat al-Bukhâri: 2494; Muslim: 2495-2499; Ah}mad bin Hanbal: 15907, 15937,
15956.
Ini dapat dilihat dari sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari al-Hasan
bin al-Hulwânî, dari „Abdurrazâq, dari „Ata‟, dari sahabat Jabir bin „Abdillâh, ia berkata, “bahwa
nikah mut‟ah telah disyariatkan (diperbolehkan) sejak zaman Rasulullâ saw, hingga zaman Abû
Bakar, dan sampai zaman „Umar bin al-Khattâb.” dari riwayat ini bisa kita tangkap bahwa
pemahaman para sahabat bisa berbeda antara satu sama lain tentang sebuah hukum, disebabkan
intensitas pertemuan dengan Rasulullâh yang berbeda pula.
163 al-Halawî, op.cit., h. 193-195.
162
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
75
Solihin Panji
Memahami Ijtihâd Hukum…
masa sekarang ini terlalu terburu-buru dalam menentukan perkara,
dimana mereka seharusnya diperintahkan untuk bersabar karena
mereka punya hak untuk merujuk kembali. Sehingga kalau masalah ini
kami biarkan berlarut-larut, tentu kejadian ini akan terus berlanjut pada
mereka”.164
Dan diriwayatkan Abdurrazâq dari „Umar bin al-Khattâb, pernah
ada seorang laki-laki menceraikan istrinya dengan talak seribu,
kemudian kasus ini dilaporkan kepada „Umar bin al-Khattâb, ia lalu
bertanya, “Benarkah Engkau menceraikan istrimu?” Laki-laki itu
menjawab, “Tidak, aku hanya main-main”. „Umar bin al-Khattâb lalu
memukulnya dengan tongkat kecil, ia berkata, “Talak tiga sudah cukup
bagimu”.165
Pemaparan di atas mengantarkan penulis untuk mengklasifikasi
beberapa pendapat berkenaan dengan masalah ini, pertama, kelompok
yang berpendapat bahwa talaknya jatuh tiga sekaligus, antara lain
„Umar bin al-Khattâb, Aisyah, Empat Imam Mazhab Fiqh, dan jumhûr
ulama salaf dan ulama khalaf, dan diantara dalîl yang digunakan untuk
mendukung pendapat mereka adalah hadis yang diriwayatkan oleh
Imam al-Daruqutnî dari „Abdullâh bin „Umar. Sesungguhnya ia pernah
menceraikan istrinya denga satu kali talak pada saat istrinya sedang
mengalami pendarahan haid. Ketika istrinya sedang menjalani masa
tunggu dalam daur bersih yang kedua, Ibnu „Umar ingin menambahkan
talaknya lagi dengan dua kali talak. Rupanya berita ini akhirnya
didengar oleh Rasûlullâh saw, kemudian Beliau bersabda, “Wahai Ibnu
„Umar, tidak begitu Allah memerintahkan, sesungguhnya Engkau telah
menyalahi sunnah, karena sunnah (menetapkan), bahwa di saat perempuan
menjelang masa bersih itu, engkau boleh menjatuhkan talak untuk setiap masa
bersih”. (Ibnu „Umar berkata, “Kemudian Rasulullah saw menyuruhku
untuk merujuk kembal, lalu aku merujuknya kembali). Akhirnya
Rasulullah saw bersabda kembali, “ Apabila ia telah bersih (suci), engkau
boleh menceraikannya atau engkau biarkan ia tetap jadi istrimu”. Aku
bertanya kepada Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah, bagaimana
pendapat Tuan seandainya aku menceraikannya dengan talak tiga?
Bolehkah aku merujuknya kembali?” Beliau menjawab, “ Tidak, karena
engaku telah menceraikannya dengan talak ba‟in, (dan kalau itu kau lakukan),
berarti engkau telah berbuat durhaka”.166
Kedua, Kelompok yang berpendapat bahwa seorang suami yang
mentalak tiga sekaligus istrinya, maka talaknya hanya jatuh satu,
Ibid.
Ibid.
166 Imâm Muslim, Software Mausû‟ah al-Hadîs al-Syarîf (Global Islamic Software Company,
versi. 2, 1997), hadis nomor 2676.
164
165
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
76
Solihin Panji
Memahami Ijtihâd Hukum…
pendapat ini didasarkan pada riwayat Ibnu „Abbâs di atas, ada pun
yang termasuk memegang pendapat ini antara lain, sebagian pengikut
mazhab al-Zâhiriyyah.167
Ketiga, Kelompok yang berpendapat bahwa talak semacam ini
adalah bid‟ah, sehingga tertolak dan dianggap tidak sah. Pendapat ini
dipelopori oleh Ibnu Ulaiyyah dari ulama salaf, Ibnu Taymiyyah, Ibnu
Hazm, dan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dan ulama khalaf, dan Sayyid
Sâbiq dari ulama kontemporer.168
Keempat, Kelompok yang membedakan antara mereka yang sudah
pernah digauli (hubungan seksual) dengan mereka yang belum pernah
berhubungan seksual. Adapun istri yang sudah pernah diajak
berhubungan seksual, talak tiga sekaligus dihitung tiga, sedangkan istri
yang belum pernah disetubuhi tetap dihitung satu.169
4. Khulu’170
Khulu‟, dalam pandangan „Umar bin al-Khattâb harus disikapi
secara bijaksana oleh seorang suami, dan beliau menganjurkan kepada
para suami untuk mengabulkan permintaan khulu‟ istrinya.
Sebagaimana diriwayatkan al-Baihaqî, sesungguhnya „Umar bin alKhattâb pernah mengemukakan tentang perempuan yang meminta
khulu‟, bahwa ganti rugi yang diberikan oleh pihak istri bisa diterima
asal memiliki nilai, sekali pun lebih rendah dari nilai kelabang sanggul
kepalanya. Pendapat ini juga diikuti oleh imam Mâlik, al-Syâfi‟î, Abû
Sulaimân, dan sahabat-sahabat mereka. Sementara itu imam Abû
Hanîfah mengemukakan, bahwa pihak suami tidak boleh meminta ganti
rugi khulu‟ dari istrinya yang nilainya lebih dari mahar yang pernah
diberikan kepadanya. Kalau suaminya terpaksa melakukannya, maka
hendaknya menyedekahkan kelebihan tersebut.171
Juga dengan tegas „Umar bin al-Khattâb mengatakan,
sebagaimana diriwayatkan oleh al-Baihaqî, “Apabila kaum perempuan
menuntut cerai kepada suaminya dengan khulu‟, maka janganlah kalian
menolaknya.”172
167al-Halawî,
loc.cit.
Sayyid Sâbiq, Fikih Sunnah, terj. Moh. Thalib, Juz VI, Cet. Ke-10 (Bandung: Al-Ma‟arif,
1995), h. 44-45.
169 Al-San‟ânî, Subul al-Salâm, Juz II (t.t.: t.tp, 1990), h. 1085
170 Khulu‟ secara secara etimologis bermakna melepaskan. Sedangkan menurut terminologi
fiqhiyah adalah perceraian yang muncul karena pihak istri menuntut cerai dengan membayar ganti
rugi yang diberikan kepada pihak suami yang menceraikan.
171 Ibnu Hazm, al-Muh}allâ (t.t.: t.tp., 1979), h. 594
172 al-Halawî, op.cit., h. 223.
168
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
77
Solihin Panji
Memahami Ijtihâd Hukum…
5. Zakat untuk Muallaf
Pandangan „Umar bin al-Khattâb berikutnya yang juga menjadi
sorotan banyak pihak pada masanya adalah ketika beliau melakukan
pembagian zakat. Sesuai dengan ketentuan dalam al-Qur‟an,173 di antara
yang berhak menerima zakat (mustahiq) adalah kaum muallaf. Baik
pada masa Nabi saw maupun Khalîfah Abû Bakar al-Siddîq ra tidak ada
perubahan dalam pembagiannya, kaum muallaf selalu mendapatkan
porsi sesuai ketentuan al-Qur‟an, karena muallaf adalah mereka yang
baru saja masuk Islam, diharapkan mereka mantap keislamannya.
Namun sewaktu „Umar bin al-Khattâb menjadi khalîfah, beliau
hentikan pemberian bagian zakat kepada muallaf dengan alasan bahwa
pada masa Rasulullah saw dan khalîfah Abû Bakar al-Siddîq, pemberian
zakat kepada muallaf agar mereka lebih tertarik kepada Islam. Di masa
„Umar bin al-Khattâb, zakat sebagai instrumen penarik hati non-Muslim
tidak lagi menjadi hal yang diperhitungkan, karena Islam telah kuat dan
jaya dan tidak membutuhkan mereka lagi.174
6. Elastisme Hâd bagi Pencuri
Ijtihad „Umar bin al-Khattâb yang tidak kalah menarik dan
kontroversial lainnya adalah seputar pemberian hukuman (hâd) bagi
pencuri. Sikap elastis „Umar bin al-Khattâb dalam menyelami
permasalahan pencurian ini seyogyanya kita pegang teguh dalam
memutuskan hukum dewasa ini, yang tidak hanya mengacu pada
tekstualitas ayat, tetapi labih masuk pada komponen ideal moral yang
disuguhkan al-Qur‟an.
Ketika mendapatkan laporan tentang pencurian, „Umar bin alKhattâb tidak lantas menghukum dengan zâhir al-nass :175
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang
mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Namun beliau melakukan kajian dan penelusuran terlebih dahulu,
tentang apa, dan mengapa pelaku pencurian tersebut melakukan
aksinya, sehingga akhirnya bisa diambil keputusan yang adil dan
berkeadilan. Ini bisa dilihat dari sebuah as\ar yang diriwayatkan oleh
Imam Mâlik, bahwasanya „Abdullah bin „Amr al-Hadramî datang
membawa seorang budak kepada Khalîfah „Umar bin al-Khattâb dan
berkata, "Potonglah tangan budakku ini karena dia telah mencuri!"
Khalîfah „Umar bin al-Khattâb bertanya, "Apakah yang dicurinya?"
Q.S. al-Taubah (9): 60.
Munawir Sadjali, Ijtihad Kemanusiaan, Cet. I (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 40
175 Q.S. al-Mâ‟idah (5): 38
173
174
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
78
Solihin Panji
Memahami Ijtihâd Hukum…
„Abdullah bin „Amr menjawab, "Dia telah mencuri cermin istriku
seharga 80 dirham." Kemudian Khalîfah „Umar bin al-Khattâb berkata:
"Lepaskan ia! Karena tidak ada hukuman potong (tangan atau kaki)
yang dijatuhkan kepada pembantu yang telah mencuri harta kalian”.176
Riwayat lain yang menguatkan adalah apa yang disampaikan oleh
Ibn Abî Syaibah dari al-Qâsim bin Abdir Rohman, "Sesungguhnya
seorang laki-laki mencuri dari Baitul Mâl (kas Negara). Kemudian
„Abdullâh bin Mas‟ûd melaporkannya kepada Khalîfah „Umar bin alKhattâb. Khalîfah „Umar bin al-Khattâb menyatakan kepada „Abdullâh
bin Mas‟ûd agar tidak memotong tangannya karena bagi pencuri itu ada
bagian dari harta Baitul Mâl itu."177
„Umar bin al-Khattâb telah menyebutkan faktor yang
menyebabkan gagalnya hukuman pidana terhadap terdakwa, karena ia
ikut memiliki hak (andil) terhadap harta yang dicuri, sehingga akan
muncul faktor ketidakjelasan (syubhat) yang bisa menghalangi
dijatuhkannya hukuman potong. Namun demikian, „Umar bin alKhattâb tidak langsung membiarkan terpidaa bebas begitu saja, tetapi
tetap menjatuhkan hukuman ta‟zîr terhadap terpidana dalam beberapa
kasus serupa, sebagai tindakan preventif.
Demikian pula dalam kasus pencurian yang disebabkan kerena
pencuri dalam kondisi kelaparan, maka hukum potong tidak diterapkan
oleh „Umar bin al-Khattâb terhadap mereka, sebagaimana riwayat yang
disampaikan Imâm Mâlik, sebagai berikut: 178
“…bahwa beberapa budak milik Hâtib bin Abî Balta‟ah pernah
mencuri seekor unta milik seseorang dari banî Muzainah,
kemudian mereka menyembelihnya. Kasus ini diajukan kepada
khalîfah „Umar bin al-Khattâb, maka beliau memerintah Kasîr bin
al-Salt untuk memotong tangan mereka. Tetapi tidak lama
kemudian pikiran „Umar bin al-Khattâb berubah dalam
memutuskan perkaranya.
“Andaikan aku tidak menduga bahwa engkau telah membiarkan
budak-budakmu kelaparan, sampai akhirnya salah satu di antara
mereka “menerjang” apa yang diharamkan Allah swt, tentu sudah
kupotong tangan mereka… Demi Allah, sungguh jika kau tetap
membiarkan mereka kelaparan, aku akan menuntut ganti rugi
yang bisa memberatkanmu,” kata „Umar bin al-Khattâb kepada
Hâtib bin Abî Balta‟ah menjelaskan perkara budak-budaknya.
“Berapa harga untamu yang telah dicurinya?” tanya „Umar bin alKhattâb kepada pemilik unta.
Mâlik bin Anas, op.cit., hadis nomor 1321.
al-Halawî, op.cit., h. 258.
178 Mâlik bin Anas, op.cit., hadis nomor 1240.
176
177
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
79
Solihin Panji
Memahami Ijtihâd Hukum…
“Harganya kupertahankan empatratus dirham”. Jawab pemilik
unta.
“Bayarlah delapanratus!” perintah „Umar bin al-Khattâb kepada
Hâtib bin Abî Balta‟ah.
Imâm Mâlik dan al-Syâfi'î memandang bahwa apa yang dilakukan
oleh Khalîfah „Umar bin al-Khattâb adalah sebuah takhsîs atas ayat alQur'an yang masih mutlaq179 yang terdapat dalam lafaz sâriq dan sâriqah
yaitu hukum potong tangan dikecualikan atas orang-orang yang memiliki
unsur hak atas harta yang dicuri sehingga orang yang mencuri di Baitul
Mâl dan Tuannya tidak dihukum potong tangan. Hal ini juga difatwakan
oleh Nabi bahwa orang yang memiliki bagian atas harta yang dicuri dia
tidak dipotong tangannya.180
7. Hâd Orang yang meminum Khamr
Contoh ijtihâd „Umar bin Khattâb berikutnya adalah pemberian
hukuman untuk orang yang meminum khamer. Sebagaimana
diriwayatkan dari Ibnu „Abbas ra, bahwa orang-orang yang menenggak
khamer pada zaman Rasulullah saw dipukul dengan tangan atau
dengan tongkat. Kemudian setelah Rasulullah saw wafat jumlah mereka
justru semakin banyak, sehingga khalîfah Abû Bakar ra mengambil
keputusan untuk menjatuhkan hukuman cambuk sebanyak empatpuluh
kali. Sepeninggal Abû Bakar, ketentuan ini masih diberlakukan oleh
„Umar bin al-Khattâb.
Diriwayatkan Abdurrazâq, "Sesungguhnya Khalîfah „Umar bin alKhattâb mendera dengan 40 kali. Ketika dia tidak melihat hal itu dapat
mencegahnya, dia menambahkannya dengan 60 kali. Dan ketika dia
tidak melihat hukuman itu dapat mencegahnya, dia menambahkan
dengan 80 kali. Khalîfah „Umar bin al-Khattâb kemudian berkomentar,
"Inilah hukuman yang paling ringan!"181
Sehingga dari kacamata hukum, apa yang dilakukan Khalîfah
„Umar bin al-Khattâb dengan memberikan hâd hukuman yang bagi
pemabuk yang melebihi dari sunnah Rasul saw, Ruwai'î menyatakan
bahwa hal itu boleh saja dilakukan apabila dimaksudkan sebagai ta‟zîr,
hal ini terkait dengan zâhir al-as\ar yang menyatakan kalau hukuman
itu tidak mencegahnya baru kemudian ditambahkan hukuman. Dengan
begitu penambahan hukuman hanya bersifat ta‟zir. Hal ini mengingat
bahwa apa yang menjadi perilaku Nabi, adalah hujjah yang tidak boleh
179 Menurut A. Hanafi, Usul Fiqh (Jakarta: Widjaya, 1963), hlm. 75; Mutlaq ialah suatu lafaz
yang menunjukkan sesuatu hal atau barang atau orang yang tidak tertentu tanpa ada ikatan yang
tersendiri berupa perkataan.
180 Ruwai'î, op.cit., hlm. 287
181 al-Halawî, op.cit., hlm. 265.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
80
Solihin Panji
Memahami Ijtihâd Hukum…
ditinggalkan dan ijma' atas hal-hal yang menyimpanginya hukumnya
tidak sah.182
8. Salat Tarâwîh Berjama’ah
Terakhir, penulis akan memaparkan contoh ijtihâd „Umar bin alKhattâb yang tidak kalah populernya dengan contoh sebelumnya, yakni
mengenai perintah salat tarâwîh berjama‟ah. Sebagaimana diketahui,
bahwa sebelum masa „Umar bin al-Khattâb menjadi khalîfah, salat
tarâwîh dilaksanakan masing-masing oleh para sahabat, baik di rumah
maupun di masjid, kemudian terjadilah seperti apa yang diberitakan
oleh Imam Mâlik, Bukhârî, Ibnu Huzaimah dan yang lain, dari
„Abdurrahmân bin „Abdul Qâri‟, ia berkata sebagai berikut: 183
“…Pada suatu malam di bulan Ramadân, aku pernah keluar
bersama „Umar bin al-Khattâb ke masjid. Ternyata orang-orang
berpencar di sana-sini, ada yang salat sendiri-sendiri, ada pula
yang swlat bersama kelompoknya. „Umar bin al-Khattâb lalu
berkata, “Aku yakin kalau semua orang ini aku kumpulkan dalam
satu jama‟ah dengan satu imam tentu lebih ideal dan
representatif.” Kemudian „Umar bin al-Khattâb bermaksud
mewujudkan niatnya dengan menunjuk Ubay bin Ka‟ab sebagai
imam jama‟ah. Di malam yang berbeda, aku keluar lagi bersama
„Umar bin al-Khattâb ke masjid, ternyata aku dapati semua orang
melaksanakan salat berjama‟ah dengan satu imam, lalu „Umar bin
al-Khat}t}âb berkata, ”Inilah sebaik-baik bid‟ah, padahal waktu
yang mereka gunakan untuk tidur di akhir malam itu lebih baik
daripada waktu yang mereka gunakan untuk salat tarâwîh di awal
malam”. „Umar bin al-Khattâb berkata demikian karena orangorang melakukan salat tarâwîh di awal malam.
Inilah sebagian kecil dari Fatwâ dan Ijtihâd „Umar bin al-Khattâb yang
mampu penulis hadirkan dalam makalah ini. Masih banyak Fatwâ dan
Ijtihâd „Umar bin al-Khattâb dalam berbagai persoalan yang belum tergali
dan masih “berserakan” di berbagai kitab fiqh dan sejarah. Oleh karena itu,
segala literatur, referensi, dan kitab rujukan yang penulis suguhkan dalam
tulisan ini, tidak semata-mata menjadi “kitab mati”, akan tetapi penulis
harapkan menjadi bahan telaah lanjutan untuk kita semua tentang
permasalahan-permasalahan yang dibahas secara ringkas.
C. Kesimpulan
Melalui praktik hukum Islam yang rasional dan dinamis, Khalîfah „Umar
bin al-Khattâb secara tidak langsung mengukuhkan dirinya sebagai ahli hukum
182
183
Ruwai'î, op.cit., hlm. 315
al-Halawî, op.cit., hlm. 80.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
81
Solihin Panji
Memahami Ijtihâd Hukum…
Islam yang sangat memperhatikan perkembangan masyarakat dan perubahan
sosial. Berbagai gagasan tentang hukum Islam dan perubahan sosial digagas oleh
beliau dalam berbagai kesempatan sepanjang hidupnya. Kesan umum dari
berbagai pemikiran beliau adalah, bahwa hukum Islam bersifat dinamis, adaptif,
dan relevan dengan perubahan dan perkembangan masyarakat.184 Untuk
mengukuhkan dan memperkuat gagasan tersebut, Khalîfah „Umar bin al-Khattâb
sering melakukan ijtihâd tatbîqî.185 Berkat gagasan dan pemikirannya tentang
hukum Islam yang bersifat dinamis, adaptif, dan relevan dengan perubahan dan
perkembangan masyarakat di atas, mengantarkan kepada pemikiran bahwa
beliaulah pencetus awal ide-ide cemerlang dalam dunia Islam.186
Akan tetapi, karena semangat inovatifnya itu, „Umar bin al-Khattâb tidak
terhindar dari penilaian negatif dan tuduhan sebagai telah menyimpang dari
agama yang benar. Sekurang-kurangnya Ibnu Taimiyah, seorang pembaharu
pemikiran Islam dari Syiria pada abad VIII H / XIV M yang bersemangat dan
sangat kritis, telah mencatat berbagai kesalahan „Umar bin al-Khattâb. sedangkan
kaum Syi‟ah, yang diketahui mempunyai kecenderungan anti Umar secara
berlebihan, menuduh khalîfah kedua itu tidak saja melakukan berbagai bid‟ah,
tetapi bahkan ia telah berbangga dengan penyelewengan-penyelewengan yang
diperbuatnya itu.187
Namun patutlah diingatkan bahwa penilaian-penilaian negatif kepada
gagasan dan tindakan „Umar bin al-Khattâb serupa itu terjadi hanyalah sesudah
„Umar bin al-Khattâb sendiri lama tiada. Hal ini terutama sekali berkenaan
dengan tuduhan kaum Syî‟ah. Ada dugaan kuat ––semisal sinyalemen yang
dilontarkan Nurcholis Madjid–– bahwa perasaan anti „Umar yang berlebihan
Nurkholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hlm. 6.
Dalam pandangan Satria Effendi kasus-kasus hukum ijtihad „Umar bin al-Khattâb
termasuk kategori ijtihâd tatbîqî, dengan demikian ijtihâd „Umar bin al-Khattâb dalam berbagai
kasus hukum tersebut tidak meninggalkan nass, apalagi mengganti atau menghapuskannya. Ijtihad
dalam pandangan Satria Effendi M. Zein terbagi menjadi 2 macam, yaitu ijtihâd istinbâtî dan ijtihâd
tatbîqî, ijtihâd istinbâtî adalah upaya menyimpulkan hukum dari sumber-sumbernya, sedangkan
ijtihâd tatbîqî adalah upaya menerapkan hukum itu secara tepat terhadap suatu kasus. Dalam ijtihâd
istinbâtî, yang menjadi pusat perhatian adalah sumber-sumber hukum Islam, yang dilakukan baik
dengan pendekatan kebahasaan maupun pendekatan maqâsid syarî‟ah. Dalam ijtihâd tatbîqi yang
menjadi perhatian utama adalah untuk mengantarkan seorang penerap hukum kepada penerapan
hukum secara tepat dalam suatu kasus, yang menjadi objek kajiannya adalah hal-hal yang meliputi
perbuatan manusia dengan segala bentuk objek perbuatan itu, juga manusia itu sendiri sebagai
pelaku hukum dengan segala kondisi dan perbuatannya. Ijtihâd tat}bîqi dapat berlaku pada setiap
hukum, baik yang dinilai qat‟î, rinci maupun yang zannî. Lihat Satria Effendi M. Zein. “Metodologi
Hukum Islam”, dalam Amrullah Ahmad dkk (Editor), Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum
Nasional Mengenang 65 Th Prof. Dr. Busthanul Arifin, SH (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 117128.
186 Alî Muhammad al-Sya‟labi, The Great Leader of „Umar bin al-Khattâb; Kisah Kehidupan dan
Kepemimpinan Khalifah Kedua, terj. Khoirul Amru Harahap (Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar,
2008), hlm. 45; Bandingkan dengan Jalâl a-Dîn al-Suyût}î, Târikh Khulafâ‟. Terj. Samson Rahman
(Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar, 2003), h. 158.
187 Al-Bagdâdî, al-Farq baina al-Firâq (Kairo: t.tp, 1924), h. 106.
184
185
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
82
Solihin Panji
Memahami Ijtihâd Hukum…
dari golongan Syî‟ah,188 telah tercampur dengan unsur luar Islam semacam
Persianisme atau Iranisme yang muncul ke permukaan oleh dorongan gerakan
Syu‟ûbiyyah ––semacam chauvinisme/paham kesukuan––. Mengingat bahwa di
bawah kekhalifahan „Umar itulah Persia dibebaskan oleh tentara Islam Arab, dan
mengingat mayoritas golongan Syî‟ah adalah orang-orang Persia atau Iran.
Sedangkan lepas dari penilaian kurang baik dari kelompok tertentu
terhadap „Umar bin al-Khattâb itu, khalîfah kedua ini oleh umat Islam Ahlu alSunnah (sunni) disepakati sebagai pemimpin kaum beriman yang paling berhasil.
Boleh dikata bahwa, dari sudut peninjauan yang menyeluruh, masa „Umar bin
al-Khattâb adalah masa keemasan sejarah Islam. maka tak mengherankan
kiranya bahwa pada zaman mutakhir ini, bilamana aspirasi reformasi
keagamaan, sosial dan politik Islam harus mencari model klasik bagi
wawasannya, ia akan dengan bersemangat dan penuh simpati menyebut masa
„Umar bin al-Khattâb. golongan pemikir Islam modernis misalnya, sangat
mengagumi „Umar bin al-Khattâb tidak saja karena ia menauladani bagaimana
menangkap semangat Islam secara menyeluruh, tetapi juga karena ia berhasil
menciptakan masyarakat yang menurut jargon-jargon modern tentunya akan
dinamakan demokratis dan sosialistis. Wallahu A‟lam bi al-Sawâb
Daftar Pustaka
Bagdâdî, al-. al-Farq baina al-Firâq, Kairo: t.tp, 1924
Baltajî, Muhammad. Metodologi Ijtihad Umar bin al-Khattâb, terj. Masturi Ilham,
Jakarta: Khalifah, 2005
Bik, Muh}ammad Khudrî. Tarikh Tasyrî‟ al-Islâmî, Kairo: Matba‟ah al- Istiqomah,
Cet. V, Tt.
CD-ROM. Software Mausû‟ah al-Hadîs\ al-Syarîf, Global Islamic Software
Company, versi. 2, 1997
Djauli, A. (et.al.), Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktek, Cet. I., Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1991
Godgson, Marshall G. S.. The Venture of Islam, Terj. Mulyadi Kartanegara, Jakarta:
Yayasan paramadina, 1999
Hâkim, Abdul Hamîd. Mabadi' Awwaliyah, Jakarta: Sâdiyah Putra, t.t.
Paling tidak ada 5 pandangan terhadap ijtihâd „Umar bin al-Khat}t}âb, yaitu: (1) ijtihâd
„Umar bin al-Khattâb tidak meninggalkan nass, apalagi mengganti atau menghapuskan
ketentuannya, (2) ijtihâd „Umar bin al-Khattâb memang meninggalkan zâhir-nya nass. Karena ia
berpegang pada ruh nass atau maqâsid al-syarî‟ah, (3) ijtihâd „Umar bin al-Khattâb berkenaan dengan
masalah yang qat‟iyah yang bukan bidang ijtihâd, tetapi ini diperbolehkan khusus „Umar bin alKhattâb, (4) ijtihâd „Umar bin al-Khattâb telah menginggalkan nass yang sarih, tetapi sebagaimana
berlaku pada setiap mujtahid, ijtihâd-nya tetap memperoleh satu ganjaran, dan (5) ijtihâd „Umar bin
al-Khattâb memang banyak melanggar nass yang qat‟i, tetapi itu dilakukan „Umar bin al-Khattâb
karena kekurangan informasi yang diterimanya untuk persoalan-persoalan yang bersangkutan.
Baca Jalaluddin Rakhmat, “Kontroversi Sekitar Ijtihad Khalîfah „Umar bin al-Khattâb R.A. dalam
Iqbal Abdurrauf Saimina (Penyunting), Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam (Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1988), h. 43-59.
188
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
83
Solihin Panji
Memahami Ijtihâd Hukum…
Haekal, Muhammad Husain. Umar bin Khattâb; Sebuah Telaah Mendalam tentang
Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya Masa Itu, terj. Ali Audah, cet.
Kesepuluh, Jakarta: Litera Antarnusa, 2010
Halâwî, Muhammad „Abdul „Azîz al-. Fatwa dan Ijtihad „Umar bin al-Khattâb;
Ensiklopedia Berbagai Persoalan Fiqih, terj. Zubeir Suryadi Abdullah,
Surabaya: Risalah Gusti, 1999
Hanafi, A. Usul Fiqh, Jakarta: Widjaya, 1963
Harwî, Abû „Ubaid al-Qâsim bin Sallâm al-. Kitâb al-Amwâl. Beirut: Dâr al-Fikr li
al-Tibâ„ah wa al- Nas}r wa al-Taujî„, 1988
Hazm, Ibnu. al-Muh}allâ, t.t.: t.tp., 1979
Hitti, Philip K. History of The Arabs. Terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi
Slamet Riyadi. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2010
Hosen, Ibrahim (et.al.), Ijtihad Dalam Sorotan, Cet. IV, Bandung: Mizan, 1996
Khalaf, Abdul Wahab. „Ilm Ushûl al-Fiqh, Kairo: Daar Al-Kuwaitiyah, 1968
--------. Khulâsah Târîkh al-Tasyrî‟ al-Islâmî, terj. Wajidi Sayadi, Cet. I, Jakarta:
Grafindo Persada, 2001
Madjid, Nurkholis (ed.). Khazanah Intelektual Islam. Jakarta : Bulan Bintang, 1994
Mahmassani, Subhi. Falsafah al-Tasyrî‟ fî al-Islâm, terj. Ahmad Sudjono, Cet. I,
Bandung: al-Ma‟arif, 1981
Marwân, Jamâl al-Dîn Muh}ammad Ibn. Lisân al-Arab, Juz III, Mesir: Dâr alMisriyyah al-Ta‟lîf wa Tarjamah, t.t.
Mas‟udi, Masdar F. Agama Keadilan Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1991
Muhammad, Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Ekonomi Islam, Jakarta: Salemba
Empat, 2002
Munir, Samsul. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 2009
Munthoha, dkk. Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: UII Press, 2009
Nakosteen, Mehdi. Kontribusi Islam terhadap Dunia Intelektual Barat: Deskripsi
Analisis Abad Keemasan Islam, terj. Joko S Kahhar dan Supriyanto Abdullah,
Surabaya: Risalah Gusti, 2003
Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, Jakarta: UI Press, 1985
Nûruddin, Amiur. Ijtihad Umar bin al-Khattab; Studi tentang Perubahan Hukum
dalam Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 1987.
Praja, Juhaya S. Filsafat Hukum Islam, Bandung: Unisba, 1995
Pulungan, J. Sayuti. Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: LSIK,
1994
Rahman, Fazlur. Islam. terj. Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka, 2000
Rakhmat, Jalaluddin. “Kontroversi Sekitar Ijtihad Khalîfah „Umar bin al-Khattâb
R.A. dalam Iqbal Abdurrauf Saimina (Penyunting), Polemik Reaktualisasi
Ajaran Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988
Ruwai'î, Fiqh „Umar bin al-Khattâb Muwâzinan bi Fiqh Asyhuril Mujtahidîn, Juz 1,
Beirut: Dâr al Garbi al-Islâmî, 1403 H
San‟ânî, al-. Subul al-Salâm, Juz II, t.t.: t.tp, 1990
Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah, terj. Moh. Thalib, Juz VI, Cet. Ke-10, Bandung: AlMa‟arif, 1995
Shiddieqy, M. Hasbi ash-. Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits, Cet. Keenam, Jakarta:
Bulan Bintang, 1994
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
84
Solihin Panji
Memahami Ijtihâd Hukum…
Sjadzali, Munawir. Ijtihad Kemanusiaan, Cet. I, Jakarta: Paramadina, 1997
--------. Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. Jakarta: UI Press, 1993
Smith, Adam. The Wealth of Nations, New York: The Modern Library, 1937
Sou‟yb, Joesoef. Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin, Jakarta: Bulan Bintang, 1979
Suyûtî, Jalâl a-Dîn al-. Târikh Khulafâ‟. terj. Samson Rahman, Jakarta Timur:
Pustaka al-Kautsar, 2003
Sya‟labi, Ahmad. Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Al-Husna Zikra, 1995
Sya‟labi, Alî Muh}ammad al-. The Great Leader of „Khalîfah „Umar bin al-Khattâb bin
Khatab; Kisah Kehidupan dan Kepemimpinan Khalifah Kedua, terj. Khoirul
Amru Harahap, Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar, 2008
Syâtibî, Abû Ishâq al-. al-Muwâfaqât fî Usûl al-Syarî‟ah, juz II, Beirut: Dâr alMa‟ârif, tth
Tabarî, Abû Ja‟far Muhammad bin Jarîr al-. Târîkh al-Umam wal al-Mulûk, Jilid VI,
Beirut: Dâr al-Fikr, 1978
Tirmizî, Abû „Isâ al-. Sunan al-Tirmizî, Indonesia: Maktabah Dahlan, tt.
Zaid, Nasr Hâmid Abû. Mafhûm al-Nâs; Dirâsah fî „Ulûm al-Qur‟ân, Hazîrân: alMarkâz al-S|aqafî al-Farabî, 1990
Zein, Satria Effendi M. “Metodologi Hukum Islam”, dalam Amrullah Ahmad
dkk (Editor), Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional Mengenang
65 Th Prof. Dr. Busthanul Arifin, SH, Jakarta: Gema Insani Press, 1996
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
85
BAHASA ARAB DALAM KONSTRUKSI HUKUM ISLAM
(TELAAH ATAS FUNGSI DAN PENGARUH HURUF MA’ANI
TERHADAP KHILAFIAH DALAM ISTINBATH HUKUM)
Husnul Fatarib
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Jurai Siwo Metro Lampung
Abstrak
Peran bahasa dalam kajian keislaman tidak hanya terbatas pada pemaknaan terhadap
sebuah subyek, melainkan juga turut memberikan pengertian terminology dan
epistimologi terhadap subyek tersebut, bahkan juga tidak jarang dijumpai bahasa
memberikan penafsiran dan perluasan makna terhadap rangaian teks atau kata yang
terangkai menjadi siyaqul kalam tersendiri. Para pelaku analisis hukum, pemerhati
hukum, mufti, bahkan mujtahid, harus memahami dan menguasai bahasa Arab sebagai
bahasa awal setiap rumpun keilmuah tentang hukum Islam. Perbedaan dalam pemaknaan
terhadap sebuah kata atau keragaman dalam penggunaan sebuah kata telah banyak
berkontribusi terhadap konstruksi hukum Islam yang merupakan awal munculnya varian
baru dalam nomenklatur hukum Islam yaitu khilafiah fikih yang pada mulanya adalah
sub unit dari muqaranah madzahib. Huruf ma‟ani dari huruf „athaf, huruf ma‟ani dari
huruf jar dan huruf ma‟ani dari adawat syarth, maka semua perbedaan makna dari
masing-masing huruf sebagai produk dari ulama bahasa (Al-Nahwiyun) tidak bisa tidak
juga mempengaruhi makna teks hukum (nas hukum) baik dari Al-Quran maupun dari
Al-Sunnah. Perbedaan dalam pemaknaan ini pada tahap selanjutnya memberikan warna
dalam konstruksi hukum Islam dengan muncuklnya varian produk fikih yang
selanjutnya disebut khilafiyah. Khilafiyah hukum yang terjadi dari perbedaan pemaknaan
terhadap huruf-huruf ma‟ani dalam konstelasi ijtihad dan istinbath hukum bisa diterima
selama masing-masing pihak menggunakan sandaran atau dalil yang mandukung
pemaknaan itu; apakah dalil itu bersumber dari nas atau teks itu sendiri atau dari
pemahaman umum dari bahasa tersebut di kalangan bangsa arab
Kata Kunci: Bahasa Arab, Huruf ma‟ani, Hukum Islam
A. Latar Belakang Masalah
Sudah menjadi adagium umum bahwa setiap pengkajian hukum Islam
sering bermuara pada bermacam persepsi hukum yang merupakan produk
ijtihad yang selanjutnya disebut fikih. Varian produk hukum yang dimunculkan
oleh proses istinbath itu tentu juga merupakan produk dari subyek yang lebih
awal yang telah membentuk siklus analisis tersendiri. Salah satu instrument
yang diyakini memiliki domino effect dalam produk hukum / fikih ialah
instrument linguistic atau bahasa. Mengingat urgensi dan peran yang dimainkan
oleh unsur bahasa, membuat kajian linguistic menjadi salah satu kajian utama
dan pertama dalam setiap bahasan hukum, seperti istilah “Lughatan”,
Lughawiyah” dan “Secara Gramatikal” dan istilah-istilah lainya yang semakna,
yang selalu muncul di awal pembahasan tentang pengertian sebuah subyek
hukum. Dan memang dalam setiap kajian keislamaan tidak bisa terlepas dari
kajian bahasa, sehingga sering dijumpai dalam karya-karya keislaman itu istilah
Husnul Fatarib
Bahasa Arab dalam…
“Lughawi dan Ishthilahy” yang berarti makna secara sebuah subyek secara
bahasa dan secara terminologi.
Peran bahasa dalam kajian keislaman tidak hanya terbatas pada
pemaknaan terhadap sebuah subyek, melainkan juga turut memberikan
pengertian terminology dan epistimologi terhadap subyek tersebut, bahkan juga
tidak jarang dijumpai bahasa memberikan penafsiran dan perluasan makna
terhadap rangaian teks atau kata yang terangkai menjadi siyaqul kalam
tersendiri.189 Dalam konteks kajian ini, lagi-lagi bahasa menunjukkan peran yang
sangat signifikan yang pada gilirannya memaksa pelaku analisis hukum Islam
untuk memberikan ruang khusus pada awal setiap pembahasannya terhadap
bahasa dan mengkorelasikannya dengan pokok bahasan. Hal inilah yang
menyebabkan kajian-kajian bahasa selalu mengawali setiap kajian apa pun
subyek hukum dalam diskursus keislaman.
Selanjutnya sesuatu yang tak terbantahkan dalam hal ini ialah bahwa
pelaku analisis hukum, pemerhati hukum, mufti, bahkan mujtahid, harus
memahami dan menguasai bahasa Arab sebagai bahasa awal setiap rumpun
keilmuah tentang hukum Islam. Pengetahuan tentang bahasa dan ilmu bahasa
Arab tidaklah dipahami kalau kemampuan itu dimonopoli oleh bangsa Arab
atau Negara Arab saja, tapi pensyaratan kompetensi ini merupakan persyaratan
universal yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang hendak melakukan
kegiatan ijtihad, baik dari bangsa Arab maupun bukan Arab („Ajam). Prinsip
umum dalam ijtihad adalah bahwa selama persyaratan ijtihad terpenuhi dan ada
kebutuhan untuk itu, maka ijitihad bisa dilakukan oleh siapa pun, kapan saja
dan dimana saja. Mungkin ini agaknya manisfestasi dari istilah “Al-nushus
mutanahiyah, al-masail al-fiqhiyah ghairu mutanahiyah”, walaupun (masa turun)
wahyu telah berakhir, tetapi persoalan-persoalan hukum tetap hidup dan
berkembang.
Dengan mencermati subyek-subyek hukum utama dalam kajian hukum
Islam, maka pengetahuan dan penguasaan terhadap kandungan substantive dari
kedua sumber hukum utama; Al-Quran dan Al-Sunnah menjadi sesuatu yang
tidak bisa tidak dalam setiap kajian dan diskursus hukum Islam, hal ini tidak saja
dikarenakan keduanya turun dan diriwayatkan dalam bahasa Arab, tapi yang
urgen adalah penggunaan kata dan bahasa dalam kedua sumber itu sangat sarat
dengan makna Lughawy hingga sampai ke tingkat penggunaan huruf, karena
pemakaian sebuah huruf pun juga memberikan pemaknaan yang mungkin bisa
189 Lihat As‟as Abd Al-Ghany Alsayyid Al-Kafrawy : Istidlal „Inda Al-Ushuliyyin, Dar AlSalam, Kairo, hal. 434-435. Hal serupa juga yang disinyalir oleh Yusuf al-Qaradahwi, bahwa
penafsiran teks wahyu bisa dilakukan dengan menggunakan pendekatan bahasa (lughawi) selama
masih mengacu kepada dalalah alfazh (makna kata), kaidah-kaidah bahasa arab serta balaghahnya.
Dan lebih lanjut al-Qaradhawi mengatakan, pendekatan bahasa dipentingkan dalam penafsiran
dan heurmenetika teks/wahyu karena bahwa teks wahyu juga banyak tersusun dengan bahasa
majaz dan musytarak. Lih. Yusuf al-Qaradhawi, Bagaimana Beriinteraksi dengan Al-Quran,
Jakarta, Al-Kautsar 2000, hal. 245, dan Al-Quran dan Al-Sunnah Sebagai Referensi Tertinggi
Ummat Islam, Jakarta, Rabbani Press, 1997, hal. 54.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
87
Husnul Fatarib
Bahasa Arab dalam…
memicu khilafiyah di antara sesama pelaku ijtihad (mujtahid). Hal ini tergambar
dalam pemakaian dan pemakanaan huruf “Ba” ( ‫ ) ب‬dalam Q.S. Al-Maidah, ayat
6 tentang pemaknaan antara littab‟idh (‫ض‬ٞ‫ )ىيتثؼ‬atau lil kull (‫)ىينو‬.
Perbedaan dalam pemaknaan terhadap sebuah kata atau keragaman dalam
penggunaan sebuah kata telah banyak berkontribusi terhadap konstruksi hukum
Islam yang merupakan awal munculnya varian baru dalam nomenklatur hukum
Islam yaitu khilafiah fikih yang pada mulanya adalah sub unit dari muqaranah
madzahib.
Berdasarkan fenomena sosiolinguistik di atas, maka semakin jelas fungsi
dan kedudukan bahasa Arab dalam sebuah rangakaian ijtihad atau istinbath
hukum dari teks-teks hukum (nushus syar‟i). Setiap pemahaman yang selalu
beranjak dari teks hukum (nash) selalu terbuka untuk ruang polemik / khilafiah
fikih yang menjadi salah satu sebab perbedaan pendapat dalam hukum Islam
atau bahkan munculnya mazhab atau aliran fikih baru.190
Peran dan kedudukan bahasa Arab ini – yang bersumber dari pemahaman
mujtahid-memang sudah diketahui khalayak sebagai salah satu sumber khilafiah
dalam hukum Islam, namun seperti apa peran dan bagaimana peran itu
dimainkan serta unsur apa saja dari bahasa Arab itu yang memainkan peran
sebagai instrument dan media pemahaman berikut implikasi dari peran tersebut
dalam meracik hukum Islam (fikih), masih menjadi perdebatan akademik dan
materi yang tetap segar untuk disajikan dalam setiap diskusi sejak periode salaf
umat ini.191 Mencermati struktur kajian bahasa dalam hukum Islam seperti yang
baru saja dipaparkan tadi, menunjukkan bahwa ruang lingkup kajian
kebahasaan dalam hukum Islam sangat luas sehingga perlu membatasi obyek
penelitian ini pada aspek huruf ma‟ani yang merupakan salah satu variable
bahasa Arab yang dominan dalam memunculkan khilafiah terhadap
pemahaman hukum.
Untuk itu dirasa sangat perlu menyemarakkan kajian-kajian fikih
perspektif bahasa atau peran bahasa Arab dalam konstruksi hukum Islam secara
komprehensif dan simultan, dan walaupun penelitian ini bukan lah penelitian
pertama atau awal dalam topik ini, tetapi paling tidak bisa menjawab
kedahagaan ilmiyah tentang upaya membuka tabir peran dan kontribusi bahasa
Karena pada dasarnya perbedaan pendapat / khilafiyah di kalangan ulama / fuqaha
bersumber kepada dua penyebab utama; pertama: perbedaan pandangan mereka dalam teori
keabsaha sebuah teks / nash, teori ini yang lazim disebut ikhtilaf fi tsubut al-nash wa darajutu.
Kedua : perbedaan mereka dalam memahami dan penafsiran nash, teori ini disebut juga ikhtilaf fi
fahmi al-nash wa idrak hikmatihi. Yang terakhir inilah yang perna disebut Umar Ibn al-Khattab
bahwa beliau berijtihad dalam memahami nash. Lih. Abdu Al-Wahab Abd Al-Salam Al-Thawilah :
Atsaru Al-Lughah fi Ikhtilafi Al-Mujtahidin, hal.4.
191 Kajian-kajian fikih dan lughah (bahasa) secara khusus sudah lama dimulai oleh fuqaha
periode salaf, seperti Muhammad Ibnu Al-hasan Al-Syaibani yang menyusun kitab khusus kajian
fikih dengan nahwu dalam kitabnya “Al-Jami‟ Al-Kabir”, Imam Syafi‟i dengan kitabnya yang
fenomenal “Al-Umm”, dan Imam Al-Asnawi dengan kitabnya “Al-Kaukab Al-Durry”. Lihat Abdul
Wahab Abdu Al-Salam Al-Thawilah, Atsaru Al-Lughah fi ikhtilafi al-Mujtahidin, h.4-5.
190
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
88
Husnul Fatarib
Bahasa Arab dalam…
Arab – dalam hal ini huruf ma‟ani - terhadap hukum Islam secara umum dan
dalam bingkai kebahasaan secara khusus.
B. Lokus Kajian dan Penelahaan
Dalam mengurai dan menganalisis fenomena linguistik ini, tulisan ini
mencoba memfokuskan bahasa pada diskursus pemikiran hukum Islam di ranah
kebahasaan, yang lokus kajiannya mengarah pada peran dan pengaruh Huruf
Ma‟ani dalam kajian dan perumusan hukum Islam. Sehubungan dengan hal
tersebut, tulisan ini akan mencoba menjawab dan mendialogkan secara
epistemologis dan menyandingkannnya dengan normatifitas hukum Islam
(fikih) yang ditengarai sebagai domino effect dari aspek bahasa atau linguistic
yang terdapat dalam teks-teks wahyu. Adapun sejumlah pertanyaan pokok
dalam tulisan ini, yaitu : bagaimana formulasi huruf ma‟ani dalam struktur
organisasi bahasa Arab, bagaimana peran dan fungsi huruf ma‟ani dalam
istinbath hukum, dan bagaimana kontribusi huruf ma‟ani dalam konstruksi
hukum Islam. Seperti disinggung di atas, semua pertanyaan ini akan didialogkan
dengan norma dan kaidah kebahasaan arab sesuai dengan keadaan yang
menggiring pembahasan ini secara sistematis. Dengan kata lain, ketiga
pertanyaan sudstantif ini akan mendapatkan jawaban secara komprehensif dan
integrative dengan analisis berimbang tanpa harus memisah-misahkan masingmasing jawaban untuk setiap pertanyaan tersebut. Karena menurut penulis,
supaya satu obyek bisa dibahas dari berbagai sudut pandang, maka pemunculan
setiap obyek akan dibahas dari tiga perspektif di atas.
Secara teoritik, tulisan ini diharapkan bisa memberikan masukan dan
informasi tentang kedudukan dan posisi huruf ma‟ani dalam struktur Bahasa
Arab pada umumnya. Dan di sisi lain, yaitu dalam kontek istinbath, penelitian
ini akan membantu mencairkan polemik seputar aplikasi huruf ma‟ani dalam
istinbath hukum Islam, dan sekaligus mencairkan sebahagian kegelisahan
akademik dalam memformulasikan eksistensi huruf ma‟ani dalam tatanan
hukum Islam. Hal ini disebabkan, karena berdasarkan thesa-thesa yang ada
sementara ini, tidak semua huruf ma‟ani yang memiliki peran dalam nas-nas
hukum.
Dan adapun secara praktis, tulisan ini diharapkan dapat memberikan
masukan untuk pemerhati hukum Islam dalam merumuskan hukum-hukum
ijtihadi yang terstandar secara metodologi dan membawa spirit maqashid syari‟
atau syari‟ah. Dan lebih mengerucut lagi, tulisan ini juga diharapkan bisa menjadi
sumber pengayaan khazanah metodologi hukum bagi para ulama dalam
menjawab persoalan hukum di tengah masyarakat (seperti ijtihad, fatwa,
kesepakatan hukum/ijma‟ dan lain-lain), dan juga bisa membantu para hakim
dan mufti dalam memberikan pertimbangan hukum terhadap hal-hal yang
berkaitan dengan penggunaan huruf ma‟ani dan bahasa dalam nas syar‟i.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
89
Husnul Fatarib
Bahasa Arab dalam…
C. Huruf Ma’ani dalam Bahasa Arab
Sejak periode awal hukum Islam, ulama ushul fikih sudah memberikan
perhatian khusus terhadap kajian kebahasaan Arab. Hal ini membuat ulama
ushul fikih mensyaratkan penguasaan ilmu bahasa arab bagi setiap pelaku
ijtihad (mujtahid) yang akan melakukan penelaahan terhadap sumber hukum
yang banyak mengandung dimensi kebahasaan (bahasa arab). Karena secara
kajian sederhana ditemukan bahwa hukum-hukum yang terkandung dalam
teks-teks hukum (wahyu) akan mengalami perbedaan seiring perbedaan varian
huruf yang terdapat di dalamnya. Dan memang perbedaan ulama ushul fikih
dan fikih dalam pemaknaan terhadap huruf ini, pada gilirannya berimplikasi
pada perbedaan produk hukum (fikih) yang dihasilkan.
Dalam nomenklatur kajian bahasa arab, terdapat dua varian huruf; huruf
mabani dan huruf ma‟ani. Huruf mabani adalah huruf-huruf yang menjadi
materi pembentukan sebuah kalimat. Dan huruf-huruf ini juga disebut hurufhuruf tahajji. Sedangkan huruf ma‟ani yaitu huruf-huruf yang menunjukkan /
memiliki makna sendiri, dan di samping itu huruf-huruf ini juga memiliki
makna lain tergantung posisi atau status dalam rangkaian sebuah kalimat atau
kata. Karena huruf-huruf ini berkaitan erat dengan pemaknaan sebuah kalimat
maka huruf-huruf ini disebut huruf ma‟ani.192
Pembicaraan tentang huruf ma‟ani akan menggiring kajian ini ke sejumlah
teori dan pengkodifikasian huruf ma‟ani yang bervariasi di kalangan ulama
bahasa (ahli nahwu). Dalam tulisan ini akan dipaparkan pengkodifikasian huruf
ma‟ani yang sajikan oleh Musthafa Al-Ghalayani sebagai berikut; huruf ma‟ani
dalam versi ini mencakup hamper semua huruf hijaiyah, karena hampir setiap
huruf hijaiyah memiliki makna sendiri. Musthafa al-Ghalayani – sebagai
gambaran – mengatakan bahwa huruf ma‟ani terdiri dari 31 macam, yaitu: harf
al-nahyi, harf al-„ird, harf al-tanbih, harf al-mashdariyah, harf al-istiqbaliyah, harf
al-taukid, harf al-istifham, harf al-tamanni, harf al-taraji wa al-isyfaq, harf altasybih, harf al-shilah, harf al-ta‟lil, harf al-rad‟u wa al-zajar, harf al-lamat, ta alta‟nis al-sakinah, ha al-sakat, harf al-tanwin, harf al-nida‟, harf al-„athaf, harf alnashbi al-mudhara‟ah, harf al-jazam, harf al-amr, harf al-nahyi, har almusyabbahah bi al-fi‟li, harf al-musyabbahah bi laisa, dan harf al-jar.193
Berdasarkan keterangan di atas diketahui bahwa yang dimaksudkan
dengan huruf dalam penelitian ini adalah sejumlah huruf yang harus diketahui
ulama fikih tentang maknanya dan penggunaanya dalam kalimat, jadi huruf di
Ibnu Mandzur al-Afriqy al-Mishry dalam karyanya yang fenomenal “ Lisan al-„Arab”
mengatakan:”huruf dalam bahasa arab terbagi kepada dua macam; pertama huruf hijaiyyah yang
juga disebut dengan huruf tahajji, yaitu huruf-huruf yang tidak memiliki arti atau makna sendiri,
yang kedua huruf ma‟ani, yaitu huruf-huruf yang memilki makna atau arti tertentu tergantung
posisi dan penempatannya dalam kalimat. Lih. Lisan al-Arab, Dar al-Shadir, cet II, Maktabah
Syamilah.
193 Lih. Mushthafa al-Ghalayani, Jami‟ al-Durus al-“Arabiyah, maktabah al-Syamilah.
192
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
90
Husnul Fatarib
Bahasa Arab dalam…
sini bukanlah huruf yang merupakan qasimah (rangkaian dari fi‟il dan isim)
dalam diskursus bahasa arab.194
Berikut ini adalah huruf-huruf ma‟ani yang telah penulis pilih berdasarkan
penggunaanya dalam teks wahyu yang banyak memunculkan makna-makna
beragam sesuai dengan penempatannya dalam kalimat.195
D. Aplikasi Huruf Ma’ani dalam Teks Hukum
1. Huruf Athaf (‫)حشف اىؼطف‬
a. Waw (ٗ)
Huruf “ٗ” memiliki sejumlah makna sesuai penempatannya dalam
kalimat. Pertama, makna untuk jama‟ (menurut ahli bahasa
kontemporer), seperti dalam ayat berikut :
ِٞ‫ل ٗجاػي٘ٓ ٍِ اىَشسي‬ٞ‫ئّا سادٗٓ ئى‬,
Bahwa Allah mengembalikannya (Musa) kepada ibunya tatkala dia masih
menyusu, dan kami akan mengangkatnya menjadi seorang nabi. 196 Dan
“ٗ” juga bermakna “bersamaan/dengan”(‫ )ٍغ‬seperti ‫ جاء اىثشد ٗاىَطش‬yaitu
musim hujan datang bersamaan dengan musim dingin. Waw “ٗ” juga
memilki makna “atau”, seperti dalam ayat berikut: ‫فاّنح٘ا ٍا طاب ىنٌ ٍِ اىْساء‬
‫ ٗحالث ٗستاع‬ْٚ‫ٍخ‬, huruf waw di sini bermakna atau. Dan masih terdapat
sejumlah makan lain lagi bagi “ٗ”.
Berikut aplikasi “ٗ” dalam istinbath hukum yang berpeluang
memunculkan khilafiyah hukum/fikih. Firman Allah Dalam ayat
berikut:197
ٌ‫ اىَشافق ٗاٍسح٘ا تشؤٗسنٌ ٗأسجين‬ٚ‫نٌ ئى‬ٝ‫ذ‬ٝ‫ اىصالج فاغسي٘ا ٗجٕ٘نٌ ٗأ‬ٚ‫ِ آٍْ٘ا ئرا قَتٌ ئى‬ٝ‫ٖا اىز‬ٝ‫ا أ‬ٝ
ِٞ‫ اىنؼث‬ٚ‫ئى‬
Pemaknaan terhadap “ٗ” di ayat ini menimbulkan perbedaan
pendapat di kalangan ulama fikih sebagai berikut;
Menurut jumhur ulama, bahwa “ٗ” dalam ayat ini bermakna tartib
(untuk urutan), sedangkan ulama mazhab Hanafiah berpendapat “ٗ” di
sini bukan untuk tartib. Jumhur ulama termasuk syafi‟iyyah berpendapat
bahwa makna tartib itu didasarkan pada cara bersuci yang dilakukan
Rasulullah SAW, dan tidak ditemui satu dalil pun yang menunjukkan
bahwa rasul bersuci dengan cara yang berbeda.198
Yang menarik untuk dicermati dalam teks hukum di atas adalah
pemaknaan “wau” antara tartib dan penghubung biasa (bukan tartib).
194 Dalam literature ushul fikih, ulama ushul fikih biasanya menempatkan pembahasan
makna huruf ini dalam Bab tentang Hakikat dan Majaz, karena biasanya huruf itu disamping
dugunakan untuk makna hakikat (dasar) juga bisa digunakan untuk makna yang lain (majaz),
dalam metode mereka biasanya makna hahikat didapat dengan cara induksi, dan selaian metode
induksi (istiqra‟) adalah makna majazi.
195 Lih. Mushthafa al-Ghalayani, Jami‟ al-Durus al-“Arabiyah, maktabah al-Syamilah.
196 Q.S. Al-Qashash:7
197 Q.S Al-Maidah:6
198 Abdul Wahab Abdul Al-Salam Al-Thawilah: Atsar Al-Lughah fi Ikhtilaf al-Mujtahidin,
h.222.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
91
Husnul Fatarib
Bahasa Arab dalam…
Memang menurut ulama Hanafiah, huruf “wau” dalam ayat ini
menunjukkan makna umum untuk jama‟ atau kumpulan sesuatu, yang
nantinya ayat ini dipahami sebagai berikut: bahwa semua anggota tubuh
yang disebutkan itu adalah wajib di basuh/cuci tanpa harus
mendahulukan yang satu dari yang lain. Sedangkan menurut jumhur
yang menafsirkan “wau” li-tartib (untuk urutan hirarki) mengartikan
ayat ini dengan kewajiban mencuci/basuh anggota tubuh untuk
berwudhu‟ sesuai dengan urutan teks hukum. Pemahaman jumhur ini
tidak bisa disandarkan pada normatifitas hukum yang sedang menjadi
lahan perdebatan, atau disandarkan pada aspek linguistic yang
debatable, melainkan menurut penulis diperlukan pendekatan lain, yaitu
hukum empiris, dengan dibuktikan dalam sejumlah riwayat bahwa
Rasulullah berwudhi dengan urutan seperti yang ada dalam teks hukum
itu (terlepas dari makna huruf ma‟ani yang ada), karena memnag sejarah
mencatat bahwa tidak ada dalam sejarah hukum bahwa Rasulullah
berwudhu dengan yang berbeda dengan yang disebutkan dari ayat di
atas.
b. Huruf “‫(حشاىفاء اىج٘اب)”اىفاء‬
Huruf ini memiliki arti yang juga berbeda sesuai posisinya dalam
kalimat seperti huruf “waw” tadi. Di antara makna nya yaitu; untuk
menunjukkan tertib/berurutan (tartib dan ta‟qib) seperti dalam ayat
berikut:
ٔٞ‫طاُ ػْٖا فأخشجَٖا ٍَا ماّا ف‬ٞ‫ فأصىَٖا اىش‬, huruf “fa” dalam ayat ini
menunjukkan makna litartib (urutan). “‫ ”اىفاء‬juga bermakna untuk “sebab
perbuatan” (sababiyah) seperti dalam ayat berikut :
ٌٞ‫ٔ ئّٔ ٕ٘ اىت٘اب اىشح‬ٞ‫ آدً ٍِ ستٔ ميَاخ فتاب ػي‬ٚ‫ فتيق‬, makan “fa” dalam “fataba
„alaihi” adalah sebab. 199
Contoh aplikasi “‫ ”اىفاء‬yang menimbulkan khilafiah hukum fikih yaitu
dalam hadits berikut;
ٔ‫ؼتق‬ٞ‫ٔ ف‬ٝ‫شتش‬ٞ‫جذٓ ٍَي٘ك ف‬ٝ ُ‫ ٗىذ ٗاىذ ئال أ‬ٛ‫جض‬ٝ ‫ ال‬200 . Ulama
berbeda pendapat tentang substansi hadits ini, yaitu seorang anak yang
memiliki bapaknya (bapaknya menjadi budaknya), apakah dia dianggap
telah memerdekaan bapaknya dengan kepeimilikanya itu secara hukum
(otomatis), atau harus memerdekaan bapaknya terlebih dahulu?
Menurut ulama mazhab Zhahiriyah, “‫ ”اىفاء‬di hadits ini untuk tartib,
jadi si bapak tidak merdeka dengan sendirinya tapi harus dimerdekakan
oleh anaknya yang memilikinya. Sedangkan menurut jumhur ulama, si
bapak merdeka dengan sendirinya walaupun tanpa dimerdekakan oleh
anaknya.
2. Huruf Jar (‫)حشف اىجش‬
a. Huruf “ٍِ” (min)
199
200
Q.S Al-Baqarah:37
Hadits Ahkrajahu Al-Turmudzi dan Abu Daud.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
92
Husnul Fatarib
Bahasa Arab dalam…
Huruf ini memiliki sejumlah makna sesuai dengan posisinya dalam
kalimat. Di antara makna “min” yaitu; Ibtida‟/bidayah untuk
menunjukkan tempat atau waktu, seperti “minal masjidil haram ilal masjidil
aqsha”, ada juga yang berarti tab‟dh / ba‟dhu, yaitu untuk menyatakan
makan sebahagian, seperti “lan tanalul birra hatta tunfiku minma tuhibbun”,
ada juga berarti al-bayan yaitu meneranagkan sesuatu, seperti “ ijtanibu
al-rijsa minal autsan”, dan ada lagi makna-makna lain seperti: ta‟kid,
zharfiyah, sababiyah dan ta‟lil dan lain-lain.
Dalam teks berikut kita akan melihat Min yang menunjukkan arti
awal tempat atau waktu, seperti dalam ayat berikut201 :
ٚ‫ اىَسجذ األقص‬ٚ‫ال ٍِ اىَسجذ اىحشاً ئى‬ٞ‫ تؼثذٓ ى‬ٙ‫ أسش‬ٛ‫سثحاُ اىز‬
Min dalam ayat ini menunjukkan awal atau batas lokasi dari masjidil
haram. Min juga menunjukkan makna “tab‟idh” (‫ض‬ٞ‫ )اىتثؼ‬seperti dalam
ayat :202
ٍِْٞ‫خش ٍٗا ٌٕ تَإ‬ٟ‫ً٘ ا‬ٞ‫ق٘ه آٍْا تاهلل ٗتاى‬ٝ ٍِ ‫ٍِٗ اىْاط‬
Yang artinya sebagian manusia. Dalam ayat lain “min” juga bisa
bermakna “sebab” (ta‟lil) sebuah perbuatan. Contoh dalam ayat
berikut:203
‫ آراٌّٖ ٍِ اىص٘اػق‬ٜ‫جؼيُ٘ أصاتؼٌٖ ف‬ٝ
Min dalam ayat ini adalah untuk sebab atau alasan mereka menutup
kupingnya, yaitu ketakutan dengan petir yang besar.
Berikut ini contoh aplikasi “min” dalam khilafiyah di kalangan ulama,
yaitu pada ayat Al-Quran: 204
ٌ‫ن‬ٞ‫تٌ ّؼَتٔ ػي‬ٞ‫طٖشمٌ ٗى‬ٞ‫ذ ى‬ٝ‫ش‬ٝ ِ‫نٌ ٍِ حشد ٗىن‬ٞ‫جؼو ػي‬ٞ‫ذ هللا ى‬ٝ‫ش‬ٝ ‫نٌ ٍْٔ ٍا‬ٝ‫ذ‬ٝ‫فاٍسح٘ا ت٘جٕ٘نٌ ٗأ‬
ُٗ‫ىؼينٌ تشنش‬
Jadi makna “minhu” dalam bagian belakang ayat menunjukkan arti
sebagian (tab‟idh) menurut sebagian ulama. Karena makna dasar dari
“min” memang untuk “tab‟idh”, sedangkan memaknainya dengan selain
itu adalah makna majazi. Sedangkan sebagian ulama lagi ada yang
berpendapat bahwa “min” dalam ayat ini menunjukkan batas awal atau
permulaan, dan inilah makna yang sebenarnya, adapun memaknainya
dengan selain ini termasuk makna majazi.205
Huruf “ٍِ” (min) dalam ketiga nas ini (min annas, min alshawaiq, dan
minhu) memiliki arti yang berbeda satu dengan yang lainnya. Yang
pertama menunjukkan sebagian manusia dengan jumlah yang tidak
tertentu, dan min pada “minhu” menunjukkan sebagian dari tangan yang
sudah tertentu secara majaji dan menunjukkan makna semuanya (bacaQ.S Al-Isra‟ : 1
Q.S Al-Isra‟ : 8
203 Q.S. Al-Baqarah:19
204 Q.S Al-Maidah:6
205 Abdul Wahab Abdul Al-Salam Al-Thawilah: Atsar Al-Lughah fi Ikhtilaf al-Mujtahidin,
h.249-250.
201
202
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
93
Husnul Fatarib
Bahasa Arab dalam…
seluruh tangan) menurut makna lafzhi. Adapun min pada “min alshawa‟iq” menunjukkan makna ta‟lil, sebab atau ilat, yaitu mereka
menutup kuping mereka karena takut (makna min) terhadap suara keras
petir.
b. Huruf “‫( ”ئىئ‬Ila)
Seperti huruf-huruf Jar yang lainya , “Ila” ini juga mempunyai
beberapa arti yang tergantung pada posisi dan penempatannya dalam
kalimat atau siyaqul kalam. Di antara maknanya yaitu “sampai” untuk
menunjukkan akhir waktu atau tempat, atau secara hukum untuk
menyatakan berakhirnya hukum subyek sebelumnya. “Ila” juga
dipakaikan untuk makna-makna berikut; intiha‟, yaitu untuk
menunjukkan akhir dari sesuatu, baik waktu maupun tempat, seperti
“tsuma atimmu al-shiyam ila al-lail”, juga berarti al-Mushahabah, yaitu
berrati bersama atau dengan, seperti; “qala man anshari ila Allah?” dan
juga bisa berarti sama dengan “inda”/‫ ػْذ‬yang berarti bagi atau untuk,
seperti; rabbi al-sijnu ahabbu ilayya mimma yad‟unani ilaihi”.
Ada pun aplikasinya dapat dilihat seperti dalam ayat berikut :206
َُ٘‫ش ىنٌ ئُ مْتٌ تؼي‬ٞ‫سشج ٗأُ تصذق٘ا خ‬ٍٞ ٚ‫ٗئُ ماُ رٗ ػسشج فْظشج ئى‬
“Ila” dalam “fanazhiratun Ila Maisaroh” berarti mengabaikan waktu
sampai datangnya maisaroh/kelapangan.
“Ila” juga dimaknai dengan “bersama” sepadan dengan “‫”ٍغ‬
(dengan/bersama), seperti dalam ayat berikut: 207
‫شا‬ٞ‫ أٍ٘اىنٌ ئّٔ ماُ ح٘تا مث‬ٚ‫ة ٗال تأمي٘ا أٍ٘اىٌٖ ئى‬ٞ‫ج تاىط‬ٞ‫ أٍ٘اىٌٖ ٗال تتثذى٘ا اىخث‬ٍٚ‫تا‬ٞ‫ٗآت٘ا اى‬
“Ila” dalam bagian ayat “amwalahum ila amwalikum” adalah “dengan”
atau “bersama”, yaitu bermakan “‫”ٍغ‬.
Contoh aplikasi pemaknaan “‫ ”ئىئ‬yang berkontribusi dalam khilafiyah
fikih Islam yaitu pada ayat berikut:208
ٌ‫ اىَشافق ٗاٍسح٘ا تشؤٗسنٌ ٗأسجين‬ٚ‫نٌ ئى‬ٝ‫ذ‬ٝ‫ اىصالج فاغسي٘ا ٗجٕ٘نٌ ٗأ‬ٚ‫ِ آٍْ٘ا ئرا قَتٌ ئى‬ٝ‫ٖا اىز‬ٝ‫ا أ‬ٝ
ِٞ‫ اىنؼث‬ٚ‫ئى‬
Ulama berbeda pendapat dalam posisi siku; apakah termasuk ke dalam
tangan dan wajib membasuhnya dalam berwudhu‟ atau tidak. Sebagian
ulama – Zufar dari Hanafiah dan sebagian ulama mutaakhirin dari
Malikiyah, sebagian Zhahiriyah dan Imam Thabary berpendapat bahwa
siku tidak termasuk ke dalam tangan dan tidak wajib membasuhnya
waktu berwudhu‟. Pendapat fikih didasarkan pada argumentasi ulama
nahwu (Al-Nahwiyun) bahwa “Ila” berfungsi untuk menunjukkan batas
akhir sebuah obyek.209
Q.S. Al-Baqarah:280
Q.S. Q.S. Al-Nisa:2
208 Q.S. Al-Maidah:6
209 Maksudnya kalau narasi ayat berbunyi :”basuhlah tanganmu sampai ke siku, artinya
siku tidak masuk ke bagian tangan, karena tangan sudah berakhir sampai di siku.”
206
207
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
94
Husnul Fatarib
Bahasa Arab dalam…
Sedangkan jumhur ulama berpendapat lain yaitu “Ila” memasukkan
obyek setelahnya ke dalam obyek yang dibicarakan, karena itu menurut
jumhur wajib membasuh semua tangan saat berwudhu‟ sampai ke dua
siku (siku juga wajib dibasuh). Jumhur beralasan dengan alasan makna
bahasa untuk tangan, yaitu tanagn secara bahasa arab mencakup dari
ujung jari tangan samapi ke lengan atas dan ketiak. Sedangkan siku
berada dalam bagian itu, karena itu wajib membasuh siku saat
berwudhu‟ karena siku masuk bagian tangan. Pendapat ini dipakai oleh
Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu‟, dan Imam Al-Qurthuby
dalam Tafsirnya (Al-Jami‟ Li Ahkam Al-Quran). Kalau dilihat dari
beberapa makna “Ila” yang lain, seperti “ma‟a” (‫ )ٍغ‬maka dimungkinkan
pemaknaan “Ila” dengan memasukkan obyek setelahnya; yaitu
memasukkan siku ke dalam bagian tangan lebih banyak disukung dalil
bahasa karena adanya sejumlah makna “ila” yang saling mendukung.
c. Huruf “ٜ‫( ”ف‬Fi)
Huruf “Fi” seperti huruf jar lainnya juga memiliki makna-makna khusus
sesuai dengan kalimat yan dimasukinya, salah satu bentuk khilafiyah
yang sering dibacaran dalam fikih Islam yaitu, persepsi para sahabat
dalam memaknai hadits Rasulullah SAW. Berikut :
‫ظح‬ٝ‫ قش‬ْٜ‫ ت‬ٜ‫ِ أحذ اىؼصش ئال ف‬ٞ‫صي‬ٝ ‫ال‬
Diriwayatkan bahwa shahabat berbeda pendapat dalam penafsiran hadits
ini menjadi dua macam, pertama : huruf jar “Fi” dalam hadits ini
menunjukkan tempat tertentu yaitu Bani Quraizhah, artinya hadits ini
bermakna”tidak satu orang shalat kecuali setelah sampai di Bani
Quraizhah”. Pemaknaan seperti ini adalah pola pemaknaan lafzhiah
(tekstual), sedangkan sebagain shahabat lagi memaknai hadits ini bukan
dari pemakaian huruf “fi” di sini, sehingga hadits ini ada juga dimaknai
sebagai berikut: bahwa supaya para shahabat mempercepat jalannya
sehingga nanti bisa shalat „ashr di Bani Quraizhah, pola pemaknaan
seperti ini disebut pemaknaan majazi.
3. Adawat Al-Syarth (‫)أدٗاخ اىششط‬
Huruf “‫( ”ئرا‬idza)
“‫”ئرا‬seperti huruf-huruf jar yang lain, huruf ini juga memiliki sejumlah makna
yang bisa berubah tergantung posisi huruf yang bersangkutan dalam
kalaimat. Berikut ini beberapa makna “‫ ;”ئرا‬yang pertama untuk menyatakan
makna “tiba-tiba” (‫)ٍفاجأج‬, makna ini biasanya ketika “‫ ”ئرا‬diikuti oleh mubtada
(‫)ٍثتذأ‬, seperti dalam ayat berikut: 210ٚ‫ح تسؼ‬ٞ‫ ح‬ٜٕ ‫فأىقإا فارا‬
“idza” di ayat ini mengandung makna sebagai Zharaf (kata keterangan) yang
mempunyai keterangan waktu masa yang akan datang (mustaqbal), di
samping itu tetap mempunyai makna syarat, seperti dalam ayat berikut:211
210
211
Q.S Thaahaa:20
Q.S. Al-Nahl:53
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
95
Husnul Fatarib
Bahasa Arab dalam…
ُٗ‫ٔ تجأس‬ٞ‫ٍٗا تنٌ ٍِ ّؼَح فَِ هللا حٌ ئرا ٍسنٌ اىضش فاى‬
Dalam ayat ini menunjukkan kalau seandianya nanti akan terjadi sesuatu
(kemudharatan) di laut, maka kepadanya kalian akan minta tolong.
Kemudian jika makna ini diterpakan dalam istinbath hukum, bisa
diumpamakan dalam ungkapan berikut: “ Jika seseorang memiliki beberapa
budak dan beberapa isteri, kemudian dia berkata; jika saya menthalaq
seorang wanita / isteri maka salah satu dari budakku menjadi merdeka.
Kemudian dia menthalaq empat orang isterinya secara berturut-turut atau
sekaligus, maka kejadian ini hanya memerdekan satu orang budak saja
(bukan empat budak), dengan alasan bahwa secara bahasa, “idza” itu tidak
dipakai untuk umum.212
E. Simpulan
Melihat dari pemakaian dan pemaknaan beberapa kelompuk huruf ma‟ani
dalam pembahasan ini ; huruf ma‟ani dari huruf „athaf, huruf ma‟ani dari huruf
jar dan huruf ma‟ani dari adawat syarth, maka semua perbedaan makna dari
masing-masing huruf sebagai produk dari ulama bahasa (Al-Nahwiyun) tidak
bisa tidak juga mempengaruhi makna teks hukum (nas hukum) baik dari AlQuran maupun dari Al-Sunnah. Perbedaan dalam pemaknaan ini pada tahap
selanjutnya memberikan warna dalam konstruksi hukum Islam dengan
muncuklnya varian produk fikih yang selanjutnya disebut khilafiyah.
Khilafiyah hukum yang terjadi dari perbedaan pemaknaan terhadap hurufhuruf ma‟ani dalam konstelasi ijtihad dan istinbath hukum bisa diterima selama
masing-masing pihak menggunakan sandaran atau dalil yang mandukung
pemaknaan itu; apakah dalil itu bersumber dari nas atau teks itu sendiri atau
dari pemahaman umum dari bahasa tersebut di kalangan bangsa arab. Semoga
penelitian ini bisa memberikan sebagian informasi dari kekayaan khazanah
bahasa arab dan rahasia teks wahyu dan nas hukum yang diturunkan dalam
bahasa arab. Dan semoga penelitian ini bisa menjadi penyemangat kaum
muslimin untuk lebih meminati kajian linguistic arab yang masih menyimpan
banyak rahasia dan hikmah yang yang tak terhingga. Semoga.
Daftar Pustaka
A.Qadri Azizi : Eklektisme Reformasi Bermazhab Sebuah Ikhtiyar menuju
Ijtihad Saintifik Medoern, Cet. 2, Teraju Mizan, Jakarta 2005.
Abdul Wahab Abdu Al-Salam Al-Thawilah, Al-Lughah fi ikhtilafi al-Mujtahidin,
Dar Al-salam, Kairo Mesir, tt.
As‟ad Abd Al-Ghani Al-Sayyid Al-Kafrawy : Istidlal „Inda Al-Ushuliyyin, Dar AlSalam, Mesir, 2002.
Syamsul Ma‟arif : Nahwu Kilat, Cet.III, Nuansa Mulia, Bandung, 2010.
212
Abdul Wahab Abdul Al-Salam Al-Thawilah: Atsar Al-Lughah fi Ikhtilaf al-Mujtahidin,
h.268-272
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
96
Husnul Fatarib
Bahasa Arab dalam…
Antaoine El-Dahdah : Arabic Grammatical Nomenclature, Librairie Du Liban
Publisher, Libanon, 1997
Antaoine El-Dahdah : A Dictioray of Arabic Grammar in Chart and Tables, Librairie
Du Liban Publisher, Libanon, 1997
Fuad Nikmah : Mulakhkhash Qawa‟id Al-Lughah Al-„Arabiyah, Cet.21, Al-Maktabah
Al-„Ilmy Al-Tarjamah, Kairo Mesir, tt.
Mahmud Isma‟il Shiny dkk. : Al-Mu‟jam Al-Siyaqy Li Al-Ta‟birat Al-Ishthilahiyyah,
Du Liban Publisher, Libanon, 1996
Jamal Al-Banna : Nahwa Fikih Jadid, Dar al-fikri, Kairo : 1995
Cik Hasan Bisri : Model Penelitian fikih, Kencana, Jakarta : 2003
Husnul Fatarib : Nazhariat Fiqh al-Ikhtilaf „Inda al-Imam Hasan al-Banna Min Khilal
Ushuluhu al-„Isyrien, Thesis, Univ. Al-Quran Al-Kariem, Sudan:2003
_____________: Ijtihadat al-Fuqaha al-Mu‟ashirin fi al-Qadhaya al-Mustajiddah,
Disertasi, Univ. Al-Nileen, Sudan : 2006
Majallah al-syari‟ah wa al-dirasat al-islamiyah: Univ. Kuwait, edisi Desember 2001
Yusuf Al-Qaradhawi : Taisisr al-fikh lil muslim al-mu‟ashir fi dhou‟ al-quran wa alsunnah, Maktabah Wahbah, Kairo : 1999
Romli SA : Muqaranah almazahib fi al-ushul, Gaya media pratama, Jakarta : 1999
Qutub Musthafa Sano : Adawat al-nazhar al-ijtihadi al-mansyud fi dhou‟ al-waqi‟ almu‟ashir, Dar al-fikr, Beirut : 2002
Adnan Muahmmad Umamah : Al-Tajdid fi al-fikri al-islami, Dar ibn al-jauzi : KSA.
2000.
Zuhaily, wahbah dan Jamal „athiyah : Tajdid al-Fiqh al-Islami, Dar al-fikr,
Beirut:2002
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
97
PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA DAN KETERKAITANNYA
DENGAN PERMASALAHAN GENDER
DALAM PRESPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM
Ida Umami
Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Jurai Siwo Metro Lampung
Abstract
Man is created by the God as perfect creature and granted with high standing and
prestige better than the other creatures. One of them is materialized by human right . the
Materialization of the human right must be in line with execution of the obligation and
responsibility applied universally. In Al-Qur''an prespektif, judicially man has the same
position either men and also woman, while becoming distinguishment is level of belief in
God and his godfearing. Women also have potential in developing their environmental
conditions and give directions on the social, economic, political, and personal. Various
human quality to support a positive quality of life should be developed in the dignity of
women and men. Furthermore, women‟s beliefs and attitudes influenced by myths and
stereotypes that apply to her. In this case, the effect of adverse social and cultural
development of status and dignity of women can be changed. Therefore it is necessary for
the preparation of empowerment format that can refer to a gender gap so that the
similarities between the position of lacquers and men in law can realized that the
difference is due to faith of Allah SWT.
Keyword: Human Right, Gender, and Perspective of Qur‟an
A. Pendahuluan
Pengkajian tentang hak-hak asasi manusia, sejarah hak asasi manusia
dimulai di Inggris dengan lahirnya Magna Charta (1215), yaitu perlindungan
tentang kaum bangsawan dan gereja. Pada tahun 1776 di Amerika Serikat
terdapat Declaration of Independence (Deklarasi Kemerdekaan) yang di dalamnya
memuat hak asasi manusia dan hak asasi warga negara. Perkembangan
selanjutnya adalah setelah Revolusi Prancis.
Tuntutan tentang hak-hak asasi warga negara dengan semboyannya
kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan. Setelah Perang Dunia II peristiwa
yang penting dalam perkembangan hak-hak asasi manusia, adalah paham
demokrasi (dari, oleh, untuk) rakyat dan peristiwa penting diakuinya hak-hak
asasi manusia secara umum (universal), yaitu lahirnya ”Universal Declaration of
Human Rights” sebagai pernyataan umum tentang hak-hak asasi manusia, pada
tanggal 10 Desember 1948 dalam sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsabangsa di Paris yang memuat 30 pasal tentang hak asasi manusia (H.A.W.
Widjaja, 2000).213 Namun demikian, sampai saat ini, masih terjadi pelanggaran
terhadap hak-hak asasi manusia terutama terkait dengan permasalahan gender,
dalam hal ini, kaum perempuan sering menjadi korban perampasan hak-hak
asasinya. Padahal dalam Islam melalui alqur‟an, jelas sekali adanya persamaan
213
H.A.W. Widjaja. 2000. Penegakan Hak-hak Asasi Manusia. Jakarta: Rineka Cipta.
Ida Umami
Perlindungan Hak Asasi...
antara kedudukan lak-laki dan perempuan dalam hukum, sedangkan yang
menjadi pembeda adalah ketaqwaannya kepada Allah SWT.
B. Pembahasan
Hak asasi manusia tercantum dalam dokumen naskah deklarasi sedunia
tentang hak-hak asasi manusia yang diadakan di Teheran, 22 April-13 Mei 1968,
U.N. Doc.A/CONF.32/41, Sales No. E. 68, XIV dalam Pasal 1 disebutkan bahwa
semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang
sama. Mereka dikaruniai akal budi dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam
persaudaraan (Arend, 1994). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Ruswiati
Suryasaputra (2006) bahwa sejarah hukum internasional menjadi saksi adanya
perjanjian internasional yang memberi perlindungan hak-hak asasi manusia
kepada seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian, hak-hak asasi manusia
memang sudah memiliki dasar dan fondasi yang kuat.
Hak asasi manusia di Indonesia tertuang dalam pembukaan Undangundang Dasar 1945 sebagai perwujudan Pancasila (sumber dari segala sumber
hukum) sebagai dasar negara, memuat ajaran tentang hak-hak asasi manusia
sebagai berikut:
1. Alinea pertama: mengandung pengakuan adanya hak asasi di samping
kewajiban asasi. Hak asasi manusia baik perseorangan maupun sebagai
bangsa berdasarkan martabat kemanusiaan dan keadilan.
2. Alinea kedua: mengandung adanya pengakuan dari bangsa Indonesia
untuk mewujudkan negara yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan
makmur. Perwujudan dan keinginan ini terkandung di dalamnya hakhak asasi baik dalam bidang politik, ekonomi dan sosial budaya.
3. Alinea ketiga: mengandung adanya pengakuan tercakup di dalamnya
hak-hak asasi beragama dan hak-hak asasi di bidang sosial budaya dan
bidang politik.
4. Alinea keempat: menyimpulkan pengakuan terhadap hak-hak asasi
manusia, hak-hak dan kewajiban warga negara, yaitu bersama-sama
berkewajiban mewujudkan tujuan nasional dalam segala bidang baik
dalam bidang ekonomi, politik, sosial budaya dan hankam.
Dengan memperhatikan isi dan makna pembukaan Undang-undang Dasar
1945 jelas bahwa bangsa Indonesia mengakui tentang adanya hak-hak asasi
manusia dan kewajiban-kewajiban warga negara (nasional). Hak dan kewajiban
warga negara diatur secara khusus dalam pasal-pasal dan batang tubuh Undangundang Dasar 1945. Adapun pasal-pasal yang mengatur hak-hak dan kewajibankewajiban warga negara ialah:
1. Pasal 27 Ayat 1, segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
2. Pasal 27 Ayat 2, tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
perlindungan yang layak bagi manusia.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
99
Ida Umami
Perlindungan Hak Asasi...
3. Pasal 28, kemerdekaan berserikat, berkumpul, berpendapat, dengan
lisan atau tulisan.
4. Pasal 29 ayat 2, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat.
5. Pasal 30 Ayat 1, tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam
usaha pembelaan negara.
6. Pasal 31 Ayat 1, tiap warga negara berhak mendapat pengajaran.
7. Pasal 33 Ayat 1, perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan asas kekeluargaan.
8. Pasal 33 Ayat 2, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
9. Pasal 33 Ayat 3, bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat.
10. Pasal 34, fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.
Ditinjau dari perspektif Islam, menurut Abul A‟la Al-Maududi (1998:78-80)
hak-hak asasi manusia tercantum dalam teks-teks ayat Al-Qur‟an antara lain:
1. Hak /kebebasan dan Beriman (kepercayaan)
                
           
   
Artinya: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya
telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa
yang ingkar kepada Thaghut (syetan atau selain Allah) dan beriman kepada
Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat
yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui (Q.S
Al Baqaráh (2): 256).
2. Hak Memiliki Harta Kekayaan
            
   
Artinya: ” Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di
antara kamu dengan jalan batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta
itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda
orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (QS. Al
Baqaráh (2):188).
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
100
Ida Umami
Perlindungan Hak Asasi...
3. Hak untuk Berbeda Pendapat
                 
           
Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur‟an) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS. An
Nisaa‟ (4):59).
4. Hak Milik Pribadi
                
   
Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah
yang bukan rumahmu sebelum minta izin dan memberi salam kepada
penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat”.
QS. An Nuur (24):27).
5. Kebebasan Berorganisasi
              
  
Artinya: ”Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebijakan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang
munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”. (QS Ali Imran (3):104)
6. Hak untuk Hidup
            
 
Artinya: ”Tahukah kamu (orang) yangmendustakan Agama? Itulah orang yang
menghardik anak yatim, dan tidak mengajurkan memberi makan anak. (QS. Al
Maa‟uun (107):13).
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
101
Ida Umami
Perlindungan Hak Asasi...
7. Kebebasan Berfikir dan Mengemukakan Pendapat
               
Artinya: Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulang bagi manusia dalam
al-Qur‟an bermacam-macam perumpamaan. Dan manusia adalah makhluk yang
banyak membantah (QS. Al-Kahfi (18): 54)
Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa dalam agama Islam, hak-hak asasi
manusia dalam pelaksanaannya memiliki landasan yang kuat. Hak-hak asasi
manusia dilaksanakan selaras dengan pemenuhan kewajibannya sebagai warga
negara terhadap masyarakat, bangsa dan negara. Pelaksanaan hak asasi
menurut tidak dapat secara mutlak, karena penuntutan pelaksanaan yang
demikian itu secara mutlak berarti melanggar hak asasi manusia yang sama bagi
orang lain. Sedangkan hak asasi manusia menurut Ruswiati Suryasaputra (2006)
juga tercantum pada pasal 2 paragraf 2 konvensi tentang Hak Anak
menyebutkan bahwa: negara-negara peserta harus mengambil langkah-langkah
yang layak untuk memastikan bahwa anak dilindungi dari segala bentuk
diskriminasi atau hukuman yang didasarkan pada status, kegiatan, pendapat
yang disampaikan, atau kepercayaan orang tua anak, walinya yang sah, atau
anggota keluarganya.214
Uraian di atas dapat dijadikan sebagai dasar berpikir dan berperilaku
bahwa pada hakekatnya manusia memiliki hak-hak asasi yang tidak boleh
dilanggar oleh orang lain, namun hak-hak asasi tersebut harus diiringi dengan
tanggung jawab yang tinggi terhadap penunaian kewajiban. Manusia pada
hakekatnya adalah makluk jasmani dan rohani yang memiliki kesempurnaan
bentuk fisik dan psikis, makhluk yang memiliki derajat tinggi, bertaqwa dan
makhluk khalifah di bumi, serta pemilih hak azazi manusia. Hakekat
kemanusiaan yang sarat dengan berbagai potensi ini perlu dikembangkan
dengan seoptimal mungkin melalui pendidikan terutama untuk pemberdayaan
perempuan sehingga bisa lebih berkiprah dan berperan dalam kehidupan
pribadi, keluarga, masyarakat dan bangsa.
Pemberdayaan perempuan merupakan bagian dari pemberdayaan yang
bertujuan membangun tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara dalam rangka mewujudkan kemajuan di semua bidang. Oleh sebab
itu, visi pembangunan pemberdayaan perempuan adalah "kesetaraan dan
keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara." Pada dasarnya, keberhasilan pemberdayaan perempuan terletak
pada lima agenda utama: (1) peningkatan kualitas hidup perempuan di
berbaghai bidang strategis, (2) penggalakan sosialisasi kesetaraan dan keadilan
Ruswianti Suryasaputra. 2006. Perlindungan Hak Asasi Bagi Kelompok Khusus terhadap Diskriminasi
dan Kekerasan. Jakarta: Restu Agung.
214
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
102
Ida Umami
Perlindungan Hak Asasi...
gender, (3) penghapusan segala bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan,
(4) penegakan hak asasi manusia bagi perempuan, (5) pemampuan dan
peningkatan kemandirian lembaga dan organisasi perempuan. Lima hal inilah
yang menjadi misi utama pembangunan pemberdayaan perempuan. Untuk
mewujudkan hal itu, dilaksanakan pengarusutamaan gender (gender
mainstreaming) dalam semua aspek kebijakan dan kehidupan perempuan.
Istilah gender sering dirancukan dengan jenis kelamin, bahkan sering
disetarakan dengan jenis kelamin perempuan. Padahal, istilah gender mengacu
kepada jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Konsep gender mengacu pada
seperangkat sifat, peran dan tanggung jawab, fungsi, hal dan perilaku yang
melekat pada diri laki-laki dan peerempuan akibat benturan budaya atau
lingkungan masyarakat. Oleh sebab itu, di masyarakat laki-laki selalu
digambarkan dengan sifat maskulin dan perempuan dengan sifat feminim. Sifat
maskulin dan feminin ini lebih merupakan hasil konstruksi sosial, bukan hal
yang kodrati (Depdiknas, 2003). Jadi, pada dasarnya, konsep gender merupakan
konsep sosial. Adapun istilah feminitas dan maskulinitas yang berkaitan dengan
istilah gender berkaitan dengan sejumlah karakteristik psikologis dan perilaku
yang secara kompleks
telah dipelajari seseorang melalui pengalaman
sosialisasinya (Sadli dalam Ihromi, 1995).215
Pembedaan sifat maskulin dan feminin itu kemudian menimbulkan
berbagai ketimpangan, di antaranya:
a. Pemberian beban kerja yang lebih berat kepada perempuan
(perempuan pekerja)
b. Perlakukan kekerasan terhadap perempuan
c. Anggapan bahwa perempuan sekadar pelengkap laki-laki
(subordinasi)
d. Pelabelan yang negatif (stereotipe) yang dilekatkan pada perempuan.
Sebenarnya, masalah kesenjangan gender merupakan masalah yang
sudah berurat berakar di dunia ini dan mungkin sudah berusia ribuan tahun.
Kesenjangan gender ini (yang sudah dianggap wajar dan alamiah) selalu
menempatkan perempuan pada posisi yang lemah, inferior, dan subordinat.
Adanya pemikiran bahwa perempuan lebih lemah daripada laki-laki membawa
akibat pada kepercayaan masyarakat bahwa perempuan sebaiknya hidup di
lingkungan rumah tangga, sedangkan laki-laki bertugas ke luar rumah untuk
mencari nafkah (Djajanegara, 2000).216
Pandangan itu tentu tidak sesuai dengan konsep hak asasi manusia
(HAM) karena salah satu komponen penting dalam HAM adalah perlindungan
215
Sadli, Saparinah. 1995. "Pengantar Tentang Kajian Wanita". Dalam Ihromi. 1995. Kajian Wanita
dalam Pembangunan. Jakarta : Obor.
216
Djajanegara, Soenarjati. 2000. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta : Gramedia
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
103
Ida Umami
Perlindungan Hak Asasi...
dan pemajuan sumber daya manusia (SDM) menurut jenis kelamin untuk
menjamin kesetaraan dan keadilan gender di berbagai bidang kehidupan,
termasuk pendidikan. Dalam bidang pendidikan, kesenjangan gender pada
umumnya disebabkan oleh empat faktor, yaitu:
a. Faktor akses yang tampak dalam proses penyusunan kurikulum dan
pembelajaran yang cenderung bias.
b. Faktor kontrol terhadap kebijakan pendidikan yang lebih didominasi
oleh laki-laki (posisi strategis lebih banyak ditempati oleeh laki-laki).
c. aktor partisipasi yang nampak pada jumlah perempuan dan laki-laki
peserta didik.
d. Faktor benefit yang terlihat dari dominannya laki-laki sebagai
penentu kebijakan
Saat ini, di tingkat dunia, sebanyak 880 juta orang dewasa buta aksara,
dua pertiga di antaranya adalah perempuan. Dari 110 juta anak yang tidak dapat
menikmati pendidikan dasar, dua pertiganya adalah anak perempuan
(Depdiknas, 2003).217 Hal itu menunjukkan bahwa kesenjangan gender masih
terjadi dalam bidang pendidikan. Oleh sebab itu diperlukan upaya untuk
menanggulanginya..
Di Indonesia, dalam GBHH, sejak tahun 1978 dicantumkan bahwa
"Wanita mempunyai hak, kewajiban, dan kesempatan yang sama dengan lakilaki untuk ikut serta sepenuhnya dalam segala kegiatan pembangunan." Hal itu
mengisyaratkan bahwa pemerintah mengakui adanya kesetaraan antara
perempuan dan laki-laki dalam segala kegiatan pembangunan di Indonesia .
Paling tidak, pernyataan pemerintah ini memberi peluang yang seluas-luasnya
pada pengembangan wawasan gender dalam hal kemitrasejajaran antara
perempuan dan laki-laki di Indonesia .
Dalam wawasan gender, perempuan perlu diterima dan dihargai sebagai
sesama manusia yang punya potensi. Karakteristik perempuan seperti tidak
kompeten, lemah, tidak mandiri yang merupakan konstruk budaya perlu diimbangi
dengan gambaran tentang perempuan yang berpotensi, cerdas, mandiri, etis.
Memang, berdasarkan perjalanan sejarah, salah satu konsep yang sampai saat ini
masih melekat kuat pada diri setiap manusia adalah konsep pembagian kerja
secara seksual yang selalu menempatkan perempuan pada posisi yang lemah.
Namun, sadarkah manusia bahwa seorang anak laki-laki dan perempuan
semenjak lahir sudah diasuh untuk menjadi laki-laki dan perempuan secara
sosial. Mereka senantiasa diarahkan untuk menyesuaikan diri dengan gagasan
tentang sifat laki-laki dan perempuan melalui imbalan dan hukuman. Imbalan
dalam wujud hadiah atau pujian akan diberikan jika mereka menyesuaikan diri
dengan apa yang dianggap pantas bagi jenis kelamin mereka, sedangkan
217
Depdiknas. 2003. Pedoman Umum Sosialisasi Pengarusutamaan Gender Bidang Pendidikan. Jakarta .
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
104
Ida Umami
Perlindungan Hak Asasi...
hukuman akan diberikan jika mereka tidak menyesuaikan diri dengan apa yang
dianggap pantas bagi jenis kelamin mereka.
Menurut hasil temuan antropologi, apa yang dianggap sebagai peran
"alamiah" (kodrat) perempuan dan laki-laki di setiap masyarakat sama sekali
tidak ditetapkan secara biologis. Oleh sebab itu, "pengabsahan pembagian kerja
secara seksual sebagai tatanan alamiah bisa dibantah karena hal itu jelas
merupakan konstruksi sosial yang dibuat laki-laki." (Ibrahim dan Suranto,
1990).218
Selanjutnya, beberapa pengamatan dan penelitian terdahulu menyatakan
perlakuan subordinatif masih selalu diterima perempuan. Sebut saja istilah
'bekerja' yang secara rasional dibatasi oleh waktu, misalnya: 8 jam per hari,
dalam masyarakat cenderung mempunyai konotasi "maskulin". Sementara
perempuan yang melaksanakan pekerjaan rumah tangga hampir sepanjang hari,
mulai bangun tidur sampai akan tidur lagi tidak dikatakan "bekerja" karena
mereka hanya akan mendapatkan sebutan ibu rumah tangga. Padahal, produk
hasil pekerjaan ibu rumah tangga digunakan secara langsung oleh keluarga,
tetapi mereka tidak pernah dibayar untuk "pekerjaan"nya itu
Apabila ada perempuan yang merambah pada "bekerja" dengan konotasi
maskulin ini, dia akan dijuluki sebagai perempuan yang berperan ganda, yaitu
sebagai ibu rumah tangga dan sebagai perempuan pekerja. Adapun istilah
"peran ganda laki-laki" tidak pernah muncul karena laki-laki memang tidak
dididentikkan dengan pekerjaan rumah tangga (Budiman, 1982).219
Untuk mengatasi ketimpangan gender inilah pemerintah berusaha untuk
menyosialisasikan program pengarusutaaan gender (gender mainstreeaming).
Program itu terdapat dalam Instruksi Presiden no. 9 tahun 2000 yang antara lain
mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
a. Agar setiap instansi pemerintah mengintegrasikan program
pemberdayaan perempuan.
b. Untuk itu dapat ddigunakan pedoman teknis yang disusun oleh
kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan sebagai acuan
c. Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan bertugas
memfasilitasi dan membantu instansi dan daerah yang memerlukan
(bekerja sama dengan lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan
perguruan tinggi yang ada)
d. Sesuai fungsi dan kewenangannya, setiap instansi dan daerah dapat
mengembangkan lebih lanjut pelaksanaan inpres ini kepada
masyarakat.
218 Ibrahim, Idi Subandy dan Hanif Suranto. 1998. Wanita dan Media: Konstruksi Ideologi
Gender dalam Ruang Publik Orde Baru. Bandung : Remaja Rosdakarya.
219 Budiman, Arief. 1982. Pembagian Kerja Secara Seksual: Sebuah Pembahasan Sosiologis
tentang Peran Wanita di Dalam Masyarakat. Jakarta : Gramedia.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
105
Ida Umami
Perlindungan Hak Asasi...
Secara umum, sumber daya kaum perempuannya belumlah semaju sumber
daya kaum laki-lakinya, khususnya dari sisi sumber daya tenaga akademis. Oleh
sebab itu perlu dilakukan penyusunan format pemberdayaan yang dapat
merujuk pada kesenjangan gender. Secara garis besar, data pembuka wawasan
yang dimaksudkan tergambar ke dalam faktor-faktor berikut ini.
1. Faktor Akses
Program Pemberdayaan terhadap perempuan harus diupayakan
semaksimal mungkin agar perempuan mampu mengakses berbagai kesempatan
yang ada dan mungkin dimasuki, baik dalam bidang akademik maupun non
akademik. Peningkatan peran perempuan dalam berbagai bidang kehidupan
keluarga dan masyarakat bahkan kenegaraan harus selalu terus ditingkatkan.
Selain itu, perlu dilakukan berbagai kajian baik melalui penelitian
maupun melalui studi-dtudi terhadap permasalahan perempuan dalam upaya
peningkatan peran perempuan dalam berbagai aspek dan sendi kehidupan.
Langkah-langkah yang merujuk pada peningkatan mutu dan relevansi
pendidikan maupuan pekerjaan yang berwawasan gender tampak terus
dikembangkan dan ditambah dengan langkah-langkah lainnya guna
terwujudnya kesetaraan gender baik dalam pendidikan maupun bidang lain
yang terkait baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan
manusia.
2. Faktor Kontrol dan Benefit
Kehidupan manusia mencangkup berbagai bidang kehidupan terutama
bidang vokasional dan jabatan yang lebih banyak didominasi oleh laki-laki,
demikian pula halnya dengan bidang akademikyang menunjukkan adanya
kesenjangan gender. Kesenjangan ini antara lain merujuk kepada minimnya
perempuan meraih faktor kontrol dan benefit karena pengambilan kebijakan
juga masih didominasi oleh laki-laki.
3. Faktor Partisipasi
Dewasa ini, partisipasi perempuan dalam berbagai bidang kehidupan
sudah mulai nampak menggeliat dan berbagai upaya untuk mendorong lebih
besar partisipasi tersebut juga sudah banyak dilakukan. Namun demikian, pada
kenyataannya, partisipasi perempuan masih perlu untuk terus ditingkatkan
dalam seluruh sendi dan bidang kehidupan baik kehidupan pribadi, sosial
kemasyaraktan maupun kenegaraan. Partisipasi aktif perempuan dalam segala
bidang akan lebih mendorong pencapaian setiap tujuan dengan lebih kuat dan
lebih baik.
C. Simpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat dikemukakan bahwa dalam
prespektif Al-qur‟an, kaum laki-laki dan perempuan memiliki derajat yang sama.
Pembeda antara kaum laki-laki dan perempuan di mata Allah SWT adalah
derajat keimanan dan ketaqwaaanya. Oleh karena itu, perlu adanya persamaan
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
106
Ida Umami
Perlindungan Hak Asasi...
pemahaman, persepsi dan bahkan keyakinan bahwa perempuan akan mempu
menempatkan diri dan potensinya sejajar dengan kaum laki-laki dalam berbagai
bidang kehidupan. Lak-laki dan perempuan juga dikaruniai harkat dan martabat
serta hak asasi yang sama. Kondisi kesejajaran ini akan memberikan
kemungkinan yang lebih besar untuk saling membantu, saling mendorong dan
menguatkan dalam mencapai seluruh tujuan kebahagiaan hidup yang hakiki.
Untuk mewujudkan hal itu, seyogyanya terbuka pintu yang lebar bagi semua
pihak, khsususnya bagi para perempuan agar dapat menapak lebih lanjut
dengan kepastian tanpa harus diragukan kemampuannya karena
keperempuannya.
Daftar Pustaka
Budiman, Arief. 1982. Pembagian Kerja Secara Seksual: Sebuah Pembahasan Sosiologis
tentang Peran Wanita di Dalam Masyarakat. Jakarta : Gramedia.
Depdiknas. 2003. Pedoman Umum Sosialisasi Pengarusutamaan Gender Bidang
Pendidikan. Jakarta : Depdiknas
Djajanegara, Soenarjati. 2000. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta :
Gramedia.
H.A.W. Widjaja. 2000. Penegakan Hak-hak Asasi Manusia. Jakarta: Rineka Cipta.
Ibrahim, Idi Subandy dan Hanif Suranto. 1998. Wanita dan Media: Konstruksi
Ideologi Gender dalam Ruang Publik Orde Baru. Bandung : Remaja
Rosdakarya.
Ihromi, T.O. 1995. Kajian Wanita dalam Pembangunan. Jakarta : Obor.
Ruswianti Suryasaputra. 2006. Perlindungan Hak Asasi Bagi Kelompok Khusus
terhadap Diskriminasi dan Kekerasan. Jakarta: Restu Agung.
Sadli, Saparinah. 1995. Pengantar Tentang Kajian Wanita, Kajian Wanita dalam
Pembangunan. Jakarta : Obor.
_________. 1995. Identitas Gender dan Peranan Gender Kajian Wanita dalam
Pembangunan. Jakarta : Obor.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
107
Download