PLTN, Antara Kebutuhan dan Kekhawatiran Oleh

advertisement
Badan Tenaga Nuklir Nasional
JAKARTA
GUNTINGAN BERITA
Hari, tanggal
Jumat, 30 September 2016
Sumber Berita
http://beritanusantara.co.id/index.php/berita/single
/b/409/_PLTN__Antara_Kebutuhan_dan_Kekhawatir
an
PLTN, Antara Kebutuhan dan Kekhawatiran
Oleh: Hamidi Rahmat
14:05
Hal/Kol.
-/-
Oleh: Hamidi Rahmat
SEMAKIN maju kehidupan suatu masyarakat, semakin sejahtera mereka, semakin maju negaranya,
maka konsumsi listriknya semakin tinggi. Demikian pula halnya dengan negara kita, Indonesia, setiap
tahun kebutuhan akan listrik selalu meningkat, baik karena pertambahan jumlah penduduk maupun
karena peningkatan konsumsi tenaga listrik per kapita.
Data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) menunjukkan bahwa konsumsi
listrik Indonesia meningkat 69.962 MWh (46,23 %) selama 5 tahun dari 151.334 MWh pada tahun
2009 menjadi 221.296 MWh pada tahun 2014 atau meningkat 9,25 % per tahun.
Peningkatan ini disebabkan oleh pertambahan penduduk sebesar 20,78 juta jiwa (8,98 %) selama 5
tahun dari 231,37 juta jiwa pada tahun 2009 menjadi 252,15 juta jiwa pada tahun 2014 atau
meningkat 1,79 % per tahun. Juga disebabkan oleh peningkatan konsumsi tenaga listrik per kapita
meningkat 0,23 MWh (35,38 %) selama 5 tahun dari 0,65 MWh pada tahun 2009 menjadi 0,88 MWh
pada tahun 2014 atau meningkat 7,08 % pertahun.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut :
Tahun Jumlah Penduduk
(Ribu Jiwa)
Konsumsi Tenaga Listrik (MWh) Konsumsi Tenaga Listrik Perkapita (MWh)
2009 231.369,50 151.334,00 0,65
2010 237.641,32 165.969,00 0,70
2011 241.990,70 178.279,00 0,74
2012 245.425,20 194.289,00 0,79
2013 248.818,10 208.035,00 0,84
2014 252.164,80 221.295,00 0,88
Sumber : Statistik Ketenagalistrikan, DJK KESDM, 2014
Penduduk yang mengkonsumsi tenaga listrik tidak hanya perduduk di perkotaan atau di pulau
Jawa saja, tetapi juga penduduk di pedesaan di berbagai pulau yang ada di Indonesia. Hal ini
dibuktikan dengan data yang dirilis oleh KESDM tentang rasio elektrifikasi Indonesia, yaitu jumlah
rumah tangga di Indonesia meningkat 6.640.655 rumah tangga (11,41 %) selama 5 tahun dari
58.194.437 rumah tangga pada tahun 2009 menjadi 64.835.092 rumah tangga pada tahun 2014
atau meningkat 2,28 % per tahun.
Jumlah rumah tangga yang menjadi pelanggan listrik meningkat 16.116.966 rumah tangga (41,78
%) selama 5 tahun dari 38.573.465 rumah tangga pada tahun 2009 menjadi 54.690.431 rumah
tangga pada tahun 2014 atau meningkat 8,36 % pertahun. Dengan demikian, rasio elektrifikasi
Indonesia meningkat 18,07 % selama 5 tahun dari 66,28 % pada tahun 2009 menjadi 84,35 %
pada tahun 2014 atau meningkat 3,61 % per tahun.
Tabel berikut menunjukkan angka yang lebih detail :
Tahun Jumlah Rumah Tangga Jumlah Pelanggan Rumah Tangga Rasio Elektrifikasi
(%)
2009 58.194.473 38.573.465 66,28
2010 59.118.900 39.696.415 67,15
2011 62.092.031 45.294.035 72,95
2012 62.992.725 48.229.930 76,56
2013 64.204.615 51.688.927 80,51
2014 64.835.092 54.690.431 84,35
Sumber : Statistik Ketenagalistrikan, DJK KESDM, 2014
Jika trend tersebut terus berlanjut, maka jenis sumber energi yang dipakai selama ini tidak akan
mampu lagi memenuhi kebutuhan untuk menggerakkan turbin pembangkit tenaga listrik. Apalagi
ketersediaan bahan bakar minyak kita semakin terbatas. Oleh sebab itu perlu dicari sumber energi
lain, terutama sumber energi baru dan/atau terbarukan (EBT).
Sebenarnya sumber energi terbarukan yang kita miliki cukup berlimpah, namun sampai saat ini belum
banyak dimanfaatkan. Misalnya panas bumi, angin, matahari, biofuel, biomassa, gelombang laut dan
pasang surut. Sampai kini kontribusi sumber EBT sebagai sumber energi nasional, masih kurang dari
10%. Dari kontribusi yang kurang dari 10% tersebut, tenaga air merupakan yang terbanyak
menyumbang energi nasional, diikuti oleh panas bumi. Sedangkan yang lainnya bisa dikatakan belum
termanfaatkan. Sementara 90% dari sumber energi kita masih mengandalkan minyak, gas dan
batubara, dimana produksi minyak kita sudah tidak bisa lagi diandalkan untuk menenuhi kebutuhan
masyarakat Indonesia.
Ke depan kita perlu memaksimalkan pemanfaatan EBT. Permasalahannya, nilai investasi untuk
membangun pembangkit listrik dengan tenaga EBT relatif mahal, sehingga dinilai tidak ekonomis jika
tidak ada kebijakan khusus dari Pemerintah.
Kebijakan Pemerintah
Pasal 1 angka 4 Undang-undang nomor 30 tahun 2007 tentang Energi menyebutkan bahwa sumber
energi baru adalah sumber energi yang dapat dihasilkan oleh teknologi baru baik yang berasal dari
sumber energi terbarukan maupun sumber energi tak terbarukan, antara lain nuklir, hidrogen, gas
metana batubara (coal bed methane), batubara tercairkan (liquified coal), dan batubara tergaskan
(gasified coal).
Selanjutnya dalam pasal 20 dinyatakan bahwa : (1) Daerah penghasil sumber energi mendapat
prioritas untuk memperoleh energi dari sumber energi setempat. (2) Penyediaan energi baru dan
energi terbarukan wajib ditingkatkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan
kewenangannya. (3) Penyediaan energi dari sumber energi baru dan sumber energi terbarukan yang
dilakukan o!eh badan usaha, bentuk usaha tetap, dan perseorangan dapat memperoleh kemudahan
dan/atau insentif dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya untuk
jangka waktu tertentu hingga tercapai nilai keekonorniannya.
Pasal 9 Peraturan Pemerintah nomor 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional menargetkan
EBT sebesar 23% pada tahun 2025 dan 31% pada tahun 2050. Sebagian kontribusi EBT tersebut juga
bisa berasal dari nuklir, karena nuklir merupakan salah satu sumber energi baru, sebagaimana
disebutkan dalam undang-undang nomor 30 tahun 2007.
Namun, Pasal 11 Peraturan Pemerintah nomor 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional telah
membatasi pemanfaatan sumber energi nuklir. Pasal tersebut menyatakan bahwa energi nuklir
dimanfaatkan dengan mempertimbangan keamanan pasokan energi nasional dalam skala besar,
mengurangi emisi karbon dan tetap mendahulukan potensi energi baru dan energi terbarukan sesuai
nilai keekonomiannya, serta mempertimbangkannya sebagai pilihan terakhir dengan memperhatikan
faktor keselamatan secara ketat.
Sampai saat ini, manurut Kepala Batan Djarot Sulistio Wisnubroto di sela-sela acara konferensi
internasional South Pacific Environmental Radioactivity Assosiation (SPERA) di Denpasar (5/9/2016)
bahwa peraturan perundang-undangan kita belum mengizinkan untuk melakukan eksploitasi secara
komersial. Dalam arti, belum ada peraturan perundang-undangan yang menyatakan secara eksplisit
bahwa investor bisa mengeksplorasi uranium tersebut.
Meskipun potensi uranium di Indonesia mencapai 78.000 ton yang tersebar di beberapa daerah di
Indonesia, terutama di wilayah Kalimantan Barat, Bangka Belitung dan di Mamuju Sulawesi Barat,
baru Batan yang diperbolehkan mengambil uranium tersebut. Hal itu pun hanya sebatas untuk
penelitian saja, seperti penyelidikan umum, eksplorasi dan eksploitasi (Kompas.com, 5/9/2016)
Selain peraturan perundang-undangan yang telah disebutkan di atas, regulasi yang mengatur
tentang pengembangan energi berbasis nuklir antara lain tertuang dalam (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 54 Tahun 2012 tentang Keselamatan dan Keamanan Instalasi Nuklir; (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perizinan Instalansi Nuklir dan Pemanfaatan Bahan Nuklir;
(3) Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2012 tentang Pertanggungjawaban Kerugian Nuklir; dan (4)
Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Disamping itu, dalam RPJM
Tahun 2015-2019 juga telah mengamanatkan pemanfaatan energi nuklir.
Pemanfaatan PLTN
Nuklir adalah energi yang bersih, tanpa menghasilkan polusi udara. Hal ini akan mendukung upaya
penurunan emisi gas rumah kaca sebagaimana yang diamanatkan oleh Peraturan Presiden nomor 61
tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca, dengan target
penurunan emisi 41% atau 61,7 juta ton CO2 sampai tahun 2030.
Majalah Nutech, Edisi 1 Tahun 2014 menyatakan bahwa Badan Tenaga Atom Nasional (Batan)
sebagai lembaga pelaksana mempunyai tugas dalam penelitian dan pengembangan tenaga nuklir
dalam rangka penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi nuklir untuk keselamatan, ketenteraman,
dan kesejahteraan rakyat. Batan sejauh ini telah melakukan berbagai studi dan sosialisasi terkait
persiapan pembangunan PLTN komersial dalam rangka memperkuat posisi infrastruktur nasional
sebagai pemangku kepentingan. Batan dapat melakukan pembangunan, pengoperasian dan
komisioning reaktor daya non komersial, termasuk reaktor daya eksperimental (RDE)
Sedangkan penyediaan listrik yang memanfaatkan teknologi nuklir secara komersial dilakukan oleh
pihak swasta, BUMN maupun koperasi. Dalam pemanfaatan energi nuklir untuk pembangkitan listrik
komersial, Batan berperan penting sebagai organisasi pendukung teknis, bukan sebagai operator.
Pada saat ini Batan merencanakan pembangunan RDE dengan daya antara 2,5-10 MWe atau setara
dengan 10-30 MW thermal di Serpong Tangerang. RDE ini merupakan hilirisasi dari penelitian Batan
dalam sektor energi selama lebih dari 20 tahun. Listrik yang dihasilkan RDE ini dapat digunakan
untuk memenuhi sebagian kebutuhan listrik Batan dan pengembangannya ke depan terutama untuk
laboratorium terpadu EBT.
Kepala Batan memproyeksikan bahwa nuklir akan masuk ke dalam sistem kelistrikan Jawa Madura
Bali (Jamali) pada tahun 2027 sebesar 2.000 MW (2×1.000 MW) dan bertambah sampai tahun 2050
sebesar 12.000 MW. Untuk wilayah Sumatera sebesar 2.000 MW (2031) menjadi 8.000 MW (2050).
Untuk wilayah Kalimantan 100 MW (2031) menjadi 800 MW (2050).
Persoalan utama dalam membangun PLTN adalah penerimaan masyarakat (public acceptance). Yang
ditakutkan masyarakat awam adalah bahaya radiasi pengion. Padahal, menurut Kepala Batan, dalam
setiap pembangunan PLTN wajib mempertimbangkan keselamatan pekerja, masyarakat dan
lingkungan melalui peningkatan standar keselamatan dan keamanannya, sesuai dengan prinsip
defense in depth, sehingga zat radioaktif yang dihasilkan reaktor dijamin tidak terlepas ke
lingkungan, baik selama operasi normal maupun jika terjadi kecelakaan.
Ketika penulis beserta rombongan dari Sekretariat Kabinet mengunjungi reaktor serba guna
Siwabessy di Batan Serpong pada tanggal 30 Desember 2015 yang lalu, sangat terkesan dengan
pengamanan keselamatannya. Setelah keluar dari ruang reaktor, semua pengunjung dan pegawai
(tanpa kecuali) diperiksa apakah terkena dampak radiasi. Rombongan penulis pun juga diperiksa
sesuai prosedur tetap yang berlaku. Dari pengalaman tersebut, semua pengunjung dan pegawai
tidak ada yang terkena radiasi. Untuk antisipasi, di ruang sebelah reaktor telah disediakan ruangan
untuk membersihkan radiasi seandainya ada pengunjung atau pegawai yang terkena radiasi. Jadi,
siapapun yang baru keluar dari bangunan reaktor pasti sudah bebas dari radiasi nuklir.
Jejak pendapat pada tahun 2013, menurut Kepala Batan, menunjukkan bahwa secara nasional 60,4%
masyarakat setuju dengan pembangunan PLTN. Bahkan Patrick Moore (Mantan Direktur Greenpeace)
yang dulu menentang PLTN, kini menjadi pendukung energi nuklir. Salah satu alasannya adalah hanya
energi nuklir yang paling mungkin menjadi sumber energi alternatif pengganti batubara yang polusinya
besar.
Menurut Moore, ketakutan dan keengganan publik mengejar ‘keuntungan’ dari energi nuklir kerap
disebabkan oleh mitos-mitos yang berkembang di seputar nuklir, semisal bahaya radiasi, kemungkinan
serangan teroris terhadap PLTN dan mahalnya harga listrik yang dihasilkan dari PLTN. Bukan hanya
Moore, tetapi juga sejumlah ilmuan lainnya yang mengubah pandangannya soal PLTN, seperti ilmuan
Inggiris James Lovelock, penemu teori Gaia dan Stewart Brand, pendiri Whole Earth Catalog (Majalah
Nutech, Edisi 1 Tahun 2014 hal 44-45).
Dari dalam negeri, Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Soetrisno Bachir mengatakan,
Indonesia sudah saatnya mengembangkan nuklir sebagai sumber daya energi utama yang dapat
menopang ketersediaan dan kebutuhan energi nasional. Sebab, energi nuklir yang dimanfaatkan secara
baik dapat menopang industri nasional yang selama ini banyak bergantung pada gas. Disamping itu,
Soetrisno juga menekankan bahwa energi sebagai sektor yang penting bagi Indonesia seharusnya
menjadi penopang utama pendapatan negara, salah satunya dengan mengembangkan energi nuklir
(Kompas.com 26/8/2016).
Hasil kajian Wantannas menunjukkan bahwa PLN membangun pembangkit listrik berdasarkan
pertumbuhan kebutuhan listrik daerah secara bertahap. Namun ketika daerah memerlukan
pertumbuhan kebutuhan listrik yang tinggi untuk mendukung percepatan realisasi perencanaan
pembangunan daerah, maka PLN belum mampu mengakomodasi kebutuhan tersebut.
Disamping itu, cukup banyak daerah yang mengalami krisis listrik untuk kebutuhan rumah tangga,
terlebih lagi ketika pemerintah daerah akan merealisasikan rencana pengembangan industri di
wilayahnya. Sampai saat ini masih banyak pengembangan industri terhambat pasokan listrik yang
seharusnya terpenuhi secara berkelanjutan sepanjang tahun.
Oleh karena itu, energi Nuklir dapat menjadi sumber energi alternatif yang aman dan efisien bagi
masyarakat di tengah keterbatasan energi yang bersumber dari fosil. Hasil survei Sigma Research
periode Oktober – Desember 2015 menunjukkan bahwa 75% masyarakat Indonesia percaya PLTN akan
menjamin ketersediaan pasokan listrik nasional. Angka ini jauh di atas hasil jejak pendapat pada tahun
2013 yang hanya 60,4% sebagaimana dikemukakan Kepala Batan.
Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa energi nuklir memang mampu menghasilkan listrik dalam
jumlah besar dengan volume bahan bakar yang kecil. Dengan demikian diharapkan dapat memenuhi
kebutuhan listrik nasional, termasuk kebutuhan listrik untuk industri, dan rasio elektrifikasi bisa
mendekati 100% dalam waktu yang tidak terlalu lama. Semoga!
Download