perjalanan dakwah islamiyah rasulullah saw pada periode mekah

advertisement
PERJALANAN DAKWAH ISLAMIYAH
RASULULLAH SAW PADA PERIODE
MEKAH DAN MADINAH
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar
Sarjana Komunikasi Islam ( S.Kom.I ).
Disusun Oleh :
NAMA : MOHAMMAD IRFANDI
NPM : 103051028629
JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2010 M / 1432 H
PERJALANAN DAKWAH ISLAMIYAH RASULULLAH SAW PADA
PERIODE MEKAH DAN MADINAH
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Komunikasi Islam ( S.Kom. I )
Oleh
Mohammad Irfandi
NPM : 103051028629
Pembimbing ,
Drs. H.Sunandar , MA
NIP : 19620626 199403 1 002
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2010 M / 1432 H
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul PERJALANAN DAKWAH ISLAMIYAH RASULULLAH SAW PADA
PERIODE MEKAH DAN MADINAH telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 24
Desember 2010 skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana
Komunikasi Islam ( S.Kom.I ) pada Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam.
Jakarta , 24 Desember 2010
Panitia Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota
Sekretaris Merangkap Anggota
Drs. Study Rizal LK, MA
Umi Musyarofah , MA
NIP : 1964042 8199 303 1 002
NIP : 19710816 199703 2 002
Anggota ,
Penguji I
Penguji II
Drs. Masran , MA
Drs. Moh.Sungaidi , MA
NIP : 150275 384
NIP : 19600803 199703 1 006
Pembimbing
Drs. H. Sunandar , MA
NIP : 19620626 199403 1 002
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta .
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan
hasil jiplakan dari karya orang lain , maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta , 17 Desember 2010
Mohammad Irfandi
ABSTRAKS
Nama : Mohammad Irfandi , NPM : 103051028629 ,Strategi Dakwah Rasul di Mekah
dan Madinah .
Rasul Muhammad SAW , adalah seorang pemimpin agama dan pemimpin negara
yang mempunyai kepribadian terpuji. Beliau adalah panutan terbaik ( uswatun hasanah ) bagi
umat muslim di seluruh dunia Islam. Melalui organisasi dakwah Islamiyah , Rasulullah
mampu mengubah jalannya sejarah dan mempengaruhi secara besar - besaran perkembangan
penyiaran Islam dari masa jahiliyah ( pra Islam ) menuju masa peradaban Islam. Dakwah
Rasulullah SAW periode Mekah - Madinah bertujuan membentuk pribadi muslin (di Mekah
) bersifat majemuk sebagai unsur mutlak membangun pemerintah Islam di Madinah di mana
komunitas penduduk Madinah bersifat plural .Kemajemukan di Madinah tercermin dengan
adanya perbedaan agama , suku , maupun golongan dan untuk mewujudkan toleransi antar
sesama melalui organisasi dakwah Islamiyah . Keberhasilan Rasulullah dalam membangun
pemerintah ditandai dengan dibuatnya piagam Madinah sebagai undang - undang yang
mengatur komunits penduduk Madinah yang plural. Hal itu terlepas dari upayanya dalam
memperjuangkan dan mendakwahkan Islam, sehingga beliau dikenal sebagai Rasul yang
amat disegani dan mendapatkan simpati dari umat Islam di Mekah - Madinah pada saat itu
dan dunia Islam pada umumnya.
Tujuan Penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan perjalanan dakwah Rasulullah
menurut Sejarah Islam ( Periode Mekah - Madinah ) penelitian telaah pustaka dengan
metode deskriptif ini menggunakan literature sebagai alat pengumpul data . Analisis yang
digunakan yaitu reduksi data , penyajian data , dan penarikan kesimpulan.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke Hadirat Allah SWT yang selalu memberikan
rahmat dan karunia- Nya , sehingga sampai saat ini penulis masih diberi nikmat kesehatan
dan karunia untuk dapat menyelesaikan skripsi , dengan judul
“Perjalanan Dakwah
Islamiyah Rasulullah SAW Pada Periode Mekah - Madinah.“
Dengan segala kerendahan hati penulis sadar meskipun penulis menemui berbagai
kesulitan serta hambatan dalam penulisan dan penyusunan karya ilmiah ini , tetapi penulis
telah berusaha semaksimal mungkin untuk membahasa tema yang penulis angkat sesuai
dengan kemampuan yang dimiliki. Penulis menyadari betul bahwa skripsi ini masih jauh dari
sempurna dan masih terdapat banyak kekurangan . Oleh karena itu dengan segala
kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dan juga koreksi
demi kesempurnaan.
Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak - pihak yang telah
membantu baik dalam hal bimbingan , semangat dan perhatian selama kegiatan pembuatan
skripsi ini. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya kepada :
1. Bpk. DR. Arif Subhan , MA Dekan
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta .
2. Bpk. Drs. Jumroni , M. Si selaku Ketua jurusan Komunikasi dan Penyiaran
Islam Program Reguler .
3. Dosen Pembimbing Bpk. Drs. H. Sunandar , MA yang telah meluangkan
waktu dan membimbing penulis dalam penyusunan skripsi ini
4. Orang tua dan saudara tercinta atas perhatian , doa , dan kasih sayang yang
tulus dan ikhlas , sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
5. Teman - teman seangkatan penulis di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatulaah Jakarta , khususnya Fakultas Dakwah dan Komunikasi .
6. Seluruh staff dan dosen pengajar di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta .
7. Segenap karyawan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
serta Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
memudahkan
penulis
untuk
mendapatkan
berbagai
referensi
dalam
penyelesaian skripsi ini.
8. Semua pihak yang telah membantu penulis baik secara moril maupun materiil ,
secara langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu , penulis
ucapkan terima kasih yang sebesar - besarnya.
Semoga Allah membalas jasa - jasa dan budi baik mereka sesuai dengan apa
yang telah mereka perbuat untuk kesuksesan skripsi ini.
Akhir kata penulis berharap agar skripsi ini dapat berguna bagi yang
memerlukannya. Amin.
Jakarta ,
Desember 2010
Mohammad Irfandi
103051028629
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
i
HALAMAN PEMBIMBING
ii
HALAMAN PENGESAHAN
iii
HALAMAN PERNYATAAN
iv
ABSTRAKSI
v
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
vi
viii
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah …………………………………………….. 1
B. Identifiksi Masalah …………………………………………………...11
C. Pembahasan dan Perumusan Masalah ………………………………12
D. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian …………………….……...12
E. Metode Penelitian …………………………………………………….14
F. Sistematika Penulisan ………………………………………………...16
BAB II RIWAYAT HIDUP RASULULLAH SAW
A. Masyarakat Arab Pra Islam dan Kelahiran Rasulullah ……………….18
B. Pengalaman Hidup Rasulullah SAW …………...……………………22
C. Pribadi Rasulullah SAW ………………………………………..........24
D. Risalah Muhammad SAW ………………………………………..….26
BAB III HAL IHWAL DAKWAH DALAM MASYARAKAT MADANI
A. Dakwah …….…………………………..…………………………….29
1. Pengertian Dakwah ………………………..……………………...29
2. Konsep Dakwah Pergerakan (da’wat Harakat) ……………...........35
3. Dakwah dan Dinamika Sosial .........................................................45
4. Perkembangan Konsep Dakwah ......................................................48
5. Dakwah Kultural , Struktural dan Dakwah Integratif ……………..54
6. Tugas Pokok dan Fungsi Kenabian ………………………………. 60
7. Unsur - unsur Gerakan Dakwah ………………………………….. 63
B. Masyarakat Islam …………………………………………………….. 68
1. Pengertian Masyarakat Islam …….………………………………. 68
2. Masyarakat Islam menurut al-Qur’an dan al-Sunah ……………. .69
3. Transformasi Menuju Masyarakat Islam ………………………… 74
BAB IV DAKWAH ISLAM DAN RASULULLAH SAW
A. Turunnya Wahyu ( Perintah Berdakwah ) ……………………...……..91
1. Penobatan Muhammad Saw menjadi Rasul …………..…………. 94
2. Pribadi Muslim ………………..…………………………………..98
B. Dakwah Islam Periode Mekah ……………………………..…………99
1. Proses Dakwah ……………………..……………………………..99
2. Hambatan - hambatan Dakwah …….……………………………103
3. Peristiwa Isra’ Mi’raj…………………………………………......106
C. Dakwah Islam Periode Madinah ……………………...……………...110
1. Peristiwa Bai’at Aqabah I dan Ke II ……………..………………110
2. Hijrah ke Madinah ……………………………………………….113
3. Piagam Madinah ……………………………………….………...115
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ……………………………………..……………….…..123
B. Saran - saran ………………………………………………………….123
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dakwah merupakan jalan menuju Islam, sebagaimana telah digambarkan dalam
Al-Qur'an : QS. Al-Imran (3): 19
Artinya : "Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih
orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada
mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barang siapa yang kafir terhadap
ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya." (Depag RI, 1978: 102).
Dakwah merupakan jalan menuju Islam maksudnya adalah panggilan dari Allah
SWT melalui Nabi Muhammad SAW untuk umat manusia agar menganut ajaran Islam
(agama), dengan cara beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Bersikap sesuai dengan
garis-garis aqidah dan syariat serta akhlak islamiyah, Islam adalah agama yang mencakup
dan mengatur segala aspek kehidupan manusia guna memperoleh ridha dari Allah SWT.
Pada permulaan kenabian Muhammad SAW, mencanangkan ide-ide pokok tentang
Islam, kemudian tahap selanjutnya mengajarkan ibadah, perundang-undangan sosial dan
pidana atau hukum Al-Qur'an yang diterapkan oleh Islam. di Mekkah ajaran Islam masih
bersifat semu, tetapi dalam periode Madinah ajaran itu menjadi universal. Islam merupakan
kesatuan, keseluruhan, tidak merupakan aspek agama di satu pihak dan aspek sosial dan
politik di pihak lain. Jadi Islam di sini adalah agama risalah yang dikembangkan oleh
Rasulullah SAW dan agama Islam adalah agama dakwah artinya agama yang di dalamnya
terdapat kewajiban untuk menyebarluaskan kebenaran dalam mengatur segala aspek
kehidupan orang mukmin (Boisard, 1980: 52).
Dari sisi lain dakwah adalah upaya setiap muslim untuk merealisasikan fungsi
kerisalahan dan fungsi kerahmatan. Fungsi kerisalahan berarti meneruskan tugas Rasulullah
SAW, yang patut dijadikan tauladan dalam segala budi pekertinya di setiap nafas zaman.
Berkat jasa-jasa perjuangan dakwahnya menyebarkan agama Islam benar-benar membawa
rahmat bagi seluruh alam, dan membawa tatanan dunia baru yang tentram dan damai. Dan
dakwah secara umum adalah upaya menyampaikan agama Islam kepada seluruh umat
manusia.
Berdakwah termasuk ibadah yang paling agung dan ibadah yang memberikan
banyak manfaat kepada umat manusia. Kewajiban berdakwah untuk menyebarkan ajaran
Islam adalah tanggung jawab umat Islam di manapun berada. Lewat seruan itu, umat Islam
dituntut membuat perubahan dalam segala bidang sehingga menjadi situasi yang lebih baik
(Hsubky, 1995: 70). Dengan berpedoman pada ilmu dakwah yang bersumber dari kitabullah
dan sunah Rasulullah SAW diharapkan dapat menyempurnakan dakwah Islam yang
dilakukan oleh para da'i. oleh karena itu setiap pelaku dakwah (da'i) haruslah melengkapi diri
dengan ilmu pengetahuan, medan dakwah termasuk kondisi sosial masyarakatnya, metode
dan strategi dakwah.
Di samping itu harus memiliki niat yang ikhlas, sabar, lemah lembut dan sesuai
dengan cara-cara Nabi. Dakwah juga harus dijauhkan dari unsur-unsur yang kurang terpuji
misalnya; sombong, gila sanjungan ataupun gila kemasyhuran, dan yang bertentangan
dengan nilai-nilai Islam. Selain itu berdakwah juga harus bisa menciptakan suasana gembira,
nyaman, tidak terkesan bahwa agama Islam itu memberatkan.
Sumber ajaran Islam membuat perbedaan secara tegas antara kebenaran dan
kesalahan, al-haq dan al bathil, antara ma'ruf dan munkar. Dakwah Islam memihak kepada
kebenaran; al-haq, ma'ruf, karena sesuai dengan fitrah manusia. Dengan demikian ada
hubungan antara Islam, dakwah, fitrah manusia dan kebenaran karena dalam prakteknya
dakwah merujuk pada fitrah manusia. Karena dalam fitrah itulah ada kebenaran. Jadi hakikat
dakwah adalah mengajak manusia kembali kepada hakikat fitri, jalan Allah, tanpa ada unsur
paksaan dan tipu muslihat (Sulthon, 2003 : 56).
Muhammad SAWadalah Rasul yang membedakan dengan jelas antara kebenaran
dan kebathilan. Beliau diberi cahaya dan petunjuk oleh Allah dalam berdakwah. Beliau
tercipta dalam keadaan ma'shum (dihindarkan dari segala kesalahan) oleh Allah SWT. Beliau
adalah keturunan bangsawan Arab yang lahir di Mekah, 20 April tahun 571 M. Dakwah juga
merupakan tugas Rasulullah yang patut dicontoh dan merupakan kehidupan Rabbaniyah.
Dakwah memerlukan pengorbanan tanpa mengharapkan imbalan dan hasil yang segera,
tanpa putus asa.
Individu yang melaksanakan dakwah akan mendapat kehidupan yang berkah dalam
ridha Allah dan mendapat kecintaan Allah, memperoleh rahmat Allah serta akan menerima
pahala yang berlipat ganda sebagai balasannya, karena dakwah merupakan amal terbaik yang
dapat memunculkan potensi diri dan memelihara keimanan yang kita dimiliki. Kedudukan
Muhammad SAW sebagai Rasulullah adalah pemberi kabar gembira, mendakwahkan agama
Islam, sedangkan hidayah itu hanya milik Allah. Sehingga dakwah dalam pengertian agama
adalah panggilan dari Allah dan Nabi Muhammad SAW kepada umat manusia agar percaya
kepada ajaran Islam serta mengamalkannnya dalam segi kehidupan.
Dalam konteks inilah kegiatan dakwah dapat mengambil dua bentuk yakni dakwah
strutural dan dakwah kultural. Dakwah struktural adalah gerakan dakwah yang beada dalam
kekuasaan. Aktifitas dakwah ini bergerak mendakwahkan ajaran Islam dengan menggunakan
struktur sosial, politik maupun ekonomi yang ada untuk menjadikan Islam menjadi ideologi
negara. Sedangkan dakwah kultural yaitu aktifitas dakwah yang menekankan pendekatan
Islam kultural, nilai-nilai kebangsaan dalam bentuk negara-negara bangsa yang berkaitan
antara Islam dan politik atau Islam dan negara.
Beberapa strategi pada dasarnya adalah ikhtiar kultural agar fungsi dakwah itu
bercorak fungsional. Adapun tiga faktor dakwah menampilkan Islam kultural yaitu;
keuniversalan, kerahmatan dan kemudahan Islam . Islam secara kontekstual merupakan
aktifitas dakwah kultural untuk mencari hakikat Islam yang sesuai dengan tuntutan zaman
yang terus berkembang, sehingga tujuan dakwah kultural adalah agar ajaran nilai-nilai Islam
dapat diimplementasikan secara aktual dan fungsional dalam kehidupan sosial sehingga
dakwah Islamiyah bagaimanapun kuat dorongannya dan sungguh - sungguh sifatnya, tidak
mungkin dilakukan dengan kekerasan, karena hal tersebut bertentangan dengan kehendak
Allah yang dalam bentuk ekspresi keluhuran budi umat manusia (Sulthon, 2003: 37) .
Pemahaman yang seperti inilah yang dijalankan Nabi kita Muhammad SAW dalam
menjalankan dakwah Islamiyah untuk meninggalkan pengaruh masyarakat pra-sejarah Islam
(jahiliyah) menuju masyarakat peradaban Islam atas dasar syari’ah Islam. Rasulullah SAW
adalah seorang pemimpin agama sekaligus pemimpin pemerintahan pada zaman peradaban
Islam yang telah mengorbankan seluruh waktu, tenaga, pikiran dan harta benda, tanpa
pamrih demi penataan dan pelaksanaan organisasi dakwah Islam. Rasulullah SAW dengan
sejarah dakwah Islamiyah merupakan jawaban dari segala permasalahan yang menimpa
kaum muslimin.
Proklamasi monotheisme yang berarti menolak penyembahan tradisional terhadap
arca - arca dan nenek moyang telah membendung kekuatan yang mengancam dan
menghancurkan masyarakat. Meski begitu, visi dan pemikiran Rasulullah dalam
menyebarkan agama Islam yang diekspresikan dalam idiom-idiom religio-spiritual sangatlah
universal. Bahkan dalam pelaksanaannya menimbulkan restrukturisasi masyarakat secara
radikal.
Misi utama dakwah Rasulullah SAW adalah untuk mewujudkan kemaslahatan
semesta dari semua prinsip dan nilai-nilai universalitas Islam. Islam sebagai suatu nilai-nilai
yang mengatur hidup dan kehidupan manusia dalam segala aspeknya dan bukan Islam yang
dipahami sebatas simbol dan ritual peribadatan semata. Dakwah Islam merupakan
perjuangan jihad di jalan Allah SWT. Pengertian jihad secara umum adalah setiap tindakan
positif untuk membela kebenaran atau melawan hawa nafsu. Jihad fi sabilillah tidak boleh
pudar dari jiwa setiap ulama dan umatnya demi tegaknya Islam. Sabda Nabi SAW, "Barang
siapa berperang untuk menegakkan kalimah Allah (Islam yang mulia maka ia berjuang di
jalan-Nya" (HR. Bukhori Muslim).
Jihad tidak hanya terbatas pada peperangan melawan musuh, jihad pun dapat
dilakukan dengan pengorbanan harta dan jiwa dengan tulus ikhlas dalam menegakkan agama
Allah SWT. Sesuai dengan petunjuk Al-Qur'an dan As-Sunah. Bagi umat Islam, harta dan
jiwa adalah sesuatu yang harus dikorbankan oleh Islam, bukan sebaliknya (Hsubky, 1995:
106). Adanya berbagai hambatan dakwah yang berupa ancaman, teror, tindak kekerasan dan
pembunuhan, Rasulullah SAW mulai memberikan instruksi kepada para pengikutnya untuk
hijrah ke Madinah.
Peristiwa itu merupakan permulaan era Islam dan permulaan sejarah Islam. Hijrah
berarti pindah, lari atau buang. Agama Islam menambah arti khusus yaitu arti memutuskan
hubungan dengan kebodohan, menolak kemungkaran dan kekufuran, dengan ringkas hijrah
adalah suatu tindakan keimanan dengan mengasingkan diri oleh sebab hal-hal yang
memaksa. Di Mekah Rasulullah SAW mengawali dakwah Islam dengan membentuk
manusia-manusia muslim pertama yang merupakan minoritas tertindas dan membutuhkan
moral dan bukan perundang-undangan sosial yang mereka tidak akan dapat menerapkannya.
Kemudian di Madinah, dengan pribadi yang sudah dididik dengan iman, Islam
membentuk masyarakat persamaan dan gotong royong dengan peraturan-peraturan yang
diwahyukan. Kronologi yang menggambarkan proses lahirnya masyarakat Islam dari
prasejarah Islam tanpa mengurangi sifat universalitas Islam (Boisard, 1980: 51- 52).
Kehidupan Rasulullah SAW semenjak hijrah ke Madinah merupakan bagian yang tidak
terpisah dari sejarah Islam. Beliau selalu sabar dan tegas dalam menjalankan dakwah Islam,
sifat-sifat Rasulullah telah memberi contoh kepada masyarakat spiritual klasik. Ketiga sifat
khusus itu antara lain ketaqwaan (piete), siap berjuang (combativite), dan kebesaran jiwa
(magnanimite). Kepribadian luhur Rasulullah SAW merupakan cahaya umat Islam yang
mampu menerangi jiwa dari kegelapan. Dalam perspektif ini nampak jelas wajah
universalitas Islam tidak perlu dibenturkan secara klasikal dengan tantangan-tantangan
temporel, karena Islam pada hakikatnya adalah nafas zaman itu sendiri.
Islam juga merupakan agama wahyu (samawy Ilahi) karena bersumberkan pada AlQur'an dan As-Sunah An-Nabawiyah. Muhammad SAW dijadikan sumber karena diyakini
bahwa jati diri Muhammad SAW adalah personifikasi dari wahyu juga yang mampu
menjelaskan agama Allah dan kitab suci Al-Qur'an secara benar dalam tataran realitas
historis. Sehingga, tidak diragukan bagi Al-Qur'an dan penjelasannya As-Sunah adalah
monodualisme sumber Islam untuk segala ruang dan waktu (limited) universal (Mochtar,
1997: 24).
Keberadaan Rasulullah SAW selaku personifikasi wahyu berada dalam ruang dan
waktu tertentu, beliau hidup membentuk, membangun dan mengembangkan ajarannya
setelah berinteraksi dengan kondisi, situasi, kultur, tradisi dan konstruksi sosial-budaya
politik masyarakat Arab yang sangat pluralistik. Sementara Al-Qur'an sebagai sistem nilai
yang dijelaskan bersifat universal (syumul), lintas ruang dan waktu. Proses interaksi yang
intens antara universalitas Al-Qur'an dan partikularitas kultur asli masyarakat Arab, itulah
sebuah realitas pembangunan Islam.
Dengan demikian dakwah Islam oleh Rasulullah SAW dapat disimpulkan bahwa
agama Islam yang dibangun atas dasar, dialektika doktrin (wahyu) yang universal dengan
tradisi (realitas) yang partikular, nilai transedental dengan nilai imanental, kehendak Allah
SWT. Dengan kata lain Islam adalah penjelmaan dari theoantroposentris. Dan kehidupan
Rasulullah SAW merupakan eksperimentasi sejarah manusia yang ideal (khairu ummah).
Logikanya, apabila kita menjadikan Islam pada masa Rasulullah SAW, sebagian Islam yang
ideal sekaligus sebagai parameter yang otoritatif. Sebagaimana otoritas Al-Qur'an, maka
tentu saja sesudah masa itu tenggelam hilang pula wajah agama Islam yang suci yang dibawa
oleh Rasulullah dalam kegiatan dakwahnya (Engineer, 1993: 26)
Yang menarik bagi penulis dari dakwah Islamiyah Rasulullah SAW pada masa
peradaban Islam adalah adanya tahapan-tahapan yang harus dilalui dalam menyampaikan
agama Islam. Melalui tahapan-tahapan inilah (tahapan dakwah periode Mekah dan Madinah)
Rasulullah SAW membangun pemerintahan Islam yaitu mengubah susunan masyarakat dari
susunan masyarakat prasejarah Islam ke masayarakat Islam yang bersistem keadilan sosial
dan berdasarkan syariat Islam.
Dari tahapan-tahapan ini tampak strategi dakwah yang tepat yang bisa dijadikan
model untuk mencapai tujuan dakwah Islamiyah. Dalam merefleksikan kepemimpinan umat
Islam, figur ideal kepemimpinan Rasulullah SAW ditampilkan sebagai sendi dan sistem
kepemimpinan yang tetap relevan dan penuh teladan. Di tengah krisis kepemimpinan
manusia di dunia hampir setiap suksesi kepemimpinan menimbulkan konflik yang
berkepanjangan dan jatuhnya korban manusia. Tidak hanya itu tata nilai dan sistem
kepemimpinan yang lebih sarat kepentingan dan manipulasi semakin mengaburkan
kepercayaan umat sekaligus kehilangan pegangan moral dan nasibnya.
Rasulullah SAW dengan keindahan dan kesempurnan akhlaknya merupakan
jawaban dari permasalahan yang menimpa kaum muslimin dengan segenap sumber daya dan
perangkat yang dimiliki tampil sebagai sinar cahaya Islam kembali kepada keutuhan Islam.
Ajaran Rasulullah SAW yang dibawa dalam kegiatan dakwah disajikan dengan sistematis
dan esoteris, yang menyentuh unsur batiniyah dan kejiwaan umat Islam (Khalid, 1984: 275288).
Dewasa ini manusia hidup dalam suatu zaman yang penuh dengan citra kinetik,
yaitu citra masyarakat yang terus berubah sebagai hubungan manusia yang bergerak cepat
ditambah dengan kondisi obyektif masyarakat modern yang mengalami perubahan karakter
karena masuknya budaya-budaya barat (westernisasi) yang masuk ke Indonesia, dan adanya
penyelewengan - penyelewengan nilai-nilai Islam. Semakin hari tantangan realita kehidupan
yang dihadapi umat Islam semakin banyak. Bentuknya pun beragam dari yang mikro kepada
yang makro, dari urusan individu sampai masalah politik, sosial, ekonomi, konflik ideologi.
Krisis multidimensi yang dialami menimbulkan bebagai konflik, hampir dalam
semua segi mengalami kemunduran. Hal ini dapat dilihat dari berbagai sisi, misalnya dari
sisi politik mereka terjajah, dari segi ekonomi mereka marjinal, dalam masalah pendidikan
dan ilmu pengetahuan masih tertinggal, serta dalam aspek sosial budaya masih mengekor
pada kehidupan barat dan dari segi kefahaman terhadap ajaran Islam sendiri mereka masih
jauh dari memadai. Dengan berbagai masalah tersebut, kebenaran Islam mendapat tantangan
untuk memberikan solusi yang tepat terhadap persoalan ini dapat terselesaikan jika umat
Islam bisa memahami eksistensi agamanya menuju jalan Allah SWT, dan mampu
meneladani sejarah perjuangan Rasulullah SAW terlepas dari sifat kemungkaran.
Dengan mengulas sejarah perjuangan Rasululah dalam dakwah Islam merupakan
jawaban yang dibutuhkan yang kemudian dapat diambil hikmahnya, karena tujuan dari misi
dakwah Islamiyah ialah mencegah segala kemunkaran atau kebatilan dari umat manusia.
Proses dakwah Islam oleh Rasulullah SAW, terdapat tahapan dakwah faktual dimana pada
tahapan yang pertama (di Mekah), Rasulullah membentuk pribadi muslim dari pengaruh
masa jahiliyah (pra sejarah Islam), dan pada tahapan kedua (di Madinah) dengan pribadi
muslim yang sudah terbentuk, rasulullah mulai membangun sebuah pemerintahan
masyarakat Islam yang bersistem keadilan sosial dan berdasarkan syariat Islam dengan akta
Piagam Madinah sebagai undang-undang yang mengatur kehidupan masyarakatnya yang
plural (majemuk).
Rasulullah SAW telah membangun pemerintahan Islam di Madinah di mana
masyarakatnya mempunyai latar sosial budaya yang sangat plural (majemuk). Penduduknya
terbagi ke dalam kelompok-kelompok etnik, ras dan agama yang berbeda. Kemajemukan
tersebut terlihat pada komposisi penduduk Madinah yang didomisili oleh berbagai golongan
suku bangsa Arab dan bangsa Yahudi yang menganut agama dan keyakinan yang berbeda.
Ada empat golongan dominan saat itu, yaitu: 1) Kaum Muslimin yang terdiri dari Muhajirin
dan Ansor, 2) Golongan Aus dan Khazraj dengan keislamannya masih dalam tingkat
nominal bahkan ada yang secara rahasia memusuhi Nabi (kaum munafik dan musyrik), 3)
Golongan Aus dan Khazraj yang menjadi muslim, 4) Golongan Yahudi yang terdiri dari tiga
suku utama yaitu Banu Qainuqa, Banu Nadzir dan Banu Quraidhah.
Pada umumnya faktor ini mendorong konflik yang tidak tidak mudah diselesaikan,
tetapi Piagam Madinah (47 butir) merupakan upaya untuk menundukkan permasalahan
masyarakat bangsa yang sedemikian plural itu pada konteks yang proporsional. Dalam
kontreks ini Islam tampaknya memang didesain untuk bisa menata kehidupan sosial dalam
segala aspek. Sebagaimana bisa dilihat dalam perumusan dan pelaksanaan butir-butir Piagam
Madinah, yang hadir dengan gagasan baru bagi suatu bentuk tatanan "Masyarakat baru" yang
disebut umat (community) dalam sejarah umat manusia.
Kepemimpinan Nabi Muhammad SAW pada abad ke-7 M adalah model yang
paling ideal dan sempurna
(par-excellence) karena
keberhasilannya
membangun
pemerintahan di Madinah. Karena alasan-alasan inilah, penulis menjadikan Piagam Madinah
sebagai basis kajian untuk memperoleh kejelasan nilai normatif dan empiric Islam dalam
pergumulannya di tengah masyarakat pluralistik ( Azyumardi Azra, 2005: 96-97).
Untuk itu penulis mencoba untuk melakukan penelitian tentang sebuah perjalanan
dakwah Rasulullah yang penulis anggap mampu untuk memberikan solusi atas krisis moral
dalam masalah di atas, dengan Judul Strategi Dakwah Rasul di Mekah dan Madinah .. Judul
ini perlu diangkat karena di samping untuk menambah khazanah pengetahuan dakwah Islam
juga untuk mengembangkan pemikiran dan pengetahuan dakwah yang telah ada di tengahtengah masyarakat tersebut dapat berkembang lebih baik.
Di samping itu dakwah Islamiyah oleh Rasullullah jika dicermati menjadikan kita
manusia yang beriman berguna di dunia maupun di akhirat, dengan sasaran dakwahnya ialah
memerangi kemungkaran dan kembali kepada jalan Allah SWT. Judul ini memuat persoalan
yang terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW. Diawali dengan memaparkan riwayat hidup
Nabi sampai tekad perjuangan dakwah yang tidak pernah luntur karena halangan atau
rintangan.
Dalam mendakwahkan agama Islam, Nabi Muhammad menggunakan strategi
dakwah dan hijrah demi terwujudnya tujuan dakwah. Kemudian dibuat suatu akta yang
disebut Piagam Madinah untuk mengatur dan mempersatukan umat atau masyarakat yang
majemuk serta untuk mengetahui sistem pemerintahan yang dibangun oleh Nabi (pemimpin
negara). Kemudian diakhiri dengan pembahasan kesuksesan Nabi Muhammad sebagai
pemimpin pemerintahan. Di mana letak kunci suksesnya? Di mana kunci sukses
kepemimpinan Nabi Muhammad SAW ini masih relevan untuk diteladani setiap zaman
bahkan di Indonesia pada era globalisasi ini.
Sejarah perjuangan Rasulullah SAW tidak pernah luntur karena halangan dan
rintangan hijrah Rasulullah SAW dalam mennjalankan misi dakwah Islam merupakan
alternatif juga garis start kelahiran peradaban baru yang membawa kesejukan dan rahmat
bagi serata alam (rahmatan lil 'alamin). Konteks Islam tentang sejarah perjuangan dakwah
Rasululah SAW adalah unik dan bersifat universal. Dalam beberapa hal ia lebih signifikan
bagi kaum muslim daripada kelompok-kelompok umat yang lain. Dalam perspektif AlQur'an, Islam diturunkan untuk menyebar rahmat ke seluruh alam (Shidiqi, 1996: 3-5).
B. Identifikasi Masalah
Setelah dikemukakan tentang gambaran dari latar belakang masalah tersebut di atas,
maka dapat diidentifikasikan masalah sebagai berikut:
1.
Rasulullah SAW mendakwahkan agama Islam diawali dengan dakwah di
Mekah kemudian hijrah ke Madinah .
2.
Keindahan dan kesempurnaan akhlak Rasulullah SAW sebagai pemimpin
agama maupun pemimpin pemerintahan adalah tauladan umat Islam di setiap
napas jaman.
3.
Untuk mengetahui tatanan atau sistem pemerintahan yang dibangun Rasulullah
SAW dibuat sebuah akta Piagam Madinah untuk mengatur masyarakatnya
yang majemuk. Dari piagam ini beliau telah berhasil mempimpin umatnya
dalam membangun plurarisme .
C. Pembahasan dan Perumusan Masalah
Tujuan dari perumusan masalah adalah memberikan dan mempertegas hubungan
korelasi (keterkaitan) pada ruang lingkup pembahasan. Untuk mempermudah dan sedikit
membantu uraian di atas, berikut rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana perjalanan dakwah Rasulullah pada periode Mekah?
2. Bagaimana perjalanan dakwah Rasulullah pada periode Madinah?
3. Apa saja kunci sukses kepemimpinan Rasulullah SAW dalam dakwah yang
patut untuk diteladani?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan gambaran permasalahan di atas dapatlah dikemukakan bahwa tujuan
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.
Untuk mendapatkan kejelasan tentang perjalanan dakwah Islamiyah Rasulullah
periode Mekah .
2.
Untuk mendapatkan kejelasan tentang perjalanan dakwah Islamiyah Rasulullah
periode Madinah .
3.
Untuk mengetahui kunci sukses dakwah Rasulullah dalam memimpin umat
Islam .
1.2. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi :
1. Akademik :

Diharapkan dapat dijadikan pengembangan dakwah Islam yang terus
dinamis dan progresif serta mampu memberikan sumbangan moril
kepada insan akademis serta bagi mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta khususnya dalam mendalami dan mempelajari ilmu dakwah.

Dapat membantu dan memperkaya pemikiran mahasiswa tentang
pengetahuan dan penataan dakwah.
2.
Praktis :

Sebagai khazanah pengetahuan dakwah Islam guna mengembangkan
pemikiran dakwah yang sesuai dengan tuntutan zaman atau tingkat
perkembangan masyarakat yang sedang berkembang.

Sebagai sumbangan ilmiah Islami di bidang dakwah guna meningkatkan
keilmuan dalam disiplin ilmu dakwah.

Dapat dijadikan materi yang dipertimbangkan guna pembenahan dakwah
, khususnya dalam pengetahuan dasarnya, karena diperkirakan masih
banyak penyelengaraan dakwah pada masyarakat yang masih kurang
berbobot.
3.
Pembaca :

Diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan dan dasar untuk
menerapkan nilai - nilai kemanusiaan dan budi pekerti kepada Rasulullah
dalam menjalani realita kehidupan.

Diharapkan dapat dijadikan referensi bagi para sahabat serta umat Islam
pada umumnya untuk meneladani sikap Rasulullah.
E. Metode Penelitian
Penelitian skripsi ini menggunakan metode atau jenis penelitian kepustakaan
(literatur) karena tulisan-tulisan ini ditulis dalam waktu yang berbeda dan pada media forum
yang berbeda pula. Maka dalam bentuk aslinya tidak dapat diletakkan terjadi pengulangan
informasi dan pendekatan yang dipakai oleh penulis adalah pendekatan sejarah. Penelitian
pustaka adalah penelitian yang menelaah bahan pustaka atau buku-buku yang berkaitan
dengan topik pembahasan. (Keraf. 2001 : 165) .
1. Sumber Data
Sumber data menurut sifatnya dapat digolongkan menjadai dua, yaitu meliputi :
a.
Sumber data primer, yaitu sumber-sumber yang memberikan data langsung dari
tangan pertama.
b. Sumber data sekunder, yaitu sumber yang mengutip dari sumber lain.
Maka dalam penelitian ini, peneliti, memperoleh data yang diperlukan dari sumber
data sekunder yaitu ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits-hadits nabi yang terdapat dalam satu
kitab yang berbicara mengenai dakwah serta buku-buku yang dibahas oleh para ahli dakwah
yang mengulas masalah tersebut seperti fiqh dakwah, planning dan organisasi dakwah
Rasulullah SAW, psikologi dakwah, kemanusiaan muhammad, desain ilmu dakwah, jeramjeram peradaban muslim dan lain sebagainya.
2. Tehnik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan penelitian kepustakaan dengan prosedur sebagai
berikut:
a.
Menentukan data yang digunakan dalam penelitian ini.
b.
Melacak sumber data kemudian membaca dan mencatat tulisan yang berkaitan
dengan masalah yang akan diteliti.
c. Catatan di atas diklasifikasikan disusun berdasarkan masalah yang akan diteliti.
(Rokhmat, 2004 : 23 ).
3. Tehnik Analisa Data
Analisa data merupakan proses penyelenggaraan data ke dalam bentuk yang mudah dibaca
dan diinterprestasikan. Setelah data-data diperoleh, kemudian diolah, dipaparkan dan
dianalisa dengan menggunakan alur pemikiran, yaitu:
a. Metode deduktif adalah pola pikir yang bermula dari masalah yang bersifat umum ditarik
kesimpulan kepada yang bersifat khusus.
b. Metode induktif adalah pola pikir yang bermula dari masalah yang bersifat khusus ditarik
kesimpulan kepada yang bersifat umum.
Di sini penulis mencoba menggunakan ketiga metode tersebut dalam melakukan
proses analisa, tentunya disesuaikan dengan kebutuhan, terkadang diawali dengan
menggunakan sejarah-sejarah global dakwah Islam Rasulullah SAW untuk kemudian
dilakukan penjabaran pada hal-hal yang bersifat khusus, terkadang juga diawali dengan
sejarah khusus Rasulullah SAW kemudian diawali sebuah conclusi yang bersifat umum.
c. Metode historis
Historis artinya berhubungan dengan sejarah, dan sejarah merupakan studi tentang
masa lalu dengan menggunakan kerangka paparan dan penjelasan. Sejarah adalah studi
empiris yang menggunakan berbagai tahap generalisasi untuk memaparkan, menafsirkan dan
menjelaskan data (Rakhmat, 2004: 22). Metode historis adalah Metode ilmu dakwah dengan
menggunakan pendekatan ilmu sejarah. Maksudnya realitas dakwah dilihat dengan
menekankan pada semua unsur dalam sistem dakwah dalam perspektif waktu dan tempat
kejadian. Dengan metode ini fenomena dakwah dapat dideskripsikan secara komprehensif
dan utuh (Sulthon, 2003 : 111). Sehingga metode historis bertujuan untuk merekonstruksikan
masa lalu secara sistematis dan obyektif dengan mengumpulkan, menilai, memverifikasi dan
menyintesiskan bukti untuk menetapkan fakta dan mencapai konklusi yang dipertahankan
dalam menguji hipotesis.
Dalam penelitian ini metode yang digunakan untuk menganalisa data adalah
analisa deskriptif kualitatif, yakni dimaksudkan untuk eksplorasi san klarifikasi mengenai
sesuatu fenomena atau kenyataan sosial dengan jalan mendeskripsikan sejumlah variabel
yang berkenaan dengan masalah dan unit yang diteliti. Menurut Isaac dan Michail (1972:
18), metode deskriptif bertujuan melukiskan secara sistematis suatu peristiwa atau siatuasi
secara faktual dan cermat (Rakhmat, 2004: 24) .
F. Sistematika Penulisan
Mengenai sitematika penulisan dalam penelitian ini nantinya akan disusun dalam
lima bab yaitu dimulai dengan bab pertama pendahuluan yang menampilkan latar belakang
penelitian ini dilakukan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan
sistematika penelitian. Bab kedua membahas tentang tinjauan umum tentang dakwah Islam
yang meliputi tinjauan umum tentang dakwah Islam; pengertian dakwah, tujuan dakwah,
hukum dakwah, faktor-faktor keberhasilan dakwah, unsur-unsur dakwah serta dinamika
sosial dakwah. Bab ketiga membahas tentang riwayat hidup Rasulullah yang dimulai dari
masyarakat pra Islam dan kelahiran Rasulullah SAW, pengalaman hidup Rasulullah SAW,
kepribadian Rasulullah, rislah Muhammad SAW serta Rasul yang umi. Bab keempat
membahas tentang dakwah Islam Rasulullah yang meliputi sejarah turunnya wahyu dari
Allah, dakwah Islam peiode Mekah dan periode Madinah serta kunci sukses kepemimpinan
Rasulullah dalam berdakwah. Dan bab kelima berisi tentang kesimpulan dan saran-saran .
BAB II
RIWAYAT HIDUP RASULULLAH SAW
A. Masyarakat Arab Pra-Islam dan Kelahiran Rasulullah
Jazirah Arab merupakan bangsa yang plural dengan berbagai suku keyakinan
(agama), dan kelompok-kelompok sosial yang dimiliki dengan kata lain pluralisme adalah
realitas yang tidak terbantahkan di Jazirah Arab pra- Islam. Terletak di barat daya Asia,
dengan jumlah penduduk sekitar 12.000.000 jiwa, terbagi menjadi delapan bagian dan
terdapat berbagai sukusuku Arab yang berserak di Jazirah Arab masing-masing terbagi
dalam kelompok sosial yang memiliki keyakinan ataupun agama yang berbeda (Amaly,
1986: 11).
Jazirah Arab terbagi menjadi delapan bagian yaitu: Hijaz, Yaman, Hadramaut,
Daerah Muhrah, Daerah Umman, Haza, Nejd, serta Daerah Ahqaf. Kota Mekah dan
Madinah adalah bagian dari Hijaz. Kekuasaan Jazirah Arab tunduk kepada bangsa Quraisy
yang terbagi dalam 10 golongan yaitu; a) suku Quraisy dari Bani Adi Umar bin Al Khathab,
b) suku Quraisy dari Bani Hushaish, Harits bin Qais, c) suku Quraisy dari Bani Yaqtah,
Khalid bin Walid, d) suku Quraisy dari Bani Taim, Abdullah bin Usman, e) suku Quraisy
dari Bani Qushai, Asad bin Abdul Azza, f) suku Quraisy dari Bani Thalhah, Ustman bin
Thalhah, suku Quraisy dari Bani Abdul Muthalib, Abbas bin Abdul Muthalib, g) suku
Quraisy dari Bani Naufal, Harits bin Amr, h) suku Quraisy dari bani Harb bin A Syamsin,
Abu Sufyan bin Harb, j) suku Quraisy dari Bani Harb bin Sufwan dan masing-masing dari
mereka tergolong dalam kelompok sosial antara golongan bangsawan dan golongan rakayt
biasa di negeri Arab banyak orang-orang Yahudi, orang Kristen dan orang-orang Majusi
serta orang-orang yang tidak beragama.
Bangsa Arab dulunya mengikuti agama Nabi Ibrahim a.s. agama tauhid, namun
lama kelamaan berganti dengan agama buatan sendiri akibat mengikuti prasangka-prasangka,
angan-angan dan khayalan. Plurarisme bangsa Arab pra- Islam merupakan instrumen dari
kemajemukan masyarakat Arab yang bisa menjadi persoalan krusial. Kerusakan-kerusakan
yang parah dibidang agama, politik, sosial, dan ekonomi. Pada abab VI M menunjukkan
bahwa individualisme “pengaruh aku” yang mengakibatkan krisis akhlak melanda kepada
masyarakatnya, maka dari itulah Allah SWT mengutus Muhammad SAW untuk
menyempurnakan “akhlak” hormat diri yang mulia (Amaly, 1986: 29) .
Kerusakan di bidang agasma fitrah ialah kebanyakan masyarakat membuat “dasar
hidup” sendiri berdasarkan akal saja dengan pengaruh lingkungan hidup serta “rasa
kepuasannya” mereka enggan menganut agama Allah SWT (agama fitrah: Islam) sehingga
berakibat mereka menyekutukan Allah SWT dengan sesuatu makhluk lain. Kerusakan
dibidang politik terletak pada terhapusnya rasa “keadilan” oleh karena mereka membuat tata
negara “menurut kemauan pandangan akal pikirannya” tanpa mengindahkan tata negara.
Tuhan memiliki hak mutlak alam semesta ini dan kerusakan di bidang sosial adalah
terlihat pada masyarakat akan keburukan-keburukan jiwa yang amat buruk lantaran rakyat
biasa (kaum dhu’afa) terlalu dikendalikan oleh bangsawan-bangsawan atau oleh atasanatasan sehingga jiwa mereka tidak mempunyai kebebasan. Adapun kebiasaan yang buruk
mengubur anak wanita hidup-hidup yang kaya memeras yang miskin, yang berkuasa
menginjak-injak rakyat jelata sehingga sifat perikemanusiaan “menjadi terhapus”.
Sedangkan kerusakan dibidang ekonomi adalah negara tidak subur dan makmur lantaran
biaya-biaya pelenggaraan negara dan berbagai macam pajak yang tinggi nilainya dibebankan
di atas pundak rakyat.
Sehingga kekuatan rakyat menjadi lemah dan timbul berbagai macam mala petaka
ataupun bencana yang menimpa mereka. Demikianlah pluralisme negara Arab sebelum
Islam yang mempunyai potensi konflik yang besar (Amaly, 1986: 31) Di tengah-tengah
masyarakat dengan kondisi seperti itulah Allah mengutus Nabi Muhammad SAW. Ia
membawa wahyu yang menjadi landasan segala sikap dan perilakunya. Nabi Muhammad
SAW, tidak membawa tugas untuk menghapuskan wahyu-wahyu sebelumnya, akan tetapi
untuk memberikan konfirmasi kepada wahyu tersebut .
Selain itu untuk menolak perubahan-perubahan yang telah terjadi dalam kitab-kitab
suci sebelumnya. Beliau ditugaskan untuk memurnikan ajaran nabi-nabi sebelumnya dari
pemalsuan-pemalsuan serta mengembangkan dan menyempurnakan, agar dapat sesuai
dengan seluruh manusia pada segala zaman dan segala tempat (Subky, 1995: 32).
Firman Allah : Q.S. at-Taubah: 33:
Artinya : “Dialah yang telah mengutus RasulNya (dengan membawa petunjuk (Al-Quran)
dan agama yang benar untuk dimenangkanNya atas segala agama, walaupun orang-orang
musyrikin tidak menyukai.” Q.S. At-Taubah: 33).
Beliau tuanku Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib (Syaibah) bin Hasyim
(Amru) bin Abdul Manaf (Al Mughirah) bin Qusyhay (zaid) bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab
bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An Nadhr bin Kinanah bin Khuzaenah bin
Mudrikah (Amir) bin Ilyas bin Mudhar bin nizar bin Mo’ad bin Adnanm sampai di sinilah
terhenti nasab yang sahih dari arah ayahnya. Ibunya Amirah bin Wahab bin Abdul Manaf bin
Zuhrah bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr nasab ibu dan nasab
ayahnya bertemu pada kilab bin murroh. Ayahnya Abdullah meninggal di Medinah dan
dimakamkan di sana pula dalam perjalanannya pulang dari Ghazah negeri syam.
Ketika itu Rasullah SAW dalam kandungan ibunya dua bulan (Ibrahim, 1991: 1-2)
Rasulullah SAW lahir di waktu menjelang fajar subuh, hari senin, tanggal 12 Rabi’ul Awwal
tahun Gajah (20 April 571 M), di zaman Raja Persi Kisra Anu Syarwan yang adil di kota
Mekah tepatnya pada sebuah rumah di Safa kepunyaan Muhammad bin Yusuf; dijadikan
masjid ketika orang naik haji. Tahun kelahiran Rasulullah SAW disebut tahun Gajah karena
menjelang lahirnya beliau beberapa minggu kemudian gubernur Negus (Raja Abessinia),
Abrahah bin Al-Asyram yang membangun gereja besar lagi indah di Shoria, ibu kota negeri
Yaman yang belum pernah dibangun oleh raja-raja sebelumnya, hendak menghancurkan
Ka’bah dengan tentara bergajah sebanyak 12 tentara.
Namun usaha mereka tidak berhasil lantaran belum sampai di kota Mekah baru
sampai dekat “Arafah”, mereka diserang oleh burung-burung yang berbondong-bondong
(burung Ababil), yang melempari mereka dengan batu-batu kecil dari tanah yang terbakar
sehingga mereka musnah semuanya. Itulah yang tersebut di dalam Al Qur’an surat Al Fil
(surat gajah), yang bunyinya:
Artinya : “Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak
terhadap tentara bergajah. Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk
menghancurkan Ka'bah) itu sia-sia? dan Dia mengirimkan kapada mereka burung yang
berbondongbondong, yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang
terbakar, lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat) (Q.S. Al-Fill:
1-5)
Rasulullah SAW adalah keturunan bangsawan karena baik dari keluarga ayah dan
ibu, keduanya termasuk golongan bangsawan yang dihormati di kalangan kabilah-kabilah
Arab. Setelah beliau lahir, beliau menetek kepada Halimah binti Dzuaib As-Sa’diyyah.
Demikian itu adat kebiasaan bangsa Arab, mereka mencari wanita upahan untuk menyusui
anak-anaknya, agar anaknya cerdas. Banyak wanita dari Bani yang mencari anak-anak
susuan, tetapi yang disukai Rasulullah SAW di antara mereka ialah Halimah.
B. Pengalaman Hidup Rasulullah SAW
Rasulullah SAW umur enam tahun oleh ibunya dibawa keluar ke pamannya dari
arah ibunya di Madinah, kemudian ibunya Aminah binti Wahab meninggal di desa Abwa,
suatu tempat yang terletak antara Makkah dan Medinah dan dimakamkan disana pula. Ketika
itu ibunya berusia tiga puluh tahun. Dua tahun sesudah itu meninggal pula neneknya Abdul
Muthalib yang mengasuhnya itu. Setelah Muhammad SAW berusia 8 tahun neneknya
meninggal, kemudian beliau diasuh oleh pamannya, Abu Thalib, saudara ayahnya.
Ketika Rasulullah SAW di tangan Abu Thalib, beliau sering dibawa bepergian oleh
Abu Thalib ke negeri Syam, untuk berdagang. Sebelum sampai di negeri Syam di suatu
tempat yaitu Bushra, bertemu dengan Rahib (pendeta Nasrani); Buhairo. Ia melihat tandatanda kenabian pada diri Rasulullah SAW dan menasehati untuk segera kembali ke Makkah,
karena kalau kaum Yahudi mengenalinya tentu akan mencelakakannya, Abu Thalib
kemudian segera menyelesaikan dagangannya dan segera kembali ke Mekah (Amali, 1986:
36).
Setelah usia Rasulullah SAW, menginjak empat belas tahun, terjadi “Perang Fijr”
antara suku Quraisy dan suku Kinanah pada suatu pihak dan suku Qis Ilan di lain pihak.
Peristiwa ini terjadi di “Nakhlah”, suatu tempat suci yang tidak boleh dicemari dengan
peperangan dan pertumpahan darah. Rasulullah membantu pemannya dengan kaum Quraisy
kalaulah tidak ada perdamaian. Setelah Abdul Muthalib wafat, kota Makkah mengalami
kemunduran, kehancuran terjadi diseluruh pelosok kota. Untuk menanggulangi hal tersebut
para pemuka Bani Hasyim, Bani Muthalib, Bani Asad bin Uzza, Bani Zuhroh bin Kilab dan
Bani Tamim bin Murrah mengadakan musyawarah di rumah Abdullah bin Juda’an. Hasil
musyawarah tersebut adalah suatu kesepakatan berupa sumpah yang ada dalam sejarah
(fudhul), yang isinya adalah “Tidak seorangpun yang akan teraniaya di kota Makkah baik
oleh penduduk Makkah sendiri ataupun oleh orang lain. Barang siapa teraniaya harus dibela
bersama-sama”. (Amaly, 1986: 37).
Setelah dewasa, Rasulullah SAW berusaha hidup mandiri untuk mencukupi
kebutuhannya sendiri. Karena beliau dikenal sebagai pemuda yang rajin dan jujur maka
seorang janda bernama Khadijah binti Khuwalid, seorang bangsawan dan pedagang kaya
memberi kepercayaan untuk membawa barang dagangannya ke negeri Syam. Perjalanan
niaganya disertai oleh seorang pembantu Khadijah yaitu Maisaroh. Beliau dipilih sebagai
komisioner, lantaran sifat-sifat Rasulullah SAW, kepercayaan, kejujuran dan sifat dan
pembawaannya baik, akhlak yang terpuji maka, oleh kaumnya beliau dikenal sebagai “Al
Amin” (orang yang terpercaya). Jual belinya sangat maju dan mendapat keuntungan yang
besar.
Beberapa waktu setelah Rasulullah SAW pulang dari perjalanan ke negeri Syam
itu, datanglah lamaran dari Khadijah untuk menjadi suaminya. Kemudian hal itu
disampaikan kepada pamannya, Abbas bin Abu Thalib setelah dicapai kesepakatan
pernikahanpun dilangsungkan. Ketika itu Rasulullah Saw berusia 25 tahun sedangkan
Khadijah berusia 40 tahun. Khadijah adalah istri pertamanya. Khadijah mendampingi
Rasulullah Saw dengan setia dan menyertainya. Dari perkawinan yang diberkati Allah SWT
tersebut, beliau dikaruniai empat orang putri dan dua orang putra, yaitu: 1. Qasim, 2. Zaenab,
3. Ruqayyah, 4. Ummu Kulsum, 5. Fatimah, 6. Thayib. Kedua putranya meninggal ketika
masih kanak-kanak di masa Jahiliyah.
Ketika Rasulullah berusia 35 tahun, beliau diambil oleh orang Quraisy untuk
memperbaharui pembinaan Ka’bah. Ka’bah itu pernah terbakar dan rusak pondasinya
lantaran banjir. Ketika akan meletakkan “Hajrul Aswad” ditempatnya semula, terjadi
perselisihan. Orang-orang yang mulia yang boleh meletakkan Hajrul Aswad itu di tempatnya
semula. Perselisihan itu hampir menimbulkan peperangan, dan dapat dihentikan oleh orang
yang mula-mula masuk dari pintu Bani Syaibah. Kiranya Muhammad orang yang mula-mula
masuk melalui pintu itu. Oleh karena itu Muhammad dipilih sebagai hakim untuk
menyelesaikan perselisihan mereka itu.
Oleh Muhammad dibentangkannya ridaknya yakni kain kudung penutup kepalanya
dan diletakkan Hajrul Aswad itu di atasnya, dan menyuruh tiap-tiap kabilah itu mengambil
ujung ridak itu, sehingga Hajrul Aswad itu terangkat sama tinggi dengan tangan masingmasing kabilah itu dan meletakkan pada tempatnya semula (Amali, 1986: 38-39). Karim
(1990: 55) berpendapat bahwa pengagungan Ka’bah sebagaimana yang ditradisikan
dikalangan muslim merupakan warisan dari suku-suku Arab, masyarakat Arab yang
pluralistik sepakat untuk menyucikan Ka’bah yang ada di Mekah karena pada masa pras
Islam terdapat 21 Ka’bah di semenanjung Arab.
C. Pribadi Rasulullah SAW
Rasulullah Saw, memiliki kepribadian yang terpuji. Hal itu tampak sejak masih
kanak-kanak samai dewasa sebelum diangkat sebagai Rasul Allah SWT. Semasa kecil beliau
terpelihara dari hal-hal yang tercela. Beliau mendapatkan kemampuan berbahasa Arab yang
baik. Beliau memiliki sifat sidik, amanah, fathonah, sifat-sifat yang telah dimilikinya
sebelum diutus menjadi Rasul. Maka layaklah bila kemudian masyarakat memberi gelar
kepada beliau “Al-Amin” karena kejujuran dan kemuliaan akhlaknya. Beliau juga selalu
berkata dengan halus dan bersikap lemah lembut, serta orang yang rajin dan suka bekerja
keras. Beliaupun sering berdo’a memohon kepada Allah SWT agar senantiasa diberikan
petunjuk dan terpelihara akhlaknya dari perbuatan tercela (Shalabi, 1992: 352) Al-Hasan bin
Ali k.w. menceritakan bahwa: Husein (saudaranya) berkata: “Aku bertanya kepada ayahku
(Ali bin Abi Thalib) tentang perilaku Nabi SAW pada sahabat-sahabatnya”. Ayahku berkata:
“Rasulullah SAW adalah orang yang bermuka manis, lembut budi pekertinya, tawadhu’
tidak bengis, tiada kasar, tiada bersuara keras, tiada berlaku keji, tidak suka mencela dan juga
tiada kikir. Beliau membiarkan (tidak mencela) apa yang tidak disenanginya. Beliau tidak
menjadikan orang yang mengharapkan (pertolongannya) menjadi putus asa, tiada pula
menolak untuk itu. Beliau tinggalkan dirinya dari tiga perkara, yaitu: dari perbantahan,
menyombongkan diri dan dari sesuatu yang tidak selayaknya.
Beliau tinggalkan orang lain dari tiga perkara, yaitu; beliau tidak mencela
seseorang, beliau tidak membuat malu orang dan beliau tidak mencari keaiban orang. Beliau
tidak bicara melainkan pada sesuatu yang diharapkan ada baiknya. Beliau berbicara semua
orang dimajlisnya tertunduk, seolah-olah kepala mereka dihinggapi burung. Bila beliau
diam, barulah mereka berbicara. Mereka tidak ada yang berbantahan kata di sisinya. Bila ada
yang berbicara disisinya, mereka diam memperhatikannya sampai beliau selesai (berbicara).
Yang dipercakapkan mereka disisinya adalah percakapan yang utama.
Beliau tertawa terhadap apa yang mereka tertawakan. Beliau merasa takjub
terhadap apa yang mereka herankan. Beliau sabar menghadapi orang asing dengan perkataan
dan permintaannya yang kasar (tidak senonoh), sehingga para sahabat - sahabatnya
mengharapkan kedatangan orang asing seperti itu karena darinya mendapatkan manfaat.
Beliau bersabda: “Bila kalian melihat orang yang mencari kebutuhannya, maka bantulah
dia”. Beliau tidak mau menerima pujian orang kecuali menurut yang sepatutnya. Beliau juga
tidak mau memutuskan pembicaraan seseorang, kecuali orang itu melanggar batas. Apabila
seseorang berbuat itu, maka dipotongnya pembicaraan tersebut dengan melarangnya atau
berdiri (meninggalkan majlis)” (Tirmidzi, 1993: 279) Demikian gambaran kepribadian
Rasulullah SAW, yang sangat mulia dan tawadlu’ dan kelemah lembutan. Dengan akhlaq
karimah inilah, maka beliau menjadi tauladan terbaik bagi umat muslim disegala tempat dan
di segala jaman.
D. Risalah Muhammad SAW
Allah SWT Rasulullah SAW untuk menyampaikan risalah kerasulannya. Di dalam
diri Muhammad SAW itu terdapat sifat-sifat basiah (alat indera) dan sifat-sifat ma’nawi
(bathin). Kedua sifat ini sudah mendarah daging dan sudah menjadi tabiat bagi Muhammad
Saw. Sejak mula pertama diberikan kepadanya jiwa yang kuat, budi yang luhur, hati yang
suci dan perasaan halus. Diberikan kekuatan Bashirah (melihat dengan kemampuan bathin)
untuk menembus segala rintangan. Pemberian Allah SWT yang kedua adalah kebenaran
lidah, pikiran tajam, penglihatan jauh dari dosa, kejujuran, kesucian hati, dan bersifat rahim
kepada sesama manusia (Al-Abyadi, 1996: 33) .
Manusia menerima hukum Allah SWT melalui medium yang dikenal sebagai
Risalah (kenabian). Misi yang diemban oleh para nabi adalah menyampaikan firman Allah
SWT kepada umat manusia, menda’wahkannya dan menyebarkan ajaran-ajaran Alllah SWT
serta melaksanakannya di dunia. Hal ini berlanjut sampaidatangnya Nabi Muhammad SAW
sebagai nabi terakhir yang membimbing manusia menuju keselamatan. Bersumber dari misi
risalah, terdapat dua hal yang dapat diterima manusia; a) Al Qur’an (kitab suci dari Allah
SWT yang menjelaskan hukum-hukum-Nya),d an b) Pemberian suri tauladan dan penafsiran
yang benar dari kandungan Al Qur’an oleh Nabi Muhammad SAW. Prinsip-prinsip yang
luas, yang kehidupan manusia harus berdasarkan kepanya, telah disebutkan dalam Al
Qur’an. Nabi Muhammad Saw telah menyusun model kehidupan Islam yang sesuai dengan
firman Allah, dengan praktis melaksanakan hukum Allah dan memberikan detail - detail
penting yang sangat diperlukan. Kombinasi kedaunya ini dalam termologi Islam disebut
sebagai syari’at; hukum tertinggi Islam (Hussain, 1996: 11) Risalah Rasulullah SAW berisi
ajaran Tauhid, kesamaan derajat diantara manusia dan persaudaraan serta akhlak mulia.
Setelah beliau menerima wahyu pertama beliau kemudian melaksanakan da’wah.
Pokok ajaran yang disampaikan adalah Tauhid; meng-Esakan Allah SWT. Para penyembah
berhala diseru untuk meninggalkan berhala. Ajaran Anthropomorphisme, yaitu suatu paham
yang menyatakan Tuhan dapat menyerupai bentuk manusia adalah ajaran yang keliru dan
menyesatkan. Mereka diajak untuk membersihkan segala macam bentuk kemusyrikan untuk
meng-Esakan dan menyembah hanya kepada Allah SWT. Beliau menyampaikan risalahnya
di kalangan bangsa Arab yang plural dan keras untuk mengajak merka kepada kebaikan.
Kepada pengikut Zoro Aster dari Persia yang menyakini bahwa Tuhan itu ada dua,
yaitu Ahriman; Tuhan kebaikan dan Ahura Mazda; Tuhan kejahatan mereka diajak untuk
meluruskan keyakinan yaitu hanya bertuhan kepada Allah SWT. Bagi paham materialisme
(menghambakan
diri pada
materi/kebendaan)
Hedonisme
(mengejar
kesenangan),
sinkretisme (paham yang mencampuradukkan agama menjadi satu). Areisme (keberadaan
tuhan ada dibenda patung, ataupun pohon besar) mereka diminta menyakini bahwa selain
Allah adalah makhluq. Semua yang ada adalah cipaan Allah Tuhan Yang Maha sa. Kepada
yang tidak bertuhan ditanamkan keyakinan bahwa Tuhan itu ada. Firman Allah SWT, surat
Al Baqarah ayat 163, menerangkan ke-Esaan Tuhan:
Artinya: “Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia
yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”. (Q.S. Al Baqarah: 163)
Ayat ini menjelaskan bahwa Tuhan yang berhak disembah hanyalah satu yaitu
Allah SWT. Menyekutukan Allah dengan sesuatu adalah dosa besar yang tidak akan
diampuni. Selain tauhid isi dakwah Rasulullah SAW dalam mengemban risalahnya adalah
masalah kesamaan derajat diantara manusia. Di dalam pandangan Allah SWT manusia itu
sama derajatnya yang melebihkan seorang dari yang lain adalah ketaqwaannya. Firman Allah
SWT dalam Qur’an Surat Al Hujrat ayat 13:
Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi
Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
lagi Maha Mengenal”. (Q.S. Al Hujurat: 13)
Untuk memudahkan risalah langit masuk ke dalam hati orang, Rasulullah SAW
telah memilih orang-orang yang akan menuliskan dan membacakan risalahnya. Untuk itu,
beliau mengambil orang-orang yang mempunyai pengetahuan tentang menulis dan membaca
yang jujur dan dapat dipercaya. Agar supaya jangan ada orang yang menyatakan bahwa
risalah yang dibawa Muhammad SAW adalah kutipan dari Kitab Taurat dan Injil;rislah
langit yang turun kepada nabi-nabi sebelumnya. Risalah ini ukan untul dilipat, tapi untuk
diketahui oleh sekalian orang karena ajarannya murni dari Allah SWT (Al- Abyadi, 1996: 8).
BAB III
HAL IHWAL DAKWAH DALAM MASYARAKAT MADANI
A. DAKWAH
1. Pengertian Dakwah
Dilihat dari segi bahasa, kata dakwah berasal dari kata Arab da’wat, merupakan
bentuk masdar dari kata kerja da’a-yad’u yang berarti seruan, ajakan atau panggilan.1 Seruan
dan panggilan ini dapat dilakukan dengan suara, kata-kata atau tulisan dan perbuatan.2 Kata
dakwah juga berarti do’a (al-du’a), yakni harapan, permohonan kepada Allah swt atau seruan
(al-Nida’). Do’a atau seruan pada sesuatu berarti dorongan atau ajakan untuk mencapai
sesuatu.3
Dalam al-Qur’an berdasarkan penelitian Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi kata
dakwah dalam berbagai bentuk dan turunanya terulang sebanyak dua ratus sembilan puluh
sembilan kali. Dalam bentuk masdar (dakwah) disebut enam kali, dalam bentuk `amr tiga
puluh empat kali. Sebagai seruan atau ajakan, kata dakwah dipergunakan baik untuk ajakan
kepada yang baik / benar atau jalan yang sesat4 . term-term utama yang terkait dengan
dakwah seperti; Nabi sebagai pembawa informasi Ilahi seratus lima puluh empat kali, Rasul
penyampai pesan Ilahi lima ratus dua puluh tiga kali. Nashihat tiga belas kali, Irsyad
(bimbingan) sembilan belas kali, Tadbir (mengurus) delapan kali, tadhwir (mengembangkan
1
Ahmad al-Fayumi, al-Misbah al-Munir, Bairut: Dar al-Fikr t,t. hal. 194
Abu al-Husein Ahmad Ibnu Faris, Mu’jam Maqayis al-Lughat, Bairut: Dar al-Fikr, 1979, hal. 279
3
Da’wah dalam arti do’a dijelaskan dalam al-Qur’an: surat al-Baqarah, 186: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya
kepadamu tentang aku, maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a
apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka
beriman kepada-Ku, agar meraka selalu berada dalam kebenaran.
4
Ibnu Manzhur, Abu al-Fadhal Muhammad Ibnu Mukrim, Lisan al-Arab, Bairut: Dar al-Fikr, 1990, hal. 259.
2
sebelas kali.
5
Sejauh penggunaannya dalam al-Qur’an, kata dakwah ada yang dikaitkan
dengan jalan Allah swt, jalan kebaikan atau jalan ke surga. Dan sebaliknya ada pula yang
disandarkan pada jalan syetan, kehancuran, jan keburukan atau jalan ke api neraka. 6 Bahkan
dalam satu ayat terdapat pula penggunaan kata dakwah untuk arti keduanya secara
bersamaan.7 Dari sisi etimologi dakwah memiliki pengertian “ panggilan’’, diambil dari kata
masdar da’watan, juga berarti “ memanggil ’’, dari kata da’a. kedua arti ini dapat digunakan
tergantung pada pemakaian dalam kalimat. 8 Dari sisi terminology, dakwah memiliki
pengertian yang berfariasi, diantaranya: Syaikh Ali Mahfudz, dakwah adalah mendorong
(motivasi) manusia untuk melakukan kebaikan dan mengikuti petunjuk, memerintahkan
mereka berbuat ma’ruf dan mencegahnya dari perbuatan munkar agar mereka memperoleh
kebahagiaan dunia dan akhirat.9
Berdasarkan term-term dalam al-Qur’an di atas dakwah secara umum merupakan
proses menyeru untuk mengikuti sesuatu dengan cara-cara tertentu, sedangkan dakwah Islam
diartikan sebagai proses perilaku keislaman menyeru ke jalan Allah yang melibatkan unsurunsur. Da’i, pesan (materi), uslub (metode), washilat (media), mad’u dan tujuan. Dari segi
bentuknya dakwah dapat berupa irsyad (internalisasi dan bimbingan), tabligh (transmisi dan
penyebaran), tadbir (rekayasa sumber daya manusia), tathwir (pengembangan kehidupan
5
Syukriadi Syambas, (ed) Aep Kunawan, Ilmu Dakwah Kajian Berbagai Aspek, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004,
hal.128
6
Pengertian dakwah yang menjurus kepada kesesatan sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an, surat Lukman, ayat 21: Dan
apabila dikatakan keada mereka: “Ikutilah apa yang diturunkan Allah”. Mereka menjawab: “ (Tidak), tapi kami (hanya)
mengikuti apa yang kami dapati bapak-bapa kami mengajarkannya”. Dan apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak
mereka) walaupun syaitan itu menyeru mereka kedalam siksa api yang menyala-nyala (neraka).
7
Al-Qur’an: Surat al-Baqarah, ayat 21:... mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke syurga dan ampunan
dengan izin-Nya, dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perinyah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran.
8
Dakwah yang berarti panggilan, dari kata masdar “da’watan” adalah pendapat ulama Basrah, sedangkan dakwah berati
memanggil dari kata “da’a”. adalah ulama Kufah. Moh. Ardani, Memahami permasalahan Fiqih Dakwah, Jakarta: Mitra
Cahaya Utama, 2006, hal. 9.
9
Dikutip Moh. Ardani, dalam Memahami Permasalahan Fiqih Dakwah, hal. 10.
dalam aspek kultur universal).10 Manusia dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar
sesuai dengan perintah Tuhan untuk kemaslahatan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.11
Sayyid Quthub menjelaskan ayat ke-24 surat al-Anfal, bahwa dakwah adalah
ajakan atau seruan ditujukan kepada kehidupan yang sempurna. Dakwah mengandung ajakan
kepada lima prinsip dasar yang dapat menghantarkan pada kehidupan yang sempurna, kelima
prinsip dasar tersebut adalah: Pertama, seruan kepada aqidah tauhid yang akan
membebaskan manusia dari penyembahan diri selain kepada Allah SWT. Kedua, seruan
kepada hukum-hukum Allah dalam arti seruan untuk membangun dan mengatur kehidupan
dengan undang-undang Allah SWT (prinsip syari’ah) seruan ini akan menempatkan manusia
sejajar di hadapan hukum terlepas dari kepentingan dan dominasi perorangan atau kelompok
tertentu yang berpengaruh dalam masyarakat. Ketiga, seruan kepada sistem hidup atau
konsep mengenai kehidupan yang sesuai dengan fitrah kemanusiaan yang tidak lain adalah
sistem Islam. Keempat, seruan kepada kemajuan dan kemuliaan hidup dengan aqidah dan
sistem Islam untuk kemudian membebaskan manusia dari perbudakan dan penyembahan
terhadap sesama manusia. Kelima, seruan kepada perjuangan dan jihad Islam untuk dapat
mewujudkan dan menegakkan sistem Allah di muka bumi.12 Menurut Sayyid Quthub
dakwah adalah usaha orang beriman mewujudkan sistem dan ajaran Islamdalam realitas
kehidupan, atau usaha orang beriman mengokohkan sistem Allah dalam kehidupan manusia
baik pada tataran individu, keluarga, masyarakat dan umat dari kebahagiaan hidup di duniaakhirat.13
10
Syukriadi Sambas, (ed) Aep Kusnawan, Ilmu Dakwah Kajian Berbagai Aspek, hal.128.
11
Thoha Yahya Umar, Ilmu Dakwah, Jakarta: CV al-Hidayah, hal. 7.
12
Sayyid Quthub, Fi zhila al-Qur’an, Bairut: Dar al-Syuruk, Cek 23, 1994, Jilid III, hal. 1493.
Sayyid Quthub, Fi zhila al-Qur’an, Jilid II, h. 689, 696, 810, 825, 949.
13
Menurut Al-Bahi al-Khuli, da’i bukan sekedar penceramah. Penceramah adalah
penceramah. Da’i adalah orang yang meyakini ideologi Islam (Fikrat), ia mengajak kepada
fikrat Islam dengan tulisan, ceramah (pidato), pembicaraan biasa dan dengan semua
perbuatannya khusus maupun yang umum, serta dengan segala perangkat dakwah yang
mungkin dilakukan. Ia adalah seorang penceramah, pembicara dan tokoh panutan yang
berusaha mempngaruhi manusia dengan kerja dan kepribadiannya. Ia juga seorang dokter
masyarakat yang berusaha mengobati penyakit-penyakit jiwa dan memperbaiki kondisi
masyarakat. Ia seorang pengamat dan peneliti yang kritis yang menjadikan hidupnya untuk
melakukan perbaikan kondisi yang dikehendaki Allah SWT. Ia seorang teman dan sahabat
bagi si-kaya dan si-miskin, serta teman bagi yang tua maupun yang muda, dari sifat-sifat
semacam ini akan tumbuh rasa cinta kasih pada sesama manusia, dalam dirinya tidak ada
perbedaan antara kata dan perbuatan. Ini merupakan keharusan bagi seorang da’i. Hal
semacam ini merupakan pengaruh jiwa dan hati yang membedakan dengan pengaruh sastra,
orator dan politikus. Da’i adalah tokoh masyarakat, pemimpin politik di lingkungannya dan
pemimpin bagi gagasan-gagasannya serta pemimpin bagi orang-orang yang mengikuti jalan
pikirannya. Para da’i diharapkan dapat membangun umat atau ikut mendukung kelahirannya,
mereka diharapkan ikut membangun sistem pemerintahan Islam atau ikut membantu
mewujudkannya, karena itu pekerjaan semacam ini tidak mungkin akan terlaksana jika hanya
dilakukan dengan ceramah atau pidato, retorika dan humor tanpa disertai adanya gerakan
secara sistemtis.14
Ahmad Muhammad Jamil, berpendapat “pengertian yang umum mengenai dakwah
adalah, dakwah difahami sebagai nasehat, ceramah dan penyampaian pidato di masjidmasjid. Padahal hakikat dakwah sebenarnya jauh lebih luas dari itu. Dakwah pada dasarnya
14
Al-Bahi al-Khuli, Tadzkirat al-Du’at, Kuait: Maktabat al-Falah, 1979, hal 7-8.
adalah kata-kata, perbuatan dan sekaligus perilaku. Medan dakwah sangat beragam, di
masjid, madrasah, perguruan tinggi, institusi-institusi sosial yang beragam, mol dan
perusahaan, organisasi-organisasi yang beragam bentuknya tujuannya secara singkat padat
dikemukakan adalah untuk mewujudkan syari’at Islam dalam semua segi kehidupan
masyarakat, baik aqidah, syari’ah maupaun akhlak.15
H. Soedirman memberikan pengertian bahwa dakwah tidak identik dengan tabligh,
tetapi meliputi semua usaha mewujudkan ajaran Islam pada semua segi kehidupan, dalam
konteks ini tabligh merupakan bagian dari dakwah Islam. 16
Muhammad Abu Zahrah memberikan kriteria bahwa sesuatu kegiatan dapat
disebut dakwah jika merupakan sistem usaha bersama orang beriman dalam rangka
mewujudkan ajaran Islam dalam semua segi kehidupan sosio-kultural yang dilakukan
melalui lembaga-lembaga dakwah, sedangkan tabigh merupakan sistem usaha penyiaran dan
penyampaian ajaran Islam agar dipeluk individu atau masyarakat yang dilakukan oleh
individu atau kolektif baik melalui lisan maupun tulisan. Tabligh merupakan bagian dari
sistem dakwah yang dilakukan oleh da’i sesuai profesinya. 17
Dalam rumusan lain beberapa definisi dakwah antara lain; dakwah adalah usaha
yang mengarah untuk memperbaiki suasana kehidupan yang lebih baik dan layak sesuai
dengan kehendak dan tuntutan kebenaran. 18 Dakwah adalah usaha membuka konfrontasi di
tengah manusia, membuka kemungkinan bagi kemanusiaan untuk menetapkan pilihannya
sendiri.19 Dakwah Islam adalah dakwah kepada standar nilai-nilai kemanusiaan dalam
tingkah laku pribadi-pribadi di dalam hubungan antar manusia dan sikap perilaku antar
15
Ahmad Muhammad Jamil, Qadlaya Mu’ashsirat fi Muhkamat al-Fikr al-Islami, Kairo: Dar al-Shahwat, 1980, hal. 57-58.
H. Soedirman, Problematika Dakwah di Indonesia, Surabaya: 1970, hal. 47.
17
Abu Zharah, al-Da’wat Ila al-Islam, tth, hal. 27.
18
Effendi Zarkasi dkk, Metodologi Dakwah Kepada Suku Terasing, Jakarta: Departemen Agama RI, 1987-1979, hal. 4.
19
Isa Anshari, Mujahid Dakwah, Bandung: Diponegoro, 1984, hal. 19.
16
manusia.20 Dakwah adalah mengajak manusia dengan cara bijaksana kepada jalan yang
benar sesuai dengan perintah Tuhan untuk kemaslahatan dan kebahagiaan mereka di dunia
dan akhirat.21 Dakwah merupkan suatu proses usaha untuk mengajak agar orang beriman
kepada Allah swt, percaya dan mentaati apa yang telah diberitakan Rasul serta mengajak
agar dalam menyembah Allah seakan-akan melihat-Nya.22 Dakwah adalah usaha mengubah
situasi kepada yang lebih baik dan sempurna, baik terhadap individu maupun masyarakat.23
Dakwah adalah gerakan untuk merealisasikan undang-undang Allah yang telah diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW.24 Dakwah adalah mendorong (memotovasi) umat manuia
agar melaksanakan kebaikan dan mengikuti petunjuk serta memerintah berbuat makruf dan
mencegah dari perbuatan munkar supaya mereka memperoleh kebahagiaan dunia dan
akhirat.25dakwah adalah setiap usaha atau aktivitas dengan lisan atau tulisan lainnya, yang
bersifat menyeru, mengajak, memanggil manusia lainnya untuk beriman dan mentati Allah
swt sesuai dengan garis-garis aqidah dan syari’ah serta akhlak Islamiyah. 26
Dari berbagai konsep dakwah yang dirumuskan para intelektual muslim di atas
penulis merumuskan konsep dakwah sebagai berikut: dakwah sebagai suatu kegiatan yang
dilakukan orang beriman kepada Allah dalam bidang kemasyarakatan yang diwujudkan
dalam sistem kegiatan yang dilaksanakan secara sistematis untuk mempengaruhi cara
merasa, berpikir dan berperilaku baik dalam kehidupan individu maupun sosio-kultural
dalam rangka mewujudkan kehidupan yang adil, makmur diridhoi Allah.
20
Muhammad al-Bahy, al-Sabil ila Dakwah al-Haq, Kairo: Mathba’at al-Azhar, 1970, hal. 14.
Thaha Yahya Umar, Ilmu Dakwah al-Haq,Jakarta: Wijaya, 1971, hal. 1.
22
Ibn Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, Riyad: Mathbah’at al-Riyad, 1985, juz XV, cet. Pertama, hal. 185.
23
Al-Bahy al-Khauly, Tadzkirat al-du’at, Kairo: Maktabat dar al-Turats, 1408 H/1987 M, cetakan ke-8, hal. 35.
24
Ra’uf Syalaby, al-Dakwat al-Islamiyat Manahijuha wa Ghayatuha, Kairo: al-Fajr al-Jahid, 1985, hal. 34.
25
Syekh Ali Mahfudz, Hidayat al-Mursyidin, Mesir: Dar al-Mishr, 1975, hal. 7.
26
HMS Nasaruddin Latif, Teori dan Praktek Dakwah Islamiyah, Jakarta: Firma Dara, 1971, hal. 11.
21
Dari konsep ini dapat dijelaskan bahwa sesuatu kegiatan disebut dakwah jika
terpenuhi unsur-unsur, Pertama, pelakunya orang beriman. Kedua, dilakukan di tengahtengah masyarakat. Ketiga, memiliki sistem kegiatan. Keempat, kegiatan tersebut untuk
mempengaruhi cara merasa, berpikir dan berperilaku seseorang atau sekelompok orang
untuk menjalakan yang makruf dan meninggalkan yang munkar. Kelima, kegiatan itu
bersifat ikhtiyar dan bukan pemaksaan. Keenam, memiliki sistem tujuan yaitu terwujudnya
kehidupan yang adil, makmur diridhoi Allah dalam rangka memperoleh kebahagiaan duniaakhirat.
2. Konsep Dakwah Pergerakan (da’wat Harakat)
Menurut Hasan Ibnu Falah dakwah pergerakan memiliki pengertian yang sama
dengan a’wat harakat. Dakwah ini lebih menekankan pada aspek tindakan (aksi) daripada
wacana (teorisasi). Dakwah pergerakan/da’wat harakat menurut Hasan Ibnu Falah alQaththani, adalah dakwah yang berorientasi pada pngembangan masyarakat Islam, dengan
melakukan reformasi dalam segala segi kehidupan manusia dari perbaikan individu (ishlah
al-Fard), perbaikan keluarga (ishlah al-Usrat) dan perbaikan masyarakat (Ishlah alMujtama’) serta perbaikan pemerintahan dan negara (ishlah a-Daulat).27
Sementara al-Ja’bari memandang dakwah pergerakan/da’wat harakat sebagai suatu
konsep dakwah yang memadukan antara dimensi pemikiran (konseptual), dan pergerakan
(pratikal), serta merupakan bagian integral dari gerakan kebangkitan Islam yang banyak
bermunculan di negara-negara Islam sejak permulaan beberapa abad yang silam.28 Oleh
karena itu dakwah ini bersifat dinamis, progresif dan banyak digunakan oleh organisasi-
27
Hasan Ibnu Falah al-Qaththani, al-Thariq ila al-Nahdlat al-Islamiyyat, Riyadl: Dar al-Hamidi, 1993, hal. 1-10.
Ibrahim Muhammad al-Ba’bari, Gerakan Kebangkitan Islam, terj. Abu Ayub al-Anshari, Solo: Duta Rahman, 1996, hal.
76-70. lihat pula, Wadlih Rasyid al-Hasani, al-Nadwi Adab al-Shahwat al-Islamiyyat, Bairut: Muassasat shana’at al-Risalat,
1978, hal. 5.
28
organisasi pergerakan Islam kontemporer, terutama gerakan al-Ikhwan al-Muslimun di
Mesir, Jama’at Islamiyat di Pakistan, gerakan Nuriah atau Nurculuk di Turki.
Kata harakat/pergerakan itu sendiri secara harfiah berarti gerak atau gerakan,
merupakan lawan dari diam. Dikatakan bergerak, bila seorang berpindah atau mengambil
posisi baru.29 Dari makna harifah ini, dapat dipahami dua makna penting kata harakah.
Pertama, harakah menunjuk pada suatu gerakan yang timbul setelah masa atau kondisi
vakum. Kedua, harakah menunjuk pada suatu usaha pembaharuan untuk membawa
masyarakat kepada kehidupan baru yang lebih baik.30
Harakat/pergerakan menurut Kalim Siddiqui merupakan watak Islam. Dikatakan
bahwa Islam lahir menjadi suatu gerakan dan akan selalu menjadi gerakan. Gerakan Islam
bertujuan mendirikan dan melindungi negara Islam demi kesejahteraan dan kebahagiaan
hidup manusia di dunia dan akhirat.Yusuf Qardhawi menekankan pentingnya dakwah
pergerakan/ da’wat harakat ini untuk membebaskan manusia dari kejahatan. Masyarakat
Islam, kata Qardhawi, tidak akan pernah sepakat dalam kesesatan, karena itu harus selalu ada
sekelompok orang dari kalangan masyarekat Islam yang bangkit membela kebenaran,
membimbingan dan mengajak manusia kepada jalan yang benar. Yusuf ardhawi menyebut
kebangkitan demi pembaharuan dan kemajuan Islam.31 Harakah atau kebangkitan, menurut
Qardhawi harus mencakup beberapa aspek, yaitu kebangkitan intelektual, kebangkitan jiwa,
kebangkitan motivasi dan kehendak serta kebangkitan kerja dan dakwah. Dimaksud dengan
kebangkitan dakwah adalah “Dakwah bermakna membangun gerakan yang akan membawa
manusia kejalan Islam yang meliputi: aqidah dan syari’ah, dunia dan negara, mental dan
29
Raqhib al-Ashfahani, al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, Bairut: Dar al-Ma’rifat, tt, hal. 114. Lihat
pula Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab, Bairut: Dar al-Shadir, 1990, hal. 411.
30
Simi Niazi, A New Paradigm in the Making: dalam Kalam Siddiqui (ed), Issues in the Islamic
Movement 1980-1981, London: Toronto, The Open Press Limited, `1982, hal. 330-331.
31
Yusuf Qardhawi, al-Shabwat al-Islmiyyat wa al-Humum al-Wathon al-Arabi wa al-Islami, Bairut:
Muassasat al-Risalat, 1992, hal. 12-20.
kekuatan fisik, peradaban dan umat. Kebudayaan dan politik serta jihad dalam rangka
mewujudkan Islam di muka bumi serta dalam rangka menegakkan ajarannya di kalangan
umat Islam sendiri, sehingga terjadi persesuaian antara perilaku dan hati nuraninya. Dakwah
juga bermakna bekerja untuk membebaskan umat Islam dari berbagai kekuatan politik yang
menindas dan membelenggu mereka.32
Dakwah pergerakan/da’wat harakat tampaknya memiliki identitas dan karakternya
sendiri. Menurut MusthafaMasyhur dakwah pergerakan/da’wat harakat tertumpu pada tiga
kekuatan. Pertama, kekuatan aqidah dan iman (quwwat al-aqidat wa al-Iman). Kedua,
kekuatan kesatuan dan ikatan jama’ah di antara kaum muslimin (quwwat al-wahdat wa altarabut baina al-muslimin). Ketiga, kekuatan jihad (quwwat al-Jihad). Ketiga kekuatan ini,
menurut Musthafa Masyhur merupakan rahasia kekuatan dakwah dan pergerakan/harakat
Nabi saw ketika beliau mendirikan pemerintahan Islam pertama di Madinah. 33
Identitas lain yang lebih terang mengenai dakwah pergerakan/da’wat harakat
dikemukakan
oleh
aktivis
Ikhwan
al-Muslum,
menurut
Fathi
Yakan
dakwah
pergerakan/da’wat harakat memiliki empat cirri pokok, yakni: (1) Murni dan autentik
(dzatiyyat), (2) Mendorong kemajuan (taqaddumiyyat), (3) universal (syamilat), dan (4)
Menjauhkan diri dari perbedaan-perbedaan pendapat dalam masalah fiqih (al-Madzahib alFiqhiyyat).34 Dari karakter dan identitas yang dikemukakan di atas, tampak bahwa paradigm
dakwah pergerakan/da’wat harakat memiliki perbedaan dengan dakwah pada umumnya,
baik pada tataran filosofis (filsafat dakwah), epistimologi dan metodologi, maupun
kualifikasi da’i yang menjadi pendukung gerakan dakwah pergerakan/ da’wat harakat.
32
Yusuf Qardhawi, al-Shabwat al-Islamiyyat wa al-Humum al-Arabi wa al-Islami, juga Musthafa
Masyhur, al-Jihad Hua al-Sabil, Iskandariya: Dar al-Dakwat, 1985, hal. 10.
33
Musthafa Masyhur, al-Jihad Hua al-Sabil, hal. 3.
34
Fathi Yakan, Madza Ya’ni Ijtima’i li al-Islam, Bairut: Muassasat al-Risalat, 1983, hal. 113-115 dan
Nahwa Harakat Islamiyyat ‘Alamiyyat Wahidat, Bairut: Muasasat al-Risalat, 1977, hal. 42-46.
Dari segi metodologi, paradigm dakwah pergerakan/da’wat harakat meniscayakan
adanya organisasi yang berfungsi sebagai institusi atau wadah yang akan menghimpun dan
menyatukan potensi dan kekuatan umat untuk dimanfaatkan serta diberdayakan bagi
kepentingan dakwah. Sementara dari sisi tenaga da’i , paradigm dakwah pergerakan/da’wat
harakat meniscayakan adanya pelaku dakwah yang berkualifikasi sebagai pejuang dakwah
(mujahid dakwah). Di sini da’i harus merupakan seorang muslim pejuang dan aktifis
pergerakan Islam, seperti: Muhammad Ibnu Abd al-Wahhab (1703-1781), Jamalal-Din alAfghani (1839-1897), Muhammad Abduh (w. 1905) Rasyid Ridla (1865-1935), Hasan alBanna(1906-1949), dan Syayyid Qutub (1906-1966), Abu al-‘Ala al-Maududi, dll.
Menurut Yusuf Qardhawi, para tokoh tersebut di atas bukan saja tokoh pemikir,
melainkan juga para tenaga da’i sekaligus pejuang muslim. Dengan perkataan lain, mereka
merupakan tokoh dan pelopor dakwah pergerakan/da’wat harakat yang sangat konsen
dengan pergerakan Islam. Dalam pandangan Qardhawi gerakan (harakah) merupakan watak
Islam dan watak aqidah Islam, juga watak masyarakat yang lahir dan dibentuk dari agama
dan aqidah Islam.35
Al-Qur’an diturunkan untuk membangun komunitas Islam dan gerakan Islam. AlQur’an bermaksud membangun jama’ah, harakat/pergerakan dan aqidah dalam satu waktu.
Ia bermaksud membangun jama’ah dan harakat/pergerakan dengan aqidah, dan ingin
membangun aqidah dengan jama’ah dan harakat/pergerakan. Ia menghendaki aqidah itu
terwujud dalm bentuk jama’ah yang dinamis dan progresif, sementara jama’ah yang dinamis
dan progresif merupakan perwujudan dari aqidah.36
35
Shalah Abd. Al- Fattah al-Khalidi, al-Manhaj al-Haraki fi Zhilali al-Qur’an, Jeddah: Dar al-Manarat, 1986,
hal. 35.
36
Sayyid Quthub, Ma’alim fi al-Thariq, Kairo: Dar al-Syuruq, 1979, hal. 40.
Prinsip harakat/pergerakan ini menurut Sayyid Quthub merupakan alat (kunci)
yang
memungkinkan
seseorang
dapat
berdialog
dengan
al-Qur’an.
Tanpa
harakat/pergerakan dalam arti bergerak dalam peerjuangan Islam, seseorang tidak akan
dapat memahami maksud dan cita-cita al-Qur’an. Menurut Quthub hanya orang-orang yang
aktif dan dinamis dalam memperjuangkan Islam sajalah yang dapat memahami pesan dan
semangat al-Qur’an.
Gerakan dan dinamika umat Islam seperti dikemukakan di atas diperlukan dalam
menghadapi kesesatan dan kejahiliyahan yang sudah merajalela pada masa sekarang, dalam
hal ini Quthub mngatakan: “Kita memerlukan pemahaman al-Qur’an yang berorientasi pada
gerakan yang siap menghadapi kesesatan dan kejahiliyahan yang sudah menyebar di manamana. Yaitu suatu gerakan yang bertujuan untuk membebaskan manusia dari kegelapan
menuju cahaya, dari jahiliyah menuju Islam, dari penyembahan kepada manusia menuju
kepada penyembahan Allah. Suatu gerakan sebagaimana gerakan Islam yang pertama pada
masa Nabi Muhammad SAW sewaktu menghadapi Jahiliyah Arab sebelum mendirikan
daulah Islam di Madinah dan sebelum Islam memiliki kekuatan atas dunia dan umat
manusia.37
Dengan demikian dakwah pergerakan/da’wat harakat merupakan bentuk dakwah
alternative untuk mengatasi kemujudan dan keterbelakangan umat. Berbeda dengan
paradigm tabligh, dakwah pergerakan/da’wat harakat lebih berorientasi pada pengembangan
masyarakat Islam (Islamic Community Development) melalui pembaharuan dan reformasi
(ishlah) dalam berbagai kehidupan manusia, mulai dari perbaikan individu (ishlah al-
37
Sayyid Quthub, Fi Zhilal al-Qur’an, Kairo: Dar al-Syuruq, 1979, hal. 16.
fardiyyat), perbaiakn keluarga (ishlah al-usrat), perbaikan masyarakat (ishlah al-Ummat),
sampai kepada perbaiakan pemerintahan dan negara (ishlah al-daulat).38
Paradigma baru tentang dakwah Islam sangat diperlukan demi terumuskannya
keilmuan dakwah. Dimaksud dengan paradigma dakwah adalah suatu model,39 pola ideal,40
atau kerangka piker (konsep), yang dipergunakan sebagai cara memandang atau mengkaji
suatu masalah, berisi premis-premis teoritik (filosofis) dan metodologis. 41 Paradigma
dakwah yang dimaksudkan di sini adalah paradigma dakwah pergerakan/da’wat harakat,
suatu paradigma dakwah yang menekankan pada suatu pembebasan umat Islam dari
keterbelakangan dengan sungguh-sungguh berusaha mengembalikan eksistensi umat Islam
kepada kemuliaan dan kemajuan.
Usaha mewujudkan dan mengimplementasikan ajaran iman dan Islam melalui
gerakan dakwah dapat dilakukan dengan berbagai cara, melalui komunikasi (tabligh),
pembudayaan nilai-nilai dan control social (amar ma’ruf nahi munkar), keteladanan dan
perilaku (uswah hasanat), serta melalui pergerakan (harakat) dengan menciptakan
organisasi-organisasi sebagai dakwah bersama yang akan menghimpun dan memobilisasi
ekuatan Islam untuk keperluan dakwah. Dakwah dengan pendekatan ini dikenal dengan
istilah dakwah harakat/pergerakan.
Dakwah pergerakan/da’wat harakat, kebanyakan berkaitan dengan ide dan gerakan
salafisme Islam pada abad ke-20 M atau ke-15 . Dakwah pergerakan /da’wat harakat
dikembangkan oleh organisasi pergerakan Islam internasional seperti Al-Ikhwan al38
Azyumardi Azra, Dalam Pengantar, Ilyas Islamil, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub, Jakarta: PT.
Penamadani, 2006, hal. Xxviii.
39
Peter Salim & Teni Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Jakarta: Modern Enggris, 1999,
hal. 1095.
40
Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Depdikbud, 1998,
hal. 648.
41
Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Lembaga Kebudayaan Nusantara, hal.
777.
muslimun di Mesir, Jama’ah Islamiyah di Pakistan gerakan Nuriah atau Nurculuk di Turki
serta Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama di Indonesia juga dapat diidentifikasi sebagai
dakwah pergerakan/dakwat harakat.
Dakwah pergerakan/da’wat harakat menghendaki perubahan yang lebih bermakna
bagi kehidupan umat manusia, tradisi dakwah oral (tabligh) yang berlangsung selama ini
kelihatannya kurang mendorong terjadinya perubahan social seperti yang diharapkan.
Bahkan tradisi dakwah semacam ini tampaknya hanya menyentuh “wilayah pinggiran” dari
kesadaran kaum muslimin.42
Secara umum orientasi gerakan dakwah Islam yang dilakukan Nabi Muhammad
saw dan para sahabatnya adalah mendorong terciptanya kebebasan sehingga terbuka peluang
bagi umat manusia untuk mendapatkan petunjuk Tuhan dan melakukan kebajikan serta
meninggalkan yang munkar. Iktiyar gerakan dakwah Nabi ini diimplementasikan dalam
bentuk:
a. Mewujudkan Sistem Islam
Gerakan dakwah dilaksanakan dalam rangka membangun dan mewujudkan system
Islam, hal ini didasarkan pada prinsip pemikiran bahwa Islam adalah system hidup. Sebagai
sister hidup, Islam bersifat komprehensip dan sempurna. Dalam Islam terdapat seperangkat
tata nilai atau system ajaran baik yang menyangkut aqidah maupun (sistam kepercayaan),
ibadah (system peribadatan atau ritualisme), akhlak (system moral dan spiritual), syari’ah
(system hukum dan perundang-undangan), dan mu’amalah (system sosial) yang meliputi
bidang ekonomi, politik dan hubungan antar negara. Islam mengatur semua aspek tersebut
42
Azyumardi Azra dalam Pengantar Paradigma Dakwah Sayyid Quthub,hal. Xxviii.
serta tidak mengenal pemisahan satu dengan yang lain.43 Dengan demikian dakwah bukan
hanya kegiatan yang mengurusi soal iman danibadah semata-mata, melainkan membangun
segi kehidupan sesuai dengan prinsip dan asas Islam, karena itu dakwah harus dilakukan
secara bertahap dimulai dari satu titik ke titik yang lain,dilaksanakan secara
berkesinambungan hingga tercapai tujuan terakhir.
Sistem Islam hanya akan dapat terwujud dengan lahirnya jama’ah dan masyarakat
Islam sehingga system Islam itu menjadi realistis dan empiris dalam arti memiliki wujud
yang konkrit, bisa diamati dan ditelaah. Dalam prespektifini tidak dapat dibayangkan jika
ada system Islam tanpa adanya jama’ah dan komunitas Islam. Oleh karena itu dakwah Islam
dengan sendirinya bermakna ikhtiyar membangun dan mewujudkan komunitas dan
masyarakat Islam yang berlaku di dalamnya system kemasyarakatan Islam.
b. Membangun Masyarakat Islam.
Sebagai system hidup yang sempurna, Islam todak bergerak pada tataran pemikiran
(teoritis) semata, tetapi juga bekerja pada tataran praktis, mengatur semua segi kehidupan
manusia secara realistis dan obyektif, ini berarti Islam harus diterjemahkan nyata dengan
membangun komunitas dan masyarakat Islam.
Kegiatan dakwah pada hakekatnya adalah usaha mendorong dan mewujudkan
masyarakat Islam sebagai kumpulan orang-orang beriman yang melaksanakan amal shaleh.
Proses pembentukan masyarakat Islam ini akan terbentuk sesuai dengan tahapan-tahapan
sebagai berikut “Masyarakat Islam bermula dari adanya sekelompok orang yang memeluk
Islam sebagai system hidup dan menjadikan Islam sebagai undang-undang yang mengatur
43
Sayyid Quthub, Al-Mustaqbal li Hadza al-Din, Kairo: Dar ar-Syuruq, 1979, hal. 3.
seluruh kehidupan, baik ditingkat individu, keluarga maupun masyarakat. Degan semakin
berkembangnya kelompok ini dengan sendirinya masyarakat Islam akan terbentuk”. Karena
itu masyarakat Islam didefinisikan sebagai berikut “Masyarakat Islam adalah masyarakat
yang menjadikan system Islam sebagai system hidupnya secara menyeluruh, dan Islam
secara keseluruhan mengatur segalasegi kehidupan,mencarikan jalan keluar bagi setiap
persoalan yang dihadapi dengan terlebih dahulu berserah diri kepada hukum-hukum Allah
swt”.44 Masyarakat Islam memiliki karakteristik saling kasih sayang, tolong menolong,
sama-sama rukuk dan sujud dihadapan Allah, jauh dari kekerasan, intimidasi dan eksploitasi.
Secara teknis pembentukan masyarakat Islam zaman Nabi dimulai dari
pembentukan individu-individu Muslim, keluarga muslim dan selanjutnya masyarakat
muslim. Individu-individu muslim dan keluarga muslim merupakan sel-inti yang membentuk
masyarakat Islam. Bahkan keluarga muslim sesungguhnya merupakan minimatur masyarakat
Islam. Oleh sebab itu Islam memberikan perhatian tinggi terhadap pembinaan keluarga
muslim, bahkan Islam disebut sebaga agama keluarga.
Nabi mula-mula mengarahkan dakwahnyakepada keluarga dan rumahnya sendiri, ia
sekuat tenaga menyelamatkan rumah tangganya (anggota keluarganya) dari api neraka. Ini
merupakan prioritas program dakwah periode awal, karena tanpa memperhatikan aspek
pembinaan keluarga, maka cita-cita untuk membentuk komunitas dan masyarakat Islam akan
tertunda dan bahkan tak akan pernah terwujud sama sekali.45
Keluarga dan masyarakat Islam merupakan terjemah dari system Islam, ia
merupakan manifestasi dari system Islam, masyarakat Islam dibentuk dan dibangun di atas
landasan aqidah Islam. Kaidah teoritik yang menjadi landasanIslam dalam membangun
44
45
Sayyid Quthub, Manhaj al-Tarbiyat al-Islamiyat, Kairo: Dar al-Qolam, tt, hal. 236.
Sayyid Quthub, Manhaj al-Tarbiyat al-Islamiyat, Kairo: Dar al-Qolam, tt, hal. 265.
masyarakat sepanjang sejarah adalah tauhid yang diekspresikan dalam dua kalimat syahadat
“Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad Rasulullah”. Berdasarkan prinsip semacam
ini dapat diketahui bahwa dasar pembentukan masyarakat Islam adalah aqidah, bukan warna
kulit, suku bangsa, atau yang lainnya. Dari prinsip dasar semacam inimasyarakat Islam
memiliki beberapa karakter dan cirri yang berbeda dengan masyarakat manapun.
Masyarakat Islam adalah masyarakat yang bersifat terbuka, bernudaya Islami dan
universalis. Prinsip lain dari masyarakat Islam adalah dasar pembentukannya, masyarakat
Islam adalah syari’ah. Di atas naungan syari’ah ini masyarakat Islam tumbuh dan
berkembang mencapai kesempurnaan. Syari’ah ini yang menetapkan cirri-ciri penguat, arah
dan perkembangannya. Cirri lain dari masyarakat Islam adalah kesatuan dan dinamika yang
kuat. Dinamika dan kesatuan ini tampak jelas sejak awal, karena eksistensi masyarakat Islam
tidak dapat dibangun tanpa kesatuan. Kesatuan dapat melahirkan dinamika masyarakat
dalam bentuk kerjasama dari setiap anggota kelompok sesuai dengan peran dan memperkuat
eksistensi masyarakat Islam, menjagab dan mempertahankan dari ancaman dan gangguan
dari masyarakat luar. 46
c. Membangun Pemerintahan Islam
Salah satu tujuan antara gerakan dakwah Islam adalah membangun sistem
pemerintahan Islam. Sistem pemerintahan Islam bukan tujuan utama dari gerakan dakwah, ia
hanya merupakan tujuan antara dengan maksud gerakan dakwah memiliki wadah dan
terlindungi eksistensinya. Aktivitas dakwah dapat berjalan tanpa adanya gangguan, karena
prinsip dakwah adalah ajakan perdamaian dan keselamatan. Karena itu, sistem pemerintahan
46
A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub, Jakarta: PT. Penamandani, 2006, hal. 156.
yang dimaksud adalah system pemerintahan yang sejalan dengan prinsip misi kenabian dan
kerasulan.47
Dalam sistem pemerintahan Islam yang dibangun Nabi memiliki empat prinsip
dasar yang sesuai dengan karakter gerakan dakwah, yaitu: Pertama, prinsip tauhid. Kedua,
prinsip keadilan. Ketiga, prinsip kepatuhan/ketaantan. Keempat, prinsip permusyawaratan
(syura). Tidak ada otoriter dalam bentuk apapun dalam sistem pemerintahan Islam, karena
hal itu bertentangan dengan prinsip gerakan dakwah. Nabi bukan hanya sebagai
“penceramah”, sekedar menyampaikan risalah, tetapi secara implisit Nabi diperintah untuk
membangun sistem pemerintahan agar aktivitas dakwah dapat berjalan penuh kedamaian.
3. Dakwah dan Dinamika Sosial
Merujuk pada makna yang terkandung dalam al-Qur’an surat al-Nahl (16:125),48
dakwah Islam dapat dirumuskan sebgaikewajiban muslim mukallafuntuk mengajak, menyeru
dan memanggil orang berakal menjalani jalan Tuhan (din al-Islam) dengan cara hikmat,
mau’izat hasanat (supermotivasi positif)dan mujadalah yang ahsan (cara-cara yang lebih
metodologis), dengan respons positif atau negative dari orang berakal yang diajak, diseur dan
dipanggil disepanjang zaman dan setiap ruang. Hakekat dawah Islam adaah perilaku
keislaman muslim yang melibatkan unsure da’i, pesan, media, metode, mad’u dan respons
serta dimensi hal-al-maqom atau situasi dan kondisi. Interaksi antar unsure dakwah Islam
dalam tataran praktisnya adalah obyek formal kajian ilmu dakwah. Dari sisi obyek
47
Sayyid Quthub, Fid ZILAL al-Qur’an, Dar as-Syuruk, Kairo: 1963, hal. 14.
Al-Qur’an surat al-Nahl 125:
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[845] dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka
dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari
jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. Q.S al-Nahl:125.
48
materialnya, dakwah Islam bersentuhan dengan kajian ilmu keislaman, dengan demikian
ilmu dakwah berkarakter interdisipliner.
Dalam al-Qur’an surat Fushilat (41:33) dakwah Islam dapat dirumuskan sebagai
kewajiban meyeru, mengajak dan memanggil manusia untuk mengesakan Allah melalui
ahsan al-qawl, amal shaleh dan qala innani min al-muslimin (afirmasi ketundukan kepada
Tuhan).
49
Hakekat dakwah Islam menunjukkan tiga bentuk utama dalam proses dakwah,
yaitu melalui ahsanu al-Qawl atau bahasa yang baik, melalui ahsanu ‘amala atau perbuatan
yang baik dan reformatif, serta keterpaduan bentuk ahsanu al-qawl dan ahsanu ;’amala,
yaitu gerakan percontohan yang baik.50 Dengan demikian esensi tugas dakwah adalah
menegakkan kebenaran dan melaksanakan amar ma’ruf nahy munkar.
Dakwah yang berisiskan amar ma’ruf nahy munkar yang dilakukan orang-orang
beriman akan selalu berhadapan dengan dakwah amar munkar nahy ma’ruf yang dilakukan
orang-orang munafiq, dalam hal ini Amin Rais berpandangan; Konfrontasi antara yang
ma’ruf dan yang munkar, antara dakwah yang mengajak manusia menjadi golongan kanan
(ashhab al-Yamin) dan dakwah yang mendorong manusia agar menjadi golongan kiri
(ashhab al-Syamal) antara calon penghuni surga (ashhab al-Jannat) dan calon penghuni
neraka (ashhab al-Nar) memang membuat kehidupan manusia menjadi penuh perjuangan,
pergulatan dan pertentangan.51 Dari aktivitas dakwah inilah melahirkan dinamikan sosial.
Wilayah kegiatan dakwah Islam Meliputi seluruh dimensi kehidupan manusia, hal ini
disebutkan masalah ma’ruf dan munkar juga meliputi seluruh dimensi kehidupan manusia,
karena itu kegiatan budaya, politik, ekonomi, sosial dan lain-lain termasuk pada wilayah
49
Secara lengkap bunyi surat al-Fushilat ayat 33 adalah:
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang
saleh, dan berkata: "Sesungguhnya Aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?"
50
Agus Ahmad Safe’i, Kajian Ontologi Dakwah Islam, dalam Ilmu Dakwah Kajian Berbagai Aspek,
Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004, hal. 64.
51
Amien Rais, Cakrawala Islam, Bandung: Mizan, 1991 hal. 25.
dakwah, baik dakwah Islamiyah (dakwah ila Allah) maupun dakwah jahiliyah , yaitu dakwah
yang menjadikan neraka sebagai tujuan akhir (dakwah ila al-Nar). Secara sosiologis dakwah
yang berkembang di tengah maysarakat cenderung mengarah kepada nahy munkar, yakni
tekanan-tekanan untuk melawan (perjuangan reaktif), dan kurang amar ma’ruf-nya yang
mengajak kepada kebaikan, kebersamaan, kesatuan (perjuangan proaktif), hal ini merupakan
tantangan dakwah. Dalam perspektif sosiologis al-ma’ruf dan al-munkar merupakan realitas
dalam kehidupan masyarakat, karena itu umat Islam dituntut untuk mampu mengenali
kebaikan dan keburukan yang ada dalam masyarakat, kemudian mendorong, mengajak dan
memupuk serta memberanikan diri kepada tindakan-tindakan kebaikan dan pada waktu yang
bersamaan mencegah, menghalangi dan menghambat tindakan-tindakan kejahatan.52
Seruan kepada al-Khair, amar ma’ruf dan nahy al-munkar sebagaimana ditunjuk
dalam surat Ali Imran 104, merupakan seruan triologi perjuangan umat sepanjang sejarah.
Triologi inilah yang menjadi dasar keunggulan umat Islam atas umat yang lain. Seruan
kepada al-Khair menuntut kemampuan untuk memahami nilai-nilai etis dan moral universal,
tanpa kemampuan ini tidak mungkin ditemukan suatu pedoman yang jelas untuk menghadapi
masa depan. Seruan amar ma’ruf menuntut kemampuan memahami lingkungan hidup sosial
politik dan cultural. Lingkungan yang menjadi wadah terwujudnya al-khair secara konkrit
dalam konteks ruang dan waktu, sedangkan aspek nahy munkar menuntut kemampuan
mengidentifikasi faktor-faktor lingkungan hidup kultural, sosial, politik juga ekonomi yang
kiranya akan menjadi wadah bagi munjulnya perangai, tindakan dan perbuatan yang
berlawanan dengan hati nurani, yang kemudian diusahakan untuk mencegah dan
menghambat pertumbuhan lingkungan tersebut.
52
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan peradaban, Jakarta: Paramadina, 1994, hal. 97. Lihat juga
Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, Jakarta: Paramadina, 1995, hal. 87.
4. Perkembangan Konsep Dakwah
Rumusan pengertian/definisi dakwah yang dikemukakan oleh beberapa penulis
dakwah, peneliti analisis dengan menggunakan diagram ogden dan Richards tentang
hubungan antara symbol, konotasi (pengertian) dan denotasi (hal yang ditunjuk). 53 Dakwah
sebagai symbol/konsep, realisasi nilai-nilai Islam dalam tataran kehidupan sosial (konotasi),
dan kehidupan masyarakat yang adil, makmur, sejahtera lahir dan batin yang diridlai Allah
sebagai realitas (denotasi). Keserasian hubungan antara symbol, konotasi, dan denotasi
dalam rumusan sebuah konsep menunjukkan kualitas konsep uang dihasilkan. Ternyata para
penulis dakwah masih menunjukkan adanya kesengajaan dalam memahami hubungan antara
symbol, konotasi, dan denotasi, hal ini menyebabkan munculnya dua pola pengertian
pemikiran dakwah. Pertama, dakwah diberi pengertian tabligh/penyiaran/penerangan agama.
Kedua, dakwah diberi pengertian semua usaha untuk merealisasikan ajaran Islam dalam
tataran kehidupan sosial. Pengertian pertama terkesan terlalu sempit sehingga tidak mampu
menghubungkan antara simbol (konsep) dengan realitas (denotasi), sedangkan pengertian
kedua sebaliknya terlalu luas, sehingga sulit membatasi dan mengidentifikasi aktifitas
dakwah. Kerangka pemikiran semacam ini berimplikasi pada ketidak jelasan dalam
menentukan criteria unsure-unsur dakwah, seperti; kriteria da’i, pesan (materi), uslub
(metode), washilat (media), mad’u dan tujuan maupun dari aspek bentuk dakwah seperti;
irsyad (internalisasi dan bimbingan), tabligh (transmisi dan penyebaran) tadbir (rekayasa
sumber daya manusia), dan tathwir (pengembangan kehidupan dalam aspek kultur
universal).54
53
Herbert L. Searles, Logika dan Metode-metode Ilmiah, Terjemahan Soepono Soemargono dan Sri
Badiati, Yogyakarta: Dua Demensi, tt, hal. 27.
54
Amrullah Ahmad, Metodelogi Seminar Dakwah Islamiyah, Orientasi, Masalah dan teknik,
Yogyakarta: Masyarakat Studi Ilmu dan Teknologi Dakwah, 1987, hal. 100.
Kriteria da’i adalah mereka yang aktif berceramah/berkhutbah melalui mimbar, pada
hal aktifitas semacam itu lebih tepat disebut mubaligh/khotib. Berangkat dari wawasan umat
bahwa dakwah adalah tabligh, maka tradisi dakwah adalah ceramah,/pidato di atas mimbar.
Tradisi dakwah semacam ini mengakibatkan dakwah Islam hanya mampu memasuki
“wilayah pingir” dari system kepribadian dan kehidupan sosial. Budaya dakwah semacam ini
dapat dikatakan sebagai budaya dakwah oral yang hamper tidak pernah memberikan jawaban
secara
konkrit
atas
permasalahan
dakwah.
Pemaknaan
dakwah
hanya
sekedar
tabligh/penyampaian diperkuat dengan anggapan bahwa tugas Nabi dan Rasul hanyalah
menyampaikan risalah Tuhan sedangkan hidayah/petunjuk, mutlak milik Allah.55 Keimanan
maupun kekafiran seseorang termasuk dalam kategori takdir Tuhan.
Pengertian dakwah pola kedua, bahwa dakwah tidak identik dengan tabligh, tetapi
meliputi semua ikhtiyar mewujudkan ajaran Islam dalam segala aspek kehidupan sosial,
dalam konteks ini tabligh merupakan bagian dari dakwah Islam, karena itu pengertian kedua
ini terlihat terlalu luas yang masih memerlukan batasan-batasan sehingga dakwah dapat
dibedakan secara spesifik dengan kegiatan lain. Pengertian ini didukung oleh Abu Zahrah
yang memberikan kriteria bahwa suatu kegiatan dapat disebut dakwah jika merupakan sistem
usaha bersama orang beriman dalam rangka mewujudkan ajaran Islam dalam semua segi
kehidupan sosiao-kultural yang dilakukan melalui lembaga-lembaga dakwah, sedangkan
tabligh merupakan penyiaran dan penyampaian Islam agar dianut individu masyarakat yang
dilakukan oleh individu maupun kolektif baik melalui lisan maupun tulisan. Tabligh
55
Hidayah sepenuhnya milik Allah, Nabi tidak memiliki kewenangan untuk mengislamkan seseorang
sekalipun terhadap pamannya sendiri;
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi
petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima
petunjuk (al-Qashas; 56).
merupakan bagian dari sistem dakwah yang dilakukan oleh para ahli semua profesinya.
Pandangan semacam inimengandung pemahaman bahwa dakwa memerlukan organisasi
untuk menunaikan fardlu kifayah. Terbentuknya lembaga dakwah berangkat dari kesadaran
individu untuk melaksanakan tabligh yang kemudian berkembang menjadi kesadaran
kolektif untuk melaksanakan dakwah dalam suatu sistem tertentu dan dalam lembaga
dakwah. Berdasarkan pengertian kedua ini menghendaki adanya gerakan dakwah yang
bersifat professional.56
Nabi secara eksplisit tidak pernah memberikan batasan menengah dakwah baik dari
ucapan maupun perilakunya, karena itu para ulama berijtihad untuk memberikan pengertian
dakwah. Mereka berusaha mengidentifikasi tindakan-tindakan tertentu yang masuk dalam
cakupan makna dakwah sejajar dengan peluang yang dimungkinkan untuk mencari
legitimasi agama dalam meletakkan dakwah sesuai dengan kemauannya, yakni dengan cara
melaksanakan makna dakwah. Inilah yang menyebabkan pemaknaan dakwah mengalami
penyempitan dan di sisi lain mengalami perluasan.57
Dalam pengertian agama, dakwah mengandung arti panggilan Tuhan dan RasulNya untuk umat manusia agar mempercayai ajaran Islam dan mewujudkan ajaran itu dalam
segala segi kehidupannya. Tugas semua Nabi dan Rasul termasuk Nabi Muhammad adalah
mendakwahkan agama. Dalam pengertian ini dakwah antara lain didefinisikan sebagai
ajarakan kepada orang lain agar menerima ajaran perseorangan atau kelompok yang
56
Dakwah bersifat profesioanal. Jika ukuran profesional adalah pekerjaan dan ketrampilan, maka
dakwah profesional adalah dakwah yang mengharuskan keterlibatkan da’i dalam pengelolaan sistem dakwah
bukan sebagai pekerjaan sambilan, tetapi sebagai pekerjaan utama dengan mengerahkan semua ketrampilan dan
intelektualitas yang dimiliki untuk memfungsikan sistem dakwah. Dalam praktek dewasa ini dakwah belum
bersifat profesioanal karena keterlibatan da’i dan muballigh dalam lembaga dakwah masih sebatas pekerjaan
sambilan, hal ini berakibat kurang adanya konsisten dalam mengamati permasalahan, penyusunan program,
pelaksanaan mamagerial dan evaluasi kegiatan.
57
Muhammad Sulthon, Menjawab Tantangan Zaman, Desain Ilmu Dakwah, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003, hal. 13.
mengkalim sebagai penguasa, karena kekuasaan diyakini sebagai hak mereka dan merupakan
bagian dari kepercayaan agama. 58
Merujuk kepada beberapa praktek sejarah umat Islam klasik, istilah dakwah juga
dipakai untuk menunjuk suatu wilayah tertentu yang dinyatakan telah setia dengan
pemnerintahan pusat. Dakwah adalah doktrin , madzhab dan sekte. Di samping pengertian
keagamaan pada masa modern, istilah dakwah menemukan pengertian keagamaan . max
Muller (1873), memperkenalkan system klasifikasi agama ke dalam agama dakwah dan
agama non dakwah.
59
Dengan klasifikasi ini, dakwah disamping bermakna penyiaran
agama (tabligh), istilah itu juga menunjuk pada pengalaman ajaran agama. Perkembangan ini
mendorong kaum muslimin mendirikan lembaga pendidikan dakwah lintas negara. Pada
tahun 1912 didirikan lembaga pendidikan dakwah di Kairo dengan nama “Dar al-Dakwat wa
al-Irsyad”.
60
Perkembangan ini menunjukkan bahwa dakwah difahami sebagai wacana
akademik yang tidak selalu diabdikan untuk kepentingan praktis, akan tetapi diarahkan pada
upaya akademik dalam rangka pengembangan kehidupan beragama.
Dalam pengertian keagamaan, dakwah memasukkan aktifitas tabligh (penyiaran),
tathbiq (penerapan/pengalaman) dan tandzim (pengelolaan). Dalam pengertian semacam ini
dakwah tidak akan selasai jika hanya dilakukan secara individual, karena dakwah bukan
hanya untuk mad’u non muslim saja, akan tetapi juga ditujukan kepada yang muslim.
58
Dilingkungan Sunni, seperti dimainkan oleh dinasti Abbasiyah dalam perebutan kekuasaan dengan
dinasti Umayyah disebut sebagai gerakan dakwah dengan slogon “ridla min Ali Muhammad”. Di kalangan
Syi’ah gerakan dakwah ditujukan untuk setia dan taat kepada pemimpin, gerakan dakwah syi’ah ini telah
melahirkan kerajaan Qaramithah Ismailiyah 902-907 M yang berpuncak pada berdirinya dinasti Fathimiyah di
Afrika Utara dan mencapai puncak keemasannnya di Mesir.
59
Larry Poston, Islamic Dakwah in The West, Muslim: Mission ary Activity and the Dynamics
Conversion to Islam, New York: Oxford University Press, 1992, hal. 3-4.
60
M. Canard, “Dakwah” dalam B. Lewis, CH Pellat and J Schact, The Encyclopaedia of Islam, II,
Leiden: EJ. Brill, 1965, hal. 170. Harun Nasution menyatakan bahwa nama lembaga ini adalah “madrasah alDakwah wa al-Irsyad” didirikanpada tahun 1912 namun segera ditutup karena perang dunia ke II. Harun
Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Risalah, 1984, hal. 39-40.
Kepada orang muslim dakwah berfungsi sebagai proses peningkatan kualitas penerapan
ajaran agama sedangkan untuk non muslim fungsi dakwah memperkenalkan dan mengajak
mereka agar mau memeluk Islam secara sukarela. Penerimaan secara sukarela bagi mad’u
non muslim ini menjadi syarat dalam gerakan dakwah, karena Rasulullah saw sendiri tetab
membiarkan kaum Ahli Kitab yang tidak mau menerima dakwahnya untuk tetap pada agama
mereka. Dakwah dilakukan bagaikan seminar akademik dalam skala luas, siapa saja yang
mengetahui lebih baik bebas untuk menceritakan dan meyakinkan orang lain, sementara
orang lain bebas mendengarkan dan meyakini.
Perluasan
pemaknaan
dakwah
adalah
aktivitas
yang
berorientasi
pada
pengembangan masyarakat muslim, antara lain dalam bentuk peningkatan kesejahteraan
sosial. Ide pengembangan masyarakat sebagai bagian dari cakupan dakwah pada dasarnya
merupakan alternatif baru atas dominasi pemaknaan dakwah bagi kepentingan politikkeagamaan. Gagasan pengembangan pemaknaan dakwah dengan memasukkan unsure
pengembangan masyarakat ditolak oleh sebagian intelektual Barat, Dele F. Eickelman dan
James Piscatori, mereka berpandangan bahwa ide kesejahteraan sosial masuk dalam cakupan
dakwah adalah penambahan ide lain ke dalam pengertian dakwah. Pandangan mereka
tentang Redefinisi dakwah yang memasukkan ide-ide aktivitas kesejahteraan sosial adalah:
Sekarang tradisi dakwah telah mulai direformulasi ulang dalam satu cara yang halus tetapi
penting. Pendidikan masih berperan sentral dan bahkan pola-pola politisasi telah terulang
kembali. Sebagia contoh kelompok Syi’ah di Irak yang beroposisi terhadap pemerintahan
Saddam Hussein (lahir 1973) memunculkan nama Hizb al-Da’wat al-Islamiyat (Partai
Dakwah Islam). Sementara salah satu sarana utama penyebaran agama dan ide-ide politik di
libia adalah Jam’iyat al-Dakwat al-Islamiyat (Organisasi Dakwah Islamiyah). Bahkan tradisi
dakwah juga sedang didefinisikan ulang guna memasukkan ide-ide tentang aktivitas
kesejahteraan sosial, klinik kesehatan gratis, bantuan orang makan miskin, subsidi
perumahan dan bantuan modal usaha kecil yang seringkali menggantikan pelayanan
pemerintah yang kurang efektif atau bahkan tidak ada.61
Mereka memberikan contoh beberapa lembaga dakwah yang berorientasi
pengembangan
masyarakat
Islam,
di
antaranya
Hizbullah
(Partai
Islam)
telah
mengembangkan sistem kesejahteraan sosial secara luas di Libanon yang melibatkan
dakwah, pendidikan, pertanian,. Medis, dan bantuan perumahan. Di distrik Bir al-‘Abid,
Bairut Hizbullah telah menjalankan koperasi dan supermarket yang menjual produk dengan
harag di bawah harga eceran, menyediakan beasiswa, mengelola klinik-klinik kesehatan dan
memberi subsidi perumahan kepada orang yang membutuhkan. Di Amerika Serikat
American Muslim Council (1992) menekankan perlunya lembaga pelayaan sosial. Jama’ah
Nashr al-Islam (Jama’ah untuk Kemenangan Islam) di Negeria Utara mengoprasionalkan
klinik-klinik kesehatan dan kelompok bantuan yang fungsinya mirip dengan Palang Merah.
ABIM (Angkatan Belia Islam Malaysia) dan Darul Arqam di Malaysia telah membuka klinik
kesehatan umum, peternakan dan pabrik untuk memproduksi makanan halal, pasta gigi dan
sabun.
Orientasi dakwah pada pengembangan masyarakat Islam dapat mengambil pola
dakwah cultural dakwah politik dan dakwah ekonomi. Dakwah kultural adalah aktivitas
dakwah yang menekankan pendekatan Islam cultural. Islam kultural adalah salah satu
pendekatan yang berusaha meninjau kembali kaitan doktrinal antara Islam dan politik atau
61
Dele F. Eickelman dan James Piscatori, Ekspresi Politik Muslim, terj. Rofiq Suhud, Bandung:
Mizan, 1998, hal: 48.
Islam dengan negara. Negara sebagai instrumen pengalaman ajaran agama. Dakwah politik
adalah gerakan dakwah yang ada dalam kekuasaan. Aktivitas dakwah politik bergerak
mendakwahkan ajaran agama guna menjadikan Islam sebagai ideology negara, nilai-nilai
Islam melekat pada kehidupan politik bangsa, negara dipandang sebagai alat/sarana dakwah
yang paling strategis.
Identifikasi dakwah dalam kaitannya dengan peningkatan kesejahteraan sosial,
dakwah ekonomi adalah upaya mewujudkan nilai-nilai ajaran Islam yang dapat berfungsi
meningkatkan sosial ekonomi umat. Ajaran-ajaran Islam dalam kategori itu antara lain: jual
beli, musaqah, muzara’ah, zakat, infaq, sadaqah, wakaf, qurban, aqiqah, dam, kafarat dan
sebagainya. Ajaran-ajaran tersebut dapat ditemukan relevansinya dengan proses produksi,
distribusi dan pemanfataan barang dan saja. Dengan demikian dakwah ekonomi berdasarkan
isi pesan dan tujuannya dapat dirumuskan sebagai kegiatan dakwah yang berusaha
mengimplesmentasikan ajaran Islam yang berhubungan dengan proses ekonomi guna
meningkatkan taraf hidup masyarakat.62
5. Dakwah Kultural, Struktural dan dakwah Integratif
Masyarakat Islam pada masa Nabi merupakan hasil konkrit bagi gerakan dakwah.
Tugas pokok kenabian dan kerasulan Muhammad adalah menyampaikan risalah Tuhan
kepada umat manusia. Dalam konteks ini kegiatan dakwah dapat mengambil tiga bentuk
pendekatan dakwah integratif.
Dakwah kultural adalah aktivitas dakwah yang menekankan pendekatan Islam
kultural. Islam kultural adalah salah satu pendekatan yang berusaha meninjau kembali kaitan
62
Muhammad Sulthon, Menjawab Tantangan Zaman, Desain Ilmu Dakwah, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003, hal. 13.
doctrinal yang formal antara Islam dan politik atau Islam dan negara. Hubungan antara Islam
dan politik atau Islam dan negara termasuk wilayah pemikiran ijtihadiyah, hal ini tidak
menjadi persoalan serius ketika sistem kekhalifahan masih bertahan di dunia Islam, namun
setelah peradaban Barat menguasai dunia Islam dan sistem kekhalifahan diganti dengan
nilai-nilai kebangsaan sebagai dasar negara maka hubungan Islam dan negara menjadi
bagian persoalan serius. Sebagian kaum muslimin berpendapat bahwa sistem kekhalifahan
itu merupakan bagian dari ajaran Islam yang diwariskan oleh Rasulullah saw, karena itu
hubungan doctrinal secara formal. Tujuan final gerakan dakwah adalah memperjuangkan
tegaknya negara bangsa berdasarkan Syari’at agama.
Dakwah struktural adalah gerakan dakwah yang berada dalam kekuasaan. Aktivitas
dakwah struktural bergerak mendakwahkan ajaran Islam dengan memanfaatkan struktur
sosial, politik maupun ekonomi yang ada guna menjadikan Islam sebagai ideologi negara.
Nilai-nilai Islam terintegrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Negara dipandang
sebagai alat dakwah yang paling strategis. Dalam prespektif dakwah structural, negara
merupakan instrument paling strategis dan menentukan dalam kegiatan dakwah.
Adanya interaksi peradaban Barat dan peradaban Islam, setelah dakwah
menemukan kembali pengertian keagamaan secara kultural. Dakwah memasukkan aktivitas
penyiaran (tabligh), pendidikan dan pengembangan masyarakat sesuai dengan nilai-nilai
Islam, baik untuk mad’u muslim maupun non muslim. Untuk masyarakat muslim, dakwah
berfungsi sebagai proses peningkatan kualitas penerapan ajaran agama, sedangkan untuk non
muslim fungsi dakwah mengajak dan mengenalkan Islam agar mereka mau masuk Islam
dengan sukarela. Penerimaan secara sukarela bagi mad’u non muslim menjadi prioritas
serius sebagaimana ditunjukan oleh Rasulullah SAW. Dakwah dilaksanakan semacam
seminar akademis dalam skala luas, siapapun dalam mengikuti dan bebas menentukan
pilihan sesuai dengan keyakinan mereka. 63
Dalam pengertian pengembangan masyarakat muslim, dakwah antara lain berbentuk
peningkatan kesejahteraan sosial. Bagi kaum muslim ide pengembangan masyarakat sebagai
bagian dari cakupan dakwah bukanlah ide lain yang dimasukkan dalam dakwah. Penalaran
semacam ini telah muncul sejak awal gerakan dakwah, namun pernah tertutup oleh dominasi
aktivitas dakwah struktural. Hal ini sangat berbeda dengan pendapat Dale F. Eickelman dan
James Piscatori yang mengatakan bahwa redifinisi dakwah telah memasukkan ide-ide lain
tentang kesejahteraan sosial.64
Dakwah kultural memiliki dua fungsi utama yaitu fungsi ke atas dan fungsi ke
bawah. Fungsi dakwah kultural ke lapisan atas antara lain tindakan dakwah yang diarahkan
sebagai jembatan (fasilitator) dalam mengartikulasikan aspirasi masyarakat terhadap
penguasa. Fungsi ini dijalankan bardasarkan anggapan bahwa masyarakat kurang mampu
mengekspresikan aspirasi mereka serta ketidakmampuan anggota parlemen dengan
sepenuhnya mengartikulasikan aspirasi rakyat. Fungsi ini berbeda dengan pola dakwah
struktural, karena menekankan pada tersalurnya aspirasi masyarakat bawah ke kelangan
penentu kebijakan. Dakwah kultural semacam ini tetap menekankan posisinya di luar
kekuasaan dan tidak bermaksud mendirikan negara Islam dan tidak menekankan pada
Islamisasi negara dan birokrasi pemerintah. Termasuk fungsi dakwah kultural ke lapisan atas
ini, adalah mempelajari berbagai kecenderungan masyarakat yang sedang berubah ke arah
63
Isma’il al-Faruqi, Sifat Dasar Dakwah Islamiyah, dalam Ahmad Von Deffer an Emilio Castro, (ed),
Dakwah Islam dan Misi Kristen, Sebuah Dialog Internasional, terj. Achmad Noer. Z., Bandung: Risalah, 1984,
hal. 39-40.
64
Dale F. Eickelman dan James Piscatori, Ekspresi Politik Muslim, Risalah Cendikiawan Muslim,
Bandung: Mizan, 1998, hal. 48-49.
modernisasi sebagai langkah strategis mengantisipasi perubahan sosial yang ada, karena
dalam proses perubahan dikhawatirkan akan memisahkan individu dalam keluarga,
komunitas dan lembaga, keagamaan yang akan mengakibatkan proses keterasingan dan
kehilangan pegangan. Sekalipun di satu pihak terlihat kemajuan dalam kehidupan
keagamaan, namun di sisi lain masih terlihat proses sekulerisasi di berbagai sektor yang
membutuhkan perhatian dakwah Islam. 65
Fungsi dakwah kultural yang bersifat ke bawah berarti penyelenggaraan dalam
dakwah bentuk penterjemahan ide-ide intelektual tingakat atas bagi umat Islam serta rakyat
pada umumnya untuk membawakan transformasi sosial, dengan mentransformasikan ide-ide
tersebut ke dalam konsep-konsep operasional yang dapat dikerjakan masyarakat. Termasuk
fungsi utma pola dakwah ini adalah penerjemahan sumber-sumber agama (al-qur’an dan
hadist) sebagai way of life. Transformasi ini bukan hanya dalam istilah teologi, tetapi juga
dalam konsep sosial yang lebih operasional.
Secara esensial, dakwah berkaitan dengan bagaimana membangun dan membentuk
masyarakat yang baik. Berpijak pada nilai-nilai kebenaran dan hak-hak asasi manusia.
Dalam pengertian non konvensional istilah dakwah dapat berhubungan secara kulturalfungsional dengan penyelesaian problem-problem kemanusiaan, termasuk problem sosial.
Beberapa strategi di bawah ini dapat dijadikan alternatif bagi pengembangan dakwah
kultural agar dapat menyelesaikan beberapa problem yang ada:
a. dakwah harus dimulai dengan mencari “kebutuhan masyarakat”. Kebutuhan yang
dimaksud bukan hanya kebutuhan yang secara obyektif memang memelukan
65
Dawam Raharjo, Intelektual, Intelegensia, Cendikiawan Muslim, Risalah Cendikiawan Muslim,
Bandung: Mizan, 1998, hal. 48-49.
pemenuhan.tetapi juga kebutuhan yang dirasakan oleh masyarakat yang perlu
mendapat perhatian.
b. Dakwah dilakukan secara terpadu, dengan pengertian bahwa berbagai aspek
kebutuhan amsyarakat dapat djangkau oleh program dakwah. Apat melibatkan
berbagai unsur yang ada dalam masyarakat.
c. Dakwah dilakukan dengan pendekatan partisipatoris, dalam pengertan ide yang
ditawarkan mendapat kesepakatan masyarakat dan atau ide masyarakat itu sendiri.
Memberi peluang bagi keikutsertaan masyarakat dalam perencanaan dan
keterlibatan mereka dalam pelaksanaan rogram dakwah.
d. Dakwah dilaksanakan melalui proses sistematis pemecahan masalah. Program
dakwah yang dilakukan masyarakat sejauh mungkin diproses menurut langkah
pemecahan masalah, dengan demikian masyarakat dididik untuk bekerja secara
berencana, efisien dan mempunyai tujuan yang jelas.
e. Dakwah memanfaatkan teknologi yang sesuai dan tepat guna.
f. Program dakwah dilaksanakan melalui tenaga da’i yang bertindak sebagai
motivator, baik dilakukan oleh tenaga terlatih dari lembaga atau organisasi
masyarakat ang berpartisipasi maupun dari luar daerah setempat yang adaptif.
g. Program dakwah didasarkan atas asas swadaya dan kerjasama masyarakat.
Pelaksanaan program dakwah harus berangkat dari kemampuan diri sendiri dan
merupakan kerjasama dari potensi yang ada.66
Beberapa strategi tersebut pada dasarnya suatu ihtiar kultural agar fungsi dakwah
bercorak fungsional. Paling tidak ada tiga faktor yang memungkinkan dakwah dapat
66
Muhammad Sulthon, Menjawab Tantangan Zaman, Desain Ilmu Dakwah. (Yogyakarta: pustaka
Pelajar, 2003) h. 36
menampilkan Islam secara kultural, yaitu: watak keuniversalan, kerahmatan dan kemudahan
Islam. Dakwah kultural melibatkan kajian antar disiplin ilmu dalam rangka meningkatkan
serta memberdayakan masyarakat. Aktifitas dakwah kultural meliputi seluruh aspek
kehidupan, baik aspek sosial, budaya, pendidikan, ekonomi, kesehatan maupun alam sekitar.
Keberhasilan dakwah kultural ditandai dengan teraktualisasikan dan terfungsikannya nilainilai Islam dalam kehidupan pribadi, rumah tangga, kelompok sosial dan masyarakat.
Dakwah integratif, dua konsep pendekatan dakwah baik pendekatan dakwah
struktural maupun pendekatan dakwah kultural. Jika dilakukan secara ekstrim justru Dakwah
Integratif, dua konsep pendekatan dakwah baik pendekatan dakwah structural maupun
dakwah cultural jika dilakukan secara ekstrim justru akan menimbulkan dua kelompok
masyarakat yang memiliki karakter berbeda. Secara internal kemungkinan terjadinya
disintegrasi umat semakin besar. Karena itu pendekatan integratif dakwah dalam rangka
menciptakan, menjaga dan mempertahankan kesatuan dan persatuan umat sangat diperlukan.
Pendekatan dakwah integratif secara substansial adalah perpaduan antara dua pendekatan
dakwah baik structural maupun cultural, karena kedua pendekatan tersebut bukanlah suatu
yang bersifat dikotomik-kontradiktif. Dalam praktek kedua pendekatan dapat saling
melengkapi, bahkan secara ideal keduanya terintegrasi dalam satu pendekatan yang terpadu.
Keterpaduan ini diperlukan agar konsep yang dihasilkan mempunyai relevansi idealis
(normatif) dan sekaligus relevansi empiric. Relevansi iseadlis diperlukan agar konsep tidak
hanyut dalam arus dinamika peruahan masyarakat, sedangkan relevansi empiric diperlukan
agar konsep tidak merupakan suatu utopia yang mengawang.
Pendekatan integratif mempunyai pemaknaan lain, yaitu usaha mengidentifikasi
maslah dakwah kontemporer hanyalah langkah awal, langkah selanjutnya adalah bagaimana
membawa masyarakat yang ada ke bawah naungan wahyu, karena itu pendekatan integratif
dakwah meliputi seluruh aspek dakwah, seperti; da’i, materi, metode, media dan sebagainya.
Dengan ungkapan lain pendekatan dakwah integratif adalah suatu pendekatan transformatif.
Pendekatan transformatif dakwah dapat dilakukan dengan melihat model apa yang
diberikan al-Qur’an dan dakwah Rasulullah. Biografi atau sirah rasul menunjukkan bahwa
kepekaan dan apresiasi Muhammad SAW terhadap isu dan masalah komunitas di
sekelilingnya sangat tinggi. Nabi menunjukkan keteladanan pendekatan kedua-duanya di
atas, akan tetapi Nabi juga dibekali dengan visi tentang what is to be done dan itu diperoleh
dari ajaran tauhid. Gabungan antara visi dan kepekaan itu menghasilkan gagasan tentang
dakwah yang bersumber dari wahyu dan di lain memiliki nilai transformasional. Bangunan
konsep dakwah integratif diambil dari sikap Rasulullah dalam menghadapi tantangan
dakwah pada saat Rasulullah ditawari tiga alternatif oleh tokoh-tokoh kafir Quraisy Makkah
untuk menghentikan dakwahnya: apakah Rasul pilih jadi penguasa (raja), kekayaan (harta),
atau wanita.67 Semua itu ditolak. Orientasi gerakan dakwah Rasul bukan Negara dan
kekuasaan, walaupun Negara dan kekuasaan pada akhirnya ada padanya, dan bukan harta,
walaupun akhirnya ia menyertainya. Dan bukan pula kehormatan.
6. Tugas Pokok Dan Fungsi Kenabian
Manusia diciptakan Allah dengan dibekali kelebihan akal, agar dengan akalnya ia
dapat membedakan mana yang baik bagi dirinya dan mana yang buruk. Dengan akalnya
diharapkan dapat melakukan apa yang seharusnya dilakukan dan meninggalkan apa yang
seharusnya ditinggalkan. Tetapi akal yang diberikan kepada manusia memiliki sifat-sifat
kelemahan dan keterbatasan, apalagi untuk memahami hal-hal yang berada di luar jangkauan
akal itu sendiri. Karena itu untuk memperoleh kebenaran tidak cukup hanya menggunakan
kemampuan akal saja.
67
Ibn Hisyam, Sirat al-Nabawiyat, juz II, hal 49
Allah mengutus para Rasul dan Nabi untuk memberikan bimbingan dan penyuluhan
kepada manusia agar mereka mencapai kebenaran yang dikehendaki Allah, seandainya
dengan akalnya manusia dapat mencapai kebenaran itu, tentu tidak akan ada manfaatnya
Allah mengutus para Nabi dan Rasul. Hal ini menunjukkan bahwa hanya dengan akalnya
saja manusia tidak dapat mencapai kebenaran yang dikehendaki Allah.
Tugas pokok para Nabi dan Rasul dapat dilihat dari wajtu, karena status mereka
adalah utusan Allah yang membawa misi kenabian dan kerasulan, di antara tugas-tugas
pokok tersebut adalah:68
a. Menyeru manusia agar mengabdi (beribadah) hanya kepada Allah swt. Beribadah berarti
tunduk, taat dan patuh hanya kepada-Nya. Inilah inti mentauhidkan Allah dan menjauhi
kemusyrikan. Karena itu inti dakwah para Nabi hanyalah satu, yaitu membebaskan
manusia dari kemusyriakan dan mengajak kepada keyakinan tauhid.69 Di samping aspek
keyakinan tauhid juga aspek ketaatan.70
b. Menyampaikan ajaran Allah kepada umat manusia.
Syar’at Allah baik yang berkenaan dengan masalah keyakinan/aqidah, hukum-hukum
dan akhlak harus disampaikan kepada manusia. Sedangkan yang bertugas menyampikan
misi ketuhanan tersebut adalah mereka yang telah dipilih Allah untuk melaksanakan
68
Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997, hal. 27-23
Misi kerasulan dan Kenabian adalah mengajak manusia untuk mentauhidkan Allah, al-Anbiya’; 25
{25} ِ‫وَﻣَﺂأَرْﺳَﻠْﻨَﺎ ﻣِﻦ ﻗَ ﺒْﻠِﻚَ ﻣِﻦ رﱠﺳُﻮلٍ إِﻻﱠﻧُﻮﺣِﻲ إِﻟَﯿْﮫِ أَﻧﱠﮫُ ﻵ إِﻟَﮫَ إِﻵ أَ ﻧَﺎ ﻓَﺎﻋْﺒُﺪُون‬
Dan Kami tidak mengutus seorang rasul sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya:"Bahwasanya
tidak ada Ilah (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku".
70
Perintah menjauhi Thaghut, an-Nahl; 36:
َ‫ﻀﻼَﻟَﺔُ ﻓَﺴِﯿﺮُوا ﻓِﻲ اْﻷَرْضِ ﻓَﺎﻧﻈُﺮُوا ﻛَﯿْﻒ‬
‫وَﻟَﻘَﺪْ ﺑَﻌَﺜْﻨَﺎ ﻓِﻲ ﻛُﻞﱢ أَﻣﱠﺔٍ رﱠﺳُﻮﻻً أَنِ اﻋْ ﺒُﺪُوا اﷲَ وَاﺟْﺘَﻨِﺒُﻮا اﻟﻄﱠﺎﻏُﻮتَ ﻓَﻤِ ﻨْﮭُﻢ ﻣﱠﻦْ ھَﺪَى اﷲُ وَﻣِ ﻨْﮭُﻢ ﻣﱠﻦْ ﺣَﻘﱠﺖْ ﻋَﻠَﯿْﮫِ اﻟ ﱠ‬
{36} َ‫ﻛَﺎنَ ﻋَﺎﻗِ ﺒَﺔُ اﻟْﻤُﻜَﺬﱢﺑِﯿﻦ‬
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah
(saja), dan jauhilah Thagut itu", maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan
ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya.Maka berjalanlah kamu di muka bumi
dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).
69
tugas menyiarkan syari’at-Nya.71 Secara tegas Tuhan memerintahkan kepada Nabi
Muhammad untuk menyampaikan syari’at kepada seluruh umat manusia.72
c. Memberikan Hidayah Kepada Manusia
Tugas Nabi dan Rasul adalah memberi hidayah kepada umat manusia agar mereka dapat
meniti jalan yang benar (al-shirath al-mustaqim). Hidayah (petunjuk) secara umum
terbagi menjadi dua, yaitu hidayah dalam pengertian taufiq dan hidayah dalam
pengertian bimbingan dan penerangan (al-Irsyad wa al-Bayan). Taufiq adalah
menciptakan kekuatan untuk manusia agar taat kepada Allah, hidayah dalam pengertian
taufiq ini merupakan kewenangan mutlak Allah.73 Sedangkan hidayah dalam pengertian
bimbingan dan penerangan dapat dilakukan oleh selain Allah dan bahkan merupakan
tugas pokok semua Nabi dan Rasul-Nya.74
d. Memberikan teladan yang baik
71
Nabi dan Rasul adalah manusia pilihan Allah yang diberi tugas menyampaikan ajaran-ajaran-Nya
kepada manusia, al-Ahzab; 39
{39} ‫ﻦ ﯾُﺒَﻠﱢﻐُﻮنَ رِﺳَﺎﻻَتِ اﷲِ وَ ﯾَﺨْﺸَﻮْﻧَﮫُ وَﻻَ ﯾَﺨْﺸَﻮْنَ أَﺣَﺪًا إِﻻﱠ اﷲَ وَﻛَﻔَﻰ ﺑِﺎﷲِ ﺣَﺴِﯿﺒًﺎ‬
َ ‫اﻟﱠﺬِﯾ‬
(yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada
merasa takut kepada seorang (pun) selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai Pembuat Perhitungan.
72
Perintah ini secara eksplisit tertera dalam surat al-Maidah; 67:
{67} َ‫* ﯾَﺎأَ ﯾﱡﮭَﺎ اﻟﺮﱠﺳُﻮْلُ ﺑَﻠِّﻎْ ﻣَﺂ أُ ﻧْﺰِلَ إِﻟَﯿْﻚَ ﻣِﻦْ رﱠﺑِّﻚَ وَإِنْ ﻟﱠﻢْ ﺗَﻔْﻌَﻞْ ﻓَﻤَﺎ ﺑَﻠﱠﻐْﺖَ رِﺳَﺎﻟَﺘَﮫُ وَاﷲُ ﯾَﻌْﺼِﻤُﻚَ ﻣِﻦَ اﻟﻨﱠﺎسِ إِنﱠ اﷲَ ﻻَ ﯾَﮭْﺪِي اﻟْﻘَﻮْمَ اﻟْﻜَﺎﻓِﺮِﯾْﻦ‬
Hai Rasul, sampaikan apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang
diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan)
manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.
73
Hidayah dalam pengertian taufiq, al-Qashas; 56
{56} َ‫إِ ﻧﱠﻚَ ﻻَ ﺗَﮭْﺪِي ﻣَﻦْ أَﺣْﺒَ ﺒْﺖَ وَﻟَﻜِﻦﱠ اﷲَ ﯾَﮭْﺪِي ﻣَﻦ ﯾَﺸَﺂءُ وَھُﻮَ أَﻋْﻠَﻢُ ﺑِﺎﻟْﻤُﮭْﺘَﺪِﯾﻦ‬
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi
petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima
petunjuk.
74
Tugas Nabi dan Rasul untuk memberikan hidayah dalam pengertian penerangan dan penjelasan, alSyura; 52:
ٍ‫وَﻛَﺬَﻟِﻚَ أَوْﺣَﯿْﻨَﺂ إِﻟَﯿْﻚَ رُوﺣًﺎ ﻣﱢﻦْ أَﻣْﺮِﻧَﺎ ﻣَﺎﻛُﻨﺖَ ﺗَ ْﺪرِي ﻣَﺎ اﻟْﻜِﺘَﺎبُ وَﻻَ اْﻹِﯾﻤَﺎنُ وَﻟَﻜِﻦ ﺟَﻌَﻠْ ﻨَﺎهُ ﻧُﻮرًا ﻧﱠﮭْﺪِي ﺑِﮫِ ﻣَﻦ ﻧﱠﺸَﺂءُ ﻣِﻦْ ﻋِ ﺒَﺎدِﻧَﺎ وَإِ ﱠﻧﻚَ ﻟَ ﺘَﮭْﺪِي إِﻟَﻰ ﺻِﺮَاط‬
{52} ٍ‫ﻣﱡﺴْﺘَﻘِﯿﻢ‬
Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (al-Qur'an) dengan perintah Kami.Sebelumnya kamu
tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (al-Qur'an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami
menjadikan al-Qur'an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hambahamba Kami.Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.
Penyampaian risalah melalui tabligh terasa belum cukup, manusia memerlukan
keteladanan sehingga mereka mudah mengikutinya, karena itu salah satu tugas pokok
Nabi dan Rasul adalah menjadi teladan bagi umatnya. 75
e. Memberi peringatan tentang kehidupan akhirat.
Di antara tugas pokok para Nabi dan Rasul adalah memberi peringatan tentang adanya
kehidupan akhirat, karena hal ini akan dapat merubah orientasi kehidupan manusia.76
f. Mengubah orientasi hidup.
Dalam prinsip keyakinan agama Islam kehidupan ini bukan hanya di dunia akan tetapi
ada juga kehidupan akhirat, bahkan kehidupan akhirat lebih penting dibandingkan
kehidupan dunia, karena itu tugas pokok Nabi dan Rasul adalah mengubah orientasi
kehidupan manusia kepada keidupan akhirat.77
7. Unsur-Unsur Gerakan Dakwah
Masyarakat Madinah yang dibentuk oleh Nabi melalui gerakan dakwah ini
merupakan embrio bagi lahirnya Imperium Islam dunia yang mampu berkuasa selama
kurang lebih sepuluh abad.
Unsur-unsur dakwah yang dapat menunjang tercapainya tujuan dakwah di antaranya
adalah; kualitas tenaga da’i, materi, metode, sarana dan fasilitas.
75
Q.S al-Ahzab; 21:
{21} ‫ﻟﱠﻘَﺪْ ﻛَﺎنَ ﻟَﻜُﻢْ ﻓِﻲ رَﺳُﻮلِ اﷲِ أُﺳْﻮَةٌ ﺣَﺴَﻨَﺔٌ ﻟﱢﻤَﻦ ﻛَﺎنَ ﯾَﺮْﺟُﻮا اﷲَ وَاﻟْﯿَﻮْمَ اْﻷَﺧِﺮَ وَذَﻛَﺮَ اﷲَ ﻛَﺜِﯿﺮًا‬
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang
mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.
76
QS. AL-an’am; 130:
‫ﯾَﺎﻣَﻌْﺸَﺮَ اﻟْﺠِﻦِّ وَاْﻹِﻧﺲِ أَﻟَﻢْ ﯾَﺄْﺗِﻜُﻢْ رُﺳُﻞٌ ﻣِﻨﻜُﻢْ ﯾَﻘُﺼﱡﻮنَ ﻋَﻠَ ﯿْﻜُﻢْ ءَاﯾَﺎ ﺗِﻲ وَﯾُﻨﺬِرُوﻧَﻜُ ْﻢ ﻟِﻘَﺂءَ ﯾَﻮْﻣِﻜُﻢْ ھَﺬَا ﻗَﺎﻟُﻮا ﺷَﮭِﺪْ ﻧَﺎ ﻋَﻠَﻰ أَﻧﻔُﺴِ ﻨَﺎ وَﻏَﺮﱠﺗْﮭُﻢُ اﻟْﺤَﯿَﺎةُ اﻟ ﱡﺪﻧْﯿَﺎ وَﺷَﮭِﺪُوا‬
{130} َ‫ﻋَﻠَﻰ أَﻧﻔُﺴِﮭِﻢْ أَ ﻧﱠﮭُﻢْ ﻛَﺎﻧُﻮا ﻛَﺎﻓِﺮِﯾﻦ‬
Hai golongan jin dan manusia, apakah belum datang kepadamu rasul-rasul dari golongan kamu sendiri, yang
menyampaikan kepadamu ayat-ayat-Ku dan memberi peringatan kepadamu terhadap pertemuanmu dengan
hari ini Mereka berkata:"Kami menjadi saksi atas diri kami sendiri", kehidupan dunia telah menipu mereka,
dan mereka menjadi saksi atas diri mereka sendiri, bahwa mereka adalah orang-orang yang kafir.
77
Orientasi kehidupan manusia muslim lebih kepada kehidupan akhirat, al-Ankabut; 64:
{64} َ‫وَﻣَﺎ َھﺬِهِ اﻟْﺤَﯿَﺎةُ اﻟﺪﱡﻧْﯿَﺂ إِﻻﱠ ﻟَﮭْﻮُ وَﻟَﻌِﺐُ وَإِنﱠ اﻟﺪﱠارَ اْﻷَﺧِﺮَةَ ﻟَﮭِﻲَ اﻟْﺤَﯿَﻮَانُ ﻟَﻮْ ﻛَﺎﻧُﻮا ﯾَﻌْﻠَﻤُﻮن‬
Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main.Dan sesungguhnya akhirat itulah
yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.
a. Kualitas da’i
Nabi sebagai pelaksana dakwah memiliki nasab yang sangat mulia dan sangat
dihormati di kalangan masyarakat Arab pada saat itu sehingga para penentang
dakwah tidak berani melakukan tindakan fisik semena-mena terhadap pribadi Nabi
karena secara legal dilindungi oleh adat yang berlaku pada saat itu. Di samping itu
Nabi memiliki empat sifat, yaitu: Shiddiq, amanat, tabligh dan fathonah.
b. Materi
Keberhasilan dakwah salah satunya sangat ditentukan oleh materi dakwah yang
mampu memberikan jawaban atas segala problematika kehidupan pada tingkat
individual maupun sosial serta mampu memberikan alternatif pilihan hidup yang
lebih baik.
Materi dakwah yang dimaksud adalah syari’at Islam secara keseluruhan yang
meliputi sistem aqidah tauhid (iman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, Rasulrasul-Nya, Kitab-kitab-Nya dan Hari Akhir), sistem ibadah (shalat, puasa, zakat dan
haji), akhlak dan sistem kehidupan meyeluruh yang meliputi sistem politik, ekonomi,
pendidikan, Sosial budaya, kesenian, pertahanan dan keamanan, serta hukum dan
perundang-undangan, sistem Jihad dan amar ma’ruf nahi munkar.
Materi dakwah ini diharapkan mampu memberikan harapan hidup sejahtera yang
penuh kedamaian, kebenaran, keadilan, persamaan, kasih sayang, tolong menolong
dan bahkan mampu menumbuhkan keyakinan akan adanya kehidupan indah yang
sangat abstrak yaitu sorga. Materi dakwah ini diharapkan juga mampu
menumbuhkan semangat jihad untuk selalu menegakkan kebenaran dan keadilan
serta memberantas kebatilan untuk selalu menegakkan kebenaran dan keadilan serta
memberantas kebatilan dan kedzaliman. Dalam dakwah tidak mengenal batas
teritorial, dalam jihad tidak mengenal pemisahan antara maslah agama dan Negara.
c. Metode
Dalam melaksanakan dakwah da’i diharapkan selalu mohon dibimbing oleh Allah di
samping melakukan ikhtiyar secara maksimal, termasuk di dalamnya metode
pelaksanaan. Petunjuk pelaksanaan dakwah di antaranya ada yang langsung dari
Allah, tidak boleh melakukan diskriminasi.78 Tidak boleh memisahkan antara ucapan
dan tindakan, tidak boleh bertoleransi dalam agama, tidak mencela tuhan mad’u.79
perintah untuk melaksanakan dakwah dengan bijaksana, mau’izhat hasanat dan
dialog yang baik. Tidak boleh memungut imbalan, tidak boleh bermesraan dengan
lawan, tidak menyampaikan hal-hal yang tidak mampu diketahui mad’u.80
d. Sarana/media
1) Bahasa; materi dakwah secara esensial dikemas dalam bahasa yang begitu indah,
yaitu al-Qur’an sebagai wahyu Allah SWT yang langsung diterima Rasul.
Pengaruh bahasa ini sangat besar terhadap keberhasilan dakwah. Di samping itu
kualitas interpretasi da’i terhadap al-Qur’an maupun hadits (Ucapan, perbuatan
dan ketentuan) Nabi harus dapat dipertanggung jawabkan.
78
Teguran Allah terhadap sikap Nabi dalam melakukan dakwah, Q.S. Abasa; 1-5:
{5} ‫{ أَﻣﱠﺎ ﻣَﻦِ اﺳْﺘَﻐْ ﻨَﻰ‬4} ‫{ أَوْ ﯾَﺬﱠﻛﱠﺮُ ﻓَﺘَﻨﻔَﻌَﮫُ اﻟﺬِّﻛْﺮَى‬3} ‫{ وَﻣَﺎﯾُﺪْرِﯾﻚَ ﻟَﻌَﻠﱠﮫُ ﯾَﺰﱠﻛَﻰ‬2} ‫{ أَن ﺟَﺂءَهُ اْﻷَﻋْﻤَﻰ‬1} ‫ﺲ وَ ﺗَﻮَﻟﻰﱠ‬
َ َ‫ﻋَﺒ‬
Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, Karena telah datang seorang buta kepadanya.Tahukah
kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa). atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran lalu
pengajaran itu memberi manfa'at kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup.
79
Nabi dilarang mencela sembahan orang-orang Arab jahiliyah, QS. Al-An’am; 108:
{108} َ‫ﻦ ﯾَﺪْﻋُﻮنَ ﻣِﻦ دُونِ اﷲِ ﻓَ ﯿَﺴُ ﺒﱡﻮا اﷲَ ﻋَﺪْوًا ﺑِﻐَﯿْﺮِ ﻋِﻠْﻢٍ ﻛَﺬَﻟِﻚَ زَﯾﱠﻨﱠﺎ ﻟِﻜُﻞﱟ أُﻣﱠﺔٍ ﻋَﻤَﻠَﮭُﻢْ ﺛُﻢﱠ إِﻟَﻰ رَ ّﺑِﮭِﻢ ﱠﻣﺮْﺟِﻌُﮭُﻢْ ﻓَ ﯿُﻨَﺒِّ ﺌُﮭُﻢْ ﺑِﻤَﺎ ﻛَﺎﻧُﻮا ﯾَﻌْﻤَﻠُﻮن‬
َ ‫وَﻻَﺗَﺴُﺒﱡﻮا اﻟﱠﺬِﯾ‬
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti
akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jaidkan setiap umat
menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Rabb mereka kembali mereka, lalu Dia memberitakan
kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.
80
QS. Al_sra’; 36:
{36} ً‫وَﻻَﺗَﻘْﻒُ ﻣَﺎﻟَﯿْﺲَ ﻟَﻚَ ﺑِﮫِ ﻋِﻠْﻢٌ إِنﱠ اﻟﺴﱠﻤْﻊَ وَاﻟْﺒَﺼَﺮَ وَاﻟْﻔُﺆَادَ ﻛُﻞﱡ أُوْﻻَ ﺋِﻚَ ﻛَﺎنَ ﻋَﻨْﮫُ ﻣَﺴْ ﺌُﻮﻻ‬
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. sesungguhnya
pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya.
2) Tempat dan lokasi; lokasi kegiatan dakwah akan sangat mempengaruhi tingkat
keberhasilan misi dakwah, misalnya Nabi memanfaatkan rumah al-Arqam bin
Abi al-Arqam sebagai tempat kegiatan dakwah. Al-Arqam bin abi al-Arqam
termasuk anggota bani mahzum salah satu suku terhormat di Hijaz, sehingga
sesuai dengan adat yang berlaku setiap orang yang berada di perkampungan
tersebut dijamin keselamatannya oleh suku itu. Tempat strategis lain adalah
Ka’bah dengan pasar-pasar di sekelilingnya sebagai pusat ziarah dan tempat
berkumpulnya manusia.
e. Proses konversi
1) Tenaga da’i, da’i sebagai pelaksana utama kegiatan dakwah harus memiliki
kualifikasi yang memadai, seperti sifat sidiq, amanat, tabligh dan fathonah
sebagaimana Nabi memilikiakhlak dan kepribadian yang sangat tinggi, gelar alAmin yang disandangnya merupakan bukti nyata pengakuan kaumnya atas
kredibilitas akhlak beliau. Di samping itu Nabi sejak kecil mengetahui dan
bahkan ikut aktif membela, memperjuangkan dan membangun sejarah
bangsanya, karena itu Nabi termasuk pelaku proses sejarah bangsanya dari sejak
beliau belum diangkat menjadi Nabi dan Rasul. Beliau mengetahui persis
persoalan yang dihadapi umatnya, dengan bahasa lain Nabi termasuk salah satu
kelompok elite sosial dan politik.
Selain Nabi secara pribadi melakukan dakwah, beliau juga memilih beberapa
sahabatnya untuk membantu. Dalam hal ini Nabi sangat selektif memilih sahabat
sebagai tenaga da’i, misalnya Abu Bakar As-Shidiq seorang ahli geneologi yang
sangat diperlukan padasaat setelah fath Makkah, dimana manusia secara
berbondong-bondong masuk Islam walaupun mungkin dengan motif politik.
Mus’ab bin Umair, seorang pemuda yang tampan, cerdas dan memiliki nasab
yang ada kaitannya dengan orang-orang Yasrib, hal ini sangat bermanfaat bagi
kelancaran dakwah di yatsrib setelah terjadinya bai’at aqabat al-ula, Hamzah bin
Abi Thalib, seorang yang cerdas dan memiliki ketangkasan perang dan jiwa yang
besar, sangat diperlukan dalam menghadapi raja al-Habsyi pada saat kaum hijrah
ke Habasyah. Utsman bin Affan, seorang pedagang dan hartawan yang memiliki
kelembutan jiwa dan sebagainya.
Semua tersebut di atas menunjukkan bahwa tenaga da’i yang dipilih oleh Nabi
untuk melakukan dakwah dan pembinaan umatnya benar-benar memiliki
kredibilitas akhlak dan wawasan keilmuan serta keterampilan yang memadai.
2) Interaksi antara komponen dakwah dalam proses konversi
Interaksi antar komponen dakwah, yaitu da’i, materi, metode, teknik, mad’u,
sasaran dan tujuan dakwah dalam pelaksanaan dakwah mesti berjalan dengan
baik, hal ini karena proses pelaksanaan dakwah dikontrol dan diawasi oleh
penguasa Negara (khalifah), penyimpangan-penyimpangan yang terjadi akan
segera diatasi secara cepat, misalnya gerakan penolakan zakat, kaum riddah dan
Nabi palsu pada masa Abu Bakar, pemecatan Khalid bin Walid sebagai panglima
perang oleh Umar bin Khattab, pembukuan al-Qur’an pada masa Utsman bin
Affan dan sebagainya.
3) Tujuan
Formulasi tujuan dakwah harus jelas, bahwa kegiatan dakwah adalah merupakan
manivestasi dari semangat jihad untuk menegakkan kebenaran serta keadilan di
muka bumi. Dakwah diyakini sebagai kewajiban bersama yangtidak dapat
ditinggalkan dan dakwah didukung oleh segenap kekuatan umat yang
dimilikinya. Dakwah merupakan misi utama bagi setiap umat.
B. Masyarakat Islam
1. Pengertian Masyarakat Islam
Masyarakat Islam terdiri dari dua kata yaitu masyarakat dan Islam. Secara
etimologi kata masyarakat berasal dari bahasa Arab “Syaraka” yang berarti
bersekutu.81 Dalam kata ini tersimpul pengertian yang berhubungan dengan
pembentukan suatu kelompok atau golongan. Kata masyarakat lebih bermakna
pergaulan hidup serta hubungan manusia dalam sebuah kelompok, yang dalam
bahasa Arab diterjemahkan dengan kata al-Mujtama.82 Dan dalam bahasa Inggris
diartikan society.83 Dalam hal ini Ibnu Khaldun menjelaskan istilah masyarakat
dengan al-Ijtima’ al-Basyari yang menurutnya istilah itu identik dengan al-‘Umran
(peradaban).84
Dari sisi istilah masyarakat adalah suatu sistem dari kebiasaan atau tata cara, dari
wewenang dan kerjasama berbagai kelompok dan golongan. Masyarakat merupakan
jalinan hubungan sosial akan selalu berubah dalam menghasilkan kebudayaan.
Masyarakat merupakan hubungan ruhaniah antara sekelompok manusia, yang dijalin
oleh kebudayaan dan kerjasama. Dalam masyarakat terkandung makna interaksi
81
Kata Syaraka, Yasyraku, Syarikat. Lihat Abu Luis, al-Munjid fi al-Lughat, Beirut, Libanon: 1994,
hal 384. Kata syarikat yang merupakan asal kata masyarakat terpakai dalam bahasa Indoesia dan Malaysia.
Bahkan dalam bahasa Malasysia tetap dalam ejaan aslinya, syarikat dan dalam bahasa Indonesia serikat. Dalam
kata ini tersimpul pengertian hubungan dengan pembentukan suatu kelompok atau golongan atau kumpulan.
Kata masyarakat terpakai dalam dua bahasa tersebut untuk menanamkan pergaulan hidup. Lihat Sidi Ghazalba,
Masyarakat Islam, Pengantar Sosiologi Dan Sosiografi, Jakarta: Bulan Bintang, 1989, hal. 1
82
Abu Luis, al-Munjid fi al-Lughat, hal. 101
83
Peter Salim, The Contemporary English Indonesian Dictionary, Jakarta: Modern English Press,
1996. Hal 1854. Lihat juga David L. Sills (Ed), International Encyclopedia of the Social Science, Vol. 13,
London: The Macmillan Company The Free Press, 1972, hal. 578.
84
Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, Kairo: Dar al-Fikr, tt. Hal. 37
yang meliputi sistem organisasi dan peradaban.85 Dalam rumusan lain, masyarakat
Islam adalah sekelompok manusia yang mempunyai kebiasaan, tradisi sikap dan
perasaan serta persatuan yang diikat oleh kesamaan agama, yakni agama Islam. 86
Masyarakat Islam adalah sekelompok manusia yang hidup secara terikat oleh
kebudayaan Islam yang diamalkan oleh sekelompok manusia tersebut. Dengan
demikian sekelompok manusia yang pola interaksi kehidupannya berlandaskan
kebudayaan Islam disebut masyarakat Islam. 87
Konsep kerja masyarakat Islam tidak terlepas dari peran masing-masing individu
dalam komunitas tersebut. Terkait dengan hal ini Abdo A. Elkholy mejelaskan dalam
komunitas masyarakat Islam memunculkan dua arah yang berbeda, pertama bersifat
meredam tribalisme dan kedua mendorong dan menyuburkan inisiatif pribadi. Islam
sangat mendorong inisiatif dan tanggungjawab pribadi yang pada akhirnya juga
mendorong lahirnya sifat anti individualistik. Secara berulang-ulang dan konsisten
al-Qur’an mengingatkan manusia agar mau memutuskan masalahnya sendiri dengan
pemahaman diri sebagai pribadi yang merdeka dan bertanggungjawab. Jiwa
universalisme dalam tatanan masyarakat Islam guna merangkul berbagai ras, bangsa
dan golongan manusia.88
Konsep masyarakat utama sebagai rumusan dari maksud dan tujuan
Muhammadiyah, secara redaksional menggantikan konsep masyarakat Islam.
Sekalipun redaksi berbeda-beda, intinya tetap yaitu “Baldatun Thayyibatun wa
Rabbun Ghafur”. Masyarakat utama adalah masyarakat yang beriman dengan sistem
85
Rodney Stark, Sosiology, California: Wad Swort Publisher Company, 1985, hal. 26
Nanih Machendrawati, Agus Ahmad Syafe’i, Pengembangan Masyarakat Islam dari Ideologi,
Strategi sampai Tradisi, Bandung: Rosdakarya, 2001, hal. 5
87
Sidi Ghazalba, Masyarakat Islam, Pengantar Sosiologi dan Sosiografi, hal. 102
88
Abdo A. Elkholy, Konsep al-Qur’an tentang Masyarakat dalam Perspektif Muslim tentang
Perubahan Sosial, Bandung: Pustaka, 1988, hal. 119
86
kelembagaan yang mampu menegakkan kebaikan (amar ma’ruf/humanisasi) dan
mencegah yang buruk (nahy munkar/liberalisasi) dan berorientasi kepada nilai-nilai
keutamaan (al-khair). Nilai keutamaan ini menjadi dasar pijakan dalam membangun
masyarakat yang mengalami proses perubahan secara terus menerus. Al-Qur’an
mengajarkan nilai-nilai dasar pembangunan masyarkat sebagai berikut: a)
Menjunjung tinggi nilai kehormatan manusia. b) Memupuk rasa persatuan dan
kekeluargaan. c) Mewujudkan kerjasama umat manusia menuju terciptanya
masyarakat sejahtera lahir dan batin. d) Memupuk jiwa toleransi. e) Menghormati
kebebasan orang lain. f) Menegakkan budi pekerti luhur. g) Menegakkan keadilan. h)
Perlakuan sama dan setara. i) Memenuhi janji. j) Menanamkan kasih sayang dan
mencegah kerusakan. 89
Masyarakat Utama dapat dilihat dari dua aspek: petama aspek institusional
(wadah) dan kedua aspek individual (subyek). Sebagai institusi masyarakat
merupakan suatu persekutuan bersama antar manusia, karena itu pada masyarakat
akan berlangsung proses kehidupan sosial, proses interaksi dan bahkan proses
keseluruhan aspek kehidupan. Sifat utama dalam konteks masyarakat sebagai
institusi, berarti sistem dan tatanan sosial serta budaya yang dikembangkan adalah
kondusif bagi terwujudnya kehidupan sejahtera lahir dan batin bagi segenap
anggotanya, yaitu kehidupan yang tertib, aman, adil dan makmur material maupun
spiritual, sehingga seluruh anggota masyarakat merasakan kedamaian dan
ketentraman.90
89
M. Yunan Yusuf, dalam Pengantar Masyarakat Utama, Konsepsi dan Strategi, (Ed), M. Yunan
Yusuf, Yusron Razak Suwito dan Sudarmono Abdul Hakim, Jakarta: Kerjasama dengan Lembaga Pengkajian
dan Pengembangan PP Muhammadiyah, 1995, hal. xii.
90
M. Yunan Yusuf, dalam Pengantar Masyarakat Utama, Konsepsi dan Strategi, hal xii
Sistem dan tatanan sosial adalah sebuah sistem dan tatanan yang memberikan
kemudahan, perlindungan, perasamaan, kemerdekaan dan kebebasan individu
anggota masyarakat dari belenggu dan kondisi hidup yang tidak manusiawi
(kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan). Dan budaya yang dikembangkan
adalah al-madaniyyah, budaya yang merupakan internalisasi nilai-nilai ketuhanan,
menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan dan berorientasi pada kemajuan
yang berwawasan masa depan.
Dari aspek individual (subyek), masyarakat utama terdiri dari individu utama
yang memiliki kriteria tadzakkar, tafakkur, musyawarat, tasamuh, tawashaw,
ikhtiyar, ta’awun, ukhuwat, fastabiq al-khairat, jihad dan ijtihad serta istiqamat.91
2. Masyarakat Islam menurut al-Qur’an dan al-Sunah
Dalam al-Qur’an terdapat beberapa istilah tentang masyarakat antara lain istilah
khairu umat, hizbullah, muttaqun, sholihun, muhsinun, muflihun, mu’minun dan
seterusnya:
a. Masyarakat Islam adalah masyarakat yang berhak menjadi khalifah; surat anNur: 55.92
b. Masyarakat Islam adalah umat terbaik (masyarakat utama) Ali Imran: 110.93
91
M. Yunan Yusuf, dalam Pengantar Masyarakat Utama, Konsepsi dan Strategi, (Ed), M. Yunan
Yusuf, Yusron Razak Suwito dan Sudarmono Abdul Hakim, Jakarta: Kerjasama dengan Lembaga Pengkajian
dan Pengembangan PP Muhammadiyah, 1995, hal. xi
92
Janji Allah akan menjadikan orang-orang beriman menjadi pemimpin:
‫وَﻋَﺪَ اﷲُ اﻟﱠﺬِﯾﻦَ ءَاﻣَ ﻨُﻮا ﻣِﻨﻜُﻢْ وَﻋَﻤِﻠُﻮا اﻟﺼﱠﺎﻟِﺤَﺎتِ ﻟَ ﯿَﺴْ ﺘَﺨْﻠِﻔَﻨﱠﮭُﻢْ ﻓِﻲ اْﻷَرْضِ ﻛَﻤَﺎاﺳْ ﺘَﺨْﻠَﻒَ اﻟﱠﺬِﯾﻦَ ﻣِﻦ ﻗَﺒِْﻠﮭِﻢْ وَﻟَﯿُﻤَﻜﱢ ﻨَﻦﱠ ﻟَﮭُﻢْ دِﯾ ﻨَﮭُﻢُ اﱠﻟﺬِي ارْ ﺗَﻀَﻰ ﻟَﮭُﻢْ وَﻟَﯿُ ﺒَﺪﱢﻟَ ﻨﱠﮭُﻢ ﻣﱢﻦ‬
{55} َ‫ﺑَﻌْﺪِ ﺧَﻮْﻓِﮭِﻢْ أَﻣْﻨًﺎ ﯾَﻌْﺒُﺪُو ﻧَﻨِﻲ ﻻَﯾُﺸْﺮِﻛُﻮنَ ﺑِﻲ ﺷَﯿْﺌًﺎ وَﻣَﻦ ﻛَﻔَﺮَ ﺑَﻌْﺪَ ذَﻟِﻚَ ﻓَﺄُوْﻻَﺋِﻚَ ھُﻢُ اﻟْﻔَﺎﺳِﻘُﻮن‬
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal-amal yang
saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia akan
meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan merobah
(keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa.Mereka tetap menyembahKu dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku.Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah
(janji) itu, maka mereka itulah orang yang fasik.
93
Umat Islam adalah umat terbaik
c. Umat Islam adalah umat yang diridlai Allah karena sikap mereka yang tidak
mencintai orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, al-Mujadilah:
22.94
d. Masyarakat muttaqun, suka berinfaq, menegakkan shalat, membayar zakat,
menepati janji dan sabar, al-Baqarah: 177.95
e. Kumpulan orang-orang shaleh, Ali Imran: 114.96
f. Kumpulan orang suka beribadah, suka bertaubat: 112- 114.97
ُ‫ﻛُﻨ ﺘُﻢْ ﺧَﯿْﺮَ أُﻣﱠﺔٍ أُﺧْﺮِﺟَﺖْ ﻟِﻠﻨﱠﺎسِ ﺗَﺄْﻣُﺮُونَ ﺑِﺎﻟْﻤَﻌْﺮُوفِ وَﺗَﻨْﮭَﻮْنَ ﻋَﻦِ اﻟْﻤُﻨﻜَﺮِ وَﺗُﺆْﻣِ ﻨُﻮنَ ﺑِﺎﷲِ وَﻟَﻮْءَاﻣَﻦَ أَھْﻞُ اﻟْﻜِﺘَﺎبِ ﻟَﻜَﺎنَ ﺧَﯿْﺮًا ﱠﻟﮭُﻢْ ﻣِّﻨْﮭُﻢُ اﻟْﻤُﺆْﻣِ ﻨُﻮنَ وَأَﻛْﺜَﺮَھُﻢ‬
{110} َ‫اﻟْﻔَﺎﺳِﻘُﻮن‬
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah
dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi
mereka; di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.
94
Masyarakat Islam adalah masyarakat yang diridlai Allah, dan tidak akan mencintai orang kafir:
ُ‫ﻻﱠﺗَﺠِﺪُ ﻗَﻮْﻣًﺎ ﯾُﺆْﻣِ ﻨُﻮنَ ﺑِﺎﷲِ وَاﻟْﯿَﻮْمِ اْﻷَﺧَﺮِ ﯾُﻮَآدﱡونَ ﻣَﻦْ ﺣَﺂدﱠ اﷲَ وَرَﺳُﻮﻟَﮫُ وَﻟَﻮْ ﻛَﺎﻧُﻮا ءَاﺑَﺂءَھُﻢْ أَوْ أَﺑْﻨَﺂءَھُﻢْ أَوْ إِﺧْﻮَاﻧَﮭُﻢْ أَوْ ﻋَﺸِﯿﺮَﺗَﮭُﻢْ أُوْﻻَﺋِﻚَ ﻛَﺘَﺐَ ﻓِﻲ ﻗُﻠُﻮ ﺑِﮭِﻢ‬
ُ‫اْﻹِﯾﻤَﺎنَ وَأَﯾﱠﺪَھُﻢ ﺑِﺮُوحٍ ﻣﱢﻨْﮫُ وَﯾُﺪْﺧِﻠُﮭُﻢْ ﺟَﻨﱠﺎتٍ ﺗَﺠْﺮِي ﻣِﻦ ﺗَﺤْﺘِﮭَﺎ اْﻷَﻧْﮭَﺎرُ ﺧَﺎﻟِﺪِﯾﻦَ ﻓِﯿﮭَﺎ رَﺿِﻲَ اﷲُ ﻋَﻨْﮭُﻢْ وَرَﺿُﻮا ﻋَﻨْﮫُ أُوْﻻَﺋِﻚَ ﺣِﺰْبُ اﷲِ أَﻵَإِنﱠ ﺣِﺰْبَ اﷲِ ھُﻢ‬
{22} َ‫اﻟْﻤُﻔْﻠِﺤُﻮن‬
Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang
dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau
anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.Mereka itulah orang-orang yang Allah telah
menanamkan keimanan dalam hati mereka denga pertolongan yang datang daripada-Nya.Dan dimasukkanNya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya.Allah ridha
terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya.Mereka itulah golongan
Allah.Ketahuilah, bhwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung.
95
Q.S. al-Baqarah, ayat 177: Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah Timur dan Barat itu suatu
kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialah beriman kepada Allah, Hari Kemudian, malaikatmalaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan
(memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati
janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam
peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang
bertaqwa.
96
QS. Ali Imran, ayat 114: Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan mereka menyuruh
kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai
kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh.
97
QS. At-Taubat, ayat 112-114: Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat,
memuji (Allah), yang melawat, yang ruku', yang sujud, yang menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah berbuat
munkar dyang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mu'min itu.Tiadalah
sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang
musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka,
bahwasannya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahannam.Dan permintaan ampun dari
Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya
kepada bapaknya itu. Maka tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim
berlepas diri daripadanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.
g. Saat ja’far Ibn Abu Thalib ditanya oleh raja Najasyi, natara lain ia
mengatakan bahwa Rasulullah telah membebaskan umat dari jahiliyah dan
kemusyrikan, kemudian Rasulullah menyuruh umat agar: benar dalam
berbicara, menunaikan amanah, menghubungkan silaturahmi, baik dengan
tetangga, menjauhi yang haram dan menjauhi pertumpahan darah, melarang
kejahatan dan sumpah palsu, melarang memakan harta anak yatim dan
menuduh wanita baik-baik, menyuruh beribadah kepada Allah dan tidak
syirik, menyuruh menunaikan shalat membayar zakat dan puasa.
h. Bentuk masyarakat Islam adalah masyarakat yang bebas dari zhulumat,
bebas dari jahiliyah, keterbelakangan, perbudakan, kemiskinan. Masyarakat
yang mendapat petunjuk dan berada dalam jalan lurus. Al-Maidah ayat: 15,
16.
Menurut Sufyan Sa’ad, di antara ciri-ciri masyarakat Islam adalah; a) Beriman
dan bertaqwa, b) Berpendidikan, c) Berfikir secara rasional dan obyektif, d) Para
anggotanya gigih memperjuangkan yang hak dan menentang yang bathil, e)
Masyarakat yang menghargai efisiensi dan hak-hak orang lain, f) Mempunyai etika
yang tinggi, g) Berjuang di jalan Allah untuk menegakkan kebenaran, h) tanggap
terhadap masalah kenegaraan dan kemasyarakatan, i) turut bertanggungjawab atas
kemajuan Agama, j) Memupuk kerjasama antar individu, lembaga serta badan lain
baik lokal maupun nasional maupun internasional yang bertujuan untuk memajikan
kehidupan umat manusia, k) Para anggotanya berjiwa kreatif, inofatif, dinamis dan
konsern dengan perkembangan zaman, l) Para anggotanya mempunyai disiplin
pribadi yang tinggi, tidak malas, tidak ngoyo, efektif serta berdaya guna, m) Cinta
perdamaian dan menghargai harkat serta martabat mausia dan menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan, n) Masyarakat yang mempersiapkan kader-kader dan
generasi penerus dengan baik, o) Masyarakat yang intens terhadap masalah-masalah
sosial seperti kemiskinan, ketidak adilan, kebodohan, dan kemunafikan dsb, p) Suatu
masyarakat yang para anggotanya konsern terhadap kependudukan dan lingkungan
hidup, q) Suatu masyarakat yang memperhatikan kesehatan jasmani dan rohani, r)
Suatu masyarakat yang memiliki etos kerja yang tinggi, s) Suatu masyarakat yang
anggotanya suka belajar dan sekaligus menjadi pengembang pengetahuan, t)
Masyarakat yang anggotanya mempunyai solidaritas Islam yang tinggi dan gemar
menjalin silaturrahim, u) Suatu masyarakat yang tahu hak dan kewajibannya sebagai
warga negara, v) Suatu masyarakat yang pola pikirnya berdasarkan Islam dan
teraktualisasi dalam segala aspek kehidupan.98
3.Transformasi Menuju Masyarakat Islam
Untuk kepentingan pengkajian strategis menuju masyarakat Islam, maka akan
lebih mudah mengkaji pertanyaan “Bagaimana profil masyarakat Islam” dari pada
pertanyaan “Apa yang dimaksud dengan masyarakat Islam”. Mengapa “Bagaimana”,
bukan “apa”?, karena masyarakat Islam tidak dapat digambarkan sebagai suatu potret
atau suatu gambaran yang statis. Pencandraan masyarakat Islam lebih tepat
digambarkan sebagai suatu proses yang aktif, yaitu suatu dinamika sosial tertentu.
Disebut “dinamika sosial” karena masyarakat Islam lebih dicirikan oleh dinamika
hubungan antar struktur dan nilai yang ada di dalamnya. Dinamika juga lebih tepat
digunakan karena profil masyarakat Islam berkaitan dengan konteks temporal dan
98
Sofyan Sa’ad, dalam Masyarakat Utama, Konsepsi dan Strategi, (Ed) M. Yunan Yusuf, Yusron
Razak Suwito dan Sudarmono Abdul Hakim, Jakarta: Kerjasama dengan Lembaga Pengkajian dan
Pengembangan PP Muhammadiyah, 1995, hal. 168-169
spasial. Maksudnya, gambaran masyarakat Islam akan berlainan antar kurun waktu
yang berbeda dan juga antar tempat serta lokasi berbeda.
Ada dua macam pendekatan yang dapat dilakukan untuk pencandraan masyarakat
Islam. Pertama, konsep masyarakat Islam dirumuskan dalam suatu state of being
yang normatif dan dicita-citakan. Pendekatan semacam ini dilakukan dengan
mengadakan interpretasi dan reinterpretasi terhadap kandungan al-Qur’an dan alSunnah Rasul tentang tatanan sosial yang diinginkan. Upaya interpretasi ini
mengemban tugas utama untuk mengidentifikasi gagasan-gagasan pokok al-Qur’an
dan al-Sunnah Rasul tentang masyarakat.
Pendekatan
kedua,
Konsep
masyarakat
Islam
dirumuskan
dengan
mengidentifikasi komponen-komponen dalam masyarakat itu sendiri, seperti
masalah kelembagaan, dan masalah strukturnya. Pendekatan semacam ini dapat
dilakukan dengan menggunakan perspektif historis, dengan menggunakan berbagai
analisis sosial. Dalam konteks temporal dan spasial, sebagaimana dikemukakan di
atas, peneliti dapat mengidentifikasi isu dan masalah muslim saat ini dan masa yang
akan datang. Isu dan masalah ini kemudian dijadikan sebagai bagian dari
konseptualisasi masyarakat Islam, baik sebagai titik pangkal maupun tujuan, yakni
bagaimana mengantisipasi isu dan masalah itu melalui seperangkat sarana
kelembagaan atau sistem makna yang bersumber pada al-Qur’an dan al-Sunnah.
Selain dua pendekatan di atas dapat diajukan konsep pendekatan lain, yaitu
pendekatan transformatif. Pendekatan ini dapat dilakukan dengan melihat model apa
yang diberikan al-Qur’an dan dakwah Rasul Muhammad saw. Keterkaitan visi (nilai
ideal) dengan kepekaan (realitas empiric) ini sebenarnya secara nyata telah
diisyaratkan dalam surat al-Ma’un, al-Takatsur, al-Humazat, dan lain sebagainya
yang merupakan awal wahyu yang diterima Nabi. Dengan ungkapan lain, tauhid
yang ditawarkan islam adalah monoteisme yang transformatif, monoteisme yang
menciptakan suatu masyarakat. Ajaran-ajaran moral dan monoteisme Islam tidak
“idealis” (utopistik), bukan dogma, bukan hanya dalam konteks hubungan manusia
dengan Tuhan semata . ajaran-ajaran Islam justru “empiric” dalam arti konkrit dan
menyangkut sikap etis atau respon manusia, serta hubungan manusia dengan
lingkungan yang nyata.
Salah satu ciri konseptual tentang masyarakat Islam adalah adanya karakter
transformatif, pertanyaan yang timbul adalah apa yang harus ditransformasikan?
Pertanyaan ini kiranya dapat menghantarkan kita pada identifikasi tentang struktur
masyarakat Islam. Pengembangan masyarakat berarti mentransformasikan manusia
di dalamnya dari suatu situasi atau kondisi yang kurang baik kepada kondisi atau
situasi yang lebih baik. Dalam hal ini manusia dipandang sebagai makhluk individu
sekaligus sebagai makhluk sosial. Dengan demikian, transformasi yang dilakukan
akan menyangkut aspek individu dan aspek sosial masyarakat sekaligus. Aspek
individu akan menyangkut kehidupan spiritual dan cultural manusia, sementara
transformasi aspek sosial akan menyangkut perubahan struktur pada “habitat” tempat
manusia berada dan hidup bermasyarakat. Lingkungan tersebut menyangkut
lingkungan fisik, ekonomi, sosia dan politik serta hukum.99
Dari uraian di atas, ada tiga perangkat struktur yang compatible untuk
menampung gagasan masyarakat Islam, yaitu (1) peringkat spiritual, (2) peringkat
kultural dan (3) peringkat struktural. Pada peringkat spiritual transformasi dilakukan
99
hal. 140
Ahmad Watik Pratiknya dalam M. Yunan Yusuf, (Ed), Masyarakat Utama, Konsepsi dan Strategi,
untuk meningkatkan intensitas kehidupan religious, kesadaran rohaniah. Pada
peringkat kultural kecerahan kehidupan rohani akan ter-ekspresi pada makin
mantapnya sistem nilai masyarakat yang pada gilirannya akan tercermin pada prilaku
individu maupun masyarakat dalam realitas kehidupan. Pada peringkat structural,
idealitas nilai-nilai tersebut akan terjabarkan secara konkrit atau terstruktur dalam
berbagai tatanan dan sistem lingkungan kehidupan yang ada. Lingkungan fisik yaitu
tatanan teknologi, lingkungan ekonomi dalam sistem ekonomi, lingkungan sosial
dalam sistem sosial dan lingkungan politik dalam sistem politik serta lingkungan
hukum dalam sistem hukum. Di samping adanya interaksi juga da klaster structural
sebagaimana tersirat di atas, antar peringkat struktur juga ada interaksi, baik yang
bersifat asenden maupun desenden.100
Transformasi menuju masyarakat Islam dapat dilakukan melalui tiga model
pendekatan. Ketiga model pendekatan transformasi masyarakat Islam dapat juga
dianggap sebagai tahapan-tahapan proses transformasi masyarakat. Adapun empat
model pendekatan tersebut adalah: Pertama, sejarah telah membuktikan bahwa
perubahan
transformatif
membutuhkan
suatu
perubahan
atau
pergeseran
paradigmatik. Hal ini berarti perlu mempertanyakan bagaimana paradigm
masyarakat tentang masyarakat Islam? atau bahkan tentang Islam itu sendiri?
Apakah sudah kuat untuk mendukung suatu proses transformasi? Apakah tidak
diperlukan suatu paradigm dakwah “baru” untuk mendukung proses transformasi.
Kedua, sejarah juga menunjukkan bahwa perubahan transformasi membutuhkan
suatu “gerakan” sebagai katalisator. Para penggerak yang benar-benar menjiwai
100
hal. 141
Ahmad Watik Pratiknya dalam M. Yunan Yusuf, (Ed), Masyarakat Utama, Konsepsi dan Strategi,
gagasan tentang masyarakat Islam dan komitmen yang tinggi untuk melaksanakan.
Mereka itulah yang menjadi motor penggerak perubahan sosial, dalam hal ini adalah
da’i. Ketiga, kalau kita sepakat menggunakan model strukturasi masyarakat Islam di
atas, maka proses transformasi harus berjalan Seimbang antara ketiga peringkat
struktur yang ada, spiritual, kultural dan struktural. Keempat, kalua bicara tentang
bagaimana dan dari mana kita mulai dan menggerakan proses trasformasi, biasanya
terpoladua modelyang dikotomis, yaitu model atas-bawah dan model bawah-atas.
Pendekatan atas-bawah (top-down) yang diasosiasikan dengan model pendekatan
politis atau pendekatan power, sementara pendekatan bawah-atas (button-up) sering
diasosiasikan dengan model pendekatan budaya, pendekatan dakwah, atau
pendekatan ummatik. Pada hemat penulis ada pendekatan yang lain yang masih bisa
ditawarkan selain model pendekatan tersebut, yaitu model pendekatan horizontal
atau pendekatan sentrifugal.101
Di antara metode trasformasi nilai-nilai ajaran islam dalam tatanan kehidupan
sosial, sebagaimana dikemukakan kuntowijoyo, bahwa seluruh kandungan nilai
islam bersifat normatif. Ada dua metode bagaimana mentrasformasikan nilai-nilai
islam dalam kehidupan sosial, pertama nilai-nilai normatif islam tersebut
diaktualisasikansecara langsung dalam bentuk prilaku, misalnya seruan-seruan moral
praktis dalam al-Quran kedua, mentrasformasikan nilai-nilai normatif islam menjadi
teori ilmu sebelum diaktualisasikan dalam prilaku praktismembutuhkan beberapa
fase formalisir, teologi-filsafat sosial-teori sosial-perubahan sosial.102 Sedangkan
strategi pendekatan untuk mencapai masyarakat islamdiantaranya melalui gerakan
101
Ahmad Watik Pratiknya dalam M. Yunan Yusuf, (ed), Masyarakat Utama, Konsepsi Dan Strategi,
hal 141-142.
102
Kuntowijoyo, Paradigm Islam, Interpretasi Untuk Aksi, Jakarta: Mizan, 1996. Hal. 170
dakwah. Gerakan dakwah yang dimaksud asalah gerakan dakwah dan pendekatan
yang berfariasi agar trasformasi menuju masyarakat islam dapat berlangsung dengan
baik.
Proses tranformasi masyarakat menuju masyarakat Islam menurut Ahmad Watik
praktiknya paling tidak memerlukan pola pendekatan, yaitu: pertama, sejarah telah
membuktikan bahwa perubahan transformatif membutuhkan suatu perubahan atau
pergeseran paradigmatik. Hal ini berarti sebelum melakukan suatu perubahan atau
pergeseran paradigmatik. Hal ini berarti sebelum melakukan perubahan pertama kali
yang dipertanyakan adalah apakah paradigma tentang masyarakat Islam telah cukup
kuat untuk mendukung proses transformasi. Kedua, sejarah juga telah membuktikan
bahwa perubahan transformasi membutuhkan suatu “gerakan” (al-harakah)”. Dalam
sejarah dapat ditelusuri peran Rasulullah beserta para sahabatnya yang benar-benar
telah menjiwai ajaran Islam dan komitmen yang tinggi untuk melaksanakan prinsipprinsip ajarannya. Mereka itulah yang merupakan penggerak perubahan yang
dilakukan oleh Rasul Muhammad di Madinah yang kemudian makin meluas.
Bagaimana
formulasi
dan
model
al-harakah
dalam
konteks
kekinian.
Ketiga,menggunakan model strukturasi masyarakat Islam, yaitu proses transformasi
harus berjalan secara seimbang antara ketiga peringkat struktur yang ada, spiritual,
cultural dan structural. Keempat, kalau bicara tentang bagaimana dan dari mana
mulai menggerakkan proses transformasi, biasanya terpola dua pendekatan yang
dikotomis, yaitu model atas-bawah atau model bawah-atas. Pendekatan atas-bawah
(top-down) sering diasosiasikan dengan model pendekatan politis atau pendekatan
power, sementara pendekatan bawah-atas (buttom-up) sering diasosikan dengan
model pendekatan budaya, atau pendekatan ummatik. Ada pendekatan lain yang
dapat digunakan yaitu pendekatan horizontal atau pendekatan sentrifugal.
Institusi keluarga tidak lain merupakan “nucleus” masyarakat, dengan
menganalogikan pada proses biologi sel, maka gagasan dan upaya transformasi
menuju masyarakat Islam dapat dimulai dari keluarga sebagai basis (inti-sel),
kemudian menyebar ke masyarakat sekitar (sebagai plasma-sel). Dari kacamata
dakwah, lembaga keluarga menjadi amat penting sebagai target dan sekaligus basis
gerakan dakwah, karena dalam tradisi modern lembaga keluarga ini telah mulai
terancam eksistensinya.103 Sedangkan menurut M. Wierdan ada tiga metode
pendekatan yang dapat diterapkan dalam proses menuju masyarakat Islam, yaitu;
pertama, metode pendekatan tipologik. Metode ini merujuk pada sistem masyarakat
pada zaman Rasulullah (610-632 M)terutama periode Madinah (622-632 M) dengan
rujukan utama al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Metode ini sudah barang tentu harus
dilaksanakan oleh para ulama yang benar-benar mempunyai kemampuan yang
tangguh dan arif, berbagai keahlian perlu bekerjasama untuk mendapatkan
perumusan yang tepat. Kedua metode pendekatan analogik, metode pendekatan
analogik ini mendasari analisanya dengan rujukan Sunnatullah dengan pisau analisis
ilmu pengetahuan dan penalaran. Ilmu pengetahuan dan penalaran dapat dirumuskan
sebagai himpunan sebab akibat yang disusun secara sistematis dari pengamatan,
percobaan dan penalaran. Dan ketiga metode gabungan dari dua metode pendekatan
103
Ahmad Watik Pratiknya dalam Masyarakat Utama, Konsepsi dan Strategi (Ed), M. Yunan Yusuf,
Yusron Razak dan Sudarmono Abdul Hakim, Jakarta: Kerjasama dengan Lembaga Pengkajian dan
Pengembangan PP Muhammadiyah, 1995, hal. 142.
sebelumnya, yaitu metode pendekatan tipologik dengan metode pendekatan
analogik.104
Transformasi masyarakat dapat juga diartikan sebagai ikhtiar pembangunan,
dalam hal ini David C. Korten memberikan makna pembangunan sebagai upaya
memberikan kontribusi pada aktualisasi potensi tertinggi kehidupan manusia.105
Pembangunan selayaknya ditujukan untuk mencapai sebuah standar kehidupan
ekonomi yang menjamin pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Hal ini merupakan
sebuah tahapan yang esensial dan fundamental menuju tercapainya tujuan
kesejahteraan manusia. Kebutuhan dasar tidak dilihat dalam batas-batas minimum
manusia, tetapi juga sebagai kebutuhan akan rasa aman, kasih sayang, mendapatkan
penghormatan dan kesempatan untuk bekerja secara fair serta aktualisasi spiritual.
Berdasarkan pemahaman semacam ini pengembangan masyarakat dapat diajukan
beberapa asumsi sebagai berikut: Pertama, pada intinya upaya-upaya pengembangan
masyarakat dapat dilihat sebagai peletakan sebuah tatanan sosial, di mana manusia
secara adil dan terbuka dapat melakukan usahanya sebagai perwujudan atas
kemampuan dan potensi yang dimilikinya sehingga kebutuhan materiil maupun
spiritualnya dapat dipenuhi. Pengembangan masyarakat pada dasarnya adalah
merencanakan dan penyiapan suatu perubahan sosial demi peningkatan kualitas
hidup. Kedua, pengembangan masyarakat tidak dilihat sebagai suatu proses
pemberian dari pihak yang kuat kepada pihak yang lemah. Ketiga, pengembangan
masyarakat mesti dilihat sebagai sebuah proses pembelajaran kepada masyarakat
104
M. Wierdan, dalam Masyarakat Utama, Konsepsi dan strategi, (Ed). M. Yunan Yususf, Yusron
razak Suwito dan Sudarmono Abdul Hakim, Jakarta: Kerjasama dengan Lembaga Pengkajian dan
Pengembangan PP Muhammadiyah, 1995, hal. 152-153
105
David C. Korten, Development as Human Enterprise “dalam David C. Korten (ed) Community
Management Asian and Perspectif, Coneccicut Humanian Press, hal. 17
agar mereka dapat secara mandiri melakukan upaya-upaya perbaikan kualitas
hidupnya. Karena itu pengembangan masyarakat sesungguhnya merupakan sebuah
proses kolektif di mana kehidupan berkeluarga, bertetangga, bermasyarakat dan
bernegara tidak hanya sekedar menyiapkan penyesuaian-penyesuaian terhadap
perubahan sosial yang mereka lalui, tetapi secara aktif mengarah perubahan tersebut
pada pemenuhan kebutuhan bersama. Keempat, pengembangan masyarakat tidak
mungkin dilaksanakan tanpa keterlibatan secara penuh oleh masyarakat itu sendiri.
Partisipasi bukan sekedar diartikan sebagai kehadiran mereka untuk mengikuti suatu
kegiatan, melainkan difahami sebagai kontribusi mereka dalam setiap tahapan yang
mesti dilalui oleh suatu program kerja pengembangan masyarakat, terutama dalam
tahapan perumusan kebutuhan yang mesti dipenuhi. Kelima, pengembangan
masyarakat selalu ditengarai dengan adanya pemberdayaan masyarakat, karena
pembangunan tatkala masyarakat itu sendiri tidak memiliki daya yang cukup baik.106
Pengembangan masyarakat Islam merupakan model empiris dan bentuk
pemberdayaan dan pengembangan perilaku individu dan kolektif dengan titik tekan
pada
pemecahan masalah
yang dihadapi masyarakat,
dalam
kontek
ini
pengembangan diorentasikan kepada; (1) Pembentukan sumberdaya manusia secara
individual yang memiliki komitmen keagamaan yang kuat, (2) membentuk keluarga
sakinah sebagai realisasi dari individu-individu yang shaleh, (3) membentuk
masyarakat religious yang mengaplikasikan nilai-nilai islam dalam kehidupan seharihari, (4) melalui wadah Negara dengan berbagai komponennya akan dapat
106
Donald W Litereel, the Theori and Practice of Community Development, terj M. Dauzi Muzdakir,
Teori Dan Praktek Pengembangan Masyarakat, Surabaya: Usaha asional, 1986, hal. 12-15.
membentuk peradaban yang Islami demi terwujudnya masyarakat madani yaitu
tatanan masyarakat Islam yang universal.107
Masyarakat Islam memiliki lima fondasi, yaitu: Pertama Tauhid, yakni “lailaha
ilallah” sebagai kalimat pembebasan dari penghambaan diri kepada sesame hamba
kepada penghambaan diri hanya kepada Allah swt semata. Aqidah ini sangat penting
sekali karena masyarakat yang lemah aqidahnya akan rapuh dan tak bisa berumur
panjang. Kedua adalah sistem nilai moral yang benar berdasarkan wahyu Alah swt
Ketiga adalah amal shaleh yang didasarkan pada aqidah (keyakinan) serta nilai-nilai
moral yang benar, sehingga amal tersebut tidak hampa, tujuan amal tersebut menjadi
jelas. Keempat adalah keadilan, ini merupakan perintah yang pertama dalam alQur’an.
Keadilan
yang berkesinambungan
secara
simetris.
Semua
orang
mendapatkan apa yang terjadi haknya dan bagi semua orang diminta melaksanakan
apa yang menjadi kewajibannya. Fondasi kelima memiliki kecenderungan yang kuat
untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.108
Proses transformasi menuju masyarakat Islam dimulai dari individu muslim,
keluarga, masyarakat, Negara/pemerintahan dan peradaban Islam.109
a. Individu
Pengembangan masyarakat Islam berawal dari konsep tentang manusia, menurut
Ibn Khaldun Allah telah menciptakan dan menyusun manusia dalam satu bentuk
yang hanya dapat tumbuh dan mempertahankan hidupnya dengan bantuan makanan.
107
Samsir Salam, dalam Pengantar Paradigma Pengembangan Masyarakat Islam, Bandar Lampung:
Matakata, 2007, hal. xviii.
108
Amn Rais, Langkah-Langkah Dasar Menuju Masyarakat Utama, dalam Masyarakat Utama
Konsepsi dan Strategi, (ed) M. Yunan Yusuf, Jakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengembangan PP
Muhammadiyah, 1995, hal. 129
109
Wendy Melfa dan Solihin Siddiq berpendapat dalam bukunya Paradigma Pengembangan
Masyarakat Islam Studi Epistimologis Pemikiran Ibn Khaldun, hal hal 205
Allah memberi petunjuk kepada manusia atas keperluan makanan menurut watak
dan kodrat kesanggupan memperolehnya. 110
Konsep manusia yang dikembangkan Ibn Khaldun merupakan konsep sosiologis
tentang manusia secara individu dalam teori sosiologi. Tingkah laku individu pada
akhirnya dapat dijelaskan menurut teori tentang kodrat manusia.111 Secara kodrati
manusia diberikan karunia kehidupan di muka bumi oleh Allah dan manusia dalam
konsep al-Qur’an terdiri dari jasmani dan ruhani. 112
Secara kodrati manusia membawa potensi dasar manusiawi, yaitu membutuhkan
makanan dan keamanan untuk melangsungkan hidup.113 Manusia diciptakan Allah
dari debu, tanah dan ruh Ilahi, apabila daya tarik tanah mengalahkan daya tarik ruh
Ilahi, ia akan jatuh hingga mencapai tingkat serendah-rendahnya bahkan leih rendah
dari binatang.114 Sebaliknya bila ruh Ilahi lebih dominan, manusia akan menjadi
makhluk yang mulia. Untuk mencapai kualitas yang diharapkan manusia harus
mengembangkan empat potensi dasar yang Dianugerahkan Allah, yaitu;
1) Daya tubuh yang mengantarkan manusia berkelakuan fisik, berfungsi organ
tubuh dan panca inderanya.
2) Daya hidup, yang menjadikannya memiliki kemampuan mengembangkan dan
menyesuaikan diri dengan lingkungan serta mempertahankan hidupnya dalam
menghadapi tantangan.
110
Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Kairo: Dar al-Fikr, tt. Hal 71
Tom compbell, Tujuh Teori Sosial, Sketsa Penilaian Perbandingan (ter), London: Oxford
University Press, 1980 hal 45
112
Deliar noer, islam dan masyarakat, Jakarta: Yayasan Risalah, 2003, hal. 69
113
QS. Abasa: 24-28
{28} ‫{ وَﻋِﻨَﺒًﺎ وَﻗَﻀْ ﺒًﺎ‬27} ‫ﺎ‬‫{ ﻓَﺄَﻧﺒَﺘْﻨَﺎ ﻓِﯿﮭَﺎ ﺣَ ﺒ‬26} ‫{ ﺛُﻢﱠ ﺷَﻘَﻘْﻨَﺎ اْﻷَرْضَ ﺷَﻘﱠﺎ‬25} ‫{ أَ ﻧﱠﺎ ﺻَﺒَﺒْﻨَﺎ اﻟْﻤَﺂءَ ﺻَﺒﱠﺎ‬24} ِ‫ﻈﺮِ اْﻹِﻧﺴَﺎنُ إِﻟﻰَ ﻃَﻌَﺎﻣِﮫ‬
ُ ‫ﻓَﻠْﯿَﻨ‬
Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya.Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan
air (dari langit),Kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya,Lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi
itu,Anggur dan sayur-sayuran,
114
QS. Al-Tin: 4-5: Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaikbaiknya.Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka)
111
3) Daya akal yang berfungsi untuk memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi.
4) Daya kalbu, yang memungkinkan mengembangkan moral, merasakan
keindahan, kelazatan iman. Dari daya inilah yang melahirkan intuisi dan indra
keenam.115
Apabila keempat daya ini digunakan dan dikembangkan secara baik, maka
kualitas pribadi akan mencapai puncaknya, yaitu pribadi yang beriman, berbudi
pekerti luhur memiliki kecerdasan, ilmu pengetahuan dan keterampilan, keuletan
serta wawasan masa depan yang baik. Al-Qur’an menanamkan kualitas hidup
semacam ini dengan istilah “al-Hayat al-Thayyibat” dan cara untuk mencapainya
ditunjukkan dengan “amal shaleh”.116
Pengembangan daya pikir, fisik dan kalbu serta daya hidup yang merupakan
potensi dasar manusia perlu dijelaskan dengan teori sosiologi dengan istilah
pemberdayaan.117 Yaitu pemberdayaan potensi manusiawi untuk mencapai tingkat
manusia sebagai individu yang berkualitas tinggi menuju taraf kesempurnaan insan
kamil.
b. Kekeluargaan (‘Ashabiyat)
Di samping kelebihan yang dimiliki manusia, terdapat juga sifat kekurangan dan
kelemahan, yait tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup serta mempertahankan diri
dari serangan binatang buas ataupun dari serangan manusisa lain, untuk menutupi
115
M. Quraisy Shihab, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1994, hal. 281
Qs. An-Nahl: 97
{97} َ‫ﻣَﻦْ ﻋَﻤِﻞَ ﺻَﺎﻟِﺤًﺎ ﻣﱢﻦ ذَﻛَﺮٍ أَوْ أُﻧ ﺜَﻰ وَھُﻮَ ﻣُﺆْﻣِﻦٌ ﻓَﻠَ ﻨُﺤْﯿِﯿَﻨﱠﮫُ ﺣَﯿَﺎةً ﻃَﯿﱢ ﺒَﺔً وَﻟَ ﻨَﺠْﺰِﯾَﻨﱠﮭُﻢْ أَﺟْﺮَھُﻢْ ﺑِﺄَﺣْﺴَﻦِ ﻣَﺎﻛَﺎﻧُﻮا ﯾَﻌْﻤَﻠُﻮن‬
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka
sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami berikan
balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.
117
Pemberdayaan adalah terjemahan dari empowerment yang dapat diartikan pengembangan. Lihat
Nanich Machdrawati, Pengembangan Masyarakat Islam dari Ideologi, Strategi Sampai Tradisi, Bandung:
Rosda Karya, 2001, hal. 42
116
kekurangan dan kelemahannya ini manusia bergabung dengan manusia lain untuk
bergotong royang (ta’awun), dengan sistem kerjasama ini kebutuhan manusia akan
dapat terpenuhi.118
Sikap saling membutuhkan, saling melengkapi, tolong menolong dan gotong
royong inilah kemudian berkembang menjadi perasaan untuk saling melindungi dan
membangkitkan ras persaudaraan dan kekeluargaan atau yang lebih dikenal dengan
istilah ‘ashabiyat.119
‘ashabiyat pada dasarnya lahir dari hubungan darah dan ikatan yang
menumbuhkan rasa. Ikatan darah menumbuhkan perasaan cinta terhadap saudara dan
kewajiban untuk menolong dan melindungi mereka dari tindakan kekerasan.
Menurut Ibn Khaldun, solidaritas hanya dapat dibangun berdasarkan golongan yang
dihubungkan oleh pertalian darah atau pertalian lain yang memiliki arti sama.120
Dengan demikian ‘ashabiyat memiliki banyak arti diantaranya; esprit de corps,
partisuship, famille, parti, tribal loyality, citality, feling ofurity, group adhesion,
groupdom, sens of solidarity, group mind collective conciouness,group feeling,
feeling of solidarity and social solidarity.121 Degan demikian ‘ashabiyat tidak hanya
didasarkan pada hubungan kekeluargaan, akan tetapi meliputi perasaan kekeluargaan
dan saling mengasihi yang berkembang dalam kalangan individu yang membentuk
solidaritas sosial.
Agama
pada dasarnya memunculkan solidaritas,
karena
agama dapat
menyingkirkan perasaan iri dan dengki dari anggota kelompok dan mampu
118
Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Kairo: Dar al-Fikr, tt. Hal. 71
Eugene A. Myers, Zaman Keemasan Islam, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003, hal. 73
120
Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Kairo: Dar al-Fikr, tt. Hal. 151
121
Fuad Ba’ali, Society State and Urbanism Ibn Khalduns Sociological Though, New York: State
University of New York Press, 1988, hal. 43.
119
mengarahkan kepada kebenaran. Keluarga dalam pemikiran Ibn Khaldun lebih
didasarkan pada rasa kekeluargaan, hal ini menimbulkan adanya sikap saling
membutuhkan dan saling tolong menolong. Dengan sikap solodaritas dan ikatan
kekeluargaan (‘ashabiyat), maka diarahkan pada pembinaan dan orientasi kea rah
pembinaan yang lebih baik yang berpijak pada ajaran agama, dan sebaliknya.
Pembinaan agama tanpa adanya solidaritas sosial tidak akan berjalan dengan baik.122
Sikap keagamaan dapat meredam pertentangan dan iri hati serta dengki. Pembinaan
keagamaan yang diarahkan pada pembinaan sikap kekeluargaan akan dapat
berlangsung dengan baik.
c. Masyarakat
Manusia merupakan makhluk sosial, ketidak mandirian manusia itu dapat dilihat
dari dua kenyataan, pertama dari segi pemenuhan kebutuhan pokok dan yang kedua
dari segi mempertahankan diri.123 Dalam kedua hal ini tidak ada seorangpun dapat
mempertahankan diri secara pribadi dan tidak ada seorangpun yang dapat memenuhi
kebutuhan pokoknya secara sendirian, karena itu manusia memerlukan kerjasama
untuk memperoleh makanan dan senjata untuk mempertahankan diri mereka.
Sifat manusia secara alami adalah saling tolong menolng dan saling
membutuhkan antara satu dengan yang lainnya. Kerjasama dan saling membantu
antara sesama manusia merupakan bentuk aktivitas yang menyatukan. 124 Dari sikap
alami manusia yang saling membutuhkan untuk memenuhi kebutuhan hhidup, baik
122
Fuad Ba’ali, Society State and Urbanism Ibn Khalduns Sociological Though, hal. 153.
Dalam hal ini Ibn Khaldun melihat adanya sikap kaum Nomad yang meninggalkan Islam dan mengikuti ajaran
Nabi-nai palsu setelah wafatnya Nabi, pengikut nabi-nai palsu ini karena nabi-nabi palsu ini berasal dari suku
mereka, semangat kesukuan inilah yang merupakan factor utama dalam mendasari pemberontakan kaum nomad
terhadap Islam.
123
Deliar Noer, Islam dan Masyarakat Islam, Jakarta: yayasan risalah, 2003, hal. 109
124
Karl Manheim, Sosiologi Sistematis, Suatu Pengantar Studi Tentang Masyarakat, (terj) Jakarta:
Bina Aksara, 1987, hal. 103
kebutuhan makanan, keamanan maupun kebutuhan lainnya mengharuskan manusia
hidup bermasyarakat. Masyarakat merupakan golongan besar atau kecil dari
beberapa manusia yang saling pengaruh mempengaruhhi antara yang satu dengan
yang lain. Ibn Khaldun mengartikan masyarakat dengan “Ijtima’ al-Basyari”, karena
hal ini merupakan keharusan maka Ibn Khaldun meberikan istilah dengan “Ijtama’
al-Basyari al-Dlaruryyat”.125 Perkembangan manusia secara individu dan kebutuhan
untuk saling memenuhi kebutuhan melahirkan rasa kebersamaan dan saling tolong
menolong, tahap perkembangan inlah yang menjadi acuan teoritis pengembangan
masyarakat.
d. Negara
Keharusan adanya organisasi kemasyarakatan dapat dijelaskan dengan skematis
sebagaimana diatas, yaitu individu yang saling membutuhkan dan saling tolong
menolong dan kemudian terciptalah masyarakat. Eksistensi kemasyarakatan tidak
aka nada jika tidak ada organi kemasyarakatan. Ketika umat manusia telah mencapai
organisasi kemasyarakatan dan ketika peradaban telah menjadi kenyataan, maka
manusia memerlukan seseorang yang akan memelihara mereka, sesuai dengan
kehendak Tuhan, yaitu untuk memakmurkan dan menjadikan mereka khalifah,
dengan sendirinya yang akan melaksanakan kewajiban ini haruslah dari kelompok
mereka sendiri.126 Watak kepemimpinan ini sesuai dengan fenomena alam dan
bahkan watak kepemimpinan juga dimiliki oleh binatang seperti lebah. Di kalangan
lebah ada ketaatan kepemimpinan hukum dan pemimpin yang berasal dari salah satu
125
126
Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Kairo: Dar al-Fikr, tt. Hal. 37
Fuad Ba’ali, Society State and Urbanism Ibn Khalduns Sociological Thought, hal. 30
di antara mereka yang menonjol. Keharusan adanya pemimpin dalam kehidupan
manusia inilah yang dinamakan al-Mulk atau kedaulatan.127
Konsep al-Mulk (kedaulatan) ini merupakan konsep tentang kenegaraan.
Kekuasaan terdapat dalam keseluruhan hidup manusia terlepas apakah manusia itu
beragama atau tidak. Dinamika Negara dalam artian wilayah dan rakyatnya, baik
atau buruk ditentukan oleh komponen Negara serta budaya yang dikembangkan.
Dalam sistem khalifah Negara dijadikan sebagai tempat untuk membentuk tatanan
masyarakat Islam. Menurut Ibn Khaldun negara dan kedaulatan tidak dapat
dipisahkan dengan peradaban.
Pengembangan masyarakat Islam dalam konteks Negara adalah menciptakan
suatu peradaban sesuai dengan nilai-nilai moral agama, sehingga elemen-elemen
peradaban yang meliputi organisasi sosial, kekuasaan, usaha hidup, ilmu
pengetahuan dan keahlian diatur dan dikembangan secara komprehensif melalui
komponen kenegaraan baik sistem pemerintahan, perundang-undangan, sistem
kebudayaan. Negara sebagai wadah menciptakan masyarakat yang memiliki
peradaban yang tinggi berdasarkan syari’at agama.
e. Peradaban (Al-‘Umran)
Peradaban (Al-‘Umran) merupakan puncak dari eksistensi kehidupan manusia.
Berbagai bentuk kemajuan pada hakekatnya merupakan hasil dari peradaban.
Pengembangan masyarakat Islam yang mengacu pada pemikiran sosiologi Ibn
Khaldun pada dasarnya mengemas peradaban masyarakat dengan nilai-nilai moral
keagamaan. Agama merupakan faktor penting bagi peradaban, artinya peradaban
ditegakkan atas dasar prinsip-prinsip keagamaan. Gabungan antara kekuatan
127
Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Kairo: Dar al-Fikr, tt. Hal. 74
ashabiyat dan agama merupakan kekuatan dahsyat yang dapat membentuk suatu
peradaban. Solidaritas tanpa dibarengi dengan nilai-nilai agama dan sebaliknya
gerakan keagamaan tanpa solidaritas tidak akan berhasil.128
Pengembangan masyarakat Islam bermula dari pengembangan peradaban
masyarakat secara Islami sehingga tujuan akhir terbentuknya masyarakat khairu
ummat dapat terwujud.129
128
Yuyun S. Sumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Popular, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1996, hal. 263
129
Karakteristik masyarkat khairu Umat adalah; (1) berjuang dalam kesalehan, (2) adanya keamanan
untuk hidup yang lebih baik, (3) berlaku jujur dan adil dalam masyarakat pluralis. (4) ber Islam, Iman dan
Taqwa.
BAB IV
DAKWAH RASULULAH SAW
A. Turunnya Wahyu (Perintah Dakwah)
Kitabbullah Al Qur’anul Karim adalah wahyu yang diterima Muhammad SAW
dari Allah SWT dan diterima oleh kaum muslimin dari Rasulnya. Al Qur’an adalah kitab
agama bagi kaum muslimin. Didalam kitab ini berhimpun semua agama langit, menuntun
kehidupan umat manusia, supaya mendapat keselamatan dunia akhirat. Al Qur’an merupakan
kitab samawi yang terakhir, yang bernilai mu’jizat guna menyempurnakan akida samawiyah
umat muslim. Wahyu Allah SWT (Al Qur’an) merupakan tanda kebenaran rasul SAW,
disamping merupakan bukti yang jelas atas kenabian dan kerasulannya.
Adapun mengenai turunnya Al Qur’an tersebut lewat perantara Aminus Sama’
(Malaikat Jibril a.s) dan turun kepada hati Nabi Muhammad secara berangsurangsur, supaya
dapat dihafal. Nur menembus alam, cahaya menyinari semesta dan sampailah hidyah Allah
SWT, kepada makhluk-Nya (Ibrahim, 1991: 29) Tiga tahun sebelum mendapat wahyu,
Muhammad Saw mengasingkan diri dalam Gua Hira’ untuk beribadah selama Bulan
Ramadhan. Ketika usianya mencapai 40 tahun, beliau menerima wahyu pertama. Permulaan
wahyu itu turun pada Bulan Ramadhan. Beliau belum pernah melihat di dalam mimpinya itu
(di masa-masa sebelumnya) seperti apa yang dilihatnya di waktu subuh (Boisard, 1980: 49).
Pertama kalinya wahyu; Al Qur’an dari Allah SWT turun adalah pada awal tanggal
17 Ramadhan, bertepatan dengan tanggal 6 Agustus tahun 610M, serta bertepatan pula
dengan usia Nabi Muhammad Saw, yang ke 40 tahun. Firman Allah dalam Qur’an Surat Al
Anfal ayat 41 :
Artinya: “Ketahuilah, Sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan
perang[613], Maka Sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, Kerabat rasul, anak-anak
yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa
yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, Yaitu di hari
bertemunya dua pasukan. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (CD Digital Qur’an
Inwordl 2003)
Ayat ini menunjukkan; bertemunya dua pasukan, yakni kaum muslimin dan orangorang musyrik dalam perang Badar, terjadinya itu pada tanggal 17 Ramadhan tahun kedua
Hijriyah. Mengenai turunnya Al Qur’an pada bulan Ramadhan ini berdasarkan nash yang
jelas dalam kitab Allah SWT. Firman Allah SW dalam Q.S. Al Baqarah ayat 185:
Artinya:
“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda
(antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri
tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan
Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya
berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah
kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjukNya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”. (CD Digital Qur’an Inwordl 2003)
Di usianya yang ke 40 tahun, Rasulullah SAW suka menjauhkan dirinya dari
pergaulan masyarakat dan gemar beribadah; bertahanut’s di Gua Hira’ yang ada di lambung
bukit Nur sebelah kiri jalan ke Arafah ± 15 meter dari kota Makkah. Oleh karena beliau
sangat prihatin melihat tingkah laku kaumnya yang menyembah berhala, menyembelih
hewan kurban untuk memuliakannya. Mereka hidup dalam kebodohan dan kemusyrikan.
Mereka terpecah belah dan bermusuhan antar kelompok satu dengan yang lain. Ketika beliau
sedang beribadah di Gua Hira’ tiba-tiba datang Malaikat Jibril a.s dengan membawa wahyu
dari Allah SWT. Ia memeluk kemudian melepaskan beliau. Demikian sampai terulang tiga
kali, setiap kali Jibril a.s berkata:
“Bacalah!”, dan setiap kali pula beliau menjawab “Aku tidak bisa membaca”. Kemudian
pada kali yang ketiga Jibril a.s berkata kepada Rasulullah yaitu Surat Al ‘Alaq ayat 1-5.
Malaikat Jibril juga memberikan pelajaran: “Cara memberikan kepada manusia kejalan yang
lurus” dan memberikan pula tuntunan kepada mereka untuk mengikuti agama yang benar
dan lurus”,
Sebagaimana yang terkandung dalam Surat Al ‘Alaq ayat 1-5 yang berbunyi:
Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah, Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa
yang tidak diketahuinya”. (CD Digital Qur’an Inwordl 2003)
Kata Iqra’ dibacakan sampai tiga kali oleh Malaikat Jibril a.s, kepada Muhammad
dikarenakan beliau adalah “Ummy”. Dan bahwa yang membawakan wahyu itu adalah
Malaikat Jibril a.s, juga telah ditetapkan oleh nash yang shahih dalam Al Qur’an, yakni,
Firman Allah SWT:
Artinya:
“Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu
menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan,dengan bahasa
Arab yang jelas”. (CD Digital Qur’an Inwordl 2003).
Sebelum wahyu itu turun, telah datang tanda-tanda dan isyarat, wahyu telah dekat
dan sebagai bukti kenabian untuk Rasul yang mulia. Bahwa setiap mimpi Rasul SAW terjadi
dalam kenyataan dan terbukti cocok, mimpi benar (Arrul’ Yaa Ash haadiyah). Dan wahyu
itupun sempat terputus selama tiga tahun, karena itu Muhammad SAW menyiapkan diri
untuk kembali bertahanus, untuk mendapatkan kebenaran yang sebenarnya serta untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Demikianlah wahyu pertama dan sekaligus turunya Al
Qur’an yang permulaan (Nur, 1988: 20).
1. Penobatan Muhammad Saw menjadi Rasul
Riwayat Hidup Muhammad SAW, sebelum kenabian;
a) Baik dari lingkungan rumah tangga; lantaran semasa Muhammad SAW, masih dalam
kandungan ibunya 2 bulan, ayahnya meninggal dunia dan semasa beliau berusia 6 bulan,
ibunya meninggal dunia. Kemudian beliau diasuh oleh kakek dan pamannya yang hanya
bersifat pengayoman, karena semasa kanak-kanak beliau tidak mendapatkan pendidikan
belajar melainkan mengikuti pamannya berpergian (berdagang).
b) Baik dari lingkungan pendidikan sekolah, lantaran masa itu adalah masa pra sejarah Islam
(Jahiliyah), belum ada tata agama dan tata masyarakat, yang ada masyarakat penyembah
berhala-berhala.
c) Baik dari lingkungan masyarakat, lantaran beliau semasa belum menerima keangkatan
menjadi Nabi dan Rasul, beliau ‘Uzlah; menjauhkan diri dari masyarakat di Gua Hira’
mengerjakan ibadah kepada Allah SWT. Sampailah beliau menerima keangkatan menjadi
nabi dan rasul. Meskipun Muhammad SAW tidak ada pendidikan dari lingkungan tersebut,
namun beliau tumbuh bertambah besar baik badan, akal maupun peradabannya serta
sempurna, sehingga dikenal oleh masyarakat penduduk Makkah bahwa beliau “Orang
terpercaya /Al Amin” (Amali, 1986: 40).
Sehingga jelaslah bahwa pendidikan Muhammad SAW, itu semata-mata adalah
pendidikan dari Tuhan Yang Maha Esa dan pemeliharanya secara langsung. Muhammad
SAW dilahirkan ke dunia ini berbeda dengan kebanyakan manusia biasa, perbedaannya
antara lain:
a) Beliau orang yang sempurna, sedang umum manusia kurang sempurna
b) Beliau meng-Esakan Tuhan Yang Maha Esa, sedang umum manusia menyekutukan-Nya
c) Kepercayaannya benar, sedang umum manusia mengikuti angan - angan.
d) Beliau mencetak atas kebaikan, sedang umum manusia bodoh menyimpang dari kebaikan.
e) Beliau tumbuh dalam keadaan anak yatim-piatu, beliau hidup dalam kemandirian, pekerja
keras dan kesederhanaan serta tumbuh cinta menyendiri, beribadah bermunajat kepada Allah.
f) Akhlaq beliau adalah terbaik, beritanya jujur, dan kepercayaannya yang terbesar. Pada
pokoknya akhlaq beliau telah tercipta atas perbuatan-perbuatan yang baik-baik, lagi tercetak
atas praktik - praktik yang baik pula.
Oleh karena Allah telah melindungi beliau sejak dari kecilnya dari pada segala
perbuatan-perbuatan jahili yang menyimpang dengan syari’at Islam yang dibawanya.
Dengan diturunkannya wahyu Allah SWT pertama adalah Surat Al Alaq ayat 1-5,
merupakan “Peresmian ( Muhammad SAW ) sebagai Nabi dan Rasul Allah SWT”. Adapun
tugas keangkatan kenabian dan kerisalahan tercermin pada kandungan lima ayat, dalam
wahyu yang pertama ini adalah perbaikan agam, politik, sosial dan ekonomi yang sudah
rusak, diantaranya : (Amali, 1986: 46-47) yaitu :
Ayat 1
Titah pemberantasan: “Buta Huruf” dengan tujuan untuk mengenal : “Ada” Tuhan Yang
Maha Esa, Allah SWT. Pencipta dan Pemelihara Alam Semesta hak milik mutlak-Nya.
Ayat 2
Perbaikan: “Susunan masyarakat” dari “Susunan masyarakat Pra Sejarah Islam” ke “Susunan
masyarakat Islam” yang bentuk haluannya: “Keadilan Sosial” yang menjamin “Syari’at
Islam”. Sehingga jadilah ia menjadi sebagai; “Dasar” yang resmi untuk; “Kehidupan
Keagamaan” dan “Kehidupan Keduniaan” bagi negara.
Ayat 3
Titah: “Ber-management”; bertatalaksana dalam cara memperoleh dan menggunakan nikmat
pemberian Allah, baik yang bersifat abstrak maupun bersifat konkrit. Karena :
a) Sehubungan dengan alam semesta ini adalah: “Hak milik mutlak-Nya”, maka pemberian
nikmat kepada makhluk-Nya manusia adalah merupakan hak milik kiasan/hak milik
pertaruhan/hak milik amanat Tuhan Yang Maha Esa/ sehingga cara memperoleh dan
mengenakannya wajar harus melalui saluran tata tertib hukumnya yaitu “Halal dan Haram”.
Jadi cara memperoleh dan mengenakan hak milik kiasan itu tidak bebas sepenuhnya tunduk
kepada kemauan seleranya, rasa kepuasan “Hanya Aku”
b) Ketidak bebasannya itu sehubungan dengan nilai-nilai keseimbangan:
- Keseimbangan diantara : rasa dan rasia
- Keseimbangan diantara : kehidupan agama dan kehidupan dunia
- Keseimbangan diantara : naluri hayati dan pembatasan menurut syariat Islam
Ayat 4 : peraikan kebudayaan
a) Kebudayaan dalam lapangan kerohanian yang plural
b) Kebudayaan dalam lapangan kebendaan
Ayat 5 : mengadakan penyelidikan dalam bidang ilmu pengetahuan
Begitu pentingnya posisi ilmu pengetahuan, sehingga nabi mewajibkan kita semua untuk
mencari ilmu pengetahuan. Dalam haditsnya beliau bersabda: “Mencari ilmu itu diwajibkan
bagi setiap orang Islam laki-laki dan perempuan” dan “Carilah ilmu sampai negeri Cina”
Selain menjunjung tinggi ilmu pengetahuan, Islam juga sangat menjunjung tinggi orang yang
berilmu: Firman Allah SWT: Artinya: “Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan
kepadamu:
"Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi
kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan”. (CD Digital Qur’an Inwordl 2003)
Wahyu dari Allah SWT, sempat terputus selama tiga tahun. Kemudian beliau
dengan persediaan yang cukup mulai bertahanus di Gua Hira’ untuk menyambung wahyu.
Setelah Rasulullah SAW, menerima wahyu pertama, surat Al ‘Alaq ayat 1-5 (peresmian
kenabian dan kerasulan Muhammad SAW), kemudian wahyu berikutnya adalah surat Al
Muddatstsir ayat 1-7; berdakwah menyiarkan agama Islam, yang bunyinya:
Artinya :
“Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringata , dan Tuhanmu
agungkanlah , dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa tinggalkanlah, dan
janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak, dan
untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah” (CD Digital Qur’an Inwordl 2003).
Pada wahyu yang kedua ini tersimpul: “Tema Da’wah Rasulullah SAW” yang
diperintahkan Allah SWT dalam garis besarnya sebagai berikut; sikap berdakwah harus tegas
dan tegak berdiri di atas yang benar.
1. Sikap berdakwah harus tegas dan tegak berdiri di atas yang benar
2. Pengakuan atas ke-Esaan dan Kekatan Tuhan Allah SWT
3. Memisahkan peribadatan dan pekerjaan hanya kepada Allah SWT
4. Kebersihan pakaian dari najis baik yang konkrit maupun yang abstrak
5. Tahan uji dari pada mala petaka/ujian yang menimpa pada dirinya dalam melaksanakan
perintah-perintah Tuhannya.
Dari dua wahyu tersebut di atas dapat diartikan sebagai berikut:
Bahwa “Agama” yang didakwahkan Rasulullah SAW, itu:
Pertama : Mengenai “Dasar-hidup”, yaitu ayat 1 surat Al ‘Alaq tersebut segi agama
(keyakinan dan kepercayaan “Ketuhanan Yang Maha Esa”).
Kedua : Mengenai cara-cara hidup bernegara dan bermasyarakat, segi politik, sosial dan
ekonomi, ayat 2 sampai ayat 4. Bagian kedua ini dilaksanakan pelaksanaannya dalam dua
tahap, yaitu :
1. Pembentukan “Pribadi muslim” sebagai unsur mutlak bagi pembentukan masyarakat Islam
di Madinah yang plural
2. Pembentukan “Masyarakat Islam” dari “Masyarakat Pra sejarah Islam” melalui dasar
“Syari’at Islam”
2. Pribadi Muslim
Secara ringkas, adalah “Hak kepribadian seseorang, yaitu hukum kemauan sendiri,
hanya Aku” tunduk dan menyerah kepada perintah Allah dan menjauhi diri dari pada
larangan-Nya sebagai “Dasar hidup-nya sehari-hari. Dalam membentuk pribadi muslim tidak
ada unsur paksaan dan menakut-nakuti karena telah jelas jalan benar dan jalan yang salah
dalam agama Islam. Apabila umat muslim benar-benar berkepribadian Islam, maka
kehidupan di dunia dan akhirat mendapat kebahagiaan.
Menurut Amali (1986: 56), organisasi dakwah Islamiyah Rasulullah SAW meliputi:
1. Tujuan dakwah :
Pembentukan pribadi muslim ialah mengembalikan manusia kepada :
“Program perjanjian setia akan pengakuannya terhadap: Keesaan Allah Tuhan Pencipta dan
Pemeliharanya”. Dengan membentuk pribadi muslim maka pembentukan masyarakat Islam
dapat terlaksana; unsur mutlak baginya.
2. Jangka waktu dakwah :
12 tahun 5 bulan 13 hari semasa Rasulullah SAW, di Makkah sejak menerima keangkatan
kenabian dan kerisalahan sampai hijrah ke Madinah.
3. Metode dakwah :
a) Sehubungan dengan :
1) Agama Islam adalah agama fitrah
2) Memperhalus budi pekerti
3) Menyeru akan perbuatan yang mendekatkan diri kepada Allah SWT
4) Mencegah segala perbuatan yang menjauhkan diri dari Allah SWT
b) Sedangkan keadaan masa yang menjadi objek dakwah adalah :
1) Agama watsa; agama yang menyembah berhala-berhala
2) Budi pekertinya terikat oleh “Pengaruh kekuasaan” dan “Kesombongan” yang
menyebabkan perselisihan dan pertempuran ditambah dengan iklimnya yang panas, maka
lantaran persoalan yang kecil bisa menjadi pertempuran.
3) Membunuh anak-anaknya karena takut kefakiran
4) Mengubur anak-anak perempuan karena takut aib (cacat kehormatannya) .
B. Dakwah Islam Periode Mekah
1. Proses Dakwah
a) Proses dakwah secara diam-diam
Mula-mula Rasulullah SAW mengajarkan islam atau berdakwah di mekah secara diam-diam;
sembunyi-sembunyi, dalam masa + 3 tahun. Mula-mula dakwah ditujukan kepada anggota
keluarga maupun kerabat terdekat (Dahlan, 1990 : 370)
Firman Allah SWT : Q.S.Asy-Syu’araa : 214:
Artinya: “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat” (CD Digital
Qur’an Inwordl 2003).
Setelah mendengar dakwah Rasulullah SAW, Abu Tholib menyatakan tidak
sanggup meninggalkan agama peninggalan nenek moyang (penyembuhan terhadap berhala).
Sejak peristiwa tersebut islam menjadai bahan perbincangan disegala penjuru. Beberapa
orang ingin mengetahui apa sebenarnya agama islam itu. Sementara itu tokoh-tokoh quraisy
seperti Abu Lahab (Abdul Uzza) , Abu Jahal dan Abu Soffyanselalu berusaha menghalangi
masuknya agama islam yang dibawa oleh beliau (Amali, 1986 : 60) Rasulullah SAW
memulai dakwahnya kepada orang-orang yang diharapkan kepadanya kebaikan dari sanak
kerabat terdekat. Maka orang pertama yang beriman kepada Allah SWT sesuai apa yang
didakwahkanya, antara lain :
1. Khadijah (istri nabi Muhammad SAW); orang pertama yang beriman atas kerosulan nabi
Muhamad SAW.
2. Putri-putrinya ; Zaenab, Ruqayyah, Ummu Kultsun dan Fatimah
3. Saudara sepupunya; Ali bin abi tholib
4. Hamba sahayanya ; Zaid bin Haristsah, lalu dimerdekakan
5. Sahabat ; Abu Bakar bin Abi Qahafah ( namanya sebelum masuk islam ) seorang pemuka
terpandang dan saudagar kaya dan dermawan.
6. Ustman bin Affan
7. Uzzubaer
8. Thalhah
9. Umar bin Yasir
10. Bilal bin Robah
11. Al Arqam bin Abil – Arqam ; pemilik rumah dilorong dekat masya’ Aris-Shafa, yang
digunakan sebagai tempat pendidikan perkuliahan ; madrasah pertama dalam sejarah islam.
Selama Rasulullah SAW berdakwah di Mekah beliau hanya berperan sebagai rosul
penyampai wahyu. Beliau menyeru orang perorang. Jalanya dakwah sangat lambat, dari
jumlah sedikit orang- orang mekah. Hanya beberapa orang saja yang berasal dari kelompok
elit yang memeluk agama islam (the ruling class) (Shiddiqi, 1996 : 84 )
b) Proses Dakwah terang-terang dalam masa dalam masa + 7 tahun.
Firman Allah : Q.S Al-Hijr : 94
Artinya : “Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan
(kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” (CD Digital Qur’an Inwordl
2003) .
Setelah turun ayat ini, Rasulullah SAW, menyampaikan dakwahnya kepada seluruh lapisan
masyarakat kota Mekah yang pluralistik, dari golongan bangsawan sampai golongan budak
serta pendatang kota Mekah yang mempunyai agama berbeda dan berbagai suku. Untuk
berdakwah secara terang-terangan ini beliau mengamhil bukit “shofa” sebagai tempat
dakwahnya. Rasulullah SAW. Menyampaikan dakwah dibukit Shofa selama dua kali, namun
orangorang banyak yang mendustakanya. Sebagian ada yang menerima dan sebagian ada
yang menolaknya dengan kasar. Rasulullah SAW bersabda : “Selamatkan diri kalian dari
bahaya api neraka, sesungguhnya saya memberi peringatan kepada kalian dari siksa yang
pedih.” Dan Abu-Lahab menjawab : “Binasalah hai Muhammad ! Adakah engkau
mengumpulkan kami hanya untuk ini saja ?
Sehubungan dengan hinaan Abu Lahap ini, maka turunlah surat Al Lahab sebagai
berikut :
Artinya: “Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan Sesungguhnya Dia akan binasa, tidaklah
berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan, kelak Dia akan masuk ke
dalam api yang bergejolak, dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar, yang di
lehernya ada tali dari sabut”. (CD Digital Qur’an Inwordl 2003) .
Sikap Rasulullah SAW, dalam dakwah Islam, meliputi; pertama, tidak terdapat
sikap pribadi yang menuju sifat yang berlebih-lebihan dan memuji unuk kepentingan
pribadinya dan gaya bicaranya simpatik (dapat diterima), kedua, dan tidak terdapat sikap
pribadi sifat
kemewah-mewahan menyebabkan orang terkejut dan mencegah akan manusia yang lemah
(Amali, 1986: 57) . Adapun yang disampaikan Rasullah SAW, dalam dakwahnya adalah
ajaran islam, antara lain:
a) mengajak manusia hanya menyembah Allah SWT dan meninggalkan kepercayaan
menyembah berhala
b) Mengajar tetang adanya hari kaimat; hari pertanggung jawaban semua masnuai atas semua
perbuatannya
c) Mengajarkan akhlaq yang terpuji serta menjauhkan diri dari perbuatan tercela
d) Mengajarkan persamaan derajat diantara manusia, karena pada umumnya derajat manusia
di mata Allah SWT itu sama pembedanya adalah iman dan taqwa
Pada waktu itu orang-orang Islam di Makkah jumlahnya masih sedikit. Agama
Islam dianggap sebagai ancaman oleh suku Quraisy (suku bangsa Arab yang terpandang dan
terhormat di Makkah), karena mereka menolak ajaran yang dibawa Rasulullah SAW.
Banyaknya penolakan yang dilakukan dengan kekerasan. Dakwah Islamiyah di Makkah oleh
Rasulullah SAW adalah perjalanan dan perjuangan yang berat karena bermula membentuk
manusia-manusia muslim pertama yang merupakan minoritas tertindas dan membutuhkan
bimbingan moral, dan bukan perundang-undangan sosial yang mereka tidak dapat
menerapkannya, akan tetapi usaha keras atas penolakan ajaran Islam tidak menyurutkan
dakwah Islamiyah oleh Rasulullah SAW (Sjadzali,1990: 8).
2. Hambatan-hambatan dakwah
Sehubungan dengan semakin banyaknya orang di Mekah yang masuk Islam,
karena rasa ketertarikan dengan akhlaqul karimah yang diajarkan Islam, persamaan dan
persaudaraan yang tulus serta perikemanusiaan, mereka (kaum Quraisy) memakai jalan
kekerasan untuk menghalangi dakwah Rasulullah. Apalagi ketika mereka melihat
Rasululllah SAW, giat berdakwah selain itu mereka juga melakukan penangkapan dan
penyiksaan. Bilal bin Robah merupakan orang yang mendapat siksaan yang kejam, dengan
cara diikat, dijemur (panas matahari), dadanya ditindih dengan batu besar dan dicambuk.
Sahabat yang lain adalah Usman bin Mazam dipukul kepalanya sehingga matanya rusak
sebelah.
Meskipun demikian hal ini tidak menjadikan surutnya kaum muslimin untuk
berdakwah mereka menyadari bahwa ajaran Rasululllah SAW adalah benar dan kemudian
Islam sehingga pengikut-pengikutnya semakin bertambah banyak. Dan prospek dakwah
Rasululllah SAW adalah dengan menyelenyapkan penyembahan terhadap material (berhalaberhala) akibatnya timbul permasalahan (tuntunan), antara lain (Amali: 1986: 56- 67)
a) Tuntutan supaya Rasululllah SAW menghentikan celaan terhadap tuhan-tuhan mereka
(berhala) dan menghentikan mencaci nenek moyangnya tuntutan ini dilakukan dengan pergi
kepada paman Rasululllah Saw, Abu Thalib, pelindungnya namun tuntutan mereka ditolak
oleh Abi Tholib dnegan bijaksana. Dan Rasululllah SAW terus berdakwah.
b) Mengajukan protes atas kelangsungan Rasululllah SAW dalam berdakwah dengan pergi
kepada Abu Thalib kedua kalinya karena sikap Rasululllah SAW yang tidak ada perubahn
dan terus berdakwah mereka berkata: “Kami tidak sabar lagi mendengar dakwah Rasululllah
Saw” Abu Thalib tidak menghentikan proses dakwah Rasululllah SAW
c) Mereka mengajukan protes ke tiga kalinya dengan membawa pemuda bernama Umar bin
Alwalid kepada Abu Thalib sebagai pengganti Rasululllah SAW (hendak mereka bunuh)
tuntutan ini tetap ditolak Abu Thalib.
d) Mereka datang lagi kepada Abu Thalib untuk memilih tiga alternatif yang harus dipilih
Rasululllah SAW antara lain:
1) Jika terdapat padanya penyakit urat saraf, mereka bersedia membiaya semua ongkos
pengobatan dan perawatan
2) Jika ia suka harta benda mereka akan kumpulkan baginya secukupnya
3) Jika ia suka kedudukan (tahta) maka akan diangkat menjadi kepala pemerintahan dan
mereka memiliki hak persoalan menjadi hak miliknya
Sehubungan dengan keteguhan dan ketegasan sikap Rasululllah SAW secara
perwira dan kesatria maka Abu Thalib mempersilahkan beliau terus berdakwah menurut
kehendaknya. Di antara orang-orang yang menghalangi dakwah Rasululllah SAW antara
lain; pertama, Abu Jahal, Amran bin Hisyam bin Al Mughirah, Al magzumi Al Quraisy
(pelopor pembunuh Rasululllah SAW) dia berusaha membunuh Rasululllah Saw dengan
menghancurkan kepalanya dengan batu besar ketika beliau sujud dalam shalatnya namun
usaha gagal karena Allah SWT senantiasa melindungi Rasululllah SAW dengan mengutus
Malaikat Jibril a.s yangberubah menyerupai Onta, dengan berusaha mengikis batu yang akan
jatuh di kepala Rasululllah SAW dan masih banyak lagi perbuatan Abu Jahal yang menyakiti
hati Rasululllah Saw ketika hendak mengerjakan shalat di Baitullah. Sehubungan dengan
kesombongan Abu jahal terpengaruh dunianya maka turunlah surat Al ‘Alaq ayat 15-19 yang
berbunyi:
Artinya: “Ketahuilah, sungguh jika Dia tidak berhenti (berbuat demikian) niscaya Kami
tarik ubun-ubunnya, (yaitu) ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka, Maka
Biarlah Dia memanggil golongannya (untuk menolongnya), kelak Kami akan memanggil
Malaikat Zabaniyah, sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh kepadanya; dan sujudlah
dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan).” (CD Digital Qur’an Inwordl 2003)
Kedua, Abu Lahab bin Abdul Muthalib (paman Rasululllah SAW) ia lebih sangat
membenci Rasululllah SAW, layaknya bukan famili ia senang sekali melempari kotorankotoran ke pintu rumah Rasululllah SAW, demikian istrinya Ummu Jamil bin Haib bin
Ummayyah tukang menyebar fitnah.
Ketiga, Aqobah bin Mu’itah orang yang telah meludahi wajah Rasululllah SAW,
sehubungan dengan itu turunlah wahyu Allah Surat Al Furqan 27-29 yang berbunyi:
Artinya: “Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya,
seraya berkata: "Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul",
kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan sifulan itu teman
akrab(ku), Sesungguhnya Dia telah menyesatkan aku dari Al Quran ketika Al Quran itu
telah datang kepadaku. dan adalah syaitan itu tidak mau menolong manusia”. (CD Digital
Qur’an Inwordl 2003).
Keempat, Golongan yang suka mencemooh antara lain Al Ashy bin Wail Assahmi
Al Quraisy, Ayah Amrun bin Al Ash, dia juga membenci Rasulullah SAW, saya berkata
“Muhammad penipu teman-temannya bahwasanya mereka akan hidup kebali sesudah mati,
demi Allah tidak ada yang membinasakan kita melainkan massa”. Keyakinan ini dibalas oleh
Allah yang berbunyi;
Artinya: “Dan mereka berkata: "Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja,
kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa", dan
mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah
menduga-duga saja”. (CD Digital Qur’an Inwordl 2003).
Selain empat orang tersebut di atas masih banyak lagi penghalan dakwah
Rasulullah SAW, antara lain: Al Ashwaf bin Abdi Yaghuts, Assuhri Al Quraisy dari bani
Suhrah, paman-paman Rasulullah SAW, dari ibu, Al Aswad bin Abdul Muthalib A Asadi
anak perempuan ibu Khadjijah Al Walid bi Al Mughirah paman Abu Jahal, dan An Hadr bin
Al Harits Al Abdary dari Bany ‘Abdid dari bin Qushaqy. Demikianlah orang-orang yang
menghalangi dakwah Rasulullah SAW, mereka mengharuskan kepada tiap suku mengambil
penangkapan terhadap famili-famili yang masuk Islam dengan penyiksaan yang keji. Mereka
dihadapkan pada dua pilihan yakni mati atau ingkar pada Rasulullah Saw. Dan selain sahabat
Bilal bin Robah ada Amr bin Yasir beserta keluarganya yang dibakar hingga meninggal
dunia lantaran tidak mau ingkar kepada Rasulullah SAW (Amali, 1986: 69-75).
3. Peristiwa Isra’ Mi’raj
Pada tanggal 27 Rajab tahun ke XI dari kenabian (621 M) Rasulullah SAW
melakukan Isra’ dan Mi’raj. Sehubungan dengan masa perjuangan dakwah Islam yang masih
membutuhkan waktu lama dan ketekunan, sedangkan reaksi musuh semakin bertambah
kejam, maka Allah SWT mengijinkan Rasulullah SAW untuk “Isra” dan “Mi’raj”. 10 tahun
Rasulullah SAW memperjuangkan “Pola dasar pembangunan garis besar haluan negara”
bersumber Al-Quran, yaitu pembentukan: “Pribadi Muslim” di Mekah unsur mutlak bagi
pembentukan “ Masyarakat Islam” di Madinah.
a) Isra’ ialah perjalanan Rasulullah SAW diwaktu malam hari dari masjidil haram di Mekah
ke masjidil Aqsha di Palestina. Setibanya beliau di masjidil Aqsha bertemu dengan Nabinabi dan Rosul-rosul pendahulunya. Disana mereka menyambut kedatangan beliau sebagai
Nabi terakhir. Kemudian mereka berjamaah sholat yang diimami oleh beliau sendiri.
1) Thoybah (Madinah), tempat beliau akan hijrah dari mekah di kemudian kemudian hari
untuk melanjukan kewajiban sebagai Rasulullah (berdakwah). Dari sanalah cahaya Islam
akan memancarkan ke seluruh pelosok permukaan bumi.
2) Madyat, tempat dimana ayah beliau; Abdullah meninggal dunia dalam perjalanan pulang
dari Syam kembali ke Mekah.
3) Thursina, bukit terkenal dekat negeri Syam, di bukit ini Nabi Musa a.s bermunajat kepada
Tuhan Yang Maha Esa.
4) Baetil- Lahmi, dekat baetil-Naqdis (masjidil Aqsha), tempat kelahiran Nabi Isa as (Tanpa
bidan).
Dalam perjalanannya, beliau juga mendapat pengetahuan tentang perlambang dari
pada keanekaragaman jenis siksaan atas umat sesuai dengan dosa yang diperbuat semasa
hidup, serta tentang perlambang daripada godaan iblis yang menyesatkan manusia. Berkat
sebelum Isra’ Beliu mendapat operasi mental di dadanya, setelah hatinya suci dari darah
hitam (bagian setan) kemudian diisikan padanya hikmah keimanan oleh malaikat Jibril ‫ ز‬a.s
yang dibantu oleh malaikat Mikail a.s, sehingga hati beliu penuh dengan ketabahan,
keyakinan, pengetahuan, dan berserah diri terhadap Kholiq-Nya Allah SWT; kemudian cap
kenabian di belikatnya yang berbunyi “ Khatamun- Nabiyyin ( Penutup Nabi-nabi) (Amali;
1986:90)
b) Mi’raj ialah Rasulullah SAW, naik kealam atas tingkat IX (Mustawa), ditingkat ke VIII,
dibawahnya (Muntaha), diatasnya tingkat X (Arasy, Luasnya tujuh lapis langit dan bumi).
Sungguh Betapa besar kekuasaan Tuhan YME, Allah SWT. Jarak jauh dari alam bawah
kealam atas di dalam Al-Quran: jarak jauh langit dan bumi: Surat Assajdah ayat 5 : 1000
tahun jarak jauh dari alam bawah ke sisi serambi Arasy: surat Al-Ma’arif ayat 4 :
50.000 Tahun .
Setelah Rasulullah menjadi imam sholat tersebut diatas, kemudian Beliau
mendapat suguhan 3 jenis minuman; Air, Arak, Susu. Dan diambilah Susu sebagai
minumannya, sebagai perlambang agama Fithrah yaitu agama Islam. Susu merupakan
minuman yang mengandung gizi bernilai tinggi, demikian dengan agama Islam merupakan
bahan makanan rohani yang mengandung keimanan yang tinggi nilainya. Rasulullah Saw
sesampainya dialam atas VIII (sidratil Muntaha) Mi’raj dari alam bawah (Masjidil Aqsha)
disertai malaikat Jibril a.s. dan beliau terus Mi’raj kealam atas IX (Muntawa) tanpa disertai
malaikat Jibril a.s. di sanalah beliau menerima kewajiban sholat 5 waktu.
Semua sholat 5 waktu di wajibkan 100 rakaat, 5 waktu = 20 rekaat tiap-tiap waktu,
kemudian mendapat keringanan menjadi 17 rekaat yaitu: 2 rekaat sholat Shubuh, 4 rekaat
sholat zhuhur, 4 rekaat sholat Ashar, 3 rekaat sholat Magrib, dan 4 rekaat sholat Isya’.
Berarti umat muslim Rasulullah Saw mohon keringanan 83 rekaat keringanan ini berkat
nasehat Nabi Musa a.s bahwa umatnya tidak akan kuat mengerjakan 100 rekaat dalam sholat,
sebaiknyalah memohon keringanan kepada Allah SWT. Kemudian Rasulullah SAW mohon
keringanan dan permohonannyapun dikabulkan; seperti yang tersebut di atas. (Amali
1986:96)
Peristiwa besar Isra’ dan Mi’raj kebanyakan orang tidak mempercayainya kecuali
abu bakar “As-Shiddiq”; orang yang membenarkan; gelar dari Rasulullah SAW. Sedang
fungsi dari sholat ialah meninggikan derajat naluri hayati/ selera/ nafsu dari derajad
kehewanan ternak (rasa kepuasan/ rakus) dan kehewanan buas (hanya aku/ kesombongan) ke
derajad manusia yang sempurna “manusia Yang Taqwa kepada Allah SWT” selain sholat
lima waktu juga diwajibkan atas umat muslim untuk mengerjakan puasa, zakat, dan
ibadah haji (bagi yang mampu). Sebab terjadinya Isra’ dan Mi’raj meliputi beberapa aspek
antara lain:
a) Sepanjang masa 10 tahun SAW, memperjuangkan “pola dasar pengembangan garis besar
haluan negara bersumber Al-Quran” yaitu pembentukan “Pribadi Muslim” dimekah yang
absolut bagi pembentukan: “ masyarakat Islam” di Madinah. Kemudian beliau senantiasa
mendapat reaksi dari kaum Musyrikin Quraisy yang sengit dan menyakitkan hati, terlebih
setelah wafatnya dua orang yang disegani; Ibu Khadijah (Istri Beliau) dan Abi Tholib
(Paman Beliau).
b) Sehubungan pula dengan masa pejuangan dakwah Islam masih membutuhkan waktu lama
dan ketekunan, sedangkan reaksi dari musuh semakin hari semakin bertambah sengit, maka
atas idzin Allah SWT beliau mengerjakan “Isra’ dan Mi’raj”, demi untuk memperkebal dan
memperteguh hati Beliu dalam menghadapi reaksi musuh - musuhnya. Dari Isra’ dan Mi’raj
ini, Beliau akan mendapatkan kesan - kesan yang bermanfaat bagi perjuangannya, yaitu
bahwa “kenyataan bukti-bukti keesaan dan kekuasaan Tuhan yang mengutus beliau itu,
beliau dapat membuktikan dengan mata kepala sendiri dan Alam Ghoib dan Alam Atas,
betapa Agung-Nya.
c) Beliau akan menerima kewajiban sholat lima waktu di Mustawa langsung dari Tuhan
Yang Maha Esa Allah SWT. Yang fungsinya merupakan: “Pendidikan batin/ jiwa”
C. Dakwah Islam Periode Madinah
1. Peristiwa Bai’at Aqabah I dan Ke II
Pada tahun ke XI dari permulaan kenabian (bitsah), merupakan suatu peristiwa
yang tampaknya sederhana, tetapi yang merupakan titik awal lahirnya suatu era baru bagi
Islam dan juga bagi dunia. Yaitu perjumpaan Rasulullah SAW. Dengan enam oranga dari
kabilah/suku khazraj, yathrib (Madinah) di “Aqabah Mina” yang datang ke mekkah untuk
ibadah haji. Secara bersama-sama mereka masuk ke “Aqabah Syi’ib” yang dekat dengan
Aqabah Mina, dan sebagai hasil perjumpaan itu, enam tamu dari yathrib itu masuk Islam
dengan memberikan kesaksian bahwa “Tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad
adalah utusan Allah”.
Sebab lain dari masuknya Islam ke enam orang itu dalah sehubungan dengan
mereka adalah penduduk Yathrib, yang mana mereka bertetangga dengan orang-orang
yahudi; yang kerap kali mereka menerangkan sifat-sifat Nabi terakhir yang akan datang.
Kemudian mereka melihat sifat-sifat itu; akhlaq yang terpuji dan selalu terpelihara serta
menjadi panutan terbaik, serupa dengan sifat-sifat Nabi Muhammad SAW yang mereka
temui. Sementara itu kepada Nabi mereka menyatakan bahwa kehidupan di yathrib selalu
dicekam oleh permasalahan yakni permusuhan antar golongan dan antar suku khususnya
khazraj dengan suku Aus.
Harapan mereka adalah semoga Allah mempersatukannya melalui Nabi, dan
mereka juga berjanji kepada Nabi akan mengajak penduduk yathrib untuk masuk Islam. Pada
musim haji tahun berikutnya, tahun ke XII bi’tsah dua belas orang laki-laki penduduk
yathrib; 10 orang dari kabilah khazraj dan 2 orang dari kjabilah Aus, datang menemui Nabi
ditempat yang sama di bukit Aqabah dan berkumpul di Aqabah Syi’ib. mereka menerima
dakwah Rasulullah Muhammad SAW. Kemudian mereka berbai’at (berjanji kepada Nabi
bahwa mereka tidak akan mempersekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berbuat
zina, tdak akan berbohong dan tidak akan mengkhianati Nabi serta menjauhi perbuatan
kebathilan/ kemungkaran lainnya.
Kedua belas orang yang masuk Islam ini adalah merupakan “Bibit Anshar”dan
kemudian Rasulullah SAW mengatakan bahwa jika bai’at ini dilaksanakan maka surga
sebagai imbalanya, dan jika mengingkarinya maka siksa neraka adalah balasannya dan
apalagi Allah menghendaki memberikan Ampunan niscayalah ysng diterima itu terlepas dari
pada siksaan “Bai’at ini dikenal dalam sejarah sebagai “Bai’at Aqabah Pertama” (Sjadzali,
1990: 8) Kemudian pada tahun ke XIII bi’sah, musim haji berikutnya sebanyak 73 orang
penduduk Yathrib ; 62 orang dari kabilah khazraj dan 11 Orang dari kabilah Aus yang
diantaranya terdapat dua orang wanita dari arab Madinah, yang sudah memeluk agama Islam
berkunjung ke Mekah untuk ibadah haji.
Di samping itu mereka semua mengundang Rasulullah untuk hijrah ke Yathrib dan
menyatakan lagi pengakuan mereka bahwa Rasulullah SAW adalah Nabi dan pemimpin
mereka. Nabi menemui tamu-tamunya itu ditempat yang sama dengan 2 tahun sebelumnya,
Aqabah. Di tempat itu mereka mengucapkan bai’at bahwa mereka akan setia dan membela,
melindungi Nabi sebagaimana mereka melindungi anak dan istrinya, ikut berjuang membela
Islam dengan harta dan jiwanya, serta berusaha memajukan agama Islam dengan
meyakinkan kepada kerabat-kerabatnya. Bai’at ini dikenal dengan “Bai’at Aqabah kedua ;
Bai’at – Kubra”.
Berdasarkan dua bai’at di atas merupakan jaminan terlaksananya dakwah di
yathrib. Sejak saat itu berangsur-angsur kaum muslimin Mekah hijrah ke Yathrib secara
diam-diam agar tidak diketahui oleh orang-orang kafir Quraisy. Tujuan hijrahnya adalah
untuk memperoleh penghidupan yang layak selain untuk dakwah islamiyah dan beberapa
bulan kemudian Nabi Muhammad sendiri hijrah bergabung dengan mereka (Sjadzali, 1990 :
9) .
Hijrahnya umat muslim mekah ke Yathrib menimbulkan agama Islam di Yathrib
mengalami kemajuan pesat sehingga hal ini menggelisahkan kaum musrikin Quraisy di
Mekah. Kemajuan ini berkat setelah bai’at kubra sebanyak 12 orang pilihan dari mereka
yang sebanyak 73 orang dilantik Rasulullah SAW. Sebagai “Naqaba” (Kepala regu dari satu
organisasi). Dalam rapat-rapat “adhoknya” kaum musyrikin Quraisy di Mekah mengambil
keputusan bahwa “Muhammad harus di bunuh” dengan jalan rumahnya diblokir oleh
angkatan muda yang terlatih dari tiap-tiap suku dan diorganisir sedemikian rupa agar rencana
agar pembunuhan itu tidak bocor keluar.
Namun siasat mereka sia-sia belaka lantaran Rasulullah SAW dapat meloloskan
diri dari kepungan mereka yang sangat ketat. Yaitu beliau keluar dari rumahnya dan
didampingi oleh Abu Bakar dalam keadaan malam yang gelap gulita. Mereka terpedaya oleh
siasat Rasulullah yaitu beliau menempatkan sahabat Ali di tempat tidurnya. Kemudian
dengan Abu Bakar beliau keluar dari rumahnya dan sembunyi di “Gua Tsur “, (8 jam pulang
pergi dari Mekah dengan berjalan kaki). Pada saat mereka tidak menemui Rasulullah di
tempat tidurnya, hal ini menimbulkan amarah.
Kemudian mereka mencarinya dan mengeluarkan Ma’lumat: “Barang siapa yang
dapat menangkap Muhammad akan mendapatkan 100 ekor onta”. Kemudian sampailah
mereka didepan Gua Tsur. Karena rasa khawatir sahabat Abu Bakar menangis dan
tangisannya terhenti setelah Rasulullah SAW berkata bahwa “Allah bersama kita, jangan
khawatir”. Dan ternyata mereka selamat lantaran mereka tidak melihatnya padahal kaki
mereka persis di mulut Gua Tsur. Maka timbulah keyakinan umat muslim bahwa Allah SWT
senantiasa melindungi orang-orang yang beriman (Amali, 1986: 114-115)
Rasulullah SAW beserta sahabat Abu Bakar berdiam di Gua Tsur selama tiga hari:
Jum’at, Sabtu dan Ahad, karena pada siang hari waktu zhuhur hari kamis beliau sempat
memberitahukan kepada sahabat Abu Bakar bahwa beliau dijinkan Allah pindah ke negeri
Madinah. Rasulullah SAW dalam perjalanannya ke Thaif beliau dikejar oleh Suraqah bin
Malik Al Mujladi (kaum quraisy yang melihat dan ingin membunuhnya). Dalam
pengejaranya ia tersungkur dua kali dan setelah dekat dengan Rasulullah SAW kedua kaki
kudanya terhunjam kedalam tanah sampai pula pada batas lututnya, tetapi ia berusaha keras
untuk mengangkat kudanya, sehingga ia dapat pula mengejar Rasulullah SAW namun ia
terhalang oleh debu yang turun dari langit, bagaikan asap sehingga pada akhirnya ia
ketakutan dan putus asa mengejar terus Rasulullah SAW lalu ia lepaskan.
Sesampainya di Thaif Rasulullah SAW disambut oleh sahabat Anshar dengan
hormat. Beliau mengambil rumah sahabat Sa’ad bin Khaitsamah sebagai “Majlis Umum”
untuk memberikan petunjuk dan pelajaran sedang sahabat Abu Bakar masuk ke “Sanha”
(tempat perkemahan) di negeri Madinah. Dan pada hgari jum’at beliau pindah ke Madinah
setelah empat hari bermukim di Thaif. Untuk pertama kalinya dengan para sahabat Anshar
dan Muhajirin sholat jum’at di masjid Bani Ayyub, dan disitu beliau mengambil tempat
kediaman sampai beliau di Madinah untuk sementara (Amali, 1986: 116)
2. Hijrah Ke Madinah
Rasulullah SAW meninggalkan Gua Tsur dalam perjalanan menuju kota Yathrib
pada tanggal 12 Robiul-Awal, tahun pertama hijrah atau 20 Jum tahun 622 M, dan tiba di
Yathrib maka kota itu diubah namanya menjadi Madinatur Rasulullah; Madinatur
Munawarah, Madinah pluralitas terlihat pada komposisi penduduk Madinah yang didomisili
oleh berbagai golongan, suku bangsa Arab dan bangsa Yahudi yang menganut agama dan
keyakinan yang berbeda yaitu; kaum muslimin terdiri dari golongan suku Anshor dan
Muhajirin, golongan Yahudi terdiri dari suku Qainuga, Banu Nadhir, dan Banu Quraizhah,
serta golongan suku Aus dan Kharaj menganut keyakinan paganisme (penyembahan
terhadap mahkluk selain Allah) (Azra, 2005: 98).
Orang-orang Islam penduduk Asli Madinah disebut kaum Anshar yang terdiri dari
suku Khazraj dan suku Aus; dua kabilah yang ternama dan dikenal pemberani. Awal
sebelum masuk Islam terjadi konflik pluralis yaitu kedua suku ini selalu bersaing dan
bermusuhan kemudian berubah menjadi persaudaraan yang kokoh karena tali agama dan
ikatan iman selain kaum Anshor juga terdapat kaum Muhajirin; orang muslim yang datang
dari mekah. Kehiduapan antar kaum ini berjalan harmonis dan saling membantu lantaran
kehidupan mereka yang sulit dengan tekanan kaum kafir Quraisy dan tindakannya yang
kejam.
Dan untuk mencari penghidupan yang layak mereka hijrahke Madinah. Kedua
kaum tersebut kemudian giat melakukan dakwah Islam, sehingga agama Islam semarak dan
berkembang di Madinah. Langkah - langkah yang dilakukan untuk mencapai sasaran
perjuangan dakwah bertujuan membentuk satu bermasyarakat bernegara. Oleh sebab,
sesampainya Rasulullah SAW di Madinah keadaan orang-orang Islam menjadi kuat
kedudukannya maka beliau segera memulai pekerjaannya yakni “Merencanakan dan
melaksanakan, mendirikan pemerintahan masyarakat Islam dengan sistem keadilan sosial
berkonsepsi Al-Qur’anul– Karim. Di Madinah Rasulullah SAW tidak hanya berperan
sebagai pemimpin agama tetapi juga sebagai pemimpin masyarakat dan kepala negara.
Beliau memberi teladan kepada umat manusia kearah pembentukan masyarakat
pluralis berperadapan yang sebelumnya dikenal dengan masyarakat prasejarah. (Amali
1986:118) Hijrah memberi makna penting dan hikmah besar bagi perkembangan penyiaran
Islam karena menandai awal era muslim. Hal ini dicapai sebagai hasil perubahan peranan
taktik dan strategi ketika beliau masih berada dimekah dengan ketika itu beliau berada di
Madinah. Di Mekah beliau hanya berperan sebagai Rosul penyampai wahyu. Isi peran yang
disampaikan pada umumnya adalah masalah-masalah eskatologik; tentang harapan
memperoleh imbalan pahala bagi yang beriman dan ancaman siksa neraka bagi yang tidak
beriman.
Rasulullah menarik garis tegak lurus antara yang mukmin dengan yang tidak yang
berakibat timbul konflik. Pihak yang merasa terganggu ketenangannya dalam mengecap
kenikmatan fisik. maupun yang abstrak yang telah diberikan oleh tatanan sosial dan budaya
yang telah ada bangkit bereaksi Rasulullah di hina dan ajarannya di cemoohkan. Jalannya
dakwah Islam sangat lambat. Dari jumlah sedikit orang-orang dimekah yang memeluk Islam
hanya beberapa orang saja yang berasal dari kelompok elit (Shiddiri, 1996:84)
3. Piagam Madinah
Piagam Madinah merupakan basis kajian untuk mendapatkan wawasan tentang
sosial – politik – demokratik, karena hampir semua pengkaji sejarah Islam mengakui
“bahwa” Piagama Madinah” merupakan instrumen hukum – politik yang membuat
komunitas Islam dan non Islam. Saat itu menuai kebebasan dan kemerdekaan di bawah
kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. Bahkan oleh sebagian pakar ilmu politik piagam ini
dianggap sebagai konstitusi atau undang-undang dasar pertama bagi “Negara Islam” yang
didirikan Nabi SAW di Madinah.
Latar sosial – budaya masyarakat Madinah sangat majemuk, terbukti penduduknya
terbagi ke dalam kelompok-kelompok etnik, ras dan agama yang berbeda. Pada umumnya
faktor ini mendorong konflik yang tidak mudah diselesaikan, tetapi “Piagam Madinah”
mampu menjadi perekat unitas dari pluralitas tersebut. Kepemimpinan Nabi Muhammad
Saw adalah model yang paling ideal dan sempurna dari kepemimpinan abad ke 7 M karena
keberhasilannya membangun pemerintahan Islam. Corak kemajemukan tersebut terlihat pada
komposisi penduduk Madinah yang didomisili oleh berbagai golongan suku-suku Arab dan
bangsa Yahudi yang menganut agama yang berbeda. Golongan suku-suku tersebut antara
lain: golongan muslim yang terdiri dari Muhajirin dan Anshor, golongan Yahudi yang terdiri
dari Banu Qainuqa, banu Wadhir, dan Banu Quraizhah, sedangkan golongan musyrik dan
munafik adalah golongan Aus dan Khazraj tetapi sebagian dari mereka telah menjadi
muslim, maka tidak apologetis, apabila piagam ini untuk mewujudkan persatuan dan
kesatuan semua unsur pluralisme menjadi satu bangsa yang menjunjung tinggi moralitas dan
keadilan sosial atas dasar keimanan dan ketakwaan.
Dalam konteks ini Islam tampaknya memang didesain untuk bisa menata
kehidupan sosial yang pluralistik. Untuk mendapatkan isi/butirbutir Piagam Madinah,
berikut dikutipkan naskah Piagam Madinah selengkapnya (Sjadzali, 1990: 10-16)
Bismillahirahmanirrahim
1. Ini adalah naskah perjanjian dari Muhammad, Nabi dan Rasul Allah, mewakili pihak
kaum Muslim yang terdiri dari warga Quraisy dan warga Yathrib serta para pengikutnya
yaitu mereka yang beriman dan ikut serta berjuang bersama mereka.
2. Kaum muslimin adalah umat yang bersatu utuh, mereka hidup berdampingan dengan
kelompok-kelompok masyarakat yang lain.
3. Kelompok Muhajirin yang berasal dari warga Quraisy dengan tatap memegang teguh
prinsip aqidah, mereka bahu membahu membayar denda yang perlu dibayarnya. Mereka
membayar dengan baik tebusan bagi pembebasan anggota yang ditawan.
4. Bani ‘Auf dengan tetap memegang teguh prinsip aqidah, mereka bahu membahu
membayar denda pertama mereka. Setiap kelompok dengan baik dan adil membayar tebusan
bagi pembebasan warganya yang ditawan.
5. Bani Al-Harits (dari warga Al Khazra) dengan teguh memegang prinsip aqidah, mereka
bahu membahu membayar denda pertama mereka. Setiap kelompok membayar dengan baik
dan adil tebusan bagi pembebasan warganya yang ditawan.
6. Bani Sa’idah dengan teguh memegang prinsip aqidah, mereka bahu membahu membayar
denda pertama mereka. Setiap kelompok membayar dengan baik dan adil tebusan bagi
pembebasan warganya yang ditawan.
7. Bani Jusyam dengan teguh memegang prinsip aqidah, mereka bahu membahu membayar
denda pertama mereka. Setiap kelompok membayar dengan baik dan adil tebusan bagi
pembebasan warganya yang ditawan.
8. Bani An Najjar dengan teguh memegang prinsip aqidah, mereka bahu membahu
membayar denda pertama mereka. Setiap kelompok membayar dengan baik dan adil tebusan
bagi pembebasan warganya yang ditawan.
9. Bani ‘Amr bin ‘Auf dengan teguh memegang prinsip aqidah, mereka bahu membahu
membayar denda pertama mereka. Setiap kelompok membayar dengan baik dan adil tebusan
bagi pembebasan warganya yang ditawan.
10. Bani An Nabit dengan teguh memegang prinsip aqidah, mereka bahu membahu
membayar denda pertama mereka. Setiap kelompok membayar dengan baik dan adil tebusan
bagi pembebasan warganya yang ditawan.
11. Bani Al Aus dengan teguh memegang prinsip aqidah, mereka bahu membahu membayar
denda pertama mereka. Setiap kelompok membayar dengan baik dan adil tebusan bagi
pembebasan warganya yang ditawan.
12. (a) Kaum Muslimin tidak membiarkan seseorang Muslim yang dibebani dengan utang
atau beban keluarga. Mereka membari bantuan dengan baik untuk keperluan membayar
tebusan atau denda.
(b) Seorang Muslim tidak akan bertindak tidak senonoh terhadap sekutu (tuan atau hamba
sahaya) Muslim yang lain.
13. Kaum Muslimin yang taat (bertakwa) memiliki wewenang sepenuhnya untuk mengambil
tindakan terhadap seorang Muslim yang menyimpang dari kebenaran atau berusaha
menyebarkan dosa, permusuhan dan kerusakan di kalangan kaum muslimin. Kaum muslimin
berwenang untuk bertindak terhadap yang bersangkutan sungguhpun ia anak Muslim sendiri.
14. Seorang muslim tidak diperbolehkan membunuh orang Muslim lain untuk kepenntingan
orang kafir, dan tidak diperbolehkan pula menolong orang kafir dengan merugikan orang
muslim.
15. Jaminan (perlindungan) Allah hanya satu. Allah berada di pihak mereka yang lemah
dalam menghadapi yang kuat. Seorang Muslim, dalam pergaulannya dengan pihak lain,
adalah pelindung bagi orang Muslim lainnya.
16. Kaum Yahudi yang mengikuti kami akan memperoleh pertolongan dan hak bersama
serta akan terhindar dari perbuatan aniaya dan perbuatan makar yang merugikan.
17. Perdamaian bagi kaum Muslim adalah satu. Seorang Muslim tidak akan mengadakan
perdamaian dengan pihak luar Muslim dalam perjuangannya menegakkan agama Allah
kecuali atas dasar persamaan dan keadilan.
18. Keikutsertaan wanita dalam berperang dengan kami dilakukan secara bergiliran.
19. Seorang Muslim, dalam rangka menegakkan agama Allah, menjadi pelindung bagi
Muslim yang lain di saat menghadapi hal-hal yang mengancam keselamatan jiwanya.
20. (a) Kaum Muslimin yang taat berda dalam petunjuk yang paling baik dan benar. (b)
Seorang musyrik tidak diperbolehkan melindungo harta dan jiwa orang Quraisy dan tidak
diperbolehkan mencegahnya untuk berbuat sesuatu yang merugikan seorang Muslim.
21. Seorang yang ternyata berdasakan bukti-bukti yang jelas membunuh seorang Muslim,
wajib dikisas (dibunuh), kecuali bila wali terbunuh memaafkannya. Dan semua kaum
Muslimin mengindahkan pedapat wali terbunuh. Mereka tidak diperkenankan mengambil
keputusan kecuali dengan mengindahkan pendapatnya.
22. Setiap Muslim yang telah mengakui perjanjian yang tercantum dalam naskah perjanjian
ini dan ia beriman kepada Allah dan hari Akhri, tidak diperkenankan membela atau
melindungi pelaku kejahatan (kriminal), dan barang siapa yang membela atau melindungi
orang tersebut, maka ia akan mendapat laknat dan murka Allah pada Hari Akhirat. Mereka
tidak akan mendapat pertolongan dan tebusannya tidak dianggap sah.
23. Bila kami sekalian berebda pendapat dlaam sesuatau hal, hendaklah perkaranya
diserahkan kepada (ketentuan) Allah dan Muhammad.
24. Kedua pihak: Kaum Muslimin dan Kaum Yahudi bekerja sama dalam menanggung
pembiayaan di kala mereka melakukan perang bersama.
25. Sebagai satu kelompok, Yahudi Bani ‘Auf hidup berdampingan dengan kaum Muslimin.
Kedua pihak memiliki agama mansingmasing. Demikian pula dengans ekutu dan diri
masing-masing. Bila di antara mereka ada yang melakukan aniaya dan dosa dalam hubungan
ini, maka akibatnya akan ditanggung oleh diri dan warganya sendiri.
26. Bagi Kaum Yahudi Bani An Najjar berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi
kaum Yahudi Bani ‘Auf.
27. Bagi kaum Yahudi Bani Al Harits berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi
kaum Bani ‘Auf.
28. Bagi kaum Yahudi Bani Sa’idah berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi kaum
Yahudi Bani ‘Auf.
29. Bagi kaum Yahudi Bani Jusyam berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi kaum
Yahudi Bani ‘Auf.
30. Bagi kaum Yahudi Bani Al Aus berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi kaum
Yahudi Bani ‘Auf.
31. Bagi kaum Yahudi Bani Tsa’labah berlaku ketentuan sebagaiamana yang berlaku bagi
kaum Yahudi Bani ‘Auf. Barang siapa yang melakukan aniaya atau dosa dalam hubungan ini
maka akibatnya akan ditanggung oleh diri dan warganya sendiri.
32. Bagi warga Jafnah, sebagai anggota warga Bani Tsa’labah berlaku ketentuan
sebagaimana yang berlaku bagi Bani Tsa’labah.
33. Bagi Bani Syuthaibah berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi kaum Yahudi
bani ‘Auf. Dan bahwa kebajikan itu berbeda dengan perbuatan dosa.
34. Sekutu (hamba sahaya) Bani Tsa’labah tidak berbeda dengan bani Tsa’labah itu sendiri.
35. Kelompok-kelompok keturunan Yahudi tidak berbeda dengan Yahudi itu sendiri.
36. Tidak dibenarkan seorang menyatakan keluar dari kelompoknya kecuali mendapat izin
dari Muhammad. Tidak diperbolehkan melukai (membalas) orang lain yang melebihi kadar
perbuatan jahat yang telah diperbuatnya. Barang siapa yang membunuh orang lain sama
dengan membunuh diri dan keluarganya sendiri, terkecuali bila orang itu melakukan aniaya.
Sesungguhnya Allah memperhatikan ketentuan yang paling baik dalam hal ini.
37. Kaum Yahudi dan kaum Muslimin membiaya pihaknya masingmasing. Kedua belah
pihak akan membela satu dengan yang lain dalam mengahadapi pihak yang memerangi
kelompok-kelompok masyarakat yang menyetujui piagam ini. Kedua belah pihak juga saling
memberikan saran dan nasihat dalam kebaikan, tidak dalam perbuatan dosa.
38. Seorang tidak dipandang berdosa karena dosa sekutunya. Dan orang yang teraniaya akan
mendapat pembelaan.
39. Daerah-daerah Yatrib terlarang perlu dilingungi dari setiap ancaman untuk kepentingan
penduduknya.
40. Tetangga itu kehormatan tidak dilingungi kecuali atas izin yang berhak atas kehormtan
itu.
41. Sesuatu kehormatan tidak dilindungi kecuali atas izin yang berhak atas kehormatan itu.
42. Suatu peristiwa atau erselisihan yang terjadi antara pihak-pihak yang menyetujui piagam
ini dan dikhawatirkan akan membahayakan kehidupan bersama harus diselesaikan atas
ajaran Allah dan Muhammad sebagai utusan-Nya. Allah akan memperhatikan isi perjanjian
yang paling dapat memberikan perlindungan dan kebajikan.
43. Dalam hubungan ini warga yang berasal dari Quraisy dan warga lain yang
mendukungnya tidak akan mendapat pembelaan.
44. Semua warga akan saling bahu membahu dalam menghadapi pihak yang melancarkan
serangan terhadap Yathrib.
45. (a) Bila mereka (penyerang) diajak untuk berdamai dan memenuhi ajakan itu serta
melaksanakan perdamaian tersebut maka perdamaian tersebut dianggap sah. Bila mereka
mengajak berdamai seperti itu, maka kaum Muslimin wajib memenuhi ajakan serta
melaksanakan perdamian tersebut, selama serangan yang dilakukan tidak menyangkut
masalah agama. (b) Setiap orang wajib melaksanakan (kewajiban) masing-masing sesuai
dengan fungsi dan tugasnya.
46. Kaum Yahudi Aus, sekutu (hamba sahaya) dan dirinya masing-masing memiliki hak
sebagaimana kelompok-kelompok lainnya yang menyetujui perjanjian ini, dengan perlakuan
yang baik dan sesuai dengan semestinya dari kelompok-kelompok tersebut. Sesungguhnya
kebajikan itu berbeda dengan perbuatan dosa. Setiap orang harus bertanggung jawab atas
setiap perbuatan yang dilakukannya. Dan Allah memperhatikan isi perjanjian yang paling
murni dan paling baik.
47. Surat perjanjian ini tidak mencegah (membela) orang yang berbuat aniaya dan dosa.
Setiap orang dijamin keamanannya, baik sedang berda di Madinah maupun sedang berada di
luar Madinah, kecuali orang yang berbuat aniaya dan dosa. Allah pelindung orang yang
berbuat kebajikan dan menghindari keburukan. Muhammad Rasulullah SAW .
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di muka, sebagai penutup pembahasan skripsi ini, penulis dapat
mengemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1.
Dakwah Islamiyah Rasulullah SAW Periode Mekah bertujuan membentuk
pribadi dan muslim masyarakat Mekah dan Madinah.
2.
Dakwah Islam Rasululah Periode Madinah bertujuan untuk mendirikan
pemerintahan yang bersistem keadilan sosial dengan berlandaskan Al Qur’an
sebagai kitab undang-undang dasar syariat Islam . Piagam Madinah adalah
undang - undang dasar untuk mengatur kehidupan masyarakat di Madinah , di
mana penduduknya plural yang terdiri dari berbagai suku , agama , golongan ,
maupun karakter ( latar sosial budaya yang berbeda ).
3.
Kunci kesuksesan Rasulullah SAW dalam berdakwah , memimpin umat yaitu
unsur keteladanannya , dan di antara keteladanannya adalah bersifat sidik ,
amanah , tabligh , fathonah , sebagai pemimpin yang tidak hubbudunia dan
sangat penyayang , serta penolong bagi fakir miskin dan para anak yatim.
B. Saran Saran
Setelah mengkaji konteksualisasi dakwah Rasulullah menurut History Islam
(membangun pluralisme periode Madinah) tentunya masih ada sisi-sisi lain yang belum bisa
penulis tampilkan dalam penulisan skripsi ini, mengingat keterbatasan kemampuan yang
dimiliki. Oleh karena itu saran penulis adalah :
1.
Agar ada upaya lebih dalam untuk mengkaji sosok Rasul Muhammad SAW dan
perjuangan dakwah Islamiyah, dalam membangun pluralisme di Madinah .
2.
Diupayakan untuk menelaah nilai-nilai pluralisme dalam konteks dakwah dari
tokoh-tokoh agama lainnya yang mempunyai relevansi dengan keilmuan dakwah
yang dapat dijadikan sumber rujukan dalam mekanisme dakwah .
3.
Para muballigh hendaknya bisa tampil sebagai sosok tauladan , sebagaimana yang
dicontohkan Rasulullah SAW , sehingga antara ceramah dan perbuatan menjadi
selaras .
4.
Di era teknologi , informasi ini hendaknya para muballigh dapat menyebar
luaskan ajaran Rasulullah SAW dengan memanfaatkan teknologi secara
maksimal , jangan sampai para praktisi dakwah gagap teknologi.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran, Departemen Agama, Jakarta, 1994 .
Abd. Khaliq, Syekh Abdurrahman, ”Strategi Dakwah Syar’iyyah,” Solo: CV. Pustaka
Mantiq, 1996.
Abdul Aziz, Amin, ”Fiqih Dakwah,” Solo: Era Intermedia, 2000.
Abidin Ass, Djamalul, ”Komunikasi dan Bahasa Dakwah,” Jakarta: Gema Insani Press,
1996. Cet. Ke-1.
Abu, Zahrah, ” Dakwah Islamiah,” Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994.
Aep Kusnawan et. al., ”Komunikasi dan Penyiaran Islam,” Bandung: Benang Merah Press,
2004 .
Ahmad Muhammad Jamil, Qadlaya Mu’ashsirat fi Muhkamat al-Fikr al-Islami, Kairo: Dar
al-Shahwat, 1980 .
A.H. Hasanuddin, ”Retorika Dakwah dan Publisistik dalam Kepemimpinan,” Surabaya:
Usaha Nasional, 1992. Cet. Ke-1.
Al-Adawiy, Muhammad Ahmad, ”Pedoman Juru Dakwah: Disarikan dari Al-Quran dan
Hadits,” Jakarta: Pustaka Amani, 2002.
Ali Aziz, Moh., ”Ilmu Dakwah,” Jakarta: Kencana, 2004.
Al- Haddad, ”Kelengkapan Dakwah,” Kendal: CV. Toha Putra Semarang, 1980.
Al-Wakil, Muhammad Sayyid, ”Prinsip dan Kode Etik Dakwah,” Jakarta: Akademika
Pressindo, 2002.
Ardhana, Sutirman Eka, ”Jurnalistik Dakwah,” Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.
Anderson, Kenneth E., “Introduction to Communication Theory and Practice,” Cummings
Publishing Company California, 1972.
Arifin Tatang, Muhammad, ”Menyusun Rencana Penelitian,” Jakarta: Rajawali Press, 1989.
Asad, Ari Syeif, “Dakwah Melalui Media Komunikasi,” Jakarta: Media Dakwah, 1991.
Assiba’i, Mustafa, ”Sari Sejarah dan Perjuangan Rasulullah SAW,” Jakarta: Media Da’wah,
1983.
Avery, Robert K. “Communication and The Media,” New York: Random House, 1980.
Dale F. Eickelman dan James Piscatori, Ekspresi Politik Muslim, Risalah Cendikiawan
Muslim, Bandung: Mizan, 1998.
Darussalam, Ghazali, ”Dinamika Ilmu Dakwah Islamiyah,” Malaysia: Nur Niaga SDN,
BHD, 1996.
Daud Ibrahim, Marwah, “Peran Lembaga Dakwah Dalam Era Teknologi Komunikasi,“
Serial Khutbah Jumat, XIII, 111, 1991.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Departemen Agama RI, 1983.
Echol, John M. & Hasan Syadzily, “Kamus Inggris Indonesia,” Jakarta: PT. Gramedia,
1994.
Effendi, Lalu Muchsin, H., Lc, MA., dan Faizah, S.Ag, MA., “Psikologi Dakwah,” Jakarta:
Kencana, 2006.
Eugene A. Myers, Zaman Keemasan Islam, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003 .
Habib, M. Syafa`at, ”Pedoman Dakwah,” Jakarta, Widjaya: 1982, Cet. Ke-1.
H. Soedirman, Problematika Dakwah di Indonesia, Surabaya: 1970 .
Hamka, Rusydi, dan Rafiq, (ed.), ”Islam dan Era Informasi,” Jakarta: Pustaka Panjimas,
1989, Cet. Ke-1.
Hamdi, Mujtaba, ”Dakwah Transpormatif,” Jakarta: PP LAKPESDAM NU, 2006.
Hamka, ”Tasawuf Modern,” Yayasan Nurul Islam, Cetakan Ketujuh Belas, Januari 1980.
Ibnu, Ibrahim,”Strategi Da’wah Rasulullah, ” Jakarta: Nuansa Press, 2004.
Isa Anshari, Mujahid Dakwah, Bandung: Diponegoro, 1984 .
Isma’il al-Faruqi, Sifat Dasar Dakwah Islamiyah, dalam Ahmad Von Deffer an Emilio
Castro, (ed), Dakwah Islam dan Misi Kristen, Sebuah Dialog Internasional, terj.
Achmad Noer. Z., Bandung: Risalah, 1984.
Israr, MH, “Retorika dan Dakwah Islam Era Modern,“ Jakarta: Firdaus, 1986, Cet. Ke-I.
Kafie, Jamaluddin, “Psikologi Dakwah,” Surabaya: Indah, 1993.
Khaliq, Abd. Rahman, "Dasar-dasar Dakwah Generasi Islam Pertama,“ Jakarta: AlHidayah, 1986.
Lathief, HSM. Nasaruddin, “Teori dan Praktek Dakwah Islamiyah,“ Jakarta: Firma Dara,
1993.
Larry Poston, Islamic Dakwah in The West, Muslim: Mission ary Activity and the Dynamics
Conversion to Islam, New York: Oxford University Press, 1992.
Masyhur, Musthafa, “Teladan di Medan Dakwah,” Solo: Intermedia, 2000.
Maududy, Abul A’la, “Petunjuk Untuk Juru Dakwah,” Bandung: Al-Ma’arif, 1982.
M. Quraisy Shihab, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1994 .
Muis, A, “Dakwah Islam Masa Depan,“ Kompas, Jakarta, 1993.
________,“Komunikasi Islami,“ Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001.
Munawwir, Ahmad Warson, “Al-Munawwir: Kamus Arab – Indonesia,” Yogyakarta:
Pondok Pesantren al-Munawwir, 1984.
Munir, M., S.Ag, MA. & Ilaihi Wahyu, S.Ag, MA., “Manajemen Dakwah,” Jakarta:
Kencana dan Rahmat Semesta, 2006.
MZ, Zainuddin, KH., “Dakwah dan Politik: Da’i Berjuta Umat,” Bandung: Mizan, 1997.
Nasution, Farouq, “Aplikasi Dakwah dalam Studi Kemasyarakatan,“ Jakarta: Bulan
Bintang, 1986. Cet. Ke-I.
Nia Kurnia, “Tasawaf, Almanak alam Islami,” Bandung: PT. Gramedia, 1996.
Nugroho, E., ed, “Ensiklopedi Nasional Indonesia,” Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka, 1990.
Nuh, Sayid Muhammad, Dr, “Dakwah Fardiyah: Pendekatan Personal dalam Dakwah,”
Solo: Intermedia, 2004.
Ridwan, Kafrawi, “Metode Dakwah Dalam Menghadapi Tantangan Masa Depan,“ Jakarta:
Golden Trayon Press, 1991. Cet. Ke-2.
Samsir Salam, dalam Pengantar Paradigma Pengembangan Masyarakat Islam, Bandar
Lampung: Matakata, 2007.
Syukriadi Syambas, (ed) Aep Kunawan, Ilmu Dakwah Kajian Berbagai Aspek, Bandung:
Pustaka Bani Quraisy, 2004 .
Shaleh, A. Rasyad, “Manajemen Dakwah Islam,“ Jakarta: Bulan Bintang, 1986. Cet. Ke-2.
Suhandang, Kustadi, ”Manajemen Pers Dakwah: Dari Perencanaan hingga Pengawasan,”
Bandung: Marja, 2007.
Syukir, Asmuni, “Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam,“ Surabaya: Penerbit Al-Ikhlas,
1993.
Tasmara, Toto, “Komunikasi Dakwah,“ Jakarta: Griya Media Pratama, 1987.
Yaqub, Ali Mustafa, “Sejarah dan Metode Dakwah Nabi,” Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997.
Yoenoes, Mahmud, “Pedoman Dakwah Islamiyah,” Padang Panjang: Pustaka Saidiyah,
1968.
Zaidallah, Alwisral Imam, Drs, “Strategi Dakwah: dalam Membentuk Da’i dan Khotib
Profesional,” Jakarta: Kalam Mulia, 2002.
Filename:
Skripsi Komunikasi Islam ( Perjalanan Dakwah Islamiyah Periode Mekah - Madinah )
Directory:
C:\Documents and Settings\Raisya\Desktop\New Folder\KUMPULAN SKRIPSI
Template:
C:\Documents and Settings\Raisya\Application Data\Microsoft\Templates\Normal.dot
Title:
BAB I
Subject:
Author:
Raisya
Keywords:
Comments:
Creation Date:
12/16/2010 1:16:00 PM
Change Number:
638
Last Saved On:
2/2/2011 5:18:00 PM
Last Saved By:
Raisya
Total Editing Time: 627 Minutes
Last Printed On:
2/2/2011 5:35:00 PM
As of Last Complete Printing
Number of Pages: 136
Number of Words:
31,523 (approx.)
Number of Characters: 179,686 (approx.)
Download