MAKALAH ISLAM Mbah Sa'id, Sebuah Catatan Tentang Moderasi Islam (Bagian II, Habis) 25 April 2014 Makalah Islam Mbah Sa'id, Sebuah Catatan Tentang Moderasi Islam (Bagian II, Habis) Disusun oleh : Jaja Zarkasyi (Rumah Moderasi Islam) Masyarakat Gedongan meyakini bahwa sosok Mbah Sa’id telah menjelma menjadi magnet bagi para pencari ilmu untuk datang dan menimba ilmu di Pesantren Gedongan. Terbukti, banyak santri yang datang dari berbagai penjuru nusantara. Di sini, mereka belajar agama kepada para kyai yang penuh dengan kharisma. Sempat terlontar sebuah pertanyaan bernada sinis dari beberapa sahabat saya terkait dengan tradisi pesantren yang begitu menempatkan kyai dan keluarga secara terhormat, bahkan menurutnya terkesan berlebihan. Mencium tangan, berjalan jongkok saat melewatinya, ataupun berebut berkah sisa makanannya. Aneh, karena semua itu tidaklah berkaitan dengan kesalehan, karena menurutnya kesalehan terbentuk melalui berbagai rangkaian pendidikan dan keteladanan secara konsisten. Sebuah perspektif sah-sah saja mempersepsikan tradisi pesantren sebagai sesuatu yang berlebihan dalam penghormatan terhadap guru/kyai. Hal tersebut tak perlu dibantah ataupun dibenarkan. Karena perspektif dipengaruhi sejauhmana wawasan dan pengetahuan tentang suatu obyek dikuasainya. Di sinilah kearifan kita sangat dibutuhkan dalam menyikapi berbagai pandangan miring terhadap tradisi pesantren tersebut. Saya memulainya dengan sebuah realitas para pengabdi ummat yang bernama kyai, bahwa mereka bukan sekedar guru yang terbatas oleh ruang dan waktu. Dalam konstruksi tradisi pesantren, kyai adalah pusat seluruh aktifitas intelektual dan spiritual. Kyai merupakan penggambaran realitas tertinggi dalam perputaran spiritual yang mampu menggerakkan santri dan ummat menapaki tangga-tangga spiritual. Bukan hanya mengajarkan teori, melainkan juga memberikan teladan spiritual maupun sosial. Maka wajarlah jika rasa hormat atas sosok kyai adalah sebuah kewajaran selama hal tersebut tidak bersifat fanatisme buta. Inilah yang diwariskan Mbah Sa’id, yaitu pentingnya tauladan dalam setiap aktifitas dakwah. Pelaku dakwah, apapun bidangnya, harus secara utuh memaknai dakwah sebagai pakaian yang dikenakannya sepanjang waktu. Dengan demikian, tak ada ruang untuk tidak memberi tauladan di hadapan ummat. Sikap istiqomah yang nampak dalam kehidupan Mbah Sa’id dalam berdakwah dan mengajarkan Islam kepada para santri dan masyarakat, menjadi satu diantara kunci keberhasilan melahirkan generasi-generasi terbaik di zamannya. Ia tidak hanya mewariskan pesantren dengan santri berlimpah, melainkan juga mewariskan semangat, sikap dan mentalitas seorang da’i yang penuh dengan ketauladanan. Baginya, berdakwah tidak lagi sekedar ceramah, karena dakwah itu sendiri adalah perubahan. Dakwah itu bukan sebatas aktifitas formalistik; bukan pula sekedar menggugurkan kewajiban. Dakwah itu sebuah istilah yang dahulu berhasil merubah Mekkah menjadi pusat peradaban. Dakwah pula yang telah menghantarkan nusantara tumbuh pesat dengan beragam kemajuan; perdagangan, pendidikan, budaya dan sosial budaya. Dakwah merupakan bersinerginya perkataan, perbuatan dan program. Maka, dakwah bukanlah sekedar berceramah lalu bubar, melainkan saling berkaitan dan berkesinambungan. Ibarat strata pendidikan, dakwah pun melalui tahap demi tahap dan tak bisa dipisahkan. Di sinilah dakwah tidak sekedar membutuhkan keahlian berceramah, melaikan juga kemampuan memberi tauladan, kemampuan menelurkan ide-ide progressif dan inovatif, kemampuan menaklukan tantangan, serta kemampuan bekerja sama dengan orang lain. Kini, di tengah arus modernitas yang terus menggerus nilai-nilai ketimuran dan budaya lokal, dakwah tak bisa ditempatkan hanya dalam kelompok tertentu ataupun cara yang baku. Dengan beragam permasalahan yang muncul sebagai dampak modernitas, dakwah memerlukan individu-individu progressif yang mampu melahirkan beragam ide kreatif dan terobosan ciamik, sehingga umat akan merasakan betapa berartinya dakwah bagi mereka. Maka, jika dakwah masih berkutat dengan formalistik pakaian dan bangunan, dakwah hanya di masjid dan dilakukan di atas mimbar, rasanya tidaklah salah jika masyarakat tak memberi respon positif. Paradigma modern masyarakat adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari oleh pelaku dakwah. Hal ini meniscyakan adanya respon positif dan efektif para dai terhadap berbagai perubahan di masyarakat tersebut. So, dakwah bukanlah (lagi) sekedar ceramah; dakwah membutuhkan keberanian menaklukan tantangan, keberanian melahirkan ide-ide kreatif dan progressif, serta konsistensi menegakkan ketauladanan. Itulah pesan terindah yang dapat kita baca dari perjalanan hidup Mbah Sa’id, sosok yang rendah hati dari Gedongan. Wallahua’lam bishawab.