PERJALANAN DAKWAH ISLAMIYAH RASULULLAH SAW PADA PERIODE MEKAH DAN MADINAH SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam ( S.Kom.I ). Disusun Oleh : NAMA : MOHAMMAD IRFANDI NPM : 103051028629 JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2010 M / 1432 H PERJALANAN DAKWAH ISLAMIYAH RASULULLAH SAW PADA PERIODE MEKAH DAN MADINAH Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam ( S.Kom. I ) Oleh Mohammad Irfandi NPM : 103051028629 Pembimbing , Drs. H.Sunandar , MA NIP : 19620626 199403 1 002 JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2010 M / 1432 H PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul PERJALANAN DAKWAH ISLAMIYAH RASULULLAH SAW PADA PERIODE MEKAH DAN MADINAH telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 24 Desember 2010 skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Komunikasi Islam ( S.Kom.I ) pada Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam. Jakarta , 24 Desember 2010 Panitia Sidang Munaqasyah Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota Drs. Study Rizal LK, MA Umi Musyarofah , MA NIP : 1964042 8199 303 1 002 NIP : 19710816 199703 2 002 Anggota , Penguji I Penguji II Drs. Masran , MA Drs. Moh.Sungaidi , MA NIP : 150275 384 NIP : 19600803 199703 1 006 Pembimbing Drs. H. Sunandar , MA NIP : 19620626 199403 1 002 LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta . 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain , maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta , 17 Desember 2010 Mohammad Irfandi ABSTRAKS Nama : Mohammad Irfandi , NPM : 103051028629 ,Strategi Dakwah Rasul di Mekah dan Madinah . Rasul Muhammad SAW , adalah seorang pemimpin agama dan pemimpin negara yang mempunyai kepribadian terpuji. Beliau adalah panutan terbaik ( uswatun hasanah ) bagi umat muslim di seluruh dunia Islam. Melalui organisasi dakwah Islamiyah , Rasulullah mampu mengubah jalannya sejarah dan mempengaruhi secara besar - besaran perkembangan penyiaran Islam dari masa jahiliyah ( pra Islam ) menuju masa peradaban Islam. Dakwah Rasulullah SAW periode Mekah - Madinah bertujuan membentuk pribadi muslin (di Mekah ) bersifat majemuk sebagai unsur mutlak membangun pemerintah Islam di Madinah di mana komunitas penduduk Madinah bersifat plural .Kemajemukan di Madinah tercermin dengan adanya perbedaan agama , suku , maupun golongan dan untuk mewujudkan toleransi antar sesama melalui organisasi dakwah Islamiyah . Keberhasilan Rasulullah dalam membangun pemerintah ditandai dengan dibuatnya piagam Madinah sebagai undang - undang yang mengatur komunits penduduk Madinah yang plural. Hal itu terlepas dari upayanya dalam memperjuangkan dan mendakwahkan Islam, sehingga beliau dikenal sebagai Rasul yang amat disegani dan mendapatkan simpati dari umat Islam di Mekah - Madinah pada saat itu dan dunia Islam pada umumnya. Tujuan Penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan perjalanan dakwah Rasulullah menurut Sejarah Islam ( Periode Mekah - Madinah ) penelitian telaah pustaka dengan metode deskriptif ini menggunakan literature sebagai alat pengumpul data . Analisis yang digunakan yaitu reduksi data , penyajian data , dan penarikan kesimpulan. KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan ke Hadirat Allah SWT yang selalu memberikan rahmat dan karunia- Nya , sehingga sampai saat ini penulis masih diberi nikmat kesehatan dan karunia untuk dapat menyelesaikan skripsi , dengan judul “Perjalanan Dakwah Islamiyah Rasulullah SAW Pada Periode Mekah - Madinah.“ Dengan segala kerendahan hati penulis sadar meskipun penulis menemui berbagai kesulitan serta hambatan dalam penulisan dan penyusunan karya ilmiah ini , tetapi penulis telah berusaha semaksimal mungkin untuk membahasa tema yang penulis angkat sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Penulis menyadari betul bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dan masih terdapat banyak kekurangan . Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dan juga koreksi demi kesempurnaan. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak - pihak yang telah membantu baik dalam hal bimbingan , semangat dan perhatian selama kegiatan pembuatan skripsi ini. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya kepada : 1. Bpk. DR. Arif Subhan , MA Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta . 2. Bpk. Drs. Jumroni , M. Si selaku Ketua jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Program Reguler . 3. Dosen Pembimbing Bpk. Drs. H. Sunandar , MA yang telah meluangkan waktu dan membimbing penulis dalam penyusunan skripsi ini 4. Orang tua dan saudara tercinta atas perhatian , doa , dan kasih sayang yang tulus dan ikhlas , sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 5. Teman - teman seangkatan penulis di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulaah Jakarta , khususnya Fakultas Dakwah dan Komunikasi . 6. Seluruh staff dan dosen pengajar di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta . 7. Segenap karyawan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi serta Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memudahkan penulis untuk mendapatkan berbagai referensi dalam penyelesaian skripsi ini. 8. Semua pihak yang telah membantu penulis baik secara moril maupun materiil , secara langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu , penulis ucapkan terima kasih yang sebesar - besarnya. Semoga Allah membalas jasa - jasa dan budi baik mereka sesuai dengan apa yang telah mereka perbuat untuk kesuksesan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap agar skripsi ini dapat berguna bagi yang memerlukannya. Amin. Jakarta , Desember 2010 Mohammad Irfandi 103051028629 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL i HALAMAN PEMBIMBING ii HALAMAN PENGESAHAN iii HALAMAN PERNYATAAN iv ABSTRAKSI v KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I vi viii PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah …………………………………………….. 1 B. Identifiksi Masalah …………………………………………………...11 C. Pembahasan dan Perumusan Masalah ………………………………12 D. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian …………………….……...12 E. Metode Penelitian …………………………………………………….14 F. Sistematika Penulisan ………………………………………………...16 BAB II RIWAYAT HIDUP RASULULLAH SAW A. Masyarakat Arab Pra Islam dan Kelahiran Rasulullah ……………….18 B. Pengalaman Hidup Rasulullah SAW …………...……………………22 C. Pribadi Rasulullah SAW ………………………………………..........24 D. Risalah Muhammad SAW ………………………………………..….26 BAB III HAL IHWAL DAKWAH DALAM MASYARAKAT MADANI A. Dakwah …….…………………………..…………………………….29 1. Pengertian Dakwah ………………………..……………………...29 2. Konsep Dakwah Pergerakan (da’wat Harakat) ……………...........35 3. Dakwah dan Dinamika Sosial .........................................................45 4. Perkembangan Konsep Dakwah ......................................................48 5. Dakwah Kultural , Struktural dan Dakwah Integratif ……………..54 6. Tugas Pokok dan Fungsi Kenabian ………………………………. 60 7. Unsur - unsur Gerakan Dakwah ………………………………….. 63 B. Masyarakat Islam …………………………………………………….. 68 1. Pengertian Masyarakat Islam …….………………………………. 68 2. Masyarakat Islam menurut al-Qur’an dan al-Sunah ……………. .69 3. Transformasi Menuju Masyarakat Islam ………………………… 74 BAB IV DAKWAH ISLAM DAN RASULULLAH SAW A. Turunnya Wahyu ( Perintah Berdakwah ) ……………………...……..91 1. Penobatan Muhammad Saw menjadi Rasul …………..…………. 94 2. Pribadi Muslim ………………..…………………………………..98 B. Dakwah Islam Periode Mekah ……………………………..…………99 1. Proses Dakwah ……………………..……………………………..99 2. Hambatan - hambatan Dakwah …….……………………………103 3. Peristiwa Isra’ Mi’raj…………………………………………......106 C. Dakwah Islam Periode Madinah ……………………...……………...110 1. Peristiwa Bai’at Aqabah I dan Ke II ……………..………………110 2. Hijrah ke Madinah ……………………………………………….113 3. Piagam Madinah ……………………………………….………...115 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ……………………………………..……………….…..123 B. Saran - saran ………………………………………………………….123 DAFTAR PUSTAKA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dakwah merupakan jalan menuju Islam, sebagaimana telah digambarkan dalam Al-Qur'an : QS. Al-Imran (3): 19 Artinya : "Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya." (Depag RI, 1978: 102). Dakwah merupakan jalan menuju Islam maksudnya adalah panggilan dari Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW untuk umat manusia agar menganut ajaran Islam (agama), dengan cara beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Bersikap sesuai dengan garis-garis aqidah dan syariat serta akhlak islamiyah, Islam adalah agama yang mencakup dan mengatur segala aspek kehidupan manusia guna memperoleh ridha dari Allah SWT. Pada permulaan kenabian Muhammad SAW, mencanangkan ide-ide pokok tentang Islam, kemudian tahap selanjutnya mengajarkan ibadah, perundang-undangan sosial dan pidana atau hukum Al-Qur'an yang diterapkan oleh Islam. di Mekkah ajaran Islam masih bersifat semu, tetapi dalam periode Madinah ajaran itu menjadi universal. Islam merupakan kesatuan, keseluruhan, tidak merupakan aspek agama di satu pihak dan aspek sosial dan politik di pihak lain. Jadi Islam di sini adalah agama risalah yang dikembangkan oleh Rasulullah SAW dan agama Islam adalah agama dakwah artinya agama yang di dalamnya terdapat kewajiban untuk menyebarluaskan kebenaran dalam mengatur segala aspek kehidupan orang mukmin (Boisard, 1980: 52). Dari sisi lain dakwah adalah upaya setiap muslim untuk merealisasikan fungsi kerisalahan dan fungsi kerahmatan. Fungsi kerisalahan berarti meneruskan tugas Rasulullah SAW, yang patut dijadikan tauladan dalam segala budi pekertinya di setiap nafas zaman. Berkat jasa-jasa perjuangan dakwahnya menyebarkan agama Islam benar-benar membawa rahmat bagi seluruh alam, dan membawa tatanan dunia baru yang tentram dan damai. Dan dakwah secara umum adalah upaya menyampaikan agama Islam kepada seluruh umat manusia. Berdakwah termasuk ibadah yang paling agung dan ibadah yang memberikan banyak manfaat kepada umat manusia. Kewajiban berdakwah untuk menyebarkan ajaran Islam adalah tanggung jawab umat Islam di manapun berada. Lewat seruan itu, umat Islam dituntut membuat perubahan dalam segala bidang sehingga menjadi situasi yang lebih baik (Hsubky, 1995: 70). Dengan berpedoman pada ilmu dakwah yang bersumber dari kitabullah dan sunah Rasulullah SAW diharapkan dapat menyempurnakan dakwah Islam yang dilakukan oleh para da'i. oleh karena itu setiap pelaku dakwah (da'i) haruslah melengkapi diri dengan ilmu pengetahuan, medan dakwah termasuk kondisi sosial masyarakatnya, metode dan strategi dakwah. Di samping itu harus memiliki niat yang ikhlas, sabar, lemah lembut dan sesuai dengan cara-cara Nabi. Dakwah juga harus dijauhkan dari unsur-unsur yang kurang terpuji misalnya; sombong, gila sanjungan ataupun gila kemasyhuran, dan yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Selain itu berdakwah juga harus bisa menciptakan suasana gembira, nyaman, tidak terkesan bahwa agama Islam itu memberatkan. Sumber ajaran Islam membuat perbedaan secara tegas antara kebenaran dan kesalahan, al-haq dan al bathil, antara ma'ruf dan munkar. Dakwah Islam memihak kepada kebenaran; al-haq, ma'ruf, karena sesuai dengan fitrah manusia. Dengan demikian ada hubungan antara Islam, dakwah, fitrah manusia dan kebenaran karena dalam prakteknya dakwah merujuk pada fitrah manusia. Karena dalam fitrah itulah ada kebenaran. Jadi hakikat dakwah adalah mengajak manusia kembali kepada hakikat fitri, jalan Allah, tanpa ada unsur paksaan dan tipu muslihat (Sulthon, 2003 : 56). Muhammad SAWadalah Rasul yang membedakan dengan jelas antara kebenaran dan kebathilan. Beliau diberi cahaya dan petunjuk oleh Allah dalam berdakwah. Beliau tercipta dalam keadaan ma'shum (dihindarkan dari segala kesalahan) oleh Allah SWT. Beliau adalah keturunan bangsawan Arab yang lahir di Mekah, 20 April tahun 571 M. Dakwah juga merupakan tugas Rasulullah yang patut dicontoh dan merupakan kehidupan Rabbaniyah. Dakwah memerlukan pengorbanan tanpa mengharapkan imbalan dan hasil yang segera, tanpa putus asa. Individu yang melaksanakan dakwah akan mendapat kehidupan yang berkah dalam ridha Allah dan mendapat kecintaan Allah, memperoleh rahmat Allah serta akan menerima pahala yang berlipat ganda sebagai balasannya, karena dakwah merupakan amal terbaik yang dapat memunculkan potensi diri dan memelihara keimanan yang kita dimiliki. Kedudukan Muhammad SAW sebagai Rasulullah adalah pemberi kabar gembira, mendakwahkan agama Islam, sedangkan hidayah itu hanya milik Allah. Sehingga dakwah dalam pengertian agama adalah panggilan dari Allah dan Nabi Muhammad SAW kepada umat manusia agar percaya kepada ajaran Islam serta mengamalkannnya dalam segi kehidupan. Dalam konteks inilah kegiatan dakwah dapat mengambil dua bentuk yakni dakwah strutural dan dakwah kultural. Dakwah struktural adalah gerakan dakwah yang beada dalam kekuasaan. Aktifitas dakwah ini bergerak mendakwahkan ajaran Islam dengan menggunakan struktur sosial, politik maupun ekonomi yang ada untuk menjadikan Islam menjadi ideologi negara. Sedangkan dakwah kultural yaitu aktifitas dakwah yang menekankan pendekatan Islam kultural, nilai-nilai kebangsaan dalam bentuk negara-negara bangsa yang berkaitan antara Islam dan politik atau Islam dan negara. Beberapa strategi pada dasarnya adalah ikhtiar kultural agar fungsi dakwah itu bercorak fungsional. Adapun tiga faktor dakwah menampilkan Islam kultural yaitu; keuniversalan, kerahmatan dan kemudahan Islam . Islam secara kontekstual merupakan aktifitas dakwah kultural untuk mencari hakikat Islam yang sesuai dengan tuntutan zaman yang terus berkembang, sehingga tujuan dakwah kultural adalah agar ajaran nilai-nilai Islam dapat diimplementasikan secara aktual dan fungsional dalam kehidupan sosial sehingga dakwah Islamiyah bagaimanapun kuat dorongannya dan sungguh - sungguh sifatnya, tidak mungkin dilakukan dengan kekerasan, karena hal tersebut bertentangan dengan kehendak Allah yang dalam bentuk ekspresi keluhuran budi umat manusia (Sulthon, 2003: 37) . Pemahaman yang seperti inilah yang dijalankan Nabi kita Muhammad SAW dalam menjalankan dakwah Islamiyah untuk meninggalkan pengaruh masyarakat pra-sejarah Islam (jahiliyah) menuju masyarakat peradaban Islam atas dasar syari’ah Islam. Rasulullah SAW adalah seorang pemimpin agama sekaligus pemimpin pemerintahan pada zaman peradaban Islam yang telah mengorbankan seluruh waktu, tenaga, pikiran dan harta benda, tanpa pamrih demi penataan dan pelaksanaan organisasi dakwah Islam. Rasulullah SAW dengan sejarah dakwah Islamiyah merupakan jawaban dari segala permasalahan yang menimpa kaum muslimin. Proklamasi monotheisme yang berarti menolak penyembahan tradisional terhadap arca - arca dan nenek moyang telah membendung kekuatan yang mengancam dan menghancurkan masyarakat. Meski begitu, visi dan pemikiran Rasulullah dalam menyebarkan agama Islam yang diekspresikan dalam idiom-idiom religio-spiritual sangatlah universal. Bahkan dalam pelaksanaannya menimbulkan restrukturisasi masyarakat secara radikal. Misi utama dakwah Rasulullah SAW adalah untuk mewujudkan kemaslahatan semesta dari semua prinsip dan nilai-nilai universalitas Islam. Islam sebagai suatu nilai-nilai yang mengatur hidup dan kehidupan manusia dalam segala aspeknya dan bukan Islam yang dipahami sebatas simbol dan ritual peribadatan semata. Dakwah Islam merupakan perjuangan jihad di jalan Allah SWT. Pengertian jihad secara umum adalah setiap tindakan positif untuk membela kebenaran atau melawan hawa nafsu. Jihad fi sabilillah tidak boleh pudar dari jiwa setiap ulama dan umatnya demi tegaknya Islam. Sabda Nabi SAW, "Barang siapa berperang untuk menegakkan kalimah Allah (Islam yang mulia maka ia berjuang di jalan-Nya" (HR. Bukhori Muslim). Jihad tidak hanya terbatas pada peperangan melawan musuh, jihad pun dapat dilakukan dengan pengorbanan harta dan jiwa dengan tulus ikhlas dalam menegakkan agama Allah SWT. Sesuai dengan petunjuk Al-Qur'an dan As-Sunah. Bagi umat Islam, harta dan jiwa adalah sesuatu yang harus dikorbankan oleh Islam, bukan sebaliknya (Hsubky, 1995: 106). Adanya berbagai hambatan dakwah yang berupa ancaman, teror, tindak kekerasan dan pembunuhan, Rasulullah SAW mulai memberikan instruksi kepada para pengikutnya untuk hijrah ke Madinah. Peristiwa itu merupakan permulaan era Islam dan permulaan sejarah Islam. Hijrah berarti pindah, lari atau buang. Agama Islam menambah arti khusus yaitu arti memutuskan hubungan dengan kebodohan, menolak kemungkaran dan kekufuran, dengan ringkas hijrah adalah suatu tindakan keimanan dengan mengasingkan diri oleh sebab hal-hal yang memaksa. Di Mekah Rasulullah SAW mengawali dakwah Islam dengan membentuk manusia-manusia muslim pertama yang merupakan minoritas tertindas dan membutuhkan moral dan bukan perundang-undangan sosial yang mereka tidak akan dapat menerapkannya. Kemudian di Madinah, dengan pribadi yang sudah dididik dengan iman, Islam membentuk masyarakat persamaan dan gotong royong dengan peraturan-peraturan yang diwahyukan. Kronologi yang menggambarkan proses lahirnya masyarakat Islam dari prasejarah Islam tanpa mengurangi sifat universalitas Islam (Boisard, 1980: 51- 52). Kehidupan Rasulullah SAW semenjak hijrah ke Madinah merupakan bagian yang tidak terpisah dari sejarah Islam. Beliau selalu sabar dan tegas dalam menjalankan dakwah Islam, sifat-sifat Rasulullah telah memberi contoh kepada masyarakat spiritual klasik. Ketiga sifat khusus itu antara lain ketaqwaan (piete), siap berjuang (combativite), dan kebesaran jiwa (magnanimite). Kepribadian luhur Rasulullah SAW merupakan cahaya umat Islam yang mampu menerangi jiwa dari kegelapan. Dalam perspektif ini nampak jelas wajah universalitas Islam tidak perlu dibenturkan secara klasikal dengan tantangan-tantangan temporel, karena Islam pada hakikatnya adalah nafas zaman itu sendiri. Islam juga merupakan agama wahyu (samawy Ilahi) karena bersumberkan pada AlQur'an dan As-Sunah An-Nabawiyah. Muhammad SAW dijadikan sumber karena diyakini bahwa jati diri Muhammad SAW adalah personifikasi dari wahyu juga yang mampu menjelaskan agama Allah dan kitab suci Al-Qur'an secara benar dalam tataran realitas historis. Sehingga, tidak diragukan bagi Al-Qur'an dan penjelasannya As-Sunah adalah monodualisme sumber Islam untuk segala ruang dan waktu (limited) universal (Mochtar, 1997: 24). Keberadaan Rasulullah SAW selaku personifikasi wahyu berada dalam ruang dan waktu tertentu, beliau hidup membentuk, membangun dan mengembangkan ajarannya setelah berinteraksi dengan kondisi, situasi, kultur, tradisi dan konstruksi sosial-budaya politik masyarakat Arab yang sangat pluralistik. Sementara Al-Qur'an sebagai sistem nilai yang dijelaskan bersifat universal (syumul), lintas ruang dan waktu. Proses interaksi yang intens antara universalitas Al-Qur'an dan partikularitas kultur asli masyarakat Arab, itulah sebuah realitas pembangunan Islam. Dengan demikian dakwah Islam oleh Rasulullah SAW dapat disimpulkan bahwa agama Islam yang dibangun atas dasar, dialektika doktrin (wahyu) yang universal dengan tradisi (realitas) yang partikular, nilai transedental dengan nilai imanental, kehendak Allah SWT. Dengan kata lain Islam adalah penjelmaan dari theoantroposentris. Dan kehidupan Rasulullah SAW merupakan eksperimentasi sejarah manusia yang ideal (khairu ummah). Logikanya, apabila kita menjadikan Islam pada masa Rasulullah SAW, sebagian Islam yang ideal sekaligus sebagai parameter yang otoritatif. Sebagaimana otoritas Al-Qur'an, maka tentu saja sesudah masa itu tenggelam hilang pula wajah agama Islam yang suci yang dibawa oleh Rasulullah dalam kegiatan dakwahnya (Engineer, 1993: 26) Yang menarik bagi penulis dari dakwah Islamiyah Rasulullah SAW pada masa peradaban Islam adalah adanya tahapan-tahapan yang harus dilalui dalam menyampaikan agama Islam. Melalui tahapan-tahapan inilah (tahapan dakwah periode Mekah dan Madinah) Rasulullah SAW membangun pemerintahan Islam yaitu mengubah susunan masyarakat dari susunan masyarakat prasejarah Islam ke masayarakat Islam yang bersistem keadilan sosial dan berdasarkan syariat Islam. Dari tahapan-tahapan ini tampak strategi dakwah yang tepat yang bisa dijadikan model untuk mencapai tujuan dakwah Islamiyah. Dalam merefleksikan kepemimpinan umat Islam, figur ideal kepemimpinan Rasulullah SAW ditampilkan sebagai sendi dan sistem kepemimpinan yang tetap relevan dan penuh teladan. Di tengah krisis kepemimpinan manusia di dunia hampir setiap suksesi kepemimpinan menimbulkan konflik yang berkepanjangan dan jatuhnya korban manusia. Tidak hanya itu tata nilai dan sistem kepemimpinan yang lebih sarat kepentingan dan manipulasi semakin mengaburkan kepercayaan umat sekaligus kehilangan pegangan moral dan nasibnya. Rasulullah SAW dengan keindahan dan kesempurnan akhlaknya merupakan jawaban dari permasalahan yang menimpa kaum muslimin dengan segenap sumber daya dan perangkat yang dimiliki tampil sebagai sinar cahaya Islam kembali kepada keutuhan Islam. Ajaran Rasulullah SAW yang dibawa dalam kegiatan dakwah disajikan dengan sistematis dan esoteris, yang menyentuh unsur batiniyah dan kejiwaan umat Islam (Khalid, 1984: 275288). Dewasa ini manusia hidup dalam suatu zaman yang penuh dengan citra kinetik, yaitu citra masyarakat yang terus berubah sebagai hubungan manusia yang bergerak cepat ditambah dengan kondisi obyektif masyarakat modern yang mengalami perubahan karakter karena masuknya budaya-budaya barat (westernisasi) yang masuk ke Indonesia, dan adanya penyelewengan - penyelewengan nilai-nilai Islam. Semakin hari tantangan realita kehidupan yang dihadapi umat Islam semakin banyak. Bentuknya pun beragam dari yang mikro kepada yang makro, dari urusan individu sampai masalah politik, sosial, ekonomi, konflik ideologi. Krisis multidimensi yang dialami menimbulkan bebagai konflik, hampir dalam semua segi mengalami kemunduran. Hal ini dapat dilihat dari berbagai sisi, misalnya dari sisi politik mereka terjajah, dari segi ekonomi mereka marjinal, dalam masalah pendidikan dan ilmu pengetahuan masih tertinggal, serta dalam aspek sosial budaya masih mengekor pada kehidupan barat dan dari segi kefahaman terhadap ajaran Islam sendiri mereka masih jauh dari memadai. Dengan berbagai masalah tersebut, kebenaran Islam mendapat tantangan untuk memberikan solusi yang tepat terhadap persoalan ini dapat terselesaikan jika umat Islam bisa memahami eksistensi agamanya menuju jalan Allah SWT, dan mampu meneladani sejarah perjuangan Rasulullah SAW terlepas dari sifat kemungkaran. Dengan mengulas sejarah perjuangan Rasululah dalam dakwah Islam merupakan jawaban yang dibutuhkan yang kemudian dapat diambil hikmahnya, karena tujuan dari misi dakwah Islamiyah ialah mencegah segala kemunkaran atau kebatilan dari umat manusia. Proses dakwah Islam oleh Rasulullah SAW, terdapat tahapan dakwah faktual dimana pada tahapan yang pertama (di Mekah), Rasulullah membentuk pribadi muslim dari pengaruh masa jahiliyah (pra sejarah Islam), dan pada tahapan kedua (di Madinah) dengan pribadi muslim yang sudah terbentuk, rasulullah mulai membangun sebuah pemerintahan masyarakat Islam yang bersistem keadilan sosial dan berdasarkan syariat Islam dengan akta Piagam Madinah sebagai undang-undang yang mengatur kehidupan masyarakatnya yang plural (majemuk). Rasulullah SAW telah membangun pemerintahan Islam di Madinah di mana masyarakatnya mempunyai latar sosial budaya yang sangat plural (majemuk). Penduduknya terbagi ke dalam kelompok-kelompok etnik, ras dan agama yang berbeda. Kemajemukan tersebut terlihat pada komposisi penduduk Madinah yang didomisili oleh berbagai golongan suku bangsa Arab dan bangsa Yahudi yang menganut agama dan keyakinan yang berbeda. Ada empat golongan dominan saat itu, yaitu: 1) Kaum Muslimin yang terdiri dari Muhajirin dan Ansor, 2) Golongan Aus dan Khazraj dengan keislamannya masih dalam tingkat nominal bahkan ada yang secara rahasia memusuhi Nabi (kaum munafik dan musyrik), 3) Golongan Aus dan Khazraj yang menjadi muslim, 4) Golongan Yahudi yang terdiri dari tiga suku utama yaitu Banu Qainuqa, Banu Nadzir dan Banu Quraidhah. Pada umumnya faktor ini mendorong konflik yang tidak tidak mudah diselesaikan, tetapi Piagam Madinah (47 butir) merupakan upaya untuk menundukkan permasalahan masyarakat bangsa yang sedemikian plural itu pada konteks yang proporsional. Dalam kontreks ini Islam tampaknya memang didesain untuk bisa menata kehidupan sosial dalam segala aspek. Sebagaimana bisa dilihat dalam perumusan dan pelaksanaan butir-butir Piagam Madinah, yang hadir dengan gagasan baru bagi suatu bentuk tatanan "Masyarakat baru" yang disebut umat (community) dalam sejarah umat manusia. Kepemimpinan Nabi Muhammad SAW pada abad ke-7 M adalah model yang paling ideal dan sempurna (par-excellence) karena keberhasilannya membangun pemerintahan di Madinah. Karena alasan-alasan inilah, penulis menjadikan Piagam Madinah sebagai basis kajian untuk memperoleh kejelasan nilai normatif dan empiric Islam dalam pergumulannya di tengah masyarakat pluralistik ( Azyumardi Azra, 2005: 96-97). Untuk itu penulis mencoba untuk melakukan penelitian tentang sebuah perjalanan dakwah Rasulullah yang penulis anggap mampu untuk memberikan solusi atas krisis moral dalam masalah di atas, dengan Judul Strategi Dakwah Rasul di Mekah dan Madinah .. Judul ini perlu diangkat karena di samping untuk menambah khazanah pengetahuan dakwah Islam juga untuk mengembangkan pemikiran dan pengetahuan dakwah yang telah ada di tengahtengah masyarakat tersebut dapat berkembang lebih baik. Di samping itu dakwah Islamiyah oleh Rasullullah jika dicermati menjadikan kita manusia yang beriman berguna di dunia maupun di akhirat, dengan sasaran dakwahnya ialah memerangi kemungkaran dan kembali kepada jalan Allah SWT. Judul ini memuat persoalan yang terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW. Diawali dengan memaparkan riwayat hidup Nabi sampai tekad perjuangan dakwah yang tidak pernah luntur karena halangan atau rintangan. Dalam mendakwahkan agama Islam, Nabi Muhammad menggunakan strategi dakwah dan hijrah demi terwujudnya tujuan dakwah. Kemudian dibuat suatu akta yang disebut Piagam Madinah untuk mengatur dan mempersatukan umat atau masyarakat yang majemuk serta untuk mengetahui sistem pemerintahan yang dibangun oleh Nabi (pemimpin negara). Kemudian diakhiri dengan pembahasan kesuksesan Nabi Muhammad sebagai pemimpin pemerintahan. Di mana letak kunci suksesnya? Di mana kunci sukses kepemimpinan Nabi Muhammad SAW ini masih relevan untuk diteladani setiap zaman bahkan di Indonesia pada era globalisasi ini. Sejarah perjuangan Rasulullah SAW tidak pernah luntur karena halangan dan rintangan hijrah Rasulullah SAW dalam mennjalankan misi dakwah Islam merupakan alternatif juga garis start kelahiran peradaban baru yang membawa kesejukan dan rahmat bagi serata alam (rahmatan lil 'alamin). Konteks Islam tentang sejarah perjuangan dakwah Rasululah SAW adalah unik dan bersifat universal. Dalam beberapa hal ia lebih signifikan bagi kaum muslim daripada kelompok-kelompok umat yang lain. Dalam perspektif AlQur'an, Islam diturunkan untuk menyebar rahmat ke seluruh alam (Shidiqi, 1996: 3-5). B. Identifikasi Masalah Setelah dikemukakan tentang gambaran dari latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat diidentifikasikan masalah sebagai berikut: 1. Rasulullah SAW mendakwahkan agama Islam diawali dengan dakwah di Mekah kemudian hijrah ke Madinah . 2. Keindahan dan kesempurnaan akhlak Rasulullah SAW sebagai pemimpin agama maupun pemimpin pemerintahan adalah tauladan umat Islam di setiap napas jaman. 3. Untuk mengetahui tatanan atau sistem pemerintahan yang dibangun Rasulullah SAW dibuat sebuah akta Piagam Madinah untuk mengatur masyarakatnya yang majemuk. Dari piagam ini beliau telah berhasil mempimpin umatnya dalam membangun plurarisme . C. Pembahasan dan Perumusan Masalah Tujuan dari perumusan masalah adalah memberikan dan mempertegas hubungan korelasi (keterkaitan) pada ruang lingkup pembahasan. Untuk mempermudah dan sedikit membantu uraian di atas, berikut rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana perjalanan dakwah Rasulullah pada periode Mekah? 2. Bagaimana perjalanan dakwah Rasulullah pada periode Madinah? 3. Apa saja kunci sukses kepemimpinan Rasulullah SAW dalam dakwah yang patut untuk diteladani? D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.1. Tujuan Penelitian Berdasarkan gambaran permasalahan di atas dapatlah dikemukakan bahwa tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mendapatkan kejelasan tentang perjalanan dakwah Islamiyah Rasulullah periode Mekah . 2. Untuk mendapatkan kejelasan tentang perjalanan dakwah Islamiyah Rasulullah periode Madinah . 3. Untuk mengetahui kunci sukses dakwah Rasulullah dalam memimpin umat Islam . 1.2. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi : 1. Akademik : Diharapkan dapat dijadikan pengembangan dakwah Islam yang terus dinamis dan progresif serta mampu memberikan sumbangan moril kepada insan akademis serta bagi mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya dalam mendalami dan mempelajari ilmu dakwah. Dapat membantu dan memperkaya pemikiran mahasiswa tentang pengetahuan dan penataan dakwah. 2. Praktis : Sebagai khazanah pengetahuan dakwah Islam guna mengembangkan pemikiran dakwah yang sesuai dengan tuntutan zaman atau tingkat perkembangan masyarakat yang sedang berkembang. Sebagai sumbangan ilmiah Islami di bidang dakwah guna meningkatkan keilmuan dalam disiplin ilmu dakwah. Dapat dijadikan materi yang dipertimbangkan guna pembenahan dakwah , khususnya dalam pengetahuan dasarnya, karena diperkirakan masih banyak penyelengaraan dakwah pada masyarakat yang masih kurang berbobot. 3. Pembaca : Diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan dan dasar untuk menerapkan nilai - nilai kemanusiaan dan budi pekerti kepada Rasulullah dalam menjalani realita kehidupan. Diharapkan dapat dijadikan referensi bagi para sahabat serta umat Islam pada umumnya untuk meneladani sikap Rasulullah. E. Metode Penelitian Penelitian skripsi ini menggunakan metode atau jenis penelitian kepustakaan (literatur) karena tulisan-tulisan ini ditulis dalam waktu yang berbeda dan pada media forum yang berbeda pula. Maka dalam bentuk aslinya tidak dapat diletakkan terjadi pengulangan informasi dan pendekatan yang dipakai oleh penulis adalah pendekatan sejarah. Penelitian pustaka adalah penelitian yang menelaah bahan pustaka atau buku-buku yang berkaitan dengan topik pembahasan. (Keraf. 2001 : 165) . 1. Sumber Data Sumber data menurut sifatnya dapat digolongkan menjadai dua, yaitu meliputi : a. Sumber data primer, yaitu sumber-sumber yang memberikan data langsung dari tangan pertama. b. Sumber data sekunder, yaitu sumber yang mengutip dari sumber lain. Maka dalam penelitian ini, peneliti, memperoleh data yang diperlukan dari sumber data sekunder yaitu ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits-hadits nabi yang terdapat dalam satu kitab yang berbicara mengenai dakwah serta buku-buku yang dibahas oleh para ahli dakwah yang mengulas masalah tersebut seperti fiqh dakwah, planning dan organisasi dakwah Rasulullah SAW, psikologi dakwah, kemanusiaan muhammad, desain ilmu dakwah, jeramjeram peradaban muslim dan lain sebagainya. 2. Tehnik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan penelitian kepustakaan dengan prosedur sebagai berikut: a. Menentukan data yang digunakan dalam penelitian ini. b. Melacak sumber data kemudian membaca dan mencatat tulisan yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti. c. Catatan di atas diklasifikasikan disusun berdasarkan masalah yang akan diteliti. (Rokhmat, 2004 : 23 ). 3. Tehnik Analisa Data Analisa data merupakan proses penyelenggaraan data ke dalam bentuk yang mudah dibaca dan diinterprestasikan. Setelah data-data diperoleh, kemudian diolah, dipaparkan dan dianalisa dengan menggunakan alur pemikiran, yaitu: a. Metode deduktif adalah pola pikir yang bermula dari masalah yang bersifat umum ditarik kesimpulan kepada yang bersifat khusus. b. Metode induktif adalah pola pikir yang bermula dari masalah yang bersifat khusus ditarik kesimpulan kepada yang bersifat umum. Di sini penulis mencoba menggunakan ketiga metode tersebut dalam melakukan proses analisa, tentunya disesuaikan dengan kebutuhan, terkadang diawali dengan menggunakan sejarah-sejarah global dakwah Islam Rasulullah SAW untuk kemudian dilakukan penjabaran pada hal-hal yang bersifat khusus, terkadang juga diawali dengan sejarah khusus Rasulullah SAW kemudian diawali sebuah conclusi yang bersifat umum. c. Metode historis Historis artinya berhubungan dengan sejarah, dan sejarah merupakan studi tentang masa lalu dengan menggunakan kerangka paparan dan penjelasan. Sejarah adalah studi empiris yang menggunakan berbagai tahap generalisasi untuk memaparkan, menafsirkan dan menjelaskan data (Rakhmat, 2004: 22). Metode historis adalah Metode ilmu dakwah dengan menggunakan pendekatan ilmu sejarah. Maksudnya realitas dakwah dilihat dengan menekankan pada semua unsur dalam sistem dakwah dalam perspektif waktu dan tempat kejadian. Dengan metode ini fenomena dakwah dapat dideskripsikan secara komprehensif dan utuh (Sulthon, 2003 : 111). Sehingga metode historis bertujuan untuk merekonstruksikan masa lalu secara sistematis dan obyektif dengan mengumpulkan, menilai, memverifikasi dan menyintesiskan bukti untuk menetapkan fakta dan mencapai konklusi yang dipertahankan dalam menguji hipotesis. Dalam penelitian ini metode yang digunakan untuk menganalisa data adalah analisa deskriptif kualitatif, yakni dimaksudkan untuk eksplorasi san klarifikasi mengenai sesuatu fenomena atau kenyataan sosial dengan jalan mendeskripsikan sejumlah variabel yang berkenaan dengan masalah dan unit yang diteliti. Menurut Isaac dan Michail (1972: 18), metode deskriptif bertujuan melukiskan secara sistematis suatu peristiwa atau siatuasi secara faktual dan cermat (Rakhmat, 2004: 24) . F. Sistematika Penulisan Mengenai sitematika penulisan dalam penelitian ini nantinya akan disusun dalam lima bab yaitu dimulai dengan bab pertama pendahuluan yang menampilkan latar belakang penelitian ini dilakukan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penelitian. Bab kedua membahas tentang tinjauan umum tentang dakwah Islam yang meliputi tinjauan umum tentang dakwah Islam; pengertian dakwah, tujuan dakwah, hukum dakwah, faktor-faktor keberhasilan dakwah, unsur-unsur dakwah serta dinamika sosial dakwah. Bab ketiga membahas tentang riwayat hidup Rasulullah yang dimulai dari masyarakat pra Islam dan kelahiran Rasulullah SAW, pengalaman hidup Rasulullah SAW, kepribadian Rasulullah, rislah Muhammad SAW serta Rasul yang umi. Bab keempat membahas tentang dakwah Islam Rasulullah yang meliputi sejarah turunnya wahyu dari Allah, dakwah Islam peiode Mekah dan periode Madinah serta kunci sukses kepemimpinan Rasulullah dalam berdakwah. Dan bab kelima berisi tentang kesimpulan dan saran-saran . BAB II RIWAYAT HIDUP RASULULLAH SAW A. Masyarakat Arab Pra-Islam dan Kelahiran Rasulullah Jazirah Arab merupakan bangsa yang plural dengan berbagai suku keyakinan (agama), dan kelompok-kelompok sosial yang dimiliki dengan kata lain pluralisme adalah realitas yang tidak terbantahkan di Jazirah Arab pra- Islam. Terletak di barat daya Asia, dengan jumlah penduduk sekitar 12.000.000 jiwa, terbagi menjadi delapan bagian dan terdapat berbagai sukusuku Arab yang berserak di Jazirah Arab masing-masing terbagi dalam kelompok sosial yang memiliki keyakinan ataupun agama yang berbeda (Amaly, 1986: 11). Jazirah Arab terbagi menjadi delapan bagian yaitu: Hijaz, Yaman, Hadramaut, Daerah Muhrah, Daerah Umman, Haza, Nejd, serta Daerah Ahqaf. Kota Mekah dan Madinah adalah bagian dari Hijaz. Kekuasaan Jazirah Arab tunduk kepada bangsa Quraisy yang terbagi dalam 10 golongan yaitu; a) suku Quraisy dari Bani Adi Umar bin Al Khathab, b) suku Quraisy dari Bani Hushaish, Harits bin Qais, c) suku Quraisy dari Bani Yaqtah, Khalid bin Walid, d) suku Quraisy dari Bani Taim, Abdullah bin Usman, e) suku Quraisy dari Bani Qushai, Asad bin Abdul Azza, f) suku Quraisy dari Bani Thalhah, Ustman bin Thalhah, suku Quraisy dari Bani Abdul Muthalib, Abbas bin Abdul Muthalib, g) suku Quraisy dari Bani Naufal, Harits bin Amr, h) suku Quraisy dari bani Harb bin A Syamsin, Abu Sufyan bin Harb, j) suku Quraisy dari Bani Harb bin Sufwan dan masing-masing dari mereka tergolong dalam kelompok sosial antara golongan bangsawan dan golongan rakayt biasa di negeri Arab banyak orang-orang Yahudi, orang Kristen dan orang-orang Majusi serta orang-orang yang tidak beragama. Bangsa Arab dulunya mengikuti agama Nabi Ibrahim a.s. agama tauhid, namun lama kelamaan berganti dengan agama buatan sendiri akibat mengikuti prasangka-prasangka, angan-angan dan khayalan. Plurarisme bangsa Arab pra- Islam merupakan instrumen dari kemajemukan masyarakat Arab yang bisa menjadi persoalan krusial. Kerusakan-kerusakan yang parah dibidang agama, politik, sosial, dan ekonomi. Pada abab VI M menunjukkan bahwa individualisme “pengaruh aku” yang mengakibatkan krisis akhlak melanda kepada masyarakatnya, maka dari itulah Allah SWT mengutus Muhammad SAW untuk menyempurnakan “akhlak” hormat diri yang mulia (Amaly, 1986: 29) . Kerusakan di bidang agasma fitrah ialah kebanyakan masyarakat membuat “dasar hidup” sendiri berdasarkan akal saja dengan pengaruh lingkungan hidup serta “rasa kepuasannya” mereka enggan menganut agama Allah SWT (agama fitrah: Islam) sehingga berakibat mereka menyekutukan Allah SWT dengan sesuatu makhluk lain. Kerusakan dibidang politik terletak pada terhapusnya rasa “keadilan” oleh karena mereka membuat tata negara “menurut kemauan pandangan akal pikirannya” tanpa mengindahkan tata negara. Tuhan memiliki hak mutlak alam semesta ini dan kerusakan di bidang sosial adalah terlihat pada masyarakat akan keburukan-keburukan jiwa yang amat buruk lantaran rakyat biasa (kaum dhu’afa) terlalu dikendalikan oleh bangsawan-bangsawan atau oleh atasanatasan sehingga jiwa mereka tidak mempunyai kebebasan. Adapun kebiasaan yang buruk mengubur anak wanita hidup-hidup yang kaya memeras yang miskin, yang berkuasa menginjak-injak rakyat jelata sehingga sifat perikemanusiaan “menjadi terhapus”. Sedangkan kerusakan dibidang ekonomi adalah negara tidak subur dan makmur lantaran biaya-biaya pelenggaraan negara dan berbagai macam pajak yang tinggi nilainya dibebankan di atas pundak rakyat. Sehingga kekuatan rakyat menjadi lemah dan timbul berbagai macam mala petaka ataupun bencana yang menimpa mereka. Demikianlah pluralisme negara Arab sebelum Islam yang mempunyai potensi konflik yang besar (Amaly, 1986: 31) Di tengah-tengah masyarakat dengan kondisi seperti itulah Allah mengutus Nabi Muhammad SAW. Ia membawa wahyu yang menjadi landasan segala sikap dan perilakunya. Nabi Muhammad SAW, tidak membawa tugas untuk menghapuskan wahyu-wahyu sebelumnya, akan tetapi untuk memberikan konfirmasi kepada wahyu tersebut . Selain itu untuk menolak perubahan-perubahan yang telah terjadi dalam kitab-kitab suci sebelumnya. Beliau ditugaskan untuk memurnikan ajaran nabi-nabi sebelumnya dari pemalsuan-pemalsuan serta mengembangkan dan menyempurnakan, agar dapat sesuai dengan seluruh manusia pada segala zaman dan segala tempat (Subky, 1995: 32). Firman Allah : Q.S. at-Taubah: 33: Artinya : “Dialah yang telah mengutus RasulNya (dengan membawa petunjuk (Al-Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkanNya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukai.” Q.S. At-Taubah: 33). Beliau tuanku Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib (Syaibah) bin Hasyim (Amru) bin Abdul Manaf (Al Mughirah) bin Qusyhay (zaid) bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An Nadhr bin Kinanah bin Khuzaenah bin Mudrikah (Amir) bin Ilyas bin Mudhar bin nizar bin Mo’ad bin Adnanm sampai di sinilah terhenti nasab yang sahih dari arah ayahnya. Ibunya Amirah bin Wahab bin Abdul Manaf bin Zuhrah bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr nasab ibu dan nasab ayahnya bertemu pada kilab bin murroh. Ayahnya Abdullah meninggal di Medinah dan dimakamkan di sana pula dalam perjalanannya pulang dari Ghazah negeri syam. Ketika itu Rasullah SAW dalam kandungan ibunya dua bulan (Ibrahim, 1991: 1-2) Rasulullah SAW lahir di waktu menjelang fajar subuh, hari senin, tanggal 12 Rabi’ul Awwal tahun Gajah (20 April 571 M), di zaman Raja Persi Kisra Anu Syarwan yang adil di kota Mekah tepatnya pada sebuah rumah di Safa kepunyaan Muhammad bin Yusuf; dijadikan masjid ketika orang naik haji. Tahun kelahiran Rasulullah SAW disebut tahun Gajah karena menjelang lahirnya beliau beberapa minggu kemudian gubernur Negus (Raja Abessinia), Abrahah bin Al-Asyram yang membangun gereja besar lagi indah di Shoria, ibu kota negeri Yaman yang belum pernah dibangun oleh raja-raja sebelumnya, hendak menghancurkan Ka’bah dengan tentara bergajah sebanyak 12 tentara. Namun usaha mereka tidak berhasil lantaran belum sampai di kota Mekah baru sampai dekat “Arafah”, mereka diserang oleh burung-burung yang berbondong-bondong (burung Ababil), yang melempari mereka dengan batu-batu kecil dari tanah yang terbakar sehingga mereka musnah semuanya. Itulah yang tersebut di dalam Al Qur’an surat Al Fil (surat gajah), yang bunyinya: Artinya : “Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah. Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka'bah) itu sia-sia? dan Dia mengirimkan kapada mereka burung yang berbondongbondong, yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar, lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat) (Q.S. Al-Fill: 1-5) Rasulullah SAW adalah keturunan bangsawan karena baik dari keluarga ayah dan ibu, keduanya termasuk golongan bangsawan yang dihormati di kalangan kabilah-kabilah Arab. Setelah beliau lahir, beliau menetek kepada Halimah binti Dzuaib As-Sa’diyyah. Demikian itu adat kebiasaan bangsa Arab, mereka mencari wanita upahan untuk menyusui anak-anaknya, agar anaknya cerdas. Banyak wanita dari Bani yang mencari anak-anak susuan, tetapi yang disukai Rasulullah SAW di antara mereka ialah Halimah. B. Pengalaman Hidup Rasulullah SAW Rasulullah SAW umur enam tahun oleh ibunya dibawa keluar ke pamannya dari arah ibunya di Madinah, kemudian ibunya Aminah binti Wahab meninggal di desa Abwa, suatu tempat yang terletak antara Makkah dan Medinah dan dimakamkan disana pula. Ketika itu ibunya berusia tiga puluh tahun. Dua tahun sesudah itu meninggal pula neneknya Abdul Muthalib yang mengasuhnya itu. Setelah Muhammad SAW berusia 8 tahun neneknya meninggal, kemudian beliau diasuh oleh pamannya, Abu Thalib, saudara ayahnya. Ketika Rasulullah SAW di tangan Abu Thalib, beliau sering dibawa bepergian oleh Abu Thalib ke negeri Syam, untuk berdagang. Sebelum sampai di negeri Syam di suatu tempat yaitu Bushra, bertemu dengan Rahib (pendeta Nasrani); Buhairo. Ia melihat tandatanda kenabian pada diri Rasulullah SAW dan menasehati untuk segera kembali ke Makkah, karena kalau kaum Yahudi mengenalinya tentu akan mencelakakannya, Abu Thalib kemudian segera menyelesaikan dagangannya dan segera kembali ke Mekah (Amali, 1986: 36). Setelah usia Rasulullah SAW, menginjak empat belas tahun, terjadi “Perang Fijr” antara suku Quraisy dan suku Kinanah pada suatu pihak dan suku Qis Ilan di lain pihak. Peristiwa ini terjadi di “Nakhlah”, suatu tempat suci yang tidak boleh dicemari dengan peperangan dan pertumpahan darah. Rasulullah membantu pemannya dengan kaum Quraisy kalaulah tidak ada perdamaian. Setelah Abdul Muthalib wafat, kota Makkah mengalami kemunduran, kehancuran terjadi diseluruh pelosok kota. Untuk menanggulangi hal tersebut para pemuka Bani Hasyim, Bani Muthalib, Bani Asad bin Uzza, Bani Zuhroh bin Kilab dan Bani Tamim bin Murrah mengadakan musyawarah di rumah Abdullah bin Juda’an. Hasil musyawarah tersebut adalah suatu kesepakatan berupa sumpah yang ada dalam sejarah (fudhul), yang isinya adalah “Tidak seorangpun yang akan teraniaya di kota Makkah baik oleh penduduk Makkah sendiri ataupun oleh orang lain. Barang siapa teraniaya harus dibela bersama-sama”. (Amaly, 1986: 37). Setelah dewasa, Rasulullah SAW berusaha hidup mandiri untuk mencukupi kebutuhannya sendiri. Karena beliau dikenal sebagai pemuda yang rajin dan jujur maka seorang janda bernama Khadijah binti Khuwalid, seorang bangsawan dan pedagang kaya memberi kepercayaan untuk membawa barang dagangannya ke negeri Syam. Perjalanan niaganya disertai oleh seorang pembantu Khadijah yaitu Maisaroh. Beliau dipilih sebagai komisioner, lantaran sifat-sifat Rasulullah SAW, kepercayaan, kejujuran dan sifat dan pembawaannya baik, akhlak yang terpuji maka, oleh kaumnya beliau dikenal sebagai “Al Amin” (orang yang terpercaya). Jual belinya sangat maju dan mendapat keuntungan yang besar. Beberapa waktu setelah Rasulullah SAW pulang dari perjalanan ke negeri Syam itu, datanglah lamaran dari Khadijah untuk menjadi suaminya. Kemudian hal itu disampaikan kepada pamannya, Abbas bin Abu Thalib setelah dicapai kesepakatan pernikahanpun dilangsungkan. Ketika itu Rasulullah Saw berusia 25 tahun sedangkan Khadijah berusia 40 tahun. Khadijah adalah istri pertamanya. Khadijah mendampingi Rasulullah Saw dengan setia dan menyertainya. Dari perkawinan yang diberkati Allah SWT tersebut, beliau dikaruniai empat orang putri dan dua orang putra, yaitu: 1. Qasim, 2. Zaenab, 3. Ruqayyah, 4. Ummu Kulsum, 5. Fatimah, 6. Thayib. Kedua putranya meninggal ketika masih kanak-kanak di masa Jahiliyah. Ketika Rasulullah berusia 35 tahun, beliau diambil oleh orang Quraisy untuk memperbaharui pembinaan Ka’bah. Ka’bah itu pernah terbakar dan rusak pondasinya lantaran banjir. Ketika akan meletakkan “Hajrul Aswad” ditempatnya semula, terjadi perselisihan. Orang-orang yang mulia yang boleh meletakkan Hajrul Aswad itu di tempatnya semula. Perselisihan itu hampir menimbulkan peperangan, dan dapat dihentikan oleh orang yang mula-mula masuk dari pintu Bani Syaibah. Kiranya Muhammad orang yang mula-mula masuk melalui pintu itu. Oleh karena itu Muhammad dipilih sebagai hakim untuk menyelesaikan perselisihan mereka itu. Oleh Muhammad dibentangkannya ridaknya yakni kain kudung penutup kepalanya dan diletakkan Hajrul Aswad itu di atasnya, dan menyuruh tiap-tiap kabilah itu mengambil ujung ridak itu, sehingga Hajrul Aswad itu terangkat sama tinggi dengan tangan masingmasing kabilah itu dan meletakkan pada tempatnya semula (Amali, 1986: 38-39). Karim (1990: 55) berpendapat bahwa pengagungan Ka’bah sebagaimana yang ditradisikan dikalangan muslim merupakan warisan dari suku-suku Arab, masyarakat Arab yang pluralistik sepakat untuk menyucikan Ka’bah yang ada di Mekah karena pada masa pras Islam terdapat 21 Ka’bah di semenanjung Arab. C. Pribadi Rasulullah SAW Rasulullah Saw, memiliki kepribadian yang terpuji. Hal itu tampak sejak masih kanak-kanak samai dewasa sebelum diangkat sebagai Rasul Allah SWT. Semasa kecil beliau terpelihara dari hal-hal yang tercela. Beliau mendapatkan kemampuan berbahasa Arab yang baik. Beliau memiliki sifat sidik, amanah, fathonah, sifat-sifat yang telah dimilikinya sebelum diutus menjadi Rasul. Maka layaklah bila kemudian masyarakat memberi gelar kepada beliau “Al-Amin” karena kejujuran dan kemuliaan akhlaknya. Beliau juga selalu berkata dengan halus dan bersikap lemah lembut, serta orang yang rajin dan suka bekerja keras. Beliaupun sering berdo’a memohon kepada Allah SWT agar senantiasa diberikan petunjuk dan terpelihara akhlaknya dari perbuatan tercela (Shalabi, 1992: 352) Al-Hasan bin Ali k.w. menceritakan bahwa: Husein (saudaranya) berkata: “Aku bertanya kepada ayahku (Ali bin Abi Thalib) tentang perilaku Nabi SAW pada sahabat-sahabatnya”. Ayahku berkata: “Rasulullah SAW adalah orang yang bermuka manis, lembut budi pekertinya, tawadhu’ tidak bengis, tiada kasar, tiada bersuara keras, tiada berlaku keji, tidak suka mencela dan juga tiada kikir. Beliau membiarkan (tidak mencela) apa yang tidak disenanginya. Beliau tidak menjadikan orang yang mengharapkan (pertolongannya) menjadi putus asa, tiada pula menolak untuk itu. Beliau tinggalkan dirinya dari tiga perkara, yaitu: dari perbantahan, menyombongkan diri dan dari sesuatu yang tidak selayaknya. Beliau tinggalkan orang lain dari tiga perkara, yaitu; beliau tidak mencela seseorang, beliau tidak membuat malu orang dan beliau tidak mencari keaiban orang. Beliau tidak bicara melainkan pada sesuatu yang diharapkan ada baiknya. Beliau berbicara semua orang dimajlisnya tertunduk, seolah-olah kepala mereka dihinggapi burung. Bila beliau diam, barulah mereka berbicara. Mereka tidak ada yang berbantahan kata di sisinya. Bila ada yang berbicara disisinya, mereka diam memperhatikannya sampai beliau selesai (berbicara). Yang dipercakapkan mereka disisinya adalah percakapan yang utama. Beliau tertawa terhadap apa yang mereka tertawakan. Beliau merasa takjub terhadap apa yang mereka herankan. Beliau sabar menghadapi orang asing dengan perkataan dan permintaannya yang kasar (tidak senonoh), sehingga para sahabat - sahabatnya mengharapkan kedatangan orang asing seperti itu karena darinya mendapatkan manfaat. Beliau bersabda: “Bila kalian melihat orang yang mencari kebutuhannya, maka bantulah dia”. Beliau tidak mau menerima pujian orang kecuali menurut yang sepatutnya. Beliau juga tidak mau memutuskan pembicaraan seseorang, kecuali orang itu melanggar batas. Apabila seseorang berbuat itu, maka dipotongnya pembicaraan tersebut dengan melarangnya atau berdiri (meninggalkan majlis)” (Tirmidzi, 1993: 279) Demikian gambaran kepribadian Rasulullah SAW, yang sangat mulia dan tawadlu’ dan kelemah lembutan. Dengan akhlaq karimah inilah, maka beliau menjadi tauladan terbaik bagi umat muslim disegala tempat dan di segala jaman. D. Risalah Muhammad SAW Allah SWT Rasulullah SAW untuk menyampaikan risalah kerasulannya. Di dalam diri Muhammad SAW itu terdapat sifat-sifat basiah (alat indera) dan sifat-sifat ma’nawi (bathin). Kedua sifat ini sudah mendarah daging dan sudah menjadi tabiat bagi Muhammad Saw. Sejak mula pertama diberikan kepadanya jiwa yang kuat, budi yang luhur, hati yang suci dan perasaan halus. Diberikan kekuatan Bashirah (melihat dengan kemampuan bathin) untuk menembus segala rintangan. Pemberian Allah SWT yang kedua adalah kebenaran lidah, pikiran tajam, penglihatan jauh dari dosa, kejujuran, kesucian hati, dan bersifat rahim kepada sesama manusia (Al-Abyadi, 1996: 33) . Manusia menerima hukum Allah SWT melalui medium yang dikenal sebagai Risalah (kenabian). Misi yang diemban oleh para nabi adalah menyampaikan firman Allah SWT kepada umat manusia, menda’wahkannya dan menyebarkan ajaran-ajaran Alllah SWT serta melaksanakannya di dunia. Hal ini berlanjut sampaidatangnya Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir yang membimbing manusia menuju keselamatan. Bersumber dari misi risalah, terdapat dua hal yang dapat diterima manusia; a) Al Qur’an (kitab suci dari Allah SWT yang menjelaskan hukum-hukum-Nya),d an b) Pemberian suri tauladan dan penafsiran yang benar dari kandungan Al Qur’an oleh Nabi Muhammad SAW. Prinsip-prinsip yang luas, yang kehidupan manusia harus berdasarkan kepanya, telah disebutkan dalam Al Qur’an. Nabi Muhammad Saw telah menyusun model kehidupan Islam yang sesuai dengan firman Allah, dengan praktis melaksanakan hukum Allah dan memberikan detail - detail penting yang sangat diperlukan. Kombinasi kedaunya ini dalam termologi Islam disebut sebagai syari’at; hukum tertinggi Islam (Hussain, 1996: 11) Risalah Rasulullah SAW berisi ajaran Tauhid, kesamaan derajat diantara manusia dan persaudaraan serta akhlak mulia. Setelah beliau menerima wahyu pertama beliau kemudian melaksanakan da’wah. Pokok ajaran yang disampaikan adalah Tauhid; meng-Esakan Allah SWT. Para penyembah berhala diseru untuk meninggalkan berhala. Ajaran Anthropomorphisme, yaitu suatu paham yang menyatakan Tuhan dapat menyerupai bentuk manusia adalah ajaran yang keliru dan menyesatkan. Mereka diajak untuk membersihkan segala macam bentuk kemusyrikan untuk meng-Esakan dan menyembah hanya kepada Allah SWT. Beliau menyampaikan risalahnya di kalangan bangsa Arab yang plural dan keras untuk mengajak merka kepada kebaikan. Kepada pengikut Zoro Aster dari Persia yang menyakini bahwa Tuhan itu ada dua, yaitu Ahriman; Tuhan kebaikan dan Ahura Mazda; Tuhan kejahatan mereka diajak untuk meluruskan keyakinan yaitu hanya bertuhan kepada Allah SWT. Bagi paham materialisme (menghambakan diri pada materi/kebendaan) Hedonisme (mengejar kesenangan), sinkretisme (paham yang mencampuradukkan agama menjadi satu). Areisme (keberadaan tuhan ada dibenda patung, ataupun pohon besar) mereka diminta menyakini bahwa selain Allah adalah makhluq. Semua yang ada adalah cipaan Allah Tuhan Yang Maha sa. Kepada yang tidak bertuhan ditanamkan keyakinan bahwa Tuhan itu ada. Firman Allah SWT, surat Al Baqarah ayat 163, menerangkan ke-Esaan Tuhan: Artinya: “Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”. (Q.S. Al Baqarah: 163) Ayat ini menjelaskan bahwa Tuhan yang berhak disembah hanyalah satu yaitu Allah SWT. Menyekutukan Allah dengan sesuatu adalah dosa besar yang tidak akan diampuni. Selain tauhid isi dakwah Rasulullah SAW dalam mengemban risalahnya adalah masalah kesamaan derajat diantara manusia. Di dalam pandangan Allah SWT manusia itu sama derajatnya yang melebihkan seorang dari yang lain adalah ketaqwaannya. Firman Allah SWT dalam Qur’an Surat Al Hujrat ayat 13: Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Q.S. Al Hujurat: 13) Untuk memudahkan risalah langit masuk ke dalam hati orang, Rasulullah SAW telah memilih orang-orang yang akan menuliskan dan membacakan risalahnya. Untuk itu, beliau mengambil orang-orang yang mempunyai pengetahuan tentang menulis dan membaca yang jujur dan dapat dipercaya. Agar supaya jangan ada orang yang menyatakan bahwa risalah yang dibawa Muhammad SAW adalah kutipan dari Kitab Taurat dan Injil;rislah langit yang turun kepada nabi-nabi sebelumnya. Risalah ini ukan untul dilipat, tapi untuk diketahui oleh sekalian orang karena ajarannya murni dari Allah SWT (Al- Abyadi, 1996: 8). BAB III HAL IHWAL DAKWAH DALAM MASYARAKAT MADANI A. DAKWAH 1. Pengertian Dakwah Dilihat dari segi bahasa, kata dakwah berasal dari kata Arab da’wat, merupakan bentuk masdar dari kata kerja da’a-yad’u yang berarti seruan, ajakan atau panggilan.1 Seruan dan panggilan ini dapat dilakukan dengan suara, kata-kata atau tulisan dan perbuatan.2 Kata dakwah juga berarti do’a (al-du’a), yakni harapan, permohonan kepada Allah swt atau seruan (al-Nida’). Do’a atau seruan pada sesuatu berarti dorongan atau ajakan untuk mencapai sesuatu.3 Dalam al-Qur’an berdasarkan penelitian Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi kata dakwah dalam berbagai bentuk dan turunanya terulang sebanyak dua ratus sembilan puluh sembilan kali. Dalam bentuk masdar (dakwah) disebut enam kali, dalam bentuk `amr tiga puluh empat kali. Sebagai seruan atau ajakan, kata dakwah dipergunakan baik untuk ajakan kepada yang baik / benar atau jalan yang sesat4 . term-term utama yang terkait dengan dakwah seperti; Nabi sebagai pembawa informasi Ilahi seratus lima puluh empat kali, Rasul penyampai pesan Ilahi lima ratus dua puluh tiga kali. Nashihat tiga belas kali, Irsyad (bimbingan) sembilan belas kali, Tadbir (mengurus) delapan kali, tadhwir (mengembangkan 1 Ahmad al-Fayumi, al-Misbah al-Munir, Bairut: Dar al-Fikr t,t. hal. 194 Abu al-Husein Ahmad Ibnu Faris, Mu’jam Maqayis al-Lughat, Bairut: Dar al-Fikr, 1979, hal. 279 3 Da’wah dalam arti do’a dijelaskan dalam al-Qur’an: surat al-Baqarah, 186: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang aku, maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar meraka selalu berada dalam kebenaran. 4 Ibnu Manzhur, Abu al-Fadhal Muhammad Ibnu Mukrim, Lisan al-Arab, Bairut: Dar al-Fikr, 1990, hal. 259. 2 sebelas kali. 5 Sejauh penggunaannya dalam al-Qur’an, kata dakwah ada yang dikaitkan dengan jalan Allah swt, jalan kebaikan atau jalan ke surga. Dan sebaliknya ada pula yang disandarkan pada jalan syetan, kehancuran, jan keburukan atau jalan ke api neraka. 6 Bahkan dalam satu ayat terdapat pula penggunaan kata dakwah untuk arti keduanya secara bersamaan.7 Dari sisi etimologi dakwah memiliki pengertian “ panggilan’’, diambil dari kata masdar da’watan, juga berarti “ memanggil ’’, dari kata da’a. kedua arti ini dapat digunakan tergantung pada pemakaian dalam kalimat. 8 Dari sisi terminology, dakwah memiliki pengertian yang berfariasi, diantaranya: Syaikh Ali Mahfudz, dakwah adalah mendorong (motivasi) manusia untuk melakukan kebaikan dan mengikuti petunjuk, memerintahkan mereka berbuat ma’ruf dan mencegahnya dari perbuatan munkar agar mereka memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.9 Berdasarkan term-term dalam al-Qur’an di atas dakwah secara umum merupakan proses menyeru untuk mengikuti sesuatu dengan cara-cara tertentu, sedangkan dakwah Islam diartikan sebagai proses perilaku keislaman menyeru ke jalan Allah yang melibatkan unsurunsur. Da’i, pesan (materi), uslub (metode), washilat (media), mad’u dan tujuan. Dari segi bentuknya dakwah dapat berupa irsyad (internalisasi dan bimbingan), tabligh (transmisi dan penyebaran), tadbir (rekayasa sumber daya manusia), tathwir (pengembangan kehidupan 5 Syukriadi Syambas, (ed) Aep Kunawan, Ilmu Dakwah Kajian Berbagai Aspek, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004, hal.128 6 Pengertian dakwah yang menjurus kepada kesesatan sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an, surat Lukman, ayat 21: Dan apabila dikatakan keada mereka: “Ikutilah apa yang diturunkan Allah”. Mereka menjawab: “ (Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati bapak-bapa kami mengajarkannya”. Dan apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun syaitan itu menyeru mereka kedalam siksa api yang menyala-nyala (neraka). 7 Al-Qur’an: Surat al-Baqarah, ayat 21:... mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke syurga dan ampunan dengan izin-Nya, dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perinyah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. 8 Dakwah yang berarti panggilan, dari kata masdar “da’watan” adalah pendapat ulama Basrah, sedangkan dakwah berati memanggil dari kata “da’a”. adalah ulama Kufah. Moh. Ardani, Memahami permasalahan Fiqih Dakwah, Jakarta: Mitra Cahaya Utama, 2006, hal. 9. 9 Dikutip Moh. Ardani, dalam Memahami Permasalahan Fiqih Dakwah, hal. 10. dalam aspek kultur universal).10 Manusia dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah Tuhan untuk kemaslahatan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.11 Sayyid Quthub menjelaskan ayat ke-24 surat al-Anfal, bahwa dakwah adalah ajakan atau seruan ditujukan kepada kehidupan yang sempurna. Dakwah mengandung ajakan kepada lima prinsip dasar yang dapat menghantarkan pada kehidupan yang sempurna, kelima prinsip dasar tersebut adalah: Pertama, seruan kepada aqidah tauhid yang akan membebaskan manusia dari penyembahan diri selain kepada Allah SWT. Kedua, seruan kepada hukum-hukum Allah dalam arti seruan untuk membangun dan mengatur kehidupan dengan undang-undang Allah SWT (prinsip syari’ah) seruan ini akan menempatkan manusia sejajar di hadapan hukum terlepas dari kepentingan dan dominasi perorangan atau kelompok tertentu yang berpengaruh dalam masyarakat. Ketiga, seruan kepada sistem hidup atau konsep mengenai kehidupan yang sesuai dengan fitrah kemanusiaan yang tidak lain adalah sistem Islam. Keempat, seruan kepada kemajuan dan kemuliaan hidup dengan aqidah dan sistem Islam untuk kemudian membebaskan manusia dari perbudakan dan penyembahan terhadap sesama manusia. Kelima, seruan kepada perjuangan dan jihad Islam untuk dapat mewujudkan dan menegakkan sistem Allah di muka bumi.12 Menurut Sayyid Quthub dakwah adalah usaha orang beriman mewujudkan sistem dan ajaran Islamdalam realitas kehidupan, atau usaha orang beriman mengokohkan sistem Allah dalam kehidupan manusia baik pada tataran individu, keluarga, masyarakat dan umat dari kebahagiaan hidup di duniaakhirat.13 10 Syukriadi Sambas, (ed) Aep Kusnawan, Ilmu Dakwah Kajian Berbagai Aspek, hal.128. 11 Thoha Yahya Umar, Ilmu Dakwah, Jakarta: CV al-Hidayah, hal. 7. 12 Sayyid Quthub, Fi zhila al-Qur’an, Bairut: Dar al-Syuruk, Cek 23, 1994, Jilid III, hal. 1493. Sayyid Quthub, Fi zhila al-Qur’an, Jilid II, h. 689, 696, 810, 825, 949. 13 Menurut Al-Bahi al-Khuli, da’i bukan sekedar penceramah. Penceramah adalah penceramah. Da’i adalah orang yang meyakini ideologi Islam (Fikrat), ia mengajak kepada fikrat Islam dengan tulisan, ceramah (pidato), pembicaraan biasa dan dengan semua perbuatannya khusus maupun yang umum, serta dengan segala perangkat dakwah yang mungkin dilakukan. Ia adalah seorang penceramah, pembicara dan tokoh panutan yang berusaha mempngaruhi manusia dengan kerja dan kepribadiannya. Ia juga seorang dokter masyarakat yang berusaha mengobati penyakit-penyakit jiwa dan memperbaiki kondisi masyarakat. Ia seorang pengamat dan peneliti yang kritis yang menjadikan hidupnya untuk melakukan perbaikan kondisi yang dikehendaki Allah SWT. Ia seorang teman dan sahabat bagi si-kaya dan si-miskin, serta teman bagi yang tua maupun yang muda, dari sifat-sifat semacam ini akan tumbuh rasa cinta kasih pada sesama manusia, dalam dirinya tidak ada perbedaan antara kata dan perbuatan. Ini merupakan keharusan bagi seorang da’i. Hal semacam ini merupakan pengaruh jiwa dan hati yang membedakan dengan pengaruh sastra, orator dan politikus. Da’i adalah tokoh masyarakat, pemimpin politik di lingkungannya dan pemimpin bagi gagasan-gagasannya serta pemimpin bagi orang-orang yang mengikuti jalan pikirannya. Para da’i diharapkan dapat membangun umat atau ikut mendukung kelahirannya, mereka diharapkan ikut membangun sistem pemerintahan Islam atau ikut membantu mewujudkannya, karena itu pekerjaan semacam ini tidak mungkin akan terlaksana jika hanya dilakukan dengan ceramah atau pidato, retorika dan humor tanpa disertai adanya gerakan secara sistemtis.14 Ahmad Muhammad Jamil, berpendapat “pengertian yang umum mengenai dakwah adalah, dakwah difahami sebagai nasehat, ceramah dan penyampaian pidato di masjidmasjid. Padahal hakikat dakwah sebenarnya jauh lebih luas dari itu. Dakwah pada dasarnya 14 Al-Bahi al-Khuli, Tadzkirat al-Du’at, Kuait: Maktabat al-Falah, 1979, hal 7-8. adalah kata-kata, perbuatan dan sekaligus perilaku. Medan dakwah sangat beragam, di masjid, madrasah, perguruan tinggi, institusi-institusi sosial yang beragam, mol dan perusahaan, organisasi-organisasi yang beragam bentuknya tujuannya secara singkat padat dikemukakan adalah untuk mewujudkan syari’at Islam dalam semua segi kehidupan masyarakat, baik aqidah, syari’ah maupaun akhlak.15 H. Soedirman memberikan pengertian bahwa dakwah tidak identik dengan tabligh, tetapi meliputi semua usaha mewujudkan ajaran Islam pada semua segi kehidupan, dalam konteks ini tabligh merupakan bagian dari dakwah Islam. 16 Muhammad Abu Zahrah memberikan kriteria bahwa sesuatu kegiatan dapat disebut dakwah jika merupakan sistem usaha bersama orang beriman dalam rangka mewujudkan ajaran Islam dalam semua segi kehidupan sosio-kultural yang dilakukan melalui lembaga-lembaga dakwah, sedangkan tabigh merupakan sistem usaha penyiaran dan penyampaian ajaran Islam agar dipeluk individu atau masyarakat yang dilakukan oleh individu atau kolektif baik melalui lisan maupun tulisan. Tabligh merupakan bagian dari sistem dakwah yang dilakukan oleh da’i sesuai profesinya. 17 Dalam rumusan lain beberapa definisi dakwah antara lain; dakwah adalah usaha yang mengarah untuk memperbaiki suasana kehidupan yang lebih baik dan layak sesuai dengan kehendak dan tuntutan kebenaran. 18 Dakwah adalah usaha membuka konfrontasi di tengah manusia, membuka kemungkinan bagi kemanusiaan untuk menetapkan pilihannya sendiri.19 Dakwah Islam adalah dakwah kepada standar nilai-nilai kemanusiaan dalam tingkah laku pribadi-pribadi di dalam hubungan antar manusia dan sikap perilaku antar 15 Ahmad Muhammad Jamil, Qadlaya Mu’ashsirat fi Muhkamat al-Fikr al-Islami, Kairo: Dar al-Shahwat, 1980, hal. 57-58. H. Soedirman, Problematika Dakwah di Indonesia, Surabaya: 1970, hal. 47. 17 Abu Zharah, al-Da’wat Ila al-Islam, tth, hal. 27. 18 Effendi Zarkasi dkk, Metodologi Dakwah Kepada Suku Terasing, Jakarta: Departemen Agama RI, 1987-1979, hal. 4. 19 Isa Anshari, Mujahid Dakwah, Bandung: Diponegoro, 1984, hal. 19. 16 manusia.20 Dakwah adalah mengajak manusia dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah Tuhan untuk kemaslahatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat.21 Dakwah merupkan suatu proses usaha untuk mengajak agar orang beriman kepada Allah swt, percaya dan mentaati apa yang telah diberitakan Rasul serta mengajak agar dalam menyembah Allah seakan-akan melihat-Nya.22 Dakwah adalah usaha mengubah situasi kepada yang lebih baik dan sempurna, baik terhadap individu maupun masyarakat.23 Dakwah adalah gerakan untuk merealisasikan undang-undang Allah yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.24 Dakwah adalah mendorong (memotovasi) umat manuia agar melaksanakan kebaikan dan mengikuti petunjuk serta memerintah berbuat makruf dan mencegah dari perbuatan munkar supaya mereka memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.25dakwah adalah setiap usaha atau aktivitas dengan lisan atau tulisan lainnya, yang bersifat menyeru, mengajak, memanggil manusia lainnya untuk beriman dan mentati Allah swt sesuai dengan garis-garis aqidah dan syari’ah serta akhlak Islamiyah. 26 Dari berbagai konsep dakwah yang dirumuskan para intelektual muslim di atas penulis merumuskan konsep dakwah sebagai berikut: dakwah sebagai suatu kegiatan yang dilakukan orang beriman kepada Allah dalam bidang kemasyarakatan yang diwujudkan dalam sistem kegiatan yang dilaksanakan secara sistematis untuk mempengaruhi cara merasa, berpikir dan berperilaku baik dalam kehidupan individu maupun sosio-kultural dalam rangka mewujudkan kehidupan yang adil, makmur diridhoi Allah. 20 Muhammad al-Bahy, al-Sabil ila Dakwah al-Haq, Kairo: Mathba’at al-Azhar, 1970, hal. 14. Thaha Yahya Umar, Ilmu Dakwah al-Haq,Jakarta: Wijaya, 1971, hal. 1. 22 Ibn Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, Riyad: Mathbah’at al-Riyad, 1985, juz XV, cet. Pertama, hal. 185. 23 Al-Bahy al-Khauly, Tadzkirat al-du’at, Kairo: Maktabat dar al-Turats, 1408 H/1987 M, cetakan ke-8, hal. 35. 24 Ra’uf Syalaby, al-Dakwat al-Islamiyat Manahijuha wa Ghayatuha, Kairo: al-Fajr al-Jahid, 1985, hal. 34. 25 Syekh Ali Mahfudz, Hidayat al-Mursyidin, Mesir: Dar al-Mishr, 1975, hal. 7. 26 HMS Nasaruddin Latif, Teori dan Praktek Dakwah Islamiyah, Jakarta: Firma Dara, 1971, hal. 11. 21 Dari konsep ini dapat dijelaskan bahwa sesuatu kegiatan disebut dakwah jika terpenuhi unsur-unsur, Pertama, pelakunya orang beriman. Kedua, dilakukan di tengahtengah masyarakat. Ketiga, memiliki sistem kegiatan. Keempat, kegiatan tersebut untuk mempengaruhi cara merasa, berpikir dan berperilaku seseorang atau sekelompok orang untuk menjalakan yang makruf dan meninggalkan yang munkar. Kelima, kegiatan itu bersifat ikhtiyar dan bukan pemaksaan. Keenam, memiliki sistem tujuan yaitu terwujudnya kehidupan yang adil, makmur diridhoi Allah dalam rangka memperoleh kebahagiaan duniaakhirat. 2. Konsep Dakwah Pergerakan (da’wat Harakat) Menurut Hasan Ibnu Falah dakwah pergerakan memiliki pengertian yang sama dengan a’wat harakat. Dakwah ini lebih menekankan pada aspek tindakan (aksi) daripada wacana (teorisasi). Dakwah pergerakan/da’wat harakat menurut Hasan Ibnu Falah alQaththani, adalah dakwah yang berorientasi pada pngembangan masyarakat Islam, dengan melakukan reformasi dalam segala segi kehidupan manusia dari perbaikan individu (ishlah al-Fard), perbaikan keluarga (ishlah al-Usrat) dan perbaikan masyarakat (Ishlah alMujtama’) serta perbaikan pemerintahan dan negara (ishlah a-Daulat).27 Sementara al-Ja’bari memandang dakwah pergerakan/da’wat harakat sebagai suatu konsep dakwah yang memadukan antara dimensi pemikiran (konseptual), dan pergerakan (pratikal), serta merupakan bagian integral dari gerakan kebangkitan Islam yang banyak bermunculan di negara-negara Islam sejak permulaan beberapa abad yang silam.28 Oleh karena itu dakwah ini bersifat dinamis, progresif dan banyak digunakan oleh organisasi- 27 Hasan Ibnu Falah al-Qaththani, al-Thariq ila al-Nahdlat al-Islamiyyat, Riyadl: Dar al-Hamidi, 1993, hal. 1-10. Ibrahim Muhammad al-Ba’bari, Gerakan Kebangkitan Islam, terj. Abu Ayub al-Anshari, Solo: Duta Rahman, 1996, hal. 76-70. lihat pula, Wadlih Rasyid al-Hasani, al-Nadwi Adab al-Shahwat al-Islamiyyat, Bairut: Muassasat shana’at al-Risalat, 1978, hal. 5. 28 organisasi pergerakan Islam kontemporer, terutama gerakan al-Ikhwan al-Muslimun di Mesir, Jama’at Islamiyat di Pakistan, gerakan Nuriah atau Nurculuk di Turki. Kata harakat/pergerakan itu sendiri secara harfiah berarti gerak atau gerakan, merupakan lawan dari diam. Dikatakan bergerak, bila seorang berpindah atau mengambil posisi baru.29 Dari makna harifah ini, dapat dipahami dua makna penting kata harakah. Pertama, harakah menunjuk pada suatu gerakan yang timbul setelah masa atau kondisi vakum. Kedua, harakah menunjuk pada suatu usaha pembaharuan untuk membawa masyarakat kepada kehidupan baru yang lebih baik.30 Harakat/pergerakan menurut Kalim Siddiqui merupakan watak Islam. Dikatakan bahwa Islam lahir menjadi suatu gerakan dan akan selalu menjadi gerakan. Gerakan Islam bertujuan mendirikan dan melindungi negara Islam demi kesejahteraan dan kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat.Yusuf Qardhawi menekankan pentingnya dakwah pergerakan/ da’wat harakat ini untuk membebaskan manusia dari kejahatan. Masyarakat Islam, kata Qardhawi, tidak akan pernah sepakat dalam kesesatan, karena itu harus selalu ada sekelompok orang dari kalangan masyarekat Islam yang bangkit membela kebenaran, membimbingan dan mengajak manusia kepada jalan yang benar. Yusuf ardhawi menyebut kebangkitan demi pembaharuan dan kemajuan Islam.31 Harakah atau kebangkitan, menurut Qardhawi harus mencakup beberapa aspek, yaitu kebangkitan intelektual, kebangkitan jiwa, kebangkitan motivasi dan kehendak serta kebangkitan kerja dan dakwah. Dimaksud dengan kebangkitan dakwah adalah “Dakwah bermakna membangun gerakan yang akan membawa manusia kejalan Islam yang meliputi: aqidah dan syari’ah, dunia dan negara, mental dan 29 Raqhib al-Ashfahani, al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, Bairut: Dar al-Ma’rifat, tt, hal. 114. Lihat pula Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab, Bairut: Dar al-Shadir, 1990, hal. 411. 30 Simi Niazi, A New Paradigm in the Making: dalam Kalam Siddiqui (ed), Issues in the Islamic Movement 1980-1981, London: Toronto, The Open Press Limited, `1982, hal. 330-331. 31 Yusuf Qardhawi, al-Shabwat al-Islmiyyat wa al-Humum al-Wathon al-Arabi wa al-Islami, Bairut: Muassasat al-Risalat, 1992, hal. 12-20. kekuatan fisik, peradaban dan umat. Kebudayaan dan politik serta jihad dalam rangka mewujudkan Islam di muka bumi serta dalam rangka menegakkan ajarannya di kalangan umat Islam sendiri, sehingga terjadi persesuaian antara perilaku dan hati nuraninya. Dakwah juga bermakna bekerja untuk membebaskan umat Islam dari berbagai kekuatan politik yang menindas dan membelenggu mereka.32 Dakwah pergerakan/da’wat harakat tampaknya memiliki identitas dan karakternya sendiri. Menurut MusthafaMasyhur dakwah pergerakan/da’wat harakat tertumpu pada tiga kekuatan. Pertama, kekuatan aqidah dan iman (quwwat al-aqidat wa al-Iman). Kedua, kekuatan kesatuan dan ikatan jama’ah di antara kaum muslimin (quwwat al-wahdat wa altarabut baina al-muslimin). Ketiga, kekuatan jihad (quwwat al-Jihad). Ketiga kekuatan ini, menurut Musthafa Masyhur merupakan rahasia kekuatan dakwah dan pergerakan/harakat Nabi saw ketika beliau mendirikan pemerintahan Islam pertama di Madinah. 33 Identitas lain yang lebih terang mengenai dakwah pergerakan/da’wat harakat dikemukakan oleh aktivis Ikhwan al-Muslum, menurut Fathi Yakan dakwah pergerakan/da’wat harakat memiliki empat cirri pokok, yakni: (1) Murni dan autentik (dzatiyyat), (2) Mendorong kemajuan (taqaddumiyyat), (3) universal (syamilat), dan (4) Menjauhkan diri dari perbedaan-perbedaan pendapat dalam masalah fiqih (al-Madzahib alFiqhiyyat).34 Dari karakter dan identitas yang dikemukakan di atas, tampak bahwa paradigm dakwah pergerakan/da’wat harakat memiliki perbedaan dengan dakwah pada umumnya, baik pada tataran filosofis (filsafat dakwah), epistimologi dan metodologi, maupun kualifikasi da’i yang menjadi pendukung gerakan dakwah pergerakan/ da’wat harakat. 32 Yusuf Qardhawi, al-Shabwat al-Islamiyyat wa al-Humum al-Arabi wa al-Islami, juga Musthafa Masyhur, al-Jihad Hua al-Sabil, Iskandariya: Dar al-Dakwat, 1985, hal. 10. 33 Musthafa Masyhur, al-Jihad Hua al-Sabil, hal. 3. 34 Fathi Yakan, Madza Ya’ni Ijtima’i li al-Islam, Bairut: Muassasat al-Risalat, 1983, hal. 113-115 dan Nahwa Harakat Islamiyyat ‘Alamiyyat Wahidat, Bairut: Muasasat al-Risalat, 1977, hal. 42-46. Dari segi metodologi, paradigm dakwah pergerakan/da’wat harakat meniscayakan adanya organisasi yang berfungsi sebagai institusi atau wadah yang akan menghimpun dan menyatukan potensi dan kekuatan umat untuk dimanfaatkan serta diberdayakan bagi kepentingan dakwah. Sementara dari sisi tenaga da’i , paradigm dakwah pergerakan/da’wat harakat meniscayakan adanya pelaku dakwah yang berkualifikasi sebagai pejuang dakwah (mujahid dakwah). Di sini da’i harus merupakan seorang muslim pejuang dan aktifis pergerakan Islam, seperti: Muhammad Ibnu Abd al-Wahhab (1703-1781), Jamalal-Din alAfghani (1839-1897), Muhammad Abduh (w. 1905) Rasyid Ridla (1865-1935), Hasan alBanna(1906-1949), dan Syayyid Qutub (1906-1966), Abu al-‘Ala al-Maududi, dll. Menurut Yusuf Qardhawi, para tokoh tersebut di atas bukan saja tokoh pemikir, melainkan juga para tenaga da’i sekaligus pejuang muslim. Dengan perkataan lain, mereka merupakan tokoh dan pelopor dakwah pergerakan/da’wat harakat yang sangat konsen dengan pergerakan Islam. Dalam pandangan Qardhawi gerakan (harakah) merupakan watak Islam dan watak aqidah Islam, juga watak masyarakat yang lahir dan dibentuk dari agama dan aqidah Islam.35 Al-Qur’an diturunkan untuk membangun komunitas Islam dan gerakan Islam. AlQur’an bermaksud membangun jama’ah, harakat/pergerakan dan aqidah dalam satu waktu. Ia bermaksud membangun jama’ah dan harakat/pergerakan dengan aqidah, dan ingin membangun aqidah dengan jama’ah dan harakat/pergerakan. Ia menghendaki aqidah itu terwujud dalm bentuk jama’ah yang dinamis dan progresif, sementara jama’ah yang dinamis dan progresif merupakan perwujudan dari aqidah.36 35 Shalah Abd. Al- Fattah al-Khalidi, al-Manhaj al-Haraki fi Zhilali al-Qur’an, Jeddah: Dar al-Manarat, 1986, hal. 35. 36 Sayyid Quthub, Ma’alim fi al-Thariq, Kairo: Dar al-Syuruq, 1979, hal. 40. Prinsip harakat/pergerakan ini menurut Sayyid Quthub merupakan alat (kunci) yang memungkinkan seseorang dapat berdialog dengan al-Qur’an. Tanpa harakat/pergerakan dalam arti bergerak dalam peerjuangan Islam, seseorang tidak akan dapat memahami maksud dan cita-cita al-Qur’an. Menurut Quthub hanya orang-orang yang aktif dan dinamis dalam memperjuangkan Islam sajalah yang dapat memahami pesan dan semangat al-Qur’an. Gerakan dan dinamika umat Islam seperti dikemukakan di atas diperlukan dalam menghadapi kesesatan dan kejahiliyahan yang sudah merajalela pada masa sekarang, dalam hal ini Quthub mngatakan: “Kita memerlukan pemahaman al-Qur’an yang berorientasi pada gerakan yang siap menghadapi kesesatan dan kejahiliyahan yang sudah menyebar di manamana. Yaitu suatu gerakan yang bertujuan untuk membebaskan manusia dari kegelapan menuju cahaya, dari jahiliyah menuju Islam, dari penyembahan kepada manusia menuju kepada penyembahan Allah. Suatu gerakan sebagaimana gerakan Islam yang pertama pada masa Nabi Muhammad SAW sewaktu menghadapi Jahiliyah Arab sebelum mendirikan daulah Islam di Madinah dan sebelum Islam memiliki kekuatan atas dunia dan umat manusia.37 Dengan demikian dakwah pergerakan/da’wat harakat merupakan bentuk dakwah alternative untuk mengatasi kemujudan dan keterbelakangan umat. Berbeda dengan paradigm tabligh, dakwah pergerakan/da’wat harakat lebih berorientasi pada pengembangan masyarakat Islam (Islamic Community Development) melalui pembaharuan dan reformasi (ishlah) dalam berbagai kehidupan manusia, mulai dari perbaikan individu (ishlah al- 37 Sayyid Quthub, Fi Zhilal al-Qur’an, Kairo: Dar al-Syuruq, 1979, hal. 16. fardiyyat), perbaiakn keluarga (ishlah al-usrat), perbaikan masyarakat (ishlah al-Ummat), sampai kepada perbaiakan pemerintahan dan negara (ishlah al-daulat).38 Paradigma baru tentang dakwah Islam sangat diperlukan demi terumuskannya keilmuan dakwah. Dimaksud dengan paradigma dakwah adalah suatu model,39 pola ideal,40 atau kerangka piker (konsep), yang dipergunakan sebagai cara memandang atau mengkaji suatu masalah, berisi premis-premis teoritik (filosofis) dan metodologis. 41 Paradigma dakwah yang dimaksudkan di sini adalah paradigma dakwah pergerakan/da’wat harakat, suatu paradigma dakwah yang menekankan pada suatu pembebasan umat Islam dari keterbelakangan dengan sungguh-sungguh berusaha mengembalikan eksistensi umat Islam kepada kemuliaan dan kemajuan. Usaha mewujudkan dan mengimplementasikan ajaran iman dan Islam melalui gerakan dakwah dapat dilakukan dengan berbagai cara, melalui komunikasi (tabligh), pembudayaan nilai-nilai dan control social (amar ma’ruf nahi munkar), keteladanan dan perilaku (uswah hasanat), serta melalui pergerakan (harakat) dengan menciptakan organisasi-organisasi sebagai dakwah bersama yang akan menghimpun dan memobilisasi ekuatan Islam untuk keperluan dakwah. Dakwah dengan pendekatan ini dikenal dengan istilah dakwah harakat/pergerakan. Dakwah pergerakan/da’wat harakat, kebanyakan berkaitan dengan ide dan gerakan salafisme Islam pada abad ke-20 M atau ke-15 . Dakwah pergerakan /da’wat harakat dikembangkan oleh organisasi pergerakan Islam internasional seperti Al-Ikhwan al38 Azyumardi Azra, Dalam Pengantar, Ilyas Islamil, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub, Jakarta: PT. Penamadani, 2006, hal. Xxviii. 39 Peter Salim & Teni Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Jakarta: Modern Enggris, 1999, hal. 1095. 40 Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Depdikbud, 1998, hal. 648. 41 Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Lembaga Kebudayaan Nusantara, hal. 777. muslimun di Mesir, Jama’ah Islamiyah di Pakistan gerakan Nuriah atau Nurculuk di Turki serta Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama di Indonesia juga dapat diidentifikasi sebagai dakwah pergerakan/dakwat harakat. Dakwah pergerakan/da’wat harakat menghendaki perubahan yang lebih bermakna bagi kehidupan umat manusia, tradisi dakwah oral (tabligh) yang berlangsung selama ini kelihatannya kurang mendorong terjadinya perubahan social seperti yang diharapkan. Bahkan tradisi dakwah semacam ini tampaknya hanya menyentuh “wilayah pinggiran” dari kesadaran kaum muslimin.42 Secara umum orientasi gerakan dakwah Islam yang dilakukan Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya adalah mendorong terciptanya kebebasan sehingga terbuka peluang bagi umat manusia untuk mendapatkan petunjuk Tuhan dan melakukan kebajikan serta meninggalkan yang munkar. Iktiyar gerakan dakwah Nabi ini diimplementasikan dalam bentuk: a. Mewujudkan Sistem Islam Gerakan dakwah dilaksanakan dalam rangka membangun dan mewujudkan system Islam, hal ini didasarkan pada prinsip pemikiran bahwa Islam adalah system hidup. Sebagai sister hidup, Islam bersifat komprehensip dan sempurna. Dalam Islam terdapat seperangkat tata nilai atau system ajaran baik yang menyangkut aqidah maupun (sistam kepercayaan), ibadah (system peribadatan atau ritualisme), akhlak (system moral dan spiritual), syari’ah (system hukum dan perundang-undangan), dan mu’amalah (system sosial) yang meliputi bidang ekonomi, politik dan hubungan antar negara. Islam mengatur semua aspek tersebut 42 Azyumardi Azra dalam Pengantar Paradigma Dakwah Sayyid Quthub,hal. Xxviii. serta tidak mengenal pemisahan satu dengan yang lain.43 Dengan demikian dakwah bukan hanya kegiatan yang mengurusi soal iman danibadah semata-mata, melainkan membangun segi kehidupan sesuai dengan prinsip dan asas Islam, karena itu dakwah harus dilakukan secara bertahap dimulai dari satu titik ke titik yang lain,dilaksanakan secara berkesinambungan hingga tercapai tujuan terakhir. Sistem Islam hanya akan dapat terwujud dengan lahirnya jama’ah dan masyarakat Islam sehingga system Islam itu menjadi realistis dan empiris dalam arti memiliki wujud yang konkrit, bisa diamati dan ditelaah. Dalam prespektifini tidak dapat dibayangkan jika ada system Islam tanpa adanya jama’ah dan komunitas Islam. Oleh karena itu dakwah Islam dengan sendirinya bermakna ikhtiyar membangun dan mewujudkan komunitas dan masyarakat Islam yang berlaku di dalamnya system kemasyarakatan Islam. b. Membangun Masyarakat Islam. Sebagai system hidup yang sempurna, Islam todak bergerak pada tataran pemikiran (teoritis) semata, tetapi juga bekerja pada tataran praktis, mengatur semua segi kehidupan manusia secara realistis dan obyektif, ini berarti Islam harus diterjemahkan nyata dengan membangun komunitas dan masyarakat Islam. Kegiatan dakwah pada hakekatnya adalah usaha mendorong dan mewujudkan masyarakat Islam sebagai kumpulan orang-orang beriman yang melaksanakan amal shaleh. Proses pembentukan masyarakat Islam ini akan terbentuk sesuai dengan tahapan-tahapan sebagai berikut “Masyarakat Islam bermula dari adanya sekelompok orang yang memeluk Islam sebagai system hidup dan menjadikan Islam sebagai undang-undang yang mengatur 43 Sayyid Quthub, Al-Mustaqbal li Hadza al-Din, Kairo: Dar ar-Syuruq, 1979, hal. 3. seluruh kehidupan, baik ditingkat individu, keluarga maupun masyarakat. Degan semakin berkembangnya kelompok ini dengan sendirinya masyarakat Islam akan terbentuk”. Karena itu masyarakat Islam didefinisikan sebagai berikut “Masyarakat Islam adalah masyarakat yang menjadikan system Islam sebagai system hidupnya secara menyeluruh, dan Islam secara keseluruhan mengatur segalasegi kehidupan,mencarikan jalan keluar bagi setiap persoalan yang dihadapi dengan terlebih dahulu berserah diri kepada hukum-hukum Allah swt”.44 Masyarakat Islam memiliki karakteristik saling kasih sayang, tolong menolong, sama-sama rukuk dan sujud dihadapan Allah, jauh dari kekerasan, intimidasi dan eksploitasi. Secara teknis pembentukan masyarakat Islam zaman Nabi dimulai dari pembentukan individu-individu Muslim, keluarga muslim dan selanjutnya masyarakat muslim. Individu-individu muslim dan keluarga muslim merupakan sel-inti yang membentuk masyarakat Islam. Bahkan keluarga muslim sesungguhnya merupakan minimatur masyarakat Islam. Oleh sebab itu Islam memberikan perhatian tinggi terhadap pembinaan keluarga muslim, bahkan Islam disebut sebaga agama keluarga. Nabi mula-mula mengarahkan dakwahnyakepada keluarga dan rumahnya sendiri, ia sekuat tenaga menyelamatkan rumah tangganya (anggota keluarganya) dari api neraka. Ini merupakan prioritas program dakwah periode awal, karena tanpa memperhatikan aspek pembinaan keluarga, maka cita-cita untuk membentuk komunitas dan masyarakat Islam akan tertunda dan bahkan tak akan pernah terwujud sama sekali.45 Keluarga dan masyarakat Islam merupakan terjemah dari system Islam, ia merupakan manifestasi dari system Islam, masyarakat Islam dibentuk dan dibangun di atas landasan aqidah Islam. Kaidah teoritik yang menjadi landasanIslam dalam membangun 44 45 Sayyid Quthub, Manhaj al-Tarbiyat al-Islamiyat, Kairo: Dar al-Qolam, tt, hal. 236. Sayyid Quthub, Manhaj al-Tarbiyat al-Islamiyat, Kairo: Dar al-Qolam, tt, hal. 265. masyarakat sepanjang sejarah adalah tauhid yang diekspresikan dalam dua kalimat syahadat “Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad Rasulullah”. Berdasarkan prinsip semacam ini dapat diketahui bahwa dasar pembentukan masyarakat Islam adalah aqidah, bukan warna kulit, suku bangsa, atau yang lainnya. Dari prinsip dasar semacam inimasyarakat Islam memiliki beberapa karakter dan cirri yang berbeda dengan masyarakat manapun. Masyarakat Islam adalah masyarakat yang bersifat terbuka, bernudaya Islami dan universalis. Prinsip lain dari masyarakat Islam adalah dasar pembentukannya, masyarakat Islam adalah syari’ah. Di atas naungan syari’ah ini masyarakat Islam tumbuh dan berkembang mencapai kesempurnaan. Syari’ah ini yang menetapkan cirri-ciri penguat, arah dan perkembangannya. Cirri lain dari masyarakat Islam adalah kesatuan dan dinamika yang kuat. Dinamika dan kesatuan ini tampak jelas sejak awal, karena eksistensi masyarakat Islam tidak dapat dibangun tanpa kesatuan. Kesatuan dapat melahirkan dinamika masyarakat dalam bentuk kerjasama dari setiap anggota kelompok sesuai dengan peran dan memperkuat eksistensi masyarakat Islam, menjagab dan mempertahankan dari ancaman dan gangguan dari masyarakat luar. 46 c. Membangun Pemerintahan Islam Salah satu tujuan antara gerakan dakwah Islam adalah membangun sistem pemerintahan Islam. Sistem pemerintahan Islam bukan tujuan utama dari gerakan dakwah, ia hanya merupakan tujuan antara dengan maksud gerakan dakwah memiliki wadah dan terlindungi eksistensinya. Aktivitas dakwah dapat berjalan tanpa adanya gangguan, karena prinsip dakwah adalah ajakan perdamaian dan keselamatan. Karena itu, sistem pemerintahan 46 A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub, Jakarta: PT. Penamandani, 2006, hal. 156. yang dimaksud adalah system pemerintahan yang sejalan dengan prinsip misi kenabian dan kerasulan.47 Dalam sistem pemerintahan Islam yang dibangun Nabi memiliki empat prinsip dasar yang sesuai dengan karakter gerakan dakwah, yaitu: Pertama, prinsip tauhid. Kedua, prinsip keadilan. Ketiga, prinsip kepatuhan/ketaantan. Keempat, prinsip permusyawaratan (syura). Tidak ada otoriter dalam bentuk apapun dalam sistem pemerintahan Islam, karena hal itu bertentangan dengan prinsip gerakan dakwah. Nabi bukan hanya sebagai “penceramah”, sekedar menyampaikan risalah, tetapi secara implisit Nabi diperintah untuk membangun sistem pemerintahan agar aktivitas dakwah dapat berjalan penuh kedamaian. 3. Dakwah dan Dinamika Sosial Merujuk pada makna yang terkandung dalam al-Qur’an surat al-Nahl (16:125),48 dakwah Islam dapat dirumuskan sebgaikewajiban muslim mukallafuntuk mengajak, menyeru dan memanggil orang berakal menjalani jalan Tuhan (din al-Islam) dengan cara hikmat, mau’izat hasanat (supermotivasi positif)dan mujadalah yang ahsan (cara-cara yang lebih metodologis), dengan respons positif atau negative dari orang berakal yang diajak, diseur dan dipanggil disepanjang zaman dan setiap ruang. Hakekat dawah Islam adaah perilaku keislaman muslim yang melibatkan unsure da’i, pesan, media, metode, mad’u dan respons serta dimensi hal-al-maqom atau situasi dan kondisi. Interaksi antar unsure dakwah Islam dalam tataran praktisnya adalah obyek formal kajian ilmu dakwah. Dari sisi obyek 47 Sayyid Quthub, Fid ZILAL al-Qur’an, Dar as-Syuruk, Kairo: 1963, hal. 14. Al-Qur’an surat al-Nahl 125: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[845] dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. Q.S al-Nahl:125. 48 materialnya, dakwah Islam bersentuhan dengan kajian ilmu keislaman, dengan demikian ilmu dakwah berkarakter interdisipliner. Dalam al-Qur’an surat Fushilat (41:33) dakwah Islam dapat dirumuskan sebagai kewajiban meyeru, mengajak dan memanggil manusia untuk mengesakan Allah melalui ahsan al-qawl, amal shaleh dan qala innani min al-muslimin (afirmasi ketundukan kepada Tuhan). 49 Hakekat dakwah Islam menunjukkan tiga bentuk utama dalam proses dakwah, yaitu melalui ahsanu al-Qawl atau bahasa yang baik, melalui ahsanu ‘amala atau perbuatan yang baik dan reformatif, serta keterpaduan bentuk ahsanu al-qawl dan ahsanu ;’amala, yaitu gerakan percontohan yang baik.50 Dengan demikian esensi tugas dakwah adalah menegakkan kebenaran dan melaksanakan amar ma’ruf nahy munkar. Dakwah yang berisiskan amar ma’ruf nahy munkar yang dilakukan orang-orang beriman akan selalu berhadapan dengan dakwah amar munkar nahy ma’ruf yang dilakukan orang-orang munafiq, dalam hal ini Amin Rais berpandangan; Konfrontasi antara yang ma’ruf dan yang munkar, antara dakwah yang mengajak manusia menjadi golongan kanan (ashhab al-Yamin) dan dakwah yang mendorong manusia agar menjadi golongan kiri (ashhab al-Syamal) antara calon penghuni surga (ashhab al-Jannat) dan calon penghuni neraka (ashhab al-Nar) memang membuat kehidupan manusia menjadi penuh perjuangan, pergulatan dan pertentangan.51 Dari aktivitas dakwah inilah melahirkan dinamikan sosial. Wilayah kegiatan dakwah Islam Meliputi seluruh dimensi kehidupan manusia, hal ini disebutkan masalah ma’ruf dan munkar juga meliputi seluruh dimensi kehidupan manusia, karena itu kegiatan budaya, politik, ekonomi, sosial dan lain-lain termasuk pada wilayah 49 Secara lengkap bunyi surat al-Fushilat ayat 33 adalah: Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya Aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?" 50 Agus Ahmad Safe’i, Kajian Ontologi Dakwah Islam, dalam Ilmu Dakwah Kajian Berbagai Aspek, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004, hal. 64. 51 Amien Rais, Cakrawala Islam, Bandung: Mizan, 1991 hal. 25. dakwah, baik dakwah Islamiyah (dakwah ila Allah) maupun dakwah jahiliyah , yaitu dakwah yang menjadikan neraka sebagai tujuan akhir (dakwah ila al-Nar). Secara sosiologis dakwah yang berkembang di tengah maysarakat cenderung mengarah kepada nahy munkar, yakni tekanan-tekanan untuk melawan (perjuangan reaktif), dan kurang amar ma’ruf-nya yang mengajak kepada kebaikan, kebersamaan, kesatuan (perjuangan proaktif), hal ini merupakan tantangan dakwah. Dalam perspektif sosiologis al-ma’ruf dan al-munkar merupakan realitas dalam kehidupan masyarakat, karena itu umat Islam dituntut untuk mampu mengenali kebaikan dan keburukan yang ada dalam masyarakat, kemudian mendorong, mengajak dan memupuk serta memberanikan diri kepada tindakan-tindakan kebaikan dan pada waktu yang bersamaan mencegah, menghalangi dan menghambat tindakan-tindakan kejahatan.52 Seruan kepada al-Khair, amar ma’ruf dan nahy al-munkar sebagaimana ditunjuk dalam surat Ali Imran 104, merupakan seruan triologi perjuangan umat sepanjang sejarah. Triologi inilah yang menjadi dasar keunggulan umat Islam atas umat yang lain. Seruan kepada al-Khair menuntut kemampuan untuk memahami nilai-nilai etis dan moral universal, tanpa kemampuan ini tidak mungkin ditemukan suatu pedoman yang jelas untuk menghadapi masa depan. Seruan amar ma’ruf menuntut kemampuan memahami lingkungan hidup sosial politik dan cultural. Lingkungan yang menjadi wadah terwujudnya al-khair secara konkrit dalam konteks ruang dan waktu, sedangkan aspek nahy munkar menuntut kemampuan mengidentifikasi faktor-faktor lingkungan hidup kultural, sosial, politik juga ekonomi yang kiranya akan menjadi wadah bagi munjulnya perangai, tindakan dan perbuatan yang berlawanan dengan hati nurani, yang kemudian diusahakan untuk mencegah dan menghambat pertumbuhan lingkungan tersebut. 52 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan peradaban, Jakarta: Paramadina, 1994, hal. 97. Lihat juga Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, Jakarta: Paramadina, 1995, hal. 87. 4. Perkembangan Konsep Dakwah Rumusan pengertian/definisi dakwah yang dikemukakan oleh beberapa penulis dakwah, peneliti analisis dengan menggunakan diagram ogden dan Richards tentang hubungan antara symbol, konotasi (pengertian) dan denotasi (hal yang ditunjuk). 53 Dakwah sebagai symbol/konsep, realisasi nilai-nilai Islam dalam tataran kehidupan sosial (konotasi), dan kehidupan masyarakat yang adil, makmur, sejahtera lahir dan batin yang diridlai Allah sebagai realitas (denotasi). Keserasian hubungan antara symbol, konotasi, dan denotasi dalam rumusan sebuah konsep menunjukkan kualitas konsep uang dihasilkan. Ternyata para penulis dakwah masih menunjukkan adanya kesengajaan dalam memahami hubungan antara symbol, konotasi, dan denotasi, hal ini menyebabkan munculnya dua pola pengertian pemikiran dakwah. Pertama, dakwah diberi pengertian tabligh/penyiaran/penerangan agama. Kedua, dakwah diberi pengertian semua usaha untuk merealisasikan ajaran Islam dalam tataran kehidupan sosial. Pengertian pertama terkesan terlalu sempit sehingga tidak mampu menghubungkan antara simbol (konsep) dengan realitas (denotasi), sedangkan pengertian kedua sebaliknya terlalu luas, sehingga sulit membatasi dan mengidentifikasi aktifitas dakwah. Kerangka pemikiran semacam ini berimplikasi pada ketidak jelasan dalam menentukan criteria unsure-unsur dakwah, seperti; kriteria da’i, pesan (materi), uslub (metode), washilat (media), mad’u dan tujuan maupun dari aspek bentuk dakwah seperti; irsyad (internalisasi dan bimbingan), tabligh (transmisi dan penyebaran) tadbir (rekayasa sumber daya manusia), dan tathwir (pengembangan kehidupan dalam aspek kultur universal).54 53 Herbert L. Searles, Logika dan Metode-metode Ilmiah, Terjemahan Soepono Soemargono dan Sri Badiati, Yogyakarta: Dua Demensi, tt, hal. 27. 54 Amrullah Ahmad, Metodelogi Seminar Dakwah Islamiyah, Orientasi, Masalah dan teknik, Yogyakarta: Masyarakat Studi Ilmu dan Teknologi Dakwah, 1987, hal. 100. Kriteria da’i adalah mereka yang aktif berceramah/berkhutbah melalui mimbar, pada hal aktifitas semacam itu lebih tepat disebut mubaligh/khotib. Berangkat dari wawasan umat bahwa dakwah adalah tabligh, maka tradisi dakwah adalah ceramah,/pidato di atas mimbar. Tradisi dakwah semacam ini mengakibatkan dakwah Islam hanya mampu memasuki “wilayah pingir” dari system kepribadian dan kehidupan sosial. Budaya dakwah semacam ini dapat dikatakan sebagai budaya dakwah oral yang hamper tidak pernah memberikan jawaban secara konkrit atas permasalahan dakwah. Pemaknaan dakwah hanya sekedar tabligh/penyampaian diperkuat dengan anggapan bahwa tugas Nabi dan Rasul hanyalah menyampaikan risalah Tuhan sedangkan hidayah/petunjuk, mutlak milik Allah.55 Keimanan maupun kekafiran seseorang termasuk dalam kategori takdir Tuhan. Pengertian dakwah pola kedua, bahwa dakwah tidak identik dengan tabligh, tetapi meliputi semua ikhtiyar mewujudkan ajaran Islam dalam segala aspek kehidupan sosial, dalam konteks ini tabligh merupakan bagian dari dakwah Islam, karena itu pengertian kedua ini terlihat terlalu luas yang masih memerlukan batasan-batasan sehingga dakwah dapat dibedakan secara spesifik dengan kegiatan lain. Pengertian ini didukung oleh Abu Zahrah yang memberikan kriteria bahwa suatu kegiatan dapat disebut dakwah jika merupakan sistem usaha bersama orang beriman dalam rangka mewujudkan ajaran Islam dalam semua segi kehidupan sosiao-kultural yang dilakukan melalui lembaga-lembaga dakwah, sedangkan tabligh merupakan penyiaran dan penyampaian Islam agar dianut individu masyarakat yang dilakukan oleh individu maupun kolektif baik melalui lisan maupun tulisan. Tabligh 55 Hidayah sepenuhnya milik Allah, Nabi tidak memiliki kewenangan untuk mengislamkan seseorang sekalipun terhadap pamannya sendiri; Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk (al-Qashas; 56). merupakan bagian dari sistem dakwah yang dilakukan oleh para ahli semua profesinya. Pandangan semacam inimengandung pemahaman bahwa dakwa memerlukan organisasi untuk menunaikan fardlu kifayah. Terbentuknya lembaga dakwah berangkat dari kesadaran individu untuk melaksanakan tabligh yang kemudian berkembang menjadi kesadaran kolektif untuk melaksanakan dakwah dalam suatu sistem tertentu dan dalam lembaga dakwah. Berdasarkan pengertian kedua ini menghendaki adanya gerakan dakwah yang bersifat professional.56 Nabi secara eksplisit tidak pernah memberikan batasan menengah dakwah baik dari ucapan maupun perilakunya, karena itu para ulama berijtihad untuk memberikan pengertian dakwah. Mereka berusaha mengidentifikasi tindakan-tindakan tertentu yang masuk dalam cakupan makna dakwah sejajar dengan peluang yang dimungkinkan untuk mencari legitimasi agama dalam meletakkan dakwah sesuai dengan kemauannya, yakni dengan cara melaksanakan makna dakwah. Inilah yang menyebabkan pemaknaan dakwah mengalami penyempitan dan di sisi lain mengalami perluasan.57 Dalam pengertian agama, dakwah mengandung arti panggilan Tuhan dan RasulNya untuk umat manusia agar mempercayai ajaran Islam dan mewujudkan ajaran itu dalam segala segi kehidupannya. Tugas semua Nabi dan Rasul termasuk Nabi Muhammad adalah mendakwahkan agama. Dalam pengertian ini dakwah antara lain didefinisikan sebagai ajarakan kepada orang lain agar menerima ajaran perseorangan atau kelompok yang 56 Dakwah bersifat profesioanal. Jika ukuran profesional adalah pekerjaan dan ketrampilan, maka dakwah profesional adalah dakwah yang mengharuskan keterlibatkan da’i dalam pengelolaan sistem dakwah bukan sebagai pekerjaan sambilan, tetapi sebagai pekerjaan utama dengan mengerahkan semua ketrampilan dan intelektualitas yang dimiliki untuk memfungsikan sistem dakwah. Dalam praktek dewasa ini dakwah belum bersifat profesioanal karena keterlibatan da’i dan muballigh dalam lembaga dakwah masih sebatas pekerjaan sambilan, hal ini berakibat kurang adanya konsisten dalam mengamati permasalahan, penyusunan program, pelaksanaan mamagerial dan evaluasi kegiatan. 57 Muhammad Sulthon, Menjawab Tantangan Zaman, Desain Ilmu Dakwah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hal. 13. mengkalim sebagai penguasa, karena kekuasaan diyakini sebagai hak mereka dan merupakan bagian dari kepercayaan agama. 58 Merujuk kepada beberapa praktek sejarah umat Islam klasik, istilah dakwah juga dipakai untuk menunjuk suatu wilayah tertentu yang dinyatakan telah setia dengan pemnerintahan pusat. Dakwah adalah doktrin , madzhab dan sekte. Di samping pengertian keagamaan pada masa modern, istilah dakwah menemukan pengertian keagamaan . max Muller (1873), memperkenalkan system klasifikasi agama ke dalam agama dakwah dan agama non dakwah. 59 Dengan klasifikasi ini, dakwah disamping bermakna penyiaran agama (tabligh), istilah itu juga menunjuk pada pengalaman ajaran agama. Perkembangan ini mendorong kaum muslimin mendirikan lembaga pendidikan dakwah lintas negara. Pada tahun 1912 didirikan lembaga pendidikan dakwah di Kairo dengan nama “Dar al-Dakwat wa al-Irsyad”. 60 Perkembangan ini menunjukkan bahwa dakwah difahami sebagai wacana akademik yang tidak selalu diabdikan untuk kepentingan praktis, akan tetapi diarahkan pada upaya akademik dalam rangka pengembangan kehidupan beragama. Dalam pengertian keagamaan, dakwah memasukkan aktifitas tabligh (penyiaran), tathbiq (penerapan/pengalaman) dan tandzim (pengelolaan). Dalam pengertian semacam ini dakwah tidak akan selasai jika hanya dilakukan secara individual, karena dakwah bukan hanya untuk mad’u non muslim saja, akan tetapi juga ditujukan kepada yang muslim. 58 Dilingkungan Sunni, seperti dimainkan oleh dinasti Abbasiyah dalam perebutan kekuasaan dengan dinasti Umayyah disebut sebagai gerakan dakwah dengan slogon “ridla min Ali Muhammad”. Di kalangan Syi’ah gerakan dakwah ditujukan untuk setia dan taat kepada pemimpin, gerakan dakwah syi’ah ini telah melahirkan kerajaan Qaramithah Ismailiyah 902-907 M yang berpuncak pada berdirinya dinasti Fathimiyah di Afrika Utara dan mencapai puncak keemasannnya di Mesir. 59 Larry Poston, Islamic Dakwah in The West, Muslim: Mission ary Activity and the Dynamics Conversion to Islam, New York: Oxford University Press, 1992, hal. 3-4. 60 M. Canard, “Dakwah” dalam B. Lewis, CH Pellat and J Schact, The Encyclopaedia of Islam, II, Leiden: EJ. Brill, 1965, hal. 170. Harun Nasution menyatakan bahwa nama lembaga ini adalah “madrasah alDakwah wa al-Irsyad” didirikanpada tahun 1912 namun segera ditutup karena perang dunia ke II. Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Risalah, 1984, hal. 39-40. Kepada orang muslim dakwah berfungsi sebagai proses peningkatan kualitas penerapan ajaran agama sedangkan untuk non muslim fungsi dakwah memperkenalkan dan mengajak mereka agar mau memeluk Islam secara sukarela. Penerimaan secara sukarela bagi mad’u non muslim ini menjadi syarat dalam gerakan dakwah, karena Rasulullah saw sendiri tetab membiarkan kaum Ahli Kitab yang tidak mau menerima dakwahnya untuk tetap pada agama mereka. Dakwah dilakukan bagaikan seminar akademik dalam skala luas, siapa saja yang mengetahui lebih baik bebas untuk menceritakan dan meyakinkan orang lain, sementara orang lain bebas mendengarkan dan meyakini. Perluasan pemaknaan dakwah adalah aktivitas yang berorientasi pada pengembangan masyarakat muslim, antara lain dalam bentuk peningkatan kesejahteraan sosial. Ide pengembangan masyarakat sebagai bagian dari cakupan dakwah pada dasarnya merupakan alternatif baru atas dominasi pemaknaan dakwah bagi kepentingan politikkeagamaan. Gagasan pengembangan pemaknaan dakwah dengan memasukkan unsure pengembangan masyarakat ditolak oleh sebagian intelektual Barat, Dele F. Eickelman dan James Piscatori, mereka berpandangan bahwa ide kesejahteraan sosial masuk dalam cakupan dakwah adalah penambahan ide lain ke dalam pengertian dakwah. Pandangan mereka tentang Redefinisi dakwah yang memasukkan ide-ide aktivitas kesejahteraan sosial adalah: Sekarang tradisi dakwah telah mulai direformulasi ulang dalam satu cara yang halus tetapi penting. Pendidikan masih berperan sentral dan bahkan pola-pola politisasi telah terulang kembali. Sebagia contoh kelompok Syi’ah di Irak yang beroposisi terhadap pemerintahan Saddam Hussein (lahir 1973) memunculkan nama Hizb al-Da’wat al-Islamiyat (Partai Dakwah Islam). Sementara salah satu sarana utama penyebaran agama dan ide-ide politik di libia adalah Jam’iyat al-Dakwat al-Islamiyat (Organisasi Dakwah Islamiyah). Bahkan tradisi dakwah juga sedang didefinisikan ulang guna memasukkan ide-ide tentang aktivitas kesejahteraan sosial, klinik kesehatan gratis, bantuan orang makan miskin, subsidi perumahan dan bantuan modal usaha kecil yang seringkali menggantikan pelayanan pemerintah yang kurang efektif atau bahkan tidak ada.61 Mereka memberikan contoh beberapa lembaga dakwah yang berorientasi pengembangan masyarakat Islam, di antaranya Hizbullah (Partai Islam) telah mengembangkan sistem kesejahteraan sosial secara luas di Libanon yang melibatkan dakwah, pendidikan, pertanian,. Medis, dan bantuan perumahan. Di distrik Bir al-‘Abid, Bairut Hizbullah telah menjalankan koperasi dan supermarket yang menjual produk dengan harag di bawah harga eceran, menyediakan beasiswa, mengelola klinik-klinik kesehatan dan memberi subsidi perumahan kepada orang yang membutuhkan. Di Amerika Serikat American Muslim Council (1992) menekankan perlunya lembaga pelayaan sosial. Jama’ah Nashr al-Islam (Jama’ah untuk Kemenangan Islam) di Negeria Utara mengoprasionalkan klinik-klinik kesehatan dan kelompok bantuan yang fungsinya mirip dengan Palang Merah. ABIM (Angkatan Belia Islam Malaysia) dan Darul Arqam di Malaysia telah membuka klinik kesehatan umum, peternakan dan pabrik untuk memproduksi makanan halal, pasta gigi dan sabun. Orientasi dakwah pada pengembangan masyarakat Islam dapat mengambil pola dakwah cultural dakwah politik dan dakwah ekonomi. Dakwah kultural adalah aktivitas dakwah yang menekankan pendekatan Islam cultural. Islam kultural adalah salah satu pendekatan yang berusaha meninjau kembali kaitan doktrinal antara Islam dan politik atau 61 Dele F. Eickelman dan James Piscatori, Ekspresi Politik Muslim, terj. Rofiq Suhud, Bandung: Mizan, 1998, hal: 48. Islam dengan negara. Negara sebagai instrumen pengalaman ajaran agama. Dakwah politik adalah gerakan dakwah yang ada dalam kekuasaan. Aktivitas dakwah politik bergerak mendakwahkan ajaran agama guna menjadikan Islam sebagai ideology negara, nilai-nilai Islam melekat pada kehidupan politik bangsa, negara dipandang sebagai alat/sarana dakwah yang paling strategis. Identifikasi dakwah dalam kaitannya dengan peningkatan kesejahteraan sosial, dakwah ekonomi adalah upaya mewujudkan nilai-nilai ajaran Islam yang dapat berfungsi meningkatkan sosial ekonomi umat. Ajaran-ajaran Islam dalam kategori itu antara lain: jual beli, musaqah, muzara’ah, zakat, infaq, sadaqah, wakaf, qurban, aqiqah, dam, kafarat dan sebagainya. Ajaran-ajaran tersebut dapat ditemukan relevansinya dengan proses produksi, distribusi dan pemanfataan barang dan saja. Dengan demikian dakwah ekonomi berdasarkan isi pesan dan tujuannya dapat dirumuskan sebagai kegiatan dakwah yang berusaha mengimplesmentasikan ajaran Islam yang berhubungan dengan proses ekonomi guna meningkatkan taraf hidup masyarakat.62 5. Dakwah Kultural, Struktural dan dakwah Integratif Masyarakat Islam pada masa Nabi merupakan hasil konkrit bagi gerakan dakwah. Tugas pokok kenabian dan kerasulan Muhammad adalah menyampaikan risalah Tuhan kepada umat manusia. Dalam konteks ini kegiatan dakwah dapat mengambil tiga bentuk pendekatan dakwah integratif. Dakwah kultural adalah aktivitas dakwah yang menekankan pendekatan Islam kultural. Islam kultural adalah salah satu pendekatan yang berusaha meninjau kembali kaitan 62 Muhammad Sulthon, Menjawab Tantangan Zaman, Desain Ilmu Dakwah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hal. 13. doctrinal yang formal antara Islam dan politik atau Islam dan negara. Hubungan antara Islam dan politik atau Islam dan negara termasuk wilayah pemikiran ijtihadiyah, hal ini tidak menjadi persoalan serius ketika sistem kekhalifahan masih bertahan di dunia Islam, namun setelah peradaban Barat menguasai dunia Islam dan sistem kekhalifahan diganti dengan nilai-nilai kebangsaan sebagai dasar negara maka hubungan Islam dan negara menjadi bagian persoalan serius. Sebagian kaum muslimin berpendapat bahwa sistem kekhalifahan itu merupakan bagian dari ajaran Islam yang diwariskan oleh Rasulullah saw, karena itu hubungan doctrinal secara formal. Tujuan final gerakan dakwah adalah memperjuangkan tegaknya negara bangsa berdasarkan Syari’at agama. Dakwah struktural adalah gerakan dakwah yang berada dalam kekuasaan. Aktivitas dakwah struktural bergerak mendakwahkan ajaran Islam dengan memanfaatkan struktur sosial, politik maupun ekonomi yang ada guna menjadikan Islam sebagai ideologi negara. Nilai-nilai Islam terintegrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Negara dipandang sebagai alat dakwah yang paling strategis. Dalam prespektif dakwah structural, negara merupakan instrument paling strategis dan menentukan dalam kegiatan dakwah. Adanya interaksi peradaban Barat dan peradaban Islam, setelah dakwah menemukan kembali pengertian keagamaan secara kultural. Dakwah memasukkan aktivitas penyiaran (tabligh), pendidikan dan pengembangan masyarakat sesuai dengan nilai-nilai Islam, baik untuk mad’u muslim maupun non muslim. Untuk masyarakat muslim, dakwah berfungsi sebagai proses peningkatan kualitas penerapan ajaran agama, sedangkan untuk non muslim fungsi dakwah mengajak dan mengenalkan Islam agar mereka mau masuk Islam dengan sukarela. Penerimaan secara sukarela bagi mad’u non muslim menjadi prioritas serius sebagaimana ditunjukan oleh Rasulullah SAW. Dakwah dilaksanakan semacam seminar akademis dalam skala luas, siapapun dalam mengikuti dan bebas menentukan pilihan sesuai dengan keyakinan mereka. 63 Dalam pengertian pengembangan masyarakat muslim, dakwah antara lain berbentuk peningkatan kesejahteraan sosial. Bagi kaum muslim ide pengembangan masyarakat sebagai bagian dari cakupan dakwah bukanlah ide lain yang dimasukkan dalam dakwah. Penalaran semacam ini telah muncul sejak awal gerakan dakwah, namun pernah tertutup oleh dominasi aktivitas dakwah struktural. Hal ini sangat berbeda dengan pendapat Dale F. Eickelman dan James Piscatori yang mengatakan bahwa redifinisi dakwah telah memasukkan ide-ide lain tentang kesejahteraan sosial.64 Dakwah kultural memiliki dua fungsi utama yaitu fungsi ke atas dan fungsi ke bawah. Fungsi dakwah kultural ke lapisan atas antara lain tindakan dakwah yang diarahkan sebagai jembatan (fasilitator) dalam mengartikulasikan aspirasi masyarakat terhadap penguasa. Fungsi ini dijalankan bardasarkan anggapan bahwa masyarakat kurang mampu mengekspresikan aspirasi mereka serta ketidakmampuan anggota parlemen dengan sepenuhnya mengartikulasikan aspirasi rakyat. Fungsi ini berbeda dengan pola dakwah struktural, karena menekankan pada tersalurnya aspirasi masyarakat bawah ke kelangan penentu kebijakan. Dakwah kultural semacam ini tetap menekankan posisinya di luar kekuasaan dan tidak bermaksud mendirikan negara Islam dan tidak menekankan pada Islamisasi negara dan birokrasi pemerintah. Termasuk fungsi dakwah kultural ke lapisan atas ini, adalah mempelajari berbagai kecenderungan masyarakat yang sedang berubah ke arah 63 Isma’il al-Faruqi, Sifat Dasar Dakwah Islamiyah, dalam Ahmad Von Deffer an Emilio Castro, (ed), Dakwah Islam dan Misi Kristen, Sebuah Dialog Internasional, terj. Achmad Noer. Z., Bandung: Risalah, 1984, hal. 39-40. 64 Dale F. Eickelman dan James Piscatori, Ekspresi Politik Muslim, Risalah Cendikiawan Muslim, Bandung: Mizan, 1998, hal. 48-49. modernisasi sebagai langkah strategis mengantisipasi perubahan sosial yang ada, karena dalam proses perubahan dikhawatirkan akan memisahkan individu dalam keluarga, komunitas dan lembaga, keagamaan yang akan mengakibatkan proses keterasingan dan kehilangan pegangan. Sekalipun di satu pihak terlihat kemajuan dalam kehidupan keagamaan, namun di sisi lain masih terlihat proses sekulerisasi di berbagai sektor yang membutuhkan perhatian dakwah Islam. 65 Fungsi dakwah kultural yang bersifat ke bawah berarti penyelenggaraan dalam dakwah bentuk penterjemahan ide-ide intelektual tingakat atas bagi umat Islam serta rakyat pada umumnya untuk membawakan transformasi sosial, dengan mentransformasikan ide-ide tersebut ke dalam konsep-konsep operasional yang dapat dikerjakan masyarakat. Termasuk fungsi utma pola dakwah ini adalah penerjemahan sumber-sumber agama (al-qur’an dan hadist) sebagai way of life. Transformasi ini bukan hanya dalam istilah teologi, tetapi juga dalam konsep sosial yang lebih operasional. Secara esensial, dakwah berkaitan dengan bagaimana membangun dan membentuk masyarakat yang baik. Berpijak pada nilai-nilai kebenaran dan hak-hak asasi manusia. Dalam pengertian non konvensional istilah dakwah dapat berhubungan secara kulturalfungsional dengan penyelesaian problem-problem kemanusiaan, termasuk problem sosial. Beberapa strategi di bawah ini dapat dijadikan alternatif bagi pengembangan dakwah kultural agar dapat menyelesaikan beberapa problem yang ada: a. dakwah harus dimulai dengan mencari “kebutuhan masyarakat”. Kebutuhan yang dimaksud bukan hanya kebutuhan yang secara obyektif memang memelukan 65 Dawam Raharjo, Intelektual, Intelegensia, Cendikiawan Muslim, Risalah Cendikiawan Muslim, Bandung: Mizan, 1998, hal. 48-49. pemenuhan.tetapi juga kebutuhan yang dirasakan oleh masyarakat yang perlu mendapat perhatian. b. Dakwah dilakukan secara terpadu, dengan pengertian bahwa berbagai aspek kebutuhan amsyarakat dapat djangkau oleh program dakwah. Apat melibatkan berbagai unsur yang ada dalam masyarakat. c. Dakwah dilakukan dengan pendekatan partisipatoris, dalam pengertan ide yang ditawarkan mendapat kesepakatan masyarakat dan atau ide masyarakat itu sendiri. Memberi peluang bagi keikutsertaan masyarakat dalam perencanaan dan keterlibatan mereka dalam pelaksanaan rogram dakwah. d. Dakwah dilaksanakan melalui proses sistematis pemecahan masalah. Program dakwah yang dilakukan masyarakat sejauh mungkin diproses menurut langkah pemecahan masalah, dengan demikian masyarakat dididik untuk bekerja secara berencana, efisien dan mempunyai tujuan yang jelas. e. Dakwah memanfaatkan teknologi yang sesuai dan tepat guna. f. Program dakwah dilaksanakan melalui tenaga da’i yang bertindak sebagai motivator, baik dilakukan oleh tenaga terlatih dari lembaga atau organisasi masyarakat ang berpartisipasi maupun dari luar daerah setempat yang adaptif. g. Program dakwah didasarkan atas asas swadaya dan kerjasama masyarakat. Pelaksanaan program dakwah harus berangkat dari kemampuan diri sendiri dan merupakan kerjasama dari potensi yang ada.66 Beberapa strategi tersebut pada dasarnya suatu ihtiar kultural agar fungsi dakwah bercorak fungsional. Paling tidak ada tiga faktor yang memungkinkan dakwah dapat 66 Muhammad Sulthon, Menjawab Tantangan Zaman, Desain Ilmu Dakwah. (Yogyakarta: pustaka Pelajar, 2003) h. 36 menampilkan Islam secara kultural, yaitu: watak keuniversalan, kerahmatan dan kemudahan Islam. Dakwah kultural melibatkan kajian antar disiplin ilmu dalam rangka meningkatkan serta memberdayakan masyarakat. Aktifitas dakwah kultural meliputi seluruh aspek kehidupan, baik aspek sosial, budaya, pendidikan, ekonomi, kesehatan maupun alam sekitar. Keberhasilan dakwah kultural ditandai dengan teraktualisasikan dan terfungsikannya nilainilai Islam dalam kehidupan pribadi, rumah tangga, kelompok sosial dan masyarakat. Dakwah integratif, dua konsep pendekatan dakwah baik pendekatan dakwah struktural maupun pendekatan dakwah kultural. Jika dilakukan secara ekstrim justru Dakwah Integratif, dua konsep pendekatan dakwah baik pendekatan dakwah structural maupun dakwah cultural jika dilakukan secara ekstrim justru akan menimbulkan dua kelompok masyarakat yang memiliki karakter berbeda. Secara internal kemungkinan terjadinya disintegrasi umat semakin besar. Karena itu pendekatan integratif dakwah dalam rangka menciptakan, menjaga dan mempertahankan kesatuan dan persatuan umat sangat diperlukan. Pendekatan dakwah integratif secara substansial adalah perpaduan antara dua pendekatan dakwah baik structural maupun cultural, karena kedua pendekatan tersebut bukanlah suatu yang bersifat dikotomik-kontradiktif. Dalam praktek kedua pendekatan dapat saling melengkapi, bahkan secara ideal keduanya terintegrasi dalam satu pendekatan yang terpadu. Keterpaduan ini diperlukan agar konsep yang dihasilkan mempunyai relevansi idealis (normatif) dan sekaligus relevansi empiric. Relevansi iseadlis diperlukan agar konsep tidak hanyut dalam arus dinamika peruahan masyarakat, sedangkan relevansi empiric diperlukan agar konsep tidak merupakan suatu utopia yang mengawang. Pendekatan integratif mempunyai pemaknaan lain, yaitu usaha mengidentifikasi maslah dakwah kontemporer hanyalah langkah awal, langkah selanjutnya adalah bagaimana membawa masyarakat yang ada ke bawah naungan wahyu, karena itu pendekatan integratif dakwah meliputi seluruh aspek dakwah, seperti; da’i, materi, metode, media dan sebagainya. Dengan ungkapan lain pendekatan dakwah integratif adalah suatu pendekatan transformatif. Pendekatan transformatif dakwah dapat dilakukan dengan melihat model apa yang diberikan al-Qur’an dan dakwah Rasulullah. Biografi atau sirah rasul menunjukkan bahwa kepekaan dan apresiasi Muhammad SAW terhadap isu dan masalah komunitas di sekelilingnya sangat tinggi. Nabi menunjukkan keteladanan pendekatan kedua-duanya di atas, akan tetapi Nabi juga dibekali dengan visi tentang what is to be done dan itu diperoleh dari ajaran tauhid. Gabungan antara visi dan kepekaan itu menghasilkan gagasan tentang dakwah yang bersumber dari wahyu dan di lain memiliki nilai transformasional. Bangunan konsep dakwah integratif diambil dari sikap Rasulullah dalam menghadapi tantangan dakwah pada saat Rasulullah ditawari tiga alternatif oleh tokoh-tokoh kafir Quraisy Makkah untuk menghentikan dakwahnya: apakah Rasul pilih jadi penguasa (raja), kekayaan (harta), atau wanita.67 Semua itu ditolak. Orientasi gerakan dakwah Rasul bukan Negara dan kekuasaan, walaupun Negara dan kekuasaan pada akhirnya ada padanya, dan bukan harta, walaupun akhirnya ia menyertainya. Dan bukan pula kehormatan. 6. Tugas Pokok Dan Fungsi Kenabian Manusia diciptakan Allah dengan dibekali kelebihan akal, agar dengan akalnya ia dapat membedakan mana yang baik bagi dirinya dan mana yang buruk. Dengan akalnya diharapkan dapat melakukan apa yang seharusnya dilakukan dan meninggalkan apa yang seharusnya ditinggalkan. Tetapi akal yang diberikan kepada manusia memiliki sifat-sifat kelemahan dan keterbatasan, apalagi untuk memahami hal-hal yang berada di luar jangkauan akal itu sendiri. Karena itu untuk memperoleh kebenaran tidak cukup hanya menggunakan kemampuan akal saja. 67 Ibn Hisyam, Sirat al-Nabawiyat, juz II, hal 49 Allah mengutus para Rasul dan Nabi untuk memberikan bimbingan dan penyuluhan kepada manusia agar mereka mencapai kebenaran yang dikehendaki Allah, seandainya dengan akalnya manusia dapat mencapai kebenaran itu, tentu tidak akan ada manfaatnya Allah mengutus para Nabi dan Rasul. Hal ini menunjukkan bahwa hanya dengan akalnya saja manusia tidak dapat mencapai kebenaran yang dikehendaki Allah. Tugas pokok para Nabi dan Rasul dapat dilihat dari wajtu, karena status mereka adalah utusan Allah yang membawa misi kenabian dan kerasulan, di antara tugas-tugas pokok tersebut adalah:68 a. Menyeru manusia agar mengabdi (beribadah) hanya kepada Allah swt. Beribadah berarti tunduk, taat dan patuh hanya kepada-Nya. Inilah inti mentauhidkan Allah dan menjauhi kemusyrikan. Karena itu inti dakwah para Nabi hanyalah satu, yaitu membebaskan manusia dari kemusyriakan dan mengajak kepada keyakinan tauhid.69 Di samping aspek keyakinan tauhid juga aspek ketaatan.70 b. Menyampaikan ajaran Allah kepada umat manusia. Syar’at Allah baik yang berkenaan dengan masalah keyakinan/aqidah, hukum-hukum dan akhlak harus disampaikan kepada manusia. Sedangkan yang bertugas menyampikan misi ketuhanan tersebut adalah mereka yang telah dipilih Allah untuk melaksanakan 68 Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997, hal. 27-23 Misi kerasulan dan Kenabian adalah mengajak manusia untuk mentauhidkan Allah, al-Anbiya’; 25 {25} ِوَﻣَﺂأَرْﺳَﻠْﻨَﺎ ﻣِﻦ ﻗَ ﺒْﻠِﻚَ ﻣِﻦ رﱠﺳُﻮلٍ إِﻻﱠﻧُﻮﺣِﻲ إِﻟَﯿْﮫِ أَﻧﱠﮫُ ﻵ إِﻟَﮫَ إِﻵ أَ ﻧَﺎ ﻓَﺎﻋْﺒُﺪُون Dan Kami tidak mengutus seorang rasul sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya:"Bahwasanya tidak ada Ilah (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku". 70 Perintah menjauhi Thaghut, an-Nahl; 36: َﻀﻼَﻟَﺔُ ﻓَﺴِﯿﺮُوا ﻓِﻲ اْﻷَرْضِ ﻓَﺎﻧﻈُﺮُوا ﻛَﯿْﻒ وَﻟَﻘَﺪْ ﺑَﻌَﺜْﻨَﺎ ﻓِﻲ ﻛُﻞﱢ أَﻣﱠﺔٍ رﱠﺳُﻮﻻً أَنِ اﻋْ ﺒُﺪُوا اﷲَ وَاﺟْﺘَﻨِﺒُﻮا اﻟﻄﱠﺎﻏُﻮتَ ﻓَﻤِ ﻨْﮭُﻢ ﻣﱠﻦْ ھَﺪَى اﷲُ وَﻣِ ﻨْﮭُﻢ ﻣﱠﻦْ ﺣَﻘﱠﺖْ ﻋَﻠَﯿْﮫِ اﻟ ﱠ {36} َﻛَﺎنَ ﻋَﺎﻗِ ﺒَﺔُ اﻟْﻤُﻜَﺬﱢﺑِﯿﻦ Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut itu", maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya.Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul). 69 tugas menyiarkan syari’at-Nya.71 Secara tegas Tuhan memerintahkan kepada Nabi Muhammad untuk menyampaikan syari’at kepada seluruh umat manusia.72 c. Memberikan Hidayah Kepada Manusia Tugas Nabi dan Rasul adalah memberi hidayah kepada umat manusia agar mereka dapat meniti jalan yang benar (al-shirath al-mustaqim). Hidayah (petunjuk) secara umum terbagi menjadi dua, yaitu hidayah dalam pengertian taufiq dan hidayah dalam pengertian bimbingan dan penerangan (al-Irsyad wa al-Bayan). Taufiq adalah menciptakan kekuatan untuk manusia agar taat kepada Allah, hidayah dalam pengertian taufiq ini merupakan kewenangan mutlak Allah.73 Sedangkan hidayah dalam pengertian bimbingan dan penerangan dapat dilakukan oleh selain Allah dan bahkan merupakan tugas pokok semua Nabi dan Rasul-Nya.74 d. Memberikan teladan yang baik 71 Nabi dan Rasul adalah manusia pilihan Allah yang diberi tugas menyampaikan ajaran-ajaran-Nya kepada manusia, al-Ahzab; 39 {39} ﻦ ﯾُﺒَﻠﱢﻐُﻮنَ رِﺳَﺎﻻَتِ اﷲِ وَ ﯾَﺨْﺸَﻮْﻧَﮫُ وَﻻَ ﯾَﺨْﺸَﻮْنَ أَﺣَﺪًا إِﻻﱠ اﷲَ وَﻛَﻔَﻰ ﺑِﺎﷲِ ﺣَﺴِﯿﺒًﺎ َ اﻟﱠﺬِﯾ (yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang (pun) selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai Pembuat Perhitungan. 72 Perintah ini secara eksplisit tertera dalam surat al-Maidah; 67: {67} َ* ﯾَﺎأَ ﯾﱡﮭَﺎ اﻟﺮﱠﺳُﻮْلُ ﺑَﻠِّﻎْ ﻣَﺂ أُ ﻧْﺰِلَ إِﻟَﯿْﻚَ ﻣِﻦْ رﱠﺑِّﻚَ وَإِنْ ﻟﱠﻢْ ﺗَﻔْﻌَﻞْ ﻓَﻤَﺎ ﺑَﻠﱠﻐْﺖَ رِﺳَﺎﻟَﺘَﮫُ وَاﷲُ ﯾَﻌْﺼِﻤُﻚَ ﻣِﻦَ اﻟﻨﱠﺎسِ إِنﱠ اﷲَ ﻻَ ﯾَﮭْﺪِي اﻟْﻘَﻮْمَ اﻟْﻜَﺎﻓِﺮِﯾْﻦ Hai Rasul, sampaikan apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. 73 Hidayah dalam pengertian taufiq, al-Qashas; 56 {56} َإِ ﻧﱠﻚَ ﻻَ ﺗَﮭْﺪِي ﻣَﻦْ أَﺣْﺒَ ﺒْﺖَ وَﻟَﻜِﻦﱠ اﷲَ ﯾَﮭْﺪِي ﻣَﻦ ﯾَﺸَﺂءُ وَھُﻮَ أَﻋْﻠَﻢُ ﺑِﺎﻟْﻤُﮭْﺘَﺪِﯾﻦ Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. 74 Tugas Nabi dan Rasul untuk memberikan hidayah dalam pengertian penerangan dan penjelasan, alSyura; 52: ٍوَﻛَﺬَﻟِﻚَ أَوْﺣَﯿْﻨَﺂ إِﻟَﯿْﻚَ رُوﺣًﺎ ﻣﱢﻦْ أَﻣْﺮِﻧَﺎ ﻣَﺎﻛُﻨﺖَ ﺗَ ْﺪرِي ﻣَﺎ اﻟْﻜِﺘَﺎبُ وَﻻَ اْﻹِﯾﻤَﺎنُ وَﻟَﻜِﻦ ﺟَﻌَﻠْ ﻨَﺎهُ ﻧُﻮرًا ﻧﱠﮭْﺪِي ﺑِﮫِ ﻣَﻦ ﻧﱠﺸَﺂءُ ﻣِﻦْ ﻋِ ﺒَﺎدِﻧَﺎ وَإِ ﱠﻧﻚَ ﻟَ ﺘَﮭْﺪِي إِﻟَﻰ ﺻِﺮَاط {52} ٍﻣﱡﺴْﺘَﻘِﯿﻢ Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (al-Qur'an) dengan perintah Kami.Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (al-Qur'an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan al-Qur'an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hambahamba Kami.Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. Penyampaian risalah melalui tabligh terasa belum cukup, manusia memerlukan keteladanan sehingga mereka mudah mengikutinya, karena itu salah satu tugas pokok Nabi dan Rasul adalah menjadi teladan bagi umatnya. 75 e. Memberi peringatan tentang kehidupan akhirat. Di antara tugas pokok para Nabi dan Rasul adalah memberi peringatan tentang adanya kehidupan akhirat, karena hal ini akan dapat merubah orientasi kehidupan manusia.76 f. Mengubah orientasi hidup. Dalam prinsip keyakinan agama Islam kehidupan ini bukan hanya di dunia akan tetapi ada juga kehidupan akhirat, bahkan kehidupan akhirat lebih penting dibandingkan kehidupan dunia, karena itu tugas pokok Nabi dan Rasul adalah mengubah orientasi kehidupan manusia kepada keidupan akhirat.77 7. Unsur-Unsur Gerakan Dakwah Masyarakat Madinah yang dibentuk oleh Nabi melalui gerakan dakwah ini merupakan embrio bagi lahirnya Imperium Islam dunia yang mampu berkuasa selama kurang lebih sepuluh abad. Unsur-unsur dakwah yang dapat menunjang tercapainya tujuan dakwah di antaranya adalah; kualitas tenaga da’i, materi, metode, sarana dan fasilitas. 75 Q.S al-Ahzab; 21: {21} ﻟﱠﻘَﺪْ ﻛَﺎنَ ﻟَﻜُﻢْ ﻓِﻲ رَﺳُﻮلِ اﷲِ أُﺳْﻮَةٌ ﺣَﺴَﻨَﺔٌ ﻟﱢﻤَﻦ ﻛَﺎنَ ﯾَﺮْﺟُﻮا اﷲَ وَاﻟْﯿَﻮْمَ اْﻷَﺧِﺮَ وَذَﻛَﺮَ اﷲَ ﻛَﺜِﯿﺮًا Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. 76 QS. AL-an’am; 130: ﯾَﺎﻣَﻌْﺸَﺮَ اﻟْﺠِﻦِّ وَاْﻹِﻧﺲِ أَﻟَﻢْ ﯾَﺄْﺗِﻜُﻢْ رُﺳُﻞٌ ﻣِﻨﻜُﻢْ ﯾَﻘُﺼﱡﻮنَ ﻋَﻠَ ﯿْﻜُﻢْ ءَاﯾَﺎ ﺗِﻲ وَﯾُﻨﺬِرُوﻧَﻜُ ْﻢ ﻟِﻘَﺂءَ ﯾَﻮْﻣِﻜُﻢْ ھَﺬَا ﻗَﺎﻟُﻮا ﺷَﮭِﺪْ ﻧَﺎ ﻋَﻠَﻰ أَﻧﻔُﺴِ ﻨَﺎ وَﻏَﺮﱠﺗْﮭُﻢُ اﻟْﺤَﯿَﺎةُ اﻟ ﱡﺪﻧْﯿَﺎ وَﺷَﮭِﺪُوا {130} َﻋَﻠَﻰ أَﻧﻔُﺴِﮭِﻢْ أَ ﻧﱠﮭُﻢْ ﻛَﺎﻧُﻮا ﻛَﺎﻓِﺮِﯾﻦ Hai golongan jin dan manusia, apakah belum datang kepadamu rasul-rasul dari golongan kamu sendiri, yang menyampaikan kepadamu ayat-ayat-Ku dan memberi peringatan kepadamu terhadap pertemuanmu dengan hari ini Mereka berkata:"Kami menjadi saksi atas diri kami sendiri", kehidupan dunia telah menipu mereka, dan mereka menjadi saksi atas diri mereka sendiri, bahwa mereka adalah orang-orang yang kafir. 77 Orientasi kehidupan manusia muslim lebih kepada kehidupan akhirat, al-Ankabut; 64: {64} َوَﻣَﺎ َھﺬِهِ اﻟْﺤَﯿَﺎةُ اﻟﺪﱡﻧْﯿَﺂ إِﻻﱠ ﻟَﮭْﻮُ وَﻟَﻌِﺐُ وَإِنﱠ اﻟﺪﱠارَ اْﻷَﺧِﺮَةَ ﻟَﮭِﻲَ اﻟْﺤَﯿَﻮَانُ ﻟَﻮْ ﻛَﺎﻧُﻮا ﯾَﻌْﻠَﻤُﻮن Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main.Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui. a. Kualitas da’i Nabi sebagai pelaksana dakwah memiliki nasab yang sangat mulia dan sangat dihormati di kalangan masyarakat Arab pada saat itu sehingga para penentang dakwah tidak berani melakukan tindakan fisik semena-mena terhadap pribadi Nabi karena secara legal dilindungi oleh adat yang berlaku pada saat itu. Di samping itu Nabi memiliki empat sifat, yaitu: Shiddiq, amanat, tabligh dan fathonah. b. Materi Keberhasilan dakwah salah satunya sangat ditentukan oleh materi dakwah yang mampu memberikan jawaban atas segala problematika kehidupan pada tingkat individual maupun sosial serta mampu memberikan alternatif pilihan hidup yang lebih baik. Materi dakwah yang dimaksud adalah syari’at Islam secara keseluruhan yang meliputi sistem aqidah tauhid (iman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, Rasulrasul-Nya, Kitab-kitab-Nya dan Hari Akhir), sistem ibadah (shalat, puasa, zakat dan haji), akhlak dan sistem kehidupan meyeluruh yang meliputi sistem politik, ekonomi, pendidikan, Sosial budaya, kesenian, pertahanan dan keamanan, serta hukum dan perundang-undangan, sistem Jihad dan amar ma’ruf nahi munkar. Materi dakwah ini diharapkan mampu memberikan harapan hidup sejahtera yang penuh kedamaian, kebenaran, keadilan, persamaan, kasih sayang, tolong menolong dan bahkan mampu menumbuhkan keyakinan akan adanya kehidupan indah yang sangat abstrak yaitu sorga. Materi dakwah ini diharapkan juga mampu menumbuhkan semangat jihad untuk selalu menegakkan kebenaran dan keadilan serta memberantas kebatilan untuk selalu menegakkan kebenaran dan keadilan serta memberantas kebatilan dan kedzaliman. Dalam dakwah tidak mengenal batas teritorial, dalam jihad tidak mengenal pemisahan antara maslah agama dan Negara. c. Metode Dalam melaksanakan dakwah da’i diharapkan selalu mohon dibimbing oleh Allah di samping melakukan ikhtiyar secara maksimal, termasuk di dalamnya metode pelaksanaan. Petunjuk pelaksanaan dakwah di antaranya ada yang langsung dari Allah, tidak boleh melakukan diskriminasi.78 Tidak boleh memisahkan antara ucapan dan tindakan, tidak boleh bertoleransi dalam agama, tidak mencela tuhan mad’u.79 perintah untuk melaksanakan dakwah dengan bijaksana, mau’izhat hasanat dan dialog yang baik. Tidak boleh memungut imbalan, tidak boleh bermesraan dengan lawan, tidak menyampaikan hal-hal yang tidak mampu diketahui mad’u.80 d. Sarana/media 1) Bahasa; materi dakwah secara esensial dikemas dalam bahasa yang begitu indah, yaitu al-Qur’an sebagai wahyu Allah SWT yang langsung diterima Rasul. Pengaruh bahasa ini sangat besar terhadap keberhasilan dakwah. Di samping itu kualitas interpretasi da’i terhadap al-Qur’an maupun hadits (Ucapan, perbuatan dan ketentuan) Nabi harus dapat dipertanggung jawabkan. 78 Teguran Allah terhadap sikap Nabi dalam melakukan dakwah, Q.S. Abasa; 1-5: {5} { أَﻣﱠﺎ ﻣَﻦِ اﺳْﺘَﻐْ ﻨَﻰ4} { أَوْ ﯾَﺬﱠﻛﱠﺮُ ﻓَﺘَﻨﻔَﻌَﮫُ اﻟﺬِّﻛْﺮَى3} { وَﻣَﺎﯾُﺪْرِﯾﻚَ ﻟَﻌَﻠﱠﮫُ ﯾَﺰﱠﻛَﻰ2} { أَن ﺟَﺂءَهُ اْﻷَﻋْﻤَﻰ1} ﺲ وَ ﺗَﻮَﻟﻰﱠ َ َﻋَﺒ Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, Karena telah datang seorang buta kepadanya.Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa). atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran lalu pengajaran itu memberi manfa'at kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup. 79 Nabi dilarang mencela sembahan orang-orang Arab jahiliyah, QS. Al-An’am; 108: {108} َﻦ ﯾَﺪْﻋُﻮنَ ﻣِﻦ دُونِ اﷲِ ﻓَ ﯿَﺴُ ﺒﱡﻮا اﷲَ ﻋَﺪْوًا ﺑِﻐَﯿْﺮِ ﻋِﻠْﻢٍ ﻛَﺬَﻟِﻚَ زَﯾﱠﻨﱠﺎ ﻟِﻜُﻞﱟ أُﻣﱠﺔٍ ﻋَﻤَﻠَﮭُﻢْ ﺛُﻢﱠ إِﻟَﻰ رَ ّﺑِﮭِﻢ ﱠﻣﺮْﺟِﻌُﮭُﻢْ ﻓَ ﯿُﻨَﺒِّ ﺌُﮭُﻢْ ﺑِﻤَﺎ ﻛَﺎﻧُﻮا ﯾَﻌْﻤَﻠُﻮن َ وَﻻَﺗَﺴُﺒﱡﻮا اﻟﱠﺬِﯾ Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jaidkan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Rabb mereka kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan. 80 QS. Al_sra’; 36: {36} ًوَﻻَﺗَﻘْﻒُ ﻣَﺎﻟَﯿْﺲَ ﻟَﻚَ ﺑِﮫِ ﻋِﻠْﻢٌ إِنﱠ اﻟﺴﱠﻤْﻊَ وَاﻟْﺒَﺼَﺮَ وَاﻟْﻔُﺆَادَ ﻛُﻞﱡ أُوْﻻَ ﺋِﻚَ ﻛَﺎنَ ﻋَﻨْﮫُ ﻣَﺴْ ﺌُﻮﻻ Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya. 2) Tempat dan lokasi; lokasi kegiatan dakwah akan sangat mempengaruhi tingkat keberhasilan misi dakwah, misalnya Nabi memanfaatkan rumah al-Arqam bin Abi al-Arqam sebagai tempat kegiatan dakwah. Al-Arqam bin abi al-Arqam termasuk anggota bani mahzum salah satu suku terhormat di Hijaz, sehingga sesuai dengan adat yang berlaku setiap orang yang berada di perkampungan tersebut dijamin keselamatannya oleh suku itu. Tempat strategis lain adalah Ka’bah dengan pasar-pasar di sekelilingnya sebagai pusat ziarah dan tempat berkumpulnya manusia. e. Proses konversi 1) Tenaga da’i, da’i sebagai pelaksana utama kegiatan dakwah harus memiliki kualifikasi yang memadai, seperti sifat sidiq, amanat, tabligh dan fathonah sebagaimana Nabi memilikiakhlak dan kepribadian yang sangat tinggi, gelar alAmin yang disandangnya merupakan bukti nyata pengakuan kaumnya atas kredibilitas akhlak beliau. Di samping itu Nabi sejak kecil mengetahui dan bahkan ikut aktif membela, memperjuangkan dan membangun sejarah bangsanya, karena itu Nabi termasuk pelaku proses sejarah bangsanya dari sejak beliau belum diangkat menjadi Nabi dan Rasul. Beliau mengetahui persis persoalan yang dihadapi umatnya, dengan bahasa lain Nabi termasuk salah satu kelompok elite sosial dan politik. Selain Nabi secara pribadi melakukan dakwah, beliau juga memilih beberapa sahabatnya untuk membantu. Dalam hal ini Nabi sangat selektif memilih sahabat sebagai tenaga da’i, misalnya Abu Bakar As-Shidiq seorang ahli geneologi yang sangat diperlukan padasaat setelah fath Makkah, dimana manusia secara berbondong-bondong masuk Islam walaupun mungkin dengan motif politik. Mus’ab bin Umair, seorang pemuda yang tampan, cerdas dan memiliki nasab yang ada kaitannya dengan orang-orang Yasrib, hal ini sangat bermanfaat bagi kelancaran dakwah di yatsrib setelah terjadinya bai’at aqabat al-ula, Hamzah bin Abi Thalib, seorang yang cerdas dan memiliki ketangkasan perang dan jiwa yang besar, sangat diperlukan dalam menghadapi raja al-Habsyi pada saat kaum hijrah ke Habasyah. Utsman bin Affan, seorang pedagang dan hartawan yang memiliki kelembutan jiwa dan sebagainya. Semua tersebut di atas menunjukkan bahwa tenaga da’i yang dipilih oleh Nabi untuk melakukan dakwah dan pembinaan umatnya benar-benar memiliki kredibilitas akhlak dan wawasan keilmuan serta keterampilan yang memadai. 2) Interaksi antara komponen dakwah dalam proses konversi Interaksi antar komponen dakwah, yaitu da’i, materi, metode, teknik, mad’u, sasaran dan tujuan dakwah dalam pelaksanaan dakwah mesti berjalan dengan baik, hal ini karena proses pelaksanaan dakwah dikontrol dan diawasi oleh penguasa Negara (khalifah), penyimpangan-penyimpangan yang terjadi akan segera diatasi secara cepat, misalnya gerakan penolakan zakat, kaum riddah dan Nabi palsu pada masa Abu Bakar, pemecatan Khalid bin Walid sebagai panglima perang oleh Umar bin Khattab, pembukuan al-Qur’an pada masa Utsman bin Affan dan sebagainya. 3) Tujuan Formulasi tujuan dakwah harus jelas, bahwa kegiatan dakwah adalah merupakan manivestasi dari semangat jihad untuk menegakkan kebenaran serta keadilan di muka bumi. Dakwah diyakini sebagai kewajiban bersama yangtidak dapat ditinggalkan dan dakwah didukung oleh segenap kekuatan umat yang dimilikinya. Dakwah merupakan misi utama bagi setiap umat. B. Masyarakat Islam 1. Pengertian Masyarakat Islam Masyarakat Islam terdiri dari dua kata yaitu masyarakat dan Islam. Secara etimologi kata masyarakat berasal dari bahasa Arab “Syaraka” yang berarti bersekutu.81 Dalam kata ini tersimpul pengertian yang berhubungan dengan pembentukan suatu kelompok atau golongan. Kata masyarakat lebih bermakna pergaulan hidup serta hubungan manusia dalam sebuah kelompok, yang dalam bahasa Arab diterjemahkan dengan kata al-Mujtama.82 Dan dalam bahasa Inggris diartikan society.83 Dalam hal ini Ibnu Khaldun menjelaskan istilah masyarakat dengan al-Ijtima’ al-Basyari yang menurutnya istilah itu identik dengan al-‘Umran (peradaban).84 Dari sisi istilah masyarakat adalah suatu sistem dari kebiasaan atau tata cara, dari wewenang dan kerjasama berbagai kelompok dan golongan. Masyarakat merupakan jalinan hubungan sosial akan selalu berubah dalam menghasilkan kebudayaan. Masyarakat merupakan hubungan ruhaniah antara sekelompok manusia, yang dijalin oleh kebudayaan dan kerjasama. Dalam masyarakat terkandung makna interaksi 81 Kata Syaraka, Yasyraku, Syarikat. Lihat Abu Luis, al-Munjid fi al-Lughat, Beirut, Libanon: 1994, hal 384. Kata syarikat yang merupakan asal kata masyarakat terpakai dalam bahasa Indoesia dan Malaysia. Bahkan dalam bahasa Malasysia tetap dalam ejaan aslinya, syarikat dan dalam bahasa Indonesia serikat. Dalam kata ini tersimpul pengertian hubungan dengan pembentukan suatu kelompok atau golongan atau kumpulan. Kata masyarakat terpakai dalam dua bahasa tersebut untuk menanamkan pergaulan hidup. Lihat Sidi Ghazalba, Masyarakat Islam, Pengantar Sosiologi Dan Sosiografi, Jakarta: Bulan Bintang, 1989, hal. 1 82 Abu Luis, al-Munjid fi al-Lughat, hal. 101 83 Peter Salim, The Contemporary English Indonesian Dictionary, Jakarta: Modern English Press, 1996. Hal 1854. Lihat juga David L. Sills (Ed), International Encyclopedia of the Social Science, Vol. 13, London: The Macmillan Company The Free Press, 1972, hal. 578. 84 Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, Kairo: Dar al-Fikr, tt. Hal. 37 yang meliputi sistem organisasi dan peradaban.85 Dalam rumusan lain, masyarakat Islam adalah sekelompok manusia yang mempunyai kebiasaan, tradisi sikap dan perasaan serta persatuan yang diikat oleh kesamaan agama, yakni agama Islam. 86 Masyarakat Islam adalah sekelompok manusia yang hidup secara terikat oleh kebudayaan Islam yang diamalkan oleh sekelompok manusia tersebut. Dengan demikian sekelompok manusia yang pola interaksi kehidupannya berlandaskan kebudayaan Islam disebut masyarakat Islam. 87 Konsep kerja masyarakat Islam tidak terlepas dari peran masing-masing individu dalam komunitas tersebut. Terkait dengan hal ini Abdo A. Elkholy mejelaskan dalam komunitas masyarakat Islam memunculkan dua arah yang berbeda, pertama bersifat meredam tribalisme dan kedua mendorong dan menyuburkan inisiatif pribadi. Islam sangat mendorong inisiatif dan tanggungjawab pribadi yang pada akhirnya juga mendorong lahirnya sifat anti individualistik. Secara berulang-ulang dan konsisten al-Qur’an mengingatkan manusia agar mau memutuskan masalahnya sendiri dengan pemahaman diri sebagai pribadi yang merdeka dan bertanggungjawab. Jiwa universalisme dalam tatanan masyarakat Islam guna merangkul berbagai ras, bangsa dan golongan manusia.88 Konsep masyarakat utama sebagai rumusan dari maksud dan tujuan Muhammadiyah, secara redaksional menggantikan konsep masyarakat Islam. Sekalipun redaksi berbeda-beda, intinya tetap yaitu “Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur”. Masyarakat utama adalah masyarakat yang beriman dengan sistem 85 Rodney Stark, Sosiology, California: Wad Swort Publisher Company, 1985, hal. 26 Nanih Machendrawati, Agus Ahmad Syafe’i, Pengembangan Masyarakat Islam dari Ideologi, Strategi sampai Tradisi, Bandung: Rosdakarya, 2001, hal. 5 87 Sidi Ghazalba, Masyarakat Islam, Pengantar Sosiologi dan Sosiografi, hal. 102 88 Abdo A. Elkholy, Konsep al-Qur’an tentang Masyarakat dalam Perspektif Muslim tentang Perubahan Sosial, Bandung: Pustaka, 1988, hal. 119 86 kelembagaan yang mampu menegakkan kebaikan (amar ma’ruf/humanisasi) dan mencegah yang buruk (nahy munkar/liberalisasi) dan berorientasi kepada nilai-nilai keutamaan (al-khair). Nilai keutamaan ini menjadi dasar pijakan dalam membangun masyarakat yang mengalami proses perubahan secara terus menerus. Al-Qur’an mengajarkan nilai-nilai dasar pembangunan masyarkat sebagai berikut: a) Menjunjung tinggi nilai kehormatan manusia. b) Memupuk rasa persatuan dan kekeluargaan. c) Mewujudkan kerjasama umat manusia menuju terciptanya masyarakat sejahtera lahir dan batin. d) Memupuk jiwa toleransi. e) Menghormati kebebasan orang lain. f) Menegakkan budi pekerti luhur. g) Menegakkan keadilan. h) Perlakuan sama dan setara. i) Memenuhi janji. j) Menanamkan kasih sayang dan mencegah kerusakan. 89 Masyarakat Utama dapat dilihat dari dua aspek: petama aspek institusional (wadah) dan kedua aspek individual (subyek). Sebagai institusi masyarakat merupakan suatu persekutuan bersama antar manusia, karena itu pada masyarakat akan berlangsung proses kehidupan sosial, proses interaksi dan bahkan proses keseluruhan aspek kehidupan. Sifat utama dalam konteks masyarakat sebagai institusi, berarti sistem dan tatanan sosial serta budaya yang dikembangkan adalah kondusif bagi terwujudnya kehidupan sejahtera lahir dan batin bagi segenap anggotanya, yaitu kehidupan yang tertib, aman, adil dan makmur material maupun spiritual, sehingga seluruh anggota masyarakat merasakan kedamaian dan ketentraman.90 89 M. Yunan Yusuf, dalam Pengantar Masyarakat Utama, Konsepsi dan Strategi, (Ed), M. Yunan Yusuf, Yusron Razak Suwito dan Sudarmono Abdul Hakim, Jakarta: Kerjasama dengan Lembaga Pengkajian dan Pengembangan PP Muhammadiyah, 1995, hal. xii. 90 M. Yunan Yusuf, dalam Pengantar Masyarakat Utama, Konsepsi dan Strategi, hal xii Sistem dan tatanan sosial adalah sebuah sistem dan tatanan yang memberikan kemudahan, perlindungan, perasamaan, kemerdekaan dan kebebasan individu anggota masyarakat dari belenggu dan kondisi hidup yang tidak manusiawi (kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan). Dan budaya yang dikembangkan adalah al-madaniyyah, budaya yang merupakan internalisasi nilai-nilai ketuhanan, menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan dan berorientasi pada kemajuan yang berwawasan masa depan. Dari aspek individual (subyek), masyarakat utama terdiri dari individu utama yang memiliki kriteria tadzakkar, tafakkur, musyawarat, tasamuh, tawashaw, ikhtiyar, ta’awun, ukhuwat, fastabiq al-khairat, jihad dan ijtihad serta istiqamat.91 2. Masyarakat Islam menurut al-Qur’an dan al-Sunah Dalam al-Qur’an terdapat beberapa istilah tentang masyarakat antara lain istilah khairu umat, hizbullah, muttaqun, sholihun, muhsinun, muflihun, mu’minun dan seterusnya: a. Masyarakat Islam adalah masyarakat yang berhak menjadi khalifah; surat anNur: 55.92 b. Masyarakat Islam adalah umat terbaik (masyarakat utama) Ali Imran: 110.93 91 M. Yunan Yusuf, dalam Pengantar Masyarakat Utama, Konsepsi dan Strategi, (Ed), M. Yunan Yusuf, Yusron Razak Suwito dan Sudarmono Abdul Hakim, Jakarta: Kerjasama dengan Lembaga Pengkajian dan Pengembangan PP Muhammadiyah, 1995, hal. xi 92 Janji Allah akan menjadikan orang-orang beriman menjadi pemimpin: وَﻋَﺪَ اﷲُ اﻟﱠﺬِﯾﻦَ ءَاﻣَ ﻨُﻮا ﻣِﻨﻜُﻢْ وَﻋَﻤِﻠُﻮا اﻟﺼﱠﺎﻟِﺤَﺎتِ ﻟَ ﯿَﺴْ ﺘَﺨْﻠِﻔَﻨﱠﮭُﻢْ ﻓِﻲ اْﻷَرْضِ ﻛَﻤَﺎاﺳْ ﺘَﺨْﻠَﻒَ اﻟﱠﺬِﯾﻦَ ﻣِﻦ ﻗَﺒِْﻠﮭِﻢْ وَﻟَﯿُﻤَﻜﱢ ﻨَﻦﱠ ﻟَﮭُﻢْ دِﯾ ﻨَﮭُﻢُ اﱠﻟﺬِي ارْ ﺗَﻀَﻰ ﻟَﮭُﻢْ وَﻟَﯿُ ﺒَﺪﱢﻟَ ﻨﱠﮭُﻢ ﻣﱢﻦ {55} َﺑَﻌْﺪِ ﺧَﻮْﻓِﮭِﻢْ أَﻣْﻨًﺎ ﯾَﻌْﺒُﺪُو ﻧَﻨِﻲ ﻻَﯾُﺸْﺮِﻛُﻮنَ ﺑِﻲ ﺷَﯿْﺌًﺎ وَﻣَﻦ ﻛَﻔَﺮَ ﺑَﻌْﺪَ ذَﻟِﻚَ ﻓَﺄُوْﻻَﺋِﻚَ ھُﻢُ اﻟْﻔَﺎﺳِﻘُﻮن Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan merobah (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa.Mereka tetap menyembahKu dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku.Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang yang fasik. 93 Umat Islam adalah umat terbaik c. Umat Islam adalah umat yang diridlai Allah karena sikap mereka yang tidak mencintai orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, al-Mujadilah: 22.94 d. Masyarakat muttaqun, suka berinfaq, menegakkan shalat, membayar zakat, menepati janji dan sabar, al-Baqarah: 177.95 e. Kumpulan orang-orang shaleh, Ali Imran: 114.96 f. Kumpulan orang suka beribadah, suka bertaubat: 112- 114.97 ُﻛُﻨ ﺘُﻢْ ﺧَﯿْﺮَ أُﻣﱠﺔٍ أُﺧْﺮِﺟَﺖْ ﻟِﻠﻨﱠﺎسِ ﺗَﺄْﻣُﺮُونَ ﺑِﺎﻟْﻤَﻌْﺮُوفِ وَﺗَﻨْﮭَﻮْنَ ﻋَﻦِ اﻟْﻤُﻨﻜَﺮِ وَﺗُﺆْﻣِ ﻨُﻮنَ ﺑِﺎﷲِ وَﻟَﻮْءَاﻣَﻦَ أَھْﻞُ اﻟْﻜِﺘَﺎبِ ﻟَﻜَﺎنَ ﺧَﯿْﺮًا ﱠﻟﮭُﻢْ ﻣِّﻨْﮭُﻢُ اﻟْﻤُﺆْﻣِ ﻨُﻮنَ وَأَﻛْﺜَﺮَھُﻢ {110} َاﻟْﻔَﺎﺳِﻘُﻮن Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. 94 Masyarakat Islam adalah masyarakat yang diridlai Allah, dan tidak akan mencintai orang kafir: ُﻻﱠﺗَﺠِﺪُ ﻗَﻮْﻣًﺎ ﯾُﺆْﻣِ ﻨُﻮنَ ﺑِﺎﷲِ وَاﻟْﯿَﻮْمِ اْﻷَﺧَﺮِ ﯾُﻮَآدﱡونَ ﻣَﻦْ ﺣَﺂدﱠ اﷲَ وَرَﺳُﻮﻟَﮫُ وَﻟَﻮْ ﻛَﺎﻧُﻮا ءَاﺑَﺂءَھُﻢْ أَوْ أَﺑْﻨَﺂءَھُﻢْ أَوْ إِﺧْﻮَاﻧَﮭُﻢْ أَوْ ﻋَﺸِﯿﺮَﺗَﮭُﻢْ أُوْﻻَﺋِﻚَ ﻛَﺘَﺐَ ﻓِﻲ ﻗُﻠُﻮ ﺑِﮭِﻢ ُاْﻹِﯾﻤَﺎنَ وَأَﯾﱠﺪَھُﻢ ﺑِﺮُوحٍ ﻣﱢﻨْﮫُ وَﯾُﺪْﺧِﻠُﮭُﻢْ ﺟَﻨﱠﺎتٍ ﺗَﺠْﺮِي ﻣِﻦ ﺗَﺤْﺘِﮭَﺎ اْﻷَﻧْﮭَﺎرُ ﺧَﺎﻟِﺪِﯾﻦَ ﻓِﯿﮭَﺎ رَﺿِﻲَ اﷲُ ﻋَﻨْﮭُﻢْ وَرَﺿُﻮا ﻋَﻨْﮫُ أُوْﻻَﺋِﻚَ ﺣِﺰْبُ اﷲِ أَﻵَإِنﱠ ﺣِﺰْبَ اﷲِ ھُﻢ {22} َاﻟْﻤُﻔْﻠِﺤُﻮن Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka denga pertolongan yang datang daripada-Nya.Dan dimasukkanNya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya.Allah ridha terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya.Mereka itulah golongan Allah.Ketahuilah, bhwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung. 95 Q.S. al-Baqarah, ayat 177: Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah Timur dan Barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialah beriman kepada Allah, Hari Kemudian, malaikatmalaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa. 96 QS. Ali Imran, ayat 114: Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan mereka menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh. 97 QS. At-Taubat, ayat 112-114: Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat, memuji (Allah), yang melawat, yang ruku', yang sujud, yang menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah berbuat munkar dyang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mu'min itu.Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasannya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahannam.Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri daripadanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun. g. Saat ja’far Ibn Abu Thalib ditanya oleh raja Najasyi, natara lain ia mengatakan bahwa Rasulullah telah membebaskan umat dari jahiliyah dan kemusyrikan, kemudian Rasulullah menyuruh umat agar: benar dalam berbicara, menunaikan amanah, menghubungkan silaturahmi, baik dengan tetangga, menjauhi yang haram dan menjauhi pertumpahan darah, melarang kejahatan dan sumpah palsu, melarang memakan harta anak yatim dan menuduh wanita baik-baik, menyuruh beribadah kepada Allah dan tidak syirik, menyuruh menunaikan shalat membayar zakat dan puasa. h. Bentuk masyarakat Islam adalah masyarakat yang bebas dari zhulumat, bebas dari jahiliyah, keterbelakangan, perbudakan, kemiskinan. Masyarakat yang mendapat petunjuk dan berada dalam jalan lurus. Al-Maidah ayat: 15, 16. Menurut Sufyan Sa’ad, di antara ciri-ciri masyarakat Islam adalah; a) Beriman dan bertaqwa, b) Berpendidikan, c) Berfikir secara rasional dan obyektif, d) Para anggotanya gigih memperjuangkan yang hak dan menentang yang bathil, e) Masyarakat yang menghargai efisiensi dan hak-hak orang lain, f) Mempunyai etika yang tinggi, g) Berjuang di jalan Allah untuk menegakkan kebenaran, h) tanggap terhadap masalah kenegaraan dan kemasyarakatan, i) turut bertanggungjawab atas kemajuan Agama, j) Memupuk kerjasama antar individu, lembaga serta badan lain baik lokal maupun nasional maupun internasional yang bertujuan untuk memajikan kehidupan umat manusia, k) Para anggotanya berjiwa kreatif, inofatif, dinamis dan konsern dengan perkembangan zaman, l) Para anggotanya mempunyai disiplin pribadi yang tinggi, tidak malas, tidak ngoyo, efektif serta berdaya guna, m) Cinta perdamaian dan menghargai harkat serta martabat mausia dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, n) Masyarakat yang mempersiapkan kader-kader dan generasi penerus dengan baik, o) Masyarakat yang intens terhadap masalah-masalah sosial seperti kemiskinan, ketidak adilan, kebodohan, dan kemunafikan dsb, p) Suatu masyarakat yang para anggotanya konsern terhadap kependudukan dan lingkungan hidup, q) Suatu masyarakat yang memperhatikan kesehatan jasmani dan rohani, r) Suatu masyarakat yang memiliki etos kerja yang tinggi, s) Suatu masyarakat yang anggotanya suka belajar dan sekaligus menjadi pengembang pengetahuan, t) Masyarakat yang anggotanya mempunyai solidaritas Islam yang tinggi dan gemar menjalin silaturrahim, u) Suatu masyarakat yang tahu hak dan kewajibannya sebagai warga negara, v) Suatu masyarakat yang pola pikirnya berdasarkan Islam dan teraktualisasi dalam segala aspek kehidupan.98 3.Transformasi Menuju Masyarakat Islam Untuk kepentingan pengkajian strategis menuju masyarakat Islam, maka akan lebih mudah mengkaji pertanyaan “Bagaimana profil masyarakat Islam” dari pada pertanyaan “Apa yang dimaksud dengan masyarakat Islam”. Mengapa “Bagaimana”, bukan “apa”?, karena masyarakat Islam tidak dapat digambarkan sebagai suatu potret atau suatu gambaran yang statis. Pencandraan masyarakat Islam lebih tepat digambarkan sebagai suatu proses yang aktif, yaitu suatu dinamika sosial tertentu. Disebut “dinamika sosial” karena masyarakat Islam lebih dicirikan oleh dinamika hubungan antar struktur dan nilai yang ada di dalamnya. Dinamika juga lebih tepat digunakan karena profil masyarakat Islam berkaitan dengan konteks temporal dan 98 Sofyan Sa’ad, dalam Masyarakat Utama, Konsepsi dan Strategi, (Ed) M. Yunan Yusuf, Yusron Razak Suwito dan Sudarmono Abdul Hakim, Jakarta: Kerjasama dengan Lembaga Pengkajian dan Pengembangan PP Muhammadiyah, 1995, hal. 168-169 spasial. Maksudnya, gambaran masyarakat Islam akan berlainan antar kurun waktu yang berbeda dan juga antar tempat serta lokasi berbeda. Ada dua macam pendekatan yang dapat dilakukan untuk pencandraan masyarakat Islam. Pertama, konsep masyarakat Islam dirumuskan dalam suatu state of being yang normatif dan dicita-citakan. Pendekatan semacam ini dilakukan dengan mengadakan interpretasi dan reinterpretasi terhadap kandungan al-Qur’an dan alSunnah Rasul tentang tatanan sosial yang diinginkan. Upaya interpretasi ini mengemban tugas utama untuk mengidentifikasi gagasan-gagasan pokok al-Qur’an dan al-Sunnah Rasul tentang masyarakat. Pendekatan kedua, Konsep masyarakat Islam dirumuskan dengan mengidentifikasi komponen-komponen dalam masyarakat itu sendiri, seperti masalah kelembagaan, dan masalah strukturnya. Pendekatan semacam ini dapat dilakukan dengan menggunakan perspektif historis, dengan menggunakan berbagai analisis sosial. Dalam konteks temporal dan spasial, sebagaimana dikemukakan di atas, peneliti dapat mengidentifikasi isu dan masalah muslim saat ini dan masa yang akan datang. Isu dan masalah ini kemudian dijadikan sebagai bagian dari konseptualisasi masyarakat Islam, baik sebagai titik pangkal maupun tujuan, yakni bagaimana mengantisipasi isu dan masalah itu melalui seperangkat sarana kelembagaan atau sistem makna yang bersumber pada al-Qur’an dan al-Sunnah. Selain dua pendekatan di atas dapat diajukan konsep pendekatan lain, yaitu pendekatan transformatif. Pendekatan ini dapat dilakukan dengan melihat model apa yang diberikan al-Qur’an dan dakwah Rasul Muhammad saw. Keterkaitan visi (nilai ideal) dengan kepekaan (realitas empiric) ini sebenarnya secara nyata telah diisyaratkan dalam surat al-Ma’un, al-Takatsur, al-Humazat, dan lain sebagainya yang merupakan awal wahyu yang diterima Nabi. Dengan ungkapan lain, tauhid yang ditawarkan islam adalah monoteisme yang transformatif, monoteisme yang menciptakan suatu masyarakat. Ajaran-ajaran moral dan monoteisme Islam tidak “idealis” (utopistik), bukan dogma, bukan hanya dalam konteks hubungan manusia dengan Tuhan semata . ajaran-ajaran Islam justru “empiric” dalam arti konkrit dan menyangkut sikap etis atau respon manusia, serta hubungan manusia dengan lingkungan yang nyata. Salah satu ciri konseptual tentang masyarakat Islam adalah adanya karakter transformatif, pertanyaan yang timbul adalah apa yang harus ditransformasikan? Pertanyaan ini kiranya dapat menghantarkan kita pada identifikasi tentang struktur masyarakat Islam. Pengembangan masyarakat berarti mentransformasikan manusia di dalamnya dari suatu situasi atau kondisi yang kurang baik kepada kondisi atau situasi yang lebih baik. Dalam hal ini manusia dipandang sebagai makhluk individu sekaligus sebagai makhluk sosial. Dengan demikian, transformasi yang dilakukan akan menyangkut aspek individu dan aspek sosial masyarakat sekaligus. Aspek individu akan menyangkut kehidupan spiritual dan cultural manusia, sementara transformasi aspek sosial akan menyangkut perubahan struktur pada “habitat” tempat manusia berada dan hidup bermasyarakat. Lingkungan tersebut menyangkut lingkungan fisik, ekonomi, sosia dan politik serta hukum.99 Dari uraian di atas, ada tiga perangkat struktur yang compatible untuk menampung gagasan masyarakat Islam, yaitu (1) peringkat spiritual, (2) peringkat kultural dan (3) peringkat struktural. Pada peringkat spiritual transformasi dilakukan 99 hal. 140 Ahmad Watik Pratiknya dalam M. Yunan Yusuf, (Ed), Masyarakat Utama, Konsepsi dan Strategi, untuk meningkatkan intensitas kehidupan religious, kesadaran rohaniah. Pada peringkat kultural kecerahan kehidupan rohani akan ter-ekspresi pada makin mantapnya sistem nilai masyarakat yang pada gilirannya akan tercermin pada prilaku individu maupun masyarakat dalam realitas kehidupan. Pada peringkat structural, idealitas nilai-nilai tersebut akan terjabarkan secara konkrit atau terstruktur dalam berbagai tatanan dan sistem lingkungan kehidupan yang ada. Lingkungan fisik yaitu tatanan teknologi, lingkungan ekonomi dalam sistem ekonomi, lingkungan sosial dalam sistem sosial dan lingkungan politik dalam sistem politik serta lingkungan hukum dalam sistem hukum. Di samping adanya interaksi juga da klaster structural sebagaimana tersirat di atas, antar peringkat struktur juga ada interaksi, baik yang bersifat asenden maupun desenden.100 Transformasi menuju masyarakat Islam dapat dilakukan melalui tiga model pendekatan. Ketiga model pendekatan transformasi masyarakat Islam dapat juga dianggap sebagai tahapan-tahapan proses transformasi masyarakat. Adapun empat model pendekatan tersebut adalah: Pertama, sejarah telah membuktikan bahwa perubahan transformatif membutuhkan suatu perubahan atau pergeseran paradigmatik. Hal ini berarti perlu mempertanyakan bagaimana paradigm masyarakat tentang masyarakat Islam? atau bahkan tentang Islam itu sendiri? Apakah sudah kuat untuk mendukung suatu proses transformasi? Apakah tidak diperlukan suatu paradigm dakwah “baru” untuk mendukung proses transformasi. Kedua, sejarah juga menunjukkan bahwa perubahan transformasi membutuhkan suatu “gerakan” sebagai katalisator. Para penggerak yang benar-benar menjiwai 100 hal. 141 Ahmad Watik Pratiknya dalam M. Yunan Yusuf, (Ed), Masyarakat Utama, Konsepsi dan Strategi, gagasan tentang masyarakat Islam dan komitmen yang tinggi untuk melaksanakan. Mereka itulah yang menjadi motor penggerak perubahan sosial, dalam hal ini adalah da’i. Ketiga, kalau kita sepakat menggunakan model strukturasi masyarakat Islam di atas, maka proses transformasi harus berjalan Seimbang antara ketiga peringkat struktur yang ada, spiritual, kultural dan struktural. Keempat, kalua bicara tentang bagaimana dan dari mana kita mulai dan menggerakan proses trasformasi, biasanya terpoladua modelyang dikotomis, yaitu model atas-bawah dan model bawah-atas. Pendekatan atas-bawah (top-down) yang diasosiasikan dengan model pendekatan politis atau pendekatan power, sementara pendekatan bawah-atas (button-up) sering diasosiasikan dengan model pendekatan budaya, pendekatan dakwah, atau pendekatan ummatik. Pada hemat penulis ada pendekatan yang lain yang masih bisa ditawarkan selain model pendekatan tersebut, yaitu model pendekatan horizontal atau pendekatan sentrifugal.101 Di antara metode trasformasi nilai-nilai ajaran islam dalam tatanan kehidupan sosial, sebagaimana dikemukakan kuntowijoyo, bahwa seluruh kandungan nilai islam bersifat normatif. Ada dua metode bagaimana mentrasformasikan nilai-nilai islam dalam kehidupan sosial, pertama nilai-nilai normatif islam tersebut diaktualisasikansecara langsung dalam bentuk prilaku, misalnya seruan-seruan moral praktis dalam al-Quran kedua, mentrasformasikan nilai-nilai normatif islam menjadi teori ilmu sebelum diaktualisasikan dalam prilaku praktismembutuhkan beberapa fase formalisir, teologi-filsafat sosial-teori sosial-perubahan sosial.102 Sedangkan strategi pendekatan untuk mencapai masyarakat islamdiantaranya melalui gerakan 101 Ahmad Watik Pratiknya dalam M. Yunan Yusuf, (ed), Masyarakat Utama, Konsepsi Dan Strategi, hal 141-142. 102 Kuntowijoyo, Paradigm Islam, Interpretasi Untuk Aksi, Jakarta: Mizan, 1996. Hal. 170 dakwah. Gerakan dakwah yang dimaksud asalah gerakan dakwah dan pendekatan yang berfariasi agar trasformasi menuju masyarakat islam dapat berlangsung dengan baik. Proses tranformasi masyarakat menuju masyarakat Islam menurut Ahmad Watik praktiknya paling tidak memerlukan pola pendekatan, yaitu: pertama, sejarah telah membuktikan bahwa perubahan transformatif membutuhkan suatu perubahan atau pergeseran paradigmatik. Hal ini berarti sebelum melakukan suatu perubahan atau pergeseran paradigmatik. Hal ini berarti sebelum melakukan perubahan pertama kali yang dipertanyakan adalah apakah paradigma tentang masyarakat Islam telah cukup kuat untuk mendukung proses transformasi. Kedua, sejarah juga telah membuktikan bahwa perubahan transformasi membutuhkan suatu “gerakan” (al-harakah)”. Dalam sejarah dapat ditelusuri peran Rasulullah beserta para sahabatnya yang benar-benar telah menjiwai ajaran Islam dan komitmen yang tinggi untuk melaksanakan prinsipprinsip ajarannya. Mereka itulah yang merupakan penggerak perubahan yang dilakukan oleh Rasul Muhammad di Madinah yang kemudian makin meluas. Bagaimana formulasi dan model al-harakah dalam konteks kekinian. Ketiga,menggunakan model strukturasi masyarakat Islam, yaitu proses transformasi harus berjalan secara seimbang antara ketiga peringkat struktur yang ada, spiritual, cultural dan structural. Keempat, kalau bicara tentang bagaimana dan dari mana mulai menggerakkan proses transformasi, biasanya terpola dua pendekatan yang dikotomis, yaitu model atas-bawah atau model bawah-atas. Pendekatan atas-bawah (top-down) sering diasosiasikan dengan model pendekatan politis atau pendekatan power, sementara pendekatan bawah-atas (buttom-up) sering diasosikan dengan model pendekatan budaya, atau pendekatan ummatik. Ada pendekatan lain yang dapat digunakan yaitu pendekatan horizontal atau pendekatan sentrifugal. Institusi keluarga tidak lain merupakan “nucleus” masyarakat, dengan menganalogikan pada proses biologi sel, maka gagasan dan upaya transformasi menuju masyarakat Islam dapat dimulai dari keluarga sebagai basis (inti-sel), kemudian menyebar ke masyarakat sekitar (sebagai plasma-sel). Dari kacamata dakwah, lembaga keluarga menjadi amat penting sebagai target dan sekaligus basis gerakan dakwah, karena dalam tradisi modern lembaga keluarga ini telah mulai terancam eksistensinya.103 Sedangkan menurut M. Wierdan ada tiga metode pendekatan yang dapat diterapkan dalam proses menuju masyarakat Islam, yaitu; pertama, metode pendekatan tipologik. Metode ini merujuk pada sistem masyarakat pada zaman Rasulullah (610-632 M)terutama periode Madinah (622-632 M) dengan rujukan utama al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Metode ini sudah barang tentu harus dilaksanakan oleh para ulama yang benar-benar mempunyai kemampuan yang tangguh dan arif, berbagai keahlian perlu bekerjasama untuk mendapatkan perumusan yang tepat. Kedua metode pendekatan analogik, metode pendekatan analogik ini mendasari analisanya dengan rujukan Sunnatullah dengan pisau analisis ilmu pengetahuan dan penalaran. Ilmu pengetahuan dan penalaran dapat dirumuskan sebagai himpunan sebab akibat yang disusun secara sistematis dari pengamatan, percobaan dan penalaran. Dan ketiga metode gabungan dari dua metode pendekatan 103 Ahmad Watik Pratiknya dalam Masyarakat Utama, Konsepsi dan Strategi (Ed), M. Yunan Yusuf, Yusron Razak dan Sudarmono Abdul Hakim, Jakarta: Kerjasama dengan Lembaga Pengkajian dan Pengembangan PP Muhammadiyah, 1995, hal. 142. sebelumnya, yaitu metode pendekatan tipologik dengan metode pendekatan analogik.104 Transformasi masyarakat dapat juga diartikan sebagai ikhtiar pembangunan, dalam hal ini David C. Korten memberikan makna pembangunan sebagai upaya memberikan kontribusi pada aktualisasi potensi tertinggi kehidupan manusia.105 Pembangunan selayaknya ditujukan untuk mencapai sebuah standar kehidupan ekonomi yang menjamin pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Hal ini merupakan sebuah tahapan yang esensial dan fundamental menuju tercapainya tujuan kesejahteraan manusia. Kebutuhan dasar tidak dilihat dalam batas-batas minimum manusia, tetapi juga sebagai kebutuhan akan rasa aman, kasih sayang, mendapatkan penghormatan dan kesempatan untuk bekerja secara fair serta aktualisasi spiritual. Berdasarkan pemahaman semacam ini pengembangan masyarakat dapat diajukan beberapa asumsi sebagai berikut: Pertama, pada intinya upaya-upaya pengembangan masyarakat dapat dilihat sebagai peletakan sebuah tatanan sosial, di mana manusia secara adil dan terbuka dapat melakukan usahanya sebagai perwujudan atas kemampuan dan potensi yang dimilikinya sehingga kebutuhan materiil maupun spiritualnya dapat dipenuhi. Pengembangan masyarakat pada dasarnya adalah merencanakan dan penyiapan suatu perubahan sosial demi peningkatan kualitas hidup. Kedua, pengembangan masyarakat tidak dilihat sebagai suatu proses pemberian dari pihak yang kuat kepada pihak yang lemah. Ketiga, pengembangan masyarakat mesti dilihat sebagai sebuah proses pembelajaran kepada masyarakat 104 M. Wierdan, dalam Masyarakat Utama, Konsepsi dan strategi, (Ed). M. Yunan Yususf, Yusron razak Suwito dan Sudarmono Abdul Hakim, Jakarta: Kerjasama dengan Lembaga Pengkajian dan Pengembangan PP Muhammadiyah, 1995, hal. 152-153 105 David C. Korten, Development as Human Enterprise “dalam David C. Korten (ed) Community Management Asian and Perspectif, Coneccicut Humanian Press, hal. 17 agar mereka dapat secara mandiri melakukan upaya-upaya perbaikan kualitas hidupnya. Karena itu pengembangan masyarakat sesungguhnya merupakan sebuah proses kolektif di mana kehidupan berkeluarga, bertetangga, bermasyarakat dan bernegara tidak hanya sekedar menyiapkan penyesuaian-penyesuaian terhadap perubahan sosial yang mereka lalui, tetapi secara aktif mengarah perubahan tersebut pada pemenuhan kebutuhan bersama. Keempat, pengembangan masyarakat tidak mungkin dilaksanakan tanpa keterlibatan secara penuh oleh masyarakat itu sendiri. Partisipasi bukan sekedar diartikan sebagai kehadiran mereka untuk mengikuti suatu kegiatan, melainkan difahami sebagai kontribusi mereka dalam setiap tahapan yang mesti dilalui oleh suatu program kerja pengembangan masyarakat, terutama dalam tahapan perumusan kebutuhan yang mesti dipenuhi. Kelima, pengembangan masyarakat selalu ditengarai dengan adanya pemberdayaan masyarakat, karena pembangunan tatkala masyarakat itu sendiri tidak memiliki daya yang cukup baik.106 Pengembangan masyarakat Islam merupakan model empiris dan bentuk pemberdayaan dan pengembangan perilaku individu dan kolektif dengan titik tekan pada pemecahan masalah yang dihadapi masyarakat, dalam kontek ini pengembangan diorentasikan kepada; (1) Pembentukan sumberdaya manusia secara individual yang memiliki komitmen keagamaan yang kuat, (2) membentuk keluarga sakinah sebagai realisasi dari individu-individu yang shaleh, (3) membentuk masyarakat religious yang mengaplikasikan nilai-nilai islam dalam kehidupan seharihari, (4) melalui wadah Negara dengan berbagai komponennya akan dapat 106 Donald W Litereel, the Theori and Practice of Community Development, terj M. Dauzi Muzdakir, Teori Dan Praktek Pengembangan Masyarakat, Surabaya: Usaha asional, 1986, hal. 12-15. membentuk peradaban yang Islami demi terwujudnya masyarakat madani yaitu tatanan masyarakat Islam yang universal.107 Masyarakat Islam memiliki lima fondasi, yaitu: Pertama Tauhid, yakni “lailaha ilallah” sebagai kalimat pembebasan dari penghambaan diri kepada sesame hamba kepada penghambaan diri hanya kepada Allah swt semata. Aqidah ini sangat penting sekali karena masyarakat yang lemah aqidahnya akan rapuh dan tak bisa berumur panjang. Kedua adalah sistem nilai moral yang benar berdasarkan wahyu Alah swt Ketiga adalah amal shaleh yang didasarkan pada aqidah (keyakinan) serta nilai-nilai moral yang benar, sehingga amal tersebut tidak hampa, tujuan amal tersebut menjadi jelas. Keempat adalah keadilan, ini merupakan perintah yang pertama dalam alQur’an. Keadilan yang berkesinambungan secara simetris. Semua orang mendapatkan apa yang terjadi haknya dan bagi semua orang diminta melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya. Fondasi kelima memiliki kecenderungan yang kuat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.108 Proses transformasi menuju masyarakat Islam dimulai dari individu muslim, keluarga, masyarakat, Negara/pemerintahan dan peradaban Islam.109 a. Individu Pengembangan masyarakat Islam berawal dari konsep tentang manusia, menurut Ibn Khaldun Allah telah menciptakan dan menyusun manusia dalam satu bentuk yang hanya dapat tumbuh dan mempertahankan hidupnya dengan bantuan makanan. 107 Samsir Salam, dalam Pengantar Paradigma Pengembangan Masyarakat Islam, Bandar Lampung: Matakata, 2007, hal. xviii. 108 Amn Rais, Langkah-Langkah Dasar Menuju Masyarakat Utama, dalam Masyarakat Utama Konsepsi dan Strategi, (ed) M. Yunan Yusuf, Jakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengembangan PP Muhammadiyah, 1995, hal. 129 109 Wendy Melfa dan Solihin Siddiq berpendapat dalam bukunya Paradigma Pengembangan Masyarakat Islam Studi Epistimologis Pemikiran Ibn Khaldun, hal hal 205 Allah memberi petunjuk kepada manusia atas keperluan makanan menurut watak dan kodrat kesanggupan memperolehnya. 110 Konsep manusia yang dikembangkan Ibn Khaldun merupakan konsep sosiologis tentang manusia secara individu dalam teori sosiologi. Tingkah laku individu pada akhirnya dapat dijelaskan menurut teori tentang kodrat manusia.111 Secara kodrati manusia diberikan karunia kehidupan di muka bumi oleh Allah dan manusia dalam konsep al-Qur’an terdiri dari jasmani dan ruhani. 112 Secara kodrati manusia membawa potensi dasar manusiawi, yaitu membutuhkan makanan dan keamanan untuk melangsungkan hidup.113 Manusia diciptakan Allah dari debu, tanah dan ruh Ilahi, apabila daya tarik tanah mengalahkan daya tarik ruh Ilahi, ia akan jatuh hingga mencapai tingkat serendah-rendahnya bahkan leih rendah dari binatang.114 Sebaliknya bila ruh Ilahi lebih dominan, manusia akan menjadi makhluk yang mulia. Untuk mencapai kualitas yang diharapkan manusia harus mengembangkan empat potensi dasar yang Dianugerahkan Allah, yaitu; 1) Daya tubuh yang mengantarkan manusia berkelakuan fisik, berfungsi organ tubuh dan panca inderanya. 2) Daya hidup, yang menjadikannya memiliki kemampuan mengembangkan dan menyesuaikan diri dengan lingkungan serta mempertahankan hidupnya dalam menghadapi tantangan. 110 Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Kairo: Dar al-Fikr, tt. Hal 71 Tom compbell, Tujuh Teori Sosial, Sketsa Penilaian Perbandingan (ter), London: Oxford University Press, 1980 hal 45 112 Deliar noer, islam dan masyarakat, Jakarta: Yayasan Risalah, 2003, hal. 69 113 QS. Abasa: 24-28 {28} { وَﻋِﻨَﺒًﺎ وَﻗَﻀْ ﺒًﺎ27} ﺎ{ ﻓَﺄَﻧﺒَﺘْﻨَﺎ ﻓِﯿﮭَﺎ ﺣَ ﺒ26} { ﺛُﻢﱠ ﺷَﻘَﻘْﻨَﺎ اْﻷَرْضَ ﺷَﻘﱠﺎ25} { أَ ﻧﱠﺎ ﺻَﺒَﺒْﻨَﺎ اﻟْﻤَﺂءَ ﺻَﺒﱠﺎ24} ِﻈﺮِ اْﻹِﻧﺴَﺎنُ إِﻟﻰَ ﻃَﻌَﺎﻣِﮫ ُ ﻓَﻠْﯿَﻨ Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya.Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit),Kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya,Lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu,Anggur dan sayur-sayuran, 114 QS. Al-Tin: 4-5: Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaikbaiknya.Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka) 111 3) Daya akal yang berfungsi untuk memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi. 4) Daya kalbu, yang memungkinkan mengembangkan moral, merasakan keindahan, kelazatan iman. Dari daya inilah yang melahirkan intuisi dan indra keenam.115 Apabila keempat daya ini digunakan dan dikembangkan secara baik, maka kualitas pribadi akan mencapai puncaknya, yaitu pribadi yang beriman, berbudi pekerti luhur memiliki kecerdasan, ilmu pengetahuan dan keterampilan, keuletan serta wawasan masa depan yang baik. Al-Qur’an menanamkan kualitas hidup semacam ini dengan istilah “al-Hayat al-Thayyibat” dan cara untuk mencapainya ditunjukkan dengan “amal shaleh”.116 Pengembangan daya pikir, fisik dan kalbu serta daya hidup yang merupakan potensi dasar manusia perlu dijelaskan dengan teori sosiologi dengan istilah pemberdayaan.117 Yaitu pemberdayaan potensi manusiawi untuk mencapai tingkat manusia sebagai individu yang berkualitas tinggi menuju taraf kesempurnaan insan kamil. b. Kekeluargaan (‘Ashabiyat) Di samping kelebihan yang dimiliki manusia, terdapat juga sifat kekurangan dan kelemahan, yait tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup serta mempertahankan diri dari serangan binatang buas ataupun dari serangan manusisa lain, untuk menutupi 115 M. Quraisy Shihab, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1994, hal. 281 Qs. An-Nahl: 97 {97} َﻣَﻦْ ﻋَﻤِﻞَ ﺻَﺎﻟِﺤًﺎ ﻣﱢﻦ ذَﻛَﺮٍ أَوْ أُﻧ ﺜَﻰ وَھُﻮَ ﻣُﺆْﻣِﻦٌ ﻓَﻠَ ﻨُﺤْﯿِﯿَﻨﱠﮫُ ﺣَﯿَﺎةً ﻃَﯿﱢ ﺒَﺔً وَﻟَ ﻨَﺠْﺰِﯾَﻨﱠﮭُﻢْ أَﺟْﺮَھُﻢْ ﺑِﺄَﺣْﺴَﻦِ ﻣَﺎﻛَﺎﻧُﻮا ﯾَﻌْﻤَﻠُﻮن Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. 117 Pemberdayaan adalah terjemahan dari empowerment yang dapat diartikan pengembangan. Lihat Nanich Machdrawati, Pengembangan Masyarakat Islam dari Ideologi, Strategi Sampai Tradisi, Bandung: Rosda Karya, 2001, hal. 42 116 kekurangan dan kelemahannya ini manusia bergabung dengan manusia lain untuk bergotong royang (ta’awun), dengan sistem kerjasama ini kebutuhan manusia akan dapat terpenuhi.118 Sikap saling membutuhkan, saling melengkapi, tolong menolong dan gotong royong inilah kemudian berkembang menjadi perasaan untuk saling melindungi dan membangkitkan ras persaudaraan dan kekeluargaan atau yang lebih dikenal dengan istilah ‘ashabiyat.119 ‘ashabiyat pada dasarnya lahir dari hubungan darah dan ikatan yang menumbuhkan rasa. Ikatan darah menumbuhkan perasaan cinta terhadap saudara dan kewajiban untuk menolong dan melindungi mereka dari tindakan kekerasan. Menurut Ibn Khaldun, solidaritas hanya dapat dibangun berdasarkan golongan yang dihubungkan oleh pertalian darah atau pertalian lain yang memiliki arti sama.120 Dengan demikian ‘ashabiyat memiliki banyak arti diantaranya; esprit de corps, partisuship, famille, parti, tribal loyality, citality, feling ofurity, group adhesion, groupdom, sens of solidarity, group mind collective conciouness,group feeling, feeling of solidarity and social solidarity.121 Degan demikian ‘ashabiyat tidak hanya didasarkan pada hubungan kekeluargaan, akan tetapi meliputi perasaan kekeluargaan dan saling mengasihi yang berkembang dalam kalangan individu yang membentuk solidaritas sosial. Agama pada dasarnya memunculkan solidaritas, karena agama dapat menyingkirkan perasaan iri dan dengki dari anggota kelompok dan mampu 118 Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Kairo: Dar al-Fikr, tt. Hal. 71 Eugene A. Myers, Zaman Keemasan Islam, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003, hal. 73 120 Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Kairo: Dar al-Fikr, tt. Hal. 151 121 Fuad Ba’ali, Society State and Urbanism Ibn Khalduns Sociological Though, New York: State University of New York Press, 1988, hal. 43. 119 mengarahkan kepada kebenaran. Keluarga dalam pemikiran Ibn Khaldun lebih didasarkan pada rasa kekeluargaan, hal ini menimbulkan adanya sikap saling membutuhkan dan saling tolong menolong. Dengan sikap solodaritas dan ikatan kekeluargaan (‘ashabiyat), maka diarahkan pada pembinaan dan orientasi kea rah pembinaan yang lebih baik yang berpijak pada ajaran agama, dan sebaliknya. Pembinaan agama tanpa adanya solidaritas sosial tidak akan berjalan dengan baik.122 Sikap keagamaan dapat meredam pertentangan dan iri hati serta dengki. Pembinaan keagamaan yang diarahkan pada pembinaan sikap kekeluargaan akan dapat berlangsung dengan baik. c. Masyarakat Manusia merupakan makhluk sosial, ketidak mandirian manusia itu dapat dilihat dari dua kenyataan, pertama dari segi pemenuhan kebutuhan pokok dan yang kedua dari segi mempertahankan diri.123 Dalam kedua hal ini tidak ada seorangpun dapat mempertahankan diri secara pribadi dan tidak ada seorangpun yang dapat memenuhi kebutuhan pokoknya secara sendirian, karena itu manusia memerlukan kerjasama untuk memperoleh makanan dan senjata untuk mempertahankan diri mereka. Sifat manusia secara alami adalah saling tolong menolng dan saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya. Kerjasama dan saling membantu antara sesama manusia merupakan bentuk aktivitas yang menyatukan. 124 Dari sikap alami manusia yang saling membutuhkan untuk memenuhi kebutuhan hhidup, baik 122 Fuad Ba’ali, Society State and Urbanism Ibn Khalduns Sociological Though, hal. 153. Dalam hal ini Ibn Khaldun melihat adanya sikap kaum Nomad yang meninggalkan Islam dan mengikuti ajaran Nabi-nai palsu setelah wafatnya Nabi, pengikut nabi-nai palsu ini karena nabi-nabi palsu ini berasal dari suku mereka, semangat kesukuan inilah yang merupakan factor utama dalam mendasari pemberontakan kaum nomad terhadap Islam. 123 Deliar Noer, Islam dan Masyarakat Islam, Jakarta: yayasan risalah, 2003, hal. 109 124 Karl Manheim, Sosiologi Sistematis, Suatu Pengantar Studi Tentang Masyarakat, (terj) Jakarta: Bina Aksara, 1987, hal. 103 kebutuhan makanan, keamanan maupun kebutuhan lainnya mengharuskan manusia hidup bermasyarakat. Masyarakat merupakan golongan besar atau kecil dari beberapa manusia yang saling pengaruh mempengaruhhi antara yang satu dengan yang lain. Ibn Khaldun mengartikan masyarakat dengan “Ijtima’ al-Basyari”, karena hal ini merupakan keharusan maka Ibn Khaldun meberikan istilah dengan “Ijtama’ al-Basyari al-Dlaruryyat”.125 Perkembangan manusia secara individu dan kebutuhan untuk saling memenuhi kebutuhan melahirkan rasa kebersamaan dan saling tolong menolong, tahap perkembangan inlah yang menjadi acuan teoritis pengembangan masyarakat. d. Negara Keharusan adanya organisasi kemasyarakatan dapat dijelaskan dengan skematis sebagaimana diatas, yaitu individu yang saling membutuhkan dan saling tolong menolong dan kemudian terciptalah masyarakat. Eksistensi kemasyarakatan tidak aka nada jika tidak ada organi kemasyarakatan. Ketika umat manusia telah mencapai organisasi kemasyarakatan dan ketika peradaban telah menjadi kenyataan, maka manusia memerlukan seseorang yang akan memelihara mereka, sesuai dengan kehendak Tuhan, yaitu untuk memakmurkan dan menjadikan mereka khalifah, dengan sendirinya yang akan melaksanakan kewajiban ini haruslah dari kelompok mereka sendiri.126 Watak kepemimpinan ini sesuai dengan fenomena alam dan bahkan watak kepemimpinan juga dimiliki oleh binatang seperti lebah. Di kalangan lebah ada ketaatan kepemimpinan hukum dan pemimpin yang berasal dari salah satu 125 126 Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Kairo: Dar al-Fikr, tt. Hal. 37 Fuad Ba’ali, Society State and Urbanism Ibn Khalduns Sociological Thought, hal. 30 di antara mereka yang menonjol. Keharusan adanya pemimpin dalam kehidupan manusia inilah yang dinamakan al-Mulk atau kedaulatan.127 Konsep al-Mulk (kedaulatan) ini merupakan konsep tentang kenegaraan. Kekuasaan terdapat dalam keseluruhan hidup manusia terlepas apakah manusia itu beragama atau tidak. Dinamika Negara dalam artian wilayah dan rakyatnya, baik atau buruk ditentukan oleh komponen Negara serta budaya yang dikembangkan. Dalam sistem khalifah Negara dijadikan sebagai tempat untuk membentuk tatanan masyarakat Islam. Menurut Ibn Khaldun negara dan kedaulatan tidak dapat dipisahkan dengan peradaban. Pengembangan masyarakat Islam dalam konteks Negara adalah menciptakan suatu peradaban sesuai dengan nilai-nilai moral agama, sehingga elemen-elemen peradaban yang meliputi organisasi sosial, kekuasaan, usaha hidup, ilmu pengetahuan dan keahlian diatur dan dikembangan secara komprehensif melalui komponen kenegaraan baik sistem pemerintahan, perundang-undangan, sistem kebudayaan. Negara sebagai wadah menciptakan masyarakat yang memiliki peradaban yang tinggi berdasarkan syari’at agama. e. Peradaban (Al-‘Umran) Peradaban (Al-‘Umran) merupakan puncak dari eksistensi kehidupan manusia. Berbagai bentuk kemajuan pada hakekatnya merupakan hasil dari peradaban. Pengembangan masyarakat Islam yang mengacu pada pemikiran sosiologi Ibn Khaldun pada dasarnya mengemas peradaban masyarakat dengan nilai-nilai moral keagamaan. Agama merupakan faktor penting bagi peradaban, artinya peradaban ditegakkan atas dasar prinsip-prinsip keagamaan. Gabungan antara kekuatan 127 Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Kairo: Dar al-Fikr, tt. Hal. 74 ashabiyat dan agama merupakan kekuatan dahsyat yang dapat membentuk suatu peradaban. Solidaritas tanpa dibarengi dengan nilai-nilai agama dan sebaliknya gerakan keagamaan tanpa solidaritas tidak akan berhasil.128 Pengembangan masyarakat Islam bermula dari pengembangan peradaban masyarakat secara Islami sehingga tujuan akhir terbentuknya masyarakat khairu ummat dapat terwujud.129 128 Yuyun S. Sumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Popular, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996, hal. 263 129 Karakteristik masyarkat khairu Umat adalah; (1) berjuang dalam kesalehan, (2) adanya keamanan untuk hidup yang lebih baik, (3) berlaku jujur dan adil dalam masyarakat pluralis. (4) ber Islam, Iman dan Taqwa. BAB IV DAKWAH RASULULAH SAW A. Turunnya Wahyu (Perintah Dakwah) Kitabbullah Al Qur’anul Karim adalah wahyu yang diterima Muhammad SAW dari Allah SWT dan diterima oleh kaum muslimin dari Rasulnya. Al Qur’an adalah kitab agama bagi kaum muslimin. Didalam kitab ini berhimpun semua agama langit, menuntun kehidupan umat manusia, supaya mendapat keselamatan dunia akhirat. Al Qur’an merupakan kitab samawi yang terakhir, yang bernilai mu’jizat guna menyempurnakan akida samawiyah umat muslim. Wahyu Allah SWT (Al Qur’an) merupakan tanda kebenaran rasul SAW, disamping merupakan bukti yang jelas atas kenabian dan kerasulannya. Adapun mengenai turunnya Al Qur’an tersebut lewat perantara Aminus Sama’ (Malaikat Jibril a.s) dan turun kepada hati Nabi Muhammad secara berangsurangsur, supaya dapat dihafal. Nur menembus alam, cahaya menyinari semesta dan sampailah hidyah Allah SWT, kepada makhluk-Nya (Ibrahim, 1991: 29) Tiga tahun sebelum mendapat wahyu, Muhammad Saw mengasingkan diri dalam Gua Hira’ untuk beribadah selama Bulan Ramadhan. Ketika usianya mencapai 40 tahun, beliau menerima wahyu pertama. Permulaan wahyu itu turun pada Bulan Ramadhan. Beliau belum pernah melihat di dalam mimpinya itu (di masa-masa sebelumnya) seperti apa yang dilihatnya di waktu subuh (Boisard, 1980: 49). Pertama kalinya wahyu; Al Qur’an dari Allah SWT turun adalah pada awal tanggal 17 Ramadhan, bertepatan dengan tanggal 6 Agustus tahun 610M, serta bertepatan pula dengan usia Nabi Muhammad Saw, yang ke 40 tahun. Firman Allah dalam Qur’an Surat Al Anfal ayat 41 : Artinya: “Ketahuilah, Sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang[613], Maka Sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, Kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, Yaitu di hari bertemunya dua pasukan. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (CD Digital Qur’an Inwordl 2003) Ayat ini menunjukkan; bertemunya dua pasukan, yakni kaum muslimin dan orangorang musyrik dalam perang Badar, terjadinya itu pada tanggal 17 Ramadhan tahun kedua Hijriyah. Mengenai turunnya Al Qur’an pada bulan Ramadhan ini berdasarkan nash yang jelas dalam kitab Allah SWT. Firman Allah SW dalam Q.S. Al Baqarah ayat 185: Artinya: “Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjukNya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”. (CD Digital Qur’an Inwordl 2003) Di usianya yang ke 40 tahun, Rasulullah SAW suka menjauhkan dirinya dari pergaulan masyarakat dan gemar beribadah; bertahanut’s di Gua Hira’ yang ada di lambung bukit Nur sebelah kiri jalan ke Arafah ± 15 meter dari kota Makkah. Oleh karena beliau sangat prihatin melihat tingkah laku kaumnya yang menyembah berhala, menyembelih hewan kurban untuk memuliakannya. Mereka hidup dalam kebodohan dan kemusyrikan. Mereka terpecah belah dan bermusuhan antar kelompok satu dengan yang lain. Ketika beliau sedang beribadah di Gua Hira’ tiba-tiba datang Malaikat Jibril a.s dengan membawa wahyu dari Allah SWT. Ia memeluk kemudian melepaskan beliau. Demikian sampai terulang tiga kali, setiap kali Jibril a.s berkata: “Bacalah!”, dan setiap kali pula beliau menjawab “Aku tidak bisa membaca”. Kemudian pada kali yang ketiga Jibril a.s berkata kepada Rasulullah yaitu Surat Al ‘Alaq ayat 1-5. Malaikat Jibril juga memberikan pelajaran: “Cara memberikan kepada manusia kejalan yang lurus” dan memberikan pula tuntunan kepada mereka untuk mengikuti agama yang benar dan lurus”, Sebagaimana yang terkandung dalam Surat Al ‘Alaq ayat 1-5 yang berbunyi: Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. (CD Digital Qur’an Inwordl 2003) Kata Iqra’ dibacakan sampai tiga kali oleh Malaikat Jibril a.s, kepada Muhammad dikarenakan beliau adalah “Ummy”. Dan bahwa yang membawakan wahyu itu adalah Malaikat Jibril a.s, juga telah ditetapkan oleh nash yang shahih dalam Al Qur’an, yakni, Firman Allah SWT: Artinya: “Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan,dengan bahasa Arab yang jelas”. (CD Digital Qur’an Inwordl 2003). Sebelum wahyu itu turun, telah datang tanda-tanda dan isyarat, wahyu telah dekat dan sebagai bukti kenabian untuk Rasul yang mulia. Bahwa setiap mimpi Rasul SAW terjadi dalam kenyataan dan terbukti cocok, mimpi benar (Arrul’ Yaa Ash haadiyah). Dan wahyu itupun sempat terputus selama tiga tahun, karena itu Muhammad SAW menyiapkan diri untuk kembali bertahanus, untuk mendapatkan kebenaran yang sebenarnya serta untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Demikianlah wahyu pertama dan sekaligus turunya Al Qur’an yang permulaan (Nur, 1988: 20). 1. Penobatan Muhammad Saw menjadi Rasul Riwayat Hidup Muhammad SAW, sebelum kenabian; a) Baik dari lingkungan rumah tangga; lantaran semasa Muhammad SAW, masih dalam kandungan ibunya 2 bulan, ayahnya meninggal dunia dan semasa beliau berusia 6 bulan, ibunya meninggal dunia. Kemudian beliau diasuh oleh kakek dan pamannya yang hanya bersifat pengayoman, karena semasa kanak-kanak beliau tidak mendapatkan pendidikan belajar melainkan mengikuti pamannya berpergian (berdagang). b) Baik dari lingkungan pendidikan sekolah, lantaran masa itu adalah masa pra sejarah Islam (Jahiliyah), belum ada tata agama dan tata masyarakat, yang ada masyarakat penyembah berhala-berhala. c) Baik dari lingkungan masyarakat, lantaran beliau semasa belum menerima keangkatan menjadi Nabi dan Rasul, beliau ‘Uzlah; menjauhkan diri dari masyarakat di Gua Hira’ mengerjakan ibadah kepada Allah SWT. Sampailah beliau menerima keangkatan menjadi nabi dan rasul. Meskipun Muhammad SAW tidak ada pendidikan dari lingkungan tersebut, namun beliau tumbuh bertambah besar baik badan, akal maupun peradabannya serta sempurna, sehingga dikenal oleh masyarakat penduduk Makkah bahwa beliau “Orang terpercaya /Al Amin” (Amali, 1986: 40). Sehingga jelaslah bahwa pendidikan Muhammad SAW, itu semata-mata adalah pendidikan dari Tuhan Yang Maha Esa dan pemeliharanya secara langsung. Muhammad SAW dilahirkan ke dunia ini berbeda dengan kebanyakan manusia biasa, perbedaannya antara lain: a) Beliau orang yang sempurna, sedang umum manusia kurang sempurna b) Beliau meng-Esakan Tuhan Yang Maha Esa, sedang umum manusia menyekutukan-Nya c) Kepercayaannya benar, sedang umum manusia mengikuti angan - angan. d) Beliau mencetak atas kebaikan, sedang umum manusia bodoh menyimpang dari kebaikan. e) Beliau tumbuh dalam keadaan anak yatim-piatu, beliau hidup dalam kemandirian, pekerja keras dan kesederhanaan serta tumbuh cinta menyendiri, beribadah bermunajat kepada Allah. f) Akhlaq beliau adalah terbaik, beritanya jujur, dan kepercayaannya yang terbesar. Pada pokoknya akhlaq beliau telah tercipta atas perbuatan-perbuatan yang baik-baik, lagi tercetak atas praktik - praktik yang baik pula. Oleh karena Allah telah melindungi beliau sejak dari kecilnya dari pada segala perbuatan-perbuatan jahili yang menyimpang dengan syari’at Islam yang dibawanya. Dengan diturunkannya wahyu Allah SWT pertama adalah Surat Al Alaq ayat 1-5, merupakan “Peresmian ( Muhammad SAW ) sebagai Nabi dan Rasul Allah SWT”. Adapun tugas keangkatan kenabian dan kerisalahan tercermin pada kandungan lima ayat, dalam wahyu yang pertama ini adalah perbaikan agam, politik, sosial dan ekonomi yang sudah rusak, diantaranya : (Amali, 1986: 46-47) yaitu : Ayat 1 Titah pemberantasan: “Buta Huruf” dengan tujuan untuk mengenal : “Ada” Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT. Pencipta dan Pemelihara Alam Semesta hak milik mutlak-Nya. Ayat 2 Perbaikan: “Susunan masyarakat” dari “Susunan masyarakat Pra Sejarah Islam” ke “Susunan masyarakat Islam” yang bentuk haluannya: “Keadilan Sosial” yang menjamin “Syari’at Islam”. Sehingga jadilah ia menjadi sebagai; “Dasar” yang resmi untuk; “Kehidupan Keagamaan” dan “Kehidupan Keduniaan” bagi negara. Ayat 3 Titah: “Ber-management”; bertatalaksana dalam cara memperoleh dan menggunakan nikmat pemberian Allah, baik yang bersifat abstrak maupun bersifat konkrit. Karena : a) Sehubungan dengan alam semesta ini adalah: “Hak milik mutlak-Nya”, maka pemberian nikmat kepada makhluk-Nya manusia adalah merupakan hak milik kiasan/hak milik pertaruhan/hak milik amanat Tuhan Yang Maha Esa/ sehingga cara memperoleh dan mengenakannya wajar harus melalui saluran tata tertib hukumnya yaitu “Halal dan Haram”. Jadi cara memperoleh dan mengenakan hak milik kiasan itu tidak bebas sepenuhnya tunduk kepada kemauan seleranya, rasa kepuasan “Hanya Aku” b) Ketidak bebasannya itu sehubungan dengan nilai-nilai keseimbangan: - Keseimbangan diantara : rasa dan rasia - Keseimbangan diantara : kehidupan agama dan kehidupan dunia - Keseimbangan diantara : naluri hayati dan pembatasan menurut syariat Islam Ayat 4 : peraikan kebudayaan a) Kebudayaan dalam lapangan kerohanian yang plural b) Kebudayaan dalam lapangan kebendaan Ayat 5 : mengadakan penyelidikan dalam bidang ilmu pengetahuan Begitu pentingnya posisi ilmu pengetahuan, sehingga nabi mewajibkan kita semua untuk mencari ilmu pengetahuan. Dalam haditsnya beliau bersabda: “Mencari ilmu itu diwajibkan bagi setiap orang Islam laki-laki dan perempuan” dan “Carilah ilmu sampai negeri Cina” Selain menjunjung tinggi ilmu pengetahuan, Islam juga sangat menjunjung tinggi orang yang berilmu: Firman Allah SWT: Artinya: “Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (CD Digital Qur’an Inwordl 2003) Wahyu dari Allah SWT, sempat terputus selama tiga tahun. Kemudian beliau dengan persediaan yang cukup mulai bertahanus di Gua Hira’ untuk menyambung wahyu. Setelah Rasulullah SAW, menerima wahyu pertama, surat Al ‘Alaq ayat 1-5 (peresmian kenabian dan kerasulan Muhammad SAW), kemudian wahyu berikutnya adalah surat Al Muddatstsir ayat 1-7; berdakwah menyiarkan agama Islam, yang bunyinya: Artinya : “Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringata , dan Tuhanmu agungkanlah , dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak, dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah” (CD Digital Qur’an Inwordl 2003). Pada wahyu yang kedua ini tersimpul: “Tema Da’wah Rasulullah SAW” yang diperintahkan Allah SWT dalam garis besarnya sebagai berikut; sikap berdakwah harus tegas dan tegak berdiri di atas yang benar. 1. Sikap berdakwah harus tegas dan tegak berdiri di atas yang benar 2. Pengakuan atas ke-Esaan dan Kekatan Tuhan Allah SWT 3. Memisahkan peribadatan dan pekerjaan hanya kepada Allah SWT 4. Kebersihan pakaian dari najis baik yang konkrit maupun yang abstrak 5. Tahan uji dari pada mala petaka/ujian yang menimpa pada dirinya dalam melaksanakan perintah-perintah Tuhannya. Dari dua wahyu tersebut di atas dapat diartikan sebagai berikut: Bahwa “Agama” yang didakwahkan Rasulullah SAW, itu: Pertama : Mengenai “Dasar-hidup”, yaitu ayat 1 surat Al ‘Alaq tersebut segi agama (keyakinan dan kepercayaan “Ketuhanan Yang Maha Esa”). Kedua : Mengenai cara-cara hidup bernegara dan bermasyarakat, segi politik, sosial dan ekonomi, ayat 2 sampai ayat 4. Bagian kedua ini dilaksanakan pelaksanaannya dalam dua tahap, yaitu : 1. Pembentukan “Pribadi muslim” sebagai unsur mutlak bagi pembentukan masyarakat Islam di Madinah yang plural 2. Pembentukan “Masyarakat Islam” dari “Masyarakat Pra sejarah Islam” melalui dasar “Syari’at Islam” 2. Pribadi Muslim Secara ringkas, adalah “Hak kepribadian seseorang, yaitu hukum kemauan sendiri, hanya Aku” tunduk dan menyerah kepada perintah Allah dan menjauhi diri dari pada larangan-Nya sebagai “Dasar hidup-nya sehari-hari. Dalam membentuk pribadi muslim tidak ada unsur paksaan dan menakut-nakuti karena telah jelas jalan benar dan jalan yang salah dalam agama Islam. Apabila umat muslim benar-benar berkepribadian Islam, maka kehidupan di dunia dan akhirat mendapat kebahagiaan. Menurut Amali (1986: 56), organisasi dakwah Islamiyah Rasulullah SAW meliputi: 1. Tujuan dakwah : Pembentukan pribadi muslim ialah mengembalikan manusia kepada : “Program perjanjian setia akan pengakuannya terhadap: Keesaan Allah Tuhan Pencipta dan Pemeliharanya”. Dengan membentuk pribadi muslim maka pembentukan masyarakat Islam dapat terlaksana; unsur mutlak baginya. 2. Jangka waktu dakwah : 12 tahun 5 bulan 13 hari semasa Rasulullah SAW, di Makkah sejak menerima keangkatan kenabian dan kerisalahan sampai hijrah ke Madinah. 3. Metode dakwah : a) Sehubungan dengan : 1) Agama Islam adalah agama fitrah 2) Memperhalus budi pekerti 3) Menyeru akan perbuatan yang mendekatkan diri kepada Allah SWT 4) Mencegah segala perbuatan yang menjauhkan diri dari Allah SWT b) Sedangkan keadaan masa yang menjadi objek dakwah adalah : 1) Agama watsa; agama yang menyembah berhala-berhala 2) Budi pekertinya terikat oleh “Pengaruh kekuasaan” dan “Kesombongan” yang menyebabkan perselisihan dan pertempuran ditambah dengan iklimnya yang panas, maka lantaran persoalan yang kecil bisa menjadi pertempuran. 3) Membunuh anak-anaknya karena takut kefakiran 4) Mengubur anak-anak perempuan karena takut aib (cacat kehormatannya) . B. Dakwah Islam Periode Mekah 1. Proses Dakwah a) Proses dakwah secara diam-diam Mula-mula Rasulullah SAW mengajarkan islam atau berdakwah di mekah secara diam-diam; sembunyi-sembunyi, dalam masa + 3 tahun. Mula-mula dakwah ditujukan kepada anggota keluarga maupun kerabat terdekat (Dahlan, 1990 : 370) Firman Allah SWT : Q.S.Asy-Syu’araa : 214: Artinya: “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat” (CD Digital Qur’an Inwordl 2003). Setelah mendengar dakwah Rasulullah SAW, Abu Tholib menyatakan tidak sanggup meninggalkan agama peninggalan nenek moyang (penyembuhan terhadap berhala). Sejak peristiwa tersebut islam menjadai bahan perbincangan disegala penjuru. Beberapa orang ingin mengetahui apa sebenarnya agama islam itu. Sementara itu tokoh-tokoh quraisy seperti Abu Lahab (Abdul Uzza) , Abu Jahal dan Abu Soffyanselalu berusaha menghalangi masuknya agama islam yang dibawa oleh beliau (Amali, 1986 : 60) Rasulullah SAW memulai dakwahnya kepada orang-orang yang diharapkan kepadanya kebaikan dari sanak kerabat terdekat. Maka orang pertama yang beriman kepada Allah SWT sesuai apa yang didakwahkanya, antara lain : 1. Khadijah (istri nabi Muhammad SAW); orang pertama yang beriman atas kerosulan nabi Muhamad SAW. 2. Putri-putrinya ; Zaenab, Ruqayyah, Ummu Kultsun dan Fatimah 3. Saudara sepupunya; Ali bin abi tholib 4. Hamba sahayanya ; Zaid bin Haristsah, lalu dimerdekakan 5. Sahabat ; Abu Bakar bin Abi Qahafah ( namanya sebelum masuk islam ) seorang pemuka terpandang dan saudagar kaya dan dermawan. 6. Ustman bin Affan 7. Uzzubaer 8. Thalhah 9. Umar bin Yasir 10. Bilal bin Robah 11. Al Arqam bin Abil – Arqam ; pemilik rumah dilorong dekat masya’ Aris-Shafa, yang digunakan sebagai tempat pendidikan perkuliahan ; madrasah pertama dalam sejarah islam. Selama Rasulullah SAW berdakwah di Mekah beliau hanya berperan sebagai rosul penyampai wahyu. Beliau menyeru orang perorang. Jalanya dakwah sangat lambat, dari jumlah sedikit orang- orang mekah. Hanya beberapa orang saja yang berasal dari kelompok elit yang memeluk agama islam (the ruling class) (Shiddiqi, 1996 : 84 ) b) Proses Dakwah terang-terang dalam masa dalam masa + 7 tahun. Firman Allah : Q.S Al-Hijr : 94 Artinya : “Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” (CD Digital Qur’an Inwordl 2003) . Setelah turun ayat ini, Rasulullah SAW, menyampaikan dakwahnya kepada seluruh lapisan masyarakat kota Mekah yang pluralistik, dari golongan bangsawan sampai golongan budak serta pendatang kota Mekah yang mempunyai agama berbeda dan berbagai suku. Untuk berdakwah secara terang-terangan ini beliau mengamhil bukit “shofa” sebagai tempat dakwahnya. Rasulullah SAW. Menyampaikan dakwah dibukit Shofa selama dua kali, namun orangorang banyak yang mendustakanya. Sebagian ada yang menerima dan sebagian ada yang menolaknya dengan kasar. Rasulullah SAW bersabda : “Selamatkan diri kalian dari bahaya api neraka, sesungguhnya saya memberi peringatan kepada kalian dari siksa yang pedih.” Dan Abu-Lahab menjawab : “Binasalah hai Muhammad ! Adakah engkau mengumpulkan kami hanya untuk ini saja ? Sehubungan dengan hinaan Abu Lahap ini, maka turunlah surat Al Lahab sebagai berikut : Artinya: “Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan Sesungguhnya Dia akan binasa, tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan, kelak Dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak, dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar, yang di lehernya ada tali dari sabut”. (CD Digital Qur’an Inwordl 2003) . Sikap Rasulullah SAW, dalam dakwah Islam, meliputi; pertama, tidak terdapat sikap pribadi yang menuju sifat yang berlebih-lebihan dan memuji unuk kepentingan pribadinya dan gaya bicaranya simpatik (dapat diterima), kedua, dan tidak terdapat sikap pribadi sifat kemewah-mewahan menyebabkan orang terkejut dan mencegah akan manusia yang lemah (Amali, 1986: 57) . Adapun yang disampaikan Rasullah SAW, dalam dakwahnya adalah ajaran islam, antara lain: a) mengajak manusia hanya menyembah Allah SWT dan meninggalkan kepercayaan menyembah berhala b) Mengajar tetang adanya hari kaimat; hari pertanggung jawaban semua masnuai atas semua perbuatannya c) Mengajarkan akhlaq yang terpuji serta menjauhkan diri dari perbuatan tercela d) Mengajarkan persamaan derajat diantara manusia, karena pada umumnya derajat manusia di mata Allah SWT itu sama pembedanya adalah iman dan taqwa Pada waktu itu orang-orang Islam di Makkah jumlahnya masih sedikit. Agama Islam dianggap sebagai ancaman oleh suku Quraisy (suku bangsa Arab yang terpandang dan terhormat di Makkah), karena mereka menolak ajaran yang dibawa Rasulullah SAW. Banyaknya penolakan yang dilakukan dengan kekerasan. Dakwah Islamiyah di Makkah oleh Rasulullah SAW adalah perjalanan dan perjuangan yang berat karena bermula membentuk manusia-manusia muslim pertama yang merupakan minoritas tertindas dan membutuhkan bimbingan moral, dan bukan perundang-undangan sosial yang mereka tidak dapat menerapkannya, akan tetapi usaha keras atas penolakan ajaran Islam tidak menyurutkan dakwah Islamiyah oleh Rasulullah SAW (Sjadzali,1990: 8). 2. Hambatan-hambatan dakwah Sehubungan dengan semakin banyaknya orang di Mekah yang masuk Islam, karena rasa ketertarikan dengan akhlaqul karimah yang diajarkan Islam, persamaan dan persaudaraan yang tulus serta perikemanusiaan, mereka (kaum Quraisy) memakai jalan kekerasan untuk menghalangi dakwah Rasulullah. Apalagi ketika mereka melihat Rasululllah SAW, giat berdakwah selain itu mereka juga melakukan penangkapan dan penyiksaan. Bilal bin Robah merupakan orang yang mendapat siksaan yang kejam, dengan cara diikat, dijemur (panas matahari), dadanya ditindih dengan batu besar dan dicambuk. Sahabat yang lain adalah Usman bin Mazam dipukul kepalanya sehingga matanya rusak sebelah. Meskipun demikian hal ini tidak menjadikan surutnya kaum muslimin untuk berdakwah mereka menyadari bahwa ajaran Rasululllah SAW adalah benar dan kemudian Islam sehingga pengikut-pengikutnya semakin bertambah banyak. Dan prospek dakwah Rasululllah SAW adalah dengan menyelenyapkan penyembahan terhadap material (berhalaberhala) akibatnya timbul permasalahan (tuntunan), antara lain (Amali: 1986: 56- 67) a) Tuntutan supaya Rasululllah SAW menghentikan celaan terhadap tuhan-tuhan mereka (berhala) dan menghentikan mencaci nenek moyangnya tuntutan ini dilakukan dengan pergi kepada paman Rasululllah Saw, Abu Thalib, pelindungnya namun tuntutan mereka ditolak oleh Abi Tholib dnegan bijaksana. Dan Rasululllah SAW terus berdakwah. b) Mengajukan protes atas kelangsungan Rasululllah SAW dalam berdakwah dengan pergi kepada Abu Thalib kedua kalinya karena sikap Rasululllah SAW yang tidak ada perubahn dan terus berdakwah mereka berkata: “Kami tidak sabar lagi mendengar dakwah Rasululllah Saw” Abu Thalib tidak menghentikan proses dakwah Rasululllah SAW c) Mereka mengajukan protes ke tiga kalinya dengan membawa pemuda bernama Umar bin Alwalid kepada Abu Thalib sebagai pengganti Rasululllah SAW (hendak mereka bunuh) tuntutan ini tetap ditolak Abu Thalib. d) Mereka datang lagi kepada Abu Thalib untuk memilih tiga alternatif yang harus dipilih Rasululllah SAW antara lain: 1) Jika terdapat padanya penyakit urat saraf, mereka bersedia membiaya semua ongkos pengobatan dan perawatan 2) Jika ia suka harta benda mereka akan kumpulkan baginya secukupnya 3) Jika ia suka kedudukan (tahta) maka akan diangkat menjadi kepala pemerintahan dan mereka memiliki hak persoalan menjadi hak miliknya Sehubungan dengan keteguhan dan ketegasan sikap Rasululllah SAW secara perwira dan kesatria maka Abu Thalib mempersilahkan beliau terus berdakwah menurut kehendaknya. Di antara orang-orang yang menghalangi dakwah Rasululllah SAW antara lain; pertama, Abu Jahal, Amran bin Hisyam bin Al Mughirah, Al magzumi Al Quraisy (pelopor pembunuh Rasululllah SAW) dia berusaha membunuh Rasululllah Saw dengan menghancurkan kepalanya dengan batu besar ketika beliau sujud dalam shalatnya namun usaha gagal karena Allah SWT senantiasa melindungi Rasululllah SAW dengan mengutus Malaikat Jibril a.s yangberubah menyerupai Onta, dengan berusaha mengikis batu yang akan jatuh di kepala Rasululllah SAW dan masih banyak lagi perbuatan Abu Jahal yang menyakiti hati Rasululllah Saw ketika hendak mengerjakan shalat di Baitullah. Sehubungan dengan kesombongan Abu jahal terpengaruh dunianya maka turunlah surat Al ‘Alaq ayat 15-19 yang berbunyi: Artinya: “Ketahuilah, sungguh jika Dia tidak berhenti (berbuat demikian) niscaya Kami tarik ubun-ubunnya, (yaitu) ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka, Maka Biarlah Dia memanggil golongannya (untuk menolongnya), kelak Kami akan memanggil Malaikat Zabaniyah, sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh kepadanya; dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan).” (CD Digital Qur’an Inwordl 2003) Kedua, Abu Lahab bin Abdul Muthalib (paman Rasululllah SAW) ia lebih sangat membenci Rasululllah SAW, layaknya bukan famili ia senang sekali melempari kotorankotoran ke pintu rumah Rasululllah SAW, demikian istrinya Ummu Jamil bin Haib bin Ummayyah tukang menyebar fitnah. Ketiga, Aqobah bin Mu’itah orang yang telah meludahi wajah Rasululllah SAW, sehubungan dengan itu turunlah wahyu Allah Surat Al Furqan 27-29 yang berbunyi: Artinya: “Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya, seraya berkata: "Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul", kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan sifulan itu teman akrab(ku), Sesungguhnya Dia telah menyesatkan aku dari Al Quran ketika Al Quran itu telah datang kepadaku. dan adalah syaitan itu tidak mau menolong manusia”. (CD Digital Qur’an Inwordl 2003). Keempat, Golongan yang suka mencemooh antara lain Al Ashy bin Wail Assahmi Al Quraisy, Ayah Amrun bin Al Ash, dia juga membenci Rasulullah SAW, saya berkata “Muhammad penipu teman-temannya bahwasanya mereka akan hidup kebali sesudah mati, demi Allah tidak ada yang membinasakan kita melainkan massa”. Keyakinan ini dibalas oleh Allah yang berbunyi; Artinya: “Dan mereka berkata: "Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa", dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja”. (CD Digital Qur’an Inwordl 2003). Selain empat orang tersebut di atas masih banyak lagi penghalan dakwah Rasulullah SAW, antara lain: Al Ashwaf bin Abdi Yaghuts, Assuhri Al Quraisy dari bani Suhrah, paman-paman Rasulullah SAW, dari ibu, Al Aswad bin Abdul Muthalib A Asadi anak perempuan ibu Khadjijah Al Walid bi Al Mughirah paman Abu Jahal, dan An Hadr bin Al Harits Al Abdary dari Bany ‘Abdid dari bin Qushaqy. Demikianlah orang-orang yang menghalangi dakwah Rasulullah SAW, mereka mengharuskan kepada tiap suku mengambil penangkapan terhadap famili-famili yang masuk Islam dengan penyiksaan yang keji. Mereka dihadapkan pada dua pilihan yakni mati atau ingkar pada Rasulullah Saw. Dan selain sahabat Bilal bin Robah ada Amr bin Yasir beserta keluarganya yang dibakar hingga meninggal dunia lantaran tidak mau ingkar kepada Rasulullah SAW (Amali, 1986: 69-75). 3. Peristiwa Isra’ Mi’raj Pada tanggal 27 Rajab tahun ke XI dari kenabian (621 M) Rasulullah SAW melakukan Isra’ dan Mi’raj. Sehubungan dengan masa perjuangan dakwah Islam yang masih membutuhkan waktu lama dan ketekunan, sedangkan reaksi musuh semakin bertambah kejam, maka Allah SWT mengijinkan Rasulullah SAW untuk “Isra” dan “Mi’raj”. 10 tahun Rasulullah SAW memperjuangkan “Pola dasar pembangunan garis besar haluan negara” bersumber Al-Quran, yaitu pembentukan: “Pribadi Muslim” di Mekah unsur mutlak bagi pembentukan “ Masyarakat Islam” di Madinah. a) Isra’ ialah perjalanan Rasulullah SAW diwaktu malam hari dari masjidil haram di Mekah ke masjidil Aqsha di Palestina. Setibanya beliau di masjidil Aqsha bertemu dengan Nabinabi dan Rosul-rosul pendahulunya. Disana mereka menyambut kedatangan beliau sebagai Nabi terakhir. Kemudian mereka berjamaah sholat yang diimami oleh beliau sendiri. 1) Thoybah (Madinah), tempat beliau akan hijrah dari mekah di kemudian kemudian hari untuk melanjukan kewajiban sebagai Rasulullah (berdakwah). Dari sanalah cahaya Islam akan memancarkan ke seluruh pelosok permukaan bumi. 2) Madyat, tempat dimana ayah beliau; Abdullah meninggal dunia dalam perjalanan pulang dari Syam kembali ke Mekah. 3) Thursina, bukit terkenal dekat negeri Syam, di bukit ini Nabi Musa a.s bermunajat kepada Tuhan Yang Maha Esa. 4) Baetil- Lahmi, dekat baetil-Naqdis (masjidil Aqsha), tempat kelahiran Nabi Isa as (Tanpa bidan). Dalam perjalanannya, beliau juga mendapat pengetahuan tentang perlambang dari pada keanekaragaman jenis siksaan atas umat sesuai dengan dosa yang diperbuat semasa hidup, serta tentang perlambang daripada godaan iblis yang menyesatkan manusia. Berkat sebelum Isra’ Beliu mendapat operasi mental di dadanya, setelah hatinya suci dari darah hitam (bagian setan) kemudian diisikan padanya hikmah keimanan oleh malaikat Jibril زa.s yang dibantu oleh malaikat Mikail a.s, sehingga hati beliu penuh dengan ketabahan, keyakinan, pengetahuan, dan berserah diri terhadap Kholiq-Nya Allah SWT; kemudian cap kenabian di belikatnya yang berbunyi “ Khatamun- Nabiyyin ( Penutup Nabi-nabi) (Amali; 1986:90) b) Mi’raj ialah Rasulullah SAW, naik kealam atas tingkat IX (Mustawa), ditingkat ke VIII, dibawahnya (Muntaha), diatasnya tingkat X (Arasy, Luasnya tujuh lapis langit dan bumi). Sungguh Betapa besar kekuasaan Tuhan YME, Allah SWT. Jarak jauh dari alam bawah kealam atas di dalam Al-Quran: jarak jauh langit dan bumi: Surat Assajdah ayat 5 : 1000 tahun jarak jauh dari alam bawah ke sisi serambi Arasy: surat Al-Ma’arif ayat 4 : 50.000 Tahun . Setelah Rasulullah menjadi imam sholat tersebut diatas, kemudian Beliau mendapat suguhan 3 jenis minuman; Air, Arak, Susu. Dan diambilah Susu sebagai minumannya, sebagai perlambang agama Fithrah yaitu agama Islam. Susu merupakan minuman yang mengandung gizi bernilai tinggi, demikian dengan agama Islam merupakan bahan makanan rohani yang mengandung keimanan yang tinggi nilainya. Rasulullah Saw sesampainya dialam atas VIII (sidratil Muntaha) Mi’raj dari alam bawah (Masjidil Aqsha) disertai malaikat Jibril a.s. dan beliau terus Mi’raj kealam atas IX (Muntawa) tanpa disertai malaikat Jibril a.s. di sanalah beliau menerima kewajiban sholat 5 waktu. Semua sholat 5 waktu di wajibkan 100 rakaat, 5 waktu = 20 rekaat tiap-tiap waktu, kemudian mendapat keringanan menjadi 17 rekaat yaitu: 2 rekaat sholat Shubuh, 4 rekaat sholat zhuhur, 4 rekaat sholat Ashar, 3 rekaat sholat Magrib, dan 4 rekaat sholat Isya’. Berarti umat muslim Rasulullah Saw mohon keringanan 83 rekaat keringanan ini berkat nasehat Nabi Musa a.s bahwa umatnya tidak akan kuat mengerjakan 100 rekaat dalam sholat, sebaiknyalah memohon keringanan kepada Allah SWT. Kemudian Rasulullah SAW mohon keringanan dan permohonannyapun dikabulkan; seperti yang tersebut di atas. (Amali 1986:96) Peristiwa besar Isra’ dan Mi’raj kebanyakan orang tidak mempercayainya kecuali abu bakar “As-Shiddiq”; orang yang membenarkan; gelar dari Rasulullah SAW. Sedang fungsi dari sholat ialah meninggikan derajat naluri hayati/ selera/ nafsu dari derajad kehewanan ternak (rasa kepuasan/ rakus) dan kehewanan buas (hanya aku/ kesombongan) ke derajad manusia yang sempurna “manusia Yang Taqwa kepada Allah SWT” selain sholat lima waktu juga diwajibkan atas umat muslim untuk mengerjakan puasa, zakat, dan ibadah haji (bagi yang mampu). Sebab terjadinya Isra’ dan Mi’raj meliputi beberapa aspek antara lain: a) Sepanjang masa 10 tahun SAW, memperjuangkan “pola dasar pengembangan garis besar haluan negara bersumber Al-Quran” yaitu pembentukan “Pribadi Muslim” dimekah yang absolut bagi pembentukan: “ masyarakat Islam” di Madinah. Kemudian beliau senantiasa mendapat reaksi dari kaum Musyrikin Quraisy yang sengit dan menyakitkan hati, terlebih setelah wafatnya dua orang yang disegani; Ibu Khadijah (Istri Beliau) dan Abi Tholib (Paman Beliau). b) Sehubungan pula dengan masa pejuangan dakwah Islam masih membutuhkan waktu lama dan ketekunan, sedangkan reaksi dari musuh semakin hari semakin bertambah sengit, maka atas idzin Allah SWT beliau mengerjakan “Isra’ dan Mi’raj”, demi untuk memperkebal dan memperteguh hati Beliu dalam menghadapi reaksi musuh - musuhnya. Dari Isra’ dan Mi’raj ini, Beliau akan mendapatkan kesan - kesan yang bermanfaat bagi perjuangannya, yaitu bahwa “kenyataan bukti-bukti keesaan dan kekuasaan Tuhan yang mengutus beliau itu, beliau dapat membuktikan dengan mata kepala sendiri dan Alam Ghoib dan Alam Atas, betapa Agung-Nya. c) Beliau akan menerima kewajiban sholat lima waktu di Mustawa langsung dari Tuhan Yang Maha Esa Allah SWT. Yang fungsinya merupakan: “Pendidikan batin/ jiwa” C. Dakwah Islam Periode Madinah 1. Peristiwa Bai’at Aqabah I dan Ke II Pada tahun ke XI dari permulaan kenabian (bitsah), merupakan suatu peristiwa yang tampaknya sederhana, tetapi yang merupakan titik awal lahirnya suatu era baru bagi Islam dan juga bagi dunia. Yaitu perjumpaan Rasulullah SAW. Dengan enam oranga dari kabilah/suku khazraj, yathrib (Madinah) di “Aqabah Mina” yang datang ke mekkah untuk ibadah haji. Secara bersama-sama mereka masuk ke “Aqabah Syi’ib” yang dekat dengan Aqabah Mina, dan sebagai hasil perjumpaan itu, enam tamu dari yathrib itu masuk Islam dengan memberikan kesaksian bahwa “Tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah”. Sebab lain dari masuknya Islam ke enam orang itu dalah sehubungan dengan mereka adalah penduduk Yathrib, yang mana mereka bertetangga dengan orang-orang yahudi; yang kerap kali mereka menerangkan sifat-sifat Nabi terakhir yang akan datang. Kemudian mereka melihat sifat-sifat itu; akhlaq yang terpuji dan selalu terpelihara serta menjadi panutan terbaik, serupa dengan sifat-sifat Nabi Muhammad SAW yang mereka temui. Sementara itu kepada Nabi mereka menyatakan bahwa kehidupan di yathrib selalu dicekam oleh permasalahan yakni permusuhan antar golongan dan antar suku khususnya khazraj dengan suku Aus. Harapan mereka adalah semoga Allah mempersatukannya melalui Nabi, dan mereka juga berjanji kepada Nabi akan mengajak penduduk yathrib untuk masuk Islam. Pada musim haji tahun berikutnya, tahun ke XII bi’tsah dua belas orang laki-laki penduduk yathrib; 10 orang dari kabilah khazraj dan 2 orang dari kjabilah Aus, datang menemui Nabi ditempat yang sama di bukit Aqabah dan berkumpul di Aqabah Syi’ib. mereka menerima dakwah Rasulullah Muhammad SAW. Kemudian mereka berbai’at (berjanji kepada Nabi bahwa mereka tidak akan mempersekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berbuat zina, tdak akan berbohong dan tidak akan mengkhianati Nabi serta menjauhi perbuatan kebathilan/ kemungkaran lainnya. Kedua belas orang yang masuk Islam ini adalah merupakan “Bibit Anshar”dan kemudian Rasulullah SAW mengatakan bahwa jika bai’at ini dilaksanakan maka surga sebagai imbalanya, dan jika mengingkarinya maka siksa neraka adalah balasannya dan apalagi Allah menghendaki memberikan Ampunan niscayalah ysng diterima itu terlepas dari pada siksaan “Bai’at ini dikenal dalam sejarah sebagai “Bai’at Aqabah Pertama” (Sjadzali, 1990: 8) Kemudian pada tahun ke XIII bi’sah, musim haji berikutnya sebanyak 73 orang penduduk Yathrib ; 62 orang dari kabilah khazraj dan 11 Orang dari kabilah Aus yang diantaranya terdapat dua orang wanita dari arab Madinah, yang sudah memeluk agama Islam berkunjung ke Mekah untuk ibadah haji. Di samping itu mereka semua mengundang Rasulullah untuk hijrah ke Yathrib dan menyatakan lagi pengakuan mereka bahwa Rasulullah SAW adalah Nabi dan pemimpin mereka. Nabi menemui tamu-tamunya itu ditempat yang sama dengan 2 tahun sebelumnya, Aqabah. Di tempat itu mereka mengucapkan bai’at bahwa mereka akan setia dan membela, melindungi Nabi sebagaimana mereka melindungi anak dan istrinya, ikut berjuang membela Islam dengan harta dan jiwanya, serta berusaha memajukan agama Islam dengan meyakinkan kepada kerabat-kerabatnya. Bai’at ini dikenal dengan “Bai’at Aqabah kedua ; Bai’at – Kubra”. Berdasarkan dua bai’at di atas merupakan jaminan terlaksananya dakwah di yathrib. Sejak saat itu berangsur-angsur kaum muslimin Mekah hijrah ke Yathrib secara diam-diam agar tidak diketahui oleh orang-orang kafir Quraisy. Tujuan hijrahnya adalah untuk memperoleh penghidupan yang layak selain untuk dakwah islamiyah dan beberapa bulan kemudian Nabi Muhammad sendiri hijrah bergabung dengan mereka (Sjadzali, 1990 : 9) . Hijrahnya umat muslim mekah ke Yathrib menimbulkan agama Islam di Yathrib mengalami kemajuan pesat sehingga hal ini menggelisahkan kaum musrikin Quraisy di Mekah. Kemajuan ini berkat setelah bai’at kubra sebanyak 12 orang pilihan dari mereka yang sebanyak 73 orang dilantik Rasulullah SAW. Sebagai “Naqaba” (Kepala regu dari satu organisasi). Dalam rapat-rapat “adhoknya” kaum musyrikin Quraisy di Mekah mengambil keputusan bahwa “Muhammad harus di bunuh” dengan jalan rumahnya diblokir oleh angkatan muda yang terlatih dari tiap-tiap suku dan diorganisir sedemikian rupa agar rencana agar pembunuhan itu tidak bocor keluar. Namun siasat mereka sia-sia belaka lantaran Rasulullah SAW dapat meloloskan diri dari kepungan mereka yang sangat ketat. Yaitu beliau keluar dari rumahnya dan didampingi oleh Abu Bakar dalam keadaan malam yang gelap gulita. Mereka terpedaya oleh siasat Rasulullah yaitu beliau menempatkan sahabat Ali di tempat tidurnya. Kemudian dengan Abu Bakar beliau keluar dari rumahnya dan sembunyi di “Gua Tsur “, (8 jam pulang pergi dari Mekah dengan berjalan kaki). Pada saat mereka tidak menemui Rasulullah di tempat tidurnya, hal ini menimbulkan amarah. Kemudian mereka mencarinya dan mengeluarkan Ma’lumat: “Barang siapa yang dapat menangkap Muhammad akan mendapatkan 100 ekor onta”. Kemudian sampailah mereka didepan Gua Tsur. Karena rasa khawatir sahabat Abu Bakar menangis dan tangisannya terhenti setelah Rasulullah SAW berkata bahwa “Allah bersama kita, jangan khawatir”. Dan ternyata mereka selamat lantaran mereka tidak melihatnya padahal kaki mereka persis di mulut Gua Tsur. Maka timbulah keyakinan umat muslim bahwa Allah SWT senantiasa melindungi orang-orang yang beriman (Amali, 1986: 114-115) Rasulullah SAW beserta sahabat Abu Bakar berdiam di Gua Tsur selama tiga hari: Jum’at, Sabtu dan Ahad, karena pada siang hari waktu zhuhur hari kamis beliau sempat memberitahukan kepada sahabat Abu Bakar bahwa beliau dijinkan Allah pindah ke negeri Madinah. Rasulullah SAW dalam perjalanannya ke Thaif beliau dikejar oleh Suraqah bin Malik Al Mujladi (kaum quraisy yang melihat dan ingin membunuhnya). Dalam pengejaranya ia tersungkur dua kali dan setelah dekat dengan Rasulullah SAW kedua kaki kudanya terhunjam kedalam tanah sampai pula pada batas lututnya, tetapi ia berusaha keras untuk mengangkat kudanya, sehingga ia dapat pula mengejar Rasulullah SAW namun ia terhalang oleh debu yang turun dari langit, bagaikan asap sehingga pada akhirnya ia ketakutan dan putus asa mengejar terus Rasulullah SAW lalu ia lepaskan. Sesampainya di Thaif Rasulullah SAW disambut oleh sahabat Anshar dengan hormat. Beliau mengambil rumah sahabat Sa’ad bin Khaitsamah sebagai “Majlis Umum” untuk memberikan petunjuk dan pelajaran sedang sahabat Abu Bakar masuk ke “Sanha” (tempat perkemahan) di negeri Madinah. Dan pada hgari jum’at beliau pindah ke Madinah setelah empat hari bermukim di Thaif. Untuk pertama kalinya dengan para sahabat Anshar dan Muhajirin sholat jum’at di masjid Bani Ayyub, dan disitu beliau mengambil tempat kediaman sampai beliau di Madinah untuk sementara (Amali, 1986: 116) 2. Hijrah Ke Madinah Rasulullah SAW meninggalkan Gua Tsur dalam perjalanan menuju kota Yathrib pada tanggal 12 Robiul-Awal, tahun pertama hijrah atau 20 Jum tahun 622 M, dan tiba di Yathrib maka kota itu diubah namanya menjadi Madinatur Rasulullah; Madinatur Munawarah, Madinah pluralitas terlihat pada komposisi penduduk Madinah yang didomisili oleh berbagai golongan, suku bangsa Arab dan bangsa Yahudi yang menganut agama dan keyakinan yang berbeda yaitu; kaum muslimin terdiri dari golongan suku Anshor dan Muhajirin, golongan Yahudi terdiri dari suku Qainuga, Banu Nadhir, dan Banu Quraizhah, serta golongan suku Aus dan Kharaj menganut keyakinan paganisme (penyembahan terhadap mahkluk selain Allah) (Azra, 2005: 98). Orang-orang Islam penduduk Asli Madinah disebut kaum Anshar yang terdiri dari suku Khazraj dan suku Aus; dua kabilah yang ternama dan dikenal pemberani. Awal sebelum masuk Islam terjadi konflik pluralis yaitu kedua suku ini selalu bersaing dan bermusuhan kemudian berubah menjadi persaudaraan yang kokoh karena tali agama dan ikatan iman selain kaum Anshor juga terdapat kaum Muhajirin; orang muslim yang datang dari mekah. Kehiduapan antar kaum ini berjalan harmonis dan saling membantu lantaran kehidupan mereka yang sulit dengan tekanan kaum kafir Quraisy dan tindakannya yang kejam. Dan untuk mencari penghidupan yang layak mereka hijrahke Madinah. Kedua kaum tersebut kemudian giat melakukan dakwah Islam, sehingga agama Islam semarak dan berkembang di Madinah. Langkah - langkah yang dilakukan untuk mencapai sasaran perjuangan dakwah bertujuan membentuk satu bermasyarakat bernegara. Oleh sebab, sesampainya Rasulullah SAW di Madinah keadaan orang-orang Islam menjadi kuat kedudukannya maka beliau segera memulai pekerjaannya yakni “Merencanakan dan melaksanakan, mendirikan pemerintahan masyarakat Islam dengan sistem keadilan sosial berkonsepsi Al-Qur’anul– Karim. Di Madinah Rasulullah SAW tidak hanya berperan sebagai pemimpin agama tetapi juga sebagai pemimpin masyarakat dan kepala negara. Beliau memberi teladan kepada umat manusia kearah pembentukan masyarakat pluralis berperadapan yang sebelumnya dikenal dengan masyarakat prasejarah. (Amali 1986:118) Hijrah memberi makna penting dan hikmah besar bagi perkembangan penyiaran Islam karena menandai awal era muslim. Hal ini dicapai sebagai hasil perubahan peranan taktik dan strategi ketika beliau masih berada dimekah dengan ketika itu beliau berada di Madinah. Di Mekah beliau hanya berperan sebagai Rosul penyampai wahyu. Isi peran yang disampaikan pada umumnya adalah masalah-masalah eskatologik; tentang harapan memperoleh imbalan pahala bagi yang beriman dan ancaman siksa neraka bagi yang tidak beriman. Rasulullah menarik garis tegak lurus antara yang mukmin dengan yang tidak yang berakibat timbul konflik. Pihak yang merasa terganggu ketenangannya dalam mengecap kenikmatan fisik. maupun yang abstrak yang telah diberikan oleh tatanan sosial dan budaya yang telah ada bangkit bereaksi Rasulullah di hina dan ajarannya di cemoohkan. Jalannya dakwah Islam sangat lambat. Dari jumlah sedikit orang-orang dimekah yang memeluk Islam hanya beberapa orang saja yang berasal dari kelompok elit (Shiddiri, 1996:84) 3. Piagam Madinah Piagam Madinah merupakan basis kajian untuk mendapatkan wawasan tentang sosial – politik – demokratik, karena hampir semua pengkaji sejarah Islam mengakui “bahwa” Piagama Madinah” merupakan instrumen hukum – politik yang membuat komunitas Islam dan non Islam. Saat itu menuai kebebasan dan kemerdekaan di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. Bahkan oleh sebagian pakar ilmu politik piagam ini dianggap sebagai konstitusi atau undang-undang dasar pertama bagi “Negara Islam” yang didirikan Nabi SAW di Madinah. Latar sosial – budaya masyarakat Madinah sangat majemuk, terbukti penduduknya terbagi ke dalam kelompok-kelompok etnik, ras dan agama yang berbeda. Pada umumnya faktor ini mendorong konflik yang tidak mudah diselesaikan, tetapi “Piagam Madinah” mampu menjadi perekat unitas dari pluralitas tersebut. Kepemimpinan Nabi Muhammad Saw adalah model yang paling ideal dan sempurna dari kepemimpinan abad ke 7 M karena keberhasilannya membangun pemerintahan Islam. Corak kemajemukan tersebut terlihat pada komposisi penduduk Madinah yang didomisili oleh berbagai golongan suku-suku Arab dan bangsa Yahudi yang menganut agama yang berbeda. Golongan suku-suku tersebut antara lain: golongan muslim yang terdiri dari Muhajirin dan Anshor, golongan Yahudi yang terdiri dari Banu Qainuqa, banu Wadhir, dan Banu Quraizhah, sedangkan golongan musyrik dan munafik adalah golongan Aus dan Khazraj tetapi sebagian dari mereka telah menjadi muslim, maka tidak apologetis, apabila piagam ini untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan semua unsur pluralisme menjadi satu bangsa yang menjunjung tinggi moralitas dan keadilan sosial atas dasar keimanan dan ketakwaan. Dalam konteks ini Islam tampaknya memang didesain untuk bisa menata kehidupan sosial yang pluralistik. Untuk mendapatkan isi/butirbutir Piagam Madinah, berikut dikutipkan naskah Piagam Madinah selengkapnya (Sjadzali, 1990: 10-16) Bismillahirahmanirrahim 1. Ini adalah naskah perjanjian dari Muhammad, Nabi dan Rasul Allah, mewakili pihak kaum Muslim yang terdiri dari warga Quraisy dan warga Yathrib serta para pengikutnya yaitu mereka yang beriman dan ikut serta berjuang bersama mereka. 2. Kaum muslimin adalah umat yang bersatu utuh, mereka hidup berdampingan dengan kelompok-kelompok masyarakat yang lain. 3. Kelompok Muhajirin yang berasal dari warga Quraisy dengan tatap memegang teguh prinsip aqidah, mereka bahu membahu membayar denda yang perlu dibayarnya. Mereka membayar dengan baik tebusan bagi pembebasan anggota yang ditawan. 4. Bani ‘Auf dengan tetap memegang teguh prinsip aqidah, mereka bahu membahu membayar denda pertama mereka. Setiap kelompok dengan baik dan adil membayar tebusan bagi pembebasan warganya yang ditawan. 5. Bani Al-Harits (dari warga Al Khazra) dengan teguh memegang prinsip aqidah, mereka bahu membahu membayar denda pertama mereka. Setiap kelompok membayar dengan baik dan adil tebusan bagi pembebasan warganya yang ditawan. 6. Bani Sa’idah dengan teguh memegang prinsip aqidah, mereka bahu membahu membayar denda pertama mereka. Setiap kelompok membayar dengan baik dan adil tebusan bagi pembebasan warganya yang ditawan. 7. Bani Jusyam dengan teguh memegang prinsip aqidah, mereka bahu membahu membayar denda pertama mereka. Setiap kelompok membayar dengan baik dan adil tebusan bagi pembebasan warganya yang ditawan. 8. Bani An Najjar dengan teguh memegang prinsip aqidah, mereka bahu membahu membayar denda pertama mereka. Setiap kelompok membayar dengan baik dan adil tebusan bagi pembebasan warganya yang ditawan. 9. Bani ‘Amr bin ‘Auf dengan teguh memegang prinsip aqidah, mereka bahu membahu membayar denda pertama mereka. Setiap kelompok membayar dengan baik dan adil tebusan bagi pembebasan warganya yang ditawan. 10. Bani An Nabit dengan teguh memegang prinsip aqidah, mereka bahu membahu membayar denda pertama mereka. Setiap kelompok membayar dengan baik dan adil tebusan bagi pembebasan warganya yang ditawan. 11. Bani Al Aus dengan teguh memegang prinsip aqidah, mereka bahu membahu membayar denda pertama mereka. Setiap kelompok membayar dengan baik dan adil tebusan bagi pembebasan warganya yang ditawan. 12. (a) Kaum Muslimin tidak membiarkan seseorang Muslim yang dibebani dengan utang atau beban keluarga. Mereka membari bantuan dengan baik untuk keperluan membayar tebusan atau denda. (b) Seorang Muslim tidak akan bertindak tidak senonoh terhadap sekutu (tuan atau hamba sahaya) Muslim yang lain. 13. Kaum Muslimin yang taat (bertakwa) memiliki wewenang sepenuhnya untuk mengambil tindakan terhadap seorang Muslim yang menyimpang dari kebenaran atau berusaha menyebarkan dosa, permusuhan dan kerusakan di kalangan kaum muslimin. Kaum muslimin berwenang untuk bertindak terhadap yang bersangkutan sungguhpun ia anak Muslim sendiri. 14. Seorang muslim tidak diperbolehkan membunuh orang Muslim lain untuk kepenntingan orang kafir, dan tidak diperbolehkan pula menolong orang kafir dengan merugikan orang muslim. 15. Jaminan (perlindungan) Allah hanya satu. Allah berada di pihak mereka yang lemah dalam menghadapi yang kuat. Seorang Muslim, dalam pergaulannya dengan pihak lain, adalah pelindung bagi orang Muslim lainnya. 16. Kaum Yahudi yang mengikuti kami akan memperoleh pertolongan dan hak bersama serta akan terhindar dari perbuatan aniaya dan perbuatan makar yang merugikan. 17. Perdamaian bagi kaum Muslim adalah satu. Seorang Muslim tidak akan mengadakan perdamaian dengan pihak luar Muslim dalam perjuangannya menegakkan agama Allah kecuali atas dasar persamaan dan keadilan. 18. Keikutsertaan wanita dalam berperang dengan kami dilakukan secara bergiliran. 19. Seorang Muslim, dalam rangka menegakkan agama Allah, menjadi pelindung bagi Muslim yang lain di saat menghadapi hal-hal yang mengancam keselamatan jiwanya. 20. (a) Kaum Muslimin yang taat berda dalam petunjuk yang paling baik dan benar. (b) Seorang musyrik tidak diperbolehkan melindungo harta dan jiwa orang Quraisy dan tidak diperbolehkan mencegahnya untuk berbuat sesuatu yang merugikan seorang Muslim. 21. Seorang yang ternyata berdasakan bukti-bukti yang jelas membunuh seorang Muslim, wajib dikisas (dibunuh), kecuali bila wali terbunuh memaafkannya. Dan semua kaum Muslimin mengindahkan pedapat wali terbunuh. Mereka tidak diperkenankan mengambil keputusan kecuali dengan mengindahkan pendapatnya. 22. Setiap Muslim yang telah mengakui perjanjian yang tercantum dalam naskah perjanjian ini dan ia beriman kepada Allah dan hari Akhri, tidak diperkenankan membela atau melindungi pelaku kejahatan (kriminal), dan barang siapa yang membela atau melindungi orang tersebut, maka ia akan mendapat laknat dan murka Allah pada Hari Akhirat. Mereka tidak akan mendapat pertolongan dan tebusannya tidak dianggap sah. 23. Bila kami sekalian berebda pendapat dlaam sesuatau hal, hendaklah perkaranya diserahkan kepada (ketentuan) Allah dan Muhammad. 24. Kedua pihak: Kaum Muslimin dan Kaum Yahudi bekerja sama dalam menanggung pembiayaan di kala mereka melakukan perang bersama. 25. Sebagai satu kelompok, Yahudi Bani ‘Auf hidup berdampingan dengan kaum Muslimin. Kedua pihak memiliki agama mansingmasing. Demikian pula dengans ekutu dan diri masing-masing. Bila di antara mereka ada yang melakukan aniaya dan dosa dalam hubungan ini, maka akibatnya akan ditanggung oleh diri dan warganya sendiri. 26. Bagi Kaum Yahudi Bani An Najjar berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi kaum Yahudi Bani ‘Auf. 27. Bagi kaum Yahudi Bani Al Harits berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi kaum Bani ‘Auf. 28. Bagi kaum Yahudi Bani Sa’idah berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi kaum Yahudi Bani ‘Auf. 29. Bagi kaum Yahudi Bani Jusyam berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi kaum Yahudi Bani ‘Auf. 30. Bagi kaum Yahudi Bani Al Aus berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi kaum Yahudi Bani ‘Auf. 31. Bagi kaum Yahudi Bani Tsa’labah berlaku ketentuan sebagaiamana yang berlaku bagi kaum Yahudi Bani ‘Auf. Barang siapa yang melakukan aniaya atau dosa dalam hubungan ini maka akibatnya akan ditanggung oleh diri dan warganya sendiri. 32. Bagi warga Jafnah, sebagai anggota warga Bani Tsa’labah berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi Bani Tsa’labah. 33. Bagi Bani Syuthaibah berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi kaum Yahudi bani ‘Auf. Dan bahwa kebajikan itu berbeda dengan perbuatan dosa. 34. Sekutu (hamba sahaya) Bani Tsa’labah tidak berbeda dengan bani Tsa’labah itu sendiri. 35. Kelompok-kelompok keturunan Yahudi tidak berbeda dengan Yahudi itu sendiri. 36. Tidak dibenarkan seorang menyatakan keluar dari kelompoknya kecuali mendapat izin dari Muhammad. Tidak diperbolehkan melukai (membalas) orang lain yang melebihi kadar perbuatan jahat yang telah diperbuatnya. Barang siapa yang membunuh orang lain sama dengan membunuh diri dan keluarganya sendiri, terkecuali bila orang itu melakukan aniaya. Sesungguhnya Allah memperhatikan ketentuan yang paling baik dalam hal ini. 37. Kaum Yahudi dan kaum Muslimin membiaya pihaknya masingmasing. Kedua belah pihak akan membela satu dengan yang lain dalam mengahadapi pihak yang memerangi kelompok-kelompok masyarakat yang menyetujui piagam ini. Kedua belah pihak juga saling memberikan saran dan nasihat dalam kebaikan, tidak dalam perbuatan dosa. 38. Seorang tidak dipandang berdosa karena dosa sekutunya. Dan orang yang teraniaya akan mendapat pembelaan. 39. Daerah-daerah Yatrib terlarang perlu dilingungi dari setiap ancaman untuk kepentingan penduduknya. 40. Tetangga itu kehormatan tidak dilingungi kecuali atas izin yang berhak atas kehormtan itu. 41. Sesuatu kehormatan tidak dilindungi kecuali atas izin yang berhak atas kehormatan itu. 42. Suatu peristiwa atau erselisihan yang terjadi antara pihak-pihak yang menyetujui piagam ini dan dikhawatirkan akan membahayakan kehidupan bersama harus diselesaikan atas ajaran Allah dan Muhammad sebagai utusan-Nya. Allah akan memperhatikan isi perjanjian yang paling dapat memberikan perlindungan dan kebajikan. 43. Dalam hubungan ini warga yang berasal dari Quraisy dan warga lain yang mendukungnya tidak akan mendapat pembelaan. 44. Semua warga akan saling bahu membahu dalam menghadapi pihak yang melancarkan serangan terhadap Yathrib. 45. (a) Bila mereka (penyerang) diajak untuk berdamai dan memenuhi ajakan itu serta melaksanakan perdamaian tersebut maka perdamaian tersebut dianggap sah. Bila mereka mengajak berdamai seperti itu, maka kaum Muslimin wajib memenuhi ajakan serta melaksanakan perdamian tersebut, selama serangan yang dilakukan tidak menyangkut masalah agama. (b) Setiap orang wajib melaksanakan (kewajiban) masing-masing sesuai dengan fungsi dan tugasnya. 46. Kaum Yahudi Aus, sekutu (hamba sahaya) dan dirinya masing-masing memiliki hak sebagaimana kelompok-kelompok lainnya yang menyetujui perjanjian ini, dengan perlakuan yang baik dan sesuai dengan semestinya dari kelompok-kelompok tersebut. Sesungguhnya kebajikan itu berbeda dengan perbuatan dosa. Setiap orang harus bertanggung jawab atas setiap perbuatan yang dilakukannya. Dan Allah memperhatikan isi perjanjian yang paling murni dan paling baik. 47. Surat perjanjian ini tidak mencegah (membela) orang yang berbuat aniaya dan dosa. Setiap orang dijamin keamanannya, baik sedang berda di Madinah maupun sedang berada di luar Madinah, kecuali orang yang berbuat aniaya dan dosa. Allah pelindung orang yang berbuat kebajikan dan menghindari keburukan. Muhammad Rasulullah SAW . BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian di muka, sebagai penutup pembahasan skripsi ini, penulis dapat mengemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Dakwah Islamiyah Rasulullah SAW Periode Mekah bertujuan membentuk pribadi dan muslim masyarakat Mekah dan Madinah. 2. Dakwah Islam Rasululah Periode Madinah bertujuan untuk mendirikan pemerintahan yang bersistem keadilan sosial dengan berlandaskan Al Qur’an sebagai kitab undang-undang dasar syariat Islam . Piagam Madinah adalah undang - undang dasar untuk mengatur kehidupan masyarakat di Madinah , di mana penduduknya plural yang terdiri dari berbagai suku , agama , golongan , maupun karakter ( latar sosial budaya yang berbeda ). 3. Kunci kesuksesan Rasulullah SAW dalam berdakwah , memimpin umat yaitu unsur keteladanannya , dan di antara keteladanannya adalah bersifat sidik , amanah , tabligh , fathonah , sebagai pemimpin yang tidak hubbudunia dan sangat penyayang , serta penolong bagi fakir miskin dan para anak yatim. B. Saran Saran Setelah mengkaji konteksualisasi dakwah Rasulullah menurut History Islam (membangun pluralisme periode Madinah) tentunya masih ada sisi-sisi lain yang belum bisa penulis tampilkan dalam penulisan skripsi ini, mengingat keterbatasan kemampuan yang dimiliki. Oleh karena itu saran penulis adalah : 1. Agar ada upaya lebih dalam untuk mengkaji sosok Rasul Muhammad SAW dan perjuangan dakwah Islamiyah, dalam membangun pluralisme di Madinah . 2. Diupayakan untuk menelaah nilai-nilai pluralisme dalam konteks dakwah dari tokoh-tokoh agama lainnya yang mempunyai relevansi dengan keilmuan dakwah yang dapat dijadikan sumber rujukan dalam mekanisme dakwah . 3. Para muballigh hendaknya bisa tampil sebagai sosok tauladan , sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah SAW , sehingga antara ceramah dan perbuatan menjadi selaras . 4. Di era teknologi , informasi ini hendaknya para muballigh dapat menyebar luaskan ajaran Rasulullah SAW dengan memanfaatkan teknologi secara maksimal , jangan sampai para praktisi dakwah gagap teknologi. DAFTAR PUSTAKA Al-Quran, Departemen Agama, Jakarta, 1994 . Abd. Khaliq, Syekh Abdurrahman, ”Strategi Dakwah Syar’iyyah,” Solo: CV. Pustaka Mantiq, 1996. Abdul Aziz, Amin, ”Fiqih Dakwah,” Solo: Era Intermedia, 2000. Abidin Ass, Djamalul, ”Komunikasi dan Bahasa Dakwah,” Jakarta: Gema Insani Press, 1996. Cet. Ke-1. Abu, Zahrah, ” Dakwah Islamiah,” Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994. Aep Kusnawan et. al., ”Komunikasi dan Penyiaran Islam,” Bandung: Benang Merah Press, 2004 . Ahmad Muhammad Jamil, Qadlaya Mu’ashsirat fi Muhkamat al-Fikr al-Islami, Kairo: Dar al-Shahwat, 1980 . A.H. Hasanuddin, ”Retorika Dakwah dan Publisistik dalam Kepemimpinan,” Surabaya: Usaha Nasional, 1992. Cet. Ke-1. Al-Adawiy, Muhammad Ahmad, ”Pedoman Juru Dakwah: Disarikan dari Al-Quran dan Hadits,” Jakarta: Pustaka Amani, 2002. Ali Aziz, Moh., ”Ilmu Dakwah,” Jakarta: Kencana, 2004. Al- Haddad, ”Kelengkapan Dakwah,” Kendal: CV. Toha Putra Semarang, 1980. Al-Wakil, Muhammad Sayyid, ”Prinsip dan Kode Etik Dakwah,” Jakarta: Akademika Pressindo, 2002. Ardhana, Sutirman Eka, ”Jurnalistik Dakwah,” Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995. Anderson, Kenneth E., “Introduction to Communication Theory and Practice,” Cummings Publishing Company California, 1972. Arifin Tatang, Muhammad, ”Menyusun Rencana Penelitian,” Jakarta: Rajawali Press, 1989. Asad, Ari Syeif, “Dakwah Melalui Media Komunikasi,” Jakarta: Media Dakwah, 1991. Assiba’i, Mustafa, ”Sari Sejarah dan Perjuangan Rasulullah SAW,” Jakarta: Media Da’wah, 1983. Avery, Robert K. “Communication and The Media,” New York: Random House, 1980. Dale F. Eickelman dan James Piscatori, Ekspresi Politik Muslim, Risalah Cendikiawan Muslim, Bandung: Mizan, 1998. Darussalam, Ghazali, ”Dinamika Ilmu Dakwah Islamiyah,” Malaysia: Nur Niaga SDN, BHD, 1996. Daud Ibrahim, Marwah, “Peran Lembaga Dakwah Dalam Era Teknologi Komunikasi,“ Serial Khutbah Jumat, XIII, 111, 1991. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Departemen Agama RI, 1983. Echol, John M. & Hasan Syadzily, “Kamus Inggris Indonesia,” Jakarta: PT. Gramedia, 1994. Effendi, Lalu Muchsin, H., Lc, MA., dan Faizah, S.Ag, MA., “Psikologi Dakwah,” Jakarta: Kencana, 2006. Eugene A. Myers, Zaman Keemasan Islam, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003 . Habib, M. Syafa`at, ”Pedoman Dakwah,” Jakarta, Widjaya: 1982, Cet. Ke-1. H. Soedirman, Problematika Dakwah di Indonesia, Surabaya: 1970 . Hamka, Rusydi, dan Rafiq, (ed.), ”Islam dan Era Informasi,” Jakarta: Pustaka Panjimas, 1989, Cet. Ke-1. Hamdi, Mujtaba, ”Dakwah Transpormatif,” Jakarta: PP LAKPESDAM NU, 2006. Hamka, ”Tasawuf Modern,” Yayasan Nurul Islam, Cetakan Ketujuh Belas, Januari 1980. Ibnu, Ibrahim,”Strategi Da’wah Rasulullah, ” Jakarta: Nuansa Press, 2004. Isa Anshari, Mujahid Dakwah, Bandung: Diponegoro, 1984 . Isma’il al-Faruqi, Sifat Dasar Dakwah Islamiyah, dalam Ahmad Von Deffer an Emilio Castro, (ed), Dakwah Islam dan Misi Kristen, Sebuah Dialog Internasional, terj. Achmad Noer. Z., Bandung: Risalah, 1984. Israr, MH, “Retorika dan Dakwah Islam Era Modern,“ Jakarta: Firdaus, 1986, Cet. Ke-I. Kafie, Jamaluddin, “Psikologi Dakwah,” Surabaya: Indah, 1993. Khaliq, Abd. Rahman, "Dasar-dasar Dakwah Generasi Islam Pertama,“ Jakarta: AlHidayah, 1986. Lathief, HSM. Nasaruddin, “Teori dan Praktek Dakwah Islamiyah,“ Jakarta: Firma Dara, 1993. Larry Poston, Islamic Dakwah in The West, Muslim: Mission ary Activity and the Dynamics Conversion to Islam, New York: Oxford University Press, 1992. Masyhur, Musthafa, “Teladan di Medan Dakwah,” Solo: Intermedia, 2000. Maududy, Abul A’la, “Petunjuk Untuk Juru Dakwah,” Bandung: Al-Ma’arif, 1982. M. Quraisy Shihab, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1994 . Muis, A, “Dakwah Islam Masa Depan,“ Kompas, Jakarta, 1993. ________,“Komunikasi Islami,“ Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001. Munawwir, Ahmad Warson, “Al-Munawwir: Kamus Arab – Indonesia,” Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawwir, 1984. Munir, M., S.Ag, MA. & Ilaihi Wahyu, S.Ag, MA., “Manajemen Dakwah,” Jakarta: Kencana dan Rahmat Semesta, 2006. MZ, Zainuddin, KH., “Dakwah dan Politik: Da’i Berjuta Umat,” Bandung: Mizan, 1997. Nasution, Farouq, “Aplikasi Dakwah dalam Studi Kemasyarakatan,“ Jakarta: Bulan Bintang, 1986. Cet. Ke-I. Nia Kurnia, “Tasawaf, Almanak alam Islami,” Bandung: PT. Gramedia, 1996. Nugroho, E., ed, “Ensiklopedi Nasional Indonesia,” Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka, 1990. Nuh, Sayid Muhammad, Dr, “Dakwah Fardiyah: Pendekatan Personal dalam Dakwah,” Solo: Intermedia, 2004. Ridwan, Kafrawi, “Metode Dakwah Dalam Menghadapi Tantangan Masa Depan,“ Jakarta: Golden Trayon Press, 1991. Cet. Ke-2. Samsir Salam, dalam Pengantar Paradigma Pengembangan Masyarakat Islam, Bandar Lampung: Matakata, 2007. Syukriadi Syambas, (ed) Aep Kunawan, Ilmu Dakwah Kajian Berbagai Aspek, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004 . Shaleh, A. Rasyad, “Manajemen Dakwah Islam,“ Jakarta: Bulan Bintang, 1986. Cet. Ke-2. Suhandang, Kustadi, ”Manajemen Pers Dakwah: Dari Perencanaan hingga Pengawasan,” Bandung: Marja, 2007. Syukir, Asmuni, “Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam,“ Surabaya: Penerbit Al-Ikhlas, 1993. Tasmara, Toto, “Komunikasi Dakwah,“ Jakarta: Griya Media Pratama, 1987. Yaqub, Ali Mustafa, “Sejarah dan Metode Dakwah Nabi,” Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997. Yoenoes, Mahmud, “Pedoman Dakwah Islamiyah,” Padang Panjang: Pustaka Saidiyah, 1968. Zaidallah, Alwisral Imam, Drs, “Strategi Dakwah: dalam Membentuk Da’i dan Khotib Profesional,” Jakarta: Kalam Mulia, 2002. Filename: Skripsi Komunikasi Islam ( Perjalanan Dakwah Islamiyah Periode Mekah - Madinah ) Directory: C:\Documents and Settings\Raisya\Desktop\New Folder\KUMPULAN SKRIPSI Template: C:\Documents and Settings\Raisya\Application Data\Microsoft\Templates\Normal.dot Title: BAB I Subject: Author: Raisya Keywords: Comments: Creation Date: 12/16/2010 1:16:00 PM Change Number: 638 Last Saved On: 2/2/2011 5:18:00 PM Last Saved By: Raisya Total Editing Time: 627 Minutes Last Printed On: 2/2/2011 5:35:00 PM As of Last Complete Printing Number of Pages: 136 Number of Words: 31,523 (approx.) Number of Characters: 179,686 (approx.)